Realitas Ijtihad Dan Aplikasinya Dalam Konsep Inferensi Hukum

download Realitas Ijtihad Dan Aplikasinya Dalam Konsep Inferensi Hukum

If you can't read please download the document

Transcript of Realitas Ijtihad Dan Aplikasinya Dalam Konsep Inferensi Hukum

Kajian Reguler Al-Rislah II Selasa, 17 November 2009 Realitas Ijtihad dan Aplikasinya dalam Konsep Inferensi Hukum Manhaj Tarjih Muhammadiyah Pendahuluan Syariat islam yang telah mengatur hidup manusia dengan aksis al-Quran dan Sunnah, telah menjadikan semuanya norma-norma praksis dalam kehidupan mereka. Nas al-Quran dan sunnah menjadi sakral dan konsepsi epistemik bagi kaum muslimin khususnya ahli fikih dan ushul dalam beraktifitas menformulasi (istinbath) hukum yang bersifat amali. Fikih, merupakan kumpulan hukum-hukum islam yang difinitif walaupun secara hakekat masih perlu kontekstualisasi yang memadahi dengan konteks zamanya. Imam Ghozali (w. 505 H) mengatakan bahwa fikih pada mulanya bukan ilmu yang membahas tentang talaq, lin, sewa menyewa dan ilmu muamalah lainya, namun penamaan fikih itu adalah ilmu yang membahas tentang akhirat akan nikmat-Nya, pengetahuan terhadap sebab-sebab perusak jiwa dan amal-amal muslim, esensi kefanaan dunia, rasa tunduk pada-Nya sehingga semua ini menjadi suatu peringatan kompleks.1 Selain fikih, usul fikih juga merupakan kumpulan metodologi bagi para ahli fikih dan ushul ketika ingin beristinbth dan beristidlal (penetapan berdasarkan illah) dari dalil nas (al-Quran dan Sunnah) yang telah rinci pada sebuah permasalahan amali. Ushul fikih juga bagaikan mantiq yang menjadi metodologinya dalam berfilsafat. Dalam pembahasannya, ushul fikih mencakup hukum, dalil-dali hukum, cara beristinbth hukum dan kaidah-kaidahnya sehingga mencakup kaidah-kaidah tarjih dan nsikh manskh, ijitihad dan taklid. Kemudian maqasid syariah. Namun bab yang terkhir ini masih kontras di antara para ulama, apakah bab maqosid bagian dari ushul fikih atau berdiri sendiri seperti cabang ilmu lainnya?. Dari hirarki pembahasan ushul fikih di atas, yang menjadi menarik adalah pembahsan ijitihad. Karena ijtihad setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun tidak akan luput dari manusia. Dengan berbagai kondisi sosio-kultur, geografis kehidupan mikrokosmis pun berbeda-beda sehingga hukum yang dihasilkan pun harus sesuai dengan kondisi dan zamannya dan tentunya berpacu pada ruh syariat (maqsid syarah). Dari stimulan di atas tentunya sudah merucut yang ingin menjadi pembahasan di dalam makalah ini. Penulis ingin membuka wacana dengan tema ijtihad dan yang nantinya ada implikasinya pada proses inferensi hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah. Mudah-mudahan bermanfaat. Definisi Ijtihad Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan kata ijtihad baik itu secara etimologi maupun terminologi. Namun, perbedaan itu hanya terletak pada konstruk susunan bahasa tapi mengarah pada esensi yang sama. Tidak ada pengelakan bahwa jika penamaan sebuah cabang ilmu itu saling berbeda1 Muhammad Ali Sayis, tafsr yatu al-Ahkm, Dr al-Bayn al-Khaditsah, Kairo, hal. 50, (diktat tafsir ayat hukum tingkat tiga)

1

beda. Karena tabiat manusia yang berbeda-beda, baik dari pemahaman, perbuatan, pemikiran dan landasan berargumetasi.2 Adapun pemaknaan ijtihad secara etimologi dan terminologi adalah sebagi berikut: Secara Etimologi Ijtihad secara etimologi atau bahasa mempunyai banyak penafsiran. Misalnya, imam al-Isnawi (w. 772 H) mengatakan bahwa ijtihad secara bahasa adalah: mencurahkan kekuatan (istifrgu al-Wasi) dalam menghasilkan sesuatu. Pemaknaan seperti itu tidak dipakai kecuali pada pekerjaan yang berat dan susah. Dan ijtihad berasal dari kata () dengan fathah dan ( )dengan dhomah.3 Imam Syaukni (w. 1250) mengatakan secara bahasa ijtihad berasal dari kata ( )yang artinya kesulitan ( )dan kemampuan ( ,)tapi ijtihad terkhusus pada kesulitan.4 Sedangkan Dr. Yusuf Qardawi mengatakan akar kata ijtihad bersal dari jim, ha dan dal ( ) yang artinya mengerahkan segala kemampuanya (badzlu al-Juhdi atau al-Jahdi). Maka ijtihad secara bahasa menurut beliau adalah mencurahkan kekuatan pada segala perbuatan (istifrgu al-Wasi f ai filin kna), pemakaian makna seperti ini tentunya pada perbuatan yang sulit dan berbobot.5 Dan Dr. Wahbah Zuhaili mengatakan ijtihad secara bahasa adalah mengerahkan segala kemampuanya (badzlu al-Majhd) dan mencurahkan kekuatan (istifrgu al-Wasi) dalam mengaktualisasi sesuatu, dan ijtihad hanya berimplikasi pada perbuatan yang menantang (berat).6 Secara terminologi Kata ijtihad secara terminologi menurut kesimpulan Dr. Wahbah Zuhaili setelah melakukan preferentasi asumsi para ulama adalah sebuah aktifitas dalam penformulasian (istinbth) hukum-hukum syari dari dalildalil agama (Syariah) yang telah rinci.7 Menurut al-Amidi (w. 631 H) ijtihad adalah mencurahkan kekuatan dalam berasumsi terhadap sesuatu dari hukum-hukum syari dengan merasakan lemah diri dalam berasumsi.8 Dari pengertian ijtihad secara etimologi dan terminologi tentunya bisa diambil kesimpulan bahwa aktifitas ijtihad itu identik dengan pengerahan tenaga atau kemampuan yang lebih, adapun entitasas ijtihad adalah mengetahui hukum syari dalam artian yang sesuai dengan ruh syariat dan maqsid syarah, objek ijtihadnya adalah dalil-dali yang telah rinci dari alQuran dan Sunnah, dan tidak boleh berijtihad pada sesuatu yang telahSyeikh Ali Khaff, asbbu al-Ikhtilfi al-Fuqah, Dr al-Fikr al-'Arabi, Kairo, hal. 7 2 3 Imam al-Khafidh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukni, irsydu al-Fuhl il tahqqi alHaq min 'ilmi al-Ushl, ditahkik oleh Dr. Sya'bn Muhammad Ismail, Dr al-Salm, Kairo, cet. II, 2006, hal. 394 4 Imam al-Hfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukni, op. Cit., hal. 715 5 Dr. Yusuf Qardhawi, al-Ijtihd f al-Syar'ah al-Islmiyah ma'a nadharti tahliliyah f al-Ijtihd alMu'shir, Dr al-Qalam li al-Nasr wa al-Tauz', Kuwait, cet. III, 1999, hal. 11 Dr. Wahbah Zuhaili, ushl fiqhi al-Islmi, Dr al-Fikr, Suriah, cet. XV, 2007 .hal. 327 6 7 Dr. Wahbah Zuhaili, op. Cit., hal. 327. Dijelaskan di bab ini oleh beliau bahwa ijtihad menurut istilah ada tiga pendapat ulama kemuadian beliau melakukan preferentasi. 8 Dr. Ahmad Bu'ud, al-Ijtihd baina haqiku al-trikh wa muthallibtu al-Wqi', Dr al-Salm, Kairo, cet. I, 2005, hal. 7

