Refer At
-
Upload
yuda-arie-dharmawan -
Category
Documents
-
view
218 -
download
2
description
Transcript of Refer At
![Page 1: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/1.jpg)
REFERAT
HIPERTENSI RESISTEN
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Badan Rumah Sakit Daerah Wonosobo Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Diajukan Kepada :
dr. H. Suprapto, Sp. PD
Disusun Oleh :
Yuda Arie Dharmawan
20110310195
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
BADAN RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
1
![Page 2: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/2.jpg)
HALAMAN PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui Referat dengan judul :
HIPERTENSI RESISTEN
Tanggal : MEI 2016
Tempat : RSUD Setjonegoro Wonosobo
Oleh :
Yuda Arie Dharmawan
20110310195
Disahkan oleh :
Dokter Pembimbing
dr. H. Suprapto, Sp. PD
2
![Page 3: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/3.jpg)
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, petunjuk dan
kemudahan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat
“HIPERTENSI RESISTEN”.
Referat ini terwujud atas bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak
ternilai kepada:
1. dr. H. Suprapto, Sp.PD selaku dokter pembimbing dan dokter spesialis
Penyakit Dalam RSUD Wonosobo.
2. dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.PD selaku dokter spesialis Penyakit Dalam RSUD
Wonosobo.
3. dr. Widhi, P.S., Sp.PD selaku dokter spesialis Penyakit Dalam RSUD
Wonosobo.
4. Teman-teman koass serta tenaga kesehatan RSUD Wonosobo yang telah
membantu penulis dalam menyusun tugas ini.
Dalam penyusunan Referat ini, penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran membangun demi
kesempurnaan penyusunan Referat di masa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Wonosobo, Mei 2016
Penulis
3
![Page 4: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/4.jpg)
DAFTAR ISI
REFERAT 1
HALAMAN PENGESAHAN 2
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI 4
BAB I 5
PENDAHULUAN 5
BAB II 7
TINJAUAN PUSTAKA 7
A. Definisi 7
B. Prevalensi 7
C. Etiologi 8
D. Patofisiologi 11
E. Diagnosis 15
F. Penatalaksanaan 16
G. Prognosis 27
BAB III 28
KESIMPULAN 28
DAFTAR PUSTAKA 29
4
![Page 5: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/5.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7) guidelines
tahun 2003, hipertensi resisten (HR) didefinisikan sebagai kegagalan untuk mencapai
target tekanan darah <140/90 mmHg pada populasi umum hipertensi dan <130/80
mmHg pada pasien dengan diabetes atau penyakit ginjal kronik (PGK) ketika pasien
mematuhi dosis optimal suatu rejimen yang tepat dari 3 obat antihipertensi, termasuk
diuretik. Definisi di atas tidak berlaku untuk pasien yang baru saja didiagnosis
hipertensi dan/atau belum menerima pengobatan yang sesuai terlepas dari tingkat
tekanan darah (Robert, 2012; Chobanian et al., 2003; Pantelis, 2011).
Selain itu, HR tidak identik dengan hipertensi tidak terkontrol, yang
mencakup semua pasien hipertensi tidak terkontrol dengan pengobatan, yaitu mereka
yang menerima rejimen pengobatan yang tidak memadai, tingkat kepatuhan yang
rendah, hipertensi sekunder yang tidak terdeteksi dan mereka yang benar-benar
resisten terhadap pengobatan. Dengan definisi ini, pasien dengan HR dapat mencapai
control tekanan darah dengan dosis penuh 4 atau lebih obat antihipertensi (Pantelis
and George, 2008; Pierdomenico et al., 2005). Hipertensi resisten merupakan faktor
risiko utama dari berbagai penyakit, sehingga terjadi peningkatan kejadian penyakit
jantung iskemik, gagal jantung, kejadian serebrovaskular, dan disfungsi ginjal.
Hipertensi dikatakan resisten terhadap pengobatan ketika strategi terapi yang
mencakup modifikasi gaya hidup yang tepat ditambah penggunaan diuretik dan dua
obat antihipertensi lain dari kelas yang berbeda pada dosis yang memadai (tapi tidak
harus termasuk antagonis reseptor mineralokortikoid) gagal untuk menurunkan angka
tekanan darah ke < 140/90mmHg. Lebih jauh, prevalensi hipertensi yang tidak
terkontrol juga meningkat, meskipun terjadi kemajuan dalam farmakoterapi. Pasien
dengan pengobatan hipertensi resisten (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg) meskipun
5
![Page 6: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/6.jpg)
telah menggunakan ≥ 3 obat antihipertensi, termasuk diuretik, sering memiliki faktor
risiko tinggi untuk kejadian penyakit jantung dan akibatnya beresiko lebih tinggi
mengalami kerusakan organ serta morbiditas kardiovaskular. Penyebab hipertensi
resisten bervariasi seperti hipertensi white-coat, ketidakpatuhan terhadap terapi obat,
dan pilihan obat atau dosis yang tidak tepat, maka estimasi proporsi pasien dengan
rentang dirawat karena hipertensi 5-16%
6
![Page 7: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/7.jpg)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Hipertensi resisten didefinisikan sebagai tekanan darah yang tetap diatas
tujuan dengan penggunaan 3 agen antihipertensi dari kelas yang berbeda. Secara
ideal, satu dari 3 agent harus diuretic; dan semua agen harus diresepkan pada jumlah
dosis yang optimal. Meskipun penggunaan terhadap sejumlah medikasi diperlukan,
maka hipertensi resisten didefinisikan untuk mengidentifikasi pasien yang berada
pada resiko tinggi untuk mempunyai penyebab hipertensi yang reversible dan atau
pasien yang, karena tekanan darah yang persisten, dapat menguntungkan dari
diagnosis khusus dan pertimbangan terapetik. Sebagaimana didefinisikan, hipertensi
resisten termasuk pasien yang tekanan darahnya terkontrol dengan penggunaan lebih
dari 3 obat. Yaitu, pasien yang tekanan darahnya terkontrol tetapi membutuhkan 4
atau lebih medikasi dipertimbangkan digolongkan kedalam resisten terhadap
pengobatan.
