Rabu

20
Rabu, 14 Januari 2004 O P I N I No. 4603 Halaman Utama Tajuk Rencana Nasional Ekonomi Uang & Efek Jabotabek Nusantara Luar Negeri Olah Raga Iptek Hiburan Feature Mandiri Ritel Hobi Wisata Eureka Kesehatan Cafe & Resto Hotel & Resor Asuransi Otomotif Properti Promarketing Budaya CEO Opini Foto Karikatur Komentar Anda

description

All about waste from news paper

Transcript of Rabu

Page 1: Rabu

Rabu, 14 Januari 2004 O P I N INo. 4603

Halaman UtamaTajuk RencanaNasionalEkonomiUang & EfekJabotabekNusantaraLuar NegeriOlah RagaIptekHiburanFeatureMandiriRitelHobiWisataEurekaKesehatanCafe & RestoHotel & ResorAsuransiOtomotifPropertiPromarketingBudayaCEOOpiniFotoKarikaturKomentar AndaTentang SH

Meretas Problem Sampah Jakarta

Page 2: Rabu

OlehBRA Mooryati Soedibyo

Kontroversi antara Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi mengenai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Bantar Gebang mengindikasikan penanganan sampah Jakarta bersifat kompleks, tidak hanya menyangkut TPA, namun juga memerlukan partisipasi publik, manajemen dan teknologi. Hamparan tanah seluas 108 hektar di TPA itu kini menjadi gunungan sampah dengan tinggi rata-rata 25 meter. Gunungan sampah itu sudah belasan tahun dan tidak diolah dan mencemarkan lingkungan. Ini bisa menjadi bom waktu dan sumber penyakit yang melanda warga sekitar TPA. Pencemaran udara (bau dan asap) yang mencapai radius 5 - 10 kilometer itu akan menimbulkan penyakit dalam rentang waktu 15 tahun yang akan datang. Ini tentu membutuhkan biaya sosial dan biaya lingkungan yang tidak murah.Pencemaran tersebut akibat tidak diterapkannya sistem sanitary landfil yang mestinya dilakukan dalam pengelolaan TPA Bantar Gebang. Semestinya, setiap ketinggian dua meter tumpukan sampah ditimbun dengan 40 sentimeter lapisan tanah. Di dasar timbunan itu dibuat saluran aliran air yang mengalir ke kolam penampungan. Pemerintah DKI perlu segera mengantisipasi agar sampah tidak menimbulkan bencana banjir dan kerugian yang lebih besar terutama saat musim hujan. Kita khawatir banjir terulang kembali, seperti di tahun 2002, akibat terhambatnya sarana pengangkutan sampah selama berhari-hari. Sampah Jakarta yang dihasilkan hingga mencapai lebih kurang 6.925 ton per hari harus bisa ditangani dengan cepat dan tepat. Dalam konteks ini, pemikiran penanganan sampah secara regional perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Setiap wilayah, khususnya di titik-titik rawan banjir, harus ada yang bertanggung jawab terhadap persoalan sampahnya masing-masing. Langkah tersebut perlu dilakukan mengingat volume sampah kota yang perlu penanganan intensif dan massif.

Partisipasi Publik Gambaran di atas mencerminkan bahwa sampah di Jakarta belum bisa ditangani secara baik oleh Pemda DKI Jakarta, bahkan seakan kesulitan menangani kebersihan kota. Volume sampah meningkat dari hari ke hari seiring dengan pertambahan penduduk. Diperkirakan pada tahun 2005 volume sampah meningkat menjadi 10.220 ton/hari. Jelas, bila hal ini dibiarkan begitu lama tanpa adanya pemecahan secara holistik, kota Jakarta akan menjadi kota yang kotor, rawan banjir, penuh dengan berbagai sumber penyakit yang bisa meresahkan masyarakat. Pemerintah dan DPRD DKI Jakarta perlu mengkaji kembali persoalan sampah kota secara serius. Sebab jika tidak, pemerintah dan warga kota Jakarta dari masa ke masa pasti disibukkan oleh persoalan sampah yang kontraproduktif baik dari segi waktu, biaya, tenaga dan pengorbanan lainnya.Secara tidak langsung, persoalan sampah berakibat pada pencemaran lingkungan baik air maupun udara di wilayah perkotaan, yang sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari cara pandang dalam menetapkan kebijakan pembangunan. Persoalan tersebut secara prinsipiil bersumber dari paradigma pembangunan yang lebih menekankan aspek ekonomi dan cenderung memarginalkan aspek sosial dan lingkungan.

