RANGKUMAN DPL lhala
-
Upload
lala-khaulani-uar -
Category
Documents
-
view
55 -
download
3
description
Transcript of RANGKUMAN DPL lhala
DIAGNOSTIK PERITONEAL LAVAGE (DPL) PADA TRAUMA ABDOMEN
Tugas ini disusun untuk memenuhi persyaratan perkuliahan Traumatologi
Dosen pembimbing: Nurma Afiani S.Kep. Ns
Disusun oleh: Kelompok 4 (7 dan 8)
Prodi S1 Ilmu Keperawatan
STIKES Widyagama Husada
Malang
2013
Nurul hidayati P. R
Mardiah R Utami
Rika Heridayana
Hairanitasari
M. sayaiful Islam
Zaenudin Ahmad
Fila Vidianata
Ummul Ainiah
Wulandari
Yohana M. S Lowa
Yuni Qomariah
Sitti R. Ayuandira Uar
PENDAHULUAN
Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) adalah sebuah prosedur diagnostik invasif yang
cepat dengan keakuratan yang tinggi dalam pemeriksaan dan evaluasi perdarahan pada
intraperitoneal (hemorrage intraperitoneal) atau ruptur viseral, DPL berperan penting dalam
pemeriksaan trauma abdomen tumpul maupun trauma abdomen akibat tertusuk atau
robekan. Pemeriksaan DPL dengan membagi abdomen menjadi 4 kuadran pemeriksaan,
memberikan hasil sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan trauma intraabdominal dengan
sangat baik (Root HD et all, 1965 dalam review DPL). Dalam beberapa penelitian yang
dilakukan pemeriksaan trauma abdomen dengan penggunaan teknik DPL memberikan
akurasi diagnostik 98%-100%, sensitivitas 98-100% dan spesifitas 90-96%. Hasil DPL
dinyatakan positif pada trauma abdominal tumpul jika hasil pemeriksaan aspirasi terdapat 10
ml darah sebelum pemasukan cairan lavase, eritrosit > 100.000 RBC/ml, >500 WBC/ml
serta peningkatan amilase, empedu, bakteri, peningkat Hasil positif palsu dapat terjadi jika
invasiv dilakukan melalui jalan intraumblikal digunakan pada pasien fraktur pelvis, selain itu
harus diperhatikan bahwa sebelum prosedur DPL dilakukan vesica urinaria dan lambung
harus dalam keadaan kosong. (http.saniracman.2009)
Trauma fisik merupakan salah satu faktor penyebab kematian ke-4 didunia, dan
merupakan salah satu faktor mortalitas dan morbiditas pada anak muda dan orang dewasa
<45 tahun dinegara berkembang, sedangkan trauma abdomen sendiri merupakan peringkat
ketiga penyebab kematian setelah cedera kepala dan cedera dada. (http: infokedokteran)
Dalam mekanisme trauma dengan trauma ganda, bagian tubuh abdomen merupakan
bagian yang sering mengalami cidera, organ yang sering terkena cedera pada trauma
penetrasi adalah hepar dan pada trauma tumpul adala lien/limfa. Untuk menentukan
kerusakan pada daerah viseral dibutuhkan salah satu prosedur diagnostik yang cepat dan
tepat dalam memberikan diagnostik pada kerusakan abdomen dan peritonium, terdapat
beberapa metode diagnostik yang sering digunakan untuk menidentifikasi injury abdomen
diantaranya Focused Abdominal Sonography For Trauma (FAST), Computed Tonografi (CT
Scan), USG dan DPL merupakan teknik diagnostik pada trauma abdoment yang dapat
memberikan gambaran adanya kerusakan pada daerah abdoment. DPL merupakan salah
satu teknik diagnostik trauma abdoment dengan terknik invasive dengan memberikan hasil
spefikasi dan sensitifikasi yang cukup akurat. Kemudian akan dibahas secara ringkas dan
padat dalam tinjauan teori mengenai trauma abdoment meliputi: defenisi, etiologi,
patofisiologi, management trauma abdomen, dan teknik diagnostik menggunakan
mekanisme Diagnostik Peritonel Levage.
