RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …
Transcript of RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE …
RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA INI
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Imaculada Gouveia Leite 021124039
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
iv
PERSEMBAHAN
Dengan penuh syukur dan cinta yang mendalam kupersembahkan skripsi ini kepada:
Manuel Soares, Ayahanda tercinta sang pendidik hidup dalam melayani
Elisa Soares (almarhumah), Ibunda tercinta sang peneguh harapan hidup
Grandpa, Maun Enço, adik-adik tercinta di Lar de Estudantes St. Inácio de Loyola
serta seluruh keluarga tercinta yang mengiringi perjalanan hidupku
dengan doa dan cinta yang dalam
v
MOTTO
“ Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,
untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin;
dan Ia telah mengutus Aku
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas,
untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”
(Luk 4: 18 -19)
“Janganlah memberi dari kelebihanmu,
karena dengan demikian engkau akan memberi dari sisa-sisamu,
tetapi berilah dari kekuranganmu, karena dengan demikian,
engkau akan memberi dari kelimpahanmu” (Ibu Teresa dari Calcuta)
vii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul RE-EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA INI. Pemilihan judul ini berawal dari keprihatinan Gereja Timor Leste akan masyarakat Timor Leste yang mengimani Allah sebagai penyelamat, namun di era pascareferendum mengalami degradasi kehidupan spiritual. Ini ditandai dengan hilangnya nilai-nilai luhur dan tradisi Gereja yang sejak dulu dijunjung dan dipuja-puja oleh sebagian besar masyarakat yang mayoritas beriman Katolik. Tradisi-tradisi seperti devosi kepada Bunda (Na’i Feto) Maria di antaranya doa Rosario (Reza Terço) bersama, ziarah ke gua-gua (grutas) Maria sebagai penghormatan kepada Bunda Maria, devosi kepada Hati Kudus Yesus (DevoÇão do Sagrado CoraÇão de Jesus), kini telah hilang tertelan oleh budaya-budaya yang datang dari barat sebagai akibat dari referendum dan pascareferendum di Timor Leste dalam menentukan nasib bangsanya sendiri.
Permasalahan pokok dalam skripsi ini adalah menguraikan masalah-masalah yang dihadapi Gereja Timor Leste di era pascareferendum, yaitu masalah kaum muda, masalah pendidikan, masalah politik, bahaya sekularisme dan materialisme, serta masalah penghayatan hidup beriman umat. Dalam realita seperti inilah Gereja Timor Leste ditantang untuk mencari alternatif pewartaan baru yakni re-evangelisasi yang merupakan salah satu jalan dalam mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste serta menanggapi berbagai tantangan yang dihadapinya.
Untuk menggali isi seluruh skripsi ini, penulis menggunakan studi pustaka. Seluruh skripsi ini dibagi dalam lima bab. Pertama, pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Kedua, gambaran umum Gereja Timor Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini. Ketiga, model-model Gereja di Timor Leste, dan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste. Keempat, re-evangelisasi sebagai salah satu jalan mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste dan sebagai usaha menanggapi tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste dewasa ini. Kelima, penutup yang merupakan kesimpulan dan saran.
viii
ABSTRACT
The title of this thesis is RE-EVANGELIZATION: THE CHALLENGE OF THE EAST TIMOR CHURCH AT PRESENT. The chosen title based on the awareness of East Timor Church which the people of God believe that the Lord is their savior, however the post-referendum era has degraded in spiritual life. It can be indicated by the decreasing values in life and the Church tradition which has been respected and loved by all the Catholics in the past. The traditions which are respected, such as: devotion toward Holly Mother (Na’i Feto) Merry, Merry in the blessed Rosary (Reza Terço), devotional visit to sacred caves (Grutas) as a respect to a Holly Mother Merry, the devotional toward the Sacred Heart of Jesus Christ (Devação do Sagrado Coração de Jesus). Those traditions have lost by the western culture as the effect from the referendum and the post-referendum in East Timor in establishing their own destiny. The main problem of this thesis is to explain all the conflicts which have been faced by East Timor Church in the post-referendum era, among them are: the youth problems, educational problems, political problems, the danger condition of secularism and materialism, also the comprehending problem spirituality of the faith of the people. It is in this reality, the Church in East Timor has been challenged to find out the alternative ways to re-evangelization which become one of the paths to perceive problems. To discover all the contents of this thesis, the writer uses literature study. All contents of the thesis have been divided into five chapters. First, the introduction consist the background of the problem, formulation of the problem, objective of the thesis, advantages of the thesis, the writing methods, the writing systems. Second, the general description of East Timor Church and nowadays problems which have been faced by East Timor Church. Third, the models of the Church in East Timor, and the kind of Church which has been dreamt by East Timor Church. Forth, re-evangelization as a path to perceive a Church which dreamt by the East Timor Church and as an effort to response to all the challenges which have been faced by East Timor Church today. Fifth, the conclusion and suggestions are as the closing of the thesis.
ix
KATA PENGANTAR
Kami tak dapat berjalan, jika tidak dituntun. Kami tak dapat berdiri tegak,
jika tidak ditopang. Kami tak dapat hidup, jika tidak diberi Roh Kehidupan. Maka
sudah sepantasnya penulis menghaturkan segala puji syukur kepada Allah Sang
Sumber Kebijaksanaan dan Cinta, atas berkat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul RE-EVANGELISASI:
TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA INI. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu prasyarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan, tuntunan, dukungan dan perhatian, serta bimbingan dari berbagai pihak.
Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan
terimakasih yang sebesar-besarnya dan sedalam-dalamnya kepada:
1. Segenap Staf Dosen dan Karyawan/wati Program Studi Pendidikan Kekhususan
Pendidikan Agama Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik, menuntun,
dan membimbing penulis selama studi sampai terselesaikannya skripsi ini.
2. Drs. FX. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed., sebagai dosen pembimbing utama
yang telah bersedia meluangkan waktu, penuh kesabaran, setia dan teliti dalam
membimbing dan mengoreksi seluruh skripsi ini.
3. Dra. J. Sri Murtini, M.Si., sebagai penguji II sekaligus dosen wali yang telah
memberikan dukungan, bimbingan, dan kesetiaan mendampingi penulis dalam
menyelesaikan studi di kampus ini.
4. Bpk. YH. Bintang Nusantara, SFK., selaku penguji III yang telah memberikan
saran, perhatian, motivasi, ide-ide dan kritikan demi kemajuan penulis untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Pe. Domingos da Silva Soares, Pr (grandpa) selaku pembimbing rohani yang
telah bersedia dan setia memberikan bantuan secara materil, moril, pikiran;
x
mendampingi, memberikan saran-saran, kritikan demi perkembangan
kepribadian penulis, dan memberikan semangat serta keteguhan kepada penulis
untuk senantiasa berjuang dalam menyelesaikan studi.
6. Papá Manuel Soares, Mãe Elisa Soares (almarhumah), Mãe Dina, Apá Luis
(almarhum), Apá Julião da Costa (almarhum), Apá Julião (almarhum), Amá
Joana Maia (almarhumah), Amá Lourdes (almarhumah), Maun no Mana Aguida
Aman, seluruh keluarga tercinta, yang dengan setia mengiringi perjalanan hidup
dan studi penulis dengan doa, harapan, pengorbanan, dan cinta yang begitu besar
sehingga penulis memperoleh kekuatan dan keteguhan dalam menjalani hidup
dan studi hingga terselesaikannya skripsi ini.
7. Maun Enço (Fr. Lourenço de Jesus Soares, Pr) kakak sekaligus sahabat yang
telah mengajari dan mendidik penulis dalam mencari dan menemukan makna
hidup yang sesungguhnya, memberikan dorongan, serta setia memberikan
semangat untuk terus berjuang dalam menapaki perjalanan hidup penulis.
8. Adik-adik yang tercinta di Lar de Estudantes Santo Ináçio de Loyola-Rumbia,
Dili, Timor Leste yang dengan setia mengiringi studi penulis dengan doa, dan
cinta. Kasih dan cinta selalu.
9. Romo J. Setyakarjana, SJ., bapak Bambang, dan bapak Haryanto selaku staf
perpustakaan IPPAK yang dengan setia melayani dan menyediakan buku-buku
referensi bagi penulis. Terimakasih juga atas komputernya.
10. Seluruh staf perpustakaan Kolsani yang dengan ramah dan setia melayani dan
menyediakan buku-buku referensi bagi penulis. Terimakasih atas kemurahan
hati.
11. Rekan-rekan angkatan 2002/2003, yang telah memberi dinamika hidup dan
semangat dalam menjalin dan merajut tali persaudaraan dan kekeluargaan.
Terimakasih atas persahabatan yang indah ini.
12. Sr. Gratiana, PRR., bapa Tom Jacobs, SJ., Romo J. Setyakarjana, SJ., Sr. Aque,
FdCC cs; Fr. Flori, BHK., Sdri. Yosefina Nitsae, yang telah hadir sebagai
“malaikat penolong” terutama di masa-masa sulit penulis. Terimakasih dan cinta
yang dalam atas dukungan materil dan spiritualnya.
xi
13. Semua teman-teman yang selalu mendukung dalam kegiatan penulis di kampus
juga di HIMKA.
14. Semua saja yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, yang selama ini
dengan ketulusan hati telah memberikan bantuan dan dorongan hingga
terselesaikannya skripsi ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran maupun kritik yang membangun
guna semakin sempurnanya penulisan ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
siapa saja yang membacanya.
Yogyakarta, 12 Maret 2007
Penulis
Imaculada Gouveia Leite
xii
DAFTAR SINGKATAN
A. Daftar Singkatan Kitab Suci
Dalam skripsi ini singkatan Kitab Suci mengikuti daftar singkatan dalam
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Departemen Agama Katolik
Republik Indonesia dalam rangka PELITA. Kitab Suci Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru: Dengan Pengantar dan Catatan (Ende: Arnoldus, 1985/1986).
B. Daftar Singkatan Dokumen Gereja
CA : Centesimus Annus
CT : Catechesi Tradendae
EA : Ecclesia in Asia
EN : Evangelii Nuntiandi
GE : Gravissimum Educationis
GS : Gaudium et Spes
LG : Lumen Gentium
PT : Pacem in Terris
RM : Redemptoris Missio
SRS : Sollicitudo Rei Socialis
C. Daftar Singkatan Lain
ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
AITI : Associação para a Integração de Timór a Indonesia
xiii
APODETI : Associação Popular Democrática de Timór
art. : artikel
ASDT : Associação Social Democrática Timorense
Asgor : Aspal Goreng
Br. : Bruder
CB : Carolus Boromeus
CM : Carmelite Missionaries
CMM : Congregatio Fratrum Beatae Mariae Virginis Mater Misericordiae
dll : dan lain-lain
Dr. : Doktor
Dra. : Doktoranda
Drs. : Doktorandus
dll. : dan lain-lain
dsb. : dan sebagainya
FDCC : Figlia Della Carita Canossiana
FDTL : Força Defesa da Timór Leste
FRETELIN: Frente Revolucionária de Timor Leste Independênte
HIMKA : Himpunan Mahasiswa Kateketik
IQ : Intelligence Quotient
ISMAIK : Instituto Secular Maun Alin iha Kristo
KAS : Keuskupan Agung Semarang
KKN : Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
xiv
lih. : lihat
MA : Master of Art
MAWI : Majelis Wali Gereja Indonesia
M.Ed : Master of Education
MFA : Movimentos das Forças Armadas
Mgr. : Monsignur
M.Pd : Magister Pendidikan
M.Si : Magister Sosiologi
OCD : Ordinis Carmeliarum Discalcaetorum
OFM : Ordo Fratrum Minorum
OMI : Oblat Maria Imaculata
OP : Ordo Pewarta
OSF : Ordo Santo Fransiskus
OSU : Ordo Santa Ursula
PBB : Perserikatan Bangsa-bangsa
Pe. : Padre (Pastor)
PM : Perdana Menteri
Pr : Presbiterorum / Projo
PRR : Putri Reina Rosari
Puskat : Pusat Kateketik
R.I : Republik Indonesia
RVM : Religius of the Virgin Mary
Sarkem : Pasar kembang
xv
SAGKI : Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia
SCP : Shared Christian Praxis
SD : Sekolah Dasar
SDB : Serikat Don Bosco
SJ : Serikat Jesus
SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SM : Sebelum Masehi
SMK : Sekolah Menengah Kejuruan
SMU : Sekolah Menengah Umum
SSpS : Servatum Spiritus Sancti
STM : Sekolah Teknik Menengah
SPP : Sekolah Penyuluhan Pertanian
SVD : Serikat Sabda Allah
UDT : União Democrática de Timór
UU : Undang-undang
VOC : Veerenigde Ost indische Company
xvi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN...................................................................... iv
MOTTO.......................................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA......................................................... vi
ABSTRAK..................................................................................................... vii
ABSTRACT................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN............................................................................... xii
DAFTAR ISI.................................................................................................. xvi
BAB I: PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG................................................................... 01
B. RUMUSAN PERMASALAHAN.................................................. 08
C. TUJUAN PENULISAN................................................................. 09
D. MANFAAT PENULISAN............................................................. 10
E. METODE PENULISAN................................................................ 11
F. SISTEMATIKA PENULISAN...................................................... 11
xvii
BAB II: GAMBARAN UMUM GEREJA TIMOR LESTE DAN
PERMASALAHAN ATAU TANTANGAN YANG DIHADAPI OLEH
GEREJA TIMOR LESTE DEWASA INI...................................... 14
A. Gambaran Umum Gereja Timor Leste.......................................... 15
1. Sejarah Perkembangan Gereja Timor Leste.............................. 18
a. Fase Pra-evangelisasi............................................................. 18
b. Fase Pewartaan Awal: Masa Emas......................................... 19
c. Fase Menyiangi dengan Cucuran Air Mata dan Darah.......... 23
d. Fase Pembaharuan Karya Misi di Timor Leste...................... 26
e. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1900 – 1945..................... 28
f. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1946 – 1983..................... 29
g. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1984 – 1996..................... 38
h. Menanti Fajar Merekah.......................................................... 44
1). Masa Pertumbuhan Melonjak............................................ 44
2). Pemekaran Diosis Baucau................................................. 46
2. Gambaran Gereja Timor Leste di Era Pascareferendum............ 50
B. Permasalahan atau Tantangan yang Dihadapi Gereja Timor Leste di
Era Pascareferendum.................................................................... 51
1. Masalah Kaum Muda............................................................. 53
2. Masalah Pendidikan............................................................... 57
3. Masalah Politik...................................................................... 60
4. Bahaya Materialisme dan Sekularisme........................ ......... 63
a. Kontradiksi-kontradiksi Hidup di Timor Leste................... 63
xviii
b. Sekilas tentang Sekularisme dan Materialisme................. 68
1). Sekularisme.................................................................. 68
2). Materialisme................................................................. 71
5. Penghayatan Hidup Beriman Umat........................................ 75
BAB III: MODEL-MODEL GEREJA TIMOR LESTE DAN GEREJA
YANG DICITA-CITAKAN GEREJA TIMOR LESTE................ 81
A. Model-model Gereja .................................................................... . 82
1. Model-model Gereja menurut Pandangan Avery Dulles........... 82
a. Gereja sebagai Institusi........................................................ 82
b. Gereja sebagai Persekutuan Mistik..................................... 86
c. Gereja sebagai Sakramen Keselamatan............................... 89
d. Gereja sebagai Pewarta....................................................... 92
e. Gereja sebagai Pelayan........................................................ 95
2. Model-model Gereja Timor Leste ........................................... 98
a. Gereja Kaum Miskin ............................................................ 98
b. Gereja sebagai Pejuang Keadilan dan Perdamaian............... 102
c. Gereja sebagai Pelopor Rekonsiliasi.................................... 105
B. Gereja yang Dicita-citakan Gereja Timor Leste ......................... 109
1. Gereja Fungsional: dalam Kristus, demi Kristus.................... 113
2. Gereja Terpusat pada Yesus Kristus ..................................... 115
3. Gereja Secara Hakiki Terarah ke Dunia................................. 118
4. Gereja sebagai Pewarta............................................................. 122
xix
5. Gereja yang Terbuka untuk Dialog.......................................... 125
6. Gereja yang Mandiri................................................................. 126
7. Gereja yang Anti Kekerasan..................................................... 128
BAB IV: RE-EVANGELISASI SEBAGAI SALAH SATU JALAN
MEWUJUDKAN GEREJA YANG DICITA-CITAKAN GEREJA
TIMOR LESTE DAN USAHA MENANGGAPI TANTANGAN YANG
DIHADAPI OLEH GEREJA TIMOR LESTE DEWASA INI…… 131
A. Beberapa Definisi Evangelisasi....................................................... 132
B. Beberapa Pandangan mengenai Re-evangelisasi............................. 135
C. Unsur-unsur Pokok Re-evangelisasi................................................ 142
1. Subyek Re-evangelisasi............................................................... 142
2. Tujuan Re-evangelisasi................................................................ 143
3. Tantangan-tantangan terhadap Re-evangelisasi........................... 144
4. Syarat-syarat Re-evangelisasi...................................................... 144
5. Upaya-upaya Re-evangelisasi...................................................... 145
D. Makna Re-evangelisasi bagi Gereja Timor Leste............................ 146
E. Re-evangelisasi sebagai Salah Satu Jalan dalam Mewujudkan Gereja
yang Dicita-citakan Gereja Timor Leste.......................................... 150
F. Re-evangelisasi sebagai Usaha Menanggapi Tantangan yang Dihadapi
Gereja Timor Leste Dewasa Ini....................................... 153
1. Kaum Muda.................................................................................. 153
xx
a). Mengenali dan Memahami Potensi dan Identitas Kaum
Muda.................................................................................... 156
1). Potensi Kaum Muda.......................................... ............ 156
2). Identitas Kaum Muda..................................................... 158
b). Pembinaan dan Pembina yang Diinginkan Kaum
Muda................................................................................... 160
1). Pembinaan sebagai Pelayan............................................ 162
2). Pembinaan sebagai Pendampingan................................. 162
2. Pendidikan................................................................................. 164
3. Politik........................................................................................ 169
4. Bahaya Sekularisme dan Materialisme...................................... 172
5. Penghayatan Hidup Beriman Umat............................................ 173
G. Katekese sebagai Bagian Integral dari Re-evangelisasi.................. 175
H. Contoh Persiapan Katekese............................................................. 176
BAB V: PENUTUP
A. KESIMPULAN.............................................................................. 191
B. SARAN.......................................................................................... 193
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 195
BAB I
P E N D A H U L U A N
I. LATAR BELAKANG
Bangsa Timor Leste saat ini sedang dalam masa yang ruwet. Masalah
demi masalah datang silih berganti. Tidak ada yang menyangkal bahwa dunia
saat ini berada dalam proses globalisasi. Hal inipun terjadi di negara Timor
Leste. Segala macam segi kehidupan (model pakaian, kecanggihan sarana
telekomunikasi, perdagangan, dan pendidikan) serta dampak-dampaknya
mengglobal dan dirasakan oleh banyak orang. Ironisnya, bersamaan dengan
proses ini terjadi pula degradasi kehidupan spiritual orang-orang yang telah
mengimani Allah sebagai penyelamat, seperti hilangnya nilai-nilai dan tradisi-
tradisi Gereja yang sejak dulu dijunjung tinggi dan dipuja-puja oleh sebagian
besar masyarakat yang mayoritas beriman Katolik. Tradisi-tradisi seperti devosi
kepada Bunda Maria di antaranya Doa Rosario (Reza TerÇo) bersama, ziarah ke
gua-gua (grutas) Maria sebagai penghormatan kepada Bunda (Na’i Feto/Inan)
Maria, devosi kepada Hati Kudus Yesus (DevoÇão do Sagrado CoraÇão de
Jesus), kini telah hilang tertelan oleh budaya-budaya yang datang dari luar
(barat) sebagai akibat dari referendum dan pascareferendum di Timor Leste
dalam menentukan nasib bangsanya sendiri.
Melihat berbagai fenomen ini, secara sepintas kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa penyebab dari semua degradasi kehidupan moral ini adalah
pengaruh referendum. Jajak pendapat yang dilaksanakan pada saat menentukan
nasib bangsa Timor Leste menyebabkan mayoritas masyarakat kehilangan harta
2
bendanya, sehingga dengan situasi seperti itu, memaksa semua masyarakat
untuk terus bekerja tanpa kenal lelah, sehingga waktu untuk aktifitas religius
(Misa, Ibadat Sabda) kurang diperhatikan.
Menghadapi situasi yang serba ruwet seperti terjadinya gap dalam tubuh
tentara Timor Leste; para remaja yang sudah “bersahabat” dengan narkoba;
free-sex yang merupakan warisan new age pascareferendum Timor Leste; kaum
muda yang sebagian besar sudah enggan mengambil bagian dalam kegiatan
hidup menggereja (fenomen ini berdasarkan pengamatan penulis terhadap
sebagian besar mahasiswa Timor Leste yang sedang kuliah di berbagai
Perguruan Tinggi di Yogyakarta), pasutri yang mulai enggan menyerahkan
anak-anaknya dibaptis di Gereja. Gereja dipanggil dan ditantang untuk
menjawab berbagai fenomen ini. Gereja yang mempunyai tugas utama adalah
mewartakan Kabar Gembira kepada semua bangsa (umat) dituntut untuk
mengambil sikap dan berusaha untuk mencari sebuah alternatif dalam menjawab
tantangan-tantangan ini. Fenomena di atas dapat dilihat dan didengar dari
berbagai media seperti radio, televisi, dan surat kabar (Kompas), Majalah
(Hidup, dan Basis) yang belakangan ini menjadi berita yang hangat dibicarakan.
Bangsa Timor Leste di masa pascareferendum menghadapi banyak
perubahan di berbagai macam bidang; bidang sosial, politik, pembangunan,
ekonomi, keagamaan, dan lain-lain. Perubahan ini mengharuskan masyarakat
setempat beradaptasi dengan cara hidup dan pola berpikir yang baru. Di
samping kenyataan bahwa perubahan ini membawa banyak kemajuan, juga ada
beberapa efek negatifnya seperti merosotnya moral masyarakat setempat,
3
ketidakadilan, penindasan, jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan
sebagainya.
Perubahan yang negatif ini berdampak bagi masyarakat luas, baik
instansi pemerintahan maupun Gereja. Masyarakat Timor Leste yang dulu
sering menaruh kepercayaan penuh terhadap pemerintah, kini mereka mulai
merasa kehilangan kepercayaan, karena pengalaman-pengalaman pahit yang
pernah mereka alami, sedangkan terhadap Gereja, sebelum referendum,
masyarakat sangat percaya pada Gereja yaitu kepada para kaum rohaniwan/wati
untuk menyelamatkan mereka. Justru sesudah referendum, banyak masyarakat
yang menganggap dirinya bukan lagi warga Gereja.
Masyarakat Timor Leste yang pada zaman dulu mengagung-agungkan
tradisi, sangat tertarik kepada kebenaran-kebenaran spekulatif (hidup bahagia
bersama Allah) atau tujuan-tujuan akhir hidup, kini tertelan oleh perkembangan
kebudayaan yang baru: sekularisme, konsumerisme, dan hedonisme. Seolah-
olah kebudayaan baru ini “menyulap” pola pikir, pola hidup masyarakat
setempat. Maka tidak heran bila hal-hal yang bercorak rohani/iman dengan
segala macam tradisi dan kepercayaan akan hidup di akhir zaman sulit diterima
oleh mereka.
Gereja sebagai institusi tentu mengalami krisis kepercayaan dan krisis
dalam cara berpastoral. Mengingat masalah yang dihadapi oleh Gereja begitu
kompleks, seperti dalam dunia pendidikan yang tidak memilih Pendidikan
Agama dituangkan dalam Kurikulum Pendidikan (Hidup, edisi 29 Mei 2005:
30-31), adanya unsur pilih kasih dalam memberi jabatan di tubuh tentara
4
nasional Timor Leste (Kompas, edisi 29 April 2006: 9), ditambah lagi beberapa
fenomen yang telah disebutkan di atas, tentu Gereja dalam menjalankan tugas
misionernya menghadapi berbagai tantangan. Di samping itu, para petugas
pastoralnya pun kurang memiliki pengetahuan (berpendidikan/profesional) yang
cukup dalam hal berpastoral atau dapat dikatakan bahwa tenaga pastoral yang
disediakan oleh Gereja Timor Leste kurang memadai. Meskipun saat ini banyak
para misionaris dari berbagai ordo/tarekat seperti tarekat SVD (Serikat Sabda
Allah), OFM (Ordo Fratrum Minorum), OMI (Oblat Maria Imaculata), OSU
(Ordo Santa Ursula), PRR (tarekat Putri Reina Rosari), CM (kongregasi
Carmelite Missionaries), FDCC (tarekat Kanossian, Figlia Della Carita
Canossiana/Filha da Carita Canossiana), SSpS (Congregatio Servatum Spiritus
Sancti – Suster-suster Abdi Roh Kudus), RVM (Religius of The Virgin Mary),
CB (kongregasi Suster-suster Cintakasih St. Carolus Boromeus), CMM
(Congregatio Fratrum Beatae Mariae Virginis Mater Misericordiae), yang
menjalankan misinya di negara Timor Leste, namun ada juga kendala bagi para
misionaris, yaitu “bahasa” (lingua) setempat yang kurang dipahami dan dikuasai
oleh para misionaris (missionarias).
Fenomen-fenomen tersebut di atas di satu pihak membawa dampak
negatif bagi perkembangan iman Gereja, namun di lain pihak Gereja Timor
Leste juga diajak untuk terbuka mau menerima tantangan ini sebagai suatu hal
yang positif. Hal positif yang pertama; dengan fenomen-fenomen ini, iman
Gereja diuji dalam menjalankan misi perutusannya sebagai pewarta Kerajaan
Allah. Kedua, sebagai refleksi atas karya pastoralnya pada masa silam. Ketiga,
5
membuka peluang bagi kehidupan menggereja secara baru, terlebih dalam hal
ini penghayatan iman Gereja dari yang lama menuju yang baru. Dan keempat,
agama bukan hanya menjadi sesuatu hal yang bersifat tradisi/adat kebiasaan
yang diperoleh umat dari Gereja, tetapi agama diharapkan menjadi milik umat.
Sejak Konsili Vatikan II, Gereja semakin sadar bahwa dunia dengan
segala persoalannya dan harapannya merupakan tempat di mana Allah hadir dan
bersabda kepada manusia. Dari sebab itu, persoalan-persoalan sosial, ekonomi,
politik yang dihadapi dunia seluruhnya, di satu sisi merupakan tanggungjawab
dunia itu sendiri, di sisi lain merupakan tanggungjawab Gereja. Dalam Gaudium
et Spes art. 1 dikatakan bahwa: “Kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja
yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan
para murid Kristus juga.”
Hal ini berarti Gereja menyadari bahwa seluruh persoalan/pergulatan
manusia beserta segala keprihatinannya termasuk inti perutusan Gereja yang
tidak dapat diabaikan.
Paus Paulus VI dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi art. 14 mengatakan
bahwa:
Gereja mempunyai kesadaran yang hidup mengenai kenyataan bahwa kata-kata Sang Penebus, “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah”, (Luk 4: 43) berlaku juga sebenarnya untuk Gereja. Gereja dengan senang hati akan menambahkannya bersama-sama Santo Paulus: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor 9: 16). Ini merupakan suatu tugas dan perutusan, yang semakin lebih mendesak karena perubahan-perubahan yang meluas dan mendalam di dalam masyarakat zaman
6
sekarang ini. Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil, yakni untuk berkotbah dan mengajar, menjadi saluran kurnia rahmat, untuk mendamaikan para pendosa dengan Allah dan untuk mengabadikan kurban Kristus di dalam Misa, yang merupakan kenangan akan kematian dan kebangkitan-Nya yang mulia.
Artinya, Gereja dalam menjalankan tugas perutusannya tidak terlepas
dari apa yang sudah dilaksanakan oleh para rasul seperti Santo Paulus. Gereja
menyadari bahwa “mewartakan Injil adalah tugas utama dan mulia, bahkan
merupakan ciri khas dari eksistensi Gereja”. Gereja ada untuk mewartakan
Kerajaan Allah selayaknya Yesus Kristus sebagai Penginjil pertama dan
terbesar. Gereja hadir untuk mengambil bagian dalam keprihatinan Yesus
Kristus, yakni Kerajaan Allah itu sendiri, maksudnya adalah bahwa semua
orang bisa mengalami keselamatan.
Melihat perkembangan iman dari masyarakat Timor Leste yang mulai
pudar di era pascareferendum, Gereja tidak hanya bertitik tolak dari gambaran
Gereja yang telah diwariskan dari jaman dulu seperti Gereja sebagai institusi
(Dulles, 1987: 32), Gereja sebagai Ibu dan Guru (Lourdes, 2001: 53), tetapi
Gereja Timor Leste mau tidak mau harus mencari suatu alternatif baru dalam
menjawab berbagai fenomen yang menjadi keprihatinan tersendiri bagi
perkembangan Gereja di Timor Leste. Gereja Timor Leste dituntut untuk
mencari suatu bentuk evangelisai yang baru (re-evangelisasi) guna melanjutkan
tugas perutusannya sebagai pewarta Kabar Gembira, sehingga masyarakat
(povo) Timor Leste pada akhirnya bisa mengalami Kerajaan Allah. Hal ini
penting supaya Gereja Timor Leste bisa mengubah pola pewartaan
7
nya, dan mencari model-model Gereja yang dicita-citakannya (Afra
Siauwarjaya, 1987: 11) dalam menjawab situasi Gereja saat ini. Dalam usaha
menjawab tantangan-tantangan ini, Gereja Timor Leste harus mengusahakan
suatu bentuk evangelisasi yang baru (re-evangelisasi) baik metodenya, caranya
dan semangatnya, supaya pewartaan Injil tepat sasaran dan sesuai dengan
kebutuhan umat setempat.
Seruan Paus Yohanes Paulus II yang pertama kali tentang evangelisasi
baru di hadapan para Uskup di Amerika Latin di Port-au-Prince, Haiti, pada
tanggal 09 Maret 1983 (Suharyo, 1993: 14), secara serius ditanggapi oleh
seluruh Gereja di berbagai belahan dunia. Di antaranya di Indonesia, Amerika
Utara dan Eropa (re-evangelisasi), termasuk Gereja di Timor Leste dengan
didirikannya Komisi Re-evangelisasi pada tahun 2005, yang saat ini dibawahi
oleh Pe. Domingos da Silva Soares, Pr yang merangkap sebagai Vigario
Episcopal Re-evangelizaÇão Diocese Dili, Timor Leste.
Menanggapi seruan evangelisasi baru oleh Paus Yohanes Paulus II dan
beberapa tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini, penulis
terdorong untuk mengangkat re-evangelisasi (evangelisasi baru) sebagai salah
satu jalan dalam mewujudkan Gereja yang dicita-citakan oleh Gereja di Timor
Leste dan menanggapi berbagai tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste
dewasa ini. Sumbangan pemikiran seperti ini diharapkan dapat memberi
masukan kepada seluruh petugas pastoral Gereja (Imam, awam / katekis) untuk
mencari dan menemukan suatu bentuk evangelisasi yang baru dalam
menjalankan tugas pastoralnya sesuai dengan situasi umat setempat.
8
Berdasarkan deskripsi di atas maka penulis memilih judul skripsi: RE-
EVANGELISASI: TANTANGAN GEREJA DI TIMOR LESTE DEWASA
INI.
Penulis berharap tulisan ini dapat membantu kita semua dalam mengerti
dan memahami gambaran umum Gereja Timor Leste yang sesungguhnya dan
mengetahui Gereja yang dicita-citakan oleh Gereja di Timor Leste. Mengetahui
tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi Gereja Timor Leste dalam mencari
dan menemukan suatu pola evangelisasi yang baru. Dan pada akhirnya mampu
menemukan re-evangelisasi sebagai salah satu jalan dalam rangka mewujudkan
Gereja yang dicita-citakan oleh Gereja Timor Leste, serta dapat menjawab
tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini.
II. RUMUSAN PERMASALAHAN
Bertitiktolak dari deskripsi latar belakang di atas, permasalahan yang
muncul dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Gambaran umum Gereja Timor Leste dan permasalahan-permasalahan apa
saja yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini?
2. Model-model Gereja seperti apakah yang ada di Gereja Timor Leste dan
Gereja seperti apakah yang hendak dibangun atau dicita-citakan Gereja
Timor Leste di era pascareferendum?
3. Sejauh mana re-evangelisasi dapat mewujudkan Gereja yang dicita-citakan
dan menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste
dewasa ini?
9
III. TUJUAN PENULISAN
Karya tulis ini berkisar di antara masalah dan keprihatinan yang
dihadapi oleh Gereja pada dewasa ini, khususnya Gereja-gereja di Timor
Leste akibat kondisi bangsa Timor Leste yang saat ini dalam masa yang ruwet
karena berbagai masalah setelah referendum. Dengan situasi seperti ini Gereja
Timor Leste berusaha untuk mencari dan menemukan suatu bentuk
evangelisasi baru (re-evangelisasi) dalam menjalankan tugasnya sebagai
pewarta Kerajaan Allah.
Maka karya tulis ini bertujuan:
1. Memberi wawasan baru bagi penulis dan pembaca mengenai gambaran
umum Gereja Timor Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi
Gereja Timor Leste dewasa ini.
2. Memberi gambaran mengenai model-model Gereja di Timor Leste dan
Gereja yang hendak dibangun atau dicita-citakan Gereja Timor Leste di
era pascareferendum.
3. Sebagai upaya untuk menggali lebih mendalam tentang re-evangelisasi
sebagai salah satu jalan dalam rangka mewujudkan Gereja yang dicita-
citakan Gereja Timor Leste dewasa ini serta menanggapi berbagai
tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste dalam menghadapi situasi
umat Kristiani yang mulai pudar imannya.
4. Karya tulis ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan
Strata I Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama
10
Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
IV. MANFAAT PENULISAN
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis dan pembaca
mengenai gambaran umum Gereja Timor Leste dan Gereja yang dicita-
citakan Gereja di Timor Leste serta peranannya dalam rangka menghadapi
masalah-masalah atau tantangan-tantangan Gereja Timor Leste dewasa
ini.
2. Dengan mengetahui gambaran, tantangan-tantangan yang dihadapi Gereja
di Timor Leste dewasa ini, penulis dapat memperkembangkan diri untuk
membantu mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste,
melalui evangelisasi baru (=re-evangelisasi) dalam menghadapi situasi
umat di Timor Leste yang saat ini mulai pudar imannya.
3. Memberi sumbangan bagi siapa saja dalam rangka meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan untuk mengetahui dan memahami gambaran
Gereja secara umum dan khususnya gambaran umum Gereja Timor Leste
dan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste dalam menghadapi
masalah-masalah atau tantangan-tantangan situasi umat saat ini, dan
menerapkannya dalam tindakan konkret.
11
V. METODE PENULISAN
Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif-analitis dan
metode interpretatif, yaitu menggambarkan dan menafsirkan keadaan aktual
mengenai situasi konkret Gereja Timor Leste saat ini setelah referendum, serta
tantangan-tantangan yang dihadapinya guna mencari suatu bentuk
evangelisasi yang baru (re-evangelisasi) dalam rangka mewartakan Injil bagi
semua umat yang saat ini mulai pudar imannya.
Dengan pembahasan dan pemaparan isi secara mendalam diharapkan
membantu kita semua memahami gambaran umum Gereja Timor Leste dan
mengetahui Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste, serta
permasalahan-permasalahan atau tantangan yang dihadapinya. Dengan
melihat dan mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada, penulis
mencoba menawarkan re-evangelisasi sebagai salah satu jalan untuk
mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste, dan re-
evangelisasi digunakan Gereja Timor Leste untuk menjawab tantangan yang
dihadapinya. Maka untuk memperoleh data yang aktual, penulis mengadakan
dan mengembangkan kajian pustaka yang mendukung.
VI. SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini akan ditulis dalam lima bab. Penulisan akan dimulai dengan
pendahuluan, kemudian akan dipaparkan secara jelas setiap babnya, kemudian
diakhiri dengan penutup berupa kesimpulan dan saran.
12
Bab I berupa pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan
permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang gambaran umum Gereja Timor Leste dan
permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini, yang akan
dibagi dalam dua bagian di antaranya; sejarah perkembangan Gereja Katolik
di Timor Leste, dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Gereja Timor
Leste di era pascareferendum.
Bab III membicarakan model-model Gereja Timor Leste dan model-
model Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste, yang akan dibagi dalam
dua bagian yaitu bagian pertama adalah model-model Gereja yang terdiri dari
dua sub bagian, di antaranya; model-model Gereja menurut Avery Dulles, dan
model-model Gereja di Timor Leste berdasarkan interpretasi penulis dengan
menganalisa dari sejarah perkembangan Gereja Timor Leste. Bagian kedua
adalah Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste berdasarkan pemikiran
Afra Siauwarjaya.
Bab IV menguraikan re-evangelisasi sebagai salah satu jalan
mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste, serta menjawab
tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste dewasa ini, yang dibagi dalam
enam bagian, di antaranya; beberapa definisi evangelisasi, beberapa
pandangan mengenai re-evangelisasi, unsur-unsur pokok re-evangelisasi,
makna re-evangelisasi bagi Gereja Timor Leste, re-evangelisasi sebagai salah
satu jalan mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste serta
13
usaha menanggapi tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste dewasa ini,
katekese sebagai bagian integral dari re-evangelisasi, dan contoh persiapan
katekese.
Bab V berupa penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
14
BAB II
GAMBARAN UMUM GEREJA TIMOR LESTE DAN
PERMASALAHAN ATAU TANTANGAN YANG DIHADAPI OLEH
GEREJA TIMOR LESTE DEWASA INI
Dalam bab II ini penulis akan memaparkan secara panjang lebar tentang
gambaran umum Gereja Timor Leste yang mana pada bab I hanya dibicarakan
secara singkat. Pada bab II ini penulis akan membagi pembahasan ini menjadi dua
bagian. Bagian pertama akan memaparkan secara detail tentang gambaran umum
Gereja Timor Leste yang terdiri dari dua sub bagian yakni; sejarah perkembangan
Gereja Timor Leste dan gambaran Gereja Timor Leste di era pascareferendum.
Sub bagian pertama, yakni sejarah perkembangan Gereja Timor Leste akan dibagi
dalam delapan sub-sub bagian, di antaranya; fase pra-evangelisasi, fase pewartaan
awal: masa emas, fase menyiangi dengan cucuran air mata dan darah, fase
pembaharuan karya misi di Timor Leste, situasi Gereja Timor Leste tahun 1900 –
1945, situasi Gereja Timor Leste tahun 1946 – 1983, situasi Gereja Timor Leste
tahun 1983 – 1996, dan menanti fajar merekah. Sub bagian kedua adalah situasi
Gereja Timor Leste di era pascareferendum. Bagian kedua akan membicarakan
tentang permasalahan atau tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste di
era pascareferendum, yang terdiri dari; masalah kaum muda, masalah pendidikan,
masalah politik, bahaya sekularisme dan materialisme, serta masalah penghayatan
hidup beriman umat.
Pembahasan mengenai gambaran umum Gereja Timor Leste dan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dewasa ini
15
(pascareferendum) merupakan tema yang akan penulis paparkan di bab II ini.
Yang terpenting dalam bab II ini, yakni penulis ingin mengajak pembaca untuk
mengetahui lebih jauh gambaran umum Gereja Timor Leste terutama tentang
sejarah perkembangan Gereja Timor Leste dari awal abad XIV hingga
pascareferendum, dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Gereja
Timor Leste dewasa ini, sehingga pada bab berikutnya (bab III) kita akan
mengetahui model-model Gereja menurut pandangan Avery Dulles ahli dan
model-model Gereja di Timor Leste. Dengan mengetahui gambaran umum Gereja
Timor Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, serta model-
model Gereja menurut pandangan Avery Dulles dan model-model Gereja di
Timor Leste, kita akan memperoleh gambaran dan menentukan Gereja seperti
apakah yang dicita-citakan oleh Gereja Timor Leste dewasa ini.
Berikut ini akan dikaji lebih mendalam tentang gambaran umum Gereja
Timor Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor
Leste, yang menjadi tema pokok dari bab ini.
A. Gambaran Umum Gereja Timor Leste
Kita memerlukan landasan untuk membahas kehidupan umat
beriman di wilayah kita masing-masing: menilai kenyataannya sekarang,
mencari bagaimana seharusnya. Konsili Vatikan II (1962 – 1965) menyajikan
gambaran Gereja secara menyeluruh dalam konstitusi-konstitusi, dekrit-dekrit
serta pernyataan-pernyataannya.
16
Gereja Katolik pada dasarnya adalah jaringan komunitas-komunitas
yang disatukan oleh pengalaman akan Allah yang ditafsirkan lewat peristiwa
Yesus dari Nazareth baik dalam situasi historis, maupun dalam dimensi
simbolik doktrinernya (Putranto, 2002: 8). Pengalaman dasar ini disambut,
diolah, dan ditafsirkan oleh generasi yang satu sesudah generasi yang lain
dalam konteks perjalanan menyejarah, maka dari itu Gereja pada dasarnya
juga boleh diistilahkan sebagai ”tradisi iman yang hidup”, dari umat yang
bergulat dengan peristiwa Yesus dan mencari maknanya bagi hidupnya.
Gereja Timor Leste sebagai Gereja lokal yang merupakan
pengejawantahan dari Gereja semesta dalam perjalanan sejarahnya, selalu
berusaha untuk tampil sebagai pejuang yang ditandai dengan gugurnya
beberapa martir (seperti Pe. Dewanto, SJ, Pe. Karim, SJ) demi
mempertahankan keadilan dan kebenaran bagi rakyat kecil. Hal ini sesuai
dengan anjuran apostolik Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi (Mewartakan
Injil) art. 78 dikatakan bahwa: ”Setiap pewarta Injil diharapkan menghormati
kebenaran,...pewarta Injil hendaklah seorang pribadi, yang bahkan dengan
menyangkal diri dan menderita senantiasa mencari kebenaran, yang harus
disalurkannya kepada sesama.”
Ini menandakan bahwa Gereja Timor Leste telah mengambil bagian
dalam penderitaan Yesus yakni berani berkorban bahkan mati di kayu Salib
demi membela kebenaran dan keadilan. Berkorban demi rakyat kecil dan
lemah, yang ditindas dan dijajah, yang kehilangan hak-haknya sebagai pribadi
yang utuh sebagai anak-anak Allah, merupakan wujud keterlibatan Gereja
17
dalam misi Yesus. Gereja Timor Leste menyadari bahwa dalam tugas
perutusannya, ia harus – mau atau tidak, mengalami hal yang serupa seperti
Kristus yang berkorban demi keadilan dan kebenaran.
Gereja Timor Leste juga tampil sebagai pelopor rekonsiliasi
(perdamaian). Hal ini ditandai dengan hadirnya sosok Dom Carlos Filipe
Ximenes Belo, SDB sebagai penyambung lidah dari yang tak bisa bersuara
akibat ”tekanan” dan terbelenggu oleh situasi politik, sosial, ekonomi, dan
lain-lain. Sosok Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB hadir sebagai voice of
the voiseless (suara dari kaum tak bersuara) yang menginginkan ketenangan,
dan kedamaian batin. Ini memberi isyarat bahwa Gereja adalah pengalaman
pembebasan dari situasi terpecah, terpisah dan terbelenggu menuju situasi
pengutuhan, penyatuan, dan kemerdekaan. Dari situasi seperti ketidakadilan,
ketidakpedulian, kekerasan, diskriminasi, prasangka-prasangka sosial, beralih
ke keadilan, solidaritas, dialog, antikekerasan, persaudaraan, dan ketulusan
(Putranto, 2002: 16).
