REFERAT ALERGI

33
ALERGI I. PENDAHULUAN Alergi adalah reaksi imunitas tubuh terhadap lingkungan. Ketika kita melakukan kontak dengan zat-zat penimbul alergi ( alergen ) baik melalui kulit, saluran napas, makanan, maupun suntikan, tubuh kita akan melawan zat yang dianggap berbahaya tersebut dengan histamin dan antibody lainnya. Hal ini membuat tubuh kita kehilangan keseimbangan dan menimbulkan gejala seperti kulit gatal-gatal, mencret, bersin-bersin, hidung “meler”, batuk, dan lainnya. Alergi terjadi hanya bila kontak terhadap alergen tersebut sudah melewati ambang batas toleransi tubuh, yang tingkatnya berbeda-beda setiap orang. makanan dan obat-obatan tertentu, serangga, bulu binatang, ngengat, debu, jamur mikro dan serbuk sari bunga dapat menjadi penimbul alergi. 1 Penyakit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi fisiologis yang diakibatkan oleh interaksi antigen dengan antibodi humoral dan atau sel limfoid. Definisi ini menghindarkan penggunaan istilah alergi untuk penyakit-penyakit dimana mekanisme imunologis tidak dapat didemonstrasikan. Misalnya, reaksi yang mengganggu setelah menelan makanan atau obat pada beberapa individu mungkin menyerupai reaksi alergi yang 1

description

referat

Transcript of REFERAT ALERGI

ALERGI

I. PENDAHULUAN

Alergi adalah reaksi imunitas tubuh terhadap lingkungan. Ketika kita

melakukan kontak dengan zat-zat penimbul alergi ( alergen ) baik melalui kulit,

saluran napas, makanan, maupun suntikan, tubuh kita akan melawan zat yang

dianggap berbahaya tersebut dengan histamin dan antibody lainnya. Hal ini

membuat tubuh kita kehilangan keseimbangan dan menimbulkan gejala seperti

kulit gatal-gatal, mencret, bersin-bersin, hidung “meler”, batuk, dan lainnya.

Alergi terjadi hanya bila kontak terhadap alergen tersebut sudah melewati ambang

batas toleransi tubuh, yang tingkatnya berbeda-beda setiap orang. makanan dan

obat-obatan tertentu, serangga, bulu binatang, ngengat, debu, jamur mikro dan

serbuk sari bunga dapat menjadi penimbul alergi.1

Penyakit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi fisiologis yang

diakibatkan oleh interaksi antigen dengan antibodi humoral dan atau sel limfoid.

Definisi ini menghindarkan penggunaan istilah alergi untuk penyakit-penyakit

dimana mekanisme imunologis tidak dapat didemonstrasikan. Misalnya, reaksi

yang mengganggu setelah menelan makanan atau obat pada beberapa individu

mungkin menyerupai reaksi alergi yang khas, tetapi sering tidak ada bukti dasar

imunologis. Pada beberapa contoh, dasar biokimia reaksi dapat diketahui, seperti

pada diare setelah minum susu pada individu dengan defisiensi disakarida. Bila

tidak terdapat alasan mencurigai alergi sebagai penyebab tanda atau gejala,

penggunaan metode imunologis untuk diagnosis atau pengobatan mempunyai

dasar rasional. 1

Istilah alergi, pada tahun 1906, untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh

Von Pirquet, untuk menggambarkan setiap perubahan respon terhadap suatu sub-

stansi tertentuyang diberikan untuk kedua-kalinya. Peningkatan ketahanantubuh,

yang disebut imunitas dan peningkatan kepekaan; yang disebut hipersensitivitas,

pada waktu itu dipandang sebagai dua bentuk alergi yang saling bertolak be-

lakang.2

1

Dewasa ini pemakaian istilah alergi, baik dikalangan kedokteran maupun

masyarakat luas, telah berubah. Istilah alergi sekarang diartikan sama dengan isti-

lah hipersensitivitas saja.2

Pada prinsipnya alergi adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh suatu

reaksi imunologik yang spesifik; suatu keadaan yang ditimbulkan oleh alergen

atau antigen, sehingga terjadi gejala -gejala patologik. Secara garis besar, maka

reaksi alergi dapat dibagi atas dua golongan, yaitu reaksi tipe cepat ('immediate

type') dan tipe lambat ('delayed type ' ). Yang pertama adalah 'humoral-mediated'

sedangkan yang kedua, ' cell-mediated' Secara singkat, maka perbedaan antara ke-

dua macam reaksi alergi ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.2

II. ETIOLOGI

Istilah reaksi alergi digunakan untuk menunjukkan adanya reaksi yang

melibatkan antibodi IgE (immunoglobulin E). IgE terikat pada sel khusus,

termasuk basofil di dalam sirkulasi darah dan sel mast di dalam jaringan. Jika

antibodi IgE yang terikat dengan sel-sel tersebut berhadapan dengan antigen

( dalam hal ini disebut alergen ), maka sel-sel tersebut didorong untuk melepaskan

zat kimia yang melukai jaringan disekitarnya. 1

Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman , obat atau makanan

yang bertindak sebagai antigen yang merangsang terjadinya respon kekebalan.

