REAKSI ANAFILAKSIS

37
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reaksi anafilaksis merupakan suatu reaksi alergi yang dapat mengancam nyawa melalui peranan Immunoglobulin E (Ig E mediated). Sering dibingungkan dengan anaphylactoid reaction yang tidak diperantarai oleh Ig E, walaupun dalam penatalaksanaannya cenderung sama sehingga untuk memudahkan, keduanya disebut sebagai anafilaksis. Keduanya juga memunculkan gejala yang sama seperti angio-edema, urticaria, dyspnoea, dan hipotensi. (6) Kadang-kadang juga dibingungkan dengan syok sepsis atau tipe syok lainnya, asma, benda asing di saluran nafas, serangan panik atau keadaan lainnya. (2) Kurang konsisten dan luasnya manifestasi klinis yang muncul serta banyaknya penyebab anafilaksis ( bahkan bisa idiopatik ), menimbulkan masalah dalam menegakkan diagnosis pasti terutama pada anak-anak. Pada setiap kasusnya harus diselidiki riwayat reaksi- reaksi alergi sebelumnya disamping riwayat reaksi anafilaksis yang sedang dialami; juga penekanan pada keadaan kulit, denyut nadi, tekanan darah, saluran nafas atas, dan auskultasi pada dada. (6) Sebuah penelitian di Australia, menyatakan sebanyak 61 % kasus disebabkan oleh makanan, 20 % disebabkan oleh serangga, sedangkan obat- 1

description

mengenai reaksi anafilaktik

Transcript of REAKSI ANAFILAKSIS

Page 1: REAKSI ANAFILAKSIS

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Reaksi anafilaksis merupakan suatu reaksi alergi yang dapat mengancam nyawa

melalui peranan Immunoglobulin E (Ig E mediated). Sering dibingungkan dengan

anaphylactoid reaction yang tidak diperantarai oleh Ig E, walaupun dalam

penatalaksanaannya cenderung sama sehingga untuk memudahkan, keduanya disebut

sebagai anafilaksis. Keduanya juga memunculkan gejala yang sama seperti angio-

edema, urticaria, dyspnoea, dan hipotensi.(6) Kadang-kadang juga dibingungkan dengan

syok sepsis atau tipe syok lainnya, asma, benda asing di saluran nafas, serangan panik

atau keadaan lainnya.(2) Kurang konsisten dan luasnya manifestasi klinis yang muncul

serta banyaknya penyebab anafilaksis ( bahkan bisa idiopatik ), menimbulkan masalah

dalam menegakkan diagnosis pasti terutama pada anak-anak. Pada setiap kasusnya

harus diselidiki riwayat reaksi-reaksi alergi sebelumnya disamping riwayat reaksi

anafilaksis yang sedang dialami; juga penekanan pada keadaan kulit, denyut nadi,

tekanan darah, saluran nafas atas, dan auskultasi pada dada.(6) Sebuah penelitian di

Australia, menyatakan sebanyak 61 % kasus disebabkan oleh makanan, 20 %

disebabkan oleh serangga, sedangkan obat-obatan dan faktor-faktor lainnya yang belum

teridentifikasi masing-masing 8%.(14) Obat-obatan seperti antibiotika (penisilin,

cephalosporin) dan antiinflamasi (aspirin dan obat golongan NSAID lainnya); makanan

terutama kacang-kacangan, makanan laut dan makanan berprotein tinggi lainnya;

serangga seperti lebah dan tawon; bahan radiokontras intravena; lateks seperti pada

selop tangan yang dipergunakan oleh petugas medis; produk-produk darah seperti

plasma,cryoprecipitate dan immune globulin; cairan semen; faktor fisik seperti suhu

dan olahraga outdoor, adalah contoh-contoh penyebab anafilaksis. Sebagian besar dari

penyebab-penyebab tersebut merupakan barang-barang yang sering dipakai atau

dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga tidak mengherankan jika jumlah penderita

cukup banyak.

1

Page 2: REAKSI ANAFILAKSIS

Anafilaksis dan kematian karena anafilaksis di dunia, dilaporkan lebih sering

terjadi pada orang dewasa dibandingkan anak-anak. Terdapat pengecualian di

Australia, dimana insiden anafilaksis kurang lebih sama untuk kedua kelompok

tersebut. Kematian karena anafilaksis terutama terjadi pada orang dewasa, diikuti anak-

anak dibawah lima tahun, dan remaja. Alergen penyebabnya sama di seluruh dunia,

tetapi persentasenya berbeda di tiap negara.(12) Diperkirakan terdapat sekitar 1-3 kasus

severe anaphylaxis untuk setiap 10.000 orang, dan angka kematian 1-3 kasus untuk

setiap satu juta orang. Peningkatan prevalensi beberapa tahun terakhir disebabkan oleh

berkembangnya diagnosis pada pasien-pasien yang masuk ke rumah sakit berdasarkan

klasifikasi CIM-9 dan -10. Pada populasi yang semakin tua, terjadi peningkatan

penggunaan obat-obatan. Peningkatan resiko alergi juga disebabkan oleh kemajuan

teknologi makanan berprotein saat ini.(5) Untuk bisa mendiagnosis suatu kasus sebagai

anafilaksis biasanya dengan melihat gambaran klinisnya. Namun beberapa pemeriksaan

penunjang bisa digunakan seperti pemeriksaan laboratorium (histamine plasma,

tryptase sel mast di serum, IgE total), pulse oximetry dan pemeriksaan radiologi.

Apabila gejala tipikal muncul setelah terkena paparan, hampir dapat dipastikan kasus

tersebut adalah anafilaksis.(1) Oleh karena itu informasi yang diberikan oleh keluarga

atau kerabat pasien sangat membantu terutama apabila pasien dalam keadaan tidak

sadar selama reaksi berlangsung.

