REALISASI PELAKSANAAN NAFKAH IDDAH DALAM KASUS PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA...
Transcript of REALISASI PELAKSANAAN NAFKAH IDDAH DALAM KASUS PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA...
REALISASI PELAKSANAAN NAFKAH IDDAH DALAM KASUS
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
TAHUN 2012
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh :
Futichatus Samiah
NIM : 1110044100064
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/ 2014 M
REALISASI PEI,AKSANAAN NAM(AIT IDDAH DAI,AM KASUS
PERCERAIAN DI PENGADILAII AGAMA JAKARTA SELATAN
TAIIUN 2012
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk MemenuhiSalah Satu Syarat unhrk Memperoleh Gelar Sa{ana Syariah (S.SV).
Oleh:
Futichatus SamiahNIM: 1110044100064
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI III]KT]M KELUARGA
FAKULTAS SYARIAII DAI\T IIUKTIM
UNTYERSTTAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAII
JAKARTAr43s H/ zal4iM
Di Bawah Bimbingan
iiffosdian:i. MA.196906102003122041
PENGESAIIAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul REALISASI PELAKSANAAIY NAFKAH IDDAH DALAMKASUS PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATANTAHUN 2012, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah danHukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggnl 9 Mei2014. Slaipsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelarSarjana Program Sffata 1 (S1) pada Program Studi Hukum Keluarga KonsenfrasiPeradilan Agama.
Jakafia,9 Mei20l4Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
PATIITIA UJIAN
1. KetuaDrs.IL Basiq Dialil SH.. MANIP: 19500306 197603 1 001
'2. SekertarisHi. Rosdiana. MA.NIP: 19690610 200312 2 001
PembimbingHi. Rosdiana. MA-NIP: 19690610 200312 2 001
Penguji IDr. H. M. Nurul Irfan. M. As.NIP: 19730808 200312 1 001
Penguji IIDra. Hi. Maskufa. M. A.NIP: 196807A3 D9403 2 002
(..;............ )
3.
4.
s
r. Phil. JM Muslimin, M.A.19680812 199903 1 014
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 April 2014
Penulis
iv
KATA PENGANTAR
بسم ا لله الرحمن الرحيم
Puji dan syukur tak hentinya penulis panjatkana ke Hadirat Allah SWT yang
Maha Pengasih dan Penyayang dengan limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar
Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan pula kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta umatnya, yang Insya Allah
kita termasuk di dalamnya.
Selama proses penulisan skripsi ini penulis sangat menyadari bahwa dalam
proses tersebut tidaklah terlepas dari segala bantuan, bimbingan dan motivasi dari
berbagai pihak, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Periode
Tahun 2007 sampai Periode Tahun 2014.
2. Dr. Phil. JM Muslimin, M. A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Periode Tahun 2014
sampai Periode Tahun 2017.
v
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Ketua Jurusan Ahwal Syakhsiyyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Hj. Rosdiana, MA. Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhsiyyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang sekaligus juga dosen pembimbing skripsi atas waktu, perhatian serta
do’a selama proses bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini, semoga Ibu
senantiasa diberikan nikmat, sehat dan selalu menjadi suri tauladan bagi
kami.
5. Para Dosen serta jajaran staf karyawan di Fakultas Syariah dan Hukum,
terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan. Semoga menjadi ilmu
yang berkah dan manfaat di dunia dan akhirat.
6. Segenap Staf Karyawan Akademik, Perpustakaan Utama UIN dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
kemudahan penulis dalam mencari referensi.
7. Ayahanda Syamsudin dan Ibunda Munipah yang telah merawat dan
mendidik penulis dengan penuh kesabaran, cinta dan kasih sayang dan
yang selama ini telah mendukung penulis dengan sepenunya hingga
sampai sekarang ini.
8. Om H. Apong Syafarudin dan Bulek Hj. Suci Hati yang telah membiayai
saya dalam menjalankan perkuliahan di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
vi
9. Kakak beserta Istri dan adik tercinta yang selalu memberikan semangat,
dukungan dan do’a bagi penulis.
10. Hakim dan Staf Karyawan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang telah
memberikan kemudahan bagi penulis dalam melakukan peniltian.
11. Teman-temanku senasib seperjuanagn Fakultas Syariah dan Hukum
angkatan 2010.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis
ucapkan terima kasih yang tiada terhingga.
Semoga Allah membalas semua amal baik dengan pahala yang berlipat ganda.
Amin
Jakarta, 24 April 2014
Penulis
v
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ..........................................................................iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................... 10
C. Tujuan Penelitian dan Manfaatnya ............................................ 11
D. Kerangka Teori........................................................................... 12
E. Metode Penelitian....................................................................... 15
F. Review StudiTerdahulu .............................................................. 19
G. Sistematika Penulisan ................................................................ 22
BAB II NAFKAH IDDAH DALAM TEORI
A. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya .................................. 23
B. Perceraian dalam Perkawinan .................................................... 30
viii
C. Pengertian Iddah dan Dasar Hukumnya ..................................... 33
D. Macam – Macam Iddah dan Hikmahnya ................................... 38
E. Nafkah Iddah dalam Undang-Undang Perkawinan dan KHI ..... 45
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Profil Pengadilan Agama ........................................................... 51
B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama ..................................... 57
C. Tugas dan Wewenang Absolut Pengadilan ................................ 60
BAB IV REALISASI PELAKSANAAN NAFKAH IDDAH DALAM KASUS
PERCERAIAN
A. Data Perkara Perceraian ............................................................. 65
B. Proses Pelaksanaan Pemberian Nafkah Iddah............................ 69
C. Implementasi Pelaksanaan Putusan Tentang Nafkah Iddah di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan ......................................... 74
D. Analisis ....................................................................................... 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 80
B. Saran – saran .............................................................................. 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
Surat Permohonan Kesediaan menjadi Pembimbing
Surat Permohonan Data/ Wawancara
Data Perkara Tahun 2012
Putusan Perkara Cerai Talak
Hasil Wawancara Hakim
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan Allah berpasang-pasangan dan kemudian saling
mengenal antara satu dengan yang lainnya, begitu pula untuk terjalinnya suatu
hubungan dan terjadinya suatu pasangan yang halal baginya yaitu melalui
perkawinan yang sah. Oleh karena itu, pengertian perkawinan menurut hukum
Islam yang diatur di dalam KHI itu sendiri adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan Ibadah. Dalam pandangan Islam di samping
perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan Sunnah Allah dan
Rasul Sunnah Allah.1
Hukum Nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan
biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat
perkawinan tersebut.
Perkawinan Adalah sunnatullah, hukum alam di dunia.Perkawinan
dilakukan oleh manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan,karenanya
menurut para Sarjana Ilmu alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan
terdiri dari dua pasangan.Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt.,
1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2009), h.41.
2
sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan
hidupnya.2Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna
melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk mempertahankan eksistensi
kemanusiaan di muka bumi ini.Ia sangat disenangi oleh setiap pribadi manusia
dan merupakan hal yang fitrah bagi setiap makhluk Tuhan. Dengan perkawinan
akan tercipta suatu masyarakat kecil dalam bentuk keluarga dan dari sana pula
akan lahir beberapa suku dan bangsa.3
Menurut ajaran agama Islam, bahwa nikah atau perkawinan itu
dibolehkan bahkan dianjurkan oleh Rasulullah saw. Kepada umat manusia sesuai
dengan tabiat alam yang mana antara golongan pria dan golongan wanita itu
saling butuh membutuhkan untuk mengadakan ikatan lahir batin sebagai suami
isteri yang sah dan terang dalam hukum agama atau undang-undang yang
berlaku.Dengan perkawinan dapat mencegah pemuda dari perbuatan jahat dan
maksiat.4
Pernikahan bagi umat manusia adalah suatu yang sangat sakral dan
mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan syari’at agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan
bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger dalam tubuh
2 Tihani dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian Fikih Nikah Lengkap,( Jakarta: Rajawali
Pers,2009),h. 8-9.
3 Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan
dan Masalahnya,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1993), h. 14.
4 Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam Tuntutan Keluarga Bahagia, 1994,
Cet. Ke 3.,h.30.
3
dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling
mengayomi diantara suami isteri dengan dilandasi cinta dan kasih sayang. Di
samping itu untuk menjalin tali persaudaraan di antara dua keluarga dari pihak
suami dan pihak isteri. Jadi tujuan yang hakiki dalam sebuah pernikahan adalah
mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah yang selalu dihiasi mawaddah
dan warahmah.
Kehidupan yang berpasang-pasangan ini mengandung hikmah yang
sangat besar manfaatnya bagi kehidupan umat manusia bagi yang mau berpikir
dan selalu beretika dengan mengikuti norma dan nilai-nilai sosial yang telah
digariskan agama (Islam). Hidup berpasang-pasangan bagi umat manusia harus
mengikuti tata cara dan peraturan yang digariskan oleh agama yang disebut
dengan pernikahan, bahkan dalam kehidupan bernegara masalah pernikahan ini
diatur oleh perundang-undangan negara bersangkutan.5
Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai
terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap
kesejahteraan keluarga.Terbentuknya suatu keluarga yaitu dimulainya dengan
adanya perkawinan, karena perkawinan itu sangat dianjurkan oleh Islam bagi
yang telah mempunyai kemampuan.6
Salah satu asas perkawinan yang disyari’atkan adalah perkawinan untuk
selama-lamanya yang diliputi oleh rasa salingcinta mencintaidan kasih
5 Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan,Maret 2004, h.19,34.
6 Abd. Rahman Ghazaly, fiqih Munakahat,(Jakarat: Prenada Media, 2003), h. 14.
4
sayang.Oleh karena itu agama Islam mengharamkan perkawinan yang tujuannya
untuk sementara dalam kurun waktu hanya sekedar untuk melampiaskan hawa
nafsu saja.
Pada prinsipnya tujuan perkawinan dalam agama Islam adalah untuk
memenuhi petunjuk Allah dalam rangka membentuk keluarga yang sakinah
mawaddah warahmah.Sakinahdalam menjalankan hak dan kewajiban anggota
keluaraga, mawaddah dalam menciptakan ketenangan lahir batin disebabkan
terpenuhinya keutuhan hidup mereka, sehingga timbullah kebahagian kasih
sayang antara anggota keluarga.7
Oleh karena itu di dalam menjalani sebuah hubungan ada yang namanya
hak dan kewajiban, begitu juga dalam perkawinan diantaranya ialah suami wajib
memberi biaya hidup pada isteri dan anak-anaknya yang lebih dikenal dalam
istilah fiqih adalah nafkah.Yaitu memenuhi kebutuhan papan, sandang, pangan,
dan juga pengobatan.Memberi nafkah kepada isteri hukumnya wajib.
Sebagaimana firman Allah dalam (QS: Al-Baqarah:223) permasalahan
pemberian nafkah terjadi ketika akad nikah selesai secara sah, hak dan kewajiban
antara suami isteri timbul tanpa dapat dihindari.
Islam membina ikatan antara suami dan isteri di atas dasar-dasar yang
jelas dan benar serta sesuai prinsip-prinsip agama yang telah dientukan. Allah
menjelaskan hal itu dalam firmannya:
7 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis
Perkembanagn Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana,2006),Cet.
Ke- 3, h.42.
5
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf.(QS.(2):228)”.
Dengan merujuk kepada undang-undang yang indah ini, Islam
mengukuhkan hubungan antara pasangan suami isteri atas dasar keseimbangan,
keharmonisan dan keadilan. Wanita mempunyai hak yang wajib dipikul oleh
suaminya menurut tuntutan agama yang suci, sebagai pertimbangan bagi hak
suami yang wajib dipikul oleh isterinya menurut agama. Islam tidaklah
menetapkan suatu hak kepada pria (suami) sebelum ia menetapkan suatu hak
kepada seorang wanita (isteri).
Untuk menyempurnakan keseimbangan ikatan antara suami isteri, Islam
telah membuat dan menetapkan hak-hak yang jelas bagi suami atas isterinya.
Hanya saja, tuntutan hak bagi suami lebih ringan ketimbang hak isteri atas
suaminya.Sebab hak-hak isteri tuntutannya lebih banyak dan lebih luas.
Perempuan adalah mitra laki-laki,laksana soerang mentari dalam megurus
keluarga, wakil saat suami tiada, pendidikan anak-anak, dan sekaligus penjaga
rahasia-rahasia suami. Dan kaum perempuan mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (Al-Baqarah[2]:228), berkaitan
hak suami dan hak isteri, hak-hak mereka dibagi menjadi dua kategori, hak
bersama antara suami dan isteri serta hak antara setiap individu, dalam arti apa
yang menjadi hak isteri tidak bisa menjadi hak suami dan begitu juga sebaliknya.
6
Dengan demikian, seorang perempuan layak mendapatkan hak istimewa.
Bahkan sudah seharusnya kaum perempuan memiliki peran sekaligus pengakuan
penting dalam berbagai aspek kehidupan.8
Realitas demikian sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbedaan
status atau derajat, kedua-duanya juga mempunyai peran yang sangat penting
dalam membangun kehidupan yang harmonis di dunia. Fakta juga berbicara
bahwa antara keduanya tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling
melengkapi dan saling menyempurnakan.9
Apabila antara suami dan isteri terjadi salah faham dan tidak menyayangi
antara satu sama lain, maka terjadilah talaq. Tidak adanya pergaulan yang baik
antara kedua suami isteri akibat talaq, sedang isteri berkewajiban menjalani
iddah, adalah antara sebab yang rasional mengapa suami harus dibebankan untuk
membiayai nafkah selama si isteri menjalani iddah tersebut.Nafkah iddah wajib
diberikan kepada perempuan yang sedang beriddah raj’i dan beriddah
hamil.Perempuan yang beriddah raj’i berhak mendapat nafkah bedasarkan firman
Allah dalam surah talaq ayat 6. Ayat ini mewajibkan suami untuk menyediakan
tempat tinggal kepada istri. Manakala tempat tinggal wajib diberikan, maka
memberikan nafkah juga wajib, karena nafkah itu mengikuti wajibnya
memberikan tempat tinggal.
8 Abd al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, Cet. Ke-1,h.276.
9 Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, 2010, h. 97.
7
Islam menetapkan suami memberikan nafkah iddah kepada isterinya
selama iddahnya itu berlangsung dengan syarat isteri tidak nusyuz dan tidak ada
sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah berdasarkan kaedah
umum yang mengakui bahwa orang yang menjadi milik orang lain diambil
manfaatnya, maka nafkahnya menjadi tanggungan orang yang menguasainya.
Demi menegakkan keadilan, kita perlu kepada undang-undang dan tidak
diragukan sama sekali bahwa kita telah dikaruniakan dengan undang-undang
Islam yang syumul dan universal. Untuk mentadbirnya, maka diwujudkan
lembaga pengadilan dan untuk menyelesaikan sengketa umat Islam dalam urusan
berkaitan hal ihwal Islam, maka disetiap kasus perceraian dilakukan melalui
Pengadilan Agama.
