RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja,...

29
1 RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA ISLAM DALAM KEBANGSAAN Muhammad Nur Jamaluddin Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Cabang Bandung E-mail: [email protected] Website: www.mnj.my.id Bandung, 30 Desember 2019 ABSTRAK Perwujudan Islam Rahmatan Lil’alamin dalam konteks dunia Islam pada umumnya dan Indonesia pada khususnya sedang mengahadapi persoalan yang berkebalikan dengan konsep Islam Rahmatan Lil’alamin yang sebenarnya seperti adanya kekerasan, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme yang mengatasnamakan agama Islam. Kehadiran gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini menjadi penting di tengah menguatnya kontestasi wacana dan aksi di antara gerakan Islam di Indonesia. Rahmatan Lil’alamin sebagai perwujudan cita-cita Islam dalam kebangsaan dapat diaktualisasikan dengan 3 (tiga) cara, yaitu: (1) memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan memahami perkembangan teknologi dan sains; (2) tidak emosi dalam bergama; dan (3) hati-hati dalam setiap ucapan, perbuatan serta tindakan. Kata kunci: Rahmatan Lil’alamin, cita-cita Islam, dan kebangsaan. ABSTRACT The embodiment of Islam Rahmatan lil'alamin in the context of the Islamic world in general and Indonesia in particular is in the case of issues that are contrary to the concept of Islam Rahmatan lil'alamin in fact such as violence, extremism, Radicalism, and terrorism on behalf of Islamic religion. The presence of the Islamic idea of Rahmatan Lil'alamin became important in the midst of the contestation of discourse and action among the Islamic movements in Indonesia. Rahmatan Lil'alamin as an embodiment of Islamic ideals in nationality can be acctualized by 3 (three) ways, namely: (1) have extensive knowledge and understand the development of technology and science; (2) Not the emotion in Bergama; and (3) be careful in every speech, deed, and action. Keywords: Rahmatan lil'alamin, Islamic ideals, and nationality. A. Pendahuluan Islam adalah agama yang bersifat universal, humanis, dinamis, kontekstual dan akan abadi sepanjang masa. Selain itu Islam merupakan agama terakhir yang memiliki kitab suci resmi, orisinal dari Allah SWT, dengan rasul

Transcript of RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja,...

Page 1: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

1

RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA ISLAM

DALAM KEBANGSAAN

Muhammad Nur Jamaluddin

Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Cabang Bandung

E-mail: [email protected]

Website: www.mnj.my.id

Bandung, 30 Desember 2019

ABSTRAK Perwujudan Islam Rahmatan Lil’alamin dalam konteks dunia Islam pada

umumnya dan Indonesia pada khususnya sedang mengahadapi persoalan yang

berkebalikan dengan konsep Islam Rahmatan Lil’alamin yang sebenarnya seperti

adanya kekerasan, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme yang

mengatasnamakan agama Islam. Kehadiran gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini

menjadi penting di tengah menguatnya kontestasi wacana dan aksi di antara gerakan

Islam di Indonesia. Rahmatan Lil’alamin sebagai perwujudan cita-cita Islam dalam

kebangsaan dapat diaktualisasikan dengan 3 (tiga) cara, yaitu: (1) memiliki ilmu

pengetahuan yang luas dan memahami perkembangan teknologi dan sains; (2) tidak

emosi dalam bergama; dan (3) hati-hati dalam setiap ucapan, perbuatan serta

tindakan.

Kata kunci: Rahmatan Lil’alamin, cita-cita Islam, dan kebangsaan.

ABSTRACT

The embodiment of Islam Rahmatan lil'alamin in the context of the Islamic

world in general and Indonesia in particular is in the case of issues that are

contrary to the concept of Islam Rahmatan lil'alamin in fact such as violence,

extremism, Radicalism, and terrorism on behalf of Islamic religion. The presence

of the Islamic idea of Rahmatan Lil'alamin became important in the midst of the

contestation of discourse and action among the Islamic movements in Indonesia.

Rahmatan Lil'alamin as an embodiment of Islamic ideals in nationality can be

acctualized by 3 (three) ways, namely: (1) have extensive knowledge and

understand the development of technology and science; (2) Not the emotion in

Bergama; and (3) be careful in every speech, deed, and action.

Keywords: Rahmatan lil'alamin, Islamic ideals, and nationality.

A. Pendahuluan

Islam adalah agama yang bersifat universal, humanis, dinamis, kontekstual

dan akan abadi sepanjang masa. Selain itu Islam merupakan agama terakhir

yang memiliki kitab suci resmi, orisinal dari Allah SWT, dengan rasul

Page 2: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

2

terakhirNya penutup para nabi-nabi dan tidak ada nabi setelahnya Nabi

Muhammad SAW, sebagaimana tertuang dalam (Qs. Al-Ahzâb/33: 40).1 Islam

Rahmatan Lil’alamin begitulah harapan dan cita-cita Islam menjadi rahmat bagi

seluruh alam, menjadi agama yang pengasih, penyayang, dan adil untuk seluruh

makhluk. Cita-cita yang fitrah tersebut bisa dicapai bukan hanya dengan usaha

dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat

manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut, khususnya Muslim yang

mengimaniNya. Tanda-tanda tersebut telah Allah dituangkan dalam Surah As-

Saffat (yang berbaris baris), itu merupakan simbol yang tersirat dari Allah untuk

mewujudkan kehidupan Islam Rahmatan Lil’alamin secara bersama-sama

dalam barisan yang rapat dan melangkah dalam persatuan berlandaskan pada

ketaqwaan Tuhan Semesta Alam.

Indonesia dan Islam adalah gambaran gagasan dan kebenaran yang harus

dikuatkan pondasinya, mengingat sejarah masuknya Islam ke Indonesia pada 7

Masehi silam. Islam menjadi agama yang diakui dan menjadi agama mayoritas

di Indonesia. Penyebaran Islam ke pelosok-pelosok nusantara menggunakan

beragam metode dan penyebaran menyebabkan banyak perbedaan budaya

merupakan perwujudan dalam beberapa amalan, seperti penyebaran dengan

wayang oleh beberapa wali di daerah Jawa, atau melalui musik-musik.2

Perbedaan penyebaran tersebut, bukan merupakan halangan mewujudkan

kesatuan dalam ketaqwaan kepada Allah melalui Islam, karena Rahmatan

Lil’alamin bukan merupakan milik suatu golongan melainkan milik seluruh

alam.

Gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin adalah gagasan yang komprehensif

dan holistik. KH. Abdul Muchith Muzadi kakak KH. Hasyim Muzadi

mengungkapkan bahwa dengan Islam Rahmatan Lil’alamin mampu membuat

1 Rasyid, Muhammad Makmun. 2016. Islam Rahmatan Lil Alamin Perspektif KH. Hasyim

Muzadi. Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, Vol. 11, No.1: 94. 2 Cabil. “Perwujudan Cita-cita Islam dalam Kebersamaan Kebangsaan”.

(http://coretanceritacrayon.blogspot.com/2017/10/perwujudan-cita-cita-islam-dalam.html), diakses

pada tanggal 25 Desember 2019, pukul 16.34 WIB.

Page 3: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

3

para muballighin (penyebar dan pembawa agama) yang membawakan Islam

dengan penuh keramahan, kedamaian dan kebijaksanaan, mudah diterima oleh

masyarakat dengan sukarela tanpa perlawananan dan kekerasan.3

Cita-cita menjadi rahmat bagi seluruh alam bukan perkara mudah, tapi suatu

fitrah yang harus diwujudkan dalam realita. Memulai mewujudkan asa menjadi

Rahmatan Lil’alamin, di mulai dari struktur yang paling kecil. Perilaku

bertetangga, menghargai perbedaan pendapat, saling bertoleransi dalam

penggunaan ruang spasial, mengasihi lewat memberi hadiah atau saling tolong

menolong. Di tingkat yang lebih tinggi, dalam hidup bermasyarakat di

lingkungan kelurahan, kecamatan, kota, provinsi, antar pulau, antau antar

bangsa di Indonesia, sekalipun sifat Rahmatan Lil’alamin harus dimunculkan

dari setiap individu. Menjadi jiwa yang pengasih, penyayang, adil dan penuh

kelembutan adalah hal yang diwahyukan Allah SWT. Allah SWT adalah ruh

dari kehidupan yang menurunkan Islam sebagai agama langit yang luhur, maka

kepadaNyalah dikembalikan segala macam hal.

