RA-kasus-98%

26
FARMAKOTERAPI TERAPAN RHEUMATOID ARTHRITIS KELOMPOK III Lale Reta Utami (1208515004) Pande Putu Ayu Sukmawati (1208515012) Made Ari Puji Astuti (1208515018)

description

PHARMACOTHERAPY

Transcript of RA-kasus-98%

Page 1: RA-kasus-98%

FARMAKOTERAPI TERAPAN

RHEUMATOID ARTHRITIS

KELOMPOK III

Lale Reta Utami (1208515004)

Pande Putu Ayu Sukmawati (1208515012)

Made Ari Puji Astuti (1208515018)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

JURUSAN FARMASI

UNIVERSITAS UDAYANA

2012

Page 2: RA-kasus-98%

BAB I

PENDAHULUAN

Arthritis adalah istilah umum untuk inflamasi dan pembengkakan di daerah

persendian. Ada lebih dari 100 macam penyakit yang mempengaruhi daerah sekitar sendi

dimana yang paling banyak terjadi adalah osteoarthritis, arthritis gout, fibromialgia dan

rheumatoid arthritis (RA). RA merupakan tipe arthritis yang paling parah. Inflamasi sistemik

RA menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan kematian dini (Depkes RI, 2006; Bruce,

2008).

Rheumatoid arthritis merupakan penyakit inflamasi kronik sistemik pada kulit,

pembuluh darah, hati, paru, otot dan terutama sendi, misalnya: jari-jari tangan, pergelangan

tangan, sendi bahu, sendi lutut, dan panggul (Kumar et al., 2010) Prevalensi RA diperkirakan

1-2% dari jumlah populasi dunia. Rheumatoid arthritis dapat terjadi pada berbagai usia, paling

sering terjadi pada usia 40-50 tahun dimana 80% pasien mulai menderita RA pada umur

antara 35 dan 50 tahun. Penyakit ini 3 kali lebih umum terjadi pada wanita dibandingkan pria.

Insidensi RA 6 kali lebih banyak pada wanita kelompok umur 60-64 tahun dibandingkan 18-

29 tahun (Fauci et al, 2008).

Salah satu dampak negatif RA adalah menurunnya kualitas hidup pasien. Setelah 5

tahun, 10% penderita memerlukan kursi roda, setelah 10 tahun, setidaknya 50% penderita

tidak mampu lagi bekerja purna waktu dan setelah 20 tahun, 25% penderita menjalani operasi

penggantian sendi (Woolf and Pfleger, 2003; Spearing, 2004). Penyakit ini juga menurunkan

harapan hidup pasien rata-rata 3-10 tahun. Rheumatoid arthritis sendiri jarang menyebabkan

kematian. Akan tetapi, terdapat beberapa penyakit penyerta yang berkaitan dengan RA yang

berkontribusi terhadap tingkat morbiditas dan mortalitas pada pasien RA seperti penyakit

kardiovaskular, infeksi, malignansi dan osteoporosis (Bruce, 2008).

Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan RA, akan tetapi rasa nyeri, inflamasi dan

kerusakan sendi dapat dikontrol serta diperlambat dengan terapi nonfarmakologi dan

farmakologi. Dengan demikian, diharapkan kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas

sehari-hari dapat dipertahankan sehingga kualitas hidup pasien pun akan meningkat (Woolf

and Pfleger, 2003; Schuna, 2005). Mengingat pentingnya manajemen dan penatalaksanaan

terapi nonfarmakologi dan farmakologi pada penderita RA, maka pada makalah ini dilakukan

analisis studi kasus dengan harapan agar pemahaman mengenai manajemen dan

penatalaksanan terapi RA dapat ditingkatkan.

