#2 Referat Rhinoalergi Rhinitis Non Alergi LI

108
BAB I PENDAHULUAN Istilah rinitis mengacu pada penyakit peradangan pada mukosa hidung. Ini adalah proses patofisiologi yang umum terjadi pada individu di semua tingkatan usia. Rinitis dibedakan menjadi rinitis alergi dan rinitis non alergi karena melibatkan mekanisme patogenesis yang berbeda. Dengan pemahaman yang baik terhadap patofisiologi penyakit ini dokter dapat lebih baik dalam mendiagnosis dan mengelompokkan pasien dengan rinitis sehingga hasil terapi akan lebih berhasil. Pada referat ini akan diuraikan tentang rinitis non alergi. 1,2,3 Meskipun penyakit rinitis ini tidak bersifat fatal dan sering dianggap tidak serius, tapi pada keadaan tertentu dapat menyebabkan masalah dalam gangguan kualitas hidup seperti gangguan belajar di sekolah, bekerja, gangguan prestasi kerja, gangguan saat tidur dan

description

eferat_rhinoalergi_rhinitis_non_alergi

Transcript of #2 Referat Rhinoalergi Rhinitis Non Alergi LI

BAB IPENDAHULUAN

Istilah rinitis mengacu pada penyakit peradangan pada mukosa hidung. Ini adalah proses patofisiologi yang umum terjadi pada individu di semua tingkatan usia. Rinitis dibedakan menjadi rinitis alergi dan rinitis non alergi karena melibatkan mekanisme patogenesis yang berbeda. Dengan pemahaman yang baik terhadap patofisiologi penyakit ini dokter dapat lebih baik dalam mendiagnosis dan mengelompokkan pasien dengan rinitis sehingga hasil terapi akan lebih berhasil. Pada referat ini akan diuraikan tentang rinitis non alergi.1,2,3Meskipun penyakit rinitis ini tidak bersifat fatal dan sering dianggap tidak serius, tapi pada keadaan tertentu dapat menyebabkan masalah dalam gangguan kualitas hidup seperti gangguan belajar di sekolah, bekerja, gangguan prestasi kerja, gangguan saat tidur dan bersantai. Sehingga penderita terbatas melakukan aktifitas sehari-hari dan akibatnya menyebabkan frustasi, lekas marah, rendah diri dan depresi.1,2Rinitis non alergi adalah rinitis yang tidak disebabkan oleh kejadian patologis yang diperantarai IgE. Rinitis non alergi dapat bersifat intermiten maupun persisten. Rinitis alergi terdapat berbagai macam yang masing-masing mempunyai gejala tertentu, penyebab dan pengobatan tertentu pula.1,2

Macam-macam rinitis non alergi yang akan dibahas pada referat ini terdiri atas :1, 31. Rinitis hormonal2. Rinitis vasomotor3. Rinitis non alergi sindrom eosinofilia4. Rinitis karena okupasi5. Rinitis karena drug-induced 6. Rinitis gustatori7. Rinitis atropiEpidemiologi Penderita yang didiagnosis rinitis non alergi, 70% di antara mereka penyakitnya terjadi sesudah mereka dewasa, sedangkan rinitis alergi perenial sekitar 31% yang timbul sesudah dewasa dan rinitis seasonal sebesar 26,7%. Rinitis non alergi karena penyaki- penyakit yang dapat diketahui etiologinya seperti hipotiroidi, granuloma dan penyakit autoimun dan tumor agak jarang. Keadaan lain seperti kalainan anatomis, rinitis gravidarum, relatif lebih sering. Gejala rinitis juga dapat ditemukan sebagai efek samping pengobatan farmakologis seperti obat antihipertensi, kontrasepsi oral, dan esterogen lain, serta berbagai macam antidepresan.1, 3

BAB II

ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Hidung secara garis besar terbagi dari piramid hidung (hidung luar) dan rongga hidung dengan vaskularisasi dan persarafannya. Secara fisologi hidung berfungsi sebagaai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara, penyaring udara, indera penciuman, resonansi udara, membantu proses bicara dan reflek nasal.4,52.1 HIDUNG BAGIAN LUAR 4, 5, 6Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu :a. Kubah tulang, yaitu bagian paling atas yang tidak dapat digerakkan.b. Kubah kartilago, bagian di tengah, yaitu bagian yang dapat sedikit digerakkan, dibentuk oleh kartilago hialin. c. Lobuli hidung, bagian paling bawah, merupakan bagian yang paling mudah digerakkan.2.1.1 PERMUKAAN HIDUNG LUAR 4, 5, 6Hidung luar disebut nasal piramid karena bila diproyeksikan dari depan menyerupai piramid triangular. Adapun bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (apeks/tip), ala nasi, kolumela. dan lubang hidung (nares anterior/nares eksterna).Bagian atas yang berhubungan dengan dahi disebut root, dan bagian bawah berupa sudut bebas disebut apeks atau up, serta bagian yang menghubungkan keduanya disebut dorsum nasi. Bagian lateral dari hidung disebut nasofacial angels. sedangkan bagian yang berhubungan dengan bibir atas disebut nasolabial sulcus. Kedua ala dan septum mengapit kedua lubang hidung luar. Bagian hidung yang berhubungan dengan luar disebut nares anterior, dan bagian yang berhubungan dengan belakang disebut nares posterior. Ukuran nares posterior lebih besar dari pada nares anterior, yaitu: tinggi 2,5 cm dan lebar 1,25 cm.Hubungan antara dorsum dengan puncak hidung menentukan bentuk hidung luar, bila bentuk lurus disebut tipe Grectan nose, yang membentuk sudut disebut tipe Roman nose, dan yang melekuk/pesek dinamakan tipe Pug nose. Variasi dari tipe hidung ini bersifat individual dan familial. Sedangkan perbandingan lebar kedua ala dengan panjang hidung, kemudian dikalikan 100 disebut Nasal Indeks. Bila < 47 disebut hidung sempit (lephtorhine), biasanya pada ras kulit putih. Bila nasal indek > 35 disebut Platyrhine, biasanya pada ras kulit hitam dan diantara keduanya disebut Messorrhine (intermediate) yang terdapat pada ras kulit kuning.Pada kulit hidung dijumpai kelenjar lemak (glandula sebasea) dan kelenjar keringat (glandula sudorifera), ke arah tip kulit lebih tebal dan banyak mengandung kelenjar lemak serta lebih erat berhubungan dengan karti lago hidung bila dibandingkan dengan kulit diatasnya. Pada daerah rhinnion, kulit diatasnya lebih tipis.Beberapa istilah yang berhubungan dengan hidung luar : Rhinion adalah ujung bawah dari sulura diantara os nasal Nasion titik pertemuan sutura frontonasalis Supra tip adalah daerah pada dorsum nasi antara rhinion dan tip. Phitlrum adalah cekungan dangkal antara hidung dan bibir atas yang memanjang

Gambar 1. Permukaan hidung dari 4 sudut pandangSumber : http://www.drsherris.com/Anatomy-of-the-Nose.html

2.1.2 RANGKA HIDUNG BAGIAN LUAR 4, 5, 6Kerangka hidung bagian luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat serta beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidungBagian tulang biasanya sempit dan tebal di bagian atas, tetapi lebih lebar di bagian bawahnya. Terdiri dari tulang hidung (os nasalis), processus frontalis os maxilaris dan processus nasalis os frontalis.Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartigo nasalis lateralis inferior, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior septalis/kuadrangularis.

Os NasalTampak sempit dan tebal di bagian atas dan tipis pada bagian bawah Tulang ini bersatu dibagian tengah. Adapun batas-batasnya sebelah atas berartikulasi dengari processus nasalis os frontalis. bagian lateralnya berhubungan dengan processus frontalis os maxillaris kanan dan kiri, bagian ventral berhubungan dengan processus nasalis os frontalis, lamina perpendicularis os ethmoidales dan kartilago septalis.

Kartilago Lateralis SuperiorTerletak antara os nasal dan apeks sepanjang dorsum nasi, tampak celah diantara kartilago ini dengan septum. Pada bagian kranial saling berhubungan di garis tengah, demikian dengan septum, sehingga kartilago ini sering disebut kartilago nasoseptal.Tulang rawan ini berbentuk triangular. Adapun batas-batasnya adalah bagian superior berhubungan dengan os nasal dan processus frontalis os maxillaris, bagian interior berhubungan dengan permukaan kartilago lateralis inferior yang dipisahkan oleh jaringan fibrosa dan memungkinkan pergerakan alas nasi. Pinggir bebas dari kartilago ini tampak dari kavum nasi bila diangkat dengan retraktor sebagai lumen nasi atau lumen vestibuli disebut juga nasal valve atau katup hidung, yang terletak di antara vestibulum dan kavum nasi.Kartilago Lateralis Inferior/Kartilago Alaris MayorBentuk dan ukurannya bervariasi pada setiap individu, umumnya berbentuk tapal kuda, dan menjaga agar apertura nasalis tetap terbuka. Kartilago ini terdiri dari crus mediale dan crus laterale. Crus mediale lebih lemah, terletak pada tepi kaudal septum nasi dan sebagian lagi pada membrana collumela, sedangkan crus laterale lebih kuat dan lebar membentuk rangka ala nasi. Kartilago ini berguna untuk mempertahankan bentuk hidung dan lobulus hidung atau sepertiga bawah hidung luar. Mobilitas lobulus hidung penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus, dan bersin.Kartilago SesamoideaTerletak pada sisi lateral antara kartilago lateralis superior dan kartilago lateralis interior. Kartilago ini dapat dijumpai satu atau lebih.Perlekatan hidung bagian luar pada tulang berbentuk segitiga seperti buah pir disebut aperturae piriformis, dengan batas pada latero-superiornya dibentuk oleh os nasale dan procesSsus frontalis os maxillaries, dasarnya dibentuk oleh processus alveolaris os maxillris, dan pada tengahnya terdapat bagian yang menonjol disebut spina nasalis anterior.

Gambar 2. Anatomi internal hidung, di bawah kulit.http://www.drsherris.com/Anatomy-of-the-Nose.html

2.1.3.OTOT HIDUNG 4, 5, 6Pada umumnya otot hidung terdiri dari muskuli konstriktor dan dilatator, dimana menentukan poisi dari ala nasi dan nares anterior. Otot ini terlihat saat bersin, bernafas, marah dan ketakutan.Adapun otot konstriktor yaitu m. nasalis (pars transversa dan pars alaris) m. depressor alae nasi, m. depressor septi nasi. Sedangkan otot dilatator terdiri dari m. procerus yang berhubungan dengan alis mata, m. levator labii superior alae nasi dan m.dilatator nasi anterior dan posterior.