Di dalam Alquran, Allah banyak menulis mengenai bangsa-bangsa

terdahulu yang telah menemui ajalnya. Bangsa-bangsa tersebut menerima

hukuman karena kelalaian masyarakatnya, karena ketidaktaatan kepada

pemimpin atau karena berbuat kerusakan, seperti pada Surah Al-Isra ayat 58

yang artinya: “Dan tidak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya),

melainkan Kami binasakannya sebelum hari kiamat atau Kami siksa

(penduduknya) dengan siksa yang sangat keras”. Sebelumnya Allah juga telah

memperingatkan bahwa setiap umat atau penduduk yang meyakini Islam,

memiliki batas waktu dan ajalnya sendiri (Qs. Al-Araf, Qs. Yunus, Qs. Al-Hijr)

dan setiap batas waktu tersebut tidak dapat dipercepat maupun diperlambat.

Oleh karena itu, manusia memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari akhir

umat/ bangsa yang baik atau malah sebaliknya.

3 Muzadi, Abdul Muchith. Mengenal Nahdlatul Ulama. (Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 1.

Page 4: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

4

Konflik kepentingan banyak terjadi dengan mengatasnamakan keadilan dan

kesejahteraan. Namun, tidak sedikit yang berakhir merugikan berbagai pihak.

Beberapa kerugian yang disebabkan konflik kepentingan bahkan

mengatasnamakan Islam hingga akhirnya membunuh sesama manusia.

Peristiwa bom Bali I 12 Oktober 2002, bom Bali II 1 Oktober 2005 dan aksi-

aksi pemboman lainnya menyentakkan publik Indonesia khususnya umat Islam

tentang yang sedang terjadi dalam pemahaman dan pemikiran sebagian umat

Islam di Indonesia.4 Selain itu ada Densus 88 Antiteror Polri telah menangkap

sebanyak 71 (tujuh puluh satu) orang terduga teroris pascabom bunuh diri di

Polrestabes Medan, Sumatera Utara hingga Selasa 19 November 2019.5

Kondisi umat Muslim saat ini (secara keseluruhan) belum mampu untuk

tidak mengatakan tidak mampu membawa agamanya dengan baik dan benar.

Ketidakmampuan itu menjadi salah satu penghalang hadirnya Islam dengan

penuh kesejukan dan kedamaian. Benar adanya, apa yang dikatakan oleh

Muhammad Abduh bahwa ketinggian ajaran Islam tertutup oleh perilaku umat

Muslim sendiri (Al-Islâm mahjûbun bil-Muslimîn). Bahkan Muhammad Iqbal

menyatakan bahwa kemunduran kaum Muslimin bukanlah disebabkan ajaran

agamanya, tetapi kesalahan terletak pada diri masing-masing pribadinya.

Kekeliruan dalam memahami ajaran agama lantaran kejumudannya.

Kadangkala sesuatu yang diamalkan bertolak belakang dengan sumber aslinya.

Pemahaman yang keliru akan melahirkan tindakan yang keliru pula. Ironisnya,

masih mempertahankan pemikirannya dengan cara apa pun.6 Ini sebuah

kejumudan dalam beragama dan sedang dialami umat Muslim. Dari sinilah awal

mulanya tindakan kekerasan atas nama agama lahir.

4 Yahya, Ismail. “Islam Rahmatan Lil’alamin”. (http://www.iain-surakarta.ac.id/?p=12750),

diakses pada tanggal 25 Desember 2019, pukul 16.44 WIB. 5 Liputan6.com, Jakarta. “71 Terduga Teroris Ditangkap Usai Bom Bunuh Diri Medan”.

(https://www.liputan6.com/news/read/4114911/71-terduga-teroris-ditangkap-usai-bom-bunuh-diri-

medan), diakses pada tanggal 25 Desember 2019, pukul 16.50 WIB. 6 Munawwir, Imam. Salah Paham Terhadap Alquran. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983), hlm.

115.

Page 5: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

5

Kejumudan dapat diobati oleh pendayagunaan akal secara maksimal.

Mengolah pemikiran hasil olahan dan cernaan akal yang aktif agar menjadi baik

dan benar, salah satunya melalui pendidikan. Pendidikan yang ditempuh

seseorang, baik formal, non-formal dan informal adalah kesatuan yang terpadu,

untuk membentuk pribadi Muslim yang mampu mengkontekstualisasikan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang didapatkannya ke sebuah lingkungan

masyarakat. Alquran mempersilakan umat Muslim untuk mengembangkan ilmu

dan mendayagunakan akalnya semampunya. Namun harus disadari, umat

Muslim dikenal sebagai ummatan wasathan (umat pertengahan), sebagaimana

menurut M. Quraish Shihab, umat yang tidak larut dalam spritualisme tetapi

juga tidak hanyut dalam alam materialisme.7

Keberagaman yang kokoh adalah fitrah manusia (Qs. Al-Rûm/30: 30). Pola

beragama yang sejuk menjadi fitrah manusia sebagimana Karen Armstrong

menyatakan bahwa agama yang penuh kasih sayang.8 Kedewasaan dalam

beragama akan melahirkan perdamaian dan kerukunan lintas kelompok, agama,

etnis suku dan ras adalah dambaan Islam. Cita-cita itu tidaklah utopis,

kedatangan Islam pun untuk mewarnai kehidupan di bumi, tidak seperti asumsi

iblis tatkala Allah SWT ingin menciptakan manusia (Qs. Al-Baqarah/2: 30).

Pemahaman dan pemikiran Islam yang mengedepankan kasih sayang,

kesantunan, toleransi, keseimbangan yang sejak dahulu sudah menjadi gerakan

utama di Indonesia, salah satu gagasan tersebut adalah Islam Rahmatan

Lil’alamin. Adapun hubungannya dengan perwujudan cita-cita Islam dalam

kebangsaan adalah bangunan Islam Indonesia yang berwajah menyelamatkan

relasi antar manusia dalam perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan

dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu), bermakna bahwa

persatuan dalam perbedaan, dan perbedaan untuk persatuan di Negara Kesatuan

7 Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat.

(Jakarta: Mizan, 1998), hlm. 34. 8 Armstrong, Karen. Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih, Terjemahan

Yuliani Liputo. (Bandung: Mizan, 2012), hlm. 77.

Page 6: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

6

Republik Indonesia. Perwujudan Islam Rahmatan Lil’alamin dalam konteks

dunia Islam pada umumnya dan Indonesia pada khususnya sedang

mengahadapi persoalan yang berkebalikan dengan konsep Islam Rahmatan

Lil’alamin yang sebenarnya seperti adanya kekerasan, ekstremisme,

radikalisme, dan terorisme yang mengatasnamakan agama Islam. Kehadiran

gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini menjadi penting di tengah menguatnya

kontestasi wacana dan aksi di antara gerakan Islam di Indonesia. Berdasarkan

uraian tersebut perlu kiranya pembahasan lebih lanjut mengenai Rahmatan

Lil’alamin Sebagai Perwujudan Cita-Cita Islam Dalam Kebangsaan.

B. Konsep Islam Rahmatan Lil’alamin

Konsep Islam Rahmatan Lil’alamin, secara bahasa kata Islam berasal dari

kata salama atau salima yang berarti damai, keamanan, kenyamanan, dan

perlindungan. Menurut Muhammad Tahir-ul-Qadri dalam Fatwa tentang

Terorisme dan Bom Bunuh Diri, “seperti makna literalnya, Islam adalah

pernyataan absolut tentang perdamaian. Agama Islam adalah manifestasi damai

itu sendiri. Islam mendorong manusia untuk menciptakan hidup proporsional,

damai, penuh kebaikan, keseimbangan, toleransi, sabar, dan menahan marah.”9

Kata salima menjadi yaslaamu, salaaman, dan salaamatan, serta kata turunan

lainnya, yang di dalam Alquran menjelaskan bahwa setiap kata berasal,

terderivasi, serta terkonjungasi dari kata Islam, secara esensial merujuk kepada

pengertian damai, perlindungan, keamanan, dan kenyamanan.10

Islam Rahmatan Lil’alamin bukan hal baru dalam konsep pemikiran Islam

dan memiliki basis yang kuat dalam teologi Islam. Kata “Islam” berasal dari

kata aslama yang berakar kata salama. Kata “Islam” adalah bentuk infinitif dari

kata aslama ini. Kata itulah yang menjadikan Islam memiliki varian makna

yang diafirmasi oleh Alquran sendiri, meliputi: damai (Qs. Al-Anfâl/8: 61 dan

9 Tahir-ul-Qadri, Muhammad. Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri. (Jakarta: LPPI,

2014), hlm. 74. 10 Idem, hlm. 82.

