1
RAHMATAN LIL’ALAMIN SEBAGAI PERWUJUDAN CITA-CITA ISLAM
DALAM KEBANGSAAN
Muhammad Nur Jamaluddin
Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Cabang Bandung
E-mail: [email protected]
Website: www.mnj.my.id
Bandung, 30 Desember 2019
ABSTRAK Perwujudan Islam Rahmatan Lil’alamin dalam konteks dunia Islam pada
umumnya dan Indonesia pada khususnya sedang mengahadapi persoalan yang
berkebalikan dengan konsep Islam Rahmatan Lil’alamin yang sebenarnya seperti
adanya kekerasan, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme yang
mengatasnamakan agama Islam. Kehadiran gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini
menjadi penting di tengah menguatnya kontestasi wacana dan aksi di antara gerakan
Islam di Indonesia. Rahmatan Lil’alamin sebagai perwujudan cita-cita Islam dalam
kebangsaan dapat diaktualisasikan dengan 3 (tiga) cara, yaitu: (1) memiliki ilmu
pengetahuan yang luas dan memahami perkembangan teknologi dan sains; (2) tidak
emosi dalam bergama; dan (3) hati-hati dalam setiap ucapan, perbuatan serta
tindakan.
Kata kunci: Rahmatan Lil’alamin, cita-cita Islam, dan kebangsaan.
ABSTRACT
The embodiment of Islam Rahmatan lil'alamin in the context of the Islamic
world in general and Indonesia in particular is in the case of issues that are
contrary to the concept of Islam Rahmatan lil'alamin in fact such as violence,
extremism, Radicalism, and terrorism on behalf of Islamic religion. The presence
of the Islamic idea of Rahmatan Lil'alamin became important in the midst of the
contestation of discourse and action among the Islamic movements in Indonesia.
Rahmatan Lil'alamin as an embodiment of Islamic ideals in nationality can be
acctualized by 3 (three) ways, namely: (1) have extensive knowledge and
understand the development of technology and science; (2) Not the emotion in
Bergama; and (3) be careful in every speech, deed, and action.
Keywords: Rahmatan lil'alamin, Islamic ideals, and nationality.
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang bersifat universal, humanis, dinamis, kontekstual
dan akan abadi sepanjang masa. Selain itu Islam merupakan agama terakhir
yang memiliki kitab suci resmi, orisinal dari Allah SWT, dengan rasul
2
terakhirNya penutup para nabi-nabi dan tidak ada nabi setelahnya Nabi
Muhammad SAW, sebagaimana tertuang dalam (Qs. Al-Ahzâb/33: 40).1 Islam
Rahmatan Lil’alamin begitulah harapan dan cita-cita Islam menjadi rahmat bagi
seluruh alam, menjadi agama yang pengasih, penyayang, dan adil untuk seluruh
makhluk. Cita-cita yang fitrah tersebut bisa dicapai bukan hanya dengan usaha
dari satu golongan, atau satu kaum saja, melainkan usaha keseluruhan umat
manusia yang ingin mencapai cita-cita luhur tersebut, khususnya Muslim yang
mengimaniNya. Tanda-tanda tersebut telah Allah dituangkan dalam Surah As-
Saffat (yang berbaris baris), itu merupakan simbol yang tersirat dari Allah untuk
mewujudkan kehidupan Islam Rahmatan Lil’alamin secara bersama-sama
dalam barisan yang rapat dan melangkah dalam persatuan berlandaskan pada
ketaqwaan Tuhan Semesta Alam.
Indonesia dan Islam adalah gambaran gagasan dan kebenaran yang harus
dikuatkan pondasinya, mengingat sejarah masuknya Islam ke Indonesia pada 7
Masehi silam. Islam menjadi agama yang diakui dan menjadi agama mayoritas
di Indonesia. Penyebaran Islam ke pelosok-pelosok nusantara menggunakan
beragam metode dan penyebaran menyebabkan banyak perbedaan budaya
merupakan perwujudan dalam beberapa amalan, seperti penyebaran dengan
wayang oleh beberapa wali di daerah Jawa, atau melalui musik-musik.2
Perbedaan penyebaran tersebut, bukan merupakan halangan mewujudkan
kesatuan dalam ketaqwaan kepada Allah melalui Islam, karena Rahmatan
Lil’alamin bukan merupakan milik suatu golongan melainkan milik seluruh
alam.
Gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin adalah gagasan yang komprehensif
dan holistik. KH. Abdul Muchith Muzadi kakak KH. Hasyim Muzadi
mengungkapkan bahwa dengan Islam Rahmatan Lil’alamin mampu membuat
1 Rasyid, Muhammad Makmun. 2016. Islam Rahmatan Lil Alamin Perspektif KH. Hasyim
Muzadi. Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, Vol. 11, No.1: 94. 2 Cabil. “Perwujudan Cita-cita Islam dalam Kebersamaan Kebangsaan”.
(http://coretanceritacrayon.blogspot.com/2017/10/perwujudan-cita-cita-islam-dalam.html), diakses
pada tanggal 25 Desember 2019, pukul 16.34 WIB.
3
para muballighin (penyebar dan pembawa agama) yang membawakan Islam
dengan penuh keramahan, kedamaian dan kebijaksanaan, mudah diterima oleh
masyarakat dengan sukarela tanpa perlawananan dan kekerasan.3
Cita-cita menjadi rahmat bagi seluruh alam bukan perkara mudah, tapi suatu
fitrah yang harus diwujudkan dalam realita. Memulai mewujudkan asa menjadi
Rahmatan Lil’alamin, di mulai dari struktur yang paling kecil. Perilaku
bertetangga, menghargai perbedaan pendapat, saling bertoleransi dalam
penggunaan ruang spasial, mengasihi lewat memberi hadiah atau saling tolong
menolong. Di tingkat yang lebih tinggi, dalam hidup bermasyarakat di
lingkungan kelurahan, kecamatan, kota, provinsi, antar pulau, antau antar
bangsa di Indonesia, sekalipun sifat Rahmatan Lil’alamin harus dimunculkan
dari setiap individu. Menjadi jiwa yang pengasih, penyayang, adil dan penuh
kelembutan adalah hal yang diwahyukan Allah SWT. Allah SWT adalah ruh
dari kehidupan yang menurunkan Islam sebagai agama langit yang luhur, maka
kepadaNyalah dikembalikan segala macam hal.
Di dalam Alquran, Allah banyak menulis mengenai bangsa-bangsa
terdahulu yang telah menemui ajalnya. Bangsa-bangsa tersebut menerima
hukuman karena kelalaian masyarakatnya, karena ketidaktaatan kepada
pemimpin atau karena berbuat kerusakan, seperti pada Surah Al-Isra ayat 58
yang artinya: “Dan tidak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya),
melainkan Kami binasakannya sebelum hari kiamat atau Kami siksa
(penduduknya) dengan siksa yang sangat keras”. Sebelumnya Allah juga telah
memperingatkan bahwa setiap umat atau penduduk yang meyakini Islam,
memiliki batas waktu dan ajalnya sendiri (Qs. Al-Araf, Qs. Yunus, Qs. Al-Hijr)
dan setiap batas waktu tersebut tidak dapat dipercepat maupun diperlambat.
Oleh karena itu, manusia memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari akhir
umat/ bangsa yang baik atau malah sebaliknya.
3 Muzadi, Abdul Muchith. Mengenal Nahdlatul Ulama. (Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 1.
4
Konflik kepentingan banyak terjadi dengan mengatasnamakan keadilan dan
kesejahteraan. Namun, tidak sedikit yang berakhir merugikan berbagai pihak.
Beberapa kerugian yang disebabkan konflik kepentingan bahkan
mengatasnamakan Islam hingga akhirnya membunuh sesama manusia.
Peristiwa bom Bali I 12 Oktober 2002, bom Bali II 1 Oktober 2005 dan aksi-
aksi pemboman lainnya menyentakkan publik Indonesia khususnya umat Islam
tentang yang sedang terjadi dalam pemahaman dan pemikiran sebagian umat
Islam di Indonesia.4 Selain itu ada Densus 88 Antiteror Polri telah menangkap
sebanyak 71 (tujuh puluh satu) orang terduga teroris pascabom bunuh diri di
Polrestabes Medan, Sumatera Utara hingga Selasa 19 November 2019.5
Kondisi umat Muslim saat ini (secara keseluruhan) belum mampu untuk
tidak mengatakan tidak mampu membawa agamanya dengan baik dan benar.