Suatu penelitian retrospektif menyatakan bahwa 65,1 % dari 518 kasus yang

dilaporkan selama lebih dari 2 tahun, termasuk grade 3 atau 4. Penelitian lainnya yaitu

sejak tahun 2001 selama lebih dari 3 tahun, dengan menggunakan data dari 229 kasus

anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, menyebutkan bahwa 39 % diantaranya

terjadi pada anak-anak.(5) Di Indonesia sendiri, Departemen Kesehatan tidak

mempunyai angka pasti anafilaksis maupun penyebabnya baik pada anak-anak atau

orang dewasa, termasuk di Bali, namun kiranya tidak jauh berbeda dengan negara atau

daerah lainnya hanya persentasenya saja yang berbeda.

Bali yang merupakan daerah berkembang, mempunyai jumlah penderita

anafilaksis yang cukup banyak. Sebagai rumah sakit rujukan di Bali, Rumah Sakit

Sanglah, khususnya Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK

UNUD, menerima pasien-pasien anafilaksis dengan penyebab yang berbeda-beda.

Reaksi anafilaksis yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ialah

2

Page 3: REAKSI ANAFILAKSIS

faktor agent, genetik, lingkungan, perilaku manusia dan pelayanan kesehatan yang

berkenaan dengan penyakit alergi. Reaksi awalnya yang cenderung ringan membuat

masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan ditimbulkan. Apa saja yang menjadi

penyebab reaksi anafilaksis penting untuk diketahui karena dapat diambil langkah yang

lebih spesifik dalam pencegahan dan penanggulangan reaksi anafilaksis yang

merupakan manifestasi penyakit alergi ini.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

Apa saja penyebab reaksi anafilaksis pada pasien-pasien di Divisi Alergi-

Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RS Sanglah dari

bulan Januari 2001 sampai Desember 2006?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui penyebab reaksi anafilaksis pada pasien-pasien di Divisi

Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah

dari bulan Januari 2001 sampai Desember 2006.

1.4 Manfaat Penelitian

Informasi penyebab reaksi anafilaksis yang didapat melalui penelitian ini bisa

dimanfaatkan sebagai pedoman dalam mengambil langkah yang lebih spesifik untuk

pencegahan dan penanggulangan serta dapat dipergunakan sebagai acuan dalam

penelitian selanjutnya yang berkenaan dengan penyakit alergi.

3

Page 4: REAKSI ANAFILAKSIS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan klasifikasi

Anafilaksis berasal dari Bahasa Yunani yaitu a- ( melawan ) dan –phylaxis ( kekebalan,

perlindungan ) adalah reaksi alergi tipe cepat yang melibatkan Ig E. Brown et al,

menyatakan anafilaksis sebagai dihasilkannya mediator inflamasi dari sel mast dan

basofil disertai kriteria diagnostik dalam 30 menit setelah datang ke UGD ( berupa

bronkospasme, kecepatan pernafasan, tekanan darah sistol, dan skor Glasgow Coma

Scale ) untuk distratifikasi menjadi mild, moderate, atau severe anaphylaxis.(4) Menurut

Brown SGA terdapat tiga grade anafilaksis, yaitu :

1. Mild (mengenai kulit dan jaringan subkutan saja) : eritema menyeluruh,

urticaria, edema periorbital, atau angioedema.

2. Moderate (melibatkan pernafasan, sistem kardiovaskuler atau pencernaan) :

shortness of breath, mengi, mual, muntah, dizziness (pre sinkop), diaphoresis,

dada atau tenggorokan terasa seperti tertekan, atau sakit di daerah abdomen.

3. Severe ( hipoksia, hipotensi, atau gangguan neurologis) : sianosis atau SpO2 ≤

92 % pada stage berapapun, hipotensi (tekanan darah sistol < 90 mmHg pada

dewasa), bingung, kolaps, hilang kesadaran, atau inkontinensia.(11)

Semakin cepat munculnya tanda dan gejala anafilaksis setelah terpapar suatu

stimulus, semakin tinggi kecenderungannya untuk menjadi severe dan mengancam

nyawa.(1,4) Hal ini karena terjadi katabolisme dan menurunnya sintesis Ig E spesifik

dengan bertambahnya waktu.(3) Reaksi ini terjadi pada orang yang sebelumnya sudah

pernah terpapar antigen atau mengalami sensitisasi. Dalam beberapa menit, reaksi

alergi bisa mengancam nyawa. Fase keduanya ( reaksi bifasik ) dapat terjadi dalam 1-8

jam, dan lebih dari 38 jam ( rata-rata 10 jam ) setelah mulainya anafilaksis.(13)

Menurut Mueller, berdasarkan tingkat keparahannya, anafilaksis dapat

dikelompokkan menjadi 4 grade, yaitu :

Grade I : urticaria atau eritema menyeluruh, gatal, malaise, atau anxiety

4

Page 5: REAKSI ANAFILAKSIS

Grade II :angio-edema ( atau dua atau lebih dari : sesak di dada, mual, muntah,

diare, nyeri abdomen, pusing )

Grade III : dispnea, mengi atau stridor ( atau dua atau lebih dari : disfagia, dysarthria,

serak, lemah, bingung, perasaan seperti terancam bahaya )

Grade IV : hipotensi, kolaps, hilang kesadaran, inkontinensia urin atau feses, atau

sianosis

Grade III dan IV digolongkan sebagai severe anaphylaxis sedangkan bila sampai terjadi

kematian, digolongkan sebagai grade V.(5,7)

2.2 Epidemiologi

Sumber data anafilaksis berasal dari survey populasi/registrasi nasional, pasien yang

masuk rumah sakit dan diklasifikasi menurut sistem pengkodean ICD (International

Classification of Disease), jumlah yang masuk UGD, serta jaringan yang

beranggotakan para dokter. Pada tahun 2000 dan 2001, penelitian di Inggris

menyebutkan bahwa dari 13,5 juta sampel, terjadi kedaruratan karena alergi sebanyak

2323 ( 0,017 % ) kasus, sedangkan yang menjadi severe anaphylaxis sebanyak 0,005 %

dengan predominan pada laki-laki dewasa 2:1 daripada wanita dewasa. Dijumpai pula

angka kematian 0,5 % dari keseluruhan kasus anafilaksis. Kematian paling sering

disebabkan oleh cardiovascular collapse dan laryngeal edema. Kasus pada pasien yang

masuk rumah sakit dan berhasil diidentifikasi penyebabnya sebanyak 51 %; terdiri dari

makanan 15 %, obat-obatan 62 %, serangga 11 %, dan penyebab lainnya.(5) Reaksi

yang berat terhadap penisilin terjadi 1-5 kasus per 10.000 pasien dengan angka

kematian 1 per 50.000-100.000 pasien. Sengatan serangga menyebabkan 25-50

kematian per tahun. Alergi makanan yang berat lebih sering terjadi pada anak-anak dan

karena terus bertahan sampai dewasa maka frekuensi pada orang dewasa juga akan

meningkat. Makanan merupakan penyebab utama anafilaksis di luar rumah sakit.