2

pasti seperti ibadah-ibadah mahdhah, ketentuan hukum-hukum amali yang telah pasti seperti larangan terhadap zina, minum khomer, ijma para sahabat dan ahli fikih.9 Dan adapun penggunaan kata isytifrhu al- wasi atau juhdi, badzlu al-Juhdi atau jahdi, menurut penulis tidak berefek pada kesimpulan berasumsi, semuanya mempunyai makna esensi yang sama. Legalitas ijtihad dan urgensinya dalam islam Setiap muslim dalam kehidupan sehari-hari tentunya dituntut untuk berpikir dan mengambil hikmah dari alam sekitarnya. Analogi kritis pun menjadi meanstream dalam menopang nas (al-Quran dan Sunnah) sehingga bisa eksis pada setiap waktu dan tempat. Olah pikir manusia, lebih khususnya ijtihad, sangat urgen dalam setiap aktifitas yang objeknya menelaah nas alQuran dan Sunnah. Ijtihad sendiri dianjurkan sehingga menjadi fardhu kifayah10 terhadap aplikasinya bagi ulama-ulama islam. legalitas terhadap ijtihad termaktub dalam al-Quran, sunnah, konsensus fora kolektif (ijma) dan analogi. Adapun dalil-dalilnya sebagai berikut: Dalil al-Quran 83 : ) ) Artinya: dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri11 diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil amri.) (QS Al-Nisa: 83).12 38 : ) ) Artinya: "dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.(QS As-Syura: 38) Yang dimaksud kata ( )menurut Dr. Yusuf Qardawi adalah mencari kebenaran pada suatu perkara yang muncul bersesuaian dengan dalil agama baik yang terlegalitas maupun tidak. Tentunya hal semacam ini, menurut beliau tidak luput dari ijtihadnya para ahli ijtihad dalam beranalogiDr. Ahmad Bu'ud, op. Cit., hal 8 9 Menurut Dr. Yusuf Qardowi yang dimaksud fardhu kifayah di atas adalah jumlah ulama' yang 10 mencukupi sehingga mumpuni dalam berijtihad hukum pada sebuah permasalahan. Maka jika semua ini terpenuhi akan aman alias gugurnya kewajiban pada individu yang lain namun jika sebaliknya semuanya akan berdosa. Hal ini khususnya para Ulul Amri yang menjadi tugasnya. (baca; al-Ijtihd f (al-Syar'ah al-Islmiyah ma'a nadharti tahliliyah f al-Ijtihd al-Mu'shir hal 99 (Tokoh-tokoh sahabat dan para cendikiawan di antara mereka (Baca, al-Quran dan terjemahannya 11 Menurut Mufassirin ayat di atas maksudnya adalah kalau suatu berita tentang keamanan dan 12 ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan Ulil Amri, tentulah Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menformulasikan konklusi dari berita itu.( al-Quran dan terjemahannya). Menurut penulis, jika dilebarkan pemaknaan ayat di atas tentunya tidak hanya pada masalah keamanan dan ketakutan saja, tapi mencakup pada polemik-polemik kolektif amali pada zaman itu. Tentunya, para ulama'-ulama' zaman sekarang mendapat porsi kedudukan yang sama dalam menformulasikan hukum sebuah masalah dari nas-nas aslinya (al-Quran dan Sunnah) seperti Rasul dan Ulil Amri, karena jelas al-Ulama' .'warotsatu al-Anbiya

3

dengan corak mereka yang berbeda-beda,13 dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang interpretasinya secara umum menjurus pada perintah untuk berijtihad. Dalil Sunnah Pertama, dalil yang digunakan Imam Syafii (w. 204 H) dalam menjustifikasi kebolehan berijtihad, dari Amru bin al-sh bahwa Rasullah Saw., bersabda: Artinya: jika seorang hakim berijtihad dan ia benar maka ia memperoleh dua pahala, dan jika ia salah maka ia mendapatkan satu pahala. (HR. Bukhori) Dr. Ahmad Buud secara eksplisit menyimpulkan dua esensi hadist di atas sebagai berikut: pertama, ijtihad merupakan sebuah ritus islam yang pelakunya akan mendapatkan pahala baik nanti hasilnya betul atau salah. Kedua, kata al-Hkim menurut beliau adalah orang yang di beri perkara untuk menyelesaikan perkara itu, dan hadist ini juga melegalkan semua individu bisa menyelesaikan sebuah hukum perkara jika ia mumpuni dan mampu.14 Kedua, kisah tenar tentang Muadz bin Jabal ketika ia diperintah Rasullah Saw., untuk menjadi qdi (hakim) ke Yaman. Hadistnya sebagai berikut: , : : : : . : . : : Artinya: ketika Rasul mengutusnya ke Yaman untuk menjadi Qodi (hakim), Rasul bertanya kepadanya, dengan apa kamu (Muadz) memutus kan perkara?, ia menjawab: dengan apa yang ada di al-Quran, Rasul bertanya kepadanya: JIka kamu tidak mendapati (sesuatu yang kamu jadikan landasan) di al-Quran?, ia menjawab? Aku putuskan (suatu perkara) seperti Rasul putuskan. Rasul bertanya kepadanya, jika kamu tidak mendapati yang kamu cari pada Rasul?, ia menjawab: saya akan beranalogi (berijtihad). Rasul bersabda: maha suci Allah yang telah memberi petunjuk pada utusan Rasulnya. (HR. Abu Dawud) Ada sebuah aksentuasi kesimpulan hadis muadz yang menurut Dr. Ahmad Buud ada empat: pertama, menjelaskan metode dalam berijtihad yang diridhoi oleh Rasul. Kedua: merupakan elanvital ruh dalam berijtihad ketika tidak ditemukan hukum masalah di al-Quran dan Sunnah. Ketiga: banyak permasalahan yang berbeda-beda dan tidak sama, maka kata ( ) menunjukan eksistensi seorang mujtahid untuk berijtihad. Keempat: Rasul tidak memberi peringatan salah kepada Muadz dalam13 Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal 97 Dr. Ahmad Bu'ud, op. Cit., hal 24 14

4

berijtihad dan tidak mempersempitnya, bahkan rasul membolehkannya untuk berijtihad selama tidak kontras dengan nas (al-Quran dan Sunnah).15 Ijtihad sangat dibutuhkan pada setiap individu lebih khususnya ulama yang mumpuni dalam hal ini. Karena itu progesifitas ijtihad merupakan ciri gerak majunya fikih islam yang menjadi ladang ijtihad. Dan sekali lagi bahwa ijtihad adalah sebuah monopoli hukum amali yang berupa asumsi dari kesimpulan nas asli (al-Quran dan Sunnah). Tentunya, justifikasi dari dalil Sunnah terhadap legalitas ijihad masih banyak sekali, dan menurut penulis dua hadist di atas sudah mencover untuk mengetahui di bolehkannya ijtihad. Dalil Ijma Jumhur sahabat, ulama dan para pengikutnya mempunyai ekualitas kesepakatan akan selalu dibudi lestarikan aktifitas ijtihad pada sebuah permasalahan yang tidak ada landasan hukumnya dari al-Quran dan Sunnah. Merupakan sunnatullah manusia diberi akal untuk selalu berpikir dan berasumsi dengan akalnya pada setiap permasalahan yang kerap mereka hadapi. Dalil Analogi (akal) Bukti analogi juga menjadikan realitas ijtihad, mengapa?, karena memang mayoritas dalil-dali hukum syari amali itu semuanya dhonni sehingga multi pemahaman pun ada di dalamnya. Ijtihad dalam hal ini tentunya sangat urgen karena eksistensinya adalah sebagai preferentasi analogi (royun), dan bukan hanya itu, perkara amali (manusia) yang tidak ada nasnya secara eksplisit juga membutuhkan perangkat ijtihad.16 Standarisasi Mekanisme ijtihad dan objek pembahasannya. Dalam praktek ijtihad bukan berarti semua orang dengan sembarang bisa mengaplikasikannya. Ada ketentuan yang telah dibakukan oleh para ulama salaf dan kontemporer. Tentunya, perbedaan kondisi geografis zaman dahulu dengan zaman sekarang, kalau ketentuan yang ditetapkan oleh ulama salaf seperti ini pastinya bagi ulama kontemporer berbeda dengan tidak mendekontruksi ketentuan itu, seperti halnya permasalahan manusia berkembang sesuai zaman, maka kecerdasan dan kosmopolitannya para ulama dituntut untuk lebih progesif. Sebagai asumsi awal, minimal adalah beragama Islam dan mukallaf (baligh dan berakal). Jika ada orang tahu dan paham tentang hukum islam sedangkan ia bukan orang islam (orientalis dan teman-temannya) maka tidak ada space bagi mereka dalam aktifitas ijtihad, karena ulama-ulama islam menolak hasil pemikiran mereka, sedangkan yang dinamakan muslim adalah percaya (iman) kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka pandowo-pandowo barat tidak percaya akan iman pada-Nya,17Ibid. hal 23-24 15 Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal 98 Muhammad bin Ibrohim, al-Ijtihd wa al-'Urf, Dr al-salm, Kairo, cet. I, 2009, hal. 35 17 16