Ketidakmampuan itu menjadi salah satu penghalang hadirnya Islam dengan
penuh kesejukan dan kedamaian. Benar adanya, apa yang dikatakan oleh
Muhammad Abduh bahwa ketinggian ajaran Islam tertutup oleh perilaku umat
Muslim sendiri (Al-Islâm mahjûbun bil-Muslimîn). Bahkan Muhammad Iqbal
menyatakan bahwa kemunduran kaum Muslimin bukanlah disebabkan ajaran
agamanya, tetapi kesalahan terletak pada diri masing-masing pribadinya.
Kekeliruan dalam memahami ajaran agama lantaran kejumudannya.
Kadangkala sesuatu yang diamalkan bertolak belakang dengan sumber aslinya.
Pemahaman yang keliru akan melahirkan tindakan yang keliru pula. Ironisnya,
masih mempertahankan pemikirannya dengan cara apa pun.6 Ini sebuah
kejumudan dalam beragama dan sedang dialami umat Muslim. Dari sinilah awal
mulanya tindakan kekerasan atas nama agama lahir.
4 Yahya, Ismail. “Islam Rahmatan Lil’alamin”. (http://www.iain-surakarta.ac.id/?p=12750),
diakses pada tanggal 25 Desember 2019, pukul 16.44 WIB. 5 Liputan6.com, Jakarta. “71 Terduga Teroris Ditangkap Usai Bom Bunuh Diri Medan”.
(https://www.liputan6.com/news/read/4114911/71-terduga-teroris-ditangkap-usai-bom-bunuh-diri-
medan), diakses pada tanggal 25 Desember 2019, pukul 16.50 WIB. 6 Munawwir, Imam. Salah Paham Terhadap Alquran. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983), hlm.
115.
5
Kejumudan dapat diobati oleh pendayagunaan akal secara maksimal.
Mengolah pemikiran hasil olahan dan cernaan akal yang aktif agar menjadi baik
dan benar, salah satunya melalui pendidikan. Pendidikan yang ditempuh
seseorang, baik formal, non-formal dan informal adalah kesatuan yang terpadu,
untuk membentuk pribadi Muslim yang mampu mengkontekstualisasikan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang didapatkannya ke sebuah lingkungan
masyarakat. Alquran mempersilakan umat Muslim untuk mengembangkan ilmu
dan mendayagunakan akalnya semampunya. Namun harus disadari, umat
Muslim dikenal sebagai ummatan wasathan (umat pertengahan), sebagaimana
menurut M. Quraish Shihab, umat yang tidak larut dalam spritualisme tetapi
juga tidak hanyut dalam alam materialisme.7
Keberagaman yang kokoh adalah fitrah manusia (Qs. Al-Rûm/30: 30). Pola
beragama yang sejuk menjadi fitrah manusia sebagimana Karen Armstrong
menyatakan bahwa agama yang penuh kasih sayang.8 Kedewasaan dalam
beragama akan melahirkan perdamaian dan kerukunan lintas kelompok, agama,
etnis suku dan ras adalah dambaan Islam. Cita-cita itu tidaklah utopis,
kedatangan Islam pun untuk mewarnai kehidupan di bumi, tidak seperti asumsi
iblis tatkala Allah SWT ingin menciptakan manusia (Qs. Al-Baqarah/2: 30).
Pemahaman dan pemikiran Islam yang mengedepankan kasih sayang,
kesantunan, toleransi, keseimbangan yang sejak dahulu sudah menjadi gerakan
utama di Indonesia, salah satu gagasan tersebut adalah Islam Rahmatan
Lil’alamin. Adapun hubungannya dengan perwujudan cita-cita Islam dalam
kebangsaan adalah bangunan Islam Indonesia yang berwajah menyelamatkan
relasi antar manusia dalam perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan
dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu), bermakna bahwa
persatuan dalam perbedaan, dan perbedaan untuk persatuan di Negara Kesatuan
7 Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat.
(Jakarta: Mizan, 1998), hlm. 34. 8 Armstrong, Karen. Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih, Terjemahan
Yuliani Liputo. (Bandung: Mizan, 2012), hlm. 77.
6
Republik Indonesia. Perwujudan Islam Rahmatan Lil’alamin dalam konteks
dunia Islam pada umumnya dan Indonesia pada khususnya sedang
mengahadapi persoalan yang berkebalikan dengan konsep Islam Rahmatan
Lil’alamin yang sebenarnya seperti adanya kekerasan, ekstremisme,
radikalisme, dan terorisme yang mengatasnamakan agama Islam. Kehadiran
gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini menjadi penting di tengah menguatnya
kontestasi wacana dan aksi di antara gerakan Islam di Indonesia. Berdasarkan
uraian tersebut perlu kiranya pembahasan lebih lanjut mengenai Rahmatan
Lil’alamin Sebagai Perwujudan Cita-Cita Islam Dalam Kebangsaan.
B. Konsep Islam Rahmatan Lil’alamin
Konsep Islam Rahmatan Lil’alamin, secara bahasa kata Islam berasal dari
kata salama atau salima yang berarti damai, keamanan, kenyamanan, dan
perlindungan. Menurut Muhammad Tahir-ul-Qadri dalam Fatwa tentang
Terorisme dan Bom Bunuh Diri, “seperti makna literalnya, Islam adalah
pernyataan absolut tentang perdamaian. Agama Islam adalah manifestasi damai
itu sendiri. Islam mendorong manusia untuk menciptakan hidup proporsional,
damai, penuh kebaikan, keseimbangan, toleransi, sabar, dan menahan marah.”9
Kata salima menjadi yaslaamu, salaaman, dan salaamatan, serta kata turunan
lainnya, yang di dalam Alquran menjelaskan bahwa setiap kata berasal,
terderivasi, serta terkonjungasi dari kata Islam, secara esensial merujuk kepada
pengertian damai, perlindungan, keamanan, dan kenyamanan.10
Islam Rahmatan Lil’alamin bukan hal baru dalam konsep pemikiran Islam
dan memiliki basis yang kuat dalam teologi Islam. Kata “Islam” berasal dari
kata aslama yang berakar kata salama. Kata “Islam” adalah bentuk infinitif dari
kata aslama ini. Kata itulah yang menjadikan Islam memiliki varian makna
yang diafirmasi oleh Alquran sendiri, meliputi: damai (Qs. Al-Anfâl/8: 61 dan
9 Tahir-ul-Qadri, Muhammad. Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri. (Jakarta: LPPI,
2014), hlm. 74. 10 Idem, hlm. 82.
7
Qs. Al-Hujurȃt/49: 9), menyerah (Qs. An-Nisâ/4: 125 dan Qs. Ali Imrân/3: 83),
penyerahan diri secara totalitas kepadaNya (Qs. Al-Baqarah/2: 208 dan Qs. As-
Shaffât/37: 26), bersih dan suci (Qs. Asy-Syu’arâ’/26: 89, Qs. Al-Maidah/5: 6
dan Qs. As-Shaffât/37: 84), selamat dan sejahtera (Qs. Maryam/19: 47).11
Adapun makna “rahmat” adalah al-riqqatu wa al-ta’attufi (kelembutan
yang berpadu dengan rasa keibaan).12 Ibnu Faris mengartikan kata ini dengan
merujuk kepada makna kelembutan hati, belas kasih dan kehalusan. Kata ini,
lahir kata rahima yang memiliki arti ikatan darah, persaudaraan dan hubungan
kerabat.13 Al-Asfahani mempertegas bahwa dalam konsep rahmat adalah belas
kasih semata-mata (al-riqqat al-mujarradah) dan kebaikan tanpa belas kasih
(al-ihsân al-mujarrad dûna al-riqqat).14 Artinya, jika rahmat disandarkan
kepada Allah SWT, maka bermakna “kebaikan semata-mata”, dan jika
disandarkan kepada manusia, maka yang dimaksud adalah “simpati semata”.