B. PREVALENSI
Prevalensi pasti HR tidak diketahui, meskipun meningkatnya jumlah studi
klinis pada HR dalam dekade terakhir. Beberapa studi menduga prevalensi HR
sekitar 5% sampai 50% di praktek umum, atau lebih tinggi di klinik nefrologi,
termasuk pasien-pasien dengan PGK (Pantelis, 2011). Prevalensi HR pada populasi
umum sulit untuk ditentukan secara akurat, tergantung pada populasi dan laporan-
laporan yang berkisar dari 5% sampai 30%. Dalam klinik spesialis yang
menggunakan rejimen antihipertensi optimal, prevalensi berkisar 3-5% (Vasilios et
al., 2011). Prevalensi HR diperkirakan akan semakin meningkat karena
meningkatnya harapan hidup dan prevalensi faktor-faktor yang umumnya terkait
dengan HR seperti obesitas, diabetes, dan PGK (Robert et al., 2009).
7
![Page 8: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/8.jpg)
Dalam analisis saat ini, peserta National Health and Nutrition Examination
Survey (NHANES) ditangani untuk hipertensi, hanya 53% yang terkontrol hingga
<140/90 mmHg. Pada analisis cross sectional dari peserta Framingham Heart Study ,
hanya 48% dari pasien yang ditangani terkonrol hingga <14090 mmHg dan kurang
dari 40% dari peserta yang lebih tua (>75 tahun usia) berada pada tekanan darah yang
tercapai. Diantara populasi yang berada pada resiko tinggi, dan pada sebagian,
dengan aplikasi tekanan darah lebih rendah dari tujuan pada Seventh Report of the
National Joint Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure (JNC 7) untuk pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit
ginjal kronik (CKD), proporsi dari pasien yang tidak terkontrol adalah lebih tinggi.
Dari peserta NHANES dengan penyakit ginjal kronik, hanya 37% yang terkontrol
hingga <130/80 mmHg dan hanya 25% dari peserta dengan diabetes terkontrol
hingga <130/85 mmHg.
Hipertensi yang tidak terkontrol tidaklah sama dengan hipertensi resisten.
Sebelumnya hal ini termasuk pasien yang kurang control tekanan darah sekunder
akibat kepatuhan yang kurang dan atau regimen terapi yang inadekuat sebagaimana
pada mereka dengan resisten terapi yang sesungguhnya. Untuk secara akurat
membedakan prevalensi hipertensi resisten, studi pemaksaan titrasi yang besar,
hipertensi diverse kohort akan dibutuhkan. Studi seperti ini belum selesai dilakukan
tetapi studi hasil hipertensi saat ini menawarkan alternative sebagai medikasi pada
studi ini yang biasanya disediakan dengan tidak ada biaya, kepatuhan diawasi dengan
ketat, dan titrasi medikasi pada studi ini didiktekan per protokolnya. Dalam hal ini
Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial
(ALLHAT) dapat menjadi yang paling relevant sebagaimana hal ini memasukkan
sejumlah besar peserta yang berbeda sevara ethnic (>>33000) : 47% wanita, 35%
African American, 19% Hispanic, dan 36% dengan diabetes.
C. ETIOLOGI
Hipertensi resisten dapat dibagi menjadi dua kategori utama: false HR, dan
true HR. Prevalensi false HR tampaknya jauh lebih tinggi dari true HR (Robert,
2012).
8
![Page 9: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/9.jpg)
1. False Hipertensi Resisten
Penyebab penting false HR adalah ketidakpatuhan pasien dalam memperbaiki
pola hidup atau penggunaan obat antihipertensi. Sejumlah pasien menghentikan
pengobatan antihipertensi mungkin karena berbagai alasan, seperti efek samping dan
biaya obat-obatan, perawatan yang kurang konsisten dan berkesinambungan, kurang
kuatnya motivasi dokter, tidak memahami instruksi yang diberikan, dan hambatan
sosial budaya. Selain itu, dokter juga mungkin tidak patuh dan gagal untuk mengikuti
panduan pengobatan hipertensi (Robert, 2012; Vasilios et al.,2011). Saat pengukuran
tekanan darah, manset harus cukup besar sehingga udara mengelilingi setidaknya
80% dari lingkar lengan atas dan meluas paling sedikit dua pertiga panjangnya. Hasil
pengukuran tekanan darah dapat berlebihan ketika manset yang digunakan terlalu
kecil untuk lengan (Robert, 2012; Pantelis and George 2008; Pantelis, 2011). Sekitar
20-25% pasien- pasien dengan tekanan darah ≥140/90 mm Hg memiliki tekanan
darah yang normal pada pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure
Monitoring- ABPM). Hipertensi office atau white coatini harus dicurigai pada
pasien-pasien yang selama pengobatan menunjukkan tanda-tanda hipotensi ortostatik
dan pada pasien dengan hipertensi kronis tanpa kerusakan organ target (Robert, 2012;
Pantelis and George 2008; Pantelis, 2011).
2. True Hipertensi Resisten
Hipertensi resisten dapat disebabkan oleh penyebab sekunder yang berpotensi
dapat disembuhkan, seperti stenosis arteri renal/renal artery stenosis (RAS) dan
feokromositoma. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa aldosteronisme
primer/primary aldosteronism (PA) lebih sering terjadi pada pasien-pasien hipertensi,
dengan prevalensi sekitar 20% pada pasien-pasien HR (Calhoun, 2002).
9
![Page 10: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/10.jpg)
Suatu studi kasus kontrol melaporkan hubungan independen dengan odds
ratio 5,0 antara OSA dan HR yang didiagnosis pada klinik hipertensi. Peningkatan
derajat berat- nya OSA berhubungan dengan peningkatan resiko HR. Kelebihan
volume cairan tubuh akibat asupan garam berlebih, terapi diuretika tidak memadai,
penurunan fungsi ginjal progresif juga berhubungan dengan HR. Selain itu, sejumlah
obat-obatan seperti OAINS, kokain, amfetamin, simpatomimetik, kontrasepsi oral,
siklosporin, takrolimus, erhythropoietin, kortikosteroid, liquorice, dan beberapa
senyawa herbal(ephedra, ma huang) dapat langsung meningkatkan tekanan darah atau
menurunkan efektivitas obat-obat antihipertensi. Obesitas dan konsumsi alkohol
berlebih dapat meningkatkan resiko HR dan apakah faktor genetik memainkan peran
dalam HR saat ini masih dalam penelitian (Robert, 2012; Pantelis and George 2008;
Pantelis, 2011).