Untuk lebih jelasnya, berikut akan dipaparkan mengenai sejarah
perkembangan Gereja Timor Leste dari abad XIV hingga pascareferendum,
sehingga kita dapat menemukan bagaimana Gereja Timor Leste menempatkan
dirinya dalam berbagai situasi pada periode-periode tersebut.
18
1. Sejarah Perkembangan Gereja Timor Leste
a. Fase Pra-evangelisasi
Karya misi di pulau Timor dimulai pada abad XIV dan XVI
berbarengan dengan kedatangan para armada Portugis. Pada tahun
1511, Timor ditemukan oleh António de Abreu dengan armada
Companhia Leão dos Mares (Gabungan Singa Laut).
Frei António Taveiro, OP merupakan misionaris pertama yang
melakukan karya di Timor (1512). Kemudian dilanjutkan oleh Frei
António da Cruz, OP (1561). Pendekatan yang digunakan oleh kedua
misionaris ini sangat simpatik, sehingga banyak orang tertarik dan
akhirnya dibaptis. Tunas-tunas iman Katolik mulai tumbuh sampai
tahun 1556. Ketika itu, raja dari Mena (Oecusse) bersama sekitar 5000
orang dibaptis. Kemudian disusul oleh raja Luca (Viqueque) dan
Fatumean (Suai). Peristiwa ini dimanfaatkan oleh para penguasa
kolonial untuk ikut menanamkan pengaruhnya (Gusmão, 1997: 67).
Melihat hal itu, Malaka sebagai pusat misi menggiatkan
karyanya di sana. Pada tahun 1514, Capitão Rui de Brito Pantalim
yaitu penguasa di Malaka, memerintahkan sebuah armada bersama
Frei António Taveiro, OP kembali lagi ke Timor. Pada dasarnya pusat
misi berada di Solor, karena Solor merupakan markas besar Portugis
di wilayah Insulinda. Frei Baltazar Dias, SJ merupakan pimpinan misi
yang berada di Malaka dan sekaligus sebagai Vikaris Jendral.
19
b. Fase Pewartaan Awal: Masa Emas
Dengan bula Pro Excelenti Praeminentia, pada tanggal 04
Februari 1558, Paus Paulus IV mendirikan diosis Malaka, pulau Timor
termasuk bawahan yuridisnya. Paus mengangkat seorang Dominikan,
Frei Jorge de Santa Luzia, OP menjadi uskupnya. Dan untuk
memperkuat karya misi di Timor dan Solor, maka pada tahun 1562,
uskup Malaka mengutus Frei António da Cruz, OP (selaku superior),
Frei Simão das Chagas, OP, dan Br. FranÇisco Aleixo, OP dan
seorang yang tidak disebutkan namanya (Gusmão, 1997: 67)
Sejak kedatangan mereka dan berkat kerja sama serta sikap
keberanian iman mereka, dimulailah suatu periode yang mulia dan
pantas dipuji. Karya misioner mereka berhasil dengan sangat
gemilang. Larantuka dan Solor menjadi pusat penyebaran agama
Katolik dan berhasil menarik banyak orang penduduk asli yang
berasal dari berbagai pulau, di antaranya dari pulau Timor (Lourdes,
2001: 1).
Tahun 1577, para imam Dominikan membuat laporan sangat
positif ke Malaka dengan menyebut “telah dipermandikan 50.000
orang” di pulau Timor, Solor, dan Ende. Atas laporan ini, Uskup
Malaka Dom João Ribeiro Gaio meminta Kardinal Alberto dan
Provinsial Dominikan Pastor Jerónimo Corsea OP di Lisboa
menambah barisan misionaris di Timor, Solor, dan Ende. Walau ada
rintangan seperti para misionaris mendapat “tekanan” dari pihak
20
penguasa Portugis, namun karya misi semakin meluas karena para
misionaris tidak lagi melibatkan diri pada hal-hal duniawi melainkan
hanya pada karya mewartakan Injil. Darah para misionaris dan sakit
hatinya umat telah menyuburkan karya pewartaan keselamatan di
kawasan itu (Neonbasu, 2006: 10)
Pada tahun 1581, terjadi pemberontakan oleh penduduk asli
Timor terhadap orang-orang Portugis di Solor dan Timor. Pada tahun
1598 situasi mulai berubah. Orang-orang Portugis mendapat serangan
dari VOC Belanda. Akibat serangan tersebut banyak orang Katolik
menjadi martir dan semua bangunan gereja dimusnahkan. Pada tahun
1636, Solor ditinggalkan oleh orang-orang Portugis. Pada tahun 1641
Malaka jatuh ke tangan Belanda. Uskup Larantuka terpaksa pindah ke
Kupang di pulau Timor. Namun penempatan Uskup Malaka di
Kupang tidak bertahan lama. Pada tahun 1682 pemerintahan Portugis
pindah ke Lifau yang merupakan ibu kota pertama di Ambeno
(Teixeira, 1962: 16).
Tercatat bahwa pada tahun 1701 kekuasaan sipil dipisahkan dari
kekuasaan gerejani. Pemisahan ini merupakan berkat bagi karya-karya
misi dan para misionaris. Sebelum pemisahan, seorang misionaris
bukan saja sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin
militer dan politik, sebab ia harus mengabdi pemerintah demi
kedaulatan negara. Dengan terpisahnya kedua kekuasaan, para
misionaris bebas untuk melaksanakan karya misinya dan bebas dari
21
tugas-tugas duniawi, sehingga mereka dapat memusatkan seluruh
perhatian mereka pada kegiatan pewartaan.
Pada tahun 1734 bulan Oktober, Portugis memerintahkan untuk
membangun sebuah gedung seminari di Oecusse untuk mendidik
penduduk setempat demi karya misi. Pada tahun 1741 didirikan lagi
sebuah seminari di Manatuto. Tahun 1770-an, karya misi di Timor
Leste terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok utara meliputi Oecusse,
Batugedé, Maubara, Dili, Lacló, Manatuto, Laleia, dan Baucau.
Kedua, kelompok selatan meliputi Suai, Bubususo, Barique,
Viqueque, Luca, dan Lospalos.
Tanggal 19 Februari 1749, seorang misionaris Timor Frei
Gerardo de Santo José diangkat menjadi Uskup. Uskup ini datang ke
Timor. Ia menetap di Lifau (ibu kota pertama di Ambeno) dan
mendirikan sebuah katedral. Tahun 1762, Uskup Gerardo wafat di
Lifau (Neonbasu, 2006: 11).
Pada tahun 1780 sebuah manuskrip mencatat bahwa di Pulau
Timor telah didirikan 50 gedung gereja (belum termasuk kapel).
Usaha penyebaran Injil berjalan terus. Tahun 1843 terjadi revolusi
liberal di Portugal. Revolusi ini membawa bencana bagi kegiatan misi.
Semua biarawan diusir keluar dari daerah-daerah misi oleh para
penguasa Portugis di antaranya pulau Timor dan Solor (Lourdes,
2001: 4-5).
22
Pada tahun 1874, diosis Malaka yang juga membawahi Timor
diambil alih oleh diosis Goa. Portugis yang terdesak di berbagai
tempat akhirnya memusatkan kekuasaannya di Timor. Lifau dijadikan
pangkalan mereka (1556 – 1769). Upaya Belanda untuk menguasai
Timor terus digalakkan, walaupun mereka terus mengalami kegagalan.
Pada akhirnya Portugis dan Belanda mengadakan tawar-menawar
lewat perundingan damai.
Belanda dan Portugis melakukan perundingan tahun 1851 dan
sepakat untuk melakukan pertukaran wilayah. Pihak Portugis
menyerahkan Solor dan Flores ke Belanda. Sebaliknya Belanda
menyerahkan Maubara ke Portugis dan tambahan uang sebesar 80.000
florins.
Melihat gelagat Belanda untuk mendesak misi Katolik dengan
gerakan Protestan, maka pihak Portugal meminta tinjauan kembali
terhadap kesepakatan yang sudah dicapai. Perundingan selanjutnya
tepatnya tanggal 06 Desember 1854 menegaskan bahwa Belanda
memberikan perlindungan terhadap misi Katolik di daerah
kekuasaannya. Namun Belanda berkeberatan karena Portugis tidak
menjamin kebebasan karya Protestan di wilayahnya. Maka kedua
belah pihak mencari jalan keluar lainnya yaitu dengan membagi
wilayah. Wilayah barat disebut sebagai “tanah Belanda” (Timor-
Holandes), dan wilayah timur disebut sebagai “tanah Portugis”
(Timor-Portugués).
23
Supaya karya misi di Timor tidak terus berlarut dalam status
ketidakpastian, maka tahun 1874, Paus Pius IX mengadakan
kesepakatan dengan raja Portugal yakni Dom Luis I untuk
membaharui karya misioner di Timor. Melalui bula Universiis Orbis
Eclesiis (15 Juni 1874), Sri Paus menetapkan status yuridis diosis
Macau untuk mengambil alih wilayah Timor, selain menangani pula
wilayah kepulauan Hainan dan Heung-Shan. Serentak dengan itu,
Paus mengangkat Frei Dr. Manuel Bernardo de Sousa Enes sebagai
uskup Macau (Gusmão, 1997: 68).
c. Fase Menyiangi dengan Cucuran Air Mata dan Darah
Karya misi di Nusantara, di samping tidak disukai oleh Belanda,
juga mendapat tantangan dari umat Islam. Kaum Muslim masuk wilayah
Nusantara sekitar abad XII (1292). Beberapa Raja dan Sultan menganut
sekaligus menjadi pemimpin agama Islam. Mereka juga memiliki
kepentingan untuk melindungi hegemoninya (Gusmão, 1997: 69).
Misi Katolik pada mulanya dan seterusnya menyebar di Maluku
(1511 – 1666), Timor (1512 – 1556), Solor – Flores (1512 – 1560), Bali
(1535 – 1536), Sulawesi (1563 – 1668), dan Jawa (1569 – 1599).
Pertikaian yang timbul dalam penyebaran agama pada dasarnya
tidak terlepas dari kepentingan dan keserakahan dagang. Agama
ditunggangi oleh politik ekonomi pada masa itu. Mulai tahun 1581, kaum
Muslim melakukan penyerbuan ke daerah misi di Solor. Dalam pertikaian
24
tersebut Frei António Pestana dan Frei Simão das Montanhas dibunuh.
Pada tahun 1590, Frei FranÇisco Calossa (dari Goa) dibunuh atas
persekongkolan Islam dengan beberapa orang pribumi. Hal demikian
menimpa juga Frei João Tavares dan dua (2) orang calon misionaris
lainnya, dibantai di Lamakera (Lamaqueiros). Misisonaris yang lolos dari
malapetaka tersebut di antaranya Frei Diego da AssunÇão dan Frei Lucas
Belchior de Antas. Mereka kembali ke Malaka dengan membawa berita
duka. Selain pertumpahan darah, Gereja juga menderita kehancuran fisik.
Pemanfaatan (eksploitasi) masyarakat untuk kepentingan para
penguasa Portugis, rupanya menjadi biang keladi perpecahan antara
Gereja dan penguasa Portugis. Banyak penduduk pribumi menderita
akibat kekejaman dan ketamakan para penguasa untuk memaksakan kerja
rodi. Para penguasa ingin menguras tenaga dan harta kaum pribumi
sebanyak mungkin. Di samping itu, banyak kaum pribumi tergusur dari
“tanah pusaka” yang dihuninya terun-temurun. Dengan hal ini, maka tidak
mengherankan jika terjadi pemberontakan dari kaum pribumi.
Pemberontakan yang paling dramatis dilancarkan oleh raja Manufahi,
Dom Bonaventura, yang dikenal dengan sebutan guerra de Manufahi atau
funu-Manufahi ini berlangsung dari tahun 1911 hingga 1913. Penguasa
Portugis secara beringas memadamkan pemberontakan tersebut. Sejak itu
nampaknya pemberontakan kaum pribumi mulai memudar.
Gereja dituding sebagai penyebab timbulnya berbagai
pemberontakan. Sebab Gereja menunjukkan ketidaksenangannya atas
25
tindakan penguasa kolonial yang menindas hak-hak azasi rakyat kecil
yang miskin dan lemah. Hal ini menyebabkan keretakan antara Gereja
dengan penguasa. Keretakan ini dimulai antara uskup Dom Manuel
dengan Gubernur FranÇisco de Mello de Castro. Sang uskup dianggap
terlalu “lantang” dan menantang kekuasaan penguasa. Ketika terjadi
suksesi (pergantian) kepemimpinan dari Gubernur FranÇisco de Mello de
Castro ke Gubernur baru António Albuquerque, perbedaan itu makin
tajam. Akhirnya di tahun 1722 Frei Manuel Rodrigues dan Frei Manuel
Vieira dihukum mati di tiang gantungan. Keduanya dituding sebagai
dalang dari pemberontakan. Sejalan dengan itu, beberapa gedung gereja
juga dihancurkan, misalnya di Aileu.
Tahun 1731, Padre Manuel de Pilar (Dili) dan Padre Bartolomeu
Perreira (Batugedé) mendukung pemberontakan rakyat melawan
Gubernur António Albuquerque. Dukungan para misionaris ini
menghasilkan pula pemberontakan di Manatuto (1787).
Sebagai balasannya, penguasa Portugis menangkap Padre FranÇisco
da Cunha, Vikaris Jendral di Timor. Selanjutnya semua karya misi di
Timor dibekukan sama sekali. Sepanjang tahun 1788 – 1819, karya misi di
Timor sudah kehabisan nafas.
Sejalan dengan peristiwa ini, di Portugal juga terjadi revolusi (1832)
untuk mengubah monarki menjadi liberal. Revolusi ini dibarengi dengan
gerakan anti klerikal, yang menyebabkan banyak kaum rohaniwan/pastor
disingkirkan.
26
Semenjak tahun 1811, di Timor hanya ada tiga (3) misionaris (bukan
orang Portugis), yaitu Frei Mestre di Manatuto, Frei Tomas dan Frei
Gregorio Barreto di Dili. Dan pada tahun 1820, seorang Dominikan
dikirim ke Dili yaitu Padre ViÇente Vieira, OP. Namun ia tidak banyak
berbuat di Timor.
Kehidupan iman Gereja nampaknya diguncang oleh prahara yang
menimpanya, tapi toh iman tetap hidup di dalam sanubari kaum miskin
dan tertindas. Dan Gereja dikenang sebagai simbol yang ikut menanggung
duka derita, senasib sepenanggungan dengan penderitaaan kaum lemah
dan tertindas itu.
d. Fase Pembaharuan Karya Misi di Timor Leste
Pada tahun 1874, atas persetujuan Paus di Roma, Timor menjadi
bagian dari yuridiksi Keuskupan Macau. Uskup Macau sangat menaruh
perhatian pada karya misi di pulau Timor. Maka, pada tahun berikutnya
yaitu tahun 1875, Pastor António Joaquim de Medeiros ditugaskan untuk
melakukan kunjungan ke tempat-tempat kegiatan misi di pulau Timor.
Selanjutnya pada tahun 1877 Uskup Macau mengangkat Pastor
Medeiros menjadi Vikaris Jenderal dan pemimpin karya misioner. Ia
ditugaskan bekerja di pulau Timor bersama dengan tujuh imam Portugis.
Kendati berjumlah sedikit, para misionaris itu langsung bekerja dan
mewartakan kabar keselamatan di tengah umat di seluruh pelosok pulau
Timor.
27
Pastor António Joaquim de Medeiros menyusun kebijaksanaan
pastoral pada awal kegiatan misinya itu sebagai berikut. Pastor FranÇisco
Xavier de Melo ditempatkan di Oecusse dan menjalankan tugas-tugas di
Noemuti. Pastor José António ditugaskan di Batugedé, salah satu daerah
yang sekarang terletak di perbatasan Timor Leste dengan Nusa Tenggara
Timur (Indonesia). Sedangkan yang bertugas di Dili adalah Pastor Carlos
Pereira. Di Manatuto ditempatkan Pastor Manuel Maris, yang wilayah
kerjanya meliputi kerajaan-kerajaan Laclo, Laleia, Vemasse, dan Cairui.
Pastor Sebastião Maria menempati wilayah kerja yang paling luas
dan sukar, yaitu Lacluta, Dilor, Bariki, Viqueque, Luka, Babilitu, Dolik,
Alas, dan Babususu. Pada tahun 1878 ia bekerja keras guna meningkatkan
mutu hidup manusia Timor dengan mendirikan sekolah-sekolah dan
membuat pendidikan menjadi suatu landasan bagi karya evangelisasi yang
akan dilaksanakannya. Ia membangun gedung-gedung sekolah sesuai
dengan kebutuhan saat itu dan kemampuan misionaris untuk
menanganinya (Lourdes, 2001: 5).
Selain sekolah-sekolah yang sudah ada di Dili, ia membuka pula
beberapa sekolah di Manatuto, LiquiÇa, dan Bazar-tete. Sedangkan
Lahane dijadikan sebagai pusat misi dan rumah kediaman Vikaris
Jenderal. Kecuali itu, di sanapun dibangun dua buah gedung, satu untuk
kediaman misionaris dan satu lagi untuk asrama para siswa. Perlu dicatat
bahwa yang ditampung di sekolah-sekolah pada saat itu adalah anak-anak
28
raja (liurai oan sira) dan anak-anak para pemuka masyarakat yang
diharapkan menjadi pemimpin-pemimpin rakyat pulau Timor.
e. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1900-1945
Pada tahun 1900 pulau Timor dibagi menjadi dua vikariat. Bagian
utara berpusat di Lahane di bawah tanggungjawab para imam-imam Projo.
Sedangkan bagian selatan diserahkan kepada imam-imam Jesuit yang
waktu itu menjalankan karya misinya di pulau Timor.
Karya misi di pulau Timor berjalan terus. Pada tahun 1920 Pastor
José da Costa Nunes diangkat menjadi Uskup Macau dan Timor. Sejak
pengangkatannya, kegiatan misi di pulau Timor mulai masuk pada fase
yang baru, khususnya usaha intensifikasi pewartaan Injil. Gereja setelah
tahun 1910 mengalami hambatan akibat perubahan politik di Portugal saat
itu. Monarki digulingkan oleh gerakan republik, Portugal menjadi negara
republik.
Situasi politik menguntungkan bagi karya misi di pulau Timor.
Perkembangan karya misi tidak mengalami banyak hambatan dari pihak
pemerintah Portugis. Pada tahun 1936 didirikan gedung seminari
keuskupan pertama di Soibada oleh Pastor Jaime GarÇia Goulart, yang
waktu itu adalah pemimpin misi di Timor. Seminari baru ini dipimpin oleh
Pastor Januario Coelho dari tahun 1937 sampai dengan meletusnya Perang
Dunia Kedua pada tahun 1942 (Lourdes, 2001: 6-7).
29
Tepat pada 4 September 1940 diumumkan Bula Solemnibus
Conventionibus dari Paus Pius XII tentang berdirinya Dioses Dili, atas
persetujuan Vatikan dan Pemerintah Portugal. Pastor Jaime GarÇia
Goulart diangkat sebagai Administrator Apostolik pertama pada tanggal
18 Januari 1941. Kemudian, 12 Oktober 1945, ia menjadi Uskup Dioses
Dili (Neonbasu, 2006: 11)
f. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1946 – 1983
Selama berabad-abad lamanya Portugis menjajah dan menyedot
seluruh kekayaan tanah jajahannya (termasuk Timor) demi kepentingan
negaranya dan mengabaikan kesejahteraan rakyat. Bangsa Portugis ingin
membangun keagungannya sebagai herois do mar (pahlawan penjelajah
samudera). Setelah Perang Dunia II (pasca 1945) di mana orientasi
bangsa-bangsa mulai menunjukkan kebangkitan dan kemerdekaan, bangsa
Portugis masih nekad menjajah. Daerah-daerah yang dijajahnya meliputi
Afrika (São Tomé e Prince; Cabo Verde; Guine Bissau; Angola dan
Mozambique); Asia (Macau di Cina dan Goa di India); dan Oceania
(jazirah timur pulau Timor). Dengan melihat gelagat bangsa Portugis ini,
maka pada tanggal 14 Desember 1960 Portugal mendapat isolasi dari
dunia internasional (PBB) dengan mengeluarkan aturan dalam rangka
dekolonisasi wilayah yang belum memiliki otonomi; termasuk Timor-
Portugis yang hanya dilihat sebagai daerah di bawah kuasa administratif
Portugis (Gusmão, 1997: 76).
30
Kawasan Afrika melakukan pemberontakan (dengan inspirasi dari
Konferensi Asia-Afrika Bandung, 1955) terhadap kekuasaan Portugal.
Gerakan mereka relatif berhasil karena mendapat dukungan dari negara
tetangganya yang menjadikan wilayahnya sebagai basis perlawanan
terhadap Portugal.
Para perwira dan serdadu yang berperang di belahan Afrika sudah
memustahilkan adanya kemenangan Portugal. Namun kekerasan hati
diktator António de Oliveira Salazar dan Perdana Menteri Marcelo
Caitano tidak bergeming. Bahkan sebaliknya para perwira yang dianggap
membangkang langsung dipecat, misalnya, Wakil Kepala Staf Militer
Jenderal António Spinola (sebelumnya adalah Gubernur Jenderal di Guine
Bissau) dan temannya Jendral Françisco da Costa Gomes dipecat, segera
setelah mengedarkan buku Portugal e o Futuro (Portugal dan Masa
Depan).
Namun kedua perwira yang sangat populer ini diam-diam
membentuk gerakan rahasia (clandestina). Perlahan-lahan, akhirnya
mereka berhasil membentuk gerakan militer MFA (Movimentos das
Forças Armadas). Merekalah yang meletuskan Revolução dos Cravos
(Revolusi Bunga) 25 April 1974. Dengan demikian periode sebuah tirani
politik Portugal berakhir. Pemerintah baru di bawah Presiden António
Spinola segera merombak sistem partai tunggal (Gusmão, 2003: 76).
Spinola sendiri juga mengumumkan penentuan nasib sendiri bagi Timor
melalui UU No.7/1974, tanggal 27 Juli. Ini dapat dikatakan bahwa dengan
31
meletusnya Revolusi Bunga merupakan titik awal bagi terciptanya
kebebasan berpolitik di semua wilayah Portugal dan wilayah jajahannya.
Keadaan ini menimbulkan chaos politik di Timor. Kelompok
intelektual yang tidak terlalu banyak jumlah dan kualitasnya mulai
memperkenalkan ideologinya untuk mengantar masa depan Timor
Portugis itu. Dalam peristiwa ini muncul tiga partai besar yang
mendominasi Timor dengan kekhususan ideologinya, di antaranya; UDT
(União Democrática de Timór) yang didirikan 11 Mei 1974 yang
dipimpin oleh Ir. Mário Viegas Carrascalão dan Agusto Mouzinho
(Sekjen); ASDT (Associação Social Democrática Timorense) yang
didirikan 17 Mei 1974 dengan ketuanya Françisco Xavier do Amaral dan
Nicolau Lobato (wakil). José Fernando Osório Soares (kakak kandung
mantan Gubernur Abilio José Osório Soares) menjadi Sekjen; 27 Mei
didirikan AITI (Associação para a Integração de Timor a Indonesia) yang
kemudian menjadi APODETI (Associação Popular Democrática de
Timor) yang dipimpin oleh Arnaldo dos Reis Araujo dan José Fernando
Osório Soares sebagai sekjen. Gerakan mereka bertujuan untuk
berintegrasi dengan Indonesia dengan status sebagai “daerah otonomi”
berdasarkan hukum Internasional. Konsep ini ternyata kandas dan tidak
pernah dibahas lagi ketika mereka mengajukan petisi di Jakarta. Jadi,
konsep integrasi sendiri gagal diwujudkan. Dengan adanya perbedaan
ideologi di antara ketiga partai besar ini, terjadi pertikaian yang akhirnya
meledakkan perang habis-habisan. Teror, pembunuhan massal (massacre),
32
penculikan dan penghancuran menjadi cerita sehari-hari. Timor Loro-Sa’e
menjadi ‘neraka dunia’ bagi penduduknya. Maka proyek dekolonisasi
yang menjadi gagasan penguasa baru di Portugal itu berantakan.
Kegagalan ini merupakan catatan hitam dalam lembaran sejarah supremasi
Portugal selama ini (Rocha, 1987: 13).
Pada tanggal 07 Desember 1975, Indonesia mengambil alih
kekuasaan atas wilayah Timor, ternyata kisah sedih itu tidak berlalu.
Brutalitas dan eksploitasi wilayah yang dilakukan atas nama keamanan
dan ketektraman harus meminta banyak tumbal. Air mata dan darah terus
membasahi tanah Timor. Sejak itu, lembaran-lembaran sejarah diisi
dengan ratap tangis dan kertak gigi, dendam dan kebencian (Aditjondro,
1994a: 65).
Gereja sebagai bagian dari masyarakat Timor Leste memang ikut
merasa dalam nafas kecemasan, ketakutan, dan kehancuran yang mulai
menghadang. Dalam hal ini Gereja tidak hanya mengalami kehancuran
fisik melainkan juga kehancuran hati. Nada-nada penderitaan itu
diungkapkan baik secara halus maupun keras dalam membela
kemanusiaan dan keadilan, khususnya bagi kaum miskin yang
dipinggirkan.
Secara materi cukup banyak gedung Gereja yang dihancurkan.
Biara-biara dikosongkan. Dan Seminário de Nossa Senhora de Fátima di
Dare sebagai “jantung diosis” dihancurkan menjadi puing-puing oleh
tembakan dari laut Dili. Dalam pertikaian antara ABRI dan Fretelin
33
sekitar 7-13 Desember 1975, gedung Seminari Dare yang dihuni oleh para
calon pastor dibom. Kerusakan fasilitasnya diperkirakan mencapai 75%.
Setelah tahun 1975, Gereja mengalami penderitaan karena
tindakan desakralisasi terhadap simbol-simbol religius, misalnya, patung
Bunda Maria di Comoro, Januari 1987; Seminari Lahane, 27 Februari
1987; Bobonaro, 15 September 1991; pencemaran Tabernakel di Kapela
Lolotoi, 23 Oktober 1991 maupun upaya memojokkan hirarki dan petugas
pastoral lainnya. Salah satu yang menimbulkan deformasi terhadap rasa
religius rakyat ketika terjadi pencemaran simbol religius yang dilakukan
oleh dua orang oknum ABRI di Remixio (Juni 1995) dan isu Sanusi di
Maliana (September 1995). Kedua peristiwa ini merupakan puncak yang
menghasilkan ledakan kemarahan penduduk Timor Leste yang
menimbulkan tragedi September 1995. Kerusakan simbol religius itu
didiamkan bertahun-tahun dan mendapat kesempatan untuk dicetuskan
dalam ‘pembalasan dendam’. Uskup Belo yang kemudian menangani
masalah itu menyatakan perasaan duka yang mendalam dari korban tanpa
dosa dari pihak Islam. Uskup menganggap bahwa ‘balas dendam’ tersebut
tidak kristiani dan tidak manusiawi. Beliau turun sendiri ke jalanan untuk
‘memadamkan kerusuhan tersebut (Gusmão, 1997: 78).
Secara ekonomis harus dikatakan bahwa Gereja bangkrut karena
cadangan finansialnya hangus. Keuangan yang dimiliki Gereja dalam
bentuk escudo secara otomatis tidak berlaku lagi ketika pemerintah
Indonesia memberlakukan mata uang rupiah. Gereja harus membangun
34
semuanya dari nol mutlak. Pendek kata, Gereja jatuh dalam kemiskinan
bersama umatnya yang juga diterpa oleh kesulitan dan tantangan yang
sama.
Mgr. José Joaquim Ribeiro dan Pe. Martinho da Costa Lopes
(Vikjen dan Sekretaris) bahu membahu menguatkan para pastor dan umat
yang terkena badai kehidupan. Sejumlah imam Diosesan seperti Dom José
Joaquim Ribeiro (Uskup), Pe. Martinho da Costa Lopes (kemudian
menjadi Uskup, alm.), Pe. José Martins (alm.), Pe. Agustinho Belo, Pe.
Alberto Ricardo, Pe. António de Brito, Pe. Aureo Gusmão, Pe. José Maria
de Seje Barbosa, Pe. Deomitrio Barros, Pe. Domingos da Cunha, Pe. José
Calisto Alves Guterres (alm.), Pe. José António da Costa, Pe. Mario Belo,
Pe. Rafael dos Santos, Pe. Santana Raquel Pereira, juga sejumlah
biarawan Salesian seperti Pe. Afonso Maria Nacher, SDB., Pe. Eligio
Locatelli, SDB., Pe. João de Deus Pires, SDB., Pe. Manuel Morais de
Carvalho Magalhaes, Pe. Luis de Pretto, Diakon Balthazar, SDB.,
Br. Carlos Gamba, Br. José Cusi dan Br. Lobato, mereka semua masih
setia mendampingi umatnya baik di kota maupun di pedalaman dan hutan-
hutan tempat pengungsian. Banyak biarawati dan sejumlah pastor yang
mengungsi ke Australia. Mereka yang mengungsi ke arah Atambua ketika
terjadi golpe UDT, yaitu Pe. José António da Costa (kini wakil Uskup
Dili). Pe. Apolinario A. Guterres, Pe. Santana Roque, Pe. José Maria de
Seje Barbosa dan Fr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB (yang kemudian
menjadi Uskup Dili dari tahun 1983 – 2000). Sejumlah seminaris lari
35
tercerai berai. Pelayanan dan kehidupan Gereja seakan-akan berhenti
tanpa harapan akan masa depan. Barangkali tidak berlebihan jika banyak
orang merasakan kekosongan Gereja sebagai pertanda berakhirnya zaman
(Gusmão, 1997: 78).
Dom José Joaquim Ribeiro yang menjabat sebagai Uskup kala itu
sudah mengingatkan tanggung jawab moral dan politik kepada para
pemimpin rakyat Timor Leste dan juga Portugal. Tanggung jawab itu
diungkapkannya dengan menulis sebuah surat pastoral. Sang Uskup
bersama segenap dewan imam sehati seperasaan dalam mendorong
kesadaran umatnya akan tanggung jawab pada pilihan bebas. Melalui
Sang Uskup Dom José Joaquim Ribeiro, Gereja ingin mengungkapkan
sikap dan pendiriannya sebagaimana dikutip oleh Gusmão (1997: 80)
dengan mengatakan bahwa:
Gereja tidak mempunyai partai; hanya memiliki Injil untuk diwartakan kepada semua orang dan pada semua tempat serta terbuka kepada kemajemukan pilihan, manusiawi dan kristiani dan secara sah dari anggota-anggotanya. Politik Gereja adalah menggugah kesadaran anggota-anggotanya akan kebenaran pembebasan yang mendesak dari pesan Injil Kristus dan (menghayati) hidup dalam kepenuhan, dari hari ke hari, (mengikuti) hukum Allah, Sabda Bahagia dan ideal dari hidup Kristus dan Kristus yang tersalib. Dengan cara inilah Gereja menunjukkan jalan kepada promosi dan jalan pembebasan....yang harus dibuka meskipun menghadapi keterbatasan dan kelemahan manusiawi (carta pastoral, edição 25 Janeiro 1975, p. 5). Dengan menganalisa surat pastoral sang Uskup, dapat dikatakan
bahwa sang Uskup secara terbuka menunjukkan sikap ketidaksetujuannya
dengan kecenderungan gerakan dan pengaruh sosialisme dan komunisme.
Dari sisi lain, sang Uskup meminta agar penguasa kolonial menciptakan
36
suatu iklim yang kondusif bagi pilihan bebas rakyat tanpa manipulasi dan
distorsi ideologis atau bisa disebut sebagai komunisme (Tomodok, 1994:
172). Namun, Dom José pada titik tertentu mencapai batas manusiawinya
untuk menanggung duka dan kecemasan hatinya. Maka, ia akhirnya
mengundurkan diri dan menyepi dalam doa di Portugal demi Timor
Oriental yang dicintainya, karena tidak sanggup melihat penderitaan
umatnya! “The most crucial change occurred when Ribeiro, totally
distraught by the killings in Dili, requested retirement in 1977” (Taylor,
1990: 153).
Yang kemudian menggantikan Uskup Ribeiro adalah Mgr.
Martinho da Costa Lopes. Dom Martinho masih atau tetap mengikuti garis
kebijakan pendahulunya untuk memperjuangkan penyelesaian secara
terhormat bagi tanah kelahirannya.
Sejak awal Dom Martinho pesimis mengenai penentuan nasib
sendiri. Alasannya, secara mental rakyat belum siap dan tidak bisa secara
sadar menentukan pilihannya. Hal ini terlihat dalam pernyataannya yang
dikutip oleh Tomodok (1994: 62) dengan mengatakan bahwa:
Kemerdekaan melalui perjuangan seperti di Angola, Mozambique dan Guine Bissau itu adalah kekerasan...itu bukan yang saya maksudkan dan saya inginkan. Rakyat menginginkan perjuangan tanpa kekerasan. Jadi nampaknya ingin menganut cara Mahatma Gandhi di India. Tapi di sini belum ada pelopornya...kemerdekaan yang saya inginkan adalah kemerdekaan yang baik dengan dasar Liberdade na Ordum Justiça e Paz, aman, jujur, dan tenteram. Hal ini dikemukakannya, mengingat bahwa:
Ada tendensi bahwa Angkatan Bersenjata (Movimentos das Forças Armadas) akan berusaha menguasai Portugal guna
37
menjadikannya negara sosialis komunis ala Kuba atau Polandia. Dan apa yang terjadi di Portugal niscaya mempengaruhi Timor Oriental (Tomodok, 1994: 172-173). Para politisi tidak menghiraukan desakan moral dari pihak Gereja
(baik Uskup Ribeiro dan Uskup Martinho). Namun mereka lebih
mengecerkan dagangan ideologinya dengan promosi ‘pembebasan’
melalui segala cara. Ketiga partai politik (UDT, APODETI, FRETELIN)
saling menggertak dan menerkam penuh nafsu. Secara politis praktis,
Gereja gagal mempengaruhi situasi politik Timor Leste (Gusmão, 1997:
81).
Walaupun demikian, sesudah ABRI memasuki wilayah Timor
Leste, pihak Gereja masih memiliki harapan untuk mencapai solusi yang
memadai di bidang kemanusiaan. Namun agaknya impian dan harapan
Uskup Martinho mulai memudar ketika beliau masih menyaksikan
umatnya tetap terpenjara dalam kehidupan dan membisikkan nada-nada
keluhan atas ketidakramahan nasibnya dalam malam-malam panjang yang
menakutkan. Dom Martinho sebagaimana dikutip oleh Gusmão (1997: 82)
mengisahkan bahwa:
Ketika saya berkeliling dari kota ke kota di daerah-daerah pedalaman, saya menemui hanya para janda dan anak-anak yatim. Kampung mereka diliputi ketakutan yang mencekam. Dari pintu ke pintu mereka keluar untuk menyambut saya dengan tangisan dan cucuran air mata...kecemasan sejarah di Timor saat ini ratusan manusia menjadi korban demi pembangunan. Beberapa langkah dialogis yang diambil oleh sang Uskup tidak
mendapat sambutan yang menggembirakan. Sang Uskup merasa terpojok
dan terpinggirkan. Dan akhirnya ia mengambil langkah ‘perlawanan’. Dan
38
ini tentu tidak menyenangkan bagi pihak pemerintah, khususnya ABRI.
Para Uskup Indonesia (MAWI) berusaha menjembatani Uskup Martinho
dengan pemerintah/ABRI. Dengan demikian Uskup Martinho diundang
dalam sidang tahunan dan kemudian bertemu dengan presiden Soeharto
(19 Sepember 1981). Bulan Mei 1983, Dom Martinho secara mendadak
dipanggil kembali ke Vatikan. Sejak itu, beliau tidak pernah kembali lagi
ke Timor Leste sampai terdengar kabar dari Portugal bahwa sang Uskup
telah menghembuskan nafasnya yang terakhir (11 Februari 1983). Boleh
dikatakan bahwa Dom Martinho (imam pribumi pertama) merupakan
legenda yang tetap hidup di hati banyak umat Katolik. Maka kabar duka
itu ditanggapi dengan tangisan pilu kaum miskin di tanah kelahirannya
(Gusmão, 1997: 82).
g. Situasi Gereja Timor Leste Tahun 1983 – 1996
Paus Yohanes Paulus II mengangkat Pe. Carlos Filipe Ximenes
Belo, SDB (15 April 1988) untuk memangku jabatan sebagai Uskup Dili.
Uskup Belo menerima tahbisan dari Dubes Vatikan untuk Indonesia,
Mgr. Françesco Canalini dengan gelar Tituler Lorium. Namun
sebelumnya, sang Uskup telah menjalankan tugasnya sebagai
Administrator Apostolik sejak ia menggantikan Dom Martinho (12 Mei
1983).
Jika dilihat dari karier, uskup Belo yang muda belia ini tergolong
spektakuler. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun 9 bulan imamatnya
39
(Carlos Filipe ditahbiskan menjadi imam di Portugal oleh Dom José
Policarpo, Uskup Pembantu Patriark Lisabon, tanggal 26 Juli 1980), ia
sudah diorbitkan ke tangga teratas hirarki Gereja. Dalam menjalankan
tugasnya sebagai Uskup pada waktu itu, ia menghadapi banyak tantangan.
Pertama, Dom Carlos “kalah” dalam pemahaman konteks pastoral
maupun pengalaman. Bahkan ketika itu, Belo kalah pamor dengan Mgr.
Martinho dalam hal keberaniannya. Banyak orang yang meragukan
keberanian anak muda yang terkesan innocent dan saleh ini. Kedua,
sementara itu, ia dihadapkan pada kompleksitas permasalahan Timor
Leste yang tidak ada juntrungannya. Situasi Timor Leste memang
kelihatan semrawut dan tanpa visi yang jelas. Ketiga, bagaimana ia
mampu menyatukan kembali mereka yang tercerai-berai dan tercabik
dalam arena politik, ideologi, ekonomi, sosial, dan budaya? Keempat, ia
juga dihadapkan pada tuntutan agar menggabungkan diosis Dili dengan
KWI (MAWI). Sebab dalam anggapan kebanyakan orang, penggabungan
ini bisa mengintegrasikan Gereja ke dalam wilayah Indonesia. Sebab
selama ini Gereja Timor Leste sebagai Gereja oposisi lokal yang menjadi
kekuatan dalam politik Indonesia di Timor Leste.
Dengan melihat berbagai tantangan ini, Dom Carlos sungguh-
sungguh terpenjara dalam penderitaan batin yang mendalam. Hal ini
terlihat dalam pernyataannya ketika ia ditetapkan sebagai Uskup, ia
mengatakan: “saya takut menjadi Uskup” (Hidup, edisi 24-31 Juli 1988:
10).
40
Tantangan demi tantangan, penolakan, kesusahan dan keresahan
hati, doa dan karya telah membawa anak muda ini kepada kematangan.
Ketika menghadapi tragedi Craras (Viqueque) sang Uskup mengalami
suatu iluminatio; suatu perubahan sikap moral untuk tampil secara berani
dan tabah dalam membela kaum miskin yang tak bersuara. Craras
dikenangnya sebagai aldeias das mulheres (kampung para janda) telah
mengubah Uskup Belo yang pada awalnya dianggap sekedar seorang
pembina rohani yang saleh dan pemalu itu menjadi sosok yang berwajah
lain, suatu perubahan jatidiri yang memukau banyak orang (Gusmão,
1997: 83).
Pada tahun 1989, dunia terhentak dengan Mgr. Belo mengirimkan
suratnya kepada Sekjen PBB, Javier Peres de Cuelar untuk meminta
referendum bocor. Dengan keberanian sang Uskup ini, reaksipun datang
seperti badai menerpa. Para pendukung kemerdekaan Timor Leste tentu
bersorak kemana-mana memuji keberanian Uskup muda ini. Namun
sebaliknya pendukung integrasi kalang kabut mengkritik Mgr. Belo. Ia
dicap tidak nasionalis, berkepala dua, tidak loyal, bahkan dianggap bloon.
Namun Uskup Belo menanggapinya dengan menjawab: “waktu itu saya
merasa bahwa keadaan di sini (Timor Leste) makin memburuk. Suatu saat
kita harus mengambil sikap keras bila cara lunak tidak dihiraukan.”
(Gusmão, 1997: 84).
Tanggal 12 November 1991, terjadi guncangan gempa tragedi
Santa Cruz. Dan Uskup Belo menjadi titik pusat perhatian. Sang Uskup
41
melihat hal itu sebagai kekejaman (barbaridades) yang tidak
berperikemanusiaan. Dalam situasi ini, posisi Gereja dipojokkan. Tidak
hanya kerusuhan itu berawal dari Gereja, melainkan juga karena sang
Uskup sendiri dituding sebagai tokoh penting (dalang) di balik gerakan
ini. Hal ini membuat hati sang Uskup remuk redam. Peristiwa yang mirip
terjadi di Garina (Liquiça) yang juga menjadi sorotan internasional. Kedua
peristiwa ini ‘menyeret’ Uskup Belo bersama para imamnya untuk secara
aktif dan kritis membela umat mereka di bumi Timor Loro Sa’e.
September tahun 1995, ketika terjadi kerusuhan agama di Maliana,
Dili, dan Viqueque, sekali lagi Uskup Belo menghadapi problem yang
kian memanas. Di sini justru Uskup mendapat protes yang meluas dari
kalangan Islam, termasuk demonstrasi besar-besaran anti Belo menyusul
pernyataan untuk menjadikan Timor Leste sebagai daerah khusus Katolik.
Seorang pemuka Islam secara terang-terangan mengatakan bahwa Uskup
Belo merupakan duri dalam daging yang harus disingkirkan. Apalagi
waktu itu pun muncul issue dan berita bahwa Uskup Belo dinominasikan
sebagai calon pemenang Hadiah Nobel Perdamaian. Berita ini segera
ditanggapi bahwa hadiah Nobel merupakan bagian dari “Konspirasi anti
Islam dan R.I.”!
Mengingat itu, maka dalam pertemuan dengan Uskup-uskup Asia
di Manila 15 Januari 1995, Paus Yohanes Paulus II memberi pesan penuh
solidaritas kepada Uskup Belo, dengan mengatakan: “....Anda masih
muda, karena itu teruslah berjuang demi keadilan dan perdamaian.
42
Walaupun jalan untuk itu sangat panjang dan melelahkan serta penuh
derita....” (Hidup, edisi 5 Maret 1995: 13). Solidaritas seperti itu
merupakan refleksi dari pengalaman panjang menghadapi gejolak dunia,
khususnya perhatian Paus terhadap masalah Timor Leste. Setelah
mendapat laporan dari Dom Martinho dan Uskup Belo sendiri, Paus
mengaku meluangkan waktu untuk mendoakan Timor Leste. Dalam
kunjungannya ke Taçi Tolu, Dili (12 Oktober 1989), pada saat Misa
Agung, dalam kotbahnya beliau antara lain mengatakan:
Sudah bertahun-tahun lamanya hingga sekarang kalian mengalami kehancuran serta kematian akibat suatu konflik; kalian telah mengetahui apa artinya menjadi korban kebencian dan pertempuran. Banyak orang yang tidak bersalah telah meninggal. Sementara yang lain menjadi mangsa dari tindakan pembalasan dendam. Sudah terlampau lama kalian menderita karena kurangnya stabilitas yang membuat masa depan kalian tidak pasti. (Spektrum, edisi 1990: 66). Dari kotbah Paus tersebut dapat dikatakan bahwa pernyataan Paus
sungguh merupakan suatu perhatian yang mendalam akan masalah yang
sedang terjadi di Timor Leste.
