Redd+

44
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK – UNVERSITAS RIAU Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru – Pekanbaru TUGAS RAKAYASA LINGKUNGAN TEKNIK SIPIL – UNIVERSITAS RIAU – KELAS C LITA DARMAYANTI,ST MT DOSEN DISUSUN OLEH : 1. HENDRA JINGGA (1107114362) 2.JANUAR FITRI (1107114369) 3.M.IQBAL (1107120752) 4. RIZKI RIANDA PUTRA (1107120628) 5.TOMY PRADANA (1107120609) 0

description

Rekayasa Lingkungan

Transcript of Redd+

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK UNVERSITAS RIAU

Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru Pekanbaru

TUGAS

RAKAYASA LINGKUNGAN

TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS RIAU KELAS CLITA DARMAYANTI,ST MT

DOSEN

DISUSUN OLEH :

1. HENDRA JINGGA

(1107114362)

2. JANUAR FITRI

(1107114369)

3. M.IQBAL

(1107120752)

4. RIZKI RIANDA PUTRA (1107120628)

5. TOMY PRADANA (1107120609)

UNIVERSITAS RIAU

2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan laporan yang berjudul REDD+ tepat pada waktunya.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu tersusunnya laporan ini dengan baik.

Dalam penyusunan laporan ini, tentu masih banyak kekurangan dan kesalahan. Karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi menyempurnakan laporan ini.

Pekanbaru, 21 Oktober 2012

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... iDAFTAR ISI......................................................................................................... iiBAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..... 1

B. Tujuan .. 2

C. Rumusan Masalah 2

D. Batasan Masalah .. 2BAB II PEMBAHASAN

A. Umum .. 3

B. Konsep Program REDD+ .... 4

C. Program-Progam UN-REDD bersama REDD+ dan Implementasinya 6

1. Pasar Karbon (Carbon Market/Carbon Trading) .. 6

2. Edukasi terhadap Negara Berkembang oleh UN-REDD demi

suksesnya program REDD+ .. 9

3. Melakukan sosialisasi program REDD+ terhadap masyarakat . 10

4. Kerjasama UN-REDD dengan Negara Berkembang (Khususnya

yang dibahas adalah Indonesia) . 10

5. Menetapkan Kebijakan untuk Mengurangi Deforestasi dan

Degradasi Hutan 10

6. Melakukan Reforestasi (Reboisasi) ... 12

7. Konservasi Kera Besar (Great Apes Survival) .. 14

8. Implementasi Agroforestasi .. 15

D. Kendala yang Dihadapi REDD+ . 16

E. REDD+ di Indonesia ... 17BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .23

B. Saran ...24

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 25BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemanasan global sudah menjadi isu lingkungan yang sangat populer di akhir abad ke-20. Meskipun begitu, pemanasan global sudah dimulai sejak revolusi Inggris yang menyebabkan emisi CO2 meningkat. Gas CO2 termasuk salah satu gas rumah kaca (Green House Gas) yang dapat menahan radiasi matahari yang dipantulkan dari bumi, sehingga panas tersebut terperangkap dan menetap di atmosfer. Akibatnya, suhu atmosfer global meningkat dan dapat membawa bencana besar jika tidak segera dihentikan.

Meskipun CO2 bukanlah satu-satunya gas rumah kaca, disamping uap air, amoniak, dan lain-lain, tetapi yang konsentrasinya paling ditentukan oleh aktivitas manusia adalah CO2. Karena itu, harus dilakukan usaha untuk mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Banyak cara yang dapat dilakukan, tetapi yang tergolong paling efisien adalah pengurangan emisi CO2 yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan.

Alaminya, hutan menyimpan karbon dalam bentuk biomassa tumbuhan, kemudian ditambah dengan peran hutan untuk menyerap CO2 (carbon sink). Saat hutan mengalami deforestasi atau degradasi, misalnya karena penebangan atau pembakaran hutan, maka karbon yang merupakan 50% biomassa tumbuhan tersebut dilepas ke atmosfer. Hingga sekarang emisi CO2 akibat deforestasi dan degradasi hutan telah menyumbang sekitar 15% dari seluruh emisi CO2.

Karena itu, diperlukan usaha untuk melindungi hutan dari deforestasi, yaitu terhimpun dalam suatu komitmen negara-negara di dunia yang disebut UN-REDD dan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di negara berkembang.B. Tujuan

1. Mengetahui latar belakang berdirinya REDD+

2. Mengetahui konsep kerja REDD+

3. Mengetahui program-program REDD+ bersama dengan UN-REDD

4. Mengetahui kendala yang dihadapi REDD+

5. Mengetahui perkembangan REDD+ di Indonesia

C. Rumusan Masalah

1. Apa latar belakang berdirinya REDD+?

2. Bagaimana konsep kerja REDD+?

3. Apa saja program-program REDD+ dan UN-REDD?

4. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi REDD+?

5. Bagaimana perkembangan REDD+ di Indonesia?

D. Batasan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam laporan ini adalah tentang UN-REDD bersama REDD+ dalam usahanya mengurangi emisi CO2 akibat deforestasi dan degradasi hutan.BAB II

PEMBAHASAN

A. Umum Sekitar 13 juta hektar dari hutan hilang (rusak) setiap tahun, kira-kira seluas Negeri Yunani. Dan 15 hingga 20% dari seluruh emisi gas rumah kaca adalah berasal dari degradasi dan kerusakan hutan tropis. Jumlah hutan yang hilang tersebut adalah ekuivalen dengan 6 miliar ton CO2. Sejak COP 13 (13th Conference of the Parties) di Bali pada tahun 2007, UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) mengajukan konsep RED (Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries). Konsep ini kemudian diperluas lagi menjadi REDD (Reducing Emissions from Forest Degradation), yang sekarang dikenal dengan sebutan REDD+ (REDD plus). REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation plus) adalah wujud usaha dari beberapa negara untuk mengurangi emisi yang berasal dari deforestasi (penebangan hutan / deforestation) dan degradasi (kemerosotan) hutan, melakukan konservasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan meningkatkan jumlah karbon yang ditampung hutan. REDD+ adalah strategi bersifat nasional. Deforestasi dan degradasi hutan adalah penyebab terbesar kedua untuk pemanasan global, dengan kontribusi emisi gas rumah kaca sekitar 15%. Deforestasi adalah segala upaya untuk mengkonversi hutan menjadi tata guna lahan lain. Sedangkan degradasi hutan adalah penurunan fungsi dan produktivitas hutan. Karena itu, kerusakan hutan adalah isu yang sangat besar berhubungan dengan perubahan iklim. Di beberapa negara, seperti Brazil dan Indonesia, deforestasi dan degradasi hutan adalah sumber utama emisi gas rumah kaca nasional. 80% dari karbon yang berada di atas tanah, dan 40% dari karbon yang berada di bawah tanah, ada di hutan. Oleh sebab itu, perlindungan hutan terhadap kerusakan adalah salah satu cara paling efektif untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Deforestasi dan degradasi hutan terjadi karena banyak faktor penyebab, misalnya untuk bahan pabrik kertas, kebutuhan akan lahan kosong, bisnis kayu, atau bahkan ekspansi lahan pertanian. Maka untuk mengurangi angka deforestasi, yang harus dilakukan adalah mengurangi penyebabnya. Hal ini akan dibahas pada Sub-Bab C tentang program-progra REDD+. Jika dibandingkan dengan reboisasi atau perbaikan hutan, perlindungan hutan yang masih sehat dari kerusakan memberikan pengaruh yang lebih besar, jika dipandang dalam periode waktu yang relatif singkat. Hal ini terjadi karena proses pengurangan karbon dari atmosfer oleh reboisasi adalah sangat lambat, tetapi sangat berpotensi untuk meningkatkan kinerjanya dalam jangka panjang, biasanya setelah berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun.