Sampai saat ini, orang-orang Arab dalam percakapannya sehari-hari,
mengartikan rahmat yang disandarkan kepada Allah bermakna belas kasih,
kebaikan, rezeki dan lain-lain, sedangkan yang disandarkan kepada manusia
bermakna “belas kasih”.
Alquran pun turut mengafirmasi makna-makna di atas: “Dan tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Qs.
Al-Anbiyâ’/21: 107). Hampir semua kata rahmat dalam Alquran tertuju kepada
Allah, sebagai pemberi rahmat. Baik berupa kasih sayang, kebajikan,
kenikmatan, kemenangan dan lain sebagainya. Segala sesuatu yang berkaitan
dengan rahmat dalam Alquran, memiliki konotasi sebuah pemberian dan tujuan
tanpa ada sekat, dirasakan oleh seluruh manusia karena Allah menyifati dirinya
11 Rasyid, Muhammad Makmun. Op.Cit., hlm. 98-99. 12 Mandzur, Ibnu. Lisânul Arab. Vol. 5. (Beirut: Dâr Ihyâ Al-Turâts Al-Arabi, 1999), hlm. 173,
dalam Muhammad Makmun Rasyid, Op.Cit., hlm. 102. 13 Ahmad, Abi Husain Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqâyîsu Al-Lughati, di-tahqiq Abd
Salam Muhammad Harun. Vol. 2. (Beirut: Dâr Al-Fikr, 1979), hlm. 498, dalam Muhammad
Makmun Rasyid, Op.Cit., hlm. 102. 14 Al-Husain, Abi Al-Qasim Ibn Muhammad (Al-Asfahani), Al-Mufradâtu Fî Gharîbi Al-
Qur’âni. Vol. 2. (Mekkah: Maktabah Nizâr Mustafa Al-Bâz, 2009), hlm. 253-254, dalam
Muhammad Makmun Rasyid, Op.Cit., hlm. 102.
8
dengan rahman yang mencakup siapa pun. Nabi Muhammad SAW pun
menegaskan kehadirannya di alam semesta ini melalui sabdanya: “Yâ ayyuha
al-nâsu, innamâ anâ rahmatun muhdâtun (wahai sekalian manusia,
sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan Allah)”.15
Rahmat Allah lebih luas dan rahmatNya mengalahkan azabNya kepada
manusia. Kaitannya dengan konsep rahmat ini, KH. Hasyim Muzadi di dalam
menafsirkan kata “rahmat” dan “rahim” Allah berbeda. Rahmat Allah SWT
untuk seluruh mahluknya, termasuk non-Muslim, sedangkan rahimNya hanya
diperuntukkan bagi-bagi orang yang taat kepada Allah, tidak menduakannya
dan mengimani ajaran Nabi Muhammad SAW karena ini sebagai tiket untuk
memasuki surgaNya kelak.16
Islam Rahmatan Lil’alamin yang dijadikan payung dalam berdakwah,
tentunya memiliki perbedaan signifikan dalam tatanan praktiknya dengan
gagasan-gagasan lainnya, seperti: Islam Liberal dan Islam Pluralis, Islam
Progresif, Islam Nusantara, Islam Kalap dan Islam Karib, Islam Berkemajuan,
dan lain sebagainya. Semuanya, akan menuju kepada agama rahmat untuk alam
semesta. Namun, sama-sama memiliki visi membaca Islam dengan penuh
kelembutan, kedamaian dan menjadi solusi untuk dunia. Tetapi, istilah Islam
Rahmatan Lil’alamin merupakan istilah yang bersumber dan tercantum dalam
Alquran (building in Islam). Allah SWT langsung yang memberikan istilah
tersebut untuk menyebut sebuah ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW akan berdampak positif, inklusif, komprehensif dan holistik. Konsep yang
tidak memiliki kekurangan dan kelemahan, gagasan yang suci dan konsep
Ilahiah yang lebih autentik.17
Sikap ini sebagai upaya untuk menghindari asumsi-asumsi negatif yang
ditempelkan kepada Islam, sebagaimana anggapan yang berkembang, bahwa
15 Abdillah, Abi Muhammad bin Abdirrahman bin Al-Fadhl al-Darami. Kitâb Al-Musnad al-
Jâmi. (Beirut: Dâr Al-Basyâ’ir Al-Islâmiyah, 2014), hlm. 98, dalam Muhammad Makmun Rasyid,
Op.Cit., hlm. 103. 16 Rasyid, Muhammad Makmun. Op.Cit., hlm. 98-99. 17 Ibid.
9
semua istilah yang berkembang merujuk pada “makhluk yang sama”, yaitu
“Islam yang tunduk dan tersubordinasikan kepada Barat.”18 Misalnya, Islam
Nusantara, belum ada definisi resmi yang representatif dari Nahdatul Ulama.
Indikasi ini menunjukkan status ontologis Islam Nusantara buram. Kata sifat
yang menempel pada kata Islam pun bisa tampil dengan wajah eksklusif.
Penisbatan sebuah nama memiliki kecenderungan untuk berlaku ambigu dalam
praktik dan implementasinya. Ambiguitas terlihat, jika Islam non-Nusantara
hanya menampilkan pemikiran “nusantarawi” dan di luar gagasan Islam yang
telah berkecimpung dengan budaya khas Indonesia, akan dilihat dengan sikap
kecurigaan.
Adapun hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang mengilustrasikan makna
Islam Rahmatan Lil’alamin, antara lain:
Sumber: Berita Institut Agama Islam Negeri Surakarta
Islam Rahmatan Lil’alamin
Diterbitkan tanggal 13 Juli 2018
Dengan 3 (tiga) hadits ini cukuplah untuk mengatakan dari kajian bahasa
bahwa Islam sebagai agama secara normatif memastikan terwujudnya
kedamaian dan keselamatan untuk seluruh umat manusia, dan orang muslim
18 Husaini, Adian dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan
Jawabannya. (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 33.
10
tidak lain adalah mereka yang mewujudkan nilai-nilai luhur Islam tersebut.
Istilah Rahmatan Lil’alamin terdiri atas dua kata rahmat yang berarti kasih
sayang, dan lil alamin yang berarti seluruh alam. Istilah ini sebagaimana
tercantum di dalam (Qs. Al-Anbiyâ’/21: 107). Menurut Ath-Thabari di dalam
Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Alquran, para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai
maksud ayat ini, apakah rahmat itu diutusnya Nabi Muhammad ditujukan
kepada seluruh alam, termasuk orang-orang kafir? atau hanya kepada orang-
orang beriman? Menurut Ath-Thabari yang paling benar adalah pendapat
pertama bahwa rahmat bagi orang beriman maka sesungguhnya Allah
memberikan petunjuk kepadanya dan memasukkan keimanan ke dalam dirinya
dan memasukkanya ke dalam surga dengan mengerjakan amal yang
diperintahkan Allah. Adapun pendapat kedua bagi orang kafir maka rahmat itu
berupa penundaan bala’ (bencana) sebagaimana yang diturunkan kepada umat-
umat yang mendustakan rasul-rasul Allah sebelumnya.19
Bisa dikatakan gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini masih konsep
abstrak. Agar lebih operasional, pengertian Nur Syam berikut ini bisa
menjelaskan gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin tersebut, yaitu konsep dan
upaya orang Islam khususnya di Indonesia menjadikan Islam sebagai rahmat
bagi seluruh alam, bukan hanya keselamatan bagi manusia tetapi juga untuk
alam lainnya, yang diselamatkan adalah hablum minallah, hablum minan nas
dan juga hablum minal alam. Keselamatan manusia tidak ada artinya jika alam
tidak dalam keselamatan. Islam yang menyelamatkan adalah Islam yang
memberikan keselamatan bagi semuanya.20
Lebih lanjut Nur Syam mengatakan bahwa konsep Islam Rahmatan
Lil’alamin mengembangkan pola hubungan antar manusia yang pluralis,
humanis, dialogis dan toleran, serta mengembangkan pemanfaatan dan
19 Ath-Thabari. Jami’ul Bayan fi Ta’wil Alquran. (Beirut: Mua’assasah Ar-Risalah, 2000), Al-
Maktabah Asy-Syamilah, hlm. 224-310/838-923, dalam Ismail Yahya, Op.Cit. 20 Syam, Nur, Merumuskan Islam Rahmatan Lil’alamin, (http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=514),
dalam Ismail Yahya, Op.Cit.