Reaksi anafilaktoid terhadap RCM (radiocontrast media) menyebabkan 500 kematian

pada tahun 1982 walaupun angka tersebut terus menurun karena meningkatnya

kewaspadaan dan penggunaan pretreatment regimen dan/atau agent dengan osmolaritas

yang lebih rendah pada pasien dengan riwayat reaksi terhadap RCM. Anafilaksis

karena RCM, sengatan serangga, dan bahan anestesi lebih sering terjadi pada orang

dewasa. Belum diketahui secara pasti apakah ini disebabkan oleh tingginya frekuensi

paparan atau peningkatan sensitifitas.(3) Penelitian lain pada anak-anak antara tahun

5

Page 6: REAKSI ANAFILAKSIS

1998 sampai 2000 menyebutkan 0,00021 % atau sekitar 2 kasus per satu juta pasien

termasuk severe anaphylaxis dengan angka kematian 8 per 10 tahun atau 1 dari

800.000 anak per tahun.(5)

2.3 Etiologi

Dari sudut pandang etiologi, atopi merupakan salah satu faktor resiko anafilaksis

terutama yang disebabkan oleh makanan, olahraga, bahan radiokontras, lateks dan

idiopatik. Atopi tidak berpengaruh pada anafilaksis yang disebabkan oleh penisilin

atau sengatan serangga. Sensitifitas host, dosis, kecepatan, cara dan waktu paparan juga

mempengaruhi, dimana paparan secara oral lebih jarang menimbulkan reaksi. Asma

dan keterlambatan pemberian epinefrin termasuk faktor resiko terjadinya kematian.(1,3)

2.3.1 Obat-obatan

Anafilaksis terhadap suatu obat tetap bisa terjadi pada pasien yang sebelumnya tidak

pernah mengkonsumsi obat tersebut.(1) Obat-obatan golongan antibiotika yang pernah

dilaporkan menimbulkan reaksi anafilaksis antara lain amphotericin B, cephalosporin,

chloramphenicol, ciprofloxacin, nitrofurantoin, penisilin, streptomycin, tetracyclin, dan

vancomycin.(2) Penisilin dan cephalosporin adalah antibiotika yang paling sering

menyebabkan anafilaksis. Kedua obat golongan β lactam tersebut mempunyai

kemiripan secara molekuler dan imunologi sehingga memungkinkan terjadinya cross-

sensitivity. Pasien dengan riwayat reaksi penisilin mempunyai resiko yang lebih besar

mangalami reaksi dengan obat apapun dan resiko reaksi alergi terhadap cephalosporin

meningkat menjadi delapan kali dibandingkan tanpa riwayat alergi penisilin.(1)

Penisilin dan metabolitnya adalah hapten, molekul kecil yang hanya

mengeluarkan respon imun jika berkonjugasi dengan protein. Reaksi terhadap aspirin

dan NSAID lainnya ada dua tipe. Tipe yang pertama berupa reaksi lokal pada kulit dan

asma yang sensitif dengan aspirin ( sering disertai dengan nasal polyposis ) terjadi

melalui mekanisme yang tidak diperantarai oleh Ig E. Blokade cyclooxygenase oleh

obat ini menyebabkan overproduksi leukotriene, salah satu mediator anafilaksis. Tipe

yang kedua yaitu true anaphylaxis. Biasanya pasien ini tidak mempunyai asma, nasal

polyposis atau urticaria. Anafilaksis hanya terjadi jika sebelumnya sudah pernah

terpapar dua kali atau lebih. Gejala biasanya muncul segera atau beberapa jam setelah

obat diminum.(3)

6

Page 7: REAKSI ANAFILAKSIS

2.3.2 Intravenous radiocontrast media

Reaksi anafilaktoid yang terjadi biasanya ringan ( paling sering berupa urticaria ) dan

tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya paparan sebelumnya. Alergi kerang atau

“iodine” bukan kontraindikasi penggunaan kontras secara intravena dan tidak

memerlukan pretreatment regimen seperti antihistamin atau kortikosteroid. Kontras

yang diperbolehkan pada pasien yang mempunyai alergi apapun adalah Low Molecular

Weight Contrast, dengan terlebih dahulu melakukan inform consent pada pasien.

Apabila mukosa terkena paparan, tidak akan menyebabkan reaksi. Resiko terjadinya

reaksi meningkat pada pasien atopi dan/atau asma.(1)

2.3.3 Sengatan serangga ( Hymenoptera )

Lebah dan tawon adalah contoh serangga yang sering menyebabkan anafilaksis. Reaksi

dan urticaria yang bersifat lokal tanpa manifestasi klinis lainnya lebih sering terjadi

dibandingkan reaksi menyeluruh. Urticaria yang menyeluruh merupakan faktor resiko

anafilaksis selanjutnya, sedangkan reaksi lokal, walaupun parah bukan merupakan

faktor resiko anafilaksis sistemik apabila terpapar lagi. Pasien yang pernah mengalami

anafilaksis harus menghindari sengatan serangga sebisa mungkin.(1)