Gambar 3. Otot-otot hidunghttp://www.drsherris.com/Anatomy-of-the-Nose.html

2.1.4.VASKULARISASI HIDUNG LUAR 4, 5, 6Arteri yang memperdarahi hidung luar terutama berasal dari cabang fasialis (a.Maksilaris eksterna), yang berjalan di atas ala nasi dan memperdarahi daerah hidung dan septum nasi bagian bawah. Arteri nasalis dorsalis (cabang a. Optalmika) menembus septum orbitalis di atas palpcbra bagian medial lalu berjalan ke bawah pada sisi hidung dan beranastomosis dengan cabang nasalis a. fasialis. Pada perjalanannya memberi cabang untuk sakus lakrimalis.Pembuluh darah lainnya adalah cabang kecil dari a. nasalis eksterna (dari a. etmoidalis anterior) yang terletak pada pertemuan os nasalis dan kartilago nasalis dan memperdarahi kulit sepanjang dorsum nasi sampai ke apeks. Sedangkan pembuluh balik dialirkan melalui v. fasialis anterior dan v. Optalmika.

Gambar 4. Vaskularisasi hidung luar.http://www.drsherris.com/Anatomy-of-the-Nose.html2.1.5. PERSYARAFAN HIDUNG LUAR 4, 5, 6Kulit hidung dari pangkal sampai bridge dan sisi atas hidung dipersarafi oleh cabang nasosiliaris dan frontalis dari n. oftalmika, sebagian cabang-cabang berpusat pada n supratroklearis dan infratroklearis.Kulit bagian bawah dipersarafi oleh ramus-ramus yang berasal cabang infraorbitalis dan n.maksilaris, sedangkan cabang nasalis eksterna dari n.etmoidalis anterior muncul di antara tulang dan kartilago nasalis lateralis yang mempersarafi kulit di atas dorsum nasi menuju ke bagian bawah dari puncak hidung.

Gambar 5. Bagian luar dan rongga hidungSumber : Kahle W. Helmut Leonhardt, dan W. Platzer.2.2 HIDUNG BAGIAN DALAM (KAVUM NASI) 4, 5, 6Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Secara vertikal kavum nasi terdapat mulai dari palatum sampai lempeng kribiformis.Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah yang membagi rongga hidung (kavum nasi) secara anatomi menjadi dua buah fossa nasalis. Nares anterior terbuka ke dalam vestibulum nasiVestibulum nasi adalah daerah di bawah alae nasi yang batas medialnya di septum nasi tidak begitu jelas, sedangkan batas lateral merupakan suatu penonjolan yang memisahkan dan menandai ujung bawah kartilago lateral superior disebut lumen nasi atau lumen vestibuli. Vestibulum dilapisi kulit yang ditumbuhi rambut halus (vibrassae) dan mengandung kelenjar lemak dan keringat yang terdapat pada bagian kaudamya.Bagian posterior hidung adalah nares posterior/koana dibentuk oleh lamina horizon os palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh processus vaginalis dan bagian luar oleh lamina pterigoideus sfenoidalis. Kedua fossa nasalis dilapisi membrane luar oleh lamina pterigoideus sfenoidalis. Kedua fossa nasalis dilapisi membran mukosa yang melekat erat pada periostium dan perikondrium. Sebagian besar membran mukosa tersebut banyak mengandung pembuluh darah dan sejumlah kelenjar mukoserous. Epitel yang melapisi membran mukosa adalah epitel pseudostratified kolumnar bersilia.Rongga hidung dibentuk mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. Dalam hal ini akan dibahas rongga hidung atas dinding lateral dan dinding medial, beserta perdarahan dan persarafannya.2.2.1. DINDING MEDIAL (SEPTUM NASI) 4, 5, 6Septum nasi membagi rongga hidung menjadi 2 bagian atas ruang kiri dan kanan. Struktur ini terbentuk dari bagian tulang, bagian kartilago dan sedikit dari bagian membranosa (pada anterior).Berdasarkan letak, di bagian anterior oleh kartilago septum, premaksila dan membran kolumela, bagian posterosuperior oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian posteroinferior oleh os vomer, krista os maksila dan krista os palatum.2.2.1.1 Bagian tulang dan kartilago 4, 5, 6Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoidalis, os vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatum.Lamina perpendikularis os emoidalisMembentuk 1/3 atas dari septum nasi. Tulang ini melanjuutkan ke atas dan membagi kavum nasi menjadi sisi kiri dan kanan. Pada bagian anterior berhubungan dengan os nasal, di posterior dengan os sphenoid, di posteroinferior dengan os vomer, dan dengan kartilago septal di anteroinfenor. Os VomerMembentuk bagian posterior dan inferior septum nasi dan bersatu dengan 2 ala melalui rostrum sfenoid. Berartikulasi dengan korpus os sfenoid dan dengan lamina perpendikularis di atas, sedangkan pada bagian bawah berartikulasi dengan krista os maksila dan os palatum.Krista anasalis os maksila dan krista nasalis os palatinaBagian kartilago terdiri dan kartilago septum (lamina kuardrangularis) dan kolumella. Kartilago quadrilateral (kartilago septum)Membentuk anterior septal angle. Pada sisi atas berhubungan dengan kartilago lateral atas. Secara anatomis artikulasio kartilago ini memungkinkan adanya pergerakan. Dilapisi serat-serat kolagen dan adanya facial attachment yang memberikan efek pseudoarthosis. Artikulasio antara perikondrium dan periostium krista nasalis diperkuat oleh jaringan ikat, sehingga memudahkan pergerakan dan rotasi dan dapat mengurangi bahaya fraktur/tekanan pada dorsum nasi.KolumelaNama lainnya kolumna atau septum mobil atau septum membran. Bagian ini merupakan ujung bebas dari septum nasi, dan mengandung kartilago dan diperkuat oleh krus medial dari kartilago alaris kiri dan kanan. Kolumella tidak melekat erat pada pinggir bawah kartilago septal. sehingga memberikan keuntungan dalam submukosa pada septum deviasi. Kartilago vomeronasalKartilago ini merupakan kartilago kecil pada kedua sisi kartilago septal sepanjang batas interior, dimana terdapat organ vomeronasal dari "Jacobson" yang rudimenter. Pada manusia hanya merupakan kantung pendek sepanjang 2-6 mm dan ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel kavum nasi.2.2.1.2 Vaskularisasi dinding medial 4, 5, 6Kavum nasi mendapat perdarahan dan a. karotis eksterna dan interna. Dinding posterosuperior septum mendapat perdarahan dari cabang sfenopalatina a.maksilaris. Bagian anteroinferior septum mendapat persaratan dari a.palatina mayor melalui canalis insisivus. Cabang superior labialis dari a. fasialis juga memperdarahi daerah anterior, dan a.etmoidalis anterior dan posterior (cabang a. karotis interna) memperdarahi bagian superior. Semua pembuluh ini membentuk anyaman di mukosa membentuk pleksus Kiesselbach dan. terletak di area Little pada bagian anterior septum, lokasi ini tempat tersering dari epistaksis.Sistim aliran vena bagian posterior melalui vena-vena sfenopalatina dan bagian anterior melalui vena fasialis. Vena dari etmoidalis anterior dan posterior dan bagian superior, menuju sistim oftalmikus superior. Perlu diperhatikan ada hubungan langsung dengan vena-vena pada permukaan orbital dan lobus frontalis melalui lamina kribiformis, dan via foramen caecum ke sinus sagitalis superior.

Gambar 6. Vaskularisasi hidungSumber : Frank H. Netter

2.2.1.3 Persarafan dinding medial 4, 5, 6Umumnya sensasi utama septum oleh cabang tngeminal N. Trigeminal. n.Nasopalatina masuk melalui foramen sfenopalatini menyeberang atap hidung ke bagian atas septum, dan turun ke depan dan bawah ke kanalis insisivus, dan mempersarafi palatum durum. Bagian posteroinferior dipersarati dan cabang nervus canalis ptergoideus, dan posteroinferior dan cabang anterior n.Palatina mayor. Pada anterosuperior dari septum dari N.nasosiliar cabang dari n.etmoidalis anterior, sedangkan anteroinferior septum menerima dari N. alveolaris anterosuperior.

Gambar 7. Inervasi rongga hidungSumber : Frank H. Netter

2.2.2.DINDING INFERIOR HIDUNG 4, 5, 6Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan prosesus horizontal os palatum.2.2.3.DINDING SUPERIOR HIDUNG 4, 5, 6Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasalis, prosesus nasalis os maksila, korpus os sfenoid, dan korpus os etmoid.2.2.4.DINDING LATERAL HIDUNG 4, 5, 6Struktur dinding lateral lebih komplek. Dindingnya sebagian berbatasan dengan sinus paranasal dan terdapat tiga buah penonjolan yaitu konka superior, konka media dan konka inferior. Pada 60% kasus dijumpai adanya konka suprema yang terletak di alas konka superior Di antara konka dengan dinding lateralnya terdapat celah yang disebut meatus. Penamaan meatus ini sesuai dengan letak dari konkanya.2.2.4.1 Rangka dinding lateral hidung 4, 5, 6Struktur kerangka yang membentuk dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media bagian dari os

etmoid. konka inferior yang merupakan tulang tersendiri, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.Penonjolan pada bagian anterior konka media adalah agger nasi yang dibentuk oleh sel-sel agger nasi yaitu sel-sel etmoid paling anterior. Penonjolan lain berada di sebelah anterior agger nasi dan anterior dari prosesus uncinatus disebut tulang nasolakrimalis, yang dibentuk oleh duktus nasolakrimalis yang berjalan dari sakus lakrimalis menuju muaranya di meatus inferior.Gambaran histologi dari dinding lateral, sebagian besar dilapisi epitel kolumnar bersilia meskipun ada variasi di daerah bagian atas berupa epitel olfaktorius yang menyebar dari lempeng kribiformis. Gambaran metaplasia skuamosa sering ditemukan pada dinding lateral yang aliran udaranya besar seperti konka inferior dan ditemukan pada dinding lateral yang aliran udaranya besar seperti konka interior dan anterior.2.2.4.2 Bagian mukosa 4, 5, 6Konka superior dan meatus superiorBerasal dari massa lateralis dan os etmoid, dengan ukuran panjang dari konka lainnya ( 2.5 cm). Letaknya dibawah lamina kribiforrnis os etmoid, anterior terhadap sinus sfenoidalis. Pada bagian pasterosuperior konka ini bagian fossa nasal yang disebut resesus sfenoetmoidalis, sebagai suatu lekukan kecil tempat muara ostium sinus sfenoid pada dinding postenor resesus.Konka ini dilapisi sel olfaktorius yang mengandung sel sensoris nervus olfaktorius, dan dilapisi membran mukosa yang tipis dan kurang vaskularisasi. Meatus superior merupakan muara dari drainase sinus etmodalis bagian posterior dengan satu atau lebih muara dalam berbagai ukuran.Konka media dan meatus mediaKonka media termasuk bagian dari os etmoid dan melindungi meatus media sebagai tempat muara beberapa sinus. Sedikit di bawah ujung dari konka, terdapat resesus frontalis sebagai muara duktus nasofrontalis dari sinus frontalis dan ostium dari beberapa sfenoetmoidalis anterior. Sedikit ke depan di atas perlekatan konka media (kira-kira pertengahan dorsum nasi dengan ujung konka media) terdapat ager nasi yang merupakan surgical landmark batas anterior sinus etmoidalis anterior.Meatus media memanjang dimulai dari resesus frontalis, lalu ke bawah dan belakang membentuk bagian yang berhubungan dengan ramus desenden, suatu struktur oleh bula etmoid, prosesus uncinatus, dan hiatus semilunaris: serta berfungsi pada sistim drainase sinus.Konka inferior dan meatus inferiorKonka inferior merupakan tulang tersendiri dan berukuran paling besar dan dominan pada dinding lateral hidung. Konka ini dilapisi membran mukosa yang tebal dan mengandung pleksus venosus yang melekat erat pada periostium dan perikodrium. Letaknya memanjang dan meluas dari corpus os maksila ke simpel etmoidalis pada lamina perpendikularis os etmoid, sampai berakhir di inferior terhadap konka media pada os palatina kira-kira 1 cm anterior orificium tuba auditiva. Pada bagian sentral melengkung sehingga meatus pada tempat tersebut paling lebar dan tinggi, sedangkan di bagian anterior dan posteriornya menyempit. Bagian konka cembung ke arah septum. Tulang konka ini mempunyai bentuk berlubang-lubang seolah-olah bersel, sehingga penampakan konka menjadi kasar.Struktur penting dari meatus inferior adalah muara (ostium) duktus naso lakrimalis. Letak ostium biasanya 1/3 bagian anterior dinding lateral meatus inferior, namun dapat terjadi letak yang lebih tinggi, atau lebih bawah melekat pada bada batas meatus. atau lebih bawah lagi. Muara duktus ini juga bervariasi, dari bentuk oval sempit sampai bulat besar, bentuknya seperti formasi papilla, membentuk fossa yang dangkal, atau lekukan yang dalam, dan pada beberapa keadaan dapat terjadi duplikasi. Ostium letak tinggi cenderung lebih besar, sedangkan letak rendah kebanyakan sempit dengan duktus nasolakrimalis yang berjalan secara oblik melalui membran mukosa dan biasanya dilindungi oleh lipatan membran mukosa yang disebut plika lakrimalis atau katup dari 'Hassncr'