Page 3: RA-kasus-98%

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi

Penyebab terjadinya RA belum diketahui secara pasti tetapi biasanya dikaitkan dengan

genetic susceptibility, environmental arthritogen, dan autoimmunity. Menurut Chisholm-

Burns et al. (2008), faktor resiko yang berhubungan dengan perkembangan penyakit RA

antara lain:

a. jenis kelamin : wanita 3 kali lebih berisiko dibanding pria

b. pertambahan usia : rentang 35-50 tahun

c. perokok

d. riwayat penyakit dalam keluarga

e. lingkungan : orang yang bekerja di daerah industri memiliki kecenderungan lebih

tinggi untuk mengalami RA tetapi hubungan antara faktor lingkungan dan kejadian

RA belum diketahui secara pasti

f. penggunaan kontrasepsi oral, konsumsi vitamin D dosis tinggi dan teh menurunkan

resiko RA.

2.3 Patofisiologi

Patofisiologi RA dapat dilihat pada gambar 2.1. RA dipicu oleh paparan sejumlah antigen

arthritogenik pada host yang rentan secara genetik sehingga menyebabkan immunological

self-tolerance dan reaksi inflamasi kronis, dimulainya reaksi arthritis akut (merupakan reaksi

autoimun yang berkelanjutan), aktivasi CD4+ sel T helper serta pelepasan mediator inflamasi

lokal dan sitokin yang pada akhirnya menghancurkan sel sendi. Pada fase awal, saat terjadi

infeksi oleh antigen, imunitas dapatan mengaktifkan fibroblast-like synoviocytes (FLS), sel

dendrit dan makrofag pada individu-individu yang memiliki hipereaktivitas sistem imun. Sel

dendrit dapat bermigrasi ke organ limfoid sentral untuk mengenalkan antigen dan sel T

teraktivasi yang dapat mengaktifkan sel B. Limfosit ini dapat bermigrasi kembali ke sinovium

dan meningkatkan respon imun adaptif pada organ. Berulangnya aktivasi imunitas dapatan ini

dapat menyebabkan inflamasi kronis dan presentasi antigen dalam sinovium. Pada fase

berikutnya dari penyakit ini, beberapa jenis sel mengaktifkan osteoklas melalui sistem

receptor activator of nuclear factor κB (NFκB)/receptor activator of NFκB ligand

(RANK/RANKL), meskipun stimulus terbesar kemungkinan disebabkan oleh FLS dan sel T.

Aktivasi otomatis FLS juga dapat berkontribusi pada proses ini. Pada akhirnya akan terjadi

edema, hiperplastik, sinovium yang kaya sel inflamasi menempel dan tumbuh pada

Page 4: RA-kasus-98%

permukaan artikular, membentuk pannus dan merangsang resorpsi tulang yang berdekatan.

Pannus akan terus menerus menyebabkan kerusakan kartilago yang ireversibel dan erosi

tulang (Firestein et al, 2009; Kumar et al. 2010).

Gambar 2.1 Patogenesis RA (Firestein et al, 2009)

2.4 Gejala, Tanda dan Diagnosisa. Gejala

Nyeri sendi dan kaku lebih dari 6 minggu. Gejala awal berupa kelelahan, lemas,

demam ringan dan kehilangan nafsu makan. Deformasi sendi umumnya terlihat ketika

penyakit sudah parah (DiPiro et al., 2005).

b. Tanda

1) Sendi yang dipengaruhi adalah metacarpophalangeal (MCP), proximal

interphalangeal (PIP), metatarsophalangeal (MTP), dan sendi di pergelangan

tangan.

2) Fungsi sendi sering terbatas.

3) Tanda-tanda peradangan sendi (nyeri, hangat, pembengkakan, dan eritema).

4) Demam ringan.

5) Ekstrartikular: nodul subkutan

6) Okular: keratoconjunctivitis sicca, scleritis

7) Paru: fibrosis interstisial, nodul paru, pleuritis, efusi pleura

8) Vaskulitis: ulkus iskemik, lesi kulit, leukocytoclastic vaskulitis

9) Neurologis: Neuropati perifer, Felty’s syndrom

10) Hematologi: Anemia, trombositosis (Chisholm-Burns et al., 2008).

Page 5: RA-kasus-98%

c. Diagnosis

Menurut DiPiro et al. (2005) dan Chisholm-Burns et al. (2008), tes laboratorium yang

dilakukan dalam diagnosis RA meliputi:

1) Rhematoid factor : terdeteksi sekitar 60-70%.

2) Peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR) : lebih dari 20 mm/jam (pria) dan

lebih dari 30 mm/jam (perempuan).

3) Peningkatan CRP (protein C-reactive) : lebih dari 0,7 mg/dL atau 7 mg/L.

4) Complete blood count : diperiksa sel darah merah, sel darah putih, dan platelet untuk

melihat adanya abnormalitas, memonitor efek samping obat-obatan serta melihat

perkembangan penyakit.

5) Positif anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide): peningkatan kadar antibodi anti-CCP

mengindikasikan perkembangan penyakit yang agresif dan buruknya respon pasien

terhadap terapi.

Diagnosa lain yang dapat dilakukan pada pasien RA (Chisholm-Burns et al., 2008) :

1) Analisis cairan sinovial: berwarna kekuningan, sedikit keruh, jumlah sel leukosit

(WBC) meningkat hingga 5000-25.000 WBCs/mm3 (WBC normal < 200/mm3).

2) Joint x-ray: untuk evaluasi kerusakan sendi

3) Magnetic resonance imaging (MRI): dapat mendeteksi erosi lebih awal dalam

perjalanan penyakit dibanding x-ray.

Tujuh kriteria yang harus dipenuhi untuk mendiagnosa RA secara tepat:

1) Kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung lebih dari 1 jam sebelum akhirnya

hilang

2) Ada tiga atau lebih daerah sendi yang dipengaruhi

3) Arthritis pada sendi tangan

4) Melibatkan sendi simetrik

5) Adanya rheumatoid nodules

6) Peningkatan rheumatoid factor

7) Perubahan radiografi

Seorang pasien dapat didiagnosis dengan RA jika ditemukan empat atau lebih kriteria

di atas. Kriteria 1 sampai 4 muncul setidaknya 6 minggu. Kriteria 5 sampai 7 harus periksa

oleh seorang dokter (Chisholm-Burns et al., 2008).

Page 6: RA-kasus-98%

2.5 Manifestasi Klinis (Clinical Presentation)Manifestasi klinis RA sangat bervariasi. Penyakit ini terjadi secara perlahan dan

tersembunyi. Diawali dengan malaise, kelelahan dan rasa sakit pada otot dan tulang lalu

setelah beberapa minggu/bulan mulai merambat ke persendian umumnya menyerang sendi

yang lebih kecil terlebih dahulu. Gejalanya terjadi di tangan, kaki, diikuti oleh pergelangan

tangan dan kaki, siku serta lutut. Sendi membengkak, panas, nyeri dan kaku. Kaku sendi

umumnya terjadi di pagi hari, selama 30 menit hingga sepanjang hari. Gejala-gejala tidak

spesifik yang terjadi antara lain rasa lelah, letih, demam, tidak nafsu makan dan nyeri sendi.

Perkembangan penyakit dapat terjadi dengan cepat atau lambat dan berfluktuasi selama

bertahun-tahun. Kerusakan tendon, ligamen dan kapsul sendi dapat menghasilkan deformitas

sendi. Di luar persendian dapat terjadi rheumatoid nodules, vaskulitis, efusi pleura, fibrosis

paru, manifestasi okular, perikarditis, supresi sumsum tulang dan limfadenopati

(Schwinghammer, 2009; Kumar et al., 2010).

2.6 Terapi

Tujuan pengobatan RA adalah (1) mengurangi atau menghilangkan nyeri, (2)

melindungi struktur artikular, (3) mengontrol komplikasi sistemik, (4) mencegah hilangnya

fungsi sendi, dan (5) meningkatkan atau mempertahankan kualitas hidup (Chisholm-Burns et

al., 2008). Pasien harus diobati sedini mungkin untuk mengurangi perkembangan penyakit

dan mencegah erosi sendi. Menunda pengobatan akan mengakibatkan penyakit yang lebih

destruktif. Pengobatan RA dilakukan melalui terapi nonfarmakologis dan farmakologis.

a. Terapi nonfarmakologis

Menurut DiPiro et al. (2005) dan Wells et al. (2006) terapi non farmakologis meliputi :

1) Istirahat, untuk mengurangi stres pada sendi yang meradang dan mencegah kerusakan

sendi lebih lanjut. Tidak dianjurkan untuk istirahat dan imobilitas berlebih karena justru

dapat menyebabkan menurunnya kemampuan gerak dan atrofi otot.

