Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah...

52
KPAWW tiada aku atau kamu, yang ada hanya kita dan alam Gunung Sudah Semakin Tua melihat dunia pendakian dari masa ke masa Herman Lantang mencintai alam layaknya mencintai istri # 7 Okt - Nov 2012 www.umumagazine.com

Transcript of Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah...

Page 1: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

KPAWWtiada aku atau kamu, yang

ada hanya kita dan alam

Gunung Sudah Semakin Tuamelihat dunia pendakian

dari masa ke masa

Herman Lantangmencintai alam

layaknya mencintai istri

#7Okt - Nov 2012

www.umumagazine.com

Page 2: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Pendakian Masa LaluSembari memasak makan malam dengan Trangia, sebuah pertanyaan melintas di pikiran: pakai apa ya pendaki jaman dulu memasak? Setelah itu, penelusuran pun dimulai, dan jadilah satu edisi majalah ini.

Coba tanya orang tua, kakek nenek, juga paman, atau orang tua di tempat kita beraktifitas setiap hari, bisa jadi salah satu dari mereka dulunya adalah seorang pendaki. Ajak mereka bercerita mengenai bagaimana pendakian di masa lampau, saat kita masih bayi, atau bahkan belum lahir. Tentu ada banyak perbedaan antara pendakian dulu dan sekarang.

UMU Magazine kali ini mencoba menelisik perilaku pendakian beberapa puluh tahun silam, siapa tahu ada pelajaran yang dapat kita petik. Wawancara khusus dengan pendaki senior pun kami hadirkan untuk melengkapi edisi ini.

Selamat membaca!

Redaksi

Pemimpin RedaksiHerman G. Anugrah

RedakturAmbar Arum

Desainer GrafisEka P. Sari

Web MasterFachran Nazarullah

KontributorAditia KurniawanAris PrawiraPudinkSanti Paramasanti

KontakSaran & [email protected] [email protected]

www.umumagazine.com

Iklan & PromosiEka Nur AripinShah Rendy Rahmana

Staf RedaksiAyu N. Surya

facebook.com/UMUmagz

twitter.com/UMUmagz

UMU Magazine Okt-Nov 20122

Briefing

Page 3: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 3

Daftar Isi

SANINTEN 16

ULAT GULUNG DAUN PISANG 18

GUNUNG SUDAH SEMAKIN TUA 22

MENANAK NASI DI GUNUNG 36

39 BERTELANJANG KAKI DENGAN BAREFOOT SHOES

46 “REACHING THE HEIGHTS”

48 STYLE

50 INTERAKSI

12

PELANGI DI KOMUNITAS PECINTA ALAM WARNA- WARNI

40

HERMAN LANTANG

GUNUNG GEDE PADA MASA ITU...

6

38 MINIMALISIR SAMPAH DI GUNUNG

SUMPAH PEMUDA DI SURYA KENCANA44

Page 4: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas
Page 5: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas
Page 6: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 20126

Catper

Oleh: Aris Prawira (seperti dituturkan kepada Ambar Arum) Foto: Dok. Aris Prawira

Gunung Gede Pada Masa Itu...

Naik gunung sudah menjadi semacam kebiasaan saat saya masih muda. Di tahun 70-an, biasanya

saya naik turun gunung dalam satu hari, tidak menginap. Otomatis tidak membawa banyak barang selain makanan dan minuman. Ritual tersebut saya lakukan selepas ujian karate bersama teman-teman seperguruan.

Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas gunung. Di tahun-tahun ini saya lebih sering melakukan pendakian bersama teman sekantor saya di Kantor Berita Antara.

Main di gunung, liputan di gunung, kram dan beku di gunung sampai ditolong tim SAR, hingga bertemu Rudy Badil di gunung, syukurlah semua itu sudah pernah saya alami di masa muda saya puluhan tahun silam.

Page 7: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 7

Catper

Memang sedikit gunung yang saya jelajahi. Paling sering adalah Gunung Gede Pangrango. Tidak pernah bosan saya bolak-balik ke gunung ini. Selain aksesnya dekat dari tempat tinggal saya di Jakarta, medannya juga tidak terlalu berat.

Dari Jakarta saya naik bus menuju Bogor terlebih dulu. Dari Bogor saya oper mobil angkutan umum sampai ke Cibodas. Bayar tiket lima ratus rupiah, bawaan kami diperiksa sebentar oleh petugas Perlindungan dan Pengawetan Alam.

Tahun 70-an belum ada pemeriksaan barang bawaan oleh petugas, baru sekitar tahun 80-an pengawasan mulai ketat dan diberlakukan pemeriksaan barang sebelum memulai pendakian. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sendiri baru ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian di tahun 1980.

Page 8: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 20128

Catper

Barang bawaan saya sendiri tidak terlalu banyak sebenarnya. Paling utama adalah makanan, wadah minuman, kompor, alat masak, jaket, sleeping bag, ponco, dan kamera tentunya. Rombongan kami tidak terbiasa membawa tenda seperti pendaki lain pada umumnya. Kami lebih senang membuat tenda dari ponco yang kami bawa, atau bermalam di bangunan yang ada di pos.

Seusai diperiksa, perjalanan pun dimulai. Seluruh pendakian saya ke Gunung Gede Pangrango diawali dari jalur Cibodas. Sebagian besar turun melalui jalur Cibodas juga, namun sesekali lewat jalur Gunung Putri. Saking seringnya saya dan teman-teman melewati jalur ini, kami bisa iseng-iseng memprediksi sekaligus mengecek pohon mana yang berpotensi tumbang kalau-kalau terjadi hujan badai. Kadang prediksi kami benar, walaupun sering salah juga. Hahaha...