10
![Page 11: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/11.jpg)
D. PATOFISIOLOGI
Sejumlah mekanisme fisiologis terlibat dalam pengaturan tekanan darah, dan
gangguan mekanisme ini mungkin memainkan peran kunci terjadinya hipertensi. Di
antara faktor-HIPERTENSI RESISTEN faktor lain, seperti faktor genetik, aktivasi
sistem saraf simpatik/sympathetic nervous system (SNS) dan system
reninangiotensin-aldosteron, asupan garam berlebih serta gangguan antara
vasokonstriktor dan vasodilator telah terlibat dalam patofisiologi hipertensi.
Walaupun peran faktor di atas dalam pathogenesis hipertensi telah diketahui,
keterlibatan faktor-faktor ini dalam menyebabkan HR belum begitu diketahui secara
menyeluruh (Vasilios et al., 2011; Costas et al., 2011). Faktor prediktor terkuat
kurangnya kontrol tekanan darah adalah usia tua, tekanan darah awal yang tinggi,
obesitas, konsumsi garam berlebihan dan PGK. Telah diketahui hubungan antara
penuaan dan aktivasi SNS, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa seluruh aktivitas
saraf simpatik tubuh meningkat dengan penuaan dan indeks aktivitas simpatis
terutama muscle sympathetic nerve activity lebih terkait dengan tekanan darah pada
orang tua (Vasilios et al., 2011; Costas et al., 2011).
Selain penuaan, obesitas, hiperaldosteronisme dan OSA merupakan
karakteristik HR. Studi kohort pasien dengan HR, indeks massa tubuh rata-rata lebih
dari 32 kg/m2 dan prevalensi hiperaldostero- nisme sekitar 20%, sedangkan HR
memiliki prevalensi yang sangat tinggi pada pasien-pasien dengan OSA (Calhoun,
2002; Logan, 2001; Costas et al., 2011). Selain itu, diantara subyek HR,
hiperaldosteronisme lebih sering terjadi pada pasien yang didiagnosis dengan OSA
dibandingkan pasien yang berisiko rendah untuk OSA. Data-data yang ada bahwa
OSA, hiperaldosteronisme dan obesitas tidak hanya merupakan komorbiditas umum
pada HR tetapi kondisi ini juga berinteraksi dalam proses terjadinya HR. Meskipun
mekanisme yang menghubungkan kondisi ini dengan HR tidak sepenuhnya dapat
dijelaskan, peningkatan aktivitas SNS mungkin merupakan kondisi terpenting yang
mendasari terjadinya HR (Costas et al., 2011). (Gambar 1).
11
![Page 12: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/12.jpg)
1. Faktor Gaya Hidup
a. Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan hipertensi yang lebih berat, sebuah
kebutuhan meningkat untuk sejumlah medikasi antihipertensi dan
peningkatan dari keadaan yang tidak pernah mencapai tujuan tekanan darah.
Sebagai konsekuensinya. Obesitas merupakan penyebab gambaran dari pasien
yang mempunyai hipertensi resisten. Mekanisme dari obesitas penyebab
hipertensi adalah kompleks dan tidak pernah jelas tetapi termasuk gangguan
sekresi sodium, peningkatan aktivitas system saraf simpatis, dan aktivasi dari
system rennin-angiotensin-aldosteron.
b. Garam Diet
Intake sodium diet berlebihan berkontribusi terhadap perkembangan
hipertensi resisten melalui peningkatan tekanan darah langsung dan dengan
menumpulkan efek lebih rendah tekanan darah pada kebanyakan kasus dari
agen antihipertensi. Efek ini menjadilebih sering terlihat pada pasien sensitive
12
![Page 13: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/13.jpg)
garam yang tipikal, termasuk orang tua. Afro amerika dan terutama pasien
dengan CKD. Meskipun sodium diet berlebihan secara jelas meluas, hal ini
telah secara spesifik didokumentasikan sebagai hal yang sering pada apsien
dnegan hipertensi resisten. Pada sebuah analisis untuk hipertensi resisten,
pemasukan garam diet rata-rata didasari pada 24 jam ekskresi sodium urine
yang dikeluarkan melebuhi 10gram perhari.
c. Alkohol
Intake alcohol yang berat dikaitkan dengan peningkatan resiko
hipertensi, sebagai mana terapi hipertensi resisten. Pada analisis cross
sectiona dari orang dewasa china yang meminum >30 minuman setiap
minggu, resiko untuk mengalam berbagai bentik hipertensi meningkat dari
12% ke 14%, Pada klinik hipertensi Finnish, peminum berat, sebagaimana
didukung dengan peningkatan kadar transaminase hati, lebih jarang untuk
mempunyai tekanan darah yang terkontrol selama 2 tahun follow up
dibandingkan pasien dengan kadartransaminase normal. Secara prospektif,
penilaian dari meminum alcohol yang berat oleh sekelompok kecil pasien
berkurang 24jam dalam tekanan darah sistolik terambulasi hingga 7,2 mmHg
dan tekanan darah diastolic hingga 6,6 mmHg sementara jatuh prevalensi dari
42% ke 12%
d. Sleep Apnea Obstruktif
Obstruktive sleep apnea yang tidak tertangani sangat terkait dengan
orang hipertensi dan normotensive dapat memprediksikan perkembangan
hypertensi. Sleep apnea terutama umum pada pasien dengan hipertensi
resisten. Dalam sebuah evaluasi dari 41 pasien berturut-turut (24 laki-laki, 17
perempuan) dengan hipertensi resisten, 83% yang didiagnosis dengan sleep
apnea yang tidak dicurigai berdasarkan indeks apnea-hypopnea ≥ 10
events/jam. Ada perbedaan signifikan pada jenis kelamin, dengan sleep apnea
yang lebih baik secara umum dan lebih parah dibandingkan dengan pas ien
laki-laki danperempuan. Lintas-kelompok studi menunjukkan bahwa semakin
13
![Page 14: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/14.jpg)
parah sleep apnea, kurang kemungkinan tekanan darah terkendali meskipun
peningkatan penggunaan jumlah obat.