TINJAUAN TEORI
Defenisi Trauma Abdomen
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak
diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk
(Ignativicus & Workman, 2006).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan
tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen yang
mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ padat
(hati, pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh –
pembuluh darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen. (Temuh Ilmiah Perawat
Bedah Indonesia, 13 Juli 2000)
Terjadinya injuri intraabdominal harus dikenali, ditangani dan didokumentasi dengan
segera. Trauma penetrasi abdomen sering memerlukan penanganan pembedahan cepat.
Sedangkan trauma abdomen tumpul yang memiliki tanda dan gejala yang tidak tampak,
terkadang dianggap tidak membahayakan namun berpotensial menyebabkan kematian.
Akibat yang dapat terjadi karena trauma abdomen baik trauma tumpul maupun trauma
penetrasi dapat menyebabkan 2 masalah yang mengancam nyawa yaitu hemorrage
(perdarahan), dan infeksi.
Anatomy abdomen
Anatomi abdomen secara umum dibagi menjadi 3 regional yaitu: intrathoracic abdomen,
yang terdiri dari bagian abdomen sejati dan daerah retroperitoneal. Bagian thoracic
abdomen meliputi diafragma dan organ yang terdapat dibawah tulang costa meliputi liver,
galdbladder, limfa, lambung dan usus tranversal, True abdomen meliputi usus kecil dan
usus besar, sebagain dari hati, dan kantung empedu, dan pada wanita terdapat pula uterus,
tuba falopi, dan ovarium yang terdapat pada daerah pelvic dan regio retroperitoneal
abdomen terletak didaerah posterior abdomen dibelakang intrathoracic abdomen dan true
abdomen, daerah ini dipisahkan dengan abdomen bagian luar dengan membran peritoneal,
yang terdapat didalamnya ginjal, ureter, pankreas, duodenum posterior, colon desenden
dan acenden, aorta abdominal, dan vena cava inverior, organ-oragan pada regio
retroperitonel ini jarang mengalami injuri ketika terjadi trauma karena posisinya yang terletak
jauh dari bagian anterior tubuh. (figure dalam abdominal trauma 2011)
Patofisiologi cedera abdomen
Trauma pada bagian tubuh merupakan suatu mekanisme dimana terjadi kontak
antara energi eksternal dengan tubuh manusia, dimana beratnya trauma dipengaruhi oleh
besarnya energi yang diteruskan kejaringan bagian tubuh yang terpapar, kemudian
besarnya energi yang sama akan ditranspor ke organ bagian dalam yang menyebabkan
injuri, hal ini juga berlaku pada trauma abdomen. Secara garis besar proses terjadinya
trauma abdominal diklasifikasikan menjadi 2 yaitu trauma nonpenetrasi (trauma tumpul) dan
trauma penetrasi yang mana kedua penyebab tersebut dapat menyebabkan trauma/ injury
pada daerah abdomen baik hanya pada daerah dinding abdomen atau hingga injuri pada isi
abdomen. (Suddarth and Burner, 2002)
Trauma abdomen nonpenetrasi
Trauma abdomen nonpenetrasi dikelompokkan menjadi 2 mekanisme utama yaitu tenaga
kompresi (hantaman) dan tenaga deselerasi.