Kadang istilah penyakit atopik digunakan untuk menggambarkan sekumpulan

penyakit keturunan yang berhubungan dengan IgE, seperti rhinitis alergika dan

asma alergika. Penyakit atopik ditandai dengan kecenderungan untuk

menghasilkan antibodi IgE terhadap inhalan ( benda yang terhirup, seperti serbuk

bunga, bulu binatang, partikel debu ) yang tidak berbahaya. Eksim ( dermatitis

atopik ) juga merupakan suatu penyakit atopik meskipun peran IgE dalam

penyakit ini tidak begitu jelas. Meskipun demikian, seseorang yang menderita

penyakit atopik tidak memiliki resiko membentuk antibodi IgE terhadap alergen

yang disuntik ( misalnya obat atau racun serangga ). 1

2

“Atopi” dan “atopik” menunjukkan penyakit alergi tertentu. Atopi

mungkin dipandang sebagai suatu kelainan dengan sifat-sifat berikut : (1). Faktor

herediter yang muncul dalam insiden tinggi “ hay fever”, asma dan ekzema atopik

pada keluarga penderita; (2) eosinofilia darah dan sekresi jaringan; (3)

predisposisi terhadap sintesis selektif dan antibodi IgE pada pemaparan dengan

zat lingkungan; (4) hiperaktivitas jalan napas penderita asma bila terkena

berbagai faktor lingkungan ( udara dingin, bau yang mengiritasi ) dan terhadap

zat-zat kimia endogen tertentu ( asetilkolin dan histamin ) dan/ atau hiperaktivitas

kulit pada ekzema terhadap faktor kimia dan fisik tertentu ( pukulan, asetilkolin );

dan (5) bukti hiperresponsif dari ᵝ-adrenergik dan hiperaktivitas kolinergik.

Hiporesponsif ᵝ- adrenergik bermanifestasi sebagai kurangnya respon infus

isoprotenerol teradap efek kardiovaskular dan hiperaktivitas kolinergik

bermanifestasi sebagai meningkatnya respons stimulasi kolinergik dari otot

sfingter pupil atau kelenjar eksokrin.3

III. PATOFISIOLOGI

Imunitas humoral dan seluler jelas memiliki nilai adaptif bagi tubuh.

Istilah imunitas secara umum mengacu kepada fenomena yang bermanfaat yang

diperantarai oleh sistem imun. Namun “harga” yang harus dibayar oleh manusia

untuk memiliki perangkat imun adaptif ini bahwa interaksi imunoglobulin atau sel

T dengan imunogen kadang-kadang dapat menyebabkan cedera pada tubuh.

Reaksi yang merugikan ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas. 1,3

Dahulu reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh imunoglobulin

disebut reaksi hipersensitivitas tipe cepat (humoral), sedangkan yang diperantarai

oleh mekanisme imun seluler disebut reaksi hipersensitivitas tipe lambat (cell-

mediated). Walaupun istilah-istilah ini masih digunakan saat ini, namun adanya

tumpang tindih yang cukup banyak dalam kecepatan munculnya berbagai reaksi

menyebabkan ketepatan kedua istilah berkurang. Klasifikasi cedera imunologik

yang lebih bermanfaat yang dikembangkan oleh Gel dan Coombs membagi reaksi

reaksi hipersensitivitas menjadi reaksi tipe I, II, III, IV. 1,2,3

3

Gambar 1. Proses

pelepasan mediator

radang pada reaksi

alergi.

Reaksi Tipe I ( Anafilaktik )

Pada reaksi tipe I ( reaksi tipe anafilaktik, reaksi hipersensitivitas tipe

cepat ), individu tersensitasi oleh imunogen tertentu melalui pajanan sebelumnya.

Pada kontak awal yang diproduksi adalah IgE yang kemudian beredar ke seluruh

tubuh dan terfiksasi ke permukaan sel mast dan basofil. Saat tubuh kembali

berkontak dengan imunogen yang sama, interaksi antara imunogen dengan

antibodi yang sudah melekat ke sel mast menyebabkan pelepasan secara

mendadak dan besar-besaran zat-zat proinflamasi seperti histamin yang

terkandung dalam sel-sel tersebut. Apabila jumlah imunogen yang masuk sedikit

dan di daerah yang terbatas, maka pelepasan mediatornya juga lokal. Pada situasi

ini, akibatnya adalah terjadinya vasodilatasi lokal disertai peningkatan

permeabilitas dan pembengkakan. Reaksi ini juga menjadi dasar uji kulit oleh para

ahli alergi. Namun, apabila imunogen masuk dalam jumlah yang lebih besar dan

secara intravena ke dalam orang yang sudah peka, maka pelepasan mediator-

4

mediator dapat sangat banyak dan meluas dan menimbulkan reaksi anafilaktik.

Yang sering menjadi penyebab reaktivitas tipe I adalah bisa serangga, serbuk sari,

alergen hewan, jamur, obat, dan makanan. Contoh klasik reaksi anafilaktik tipe

generalisata ini dijumpai saat seseorang yang sudah tersensitasi mendapat infus

intravena suatu alergen berupa penicillin. Tanda-tanda distres muncul dalam

beberapa menit atau kurang, dan orang tersebut dapat meninggal dengan cepat

setelah mengalami serangan agitasi, kejang, bronkospasme, atau kolaps sirkulasi.