Page 3: Rabu

Menurut data dari dinas kebersihan DKI Jakarta distribusi produksi sampah DKI Jakarta pada tahun 1990 dapat diuraikan sebagai berikut: dari volume sampah yang dihasilkan warga per hari mencapai rata-rata 23.600 m? (6.400 ton) itu, di antaranya bersumber dari perumahan 58 %; pasar 10%; komersial 15%; industri 15%; jalan, taman dan sungai 2%; sampah organik 65% dan sampah non-organik 35%. Dari jumlah volume di atas yang terkelola 87% dan tidak terkelola 13%. Melalui pendekatan yang holistik dengan menempatkan aspek sosial dan lingkungan hidup secara seimbang dengan aspek ekonomi, maka kita bisa meminimasi problem sampah di perkotaan. Pencemaran tidak saja bersumber dari sampah organik, tetapi juga dari sampah non-organik yang sulit didaur ulang. Perkiraan volume dan jenis sampah dari dinas kebersihan DKI Jakarta, menggambarkan besaran volume sampah non-organik akan mencapai 3.577 ton per hari pada tahun 2005. Perkiraan ini, dapat dijadikan pertimbangan guna mengajak publik untuk berpartisipasi dalam mengatasi problem sampah, baik dari segi pemilahan awal dari tempat tinggal dan lingkungan sekitarnya, pendanaan, dan bentuk penyuluhan guna meminimasi problem sampah. Sebenarnya, persoalan sampah Jakarta bisa diselesaikan apabila adanya kemauan politis dari para pengambil keputusan untuk menetapkan kebijakan dan regulasi yang mendukung terwujudnya sistem pengolahan sampah secara terpadu dan ramah lingkungan. Di negara-negara maju, sejak tahun 1970-an sudah diberlakukan aturan bagi sektor industri untuk memproduksi kemasan yang lebih ramah lingkungan. Selain itu perusahaan-perusahaan juga harus ikut mempertanggungjawabkan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh produk mereka. Caranya, adalah dengan memperhitungkan biaya yang diperlukan untuk mengatasi dampak lingkungan itu ke dalam perhitungan harga produk yang disebut dengan biaya eksternalitas. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah tumbuhnya jenis usaha yang menjadikan sampah sebagai komoditasnya oleh para pemulung dan lapaknya. Sebagian sampah yang terbuang ke bak penampungan sampah rumah tangga ternyata mempunyai nilai ekonomis yang menguntungkan. Kertas, plastik sisa makanan, botol bekas, lempengan logam dan barang lain yang masih berharga oleh para pemulung dipungut dan dikumpulkan untuk dijual. Barang-barang tersebut dipilah dan dipilih serta dikelompokkan, mana sampah yang bisa didaur ulang dan mana yang tidak. Sampah yang bisa didaur ulang tentu masih mempunyai nilai jual baik untuk bahan baku atau keperluan lainnya. Pemerintah DKI Jakarta sebaiknya terus melakukan pembinaan agar jenis usaha di atas bisa berkembang, karena cukup efektif dapat membantu Pemda dalam penanganan sampah. Sebab dengan menganggap sampah sebagai barang yang bernilai maka pencegahan dan pemilahan (source reduction), daur ulang (recycling), serta pengomposan (composting) sampah akan memperkecil jumlah volume sampah, baik sampah yang akan dibakar (incenerating) maupun sampah yang akan di buang ke tempat pembuangan akhir (landfilling).

Peran Perempuan Dalam menangani masalah sampah, partisipasi ibu rumah tangga sangat penting untuk ditingkatkan agar pengelolaan sampah secara makro bisa efisien dan murah. Ini terkait dengan volume sampah dari rumah tangga yang mencapai 58 %. Para ibu rumah tangga

Page 4: Rabu

pada umumnya lebih banyak bersentuhan langsung dengan keberadaan sampah rumah tangga. Seyogyanya para ibu mesti menjadi contoh dan memberikan pendidikan kepada anak dan anggota keluarga lainnya agar peduli terhadap masalah kebersihan lingkungan. Setiap rumah kiranya perlu menyediakan dua bak sampah untuk memisahkan dan membuang sampah organik dan non-organik (seperti: kertas, plastik, kain, kaleng dan kaca). Usaha ini juga membantu memudahkan kerja petugas kebersihan dan pemulung sampah. Peran perempuan dalam mengelola sampah di lingkungan rumah tangganya mesti digalakkan, dengan melalui kegiatan PKK ataupun lainnya yang mampu mendorong munculnya kesadaran akan upaya kebersihan serta pemeliharaan lingkungan yang sehat hingga menjadi sebuah tradisi di tengah masyarakat kita. Dengan demikian kita berharap masalah sampah khususnya di Jakarta dapat tertanggulangi dengan baik.

