Rabies

26
I. PENDAHULUAN Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylon kira-kira abad ke-23 sebelum Masehi (SM) dan Democritus menulis secara jelas binatang menderita rabies pada tahun 500 SM. Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan gejala hidrofobia dilaporkan pada abad pertama oleh Celsus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke-16 oleh Fracastoro, seorang dokter Italia. Pada tahun 1880 Louis Pasteur mendemonstrasikan adanya infeksi pada susunan saraf pusat. Pengobatannya dilakukan dengan cara kauterisasi sampai ditemukannya vaksin oleh Louis Pateur pada tahun 1885. Pertumbuhan virus rabies pada jaringan ditemukan pada tahun 1930 dan baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron pada tahun 1960. II. DISTRIBUSI DAN INSIDENS Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies yaitu Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya, dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan 7 provinsi yang bebas rabies yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku, dan Irian Jaya. Data rabies yang akurat jarang dijumpai

description

rabbbbbbiiieeesss

Transcript of Rabies

I. PENDAHULUANIstilah rabies dikenal sejak zaman Babylon kira-kira abad ke-23 sebelum Masehi (SM) dan Democritus menulis secara jelas binatang menderita rabies pada tahun 500 SM. Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan gejala hidrofobia dilaporkan pada abad pertama oleh Celsus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke-16 oleh Fracastoro, seorang dokter Italia. Pada tahun 1880 Louis Pasteur mendemonstrasikan adanya infeksi pada susunan saraf pusat. Pengobatannya dilakukan dengan cara kauterisasi sampai ditemukannya vaksin oleh Louis Pateur pada tahun 1885. Pertumbuhan virus rabies pada jaringan ditemukan pada tahun 1930 dan baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron pada tahun 1960.

II. DISTRIBUSI DAN INSIDENSDistribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies yaitu Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya, dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan 7 provinsi yang bebas rabies yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku, dan Irian Jaya. Data rabies yang akurat jarang dijumpai pada banyak negara di dunia sehingga sulit untuk menentukan insidens penyakit ini secara global. Pada survei tahun 1999, 45 negara dari 145 negara yang disurvei dilaporkan tidak dijumpai kasus rabies di tahun tersebut. Jumlah kematian di dunia karena penyakit rabies pada manusia diperkirakan lebih 50.000 orang tiap tahunnya dan terbanyak pada negara-negara Asia dan Afrika yang merupakan daerah endemis rabies. Dari tahun 1997 sampai tahun 2003 dilaporkan lebih 86.000 kasus gigitan binatang tersangka rabies di seluruh Indonesia (rata-rata pertahun 12.400 kasus) dan yang terbukti rabies 538 orang (rata-rata 76 kasus per tahun). Pada tahun 2000 kasus rabies paling banyak dilaporkan dari provinsi NTT (59 kasus), Sulawesi Tenggara (14 kasus), Sumatera Barat (8 kasus), Bengkulu dan Sulawesi Selatan (masing-masing 7 kasus). Pada tahun 2001 kasus terbanyak terjadi di Sumatera Barat (18), Sulawesi Tenggara (13), dan NTT (11), sedangkan pada tahun 2002 dan 2003 tidak ada provinsi yang melaporkan lebih dari 10 kasus per tahun. Di Indonesia binatang penggigit yang paling banyak adalah anjing (90%), kucing (6%), kera, dan lain-lain (4%). Di Asia rabies banyak dijumpai di India, Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh, China, Filipina, dan Thailand. Negara lain yang juga banyak dijumpai kasus rabies adalah Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, Amerika Serikat.World Health Organization (WHO) tahun 2000, memperkirakan bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies. Rabies bisa terjadi disetiap musim atau iklim, dan kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras.Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16 propinsi, meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram). Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat telah dinyatakan bebas dari rabies melalui SK Menteri Pertanian No. 566 Tahun 2004, Banten sejak tahun 1996, dan provinsi Jawa Barat sejak tahun 2001. Dengan diterbitkannya SK Mentan bebas rabies ini, maka seluruh pulau Jawa telah bebas rabies karena Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta telah lebih dahulu dibebaskan berdasarkan SK Mentan No. 897 Tahun 1997. Daerah yang secara historis bebas rabies (belum pernah ada kasus) adalah provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (kecuali Pulau Flores), Kalimantan Barat, Papua, Irian Jaya Barat, Maluku Utara, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung dan sampai saat ini tetap dapat dipertahankan bebas rabies.Menurut WHO (2005), sedikitnya 55.000 orang di dunia meninggal karena rabies setiap tahunnya (1 orang setiap 10 menit). Mayoritas anak-anak umur kurang dari 14 tahun. Di NTT (Flores dan Lembata) 43.363 orang menderita kasus gigitan anjing dan 252 orang meninggal dunia pada tahun 1997-2013. Di Indonesia penularannya 98% anjing, 2% kucing, dan kera.

III. DEFINISIRabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia yang berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, famili Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui sekret yang terinfeksi pada gigitan binatang. Nama lain ialah hydrophobia, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia dikenal sebagai penyakit anjing gila.Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Hewan berdarah panas dan manusia. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%.

IV. ETIOLOGIVirus rabies merupakan prototipe dari genus Lyssa-virus dari famili Rhabdoviridae. Dari genus Lyssa-virus ada 11 jenis virus yang secara antigenik mirip virus rabies dan yang menginfeksi manusia adalah virus rabies, Mokola Duvenhage, dan European bat lyssa-virus. Virus rabies termasuk golongan virus RNA. Virus berbentuk peluru dengan ukuran 180 x 75 nm, single stranded RNA, terdiri dari kombinasi nukleo-protein yang berbentuk koil heliks yang tersusun dari fosfoprotein dan polimerasi RNA. Selubung virus terdiri dari lipid, protein matriks, dan glikoprotein. Virus rabies inaktif pada pemanasan, pada temperatur 56 C waktu paruh kurang dari satu menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37 C dapat bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium. Virus rabies dan virus lain yang sekeluarga denga rabies diklasifikasikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe 1, Mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat lyssa-virus genotipe 5 dan 6.Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae, genus Lyssa. Virus berbentuk peluru atau silindris dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat atau elip (lonjong).Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membrane selubung (amplop) dibagian luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih dari 500 buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang tinggi.Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm. Virus peka terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol 70 %, yodium, fenol dan klorofrom. Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50 %. Pada suhu 600 C virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam penyimpanan kering beku (freezedried) atau pada suhu 40 C dapat tahan selama bebarapa tahun.

V. TRANSMISIInfeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera, serigala, kelelawar, dan ditularkan pada manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia belum pernah dilaporkan. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering infeksi terjadi melalui gigitan anjing tetapi bisa juga melalui gigitan anjing kucing, kera, atau binatang lainnya yang terinfeksi (serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi dimana dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar tanpa ada gigitan. Dapat pula ada kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies.

VI. PATOGENESISSetelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama 2 minggu virus menetap pada tempat masuk dan di jaringan otot di dekatnya virus berkembang biak atau langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membran plasma dan protein ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor asetil-kolin-post-sinaptik pada neuromuscular junction di susunan saraf pusat (SSP). Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui endoneurium sel-sel schwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam ke susunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak) melalui cairan serebrospinal. Di otak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen daripada saraf volunter maupun saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk serabut saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medulla), ginjal, mata, pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin. Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan medulla spinalis pada rabies tipe furious (buas) dan pada medulla spinalis pada tipe paralitik. Perubahan patologi berupa degenerasi sel ganglion, infiltrasi sel mononuklear dan perivaskuler, neuronofogia, dan pembentukan nodul pada glia pada otak dan medulla spinalis. Dijumpai Negri bodies yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus terutama protein ribonuklear dan fragmen organela seluler seperti ribosomes. Negri bodies dapat ditemukan pada seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri, batang otak, hipotalamus, sel purkinje serebelum, ganglia dorsalis medulla spinalis. Pada 20% kasus rabies tidak ditemukan negri bodies. Adanya miokarditis menerangkan terjadinya aritmia pada pasien rabies.