Page 7: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

7

Qs. Al-Hujurȃt/49: 9), menyerah (Qs. An-Nisâ/4: 125 dan Qs. Ali Imrân/3: 83),

penyerahan diri secara totalitas kepadaNya (Qs. Al-Baqarah/2: 208 dan Qs. As-

Shaffât/37: 26), bersih dan suci (Qs. Asy-Syu’arâ’/26: 89, Qs. Al-Maidah/5: 6

dan Qs. As-Shaffât/37: 84), selamat dan sejahtera (Qs. Maryam/19: 47).11

Adapun makna “rahmat” adalah al-riqqatu wa al-ta’attufi (kelembutan

yang berpadu dengan rasa keibaan).12 Ibnu Faris mengartikan kata ini dengan

merujuk kepada makna kelembutan hati, belas kasih dan kehalusan. Kata ini,

lahir kata rahima yang memiliki arti ikatan darah, persaudaraan dan hubungan

kerabat.13 Al-Asfahani mempertegas bahwa dalam konsep rahmat adalah belas

kasih semata-mata (al-riqqat al-mujarradah) dan kebaikan tanpa belas kasih

(al-ihsân al-mujarrad dûna al-riqqat).14 Artinya, jika rahmat disandarkan

kepada Allah SWT, maka bermakna “kebaikan semata-mata”, dan jika

disandarkan kepada manusia, maka yang dimaksud adalah “simpati semata”.

Sampai saat ini, orang-orang Arab dalam percakapannya sehari-hari,

mengartikan rahmat yang disandarkan kepada Allah bermakna belas kasih,

kebaikan, rezeki dan lain-lain, sedangkan yang disandarkan kepada manusia

bermakna “belas kasih”.

Alquran pun turut mengafirmasi makna-makna di atas: “Dan tiadalah Kami

mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Qs.

Al-Anbiyâ’/21: 107). Hampir semua kata rahmat dalam Alquran tertuju kepada

Allah, sebagai pemberi rahmat. Baik berupa kasih sayang, kebajikan,

kenikmatan, kemenangan dan lain sebagainya. Segala sesuatu yang berkaitan

dengan rahmat dalam Alquran, memiliki konotasi sebuah pemberian dan tujuan

tanpa ada sekat, dirasakan oleh seluruh manusia karena Allah menyifati dirinya

11 Rasyid, Muhammad Makmun. Op.Cit., hlm. 98-99. 12 Mandzur, Ibnu. Lisânul Arab. Vol. 5. (Beirut: Dâr Ihyâ Al-Turâts Al-Arabi, 1999), hlm. 173,

dalam Muhammad Makmun Rasyid, Op.Cit., hlm. 102. 13 Ahmad, Abi Husain Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqâyîsu Al-Lughati, di-tahqiq Abd

Salam Muhammad Harun. Vol. 2. (Beirut: Dâr Al-Fikr, 1979), hlm. 498, dalam Muhammad

Makmun Rasyid, Op.Cit., hlm. 102. 14 Al-Husain, Abi Al-Qasim Ibn Muhammad (Al-Asfahani), Al-Mufradâtu Fî Gharîbi Al-

Qur’âni. Vol. 2. (Mekkah: Maktabah Nizâr Mustafa Al-Bâz, 2009), hlm. 253-254, dalam

Muhammad Makmun Rasyid, Op.Cit., hlm. 102.

Page 8: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

8

dengan rahman yang mencakup siapa pun. Nabi Muhammad SAW pun

menegaskan kehadirannya di alam semesta ini melalui sabdanya: “Yâ ayyuha

al-nâsu, innamâ anâ rahmatun muhdâtun (wahai sekalian manusia,

sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan Allah)”.15

Rahmat Allah lebih luas dan rahmatNya mengalahkan azabNya kepada

manusia. Kaitannya dengan konsep rahmat ini, KH. Hasyim Muzadi di dalam

menafsirkan kata “rahmat” dan “rahim” Allah berbeda. Rahmat Allah SWT

untuk seluruh mahluknya, termasuk non-Muslim, sedangkan rahimNya hanya

diperuntukkan bagi-bagi orang yang taat kepada Allah, tidak menduakannya

dan mengimani ajaran Nabi Muhammad SAW karena ini sebagai tiket untuk

memasuki surgaNya kelak.16

Islam Rahmatan Lil’alamin yang dijadikan payung dalam berdakwah,

tentunya memiliki perbedaan signifikan dalam tatanan praktiknya dengan

gagasan-gagasan lainnya, seperti: Islam Liberal dan Islam Pluralis, Islam

Progresif, Islam Nusantara, Islam Kalap dan Islam Karib, Islam Berkemajuan,

dan lain sebagainya. Semuanya, akan menuju kepada agama rahmat untuk alam

semesta. Namun, sama-sama memiliki visi membaca Islam dengan penuh

kelembutan, kedamaian dan menjadi solusi untuk dunia. Tetapi, istilah Islam

Rahmatan Lil’alamin merupakan istilah yang bersumber dan tercantum dalam

Alquran (building in Islam). Allah SWT langsung yang memberikan istilah

tersebut untuk menyebut sebuah ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad

SAW akan berdampak positif, inklusif, komprehensif dan holistik. Konsep yang

tidak memiliki kekurangan dan kelemahan, gagasan yang suci dan konsep

Ilahiah yang lebih autentik.17

Sikap ini sebagai upaya untuk menghindari asumsi-asumsi negatif yang

ditempelkan kepada Islam, sebagaimana anggapan yang berkembang, bahwa

15 Abdillah, Abi Muhammad bin Abdirrahman bin Al-Fadhl al-Darami. Kitâb Al-Musnad al-

Jâmi. (Beirut: Dâr Al-Basyâ’ir Al-Islâmiyah, 2014), hlm. 98, dalam Muhammad Makmun Rasyid,

Op.Cit., hlm. 103. 16 Rasyid, Muhammad Makmun. Op.Cit., hlm. 98-99. 17 Ibid.

Page 9: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

9

semua istilah yang berkembang merujuk pada “makhluk yang sama”, yaitu

“Islam yang tunduk dan tersubordinasikan kepada Barat.”18 Misalnya, Islam

Nusantara, belum ada definisi resmi yang representatif dari Nahdatul Ulama.

Indikasi ini menunjukkan status ontologis Islam Nusantara buram. Kata sifat

yang menempel pada kata Islam pun bisa tampil dengan wajah eksklusif.

Penisbatan sebuah nama memiliki kecenderungan untuk berlaku ambigu dalam

praktik dan implementasinya. Ambiguitas terlihat, jika Islam non-Nusantara

hanya menampilkan pemikiran “nusantarawi” dan di luar gagasan Islam yang

telah berkecimpung dengan budaya khas Indonesia, akan dilihat dengan sikap

kecurigaan.

Adapun hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang mengilustrasikan makna

Islam Rahmatan Lil’alamin, antara lain:

Sumber: Berita Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Islam Rahmatan Lil’alamin

Diterbitkan tanggal 13 Juli 2018

Dengan 3 (tiga) hadits ini cukuplah untuk mengatakan dari kajian bahasa

bahwa Islam sebagai agama secara normatif memastikan terwujudnya

kedamaian dan keselamatan untuk seluruh umat manusia, dan orang muslim

18 Husaini, Adian dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan

Jawabannya. (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 33.

Page 10: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

10

tidak lain adalah mereka yang mewujudkan nilai-nilai luhur Islam tersebut.