Sebagai tambahan, penghentian deforestasi dan degradasi hutan, dan pengelolaan hutan yang baik dapat membantu melestarikan sumber air, mencegah banjir, mengurangi aliran air permukaan (run-off), mengontrol erosi, melindungi ikan-ikan dan fasilitas yang menggunakan tenaga air, dan melestarikan keanekaragaman hayati.B. Konsep Program REDD+ Pada dasarnya konsep ilmiah dari program-program REDD+ pada tiap negara sehubungan dengan pemanasan global adalah mengurangi emisi karbon (reducing source) dan meningkatkan penyerapan karbon dari atmosfer (increasing sink), walaupun masih ada fungsi-fungsi lain yang berhubungan dengan konservasi air dan biodiversivitas. Untuk membahas hal ini, terlebih dahulu harus diketahui definisi dari stok karbon dan aliran karbon yang menjadi parameter penting dalam mengetahui kinerja hutan. Stok karbon adalah jumlah dari material (dalam hal ini karbon) yang ditampung pada suatu tempat tertentu. Sedangkan Aliran karbon adalah sejumlah karbon yang mengalir atau keluar-masuk dari tempat tersebut, biasanya terhadap suatu periode tertentu. Saat sebuah hutan mengalami deforestasi, maka biomassa dari pohon di hutan tersebut dilepas ke udara dalam bentuk CO2. Total stok karbon dari semua hutan tropis adalah 300 miliar ton. Setiap tahun, akibat deforestasi dan degradasi hutan, sekitar 1.5 miliar ton dari stok karbon dikonversi menjadi 6 miliar ton CO2, dan kemudian dilepaskan ke atmosfer. Meskipun hanya sekitar 0.5% aliran karbon yang terjadi dari hutan ke atmosfer tiap tahun, aliran ini ternyata sangat berpengaruh terhadap pemanasan global. Karena itu, yang menjadi permasalahan bagi REDD+ bukanlah stok karbon yang besar tersebut, melainkan aliran karbon dari hutan ke atmosfer (atau sering disebut emisi). Tujuan utama dari REDD+ adalah mengurangi emisi tersebut. Sebagai tambahan, perlu juga diketahui bahwa jika ditemukan istilah-istilah seperti stok karbon atau pasar karbon, maka yang dimaksud adalah CO2, karena CO2 adalah material karbon yang berpengaruh terhadap pemanasan global. Begitu juga REDD+ yang tidak memusingkan akan stok karbon dalam hutan, tetapi lebih fokus terhadap stok karbon di atmosfer, terutama dipengaruhi oleh aliran karbon. Program-program utama REDD+ adalah mengurangi deforestasi, mengelola hutan, dan melakukan reboisasi. Deforestasi dan degradasi hutan akan mengurangi jumlah tumbuhan yang dapat menyerap CO2 (untuk fotosintesis), dan mengkonversi sejumlah besar karbon yang seharusnya berada di hutan menjadi CO2 di udara (misalnya oleh pembakaran hutan). Selain itu, dengan sedikitnya tumbuhan pada suatu area, maka jumlah air yang berada di atas permukaan tanah (mengalir maupun tergenang) juga bertambah. Akibatnya, laju penguapan air meningkat dan jumlah uap air di atmosfer bertambah (walaupun relatif sedikit), dimana telah diketahui bahwa uap air adalah salah satu gas rumah kaca. Sebaliknya, dengan pengelolaan hutan yang baik dan reboisasi, maka dapat ditingkatkan kemampuan hutan untuk menyerap kebali CO2 (CO2 sink) dan menambah stok karbon yang dapat ditampung hutan. Berikut diuraikan 9 alasan untuk melindungi hutan dari kerusakan :1. Pemanasan global bersifat global, maksudnya adalah udara di atmosfer adalah milik bersama. Dimanapun CO2 diemisikan, maka akan segera menyebar ke seluruh penjuru atmosfer di dunia, meskipun diperlukan waktu untuk mencapai kesetimbangan tekanan parsial CO2 antar area.2. Sekitar 15% emisi CO2 adalah berasal dari deforestasi.

3. Pencegahan pemanasan global pada akhirnya akan mensejahterakan kehidupan manusia di dunia, karena pemanasan global dapat berakibat pada perubahan iklim (terutama berakibat gangguan terhadap sektor pertanian), pencairan es, daratan tenggelam, spesies punah, cuaca ekstrim, dan bencana alam lain.4. Hutan tropis sangat efektif dalam hal menyerap CO2 dari atmosfer.5. Perlindungan hutan dari deforestasi cukup ekonomis untuk menekan angka emisi CO2 relatif jika dibandingkan dengan metode lain.6. Dengan mengurangi tingkat deforestasi liar (illegal logging), maka dapat menekan angka kecurangan dalam persaingan perusahaan kayu (ilegal versus legal).7. Negara dengan hutan tropis bisa mendapatkan kompensasi terhadap keberhasilannya dalam mengurangi deforestasi, yang pada akhirnya mengurangi emisi CO2. Contohnya, Brazil dengan Hutan Amazonnya, yang menargetkan penurunan emisi CO2 akibat deforestasi sebesar 80% pada tahun 2020.8. Dengan adanya perlindungan hutan, maka spesies hewan dan tumbuhan juga dapat dilestarikan.9. Memastikan bahwa generasi berikutnya masih dapat menikmati sumber daya di bumi.