VII. GEJALA KLINISMasa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7 hari-7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari. Pada manusia secara teoritis gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaan sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu gejala prodromal non-spesifik, ensefalitis akut, disfungsi batang otak, koma dan kematian.Stadium ProdromalStadium prodromal berlangsung 1-4 hari dan biasanya tidak didapatkan gejala spesifik. Umumnya disertai gejala respirasi atau abdominal yang ditandai oleh demam, menggigil, batuk, nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala, malaise, mialgia, mual, muntah, diare, dan nafsu makan menurun. Gejala yang lebih spesifik, yaitu adanya gatal, dan parestesia pada luka bekas gigitan yang sudah sembuh (50%). Stadium prodromal dapat berlangsung sampai 10 hari, kemudian penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik. Mioedema dijumpai pada stadium prodromal dan menetap selama perjalanan penyakit.Stadium Neurologik AkutDapat berupa gejala furious atau paralitik. Pada gejala furious penderita menjadi hiperaktif, disorientasi, mengalami halusinasi, atau bertingkah laku aneh. Setelah beberapa jam-hari, gejala hiperaktif menjadi intermiten setiap 1-5 menit berupa periode agitasi, ingin lari, menggigit diselingi periode tenang. Keadaan hiperaktif dapat terjadi karena rangsangan dari luar seperti suara, cahaya, tiupan udara, dan rangsangan lainnya yang menimbulkan kejang sehingga timbul bermacam-macam fobia terhadap rangsangan-rangsangan tersebut. Bila penderita diberi segelas air minum dan mencoba meminumnya akan terjadi spasme hebat otot-otot faring, akibatnya penderita menjadi takut terhadap air (hidrofobia) yang khas untuk rabies. Keadaan yang sama dapat ditimbulkan oleh rangsangan sensorik seperti meniupkan udara ke muka pasien (aerofobia), atau dengan menjatuhkan sinar ke mata (fotofobia) atau dengan menepuk tangan di dekat telinga pasien. Tanda-tanda klinis lain yang dapat dijumpai berupa hiperaktifitas, halusinasi, gangguan kepribadian, meningismus, lesi saraf kranialis, fasikulasi otot, dan gerakan-gerakan involunter, fluktuasi suhu badan, dilatasi pupil. Lesi pada nukleus amigladoid memberikan gejala libido yang meningkat, priapismus, dan orgasme spontan. Gejala otonomik pada stadium ini diantaranya adalah dilatasi pupil yang ireguler, peningkatan lakrimasi, hipertermia, takikardia, hipotensi postural, hipersalivasi. Gejala lain dalam fase neurologik akut ialah demam, fasikulasi otot, hiperventilasi, dan konvulsi. Meskipun sering kejang penderita tetap sadar. Gejala-gejala stadium eksitasi dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal. Kematian paling sering terjadi pada stadium ini yang dapat terjadi akibat gagal napas yang disebabkan oleh kontraksi hebat otot-otot pernapasan atau keterlibatan pusat pernapasan dan miokarditid, aritmia, dan henti jantung akibat stimulasi saraf vagus. Bila stadium ini dapat terlewati, penderita masuk ke stadium paralitik.Apabila penderita tidak meninggal, 20% penderita akan masuk stadium paralitik yang ditandai oleh demam dan sakit kepala, paralisis pada ekstremitas yang digigit, mungkin difuse atau simetri, atau dapat menyebar secara ascenden seperti pada sindroma Guillain-Barre, dan kaku kuduk dapat dijumpai. Pada stadium paralitik dapat tidak ditemui gejala hidrofobia, aerofobia, hiperaktifitas, dan kejang. Pada keadaan kesadaran dapat utuh, akan tetapi dapat memburuk secara gradual menjadi bingung, disorientasi, paraplegia, gangguan menelan, kelumpuhan pernapasan, dan akhirnya meninggal. Seluruh manifestasi neurologik akut terjadi selama 2-7 hari dengan fase paralitik lebih panjang.Stadium KomaApabila tidak terjadi kematian pada stadium neurologik, penderita dapat mengalami koma. Koma dapat terjadi dalam 10 hari setelah gejala rabies tampak dan dapat berlangsung hanya beberapa jam sampai berbulan-bulan tergantung dari penanganan intensif. Pada penderita yang tidak ditangani, penderita dapat segera meninggal setelah terjadi koma, dan pada penanganan di Amerika Serikat rata-rata lamanya perawatan meninggal 13 hari. Beberapa komplikasi dapat terjadi dan menjadi penyebab kematian. Sampai saat ini hampir keseluruhan penderita rabies meninggal, hanya ada 4 laporan penderita ensefalitis rabies hidup. Dua penderita diberikan vaksin tanpa imunoglobulin sesudah gigitan multipel dan bertahan hidup lama (34 bulan pada 1 kasus) tetapi dengan gangguan neurologik yang berat. Dua kasus lain didiagnosis sebagai ensefalitis rabies setelah pemberian vaksin embrio bebek dan suckling mouse vaccine tetapi diagnosis hanya berdasarkan tes serologi (tidak dijumpai antigen/virus).Perjalanan penderita rabies

Stadium Lamanya (%) kasusManifestasi klinis

Inkubasi

Prodromal

Neurologik akut Furious (80%) Paralitik Koma

1 tahun (5%)2-10 hari

2-7 hari 2-7 hari0-14 hari Tidak ada

Parestesia, nyeri pada luka gigitan, demam, malaise, anoreksia, mual & muntah, nyeri kepala, letargi, agitasi, ansietas, depresi.

