Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

27

Click here to load reader

Transcript of Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

Page 1: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

cita cita kerohanian sapta darma

Cita-cita Kerohanian Sapta Darma

Kerohanian Sapta Darma mempunyai tujuan luhur yaitu hendak menghayu-hayu bahagianya buana. Antara lain membimbing manusia untuk mencapai suatu kebahagiaan hidup di dunia maupun di alam langgeng.

Tentang inti sari tujuan/cita-cita ajaran Kerohanian Sapta Darma adalah sebagai berikut :

* Menanamkan tebalnya kepercayaan, dengan menunjukkan bukti-bukti serta persaksian bahwa, sesungguhnya Allah itu ada dan tunggal (esa) serta memiliki lima sila (sikap perwujudan kehendak) yang mutlak, yaitu; Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, Maha Langgeng. Menguasai alam semesta beserta isinya yang terjadi. Oleh karenanya manusia wajib mengagungkan Asma Allah, serta setia dan tawakal menjalankan segala perintahnya.

* Melatih kesempurnaan sujud, yaitu berbaktinya manusia kepada Hyang Maha Kuasa. Mencapai keluhuran budi dengan cara-cara yang mudah dan sederhana, dapat dilakukan oleh semua umat manusia.

* Mendidik manusia bertindak suci dan jujur, mencapai nafsu, budi dan pakerti yang menuju pada keluhuran dan keutamaan guna bekal hidupnya di dunia dan di alam langgeng.

* Mengajarkan warganya untuk dapat mengatur hidupnya , mengingat hidup manusia di dunia adalah rohaniah dan jasmaniah.

* Menjalankan wewarah tujuh yang dilandasi melatih kesempurnaan sujudnya.

* Membrantas kepercayaan akan takhayul dalam segala macam bentuk dan manifestasinya. Kerohanian Sapta Darma mengajarkan kepada manusia untuk melakukan/mengagungkan Allah Hyang Maha Kuasa, serta menyadari bahwa manusia adalah makluk yang tertinggi martabatnya, dimana hidupnya ada dalam kekuasaanNya. Dilarang keras mengagungkan batu, kayu, serta mengkeramatkan segala hasil karya manusia biasa. Dilarang mengagungkan serta minta pertolongan roh penasaran, jin, setan dan sebaginya.

http://sapta-darma.info/cita.html

sujud sapto darmo

Quote:

Manfaat dan Gunanya Sujud

Apabila Penelitian sujudnya telah sempurna yaitu sujud yang dilakukan dengan kesungguhan, maksudnya dalam melaksanakan sujud jangan sampai sujud wadag atau sujud kemauan atau hanya ikut-ikutan saja ( Jawa : rubuh-rubuh gedang ), karena bila demikian sujudnya kurang mempunyai arti.

Page 2: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

Sebenarnya sujud menurut wewarah tersebut bila didalami serta diteliti sungguh-sungguh adalah membimbing/menuntun jalannya air sari. Air sari atau air putih/suci berasal dari sari-sari bumi yang akhirnya menjadi bahan makanan yang dimakan manusia. Sari-sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya di ekor (Jawa = Cetik/silit kodok/brutu). Bila bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan getaran air sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh, menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali, kekuatan ini disebut Atom Berjiwa yang ada pada pribadi manusia.

Daya/kekuatan ini berguna untuk :

* Dapat memberantas kuman-kuman penyakit dalam tubuh.

* Dapat menentramkan/menindas nafsu angkara murka.

* Dapat mencerdaskan pikiran.

* Dapat memiliki kewaskitaan, seperti kewaskitaan akan penglihatan,pendengaran,penciuman, tutur kata atau percakapan serta kewaskitaan rasa.

* Bila telah memusat di ubun-ubun akan mewujudkan Nur Putih. Akhirnya naik menghadap Hyang Maha Kuasa untuk menerima perintah-perintah/petunjuk yang berupa isyarat/kias seperti berupa gegambaran, tulisan-tulisan (tulis tanpa papan = sastra jendra hayuningrat).

Syarat untuk memiliki kemampuan itu semua, tiada lain adalah pengolahan/penyempurnaan budi pakerti yang menuju keluhuran pada sikap dan tindakan sehari-hari.

Pengolahan/penyempurnaan pribadi itu, bagi pemeluk yang sudah mampu, adalah berarti selalu mencetak atom berjiwa pada pribadinya. Atom tersebut digunakan untuk prikemanusiaan ialah menolong orang yang sakit.

http://sapta-darma.info/manfaat.html

sujud dan penejlasanya menurut sapto darmo

Quote:

Sujud dan Penjelasannya

Warga Sapta Darma diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam) sedikitnya sekali. Lebih dari itu lebih baik, dengan pengertian bahwa yang penting bukan banyak kalinya ia melakukan sujud tetapi kesungguhan sujudnya (emating sujud).

Bila sujud dilakukan di Sanggar, dapat dilakukan bersama-sama dengan Tuntunan dan dapat sewaktu-waktu. Namun lebih baik waktu ditentukan.

Sikap duduk

Duduk tegak menghadap ke timur (timur/kawitan/asal), artinya diwaktu sujud manusia

Page 3: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

harus menyadari/mengetahui asalnya. Bagi pria duduk bersila kaki kanan didepan kaki kiri. Bagi wanita bertimpuh. Namun diperkenankan mengambil sikap duduk seenaknya asal tidak meninggalkan kesusilaan dan tidak mengganggu jalannya getaran rasa.

Tangan bersidakep, yang kanan diluar dan yang kiri didalam.(Lihatlah gambar no. 1 dan no. 2.)

Selanjutnya menentramkan badan dan pikiran, mata melihat ke depan ke satu titik pada ujung kain sanggar (mori) yang terletak + satu meter dari posisi duduk. Kepala dan punggung (tulang belakang) segaris lurus.

Setelah merasa tenang dan tentram, serta adanya getaran (hawa) dalam tubuh yang berjalan merambat dari bawah ke atas, selanjutnya getaran rasa tersebut merambat ke atas sampai di kepala, karenanya lalu mata terpejam dengan sendirinya. Kemudian setelah ada tanda pada ujung lidah terasa dingin seperti kena angin (jawa = pating trecep) dan keluar air liurnya terus ditelan, lalu mengucap dalam batin :

ALLAH HYANG MAHA AGUNG

ALLAH HYANG MAHA ROKHIM

ALLAH HYANG MAHA ADIL

Bila Kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah terkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan tergoyang dengan sendirinya. Kemudian di mulai dengan merasakan jalannya air suci (sari) yang ada ditulang ekor (jawa = brutu atau silit kodok). Jalannya air sari merambat halus sekali, naik seolah-olah mendorong tubuh membungkuk ke muka. Membungkuknya badan diikuti terus (bukan karena kemauan tapi karena rasa), sampai dahi menyentuh kain sanggar, setelah dahi menyentuh lantai dalam batin mengucap :

HYANG MAHA SUCI SUJUD HYANG MAHA KUASA (3 kali)(Lihatlah gambar no. 3 dan no. 4)

Setelah mengucapkan, kepala diangkat perlahan-lahan, hingga badan dalam sikap duduk tegak lagi seperti semula.