Page 9: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 9

Catper

Pos Kandang Batu menjadi tempat favorit kami untuk istirahat cukup lama sebelum sampai ke Kandang Badak. Tidak sekedar duduk-duduk, sering juga kami masak-masak sebentar. Selepas Kandang Batu, jalur mulai semakin menanjak dan agak curam di beberapa titik. Beberapa jam kemudian, perjalanan pun sampai di pos Kandang Badak.

Segera kami menuju pos untuk masak dan meluruskan kaki. Kalau tentang makanan, bawaan kami tidak terlalu rumit. Kebanyakan adalah mie instan. Sangat jarang kami membawa beras. Mie instan kami padukan dengan kornet dan telur. Cukuplah untuk menambah tenaga kami satu rombongan. Kami juga membawa roti dan beberapa biskuit sebagai cemilan.

Perut sudah kenyang, langit masih terang. Biasanya kami menghabiskan waktu dengan foto-foto, ngobrol-ngobrol, dan bersantai ria. Gunung memang tempat yang paling pas untuk itu semua. Malam harinya, makan-makan lagi, ngobrol-ngobrol lagi, santai-santai lagi sampai tertidur. Kalau sudah begitu, hidup terasa begitu menyenangkan.

Page 10: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201210

Catper

Suasana di sini umumnya sepi, tidak terlalu banyak pendaki lain, kecuali kalau sedang ada acara khusus. Udara sangat segar, bunga cantik di mana-mana, suara burung pun sangat dekat di telinga. Binatang lain seperti musang sering juga memunculkan dirinya di depan kami. Bicara tentang binatang, pernah saya menemukan kotoran macan ketika mendaki Pangrango. Ciri-ciri kotoran tersebut seperti kotoran anjing, namun besar. Pernah juga di malam hari saya melihat dua cahaya mata besar di antara pepohonan, kelihatannya sih seperti mata macan kumbang.

Di hari kedua, setelah bangun pagi, makan, ngobrol dan bersantai kembali, kami packing sekedarnya untuk mendaki menuju puncak. Lebih sering saya ke puncak Gede daripada puncak Pangrango. Tidak ada alasan khusus. Hanya saja jalur menuju puncak Gede lebih mudah untuk didaki.

Di puncak Gunung Gede inilah kaki saya pernah kram. Jari-jari tangan sudah mati rasa. Bergerak pun sulit. Waktu itu saya sedang meliput acara pelatihan pramuka. Cuaca memang cukup ekstrim saat itu. Air yang baru mendidih saja sama sekali tidak terasa panas ketika di mulut. Untungnya tim SAR ikut serta dalam pendakian tersebut. Saya dibantu turun dengan menggunakan tongkat.

Biasanya saya memang pemilih dalam menentukan waktu mendaki, sebisa mungkin tidak pada saat musim hujan. Pendakian ketika hujan lebih banyak menguras energi karena jalur jadi lebih licin, belum lagi hujan membuat bawaan basah sehingga jadi semakin berat. Apalagi kalau badai, dinginnya membuat badan beku. Namun saat itu ada tugas meliput, jadi apa boleh

Page 11: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 11

Catper

buat. Teman wartawan lain malah iseng menuliskan nama saya di korannya ‘... salah satu wartawan, Aris Prawira, yang ikut mendaki, mengalami cedera saat menuju puncak Gunung Gede’. Hahaha, ada-ada saja. Waktu itu sempat saya gunting beritanya, tapi sekarang entah di mana.

Terakhir saya mendaki di tahun 90an. Setelah itu, kesibukan dan kondisi fisik perlahan menjauhkan saya dari dunia gunung. Namun sebenarnya tidak jauh-jauh amat, karena beberapa tahun kemudian, anak-anak saya ternyata juga suka mendaki gunung ketika mereka di SMA. Hingga sekarang sudah bekerja pun, mereka masih rajin mendaki.

Saya lihat sudah banyak perubahan di pendakian masa kini. Paling mudah adalah peralatan gunung. Saat mendengar anak saya mau mendaki, saya berikan sleeping bag dan ransel yang dulu saya gunakan ketika naik gunung. Namun itu ditolak oleh mereka, ternyata sleeping bag mereka sekarang lebih kecil, ranselnya pun beda. Ah, semoga di gunung tidak terlalu banyak perubahan. Tetap indah dan cantik seperti dulu saya ke sana. []

Page 12: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201212

Profil

Teks: Ayu N. SuryaFoto: Pudink

H e r m a n L a n ta n g

Sekarang ini, dunia pendakian sudah semakin populer. Tapi bagi Herman Onesimus Lantang, salah satu pendiri MAPALA UI, banyak sekali perbedaan dalam dunia pendakian gunung dahulu dan sekarang. Berikut petikan wawancara dengan beliau saat redaksi UMU Magazine berkunjung ke kediamannya di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, sambil ditemani empat ekor anjing piarannya.

Page 13: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 13

Profil

Page 14: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201214

Profil

Kapan nih Opa pertama kali kenal dengan dunia petualangan?

Dari kecil sudah terbiasa, karena saya sering diajak ayah naik gunung-gunung di daerah Tomohon - Manado. Ayah saya kalau naik gunung sangat memperhatikan sopan santun, pakaiannya rapih. Ada foto tahun 30-an dia pake jas dan dasi putih-putih kayak intelektual Belanda.

Terus gimana ceritanya jadi pendiri MAPALA UI?

Awalnya saya terpilih jadi ketua senat di Fakultas Sastra UI. Tau kenapa? Tipsnya adalah jangan punya cewek, dengan semuanya saya dekat dan akrab. Mau yang kaya, miskin, cakep, nggak cakep, pokoknya ngetop deh, dan saya nggak jelek-jelek amat kan hahaha. Untuk sastra saya cukup macho, kalo di kedokteran atau ekonomi sih saya kalah. Akhirnya saya jadi ketua senat Fakultas Sastra, dalam keanggotaannya banyak terdapat seksi, salah satunya seksi penggemar alam yang akhirnya namanya dirubah menjadi mahasiswa pecinta alam pada tahun 1964. Hebatnya Soe Hok Gie sudah melihat bahwa nanti ormas (organisasi masyarakat, red) akan menguasai fakultas, jadi sebelum pimpinan senat membubarkan MAPALA, dia jadikan MAPALA otonomi dibawah Dekan dan Rektor. Bayangkan tahun 1964 dia sudah berpikir seperti itu.