Mekanisme sleep apnea yang berkontribusi pada perkembangan
hipertensi belum sepenuhnya jelas. Efek yang telah dijelaskan dengan baik
adalah hypoxemia intermiten, dan / atau peningkatan resisten saluran nafas
atas yang dengan sleep apnea, mendorong dalam meningkatkan aktivitas
system saraf simpatis (SNS). Peningkatan SNS output akan diharapkan untuk
meningkatkan tekanan darah melalui peningkatan output di jantung dan
resisten perifer serta meningkatkan retensi cairan. Sebagai tambahan, sleep
apnea dikaitkan dengan peningkatan reaktif oksigen spesies yang mengurangi
senyawa pada bioavailabilitas nitrat oksida
e. Aldosteronisme Primer
Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa aldosteronism primer
penyebab umum dari hipertensi dibandingkan riwayat demografis. Evaluasi
pada lebih dari 600 pasien dengan hipertensi, prevalensi hyperaldosteronism
primer ditemukan menjadi 6,1%. Dalam studi ini, prevalensi dari
aldosteronism primer bervariasi sesuai dengan beratnya hipertensi, dengan
prevalensi 13% di antara pasien dengan hipertensi berat (180/110 mm Hg).
Penting Dari sudut klinis, dalam kajian ini dan dokumentasi lain-lain yang
tinggi prevalensi aldosteronism primernya, serum kalium tingkat rendah yang
jarang pada pasien dikonfirmasi memiliki dasar aldosteronism, menyatakan
bahwa akhir hypokalemia merupakan manifestasi dari awal gangguan
perkembangan hipertensi
Aldosteronism primer adalah umum pasien pada hipertensi resisten
dengan prevalensi sekitar 20%. Dalam sebuah evaluasi pasien yang dirujuk ke
klinik khusus hipertensi, penyelidik di Universitas Alabama di Birmingham
menemukan bahwa 18 dari 88, atau 20%, turut dievaluasi resistesi pasien
yang didiagnosis dengan hipertensi aldosteronism primer berdasarkan
supressi aktivitas renin dan 24-jam urine ekskresi aldosterone dari makanan
yang tinggi intake sodium. Prevalensi aldosteronism perimer adalah serupa
pada pasien Afrika dan Amerika. Dalam studi yang dilakukan di Seattle,
14
![Page 15: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/15.jpg)
Washington, aldosteronism primer didiagnosis pada 17% pasien dengan
hipertensi resisten. Demikian pula, penyelidik di Oslo, Norwegia,
membenarkan laporan pada aldosteronism primer pada 23% dari pasien
dengan hipertensi resisten
Seperti pada umumnya populasi hypertensive, untuk pasien dengan
kelebihan rangsangan aldosterone pada hipertensi resisten belum
teridentifikasi. Aktivasi umum sistem renin-angiotensin-aldosterone sistem
dideskripsikan dengan obesitas, sementara studi lainnya menunjukkan
pelepasan adipocytes Mei secretagogues yang merangsang pelepasan
aldosterone independen dari angiotensin-II. Selain itu, hasil awal
berhubungan dengan kelebihan aldosterone pada pasien sleep apnea dan
hipertensi resisten. Meskipun efek dan penyebab belum konfirmasi, studi ini
menunjukkan bahwa peningkatan terjadinya aldosteronism primer mungkin
terkait dengan meningkatnya insidensi obesitas.
E. DIAGNOSIS
Hipertensi resisten didefinisikan sebagai tekanan darah yang masih di atas
target, meskipun telah digunakan bersama-sama 3 agen antihipertensi dari kelas yang
berbeda. Idealnya, salah satu dari ke 3 obat tersebut haruslah diuretik dan semua obat
harus diresepkan pada jumlah dosis yang optimal. Menurut definisi diatas, HR
termasuk pasien yang menggunakan lebih dari 3 obat untuk mengendalikan tekanan
darah (Pantelis and George, 2008; Calhoun et al., 2008). Tekanan darah harus diukur
setelah pasien duduk/istirahat selama lima menit, posisi lengan setinggi jantung dan
menggunakan manset berukuran sesuai yang telah dikalibrasi. Pasien harus ditanya
apakah merokok dalam 15-30 menit sebelum pengukuran tekanan darah, karena
merokok dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik 5-20 mm Hg.
Menghindari kopi juga dianjurkan, meskipun peningkatan tekanan darah sistolik
biasanya hanya 1-2 mmHg setelah minum 1 cangkir kopi berkafein (Marvin and
John, 2006). Diagnosis didasarkan pada temuan setidaknya 2 pengukuran tekanan
darah (pengukuran rutin di kamar periksa dan ABPM), meskipun telah menggunakan
15
![Page 16: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/16.jpg)
rejimen yang mengandung tiga obat. Pemeriksaan fisik dan laboratorium rutin
diperlukan untuk mencari bukti adanya kerusakan organ target yang berkaitan dengan
hipertensi dan factor risiko kardiovaskular lainnya (Jennifer and David, 2009;
Chobanian et al., 2003). Beberapa pasien yang didiagnosis HR memiliki tekanan
darah normal di rumah. Fenomena ini hanya bersifat sementara atau disebut "white-
coat hypertension," physician’s office resistant hypertension. Ambulatory blood
pressure monitoring dapat membedakan jenis hipertensi ini dari hipertensi yang
benar-benar resisten (Marvin and John, 2006; Burnier et al., 2001).
F. PENATALAKSANAAN
Hipertensi resisten hampir selalu memiliki etiologi yang multifaktorial.
Penatalaksanaan HR diawali dengan identifikasi dan modifikasi faktor gaya hidup,
memastikan kepatuhan pengobatan, menghentikan obat-obatan yang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah, mengobati penyebab sekunder dari
hipertensi, dan penggunaan obat-obatan yang efektif untuk mengendalikan tekanan
darah. Diet rendah garam, olahraga teratur, penurunan berat badan, mengurangi
asupan alkohol, dan berhenti merokok harus secara rutin dianjurkan dan obat-obatan
antihipertensi harus diresepkan pada dosis toleransi maksimum (Robert, 2012;
Pantelis and George 2008; Jennifer and David, 2009). Evaluasi fenomena "white-
coat", atau kondisi terkait dan penyebab sekunder seperti OSA, PA, PGK atau
penyakit renovaskular harus dilakukan. Dosis tidak memadai, kurangnya penggunaan
diuretik kerja panjang, dan kombinasi suboptimal didapati sebagai penyebab pada
hampir separuh pasien dengan HR. Farmakoterapi untuk HR diawali dengan
memastikan pasien menerima terapi sesuai indikasi seperti tertera dalam pedoman
JNC-7 (Jennifer and David, 2009; Marvin and John, 2006; Cora and Michael, 2008).
