Refer At

46
REFERAT HIPERTENSI RESISTEN Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Dalam Badan Rumah Sakit Daerah Wonosobo Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Diajukan Kepada : dr. H. Suprapto, Sp. PD Disusun Oleh : Yuda Arie Dharmawan 20110310195 BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM BADAN RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 1

description

oke

Transcript of Refer At

Page 1: Refer At

REFERAT

HIPERTENSI RESISTEN

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Badan Rumah Sakit Daerah Wonosobo Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada :

dr. H. Suprapto, Sp. PD

Disusun Oleh :

Yuda Arie Dharmawan

20110310195

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

BADAN RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

YOGYAKARTA

2016

1

Page 2: Refer At

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Referat dengan judul :

HIPERTENSI RESISTEN

Tanggal : MEI 2016

Tempat : RSUD Setjonegoro Wonosobo

Oleh :

Yuda Arie Dharmawan

20110310195

Disahkan oleh :

Dokter Pembimbing

dr. H. Suprapto, Sp. PD

2

Page 3: Refer At

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, petunjuk dan

kemudahan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat

“HIPERTENSI RESISTEN”.

Referat ini terwujud atas bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak.

Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak

ternilai kepada:

1. dr. H. Suprapto, Sp.PD selaku dokter pembimbing dan dokter spesialis

Penyakit Dalam RSUD Wonosobo.

2. dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.PD selaku dokter spesialis Penyakit Dalam RSUD

Wonosobo.

3. dr. Widhi, P.S., Sp.PD selaku dokter spesialis Penyakit Dalam RSUD

Wonosobo.

4. Teman-teman koass serta tenaga kesehatan RSUD Wonosobo yang telah

membantu penulis dalam menyusun tugas ini.

Dalam penyusunan Referat ini, penulis menyadari masih terdapat banyak

kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran membangun demi

kesempurnaan penyusunan Referat di masa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Wonosobo, Mei 2016

Penulis

3

Page 4: Refer At

DAFTAR ISI

REFERAT 1

HALAMAN PENGESAHAN 2

KATA PENGANTAR 3

DAFTAR ISI 4

BAB I 5

PENDAHULUAN 5

BAB II 7

TINJAUAN PUSTAKA 7

A. Definisi 7

B. Prevalensi 7

C. Etiologi 8

D. Patofisiologi 11

E. Diagnosis 15

F. Penatalaksanaan 16

G. Prognosis 27

BAB III 28

KESIMPULAN 28

DAFTAR PUSTAKA 29

4

Page 5: Refer At

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7) guidelines

tahun 2003, hipertensi resisten (HR) didefinisikan sebagai kegagalan untuk mencapai

target tekanan darah <140/90 mmHg pada populasi umum hipertensi dan <130/80

mmHg pada pasien dengan diabetes atau penyakit ginjal kronik (PGK) ketika pasien

mematuhi dosis optimal suatu rejimen yang tepat dari 3 obat antihipertensi, termasuk

diuretik. Definisi di atas tidak berlaku untuk pasien yang baru saja didiagnosis

hipertensi dan/atau belum menerima pengobatan yang sesuai terlepas dari tingkat

tekanan darah (Robert, 2012; Chobanian et al., 2003; Pantelis, 2011).

Selain itu, HR tidak identik dengan hipertensi tidak terkontrol, yang

mencakup semua pasien hipertensi tidak terkontrol dengan pengobatan, yaitu mereka

yang menerima rejimen pengobatan yang tidak memadai, tingkat kepatuhan yang

rendah, hipertensi sekunder yang tidak terdeteksi dan mereka yang benar-benar

resisten terhadap pengobatan. Dengan definisi ini, pasien dengan HR dapat mencapai

control tekanan darah dengan dosis penuh 4 atau lebih obat antihipertensi (Pantelis

and George, 2008; Pierdomenico et al., 2005). Hipertensi resisten merupakan faktor

risiko utama dari berbagai penyakit, sehingga terjadi peningkatan kejadian penyakit

jantung iskemik, gagal jantung, kejadian serebrovaskular, dan disfungsi ginjal.

Hipertensi dikatakan resisten terhadap pengobatan ketika strategi terapi yang

mencakup modifikasi gaya hidup yang tepat ditambah penggunaan diuretik dan dua

obat antihipertensi lain dari kelas yang berbeda pada dosis yang memadai (tapi tidak

harus termasuk antagonis reseptor mineralokortikoid) gagal untuk menurunkan angka

tekanan darah ke < 140/90mmHg. Lebih jauh, prevalensi hipertensi yang tidak

terkontrol juga meningkat, meskipun terjadi kemajuan dalam farmakoterapi. Pasien

dengan pengobatan hipertensi resisten (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg) meskipun

5

Page 6: Refer At

telah menggunakan ≥ 3 obat antihipertensi, termasuk diuretik, sering memiliki faktor

risiko tinggi untuk kejadian penyakit jantung dan akibatnya beresiko lebih tinggi

mengalami kerusakan organ serta morbiditas kardiovaskular. Penyebab hipertensi

resisten bervariasi seperti hipertensi white-coat, ketidakpatuhan terhadap terapi obat,

dan pilihan obat atau dosis yang tidak tepat, maka estimasi proporsi pasien dengan

rentang dirawat karena hipertensi 5-16%

6

Page 7: Refer At

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Hipertensi resisten didefinisikan sebagai tekanan darah yang tetap diatas

tujuan dengan penggunaan 3 agen antihipertensi dari kelas yang berbeda. Secara

ideal, satu dari 3 agent harus diuretic; dan semua agen harus diresepkan pada jumlah

dosis yang optimal. Meskipun penggunaan terhadap sejumlah medikasi diperlukan,

maka hipertensi resisten didefinisikan untuk mengidentifikasi pasien yang berada

pada resiko tinggi untuk mempunyai penyebab hipertensi yang reversible dan atau

pasien yang, karena tekanan darah yang persisten, dapat menguntungkan dari

diagnosis khusus dan pertimbangan terapetik. Sebagaimana didefinisikan, hipertensi

resisten termasuk pasien yang tekanan darahnya terkontrol dengan penggunaan lebih

dari 3 obat. Yaitu, pasien yang tekanan darahnya terkontrol tetapi membutuhkan 4

atau lebih medikasi dipertimbangkan digolongkan kedalam resisten terhadap

pengobatan.