Tenaga kompresi (compression or concussive forces) dapat berupa hantaman
langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi, hantaman yang terjadi
mengakibatkan sobekan dan hematom subkapsular pada organ padat visera (limfa dan hati)
(White and H. Atur., 2011) selain itu dapat meningkatkan tekanan intralumen pada organ
berrongga (intestinum) dan menyebabkan ruptur. Trauma akibat hantaman ini terbagi dalam
3 mekanisme injuri yang pertama adalah ketika tenaga deselerasi hantaman menyebabkan
pergerakan yang berbeda arah dari struktur tubuh yang permanen. Akibatnya, kekuatan
hantaman menyebabkan organ viseral yang padat serta vaskularisasi abdomen menjadi
ruptur, terutama yang berada di daerah hantaman. Yang kedua adalah ketika isi dari intra
abdomen terhimpit antara dinding depan abdomen dan kolumna vertebralis atau posterior
kavum thorak, hal ini dapat merusak organ-organ padat visera seperti hepar, limpa dan
ginjal. Dan ketiga adalah kekuatan kompresi eksternal yang mengakibatkan peningkatan
tekanan intra abdomen secara mendadak dan mencapai puncaknya ketika terjadi ruptur
organ. Pada pasien trauma abdomen terjadinya jejas pada abdomen disebabkan karena
terhimpitnya pasien saat terjadi kecelakaan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya himpitan
pada organ intra abdomen antara dinding depan abdomen dan kolumna vertebralis.
(Salomone & Salomone,2011).
Tenaga deselerasi menyebabkan renggangan dan sobekan linier organ-organ yang
terfiksasi dan pembuluh darah. Cidera deselerasi klasik termasuk hepatic tear sepanjang
ligamentum teres dan cidera intima pada arteri renalis (Salomone & Salomone.2011).
Trauma abdomen penetrasi
Trauma penetrasi disebabkan oleh tembakan dan luka akibat tusukan, luka tembakan pada
abdomen dapat menyebabkan injury langsung pada organ dan pembuluh darah selanjutnya
peluru yang masuk kedalam tubuh dapat memancarkan pecahan-pecahan dari peluru
tersebut sehingga merusak organ viceral disekitarnya. Hal ini disebut sebagai blast efect.
(white and H. Arthur. 2011)
Terjadinya trauma penetrasi atau non-penetrasi kemungkinan terjadi pendarahan
intra abdomen yang serius, akibat kerusakan limfa dan hati sehingga proses heostasispun
terganggu serta terjadi iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya
gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-
tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma
abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen
tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum. Bila syok telah lanjut pasien akan
mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya
tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-
tanda tidak khas yang muncu. (Salomone & Salomone,2011).
Management Cedera abdomen
Semua korban yang mengalami trauma ganda, abdomen merupakan bagian yang
tersering mengalami cedera yang dapat meyebabkan injuri pada bagian interabdominal.
Pasien dengan trauma abdomen harus ditangani dengan tepat, cepat, dan akurat agar
dapat menurunkan resiko terjadinya shok hemorragik akibat perdarahan pasif maupun aktif.
Penangan pasien yang tepat pada kala preoperatif meningkatkan prevalensi survive pada
pasien hingga pasien mendapatkan perwatan lanjutan dirumah sakit.
Stabilisasi Trauma Abdomen
Penangan awal saat terjadinya kejadian pada trauma prehospital dengan kasus trauma
abdomen prerioritas utama yang harus dilakukan adalah dengan memberikan pertolongan
primary suvey, dengan memberikan bantuan pelaksanaan (A) air way, (B) breathing, and
Circulating. Pada pasien trauma intraabdomen, yang harus diperhatikan adalah pemberian
oksigen tekanan tinggi, serta pernafasan adekuat pada pasien shock akibat perdarahan.
Pada penangan selanjutnya pasien harus segera diberikan Spinal Motion Restriction
(SMR), teknik pemberian SMR ini berupa pemasangan 2 IV line yang besar dengan
pemberian normal saline, jika tekanan darah sistolik dibawah 90 mmHg diikuti tanda syok,
pemberian resusitasi cairan dapat mempertahankan tekanan darah sistolik pasien antara
80-90 mmHg. Pemberian SMR yang berlebihan dapat mencegah pembekuan darah dan
atau menurunkan faktor pembekuan darah, dari kedua faktor tersebut dapat memperburuk
perdarahan. Pemberian SMR tidak disarankan pada pasien trauma penetrasi abdomen
tanpa ada gejala penurunan kesadaran dan shok.
