Raw
-
Upload
ilvan-vania -
Category
Documents
-
view
13 -
download
0
description
Transcript of Raw
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ureum merupakan senyawa ammonia berasal dari metabolisme asam amino
yang diubah oleh hati menjadi ureum. Ureum bermolekul kecil mudah berdifusi ke
cairan ekstra sel, dipekatkan dan diekskresikan melalui urine lebih kurang 25 gr/hari.
Ureum normal 10 – 50 mg/dl. Pada prinsipnya urea dalam sampel dengan bantuan
enzim urease akan menghasilkan amonia dan karbondioksida. Setelah dicampur
dengan pereaksi I dan II akan terjadi reaksi yang menghasilkan suatu kompleks yang
absorbansinya dapat diukur dengan Spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran kadar
amonia dengan metode Bertholet sangat sensitif dan mempunyai koefisien ekstingsi
molar (ɛ) sebesar 20000. Selain itu metode ini memiliki spesifisitas yang tinggi
terhadap ion amonium. Reaksi berjalan lambat, tapi dapat ditingkatkan dengan
penambahan agen pengkopling, seperti Na-nitroprusid (McClarchey, 2002).
Kondisi kadar urea yang tinggi disebut uremia. Penyebab uremia tersering
adalah gagal ginjal yang menyebabkan gangguan ekskresi. Azotemia mengacu
kepada peningkatan semua senyawa nitrogen berberat molekul rendah pada gagal
ginjal (Sahota et al. 2013).
Uremia prarenal berarti peningkatan BUN akibat mekanisme yang bekerja
sebelum filtrasi darah oleh glomerulus. Mekanisme-mekanisme ini mencakup
penurunan signifikan aliran darah ke ginjal seperti pada syok, dehidrasi, atau
peningkatan katabolisme protein seperti perdarahan masif ke dalam saluran cerna
disertai pencernaan hemoglobin dan penyerapannya sebagai protein dalam makanan.
BUN adalah produk akhir dari metabolisme protein, dibuat oleh hati, sampai pada
ginjal tidak mengalami perubahan molekul. Uremia pascarenal terjadi apabila
terdapat obtruksi saluran kemih bagian bawah di ureter, kandungan kemih, atau uretra
yang mencegah ekskresi urin. Urea di urin yang tertahan dapat berdifusi kembali ke
1
dalam aliran darah. Penyebab uremia diginjal mencangkup penyakit atau toksisitas
yang mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal
(Kopple and Shaul, 2004).
Tes BUN (Blod Urea Nitrogen) adalah tes yang mengukur jumlah nitrogen
pada darah yang berasal dari produk limbah urea karena itu merupakan pengukuran
tidak langsung dari urea dalam aliran darah. Urea dibentuk ketika terjadi pemecahan
protein di dalam tubuh. Urea diproduksi di dalam hati dan diekskresi melalui urin.
Sebelum melakukan tes BUN, sebaiknya hindari mengkonsumsi banyak daging atau
protein lain dalam 24 jam sebelum tes berlangsung (Shilset al. 2006).
Pengukuran kadar urea nitrogen dapat dilakukan di dalam cairan tubuh, yaitu
serum/plasma dan urin, salah satu metode yang digunakan yaitu pengukuran kadar
ammonia yang dihasilkan dari reaksi urea dengan urease. Pada metode ini, urea
dipecah dengan enzim urease menghasilkan CO2 dan ammonia. Selanjutnya amonia
yang dibebaskan ditetapkan kadarnya dengan reagen Bertholet. Belum diketahui
adana senyawa lain dalam tubuh yang mengalami pemecahan yang sama dengan
urea, oleh karena itu metode ini mempunyai spesifitas yang tinggi terhadap urea
(McClarchey, 2002)
Pemeriksaan ureum dipakai sebagai parameter tes fungsi faal ginjal. Ureum
merupakan senyawa kimia yang menandakan fungsi ginjal masih normal. Oleh
karena itu, tes ureum selalu digunakan untuk melihat fungsi ginjal kepada pasien
yang diduga mengalami gangguan pada organ ginjal. Oleh karena itu berdasarkan
uraian diatas penulis ingin lebih memahami mengenai ureum yang ada di dalam
tubuh sehingga penulis bermaksud untuk menulis makalah ini guna untuk
memberikan informasi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai
berikut :
1.2.1 Apakah pengertian dari ureum ?
1.2.2 Bagaimanakah proses pemeriksaan uream ?
2
1.2.3 Bagaimana metabolisme ureum didalam tubuh ?
1.2.4 Bagaimana tujuan pemeriksaan ureum?
1.2.5 Bagaimana cara penatalaksanaannya dan pengobatannya ?
1.3 Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah :
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari ureum.
1.3.2 Untuk mengetahui proses pemeriksaan ureum.
1.3.3 Untuk mengetahui proses biosintesis ureum dalam tubuh.
1.3.4 Untuk mengetahui proses pemeriksaan ureum.
1.3.5 Untuk mngetahui tujuan pemeriksaan ureum.
1.3.6 Untuk mengetahui cara penatalaksanaan dan pengobatan untuk ureum.
1.4 Manfaat Makalah
Manfaat dibuatnya makalah yang berjudul tentang ureum ini semoga menjadi
bahan informasi bagi pembaca untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai
ureum yang ada didalam tubuh serta tinjauan klinis yang dibutuhkan dalam
pemeriksaan ureum.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ureum
Ureum adalah suatu zat yang merupakan sisa metabolisme protein melalui
pertukaran protein yaitu penguraian dan resisten semua protein sel yang berlangsung
terus menerus. Hal ini merupakan proses psikolog yang penting dalam semua bentuk
kehidupan meskipun proses pertukaran tersebut melibatkan baik sintesis, maupun
penguraian protein.
Ureum merupakan produk akhir metabolisme protein, sebagai hasil akhir
pemecahan asam amino (Kallenbach, et al, 2005). Ureum dibentuk di liver dan
dibersihkan dari aliran darah oleh ginjal. Karena urea dieksresikan oleh ginjal, maka
nilai ureum darah dapat digunakan untuk mendeteksi fungsi ginjal. Banyak faktor
selain penyakit ginjal yang dapatmenyebabkan perubahan nilai ureum termasuk
diantaranya pemecahan protein, status hidrasi dan kerusakan hati.Nilai normal ureum
pada orang dewasa adalah 5-20mg/dL, laki-laki lebih tinggi dari nilai tersebut.