Pendapat Opa tentang gunung yang dahulu dan gunung yang sekarang?

Gunungnya sih biasa tapi kelakuan orangnya yang berbeda. Sebab kalau sekarang setiap orang yang naik gunung dianggap macho, hebat. Kalau dulu naik gunung tujuannya benar-benar ingin ke alam yang suasananya berbeda dengan di kota. Kami pecinta alam, bukan penakluk alam. Apalagi dulu itu bukan untuk cari ngetop. Sekarang nampaknya

banyak yang mendaki tapi tidak menjiwai dan hanya ingin dikenal sebagai pendaki. Dulu setiap sampai di puncak gunung kami selalu menyanyikan lagu nasional, berbeda dengan sekarang kebanyakan pendaki nyanyi-nyanyi bawa pengeras suara. Kasihan burung dan binatang lainnya pergi, jadi kurang menjiwai. Kita ke sana untuk mendengar suara burung, suara air, suara angin, sekarang kan enggak.

Sekarang jadinya ajang keren-kerenan ya...

Iya. Seperti kita beragama, kita terapkan gak ajaran agama kita. Sekarang sudah banyak nilai yang berubah. Anggota pecinta alam, tapi kelakuannya tidak sesuai. Kalau mencintai alam, seharusnya tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Anak saya bukan MAPALA, tapi habis makan permen, sampahnya dikantongi, itu otomatis. Kode etik pecinta alam bisa dihafal, tapi diterapkan gak? Yang penting penerapan. Memakai nama pecinta alam, itu sebenarnya berat lho, sederhana namun berat. Tapi semua mengklaim jadi MAPALA.

Bersama istri tercinta di Lembah Mandalawangi

Pisau kesayangan yang selalu dibawa kemana-mana.

Page 15: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 15

Profil

Untuk masalah peralatan, perbedaan jaman dahulu sama sekarang gimana tuh Opa?

Beruntunglah kalian. Karena waktu jaman saya tidak ada kompor yang tinggal cetek langsung keluar api. Sekarang banyak peralatan mendaki yang praktis, ukurannya lebih kecil dan ringan. Sekarang nyaman jadinya enak, tapi nanti sekalinya nggak ada kompor, nggak bisa makan. Ya memang jamannya berbeda. Dulu hanya bermodalkan pisau tebas dan korek api saya bisa survive, bahkan membuat crampon dari rotan.

Cita-cita Opa waktu kecil apa?

Pelukis. Karena dari kecil saya tidak suka dengan pelajaran matematika, kimia, fisika, itu pasti saya ngga nyambung belajarnya. Tapi sampai sekarang

belum kesampaian karena terlalu sering main di alam, jadi lupa sama cita-cita waktu kecil.

Opa punya idola?

Banyak. Antara lain Profesor M. T. Zen seorang pendaki gunung, ahli vulkanologi, sejarahwan, ahli matematika yang sangat low profile walaupun sudah menyandang Bintang Mahaputra. Beliau merupakan lulusan Fakultas Teknologi Universitas Indonesia atau yang sekarang disebut Institut Tekhnologi Bandung (ITB). Beliau sesepuh di MAPALA UI, banyak mengajarkan saya nilai-nilai patriotik, cinta tanah air, dan mengajarkan tentang hidup yang apa adanya. Beliau juga mempunyai tulisan-tulisannya yang sangat menarik, salah satunya membuat surat

terbuka untuk MAPALA UI tahun 1964. Soe Hok Gie yang memperkenalkan dia ke saya.

Apa yang membuat Opa selalu ingin kembali lagi ke gunung?

Karena digunung saya menemukan kebesaran Tuhan dan ciptaannya. Walaupun saya sudah stroke, kaki patah, dimarahi istri tidak akan membuat saya berhenti ke gunung. Bahkan kedua anak saya pun cinta akan alam, mereka juga suka mendaki gunung.

Saat ini sudah semakin banyak pendaki, apa pesan Opa buat mereka?

Kembali menjadi pecinta alam deh, nggak usah jadi jago-jagoan. Jangan hanya nafsu sejenak, setelah itu tak berkesan. Mencintai istri sama seperti mencintai alam. Makanya ribuan kali naik gunung saya gak akan bosan. Istri saya sudah tua, saya tetap cinta, dia punya inner beauty. Alam pun punya inner beauty, yang hanya bisa dinikmati oleh orang yang mencintainya, bukan nafsu sejenak atau ikut-ikutan saja. []

Page 16: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201216

Flora

Anak-anak di kaki Gunung Papandayan atau Pangrango tentu sangat familiar dengan pohon saninten. Rimbunnya menyejukkan, sementara buahnya yang jatuh sering mereka punguti, entah untuk mainan atau dibawa ke rumah dan menjadi cemilan.

Teks: Aditia Kurniawan Foto: Herman G. Anugrah

Saninten

Namun mungkin mereka tidak tahu bahwa di luar sana, yang mereka punguti merupakan komoditi dengan nilai ekonomis tinggi bernama chestnut. Ya, chestnut adalah biji yang berasal dari isi buah saninten yang dalam bahasa latin bernama Castanopsis argentea.

Pohon saninten yang bisa mencapai tinggi 15 meter ini merupakan tanaman khas daerah tropis. Daunnya bertepi rata, lanset, dan berwarna hijau kemerahan saat muda. Buahnya berduri, sulit terbuka, dan menyimpan dua biji dengan kulit yang keras.