11
pengelolaan alam dengan rasa kasih sayang. Pluralis dalam arti memiliki relasi
tanpa memandang suku, bangsa, agama, ras ataupun titik lainnya yang
membedakan antara satu orang dengan orang lain. Humanis dalam arti
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menghargai manusia sebagai
manusia. Dialogis dalam arti semua persolan yang muncul sebagai akibat
interaksi sosial didiskusikan secara baik dan akomodatif terhadap beragam
pemikiran. Toleran dalam arti memberi kesempatan kepada yang lain untuk
melakukan sebagaimana yang diyakininya, dengan penuh rasa damai.21
C. Konsep Nilai-nilai Keislaman Dalam Kebangsaan
Umat Islam merupakan manusia yang meyakini Islam sebagai agama dan
kepercayaan. Agama Islam memiliki konsepsi keyakanin, tata aturan, norma-
norma atau etik yang harus diyakini dan dilaksanakan oleh penganutnya secara
konsekuen. Islam diyakini sebagai agama yang sempurna, bukan saja karena
tuntunannya yang serba mencakup seluruh segmen kehidupan manusia, tetapi
juga memiliki aturan yang berfungsi mengontrol dan mengawasi bahkan
memberi penghargaan dan sanksi. Oleh karena itu, selayaknya umat Islam
mengamalkan ajaran agamanya dengan saksama dan konsisten demi mencapai
kualitas hidup yang sejahtera di dunia dan di akhirat.
Nilai-nilai keislaman dalam kebangsaan dapat dijelaskan dalam dua
perspektif, yaitu:22
1. Prespektif pluralisme dalam persatuan, Islam dan nasionalisme
mempunyai hubungan positif. Islam mempunyai pengalaman panjang
dan bahkan pioneer terbentuknya nasionalisme yang melahirkan negara
bangsa. Negara Madinah yang didirikan Nabi Muhammad adalah
negara bangsa pertama di dunia.
2. Perspektif uneversalisme, menurut Mansur, kebangsaan bertentangan
dengan Islam. Sebagai agama universal, Islam tidak membatasi
peruntukan bagi wilayah geografis dan etnis tertentu. Namun demikian,
Islam tidak menafikan kenyataan bahwa setiap orang mempunyai
21 Ibid. 22 Purwoko, Dwi, dkk. Negara Islam, Percikan Pemikiran: H. Agus Salim, KH. Mas Manshur,
Mohammad Natsir, KH. Hasyim Asyari. (Depok: Permata Atika Kreasi, 2001), hlm. 37-38.
12
afiliasi terhadap tanah air tertentu. Pepatah yang mengatakan “cinta
tanah air sebagian dari iman”, seperti dikatakan bahwa sangat
mempengaruhi pandangan kaum Muslimin pada umumnya. Menurut
Mansur bahwa memang Islam tidak bertanah air, tetapi kaum
Musliminnya bertanah air. Dan umat Islam berkewajiban menjaga,
mencintai, dan membela tanah airnya.
Realitas kebangsaan dalam tubuh umat Islam merupakan implementasi dari
misi Islam Rahmatan Lil’alamin sehingga eksklusifitas umat Islam harus
diminimalkan. Sikap kebangsaan bagi umat Islam juga cermin dari paham
monoteis yang menjadi fundamental keyakinannya, dimana semua realitas itu
termasuk eksklusifitas dan individualitas haruslah dinegasikan dan hanya Allah
yang menjadi esensi sesungguhnya, “La Ilaha Illallah” (Tiada Tuhan Selain
Allah). Norma tersebut kemudian diaplikasikan oleh Rasulullah SAW dalam
membangun masyarakat Madinah di bawah panji “Piagam Madinah”. Piagam
Madinah merupakan perjanjian luhur yang mengikat Yahudi, Kristen, Muslim
dan Paganis. Karakter ini diperkuat dengan risalah terakhir dalam Islam yang
disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam Haji Wada’. Satu-satunya ibadah
haji penutup yang dilakukan Rasulullah SAW semasa hidup tersebut,
Rasulullah SAW berpesan kepada seluruh umat manusia untuk selalu
menghormati kehormatan dan hak-hak seseorang, mengangkat kehormatan
wanita, menghindarkan pertumpahan darah dan seterusnya.23
Nilai kebangsaan Indonesia adalah norma-norma kebaikan yang terkandung
dan menjadi ciri kepribadian bangsa Indonesia. Ciri kepribadian ini akan
menjadi motif dan pendorong serta pedoman untuk tindakan yang bertujuan
pada keluhuran bangsa. Nilai-nilai kebangsaan merupakan nilai dasar atau nilai
intrinsik yang lestari dan abadi. Nilai ini eksis baik di masa lampau, masa kini
maupun masa depan dalam kehidupan bangsa. Secara statik, nilai kebangsaan
berwujud menjadi dasar negara, ideologi nasional dan jati diri bangsa,
sedangkan secara dinamik menjadi semangat kebangsaan. Nilai-nilai
kebangsaan bersumber, mengakar dan dipersepsikan dari nilai-nilai yang telah
23 Siradj, Said Aqiel. Islam Kebangsaan, Fiqih Demokratik Kaum Santri. (Jakarta: Pustaka
Ciganjur, 1999), hlm. 193.
13
hidup dalam khazanah budaya Indonesia, yakni nilai-nilai yang
mengakomodasikan dan menyatukan kemajemukan bangsa Indonesia. Nilai-
nilai kebangsaan mengacu pada empat pilar kebangsaan: Pancasila, Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
Bhineka Tunggal Ika.24
Nilai kebangsaan yang bersumber dari Pancasila:25
1. Sila pertama, nilai religius, yaitu memiliki nilai-nilai spiritual yang
tinggi berdasarkan agama dan keyakinan yang dipeluknya serta
memiliki toleransi yang tinggi terhadap umat agama lain sebagai
konsekuensi mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa.
2. Sila kedua, nilai kekeluargaan, yaitu memiliki nilai-nilai kebersamaan
dan senasib sepenanggungan sesama warga tanpa membedakan suku,
agama, ras, maupun golongan sebagai konsekuensi dari masyarakat
majemuk.
3. Sila ketiga, nilai keselarasan, yakni memiliki kemampuan beradaptasi
dan kemauan untuk memahami, menerima budaya dan kearifan lokal
sebagai konsekuensi bangsa yang plural.
4. Sila keempat, nilai kerakyatan memiliki sifat keberpihakan kepada
rakyat sebagai wujud kedaulatan rakyat.
5. Sila kelima, nilai keadilan sosial memiliki sifat keberpihakan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Nilai kebangsaan dalam UUD 1945 meliputi, pertama: nilai yang terdapat
dalam Pembukaan UUD 1945, terdiri dari nilai kemanusiaan, religius,
produktivitas, dan keseimbangan. Kedua: nilai yang terdapat dalam pasal-pasal
dan ayat-ayat UUD 1945 adalah nilai demokrasi, kesamaan derajat, ketaatan
hukum dan ketiga: nilai kebangsaan dalam bentuk NKRI.26
Nilai kebangsaan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika meliputi, nilai
toleransi, nilai keadilan, dan nilai gotong-royong atau kerjasama. Apabila
dicermati, nilai-nilai yang terdapat dalam UUD 1945, NKRI, dan Semboyan
Bhineka Tunggal Ika telah terdapat dalam Pancasila. Hal ini dikarenakan peran
24 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Naskah Akademik Pedoman Pemantapan Nilai-Nilai
Kebangsaan. (Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional RI, 2009), hlm. 39. 25 Idem, hlm. 41. 26 Idem, hlm. 42.