Jika terjadi perceraian, khususnya cerai talak maka suami tidak
mencampakkan begitu saja tetapi suami harus memberi nafkah iddah bagi isteri
yang ditalak oleh suaminya, karena bagi isteri yang ditalak oleh suaminya masih
mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama berada dalam masa
iddah.Karena memberikan nafkah tidak hanya selama perkawinan berlangsung
tetapi juga setelah perceraian dan isteri berada dalam masa iddah.
Karena seorang wanita yang sedang ditalak raj’i baik dia hamil maupun
tidak dia wajib menjalani masa iddah.Di sisni bukan hanya menjalani iddah
tunggu saja tetapi dalam masa iddah mantan siteri berhak mendapatkan nafkah
dari mantan suaminya apabila perceraian itu dari suatu perkawinan yang
sah.Perceraian itu terjadi karena ditalak oleh suaminya atau oleh hakim karena
8
kejahatan suami, atau perceraian itu terjadi karena fasakh dari pihak suami, atau
dari pihak isteri tetapi bukan karena suatu maksiat isteri seperti khiyar (fasakh)
isteri karena suami tidak mampu memberi nafkah sesudah mereka campur
(dukhul).
Dalam hal ini, pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberi biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas
isteri (pasal 41 UU No.1/1974).Dengan demikian, bekas suami mempunyai
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada mantan
isterinya.Nafkah selama isteri menjalani iddah tersebut, wanita dalam iddah raj’i
Ulama sepakat bahwa wanita yang sedang talak raj’i tersebut berhak menerima
nafkah lahir sepenuhnya dari mantan suaminya.10
Begitupun yang telah diatur dalam peraturan pemerintah baik undang-
undang maupun Instruksi Presiden mengenai masalah nafkah sarana kesehatan
isteri telah diatur dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 34 ayat 1 dan instruksi presiden Nomor 1 Tahun 1991 yaitu
tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 4 huruf b menjelaskan bahwa
kewajiban suami terhadap isteri yaitu biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan
biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
Lazimnya setiap kasus perceraian yang dilakukan melalui pengadilan
agama, begitu permohonan cerai diajukan dan dikabulkan oleh pihak pengadilan
10
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Suatu studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam,(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1998), h. 375.
9
agama maka suami dibebankan membayar nafkah iddah dan nafkah mut’ah atas
dirinya selama tiga bulan berturut-turut, maka suami wajib membayar nafkah
kepada isteri yng disebut dengan nafkah iddah yang didasarkan atas kemampuan
suami sebagai upaya pemenuhan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syari’at
Islam.
Pemberian mut’ah dan nafkah iddah pasca perceraian sering dijadikan
tolak ukur sensitivitas jender hakim dalam penyelesaian perkara perceraian.
Namun, sejalan dengan pemahaman baru ini para hakim memberikan penekanan
terhadap nafkah iddah tingkat sunnah yang tidak mewajibkan harus dilaksanakan
menjadi muakkadah yaitu wajib dilaksanakan seperti halnya sholat jum’at,
seperti halnya dalam memberikan mut’ah dan iddah sebagaimana disebutkan
dalam KHI. Artinya, ketentuan pemberian mut’ah yang dulunya hanya bersifat
non-impratif (ghairu muakkadah), ditingkatkan menjadi semi impratif
(muakkadah). Dengan cara itu maka dalam setiap perkara permohonan cerai,
suami disyaratkan secara mutlak untuk membayar uang konpensasi ini kepada
pihak isteri setelah perceraian terjadi.11
Dalam hal nafkah masa iddah ini, adalah amat penting bagi seorang
lelaki untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas isterinya agar si isteri tidak
ditelantarkan dalam menjalani masa iddahnya. Dari sini maka timbul suatu
kekhawatiran yang terkadang muncul akankah suami mempunyai i’tikad baik
11
Arskal Salim, dkk, Demi keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program Sensitivitas
Jender Hakim Agama di Indonesia, 2009, h. 65.
10
untuk memenuhi kewajibannya memberikan hak-hak isteri seperti yang telah
ditentukan oleh Pengadilan Agama.
Oleh karena itu, pada kajian ini penulis tertarik untuk membahas
mengenai nafkah iddah dengan judul “ Realisasi Pelaksanaan Nafkah Iddah
Dalam Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun
2012”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini menjadi lebih fokus, tersusun dengan
sistematis dan terarah, maka penulis membatasi lingkup permasalahan dengan
melakukan pembatasan masalah sebagai berikut. Penelitian ini akan
menginterpretasikan urgensi nafkah dalam masa iddah dari perspektif hak-hak
perempuan dalam perkawinan, khususnya hak yang harus diterima oleh isteri
selama masa iddah. Dengan melihat implementasi nafkah iddah yang berlaku
berdasarkan putusan hakim (yurisprudensi) di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pada tahun 2012.
2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dapat diketahui bahwa nafkah masa iddah adalah
suatu kewajiban suami untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas isterinya,
hal ini berdasarkan pada hukum Islam maupun undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 dan mengikut KHI berdasarakan kepada putusan hakim, isteri berhak
mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya terutama nafkah tempat tinggal
11
dan keperluan atas yang lain. Tetapi dalam faktanya masih banyak terjadi
diantara istri-istri yang tidak mendapatkan nafkah iddah pasca perceraian.
Oleh karena itu penulis ingin membahas mengenai nafkah iddah. Untuk
memperjelas permasalahan skripsi ini, maka penulis merumuskan dengan
beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur pemberian nafkah iddah di Pengadilan?
2. Bagaimana implementasi pelaksanaan putusan tentang nafkah iddah di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
3. Apa upaya hukum apabila suami lalai melaksanakan nafkah iddah?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat
Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pemberian nafkah iddah yang di
terapakan di Pengadilan Agama.
2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi pelaksanaan putusan tentang
nafkah iddah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
3. Mengetahui upaya hukum Pengadilan Agama apabila suami lalai
melaksanakan nafkah iddah terhadapputusan Pengadilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap.
Seterusnya, manfaat yang dapat diambil atau dikutip dari penelitian ini
antara lain adalah sebagai berikut:
12
1. Dapat mengetahuidan lebih memahami problematika seputar nafkah yang
menjadikan tanggung jawab suami dan diberikan kepada isteri dan nafkah
iddah yang tidak diberikan oleh suami yang telah diperintahkan tetapi tidak
diberikan oleh suami yang sepatutnya diberikan.
2. Dapat mengetahui hukum memberikan nafkah iddah yang telah ditetapkan
oleh Al-Qur’an dan sunnah. Manakala dapat menguasai mengenai nafkah
iddah dengan lebih mendalam dan kenapa kewajiban nafkah iddah adalah
tanggung jawab yang diberikan oleh suami.
3. Dapat menambah wawasan ilmu dalam wilayah kajian yang erat kaitannya
dengan program studi Ahwal al-Syakhshiyyah dan menambah literatur
kepustakaan.
D. Kerangka Teori
Talak adalah ikrar suami dalam sidang Pengadilan Agama yang mejadi
salah satu sebab putusnya perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal
129,130, dan 131 KHI.Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang
merupakan jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak
ditemukan jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, pada dasarnya,
ajaran Islam tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut.
Untuk menjaga agar pintu darurat itu benar-benar hanya digunakan pada
situasi gawat darurat dalam kehidupan suami isteri, maka Al-Qur’an menetapkan,
wewenang talak hanya berada pada tangan suami, yang pada umumnya, tidak
seemosional seorang isteri dalam berbuat dan menentukan sikap.
13
Isteri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak dari
mantan suaminya diantaranya adalah:
1. Isteri yang dicerai dalam bentuk talak raj’i , hak yang diterimanya adalah
penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk
perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal.
2. Isteri yang dicerai dalam bentuk talak ba’in, baik ba’in sughra atau ba’in
kubra dan dia sedang hamil. Dalam hal ini ulama sepakat, bahwa dia
berhak atas nafaqah dan tempat tinggal.
3. Hak isteri yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal isteri dalam
keadaan hamil dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun bila siteri
tidak dalam keadaan hamil ada yang mengatakan disuruh tinggal di rumah
suaminya, dan ada juga ulama yang mengatakan berhak atas tempat
tinggal, begitupun dalam pasal 152 KHI dan pasal 41 UU No.1 Tahun
1974, yaitu bekas isteri berhak mendapatkan nafkah dari bekas suaminya
kecuali nusyuz.12
Jadi pemberian nafkah oleh mantan suami kepada mantan isteri setelah
percerian dimaksudkan agar isteri dapat memenuhi semua kebutuhan primernya
selama masa iddah tanpa harus melanggar aturan-aturan iddah. Bila suami
melalaikan kewajibannya maka akan timbul berbagai permasalahan, misalnya si
anak putus sekolah, sehingga anak tersebut menjadi terlantar atau bahkan
12
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta: Kencana,2009),Cet.3,h.322.
14
menjadi gelandangan. Sedangkan mantan isterinya sendiri tidak menutup
kemungkinanan akan terjerumus ke lembah hitam.13
Undang-undang mengatur bahwa tugas pokok dari badan peradilan
adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang
diajukan kepadanya. Tugas lain daripada itu dapat diberikan kepadanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Putusan atau vonis dari pengadilan perdata memuat perintah dari
pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu atau memberikan
sesuatu atau berbuat sesuatu atau melepaskan sesuatu atau menghukum sesuatu
tertentu, perintah mana kalau tidak dituruti dengan sukarela dapat diperintahkan
untuk dijalankan (di eksekusi) dengan kekerasan atau paksa.Jadi sifat dictumnya
putusan adalah condemnatoir atau harus ada di antara bunyi dictumnya itu
bersifat condemnatoir.
Dikatakan bersifat condemnatoir adalah artinya menghukum salah satu
pihak untuk melaksanakan sesuatu atau untuk menyerahkan sesuatu sebagaimana
yang telah disebutkan dalam dictum atau amar putusan.
Suatu putusan atau penetapan dikatakan mempunyai kekuatan mengikat
ialah setelah ia in kracht, yaitu setelah habis upaya hukumnya. Tetapi walaupun
putusan peradilan agama tersebut sudah in kracht, sepanjang dalam jenis-jenis
perkara yang didapat di dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 dan peraturan
13
M. Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakrta: PT.Raja
Grafindo),Cet.6,h.125.
15
pemerintah No.9 tahun 1975, ternyata masih perlu dikukuhkan oleh peradilan
umum, bahkan untuk eksekusinya masih memerlukan fiat eksekusi dan bantuan
peradilan umum. Fiat eksekusi putusan Peradilan Agama oleh Peradilan Umum
adalah tindakan untuk menyatakan bahwa keputusan Peradilan Agama itu dapat
dilaksanakan atau dieksekusi.14
Apabila suami melalaikan kewajibannyauntuk membayar nafkah
iddahyang sudah diputuskan oleh hakim Pengadilan Agama dan putusan itu
sudah berkekuatan hukum tetap, maka isteri dapat mengajukan eksekusi ke
Pengadilan Agama untuk menuntut hak-haknya atas nafkah tersebut.
Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam
menyelesaikan perkara perdata termasuk masalah nafkah iddah. Namun untuk
menyelesaikan masalah tersebut di atas para pencari keadilan yang selalu agresif
mengajukan permasalahannya ke Pengadilan Agama. Bila tidak mendapatkan
kejelasan dan kepastian hukum sudah barang tentu pengajuan perkara haruslah
sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh suatu hasil yang maksimal dari suatu karangan
ilmiah, maka metode penelitian yang dijalankan akan memegang peranan yang
sangat penting. Hal ini yang sangat mempengaruhi sampai tidaknya isi penulisan
14
Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, h.19.
16
itu kepada tujuan yang ingin dicapai. Metode yang digunakan dalam penelitian
skripsi ini adalah:
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Pengkajian yang dijalankan adalah berkisar norma hukum positif dan
analisis yurisprudensi dari Pengadilan Agama. Maka, penelitian yang penulis
lakukan adalah penelitian kualitatif dengan mengaplikasikan pendekatan survey.
Metode survey merupakan suatu usaha koleksi data (usaha intventarisasi data)
yang menyeluruh atas data yang terdiri daripada peraturan hukum positif
termasuk putusan lembaga pengadilan dalam setiap penyelesaian perkara in-
concreto.15
2. Sumber Data
a. Data Primer: yaitu data lapangan yang didapat dari sumber pertama selama
penelitian berjalan.16
Data ini dikumpulkan melalui wawancara hakim, data
laporan tahunan dan analisa mengenai realisasi pelaksanaan pemberian
nafkah iddah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
b. Data Sekunder: yauitu data yang penulis langsung dapatkan dari sumber
pertamanya, berupa putusan-putusan hakim (yurisprudensi) yang ada di
Pengadilan Agama berhubungan nafkah iddah. Dan juga data yang diperoleh
dari kitab, buku-buku dan jurnal yang berkenaan dengan nafkah iddah.
15
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h.70.
16
Modul perancangan Undang-Undang (Jakarta: Sekretaris Jendral DPR RI,2008), h.7.
17
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data, penulis menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data, yaitu:
a. Observasi, yaitu untuk mendapatkan data tentang putusan perkara di
Pengadilan Agama.
b. Dokumentasi, yaitu dengan mempelajari hasil laporan data perkara Tahun
2012 yang terkait dengan cerai talak yang di dalam putusannya
ditetapakan pembayaran nafkah iddah.
c. Wawancara, yaitu dalam pengumpulan data melalui wawancara , peneliti
melakukan wawancara mendalam (depth interview) dengan pedoman
wawancara.17
Pedoman wawancara digunakan oleh peneliti agar dapat
mengarahkan dan memudahkan dalam mengingat pokok-pokok
permasalahan yang di wawancarakan dengan interview. Dengan begitu
kegiatan wawancara bisa terfokus pada pokok permasalahan sehingga
berbagai hal yang kemungkinan terlupakan akan dapat diminimalisasi.
Instrument yang digunakan penulis adalah alat perekam untuk merekam
selama wawancara berlansung. “wawancara” merupakan suatu kegiatan
17
Masri singaribun dan sofian effendi (ed), metode penelitian survey, (Jakarta:
LP3S,1989),h.10.
18
dalam proses memperoleh keterangan yang dilakukan dengan cara tanya
jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung 18
Dalam penelitian ini, wawancara diarahkan kepada sumber data
informan (interview) yang di asumsikan memiliki keterikatan langsung
yaitu dengan perjalanan obyek penelitian yakni hakim yang
menyidangkan dan memutuskan perkara tersebut.