Sel agger nasiSel agger nasi membentuk batas anterior resesus frontalis, berada tepat pada potongan koronal yang sama dengan duktus nasolakrimalis. Sel yang membesar dapat meluas ke sinus frontalis menyebabkan penyempitan resesus frontalis. Sel agger nasi dapat pula terdorong ke atas dan kedalam dasar sinus frontalis rnenvebabkan sumbatan drainase sinus frontalis.Resesus FrontalisLetak resesus frontalis dengan batas anterior yaitu dinding depan agger nasi dan meluas ke belakang berbatasan dengan a.ethmoidalis anterior atau perlekatan bulla ethmoid pada dasar otak, batas lateral dibatasi oleh lamina papirasea dan bagian medial oleh konka media.Perlekatan atas dari prosesus uncinatus menentukan pola drainase sinus frontal. Umumnya perlekatan atas prosesus unsinatus adalah lamina papirasea sehingga infundibulum bagian atas buntu dan berakhir pada lamina papirasea, sebagai resesus terminalis. Pada keadaan ini resesus frontalis berdrainase ke dalam rongga antara unsinatus dan konka media.

Prosesus UncinatusBerbentuk bumerang, merupakan tulang tipis yang melengkung di posterior tulang lakrimal dan di sebelah bawah pada ujung superior konkainferior, berjalan sejajar dengan lengkung permukaan anterior bula ethmoid. Sisi belakang prosesus uncinatus merupakan sisi yang bebas. Ke arah atas dapat melekat pada lamina pipirasea, atap sinus etmoid, atau konka media. Pada tempat bersatunya prosesus uncinatus dengan lamina papiracea, infundibulum os etmoid berjalan diatasnya sampai "blind pounch" yang disebut resesus terminalis.Bula EtmoidMerupakan sel etmoid yang paling utama, dapat diidentifikasi di belakang prosesus uncinatus. Ukurannya bervariasi dan dapat berpneumatisasi pada 60-70% kasus. Ke arah atas, ia dapat melekat pada dasar otak tepat di depan arteri etmoid anterior, sedangkan di sebelah inferior dan posterior bersatu dengan lamina basalis.

Hiatus SemilunarisTerdapat celah dua dimensi diantara sisi belakang uncinatus dan aspek anterior bula etmoid, disebut hiatus semilunaris anterior dan celah antara aspek posterior bula etmoid dan lamina basalis hiatus semilunaris posterior. Hiatus semilunaris anterior membuka ke lateral ke dalam ruangan tiga dimensi yang disebut infundibulum yang berbatasan dengan prosesus uncinatus di sebalah depan, bula etmmoid di sebelah posterior dan lamina papirasea di lateral.Infundibulum EtmoidBagian ini terlihat jelas dengan mengangkat prosesus unsinatus. Infundibulum dapat meluas ke anterior dan superior menuju resesus frontal, namun umumnya infundibulum menjadi resesus yang buntu karena uncinatus melekat pada lamina papirasea di bagian superior. Resesus ini disebut resesus terminalis. Pada keadaan tersebut, sinus frontalis tidak berdrainase ke infundibulum tetapi berdrainas ke medial prosesus uncinatus dan lateral konka media.

2.2.4.3 Vaskularisasi dinding lateral hidung 4, 5, 6Perdarahan dinding lateral hidung berasal dari beberapa sumber yang merupakan cabang dan a. karotis interna dan a. karotis eksterna. Cabang nasalis posterior dari a.Sfenopalatina berjalan bersama saraf melalui foramen sfenopalatina dan memperdarahi konka. Arteri etmoidalis anterior merupakan cabang dari a.optalmika, berada di atap sinus etmoid dan membentuk batas posterior dari resesus frontalis, memperdarahi sepertiga bagian anterior dinding lateral hidung. Arteri berada di bidang koronal yang sama dengan dinding anterior bula etmoid dan beranastomosis dengan arteri sfcnopalatina. Sesudah meninggalkan orbita melalui foramen etmoid anterior, arteri ini berjalan di antara sel etmoid dan masuk ke olfactory groove untuk kemudian masuk ke dalam celah sempit di sisi krista galli dan kembali melalui lamina kribosa untuk masuk ke rongga hidung. Arteri etmoidalis posterior berjalan di antara atap sinus sfenoid dan sinus etmoid posterior. Arteri ini memperdarahi konka superior.2.2.4.4 Inervasi Dinding lateral Hidung 4, 5, 6Nervus trigeminus cabang oftalmika (NVl)Saraf ini disebut juga saraf nasosiliaris, memberikan cabang ke mukosa hidung, termasuk dinding lateral hidung. Cabang dan nervus mi yang mempersarafi dinding lateral hidung adalah :1. N. etmoidalis anterior2. N. etmoidalis posteriorNervus trigeminus cabang maksilaris (NV2)Saraf ini menerima sensasi dari sebagian besar fossa nasalis dan hidung. Setelah melalui foramen sfenopalatina, saraf ini akan bersalingan di ganglion sfenopalatina untuk kemudian mempersarafi dinding lateral hidung, septum nasi. palatum dan nasofaring.Nervus Olfaktorius (NI)Membran mukosa olfaktorius mengandung sel-sel yang berasal dari serabut saraf olfaktorius yang dilapisi neuroepitelium. Bagian basal sel ini tipis dan berjalan ke atas untuk membentuk pleksus, serabut saraf tidak bermielin yang mangandung lebih kurang 20 serabut saraf. Serabut saraf ini menembus lamina kribiformis dan menuju ke bulbus olfaktorius pada setiap sisi simpel galli. Segera setelah lahir, serabut saraf ini berkurang 1 % per tahun.Sistim LimfatikSistim limfatik hidung amat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini hampir mengurus seluruh bagian hidung anterior-vestibulum dan daerah prekonka.Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung, menggabungkan ketiga saluran utama daerah hidung belakang saluran superior, media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian hidung yang berkaitan, berjalan diatas tuba eustachius dan bermuara pada kelenjar retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah tuba eustachius, mengurus konka interior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari seprum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe sepanjang pembuluh jugularis interna.2.3 ANATOMI SINUS PARANASAL 4, 5, 6Sinus paranasalis berkembang sebagai suatu rongga berisi udara disekitar rongga hidung yang dibatasi tulang wajah dan kranial. Memiliki struktur lidak teratur, dan seperti halnya lapisan epitel pada hidung, tuba eustachius, telinga tengah dan regio respiratorius dari faring, sinus paranasal dilapisi mebrana mukosa dengan lapisan epitel pseudostratified kolumnar bersilia (respiratory epitelium), namun dengan karakteristik lebis tipis dan kurang vaskularisasi bila dibandingkan dengan membran mukosa hidung.Secara klasik sinus paranasal dibagi dalam 4 pasang sinus, yaitu : sinus frontalis, sinus etmoidalis, sinus maksilaris dan sinus sfenoidalis. Berdasarkan kepentingan klinis, sinus paranasal dibagi 2 kelompok, yaiu kelompok anterior meliputi sinus frontalis, sinus maksilaris dan sinus etmoidalis anterior yang bermuara di bawah konka media, serta kelompok belakang meliputi sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis yang bermuara pada beberapa lokasi di konka media.

Gambar 8. Potongan frontal rongga hidung dan sinus paranasal, konka inferior dan epitel bagian pernapasan mukosa hidungSumber : Kahle W. Helmut Leonhardt, dan W. Platzer.