2.3.4 Makanan

Gejalanya biasanya ringan dan terbatas pada saluran pencernaan, tapi anafilaksis

menyeluruh juga bisa terjadi. Anafilaksis karena makanan sering menjadi penyebab

kematian secara tiba-tiba. Makanan yang sering menyebabkan anafilaksis antara lain

kacang-kacangan khususnya kacang tanah, polong-polongan, ikan, kerang, susu, dan

telur.(1) Pencernaan yang tidak efisien seperti pada bayi yang baru lahir, dapat

menyebabkan sistem imun terpapar oleh komponen alergenik pada makanan. Istilah

pollen food allergy syndrome menyatakan gejala yang ringan setelah memakan buah-

buahan, disebabkan oleh protein-protein homolog tapi labil dimana sensitisasi terjadi

setelah terpapar serbuk sari melalui pernafasan terlebih dahulu. Wensing et al,

menemukan bahwa reaksi pada alergi kacang tanah dapat terjadi dengan dosis minimal

100 µg, kecuali pada pasien dengan reaksi yang parah dimana terjadi penurunan

ambang.(10)

2.3.5 Lateks

7

Page 8: REAKSI ANAFILAKSIS

Alergi lateks banyak ditemukan di kalangan medis karena penggunaan kateter, selop

tangan untuk mencegah infeksi, dan alat-alat medis lainnya. Reaksi yang terjadi,

kebanyakan pada kulit atau membran mukosa. Orang yang alergi pada lateks mungkin

juga sensitif pada buah-buahan seperti pisang, kiwi, pear, nanas, anggur, dan pepaya.

Insidennya terus menurun karena meningkatnya kewaspadaan dan peralihan ke

unpowdered latex dan selop tangan yang tidak terbuat dari lateks.(1,2)

2.3.6 Produk-produk darah

Anafilaksis sering disebabkan oleh cryoprecipitate, immune globulin, plasma dan

whole blood.(2)

2.3.7 Cairan semen

2.3.8 Faktor fisik

Suhu yang rendah dan olahraga merupakan pencetus anafilaksis.(2) Jenis olahraga yang

bisa menyebabkan reaksi anafilaksis adalah aktifitas aerobik seperti jogging, berjalan

cepat, tennis atau bulutangkis dan menari. Aktifitas yang lebih sedikit melibatkan

sistem kardiovaskuler seperti bola voli, menunggang kuda, mengumpulkan dedaunan,

lebih jarang menyebabkan reaksi. Gejala yang sering muncul adalah pruritus dan

urticaria menyeluruh, kemerahan pada kulit dan angioedema. Gejala yang

menunjukkan gangguan pembuluh darah seperti tachycardia dan hilang kesadaran, sakit

kepala, mual dan kolik gastrointestinal, obstruksi saluran nafas atas, dan disfagia juga

sering terjadi. Pada kebanyakan pasien, frekuensi reaksi menurun atau bahkan tetap

sejak pertama kali mengalami reaksi. Jika pasien mempunyai riwayat alergi lainnya

khususnya eczema atau mempunyai riwayat alergi pada keluarganya, akan lebih sering

mengalami reaksi.(9) Ada dua tipe anafilaksis yang disebabkan oleh olahraga. Tipe

yang pertama tergantung pada makanan, seperti kerang, tomat, minuman anggur,

produk susu dan seledri. Reaksi tidak akan terjadi jika makanan tersebut dimakan dan

tidak diikuti dengan olahraga, atau berolahraga saja tanpa memakan makanan tersebut

sebelumnya. Tipe yang kedua tidak tergantung pada makanan.(8) Walaupun demikian,

anafilaksis tidak selalu terjadi setiap kali berolahraga. Oleh karena itu, pasien dilarang

berolahraga apabila cuaca sangat panas atau sangat dingin, musim alergi, dan udara

yang lembab; dilarang makan sebelum berolahraga; mengubah lokasi olahraga

8

Page 9: REAKSI ANAFILAKSIS

misalnya di dalam atau di luar ruangan; dan menghindari obat-obatan seperti aspirin

atau NSAID.(9)

2.3.9 Idiopatik

Diagnosis idiopatik ditegakkan apabila tidak ada alergen penyebab atau faktor fisik

yang dapat diidentifikasi sebagai penyebabnya. Gejala yang muncul dan

penanganannya umumnya sama dengan anafilaksis yang penyebabnya diketahui.(8)

2.4 Patofisiologi

Saat sel mast dan basofil mengalami degranulasi baik melalui mekanisme yang

diperantarai maupun yang tidak diperantarai oleh Ig E, histamine yang telah terbentuk

sebelumnya dan leukotriene serta prostaglandin yang baru terbentuk, dikeluarkan oleh

sel-sel tersebut. Respon fisiologis terhadap mediator-mediator ini meliputi spasme otot

polos pada saluran pencernaan dan pernafasan, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas

pembuluh darah, dan perangsangan ujung saraf sensori. Proses fisiologis ini

menyebabkan munculnya gejala klasik anafilaksis seperti : kemerahan, urticaria,

pruritus, bronkospasme, dan kram perut disertai mual, muntah dan diare. Hipotensi dan

syok dapat terjadi karena penurunan volume intravaskuler, vasodilatasi, dan disfungsi

myocardium.(3) Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dapat menyebabkan

perpindahan 50 % volume pembuluh darah ke ruang ekstravaskuler dalam waktu 10

menit, yang akan mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, menyebabkan

dihasilkannya katekolamin sebagai kompensasi. Akibatnya bisa terjadi peningkatan

resistensi pembuluh darah perifer atau penurunan resistensi walaupun banyak

katekolamin yang dihasilkan. Sel mast yang berakumulasi pada plak pembuluh darah

koroner bisa menyebabkan trombosis arteri koroner. Karena antibodi yang berikatan

dengan reseptor sel mast merangsang degranulasi sehingga kemungkinan dapat

menghancurkan plak yang telah terbentuk. Histamin juga menghancurkan plak dengan

menyebabkan stres hemodinamik pembuluh darah terhadap plak, dengan menyebabkan

vasodilatasi atau keduanya.(4)