Istilah Rahmatan Lil’alamin terdiri atas dua kata rahmat yang berarti kasih

sayang, dan lil alamin yang berarti seluruh alam. Istilah ini sebagaimana

tercantum di dalam (Qs. Al-Anbiyâ’/21: 107). Menurut Ath-Thabari di dalam

Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Alquran, para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai

maksud ayat ini, apakah rahmat itu diutusnya Nabi Muhammad ditujukan

kepada seluruh alam, termasuk orang-orang kafir? atau hanya kepada orang-

orang beriman? Menurut Ath-Thabari yang paling benar adalah pendapat

pertama bahwa rahmat bagi orang beriman maka sesungguhnya Allah

memberikan petunjuk kepadanya dan memasukkan keimanan ke dalam dirinya

dan memasukkanya ke dalam surga dengan mengerjakan amal yang

diperintahkan Allah. Adapun pendapat kedua bagi orang kafir maka rahmat itu

berupa penundaan bala’ (bencana) sebagaimana yang diturunkan kepada umat-

umat yang mendustakan rasul-rasul Allah sebelumnya.19

Bisa dikatakan gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini masih konsep

abstrak. Agar lebih operasional, pengertian Nur Syam berikut ini bisa

menjelaskan gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin tersebut, yaitu konsep dan

upaya orang Islam khususnya di Indonesia menjadikan Islam sebagai rahmat

bagi seluruh alam, bukan hanya keselamatan bagi manusia tetapi juga untuk

alam lainnya, yang diselamatkan adalah hablum minallah, hablum minan nas

dan juga hablum minal alam. Keselamatan manusia tidak ada artinya jika alam

tidak dalam keselamatan. Islam yang menyelamatkan adalah Islam yang

memberikan keselamatan bagi semuanya.20

Lebih lanjut Nur Syam mengatakan bahwa konsep Islam Rahmatan

Lil’alamin mengembangkan pola hubungan antar manusia yang pluralis,

humanis, dialogis dan toleran, serta mengembangkan pemanfaatan dan

19 Ath-Thabari. Jami’ul Bayan fi Ta’wil Alquran. (Beirut: Mua’assasah Ar-Risalah, 2000), Al-

Maktabah Asy-Syamilah, hlm. 224-310/838-923, dalam Ismail Yahya, Op.Cit. 20 Syam, Nur, Merumuskan Islam Rahmatan Lil’alamin, (http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=514),

dalam Ismail Yahya, Op.Cit.

Page 11: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

11

pengelolaan alam dengan rasa kasih sayang. Pluralis dalam arti memiliki relasi

tanpa memandang suku, bangsa, agama, ras ataupun titik lainnya yang

membedakan antara satu orang dengan orang lain. Humanis dalam arti

menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menghargai manusia sebagai

manusia. Dialogis dalam arti semua persolan yang muncul sebagai akibat

interaksi sosial didiskusikan secara baik dan akomodatif terhadap beragam

pemikiran. Toleran dalam arti memberi kesempatan kepada yang lain untuk

melakukan sebagaimana yang diyakininya, dengan penuh rasa damai.21

C. Konsep Nilai-nilai Keislaman Dalam Kebangsaan

Umat Islam merupakan manusia yang meyakini Islam sebagai agama dan

kepercayaan. Agama Islam memiliki konsepsi keyakanin, tata aturan, norma-

norma atau etik yang harus diyakini dan dilaksanakan oleh penganutnya secara

konsekuen. Islam diyakini sebagai agama yang sempurna, bukan saja karena

tuntunannya yang serba mencakup seluruh segmen kehidupan manusia, tetapi

juga memiliki aturan yang berfungsi mengontrol dan mengawasi bahkan

memberi penghargaan dan sanksi. Oleh karena itu, selayaknya umat Islam

mengamalkan ajaran agamanya dengan saksama dan konsisten demi mencapai

kualitas hidup yang sejahtera di dunia dan di akhirat.

Nilai-nilai keislaman dalam kebangsaan dapat dijelaskan dalam dua

perspektif, yaitu:22

1. Prespektif pluralisme dalam persatuan, Islam dan nasionalisme

mempunyai hubungan positif. Islam mempunyai pengalaman panjang

dan bahkan pioneer terbentuknya nasionalisme yang melahirkan negara

bangsa. Negara Madinah yang didirikan Nabi Muhammad adalah

negara bangsa pertama di dunia.

2. Perspektif uneversalisme, menurut Mansur, kebangsaan bertentangan

dengan Islam. Sebagai agama universal, Islam tidak membatasi

peruntukan bagi wilayah geografis dan etnis tertentu. Namun demikian,

Islam tidak menafikan kenyataan bahwa setiap orang mempunyai

21 Ibid. 22 Purwoko, Dwi, dkk. Negara Islam, Percikan Pemikiran: H. Agus Salim, KH. Mas Manshur,

Mohammad Natsir, KH. Hasyim Asyari. (Depok: Permata Atika Kreasi, 2001), hlm. 37-38.

Page 12: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

12

afiliasi terhadap tanah air tertentu. Pepatah yang mengatakan “cinta

tanah air sebagian dari iman”, seperti dikatakan bahwa sangat

mempengaruhi pandangan kaum Muslimin pada umumnya. Menurut

Mansur bahwa memang Islam tidak bertanah air, tetapi kaum

Musliminnya bertanah air. Dan umat Islam berkewajiban menjaga,

mencintai, dan membela tanah airnya.

Realitas kebangsaan dalam tubuh umat Islam merupakan implementasi dari

misi Islam Rahmatan Lil’alamin sehingga eksklusifitas umat Islam harus

diminimalkan. Sikap kebangsaan bagi umat Islam juga cermin dari paham

monoteis yang menjadi fundamental keyakinannya, dimana semua realitas itu

termasuk eksklusifitas dan individualitas haruslah dinegasikan dan hanya Allah

yang menjadi esensi sesungguhnya, “La Ilaha Illallah” (Tiada Tuhan Selain

Allah). Norma tersebut kemudian diaplikasikan oleh Rasulullah SAW dalam

membangun masyarakat Madinah di bawah panji “Piagam Madinah”. Piagam

Madinah merupakan perjanjian luhur yang mengikat Yahudi, Kristen, Muslim

dan Paganis. Karakter ini diperkuat dengan risalah terakhir dalam Islam yang

disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam Haji Wada’. Satu-satunya ibadah

haji penutup yang dilakukan Rasulullah SAW semasa hidup tersebut,

Rasulullah SAW berpesan kepada seluruh umat manusia untuk selalu

menghormati kehormatan dan hak-hak seseorang, mengangkat kehormatan

wanita, menghindarkan pertumpahan darah dan seterusnya.23

Nilai kebangsaan Indonesia adalah norma-norma kebaikan yang terkandung

dan menjadi ciri kepribadian bangsa Indonesia. Ciri kepribadian ini akan

menjadi motif dan pendorong serta pedoman untuk tindakan yang bertujuan

pada keluhuran bangsa. Nilai-nilai kebangsaan merupakan nilai dasar atau nilai

intrinsik yang lestari dan abadi. Nilai ini eksis baik di masa lampau, masa kini

maupun masa depan dalam kehidupan bangsa. Secara statik, nilai kebangsaan

berwujud menjadi dasar negara, ideologi nasional dan jati diri bangsa,

sedangkan secara dinamik menjadi semangat kebangsaan. Nilai-nilai

kebangsaan bersumber, mengakar dan dipersepsikan dari nilai-nilai yang telah

23 Siradj, Said Aqiel. Islam Kebangsaan, Fiqih Demokratik Kaum Santri. (Jakarta: Pustaka

Ciganjur, 1999), hlm. 193.

Page 13: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

13

hidup dalam khazanah budaya Indonesia, yakni nilai-nilai yang

mengakomodasikan dan menyatukan kemajemukan bangsa Indonesia. Nilai-

nilai kebangsaan mengacu pada empat pilar kebangsaan: Pancasila, Undang-

Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan

Bhineka Tunggal Ika.24

Nilai kebangsaan yang bersumber dari Pancasila:25

1. Sila pertama, nilai religius, yaitu memiliki nilai-nilai spiritual yang

tinggi berdasarkan agama dan keyakinan yang dipeluknya serta

memiliki toleransi yang tinggi terhadap umat agama lain sebagai

konsekuensi mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa.

2. Sila kedua, nilai kekeluargaan, yaitu memiliki nilai-nilai kebersamaan

dan senasib sepenanggungan sesama warga tanpa membedakan suku,

agama, ras, maupun golongan sebagai konsekuensi dari masyarakat

majemuk.

3. Sila ketiga, nilai keselarasan, yakni memiliki kemampuan beradaptasi

dan kemauan untuk memahami, menerima budaya dan kearifan lokal

sebagai konsekuensi bangsa yang plural.

4. Sila keempat, nilai kerakyatan memiliki sifat keberpihakan kepada

rakyat sebagai wujud kedaulatan rakyat.

5. Sila kelima, nilai keadilan sosial memiliki sifat keberpihakan bagi

seluruh rakyat Indonesia.

