RANCANG BANGUN ALAT UJI UNTUK SISTEM KONTAK...
Transcript of RANCANG BANGUN ALAT UJI UNTUK SISTEM KONTAK...
RANCANG BANGUN ALAT UJI RUNNING-IN
UNTUK SISTEM KONTAK
PASANGAN DISC DAN PASANGAN GEAR
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Teknik Mesin pada Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro
Disusun oleh:
PETRUS LONDA
NIM: 21050110400013
PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK MESIN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2013
POLBAN
ii
Halaman Pengesahan
RANCANG BANGUN ALAT UJI RUNNING-IN UNTUK
SISTEM KONTAK PASANGAN DISC DAN PASANGAN GEAR
Disusun oleh:
PETRUS LONDA
NIM: 21050110400013
Telah dipertahankan didepan Tim Penguji dalam Ujian Tesis pada tanggal 11 Juni 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
Magister Teknik pada Program Studi Magister Teknik Mesin, FakultasTeknik, Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro.
POLBAN
iii
ABSTRAK
Rancang Bangun Alat Uji Running-in untuk Sistem Kontak
Pasangan Disc dan Pasangan Gear
Disusun oleh:
PETRUS LONDA
NIM: 21050110400013
Keausan merupakan fenomena tribologi yang terjadi pada setiap peralatan
akibat kontak mekanik antara dua komponen. Dalam kurun waktu yang lama keausan ini akan menimbulkan kerusakan pada peralatan. Untuk meningkatkan keandalan dan efisiensi peralatan, maka fenomena keausan ini perlu dikaji lebih lanjut. Didalam ilmu tribology para peneliti membagi proses terjadinya keausan akibat kontak mekanik tersebut menjadi tiga fase, yaitu fase running-in, fase steady state (fase tunak) dan fase wear-out. Untuk mengetahui secara cepat kondisi dari ketiga fase tersebut diperlukan alat uji running-in.
Tesis ini difokuskan pada rancang bangun alat uji running-in. Alat ini dipakai untuk menguji komponen yang terdiri dari dua roda gigi dan dua buah piringan (two disc) yang terbuat dari material yang dapat divariasikan jenisnya. Perancangan mekanismenya memungkinkan sisi kedua piringan pada arah radial saling kontak ketika kedua piringan tersebut berputar (rolling contact) dan dapat divariasikan beban maupun putaran. Untuk itu metode perancangan Pugh dapat memberikan solusi, karena dengan metode ini semua konsep produk akan dinilai dan konsep produk terbaik yang akan dikembangkan menjadi produk. Pengujian dilakukan secara eksperimen untuk mengetahui fenomena keausan yang terjadi mulai dari kondisi running-in sampai kondisi steady state.
Hasil rancangan menunjukan bahwa alat uji dapat digunakan untuk menentukan variabel-variabel dalam proses running-in. Dengan variasi jumlah putaran (maksimal 2800 rpm), beban tekan (maksimal 5 kg) dan beban torsi yang dapat dikontrol (5 kg) serta arah putaran specimen yang dapat diatur, maka gaya gesek pada permukaan specimen dapat diketahui, sedangkan variabel yang diukur adalah perubahan kekasaran permukaan. Kata kunci: perancangan, rolling contact, running-in, steady state.
POLBAN
iv
ABSTRACT
Design and Manufacture of Running-in Tester for Gears and Discs Contact System
By
PETRUS LONDA
NIM: 21050110400013
Wear is a phenomenon of tribology that occured in every equipment due to contact between two component. In a long period the wear will cause damage to the equipment. To increase the reliability and efficiency of equipment, this phenomenon needs to be studied further. In the science of tribology, researchers divided the process of the wear due to the mechanical contact into three phases, namely running-in phase, steady state phase and wear-out phase. For quickly determine the conditions of these three phases the running-in tester is required. This thesis focuses on the design and manufacture of running-in test equipment. This tool is used to test components consisting of two gears and two discs are made of material that can be varied kind. The design of the mechanism allows the both disc contact one another on radial direction when both disc rotating then loads and rotation can be varied. For that Pugh design method can provide a solution, because with this method all product concepts will be assessed and the best concept of products will be developed into the products. Tests carried out experimentally to determine the wear phenomenon that occurs from running-in conditions until steady state conditions. Results showed that test equipment can be used to determine the variables in the running-in process. By varying the amount of rotation (maximum 2800 rpm), compressive load (maximum 5 kg) and torque load that can be controlled (5 kg) and the direction of rotation of the specimen can be set, then the friction force on the surface of the specimen can be found, while measured variable is the change of surface roughness. Key words: design , rolling contact, running-in, steady state.
POLBAN
v
Pedoman Penggunaan Tesis
Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Universitas Diponegoro, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Universitas Diponegoro. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya. Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh Tesis haruslah seizin Direktur Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
POLBAN
vi
Halaman Peruntukan
Dipersembahkan kepada kedua
orang tua, istri tercinta, anak tersayang
dan teman-temanku.
POLBAN
vii
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha kuasa,
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta cinta yang tulus kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang merupakan tahap
akhir dari proses untuk memperoleh gelar Magister Teknik Mesin di Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan Tesis ini tidak lepas dari
orang-orang yang dengan segenap hati memberikan bantuan, bimbingan dan
dukungan, baik moral maupun material. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Jamari, ST, MT selaku dosen pembimbing yang telah banyak
mengarahkan dan memberikan bimbingan serta masukan dalam penyusunan
Tesis ini.
2. Dr. Susilo Adi Widyanto, ST, MT selaku Co. pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan koreksi serta bantuan selama proses penulisan
Tesis ini.
3. Prof. Dr. Ir. A. P. Bayuseno, MSc selaku ketua Program Studi Magister
Teknik Mesin UNDIP.
4. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan atas bantuan Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana (BPPS) yang diterima selama pendidikan berlangsung.
5. Seluruh rekan-rekan yang selalu memberikan dorongan, semangat, infomasi
bagi penulis, terutama Rifky Ismail, ST, MT, Imam Syafa’at, ST, MT dan
Eko Saputro, ST, MT.
6. Seluruh rekan-rekan dosen dan teknisi Jurusan Teknik Mesin Politeknik
Negeri Bandung yang telah banyak memberikan bantuan.
7. Spesial buat istri tercinta dan anakku tersayang yang selalu setia menemani
dan memberikan doa dengan tulus.
8. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Teknik Mesin
UNDIP yang tidak dapat saya sebutkan satu demi satu.
Penulis menyadari bahwa dalam menulis Tesis ini terdapat kekurangan
dan keterbatasan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun
POLBAN
viii
untuk kesempurnaan dan kemajuan penulis dimasa yang akan datang sangat
diharapkan. Akhir kata penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca.
Semarang 22 Januari 2013
Penulis,
POLBAN
ix
Daftar Isi
TESIS
Halaman Pengesahan .............................................................................................. ii
ABSTRAK ............................................................................................................. iii
ABSTRACT ............................................................................................................. iv
Pedoman Penggunaan Tesis .................................................................................... v
Halaman Peruntukan .............................................................................................. vi
Kata Pengantar ...................................................................................................... vii
Daftar Isi................................................................................................................. ix
Daftar Lampiran .................................................................................................. xiiii
Daftar Gambar dan Ilustrasi ................................................................................. xiv
Daftar Tabel ........................................................................................................ xvii
Daftar Singkatan dan Lambang .......................................................................... xviii
Bab 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................ 2
1.3 Originalitas Rancangan ....................................................................... 2
1.4 Tujuan Pembuatan rancangan ............................................................. 3
1.5 Manfaat Rancangan ............................................................................ 3
1.6 Sistematika Penulisan ......................................................................... 3
Bab 2 TEORI PERANCANGAN........................................................................ 5
2.1 Perancangan ........................................................................................ 5
2.2 Domain Perancangan .......................................................................... 5
2.3 Metode QFD (Quality Function Deployment) .................................... 7
2.3.1 Tahap 1 Mengidentifikasi kebutuhan pelanggan ...................... 7
2.3.2 Tahap 2 Kebutuhan yang berkaitan dengan regulasi ................ 7
2.3.3 Tahap 3 Penyusunana persyaratan/keinginan pelanggan .......... 8
2.3.4 Tahap 4 Mengevaluasi pesaing ................................................. 8
POLBAN
x
2.3.5 Tahap 5 Menyusun spesifikasi teknis........................................ 8
2.3.6 Tahap 6 Menentukan arah perbaikan ........................................ 8
2.3.7 Tahap 7 Matriks morfologi ....................................................... 9
2.3.8 Tahap 8 Kesulitan dalam organisasi team perancang ............... 9
2.3.9 Tahap 9 Analisa teknis tentang produk pesaing ........................ 9
2.3.10 Tahap 10 Target nilai untuk spesifikasi teknis ........................ 10
2.3.11 Tahap 11 Hubungan antara matriks morfologi ....................... 10
2.3.12 Tahap 12 Absolute importance ................................................ 10
2.4 Perancangan Konsep Produk ............................................................ 12
2.4.1 Gear test rig di Lousiana State University, USA .................... 12
2.4.2 Gear test machine di Institute of Madras, India ...................... 13
2.4.3 FZG test rig di Queensland University, Australia................... 14
2.4.4 Twin disc roll/slide di The University of Birmingham ........... 14
2.4.5 The FZG test machine di Kocatepe University, Turkey .......... 15
2.4.6 The gear test rig di RMIT University, Melbourne, Australia . 15
2.4.7 Back to back gear box di Institute of Madras, India ............... 16
2.4.8 Two disc wear test rig di Shanghai University, China ............ 16
2.4.9 Two roller testing machine di University of Dhaka ................ 17
2.4.10 Two disc machine di University of Twente, Belanda.............. 18
2.5 Pemilihan Konsep Produk................................................................. 18
2.5.1 Konsep I .................................................................................... 18
2.5.2 Konsep II ................................................................................... 19
2.5.3 Konsep III .................................................................................. 20
2.5.4 Konsep IV ................................................................................. 21
2.6 Fungsi dan struktur fungsi ................................................................ 21
2.7 Mengevaluasi konsep produk ........................................................... 22
2.8 Perancangan produk terpilih ............................................................. 25
2.8.1 Proses pemberian bentuk (Embodiment design) ....................... 26
2.8.2 Aspek perancangan lain dalam perancangan produk ................ 27
2.9 Dokumen untuk pembuatan produk .................................................. 30
2.9.1 Gambar layout produk ............................................................... 31
2.9.2 Gambar susunan komponen produk .......................................... 31
POLBAN
xi
2.9.3 Gambar detail elemen produk ................................................... 33
2.9.4 Daftar material (bill of materials) ............................................. 34
2.9.5 Catatan perancangan ................................................................. 35
2.9.6 Dokumen pemeriksaan produk dan jaminan kualitas produk ... 35
2.9.7 Instruksi-instruksi ...................................................................... 35
2.9.8 Aplikasi permohonan paten ....................................................... 36
Bab 3 TINJAUAN TENTANG TRIBOLOGI .................................................. 39
3.1 Tribologi ........................................................................................... 39
3.2 Kontak mekanik ................................................................................ 39
3.3 Gesekan (friction) ............................................................................. 41
3.3.1 Gaya gesek statik ....................................................................... 42
3.3.2 Gaya gesek kinetik .................................................................... 42
3.3.3 Koefisien gesek pada permukaan kontak .................................. 43
3.4 Keausan (wear) ................................................................................. 46
3.5 Pelumasan (lubrication) .................................................................... 48
3.5.1 Tipe pelumasan ......................................................................... 49
3.5.2 Viskositas pelumas .................................................................... 51
3.5.3 Viskositas indeks ....................................................................... 55
Bab 4 HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 56
4.1 Formulasi empirik yang mendukung rancangan ............................... 57
4.1.1 Dimensi awal yang mendukung rancangan ............................... 58
4.1.2 Analisa gaya gesek pada saat dua specimen saling kontak ....... 59
4.1.3 Analisa beban ............................................................................ 62
4.1.4 Analisa tegangan dan defleksi pada poros specimen ................ 67
4.1.5 Analisa kekuatan poros specimen ............................................. 71
4.2 Pengujian hasil rancangan ................................................................. 73
4.2.1 Persiapan alat uji ....................................................................... 73
4.2.2 Persiapan bahan ......................................................................... 76
4.2.3 Pelaksanaan pengujian .............................................................. 76
4.2.4 Hasil-hasil pengujian ................................................................. 77
POLBAN
xii
Bab 5 PENUTUP............................................................................................... 81
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 81
5.2 Saran ................................................................................................. 81
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 83
Daftar Publikasi Ilmiah ......................................................................................... 86
Lampiran ............................................................................................................... 87
Lampiran A. ....................................................................................................... 88
Lampiran B. ....................................................................................................... 89
Lampiran C. ....................................................................................................... 90
Lampiran D. ....................................................................................................... 91
Lampiran E. ....................................................................................................... 92
Lampiran F. ....................................................................................................... 93
Lampiran G. ....................................................................................................... 94
POLBAN
xiii
Daftar Lampiran
Lampiran A Analisa Komposisi Kimia Bahan S45C.......................... 88 Lampiran B Analisa Komposisi Kimia Bahan Roda Gigi ................. 89 Lampiran C Pengujian Kekerasan Rockwell Bahan S45C ................. 90 Lampiran D Lampiran E Lampiran F Lampiran G
Dokumen untuk pembuatan produk ............................... Diagram Kelistrikan Disc/Gear test Machine…………. Unit Mekanisme Disc/Gear test Machine....................... Prinsip Kerja Disc/Gear test Machine............................
91 92 93 94
POLBAN
xiv
Daftar Gambar dan Ilustrasi
Gambar 2.1 Empat Domain Perancangan (Albano, 1999). .................................. 6 Gambar 2.2 Rumah Kualitas (Becker, 2000). .................................................... 11 Gambar 2.3 Skema gear test rig (Akbarzadeh, Khonsari, 2011). ...................... 13 Gambar 2.4 Gear test machine (Dhanasekaran, Gnanamoorthy, 2008). ........... 13 Gambar 2.5 Skema FZG test rig (Hargreaves, Planitz, 2009). .......................... 14 Gambar 2.6 Skema twin disc roll/slide apparatus ............................................. 14 Gambar 2.7 The FZG test machine (Aslantas, Tasgetiren, 2004). ..................... 15 Gambar 2.8 Skema the gear test rig (Ding, Rieger, (2003). .............................. 16 Gambar 2.9 Skema back to back gear box ......................................................... 16 Gambar 2.10 Two disk wear test rig (Wang, Wong, Zhang, 2000). .................... 17 Gambar 2.11 Two roller testing machine ............................................................. 17 Gambar 2.12 Two disk machine (www.utwente.nl, 25 Desember 2011). ............ 18 Gambar 2.13 Konsep desain I. ............................................................................. 19 Gambar 2.14 Konsep desain II. ............................................................................ 19 Gambar 2.15 Konsep desain III. .......................................................................... 20 Gambar 2.16 Konsep desain IV. .......................................................................... 21 Gambar 2.17 Diagram alir evaluasi konsep produk ............................................. 23 Gambar 2.18 Susunan komponen produk (ISO Standards Handbook, 1991)...... 32 Gambar 2.19 Gambar detail elemen produk (ISO Standards Handbook, 1991). . 33 Gambar 2.20 Diagram alir perancangan produk .................................................. 37 Gambar 2.21 Diagram alir penelitian. .................................................................. 38 Gambar 3.1 Conforming contact. ....................................................................... 41 Gambar 3.2 Non-conforming contact (line contact). ......................................... 41 Gambar 3.3 Non-conforming contact (point contact). ....................................... 41 Gambar 3.4 Interaksi antara dua kekasaran permukaan (Popov, 2009). ............ 43 Gambar 3.5 Model dari permukaan kontak pada dry friction (Popov, 2009). ... 43 Gambar 3.6 Tribological ection (Gresham, Totten, 2009)................................. 47 Gambar 3.7 Faktor-faktor penyebab terjadinya keausan (Gresham, 2009). ..... 47 Gambar 3.8 Uraian keausan dilihat dari tipe kontaknya (Kato, Koshi, 2001). . 48 Gambar 3.9 Bentuk permukaan untuk pelumasan (Cheng 1992). ..................... 49 Gambar 3.10 Stribeck curve (Lansdown, 2004). ................................................. 51 Gambar 3.11 Kondisi pelumas diantara dua permukaan (Stachowiak, 2005). .... 52 Gambar 3.12 Estimasi viskositas (Make, 2008)................................................... 54 Gambar 4.1 Fokus dalam perancangan komponen ............................................ 56 Gambar 4.2 Variabel-variabel pada mekanisme pulley. .................................... 60 Gambar 4.3 Analisa gaya pada T’. ..................................................................... 61 Gambar 4.4 Analisa gaya gesek (FG). ................................................................ 61 Gambar 4.5 Analisa beban tekan (FN)................................................................ 64
POLBAN
xv
Gambar 4.6 Analisa torsi pada poros sebelah kanan (M3). ................................ 65 Gambar 4.7 Konstruksi mekanisme pengereman............................................... 66 Gambar 4.8 Analisa beban pengereman (F). ..................................................... 66 Gambar 4.9 Beban yang bekerja pada poros specimen sebelah kiri. ................. 68 Gambar 4.10 Beban pada poros di tumpuan B. ................................................... 69 Gambar 4.11 Diagram alir pengujian. .................................................................. 73 Gambar 4.12 Hasil rancangan disc/gear test machine. ........................................ 74 Gambar 4.13 Hand-held Roughness Tester TR200. ............................................. 76 Gambar 4.14 Benda uji berbentuk disc. ............................................................... 76 Gambar 4.15 Koefisien gesek pada saat running-in roda gigi produk AHM
pada 600 rpm. ................................................................................ 77 Gambar 4.16 Koefisien gesek pada saat running-in roda gigi produk AHM
pada 1200 rpm ............................................................................... 78 Gambar 4.17 Grafik koefisien gesek pada saat running-in baja-baja. ................. 79 Gambar 4.18 Perubahan topografi permukaan selama waktu running-in pada
pasangan specimen baja dengan baja. ........................................... 79 Gambar 4.19 Panjang pengukuran Ra pada specimen disc. ................................. 80
POLBAN
xvi
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Matriks keputusan untuk Memilih Konsep Produk .............................. 25 Tabel 2.2 Bill of Materials untuk Gambar Susunan Unit Poros Sebelah Kiri. ..... 34
Tabel 4.1 Matrix hubungan antara design variable dengan failure focus ............. 57 Tabel 4.2 Estimasi faktor keamanan (Andrew, John, 1999). ................................ 72 Tabel 4.3 Komposisi Kimia (%) dan Nilai Kekerasan Beberapa Material. .......... 75
POLBAN
xvii
Daftar Singkatan dan Lambang
SINGKATAN Nama Pemakaian
pertama kali pada halaman
LabVIEW Laboratory Virtual Instrument Engineering Workbench 2 QFD Quality Function Deployment 6 VFD Variable Frequency Drive 12 ISO International Organization for Standardiztion 29 BS British Standard 29 ANSI American National Standards Institute 29 DIN Deutsches Institut für Normung 29 HL Hydrodynamic Lubrication 50 EHL Elastohydrodynamic Lubrication 50 Pa.s Pascal-seconds 52 VI Viscosity Index 55 MSFP Maximum Sear stress Failure Predictor 71 MPFP Maximum Principal stress Failure Predictor 71 UKM Usaha Kecil Menengah 75 HRB Hardnees Rockwell-B 75 HRA Hardnees Rockwell-A 75 AHM Astra Honda Motor 77
LAMBANG Nama Satuan Pemakaian
pertama kali pada halaman
Ψ Plasticity index [ - ] 40 H Kekerasan material N/m2 40 σ Distribusi standar deviasi
tinggi asperity μm 40 β Radius ujung asperity μm 40 E’ Efektif elastis modulus Hertzian N/mm2 40 E1, E2,E Elastic moduli material N/mm2 40 υ1, υ2 Poisson ratio [ - ] 40 Fs Gaya gesek statis N (Newton) 42 FN Gaya normal N (Newton) 42 μs Koefisien gesek statis [ - ] 42
POLBAN
xviii
Fk Gaya gesek kinetik N (Newton) 43 μk Koefisien gesek kinetik [ - ] 43 θ Sudut kemiringan bidang gesek derajat 43 σo Contact pressure (tegangan normal) N/mm2 44 Ac Luas daerah kontak mm2 44 τ Tangential shear stress N/mm2 44 η Dinamik viskositas pelumas Pa.s 51 N,n Kecepatan putaran rpm,put/s 51 P Beban tekan kN/m2 51 F,W Gaya N, kN 52 (u/h) Shear rate [s-1] 52 υ Kinematic viscocity [m2/s] 53 ρ Dencity minyak pelumas [kg/m3] 53 σu,Su Repture strength, N/mm2 56 σy,Sy Yield strength, N/mm2 56 Se Endurance limit, N/mm2 56 D Daya Watt 58 Z1,2 Jumlah gigi gigi 58 d1,2 Diameter pitch pulley mm 58 M Torsi Nm 58 Fc Gaya pada load cell gram 59 FG Gaya gesek N (Newton) 59 K Kisar gigi timing belt mm 59 Zs Jumlah gigi timing belt gigi 59 C Jarak sumbu poros mm 59 θ1,2 Sudut kontak pulley derajat 59 k Pitch differential mm 59 T,Te,T1,2,T’ Tegangan timing belt N (Newton) 60 ds Diameter specimen mm 61 Ø Diameter drum rem mm 67 δ1, δmax Defleksi mm 70
POLBAN
1
Bab1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Beberapa faktor yang mempengaruhi umur pakai dari sebuah komponen
adalah kualitas komponen, cara penggunaan komponen, cara perawatan dan
situasi kerja dari komponen tersebut. Ditinjau dari cara kerja komponen-
komponen didalam sebuah sistem, maka akan ada beberapa perbedaan dalam hal
beban kerja yang diterima sehingga akan mempengaruhi usia pakai dari
komponen tersebut. Selain itu dalam sebuah sistem tersebut, terdiri dari beberapa
komponen yang dibuat dari material yang berbeda, disesuaikan dengan fungsi dan
kegunaannya.