Peningkatan ureum dapat terjadi pada kodisi kegagalan ginjal, gagal jantung
karena penurunan perfusi ginjal, dehidrasi, syok, perdarahan saluran cerna, akut
miokard infark, stress dan intake protein berlebihan (Lemone & Burke, 2008). Urea
Reduction Ratio (URR) adalah salah satu cara untuk mengukur kualitas dialisis, yaitu
berapa banyak jumlah racun yang dibuang saat proses hemodialisis. Rumus yang
dianjurkan Lowrie 1981, dalam Gatot (2003) untuk mengukur URR adalah:
URR (%) = 100 x (1-Ct/Co)
Dimana Ct adalah ureum sesudah HD dan Co adalah ureum sebelum HD.
Cara ini paling sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran Adekuasi
HD (AHD). Banyak dipakai untuk kepentingan epidemiologi, dan merupakan
prediktor terbaik untuk mortalitas penderita HD reguler.
4
Kelemahan cara ini karena tidak memperhitungkan faktor ultrafiltrasi dan sisa
klirens yang masih ada. Cara ini juga tidak dapat dipakai untuk merencanakan dosis
HD. Untuk setiap proses hemodialisis paling sedikit harus dapat mengurangi kadar
ureum (blood urea nitrogen atau BUN) sebesar 65 % (YDGI, 2007). Sedangkan
NKDOQI (2006) memakai batasan bahwa HD harus dilakukan dengan URR >65%.
Dalam sebuah penelitian dengan menggunakan RRU untuk mengukur dosis
dialisis, telah ditunjukkan bahwa penderita yang menerima RRU 60% memiliki
mortalitas yang lebih rendah dari yang menerima RRU 50% (Basile, 1990). NIDDK
(2009) juga menjelaskan bahwa Urea Reduction Ratio merupakan indikator
efektifitas proses hemodialisis dalam membuang sisa metabolisme tubuh dimana
persentase nilai akhir ureum harus > 65%
2.2 Proses pemeriksaan ureum
2.2.1 Tahap Pra-Analitik
Pada tahap ini mencakup persiapan pasien, sample, reagen yang akan
digunakan terlebih dahulu diperiksa, dan alat yang akan dipakai.
a. persiapan pasien : tidak ada persiapan khusus
b. persiapan sample :darah sebanyak 2 cc yang ditampung dalam tabung
sentripuge yang kemudian di sentripuge selama 5 menit.
c. Persiapan Reagen berupa larutan kerja dan standar terlebih dahulu
diperiksa tanggal kadaluarsa reagen tersebut.
d. Persiapan alat berupa spektrofometer yang harus dipanaskan terlebih
dahulu.
2.2.2 Tahap analitik
Tahap analitik ini mencakup prosedur kerja ureum merupakan proses hidrolisa
ditandai dengan adanya air dan uriase dalam memproduksi ammonia dan
karbondioksida.unsur amoniak bereaksi dengan hipokrolit dan salisilat dalam
memberi larutan berwarna hijau.
5
2.2.3 Metode Pemeriksaan Ureum
Kadar ureum dalam serum / plasma mencerminkan keseimbangan ntara
produksi dan ekskresi. Metoda penetapan adalah dengan mengukur nitrogen, di
Amerika Serikat hasil penetapan disebut sebagai nitrogen ureum dalam darah ( Blood
Urea Nitrogen, BUN ). Dalam serum normal konsentrasi BUN adalah 8 – 25 mg / dl,
dan kadar ureum dalam serum normal adalah 10 – 50 mg/dl. Nitrogen menyusun
28 / 60 bagian dari berat ureum, karena itu konsentrasi ureum dapat dihitung dari
BUN dengan menggunakan faktor perkalian 2,14 ( Widmann, Frances. K, 1995 ).
2.3 Biosintesis ureum
Biosintesis urea berlangsung dalam empat tahap:transaminasi, deaminasi
oksidatif glutamat, transpor amonia, dan reaksi siklus urea.
2.3.1 Pemindahan Gugus α-Amino Dikatalis oleh Transaminase
Gugus α-amino dari ke 20 asam L-amino yang biasa dijumpai pada protein,
pada akhirnya dipindahkan pada tahap tertentu dalam degradatif oksidatif molekul
tersebut. Jika tidak dipergunakan kembali untuk sintesis asam amino yang baru atau
produk nitrogen lainnya, gugus amino ini dikumpulkan dan lambat laun diubah
menjadi satu produk akhir yang dapat dikeluarkan. Pada manusia dan kebanyakan
vertebrata daratan, bentuk ini adalah urea. Pembebasan gugus α-amino dari
kebanyakan asam L-amino dikatalisa oleh enzim yang disebut transaminase atau
aminotransferase.
Pada reaksi ini, yang kita kenal juga sebagai transaminasi, gugus α-amino
dipindahkan secara enzimatik ke atom karbon α pada α-ketoglutarat, sehingga
dihasilkan asam α-keto, sebagai analog dengan asam amino yang bersangkutan.
Reaksi ini juga menyebabkan aminasi αketoglutarat, membentuk L-glutamat.
Asam L-α-amino + α-ketoglutarat ↔ asam α-keto + L-glutamat
Perhatikan bahwa kita tidak menjumpai deaminasi total, atau hilangnya gugus
amino di dalam reaksi ini, karena α-ketoglutarat teraminasi pada saat asam α-amino
mengalami deaminasi. Tujuan keseluruhan reaksi transaminasi adalah mengumpulkan
6
gugus amino dari berbagai asam amino dalam bentuk hanya satu asam amino, yakni
L-glutamat. Jadi katabolisme gugus asam amino menyatu menjadi produk tunggal.
Kebanyakan transaminase bersifat spesifik bagi α-ketoglutarat sebagai
molekul penerima gugus amino di dalam reaksi ini seperti dituliskan di atas. Namun
demikian, enzim tersebut tidak terlalu spesifik bagi substratnya yang lain, yaitu asam
L-amino yang memberikan gugus aminonya. Beberapa transaminase yang paling
penting, yang dinamakan sesuai dengan molekul pemberi aminonya, ditunjukkan oleh
persamaan di bawah ini:
L-Alanin + α – ketoglutarat ↔ piruvat + L- glutamate
(alanintransaminase)
L-Aspartat + α–ketoglutarat ↔ oksaloasetat + L-glutamat
(aspartattansaminase)
L-Leusin + α–ketoglutarat ↔ α- ketoisokaproat + L-glutamat
(leusintransaminase)
L-Tirosin + α–ketoglutarat ↔ P-hidroksitenilpiruvat + L-glutamat
(tirosin transaminase)
Jadi, α-ketoglutarat merupakan senyawa umum penerima gugus amino dari
kebanyakan asam amino yang lain. L-glutamat yang terbentuk berperan untuk
menyampaikan gugus amino kepada lintas biosintetik tertentu atau menuju ke urutan
akhir reaksi ini. Di sini, hasil buangan bernitrogen dibentuk dan lalu dikeluarkan dari
tubuh. Reaksi yang dikatalisis oleh transminase bersifat dapat balik, karena tetapan
keseimbangannya mencapai kira-kira 1,0. Harga ∆Gº’ bagi reaksi tersebut, oleh
karenanya mendekati nol.