Biasanya buah saninten akan berjatuhan dan menghiasi area bawah pohon, entah itu jatuh secara alamiah atau terjatuh dari genggaman monyet. Ya, memang saninten adalah salah satu makanan favorit monyet.

Page 17: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 17

Flora

Cara untuk menikmati saninten adalah dengan mengambil bijinya lalu digoreng tanpa minyak atau disangrai, supaya kulit biji yang keras dapat mudah terbuka dan daging bijinya terasa lebih enak. Sementara di Thailand banyak ditemukan para penjual yang memasak saninten dengan menggunakan pasir panas dalam wajan besar.

Sekarang banyak yang mulai menanam pohon saninten, karena selain buahnya bisa dikonsumsi, batangnya juga termasuk kayu dengan kualitas yang cukup baik. Saninten ditanam dengan dengan cara menyebar biji yang akan berkecambah selama 31 hingga 52 minggu. Tanaman ini akan berbuah setelah 5 tahun dan pada kebanyakan daerah biasanya pohon saninten akan banyak berbuah sekitar bulan Oktober.

Tidak semua jenis Castanopsis bisa dikonsumsi, walaupun bentuknya mirip dengan saninten (Castanopsis argentea), ada yang ukuran buahnya lebih besar atau bahkan dengan warna yang lebih mencolok. Jadi sebaiknya bertanya dulu kepada penduduk sekitar jika kamu akan mengkonsumsi biji buah yang sering disebut dengan rambutan hutan ini. Selamat mencoba. []

Page 18: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201218

Fauna

Ada udang di balik batu, itu berbahaya.

Ada udang di balik bakwan, itu enak.

Nah kalau ada ulat di balik daun,

itu bisa berbahaya, tapi juga bisa

menjadi sesuatu yang sangat enak.

Page 19: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 19

Fauna

Coba tengok ulat yang satu ini, Erionota thrax namanya, masyarakat Indonesia menyebutnya dengan nama ‘ulat gulung daun pisang’. Walaupun bentuknya gemuk dan menggemaskan, ia tetap hewan perusak. Erionota thrax merusak lembaran daun pisang dengan menggulung daun muda, kemudian memakannya sedikit demi sedikit dari dalam hingga ke bagian luar gulungan daun.

Larvanya berwarna hijau muda, ditutupi lapisan tepung berwarna putih, dan panjangnya sekitar 7 cm. Di balik semua fakta biologisnya, ulat ini beserta teman-teman satu familinya menjadi hewan buruan konsumsi, baik itu untuk makanan burung, atau bahkan untuk dilahap oleh si pemilik burung.

Pada beberapa suku tradisonal di negara di Asia, ulat gulung ini beserta famili terdekatnya yaitu ulat bambu dan ulat sagu, sering dikonsumsi, baik itu dimasak ataupun dimakan langsung mentah-mentah, seperti suku Kamoro, di Papua.

ulat gulung DaunP isangTeks: Aditia Kurniawan Foto: Istimewa

Ulat ini tersebar hampir di semua sudut dunia, terutama Asia Tenggara, Asia Timur, India dan Mauritius. Sama halnya dengan tanaman sumber makanan mereka, yaitu daun pisang, yang juga bisa ditemui hampir di seluruh dunia.

Habitat Erionota thrax cenderung lebih banyak ditemukan di dataran rendah dibandingkan di dataran tinggi, sejalan dengan karakteristik pohon pisang yang tidak bisa tumbuh di daerah tinggi. Jumlah populasinya akan jauh meningkat pada musim kemarau dan pada tanaman pisang yang tumbuh terlindung dari terpaan angin.

Kini kita telah mengenal ulat gulung daun pisang. Maka setidaknya nanti kalau bertemu dengan pohon pisang ketika mendaki, kita jadi tahu bahwa dalam keadaan yang sangat amat terdesak, ada ulat yang bisa dimakan di situ. []

Page 20: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas
Page 21: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas
Page 22: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201222

Essay

Where have all the flowers gone? Long time passing Where have all the flowers gone? Long time ago Where have all the flowers gone? Young girls picked them every one When will they ever learn? When will they ever learn?

(Where Have All the Flowers Gone – Joan Baez)

Page 23: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 23

Essay

Teks: Ambar Arum Foto: Dok. Aris Prawira

Gunung Sudah Semakin Tua

Selayaknya manusia bertambah usia, demikian pula gunung bertambah tua. Tanpa ada tiup lilin atau acara makan-makan, gunung terus

bertumbuh. Sementara itu, sudah semakin banyak manusia meninggalkan jejak di sini. Perubahan pun tidak terhindarkan, di satu sisi ke arah positif, di sisi lain ke arah negatif. Di setiap jengkal berubahnya gunung, kita manusia ikut andil di dalamnya.

Melalui perubahan tersebut, terselip beberapa pesan, beberapa diantaranya merupakan pesan tanda bahaya, yang apabila kita abai, kerusakan akan semakin parah. Bersamaan dengan itu, dapat pula dipetik pelajaran berharga dari sebagian kebiasaan di masa lalu.

Page 24: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201224

Essay

Kalau sekarang sudah menjamur merek dan toko-toko peralatan outdoor di mana-mana, dulu kebanyakan pendaki menggunakan peralatan biasa untuk mendaki gunung, baik itu ransel, jaket, dan lain sebagainya. Tas yang dipakai untuk bepergian keliling kota, itu juga yang dipakai untuk mendaki. Jaket untuk bergaya di kota, itu juga yang digunakan di gunung, yang penting sama-sama memiliki fungsi untuk menghangatkan badan. Belum ada jaket dengan segala macam istilah seperti sekarang, sebutlah windproof, waterproof, dan sebagainya.