Meskipun begitu, usaha perlindungan hutan terhadap deforestasi haruslah memperhatikan kehidupan masyarakat lokal, bukan mengambil jalan pintas sesuka hati hingga menyebabkan angka kemiskinan dan kemelaratan lokal meningkat. Misalnya dengan diadakannya area yang dilindungi tersebut, maka pihak-pihak seperti pabrik kertas dan suku pedalaman (misalnya suku Indian) dapat mengalami kerugian secara ekonomi. Karena itu, usaha perlindungan hutan haruslah dikerjakan bersama-sama masyarakat lokal, bukan bertentangan dengan mereka.C. Program-Program UN-REDD bersama REDD+ dan Implementasinya1. Pasar Karbon (Carbon Market/Carbon Trading)

Pasar Karbon adalah salah satu dari program yang paling baik untuk diimplementasikan guna mengurangi pemanasan global atau perubahan iklim. Pasar karbon adalah mekanisme jual beli kredit atau offset atau emissions allowances yang diawasi oleh REDD, sehingga sering juga disebut kredit REDD (REDD Credit) . Harga Kredit REDD berkisar antara $6 hingga $8 per ton CO2 jika membeli lebih dari 100 ribu ton, dan diatas $10 per ton CO2 jika membeli tidak lebih dari 10000 ton. Kredit REDD sering juga disebut Kredit Karbon, karena hubungannya dengan penggunaan karbon. Dengan memiliki Kredit REDD, maka pembeli kredit tersebut memiliki hak untuk mengeluarkan emisi karbon lebih dari yang seharusnya. Misalnya sebuah perusahaan semen membeli Kredit REDD untuk 500 ribu ton karbon, maka pabrik semen tersebut memiliki hak untuk mengeluarkan emisi karbon tambahan sebanyak 500 ribu ton dan dapat meningkatkan kinerja pabriknya. Namun, terkadang sebuah perusahaan membeli Kredit REDD demi tujuan reputasi, misalnya agar dianggap bertanggung jawab terhadap lingkungan (produk ramah lingkungan).

Sebaliknya, pabrik yang berhasil menemukan cara untuk mengurangi emisi CO2, memerlukan hak emisi yang lebih sedikit untuk keberlangsungan pabriknya, sehingga pabrik tersebut dapat menjual hak emisinya, atau dengan kata lain menjual Kredit REDD-nya. Begitu juga dengan negara yang berhasil mengurangi jumlah karbon, misalnya Hutan Amazon, Brazil. Berkat jasa Hutan Amazon yang telah mengurangi stok karbon di atmosfer dan aliran karbon, maka pemilik Hutan Amazon, yaitu pemerintah Brazil, mendapatkan uang tambahan. Uang tersebut dapat dipakai lagi oleh pemerintah Brazil untuk membayar (memberi hadiah) pihak-pihak yang berhasil mengurangi emisi karbon dan membiayai proyek-proyek pembangunan agar terletak jauh dari hutan. Tujuan dari mekanisme pasar karbon ini adalah mengurangi emisi CO2 atau setidaknya mempertahanan emisi CO2. Uang yang didapatkan dapat digunakan untuk membantu atau membiayai program-program negara berkembang dalam rangka penekanan angka CO2 dan pemanasan global. UN-REDD telah menyediakan $67.3 juta untuk mendukung program nasional 16 negara. Negara yang mendapat bantuan tersebut antara lain : Bolivia, Paraguay, Peru, Ekuador, Panama, Nigeria, Republik Kongo, Zambia, Tanzania, Sri Lanka, Vietnam, Indonesia, Filipina, Papua Nugini, dan Solomon Islands. Negara-negara tersebut dapat dilihat pada gambar 3.1. Sedangkan seluruh negara yang tergabung dalam program REDD+ ada 44 negara.

Gambar 3.1 - Peta negara-negara yang tergabung dalam REDD+ Meskipun demikian, terdapat 2 faktor penting yang tidak bisa diabaikan dalam mekanisme pasar karbon, yaitu :a. Penambahan Reduksi Emisi Karbon (Additionality)