1. Non Farmakologik
Pengobatan nonfarmakologis difokuskan pada penurunan berat badan,
pembatasan diet garam (<100 mEq/24 jam), mengurangi konsumsi alcohol
berhenti merokok, aktivitas fisik, dan konsumsi makanan tinggi serat, rendah
lemak, kaya buah-buahandan sayuran. Penurunan berat badan belum diteliti
16
![Page 17: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/17.jpg)
secara khusus pada pasien dengan HR tetapi telah diketahui dapat mengurangi
baik tekanan darah sistolik dan diastolic pada pasien hipertensi (Robert, 2012;
Jennifer and David, 2009)
a. Penurunan Berat Badan
Berat badan, walaupun tidak secara khusus dievaluasi pada pasien
hipertensi resisten, yang jelas memiliki keuntungan dalam hal mengurangi
tekanan darah dan seringkali memungkinkan untuk pengurangan dalam
jumlah resep obat. Sebuah review jangka panjang studi berat badan
menunjukkan bahwa 10 kg berat badan adalah terkait dengan pengurangan
rata-rata 6,0 mm Hg systolic dan 4,6 mm Hg pengurangan tekanan darah
diastolic. Sebelumnya, meta analisis randomized, dikontrol, uji berat badan
menemukan keuntungan yang besar, setidaknya untuk penurunan tekanan
darah diastolic, pasien sudah menerima therapy antihypertensive. Walaupun
sulit untuk mencapai dan bahkan lebih sulit untuk mempertahankan, berat
badan harus didorong dalam setiap pasien dengan hipertensi yang resisten
baik kegemukan atau obese.
b. Batasan Diet Garam
Manfaat dari diet garam adalah pengurangan secara umum pasien
hypertensive diamati dengan penurunan systolic dan tekanan darah diastolic
dari 5-10 dan ke 2 6 mm Hg. pasien Afrika-Amerika dan orang tua cenderung
lebih besar untuk menampilkan keuntungan. pengurangan diet garam belum
secara khusus dievaluasi pada pasien dengan hipertensi resisten. Namun, pada
evaluasi pasien yang tekanan darah yang tidak terkendali kombinasi dari ACE
inhibitor dan hydrochlorothiazide, diet rendah garam tekanan darah systolic
dan diastolic pada 1 bulan tindak lanjut adalah 8 dan 9 mm Hg. Dengan
demikian, pembatasan diet garam, ideal untuk kurang dari 100 mEq dari
sodium/24-hour, harus disarankan untuk semua pasien dengan hipertensi
resisten.
c. Pengurangan asupan alcohol
Baik oleh perubahan efek negatif fisiologis dan/atau perbaikan dalam
ketaatan obat, penghentian dari berat proses meminum alkohol secara
17
![Page 18: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/18.jpg)
signifikan dapat meningkatkan kontrol hipertensi. Harian asupan alkohol
harus dibatasi untuk tidak lagi dari 2 minuman (1 ounce of ethanol) per hari
(misalnya, dari 24 ounces bir, 10 ounces anggur, atau 3 ounces bukti
minuman keras dari 80) untuk kebanyakan laki-laki dan 1 minuman per hari
untuk perempuan-ringan atau berat orang
d. Peningkatan Aktifitas Fisik
Dalam sekelompok kecil orang Afrika-Amerika dengan hipertensi
berat(Tanpa systolic 180 atau darah diastolic tekanan 110 mm Hg yang
diterima hingga 3 antihypertensive agen untuk menurunkan tekanan darah
diastolic oleh 10 mm Hg dan / atau hingga 95 mm Hg), 16 bulan aerobik
latihan
(stationary bersepeda 3 kali seminggu) menurunkan tekanan darah 5 mm Hg
systolic dan tekanan darah diastolic 7 mm Hg, walaupun yang kedua adalah
tidak mengubah statistik significant. Penurunan tekanan darah diastolic
dipertahankan setelah 32 minggu latihan, bahkan dengan penarikan beberapa
obat antihypertensive. Dalam sebuah meta analisis yang termasuk studi kedua
normotensive dan hypertensive cohorts, latihan aerobik diproduksi rata-rata
penurunan dari 4 mm Hg dalam systolic dan 3 mm Hg dalam tekanan darah
diastolic. Berdasarkan pengamatan manfaat ini, pasien harus digalakkan untuk
melakukan minimal 30 menit di paling hari dalam seminggu
e. Makanan Tinggi Serat-Diet Rendah Lemak
Proses menelan makanan yang kaya buah-buahan dan sayuran; tinggi
dalam rendah lemak-produk susu, potassium, magnesium, dan kalsium;
rendah dan total jenuh lemak (Pendekatan diet untuk Hipertensi atau berhenti
Dash diet) dikurangi dan systolic tekanan darah diastolic oleh 11,4 dan 5,5
mm Hg lebih, masing-masing, dibandingkan dengan kontrol diet di
hypertensive patients. Manfaat dari suatu diet belum dievaluasi secara
terpisah pada pasien dengan hipertensi resisten, tetapi beberapa derajat
penurunan tekanan darah terjadi.
18
![Page 19: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/19.jpg)
2. Farmakologik
Terapi farmakologis harus difokuskan pada penggunaan diuretik, dengan
thiazide diuretik pada sebagian besar pasien dan loop diuretik untuk pasien
dengan penurunan laju filtrasi glomerulus. Rekomendasi yang dianjurkan
adalah kombinasi dari diuretik thiazide dengan long acting calcium channel
blocker (CCB) dan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) atau
angiotensin receptor blocker (ARB) (Calhoun, 2007). Chlorthalidone
mungkin lebih disukai dari pada hidroklorotiazid, khususnya pada pasien
dengan HR (Jennifer and David, 2009). Rejimen terapi keempat, kelima, dan
keenam dapat ditambahkan berdasarkan pertimbangan karakteristik individu
sesuai rekomendasi pengobatan JNC-7 (Jennifer and David, 2009). Rejimen
lain yang dapat dipertimbangkan termasuk antagonis mineralokortikoid, beta
blocker, kombinasi alpha-beta blocker, atau agen vasodilatasi langsung
(hydralazine atau minoxidil) (LampiranI. Gbr. 3) (Cora and Michael, 2008).