Di Indonesia sendiri, produk alat outdoor lokal pertama kali baru muncul di tahun 1978 dengan nama Jayagiri, diikuti dengan Alpina, dan merek-merek lain. Kala itu nyaris sulit ditemukan merek luar. Sementara sekarang baik produk merek lokal maupun internasional begitu mudah didapatkan. Jenis peralatannya pun semakin bervariasi seiring berkembangnya teknologi.

Dahulu lumrah ditemukan tas ransel besar yang dikaitkan dengan rangka carrier untuk menopang bentuknya punggung agar lebih nyaman saat digunakan. Kini tas mendaki, atau lebih populer dengan sebutan ‘keril’, telah banyak yang memiliki sistem sirkulasi udara yang baik di daerah punggungnya, sehingga sanggup membuat bawaan terasa lebih ringan.

Sleeping bag dahulu kala populer dengan model mummy di mana resleting terdapat di bagian tengah depan, dengan besar ketika dikemas mencapai panjang 35 cm. Sleeping bag saat ini panjang maksimalnya hanya 25 cm, dengan bahan polar di bagian dalam serta variasi resleting di pinggir yang membuatnya dapat dibuka lebar seperti selimut.

Page 25: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 25

Essay

Foto: Ambar Arum

Page 26: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201226

Essay

Foto: Ambar Arum

Page 27: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 27

Essay

Mengenai perijinan, saat ini beberapa gunung, terutama yang berada dalam area Taman Nasional mewajibkan pendaki untuk mengurus Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) terlebih dulu. Tentunya ini bukan tanpa sebab, peraturan tersebut dibuat salah satunya adalah untuk membatasi jumlah kunjungan pendaki agar keseimbangan ekosistem gunung dapat terjaga. Juga memastikan pendaki membawa peralatan yang memadai untuk melakukan sebuah pendakian.

Puluhan tahun silam memang belum ada peraturan SIMAKSI, dahulu umumnya pendaki hanya perlu membeli tiket kemudian bisa langsung mendaki. Tahun 80-an, barang pendakian mulai diperiksa oleh petugas PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam) setempat.

Page 28: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201228

Essay

Foto: Herman G. Anugrah

Page 29: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 29

Essay

Urusan logistik, terlihat perbedaan yang cukup signifikan, terutama minuman. Hingga tahun 80an, belum banyak tersedia botol air minum kemasan seperti sekarang. Sehingga pendaki pada tahun itu membawa botol minum sendiri untuk menjadi wadah air selama mendaki. Tentunya ini membuat produksi sampah saat itu jadi jauh lebih minim dibandingkan saat ini.

Sementara untuk alat memasak, tentu sekarang sudah lebih ringkas dengan adanya Trangia serta kompor gas lipat. Dulu pendaki harus membawa kompor gas dengan volume yang lebih besar dan berat, atau kompor minyak tanah yang dinyalakan dengan dipompa.

Page 30: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201230

Essay

Informasi mengenai gunung juga bukan perkara mudah saat itu. Media mengenai lingkungan hidup serta pendakian masih sangat minim. Beberapa diantaranya adalah majalah Suara Alam yang diterbitkan oleh Yayasan Indonesia Hijau pada tahun 1978-1989, kemudian dilanjutkan dengan majalah Voice of Nature dengan konsep sejenis. Juga ada tabloid Mutiara yang populer di kalangan para pendaki tahun 80an. Sementara untuk berita-berita up to date, mereka mengandalkan koran Kompas yang terbit setiap hari.

Saat ini, walaupun juga belum terlalu banyak buku, tabloid maupun majalah yang membahas tentang pendakian, namun di dunia maya semua informasi tersebut sudah sangat mudah didapatkan. Banyak situs, majalah elektronik, serta akun sosial media yang marak mengulas topik pendakian sehingga akses informasi pendaki masa kini sudah cukup mudah.

Page 31: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 31

Essay

Foto: Evi Marlina

Page 32: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201232

Essay

Foto: Dwie Bayu

Page 33: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 33

Essay

Foto: Herman G. Anugrah

Page 34: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201234

Essay

Dengan semua perubahan tersebut, ada beberapa hal yang patut disyukuri, sebagian patut disayangkan. Kemajuan teknologi telah memberi kenyamanan dan kemudahan bagi pendaki sekarang ini. Namun semakin bertambahnya populasi pendaki yang tidak diimbangi dengan kesadaran untuk menjaga alam membuat gunung sekarang ini jadi lebih merana.

Sementara gunung semakin tua, hanya satu harapan yang terus dikumandangkan setiap hari, kalau saja kita dapat mendengarnya, yaitu agar kita tetap menjaga keasliannya. Semoga semua pendaki bisa mengabulkan harapan sederhana ini. Cinta kita kepada alam tidak akan pernah bertepuk sebelah tangan. Setiap tindakan pelestarian alam, sekecil apapun itu, tidak akan pernah sia-sia. []

Foto: Herman G. Anugrah

Page 35: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 35

Essay

Page 36: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201236

Logistik

Menanak Nasi di Gunung

Teks: Santi Paramasanti Foto: Herman G. Anugrah

Mungkin ada beberapa dari kita yang pernah punya pengalaman buruk dalam mengolah beras menjadi nasi saat di gunung. Saya pernah mengalami itu dan berakibat fatal: ledekan yang tak kunjung usai dari teman-teman. Trial and error kadang memang diperlukan untuk mendapatkan suatu komposisi yang paling pas dan maknyus. Intinya, jangan menyerah! Saya akan coba bagikan trik untuk mendapatkan nasi yang oke.

PersiapanLangkah pertama yang dilakukan adalah membersihkan kerikil kecil dan gabah yang ada di beras. Hal sepele tetapi perlu dilakukan, kenapa? Karena jika terkunyah akan sangat mengganggu kenikmatan pada saat makan. Proses selanjutnya adalah mencuci beras. Proses ini bisa dilakukan hanya jika persediaan air berlebih, atau dekat dengan sumber mata air.