Penulis adalah pengusaha dan pemerhati masalah sosial. Copyright © Sinar Harapan 2003 Jl. Cianjur 4 Menteng Jakarta PusatTelp/Fax. 021 - 31904113INDONESIA Manajemen Aneh Pengolahan Sampah Jakarta Status Link : NORMAL Link PDF Suara Pembaruan - 10 Nopember 2004

ALASAN apa yang bisa meredam keterkejutan atas rencana pembelian incinerator (alat pembakar sampah) bernilai ratusan miliar rupiah oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta? Sementara organisasi pencinta lingkungan hidup, bahkan pemerintah di banyak negara, tengah sibuk mengatasi masalah kerusakan lingkungan akibat pembakaran sampah.

Padahal, ada cara lebih aman dan murah, terlebih lagi dapat dimanfaatkan hasilnya, misalnya pengolahan sampah menjadi pupuk kompos. Saat ini telah ada 50 perusahaan pengolah kompos tersebar di Jawa Barat yang menjadi daerah percontohan program West Java Environmental Management Project (WJEMP) dan didukung Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Tapi Pemprov DKI lebih memilih cara berbiaya mahal yang sebenarnya berdampak negatif. Salah satu dampak pembakaran sampah adalah dioksin, yaitu ratusan jenis senyawa kimia berbahaya seperti CDD (chlorinated dibenzo-p-dioxin), CDF (chlorinated dibenzo furan), atau PCB (poly chlorinated biphenyl).

Senyawa kimia yang berstruktur sangat stabil itu hanya dapat larut dalam lemak dan tidak dapat terurai, sampai kemudian dihirup oleh manusia maupun hewan melalui udara. Dioksin akan mengendap dalam tubuh, yang pada kadar tertentu dapat mengakibatkan kanker.

Page 5: Rabu

Bandingkan dengan hasil olahan sampah menjadi kompos, yang bisa dimanfaatkan memperbaiki struktur tanah, untuk meningkatkan permeabilitas tanah, dan dapat mengurangi ketergantungan petani pada pemakaian pupuk mineral (anorganik) seperti urea. Selain mahal, urea juga dikhawatirkan menambah tingkat polusi tanah.

Perusahaan pengolah sampah menjadi kompos padahal ada di Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Sampah Bantargebang, Kota Bekasi, yang 15 tahun digunakan DKI untuk menimbun sekitar 6.000 ton sampah setiap hari.

Dengan produksi 50 ton per hari, PT Godang Tua Jaya Farming (GTJF) yang berlokasi di Desa Ciketing Udik, bahkan telah menempati urutan tertinggi jumlah produksi. Apalagi target KLH dengan WJEMP yang hanya 200 ton per hari dari 50 perusahaan.

"Potensi pasar dalam negeri saja sekitar 10 juta ton per tahun, atau dua kali lipat kebutuhan urea yang sekitar lima juta ton per tahun. Sementara target KLH pun masih sangat kecil, permintaan pasar akan kompos masih jauh dari terpenuhi," kata Direktur PT Godang Tua Jaya Farming Douglas J Manurung, pekan lalu.

Douglas mengatakan, produksi kompos masih sedikit dibanding potensi pasar. Namun, minat petani untuk menggunakan pupuk kompos masih sangat kecil, hingga daya serap pasar masih jadi kendala. Ditambah lagi sulitnya mendapatkan kredit modal dari bank, karena usaha pengolahan kompos belum dianggap punya nilai.

Kompos Menguntungkan

"Usaha pengolahan kompos lumayan menguntungkan. Modal sudah bisa kembali dalam waktu kurang dari lima tahun. Total ongkos produksi Rp 10 juta per hari untuk biaya peralatan dan upah 100 tenaga kerja. Sementara penghasilan dengan harga Rp 400 per kilogram bisa mencapai Rp 20 juta per hari," ujarnya.