B. PREVALENSI

Prevalensi pasti HR tidak diketahui, meskipun meningkatnya jumlah studi

klinis pada HR dalam dekade terakhir. Beberapa studi menduga prevalensi HR

sekitar 5% sampai 50% di praktek umum, atau lebih tinggi di klinik nefrologi,

termasuk pasien-pasien dengan PGK (Pantelis, 2011). Prevalensi HR pada populasi

umum sulit untuk ditentukan secara akurat, tergantung pada populasi dan laporan-

laporan yang berkisar dari 5% sampai 30%. Dalam klinik spesialis yang

menggunakan rejimen antihipertensi optimal, prevalensi berkisar 3-5% (Vasilios et

al., 2011). Prevalensi HR diperkirakan akan semakin meningkat karena

meningkatnya harapan hidup dan prevalensi faktor-faktor yang umumnya terkait

dengan HR seperti obesitas, diabetes, dan PGK (Robert et al., 2009).

7

Page 8: Refer At

Dalam analisis saat ini, peserta National Health and Nutrition Examination

Survey (NHANES) ditangani untuk hipertensi, hanya 53% yang terkontrol hingga

<140/90 mmHg. Pada analisis cross sectional dari peserta Framingham Heart Study ,

hanya 48% dari pasien yang ditangani terkonrol hingga <14090 mmHg dan kurang

dari 40% dari peserta yang lebih tua (>75 tahun usia) berada pada tekanan darah yang

tercapai. Diantara populasi yang berada pada resiko tinggi, dan pada sebagian,

dengan aplikasi tekanan darah lebih rendah dari tujuan pada Seventh Report of the

National Joint Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of

High Blood Pressure (JNC 7) untuk pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit

ginjal kronik (CKD), proporsi dari pasien yang tidak terkontrol adalah lebih tinggi.

Dari peserta NHANES dengan penyakit ginjal kronik, hanya 37% yang terkontrol

hingga <130/80 mmHg dan hanya 25% dari peserta dengan diabetes terkontrol

hingga <130/85 mmHg.

Hipertensi yang tidak terkontrol tidaklah sama dengan hipertensi resisten.

Sebelumnya hal ini termasuk pasien yang kurang control tekanan darah sekunder

akibat kepatuhan yang kurang dan atau regimen terapi yang inadekuat sebagaimana

pada mereka dengan resisten terapi yang sesungguhnya. Untuk secara akurat

membedakan prevalensi hipertensi resisten, studi pemaksaan titrasi yang besar,

hipertensi diverse kohort akan dibutuhkan. Studi seperti ini belum selesai dilakukan

tetapi studi hasil hipertensi saat ini menawarkan alternative sebagai medikasi pada

studi ini yang biasanya disediakan dengan tidak ada biaya, kepatuhan diawasi dengan

ketat, dan titrasi medikasi pada studi ini didiktekan per protokolnya. Dalam hal ini

Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial

(ALLHAT) dapat menjadi yang paling relevant sebagaimana hal ini memasukkan

sejumlah besar peserta yang berbeda sevara ethnic (>>33000) : 47% wanita, 35%

African American, 19% Hispanic, dan 36% dengan diabetes.

C. ETIOLOGI

Hipertensi resisten dapat dibagi menjadi dua kategori utama: false HR, dan

true HR. Prevalensi false HR tampaknya jauh lebih tinggi dari true HR (Robert,

2012).

8

Page 9: Refer At

1. False Hipertensi Resisten

Penyebab penting false HR adalah ketidakpatuhan pasien dalam memperbaiki

pola hidup atau penggunaan obat antihipertensi. Sejumlah pasien menghentikan

pengobatan antihipertensi mungkin karena berbagai alasan, seperti efek samping dan

biaya obat-obatan, perawatan yang kurang konsisten dan berkesinambungan, kurang

kuatnya motivasi dokter, tidak memahami instruksi yang diberikan, dan hambatan

sosial budaya. Selain itu, dokter juga mungkin tidak patuh dan gagal untuk mengikuti

panduan pengobatan hipertensi (Robert, 2012; Vasilios et al.,2011). Saat pengukuran

tekanan darah, manset harus cukup besar sehingga udara mengelilingi setidaknya

80% dari lingkar lengan atas dan meluas paling sedikit dua pertiga panjangnya. Hasil

pengukuran tekanan darah dapat berlebihan ketika manset yang digunakan terlalu

kecil untuk lengan (Robert, 2012; Pantelis and George 2008; Pantelis, 2011). Sekitar

20-25% pasien- pasien dengan tekanan darah ≥140/90 mm Hg memiliki tekanan

darah yang normal pada pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure

Monitoring- ABPM). Hipertensi office atau white coatini harus dicurigai pada

pasien-pasien yang selama pengobatan menunjukkan tanda-tanda hipotensi ortostatik

dan pada pasien dengan hipertensi kronis tanpa kerusakan organ target (Robert, 2012;

Pantelis and George 2008; Pantelis, 2011).

2. True Hipertensi Resisten

Hipertensi resisten dapat disebabkan oleh penyebab sekunder yang berpotensi

dapat disembuhkan, seperti stenosis arteri renal/renal artery stenosis (RAS) dan

feokromositoma. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa aldosteronisme

primer/primary aldosteronism (PA) lebih sering terjadi pada pasien-pasien hipertensi,

dengan prevalensi sekitar 20% pada pasien-pasien HR (Calhoun, 2002).

9

Page 10: Refer At

Suatu studi kasus kontrol melaporkan hubungan independen dengan odds

ratio 5,0 antara OSA dan HR yang didiagnosis pada klinik hipertensi. Peningkatan

derajat berat- nya OSA berhubungan dengan peningkatan resiko HR. Kelebihan

volume cairan tubuh akibat asupan garam berlebih, terapi diuretika tidak memadai,

penurunan fungsi ginjal progresif juga berhubungan dengan HR. Selain itu, sejumlah

obat-obatan seperti OAINS, kokain, amfetamin, simpatomimetik, kontrasepsi oral,

siklosporin, takrolimus, erhythropoietin, kortikosteroid, liquorice, dan beberapa

senyawa herbal(ephedra, ma huang) dapat langsung meningkatkan tekanan darah atau

menurunkan efektivitas obat-obat antihipertensi. Obesitas dan konsumsi alkohol

berlebih dapat meningkatkan resiko HR dan apakah faktor genetik memainkan peran

dalam HR saat ini masih dalam penelitian (Robert, 2012; Pantelis and George 2008;

Pantelis, 2011).