Tetapi lebih dari itu, keterlibatan mendalam Uskup Belo dengan
pengalaman sesamanya yang miskin dan tertindas telah membawanya
pada suatu pertobatan yang sejati dalam diri Uskup muda ini. Pertobatan
bukan dalam arti peralihan dari perbuatan tercela kepada kebaikan,
melainkan suatu iluminatio, dengan pertaruhan jiwa dan raga, hati dan
perasaan, cinta dan pengorbanannya. Peristiwa demi peristiwa, tantangan
demi tantangan, kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan telah
43
mematangkan dalam dirinya suatu ‘spiritualitas kependekaran’ (Gusmão,
1997: 85).
Melihat kiprahnya itu, maka pada tanggal 10 Desember 1995 ia
memperoleh John Humprey Award di Montreal, Canada. Penghargaan ini
setiap tahun diberikan oleh komisi PBB untuk perjuangan HAM dan
Demokrasi. Sekjen PBB, Buotros Buotros Ghali mengatakan bahwa
Uskup Belo telah tampil sebagai ‘advocat’ perdamaian dan pejuang hak
azasi manusia di Timor Leste.
Dari Itali, Uskup Belo menerima Oscar Romero Award atas sikap
kenabiannya yang berusaha mempertanggungjawabkan pilihan
religiositasnya dalam rangka membela kaum miskin dan pinggiran.
Penghargaan ini sekaligus merupakan penegasan bahwa sikap dan
tindakan Uskup Belo terdukung oleh suatu spiritualitas kenabian.
Sikap kenabian inilah yang akhirnya menghantar sang Uskup
menerima penghargaan bergengsi Internasional: Hadiah Nobel
Perdamaian. Uskup Belo adalah tokoh perdamaian dunia tahun 1996.
Dengan Nobel ini hendak dikatakan bahwa Uskup Belo dan Gereja
Katolik merupakan simbol dari suara dari orang-orang yang terlupakan.
Gereja mempertaruhkan keyakinan dan panggilannya untuk melibatkan
diri dalam suka-duka umat Katolik. Pihak Vatikan menganggap Uskup
Belo merupakan; “gembala yang sangat dekat dengan domba-dombanya’.
Hal ini memang terlihat dalam kesemarakan dan antusias umatnya ketika
menyambut sang Uskup sekembalinya dari Oslo (24 Desember 1996).
44
Uskup Belo diyakini sebagai penyambung lidah bagi umatnya “...yang
menjerit ke surga demi keadilan” (Kel 3: 15).
Sejak menerima Nobel, Uskup Belo menjadi tokoh dunia melalui
suatu penobatan agung di balai kota Oslo (termasuk juga diterima sebagai
tamu agung di Aachen dan Helmut Kohl di Bonn). Meskipun di Indonesia
Uskup Belo merasa diri sebagai “anak tiri dari Republik ini” (Gusmão,
1997: 86).
h. Menanti Fajar Merekah
1). Masa Pertumbuhan Melonjak (1975-1985-1995)
Lonjakkan sampai tahun 1995 (baca statistik) dapat dikatakan
membawa masa depan yang menggembirakan. Dari jumlah penduduk
sebanyak 860.488 jiwa, 85,07 % beragama Katolik. Sementara calon
Baptis (katekumen) mencapai 25.993 orang (3,02 %). Perkembangan
pertama dalam segi kuantitas memang memberikan janji pada masa
depan yang penuh kecerahan. Perkembangan kedua menyangkut
dengan fenomen pluri-religius (Gusmão, 1997: 86).
Untuk memudahkan pemantauan reksa pastoralnya maka
dibentuk empat zona. Pertama, zona timur yang meliputi Manatuto,
Soibada, Baucau, Laga, Viqueque, Ossu, Uato-lari dan Lospalos.
Vikariat ini dipimpin oleh Pe. Mariano Soares. Kedua, zona tengah
yang meliputi Ermera, Letefoho, Aileu, Ainaro, Maubisse, Same,
Alas, dan Turiscai dengan pimpinannya Pe. Domingos Alves da Costa.
45
Ketiga, zona barat dengan wilayahnya Maliana, Bobonaro, Balibo,
Oecussi, Suai, Fohorem, yang dipimpin oleh Pe. Françisco Tavares.
Zona keempat yang berada di Dili menjangkau Becora, Balide,
Motael, Comoro, Vila Verde, Dare, dan Liquiça. Wilayah ini
dikoordinir oleh Pe. José Alvaro N.S.M. Monteiro.
Para pastor yang melayani umat sebanyak 89 orang yang
terdiri dari 36 dari Projo; 9 Yesuit; 19 Salesian; 14 SVD; 4 Fransiskan;
6 Claretian, dan 1 Carmelit. Juga 32 biarawan. Sedangkan biarawati
yang berkarya di Timor Leste berasal dari Salesian (FMM: 21),
SCMM (8); Canossian (FdCC: 52); CIJ (30); SSpS (15); KYM dari
Pematang Siantar (5); Ursulin (OSU:9); Hermas Carmelitas (Hcarm:
34); PRR (28); Carolus Borromeus (CB: 6); FCJM dari Sumatera (9);
Maryknoll Sisters (4); Dominicanes del Rosario (OP: 4); Fransiskanes
Pringsewu/Lampung (Fr Pr: 12); OSF (3), Ordinis Carmeliarum
Discalcaetorum (OCD: 11), dan Instituto Secular Maun Alin iha
Cristo (ISMAIK: 17). Selain dari calon pastor/biarawan dari Timor
Leste, maka Keuskupan Dili memiliki lebih dari 50 calon Projo
(Malang, Kupang, dan Flores) serta hampir 100 orang seminaris di
Balide, Dili.
Karya pastoral meliputi pengembangan katekese umat,
pendidikan, kesehatan, dan panti asuhan. Khusus bidang pendidikan 8
TK dengan murid mencapai 647 anak; SD 212 dengan 17.528 murid;
SLTP, SMU, SMK sebanyak 46 buah dengan 9.069 murid selain dari
46
1 STM dan 1 SPP. Pendidikan Tinggi yang dikelola oleh Keuskupan
adalah IPI yang berafiliasi dengan Malang menampung 305
mahasiswa. Di bidang kesehatan terdapat 10 poliklinik dan 1 Rumah
Sakit Katolik di Suai (Gusmão, 1997: 88).
2). Pemekaran Diosis Baucau
Melihat perkembangan yang makin membengkak ini, maka
sejak Desember 1996, Vatikan membuka lagi sebuah diosis baru di
Baucau. Diosis ini dipimpin oleh Mgr. Basilio do Nasçimento, Pr. Ia
menerima tahbisan dari Paus Yohanes Paulus II di Basilika Santo
Petrus, tanggal 6 Januari 1997. Jelas bahwa tahun 1996 merupakan
lembaran baru yang memuat berbagai harapan dalam koridor Gereja
Katolik di Timor Leste.
Pemekaran diosis baru di Baucau ini segera saja mendapat
sorotan politis dari berbagai pihak yang berkepentingan. Sejumlah
pihak segera menghembuskan anggapan bahwa upaya ini merupakan
cara ‘mengemposi peran Uskup Belo’. Ketika sebuah majalah di Italia
mencoba menjelaskan kondisi Timor Leste dengan memakai
istilah “Integrasi ke dalam Indonesia”, sejumlah pejabat langsung
menjadikannya sebagai komoditi politik. Mgr. Pietro Sambi hanya
menekankan bahwa komentar jurnalistik sama sekali tidak memiliki
nilai yuridis. Masalah politik Timor Leste bukan urusan Vatikan
melainkan PBB dan komunitas Internasional.
47
Gereja sendiri menganggap bahwa hal ini merupakan ‘tahun
rahmat Tuhan sudah datang’. Mengutip Yohanes Pembaptis, Uskup
Belo mengungkapkan kegembiraan spiritualnya yang mendalam, “Ia
harus makin besar, Aku makin kecil” (Yoh. 3: 30).
Keuskupan Baucau membawahi paroki-paroki wilayah Timur:
Manatuto, Soibada, Baucau, Laga, Venilale, Ossu, Viqueque,
Watulari, dan Lospalos. Imam-imam yang berkarya di sana berasal
dari Salesian, SVD, Ordo Carmel, dan Projo sendiri. Biarawatinya
meliputi: Canossiana, OSU, FMA, ADM, FCJM, SCMM, SSpS, CIJ,
KYM, dan Frater Projo. Kekuatan tenaga pastoral ini didukung oleh
banyak katekis, zeladores, dan beberapa kelompok kategorial
(Gusmão, 1997: 90). Dari Baucau Gereja menantikan merekahnya
fajar pengharapan (Loro Sae).
Penduduk Menurut Agama per Kabupaten
Diperinci per Kabupaten Tahun 1980
No Kabupaten Islam Katolik Kristen Hindu Budha Lain-lain Jumlah
01 Covalima 83 23.112 15 0 0 2.435 25.645
02 Bobonaro 170 56.664 170 5 1 4.970 61.980
03 Manufahi 289 23.919 504 2 1 2.073 26.788
04 Ainaro 151 41.739 35 2 0 2.283 44.210
05 Viqueque 103 34.174 1.274 14 0 19.010 54.625
06 Lautem 447 21.740 2.458 78 0 13.376 38.099
07 Baucau 145 57.678 228 1 1 16.774 74.827
08 Manatuto 114 17.310 153 6 0 6.859 24.442
09 Aileu 106 12.215 328 1 0 2.512 15.162
48
10 Dili 1.820 51.472 4.495 205 25 8.572 67.039
11 Ermera 65 40.757 328 0 0 14.931 56.081
12 Liquiça 162 28.745 7 2 0 426 29.342
13 Ambeno 22 38.919 42 2 0 125 37.110
JUMLAH 3.677 446.444 10.487 318 28 94.396 555.350
% 0.66 80.39 1.89 0.06 0.01 16.99 100.00
Sumber: Kantor Statistik Propinsi Timor-Timur (Hasil Sensus Penduduk 1980)
Tempat/Rumah Ibadah Sejak Tahun 1982 – 1994
Katolik Protestan Islam Hindu Budha No Tahun
Gereja Kapela Gereja R.Ibadah Masjid Mushola Pura vihara
01 1982 25 24 12 60 6 18 1 1
02 1983 - - - - - - - -
03 1984 28 30 18 91 6 24 2 5
04 1985 38 119 19 72 6 23 3 7
05 1986 41 132 19 70 6 23 3 8
06 1987 41 132 19 70 6 23 3 8
07 1988 44 178 19 80 6 24 3 8
08 1989 46 197 30 82 7 37 9 6
09 1990 46 300 41 68 9 33 9 7
10 1991 50 331 43 65 9 32 10 2
11 1992 52 374 32 119 12 40 12 2
12 1993 54 374 32 119 11 40 12 2
13 1994 59 442 37 92 11 34 14 2
Sumber: Timor-Timur dalam Angka Tahun 1994
Penduduk Menurut Agama di Timor-Timur
Diperinci per Kabupaten Tahun 1990
No Kabupaten Islam Katolik Kristen Hindu Budha Lain-lain Jumlah
01 Covalima 857 43.420 251 687 0 95 45.310
02 Ainaro 547 41.522 286 107 4 909 43.375
03 Manufahi 710 33.306 191 63 5 0 34.275
04 Viqueque 572 55.561 512 76 6 552 57.279
05 Lautem 1.063 46.244 945 53 25 60 48.390
06 Baucau 3.517 81.111 1.090 188 116 653 86.675
49
07 Manatuto 517 30.693 221 99 5 0 31.805
08 Dili 16.334 92.030 11.607 1.928 604 802 123.305
09 Aileu 258 21.548 2.236 116 2 497 24.657
10 Liquiça 554 38.465 1.225 41 14 3.946 44.245
11 Ermera 959 70.397 602 166 42 5.404 77.570
12 Bobonaro 676 74.213 749 359 10 5.685 81.692
13 Ambeno 522 47.622 745 78 8 4 48.979
JUMLAH 27.086 676.402 20.660 3.961 341 18.607 747.557
% 3,62 90,48 2,76 0,53 0,12 2,49 100.00
Sumber: Kantor Statistik Propinsi Timor-Timur (Hasil Sensus Penduduk 1990)
Penduduk Menurut Agama per Kabupaten Tahun 1994
No. Kabupaten Katolik Kristen
Protestan
Islam Hindu Budha Lain-lain Jumlah
01 Covalima 48.265 279 859 765 - 106 50.366
02 Ainaro 43.513 300 573 112 4 953 45.455
03 Manufahi 36.024 207 763 68 5 - 37.672
04 Viqueque 56.120 517 578 77 8 558 57.888
05 Lautem 49.883 1.019 1.147 57 27 65 52.198
06 Baucau 84.772 1.139 3.678 198 121 682 90.587
07 Manatuto 33.679 240 562 108 5 - 34.595
08 Dili 12.750 14.220 20.012 2.382 740 983 151.067
09 Aileu 20.302 2.626 303 138 2 584 28.959
10 Liquiça 44.006 1.402 634 317 18 4.515 50.621
11 Ermera 78.202 889 1.065 184 47 8.003 86.170
12 Bobonaro 81.077 814 739 382 11 6.211 89.248
13 Ambeno 52.048 24.250 570 85 9 4 53.529
JUMLAH 745.652 24.250 31.579 4.589 994 20.663 827.727
% 90,08 2,93 3,82 0,55 0,12 2,50 100,00
Sumber: Kantor Statistik Propinsi Timor-Timur (Hasil Sensus Penduduk 1990)
50
2. Gambaran Gereja Timor Leste di Era Pascareferendum
Luas wilayah Timor Leste 15.007 km² terdiri dari Pulau Atauro,
Jaco, Oecusse-Ambeno, dan sebagian Pulau Timor dengan jumlah penduduk
800.000 jiwa di antaranya beragama Katolik Roma 90 %, Islam 4 %,
Protestan 3 %, Hindu 0,5 %, dan lain-lain (Buddha, agama asli) 2,5 %. Di
Timor Leste tercatat 17 ordo/kongregasi berkarya. Terdiri dari lima
ordo/kongregasi imam dan biarawan, dan 12 ordo/kongregasi biarawati.
Seluruhnya sekitar 150 orang. Sebanyak dua pertiganya adalah biarawati
(Neonbasu, 2006: 9).
Karya misi di Timor Leste mengalami kemajuan sangat pesat
sesudah 1950. Mgr. Jaime GarÇia Goulart melayani pada tahun 1940-1958,
kemudian Mgr José Joaquim Ribeiro pada tahun 1958-1976. Penggantinya,
Mgr Martinho da Costa Lopez (1977-1983), Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo
(1983-2000), dan kini Mgr Alberto Ricardo da Silva sebagai Uskup Dili dan
Mgr Basilio do NasÇimento sebagai Uskup Baucau.
Dalam perjalanannya, Gereja Katolik selalu berupaya untuk tidak
terpancing dan ikut terlibat dalam urusan politik. Gereja selalu merefleksi diri
sebagai pelayan masyarakat dan umat yang tergabung di dalamnya. Gereja
Katolik selalu berpihak pada kepentingan manusia yang paling konkret. Pada
masa-masa pendudukan Indonesia, Gereja Katolik memegang peranan kunci,
dengan perkasa ia tampil mewartakan kebenaran dan keselamatan kepada
siapa pun.
51
Gereja Katolik telah menjadi saksi kebenaran, terlebih dalam masa-
masa sulit. Misalnya, ketika relasi dengan pihak pemerintah yang mulai
longgar pada tahun 1970-an dan saat menghadapi masa pilihan untuk berdiri
sendiri terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gereja Katolik tiada hentinya tampil ke depan umum menjadi saksi
kebenaran. Ketika terjadi kerusuhan di Dili 1991 yang menelan banyak
korban akibat tindakan brutal militer Indonesia, Gereja Katolik hadir
memberikan bantuan yang terkadang diartikan secara salah oleh militer
Indonesia dan pemerintahan sipil (Neonbasu, 2006: 11).
B. Permasalahan atau Tantangan yang Dihadapi Gereja Timor Leste di Era
Pascareferendum
Bangsa Timor Leste di era pascareferendum menghadapi perubahan di
berbagai macam bidang; sosial, politik, pembangunan, ekonomi, keagamaan,
dan lain-lain. Perubahan ini mengharuskan masyarakat setempat untuk
beradaptasi dengan cara hidup yang baru dan pola berpikir yang baru. Di
samping kenyataan bahwa perubahan ini membawa banyak kemajuan
(kecanggihan sarana telekomunikasi, perdagangan, model pakaian,
pendidikan, dll.), juga ada beberapa efek negatifnya seperti merosotnya moral
masyarakat setempat, kaum muda yang kehilangan gairah intelektualnya dan
sering memilih jalan kehancuran, misalnya depresi, free-sex dan seks yang
permisif (misalnya “asgor = aspal goreng” = “sarkem”), agresivitas (brutal),
kejahatan, dan kekerasan lainnya.
52
Dalam dunia pendidikan, Gereja Timor Leste dan penguasa
pemerintah Timor Leste (PM Mari’e Alkatiri) saling mengadu pendapat
mengenai pendidikan Agama yang tidak dituangkan dalam kurikulum
pendidikan. Namun, pada akhirnya terjadi kesepakatan setelah Gereja yang
dipimpin oleh Pe. Domingos da Silva Soares, Pr melakukan aksi “demo”
menentang pemerintahan Mari’e Alkatiri, yang berlangsung dari 18 April
hingga 07 Mei 2005 (Hidup, edisi 29 Mei 2005: 30-31).
Dalam dunia politik, bangsa Timor Leste dalam perjalanan sejarahnya
tidak terlepas dari politik. Sejak penjajahan Portugis, semasa bergabung
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga referendum,
penyelesaian masalah Timor Leste selalu bernuansa politik. Dalam kasus
pemecatan 600 personil Tentara Nasional Timor Leste (FDTL = ForÇa
Defesa da Timor Leste), solusinya juga bernuansa politik, walaupun pokok
permasalahannya adalah adanya unsur diskriminasi dan rasialisme yang
terkandung di dalamnya (Kompas, edisi 29 April 2006: 9).
Dalam segi ekonomi, situasi pascareferendum “memaksa” masyarakat
setempat untuk terus bekerja tanpa kenal lelah. Dengan kondisi seperti ini,
tentu waktu untuk berkumpul bersama keluarga, berkomunikasi sangatlah
terbatas. Karena setiap orang atau anggota keluarga sibuk untuk mencari uang,
karena mau atau tidak mau setiap keluarga harus memulihkan sistem
perekonomian keluarganya sendiri. Hal ini disebabkan saat jajak pendapat,
mayoritas penduduk Timor Leste kehilangan harta bendanya (rumah, tanah
53
leluhur yang diwariskan turun-temurun), sehingga masyarakat Timor Leste
harus memulainya lagi dari bawah.
Di antara begitu banyak permasalahan yang ada di atas, penulis
membatasi permasalahan ini menjadi lima (5) yakni; masalah kaum muda,
masalah pendidikan, masalah politik, bahaya sekularisme dan materialisme,
dan masalah penghayatan hidup beriman umat. Kelima masalah ini menurut
penulis bersifat krusial. Berikut akan diulas mengenai kelima masalah
tersebut.
1. Masalah Kaum Muda
Dalam Conferençia Naçional dos Bispos do Brazil (CNBB)
sebagaimana dikutip oleh Gusmão, antara lain dikatakan: “A juventude é a
idade do broto, do desabrochar, da ruptura e da independençia. a
juventude é sonhador, impaçiente e imediatista. identifica-se, geralmente,
com o novo, com a mudança-força de transformação na sociedade.”
(Gusmão, 1997: 202)
Pernyataan ini dapat diartikan atau diterjemahkan demikian, bahwa
kaum muda (juventude) merupakan masa (idade) untuk bersemi,
memekar, melepaskan diri dan merayakan kemerdekaan citra dirinya.
Mereka merenda mimpi dan menenun harapan sehingga tercipta busana
baru. Kaum muda merupakan simbol atau lambang dari perubahan
(transformasi) sekaligus reformasi dari masyarakatnya.
54
Dari segi atau dimensi religius, kaum muda selalu memberikan
pengharapan untuk menuju milenium ketiga. Hal ini ditekankan oleh Paus
Yohanes II dengan mengatakan: “Queridos Jovens, que sois os discipulos
de Jesus do Terçeiro Milenio: que os caminhos da vossa juventude se
cruzem com Cristo, o verdadeiro heroi, humilde e sabio, o profeta da
verdade do amor; o companheiro e o amigo dos jovens.” (Gusmão, 2003:
202)
Artinya, pada kaum muda,..., kita bisa mengenal setiap insan, yang
dengan sadar atau tidak, mendekati Kristus penyelamat manusia dan
mengajukan pertanyaan moral. Bagi Sri Paus, kaum muda memang selalu
memberikan pengharapan untuk menyeberangi milenium ketiga. Sebab
kaum muda merupakan foto model klasik untuk manusia yang mencari
kebenaran. Kaum muda merupakan makhluk yang selalu “bertanya dan
mempertanyakan” segala sesuatu. Di dalam dirinya ada suatu kerinduan
untuk menemukan jawaban tentang dirinya, lingkungan hidupnya dan di
atas segalanya itu adalah Tuhannya.
Jika dipandang dari sudut realitas dunia, kaum muda memiliki
daya tarik (concupisciençia) untuk melangkah ke masa depan. Sedangkan
dari sudut pandang religiositas, kaum muda menampilkan atau
menunjukkan daya tahan dalam kerinduannya atau harapannya untuk
mencari dan menemukan kebenaran dan kemerdekaan sejatinya.
Pada tingkat psikologis kaum muda Timor Leste terkena
kecenderungan hilangnya “kecerdasan emosional” (emotional
55
intelligence). Kecerdasan emosional ini mencakup kesadaran diri dan
pengendalian diri, semangat, ketekunan, motivasi, empati dan daya pikat
sosial seseorang. Kecerdasan emosional tidak sama dengan kepintaran
(IQ) seseorang. Memang ada hubungan tapi tidak sama (Gusmão, 2003:
210).
Menurut Mangunwijaya sebagaimana dikutip oleh Gusmão (2003:
211) dikatakan bahwa:
Hancurnya kecerdasan emosional terkait dengan sistem pendidikan dan pengajaran Indonesia yang rusak. Kaum muda Timor Leste (dan Indonesia) pada umumnya merupakan korban dari sistem pendidikan dan pengajaran Indonesia yang buruk. Dalam hal ini kaum muda Timor Leste lebih menderita, karena disertai oleh situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan psikologis yang hancur. Jadi, pendidikan Indonesia telah merusakkan jiwa kaum muda Timor Leste. Hal ini dapat dikatakan bahwa, pendidikan selama ini tidak
berhasil dalam pencapaian “alfabetisasi” (alfabetização), yang berarti
pencapaian keseimbangan antara budi (rasionalitas) dan hati
(emosionalitas). Padahal, pendidikan seharusnya membawa manusia
sampai pada kemanusiaan atau kemerdekaannya yang sejati.
Sumber masalah dari gagalnya alfabetisasi adalah bahwa sistem
pendidikan selama ini cenderung hanya mengejar jumlah siswa dan
murid-murid yang membludak (kuantitas) tetapi mengabaikan atau
melupakan kualitas (mutu), dan akibatnya, muncullah klasifikasi atau
kategori kaum muda dalam tiga (3) kelompok. Di antaranya; pertama,
mayoritas pelajar (mahasiswa) Timor Leste yang mendapat kesempatan
mengenyam pendidikan di Jawa-Bali tetapi sedikit sekali menampakkan
56
kreatifitas (ethos) ilmiah. Kedua, kaum muda yang bersekolah/kuliah
sambil bekerja untuk menunjang hidupnya dan pendidikannya. Ketiga,
kaum muda yang tidak sanggup kuliah lantaran tidak punya motivasi dan
tidak memiliki tunjangan dana (Gusmão, 2003: 211)
Dewasa ini, kita bisa mengatakan bahwa kaum muda Timor Leste
kehilangan orientasi, karena pendidikan yang ditawarkan “negara baru”
ini belum menampakkan wajahnya. Masa depan mereka begitu suram.
Maka dibutuhkan suatu langkah strategis dalam merancang pendidikan
yang lebih humanis.
Kehidupan keagamaan yang ditanamkan oleh para orang tua sejak
dini pada kaum muda merupakan langkah awal yang sangat menentukan
dalam perjalanan kehidupan kaum muda selanjutnya. Namun hal ini akan
menjadi masalah, jika nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan merupakan
kewajiban belaka, dan hanya merupakan rutinitas bukan merupakan
kebutuhan bagi perkembangan pribadi kaum muda secara integral, maka
nilai-nilai ini akan hilang ketika kaum muda berada dalam suatu lingkup
yang jauh dari orang tua. Hal ini terlihat jelas pada kaum muda yang
berada di perantauan. Ketika mengadakan kegiatan-kegiatan yang
bernuansa religius seperti retret, rekoleksi, Misa Natalan dan Paskahan
bersama, dll., jumlah kaum muda yang berpartisipasi sangatlah sedikit.
Dari 320-an jumlah kaum muda yang berada di wilayah Yogyakarta, yang
mengambil bagian dalam kegiatan religius seperti yang telah disebutkan di
atas, hanyalah 15-25 orang. Hal ini menandakan bahwa bagi kaum muda
57
kegiatan religius ini hanyalah bersifat penghalang bagi perkembangan
kehidupan mereka, karena terlalu banyak menyita waktu untuk melakukan
kegiatan lain.
2. Masalah Pendidikan
Gereja memberikan perhatian sangat besar terhadap pendidikan.
Alasannya antara lain, pendidikan mempunyai makna penting di dalam
kehidupan manusia dengan segala dimensinya, baik keagamaan,
kebudayaan, kemasyarakatan, politik, dan ekonomi. Melalui dan berkat
pendidikan, manusia tidak hanya mampu menerima dan meneruskan ilmu
pengetahuan dan teknologi dari generasi sebelumnya, tetapi manusia juga
mampu merekayasa dan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi
baru yang dibutuhkan bagi pengembangan dirinya di masa depan.
Begitu juga, pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas
Gereja untuk mewartakan penyelamatan Allah Bapa kepada semua
manusia dan memulihkannya di dalam Kristus. Tugas Gereja itu diterima
dari Pendidik Ilahinya, Kristus, menjelang kepergian-Nya dari dunia,
dengan pesan, “Pergilah, dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan
baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan ajarlah
mereka melakukan segala sesuatu yang telah Ku-perintahkan kepadamu.”
(Mat. 28: 19-20).
Makna pendidikan yang mahapenting di dalam kehidupan
manusia dan pengaruhnya yang makin besar terhadap kemajuan sosial
58
dewasa ini dipertimbangkan dengan cermat oleh Konsili Suci (GE art. 8).
Memang benar pendidikan kaum muda, malah sejenis pendidikan lanjutan
juga bagi orang dewasa, menjadi lebih mudah dan mendesak dalam
keadaan dewasa ini. Maklum, manusia menjadi lebih sadar akan
manfaatnya sendiri dan akan tugasnya. Karena itu, mereka ingin makin
berperan serta secara aktif dalam kehidupan sosial, terutama dalam
kehidupan ekonomi dan politik.
Kesadaran sosial politik merupakan buah pendidikan yang dewasa
ini sangat banyak digeluti oleh kaum muda Timor Leste. Jumlah sarjana di
masa Indonesia ini melonjak setiap tahun. Sementara pendidikan di
bawahnya pun menghasilkan banyak tamatan. Kuantitas kaum terdidik
sesudah masa integrasi dapat dikatakan fantastis. Pendidikan dewasa ini
telah menciptakan suatu fajar budi, suatu era pencerahan bagi mentalitas
orang Timor Leste.
Namun dalam segi kualitas boleh dikatakan bahwa kaum muda
Timor Leste tertinggal jauh dalam persaingan. Hal ini menyebabkan
berkembangnya sikap apatis dan frustrasi, kehilangan orientasi pendidikan
dan tak ada cita-cita mendasar serta pandangan masa depan yang
mencemaskan. Pendidikan dilihat sebagai proses yang merepotkan saja.
Karena itu sikap mencari enaknya saja muncul dalam bentuk budaya
contek, kemerosotan disiplin, kekeringan etos ilmiah, termasuk
kemandulan wibawa guru (Gusmão, 2003: 116). Dalam kaca mata
generasi pendahulu selalu muncul sindiran dan “kebanggaan” (moral)
59
bahwa mereka lebih baik dari generasi sekarang ini. Generasi terdidik
dewasa ini dianggap sebagai generasi yang kempot dan “la vale” (tidak
laku).
Di era pascareferendum, begitu banyak lembaga pendidikan
didirikan, dengan maksud untuk menampung para peserta didik yang
putus sekolah dan kuliah akibat jajak pendapat pada tahun 1999. Di satu
sisi, ini merupakan suatu perkembangan yang baik, di sisi lain perlu
dipertimbangkan pula tenaga pengajar atau pendidik yang dibutuhkan oleh
lembaga pendidikan. Alasannya, pertama, di dalam dunia (masyarakat
Timor Leste khususnya) yang mengalami proses sekularisasi dibutuhkan
contoh manusia yang utuh, lahir dan batin. Untuk memenuhi kebutuhan
itu diperlukan contoh perilaku pendidik khususnya awam Katolik. Kedua,
belum semua awam yang terjun di dalam karya pendidikan memandang
karya pendidikan sebagai karya kerasulan.
Masyarakat Timor Leste hidup dalam suasana multikultural. Hal
ini nampak jelas dalam bahasa daerah. Untuk itu, sistem pendidikan
sekarang harus mempertimbangkan juga pendidikan multikultural
(Dawam, 2003: 64-65). Pendidikan multikultural memandang bahwa
manusia memiliki beberapa dimensi yang harus diakomodir dan
dikembangkan secara keseluruhan. Orientasi dari pendidikan multikultural
ini adalah untuk “memanusiakan kemanusiaan manusia”. Kemanusiaan
manusia pada dasarnya adalah pengakuan pluralitas, heterogenitas, dan
keragaman manusia itu sendiri. Keragaman ini bisa berupa ideologi,
60
agama, pola pikir, kebutuhan, keinginan, tingkat ekonomi, strata sosial,
suku, etnis, ras, budaya, nilai-nilai tradisi-tradisi, dan sebagainya.
3. Masalah Politik
Gereja merupakan sebuah realitas sosial; dia adalah modus
existendi, suatu gaya ungkapan iman Katolik dalam masyarakat.
Sedangkan iman lebih merupakan jantung dan nafas Gereja; dia adalah
modus essendi, hakikat yang harus dijaga kemurniannya. Orang beriman
Katolik harus memilih untuk berada dan hidup dalam Gereja. Tetapi iman
Katolik dan hidup menggereja senantiasa mengalami perkembangan
sesuai dengan tuntutan zaman (Gusmão, 2003: 260).
Sebagai realitas sosial, Gereja berada dalam perubahan masyarakat
yang menganutnya. Memang Gereja harus menyampaikan nilai-nilai Injil
seperti iman, harapan, dan cinta kasih, tetapi nilai-nilai itu didengar dan
dihayati oleh suatu masyarakat dengan aneka ragam permasalahannya.
Maka, menjadi persoalan, apakah Gereja harus asal bicara tentang iman,
harapan, dan cinta kasih, sementara masyarakat sedang bingung mencari
Tuhan, putus asa, dan hidup dalam dendam membara? Atau kita dapat
bertanya lebih tegas lagi, bagaimana Gereja menjawab permasalahan
manusia, kalau Gereja hanya berdiam diri dan bersikap netral?
Sejarah Gereja Timor Leste menunjukkan bahwa Gereja tidak
pernah lelah untuk terus mengumandangkan nilai-nilai Injil. Pada zaman
kolonial, Gereja mengalami konflik demi konflik dengan pemerintah.
61
Alasan paling utama adalah bahwa pemerintah Portugal menjalankan
kekuasaannya dengan penuh kekerasan. Kaum pribumi mengalami banyak
penderitaan dan kehancuran.
Gereja menanggapi situasi itu dengan himbauan, kritik, saran,
rekomendasi, sejumlah aksi konkret. Bahkan sejumlah pemberontakan
kaum pribumi melawan penjajah mendapat dukungan dari pastor-pastor.
Contohnya, dalam sebuah aksi di Aileu tahun 1722 Frei Manuel
Rodrigues dan Frei Manuel Vieira dihukum mati karena dianggap
memihak sejumlah perlawanan terhadap pemerintah Portugal. Begitu pula
Pe. Manuel de Pilar (Dili) dan Pe. Bartolomeu Perreira (Batugedé) turut
memberi peluang kepada umatnya bagi pemberontakan di wilayah itu
(1731) dan Manatuto (1787). Akibatnya Vikaris Jendral, Pe. FranÇisco da
Cunha dijadikan “tumbal” dan dihukum selama satu tahun untuk
kemudian diusir dari Timor. Dari tahun 1788 hingga 1819 semua karya
misi di Timor Leste nyaris padam karena dihambat oleh pemerintah
penjajah. Namun, pada tahun 1875 tampillah sosok Pe. António Joaquim
Medeiros yang berusaha memperbaiki hubungan pemerintah dan Gereja.
Demikian halnya pada zaman pendudukan Jepang, dua orang
pastor yaitu Pe. Norberto de Oliveira Barros dan Pe. António Manuel
Pires dibunuh lalu dibakar di Ainaro. Mereka dibunuh karena diduga dan
dituduh menghasut rakyat untuk melawan Jepang. Mereka berpihak pada
rakyat kecil dan miskin yang ditindas dan dijajah di kampung-kampung
dan desa-desa.
62
Selain tragedi-tragedi itu, Gereja Timor Leste demi kesadaran
panggilannya, merintis usaha kesehatan dan pendidikan pribumi bagi
masyarakat Timor Leste. Gereja mendirikan sejumlah colegio (Soibada,
Dare, Ossu, Maliana, Fatumaca, Fuiloro, dsb.). Ini bertujuan untuk
“membebaskan kaum pribumi untuk menemukan jati dirinya” (Gusmão,
2003: 234 – 236).
Ketika mulai perjuangan untuk menentukan nasib sendiri, Gereja
Katolik Timor Leste ikut berperan aktif. Ini dapat dilihat dengan
tampilnya sosok seperti Dom José Joaquim Ribeiro dan Dom Martinho
Lopes. Keduanya (termasuk beberapa pastor) banyak mengalami
penderitaan batin akibat sikap brutal dari Fretelin, tetapi juga tindakan
sewenang-wenang aparat keamanan (Tentara Nasional Indonesia)
terhadap rakyat Timor Leste. Nasib yang sama menimpa pula Dom Carlos
Filipe Ximenes Belo (sang Uskup peraih Nobel Perdamaian) sampai tahun
1996. Kemudian Dom Carlos mengangkat temannya Dom Basilio do
Nascimento menjadi uskup Baucau, agaknya Gereja harus terus bergumul
dalam duka dan nestapa.
Di era pascareferendum, sikap brutal dari Fretelin terus
dilancarkan. Gereja Katolik Timor Leste terus berpegang pada
panggilannya yaitu mewartakan keadilan, kebenaran, perdamaian, cinta
kasih melalui kritik, himbauan, kotbah, saran dan rekomendasi. Namun,
kaum penguasa Fretelin menganggap ini adalah usaha Gereja untuk
menggagalkan dan menggulingkan pemerintahan Fretelin. Bahkan
63
sejumlah pastor diancam untuk dibunuh jika para pastor terus
mengumandangkan nilai-nilai Injil; keadilan, kebenaran, perdamaian, dll.
(fenomen ini berdasarkan hasil wawancara penulis dengan seorang pastor
yakni Pe. Domingos da Silva Soares, Pr yang diancam akan dibunuh oleh
penguasa Fretelin, yang sementara menikmati masa “cuti”nya dari tugas
kegembalaannya di Indonesia, pada tanggal 05 Juni 2006).
Dengan pengalaman-pengalaman ini, rasanya cukup bukti bahwa
Gereja Katolik Timor Leste bukanlah lingkungan yang mengumpulkan
dogma abstrak dan melulu mengajarkan hal-hal Ilahi. Memang ini adalah
unsur esensial dan konstitutif. Namun sejarah memberi catatan penting
bahwa pengalaman suka dan duka dari fakta ekonomik, politik, sosial dan
proses historis merupakan ajang bagi perjuangan Gereja. Jadi, pada Gereja
ada ajaran yang harus dipelajari tetapi juga pilihan yang harus diambil dan
dialami.
4. Bahaya Sekularisme, dan Materialisme
a. Kontradiksi-kontradiksi Hidup di Timor Leste
Memandang fenomen-fenomen yang sedang berkembang di
Timor Leste di era pascareferendum, orang bisa terperangah dengan
perkembangan yang sedang terjadi. Di satu sisi, orang bisa
mengagumi modernitas yang sedang berlangsung, di sisi yang lain
modernitas itu membawa dampak negatif bagi perkembangan iman
umat Timor Leste.
64
Dampak negatif ini ditandai dengan degradasi kehidupan
rohani (hilangnya tradisi-tradisi dan nilai-nilai Injili: cinta kasih,
perdamaian, ketentraman, dll.) masyarakat Timor Leste yang nota
bene adalah masyarakat agamis atau religius. Tidak dipungkiri bahwa
masyarakat Timor Leste yang hidup di era pascareferendum ini, telah
diseret ke dalam suatu masyarakat yang materialistis dan sekularistis.
Mengapa materialistis dan sekularistis menjadi “budaya baru” bagi
masyarakat Timor Leste? Jawabannya jelas, karena pada saat
referendum mayoritas masyarakat Timor Leste mengalami kehancuran
di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Maka dengan keadaan
seperti ini, memaksa masyarakat Timor Leste untuk selalu berusaha
memenuhi segala kebutuhannya sendiri. Dengan keadaan demikian,
waktu untuk mengadakan kegiatan rohani (Misa, dan Ibadat Sabda)
sangatlah jarang dilaksanakan bersama keluarga.
Maka tidak mengherankan jika saat ini masyarakat Timor
Leste “saling bersaing” untuk mendapatkan apa yang diinginkannya,
meskipun dalam persaingan tersebut harus memakan korban.
Persaingan ini bukan hanya terjadi di kalangan atas (para pejabat
negara/pemerintah) namun meluas hingga ke kalangan masyarakat
kecil. Di satu pihak, orang bisa menemukan simbol-simbol kekayaan,
kemewahan, dan kemajuan, yang menjamur secara mencolok di jalan-
jalan (Mercy, BMW, Porsche, Ford, Toyota Land Crusier, Jaguar, dll.)
yang dikendarai oleh ‘orang-orang kalangan atas’ yang nota bene pada
65
zaman dulu berada di ‘titik kejayaan’. Di pihak lain ditemukan dengan
mudah juga sekian banyak orang yang hidup dalam kemiskinan
absolut (yang kehilangan harta bendanya akibat referendum), dan tak
tahu besok makan atau tidak, bekerja keras untuk menyambung hidup,
tidur di tenda-tenda pengungsian, yang tak tahu sampai kapan akan
memperoleh kembali tempat tinggal mereka, untuk berkumpul
bersama anggota keluarga.
Orang bisa merasakan nuansa religius lewat tanda-tanda
formal keagamaan yang terpampang di jalan-jalan, KTP, SIM, dan
Paspor. Dan lebih hebat lagi, kemarahan akan tersulut cepat jika “jasa”
dalam memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste tidak
diperhitungkan oleh pihak lain atau ada konflik sosial ulah para
begundal politik dan gila hormat-kuasa, rasa senasib dan
sepenanggungan tanpa sikap kritis menggelegak seperti lahar yang
muncrat dari gunung berapi, sehingga hidup manusia dibinasakan
dengan tingkat kebiadaban yang tak terbayangkan oleh siapa pun.
Anehnya, kebiadaban tersebut bukan kejahatan atas hukum dan
kemanusiaan. Itulah gambaran perilaku keagamaan di Timor Leste di
era pascareferendum! Namun, wajah lain bangsa Timor Leste sungguh
tidak agamis. Kejahatan terjadi secara terang-terangan di depan mata
mulai dari pencurian, penodongan, perampokan, pembunuhan,
perkosaan, sampai yang tersamar dalam bentuk komisi, uang rokok,
uang pelicin, salam tempel, dan lain-lain, yang tumbuh dan
66
berkembang subur dalam masyarakat. KKN dan kekerasan menjadi
budaya baru yang hidup berdampingan dengan agama. Mengapa ini
semua bisa terjadi? Bagaimana fenomen-fenomen yang kontradiktif
ini bisa dipahami?
Dapat dikatakan bahwa materialisme atau gaya hidup
materialistis, yang diungkapkan dalam sikap sebagai pembeli buta
(konsumeristis) dan pengguna-penikmat pasif (hedonistis) sedang
bertumbuh subur di masyarakat Timor Leste. Kita bisa bertanya:
Apakah hal tersebut hanya sebuah isu atau sebenarnya persoalan riil
yang sedang mewabah dalam masyarakat Timor Leste? Apa yang
menjadi intisari pemikiran yang berada di balik kata-kata
materialistis, konsumeristis, dan hedonistis? Apa hubungan
materialistis, konsumeristis, dan hedonistis dengan materialisme dan
sekularisme? Mengapa Gereja Timor Leste perlu mewaspadai
ancaman/bahaya materialisme dan sekularisme? Secara konkret apa
pengaruhnya terhadap perilaku dan relasi antarpribadi, umat beriman,
dan masyarakat secara keseluruhan? Dan bagaimana ancaman tersebut
harus disikapi?
Satu hal yang pasti bahwa dunia saat ini telah menjadi
sebuah kampung kecil. Bangsa Timor Leste adalah bagian dari warga
dunia, warga dunia yang juga sedang dalam krisis identitas diri
(Valentinus, 2004: 81), dan masyarakat Timor Leste berada
sedemikian strategis dalam lintas percaturan dunia. Interaksi
67
antarmanusia, antarkebudayaan, antarbangsa dan antarnegara telah
sedemikian intens sehingga tingkah laku, pola hidup, cara berpikir,
cara bergaul saling tercampur dan saling mempengaruhi. Bisa
dikatakan bahwa manusia Timor Leste sekarang menghidupi budaya
campursari. Budaya campursari ini menjadi mungkin karena didukung
oleh perkembangan mahacepat ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya teknologi komunikasi yang super canggih, efektif, dan
cepat. Hampir tidak ada ruang yang tidak terjangkau dan terpengaruh
oleh media komunikasi, mulai dari yang tradisional, seperti radio,
televisi, hingga yang canggih dan super modern semacam telepon,
faximil, dan internet. Dengan sendirinya, pertemuan budaya semacam
ini membawa perubahan dan krisis dalam budaya lokal-tradisional
yang relatif tidak siap dan kurang memiliki resistensi atas pengaruh
dari luar. Karena itu tidak mengherankan bila materialisme dan
sekularisme tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Timor Leste,
yang nota bene adalah negara yang agamis/religius. Kalau demikian,
bisa dipertanyakan sejauh mana identitas ke-religius-an masih layak
disandang oleh masyarakat Timor Leste?