Halusinasi, bingung, delirium, tingkah laku aneh, takut, agitasi, menggigit, hidrofobia, hipersalivasi, disfagia, afasia, inkoordinasi, hiperaktif, spasme faring, aerofobia, hiperventilasi, hipoksia, kejang, disfungsi saraf otonom, sindroma abnormalitas ADHParalisis flaksidAutonomic instability, hipoventilasi, apnea, henti nafas, hipotermia/hipertermia, hipotensi, disfungsi pituitari, rhabdomiolisis, aritmia, dan henti jantung.

VIII. PENEGAKAN DIAGNOSADiagnosa rabies adalah riwayat gigitan dengan manifestasi neurologi yang khas. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit rabies tidak spesifik. Pada awal dari penyakit hemoglobin normal dan sedikit menurun pada perjalanan penyakit. Leukosit antara 8.000-13.000/mm dengan 6-8 % yang atipik, namun leukositosis 20.000-30.000/mm sering dijumpai, trombosis biasanya normal. Pada urinalisis dijumpai albuminuria dengan peningkatan sel leukosit pada sedimen. Pada cairan serebrospinal (CSS) dapat dijumpai gambaran ensefalitis, peningkatan leukosit 70/mm. Tekanan CSS dapat normal atau meningkat, protein dan glukosa normal. Selama minggu pertama perjalanan penyakit cairan serebrospinal normal pada 40% penderita. Limfositik pleiositosis ringan biasanya terjadi dan protein total meningkat lebih dari 200 mg/dl. Pada EEG secara umum didapatkan gelombang lambat dengan penekanan aktivitas dan paroksimal spike. Computed Tomography Scanning (CT SCAN) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada otak normal. Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bahan yang berasal dari saliva, hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsi kulit/otak, cairan serebrospinal, kadang-kadang urin. Isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari bahan-bahan tersebut setelah 10-14 hari sakit, hal ini berhubungan dengan adanya neutralizing antibodies.Deteksi neutralizing antibody dalam serum penderita yang tidak divaksinasi dapat dipakai sebagai alat diagnostik. Terdapatnya antibodi dalam cairan serebrospinal juga menegaskan diagnosis tetapi muncul 2-3 hari lebih lambat dibandingkan dengan antibodi serum dan kurang bermanfaat pada awal penyakit, namun dipakai untuk mengevaluasi respons antibodi pada serum CCS sesudah vaksinasi yang memberikan kadar tinggi. Pada kasus tertentu antibodi dapat tidak terbentuk sampai hari ke-24. Flourencent antibody test (FAT) dengan cepat mengidentifikasikan antigen virus rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinal, urin bahkan setelah teknik isolasi virus tidak berhasil. Sensitivitas test ini 60-100%. FAT pada hapusan kornea sangat tidak sensitif untuk digunakan karena sering terjadi positif palsu. Pada awal penyakit (minggu 1) FAT pada dari kulit di leher merupakan tes yang paling sensitif walaupun dapat terjadi negatif palsu. Di Amerika Serikat tes standard adalah rapid flourencent focus inhibition test (RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh dalam waktu 48 jam.Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk penyakit tersebut, yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat, dan pada yang klasik terdapat butir-butir basofilik di dalamnya. Negri bodies dapat dilihat melalui pemeriksaan histologis biopsi jaringan otak penderita post mortem dan jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan yang diinokulasi dengan virus rabies. Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus lainnya, dapat dilakukan melalui pemeriksaan Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). IX. DIAGNOSA BANDINGRabies harus dipikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologis yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberi minum (pseudohidrofobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus dan pada awalnya menerima air dan minum, yang akhirnya menyebabkan spasme faring.Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidrofobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidrofobia.Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan sindroma Guillain Barre, transverse myelitis, Japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomyelitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan sensorik. Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1:200-1:1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virus akan membantu diagnosis.