Reaksi anafilaktik seperti ini terjadi karena obstruktif bronkus, yang menyebabkan

terperangkapnya udara inhalasi di dalam paru, gagal napas, dan defisit oksigen

atau karena faktor-faktor misalnya hipotensi berat, pembengkakan laring, atau

gangguan irama jantung. Rangkaian kejadian ini disebabkan oleh pembebasan

berbagai mediator dari sel mast yang kemudian mempengaruhi otot polos

vaskuler dan jalan napas. Reaksi yang lebih ringan mencakup rinitis alergi ( hay

fever ), angioedema, dan urtikaria. 1,2,3

Patofisiologi anafilaksis akan lebih jelas kalau kita lihat pengaruh

mediator pada organ target. Rangsangan alergen pada sel mast seperti sistem

kardiovaskular, traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis, dan kulit. 1,2,3

Reaksi Tipe II Sitotoksik

Reaksi tipe II, atau reaksi sitotoksik, disebabkan karena adanya antibody

dalam keadaan bebas dalam sirkulasi yang akan bereaksi dengan suatu antigen

dipermukaan sel atau membrane jaringan tubuh. Antibodi penyebab biasanya dari

kelas IgG atau IgM. Setelah terjadi reaksi antara antigen dengan antibody, maka

sel tersebut dapat dimusnahkan oleh sel fagosit. IgG atau IgM dalam darah

berikatan dengan epitop di permukaan imunogen atau antigen MHC yang

disajikan dipermukaan sel. Akibat dari interaksi ini mungkin adalah percepatan

fagositosis sel sasaran atau lisis sel sasaran setelah terjadi pengaktivan sistem C.

Apabila sel sasaran adalah agen penginvasi, misalnya bakteri, maka hasil akhir

dari reaksi ini bernmanfaat bagi tubuh. Apabila sel sasaran adalah tubuh sendiri,

misalnya eritrosit, maka akibatnya mungkin adalah suatu bentuk anemia

5

hemolitik. Jenis lain reaksi tipe II adalah sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel

yang dependen-antigen (ADCC). Pada reaksi tipe ini, imunoglobulin yang

ditujukan terhadap antigen-antigen permukaan suatu sel berikatan dengan sel

tersebut. Leukosit seperti neutrofil dan makrofag yang memiliki reseptor untuk

bagian tertentu ( bagian Fe ) molekul imunoglobulin tersebut kemudian berikatan

dengan sel dan menghancurkannya. Contoh yang umum untuk reaksi tipe II

adalah destruksi eritrosit sewaktu transfusi darah yang golongan ABO-nya tidak

cocok, miastenia gravis dan sindrom Goodpasture ( serangan pada membran basal

ginjal dan paru ). 1,2,3

Reaksi Tipe III ( Kompleks Imun )

Reaksi tipe III memiliki beberapa bentuk tetapi akhirnya akan diperantarai

oleh kompleks imun (kompleks imunogen dengan jumlah imunoglobulin biasanya

IgG) yang mengendap di jaringan arteri dan vena. Contoh reaksi tipe ini yang

banyak dipelajari adalah Reaksi Arthus. Secara klasik, reaksi ini ditimbulkan

mula-mula dengan mensensitasi seseorang dengan protein asing. Kemudian orang

tersebut diberi suntikan imunogen yang sama secara intradermis. Reaksi muncul

dalam beberapa jam, dengan awal berupa pembengkakan dan kemerahan di

tempat suntikan yang akhirnya mengalami nekrosis dan hemoragi pada reaksi

yang parah. 1,2,3

Mekanisme dasar untuk perubahan-perubahan ini adalah pembentukan

kompleks imunoglobulin di dinding pembuluh. Unsur kunci dalam reaksi ini

adalah pengaktivan jenjang C oleh kompleks imun yang mengendap di dinding

pembuluh darah, walaupun sel-sel vaskuler bukan merupakan sumber imunogen;

imunogen berdifusi ke dalam dinding pembuluh dari darah. Pengaktivan ini

menyebabkan terbentuknya faktor-faktor kemotaktik yang menarik neutrofil dari

sirkulasi. Kerusakan pembuluh darah berlanjut apabila neutrofil neutrofil

mengalami degranulasi ( melepaskan enzim-enzim litik ) ke daerah sekitar.

Kerusakan di jaringan sekitar disebabkan oleh pembentukan mikrotrombus,

peningkatan permeabilitas vaskular, dan pelepasan enzim- enzim yang

6

menyebabkan peradangan, kerusakan jaringan dan bahkan kematian jaringan.