Berhadapan dengan situasi genting demikian ini, apakah
Gereja Timor Leste tetap diam dan pasif? Secara hakiki, Gereja lahir
dan dipanggil untuk menjadi tanda dan sarana kasih yang
menghidupkan, tanda dan sarana yang menghargai dan menjunjung
tinggi martabat dan citra diri setiap makhluk. Maka, Gereja Timor
68
Leste hendaknya melebarkan sayap-sayapnya dari sekedar berputar-
putar di sekitar altar dan di sekitar kepentingannya sendiri kepada
kepentingan masyarakat luas.
b. Sekilas tentang Materialisme dan Sekularisme
1) Sekularisme
Istilah sekularisme berasal dari kata sifat saeculus yang
berarti duniawi, keduniaan, dan kata benda saeculum yang berarti
zaman atau dunia. Sekularisasi merupakan gejala sosial yang
kompleks. Dengan adanya perkembangan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, sekularisasi menjadi suatu proses
penemuan jati diri dunia. Sekularisasi melibatkan pergeseran
manusia kepada dunia ini, di sini, dan sekarang. Maka mentalitas
zaman sekuler tidak lagi mengagung-agungkan tradisi, tidak
mudah tertarik kepada kebenaran-kebenaran spekulatif atau
tujuan-tujuan akhir hidup. Proses yang mengubah secara mendasar
pola berpikir, pola hidup manusia zaman ini. Manusia di zaman
sekuler yang cenderung bertumpu pada dunia di sini dan sekarang,
membuat pola berpikir mereka yang praktis dan pragmatis. Maka
tidak heran bila hal-hal yang bercorak rohani atau iman dengan
segala macam tradisi dan kepercayaan akan hidup di akhir zaman
sulit diterima oleh mereka.
69
Sebagai sebuah ideologi atau “agama baru”, sekularisme
dengan sendirinya memiliki prinsip dan sarana perwujudan ke-
ada-annya, struktur dan tatanan hidup dan sistem nilai tersendiri
yang bersifat baku, absolut, dan sempurna. Layaknya sebuah
agama dan, atau sebuah ideologi, sekularisme melihat agama-
agama atau ideologi-ideologi sebelumnya tidak mengungkapkan
kebenaran secara sempurna. Akibatnya, agama dan ideologi
sebelumnya haruslah dilenyapkan dan diganti dengan agama dan
ideologi yang lebih baik, lebih benar, dan lebih sempurna.
Kepercayaan akan Allah dan supranatural menjadi sumber
dan dasar dari kebohongan-kebohongan, manipulasi dan dominasi
politis-religius manusia, dan kelompok atas manusia dan
kelompok lainnya, dan agama melegalisasikan, membenarkan
serta melanggengkan ketidakadilan semacam itu. Karena itu, jika
ingin hidup bebas dan merdeka, hidup baik dan adil, senang dan
bahagia, manusia harus menggunakan daya kekuatan dan
kemampuannya semaksimal mungkin dan memutus hubungan
dengan realitas lain di luar dunianya. Manusia harus
membebaskan diri dari ide tentang Allah dan dunia supranatural
yang adalah semu dan rekaan manusia semata.
Ketika relasi manusia dengan Allah dihapus, prinsip-
prinsip yang mendasari alam semesta dan manusia, pengetahuan
dan pencarian makna hidup, moralitas dan nilai-nilai sosial-
70
kemanusiaan diasalkan dan didasarkan pada kodrat manusia dan
lingkup duniawi semata. Segala prinsip hidup, makna dan nilai
pengetahuan, kriteria nilai moral, tata sosial kemasyarakatan, dan
tujuan hidup manusia mendapat makna dan nilai yang baru sama
sekali. Tata dunia yang berpusat pada hal material semata dan
penghapusan realitas spiritual adalah konsekuensi lebih lanjut dari
pemutusan hubungan manusia dengan Allah. Hidup sesungguhnya
berada di dunia dan saat ini.
Maka tidak heran bila proses sekularisasi berdampak
positif dan negatif terhadap perkembangan hidup beriman.
Dimensi positifnya yakni bahwa dunia otonom namun tetap
berkorelasi dengan sang Pencipta. Proses tersebut membantu
manusia untuk menemukan otonomi hal-hal duniawi yang
mempunyai hukum-hukum serta nilai-nilainya sendiri, yang
sedikit demi sedikit harus dikenal, dimanfaatkan dan makin diatur
oleh manusia sebagaimana dikehendaki Allah Sang Pencipta.
Namun dimensi negatifnya yakni bila otonomi hal-hal duniawi itu
diartikan seolah-olah ciptaan tidak tergantung dari Allah dan
manusia dapat menggunakan sedemikian rupa, sehingga tidak lagi
menghubungkan dengan Sang Pencipta. Paham demikian biasa
disebut dengan sekularisme atau suatu ideologi tertutup yang
memutlakkan otonomi hal-hal duniawi tanpa keterbukaan kepada
Yang Ilahi. Pengaruh ini yang membuat manusia mengagung-
71
agungkan materi (materialisme, dan konsumerisme), juga
kenikmatan (hedonisme).
2) Materialisme
Dalam Kamus Filsafat (1996: 593) istilah materialisme
(Inggris: materialism) diartikan sebagai ajaran yang menekankan
keunggulan faktor-faktor material atas yang spiritual dalam
metafisika, teori nilai, fisiologi, epistemologi atau penjelasan
historis, atau lebih singkat dapat dikatakan bahwa materialisme
adalah paham yang hanya mengagung-agungkan materi.
Kebahagiaan hakiki hanya terdapat pada materi.
Menurut Epikurus dan epikurisme sebagaimana dikutip
oleh Valentinus (2004: 90-93), setiap makhluk hidup secara
instingtif, menginginkan kesenangan dan menghindari rasa sakit
dan penderitaan. Sejak awal hidupnya, manusia berusaha
memperoleh dan menikmati kesenangan sebagai kebaikan yang
tertinggi dan menghindari penderitaan sejauh mungkin dari
hidupnya dan menganggap penderitaan sebagai tidak alamiah.
Setiap orang lapar ingin makan, orang sakit ingin sembuh, orang
letih ingin istirahat, orang miskin ingin kaya, dan lain sebagainya.
Kesenangan yang dicari bukanlah kesenangan sesaat, seperti
kesenangan orang lapar sedang makan, melainkan seperti keadaan
sesudah makan; sebuah kesenangan yang bersifat stabil, tenang,
72
dan berlangsung lama. Pola hidup yang dilakoni dan tujuan hidup
yang dikejar sungguh-sungguh bercirikan materislis-hedonistic, a
temporal. Demikianlah ajaran Epikurus oleh para pengikutnya
dipraktekkan dalam kehidupan nyata baik sebagai komuniter dan
pribadi dan menjadi sebuah agama antagonistik dan cara hidup
alternatif dalam arus pemikiran dan pola hidup masyarakat Yunani
yang cenderung rasional-mistik-religius.
Doktrin materialisme praktis ini terus berkembang di abad-
abad kemudian menjadi sebuah paham baru di samping agama
Kristen. Salah satu aliran materialisme praktis yang muncul pada
zaman itu adalah libertinisme.
Libertinisme berpendapat bahwa, pembuktian atas
eksistensi Tuhan adalah hal yang mustahil dan paham ini juga
menolak ajaran moral tradisional klasik, terutama moral Kristiani.
Sebaliknya, pedoman atau penuntun tingkah laku hidup manusia
adalah kesenangan semata. Sebab, pada dasarnya setiap orang
berusaha untuk mengejar kesenangan dan mempertahankannya.
Karena itu, ajaran moral yang berusaha menghindari, merelatifkan,
membuang jauh atau malah mematikan kesenangan yang tidak
sesuai dengan arah dasar dan tujuan hidup mansuia dan tidak
kodrati. Jadi, menurut mereka, setiap manusia harus bebas
bertindak dan berperilaku seturut pedoman (kesenangan) yang ada
73
dalam dirinya (moral subjektif) tanpa harus diganggu gugat atau
terbebani rasa bersalah oleh agama dan moral objektif tertentu.
Timor Leste, di era pascareferendum, semua syarat untuk
warta kesenangan tersebut sudah tersedia dalam media komunikasi
yang serba canggih dan semua masyarakat Timor Leste sedang
menikmati kesenangan tersebut tanpa kecuali dan tanpa gangguan.
Peran agama semakin merosot dan disempitkan pada urusan
pribadi bahkan dihilangkan. Kemerosotan tersebut terjadi karena
agama dianggap sebagai bagian dari masa lampau, tradisional,
penghalang kemajuan dan kebebasan dan penyebab pertumpahan
darah yang tiada habis-habisnya. Agama sedang dianaktirikan dan
menanggung peran tertuduh dalam sejarah peradaban modern dan
agama harus menyerahkan fungsi salvifik dan profetisnya dalam
zaman modern (pascareferendum) ini kepada pihak lain.
Sekarang sampai pada pertanyaan: seberapa besar
pengaruh dan bahaya materialisme dan sekularisme bagi hidup
beriman masyarakat Timor Leste? Bukankah masyarakat Timor
Leste termasuk masyarakat dengan semangat dan tradisi religius
yang tinggi? Materialisme dan sekularisme lebih bersifat wacana,
mengapa Gereja Timor Leste harus menanggapinya dengan
serius? Lonceng peringatan atas ancaman sekularisme dan
materialisme haruslah dibunyikan. Ancaman materialisme dan
sekularisme semestinya disikapi dengan serius dan sebagai paham
74
yang tidak bisa dipandang remeh atau diabaikan. Sebab, perilaku
hidup manusia bukan didasarkan pada insting semata seperti
halnya binatang, melainkan lebih didasarkan atas, dipengaruhi
oleh, dan diputuskan menurut akal budi dan alam pemikiran yang
dianutnya. Jadi, materialisme dan sekularisme harus disikapi oleh
Gereja Timor Leste, karena sebenarnya “agama baru” ini sudah
bertumbuh dan sedang berkembang di Timor Leste baik secara
teoritis maupun dalam praksis hidup beriman.
Manusia (Timor Leste) dan kemanusiaannya sedang
berada dalam bahaya. Warta materialisme dan sekularisme
sedemikian kuat mempengaruhi pikiran dan perilaku setiap orang
Timor Leste. Dengan mengusung kecenderungan instingtif akan
kesenangan, dan didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
super canggih, materialisme-sekularisme tampil sebagai “agama
baru” yang memberi banyak harapan akan realisasi surga dunia,
hidup tanpa derita, kasih tak berkesudahan, damai sejahtera
sepanjang masa, dan kebebasan tanpa batas. Namun, surga dunia
itu tetap tidak tercapai. Perang berlangsung di mana-mana, di
seluruh kota Timor Leste, kekerasan terus meningkat,
ketidakadilan dan penderitaan yang ditimbulkannya terjadi seolah-
olah tak berkesudahan. Damai dan keadilan, kasih dan
persaudaraan yang dulunya diagung-agungkan dan dijunjung
tinggi oleh masyarakat Timor Leste ternyata hanya sebuah utopia?
75
Apakah manusia Timor Leste mulai menyadari
keadaannya yang ditindas, dibodohkan, dimanipulasi, dibatasi,
dibinatangkan? Tampaknya kesadaran ini tak akan terwujud bila
Gereja Timor Leste tidak berperan kembali. Inilah kesempatan
bagi Gereja Timor Leste untuk berperan kembali. Dengan
menunjuk kemustahilan surga dunia, Gereja Timor Leste dapat
memainkan fungsi kritis kenabiannya atas perilaku kebinatangan
yang merendahkan martabat manusia berakal budi dan bercitra
ilahi dan memaksimalkan fungsi salvivik-nya untuk mengarahkan
manusia Timor Leste secara humanis akan tujuan hidupnya yang
ilahi. Singkat kata, agama harus kembali kepada intisarinya, yaitu
menjadi sarana yang mengantar manusia Timor Leste kepada
Allah dan hal ini menjadi semakin penting dalam rangka
mengimbangi pengaruh materialisme dan sekularisme.
5. Penghayatan Hidup Beriman Umat
Masyarakat Timor Leste sebelum bergabung dengan Indonesia
masih menganut kepercayaan animis, memiliki keyakinan yang kuat pada
roh-roh yang disimbolkan dengan batu, air, pohon-pohon besar, binatang,
sumur. Terhadap simbol-simbol tersebut yang dianggap dan diyakini
mempunyai roh, sekali setahun para tuan adat mempersembahkan upacara
korban berupa hewan seperti kambing, ayam, dan babi. Semua korban itu
dipersembahkan pada saat atau bertepatan dengan penanaman, panenan,
76
atau bila ada orang yang sakit. Dengan persembahan tersebut, tuan adat
atas nama orang yang memohon bantuan dari roh-roh menyampaikan
permintaan harapan dan permohonan kepada yang mahatahu agar
mengasihani dan memberkati mereka (Lourdes, 2001: 15).
Masyarakat Timor Leste selain percaya kepada roh-roh seperti
yang dilambangkan di atas, mereka juga memiliki kepercayaan kepada
kekuatan-kekuatan ajaib yang biasa disebut dengan istilah lulik, biru, dan
rai nain.
Lulik memiliki arti barang kudus dan sakral. Benda-benda yang
dianggap lulik adalah peninggalan dari nenek moyang seperti tempat sirih
dan pinang, keris, tongkat, emas dan perak yang tersimpan lama sebagai
kekayaan suku, dan lain sebagainya. Benda-benda itu harus dijaga,
dihormati dan diberi sesaji oleh seluruh anggota keluarga. Sebab ada suatu
kepercayaan bahwa lulik membawa pengaruh buruk bagi kehidupan
ekonomi, sosial, pertanian, dan kesehatan bagi penduduk bila tidak
dijalankan sesuai dengan kaidahnya yang telah disebutkan di atas.
Biru adalah benda-benda khusus yang diperoleh orang-orang
tertentu setelah yang bersangkutan mengalami mimpi. Biru dipercayai
memiliki kekuatan ajaib yang realistis, misalnya bisa membuktikan
kebenarannya di dalam perang. Orang yang memilikinya akan terlindung
dari marabahaya dan diakui sebagai asu wain yang berarti pahlawan yang
tak terkalahkan dan tertandingi. Dan kekuatan ini tidak diketahui dan
menjadi rahasia orang yang bersangkutan. Masyarakat Timor Leste yang
77
memiliki kepercayaan animis, percaya bahwa kekuatan biru yang ada
pada seseorang adalah kekuatan ajaib yang diberikan oleh Nai Maromak,
yakni Tuhan yang Mahaesa untuk membela diri dan membela kebenaran
serta menjaga keselamatan rakyat seluruhnya.
Rai Nain yang artinya penguasa tanah yang baik. Rai Nain
biasanya menampilkan diri dalam wujud binatang liar seperti ular, belut,
buaya, babi hutan, kucing hitam, dan sebagainya. Masyarakat percaya
bahwa binatang-binatang liar tersebut memiliki kekuatan ajaib, oleh sebab
itu harus dihormati. Jika tidak, maka manusia akan kena kutukan dan
hukuman dalam bentuk bencana pada kebun dan ternak, serta segala
macam penyakit dalam masyarakat yang bersangkutan (Martins, 1985: 14-
16).
Kepercayaan-kepercayaan tersebut di atas cukup berpengaruh bagi
kehidupan keagamaan dan sosial masyarakat, terutama pada masa lampau.
Walaupun berkurang, pengaruhnya tetap ada dalam penghayatan
kepercayaan masyarakat setempat yang akhirnya berdampak pada
penghayatan iman umat yang lebih bersifat sinkretis.
Pada masa Timor Leste diintegrasikan dengan Indonesia, boleh
dikatakan bahwa Timor Leste dikenal dengan mayoritas beragama
Katolik. Tetapi jika melihat statistik menunjukkan bahwa penduduk yang
animis masih lebih banyak dibanding dengan sebelum berintegrasi dengan
Indonesia.
78
STATISTIK AGAMA PENDUDUK TIMOR LESTE SESUDAH INTEGRASI (1984)
Kabupaten Penduduk Katolik Protestan Islam Hindu Budha Animis
Bobonaro 70.293 67.266 652 128 740 - 1.457
Kovalima 27.320 24.655 452 180 250 - 1.783
Manufahi 28.711 27.175 1.056 419 50 2 9
Ainaro 45.612 43.642 528 24 60 1 9
Viqueque 58.530 34.097 6.118 44 100 - 137
Lautem 40.486 28.437 4.571 2.450 250 - 18
Baucau 72.051 57.423 2.318 35 600 152 171
Manatuto 25.853 25.663 48 120 50 7 50
Aileu 16.066 12.964 2.898 6.880 75 - 9
Dili 92.244 55.723 7.984 824 2.000 2.091 17.866
Ermera 59.230 43.411 1.582 193 80 27 396
Liquiça 34.568 14.171 876 75 62 13 186
Ambeno 40.252 39.508 496 51 230 - 181
Jumlah 708.192 474.135 29.579 11.423 4.547 2.293 18.932
Sumber: Lourdes (2001: 19)
Jika dilihat dari sejarah Timor Leste, ada beberapa tahap yang
dilalui oleh masyarakat Katolik Timor Leste. Pertama, tahap penjajahan
Portugis tahun 1512 – 1975. Selanjutnya adalah tahap pergolakan, yaitu
ketika Portugis memberikan kesempatan kepada masyarakat Timor Leste
untuk menentukan nasibnya sendiri. Tahap berikut adalah perang saudara
yang disusul oleh tahap integrasi dengan Indonesia. Dari tahap yang satu
ke tahap yang lain diwarnai dengan corak pengalaman yang khusus.
Pengalaman-pengalaman ini menimbulkan masalah-masalah tertentu.
Pada masa penjajahan Portugis, rakyat mengalami kebodohan,
kemiskinan, dan tidak ada kemajuan di bidang teknologi. Ketika
berintegrasi dengan Indonesia, rakyat Timor Leste mengalami
79
peperangan, kekerasan dan penghancuran. Walaupun ada kemajuan di
bidang tertentu bila dibandingkan dengan masa penjajahan Portugis.
Kemajuan ini membawa perubahan yang cukup besar bagi kehidupan
sosial masyarakat yang heterogen. Dalam menghadapi situasi seperti ini,
rakyat mengalami tantangan di berbagai bidang di antaranya kehidupan
sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan juga keagamaan.
Penindasan, penjajahan, peperangan, dan tekanan hampir
merupakan makanan sehari-hari bagi rakyat Timor Leste. Apalagi pada
saat penentuan nasib sendiri. Referendum merupakan angin segar bagi
seluruh rakyat Timor Leste. Betapa tidak, rakyat Timor Leste yang ¼
abad dijajah oleh Portugis, hidup dalam kemiskinan, dan kebodohan. Juga
24 tahun bersama Indonesia mengalami situasi kelam, kini muncul
harapan baru akan kebebasan dan kemerdekaan akhirnya terwujud. tapi
sayangnya, kemerdekaan yang diperoleh harus dibayar dengan harga yang
mahal dengan memakan banyak korban.
Di era pascareferendum, hampir setiap hari, terdengar di media
elektronik (radio, televisi) dan terlihat di media masa (majalah, koran)
berita tentang pembunuhan, penodongan senjata antarsuku, perselisihan
antardaerah dan antarinstansi pemerintahan. Hal ini berdampak pada
kehidupan keagamaan. Masyarakat Timor Leste yang dikenal dengan
bangsa yang agamis/religius kini hanyalah slogan semata. Nilai-nilai
keagamaan dan tradisi-tradisi Gereja yang sejak dulu dijunjung tinggi dan
dipuja-puja, kini telah hilang tertelan oleh rasa kebencian, egoisme,
80
dendam, dll. Hal ini menandakan bahwa agama belum menjadi milik
umat. Agama hanyalah candu bagi umat ketika berada dalam situasi yang
tertekan, berada dalam kesulitan, penderitaan, dan penindasan.
Singkatnya, orang membutuhkan agama jika berada dalam situasi yang
kelam.
Dan yang lebih heboh lagi, apakah tindakan-tindakan seperti
pembunuhan, penodongan senjata, perselisihan antarsuku/etnis,
antarinstansi pemerintahan dan antardaerah menandakan tindakan orang
beriman? Memang agama dibutuhkan oleh setiap orang untuk
menunjukkan identitas religius seseorang dan sebagai media untuk
melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Tetapi apakah hanya sampai
kepada ritual semata? Tentu saja tidak. Orang membutuhkan sesuatu
kekuatan untuk membuat ritual-ritual itu menjadi hidup dan berakar dalam
pribadi setiap orang yakni dengan iman. Dengan iman orang akan
menghormati hidup, menghargai setiap pribadi sebagai citra Allah. Sebab
pada dasarnya iman adalah tanggapan manusia akan kasih Allah. Kasih
Allah terwujud dalam keadilan, kebenaran, hidup dalam kebebasan
sebagai anak-anak Allah. Itulah kemerdekaan sejati.
81
BAB III
MODEL-MODEL GEREJA TIMOR LESTE
DAN GEREJA YANG DICITA-CITAKAN GEREJA TIMOR LESTE
Dalam bab II telah diulas mengenai gambaran umum Gereja Timor
Leste dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste
dewasa ini (pascareferendum). Secara sekilas kita memperoleh data mengenai
model-model Gereja Timor Leste melalui sejarah perkembangan Gereja
Timor Leste. Dalam bab III ini penulis akan mengulas secara khusus
mengenai model-model Gereja Timor Leste dan Gereja yang dicita-citakan
Gereja Timor Leste. Pembahasan tema ini berangkat dari refleksi atas
pemaparan tema bab II. Pada bab III ini penulis akan membagi pembahasan
tema ini menjadi dua bagian. Pada bagian pertama penulis akan memaparkan
model-model Gereja, yang terdiri dari dua sub bagian yakni; model-model
Gereja menurut pandangan Avery Dulles, yang terbagi dalam beberapa sub-
sub bagian yakni; Gereja sebagai institusi, Gereja sebagai sakramen
keselamatan, Gereja sebagai persekutuan mistik, Gereja sebagai pewarta, dan
Gereja sebagai pelayan. Sub bagian kedua membahas tentang model-model
Gereja di Timor Leste, yang terdiri dari tiga sub bagian, di antaranya: Gereja
kaum miskin, Gereja sebagai pejuang keadilan dan perdamaian, dan Gereja
sebagai pelopor rekonsiliasi. Bagian kedua menampilkan Gereja yang dicita-
citakan Gereja Timor Leste, yang terbagi dalam enam sub bagian, di
antaranya: Gereja yang fungsional: dalam dan demi Kristus, Gereja yang
terpusat pada Kristus, Gereja yang secara hakiki terarah ke dunia (dari, oleh
82
dan untuk umat), Gereja yang terbuka untuk dialog, Gereja yang mandiri, dan
Gereja yang anti kekerasan.
Model-model Gereja Timor Leste dan model-model Gereja yang
dicita-citakan Gereja Timor Leste adalah tema yang akan diulas secara detail
dalam bab III ini. Yang menjadi tolok ukur dari bab ini, yakni mengetahui
lebih jauh mengenai sejarah perkembangan Gereja Timor Leste dan model-
model Gereja Timor Leste (dari abad XIV hingga referendum), mengetahui
Gereja macam apakah yang dicita-citakan Gereja Timor Leste dewasa ini,
sehingga pada bab berikutnya (bab IV) kita dapat menemukan dan mengkaji
evangelisasi macam apakah yang hendak dilaksanakan guna mewujudkan
Gereja yang dicita-citakan Gereja di Timor Leste, dan menjawab tantangan
yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste di era pascareferendum.
A. Model-model Gereja
1. Model-model Gereja menurut Pandangan Avery Dulles
a. Gereja sebagai Institusi
Menurut Dulles (1987: 35), Gereja di dalam eklesiologi
yang berpusat pada institusi ini, kekuasaan dan tugas Gereja dibagi
dalam tiga unsur: mengajar, menguduskan, dan memimpin.
Pembagian kekuasaan ini mengarah kepada perbedaan lebih tajam
antara Gereja yang mengajar dengan Gereja yang diajar, antara
Gereja yang menguduskan dengan Gereja yang dikuduskan, antara
83
Gereja yang memimpin dengan Gereja yang dipimpin. Dalam
segala hal, Gereja sebagai institusi adalah pemberi jasa.
Dulles menambahkan, bahwa dalam tiap-tiap fungsinya
itu, Gereja mempunyai analogi dengan dunia sekular, biarpun
sedikit berbeda. Dilihat dari segi fungsinya sebagai pengajar,
Gereja menyerupai sebuah sekolah di mana guru-guru sebagai
pengajar suci menyampaikan ajaran Kristus. Karena uskup-uskup
dianggap memiliki suatu ‘kharisma kebenaran’ yang khusus
(istilah dari St. Ireneus, tetapi artinya sudah berubah sejak
masanya), maka ditegaskan bahwa orang-orang beriman
sesungguhnya diwajibkan untuk mempercayai apa yang diajarkan
oleh para uskup.
Sedangkan Butler sebagaimana dikutip oleh Afra
Siauwarjaya (1987a: 16) mengatakan bahwa Gereja secara hakiki
merupakan suatu masyarakat konkret yang mempunyai suatu
konstitusi, seperangkat peraturan, lembaga kepemimpinan dan
sejumlah anggota yang menerima peraturan-peraturan itu sebagai
pengikat bagi mereka.
Eklesiologi Gereja ini memandang Gereja sebagai
“masyarakat sempurna” yang terbedakan dan mengatasi
masyarakat lain. Pemahaman mengenai Gereja sebagai masyarakat
mengandung kecenderungan untuk menekankan struktur
kepemimpinan sebagai unsur yang menentukan dalam masyarakat
84
itu. “Sempurna” di sini dalam arti bahwa struktur kepemimpinan
Gereja yang kelihatan khususnya yang berhubungan dengan hak,
wewenang, dan kekuasaan para pejabatnya tidak bisa dilebihi. Arus
faham Gereja demikian disebut dengan institusionalisme.
Institusionalisme berarti suatu sistem di mana unsur-unsur
institusional mendapat tekanan yang berlebihan, dan dipandang
sebagai sesuatu yang primer. Unsur-unsur institusional meliputi
pejabat-pejabat yang bertanggung-jawab, prosedur yang disetujui
pemimpin, rumus-rumus iman yang diterima secara resmi, bentuk
ibadat publik yang resmi.
Ciri lain dari eklesiologi yang institusionalistis adalah
sangat menekankan keyakinan akan tindakan Kristus yang
mengadakan jabatan-jabatan dan sakramen-sakramen. Demikian
pun halnya dogma Gereja dikatakan merupakan bagian dari
perbendaharaan iman yang asli, yang sudah lengkap pada zaman
rasul. Padahal sulit bagi teolog untuk membuktikannya. Tugas
teologi yang paling luhur adalah menunjukkan bagaimana suatu
ajaran yang ditetapkan oleh Gereja tergantung pada sumber-sumber
pewahyuan.
Adapun kekuatan dari model Gereja secara institusional ini
adalah memberi perasaan yang kuat kepada orang Katolik akan
identitas kolektif mereka, sehingga mereka mempunyai loyalitas
institusional yang tinggi. Gereja mempunyai sasaran yang jelas
85
untuk kegiatan misioner dan tidak banyak mengenal perselisihan
dalam dirinya sendiri.
Di samping itu ada juga kelemahannya, di antaranya:
pertama, model Gereja sebagai institusi sangat lemah dasarnya
dalam Kitab Suci dan tradisi Gereja Awal. Kitab Suci tidak
melukiskan Gereja sebagai suatu masyarakat yang sangat erat
bersatu. Kedua, model Gereja ini sangat menekankan beberapa
keutamaan seperti ketaatan, sehingga keutamaan-keutamaan yang
lain diabaikan. Klerikalisme cenderung menyebabkan kaum awam
menjadi pasif dan menjadikan kerasulan mereka seakan-akan
tempelan pada kerasulan hirarki. Yuridisme cenderung melebih-
lebihkan peranan kewibawaan manusiawi. Banyak orang Katolik
secara berlebih-lebihan memenuhi kewajiban-kewajiban Gereja
tanpa memperhatikan pelaksanaan hukum cinta kasih. Mereka
berusaha tetap taat kepada paus dan uskup namun kurang
memperhatikan Allah, Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Ketiga,
model Gereja ini menimbulkan hambatan bagi suatu teologi yang
kreatif. Model ini secara eksklusif mengikat teologi untuk
membela posisi ajaran yang resmi. Dengan demikian mengurangi
cara berpikir yang kritis dari para teolog. Keempat,
institusionalisme yang berlebihan menimbulkan banyak masalah
teologi yang serius. Misalnya, para teolog diminta untuk
menemukan dalam Kitab Suci dan tradisi para rasul tentang
86
berbagai hal yang hampir tidak dapat ditemukan, seperti bentuk
episkopat kepemimpinan Gereja, ketujuh sakramen, dogma-dogma
modern seperti Maria dikandung tak bernoda, dan Maria diangkat
ke surga. Kelima, model Gereja ini berpandangan bahwa di luar
Gereja tidak ada keselamatan, tidak memberi peluang bagi orang
yang bukan Katolik. Hal ini menyebabkan adanya kemandulan
dalam bidang ekumene, karena tidak mampu menjelaskan vitalitas
rohani Gereja-gereja bukan rohani. Ini menandakan bahwa Gereja
Katolik kurang menghargai unsur-unsur karismatik. Keenam,
model Gereja semacam ini (institusional) dipandang ketinggalan
zaman untuk masa dialog, ekumenis, dan perhatian terhadap agama
lain (Afra Siauwarjaya, 1987a: 18-19).
b. Gereja sebagai Persekutuan Mistik
Menurut Afra Siauwarjaya (1987a: 20), kata “Persekutuan
Mistik” merupakan terjemahan dari kata Mystical Communion.
Kata communion pada umumnya dipergunakan untuk
menunjukkan suatu persekutuan hidup yang mendalam. Dalam
bahasa Kitab Suci istilah persekutuan dipergunakan untuk
menerjemahkan kata koinonia. Dasar dari persekutuan itu adalah
Allah yang memanggil manusia masuk ke dalam persekutuan
dengan-Nya melalui Yesus Kristus dalam Roh-Nya. Persekutuan
itu dilaksanakan dalam persaudaraan dengan saling mengasihi dan
87
saling melayani dengan sehati, sejiwa (Yoh 13:34-35; Kis 2:42;
Kis 4:32-35). Sedangkan kata mistik menunjukkan sifat ilahi
yang penuh misteri. Sifat tersebut menjadi ciri dari persekutuan
itu yang membedakan persekutuan tersebut dengan persekutuan
lainnya (Afra Siauwarjaya, 1987a: 20).
Gereja sebagai persekutuan terbedakan dari persekutuan
sosiologis. Persekutuan dalam arti sosiologis melulu bersifat
horisontal, hubungan erat antarmanusia. Kekhususan Gereja
sebagai persekutuan adalah dimensi vertikal yakni berhubungan
dengan hidup ilahi yang diwahyukan dalam Kristus dan disalurkan
kepada manusia oleh Roh-Nya. Faham Gereja sebagai persekutuan
ini selaras dengan lambang alkitabiah, di antaranya dua yang
menonjol yakni Tubuh Kristus dan Umat Allah.
Gereja sebagai Tubuh Kristus lebih diartikan sebagai
organis daripada sosiologis. Gereja dipandang secara analogis
sebagai tubuh manusia yang dilengkapi dengan pelbagai organ,
dijiwai dengan prinsip kehidupan, sehingga dapat berkembang
membaharui diri dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan yang
berubah-ubah. Tubuh Kristus mempunyai prinsip kehidupan ilahi
yakni Roh Kristus (Rm 12:4-5, 1Kor 12:12). Gambaran Gereja
sebagai Tubuh Kristus tidak hanya dijumpai dalam pandangan
Paulus, tetapi juga dalam teologi Agustinus.
88
Yang menjadi tekanan pandangan Agustinus tentang Gereja
sebagai Tubuh Kristus terletak pada persekutuan Mistik yang tidak
kelihatan yang menghimpun mereka semua yang dihidupkan
melalui rahmat Kristus. Yang termasuk Gereja adalah baik mereka
yang berada di dunia maupun mereka yang di surga. Kristus
sebagai kepala bersatu dengan semua anggota-Nya. Tubuh itu pada
dasarnya tidak kelihatan karena mencakup para malaikat di surga
dan jiwa-jiwa di api penyucian. Tubuh itu tidak berciri
kemasyarakatan karena merangkum semua orang yang dijiwai oleh
Roh Allah.
Thomas Aquinas sebagaimana dikutip oleh Afra
Siauwarjaya (1987a: 22) berpendapat bahwa pada hakikatnya
Gereja adalah persekutuan dengan Allah yang mengilahikan
manusia melalui diri Yesus Kristus sebagai kepalanya. Persekutuan
secara tidak sempurna dalam hidup di dunia dan secara sempurna
di surga. Gereja dipandang secara teologi yang berarti
mengutamakan relasi manusia dengan Allah lebih daripada secara
institusional. Pandangan Agustinus tentang Gereja dieruskan oleh
Thomas Aquinas, tetapi Thomas mulai memberi perhatian aspek
kemasyarakatan, aspek kelihatan dari Gereja. Kemanusiaan Kristus
dan sakramen-sakramen dipandang sebagai sarana untuk
menyalurkan rahmat Allah. Semua upaya lahiriah rahmat
(sakramen, Kitab Suci, hukum, dsb.) bersifat sekunder, sebagai
89
sarana yang menyiapkan manusia untuk bersatu secara batiniah
dengan Allah oleh rahmat.
c. Gereja sebagai Sakramen Keselamatan
Dalam dua model yang diuraikan terdahulu tampak bahwa
ada ketegangan antara Gereja sebagai institusi dan Gereja sebagai
persekutuan mistik. Model institusional nampaknya menyangkal
adanya keselamatan bagi mereka yang tidak termasuk anggota
dalam suatu organisasi, sedangkan model persekutuan tetap
menganggapnya sebagai persoalan, apakah memang perlu orang
sungguh diundang untuk masuk ke dalam suatu organisasi. Untuk
memadukan kedua aspek dari kedua model Gereja tersebut yakni
aspek lahiriah (institusional) dengan aspek rohaniah (Gereja
mistik) menjadi satu sintesis yang agak masuk akal, banyak teolog
Katolik mempergunakan faham Gereja sebagai Sakramen. Para
teolog itu antara lain Henri De Lubac, Karl Rahner, M. Scheeben,
Otto Sammelroth.
Henri de Lubac memberi argumentasi bahwa yang ilahi dan
manusiawi dari Gereja tidak dapat dipisahkan. Pandangan
mengenai hidup rahmat yang terlalu spiritual dan individual akan
mengarahkan pemahaman tentang Gereja institusional melulu dari
segi sekular dan sosiologis. Ia juga mengatakan bahwa Kristus
adalah sakramen Allah, maka Gereja merupakan sakramen Kristus
90
bagi kita. Gereja bagi kita adalah sakramen Kristus karena gereja
menghadirkan Kristus di dalamnya. Semua sakramen di dalam
Gereja terutama sakramen Ekaristi secara hakiki adalah sakramen
Gereja. Gereja bukan melanjutkan karya-Nya tetapi merupakan
kelanjutan-Nya sendiri. Sakramen-sakramen tersebut secara
intrinsik bersifat sosial dan efektif karena bersumber dan berakar
pada Gereja.
Tema mengenai Gereja sebagai sakramen dasar terlihat
pada beberapa pasal penting dari dokumen Konsili Vatikan II.
Lumen Gentium art. 1 mengatakan bahwa : “Gereja itu dalam
Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan
mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.” Ini
menandakan bahwa Gereja merupakan tanda dan sarana
pewahyuan dan kesatuan tersebut. Sedangkan dalam Konstitusi
Liturgi Sacrosanctum Concilium (SC 10-41) memandang liturgi
sebagai puncak dari semua kegiatan Gereja dan sekaligus menjadi
sumber yang memancarkan seluruh kekuatan Gereja.
Gereja disebut “sakramen, yaitu tanda dan sarana persatuan
mesra umat manusia dengan Allah, dan kesatuan seluruh umat
manusia” (LG 1). Gereja diperkenalkan sebagai sakramen
keselamatan, tetapi hendaknya dipahami secara fundamental atau
mendasar bahwa keselamatan adalah universal, artinya merembes
ke seluruh sejarah hidup manusia. Gereja menjadi universal apabila
91
merayakan keselamatan tersebut bagi semua manusia, ditandai oleh
cinta kasih Bapa melalui Putera-Nya dengan kekuatan Roh Kudus.
Dengan demikian kenyataan yang dinamai duniawi dan sekular
menjadi jalan untuk rahmat keselamatan.
Perspektif tersebut merupakan sifat teologis dari kewajiban
kaum kristiani yang berjuang untuk membangun suatu dunia yang
lebih adil dan penuh dengan persaudaraan. Gereja tidak perlu
mendekati pemerintah, tetapi perlu mendekati kelompok-kelompok
yang membuka jalan bagi ilmu pengetahuan, teknik, kuasa politik
di lingkungan sipil. Dengan partisipasi ini Gereja membuka diri
bagi dunia. Gereja sendiri telah memperbaharui struktur-
strukturnya, menyesuaikan diri dengan mentalitas modern, banyak
lembaga yang dimiliki disekularisasikan, liturgi disederhanakan,
dan menyesuaikan diri dengan zaman (Jacobs, 1987: 16). Tetapi
selama Gereja masih tertutup bagi kehidupan manusia yang
konkret, maka semua perubahan itu tidak ada maknanya.
Gereja menjadi sakramen sejauh Gereja menandakan secara
kelihatan rahmat penyelamatan Kristus bagi seluruh umat manusia,
segala usia, segala suku dan segala kondisi. Gereja mampu
menunjukkan diri sebagai tanda bilamana anggota-anggotanya
dipersatukan satu sama lain dan bersatu dengan Allah dalam cinta
kasih serta dalam kebersamaan itu mereka mengakui iman mereka
92
dan merayakan apa yang telah dikerjakan Allah bagi mereka dalam
Kristus.
d. Gereja sebagai Pewarta
Gereja sebagai sakramen keselamatan seperti yang telah
dibahas di atas menggunakan istilah teknis sakramen sebagai
simbolisasi rahmat yang dapat dilihat dan dirasakan. Model
eklesiologi ini lebih menekankan realitas kehadiran rahmat Kristus
di dunia ini, dan Gereja dilihat sebagai model sakramen dari
realitas tersebut (Dulles, 1987: 73).
Sedangkan model Gereja sebagai pewarta berbeda dengan
model Gereja sebagai sakramen keselamatan. Model Gereja
sebagai pewarta lebih mengutamakan Sabda, sedangkan sakramen
dinomorduakan. Menurut model Gereja ini Gereja dikumpulkan
dan dibentuk oleh Sabda Allah, maka misi Gereja adalah
mewartakan apa yang sudah didengarnya, diimaninya, dan yang
sudah diserahkan kepadanya untuk diwartakan. Model eklesiologi
ini memiliki banyak kesamaan dengan pengertian komunitarian
tentang Gereja sebagai umat Allah, seperti yang telah dibahas
dalam model Gereja sebagai persekutuan mistik. Namun ada
perbedaan karena model Gereja ini lebih mengutamakan iman dan
pewartaan daripada hubungan-hubungan interpersonal dan
persekutuan mistik.
93
Model Gereja sebagai pewarta ini memiliki sifat kerigmatis
sebab ia melihat Gereja sebagai pewarta yang telah menerima satu
kabar Suci dan memiliki tugas untuk mewartakannya. Gereja
diibaratkan sebagai utusan seorang raja yang datang ke tempat
umum untuk memaklumkan sebuah dekrit raja.
Secara radikal model eklesiologi ini dipusatkan pada
Kristus dan Kitab Suci sebagai saksi utama tentang Yesus Kristus.
Karena itu tugas pokok Gereja adalah mewartakan Kristus.
Pandangan mengenai eklesiologi ini dengan baik sekali
dirumuskan oleh McBrien sebagaimana dikutip oleh Dulles (1987:
73) adalah sebagai berikut:
Misi Gereja adalah mewartakan Sabda Allah ke seluruh dunia. Gereja tidak perlu menganggap diri bila orang tidak menerimanya sebagai Sabda Allah, namun Gereja harus mewartakan Sabda itu dengan jujur dan tekun. Semua yang lain bersifat sekunder belaka. Menurut hakikatnya Gereja merupakan satu komunitas kerigmatis yang melalui Sabda yang diwartakannya tetap mengenangkan perbuatan-perbuatan Allah yang mengagumkan dalam sejarah masa lalu, teristimewa perbuatan-perbuatan-Nya yang berkuasa dalam diri Yesus Kristus. Komunitas itu terbentuk di mana saja daya kekuatan Roh Kudus berhembus, di mana saja Sabda Allah diwartakan dan diterima dalam keteguhan iman. Maka Gereja itu merupakan peristiwa, suatu tempat pertemuan dengan Allah.
Maksud dari pernyataan tersebut di atas adalah bahwa
Sabda Allah bukanlah suatu kenyataan yang statis di dalam Gereja
melainkan suatu peristiwa yang berlangsung. Peristiwa yang setiap
kali Allah menyapa umat-Nya dan sapaan itu ditanggapi dengan
iman. Dengan demikian jelaskah bahwa Gereja itu dibentuk secara
94
aktual oleh sabda yang didengar dan diwartakan dengan setia.
Gereja adalah himpunan umat yang dikumpulkan oleh Sabda dan
Sabda itu tiada henti-hentinya mengajak umat untuk bertobat dan
memperbaharui diri.
Menurut Afra Siauwarjaya, model Gereja sebagai pewarta
ini memiliki suatu ciri khas yang berbeda dengan ketiga model
Gereja sebelumnya. Ciri khas itu adalah adanya perbedaan,
distingsi tajam antara bentuk duniawi Gereja dan Kerajaan Allah
yang dipandang sebagai realitas eskatologis, yang dirindukan
Gereja. Hans Kung sebagaimana dikutip oleh Afra Siauwarjaya
menandaskan bahwa Gereja bukanlah Kerajaan Allah, Gereja tidak
membentuk atau meluaskan Kerajaan Allah di dunia atau bekerja
untuk merealisasikan Kerajaan Allah. Hans Kung juga
menandaskan bahwa Gereja mengharapkan Kerajaan Allah, Gereja
memberikan kesaksian tentang Kerajaan Allah dan
mewartakannya. Oleh karena itu Gereja bukanlah pembawa atau
pengemban Kerajaan Allah yang akan datang dan hadir, melainkan
suara-Nya, pewarta-Nya, bentara-Nya. Hanya Allah sendiri
membawa kerajaan-Nya. Gereja ditunjuk untuk melayani Kerajaan
itu (Afra Siauwarjaya, 1987a: 36).
95
e. Gereja sebagai Pelayan
Dari model-model Gereja yang telah disebutkan di atas di
antaranya Gereja sebagai institusi, Gereja mengajar, menyucikan
dan memimpin dengan kuasa Kristus. Dalam model Gereja sebagai
persekutuan mistik, Gereja dipandang sebagai Umat Allah atau
Tubuh Kristus yang tumbuh menuju kesempurnaan Kerajaan
Allah. Dalam model Gereja sebagai sakramen keselamatan, Gereja
dipahami sebagai manifestasi kelihatan dari rahmat Kristus dalam
masyarakat manusia.