Nilai kebangsaan dalam UUD 1945 meliputi, pertama: nilai yang terdapat

dalam Pembukaan UUD 1945, terdiri dari nilai kemanusiaan, religius,

produktivitas, dan keseimbangan. Kedua: nilai yang terdapat dalam pasal-pasal

dan ayat-ayat UUD 1945 adalah nilai demokrasi, kesamaan derajat, ketaatan

hukum dan ketiga: nilai kebangsaan dalam bentuk NKRI.26

Nilai kebangsaan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika meliputi, nilai

toleransi, nilai keadilan, dan nilai gotong-royong atau kerjasama. Apabila

dicermati, nilai-nilai yang terdapat dalam UUD 1945, NKRI, dan Semboyan

Bhineka Tunggal Ika telah terdapat dalam Pancasila. Hal ini dikarenakan peran

24 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Naskah Akademik Pedoman Pemantapan Nilai-Nilai

Kebangsaan. (Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional RI, 2009), hlm. 39. 25 Idem, hlm. 41. 26 Idem, hlm. 42.

Page 14: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

14

Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan jati diri bangsa Indonesia yang

menjadi sumber nilai yang terdapat pada konsesnsus yang lain.27

Menurut Paulus Wahana, Pancasila memuat nilai-nilai dasar manusiawi,

yaitu nilai-nilai yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia sebagai

manusia, sesuai dengan kodrat dan kecenderungannya sebagai manusia

sehingga berlaku bagi seluruh manusia apa pun dan bagaimanapun latar

belakangnya. Nilai-nilai dalam Pancasila merupakan nilai moral dasar yang

selalu aktual dalam tindakan manusia. Meskipun berbeda bobot dan jenisnya,

nilai-nilai dalam Pancasila tidak saling bertentangan tetapi justru saling

melengkapi dan merupakan kesatuan yang bulat dan utuh serta membentuk

sistem nilai bagi bangsa Indonesia.28

Secara teoritis, tampaknya tidak ada kesulitan untuk menginternalisasi

proses pembangunan nilai-nilai keislaman dalam kebangsaan. Pernyataan ini

bukan didasarkan pada kondisi demografi dimana mayoritas bangsa Indonesia

beragama Islam, tetapi lebih didasarkan pada fakta ideologis, bahwa Pancasila

sebagai falsafah hidup bangsa yang telah lama dipahami, dihayati, bahkan telah

diamalkan oleh segenap bangsa Indonesia, tidak ada satu sila pun dari Pancasila

itu yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Diformalkan atau tidak,

nilai-nilai keislaman telah menjiwai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa,

jauh sebelum Pancasila itu disahkan sebagai dasar negara. Wujud konkret dari

implementasi nilai-nilai Pancasila pada setiap individu warga bangsa ini, tidak

lain adalah implementasi dari nilai-nilai keislaman. Di samping itu, bagi bangsa

Indonesia yang religius, sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keagamaan akan

lebih mudah diterima daripada nilai dan norma yang dibuat oleh manusia. Hal

itu terjadi karena adanya faktor keimanan yang kuat terhadap nilai-nilai

27 Idem, hlm. 43. 28 Wahana, Paulus. Filsafat Pancasila. (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 73-74.

Page 15: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

15

kegamaan yang diyakini dapat menjamin keselamatan hidup di dunia dan

akhirat kelak.29

Berdasarkan uraikan di atas, maka proses implementasi nilai-nilai

keislaman dalam kebangsaan pada dasarnya adalah usaha sadar dan terencana

dalam proses osialisasi, internalisasi, serta implementasi nilai-nilai keislaman

yang dikemas dalam Pancasila, serta diformulasikan sebagai falsafah hidup

bangsa, dan diterima bangsa Indonesia secara utuh karena nilai-nilai keislaman

yang terkandung di dalamnya, merupakan nilai-nilai universal bagi kehidupan

manusia. Sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keislaman dalam kebangsaan

dapat ditempuh melalui 3 (tiga) jalur pendidikan, yaitu:30

1. Jalur pendidikan informal yang berlangsung dalam lingkungan

keluarga, dimana keluarga memiliki tanggung jawab utama dalam

sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai spiritual sebagai upaya

pembangunan nilai-nilai keislaman dalam kebangsaan. Strategi yang

dapat ditempuh untuk sosialisasi dan internalisasi nilai keagamaan,

antara lain melalui keteladanan orang tua, serta intensifikasi kajian

agama melalui berbagai aktivitas baik di rumah maupun di luar rumah.

2. Jalur pendidikan nonformal, dimana yang menjadi penanggung

jawabnya adalah pemuka agama serta tokoh masyarakat yang memiliki

kepedulian terhadap pendidikan dan pembentukan karakter anak

bangsa. Pada jalur ini internalisasi nilai-nilai keislaman dalam

kebangsaan dilakukan melalui khutbah-khutbah pada acara ritual

keagamaan, serta kajian kajian intensif tentang keagamaan yang

dilakukan oleh masyarakat melalui kelompok kelompok sosial tertentu.

3. Jalur pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah dan

masyarakat dalam wujud proses penyelenggaraan pendidikan dalam

lembaga lembaga pendidikan yang terstruktur, sistematis, serta

profesional. Strategi sosialisasi serta internalisasi nilai-nilai keislaman

dalam kebangsaan pada jalur ini dilakukan melalui proses pembelajaran

agama sesuai dengan standar isi maupun standar proses pembelajaran

yang ditentukan oleh Badan Standarisasi Nasional Pendidikan. Selain

itu cara lain untuk internalisasi nilai-nilai keislaman dalam kebangsaan

pada jalur pendidikan formal dapat dilakukan melalui pesan pesan moral

yang dintegrasikan dengan materi pembelajaran, dan dilakukan oleh

guru pada saat proses pembelajaran berlangsung.

29 Surachman, E. 2011. Revitalisasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Pembangunan Karakter

Bangsa. Jurnal Studi Alquran, Vo. 7, No. 1: 34. 30 Idem, hlm. 35.

Page 16: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

16

D. Konsep Keislaman dan Keindonesiaan

Konsep keislaman dan keindonesiaan secara garis besar terdapat dalam 3

(tiga) paradigma, yaitu:

1. Paradigma Integralistik

Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan agama

dan negara yang menganggap keduanya merupakan satu kesatuan yang

tidak dapat dipisahkan dan merupakan 2 (dua) lembaga yang menyatu. Ini

juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga

politik dan sekaligus lembaga agama. Paradigma ini melahirkan konsep

tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur

dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan.31

Paradigma integralistik dikenal juga dengan paham Islam: din wa

dawlah, dengan hukum Islam sebagai sumber landasan mengatur negara.

Oleh karena itu, dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali pada

sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu sistem ketatanegaraan Barat.

Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah

sistem yang telah dilaksanakan Nabi Muhammad SAW dan oleh 4 (empat)

khalifah. Para tokoh yang mengusung paradigma ini antara lain Sayyid

Quthb, Muhammad Rasyid Ridha, Hasan Al-Bana, Hasan Al-Turabi, dan

Abu Al-A’la Mawdudi.32

2. Paradigma Sekuleristik

Para tokoh yang mengusung paradigma ini antara lain Ali Abdul-Raziq,

Thaha Husein, Muhammad Sa`id Al-Ashmawi, Ziya Gokalp, Sayyid

Ahmad Khan, Ameer Ali, Khuda Bakhsh, Khalifah Abdul Halim, Ghulam

Ahmad Parvez, serta Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid.33

31 Muhammad, Husein. Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik. Dalam Ahmad

Suaedy. Pergulatan Pesantren dan Demokrasi. (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 89. 32 Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim

Indonesia Terhadap Demokrasi (1966- 1993). (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 57. 33 Tim Kajian Ilmiah Abituren. Simbiosis Negara dan Agama: Reaktualisasi Syari’at dalam

Tatanan Kenegaraan. (Kediri: Lirboyo, 2007), hlm. 28-35.

Page 17: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

17

Kata sekuler diambil dari Bahasa Latin saeculum yang memiliki dua

konotasi yaitu masa (time) dan tempat (location). Waktu menunjukkan now

atau present (sekarang), sedangkan tempat (location) dinisbatkan kepada

dunia (world). Istilah Latin lainnya yang mengandung arti mirip dengan

saeculum adalah mundus. Akan tetapi, kata saeculum biasanya digunakan

untuk menerjemahkan kata Yunani kuno aeon, yang bermakna zaman,

sedangkan mundus digunakan untuk menerjemahkan kata Yunani kuno

cosmos, yang bermakna ruang (space). Disebabkan Bahasa Latin memiliki

dua istilah yang berbeda, yaitu saeculum dan mundus, namun keduanya

memiliki makna yang serupa yaitu dunia, maka menurut Harvey Cox, kata

dunia dalam Bahasa Latin adalah kata yang ambigu.34

Paradigma sekuleristik memisahkan dan membedakan antara negara

dan agama secara diametral. Dalam negara sekuler, sistem dan norma

hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum

ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau

firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut

bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun ini memisahkan

antara agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler

membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang

mereka yakini dan negara tidak intervensi dalam urusan agama.