Mengulang lagi merasakan di tulang ekor seperti tersebut diatas, sehingga dahi menyentuh kain sanggar lagi. Setelah dahi menyentuh kain sanggar di dalam batin mengucap :

KESALAHANNYA HYANG MAHA SUCI MOHON AMPUN HYANG MAHA KUASA (3 kali)

Dengan perlahan-lahan tegak kembali, lalu mengulang, merasakan lagi di tulang ekor seperti tersebut diatas sampai dahi menyentuh kain sanggar yang ke-3 kalinya.Kemudian dalam batin mengucap :

HYANG MAHA SUCI BERTOBAT HYANG MAHA KUASA (3 kali).

Akhirnya duduk tegak kembali, masih tetap dalam sikap tersebut hingga beberapa menit

Page 4: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

lagi, baru kemudian sujud selesai.

Keterangan :

* Allah Hyang Maha : Agung, Rokhim, Adil maksudnya ; mengagungkan dan meluhurkan nama Allah serta mengingat akan sifat keluhuran Allah.

* Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa. Hyang Maha Suci ialah sebutan bagi roh suci seorang manusia yang berasal dari Sinar Cahaya Allah yang meliputi seluruh tubuh manusia.

* Hyang Maha Kuasa adalah sebutan Allah yang menguasai alam semesta termasuk segala isinya baik rohaniah maupun jasmaniahnya.

* SUJUD berarti penyerahan diri pada Hyang Maha Kuasa atau menyembah Hyang Maha Kuasa. Berarti Roh Suci kita menyerahkan purbawasesa pada Hyang Maha Kuasa.

* Kesalahannya Hyang Maha Suci mohon ampun Hyang Maha Kuasa maksudnya ; setelah meneliti dan menyadari kesalahan-kesalahan ( dosa-dosa ) setiap harinya, maka selalu Roh Suci mohon ampun padaNya akan segala dosa-dosa tersebut.

* Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuasa artinya; penelitian pada kesadaran akan dosa setiap harinya, maka setelah mohon ampun lalu bertobat berusaha untuk tidak berbuat kesalahan/dosa lagi.

http://sapta-darma.info/sujud1.html

sejarah sapta darmo 1

Quote:

Sejarah Penerimaan Ajaran dan Ilham-ilham oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama serta Perkembangan/Penyebarannya

Di kota Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, berdiamlah seorang bumi putra bangsa Indonesia yang bernama Bapak HARDJOSAPURO. Pada tanggal 26 Desember 1952, Bp. HARDJOSAPURO seharian ada di rumah. Pada malam harinya beliau pergi berkunjung ke rumah temannya. Setelah beliau pulang, selagi mau tidur, tepat pada jam 01.00 malam, sekonyong-konyong seluruh badan beliau tergerak dengan sendirinya, untuk sujud kehadapan Hyang Maha Kuasa secara otomatis diluar kemauannya dengan ucapan-ucapan sujud seperti dilakukan oleh warga Sapta Darma sekarang ini.

Gerak sujud yang luar biasa yang berlangsung dari jam 01.00 malam hingga jam 05.00 pagi. Begitulah timbul rasa takut yang meliputi beliau, karena selama hidupnya belum pernah mengalaminya. Sehingga mendorong beliau untuk datang pada temannya/sahabat kharibnya bernama Bp. Djojojaimun (tukang kulit). Pada jam 07.00 pagi sampailah Bp. Hardjosapuro di rumah kawannya dan diceritakannlah pengalaman yang aneh semalam, yang kelihatannya tidak dipercayai oleh Bapak Djojojaimun.

Page 5: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

Keadaan yang demikian itu sendiri yang memberikan bukti kepadanya dengan secara tiba-tiba seluruh badannya tergerak dengan sendirinya seperti yang dialami oleh Bp. Hardjosapuro. Maka setelah Bp. Djojojaimun selesai mengalami sujud diluar kemauan tadi, keduanya mempunyai niat untuk datang kepada sahabatnya yaitu Sdr. KEMI seorang sopir yang tinggal di kampung Gedang Sewu (Pare) dengan pengharapan akan mendapatkan penjelasan-penjelasan serta nasehat-nasehat dari padanya. Tangga 28 Desember 1952 jam 17.00 mereka berdua telah melangkahkan kakinya ke rumah Sdr. Kemi dan dengan segera diceritakan pengalaman mereka.

Belum sampai kesudahan ceritanya, ketiga orang tersebut digerakkan semacam yang keadaannya sama. Dengan tiba-tiba Bp. Hardjosapuro melihat dengan terang gambar-gambar tumbal ditempat-tempat tertentu yang tertanam di rumah Sdr. KEMI. Setelah gerakan berhenti diceritakannlah kepada Sdr. KEMI, mereka semakin bertambah keheran-heranan setelah mendengar cerita Bp. Hardjosapuro, karena tidak satupun yang tidak cocok dengan keadaan yang sebenarnya. Mereka bertiga dengan sepakat menemui sahabatnya yang bernama SOMOGIMAN yang mengerti akan kebatinan, dengan harapan akan mendapatkan penjelasan dari padanya. Sdr. SOMOGIMAN adalah seorang pengusaha pengangkutan di kampung Plongko (Pare). Pengalaman gaib segera dipaparkan kepada saudara Somogiman yang banyak dikerumuni oleh kawan-kawannya. Sambutannya dingin dan kelihatannya tidak dipercaya. Tetapi apa dikata, secara tiba-tiba Sdr. Somogiman mendapat gerakan yang otomatis diluar kemauannya juga seperti apa yang diceritrakan teman-temannya tadi. Semenjak itu tersiarlah kabar dari mulut kemulut kegaiban di kota Pare yang dialami oleh Bp. Hardjosapuro dan kawan-kawannya. Hingga terdengar pula oleh Sdr. DARMO seorang sopir dan seorang lagi bernama Sdr. REKSOKASIRIN juragan batik. Kedua orang tersebut belum sampai mendengarkan cerita kawan-kawannya itu tiba-tiba mengalami gerakan sedemikian juga.

Pada saat kedua orang itu mengalami gerakan yang sama, semuanya juga bergerak bersama-sama sujud yang serupa. Kini jumlahnya 6 orang. Kemudian mereka kembali kerumahnya masing-masing. Kecuali Bp. HARDJOSAPURO yang tidak mau kembali kerumahnya karena takut mendapat gerakan-gerakan sendirian dirumahnya. Sampai dua bulan lamanya beliau tidak mau dirumahnya sendiri tetapi berganti-ganti dirumah temannya. Karena orang-orang tersebut seolah-olah sama niatnya untuk berkumpul setiap malam hingga dua bulan lamanya.