Gambar 9. Sinus paranasal dan muaranya pada rongga hidungSumber : Kahle W. Helmut Leonhardt, dan W. Platzer.2.3.1 Sinus FrontalisTulang frontal membentuk dahi dan atap orbita dan mengalami pneumatisasi berbagai derajat, juga membentuk atap sinus etmoid dan dikenal sebagai fovea ethmoidalis ossis frontalis . Di daerah ini tulang relatif tebal dan lebih tipis di atap orbita Kalvaria anterior, mengalami penebalan dari 4 mm saat baru lahir menjadi 16 mm pada waktu dewasa.Epitel respiratorius dari sinus frontalis mempunyai sedikit sel goblet (5900/mm2) dan beberapa kelenjar seromusinus (0.08/mm2).Sinus frontalis mendapat suplai darah dari a.supraorbitalis dan a. ethmoidalis anterior. Drainase sistim vena mengalir ke sinus sagitalis dan sinus sfenoparietal, serta anastomosis vena pada takik supraorbila yang menghubungkan pembuluh darah oftalmikus superior dan supraorbitalis.Inervasi dan sinus frontalis adalah dari n.Surpraorbitalis, dan aliran limfe menuju kelenjar submandibula.2.3.2 Sinus EtmoidalisTulang yang membentuk terdiri dari 5 bagian yaitu: dua labirin etmoidalis, menutupi etmoidalis sisi lain dari lamina perpendikularis bagian atas dari tulang septum nasi. Tulang lain lamina kribiformis, perluasan garis tengah superior membentuk krista galli.Lamina kribifoormis membagi rongga hidung dari rongga kranial anterior. Penetrasi pada lamina ini diberi nama sesuai dengan asalnya, seperti serabut olgakrorius, pembuluh darah dan saraf etmoidalis Dua buah ala anterior melengkapi foramen saekum yang sering meneruskan cabang vena sinus sagitalis superior. Atap labirin etmmoid terutama menempati os frontal. Titik pertemuan os frontal dan os etmoid yaitu diatas ceruk kribiformis pada ketinggian bervariasi (1-7 mm) dan atap-atap etmooid disebut sering asimetris (10% Dessi et al, 1994) dengan atap sebelah kanansering lebih rendah dari kiri.Sepertiga anterior konka media melekat secara vertikal pada basis kranii di sisi lateral ceruk kribiformis dengan os frontal membentuk atap os etmoid. Sepertiga posterior melekat secara horizontal pada lamina papirasea dan dinding medial maksila. Antara 2 bagian konka ini terdapat lempeng oblik dari tulang lamella basalis yang membagi labirin etmoid menjadi sel anterior dan posterior.Labirin etmoid merupakan hasil pengumpulan dan pembelahan dari sel-sel. Dinding lateralnya membentuk lamina orbitalis atau lamina papirasea. Lamina orbitalis ini sangat tipis dan akan membelah terutama pada orang sangat muda atau sangat tua Sel-sel anterior umumnya lebih kecil dan banyak (2-8 sel) dan pada sel posterior (1-5).Sel etmoidalis posterior dapat meluas ke lateral os sfenoid sampai 1,5 cm dari dinding posterior dan dinding anterior sfenoid Sel etmoid melakukan pneumatisasi dinding orbita, membentuk sel haller yang dapat mengganggu infundibuloetmoidalis (Haller, 1996). Proses pneumatisasi terjadi pada sistim anterior 75 % dan sel posterior sebanyak 30%.Sinus etmoidalis dilapisi oleh sel epitel respiratori kolumnar brsilia yang tipis. Ketebalan sel goblet rendah dibandingkan dengan sinus maksilaris, dengan rata-rata 6500 mm2. Kelenjar seromusin tuboalveolaris ditemukan sepanjang mukosa lebih banyak di etmoid bila dibandingkan sinus lain.Perdarahan didapat dari a. Sfenopalatina dan etmoidalis anterior dan posterior serta melalui vena yang sama. Persarafannya oleh n.etmoidalis anterior dan posterior serta cabang-cabang orbita dari ganglion pterigopalatina. Aliran limfe menuju nodus submandibuler dan posterior menuju nodus retrofaringeal.2.3.3 Sinus MaksilarisTulang maksilaris adalah tulang muka terbesar kedua, membentuk sebagian besar atap mulut, dinding lateral dan dari dasar rongga hidung serta dasar dari orbita. Biasanya digambarkan berbentuk piramid kaudrilateral dan berisi sinus maksilaris. Sinus ini relatif simetris dan jarang tidak ada.Mempunyai 4 prosesus yaitu prosesus zygomatikus, prosesus frontalis, prosesus palatina dan alveolaris. Terdapat artikulasi dengan 8 tulang yaitu maksila, zygoma, frontal, palatina, etmoid, lakrimal, konka inferior dan os nasal. Permukaan anterior memiliki elevasi dan depresi, berhubungan dengan pertumbuhan gigi dan namanya sesuai dengan gigi yang berdekatan seperti fosa canina. Foramen infraorbitalis di atas fossa canina dan dilalui n.infraorbitalis.Batas dari sinus maksilaris adalah atap sinus membentuk sebagian besar dasar orbita. Atap ini dilalui kanalis infraorbitalis yang akan terbelah, bagian anteromedial berlekuk dan lakrimal notch berhubungan dengan sakus lakrimalis. batas inferior umumnya lebih tebal, tetapi dapat ditembus agar gigi (premolar 2 dan molar 3). Pada posterior permukaan infratemporal tulang berbentuk konveks dilewati oleh n. Alveolaris superior dan posterior. Medial membentuk dasar dari piramid dan berisi lubang besar yaitu hiatus maksila. Kanalis lakrimalis dibentuk antara maksila, os lakrimal dan konka inferior, melalui tempat dimana duktus nasolakrimalis lewat ke anterior dari meatus superiorSinus maksilaris dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia yang mempunyai ketebalan goblet tertinggi dari sinus paranasal lainnya (99.700/mm2). Kelenjar seromusin relatif jarang, tetapi umumnya terletak di ostium.Suplai darah dari arteri maksilaris, infraorbital, palatina mayor dan cabang-cabang kecil dari fasialis. Sedangkan aliran balik menuju vena fasialis anterior dan pleksus pterigoideus. Persarafan dari n.infraorbitalis, n.alveolaris superior dan n.Palatina mayor (cabang maksilaris n.trigeminus). Aliran kelenjar getah bening relatif kurang, tetapi sebagian besar menuju fosa pretigopalatina dan nodus submandibular.2.3.4 Sinus SfenoidalisTulang yang membentuk sinus sfenoidalis merupakan tulang terbesar pada basis kranii dan membatasi fossa kranii anterior dan posterior Pada setiap sisi setengah dari wajah terletak ostium sinus. Ostium ini besar (diameter 5-8mm) pada tengkorak yang bermaserasi tetapi sebagian tumpang tindih dan ditutupi oleh konka sfenoid dan membran mukosa.Sinus sfenoid bermuara ke resesus sfenoethmoidalis, konka superior dan media. Pneumatisasi pada sinus dapat meluas sampai ke ala magna. Dijumpai empat bentuk umum pneumatisasi: Pneumatisasi konka dan sinus yang rudimenter Preselar. pneumatisasi sinus sejauh dinding tulang anterior dari fosa pituitari (11%) Sellar, pneumatisasi meluas sampai ke bawah fosa pituitary (59%) Pneumatisasi campuran (27%)Disamping itu tulang ini juga dilewati oleh beberapa foramina : Foramen rotundum dilalui oleh n. maksilaris Foramen rotundum, dilalui n. mandibularis, a. meningeal asesorius dan kadang-kadang n.petrosus minor Foramen spinosum yang dilalui oleh a. meningea media dengan cabang dari a. mandibularis. Pada 40% dijumpai foramen venosus sfenoidalis yang berhubungan dengan foramen ovale.Sel goblet pada epitel respirasi yang melapisi sinus sfenoidalis sama banyak dengan yang ditemukan pada sinus etmmoid (6.200/mm2) meskipun jumlah kolagen seromusin lebih sedikit (0,06/mm2).

2.4 FISIOLOGI HIDUNG 4, 5Fungsi hidung diamaninya adalah :1. Sebagai alat penciuman (olfactory organ)2. Sebagai alat pernafasan (respiratory organ) 3. Respirasi, dimana sebagai organ yang mempersiapkan udara inspirasi sesuai dengan permukaan paru (pertukaran panas, humidifikasi, resistensi hidung)4. Resonansi suara5. Perlindungan terhadap saluran nafas bawah6. Refleksi nasal2.4.1 Sebagai alat penciuman 4, 5Reseptor penciuman terletak pada epitel olfaktoius dalam membrana mukosa, pada manusia terletak pada atap dari cavum nasi, cobeha superior dan 13 bagian atas dari septum nasi. Membrana mukosa olfaktorius dilapisi oleh epitel silindris bertingkat tidak bersilia yang terdiri dari tiga macam sel yaitu susteintaculer cells (sel penyokong), olfactoring cells (sel penciuman) dan basal cells.Area olfaktorius besarnya tidak sama pada setiap spesimen, dimana pada manusia luasnya lebih 200 s d 400 mm dengan kepadatan 5.104 sel/mm2.

Gambar 10. Area olfaktoria dan mukosan penciumanSumber : http://www.emptynosesyndrome.org/turbinate9.htmlMekanisme perjalanan syaraf penciumanSerabut syaraf penciuman (n.olfaktorius) yang keluar dari area olfaktorius jumlahnya sekitar 20 buah dan tidak bermyelin, kemudian berjalan menuju lamina kribiformis os etmoidalis dan masuk ke bulbus olfaktorius. Ujung staraf olfaktorius membentuk sinaps yang kompleks dengan glomerulus olfaktorius yang dihubungkan dengan sel-sel mitrai atau "tufled cell". Tiap glomerulus menerima impuls dari 26.000 reseptor penciuman dan dihubungkan dengan 25 sel-sel mitral.Dari bulbus olfaktorius selanjutnya berjalan sepasang traktus olfaktorius dan stria olfaktorius lateralis menuju pusat penciuman di otak, dimana akan berakhir di "prepyriform frontal cortex" dan nukleus amigdaloid. Akson dari tuffed cclls berjalan melalui komisura anterior menuju bulbus olfaktorius yang kontralateral dan juga ke hipothalamus. Efek penciuman tergantung dari : Apakah bersifat volatil (zat cair yang mudah menguap) Konsentrasi zat dalam udara inspirasi Kekuatan suatu zat menabrak mukosa olfaktoring (kecepatan gerak molekul dan massa zat). Volume udara yang mencapai mukosa olfaktorius. Kelarutan lemak-air. Keadaan mukosa olfaktorius. Integritas perjalanan syaraf olfaktorius.2.4.2 Sebagai alat pernafasan 4, 5Hidung sebagai alat pernafasan yaitu sebagai jalan masuknya oksigen ke dalam paru-paru yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh, serta mengeluarkan hidrat arang sebagai sisa-sisa metabolisme. Pertukaran ini kebanyakan terjadi di alveoli paru-paru, fungsi hidung disini membuat udara yang dihisap akan mudah mengalami pertukaran tersebut tanpa merusak alveoli.Perjalanan udara selelah masuk ke dalam rongga hidung secara vertikal, berbelok 80-90 derajat ke posterior sampai mencapai nasal vault. Aliran udara kemudian melintang secara horizontal sampai membentur dinding posterior nasofaring, kemudian membelok 80-90 derajat ke bawah bersama-sama aliran udara sisi sebelahnya untuk masuk kedalam faring. Dua belokan tajam dari 80-90 derajat dari aliran udara ini disebut impaction point.Impaction (benturan) terhadap adenoid memungkinkan partikel-partikel tersebut ditangkap di dalam kripta dan menimbulkan reaksi immunologi.Sebagian aliran udara mencapai area olfaktorius, menghirup udara (sniffing) kemungkinan merupakan mekanisme untuk meninggikan hantaran udara ke area olfaktorius. Umumnya udara ekspirasi merupakan aliran udara berputar (eddy current) karena adanya obstruksi relatif di daerah katup hidung anterior. Septum yang bengkok atau obstruksi jalan nafas lainnya akan meningkatkan putaran arus ini. Pada respirasi yang tenang putaran arus akan berkurang dan akan meningkat bila respirasi makin cepat. Aliran udara cukup sempit dan tidak lebih dari 1-2 mm sedangkan permukaan lateral rongga hidung berukuran besar, ini mengakibatkan kontak langsung antara udara respirasi dengan permukaan mukosa.Katup hidung bagian anterior atau ostium interim pada limen nasi terletak 1,5-2 cm sebelah posterior dari nares anterior Pada potongan melintang di daerah ini berdiameter 10-40 mm persegi pada tiap sisi, sehingga merupakan bagian tersempit dari jalan nafas.Rongga hidung mempunyai tahanan sebesar 50% dari jalan nafas secara keseluruhan. Sebelah posterior dari potongan melintang hidung ini membesar pada daerah utama pasase hidung bagian horizontal dimana aliran udara tetap sempit sehingga juga menyediakan daerah permukaan yang luas ditempat kontak dengan aliran udara. Di daerah khoana posterior pada potongan melintang juga tampak sempit, sehingga ini dapat menjelaskan adanya variasi tekanan intranasal dari -5 atau -6 mm H20 sampai + 5 atau + 6 mm H20 pada waktu inspirasi atau ekspirasi.Terdapat perubahan siklus resistensi hidung (nasal resistance) antara satu lubang hidung ke lubang hidung lainnya. Peningkatan resistensi hidung yang lama, misalnya pada pembesaran adenoid atau nasal pack yang terlalu padat, dapat menyebabkan cor pulmonale, kardiomegali dan edema paru-paru. Peningkatan resistensi hidung mengakibatkan bernafas melalui mulut sehingga tidak terdapat fungsi hidung sebagai pembersih dan air conditioning.Terjadi peningkatan resistensi bronchial bila membrana mukosa hidung dan nasofaring tersangsang misalnya oleh debu silika.Kecepatan aliran udara (air speed) pada katup hidung anterior mencapai 3,3 m/detik pada tingkat aliran udara inspirasi 200 ml/detik dibandingkan dengan 1 m/detik dalam bronchus. Kecepatan aliran udara akan melambat walaupun pada potongan melintang lebar dan aliran udara sempit, ini memungkinkan udara inspirasi tetap kontak dengan bagian permukaan yang luas dalam jangka waktu yang lama.