10

Page 11: Refer At

D. PATOFISIOLOGI

Sejumlah mekanisme fisiologis terlibat dalam pengaturan tekanan darah, dan

gangguan mekanisme ini mungkin memainkan peran kunci terjadinya hipertensi. Di

antara faktor-HIPERTENSI RESISTEN faktor lain, seperti faktor genetik, aktivasi

sistem saraf simpatik/sympathetic nervous system (SNS) dan system

reninangiotensin-aldosteron, asupan garam berlebih serta gangguan antara

vasokonstriktor dan vasodilator telah terlibat dalam patofisiologi hipertensi.

Walaupun peran faktor di atas dalam pathogenesis hipertensi telah diketahui,

keterlibatan faktor-faktor ini dalam menyebabkan HR belum begitu diketahui secara

menyeluruh (Vasilios et al., 2011; Costas et al., 2011). Faktor prediktor terkuat

kurangnya kontrol tekanan darah adalah usia tua, tekanan darah awal yang tinggi,

obesitas, konsumsi garam berlebihan dan PGK. Telah diketahui hubungan antara

penuaan dan aktivasi SNS, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa seluruh aktivitas

saraf simpatik tubuh meningkat dengan penuaan dan indeks aktivitas simpatis

terutama muscle sympathetic nerve activity lebih terkait dengan tekanan darah pada

orang tua (Vasilios et al., 2011; Costas et al., 2011).

Selain penuaan, obesitas, hiperaldosteronisme dan OSA merupakan

karakteristik HR. Studi kohort pasien dengan HR, indeks massa tubuh rata-rata lebih

dari 32 kg/m2 dan prevalensi hiperaldostero- nisme sekitar 20%, sedangkan HR

memiliki prevalensi yang sangat tinggi pada pasien-pasien dengan OSA (Calhoun,

2002; Logan, 2001; Costas et al., 2011). Selain itu, diantara subyek HR,

hiperaldosteronisme lebih sering terjadi pada pasien yang didiagnosis dengan OSA

dibandingkan pasien yang berisiko rendah untuk OSA. Data-data yang ada bahwa

OSA, hiperaldosteronisme dan obesitas tidak hanya merupakan komorbiditas umum

pada HR tetapi kondisi ini juga berinteraksi dalam proses terjadinya HR. Meskipun

mekanisme yang menghubungkan kondisi ini dengan HR tidak sepenuhnya dapat

dijelaskan, peningkatan aktivitas SNS mungkin merupakan kondisi terpenting yang

mendasari terjadinya HR (Costas et al., 2011). (Gambar 1).

11

Page 12: Refer At

1. Faktor Gaya Hidup

a. Obesitas

Obesitas dikaitkan dengan hipertensi yang lebih berat, sebuah

kebutuhan meningkat untuk sejumlah medikasi antihipertensi dan

peningkatan dari keadaan yang tidak pernah mencapai tujuan tekanan darah.

Sebagai konsekuensinya. Obesitas merupakan penyebab gambaran dari pasien

yang mempunyai hipertensi resisten. Mekanisme dari obesitas penyebab

hipertensi adalah kompleks dan tidak pernah jelas tetapi termasuk gangguan

sekresi sodium, peningkatan aktivitas system saraf simpatis, dan aktivasi dari

system rennin-angiotensin-aldosteron.

b. Garam Diet

Intake sodium diet berlebihan berkontribusi terhadap perkembangan

hipertensi resisten melalui peningkatan tekanan darah langsung dan dengan

menumpulkan efek lebih rendah tekanan darah pada kebanyakan kasus dari

agen antihipertensi. Efek ini menjadilebih sering terlihat pada pasien sensitive

12

Page 13: Refer At

garam yang tipikal, termasuk orang tua. Afro amerika dan terutama pasien

dengan CKD. Meskipun sodium diet berlebihan secara jelas meluas, hal ini

telah secara spesifik didokumentasikan sebagai hal yang sering pada apsien

dnegan hipertensi resisten. Pada sebuah analisis untuk hipertensi resisten,

pemasukan garam diet rata-rata didasari pada 24 jam ekskresi sodium urine

yang dikeluarkan melebuhi 10gram perhari.

c. Alkohol

Intake alcohol yang berat dikaitkan dengan peningkatan resiko

hipertensi, sebagai mana terapi hipertensi resisten. Pada analisis cross

sectiona dari orang dewasa china yang meminum >30 minuman setiap

minggu, resiko untuk mengalam berbagai bentik hipertensi meningkat dari

12% ke 14%, Pada klinik hipertensi Finnish, peminum berat, sebagaimana

didukung dengan peningkatan kadar transaminase hati, lebih jarang untuk

mempunyai tekanan darah yang terkontrol selama 2 tahun follow up

dibandingkan pasien dengan kadartransaminase normal. Secara prospektif,

penilaian dari meminum alcohol yang berat oleh sekelompok kecil pasien

berkurang 24jam dalam tekanan darah sistolik terambulasi  hingga 7,2 mmHg

dan tekanan darah diastolic hingga 6,6 mmHg sementara jatuh prevalensi dari

42% ke 12%

d. Sleep Apnea Obstruktif

Obstruktive sleep apnea yang tidak tertangani sangat terkait  dengan

orang hipertensi dan normotensive dapat memprediksikan perkembangan

hypertensi. Sleep apnea terutama  umum pada pasien dengan hipertensi

resisten. Dalam sebuah evaluasi dari 41 pasien berturut-turut (24 laki-laki, 17

perempuan) dengan hipertensi resisten, 83% yang didiagnosis dengan sleep

apnea yang tidak dicurigai berdasarkan indeks apnea-hypopnea ≥ 10

events/jam. Ada perbedaan signifikan pada jenis kelamin, dengan sleep apnea

yang lebih baik secara umum dan lebih parah dibandingkan dengan pas ien

laki-laki danperempuan. Lintas-kelompok studi menunjukkan bahwa semakin

13

Page 14: Refer At

parah sleep apnea, kurang kemungkinan tekanan darah terkendali meskipun

peningkatan penggunaan jumlah obat.