Hampir semua alat-alat mekanik, mengalami kontak mekanik pada
permukaan ketika sedang dalam kondisi kerja. Kontak yang terjadi antara
komponen bisa berupa static contact, rolling contact, atau sliding contact,
misalnya kontak yang terjadi antara ball dengan inner race dan outer race pada
ball bearing, gesekan piston terhadap dinding silinder atau, gesekan camshaft
dengan katup dalam motor bakar, dan lain sebagainya. Akibat dari kerja
komponen tersebut maka akan timbul adanya pengikisan permukaan komponen
atau sering disebut keausan (wear).
Tingkat pertumbuhan keausan ini dapat diketahui dengan metode yang
akurat. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui tingkat pertumbuhan keausan pada
kontak antara roda gigi, maka pasangan roda gigi tersebut dioperasikan dalam
kondisi yang sebenarnya dalam jangka waktu tertentu atau sampai kondisi dari
sistem mengalami keausan. Kemudian pertumbuhan keausannya dihitung dengan
mengukur perubahan geometri permukaan kontak yang terjadi. Geometri hasil
pengukuran tersebut dibandingkan dengan geometri awal, sehingga didapat selisih
nilai geometri. Selisih nilai geometri ini merupakan nilai keausan. Metode ini
memang akurat namun memiliki beberapa kelemahan dipandang dari sisi biaya
yang mahal dan waktu yang lama. Oleh karena itu tingkat pertumbuhan keausan
ditentukan secara eksperimen yang lebih sederhana dengan menggunakan
POLBAN
2
tribometer. Tribometer ini mencoba menirukan kondisi yang sebenarnya dengan
menyamakan material dan permukaan kontak (Kanavalli, 2006).
1.2 Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka perlu dirancang dan dibuat sebuah alat uji keausan
(tribometer) yang bisa digunakan untuk menguji beberapa parameter tribology
yang memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Putaran motor dapat bervariasi.
b. Putaran specimen dapat dikontrol.
c. Dapat digunakan untuk menguji disc dan roda gigi.
d. Dimensi specimen yang diuji dapat bervariasi baik diameter maupun
tebalnya.
e. Beban torsi dapat dikontrol.
f. Slip pada sistem transmisi daya sekecil mungkin.
g. Defleksi pada poros daya sekecil mungkin.
h. Specimen mudah dan cepat dalam penggantian.
i. Pengambilan data terintegrasi dengan komputer dengan menggunakan
program LabVIEW.
j. Ergonomis.
1.3 Originalitas Rancangan
Desain dan standar perancangan yang sejenis tentang pembuatan alat uji
gear/disc test machine telah banyak dipaparkan dengan berbagai macam desain
mesin uji yang sudah banyak digunakan untuk menguji berbagai macam slip ratio
benda uji yang berbentuk roda gigi maupun yang berbentuk piringan (disc). Ada
beberapa mesin uji dengan konstruksi yang sederhana sampai rumit dengan
penambahan-penambahan alat kontrol yang dipakai untuk mendapatkan kondisi
operasional pengujian mendekati kondisi nyata dilapangan (reliable).
Beberapa desain alat uji gear/disc test machine yang telah ada umumnya
bersifat sangat spesifik, artinya hanya mampu menguji gear saja atau disc saja
dalam ukuran yang terbatas. Seperti alat uji gear test rig di Lousiana State
University, USA, hanya mampu menguji disc pada ukuran tertentu. Begitu juga
dengan alat uji gear test machine di Indian Institute of Thecnology Madras
POLBAN
3
Chennai, India, hanya mampu menguji roda gigi pada dimensi tertentu. Dari
uraian tersebut, maka pada penelitian ini penulis merancang dan membangun alat
uji running-in untuk sistem kontak disc dan roda gigi yang mampu menguji gear
dan disc dengan ukuran yang bervariasi pada mesin yang sama serta dilengkapi
dengan alat kontrol untuk mengetahui putaran poros specimen serta beban torsi.
Dari beban torsi yang bisa di kontrol maka koefisien gesek benda uji dapat
diketahui. Alat uji ini terintegrasi dengan komputer dengan menggunakan
program LabVIEW.
1.4 Tujuan Pembuatan rancangan
Tujuan pembuatan rancangan dalam penulisan tesis ini adalah:
a. Merancang dan membangun sebuah alat uji gear/disc test machine
untuk menguji disc maupun roda gigi pada mesin yang sama.
b. Menguji performansi disc dan gear terhadap perubahan rpm, beban
torsi, beban tekan, temparatur, pelumasan.
c. Mendapatkan nilai koefisien gesek kinetik dari kedua permukaan yang
saling bergesekan.
1.5 Manfaat Rancangan
Hasil rancangan ini dapat dijadikan referensi pada penggunaan alat uji
dalam melakukan pengujian keausan pada kontak rolling-sliding seperti keausan
pada permukaan roda gigi, roda kereta dengan rel, poros engkol dengan bantalan
luncur maupun dalam pemilihan material dan paduannya pada proses manufaktur.
1.6 Sistematika Penulisan
Penyusunan tesis ini terbagi atas 5 bab. Bab-bab tersebut adalah: Bab I
Pendahuluan, Bab II Teori Perancangan, Bab III Tinjauan tentang Tribology, Bab
IV Hasil rancangan serta Bab V Penutup. Pendahuluan berisi tentang latar
belakang, perumusan masalah, originalitas rancangan, tujuan pembuatan
rancangan, manfaat rancangan, dan yang terakhir sistematika penulisan. Pada bab
II merupakan sebuah tinjauan pustaka tentang teori dan aplikasi perancangan yang
menjadi dasar dalam pengambilan keputusan terhadap sebuah rancangan. Pada
bab III juga merupakan sebuah tinjauan pustaka yang membahas tentang teori
POLBAN
4
tribology yang melatarbelakangi kontak mekanik. Sedangkan pada bab IV
merupakan hasil rancangan, dimana pada bab ini akan menunjukan bahwa produk
hasil rancangan telah berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan awal. Dan pada
bagian akhir tesis ini akan ditutup dengan kesimpulan dan saran yang terangkum
dalam bagian penutup.
POLBAN
5
Bab 2
Teori Perancangan
Jika anda memiliki waktu untuk melihat-lihat disekitar anda, maka anda
akan menemukan banyak contoh dari technological creativity. Anda akan melihat
secara fisik seperti telefon, mobil, sepeda dan masih banyak yang lainnya. Setiap
hari penciptaan tidak muncul secara ajaib, tetapi berawal dari sebuah pemikiran
yang diwujudkan dan dikembangkan secara terus menerus. Engineering is the
creative process of turning abstract ideas into physical representations (products
or systems) (Seyyed, 2005). Usaha kreatifitas untuk mewujudkan sebuah produk
ini dikenal dengan perancangan.
2.1 Perancangan
Perancangan dapat dibedakan menjadi tiga cabang, yaitu: Perancangan
tradisional, kelompok ini meyakini bahwa merancang membutuhkan pengelaman
pribadi dan tidak bisa diajarkan. Sedangkan kelompok kedua meyakini bahwa
perancangan dapat dioptimalisasikan dengan menggunakan peralatan seperti
komputer (bisa dipelajari). Sementara kelompok ketiga adalah kelompok yang
menyakini bahwa kedua kelompok sebelumnya adalah benar. Perancang yang
baik adalah perancang yang menggunakan ketiga keyakinan tersebut (Albano,
1999).
Sedangkan elemen-elemen dalam perancangan menurut Albano dapat
dikelompokan kedalam lima elemen perancangan, yaitu; (1) mengetahui apa yang
dibutuhkan customers, (2) tentukan masalah yang esensial yang sesuai dengan
kebutuhan customers, (3) konsepkan solusinya, (4) analisa solusi yang ada untuk
menentukan kondisi yang optimum, (5) periksa kembali hasil desain apakah itu
yang dibutuhkan customer.
2.2 Domain Perancangan
Domain perancangan bisa dikelompokan menjadi empat, yaitu: customer
domain, functional domain, physical domain dan process domain. Customer
domain (CAs) dicirikan dengan kebutuhan customer, seperti kebutuhan akan
POLBAN
6
sebuah produk, sistem atau material. Functional domain, perancang harus secara
spesifik mengetahui syarat-syarat fungsional/functional requirements (FRs) dari
produk yang dibutuhkan customers, sehingga syarat-syarat tersebut dapat
diwujudkan secara fisik/design parameters (DPs) dalam physical domain, dan
yang terakhir adalah process domain dimana pada rana ini kebutuhan dan syarat-
syarat custumer yang sudah diwujudkan dalam physical domain (DPs) diproses
menjadi sebuah produk, yang mana hal ini dicirikan dengan process variables
(PVs). Gambar berikut memperlihatkan empat domain perancangan.
Domain yang disebelah kanan representasi dari solusi, peta pelaksanaan dari
functional domain menuju physical domain dinamakan product design sedangkan
peta pelaksanaan dari physical domain ke process domain dinamakan
manufacturing process design dan peta pelaksanaan dari customer domain ke
functional domain berupa informasi-informasi dari kebutuhan customers atau peta
pelaksanaan kegiatan untuk menetapkan spesifikasi teknis dari produk.
Sedangkan pada bagian lain (Harsokoesoemo, 2004), mengatakan bahwa
proses perancangan terdiri dari empat fase yaitu: (1) fase defenisi proyek,
perencanaan proyek dan penyusunan spesifikasi teknis produk, (2) fase
perancangan konsep produk, (3) fase perancangan produk dan (4) fase
penyusunan dokumen untuk pembuatan produk. Dari kedua pendapat tersebut
sama-sama menggunakan metode QFD untuk membantu menyelesaikan persoalan
didalam perancangan.
Gambar 2.1 Empat Domain Perancangan (Albano, 1999).
POLBAN
7
2.3 Metode QFD (Quality Function Deployment)
Metode ini digunakan untuk menyusun persyaratan fungsional dari produk
yang dibutuhkan (FRs) atau menyusun spesifikasi teknis suatu produk yang
dibutuhkan customer. Ada beberapa metode untuk menyusun spesifikasi teknis
suatu produk, seperti metode French, metode Pahl dan Beitz, metode VDI. metode
Ullman, namun metode QFD adalah yang paling banyak digunakan. Menurut
hasil survei ditemukan bahawa mayoritas (83%) perusahaan menyatakan bahwa
metode QFD berhasil menambah kepuasan pengguna dan 76% perusahaan
menyatakan bahwa hasil metode QFD menyebabkan terbentuknya keputusan-
keputusan yang rasional (Harsokoesoemo, 2004). Metode ini dikembangkan di
Jepang pada tahun 1966 oleh Yoji Akao dan kemudian masuk ke Amerika Serikat
pada tahun 1980-an. Metode QFD tidak hanya membantu memahami masalah
perancangan produk, tetapi metode QFD meletakan landasan untuk fase
berikutnya. Metode QFD ini terdiri dari beberapa tahapan dalam menetapkan
konsep produk (Becker, 2000). Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
2.3.1 Tahap 1 Mengidentifikasi kebutuhan pelanggan
Pada tahapan pertama ini perancang akan menganalisa siapa sebanarnya
pelanggan itu dan bagaimana segmen pasarnya, yaitu orang yang akan membeli
produk dan yang akan mengatakan kepada pengguna lain tentang kialitas produk.
Team perancang akan mengumpulkan informasi dari pelanggan mengenai syarat-
syarat dari produk yang mereka butuhkan. Syarat-syarat tersebut seperti
kemampuan produk (usability), dan performanya (performance).
2.3.2 Tahap 2 Kebutuhan yang berkaitan dengan regulasi
Tidak semua standar-standar produk boleh diketahui oleh pelanggan, sebab
itu merupakan standar perusahaan yang bersifat aturan. Standar-standar tersebut
seperti dimensi maupun teknologi pembuatannya, mulai dari material sampai
dengan bentuk komponennya.
POLBAN
8
2.3.3 Tahap 3 Penyusunana persyaratan/keinginan pelanggan
Syarat-syarat dari pelanggan, seperti usability dan performance suatu
produk dibuat dalam beberapa kriteria, setiap kriteria diberi nilai oleh pelanggan
dalam skala yang telah ditentukan oleh team perancang. Kriteria-kriteria tersebut
dituangkan dalam sebuah matriks sehingga pelanggan dengan mudah untuk
menilainya.
2.3.4 Tahap 4 Mengevaluasi pesaing
Memahami bagaimana pelanggan menghadapi persaingan dalam sebuah
kompotisi, merupakan hal yang menguntungkan. Pada tahap ini team perancang
akan mengajukan pertanyaan bagaimana produk anda dalam mengahadapi
persaingan. Untuk menghadapi hal tersebut maka team perancang membuka ruang
untuk mengidentifikasi peluang pasar, melakukan perbaikan secara kontinyu
terhadap produk, menerima komplain dari pelanggan, dan seterusnya.
2.3.5 Tahap 5 Menyusun spesifikasi teknis
Penyusunan spesifikasi teknis produk diperlukan untuk menjamin
kesesuaian dengan keinginan pelanggan. Spesifikasi teknis produk bersifat
dinamis, yaitu dapat mengalami perubahan-perubahan selama proses perancangan
produk berlangsung. Penyusunan spesifikasi teknis produk ini menyangkut hal-hal
seperti kinerja atau performance yang harus dicapai produk, seberapa besar
ukuran produk (size of range), dan teknikal detail.
2.3.6 Tahap 6 Menentukan arah perbaikan
Setelah team perancang menyusun spesifikasi teknik produk, maka team
perancang harus membuat suatu keputusan ke arah mana harus dilakukan jika ada
perbaikan-perbaikan dalam sebuah rancangan. Hal ini mungkin saja terjadi, sebab
dalam penyusunan spesifikasi produk, team perancang berusaha menyesuaikan
dengan keinginan pelanggan, dan jika keinginan itu belum terpenuhi maka
perbaikan-perbaikan harus dilakukan.
POLBAN
9
2.3.7 Tahap 7 Matriks morfologi
Pada tahapan ini team perancang menentukan hubungan antara keinginan
pelanggan dengan kemampuan perusahaan. Team perancang akan memberikan
kriteria-kriteria yang memperkuat hubungan antara parameter teknik dengan
keinginan pelanggan. Kekuatan hubungan tersebut dapat berbeda-beda; ada
parameter teknik yang mempunyai hubungan yang kuat dengan keinginan
pelanggan, ada parameter yang tidak mempunyai hubungan sama sekali,
tergantung dari penilaian pelanggan. Kriteria-kriteria tersebut dituangkan dalam
sebuah matriks, sehingga pelanggan dapat menilai kekuatan hubungannya.
Kekuatan hubungan dapat dinyatakan dengan simbol atau angka seperti berikut:
๏ = hubungan yang kuat = 9
Ο = hubungan yang kekuatannya sedang = 4
Δ = hubungan yang lemah =1
Kosong = tidak ada hubungan sama sekali = kosong
2.3.8 Tahap 8 Kesulitan dalam organisasi team perancang
Kesulitan dalam organisasi team perancang ini seperti, kesulitan dalam
menentukan kriteria antara kemampuan perusahaan dengan keinginan pelanggan.
Kesulitan ini bersifat teknis, seperti kesulitan dalam persedian suku cadang atau
menyangkut ukuran produk. Kesulitan perlu segera diketahui agar dengan mudah
dicarikan solusinya. Tingkat kesulitan ini dinilai dari angka satu sampai dengan
lima, dimana angka satu mudah dan angka lima sulit.
2.3.9 Tahap 9 Analisa teknis tentang produk pesaing
Untuk dapat memahami persaingan dengan baik, maka spesifikasi produk
pesaing harus diketahui oleh team perancang. Jadi team perancang harus membeli
produk pesaing dan melakukan pengukuran-pengukuran pada produk-produk
tersebut berdasarkan persyaratan atau spesifikasi teknis yang akan digunakan pada
produk baru. Tujuan produk baru adalah mampu berkinerja lebih baik dari
produk-produk pesaing.
POLBAN
10
2.3.10 Tahap 10 Target nilai untuk spesifikasi teknis
Tahapan ini merupakan kelanjutan dari tahapan kelima, dimana keinginan-
keinginan pelanggan dikembangkan dan ditemukan parameter-parameter atau
aspek-aspek yang dapat diukur dan mempunyai nilai/harga sasaran (target
values). Setiap parameter teknik (engineering parameter) yang dapat diukur
mempunyai satuan, seperti panjang, berat, gaya, kecepatan waktu, dan lain-lain.
Selain dari keinginan pelanggan, engineering parameter tersebut dapat diperoleh
dari produk-produk pesaing (jika ada). Memang tidak mudah untuk menemukan
parameter atau aspek yang dapat diukur dari suatu keinginan pelanggan. Jika ada
beberapa aspek yang dapat diukur belum ditemukan dari daftar keinginan
pelanggan, maka keinginan pelanggan tersebut belum dipahami benar oleh team
perancang. Oleh sebab itu perancang harus mengulang kembali tahapan kelima
dengan lebih fokus pada aspek yang belum ditemukan nilai sasarannya.
2.3.11 Tahap 11 Hubungan antara matriks morfologi
Sebuah spesifikasi teknis dalam sebuah matriks mungkin mempunyai
hubungan dengan atau berpengaruh pada spesifikasi teknis lainnya, oleh karena
itu apakah ada hubungan antara sesama spesifikasi teknis harus dikaji sedini
mungkin. Apabila antara dua spesifikasi teknis ada hubungan, maka pada
perpotongan dua garis diagonal yang menghubungkan kedua spesifikasi diberi
simbol-simbol berikut, yang menyatakan identitas hubungan.
๏ = sangat positif = 9
Ο = positif = 3
X = negatif = -1
x = sangat negative = -3
2.3.12 Tahap 12 Absolute importance
Pada tahap terakhir ini team perancang menghitung nilai absolute dari setiap
kriteria yang terdapat dalam matriks penilaian untuk mengetahui kriteria mana
yang penting bagi pelanggan. Cara menghitungnya adalah kalikan setiap nilai
POLBAN
11
yang ada pada spesifikasi teknis dengan nilai yang ada pada persyaratan/keinginan
pelanggan untuk setiap matriksnya, kemudian dijumlahkan.
Tahapan-tahapan yang telah diuraikan di atas oleh Becker dinamakan rumah
kualitas (house of quality). Rumah kualitas ini mempunyai duabelas kamar,
masing-masing berisi informasi yang berharga. Gambar 2.2 memperlihatkan
rumah kualitas yang terdiri dari duabelas kamar untuk pengembangan climbing
harness. Rumah kualitas ini merupakan fase pertama dari empat fase dalam proses
perancangan yang digunakan untuk penyusunan konsep produk, selain itu rumah
kualitas ini meletakan dasar untuk tiga fase berikutnya dalam proses perancangan
produk yang dibutuhkan oleh pelanggan.
Gambar 2.2 Rumah Kualitas (Becker, 2000).