Gambar 11. Aliran udara dalam rongga hidung Sumber : http://www.emptynosesyndrome.org/turbinate9.htmlKeadaan ini merupakan kondisi ideal untuk air conditioning dimana sekresi yang tidak terkontaminasi dan sinus anterior memasuki rongga hidung.Pengeluaran partikel-partikel berbahaya dengan ukuran 5-6 m sekitar 80-90% dikeluarkan dari hidung dan nasofaring, sedangkan partikel yang lebih besar lagidapat ditangkap oleh vimbrissae. Partikel yang lebih kecil dapat masuk saluran nafas bagian bawah dan diabsorbsi. Gabungan virus dengan partikel yang berukuran melebihi 5-6 m dapat bertahan dalam rongga hidung. Selama pernafasan hidung, spray aerosol tertahan dalam hidung dan tidak berpenetrasi ke saluran nafas bawah. Pengeluaran partikel dari hidung dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kecepatan aliran udara inspirasi pada 2 point impaction.Air conditioning terjadi di daerah dimana udara inspirasi melintang di bagian horizontal nasal airway Disini udara dipanaskan atau didinginkan secara radiasi yang dipancarkan dan mukosa pembuluh darah. Humidifikasi dan udara inspirasi terjadi secara penguapan dari mucous blanket yang menyelimuti membrana mukosa, hal ini merupakan mekanisme yang efisien yang dibuktikan dengan observasi bahwa udara inspirasi mendekati suhu tubuh normal dan kelembaban relatif dalam nasofaring hampir 100%.2.4.3. Fungsi Respirasi 1, 4, 5Hidung sebagai organ yang mempersiapkan udara pernafasan mempunyai 3 fungsi, yaitu : Humidifikasi. Pertukaran panas Filtrasi (proteksi dan pembersih)

Humidifikasia.InspirasiSaturasi udara inspirasi dengan cepat akan diikuti peninggian temperatur. Energi diperlukan untuk 2 hal yaitu untuk peninggian temperatur udara inspirasi dan panas laten untuk evaporasi, untuk itu diperlukan energi lebih kurang 2100 KJ hari. Pada orang dewasa kira-kira hanya seperlimanya digunakan untuk meninggikan temperatur udara inspirasi, tetapi ini tergantung pula dari temperatur ambient dan humidilikasi relatif udara inspirasi. Kurang lebih 10% dan panas tubuh dikeluarkan melalui udara lewat hidung. Walaupun ada variasi daripada temperatur udara inspirasi, tetapi udara pada nasofaring sekitar 31oC dengan kejenuhan sekitar 95%.b.EkspirasiTemperatur udara ekspirasi pada hidung sedikit di bawah temperatur tubuh, ini akan menurun selama pasase udara sepanjang rongga hidung dan akan membiarkan sejumlah air berkondensi ke dalam mukosa. Temperatur bagian anterior hidung pada akhir ekspirasi sekitar 32oC, sedangkan pada akhir inspirasi sekitar 30oC. Kira-kira sepertiga air di mukosa hidung dibutuhkan untuk kelembaban udara inspirasi. Seseorang yang menarik nafas melalui hidung, sedangkan pengeluaran nafasnya melalui mulut maka mukosa hidungnya akan kering.Pertukaran panasTemperatur pada udara inspirasi dapat bervariasi antara -50 s/d 50 derajat celeius dan pada hidung temperatur udara ini dapat disesuaikan dengan temperatur pada paru-paru. Perubahan panas ini dapat terjadi secara konduksi, konversi dan radiasi. Bila hanya terjadi konduksi maka tidak akan terjadi aliran udara dan panas akan ditransfer dengan peningkatan pergerakan molekuler. Naik turunnya temperatur udara dapat menyebabkan arus konversi yang akan mempengaruhi aliran udara dalam rongga hidung dan timbulnya turbulensi. Radiasi tidak berpengaruh besar dalam penghangatan udara inspirasi, tetapi mempengaruhi pada humidifikasi.Filtrasi (proteksi dan pembersih)Salah satu fungsi dan hidung yaitu mencegah masuknya partikel udara inspirasi ke dalam saluran nafas bagian bawah, fungsi ini dapat dilakukan secara mekanik atau kimiawi. Partikel yang berdiameter antara 5-10 dapat disaring oleh bulu hidung 70-80% atau tertangkap oleh mukosa di atas glottis. Partikel dengan diameter kurang dari itu tidak dapat ditahan dalam rongga hidung. Kesanggupan hidung untuk memfiltrsi partikel-partikel tersebut disebabkan karena morfologi hidung yang menentukan arah aliran udara maupun turbulensi udara.Benda asing, bakteri dan lain lain yang tidak tertangkap oleh vimbrissae biasanya ditangkap oleh suatu lapisan lendir yang disebut mucous blanket.2.4.4 Fungsi dalam resonansi Suara 1, 4, 5Suara yang ditimbulkan seseorang dalam keadaan sehat akan berbeda dalam keadaan waktu menderita influenza, dimana mukosa hidung pada saat ini sedang mengalami edema. Suara dihasilkan dengan mengubah getaran udara dari faring. Frekuensi suara tinggi yang menimbulkan suara konsonan dibantu juga oleh faring, lidah dan gigi. Hidung menambah kualitas suara dengan cara membiarkan sebagian udara keluar.2.5. FISIOLOGI SINUS PARANASAL 1, 4, 52.5.1 Fisiologi Epitel SinusMukosa sinus paranasal merupakan kelanjutan dari rongga hidung walaupun lebih tipis yaitu terdiri dari epitel kolumner semu bertingkat bersilia dengan 4 tipe sel dasar yaitu : a. Tipe ISel kolumnar bersilia mempunyai 50 200 silia per sel, dimana setiap sel mengandung 2 mikrotubuler ganda dengan lengan dynein yang terletak di perifer yang akan membentuk gerakan.b. Sel kolumner tidak bersilia Mempunyai mikrovili berjalan diantara sel tipe 1. Mikrovili ini membantu memperbesar permukaan epitel agar proses humidifikasi dan penghangatan dapat berjalan.c.Sel basalisDapat bervariasi dalam berbagai bentuk, ukuran dan jumlah. Kemungkinan merupakan stem sel primitif yang berdiferensiasi menjadi sel epitel.d.Sel gobletSel ini bisa ataupun tidak dilapisi mikrovili, menghasilkan mukus yang tebal setelah stimulasi bahan-bahan iritan.Di bawah membrana basalis mukosa sinus, lamina propria terlihat tipis serta ditemukan glandula serosa dan mukosa. Kedua glandula ini dibawah kontrol sistem parasimpatis untuk menghasilkan mukus yang kental dan sistem simpatis untuk menghasikan mukus yang tipis. Konsentrasi sel goblet dan glandula submukosa ini lebih kecil dibandingkan di rongga hidung, tetapi terutama sinus maksilaris mempunyai sel goblet lebih banyak dibandingkan sinus paranasal lainnya.Mukus blanketMukus blanket terdiri dari 2 lapisan. Lapisan sol yang merupakan lapisan yang tipis dan perisilar, sehingga silia dapat bergerak bebas melakukan gerakan. Bagian atasnya adalah lapisan gel, merupakan mukus yang tebal, tempat melekat silia. Mikrovili akan berperan di lapisan sol, sedangkan sel goblet dan glandula submukosa pada lapisan gel. Kandungan mukus adalah sebagai berikut: Mukopolisakarida yang berfungsi sebagai proteksi terhadap kelembaban yang rendah dan udara dingin. Komposisi Ig A yang berperan menghambat bakteri pada permukaan sel. Komposisi Ig G dan Interferon seperti sel-sel inflamasi lainnya, juga ditemukan sekresi sinonasal lainnya yang berperan sebagai antiviral. Lisosim dan laktoferin berguna menghambat bakteri.Bila ada partikel asing yang terjebak, sinus secara efektif akan mengalirkannya melalui mukus dengan sistem mucocilliary clearence. Silia akan menggerakan mukus dengan kecepatan 3-25 mm/menit menuju ostium sinus.2.5.3 FUNGSI SINUS PARANASAL 1, 4, 5Hingga saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fungsi sinus paranasal. Beberapa teori telah dikemukakan bahwa fungsi dari sinus paranasal antara lain :a. Sebagai pengatur kondisi udaraSinus berfungsi sebagai runag tmbahan untuk menghangatkan dan mengatur kelembaban udara inspirasi.b.Sebagai penahan suhuSinus paranasal dapat berfungsi buffer (penahan) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dan suhu rongga hidung yang berubah-ubah.c.Membantu keseimbangan kepalad.Membantu resonansi suarae.Sebagai peredam perubahan tekanan udaraf.Membantu produksi mukus