Mekanisme sleep apnea yang berkontribusi pada perkembangan

hipertensi belum sepenuhnya jelas. Efek yang telah dijelaskan dengan baik

adalah hypoxemia intermiten, dan / atau peningkatan resisten saluran nafas

atas yang dengan sleep apnea, mendorong  dalam meningkatkan aktivitas

system saraf simpatis (SNS). Peningkatan SNS output akan diharapkan untuk

meningkatkan tekanan darah melalui peningkatan output di jantung dan

resisten perifer  serta meningkatkan retensi cairan. Sebagai tambahan, sleep

apnea dikaitkan dengan peningkatan reaktif oksigen spesies yang mengurangi

senyawa pada bioavailabilitas nitrat oksida

e. Aldosteronisme Primer

Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa aldosteronism primer

penyebab umum dari hipertensi dibandingkan riwayat demografis. Evaluasi

pada lebih dari 600 pasien dengan hipertensi, prevalensi hyperaldosteronism

primer ditemukan menjadi 6,1%. Dalam studi ini, prevalensi dari

aldosteronism primer bervariasi sesuai dengan beratnya  hipertensi, dengan

prevalensi 13% di antara pasien dengan hipertensi berat (180/110 mm Hg).

Penting Dari sudut klinis, dalam kajian ini dan dokumentasi lain-lain yang

tinggi prevalensi aldosteronism primernya, serum kalium tingkat rendah yang

jarang pada pasien dikonfirmasi memiliki dasar aldosteronism, menyatakan

bahwa akhir hypokalemia merupakan manifestasi dari awal gangguan

perkembangan hipertensi

Aldosteronism primer adalah umum pasien pada hipertensi resisten

dengan prevalensi sekitar 20%. Dalam sebuah evaluasi pasien yang dirujuk ke

klinik khusus hipertensi, penyelidik di Universitas Alabama di Birmingham

menemukan bahwa 18 dari 88, atau 20%, turut dievaluasi resistesi pasien

yang didiagnosis dengan hipertensi aldosteronism primer berdasarkan

supressi aktivitas renin dan 24-jam urine ekskresi aldosterone dari makanan

yang tinggi intake sodium. Prevalensi aldosteronism perimer adalah serupa

pada pasien Afrika dan Amerika. Dalam studi yang dilakukan di Seattle,

14

Page 15: Refer At

Washington, aldosteronism primer didiagnosis pada 17% pasien dengan

hipertensi resisten. Demikian pula, penyelidik di Oslo, Norwegia,

membenarkan laporan pada aldosteronism primer pada 23% dari pasien

dengan hipertensi resisten

Seperti pada umumnya populasi hypertensive, untuk pasien dengan

kelebihan rangsangan aldosterone pada hipertensi resisten belum

teridentifikasi. Aktivasi umum sistem renin-angiotensin-aldosterone sistem

dideskripsikan dengan obesitas, sementara studi lainnya menunjukkan

pelepasan adipocytes Mei secretagogues yang merangsang pelepasan

aldosterone independen dari angiotensin-II. Selain itu, hasil awal

berhubungan dengan kelebihan aldosterone pada pasien sleep apnea dan

hipertensi resisten. Meskipun efek dan penyebab belum konfirmasi, studi ini

menunjukkan bahwa peningkatan terjadinya aldosteronism primer mungkin

terkait dengan meningkatnya insidensi obesitas.

E. DIAGNOSIS

Hipertensi resisten didefinisikan sebagai tekanan darah yang masih di atas

target, meskipun telah digunakan bersama-sama 3 agen antihipertensi dari kelas yang

berbeda. Idealnya, salah satu dari ke 3 obat tersebut haruslah diuretik dan semua obat

harus diresepkan pada jumlah dosis yang optimal. Menurut definisi diatas, HR

termasuk pasien yang menggunakan lebih dari 3 obat untuk mengendalikan tekanan

darah (Pantelis and George, 2008; Calhoun et al., 2008). Tekanan darah harus diukur

setelah pasien duduk/istirahat selama lima menit, posisi lengan setinggi jantung dan

menggunakan manset berukuran sesuai yang telah dikalibrasi. Pasien harus ditanya

apakah merokok dalam 15-30 menit sebelum pengukuran tekanan darah, karena

merokok dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik 5-20 mm Hg.

Menghindari kopi juga dianjurkan, meskipun peningkatan tekanan darah sistolik

biasanya hanya 1-2 mmHg setelah minum 1 cangkir kopi berkafein (Marvin and

John, 2006). Diagnosis didasarkan pada temuan setidaknya 2 pengukuran tekanan

darah (pengukuran rutin di kamar periksa dan ABPM), meskipun telah menggunakan

15

Page 16: Refer At

rejimen yang mengandung tiga obat. Pemeriksaan fisik dan laboratorium rutin

diperlukan untuk mencari bukti adanya kerusakan organ target yang berkaitan dengan

hipertensi dan factor risiko kardiovaskular lainnya (Jennifer and David, 2009;

Chobanian et al., 2003). Beberapa pasien yang didiagnosis HR memiliki tekanan

darah normal di rumah. Fenomena ini hanya bersifat sementara atau disebut "white-

coat hypertension," physician’s office resistant hypertension. Ambulatory blood

pressure monitoring dapat membedakan jenis hipertensi ini dari hipertensi yang

benar-benar resisten (Marvin and John, 2006; Burnier et al., 2001).

F. PENATALAKSANAAN

Hipertensi resisten hampir selalu memiliki etiologi yang multifaktorial.

Penatalaksanaan HR diawali dengan identifikasi dan modifikasi faktor gaya hidup,

memastikan kepatuhan pengobatan, menghentikan obat-obatan yang dapat

menyebabkan peningkatan tekanan darah, mengobati penyebab sekunder dari

hipertensi, dan penggunaan obat-obatan yang efektif untuk mengendalikan tekanan

darah. Diet rendah garam, olahraga teratur, penurunan berat badan, mengurangi

asupan alkohol, dan berhenti merokok harus secara rutin dianjurkan dan obat-obatan

antihipertensi harus diresepkan pada dosis toleransi maksimum (Robert, 2012;

Pantelis and George 2008; Jennifer and David, 2009). Evaluasi fenomena "white-

coat", atau kondisi terkait dan penyebab sekunder seperti OSA, PA, PGK atau

penyakit renovaskular harus dilakukan. Dosis tidak memadai, kurangnya penggunaan

diuretik kerja panjang, dan kombinasi suboptimal didapati sebagai penyebab pada

hampir separuh pasien dengan HR. Farmakoterapi untuk HR diawali dengan

memastikan pasien menerima terapi sesuai indikasi seperti tertera dalam pedoman

JNC-7 (Jennifer and David, 2009; Marvin and John, 2006; Cora and Michael, 2008).