Dalam model-model tersebut Gereja dilihat sebagai subyek
yang aktif dalam dunia, di mana dunia sebagai medan karya dan
pengaruh Gereja. Gereja sebagai hasil karya langsung Allah dan
berdiri sebagai penengah antara manusia dan Allah. Allah datang
ke dunia melalui Gereja dan (dunia) manusia datang ke Allah
seolah-olah melalui Gereja.
Sedangkan model Gereja sebagai pelayan, menurut Afra
Siauwarjaya (1987a: 41), menempatkan Gereja pada posisi
melayani masyarakat. Model ini muncul pada masa dunia
mengalami perkembangan yang amat pesat. Di mana dunia
semakin jauh dan lebih aktif tanpa tergantung pada Gereja.
Berbagai macam ilmu berkembang dan melepaskan diri dari
kontrol Gereja. Begitu pun dalam bidang kehidupan lain. Bidang
industri dan pemerintahan berjalan menurut mekanismenya sendiri
96
tanpa mengharapkan bantuan atau pertolongan dari Gereja. Namun
demikian, Gereja tiada henti-hentinya terus berjuang dan tidak
kehilangan semangatnya. Gereja tetap mengingatkan dan
menunjukkan bahwa dunia telah jatuh ke dalam kesulitan yang
serius dengan mencari perkembangan tanpa campur tangan Gereja
ataupu aturan Gereja. Oleh karena itu, ensiklik-ensiklik para Paus
sebelum Yohanes XXIII bernada menyesali, memperingatkan atau
malah mengutuk perkembangan modern.
Paus Yohanes XXIII memberi sumbangan inspirasi yang
amat besar dalam Konsili Vatikan II yang telah membawa
perubahan dalam Gereja. Gaudium et Spes atau Konstitusi Pastoral
tentang Gereja dalam Dunia Modern merupakan pandangan terbaru
dalam Konsili Vatikan II. Dalam konstitusi tersebut ditampilkan
suatu pemahaman tentang hubungan Gereja dan dunia dalam
zaman sekarang. Otonomi dunia dari kebudayaan manusiawi,
khususnya ilmu pengetahuan diakui secara penuh oleh Gereja (GS.
art. 59). Konsili menegaskan bahwa Gereja harus memperhatikan
pandangan dunia dan mau belajar dari dunia. Dan akhirnya, konsili
juga menandaskan bahwa Gereja juga harus melibatkan diri
sebagai bagian dari keseluruhan keluarga manusia, membagikan
pandangannya bagi manusia. Sama seperti Kristus datang ke dunia
untuk melayani bukan untuk dilayani, begitu juga Gereja dipanggil
untuk melanjutkan tugas misionernya Yesus Kristus yakni mencari
97
dan melayani dunia dengan memelihara persaudaraan dengan
semua orang (GS. art. 3).
Gereja sebagai pelayan dikembangkan menurut gambaran
Kristus sebagai hamba. Kardinal Chusing dalam bukunya The
Servant Church sebagaimana dikutip oleh Afra Siauwarjaya
(1987a: 42), mengemukakan bahwa Yesus datang ke dunia tidak
hanya memaklumkan kedatangan Kerajaan Allah, tetapi juga
memberikan diri-Nya sebagai realisasi dari Kerajaan Allah, Ia
datang untuk melayani, bukan untuk dilayani. Ia datang untuk
menyembuhkan, untuk mendamaikan, untuk membalut luka-luka.
Yesus dalam arti khusus disamakan dengan orang Samaria yang
baik hati. Ialah yang menyertai kita dalam kebutuhan dan
kesusahan kita. Ia mengulurkan tangan untuk kepentingan-
kepentingan kita. Ia sungguh-sungguh mati supaya kita dapat
hidup, dan ia melayani kita supaya kita disembuhkan. Gereja
sebagai pelayan sebagai perwujudan dalam usaha melaksanakan
apa yang sudah dilakukan oleh Yesus Kristus, harus menjadi tubuh
Kristus, menjadi hamba yang menderita. Dengan demikian, Gereja
tidak hanya memaklumkan datangnya Kerajaan Allah melalui
pewartaan dan pemakluman, melainkan terlebih-lebih melalui
“kerja” dalam pelayanan perdamaian, dalam membalut luka-luka,
dalam pelayanan penderitaan, dalam penyembuhan. Seperti Tuhan
telah menjadi “manusia bagi yang lain”, demikian pula Gereja
98
haruslah semakin menjadi “persekutuan bagi yang lain”, demikian
ditandaskan oleh Kardinal Chusing.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka berikut akan
diuraikan model-model Gereja dalam konteks Gereja Timor Leste.
Dan model-model Gereja yang akan diuraikan berikut merupakan
hasil analisa dan refleksi penulis berdasarkan sejarah
perkembangan Gereja Timor Leste sebagaimana yang telah dikaji
dalam bab II bagian A, sub bagian 1 dalam penulisan ini.
2. Model-model Gereja Timor Leste
a. Gereja Kaum Miskin
Gereja bukan saja Gereja untuk kaum miskin, tetapi Gereja
sendiri adalah Gereja kaum miskin (Putranto, 2005: 53). Gereja
kaum miskin bukan sekedar suatu model. Yang menjadi persoalan
di sini adalah: apakah kehadiran kaum miskin yang begitu nyata
sudah masuk dalam cakrawala pemikiran kita mengenai apa itu
Gereja, atau kehadiran mereka masih jauh dari cakrawala
eklesiologi kita. Bila kita berpikir tentang Gereja, apakah kaum
miskin itu masih kita sebut dengan “pelaku ketiga”, ataukah sudah
kita sebut sebagai pelaku utama? Apakah kita sudah
mengembangkan pengertian Gereja yang tumbuh dari situasi
miskin dan tertindas, dan bentuk hidup menggereja yang muncul
dari situasi tersebut? Atau dengan kata lain kita dapat bertanya:
99
apakah arti Gereja dan hidup menggereja di tengah kancah
kemiskinan itu?
Gereja Timor Leste, dalam perjalanan sejarahnya telah
menampilkan diri sebagai “yang miskin” dalam seluruh karya
pewartaan dan pelayanannya. Dalam pembahasan terdahulu (bab II
bagian A) mengenai sejarah perkembangan Gereja Timor Leste,
telah diperlihatkan bagaimana peranan Gereja Timor Leste melalui
para misionaris dan para gembala umatnya, telah mengambil
bagian dalam kehidupan kemiskinan Yesus sebagai Pewarta Kabar
Gembira bagi orang-orang miskin.
Kalau Gereja mau menjadi sakramen keselamatan bagi
masyarakat luas, maka ia harus lebih solider dengan orang-orang
miskin, yang merupakan mayoritas dalam masyarakat Timor Leste.
Sikap solider ini telah ditunjukkan Gereja Timor Leste dalam
perjalanan karya perwartaannya. Dengan ini, Gereja Timor Leste
telah membangun suatu dialog dengan kaum miskin sebagai
partner. Dialog yang dilaksanakan akan menjadi suatu dialog
kehidupan yang wajar. Hal ini sesuai dengan pernyataan uskup-
uskup Asia sebagaimana dikutip oleh Putranto (2005: 58), yang
mengatakan bahwa:
Dialog kehidupan ini mencakup pengalaman dan pemahaman yang tulus terhadap kemiskinan ini, terhadap fakta bahwa begitu banyak rakyat kita dilucuti dan ditindas. Ini menuntut semata-mata bukan bekerja ‘bagi’ mereka (dalam arti paternalistik), melainkan bekerja ‘bersama’ mereka dan belajar dari mereka (karena kita harus belajar
100
banyak dari mereka) tentang apa yang mereka butuhkan dan dambakan, sejauh mereka mampu mengungkapkannya. Sesudah itu baru bersama mereka kita berjuang agar dambaan-dambaan mereka dipenuhi, dengan mengubah struktur-struktur dan situasi yang melestarikan kekurangan dan ketidakberdayaan mereka. Dari kutipan di atas tersirat bahwa kaum miskinlah pelaku
utama perubahan dan perbaikan nasib mereka. Kaum miskin
bukanlah obyek dari karya amal Gereja, betapapun baiknya. Ini
berarti Gereja harus menjadi sesama bagi saudara-saudara
sebangsanya yang miskin.
Sudah 27 tahun berlalu, tepatnya pada tanggal 11
September 1962, Paus Yohanes XXIII sebagaimana dikutip oleh
Putranto (2005: 59), dalam suatu amanatnya berkata: “Di hadapan
negara-negara yang sedang berkembang, Gereja menampilkan diri
sebagaimana adanya dan ingin menjadi Gereja semua orang,
khususnya orang-orang miskin”. Kemudian, dalam dokumen-
dokumen Konsili Vatikan II terungkap pula tentang Gereja kaum
miskin itu. Contohnya, dalam Lumen Gentium artikel 88, dikatakan
bahwa:
Sebagaimana Kristus melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu pula Gereja dipanggil untuk mengikuti jalan yang sama bila ingin menyampaikan buah-buah keselamatan kepada orang-orang. Kristus Yesus yang berada dalam wujud Allah menghampakan diri, mengambil wujud hamba (Flp 2: 6-7) dan demi kita Ia menjadi miskin walaupun Ia sebenarnya kaya (2 Kor 8:9), demikianlah Gereja.
101
Begitupun, dalam suatu pertemuan, uskup-uskup Asia
pernah menandaskan bahwa: “Kemiskinan Kristiani bukanlah
hanya suatu keprihatinan akan kaum miskin. Tidak cukuplah
menjadi Gereja bagi kaum miskin. Gereja dalam arti sesungguhnya
harus menjadi Gereja miskin.”
Dalam pernyataan-pernyataan tersebut di atas tersirat suatu
imperatif untuk mengadakan pembaharuan hidup menggereja “dari
dalam” situasi kemiskinan dan penindasan, dan ini menjadi wajah
Gereja Asia.
Gereja Timor Leste sebagai bagian dari Gereja Asia, bukan
saja mengadakan pembaharuan hidup menggereja dari dalam
situasi kemiskinan dan penindasan, namun sudah dan sedang
berada dalam Gereja kaum miskin. Gereja kaum miskin dalam
konteks Timor Leste, adalah Gereja yang berjalan bersama
umatnya yang mengalami kemiskinan dalam wujud penindasan,
kekerasan, yang menjadi korban ketidakadilan, orang-orang yang
haknya dirampas dan martabatnya sebagai citra Allah diinjak-injak,
dan bentuk-bentuk penindasan lain yang menyebabkan
pemiskinan. Selain miskin secara materi, masyarakat Timor Leste
juga “dimiskinkan” secara psikologis, di mana masyarakat merasa
“tidak nyaman” dalam rumahnya sendiri.
Dalam keadaan seperti ini, sudah sepantasnya Gereja Timor
Leste hadir sebagai “sesama”, dan bersama-sama mengadakan
102
dialog kehidupan yang sungguh. Ini menandakan bahwa Gereja
Timor Leste benar-benar mendengarkan seruan rakyatnya yang
miskin karena ditindas dan dirampas haknya untuk hidup
selayaknya, dan dalam ketentraman, walaupun itu harus
membutuhkan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Tapi
Gereja Timor Leste tetap berjuang bersama dengan umatnya,
dengan satu keyakinan bahwa Allah melalui Putra-Nya senantiasa
menyertai perjuangan dalam mencapai situasi shallom.
b. Gereja sebagai Pejuang Keadilan dan Perdamaian
Keadilan dan perdamaian dalam kebenaran, bahkan
cintakasih dan kebebasan merupakan tema sentral dalam Kitab
Suci, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru.
Segenap umat manusia di dunia, baik miskin atau kaya, besar atau
kecil, tua atau muda, dari segala jenjang usia dan status, tentunya
menginginkan kedamaian, ketentraman, ingin dihargai, ingin
dicintai dan dikasihi. Sebab demikianlah yang diinginkan oleh
Allah. Namun ketika manusia tidak mengindahkannya, maka
mustahillah semua itu dapat tercapai.
Hal ini juga ditandaskan dalam ensiklik Pacem in Terris
tentang Perdamaian di Dunia art. 1, yang berbunyi:
Perdamaian di dunia di sepanjang zaman begitu didambakan dan diusahakan oleh umat manusia. Akan tetapi perdamaian itu tak akan pernah tercapai, tak akan pernah terjamin, kalau
103
tata-dunia yang ditetapkan oleh Allah tidak dipatuhi dengan seksama. Artinya, jika orang hanya menginginkan perdamaian dan
nilai-nilai Injili yang lain seperti persaudaraan, ketentraman, cinta
kasih, keadilan, dll., tetapi tidak pernah menaati apa yang sudah
ditetapkan oleh Allah bahwa harus dilaksanakan, maka perdamaian
itu hanyalah sebuah slogan dan semboyan hidup semata.
Gereja Timor Leste dalam sejarah pewartaannya di setiap
periode, selalu bergulat untuk memperjuangkan perdamaian dan
keadilan tersebut, walaupun harus dengan berbagai macam konflik
ketika berhadapan dengan pemerintah atau penguasa. Pada
dasarnya Gereja tidak memihak kepada satu kelompok, tetapi
ketika perdamaian dan keadilan dilecehkan melalui berbagai
macam penindasan (fisik maupun psikis) terhadap seluruh
masyarakat Timor Leste, maka Gereja memiliki wewenang yang
diberikan oleh Allah, untuk berani berbicara atau menyuarakan
keadilan dan perdamaian tersebut. Ini menandakan bahwa Gereja
Timor Leste berpihak pada Allah Sang sumber keadilan dan
perdamaian, bukan berpihak kepada suatu kelompok tertentu.
Hal ini sesuai dengan anjuran apostolis dalam ensiklik
Pacem in Terris art. 167, yang berbunyi:
Kami, yang kendati tidak layak, mewakili Dia yang oleh nabi diwartakan sebagai “Raja Damai”, memandang sebagai kewajiban: membaktikan segala pemikiran dan usaha serta daya-kemampuan kami untuk memajukan kesejahteraan umum segenap umat manusia. Namun damai tinggal istilah
104
yang hampa, selama belum bertumpu pada tata-tertib......yang didasarkan pada kebenaran, dibangun atas keadilan, dipelihara dan dijiwai oleh cintakasih, dan diselenggarakan dalam naungan kebebasan . Artinya, Gereja yang mewakili Yesus Kristus sebagai Raja
Damai memiliki kewajiban untuk mewartakan damai tersebut demi
kesejahteraan umum segenap umat manusia. Namun damai yang
sesungguhnya adalah bahwa jika seluruh umat manusia tidak hanya
memahami kata damai sebagai slogan atau istilah semata, tetapi
menjadikan damai itu hidup dalam setiap pribadi. Dan damai
terjadi jika semua umat manusia menjalankannya sesuai dengan
tata-tertib yang dikehendaki oleh Allah. Tata-tertib yang dimaksud
adalah bahwa damai itu didasarkan pada kebenaran, yang dibangun
di atas keadilan, kedamaian yang dipelihara dan dijiwai oleh
cintakasih, dan tentu damai akan terwujud jika orang
melaksanakannya dalam kebebasan tanpa unsur paksaan dari dalam
diri sendiri dan pihak lain.
Gereja Timor Leste, sebagai yang diutus oleh Yesus Kristus
sang Raja Damai, tiada hentinya menyerukan keadilan dan
perdamaian tersebut melalui himbauan, saran, homili, dan dalam
karya-karya pewartaan lainnya. Ini terlihat jelas dalam himbauan,
kritik, dan saran yang disampaikan oleh sosok Dom Carlos Filipe
Ximenes Belo, SDB (Tukan dan Sousa, dalam Keadilan dan
Perdamaian, Komisi Keadilan dan Perdamaian Diosis Dili, 1997).
Sosok Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB adalah penyambung
105
lidah segenap umat Timor Leste yang martabatnya sebagai citra
Allah dirampas dan diinjak-injak. Dialah suara dari kaum tak
bersuara. Ini menandakan bahwa Gereja Timor Leste adalah Gereja
yang selalu teguh dan tegar dalam memperjuangkan keadilan dan
perdamaian bagi umat Timor Leste. Kiranya John Humprey Award
(10 Desember 1995), penghargaan yang diberikan oleh komisi
PBB untuk perjuangan HAM dan Demokrasi, yang diwakili oleh
sekjen PBB, Boutros Boutros Ghali, Hadiah Nobel Perdamaian,
penghargaan paling bergengsi Internasional yang diterima oleh
Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB sebagai bukti nyata bahwa
Gereja Timor Leste berani mempertaruhkan keyakinan dan
panggilannya untuk menyuarakan keadilan dan perdamaian.
c. Gereja sebagai Pelopor Rekonsiliasi
Berbicara mengenai Timor Leste, hampir tidak mungkin
orang melupakan dan tidak melibatkan suatu pembicaraan serius
mengenai Gereja Katolik. Secara sederhana orang bisa memakai
tolok ukur kuantitas (jumlah) pemeluk agamanya untuk
menunjukkan katolisitas sebagai identitas keagamaan masyarakat
Timor Leste. Dan yang paling menghebohkan ketika Gereja Timor
Leste harus berkecimpung dan bercengkerama dengan dunia
politik. Ketika terjadi krisis dan konflik dalam pergolakan politik,
rakyat dapat dipastikan akan berlindung pada Gereja Katolik yang
106
difigurkan oleh para Uskup dan para Pastor. Kehadiran Dom José
Joaquim Ribeiro, Mgr. Martinho da Costa Lopes, Mgr. Carlos
Filipe Ximenes Belo, SDB, dan para imam yang lain, boleh
dikatakan memberikan semacam legitimasi simbolis pada event-
event tersebut. Kehadiran simbolis mereka yang ditunjukkan
melalui surat gembala, wawancara dan aktifitas-aktifitas sosial
lainnya kiranya telah menunjukkan bahwa di dalam pribadi mereka
telah terjadi suatu pengakuan.
Sebaliknya bila Gereja Timor Leste menyuarakan sesuatu
yang tidak senada dan searah dengan pemerintah, maka Gereja
segera saja dituding dan dianggap sebagai otoritas politik
tandingan berhadapan dengan pemerintah. Maka tidak
mengherankan jika Gereja mendapat kecaman dari pemerintah,
dengan gencar diguncang oleh badai dan gelombang. Kita dapat
belajar dari pengalaman perjalanan sejarah Gereja Timor Leste.
Bangsa Timor Leste memang sarat dengan konflik, baik itu
konflik antara Gereja dengan pemerintah, konflik antarsuku,
konflik antarinstansi pemerintah dan konflik antaraagama. Konflik
yang terjadi antara Gereja dengan pemerintah berlangsung ketika
Gereja Timor Leste berani dan gigih memperjuangkan keadilan
dan kebenaran, terutama harkat dan martabat manusia diinjak-injak
dan dirampas, ketika kedamaian, ketenangan dan kesejahteraan
rakyat kecil tidak diperhitungkan oleh pihak pemerintah. Hal ini
107
terlihat jelas pada sosok Dom Joaquim José Ribeiro (1969-1977)
mengingatkan akan tanggung jawab moral dan politik kepada
pemimpin rakyat Timor Leste dan juga pihak Portugal. Himbauan
akan tanggung jawab itu diungkapkannya dengan menulis sebuah
surat pastoral yang di dalamnya berisi tentang keterlibatan Gereja
dan sikap Gereja menghadapi kecendrungan pengaruh sosialisme
dan komunisme, dan mengharapkan agar pihak pemerintah
berusaha menciptakan suatu iklim yang kondusif bagi rakyat kecil
untuk hidup dalam ketenangan dan kedamaian dalam kebebasan
sebagai citra Allah.
Hal senada juga dialami oleh penerus Dom Joaquim yaitu
Dom Martinho. Dengan gigih Dom Martinho (1977-1983)
berusaha mengambil beberapa langkah dialogis untuk
menjembatani rakyat kecil yang menjadi korban pembangunan
dengan pihak penguasa dalam hal ini ABRI, namun usaha sang
Uskup tidak mendapat tanggapan yang serius dan
menggembirakan. Sang Uskup merasa terpinggirkan, hingga
akhirnya ia mengambil sikap perlawanan. Dan sikap ini tentu tidak
menyenangkan bagi pihak penguasa terutama ABRI. Para Uskup
Indonesia (MAWI) berusaha menjembatani Dom Martinho dengan
pemerintah/ABRI. Maka Mgr. Martinho diundang dalam sidang
tahunan dan kemudian bertemu dengan presiden Soeharto pada
tanggal 19 November 1981. Tetapi kemudian secara mendadak
108
Dom Martinho dipanggil ke Vatikan. Sejak saat itu, Dom Martinho
tidak kembali lagi Timor hingga terdengar kabar dari Portugal
bahwa Sang Uskup menghembuskan nafas terakhirnya pada
tanggal 11 Februari 1991.
Setelah Dom Martinho kembali ke Vatikan, secara otomatis
yang menjalankan tugas sebagai Administrator Apostolik adalah
Pe. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB sejak 12 Mei 1983 hingga 14
April 1988. Tepatnya pada tanggal 15 April Paus Yohanes Paulus
II mengangkatnya untuk memangku jabatan Uskup Dili yang
kemudian menerima tahbisan oleh Dubes Vatikan untuk Indonesia,
Mgr. Francesco Canalini dengan gelar Tituler Lorium.
Semasa menjabat sebagai Uskup, Dom Carlos mengalami
hal yang serupa dengan kedua generasi pendahulunya. Konflik
demi konflik, tantangan demi tantangan dihadapinya dengan tegar.
Dom Carlos sangat menghayati panggilannya sebagai seorang
gembala.
Dalam konteks Timor Leste kesaksian Mgr. Belo
merupakan suatu upaya yang terus menerus mempromosikan
rekonsiliasi. Kehadiran sosok seorang Mgr. Belo menjadi
mediator; sang Uskup memperlihatkan kepekaan hatinya.
Rekonsiliasi diterjemahkannya sebagai suatu kebebasan yang sejati
di mana manusia dihormati dan dihargai martabatnya sebagai citra
Allah. Kesadaran ini diungkapkannya melalui majalah (MATRA,
109
edisi Agustus 1992: 15) sebagaimana dikutip oleh Gusmão (1997:
139) bahwa: “Para pemimpin dan rakyat takut memperjuangkan
kebebasan...wakil-wakil rakyat yang mestinya bersuara
kelihatannya diam saja...Tapi mungkin kekeliruan kita, mereka
yang takut bersuara harus terpilih sebagai wakil rakyat.” Dengan
kesadaran inilah maka Mgr. Belo harus bicara atas nama kebebasan
dan kemerdekaan manusia yang sejati. Dalam buku Voice of the
Voiceless (editor Peter Tukan dan Frans Sihol Siagian, 1997),
terlihat jelas bahwa Mgr. Belo adalah penyambung lidah,
pemersatu, dan mediator rekonsiliasi bagi kedua belah pihak yang
sedang berada dalam konflik, baik antara Gereja dengan
pemerintah, antarsuku, antaragama dan antarbudaya. Dengan
demikian, jelaslah bahwa Gereja sungguh-sungguh merupakan
pelopor rekonsiliasi dalam berbagai konflik yang dihadapi oleh
masyarakat Timor Leste pada umumnya.
B. Gereja yang Dicita-citakan Gereja Timor Leste
Pada bagian pertama telah diulas mengenai model-model Gereja
menurut pandangan Avery Dulles. Di dalamnya kita sudah melihat
kelemahan dan kekuatan dari masing-masing model. Dengan kekuatan dan
kelemahan itu, perlulah secara kritis kita berusaha untuk memanfaatkan
kekuatan-kekuatan itu dengan keuntungan sebesar-besarnya dan sejauh
mungkin mengatasi kelemahan yang ada.
110
Model bermaksud melukiskan realitas-realitas tertentu, dan tidak mau
memberikan gambaran yang lengkap-utuh. Model, di satu pihak
memperlihatkan realitas, di lain pihak menyembunyikan realitas. Model
semacam perumpamaan, lambang. Model tidak bermaksud untuk
menampilkan suatu realitas yang ideal utuh, tetapi menolong orang untuk
melihat realitas yang ada. Yang ditampilkan bukanlah segala-galanya (Afra
Siauwarjaya, 1987b: 11-12).
Masyarakat Timor Leste, dewasa ini berada di dalam proses menjadi
lebih Katolik. Ini sepadan dengan semboyan yang telah berlangsung berabad-
abad (berdasarkan rahmat Tuhan) Gereja selalu memperbaharui dan
memperkembangkan diri (ecclesia semper reformanda). Ini berarti Gereja
Timor Leste juga sebagai persekutuan umat secara terus-menerus memahami,
menghayati, dan mewujudkan imannya di dalam kenyataan dan permasalahan
hidup sehari-hari (Heryatno, 2002: 3)
Setelah Dulles merefleksikan mengenai model-model Gereja dalam
buku Models of the Church yang ditulisnya pada tahun 1974, enam tahun
kemudian tepatnya pada tahun 1980, ia menghaluskan gagasan mengenai
model-model Gereja tersebut dengan image Gereja sebagai komunitas murid-
murid Yesus. Dengan memberi gambaran Gereja sebagai komunitas murid-
murid Yesus, Dulles tidak bermaksud untuk membuang model-model Gereja
yang lain. Melanjutkan gagasan Dulles tentang Gereja sebagai komunitas
murid-murid Kristus, Afra Siauwarjaya dalam bukunya Membangun Gereja
Indonesia II mempertahankan dan menegaskan bahwa Gereja sebagai misteri
111
tidak dapat direduksikan menjadi satu konsep atau image saja. Dengan image
Gereja sebagai komunitas murid-murid Kristus, Dulles (1987: 7) mau
menegaskan bahwa Gereja adalah komunitas yang dipanggil oleh Yesus
Kristus. Gereja ada karena Yesus dan dalam Yesus. Dulles sebagaimana
dikutip oleh Afra Siauwarjaya, merefleksikan “komunitas murid-murid
Kristus”, khususnya dalam konteks United State of America (USA). Kiranya
apa yang dialami oleh masyarakat USA, dialami juga oleh Gereja Timor Leste
dewasa ini. Pembahasan mengenai Gereja Timor Leste yang dicita-citakan
berikut ini mencoba untuk menemukan visi mengenai Gereja Timor Leste
yang mau dibangun, agar nanti (bab IV) dapat menempatkan re-evangelisasi
sebagai salah satu jalan dalam rangka mewujudkan Gereja yang dicita-citakan
Gereja Timor Leste.
Pembahasan mengenai Gereja yang dicita-citakan Gereja di Timor
Leste ini bertumpu pada buku Membangun Gereja Indonesia II yang ditulis
oleh Afra Siauwarjaya sebagai sumber utama. Mengenai model-model Gereja
yang mau dibangun oleh Gereja Indonesia, Afra Siauwarjaya
merefleksikannya berdasarkan hasil dari sidang-sidang Konferensi Wali
Gereja Indonesia (KWI) yang berturut-turut tahun 1970 : Pedoman Kerja
Umat Katolik Indonesia; tahun 1974: Partisipasi Gereja Indonesia dalam
Repelita II; tahun 1978: Panggilan Gereja dalam Masyarakat Indonesia; tahun
1979: Meningkatkan Partisipasi Gereja dalam Hidup Kebudayaan,
Kenegaraan, dan Kemasyarakatan; tahun 1981: Gereja dan Negara; tahun
1983: Pemekaran Diri Awam; tahun 1984: 450 Tahun Gereja Katolik di
112
Indonesia; dan tahun 1985: Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat
Pancasila, yang kesemuanya membicarakan tentang panggilan Gereja dalam
masyarakat Indonesia. Ia memberi kesimpulan bahwa sidang-sidang KWI
tersebut sangat jelas menandaskan bahwa visi mengenai Gereja Indonesia
yang dicita-citakan adalah Gereja yang memasyarakat, Gereja yang terarah ke
dunia. Gereja disadarkan akan tanggung jawabnya untuk mewujudkan
imannya dalam segala dimensi hidupnya dan berani memerangi segala bentuk
penyelewengan dan ketidakadilan dengan perjuangan yang gigih. Dengan
demikian iman diharapkan semakin merasuki seluruh kehidupan manusia.
Sedangkan pembahasan mengenai Gereja yang mau dibangun atau
dicita-citakan Gereja Timor Leste di sini, selain bertumpu pada beberapa
kesimpulan yang disampaikan oleh Afra Siauwarjaya di atas, penulis juga
merefleksikannya berdasarkan surat kegembalaan Uskup Dom Carlos Filipe
Ximenes Belo, SDB, dalam rangka memperingati lima puluh tahun Diosis
Dili. Di samping itu penulis juga menafsirkan situasi riil Gereja yang saat ini
sedang berada dalam tahap pencarian model-model Gereja yang mau
dibangun, yang sesuai dengan konteks Gereja Timor Leste, di antaranya visi
Gereja Timor Leste yang lebih memasyarakat, Gereja yang terarah ke dunia
(umat). Gereja Timor Leste disadarkan akan tugasnya sebagai pewarta, yang
memaklumkan atau mewartakan Kerajaan Allah sebagaimana yang telah
dilaksanakan oleh Sang Pewarta Sejati yakni Yesus Kristus, dalam
menghadapi segala bentuk penyelewengan dan ketidakadilan yang terjadi,
dengan perjuangan yang gigih. Gereja Timor Leste juga disadarkan akan rasa
113
tanggung jawabnya dalam mewujudkan imannya dalam segala dimensi
kehidupan manusia. Membantu semua umat agar imannya semakin merasuk
dalam segala segi kehidupan manusia, sehingga nilai-nilai Injil seperti;
keadilan, perdamaian, cinta kasih, damai sejahtera, dsb., dapat terwujud dalam
kehidupan bersama sebagai komunitas murid-murid Kristus yang sejati.
Berdasarkan uraian di atas, maka berikut akan diketengahkan
mengenai Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste di era
pascareferendum berdasarkan pemikiran Afra Siauwarjaya.
1. Gereja Fungsional: dalam Kristus, demi Kristus
Sejalan dengan pemikiran Afra Siauwarjaya mengenai visi Gereja
Indonesia yang terarah kepada dunia, visi mengenai Gereja Timor Leste
yang terarah ke dunia dalam masyarakat Timor Leste, adalah sangat sesuai
dengan sikap Konsili Vatikan II terhadap dunia dewasa ini. Untuk lebih
memahami dan memperjelas keterarahan Gereja Timor Leste ke dunia
berikut ini akan diuraikan dengan berpedoman pada dua dokumen pokok
Konsili Vatikan II yakni Lumen Gentium (LG), konstitusi dogmatis
tentang Gereja, dan Gaudium et Spes (GS), konstitusi pastoral tentang
Gereja dalam dunia modern atau dewasa ini.
Kedua dokumen ini sangat erat kaitannya satu sama lain dan saling
melengkapi. Gaudium et Spes berbicara mengenai “Gereja yang sama,
sekarang ditinjau, sejauh ia berada di dunia ini, dan hidup serta bekerja
sama dengannya” (GS 40). Dan Lumen Gentium berbicara mengenai
114
Gereja berpangkal pada dirinya sendiri dengan maksud untuk memahami
Gereja dengan perkara-perkara internnya. Kedua dokumen ini saling
melengkapi dan kedua-duanya perlu diperhatikan dalam pemahaman dan
pembentukan Gereja. Jika tidak, maka pandangan mengenai Gereja tidak
akan lengkap. Misalnya, jika Gereja dipandang dari sudut dokumen
Lumen Gentium saja, maka pembahasan mengenai diri Gereja dengan
perkara-perkara internnya, akan mengarahkan pemahaman dan
pembentukan Gereja yang terhenti pada diri sendiri.
Berdasarkan kedua dokumen pokok Konsili Vatikan II tersebut,
maka di sini akan digambarkan Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor
Leste yakni Gereja yang fungsional. Yang dimaksud dengan Gereja
fungsional adalah Gereja yang menjadi tanda dan sarana kehadiran Yesus
Kristus yang terus-menerus melangsungkan karya penyelamatan-Nya bagi
dunia (umat). Gereja di dalam menjalankan tugas perutusan Kristus,
Gereja bertindak sebagai sakramen yakni tanda dan sarana kesatuan mesra
umat manusia dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia (LG 1).
Dalam kesatuan itu Gereja “bagi semua orang dan tiap-tiap orang menjadi
sakramen yang kelihatan dari kesatuan yang menyelamatkan” (LG 9).
Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan
Gereja fungsional adalah Gereja sebagai sakramen. Yang dimaksud
dengan “sakramen” di sini tidak diartikan secara kultis, melainkan secara
luas sebagaimana yang dilukiskan di atas. Seluruh pemahaman diri Gereja
115
dan usaha membangun Gereja seyogyanya dilihat dari sudut pandang atau
perspektif fungsional (sakramental) tersebut.
Dapat dikatakan bahwa Gereja Timor Leste baru berarti, kalau
Gereja menjalankan fungsinya. Gereja bukanlah tujuan, melainkan
sebagai tanda dan sarana. Gereja tidak berarti dan tidak berguna, jika
Gereja tidak berfungsi menjadi tanda dan sarana karya keselamatan Allah
bagi semua orang. Dan pandangan mengenai Gereja fungsional ini
mencakup beberapa hal berikut: pertama, Gereja terpusat pada Yesus
Kristus. Kedua, Gereja secara hakiki terarah ke dunia (umat). Ketiga,
Gereja sebagai pewarta. Keempat, Gereja yang terbuka untuk dialog.
Kelima, Gereja yang mandiri dan keenam, Gereja yang anti kekerasan.
Dalam pandangan seperti itulah seluruh hidup Gereja Timor Leste
termasuk kepemimpinannya bersifat fungsional.
2. Gereja Terpusat pada Yesus Kristus
Allah telah melaksanakan rencana keselamatan bagi seluruh umat
manusia melalui Yesus Kristus. Dan dalam keseluruhan hidup Yesus
Kristus, Allah juga menyatakan Diri kepada manusia, “Barang siapa
melihat Aku, melihat Bapa “ (Yoh 14:9). Kristus juga bersabda, “Akulah
jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6). Kristus adalah jalan, karena
Dialah pengantara antara manusia dengan Allah. Ia membawa manusia
kepada Allah. Kristus adalah kebenaran, karena melalui Dia telah
diperlihatkan Allah yang adalah kebenaran itu sendiri. Sebagai kebenaran,
116
Kristus menjadi tanda dari Allah. Dan Kristus adalah hidup, karena di
dalam Yesus Kristus manusia berjumpa dengan Allah. Kristus disebut
sakramen dari Allah, karena di dalam Dia rencana penyelamatan Allah
bagi umat manusia terwujud.
Gereja merupakan ungkapan iman kepada Allah melalui dan
dalam Kristus. Gereja adalah sakramen di dalam Kristus. Tanpa Kristus
Gereja tidak berarti apa-apa. Maka sudah selayaknya bahwa dari semula
seluruh perhatian diarahkan kepada Kristus (Jacobs, 1970: 110).
Gereja berfungsi sebagai sakramen Kristus. Ini berarti bahwa
seluruh hidup Gereja terarah kepada Kristus. Namun untuk memahami hal
ini kita berpegang pada Kristus sebagaimana terdapat dalam Injil yang
dimengerti dan dihayati oleh Gereja sepanjang masa.
Pusat pemakluman Yesus Kristus adalah Kerajan Allah. Kerajaan
Allah mengandung arti bahwa Allah yang meraja. Datanglah Kerajaan
Allah adalah kabar gembira bagi seluruh umat manusia. “Waktunya telah
genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada
Injil” (Mrk 1:15). Banawiratma (1984: 34) sebagaimana dikutip oleh Afra
Siauwarjaya dengan tegas mengatakan bahwa “Bagi Yesus hanya satu
yang menentukan yaitu bahwa kehendak Allah diketahui dan
dilaksanakan”.
Kerajaan Allah yang dimaklumkan Yesus dilaksanakan-Nya
dalam perkataan dan perbuatan (bdk. Luk 24: 29). Hubungan antara
perkataan dan perbuatan Yesus dalam pemakluman tidak dapat
117
dipisahkan. Keduanya sangat erat kaitannya. Hal ini diungkapkan
dalam Injil Lukas 7: 22 di mana Yesus memberi jawaban kepada utusan
Yohanes yang belum memahami siapa sesungguhnya Yesus itu dengan
berkata:
Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan dengar: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik Kerajaan Allah mempunyai ciri eskatologis, menuju
pemenuhannya pada akhir zaman. Pemberitaan Kerajaan Allah tanpa
perbuatan adalah kosong, dan tindakan perwujudan Kerajaan Allah tanpa
pemberitaan akan kehilangan makna.
Demi Kerajaan Allah yang diperjuangkan-Nya, Yesus harus
berhadapan dengan kuasa dosa yang menghambat datangnya Kerajaan
Allah. Datangnya Kerajaan Allah berpautan erat dengan pertobatan.
Pertobatan yang dituntut adalah keberanian melepaskan kepentingan diri
dan mengarahkan seluruh hidup kepada Allah baik secara pribadi maupun
secara struktural. Pertobatan bukanlah soal batiniah, bukanlah persoalan
perseorangan melulu, melainkan menyangkut hidup sosial dan perwujudan
konkretnya menyangkut keselamatan orang lain.
Gereja bukanlah tujuan. “Tujuannya adalah Kerajaan Allah” (LG
9B), Kerajaan seperti yang diberitakan dan diperjuangkan Yesus melalui
perkataan dan perbuatan dengan menanggung konsekuensinya. Kerajaan
Allah terarah ke masa depan, karena itu menuntut pertobatan manusia
118
secara terus-menerus memperbaharui diri dan meningkatkan kesetiaan
kepada Allah dalam Kristus.
Gereja itu ada, dibicarakan, direfleksikan, dan dibangun bukan
untuk dirinya sendiri, juga bukan untuk mencari diri sendiri, melainkan
dalam kesatuan dengan Kristus dan demi Kristus. Tujuan ini ditandaskan
lagi oleh para uskup tahun 1985: “Pentingnya Gereja semata-mata karena
hubungannya dengan Kristus” (Sinode para uskup 1985: 14). Dengan kata
lain bahwa Gereja dilihat sebagai fungsional. Gereja dipandang dalam
kesatuannya dengan Kristus dan demi Kristus. Gereja yang berpusat pada
Yesus Kristus.
3. Gereja Secara Hakiki Terarah ke Dunia
Dalam kesatuannya dengan Kristus, hidup Gereja secara hakiki
terarah ke dunia. Gaudium et Spes, konstitusi pastoral mengenai Gereja
dalam dunia dewasa ini, dalam Konsili Vatikan II, bermaksud hendak
“menjelaskan kepada semua orang bagaimana Gereja memahami
kehadiran dan usahanya di dalam dunia dewasa ini” (GS 2). Untuk
memahami ini, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
dunia, dan apa hubungan Gereja dengan dunia.
Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes artikel 2, mengatakan
dunia sebagai:
Dunia manusia atau seluruh umat manusia beserta semua ihwal di antaranya manusia hidup; dunia, pentas sejarah umat manusia dan upayanya yang ditandai dengan kekalahan dan kemenangan; dunia, yang menuntut kepercayaan Kristen diciptakan dan
119
dipelihara karena cinta kasih Pencipta, yang memandang berada dalam perbudakan dosa, tetapi yang dimerdekakan oleh Kristus, yang disalibkan dan bangkit, dan mematahkan kekuasaan yang jahat, agar diubah menurut rencana Allah dan datang kepada penyempurnaan. Maksud dari pernyataan Konsili Vatikan II dalam dokumen
tersebut, yang dimaksud dengan dunia sebagaimana dijelaskan Jacobs
(1983: 16), yang dikutip oleh Afra Siauwarjaya adalah sejauh dunia dilihat
sebagai “dunia manusia” atau seluruh umat manusia; ditinjau dari sudut
kosmologisnya, dunia merupakan alam semesta sebagai tempat tinggal
manusia; ditinjau dari sudut historisnya, sebagai pentas berlangsungnya
sejarah umat manusia; dan dari sudut pandang Kristiani, sebagai dunia
yang diciptakan Allah dan ditebus oleh Kristus serta menuju ke
kesempurnaan.
Gereja ada dalam dunia dan dunia berada dalam Gereja. Ini
merupakan pandangan dari sudut realita manusiawi. Dunia ada dalam
Gereja sejauh Gereja dilihat sebagai perhimpunan umat manusia. Dan
Gereja ada dalam dunia sejauh umat manusia itu adalah orang-orang
beriman yang menyerahkan dirinya kepada Allah melalui Yesus Kristus
dalam Roh Kudus mewujudkan imannya melalui tindakan memajukan
kehidupan bersama.
“Hubungan antara Gereja dan dunia” adalah pertama-tama
hubungan antara dua pola dalam kehidupan orang beriman sendiri sesuai
dengan paham Gereja yang fungsional (sakramental). Hal ini ditegaskan
oleh Jacobs (1986: 18) yang mengatakan bahwa: “Manusia disebut
120
“dunia” sejauh ia sebagai subyek otonom berhadapan dengan Allah. Ia
disebut “Gereja” sejauh hubungannya dengan Allah terungkap dalam
bentuk yang khusus, yang lazim disebut ‘agama’ (sakramen)”. Jadi, yang
hendak diselamatkan oleh Allah melalui Yesus Kristus adalah dunia,
sebagai subyek otonom. Kalau dunia menjawab tawaran keselamatan dari
Allah dalam iman dan mengungkapkan dalam iman, maka dunia menjadi
Gereja. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Gereja mengartikulasikan
iman dunia. Keselamatan berarti manusia hidup dalam relasi dengan Allah
yang memanggilnya.
Tujuan Gereja bukanlah dirinya, melainkan demi iman. Iman baru
menjadi nyata jika dilaksanakan dalam tindakan atau tugas hidup sehari-
hari. Dalam Gereja, relasi dengan Kristus diungkapkan secara eksplisit,
karena itu Gereja disebut ungkapan iman, komunikasi iman. Sedangkan
relasi dengan Kristus, dalam kehidupan sehari-hari tidak kelihatan, tetapi
terlaksana di mana manusia mampu menjawab tantangan-tantangan
hidupnya sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, relasi dengan Yesus
Kristus menjadi kenyataan yang sungguh-sungguh (bdk. Jacobs – Kieser
1980: III/27-28). Dengan demikian yang dimaksud dengan tujuan Gereja
demi iman yang terarah ke dunia adalah Gereja yang sungguh-sungguh
menunjang, mengembangkan, dan melaksanakan relasi umat dengan
Kristus dalam situasi nyata. Dengan demikian Gereja berfungsi sebagai
tanda sekaligus sarana keselamatan Allah yang sudah ada di dunia.
121
Sebagaimana Kristus demi Kerajaan Allah terlibat dan solider
dengan kaum miskin dan tertindas, demikian juga keterarahan Gereja ke
dunia teristimewa tertuju kepada kaum miskin dan tertindas. Sinode para
Uskup tahun 1971 dengan tegas mengatakan bahwa Gereja mempunyai
tugas untuk mewartakan atau memberitakan dan mewujudkan “kabar
gembira bagi kaum miskin, kebebasan bagi orang-orang tertindas dan
sukacita kepada orang yang berdukacita” (Sinode para Uskup 1971: 10).
Hal ini semakin mendesak karena tuntutan situasi krisis dunia atau
masyarakat, seperti hilangnya rasa: persaudaraan, cinta kasih, kedamaian,
dan nilai-nilai Injil lainnya, yang mengakibatkan dunia semakin terjerat
hidupnya dalam “suatu jaringan penjajahan, penindasan, peperangan, dan
kesewenang-wenangan yang mencekik kebebasan dan mencegah bagian
terbesar umat manusia untuk ikut serta dalam pembangunan dan turut
menikmati suatu dunia yang lebih adil dan lebih bersaudara” (Sinode para
Uskup 1971: 9). Namun terlebih-lebih karena kebobrokan batin manusia
yang menentang rencana Penciptanya.