BAB IIIRINITIS NON ALERGI

3.1 DEFINISI Rinitis Non Alergi adalah suatu istilah untuk semua penyakit hidung dengan gambaran obstruks, hipersekresi dan hiperiritabilitas tanpa etiologi alergi yang berjalan kronik. Dengan demikian tidak termasuk infeksi hidung akut baik karena virus maupun bakteri. Rinitis non alergi tidak dapat dijelaskan berdasarkan mekanisme patofisiologi yang seragam. Sehingga diagnosisnya ditegakkan berdasarkan pasien rinitis yang tes alerginya negatif.1,2,3 Definisi yang tidak jelas mengakibatkan sangat sulit untuk mendapatkan data epidemiologis. Demikian pula tidak ada data mengenai distribusi dari berbagai macam rinitis non alergi di antara populasi penderita rinitis non alergi.1,3 3.2 ETIOLOGIPada penderita yang didiagnosis sebagai rinitis kronis perennial, sekitar 50% mempunyai riwayat alergi. Sedangkan 50% lagi disebutkan tidak mempunyai riwayat alergi dimana dua pertiganya tidak ditemukan adanya eosinofil pada pemeriksaan sekret hidungnya. Penderita-penderita ini bisa dikategorikan sebagai rinitis vasomotor.1, 3Pada kurang lebih seperempat pasien-pasien rinitis non alegi kronis diketahui mempunyai sejumlah eosinofil pada pemeriksaan sekret hidungnya sehingga disebut Non Allergic Rhinitis Eosinophylia Syndrome (NARES). NARES dapat mengenai semua kelompok umur dan mempunyai gejala yang hampir mirip dengan rintis alergi dan rinitis vasomotor. 1, 3Secara klinis gejala yang ditimbulkan hampir mirip dengan rinitis alergi. Untuk mengetahui yang terbaik mengenai perbedaan antara rinitis alergi dan non alergi adalah dari tes spesifik untuk alergi. Bisa dengan tes kulit atau pemeriksaan kadar antibodi IgE.2

3.3 LANGKAH DIAGNOSIS RINITIS NON ALERGI Berdasarkan ARIA 2008 diagnosis banding rinitis alergi dan non alergi dibedakan sebagai berikut : 7

Gambar 12. Skema diagnosis banding rhinitis alergi dan non alergiLangkah penegakan diagnosis rhinitis alergi dan non alergi adalah sebagai berikut :7

Gambar 13. Skema penegakan diagnosis rhinitis alergi dan non alergi

3.4 KLASIFIKASI RINITIS NON ALERGI

Berdasarkan guidline penyakit THT-KL di Indonesia rinitis non alergi diklasifikasikan berdasarkan kausanya sebagai berikut : 8

Gambar 14. Skema guidline penyakit THT di Indonesia untuk rinitis non alergiTerdapat sedikit perbedaan dengan kriteria yang disusun oleh Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL dalam modul Hidung yang tidak memasukkan rinitis akut akibat infeksi ke dalam kelompok rinitis non alergi. Literatur lain juga mengelempokkan rhinitis non alergi sebagai berikut : 1, 3a. Rinitis iritatif-toksik (Okupasi)b. Rinitis hormonalc. Rinitis diinduksi obat d. Rinitis vasomotor dane. NARESDalam literature ini hanya akan dibahas rinitis non alergi dengan kausa berdasarkan modul dari kolegium Perhati-KL.

3.4.1. Rinitis hormonal Penyebabnya meliputi hypotiroidi (myxedema), naiknya hormon esterogen pada kehamilan, pemakaian kontrasepsi oral dan siklus menstruasi. Kadar esterogen yang tinggi menghambat aktifitas acetyl cholinesterase dan memacu produksi acetyl cholin pd ganglion parasympatis, mengakibatkan edema, hypersekresi dan pembengkakan vaskuler mukosa hidung. Rinitis pregnancy terdapat pada 20% kehamilan yang sering mulai timbul pada trimester ke II kehamilan. Tanda khasnya berupa konka edem, dan pucat. Harus dibedakan dengan RA dan hipotyroidi dengan cara mencari gejala hipotiroidi yang lain dan riwayat alergi yang lain dan tes alergi.9, 10 Estrogen menyebabkan pelebaran vaskular tidak hanya di uterus, tapi juga pada hidung. Untuk alasan yang sama beberapa wanita mengalami kongesti nasal pada periode premenstruasi yang mungkin keliru dinamakan cold.11Banyak wanita memperhatikan adanya kongesti nasal selama kehamilan. Keadaan ini bertambah buruk selama kehamilan dan berhubungan langsung dengan level estrogen endogen yang meningkat tajam selama trimester terakhir kehamilan. Banyak ahli obstetri lebih senaang pasien mereka menderita kongesti hidung diri pada memberi obat. Banyak pasien memilih sendiri obat anti histamine dan dekongestan. Obat tersebut digunakan dalam waktu jangka lama sedangkan efek terhadap janin belum jelas.1, 9Secara umum perparat antihistamin generasi lama seperti trepilenamine dan elorphenirmine lebih disukai untuk penderita dimana kondisinya dicetusakan oleh rhinitis alergi secara koinsidental.1Antihistamin yang aman dalam kehamilan termasuk diantaranya adalah klorfeniramin, klemastin, dan doksilamin. Difenhidramin pernah dianggap sebagai salah satu penyebab timbulnya palatal cleft pada janin. Namun studi terbaru tidak menunjukkan hal ini. Antihistamin generasi II seperti loratadin, setirizin, astemizol, dan feksofenadin baru memiliki sedikit data mengenai penggunannnya selama kehamilan.Pemakaian kortikosteroid topical seperti beklometason lebih disukai. Dekongestan pseudoefedrin oral memiliki keamanan untuk pemakaian jangka panjang dan berguna bagi pasien non alergi, kecuali bagi mereka yang memiliki hipertensi.11Lebih jauh pada penderita dengan kongesti nasal berat mungkin memerlukan penanganan operatif. Efek samping sementara dari tindakan bedah ini dapat diterima karena kehamilan sendiri merupakan kondisi yang bersifat self limited. 10, 11Sekitar 2-3% pasien rinitis vasomotor didiagnosis sebagai hipotiroid. Hipoaktifitas simpatis secara umum menyebabkan parasimpatis lebih dominan dengan efek vasodilatasi. Sesudah abnormalitas endokrin ditegakkan, tingkat perubahan residual dalam vaskularisasi nasal dapat diperiksa dan diatasi.1, 9

3.4.2. Rinitis vasomotor (RV) 1, 2, 3, 9, 10 RV disebut pula rinitis perenial nonalergi, rinitis idiopatik, rinitis non alergi tanpa eosinofilia. Gejala utama kongesti hidung dan rinore, biasanya tanpa rasa gatal dan bersin. Pada penderita tidak dijumpai eosinofil pada mukosa hidungnya dan tes alergi hasilnya negatif. Patogenesisnya belum jelas. Salah satu teori adalah disebabkan oleh input parasimpatis terhadap konka dan septum nasi tidak berfungsi normal. Parasimpatis tersebut berasal dari hypotalamus dan berjalan bersama N V dan N VII. Jalur cholinergik berakhir pada pembuluh darah mukosa sehingga mengakibatkan mukosa yang edem pd dinding lateral, septum dan konka. Pada sebagian besar penderita gejala klinik timbul karena merespon kondisi lingkungan yang meliputi udara dingin, kelembapan yang tinggi, stres dan iritan seperti alkohol, polusi dan asap. Penyakit ini mungkin didapatkan pd perokok yang refrakter terhadap pengobatan. Pengobatan operatif untuk mengurangi besarnya konka. Rinitis vasomotor mempunyai karakteristik klinis yang hampir sama dengan rinitis alergi tetapi dalam rinitis vasomotor pasien dapat mengidentifikasikan dengan jelas pencetus timbulnya serangan tersebut (trigger stimuli) contohnya adalah cuaca, iritasi udara, AC atau faktor stres. Ada beberapa nama lain untuk rinitis vasomotor yaitu : Rinitis non alergi, non infeksi, yang menggambarkan kelompok heterogen penderita dengan gejala nasal kronis yang bukan bersifat imunologis atau infeksi murni biasanya tidak berhubungan dengan eosinofilia nasal. Rhinophaty intrinsic dimana pada beberapa kasus rhinitis vasomotor lidak ditemukan bukti adanya inflamasi. Rhinitis intrinsik, pada penyakit kompleks dengan etiologi dan patofisiologi yang belum dimengerti.Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologis lapisan mukosa hidung (terutama mukosa septum dan konka) yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas saraf parasimpatis.Pasien dengan diagnosa rinitis mempunyai gejala utama antara lain kongesti hidung, sneezing, nasal itching, rinorrhea kadang-kadang disertai dengan hiposmia dan poti nasal discharge. Pada rinits alergi gejala yang signifikan adalah sneezing dan nasal itching, di mana keadaan ini cenderung tidak didapatkan pada pada rhinitis vasomotor. Begitu pula pada rintis vasomotor didapatkan hasil tes kulit yang negatif dan jumlah eosinofil yang rendah pada nasal smears.Persarafan dari septum nasi dan konka terutama berasal dan nervus kranialis ke-5 (cabang ophthalmic dan maxillary), nervus kranial ke-7 dan serabut sensoris khusus dari nervus kranial ke-1. Saraf parasimpatis berasal dari nukleus salivaiorius superior di pons.Pada saat hipotalamus mengeluarkan perintah agar saraf parasimpatis bekerja pada septum nasi dan konka, maka neurotransmiter kolinergik asetilkolin pada ujung serabut saraf parasimpatis akan keluar dan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler dan hipersekrcsi kelenjar. Sebagai akibatnya akan terjadi edema mukosa konka, dinding lateral cavum nasi dan septum, sehingga akan menyebabkan sumbatan hidung dan beringus.Penyebab dari rintis vasomotor adalah :1. Drug induced: spray hidung, antihipertensi, kokain, pil KB dan aspirin.2. Kehamilan and premenstrual colds3. Hipotiroid4. Penyebab kecemasan5. Temperature mediated6. Rinitis Irritatif7. End- stage vascular atony of chronic allergy of inflammatory rhinitis8. Recumbency rhinitis9. Paradoxic nasal obstruction and nasal cycle10. Rinitis karena tidak ada aliran udara (laringektomi, choanal atresia, hyperplasia adenoid)11. Compensatory hypertrophies rhinitis12. Eosinophyl and basophylic rhinitis non alergi13. Kelainan sistemik yang lain14. Rhinitis idiopatik

3.4.3. Rinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia (NARES) 1, 3, 9, 10Secara klinis sangat serupa dengan Rinitis alergi tetapi tidak terdapat perubahan patologis yg berhubungan dengan IgE. Gejalanya berupa rinore yang kronik, hidung gatal dan bersin. Biasanya terdapat pada umur pertengahan, pada pemeriksaan swab mukosa hidung banyak eosinofil. Tes alergi hasilnya negatif. Penyebabnya diduga berhubungan dengan intoleransi aspirin. Secara klinis NARES memiliki kesamaan dengan rhinitis alergi tetapi tidak terdapat IgE mediator imunopatologi. Secara klinis timbul gejala rinorrhea berat, gatal pada mata dan hidung, bersin yang berulang. Mereka juga sensitive terhadap lingkungan seperti bau asap, zat kimia, parfum dan perubahan udara. Serangan dapat terjadi kapan saja. Dan pada hapusan hidung terdapat eosinofil.Istilah NARES digunakan untuk kondisi klinis dengan etiologi yang tidak diketahui, dengan gejala mendukung rinitis alergi, di mana test IgE normal dan skin test terhadap allergen sesuai letak geografi negatif. Terapi antihistamin atau dekongestan tidak mengurangi gejala secara signifikan tapi steroid yang diberikan pada hidung umumnya menghasilkan perubahan. Respon terhadap steroid menimbulkan dugaan bahwa kondisi ini mungkin disebabkan allergen yang tidak dikenal.