Tabel 2.1. Mediator-mediator inflamasi yang terlibat pada anafilaksis

Mediator Efek fisiologis Manifestasi klinis

9

Page 10: REAKSI ANAFILAKSIS

Platelat activating factor

Prostaglandin

Leukotriene

Tryptase

Kinin

Heparin

Chymase

Tumor necrosis factor α

Interleukin-1

Nitric oxide

Histamin

Meningkatkan permeabilitas

pembuluh darah

Vasodilatasi perifer

Vasokonstriksi koroner

Kontraksi otot polos

Iritasi saraf sensori

Aktifasi jalur inflamasi

lainnya

Merekrut sel inflamasi

Aktifasi jalur vagal

Angioedema, urticaria

Edema laring

Hipotensi

Kemerahan

Iskemia myokardium

Wheezing

Mual, muntah, diare, nyeri

perut

Pruritus

Sumber: Tang AW : A Practical Guide to Anaphylaxis, October 1 2003

Diantara mediator-mediator tersebut, yang dihasilkan segera oleh sel mast dan basofil

adalah histamine, TNF-α, protease dan heparin, yang kesemuanya berada dalam granul-

granul sel mast dan basofil. Sel-sel tersebut juga menghasilkan lipid mediator seperti

prostaglandin D2, Leukotriene B4 yang penting pada fase akhir reaksi, PAF, dan

cysteinyl leukotriene LT C4, LT D4, dan LT E4, dalam waktu beberapa menit dan

menghasilkan sitokin khususnya IL-4 dan IL-13 dalam waktu beberapa jam setelah

terpapar.(4,7) Mediator-mediator tersebut dapat mengaktifkan sistem kinin, sistem

komplemen dan sistem koagulasi yang bekerja bersama manimbulkan feedback positif

yaitu dengan merekrut sel inflamasi lainnya seperti eosinofil dan limfosit sehingga

terjadi pemanjangan waktu reaksi atau reaksi bifasik. Sebenarnya histamine saja sudah

bisa menyebabkan gejala-gejala anafilaksis. Histamin mengaktifkan reseptor H1 dan

H2. Aktifasi reseptor H2 menimbulkan sebagian besar efek pada jantung, disamping

efek langsung histamine pada saluran pencernaan.(3) Melalui reseptor H1, histamine

merangsang sel endotel untuk mengubah asam amino L-arginin menjadi nitric oxide,

penyebab vasodilatasi. NO mengaktifkan guanylate cyclase yang menyebabkan

diproduksinya cyclic guanosine monophosphate. Normalnya NO membantu mengatur

10

Page 11: REAKSI ANAFILAKSIS

tonus pembuluh darah dan tekanan darah regional. Peningkatan produksi NO akan

menurunkan venous return. Contoh gejala yang ditimbulkan oleh aktifasi reseptor H1

saja antara lain pruritus, rhinorrhea, tachycardia, dan bronkospasme. Aktifasi ke dua

reseptor histamine menyebabkan sakit kepala, kemerahan dan hipotensi. Kadar

histamin pada serum berhubungan dengan tingkat keparahan dan persistensi

manifestasi pada jantung dan paru-paru. Tryptase adalah satu-satunya protein yang

secara khusus ada pada granul sekretorik sel mast dan kadarnya pada plasma juga

berhubungan dengan tingkat keparahan anafilaksis.(4)

Anafilaksis yang berulang atau bifasik bisa terjadi dalam waktu 8 sampai 12

jam setelah serangan pertama kali. Secara klinis, tidak ada perbedaan dengan reaksi

awalnya tapi memerlukan dosis epinefrin yang lebih tinggi untuk mengurangi gejalanya

jika dibandingkan dengan reaksi unifasik. Anafilaksis yang persisten bisa berlangsung

selama 5 sampai 32 jam. Tapi tidak satupun diantara ke dua jenis anafilaksis tersebut

dapat diperkirakan akan terjadi, hanya berdasarkan tingkat keparahan fase awalnya.

Oleh karena manifestasi klinis berulang, maka pasien perlu diawasi selama lebih dari

24 jam setelah fase awalnya.(4)

2.5 Gejala dan Tanda

Anafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang bisa muncul beberapa detik atau

beberapa menit setelah terpapar. Manifestasi di kulit berupa urticaria dan gatal

disekitarnya. Pada reaksi lokal, lesi terjadi dekat dengan bagian yang terpapar disertai

eritema, edema dan gatal. Kadang-kadang terjadi lesi yang mirip dengan angioedema

yang melibatkan mukosa dan bagian kulit yang lebih dalam. Angioedema biasanya

tidak gatal dan lesinya nonpitting. Lesi biasanya muncul di bibir, telapak tangan,

telapak kaki, dan genitalia.

Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat

sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada produksi suara sama sekali

jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran nafas yang komplit adalah penyebab

kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi nafas mengi terjadi apabila saluran

nafas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Pada angioedema

yang disebabkan oleh ACE inhibitor, edema lidah dan bibir bisa menyumbat saluran

nafas.

11

Page 12: REAKSI ANAFILAKSIS

Sistem kardiovaskuler biasanya normal pada kasus yang ringan. Pada kasus

yang berat, hilangnya tonus pembuluh darah dikompensasi dengan tachycardia, tapi

bradycardia bisa juga terjadi pada kasus yang sangat berat. Turunnya volume

intravaskuler terjadi karena kebocoran kapiler sehingga tekanan darah menurun.

Henti nafas atau jantung dapat terjadi pada kasus yang parah. Syok bisa terjadi

tanpa manifestasi klinis pada kulit atau riwayat paparan sehingga anafilaksis menjadi

diagnosis banding pada pasien yang syok namun tidak ada penyebab yang

teridentifikasi. Tanda-tanda vital sangat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan

dan organ-organ yang terkena. Pasien biasanya tidak dapat beristirahat karena gatal-

gatal pada urticaria. Anxiety , tremor dan perasaan seperti kedinginan bisa terjadi

karena efek kompensasi katekolamin endogen. Jika terjadi hipoperfusi atau hipoksia,

kesadaran pasien akan menurun atau mengalami agitasi.(1)

2.6 Diagnosis

Diagnosis anafilaksis biasanya dengan melihat gambaran klinisnya, namun beberapa

pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium juga bisa digunakan. Apabila

suatu gejala yang tipikal dianggap berhubungan dengan suatu paparan, maka diagnosis

hampir pasti bisa ditegakkan.(1) Sampson,HA et al, membuat kriteria klinis untuk

mendiagnosis anafilaksis, yang terdiri dari :

1. Onsetnya akut ( beberapa menit sampai beberapa jam ) dengan melibatkan jaringan

kulit, mukosa atau keduanya ( contohnya urticaria menyeluruh, gatal atau

kemerahan, bibir-lidah-uvula yang bengkak).