Tidak semua usaha untuk mengurangi emisi karbon adalah sah dan utuh (eligible). Misalnya seorang peneliti menemukan sebuah tambang batu bara yang sangat besar pada kedalaman 5000 meter di bawah permukaan laut pasifik. Kemudian peneliti tersebut dengan jiwa cinta lingkungannya, menyatakan bahwa area tersebut adalah Area Tambang Batu Bara Pasifik yang Dilindungi, dan menjaganya supaya tidak ada yang melakukan penambangan di sana, agar kemudian tidak terjadi pembakaran batu bara yang lebih banyak lagi sebagai bahan bakar. Usaha ini tidaklah sah dan tidak bisa mendapatkan uang dari REDD, karena tidaklah mungkin ada yang melakukan penambangan batu bara di kedalaman 5000 meter di bawah permukaan laut. Karena sebenarnya resiko untuk terjadinya penambangan dan pembakaran batu bara tersebut adalah tidak ada, maka usaha untuk melindungi area tersebut adalah sia-sia atau disebut Tidak Menambah Reduksi Emisi Karbon (Non-Additionality).b. Kebocoran Reduksi Emisi Karbon (Leakage) Kebocoran Reduksi Emisi Karbon adalah peristiwa dimana saat kita berpikir bahwa usaha kita telah mengurangi emisi CO2 sebanyak N, tetapi usaha tersebut sekaligus membuka potensi peningkatan emisi CO2 sebanyak P, sehingga kinerja dari usaha kita tidaklah sebesar N, melainkan (N-P). Atau dengan kata lain, leakage adalah pemindahan proses deforestasi dari suatu hutan ke hutan lain, yaitu hanya objeknya yang berubah, tetapi perusakan tetap dilakukan. Kebocoran ini sangatlah penting untuk diketahui, karena suatu usaha belum tentu mengurangi emisi CO2, melainkan dapat berbalik menambah emisi CO2. Misalnya, di suatu negara ada sebuah hutan yang sedang dieksploitasi besar-besaran oleh pihak tertentu yang sudah memiliki hak akan hutan tersebut. Kemudian seorang jutawan yang berjiwa cinta lingkungan membeli hutan tersebut dengan tujuan melindungi hutan tersebut dan mencegah terjadinya emisi CO2, misalnya seharga $1 juta untuk pengurangan 100 ribu ton CO2. Namun, akibat hutannya telah dibeli, pihak yang sebelumnya mengeksploitasi hutan tersebut membuka (ataupun membeli lagi) hutan baru untuk dieksploitasi, misalnya dengan tambahan emisi sebesar 60 ribu ton. Maka usaha yang dilakukan jutawan tersebut hanya (100-60) ribu ton, yaitu 40 ribu ton pengurangan emisi CO2. Padahal tadinya jutawan tersebut membayar $1 juta. Sedangkan untuk pengurangan 40 ribu ton emisi CO2, seharusnya jutawan itu hanya membayar sekitar $400 ribu seandainya tidak terjadi kebocoran. Nilai 60 ribu ton emisi CO2 tersebut disebut kebocoran (leakage) dari usaha jutawan tersebut. Kedua faktor tersebut, additionality dan leakage, seringkali mempengaruhi pasar karbon seperti yang dijelaskan sebelumnya. Suatu usaha pengurangan atau penambahan emisi CO2 tidaklah memiliki harga per ton CO2 yang tetap, melainkan bergantung pada efek jangka pendek dan jangka panjang yang ditimbulkan usaha tersebut. Seringkali, harga per ton CO2 (Kredit REDD) dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran dunia akan kebutuhan emisi CO2.2. Edukasi terhadap Negara Berkembang oleh UN-REDD demi suksesnya program REDD+ Salah satu cara yang dilakukan PBB bersama-sama dengan negara berkembang untuk menyukseskan REDD+ adalah dengan memberikan edukasi kepada pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan akan program-program yang dapat dilakukan negara berkembang untuk mengurangi deforestasi dan emisi CO2. UN-REDD membantu memberikan saran dan edukasi tentang tata cara membuat kebijakan dan melakukan pembangunan nasional guna implementasi program REDD+ yang efektif. Sebagai tambahan, sektor pertanian dan tata guna lahan yang efisien juga penting untuk mencapai tujuan konservasi iklim secara global, yang dimulai dari negara-negara berkembang. Perawatan dan perluasan hutan, menetapkan area hutan yang dilindungi, meningkatkan produktivitas pertanian, menghindari konversi hutan menjadi tata guna lahan lain, dan memperbaiki tanah yang rusak adalah beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk melengkapi program REDD+. Dengan adanya edukasi tersebut, diharapkan dapat mendatangkan keuntungan bagi masyarakat negara tersebut, meningkatkan kerjasama antara negara di dunia, dan dapat memanfaatkannya dalam membuat kebijakan.3. Melakukan sosialisasi program REDD+ terhadap masyarakat Kementrian kehutanan (termasuk di Indonesia) melakukan kerjasama dengan media komunikasi (misalnya Green Radio di Indonesia) untuk mensosialisasikan REDD+ melalui kegiatan talkshow atau iklan yang disiarkan selama periode waktu tertentu. Dengan begitu, diharapkan pemahaman masyarakat akan fungsi hutan, pengaruhnya terhadap perubahan iklim, dan implementasi REDD+ dapat meningkat. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa tidak ada satupun program yang akan berhasil tanpa dukungan publiknya, di negara manapun itu, termasuk di Indonesia.4. Kerjasama UN-REDD dengan Negara Berkembang (Khususnya yang dibahas adalah Indonesia) UN-REDD Programme Indonesia adalah kerjasama inisiatif antara Kementerian Kehutanan RI, FAO, UNDP, dan UNEP. Program ini bertujuan untuk membantu dan mendukung pemerintah Indonesia untuk secara bertahap membangun arsitektur REDD+ yang memungkinkan pelaksanaan REDD+ yang adil, setara, dan transparan, juga untuk mencapai kesiapan REDD+. UN-REDD Programme Indonesia mengadakan peluncuran programnya di Sulawesi Tengah pada tanggal 13 Oktober 2010.5. Menetapkan kebijakan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perlindungan hutan dari kerusakan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pengurangan emisi CO2 dibandingkan dengan reboisasi, walaupun bukan berarti reboisasi tidak perlu dilakukan. Pada dasarnya, perlindungan terhadap deforestasi sangat dekat dengan pemberantasan illegal logging, hanya saja deforestasi lebih luas ruang lingkupnya. Akan tetapi, perlindungan terhadap deforestasi sangatlah sulit mengingat hutan yang begitu luas. Yang dapat dilakukan adalah melakukan pembatasan area (zoning), sehingga pengawasan lebih mudah dilakukan. Salah satu negara yang telah sukses mengurangi 40% dari tingkat deforestasinya hingga sekarang adalah Brazil, yaitu melalui programnya Juma Sustainable Development Reserve (JSDR). Karena itu, cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi deforestasi mengacu pada yang sudah dilakukan Brazil adalah :1. Menghadiahkan pihak yang berkomitmen untuk mewujudkan kawasan zero deforestation, yaitu berupa uang. Penerima uang tersebut harus setuju dan berjanji untuk tidak memperluas daerah pertanian dan padang rumput, kemudian memastikan anak-anak bersekolah dan secara intensif berusaha menghindari kebakaran. Jumlah uang yang diterima bervariasi, bergantung dari larangan yang diberikan, yaitu berkisar antara $25 hingga $70000, ditambah dengan fasilitas seperti kapal dan koneksi internet (bagi yang tinggal di dekat sungai). Uang yang banyak mengacu pada larangan eksploitasi lahan.2. Beberapa komunitas yang tinggal di hutan mungkin bermata pencaharian mengambil sumber daya dari hutan (Contoh di Brazil : Kacang Brazil, Minyal Copaiba, dan Kayu) atau memancing. Yang tidak boleh dilakukan adalah pengambilan kayu.3. Sosialisasi terhadap program perlindungan deforestasi ini dilakukan dengan mengundang perwakilan dari tiap daerah untuk diberikan pengarahan. Hasilnya, 90% dari daerah yang perwakilannya hadir tersebut menandatangani program JSDR.4. Melakukan usaha untuk mengurangi angka kemiskinan, yaitu :