a. Aktivasi Baroreflex Karotis
Saat ini telah dikembangkan suatu perangkat implan baru (Rheos
Sistem, CVRx, Inc, Minneapolis, Minnesota) yang bekerja dengan
rangsangan listrik pada sinus karotis. Perangkat ini meningkatkan lalu
lintas saraf aferen dari baroreseptor ke pusat kontrol kardiovaskular di
otak, yang kemudian mengurangi aliran simpatis dan tekanan darah
(Ingrid, 2010). Arteri baroreflex mengatur tekanan darah melalui
mekanisme umpan balik negatif. Fisiologi refleks ini, dimana
peningkatan tekanan darah menyebabkan stimulasi karotis dan
baroreseptor arkus aorta, akhirnya menyebabkan penurunan aktivitas
simpatis pada kedua ginjal dan pembuluh darah perifer. Stimulasi
baroreseptor juga dapat mengurangi aktivitas simpatik dan meningkatkan
aktivitas parasimpatis di jantung. Efek ini secara kolektif menyebabkan
penurunan tekanan darah. Aktivasi kronis dari SNS dan dampaknya pada
sistemik atau daerah organspesifik sangat penting dalam proses
terjadinya hipertensi esensial. Aktivasi baroreseptor ini menghasilkan
19
![Page 20: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/20.jpg)
kontrol terhadap refleks alami dari peningkatan tekanan darah. (Gambar
4) (Domenic, 2009; Teba et al., 2012; Guido and Giuseppe 2012).
b. Penolakan Pengobatan Campuran
Obat yang mungkin terganggu dengan kontrol tekanan darah, khususnya
NSAIDs, sebaiknya dihindari atau diambil pada pasien dengan hipertensi resisten.
Namun, karena hal ini sering sulit secara klinis, dosis efektif terendah harus
digunakan setelah turun titration bila memungkinkan. Kapan melakukan
perawatan dengan agen ini, tekanan darah harus dipantau terus sambil mengakui
bahwa untuk penyesuaian antihypertensive hidup yang mungkin menjadi perlu.
Lainnya seperti analgesics nonnarcotic, acetaminophen terkait dengan
peningkatan risiko pengembangan hipertensi, meskipun bila dibandingkan dengan
ibuprofen kecil kemungkinannya tekanan darah memburuk. Dengan demikian,
analgesics jika diperlukan, acetaminophen mungkin lebih baik untuk subjek
dengan NSAIDs pada hipertensi resisten, diakui, bahwa acetaminophen akan
20
![Page 21: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/21.jpg)
memberikan sedikit manfaat jika ada antiinflammatory. Pemantauan terus sambil
mengakui bahwa untuk penyesuaian antihypertensive mungkin menjadi perlu.
c. Terapi Diuretik
Evaluasi pasien dengan hipertensi resisten sebagaimana dimaksud khusus
klinik telah konsisten dalam mencari pengobatan yang resisten adalah pada
bagian yang berkaitan dengan kurangnya atau underuse dari, terapi diuretic.
Setelah pengukuran output jantung, resisten vascular, dan volume intravascular,
penyelidik di Mayo Klinik menemukan bahwa pasien yang dirujuk untuk
hipertensi resisten sering telah tersembunyi perlakuan yang mereka resistance.
Kontrol tekanan darah yang meningkat terutama melalui penggunaan dosis
meningkat dari diuretics. Dalam sebuah evaluasi retrospektif pasien yang dirujuk
ke Rush Universitas Klinik hipertensi, kurangnya kontrol tekanan darah telah
paling sering dikaitkan dengan penggunaan medis suboptimal yang hidup, yang
paling sering dimodifikasi dengan menambahkan diuretic, meningkatkan dosis
yang diuretic, atau mengubah kelas resep diuretic berdasarkan fungsi ginjal
terpisah. Studi itu melaporkan bahwa peningkatan diuresis dengan menggunakan
furosemide meningkatkan tekanan darah signifikan pada 12 pasien orang tua
dengan tekanan darah hipertensi yang tadinya tak terkendalikan pada multidrug
regimens. Studi di atas menunjukkan bahwa pasien dengan hipertensi resisten
sering tidak sesuai volume ekspansi kontribusi terhadap perlakuan resisten seperti
yang diuretic adalah penting untuk memaksimalkan kontrol tekanan darah. Di
sebagian besar pasien, penggunaan yang panjang-thiazide diuretic yang akan
paling efektif. Blinded dalam perbandingan hydrochlorothiazide 50 mg dan 25
mg chlorthalidone harian, yang kedua diberikan 24-jam lebih dpt berjalan
penurunan tekanan darah, dengan perbedaan terbesar terjadi overnight.
Mengingat menunjukkan hasil keuntungan dengan chlorthalidone dan
kemanjuran unggul dibandingkan dengan hydrochlorothiazide, chlorthalidone
harus digunakan pada pasien dengan hipertensi resisten. kontras ke
hydrochlorothiazide, chlorthalidone tersedia sangat sedikit tetap-dosis kombinasi
dan jadi gunakan umumnya akan memerlukan terpisah dosing. Dalam pasien
dengan yang CKD (creatinine clearance <30 mL / menit), loop diuretics mungkin
21
![Page 22: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/22.jpg)
diperlukan untuk efektif volume dan kontrol tekanan darah. Furosemide adalah
yang relatif singkat dan biasanya memerlukan minimal dua kali sehari – dosing.
Atau, loop diuretics dengan durasi yang lebih panjang tindakan, seperti
torsemide, dapat digunakan.