Semua transaminase memiliki gugus prostetik yang terikat kuat dan
mekanisme reaksi yang bersifat umum. Gugus prostetik piridoksal fosfat, merupakan
turunan piridoksin atau vitamin B6. Piridoksal fosfat berfungsi sebagai senyawa
antara pembawa gugus amino pada sisi aktif transaminase. Selama berlangsungnya
siklus katalistik, molekul ini mengalami perubahan dapat balik di antara bentuk
aldehidanya, piridoksal fosfat, yang dapat menerima gugus amino, dan bentuk
7
teraminasinya piridoksamin fosfat, yang dapat memberikan gugus aminonya kepada
α-ketoglutarat. Dengan cara ini, gugus prostetik bertindak sebagai molekul pembawa
sementara gugus amino (yang bersifat dapat balik) dari suatu asam amino menuju α-
ketoglutarat.
Transaminase merupakan contoh klasik enzim-enzim yang mengkatalisis
reaksi ping-pong bimolecular. Pada reaksi tersebut, substrat pertama harus
meninggalkan sisi aktif enzim sebelum substrat kedua dapat terikat. Jadi, asam amino
yang datang mengikat sisi aktif, memberikan gugus aminonya ke piridoksal fosfat,
dan meninggalkan enzim dalam bentuk suatu asam α-keto. Lalu, asam α-keto yang
datang diikat, menerima gugus amino dari piridoksamin fosfat, dan meninggalkan
enzim, sekarang dalam bentuk suatu asam amino.
Gugus karbonil dari piridoksal fosfat yang terikat oleh enzim bergabung
dengan gugus α-amino dari asam amino yang datang, membentuk senyawa antara
yang berikatan kovalen, yaitu sejenis senyawa yang disebut basa Schiff. Suatu
perpindahan ikatan ganda C=N terjadi setelah itu, dan kerangka karbon asam amino
yang terikat kovalen pada gugus prostetik dalam bentuk pirikdosamin fosfat. Molekul
ini sekarang membentuk basa Schiff dengan α-ketoglutarat yang datang, yang segera
menerima gugus asam amino, pada hakekatnya melalui kebalikan reaksi yang
membentuknya.
Pengukuran aktivitas transminase alanin dan aspartat di alam serum darah
merupakan prosedur diagnostic yang penting di dalam ilmu kedokteran, yang
digunakan untuk menentukan gawatnya serangan jantung dan untuk memantau
penyembuhan penyakit ini. Pengukuran ini juga dipergunakan untuk mendetaksi
pengaruh racun beberapa kimiawi industri.
2.3.2 Ammonia Dibentuk dari Glutamat
Kita telah melihat bahwa gugus amino dipindahkan dari hampir semua asam
α-amino oleh transaminasi ke α-ketoglutarat membentuk L-glutamat. Glutamate
mengalami deaminasi oksidatif oleh aktivitas L-glutamat dehigronase, yang
memerlukan NAD+ sebagai molekul penerima ekuivalen pereduksi:
8
L-glutamat+ + NAD+ + H2O ↔ α-ketoglutarat2- 3NH4 + NADH + H+
Enzim ini terdapat hanya dalam mitokondria, yaitu pada matriksnya.
Glutamate dehidronase menyababkan terbentuknya hampir semua ammonia di dalam
jaringan hewan, karena glutamate merupakan satu-satunya asam amino dengan gugus
α-amino yang dapat secara langsung dilepaskan pada kecepatan tinggi dengan cara
tersebut. Glutamat dan glutamate dehidronase memegang peranan yang unik di dalam
metabolisme golongan amino.
Glutamate dehidronase merupakan enzim alosterik yang kompleks. Berat
molekulnya kira-kira 300.000, dan enzim ini terdiri dari enam subunit yang identik
terhadap sesamanya, masing-masing mengandung satu rantai polipeptida yang terdiri
dari 500 residu. Enzim tersebut diaktifkan dengan kuat oleh modulator positif ADP,
tetapi dihambat oleh GTP, yang merupakan produk reaksi suksinil-KoA sintetase di
dalam siklus asam sitrat. Bilamana sel hati memerlukan bahan bakar bagi siklus asam
sitrat untuk membentuk ATP, aktivitas glutamate dehidrogenase meningkat,
menyebabkan α-ketoglutarat tersedia bagi siklus asam sitrat dan membebaskan
NH3 untuk dikeluarkan di dalam tubuh. Sebaliknya, bilamana GTP terakumulasi di
dalam mitokondria sebagai akibat aktivitas yang tinggi pada siklus asam sitrat,
deaminasi oksidatif glutamate menjadi terhambat.
Ammonia dapat dihemat dan digunakan kembali di dalam sintesis asam
amino. Dalam hal ini, glutamate dehidrogenase bekerja dalam arah kebalikannya,
mereduksi ammonia dan α-ketoglutarat untuk memebentuk glutamate. Namun
demikian, reaksi ini dijalankan oleh reaksi yang berkaitan dengan NADP, dan
bukannya hanya kebalikan dari reaksi yang berkaitan dengan NAD, yang sederhana,
seperti dituliskan di atas.
NADPH + NH4+ + α-ketoglutarat2- → NADP+ + glutamate- + H2O
Penggunaan kedua koenzim yang berbeda oleh glutamate dehidrogenase
untuk membebaskan dan menarik NH3 memungkinkan regulasi yang tidakter gantung
pada deaminasi glutamate dan aminasi α-ketoglutarat, walaupun keduanya dikatalisa
oleh enzim yang sama.
9
Intoksikasi amonia dapat mengancam nyawa, amonia yang diserap di hasilkan
oleh bakteri usus dan diserap ke dalam darah vena porta dan amonia yang dihasilkan
oleh jaringan cepat disingkirkan dari sirkulasi oleh hati dan diubah menjadi urea. Hal
ini sangat penting karna amonia bersifat toksik bagi susunan saraf pusat, seandainya
dalam darah porta meminta (mem-bypass) hati, kadar amonia sistemik dapat
meningkat hal ini terjadi pada gangguan fungsi hati yang parah atau terjadinya
hubungan kolateral antara vena porta dan vena sistemik pada sirosis. Gejala
intoksikasi amonia mencakup tremor, penglihatan kabur koma bahkan kematian.