Pada pasien trauma abdomen pertahankan posisi pasien pada brangakar atau long back
board, trauma penetrasi abdomen dengan pengeluaran organ viceral (protrusi) maka tutup
organ-organ protrusi dengan hati-hati menggunakan kassa steril atau bersih yang dibasahi
air/saline. (thygerson et all. 2011) jaga agar organ protrusi tetap dalam keadaan basah, jika
pasien ditransportasikan dalam waktu yang lama maka stabilisasi organ protrusi
menggunakan pembungkus plastik yang didalamnya terdapat kain/kassa yang sudah
dibasahi, sehingga tidak terjadi kekeringan pada organ viceral yang keluar dan dapat
menyebabkan kerusakan menetap. Serta tidak mencabut benda yang tertancap pada
abdomen, stabilisasikan benda yang tertancap dengan kassa tebal. (white and H. Arthur.
2011. Thgerson et all 2011).
Diagnostik Peritonel Lavage
Terdapat beberapa metode dalam mendiagnostik kerusakan intraabdomen pada trauma,
diantaranya dengan USG, CT scan, pengukuran TIV (tekanan intra vesikel), serta laparatomi
sebagai gold standar. Diagnostik Peritoneal Lavage merupakan suatu metode diagnostik
invasive yang cepat dalam menegakkan terjadinya kerusakan dan pendarahan yang
terdapat dalam organ intraabdomen juga berguna untuk pasien dimana pemeriksaan
abdomen lebih lanjut tidak dapat dilakukan (Feldman, 2006). Dengan teknik yang mudah,
cepat, dan tidak membutuhkan suatu peralatan yang khusus dengan sensitifitas >95% dan
komplikasi sekitar 1% sering digunakan dalam dunia medik namun hasilnya yang tidak
menunjukan spesifikasi organ, dan regional abdomen yang mengalami kerusakan
menyebabkan metode DPL saat ini digantikan dengan penggunaan peralatan canggih
dalam mendiagnostik kerusakan abdomen.
Penatalaksanaan DPL
Indication
a. Pasien dengan cedera medulla spinalis
b. Cedera multipel dan syok akibat ketidak stabilan hemodinamik atau
para/quadriplagia yang dicurigai mengalami trauma abdomen
c. Pasien dengan cedera abdomen
d. Pasien intoksikasi dimana ada kecenderungan cedera abdomen
e. Pasien dengan resiko cedera intra abdomen dimana dibutuhkan anestesi yang lebih
panjang untuk prosedur yang lain.
Kontra indikasi
Kontraindikasi absolut pada DPL adalah pembedahan abdomen untuk laparatomi yang
sudah direncanakan, kontraindikasi relatif yaitu pemasukan faktor koagulopathy
sebelumnya, sirisis lanjut, riwayat pembedahan abdomenmultipel, morbid obesitas, fractur
pelvis dan kehamilan lebih dari trisemester pertama.(S jill and A jhon, 2009).
Prosedur DPL
Terdapat 3 cara dalam pelaksaanaan metode DPL, yaitu metode terbuka, metode semi
terbuka, dan metode tertutup. Metode terbuka menggunakan insisi vertikal kulit infraumblikal
yang luas melalui linea alba, kemudian peritoneum dibuka menggunakan scalpel dan kateter
dimasukkan secara langsung pada bagian dalam peritoneal. Metode semi terbuka memiliki
kesamaan dengan teknik terbuka namun pada teknik semi terbuka dengan memasukkan
jarum dengan kateter jarum pada daerah tengah fascia dengan menggunakan teknik
seldinger.dan metode tertutup dengan memasukkan kateter tanpa membuka kulit
infraumblikal, menembus kulit, jaringan subkutan, linea alba dan peritonium. (cue ett all and
lopez et all dalam jurnal)
Prosedur pelaksanaan DPL
Siapkan pasien, tempatkan pada tempat yang datar dengan posisi supine
Pilih area yang akan dinsisi sepertiga jarak antara umblikus dengan simfisis pubis
masukkan NG pada kateter dialisis
Bersihkan area dibawah umblikus dengan cairan antiseptik
Berikan anestesi lokal epinefrin dengan 1% xylicaine diarea tengah dibawah
umblikus
Lakukan insisi vertikal dibawah umblicus (sekitar 2 cm)
Insisi dilakukan hingga pada fascia, hingga terihat lapisan peritonium. (Hati-hati
dengan terjadinya perdarahan yang tidak terkontrol, perdarahan dari luka insisi yang
terjadi dapat mengkontaminasi peritoneal dan menyebabkan hasil positif palsu).