POLBAN
12
2.4 Perancangan Konsep Produk
Pada perancangan konsep produk, dicari atau coba ditemukan sebanyak
mungkin alternatif konsep produk yang semuanya memenuhi butir-butir
spesifikasi teknis produk. Perancangan konsep produk ini merupakan fase kedua
dari empat fase proses perancangan. Konsep produk masih berupa gambar skema
atau gambar skets yang terdiri dari kerangka (skeleton) elemen-elemen produk.
Elemen produk yang berupa kerangka tersebut harus diberi bentuk dalam fase
perancangan berikutnya, yaitu fase perancangan produk (fase ketiga).
Dari sekian banyak alternatif konsep produk yang masih berupa gambar
skema atau skets itu harus dipilih salah satu atau beberapa yang terbaik sebagai
konsep produk yang akan dikembangkan menjadi produk. Ada beberapa metode
dasar pencarian konsep produk terbaik, yaitu:
a. Metode brain storming.
b. Metode 6 – 3 – 5 (brain writing).
c. Metode analisis.
d. Buku-buku referensi dan jurnal teknik.
e. Melakukan konsultasi dengan pakar.
f. Metode morfologi.
g. Memakai paten sebagai sumber ide.
h. Metode logis:
TRIZ
Perancangan aksiomatik.
Untuk mendapatkan konsep produk terbaik, maka pada tesis ini penulis
menggunakan salah satu dari beberapa metode di atas yaitu buku-buku referensi
dan jurnal teknik yang memuat mesin sejenis sebagai berikut:
2.4.1 Gear test rig di Lousiana State University, USA
Alat ini digunakan untuk menguji disc dengan diameter tertentu. Pada alat
ini terdapat dua motor penggerak yang langsung berhubungan dengan specimen,
sehingga putaran specimen sama dengan putaran motor. Kecepatan putaran motor
dapat diatur dengan menggunakan VFD (Variable Frequency Drive). Jenis
pembebanan menggunakan tekanan hidraulik. Pelumasan cukup bagus. Pada
POLBAN
13
specimen dipasang IR thermocouple untuk memantau temparatur disc, pada
reservoir oli dipasang thermocouple untuk memantau temparatur oli, dan pada
pembebanan hidraulik dipasang pressure transnducer untuk mengukur beban.
Semuanya terintegrasi dengan komputer dengan menggunakan program
LabVIEW.
2.4.2 Gear test machine di Institute of Madras, India
Mesin ini digunakan untuk menguji roda gigi dengan ukuran tertentu.
Terdapat sebuah motor listrik yang dihubungkan dengan vee-belt terhadap poros
specimen. Pulley yang digerakan lebih besar dari pulley penggeraknya sehingga
kecepatan putaran specimen lebih lambat dari putaran motor. Specimen yang
satunya tidak terdapat motor penggerak, yang ada hanya mekanisme pembebanan
dengan menggunakan load cell. Temparature sensor dan microphone dipasang
pada specimen serta speed sensor pada poros bebas.
Gambar 2.3 Skema gear test rig (Akbarzadeh, Khonsari, 2011).
Gambar 2.4 Gear test machine (Dhanasekaran, Gnanamoorthy, 2008).
POLBAN
14
2.4.3 FZG test rig di Queensland University, Australia
Alat ini peruntukannya untuk menguji roda gigi dengan ukuran tertentu.
Terdapat sebuah motor penggerak yang dihubungkan dengan roda gigi untuk
menggerakkan dua buah poros specimen sekaligus. Pembebanan menggunakan
load clutch. Pada salah satu poros dipasang torque measuring clutch untuk
mengukur torsi.
2.4.4 Twin disc roll/slide di The University of Birmingham
Mesin ini digunakan untuk menguji roller/disc dengan ukuran tertentu.
Sebuah motor penggerak digunakan untuk menggerakkan dua buah poros
specimen sekaligus. Pemindahan daya menggunakan vee-belt dan roda gigi,
Gambar 2.5 Skema FZG test rig (Hargreaves, Planitz, 2009).
Gambar 2.6 Skema twin disc roll/slide apparatus (Wright, Kukureka, 2001).
POLBAN
15
sehingga memungkinkan putaran yang berbeda untuk masing-masing specimen.
Pembebanan sangat sederhana menggunakan lengan beban.
2.4.5 The FZG test machine di Kocatepe University, Turkey
Digiunakan untuk menguji roda gigi dan perkiraan umur pakai. Dengan
dimensi tertentu, menjadikan alat ini terbatas kemampuannya. Penggunaan
sebuah motor dengan daya yang besar, menjadikan alat ini memiliki torsi yang
besar pula. Salah satu poros specimen berputar sedangkan yang lain bebas.
Terdapat gear box untuk menaikan maupun menurunkan kecepatan putaran
specimen. Loading arm berguna untuk memberikan beban tertentu. Alat ini
memiliki dimensi yang besar sehingga menjadikan alat ini tidak praktis, tetapi
memiliki ketahan yang bagus dan handal.
2.4.6 The gear test rig di RMIT University, Melbourne, Australia
Alat ini digunakan untuk menguji roda gigi dengan diameter tertentu. Pada
alat ini terdapat sebuah motor penggerak yang terpasang pada poros yang
langsung dihubungkan dengan specimen sehingga putaran specimen sama dengan
putaran motor. Sedangkan specimen yang satunya berputar bebas. Terdapat motor
speed controller untuk mengatur putaran motor. Jenis pembebanan menggunakan
sistem hidraulik. Pelumasan cukup bagus dengan pompa oli. Pada specimen
dipasang encoder untuk memantau kecepatan putaran dan pada pembebanan
hidraulik dipasang pressure transducer untuk mengukur beban.
Gambar 2.7 The FZG test machine (Aslantas, Tasgetiren, 2004).
POLBAN
16
2.4.7 Back to back gear box di Institute of Madras, India
Alat ini digunakan untuk menguji sistem transmisi roda gigi. Sebuah motor
listrik digunakan untuk menggerakkan dua buah poros sekaligus dengan
menggunakan roda gigi sebagai pemindah daya. Antara putaran specimen satu
dengan yang lainnya bisa dibedakan sesuai dengan ratio roda gigi transmisinya.
Beban torsi bisa diatur melalui torque adjustmen coupling. Desai ini sangat bagus
untuk antisipasi poros bending karena poros ditopang profil U.
2.4.8 Two disc wear test rig di Shanghai University, China
Alat ini digunakan untuk menguji keausan dua disc (piringan) dengan
ukuran tertentu. Dua buah motor listrik DC untuk menggerakkan specimen
Gambar 2.8 Skema the gear test rig (Ding, Rieger, (2003).
Gambar 2.9 Skema back to back gear box (Amarnath, Sujatha, Swarnamani, 2009).
POLBAN
17
sehingga putaran masing-masing bisa dibedakan. Beban torsi dapat di ukur
dengan menggunakan non-contact type torque transducer, sedangkan kecepatan
putaran diukur melalui optical trigger yang berhubungan langsung dengan
komputer. Selain itu untuk mengukur kekasaran permukaan specimen digunakan
optical measuring system, yaitu sebuah alat optik yang bisa mengukur kekasaran
permukaan secara online tanpa kontak. Tentunya alat ini sangat mahal harganya.
2.4.9 Two roller testing machine di University of Dhaka
Alat ini hampir sama dengan yang ada di Indian Institute of Thecnology
Madras, Chennai, India (Gambar 2.9). Yang membedakan adalah specimen yang
diuji adalah disc/roller bukan roda gigi.
Gambar 2.10 Two disc wear test rig (Wang, Wong, Zhang, 2000).
Gambar 2.11 Two roller testing machine (Nuruzzaman, Nakajima, Mawatari, 2009).
POLBAN
18
2.4.10 Two disc machine di University of Twente, Belanda
2.5 Pemilihan Konsep Produk
Berangkat dengan berbagai macam jenis mesin uji yang sudah ada, maka
dapat diambil kriteria sebagai bahan pertimbangan yang dapat dipakai untuk
merancang mesin uji running-in untuk sistem kontak disc dan sistem kontak roda
gigi yang baru sesuai dengan kriteria seperti yang telah disampaikan dalam sub
bab 1.2 (Perumusan masalah). Dengan dasar kriteria tersebut maka penulis
membuat empat buah konsep desain yang menjadi dasar pertimbangan yaitu
sebagai berikut:
2.5.1 Konsep I
Kriteria alat sebagai berikut:
a. Menggunakan dua buah motor listrik masing-masing 2 hp 1600 rpm, 3
phasa yang dapat diatur kecepatannya.
b. Dapat digunakan untuk menguji disc maupun roda gigi.
c. Dimensi specimen dapat bervariasi.
d. Kecepatan putaran masing-masing specimen bisa dibedakan.
e. Transmisi menggunakan sabuk vee-belt ganda.
f. Specimen dapat diganti dengan mudah dan cepat.
g. Beban torsi menggunakan sistem disc break hidraulik.
h. Pembebanan tekan menggunakan sistem hidraulik.
i. Mudah dalam pembuatan.
Gambar 2.12 Two disc machine (www.utwente.nl, 25 Desember 2011).
POLBAN
19
j. Ergonomis.
k. Ada sistem pelumasan.
l. Sistem kontrol menggunakan micro drive.
2.5.2 Konsep II
Kriteria alat sebagai berikut:
a. Menggunakan dua buah motor listrik masing-masing 2 hp 1600 rpm, 3
phasa yang dapat diatur kecepatannya.
b. Dapat digunakan untuk menguji disc maupun roda gigi.
c. Dimensi specimen dapat bervariasi.
d. Kecepatan putaran masing-masing specimen bisa dibedakan.
e. Transmisi menggunakan sabuk bergigi (timing belt).
f. Specimen dapat diganti dengan mudah dan cepat.
g. Beban torsi menggunakan sistem disc break hidraulik.
v-belt
ganda spesimen Beban torsi
Univ. joint
Beban
tekan
Motor
listrik
Gambar 2.13 Konsep desain I.
Gambar 2.14 Konsep desain II.
Timing
belt Univ. joint
Beban
tekan
spesimen Beban
torsi
Motor
listrik
POLBAN
20
h. Pembebanan tekan menggunakan sistem hidraulik.
i. Mudah dalam pembuatan.
j. Ergonomis.
k. Ada sistem pelumasan.
l. Sistem kontrol menggunakan micro drive.
2.5.3 Konsep III
Kriteria alat sebagai berikut:
a. Menggunakan 2 buah motor listrik masing-masing 2 hp, 1600 rpm, 3
phasa yang dapat diatur kecepatannya.
b. Dapat digunakan untuk menguji disc maupun roda gigi.
c. Kecepatan putar masing-masing specimen bisa dibedakan.
d. Transmisi menggunakan roda gigi.
e. Penopang poros specimen berbentuk profil U.
f. Specimen dapat diganti dengan mudah dan cepat.
g. Beban torsi menggunakan sistem disc break hidraulik.
h. Pembebanan tekan menggunakan sistem hidraulik.
i. Mudah dalam pembuatan.
j. Ergonomis.
k. Ada sistem pelumasan.
l. Sistem kontrol menggunakan micro-drive.
spesimen Beban
torsi
Beban
tekan
Roda gigi
transmisi
Motor
listrik
Univ. joint
Gambar 2.15 Konsep desain III.
POLBAN
21
2.5.4 Konsep IV
Kriteria alat sebagai berikut:
a. Menggunakan 2 buah motor listrik masing-masing 1 hp, 2800 rpm, 3
phasa yang dapat diatur kecepatannya.
b. Dapat digunakan untuk menguji disc dan roda gigi.
c. Dimensi specimen dapat bervariasi.
d. Kecepatan putar masing-masing specimen bisa dibedakan.
e. Transmisi menggunakan sabuk bergigi (timing belt).
f. Specimen dapat diganti dengan mudah dan cepat.
g. Beban torsi dapat dibaca melalui load cell.
h. Pembebanan tekan menggunakan sistem katrol.
i. Mudah dalam pembuatan.
j. Ergonomis.
k. Sistem kontrol putaran menggunakan reflective optic sensor.
l. Handal dalam pengujian.
2.6 Fungsi dan struktur fungsi
Produk mempunyai dua aspek, yaitu bentuk fisik produk dan fungsi produk.
Bentuk fisik produk dapat diuraikan menjadi beberapa komponen, sedangkan
komponen itu sendiri dapat diuraikan lagi menjadi beberapa sub komponen atau
elemen dan seterusnya.
Gambar 2.16 Konsep desain IV.
POLBAN
22
Konsep produk adalah bentuk fisik produk, meskipun masih dalam bentuk
skets atau gambar skema. Kosep produk dapat dinyatakan dengan skets, atau
dapat pula dinyatakan dengan keterangan yang merupakan abstraksi dari produk
yang akan dirancang.
Fungsi produk berbentuk abstrak, sedangkan konsep produk mempunyai
bentuk fisik. Fungsi adalah perilaku atau behavior sebuah produk yang
diperlakukan untuk memenuhi syarat-syarat teknis. Fungsi menyatakan atau
menggambarkan apa yang dilakukan produk, sedangkan bentuk (konsep) produk
menggambarkan bagaimana produk melaksanakan fungsi tersebut. Dengan kata
lain, bentuk mengikuti fungsi, atau dapat juga dikatakan apa dulu baru bagaimana.
Struktur fungsi disusun dari syarat-syarat (spesifikasi) teknis hasil fase pertama
proses perancangan.
2.7 Mengevaluasi konsep produk
Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa dalam merancang konsep produk
harus dicari sebanyak mungkin alternatif yang semuanya memenuhi butir-butir
spesifikasi teknis produk. Tentu saja tidak semua alternatif konsep produk
tersebut akan dikembangkan menjadi produk. Jika perlu dipilih satu konsep
produk yang terbaik saja untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi produk; atau
beberapa konsep produk terbaik untuk dikembangkan secara paralel menjadi
beberapa produk, yang akhirnya harus dipilih lagi satu yang terbaik.
Kesulitan memilih konsep produk yang terbaik disebabkan oleh:
a. Informasi tentang masing-masing konsep produk tidak lengkap.
b. Konsep produk masih dalam bentuk konsep yang sedikit banyak
merupakan konsep abstrak.
c. Konsep produk belum dapat diuraikan menjadi detail yang lengkap.
d. Kinerja konsep produk (jika ada) belum dapat diukur.
Kriteria untuk memilih konsep produk tidak mudah. Meskipun demikian,
proses evaluasi untuk memilih konsep produk terbaik harus dilakukan. Evaluasi
terdiri dari kegiatan membandingkan konsep-konsep produk dan membuat
keputusan. Dalam membandingkan dua konsep produk atau lebih, maka sebaiknya
semua konsep produk tersebut sudah dituangkan dalam tingkat abstraksi yang
POLBAN
23
sama. Informasi untuk membuat keputusan tersebut diperoleh dengan
membandingkan kemampuan konsep-konsep produk memenuhi spesifikasi teknis
dalam spesifikasi produk. Ada dua macam cara membandingkan, yaitu
perbandingan absolut dan perbandingan relatif. Pada perbandingan absolut, maka
setiap konsep produk langsung dibandingkan dengan atau diukur terhadap
beberapa sasaran yang ditetapkan dalam kriteria. Pada perbandingan relatif, maka
konsep produk alternatif dibandingkan satu sama lain dengan menggunakan
ukuran-ukuran yang ditetapkan dalam kriteria.
Evaluasi konsep-konsep produk alternatif dilakukan dalam empat tahap
berurutan sebagai berikut. Dua tahap pertama menyaring konsep yang baik
dengan membuang konsep yang tidak baik, sedangkan dua tahap terakhir, hasil
penyaringan tersebut kemudian dievaluasi dengan cara perbandingan relatif
(menggunakan matriks keputusan). Gambar 2.17 adalah diagram alir evaluasi
konsep produk dengan menggunakan dua macam cara perbandingan.
Gambar 2.17 Diagram alir evaluasi konsep produk (Harsokoesoemo, 2004).
POLBAN
24
2.7.1 Evaluasi konsep produk berdasarkan pertimbangan kelayakan
Pada saat penyusunan konsep produk dan pada saat suatu konsep produk
terbentuk, maka perancang pada umumnya mengalami salah satu dari ketiga
reaksi berikut, yaitu (1) konsep tak layak, (2) konsep mungkin dapat
dikembangkan lebih lanjut jika terjadi sesuatu yang mendukung, (3) konsep patut
diselidiki lebih lanjut. Ketiga reaksi tersebut timbul berdasarkan perasaan.
2.7.2 Evaluasi konsep produk berdasarkan keputusan YA atau TIDAK
Penilaian semacam ini dapat menghasilkan (1) konsep produk tidak dapat
diterima, karena jawaban “tidak” untuk masing-masing point dalam daftar
keinginan pengguna terlalu banyak, (2) konsep produk dapat diperbaiki, jika
jawaban ”tidak” hanya satu-dua saja, yaitu dengan memodifikasi konsep produk
sedikit untuk menghilangkan jawaban “tidak”. Evaluasi ini menunjukan
kelemahan konsep produk dengan cepat, sehingga perbaikan atau modifikasi
konsep produk dapat dilakukan dengan cepat pula.
2.7.3 Evaluasi berdasarkan matriks keputusan
Metode matriks keputusan, atau metode Pugh adalah metode yang
sederhana dan sudah terbukti efektif untuk membandingkan konsep-konsep
produk alternatif. Bentuk matriks keputusan seperti yang ditampilkan pada tabel
2.1. Pada prinsipnya metode ini memberikan cara untuk menilai setiap alternatif
terhadap alternatif lain secara relatif dalam kemampuannya untuk memenuhi
kriteria yang dibuat berdasarkan keinginan pelanggan. Team perancang biasanya
memiliki satu alternatif konsep produk yang disenangi. Konsep-konsep produk
lainnya satu persatu kemudian dibandingkan dengan konsep produk yang
disenangi sebagai referensi.
Dari berbagai teknik evaluasi konsep produk, maka metode Pugh yang
dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dari empat konsep desain yang ada.
POLBAN
25
Tabel 2.1 Matriks keputusan untuk Memilih Konsep Produk.
No. Kriteria Wt Konsep
K - I K - II K - III K - IV
1 Putaran motor bisa diatur 10 10 10 10 10 2 Putaran specimen bisa di kontrol 10 10 10 10 10 3 Putaran specimen masing-masing
bisa berbeda 10 10 10 10 10
4 Fleksibilitas ukuran/dimensi specimen
8 4 4 2 8
5 Pengaturan beban tekan 10 8 8 4 7 6 Pengaturan beban torsi 10 5 5 5 9 7 Antisipasi poros bending 9 5 5 9 8 8 Antisipasi slip 9 4 8 8 8 9 Kecepatan penggantian specimen 6 5 5 2 5 10 Bisa digunakan untuk pengujian
disc maupun roda gigi 10 10 10 10 10
11 Sistem pelumasan 6 2 2 2 2 12 Mudah dalam pengoperasian 7 5 5 5 5 13 Biaya pembuatan murah 6 3 3 3 3 14 Ergonomis 8 2 2 2 3 15 Dimensi alat ringkas dan praktis 8 2 2 2 4 16 Terdapat sensor-sensor 10 10 10 10 10 17 Mudah dalam pembuatan 9 3 3 3 7 18 Mudah dalam pemeliharaan 7 7 7 7 7 Jumlah 153 105 109 104 126
Keterangan:
K = Konsep produk. Wt = Bobot nilai maksimum.
2.8 Perancangan produk terpilih
Perancangan produk adalah fase ketiga dari proses perancangan.
Perancangan produk adalah proses perbaikan dan pengembangan lebih lanjut dari
konsep produk yang telah dipilih dari sekian banyak alternatif-alternatif konsep
produk pada tahap evaluasi konsep produk. Elemen-elemen konsep produk yang
masih berupa skets, pada fase ini mulai diberi bentuk (shape design) atau sering
juga dinamakan embodiment design, yaitu pemberian bodi pada skeleton konsep
produk.
Segera setelah tahap perancangan produk atau pemberian bentuk selesai,
maka produk hasil rancangan dievaluasi, terutama dari segi kemampuan produk
POLBAN
26
dalam memenuhi persyaratan/spesifikasi teknis dalam menjalankan fungsinya.
Tahap perancangan produk atau pemberian bentuk dan evaluasi merupakan proses
interaktif yang intensif. Produk yang jika setelah dievaluasi diputuskan untuk
diperbaiki, perubahan, patched dan seterusnya, maka harus diiterasi lagi dan
disusul dengan tahap evaluasi. Pada bagian akhir dari bab ini ditampilkan diagram
alir dari fase-fase dalam perancangan produk (Gambar 2.20).