Dan salah satu dari :

a. Gangguan respirasi ( dispnea, mengi-bronkospasme, stridor, penurunan PEF,

hipoksemia )

b. Penurunan tekanan darah atau gejala disfungsi organ ( hipotonia, sinkop,

inkotinensia )

2. Dua atau lebih hal-hal di bawah ini yang terjadi secara cepat setelah terpapar suatu

alergen yang mungkin adalah penyebabnya(beberapa menit sampai beberapa jam) :

a. Mengenai jaringan kulit-mukosa ( urticaria menyeluruh, gatal kemerahan, bibir-

uvula-lidah bengkak )

12

Page 13: REAKSI ANAFILAKSIS

b. Gangguan respirasi ( dispnea, mengi-bronkospasme, stridor, penurunan PEF,

hipoksemia )

c. Penurunan tekanan darah atau gejala lain yang berhubungan ( hipotonia, sinkop,

inkontinensia )

d. Gejala gastrointestinal yang persisten ( nyeri kram abdomen, muntah )

3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang telah dikenal oleh pasien

tersebut ( beberapa menit sampai beberapa jam ) :

a. Bayi dan anak-anak : tekanan darah yang rendah ( sesuai umur ) atau penurunan

tekanan darah sistol lebih dari 30 %.

b. Dewasa : tekanan darah sistol kurang dari 90 mmHg atau penurunan lebih dari

30 % dari tekanan darah normal pasien tersebut.(15)

Apabila dengan gejala klinis belum bisa mendiagnosis anafilaksis, maka tes

yang bisa dipakai saat terjadi reaksi adalah pengukuran kadar tryptase sel mast di

serum. Tryptase dihasilkan dari sel mast pada reaksi anafilaksis maupun anafilaktoid.

Kadarnya meningkat pada reaksi yang parah. Kenaikan ini bersifat sementara dengan

puncaknya kurang lebih 1 jam setelah onset reaksi dan tetap tinggi selama lebih dari 5

jam.(1) Bisa juga dengan mengukur kadar histamin di plasma, yang meningkat dalam 5

sampai 10 menit setelah onset walaupun tetap tinggi hanya selama 30 sampai 60 menit

saja, tapi kadar histamine di urin bisa bertahan lebih lama.(2)

Pemeriksaan jantung pada pasien dengan reaksi yang berat dan pada pasien

yang mempunyai penyakit jantung sangat penting terutama apabila menggunakan obat-

obat adrenergic agonist. Pulse oximetry juga bisa digunakan. Pemeriksaan radiologi

sebenarnya tidak diperlukan untuk mendiagnosis atau memanajemen anafilaksis, tetapi

bisa digunakan sebagai alat bantu diagnosis jika diagnosis belum jelas. Tes sensitifitas

terhadap antibiotik penisilin bisa dilakukan jika penisilin atau cephalosporin adalah

obat pilihan untuk infeksi serius pada pasien yang mempunyai riwayat reaksi alergi

yang parah. Prosedur ini bisa dilaksanakan setelah dilakukan inform consent, dan alat-

alat resusitasi telah disediakan.(1)

Tetapi apabila gejala pada gastrointestinal mendominasi atau terjadi kolaps

jantung dan paru dimana sulit untuk mengetahui riwayat penyakit pasien, maka

anafilaksis sulit untuk didiagnosis.

Tabel 2.2 Diagnosis Banding Anafilaksis

13

Page 14: REAKSI ANAFILAKSIS

Gejala Diagnosis banding

Hipotensi

Respiratory distress dengan wheezing atau

stridor

Kolaps postprandial

Flush syndrome

Lain-lain

Syok septik

Reaksi vasovagal

Syok kardiogenik

Syok hipovolemik

Benda asing di saluran nafas

Asma dan eksaserbasi penyakit paru

obstruktif kronis

Sindrom disfungsi vocal cord

Benda asing di saluran nafas

Menelan monosodium glutamate

Menelan sulfat

Karsinoid

Postmenopausal hot flushes

Red man syndrome ( vancomycin )

Serangan panik

Systemic mastocytosis

Angioedema herediter

Leukemia dengan produksi histamin

berlebih

Sumber : Tang AW : A Practical Guide to Anaphylaxis, October 1 2003

BAB III

KERANGKA KONSEP

14

Page 15: REAKSI ANAFILAKSIS

Bagan berikut menunjukkan kerangka konsep penelitian ini

Penyebab

BAB IV

METODE PENELITIAN

- Obat-obatan

- Intravenous radiocontrast media

- Sengatan serangga

- Makanan

- Lateks

- Produk darah

- Cairan semen

- Faktor fisik

- Idiopatik

Reaksi Anafilaksis

15

Page 16: REAKSI ANAFILAKSIS

4.1 Desain penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif deskriptif.

4.2 Populasi Sampel

4.2.1 Populasi

a. Populasi target yaitu pasien-pasien dengan reaksi hipersensitifitas

akut/anafilaksis di Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit

Dalam FK UNUD/RS Sanglah.

b. Populasi terjangkau yaitu pasien-pasien dengan reaksi hipersensitifitas

akut/anafilaksis di Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit

Dalam FK UNUD/RS Sanglah dari bulan Januari 2001 sampai bulan

Desember 2006 yang mempunyai formulir rekam medis yang lengkap.