5

walalaupun menurut penulis tidak mentah-mentah pemikiran mereka ditolak dengan emosi, yang baik ya diambil yang buruk menjurus kontras dengan nas (al-Quran dan Sunnah ya jelas ditolak atau dikoreksi lebih lanjut. Terhadap ketentuan-ketentuan yang lain juga Adapun penulis ingin mengkolaborasi ketentuan-ketentuan yang dilandaskan oleh para ulama-ulama salaf dan khalaf. Namun penulis hanya mengambil hirarki syarat mekanisme ijtihad yang ditetapkan oleh Dr. Yusuf Qardawi di dalam bukunya; al-Ijtihd f al-Syarah al-Islmiyah maa nadharti tahliliyah f al-Ijtihdi al-Mushiri , yang nantinya penulis masukan asumsi-asumsi para ulama-ulama di dalamnya. Karena bagaimanapun juga mereka mempunyai kesamaan syarat mekanisme dalam berijtihad. Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut: Mengetahui al-Quran Al-Quran merupakan aksis pertama bagi semua lini kehidupan manusia. Menjadi pijakan yang sangat fundamental ketika orang ingin mengetahui Islam, lebih khususnya berijtihad. Imam Syatibi (w. 790 H) mengatakan bahwa orang yang tidak mengetahui al-Quran sama halnya tidak mengetahui syariat islam.18 Adapun yang perlu dipelajari oleh mujtahid dalam mengetahui al-Quran adalah sebagai berikut: pertama, mengetahui asbbu al-Nuzl. Kedua: nsikh manskh,19m dan Khs, mujmal dan mubayyan, mutlak dan muqayyad, muhkam dan mutasybih, dan ilmuilmu Qiroat.20 Imam Isnawi (w. 685 H) tidak mensyaratkan mujtahid hapal al-Quran, tapi hanya mensyaratkan hapal ayat-ayat hukum yang jumlahnya sekitar 500 ayat. Hal ini senada dengan Imam Ghozali dan Ibn Arabi (w. 543 H). Mawaridi (w. 450 H) menjelaskan, mengapa ada ketentuan 500 ayat hukum yang harus di hapal dan ketahui oleh mujtahid, hal ini karena adanya Maqtil bin Sulaiman (w. 150 H meninggal di Basroh) yang mempunyai karangan tersendiri terhadap 500 ayat-ayat hukum.21 Dan selain itu juga mengetahui tempat dan posisinya di dalam al-Quran, sehingga mudah ketika dibutuhkan, hal sebaliknya Imam Qirwni di dalam mustauibnya mensyaratkan hafal al-Quran, postulat ini18 Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal 18 19 Mengetahui asbabu al-Nuzul dan nsikh manskh adalah urun rembuknya Dr. Yusuf Qardawi. Terutama asbabu al-Nuzul, menurut beliau tujuannya adalah supaya mengetahui esensi nas al-Quran, walaupun menurut ahli ushul bahwa kaidah ( ) itu lebih rajih menurut mereka. Tetunya Yusuf Qardawi senada dengan Imam Syatibi, beliau mengatakan, mengetahui asbabu al-Nuzul adalah sebuah keharusan bagi yang ingin mengetahui al-Quran. Imam Syatibi mempunyai dua dalil tentang hal ini. Pertama, sesungguhnya mengetahui ilmu ma'ni dan bayn yang termasuk dari i'jz al-Quran lebih afdhol dari mempelajari tuturkata arab, karena tujuannya adalah mengetahui hal ihwal pengkhitoban. Kedua: tidak mengetahui asbabu al-Nuzul berefek pada kerancuan pemahaman terhadap nas. Walaupun Dr. Yusuf Qardhawi mengatakan kalau keoteintikan as-Babu al Nuzl itu secara dominan, relatif kebenarannya. Mengenai nsikh manskh sebagian ahli ushul menjadikan syarat tersendiri (mustaql), (baca, Dr. Yusuf Qardawi, al-Ijtihd f al-Syar'ah al-Islmiyah ma'a nadharti tahliliyah f al-Ijtihd alMu'shir, hal. 24). Imam Syaukani juga mensyaratkan nsikh manskh, yang menurut beliau tujuan mengetahuinya adalah supaya jelas mana hukum yang manskh dan tidak (baca, , irsydu al-Fuhl il tahqqi al-Haq min 'ilmi al-Ushl, hal 720), dan pengertian Imam Syaukaini sama dengan Imam Isnawi (baca, nihyah as-Sl, hal. 398) 20 Muhammad bin Ibrahim, op. Cit., hal. 36 21 Imam al-Hfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukni, op. Cit., hal 716-717