2) Terapi okupasi dan fisik, dapat memberikan pasien latihan yang diperlukan untuk

meningkatkan atau mempertahankan mobilitas.

3) Penurunan berat badan, membantu mengurangi stres pada sendi yang meradang.

4) Operasi seperti tenosynovectomy, perbaikan tendon, dan penggantian sendi biasanya

dilakukan pada pasien dengan penyakit yang sudah parah.

5) Pengetahuan pasien mengenai penyakit, manfaat dan keterbatasan dari terapi obat.

b. Terapi farmakologis

Algoritma pengobatan RA dapat dilihat pada gambar 2.2. Kelas obat yang umum

diresepkan untuk pengobatan RA adalah:

Page 7: RA-kasus-98%

1. NSAID

NSAID berfungsi sebagai analgesik dan anti-inflamasi untuk nyeri sendi dan bengkak

namun tidak dapat mencegah kerusakan sendi atau mengubah penyakit yang mendasari.

Penting bagi pasien untuk menggunakan NSAID bersama dengan DMARD untuk meredakan

gejala RA sampai efek terapi DMARD terlihat. Pemilihan NSAID tergantung pada patient-

specific factors seperti risiko kardiovaskular, potensi gastrointestinal berhubungan dengan

adverse events, dan kepatuhan terhadap rejimen obat (Chisholm-Burns et al., 2008).

Gambar 2.2 Algoritma terapi RA (Schwinghammer, 2009).

2. Glukokortikoid

Glukokortikoid dosis rendah (prednison ≤10 mg/hari) secara efektif mengurangi

peradangan melalui penghambatan sitokin dan mediator inflamasi serta mencegah

perkembangan penyakit. Untuk meminimalkan efek samping dilakukan dengan menjaga dosis

tetap rendah dan penggunaan sejarang mungkin. Pasien menerima glukokortikoid dalam

waktu yang singkat sebagai "terapi jembatan" setelah pemberian DMARD untuk meredakan

gejala penyakit aktif. Pasien yang memakai prednison dengan dosis ≥10 mg/hari dapat

mengalami peningkatan risiko efek samping terutama bone loss yang mengarah pada

osteoporosis. Efek samping lain terkait penggunaan glukokortikoid termasuk Cushing’s

syndrome, ulkus peptikum, hipertensi, peningkatan berat badan, infeksi, perubahan mood,

katarak, dislipidemia, dan hiperglikemia (Chisholm-Burns et al., 2008).

Page 8: RA-kasus-98%

3. DMARD

Merupakan terapi utama pada RA karena memiliki kemampuan mengubah proses

penyakit dan mencegah atau mengurangi kerusakan sendi. Pemilihan DMARD tergantung

pada karakteristik keparahan penyakit, pasien (penyakit penyerta, kepatuhan), dan biaya.

Urutan lini pertama obat yang diajurkan belum didefinisikan secara jelas, tetapi pada

umumnya dipilih Metotreksat (DiPiro et al., 2005). Metotreksat dalam terapi tunggal atau

kombinasi diberikan pada pasien dengan penyakit RA agresif. Pasien dengan early, mild

disease dapat menerima monoterapi dengan sulfasalazine atau hydroxychloroquine. Agen

seperti azathioprine, D-penisilamin, dan gold salts jarang digunakan karena kekhawatiran

terhadap toksisitas dan penurunan efikasi (Chisholm-Burns et al., 2008).

a. Metotreksat

Metotreksat merupakan pilihan utama karena profil efikasi dan keamanannya lebih baik

dibandingkan DMARD lainnya serta biayanya lebih rendah dibandingkan agen biologis.