4. Teknik Analisis Data
Dalam suatu analisis, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Teknik analisis deskriptif digunakan untuk menuturkan, menafsirkan, serta
menguraikan data yang bersifat kuantitatif yang diperoleh dari hasil wawancara
secara langsungmelalui hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Penulis kemudian mendeduksi data dengan cara merangkum,
mengidentifikasikan dan mengolah semua data dengan memfokuskan
permasalahan sebatas pokok permasalahan yang diteliti. Kesimpulan seterusnya
dibuat dengan mengaplikasikan metode yuridis normatif yaitu suatu metode yang
menggambarkan permasalahan yang dikaji berdasarkan norma hukum yang
berlaku. Diharapkan data atau bahan yang diperoleh menjadi lengkap sehingga
pokok permasalahan dapat dianalisa dan disusun dengan jelas, lengkap dan
sistematis.
18
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), Cet ke-3, h. 193-196.
19
5. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan secara teknik penulisan sesuai berpedoman pada
prinsip-prinsip yang diatur dan dibukukan dalam Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah 2012.
F. Review Studi Terdahulu
Beberapa penelitian yang penulis temukan yang membahas tentang kajian
yang terkait dengan penelitian ini antara lain adalah:
No Identitas Penulis Keterangan Perbedaan
1. Fazrul Lizan/ 2008,
Problematika
Perceraian dan
Pengaruhnya
Terhadap Nafkah
dalam Masa Iddah dan
Biaya Anak Studi di
Mahkamah Syariah
Kuching Sarawak dari
tahun 1999-2007.
Penelitian yangmana untuk
memahami nafkah iddah dan
biaya anak menurut Syariat.
Selain itu sebab yang
menyebabkan wajib membayar
nafkah iddah, dan apa prosedur
Mahkamah dalam Hal
Perceraian, nafkah iddah dan
biaya anak. Dan mengetahui
efektifitas penerapan Ordinan
Undang-undang Keluarga Islam
Sarawak dalam mengatur
Manakala perbedaan ini
adalah penulis tidak
membahas atau tidak
yang terkait mengenai
biaya anak selepas
perceraian. Selain itu
penelitian tertumpu pada
undang-undang
perkawinan di Indonesia.
Yaitu terkait pemberian
nafkah iddah dan
bagiamana realisasi
20
urusan yang terkait. Penulis
menceritakan sekilas mengenai
Negeri Sarawak. Dan sebab
perceraian, jenis perceraian,
dan mengkaji perceraian pada
masyarakat Kuching dan alasan
yang timbul dari perceraian dan
pengaruh terhadap nafkah.
pelaksanaannya di
Pengadailan Agama
Jakarta Selatan.
2. Hanif Baguz Azhar/
2008, Nafkah Iddah
Bagi Mantan Isteri
Korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
(Analisis Putusan
Perkara Nomor 1038/
Pdt.G/2008/ PA JT).
Penelitian yangmana untuk
memahami nafkah iddah atas
korban kekerasan dalam rumah
tangga, dan apa prosedur
Mahkamah dalam hal
kekerasan. Dan mengetahui
efektifitas penerapan Undang-
undang dalam mengatur urusan
terkait.
Perbedaan dengan yang
penulis bahas adalah
penulis tidak membahas
kekerasan dalam rumah
tangga karena penulis
membahas mengenai
isteri yang dicerai dan
bagaimana keterkaitan
hak-hak isteri yang
dicerikan oleh suaminya.
Dan hak apa sajakah
yang harus dia dapatkan
selama menjalani masa
21
iddah yang bersesuaian
dengan undang-undang
maupunhukum Islam.
3. Abrokhul Isnani/2012,
Pemberian Nafkah
Iddah Terhadap Isteri
Nusyuz (Studi
Analisis Terhadap
Perkara Nomor:
96/Pdt.G/2009/PA
Depok).
Skripsi yang penulis buat itu
membahas mengenai nafkah
iddah akibat isteri nusyuz, dan
akan memperdalam
permasalahan nafkah iddah
yang disebabkan karena isteri
nusyuz. Karena dalam fiqih dan
juga KHI pasal 149 poin b,
bekas suami wajib memberi
nafkah, maskan dan kiswah
kepada bekas isteri kecuali
bekas isteri telah dijatuhi talak
bain atau nusyuz.
Berbeda dengan yang
dibahas oleh penulis,
yaitu penulis tidak
membahas mengenai
pemberian nafkah iddah
akibat isteri yang nusyuz,
tetapi penulis di sini
membahas mengenai
pemberian nafkah iddah
terhadap isteri yang
dialak raj’i dan
kepatuhan suami
terhadap aturan hukum
Islam maupun undang-
undang perkawinan yang
diberlakukan dalam
putusan Pengadilan.
22
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi yang
menjadi pokok penulisan dan memudahkan para pemabaca dalam memahami tata
aturan penulisan, maka penulis menyusun sistematika penulisan seperti berikut:
BAB I: Pada permulaan bab ini penulis mengetengahkan gambaran pendahuluan
yang memuatkan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metode penelitian, riview studi terdahulu dan sistematika
penulisan.
BAB II: Dalam bab ini penulis menguraikan teori tentang nafkah iddah mengenai
hak-hak perempuan dalam perkawinan, perceraian dalam perkawinan, macam-macam
iddah dan hikmah iddah, hak-hak perempuan dalam iddah dan iddah dalam Undang-
undang perkawinan.
BAB III: Bab seterusnya ini penulis membahas tentang latar belakang Peradilan
Agama, kewenangannya, dan bagaimana kompetensi absolut Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
BAB IV: Pada bab ini pembahasan mengenai aplikasi nafkah iddah di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan tentang deskripsi kasus cerai, data perkara, proses
pelaksanaan nafkah iddah dan analisis yurisprudensi implementasi nafkah iddah.
BAB V: Merupakan bab yang terakhir dari penulisan ini meliputi kesimpulan dari
pembahasan, serta beberapa saran-saran berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini
yang diharapkan dapat dijadikan bahan masukan pada pihak-pihak terkait.
23
BAB II
NAFKAH IDDAH DALAM TEORI
A. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya
Nafkah secara bahasa, an-nafaqat adalah bentuk jamak dari kata
nafaqah kata kerja yang dibendakan (mashdar) al-infaq, yaitu memberikan
sesuatu secara baik demi mengharap ridho Tuhan. Sedangkan menurut istilah
nafkah adalah kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan istri dalam
meneyediakan makanan, tempat tinggal, pakaian dan obat-obatan.1 Dalam
kamus bahasa Indonesia nafkah juga diartikan dengan“ bekal hidup sehari-
hari atau belanja untuk memelihara kehidupan”.2
Kata nafaqah yang berasaldarikata انفكdalam bahasa Arab secara
etimologi mengandung arti: نمص ل yang berarti berkurang. Juga berarti نى ف
yang berarti hilang atau pergi. Bila seseorang dikatakan memberiakan ذ ىب
nafaqah membuat harta yang dimiliknya menjadi sedikit karena telah
dilenyapkan atau dipergikannya untuk kepentingan orang lain. Bila kata ini
dihubungkan dengan perkawinan mengandung arti:“ sesuatu yang
dikeluarkannya dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga
menyebabkan hartanya menjadi berkurang”. Dengan demikian, nafaqah istri
1 Wahbah Zuhaili,Fiqih Imam Syafi‟i, ( Jakarta: almahira, 2010) , h. 41.
2 Tim PenyusunKamusPusatBahasa, KamusUmumBahasa Indonesia, ( Jakarta: BalaiPustaka,
2002), Cet. Ke- 1, h. 267.
24
berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam
masa perkawinannya.3
Secara terminologi, Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqh As-Sunnah
menyebutkan nafkah merupakan hak istri dan anak-anak untuk mendapatkan
makanan, pakian, dan kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan
pengobatan, bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang kaya. Ada
pula ulama yang yang berpendapat bahwa nafkah adalah hak istri yang
merupakan kewajiban suami semenjak adanya hubungan atau ikatan untuk
hidup bersama, yaitu pemberian nafkah dengan adil kepada istri menurut adat
kebiasaan dan lingkungan masyarakat di mana istri tinggal.4
Nafaqah adalah kewajiban suami yang harus dipikulnya terhadap
istrinya. Nafaqah merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan suatu
keluarga; tidak nyaman kehidupan keluarga tanpa ketiga hal tersebut. Hal
yang telah disepakati oleh ulama kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi suami
sebagai nafaqah adalah pangan, sandang dan papan. Ulama sepakat tentang
kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada istrinya berdasarkan dalil-
dalil Al-Qur‟an, mereka berbeda dalam menetapkan kapan secara hukum
dimulai kewajiban nafaqah itu. Beda pendapat itu bermula dari beda pendapat
mereka dalam hal apakah nafaqah itu diwajibkan karena semata melihat
3 Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan , ( Jakarta: Kencana,2009 ), Cet.Ke-3 , h.165. 4 A. Rahman I DJI, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah ( Syariah), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-1, h. 267.
25
kepada akad nikah atau melihat kepada kehidupan suami istri yang
memerlukan nafkah itu.
Jumhur ulama termasuk ulama Syi‟ah Imamiyah berpendapat bahwa
nafaqah itu mulai diwajibkan semenjak dimulainya kehidupan rumah tangga,
yaitu semenjak suami telah bergaul dengan istrinya, dalam arti istilah telah
memberikan kemungkinan kepada suaminya untuk menggaulinya, yang dalam
fiqih disebut dengan tamkin. Dengan semata terjadinya akad nikah belum ada
kewajiban membayar nafkah. Berdasarakan pendapat ini bila setelah
berlangsungnya akad nikah istri belum melakukan tamkin, karena
keadaannnya ia belum berhak menerima nafaqah. ( al- Thusiy, V: 11)
Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa bagi mereka kewajiban
nafaqah dimulai semenjak akad nikah, bukan dari tamkin, baik istri yang telah
melangsungkan akad nikah itu memberi kesempatan kepada suaminya untuk
digauli atau tidak, sudah dewasa atau masih kecil. ( Ibnu Hazmin: 249)
Dasar pemikiran golongan ini ialah ayat-ayat Al-Qur‟an maupun hadis
Nabi yang mewajibkan suami membayar nafkah tidak menetapkan waktu.
Dengan begitu bila seseorang telah menjadi suami, yaitu dengan
berlangsungnya akad nikah, maka ia telah wajib membayar nafaqah tanpa
melihat kepada keadaan istri. Inilah tuntutan zahir dari dalil yang mewajibkan
nafaqah.5
5 Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan , ( Jakarta: Kencana,2009 ), Cet.Ke-3, h. 168.
26
Dalam Kompilasi Hukum Islam permasalahan nafkah terjadi ketika
akad selesai secara sah. Pelaksanaan pemberian nafkah kepada isteri dimulai
sejak ditetapkannya sebuah perkawinan. Setelah itu, suami berkewajiban
secara penuh kepada isteri dalam hal pemberian nafkah kepada isteri secara
langsung.
Dalam pasal 23 angka (1), dapat dimaknai bahwa nafkah adalah
kewajiban bagi suami.“ Setiap orang memperoleh nafkah dari hartanya
sendiri, akan tetapi nafkah isteri adalah tanggungjawab suami”. Makna lain
dari pasal 115 ini adalah bahwa siapa saja boleh hidup dengan nafkahnya
sendiri selama ia memiliki harta kekayaan tersebut. Perubahan terjadi ketika
seseorang menikah, sebagai suami, ia bertanggungjawab baik kepada dirinya
sendiri dan kepada istrinya. Sebaliknya, isteri tidak perlu “ repot-repot”
mencari nafkah.6
Dalam menjalani sebuah hubungan ada yang namanya hak dan
kewajiban, begitu juga dengan perkawinan, suami isteri mempunyai hak dan
kewajiban, salah satu diantaranya ialah suami wajib memberi biaya hidup
pada isterinya yang lebih dikenal dalm istilah fiqih disebut dengan nafkah.
Memberi nafkah kepada isteri hukumnya wajib.
Kewajiban memberikan nafakah oleh suami kepada isterinya yang
berlaku dalam fiqih didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami
6 Dedi Supriyadi, Mustofa,Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, November
2009, h.53.
27
dan isteri. Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari
rezeki; rezeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan
untuk selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafaqah. Sebaliknya
istri bukan pencari rezeki dan untuk memenuhi keperluannyaia berkedudukan
sebagai penerima nafaqah.7
Dari pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah sesuatu yang diberikan suami
terhadap istri untuk mencukupi kebutuhannya yang berupa pakian, makanan,
tempat tinggal dan sebagainya menurut kadar kemampuan suami setelah
adanya ikatan perkawinan yang sah.
Kewajiban suami memberikan nafkah terhadap istri ini tidak
memandang status sosial suami baik dia seorang yang kaya maupun miskin,
ataupun sebaliknya. Nafkah adalah persoalan yang sangat berat dan harus
ditanggung oleh laki-laki sebagai suami.8
Dasar Hukum Nafkah:
Hukum membayar nafaqah untuk isteri, baik dalam bentuk
perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu buakan disebabkan oleh
karena isteri membutuhkanya bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban
yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan isteri. Bahkan
7 Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan , ( Jakarta: Kencana,2009 ), Cet.Ke-3, h. 165.
8 Fuad Kauman dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, ( Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 1998 ), h. 81.
28
diantara ulama Syi‟ah menetapkan bahwa meskipun isteri orang kaya dan
tidak memerlukan bantuan biasa dari suami, namun suami tetap wajib
membayar nafaqah. ( Mughniyah: 207 ). Dasar kewajibannya terdapat dalam
Al- Qur‟an maupun dalam hadist Nabi.
Di antara ayat Al-Qur‟an yang menyatakan kewajiban perbelanjaan
terdapat dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 233:
“Kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan” .(Q.S. Al-Baqarah :223)
Di antara ayat yang mewajibkan perumahan adalah surat at-Thalaq
(65) ayat 6:
29
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu
Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara
kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
Adapun dalam bentuk sunnah terdapat dalam beberapa hadis Nabi, di
antaranya hadis Nabi yang berasal dari Abu hurairah menurut riwayat
Muslim:9
ل ز س ي ا هلل صى ا هلل عو سم مم ن طعا مو وس جو ال ىف من ا عم
ا ال ما طك
Rasul Allah SAW. Bersabda: hak anak-anak untuk
mendapatkanmakanan dan pakaian, dan tidak dibebani untuk berbuat kecuali
yang mampun ia perbuat.
“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka”. (QS An-Nissa‟ : 34).
9 Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad, ( Beirut: Muassah al-Risalah, 1421 H/ 2001 M), Cet.
Ke-1, Juz 12, h. 324.
30
B. Perceraian dalam Perkawinan
Perceraian atau yang dalam bahasa Arabnya “ talak” yang artinya
melepaskan, membebaskan atau meninggalkan. Menurut istilah perceraian
adalah: melepas tali perkawinan pada waktu sekarang atau pada waktu yang
akan datang, dari kata yang memberi pengertian talak secara tegas atau berupa
petunjuk yang diucapkan oleh seorang suami atau orang yang mewakilinya.