6

didapat dari imam Syafii (w. 204 H). Menurut Imam Isnawi, mujtahid tidak boleh mengekor mujtahid yang lain dalam hal ini, karena mereka mempunyai karasteristik independen yang berbeda-beda dalam menformulasikan hukum dari aksisnya (al-Quran dan Sunnah).22 Mengetahui Sunnah Nabi Saw.. Sunnah merupakan interpreter al-Quran. Seperti firman Allah Swt., : 44 : ) .....) Artinya: "dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan lepada mereka". (An-Nahl: 44) Dalam pembahasan ini, Dr. Yusuf Qardawi menjelaskan bahwa yang harus dimiliki oleh mujtahid adalah: pertama, mengetahui ilmu diryah hadist. Imam ghozali menjadikan sayrat ini mustaqil (syarat khusus). Yang dimaksud dengan ilmu diryah hadist menurut imam Ghozali adalah mengetahui periwayatan, dan preferentasi mana yang shohih dan fasid, maqbul dan mardud. Ringkasnya, jika ada hadist diterima oleh mayoritas ulama maka tidak perlu menganalisa pada sanadnya. Namun jika ada sebagian ulama yang tidak menerimanya maka harus ditelisik pada perowi-perowinya dan keadilan mereka. Seperti sanad dalam periwayatnnya yang diterima adalah, imam Syafii meriwayatkan dari Mlik dari nfi dari Ibn Umar. Kedua, mengetahui nsikh manskh hadist sehingga tidak menjustifikasi hadist yang sudah dimanskh untuk dijadikan dalil sandaran. Ketiga: mengetahui asbbul wurd hadist. Ilmu ini wajib bagi yang ingin mengetahui hadist rasul, karena hadist Rasul asbabu al-Wurudnya tidak semuanya oteintik, berbeda dengan al-Quran yang asbbu al-Nuzlnya Qoti al-Tsubut. Mujtahid juga tidak dianjurkan untuk mengahafal semua hadist, hanya cukup pada hadist-hadist hukum. Para ulama berbeda dalam menentukan porsi yang harus dihapal maupun diketahui. Imam Syaukani menyebutkan 500 hadist-hadist hukum bahkan sampai ribuan hadist. Ibn Arobi di dalam al-Mahsl mengatakan 3000 hadist.23 Mengetahui konstruk bahasa arab Tujuan mempelajari dan mengetahui konstruk bahasa arab (nahwu, sorof, balghoh; mani, bad, bayni) adalah supaya para mujtahid mampu22 Imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi, nihyah as-Sl, Dr al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, cet. I, 1999, hal. 398 23 Imam Ahmad (164 H- 241 H) pun ketika ditanya Abu Ali al-Dhorir menjawabnya, 500 ribu hadisthadist hukum yang ia kehendaki. Namun menurut Abu Bakar al-Rozi, porsi yang ditawarkan para ulama' itu tidak disyaratkan karena tidak mungkin. Dan menurut imam Syaukani para Ulama' dalam hal ini ada yang tafrith dan ifroth, tapi realita yang harus dipenuhi para mujtahid adalah mengetahui, dan paham kutubu al-Sittah ketika dibutuhkan dan tidak disyaratkan untukk menghafalnya; shohih Bukhori dan Muslim, sunan Abu Dawud, Nasi, Ibn Majah, shohih Tirmidzi. Dan tidak disyaratkan juga menghafal kondisi para rijlu al-Hadist akan tetapi mengalisanya lewat buku-buku jarh wa ta'dil (baca, irsydu al-Fuhl il tahqqi al-Haq min 'ilmi al-Ushl , hal. 717-718-719)

7

menginterpretasikan rahasia-rahasia dan beristinbth yang ada di nas (alQuran dan Sunnah). Dan tidak disyaratkan menghapal semuanya, akan tetapi harus mampu menyimpulkan dari kitab-kitab ulama terdahulu dalam bidang bahasa arab. Imam Syafii dan Mawaridi juga mewajibkan pada setiap muslim mempelajari tutur kata arab (bahasa arab), lebih khususnya para mujtahid.24 Mengetahui ijma para sahabat Para mujtahid dituntut untuk mengeksplorasi konsensus kolektif sahabat (ijma). Tujuannya menurut Dr. Yusuf Qardhawi, imam Isnawi (w. 772 H) dan Imam Syaukani ( w. 1250 H) adalah supaya mujtahid tidak berasumsi hukum yang menyelisihi ijma sahabat. Bahkan imam Syaukani menambahkan, jika mujtahid itu menganggap ijma sebagai landasan syarinya.25 Imam Isnawi tidak menganjurkan untuk menghapal semua permasalahan fikih yang sudah diijmakan para sahabat, berbeda dengan Ghozali yang menganjurkan untuk menghapalnya. Dan imam Isnawi sederhananya menganjurkan para mujtahid dalam berfatwa tidak menyelisihi fatwa yang lain pada zamannya.26 Dan para mujtahid juga bisa mengkonsumsi pembukuan hasil-hasil ijma para sahabat di bidang fikih; martibul ijma, karangan Ibn Hazm (w. 456 H), al-Ijma, karangan Ibn Mundir (w. 319 H) Mengetahui ilmu ushul fikih Ilmu Ushul fikih merupakan ilmu yang harus dimiliki oleh mujtahid dalam beristinbth dan beristidlal terhadap permasalahan yang terlegitimasi oleh nas maupun tidak. Karena ilmu ini mencakup kaidah-kaidah beristinbth dalam prektek ijtihad, ilmu ini juga membahas dalil-dalil yang menjadi kesepakatan kolektif (al-Quran, Sunnah, ijma dan Qiyas) dan dalil yang masih kontras di antara ulama (istihsn, isthishb, Qoul shohbi ...), syarat-syarat istidlal (penetapan berdasarkan illah), dallatul al-Fdz (alAmr wa nahyu, m dan khos, mutlaq dan muqayyad...).27 ilmu ishul fikih juga menurut pengertiannya Fakhruddin al-Rozi (w. 606 H),yang dielaborasi lebih lanjut oleh Dr. Ali Jumah sebagai ilmu standarisasi dalam bermetodologi. 28 Fakhruddin al-Rozi dalam magnum opusnya al-Mahsul mengatakan; ilmu24 Imam al-Hfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukni, op. Cit., hal. 719 25 ibid. hal 719 26 Imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi, op. Cit., hal 398 27 Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 48 28 Adapun pengertian ushul fikih menurut imam Fakhruddin al-Rozi yang kemudian digetolkan oleh imam Baidhowi (w. 685 H) adalah sebagai berikut; Dr. Ali Jum'ah mengatakan di dalam muhadzarahnya tentang ushul fikih hadhori () bahwa pengertian ushul fikih diatas mengandung tiga tahapan; pertama: Mengetahui dalil-dali fikih ( ,) atau masyodiru al-Ma'rifah (sumber-sumber ilmu). Kedua: cara beristifadah dari dalil-dali fikih ( ) atau thurq al-Bahs (metodologi riset). Ketiga: kondisi sikologi orang yang beristifadah ( ) atau syurt al-Bahs (syarat-syarat riset). Ketiga tahapan di atas menurut Dr. Ali Jum'ah sudah menjadi patokan bagi para aktifis-aktifis intelektual dalam riset ilmiah, lebih khususnya dalam bidang ushul fikih.

8

yang paling urgen bagi mujtahid adalah imu ushul fikih. Imam Ghozali juga mengatakan; ilmu ijtihad itu mencakup tiga ilmu besar yaitu hadist, bahasa, dan ushul fikih.29 Imam Isnawi juga bertutur; ilmu yang paling urgen bagi mujtahid adalah ushul fikih sehingga bisa menyimpulkan hukum dari dalil-dalilnya dan mujtahid tidak butuh (dalam artian tidak dianjurkan, menurut penulis) pada pada ilmu kalam.30Mungkin Imam Isnawi dalam artian ladang ijtihad, para mujtahid tidak dianjurkan menggunakan ilmu kalam. Mengetahui maqsid syariah Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, pensyaratan mengetahui maqsid syarah adalah bukan syarat yang menjadikan mujtahid sampai pada derajat tinggi dalam berijtihad, akan tetapi beliau mengatakan bahwa syarat ini adalah untuk keotientikan (syahnya) ijtihad.31 menurut Imam Syatibi (w. 790 H), orang bisa dikatakan mempunyai otoritas dalam berijtihad adalah mengetahui maqsid syarah dan menformulasi hukum dengan orientasi maqosid. Disambung oleh imam Ghozali menurutnya sosok mujtahid harus adil dan dengan keadilannya itu ia harus menjauhi maksiat-maksiat yang dilarang.32 Tentunya, paham utilitarianistik ini harus dipelajari oleh para aktivis ijitihad, karena orientasi berijtihad adalah kemashlahatan, kemakmuran, dan kebahagiaan bagi manusia lebih khususnya kulliaytul khomsah (elementer, komplementer dan suplementer). Mengetahui kondisi alam mikrokosmos dan mikrokosmis sekitarnya. Mujtahid harus mempunyai multi talenta terhadap lingkungan sekitar (mikrokosmos dan mikrokosmis), individu-individu manusia dan adat kebiasaan mereka, kondisi sosiologisnya dan politik dalam negri maupun luar negri sehingga tidak bersifat konservatif eksklusif pada sesuatu hal yang baru.33 Selain itu Dr. Yusuf Qardawi juga menambahkan seorang mujtahid harus mengetahui peradaban pada zamannya, sperti dalam bidang kesehatan, kimia, olah raga dan hal-hal yang sebelumnya telah disebut. Beliau juga mengatakan, pengetahuan seperti ilmu humaniora dan sejenisnya sudah ditanamkan sejak dini di dalam metode pembelajaran instasi al-Azhar, karena kaidah ( ) masih teraktualisasi sampai sekrang dan juga kaidah; inna al-Fatwa tataghoiyaru bi taghoiyiru alZaman wa al-Makan. Dan menurut Dr. Yusuf Qardhawi, syarat ini tidak menjadikan mujtahid sampai para derajat ijtihadnya namun supaya ijtihadnya itu relevan dengan zamannya. Adil dan bertaqwa29 Imam al-Hfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukni, op. Cit., hal. 720 30 Imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi, op. Cit., hal. 398 31 Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 57 Muhammad Tj, al-Madzhib al-Islmiyah al-Islmiyah wa al-T'ashub al-Madzhabi, Dr al-Kotabia, Suria, cet. I, 2004, hal. 151 33 Muhammad bin Ibrohim, op. Cit., hal 4032