Amonia dapat bersifat toksik bagi otak karena zat ini bereaksi dengan a-ketoglutarat
untuk membentuk glutamat, kadar a-ketoglutarat yang menurun menggangu fungsi
asam trikarbiksilat di neuron.
2.3.3 Urea Dibentuk oleh Siklus Urea
Pada hewan, ureotelik, ammonia yang dihasilkan dari deaminasi asam amino
diubah menjadi urea di dalam hati oleh mekanisme siklik, yaitu siklus urea, yang
pertama kali ditemukan leh Hans Krebs dan Kurt Henseleit pada 1932. Krebs dan
Henseleit menemukan bahwa kecepatan pembentukan urea dari ammonia oleh irisan
tipis hati yang disuspensikan di dalam medium buffer aerobic dipercepat oleh
penambahan salah satu dari tiga senyawa spesifik, ornitin, sitrulin, atau arginin.
Arginin tentunya merupakan salah satu asam amino baku yang ditemukan
pada protein. Walaupun ornitin dan sitrulin juga merupakan asam α-amino, golongan
ini tidak terdapat sebagai unit pembangun molekul protein. Ketiga senyawa ini
merangsang aktivitas sintesis urea jauh melampaui aktivitas senyawa bernitrogen
umum lainnya yang diuji. Struktur ketiga senyawa aktif ini memperlihatkan bahwa
ketiganya mungkin berhubungan satu sama lain dalam satu urutan, dengan ornitin
sebagai pemula sitrulin dan selanjutnya sitrulin menjadi pemula arginin.
Arginin telah lama diketahui dapat terhidrolisa menjadi ornitin dan urea oleh
kerja enzim arginase.
Arginin + H2O ornitin + urea
10
Krebs menyimpulkan bahwa suatu proses siklik terjadi, dengan ornitin
memegang peranan serupa dengan oksalaasetat di dalam siklus asam sitrat. Molekul
ornitin bergabung dengan satu molekul NH3 dan satu CO2 membentuk sitrulin.
Molekul kedua ammonia ditambahkan ke sitrulin, membentuk arginin, yang lalu
terhidrolisis menghasilkan urea, dengan pembentukan kembali molekul ornitin.
Semua organisme yang mampu melakukan biosintesis arginin dapat mengkatalisis
reaksi-reaksi ini sampai ke titik arginin, tetapi hanya hewan ureotelik yang dilengkapi
sejumlah besar enzim arginase, yang mengkatalisis hidrolisis tidak dapat kembali
menjadi arginin, membentuk urea dan ornitrin. Ornitrin yang diregenerasi ini lalu siap
untuk memulai putaran selanjutnya siklus urea ini.
Urea, yang merupakan produk siklus ini, merupakan senyawa netral, tidak
beracun dan larut di dalam air. Molekul ini diangkut melalui darah menuju ginjal dan
dikeluarkan ke dalam urin.
2.3.4 Siklus Urea Terdiri Atas Beberapa Tahap Kompleks
Gugus amino pertama yang memasuki siklus urea muncul dalam bentuk
ammonia bebas, oleh deasimenasi oksidatif glutamate di dalam mitokondria sel hati.
Reaksi ini dikatalisis oleh glutamate dehidrogenase, yang memerlukan NAD+.
Glutamat- + NAD+ + H2O ↔ α-ketoglutarat2- + NH4+ + NADH + H+
2.3.4.1 Reaksi pada sintesis karbamil fosfat
Amonia bebas yang terbentuk segera dipergunakan, bersama-sama dengan
karbon dioksida yang dihasilkan di dalam mitokondria oleh respirasi, untuk
membentuk karbamoil fosfat di dalam matriks, pada suatu reaksi yang bergantung
kepada ATP, yang dikatalisis oleh enzim karbamoil fosfat sintetase I. Angka Romawi
ini menunjukkan bentuk mitokondria enzim ini, untuk membendakannya dari bentuk
sitosolnya (II).
Dalam reaksi pembentukan karbamil fosfat ini, satu mol ammonia bereaksi
dengan satu mol karbondioksida dengan bantuan enzim karbamoilfosfat sintetase.
Reaksi ini membutuhkan energy, karenanya reaksi ini melibatkan dua mol ATP yang
11
diubah menjadi ADP. Disamping itu sebagai kofaktor dibutuhkan Mg2+ dan N-asetil-
glutamat.
Karbamoil fosfat ΔGo= -3,3 kkal/mol
Karbamoil fosfat sintetase I merupakan enzim pengatur, enzim ini
memerlukan N-asetilglutamat sebagai modulator positif atau perangsangnya.
Karbamoil fosfat merupakan senyawa berenergi tinggi, molekul ini dapat dipandang
sebagai suatu pemberi gugus karbamoil yang telah diaktifkan. Perhatikan bahwa
gugus fosfat ujung dari dua molekul ATP dipergunakan untuk membentuk satu
molekul karbamoil fosfat.
2.3.4.2 Reaksi pada pembentukan siturulin
Pada tahap selanjutnya dari siklus urea, karbamoil fosfat memberikan gugus
karbamoilnya kepada ornitin untuk membentuk sitrulin dan membebaskan fosfatnya,
dalam suatu reaksi yang dikatalisis oleh ornitin transkarbamoilase yang terdapat pada
bagian mitokondria sel hati, yakni enzim mitokondria yang memerlukan Mg2+.
Karbamoil fosfat + ornitin sitrulin + Pi- + H+
Sitrulin yang terbentuk sekarang meninggalkan mitokondria dan menuju ke
dalam sitosol sel hati. Gugus amino yang kedua sekarang datang dalam bentuk L-
aspartat, yang sebaliknya diberikan dari L-glutamat oleh kerja aspartat transaminase.
Oksalasetat + L-glutamat ↔ L-aspartat + α-ketoglutarat
L-Glutamat tentunya menerima gugus amino dari kebanyakan asam amino
umum lainnya oleh transaminasi menjadi α-ketoglutarat. Pemindahan gugus amino
kedua ke sitrulin terjadi dengan reaksi pemadatan di antara gugus amino aspartat dan
karbon karbonil sitrulin dengan adanya ATP, untuk membentuk agininosuksinat.
Reaksi ini dikatalisa oleh arginosuksinat sintetase sitosol hati, suatu enzim yang
tergantung kepada Mg2+.
2.3.4.3 Reaksi pada asam argininosuksinat
Selanjutnya siturulin bereaksi dengan asam aspartat membentuk asam
argininosuksinat. Reaksi ini berlangsung dengan bantuan enzim argininosuksinat
12
sintese. Dalam reaksi tersebut ATP merupakan sumber energy dengan jalan
melepaskan gugus fosfat dan berubah menjadi AMP.