Untuk menjalankan keterarahan Gereja ke dunia berhadapan
dengan situasi krisis seperti tersebut di atas, maka ada baiknya Gereja pun
dapat belajar dan menimba pelajaran dari teologi-teologi pembebasan di
Amerika Latin, sehingga dengan demikian Gereja (di Timor Leste)
mampu menemukan visinya dalam mewartakan kabar gembira bagi dunia
atau masyarakatnya, yakni tindakan konkret untuk menolong orang keluar
dari keadaan mereka yang miskin (moral, spiritual, dan intelektual) dan
122
tertindas, menuju situasi persaudaraan manusiawi. Dalam usaha untuk
menolong mereka yang miskin dan tertindas, teologi pembebasan
merupakan “fungsi refleksi-kristis terhadap praksis pembebasan“ .
Menghadapi berbagai krisis yang saat ini terjadi di Gereja Timor
Leste, seperti hilangnya rasa persaudaraan, keadilan, cinta kasih, dan nilai-
nilai Injil lainnya, sangatlah mendesak bahwa Gereja mengambil sikap
untuk meningkatkan kesetiaannya kepada Kristus. Gereja tidak bisa
berdiam diri lagi atau mengambil sikap apatis terhadap perkembangan
zaman ini seperti sikap Gereja di masa silam.
4. Gereja sebagai Pewarta
Dalam model-model Gereja yang telah diungkapkan (bagian B
dalam bab ini), secara implisit telah disinggung mengenai peranan Gereja
sebagai pewarta Injil atau Kabar Gembira. Ini dapat dilihat pada model
Gereja sebagai institusi di mana memiliki tiga unsur pokok, di antaranya
adalah mengajar, menguduskan dan memimpin. Di dalam unsur mengajar,
Gereja telah mengambil bagian dalam tugas pewartaan atau pemakluman
Injil atau Kabar baik. Tipe eklesiologi ini (pewarta) mempunyai titik temu
dengan faham Gereja sebagai persekutuan. Keduanya memandang Gereja
sebagai Umat Allah. Namun model Gereja sebagai pewarta lebih
menekankan iman dan pewartaan, sedangkan model Gereja sebagai
persekutuan lebih mementingkan hubungan antarpribadi dan persekutuan
mistik.
123
Pembahasan ini akan mengulas lebih jauh tentang model Gereja
sebagai pewarta sesuai dengan situasi konkret saat ini. Bagaimana Gereja
Timor Leste bisa menempatkan dirinya dalam menghadapi berbagai
permasalahan yang terjadi.
Mengingat situasi krisis yang akhir-akhir ini terjadi di Gereja
Timor Leste, seperti terjadinya gap dalam tubuh tentara nasional Timor
Leste “FDTL = ForÇa Defesa da Timor Leste” (Kompas, 29 April 2006:
9) yang membawa dampak negatif yang besar, yakni adanya peperangan
antarsuku atau etnis yang berlangsung dalam jangka waktu yang agak
panjang. Dan dalam penyelesaiannya atau mencari solusinya melibatkan
militer dari luar negeri seperti Selandia Baru, Malaysia, Australia,
Portugal sebagai penengah dalam penyelesaian masalah tersebut. Juga,
adanya larangan dari pemerintah (pemerintahan Marie Alkatiri) untuk
memuat Pendidikan Agama dalam Kurikulum Pendidikan (Hidup, edisi 29
Mei 2005: 30-31). Gereja tidak hanya diam, tetapi Gereja diajak untuk
terbuka dan ambil bagian dalam perkembangan zaman.
Menghadapi situasi krisis seperti tersebut di atas, Gereja Timor
Leste tetap menempatkan diri sebagai pewarta, yang lahir dari Yesus dan
para rasul. Gereja Timor Leste diajak untuk terus-menerus mewartakan
Kabar baik kepada semua orang, terlebih kepada kaum miskin (moral,
spiritual, dan intelektual), dan yang tertindas, yang mengalami
ketidakadilan. Hal ini ditegaskan oleh Paus Paulus VI dalam ensiklik
Evangelii Nuntiandi art. 14 yang mengatakan bahwa:
124
Gereja mempunyai kesadaran yang hidup mengenai kenyataan bahwa kata-kata Sang Penebus, “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah”, (Luk 4: 43) berlaku juga sebenarnya untuk Gereja. Gereja dengan senang hati akan menambahkannya bersama-sama Santo Paulus: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor 9: 16). Ini merupakan suatu tugas dan perutusan, yang semakin lebih mendesak karena perubahan-perubahan yang meluas dan mendalam di dalam masyarakat zaman sekarang ini. Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil, yakni untuk berkotbah dan mengajar, menjadi saluran kurnia rahmat, untuk mendamaikan para pendosa dengan Allah dan untuk mengabadikan kurban Kristus di dalam Misa, yang merupakan kenangan akan kematian dan kebangkitan-Nya yang mulia.
Maksud dari ensiklik tersebut adalah Gereja menyadari tugasnya
yang diberikan oleh Yesus juga para rasul seperti Santo Paulus, yakni
mewartakan Injil. Gereja juga sadar akan keberadaannya yakni
mewartakan Injil. Bahkan dikatakan bahwa tugas mewartakan Injil adalah
perutusan hakiki dari Gereja.
Tugas mewartakan Injil adalah rahmat dan panggilan yang khas
bagi Gereja. Gereja ada untuk mewartakan Injil sebagaimana Yesus dan
para rasul telah melaksanakannya, dengan jalan berkotbah, mengajar,
menjadi saluran kurnia rahmat, untuk mendamaikan para pendosa dengan
Allah, dan untuk mengabadikan kurban Kristus di dalam Misa, yang
merupakan kenangan akan kematian dan kebangkitan-Nya yang mulia.
Gereja dalam menjalankan tugas perutusannya berpangkal pada perintah
Yesus yakni “...pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (lih.
Mat 28:19)
125
5. Gereja yang Terbuka untuk Dialog
Cara baru menggereja dalam konteks Gereja Timor Leste adalah
hidup misioner dengan semangat dialogal, dan menurut logika inkarnasi.
Tugas utama Gereja Timor Leste dalam menghadapi berbagai
permasalahan yang ada dewasa ini adalah tetap pewartaan (kerygma).
Cara, bagaimana pewartaan itu dijalankan adalah dengan jalan dialog (EA
29). Dalam surat gembala Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB (4
September 1990) dengan tegas mengatakan bahwa:
Masyarakat Timor Leste sedang berubah untuk menjadi suatu masyarakat yang sifatnya semakin heterogen jika ditinjau dari segi etnografi, kultural, dan religius. Orang Timor Leste tidak lagi hidup dalam keterasingan. Dengan kehadiran masyarakat dari berbagai daerah, orang Katolik harus menunjukkan sikap terbuka dan kesediaan untuk berdialog, untuk bekerja sama dengan semua pihak untuk membangkitkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai moral sesuai dengan jiwa Konsili Vatikan II” (Tukan dan Sousa, 1997: 246)
Maksud dari pernyataan tersebut di atas adalah bahwa Gereja
Timor Leste di era pascareferendum ini bukan lagi hidup dalam
keterasingan. Tak dapat dipungkiri bahwa Gereja Timor Leste dewasa ini
sungguh-sungguh hidup dalam situasi yang sifatnya heterogen, ditinjau
dari segi etnografi, kebudayaan, dan religius. Maka, dialog dalam konteks
Gereja Timor Leste adalah keterbukaan untuk dialog dengan kebudayaan-
kebudayaan dari berbagai daerah di Timor Leste. Sebab, masyarakat
Timor Leste hidup dalam suasana miltikultural. Dengan dialog
antarkebudayaan diharapkan terciptanya sikap terbuka dan kesediaan
untuk menerima perbedaan kebudayaan yang ada. Di samping itu,
126
Gereja Timor Leste sendiri di dalamnya ada kaum religius (pastor,
biarawan/biarawati) yang berasal dari diosis-diosis lain, yang berasal
dari berbagai ordo serta kongregasi. Maka, dibutuhkan sikap untuk
berdialog, dengan hati yang terbuka mau menerima, adanya kerendahan
hati, saling percaya dari antara kaum religius, sehingga mampu bekerja
sama dalam menjalankan karya penyelamatan bagi masyarakat yang
membutuhkannya.
6. Gereja yang Mandiri
Berbicara mengenai Gereja yang mandiri atau matang dalam
bangsa Timor Leste yang multikultural, ini berarti pertama; berbicara
tentang upaya-upaya untuk menemukan, merumuskan, atau membangun
identitas Gereja sendiri. Yang dimaksud dengan Gereja yang memiliki
identitas di sini adalah paguyuban kristiani yang percaya akan nilai-nilai
luhur yang diperjuangkannya bagaikan “daya komando” yang
mendorongnya untuk maju terus. Secara negatif, bila Gereja tidak
memiliki identitas diri, sudah barang tentu ia tidak memiliki masa depan
juga. Oleh karena itu, sejalan dengan SAGKI tahun 2000 yang lalu,
kiranya perlu digalakkan terus upaya untuk membangun dasar-dasar
paguyuban yang kokoh. Dasar-dasar untuk membangun paguyuban yang
kokoh ini menurut Sudhiarsa (2004: 235) ada tiga (3), di antaranya; (1)
pengalaman yang mendalam akan Allah. Gereja tidak lain selain suatu
persekutuan atau paguyuban (communio) kaum beriman. Gereja, baik
127
dalam tingkat lokal maupun universal, adalah pertama-tama “a
communion of communities” (EA art. 25), di mana kaum awam, biarawan-
biarawati dan klerus saling mengakui dan saling menerima sebagai
saudara-saudari satu sama lain dengan citarasa persaudaraan sejati. Nilai-
nilai yang penting dalam paguyuban (koinonia) ini adalah; pengalaman
communio dengan Allah dan dengan umat manusia (EA 24). Citarasa ini
terutama nyata dalam Ekaristi. (2) pelayanan yang partisipatif. Semua
pelayanan dalam Gereja pada hakekatnya merupakan partisipasi dan
kolaborasi dalam bangunan “Tubuh Kristus”. Ini mengandung arti bahwa
tugas Gereja-mengajar, menguduskan, dan melayani – bersifat partisipatif
dan kolaboratif (EA 25). Pemahaman ini membawa suatu konsekuensi
yang besar, yakni suatu pembaharuan dalam struktur dan disiplin Gereja.
Dalam hal ini Gereja Timor Leste memiliki keunikan pelayanan, yakni
menjamin dan memajukan persatuan Gereja (LG 22). Selanjutnya,
pendekatan “satu arah” yakni dari Gereja (Timor Leste) ke umat diganti
dengan “saling belajar dan mengajar, saling memberikan semangat dan
koreksi antara Gereja dengan konteks permasalahan yang dihadapi oleh
umat (Gereja). (3) Gereja yang berakar dalam kebudayaan setempat.
Gereja Timor Leste adalah Gereja inkulturatif. Inkulturasi adalah bagian
inti dari penziarahan Gereja dalam sejarah, karena iman kristiani tidak
dapat dibatasi dalam batas-batas pengertian dan ungkapan satu
kebudayaan saja (EA 20).
128
Kedua, mencari alternatif baru dalam cara hidup Gereja di tengah
masyarakat. Maksudnya perlu dibangun suatu eklesiologi yang mampu
menjawabi pluralitas (kebudayaan, agama, etnis, suku, ras) dan mobilitas
masyarakat Timor Leste dewasa ini dan merajutnya dalam keutuhan
negara – bangsa Timor Leste. Maksudnya, perlu terus memajukan Gereja
yang terlibat dan mengubah wajah Timor Leste sedemikian rupa, sehingga
masyarakat Timor Leste ini sungguh-sungguh mengungkapkan religiositas
warganya.
Secara misiologis, tidak bisa ditawar lagi upaya membangun dan
memantapkan kembali visi misioner dan komitmen bersama serta etos
misioner yang memadai dalam menjawabi tanda-tanda zaman. Karena itu,
Amanat Apostolik Ecclesia in Asia ini perlu dibaca dari perspektif Bapa
Suci yang inginkan mendorong kepada Gereja lokal yakni Gereja Timor
Leste sebagai kawanan kecil untuk tetap maju menuju tahap kematangan,
dan kemandiriannya.
7. Gereja yang Anti Kekerasan (Nonviolence)
Bagaimana orang Kristen, baik secara individu maupun sebagai
persekutuan umat, harus bersikap terhadap perlakuan pihak lain yang
jahat, tidak adil dan sewenang-wenang? Hal ini merupakan persoalan dan
pergumulan iman yang banyak dijumpai dalam praktek kehidupan sehari-
hari. Hal ini disebabkan karena sebagai pengikut Kristus, orang kristen
menerima amanat dari Tuhan Yesus untuk melaksanakan Hukum Kasih.
129
Dan ini berarti, sebagai terapannya, orang Kristen dituntut untuk sedapat
mungkin mewujudkan pengampunan, pengorbanan, dan penyangkalan diri
sendiri, demi keselamatan dan kesejahteraan pihak lain. Bahkan lebih jauh
lagi, Tuhan Yesus mengamanatkan kepada pengikut-Nya agar tidak
menerapkan prinsip pembalasan, yaitu “mata ganti mata, gigi ganti gigi”,
melainkan “janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat
kepadamu” dan “siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga pipi
kirimu” (Mat 5: 38-39). Singkatnya, “kasihilah musuhmu, dan berdoalah
bagi mereka yang menganiayamu” (Mat 5: 44).
Melihat dan mengamati keadaan yang terjadi akhir-akhir ini di
Timor Leste, seperti perang saudara/perang antaretnis (Loro-sae dan Loro-
monu), perang antarinstansi pemerintahan (Polisi Timor Leste dan Tentara
Nasional Timor Leste) yang membawa banyak korban, ini memang suatu
keprihatinan yang mendalam. Gereja Timor Leste sebagai pengemban
amanat “damai” dari Sang Raja Damai yakni Yesus Kristus, mau tidak
mau harus mengambil langkah rekonsiliatif. Tentu ini merupakan suatu
tugas yang berat bagi Gereja Timor Leste, mengingat banyak umat yang
saat ini telah hilang kepercayaan terhadap Gereja. Langkah rekonsiliatif
ini dapat dijalankan melalui kotbah-kotbah, surat gembala, himbauan, dll.
Bertindak secara rekonsiliatif dan penuh belas kasih merupakan
tuntutan dari rasa kemanusiaan yang mendalam (Darminta, 1993: 55).
Rasa kemanusiaan yang mendalam inilah yang mempertemukan semua
orang pada kasih yang penuh kelembutan hati. Untuk bertindak seperti itu,
130
diperlukan bahwa setiap orang atau sekurang-kurangnya kita yang
beriman berani kembali hadir pada inti serta pusat, yang menyatukan umat
manusia. Dengan kata lain membangun hati yang damai, hening dan jernih
lewat doa dan hadir pada Allah merupakan kondisi yang perlu, agar kita
tidak terjebak pada perangkap tindak kekerasan. Bertindak tanpa
kekerasan itulah yang sepantasnya kita wujudkan dalam kehidupan kita.
Dengan bercermin pada Kitab Suci akan sikap Yesus terhadap
tindak kekerasan (Mat 26: 47-56), Gereja Timor Leste mampu
menjalankan “misi perdamaian”nya yang diamanatkan oleh Yesus sebagai
Raja Damai Sejati. Untuk menjalankan misi penyelamatan Allah terhadap
dunia dan umat manusia, maka Yesus harus menjalankan jalan
kesengsaraan, penderitaan dan maut. Dia harus mengorbankan Diri-Nya
sendiri, demi kesejahteraan dan keselamatan manusia. Dia seakan-akan
mentolerir dan membiarkan saja tindakan kesewenang-wenangan dan
ketidakadilan yang dikenakan terhadap-Nya. Tindakan kekerasan tidak
dibalas-Nya dengan kekerasan, melainkan kelembutan dan pengampunan.
Maka, Gereja Timor Leste sebagai pengemban tugas atau misi
penyelamatan Allah sebagaimana diamanatkan oleh Yesus, maka mau
tidak mau Gereja Timor Leste harus mengambil sikap seperti Yesus.
Sikap Yesus inilah yang menjadi model dan teladan sikap dan perilaku
dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi di dalam kehidupan,
terlebih tindak kekerasan. Intinya, Gereja yang anti kekerasan
(nonviolence).
131
BAB IV
RE-EVANGELISASI SEBAGAI SALAH SATU JALAN
MEWUJUDKAN GEREJA YANG DICITA-CITAKAN SERTA USAHA
MENANGGAPI TANTANGAN YANG DIHADAPI GEREJA
TIMOR LESTE DEWASA INI
Pada bab II telah disinggung mengenai permasalahan atau tantangan
yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste di era pascareferendum, di antaranya;
masalah kaum muda, masalah pendidikan, masalah politik, bahaya sekularisme
dan materialisme, serta penghayatan hidup beriman umat. Sedangkan pada bab III
telah diuraikan mengenai Gereja yang dicita-citakan yakni Gereja fungsional:
dalam Kristus dan demi Kristus, Gereja yang terpusat pada Yesus Kristus, Gereja
secara hakiki terarah ke dunia, Gereja yang terbuka untuk dialog, Gereja yang
mandiri dan Gereja yang anti kekerasan.
Dalam permasalahan atau tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor
Leste secara sekilas telah disinggung mengenai kaum muda yang kehilangan akan
makna hidup religius ketika berada di perantauan. Pendidikan yang harus
dijalankan dengan lebih bervisi spiritual sehingga mampu memperkembangkan
pribadi manusia menjadi lebih humanis. Situasi politik yang mempengaruhi
perkembangan kehidupan beriman umat serta menyeret Gereja Timor Leste untuk
terlibat ketika kesejahteraan dan ketentraman rakyat terusik. Sekularisme dan
materialisme yang merupakan agama baru bagi masyarakat Timor Leste di era
pascareferendum.
Sedangkan dalam Gereja yang dicita-citakan Gereja Timor Leste
muncul berbagai harapan dan tuntutan yang mau tidak mau Gereja Timor Leste
132
harus menanggapinya dengan serius. Untuk itu, pada bab IV ini penulis mencoba
menawarkan re-evangelisasi sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan Gereja
yang dicita-citakan serta menanggapi tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor
Leste dewasa ini, dan katekese sebagai bagian integral dari re-evangelisasi.
Penulis berharap sumbangan pemikiran seperti ini bisa memberikan wawasan baru
bagi Gereja Timor Leste untuk berani mencoba sesuatu yang baru.
Berikut akan diulas mengenai re-evangelisasi sebagai salah satu jalan
dalam mewujudkan Gereja yang dicita-citakan Timor Leste serta menanggapi
tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste dewasa ini yang menjadi pokok
pembahasan seluruh isi skripsi ini. Pembahasan akan dibagi dalam lima (5) bagian
di antaranya: pertama, beberapa definisi mengenai evangelisasi. Kedua, beberapa
pandangan mengenai re-evangelisasi. Ketiga, unsur-unsur re-evangelisasi yang
terdiri dari lima (6) sub bagian di antaranya: subyek dari re-evangelisasi, tujuan
re-evangelisasi, tantangan-tantangan re-evangelisasi, syarat-syarat re-evangelisasi,
dan upaya-upaya re-evangelisasi, dan makna re-evangelisasi bagi Gereja Timor
Leste. Keempat, re-evangelisasi sebagai salah satu jalan mewujudkan Gereja yang
dicita-citakan Gereja Timor Leste. Kelima, re-evangelisasi sebagai salah satu jalan
menanggapi permasalahan atau tantangan yang dihadapi Gereja Timor Leste
dewasa ini.
A. Beberapa Definisi Evangelisasi
Dalam Kamus Teologi (1996: 76), istilah evangelisasi (=evangelium)
diartikan sebagai pewartaan Kabar Gembira (Injil) mengenai Yesus Kristus
133
(Mrk 1: 1) kepada semua bangsa (Mat 28: 19-20; Rm 10:12-18) dan
kebudayaan. Melalui kuasa Roh Kudus (Kis 1: 8), Injil diwartakan baik
kepada orang-orang Kristiani maupun orang-orang bukan Kristiani.
Menurut Suharyo, Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang (1993:
19), istilah evangelisasi mulai banyak dipakai dalam literatur Katolik sejak
pertengahan abad ini, antara lain karena pengaruh-pengaruh teolog Protestan
seperti Karl Barth. Para teolog pastoral dan para pendidik yakin, bahwa gejala
de-kristenisasi harus dihadapi dengan pewartaan yang mendasar dan
meyakinkan mengenai keselamatan dalam Yesus Kristus. Para misiolog pada
masa itu berpikir bahwa inisiasi ke dalam iman dibedakan dalam tiga tahap:
pra-evangelisasi, yang adalah berusaha menumbuhkan minat terhadap
masalah-masalah hidup dan iman sebagai persiapan untuk mendengarkan
warta Kristiani; evangelisasi, yang adalah pewartaan iman Kristiani yang
mendasar; katekese, pengajaran mengenai pokok-pokok iman.
Dalam Konsili Vatikan II istilah evangelisasi banyak dipakai. Vatikan
I, yang mencerminkan mentalitas abad ke-19, hanya satu kali menggunakan
kata injil ( = evangelium) dan tidak satu katapun mengenai “evangelisasi”.
Konsili Vatikan II menggunakan kata injil sebanyak 157 kali. “Mewartakan
injil” sebanyak 18 kali dan evangelisasi sebanyak 31 kali. Yang dimaksudkan
dengan evangelisasi biasanya adalah pemakluman pewartaan Kristiani yang
paling dasar kepada orang-orang yang belum percaya kepada Kristus
(Suharyo, 1993: 12).
134
Sejalan dengan semangat Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI (1963-
1979) lebih memberi tekanan kepada evangelisasi. Dengan lebih memberi
orientasi yang lebih jelas kepada perutusan Gereja, Paus Paulus VI memilih
tema “Evangelisasi Dalam Dunia Modern” dalam sinode para Uskup tahun
1974. Atas dasar bahan-bahan yang dihasilkan sinode itu, pada tahun 1975 ia
menulis amanat apostolis Evangelii Nuntiandi. Dalam dokumen itu termuat
paham yang sangat kaya:
Evangelisasi adalah rahmat panggilan khas Gereja, merupakan jati dirinya yang paling dasar. Gereja ada untuk mewartakan Injil, artinya untuk memaklumkan dan mengajar, menjadi saluran anugerah rahmat, untuk mendamaikan orang-orang berdosa dengan Allah untuk melanggengkan kurban Kristus dalam Ekaristi, yang adalah kenangan akan wafat dan kebangkitan-Nya yang mulia (EN. art. 14)
Secara tersirat dokumen ini mengisyaratkan bahwa jati diri
sesungguhnya dari Gereja adalah mewartakan Injil. Panggilan untuk
mewartakan Injil bagi Gereja adalah suatu rahmat yang mulia. Gereja juga
berkewajiban untuk menyalurkan rahmat tersebut kepada semua umat.
Rahmat ini dapat diperoleh dari pengenangan akan kurban Kristus dalam
Ekaristi. Selain itu, Gereja juga dapat mewartakan Injil dengan memaklumkan
dan mengajar, terlebih mendamaikan semua orang yang berdosa dengan
Allah, sehingga keselamatan yang telah dijanjikan oleh Allah dapat terwujud.
Menurut Prior (1992: 47), evangelisasi dimengerti sebagai upaya
untuk “memberitakan Injil Allah” (Mrk 1: 15), merupakan pertemuan antara
tawaran Injil dan situasi aktual serta menyangkut hubungan tata masyarakat
135
Injil dengan sosio-ekonomi (orang kecil), dengan dunia sosio-budaya dan
sosio-keagamaan (agama mayoritas).
Pewartaan Injil bermaksud membaharui dunia dengan segala
pertentangan yang menantang dan segala daya kemampuan yang siap
dikembangkan. Evangelisasi berhasil bila dunia lebih manusiawi, menjadi
manusia lebih merdeka dan berkembang senada dengan kehendak Allah dan
selaras dengan alam ciptaannya.
B. Beberapa Pandangan mengenai Re-evangelisasi
Apa jadinya kalau orang berjalan dan jatuh dalam rutinitas tanpa
melihat sesuatu yang selalu baru dalam hidup ini? Barangkali orang akan
menjadi bosan, jenuh, tertekan, dan lemas serta tidak berdaya. Kerapkali
orang membutuhkan kebaruan untuk keluar dari kebuntuan dan kemandegan.
Untuk menemukan kebaruan itu orang harus berani berkonfrontasi dengan
kenyataan, situasi, dan kondisi yang aktual. Di situlah kebaruan muncul. Di
situlah kegembiraan dan kebahagiaan ditemukan.
Dalam mewartakan Sabda Allah pun orang butuh kebaruan,
khususnya dalam metode penyampaiannya. Mengapa? Karena perubahan
masyarakat dan zaman begitu cepat seolah tidak terbendung lagi. Orang
membutuhkan cara-cara baru untuk menyampaikan pesan Sabda Allah dalam
dunia yang ditandai oleh berbagai kemajuan ilmu dan teknologi. Kebaruan
dalam cara itu semakin dibutuhkan orang-orang zaman modern ini. Inilah
kiranya arah re-evangelisasi.
136
Pada awal masa kepausannya, Yohanes Paulus II hadir dalam
Konferensi Uskup Amerika Latin di Puebla (Januari 1979). Tema konferensi
itu adalah “Evangelisasi Kini dan Masa Depan Di Amerika Latin”. Puebla
menerima pandangan Paus Paulus VI dan menekankan bahwa melalui
evangelisasi Gereja ingin “memberikan sumbangan dalam usaha membangun
masyarakat yang baru yang lebih bersaudara dan adil.”
Dalam pembukaan konferensi itu, Paus Yohanes Paulus II banyak
mengutip Evangelii Nuntiandi, beliau tidak menerima reduksi sosiologis. Dari
lain pihak sangat menekankan, bahwa salah satu segi evangelisasi Gereja yang
tidak dapat ditinggalkan menyangkut “usaha-usaha demi keadilan dan
pengembangan kemanusiaan”. Pada bulan Maret 1979, Paus Yohanes Paulus
II mengirimkan surat dukungan untuk kesimpulan-kesimpulan yang
dihasilkan oleh konferensi Puebla. Sejak saat itu ia tampil sebagai Paus yang
tidak mengenal lelah untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia (Suharyo, 1993:
14).
Pada tanggal 19 Maret 1983, untuk pertama kalinya Yohanes Paulus II
berbicara mengenai evangelisasi baru (= re-evangelisasi) ketika ia berbicara di
hadapan para Uskup Amerika Latin di Port-an-Prince, Haiti, tahun 1982 saat
akan diadakan Konferensi Uskup Amerika Latin, bertepatan dengan 500 tahun
evangelisasi benua Amerika: Peringatan hendaknya ditandai dengan
komitmen Gereja dengan evangelisasi baru (re-evangelisasi) bagi belahan
bumi ini, “baru dalam semangat, cara dan wujudnya.”
137
Tema evangelisasi baru dikembangkan secara lebih luas lagi dalam
dua dokumen kepausan yang keluar pada tahun 1990. Dalam surat kepada
biarawan-biarawati Latin Amerika, tertanggal 29 Juni, dikatakan bahwa
evangelisasi baru harus memperdalam iman orang-orang Kristiani,
mengembangkan kebudayaan baru yang terbuka bagi pesan Injil dan
mendorong transformasi sosial di benua itu. Selanjutnya pada akhir tahun
1990 dikeluarkan ensiklik Redemptoris Missio. Dibedakan secara lebih jelas
keadaan yang menuntut reksa pastoral dan yang menuntut evangelisasi (RM
art. 33). Situasi yang menuntut evangelisasi juga dua. Yang pertama, daerah-
daerah di mana Kristus dan Injil belum dikenal menuntut evangelisasi
pertama. Selanjutnya daerah-daerah yang orang-orang Kristianinya sudah
kehilangan rasa iman dan tidak menganggap diri lagi warga Gereja,
dibutuhkan re-evangelisasi. Ada kesan, evangelisasi baru menurut ensiklik ini
disamakan dengan re-evangelisasi wilayah-wilayah yang pernah disebut
Kristen. Namun anggapan ini tampaknya tidak terlalu kaku. (Suharyo, 1993:
15-16).
Dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi Paus Paulus VI menulis:
“.....Gereja mempunyai kesadaran untuk hidup mengenai kenyataan bahwa kata-kata Sang Penebus, “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah” (Luk 4: 43), berlaku juga sebenarnya untuk Gereja..... Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil...”
Lebih lanjut Paus juga mengatakan: “Bagi Gereja mewartakan
(evangelisasi) berarti membawa Kabar Baik kepada segala tingkat
138
kemanusiaan, dan melalui pengaruh Injil mengubah umat manusia dari dalam
dan membuatnya menjadi baru” (EN. art 18).
Dari apa yang ditulis oleh Paus di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa re-evangelisasi (=evangelisasi baru) bukan hanya sekedar mewartakan
kembali Injil kepada orang-orang kristiani, tetapi terutama berarti usaha agar
dalam menghadapi tantangan-tantangan zaman sekarang karya pewartaan
dapat membantu dan membimbing umat untuk menjalankan hidup yang
sungguh bersifat injili.
Menurut Adisusanto (1995: 69) kebaruan evangelisasi terletak
terutama dalam usaha pewartaan untuk membantu umat agar mereka dapat
merealisasikan nilai-nilai injil dalam kehidupan nyata sehari-hari dalam
konteks tantangan-tantangan zaman sekarang.
Maksud dari pernyataan Adisusanto di atas berarti bahwa evangelisasi
baru (=re-evangelisasi) merupakan upaya menjadi sekaligus pewarta dan saksi
Kabar Baik Kerajaan Allah di tengah-tengah keluarga, komunitas,
masyarakatnya dalam menghadapi situasi tantangan-tantangan zaman.
Tindakan tersebut diharapkan menghasilkan pembaharuan hidup, bukan hanya
hidup orang kristiani yang bersangkutan, tetapi juga hidup masyarakat di
sekitarnya (lih. Why 21: 5; 2Kor 5:17; Gal 6:15; Ef 4: 23-24; Kol 3: 9-10).
Sedangkan Suharyo (1993: 19) mengatakan bahwa re-evangelisasi
tidak membatasi diri pada penerusan ajaran atau mencari pemeluk agama
Kristen sebanyak-banyaknya, melainkan menyampaikan kabar gembira (=
139
injil) keselamatan kepada semua manusia yang utuh, yang mempunyai sejarah
hidup yang berbeda-beda.
Dengan demikian tujuan dari re-evangelisasi dapat dikatakan atau
dirumuskan demikian: “membangun komunitas Kristiani, yang dijiwai oleh
sabda Allah, dalam konteksnya yang beragam, sehingga komunitas itu hadir
memberikan kesaksian yang hidup akan Kristus yang menyelamatkan”.
Menurut Darmawijaya (1993: 100) re-evangelisasi (evangelisasi baru)
harus memperdalam iman orang kristen sendiri, menciptakan budaya baru
yang terbuka bagi amanat Injil, dan memajukan pembaharuan sosial.
Mencanangkan evangelisasi baru (=re-evangelisasi) berarti
mencanangkan suatu gerakan. Gerakan itu diawali dengan penyadaran bahwa
manusia memiliki bekal untuk menghadapi situasi dan kondisi kehidupan
masa kini. Bekal itu adalah perjuangan leluhur kita dalam iman. Namun
demikian situasi dan kondisi masyarakat zaman ini memang lain. Maka
menjadi penting sekali usaha mencari jembatan bagaimana bekal yang
diwariskan oleh leluhur dalam iman ini bisa menjadi kekuatan baru bagi
kehidupan di zaman yang baru? Usaha seperti itu merupakan perutusan bagi
setiap orang yang mau hidup serius dengan imannya.
Apa artinya hidup serius dengan imannya? Menurut Darmawijaya
(1993: 102-103) hidup serius dengan imannya berarti; pertama, orang itu mau
menjadi saksi rencana kasih Allah bagi manusia termasuk dirinya. Kedua,
orang itu mau mewartakan rencana dan kasih Allah tersebut dalam situasi dan
kondisi yang berubah-ubah. Ketiga, orang itu mau menghadapi kenyataan
140
hidup sekarang bukan hanya sebagai ancaman bagi rencana dan kasih,
melainkan juga sebagai jalan memetik buah-buah kasih tersebut.
Dengan demikian pewartaan iman tidak perlu dipisahkan dari
pembangunan seluruh kehidupan manusia yang nyata ini. Kemerdekaan
manusia memungkinkan dia untuk memilih jalan mengembangkan hidup
secara bertanggung-jawab. Dalam hubungan ini evangelisasi lalu harus
dilaksanakan bersama pembangunan manusia secara utuh. Re-evangelisasi
lalu baru bisa dilihat sebagai rencana pastoral seluruh Gereja untuk
melibatkan diri dalam kepentingan umat manusia di manapun. Dalam era
globalisasi ini kepentingan manusia di manapun juga mendapat perhatian
dalam penginjilan tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa re-evangelisasi
diperlukan untuk daerah-daerah yang memiliki akar-akar Kristen lama,
kadang Gereja lebih muda juga, tetapi kehilangan makna iman dalam
kehidupan; atau mereka tidak lagi memandang diri mereka sebagai anggota
Gereja. Dalam situasi seperti ini diperlukan “evangelisasi yang baru”, atau
suatu “proses penginjilan kembali” (re-evangelisasi).
Bila dikatakan bahwa re-evangelisasi berarti usaha pewartaan agar
umat menghayati hidup injili dalam konteks masyarakatnya yang menghadapi
tantangan-tantangan zaman, maka kiranya baik kalau kita membicarakan re-
evangelisasi dalam konteks masyarakat di Asia, di mana Timor Leste menjadi
salah satu bagiannya, yang sedang menghadapi tantangan-tantangan yang
141
tidak sedikit (bahaya sekularisme dan konsumerisme, masalah pendidikan,
masalah kaum muda serta masalah politik).
Umat kristiani di Asia khususnya Timor Leste mewartakan Injil
sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada Allah Bapa yang telah memberkati
mereka dalam Kristus dan mengirimkan Roh Kudus ke dalam hati mereka,
sehingga mereka boleh menikmati kehidupan Allah sendiri. Pewartaan Injil
juga dijalankan karena umat kristiani percaya bahwa Yesus Kristus, yang
telah mengutus mereka ke seluruh dunia untuk menjadikan semua bangsa
murid-murid-Nya. Di samping itu, umat kristiani mewartakan Injil karena
melalui permandian mereka telah dipersatukan dengan Gereja, yang bersifat
misioner. Akhirnya, umat kristiani mewartakan Injil, karena Injil merupakan
ragi untuk pembebasan dan perubahan dalam masyarakat (Adisusanto, 1995:
70).
Seruan Sri Paus Yohanes Paulus II tentang Evangelisasi Baru yang
dicetuskan bertepatan dengan 500 tahun Gereja Amerika Latin, yakni dalam
amanat pada pertemuan uskup-uskup Amerika Latin di Haiti, pada bulan
Maret 1983, rupanya menjadi inspirasi bagi penulis untuk mencoba
menawarkan re-evangelisasi sebagai salah satu jalan yang dapat digunakan
oleh Gereja Timor Leste dalam menghadapi berbagai tantangan dalam
menjalankan karya pewartaannya di era pascareferendum.
142
C. Unsur-unsur Pokok Re-evangelisasi
Menurut Hardawiryana (1995: 99-102) maksud dan relevansi dari re-
evangelisasi (=evangelisasi baru) sebagai misi Gereja untuk zaman sekarang
tampak dari unsur-unsur pokok re-evangelisasi, yang dapat disarikan dari
dokumen-dokumen Gereja, di antaranya: subyek re-evangelisasi, tujuan re-
evangelisasi, tantangan-tantangan terhadap re-evangelisasi, syarat-syarat re-
evangelisasi, re-evangelisasi harus merangkul pihak-pihak lain dan upaya-
upaya re-evangelisasi.
1. Subyek Re-evangelisasi
a. Dalam ensiklik Redemptoris Missio sebagaimana dirumuskan oleh
Hardawiryana dikatakan bahwa pelaku pewartaan Injil secara baru
dengan semangat baru ialah Gereja (RM. art. 16). Komunitas-
komunitas kristiani basis juga menjadi pusat-pusat re-evangelisasi
(RM art. 17), begitu juga keluarga sebagai Gereja-rumah (RM art. 18).
b. Dalam anjuran apostolik Christifideles Laici, 30 Desember 1988,
Paus Yohanes Paulus II menekankan tanggungjawab khas kaum
awam: diuraikan bagaimana iman kristiani merupakan satu-satunya
jawaban yang bulat terhadap masalah-masalah dan harapan-harapan
yang ada di setiap hati manusia; di mana kaum awam ikut ambil
bagian dalam misi kenabian Kristus, dan mereka harus menjadikan
hidup mereka sehari-hari sebagai kesaksian yang meyakinkan akan
Injil (Bdk. Pernyataan Sidang Pleno FABC IV di Tokyo, September
143
1986). Dua tahun sesudah di kawasan FABC (1988) relevansi kaum
awam dijadikan pokok bahasan pastoral yang luas mendalam seperti
yang tertera dalam anjuran apostolik Christifideles Laici.
2. Tujuan Re-evangelisasi
a. Dalam surat yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II kepada para
religius Amerika Latin tertanggal 29 Juni 1990 dengan jelas
diperlihatkan tujuan dari re-evangelisasi yakni menunjang proses
interiorisasi iman pada umat kristiani, mengembangkan kebudayaan
baru yang terbuka bagi pesan Injil dan mendorong transformasi sosial.
Demikian juga dalam kotbahnya di Santo Domingo tertanggal 12
Oktober 1984, beliau menyatakan bahwa re-evangelisasi diidamkan
membuahkan harapan akan masa depan yang ditandai dengan
terwujudnya kebudayaan kasih.
b. Maka re-evangelisasi harus ditujukan kepada seluruh masyarakat
dengan seluruh kebudayaan aktual, supaya iman dapat mengakar,
tumbuh, menjelma dalam kenyataan hidup sehari-hari (CT art. 53).
Dalam kenyataan kongkret sekarang ini, re-evangelisasi diharapkan
menegakkan kebenaran, keadilan dan mutu kehidupan susila yang
tinggi. Karena itu re-evangelisasi harus menanggapi soal ketimpangan
sosial yang mendasar dengan membongkar akar-akar sistem politik
dan ekonomi yang tidak adil (bdk. CA art. 55, RM 51).
144
3. Tantangan-tantangan terhadap Re-evangelisasi
Re-evangelisasi harus melayani tantangan sekularisme dan ateisme
praktis (bdk. CL art. 34), gaya hidup modern dan mewah, konsumerisme,
hedonisme, dampak media massa yang sudah menjadi kebudayaan baru;
juga menanggapi ketidak-bebasan beragama, dan kemiskinan yang
merendahkan martabat manusia. Untuk itu, re-evangelisasi ditantang
untuk menumbuhkan benih-benih sabda yang terdapat di berbagai macam
keadaan, yang kadang saling bertentangan (bdk. RM art. 2, 38).
4. Syarat-syarat Re-evangelisasi
a. Re-evangelisasi mengundang pertemuan pribadi dengan Kristus
sampai menyentuh hati dan mendarah-daging. Pengalaman iman itu
akan melandasi kesaksian hidup, yang mencakup komitmen terhadap
keadilan, perdamaian, hak-hak asasi dan kemajuan manusia, serta
membuahkan kegembiraan dan melimpahkan keselamatan (bdk. RM
art. 42).
b. Re-evangelisasi tidak boleh sekedar mengulang semangat dan cara-
cara misi yang lama melulu, mengingat makin pesat, meluas dan
mendalamnya perkembangan masyarakat. Oleh karena itu
persyaratannya adalah kesesuaian mutu dan cara-cara dengan aspirasi-
aspirasi dan sensibilitas manusia masa kini.
c. Re-evangelisasi dituntut memahami mentalitas dan sikap-sikap yang
sekarang merajalela seperti keinginan meninggalkan tradisi-tradisi
145
yang sudah usang, dorongan kuat ke arah kebebasan yang bersifat
negatif, membacanya dalam terang Injil, dan mengambil unsur-unsur
yang baik di dalamnya untuk terus dimekarkan (bdk. CT art. 44).
“Bahasa” (dalam arti luas) baru masyarakat menuntut kesanggupan
para saksi Injil, meng-“alih-bahasakan” amanat-hikmah Sabda Tuhan
ke dalam corak ekspresi modern.
d. Supaya re-evangelisasi sungguh bermakna, maka harus mencakup
komitmen yang tulus dan partisipasi dinamis-kreatif dalam usaha demi
masyarakat yang lebih sejahtera, damai dan adil yang ditandai dengan
kebudayaan cintakasih (bdk. CA art. 55, RM art. 51).
5. Upaya-upaya Re-evangelisasi
a. Re-evangelisasi harus memanfaatkan Ajaran Sosial Gereja berdasarkan
paham tentang manusia, martabat serta panggilannya menurut wahyu
ilahi (bdk. CA art. 54, SRS art. 41), dan mendasari pengembangan
manusia yang otentik: pewartaan yang konkret tentang Kristus, Gereja
dan manusia, merupakan sumbangan utama Gereja untuk menanggapi
soal-soal pembangunan yang mendesak (bdk. RM art. 58).
b. Re-evangelisasi harus menggunakan media komunikasi massa untuk
menegakkan keadilan, kebenaran dan mutu kehidupan susila yang
tinggi. Bahasa yang baru, teknik-teknik baru dan psikologi yang baru
merupakan usaha pengintegrasian pesan kristiani dalam kebudayaan
baru hasil media massa (Spektrum 21:1, 1993: 50-76).
146
D. Makna Re-evangelisasi bagi Gereja Timor Leste
Selama 24 tahun terakhir ini evangelisasi baru atau re-evangelisasi
sudah menjadi istilah yang lazim dipakai. Yang menjadi persoalan di sini
adalah: manakah yang “baru” dalam evangelisasi baru? Apa sebenarnya arti
re-evangelisasi sekarang hendak didekati dengan mengevaluasi: sebenarnya
masih perlukah kata evangelisasi dibubuhi kata sifat baru atau re (=kembali,
Latin)?
Evangelisasi adalah pewartaan Yesus Kristus Penyelamat umat
manusia tentang kedatangan merajanya Allah yang mempribadi dalam diri
Putra Allah sendiri. Pribadi serta sabda atau amanat-Nya tidak membiarkan
orang bersikap netral, tetapi mengundang pilihan yang tegas-jelas, pro atau
kontra (Mat 13:3; Luk 11:23).
Sebelum Yesus, Yohanes Pembaptis juga sudah menyerukan
pertobatan untuk memperoleh pengampunan dosa (bdk Mrk 1:4), Yesus hanya
meneruskan seruan pendahulu-Nya: “Waktunya telah genap: Kerajaan Allah
sudah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:14-15). Mateus
merangkum seluruh isi pewartaan Yesus dengan seruan penuh makna:
“Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat” (Mat 3:2).
Tuntutan untuk menjadi murid Yesus pun tidak tanggung-tanggung:
menyangkal diri, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Dia (Luk 9:23)).