2.8.1 Proses pemberian bentuk (Embodiment design)
Pemberian bentuk pada konsep produk dan elemen-elemennya agar dapat
menghasilkan fungsi yang diembannya dibuat berdasarkan:
a. Ketersediaan ruang, untuk pemberian bentuk pada produk dan elemen
produk, sebenarnya merupakan keterbatasan ruang. Untuk elemen
produk, ruang yang dapat ditempati bentuk elemen dibatasi oleh elemen-
elemen produk yang disebelah menyebelahnya dan mungkin dibatasi
oleh benda-benda yang ada disekitar produk. Selain itu harus
diperhatikan pula ruangan yang diperlukan oleh produk dalam operasi
menjalankan fungsinya, yaitu apakah selama itu produk berubah
kedudukan dan orientasinya.
b. Konfigurasi, adalah arsitektur, struktur atau pengaturan tata letak elemen
dan komponen pada produk. Pada saat menentukan konfugurasi produk,
ditentukan pula lokasi dan orientasi elemen produk yang satu relatif
terhadap elemen lainnya.
c. Sambungan, sambungan antara dua elemen produk tidak nampak pada
skets konsep produk. Pada tahap pemberian bentuk produk dan elemen
produk, maka sambungan tersebut harus ditentukan. Pada saat
menentukan sambuangan antara dua elemen, dapat terjadi terbentuknya
elemen baru atau elemen penolong.
Bentuk produk dan elemen produk diisi oleh material elemen produk.
Bentuk elemen produk merupakan bentuk yang mudah dibuat (easily generated)
dengan salah satu proses pembuatan yang tersedia. Pada proses pemberian bentuk
sebaiknya melibatkan ahli-ahli diberbagai bidang, seperti bidang mekanika,
kekuatan material, getaran, ahli material, ahli manufaktur, dan lain-lain.
POLBAN
27
Pemberian bentuk pada elemen produk harus menghasilkan elemen dan
produk yang:
a. Tidak gagal karena yield atau patah lelah.
b. Kaku, yaitu deformasinya tidak melebihi batas yang diijinkan.
c. Stabil, mengalami bengkok pada batas yang diijinkan.
d. Mengalami resonansi yang bisa diterima.
e. Dapat mengalami pemuaian panas tanpa merusak dan mengganggu
elemen itu sendiri dan elemen lain.
f. Tahan terhadap korosi.
g. Tahan terhadap keausan.
Dalam proses pemberian bentuk pada elemen produk, harus memperkirakan
juga untuk penggunaan elemen-elemen yang sudah ada atau elemen-elemen
standar. Elemen produk dan produk yang telah diberi bentuk dan telah dianalisis
secara kasar kemudian dibuat gambar layout-nya, gambar layout ini menunjukan
tataletak dari produk dan elemen-elemen produk. Pada gambar layout tersebut
telah tercantum bentuk elemen produk dan bentuk produk, material, dimensi dan
jarak antara elemen. Produk pada layout tersebut telah dianalisis dan telah
disimpulkan bahwa produk/elemen mempunyai kekuatan, umur yang cukup,
mengalami deformasi yang diijinkan, resonansi yang bisa diterima, mengalami
korosi yang dapat diterima, mengalami aus yang dapat diterima yang terjadi
selama beroperasi.
Keputusan-keputusan yang diambil pada banyak tahap yang dilalui selama
proses pemberian bentuk pastilah ada yang kurang tepat atau yang masih dapat
diperbaiki, oleh karena itu produk/elemen yang mengalami proses perbaikan harus
mengulang kembali proses pemberian bentuk. Pada proses perbaikan tersebut,
selain hal-hal teknis perlu diperhatikan juga kriteria ekonomis.
2.8.2 Aspek perancangan lain dalam perancangan produk
Pada bagian ini akan disampaikan aspek-aspek lain yang melengkapi
deskripsi kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama fase perancangan produk.
Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:
POLBAN
28
2.8.2.1 Fungsi
Fungsi sebagaimana telah disampaikan terdahulu masih bersifat abstrak.
Fungsi adalah perilaku atau behavior sebuah produk yang diperlakukan untuk
memenuhi syarat-syarat teknis. Fungsi menyatakan atau menggambarkan apa
yang dilakukan produk, sedangkan bentuk (konsep) produk menggambarkan
bagaimana produk melaksanakan fungsi tersebut.
2.8.2.2 Layout
Pembuatan layout, yaitu gambar tataletak produk/elemen produk dan tahap
pemberian bentuk terjadi pada tahap yang sama. Pada tahap pemberian bentuk ini
ada beberapa kegiatan lain seperti: perhitungan kekuatan dan umur produk,
perhitungan deformasi yang dapat diterima, perancangan produk untuk mencegah
kerusakan akibat korosi.
2.8.2.3 Ergonomi
Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari dan mengkaji hubungan antara
manusia dengan mesin. Produk yang sedang dirancang dan dibuat nantinya akan
berhubungan dengan manusia, yaitu manusia sebagai pengguna, sebagai operator
dan sebagai pemilik. Produk haruslah tidak boleh membahayakan dan tidak boleh
menyebabkan penggunanya menjadi lelah.
2.8.2.4 Estetika
Produk tidak cukup hanya dapat memenuhi persyaratan-persyaratan atau
spesifikasi teknis dengan baik saja, tetapi produk harus tampak indah dan cantik
dimata penggunanya. Demikian pentingnya soal keindahan tersebut, di Jerman
VDI (kelompok insiyur Jerman) membuat panduan 224 dengan fokus pada
estetika produk. Panduan tersebut mengatur tentang bentuk eksternal yang antara
lain harus kompak, bening, sederhana, menggunakan warna permukaan produk
yang dapat menambah kesan cantik dimata penggunanya.
POLBAN
29
2.8.2.5 Merancang untuk memudahkan proses pembuatan dan proses
perakitan
Keputusan-keputusan yang diambil perancang, yang sudah didampingi ahli
pembuatan produk selama melakukan perancangan produk, sangat mempengaruhi
biaya pembuatan produk, waktu penyelesaian pembuatan produk dan kualitas
produk.
Pada saat perancang memikirkan bentuk elemen produk yang dapat
memenuhi fungsi produk, maka dipikirkan pula cara pembuatannya. Dalam
pemilihan cara pembuatan elemen produk, maka harus diperhatikan juga tentang
tooling dan fixturing, sebab keduanya perlu dirancang pada saat yang bersamaan
dengan fase-fase perancangan produk.
Setelah elemen-elemen produk selesai dibuat, maka elemen-elemen produk
tersebut dirakit menjadi produk. Pada saat yang bersamaan harus diperhatikan
toleransi antara elemen-elemen produk. Selanjutnya untuk menjamin agar tidak
terjadi gerakan elemen yang tidak diinginkan saat operasi, maka perlu memeriksa
kembali hasil rakitan.
2.8.2.6 Merancang sesuai dengan standar
Seperti halnya penentuan elemen produk yang dibeli dari luar karena elemen
produk tersebut mengandung solusi elemen pengemban fungsi, maka pencarian
solusi dari elemen-elemen produk yang distandarkan perlu dilakukan. Penggunaan
standar sebenarnya adalah optimasi teknis dan ekonomis karena keterbatasan
waktu. Selain standar nasional dan standar internasional (ISO) dapat digunakan
juga standar negara lain seperti (ANSI, DIN, BS). Standar yang sering digunakan
adalah standar untuk dimensi dan material elemen produk.
2.8.2.7 Merancang untuk memudahkan pemeliharaan/perawatan
Pengoperasian produk dan benda-benda teknik lainnya, menyebabkan
terjadinya aus, kerusakan permukaan, kontaminasi dan akhirnya penurunan
kinerja dan memperpendek umur produk. Jika kondisi produk yang menurun
tersebut dibiarkan berlangsung terus, maka produk akan rusak, bahkan dapat
mengalami rusak tiba-tiba atau breakdown.
POLBAN
30
Untuk mengurangi terjadinya penurunan kondisi dan kinerja produk dan
mencegah terjadinya breakdown, maka dilakukan kegiatan pemeliharaan secara
berkala (preventive maintenance).
2.8.2.8 Merancang untuk keandalan (Design for Reliability)
Keandalan adalah ukuran bagaimana kualitas produk dipertahankan selama
masa penggunaannya. Pada umumnya kualitas dinyatakan sebagai kinerja yang
memuaskan pada kondisi operasi yang ditetapkan. Kinerja yang tidak memuaskan
dianggap kegagalan. Kegagalan dapat disebabkan oleh perubahan pada
produk/elemen produk akibat terjadinya keausan, degradasi sifat material atau
akibat kondisi lingkungan. Selain itu kegagalan juga dapat disebabkan oleh
kesalahan-kesalahan dalam perancangan, seperti elemen produk yang bergerak
mengganggu elemen lainya, elemen-elemen tidak tersambung dengan baik atau
produk tidak memenuhi persyaratan teknis.
2.8.2.9 Perancangan yang memperhatikan lingkungan
Nama lain dari perancangan yang memperhatikan lingkungan adalah
perancangan hijau (green design). Ketika umur bermanfaat sebuah produk
berakhir, maka salah satu dari tiga hal berikut dapat terjadi pada elemen-elemen
produknya, yaitu: elemen produk tersebut dibuang, elemen produk tersebut
digunakan lagi, elemen produk tersebut didaur ulang.
Ada tiga hal yang mendorong faktor lingkungan menjadi penting dalam
perancangan, yaitu: (1) faktor ekonomi, (2) pengguna produk makin lama makin
menyadari arti penting pemeliharaan lingkungan, (3) Pemerintah mulai
mengeluarkan peraturan dan petunjuk tentang cara-cara menjaga lingkungan.
2.9 Dokumen untuk pembuatan produk
Pada akhir proses perancangan produk, yaitu pada fese keempat atau fase
terakhir ini diperoleh beberapa dokumen, yaitu: (1) gambar layout produk, (2)
gambar susunan komponen (assembly), (3) gambar detail elemen produk dan (4)
daftar material (bill of materials).
POLBAN
31
Selain empat dokumen yang telah diuraikan tersebut, masih ada beberapa
dokumen lagi, sehingga dokumen lengkap untuk awal proses pembuatan produk
terdiri dari:
a. Gambar layout produk.
b. Gambar susunan komponen (assembly) produk.
c. Gambar detail elemen produk.
d. Daftar material (bill of materials).
e. Catatan perancangan.
f. Dokumen pemeriksaan produk dan jaminan kualitas produk.
g. Instruksi-instruksi yang disusun oleh perancang tentang petunjuk untuk
memasang produk, mengoperasikan produk, memelihara produk dan
memusnahkan produk pada saat produk sudah tidak beroperasi lagi.
h. Aplikasi permohonan paten.
2.9.1 Gambar layout produk
Gambar layout adalah gambar yang menunjukan tataletak elemen-elemen
produk dalam produk, seperti yang diperlihatkan dalam gambar 2.16 di atas.
Berikut ini adalah beberapa catatan tentang gambar layout:
a. Gambar layout adalah gambar kerja yang selalu mengalami perubahan
selema proses perancangan, sesuai dengan perkembangan produk dan
elemen produk.
b Gambar layout dibuat dengan skala tertentu.
c. Gambar layout hanya mengandung dimensi-dimensi utama saja.
d Gambar layout dibuat berdasarkan ruang yang tersedia untuk produk.
e. Toleransi dimensi biasanya tidak dicantumkan pada gambar layout.
f. Pada gambar layout dapat dituliskan catatan-catatan yang menjelaskan
features atau fungsi produk atau komponen produk.
2.9.2 Gambar susunan komponen produk
Tujuan gambar susunan komponen produk adalah untuk menunjukan
tataletak elemen-elemen produk dalam komponen produk, bagaimana elemen-
elemen disambung satu sama lain. Gambar susunan komponen produk, seperti
POLBAN
32
yang diperlihatkan dalam gambar 2.18 berikut ini adalah gambar susunan unit
poros sebelah kiri.
Beberapa catatan tentang gambar susunan komponen adalah sebagai berikut:
a. Setiap komponen diidentifikasi dengan nomor komponen. Nomor
komponen tersebut dikaitkan dengan bill of materials, yang dapat
dibuat pada kertas gambar yang memuat gambar susunan atau dibuat
secara terpisah.
b. Pada gambar susunan dapat dibubuhkan keterangan yang menyebutkan
bahwa ada informasi tambahan yang dapat dilihat pada gambar lain
(sebutkan nomor gambar yang dirujuk).
c. Pada lembar yang memuat gambar susunan dapat dibuat gambar detail
tambahan untuk menjelaskan detail tersebut.
d. Gambar susunan juga memerlukan blok persetujuan disebelah kanan
bawah kertas gambar.
Gambar 2.18 Susunan komponen produk (ISO Standards Handbook, 1991).
POLBAN
33
2.9.3 Gambar detail elemen produk
Gambar detail adalah gambar elemen produk. Gambar 2.19 menunjukan
salah satu gambar elemen produk, yaitu pelat dudukan poros sebelah kiri (nomor
17 pada gambar susunan).
Berikut ini adalah beberapa catatan tentang gambar detail:
a. Semua dimensi pada gambar detail harus diberi toleransi.
b. Material elemen produk dan cara pembuatannya harus dijelaskan
dengan tertulis dalam bahasa yang jelas dan spesifik.
c. Gambar harus dibuat dalam standar gambar yang berlaku.
d. Semua gambar detail harus disetujui oleh pihak manajemen yang
membubuhkan tanda tangan persetujuannya di blok persetujuan di
sebelah kanan bawah kertas gambar.
Gambar 2.19 Gambar detail elemen produk (ISO Standards Handbook, 1991).
POLBAN
34
2.9.4 Daftar material (bill of materials)
Istilah lain dari bill of materials adalah daftar elemen, yang sebenarnya
merupakan indeks produk. Tabel 2.2 berikut ini adalah bill of materials dari
gambar susunan unit poros sebelah kiri (Gambar 2.18).
Tabel 2.2 Bill of materials untuk Gambar Susunan Unit Poros Sebelah Kiri.
Daftar Elemen (bill of materials)
No. Jml Nama bagian/elemen Material Ukuran No. elemen Ket.
1 4 Karet peredam getaran Karet 80 x 80 x 20 2 1 Rangka mesin St 37 970 x 800 x 400 3 1 Motor listrik 1 hp/2800 rpm 4 2 Batang penopang motor St 37 250 x 57 x 16 5 3 Baut pengatur jarak sumbu M10 x 1,5 x 75
6 1 Timing belt Polyurethane 250 - KPS8M - 1360
7 1 Pulley bergigi Hard nylon 192,1324 x 40 8 1 Pulley bergigi Hard nylon 52,0761 x 45 9 2 Pillow block Besi cor 25 x 34,1
10 1 Poros pembawa specimen S45C Ø25 x 295 11 1 Penyangga poros specimen St 37 225 x 57 x 16 12 1 Pelat penekan St 37 290 x 130 x 6 13 1 Baut penekan M6 x 1 x 75 14 1 Load cell Aluminium 50 Newton 15 1 Beban penyeimbang St 37 Ø58 x 8 16 1 Baut penahan M6 x 1 x 75 17 1 Pelat dudukan poros St 37 285 x 150 x 10
18 2 Baut pengikat pelat dudukan poros M10 x 1,5 x 75
19 3 Baut pengatur kedataran M10 x 1,5 x 75
Pada bill of materials terdapat enam buah informasi, yaitu:
a. Nomor menunjukan nomor elemen pada gambar susunan.
b. Jumlah setiap komponen dalam gambar susunan.
c. Nama atau deskripsi setiap komponen.
d. Material setiap elemen.
e. Ukuran setiap elemen.
f. Nomor elemen yang dibuat oleh perusahaan untuk keperluan pengadaan,
pembuatan, keperluan pergudangan.
POLBAN
35
g. Sumber atau asal komponen, jika komponen dibeli dari pemasok atau
vendor.
2.9.5 Catatan perancangan
Selama fase perancangan terjadi banyak sekali catatan-catatan, seperti
catatan pribadi anggota team perancang, catatan hasil keputusan rapat evaluasi
dalam fase-fase perancangan (design reviews) dan gambar-gambar hasil
rancangan dan daftar material mulai dari awal sampai dengan yang terakhir harus
diarsipkan. Arsip catatan, gambar dan daftar material tersebut digunakan untuk
berbagai keperluan, seperti keperluan permohonan paten, keperluan jika suatu
waktu ada tuntutan hukum atas produk dan keperluan untuk pengembangan
produk dan elemen produk.
2.9.6 Dokumen pemeriksaan produk dan jaminan kualitas produk
Setelah menyelesaikan kelima dokumen untuk pembuatan produk,
perancang masih harus menyiapkan beberapa dokumen seperti:
a. Prosedur pengendalian pemeriksaan kualitas produk, kualitas produk
yang harus diperiksa dan dikendalikan adalah: (1) kualitas bahan
baku/material untuk membuat produk, (2) kualitas produk/elemen
produk yang selesai dibuat, (3) kualitas produk dalam memenuhi syarat-
syarat kinerja, (4) kualitas produk dalam memenuhi ketentuan-ketentuan
dalam standar tertentu, jika produk dituntut untuk memenuhi standar
tertentu.
b. Jaminan kualitas/mutu, perancang harus menyusun jaminan kualitas
produk jika produk termasuk dalam kategori standar kualitas tertentu,
seperti proses pembuatan dan alat yang digunakan dalam pembuatan
produk.
2.9.7 Instruksi-instruksi
a. Instruksi merakit produk, team perancang produk harus menyusun
instruksi merakit produk sebagai bagian dari perancangan produk.
Instruksi-instruksi tersebut dirinci langkah demi langkah bagaimana
POLBAN
36
merakit produk, termasuk petunjuk tentang perancangan dan penyiapan
jig dan fixture yang diperlukan selama proses perakitan.
b. Instruksi pemasangan, yang termasuk kedalam instruksi pemasangan
adalah: (1) instruksi pengepakan dan pengangkutan produk, (2)
instruksi penyambungan dengan sumber energi/listrik, (3) instruksi
penyiapan titik-titik tumpu, (4) instruksi pengaturan/pengendalian
lingkungan.
c. Instruksi pengoperasian, instruksi pengoperasian dalam beberapa
kondisi operasi, seperti: (1) operasi normal, (2) operasi start up, (3)
operasi berjaga-jaga/stand-by, (4) operasi darurat, (5) penghentian
operasi. Masing-masing kondisi operasi tersebut instruksi
pengoperasiannya sendiri-sendiri.
d. Instruksi perawatan, prosedur perawatan preventif, prosedur perbaikan
produk yang rusak, prosedur overhaul, prosedur mendiagnostik
kerusakan harus dibuat instruksinya, agar analisa kegagalan dan
perbaikan produk cepat dilakukan.
e. Instruksi pemusnahan, disusun oleh perancang tentang petunjuk untuk
memusnahkan produk pada saat produk sudah tidak beroperasi lagi.
2.9.8 Aplikasi permohonan paten
Paten dikeluarkan oleh badan pengawas paten. Paten berfungsi untuk
melindung hak intelektual perancang. Hak paten ini dapat berlaku secara individu
maupun organisasi atau perusahaan terhadap seluruh produk rancangan atau hanya
elemen-elemen produk tertentu saja.
Secara keseluruhan fase-fase dalam perancangan ditampilkan dalam
diagram alir berikut ini:
POLBAN
37
Dari sekian banyak uraian yang telah disampaikan di atas, maka untuk
merancang alat uji running-in untuk sistem kontak disc dan sistem kontak gear
pada penelitian ini diperlukan suatu urutan pemahaman secara logis sehingga jika
terjadi kekeliruan dalam penelitian dapat dengan mudah diperbaiki, seperti yang
diperlihatkan dalam diagram alir berikut ini:
Gambar 2.20 Diagram alir perancangan produk (Harsokoesoemo, 2004).
POLBAN
38
Gambar 2.21 Diagram alir penelitian.
Tidak
Ya
Mulai
Studi pustaka
Perancangan konsep produk
Perancangan produk
Pemilihan konsep produk
Metode pemilihan konsep produk
Alat Bahan Disiplin ilmu yang mendukung
Pembuatan produk
Dokumen untuk pembuatan produk
Pengujian produk
Diiterasi lagi atau tidak
Selesai
POLBAN
39
Bab 3
Tinjauan Tentang Tribologi
Pada bab ini berisi ulasan dari beberapa pustaka yang relevan dengan tema
penelitian, yaitu; Rancang bangun alat uji running-in untuk sitem kontak
pasangan disc dan pasangan gear. Yang dimaksud dengan kontak disini adalah
“kontak mekanik”. Sebagai mana telah disampaikan pada bagian awal dari tesis
ini bahwa hampir semua alat-alat mekanik, mengalami kontak mekanik pada
permukaan komponen ketika sedang dalam kondisi kerja. Kontak yang terjadi
antara komponen-komponen tersebut bisa berupa static contact, rolling contact,
dan sliding contact. Kontak mekanik ini menjadi pusat perhatian didalam
tribologi, karena dapat menimbulkan keausan pada permukaan yang berinteraksi
dan menyebabkan kerusakan pada komponen.