Sitrulin + aspartat + ATP → argininosuksinat + AMP + PPi + H+
Pada tahap selanjutnya argininosuksinat segera terurai oleh argininosuksinat liase
untuk membentuk arginin dan fumarat bebas.
Argininosuksinat ↔ arginin + fumarat
Fumarat yang terbentuk, kembai menuju kumpulan senyawa antara siklus asam sitrat.
2.3.4.4 Reaksi pada penguraian asam argininosuksinat
Dalam reaksi ini asam asam argininosuksinat diuraikan menjadi arginin dan
asam fumarat. Reaksi ini berlangsung dengan bantuan enzim argininosuksinase, suatu
enzim yang terdapat dalam hati dan ginjal.
2.3.4.5 Daur Urea Berkaitan dengan Daur Asam Sitrat
Stokiometri sintesis urea adalah:
CO2+NH4++3ATP+Aspartat+2H2OUrea+2ADP+2Pi+AMP+PPi+fumarat
Pirofosfat dihidrolisis dengan cepat dan dengan demikian 4 ikatan fosfat
energy tinggi (-P) digunakan dalam reaksi ini untuk membentuk 1 molekul urea.
Sintesis asam fumarat pada daur urea merupakan reaksi penting sebab reaksi ini
mengkaitkan daur urea dengan daur asam sitrat. Fumarat mengalami hidrasi menjadi
malat, yang pada gilirannya dioksidasi menjadi oksaloasetat. Oksaloasetat dapat
mengalami:
a. Mengalami transaminasi menjadi aspartate
b. Berubah menjadi glukosa melalui jalur gluconeogenesis
c. Berkondensasi dengan Asetil Ko-A membentuk sitrat
d. Berubah menjadi pirufat
Pengkotak-kotakan daur urea dan reaksi-reaksi yang menyertainya juga
penting. Pembentukan NH4+ oleh glutamate dehidrogenase, penggabungannya ke
dalam karbomoil fosfat dan sintesis siturulin berikutnya terjadi di matriks
mitokondria. Sebaliknya tiga reaksi dalam daur urea berikutnya terjadi dalam sitosol.
13
2.4 Tujuan Pemeriksaan kadar ureum
Pemeriksaan kadar ureum dalam darah dapat menjadi acuan untuk mengetahui
adanya Gagal ginjal akut (GGA) yaitu suatu sindrom klinis yang ditandai dengan
penurunan mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) kecepatan
penyaringan ginjal, disertai dengan penumpukan sisa metabolisme ginjal (ureum dan
kreatinin).
Rumus Ureum
Rumus molekul ureum adalah CO( NH2 )2, dengan Berat Molekul 60
( Bishop, L.Michael,dkk, 2000 ).
2.5 Metabolisme Ureum
Gugusan amino dilepas dari asam amino bila asam amino itu didaur ulang
menjadi sebagian dari protein atau dirombak dan dikeluarkan dari tubuh,
Aminotransferase ( transaminase ) yang ada diberbagai jaringan mengkatalisis
pertukaran gugusan amino antara senyawa – senyawa yang ikut serta dalam reaksi –
reaksi sintesis. Deaminasi oksidatif memisahkan gugusan amino dari molekul aslinya
dan gugusan amino yang dilepaskan itu diubah menjadi amonia. Amonia diantar ke
hati dan dirubah menjadi reaksi - reaksi bersambung. Hampir seluruh urea dibentuk
didalam hati , dari katabolisme asam - asam amino dan merupakan produk ekskresi
metabolisme protein yang utama. Konsentrasi urea dalam plasma darah terutama
menggambarkan keseimbangan antara pembentukan urea dan katabolisme protein
serta ekskresi urea oleh ginjal : sejumlah urea dimetabolisme lebih lanjut dan
sejumlah kecil hilang dalam keringat dan feses ( Baron D.N, 1995 ).
2.6 Tinjauan Klinis
2.6.1 Urea Plasma Yang Tinggi ( Azotemia )
14
Urea plasma yang tinggi merupakan salah satu gambaran abnormal yang
utama dan penyebabnya diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Peningkatan katabolisme protein jaringan disertai dengan keseimbangan
nitrogen yang negatif. Misalnya terjadi demam, penyakit yang
menyebabkan atrofi, tirotoksikosis, koma diabetika atau setelah trauma
ataupun operasi besar. Karena sering kasus peningkatan katabolisme
protein kecil, dan tidak ada kerusakan ginjal primer atau sekunder, maka
ekskresi ke urin akan membuang kelebihan urea dan tidak ada kenaikan
bermakna dalam urea plasma.
b. Pemecahan protein darah yang berlebihan pada leukemia, pelepasan
protein lekosit menyokong urea plasma yang tinggi.
c. Pengurangan ekskresi urea merupakan penyebab utama dan terpenting
serta bisa prerenal, renal atau postrenal. Penurunan tekanan darah perifer (
seperti pada syok ) atau bendungan vena(seperti pada payah jantung
kongestif ) atau volume plasma yang rendah dan hemokonsentrasi (seperti
pada deplesi natrium oleh sebab apapun termasuk penyakit Addison ),
mengurangi aliran plasma ginjal . Filtrasi glomerulus untuk urea turun dan
terdapat peningkatan urea plasma, pada kasus yang ringan, bila tak ada
kerusakan struktur ginjal yang permanen, maka urea plasma akan kembali
normal bila keadaan prerenal dipulihkan ke yang normal.
d. Penyakit ginjal yang disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
yang menyebabkan urea plasma menjadi tinggi.
e. Obstruksi saluran keluar urin misalnya kelenjar prostat yang membesar
menyebabkan urea plasma menjadi tinggi.
2.6.2 Urea plasma yang rendah ( Uremia )
Uremia kadang-kadang terlihat pada akhir kehamilan, bisa karena peningkatan
filtrasi glomerulus, diversi nitrogen ke foetus atau karena retensi air. Pada nekrosis
hepatik akuta, sering urea plasma rendah karena asam-asam amino tak dimetabolisme
lebih lanjut. Pada sirosis hepatis, urea plasma yang rendah sebagian disebabkan oleh
15
pengurangan sintesa sebagian karena retensi air, urea plasma yang rendah disebabkan
oleh kecepatan anabolisme protein yang tinggi, bisa timbul selama pengobatan
dengan androgen yang intensif misalnya untuk karsinoma payudara, juga pada
malnutrisi protein jangka panjang ( Baron D.N, 1995 )
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Gangguan elektrolit
Penurunan GFR sampai di bawah 50% nilai normal akan disertai penurunan
reabsorpsi bikarbonat yang menyebabkan asidosis sistemik, akibatnya terjadi
degradasi protein dan efluks kalsium dari tulang. Terapi ditujukan untuk
mempertahankan konsentrasi bikarbonat serum sebesar 20-22 mEq/L (20-22 mmol/L)
dengan cara pemberian suplemen sodium bikarbonat atau pengikat fosfat.