9

Tentunya wajib seorang mujtahid harus mempunyai sifat keadilan dan bertaqwa pada dirinya. Jika mujtahid tidak beriman dan adil, pastilah terlolak dan tidak diterima ijtihadnya karena mereka tidak takut pada-Nya, dan bahkan minim akan kebenaran. Pastinya mujtahid semisal ini penggiat maksiat, padahal maksiat dosa dan dilarang. Seperti keluhan Imam Syafii kepada gurunya, Wki:

Banyak hadist Rasul yang mengisyaratkan pada ibadah, ketakwaan dan kebenaran ketika dalam berijtihad, salah satunya adalah sebagai berikut: : ! : ) ( Artinya: "dari Ali semoga Allah Swt., meridhoinya berkata: wahai Rasullah Saw.,! jika kami menuai masalah yang tidak ada penjelasan perintah dan larangannya, maka harus bagaimana?, Rasullah Saw., bersabda: bermusyawarahlah dengan para ahli fikih dan al-bidn dalam menyelasaikan masalah, dan jangan mengambil kesimpulan pada satu pendapat". Rasullah menjelaskan pada Ali r.a., untuk menyelesaikan suatu masalah dengan bermusyawarah kepada ahli fikih dan ahli ibadah, dan bukan hanya sekedar kesimpulan dengan pengetahuan dan pemahamannya semata.34 Sebenarnya sebagian ulama, imam Syaukani, Dr. Yusuf Qardhawi, Muhammad bin Ibrohim dan yang lainya berasumsi masih ada syaratsyarat ijtihad yang masih diperselisihkan antara keabsahannya dan tidak, misal; mengetahui ilmu mantiq, ilmu ushuluddin, mengetahui cabangcabang fikih dan ilmu kalam. Namun penulis hanya menuliskan syaratsyarat yang minimal sudah menjadi ketentuan dan kesepakatan para ulama-ulama untuk berijtihad.

Ruang lingkup ijtihad dan variannya dalam islam Ruanglingkup ijithad Sebagai mujtahid, aplikasi dari asumsi hukum syari yang telah dijithadkan dari nas-nas (al-Quran dan Sunnah) yang bersifat amali tentunya menjadi sebuah realita jika ijtihadnya bagi mujtahid yang lain belum tentu taken of granted begitu saja. Karena apa yang mereka ijithadkan merupakan34 Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 63-64

10

monopoli hukum atau fikih yang bersifat ijtihadiyah, jadi semuanya bersifat asumsi yang dzonn. Betul memang, hal ini seperti yang dikatakan oleh imam Syaukani, bahwa mujtahad fhnya adalah hukum syari yang bersifat amali, dan beliau juga mengatakan di magnum opusnya al-Rozi, alMahsl, bahwa hal-hal yang menjadi bahan ijtihad adalah setiap hukum syari yang tidak ada difinitif legalnya.35 Menurut Dr. Yusuf Qardhawi ruanglingkup ijtihad itu mencakup polemikpolemik syari yang tidak ada dalil difinitif legalnya dari segi al-Tsubut dan dallahnya baik itu permasalahan teologis maupun cabang permasalahan (al-Furiyah) amali. Al-Quran pun menjelaskan di dalam surat al-Imrn ayat 7, sebagai berikut: (7 : ) Artinya: "di antara isinyaada ayat-ayat yang muhkamt itulah pokok-pokok isi al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasybiht". Kata al-Mutasyabiht merupakan dalil dari al-Quran atas perkara yang harus diijtihadiyahkan sehingga menimbulkan multi interpretasi.36 Varian-varian ijtihad dalam islam Pembagian varian ijtihad memerlukan konteks dalam aplikasinya. Hal ini supaya bisa membedakan ruang dan zaman yang diijtihadinya. Dalam hal ini tentunya Dr. Yusuf Qardhawi membagi ijtihad dalam dua konteks; konteks lama (pembagian ijtihad lama) dan dan konteks kekinian atau ijihad yang kita butuhkan pada zaman sekarang, yang pembagian itu tentunya sangat urgen karena zaman dulu dan kini berbeda dalam aktifitas ijtihad. Berikut ini pembagiannya: Pembagian Ijtihad dalam islam (konteks lama) Mujtahid mutlak Karasteristik eksistensi ijtihad mutlak adalah ijtihad dalam tass halhal ushuli, menformulasi cabang-cabang hukum dengan berlandasan pada dalil syari, tidak mengekor pada satu paham (madhab).37 Dan ijtihad ini menurut Dr. Yusuf Qardhawi dibagi menjadi dua, yaitu: Mujtahid mutlak mustaql Mujtahid ini mempunyai tiga otoritas: pertama, bahawa mujtahid ini langsung mengadopsi hal-hal yang fundamental (al-Ushl) sebagai landasan berasumsi. Kedua, menganalisa hukum-hukum yang sudah terjawab kemudian mengkomparasikan di antara dalil-dalil itu dan35 Imam al-Hfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukni, op. Cit., hal 721 36 Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 86 37 Muhammad bin Ibrahim, op. Cit., hal. 75

11

mengadakan preferentasi dari dalil-dalil itu. Ketiga, objek aktifitasnya adalah hal-hal yang belum terjawab dengan dasar dalil-dalil nas (al-Quran dan Sunnah). Adapun yang termasuk dari golongan mujtahid mutlak mustaqil yaitu; para ahli fikih dari sahabat, tabin, dan empat imam madhab dan yang sepantarannya seperti Zaid bin Ali, Jafar al-Shdiq, al-Tsauri, Auzai, al-Laist bin Saad, alThobari, Dawud bin Ali dan yang lainnya. Mujtahid mutlak muntasb atau muqayyad Mujtahid ini adalah mujtahid yang mengekstradisi semuanya dari pendahulunya (syeikhnya) dan berhujah dengan tuturkatanya dalam analisa hukum dan juga mengetahui dengan pasti hukumhukum dalilnya sehingga dia juga mampu memformulasikannya. Dan mujtahid ini juga berfatwa dalam madhab imamnya di bidang fikih. Adapun yang termasuk dari golongan mujtahid mutlak muntasib adalah sebagai berikut; pengikut-pengikut madhab seperti dari madhab Hanafiyah; Abu Yusuf, Muhammad, Zufar. Pengikut madhab Maliki; Ibn Qosim, Ashhab, dan Asbagh. Pengikut madhab Syafii; Imam Muzanni, Zafarni dan Buwaithi. Pengikut madhab imam Ahmad; Kholal dan yang lainnya Jadi bisa disimpulkan dari dua ijtihad mutlak diatas; ijtihad mutlak mustaql dan ijitihad mutlak muntasb atau muqayyad. Bahwa mujtahid mutlak mustaql itu berfatwanya dalam semua ranah istinbth hukum (takhriju al-Manath, tahqiqu al-Manath dan tangqhu al-Manath). Sedangkan mujtahid mutlak muntasb berfatwanya pada hal-hal partikular bab permasalahan berdasarkan kosmopolitan intelektualnya.38 Mujtahid fil madhab Mujtahid ini adalah mujtahid di ruang lingkup madhabnya. Ia mengekor pada hasil keputusan imamnya terhadap suatu permasalahan dengan mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan imamnya, namun jika ada permasalahan yang tidak ada jawaban dari imamnya maka ia berijtihad.