Reaksi tipe III ini berbeda dengan reaksi tipe II terbatas pada tipe sel tertentu yang

merupakan “sasaran” spesifik, sedangkan reaksi tipe III menghancurkan jaringan

atau organ di mana saja tempat kompleks imun mengendap. Sebagai contoh,

glomerulonefritis dapat terjadi saat kompleks imun mengendap di ginjal, serta

lupus eritematous sistemik dan artritis dapat terjadi apabila kompleks imun

mengendap di kulit dan sendi. Contoh lain reaksi tipe III adalah serum sickness,

yang timbul 1 sampai 2 minggu setelah seseorang disuntik dengan suatu serum

asing. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh, menyebabkan

kompplemen terfiksasi dan timbul edema, demam, dan peradangan. 1,2,3

Reaksi Tipe IV ( Selular )

Reaksi tipe IV ( reaksi yang diperantarai oleh sel, reaksi hipersensitivitas

tipe lambat ) diperantarai oleh kontak sel-sel T yang telah tersensitisasi dengan

immunogen yang sesuai. Reaksi ini cenderung terjadi 12 sampai 24 jam setelah

pajanan awal ke imunogen. Sel-sel CD4 ( sel T penolong ) melepaskan sitokin

yang menarik dan merangsang makrofag untuk melepaskan mediator-mediator

peradangan. Apabila imunogen menetap, maka kerusakan jaringan yang

disebabkan oleh proses ini dapat berkembang menjadi reaksi granolomatosa

kronik, misalnya berkumpulnya sel-sel mononukleus di daerah kerusakan

jaringan. 1,2,3

Berbagai immunogen seperti virus, bakteri, fungus, hapten dan obat dapat

memicu reaksi tipe IV. Basil tuberkel tampaknya menyebabkan respon seluler

yang menyebabkan limfotoksisitas. Poison ivy, deterjen, dan parfum juga dapat

menyebabkan dermatitis kontak alergi. Reaksi tipe IV juga merupakan penyebab

utama penolakan yang terjadi pda beberapa transplantasi organ. Apabila jaringan

hidup dari satu orang ditandur ke orang lain, baik berupa sepotong kulit atau satu

organ keseluruhan, maka kecuali apabila donor dan resepien identik secara

genetis, jaringan yang ditandur akan dianggap oleh sistem imun resepien sebagai

benda asing atau nonself. Setelah suatu fase induksi yang singkat, limfosit secara

7

spesifik tersensitisasi ke antigen MHC dari donor akan menyerbu tandur.

Limfosit-limfosit ini menyebabkan destruksi atau penolakan tandur melalui

sejumlah mekanisme yang melibatkan limfotoksisitas langasung atau rrekrutmen

makrofag. Walaupun sel T berperan penting dalam menolak tandur, namun pada

beberapa keadaan imunoglobulin juga berperan penting. Tipe reaksi penolakan ini

membatasi kemampuan kita mengenali organ yang cacat pada seseorang dengan

organ yang diambil dari orang lain. 1,2,3

IV. IMUNOLOGI KLINIS

1. Anafilaksis

Anafilaksis adalah suatu respon klinis hipersensitivitas yang berat dan

menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan

suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1), yaitu reaksi antara antigen

spesifik dengan dan antibody spesifik yang terikat pada sel mast.3

Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotic,

ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, produk darah, anestetikum local,

makanan, enzim, hormone, dan lain-lain.3

Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi

sistemik. Reaksi local terdiri dari urtikaria dan angioderma pada daerah yang

kontak dengan antigen. Reaksi local dapat berat tapi jarang terjadi. Reaksi

sistemik terjadi pada organ target seperti traktus respiratorius, sistem

kardiovaskular, traktus gastrointestinal, dan kulit. Reaksi ini biasa terjadi

setelah 30 menit kontak dengan penyebab.3

2. Asma Bronkial

Asma Bronkial didefnisikan sebagai suatu penyakit saluran napas bagian

bawah sebagai akibat meningkatnya kepekaan trakea dan bronkus terhadap

pelbagai rangsangan, dan ditandai dengan penyempitan yang luas pada saluran

napas, bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan.3,4

Terdapat beberapa faktor etiologi yang erat hubungannya dengan asma

bronkial pada anak, yaitu faktor allergen, keletihan, ketegangan emosi, infeksi,

8

keturunan, serta faktor lain seperti bahan iritan, asap rokok, rhinitis alergi,

obat dan bahan kimia, endokrin, faktor anatomi dan fisiologi, serta interaksi

berbagai faktor pencetus.3,4

Gejala klinis asma bervariasi dari yang ringan sampai yang

berat. Gejala khas asma adalah adanya sesak napas yang berulang

disertai napas berbunyi. Batuk kering merupakan gejala awal yang

biasanya terjadi pada malam dan menjelang pagi hari. Selanjutnya

batuk disertai dahak yang kental. Gejala ini sering disertai pilek-

pilek (rinitis alergika). Gejala ini biasanya terjadi setelah4 -8 j am

kon t ak dengan bahan a l e rgen s epe r t i debu rumah dan t ungau

nya , s e rbuk bunga , bu lu b ina t ang , d l l . Ge j a l a a sma j uga

dapa t d i c e tu skan o l eh latihan fisik dan bila banyak tertawa. penanganan

asma yang terpenting adalah pencegahan terjadinya serangan asma.3,4

3. Urtikaria

Urtikaria adalah erupsi pada kulit yang berbatas tegas dan timbul,

berwarna merah, memutih bila ditekan, dan disertai rasa gatal.3

Urtikaria menunjukan adanya dilatasi pembuluh darah dermal di bawah

kulit dan edema dengan sedikit infiltrasi sel perivaskular, diantaranya yang

paling dominan adalah eosinofil. Kelainan ini disebabkan oleh mediator yang

lepas, terutama histamine akibat degranulasi sel mast kutan atau subkutan.