d. Terapi Kombinasi
Sebuah studi menunjukkan kelimpahan dari tambahan keuntungan
antihypertensive dengan menggabungkan 2 agen dari berbagai kelas. Ini terutama
dari thiazide diuretics, yang meningkatkan kontrol tekanan darah signifikan bila
digunakan dalam kombinasi dengan sebagian besar tidak semua kelas agen. Di
Veteran Urusan Single Drug Therapy, pasien tidak terkontrol (tekanan darah
diastolic> 90 mm Hg) pada satu obat antihypertensive ditugaskan secara acak
(thiazide diuretic, zat yg mencegah ACE-blocker, calcium channel blocker, B-
blocker, atau pusat bertindak agonist) yang kemudian randomized ke salah satu
obat yang lain. Jika tekanan darah diastolic masih tidak dikontrol, yang pertama
adalah obat ditambahkan kembali untuk menguji berbagai kombinasi obat-2
kombinasi yang menyertakan thiazide diuretic yang konsisten lebih efektif
daripada kombinasi yang tidak termasuk yang diuretic. Melebihi dari studi 2-obat
kombinasi, ada sedikit data menilai manfaat khusus dari kombinasi dari 3 atau
lebih obat. Dengan demikian, rekomendasi yang spesifik kombinasi multidrug
sangat empiris dan / atau anecdotal. Secara intuitif, tampaknya paling sesuai
untuk melanjutkan untuk menggabungkan agen mekanisme yang berbeda dari
tindakan. Dalam kaitan itu, sebuah triple obat dari zat ACE inhibitor atau ARB,
saluran kalsium blocker, dan thiazide diuretic efektif dan umumnya baik
ditoleransi. Tripel ini dapat dicapai dengan 2 pil dengan menggunakan berbagai
kombinasi dosis tetap. Meskipun-antagonists ditunjukkan dalam pengaturan
penyakit jantung koroner atau gagal jantung congestive, digabungkan
Antagonists, karena kombinasi dual tindakan, mungkin akan lebih efektif sebagai
antihypertensives, walaupun headto-127 Kepala perbandingan dari dosis yang
kurang maksimal. studi saat ini menunjukkan sebuah tambahan keuntungan
antihypertensive aldosterone antagonists pada pasien regimens multidrug tak
terkendali. Pusat yang efektif adalah agen antihypertensive agen tetapi ada yang
22
![Page 23: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/23.jpg)
lebih tinggi insiden efek sampingnya dan kurangnya hasil data. Terakhir,
vasodilators kuat seperti hydralazine minoxidil bisa jadi sangat efektif, khususnya
di tingkat dosis, tetapi efek samping yang umum. Dengan minoxidil khususnya,
refleksif peningkatan denyut jantung dan cairan seperti yang terjadi seiring
dengan penggunaan-blocker dan lingkaran diuretic biasanya diperlukan. Pada
akhirnya, kombinasi dari 3 atau lebih obat-obatan harus disesuaikan pada masing-
masing menjadi dasar pertimbangan sebelum mengambil manfaat, sejarah
kejadian, kontribusi faktor, termasuk seiring proses penyakit seperti CKD atau
diabetes, dan pasien keterbatasan keuangan. Rekomendasi perawatan dalam
pengaturan ini tidak dapat terlalu standar, terutama ketika terjadi diluar obat 3.
Secara luas kesulitan dalam mengendalikan tekanan darah telah
mengakibatkan proliferasi algoritma untuk perawatan resep antihypertensive
sebagai agen dari monotherapy dan kombinasi. Laporan baru-baru ini telah
menyarankan agar menggunakan gabungan dari Zat yg mencegah ACE dan ARB
atau dihydropyridine dan non-dihydropyridine calcium channel blocker
menyediakan signifikan
antihypertensive manfaat tambahan dibandingkan dengan monotherapy berbeda
dengan agents. studi ini, namun belum umumnya digunakan dosis maksimal dari
salah satu gabungan agen, sehingga tidak mungkin untuk mengetahui apakah
tambahan penurunan tekanan darah sangat unik dengan kombinasi atau hanya
titration efek.
e. Pedoman Terapi Antihipertensi Menurut JNC 7
Terapi hipertensi menurut JNC 7 terdiri atas modifikasi gaya
hidup dan terapi farmakologi. Untuk terapi farmakologi, jenis obat
antihhipertensi dan kombinasinya dibedakan berdasarkan derajat
hipertensi dan ada tidaknya compelling indication.
Target Tekanan Darah
Mayoritas pasien hipertensi khususnya pasien yang
berusia ≥ 50 tahun akan mencapai target TDD ketika target
TDS tercapai. Pada pasien hipertensi pada umumnya target
yang harus dicapai untuk menurunkan resiko PKV adalah
23
![Page 24: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/24.jpg)
<140/90 mmHg. Khusus untuk pasien hipertensi dengan
diabetes atau dengan penyakit ginjal, target tekanan darah
adalan <130/80.
Perubahan Gaya Hidup
Terdapat berbagai beberapa golongan obat yang digunakan dalam terapi
antihipertensi, yaitu : diuretik, β-bloker, ACE inhibitor, Angiotensin Reseptor
Blocker (ARB), Calcium Channel Blocker (CCB), vasodilator dan golongan
antihipertensi lain yang penggunaannya lebih jarang dibandingkan golongan obat
yang disebutkan.
Golongan obat antihipertensi :
1) Diuretik
Diuretik tiazid merupakan terapi inisial untuk pasien hipertensi. Diuretik
dapat meingkatkan efektifitas terapi pada terapi kombinasi dengan antihipertensi lain
dalam mencapai tekanan darah target dan sangat terjangkau. Diuretik tiazid diberikan
24
![Page 25: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/25.jpg)
pada terapi inisial baik sebagai monoterapi maupun terapi kombinasi dengan kelas
antihipertensi lain. Diuretik bekerja dengan mendeplesi simpanan natrium tubuh.
Beberapa diuretik juga memiliki efek vasodilatator selain efek diuresisnya. Diuretik
efektif menurunkan tekanan darah 10-15 mmHg pada sebagian besar penderita
hipertensi. Golongan obat ini baik digunakna pada pasien dengan hipertensi esensial
ringan sampai dengan sedang. Efek samping diuretik yang paling sering adalah
deplesi kalium (kecuali diuretik hemat kalium yag malah dapat menimbulkan
hiperkalemi), deplesi magnesium, merusak toleransi glukosa, meningkatkan kadar
lipid serum, meningkatkan kadar asam urat dan mencetuskan gout. Penggunaan
dengan dosis lebih rendah akan menurunkan efek sistemiknya.
2) BB
BB menurunkan tekanan darah terutama dengan menurunkan CJ, dan
menurukan tahanan vaskuler perifer. BB bekerja dengan menghamdat reseptor β
adrenergik baik di jantung, pembuluh darah dan ginjal. Obat ini tidak bekerja di otak
karena tidak menembus sawar darah otak. BB dapat menurunkan jumlah renin
plasma dengan bloking β1 mediated renin release oleh ginjal dan menurunkan
sekresi aldosteron.
3) ACE inhibitor
ACE inhibitor memblok kerja ACE sehingga menghambat konversi
angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga menurunkan jumlah angiotensin II
yang memegang peranan penting dalam pathogenesis hipertensi.