Hiperkalemia dapat terjadi karena ketika penyakit ginjal memburuk, tubulus distal
yang terisisa terus menerus mensekresikan kalium. Peningkatan aldosteron juga
mendorong sekresi kalium dengan menstimulasi pertukaran natrium-kalium di ginjal
dan kolon. Hipokalemia dapat juga terjadi pada anak yang menderita CKD, namun
cenderung terjadi pada pasien yang memiliki defek tubular seperti pada sindrom
Faconi.
Tabel Pengobatan hiperkalemia
Obat Dosis Efek samping
Sodium
Bikarbonat
Kalsium
Glukonat (10%)
Glukosa dan
insulin
Sodium polistiren
11 ([0,6 x BB]x[kadar bikarbonat yang
diharapkan- kadar bikarbonat saat ini) : 2
0,5 – 1 mEq/kgBB IV dalam 1 jam
0,5 – 1 ml/kgBB IV dalam 5-15 menit
Glukosa: 0,5 g/kgBB dengan Insulin: 0,1
unit/kgBB IV dalam 30 menit
1 g/kgBB per dosis per rectal atau PO
Dapat
menyebabkan
hipokalsemia
Aritmia
Hipoglikemia
Dapat
menyebabkan
16
sulfonat
Agonis beta
5-10 mg secara aerosol
konstipasi/diare
Takikardia,
hipertensi
2.7.2 Osteodistrofi ginjal Pada CKD
Dapat terjadi hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Pertumbuhan linear dapat
juga terpengaruh akibat hiperparatiroidisme sekunder akibat osteodistrofi ginjal yang
menyebabkan perubahan struktur lempeng pertumbuhan kartilago dan fibrosis tulang
endokondral. Pada anak-anak dengan CKD, kelainan tulang harus ditangani dengan
agresif. Suplementasi vitamin D dapat diberikan, berupa dihidrotakisterol (DHT),
kalsifediol, kalsitriol dan perikalsitol (vitamin D baru yang diberikan secara IV untuk
anak dengan CKD dan diterapi hemodialisis). Hiperfosfatemia dapat diatasi dengan
pemberian pengikat fosfat.
2.7.3 Anemia
Anemia pada CKD dapat disebabkan oleh menurunnya produksi eritropoeitin
atau kekuranagn zat besi. Data morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup dari K/DOQI
menunjukan bahwa mempertahankan hematokrit pada 33- 36% dan hemoglobin pada
11,0-12,0 g/dl sangat penting untuk anak dengan CKD. Dengan perbaikan anemia,
terdapat perbaikan dalam perkembangan kognitif, fungsi jantung, dan ketahanan fisik
serta menurunnya mortalitas. Terapi zat besi12 oral sebaiknya dimulai pada dosis 2-3
mg/kgBB per hari berupa zat besi elemental diberikan dalam dua atau tiga dosis
terbagi saat perut kosong dan tidak boleh bersamaan dengan pengikat fosfat karena
zat besi berikatan dengan pengikat fosfat. Eritropoeitin dapat diberikan1-3 kali per
minggu. Dosis awal sebesar 30- 300 unit/kgBB per minggu, dosis rumatan ditentukan
dan disesuaikan berdasarkan nilai hemoglobin bulanan. Darbepoeitin merupakan
eritropoeitin bentuk baru yang memiliki waktu paruh lebih panjang dan dapat
17
diberikan sekali tiap 2 minggu atau satu bulan yang saat ini sedang diteliti
penggunaannya untuk anak-anak
2.7.4 Hipertensi Target tekanan darah pada anak dengan CKD
Adalah di bawah persentil 90 sesuai usia dan jenis kelamin. Angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin reseptor blocker (ARB) lebih
efektif dalam mencegah progresifitas kerusakan ginjal karena menurunkan tekanan
intraglomerular dan proteinuria melalui efek langsung pada sirkulasi glomerulus.
2.7.5 Transplantasi Ginjal Begitu mengalami ESRD
Penanganan terbaik adalah transplantasi ginjal. Transplantasi jarang dilakukan
pada bayi berusia kurang dari 6 bulan dengan berat badan kurang dari 6 kg karena
dugaan peningkatan risiko kegagalan akibat infeksi, masalah teknis dan obat-obatan
imunosupresan. Pada umumnya yang dapat dilakukan transplantasi adalah yang
usianya lebih dari 1 tahun dan berat badan minimal 10 kg
18
BAB III
REVIEW JURNAL
3.1 Pendahuluan
Gagal ginjal kronis atau chronic kidney disease (CKD), terjadi secara
perlahan-lahan dalam jangka waktu lama, tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
diusahakan untuk menghambat progresivitasnya. Di negara maju, insidensi gagal
ginjal terminal berkisar antara 78 – 284 per juta penduduk, sedang prevalensi pasien
yang menjalani dialisis, berkisar antara 476 – 1150 per juta penduduk. Di amerika
Serikat saja, negara yang sangat maju dan tingkat gizinya tinggi, setiap tahun ada
sekitar 20 juta orang dewasa menderita penyakit kronik ginjal (Lewis, Heitkemper
and Dirksen, 2000).
Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal cukup tinggi.
Saat ini, jumlah penderita gagal ginjal mencapai 4.500 orang. Dari jumlah itu, banyak
penderita yang meninggal dunia akibat tidak mampu berobat atau cuci darah
(hemodialisa) karena biayanya sangat mahal, yang harus dilakukan 2-3 kali
19
seminggu. Akibatnya, tidak sedikit penderita yang meninggal dunia (Soedarsono,
2001). Sebanyak 50-100 penderita gagal ginjal setiap tahun di Indonesia memerlukan
transplantasi ginjal. Sayangnya, hanya 20% dari penderita gagal ginjal yang bisa
melakukan transplantasi dan sekitar 80% penderita gagal ginjal sulit mendapat organ
ginjal untuk ditransplantasikan (Wiguno, 2001; Yusuf dan Wiguno, 2001).
Gagal ginjal dapat disebabkan oleh penyakit darah tinggi, kencing manis, batu
ginjal, ginjal polikistik, infeksi kronis saluran kemih dan lain-lain. Beberapa penyakit
tersebut merupakan penyakit degeneratif yang sering timbul pada lanjut usia,
sehingga frekuensi gagal ginjal cenderung meningkat. Ginjal mempunyai peran
strategis dalam tubuh yaitu mengeluarkan air dan sampah metabolisme dalam bentuk
air kemih serta menghasilkan hormone erythropoietin yang berperan dalam
pembentukan sel darah merah (Groer, 2001; Price and Lorraine, 1998; Copstead and
Banasik, 2000).