3.1 Tribologi
Terminologi tribologi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1966 oleh
Peter Jost, sebagai ilmu tentang gesekan (friction), keausan (wear) dan pelumasan
(lubrication) dari permukaan yang berinteraksi (kontak) dan merupakan
pengetahuan baru yang didefenisikan tahun 1967 oleh committee of the
Organization for Economic Cooperation and Development (Stachowiak,
Batchelor, 2005). Hasil yang didapatkan dari penerapan tribologi ini adalah
mengurangi kehilangan energi akibat gesekan, mengurangi keausan dan
meningkatkan umur pakai dari komponen (Goryacheva, 1998).
3.2 Kontak mekanik
Kontak antara dua permukaan sesungguhnya kontak antara titik-titik
permukaan yang lebih tinggi atau contact spots (Majundar, Bhushan, 1999).
Kontak mekanik adalah ilmu yang mempelajari deformasi yang terjadi pada dua
permukaan yang saling kontak pada satu atau beberapa titik dari permukaan
(Johnson, 1985). Yang dimaksud dengan deformasi pada permukaan adalah
asperity deformation.
POLBAN
40
Ketika kontak antara asperity terjadi, maka asperity tersebut akan
mengalami elastic deformation atau plastic deformation (Larsen, 1992). Kedua
jenis deformasi ini dapat dibedakan dengan nilai dari plasticity index, sebagai
berikut:
𝜓 = 𝐸′
𝐻
𝜍
𝛽 ………………………………….. (3.1)
dimana ψ adalah plasticity index, H adalah kekerasan material dalam N/m2 , σ
adalah distribusi standar deviasi dari tinggi asperity, β adalah radius ujung
asperity dan E’ adalah efektif elastis modulus dari Hertzian dan dirumuskan
dengan:
𝐸′ = 1−𝜐1
2
𝐸1+
1−𝜐22
𝐸2 −1
……………….….…. (3.2)
dimana E1 dan E2 adalah elastic moduli, υ1 dan υ2 adalah Poisson ratio dari kedua
material. Jika salah satu material secara signifikan lebih keras dari yang lainnya,
maka:
𝐸′ = 𝐸
1−𝜐2 ……………………………..……. (3.3)
jika jenis kedua material sama, maka E’ adalah setengah dari nilai tersebut. Jika
nilai plasticity index (ψ < 0,6), maka jenis deformasi disebut elastic deformation
dan jika nilai plasticity index (ψ > 1,0), maka jenis deformasi disebut plastic
deformation (Stolarski, 1990).
Kontak mekanik dapat dibedakan menjadi conforming contacts dan non-
conforming contacts (Johnson, 1985). Conforming contacts dimana kedua
permukaan benar-benar kontak sebelum terjadi deformasi, contoh penerapan dari
jenis kontak ini adalah pada flat slinder bearings dan journal bearings. Gambar
3.1 memperlihatkan jenis kontak ini.
POLBAN
41
Sedangkan kontak non-conforming (Non-conforming contacts) adalah
kontak antara dua permukaan yang profilnya berbeda, contoh penerapan dari jenis
kontak ini adalah pada ball bearing dan roller bearing. Sebelum terjadi
deformasi, kontak kedua permukaan ini adalah point contact dan atau line
contact. Kedua jenis kontak ini seperti yang diperlihatkan pada gambar 3.2 dan
gambar 3.3.
3.3 Gesekan (friction)
Gesekan (friction) adalah hambatan yang terjadi pada dua permukaan yang
saling bergesekan. Gesekan berasal dari bahasa latin fricare, yang berarti rub.
Gesekan ini bisa terjadi antara gas dan benda solid (aerodynamic friction), cairan
dan benda solid (liqud friction) dan pada proses kehilangan energi pada benda itu
Gambar 3.1 Conforming contact.
Gambar 3.3 Non-conforming contact (point contact).
Gambar 3.2 Non-conforming contact (line contact).
POLBAN
42
sendiri (internal friction). Pada bagian ini hanya dibahas gesekan diantara kedua
benda solid (Larsen, 1992).
Studi mengenai gesekan ini (dry friction) sudah diawali oleh Leonardo da
Vinci (1495), Amantos (1699), Euler (1750) dan Coulomb (1781). Didalam
eksperimennya mereka mengambil tiga kesimpulan bahwa: gaya gesek selalu
berlawan arah dengan perubahan relatif dari dua permukaan yang berinteraksi,
gaya gesek adalah fungsi dari gaya normal dan yang terakhir adalah gaya gesek
tidak dipengaruhi oleh luas permukaan kontak (Stolarski, 1990). Sementara itu
Leonard Euler mendefenisikan bahwa gaya gesek statik berbeda dengan gaya
gesek kinetik, beliau juga yang mendefenisikan koefisien gesek dengan simbul μ,
selanjutnya Charles Augustin Coulomb mengatakan bahwa gaya gesek pada dua
permukaan yang saling berinteraksi dipengaruhi oleh jenis material, komposisi
permukaan, contact time, pelumasan, kecepatan sliding, kelembaban, dan
temparatur (Popov, 2009).
3.3.1 Gaya gesek statik
Jika gaya tangensial yang bekerja pada permukaan kontak (F < μ. FN), maka
akan terjadi kecenderungan permukaan untuk bergeser, gesekan ini dinamakan
static friction. Jika gaya tangensial yang bekerja pada permukaan kontak ( F = μ.
FN), maka kondisi yang terjadi di daerah kontak adalah full slip, gesekan ini
dinamakan sliding friction (Goryacheva, 1998).
Amantos mendefenisikan persamaan dasar gaya gesek statik (Fs) adalah:
𝐹𝑠 = 𝜇𝑠 .𝐹𝑁 ………………………..………. (3.4)
dimana Fs adalah gaya gesek statik, μs adalah koefisien gesek statik (nilai
kwantitatif gesekan) dan FN adalah gaya normal.
3.3.2 Gaya gesek kinetik
Gaya resistan yang terjadi pada permukaan yang berinteraksi setelah gaya
gesek statik terlampaui (F > μ. FN). Hasil eksperimen yang dilakukan Coulomb
menunjukan bahwa porperties dari gaya gesek kinetik adalah; gaya gesek kinetik
proposional terhadap gaya normal, secara signifikan menunjukan bahwa tidak ada
ketergantungan antara gaya gesek kinetik dengan luas permukaan kontak dan
POLBAN
43
kekasaran permukaan, koefisien gaya gesek kinetik hampir sama dengan koefisien
gaya gesek statik (Popov, 2009).
Coulomb mendefenisikan persamaan dasar gaya gesek kinetik (Fk) adalah:
𝐹𝑘 = 𝜇𝑘 .𝐹𝑁 …………………………..…….. (3.5)
dimana Fk adalah gaya gesek kinetik, μk adalah koefisien gesek kinetik (μk ≈ μs)
dan FN adalah gaya normal.
3.3.3 Koefisien gesek pada permukaan kontak
Koefisien gesek pada permukaan yang saling kontak dari material yang
berlainan sangat tergantung kepada banyak parameter, seperti gaya normal,
kekerasan material, kemiringan sudut kontak,dll. Coulomb menampilkan suatu
model kontak permukaan pada dry friction seperti pada gambar 3.4. Gambar
tersebut memperlihatkan interaksi antara micro-roughnesses dari kedua
permukaan yang saling kontak. Pengaruh kekasaran permukaan terhadap gaya
gesek ini sangat sulit. Meskipun begitu setiap peneliti berusaha untuk
menampilkan yang terbaik agar mudah dipahami.
Untuk mengestimasi koefisien gesek dari permukaan yang saling kontak
tersebut, maka permukaan dimodelkan seperti yang ditampilkan pada gambar 3.5
berikut:
Gambar 3.4 Interaksi antara dua kekasaran permukaan (Popov, 2009).
Gambar 3.5 Model dari permukaan kontak pada dry friction (Popov, 2009).
POLBAN
44
dari gambar dapat diketahui bahwa koefisien gesek statik pada permukaan yang
saling kontak tersebut adalah μs = tan θmax. Persamaan ini sama dengan koefisien
gesek statik yang terjadi pada bidang miring, yaitu: μs = tan θ.
Selanjutnya pada tahun 1949, Bowden dan Tobar mengemukakan teorinya
mengenai gesekan kinetik pada permukaan metal (pure metallic surfaces) yang
membentuk formasi cold-weld junctions. Keduanya berasumsi bahwa kontak yang
terjadi pada asperities akan terjadi deformasi plastic dengan kedalaman contact
pressure (σo) sama dengan indentation hardness (H) dari material tersebut.
Sehingga luas daerah kontak yang sesungguhnya adalah (Ac), yang didefenisikan
dengan persamaan:
𝐴𝑐 = 𝐹𝑁
𝐻 ………………………….………… (3.6)
teori ini menunjukan bahwa koefisien gesek statik tidak dipengaruhi oleh luas
daerah kontak (Ac). Selama peristiwa cold-weld junctions akan terjadi tangential
shear stress (τ), sehingga persamaan gaya gesek statik menjadi:
𝐹𝑠 = 𝐴𝑐 . 𝜏 …………………………………. (3.7)
dan persamaan koefisien gesek kinetik (μk) menjadi:
𝜇𝑘 = 𝐹𝑠
𝐹𝑁=
𝐴𝑐 .𝜏
𝐴𝑐 .𝐻=
𝜏
𝐻 …………..………….. (3.8)
Indentation hardness (H ~ 3σy), dimana σy adalah tensile strength, dan
tangential shear strees (τ ~ 1/ 3 . σy) atau τ ~ (0,5 ÷ 0,6) σy. Untuk kasus gesekan
tanpa pelumasan seperti pada pasangan steel-bronze, steel brass atau steel cast
iron koefisien gesek kinetik efektif berkisar antara 0,16 ÷ 0,2 (Larsen, 1992,
Popov, 2009).
Tegangan pada daerah tekan/contact pressure (H ~ 3σy) dan tegangan pada
daerah tarikan/tensile areas (H ~ ζσy) dimana ζ lebih kecil dari 3, sehingga
persamaan untuk gaya normal (FN) adalah:
𝐹𝑁 = 𝜍𝑦 3𝐴𝑐𝑜𝑚𝑝 − 𝜁𝐴𝑡𝑒𝑛 ……….……… (3.9)
POLBAN
45
Jika semua formasi cold-weld junctions mengalami pergeseran (tangential
shear stress τ), maka persamaan untuk gaya gesek statik (Fs) adalah:
𝐹𝑠 = 𝜏 𝐴𝑐𝑜𝑚𝑝 + 𝐴𝑡𝑒𝑛 ………………….. (3.10)
sehingga persamaan untuk koefisien gesek kinetik (μk) adalah:
𝜇𝑘 = 𝜏 𝐴𝑐𝑜𝑚𝑝 + 𝐴𝑡𝑒𝑛
𝜍𝑦 3𝐴𝑐𝑜𝑚𝑝 − 𝜁𝐴𝑡𝑒𝑛 ……………………. (3.11)
dengan berasumsi (τ ~ σy/ 3), dimana material dalam kondisi plastic isotropic,
maka persamaan untuk koefisien gesek kinetik (μk) menjadi:
𝜇𝑘 = 1
3
𝐴𝑐𝑜𝑚𝑝 + 𝐴𝑡𝑒𝑛
3𝐴𝑐𝑜𝑚𝑝 − 𝜉𝐴𝑡𝑒𝑛 ………………….. (3.12)
Berikut ini adalah beberapa kasus pada kontak mekanik:
a. Permukaan logam yang diberi sedikit pelumas untuk menghindari sifat
adhesif dari logam, pada kasus ini Aten = 0, sehingga koefisien gesek
kinetik (μk) menjadi:
𝜇𝑘 = 1
3 3 ≈ 0,19 ………………. (3.13)
Koefisien gesekan ini termasuk dalam gesekan kering (dry friction)
antara logam, logam bebas dari pengaruh oxides dan jumlah impurities
hanya sedikit.
b. Permukaan logam tanpa diberi pelumas, permukaan logam dipengaruhi
oleh oxides. Pada kasus ini dapat diasumsikan pengaruh sifat adhesif
sangat kuat dan tegangan pada area kontak akibat compression dan
tension dianggap sama. Koefisien gesek pada kasus ini adalah:
𝜇𝑘 = 1
3
2
3−𝜁 ……….…………. (3.14)
Untuk harga ζ = 1 ÷ 2, koefisien gesek pada rumus ini berkisar antara (μk
≈ 0,6 ÷ 1,2). Estimasi ini berlaku untuk material pada kondisi isotropic.
Koefisien gesek ini berlaku untuk material dengan cubic crystal lattices,
POLBAN
46
seperti Fe, Al, Cu, Ni, Pb, Sn. Sedangkan untuk material dengan
hexagonal lattices, seperti Mg, Ti, Zn, Cd, koefisien geseknya adalah
sekitar 0,6.
c. Logam berbentuk lembaran tipis kontak dengan logam yang lunak,
seperti timah hitam atau timah putih kontak dengan baja, tembaga atau
perak kontak dengan baja. Koefisien gesek pada peristiwa ini sekitar 0,1
atau lebih kecil.
d. Multi phase materials, setiap material yang digunakan dalam aplikasi
tribologi tidak selamanya material murni. Contohnya seperti pada tin-
bronze dan lead bronze, material ini biasa digunakan pada bearings
yang berfungsi untuk mereduksi gesekan. Koefisien gesek pada kasus
ini sama seperti pada kasus tiga (μk sekitar 0,1 atau lebih kecil).
e. Pada permukaan kontak hanya terjadi deformasi elastik. Pada kasus ini
tidak terjadi tangential shear strees akibat contact pressure, karena
deformasi pada permukaan adalah murni deformasi elastik.
3.4 Keausan (wear)
Keausan adalah hilangnya sebagian material secara bertahap akibat adanya
gerakan relatif dua permukaan (Stachowiak, 2006). Proses keausan sulit diamati
secara langsung karena proses tersebut pada umumnya terjadi secara berangsur-
angsur dalam jangka waktu yang lama dan melibatkan banyak faktor. Keausan
atau wear merupaka fenomena yang menyebabkan rusaknya sebagian atau bahkan
seluruh permukaan material yang disebabkan oleh mechanical, chemical dan
thermal (Ludema, 1992). Pemilihan material yang tepat, atau pelapisan
permukaan material dan pemberian pelumas pada permukaan dapat memperbaiki
nilai ekonomi. Gesekan dan keausan pada permukaan kontak terjadi secara
bersamaan, tetapi didalam prakteknya mereka mempunyai fenomena yang
berbeda. Sebagai contoh; gesekan terjadi tetapi tidak terjadi keausan, dilain pihak
keausan dapat terjadi karena ada beben normal meskipun belum ada gerakkan
tangential (Popov, 2009). Keausan yang terjadi pada mechanical system
disebabkan oleh adanya kontak kedua elemen dan adanya gerakkan relatif dari
POLBAN
47
kedua elemen tersebut, atau yang lebih dikenal dengan tribological action, seperti
yang diperlihatkan pada gambar 3.6 berikut:
Secara keseluruhan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya keausan
pada permukaan kontak dapat digambarkan sebagai berikut:
Sebagaiman telah disampaikan di atas bahwa keausan terjadi disebabkan
oleh tiga asmpek, yaitu mechanical, chemical dan thermal, banyak cara untuk
menguraikan jenis keausan ini. Keausan yang disebabkan oleh sifat adhesif dari
dua permukaan kontak dinamakan adhesive wear. Bilamana kerusakan permukaan
ini disebabkan oleh fatigue processes, maka jenis keausan ini dinamakan fatigue
wear. Disisi lain keausan yang disebabkan oleh jika ada dua permukaan dengan
kekerasan yang berbeda saling bergesekan atau ada partikel lain yang lebih keras
Gambar 3.6 Tribological ection (Gresham, Totten, 2009).
Gambar 3.7 Faktor-faktor penyebab terjadinya keausan (Gresham, 2009).
POLBAN
48
ada dipermukaan tersebut (third body), maka jenis keausan tersebut dinamakan
abrasive wear. Ada dua jenis keausan didalam abrasive wear ini, yaitu: erosive
wear dan cavitation wear. Selain itu jika terjadi reaksi kimia pada permukaan
kontak akibat berkurangnya lapisan pelumas, maka peristiwa ini dinamakan
corrosive wear, dan jika lapisan pelumas terkontaminasi dengan udara atau
oksigen, maka kondisi ini dinamakan oxidative wear. Jika lapisan permukaan
material terjebak didalam permukaan kontak yang menyebabkan rusaknya
permukaan, maka peristiwa ini dinamakan fretting wear. Masih banyak lagi
bentuk mekanisme keausan seperti impact wear, terjadi akibat impact kedua
permukaan kontak, deffusive wear terjadi pada temparatur tinggi. Jika dilihat dari
tipe kontaknya maka keausan dapat digambarkan sebagai berikut:
3.5 Pelumasan (lubrication)
Pelumasan (lubrication), dikenal dengan tindakan menempatkan pelumas
diantara dua permukaan yang saling kontak dengan menggunakan pelumas cair
(liqud), pelumas gas, maupun pelumas padat (solid) yang berfungsi untuk
Gambar 3.8 Uraian keausan dilihat dari tipe kontaknya (Kato, Koshi, 2001).
POLBAN
49
mereduksi gesekan dan keausan serta mengurangi panas dan membawa pergi
partikel keausan (Cheng 1992).
Pelumas yang diberikan ini tergantung kepada beberapa faktor, yaitu:
geometri permukaan kontak, kekasaran dan tekstur permukaan, beban kontak,
tekanan dan temparatur, kecepatan rolling dan sliding, kondisi lingkungan dan
jarak antara dua permukaan kontak. Semua faktor ini akan mempengaruhi sifat
fisik dan sifat kimia dari pelumas.
Ada dua bentuk dasar untuk lubricated surfaces, yaitu conformal dan
counterformal seperti yang diperlihatkan dalam gambar 3.9 berikut ini.
Bentuk permukaan conformal dapat ditemui pada sliding journal dan trust
bearings, machine guideways, dan seals. Permukaan ini biasa dioperasikan pada
regime of thick-film hydrodynamic atau hydrostatic lubrication. Sedangkan
bentuk permukaan counterconformal dapat ditemui pada Hertz contact, dimana
area permukaan kontaknya sangat kecil. Lapisan pelumasnya sangat tipis, sama
dengan nilai kekasaran permukaan. Performa pelumasnya sangat mempengaruhi
elastic deformation permukaan kontak. Ketebalan pelumas dan tekanan pelumas
serta distribusinya ditentukan oleh elastohodrodinamic lubrication.
3.5.1 Tipe pelumasan
Pelumasan diantara dua permukaan kontak berfungsi untuk memisahkan
dua permukaan yang saling kontak agar pergerakan permukaan satu terhadap yang
Gambar 3.9 Bentuk permukaan untuk pelumasan (Cheng 1992).
POLBAN
50
lainnya dapat lebih lancar (smoothness). Pelumasan diantara permukaan kontak
dapat dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu:
a. Hydrostatic Lubrication, pelumasan pada tipe ini dilakukan dengan
menempatkan pelumas didaerah kontak yang diberi beban atau tekanan
tertentu. Permukaan kontak dalam kondisi diam atau tidak saling
bergerak satu terhadap yang lainnya (static). Ketebalan lapisan pelumas
sangat relatif, sehingga kedua permukaan tidak sesungguhnya terpisah.
Keausan pada tipe pelumasan ini terjadi akibat fatigue.
b. Hydrodynamic Lubrication (HL), berbeda dengan hydrostatic
lubrication, pada tipe ini kedua permukaan kontak benar-benar
dipisahkan oleh lapisan pelumas. Kondisi kedua permukaan saling
bergerak satu terhadap yang lainnya (sliding) dan pelumasan dilakukan
secara terus menerus sehingga pelumas mengisi semua daerah kontak.
Tipe pelumasan ini dikenal juga dengan mana full-film atau fluid
lubrication.
c. Elastohydrodynamic Lubrication (EHL), tipe ini termasuk kedalam
hydrodynamic lubrication. EHL terjadi bilamana melumasi permukaan
rolling contact, seperti pada permukaan kontak antara dua roda gigi atau
rolling bearings. Area kontak kedua permukaan sangat kecil, lapisan
pelumas sangat tipis (sama dengan nilai kekasaran permukaan),
sehingga tipe ini dikenal juga dengan nama boundary lubrication.