4) ARB
ARB bekerja dengan memblok angiotensin II pada reseptor AT1.
sehingga jumlah angiotensin II plasma akan meningkat. Seperti ACE inhibitor,
ARB menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan resistensi sistemik. ARB
tidak mempengaruhi heart rate dan memiliki efek yang minimal pada CJ di jantung
yang sehat. ARB juga dapat menurunkan marker inflamasi pada pasien
aterosklerosis.
25
![Page 26: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/26.jpg)
5) CCB
CCB menurunkan tahanan vaskuler perifer dan tekanan darah.
Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat influx kalsium pada otot polos
arteri. Berdasarkan penelitian, terjadi peningkatan risiko infark miokard dan
peningkatan mortalitas pada pasien hipertensi yang diterapi dengan nifedipin lepas
cepat. Obat penyekat kalsium lepas lambat mengendalikan tekanan darah lebih baik
dan cocok untuk hipertensi kronik.
6) Aldosteron Receptor Blocker
Golongan aldosteron receptor blocker bekerja dengan menghambat kerja
aldosteron sehingga terjadi penurunan reabsorbsi natrium. Penurunan reabsorbsi
natrium ini kemudian akan menurunkan volume intravaskuler, menurunkan preload
dan akhirnya menurunkan tekanan darah. Contoh golongan obatnya adalah
spironolakton.
7) Antihipertensi lain
Beberapa golongan obat antihipertensi lain adalah :
- Agonis α2 sentral
Contoh obat Agonis α2 sentral adalah metildopa dan klonidin. Obat-
obatan golongan ini menurunkan aliran simpatis dari pusat vasopresor di batang otak
namun membiarkan bahkan meningkatkan sensitivitas baroreseptor. Obat-obatan
golongan ini cenderung menyebabkan sedasi dan depresi mental serta menyebabkan
gangguan tidur termasuk mimpi buruk.
- Golongan obat penyekat saraf adrenergik
Obat-obatan golongan ini menurunkan tekanan darah dengan mencegah
fisiologi normal NE post ganglion saraf simpatis.
26
![Page 27: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/27.jpg)
- Golongan obat penyekat α
Obat penyekat α menurunkan tekanan arteri dengan mendilatasi pembuluh
darah.
- Vasodilatator
Merelaksasi otot polos arteriol sehingga mengurangi tahanan vaskuler
sistemik.
G. PROGNOSIS
Pasien HR sangat berisiko mengalami kerusakan organ target seperti LVH,
penebalan karotid intimamedia, plak karotid, kerusakan retina, dan albuminuria
dibandingkan dengan hipertensi terkontrol. Hipertensi resisten meningkatkan risiko
kejadian kardiovaskular, akibat adanya riwayat hipertensi tidak terkontrol dalam
jangka panjang dan hubungannya dengan diabetes, PGK, dan OSA (Roberto et al.,
2009).
27
![Page 28: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/28.jpg)
BAB III
KESIMPULAN
Hipertensi resisten merupakan masalah medis umum dan prevalensinya
diperkirakan semakin meningkat. Diagnosis HR membutuhkan penggunaan teknik
pengukuran tekanan darah yang baik dan menyingkirkan adanya pseudoresistensi.
Etiologinya hampir selalu multifaktorial dan factor-faktor penyebab yang reversibel
perlu diidentifikasi. Penyebab sekunder HR yang paling sering adalah PA, PGK,
RAS, dan OSA. Terapi farmakologis HR harus didasarkan pada dosis toleransi
maksimum dari beberapa obat anti hipertensi, dimana salah satunya harus
menggunakan diuretik kerja panjang untuk mengontrol kelebihan volume cairan
tubuh.
28
![Page 29: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/29.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Calhoun DA, Nishizaka MK, Zaman MA, et al. Hyperaldosteronism among
black and white subjects with resistant hypertension. Hypertension
2002;40:892-6.
Costas T, Athanasios K, Dimitris F, et al. Pathophysiology of Resistant
Hypertension: The Role of Sympathetic Nervous System. International
Journal of Hypertension Volume 2011, Article ID 642416.
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL Jr,
Jones DW, Materson BJ, Oparil S, Wright JT Jr, Roccella EJ; National
Heart, Lung, and Blood Institute Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure; National High Blood Pressure Education Program
Coordinating Committee. The Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003;289:2560 –2572.
Domenic AS. Baroreflex Activation in Drug-resistant Hypertension. US
Cardiology 2009;29-32
Guido G, Giuseppe M. New therapeutic approaches for resistant hypertension.
JNephrol 2012; 25(03): 276-81.
Jennifer F, David S. Clinical approach in treatment of resistant hypertension.
Integrated Blood Pressure Control 2009;1: 9–23.Pantelis AS, George
LB. Resistant Hypertension: An Overview of Evaluation and
Treatment. J. Am. Coll. Cardiol. 2008;52;1749-57.
Marvin M, John FS. Resistant or Difficult-to-Control Hypertension. N Engl J
Med 2006;355:385-92.
Mosso L, Carvajal C, González A, Barraza A, Avila F, Montero J, Huete A,
Gederlini A, Fardella CE. Primary aldosteronism and hypertensive
disease. Hipertensi. 2003;42:161–165.
29
![Page 30: Refer At](https://reader034.fdokumen.com/reader034/viewer/2022042721/577c78c01a28abe05490af7c/html5/thumbnails/30.jpg)
Pantelis AS. Epidemiology of Resistant Hypertension. The Journal of Clinical
Hypertension July 2011; 13(7):523-28.
Pierdomenico SD, Lapenna D, Bucci A, et al. Cardiovascular outcome in
treated hypertensive patients with responder, masked, false resistant,
and true resistant hypertension. Am J Hypertens. 2005;18(11):1422–
28.
Robert HF. Resistant hypertension. Heart 2012;98:254-61.
Roberto P, Mustafa IA, David AC. Characterization and Treatment of
Resistant Hypertension. Curr Cardiol Rep. 2009 November; 11(6):
407–413.
The ALLHAT Officers and Coordinators for the ALLHAT Collaborative
Research Group. Major outcomes in high-risk hypertensive patients
randomized to angiotensin-converting enzyme inhibitor or calcium
channel blocker vs diuretic: the Antihypertensive and Lipid-Lowering
Treatment to Prevent Heart Attack Trial (ALLHAT). JAMA.
2002;288:2981–2997.
30