4.2.2 Kriteria Inklusi

Semua pasien dengan reaksi hipersensitifitas akut/anafilaksis di Divisi Alergi-

Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah dari

bulan Januari 2001 sampai bulan Desember 2006.

4.2.3 Kriteria Eksklusi

Pasien-pasien dengan reaksi hipersensitifitas akut/anafilaksis di Divisi Alergi-

Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah

sebelum bulan Januari 2001 dan setelah bulan Desember 2006.

4.3 Variabel Penelitian

4.3.1 Definisi Operasional Variabel

a. Anafilaksis : reaksi hipersensitifitas akut, berat dan sistemik mengenai dua

organ atau lebih setelah terpapar alergen.

b. Reaksi hipersensitifitas akut : suatu reaksi yang manifestasi klinisnya akut

yang hanya melibatkan kulit, mukosa, atau keduanya, setelah terpapar

alergen.

16

Page 17: REAKSI ANAFILAKSIS

c. Obat : bahan berasal dari tumbuh-tumbuhan, binatang, mineral, yang dapat

dipakai mencegah, meringankan, menyembuhkan suatu penyakit.

d. Intravenous radiocontrast media : kontras untuk pemeriksaan radiologi

yang diinjeksikan secara IV untuk mempermudah melihat struktur didalam

tubuh.

e. Sengatan serangga : gigitan serangga yang menimbulkan reaksi.

f. Makanan : bahan yang dimasukkan ke dalam mulut kemudian dikunyah dan

mengandung nutrisi.

g. Lateks : hasil olahan getah pohon karet.

h. Produk darah : darah, hasil olahan darah menjadi komponen-komponennya.

i. Cairan semen : hasil pengeluaran penis; cairan viskus lengket warna putih

kekuningan mengandung spermatozoa; campuran yang dihasilkan oleh

sekresi testis, vesicula seminalis, prostate, dan glandula bulbouretra.

j. Faktor fisik : keadaan lingkungan, aktifitas yang dilakukan.

k. Idiopatik : penyebab yang belum teridentifikasi.

4.4 Lokasi dan Waktu

Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah

dari bulan Januari 2001 sampai Desember 2006.

4.5 Bahan dan Alat

Formulir rekam medis yang lengkap dari pasien-pasien dengan reaksi

hipersensitifitas akut/anafilaksis di Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu

Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah dari bulan Januari 2001 sampai bulan

Desember 2006.

4.6 Prosedur Pelaksanaan

Dengan mengamati dan mengutip semua formulir rekam medis pasien dengan

reaksi hipersensitifitas akut/anafilaksis di Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF

Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah dengan penekanan pada penyebab-

penyebab reaksi hipersensitifitas akut/anafilaksis. Kemudian data disajikan secara

deskriptif dengan melihat proporsi.

17

Page 18: REAKSI ANAFILAKSIS

BAB V

18

Page 19: REAKSI ANAFILAKSIS

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Data Deskriptif

Dari bulan Januari 2001 sampai Desember 2006, pasien dengan reaksi hipersensitifitas

akut/anafilaksis yang masuk ke Divisi Alergi-Imunmologi adalah sebanyak 154 orang

yang dijadikan sampel penelitian ini.Tabel 5.1. menyebutkan bahwa dari sampel yang

dimasukkan dalam penelitian didapatkan penyebab anafilaksis berupa obat sebanyak 88

kasus atau 57,1 persen atau yang terbanyak dari empat jenis penyebab, berupa makanan

sebanyak 48 kasus atau 31,2 persen, berupa insect sting sebanyak 13 kasus atau 8,4

persen, dan 5 kasus sisanya atau 3,3 persen disebabkan oleh penyebab lainnya yaitu

jamu pegel linu sebanyak 3 kasus, transfusi PRC 1 kasus dan transfusi TC 1 kasus.

Semua data ini diperoleh dari formulir rekam medis seluruh pasien hipersensitif atau

anafilaksis di Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK

UNUD/RS Sanglah dari Bulan Januari 2001 sampai dengan Desember 2006.

Tabel 5.1. Data Deskripsi Penyebab Anafilaksis

No. Penyebab Jumlah Kasus %

1.

2.

3.

4.

Obat

Makanan

Insect sting

Lain-lain :

a. Jamu pegel linu

b. Transfusi PRC

c. Transfusi TC

88

48

13

5

3

1

1

154

57,1

31,2

8,4

3,3

Total Kasus

Penelitian lain yang pernah dilakukan di inggris menurut Pumphrey R. Clin Exp

Allergy 2000, juga memberikan hasil yang tidak jauh berbeda. Yaitu obat menduduki

peringkat pertama sebanyak 33 persen, diikuti makanan sebanyak 23 persen dan insect

sting sebanyak 20 persen. Perbedaan persentase seperti yang ditunjukkan pada tabel

5.2. hanya menunjukkan perbedaan faktor geografi dan kebiasaan masyarakat.

19

Page 20: REAKSI ANAFILAKSIS

Tabel 5.2. Data penyebab anafilaksis di Inggris menurut Pumphrey R. Clin Exp Allergy

2000

No. Penyebab %

1.

2.

3.

4.

5.

Obat

Makanan

Insects

Latex

Lain-lain

33

23

20

3,4

19

Sumber : Pumphrey R. Clin Exp Allergy, (2000)

5.2 Data Obat Penyebab anafilaksis

Setelah penelitian dilakukan, diketahui terdapat empat besar golongan obat yang dapat

menyebabkan anafilaksis dari sebanyak 88 kasus. Terdiri dari yang terbanyak yaitu

obat golongan analgetik 44 kasus atau 50 persen, antibiotika 28 kasus atau 31,82

persen, NSAID 12 kasus atau 13,64 persen dan sisanya 4 kasus atau 4,54 persen

disebabkan oleh obat-obat lain yang tidak termasuk dalam tiga kategori obat tersebut.