Histamin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dibawah kulit sehingga

kulit berwarna merah (eritem). Histamin juga menyebabkan peningkatan

permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan dan sel, terutama eosinofil,

keluar dari pembuluh darah sehingga cairan dan sel, terutama eosinofil, keluar

dari pembuluh darah dan mengakibatkan pembengkakan kulit lokal. Cairan

serta sel yang keluar akan merangsang ujung saraf perifer kulit sehingga

timbul rasa gatal. Terjadilah bentol merah yang gatal.3

4. Dermatitis Atopik

9

Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada

bayi dan anak, ditandai oleh reaksi inflamasi pada kulit, dan didasari oleh

faktor herediter dan faktor lingkungan. Penyakit ini bersifat kronik residif

dengan gejala eritema, papul, vesikel, krusta, skuama dan pruritus yang hebat.3

Penyakit ini dinamakan dermatitis atopic karena kebanyakan penderitanya

memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE. Penyebabnya multifactor,

antara lain faktor genetic, emosi, trauma, keringat, dan imunologik.3

Umumnya gejala DA timbul sebelum bayi berumur 6 bulan, dan jarang

terjadi di bawah usia 8 minggu. Dermatitis atopic dapat menyembuh dengan

bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan meluas dan memberat

sampai usia dewasa.3

5. Rinitis Alergi

Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan

organ lain, karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan allergen hirup

untuk melindungi saluran pernapasan bagian bawah.3

Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantarnya adalh

pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau

masakan, bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor

pencetus ini berupa iritan non spesifik.3

Manifestasi klinis rhinitis alergi baru ditemukan pada anak usia setelah 4-5

tahun dan insidennya akan meningkat secara progresif dan akan mencapai 10-

15% pada usia dewasa. Gejala pada rhinitis alergi dapat berupa rasa gatal

dihidung dan mata, bersin, sekresi hidung, hidung tersumbat, dan bernapas

melalui mulut. Sekret hidung dapat keluar melalui lubang hidung atau berupa

post nasal drip yang ditelan.3

Pengobatan rhinitis alergik pada anak terutama dilakukan dengan upaya

pencegahan terhadap allergen penyebab, sedangkan medikamentosa diberikan

bila perlu dengan antihistamin oral merupakan obat pilihan utama.3

6. Alergi Makanan

10

Alergi makanan adalah sekumpulan gejala yang mengenai banyak organ

dan system tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan.

Reaksi hipersensitivitas terhadap makanan adalah respon imun yang terjadi

setelah memakan makanan atau zat aditif tertentu. Sebagian besar reaksi ini

melalui reaksi hipersensitivitas tipe I.3,5

Alergen di dalam makanan adalah protein, glikoprotein, atau polipeptida.

Terdapat 3 faktor penyebab terjadinya alergi makanan, yaitu faktor genetic,

imaturitas usus, dan pajanan allergen, yang kadang-kadang memerlukan suatu

faktor pencetus. Tanpa pajanan allergen maka faktor pencetus tidak akan

berarti. Faktor pencetus dapat berupa faktor fisik misalnya dingin, panas,

hujan. Faktor psikis misalnya sedih, stress menghadapi ujian, atau beban

latihan (misalnya lari,sepakbola, lelah).3,5

Gejala seringkali sudah dijumpai sejak masa bayi. Makanan tertentu dapat

menimbulkan gejala tertentu pada seorang anak, tetapi pada anak lain

menimbulkan gejala lain. Gejala alergi makanan dapat terjadi pada berbagai

organ sasaran seperti kulit, saluran napas, saluran cerna, mata, telinga.3,5

7. Alergi Obat

Alergi obat adalah respons abnormal seseorang terhadap bahan obat atau

metabolitnya melalui reaksi imunologik yang kita kenal sebagai reaksi

hipersensitivitas, yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat.3

Alergi obat pada anak lebih jarang terjadi dibandingkan dengan orang

dewasa, akan tetapi sering menimbulkan masalah karena mirip dengan gejala

alergi oleh penyebab lainyang sering terjadi pada anak, misalnya alergi

makanan.3

Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu

serta tempat dan jenis penilitian yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian

alergi obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat

11

tersebut. Diduga resiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1-3% terhadap sebagian

besar jenis obat.3

Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah

golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lain yang sering pula

dilaporkan adalah analgetik lain (asam mefenamat), sedative (terutama

luminal).3

Dari uraian diatas manifestasi klinis dapat dibagi menjadi:

Gambar 2.

Gejala

alergi dan

organ

yang diserang

V. DIAGNOSIS

Setiap reaksi alergi dipicu oleh suatu alergen tertentu, karena itu tujuan

utama dari diagnosis adalah mengenali alergen. Alergen bisa berupa tumbuhan

musim tertentu ( misalnya serbuk rumput atau rumput liar ) atau bahan tertentu

misalnya bulu kucing, obat, atau makanan. Jika bersentuhan dengan kulit atau

masuk ke dalam mata, terhirup,termakan atau disuntikkan, alergen bisa

menyebabkan reaksi alergi. Dalam menegakkan diagnosis penyakit alergi dan

menentukan alergen penyebabnya tidak jarang diperlukan pemeriksaan

penunjang, baik yang dilakukan secara in vivo maupun in vitro. Masing-masing

12

metode memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga perlu dikombinasi agar

dapat diperoleh diagnosis yang tepat dan tata laksana yang undertreatment

maupun overtreatment dapat dihindari. 1,6

Mendapatkan anamnesis yang lengkap dari pasien tetang gejala beserta

waktu dan durasi, paparan dari allergen dan respon terhadap terapi sebelumnya.