Pergantian dari hydrodynamic lubrication ke boundary lubrication tidak
terjadi secara mendadak, melainkan secara bertahap percampuran antara
tipe hydrodynamic lubrication dengan tipe boundary lubrication yang
dikenal dengan nama mixed lubrication, sampai akhirnya dominan
boundary lubrication.
Fenomena pelumasan pada permukaan kontak ini dapat dijelaskan dengan
stribeck curve, seperti pada gambar 3.10. Kurva tersebut menunjukan pengaruh
viskositas pada pelumas terhadap permukaan kontak. Tipe pelumasan pada zone 3
adalah tipe pelumasan hidrodinamic lubrication, dimana titik C adalah titik yang
ideal karena gesekan dan keausan sangat minim.
POLBAN
51
Boundary lubrication Mixed lubrication Hydrodinamic lubrication
Seiring dengan menurunnya nilai viscocity mulai dari titik B, maka kontak
antara asperity terjadi sehingga gesekan meningkat secara cepat sampai ke titik A.
Tipe pelumasan dari titik B sampai titik A (zone 2) adalah mixed lubrication,
dimana terjadi proses pergantian tipe pelumasan dari hydrodynamic lubrication ke
boundary lubrication. Beban tekan sebagian dibawah oleh pelumas, sebagian lagi
oleh asperity. Pada zone 1 yaitu dari titik A ke kiri, tipe pelumasan adalah
boundary lubrication. Pada zone ini kondisi kedua permukaan kontak cenderung
menempel.
Daerah pelumasan (zone) ditentukan oleh 𝜂𝑁
𝑃, dimana η adalah dynamic
viskositas pelumas, N kecepatan putaran dan P adalah beban tekan.
3.5.2 Viskositas pelumas
Viskositas minyak pelumas memegang peranan penting dalam sistim
pelumasan. Setiap minyak pelumas memiliki viskositas yang berbeda, nilai
viskositas minyak pelumas dapat berubah dengan meningkatnya temparatur dan
tekanan sehingga ketebalan lapisan minyak pelumas akan berkurang secara
proporsional (Stachowiak, Batchelor , 2005).
Gambar 3.10 Stribeck curve (Lansdown, 2004).
POLBAN
52
Viskositas ditentukan melalui dynamic atau absolute viscosity dan
Kinematic viscosity.
a. Dynamic viscocity
Dynamic viscocity (η) yaitu perbandingan antara shear stress (τ)
terhadap resultant shear rate (u/h) ketika cairan pelumas mengalir.
Gambar 3.11 memperlihatkan skema kondisi pelumasan diantara dua
permukaan.
Gaya F yang berusaha untuk menggerakkan permukaan kontak
didefenisikan sebesar:
𝐹 = 𝜂 .𝐴 .𝑢
ℎ …………………..….. (3.15)
dan besar nilai dynamic viscosity η adalah:
𝜂 =𝜏
𝑢ℎ ………………….……… (3.16)
dimana:
η = dynamic viscocity [Pa.s]
τ = shear stress yang terjadi pada pelumas [Pa]
u/h = shear rate [s-1]
Gambar 3.11 Kondisi pelumas diantara dua permukaan (Stachowiak, 2005).
POLBAN
53
Besaran ini pada mulanya ditentukan dalam satuan Poise (P) sesuai
dengan nama penemunya yaitu Poiseuille berkebangsaan Perancis.
Namun dalam standard internasionan (SI) diukur dalam besaran Pascal-
seconds (Pa.s) atau Newton seconds per square meter (N.s/m2), sehingga
nilai tersebut harus disetarakan menjadi:
1 Poise (P) = 100 centipoise (cPs) ≈ 0,1 [Pa.s]
1 [cPs] = 10-3 [Pa.s] = 10-3 [N.s/m2]
b. Kinematic viscocity
Kinematic viscocity (υ) adalah perbandingan antara dynamic viscosity
(η) dengan dencity minyak pelumas (ρ). Perbandingan ini didefenisikan
sebagai berikut:
𝜐 = 𝜂
𝜌 ……………………………. (3.17)
dimana:
υ = kinematic viscocity [m2/s]
η = dynamic viscocity [Pa.s]
ρ = dencity minyak pelumas [kg/m3]
Besaran ini sebelumnya ditentukan dalam stoke (St) dan aplikasi
didalam praktek ditentukan dengan unit yang lebih kecil yaitu
centistoke (cSt). Namun di dalam standar internasional (SI) diukur
dalam besaran m2/s, sehingga nilai tersebut harus diseterakan menjadi:
1 [St] = 100 [ cSt] = 0,0001 [m2/s]
1 [cSt] = 1 mm2/s]
Dencity minyak pelumas berkisar antara 700 kg/m3 sampai 1200 kg/m3
atau (0,7 – 1,2 g/cm3). Biasanya dencity minyak pelumas yang
digunakan dalam perhitungan adalah 850 kg/m3 (0,85 g/cm3). Untuk
menentukan dynamic viscociry oli (cPs) atau (Pa.s), maka viskositas oli
tersebut (cSt) dikalikan dengan nilai dencity tersebut seperti berikut:
viscocity in (cPs) = vicocity in (cSt) x 0,85 [g/cm3] atau
viscocity in (Pa.s) = viscocity in (cSt) x 0,85 [g/cm3] x 10-3
Untuk mengestimasi viskositas pelumas yang ideal untuk setiap kondisi
operasi, pertama tama kita mengestimasi kecepatan permukaan bidang kontak dari
mesin (V), sebagai berikut:
POLBAN
54
𝑉 = 𝜋 . 𝑑 .𝑛 ………………………..…….. (3.18)
dimana:
V = kecepatan permukaan kontak [m/s]
d = diameter poros [m]
n = jumlah putaran poros [put/s]
selanjutnya mengestimasi total tekanan, yaitu pengaruh beban yang bekerja pada
permukaan kontak secara keseluruhan:
𝑃 = 𝑊
𝑙 .𝑑 …………………………………… (3.19)
dimana:
P = tekanan [kN/m2]
l = lebar bearing [m]
d = diameter poros [m]
W = beban [kN]
Pada gambar 3.12 memperlihatkan bahwa pada tekanan sedikit diatas 2000
kN/m2 dan kecapatan permukaan kontak (V = 1,667 m.s-1), viskositasnya sama
dengan 30 cPs.
Gambar 3.12 Estimasi viskositas (Make, 2008).
POLBAN
55
3.5.3 Viskositas indeks
Viskositas indeks ini dikembangkan oleh Dean dan Davis pada tahun 1929
di Pennsylvania. Viskositas indeks adalah nilai sensitifitas dari viskositas oli
terhadap temparatur. Viskositas indeks ini membandingkan viskositas kinematik
dari oli dengan dua jenis oli referensi, dimana kedua jenis oli referensi ini
memiliki viskositas indeks yang berbeda yaitu oli yang satu memiliki viskositas
indeks (VI = 0) dan oli yang lainnya memiliki viskositas indeks (VI = 100) pada
100oF (37,8oC), tetapi kedua jenis oli ini memiliki nilai viskositas yang sama pada
temparatur 210 oF (98,89oC). Nilai viskositas indeks ini dapat dihitung dengan
persamaan:
𝑉𝐼 = 𝐿−𝑈
𝐿−𝐻 .100 ……………………………………… (3.20)
dimana:
U = viskositas oli sample dalam cSt pada 40oC.
L = viskositas oli referensi dalam cSt pada 40oC, VI = 0.
H = viskositas oli referensi dalam cSt pada 40oC, VI = 100.
POLBAN
56
Bab 4
Hasil dan Pembahasan
Kegagalan dalam sebuah rancangan menjadi pusat perhatian didalam proses
perancangan, oleh sebab itu perancang harus memikirkan hal-hal yang
menyebabkan kegagalan dalam sebuah rancangan, sehingga hasil rancangan dapat
mengemban fungsinya dengan baik. Kegagalan terhadap sebuah rancangan dapat
disebabkan oleh berbagai aspek, seperti keausan, korosi, retakan dan lain-lain.
Semua penyebab kegagalan tersebut harus ditelaah satu demi satu agar hasil
rancangan dapat mengemban fungsinya dengan baik. Secara skematis fokus
perancangan dapat ditunjukan dalam gambar 4.1. Failure focus mengidentifikasi
tipe atau model kegagalan atau secara spesifik perancang harus memperhatikan
karakteristik material dan kondisi operasi dari sebuah komponen.
Variabel-variabel dalam sebuah rancangan, seperti lingkungan, beban,
geometri, dan properti dari material sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah
rancangan. Hubungan antara variabel perancangan dan aspek kegagalan
ditunjukan dalam sebuah matrix seperti pada tabel 4.1. Garis silang pada cell
matrix menunjukan bahwa hubungan yang kuat antara specific design variables
dengan mode of failure. Sedangkan σu adalah rupture strength, σy adalah yield
Gambar 4.1 Fokus dalam perancangan komponen (Andrew, John, 1999).
POLBAN
57
strength, Se adalah endurance limit, E adalah elastic modulus, Kc adalah fracture
toughness factor dan H adalah hardness.
Tabel 4.1 Matrix hubungan antara design variable dengan failure focus (Andrew, John, 1999).
Failure focus
Rupt
ure
yiel
ding
Exce
ssiv
e de
flect
ion
Fatig
ue
Buck
ling
Wea
r
Cor
rosi
on
Stre
s co
rros
ion
Cre
ep
Des
ign
vari
able
s
Mat
eria
l Pr
oper
ties Su, Sy, Se Su E Se E
E, Kc, H Sy Sy Su Sy H
Kc
Geo
met
ry Load-efficient
distribution of materials. Stres intensity factors
Χ Χ Χ Χ
Load
ch
arac
ter Static loading Χ Χ Χ Χ Χ
Time-dependent dynamic loading Χ Χ Χ
Envi
ronm
ent Operating
temparature Χ Χ
Χ
Corrosive Χ Χ Abrasive Χ
Secara keseluruhan kegagalan dalam komponen rancangan disebabkan oleh
satu atau beberapa aspek dari failure focus, yaitu: rupture yielding, excessive
deflection, fatigue, buckling, wear, corrosion, stress corrosion, creep.
4.1 Formulasi empirik yang mendukung rancangan
Untuk mendukung keberhasilan aplikasi rancangan dan pembuatan mesin
uji tribometer dibutuhkan formulasi pendukung analisa kekuatan konstruksi dan
analisa kekuatan material berdasarkan prinsip-prinsip mekanika statis dan dinamis
sesuai dengan informasi/data atau lebih tepatnya kriteria awal yang diperlukan
pelanggan, sehingga dapat dijamin kekuatan dan keamanan baik kekuatan
komponen maupun kekuatan konstruksi mesin secara keseluruhan. Informasi awal
POLBAN
58
yang diperoleh dari pelanggan disamping hal-hal yang lain adalah membuat mesin
uji tribometer dengan putaran yang dapat diatur berkisar antara 0 – 10000 rpm dan
beban tekan kira-kira 5 kg. Dari informasi tersebut maka diperlukan motor listrik
dengan data-data sebagai berikut:
Putaran motor listrik (n1) = 2950 rpm.
Daya motor (D) 1 Hp = 746 Watt.
Konsumsi arus (I) = 1 Amper.
Berdasarkan data-data tersebut maka dapat ditentukan hal-hal sebagai
berikut:
4.1.1 Dimensi awal yang mendukung rancangan
a. Menentukan putaran maksimal poros specimen (n2) dengan
menggunakan persamaan:
𝑛1
𝑛2=
𝑍2
𝑍1=
𝑑2
𝑑1 ..................... (4.1)
Dengan menggunakan persamaan ini maka dapat diperoleh jumlah
putaran poros specimen (n2) = 10676,2 rpm, jumlah gigi pada pulley
masing-masing dapat ditentukan (Z1) = 76 gigi dan (Z2) = 21 gigi.
b. Perhitungan torsi (M2) pada poros specimen sebelah kiri dengan
menggunakan persamaan:
𝑀2 = 𝑷 .60
2𝜋𝑛2 …………………. (4.2)
Dengan menggunakan persamaan ini maka diperoleh torsi pada poros
specimen sebelah kiri sebesar (M2) = 0,667 Nm.
c. Menentukan gaya yang bekerja pada load cell (F). Karena torsi dari
motor listrik harus terukur maka diperlukan sebuah load cell untuk
mengukur gaya akibat torsi tersebut, untuk menentukan gaya ini maka
diperlukan radius dari diameter specimen terkecil yang akan digunakan
dalam variasi pengujian. Untuk hal ini ditentukan diameter specimen
POLBAN
59
terkecil adalah 35 mm dan radiusnya adalah (r) = 17,5 mm = 0,0175 m.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung gaya tersebut adalah:
𝐹 = 𝑀2
𝑟 ……………….……. (4.3)
Dengan menggunakan persamaan terssbut maka diperoleh gaya (F) =
38 N.
d. Untuk menentukan gaya maksimal yang bekerja pada load cell maka
digunakan persamaan:
Fc = F + (25% ÷ 35%) ….… (4.4)
Dengan menggunakan persamaan ini maka diperoleh gaya makasimal
yang berkerja pada load cell (Fc) = 50 N = 5 kg.
4.1.2 Analisa gaya gesek pada saat dua specimen saling kontak
Gaya gesek (FG) ini diperlukan untuk mengetahui nilai koefisien gesek
kinetik (μk), yaitu salah satu variabel yang diperlukan dalam pengujian. Untuk
memperoleh nilai gaya gesek tersebut maka diperlukan data teknis dari pulley dan
sabuk bergigi (timing belt) sebagai berikut:
Jumlah gigi pada pulley (Z1) = 76 gigi dan (Z2) = 21 gigi.
Pitch differential (k) = 0,7 mm
Kisar gigi timing belt (K) = 8 mm dan jumlah gigi timing belt (Zs) = 170 gigi.
Berdasarkan data-data tersebut maka dapat ditentukan hal-hal sebagai
berikut:
a. Menentukan diameter pitch pulley (d1) dan (d2). Untuk menentukan
kedua diameter pulley tersebut dapat menggunakan persamaan sebagai
berikut:
𝑑1 = 𝐾.𝑍1
𝜋− 2.𝑘 ……….……. (4.5)
𝑑2 = 𝐾.𝑍2
𝜋− 2.𝑘 ……………. (4.6)
POLBAN
60
Dari kedua persamaan tersebut maka diperoleh diameter pulley (d1) =
192,1324 mm dan (d2) = 52,0761 mm.
b. Menentukan jarak sumbu poros (C) dan sudut kontak pulley (θ1,2). Yang
dimaksud dengan jarak sumbu adalah jarak antara sumbu poros motor
dan sumbu poros specimen. Jarak tersebut dapat dihitung dengan
persamaan:
𝐶 =𝑌+ 𝑌2− 2 𝑑2−𝑑1 2
4 …………… (4.7)
𝑌 = 𝐿 − 𝜋 (𝑑2+ 𝑑1)
2 ……………… (4.8)
L = K . Zs ………………………. (4.9)
Dari persamaan tersebut dipeoleh jarak sumbu antara kedua poros
adalah (C) = 483.1239 mm. Sedangkan untuk menentukan sudut kontak
(θ) antara sabuk dan pulley bergigi dapat menggunakan persamaan
sebagai berikut:
𝜃1 = 2 .𝑎𝑟𝑐 𝑐𝑜𝑐 𝑑1−𝑑2
2 .𝐶 ……….. (4.10)
Dari persamaan tersebut diperoleh sudut kontak (θ1 = 163o19’53”).
c. Menentukan gaya gesek (FG) pada saat dua specimen saling kontak.
Gaya gesek tersebut diperlukan untuk menentukan koefisien gesek
kinetik (μk) pada permukaan kontak. Koefisien gesek kinetik ini
merupakan salah satu variabel yeng diperlukan dalam penelitian, selain
Gambar 4.2 Variabel-variabel pada mekanisme pulley.
POLBAN
61
nilai kekasaran permukaan (Ra). Gaya gesek tersebut dapat dianalisa
melalui mekanisme pulley seperti yang diperlihatkan pada gambar 4.3
dan 4.4 berikut ini.
Dari gambar 4.3, berdasarkan hukum keseimbangan maka gaya pada
sabuk (T’) dapat ditentukan dengan cara sebagai berikut:
Σ𝑀𝑜 = 0
𝐹𝑐 .125 = 𝑇 .𝑑1
2
𝑇 = 𝐹𝑐 .250
𝑑1 ………….. (pers. 1).
𝑇 ′ = cos𝛼 . 𝑇 ..…….. (pers. 2).
Dengan memasukan persamaan (1) ke dalam persamaan (2) untuk nilai
T, maka gaya pada T’ adalah:
𝑇 ′ = cos𝛼 .𝐹𝑐 .250
𝑑1 …………………..…… (4.11)
dimana 𝛼 = 180𝑜− 𝜃1
2= 8𝑜20′
Sedangkan untuk menentukan gaya gesek pada permukaan kontak dapat
dianalisa dari gambar 4.4, sebagai berikut:
Σ𝑀𝑜 = 0
𝑇 ′ . cos𝛼 . 𝑑2
2= 𝐹𝐺 .
𝑑𝑠
2
𝐹𝐺 = 𝑇 ′ cos 𝛼 .𝑑2
𝑑𝑠 ………… (pers. 3).
Gambar 4.3 Analisa gaya pada T’.
Gambar 4.4 Analisa gaya gesek (FG).
POLBAN
62
Dengan memasukan rumus (4.11) ke dalam persamaan (3) untuk nilai
T’, maka nilai gaya gesek (FG) menjadi:
𝐹𝐺 = cos 𝛼 2 .𝐹𝑐 .250.𝑑2
𝑑1 .𝑑𝑠 ……….….. (4.12)
Karena diinginkan putaran specimen sama dengan putaran motor, maka
perbandingan putaran menjadi (1:1). Untuk hal tersebut maka pada
jarak sumbu poros (C = 483,1239), diameter pulley dibuat mendekati
(d1 = d2 = 125,924 mm), sehingga sudut kontak antara pulley dan sabuk
(θ = 180o) dan sudut (α) menjadi nol (α = 0), sehingga persamaan untuk
gaya gesek (FG) menjadi:
𝐹𝐺 =𝐹𝑐 .250
𝑑𝑠 ……………….…….. (4.13)
dan nilai koefisien gesek kinetiknya (μk) menjadi:
𝜇𝑘 = 𝐹𝐺
𝐹𝑁 ………………………………….. (4.14)
4.1.3 Analisa beban
Beban yang bekerja pada rancangan ini terkosentrasi pada poros specimen,
beban ini disebabkan oleh tegangan sabuk, beban tekan, beban torsi dari motor
dan beban pengeraman. Untuk dapat mengetahui kekuatan hasil rancangan maka
nilai dari beban-beban tersebut harus diketahui dengan jalan sebagai berikut:
a. Analisa beban akibat tegangan timing belt
Dibanyak kasus pengukuran tegangan pada timing belt dilakukan pada
sisi kendur (T2), tegangan pada sisi kendur ini biasanya berkisar antara
10% sampai 30% dari tegangan efektif atau T2 = 10 % - 30 % dari Te,
sedangkan tegangan efktif (Te) dari timing belt dapat dihitung dengan
persamaan 𝑇𝑒 = 𝑇1 − 𝑇2 atau 𝑇𝑒 = 2 .𝑀
𝑑 (Gates, Tomkins Company,
2006).
dimana:
Te = tegangan efektif.
T1 = sisi kencang.
POLBAN
63
T2 = sisi kendur.
M = torsi.
d = diameter pitch pulley.
Pada kasus ini tegangan efektif pada belt dapat dihitung dengan
persamaan 𝑇𝑒 = 2 .𝑀1
𝑑1 dan M1 adalah torsi maksimal pada motor dan
dapat dihitung dengan persamaan 𝑀𝑚𝑎𝑥 = 9555 𝑥 𝑃
𝑛. Jika diketahui
daya motor (P = 1 Hp) dan putaran motor (n = 2950 rpm), maka torsi
maksimal adalah (M1 = 2.416 Nm), jika diketahui diameter pulley (d1 =
125.924 mm), maka tegangan efektif (Te = 38,354 N).
Untuk mengetahui tegangan pada sisi kendur (T2) dan tegangan pada
sisi kencang (T1) dapat menggunakan persamaan T2 = 0,3 x Te, sehingga
diperoleh T2 = 11,513 N dan tegangan pada sisi kencang dapat dihitung
menggunakan persamaan T1 = Te + T2, sehingga diperoleh tegangan
pada sisi kencang T1 = 49,867 N.