Argumentasi pendukung paradigma ini adalah tidak ada ayat yang secara

tegas mewajibkan pembentukan pemerintahan dan negara, sekaligus

menekankan bahwa pembentukan pemerintahan tidaklah masuk dalam

tugas yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.35 Beliau

34 Naquib Al-Attas, Syed Muhammad. Islam and Secularism. (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993),

hlm. 16. Dalam Cecep Supriadi. 2015. Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan

Keindonesiaan. Jurnal KALIMAH, Vol. 13, No. 1: 211. 35 Al-Raziq, Ali Abd. Al-Islam wa Usul Al-Hukmi, (Dar Al-Hilal, Cet. I, 1925), hlm. 64-65.

Dalam Cecep Supriadi. 2015. Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan.

Jurnal KALIMAH, Vol. 13, No. 1: 211.

Page 18: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

18

hanya Rasul yang membawa risalah agama saja, tidak termasuk perintah

membentuk negara.36

3. Paradigma Simbiotik

Paradigma ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang

memiliki sistem ketatanegaraan. Namun, menolak juga pengertian Barat

bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Maha Pencipta.

Pendukung konsep ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat

sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi

kehidupan bernegara. Para tokoh yang mengusung paradigma ini di

antaranya Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Muhammad Natsir, dan Hasbi

Ash- Shiddieqy.37

Berdasarkan konsep ini, hubungan negara dan agama dipahami saling

membutuhkan dan bersifat timbal balik. Negara memerlukan agama, karena

agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan

spiritualitas. Begitu juga sebaliknya, agama juga membutuhkan negara

sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama.38

Paradigma simbiotik membiarkan tuntutan-tuntutan realitas sosial

politik yang berkembang, lalu agama memberikan justifikasinya. Agama

tak harus menjadi dasar negara. Negara hanya menjadi wilayah yang

mandiri. Intervensi agama adalah dalam wilayah ketika negara dianggap

telah menyimpang dari norma-norma agama. Husein Muhammad menyebut

paradigma simbiotik ini, di satu pihak bersifat teologis, tetapi pada sisi lain

bersifat pragmatik.39

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur

kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena

36 Arief, Abd Salam. 2003. Relasi Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam. Jurnal

Hermeneia, Vol. 2, No. 2: 281. 37 Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 1-2. 38 Syamsuddin, Din. 1993. Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik

Islam. Jurnal Ulumul Quran, Vol. 4, No. 2: 6. 39 Muhammad, Husein. Op.Cit., hlm. 94.

Page 19: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

19

tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat

Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara negara dan agama

merupakan ua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh

karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal

dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama

(syari’ah).40

Berdasarkan 3 (tiga) paradigma di atas, Indonesia berada pada paradigma

yang ketiga, yaitu simbiotik. Faktanya, Indonesia tidak menjadikan Islam

sebagai agama negara dan tidak menjadikan syariah Islam sebagai sumber

utama pembuatan hukum. Juga, tidak menjadikan Islam sebagai ideologi politik

dan sistem pemerintahan.

Menurut Munawir Sjadzali yang dikutip oleh Toharudin bahwa:41

1. Islam menurut Munawir Sjadzali adalah sebuah sistem kehidupan yang

menurut penganutnya untuk aktif mewujudkan dalam kehidupan umat

Islam di dunia nyata. Termasuk dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara sebagai sumber inspirasi dan motivasi, landasan etika dan

moral dalam membangun peradaban di Indonesia.

2. Strategi yang ditawarkan Munawir Sjadzali dalam membangun

peradaban di Indonesia yaitu dengan mereaktualisasikan nilai keislaman

dan keindonesiaan, yaitu nilai berketuhanan, nilai kemanusiaan yang

adil dan beradab, nilai persatuan dan kesatuan, nilai kebijaksanaan

dalam kepemimpinan, dan nilai keadilan. Kelima nilai tersebut dikenal

dengan nama Pancasila.

3. Pancasila yang secara subtantif adalah nilai-nilai ajaran Islam, umat

Islam Indonesia membangun ilmu baru, sistem dan tatanan

kemasyarakatan baru yang tertata secara Islami itulah bangsa Indonesia

membangun sebuah peradaban Islam tanpa nama Islam secara formal,

serta dapat bersaing dan mengungguli peradaban dunia lainnya, secara

cerdas dan bermartabat.

Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa Islam pada hakikatnya sejalan

dengan semangat kemanusiaan universal. Namun, pada pelaksanaan ajaran

tersebut harus disesuaikan dengan pengetahuan dan pemahaman tentang

40 Al-Mubarak, Muhammad. Ara ‘Ibnu Taimiyah Fi Al-Dawlah Wa Madza Tadakhuliha Fi

Majal Al-Iqtisadi. (Bairut: Dar Al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 29. 41 Toharudin. 2018. Nilai-Nilai Keislaman dan Keindonesiaan dalam Membentuk Karakteristik

Peradaban Melayu di Indonesia (Studi Pemikiran Munawir Sjadzali). Jurnal Intelektualita:

Keislaman, Sosial, dan Sains, Vol. 7, No. 1: 56.

Page 20: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

20

lingkungan sosiokultural masyarakat yang bersangkutan. Konseptualisasi

ajaran ini terkait dengan ruang dan waktu.42 Baginya negara adalah salah satu

segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif,

sedangkan Islam adalah aspek kehidupan lain yang dimensinya adalah spiritual

dan pribadi. Antara Islam dan negara memang tidak bisa dipisahkan, namun

antara keduanya itu tetap harus dibedakan dalam dimensi dan cara

pendekatannya.43

Nurcholish sangat terobsesi untuk menjelaskan bahwa Islam yang hakiki

bukan semata merupakan struktur atau susunan dan kumpulan hukum, yang

tegak berdiri di atas formalisme negara dan pemerintahan. Tetapi Islam sebagai

pengejawantahan tauhid, yang merupakan kekuatan spiritual yang mampu

melahirkan jiwa yang hanif, inklusif, demokratis serta menghargai pluralisme

masyarakat. Pada akhirnya, negara tidak memberlakukan sistem teokrasi dan

juga tidak negara sekuler.44

E. Ekstremisme/Ghuluw Tantangan Islam Rahmatan Lil’alamin

Sejak Peristiwa bom Bali I 12 Oktober 2002, bom Bali II 1 Oktober 2005

dan aksi-aksi pemboman lainnya menyentakkan publik Indonesia khususnya

umat Islam tentang sesuatu yang sedang terjadi dalam pemahaman dan

pemikiran sebagian umat Islam di Indonesia.45 Selain itu ada Densus 88

Antiteror Polri telah menangkap sebanyak 71 orang terduga teroris pascabom

bunuh diri di Polrestabes Medan, Sumatera Utara hingga Selasa 19 November

2019,46 mengakibatkan penilaian terhadap umat Islam menjadi bagian yang

melakukan kekerasan, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme bagi umat

manusia lainnya. Namun, faktanya menyebutkan sebaliknya bahwa mayoritas

42 Sofyan, Ahmad A. Gagasan Cak Nur Tentang Negara dan Islam. (Yogyakarta: Titian Ilahi

Press, Cet. I, 2003), hlm. 84-88. 43 Rahman, Budhy Munawwar. Reorientasi Pembaruan Islam. (Jakarta: Democracy Project,

2011), hlm. 357. 44 Idem, hlm. 358-367. 45 Yahya, Ismail. Op.Cit. 46 Liputan6.com, Jakarta. Op.Cit.

Page 21: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

21

masyarakat Islam di seluruh dunia tetap dalam pemahaman yang sama bahwa

Islam adalah agama cinta perdamaian. Lahirnya pemahaman yang

“menyelisihi” pemahaman mayoritas orang Islam tentang pesan damai Islam

yang akhirnya membentuk pemahaman radikal/ekstrem (Arab: ghuluw) oleh

sebagian kecil umat Islam, sebenarnya dari perspektif sejarah, sudah dimulai

pada zaman Nabi Muhamamd SAW masih hidup dilanjutkan oleh orang-orang

yang membelot pada zaman Khalifah Usman dan Khalifah Ali yang kemudian

disebut dengan Khawarij. Sebuah riwayat menyatakan bahwa:

Sumber: Berita Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Islam Rahmatan Lil’alamin

Diterbitkan tanggal 13 Juli 2018

Secara umum bentuk ghuluw itu menurut Abdurrahman bin Mu’alla al-

Luwaihiq (1992: 70-77) di dalam Al-Ghuluw Fi Ad-Din Fi Hayah Al-Muslimin

Page 22: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

22

Al-Mu’ashirah terbagi ke dalam 2 (dua) bentuk: al-ghuluw al-kulli al-i’tiqadi

(terkait masalah aqidah) dan al-ghuluw fi al-juz’i al-‘amali (terkait masalah

perilaku). Yusuf Al-Qardhawi dalam Ash-Shahwah Al-Islamiyyah Bayna

Aljuhud Wa At-Tatharruf (terjemahan Indonesia: Membedah Islam “Ekstrem”

2001: 29-49) menjelaskan kriteria seseorang dapat dianggap ekstrem dalam

beragama, yaitu:47

1. Fanatik pada suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat

lain.