1. Non Farmakologik

Pengobatan nonfarmakologis difokuskan pada penurunan berat badan,

pembatasan diet garam (<100 mEq/24 jam), mengurangi konsumsi alcohol

berhenti merokok, aktivitas fisik, dan konsumsi makanan tinggi serat, rendah

lemak, kaya buah-buahandan sayuran. Penurunan berat badan belum diteliti

16

Page 17: Refer At

secara khusus pada pasien dengan HR tetapi telah diketahui dapat mengurangi

baik tekanan darah sistolik dan diastolic pada pasien hipertensi (Robert, 2012;

Jennifer and David, 2009)

a. Penurunan Berat Badan

Berat badan, walaupun tidak secara khusus dievaluasi pada pasien

hipertensi resisten, yang jelas memiliki keuntungan dalam hal mengurangi

tekanan darah dan seringkali memungkinkan untuk pengurangan dalam

jumlah resep obat. Sebuah review jangka panjang studi berat badan

menunjukkan bahwa 10 kg berat badan adalah terkait dengan pengurangan

rata-rata 6,0 mm Hg systolic dan 4,6 mm Hg pengurangan tekanan darah

diastolic. Sebelumnya, meta analisis randomized, dikontrol, uji berat badan

menemukan keuntungan yang besar, setidaknya untuk penurunan tekanan

darah diastolic, pasien sudah menerima therapy antihypertensive. Walaupun

sulit untuk mencapai dan bahkan lebih sulit untuk mempertahankan, berat

badan harus didorong dalam setiap pasien dengan hipertensi yang resisten

baik kegemukan atau obese.

b. Batasan Diet Garam

Manfaat dari diet garam adalah pengurangan secara umum pasien

hypertensive diamati dengan penurunan systolic dan tekanan darah diastolic

dari 5-10 dan ke 2 6 mm Hg. pasien Afrika-Amerika dan orang tua cenderung

lebih besar untuk menampilkan keuntungan. pengurangan diet garam belum

secara khusus dievaluasi pada pasien dengan hipertensi resisten. Namun, pada

evaluasi pasien yang tekanan darah yang tidak terkendali kombinasi dari ACE

inhibitor dan hydrochlorothiazide, diet rendah garam tekanan darah systolic

dan diastolic pada 1 bulan tindak lanjut adalah 8 dan 9 mm Hg. Dengan

demikian, pembatasan diet garam, ideal untuk kurang dari 100 mEq dari

sodium/24-hour, harus disarankan untuk semua pasien dengan hipertensi

resisten.

c. Pengurangan asupan alcohol

Baik oleh perubahan efek negatif fisiologis dan/atau perbaikan dalam

ketaatan obat, penghentian dari berat proses meminum alkohol secara

17

Page 18: Refer At

signifikan dapat meningkatkan kontrol hipertensi. Harian asupan alkohol

harus dibatasi untuk tidak lagi dari 2 minuman (1 ounce of ethanol) per hari

(misalnya, dari 24 ounces bir, 10 ounces anggur, atau 3 ounces bukti

minuman keras dari 80) untuk kebanyakan laki-laki dan 1 minuman per hari

untuk perempuan-ringan atau berat orang

d. Peningkatan Aktifitas Fisik

Dalam sekelompok kecil orang Afrika-Amerika dengan hipertensi

berat(Tanpa systolic 180 atau darah diastolic tekanan 110 mm Hg yang

diterima hingga 3 antihypertensive agen untuk menurunkan tekanan darah

diastolic oleh 10 mm Hg dan / atau hingga 95 mm Hg), 16 bulan aerobik

latihan

(stationary bersepeda 3 kali seminggu) menurunkan tekanan darah 5 mm Hg

systolic dan tekanan darah diastolic 7 mm Hg, walaupun yang kedua adalah

tidak mengubah statistik significant. Penurunan tekanan darah diastolic

dipertahankan setelah 32 minggu latihan, bahkan dengan penarikan beberapa

obat antihypertensive. Dalam sebuah meta analisis yang termasuk studi kedua

normotensive dan hypertensive cohorts, latihan aerobik diproduksi rata-rata

penurunan dari 4 mm Hg dalam systolic dan 3 mm Hg dalam tekanan darah

diastolic. Berdasarkan pengamatan manfaat ini, pasien harus digalakkan untuk

melakukan minimal 30 menit di paling hari dalam seminggu

e. Makanan Tinggi Serat-Diet Rendah Lemak

Proses menelan makanan yang kaya buah-buahan dan sayuran; tinggi

dalam rendah lemak-produk susu, potassium, magnesium, dan kalsium;

rendah dan total jenuh lemak (Pendekatan diet untuk Hipertensi atau berhenti

Dash diet) dikurangi dan systolic tekanan darah diastolic oleh 11,4 dan 5,5

mm Hg lebih, masing-masing, dibandingkan dengan kontrol diet di

hypertensive patients. Manfaat dari suatu diet belum dievaluasi secara

terpisah pada pasien dengan hipertensi resisten, tetapi beberapa derajat

penurunan tekanan darah terjadi.

18

Page 19: Refer At

2. Farmakologik

Terapi farmakologis harus difokuskan pada penggunaan diuretik, dengan

thiazide diuretik pada sebagian besar pasien dan loop diuretik untuk pasien

dengan penurunan laju filtrasi glomerulus. Rekomendasi yang dianjurkan

adalah kombinasi dari diuretik thiazide dengan long acting calcium channel

blocker (CCB) dan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) atau

angiotensin receptor blocker (ARB) (Calhoun, 2007). Chlorthalidone

mungkin lebih disukai dari pada hidroklorotiazid, khususnya pada pasien

dengan HR (Jennifer and David, 2009). Rejimen terapi keempat, kelima, dan

keenam dapat ditambahkan berdasarkan pertimbangan karakteristik individu

sesuai rekomendasi pengobatan JNC-7 (Jennifer and David, 2009). Rejimen

lain yang dapat dipertimbangkan termasuk antagonis mineralokortikoid, beta

blocker, kombinasi alpha-beta blocker, atau agen vasodilatasi langsung

(hydralazine atau minoxidil) (LampiranI. Gbr. 3) (Cora and Michael, 2008).