Karena besar diameter pulley sama (d1 = d2 = 125,924 mm), maka
beban yang bekerja pada poros specimen dapat dihitung dengan
persamaan F = T1 + T2, sehingga diperoleh beban yang bekerja pada
poros specimen akibat tegangan sabuk adalah F = 61,38 N. Untuk
diameter pulley berbeda (d1 ≠ d2), maka persamaan untuk menghitung
beban yang bekerja pada poros specimen adalah
𝐹 = 𝑇12 + 𝑇2
2 − 2 . 𝑇1.𝑇2. 2 cos𝛼 .
b. Analisa beban tekan maksimal pada poros specimen
Beban tekan yang diberikan pada poros specimen (FN) tergantung dari
torsi yang bekerja pada poros specimen (M2), diameter dari specimen
(ds) serta koefisien gasek statis dari kedua specimen yang saling kontak
(μs). Untuk menganalisa beban tekan pada poros specimen dapat
menggunakan gambar 4.5 berikut ini.
POLBAN
64
Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa torsi maksimal pada
motor (M1 = 2,416 Nm), dan karena besar pulley pada motor sama
dengan besar pulley pada poros specimen (d1 = d2 = 125,924 mm),
maka torsi pada poros specimen (M2) adalah besar torsi pada motor
(M1) dikalikan dengan efisiensi transmisi sabuk (η = 94% - 96%),
sehingga torsi pada poros specimen M2 = M1 x η. Dari perkalian ini
diperoleh torsi pada poros specimen (M2 = 2,3 Nm).
Untuk menganalisa beban tekan pada poros specimen (FN) dapat
menggunakan aturan-aturan mengenai keseimbangan serta gesekan,
sehingga diperoleh persamaan untuk beban tekan pada poros specimen
seperti berikut:
𝐹𝑁 = 2 .𝑀2
𝜇𝑠 .𝑑𝑠 ……………………… (4.15)
Karena kemampuan baca pada load cell hanya 50 N (pembacaan load
cell dalam satuan gram, maksimum pembacaan sampai dengan 5000
gram) seperti yang telah disampaikan dalam sub bab 4.1.1, maka torsi
pada poros specimen yang digunakan (M2 = 667 Nmm).
Selain itu pemberian beban pada poros specimen juga harus
mempertimbangkan beberapa kondisi seperti koefisien gesek statis (μs)
pada permukaan kontak dari kedua specimen, defleksi yang akan terjadi
pada poros specimen (δ). Dengan mempertimbangkan kodisi tersebut
maka beban makasimal dibatasi sampai dengan 5 kg (FN = 50 N).
Diameter specimen (ds) yang dapat diuji pada rancangan tersebut
berkisar antara 35 mm sampai 100 mm, sehingga koefisen gesek statis
pada beban maksimal untuk diameter specimen 100 mm adalah 0,26 (μs
Gambar 4.5 Analisa beban tekan (FN).
POLBAN
65
= 0,26), sedangkan koefisien gesek statis pada beban maksimal untuk
diameter specimen 35 mm adalah 0,76 (μs = 0,76). Untuk koefisien
gesek statis lebih besar dari jangkauan tersebut dapat divariasikan
ukuran beban atau diameter specimen.
c. Analisa beban pengereman.
Pada saat pengujian roda gigi, kondisi poros disebelah kanan dalam
keadaan bebas artinya sumber gerakan berasal dari poros sebelah kiri.
Pada kondisi ini, torsi pada poros sebelah kanan (M3) dapat dianalisa
dengan menggunakan gambar 4.6 berikut ini.
Dalam kondisi statis maka torsi pada poros sebelah kanan (M3) dapat
dianalisa dengan cara sebagai berikut:
𝑀3 = 𝐹𝐺 . 𝑟𝐵
𝐹𝐺 = 𝑀3
𝑟𝐵 ……………. (pers. 1).
𝑀2 = 𝐹𝐺 . 𝑟𝐴 ………… (pers. 2).
Dengan memasukan persamaan (1) ke persamaan (2) untuk nilai FG,
maka torsi pada poros sebelah kiri (M2) menjadi 𝑀2 = 𝑟𝐴
𝑟𝐵 .𝑀3,
sehingga torsi pada poros sebelah kanan (M3) adalah:
𝑀3 = 𝑟𝐵
𝑟𝐴 .𝑀2 …………………. (4.16)
Pada kondisi torsi maksimal pada poros sebelah kiri (M2 = 667 Nmm),
jika diameter specimen sebelah kiri maksimal 100 mm (rA = 50 mm)
Gambar 4.6 Analisa torsi pada poros sebelah kanan (M3).
POLBAN
66
dan diameter specimen sebelah kanan minimal 35 mm (rB = 17,5 mm),
maka torsi minimal pada poros sebelah kanan M3 = 233,45 Nmm.
Pada kondisi torsi maksimal pada poros sebelah kiri (M2 = 667 Nmm),
jika diameter specimen sebelah kiri minimal 35 mm (rA = 17,5 mm) dan
diameter specimen sebelah kanan maksimal 100 mm (rB = 50 mm),
maka torsi maksimal pada poros sebelah kanan M3 = 1905,7 Nmm.
Dalam kondisi ini beban pengereman (F) dapat dianalisa melalui
gambar 4.7 dan 4.8 berikut ini.
Dengan menggunakan hukum keseimbangan maka beban pengereman
dapat dianalisa dengan cara sebagai berikut:
Σ𝑀𝐴 = 0
N . b + μ . N . a – F . c = 0
N (b + μ a) = F . c
𝑁 = 𝐹 .𝑐
𝑏+ 𝜇 𝑎 …………… (pers. 1).
M3 = μ. N . r …….…….. (pers. 2).
dengan memasukan persamaan (1) ke persamaan (2) untuk nilai N,
maka torsi pada poros sebelah kanan (M3) adalah 𝑀3 = 𝜇 .𝑟 .𝐹 .𝑐
𝑏+ 𝜇 .𝑎 . Dari
persamaan ini beban pengereman (F) dapat didefenisikan sebagai
berikut:
𝐹 = 𝑀3 𝑏+ 𝜇 𝑎
𝜇 .𝑟 .𝑐 …………………. (4.17)
Gambar 4.7 Konstruksi mekanisme pengereman.
Gambar 4.8 Analisa beban pengereman (F).
POLBAN
67
Untuk variabel a, b, c, dan r adalah dimensi dari mekanisme
pengereman dan nilainya secara berturut-turut adalah 15 mm, 67 mm,
450 mm dan 22 mm. Sedangkan μ adalah koefisien gesek statis.
Koefisien gesek statis antara baja dan asbes berkisar antara 0,3 ÷ 0,6
(Yefri, Universitas Darma Persada). Pada perancangan mekanisme rem,
arah putaran poros specimen (drum rem) dibuat searah dengan putaran
jarum jam, sehingga untuk menghitung gaya normal (N) atau FN yaitu
gaya yang menekan drum rem dapat menggunakan persamaan
kesetimbangan di atas, dimana μ.N adalah gaya gesek (FG) yang
nilainya setara dengan 2.𝑀3∅ , sehingga gaya yang menekan drum rem
adalah seperti berikut:
𝐹𝑁 = 𝐹 .𝑐−
2𝑎𝑀32𝑟
𝑏 ………….…. (4.18)
Dengan mempertimbangkan berat lengan rem adalah 1,17 kg, maka
nilai FN harus ditambahkan dengan berat lengan rem. Sedangkan nilai
F dibatasi hingga 2 kg untuk menghindari kelebihan beban pada load
cell.
4.1.4 Analisa tegangan dan defleksi pada poros specimen
Issue yang terkandung dalam engineering design meliputi material
properties, load distribution, component geometry, simple, tractable analytical
model of the component we are to synthesise (Andrew, John, 1999). Pada
rancangan ini, beban terkonsentrasi pada poros specimen, sehingga pemilihan
material poros specimen harus mampu menahan beban yang bekerja padanya.
Beban yang bekerja pada poros specimen tersebut seperti yang ditunjukan dalam
gambar 4.9 berikut ini.
POLBAN
68
Bagian yang menjadi fokus dalam gambar 4.9 ini adalah daerah ujung dari
poros specimen (di tumpuan B), karena pada bagian ini akan dipasang specimen
uji dan mendapatkan beban tekan FN, Baban tekan ini berfungsi menekan
specimen pada saat kontak dengan pasangannya ketika sedang melakukan
pengujian dalam kondisi rolling sliding. Kondisi ini diharapkan dapat
menghasilkan perubahan nilai kekasaran permukaan mulai dari kondisi awal
sampai kondisi steady state. Untuk mendapatkan kondisi seperti ini maka pada
daerah ini diharapkan defleksi sekecil mungkin. Sedangkan pada ujung yang lain
(di tumpuan A) diharapkan material poros mampu menahan beban tarik dari
timing belt (F = 61,38 N) ketika motor sedang berputar. Untuk meyakinkan bahwa
poros specimen mampu menahan baban yang bekerja padanya, maka dilakukan
analisa kekuatan poros berdasarkan prinsip-prinsip yang digunakan oleh
Ferdinand P. Beer, dkk sebagai berikut:
a. Analisa tegangan pada poros.
Analisa diawali dari ujung poros specimen (di tumpuan B) seperti yang
diperlihatkan dalam gambar 4.10 berikut ini.
Gambar 4.9 Beban yang bekerja pada poros specimen sebelah kiri.
POLBAN
69
Gaya yang bekerja pada tumpuan B ini adalah gaya akibat beban tekan
(FN = 50 N) dan gaya akibat torsi (M2 = 667 Nmm). Beban tekan FN ini
akan mengakibatkan tegangan geser yang memotong luas daerah poros
dalam arah sumbu Z dan nilainya dapat ditentukan dengan persamaan
𝜏𝐹𝑁 = 4 .𝐹𝑁
3 .𝐴, sedangkan luas daerah poros 𝐴 =
𝜋 .𝑑2
4. Dari kedua
persamaan ini diperoleh tegangan geser akibat gaya FN adalah 𝜏𝐹𝑁 =
0,212 𝑁
𝑚𝑚 2. Selain itu beban tekan FN ini akan mengakibatkan torsi
pada sumbu Y (My), yang nilainya dapat dihitung dengan persamaan My
= FN . l, dari persamaan ini diperoleh My = 1000 Nmm. Akibat torsi
tersebut akan menghasilkan tegangan normal dalam arah sumbu X, yang
nilainya dapat ditentukan dengan persamaan 𝜍𝑛𝑥 = 𝑀𝑦 .32
𝜋 .𝑑3. Dari
persamaan tersebut diperoleh nilai untuk tegangan normal akibat torsi
My adalah 𝜍𝑛𝑥 = 1,273 𝑁
𝑚𝑚 2 .
Akibat putaran poros specimen maka akan terjadi torsi (M2 sebesar 667
Nmm), torsi ini akan menimbulkan tegangan geser pada poros yang
nilainya dapat dihitung dengan persamaan 𝜏𝑀2=
𝑀2 .16
𝜋 .𝑑3 , tegangan geser
ini terjadi dalam arah sumbu Y dan nilainya adalah 𝜏𝑀2= 0,425
𝑁
𝑚𝑚 2.
Tegangan geser yang terjadi dalam arah sumbu Z dan tegangan geser
yang terjadi dalam arah sumbu Y akan menghasilkan sebuah tegangan
yaitu tegangan YZ, yang nilainya dapat dihitung dengan persamaan
Gambar 4.10 Beban pada poros di tumpuan B.
POLBAN
70
𝜏𝑦𝑧 = 𝜏𝐹𝑁 2
+ 𝜏𝑀2
2. Dari persamaan tersebut diperoleh tegangan
geser YZ adalah 𝜏𝑦𝑧 = 0,475 𝑁
𝑚𝑚 2 .
Secara keseluruhan tegangan geser maksimal (τmax) yang terjadi pada
tumpuan B dapat dihitung dengan persamaan 𝜏𝑚𝑎𝑥 = 𝜍1− 𝜍2
2, dimana σ1
dan σ2 adalah tegangan normal yang nilainya dapat ditentukan dengan
persamaan 𝜍1,2 = 𝜍𝑛𝑥
2 ±
𝜍𝑛𝑥
2
2
+ 𝜏𝑦𝑧 2. Dari persamaan tersebut
diperoleh 𝜍1 = 1,431 𝑁
𝑚𝑚 2 dan 𝜍2 = − 0,158 𝑁
𝑚𝑚 2, sehingga diperoleh
tegangan geser maksimal 𝜏𝑚𝑎𝑥 = 0,795 𝑁
𝑚𝑚 2.
b. Analisa defleksi pada poros specimen.
Defleksi pada poros specimen akibat gaya FN dapat dihitung dengan
persamaan 𝛿𝑚𝑎𝑥 = 4 .𝐹𝑁 .𝑙3
3𝐸 𝜋 𝑟4 . Dari dimensi yang ada diperoleh defleksi
maksimal pada poros adalah δmax = 0.084 x 10-5 mm atau 0,081 μm. Jika
diperhitungkan dengan nilai kekakuan material maka defleksi pada
poros dapat dihitung dengan persamaan 𝛿1 = 𝐹 𝐴𝐸
𝑙
, dari persamaan ini
diperoleh nilai deflesi sebesar 0,015 μm. Untuk kondisi cantilever
seperti pada gambar 4.10, defleksi yang diijinkan adalah 1,6 mm per
metre of span, (http://www.ejsong.com.MDME/Index.htm), sehingga
defleksi yang terjadi adalah 1,6 x 0,02 = 0,032 mm = 32 μm > 0,081 μm
dengan demikian poros dianggap mampu menahan beban defleksi.
Sedangkan defleksi pada poros yang disebabkan oleh beban torsi dapat
dihitung dengan persamaan 𝜃 =𝑀2 .𝑙
𝐺 .𝐽 dimana J adalah polar second
moment of area yang dapat ditentukan dengan persamaan 𝐽 = 𝜋 .𝑑4
32, dan
G adalah modulus geser (shear modulus), untuk baja nilainya 80 x 103
N/mm2 sehingga persamaan defleksi untuk beban torsi menjadi 𝜃 =
32 .𝑀2 .𝑙
𝐺 .𝜋 .𝑑4 dari persamaan ini diperoleh defleksi akibat beban torsi (M2)
adalah 3,335 x10-5 rad atau sama dengan (1,9 x 10-3) derajat. Pada
umumnya defleksi pada poros akibat beban torsi yang diijinkan adalah
POLBAN
71
3o per metre, sehingga pada kondisi ini poros dianggap mampu menahan
beban torsi karena 0,02 m x 3o = 0,06o, defleksi 0,06o > (1,9 x 10-3)o.
4.1.5 Analisa kekuatan poros specimen
Yang dimaksud dengan kekuatan adalah kemampuan poros untuk menahan
seluruh beban yang bekerja padanya. Kemampuan tersebut harus memenuhi
persyaratan-persyaratan seperti harus mampu menahan beban geser atau yang
dikenal dengan maximum sear stress failure predictor (MSFP), harus mampu
menahan beban normal atau yang dikenal dengan maximum principal stress
failure predictor (MPFP), dan faktor-faktor lain seperti faktor keamanan dan
defleksi. Dengan mempertimbangkan seluruh hal tersebut dan beban yang bekerja
pada poros, maka material poros yang digunakan dalam rancangan ini adalah
S45C dari JIS G4051:1979. Material ini memiliki mechanical properties seperti
tensile strength (σu ≥ 600 MPa) dan yield strength (σy ≥ 355 MPa) (John, 2004).
Dengan menggunakan material tersebut, maka kekuatan poros dapat diprediksi
sebagai berikut.
a. Prediksi kekuatan akibat beban geser makasimum atau MSFP (τmax).
Tegangan geser maksimum yang diijinkan harus lebih kecil atau sama
dengan tegangan geser orisinil dari material (τallowble ≤ τo). Dari hasil
perhitungan tegangan geser maksimal yang terjadi pada poros (𝜏𝑚𝑎𝑥 =
0,795 𝑁
𝑚𝑚 2), sedangkan tegangan geser orisinil dapat dihitung dengan
persamaan 𝜏𝑜 = 𝜍𝑦
3. Dari persamaan ini diperoleh tegangan geser
orisinil (τo = 205 N/mm2). Hasil perhitungan ini menunjukan bahwa
poros sangat aman menahan beban geser.
b. Prediksi faktor keamanan dalam rancangan (Fk).
Faktor keamanan memberikan sebuah kenyamanan dalam sebuah
rancangan, faktor keamanan mungkin digunakan untuk mereduksi
principal stress yang terjadi pada material yang digunakan atau yang
dikenal dengan stress factor of safety. Namun para engineers biasanya
memprediksi faktor keamanan terhadap sebuah rancangan selalu
ditinjau dari lingkup yang lebih luas. Andrew Samuel dan John Weir
POLBAN
72
memprediksi faktor keamanan ini seperti yang ditunjukan dalam tabel
4.2 berikut ini.
Tabel 4.2 Estimasi faktor keamanan (Andrew, John, 1999).
Factor Relevance to the design Range of values
Consequence of failure Fo Seriousness of failure 1 - 1,4
Uncertainties Associated with load estimates l1 Magnitude of the load 1 - 1,6 l2 Rate of load aplication (shock loading?) 1,2 - 3
l3 Load sharing between elements of the component 1 - 1,6
Material and modelling related uncertainties S1 Variations in material properties 1 - 1,6 S2 Manufacturing uncertainties 1 - 1,6
S3 Environmental and operational uncertainties 1 - 1,6
(temperature, corrosion)
S4 Effects of stress concentrations (analytical value) can be high
S5 Reliability of mathematical model 1 - 1,6 Design factor of safety (Fk) = Fo x l1 x l2 x l3 x S1 x S2 x S3 x S4 x S5
c. Prediksi kekuatan akibat beban normal MPFP (σmax).
Pada material yang ulet (ductile material) syarat aman ini dapat dilihat
dari tegan geser yang terjadi, yaitu (τallowble ≤ τo), sedangkan pada
material yang getas (brittle material) syarat aman ini dilihat dari
maximum principal stress, yaitu 𝜍𝑚𝑎𝑥 ≤ 𝜍𝑢
𝐹𝑘. Untuk kasus ini, jika
menggunakan syarat tersebut maka pada maximum principal stress
(𝜍𝑛𝑥 = 1,273 𝑁
𝑚𝑚 2 ), tensile strength (σu = 600 MPa) dan variabel
faktor keamanan ditetapkan dalam kondisi maksimum (Fk = 211,4),
sehingga kondisinya menjadi 1,273 ≤ 600
211,4 MPa. Hasil perhitungan ini
menunjukan bahwa poros sangat aman untuk menahan beban.
POLBAN
73
4.2 Pengujian hasil rancangan
Hasil rancangan seperti yang diperlihatkan dalam gambar 4.12 harus diuji
untuk mengetahui secara pasti bahwa hasil rancangan dapat berfungsi secara baik
sesuai dengan kebutuhan pengguna. Pengujian hasil rancangan dimaksud untuk
mengetahui koefisien gesek kinetik (μk) akibat kontak mekanik dua specimen
dibawa pengaruh pembebanan. Langkah-langkah pengujian seperti yang
ditunjukan dalam diagram alir berikut ini:
Gambar 4.11 Diagram alir pengujian.
4.2.1 Persiapan alat uji
Alat uji yang digunakan adalah disc/gear test machine hasil rancangan,
dengan spesifikasi sebagai berikut:
Analisa data
Verifikasi Grafik / Koefisien gesek
Selesai
Grafik koefisien gesek
Mulai
Persiapan bahan dan peralatan
Pengukuran kekasaran awal (Rai)
Pengujian Variasi putaran Variasi beban Kering/basah
Gaya gesek (N)
Pengukuran Ra
POLBAN
74
Ukuran mesin: 970 mm x 400 mm x 800 mm (Panjang x Lebar x Tinggi).
Konsumsi arus (I): 25 Amper (3 phasa).
Catu daya 380 V 50 Hz.
Torsi: 0,667 Nm.
Diameter benda uji: 35 mm ÷ 100 mm (disc maupun gear).
Beban tekan pada disc 5 kg. Beban pada lengan rem 2 kg
Jumlah putaran maksimal 2800 rpm.
Slip rasio 0 % sampai 200 %.
Kemampuan baca load cell sampai dengan 5000 gram.