Akad nikah akan putus seketika apabila terjadi talak baindan pada saat yang
akan datang apabila terjadi talak raj‟i.
Secara singkat, perceraian didefinisikansebagai melepas tali
perkawinan dengan kata talak atau kata yang sepadan artinya dengan talak.
Kedua pengertian di atas berbeda ungkapannya, akan tetapi
mengandung maksud yang sama yakni melepaskan ikatan perkawinan dengan
kata talak. Perceraian dalam hukum positif ialah: suatu keadaan di mana
antara seorang suami dan seorang istri telah terjadi ketidakcocokan batin yang
berakibat pada putusnya suatu perkawinan, melalui putusan pengadilan
setelah tidak berhasil didamaikan.10
Prinsip perkawinan Islam adalah di mana sebuah perkawinan harus
bias dipertahankan agar tidak terjadi subuah perceraian, oleh sebab itu segala
bentuk persekutuan tersebut dapat terus berlangsung. Namun apabila harapan
dan kasih sayang sudah tidak ada lagi dan perkawinan menjadi sesuatu yang
10
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformai Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ( Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2012), Cet. Ke-2, h. 173-174.
31
membahayakan sasaran hukum demi kepentingan mereka dan kepentingan
masyarakat, maka perpisahan antara suami dan istri boleh dilakukan.11
Jadi talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya.
Pengertian talak dalam pasal 114 ini dijelaskan KHI dalam pasal 117,
bahwa talak adalah ikrar suami di dalam siding pengadilan agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.12
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
talak yang diucapkan di depan pengadilan setelah pengadilan mengizinkan
suami mengikrarkannya melalui penetapan pengadilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap (in cracht).
Perkara cerai talak merupakan jenis perkara permohonan yang
diajukan suami. Seorang suami yang kawinsecara Islam ( di Kantor Urusan
Agama atau KUA) yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan
kepada pengadilan untuk mengadakan siding guna menyaksikan ikrar talak.13
Talak adalah suatu sistem perceraian perkawinan yang dilakukan
karena ada faktor yang memerlukan atau karena darurat. Wewenang untuk
menjatuhkan talak berada di tangan suami, demikian ketetapan syari‟at. Al-
11
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 145.
12 Tihami, Fiqih Munakahat, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010), h. 249.
13
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Pengadilan Agama, ( Jakarta:
Kencana, 2005), Cet. Ke- 3, h. 17.
32
Qur‟an menegaskan: “ Kaum laki-laki adalah pemimpin (pengayom bagikaum
wanita, karena beberapa hal, Allah Taala telah member kelebihan kepada
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan lagi karena
laki-laki memberi nafkah dari harta kekayaannya sendiri”. Agaknya karena
adanya tugas-tugas jaminan pengayoman dan nafkah isteri atas pundak suami
maka diletakkan wewenang talak itu di tangannya. Dengan pengorbanan
tenaga dan harta yang sudah diberikan untuk mengayomi keluarganya,
diharapkan seorang suami tidak akan mudah menjatuhkan talak kepada
isterinya, tetapi hendaklah sesudah itu pikirkan sejauh mungkin kemaslahatan
kedua belah pihak.14
Oleh karena itu, ditetapkan syari‟at yang dapat melepaskan ikatan
perkawinan, untuk menghilangkan kerusakan dari perkawinan ini.
Talak disyariatkan dengan Al-kitab, sunah, dan ijma‟, berdasarakan
sunnah adalah sabda Rasulullah Saw.15
سم ز نن ابع و صى ااهلل ع , فماي: ازسي ا عباض, لاي: أجى انب ج
سدأن ى جن أمحو, نيا, لاي: فصعد زسي هلل, ان سدي ش ب ن فسق ب
ز عبده اهلل سم امنبس, فماي: اأيااناض, ماباي أحد وم ص و صى اهلل ع
نيما,أمحو, ذم س .أ خر با سا قانما اطال ق من د أن فسق ب “ Diriwayatkan dari Ibn Abbas, seorang laki-laki mendatangi Nabi
untuk bertanya kepadanya, “Wahai Rasulullah, majikanku menikahi budak
perempuannya, ia ingin merusak hubungan ku dengannya”, kemudian Nabi
naik mimbar dan berkata, “Wahai para sahabatku, kejadian yang dilakukan
14
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. Ke- 2,h. 252.
15
Muhammad Bin Yazid, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar Ihya Al- Kutub Al-„Arabiyyah,
t.th), Juz. 1, h. 672.
33
majikan tersebut tidak benar, karena budak perempuan itu belum ditalak oleh
suaminya”.
حا ئض ى ا او عنيما طك امسأ جو عن نافع : ان ابن عمس زض
سم فأ مس ه أن س جعيا ذم مييا ححى فس و صى ااو ع أ ي عمس انب
ه أن مسيا. فح ضة أ خس , ذم مييا ححى جطيس ذم طميا لب جحض ح
او أن طك يا انسا ء.اعد ةا حى أمس ا “Nafi‟ meriwayatkan bahwa Ibnu Umar r.a. menalak istrinya yang
sedang haid, lalu Ibnu Umar bertanya kepada Nabi Saw. Maka, beliau
memerintahkan agar Ibnu Umar merujuk istrinya kembali, lalu
menangguhkannya sampai istrinya haid lagi. Setelah itu agar dia
menangguhkannya lagi sampai istrinya suci barulah ia menalak istrinya
sebelum menggaulinya. Itulah iddah yang telah ditetapkan oleh Allah dalam
menceraikan istrinya”. 16
untuk sahnya talak suami yang menjatuhkan talak diisyaratakan:
1. Berakal
2. Baligh
3. Atas kemauan sendiri.17
C. Pengertian Iddah dan Dasar Hukumnya
Arti dari iddah itu sendiri adalah bahasa Arab yang berasal dari akar
kata adda – ya‟uddu –„idatan dan jamaknya adalah „idad yang secara arti kata
(etimologi) berarti: “menghitung” atau “hitungan”. Kata ini digunakan untuk
16
Ahmad Bin Hambal,Musnad Ahmad, (Beirut: Muassah Al-Risalah, 2001), Cet. Ke- 1, h.
231.
17 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 201.
34
maksud iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber-iddah menunggu
berlalunya waktu.
Dalam kitab fiqih ditemukan definisi iddah itu yang pendek dan
sederhana dianataranya adalah: جحرس برص فيرا ا مرس أ ةمرد atau masa tunngu yang
dilalui oleh seorang perempuan.18
Iddah merupakan nama untuk masa bagi perempuan untuk menunggu
setelah putusnya perkawinan, dan iddah itu adakalanya dengan melahirkan,
adakalanya dengan masa beberapa bulan dan adakalanya beberapa quru‟.
Tidak ada keraguan lagi bahwa perempuan yang menjalani iddah itu
ada dua macam, perempuan yang ditinggal mati suaminya dan perempuan
yang tidak ditinggal mati suaminya ( cerai talak ).
Perempuan yang ditinggal mati suaminya adakalanya hamil dan
adakalanya tidak. Kalau ia hamil maka iddahnya sampai melahirkan
kandungannya. Sedangkan iddah perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya iddahnya tidak berbeda antara perempuan yang masih kecil dengan
perempuan yang sudah dewasa, dan antara perempuan ynag beriddah quru‟
dengan yang tidak beriddah quru‟.
Iddah wafat ( ditinggal mati oleh suaminya ) adalah khusus untuk
nikah yang sah. Seandainya perempuan yang menikah dengan nikah yang
rusak atau tidak sah, lalu suaminya meninggal dunia sebelum perstubuhan,
18
Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan , ( Jakarta: Kencana,2009 ), Cet.Ke-3, h.303.
35
maka tidak ada iddah. Kalau sesudah persetubuhan lalu suaminya meninggal
dunia atau keduanya bercerai, maka si isteri wajib menjalani iddah seperti
iddahnya perempuan yang disetubuhi secara syubhat.19
Perempuan yang
sudah digauli suaminya, tidak dalam keadaan hamil dansudah berhenti masa
haidnya. Iddah-nya adalah tiga bulan. Dasar perhitungnnya tiga bulan itu
adalah firman Allah dalam surat at –Thalaq (65) ayat 1.
Adapun bentuk dan cara iddah ada tiga macam:
a) Iddah dengan cara menyelesaikan quru‟ yaitu antara haid dan suci.
b) Iddah dengan kelahiran anak.
c) Iddah dengan perhitungan bulan.20
Iddah telah dikenal pada masa jahiliyah. Mereka tidak menginginkan
dan meninggalkan iddah, ketika Islam dating ditetapkanlah iddah karena di
dalamnya mengandung kemaslahatan.
Ulama telah sepakat atas kewajiban iddah berdasarkan firman Allah
SWT: (Q.S. Al-Baqarah [2]: 228).21
19
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al Husain, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1997 ), Cet. Ke- 2, h. 571-573.
20
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakrta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), Cet. Ke-1, h. 309.
21
Abdul Manan dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 133
36
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'. Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.
dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi
Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Para ulama mendefinisikan „iddah sebagai nama waktu untuk menanti
kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau dicerikan oleh suaminya, yang
sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.
Menurut Sayuti Thalib, pengertian kata „iddah dapat dilihat dari dua
sudut pandang:
Pertama, dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang
telah ada, suami dapat rujuk kepada istrinya. Dengan demikian, kata „iddah
dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang
waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana pihak suami dapat rujuk kepada
istrinya.
Kedua, dengan demikian dilihat dari segi istri, masa „iddah itu akan
berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu mana istri belum dapat
melangsungkan perkawinan dengan pihak laki-laki lain.
37
Seorang wanita yang telah dicerai oleh suaminya, dilarang melakukan
perkawinan dengan laki-laki lain selama masa yang ditentukan oleh syari‟at.
Masa yang ditentukan oleh syari‟at ini dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada suami dan istri untuk berfikir, apakah perkawinan tersebut
masih dapat dilanjutkan dengan cara ruju‟ (kembali), jika perceraian itu
terjadi pada talak raj‟i (talak satu dan dua), atau perceraian itu lebih baik bagi
keduanya.
Di samping itu masa tunggu itu berguna untuk mengetahui apakah
rahim si istri tersebut berisi janin atau tidak sehingga apabila wanita tersebut
hamil segera diketahui nasabnya.22
Penting di catat, masa „iddah ini hanya berlaku bagi istri yang telah di
dukhul. Sedangkan bagi istri yang belum di dukhul (qabla al-dukhul) dan
putusnya bukan karena kematian suami maka tidak berlaku baginya masa
„iddah.
Jadi iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk
melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik
22
Di kalangan Ulama terdapat perbedaan pendapat menyangkut „iddah wanita yang bercerai
akibat pernikhan yang fasid, wat‟i syubhat atau zina. Bagi golongan zahiriyah, tidak ada „iddah bagi
wanita yang dicerai karena nikah fasid walaupun telah terjadi dukhul. Golongan lainnya tetap
mewajibkan „iddah. Perbedaan kembali muncul bagi wanita yang dizinahi. Bagi Syafi‟iyyah dan
Hanafiah tidak mewajibkannya. Sedangkan Malik dan Ahmad tetap mewajibkannya. Padahal jika
maksud „iddah untuk melihat kebersihan rahim, maka wanita yang dizinahi juga mesti ber‟iddat.
38
cerai hidup maupun maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui
keadaan rahimnyaatauuntukberfikirbagisuami. 23
DasarHukumIddah
“ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'. Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya”. (QS. Al-Baqarah [2]: 228).
Diantara hadist Nabi yang menyuruh menjalani masa iddah tersebut
adalah apa yang disampaikan oleh Aisyah menurut riwayat Ibnu Majjah
dengan sanad yang kuat yang berbunyi:24
ا مس ا نب صى ا هلل عو سم بس س أ ن جعحد برال خ حض
“ Nabi SAW. Menyuruh barairah untuk beriddah selama tiga kali
haid”.
D. Macam - Macam Iddah dan Hikmahnya
Pertama: iddah perempuan yang kematian suaminya, baik telah
digauli atau belum. Iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, yang dimaksud
dengan perempuan yang kematian suami di sini adalah perempuan yang
suaminya meninggal dan dia masih dalam masa haid. Untuk memastikan dia
23
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: kencana, 2006), Cet.
Ke- 3, h. 241.
24
Muhammad Amin Suma, Hukum Kelurga Islam di Dunia Islam, (Jakrta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h.304.
39
masih dalam haid, Imam Malik mempersyaratkan untuk kesempurnaan iddah
tersebut ialah perempuan itu telah berhaid selama satu kali dalam masa itu
kalau dia belum haid dalam masa itu berada dalam keraguan tentang
kemungkinan hamil.
“Orang-orang yang meninggaldi antaramu dan meninggalkan istri
hendak nyadia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Bila
telah sampai waktu yang ditentukan boleh dia berbuat terhadap dirinya
dengan cara yang baik. Allah Maha Tahu terhadapapa yang
merekalakukan”. (Al- Baqarah [2]: 234)
Kedua: Perempuan yang belum digauli oleh suaminya, tidak ada
iddah yang harus dijalaninya.
“ Hai orang-orang yang beriman bila kamu menikahi peremupan-
perempuan yang beriman kemudian kamu menceraikannya sebelum kamu
menggaulinya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk beriddah
terhadapmu”.(Al-Ahzab [33]: 49) Ketiga: iddah perempuan yang sedang hamil ialah sampai melahirkan
anaknya.
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang
40
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.“ (Ath –Thalaq [65]
:4).
Bila perempuan yang hamil itu adalah kematian suami, menjadi
perbincangan di kalangan ulama, baik ditinggal mati oleh suaminya atau
ditalak sedang hamil, kemudian suaminya meninggal, karena di satu sisi dia
adalah sedang hamil dan karena itu dia mengikuti petunjuk ayat 4 surat at-
Thalaq.25
Terkait dengan Pasal 135 ayat (2) KHI yang meneyebutkan bahwa
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Jika kondisi
hamil seperti yang dimaksud dalam pasal ini dikait-kaitkan dengan masalah
iddah bagi wanita hamil yang disebutkan dalam surah Ath-Thalaq (65) ayat 4
yang sudah dijelaskan di atas, bahwa wanita-wanita hamil masa iddah mereka
hingga mereka melahirkan, maka sama sekali tidak tepat. Sebab kewajiban
iddah itu sebagai sebuah kenikmatan agama yang hikmahnya, antara lain
untuk menjaga kemurnian nasab. Karena tujuan iddah jelas seperti ini, maka
dalam kasus hamil di luar nikah, sama sekali tidak tepat jika tetap
menggunakan ayat ini sebagai dalil dalam melarang wanita hamil akibat zina
untuk menikah dalam kondisi hamil. Dengan kata lain, wanita hamil yang
25
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2009), h.
310.