Buka lapisan yang sudah diinsisi dan pertahankan dengan menggunakan 2 klemp,
kemudian lakukan insisi kecil pada lapisan peritonium
Masukkan kateter dialisis perlahan kedalam rongga abdomen hingga kedinding
anterior abdomen, melewati fascia (jaringan ikat yang kuat) di garis tengah linea
alba, hingga terasa “POP” yang menunjukan kanul telah menembus fascia.
Arahkan kateter ke kanan dengan sudut 45 derajat kepelvis
Pasang syringe pada kateter dan aspirasi jika terdapat darah (>10ml) maka positif
perdarahan intraabdomen atau tidak terdapat cairan gastrointestinal, maka
masukkan 100ml cairan isotonik pada orang dewasa, (10ml/kg pada pasien
pediatrik)
Sediakan 1 botol infus yang kosong dilantai sebagai tempat cairan aspirasi,
membuat satu katub aliran balik pada kateter IV yang digunakan
Jika tidak terdapat cairan yang teraspirasi, plintir kateter kemudian lepaskan untuk
sementara kemudian masukkan kateter kembali. Jika cairan yang teraspirasi sedikit,
masukkan lagi cairan isotonik.
Jika telah mendapatkan cairan aspirasi sesuai kebutuhkan lepaskan cateter, dan
jahit daerah yang diinsisi. Cairan yang telah teraspirasi kemudian dikirim segera ke
labolatorium.
Hasil pemeriksaan
Pada trauma abdomen nonpenetrasi (tumpul) hasil postif jika, terdapat darah kotor >
10 ml, > 100,000 RBC/mm3, > 500 WBC/mm3, amilase >100 unit, terdapat kotoran
pencernaan dan adanya bakteri gram positif.
Pada trauma abdomen penetrasi, hasil positif jika terdapat gumpalan darah >5ml, >
5000 RBC/mm3, >500 WBC/mm3, serta adanya amilase >100 unit
Interpretasi
Pada hasil pemeriksaan terdapat aspirasi darah kotor atau kotoran hasil pencernaan
maka pelaksanaan laparatomi harus segera dilaksanankan, jika tidak ditemukan hasil
seperti diatas maka pemeriksaan jumlah sel darah harus segera diperoleh, waktu yang
diperlukan unuk mendapatkan hasil labolatorium ±30 menit, jika kondisi memburuk selama
menunggu hasil pemeriksaan maka pelaksanaan laparatomy tidak boleh ditunda.