3.4.4. Rinitis akibat lingkungan kerja (Occupational rhinitis) 1, 3, 10, 11Rinitis ini dapat didiagnosis sebagai rinitis alergi dan rinitis vasomotor. Gejalanya berupa rinore dan hidung tersumbat yang disebabkan oleh terpapar bahan yang ada diudara lingkungan bekerja. Secara patologis bisa oleh karena alergi dan non alergi. Tergantung polusinya. Untuk yang alergi diagnosis ditegakan dengan tes kulit. Meskipun formaldehide diduga merupakan penyebab tetapi buktinya belum pasti. Manajemenya identifikasi penyebab dan menghindari.Occupational rhinitis dapat didefinisikan sebagai adanya peradangan pada mukosa hidung dengan gejala bersin, hidung beringus dan atau disertai dengan gejala hidung tersumbat yang disebabkan karena adanya paparan dari partikel-partikel di udara terutama pada tempat pekerjaan. Sebagai pencetus rinitis ini bisa dibagi menjadi 2 sebab yaitu : Berupa iritasi dari rokok, udara dingin, formaldehyde, hair spray dan bahan-bahan kimia yang tidak menyebabkan mekanisme imunologis. Paparan dari tempat pekerjaan yang menyebabkan reaksi dari mediated, dan biasanya rinitis ini dicetuskan oleh binatang binatang yang dipakai laboratorium (tikus, mcncit, guinea pigs), animal products, butiran tanaman (pada petani, tukang roti), petani coklat, debu yang berasal dari kayu, lateks, bahan bahan kimia ( asam, garam platinum, lem), mites, pollen dan sebagainya. Penyakit ini biasanya coexist dengan occupational asthma. Klinis dan diagnosisGejala yang ditimbulkan bisa bersifat akut setelah terpapar oleh alergen atau bersifat kronis setelah terpapar terus menerus. Occupational rhintis harus dicurigai pada pasien-pasien yang mempunyai gejala pada hidung setelah terpapar alergen pada tempat kerjanya.Untuk menegakkan diagnosis dilakukan tes kulit, terutama menggunakan alergen yang spesifik yang berhubungan dengan tempat kerjanya.TerapiPenatalaksanaan yang optimal pada pasien dengan occupational rhinitis adalah dengan cara menghindari paparan dari alergennya. Tekniknya bisa dengan menggunakan masker, menata ruangan kerja atau memindahkan penderita ke tempat yang bebas alergen. Jika hal diatas tidak memungkinkan dapat diberikan terapi medikamentosa, dengan menggunakan antiinflammatory intranasal corticosteroids atau antihistamin dan intranasal cromolyn.

3.4.5. Rinitis karena pemakaian obat ( drug induced rhinitis ) 1, 9, 13, 14Rinitis karena obat dapat karena pemakaian obat sistemik dan topikal. Pemakaian obat sistemik yang paling sering adalah obat antihipertensi. Obat tersebut adalah : resrpin, guanethidin, pentholamin, metyldhopa, przosin, chlorpromazin, serta obat Beta bloker dan obat angiotensin-converting enzim. Obat-obat topikal adalah cocain, nasal dekongestan. Rinitis medikamentosa, disebabkan oleh pemakaian obat yang berkepanjangan yaitu obat vasokonstriktor, seperti cocain, oxymethazolin hydrohlorid, phenyleprin hydrohlorida, dan derivat sympatomimetik amin dan imidazoles.Tachyphylaksis yaitu berkurangnya efek obat dengan cepat setelah pemberian bbrp dosis dapat menyebabkan pasien meningkatkan obat vasokonstriktor untuk waktu yang lebih lama. Hal ini dapat mengakibatkan efek rebound disebabkan oleh down regulation reseptor alfa adrenergik mukosa hidung. Rinitis medika mentosa disebabkan oleh vasodelatasirefrakter pembuluh darah mukosa atau edem mukosa yang berlebihan. Dengan vasokostriktor yang berkepanjangan arteriol mukosa dan pembuluh darah menjadi capai dan hipoksia , kemudian akan vasodelatasi untuk memberikan nutrien pada mukosa yang kaya pembuluh darah . Tetapi sel vaskuler vasodelatasi, permaibilitasnya meningkat dan memungkinkan mengalirnya cairan ke mukosa yang hipertonik. Kerusakan mukosa seperti kehilangan silia, metaplasia, atau fibrosis dapat terjadi pada pemakain vasokonstriktor yang berkepanjangan.Rinitis medika mentosa dapat menutupi keadaan patologis primernya yang mengakibatkan pemakaian vasokonstriktor yang lama. Pengobatan RMM adalah menghentikan kondisi refrakter sekunder dan mencari faktor primernya seperti RA, konka hipertropi, septum deviasi, sinusitis dan terapi dengan baik. Vasokonstriktor topikal diganti dengan lar saline fisiologis dan penyakit primer diobati dengan obat-obat peroral. Obat-obat tertentu, khususnya yang mempengaruhi kontrol vaskuler otonom dapat menyebabkan perubahan saluran vaskular hidung.AntihipertensiSimpatik blocking agen seperti reserpin, guanetidin, hidralazin, metildopa, propanolol dan beta-bloker lain dapat menimbulkan efek samping sumbatan hidung. Hal ini disebabkan berkurangnya noradrenalin sehingga menghasilkan vasodilatasi parasirnpatis.Reserpin paling berperan dalam kejadian ini, mempengaruhi 8% pemakainya Obat hipertensi dapat diganti dengan preparat lain yang sedikit menimbulkan kongesti nasal.

Nasal Drop / Spray AbuseDekongestan tersedia sebagai agen baik secara oral untuk digunakan sebagai obat sistemik maupun topikal untuk aplikasi langsung ke mukosa hidung. Sediaan nasal paling sering digunakan adalah phenylephrine dan oxymetazoline, yang memberikan efek langsung pada hidung, tetapi berhubungan dengan rebound kongesti yang signifikan pada penggunaan jangka panjang. Obat-obat ini direkomendasikan untuk digunakan hanya selama 3 sampai 5 hari. Setelah jangka waktu ini, mukosa menjadi resisten terhadap efek dekongestan, dan membutuhkan peningkatan dosis dan interval lebih sering.1Dekongestan bersifat simpatomimetik yang menyebabkan aksi vasokonstriksi. Bila dipakai secara topikal pengaruh vasokonstriksinya kuat sehingga terjadi keadaan semi iskemik. Selama periode ini produk metabolisme yang terakumulasi merupakan vasodilator kuat. Vasodilatasi yang sering terjadi menyebabkan kongesti lagi. Makin sering pemakaian vasokonstriktor topikal, makin besar gejala berulang sampai tonus vaskuler hilang.Istilah lama untuk kondisi ini adalah rinitis medikamentosa, istilah lainnya yaitu rebound rhintis.Pengolalaan pada pasien membutuhkan penghenti total dan segera penggunaan nasal drop / spray. Bayi khususnya sangat rentan terhadap rebound rhinitis dan dapat berkembang setelah beberapa hari pemakaian nasal drop. Sebaliknya pada orang dewasa, kondisi ini terjadi setelah pemakaian jangka waktu yang lebih lama.Bila kondisi ini menetap selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, vaskularisasi nasal telah mengalami perubahan permanen serta memerlukan terapi bedah untuk konka.Kokain Karena kokain bersifat vasokonstriktor, secara teoritis mungkin terjadi rebound rhinitis pada pemakaian intranasal. "Street cocaine" umumnya mengandung pemalsuan dimana efek merugikannya menutupi rebound rhintis yang mungkin terjadi karena kokain. Zat yang digunakan untuk memalsukan kokain seperti laktosa, manitol, lidokain, kafein dan berbagai bakteri kontaminan. Iritan tersebut menyebabkan terjadinya krusta dan rinitis atrofi. Bila efek vasokontriktor kokain memuncak, kartilago septum mengalami penuruanan suplai darah yang menyebabkan perforasi septum.Pil KontrasepsiSebagian wanita mengeluh kongesti nasal bila memakai obat pengatur ovulasi. Kondisi ini disebabkan efek vasoaktif estrogen.AspirinIntoleransi aspirin dapat menyebabkan rinitis. Hipotesa yang berkaitan dengan ini adalah dengan menghambat jalur cyclo-oxygenase yang berperan penting dalam metabolisme lipoxygenase dan meningkatkan produksi leukotrien dan slow reacting substances. Gejala yang ditimbulkan adalah hidung beringus encer termasuk gejala sistemik lain seperti urtikaria. Yang lebih penting lagi adalah aspirin dapat memperberat penyakit pada penderita asma dan polip

3.4.6. Rinitis gustatory1, 2, 3, 13, 14Menelan makanan dapat menyebabkan rinitis. Ada beberapa penyebab yang dapat diketahui untuk rekasi tersebut. Makanan dapat menyebabkan reaksi alergi, tetapi ini jarang. Minuman beralkohol dapat menyebabkan rinitis mungkin karena efek langsung dilatasi pembuluh darah hidung. Makanan yang pedas dapat mengakibatkan rinore profus melalui mekanisme vagal. Hipersensitivitas terhadap makanan dibagi menjadi 2 bentuk yaitu food allergy dan food intolerance. Food allergy karakteristiknya melibatkan sistem imun sedangkan food intolerance tidak bisa dibuktikan secara imunologis.Ada 3 jalur terjadinya proses sensitasi alergen pada food allergy yaitu :1.Adanya ingesti dari makanan. Jalur yang tersering , banyak terjadipada bayi dan anak -anak. Biasanya alergi terhadap susu.2. Adanya sensitasi yang disebabkan oleh adanya alergen inhalan.3. Adanya sensitasi melalui kulit.Beberapa makanan yang menyebabkan terjadinya alergi antara lain susu, telur, ikan, nikel dan kobalt.