41
dilarang menikah hingga melahirkan anaknya sebagimana pesan ayat di atas
adalah jika hamilnya akibat pernikahan yang sah. Akan tetapi jika hamil
bukan karena menikah, melainkan karena berzina, tetap menggunakan ayat ini
sebagai dalil hukum, maka sama saja yang bersangkutan tidak menghormati
Al-Qur‟an. Sebab Al-Qur‟an tidak pernah merestui seorang wanita untuk
hamil sebelum ia menikah. Tidak ada satu ayat pun yang membolehkan hamil
dulu sebelum nikah.
Status anak menurut Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam. Bahwa dalam hukum Islam, nasab menjadi sebuah masalah
yang sangat penting dan dikaji dalam kaitannya terhadap masalah pernikahan,
kewajiban memberi nafkah, kewarisan, perwalian hubungan ke-mahram-an,
dan lain-lain. Nasab atau hubungan kekerabatan antara seorang anak dan ayah
hanya dapat terbentuk melalui tiga cara, yaitu melalui pernikahan yang sah,
pernikahan yang fasid, dan melalui hubungan badan secara syubhat. Nasab
anak kepada ayah kandungnya, pada umunya terbentuk melalui pernikahan
yang sah.
Sedangkan pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan
dalam keadaan kekurangan syarat. Walaupun status nikah fasid jelas tidak
sama dengan nikah yang dilaksanakan secara sah, namun dalam hal nasab
para ulama fiqih sepakat bahwa penetapan nasab anak yang lahir dalam
pernikahan fasid sama dengan penetapan nasab anak dalam pernikahan yang
sah. Tetapi dalam hal anak yang lahir setelah pasangan suami istri melakukan
42
hubungan badan, dan bercerai, baik melalui hakim maupun tidak, dan anak itu
lahir sebelum masa masa maksimal kehamilan, maka anak itu dinasabkan
kepada suami wanita tersebut. Akan tetapi apabila kelahiran anak itu melebihi
masa maksimal kehamilan, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami
wanita itu.
Hubungan badan secara syubhat adalah persetubuhan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan di luar akad nikah, baik nikah secara sah
maupun nikah fasid, tetapi tidak bisa disebut sebagai zina yang dilarang
syariat dan hukumnya tidak terang dan tidak jelas apakah haram mutlak
ataukah halal mutlak. Syubhat yang berkaitan dengan perbuatan adalah
syubhat bagi orang yang tidak mengetahui kehalalan atau keharaman suatu
perbuatan. Seperti halnya dalam kasus hubungan badan dengan mantan
istrinya ternyata ia sedang menjalani iddah dari talak tiga. Dalam hal ini,
kehalalan hubungan badan diantara mereka sebenarnya sudah tidak ada lagi,
karena telah batal disebabkan talak. Akan tetapi, adanya kewajiban suami
memberi nafkah dan keharaman mantan istri melakukan perkawinan dengan
orang lain masih tetap ada, apalagi suami masih memungkinkan tinggal
bersama satu rumah dengan wanita tersebut. Hal inilah yang menimbulkan
syubhat pada perbuatan itu. Di satu sisi tidak halal melakukan kontak seksual,
43
di sisi lain masih ada kewajiban yang dipikul oleh mantan suami berupa
kewajiban memberikan nafkah iddah.26
Keempat: perempuan yang telah bergaul dengan suaminya dan
menjalani masa haid. Iddahnya adalah tiga kali quru‟, adapun dasar hukumnya
adalah firman Allah dalam surat al- Baqarah (2) ayat 228:
“ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru‟”. Kelima: perempuan yang sudah digauli suaminya, tidak dalam
keadaan hamil dan sudah behenti masa haidnya. Iddahnya adalah tiga bulan.
Dasar perhitungannnya tiga bulan itu adalah firman Allah dalam surat at-
Thalaq (65) ayat 1
اذاطمحم انساءفطمىن عد جين
“ Bila kamu menthalaqseorang isteri, thalaqlah dia di waktu iddahnya”.
27
Hikmah Iddah:
Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan iddah itu adalah
agar suami yang telah menceraikan isterinya itu berpikir kembali dan
menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu. Dengan
26
M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, ( Jakarta: Amzah, 2013),
Ed. Ke-2, h. 67-129.
27 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2009), h.
310-317
44
adanya iddah dia dapat menjalin kembali hidup perkawinan tanpa harus
mengadakan akad baru.
Hikmah disyariatkannya „iddah juga diantaranya
1. Untuk mengetahui secara pasti kondisi rahim perempuan, sehingga
tidak terjadi percampuran nasab janin yang ada dalam rahimnya.
2. Menjunjung tinggi nilai pernikahan. Hal itu tidak mungkin terjadi
kecuali dengan melibatkan banyak orang dan tidak akan hancur
kecuali dengan menunggu pada masa yang cukup lama. Jika tidak
diatur demikian, tentunya sebuah pernikahan tidak ubahnya dengan
permainan anak-anak. Di mana, mereka menyusun sebuah permainan,
lantas merusaknya.
3. Kemaslahatan yang didapat dari pernikahan tidak akan terwujud
sebelum pasangan suami isteri menjalani hidup berumah tangga dalam
masa yang lama. Jika terjadi sesuatu yang mengharuskan untuk
bercerai, tetap hadits harus ada upaya untuk tetap menjaga ikatan
pernikahan yang mulia ini dan mesti diberi waktu untuk berfikir
kembali dan mempetimbangkan kerugian yang akan dialaminya jika
terjadi perceraian.28
28
Sayyid Syabiq, Fikih Sunnah, ( Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009 ), Cet. Ke-1, h. 119.
45
E. Nafkah Iddah dalam Undang-Undang Perkawinan dan KHI
Nafkah iddah adalah Nafkah yang diberikan suami pada waktu masa
iddah atau pemberian biaya penghidupan yang diberikan oleh suami selama
tiga bulan sepuluh hari berturut-turut kepada isteri yang diceraikan yang
didasarkan atas kemampuan suami sebagai upaya pemenuhan kewajiban yang
telah ditetapkan oleh syari‟at Islam maupun keputusan Pengadilan Agama.
Berdasarkan Undang- undang No.1 tahun 1974 pasal 4 (sub c) yang
berbunyi “ Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi
isteri”. Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 81 ayat (1
dan 2)danpasal 194 huruf (a) dan (b).
1. Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi isteri dan anak-
anaknya atau bekas isterinya yang masih dalam iddah.
2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri
selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau
iddah wafat.29
ان معحد اس جعةاسىنى ن ن انفمة اال أن جى بائن ا سىنى د فمة
حا مال
Artinya: “Perempuan yang beriddah raj‟i berhak mendapat tempat
tinggal dan belanja, sedangkan perempuan yang beriddah bainberhak
mendapat tempat tinggal tanpa belanja, kecuali jika ia hamil”.
29
Aryo Sastroatmodjo, Hukum Perkawianan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 95, 32.
46
Perempuan yang menjalani iddah itu bermaacam-macam. Diantaranya
adalah perempuan yang menjalani iddah raj‟i, ia berhak mendapat belanja dan
tempat tinggal menurut Ijmak Ulama.
Al- Daruqutni meriwayatkan hadist yang berhubungan dengan
Fatimah binti Qais ketika ia ditalak tiga oleh suaminya. Rasulullah SAW tidak
memberi hak tempat tinggal dan belanja untuk Fatimah binti Qais. Rasulullah
SAW bersabda:30
اس جعة ) زاه انسائى( همج نمى نىاس ةمفا ا نمن ا
Artinya: “ Belanja dan tempat tinggal hanya untuk perempuan yang
berhak rujuk.” (H.R. An-Nasa‟i).
Seorang perempuan yang dalam masa iddahnya talak bain dan dia
dalam keadaan hamil maka dia berhak juga menerima nafkah belanja, pakaian
dan tempat tinggal dari mantan suaminya sampai anaknya lahir. Ini
berlandaskan dari firman Allah Swt:
ين ححى ضعن حمين اع فأ نفم الت حم ان ون أ
“ Jika mereka (janda yang dicerai) dalam keadaan hamil, maka
berinafkahlah mereka olehmu sampai mereka melahirkan kandungannya.”
(QS. Ath- Thalaq [65]: 6)
Sedangkan perempuan yang dalam masa iddah talak bain dan dalam
keadaan tidak hamil, menurut Syafi‟i, Hambali dan Maliki, tidak berhak
mendapatkan nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal.
30
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Alhusaini, Kifayatul Akhyar, 1997, h. 592.
47
Sedangkan pendapat Hanafi, perempuan itu berhak juga menerima
nafkah belanja, pakain dan tempat tinggal dengan berlandaskan pada firman
Allah Swt:
جد وم د سىنحم من ىن من ح ا سىن“ Tempatkanlah mereka di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu.” (QS. At- Thalaq: 6).
Ayat ini menunjukkan bahwa perempuan yang dalam masa iddah
baik karena talak raj‟i dan talak bain, semuanya berhak menerima fasilitas
nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal dari mantan suaminya, tetapi
menurut Syafi‟i, ayat ini khusus untuk perempuan yang dalam masa iddah
talak raj‟i.31
يا ز جعة فاءذا م جيا ما وا نث و ع اسىن مسأ ة عى ش جىن و فى فظ انماانفمو
ال سىن ) زاه أحمد( يا زجعة فال نفمة ع
Dan dalam lafal lain (dikatakan): “ Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal
itu bagi perempuan yang selagi suaminya masih mempunyai hak ruju‟
kepadanya tetapi apabila suaminya tidak lagi mempunyai hak ruju‟
kepadanya, maka tidak ada (hak) nafkah dan tidak juga tempat tinggal
baginya”. (HR. Ahmad). 32
Adapun perempuan yang dijatuhi talak tiga, para ulama berbeda
pendapat. Menurut Abu Hanifah, dia masih memiliki hak untuk mendapatkan
nafkah dan tempat tinggal sebagaimana perempuan ( isteri ) yang ditalak raj‟i,
karena dia wajib menghabiskan masa iddah di rumah suaminya, sehingga
31
Mohammd Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Maret 2004, h. 273
32
Nailul Anwar, Himpunan Hadist-Hadist Hukum, 2001, Cet. Ke-3, h. 2437.
48
seakan-akan dia di tahan agar tetap bersama suaminya. Oleh sebab itu, dia
wajib memperoleh nafkah. Nafkah ini dianggap sebagai hutang dan terhitung
sejak talak di jatuhkan. Kewajiban untuk memberi nafkah isteri tidak hilang
hanya dengan keridhaan isterinya atau keputusan pihak pengadilan. Suami
dinyatakan bebas dari hutangnya ( kewajiban memberi nafkah isteri ) jika
sudah menunaikan kewajibannya atau isteri telah menyatakan bebas.33
Kalau perceraian tersebut karena ada cacat atau karena tertipu, maka
si perempuan tidak berhak mendapatkan tempat tinggal. Tapi kalau perceraian
tersebut karena ada hubungan penyusuan atau mushaharah (hubungan
keluarga akibat perkawinan), maka si perempuan akan berhak mendapat
tempat tinggal, menurut pendapat yang sahih, karena sebab yang menghalangi
belum ada pada saat akad dan tidak boleh dijadikan sandaran. Sedangkan
perempuan yang dili‟an berhak mendapat tempat tinggal dengan pasti seperti
perempuan yang ditalak tiga.
Jadi menurut semua mazhab, si perempuan wajib mendapat tempat
tinggal apabila terjadi pembatalan nikah (fasakh) baik karena murtad ( keluar
dari Islam ) atau karena masuk Islam, atau karena ada hubungan penyusuan,
atau karena ada cacat, dan sebagianya.34
33
Sayyid Syabiq, Fikih Sunnah, ( Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009 ), Cet. Ke-1, h. 136-
137.
34
Al-Imam Taqiyuddin , Kifayatul Akhyar, 1997, h.595.
49
Sedangkan ada sebagian ulama di antaranya Imam Ahmad bahwa
seorang perempuan yang dalam masa iddah mati dan dalam keadaan tidak
hamil, tidak berhak menerima nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal,
karena Allah hanya menentukan untuk yang kematian suami itu adalah bentuk
harta warisan.
Tetapi hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Istri dalam
keadaan hamil ulama sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah dan
tempat tinggal, namun bila isteri tidak dalam keadaan hamil ulama berbeda
pendapat. Sebagian ulama diantaranya Imam Malik, Al-Syafi‟i dan Abu
Hanifah berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat berhak atas tempat
tinggal.( al-Nawawiy, al-Majmu‟, 391; Ibnu Qodamah VIII, 234 ). Mereka
mendasarkan pendapatnya dengan umum ayat 180 surat al-Baqarah yang
menyuruh istri ber-iddah di rumah suaminya, yang sejauh berkenaan dengan
tempat tinggal tidak di nasakh.35
Di antara rahmat yang diberikan oleh Islam kepada kaum perempuan
untuk memelihara hak-hak mereka adalah hukum-hukum yang terdapat pada
masaiddah (masa menunggu) ketika ia ditalak atau ditinggal mati suaminya.
Pada masa iddah yang boleh dirujuk atau dalam keadaan hamil, baik dalam
35
Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan , ( Jakarta: Kencana,2009 ), Cet. Ke-3, h. 323.
50
masa iddah talak raj‟i atau talak bain, perempuan berhak mendapat nafkah
dan tempat tinggal, berdasarkan firman Allah, surah At-Thalaq Ayat 6.36
36
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, 2010, h. 122.
51
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Pada
mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga
kantor yang dinamakan Kantor Cabang, yaitu:
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
2. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah
3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk
4. Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah
Hukum Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian
setelah berdirinya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung
berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Nomor 71 tahun 1976
tanggal 16 Desember 1976. Semua Pengadilan Agama di Propinsi
Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di Daerah
Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah Hukum Mahkamah
Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya
istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama
(PTA).
52
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 61 tahun 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindah di
Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987
dan secara otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI
Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan
jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada tahun
1967 merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang
berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur.
Sebutan pada waktu itu adalah cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk sesuai
dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya pemahaman
penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang di wilayahnya cukup
luas. Untuk itu keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan darurat yaitu
menempati gedung bekas Kantor Kecamatan Pasar Minggu di suatu gang
kecil yang sampai saat ini dikenal dengan gang Pengadilan Agama Pasar
Minggu Jakarta Selatan, pimpinan kantor dipegang oleh H. POLANA.
Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian kalaupun ada
tentang warisan masuk kepada Komparisi itu pun dimulai tahun 1969
kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bapak
BISMAR SIREGAR, S.H.
53
Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa waris akan tetapi hal
itu ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan dengan
kewenangannya.1 Sejak 1 april 1937, kewenangan Pengadilan Agama di
wilayah Jawa dan Madura dipersempit hanya berwenang mengadili kasus
perkawinan dan perceraian, sedangkan kasus waris dan wakaf menjadi
wewenang Ladraad (sekarang Pengadilan Negeri).2 Sehingga sempat beberapa
orang termasuk Pak HASAN MUGHNI ditahan karena Penetapan Fatwa
Waris sehingga sejak itu Fatwa Waris ditambah dengan kalimat “Jika ada
harta peninggalan”.