Komplikasi
Komplikasi DPL termasuk perdarahan dari insisi dan tempat masuk kateter, infeksi
(luka peritoneal), dan cidera pada struktur intra abdomen (seperti vesika urinaria, usus
halus, uterus). Infeksi pada insisi, peritonitis dari tempat kateter, laserasi pada vesika
urinaria, atau cidera organ-organ lain intra abdomen dapat muncul dan mengakibatkan hasil
positif palsu. Hasil positif palsu dapat memicu laparotomi yang tidak diperlukan
(King&Bewes,2002).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dari sebagian besar pelaksanaan DPL yang
dilakukan hanya sebagia kecil yang mengalami komplikasi, dalam suatu studi kasus yang
dilakukan dari 2,500 pelaksaan DPL hanya 0,8- 1,7 % mengalami komplikasi. (S jill. 2009)
PEMBAHASAN
Setiap keadaan trauma abdomen pengambilan diagnostik yang tepat untuk
mendaptkan penangan awal yang tepat, cepat, akurat sangat diperlukan dalam upaya
mempertahankan kehidupan pasien, tujuan utama penatalaksanaan pada trauma abdomen
adalah mencegah terjadinya perdarahan hingga syok dan terjadinya infeksi. pemeriksaan
Diagnostik untuk menentukan terjadinya hemoragik pada intraabdomen dilakukan segera
mungkin untuk menghindari kerusakan organ viceral dan indikasi dilakukannya laparatomi.
Terdapat beberapa metode diagnostik yang dapat digunakan dalam mendiagnosa
injury trauma abdomen, diantaranya USG, CT scan, FAST, Metode Pengukuran Tekanan
Intra Vesikal (TIV) serta Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL). Setiap metode diagnostik
memiliki kelebihan dan kekurangan, dengan berkembangnya zaman dan proses kerja yang
cepat saat ini penggunaan metode diagnostik secara manual (DPL dan TIV) mulai
ditinggalkan dan diggantikan dengan metode diagnostik otomatis (USG, CT scan, FAST dll),
(Soemarko M, 2004 UB), namun bila membandingkan keakuratan hasil antara metode
diagnostik manual dan otomatis tidak memiliki perbandingan yang signifikan, penggunaan
metode DPL memiliki keakuratan hasil yang yang cukup baik, akurasi diagnostik 98%-
100%, sensitivitas 98-100% dan spesifitas 90-96%. (http.saniracman.2009) dengan
kemungkinan komplikasi 0,8-1,7%. Sedangkan pada pemeriksaan USG memilki keakuratan
hasil pemeriksaan 80-95%. (Soemarko M, 2004 UB).
DPL (Diagnostik Peritoneal Lavage) merupakan metode diagnostik invasive pada abdomen
dengan mamasukkan kateter ke intraabdomen untuk memeriksa dengan mengaspirasi
adanya perdarahan pada abdomen, penatalaksanaanya yang mudah, cepat, tidak
membutuhkan peralatan yang mahal dan tim ahli diamana semua tenaga medik terlatih
dapat melakukan dan keakuratan hasil yang baik, sehingga metode ini telah digunakan
secara luas, dan sangat efektif dilakukan dengan kondisi ketitidak sediaan peralatan
diagnostik lain. Kekurangan DPL adalah metode ini bersifat Invasive dan tidak spesifik
menunjukan organ yang mengalami kerusakan serta memerlukan waktu untuk mendapatkan
hasil dari pemeriksaan labolatorium dan persiapan langsung untuk melakukan laparatomi.
CT scan, USG dan FAST merupakan metode diagnostik yang cukup efektif untuk
menegakkan diagnostik adanya kerusakan abdomen, spesifikasi lokasi kerusakan dan
organ viceral yang mengalami kerusakan, serta hasil yang dapat diketahui saat pemeriksaan
dilakukan merupakan keuntungan dalam penggunaan metode tersebut, namun
ketersediaannya yang terbatas di Indonesia dan tidak semua tempat pelayanan kesehatan
memiliki peralatan tersebut, disamping itu lebih mahal dan memerlukan operator yang
terlatih dan ahli dibidangnya merupakan pertimbangan untuk menggunakan metode DPL
sebagai metode pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan segera untuk menentukan injury
abdomen dan pengambilan keputusan untuk pelaksanaan laparatomi..
Lavase peritoneal diagnosis (LPD) suatu metode untuk menunjang menegakkan
diagnosis dari cedera intra abdomen telah digunakan secara luas karena dianggap cukup
obyektif dalam menilai adanya cedera intra abdomen. Tehniknya relatif muda