a. Anak-anak dari keluarga yang terdaftar dalam JSDR (beneficiary families) harus sekolah. Tujuannya adalah memberi modal pada anak-anak yang tinggal di hutan untuk dapat meningkatkan peluangnya mendapatkan pekerjaan yang layak di masa depan. Ditambah lagi dengan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan ilmu biologi, pengelolaan hutan, dan ilmu pengetahuan lingkungan.b. Meningkatkan taraf hidup keluarga yang terdaftar, misalnya dengan memperbaiki sanitasi dan akses ke sumber air bersih.c. Memberikan sarana transportasi, misalnya dermaga dan kapal bermotor.d. Memberikan sarana komunikasi, misalnya radio, computer, dan akses internet.e. Memberikan teknologi untuk mengolah hasil hutan yang boleh diambil, misalnya Mesin Pengolah Kacang Brazil, kemudian memberikan akses ke pasar guna meningkatkan pendapatan.5. Meningkatkan transparansi terhadap implementasi program, yaitu mencakup ketegasan petugas/pengawas, keseriusan pemerintah, dan tersedianya biaya.6. Mendeteksi deforestasi dan degradasi hutan sesegera mungkin sehingga dapat diambil tindakan yang cepat dan efektif, misalnya dengan menggunakan radar atau satelit. Dengan melakukan perlindungan terhadap deforestasi, maka mengurangi resiko emisi CO2 yang mungkin terjadi jika hutan tersebut tidak dilindungi dan akhirnya terdeforestasi. Seperti yang terlihat pada gambar 3.2. Garis putus-putus adalah stok karbon hutan jika tidak dilakukan perlindungan terhadap deforestasi.

Gambar 3.2 - Grafik stok karbon vs tahun (dengan atau tanpa proyek REDD)

Ditinjau dari gambar 3.2, maka selisih antara stok karbon (emissions avoided) itulah yang dapat ditukarkan dengan Kredit REDD sehingga menghasilkan uang.

6. Melakukan Reforestasi (Reboisasi)

Konsep reforestasi adalah penanaman hutan yang telah rusak dengan tanaman baru, kemudian dirawat, dan dibiarkan berkembang hingga menjadi hutan dewasa.

Proses reforestasi seperti yang tergambar pada gambar 3.3 adalah :

1. Reforestasi dimulai dengan menemukan hutan yang terdegradasi atau bahkan kosong sama sekali. Hutan yang masih tergradasi memiliki stok karbon yang sedikit, begitu juga dengan aliran penyerapan karbon juga sedikit.2. Area yang terdegradasi tersebut ditanami dengan berbagai jenis pohon dan dirawat.3. Setelah hutan tersebut tumbuh dan menjadi dewasa, maka stok karbon yang terakumulasi adalah sangat besar relatif terhadap sebelum dilakukan reforestasi. Hal ini dikarenakan 50% biomassa dari tumbuhan dalam hutan adalah karbon. Ditambah lagi dengan laju penyerapan CO2 (CO2 sink) yang meningkat sehingga pada akhirnya emisi CO2 global berkurang.

Gambar 3.3 - Proses Reforestasi

Dari gambar 3.3, dapat dilihat bahwa stok karbon hutan setelah reforestasi adalah 150 ton Carbon/ha, sedangkan sebelum reforestasi adalah 10 ton Carbon/ha. Maka stok karbon yang bertambah adalah 140 ton Carbon/ha, dan tentunya didapatkan dari atmosfer (proses fotosintesis menghasilkan glukosa, kemudian glukosa membentuk biomassa tumbuhan). Proyek reforestasi ini mendapatkan Kredit REDD sebesar 140 ton Carbon tiap hektar, dan kredit REDD tersebut dapat dijual. Akan tetapi, agar memenuhi syarat untuk mendapatkan kredit REDD dari reforestasi, maka harus diperhatikan beberapa hal berikut :1. Area reforestasi tidak boleh sudah merupakan hutan.2. Area reforestasi hasus sudah terdegradasi sejak 10 tahun yang lalu.3. Proyek reforestasi harus memberikan kontribusi terhadap konservasi iklim, dapat berupa pengurangan emisi gas rumah kaca.4. Pemilik proyek reforestasi tidak boleh menghentikan proyek REDD+ lain demi mendapatkan proyek reforestasi ini, karena berpotensi menyebabkan kebocoran (leakage). Kemudian untuk melakukan pengukuran terhadap dampak reforestasi, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut :1. Informasi stok karbon hutan mula-mula (sebelum reforestasi).2. Perencanaan reforestasi secara detail, yaitu mencakup luas area, spesies pohon, kerapatan pohon yang ditanam, dan lain-lain.3. Melakukan perhitungan untuk memperkirakan stok karbon sepanjang proses reforestasi, kemudian hasilnya dapat dilihat seperti pada gambar 3.4.

Gambar 3.4 - Grafik stok karbon vs tahun reforestasi

Dari fakta diatas, dapat disimpulkan bahwa reforestasi memberi dampak positif yang sangat besar, meskipun dengan investasi yang besar juga. Dimulai dari efek langsung yang diberikan hutan, misalnya menyerap CO2, mencegah banjir dan erosi, hingga efek ekonomi, yaitu hadiah Kredit REDD yang dapat dijual dan menghasilkan uang lagi.7. Konservasi Kera Besar (Great Apes Survival)