a. Aktivasi Baroreflex Karotis

Saat ini telah dikembangkan suatu perangkat implan baru (Rheos

Sistem, CVRx, Inc, Minneapolis, Minnesota) yang bekerja dengan

rangsangan listrik pada sinus karotis. Perangkat ini meningkatkan lalu

lintas saraf aferen dari baroreseptor ke pusat kontrol kardiovaskular di

otak, yang kemudian mengurangi aliran simpatis dan tekanan darah

(Ingrid, 2010). Arteri baroreflex mengatur tekanan darah melalui

mekanisme umpan balik negatif. Fisiologi refleks ini, dimana

peningkatan tekanan darah menyebabkan stimulasi karotis dan

baroreseptor arkus aorta, akhirnya menyebabkan penurunan aktivitas

simpatis pada kedua ginjal dan pembuluh darah perifer. Stimulasi

baroreseptor juga dapat mengurangi aktivitas simpatik dan meningkatkan

aktivitas parasimpatis di jantung. Efek ini secara kolektif menyebabkan

penurunan tekanan darah. Aktivasi kronis dari SNS dan dampaknya pada

sistemik atau daerah organspesifik sangat penting dalam proses

terjadinya hipertensi esensial. Aktivasi baroreseptor ini menghasilkan

19

Page 20: Refer At

kontrol terhadap refleks alami dari peningkatan tekanan darah. (Gambar

4) (Domenic, 2009; Teba et al., 2012; Guido and Giuseppe 2012).

b. Penolakan Pengobatan Campuran

Obat yang mungkin terganggu dengan kontrol tekanan darah, khususnya

NSAIDs, sebaiknya dihindari atau diambil pada pasien dengan hipertensi resisten.

Namun, karena hal ini sering sulit secara klinis, dosis efektif terendah harus

digunakan setelah turun titration bila memungkinkan. Kapan melakukan

perawatan dengan agen ini, tekanan darah harus dipantau terus sambil mengakui

bahwa untuk penyesuaian antihypertensive hidup yang mungkin menjadi perlu.

Lainnya seperti analgesics nonnarcotic, acetaminophen terkait dengan

peningkatan risiko pengembangan hipertensi, meskipun bila dibandingkan dengan

ibuprofen kecil kemungkinannya tekanan darah memburuk. Dengan demikian,

analgesics jika diperlukan, acetaminophen mungkin lebih baik untuk subjek

dengan NSAIDs pada hipertensi resisten, diakui, bahwa acetaminophen akan

20

Page 21: Refer At

memberikan sedikit manfaat jika ada antiinflammatory. Pemantauan terus sambil

mengakui bahwa untuk penyesuaian antihypertensive mungkin menjadi perlu.

c. Terapi Diuretik

Evaluasi pasien dengan hipertensi resisten sebagaimana dimaksud khusus

klinik telah konsisten dalam mencari pengobatan yang resisten adalah pada

bagian yang berkaitan dengan kurangnya atau underuse dari, terapi diuretic.

Setelah pengukuran output jantung, resisten vascular, dan volume intravascular,

penyelidik di Mayo Klinik menemukan bahwa pasien yang dirujuk untuk

hipertensi resisten sering telah tersembunyi perlakuan yang mereka resistance.

Kontrol tekanan darah yang meningkat terutama melalui penggunaan dosis

meningkat dari diuretics. Dalam sebuah evaluasi retrospektif pasien yang dirujuk

ke Rush Universitas Klinik hipertensi, kurangnya kontrol tekanan darah telah

paling sering dikaitkan dengan penggunaan medis suboptimal yang hidup, yang

paling sering dimodifikasi dengan menambahkan diuretic, meningkatkan dosis

yang diuretic, atau mengubah kelas resep diuretic berdasarkan fungsi ginjal

terpisah. Studi itu melaporkan bahwa peningkatan diuresis dengan menggunakan

furosemide meningkatkan tekanan darah signifikan pada 12 pasien orang tua

dengan tekanan darah hipertensi yang tadinya tak terkendalikan pada multidrug

regimens. Studi di atas menunjukkan bahwa pasien dengan hipertensi resisten

sering tidak sesuai volume ekspansi kontribusi terhadap perlakuan resisten seperti

yang diuretic adalah penting untuk memaksimalkan kontrol tekanan darah. Di

sebagian besar pasien, penggunaan yang panjang-thiazide diuretic yang akan

paling efektif. Blinded dalam perbandingan hydrochlorothiazide 50 mg dan 25

mg chlorthalidone harian, yang kedua diberikan 24-jam lebih dpt berjalan

penurunan tekanan darah, dengan perbedaan terbesar terjadi overnight.

Mengingat menunjukkan hasil keuntungan dengan chlorthalidone dan

kemanjuran unggul dibandingkan dengan hydrochlorothiazide, chlorthalidone

harus digunakan pada pasien dengan hipertensi resisten. kontras ke

hydrochlorothiazide, chlorthalidone tersedia sangat sedikit tetap-dosis kombinasi

dan jadi gunakan umumnya akan memerlukan terpisah dosing. Dalam pasien

dengan yang CKD (creatinine clearance <30 mL / menit), loop diuretics mungkin

21

Page 22: Refer At

diperlukan untuk efektif volume dan kontrol tekanan darah. Furosemide adalah

yang relatif singkat dan biasanya memerlukan minimal dua kali sehari – dosing.