Bahan baku pembuatan kompos berasal dari sampah pasar yang didapat secara gratis melalui kerja sama antara GTJF dengan Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta. "Sekarang baru 300 ton sampah pasar yang kita olah. Tapi kita juga sedang mendatangkan alat baru, dengan kemampuan yang lebih besar. Sebab di Bantargebang sendiri tiap hari ada sekitar 1.500 ton sampah pasar," tuturnya.

Mulai dari proses pemilahan hingga tahap akhir pengepakan pupuk kompos, dilakukan pada areal seluas hanya sekitar 80 X 60 meter. Douglas meyakini, GTJF masih bisa mengembangkan produksi jauh lebih tinggi dari sekarang. "Kalau ada tiga tempat pengolahan seperti ini, dengan perlengkapan yang memadai, sebenarnya 1.500 ton sampah per hari itu sudah bisa kita olah semuanya," ucapnya.

"Kami akan membangun lansekap lahan pertanian, pembibitan, dan perikanan, untuk memperlihatkan manfaat penggunaan pupuk kompos itu. Sebab, pemerintah yang memulai program pengolahan kompos pun tidak pernah maksimal dalam

Page 6: Rabu

pelaksanaannya, terutama dalam sosialisasi pemanfaatan kompos," ujar Direktur Utama GTJF Rekson Sitorus.

Rekson mengkritik kebijakan Pemprov DKI yang berencana membeli perangkat incinerator senilai Rp 500 miliar. "Ada apa dibalik sikap emosional Gubernur Sutiyoso yang terus memaksakan lahan di Jonggol, padahal sudah mendapat tentangan dari warga sekitarnya. Mengapa potensi yang sudah ada di TPA Bantargebang justru ditinggalkan. Inikan aneh," ucapnya.

"Bandingkan pengolahan sampah menjadi kompos dan menggunakan incinerator. Padahal bila pengusaha pengolahan sampah bisa mendapatkan kemudahan modal, serta dukungan yang positif dari pemerintah, bukan cuma masalah sampah yang bisa tertangani, tapi juga manfaatnya bagi para petani yang selama ini terbebani dengan harga pupuk, yang harganya terus meningkat," ujarnya.

Douglas mengatakan, saat ini pemerintah memberikan subsidi harga pupuk urea sebesar Rp 1,3 triliun demi menekan harga pupuk Rp 1.050/kg di tingkat petani, yang kenyataannya para petani tetap hanya bisa membelinya dengan harga minimal Rp 1.800/kg.

"Itu terjadi karena subsidi tersebut justru dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengambil keuntungan lebih banyak. Padahal kalau kita bisa mendapat subsidi Rp 400 per kilogram saja, kita malah tidak perlu lagi menjual, dibagikan gratis saja pada para petani," ucapnya.

BERTHUS MANDEY

Laporan Khusus

Reusable Sanitary Landfill, alternatif pengolahan sampah JakartaKamis, 25 November 2004 | 14:51 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Badan Pengkajian dan Pengembangan Tekhnologi (BPPT) menciptakan sistem baru untuk mengatasi permasalahan sampah di Indonesia. Namanya Reusable Sanitary Landfill. Sebenarnya, sistem ini merupakan penyempurna sistem yang pernah diterapkan di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang. Kalau RSL diterapkan di Jakarta, dipastikan Jakarta tidak perlu mengotak-atik tata ruang kota atau mengambil lahan daerah lain.

Arsitek dan Insinyur Tekhnologi BPPT, Dipl. –Ing. Ir H. B. Henky Sutanto menjelaskan Reusable Sanitary Landfill (RSL) adalah sebuah sistem pengolahan sampah yang berkesinambungan dengan menggunakan metode Supply Ruang Penampungan Sampah Padat. RSL diyakini Henky bisa mengontrol emisi liquid, atau air rembesan sampai sehingga tidak mencemari air tanah.

Page 7: Rabu

Sistem ini mampu mengontrol emisi gas metan, karbondioksida atau gas berbahaya lainnya akibat proses pemadatan sampah. RSL juga bisa mengontrol populasi lalat di sekitar TPA. Sehingga mencegah penebaran bibit penyakit.

Cara kerjanya, di RSL, sampah ditumpuk dalam satu lahan. Lahan tempat sampah tersebut sebelumnya digali dan tanah liatnya dipadatkan. Lahan ini desbut ground liner. Usai tanah liat dipadatkan, tanah kemudian dilapisi dengan geo membran, lapisan mirip plastik berwarna yang dengan ketebalan 2,5 milimeter yang terbuat dari High Density Polyitilin, salah satu senyawa minyak bumi. Lapisan ini lah yang nantinya akan menahan air lindi (air kotor yang berbau yang berasal dari sampah), sehingga tidak akan meresap ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Di atas lapisan geo membran dilapisi lagi geo textile yang gunanya memfilter kotoran sehingga tidak bercampur dengan air lindi. Secara berkala air lindi ini dikeringkan.

Sebelum dipadatkan, sampah yang menumpuk diatas lapisan geo textille ini kemudian ditutup dengan menggunakan lapisan geo membran untuk mencegah menyebarnya gas metan akibat proses pembusukan sampah (yang dipadatkan) tanpa oksigen.

Geo membran ini juga akan menyerap panas dan membantu proses pembusukan. Radiasinya akan dipastikan dapat membunuh lalat dan telur-telurnya di sekitar sampah. Sementara hasil pembusukan samapah dalam bentuk kompos bisa dijual.

Gas metan ini juga yang pada akhirnya digunakan untuk memanaskan air hujan yang sebelumnya ditampung untuk mencuci truk-truk pengangkut sampah. Henky yakin jika truk sampah yang bentuknya tertutup dicuci setiap kali habis mengangkut sampah, tidak akan menebarkan bau ke lokasi TPA.

Pengolahan sampah dengan sistem ini sebenarnya sama saja dengan yang sudah dilaksanakan TPA Bantar Gebang. Hanya saja, pada Zona I TPA Bantar Gerbang, groun lner tidak menggunakan geo membran untuk menahan air lindi. Dan terjadi kebocoran yang menyebabkan pencemaran air serta pencemaran udara.

Jika, TPA Bantar Gebang direhabilitasi kemudian pola pengolahannya digantikan dengan RSL, pemerintah daerah Jakarta, emnurut Henky tidak perlu mencari lokasi baru untuk menampung sampah. Karena sampah dapat diolah secara berkesinambungan dan sistem di ground liner bisa diperbaiki secara berkala.

Fitri Oktarini/b>

dibuat oleh Radja:danendro Berita Terkait

Page 8: Rabu

• Pedangang Tanah Abang Unjuk Rasa Di Depan Gedung DPRD DKI Jakarta

• Sutiyoso Pastikan Pengoperasian TPST Bojong Berlanjut

• Pedagang Pasar Tanah Abang Kecewa Pada Presiden

• Sajak Prihatin Titi Qadarsih

• Pedagang Datangi Lagi Istana Negara ,Tolak Pembongkaran

• Otopsi Ulang Munir Tak Ada Gunanya

• LSM Desak Pemerintah Tutup TPST Bojong

• Gubernur Sutiyoso Minta Semua Pihak Cooling Down

• Gus Dur Menolak Terlibat Jauh Kasus Ruislag SMPN 56

• TPST Bojong Terancam Ditutup

> selengkapnya...

Referensi

• Sejarah Bentrokan Mahasiswa UMI vs Aparat Keamanan

• Reusable Sanitary Landfill, alternatif pengolahan sampah Jakarta

• Kesia-siaan TPST Bojong

• Mengenal Teknologi Ballapress di TPST Bojong

• UU RI No.25 Thn.1999 Tentang Pertimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

• UU RI No. 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara RI Jakarta

• PP RI No.63 Thn 2002 Tentang Hutan Kota

Page 9: Rabu

> selengkapnya... Website • Info Jakarta

• Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

buatan danendro English | Japanese | Registrasi | Help | About us copyright TEMPO 2003

Kembali ke atasHome | Nasional | Ekonomi & Bisnis | Nusa | Jakarta | Indikator | OpinetMajalah | Koran Tempo | Pusat Data

Rubrik

Finansial

Berita Utama

International

Metropolitan

Naper

Nusantara

Bisnis & Investasi

Opini

Olahraga

Jawa Tengah

Politik & Hukum

Humaniora

Berita Yang lalu

Page 10: Rabu

Pustakaloka

Swara

Otonomi

Audio Visual

Rumah

Teknologi Informasi

Fokus

Jendela

Otomotif

Furnitur

Agroindustri

Musik

Dana Kemanusiaan

Properti

Muda

Pergelaran

Didaktika

Ekonomi Rakyat

Telekomunikasi

Wisata

Sorotan

Ekonomi Internasional

Pendidikan

Page 11: Rabu

Makanan dan Minuman

Esai Foto

Perbankan

Pengiriman & Transportasi

Investasi & Perbankan

Pendidikan Dalam Negeri

Kesehatan

Bahari

Teropong

Ilmu Pengetahuan

Pixel

Bingkai

Bentara

Pendidikan Luar Negeri

Info Otonomi

Tentang Kompas

Kontak Redaksi

Naper

Kamis, 29 Januari 2004

Dr Ririen Prihandarini, Penyelamat Sampah Jakarta

BANYAK usulan untuk menaklukkan 6.500 ton produksi sampah harian warga Jakarta. Ada yang mendesain sistem pemadatan sampah, yang tetap memerlukan ruang penyimpanan. Ada yang ingin mengubah sampah menjadi tenaga listrik, tetapi tidak jelas kelayakan ongkos produksi dengan tarif listriknya nanti.

Page 12: Rabu

"Pupuk organik sangat baik memperbaiki sifat fisik tanah. Di desa-desa pupuk organik sulit didapat karena tidak ada tenaga untuk mengumpulkan sampah dan kotoran hewan ternak yang terpencar di kandang dan di pekarangan," kata Ririen, pakar biologi tanah, pengajar pada Universitas Widya Gama, Malang.

Di Jakarta ada sampah dalam jumlah sangat banyak, yang bisa menjadi bahan baku yang murah bagi produksi pupuk organik. Tambah Ririen, "Penggunaan pupuk organik bagi buah dan sayuran ekspor sedang jadi tuntutan konsumen luar negeri. Jadi, kenapa tidak dibikin pupuk saja?"

Mengubah sampah menjadi pupuk bukan berita baru. Akan tetapi, mengolah 6.500 ton sampah setiap hari menjadi pupuk organik dalam pabrik pupuk berkapasitas 300.000 ton pupuk organik per tahun jelas kabar baru. Dua pekan berselang penandatanganan kerja sama, antara Ririen dengan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan sejumlah pihak relevan, sudah dilakukan.

Ririen yang merasa tak punya cukup keterampilan bisnis menggandeng dua pihak. Pertama, PT Pupuk Sriwidjaja (PT Pusri) sebagai investor pabrik dan distributor pupuk. Kedua, PT Trihantoro Utama sebagai lembaga penanggung jawab biokimia pembuatan pupuk organik -di sana Ririen bergiat.

Perempuan lembut yang suka tersenyum ini sudah lama akrab dengan bahan organik. Ketika memimpin lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat (LPPM) kampusnya tahun 2000, Ririen mendapat kesempatan mewujudkan minatnya yang besar terhadap bahan organik tanah, bidang spesialisasinya ketika menempuh pendidikan untuk meraih gelar sarjana ilmu tanah pertanian.

Tahun 1996, sebagai hasil samping dari riset doktornya di bidang kesuburan dari kutil akar pohon turi, ia sudah menemukan cara untuk mengisolasi dan sekaligus membiakkan serta memproduksi 86 spesies mikroorganisme yang bertanggung jawab terhadap proses penguraian dalam tanah. Itulah modal utamanya untuk mengolah sampah Jakarta.

Ririen dengan sabar menjelaskan apa yang dikerjakannya kepada orang lain, termasuk kepada sejumlah bupati dan wali kota di Jawa Timur (dan belakangan ke Jakarta). Ia sadar umumnya orang tak berminat dengan pembicaraan tentang "sampah", "kompos", atau "pupuk organik".

"Mikroorganisme adalah cara yang sangat ampuh untuk mengefisienkan pengelolaan sampah kota. Riset saya di Malang, 60 persen biaya pengelolaan sampah kota yang terbesar habis untuk konsumsi bahan bakar kendaraan pengangkut sampah. Saya mengusulkan desentralisasi pengelolaan sampah. Sampah dikelola di tingkat RT, RW, sehingga 60 persen biaya pengelolaan bisa dihemat," ungkap Ririen, yang lahir dan besar di Bondowoso, dari sebuah keluarga pegawai asal Kota Madiun ini.