14
Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan jati diri bangsa Indonesia yang
menjadi sumber nilai yang terdapat pada konsesnsus yang lain.27
Menurut Paulus Wahana, Pancasila memuat nilai-nilai dasar manusiawi,
yaitu nilai-nilai yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia sebagai
manusia, sesuai dengan kodrat dan kecenderungannya sebagai manusia
sehingga berlaku bagi seluruh manusia apa pun dan bagaimanapun latar
belakangnya. Nilai-nilai dalam Pancasila merupakan nilai moral dasar yang
selalu aktual dalam tindakan manusia. Meskipun berbeda bobot dan jenisnya,
nilai-nilai dalam Pancasila tidak saling bertentangan tetapi justru saling
melengkapi dan merupakan kesatuan yang bulat dan utuh serta membentuk
sistem nilai bagi bangsa Indonesia.28
Secara teoritis, tampaknya tidak ada kesulitan untuk menginternalisasi
proses pembangunan nilai-nilai keislaman dalam kebangsaan. Pernyataan ini
bukan didasarkan pada kondisi demografi dimana mayoritas bangsa Indonesia
beragama Islam, tetapi lebih didasarkan pada fakta ideologis, bahwa Pancasila
sebagai falsafah hidup bangsa yang telah lama dipahami, dihayati, bahkan telah
diamalkan oleh segenap bangsa Indonesia, tidak ada satu sila pun dari Pancasila
itu yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Diformalkan atau tidak,
nilai-nilai keislaman telah menjiwai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa,
jauh sebelum Pancasila itu disahkan sebagai dasar negara. Wujud konkret dari
implementasi nilai-nilai Pancasila pada setiap individu warga bangsa ini, tidak
lain adalah implementasi dari nilai-nilai keislaman. Di samping itu, bagi bangsa
Indonesia yang religius, sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keagamaan akan
lebih mudah diterima daripada nilai dan norma yang dibuat oleh manusia. Hal
itu terjadi karena adanya faktor keimanan yang kuat terhadap nilai-nilai
27 Idem, hlm. 43. 28 Wahana, Paulus. Filsafat Pancasila. (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 73-74.
15
kegamaan yang diyakini dapat menjamin keselamatan hidup di dunia dan
akhirat kelak.29
Berdasarkan uraikan di atas, maka proses implementasi nilai-nilai
keislaman dalam kebangsaan pada dasarnya adalah usaha sadar dan terencana
dalam proses osialisasi, internalisasi, serta implementasi nilai-nilai keislaman
yang dikemas dalam Pancasila, serta diformulasikan sebagai falsafah hidup
bangsa, dan diterima bangsa Indonesia secara utuh karena nilai-nilai keislaman
yang terkandung di dalamnya, merupakan nilai-nilai universal bagi kehidupan
manusia. Sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keislaman dalam kebangsaan
dapat ditempuh melalui 3 (tiga) jalur pendidikan, yaitu:30
1. Jalur pendidikan informal yang berlangsung dalam lingkungan
keluarga, dimana keluarga memiliki tanggung jawab utama dalam
sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai spiritual sebagai upaya
pembangunan nilai-nilai keislaman dalam kebangsaan. Strategi yang
dapat ditempuh untuk sosialisasi dan internalisasi nilai keagamaan,
antara lain melalui keteladanan orang tua, serta intensifikasi kajian
agama melalui berbagai aktivitas baik di rumah maupun di luar rumah.
2. Jalur pendidikan nonformal, dimana yang menjadi penanggung
jawabnya adalah pemuka agama serta tokoh masyarakat yang memiliki
kepedulian terhadap pendidikan dan pembentukan karakter anak
bangsa. Pada jalur ini internalisasi nilai-nilai keislaman dalam
kebangsaan dilakukan melalui khutbah-khutbah pada acara ritual
keagamaan, serta kajian kajian intensif tentang keagamaan yang
dilakukan oleh masyarakat melalui kelompok kelompok sosial tertentu.
3. Jalur pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah dan
masyarakat dalam wujud proses penyelenggaraan pendidikan dalam
lembaga lembaga pendidikan yang terstruktur, sistematis, serta
profesional. Strategi sosialisasi serta internalisasi nilai-nilai keislaman
dalam kebangsaan pada jalur ini dilakukan melalui proses pembelajaran
agama sesuai dengan standar isi maupun standar proses pembelajaran
yang ditentukan oleh Badan Standarisasi Nasional Pendidikan. Selain
itu cara lain untuk internalisasi nilai-nilai keislaman dalam kebangsaan
pada jalur pendidikan formal dapat dilakukan melalui pesan pesan moral
yang dintegrasikan dengan materi pembelajaran, dan dilakukan oleh
guru pada saat proses pembelajaran berlangsung.
29 Surachman, E. 2011. Revitalisasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Pembangunan Karakter
Bangsa. Jurnal Studi Alquran, Vo. 7, No. 1: 34. 30 Idem, hlm. 35.
16
D. Konsep Keislaman dan Keindonesiaan
Konsep keislaman dan keindonesiaan secara garis besar terdapat dalam 3
(tiga) paradigma, yaitu:
1. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan agama
dan negara yang menganggap keduanya merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan dan merupakan 2 (dua) lembaga yang menyatu. Ini
juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga
politik dan sekaligus lembaga agama. Paradigma ini melahirkan konsep
tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur
dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan.31
Paradigma integralistik dikenal juga dengan paham Islam: din wa
dawlah, dengan hukum Islam sebagai sumber landasan mengatur negara.
Oleh karena itu, dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali pada
sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu sistem ketatanegaraan Barat.
Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah
sistem yang telah dilaksanakan Nabi Muhammad SAW dan oleh 4 (empat)
khalifah. Para tokoh yang mengusung paradigma ini antara lain Sayyid
Quthb, Muhammad Rasyid Ridha, Hasan Al-Bana, Hasan Al-Turabi, dan
Abu Al-A’la Mawdudi.32
2. Paradigma Sekuleristik
Para tokoh yang mengusung paradigma ini antara lain Ali Abdul-Raziq,
Thaha Husein, Muhammad Sa`id Al-Ashmawi, Ziya Gokalp, Sayyid
Ahmad Khan, Ameer Ali, Khuda Bakhsh, Khalifah Abdul Halim, Ghulam
Ahmad Parvez, serta Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid.33
31 Muhammad, Husein. Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik. Dalam Ahmad
Suaedy. Pergulatan Pesantren dan Demokrasi. (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 89. 32 Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Demokrasi (1966- 1993). (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 57. 33 Tim Kajian Ilmiah Abituren. Simbiosis Negara dan Agama: Reaktualisasi Syari’at dalam
Tatanan Kenegaraan. (Kediri: Lirboyo, 2007), hlm. 28-35.
17
Kata sekuler diambil dari Bahasa Latin saeculum yang memiliki dua
konotasi yaitu masa (time) dan tempat (location). Waktu menunjukkan now
atau present (sekarang), sedangkan tempat (location) dinisbatkan kepada
dunia (world). Istilah Latin lainnya yang mengandung arti mirip dengan
saeculum adalah mundus. Akan tetapi, kata saeculum biasanya digunakan
untuk menerjemahkan kata Yunani kuno aeon, yang bermakna zaman,
sedangkan mundus digunakan untuk menerjemahkan kata Yunani kuno
cosmos, yang bermakna ruang (space). Disebabkan Bahasa Latin memiliki
dua istilah yang berbeda, yaitu saeculum dan mundus, namun keduanya
memiliki makna yang serupa yaitu dunia, maka menurut Harvey Cox, kata
dunia dalam Bahasa Latin adalah kata yang ambigu.34
Paradigma sekuleristik memisahkan dan membedakan antara negara
dan agama secara diametral. Dalam negara sekuler, sistem dan norma
hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum
ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau
firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut
bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun ini memisahkan
antara agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler
membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang
mereka yakini dan negara tidak intervensi dalam urusan agama.
Argumentasi pendukung paradigma ini adalah tidak ada ayat yang secara
tegas mewajibkan pembentukan pemerintahan dan negara, sekaligus
menekankan bahwa pembentukan pemerintahan tidaklah masuk dalam
tugas yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.35 Beliau
34 Naquib Al-Attas, Syed Muhammad. Islam and Secularism. (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993),
hlm. 16. Dalam Cecep Supriadi. 2015. Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan
Keindonesiaan. Jurnal KALIMAH, Vol. 13, No. 1: 211. 35 Al-Raziq, Ali Abd. Al-Islam wa Usul Al-Hukmi, (Dar Al-Hilal, Cet. I, 1925), hlm. 64-65.