X. PENANGANANTata laksana gigitan hewan penular rabies adalah a. Wound toilet (cuci luka dengan sabun, keringkan, bubuhi alkohol, jodium tincture)b. Wound treatment (Antibiotika, ATS, Analgetika)c. Pasteur treatment (VAR atau SAR)Prinsip cuci luka :a. Lakukan pada semua kasus GHPRb. Cuci luka dengan air mengalir dan sabun selama 10-15 menitc. Hindari tindakan invasif seperti menyikat lukad. Golden periode cuci luka 12 jam. Namun, tetap lakukan meski terlambat.e. Setelah cuci luka, berikan betadine atau antiseptikf. Luka gigitan tidak boleh dijahit, bila sangat diperlukan lakukan jahitan situasi

XI. KOMPLIKASIBerbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra-kranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon anti diuretik (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertermia/hipotermia, aritmia, dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernapasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi, dan gangguan otonomik.Komplikasi pada Rabies dan penanganannya

Jenis KomplikasiPenanganannya

NeurologiHiperaktifHidrofobiaKejang fokalGejala neurologi lokalEdema serebriAerofobiaPituitariSAHADDiabetes InsipidusPulmonalHiperventilasi HipoksemiaAtelektasisApneaPneumotoraksKardiovaskularAritmiaHipotensiGagal jantung kongestifTrombosis arteri/venaObstruksi vena kava superiorHenti jantungLain-lainAnemiaPerdarahan gastrointestinalHipertermiaHipotermiaHipovolemiaIleus paralitikRetensio urinGagal ginjal akutPneumomediastinum Fenotiazin, benzodiazepinTidak diberi apa-apa lewat mulutKarbamazepin, fenitoinTak perlu tindakan apa-apaMannitol, gliserolHindari stimulasi

Batasi cairanCairan, vasopressin

Tidak adaOksigen, ventilator, PEEPVentilatorVentilatorDilakukan ekspansi paru

Oksigen, obat anti-aritmiaCairan, dopaminBatasi cairan, obat-obatanHeparinLakukan pencegahan Resusitasi

Transfusi darahH2 blockers, transfusi darahLakukan pendinginanSelimut panasPemberian cairanCairan parenteralKateterisasiHemodialisisTidak dilakukan apa-apa

XII. PROGNOSISKematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem saraf. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis rabies selalu fatal karena sekali gejala rabies lebih tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal napas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 sampai 2000 yang melibatkan lebih 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.

XIII. PENCEGAHANUntuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar dengan virus rabies melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies harus dilakukan perawatan luka yang adekuat dan pemberian vaksin anti rabies dan immunoglobulin. Vaksinasi rabies perlu pula dilakukan terhadap individu yang berisiko tinggi tertular rabies.Penanganan LukaPengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies. Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridement dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan ephiran 0,1%. Luka akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.Vaksinasi Vaksinasi post-eksposure. Dasar vaksinasi post-eksposure adalah neutralizing antibody terhadap virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus ke dalam tubuh dan sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit. Neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum anti rabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu : Nerve tissue vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba, dan monyet atau berasal dari otak bayi hewan mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBV), Non nerve tissue vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck embryo vaccine=DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV).Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua kasus gigitan yang parah dan semua binatang liar yang biasanya menjadi vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia (Human Rabies Immunoglobulin=HRIG) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan ringan berupa pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis 0,5 ml pada hari ke 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Esse/rekomendasi WHO) atau pemberian VAR 0,5 ml pada hari ke 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan hari 3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan di daerah leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah sekitar luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.Vaksinasi pre-eksposure. Untuk menghindari infeksi virus rabies, di samping pemberian VAR setelah mendapatkan gigitan binatang tersangka rabies, pencegahan lebih dini juga dapat dilakukan dengan memberikan suntikan yang sama tetapi waktu, cara, dan dosis yang berbeda melalui profilaksis pre-eksposure (pra-paparan).Individu yang berisiko tinggi untuk kontak dengan virus rabies seperti dokter hewan, pekerja di kebun binatang, petugas karantina hewan, penangkap binatang, petugas laboratorium yang bekerja dengan virus rabies, dokter atau perawat yang menangani penderita rabies, wisatawan yang berkunjung ke daerah endemis rabies dianjurkan untuk mendapatkan pencegahan pre-eksposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 ml secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan setiap 5 tahun. Efek samping/komplikasi vaksinVaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal berupa bengkak, gatal-gatal, eritema, dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa panas, diare, malaise, mual, muntah, dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian kompres lokal pada tempat suntikan, anti histamin, dan antipiretik.SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum sickness. Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.

DAFTAR PUSTAKA

1. 2.