Injil tidak sekedar untuk didengar, tetapi menuntut suatu pertobatan hati
(metanoia) dan ini sudah pasti berarti pembaharuan radikal-integral.
147
Injil ialah “kekuatan Allah yang menyelamatkan tiap orang yang
percaya...” (Rm 1:16). Dengan demikian menurut Hardawiryana (1995: 104)
pengertian evangelisasi sendiri sudah mencakup transisi dari “manusia lama”
yakni manusia yang dalam situasi konkretnya berada dalam pengaruh dan
penguasaan dosa, kepada ciptaan baru, manusia baru, yakni manusia yang
menyatu dengan Yesus Kristus yang bangkit mulia, dan dalam segalanya
mengikuti bimbingan Roh yang dicurahkan atas dirinya (bdk. Rm 8:1-17).
Keselamatan itupun sepenuhnya adalah rahmat Allah. Disposisi manusia
untuk menerima rahmat itu pun adalah rahmat Allah.
Jika menurut Paus Yohanes Paulus II kebaharuan evangelisasi terletak
pada “baru dalam semangat, cara dan wujudnya”, bukankah semangat, cara
dan wujud pewartaan itu sudah tercakup dalam paham atau pengertian
evangelisasi, yang tentu terarah kepada situasi dan kondisi manusia itu sendiri
yang konkret? Bukankah situasi dan kondisi manusia yang konkret itulah yang
menjadi cara dan wujud pewartaan manakah yang harus dipilih? Bukankah
evangelisasi juga meminta agar pewarta menyatu dengan Kristus yang
diwartakannya, dijiwai oleh semangat-Nya, tetapi sekaligus juga menyatu
dengan rakyat dalam “kegembiraan dan harapan, penderitaan maupun
kegelisahan”? (bdk. GS art. 1).
Akan tetapi dalam kenyataannya evangelisasi tidak mencapai
sasarannya yakni transformasi manusia dan masyarakat dalam segala segi
kehidupannya, karena persyaratan tadi tidak dipenuhi. Manakah sebab-
musababnya? Bila di Timor Leste evangelisasi menurun dan bahkan
148
kehilangan kekuatan Injil untuk menyelamatkan, di manakah letak biangnya?
Apakah pada para pewarta Injil? Pada pendengar pewartaan? Pada cara Injil
diwartakan? Pada proses yang diharapkan untuk tumbuh dan berkembang
dalam diri umat yang menerima pewartaan, tetapi terhalang oleh sesuatu?
(bdk. parabel tentang benih yang ditabur, Mat 13:3-23). Apakah sekularisasi-
sekularisme dapat dipersalahkan begitu saja? Tidakkah Gereja sendiri harus
mawas diri dan bertobat, karena alam pikirannya terbelenggu oleh Tradisi dan
“bahasanya” (dalam arti luas) yang tetap “sakral-gerejawi”, serba “melayang”
dan “ketinggalan”? Dalam perspektif pembaharuan berkat kekuatan Injil itu,
bagaimana de facto Gereja Timor Leste memaknai re-evangelisasi?
Re-evangelisasi dalam konteks Gereja Timor Leste bukan sekedar
pewartaan kembali tentang karya penyelamatan Allah atau merajanya Allah
yang mempribadi dalam Putra-Nya, tetapi re-evangelisasi dimaknai sebagai
re-vitalisasi yang berarti menghidupkan kembali iman yang sudah mulai pudar
karena berbagai tantangan yang dihadapi oleh semua umat. Jika kita
memperhatikan unsur-unsur re-evangelisasi sebagaimana yang telah diuraikan
di atas, maka salah satu subyek pembaharu dari re-vitalitasasi adalah Gereja
sendiri. Bagaimana mungkin iman umat akan hidup jika subyek dari re-
vitalisasi sendiri masih terbelenggu dalam alam pemikiran yang “sakral-
gerejawi” yang serba “melayang” dan “ketinggalan”? Maka sudah saatnya
Gereja Timor Leste harus bangkit dan meninggalkan alam pemikirannya itu.
Gereja Timor Leste harus memiliki suatu semangat baru sebagai tanggapan
iman yang berpangkal pada hati orang. Dan tidak ada jalan lain dan yang lebih
149
baik untuk merumuskan semangat baru itu daripada melihat pada evangelisasi
yang pertama (Jacobs, 1994: 6).
Ketika para rasul dan murid-murid mulai mewartakan Injil, situasi
Gereja pertama jauh berbeda dengan situasi Gereja (Timor Leste) sekarang.
Gereja pertama tidak punya banyak dukungan institusi, tidak memiliki proyek
pastoral, dan bahkan tidak memiliki tradisi ajaran yang jelas. Mereka meraba
dan merangkak untuk menemukan jalan di dunia yang serba bermusuhan
dengan mereka. Kesulitan dan sikap sinis yang mereka hadapi jauh lebih besar
daripada kesulitan Gereja sekarang.
Namun mereka tidak takut atau ragu-ragu untuk pergi menjelajah
segala jalan kekaisaran Roma, menghadapi siapa saja yang mau
mendengarkan mereka. Dan kekuatan mereka tidak lain daripada iman akan
Tuhan yang mulia, yang berjanji akan menyertai mereka ke mana saja mereka
pergi. Kehadiran Tuhan di tengah-tengah mereka tidak hanya memberikan
keberanian dan kekuatan kepada mereka tetapi juga moral yang tinggi dan
semangat iman yang meyakinkan. Mereka amat sangat sadar akan kelemahan
mereka sendiri, termasuk kelemahan dalam mengikuti jejak Kristus. Tetapi
mereka yakin bahwa kasih Tuhan lebih besar daripada hati manusia, dan
bahwa “penderitaan zaman sekarang tidak dapat dibandingkan dengan
kemuliaan yang akan dinyatakan kepada mereka” (Rm 8:18). Mereka hidup
dalam antusiasme dan eskatologis. Dan mereka merasa gembira, bila oleh
penderitaan dan penganiayaan mereka boleh menyerupai Yesus yang diimani
sebagai Kristus dan Tuhan. Mereka tidak takut dengan manusia, mereka hanya
150
takut kepada Dia, “yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh
mereka” (Mat 10:28). Mereka hidup dan berjuang dalam kesadaran bahwa
“baik maut maupun hidup, baik yang sekarang maupun yang akan datang baik
yang di atas maupun yang di bawah, tidak akan dapat memisahkan kita dari
kasih Allah yang ada di dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rm 8:38-39).
Gereja Timor Leste bukanlah kelompok minoritas atau kelompok tikus
seperti Gereja pertama. Tetapi kesulitan yang dihadapi oleh Gereja Timor
Leste tidak jauh berbeda dengan kesulitan yang dihadapi oleh Gereja pertama,
walaupun situasinya berbeda. Dengan demikian, Gereja Timor Leste harus
kembali lagi kepada semangat Gereja pertama. Mencari kekuatan iman di luar
iman itu sendiri tidak mungkin. Gereja hanya mempunyai satu kekuatan saja,
yaitu imannya sendiri (Jacobs, 1991: 6). Itu berlaku untuk Gereja dahulu, juga
tetap berlaku untuk Gereja sekarang. Re-vitalisasi berarti menghidupkan
kembali iman yang sesungguhnya, dan iman yang baru.
E. Re-evangelisasi Sebagai Salah Satu Jalan dalam Mewujudkan Gereja
yang Dicita-citakan Gereja Timor Leste
Dalam bab III bagian B telah disinggung mengenai Gereja yang dicita-
citakan Gereja Timor Leste, yang di dalamnya mengandung harapan-harapan
dalam menjawab situasi umat saat ini. Gereja yang dicita-citakan Gereja
Timor Leste yang dirumuskan tidak bermaksud untuk meninggalkan model-
model Gereja yang telah ada, tetapi justru melengkapi. Maka, yang menjadi
pertanyaan sekarang adalah: jalan apa yang mau ditempuh oleh Gereja Timor
151
Leste dalam mewujudkan Gereja yang dicita-citakan, agar tidak hanya
menjadi rumusan semata, tetapi benar-benar menjadi suatu perwujudan yang
konkret dalam menjawab situasi umat saat ini? Salah satunya dengan jalan re-
evangelisasi. Re-evangelisasi bukan berarti Gereja Timor Leste dalam
melaksanakan tugas pewartaannya mengulang kembali apa yang sudah ada,
tetapi lebih pada re-vitalisasi, yang berarti menghidupkan kembali dan
membuat Gereja Timor Leste lebih berarti dan lebih berfungsi.
Re-vitalisasi nampak dalam sikap Gereja Timor Leste yang berani
mendobrak rasa “aman-mapan” yang introvert dalam mengembangkan iman.
Gereja Timor Leste harus selalu memperbaharui dan memperkembangkan diri
(ecclesia semper reformanda). Ini mengandung arti bahwa Gereja Timor
Leste sebagai persekutuan umat terus-menerus memahami, menghayati, dan
mewujudkan imannya di dalam kenyataan dan permasalahan hidup sehari-
hari.
Maka syarat-syarat yang harus ditempuh untuk mewujudkan Gereja
yang dicita-citakan Gereja Timor Leste dengan re-evangelisasi dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Mengundang pertemuan pribadi dengan Kristus sampai menyentuh hati
dan mendarah-daging. Pengalaman iman seperti ini akan melandasi
kesaksian hidup yang mencakup komitmen terhadap keadilan,
perdamaian, hak-hak asasi dan kemajuan manusia, serta membuahkan
kegembiraan dan keselamatan, bukan pembunuhan, penodongan senjata,
penindasan, pelecehan terhadap martabat manusia, dan lain sebagainya.
152
b. Re-evangelisasi diharapkan menunjang proses interiorisasi iman pada
umat kristiani (Timor Leste), mengembangkan kebudayaan baru yang
terbuka bagi pesan Injil dan mendorong transformasi sosial sesuai dengan
yang diharapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam suratnya yang
ditujukan kepada para religius di Amerika Latin, 29 Juni 1990.
c. Re-evangelisasi harus ditujukan kepada seluruh masyarakat (Timor Leste)
di dalam kebudayaannya yang aktual, supaya iman dapat mengakar,
tumbuh, menjelma dalam kenyataan hidup sehari-hari. Dalam kenyataan
di Timor Leste sekarang ini, re-evangelisasi diharapkan menegakkan
keadilan, kebenaran, dan mutu kehidupan susila yang tinggi.
d. Supaya re-evangelisasi lebih bermakna dalam konteks Gereja Timor
Leste, maka diharapkan Gereja Timor Leste memiliki sikap solider
terhadap kaum miskin. Gereja Timor Leste harus berani untuk “berdialog”
dengan kehidupan kaum miskin. Mengambil bagian dan menderita
bersama kaum miskin. Dengan demikian Gereja yang dicita-citakan
Gereja Timor Leste bukanlah sebuah rumusan strategi dalam menanggapi
situasi saat ini, tetapi diharapkan Gereja Timor Leste lebih bersifat
fungsional dalam menyampaikan kabar penyelamatan Allah kepada
seluruh umat di Timor Leste.
153
F. Re-evangelisasi sebagai Usaha Menanggapi Tantangan yang Dihadapi
Gereja Timor Leste Dewasa Ini
Dalam bab II bagian B telah diperlihatkan mengenai permasalahan
atau tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste, di
antaranya: masalah kaum muda, masalah pendidikan, masalah politik, bahaya
sekularisme dan materialisme, serta penghayatan hidup beriman umat yang
masih dangkal.
Kebaharuan re-evangelisasi di Timor Leste secara khas terletak pada
jelasnya langkah Gereja Timor Leste untuk mengambil sikap berani
mendobrak rasa “aman-mapan” yang introvert dalam mengembangkan iman;
pada jelasnya gerak berintegrasi penuh dalam masyarakat dan mengenakan
pada dirinya tantangan-tantangan aktual yang dihadapi; pada iman yang betul-
betul berinkarnasi dalam pembangunan manusia dan masyarakat yang
seutuhnya; dalam keprihatinan sekitar situasi kaum muda; dalam dedikasi
pendidikan; dan dalam partisipasi prinsipiil kristiani dalam kehidupan politik.
1. Kaum muda
Fenomen kaum muda merupakan sebuah titik khas dalam
perjalanan hidup manusia. Terjadinya sebuah tahap memekarnya berbagai
macam dimensi kehidupan. Kaum muda adalah suatu fase di mana firdaus
kanak-kanak mulai mundur sambil menjemput alam kedewasaan di gerbang
kemudian. Dalam arti ini maka manusia muda sungguh-sungguh tersentak
oleh kesadaran diri untuk menemukan jatidirinya.
154
Pada prinsipnya, bagaimanapun juga kaum muda harus dilihat
sebagai “pribadi yang sedang berada pada taraf tertentu dalam
perkembangan hidup seorang manusia, dengan kualitas dan ciri tertentu
yang khas, dengan hak dan peranan serta kewajiban tertentu dengan potensi
dan kebutuhan tertentu pula” (Tanglidintin, 1984: 6).
Tetapi bagaimana kita memandang mereka dalam kenyataannya?
Sebagai bahan acuan untuk memahami jatidiri dari kaum muda, maka
berikut kita akan melihat cetusan hati muda-mudi Jakarta sebagaimana
dikutip oleh Tanglidintin (1984: 6), yang berbunyi:
Memang kami sebagai kaum muda penuh dengan emosi dan semangat meluap yang mudah disulut oleh siapapun. Oleh karena itu perlulah kami diberikan bimbingan penuh pengertian dari generasi sekarang. Yang kami harapkan dari orang tua, sekolah, dan Gereja, agar tercapai kedewasaan pribadi kami ialah: hendaknya kami diberikan kepercayaan yang sesungguhnya dalam berbuat di antara masyarakat banyak; hendaknya pula kami diberi kesempatan untuk bekerjasama setaraf dengan generasi pendahulu kami, dan perlakukan kami sebagai sahabat sederajat dalam ide dan gagasan. Dengan rendah hati paturlah kami sampaikan di sini bahwa kami kurang diberi kebebasan untuk bergerak leluasa; mengapa segalanya hanya ditentukan oleh orang tua dan Gereja saja?, apakah kami tidak dapat merencanakan dan menentukan masa depan kami? Gambaran di atas bukan saja dialami oleh kaum muda di Jakarta,
tetapi dialami juga oleh kaum muda di Timor Leste pada umumnya. Pada
kenyataannya, kaum muda Timor Leste dibina dan dididik dalam
keterikatan pada aturan-aturan adat dan norma yang dikehendaki dan
dipandang oleh orang tua dan Gereja sebagai acuan dalam perkembangan
hidup kaum muda. Kaum muda dididik dan dibentuk oleh orang tua, Gereja
dan sekolah dalam situasi “tertekan” artinya kaum muda tidak diberi
155
kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Bahkan dalam pandangan
para orang tua bahwa anak yang berbakti adalah anak yang mendengarkan
dan melaksanakan apa yang diinginkan dan dikehendaki oleh orang tua. Jika
tidak mendengarkan dan melaksanakannya, maka anak dikatakan durhaka
atau tidak berbakti.
Karena itu, suatu ketika mereka berada dalam lingkungan yang
lepas dari pantauan orang tua (tempat perantauan), mereka akan mengambil
sikap dan berperilaku yang bertolak belakang dengan aturan-aturan adat dan
norma yang telah diperolehnya. Mengapa ini terjadi? Pada dasarnya,
kebebasan merupakan kondisi utama bagi manusia untuk menghayati apa
yang telah diperolehnya dalam pengajaran dan pendidikan. Kebebasan
membawa manusia mem”batin”kan, meng”akar”kan, membuat hidup apa
yang diperolehnya di dalam perilaku hidup sehari-hari. Namun sebaliknya,
pengajaran, pendidikan, dan segala sesuatu yang diperoleh dengan secara
“paksa”, dalam situasi tertekan, maka akibatnya nilai-nilai, aturan-aturan
adat dan norma-norma yang diperoleh tidak membatin dan berakar sampai
pada transformasi diri yang lebih baik.
Demikian juga dalam hal keagamaan. Kaum muda yang di dalam
keluarganya ditanamkan nilai-nilai keagamaan (cinta kasih, kebenaran,
keadilan, dll.) secara paksa dan hanya sampai pada ritual, sebagai tradisi
yang harus dilakukan dalam ketidak-bebasan, maka nilai-nilai keagamaan
itu akan luntur, pudar dan bahkan hilang. Padahal yang diharapkan adalah
156
nilai-nilai keagamaan itu mengakar dan menjadi pilihan serta kebutuhan
hidup manusia menuju kebahagiaan sejati yakni hidup bersama Allah.
Melihat kenyataan seperti ini, jalan apa yang ditempuh oleh Gereja
Timor Leste guna menghidupkan kembali nilai-nilai keagamaan kaum muda
yang mulai pudar, dan mengajak kaum muda untuk menemukan jatidirinya
yang telah hilang? Sekaranglah saatnya Gereja Timor Leste mulai
memikirkan dan mengambil langkah pembinaan yang serius bagi kaum
muda dengan memperhatikan kedua unsur ini: pertama, Gereja hendaknya
benar-benar mengenali dan memahami potensi yang ada di dalam diri kaum
muda, identitas sesungguhnya dari kaum muda, mencari tahu dan berusaha
untuk memahami situasi dan kebutuhan dari kaum muda, sehingga
pembinaan yang akan dilaksanakan tepat sasaran. Kedua: bekerjasama
dengan kaum awam (pembina yang berjiwa muda) yang memiliki potensi
dan keprihatinan akan perkembangan jati diri kaum muda yang dibina.
a). Mengenali dan Memahami Potensi dan Identitas Kaum Muda
Tanglidintin (1984: 6-11) dalam bukunya Pembinaan Generasi
Muda, Visi dan Latihan, merumuskan mengenai potensi dan identitas
kaum muda sebagai berikut:
1). Potensi Kaum Muda
• Kaum muda dapat memikirkan kemungkinan-kemungkinan
secara abstrak dan hipotesis. Ini berbeda dengan pola berpikir
anak. Kaum muda dapat memandang dirinya dan permasalahan
157
atau persoalan dari berbagai segi. Berbeda dengan kaum tua
yang pada umumnya senang mengenang masa silam (past-
oriented), kaum muda memiliki pandangan jauh ke depan dan
sarat dengan cita-cita masa depan (future orientation).
• Kemampuan-kemampuan tersebut di atas membuat kaum muda
memiliki sikap yang terbuka terhadap perkembangan terlebih
kepada pembaharuan, yang dianggap mereka dapat dengan cepat
merealisasikan masa depan yang didambakan mereka walaupun
masa depan yang didambakan itu tepat atau tidak. Oleh sebab
itu, kaum muda disebut sebagai “generasi pembaharu” sebab
sering bentrok dengan kaum tua karena cenderung mapan dan
biasanya tetap mempertahankan nilai-nilai dan tradisi-tradisi
yang lama.
• Karena kaum muda tidak terikat pada nilai-nilai dan tradisi-
tradisi beku masa lalu, dan belum mapan dalam suatu
kepentingan, maka kaum muda merupakan hati nurani rakyat
banyak.
• Kaum muda memiliki ciri dinamik, penuh semangat yang
meluap dan penuh dengan emosi sesuai dengan yang dirumuskan
mereka sendiri. Jiwa kaum muda adalah jiwa yang penuh dengan
gelora dan gairah hidup. Jiwa kaum muda adalah jiwa dalam
taufan dan nafsu. Oleh karena itu mereka senang bertualang dan
158
bereksperimen dalam usaha mencari dan menemukan nilai-nilai
baru, mereka tidak mau didikte dalam hal ini.
Keempat ciri potensial ini dan ciri potensial yang lainnya,
dapat menjadikan kaum muda menjadi penggerak proses
jalannya perkembangan/sejarah, apabila mereka sendiri
menyadari hal itu. Tetapi sebaliknya, bisa menjadikan mereka
mainan (toy), ibarat bensin yang mudah disulut oleh siapapun
apabila semua potensi itu tidak disadari oleh mereka. Dalam hal
yang terakhir ini, yang terjadi dengan kaum muda bukannya
pembinaan melainkan pembinasaan.
2). Identitas Kaum Muda
“...tentu saja kami ingin bebas, lepas. Kami tidak ingin
menjadi produk orang tua untuk terus menerus menuruti yang
dikehendakinya...”. Inilah sepenggal cetusan hati dan tanggapan
seorang pemuda dalam diskusi panel di Gelanggang Remaja
Bulungan sebagaimana dikutip oleh Tanglidintin (1984: 7-8).
Tidak ingin menjadi produk orang tua mencerminkan ciri
utama perkembangan kaum muda yakni sedang menemukan
identitasnya. Mereka mulai menyadari dan karena itu menolak
segala upaya orang lain (orang tua) untuk membentuk mereka.
Mereka mau mencari dan menemukan identitasnya sendiri, tetapi
bukan berarti mereka tidak mau menerima campur tangan dari
159
pihak luar. Ini nampak dari pernyataan dan pengakuan mereka
bahwa mereka memerlukan suatu bimbingan yang penuh
pengertian dari generasi yang lebih tua, tetapi bimbingan yang
memperlakukan mereka sebagai sahabat yang sederajat dalam ide
dan gagasan. Kaum muda ingin dihargai sebagai seorang pribadi
yang sedang mempribadi dalam proses mencari identitas dirinya.
Dalam proses pencarian jatidirinya, mereka mencari dan
menemukan tokoh-tokoh atau figur-figur, ide-ide, cita-cita yang
dapat menjadi tokoh atau figur identifikasi. Maka proses ini akan
diawali dengan proses meniru tokoh identifikasi itu yang lambat
laun akan membentuk sikap, perspektif dan perilakunya sendiri (di
sini keteladanan pembina dan tokoh Yesus). Mereka tidak sekedar
mengikuti dan menyelaraskan diri dengan adat dan aturan-aturan
atau norma, tetapi mereka mulai mampu melihat segala sesuatu
dengan skala nilai yang berbeda. Bahkan mereka memiliki
kecenderungan menjadi conformist dengan cara memberontak dan
melawan situasi yang mapan untuk mengubah masyarakatnya, baik
dalam tata hidup sosial dan tata hidup moral dan keagamaan
umumnya.
Kemudian, apa yag dimaksudkan dengan ‘bebas, lepas’
oleh kaum muda? Tentu yang mereka maksudkan tidak lain
daripada ketidakterikatan norma-norma dan adat atau tradisi yang
dianggap telah mapan, mereka mendambakan kebebasan untuk
160
menentukan sikap dan tindakannya (terlepas dari soal apakah
mereka sudah mampu untuk itu!) dan masa depannya. Singkatnya,
mereka ingin mendapat peng-aku-an (dorongan ego menjadi
dorongan yang lebih kuat dari kaum muda). Dan karena itu mereka
membutuhkan kesempatan untuk menyatakan diri, membuktikan
diri bisa berbuat sesuatu (realisasi diri). Mereka tidak ingin
semuanya ditentukan begitu saja oleh orang tua (orang dewasa
umumnya) dan gereja saja!
Pertanyaannya sekarang adalah: pembinaan macam apa dan
pembina seperti apakah yang hendak membina kaum muda untuk
menemukan kembali identitas atau jatidiri mereka yang otentik?
b). Pembinaan dan Pembina yang Diinginkan Kaum Muda
Pembinaan yang dimaksudkan di sini adalah yang memiliki ciri
utama sebagai bimbingan pastoral (Tanglidintin, 1984: 12-13). Ini berarti
bahwa pembinaan merupakan perwujudan nyata dari keprihatinan Gereja
akan kaum muda untuk memekarkan kembali dan menghidupkan kembali
jatidiri dan potensi mereka, guna menjadi pribadi atau manusia kristiani.
Pemekaran atau re-vitalisasi jatidiri kaum muda ini mencakup dua dimensi
yakni dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi vertikal
menyangkut hubungan Yang Ilahi, Tuhan dan dimensi horisontal
menyangkut hubungan dengan sesama dan alam pada umumnya.
Meskipun ini merupakan bagian integral dari pendidikan manusia yang
161
menyeluruh, pembinaan yang dimasud di sini bukan pendidikan formal,
dan karena itu ia harus dibedakan dari pendidikan formal.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu diperhatikan
dua bahaya besar yang harus dihindari dalam pembinaan, yakni: pertama,
penggiringan kaum muda. Hal ini terjadi bila kaum muda, kepada mereka
disediakan berbagai fasilitas siap pakai, janji status sosial tertentu
misalnya jabatan dalam masyarakat/negara, dan lain-lain. Ini berarti
mereka berdiam diri dan mengikuti keinginan dari pembina yakni pemberi
fasilitas. Dengan demikian tidak ada tantangan dan pergumulan dengan
kesulitan hidup mereka sendiri. Maka yang terjadi adalah penggiringan
kaum muda ke salah satu kubu kekuatan sosial-politik. Kedua, peremehan
kaum muda. Ini terjadi bila kaum muda selalu dianggap sebagai “anak
kemarin”, “anak ingusan” yang belum tahu apa-apa dan karena itu mereka
perlu ‘diajari’, sebagai tabung kosong yang harus diisi. Mereka tidak
diberi kepercayaan, peranan dan tanggungjawab, untuk mencari tahu dan
mengalami, untuk belajar dari kesalahan. Atau bisa dikatakan bahwa
mereka diberi peranan tetapi peranan sebagai pembantu dan pelaksana
semata-mata, bukan pelaku sekaligus pelaksana.
Oleh karena itu, untuk menghindari dan mencegah kedua bahaya
tersebut, pembinaan macam apa yang hendak dilakukan oleh Gereja? Dan
paham serta sikap dasar apakah yang harus dibentuk mengenai pembinaan
tersebut? Yang hendak dilakukan adalah pembinaan yang memiliki sikap
dan paham dasar sebagai berikut:
162
1). Pembinaan sebagai Pelayanan
Membina kaum muda pertama-tama harus dilihat dan
dihayati sebagi pelayanan, yang berarti suatu keprihatinan aktif yang
menyata dalam tindakan yang menyadarkan dan membebaskan,
memekarkan potensi dan iman kristiani, menjawab/menanggapi
kebutuhan mereka, memampukan mereka bertanggungjawab serta
berperan sosial-aktif.
Dengan demikian pembinaan kaum muda seharusnya
bertolak dan berpusat pada diri mereka sendiri, bukan atas
kepentingan institusi-institusi tertentu termasuk Gereja. Gereja
melayani kaum muda melalui pembinaan dengan maksud agar pada
gilirannya kaum muda pun bisa melayani perkembangan Gereja tetapi
bukan berarti dengan pretensi do ut des, yang berarti memberi agar
diberi.
2). Pembinaan sebagai Pendampingan
Memahami pembinaan sebagai pendampingan, mencegah
kita untuk menggiring dan menjinakkan kaum muda, yang berakibat
memandulkan potensi mereka. Maka pembinaan memungkinkan kaum
muda sebagai subyek dan pusat pembinaan. Artinya, mereka dapat
memutuskan dan menentukan sendiri, tidak cenderung untuk didikte
dan dibentuk. Pembina adalah seorang pendamping, dia tidak
menentukan sesuatu yang harus diikuti kaum muda. Dia mendampingi
163
kaum muda dalam menelusuri kehidupan dan tantangan yang
dihadapi, sambil memberi kesaksian tentang kehadiran dan
kedekatannya dengan Allah sebagai Pendamping Utama.
Dengan belajar dari kisah Emaus (Luk 24: 13-35), seorang
pendamping berjalan seiring dengan kaum muda menggumuli masalah
mereka dengan: bertanya dan mendengarkan pernuh perhatian dan
kesabaran, menjelaskan membuka pikiran mereka pada saat yang
tepat, dan akhirnya mempertemukan mereka dengan Pribadi Kristus
sendiri.
Pendamping tidak berpretensi tahu masalah dan kebutuhan
kaum muda, melainkan menolong mereka menyadari dan merumuskan
masalah mereka sendiri. Pendamping tidak menyuarakan kepentingan
mereka, melainkan memberi kesempatan dan memampukan mereka
menyuarakan diri sendiri. Pendamping juga tidak mengajari resep-
resep tingkah laku yang distandarkan, melainkan menumbuhkan sikap
kritis-selektif untuk akhirnya mengambil sikap dan tindakan sendiri.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa, pembina adalah seorang
sahabat bagi kaum muda yang didampinginya. Pendamping yang
memiliki spiritualitas atau semangat: mengalami kehadiran,
kedekatan, perhatian, sapaan, dan pendampingan Kristus sendiri lewat
masa-masa sulit hidup kaum muda.
164
2. Pendidikan
Gereja memberikan atensi yang amat besar terhadap pendidikan
terlebih dalam hal pendidikan Katolik Hal ini terlihat jelas dalam Deklarasi
Pendidikan Kristen, salah satu hasil Konsili Vatikan II, Gravissimum
Educationis, yang menegaskan dua tujuan dasar dari pendidikan yakni
memperkembangkan pribadi manusia dan memperjuangkan kesejahteraan
umum (bdk. art. 1). Kedua tujuan dasar tersebut tidak terpisahkan tetapi
saling terkait secara erat. Perkembangan manusia secara utuh tidak akan
terwujud bila dipisahkan dari upaya untuk mewujudnyatakan kesejahteraan
umum. Menurut istilah sekarang tujuan pendidikan adalah demi
pembentukan masyarakat yang berkeadaban layaknya masyarakat madani
atau civil society (Heryatno, 2005: 3).
Tujuan senada juga sudah lama diperjuangkan oleh tokoh-tokoh
pendidikan Kristiani di Indonesia di antaranya Romo van Lith dan Romo
Driyarkara. Kedua tokoh ini, sebagaimana dikutip oleh Heryatno (2005: 3)
menegaskan bahwa tujuan dari pendidikan Kristen adalah
memperkembangkan humanisme kristiani. Romo van Lith menegaskan
bahwa kecuali memperkembangkan martabat hidup seseorang, pendidikan
juga harus membantu para peserta didik untuk menjadi pelaku-pelaku
perubahan sosial. Ini adalah perumusan tujuan dari pendidikan yang dilihat
secara sekilas. Dan bagaimana pelaksanaan pendidikan Kristiani di Timor
Leste? Apakah pendidikan Kristiani di Timor Leste juga memiliki tujuan
yang sama seperti yang telah dirumuskan di atas?
165
Pendidikan Agama (kristiani) yang selama ini dilaksanakan di
Timor Leste, boleh dikatakan bahwa masih jauh dari tujuan yang diharapkan
oleh Gravissimum Educationis. Alasannya, pertama: pendidikan yang
dilaksanakan dengan menggunakan “gaya bank” (bdk. Friere: Pendidikan
Kaum Tertindas), artinya pendidik bertindak sebagai guru yang mentransfer
ilmu atau pengetahuan kepada para murid. Gaya pendidikan ini memandang
peserta didik sebagai obyek semata. Kedua, mayoritas kaum awam yang
terjun ke bidang pendidikan yang menyandang gelar sebagai guru, belum
memahami dan menghayati profesinya sebagai panggilan, bahkan sebagai
“kerja sambilan” dan yang penting dengan profesi sebagai guru dapat
mengisi waktu luang dan bisa memenuhi kebutuhan ekonomi yang
bersangkutan. Ketiga, belum adanya rumusan visi dan misi sekolah yang
jelas tentang pendidikan kristiani di lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Bahkan pendidikan Agama merupakan “pelajaran tambahan” di samping
pelajaran-pelajaran lain yang dianggap lebih penting.
Akibatnya, kualitas pendidikan kurang diperhatikan bahkan
dilalaikan, dengan mengejar kuantitas pendidikan. Memang untuk saat ini
jumlah kaum pelajar di Timor Leste cukup membanggakan,tetapi dalam hal
kualitas, para peserta didik di Timor Leste tertinggal jauh dalam persaingan.
Ini dapat dilihat dan ditandai dengan adanya sikap apatis dan frustrasi,
kehilangan arah orientasi pendidikan dan tak ada cita-cita atau masa depan
yang jelas dan cukup mencemaskan. Pendidikan dilihat sebagai proses yang
merepotkan saja, karena itu sikap mencari enaknya sendiri timbul dalam
166
bentuk budaya contek, kemerosotan disiplin, kekeringan etos ilmiah,
termasuk juga kemandulan wibawa guru (Gusmão, 1997: 116).
Di era pascaferendum, banyak lembaga pendidikan didirikan,
dengan maksud untuk menampung para peserta didik yang putus sekolah
akibat jajak pendapat tahun 1999. Di satu sisi, ini merupakan suatu
perkembangan yang baik, di sisi lain patut dipertimbangkan juga tenaga
pengajar atau pendidik yang dibutuhkan oleh lembaga pendidikan.
Alasannya, pertama: di dalam dunia (masyarakat Timor Leste khususnya)
yang sedang mengalami proses sekularisasi dibutuhkan contoh manusia
yang utuh, lahir dan batin. Untuk memenuhi kebutuhan itu, diperlukan
contoh perilaku pendidikan khususnya awam Katolik. Kedua, belum semua
awam yang terjun di dalam karya pendidikan memandang karya pendidikan
sebagai karya kerasulan.
Sekarang timbul pertanyaan: bagaimana caranya pendidikan
khususnya pendidikan iman kristiani dapat merasuki pribadi peserta didik
dan dapat memperkembangkan pribadi peserta didik secara utuh dan
otentik? Tugas Gereja Timor Leste sekarang adalah, bagaimana caranya
menghidupkan kembali serta menata kembali sistem pendidikan dalam hal
ini pendidikan iman kristiani. Sebagai bahan refleksi, ada baiknya kita
melihat dan menyadari betul apa sebenarnya hakikat dari pendidikan iman
Kristiani? Dan apa sebenarnya tujuan dari pendidikan iman kristiani?
Spiritualitas pendidik seperti apakah yang hendak dikembangkan dan
dimiliki oleh pendidik dalam kegiatan mendidik?
167
Menurut Heryatno (2005: 4-5) dalam manuskripnya yang berjudul
Hakikat Pendidikan Agama Katolik dijelaskan bahwa hakikat dari PAK
adalah pendidikan yang memiliki visi spiritual, maksudnya adalah hal-hal
yang berkaitan erat dengan inti hidup/pusat hidup manusia. Dengan
demikian pendidikan yang bervisi spiritual berarti pendidikan yang secara
terus-menerus memperkembangkan jatidiri, kedalaman hidup dan inti hidup
seseorang. Maka, pendidikan bukan sekedar mengejar prestasi akademis
tetapi juga memperkembangkan nilai-nilai injili seperti kejujuran,
kebijaksanaan, kepekaan, dan hati nurani. Dengan kata lain, di dalam
pendidikan yang ditekankan bukan hanya pengetahuan/wawasan tetapi lebih
pada keutamaan; belajar bukan untuk sekolah tetapi belajar untuk hidup
(non scholae sed vitae). Elemen dasar dari pendidikan adalah perkembangan
dan perwujudan diri yang terus-menerus. Pada dasarnya perkembangan jati
diri seseorang berlangsung seumur hidup. Maka pendidikan seharusnya
pendidikan seumur hidup (long life education), dan pembentukan yang
berlanjutan (on going formation) from the womb and the tomb. Mengapa
ketiga sikap dasar ini perlu ditekankan? Karena, pertama: sesuai dengan
sifat dasar manusia yang terus berkembang dan tidak ingin sepat tua. Kedua,
manusia tidak pernah selesai. Dan ketiga, dunia terus bekembang dan
berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Mangunwijaya (1994) sebagaimana dikutip oleh Heryatno, pada
awal pelaksanaan kurikulum PAK 2004 menegaskan bahwa hakikat dari
PAK adalah bukan pengajaran agama, melainkan komunikasi iman. Ia
168
membedakan antara hubungan beragama atau punya agama dengan beriman.
Agama berhubungan dengan ritus, hukum, kebiasaan, lambang-lambang
dari luar, segi-segi sosiologis. Sedangkan iman menyentuh hal-hal
kedalaman, menentukan sikap dasar, membuat orang beramal, bersikap
belaskasih, mendorong orang untuk rindu dekat kepada Tuhan. Sebagai
komunikasi iman, maka PAK memiliki sifatnya yang praktis, artinya
berawal dari pengalaman penghayatan iman dan menuju pada penghayatan
iman baru yang lebih baik. PAK dapat dikatakan sebagai komunikasi
penghayatan atau pengalaman iman yang tentu akan saling memperkaya dan
meneguhkan para peserta didik. Kemudian bagaimana peranan seorang
pendidik, dan spiritualitas macam apakah yang seharusnya dimiliki oleh
pendidik dalam mendidik?
Berkat sakramen baptis, kita semua diberi rahmat dan diangkat
menjadi anak-anak Allah, sekaligus diundang untuk turut ambil bagian di
dalam tugas pengutusan Yesus Kristus. Panggilan Tuhan dapat ditanggapi
oleh manusia dengan berbagai macam bentuk pelayanan kemuridan. Bagi
seorang pendidik, profesi kehidupan sebagai Guru Agama Katolik dihayati
sebagai anugerah atau panggilan-Nya unuk secara lebih utuh menjadi
murid-murid-Nya dan untuk mengaktualisasikan seluruh potensi yang ada
pada diri kita demi perkembangan diri kita juga peserta didik yang
dipercayakan-Nya kepada kita.
Hidup Yesus menjadi arah dasar dalam pelayanan sebagai
pendidik. Oleh karena dipanggil dan diutus oleh Yesus sendiri, maka
169
seluruh hidup pelayanan seorang pendidik iman kristiani mencerminkan
hidup Yesus yang penuh dengan cinta. Panggilan seorang pendidik iman
kristiani adalah mendekatkan Yesus yang ia cintai dan imani. Dengan
demikian ia menjadi saksi dan pewarta cinta kasih-Nya yang tanpa syarat.
Hal ini membutuhkan suatu relasi yang intim antara pendidik dan Yesus
sebagai Pendidik Utama dan sejati.
3. Politik
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (tanpa tahun: 525),
istilah politik berasal dari kata benda yang berarti hal-hal yang berkenaan
dengan tata negara; urusan yang mencakup siasat dalam pemerintahan
negara; cara bertindak; taktik. Dengan demikian, urusan politik adalah
urusan kenegaraan dan pemerintah, bukan urusan Gereja.
Sejak tahun 1965 Konsili Vatikan II memuji praktek-praktek
pemerintahan yang memungkinkan sebanyak mungkin warga negara ikut
serta secara sungguh bebas dalam soal-soal kenegaraan meskipun istilah
demokrasi tidak dipakai (GS art. 31). Juga di dalam SRS, Paus Yohanes
Paulus II dengan amanatnya memberi perhatian amat besar dalam dunia,
terlebih menyangkut kesejahteraan umum. Maka ketika menghadapi situasi
di mana kesejahteraan rakyat terusik dan tidak diperhitungkan oleh pihak
yang memiliki wewenang dan tanggung jawab yang sesungguhnya, maka
Gereja harus memilih jalan dengan memberi himbauan, saran dan kritik
yang memperkembangkan. Hendaknya Gereja Timor Leste membuka diri
170
untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mengusahakan dan
mengembangkan pembangunan manusia Timor Leste, dan mengusahakan
kesejahteraan umum. Inilah
Hal senada ditekankan dalam dokumen Konsili Vatikan II,
Gaudium et Spes art. 26, yang mengatakan bahwa:
Karena saling ketergantungan itu semakin meningkat dan lambat- laun meluas ke seluruh dunia, maka kesejateraan umum sekarang ini juga semakin bersifat universal, dan oleh karena itu mencakup hak-hak maupun kewajiban-kewajiban, yang menyangkut seluruh umat manusia. Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum adalah keseluruhan kondisi-kondisi hidup seluruh kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan umum keluarga manusia. Artinya, kesejahteraan umum bukan sekedar memenuhi kebutuhan
materil; sandang, pangan, dan papan. Tetapi lebih pada usaha untuk
mencapai kesempurnaan. Dan itu bukan dilakukan oleh sekelompok orang
saja, tetapi melibatkan banyak orang, bahkan semua orang.
Mengapa keadaan di Timor Leste dalam sejarah
perkembangannya, seakan-akan Gereja terlibat dalam dunia politik. Pada
dasarnya dunia politik adalah urusan kenegaraan atau pemerintah. Gereja
tidak terlibat dalam dunia politik dengan maksud mengambil alih kekuasaan
yang dimiliki oleh pemerintah. Alasan utama mengapa terlibat dalam urusan
politik adalah selama praktek politik yang dilaksanakan oleh pemerintah
menyimpang dari kewenangan dan tujuan kewenangan negara.
171
Asal mula kewenangan negara dengan jelas ditekankan dalam
ensiklik Paus Yohanes XXIII, Pacem in Terris (Perdamaian Dunia) art. 46-
52. Salah satu artikelnya mengatakan bahwa:
Masyarakat manusia tidak mungkin serba teratur atau sejahtera tanpa kehadiran mereka, yang dengan kewenangan yang sah menurut hukum menjaga kelestarian lembaga-lembaganya, dan menjalankan apa pun yang perlu untuk secara aktif mendukung kepentingan-kepentingan para warganya. Para pejabat menerima kewenangan mereka dari Allah, sebab menurut S. Paulus “tiada kekuasaan yang bukan dari Allah” (Rm 13: 1-6). ...........Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, dan masyarakat tidak mungkin “bersatu tanpa ada penguasa yang secara aktif menunjukkan arah maupun kesatuan tujuan. Oleh karena itu tiap masyarakat yang beradab harus mempunyai kewenangan untuk memerintahkan, dan kewenangan itu seperti masyarakat sendiri bersumber pada kodrat sendiri, maka Penciptanya Allah sendiri. Secara tersirat ensiklik ini menunjukkan asal mula kewenangan
dari negara yakni berasal dari Allah. Dan kewenangan itu diharapkan agar
digunakan menjaga kelestarian lembaganya sekaligus secara aktif
mendukung kepentingan-kepentingan para warganya.
Selain itu, ada tujuan dari kewenangan negara (PT art. 53-61),
yang harus diperhatikan oleh lembaga kenegaraan. Salah satu artikelnya
mengatakan bahwa:
Orang-orang, sebagai perorangan maupun anggota kelompok-kelompok penengah, diharapkan memberi sumbangan yang khas bagi kesejahteraan umum. Konsekuensi utamanya: harus menyelaraskan kepentingan-kepentingan mereka sendiri dengan kebutuhan-kebutuhan sesama, dan menyumbangkan yang ada pada mereka dan jasa-jasa untuk mereka menurut petunjuk para penguasa,-tentu saja dengan syarat bahw keadilan tetap ditegakkan dan para penguasa bertindak dalam batas-batas kewenangan mereka dengan cara yang dari sudut moral tidak bercela, tetapi juga mempertimbangkan secermat mungkin untuk menjamin atau memajukan kesejahteraan negara dan umum.
172
Salah satu tujuan dari kewenangan seperti yang tertera dalam isi
ensiklik PT adalah bahwa setiap orang maupun kelompok yang bertindak
sebagai penengah, hendaknya memberi sumbangan yang khas (sesuai
dengan kategori kelompoknya) demi kesejahteraan umum. Dan ini
mengandung konsekuensi bahwa pihak penengah harus menyelaraskan
kepentingannya sesuai dengan kepentingan umum atau sesamanya, bukan
kepentingannya sendiri. Dengan demikian kesejahteraan umum bukanlah
slogan semata tetapi menjadi nyata.
4. Bahaya Sekularisme dan Materialisme
Manusia dan kemanusiaan Timor Leste, di era pascareferendum
sedang berada dalam bahaya. Materialisme dan sekularisme menjadi
sedemikian kuat mempengaruhi pikiran dan perilaku hidup setiap orang.