Pada tahun 1976 gedung Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati
serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan Kantor Cabang pun
dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pada masa itu
diangkat pula beberapa Hakim honorer yang di antaranya adalah Bapak H.
ICHTIJANTO, S.A., S.H.
Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif Kepala Kandepag Jakarta
Selatan yang waktu itu dijabat oleh Bapak Drs. H. MUHDI YASIN. Seiring
dengan perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan untuk menangani
tugas–tugas kepaniteraan yaitu ILYAS HASBULLAH, HASAN JAUHARI,
1Admin, “ Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan” dikakses pada tanggal 04 Februarai
2014, dari http://www.pa-jakartaselatan.go.id.
2 R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, 1970, h. 68.
54
SUKANDI, SAIMIN, TUWON HARYANTO, FATHULLAH AN, HASAN
MUGHNI, dan IMRON, keadaan penempatan Kantor di serambi Masjid
tersebut bertahan sampai pada tahun 1979.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan Berkantor di Gedung Sendiri. Pada
bulan September 1979 Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke
gedung baru di Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati gedung
baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN Pondok
Pinang dan pada tahun 1979 pada saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dipimpin oleh Bapak H. ALIM BA diangkat pula Hakim-Hakim honorer
untuk menangani perkara-perkara yang masuk, mereka diantaranya: KH.
YA’KUB, KH. MUHDATS YUSUF, HAMIM QARIB, RASYID
ABDULLAH, ALI IMRAN, Drs. H. NOER CHAZIN.
Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa berkepimpinan Drs. H.
DJABIR MANSHUR, S.H., Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah
ke Jalan Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
dengan menempati gedung baru. Di gedung baru ini meskipun tidak
memenuhi syarat untuk sebuah Kantor Pemerintah setingkat Walikota, karena
gedungnya berada di tengah-tengah penduduk dan jalan masuk dengan kelas
jalan III C. Namun sudah lebih baik ketimbang masih di Pondok Pinang,
pembenahan–pembenahan fisik terus dilakukan terutama pada masa
kepemimpinan Bapak Drs. H. JAYUSMAN, S.H. Begitu pula pembenahan–
pembenahan administrasi terutama pada masa kepemimpinan Bapak Drs. H.
55
AHMAD KAMIL, S.H. pada masa ini pula Pengadilan Agama Jakarta Selatan
mulai mengenal komputer walaupun hanya sebatas pengetikan dan ini terus
ditingkatkan pada masa kepemimpinan Bapak Drs. RIF’AT YUSUF.
Pada masa perkembangannya selanjutnya tahun 2000 ketika
kepemimpinan dijabat oleh Bapak Drs. H. ZAINUDDIN FAJARI, S.H.
pembenahan-pembenahan semua bidang, baik fisik maupun non fisik
diadakan sistem komputerisasi dengan online komputer, dan ini terus dibenahi
sampai sekarang oleh Ketua Pengadilan Agama Bapak Drs. H. SYED
USMAN, S.H. Yang tujuannya adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat pencari keadilan dan menciptakan peradilan yang mandiri dan
berwibawa.
Perkembangannya selanjutnya tahun 2007-2008 ketika kepemimpinan
dijabat oleh Bapak Drs. H. A. CHOIRI, S.H., M.H. pembenahan-pembenahan
semua bidang, baik fisik maupun non fisik sudah terintegrasi dengan online
komputer, pada periode ini juga Pengadilan Agama Jakarta Selatan berhasil
pengadaan tanah untuk bangunan gedung baru seluas + 6000 m2 yang terletak
di Jl. Harsono RM, Ragunan, Jakarta Selatan.
Selanjutnya sejak tahun 2008 telah dibangun gedung baru yang sesuai
dengan purwarupa Mahkamah Agung RI. Pembangunan dilaksanakan 2 tahap,
tahap pertama tahun 2008 dan tahap kedua tahun 2009 pada saat itu
Pengadilan Agama Jakarta Selatan diketuai oleh Bapak Drs. H. PAHLAWAN
HARAHAP, S.H., M.A.
56
Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru Pengadilan Agama
Jakarta Selatan diresmikan bersama-sama dengan gedung-gedung baru
lainnya di Pontianak (Kalimantan Barat) oleh Ketua Mahkamah Agung RI.
Kemudian pada awal Mei 2010 diadakan tasyakuran dan sekaligus dimulainya
aktifitas perkantoran di gedung baru tersebut, pada saat itu Ketua Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dijabat oleh Drs. H. AHSIN A. HAMID, S.H.
Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif
tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam
segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam
hal peningkatkan T.I. (Teknologi Informasi) yang sudah semakin canggih
disertai dengan program-program yang menunjang pelaksanaan tugas pokok,
seperti program SIADPA (Sistem Informasi Administrasi Perkara Pengadilan
Agama) yang sudah berjalan dan terintegrasi dengan TV Media Center, Touch
Screen (KIOS-K) serta beberapa fitur tambahan dari Situs Web
http://www.pa-jakartaselatan.go.id.3
Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang
melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai
berikut:
3Admin, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan” diakses pada tanggal 04 Februarai
2014, dari http://www.pa-jakartaselatan.go.id.
57
1. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
7. Peraturan/Instruksi/Edaran Mahkamah Agung RI
8. Intruksi Dirjen Bimas Islam/ Bimbingan Islam
9. Keputusan Menteri Agama RI. Nomor 69 Tahun 1963, tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
10. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan Tata Kerja dan
Wewenang Pengadilan Agama.4
B. Struktur Organisasi
Susunan Pengadilan diatur dalam Bab II Pasal 6 sampai dengan Pasal
48 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.5
Susunan organisasi Pengadilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim
anggota, panitera, sekretaris dan juru sita.
4Admin, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan” diakses pada tanggal 04 Februari
2014, dari http://www.pa-jakartaselatan.go.id.
5 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang
Surut, UIN Malang, 2008, h. 155.
58
1. Pimpinan Pengadilan
Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang ketua dan seorang
wakil ketua.
2. Hakim
Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan
kehakiman. Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh presiden
atas usul ketua Mahkamah Agung.
3. Panitera atau Sekretaris
Mengenai struktur kepaniteraan sebagai salah satu sistem pendukung
utama fungsi peradilan, menurut pasal 26 ayat (7) jo. Pasal 44,
mempunyai tugas “ganda” pada diri dan jabtannya melekat jabatan
panitera merangkap sekretaris pengadilan.6
Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu pada
Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung nomor KMA/004/II/92 tentang
organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama dan KMA Nomor 5 tahun 1996 tentang Struktur Organisasi
Peradilan.7
6 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang
Surut, UIN Malang, 2008, h. 187.
7Admin, “Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta selatan” diakses pada tanggal 04
Februari 2014, dari http://pa-jakartaselatan.go.id.
59
60
C. Tugas dan Wewenang Pengadilan
Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009.
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah.8
Wilayah hukum atau yuridiksi yang dimaksud pada pembahasan ini
bermuara pada istilah kewenangan memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan.
Peradilan Agama mempunyai wewenang atau kekuasaan atau sering
disebut kompetensi yang menyangkut dua hal.9
1. Kompetensi relatif adalah kewenangan yang dimiliki Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama berdasarkan daerah. Maksudnya,
8 Mahkamah Agung Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan
Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II, Edisi Revisi 2010, h. 55.
9 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006),
h. 137.
61
kewenangan yang didasari atas batas-batas wilayah kabupaten atau kota
setempat.10
Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten dan kota.
Pada penjelasan Pasal 4 Ayat (1) berbunyi:
“Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di ibu kota,
kabupaten atau kota, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian”.
Jadi tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu
atau dikatakan mempunyai “yuridiksi relatif” dalam hal ini meliputi satu ibu
kota kabupaten atau kota, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian
mungkin lebih atau mungkin kurang.11
2. Kompetensi absolut yaitu kekuasaan pengadilan yang berhubungan
dengan jenis perkara atau jenis pengadilan.
Kekuasaan Peradilan Agama untuk memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.12
Bahkan ketika
kekuatan kerajaan Mataram telah merosot, perkara-perkara yang diancam
dengan hukum badan dan hukuman mati yang merupakan kewenangan
10
Alam, Andi Syamsu dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Pena Media, 2008), Cet. Ke-1, h. 15.
11
Rasyid Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali, 1991),Ed.1, Cet. Ke-1,
h. 27.
12
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2005), h. 13.
62
pengadilan perdata, karena tidak dapat dikirim ke Mataram, menjadi
wewenang Pengadilan Agama. Pengadilan Agama ini mengadili dan memutus
perkara atas dasar hukum Islam dan berpedoman kepada hukum-hukum yang
ditetapkan.
Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menjadi
kompetensi absolut Peradilan Agama yaitu:13
1. Perkawinan
2. Kewarisan, Wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
3. Wakaf dan Sedekah
Sejalan dengan bertambahnya kompetensi Peradilan Agama
berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan
Undanng-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan telah dirubah kedua kalinya
memperluas kewenangan Pengadilan Agama. Dalam Pasal 49 kewenangan
tersebut ditambah dengan penanganan perkara zakat, infaq dan ekonomi
syari’ah.
Kewenangan baru lainnya dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
ini adalah dalam hal penyelesaian sengketa hak milik antara sesama orang
Islam dan pemberian itsbat kesaksian rukyatul hilal dalam penentuan awal
13
Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 ayat (1).
63
bulan pada tahun hijriyah, serta pemberian keterangan atau nasihat mengenai
perbedaan penentuan waktu shalat.14
Selain itu sejak adanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, jika
muncul sengketa hak milik dan hak keperdataan lainnya pada perkara-perkara
yang ditangani seperti kewarisan,wakaf, harta bersama, dan lain-lain
sepanjang sengketa hak itu dikalangan orang Islam sendiri, sengketa itu tidak
perlu ditunda karena telah menjadi kewenangan Peradilan Agama. Pada
bidang perkawinan terdapat kewenangan baru, yakni soal “penetapan
pengangkatan anak”. Kewenanagan Peradilan Agama juga tidak dibatasi pada
perkara perdata.
Dengan demikian adanya amandemen terhadap Undang-undang
Peradilan Agama, menjadikan Pengadilan Agama mempunyai kewenangan
yang semakin luas. Dengan kata lain eksistensi Pengadilan Agama semakin
kokoh dalam sistem hukum Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.15
Dalam kaitannya dengan Pengadilan yang berada di bawah lingkungan
Peradilan Agama, kewenangan absolut berarti Pengadilan yang berada di
bawah lingkungan Peradilan Agama tersebut memiliki kekuasaan memeriksa,
14
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2006), h. 161.
15
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 348.
64
memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan atau
golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.16
16
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), Cet. Ke-4, h. 220.
65
BAB IV
REALISASI PELAKSANAAN NAFKAH IDDAH DALAM KASUS
PERCERAIAN
A. Data Perceraian Tahun 2012
Pada Pembahasan ini akan dikemukakan data-data perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2012.
Tabel. 1
PERKARA YANG DITERIMA
No Bulan Cerai Talak Cerai Gugat Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Janu
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agst
Sep
Okt
Nop
Des
74
70
80
74
68
67
53
44
89
98
70
71
167
176
181
168
188
182
133
105
218
208
192
160
241
246
261
242
256
249
186
149
307
306
262
231
Jumlah 858 2078 2936
Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2012
Dari data yang ada pada tabel di atas dapat kita lihat jumlah perkara yang
diterima pada tahun 2012 perceraian yang paling banyak adalah cerai gugat
dengan jumlah sebesar 2078 (dua ribu tujuh puluh delapan) atau 70,7%,
sedangkan cerai talak sebesar 858 (delapan ratus lima puluh delapan) atau 29,2%.
66
Sehingga jumlah perkara perceraian yang diterima oleh Pengadilan Agama
Jakarta Selatan pada Tahun 2012 adalah sebanyak 2939.
Tabel.2
PERKARA YANG DIPUTUS
No Bulan Cerai Talak Cerai Gugat Dicabut Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agst
Sept
Okt
Nop
Des
61
50
74
50
62
65
57
29
42
60
68
66
170
164
164
143
143
137
157
119
119
164
197
147
23
24
14
9
20
17
22
22
21
23
23
14
254
238
252
213
225
219
236
170
182
247
288
227
Jumlah 684 1824 232 2751
Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2012
Data di atas menunjukkan bahwa perkara perceraian dapat kita lihat
jumlah perkara cerai talak yang diterima pada tahun 2012 adalah sebesar 858,
sedangkan yang diputus sebesar 684. Dari jumlah – jumlah tersebut dapat dilihat
besarnya angka perkara cerai talak yang diputus. Perkara cerai talak yang diputus
pada tahun 2012 adalah sebesar 79, 72 % dari perkara keseluruhan. Dan dari data
yang diputus tersebut tidak semua perkara cerai talak terkait dengan adanya
pemberian nafkah iddah itu dilaksanakan di hadapan Majelis Hakim saat
pembacaan sidang ikrar talak, jadi dapat dikatakan keberhasilan untuk
67
mendapatkan hak-hak mantan istri masih belum sepenuhnya terealisasikan karena
masih ada yang dilaksanakan atau dibayarkan di luar Pengadilan Agama.
Sedangkan sebagai seorang istri yang telah diceraikan tetap memiliki hak-
hak yang perlu dipenuhi oleh mantan suaminya. Antaranya seperti hak untuk
mendapatkan mas kawin jika belum dibayar, mut’ah dan nafkah iddah. Dan dari
data di atas tersebut tidak ditemukannya data mengenai permohonan eksekusi
terkait tuntutan nafkah iddah. Hal ini dikarenakan biaya eksekusi yang mahal
dibandingkan dengan tuntutan nafkah iddahnya, oleh karena itu istri enggan untuk
menuntut hak-hak yang harus diterimanya.1
Tabel. 3
DATA PENYEBAB PERCERIAN TAHUN 2012
No Bulan
PENYEBAB PERCERAIAN
Cemburu
dan
Krisis
Akhlak
Ekonomi
dan
Poligami
Tidak
Sehat
Tidak
ada
tanggung
jawab
Gangguan
Pihak
Ketiga
Tidak ada
keharmonisan
dan
Kekejaman
Jasmani
Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
1 -
- -
1 3
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
45 -
47 -
59 1
49 -
58 -
59 -
56 -
35 -
35 -
43 -
56 -
41 -
58
59
63
63
53
47
52
42
48
68
78
67
29
22
22
24
29
24
37
28
25
29
34
25
97 1
86 -
87 2
57 -
65 -
72 -
69 -
43 -
53 -
84 -
97 -
80 -
231
214
238
193
205
202
214
148
161
224
265
213
Jumlah 2 3 582 1 698 328 890 3 2508
1 Dra. Hj. Ida Nur Sa’adah, Wawancara Pribadi, ( Hakim Pengadilan Agama Kelas 1 A
Jakarta Selatan), Pada Tanggal 28 Maret 2014.