Populasi kera besar sudah mencapai titik kritis di dunia. Kera besar mencakup simpanse, bonobos, gorilla, dan orangutan. Jika perusakan habitatnya terus dilakukan, ditambah lagi dengan perkembangan bisnis daging kera di Afrika, dan peningkatan illegal logging di Indonesia, maka diperkirakan populasi kera besar di dunia akan punah. Kera besar tinggal di ekosistem hutan di 23 negara Afrika dan Asia. Kera besar memegang peranan penting untuk menjaga keseimbangan dan keanekaragaman ekosistem, biasanya dalam hal penyebaran bibit tanaman. Dari fakta ini, jelas bahwa pengurangan populasi kera besar adalah pertanda akan berkurangnya spesies lain di ekosistem tersebut. Kera besar dihadapkan dengan ancaman dari berbagai sumber, yaitu perburuan liar, illegal logging, dan eksploitasi sumber daya hutan. Kera besar diperkirakan dapat punah di alam liar dalam waktu kurang dari 50 tahun. Karena itu, dilakukan konservasi populasi kera besar dan habitatnya melalui strategi yang berkelanjutan. Usaha ini erat hubungannya dengan perlindungan hutan terhadap deforestasi, karena objek yang dilindungi adalah sama. Seperti yang telah dilakukan di beberapa negara, yaitu dibangun fasilitas untuk membudidayakan kera besar. Namun, fokus REDD+ adalah terutama untuk Indonesia, karena Indonesia menampung hutan dan spesies kera besar dalam jumlah besar.8. Implementasi Agroforestasi Umumnya, upaya untuk meningkatkan produksi makanan melalui ekspansi pertanian cenderung mengarah ke deforestasi dan degradasi hutan. Tantangannya adalah bagaimana cara mendesain tanah pertanian untuk menyelesaikan konflik lingkungan dan penghidupan masyarakat, kemudian mempertahankan fungsi ekosistem hutan seperti penyimpanan air, pengaturan erosi, konservasi keanekaragaman hayati, dan rehabilitasi tanah. Cara yang dapat dilakukan adalah menggabungkan antara factor iklim dan kehidupan, adaptasi dan mitigasi, REDD dan pertanian. Agroforestasi diharapkan dapat menjadi kunci keberhasilan dari pendekatan ini. Mengintegrasikan pohon dengan lahan pertanian dalam skala besar dapat menciptakan tambahan penyerapan karbon (carbon sink) sekaligus menjamin produksi bahan pangan yang memadai. Proyek yang berbasis pohon adalah sangat baik untuk mengakumulasikan stok karbon, diatas maupun dibawah permukaan tanah, dibandingkan dengan pertanian murni. Contohnya : proyek hijau di India telah berhasil menunjukkan cara pohon menghasilkan Kredit Karbon, yang berarti menanam uang di pohon. Ahli pohon dan karbon dari Pusat Agroforestasi Dunia menyatakan bahwa jika satu miliar hektar lahan perkebunan (biasanya di Negara berkembang) dapat diubah menjadi lahan yang kaya karbon (stok karbon tinggi), maka jumlah CO2 yang terserap adalah sekitar 50 miliar ton, yaitu sepertiga dari target pengurangan emisi CO2 global. Tentunya, menampung stok karbon bukanlah menjadi tujuan utama dari para petani, tetapi agroforestasi dapat memberikan keuntungan lain bagi petani tersebut. Contohnya : menanam pohon yang dapat menyerap nitrogen dari udara akan mengurangi kebutuhan pupuk nitrogen sebesar 75% sekaligus menambah hasil panen sekitar dua kali lipat. Di samping itu, pohon tersebut dapat meningkatkan kesuburan tanah. Penanaman pohon yang beranekaragam juga dapat membantu menekan angka kerusakan yang disebabkan oleh hama dan penyakit tumbuhan, seiring dengan terjadinya perubahan iklim. Semua proses itu dimulai dengan pemilihan dan penanaman bibit yang baik, perawatan, hingga akhirnya mengakumulasi stok karbon dan menghasilkan Kredit Karbon (Kredit REDD).D. Kendala yang dihadapi REDD+

Walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi untuk mengimplementasikan program-program REDD+ tidaklah mudah. Untuk mengimplementasikan program REDD+, dibutuhkan sistem pengukuran (measuring), pelaporan (reporting), dan verifikasi (verification) agar perhitungan stok karbon dapat berhasil secara akurat. Namun, tidak semua negara, terutama negara berkembang, memiliki teknologi dan pengetahuan ini, termasuk Indonesia. Ditambah lagi masih ada negara atau pihak-pihak yang berbasis ekonomi murni, yaitu menilai eksplotasi hutan menjadi pilihan yang paling menguntungkan. Kendala yang berikutnya adalah masalah pendanaan untuk program REDD+. Negara-negara berkembang umumnya akan kesulitan mendapatkan dana untuk diinvestasikan pada program REDD+. Namun, solusi terhadap kendala ini sudah diupayakan, yaitu dengan memberikan bantuan secara finansial kepada negara yang kesulitan dana.

Isu-isu lain yang menghalangi implementasi REDD+ adalah : 1. Masalah kebocoran pengurangan emisi CO2 (leakage), yaitu mengawasi emisi yang mungkin terjadi di luar proyek dan batas negara.2. Masalah menentukan titik awal, yaitu seberapa besar deforestasi yang sudah dihindari atau sudah terjadi.3. Masalah kelayakan hidup masyarakat asli di hutan yang dilindungi tersebut, yaitu seringkali usaha perlindungan hutan dari deforestasi mengurangi mata pencaharian masyarakat setempat, misalnya masyarakat yang biasanya berburu, memancing, atau bercocok tanam di hutan tersebut.E. REDD+ di Indonesia Hutan Indonesia mencakup dari 60% dari seluruh area daratan, sehingga menjadi area hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Hutan Indonesia bukan hanya penting untuk ekonomi nasional dan kehidupan lokal, tetapi juga terhadap lingkungan global. Hutan tropis Indonesia juga termasuk hutan dengan biodiversivitas makhluk hidup paling tinggi, dan mencakup hutan gambut yang paling luas. Pemerintah Indonesia telah memperkirakan bahwa hutan yang mengalami deforestasi tiap tahunnya adalah sekitar 1.17 juta hektar, dihitung sejak 2003 hingga 2006. Karena itu, pulau-pulau seperti Kalimantan, Papua, dan Sulawesi mendapat perhatian paling intensif dari pemerintah dan REDD+.