Peran yang penting tersebut akan menimbulkan masalah bila ginjal
mengalami kegagalan. Sampah metabolit seperti ureum dan kreatinin akan
meningkat, dan eritropoetin tidak bekerja optimal sehingga terjadi anemia (Price and
Lorraine 1998; Copstead and Banasik, 2000). Bila fungsi ginjal hanya 5% atau
kurang, maka pengobatan cuci darah (hemodialisis) atau cangkok ginjal mutlak
diperlukan (KDOQI, 2002; Susalit, 1998).
Data yang didapat dari Instalasi Hemodialisis RSMS menunjukan adanya
peningkatan jumlah pasien gagal ginjal yang menjalani terapi pengganti
Hemodialisis. Pada tahun 2004 telah dilakukan tindakan Hemodialisis sebanyak 4543
kali, terdiri dari laki-laki sebanyak 3064 kali dan perempuan sebanyak 1479 kali.
Sedangkan pada tahun 2005 dilakukan tindakan Hemodialisis 7208 kali, laki-laki
4225 kali dan perempuan 2983 kali, terhadap 150 pasien baik rawat inap maupun
rawat jalan.
Pasien dengan ginjal yang tidak berfungsi, perlu menjalani program
hemodialisis (Lewis, Heitkemper and Dirksen, 2000). Hemodialisis sebagai suatu
solusi terbaik, dapat mendatangkan berbagai masalah, karena gagal ginjal terminal
20
sebagai penyakit kronik bersifat irreversible, masalah selalu muncul setiap waktu dan
tidak pernah berakhir sampai akhir hayat pasien (Parsudi, 1990).
Pasien rata-rata menjalani hemodialisis dua kali seminggu di RSMS, sehingga
dalam satu bulan minimal delapan kali. Hal ini akan berdampak pada tingginya biaya
yang dikeluarkan dan kejenuhan akibat terapi rutinitas (Doenges, Moorhouse and
Geissler, 2000).
Ureum-kreatinin merupakan produk sisa dari metabolisme tubuh. Kadar
kreatinin yang tinggi 8 kali lebih umum ditemukan di antara para pengidap hipertensi
dibanding individu lain yang tekanan darahnya normal. Kadar ureum kreatinin perlu
dimonitor sebagai indikator kerusakan ginjal dan pemeriksaan ini dilakukan setiap
akan menjalani hemodialisis. Pasien belajar bagaimana mengatur diitnya supaya
kadar ureum kreatinin tidak berlebihan sebelum hemodialisis berikutnya. Seringnya
hemodialisis yang dilakukan pasien, secara tidak langsung mengajarkan bagaimana
pasien harus mematuhi diit yang harus dijalaninya. Namun seringkali kadar ureum
kreatinin justru berubah-rubah melebihi kadar normal akibat pasien melakukan diit
tidak sesuai dengan kondisinya (Hudak dan Gallo, 1996; Curley and Maloney-
Harmon, 2001).
Berdasarkan data tersebut diatas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kadar ureum dan kreatinin darah pada pasien, setiap akan menjalani hemodialisis di
Instalasi Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr.Margono Soekarjo
Purwokerto. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam
penanganan gagal ginjal selanjutnya dan dapat memotivasi pasien untuk mematuhi
diitnya.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif observasional dengan
pendekatan cross sectional. Tempat penelitian dilaksanakan di Instalasi Hemodialisis
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dan dilaksanakan pada bulan Maret 2006.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien gagal ginjal yang menjalani
21
pengobatan pengganti yaitu Hemodialisis di Instalasi Hemodialisis RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto pada bulan Maret 2006.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini diambil dengan teknik purposive
sampling pada subjek yang memenuhi kriteria inklusi: akan menjalani hemodialisis,
dapat berkomunikasi dan bersedia menjadi responden. Sedangkan kriteria eksklusi
pada penelitian ini adalah hipertermi > 38°C.
Variable yang diukur pada penelitian ini adalah kadar ureum dan kreatinin
pada pasien yang akan menjalani hemodialisis. Data yang digunakan adalah data
sekunder dari catatan medik. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk distribusi
frekuensi.
3.3 Hasil Dan Pembahasan
3.3.1 Karakteristik responden
Sebanyak 52 sampel pasien gagal ginjal telah berpartisipasi dalam penelitian
ini. Umur responden bervariasi disajikan dalam Tabel 1. Usia termuda responden
pada penelitian ini adalah 21 tahun dan tertua berusia 70 tahun.. Gagal ginjal dapat
terjadi pada semua rentang usia dan mempunyai distribusi penyebab yang berbeda
beda (Groer, 2001). Pada usia muda, gagal ginjal jarang terjadi namun dapat terjadi
akibat dehidrasi yang kronis maupun zat nefrotoksis. Konsumsi makanan atau
minuman yang mengandung zat nefrotoksik akan mempercepat terjadinya
pengrusakan sel-sel ginjal. Pada usia dewasa tua dan manula, secara anatomis
kemampuan pertumbuhan sel-sel ginjal mulai menurun dan mulai terjadi pemunduran
fungsi selsel ginjal.
Table 1. Distribusi frekuensi responden menurut umur
22
No Umur Frekuensi Persentase1 <25 1 2,32 25-30 1 2,33 31-35 2 4,74 36-40 9 165 41-45 6 146 46-50 15 197 51-55 3 7,18 56-60 5 11,99 61-65 6 11,910 66-70 4 9,5
Total 52 100
3.3.2 Frekuensi hemodiálisis perminggu
Hemodialisis atau cuci darah dilakukan dengan tujuan untuk membuang hasil
metabolisme dan cairan yang tidak dapat dikeluarkan dari tubuh karena ginjal gagal
menjalankan fungsinya (Price and Lorraine, 1998). Hemodiálisis dapat dilakukan
beberapa kali dalam seminggu. Gagal ginjal terminal harus dilakukan tindakan cuci
darah secara rutin 2 kali seminggu masing-masing selama 4 jam.
Table 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan frekuensi
hemodialisis perminggu
No Frekuensi hemodialysis perminggu
Frekuensi Persentase
1 1 X 6 12
2 2 X 46 88
Frekuensi hemodiálisis dapat dilihat dalam Tabel 2. Penarikan cairan saat
hemodialisis dilakukan sampai tercapai berat badan kering pasien (Lewis,
Heitkemper and Dirksen, 2000). Berat badan kering yaitu berat badan di mana sudah
tidak ada cairan berlebihan dalam tubuh. Hal ini bisa dilihat dari tanda-tanda seperti
pembengkakan pada tubuh atau sesak yang diakibatkan adanya cairan di paru-paru
(edema paru).