Atau, loop diuretics dengan durasi yang lebih panjang tindakan, seperti

torsemide, dapat digunakan.

d. Terapi Kombinasi

Sebuah studi menunjukkan kelimpahan dari tambahan keuntungan

antihypertensive dengan menggabungkan 2 agen dari berbagai kelas. Ini terutama

dari thiazide diuretics, yang meningkatkan kontrol tekanan darah signifikan bila

digunakan dalam kombinasi dengan sebagian besar tidak semua kelas agen. Di

Veteran Urusan Single Drug Therapy, pasien tidak terkontrol (tekanan darah

diastolic> 90 mm Hg) pada satu obat antihypertensive ditugaskan secara acak

(thiazide diuretic, zat yg mencegah ACE-blocker, calcium channel blocker, B-

blocker, atau pusat bertindak agonist) yang kemudian randomized ke salah satu

obat yang lain. Jika tekanan darah diastolic masih tidak dikontrol, yang pertama

adalah obat ditambahkan kembali untuk menguji berbagai kombinasi obat-2

kombinasi yang menyertakan thiazide diuretic yang konsisten lebih efektif

daripada kombinasi yang tidak termasuk yang diuretic. Melebihi dari studi 2-obat

kombinasi, ada sedikit data menilai manfaat khusus dari kombinasi dari 3 atau

lebih obat. Dengan demikian, rekomendasi yang spesifik kombinasi multidrug

sangat empiris dan / atau anecdotal. Secara intuitif, tampaknya paling sesuai

untuk melanjutkan untuk menggabungkan agen mekanisme yang berbeda dari

tindakan. Dalam kaitan itu, sebuah triple obat dari zat ACE inhibitor atau ARB,

saluran kalsium blocker, dan thiazide diuretic efektif dan umumnya baik

ditoleransi. Tripel ini dapat dicapai dengan 2 pil dengan menggunakan berbagai

kombinasi dosis tetap. Meskipun-antagonists ditunjukkan dalam pengaturan

penyakit jantung koroner atau gagal jantung congestive, digabungkan

Antagonists, karena kombinasi dual tindakan, mungkin akan lebih efektif sebagai

antihypertensives, walaupun headto-127 Kepala perbandingan dari dosis yang

kurang maksimal. studi saat ini menunjukkan sebuah tambahan keuntungan

antihypertensive aldosterone antagonists pada pasien regimens multidrug tak

terkendali. Pusat yang efektif adalah agen antihypertensive agen tetapi ada yang

22

Page 23: Refer At

lebih tinggi insiden efek sampingnya dan kurangnya hasil data. Terakhir,

vasodilators kuat seperti hydralazine minoxidil bisa jadi sangat efektif, khususnya

di tingkat dosis, tetapi efek samping yang umum. Dengan minoxidil khususnya,

refleksif peningkatan denyut jantung dan cairan seperti yang terjadi seiring

dengan penggunaan-blocker dan lingkaran diuretic biasanya diperlukan. Pada

akhirnya, kombinasi dari 3 atau lebih obat-obatan harus disesuaikan pada masing-

masing menjadi dasar pertimbangan sebelum mengambil manfaat, sejarah

kejadian, kontribusi faktor, termasuk seiring proses penyakit seperti CKD atau

diabetes, dan pasien keterbatasan keuangan. Rekomendasi perawatan dalam

pengaturan ini tidak dapat terlalu standar, terutama ketika terjadi diluar obat 3.

Secara luas kesulitan dalam mengendalikan tekanan darah telah

mengakibatkan proliferasi algoritma untuk perawatan resep antihypertensive

sebagai agen dari monotherapy dan kombinasi. Laporan baru-baru ini telah

menyarankan agar menggunakan gabungan dari Zat yg mencegah ACE dan ARB

atau dihydropyridine dan non-dihydropyridine calcium channel blocker

menyediakan signifikan

antihypertensive manfaat tambahan dibandingkan dengan monotherapy berbeda

dengan agents. studi ini, namun belum umumnya digunakan dosis maksimal dari

salah satu gabungan agen, sehingga tidak mungkin untuk mengetahui apakah

tambahan penurunan tekanan darah sangat unik dengan kombinasi atau hanya

titration efek.

e. Pedoman Terapi Antihipertensi Menurut JNC 7

Terapi hipertensi menurut JNC 7 terdiri atas modifikasi gaya

hidup dan terapi farmakologi. Untuk terapi farmakologi, jenis obat

antihhipertensi dan kombinasinya dibedakan berdasarkan derajat

hipertensi dan ada tidaknya compelling indication.

Target Tekanan Darah

Mayoritas pasien hipertensi khususnya pasien yang

berusia ≥ 50 tahun akan mencapai target TDD ketika target

TDS tercapai. Pada pasien hipertensi pada umumnya target

yang harus dicapai untuk menurunkan resiko PKV adalah

23

Page 24: Refer At

<140/90 mmHg. Khusus untuk pasien hipertensi dengan

diabetes atau dengan penyakit ginjal, target tekanan darah

adalan <130/80.

Perubahan Gaya Hidup

Terdapat berbagai beberapa golongan obat yang digunakan dalam terapi

antihipertensi, yaitu : diuretik, β-bloker, ACE inhibitor, Angiotensin Reseptor

Blocker (ARB), Calcium Channel Blocker (CCB), vasodilator dan golongan

antihipertensi lain yang penggunaannya lebih jarang dibandingkan golongan obat

yang disebutkan.

Golongan obat antihipertensi :

1) Diuretik

Diuretik tiazid merupakan terapi inisial untuk pasien hipertensi. Diuretik

dapat meingkatkan efektifitas terapi pada terapi kombinasi dengan antihipertensi lain

dalam mencapai tekanan darah target dan sangat terjangkau. Diuretik tiazid diberikan

24

Page 25: Refer At

pada terapi inisial baik sebagai monoterapi maupun terapi kombinasi dengan kelas

antihipertensi lain. Diuretik bekerja dengan mendeplesi simpanan natrium tubuh.

Beberapa diuretik juga memiliki efek vasodilatator selain efek diuresisnya. Diuretik

efektif menurunkan tekanan darah 10-15 mmHg pada sebagian besar penderita

hipertensi. Golongan obat ini baik digunakna pada pasien dengan hipertensi esensial

ringan sampai dengan sedang. Efek samping diuretik yang paling sering adalah

deplesi kalium (kecuali diuretik hemat kalium yag malah dapat menimbulkan

hiperkalemi), deplesi magnesium, merusak toleransi glukosa, meningkatkan kadar

lipid serum, meningkatkan kadar asam urat dan mencetuskan gout. Penggunaan

dengan dosis lebih rendah akan menurunkan efek sistemiknya.

2) BB

BB menurunkan tekanan darah terutama dengan menurunkan CJ, dan

menurukan tahanan vaskuler perifer. BB bekerja dengan menghamdat reseptor β

adrenergik baik di jantung, pembuluh darah dan ginjal. Obat ini tidak bekerja di otak

karena tidak menembus sawar darah otak. BB dapat menurunkan jumlah renin

plasma dengan bloking β1 mediated renin release oleh ginjal dan menurunkan

sekresi aldosteron.

3) ACE inhibitor

ACE inhibitor memblok kerja ACE sehingga menghambat konversi

angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga menurunkan jumlah angiotensin II

yang memegang peranan penting dalam pathogenesis hipertensi.