Pada suatu malam setelah ke enam orang tersebut berkumpul, oleh mereka diterima suatu penerimaan supaya kembali ke rumah Bp. HARDJOSAPURO karena nantinya akan menerima pelajaran-pelajaran dari Hyang Maha Kuasa yang lebih tinggi lagi. Begitulah keesokan harinya pada tanggal 13 Pebruari 1953 jam 10.00 pagi mereka sudah berkumpul dirumah Bp. Hardjosapuro kemudian sedang asyik-asyiknya bercakap-cakap diterima perintah langsung kepada Bp. HARDJOSAPURO dan berkatalah beliau dengan tiba-tiba, ’’Kawan-kawan lihatlah saya mau mati dan amat-amatilah saya ”. Maka berdebar-debarlah hati kawan-kawannya dengan mengamat-amati Bp. Hardjosapuro yang berbaring membujur ke timur sambil bersidakep itu. ”Inilah yang dikatakan RACUT ialah mati didalam hidu”. Pikiran yang seolah-olah mati akan tetapi rasanya masih hidup. Masih mendengar segala yang diceritakan orang akan tetapi tak mendengarkan segala yang diceritakan.

Dalam keadaan racut tersebut Bp. Hardjosapuro merasa badannya keluar dari wadagnya, dan naik ke atas melalui alam yang enak sekali dan masuk ke dalam rumah yang besar dan

Page 6: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

indah sekali dan beliau sujud didalamnya. Kemudian dilihatnya ada orang bersinar sekali, hingga badannya tak terlihat nyata karena sinar yang berkilauan itu. Setelah selesai sujud maka orang yang bersinar tadi terus memegang Bp. Hardjosapuro dan dibopong dan diayun-ayunkan setelah itu beliau dituntun ke sebuah sumur yang penuh airnya, disuruhnya membukanya dan setelah dubuka dijelaskan bahwa itu yang dinamakan sumur gumuling dan sumur jalatunda. Setelah selesai diberikan oleh sang raja yang bersinar tadi dua bilah keris yang diberi nama Nogososro dan benda Sugada. Setelah itu beliau disuruhnya kembali pulang. Setelah beliau pada waktu pulang beliau merasa diikuti oleh sebuah bintang yang amat besar dibelakangnya. Tidak lama kemudian Bp. Hardjosapuro terbangun, diceritakanlah pengalamannya kepada kawan-kawannya. Setelah itu kawan-kawannya disuruh berbuat sama . Lalu berkatalah beliau Bp. Hardjosapuro sekonyong-konyong bahwa itu adalah RACUT.

Racut selalu dikerjakan oleh Bp. HARDJOSAPURO untuk menerima pelajaran-pelajaran dari Hyang Maha Kuasa. Pada suatu ketika sedang beliau racut menerima sebuah buku besar dari Hyang Maha Kuasa.

Riwayat penerimaan ajaran Kerohanian Sapta Darma ini berlangsung terus tiap-tiap hari tidak henti-hentinya, selama 12 tahun sampai dengan wafatnya Panuntun Agung Sri Gutama, maka riwayat penerimaan ini kami sajikan yang penting-penting saja.

besambung.....

http://sapta-darma.info/sejarah.html

sejarah sapta darmo 2

Quote:

Pada tanggal 12 Juli 1954 jam 11.00 siang, datanglah dirumah Bp. Hardjosapuro ialah : 1. Sdr. Sersan DIMAN, 2. Sdr. DJOJOSADJI, 3. Sdr. DANUMIHARDJO (Mantri guru Taman Siswa Pare). Mereka sedang asyiknya bercakap-cakap, tiba-tiba kelihatan dengan perlahan-lahan pemandangan sebuah gambar di meja tamu yang kelihatan dengan jelas sekali, tetapi kejadian ini tidak tetap, sebentar kelihatan sebentar lagi hilang. Tiba-tiba Sdr. Sersan Diman berdiri dengan sekonyong-konyong sambil menuding-nuding gambar tersebut dengan berkata keras : ”Ini harus digambar, ini harus digambar”, berkali-kali berkata demikian. Kemudian kawan-kawannya segera pergi ke toko mencari/membeli alat-alat gambar berupa mori putih, cat, kwas (alat-alat gambar tersebut). Setelah mendapatkannya terus segeralah digambar pemandangan gambar simbul itu sampai selesai. Setelah selesai digambar, maka hilanglah gambar pemandangan simbul itu dari pandangan mata, yang selanjutnya dinamakan SIMBUL PRIBADI MANUSIA. Pada gambar tersebut ada tulisan huruf Jawa : SAPTA DARMA, yang selanjutnya disempurnakan dengan penerimaan peribadatannya yang disebut SUJUD SAPTA DARMA /SUJUD ASAL MULA MANUSIA.

Sebelum 12 Juli 1954 peribadatan itu belum diketahui namanya. Selanjutnya menyusul penerimaan ”WEWARAH TUJUH’’. Kejadian ini sama halnya dengan gambar simbul pribadi manusia, hanya bedanya dalam penerimaan yaitu kelihatan tulisan tanpa papan (Sastra Jendra Hayuningrat). Sedangkan bahasanya memakai bahasa daerah.

Page 7: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

Pada bulan Oktober 1954, dalam suatu persujudan pada malam harinya diterima lagi suatu penerimaan yang memerintahkan agar Sdr. SARPAN ditunjuk sebagai TUNTUNAN SANGGAR di PARE, KEDIRI. Ini suatu penerimaan baru lagi yaitu istilah SANGGAR. Yang dimaksud istilah Sanggar adalah tempat peribadatan (Pasujudan bersama) dan istilah TUNTUNAN adalah orang yang menuntuni sujud.

Pada tanggal 27 Desember 1955, selagi para warga mengadakan pasujudan bersama di Pare, diterimalah nama SRIGUTAMA. Bersamaan dengan diterimanya nama tersebut jatuhlah hujan lebat semalam suntuk, seterusnya dari tanggal 19 Agustus 1956 Bp. HARDJOSAPURO disebut menjadi PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA (Pelopor Budi Luhur). Kemudian tugas untuk menyiarkan ajaran ini diterima terus menerus dari Hyang Maha Kuasa oleh Panuntun Agung Sri Gutama, akan tetapi selalu ditolaknya dan ditentangnya. Karena perintah itu tidak dapat dielakkan dan apabila ditolaknya dan ditentangnya hukuman dari Tuhan dengan kontan diterimanya.

Maka pada akhirnya diterimanya oleh Panuntun Agung Sri Gutama pula ditawarkan kepada para pengikutnya, beliau berkata : ”Siapa yang mau bertugas menyiarkan budi luhur dan menyampaikan kasih sayangnya kepada sekalian umat yang sedang menderita kegelapan, terutama yang menderita sengsara sakit”. Tawaran itu diterima dengan senang hati oleh para warga. Selanjutnya berkatalah Panuntun Agung Sri Gutama : ’’Kalau kamu sekalian mau/sanggup menjalankan budi luhur, janganlah saudara mempunyai pamerih apapun”. Maka untuk bekal saudara sekalian saya beri bekal ”SABDA WARAS’’ untuk menyembuhkan penderita penyakit dengan ”Sabda Waras”, tidak hanya kepada manusia saja, tetapi apabila perlu kepada khewan-khewan yang sakit. Jadi sekali-kali tidak boleh menerima upah dan memakai syarat apapun. Apabila ada orang yang menginginkan sujud, tuntunilah sujud kehadapan Hyang Maha Kuasa/Tuhan Yang Maha Esa seperti yang saya ajarkan.