Sebuah riwayat keluarga merupakan salah satu faktor yang paling penting sebagai

faktor predisposisi untuk terjadinya alergi. Resiko alergi pada anak mendekati

50% bila salah satu orang tua menderita alergi dan 66% bila kedua orangtua

alergi. Pemeriksaan bisa membantu menentukan apakah gejalanya berhubungan

dengan alergi dan menentukan alergen penyebabnya. 1

Pemeriksaan fisis yang lengkap dibuat dengan perhatian ditujukan

terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit,konjungtiva,nasofaring,dan paru.7

Kulit

Seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik

ekskoriasi,bekas garukan terutama daerah pipi dan lipatan lipatan kulit daerah

fleksor.

Mata

Diperiksa terhadap hyperemia, edema, sekret mata yang berlebihan dan

katarak yang sering dihubungkan dengan penykit atopi ataupun pengobatan

kortikosteroid

Mulut dan Nasofaring

Pada rhinitis alergik sering terlihat mukosa orofaring kemerahan,edema

atau kedua duanya.palatum yang cekung kedalam,dagu yang kecil dan tulang

maksila yang menonjol kadang – kadang disebabkan oleh penyakit alergi yang

kronis

Telinga

Telinga tengah dapat merupakan penyulit rhinitis alergi,hal yang sama

juga sinus para nasal,berupa sinusitis yang dapat diperiksa secara palpasi dan tran-

siluminasi.

13

Paru

Diperiksa secara inspeksi perkusi palpasi dan auskultasi,baik terhadap organ paru

maupaun jantung.pada waktu serangan asma kelainan dapat berupa

hiperinflasi,pengunaan otot-otot bantu pernafasan,dan wheezing sedang dalam

keadaan normal mungkin tdak ditemukan kelainan.

Pemeriksaan Penunjang Klinis

Pemeriksaan darah bisa menunjukkan banyak eosinofil ( sejenis darah

putih yang sering kali meningkat selama terjadinya reaksi alergi ).1

1. Tes RAS ( radioallergosorbent ) dilakukan untuk mengukur kadar antibodi

IgE dalam darah yang spesifik untuk alergen individual. Hal ini bisa

membantu mendiagnosa reaksi alergi kulit, rinitis alergika musiman atau asma

alergika. 3

2. Uji Kulit Terhadap Alergen

Prinsip pemeriksaan uji kulit terhadap alegen ialah adanya reaksi wheal and

flare pada kulit untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap allergen

yang yang diuji (reaksi tipe I). Reaksi maksimal terjadi setelah 15-20 menit,

dan dapat di ikuti reaksi lambat setelah 4-8 jam.3

Ada 3 cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk (prick

test), serta uji gores (scratch test). Uji gores sudah banyak ditinggalkan karena

hasilnya kurang akurat 3

Reaksi terhadap histamine dibaca setelah 10 menit dan terhadap allergen

dibaca setelah 15 menit. Reaksi dikatakan positif bila terdapat gatal dan eritem

yang dikonfirmasi dengan adanya indurasi yang khas yang dapat dilihat atau

diraba.3

3. Uji Provokasi Obat

Cara terbaik untuk membuktikan apakah seseorang alergi terhadap obat

tertentu adalah dengan memberikan kembali obat tersebut untuk melihat

kemungkinan timbulnya reaksi alergi yang serupa, yang dikenal sebagai uji

14

provokasi obat. Uji provokasi obat dapat dilakukan dengan cara uji tempel

(patch test), atau dengan pemberian ualng obat yang dicurigai.3

4. Uji Provokasi Makanan

Eliminasi makanan diperlukan sebelum melakukan provokasi. Eliminasi

dilakukan selama 3 minggu dengan bentuk diet yang disesuaikan dengan

anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium.3

Penghentian obat tertentu. Menjelang provokasi maka beberapa jenis obat

yang dapat mengganggu penilaian uji provokasi makanan harus disingkirkan

dalam selang waktu tertentu, yaitu antihistamin (96 jam), agonis β (12 jam),

teofilin (12 jam), dan kromolin (12 jam).3

Ada 2 macam cara uji provokasi makanan, yaitu uji provokasi makanan

terbuka dan uji provokasi makanan buta ganda. Pada uji makanan terbuka,

apabila dalam waktu 1 minggu setelah provokasi timbul gejala alergi maka

makanan yang diduga menyebabkan gejala alergi tersebut dicatat sebagai

suspek penyebab alergi.3

VI. PENATALAKSANAAN

Prinsip dasar dari pengobatan penyakit alergi termasuk menghindari paparan

alergen dan iritan yang memicu gejala dan pengelolaan farmakologis dari gejala

yang disebabkan oleh paparan alergen akut dan kronis. Pada pasien dengan

penyakit alergi dipilih refrakter terhadap tindakan penghindaran dan manajemen

optimal farmakologis, imunoterapi alergen dapat dipertimbangkan.1

Menghindari alergen adalah lebih baik daripada mencoba untuk mengobati

suatu reaksi alergi. 8

Dengan menghindari alergen, maka penderita tidak perlu: 8

- mengkonsumsi obat tertentu

- memasang alat penyaring pada AC

- melarang hewan peliharaan berkeliaran di dalam rumah

- berhenti mengkonsumsi makanan tertentu.