Dalam Cecep Supriadi. 2015. Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan.
Jurnal KALIMAH, Vol. 13, No. 1: 211.
18
hanya Rasul yang membawa risalah agama saja, tidak termasuk perintah
membentuk negara.36
3. Paradigma Simbiotik
Paradigma ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang
memiliki sistem ketatanegaraan. Namun, menolak juga pengertian Barat
bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Maha Pencipta.
Pendukung konsep ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat
sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi
kehidupan bernegara. Para tokoh yang mengusung paradigma ini di
antaranya Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Muhammad Natsir, dan Hasbi
Ash- Shiddieqy.37
Berdasarkan konsep ini, hubungan negara dan agama dipahami saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik. Negara memerlukan agama, karena
agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan
spiritualitas. Begitu juga sebaliknya, agama juga membutuhkan negara
sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama.38
Paradigma simbiotik membiarkan tuntutan-tuntutan realitas sosial
politik yang berkembang, lalu agama memberikan justifikasinya. Agama
tak harus menjadi dasar negara. Negara hanya menjadi wilayah yang
mandiri. Intervensi agama adalah dalam wilayah ketika negara dianggap
telah menyimpang dari norma-norma agama. Husein Muhammad menyebut
paradigma simbiotik ini, di satu pihak bersifat teologis, tetapi pada sisi lain
bersifat pragmatik.39
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur
kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena
36 Arief, Abd Salam. 2003. Relasi Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam. Jurnal
Hermeneia, Vol. 2, No. 2: 281. 37 Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 1-2. 38 Syamsuddin, Din. 1993. Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik
Islam. Jurnal Ulumul Quran, Vol. 4, No. 2: 6. 39 Muhammad, Husein. Op.Cit., hlm. 94.
19
tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat
Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara negara dan agama
merupakan ua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh
karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal
dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama
(syari’ah).40
Berdasarkan 3 (tiga) paradigma di atas, Indonesia berada pada paradigma
yang ketiga, yaitu simbiotik. Faktanya, Indonesia tidak menjadikan Islam
sebagai agama negara dan tidak menjadikan syariah Islam sebagai sumber
utama pembuatan hukum. Juga, tidak menjadikan Islam sebagai ideologi politik
dan sistem pemerintahan.
Menurut Munawir Sjadzali yang dikutip oleh Toharudin bahwa:41
1. Islam menurut Munawir Sjadzali adalah sebuah sistem kehidupan yang
menurut penganutnya untuk aktif mewujudkan dalam kehidupan umat
Islam di dunia nyata. Termasuk dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara sebagai sumber inspirasi dan motivasi, landasan etika dan
moral dalam membangun peradaban di Indonesia.
2. Strategi yang ditawarkan Munawir Sjadzali dalam membangun
peradaban di Indonesia yaitu dengan mereaktualisasikan nilai keislaman
dan keindonesiaan, yaitu nilai berketuhanan, nilai kemanusiaan yang
adil dan beradab, nilai persatuan dan kesatuan, nilai kebijaksanaan
dalam kepemimpinan, dan nilai keadilan. Kelima nilai tersebut dikenal
dengan nama Pancasila.
3. Pancasila yang secara subtantif adalah nilai-nilai ajaran Islam, umat
Islam Indonesia membangun ilmu baru, sistem dan tatanan
kemasyarakatan baru yang tertata secara Islami itulah bangsa Indonesia
membangun sebuah peradaban Islam tanpa nama Islam secara formal,
serta dapat bersaing dan mengungguli peradaban dunia lainnya, secara
cerdas dan bermartabat.
Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa Islam pada hakikatnya sejalan
dengan semangat kemanusiaan universal. Namun, pada pelaksanaan ajaran
tersebut harus disesuaikan dengan pengetahuan dan pemahaman tentang
40 Al-Mubarak, Muhammad. Ara ‘Ibnu Taimiyah Fi Al-Dawlah Wa Madza Tadakhuliha Fi
Majal Al-Iqtisadi. (Bairut: Dar Al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 29. 41 Toharudin. 2018. Nilai-Nilai Keislaman dan Keindonesiaan dalam Membentuk Karakteristik
Peradaban Melayu di Indonesia (Studi Pemikiran Munawir Sjadzali). Jurnal Intelektualita:
Keislaman, Sosial, dan Sains, Vol. 7, No. 1: 56.
20
lingkungan sosiokultural masyarakat yang bersangkutan. Konseptualisasi
ajaran ini terkait dengan ruang dan waktu.42 Baginya negara adalah salah satu
segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif,
sedangkan Islam adalah aspek kehidupan lain yang dimensinya adalah spiritual
dan pribadi. Antara Islam dan negara memang tidak bisa dipisahkan, namun
antara keduanya itu tetap harus dibedakan dalam dimensi dan cara
pendekatannya.43
Nurcholish sangat terobsesi untuk menjelaskan bahwa Islam yang hakiki
bukan semata merupakan struktur atau susunan dan kumpulan hukum, yang
tegak berdiri di atas formalisme negara dan pemerintahan. Tetapi Islam sebagai
pengejawantahan tauhid, yang merupakan kekuatan spiritual yang mampu
melahirkan jiwa yang hanif, inklusif, demokratis serta menghargai pluralisme
masyarakat. Pada akhirnya, negara tidak memberlakukan sistem teokrasi dan
juga tidak negara sekuler.44
E. Ekstremisme/Ghuluw Tantangan Islam Rahmatan Lil’alamin
Sejak Peristiwa bom Bali I 12 Oktober 2002, bom Bali II 1 Oktober 2005
dan aksi-aksi pemboman lainnya menyentakkan publik Indonesia khususnya
umat Islam tentang sesuatu yang sedang terjadi dalam pemahaman dan
pemikiran sebagian umat Islam di Indonesia.45 Selain itu ada Densus 88
Antiteror Polri telah menangkap sebanyak 71 orang terduga teroris pascabom
bunuh diri di Polrestabes Medan, Sumatera Utara hingga Selasa 19 November
2019,46 mengakibatkan penilaian terhadap umat Islam menjadi bagian yang
melakukan kekerasan, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme bagi umat
manusia lainnya. Namun, faktanya menyebutkan sebaliknya bahwa mayoritas
42 Sofyan, Ahmad A. Gagasan Cak Nur Tentang Negara dan Islam. (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, Cet. I, 2003), hlm. 84-88. 43 Rahman, Budhy Munawwar. Reorientasi Pembaruan Islam. (Jakarta: Democracy Project,
2011), hlm. 357. 44 Idem, hlm. 358-367. 45 Yahya, Ismail. Op.Cit. 46 Liputan6.com, Jakarta. Op.Cit.
21
masyarakat Islam di seluruh dunia tetap dalam pemahaman yang sama bahwa
Islam adalah agama cinta perdamaian. Lahirnya pemahaman yang
“menyelisihi” pemahaman mayoritas orang Islam tentang pesan damai Islam
yang akhirnya membentuk pemahaman radikal/ekstrem (Arab: ghuluw) oleh
sebagian kecil umat Islam, sebenarnya dari perspektif sejarah, sudah dimulai
pada zaman Nabi Muhamamd SAW masih hidup dilanjutkan oleh orang-orang
yang membelot pada zaman Khalifah Usman dan Khalifah Ali yang kemudian
disebut dengan Khawarij. Sebuah riwayat menyatakan bahwa:
Sumber: Berita Institut Agama Islam Negeri Surakarta
Islam Rahmatan Lil’alamin
Diterbitkan tanggal 13 Juli 2018
Secara umum bentuk ghuluw itu menurut Abdurrahman bin Mu’alla al-
Luwaihiq (1992: 70-77) di dalam Al-Ghuluw Fi Ad-Din Fi Hayah Al-Muslimin
22
Al-Mu’ashirah terbagi ke dalam 2 (dua) bentuk: al-ghuluw al-kulli al-i’tiqadi
(terkait masalah aqidah) dan al-ghuluw fi al-juz’i al-‘amali (terkait masalah
perilaku). Yusuf Al-Qardhawi dalam Ash-Shahwah Al-Islamiyyah Bayna
Aljuhud Wa At-Tatharruf (terjemahan Indonesia: Membedah Islam “Ekstrem”
2001: 29-49) menjelaskan kriteria seseorang dapat dianggap ekstrem dalam
beragama, yaitu:47
1. Fanatik pada suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat
lain.