Page 37: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 37

Logistik

KomposisiApapun peralatannya, hal yang perlu diperhatikan pertama-tama adalah komposisi perbandingan banyaknya beras dan air. Beras yang akan ditanak maksimal adalah 1/3 dari permukaan nesting/panci, dengan komposisi air setinggi dua ruas jari telunjuk dari permukaan beras. Ingat ya jari telunjuk, bukan jari kelingking (pastikan kondisi tangan bersih sebelum dicelupkan)

Proses MemasakMasak beras dalam nesting tertutup dengan api sedang, jangan terlalu besar. Kenapa harus tertutup? Karena ini akan mempercepat proses pematangan. Kondisi tutup tidak boleh terlalu rapat, beri celah sedikit untuk jalan keluar asap. Jika sudah bergolak, aduk-aduk agar bagian bawah tidak gosong. Ini boleh dilakukan 2 sampai 3 kali, jangan terlalu sering karena semakin sering membuka tutup akan mengganggu proses pematangan.

Jika kondisi nasi sudah tak mengandung banyak kadar air, aduk sekali lagi untuk meratakan bagian bawah dan atas. Terakhir kecilkan api, karena proses ini hanya untuk mematangkan dengan sempurna. Jika sudah tidak mengandung air dan tidak lengket lagi maka nasi sudah dinyatakan matang.

Nah, gampang kan? Selamat mencoba. []

Page 38: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201238

Tips & Trik

M i n i m a l i s i rS a m p a hdi GunungTeks: Ayu N. SuryaFoto: Istimewa

Jika membawa beberapa makanan - instan dalam kemasan, keluarkan dari pembungkus plastiknya, lalu taruh dalam satu wadah sehingga sampah plastiknya tidak perlu dibawa naik. Lebih baik lagi bila tidak terlalu banyak membawa makanan atau minuman dalam kemasan.

Kopi, susu atau minuman - sachet lainnya bisa disiasati dengan membeli dalam kemasan besar sehingga cukup satu kantong untuk menyeduh satu jenis minuman berkali-kali sepanjang pendakian.

Jangan terlalu boros bahan bakar, - terutama bila menggunakan kompor gas. Bisa diakali dengan membawa lauk siap makan dan tahan lama, seperti abon, rendang atau kering kentang. Lebih sedikit memasak, lebih sedikit pula tabung gas yang habis, otomatis sampah pun berkurang.

Hindari barang sekali pakai buang. - Sebagai contoh, bawa alat makan yang dapat dicuci dan digunakan berulang kali.

Kurangi bawaan botol minum - plastik kemasan. Untuk memenuhi kebutuhan wadah air selama mendaki, manfaatkan botol minum yang dapat lebih lama dipakai seperti botol minum lipat atau botol dari bahan aluminium.

Sudah banyak himbauan untuk mengurangi sampah, namun produksi sampah masih terus meningkat. Tidak terkecuali di atas gunung, oleh kita para pendaki. Kalau mengaku mencintai alam, tidak seharusnya pendaki mengotori gunung dengan sampah. Untuk dapat meminimalisir sampah ketika pendakian sebenarnya mudah, intinya adalah kurangi bawaan yang berpotensi menjadi sampah. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan:

Tidak terlalu sulit bukan?! Siapapun bisa melakukannya. Bersamaan dengan mengurangi produksi sampah, tips diatas juga ampuh untuk membuat pendakian jadi lebih hemat dan tentunya bawaan lebih ringan karena tidak terlalu banyak membawa sampah ketika turun gunung. Jangan pernah meninggalkan sampah di gunung. Mari mulai dari sekarang kita berbenah diri untuk mengurangi hal-hal yang bisa menghasilkan sampah. []

Page 39: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 39

Gear

Bertelanjang Kaki Kaki begitu sederhana ketika dilihat dari luar, namun didalamnya terdapat 26 tulang, 33 sendi dan lebih dari 100 otot, tendon serta ligamen. Masalah yang terjadi pada kaki bisa menyebabkan masalah pada bagian tubuh lain. Karenanya, kaki menjadi salah satu bagian penting dalam tubuh kita, terutama untuk menunjang kegiatan di alam bebas.

Pada edisi ini kami akan membahas mengenai sepatu minimalis atau lebih dikenal dengan barefoot shoes. Sepatu ini berbeda karena desain sepatunya mengikuti lekukan kaki kita, sehingga terasa sangat nyaman. Manfaat lainnya adalah mengurangi cedera dan rasa letih pada kaki.

Karena bobot yang lebih ringan dibanding sepatu outdoor biasa, maka barefoot shoes ini bisa dikategorikan sebagai salah satu ultralight gear. Kaki pun jadi lebih lincah ketika melangkah. Barefoot shoes dipakai tanpa kaos kaki, memberikan sensasi ‘nyeker’ dan membuat kita lebih merasakan tekstur tanah atau medan yang diinjak, namun tetap melindungi

kaki. Dengan demikian, kaki terasa lebih nyaman untuk berjalan ataupun berlari di berbagai medan.

Ada banyak merek yang bisa dilirik antara lain Nike, Adidas, Fila, Five Finger, New Balance, Merrel, dll. Sepatu ini lebih mudah didapatkan di toko sepatu olahraga, namun juga ada di

sebagian kecil toko peralatan outdoor. Kisaran harga dimulai dari 600.000 rupiah ke atas. Di bawah harga itu, bisa jadi barangnya palsu.