4) ARB

ARB bekerja dengan memblok angiotensin II pada reseptor AT1.

sehingga jumlah angiotensin II plasma akan meningkat. Seperti ACE inhibitor,

ARB menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan resistensi sistemik. ARB

tidak mempengaruhi heart rate dan memiliki efek yang minimal pada CJ di jantung

yang sehat. ARB juga dapat menurunkan marker inflamasi pada pasien

aterosklerosis.

25

Page 26: Refer At

5) CCB

CCB menurunkan tahanan vaskuler perifer dan tekanan darah.

Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat influx kalsium pada otot polos

arteri. Berdasarkan penelitian, terjadi peningkatan risiko infark miokard dan

peningkatan mortalitas pada pasien hipertensi yang diterapi dengan nifedipin lepas

cepat. Obat penyekat kalsium lepas lambat mengendalikan tekanan darah lebih baik

dan cocok untuk hipertensi kronik.

6) Aldosteron Receptor Blocker

Golongan aldosteron receptor blocker bekerja dengan menghambat kerja

aldosteron sehingga terjadi penurunan reabsorbsi natrium. Penurunan reabsorbsi

natrium ini kemudian akan menurunkan volume intravaskuler, menurunkan preload

dan akhirnya menurunkan tekanan darah. Contoh golongan obatnya adalah

spironolakton.

7) Antihipertensi lain

Beberapa golongan obat antihipertensi lain adalah :

- Agonis α2 sentral

Contoh obat Agonis α2 sentral adalah metildopa dan klonidin. Obat-

obatan golongan ini menurunkan aliran simpatis dari pusat vasopresor di batang otak

namun membiarkan bahkan meningkatkan sensitivitas baroreseptor. Obat-obatan

golongan ini cenderung menyebabkan sedasi dan depresi mental serta menyebabkan

gangguan tidur termasuk mimpi buruk.

- Golongan obat penyekat saraf adrenergik

Obat-obatan golongan ini menurunkan tekanan darah dengan mencegah

fisiologi normal NE post ganglion saraf simpatis.

26

Page 27: Refer At

- Golongan obat penyekat α

Obat penyekat α menurunkan tekanan arteri dengan mendilatasi pembuluh

darah.

- Vasodilatator

Merelaksasi otot polos arteriol sehingga mengurangi tahanan vaskuler

sistemik.

G. PROGNOSIS

Pasien HR sangat berisiko mengalami kerusakan organ target seperti LVH,

penebalan karotid intimamedia, plak karotid, kerusakan retina, dan albuminuria

dibandingkan dengan hipertensi terkontrol. Hipertensi resisten meningkatkan risiko

kejadian kardiovaskular, akibat adanya riwayat hipertensi tidak terkontrol dalam

jangka panjang dan hubungannya dengan diabetes, PGK, dan OSA (Roberto et al.,

2009).

27

Page 28: Refer At

BAB III

KESIMPULAN

Hipertensi resisten merupakan masalah medis umum dan prevalensinya

diperkirakan semakin meningkat. Diagnosis HR membutuhkan penggunaan teknik

pengukuran tekanan darah yang baik dan menyingkirkan adanya pseudoresistensi.

Etiologinya hampir selalu multifaktorial dan factor-faktor penyebab yang reversibel

perlu diidentifikasi. Penyebab sekunder HR yang paling sering adalah PA, PGK,

RAS, dan OSA. Terapi farmakologis HR harus didasarkan pada dosis toleransi

maksimum dari beberapa obat anti hipertensi, dimana salah satunya harus

menggunakan diuretik kerja panjang untuk mengontrol kelebihan volume cairan

tubuh.

28

Page 29: Refer At

DAFTAR PUSTAKA

Calhoun DA, Nishizaka MK, Zaman MA, et al. Hyperaldosteronism among

black and white subjects with resistant hypertension. Hypertension

2002;40:892-6.

Costas T, Athanasios K, Dimitris F, et al. Pathophysiology of Resistant

Hypertension: The Role of Sympathetic Nervous System. International

Journal of Hypertension Volume 2011, Article ID 642416.

Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL Jr,

Jones DW, Materson BJ, Oparil S, Wright JT Jr, Roccella EJ; National

Heart, Lung, and Blood Institute Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure; National High Blood Pressure Education Program

Coordinating Committee. The Seventh Report of the Joint National

Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of

High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003;289:2560 –2572.

Domenic AS. Baroreflex Activation in Drug-resistant Hypertension. US

Cardiology 2009;29-32

Guido G, Giuseppe M. New therapeutic approaches for resistant hypertension.

JNephrol 2012; 25(03): 276-81.

Jennifer F, David S. Clinical approach in treatment of resistant hypertension.

Integrated Blood Pressure Control 2009;1: 9–23.Pantelis AS, George

LB. Resistant Hypertension: An Overview of Evaluation and

Treatment. J. Am. Coll. Cardiol. 2008;52;1749-57.

Marvin M, John FS. Resistant or Difficult-to-Control Hypertension. N Engl J

Med 2006;355:385-92.

Mosso L, Carvajal C, González A, Barraza A, Avila F, Montero J, Huete A,

Gederlini A, Fardella CE. Primary aldosteronism and hypertensive

disease. Hipertensi. 2003;42:161–165.

29

Page 30: Refer At

Pantelis AS. Epidemiology of Resistant Hypertension. The Journal of Clinical

Hypertension July 2011; 13(7):523-28.

Pierdomenico SD, Lapenna D, Bucci A, et al. Cardiovascular outcome in

treated hypertensive patients with responder, masked, false resistant,

and true resistant hypertension. Am J Hypertens. 2005;18(11):1422–

28.

Robert HF. Resistant hypertension. Heart 2012;98:254-61.

Roberto P, Mustafa IA, David AC. Characterization and Treatment of

Resistant Hypertension. Curr Cardiol Rep. 2009 November; 11(6):

407–413.

The ALLHAT Officers and Coordinators for the ALLHAT Collaborative

Research Group. Major outcomes in high-risk hypertensive patients

randomized to angiotensin-converting enzyme inhibitor or calcium

channel blocker vs diuretic: the Antihypertensive and Lipid-Lowering

Treatment to Prevent Heart Attack Trial (ALLHAT). JAMA.

2002;288:2981–2997.

30