Demikianlah pesan-pesan Panuntun kepada warga yang akan keluar kota Pare. Kemudian para petugas keluar kota Pare bersama-sama Panuntun Agung Sri Gutama keliling Tanah Air. Para petugas tadi ditempatkan di kota-kota dan di desa-desa diseluruh wilayah Tanah Air, di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, D. K. I. Jakarta, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Bali dan banyak dibawa oleh warga ABRI. Sekarang ini para petugas sudah pulang kedaerahnya masing-masing.Sejak itulah Ajaran Kerohanian Sapta Darma mulai berkembang biak.

Yogyakarta, 10 Nopember 1985

tamat

http://sapta-darma.info/sejarah.html

riwayat penerimaan wahyu sapta darmo

Quote:

Riwayat Penerimaan Wahyu Ajaran Kerohanian Sapta Darma

Page 8: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

Riwayat penerimaan wahyu ajaran krohanian Sapta Darma, berlangsung secara terus-menerus berupa wejangan tulis tanpa papan (Sastra Jendra Hayuningrat) melalui sarana Sujud, selama 12 tahun sampai wafatnya BAPAK PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA [penerima wahyu ajaran] tanggal 16 Desember 1964.

Istilah yang ada di dalam Kerohanian Sapta Darma adalah istilah asli, dalam arti istilah-istilah tersebut didapat dari hasil penerimaan yang datangnya dengan tiba-tiba/sekonyong-konyong dalam keadaan yang luar biasa, dengan saksi-saksi yang berganti-ganti.

* Tanggal 27 Desember1952, jam 01.00 sampai dengan jam 05.00 diterimanya wahyu SUJUD, sekonyong-konyong si penerima wahyu, Bapak Hardjosapuro, seluruh tubuhnya bergerak dengan sendirinya untuk melaksanakan sujud kepada Allah Hyang Maha Kuasa, secara otomatis diluar kemauannya (tidak dapat ditahan dengan kekuatan hatinya).

* Tanggal 13 Februari 1953, jam 10.00 diterimanya Wahyu RACUT, artinya mati didalam hidup (mati sakjeroning urip), pikiran seolah-olah mati namun inderanya masih hidup, keadaan rohani/Hyang Maha Suci saat Racut adalah sowan Hyang Maha Kuasa.

* Tanggal 12 Juli 1954, jam 11.00 diterimanya wahyu SIMBOL PRIBADI MANUSIA, dengan tulisan huruf Jawa SAPTA DARMA, selanjutnya diterima pula WEWARAH TUJUH dan SESANTI anehnya tulisan Wewarah tujuh dan Sesanti memakai huruf Latin. Oleh sebab itu sejak 12 Juli 1954, ajaran sujud tersebut baru mempunyai nama yaitu 'SAPTA DARMA'.

* Tanggal 15 Oktober 1954 diterimanya istilah TUNTUNAN, TUNTUNAN SANGGAR dan SANGGAR. Tuntunan adalah orang yang bertanggung jawab atas perkembangan ajaran dan kemurnian ajaran serta kemajuan dan ketentraman warga Sapta Darma. Tuntunan Sanggar adalah tuntunan yang kewenangannya di tingkat Sanggar. Sanggar adalah tempat melaksanakan Sujud menembah kepada Allah Hyang Maha Kuasa menurut keyakinan Ajaran Kerohanian Sapta Darma.

* Sanggar Candi Busono adalah sanggar yang ada di daerah-daerah. Sanggar Agung Candi Busono adalah sanggar tempat diterimanya wahyu ajaran Sapta Darma di Pare, Kediri, Jawa Timur. Sanggar Candi Sapta Rengga adalah Sanggar Pusat, tempat kedudukan Panuntun Agung Sri Gutomo, Tuntunan Agung Sri Pawenang, di Yogyakarta, di Jl. Surokarsan Mg.II/472.

* Tanggal 27 Desember 1955, diterimanya wahyu sebutan SRI GUTAMA yang ditandai hujan lebat semalam suntuk.

* Tanggal 19 Agustus 1956, diterimanya wahyu sebutan Panuntun Agung, sehingga lengkapnya menjadi Panuntun Agung Sri Gutama, yang artinya Pelopor Budi Luhur, dan saat itu pula diterima perintah dari Allah Hyang Maha Kuasa untuk menyebarkan Budi Luhur kepada seluruh umat manusia.

* Ajaran ini aslinya SAPTA DARMA namun, dengan adanya hasil Seminar Nasional Penghayat Kepercayaan bahwa aliran kepercayaan dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu; Kerohanian, Kebatinan, Kejiwaan, maka Sapta Darma berubah menjadi Kerohanian Sapta Darma, dan satu-satunya aliran Teologi Tradisional yang menggunakan istilah Kerohanian.

Page 9: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

* Ajaran Keroranian Sapta Darma ini dianut di seluruh Propinsi di Indonesia bahkan sampai ke luar negeri.

http://sapta-darma.info/riwayat.html

simbol pribadi manusia saptod armo

Quote:

Gambar disamping adalah gambar Simbol Pribadi Manusia yang melambangkan asal, sifat dari pribadi manusia yang wahyunya diterima tgl. 12 Juli 1954, jam 11 siang, dimana pada saat itu ada bayangan sinar berwujud gambar (seperti tersebut diatas) yang bergerak-gerak diatas meja, sedang gambar yang lain menempel di dinding rumah Bapak Panuntun Agung Sri Gutama dan sempat disaksikan pula oleh tetangga dan masyarakat yang kebetulan melewati rumahnya. Begitu berhasil digambar oleh pengikut Sri Gutama maka gambar tersebut menghilang.

Maksud dan makna simbol tersebut adalah :

* Bentuk segi empat belah ketupat menggambarkan asal mula terjadinya manusia, yaitu:a. Sudut puncak : Sinar Cahaya Allah.b. Sudut bawah : sari-sari bumi.c. Sudut kanan dan kiri : perantaranya ayah dan ibu.

* Tepi belah ketupat yang berwarna hijau tua, menggambarkan wadag (raga) manusia.

* Dasar warna hijau muda (maya), merupakan gambar Sinar Cahaya Tuhan. Berarti bahwa didalam wadag/raga manusia diliputi Sinar cahaya Allah.

* Segi tiga sama sisi yang berwarna putih dengan tepi kuning emas menunjukkan asal terjadinya (=dumadi) manusia dari tri tunggal, ialah :a. Sudut atas : sinar Cahaya Allah (nur Cahaya),b. Sudut kanan bawah : Air sarinya Bapak (Nur Rasa),c. Sudut kiri bawah : air sarinya Ibu (Nur Buat).