2. Mewajibkan atas manusia sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah atas

mereka.

3. Memperberat yang tidak pada tempatnya.

4. Sikap kasar dan keras (kecuali di tengah medan perang dan dalam

rangka pelaksanaan sanksi hukum).

5. Buruk sangka terhadap manusia.

6. Terjerumus dalam jurang pengafiran (takfiri).

Melihat fenomena ekstremisme yang marak belakangan ini di dunia Islam,

para peneliti telah banyak melakukan pengkajian terhadap fenomena ini.

Perilaku ekstremisme sebagian orang Islam sekarang ini dengan yang dilakukan

oleh Khawarij pada masa lalu. Hasil penelitian terhadap faktor-faktor penyebab

ektremisme dalam beragama ini misalnya ditulis oleh Yusuf Al-Qardhawi

dalam Ash-Shahwah Al-Islamiyyah Bayna Al-Juhud Wa At-Tatharruf

(terjemahan Indonesia: Membedah Islam “Ekstrem” 2001: 50-95). Menurutnya

faktor-faktor ekstremisme itu:48

1. Lemahnya pandangan terhadap hakikat agama.

2. Kecenderungan zahiriyah/harfiyah dalam memahami nash-nash.

3. Sibuk mempertetangkan hal-hal sampingan seraya melupakan

permasalahan-permasalahan pokok.

4. Berlebih-lebihan dalam mengharamkan.

5. Pemahaman keliru dalam beberapa pengertian/istilah.

6. Mengikuti yang tersamar (mutasyabihat) dan meninggalkan yang jelas

(muhkamat).

7. Mengambil ilmu bukan dari ahlinya.

8. Berpaling dari ulama.

47 Yahya, Ismail. Op.Cit. 48 Ibid.

Page 23: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

23

9. Lemahnya pengetahuan tentang sejarah menjadi penting untuk

mengupayakan langkah-langkah antisipatif menahan lajunya masalah

ekstremisme ini, terutama di sekolah-sekolah.

Sekolah/Kampus dan para pemuda merupakan target strategis untuk

disusupi dan diindoktrinasi oleh ekstremis. Nabi Muhammad sudah

memberikan sinyal ke arah tersebut:

Sumber: Berita Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Islam Rahmatan Lil’alamin

Diterbitkan tanggal 13 Juli 2018

Menurut Muhammad Tahir-ul-Qadri kata ahdas al-asnan dan sufaha al-

ahlam dalam hadits di atas bisa jadi bahwa Khawarij merupakan orang-orang

muda atau menggunakan orang muda untuk mewujudkan tujuan-tujuan

tersebut.49 Agar terhindar dari infiltrasi dan indoktrinasi paham ini, oleh karena

itu, sekolah dalam hal ini guru merupakan benteng kedua setelah orang tua

dalam menyemai Islam Rahmatan Lil’alamin. Peran guru/dosen menjadi

penting di dalam menjelaskan dan mencontohkan Islam sebagai rahmat bagi

seluruh alam semesta dalam melahirkan generasi yang berkarakter pluralis,

humanis, dialogis, dan toleran, serta menghargai alam. Guru/Dosen (Arab:

mu’allim, muaddib, mudarris, syekh, imam) sebagai sumber belajar bagi para

siswa/mahasiswa merupakan faktor paling penting dalam tradisi keilmuan

Islam pada masa klasik. Siswa/mahasiswa yang belajar tanpa guru, hanya

melalui media tertulis atau audio-visual, diibaratkan oleh Kuntowijoyo sebagai

49 Tahir-ul-Qadri, Muhammad. Op.Cit, hlm. 337.

Page 24: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

24

“Muslim tanpa masjid” bahkan di dalam tradisi Sufi dikenal ungkapan “Man La

Syaikha Lahu Fa Asy-Syaithan Syaikhun Lah.” Kitab-kitab klasik dalam dunia

pendidikan Islam seperti Ta’lim al-Muta’allim karya Az-Zarnuji (w. 591/1195)

dan Tazkirah as-Sami’ wa al-Mutakallim karya Ibnu Jamaah (639-723/1241-

1325) menempatkan arti penting guru dalam pendidikan siswanya.50

Setelah guru, metode pengajaran yang digunakan pada masa klasik Islam

dengan membiasakan menghargai perbedaan pendapat, mengikuti dan

mempelajari mazhab/aliran pemikiran tertentu yang masih berada dalam

koridor agama dengan tidak fanatik, menempatkan wahyu dan akal secara

proporsional, serta terdidik di dalam kehalusan budi dan batin di dalam

akhlak/tasawuf, telah menjadi bukti dalam sejarah bagi perkembangan Islam

yang toleran dan damai.

F. Penutup

Konsep dan upaya orang Islam khususnya di Indonesia menjadikan

Rahmatan Lil’alamin sebagai perwujudan cita-cita Islam dalam kebangsaan,

bukan hanya keselamatan bagi manusia tetapi juga untuk seluruh alam, yang

diselamatkan adalah hablum minallah, hablum minan nas dan juga hablum

minal alam. Selain itu dapat menjunjung tinggi sikap pluralis dalam arti

memiliki relasi tanpa memandang suku, bangsa, agama, ras ataupun titik

lainnya yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Humanis dalam

arti menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menghargai manusia sebagai

manusia. Dialogis dalam arti semua persolan yang muncul sebagai akibat

interaksi sosial didiskusikan secara baik dan akomodatif terhadap beragam

pemikiran. Toleran dalam arti memberi kesempatan kepada yang lain untuk

melakukan sebagaimana yang diyakininya, dengan penuh rasa damai.

Nilai kebangsaan Indonesia adalah norma-norma kebaikan yang terkandung

dan menjadi ciri kepribadian bangsa Indonesia. Ciri kepribadian ini akan

50 Yahya, Ismail. Op.Cit.

Page 25: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

25

menjadi motif dan pendorong serta pedoman untuk tindakan yang bertujuan

pada keluhuran bangsa. Nilai-nilai kebangsaan merupakan nilai dasar atau nilai

intrinsik yang lestari dan abadi. Nilai ini eksis baik di masa lampau, masa kini

maupun masa depan dalam kehidupan bangsa. Secara statik, nilai kebangsaan

berwujud menjadi dasar negara, ideologi nasional dan jati diri bangsa,

sedangkan secara dinamik menjadi semangat kebangsaan. Nilai-nilai

kebangsaan bersumber, mengakar dan dipersepsikan dari nilai-nilai yang telah

hidup dalam khazanah budaya Indonesia, yakni nilai-nilai yang

mengakomodasikan dan menyatukan kemajemukan bangsa Indonesia. Nilai-

nilai kebangsaan mengacu pada empat pilar kebangsaan: Pancasila, Undang-

Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan

Bhineka Tunggal Ika. Apabila dicermati, nilai-nilai yang terdapat dalam UUD

1945, NKRI, dan Semboyan Bhineka Tunggal Ika telah terdapat dalam

Pancasila. Hal ini dikarenakan peran Pancasila sebagai dasar negara, ideologi

dan jati diri bangsa Indonesia yang menjadi sumber nilai yang terdapat pada

konsesnsus yang lain.

Adapun wujud konkret dari implementasi nilai-nilai Pancasila pada setiap

individu warga bangsa ini, tidak lain adalah implementasi dari nilai-nilai

keislaman. Selain itu proses implementasi nilai-nilai keislaman dalam

kebangsaan pada dasarnya adalah usaha sadar dan terencana dalam proses

osialisasi, internalisasi, serta implementasi nilai-nilai keislaman yang dikemas

dalam Pancasila, serta diformulasikan sebagai falsafah hidup bangsa, dan

diterima bangsa Indonesia secara utuh karena nilai-nilai keislaman yang

terkandung di dalamnya, merupakan nilai-nilai universal bagi kehidupan

manusia.