Golongan analgetik yang paling sering menyebabkan anafilaksis adalah antalgin

dengan zat aktifnya yang utama yaitu metamizole Na. Sedangkan golongan antibiotika

yang paling sering adalah penicillin, dan dari golongan NSAID yang paling sering

adalah ketoprofen. Beberapa diantara golongan obat tersebut merupakan obat-obat yang

dijual bebas di pasaran dan ada juga yang sering dipergunakan di pusat-pusat pelayanan

kesehatan seperti RS Sanglah Denpasar. Untuk distribusi lebih jelasnya dapat dilihat

pada tabel 5.3.

Tabel 5.3. Data Obat Penyebab Anafilaksis

No. Jenis Obat Jumlah Kasus %

20

Page 21: REAKSI ANAFILAKSIS

1.

2.

3.

4.

Analgetik

a. Antalgin ( Metamizole Na )

b. Parasetamol

c. Asam mefenamat

d. Puyer bintang tujuh

Antibiotika

a. Penicillin

b. Quinolone

c. Cotrimoxazole

d. Thiamphenicol

NSAID

a. Ketoprofen

b. Aspirin

Lain-lain

a. Amiodarone

b. Furosemide

c. Bromhexin HCl

d. Orciprenalin Sulfate

44

15

13

13

3

28

20

6

1

1

12

9

3

4

1

1

1

1

88

50

34

29,6

29,6

6,8

31,82

71,4

21,4

3,6

3,6

13,64

75

25

4,54

25

25

25

25

Total Kasus

5.3 Data Makanan Penyebab Anafilaksis

Berikut ini akan ditampilkan jenis makanan yang paling sering menyebabkan

anafilaksis dari keseluruhan 48 kasus yang berhasil dikumpulkan.

Dari 48 penderita, ditemukan jenis makanan yang paling sering menimbulkan

anafilaksis adalah ikan laut sebanyak 25 kasus atau lebih dari setengah jumlah

penderita, diikuti udang sebanyak 11 kasus, daging babi dan telur masing-masing 2

kasus. Sedangkan yang disebabkan oleh susu, daging ayam, kepiting, madu, bekicot,

kerang, kacang tanah dan lobster masing-masing 1 kasus.

Tabel 5.4. Data Makanan Penyebab Anafilaksis

No. Jenis Makanan Jumlah Kasus %

21

Page 22: REAKSI ANAFILAKSIS

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Ikan laut

Udang

Daging babi

Telur

Susu

Daging ayam

Kepiting

Madu

Bekicot

Kerang

Kacang tanah

Lobster

25

11

2

2

1

1

1

1

1

1

1

1

48

52,08

22,9

4,16

4,16

2,08

2,08

2,08

2,08

2,08

2,08

2,08

2,08

Total Kasus

Faktor atopi berpengaruh pada reaksi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan

dimana diantara para penderita tersebut kemungkinan mempunyai riwayat

hipersensitifitas pada keluarganya mengingat atopi diturunkan secara genetik. Namun

hal ini tampaknya tidak berlaku pada reaksi anafilaksis yang disebabkan oleh penicillin

dan insect sting. Pada prinsipnya anafilaksis merupakan reaksi alergi yang dapat

disebabkan oleh banyak hal.

5.4 Kendala Penelitian

Kendala yang dihadapi dalam penelitian ini adalah terbatasnya pengetahuan yang

penulis miliki.

22

Page 23: REAKSI ANAFILAKSIS

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Dari penelitian yang dilakukan didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

Penyebab anafilaksis adalah obat, makanan, insect sting dan alergen lainnya yang tidak

termasuk dalam ketiga golongan tersebut.

6.2 Saran

Untuk penelitian yang menggunakan data sekunder seperti formulir rekam medis,

diusahakan menggunakan data yang paling lengkap.

23

Page 24: REAKSI ANAFILAKSIS

DAFTAR PUSTAKA

1. Krause RS: Anaphylaxis, March 18 2004. Available

from:URL:http://www.emedicine.com/anaphylaxis/article.htm

2. Tang AW: A Practical Guide to Anaphylaxis, October 1 2003. Available from:

URL:http://www.americanfamilyphysician.htm

3. Dreskin SC: Anaphylaxis, October 7 2005. Available from:

URL:http://www.emedicine.com

4. Kemp SF, Lockey RF: “Anaphylaxis: A review of causes and mechanisms”. J

Allergy Clin Immunol September 2002:341-346.

5. Epidemiology of life-threatning and lethal anaphylaxis: a review. Available

from: URL:http://www.foodallergyproject.org/Moneret-Vautrin-et-al-2005.pdf

6. Chamberlain D, Fisher J, Ward M: The Emergency Medical Treatment of

Anaphylactic Reactions for First Medical Responders and for Community Nurses,

May 2005.

7. Mallon D : Clinical immunologist and allergist Princess Margaret and Fremantle

Hospitals, Western Australia, 2006.

8. Nicklas et al: “Exercise-induced anaphylaxis, Idiopathic anaphylaxis”. J Allergy

Clin Immunol June 1998:s523-s525.

9. Shadick NA, Liang MH, Partridge AJ, LICSW, Bingham C, Wright E, Fosssel AH,

Sheffer AL: “The natural history of exercise-induced anaphylaxis: Survey results

from a 10-year follow up study”. Boston, Mass. J Allergy Clin Immunol July

1999:123-126.

10. Sicherer SH, Leung DYM: “Advances in allergic skin disease, anaphylaxis, and

hypersensitivity reactions to foods, drugs, and insect stings”. New York, Denver. J

Allergy Clin Immunol vol 114, number 1:118-123.

11. Brown SGA: “Clinical features and severity grading of anaphylaxis”. Hobart,

Tasmania, Australia. J Allergy Clin Immunol August 2004:371-376

12. Anaphylaxis: Global Overview. Available from:

URL:http://www.worldallergy.org/professional/allergic_diseases_center/

anaphylaxis/anaphylaxisglobal_pf.html

24

Page 25: REAKSI ANAFILAKSIS

13. About anaphylaxis, March 2004. Available from:

URL:http://www.epipen.ca/EN/about_anaphylaxis.aspx

14. Mullins RJ. Clin Exp Allergy 2003

15. Sampson HA, et al JACI 2006

25