68
Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2012
Dapat dilihat data di atas menunjukkan bahwa sebab perceraian paling
banyaka dalah karena tidak adanya keharmonisan, dengan jumlah sebesar 890
atau 35,48%. Selanjutnya penyebab terbesar kedua adalah masalah tidak ada
tanggung jawab dengan jumlah 698 atau 27,83%, perceraian akibat faktor
ekonomi sebesar 583 atau 23241%. Sedangkan perceraian akibat pihak ketiga
sebesar 328 atau 13,07%. Ada juga sebab perceraian karena krisis akhlak dan
kekerasan jasmani yaitu sebesar 3 atau 0,11%. Selanjutnya sebab perceraian yang
kecil adalah cemburu sebanyak 2 atau 0,07% dan yang terakhir adalah poligami
tidak sehat yaitu sebanyak 1 atau 0,03%. Sehingga jumlah perkara perceraian
yang diputuskan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 2012
sebanyak 2508.
Dilihat dari data di atas kebanyakan perceraian dikarenakan tidak adanya
keharmonisan dan tidak adanya rasa tanggung jawab. Dari sini dapat kita lihat
bahwa rasa tanggung jawab terhadap keluarganya yang masih utuh saja sudah
tidak ada apalagi setelah adanya perceraian yang di mana suami sudah tidak lagi
bertanggung jawab terhadap keluarganya. Oleh karena itu pihak Pengadilan
mengupayakan agar hak-hak mantan istri tetap terbayarkan oleh mantan suaminya
yaitu dibayarkan pada saat pembcaan ikrar talak di hadan Majelis Hakim, karena
69
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan sendiri belum sepenuhnya pembayaran
nafkah iddah itu dibayarkan di depan Majelis Hakim saat pembacaan ikrar talak.2
B. Proses Pelaksanaan Pemberian Nafkah Iddah
Pasal 65 Undang-undang Peradilan Agama No.7 Tahun 1989 mengatakan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.
Pelaksanaan putusan di Pengadilan Agama secara garis besar mengikuti
hukum acara perdata, namun terdapat kekhususan yang berlaku di dalam hukum
acara di Pengadilan Agama, meliputi kewenangan relatif Pengadilan Agama, sifat
persidangan, pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian, dan biaya perkara, serta
pelaksanaan putusan.
Pada dasarnya di dalam hukum Acara Pengadilan Agama dan Hukum
Acara Perdata umumnya ada dua pelaksanaan putusan terkait nafkah iddah, yaitu
secara sukarela di mana pihak yang dibebani kewajiban membayar nafkah iddah
bersedia melaksanakan putusan Pengadilan Agama dengan suka rela tanpa adanya
paksaan atau melaksanakan dengan tempo waktu tertentu yaitu setelah Majelis
Hakim memutus perkara maka para pihak berhak untuk mengajukan upaya
2 Dra.Hj.Ida Nursa’adah, Wawancara Pribadi, (Hakim Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta
Selatan), PadaTanggal 28 Maret 2014.
70
hukum sebelum putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, yaitu setelah empat
belas hari setelah putusan dijatuhkan.3
Kemudian Pengadilan Agama langsung menentukan PHS (Penentuan Hari
Sidang), akan tetapi para pihak tidak menghadap mengikuti sidang yang telah
ditentukan oleh Pengadilan Agama. Dengan demikan pelaksanaan siding ikrar
talak akan menunggu pihak suami melapor ke Pengadilan Agama bahwa pihak
suami telah mampu untuk membayar nafkah iddah dengan jangka waktu enam
bulan dari penetapan hari siding ikrar talak. Akan tetapi setelah berjalannya waktu
dan mendekati enam bulan ternyata pihak suami belum juga melapor dan belum
membayar nafkah iddah, maka pihak istri melakukan kesepakatan yang intinya
pembayaran nafkah iddah dilakukan setelah sidang ikrar talak.4 Setelah ada
kesepakatan tersebut pihak suami melapor ke Pengadilan Agama untuk sidang
ikrar talak. Sehingga Pengadilan Agama langsung membuat PHS (Penentuan Hari
sidang) ikrar talak, yaitu 1 hari sebelum masa enam bulan habis, sesuai dalam
ketentuan pasal 70 ayat 6 Undang-undang No.7 Tahun 1989 yang membatasi 6
bulan sebagai berikut: “ jika suami dalam tenggang waktu enam bulansejak
ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak menghadap sendiri atau
tidak mengirimkan walinya meskipun telah mendapatkan panggilan secara sah
3 Dra.Hj.Ida Nursa’adah, Wawancara Pribadi, (Hakim Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta
Selatan), PadaTanggal 28 Maret 2014.
4 Dra. Hj. Ida Nursa’adah, Wawancara Pribadi, (Hakim Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta
Selatan), Pada Tanggal 28 Maret 2014.
71
dan patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak
dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
PHS sidang ikrar talak dilaksanakan dalam perkara tersebut putusannya
secara struktural telah dilaksanakan karena diktum utama berupa ikrar talak
sebagai deklarasi adanya perceraian, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah
pihak suami atau pemohon tidak menjalankan kewajibannya maka pihak istri bisa
mengajukan permohonan eksekusi ini merupakan cara yang kedua untuk
menjamin hak-hak mantan istri.5 Adapun jenis eksekusi yang berkaitan
pembayaran nafkah iddah adalah eksekusi pembayaran sejumlah uang, yang dasar
hukumnya adalah Pasal 197-200 HIR dan Pasal 208-218 R.Bg. Apabila amar
putusan berisi penghukuman pembayaran sejumlah uang, berarti mewajibkan
suami membayar hak istri berupa nafkah iddah, maka suami dipaksa untuk
membayar, apabila tidak dijalankan maka cara membayarnya yaitu dengan jalan
menjual harta kekayaan suami .6
Dalam praktik di Pengadilan Agama eksekusi pelaksanaan pembayaran
nafkah iddah akan melalui beberapa tahapan yaitu:7
5 Dra. Hj. Ida Nursa’adah, Wawancara Pribadi, (Hakim Pengadilan Agama Kelas IA
Jakarta Selatan), Pada Tanggal 28 Maret 2014.
6 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana: 2005), Cet. Ke- 3, h. 320.
7 Musthofa, Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. Ke-1, hal.
112.
72
a. Permohonan eksekusi, yaitu pihak istri yang merasa dirugikan karena nafkah
iddahnya tidak dibayarakan suami, maka dapat mengajukan permohonan
untuk mengeksekusi nafkah iddah ke Pengadilan agama.
b. Membayar biaya eksekusi , yaitu pihak istri yang memohonkan eksekusi
nafkah iddah di Pengadilan Agama diwajibkan menanggung seluruh biaya.
c. Aanmaning, yaitu berdasarkan permohonan tersebut ketua Pengadilan Agama
memanggil pihak yang dikenai kewajiban nafkah iddah yaitu suami ditegur
atau diberi peringatan dilakukan dengan melakukan pemanggilan terhadap
termohon eksekusi dengan menentukan tanggal, hari dan jam persidangan
tersebut. Hal itu dilakukan agar memenuhi putusan terkait nafkah iddah dalam
jangka waktu 8 hari setelah mendapat teguran tersebut. Hal ini berdasarkan
pasal 196 HIR atau 207 Rbg.
d. Penetapan sita eksekusi, yaitu apabila dalam perkara nafkah iddah belum
ditetapkan sita jaminan.
e. Penetapan perintah eksekusi, yaitu surat perintah eksekusi nafkah iddah yang
berisi perintah penjualan lelang barang-barang yang telah diletakkan sita
eksekusinya dengan menyebut jelas obyek yang akan dieksekusi serta
menyebutkan putusan yang menjadi dasar eksekusi tersebut.
f. Pengumuman lelang sebagai eksekusi nafkah iddah dapat dilakukan melalui
surat kabar atau media masa.
73
g. Permintaan lelang, Ketua Pengadilan Agama meminta bantuan Kantor Lelang
Negara untuk menjual lelang barang-barang yang telah diletakkan sita
eksekusi.
h. Pendaftaran permintaan lelang, yaitu kantor Lelang Negara mendaftarkan
permintaan lelang dalam buku yang khusus untuk itu dan sifat pendaftaran
terbuka untuk umum, sesuai pasal 5 Peraturan Lelang Stb. 1980 Nomor 189.
i. Penetapan hari lelang, yaitu Kantor Lelang Negara menetapkan hari lelang.
j. Penetapan hari lelang dan Floor price, penetapan syarat lelang menjadi hak
dari Ketua Pengadilan Agama sebagai penjual untuk dan atas nama termohon
eksekusi. Sedangkan floor price atau patokan harga terendah dilakukan oleh
Kantor Lelang Negara dengan disesuaikan nilai ekonomis barang.
k. Tata cara penawaran, terlebih dahulu menggunakan cara di mana pihak yang
menawar menulis secara tertulis dalam amplop tertutup dengan menyebut
identitas yang jelas, harga yang disanggupi dan ditandatangani. Kemudian
apabila tidak ada penawaran yang mencapai patokan harga maka penawaran
dapat dilakukan secara lisan dengan persetujuan pihak penjual yaitu
Pengadilan Agama.
l. Pembeli lelang dan menentukan pemenang, yaitu pembeli lelang yaitu
penawaran tertinggi dan tawaran itu minimal sesuai dengan floor prince.
m. Pembayaran harga lelang barang hasil sita eksekusi nafkah iddah menjadi hak
dari Pengadilan Agama untuk menentukan syarat-syarat pembayaran lelang
74
yang akan nantinya hasil lelang diserahkan kepada pemohon eksekusi nafkah
iddah.
C. Implementasi Pelaksanaan Putusan Tentang Nafkah Iddah di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan
Terkait dengan implementasi pelaksanaan putusan pembayaran nafkah
iddah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan bahwa pelaksanaan pembayaran
nafkah iddah bagi suami yang menceraikan istrinya melalui Pengadilan Agama
yaitu pelaksanaan pembayaran nafkah iddah agar dilaksanakan di hadapan
Majelis Hakim saat sidang pembacaan ikrar talak, memang tidak ada aturan
nafkah iddah harus diberikan di hadapan sidang ikrar tetapi ini dilakukan dengan
tujuan untuk menjamin hak-hak seorang istri yang telah diceraikan oleh suaminya
agar istri-istri yang diceraikan tersebut tetap mendapatkan haknya yang memang
harus diterimanya.
Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah hampir semua dilaksanakan di
Pengadilan Agama saat pembacaan sidang ikrar talak di hadapan Majelis Hakim
yang memutuskan perkara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan
pembarian nafkah iddah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pasca perceraian
hampir semua sudah dilaksanakan oleh mantan suami dan hal ini juga
menunjukkan bahwa suami tersebut telah melaksanakan isi putusan tentang
75
nafkah iddah. Tetapi tidak menutup kemungkinan masih ada juga yang
dilaksanakan di luar Pengadilan Agama.8
C. Analisis
Setiap pasangan suami istri yang ingin bercerai harus melalui prosedur
permohonan yang telah ditetapkan oleh pihak Pengadilan Agama untuk
memastikan keadilan kedua belah pihak. Dari kasus yang diangkat oleh penulis
adalah masalah cerai talak yang di mana suami yang menceraikan istrinya wajib
memberikan nafkah iddah kepada mantan istrinya.
Isntitusi Peradilan Agama sebagai bagian dari sistem hukum nasional
memiliki kontribusi penting dalam mempengaruhi dan membentuk praktik dan
kebiasaan yang terjadi dalam hubungan hukum antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini karena hampir semua kompleksitas persoalan relasi antara laki-laki
dengan perempuan sebagai sepasang suami istri adalah bagian pokok dari
kompetensi Peradilan Agama.9
Berdasarakan Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 4 (sub c) yang
berbunyi: “ Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
8 Dra. Hj. Ida Nur sa’adah, Wawancara Pribadi, ( Hakim Pengadilan Agama Kelas 1 A
Jakarta Selatan), Pada Tanggal 28 Maret 2014. 9Tim Penulis, Demi Keadilan dan Kesetaraan, h. 16.
76
memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi
istri”.10
Suami yang mentalak raj’i istrinya wajib memberikan nafkah pada istrinya
selama masa iddah, meliputi makanan, pakaian, dan tempat tinggal, dengan
pertimbangan istri dapat dirujuk kembali selama masa iddahnya belum habis. Hal
ini dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 81 yang berbunyi: “Suami
wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak-anaknya atau bekas
istrinya yang masih dalam iddah dan tempat kediaman adalah tempat tinggal”.
Dengan demikian pada dasarnya antara mantan suami dengan mantan istri masih
mempunyai hubungan hukum dan masih dalam tanggungannya, oleh karena itu
nafkah mantan istri masih jadi tanggungan mantan suami sebelum masa iddanya
habis.
Dengan merujuk pada kepentingan nafkah bagi istri yang sedang
menjalani masa iddah, maka tepat kiranya dalam sistem hukum perkawinan di
Indonesia, pemberian nafkah iddah ini diwajibkan dengan atau tanpa adanya
permintaan dari pihak istri.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa upaya hakim untuk
memberikan perlindungan kepada istri terhadap kewajiban pembayaran nafkah
iddah oleh suami yaitu dengan cara pembayaran nafkah iddah dilakukan di depan
persidangan, yaitu pada saat pembacaan sidang ikrar talak di hadapan Majelis
Hakim. Sebelum suami mengucapkan ikrar talaknya di depan sidang pengadilan,
10
Arso Sastroatmodjo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 95.
77
suami terlebih dahulu harus memenuhi kewajibannya membayar nafkah iddah
bagi istri yang ditalaknya. Tetapi dalam praktiknya kewajiban pemohon tersebut
ada yang ditunaikan sebelum atau sesaat setelah sidang pengucapan ikrar talak.
Apabila setelah sidang ikrar talak suami atau pemohon tidak menjalankan
kewajiban membayar nafkah iddah maka pihak istri bisa mengajukan permohonan
eksekusi kepada pihak Pengadilan. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut hakim
melakukan upaya bahwa suami harus membayar kepada istri pada saat
pembacaan sidang ikrar talak. Hal ini dilakukan untuk menjamin kepastian
pembayaran nafkah iddah yang merupakan hak istri yang diceraikan oleh
suaminya.
Namun pada kenyataannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan setiap
kasus cerai talak tidak semua pihak suami yang menceraikan istrinya memberikan
nafkah iddah tersebut di hadapan Majelis Hakim saat sidang ikrar talak tetapi juga
ada yang memberikan nafkah iddah di luar Pengadilan Agama setelah pembacaan
ikrar talak dan sudah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Apa yang dapat kita ketahui bahwa banyak mantan istri yang tidak
mendapatkan haknya sesuai aturan Al-Qur’an dan Undang-undang perkawinan
serta tidak sesuai keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan. Suami seringkali
mengabaikan tanggung jawabnya untuk memenuhi apa yang menjadi hak istri
yang diceraikan. Oleh karena itu sayogyanya ada kebijakan yang dapat menjamin
terpenuhinya hak-hak istri setelah perceraian.