2. Mewajibkan atas manusia sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah atas
mereka.
3. Memperberat yang tidak pada tempatnya.
4. Sikap kasar dan keras (kecuali di tengah medan perang dan dalam
rangka pelaksanaan sanksi hukum).
5. Buruk sangka terhadap manusia.
6. Terjerumus dalam jurang pengafiran (takfiri).
Melihat fenomena ekstremisme yang marak belakangan ini di dunia Islam,
para peneliti telah banyak melakukan pengkajian terhadap fenomena ini.
Perilaku ekstremisme sebagian orang Islam sekarang ini dengan yang dilakukan
oleh Khawarij pada masa lalu. Hasil penelitian terhadap faktor-faktor penyebab
ektremisme dalam beragama ini misalnya ditulis oleh Yusuf Al-Qardhawi
dalam Ash-Shahwah Al-Islamiyyah Bayna Al-Juhud Wa At-Tatharruf
(terjemahan Indonesia: Membedah Islam “Ekstrem” 2001: 50-95). Menurutnya
faktor-faktor ekstremisme itu:48
1. Lemahnya pandangan terhadap hakikat agama.
2. Kecenderungan zahiriyah/harfiyah dalam memahami nash-nash.
3. Sibuk mempertetangkan hal-hal sampingan seraya melupakan
permasalahan-permasalahan pokok.
4. Berlebih-lebihan dalam mengharamkan.
5. Pemahaman keliru dalam beberapa pengertian/istilah.
6. Mengikuti yang tersamar (mutasyabihat) dan meninggalkan yang jelas
(muhkamat).
7. Mengambil ilmu bukan dari ahlinya.
8. Berpaling dari ulama.
47 Yahya, Ismail. Op.Cit. 48 Ibid.
23
9. Lemahnya pengetahuan tentang sejarah menjadi penting untuk
mengupayakan langkah-langkah antisipatif menahan lajunya masalah
ekstremisme ini, terutama di sekolah-sekolah.
Sekolah/Kampus dan para pemuda merupakan target strategis untuk
disusupi dan diindoktrinasi oleh ekstremis. Nabi Muhammad sudah
memberikan sinyal ke arah tersebut:
Sumber: Berita Institut Agama Islam Negeri Surakarta
Islam Rahmatan Lil’alamin
Diterbitkan tanggal 13 Juli 2018
Menurut Muhammad Tahir-ul-Qadri kata ahdas al-asnan dan sufaha al-
ahlam dalam hadits di atas bisa jadi bahwa Khawarij merupakan orang-orang
muda atau menggunakan orang muda untuk mewujudkan tujuan-tujuan
tersebut.49 Agar terhindar dari infiltrasi dan indoktrinasi paham ini, oleh karena
itu, sekolah dalam hal ini guru merupakan benteng kedua setelah orang tua
dalam menyemai Islam Rahmatan Lil’alamin. Peran guru/dosen menjadi
penting di dalam menjelaskan dan mencontohkan Islam sebagai rahmat bagi
seluruh alam semesta dalam melahirkan generasi yang berkarakter pluralis,
humanis, dialogis, dan toleran, serta menghargai alam. Guru/Dosen (Arab:
mu’allim, muaddib, mudarris, syekh, imam) sebagai sumber belajar bagi para
siswa/mahasiswa merupakan faktor paling penting dalam tradisi keilmuan
Islam pada masa klasik. Siswa/mahasiswa yang belajar tanpa guru, hanya
melalui media tertulis atau audio-visual, diibaratkan oleh Kuntowijoyo sebagai
49 Tahir-ul-Qadri, Muhammad. Op.Cit, hlm. 337.
24
“Muslim tanpa masjid” bahkan di dalam tradisi Sufi dikenal ungkapan “Man La
Syaikha Lahu Fa Asy-Syaithan Syaikhun Lah.” Kitab-kitab klasik dalam dunia
pendidikan Islam seperti Ta’lim al-Muta’allim karya Az-Zarnuji (w. 591/1195)
dan Tazkirah as-Sami’ wa al-Mutakallim karya Ibnu Jamaah (639-723/1241-
1325) menempatkan arti penting guru dalam pendidikan siswanya.50
Setelah guru, metode pengajaran yang digunakan pada masa klasik Islam
dengan membiasakan menghargai perbedaan pendapat, mengikuti dan
mempelajari mazhab/aliran pemikiran tertentu yang masih berada dalam
koridor agama dengan tidak fanatik, menempatkan wahyu dan akal secara
proporsional, serta terdidik di dalam kehalusan budi dan batin di dalam
akhlak/tasawuf, telah menjadi bukti dalam sejarah bagi perkembangan Islam
yang toleran dan damai.
F. Penutup
Konsep dan upaya orang Islam khususnya di Indonesia menjadikan
Rahmatan Lil’alamin sebagai perwujudan cita-cita Islam dalam kebangsaan,
bukan hanya keselamatan bagi manusia tetapi juga untuk seluruh alam, yang
diselamatkan adalah hablum minallah, hablum minan nas dan juga hablum
minal alam. Selain itu dapat menjunjung tinggi sikap pluralis dalam arti
memiliki relasi tanpa memandang suku, bangsa, agama, ras ataupun titik
lainnya yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Humanis dalam
arti menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menghargai manusia sebagai
manusia. Dialogis dalam arti semua persolan yang muncul sebagai akibat
interaksi sosial didiskusikan secara baik dan akomodatif terhadap beragam
pemikiran. Toleran dalam arti memberi kesempatan kepada yang lain untuk
melakukan sebagaimana yang diyakininya, dengan penuh rasa damai.
Nilai kebangsaan Indonesia adalah norma-norma kebaikan yang terkandung
dan menjadi ciri kepribadian bangsa Indonesia. Ciri kepribadian ini akan
50 Yahya, Ismail. Op.Cit.
25
menjadi motif dan pendorong serta pedoman untuk tindakan yang bertujuan
pada keluhuran bangsa. Nilai-nilai kebangsaan merupakan nilai dasar atau nilai
intrinsik yang lestari dan abadi. Nilai ini eksis baik di masa lampau, masa kini
maupun masa depan dalam kehidupan bangsa. Secara statik, nilai kebangsaan
berwujud menjadi dasar negara, ideologi nasional dan jati diri bangsa,
sedangkan secara dinamik menjadi semangat kebangsaan. Nilai-nilai
kebangsaan bersumber, mengakar dan dipersepsikan dari nilai-nilai yang telah
hidup dalam khazanah budaya Indonesia, yakni nilai-nilai yang
mengakomodasikan dan menyatukan kemajemukan bangsa Indonesia. Nilai-
nilai kebangsaan mengacu pada empat pilar kebangsaan: Pancasila, Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
Bhineka Tunggal Ika. Apabila dicermati, nilai-nilai yang terdapat dalam UUD
1945, NKRI, dan Semboyan Bhineka Tunggal Ika telah terdapat dalam
Pancasila. Hal ini dikarenakan peran Pancasila sebagai dasar negara, ideologi
dan jati diri bangsa Indonesia yang menjadi sumber nilai yang terdapat pada
konsesnsus yang lain.
Adapun wujud konkret dari implementasi nilai-nilai Pancasila pada setiap
individu warga bangsa ini, tidak lain adalah implementasi dari nilai-nilai
keislaman. Selain itu proses implementasi nilai-nilai keislaman dalam
kebangsaan pada dasarnya adalah usaha sadar dan terencana dalam proses
osialisasi, internalisasi, serta implementasi nilai-nilai keislaman yang dikemas
dalam Pancasila, serta diformulasikan sebagai falsafah hidup bangsa, dan
diterima bangsa Indonesia secara utuh karena nilai-nilai keislaman yang
terkandung di dalamnya, merupakan nilai-nilai universal bagi kehidupan
manusia.