Konsentrasi cairan dalam tubuh akan dipertahankan secara konstan, meskipun
asupan dan ekskresi air dan solut cukup besar. Keadaan cairan dan plasma tubuh
dipertahankan dengan memekatkan atau mengencerkan kemih. Bila cairan banyak
diminum akan menyebabkan cairan tubuh menjadi encer. Kemih menjadi encer dan
kelebihan air akan dikeluarkan dengan cepat. Maka tubuh akan berkemih lebih sering
dan lebih banyak. Namun sebaliknya jika asupan cairan tubuh sedikit atau asupan
solut berlebihan maka cairan tubuh menjadi pekat, kemih menjadi sangat pekat.
Sehingga saat berkemih banyak cairan solute yang ikut terbuang dalam air. Ginjal
berfungsi sebagai tempat membersihkan darah dari berbagai zat hasil metabolisme
23
tubuh dan racun yang tidak dibutuhkan dalam bentuk air seni (Copstead and banasik,
2000; Smeltzer and Bare, 2002).
Berdasarkan jenis kelamin,penyakit gagal ginjal sering terjadi pada laki-laki
(Tabel 3). Hal ini dimungkinkan karena saluran kemih laki-laki lebih panjang
sehingga memungkinkan tingginya hambatan pengeluaran urin dari kantong kemih.
Hambatan ini dapat berupa penyempitan saluran (stricture) ataupun tersumbatnya
saluran oleh batu. Karena urin banyak membawa produk beracun sisa metabolisme,
hambatan pengeluaran akan menyebabkan gangguan fungsi nefron. Karena filtrasi
berjalan terus-menerus, urin yang dihasilkan juga semakin bertambah dan racun/zat
toksik semakin melimpah dalam urin sehingga kerusakan akan semakin bertambah
(Morton, Fontaine, Hudak and Gallo, 2005; Doengoes, Moorhouse and Geissler,
2000).
Batu dapat menyebabkan kerusakan/gangguan fungsi ginjal karena
menyumbat aliran urine sehingga ginjal membengkak (salurannya melebar =
hydronephrosis). Proses ini umumnya berlangsung lama sekali. Tapi juga bisa
mendadak (akut) bila sumbatan secara total. Kerusakan lain juga bisa karena infeksi
yang timbul karena adanya batu tesebut dan adanya gangguan aliran urine. Jadi batu
umumnya terbentuk pada saluran (di ginjal terdapat di bagian calyxnya) atau di
pialanya (pyelum/pangkal saluran yang menuju kebawah). Bahkan yang sering
menyumbat bila batu disaluran yang lebih bawah (ureter) dan umumnya akan
menimbulkan rasa sakit disebut colic (Groer, 2001; Price and Lorraine, 1998).
Gagal ginjal dapat disebabkan oleh penyakit darah tinggi, kencing manis, batu
ginjal, ginjal polikistik, infeksi kronis saluran kemih dan lain-lain (Copstead and
Banasik, 2000). Beberapa penyakit tersebut merupakan penyakit degeneratif yang
sering timbul pada lanjut usia, sehingga frekuensi gagal ginjal cenderung meningkat.
Ginjal mempunyai peran strategis dalam tubuh yaitu mengeluarkan air dan sampah
metabolisme dalam bentuk air kemih serta menghasilkan hormon erythropoietin yang
berperan dalam pembentukan sel darah merah (Groer, 2001; Price and Lorraine,
1998).
24
Table 4. Distribusi frekuensi responden menurut penyakit penyerta
No Jenis Penyakit Frekuensi Persentase
1 Hipertensi 39 75
2 Diabetes mellitus 4 8
3 DM dan hipertensi 7 13
4 Ginjal polikistik 2 4
Berdasarkan hasil penelitian di atas, penyakit penyerta yang paling sering
menyertai gagal ginjal adalah hipertensi. Gagal ginjal akan menyebabkan ginjal tidak
mampu mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal. Respon ginjal
yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan elektrolit sehari-hari tidak terjadi.
Pasien sering menahan natrium dan cairan sehingga meningkatkan risiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi ini juga dapat terjadi akibat
aktivasi aksis rennin angiotensin dan aldosteron (Smeltzer and Bare, 2002, Lewis,
Heitkemper and Dirksen, 2000).
3.3.3 Ureum dan kreatinin
Hemodialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius. Hemodialisis akan memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan,
protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan
perdarahan dan membantu penyembuhan luka (Price and Lorraine, 1998).
Menurunnya filtrasi glomerulus, menyebabkan klirens kreatinin akan menurun dan
kadar kreatinin serum akan meningkat, seperti dalam Tabel 4. Selain kadar kreatinin,
kadar urea nitrogen (BUN) darah juga biasanya meningkat. Kreatinin serum ini
mencerminkan kerusakan ginjal yang paling sensitive karena dihasilkan secara
konstan oleh tubuh (Lewis, Heitkemper and Dirksen, 2000).
Ureum dipengaruhi isi protein dalam makanan, sedang kreatinin ditentukan oleh
banyaknya masa otot (laju katabolisme protein), disamping bagaimana aktivitas
metabolisme badan kita, misalnya meningkat bila kita sakit (panas/adanya infeksi)
(Smeltzer and Bare, 2002). Maka bila tubuh gemuk, berat badan lebih 60 kg, atau
25
makan tidak sesuai diet yang dianjurkan, atau karena sakit, maka hemodialysis 2 kali
seminggu tidak cukup, sehingga hemodialisis perlu dievaluasi
Table 4. Kadar ureum dan kreatinin darah responden yang akan
menjalani hemodialisis di RS Margono Soekarjo
Berdasarkan hasil penelitian, kadar ureum rata-rata responden mengalami
peningkatan di atas normal. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit ginjal, tetapi
juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme jaringan dan luka RBC dan obat
steroid (Smeltzer and Bare, 2002). Menurut Price dan Lorraine (1998) ginjal
berfungsi mengeluarkan sampah metabolisme (seperti urea, kreatinin dan asam urat),
zat kimia asing dan menghasilkan rennin, bentuk aktif vitamin D serta eritropoetin,
namun fungsi ini akan menurun bahkan berhenti bila ginjal tidak mampu
melakukannya.
26
No Jenis Penyakit Rata – rata Standar deviasi1 Ureum 151,11 63,292 Keratinin 12,62 8,94