78
Setiap putusan Pengadilan, idealnya dipatuhi dan dilaksanakan. Namun
jika tidak demikian, hukum acara yang berlaku memberikan jalan yang ditempuh
oleh pihak istri untuk mendapatkan hak-hak istri yang diceraikan. Yaitu melalui
jalan permohonan eksekusi.
Dari sinilah dapat dilihat bahwa dari Pihak Pengadilan Agama sendiri pun
menyarankan bagi istri yang dicerai oleh suaminya dan belum mendapatkan
haknya maka istri tersebut bisa mendapatkannya yaitu melalui jalan eksekusi
guna melindungi haknya.
Akan tetapi pihak istri seringkali tidak melakukan permohonan eksekusi
karena tidak ingin memperpanjang perkara di Pengadilan Agama. Praktek
eksekusi nafkah iddah jarang terjadi, hal ini disebabkan ada beberapa alasan di
antaranya:
1. Biaya eksekusi yang dibebankan kepada istri menurut pasal 89 ayat (1) UU
No. 7 Tahun 1989. Hal inilah yang mengakibatkan istri enggan untuk
mengajukan permohonan eksekusi, dan mereka memilih bersikap pasrah.
2. Besarnya biaya eksekusi yang tidak sebanding dengan jumlah nafkah iddah
dan melibatkan banyak pihak, sehingga yang harus dikeluarkan bermacam-
macam. Dan jumlah nafkah yang dibebankan kepada suami biasanya tidak
begitu besar. Bila terjadi permohonan eksekusi, maka biaya yang harus
dikeluarkan tidak sebanding dengan harta yang akan diperoleh.
3. Tidak ada harta yang harus dieksekusi
79
4. Tidak ada ketentuan prodeo dalam permohonan eksekusi, tidak dikenal istilah
prodeo sehingga beban biaya yang dikeluarkan seratus persen ditanggung para
pihak (pemohon).
Berdasarkan penjelasan di atas dan juga upaya-upaya hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, bahwa suami yang menceraikan istrinya diupayakan
membayar nafkah iddah tersebut di hadapan Majelis Hakim. Akan tetapi tidak
semua pembayaran nafkah iddah dilaksanakan di pengadilan Agama tetapi ada
juga yang dilaksanakan di luar Pengadilan Agama dan itu tidak menjamin istri
untuk mendapatkan hak-haknya. Maka upaya hukum untuk menjamin hak-hak
istri yang diceraikan dan tidak mendapatkan haknya yaitu melalui permohonan
eksekusi. Akan tetapi biaya eksekusi yang begitu mahal menjadikan istri enggan
untuk menuntut haknya, dan istri lebih memilih untuk merelakannya saja.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dengan judul “Realisasi
Pelaksanaan Nafkah Iddah dalam Kasus Perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Tahun 2012”,serta penelitian yang penulis lakukan maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Prosedur pemberian nafkah iddah di Pengadilan Agama memang telah
diupayakan sebisa mungkin untuk diberikan di hadapan Majelis Hakim pada
saat sidang ikrar talak yaitu sebelum sidang ikrar talak suami terlebih dahulu
dikasih tau untuk membayarkan nafkah iddah saat pembacaan sidang ikrar
talak dengan tujuan untuk menjamin hak-hak seorang mantan istri agar hak
yang harus diterimanya bisa terpenuhi, tetapi tidak menutup kemungkinan ada
juga yang diberikan atau dilaksanakan di luar Pengadilan setelah adanya
Putusan Pengadilan Agama.
2. Implementasi pelaksanaan putusan tentang nafkah iddah di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan yaitu hampir semua telah dilaksanakan di Hadapan Majelis
Hakim saat pembacaan sidang ikrar talak hal ini menunjukkan bahwa suami
tersebut telah melaksanakan isi putusan tentang nafkah iddah.
3. Jika suami lalai dalam melaksanakan nafkah iddah, maka istri bisa melakukan
upaya hukum yaitu melalui permohonan eksekusi. Mantan istri mengajukan
81
permohonan pelaksanaan isi putusan terkait hak-hak mantan istri, akan tetapi
kebanyakannya telah dilaksanakan secara sukarela. Dapat dikatakan bahwa
belum sepenuhnya dilaksanakan dan hal yang menjadi kendala bagi istri untuk
mengajukan permohonan eksekusi adalah dikarenakan biaya eksekusi yang
begitu mahal dibandingkan dengan tuntutan nafkah iddahnya, oleh karena
itulah istri enggan untuk menuntut hak-hak yang seharusnya dia terima dan
istri lebih memilih untuk merelakannya saja.
B. Saran
1. Bagi suami yang menceraikan istrinya hendaknya memberikan atau
membayarkan nafkah iddah di Pengadilan Agama di hadapan Majelis Hakim
saat pembacaan ikrar talak. Supaya hak-hak istri yang diceraikan tetap
terpenuhi dan terjamin akan haknya.
2. Diharapkan harus adanya tanggung jawab bagi suami yang menceraikan
istrinya, dan tidak begitu saja meninggalkan istri yang diceraikan tanpa
mendapatkan haknya sedikitpun sebagai mantan istri.
3. Suami yang tidak menjalankan kewajibannya dan tidak menjalankan putusan
Pengadilan harus ada upaya hukumnya bagi pelanggaran terhadap pemberian
nafkah iddah selain eksekusi, supaya para suami jera akan tidak
dilaksanakannya putusan tersebut yang sudah diatur dalam Al-Qur’an dan
Undang-Undang Perkawinan.Dengan tujuan supaya hak mantan istri tidak
terabaikan begitu saja.
82
4. Bagi Peradilan Agama khususnya para Hakim, hendaknya dalam memutuskan
perkara tetap berpijak kepada dasar Hukum Islam, undang-undang yang
berlaku dan juga berdasarkan kemaslahatan.
5. Seorang hakim juga dituntut untuk mampu berfikir progresif dalam
menjatuhkan putusannya, serta mampu menjalankan efektivitas yang baik
terhadap penyelenggaraan pokok-pokok ketentuan nafkah iddah dalam
membangun keadilan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an, Al-Karim.
Al-Husaini, Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar.Kifayatul Akhyar. Surabaya: PT.
BinaIlmu, 1997, Cet. Ke- 2.
Ali, M. Daud. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: PT.Raja
Grafindo, Cet. Ke- 6.
Al-Anbari, Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad Khalid bin
Ali.Perkawinan dan Masalahnya. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1993.
Anwar,Nailul. Himpunan Hadist-Hadist Hukum. 2001, Cet. Ke- 3.
Aripin, Jaenal. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2008.
Asmawi, Mohammad.Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. Maret,
2004.
Admin, Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. diakses pada tanggal 04
Februari 2014, http://www.pa-jakartaselatan.go.id, 2014.
--------,Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta selatan. diakses pada
tanggal 04 Februari 2014, http://pa-jakartaselatan.go.id, 2014.
Bisri, Cik Hasan.Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003, Cet. Ke- 4.
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam, Suatustudi Perbandingan dalam
Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam. Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1998.
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2005, Cet.
Ke-2.
Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2006.
DJI, A. Rahman I. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah ( Syariah).
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke- 1.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqih Munakahat. Jakarat: Prenada Media, 2003.
Hakim, Rahmat.Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hambal, Ahmad bin. Musnad Ahmad. Beirut: Muassah Al- Risalah, 2001,
Cet. Ke- 1.
Hasil Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Ida Nursa’adah (Hakim Pengadilan
Agama Kelas IA Jakarta Selatan), Pada Tanggal 28 Maret 2014.
Hasil Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Ida Nursa’adah (Hakim Pengadilan
Agama Kelas IA Jakarta Selatan), Pada Tanggal 28 Maret 2014.
Irfan, M. Nurul. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Amzah,
2013, Ed. Ke-2.
Kauman, Fuaddan Nipan. Membimbing Istri Mendampingi Suami.
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998.
Mahkamah Agung Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama.Pedoman
Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama. Buku II,
Edisi Revisi 2010.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Pengadilan Agama.
Jakarta: Kencana, 2005, Cet. Ke- 3.
--------, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Kencana, 2005, Cet. Ke- 3.
--------, Abdul dkk. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: Kencana, 2007.
Manshur, Abd al-Qadir. Buku Pintar Fikih Wanita. Cet. Ke-1.
Modul perancangan Undang-Undang. Jakarta: Sekretaris Jendral DPR
RI,2008.
Musthofa, Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2005, Cet. Ke-
1.
Nasution, Amir Taat. Rahasia Perkawinan Dalam Islam Tuntutan Keluarga
Bahagia.1994, Cet. Ke- 3.
Nuruddin, Amir dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di
Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No
1/1974 sampai KHI. Jakarta: kencana, 2006, Cet. Ke- 3.
Rasyid, Roihan A., Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama.
Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989, Cet. Ke- 1.
Roihan, Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Rajawali,
1991.,Ed.1, Cet. Ke-1.
Salim, Arskal, dkk. Demi Keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program
Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia.2009.
Sastroatmodjo, Aryo. Hukum Perkawianan Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1981.
Singaribun, Masridan Effendi, Sofian (ed.). metode penelitian survey. Jakarta:
LP3S,1989.
Soepomo, R., Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, 1970.
Sopyan, Yayan. Islam Negara Transformasi hokum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2012, Cet.
Ke- 2.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakrta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke- 1.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007.
Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia
Islam. November, 2009.
Syabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009, Cet. Ke-
1.
Syamsu, Alam Andi dan Fauzan M. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam. Jakarta: Pena Media, 2008, Cet. Ke- 1.
Syarifudin, Amir.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana,2009,
Cet. Ke- 3.
Taqiyuddin, Al-Imam. Kifayatul Akhyar. 1997.
Tihani dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: Rajawali Pers,2009.
Tim Penulis, Demi Keadilan dan Kesetaraan, 2009, Cet. Ke- 1.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 2005, Cet. Ke- 1.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 ayat (1).
Yanggo, Huzaimah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. 2010, Cet. Ke- 1.
Yazid, Muhammad bin. Sunan Ibn Majah. Beirut: Dar Ihya Al-Kutub Al-
Arabiyyah, Juz. 1.
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta: Almahira, 2010.
Zuhriah, Erfaniah. Peradilan Agama di Indonesia Dalam Rentang Sejarah
dan Pasang Surut. UIN Malang, 2008.
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : Dra. Hj. Ida Nursa’adah, S.H. M. H.
Jabatan : Hakim
Nama Instansi : Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Hari / Tanggal : Jum’at/ 28 Maret 2014
1. Bagaiaman prosedur pemberian nafkah iddah di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan?
Jawab: Pemberian nafkah iddah di Pengadilan Agama yaitu prosedurnya
diupayakan sebisa mungkin untuk dilaksanakan di Pengadilan Agama saat
sidang pembacaan ikrar talak di hadapan Majelis Hakim, tetapi tidak menutup
kemungkinan ada juga yang dilaksanakan atau dibayarkan di luar Pengadilan
Agama setelah adanya putusan Pengadilan.
2. Bagaimana implementasi pelaksanaan putusan tentang nafkah iddah di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Jawab: Terkait dengan implementasi pelaksanaan putusan tentang nafkah
iddah yaitu hampir semua telah dilaksanakan atau dibayarkan di Pengadilan
Agama saat sidang ikrar talak di hadapan Majelis Hakim.
3. Apa upaya hokum apabila suami lalai melaksanakan tentang nafkah iddah?
Jawab: Eksekusi, mantan istri mengajukan permohonan pelaksanaan isi
putusan, akan tetapi kebanyakannya telah dilaksanakan secara sukarela.
4. Apakah dalam setiap perkara cerai talak suami selalu dibebani nafkah iddah?
Jawab: Tidak semua kasus perceraian, yang diajukan oleh suami (cerai talak)
yang mewajibkan suami memberikan nafkah iddah kepada istri yang
diceraiakannya itu dibebani nafkah iddah karena adakalanya perkara itu tidak
dihadiri oleh istri (verstek), dan istri merelakan untuk melepaskan hak-
haknya.
5. Menurut ibu apakah nafkah iddah itu adalah suatu hal yang harus dipenuhi
atau tidak?
Jawab: Ya, karena nafkah iddah itu adalah suatu hal yang harus dipenuhi,
karena dalam Al-Qur’an Surah At-Thalaq Ayat6 dan Pasal 41 huruf (c)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 81 ayat 1 dan 2 dan Pasal 149
huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi bahwa Pengadilan
Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah atas suami
untuk istrinya, sepanjang istrinya tidak terbukti berbuat nusyuz.
6. Apa upaya mantan istri supaya putusan itu dilaksanakan oleh mantan suami?
Jawab: Jika mantan suami tidak melaksan akan putusan Pengadilan Agama
memberikan nafkah iddah yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Agama
maka istri bisa mengajukan permohonan eksekusi tuntutan nafkah iddah.
7. Apakah pemberian nafkah iddah yang dilakukan di luar Pengadilan Agama
bisa menjamin untuk diterimanya hak-hak istri yang telah diceraikan?
Jawab: Istri yang diceraiakan akan tetap mendapatkan hak-haknya sebagai
jaminan jika suami tidak ingkar. Oleh karena itu pelaksanaan nafkah iddah
diupayakan di depan Majelis Hakim kecuali suami tidak keberatan.
8. Apa langkah yang diambil oleh hakim untuk menjamin diterimanya hak
nafkah iddah yang dilaksanakan di Pengadilan Agama saat pembacaan ikrar
talak?
Jawab: Apabila dari pihak istri tidak datang saat pembacaan ikrar talak maka
uang iddah tersebut dititipakan di Pengadilan Agama yang disebut dengan
titipan pihak ke tiga. Itulah jaminan dari Pengadilan Agama.
9. Langkah apa yang di ambil oleh hakim atau Pengadilan Agama ketika ada
seorang suami yang tidak membayar nafkah iddah kepada istri yang
diceraikannya?
Jawab: Majelis Hakim sudah lepas sampai dengan adanya pembacaan ikrar
talak, jadi ketika ada suami tidak membayar nafkah iddah kepada mantan
istrinya itu sudah bukan kewenangan Pengadilan Agama lagi.
10. Bagaimana proses pelaksanaan pemberian nafkah iddah dalam kasus
perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Jawab: Setelah pengucapan ikrar langsung diberikan pada saat pembacaan
ikrar talak, tetapi sebelum pembacaan ikrar talak pemohon dikasih tahu
terlebih dahulu atau diberi waktu 14 hari untuk membawa uang pada saat
talak dijatuhkan.
11. Apakahada upaya hukum bagi pelanggaran terhadap pemberian nafkah iddah
yang sudah ditentukan?
Jawab: Tidak ada upaya hukum apapun, baik itu dari hukum pidana maupun
hukum lainnya.