Menurut penulis bahwa Rahmatan Lil’alamin sebagai perwujudan cita-cita
Islam dalam kebangsaan dapat diaktualisasikan dengan 3 (tiga) cara, yaitu;
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan memahami perkembangan
teknologi dan sains. Orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi
serta sains diharapkan dapat memahami konsep Islam Rahmatan Lil’alamin
26
adalah gagasan yang komprehensif dan holistik sehingga mampu
mewjudukan keselamatan manusia tidak ada artinya jika alam tidak dalam
keselamatan. Islam yang menyelamatkan adalah Islam yang memberikan
keselamatan bagi seluruh alam. Wujud konkret hal ini yaitu melalui
pendidikan yang ditempuh seseorang, baik formal, non-formal dan informal
adalah kesatuan yang terpadu, untuk membentuk pribadi Muslim yang
mampu mengkontekstualisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
sains yang didapatkannya ke sebuah lingkungan masyarakat.
2. Tidak emosi dalam bergama. Orang yang telah memahami konsep Islam
Rahmatan Lil’alamin ilmu pengetahuan dan teknologi serta sainsnya akan
meningkatkan kedewasaan dalam beragama dan melahirkan perdamaian
serta kerukunan lintas kelompok, agama, etnis suku dan ras adalah dambaan
Islam. Cita-cita itu tidaklah utopis, kedatangan Islam pun untuk mewarnai
kehidupan di bumi bagi seluruh alam.
3. Hati-hati dalam setiap ucapan, perbuatan dan tindakan. Orang yang telah
memahami konsep Islam Rahmatan Lil’alamin ilmu pengetahuan dan
teknologi serta sainsnya, kemudian tidak emosi dalam beragama akan selalu
hati-hati dalam setiap ucapan, perbuatan dan tindakan sehingga mampu
menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya
keselamatan bagi manusia tetapi juga untuk alam lainnya, yang
diselamatkan adalah hablum minallah, hablum minan nas dan juga hablum
minal alam.
27
DAFTAR PUSTAKA
A. Alquran dan Hadits
Alquran dan Terjamahannya.
Sunnah atau Hadits.
B. Buku
Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual
Muslim Indonesia Terhadap Demokrasi (1966- 1993). (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1999).
Al-Mubarak, Muhammad. Ara ‘Ibnu Taimiyah Fi Al-Dawlah Wa Madza
Tadakhuliha Fi Majal Al-Iqtisadi. (Bairut: Dar Al-Fikr, Tanpa Tahun).
Armstrong, Karen. Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih,
Terjemahan Yuliani Liputo. (Bandung: Mizan, 2012).
Husaini, Adian dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi,
Penyimpangan dan Jawabannya. (Jakarta: Gema Insani Press, 2002).
Muhammad, Husein. Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik. Dalam
Ahmad Suaedy. Pergulatan Pesantren dan Demokrasi. (Yogyakarta:
LKiS, 2000).
Munawwir, Imam. Salah Paham Terhadap Alquran. (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1983).
Muzadi, Abdul Muchith. Mengenal Nahdlatul Ulama. (Surabaya: Khalista,
2006).
Purwoko, Dwi, dkk. Negara Islam, Percikan Pemikiran: H. Agus Salim, KH.
Mas Manshur, Mohammad Natsir, KH. Hasyim Asyari. (Depok: Permata
Atika Kreasi, 2001).
Rahman, Budhy Munawwar. Reorientasi Pembaruan Islam. (Jakarta:
Democracy Project, 2011).
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat. (Jakarta: Mizan, 1998).
Siradj, Said Aqiel. Islam Kebangsaan, Fiqih Demokratik Kaum Santri. (Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999).
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. (Jakarta: UI Press, 1990).
Sofyan, Ahmad A. Gagasan Cak Nur Tentang Negara dan Islam.
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, Cet. I, 2003).
28
Tahir-ul-Qadri, Muhammad. Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri.
(Jakarta: LPPI, 2014).
Wahana, Paulus. Filsafat Pancasila. (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
C. Jurnal
Abdillah, Abi Muhammad bin Abdirrahman bin Al-Fadhl al-Darami. Kitâb Al-
Musnad al-Jâmi. (Beirut: Dâr Al-Basyâ’ir Al-Islâmiyah, 2014), hlm. 98,
dalam Muhammad Makmun Rasyid.
Ahmad, Abi Husain Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqâyîsu Al-Lughati, di-
tahqiq Abd Salam Muhammad Harun. Vol. 2. (Beirut: Dâr Al-Fikr, 1979),
hlm. 498, dalam Muhammad Makmun Rasyid.
Al-Husain, Abi Al-Qasim Ibn Muhammad (Al-Asfahani), Al-Mufradâtu Fî
Gharîbi Al-Qur’âni. Vol. 2. (Mekkah: Maktabah Nizâr Mustafa Al-Bâz,
2009), hlm. 253-254, dalam Muhammad Makmun Rasyid.
Al-Raziq, Ali Abd. Al-Islam wa Usul Al-Hukmi, (Dar Al-Hilal, Cet. I, 1925),
hlm. 64-65. Dalam Cecep Supriadi. 2015. Relasi Islam dan Negara:
Wacana Keislaman dan Keindonesiaan. Jurnal KALIMAH, Vol. 13, No.
1.
Arief, Abd Salam. 2003. Relasi Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam.
Jurnal Hermeneia, Vol. 2, No. 2.
Mandzur, Ibnu. Lisânul Arab. Vol. 5. (Beirut: Dâr Ihyâ Al-Turâts Al-Arabi,
1999), hlm. 173, dalam Muhammad Makmun Rasyid.
Naquib Al-Attas, Syed Muhammad. Islam and Secularism. (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1993), hlm. 16. Dalam Cecep Supriadi. 2015. Relasi Islam dan
Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan. Jurnal KALIMAH, Vol.
13, No. 1.
Rasyid, Muhammad Makmun. 2016. Islam Rahmatan Lil Alamin Perspektif
KH. Hasyim Muzadi. Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman,
Vol. 11, No.1.
Surachman, E. 2011. Revitalisasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Pembangunan
Karakter Bangsa. Jurnal Studi Alquran, Vo. 7, No. 1.
Syamsuddin, Din. 1993. Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah
Pemikiran Politik Islam. Jurnal Ulumul Quran, Vol. 4, No. 2.
Toharudin. 2018. Nilai-Nilai Keislaman dan Keindonesiaan dalam Membentuk
Karakteristik Peradaban Melayu di Indonesia (Studi Pemikiran Munawir
Sjadzali). Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains, Vol. 7, No.
1.
29
D. Sumber Lainnya
Ath-Thabari. Jami’ul Bayan fi Ta’wil Alquran. (Beirut: Mua’assasah Ar-
Risalah, 2000), Al-Maktabah Asy-Syamilah, hlm. 224-310/838-923,
dalam Ismail Yahya.
Cabil. “Perwujudan Cita-cita Islam dalam Kebersamaan Kebangsaan”.
(http://coretanceritacrayon.blogspot.com/2017/10/perwujudan-cita-cita-
islam-dalam.html), diakses pada tanggal 25 Desember 2019.
Lembaga Ketahanan Nasional RI. Naskah Akademik Pedoman Pemantapan
Nilai-Nilai Kebangsaan. (Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional RI,
2009).
Liputan6.com, Jakarta. “71 Terduga Teroris Ditangkap Usai Bom Bunuh Diri
Medan”. (https://www.liputan6.com/news/read/4114911/71-terduga-
teroris-ditangkap-usai-bom-bunuh-diri-medan), diakses pada tanggal 25
Desember 2019.
Syam, Nur, Merumuskan Islam Rahmatan Lil’alamin,
(http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=514), dalam Ismail Yahya.
Tim Kajian Ilmiah Abituren. Simbiosis Negara dan Agama: Reaktualisasi
Syari’at dalam Tatanan Kenegaraan. (Kediri: Lirboyo, 2007).
Yahya, Ismail. “Islam Rahmatan Lil’alamin”. (http://www.iain-
surakarta.ac.id/?p=12750), diakses pada tanggal 25 Desember 2019.
Top Related