KlinisReaksi hipersensitivitas pada makanan biasanya terjadi dalam jam-jam pertama setelah proses ingesti. Secara garis besar gejala yang terjadi melibatkan 2 atau lebih organ (respiratori, kulit dan gastrointestinal). Gejala yang sering terjadi adalah diare, urtikaria dan asma. Selain itu dapat pula terjadi konjungtivitis dan rinitis. Amlot et al (1987) melaporkan pasien-pasien yang hipersensitivitas terhadap makanan terjadi sindroma alergi oral dalam 10 menit pertama diikuti dengan dengan munculnya tanda-tanda objektif dalam 30 menit kemudian urtikaria, konjungtivitis, asma, muntah dan mual. Gejala rinitis dan anafilaksis merupakan gejala yang jarang timbul. Bindslev - Jensen, 1992 pernah meneliti pada orang dewasa, dengan rash bahwa gejala rinitis merupakan gejala yang jarang timbul pada hipersensitivitas terhadap makanan dan biasanya timbul bersamaan dengan asma.Diagnosis & TerapiDiagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes kulit dan pemeriksaan IgE RAST Terapi utama dari alergi makanan adalah dengan cara menghindari sumber alergennya. Apabila sudah terjadi alergi maka diberikan antihistamin dan kortikosteroid3.4.7. Rinitis Atropi 1, 2, 3, 13Rinitis atropi atau rinitis sika ditandai adanya atropi mukosa septum, konka, dind lateral rongga hidung. Rinitis atropi dapat dibedakan atas primer dan sekunder. Rinitis atropi dg ozaena ditandai adanya krusta yg tebal berbau. Yang tanpa ozaena akan tampak mukosa atropi dfan kering. Penderita rinitis atropi sering mengeluh hidung tersumbat yang dapat disebabkan oleh adanya krusta. Jika tak ada krusta rasa tersumbat disebabakan oleh berkurangnya sensasi aliran udara atau memang terjadi aliran udara yang lambat karena adanya turbulensi. Rinitis atropi sering menyebabakn sinusitis dan sakit kepala sehingga diagnosisnya membingungkan. Rinitis ini merupakan keadaan kronis pada hidung yang ditandai dengan adanya atrofi yang progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuklah krusta yang berbau busuk. Rintis atrofi sering terjadi pada usia pubertas dan lebih banyak menyerang wanita dibandingkan laki-laki.EtiologiEtiologi utama dari rhinitis atrofi sampai saat ini tidak diketahui dengan jelas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya rinitis atrofi.yaitu: Infeksi kuman spesifik terutama oleh Klebsiella ozaena. Kuman lainnya Streptococcus, Staphylococcus dan Pseudomtmas. Defisiensi Vitamin A Defisiensi Fe Sinusitis Kronis Penyakit kolagen Kelainan hormonalPatologiBeberapa penulis menyatakan bahwa terjadi metaplasia epitel kolumner bersilia menjadi epitel skuamosa. Dimana perubahan ini menyebabkan penurunan jumlah dan ukuran dari kelenjar alveolar. Ada 2 bentuk patologis dari rhinits atrofi yaitu : Tipe 1, karakternya adalah adanya endarteritis dan periarteritis dari ujung terminal arteri yang menghasilkan infeksi kronis Tipe 2, adanya vasodilatasi dari kapiler dan menjadi buruk dengan pemberian terapi estrogen.GejalaGejala yang sering dikeluhkan yaitu hidung tersumbat dan epistaksis. Selain itu adalah hidung (nafas) berbau, ingus kental yang berwarna hijau, krusta dan anosmia. Kadang-kadang disertai dengan sakit kepalaPemeriksaanPada riinoskopi anterior didapatkan konka yang atrofi terutama konka inferior dan media, sekret purulen berwarna hijau dan krusta berwarna hijau.Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu antara lain transiluminasi, roentgen sinus, kultur dan resistensi dari sekret, pemeriksaan darah tepi, Fe serum dan histopatologis.

KonservatifDapat diberikan antibiotika broad spectrum atau sesuai dengan hasil kultur dan resistensi. Dilakukan pencucian hidung dengan larutan fisiologis atau larutan garam hangat. Pemberian preparat vitamin A dan preparat Fe. Bila terdapat komplikasi sinusitis maka terapi sinusitis pun harus diberikan. PembedahanJika pengobatan konservatif tidak adekuat dan gagal, maka dilakukan tindakan operasi.15A. Operasi mengecilkan rongga hidung : 1. Pemindahan dinding lateral hidung ke medial atau membesarkan flap septum sebagai baffle untuk mempersempit rongga hidung.2. Operasi penutupan hidung: baik penutupan lengkap menggunakan penutup kulit ruang depan hidung selama 6 bulan sampai 3 tahun (metode Young) atau penutupan parsial meninggalkan 3 mm (pernapasan mulut dan suara hidung). 3. Penutupan koana posterior dengan busa karet selama 6 bulan.4. Pharyngoplasty menggunakan flap faring untuk mengurangi aliran udara hidung. a. Keuntungan: Prosedur-prosedur ini menurun aliran udara yang mengurangi kekeringan mukosa hidung dan pembentukan krusta.

b. Kerugian: Gejala timbul lagi setelah oklusi dihilangkan. Prosedur penutupan mungkin tidak ditoleransi oleh beberapa pasien yang terbiasa bernafas dari hidung. 5. Implan hidung ditempatkan di bawah mucoperichondrium dari septum atau mucoperiosteum dari lantai atau dinding lateral. Ini termasuk: a. Autogenous implan misalnya tulang, tulang rawan, lemak, dermofat. - Menanamkan jaringan plasenta. - Submukosa injeksi minyak parafin. - Bahan sintetis lainnya termasuk Acrylic, silikon, teflon, polythene dan silastic. Keuntungan : Hasil segara dirasakan. Kekurangan: penyembuhan lama karena penyerapan tulang dan tulang rawan atau sesekali ekstrusi implan sintetis. B. Prosedur denervasi: Simpatektomi serviks. Blokade ganglion. Blok ganglion sphenopalatine C. Prosedur irigasi saluran saliva :Re-implantasi duktus parotis ke dalam sinus maksilarisPrognosis: Setelah usia 40 tahun penyakit akan menunjukkan penurunan yang signifikans.3.5 PENATALAKSANAAN RINITIS NON ALERGI 1, 9Manajemen Non Bedah : Posisi tidur kepala 30o Menghindari alergen Pemberian dekongeslan oral, tapi hati-hati pada hipertensi, kardiak aritmia dan glaukoma Bila tidur dan bekerja pada lingkungan cool-air, usahakan tubuh dalam keadaan hangat Obat pencuci hidung Antihistamin, dekongestan dan antibiotikManajeman bedah : Kauterisasi konka dan submukosa Kauterluksasi konka Reseksi submukosa tulang konka Konkotomi parsial Konkotomi total

BAB IVSIMPULAN

Rinitis non alergi merupakan suatu kelainan pada hidung dengan obstruksi, hipesekresi dan hiperiritabi1itas dimana alergi sebagai etiologi tidak dapat diidentifikasi (skin test negatif dan bukan melalui perantaraan IgE).Meskipun penyakit ini bukan penyakit yang dapat menyebabkan kematian, tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat menurunkan kualitas hidup, mengganggu fungsi fisik dan psikis, gangguan dalam pekerjaan, gangguan fungsi sosial serta gangguan stabilitas emosi.Terdapat banyak penyebab rinitis non alergi yang membutuhkan kemampuan seorang klinisi untuk dapat secara efektif menegakkan diagnosis dan melakukan penatalaksanaan yang benar. Etiologi rinitis non alergi terdiri dari : rinitis hormonal, rinitis vasomotor, rinitis non alergi sindrom eosinofilia, rinitis karena okupasi, rinitis karena drug-induced, rinitis gustatori dan rinitis atropi.Berbagai bentuk penatalaksanaan rinitis non alergi termasuk secara farmakologi dan prosedur pembedahan tergantung dari faktor etiologinya. Untuk dapat menegakkan diagnosa serta memberikan penatalaksanaan yang baik harus dilakukan anamnesa dan pemeriksaan THT yang cermat dan teliti, serta dibantu dengan pemeriksaan penunjang, seperti sitologi sekret hidung dan radiologi.

DAFTAR PUSTAKA1 Newlands Shawn D, Non Allergie Rhinitis dalam: Bailey Byron J.and Jonas T. Johnson. Head and Neck Surgery Otolaryngology, 4th edition. Volume 1. Philadelphia: Lippincot, William and Wilkins, 2006 : 351 - 364.2 Snow James B. and John Jacob Ballenger. Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 16th Edition. Hamilton, Ontario : BC Decker Inc., 2003.63-73 Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL. Modul Hidung-Rinitis non alergi. 2008.4 Hollinshead W.H. 1966. The Nose and Paranasal Sinuses. In: Anatomy for Surgeon: The Head and Neck. Vol. I. A Hoeber - Harper International. Minnesota. Hal: 229- 280.5 Kahle W. Helmut Leonhardt, dan W. Platzer. Atlas dan Buku Teks Anatomi Manusia, bagian 2. Alat-alat Dalam. Alih bahasa : dr. H. Tonang. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 1990 : 107-126 Netter Frank H. Netter's Atlas of Human Anatomy. New York: Saunders, 2002 : 548-537 ARIA workshop 2007. Management of Alergic Rhinitis and its Impact on Asthma.8 Guidline Penyakit THT-KL di Indonesia

9 Mygind N, Naclerio R.M. 1993. Allergic and Non Allergic Rhinitis, Clinical Aspects. Munksgaard Copenhagen. Hal: 11 - 24, 82 - 94, 153 - 83.10 Maran A, Lung V.J, Tardy M.H. 1990. Basic Sciences; Injection and Non neoplastic Disease. In: Clinical Rhinology. Thicme Med pub. Inc. New York. Hal: 5-41; 59-6311 Koren, Gideon. Maternal- Fetal Toxicology: A Clinicians' Guide. Marcel Dekker Inc. 1994.12 Fairbanks. David N.F: Raphael, Gordon D. Non Allergic Rhinitis and Infection. In: Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 2nd ed. Edited by: Cummings, Fredrickson. Harker, Krause, & Schuller. Mosby Year Book. St Louis, Missouri. 1993. Hal: 775 - 785.13 Bernstein, Joel M. Hated Polyps. In: Disease of the Sinuses: Diagnosis and Management Edited by: Kennedy D.W, Biger WE, Zinrich S.J. BC Becker Inc. London. 2001. Hal: 69 - 76.14 Jones AS.. Intrinsic Rhinitis. In : Scott-Brown's Otolaryngology. Edited by : Alan G. Kerr . 6th, Butterworth Heinemann London. 1997. Hal : 4/9/11 - 14.15 Sharan R. Relative roles of various surgical techniques in atrophic rhinitis dalam Indian Journal of Otolaryngology and Head & Neck Surgery. 2008

RINITIS NON ALERGI

REFERAT RHINOLOGI-ALERGI

A L E X131421080007

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala LeherFakultas Kedokteran Universitas PadjadjaranBandung 2010

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..iBAB BAB I PENDAHULUAN.1BAB II ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL....32.1. HIDUNG BAGIAN LUAR....32.2. HIDUNG BAGIAN DALAM (KAVUM NASI).....122.3. ANATOMI SINUS PARANASAL 262.4. FISIOLOGI HIDUNG .322.5. FISIOLOGI SINUS PARANASAL 40BAB III RINITIS NON ALERGI ..453. DEFINISI 453. ETIOLOGI ...4390t3. LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS RINITIS NONALERGI ..443. KLASIFIKASI RINITIS NON ALERGI ....463. Rinitis hormonal .473. Rinitis Vasomotor (RV) ..493. Rinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia (NARES) ...523. Rinitis akibat lingkungan kerja (occupational rhinitis) 533. Rinitis karena pemakaian obat (drug induce rhinitis) ..543. Rinitis gustatory 583. Rinitis atropi ..593. PENATALAKSANAAN RINITIS NON ALERGI 62BAB IV SIMPULAN .64DAFTAR PUSTAKA .65