15

Kadang penderita yang alergi terhadap bahan yang berhubungan dengan jenis

pekerjaan tertentu, mungkin harus berganti pekerjaan. Penderita alergi musiman

yang berat mungkin perlu mempertimbangkan untuk pindah ke suatu daerah yang

tidak memiliki alergen tersebut.8

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindari kontak dengan

alergen: 1,8

- Jika alergi terhadap debu rumah, sebaiknya jangan menggunakan mebel,

karpet dan tirai yang sifatnya menampung debu

- Membungkus kasur dan bantal dengan pelindung plastik

- Menghisap debu sesering mungkin

- Menggunakan AC untuk mengurangi kelembaban ruangan yang tinggi

- Memasang penyaring udara yang sangat efisien.

Beberapa alergi yang terbawa oleh udara tidak dapat dihindari, karena itu

seringkali digunakan metode untuk menghalangi respon alergi dan penggunaan

obat untuk meringankan gejala. 1,8

Imunoterapi Alergen

Jika tidak dapat menghindari alergen, pilihan pengobatannya adalah

imunoterapi alergen (suntikan alergi). Imunoterapi adalah suatu cara pengobatan

menggunakan antigen (allergen), sejumlah kecil alergen disuntikkan di bawah

kulit dan dosisnya dinaikkan secara bertahap sampai tercapai dosis pemeliharaan.

Pengobatan ini merangsang tubuh untuk menghasilkan antibodi penghalang atau

antibodi penetralisir yang bertindak sebagai pencegah terjadinya reaksi alergi.

Pada akhirnya kadar antibodi IgE dalam darah (sebagai antigen) juga turun.

Imunoterapi harus dilakukan secara hati-hati karena pemberian alergen dosis

tinggi yang terlalu cepat bisa menyebabkan terjadinya reaksi alergi.3

Imunoterapi paling sering digunakan untuk penderita alergi terhadap

serbuk tanaman, partikel debu rumah, racun serangga dan bulu binatang.

16

Imunoterapi tidak dianjurkan untuk dilaksanakan pada penderita alergi makanan

karena resiko terjadinya anafilaksis. 8

Pada awalnya, pengobatan biasanya diberikan 1 kali/minggu, selanjutnya

dosis pemeliharaan diberikan setiap 4-6 minggu. Hasil perbaikan maksimal

biasanya tercapai antara 12-24 bulan setelah dosis rumatan yang memadai.

Penerusan pengobatan tergantung respon pasien, tetapi rata-rata pasien mendapat

imunoterapi selama 3-5 tahun. Jangan lanjutkan pengobatan bila setelah 2 tahun

belum tampak perbaikan yang nyata.3,8

Setelah penyuntikan imunoterapi bisa terjadi reaksi yang merugikan seperti: 8

- Batuk

- Bersin-bersin

- Kemerahan

- Kesemutan

- Gatal-gatal

- Sesak di dada

- Bunyi napas mengi

Jika timbul gejala yang ringan, bisa diberikan antihistamin (misalnya

difenhidramin atau klorfeniramin). Jika gejalanya lebih berat bisa diberikan

suntikan epinefrin (adrenalin). 3,8

Antihistamin

Antihistamin adalah obat-obatan yang paling sering digunakan untuk

mengatasi alergi (tidak digunakan untuk mengatasi asma). Terdapat 2 macam

reseptor Histamin di dalam tubuh, yaitu histamin1 (H1) dan histamin2 (H2).9

Istilah antihistamin biasanya dipakai untuk obat-obat yang menghalangi

reseptor H1 (perangsangan oleh histamin terhadap reseptor ini menyebabkan

cedera pada jaringan target). Bloker H1 sebaiknya tidak dikacaukan dengan obat-

obat yang menghalangi reseptor H2 (bloker H2) yang digunakan untuk mengobati

ulkus peptikum dan heartburn.9

17

Efek dari reaksi alergi yang ringan tetapi cukup mengganggu penderitanya

(seperti mata terasa gatal, Hidung meler dan kulit terasa gatal) disebabkan oleh

pelepasan histamin. Efek histamin lainnya yang lebih berbahaya adalah sesak

nafas, tekanan darah rendah dan pembengkakan di tenggorokan yang dapat

menghalangi jalannya udara.9

Semua antihistamin memiliki efek yang diinginkan yang sama, tetapi

memiliki efek yang tidak diinginkan yang berbeda. Beberapa antihistamin

memiliki efek sedatif (penenang) yang lebih kuat daripada yang lainnya.9

Kadang efek yang tidak diinginkan juga mendatangkan keuntungan.