Warna putih menunjukkan bahwa asal manusia dari barang yang suci/bersih baik luar maupun dalamnya. Sedangkan garis kuning emas yang ada ditepi segitiga mempunyai arti bahwa ketiganya asal manusia tersebut mengandung Sinar Cahaya Allah.

* Segi tiga sama sisi yang tertutup lingkaran warna hitam, merah, kuning, putih, tersebut membentuk tiga buah segitiga sama sisi pula yang masing-masing segi tiga mempunyai 3 sudut sehingga 3 segitiga jumlahnya ada 9 sudut ini melambangkan bahwa manusia memiliki 9 lobang (babahan hawa sanga) yang terdiri dari mata ada 2 lubang, hidung 2

Page 10: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

lubang, telinga 2 lubang, mulut 1 lubang, kemaluan 1 lubang, pembuangan/pelepasan 1 lubang.

* Lingkaran melambangan keadaan manusia yang selalu berubah-ubah (anyakra manggilingan) dimana manusia akan kembali ke asalnya, rohani kembali kepada Hyang Maha Kuasa untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di dunia, sedang jasmaninya kembali ke bumi.

* Lingkaran hitam melambangkan, bahwa manusia memiliki nafsu angkara, nafsu ini berasal dari hawa hitam, karena mempunyai getaran yang beku, wujudnya antara lain berupa kata-kata yang kotor, pikiran, dan kemauan yang jelek dan seterusnya.

* Lingkaran merah melambangkan bahwa manusia memiliki nafsu amarah.

* Lingkaran Kuning melambangkan nafsu keinginan yang timbul karena indera penglihatan.

* Lingkaran putih melambangkan nafsu kesucian/perbuatan yang suci.

* Besar kecilnya lingkaran melambangkan besar kecilnya 4 sifat tersebut.

* Lingkaran putih ditutup gambar Semar, ini melambangkan lubang ke 10 yang tertutup (Pudak Sinumpet) yang letaknya di ubun-ubun.

* Warna putih pada gambar Semar melambangkan Nur Cahaya atau Nur Putih, Nur Petak ialah Hawa Suci (Hyang Maha Suci) dimana hanya Hyang Maha Sucilah yang mampu berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa, caranya dengan menyatukan rasa di ubun-ubun hingga terwujud Nur Putih. Gambar Semar juga melambangkan Budi Luhur.

* Gambar Semar menunjuk dengan jari telunjuk, melambangkan memberikan petunjuk pada manusia bahwa hanya ada satu sesembahan yaitu Allah Hyang Maha Kuasa.

* Semar menggenggam tangan kirinya mengkiaskan bahwa ia telah memiliki keluhuran. Semar pakai kelintingan suatu tanda agar orang mendengar bila telah dibunyikan. Semar memakai pusaka menunjukkan bahwa tutur katanya (sabdanya) selalu suci. Lipatan kainnya 5 menunjukkan bahwa Semar telah memiliki dan dapat menjalani lima sifat Allah : Agung, Rokhim, Adil, Wasesa, dan Langgeng.

* Tulisan dengan huruf Jawa : Nafsu, Budi, Pakerti, pada dasar hijau maya. Artinya memberi petunjuk bahwa manusia memiliki nafsu budi dan pakerti baik yang luhur maupun rendah/asor atau yang baik maupun yang buruk.

* Tulisan Sapta Darma berarti : Sapta berarti tujuh, Darma berarti amal kewajiban suci, maka dari itu warga Sapta Darma wajib menjalankan isi wewarah tujuh seperti yang dikehendaki Hyang Maha Kuasa.

* Dengan mengetahui asal manusia dan isi yang ada didalam tubuh manusia yang harus dimengerti serta harus diusahakan oleh manusia demi tercapainya keluhuran budi pakerti sesuai dengan Wewarah Ajaran Kerohanian Sapta Darma.

Page 11: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

http://sapta-darma.info/simbol.html

uryo jawi ritual ruwatan kuda

Quote:

Ratusan warga Desa Pancot, Karanganyar, Jawa Tengah melakukan ritual tahunan Suryo Jawi, berupa ruwatan untuk kuda tunggangan di Taman Balekambang, Tawangmangu, Selasa siang, 14 Pebruari 2006. Ruwatan itu diperuntukkan bagi sedikitnya 120 kuda yang biasa digunakan sebagai sarana transportasi wisata di Tawangmangu yang terletak di lereng Gunung Lawu. Ruwatan itu dilakukan setiap bulan Suro atau Muharram dalam kalender Islam, yang bermakna memohon kecukupan rejeki dan kesehatan, baik untuk si kuda maupun pemiliknya.

Meski sebagai peristiwa bisa dinikmati, prosesi ritual itu bagai api yang membara dalam sekam. Keinginan Pemerintah Kabupaten Karanganyar cukup mulia. Untuk mendongkrak kesejahteraan masyarakat dan pemasukan daerah melalui event wisata, pemerintah mendorong dihidupkannya kembali kekayaan budaya subkultur yang memang sangat beragam. Ada perayaan Dhukutan, Wahyu Kliyu dan banyak lagi yang sengaja dipromosikan sebagai event tetap.

Anehnya, ada sekelompok penganut paham keagamaan tertentu yang menganggap kebijakan itu sebagai tindakan yang mendukung praktik syiri’, sinkretis dan sebagainya, sehingga mereka menggunakan caranya sendiri, tentu atas nama agama, untuk menentang dan menggagalkan. Anehnya, cara yang ditempuh tidak berbudaya, bahkan cenderung mengandalkan kekuatan fisik dan massa.

http://blontankpoer.blogsome.com/200...da-inspiratif/

suryo jawi 2

Quote:

Page 12: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

TERNYATA tak hanya manusia yang perlu diruwat, hewan seperti kuda pun perlu menjalani prosesi ruwatan yang diyakini sebagian orang dapat menyingkirkan sukerta atau takdir buruk.

Pagi itu, Kamis, 17 Februari 2005, sebanyak 147 ekor kuda...

Pagi itu, Kamis, 17 Februari 2005, sebanyak 147 ekor kuda beserta pemiliknya yang tergabung dalam Paguyuban Kuda Tunggang Wisata Tunggal Karya Tawangmangu menjalani prosesi ruwatan Suryo Jawi yang berlangsung di Camping Ground Lawu Resort, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Diawali dengan arak-arakan reog dan tumpeng raksasa dari Dusun Pancot, Kalisoro, sekitar 750 meter dari lokasi ruwatan, iringan-iringan kuda mampu menyita perhatian pengunjung yang menyaksikan ritual yang baru pertama kalinya dilaksanakan dan menjadi tontonan bagi pengunjung.

Setiba di lokasi, dengan latar belakang keindahan alam lereng Lawu, kuda-kuda itu ditambatkan di antara pepohonan yang seolah-olah menyatu kembali dengan alam. Sementara itu, sang pemilik berkumpul di sekitar kelir wayang kulit sambil menyaksikan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala yang didalangi Ki Dalang Romo G Tunjungseto yang juga bertindak sebagai pengruwat.