Mujtahid al-fatay Seorang mujtahid ini masuk dalam golongan orang yang mutabahr (menguasai ilmu) dalam madhab imamnya, atau bisa dibilang tokoh intelektualnya. Dan mujtahid ini juga mampu mempreferentasikan dua asumsi. Pembagian ijtihad dalam islam (konteks kekinian)38 Muhammad bin Ibrohim, op. Cit., hal 76

12

Ijtihad intiqi Ijtihad intiqi adalah memilih satu pendapat dari ulama-ulama turast untuk dijadikan dalil dalam berfatwa (atau ijtihad) sebagai preferentasian (tarjihan) dari pendapat yang lain. Tentunya dalam ijtihad ini tidak semata-mata taklid buta begitu saja, namun harus melaluli prosedur dalam memilih dan memilah pendapat yang paling kuat, yang lebih cocok pada zamanya, kontekstualisasinya yang ramah dan egaliter, dan berorientasi maqsid syarah.39 Dan dalam ijtihad ini juga tidak ada larangan mengambil pendapatnya dari para ahli fikih sahabat dan tabiin. Contoh dari ijtihad ini adalah, misalnya seorang mujtahid mentarjihkan pendapatnya Abu Hanifah bahwa setiap pendapatan hasil bumi harus ada zakatnya, pendapatnya Imam Syafii tentang pemberian zakat pada orang fakir hanya sekali seumur hidup selama harta itu menyukupi dengan berlandaskan perkataan Umar: Artinya: "jika kamu memberi maka cukupkanlah", atau mengambil pendapatnya Imam Malik dalam pengkonservasian (pelestarian) zakat bagi al-Muallafah qulubuhum.40 Ijtihad insyi Ijtihad insyi adalah ijtihad baru dalam sebuah hukum permasalahan dulu maupun kini yang belum pernah dihasilkan oleh ulama-ulama sebelumnya.41 Di ranah ijtihad ini, tentunya merupakan ladang bebas bagi mujtahid yang ingin mengaktualisasikan pendapat-pendapat mereka yang sudah diijtihadkan. Tidak salah jika banyak pendapat dalam konteks ijtihad insyai. Karena memang sesuatu hukum masalah jaman dulu dan sekarang berbeda. Dan tentunya hukumhukum baru dengan permaslahan baru pun banyak mencuat ke permukaan dengan ijtihad insyai ini. permasalahan-permasalahan yang concern dalam konteks ini misalnya permasalahan zaman sekarang dengan serba teknologi, misal; bayi tabung, aborsi, syatl (penanaman atau pencangkokan) janin, bank janin, tranfusi darah, ekonomi konvensional dalam negri maupun luar negri dan permasalahan-permasalahan lainnya yang tidak digeluti oleh ulama-ulama sebelumnya, Ijtihad dan elanvitalnya di dalam Muhammadiyah; khusunya Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Sejarah singkat Majlis Tarjih Muhammadiyah39 Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 142 40 Muhammad bin Ibrohim, op. Cit., hal. 79 41 Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 157

13

Muhammadiyah lahir pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 dengan pendirinya adalah KH. Ahmad Dahlan. Berdirinya Muhammadiyah dalam ranah masyarakat tentunya mempunyai orientasi eksternal yaitu berdakwah amal maruf nahi mungkar. Pemikiran kyai ketika itu tentunya tidak sendirian dalam menjadi founding fathernya persyarikatan ini, banyak pengaruh dari para pembaharu-pembaharu islam klasik seperti Ibn Taimyah, Ibn Qoyyim, Muhammad bin Abdul wahab, Jamalluddin alAfghani, Muhammad Abduh dan Rashid Ridho. Tentunya Kyai termasuk penerus semangat tajdid yang digetolkan oleh ulama-ulama sebelumnya. Tidak lepas dari sejarah, Muhammadiyah semakin hari semakin berkembang dan maju pesat. Susunan keorganisasiannya pun tertata rapi. Sebagai organisasi islam mayoritas yang berdakwah amal maruf nahi mungkar tentunya eksistensinya dalam masyrakat sangat vital sekali, terutama hal-hal yang berkaitan dengan ibadah, muamalah dan penyelesasain polemik-polemik fora kolektif yang mencuat. Dalam hal ini khususnya yang menggeluti adalah Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Pengembangan Pemikiran Islam. Majelis ini berdiri dan disahkan pada tahun 1927. Sejak berdirinya, majelis ini telah menghasilkan sejumlah keputusan, dan sealur dengan perjalanan waktu, keputusan-keputusan Majlis Tarjih sejak kelahirannya mencakup persoalan yang berkembang di tengah masyarakat yang meliputi bidang ibadah, muamalah, ekonomi, sosial, politik, dan hal-hal lainnya yang muncul dalam dinamika kehidupan,42 walaupun hari demi hari Majlis ini mengalami progesifitas. Kata tarjih sendiri secara bahasa berasal dari rajjaha yang artinya memberi pertimbangan lebih dari pada yang lain. Menurut istilah mayoritas ulama Hanafiyah, Syafiiyah dan Hanabilah tarjih itu adalah perbuatan mujtahid, sehingga dalam kitab kashfu al-Asrar disebutkan bahwa tarjih itu adalah; usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu diantara dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih itu.43 Sedangakan menurut tutur katanya Prof. Dr. Syamsul Anwar, bahwa tarjih dalam konteks Muhammadiyah ternyata tidak hanya sekedar pilih-memilih pendapat yang sudah ada. Menurut beliau tarjih hampir senada sengan sinonim ijtihad, karena tarjih dalam praktik Muhammadiyah merupakan suatu upaya menjawab dan merespon berbagai masalah baru yang belum pernah disinggung atau difatwakan oleh ahli fikih klasik atau juga melakukan pengkajian kembali terhadap berbagai pendapat yang ada untuk direinterpretasi.44 Ijtihad di dalam Muhammadiyah Dalam penyelesaian masalah, majelis ini tidak lepas dari konsep berpikir, metode aplikasinya, dan penggunaan nalar logis lebih khususnya dalam berijtihad (berasumsi). Ijtihad sendiri yang secara terminologi adalah42 Baca buku wacana fikih perempuan dalam perspekstif Muhammadiyah, kerjasama Majelis Tarjih Muhammadiyah dan pengembangan pemikiran Islam PP Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta, cet. I, 2005, bab, sambutan Prof. Dr. Syamsul Anwar 43 Prof. Dr. H. Asjmuni Abdurrahman, manhaj tarjih Muhammadiyah, pustaka pelajar offset, Yogyakarta, cet. I, 2000, hal. 3 44 Baca buku wacana fikih perempuan dalam perspekstif Muhammadiyah, op. Cit., hal. Bab sambutan Prof. Dr. Syamsul Anwar