Berbicara tentang REDD+ di Indonesia, maka dapat dikatakan program REDD+ di Indonesia belum diimplementasikan dengan baik. Bahkan, dapat dikatakan bahwa Indonesia tidak mengalami kemajuan yang pesat dalam mewujudkan program REDD+. Buktinya adalah sangat jelas, yaitu masih banyak masyarakat Indonesia yang bahkan sama sekali asing terhadap istilah REDD+. Akan tetapi, sosialisasi terus dilakukan, yaitu dengan radio, jejaring telepon seluler, dan artikel-artikel di Internet. Meskipun begitu, sebenarnya yang paling menjadi hambatan bagi Indonesia adalah masalah dana dan teknologi. Belum ada ahli yang dapat dianggap elligible untuk melakukan MRV (measuring, reporting, and verification) untuk menentukan kinerja program REDD+ di Indonesia. Masalahnya adalah pengetahuan dan penguasaan teknologi yang belum dimiliki, misalnya metode pengawasan (monitoring) deforestasi dengan menggunakan satelit dan analisa visual. Masalah lain yang tidak bisa diabaikan adalah sulitnya pengurusan pendanaan oleh badan keuangan negara. Ditambah lagi dengan adanya oknum-oknum yang melakukan korupsi atau bermain di belakang, padahal UN-REDD sudah sangat gigih memberi bantuan dana dan tenaga ahli demi mendukung program REDD+ di Indonesia. Terlepas dari segala kekurangannya tersebut, hingga kini sekurang-kurangnya sudah ada dua proyek yang sedang dilaksanakan REDD+ di Indonesia, yaitu Proyek Rimba Raya (Rimba Raya Biodiversity Reserve REDD Project) di Kalimantan Tengah (Borneo) dan Proyek Ulu Masen (Reducing Carbon Emissions from Deforestation in the Ulu Masen Ecosystem) di Aceh. Proyek Rimba Raya Proyek ini melindungi hutan gambut yang seluas 91215 hektar, di pantai selatan Borneo, Kalimantan Tengah, Indonesia, seperti yang dibatasi oleh garis merah pada gambar 3.5. Hutan ini memiliki jenis vegetasi yang sangat bervariasi dan kompleks. Dimulai dari hutan bakau (mangrove), rawa-rawa, tanah gambut, padang rumput basah, dan lain-lain. Sebelumnya, pada tahun 1980-an dan 1990-an, PT Bina Samaktha dan PT Mulung Basidi secara selektif melakukan penebangan terhadap hutan ini. Pada tahun 1998 dan 2000, perusahaan ini menghentikan operasi tersebut. Namun, hutan tersebut kemudian dapat dengan mudah diakses masyarakat setempat untuk dieksploitasi. Pada tahun 2004, hutan di bagian utara dengan cepat diubah menjadi lahan budidaya minyak palem (palm oil plantation). Sedangkan aktivitas masyarakat lokal pada umumnya adalah memancing dan berburu hewan kecil, meskipun sebagian ada yang melakukan illegal logging. Sejak didirikannya pabrik minyak palem tersebut, sering terjadi perselisihan antara masyarakat lokal dan perusahaan tersebut berkaitan dengan masalah kepemilikan tanah. Pada akhirnya, dibuatlah sistem Surat Kepemilikan Tanah kepada tiap-tiap penghuni desa, yang ditandatangani oleh Kepala Desa. Tanah tersebut kemudian menjadi milik tiap pihak yang bersangkutan dan digunakan untuk keperluan masing-masing. Tiap tahunnya, angka deforestasi di Kalimantan Tengah adalah 5.4% antara tahun 2002 dan 2005. Dari penggambaran satelit, didapatkan sekitar 56% (lebih dari 29000 km2) dari hutan Kalimantan sudah ditebang sejak tahun 1985 hingga 2001. Pada tahun 2006, terbukti bahwa provinsi Kalimantan Tengah merencanakan konversi besar-besaran, yaitu sekitar sepertiga area hutan (2.6 juta hektar), menjadi lahan pohon palem, dengan zona Rimba Raya termasuk didalamnya. Dari uraian sejarah diatas, dimulailah proyek Rimba Raya dengan umur proyek rencana sekitar 30 tahun. Tujuan dari proyek ini adalah memanfaatkan dana yang didapatkan dari penjualan Kredit Karbon (berasal dari proyek Rimba Raya) untuk mengusahakan konservasi terhadap komunitas di sekitar hutan, sekaligus melindungi stok karbon dan biodiversivitas hutan tersebut. Dipandang dari segi lingkungan, proyek Rimba Raya memiliki tujuan untuk menghentikan konversi hutan menjadi lahan pohon palem, sehingga menghindari emisi CO2 sekitar 80 juga ton. Begitu juga dengan sektor biodiversivitas, proyek ini bertujuan untuk memperluas habitat makhluk hidup dan memperjelas batas antara area yang dilindungi. Kegiatan REDD+ untuk mengimplementasikan proyek ini adalah :1. Membangun pos/menara penjaga, yaitu 4 pos tiap tahunnya selama 5 tahun, dengan total 20 pos penjaga. Kemudian 35 orang penjaga terlatih akan dipekerjakan untuk melaukan patroli. Pos penjaga ini dapat memastikan perlindungan area proyek dari illegal logging, perburuan liar, dan gangguan akibat penanaman pohon palem.2. Fire Plan, yaitu menciptakan sistem yang merespon terhadap kebakaran hutan, yang mencakup pasukan pemadam api dengan segala perlengkapannya (kapal bermesin, water cannon, dan lain-lain) dan pembangunan 5 pos/menara pendeteksi api.3. Pengawasan (monitoring plan), yaitu menggabungkan observasi dari darat dan udara untuk mengawasi perkembangan stok karbon dan biodiversivitas hutan.4. Penyuburan dan Rehabilitasi, yaitu area hutan dibagi menjadi 40 blok. Tiap tahun, pelaksana proyek akan melakukan penanaman bibit pada daerah yang kekurangan pohon muda di 4 blok hutan. Sedangkan untuk area yang gundul, dibagi menjadi 60 blok. Tiap tahun, dilakukan rehabilitasi pada tanah gundul, yaitu dengan menanam tanaman asli seperti jabon, binuang, dan makaranga.5. Melakukan pengembangan di bidang sosial, yaitu dengan tujuan mengurangi kemiskinan, kebodohan, kelaparan, bibit penyakit, dan tunawisma.6. Produktivitas pertanian, yaitu dengan membantu masyarakat menghasilkan makanan dengan memaksimalkan tanah pertanian yang sudah ada, sehingga mengurangi angka kebutuhan lahan baru yang dapat mengarah ke illegal logging.7. Satu laptop tiap anak, yaitu memfasilitasi tiap anak dengan laptop murah dan hemat energi, dilengkapi dengan software untuk tujuan edukasi.8. Protein Energy Malnutrition (PEM), adalah kondisi kekurangan kalori dan protein, yang merupakan bentuk yang paling berbahaya dari kekurangan gizi. Metode yang digunakan untuk mencegah PEM adalah akuaponik (aquaponics). Akuaponik adalah kombinasi pembudidayaan tanaman dan hewan air untuk memaksimalkan pemakaian energi dan nutrisi (terutama protein).9. Sistem air bersih, yaitu memperbaiki daerah tampungan air, sistem sanitasi, dan drainase.