Beberapa antihistamin memiliki efek kolinergik yang menyebabkan kekeringan

pada selaput lendir. Efek ini bisa dimanfaatkan kuntuk meringankan hidung meler

akibat Cuaca dingin.9

Penatalaksanaan pada Reaksi Anafilaksis

Yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis adalah tindakan segera

untuk membantu fungsi vital, melawan pengaruh mediator, dan mencegah

lepasnya mediator selanjutnya. Tindakan tersebut mencakup evaluasi segera,

perbaikan adrenalin, pemasangan turniket, pemberian oksigen, cairan intravena,

difenhidramin, aminofilin, vasopresor, intubasi dan trakeostomi, kortikosteroid,

serta pengobatan suportif. 8

Penatalaksanaan akut: anafilaksis adalah kegawatdaruratan medis akut,

yang bila tidak diberi terapi yang tepat dapat menyebabkan mortalitas

yang cukup bermakna:10

- Pertahankan jalan nafas: obstruksi laring yang berat bisa membutuhkan

trakeostomi, bronkospasme berat membutuhkan bronkodilator dan

mungkin membutuhkan ventilasi dan oksigen.

- Adrenalin: 0,3-1,0 mL larutan 1/1000 IM, diulangi dengan interval 10-

20 menit jika dibutuhkan. Di rumah sakit, adrenalin IV dapat diberikan

dengan monitoring yang tepat.

18

- Steroid: hidrokortison atau metilprednisolon IV.

- Antihistamin: klorfeniramin

Penatalaksanaan lanjutan, semua orang yang pernah mengalami anafilaksis

harus dirujuk ke ahli imunologi klinik untuk mengidentifikasi faktor

pemicu dan memberikan penyuluhan kepada pasien dalam penghindaran

dan penatalaksanaan episode selanjutnya. Pada kejadian khusus anafilaksis

yang diinduksi oleh sengatan lebah atau tawon, pertimbangkan pemberian

imunoterapi dengan allergen yang sangat diencerkan.10

VII.PROGNOSIS

Pada umumnya alergi tidak bisa disembuhkan. Semua penatalaksanaan

yang dilakukan bertujuan mengendalikan gejala alergi untuk meringankan

itensitas serangan, mengurangi frekuensi serangan, membatasi penggunaan obat.

Rhinitis alergi apada anak akan bertambah berat dengan bertambahnya usia. Pada

pasien asma pada anak sejak kecil sampai dewasa memperlihatkan bahwa kurang

lebih setengah dari pasien yang serangannya rinfan dan jarang, akan bebas asma

pada waktu mencapai usia dewasa. Sebaliknya kelompok yang sering mendapat

serangan sewaktu kecil sebagian besar akan menetap sampai usia dewasa. Pada

umumnya prognosis urtikaria adalah baik, dapat sembuh spontan atau dengan

obat. Pada alergi obat pada kasus yang tidak berat prognosisnya baik, dan

penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Prognosis lebih buruk jika

terdapat purupura yang luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit, bronchopneumonia, serta sepsis.1

Perjalanan penyakit dan prognosis anafilaksis bervariasi. Prediktor

terpenting bagi reaksi selanjutnya adalah riwayat reaksi terhadap makanan

tertentu, sengatan serangga atau obat-obatan. Jika faktor pemicu tidak dapat

diidentifikasi atau tidak dapat dihindari, rekurensi dapat sering terjadi sehingga

harus diantisipasi. Banyak anak yang setelah beranjak dewasa tidak lagi

19

mengalami reaksi akibat makanan, walaupun sensitivitas terhadap kacang

biasanya menetap seumur hidup.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman, D.Y.M. Allergic disorder in Nelson Texbook of Pediatrics 18th

edition. Philadelphia: Elseiver.2007. USA.p.2184-94.

2. Tjokronegoro Arjatmo. Dasar-Dasar Alergi. Bagian Biologi FKUI. Jakarta.

3. Akib Arwin, Corry S Matondang. Reaksi Hipersensitivitas. Buku Ajar

Alergi Imunologi Anak. BP IDAI. Jakarta. 1996. p. 79-324

4. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Asma. Standar Pelayanan Medis Kesehatan

Anak. Makassar. FK-UNHAS. 2012. p. 56-65

5. Lipworth Brian. Food Allergies in Children. Available at:

http://www.netdoctor.co.uk/diseases/facts/allergyfood.htm

6. Sudewi Ni Putu, Kurniati Nia, Suyoko EM Dadi, Munasir Zakiudin, Arwin

AP Akib. Berbagai Teknik Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis

Penyakit Alergi available at: www.idai.or.id/saripediatri

20

7. Eviesetya. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik Alergi. Available at:

http://eviesetya.wordpress.com/2012/02/26/anmnese-dan-pemeriksaan-

fisik-penyakit-alergi/

8. Anonym. Diagnosa Reaksi Alergi. Available at: http://www.spesialis.info/?

diagnosa-reaksi-alergi,408

9. Nurcahyo. Reaksi Alergi. Available at:

http://indonesiaindonesia.com/f/13471-reaksi-alergi/

10. Patrick Davey. At A Glance Medicine. Jakarta. Erlangga. 2005. p.128-29

21