14

mencurahkan segala tenaga (berpikir dengan landasan syari) untuk berasumsi dalam penyelesaian hukum masalah, merupakan hal yang wajib bagi para kyai dan tokoh intelektual di dalam majelis ini, tentunya dengan prosedur individual yang memadai sehingga memenuhi syarat ketika bermain nalar (ijtihad). Sedang kata ijtihad tidak lepas dari adanya sebuah pekerjaan yang sulit. Majelis Tarjih sendiri tentunya menjadi cikal bakalnya persyarikatan atau bisa dikatakan yang banyak mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat, karena apa, Majelis ini menjadi penjawab ketika ada orang yang tanya. Menurut pak Amin Rais dalam aplikasinya baik tajdid maupun tarjih, tentunya tidak hanya pada satu bidang sektoral saja tapi juga harus komprehensif. Pak Amin Rais bertutur, memang perlu kita memikirkan apa yang dikatakan oleh pak Mukti Ali, bahwa Majelis Tarjih itu ibarat sekedar majelis yang hanya menunggu pesan atau kalau ada pertanyaan.45 Sedangkan dalam ranah organisasi atau persyarikatan, ciri ijtihad yang digunakan tentunya ada dua; individu (fardhi) dan organisatoris (jami). Tentunya Muhammadiyah tericirikan dengan ijtihad yang kedua yaitu ijtihad jami (organisatoris), karena Majelis Tarjih bisa dikatakan dengan muassasah ijtihad. Dalam prakteknya ijtihad ini tentunya mempunyai benang merah atau prosedur umum yang harus diikuti sehingga ijtihad kolektif atau organisatoris ini terjamin dan terakreditasi produk-produk ijtihadnya. Sangat urgen tentunya ijtihad kolektif ini di dalam Muahmmadiyah. Salah satu kepentingan ijtihad kolektif menurut Dr. Abdul Majid Asy-Syarafi adalah menerapka prinsip syuro, ijtihad kolektif lebih seksama dan akurat, ijtihad ini menggantika posisi ijma, ijtihad kolektif mengatur prosedur ijtihad dan menghindari kebuntuannya, ijtihad kolektif melindungi ijtihad dari berbagai ancaman, ijtihad kolektif merupakan solusi bagi permasalahan baru, ijtihad kolektif merupakan jalan untuk menyatukan umat, ijtihad kolektif mewujudkan sikap saling melengkapi. 46 Dalam praktek ijtihad kolektif tentunya Majelis Tarjih menghimpun semua ulama-ulama yang spesialisasinya pada bidang yang masih dipermasalahkan, majelis ini juga tidak terlalu eksklusif, tentunya ulamaulama dari organisasi lainya pun ikut berafiliasi dalam proses ijtihad kolektif itu. Pokok-pokok dan metodologi Majelis Tarjih Muhammadiyah Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih.47 Muhammadiyah sebagai instasi lebih khususnya Majelis Tarjih Muhammadiyah tentunya dalam praktek ijtihad mempunyai landasan atau hirarki pokok-pokok ketika beraktifitas ijtihad. Dalam hal ini, tentunya Muhammadiyah beraksis paling utama dengan nas (al-Quran dan45 Dr. M. Amien Rais, visi dan misi Muhammadiyah, pustaka SUARA MUHAMMADIYAH, Yogyakarta, cet. II, 1998, hal. 10-11 46 Dr. Abdul Majid Asy-Syarafi, diterjemahkan oleh Syamsuddin TU, ijtihad kolektif, pustaka alKautsar, Jakarta, cet. I, 2002, hal. 53. 47 Prof. Dr. H. Asjmuni Abdurrahman, op. Cit., hal. 12-13-14

15

Sunnah) kemudian dengan landasan-landasan sekunder lainnya. Adapun pokok-pokok atau landasannya adalah sebagai berikut: Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Quran dab Sunnah alShohihah. Ijtihad dan istinbth atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nas, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang taabbudi, dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima ijtihad, termasuk Qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nasnya secara langsung Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jamai (kolektif). Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majelis tidak dapat dipandang kuat. Tidak mengikatkan diri pada suatu madhab, tetapi pendapat-pendapat madhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan ruh al-Quran dan Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. Berprnsip terbuka dan toleran, tidak beranggapan bahwa Majelis Tarjih paling benar. Keputusan diambil atas dasar dalil-dalil yang dipandang paling kuat. Dan koreksi dari siapapun akan diterima, sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. Di dalam masalah akidah, hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir. Tidak menolak ijma sahabat sebagai dasar sesuatu keputusan. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung taarudh digunakan cara al-Jamu wa al-Taufiq, dan kalau tidak dapat baru dilakukan tarjih. Menggunakan asas saddu al-Dzarai untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. Mentalil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil alQuran dan Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syari. Adapun kaidah "al-Hukmu yaduru maa illatihi wujudan wa adaman" dalam hal-hal tertentu, dapat berlaku. Penggunaan dalil-dalil utnuk menetapkan sesuatu hukum, dilakukan dengan cara komprenhensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah. Dalil-dalil umum dalam al-Quran dapat di takhsis dengan hadist ahad, kecuali dalam bidang akidah Dalam mengamalkan agama islam menggunakan prinsip al-Taisyir Dalam bidang ibadah diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-Quran dan Sunnah pemahamannya dapat dengan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi sehingga prinsip mendahulukan nas dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi Dalam hal-hal yang termasuk perkara duniawi yang tidak termasuk tugas para nabi penggunaan akal sangat diperlukan demi

16

kemashlahatan umat Untuk memahami nas yang musytarak faham sahabat dapat diterima Dalam memahami nas, makna dhohir didahulukan dari tawil dalam bidang akidah. Dan tawil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima. Metodolodi ijtihad Majelis Tarjih Metodologi Manhaj Tarjih Muhammadiyah yang tertera didalam buku; Manhaj Tarjih Muhammadiyah karangan Prof. Dr. Asjmuni Abdurrahman, ada sembilan belas pokok metodologi dan disertai dengan aplikasinya. Mungkin disadari karena dhuruf dan makan, penulis hanya mengambil salah satu dari kesembilan belas metodolodi itu yaitu khususnya dalam diskursus ijtihad. Didalam aplikasi ijtihad, Muhammadiyah tampak menggunakan tiga ijtihad; bayni, qiyasi, dan istishlahi,48 yang mana ketiganya itu saling menopang di dalam me-reinterpretasi nas (al-Quran dan Sunnah). Ketiga ijtihad ini di interpretasikan oleh ulama-ulama kontemporer semisal Abdul Wahal Kholaf, Dr. Muhammad Maruf Dawalibi, Dr. Muhammad Salam Madkur.49 Dalam pembahasan ijtihad bayani tentunya bergelutnya hanya pada nas, yang mana metode dan model-model nas bermacam-macam dari segi makna dan dalalahnya. Adapun dari segi kontruks pembagian lafadnya seperti, pertama: dalalahnya terhadap makna yang dimaksud (al-dalalah al-Lughowiyah ala al-Mana al-Murdah) mencakup khos, m, musytarak, dan muawwal. Kedua: kejelasan eksistensi maknanya (wudhhu al-Mana al-Mathlub) mencakup dhhir, nas, mufassar, dan muhkam. Ketiga: eksistensi makna yang masih belum jelas (wujh khifu al-Mana al-Maksud) mencakup khofi, musykal, mujmal, mutasybih. Keempat: dalalah al-fdh terhadap makna yang dimaksud mencakup haqiqah, majz, shrih, dan kinyah. Sedangkan dari dalalah al-aFdhnya terbagi menjadi dua kubu; kubu Hanafiyah membaginya ada empat yaitu dalalah isyroh, dalalah ibroh, dalalah iqtidh, dalalah nas. Dan kubu Syafiiyah membagi menjadi dua yaitu dalalah mantq dan dalalah mafhm. Pembahasan ijtihad qiyasi dalam oprasionalnya menitik beratkan pada ekualitasnya causa hukum (illah) pada al-Ashlu dan fur. Sehingga dalam beristinbth dengan dasar illah ada dua metode illah (maslik al-Illah); pertama: metode teks seperti nas dan ijma. Kedua: metode analogi atau ijtihadiyah seperti m dan tanbh, munsabah dan ikhlah, sibru wa taqsm, syibhu, thardu dan al-aksu. Sedangkan dalam pembahasan ijtihad istishlahi itu hanya berkutat pada ruh utilitarianistik. Ijtihad ini tidak ada kaitannya dengan teks. Jika ijtihad yang sebelumnya; bayani dan qiyasi masih bersinggungan dengan teks maka ijtihad istishlahi tidak. Sehingga48 Pengetian ketiga ijtihad itu adalah sebgai berikut: pertama: ijtihad bayani adalah usaha mendapatkan hukum dari nas dhonni dengan mencari dasar-dasar interpretasi atau tafsir. Kedua: ijtihad Qiyasi: usaha yang sungguh-sungguh untuk menentukan sesuatu masalah yang belum ada ketentuan nasnya berdasarkan kesamaan 'illah. Ketiga: ijtihad istishlahi adalah mencari ketentuan hukum suatu masalah yang tidak ada ketentuan nasnya dengan berdasarkan pada kemashlahatan yang dicapai. (baca: Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Hal: 113). 49 Dr. Nuruddin 'Abasi, al-Ijtihad al-Istishlhi; mafhmuhu, hujjiyatuhu, majluhu, dhowbituhu, Dr Ibn Hazm, Beirut, cet. I, 2007, hal. 67