10. Kompor hemat, yaitu menyediakan kompor murah untuk memasak, sehingga mengurangi pemakaian kayu sebagai bahan bakar dan mengurangi asap.11. Floating Clinic, yaitu membangun fasilitas klinik apung. Klinik apung dibuat karena memiliki mobilitas yang cepat untuk bergerak sepanjang sungai, sehingga dapat melayani seluruh komunitas yang tinggal di zona proyek ini. Proyek Ulu Masen (Reducing Carbon Emissions from Deforestation in the Ulu Masen Ecosystem), Aceh, Indonesia. Proyek ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, menciptakan pengembangan kehidupan ekonomi dan sosial, dan melestarikan keanekaragaman hayati dalam kurun waktu 30 tahun. Metode yang digunakan adalah perencanaan tata guna lahan, meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum, reforestasi, dan pengelolaan yang berkelanjutan pada sekitar 750 ribu hektar hutan di Ekosistem Ulu Masen. Proyek ini dieksekusi oleh pemerintah Aceh dibantu oleh pemerintah pusat Indonesia. Gunung Ulu Masen terdiri dari hutan yang beranekaragam, disebabkan oleh kondisi geologi yang kompleks, iklim, jenis tanah, dan kontur tanah. Hutan tersebut adalah hutan pinus, hutan daun lebar, dan lain-lain. Kebanyakan dari hutan di dataran rendah telah dikonversi menjadi lahan pertanian atau yang lainnya. Sedangkan area dataran dengan ketinggian lebih dari 500 meter masih merupakan hutan yang berkualitas. Sebelum terjadi tsunami di Aceh, 47 perusahaan Aceh diberi izin untuk melakukan penebangan. Kenaikan ini adalah 150% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sejak terjadinya tsunami, angka penebangan liar dan pengosongan lahan naik hingga angka yang sangat dramatis. Pada Oktober 2005, ditetapkan jumlah penebangan maksimum yang diizinkan adalh sebesar 500 ribu meter kubik. Dari fakta tersebut, jelaslah bahwa ancaman deforestasi di Aceh adalah semakin meningkat ditambah dengan sejumlah besar hutan yang telah rusak di tahun sebelumnya. Keadaan ini diperparah dengan 150 ribu keluarga yang kehilangan rumahnya selama Tsunami Aceh tahun 2004. Sebuah penelitian memperkirakan angka deforestasi tahunan Aceh antara tahun 1985 hingga 1997 adalah sebesar 20796 hektar per tahun. Sedangkan dari tahun 1990 hingga 2000, Aceh telah kehilangan 30952 hektar hutannya. Dan hingga sekarang, pemerintah Aceh telah memberikan konsesi pada 6 perusahaan untuk melakukan penebangan hutan, yang jika ditotalkan, merupakan 60% dari keseluruhan hutan. Proyek Ulu Masen membantu provinsi Aceh untuk menghindari terjadinya 85% dari penebangan legal tersebut. Usaha yang dilakukan adalah :1. Pencegahan Penebangan Legal dengan Reklasifikasi Tanah Pemerintah Aceh sudah membuat komitmen untuk mengurangi area hutan yang boleh ditebang dan sebagai gantinya mendapatkan uang karbon (berasal dari Kredit Karbon). Karena itu, perlu dilakukan reklasifikasi area hutan yang sebelumnya adalah area konversi menjadi area yang dilindungi secara permanen. Uang Karbon yang didapatkan akan digunakan sebagian untuk melakukan reklasifikasi area hutan tersebut. 2. Pencegahan Illegal Logging Proyek ini akan membantu menekan angka illegal logging melalui penegakan hukum, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan untuk masyarakat lokal, menambah penjaga hutan, mengawasi dan melakukan patroli hutan secara transparan. Proyek ini juga memberikan penghidupan yang layak bagi masyarakat lokal yang berkomitmen untuk menjaga hutan. Pemerintah Aceh sudah menyewa 1000 penjaga hutan baru, yang kebanyakan berasal dari komunitas lokal.3. Reforestasi dan Agroforestasi Seperti yang telah dijelaskan pada Sub-Bab sebelumnya, reforestasi dan agroforestasi bertujuan untuk menampung stok karbon dari atmosfer ke dalam biomassa tumbuhan yang awalnya gundul atau rusak berat, juga sebagai investasi masa depan karena memberi kontribusi dalam hal menyerap CO2 dari atmosfer (CO2 Sink).BAB IIIPENUTUPA. Kesimpulan REDD+ adalah komitmen berbagai negara di dunia untuk mengurangi emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan. Usaha yang dilakukan adalah berbasis konservasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan meningkatkan stok karbon hutan. Program-program REDD+ antara lain :1. Pasar Karbon2. Edukasi negara berkembang oleh UN-REDD

3. Melakukan sosialisasi REDD+ terhadap masyarakat

4. Kerjasama UN-REDD dengan negara berkembang

5. Menetapkan kebijakan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan

6. Melakukan reforestasi

7. Konservasi Kera Besar

8. Implementasi agroforestasi

Kendala yang dihadapi REDD+ diantaranya :1. Kurangnya pengetahuan dan teknologi untuk melakukan MRV2. Terbatasnya biaya untuk melangsungkan program REDD+3. Sering terlibat konflik dengan masalah ekonomi dan sosial masyarakat lokal Di Indonesia, perkembangan REDD+ belum begitu pesat, tetapi terdapat dua proyek besar, yaitu Proyek Rimba Raya dan Proyek Ulu Masen. Kedua proyek tersebut bertujuan untuk mengurangi angka deforestasi dan berupaya memulihkan fungsi hutan beserta biodiversivitas makhluk hidup didalamnya.B. Saran

1. Pemerintah seharusnya lebih memberikan perhatiannya pada program-program REDD+, karena hutan tropis memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu negara bahkan hingga tingkat global.2. Masyarakat seharusnya memberi dukungan pada kelangsungan proyek REDD+, karena pelaksana proyek sendiri tidak bisa mencapai tujuannya jika tidak bekerjasama dengan warga setempat, apalagi sampai terjadi konflik.DAFTAR PUSTAKA

http://www.forestcarbonpartnership.org/fcp/node/30

http://www.euredd.efi.int/portal/home/what_is_redd_/

http://redd-net.org/themes/redd-backgrounder-what-is-redd

http://www.un-redd.org/

http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/8620

http://iklimkarbon.com/2010/09/20/eksklusif-implementasi-redd-di-indonesia/

http://www.ids.ac.uk/files/dmfile/LHcasestudy12_REDDBrazil.pdf

http://www.forest-trends.org/documents/files/doc_2860.pdf

http://cap.org.za/workshop_01/session_1/Celia%20Harvey_reforest_REDD_%20session%201.pdfhttp://www.ucsusa.org/global_warming/solutions/forest_solutions/recognizing-forests-role- in.html

http://www.bloomberg.com/news/2011-06-13/deforestation-credits-achieving-premium-prices-cf-partners-says.html

http://www.ucsusa.org/global_warming/solutions/forest_solutions/protecting-trees-protecting.html

http://www.un-redd.org/UNREDDProgramme/CountryActions/Indonesia/tabid/987/language/en-US/Default.aspx

http://www.un-redd.org/Newsletter32/Indonesia_Workshop_Carbon/tabid/106597/Default.aspx

http://www.un-redd.org/Newsletter26/Indonesia_REDD_PGA/tabid/79443/Default.aspx

http://www.scidev.net/en/opinions/africa-needs-agroforestry-to-cut-forest-emissions.htmlGambar 3.5 - Zona Rimba Raya

Gambar 3.6 - Ekosistem Ulu Masen

0