Doa pun dipanjatkan di sela-sela asap kemenyan yang diselimuti hawa sejuk khas pegunungan. Secara teratur dengan urutan hari pasaran menurut tanggalan Jawa, kuda beserta pemiliknya mendapatkan pesan dan nasihat dari pengruwat dengan diawali pencelupan pangkal cemeti ke dalam bejana berisi air kembang untuk mengetahui permasalahannya. Satu per satu kuda-kuda tersebut menjalani prosesi Suryo Jawi di tengah hujan rintik-rintik yang diyakini dapat melancarkan rezeki, dan memberi keselamatan. (Priyombodo)

Diambil dari http://www.kompas.com, 03 April 2005

*************************************Update

Ritual Ruwatan Kuda Suryo Jawi

indosiar.com, Karanganyar - Ritual ruwatan yang dipercaya warga Jawa Tengah bisa membuang sial ternyata tidak hanya dilakukan untuk manusia, tetapi juga hewan.

Ritual ruwatan ini diawali dengan arak-arakan kuda sebanyak 140 ekor yang telah dihias sedemikian rupa dan sehari sebelumnya dimandikan oleh pemiliknya.

Seperti ruwatan pada manusia, ruwatan pada kuda ini juga menyediakan sesaji berupa tumpeng. Sesampai di tempat ruwatan, kuda-kuda ditambatkan sementara para pemiliknya menyaksikan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan peruwat.

Setelah peruwat memimpin doa, tumpeng pun dibagikan untuk dimakan bersama-sama pemilik kuda. Puncaknya adalah membasuh kuda-kuda dengan air kembang 7 warna.

Page 13: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

Kuda beserta pemiliknya mendapatkan nasehat dari peruwat diawali dengan mencelupkan pangkal cemeti ke dalam ember berisi air kembang.

Menurut Diman, Ketua Paguyuban Kuda Tunggang Wisata Tungga Karya, ritual Suryo Jawi ini dapat melancarkan rejeki dan memberi keselamatan bagi pemilik kuda. (Tim Liputan/Sup)

Diambil dari Indosiar.com

http://pancot.blogspot.com/2007/07/s...atan-kuda.html  

ting ting hik

Quote:

indosiar.com, Surakarta - Menyambut datangnya malam Lailatur Qodar, Keraton Kesultanan Surakarta, Jawa Tengah, menggelar ritual ting ting hik atau kirab lampu ting. Lampu-lampu ini merupakan simbol datangnya malam yang lebih baik dari seribu bulan. Puncak ritual ditandai dengan warga berebut tumpeng.

Ratusan warga yang sudah lama menunggu di Pendopo Taman Sri Wedari Solo ini langsung menyerbu puluhan tumpeng begitu doa bersama selesai. Tua, muda dan anak-anak berhamburan ke tengah pendopo untuk berebut tumpeng.

Rebutan tumpeng ini merupakan puncak ritual dari ritual kirab lampu ting atau biasa disebut ting ting hik. Yaitu ritual untuk menyambut datangnya malam Lailatul Qodar yang digelar setiap malam kedua puluh satu ramadhan atau malam selikuran.

Ritual ini diawali dengan kirab prajurit, abdi dalem serta keluarga keraton sambil membawa puluhan lampu ting atau teplok. Sambil mengusung sesaji mereka, mereka berjalan kaki sekitar 2 kilometer dari keraton menuju Taman Sri Wedari.

Di Pendopo Taman Sri Wedari, peserta kirab berkumpul bersama ratusan warga yang sudah menunggunya. Selanjutnya mereka melakukan doa bersama sekaligus memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua kesalahan dan dosa.

Menurut kerabat keraton, Winarno Kusumo, ritual ini merupakan tradisi keraton dhalem menyambut malam selikuran atau malam Lailatul Qodar. Konon, tradisi ini sudah dilakukan sejak zaman Pakubuwono ke II.

Ting ting hik atau kirab puluhan lampu ini sendiri merupakan simbol cahaya 1000 bulan yang selalu datang setiap tanggal ganjil bulan ramadhan puasa, khususnya 10 hari terakhir bulan ramadhan. (Danuk Nugroho Adi/Sup)

http://www.indosiar.com/ragam/65077/...lailatul-qodar

tinh ting hik

Quote:

Page 14: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

Solo - Menyambut datangnya malam Qadar atau Lailatul Qadar, Keraton Solo, Jawa Tengah menggelar ritual parade lampu teplok atau ting-ting hik. Ting-ting hik ini merupakan simbol datangnya cahaya seribu bulan yang menandai datangnya Lailatul Qadar.

Ritual ting-ting hik ini ditandai dengan pawai puluhan abdi dalem yang membawa lampu tang, lampion serta lampu teplok dari Keraton Surakarta menuju Sri Wedari. Di Keraton Surakarta, tradisi malam selikuran melalui ritual ting-ting hik ini sudah dilakukan sejak zaman Pakubuwono ke II.

Ting-ting hik atau lampu tang merupakan simbol cahaya seribu bulan yang selalu datang pada tanggal ganjil setiap bulan puasa.

http://reportasesolo.blogspot.com/20...selikuran.html  

ting ting hik dan parade malam selikuran

Quote:

Page 15: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

SOLO-Pemandangan yang jarang sekali terjadi, semalam berlangsung pada saat pelepasan kirab hajad dalem Malem Selikuran. Sinuhun Paku Buwono XII yang biasanya hanya dhawuh kepada Pengageng parentah Keraton Surakarta Drs GPH Dipokusumo atau yang lain, semalam menyalakan sendiri ting dari Keraton, kemudian melepas kirab dari Bangsal Maligi, Pendapa Sasana Sewaka.

Didampingi mantan mensesneg KPH Moerdiono, mantan KSAU Sri Mulyono Herlambang dan para putra-putri dalem, Sinuhun hadir di tempat upacara sekitar pukul 19.00. Didahului dengan penyalaan ting milik Keraton, prosesi kirab dilepas dan diikuti semua prajurit Keraton, Paguyuban Kulawarga Surakarta (Pakasa) dan para peserta lomba ting serta festival ting becak.

Prosesi berjalan lancar, mulai saat pemberangkatan dari Sitinggil hingga Taman Sriwedari dengan menentang arus lalu lintas melewati Jalan Slamet Riyadi. Peristiwa langka, ketika Sinuhun nyumet ting dan melepas kirab, sehubungan dengan peringatan tumbuk yuswa sepuluh windu.

Prosesi kirab tersebut diawali dengan buka puasa bersama di Bangsal Sewoyono Setinggil Lor. Selesai buka bersama yang diikuti sentana dan putra-putri Paku Buwono XII, abdi dalem dan peserta kirab termasuk peserta lomba ting serta festival ting becak dan penyalaan simbolis ting itu, kirab diberangkatkan. Saat prosesi kirab dilepas Sinuhun, seluruh penerangan lampu di kawasan Baluwarti serentak dipadamkan. Pemandangan serupa juga terjadi di sepanjang jalan yang dilewati kirab.