Dengan mengusung kecenderungan instingtif akan kesenangan, dan
didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi,
bahkan dalih keterpurukan yang dialami saat referendum, materialisme dan
sekularisme menjadi “agama baru” yang memberi banyak harapan akan
realisasi surga dunia, hidup tanpa derita, kasih tak berkesudahan, damai
sejahtera yang tidak berkesudahan. Tetapi di mana-mana, surga dunia itu
tetap tidak tercapai. Perang berlangsung di mana-mana, setiap malam warga
harus pergi ke tempat-tempat pengungsian bahkan mengungsi merupakan
makanan sehari-hari bagi warga, kekerasan terus meningkat. Damai dan
keadilan, kasih dan persaudaraan ternyata hanya sebuah utopia?
173
Apakah manusia Timor Leste mulai menyadari keadaannya yang
ditindas, diperbudak, dibodohkan, dimanipulasi oleh sekularisme dan
materialisme? Nampaknya kesadaran itu tidak akan terwujud jika Gereja
Timor Leste hanya duduk diam dan berpangku tangan. Inilah kesempatan
bagi agama untuk berperan kembali. Dengan menunjukkan kemustahilan
surga dunia, agama dapat memainkan peranan penting dan fungsi
kenabiannya secara kritis atas perilaku kebinatangan yang merendahklan
martabat manusia berakal budi dan bercitra ilahi dan memaksimalkan fungsi
kenabiannya untuk mengarahkan manusia secara humanis akan tujuan
hidupnya yang ilahi. Singkat kata, agama harus kembali kepada intisarinya,
yakni menghantar manusia kepada Allah dan hal ini menjadi semakin
penting dalam rangka mengimbangi pengaruh materialisme dan
sekularisme.
5. Penghayatan Hidup Beriman Umat
Dengan menengok sejarah perkembangan Gereja Katolik di Timor
Leste, kita melihat ada beberapa tahap yang dilalui. Tahap pertama, tahap
penjajahan Portugis tahun 1512-1975. Selanjutnya tahap pergolakan ketika
pemerintah Portugis memberikan opsi kepada rakyat menentukan nasibnya
sendiri. Disusul tahap perang saudara dan integrasi dengan Indonesia. Dari
tahap yang satu ke tahap yang berikutnya memiliki nuansa yang berbeda-
beda. Dan ini mempengaruhi penghayatan hidup beriman umat.
174
Dengan melihat statistik agama Katolik Timor Leste sebelum
integrasi menunjukkan bahwa banyak masyarakat Timor Leste yang
menganut kepercayaan animis. Tetapi setelah berintegrasi dengan Indonesia
ada perkembangan bahwa penganut kepercayaan animis nampaknya mulai
berkurang. Masyarakat Timor Leste dikenal dengan mayoritas beragama
Katolik (lihat tabel statistik).
Penggerak paroki selain pastor paroki, ada juga penggerak paroki
yang lain, di antaranya katekis numerados yang bekerja secara full time
(penuh waktu), katekis sekarela. Dari segi kuantitas, memang para
penggerak Gereja sangatlah cukup, tetapi dari segi kualitas, model
penggerak seperti ini belum memenuhi syarat untuk benar-benar
menggerakkan umat.
Untuk itu, demi perkembangan Gereja Timor Leste, Gereja mulai
sekarang memikirkan untuk menyediakan wadah pendampingan bagi para
penggerak Gereja. Mengapa bukan istilah pembinaan yang dipakai? Karena
pendampingan mengikuti kaidah pendidikan andragogi. Sebab para
penggerak Gereja adalah pribadi-pribadi yang telah memiliki banyak
pengalaman dalam membina dan menggerakkan umat, maka unsur
pengalaman tidak boleh diremehkan oleh pendamping. Pendampingan yang
diberikan hendaknya membangkitkan kembali dan menghidupkan kembali
semangat (roh) yang menggerakkan mereka untuk menyediakan waktu, rela
berkorban demi memperkembangkan iman umat. Gereja juga mengadakan
175
kerjasama dengan para awam yang berkompeten di bidang kaderisasi,
sehingga hal ini dapat terwujud.
G. Katekese sebagai Bagian Integral dari Re-evangelisasi
Pada dasarnya katekese dan evangelisasi memiliki suatu hubungan
yang sangat erat. Evangelisasi atau lebih tepatnya pewartaan awal
pertama-tama dialamatkan kepada orang-orang yang tidak percaya dan
mereka yang hidup dalam ketidakpedulian religius, yang mempunyai
fungsi untuk mewartakan Injil dan menyerukan pertobatan.
Sedangkan katekese adalah memajukan dan mematangkan
pertobatan awal, mendidik orang yang bertobat dalam iman dan
menggabungkannya dalam komunitas kristiani. Dengan demikian kedua
bentuk pelayanan ini merupakan hubungan yang saling melengkapi (KWI,
2000: 49).
Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, maka penulis memilih
katekese sebagai bagian integral dari re-evangelisasi. Alasan mengapa
penulis menempatkan katekese sebagai bagian integral dari re-evangelisasi
adalah, pertama: penulis adalah seorang mahasiswi yang dibentuk dan
dididik sebagai seorang katekis yang profesional, maka katekese
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari karya pelayanan yang
ditekuni oleh penulis. Kedua, evangelisasi dan katekese merupakan dua
bentuk pelayanan yang memiliki hubungan sangat erat dan terkait satu
176
sama lain. Ketiga, katekese dan evangelisasi selalu berjalan sesuai dengan
perkembangan zaman.
Berikut penulis menawarkan salah satu contoh persiapan katekese
bagi kaum muda sebagai realisasi dari re-vitalisasi bagi iman kaum muda
di Paroki Nossa Senhora do Carmo Letefoho, Dili – Timor Leste.
H. Contoh Persiapan Katekese
Tema : Beriman Tidak Cukup Tanpa Perbuatan
Tujuan : Bersama-sama pendamping, peserta diajak untuk
menyadari bahwa dalam mengasihi sesama tidak
cukup hanya dengan perkataan saja, tetapi
mempraktekkannya dalam perbuatan, sehingga
dapat mewujudkannya dengan membantu sesama
yang kesulitan.
Peserta : Kaum Muda Paroki N.S. de Fatima Letefoho
Tempat : Aula Paroki
Hari / Tanggal : Kamis, 02 Desember 2007
Waktu : 11.00 – 12.30 wib
Metode : - Sharing Kelompok
- Refleksi Pribadi
- Informasi
Model : Shared Christian Praxis
Sarana : - Teks Kitab Suci
177
- Teks lagu “Bagaikan Rumah Hidupmu” MB
no. 217
- Teks lagu “Mengasihi”
- Tape dan kaset instrumen
Sumber Bahan : - Mat 7: 21, 24-27
- LBI. 1981. Tafsir Injil Matius. Yogyakarta:
Kanisius. hh. 67.
- Stefan Leks. 2003. Tafsir Injil Lukas.
Yogyakarta: Kanisius. hh. 189-196.
- Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris,
OFM. 2000. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru.
Yoyakarta: Kanisius. hh.148-150 .
- Wartaya, Y, SJ. 2004. Gema Suara Ilahi.
Yogyakarta: Pustaka Nusatama. hh. 89.
PEMIKIRAN DASAR
Dewasa ini banyak sekali orang yang munafik, termasuk orang kristiani
dan juga kaum muda seluruhnya. Dalam praktek kehidupan ada pemisahan antara
iman, doa, dan perilaku sehari-hari. Kaum muda khususnya dan semua orang
kristiani setiap hari membaca Kitab Suci malahan ada yang sampai hafal setiap
ayat Kitab Suci, pergi ke Gereja setiap hari (mengikuti misa harian), berdoa terus-
menerus, memuji Tuhan dengan nyanyian-nyanyian, belajar tentang moral setiap
hari dan perwujudan-perwujudannya dalam hidup sosial. Namun semua itu tidak
178
sampai diwujudnyatakan dalam tindakan kecil hidup kita sehari-hari. Dalam hidup
konkrit tidak ada kasih yang nampak bagi sesama. Kita kurang peduli dengan
kesulitan yang dialami oleh teman-teman kita. Malah menjadi pemarah,
mengucilkan teman yang sedang dalam masalah, tukang gosip, memfitnah, suka
berbohong, dll. Memang lebih gampang memperlihatkan kehidupan beragama
dengan menyebut nama Tuhan daripada melakukan kehendak-Nya dalam
perbuatan cinta kasih.
Injil Matius 7: 21, 24-27, menegaskan bahwa bukan seruan-seruan yang
lantang menyebut nama Allah yang dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga, tetapi
tindakan untuk melakukan kehendak Allah dalam hidup sehari-hari yang dapat
masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Mengasihi tidak cukup hanya dengan perkataan
saja tetapi dapat dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, terutama dalam membantu
teman yang sedang dalam kesulitan. Hendaknya menjadi orang yang bijaksana
dalam mengasihi yaitu mendengar sabda Tuhan dan juga melaksanakannya
dengan mewujudkan kasih pada sesama. Karena kasih yang menjadi dasar, kasih
yang kuat tidak mudah jatuh dalam cobaan sedangkan apabila kasihnya lemah
mudah diterpa cobaan dan tidak bisa menghadapinya.
Dari pertemuan ini, kita berharap semakin menyadari bahwa dalam hidup
beriman terlebih dalam mengasihi sesama tidak cukup hanya dengan perkataan
saja, tetapi juga dituntut dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari
dengan memberikan kasih kepada teman-teman berupa memberi bantuan pada
teman yang kesusahan, tidak mencemooh dan mengucilkan teman yang sedang
dalam masalah, tidak membicarakan teman yang lain, dll. Kita dapat memandang
179
teman kita itu dengan kasih yang tulus, sebab wajah Yesus tercermin dari wajah
teman kita yang sedang dalam masalah itu.
PENGEMBANGAN LANGKAH-LANGKAH
1. Pembukaan
a. Pengantar
Rekan-rekan yang terkasih, terimakasih atas kesediaan untuk
berkumpul bersama di tempat ini. Kita berkumpul di sini untuk dapat saling
mendengarkan dan berbagi pengalaman dengan sesama kita, khususnya
pengalaman kita mengenai kehidupan beriman kita. Kita diajak untuk
melihat kembali perjalanan hidup beriman kita yang hanya perkataan saja
atau kita sudah mampu mewujudnyatakan dalam perbuatan kita. Dengan
mempraktekkan sabda Tuhan dalam perbuatan kita, dengan membantu
sesama kita yang sedang dalam kesulitan. Kita mempunyai dasar kasih
yang kuat, sehingga tidak mudah diterpa cobaan seperti rumah yang
dibangun di atas dasar batu. Seperti dalam lagu pembukaan:
“Bagaikan Rumah Hidupmu”
Bagaikan rumah kokoh dan megah
Dilanda hujan, banjir serta angin
Namun tak roboh dan tak berubah
Karena batu jadi dasarnya Reff.
Dirikan rumahmu atas dasar batu, pijakan hidupmu atas sabda Tuhan
Walaupun langit dan bumi lenyap, tetapi Tuhan adalah kekal
180
Bagaikan rumah luas dan rawan
Dilanda hujan, banjir serta angin
Tetapi roboh dan berantakan karena pasir jadi dasarnya Reff.
b. Doa Pembukaan:
Bapa kami yang ada di surga, terima kasih atas kesempatan yang
boleh kami rasakan untuk berkumpul bersama di tempat ini. Bantulah kami
untuk dapat saling berbagi pengalaman kami mengenai perjalanan hidup
beriman kami. Bimbinglah kami untuk selalu dapat mewujudnyatakan
perkataan-perkataan iman kami dalam perbuatan kasih kepada sesama,
terlebih teman-teman yang sedang dalam kesulitan atau masalah. Semoga
kami dapat menanggapi sesama kami yang membutuhkan bantuan dari
kami. Bukalah hati dan pikiran kami untuk menggali bersama dan
merefleksikan apakah hidup beriman kami hanya sebatas perkataan saja
atau kami sudah mampu mewujudkannya dalam perbuatan kasih kepada
sesama, walau itu belum seberapa. Kami mohon bimbinglah kami dan
berkenanlah memberkati segala usaha yang kami lakukan dalam
pendalaman iman ini. Demi Kristus, Tuhan dan pengantara kami. Amin.
2. Langkah I & II: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual dan Refleksi
Kritis atas Sharing Pengalaman Hidup Faktual
a. Membagikan teks cerita “Tindakan Cinta” kepada peserta dan peserta
diberi kesempatan untuk membaca dan mempelajari sendiri terlebih dahulu.
Isi cerita “Tindakan Cinta” adalah sebagai berikut:
181
TINDAKAN CINTA
Ada dua orang petani yang bersaudara. Mereka bekerja di sawah
milik keluarga mereka sendiri. Yang lebih muda berkeluarga dan memiliki
sepuluh orang anak. Kakaknya hidup sendiri dan tidak berkeluarga. Mereka
tetap mengerjakan sawah bersama-sama karena memang itu perkerjaan
mereka. Suatu hari ayah mereka meninggal dan sebelum meninggal sang
ayah berpesan supaya sawah mereka jangan dijual, tetapi tetap dikerjakan
bersama dan hasil panen dibagi rata dengan adil. Maka, merekapun
melakukan apa yang diamanatkan oleh orang tua mereka. Pada waktu
panen hasilnya mereka bagi dua sama banyaknya.
Suatu malam sang kakak berpikir: “Kasihan adik saya, anaknya
ada sepuluh dengan istrinya, berarti ada dua belas mulut yang harus diberi
makan. Sungguh berat tanggungan adik saya. Pembagian ini sungguh-
sungguh tidak adil. Saya harus berbuat sesuatu”. Maka, diam-diam ia
menggotong satu karung hasil panen dan memasukkannya ke dalam gudang
adiknya.
Sebaliknya, sang adik juga merenung: “Kasihan kakak saya, dia
hidup sendiri dan tidak ada yang memberinya makan di hari tuanya nanti.
Mestinya dia mendapat bagian yang lebih banyak dari pada saya supaya
sebagian hasil panen dapat dijual dan uangnya dapat ditabung untuk hari
tuanya. Aku harus berbuat sesuatu”. Maka, dia juga diam-diam
menggotong satu karung hasil panen dan memasukkannya ke dalam gudang
kakaknya.
182
Suatu saat mereka memeriksa isi gudangnya masing-masing dan
menjadi heran. Mengapa hasil panen yang disimpan tetap saja jumlahnya
walaupun satu karung sudah dimasukkan ke dalam gudang saudaranya.
Suatu malam ketika mereka mengulang kembali proses
pemindahan karung ke gudang saudaranya, mereka bertemu di tengah jalan
dan heran mengapa saudaranya membawa satu karung hasil panen dan mau
dibawa ke mana di tengah malam begini? Akhirnya, mereka menjadi sadar
apa yang telah terjadi selama ini, yaitu masing-masing telah mengeluarkan
satu karung dan juga kemasukan satu karung hasil panen. Mereka
berrangkulan karena mensyukuri cinta kasih pihak lain terhadap dirinya
masing-masing. (Wartaya, 2004. Gema Suara Ilahi. Yogyakarta: Pustaka
Nusantara. hh. 89)
b. Penceritaan kembali isi cerita: pendamping mengambil intisari cerita
“Tindakan Cinta”. Intisari cerita tersebut adalah:
Ada dua orang petani kakak-beradik yang bekerja pada sawah
milik keluarga mereka secara bersama-sama. Suatu hari sang ayah
meninggal dan berpesan supaya sawah jangan dijual, tetapi dikerjakan
bersama-sama dan hasilnya dibagi rata dan adil. Pada waktu panen,
hasilnya dibagi dua sama banyaknya. Suatu malam kakaknya berpikir kalau
adiknya yang mempunyai anak sepuluh tentu tidak akan cukup dengan hasil
yang dibagi dua sedangkan ia hidup sendiri. Maka pada suatu malam ia
menggotong satu karung berasnya untuk ditaruh dalam gudang adiknya.
Adiknya juga berpikir kakaknya yang hidup seorang diri tentu
183
membutuhkan biaya pada hari tuanya karena tidak ada yang membiayai.
Maka sang adikpun membawa satu karung berasnya untuk ditaruh di
gudang kakaknya supaya bisa dijual oleh kakaknya. Namun mereka heran
isi gudang tetap saja sama jumlahnya. Ketika suatu malam saat mengangkut
hsil panen masing-masing mereka bertemu di tengah jalan dan mereka
mengerti dan sadar yang terjadi selama ini, mereka pun saling berpelukan.
Pengungkapan pengalaman: peserta diajak untuk mendalami cerita tersebut
dengan tuntunan pertanyaan: (masuk dalam kelompok kecil)
1). Apa yang dilakukan kedua orang bersaudara itu dalam mewujudkan
kasih kepada masing-masing ? Mengapa mereka melakukan itu ?
2).Ceritakanlah pengalaman teman-teman dalam mewujudkan kasih pada
sesama ? Mengapa ?
c. Rangkuman :
Setelah kita membaca kembali cerita tadi, kedua orang kakak beradik
itu saling memberikan hasil panennya pada kakak maupun pada adiknya.
Mereka saling mengungkapkan kasih sayang mereka dengan tindakan
mereka itu, tanpa mengungkapkannya dengan kata-kata. Mereka
mewujudkan cinta mereka dengan perbuatan saling mengasihi, memberikan
hasil panen mereka tanpa ada yang meminta. Kasih memang tidak hanya
memerlukan kata-kata, tetapi yang terpenting di sini adalah tindakan nyata
dari kasih itu sendiri.
Kita memang mempunyai banyak cara dalam mewujudkan kasih pada
sesama, terutama pada teman-teman kita yang ada di sekitar kita. Salah satu
184
caranya kita mau membantu teman yang sedang dalam kesulitan, namun
bantuan yang kita berikan kadang hanya berupa perkataan saja belum kita
wujudkan dalam perbuatan kita. Tanpa sadar kita masih menggosipkan
teman-teman kita yang sedang dalam masalah, tidak hanya itu kita juga
suka mencemoohnya bahkan mengucilkannya. Kita melakukan itu sebab
kita merasa diri kita yang paling benar karena kita merasa sering pergi ke
gereja setiap hari, mengikuti misa harian, berdoa terus-menerus, sering
membaca dan belajar Kitab Suci, dll. Dengan begitu kita hanya
mendengarkan sabda Tuhan, tidak mempraktekkannya dalam hidup kita.
Kita masih sebatas perkataan saja belum sampai pada perbuatan.
2. Langkah III: Mengusahakan Supaya Tradisi dan Visi Kristiani Lebih
Terjangkau
a. Salah satu peserta dimohon untuk membacakan perikope langsung dari
Kitab Suci, Injil Matius 7:21.24-27, dan yang lain menyimak dari teks
yang sudah dibagikan.
BACAAN KITAB SUCI (Mat 7: 21, 24-27)
21Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! Akan
masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak
Bapa-Ku yang di sorga. 24 “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku
ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang
mendirikan rumahnya di atas batu. 25 Kemudian turunlah hujan dan
185
datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak
rubuh sebab didirikan di atas batu. 26 Tetapi setiap orang yang mendengar
perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang bodoh,
yang mendirikan rumahnya di atas pasir. 27 Kemudian turunlah hujan dan
datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah
itu dan hebatlah kerusakkannya.”
b. Peserta diberi waktu sebentar untuk hening sejenak sambil secara pribadi
merenungkan dan menanggapi pembacaan dari Kitab Suci dengan bantuan
pertanyaan sebagai berikut:
1). Ayat-ayat mana yang menunjukkan bahwa beriman tidak cukup tanpa
perbuatan ?
2) Apa artinya bagi kita masing-masing (relevansi) ?
c. Peserta diajak untuk mencari sendiri dan menemukan pesan inti perikope
tersebut.
d. Pendamping memberikan interpretasi atau tafsir bacaan Kitab Suci dari
Injil Matius 7: 21,24-27 dan menghubungkan dengan tanggapan peserta
dalam hubungan dengan tema dan tujuan:
Ayat 21, 24 : “Melakukan kehendak BapaKu”’ menggambarkan
bahwa tidak ditegaskan kontras antara berseru dn melakukan saja, tetapi
terutama antara dua tipe iman. Orang yang melakukan kehendak Bapa yang
di surga, beriman benar. Kehendak Bapa bukan kehendak tiran, melainkan
lehendak seorang bapa yang selalu mengusahakan kebaikan anak-anaknya.
186
Maka, melakukan kehendak Bapa bukan melayani bapa sebagai budak,
melainkan menunjukkan kasih kepadaNya, membahagiakanNya.
Begitupun dalam kehidupan kita, kita dapat mewujudkan kasih kita
kepada sesama di kampus yang sedang berada dalam kesulitan, mengasihi
sesama tentu bukan hanya lewat perkataan saja, tapi harus kita wujudkan
kasih itu dengan membantu teman yang sedang dalam kesulitan keuangan
dengan meminjamkannya di saat kita sedang ada, dan teman yang sedang
menghadapi masalah, dengan tidak mencemooh dan mengucilkannya..
Ayat 26: “dan melakukannya”. Perkataan Yesus tidak cukup hanya
didengar saja, tapi harus dilakukan. Padahal banyak orang karena
mendengarkan Sabda Yesus secara intensif, sudah merasa menjadi murid
Yesus. Jadi, mendengar selalu harus dilengkapi dengan melakukan. Injil
bicara tentang mendengar (bukan mempelajari) Sabda Yesus dan
mempraktekkannya dengan nyata. Sebab pada suatu ketika akan datang
cobaan berat serupa dengan banjir. Orang yang tidak melakukan Sabda
Tuhan serupa dengan rumah tanpa fondasi, pasti akan rubuh.
3. Langkah IV: Interpretasi/Tafsir Dialektis Antara Tradisi dan Visi
Kristiani dengan Tradisi dan Visi Peserta
Dalam pembicaraan tadi kita sudah menemukan pesan-pesan dari Injil
yang harus dilakukan oleh kita sebagai murid-murid Yesus. Sebagai orang
beriman, mencintai, mengasihi tidak hanya dengan perkataan, tetapi
mewujudkannya dalam tindakan konkret. Benar juga bahwa beriman bukan
187
hanya menyebut dan menyerukan nama Tuhan, tetapi melakukan kehendak-
Nya, walaupun kadang sangatlah sulit karena keterbatasan kita sebagai
manusia.
Sebagai bahan refleksi kita untuk semakin menghayati Sabda Allah
yang baru saja kita dengar, kita mencoba merenungkan pertanyaan berikut:
Perwujudan kasih yang konkret macam apa dalam membantu teman
yang sedang dalam kesulitan yang menunjukkan bahwa beriman tidak
cukup tanpa perbuatan ?
Sebagai bahan refleksi dalam langkah ini pendamping memberikan
rangkuman sebagai berikut:
Injil mengajak kita untuk dapat mewujudkan kasih kita kepada
sesama kita. Mewujudkan kasih pada sesama, khususnya pada teman
dengan membantu teman tidak hanya dengan perkataan-perkataan saja,
tetapi kita wujudkan dalam tindakan konkret kita. Kita tidak hanya
membantu teman dengan memberinya nasehat dari ayat-ayat Kitab Suci
saja, membantunya dalam doa saja, atau yang lainnya. Tetapi kita juga
membantu teman kita dengan tindakan kita, misalnya dengan memberi
dukungan, perhatian dengan kasih di saat teman kita itu sedang dalam
masalah, kita juga tidak mencemoohnya, menggosipkannya, bahkan
mengucilkannya. Kita dapat melakukan seperti yang Yesus perbuat pada
orang-orang berdosa yaitu merangkulnya. Kitapun dapat berbuat demikian,
yaitu merangkul teman kita yang sedang dalam masalah.
188
4. Langkah V: Keterlibatan Baru Demi Terwujudnya Kerajaan Allah di
Dunia Ini
a. Pengantar
Rekan-rekan yang terkasih, dari awal tadi kita sudah berproses bersama
menggali pengalaman kita melalui cerita “Tindakan Cinta” yang
menyadarkan kita untuk mengasihi sesama tidak hanya melalui kata-kata
tetapi lebih kita dapat berbuat sesuatu pada sesama kita itu sebagai wujud
dari kasih kita. Karena mengasihi tidak hanya dalam perkataan saja, tetapi
juga dengan perbuatan. Seperti yang sudah ditegaskan oleh Injil sendiri
bahwa mengasihi yang benar berarti mendengarkan sabda Tuhan dan
mempraktekkannya dalam hal yang nyata, menjadi dasar yang kuat bagi
kita. Maka, kitapun diajak untuk dapat mengasihi dengan benar yaitu
mendengarkan sabda Tuhan dan mempraktekkannya dengan membantu
teman yang sedang dalam kesulitan, merangkul teman yang sedang dalam
masalah dengan tidak menggosipkannya, mencemoohnya, bahkan
mengucilkannya. Dengan kasih kita mempunyai dasar yang kuat, sehingga
dalam menghadapi gelombang kehidupan tidak akan goyah dan dapat terus
bertahan.
b. Mengajak peserta untuk memikirkan niat-niat dalam bentuk
keterlibatannya yang baru secara pribadi dengan pertanyaan berikut:
Niat apa yang hendak saya bangun untuk dapat mewujudkan
kasih pada sesama tidak hanya dengan perkataan tetapi lebih
melalui perbuatan?
189
c. Kemudian niat-niat itu ditulis dalam selembar kertas kecil, lalu
dibicarakan dalam kelompok kecil.
5. Penutup
a. Setelah menentukan niat yang akan dilakukan, masih dalam keadaan
hening, kesempatan doa umat spontan bisa untuk mengungkapkan niat
diawali oleh pendamping.
b. Usai doa umat, seluruh doa umat tersebut disatukan dengan doa yang
diajarkan oleh Yesus sendiri: “Bapa Kami”.
c. Seluruh doa dan rangkaian pendalaman iman ditutup dengan doa:
Allah Bapa kami mengucap syukur atas pengalaman yang dapat
kami timba dari sesama kami maupun dari sabda-Mu sendiri. Bantulah
kami untuk dapat mengasihi tidak hanya dengan perkataan saja tetapi juga
dapat kami wujudkan dalam perbuatan kami. Bantulah kami untuk dapat
mewujudkannya dalam membantu teman kami yang sedang dalam
kesulitan. Seperti sabda-Mu sendiri bahwa dalam melakukan kehendak
Bapa dengan menunjukkan kasih pada sesama berarti juga menunjukkan
kasih dan membahagiakan-Mu. Sebab kasih menjadi dasar dalam hidup
kami. Mengasihi dengan baik adalah yang mendengar serta melaksanakan
sabda-Mu untuk mengasihi, sehingga kasih dalam diri kami menjadi kokoh
sekuat batu. Kami ingin membantu teman yang sedang dalam kesusahan,
tidak mencemooh teman yang sedang dalam masalah, dan tidak juga
mengucilkannya, bantulah kami untuk dapat mewujudkannya. Dan semoga
190
Engkau merestui niat-niat kami ini untuk lebih mengasihi-Mu. Sebab
Engkaulah Tuhan dan pengantara kami. Amin.
d. Lagu penutup: “Mengasihi”
Mengasihi, mengasihi lebih sungguh 2x
Tuhan lebih dulu mengasihi kepadaku
Mengasihi, mengasihi lebih sungguh.
191
BAB V
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
Gereja Katolik pada dasarnya adalah jaringan komunitas-
komunitas yang disatukan oleh pengalaman akan Allah yang ditafsirkan
lewat peristiwa Yesus dari Nazareth baik dalam situasi historis, maupun
dalam dimensi simbolik doktrinernya. Pengalaman dasar ini disambut,
diolah, dan ditafsirkan oleh generasi yang satu sesudah generasi yang lain
dalam konteks perjalanan menyejarah, maka dari itu Gereja pada dasarnya
juga boleh diistilahkan sebagai ”tradisi iman yang hidup”, dari umat yang
bergulat dengan peristiwa Yesus dan mencari maknanya bagi hidupnya.
Gereja Timor Leste sebagai Gereja lokal yang merupakan
pengejawantahan dari Gereja semesta dalam perjalanan sejarahnya, selalu
berusaha untuk tampil sebagai pejuang yang ditandai dengan gugurnya
beberapa martir (seperti Pe. Dewanto, SJ, Pe. Karim, SJ) demi
mempertahankan keadilan dan kebenaran bagi rakyat kecil.
Dalam konteks Gereja Timor Leste di era pascareferandum ada
lima masalah yang dihadapi oleh Gereja Timor Leste dalam melaksanakan
karya pewartaannya, yaitu masalah kaum muda, pendidikan, politik,
bahaya sekularisme dan materialisme, dan masalah penghayatan beriman
umat. Kelima masalah ini mendapat perhatian serius dari Gereja Timor
Leste. Masalah kaum muda terjadi akibat nilai-nilai keagamaan yang
192
ditanamkan oleh orang tua secara paksa, maka nilai-nilai itu tidak berakar
dan hilang begitu saja ketika jauh di perantauan. Masalah pendidikan
terjadi akibat tidak jelasnya visi dan misi pendidikan yang selama ini
dijalankan oleh lembaga pendidikan dalam pembentukan pribadi peserta
didik secara integral. Masalah politik terjadi karena pemerintah tidak
menjalankan wewenangnya dengan baik, sehingga kesejahteraan umum
yang diharapkan tidak tercapai. Bahaya sekularisme dan materialisme
yang menjadi agama baru bagi umat Timor Leste. Dan penghayatan
beriman umat yang memisahkan antara agama dan iman, akibatnya iman
umat mulai pudar dengan ditandai oleh berbagai konflik seperti
pembunuhan, penodongan senjata, konflik yang berkepanjangan
antarinstansi pemerintah, dan antarsuku.
Berhadapan dengan kelima masalah tersebut di atas, Gereja Timor
mencari bentuk evangelisasi yang baru dalam rangka menjalankan karya
pewartaannya. Dengan bercermin pada perjalanan sejarah perkembangan
Gereja Timor Leste, dapat dijadikan sebagai bahan refleksi dalam mencari
dan menentukan Gereja yang hendak dibangun dalam rangka menanggapi
permasalahan atau tantangan tersebut di atas.
Jalan untuk mewujudkannya yaitu dengan re-evangelisasi. Re-
evangelisasi dalam konteks Gereja Timor Leste memiliki makna re-
vitalisasi yakni menghidupkan kembali iman umat yang kini mulai pudar
bahkan hilang. Dan subyek pertama dari re-vitalisasi adalah Gereja Timor
Leste sendiri. Artinya, Gereja Timor Leste pertama-tama harus
193
menghidupkan kembali imannya terlebih dahulu dengan bercermin
kembali pada iman Gereja Perdana. Dengan demikian iman umat akan
hidup kembali dengan sendirinya dalam seluruh karya pewartaan Gereja.
Katekese dan evangelisasi merupakan dua bentuk pelayanan yang
memiliki hubungan yang sangat erat, dan selalu berjalan sesuai dengan
perkembangan zaman. Dalam kerangka re-vitalisasi iman umat, maka
katekese dapat menjadi bagian yang integral dari re-evangelisasi dan
mewujudkan re-evangelisasi. Melalui katekese, umat diantar untuk berani
melihat realitas hidupnya, merefleksikan realitas hidupnya berdasarkan
Sabda Allah dan kemudian terlibat secara nyata dalam mewujudkan
Kerajaan Allah.
B. SARAN
Apa yang disajikan dalam skripsi ini, lebih merupakan suatu
sumbangan pemikiran penulis berdasarkan studi pustaka dan penafsiran
pribadi penulis akan situasi riil yang akhir-akhir ini terjadi di Timor Leste,
terlebih situasi iman umat yang mulai pudar di era pascareferendum. Ada
beberapa saran yang penulis bisa berikan berkaitan dengan re-evangelisasi
menghadapi tantangan Gereja di Timor Leste dewasa ini.
1. Hendaknya Gereja Timor Leste mulai melebarkan sayapnya untuk
tidak sekedar berputar-putar di sekitar altar. Tetapi mencari suatu
bentuk evangelisasi secara baru yang memiliki semangat, cara serta
194
metode yang baru dalam menanggapi situasi iman umat yang saat ini
mulai pudar.
2. Dalam menghadapi berbagai tantangan yang saat ini terjadi seperti
masalah kaum muda, pendidikan, politik, bahaya sekularisme dan
materialisme, serta penghayatan hidup beriman umat yang mengalami
degradasi, Gereja Timor Leste dituntut untuk menghidupkan kembali
imannya terlebih dahulu dengan bercermin pada iman Gereja Perdana.
Menghidupkan kembali (re-vitalisasi) semangat dan spiritualitas dari
masing-masing kategori permasalahan tersebut di atas adalah hal
pokok yang hendak diperhatikan oleh Gereja Timor Leste dalam
menjalankan karya pewartaannya di era pascareferendum.
3. Re-evangelisasi dapat menjadi salah satu jalan untuk merealisasikan
dan mewujudkan Gereja yang yang lebih kontekstual, dan sebagai
salah satu jalan untuk menanggapi tantangan yang dihadapi Gereja
Timor Leste dewasa ini.
195
DAFTAR PUSTAKA
Adisusanto, F.X. (1995). “Evangelisasi Baru di Asia”. Dalam Katekese Umat dan
Evangelisasi Baru. Yogyakarta: Kanisius Aditjondro, George J. (1994a). In The Shadow of Mount Ramelau. Leiden _______________. (1994b). Dari Memo ke Tutuala: Suatu Kaleidoskop
Permasalahan Lingkungan Hidup di Timor Timur. Salatiga: UKSW Afra Siauwarjaya. (1987a). Membangun Gereja Indonesia I: Model-model Gereja
dan Katekese Umat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius ______________. (1987b). Membangun Gereja Indonesia II: Katekese Umat
dalam Pembangunan Gereja Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Banawiratma, J.B. (1984). Pewahyuan dan Tindakan Penyelamatan Allah
Tritunggal dalam Yesus Kristus. Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma, Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program Studi Teologi (naskah)
Belo, Carlos Filipe Ximenes. Uskup. (1988). “Belo: “Saya Takut menjadi
Uskup”. Mingguan Hidup, no. 30/31, edisi 24-31 Juli, hh. 10 ______________. (1995, edisi 5 Maret). Pertemuan Uskup-uskup di Manila, 15
Maret 1995. Mingguan Hidup, no. 10 Tahun XLII, hh. 13 Bispo de Dili e Seu Conselho Presbiteral. (1975, 25 Janeiro). Perante Uma Nova
Situação: Carta Pastoral. p. 5 Boff, Leonardo. (1982). Igreja: Carisma e Poder: Ensaios de Eclesiologia
Militante. Petropolis: Editora Vozes Ltda Darmawijaya, ST. (1993a). Evangelisasi Baru (Membaharui Masyarakat dalam
Injil). Rohani, edisi September, hh. 340-348 Darmawijaya, ST. (1993b). Membaharui Masyarakat dalam Injil (Evangelisasi
Baru. Serba-serbi LBI No. 3-4/XIII/1993 Darminta, J. (1993). Mengubah Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Kanisius Dawam, Ainurrofiq. (2003). “Emoh Sekolah”: Menolak “Komersialisasi
Pendidikan” dan “Kanibalisasi Intelektual”, Menuju Pendidikan Multikultural. Sirsaeba Alfsana (ed.). Jakarta: Inspeal Ahimsakarya Press
196
Dulles, Avery. (1987). Model-model Gereja. George Kirchberger (Penerjemah). Ende: Nusa Indah
Eminyan, Maurice. (2001). Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius Gusmão, Martinho G. da Silva. (1997). Menantikan Loro-sae: Refleksi
Peziarahan Gereja bersama Masyarakat Timor Timur. Malang: Study Group Fraters Timor Timur
____________. (2003). Timor Lorosae: Perjalanan menuju Dekolonisasi Hati-
Diri. Malang: Dioma Hadiwiyata, A.S. (ed.). (1993). Evangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci.
Yogyakarta: Kanisius Hardawiryana, R. (1975). Evangelisasi Dunia Ketiga: Beberapa Masalah Pokok
dalam Sinode 1974. Yogyakarta: Kanisius _____________. (1992). Ensiklik “Redemptoris Missio” (7 Desember 1990):
Relevansinya bagi Gereja Indonesia. Spektrum No 1 Tahun XX, 1992. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI
______________. (1995). Evangelisasi Baru di Indonesia Menanggapi Tantangan
Zaman dalam Perspektif Masa Depan. Dalam Katekese Umat dan Evangelisasi Baru. Yogyakarta: Kanisius
Heryatno Wono Wulung, FX. (2005). Hakikat Dasar Pendidikan Agama Kristiani
(PAK). Diktat Mata Kuliah Pengantar Pendidikan Agama Katolik untuk Mahasiswa Semester II, Fakultas Ilmu Pendidikan Agama, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Hidup. (2005, 29 Mei). Akhirnya Pendidikan Agama Masuk Kurikulum. hh. 30-31 Jacobs, Tom. (1970). Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” mengenai Gereja:
Terjemahan, Introduksi, Komentar I. Yogyakarta: Kanisius Jacobs, Tom & B. Kieser. (1980). Kerja dan Iman. Yogyakarta: IKIP Sanata
Dharma, Jurusan filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program Studi Teologi (naskah)
Jacobs, Tom. (1983). Gereja Mengambil Sikap Terhadap Dunia. Yogyakarta:
IKIP Sanata Dharma, Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program Studi Teologi (naskah)
___________. (1986). “Gereja dan Dunia”. J.B. Banawiratma (ed.). Dalam Gereja
dan Masyarakat. Yogyakarta: Kanisius
197
Jacobs, Tom. (1987). Gereja Menurut Vatikan II. Yogyakarta: Kanisius Jacobs, Tom. (1994, Januari). Anggur Baru dalam Kantong Baru. Rohani. hh 1-8 Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Gita Media Press Kongregasi Umum Imam, Petunjuk Umum untuk Katekese. (2000, Juli). Dalam
Kerjasama dengan Komisi Kateketik KWI. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI
Konsili Vatikan II. (1962). Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral tentang Gereja
Dalam Dunia Modern. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. R. Hardawiryana (Penerjemah). Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI & Obor
_______________. (1965). Sacrosanctum Concilium. Konstitusi tentang Liturgi
Suci. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. R. Hardawiryana (Penerjemah). Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI & Obor
_______________. (1991). Gravissimum Educationis. Ajaran dan Pedoman
Gereja tentang Pendidikan Katolik. Jakarta: Kerja Sama Konferensi Waligereja Indonesia Majelis Nasional Pendidikan Katolik & Grasindo
_______________. (1993). Lumen Gentium. Konstitusi Dogmatis tentang Gereja.
Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. R. Hardawiryana (Penerjemah). Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI & Obor
Kompas. (2006, 29 April). Kerusuhan Melanda Dili: Ratusan Mantan Tentara Timor Leste Mengamuk. hh. 9
KWI. (1996). Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius Lorens Bagus. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.hh.
593 Lourdes, Maria de (2001). Kelompok Gerejani Basis: Upaya Menumbuhkan
Gereja dari Bawah. Dili: Yayasan Hak & Sahe Institute for Liberation Martins, J. (1985). Kunci Pembangunan Manusia Timorense: Ubi Populus Ibi
Lex. Manuskrip Neonbasu, Gregor. (1992). Keadilan dan Perdamaian di Dioses Dili, Timor
Timur: dalam Terang Ajaran Resmi Gereja. Dili: Komisi Komunikasi Sosial Dioses Dili Timor Timur
198
Neonbasu, Gregor. (2006, edisi 9 Juli). Gereja Katolik di Timor Leste. Hidup hh. 10-11
O’Collins, Gerald & Edward G. Ferrugia. (1996). Kamus Teologi. Yogyakarta:
Kanisius Paulus IV, Paus. (1975). Evangelii Nuntiandi, ensiklik (surat edaran) tentang
Karya Pewartaan Injil pada Zaman Modern. Dalam Dokumen Resmi Gereja tentang Katekese. J. Hadiwikarta (Penerjemah). Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI
Putranto, C. (1987). “Gereja Kaum Miskin dalam Konsili Vatikan II dan
Dokumen Federasi Konferensi Uskup-uskup Asia”. J.B. Banawiratma (ed.). Dalam Kemiskinan dan Pembebasan. Yogyakarta: Kanisius
__________. (1998). Pewarta Kerajaan Allah: sebuah Pengantar Ekklesiologi.
Seri Puskat No. 357-360 __________. (2002). “Gereja Kaum Miskin dan Konsili Vatikan II”. Dalam
Katekese Umat. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI Prior, John Manfred. (1993). Unsur Kebaruan dalam Evangelisasi Baru. Dalam
Evangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci. A.S. Hadiwiyata (ed.). Yogyakarta: Kanisius & Lembaga Biblika Indonesia
Rocha, Nuno. (1987). Timor Timur 27 Provincia da Indonesia. Lisboa: Nova
Nordica Siagian, Frans Sihol & Peter Tukan. (ed.). (1997). Voice of The Voiceless (Suara
dari Kaum Tak Bersuara). Jakarta: Obor Sudhiarsa, Raymundus. (2004). Membangun Gereja Misioner dalam Terang
“Ecclesia In Asia”. Dalam Membangun Gereja dari Konteks: Esai-esai Kontekstualisasi dalam Rangka 25 Tahun Bakti Mengajar. Armada Riyanto (ed.). Malang: Dioma & Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana – Malang
Suharyo, I. (1993). “Evangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci”. A.S.
Hadiwiyata. (ed.). Dalam Evangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci. Yogyakarta: Kanisius
Sinode Para Uskup. (1971). Keadilan di Dalam Dunia. Marcel Beding
(Penerjemah). Ende: Nusa Indah Sinode Para Uskup. (1985). Sinode Luar Biasa Para Uskup Tahun 1985. Marcel
Beding (Penerjemah). Jakarta: Obor
199
Tanglidintin, Philip. (1984). Pembinaan Generasi Muda: Visi dan Latihan. Jakarta: Obor
Taylor, John G. (1990). Indonesian’s Forgotten War: The Hidden History of East
Timor. Australia: Pluto Press Teixeira, Manuel. (1962). Macau e Sua Diocese: Missões de Timor. Singapura:
Tipografia da Missão do Padroado Tomodok, E.M. (1994). Hari-hari Akhir Timor Portugis. Jakarta: Sinar Harapan Tukan, Peter & Domingos de Sousa. (1997). Demi Keadilan dan Perdamaian:
Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB., Uskup Dioses Dili – Timor Timur. Bona Beding (ed.). Dili: Komisi Keadilan dan Perdamaian Dioses Dili Sekretariat & Keadilan dan Perdamaian KWI
Valentinus. (2004). Di Bawah Bayang-bayang Ancaman Materialisme dan
Sekularisme. Armada Riyanto. (ed.). Dalam Membangun Gereja dari Konteks: Esai-esai Kontekstualisasi dalam Rangka 25 Tahun Bakti Mengajar. Malang: Dioma
Yohanes Paulus II, Paus. (1990). Kotbah dalam Misa Agung 12 Oktober 1989 di
Taçi Tolu, Dili Timor Timur. Spektrum No 1,2,3 dan 4, Tahun XVIII. hh. 66
Yohanes XXIII, Paus. (1963). Pacem in Terris, Ensiklik tentang Usaha Mencapai
Perdamaian Semesta dalam Kebenaran, Keadilan, Cintakasih dan Kebebasan. (1999). Dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891 – 1991: dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus. R. Hardawiryana (Penerjemah). Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI