Rabies

33
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR RABIES OLEH: RESKIYANI ASHAR 1054 20 189 10 ANDI ANISSA ULIA 1054 20 222 10 PEMBIMBING: DR.A.WERY SOMPA,Sp.S DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN

description

coas neuro

Transcript of Rabies

Page 1: Rabies

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

RABIES

OLEH:

RESKIYANI ASHAR 1054 20 189 10

ANDI ANISSA ULIA 1054 20 222 10

PEMBIMBING:

DR.A.WERY SOMPA,Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2015

Page 2: Rabies

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Reskiyani ashar dan A.anissa ulia

NIM : 10542 0189 10 dan 10542022210

Judul Referat : Rabies

Telah menyelesaikan tugas Referat dalam rangka Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu penyakit

saraf Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, September 2015

Pembimbing

dr. A. wery sompa , Sp.S

2

Page 3: Rabies

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................. 1

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ 2

DAFTAR ISI.................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 5

2.1 Definisi ...................................................................... 5

2.2 Sejarah ..................................................................... 5

2.3 Etiologi ...................................................................... 5

2.4 Distribusi dan insidensi ...................................................................... 6

2.5 Epidemiologi ..................................................................... 7

2.6 Trasmisi ...................................................................... 8

2.7 Patogenesis ...................................................................... 9

2.8 Manifestasi ...................................................................... 10

2.9 Komplikasi ...................................................................... 12

2.10 Laboratorium ...................................................................... 13

2.11 Differential diagnosa ...................................................................... 14

2.12 Penatalaksanaan ...................................................................... 15

2.13 Pencengahan ...................................................................... 16

2.14 Prognosis ...................................................................... 19

BAB III PENUTUP ...................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA

3

Page 4: Rabies

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rabies merupakan penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan

mamalia yang berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus

Lyssa-virus, famili Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui sekret yang terinfeksi

pada gigitan binatang. Nama lain ialah hydrophobia, la rage (perancis), larabbia(italia), la

rabia (spanyol), die tollwut (jerman) atau di indonesia dikenal sebagai penyakit anjing gila.

Virus yang menjadi penyebabnya adalah virus neurotropik ukurannya antara 100-150

milimikron. Virus ini tahan terhadap kekeringan, akan tetapi mudah dimatikan dengan

menggunakan antiseptic, sinar matahari langsung, pemanasan, dan radiasi dengan

menggunakan sinar ultraviolet. Masa Inkubasi pada hewan sekitar 3-6 minggu setelah gigitan

hewan rabies, sedangkan pada manusia tergantung dari parah tidaknya luka gigitan, jauh

tidaknya luka dengan susunan saraf pusat, banyaknya saraf pada luka, jumlah virus yang

masuk, serta jumlah luka gigitan 1.

Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena gigitan binatang.

Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa cara antara lain melalui cakaran hewan,

sekresi yang mengkontaminasi membrane mukosa, virus yang masuk melalui rongga

pernapasan, dan transplantasi kornea. Virus rabies menyerang jaringan saraf, dan menyebar

hingga system saraf pusat, dan dapat menyebabkan encephalomyelitis (radang yang mengenai

otak dan medulla spinalis)2

Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas

rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal,

Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia

sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi dinyatakan bebas rabies

adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001

menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa timur,

Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya.

Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu

kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun

paralisis generalisata.

4

Page 5: Rabies

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Rabies merupakan penyakit sistem saraf akut (suatu ensefalomielitis akut) yang

disebabkan oleh infeksi virus rabies (golongan rhabdovirus). Penularan kepala manusia terjadi

melalui gigitan anjing,kucing,kera,kelelawar, dan lain-lain yang mengandung virus rabies.7

Setelah virus memasuki tubuh manusia, maka virus akan bereplikasi ditempat

tersebut,kemudian memasuki akson saraf, dan dengan mengikuti aksoplasma secara

sentripetal,maka virus akan sampai di Ganglion intervertebratale. Pada gigitan diwajah,virus

akan sampai pada ganglion geseri. Infeksi dapat meluas ke sel ganglion sekitarnya sampai ke

Medulla spinalis dan otak. Infeksi pada sel neuron di susunan limbik akan menimbulkan

perubahan perilaku pada penderita.4

Nama lain untuk rabies hydrophobia, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia

(Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing

Gila.4

2.2 SEJARAH

Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylonia kira-kira abad ke 23 Sebelum Masehi

(SM) dan Democritus menulis secara jelas binatang menderita rabies pada tahun 500 SM.

Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan gejala hydrophobia dilaporkan pada abad

pertama oleh Celsus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke-16 oleh Fracastoro,

seorang dokter Italia. Pada tahun 1880 Louis Pastuer mendemostrasikan adanya infeksi pada

susunan saraf pusat. Pengobatan dilakukan dengan cara kauterisasi sampai ditemukannya

vaksin oleh Louis Pastuer pada tahun 1885. pertumbuhan virus rabies pada jaringan

ditemukan pada tahun 1930 dan baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron pada

tahun 1960.4

2.3 ETIOLOGI

Virus rabies merupakan virus asam ribonuklet beruntai tunggal, beramplop, berbentuk

peluru dengan diameter 75 sampai 80nm termasuk anggota kelompok rhabdovirus. Amplop

glikoprotein tersusun dalam struktur seperti tombol yang meliputi permukaan virion.

Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies,

5

Page 6: Rabies

membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan

merangsang imunitas sel T. antigen nukleokapsid merangsang antibody yang mengikat

komplemen. Antibody netralisasi pada permukaan glikoprotein tampaknya bersifat protektif.

Antibody antirabies digunakan pada analisis imunofluororescent diagnostic yang umumnya

ditujukan pada antigen nukleokapsid. Isolasi virus rabies dari spesies binatang yang berbeda

dan memiliki perbedaan sifat antigenic dan biologic. Variasi – variasi ini bertanggung jawab

terhadap perbedaan dalam virulensi antara isolasi. Interferon diinduksi oleh virus rabies,

khususnya dalam jaringan dengan konsentrasi virus yang tinggi, dan berperan dalam

memperlambat infeksi yang progresif.1

Gambar 1 Rhabdovirus

Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56ºC waktu paruh kurang dari

1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37ºC dapat bertahan beberapa jam. Virus

juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium. Virus rabies dan virus lain

yang sekeluarga dengan rabies diklasifikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe 1,

mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat lyssa-virus genotipe 5 dan 6.4

2.4 DISTRIBUSI DAN INSIDENSI

Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas

rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal,

Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia

sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi dinyatakan bebas rabies

adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001

menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa timur,

Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data terakhir pada tahun 2004, di

Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies tercatat 21 orang. Sedangkan di

6

Page 7: Rabies

Provinsi Bali, desa kedonganan dan Ungasan pada tanggal 29 November 2008 terdapat

beberapa anjing mati dan dinyatakan positif Rabies. Hal ini membuat Provinsi Bali dengan

status bebas rabies perlu ditinjau kembali.

Gambar 2.

Penyebaran Dan Distribusi Rabies Di Dunia

2.5 EPIDEMIOLOGI

Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik : urban, disebarluaskan terutama oleh

anjing, dan/atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan sylvatic, disebarluaskan oleh

sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos), serigala, dan kelelawar. Infeksi pada

binatang yang jinak biasanya menunjukkan kelebihan reservoar infeksi sylvatic, dan manusia

dapat terinfeksi oleh salah satunya. Oleh karena itu infeksi pada manusia cenderung terjadi

pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu jika terdapat banyak populasi

binatang jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia kontak dengan udara terbuka. Kematian

karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World Health Organization (WHO) setiap

tahun, sedangkan insidensi rabies di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 30.000 kasus

pertahun. Asia tenggara, Philipina, Afrika dan Amerika Selatan tropik adalah area tempat

penyakit biasanya terjadi. Pada beberapa area endemik 1 sampai 2% dari pasien yang diotopsi

menunjukkan tanda – tanda rabies. Peningkatan penyebaran rabies yang hidup di darat dan

peningkatan perjalanan ke negara – negara yang didalamnya terdapat rabies perkotaan telah

membuat perhatian mengenai rabies klinis dan pencegahannya. Di Amerika, rabies manusia

7

Page 8: Rabies

sangat jarang, dan sebagian besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang yang terpajan

di negara – negara yang didalamnya terdapat endemik rabies anjing.4

Hewan yang terinfeksi dan terlibat dalam transmisi rabies bervariasi berdasarkan

wilayah geografis. Selama tahun 2007 di Amerika Serikat 7258 kasus rabies yang

diidentifikasi oleh CDC pada hewan, meningkat 4,6 % ,sekitar 93 % dari kasus yang disatwa

liar dan 7% berada di hewan domestik.3

Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus rabies untuk

manusia. Akan tetapi, serigala (Eropa timur, daerah kutub utara), luwak (Afrika Selatan,

Karibia), rubah (Eropa Barat) dan kelelawar (Amerika Selatan) juga merupakan vektor

penyakit yang penting. Di Amerika, rabies kucing sekarang ini dilaporkan lebih sering

daripada rabies anjing; sehingga vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di Amerika, rabies

pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85% rabies binatang yang dilaporkan,

dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-3%. Akan tetapi, sebagian besar kasus profilaksis

pasca pemajanan dihubungkan dengan gigitan anjing dan kucing.4 Beberapa kasus penularan

rabies dari manusia ke manusia melalui transplantasi kornea juga pernah ditemukan.4

2.6 TRANSMISI

Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera,

serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus

(saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit yang utuh

merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia belum

pernah dilaporkan. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka

pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering terjadi melalui gigitan

anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang terinfeksi

(serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi dimana

dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar tanpa

adanya gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di laboratorium, atau

akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga

dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies.4

2.7 PATOGENESIS

Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka atau kontak langsung dengan selaput

mukosa dengan rasio gigitan dan cakaran sebesar 50:1. Virus rabies membelah diri dalam otot

atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan

8

Page 9: Rabies

neuromuskuler. Setelah virus menempel pada reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus

menyebar secara sentripetal melalui serabut saraf motorik dan juga serabut saraf sensorik tipe

cepat dengan kecepatan 50 sampai 100 mm per hari. Setelah melewati medulla spinalis, virus

bereplikasi pada motor neuron dan ganglion sensoris, akhirnya mencapai otak. Kolkisin dapat

menghambat secara efektif transport akson tipe cepat tersebut. Virus melekat atau menempel

pada dinding sel inang. Virus rabies melekat pada sel melalui duri glikoproteinnya, reseptor

asetilkolin nikotinat dapat bertindak sebagai reseptor seluler untuk virus rabies. Kemudian

secara endositosis virus dimasukkan ke dalam sel inang. Pada tahap penetrasi, virus telah

masuk kedalam sel inang dan melakukan penyatuan diri dengan sel inang yang ditempati,

terjadilah transkripsi dan translasi.2

Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan menyebar

kedalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistim

limbik, hipotalamus, dan batang otak. Khusus mengenai system limbik dimana berfungsi erat

dengan pengontrolan dan kepekaan emosi. Akibat dari pengaruh infeksi sel-sel dalam sistim

limbic ini, pasien akan menggigit mangsanya tanpa ada provokasi dari luar. Setelah

memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral virus kemudian bergerak ke perifer dalam

serabut aferen dan pada serabut saraf volunter maupun otonom. Dengan demikian, virus dapat

menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak dalam jaringan

seperti kelenjar ludah. Virus rabies menyebar menuju multi organ melalui neuron otonom dan

sensorik terutama melibatkan jalur parasimpatis yang bertanggung jawab atas infeksi pada

kelenjar ludah, kulit, jantung, dan organ lain. Replikasi di luar sel saraf terjadi pada kelenjar

ludah, lemak coklat, dan kornea. Kepekaan terhadap infeksi dan masa inkubasinya bergantung

pada latar  belakang genetik inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor virus pada

sel inang, jumlah inokulum, beratnya laserasi, dan jarak yang harus ditempuh virus untuk

bergerak dari titik masuk ke susunan saraf pusat. Gambaran yang paling menonjol dalam

infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam sitoplasma sel

ganglion besar. Massa eosinofilik ini, berukuran sekitar 10nm tersusun atas matriks fibilar

halus dan partikel virus rabies. Badan negri tersebar di seluruh otak, terutama kornu Ammon,

korteks serebral, otak tengah, hipotalamus, sel purkinje serebelum dan ganglia dorsalis

medulla spinalis. Badan negri tidak ditemukan pada sedikitnya 20% kasus rabies dan tidak

adanya badan negri ini pada material otak tidak menyingkirkan diagnosis.4

2.8MANIFESTASI

Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7 hari

9

Page 10: Rabies

hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi

kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa

inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi

oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf

pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala

inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.4

Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik,

(2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak

yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) jarang,

sembuh.1

Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai dengan

demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia, nausea, dan

vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak produktif. Gejala prodromal yang

menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau fasikulasi pada atau sekitar tempat

inokulasi virus dan mungkin berhubungan dengan multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis

saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan. Gejala ini terdapat pada 50 sampai 80%

pasien.1

Stadium prodromal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan

berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik. Mioedema

dijumpai pada stadium prodromal dan menetap selama perjalanan penyakit.4

Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang berlebihan,

rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness, penyimpangan

alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistotonik, kejang, dan paralisis

fokal. Yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi

bersama dengan berkembangnya penyakit, peride lucid menjadi lebih pendek sampai pasien

akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya

terang, suara keras, sentuhan, bahkan tiupan yang lembut sering terjadi. Pada pemeriksaan

fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6ºC. abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil

yang ireguler,lakrimasi meningkat, salivasi, berkeringat dan hipotensi postural. Juga terdapat

tanda paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo

profunda, dan respon ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi.1

Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis.

Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, kelumpuhan fsialm neuritis optik dan

kesulitan menelan yang khas. Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan

10

Page 11: Rabies

menimbulkan gambaran tradisional “foaming at the mouth”. Hidrofobia, kontraksi diafragma

involunter, kuat dan nyeri, kontraksi otot respirasi tambahan, faringeal, dan laringeal yang

dimulai dengan menelan cairan, tampak pada sekitar 50% kasus. Terkenanya nukleus

amigdaloideus menyebabkan priapismus dan ejakulasi spontan. Pasien menjadi koma, dan

terkenanya pusat respirasi menimbulkan kematian apneik. Menonjolnya disfungsi batang otak

dini membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya dan bertanggung jawab pada perjalanan

penyakit yang menurun cepat. Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4

hari, dengan maksimum 20hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.1

Kadang - kadang, rabies dapat terjadi sebagai paralisis asenden yang menyerupai

sindroma Landry-Guillan-Barré (dumb rabies, rage tranquille). Pola klinis ini terjadi paling

sering pada mereka yang digigit kelelawar atau pada mereka yang mendapat profilaksis rabies

pasca pemajanan.1

Kesulitan menduga rabies jika disertai dengan paralisis asendens yang digambarkan

dengan dokumentasi penularan virus dari orang ke orang pada transplantasi jaringan. Jaringan

transplan dari dua donor yang meninggal karena dicurigai sindroma Landry-Guillan-Barré

menimbulkan rabies klinis dan kematian pada resipien. Pemeriksaan patologik retrospektif

pada otak dari kedua resipien menunjukkan badan negri, dan virus rabies selanjutnya diisolas

dari setiap mata donor yang dibekukan.1

11

Page 12: Rabies

Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita RabiesStadium Lamanya (% kasus) Manifestasi klinis

Inkubasi

Prodromal

Neurologik akut Furious (80%)

Paralitik

Koma

< 30 hari (25%) 30-90 hari (50%) 90 hari – 1 tahun (20%) >1 tahun (5%)

2-10 hari

2-7 hari

2-7 hari

0-14 hari

Tidak ada

Parestesi, nyeri pada luka gigitan, demam, malaise, anoreksia, mual & muntah, nyeri kepala, lethargi, agitasi, anxietas, depresi

Halusinasi, bingung, delirium, tingkah laku aneh, agitasi, menggigit, hidropobia, hipersalivasi, disfagia, afasia, inkoordinasi, hiperaktif, spasme faring, aerofobia, hiperventilasi, disfungsi saraf otonom, sindroma abnormalitas ADHParalisis flaksid

Autonomic instability, hipoventilasi, apnea, henti nafas, hipotermia/hipertermia, hipotensi, disfungsi pituitari, rhabdomiolisis, aritmia dan henti jantung

2.9 KOMPLIKASI

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase

koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial; kelainan pada

hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD);

disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia

dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan

aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi

hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan

terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi

dan gangguan otonomik.4

12

Page 13: Rabies

2.10 LABORATORIUM

Pada awal penyakit hemoglobin dan kimia darah rutin normal, tapi abnormalitas

terjadi bersamaan dengan disfungsi hipotalamus, perdarahan gastrointestinal, dan komplikasi

lainnya. Jumlah leukosit perifer agak meningkat (12000 sampai 17000 sel permikroliter) tapi

mungkin normal atau setinggi 30000 sel per mikroliter.1

Seperti pada setiap infeksi virus, diagnosis spesifik rabies tergantung pada (1) isolasi

virus dari sekresi yang terinfeksi [saliva, jarang cairan serebrospinalis (CSF), atau jaringan

(otak)], (2) petunjuk serologik infeksi akut, atau (3) adanya antigen virus dalam jaringan yang

terinfeksi, misalnya, apusan impresi kornea, biopsi kulit, atau otak. Sampel otak diperoleh

dengan pemeriksaan postmortem atau pada biopsi otak yang ditujukan untuk (1) pemeriksaan

inokulasi tikus untuk isolasi virus (2) pewarnaan antibodi fluoresen (FA, fluorescent

antibody) untuk antigen virus, dan (3) pemeriksaan histologik dan/atau mikroskopik elektron

untuk melihat badan Negri.1

Jika pasien tidak pernah menerima imunisasi antirabies, kenaikan antibodi netralisasi

terhadap virus rabies sebanyak 4 kali lipat dalam serangkaian sampel serum merupakan

diagnostik. Jika pasien menerima vaksin rabies, petunjuk untuk diagnosis mungkin diperoleh

dari titer absolut antibodi netralisasi serum dan adanya antibodi netralisasi terhadap rabies

dalam cairan serebrospinal. Profilaksis rabies pasca pemajanan jarang menimbulkan antibodi

netralisasi-cairan serebrospinal terhadap rabies. Jika adanya, biasanya dengan titer yang

rendah, misalnya kurang dari 1:64, sedangkan titer cairan serebrospinal dalam rabies manusia

dapat bervariasi dari 1:200 sampai 1:160000.1

Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bahan yang berasal dari

saliva, hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsi kulit.otak, cairan serebrospinal

dan kadang-kadang urin. Isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari bahan-

bahan tersebut setelah 10-14 hari sakit, hal ini berhubungan dengan adanya neuralizing

antibodi.4

Deteksi neutralizing antibodi dalam serum penderita yang tidak divaksinasi dapat

dipakai sebagai alat diagnostik. Terdapatnya antibodi dalam cairan serebrospinal juga

menegaskan diagnosis tetapi muncul 2-3 hari lebih lambat dibandingkan dengan antibodi

serum dan kurang bermanfaat pada awal penyakit, namun dipakai untuk mengevaluasi

respons antibodi pada serum dan CSS sesudah vaksinasi yang memberikan kadar tinggi (pada

CSS kadarnya 2-25% dari serum).4

13

Page 14: Rabies

Fluororescent antibodies test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus

rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinalis, urin, bahkan setelah teknik isolasi

virus tidak berhasil. Sensitivitas tes ini bahkan 60-100%. FAT pada hapusan kornea sangat

tidak sensitif untuk digunakan karena sering terjadi positif palsu. Pada awal penyakit (minggu

I) FAT dari kulit leher merupakan tes yang paling sensitif walaupun dapat terjadi negatif

palsu.4

Di Amerika Serikat, tes standard adalah rapid fluororescent focus inhibition test

(RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh dalam waktu 48 jam.2

Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk penyakit

tersebut, yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik terdapat butir-butir

basofilik didalamnya. Negri bodies dapat dilihat melalui pemeriksaan histologis biopsi

jaringan otak penderita post mortem dan jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan yang

diinokulasi dengan virus rabies. Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus

lainnya dapat dilakukan melalui pemeriksaan Reverse-Transcriptase Polymerase Chain

Reaction (RT-PCR)4

Gambar 3. Negri Bodies

2.11 DIFFERENTIAL DIAGNOSA

Rabies harus difikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik atau

laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang

yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.4

Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologik

orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan

rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada

penderita rabies sering merasa haus dan pada awalnya akan menerima air dan minum, yang

akhirnya menyebabkan spasme laring.4

Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek,

adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan

14

Page 15: Rabies

serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan

dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia.4

Rabies paralitik dapar dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse

myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post

vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak

ada gangguan sensorik. Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1 :200 – 1:1600 pada

vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam

2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan

laboratorium berupa isolasi virus akan membantu diagnosis.4

Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak penyebab dari

ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus, enterovirus,

dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding adalah herpes

simpleks tipe 1, varicella-zooster dan enterovirus seperti coxsackievirus, echovirus,

poliovirus, dan enterovirus manusia 68 hingga 71. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi

geograpi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang

dapat membantu menolong penegakan diagnosa.1

2.12 PENATALAKSANAAN RABIES

Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan

hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun

tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. perawatan

intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup

pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi

penderita penting segera setelah diagnosa ditegakkan untuk menghindari rangsangan-

rangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan. Staf rumah sakit

perlu menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan lain dan

yang paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat

gigitan dengan universal precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus tidak

menular melalui darah dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies adalah

terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi dan edema serebri.4

Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat untuk

memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti serum, anti virus,

interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti efektif.4

15

Page 16: Rabies

2.13 PENCEGAHAN

Setiap tahun lebih dari 1 juta orang Amerika digigit binatang. Pada setiap keadaan,

keputusan harus dilakukan kapan memulai profilaksis rabies pasca pemajanan. Ketika

memutuskan kapan harus memberikan profilaksis rabies, digunakan pertimbangan berikut: (1)

apakah individu mengalami kontak fisis dengan saliva atau bahan lain yang mungkin

mengandung virus rabies, (2) apakah rabies diketahui atau diduga pada spesies dan area yang

dihubungkan dengan pemajanan (misalnya, semua individu dalam kepulauan Amerika digigit

kelelawar yang kemudian lolos sebaiknya menerima profilaksis pasca-pemajanan), (3)

keadaan sekitar pemajanan, dan (4) pengobatan alternatif dan komplikasi. 1

Jika rabies diketahui ada atau diduga ada pada spesies binatang yang terlibat

pemajanan pada manusia, binatang itu ditangkap, jika mungkin. Binatang buas atau yang

sakit, binatang rumah yang tidak divaksinasi, atau berkeliaran terlibat dalam pemajanan

rabies, khususnya binatang yang terlibat gigitan tanpa ada rangsangan, menunjukkan tingkah

laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya dibunuh secara penuh perikemanusiaan, dan

kepalanya segera dikirim ke laboratorium yang sesuai untuk pemeriksaan fluororescent

antibody rabies. Jika pemeriksaan otak dengan teknik fluororescent antibody negatif untuk

rabies, dapat disimpulkan bahwa saliva tidak mengandung virus, dan orang yang terkena tidak

perlu diobati. Individu yang terkena binatang buas yang lolos dan mengandung rabies

(kelelawar, skunk, serigala padang rumput, rubah, raccoon, dan lain-lain). Dalam area tempat

rabies diketahui atau diduga ada maka orang tersebut sebaiknya menerima imunisasi terhadap

rabies baik pasif maupun aktif.1

Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu ditangkap,

diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah laku yang

abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh untuk

pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti percobaan dan epidemiologik menunjukkan bahwa

binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan virus rabies

rabies pada waktu menggigit.

Penanganan luka

Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies. Luka

gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan desinfektan

seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan ephiran 0.1%. luka akibat gigitan binatang

penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan

jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan

dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.4

16

Page 17: Rabies

Profilaksis pasca – paparan

Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody terhadap

virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus kedalam tubuh dan

sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan

panjangnya inkubasi penyakit. neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi

pasif dengan serum antirabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi

aktif.1

Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve Tissue Vaccine

(NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan

monyet atau berasal dari otak bayi hewan mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine

(SMBC); b). Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo

Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell

Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV).4

Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua

kasus gigitan yang parah adn semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi vektor

rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan

memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat

digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia (Human Rabies

Immune Globulin = HRIG) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.4

Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa

pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis

0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR

0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Karena mahalnya harga

vaksin, di Thailand digunakan regimen yang dinamakan Thai Red Cross Intradermal (TRC-

ID), dengan pemberian dosis 0.1 mL intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis

pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun

terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan

3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang

parah, gigitan leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram

berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah

luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR,

diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.4

17

Page 18: Rabies

Profilaksis pra-pemajanan

Vaksinasi anjing-anjing domestik dan pelenyapan hewan nyasar telah mengakibatkan

pemberantasan rabies di dunia dari berbagai daerah. Jika pengendalian anjing dipraktekkan

dengan tepat, rabies dapat ditekan pada banyak daerah didunia.

Mereka yang diharapkan berisiko,seperti dokter hewan,pekerja laboratorium,dan anak

yang pergi ke daerah enzootik-rabies dapat di imunisasi sebelumnya. Vaksin biakan sel

sebenarnya akan menghasilkan respon 100% dengan tiga dosis diberikan pada 0,7 dan 28 hari.

Titer 0,5 IU telah dianggap sebagai protektif.2

Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi-dokter hewan, penyelidik

gua, pekerja laboratorium dan pelatih binatang-sebaiknya mendapat profilaksis pra-pemajanan

dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-daerah endemis seperti

Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan mendapatkan pencegahan pre-

exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL secara intramuskuler pada hari ke

0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.4

Efek samping/komplikasi vaksinasi

Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga dapat

memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal, berupa

bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa

panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian

kompres lokal pad tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.4

Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan gejala

sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk, ataksia dan

kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan

protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan

saraf. Pada pemakaian DEV dapat pula terjadi reaksi alergi terhadap protein telur bagi orang

yang hipersensitif. Pada keadaan ini vaksinasi harus dihentikan dan penderita diberikan

kortikosteroid dosis tinggi lalu diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada pemberian HDCV

dapat terjadi gejala seperti sindroma Guillain Barre, namun sangat jarang. Pada vaksin

generasi baru (PRCV) tidak pernah dialporkan lagi komplikasi ensefalomielitis.4

SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum sickness.

Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness diatasi dengan

pemberian kortikosteroid dan antihistamin.4

18

Page 19: Rabies

Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada sekitar

20% resipien. Lebih dari 6% yang menerima booster HDCV IM mengalami reaksi mirip-

kompleks imun yang ditandai dengan urtikaria, arthritis, nausea, vomitus, dan kadang-kadang

angiodema. Reaksi-reaksi ini akan sembuh sendiri dan tampaknya dihubungkan dengan

adanya β-propriolakton-albumin serum manusia yang berubah dalam vaksin dan timbulnya

antibodi IgE terhadap antigen ini. Individu yang bekerja pada area resiko tinggi sebaiknya

mendapat pengukuran antibodi secara periodik, dan dosis booster dianjurkan untuk mereka

dengan titer antibodi yang rendah. Mereka dengan resiko yang sangat rendah dapat memilih

untuk tidak menerima dosis booster rutin tapi hanya menerima imunisasi aktif dengan

substansi yang mana saja.1

2.14 PROGNOSIS

Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai

sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien

yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies

yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak

hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung

ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang

melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera

mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

19

Page 20: Rabies

1. Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua

mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva.

2. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi

kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi

dapat memulai proses penyakit.

3. Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies.

4. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi.

dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan

Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa

tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya.

5. Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera,

serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus

(saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa.

6. Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik, (2)

ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak

yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) jarang,

sembuh.

7. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan

hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas.

Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak

menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila

mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan

kardiovaskuler yang sering terjadi.

8. Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai

sistem saraf pusat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kurt J,Isselbacher. Rabies, Rhabdovirus, dan agen mirip-marburg. In: Harrison Prinsip-prinsip ilmu

penyakit dalam Edisi 13. Jakarta : EGC. 2000. p.938-941

20

Page 21: Rabies

2. Arvin, Behrman Kliegman, In: Nelson Buku Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta: EGC.2000.P.1146-

1148.

3. Netter MD ,frank H, In : netter’s Neurology 2nd edition. Philadelphia: Elsevier.2012.P 434-435.

4. Sudoyo, Aru W. In ; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ,Edisi v. Jakarta : internaPublishin.2009.

P.2925-2930.

5. Artha bayu, Buku ilmu penyakit syaraf. Staf medis fungsional neurologi RS.TK II Pelamonia

makassar 2013,

21