Pandai-pandailah memilih, karena barefoot shoes memiliki banyak tipe untuk berbagai medan. Hal yang harus diperhatikan adalah ketebalan sol, sesuaikan dengan medan yang akan kita tempuh. Untuk kegiatan outdoor sebaiknya pilih sol yang lebih tebal, agar terhindar dari rasa sakit saat menginjak kerikil atau batu. Selain itu, pilih bentuk tapak sepatu yang sesuai, jangan sampai terpeleset atau licin ketika menggunakannya. []

dengan

Barefoot ShoesTeks: Shah Rendy Foto: Istimewa

Page 40: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201240

Komunitas

Pelangi di Komunitas Pecinta Alam

Teks: Ayu N. SuryaFoto: Dok. KPAWW

Gatal naik gunung membuat Rudy Priyanto, seorang ayah dua anak berinisiatif membuat a jakan mendaki Gunung Papandayan di forum komunitas maya Kaskus dengan sub-forum Outdoor Adventure & Nature Club (OANC). Dari situ terjaring sekitar 20 orang, dan berangkatlah mereka

mendaki gunung dan lewati lembah di Papandayan.

Warna-Warni

Page 41: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 41

Komunitas

Seluruh peserta pendakian memiliki latar belakang yang berwarna-warni, ada yang masih sekolah, ada yang bekerja, bahkan sudah memiliki anak. Profesi mereka pun sangat beragam, ada wartawan, dokter, engineer, akuntan, personalia, dan masih banyak lagi. Fakta-fakta inilah yang menginspirasi mereka memberi nama komunitas ini Kelompok Pecinta Alam Warna Warni atau disingkat KPAWW. 19 April 2011 terpilih sebagai hari jadi mereka.

Ceria menjadi semacam motto bagi KPAWW. Kata ceria selalu disematkan dalam tiap judul perjalanan mereka, seperti Ekspedisi Ceria ke Semeru, Ekspedisi Ceria Gunung Gede, hingga Diklat Ceria Asyiknya Mendaki Gunung. Keceriaan memang selalu mewarnai pendakian mereka. Rasa lelah, beban berat, seperti apapun duka yang ada di gunung, disikapi dengan hati riang. Sebab alam sudah begitu indahnya, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak ceria.

KPAWW juga mewarnai kegiatan mereka dengan aktivitas sosial. Salah satu yang pernah dilakukan adalah Kemping Plus Berbagi ke Desa Cisadon. Acara ini dilaksanakan bertepatan dengan dengan ulang tahun KPAWW yang pertama pada April 2012 kemarin. Cisadon merupakan desa di daerah Bogor yang sebenarnya tidak jauh dari pusat kota, namun dapat hidup mandiri meskipun tidak ada listrik maupun sekolah formal.

Saat ini anggota KPAWW terdiri dari 348 orang tanpa ada pembagian regional resmi, tetapi banyak anggota yang berdomisili di berbagai kota. Walaupun baru berusia satu tahun, harapan para anggota KPAWW tidak muluk-muluk. Mereka hanya ingin lebih solid dan punya nilai manfaat lebih banyak lagi untuk alam dan siapapun, baik anggota maupun masyarakat di luar KPAWW.

KPAWW terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang apapun. Tidak perlu lagi khawatir tidak

Page 42: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201242

Komunitas

ada teman sebaya atau tidak nyambung bila ngobrol dengan mereka. Semua keberagaman itu disatukan dalam kecintaan serta antusiasme yang sama, yaitu untuk menikmati keindahan alam Indonesia, khususnya melalui pendakian gunung. Seperti yang termaktub dalam semangat mereka bahwa ‘Tiada Aku atau Kamu, yang Ada Hanya Kita dan Alam’. Sukses selalu untuk KPAWW. []

Page 43: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 43

Komunitas

Page 44: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201244

Event

Ketika kalender sampai pada tanggal 28 Oktober setiap tahunnya, berbagai acara digelar di berbagai tempat dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda. Tidak terkecuali di alun-alun Surya Kencana, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

SUMPAH PEMUDAdi Surya KencanaTeks: Ayu N. SuryaFoto: Pudink

Ingin mempersembahkan sesuatu yang luar biasa untuk perayaan Sumpah Pemuda kali ini, komunitas FRAME menggagas upacara pengibaran bendera Merah Putih raksasa dengan ukuran 800 meter persegi tepat pada 28 Oktober 2012 yang jatuh di hari Minggu. 50 peserta tangguh dari Siswa Pecinta Alam (SISPALA) se-Jabodetabek ikut berpartisipasi mewujudkan acara itu.

Secara bergantian, bendera dibawa naik melalui jalur Gunung Putri menuju Surya Kencana. Walaupun beban bawaan berat dan sempat diterpa hujan, namun semangat tidak sedikitpun luntur dari dalam diri mereka.

Page 45: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 45

Event

Upacara pembentangan Sang Saka Merah Putih pun berlangsung khidmat. Bukan hanya peserta, mayoritas pendaki yang ada di alun-alun Surya Kencana turut serta bersama-sama membentangkan Sang Saka Merah Putih hingga dapat berkibar megah. Alam dan rasa nasionalisme telah mempersatukan kami semua para pendaki dalam peringatan Sumpah Pemuda kali ini.

Indonesia Raya, Garuda Pancasila, Berkibarlah Benderaku, dan lagu wajib nasional lainnya dinyanyikan dengan lantang oleh seluruh pendaki. Pastinya tidak ketinggalan, teks Sumpah Pemuda diteriakkan untuk mengingatkan janji para pemuda bangsa Indonesia.