Menurut penulis bahwa Rahmatan Lil’alamin sebagai perwujudan cita-cita

Islam dalam kebangsaan dapat diaktualisasikan dengan 3 (tiga) cara, yaitu;

1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan memahami perkembangan

teknologi dan sains. Orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi

serta sains diharapkan dapat memahami konsep Islam Rahmatan Lil’alamin

Page 26: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

26

adalah gagasan yang komprehensif dan holistik sehingga mampu

mewjudukan keselamatan manusia tidak ada artinya jika alam tidak dalam

keselamatan. Islam yang menyelamatkan adalah Islam yang memberikan

keselamatan bagi seluruh alam. Wujud konkret hal ini yaitu melalui

pendidikan yang ditempuh seseorang, baik formal, non-formal dan informal

adalah kesatuan yang terpadu, untuk membentuk pribadi Muslim yang

mampu mengkontekstualisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi serta

sains yang didapatkannya ke sebuah lingkungan masyarakat.

2. Tidak emosi dalam bergama. Orang yang telah memahami konsep Islam

Rahmatan Lil’alamin ilmu pengetahuan dan teknologi serta sainsnya akan

meningkatkan kedewasaan dalam beragama dan melahirkan perdamaian

serta kerukunan lintas kelompok, agama, etnis suku dan ras adalah dambaan

Islam. Cita-cita itu tidaklah utopis, kedatangan Islam pun untuk mewarnai

kehidupan di bumi bagi seluruh alam.

3. Hati-hati dalam setiap ucapan, perbuatan dan tindakan. Orang yang telah

memahami konsep Islam Rahmatan Lil’alamin ilmu pengetahuan dan

teknologi serta sainsnya, kemudian tidak emosi dalam beragama akan selalu

hati-hati dalam setiap ucapan, perbuatan dan tindakan sehingga mampu

menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya

keselamatan bagi manusia tetapi juga untuk alam lainnya, yang

diselamatkan adalah hablum minallah, hablum minan nas dan juga hablum

minal alam.

Page 27: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

27

DAFTAR PUSTAKA

A. Alquran dan Hadits

Alquran dan Terjamahannya.

Sunnah atau Hadits.

B. Buku

Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual

Muslim Indonesia Terhadap Demokrasi (1966- 1993). (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1999).

Al-Mubarak, Muhammad. Ara ‘Ibnu Taimiyah Fi Al-Dawlah Wa Madza

Tadakhuliha Fi Majal Al-Iqtisadi. (Bairut: Dar Al-Fikr, Tanpa Tahun).

Armstrong, Karen. Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih,

Terjemahan Yuliani Liputo. (Bandung: Mizan, 2012).

Husaini, Adian dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi,

Penyimpangan dan Jawabannya. (Jakarta: Gema Insani Press, 2002).

Muhammad, Husein. Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik. Dalam

Ahmad Suaedy. Pergulatan Pesantren dan Demokrasi. (Yogyakarta:

LKiS, 2000).

Munawwir, Imam. Salah Paham Terhadap Alquran. (Surabaya: PT Bina Ilmu,

1983).

Muzadi, Abdul Muchith. Mengenal Nahdlatul Ulama. (Surabaya: Khalista,

2006).

Purwoko, Dwi, dkk. Negara Islam, Percikan Pemikiran: H. Agus Salim, KH.

Mas Manshur, Mohammad Natsir, KH. Hasyim Asyari. (Depok: Permata

Atika Kreasi, 2001).

Rahman, Budhy Munawwar. Reorientasi Pembaruan Islam. (Jakarta:

Democracy Project, 2011).

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai

Persoalan Umat. (Jakarta: Mizan, 1998).

Siradj, Said Aqiel. Islam Kebangsaan, Fiqih Demokratik Kaum Santri. (Jakarta:

Pustaka Ciganjur, 1999).

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. (Jakarta: UI Press, 1990).

Sofyan, Ahmad A. Gagasan Cak Nur Tentang Negara dan Islam.

(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, Cet. I, 2003).

Page 28: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

28

Tahir-ul-Qadri, Muhammad. Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri.

(Jakarta: LPPI, 2014).

Wahana, Paulus. Filsafat Pancasila. (Yogyakarta: Kanisius, 1993).

C. Jurnal

Abdillah, Abi Muhammad bin Abdirrahman bin Al-Fadhl al-Darami. Kitâb Al-

Musnad al-Jâmi. (Beirut: Dâr Al-Basyâ’ir Al-Islâmiyah, 2014), hlm. 98,

dalam Muhammad Makmun Rasyid.

Ahmad, Abi Husain Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqâyîsu Al-Lughati, di-

tahqiq Abd Salam Muhammad Harun. Vol. 2. (Beirut: Dâr Al-Fikr, 1979),

hlm. 498, dalam Muhammad Makmun Rasyid.

Al-Husain, Abi Al-Qasim Ibn Muhammad (Al-Asfahani), Al-Mufradâtu Fî

Gharîbi Al-Qur’âni. Vol. 2. (Mekkah: Maktabah Nizâr Mustafa Al-Bâz,

2009), hlm. 253-254, dalam Muhammad Makmun Rasyid.

Al-Raziq, Ali Abd. Al-Islam wa Usul Al-Hukmi, (Dar Al-Hilal, Cet. I, 1925),

hlm. 64-65. Dalam Cecep Supriadi. 2015. Relasi Islam dan Negara:

Wacana Keislaman dan Keindonesiaan. Jurnal KALIMAH, Vol. 13, No.

1.

Arief, Abd Salam. 2003. Relasi Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam.

Jurnal Hermeneia, Vol. 2, No. 2.

Mandzur, Ibnu. Lisânul Arab. Vol. 5. (Beirut: Dâr Ihyâ Al-Turâts Al-Arabi,

1999), hlm. 173, dalam Muhammad Makmun Rasyid.

Naquib Al-Attas, Syed Muhammad. Islam and Secularism. (Kuala Lumpur:

ISTAC, 1993), hlm. 16. Dalam Cecep Supriadi. 2015. Relasi Islam dan

Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan. Jurnal KALIMAH, Vol.

13, No. 1.

Rasyid, Muhammad Makmun. 2016. Islam Rahmatan Lil Alamin Perspektif

KH. Hasyim Muzadi. Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman,

Vol. 11, No.1.

Surachman, E. 2011. Revitalisasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Pembangunan

Karakter Bangsa. Jurnal Studi Alquran, Vo. 7, No. 1.

Syamsuddin, Din. 1993. Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah

Pemikiran Politik Islam. Jurnal Ulumul Quran, Vol. 4, No. 2.

Toharudin. 2018. Nilai-Nilai Keislaman dan Keindonesiaan dalam Membentuk

Karakteristik Peradaban Melayu di Indonesia (Studi Pemikiran Munawir

Sjadzali). Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains, Vol. 7, No.

1.

Page 29: RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA … · dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut,

29

D. Sumber Lainnya

Ath-Thabari. Jami’ul Bayan fi Ta’wil Alquran. (Beirut: Mua’assasah Ar-

Risalah, 2000), Al-Maktabah Asy-Syamilah, hlm. 224-310/838-923,

dalam Ismail Yahya.

Cabil. “Perwujudan Cita-cita Islam dalam Kebersamaan Kebangsaan”.

(http://coretanceritacrayon.blogspot.com/2017/10/perwujudan-cita-cita-

islam-dalam.html), diakses pada tanggal 25 Desember 2019.

Lembaga Ketahanan Nasional RI. Naskah Akademik Pedoman Pemantapan

Nilai-Nilai Kebangsaan. (Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional RI,

2009).

Liputan6.com, Jakarta. “71 Terduga Teroris Ditangkap Usai Bom Bunuh Diri

Medan”. (https://www.liputan6.com/news/read/4114911/71-terduga-

teroris-ditangkap-usai-bom-bunuh-diri-medan), diakses pada tanggal 25

Desember 2019.

Syam, Nur, Merumuskan Islam Rahmatan Lil’alamin,

(http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=514), dalam Ismail Yahya.

Tim Kajian Ilmiah Abituren. Simbiosis Negara dan Agama: Reaktualisasi

Syari’at dalam Tatanan Kenegaraan. (Kediri: Lirboyo, 2007).

Yahya, Ismail. “Islam Rahmatan Lil’alamin”. (http://www.iain-

surakarta.ac.id/?p=12750), diakses pada tanggal 25 Desember 2019.