17

solusi para ahli ushul dalam menformulasikan hukum pasti jalan akhir atau jalan satu-satunya jika tidak menemukan suatu hukum permasalahan adalah melihat dengan metode maqosid umum.50 Penutup Dalam permaslahan ijtihad, jika kita menengok pada study kasus sejarah, tentunya para mujtahid klasik pada zaman Umawi sampai sistem ke khilafahan digeser dengan sistem imperium, menjadi dianakronitiskan. Karena otoritas ijtihad ketika itu dimotori oleh orang-orang yang bukan bidangnya atau raja-raja kerajaan. Dalam hal ini kecuali pada zaman kholifah rasyid Umar bin Abdul Aziz, yang mana beliau juga berijtihad dalam bidang fikih sehingga ada kontribusinya pada bidang fikih dan ushl dan lebih umumnya pada kehidupan manusia dalam bidang amali.51 Namun jika dilihat dari segi tingaktan pertumbuhan fikih, ijtihad memang merupakan pembahasan yang banyak menuai sejarah. Ijtihad dalam kontek sekarang tentunya berbeda dengan masa silam yang sangat bebal. Para ulama-ulama zaman sekarang sudah mudah dan bahkan gampang ketika ingin mengkonsumsi hasil jerih payah ulama klasik tentang manuskrip turast ushul fikih. Tentunya dalam hal ini, praktek ijtihad, lebih khususnya pada konteks Majelis Tarjih Muhammadiyah tentunya para mujtahidnya harus kristis dan mumpuni sehingga proses imitasi, total doubt tidak terjadi pada produkproduk ijtihadnya apa lagi ditambah produk-produk buku dari ulama-ulama klasik maupun kontemporer mereka lebih enjoy dalam berijtihad. kesimpulan dari uraian di atas, pastinya penulis hanya ingin berharap bahwa ijtihad tentunya harus tetap eksis pada setiap zaman dimanapun berada. Hal ini senada dengan tuturkatanya Imam Ahmad bin Hambal, "seyogyanya pada setiap fora kehidupan itu harus ada mujtahid".52 Memang benar permasalahan hari demi hari selalu bertambah dan berkecamuk, maka para mujtahid tidak boleh lari dari kenyataan. Dan asumsi yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup itu adalah asumsi pada masa kejumudan sehingga progesifitas nalar kolektif pada waktu itu mati. Pembantahan asumsi ini pertama kali dibantah oleh tokoh neo-pembaharu pada waktu yaitu Ibn Taimiyah dan dipartisani oleh muridnya Ibn Qoyyim kemudian Jamaluddin al-Aghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho. Wal akhir, makalah ini minim keobjektifan, penulis hanya bermaksud, makalah ini menjadi stimulan atau rangsangan dalam berdialektika ketika berdiskusi. Dan makalah ini juga masih banyak yang belum tertulis karena waktu dan tempat, namun insyaallah masih ada jenjang revisi, nah ketika waktu revisi penulis elaborasi dan perbaiki dengan semampunya. Mudahmudahan makalah ini menjadi sumbang sih dalam berpikir dan berwacana. "jangan berpatok pada makalah ini, mohon kritikan pada isi dan subtansi materi dengan dibarengi temen-temen untuk membaca diskursus ijtihad". "berjuang, maju terus, dan berproseslah sampai menemukan hikmah-Nya"50 Dr. Nuruddin 'Abasi, op. Cit., hal. 67-73 51 Dr. Toha Jbir 'Alwni, ushl fiqh al-Islmi; manhaju bahsin wa ma'rifah, al-Ma'had al-'lami lil fikri al-Islmi, Amerika Serikat, cet. II, 1995, hal. 77 52 Muhammad Tja, op. Cit., hal. 151

18

Muhammad Ariawan Suputro Mahasiswa Fak. Syariah Islamiyah

19

Referensi: Al-Quran dan terjemahannya Abdurrahman, Asjmuni, Prof. Dr. H, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, cet. I, 2000 Ali Khaff, Syeikh, Asbbu Al-Ikhtilfi Al-Fuqah, Dr al-Fikr al-Arabi, Kairo Al-Isnawi, Jamaluddin Abdurrahim, Imam, Nihyah As-Sl, Dr al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet. I, 1999 Al-Syaukni, Imam al-Khafidh, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Irsydu Al-Fuhl il Tahqqi Al-Haq min Ilmi Al-Ushl, ditahkik oleh Dr. Syabn Muhammad Ismail, Dr al-Salm, Kairo, cet. II, 2006 Amien Rais, M, Dr., Visi dan Misi Muhammadiyah, Pustaka SUARA MUHAMMADIYAH, Yogyakarta, cet. II, 1998 Asy-Syarafi, Abdul Majid, Dr., diterjemahkan oleh Syamsuddin TU, Ijtihad Kolektif, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cet. I, 2002 Abasi, Nuruddin, Dr., Al-Ijtihad Al-Istishlhi; Mafhmuhu, Hujjiyatuhu, Majluhu, Dhowbituhu, Dr Ibn Hazm, Beirut, cet. I, 2007 Buud, Ahmad, Dr., Al-Ijtihd Baina Haqiku Al-Trikh wa Muthallibtu AlWqi, Dr al-Salm, Kairo, cet. I, 2005 Ibrohim, Muhammad bin, Al-Ijtihd wa Al-Urf, Dr al-salm, Kairo, cet. I, 2009 Jbir Alwni, Toha, Dr., Ushl Fiqh Al-Islmi; Manhaju Bahsin wa Marifah, alMahad al-lami lil fikri al-Islmi, Amerika Serikat, cet. II, 1995 Kerjasama Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta, Wacana Fikih Perempuan dalam Perspekstif Muhammadiyah, cet. I, 2005 Qardhawi, Yusuf, Dr., Al-Ijtihd f Al-Syarah Al-Islmiyah maa Nadharti Tahliliyah f Al-Ijtihd Al-Mushir, Dr al-Qalam, Kuwait, cet. III, 1999 Tj, Muhammad, Al-Madzhib Al-Islmiyah Al-Islmiyah wa Al-Tashub AlMadzhabi, Dr al-Kotabia, Suriah, cet. I, 2004 Sayis, Muhammad Ali, Tafsr yatu Al-Ahkm, Dr Al-Bayn Al-Khaditsah, Kairo Zuhaili, Wahbah, Dr., Ushl Fiqhi Al-Islmi, Dr al-Fikr, Suriah, cet. XV, 2007.

20