Henry Dunnant pernah berkata: “tidak akan hilang pemimpin suatu bangsa jika pemudanya masih ada yang suka masuk hutan, berpetualang di alam bebas dan mendaki gunung.” Semoga acara ini tidak hanya berhenti sebagai momen tahunan saja, namun sekaligus sebagai lambang bahwa komitmen pendaki untuk menjaga tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia juga sebesar bendera raksasa yang terbentang. []

Page 46: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 2012UMU Magazine Ags-Sep 201246

Event

“Reaching the heights” Bersama ISSEMU dan Khoo Swee ChiowTeks: Ambar Arum Foto: Herman G. Anugrah

Sabtu (17/11) pagi, gedung Setiabudi 2 yang berlokasi di Kuningan, Jakarta Selatan, padat dengan wajah-wajah para penggiat kegiatan alam bebas. Tujuan mereka satu, untuk mengikuti seminar “Reaching the Heights” yang diadakan oleh Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Parahyangan (Mahitala Unpar).

Seminar ini menghardirkan tim Indonesia Seven Summitters Expedition Mahitala Unpar (ISSEMU) serta salah satu seven summiters dari Singapura, Khoo Swee Chiow. Di saat begitu banyak pendaki berbondong-bondong menghabiskan liburan ke gunung, sebagian dari mereka, terutama yang tinggal di Jakarta, rela bangun pagi-pagi untuk datang ke sini.

Sesi pertama seminar diawali dengan pemaparan oleh ISSEMU mengenai ekspedisi tujuh puncak dunia yang mereka lakukan. Berawal dari perjalanan sebelas anggota Mahitala Unpar ke puncak tertinggi Indonesia, Cartenz, kemudian

muncul usulan untuk melanjutkan ke enam puncak lainnya. Ketika keinginan bertemu dengan kesempatan dan skill yang memadai, maka terwujudlah mimpi kebanyakan pendaki Indonesia: menancapkan merah putih di tujuh puncak dunia.

Ekspedisi tidak melulu mulus. Mereka sempat sulit memperoleh ijin saat mendaki ke Vinson Massif di Antartika. Salah paham dengan guide sempat terjadi di Elbrus. Ditambah dengan homesick di sela-sela pendakian meraka, dan masih banyak lagi. Namun kerja sama tim dan keinginan yang kuat dari dalam hati membuat segala rintangan dapat dilewati dengan baik.

Setelah istirahat sejenak, seminar dilanjutkan oleh Khoo dengan segudang cerita pengalaman dia menjelajah berbagai gunung. Tahun 1998 puncak Everest telah disambanginya, berlanjut ke enam gunung lain, hingga ia menjadi seven summiters pertama di Singapura dan Asia Tenggara.

Page 47: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 47

Event

Pencapaian termutakhirnya adalah mendaki K2, yang dikenal sebagai gunung dengan jalur tersulit. Peserta seminar pun dibuat terpaku dengan pemaparan Khoo secara detil mengenai pendakiannya ke K2. Petualangannya tidak usai di situ, Khoo masih memiliki banyak rencana perjalanan yang akan ia lakukan.

Tidak sekedar cerita perjalanan saja yang terungkap dalam seminar ini. Bagaimana manajemen tim, merencanakan ekspedisi, mencari sponsor pendakian, hingga tips mendapatkan dukungan dari orang-orang tercinta, semua ikut diulas. Semua itulah yang membuat seminar “Reaching the Heights” ini menjadi begitu istimewa.

Sebelum menutup acara, demikian Khoo berpesan untuk semua peserta seminar: “Give yourself a big dream, there’s nothing you can’t do. Dream big. Start small.” []

Page 48: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201248

Style

Biar kata tidur di stasiun, penampilan harus tetap pinky maksimal.

Linda

Page 49: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

Okt-Nov 2012 UMU Magazine 49

Style

Alhamdulillah yaa... Semerunya cetar membahana!

Siti Marhamah

Page 50: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

UMU Magazine Okt-Nov 201250

Interaksi

Dulu Kayak Gimana Sih?!Pendakian dulu dan sekarang, tentu ada banyak perubahan. Mulai dari gunungnya, peralatannya, sampai ke pendakinya. Muncul wajah pendaki-pendaki baru, sementara pendaki senior makin lama makin keriput (ups!). Seperti apa sih pengalaman mendaki puluhan tahun silam? Yuk kita simak kisah beberapa pendaki senior tangguh di bawah ini.

Boedi BokerzPuncak pangrango kan nggak terlalu luas dan gitu-gitu aja ya? Nah kalau dulu tuh ada menara pandang di situ. Lumayan tinggi lah. Kalau kita naik ke atasnya, kita bisa lihat Gunung Gede, Salak, dan lain-lainnya langsung tanpa kehalang apapun.

Sekitar tahun 80-an, pas temen-temen saya naik ke atasnya (sekitar lima atau enam orang), eh menaranya roboh! Udah lumayan rapuh juga sih soalnya. Saya pas lagi gak ikutan naik waktu itu. Untungnya nggak ada korban jiwa...

Budiman RamelanJaman gue masih muda dulu, gunung lebih bersih dan asri. Nggak seperti sekarang, contoh kecilnya aja banyak sampah bekas bungkus permen yang tercecer di jalur. Lagipula dulu belum ada nama pecinta alam tapi kita sungguh-sungguh menghormati alam. Sekarang banyak yang mengatasnamakan pecinta alam, tapi tindakannya nggak nyata. Gue pas pertama naik gunung pake sepatu tentara dan kain sarung, kalau sekarang udah beragam merk alat outdoor, beruntunglah pendaki jaman sekarang.

Willy HasjimPendakian jaman dulu lebih banyak susahnya: dari segi peralatan (contoh kompor parafin, carrier yang kurang nyaman, sleeping bag yang besar), transportasi yang sulit (nggak setiap jam ada angkot), tidak adanya (terbatas) tenaga porter/guide. Tetapi hal-hal tersebut menambah nilai petualangan dan tantangannya.

Page 51: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas
Page 52: Redaksiujian karate bersama teman-teman seperguruan. Tahun 80-an, setelah lulus sabuk hitam, barulah saya melakukan pendakian dengan lebih santai. Minimal menginap satu malam di atas

w w w . u m u m a g a z i n e . c o m