Ririen mendapat lampu hijau dari Pemerintah Kota Malang dan menerapkan model desentralisasi pada sebuah lahan hijau, hutan kota Malabar, di Malang. Sayang, tidak ada

Page 13: Rabu

kelanjutannya di tingkat kebijakan. Ririen tak puas. Muncullah ide untuk "mendapatkan bahan baku" sampah lebih banyak, untuk pupuk organik.

Itulah yang menggiringnya ke Jakarta. Ririen lebih dulu membuat pabrik pengolahan sampah menjadi pupuk organik di Brebes, Jawa Tengah, dengan bendera PT Multicapital Sehjati Mandiri. Ia memproduksi pupuk organik yang dipasarkan dengan merek Biotani Kausar. Katanya, untuk memproses 1.000 ton bahan baku sampah organik, ia hanya memerlukan 100 liter cairan yang telah dibiaki mikroorganisme.

DARI seratus persen berat bahan baku sampah yang lebih dahulu harus dihancurkan secara mekanis, akan diperoleh 60 persen pupuk organik. Harga jual pupuk akan menjadi Rp 700 per kilogram, sudah termasuk biaya distribusi ke seluruh Indonesia yang akan diikutkan sistem distribusi PT Pusri.

"Jangan lupa, sampah yang bisa diterima hanya sampah organik," tutur Ririen yang setiap minggu mondar-mandir Malang–Jakarta. "Sampah non- organik tidak termasuk rezeki saya."

Riset Dinas Kebersihan DKI (1998-2001) menunjukkan, komposisi sampah Jakarta tidak banyak berubah. Hanya 65 persen di antaranya berupa sampah organik. Sebanyak 35 persen sisanya menjadi rezeki pemulung, yaitu plastik (11 persen), kertas (10 persen), dan bahan lain antara satu sampai tiga persen: kain, kertas, kayu, bambu, logam, kaca, baterai, tulang hewan potong.

Jadi, secara teori akan ada 4.225 ton sampah organik per hari, yang bisa dijadikan bahan baku pupuk. Apabila 60 persen berat yang jadi pupuk, akan diperoleh produksi 2.500 ton pupuk per hari. Untuk itu hanya diperlukan 420 liter mikroorganisme yang telah diencerkan, dan hanya diperlukan waktu 5-7 hari untuk menjadikannya siap sebagai pupuk organik yang bisa dijual. Penerapan cara ini bagi Jakarta hanya memerlukan 30 hektar lahan, amat kecil dibandingkan dengan 108 hektar Bantar Gebang.

"Setelah disiram mikroorganisme, tidak ada proses yang perlu dilakukan lagi. Hanya pengepakan dan distribusi ke pasar. Tentang pembuatan cairan mikroorganisme, tak ada yang perlu dikhawatirkan karena 100 persen teknologinya telah saya kuasai. Mikroorganisme hanya memerlukan tetes tebu (limbah pabrik gula) sebagai makanan untuk biakan," tutur dosen teladan tahun 1996 ini.

Kerja sama antara Ririen, PT Pupuk Sriwidjaja, dan Dinas Kebersihan belum sampai ke situ. Ririen baru memperoleh kuota 2.500 ton sampah Jakarta untuk pabrik pupuk yang akan dibangun PT Pusri, berkapasitas 300.000 ton pupuk organik setahun, yang akan berproduksi tahun ini.

Pasar pupuk organik masih sangat besar, secara nasional 6 juta ton per tahun. Pupuk organik tidak menghilangkan kebutuhan pupuk anorganik (urea, KCL, TSP), karena keduanya bersifat komplementer. Serapan tanaman terhadap urea (pupuk anorganik) akan lebih baik jika ditambahkan pupuk organik.

Page 14: Rabu

Warga awam Jakarta mungkin tidak paham soal organik dan non-organik tersebut. Akan tetapi, kiprah Ririen bisa menyelamatkan mereka dari gunungan sampah, yang menghantui hidup mereka dari hari ke hari. (DODY WISNU PRIBADI)

Search :Berita Lainnya : · Dr Ririen Prihandarini, Penyelamat Sampah Jakarta

· NAMA DAN PERISTIWA

Design By KCMCopyright © 2002 Harian KOMPAS