Selain spesifikasi mesin, pengambilan data terintegrasi dengan komputer dengan
menggunakan program LabVIEW untuk mengetahui harga koefisien gesek kinetik
(μk), begitu juga dengan nilai kekasaran permukaan (Ra) pengambilan data
mengunakan alat pengukur kekasaran permukaan Hand-held Roughness Tester
TR200 seperti yang ditampilkan dalam gambar 4.13, juga terintegrasi dengan
komputer dengan menggunakan program TimeSurf for TR200 V1.4. Spesifikasi
alat ukur kekasaran permukaan tersebut adalah sebagai berikut:
Measurement range: 160 μm
Stylus tip radius: 2 μm.
Stylus tip material: Diamond.
Measuring force: 4 mN (0.4 gf).
Stylus tip angle: 90o.
Maximum drive range: 17.5 mm.
Accuracy: Less than or equal to ± 10 %.
Gambar 4.12 Hasil rancangan disc/gear test machine.
POLBAN
75
Ta
bel 4
.3 K
ompo
sisi
Kim
ia (%
) dan
Nila
i Kek
eras
an B
eber
apa
Mat
eria
l.
Kek
eras
an
(Kg/
mm
2 )
23,8
3 H
RB
75,1
7 H
RB
105,
2 H
RB
99,1
7 H
RB
Uns
ur (%
)
Al 99,67 0,59 0,005 0,015
Si
0 0,142 0,338 C
u 0 62,79 0,23 0,223
Fe
0,27 Balance Balance
Mn 0,03 0,02 1,585 0,825
Ni 0 0,116 0,157
Zn
0,01 37,2
Sn
0,01 0,09
Sb
0,01
C
0,474 0,468
P 0,1 0,003
Cr
0,135 1,151
Mo
0,015 0,244
V
0,01 0,0084
W
0,1 0,03
Co
0,016 0,011
Nb
0,005 0,005
Ti
0,003 0,003
Mg
0,0062
S 0,015
Mat
eria
l
Alu
min
ium
Kun
inga
n
Baj
a (S
45C
)
Gea
r (B
ahan
UK
M)
POLBAN
76
4.2.2 Persiapan bahan
Bahan uji (specimen) terdiri dari disc dan roda gigi, disc terbuat dari
kuningan, aluminium dan baja (S45C), sedangkan roda gigi terdiri dari roda gigi
asli sepeda motor Honda dan roda gigi Honda buatan UKM. Adapu komposisi
kimia dari material yang digunakan sebagai specimen seperti yang ditampilkan
dalam tabel 4.3 di atas. Sementara itu dimensi dari masing-masing specimen ditampilkan dalam gambar
4.14 untuk bahan baja, kuningan dan aluminium, sedangkan untuk dimensi roda gigi
adalah sebagai berikut, modul (m = 1,5 mm), jumlah gigi (Z = 29 gigi) dan diameter pitch
(Dp = 43,5 mm).
4.2.3 Pelaksanaan pengujian
Pengujian dilaksanakan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Membersihkan specimen dari kotoran.
b. Memasang specimen pada poros.
c. Mengatur jumlah putaran masing-masing poros specimen.
d. Mengatur arah putaran poros specimen sesuai dengan pengujian yang
diinginkan.
Gambar 4.13 Hand-held Roughness Tester TR200.
Gambar 4.14 Benda uji berbentuk disc.
POLBAN
77
e. Mengatur kedudukan alat ukur kekasaran permukaan.
f. Mengukur kekasaran awal permukaan specimen.
g. Mengatur beban yang akan digunakan pada pengujian.
h. Menentukan lama waktu pengujian.
i. Melaksanakan pengujian.
4.2.4 Hasil-hasil pengujian
Hasil pengujian difokuskan pada apakah mesin dapat menghasilkan
koefisien gesek kinetik (μk) akibat perubahan gaya gesek (FG) sesuai dengan
kebutuhan para peneliti. Hasil-hasil pengujian tersebut disajikan dalam bentuk
grafik koefisien gesek terhadap waktu.
4.2.4.1 Pengujian roda gigi produk AHM
Koefisien gesek pada saat running-in roda gigi produk AHM (Astra Honda
Motor) dengan jumlah putaran 600 rpm dan beban 10 kg ditunjukan pada gambar
4.15 di bawah ini. Gafik tersebut memperlihatkan bahwa koefisien gesek mula-
mula (µo) sebesar 0,21, kemudian naik secara perlahan sampai tercapai keadaan
steady state pada 40 menit dengan koefisien gesek steady state (µss) sebesar 0,41.
Gambar 4.15 Koefisien gesek pada saat running-in roda gigi produk AHM pada 600 rpm.
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0 10 20 30 40 50
Ko
efi
sie
n G
ese
k [
-]
Waktu [menit]
µo=0,21
µss=0,41
µo=koefisien gesek mula-mula µss=koefisien gesek steady state
POLBAN
78
Koefisien gesek pada saat running-in roda gigi produk AHM dengan
jumlah putaran 1200 rpm dan beban 10 kg ditunjukan pada gambar 4.16 di bawah
ini. Grafik tersebut memperlihatkan bahwa koefisien gesek mula-mula (µo)
sebesar 0,42, naik secara perlahan sampai puncaknya (µmax= 0,55) pada sekitar 5
menit kemudian secara perlahan menurun sampai tercapai keadaan steady state
pada 15 menit dengan koefisien gesek steady state (µss) sebesar 0,42 .
Kedua grafik tersebut memperlihatkan bahwa pada rpm rendah (600 rpm)
trend grafik cenderung naik kemudian stedy state pada menit ke 40, sedangkan
pada putaran tinggi (1200 rpm) trend grafik cenderung naik sampai puncaknya
pada sekitar 5 menit kemudian turun dan mencapai keadaan stedy state hanya
dalam jangka waktu 15 menit.
Gambar 4.16 Koefisien gesek pada saat running-in roda gigi produk AHM pada 1200 rpm.
4.2.4.2 Pengujian disc
Koefisien gesek pada saat running-in disc dari material baja dengan
kekerasan 105,2 HRB (66 HRA), kekasaran permukaan awal (Rai = 0,741 μm)
diukur pada disc yang permukaannya rata, slip rasio = 100 % dan beban 4 kg serta
kondisi kedua permukaan kontak diberi pelumas Prima XP 20W40 ditunjukan
pada gambar 4.17 di bawah ini.
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Ko
efi
sie
n G
ese
k [
-]
Waktu [menit]
µss=0,42
µo=koefisien gesek mula-mula µmax=koefisien gesek maksimal µss=koefisien gesek steady state
µo=0,42
µmax=0,55
POLBAN
79
Gambar 4.17 Grafik koefisien gesek pada saat running-in baja-baja.
Gambar tersebut memperlihatkan bahwa perubahan koefisien gesek pada
awal gerakan menunjukan penurunan yang sangat drastis yaitu mulai dari 0,952
sampai 0,454 dalam jangka waktu 10 menit, setelah itu penurunan nilai koefisien
gesek tidak terlihat drastis lagi sampai pada menit ke 52. Selanjutnya nilai
koefisien gesek menjadi steady state mulai dari menit ke 52 sampai menit ke 60.
Perubahan topografi permukaan specimen pada saat running-in terjadi
pada puncak asperiti ditunjukan pada gambar 4.18 berikut ini.
Gambar 4.18 Perubahan topografi permukaan selama waktu running-in pada pasangan specimen baja dengan baja.
POLBAN
80
Gambar 4.18 menunjukan topografi permukaan pada awal sebelum
spesimen diputar dan terjadi perubahan setelah spesimen diputar sekian waktu,
perubahan topografi tersebut terlihat beberapa puncak asperiti terpangkas dan
berubah bentuk. Daerah kontak akan bertambah banyak seiring dengan
meningkatnya jumlah asperiti yang saling kontak. Pada gambar yang diperbesar
dapat dilihat bebebrapa permukaan sudah mulai berhimpitan hal ini menandakan
kondisi steady state sudah mulai tercapai. Perubahan yang tidak terlalu besar
diakibatkan karena adanya pelumas yang melapisi permukaan bidang yang saling
kontak sehingga kedua bidang kontak tidak langsung bersinggungan dan pada
akhirnya proses keausan yang terjadi dapat diminimalkan.
Topografi tersebut merupakan hasil pengukuran pada specimen setelah
running-in, panjang pengukuran adalah 0,5 mm seperti yang diperlihatkan dalam
gambar 4.19 berikut.
Gambar 4.19 Panjang pengukuran Ra pada specimen disc.
POLBAN
81
Bab 5
Penutup
5.1 Kesimpulan
Rancang bangun alat uji running-in untuk sistem kontak disc dan roda gigi
telah dilakukan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Kesimpulan yang dapat
diambil dari hasil rancangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hasil rancangan memperlihatkan bahwa mesin dapat digunakan untuk
menguji specimen disc maupun gear dengan ukuran diameter minimal 35
mm dan maksimal 100 mm pada putaran yang dapat divariasikan mulai
dari nol sampai dengan 2800 rpm.
2. Pada pengujian disc maupun gear dapat divariasikan beban tekan sampai
dengan 5 kg, beban torsi pada lengan rem sampai dengan 2 kg, putaran dan
dalam kondisi kering maupun menggunakan pelumas untuk mendapatkan
performa dari kedua kondisi pengujian tersebut terutama terhadap
perubahan gaya gesek.
3. Hasil data yang ditampilkan dari pengujian adalah gaya gesek (FG) dan
koefisien gesek kineti (μk = 0,952).
5.2 Saran
Untuk memperbaiki dan menyempurnahkan hasil rancangan dimasa yang
akan datang, maka ada beberapa saran yang perlu untuk ditindak lanjuti sebagai
berikut:
1. Saat mengambil data kekasaran permukaan, alat ukur kekasaran
permukaan harus tetap terpasang pada mesin tribometer melalui alat
pengatur pada posisi yang tetap agar memperoleh harga yang valid.
2. Perancangan mekanisme beban harus menghindari gaya hambatan untuk
memastikan bahwa beban yang digunakan secara sempurnah menekan
specimen, untuk hal ini sebaiknya mekanismenya menggunakan linear
bearing hasil pabrikan.
POLBAN
82
3. Penempatan load cell sebaiknya dilakukan secara vertikal untuk
menghindari beban penyeimbang tambahan (perhatikan lampiran F).
4. Menempatkan laod cell secara vertikal ini memungkinkan torsi akibat
putaran motor dapat dikontrol dalam dua arah (motor dapat berputar dalam
dua arah, searah jarum jam dan berlawanan arah jarum jam).
POLBAN
83
Daftar Pustaka
Akbarzadeh S., Khonsari M.M., (2011), “Experimental and theoretical investigation of running-in”, Tribology International, 44, pp. 92–100.
Albano L.D., (1999), “Engineering design”, Mechanical Engineering Handbook, ed Nam P. Suh, Massachusetts Institute of Technology, Boca Roton: CRC Press LLC.
Amarnath M., Sujatha C., Swarnamani S., (2009), “Experimental studies on the effects of reduction in gear tooth stiffness and lubricant film thickness in a spur geared system”, Tribology International 42, pp. 340-352.
Andrew S., John W., (1999), “Introduction to Engineering Design”, Elsevier Science & Technology Books, ISBN: 0750642823, Melbourne.
Aslantas K., Tasgetiren S., (2004), “A study of spur gear pitting formation and life prediction”, Wear 257, pp. 1167–1175.
Becker Associates, (2000), “Quality Function Deployment “, (http://www.becker-associates.com/qfdwhatis.htm, diakses tanggal 25 Juli 2012).
Beer F.P., Johnston E.R.JR., Dewolf J.T., (2006), “Mechanics of Materials” 4nd, McGraw-Hill Companies, ISBN 007-124999-0 in Singapore.
Blau P.J., (1989), “Friction and Wear Transition of Materials”, Noyes, Park Ridge, NJ.
Cheng H.S., (1992), “Friction, Lubrication and Wear Technology”, 18nd, ASM Handbook, The Materials Information Company.
Dhanasekaran S., Gnanamoorthy R., (2008), “Gear tooth wear in sintered spur gears under dry running conditions”, Wear 265, pp. 81–87.
Ding Y., Rieger N.F., (2003), “Spalling formation mechanism for gears”, Wear 254, pp. 1307-1317.
Gates Mectrol, A Tomkins Company, (2006). “Timing Belt Theory”, www.gatesmectrol.com
Goryacheva I.G., (1998), “Contak Mechanics in Tribology”, Institute for Problems in mechanics Russian academy of Sciences, Moscow, Russia.
Gresham R.M., Totten G.E., (2009), “Lubrication and Maintenance of Industrial Machinery”, Socirty of Tribologists and Lubrication Engineers, Boca Raton London New York.
Hargreaves D.J., Planitz A., (2009), “Assessing the energy efficiency of gear oils via the FZG test machine”, Tribology International 42, pp. 918-925.
Harsokoesoemo D.H., (2004), “Pengantar PerancanganTeknik”, 2nd, Departemen Teknik Mesin, Institut Teknologi Bandung.
http://www.ejsong.com/MDME/index.htm, “Machine design & Mechanical Engineering”, (diakses tanggal 21 Januari 2013).
POLBAN
84
ISO Standards Handbook 12, (1991), “Technical Drawings”, 2nd, ISBN 92-67-10163-3.
Jamari, (2006), “Running-in of Rolling Contacts”, PhD Thesis, University of Twente, Enschede, The Netherlands.
John E.B., (2004), “Handbook of Comparative World Steel Standards”, 3nd, ASTM DS67B, USA.
Johnson K.L., (1985), “Contact Mechanics”, Cambridge University, London New York.
Kanavalli B., (2006), “Application of user defined subroutine UMESHMOTION in ABAQUS for simulating dry rolling/sliding wear”, Master’s Thesis, Royal Institute of Technology (KTH), Stockholm, Sweden.
Kato K., Adachi K., (2001), “Modern Trobology Handbook”, 1nd, ed Bhushan Bharat, Departement of Mechanical Engineering The Ohio State University, Columbus, Ohio.
Kraghelsky V., Dobychun M.N., Combolov V.S., (1982), “Friction and Wear Calculation Methods”, Pergamon Press, Oxford.
Lansdown A.R., (2004), “Standard Handbook of Machine Design” Director, Swansea Tribology Centre University College of Swansea, United Kingdom.
Larsen J., (1992), “Friction, Lubrication and Wear Technology”, 18nd, ASM Handbook, The Materials Information Company.
Ludema K.C., (1992), “Friction, Lubrication and Wear Technology”, 18nd, ASM Handbook, The Materials Information Company.
Majundar A., Bhushan B., (1999), “Hadbook of Micro/Nano Tribology”, 2nd, The Mechanics and Materials Science Series, ed Bhushan Bharat, Departement of Mechanical Engineering The Ohio State University, Columbus, Ohio.
Maki J., Aho K., (1981), “Development of a running-in procedure for a locomotive diesel engine”, in The Running-In Process in Tribology, eds. Dowson D., Taylor C. M., Godet M., Berthe D., Butterworths, London, 147-152.
Nuruzzaman D.M., Nakajima A., Mawatari T., (2009), “Experimental investigation on roling-sliding contact properties of wc cermet coatings”, Journal of science and technology, 4nd, issue 1, Daffodil International University.
Popov V.L., (2009), “Contact Mechanics and Friction”, Berlin University of Technology, Institute of Mechanics, Germany.
Seyyed K., (2005), “Engineering design process”, in Mechanical Engineering from MIT and is currently a professor of engineering at Diablo valley college in Pleasant Hill, California.
POLBAN
85
Stachowiak G.W., (2006), “Wear-Materials, Mechanisms and Practice”, John Wiley & Sons Ltd, The Atrium, Southheren Gate, Chichester, West Sussex, PO19 8SQ, England.
Stachowiak G.W., Batchelor A.W., (2005), “Engineering Tribology”, 3nd, Elsevier Butterworth-Heinemann, Linacre House, Jordan Hill, Oxford X2 8DP, UK, USA.
Stolarski T.A., (1990), “Tribology in Machine Design”, Butterworth-Heinemann, Oxford Auckland Boston Johannesburg Melbourne New Delhi.
Wang W., Wong P.L., Zhang Z., (2000), “Experimental study of the real time change in surface roughness during running-in for PEHL contacts”, Wear 244, pp. 140–146.
Wright N.A., Kukureka S.N., (2001), “Wear testing and measurement techniques for polymer composite gears”, Wear 251, pp. 1567–1578.
www.utwente.nl, “Two Disc Machine”, (diakses tanggal 25 Desember 2011).
POLBAN
86
Daftar Publikasi Ilmiah
Londa, P., Hidayat, T., Supriyana, N., Jamari, dan Widyanto, S. A., (2013), “Rancang Bangun Alat Uji Running-in untuk Sistem Kontak Two-Disc”, Jurnal Rotasi Teknik Mesin, FT. Undip, Vol. 15, No. 2, April 2013.
Hidayat, T., Londa, P., Supriyana, N., Jamari, dan Setiawan, J.D., (2013), “Analisa Running-in Roda Gigi Transmisi Produk Usaha Kecil Menengah”, Jurnal Rotasi Teknik Mesin, FT. Undip, Vol. 15, No. 2, April 2013.
Supriyana, N., Hidayat, T., Londa, P., Jamari, dan Nugroho, S., (2013), “Kaji Eksperimental Running-in pada Kontak Rolling-Sliding Pasangan Material Aluminium dengan Baja S45C”, Jurnal Rotasi Teknik Mesin, FT. Undip, Vol. 15, No. 2, April 2013.
POLBAN
87
Lampiran
POLBAN
88
Lampiran A.
POLBAN
89
Lampiran B.
POLBAN
90
Lampiran C.
POLBAN
91
Lampiran D.
Dokumen untuk pembuatan produk yang terdiri dari:
1. Susunan unit poros sebelah kiri, dari lembaran 1/1 sampai dengan lembaran 1/15.
2. Susunan unit poros sebelah kanan, dari lembaran 2/1 sampai dengan lembaran 2/13.
3. Susunan dudukan TR200, dari lembaran 3/1 sampai dengan 3/6. 4. Susunan mekanisme rem, dari lembaran 4/1 sampai dengan 4/5.
POLBAN
92
Lampiran E. Diagram Kelistrikan Disc/Gear test Machine.
Keterangan:
a. Kontaktor. b. Magnetic Contactor Bimetal (MCB). c. Variable Frequency Drive (VFD/Inverter). d. Motor listrik 3 phasa. e. Relay. f. Tombol ON/OFF. g. Lampu indicator. h. Saklar pemutus. k. Power sapplay (Arus DC). m. Input/Output boart.
Display pada mesin
Arus Sumber
h1 h2
h3
c1
c2
f
Data ke Unit PC
Pengatur Rpm
POLBAN
93
Lampiran F. Unit mekanisme Disc/Gear test Machine.
POLBAN
94
Lampiran G. Prinsip Kerja Disc/Gear test Machine.
A. Cara menghidupkan/mematikan mesin. 1. Pastikan mesin terhubung dengan listrik 3 phasa. 2. Hubungkan kabel data ke unit PC. 3. Hidupkan saklar h3. 4. Hidupkan salah satu atau kedua-duanya saklar h1 dan h2. 5. Atur arah putaran poros specimen dengan memilih menu pada c1 atau c2.
Poros specimen sebelah kiri harus selalu berputar berlawanan arah jarum jam.
6. Atur kecepatan putaran dengan memutar tombol pengatur frekuensi Rpm. 7. Hidupkan mesin dengan menekan tombol ON/OFF (f). Jjika poros
specimen belum berputar, tekan tombol run pada c1 atau c2. Perhatikan jumlah Rpm, jika belum sesuai, dapat dilakukan pengaturan kembali.
8. Matikan mesin dengan menekan kembali tombol ON/OFF.(f).
B. Pengujian Disc. 1. Pastikan sabuk pada kedua poros specimen terpasang dengan baik. 2. Atur kecepatan putaran poros specimen sesuai dengan yang diinginkan 3. Pasang disc pada masing-masing poros. 4. Atur beban tekan sesuai dengan yang diinginkan. 5. Sentuhkan ke dua disc dengan menggeser unit poros sebelah kanan
(kendurkan baut pengunci gerakan). 6. Hidupkan mesin dengan menekan tombol ON/OFF.
C. Pengujian Gear.
1. Pastikan bahwa sabuk pada poros specimen sebelah kanan sudah dilepas. 2. Atur kecepatan putaran poros specimen sebelah kiri sesuai dengan yang
diinginkan. 3. Pasang roda gigi yang akan diuji pada poros specimen. 4. Sentuhkan kedua roda gigi sesuai jarak diameter pitch. 5. Kencangkan baut pengunci gerakan. 6. Atur beban pengereman sesuai kebutuhan. 7. Hidupkan mesin dengan menekan tombol ON/OFF.
Keterangan: Gunakan lampiran E dan lampiran F untuk melihat posisi-posisi pengaturan.
POLBAN