Kereta Utusan

Barisan paling depan adalah panegar atau sembilan prajurit penunggang kuda, diikuti kereta utusan dalem yaitu KRT H Suranto Hadinagoro didampingi KRT Bowodipuro. Di belakangnya berturut-turut, abdi dalem ngulama, tumpeng sewu yang dibawa dengan ancak cantaka yang dipagar betis prajurit Keraton enam bregada (pasukan-Red).

Kemudian disusul iring-iringan kesenian hadrah, kentrungan ataupun santiswaran yang merupakan doa puji-pujian. Kirab juga diikuti para abdi dalem pandherek, disusul arak-arakan peserta lomba ting-ting hik dan festival ting becak menutup iring-iringan tersebut.

Sesampai di Taman Sriwedari, setelah tumpeng sewu ditata, diadakan pembacaan ayat suci Alquran dan terjemahannya. Pembacaan singkat sejarah malem selikuran oleh KRHT Kalinggo Honggodipuro. Lalu, hajad dalem tumpeng sewu diserahkan utusan dalem kepada panitia malem selikuran yang diterima KRHT Soetarno Djojohadinagoro SH CN yang juga Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya (Parsenbud) Solo.

Selanjutnya, panitia meminta ngulama Keraton RT Pudjodipuro untuk mendoakan acara tersebut. Adapun yang mengatur acara itu adalah RT Yudohadinagoro. Selesai didoakan, tumpeng sewu itu dibagikan kepada tamu undangan dan masyarakat yang menyaksikan.

Begitu tumpeng sewu dibagikan, panitia membagikan satu per satu. Karena didesak pengunjung yang ngalab berkah, terjadilah rebutan di antara mereka.

Selasa malam ini, Sinuhun memberikan gelar dan bintang Sri Kabadya kelas II dan IV

Page 16: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

kepada sejumlah putra-putri dalem dan para istri yang di antaranya sudah almarhumah, serta para tokoh negara seperti Prof Dr Sri Edy Swasono yang akan mendapat gelar KPH Nitidiningrat. Kapolri Jenderal Pol Da'i Bachtiar yang disebut-sebut akan juga mendapat, sampai semalam belum ada kabar kepastiannya. Selain dia juga KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, Pangkostrad Letjen TNI Bibit Waluyo, Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Cornel Simbolon, dan Kapolda Irjen Pol Drs Didi Widayadi MBA.(sri,won-60k)

http://www.suaramerdeka.com/harian/0211/26/nas16.htm

misteri anak berambut gimbal

Quote:

Di beberapa daerah di Indonesia sering kita jumpai jenis Rambut Gimbal tersebut. Sebut saja di Kawasan lereng Gunung Merbabu dan Kawasan Wisata Dieng di Wonosobo. Kedua kawasan tersebut selain dikenal sebagai kawasan obyek wisata yang berudara dingin juga terkenal dengan Anak-Anak yang berambut Gimbal. Bukan sebagai mode yang meniru Gaya artis Bob Marley, akan tetapi hal ini merupakan fenomena alam yang muncul secara misterius di kawasan tersebut.

Masyarakat di kawasan ini mempercayai bahwa anak-anak berambut gimbal adalah merupakan karunia/anugerah dari para dewa, sehingga mereka akan merasa bersyukur jika salah satu anak atau anggota keluarga mereka mempunyai rambut Gimbal.

Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak rambut gimbal ini tidaklah berbeda dengan anak normal lainnya, dari sisi anak-anak mereka juga suka bermain dan bersenda gurau bersama teman-temannya. Satu hal yang membedakan adalah kekuatan fisik mereka melebihi anak pada umumnya, perilaku yang agresif yang cenderung nakal, dan mereka mempunyai ketahanan dari berbagai serangan penyakit yang sering menyerang anak-anak seperti flu, pilek. Akan tetapi anak-anak Gimbal ini bukan tanpa hambatan, karena biasanya setiap malam jum’at mereka selalu rewel.

Sejak kapan rambut Gimbal itu muncul ?Anak-anak rambut Gimbal bukanlah merupakan pembawaan sejak mereka lahir. Saat bayi mereka terlahir sebagaimana anak yang lainnya. Biasanya gejala itu baru muncul saat anak menginjak usia 1 tahun. Perubahanpun terjadi secara tiba-tiba tanpa diawali oleh gejala-gejala tertentu, saat mereka berangkat tidur masih belum terlihat tanda-tandanya tetapi saat bangun tidur rambut sudah menjadi gembel.

Dalam perawatanpun anak-anak berambut gimbal juga tidak jauh seperti anak berambut normal. Mereka juga mencuci / keramas dengan shampoo setiap waktu. Yang membedakan adalah rambut tidak dipernah disisir dan di potong. Ada saat tertentu dimana rambut boleh dipotong. Apabila belum tiba waktunya rambut dipaksa untuk dipotong maka si anak akan gampang skit-sakitan hingga rambutnya tumbuh lagi dangan kondisi yang sama, bahkan dipercaya bisa mendatang bencana bagi keluarga tersebut.

Kapankah rambut gimbal boleh dipotong?Dalam hal ini tidak ada patokan yang pasti, akan tetapi hal tersebut akan dilakukan pada saat anak telah cukup umur dan orang tuanya telah sanggup memenuhi syarat-syarat yang

Page 17: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

diperlukan. Pada umumnya saat anak berusia 7 tahun, merupakan waktunya untuk potong rambut, namun usia bukanlah menjadi patokan. Saat dimana anak rambut gimbal potong rambut dikenal dengan istilah potong gombak

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang tua adalah berupa sesaji. Sesaji – sesaji ini merupakan lambang permohonan petunjuk dan keselamatan bagi perjalanan hidup si anak. Ada beberapa sesaji yang biasa digunakan, seperti :- Ambeng bodro, berupa nasi yang dikelilingi lauk pauk tempe, tahu dan telur.- Ambeng bobrok, berupa ketan yang diberi gula merah, jenag merah putih serta jajan pasar- Sesaji lain yang diperlukan antara lain : kepala kambing, ingkung ayam, nasi tumpeng, bunga mawar, aneka minuman, kemenyan, air kendi, sisir dan cermin.

Nilai sesaji untuk potong gombak sangat bergantung pada kemampuan masyarakat yang menyelenggarakan, sehingga hal ini akan dilaksanakan bila orang tua sudah siap. Bahkan bila mempunyai kemampuan lebih sering diselenggarakan dengan pergelaran wayang kulit.

Syarat lain yang harus dilakukan saat potong gombak adalah orang tua harus memenuhi permintaan si anak rambut gimbal sebelum ritual dilaksanakan, sebab jika tidak dipenuhi dipercaya si anak akan sakit-sakitan dan akan mengalami banyak rintangan dalam perjalanan hidupnya.

Ritual potong gombak diawali dengan memohon ijin kepada yang maha kuasa untuk memotong rambut si anak. Kemudian tokoh masyarakat / dukun gombak mencukur habis rambut si anak, sebagai upaya untuk membersihkan lahir dan batinnya dari pengaruh jahat, agar dalam kehidupan dan perkembangannya terhindar dari gangguan kekuatan gaib yang berada dalam dirinya. Rambut yang telah dipotong diberi mantra, kemudian di buang/dilarung.

Di tempat lain, potong gombak dilakukan dengan cara yang berbeda. Setelah pemotongan rambut, dilanjutkan dengan ritual andha langit atau andha kencana. Si anak akan menaiki tangga yang terbuat dari dua batang tebu hitam dengan anak tangga buah pisang raja. Ritual ini dimaksudkan agar nantinya si anak mendapatkan pekerjaan yang mulia. Ritual dilanjutkan dengan prosesi midhang, yaitu 3 kali berjalan mengelilingi sesaji, kemudian menebar beras kuning, bunga, dan uang pecahan logam. Disela-sela prosesi si anak mengambil makanan sesaji, sebagai perlambang bahwa dia kelak bias mencari makan atau penghasilan yang cukup.

Tak seorangpun yang tahu kapan awal munculnya anak rambut gimbal ini. Namun masyarakat percaya bahwa anak-anak rambut gimbal tersebut berkaitan dengan keturunan Kyai dan Nyai Rogo Jiwo serta Kyai dan Nyai Rogo Dalem, yang bermukim di Gunung Semeru.

http://www.facebook.com/note.php?note_id=175197560069

ritual potong rambut gimbal dieng 1

Quote:

Hari Sabtu (1/10) di Pegunungan Dieng (2.093 meter dari permukaan laut), ribuan warga

Page 18: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

Dieng dan sekitarnya menghadiri upacara ritual potong remo (rambut) gembel. Puluhan turis asing juga menyaksikan upacara yang sejenak menghibur warga yang akan dihadapkan pada kesulitan ekonomi akibat kenaikan harga BBM. Sabtu itu tak seperti hari-hari biasa di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, yang masih sakit akibat penjarahan dan pembabatan hutan. Masyarakat dari berbagai desa berbondong- bondong menuju perbukitan kecil yang mengelilingi danau Telaga Warna. Di situlah dilangsungkan upacara ritual potong remo gembel bagi anak-anak yang memiliki rambut gembel. Delapan anak berambut gembel akan menjalani upacara ritual. Biasanya, upacara potong rambut gembel dilakukan masyarakat Dieng di dua wilayah kabupaten, Banjarnegara dan Wonosobo, pada malam 1 Asyura atau 1 Suro, sesuai tahun baru kalender Jawa atau 1 Muharam 1426 Hijriah menurut kalender Islam. Masyarakat setempat meyakini malam menjelang 1 Asyura merupakan malam suci yang cocok untuk laku prihatin. Mereka begitu percaya malam pergantian tahun Jawa bersamaan dengan berlangsungnya hajatan besar, perkimpoian sepasang mempelai keturunan tokoh supranatural, Kiai Kaladete dan Nyi Roro Kidul—sang penguasa Telaga Balekambang di Dieng. Telaga Balekambang dipercayai sebagai istana tempat kediaman Kiai Kaladete. Pada saat malam tiba, di atas telaga tampak seperti ada tarian obor. Para penari yang memegang obor meliuk-liukkan tubuhnya dengan gerakan yang sangat indah. Keramaian di telaga itu merupakan pertanda di sana sedang ada perhelatan besar. Tarian obor itu berlangsung sampai menjelang pagi itu untuk menghormati para tamu sekaligus sebagai wujud kegembiraan komunitas penguasa gaib itu. Konon menurut kepercayaan sebagian warga Dieng, pada upacara ritual yang sakral itu, kedua tokoh supranatural itu membagi-bagikan berkahnya lewat anak berambut gembel. Berangkat dari kepercayaan ini, komunitas masyarakat magis religius di Dieng, yang ketitipan anak berambut gembel, berupaya menyelenggarakan upacara ritual ruwatan. Dalam perkembangannya ruwatan itu menjadi tradisi tahunan, dikemas menjadi event wisata ritual Dieng. Pemerintah Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo menjadikan upacara ritual potong rambut gembel menjadi salah satu event tahunan atau tengah tahunan untuk menarik wisatawan mengunjungi Dieng.

Leluhur

Kaladete adalah tokoh spiritual yang sangat berpengaruh dan merasuk dalam kehidupan sebagian warga di Dieng. Mereka menganggap Kiai Kaladete adalah nenek moyangnya, leluhur penduduk Dieng. Akan tetapi, penduduk tidak tahu pasti tentang asal-muasal anak berambut gembel, bagaimana anak mempunyai rambut gembel. Mitos yang hidup di sana, konon sebelum meninggal Kiai Kaladete berpesan agar keturunannya ikut membantu menghadapi gangguan yang belum dapat diselesaikan. Ia kemudian mewariskan rambut gembel kepada keturunannya. Mitos lain menyebutkan, anak berambut gembel merupakan kesayangan dan titipan penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul, yang diyakini menjadi penari saat berlangsung perhelatan akbar pada malam 1 Suro di Telaga Balekambang. Namun, komunitas masyarakat di Dieng mempunyai mitos lain yang berbeda dengan kedua mitos di atas. Mereka meyakini bahwa di Dieng ada sebuah desa bernama Siterus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Di desa ini hidup keturunan bangsawan Kerajaan Kalingga -sebuah Kerajaan Hindu pada abad VII-VIII yang pernah berdiri di Dieng. Keturunan Raja Kalingga inilah yang diyakini membangun candi-candi di Dieng. Mereka punya keyakinan apabila ada anak yang mempunyai rambut gembel, itu adalah titisan Keling. Penduduk setempat menyebutnya sebagai anak bajang karena biasanya tubuhnya pendek. Anak titisan Keling menjadi anak kesayangan ”dayang” yang ”menghuni” kawasan Dieng. Itulah sebabnya, bocah seperti ini biasanya mendapat

Page 19: Cita Cita Kerohanian Sapta Darma

perhatian lebih. Anak bajang punya sifat dan karakter yang berbeda dengan anak pada umumnya. Ia biasanya nakal, penyakitan, dan menjadi bahan olok-olok teman sebayanya. Kehidupan anak berambut gembel dikisahkan dalam sebuah drama sendratari. Apa saja permintaannya harus selalu dipenuhi, terlebih saat menjelang upacara ritual rambut gembelnya akan dipotong. Jika tidak terpenuhi apa yang dimintanya maka anak tersebut akan terus merengek dan menangis. Rambut gembel, menurut beberapa orang tua tidak akan dipotong atau dicukur apabila si anak belum minta dipotong. Keinginan memotong rambut gembel biasanya baru muncul saat mereka menginjak usia lima tahun sampai 12 tahun. Permintaan memotong rambut biasanya disertai dengan keinginan yang aneh-aneh.

http://hey-sista.blog.friendster.com/