Metotreksat memberikan efek anti-inflamasi melalui penghambatan reduktase dihidrofolat

yang menyebabkan penghambatan purin dan asam thymidylic, dan dengan menghambat

produksi sitokin tertentu. Pasien diberikan dosis sekali setiap minggu yang harus dimulai

dalam waktu 3 bulan setelah diagnosis dan dosis terus meningkat sampai pasien menunjukkan

adanya perbaikan gejala atau dosis maksimal 20 mg/minggu tercapai. Asam folat diberikan

secara rutin bersamaan dengan Metotreksat untuk mengurangi risiko penipisan folat

(misalnya, stomatitis, diare, mual, alopecia, myelosupresi, dan peningkatan dalam tes fungsi

hati). Efek samping serius penggunaan Metotreksat termasuk fibrosis paru dan

hepatotoksisitas. Jika monoterapi tidak menghasilkan perubahan gejala, maka Metotreksat

dapat diberikan dalam bentuk kombinasi dengan DMARD lainnya. Kombinasi yang telah

terbukti efektif dan dapat ditoleransi adalah Metotreksat-siklosporin, Metotreksat-

Hydroxychloroquine dan/atau Sulfasalazine, Metotreksat-Leflunomide, Metotreksat-

Infliximab atau Etanercept (Chisholm-Burns et al., 2008).

b. Hydroxychloroquine dan Sulfasalazine

Mekanisme kerja obat belum diketahui secara pasti. Hydroxychloroquine atau

sulfasalazine dapat diinisialisasi pada diagnosis penyakit ringan. Karena onset aksi yang

lambat, masing-masing obat harus diberikan pada dosis terapi selama minimal 6 bulan

sebelum dinyatakan gagal. Hydroxychloroquine dapat menyebabkan toksisitas retina sehingga

pasien harus memeriksa mata setidaknya setiap tahun sekali. Pada awal terapi sulfasalazine

diberikan pada dosis rendah dan perlahan-lahan ditingkatkan untuk meminimalkan

ketidaknyamanan perut. Pasien yang menerima sulfasalazine harus menjalani pemeriksaan

Page 9: RA-kasus-98%

darah secara rutin untuk memantau kemungkinan terjadinya leukopenia. Pasien yang alergi

terhadap sulfa sebaiknya tidak menerima sulfasalazine (Chisholm-Burns et al., 2008).

c. Leflunomide

Leflunomide menghambat dehidrogenase dihydroorotate dan menghambat respon sel

limfosit T terhadap berbagai rangsangan dan menghentikan siklus sel. Kemanjurannya mirip

dengan Metotreksat atau sulfasalazine dosis moderat. Karena waktu paruh diperpanjang,

terapi leflunomide dimulai dengan dosis muatan (100 mg sehari selama 3 hari) kemudian

diikuti dengan dosis pemeliharaan (20 mg sehari). Pasien dengan riwayat penyakit hati atau

konsumsi alkohol berat tidak boleh menerima Leflunomide. Pasien yang menggunakan

Leflunomide harus menjalani tes fungsi hati untuk mencegah atau meminimalkan kerusakan

hati. Jika terapi harus dihentikan secara mendadak (misalnya, karena racun atau kehamilan),

administrasi cholestyramine akan mempercepat penghapusan leflunomide dari tubuh

(Chisholm-Burns et al., 2008).

4. Biologic Response Modifiers (BRM)

BRM diindikasikan pada pasien yang telah gagal dengan terapi DMARD. BRM dapat

ditambahkan pada monoterapi DMARD (misalnya Metotreksat) atau menggantikan terapi

DMARD yang tidak efektif. Pemilihan agen BRM didasarkan pada keamanan dan

kemanjuran obat, frekuensi dan rute pemberian, tingkat kenyamanan atau kemampuan pasien

dalam penggunaan suntikan subkutan, biaya, dan ketersediaan asuransi. Secara umum, BRM

harus dihindari pada pasien dengan infeksi serius, gangguan demielinasi (misalnya, multiple

sclerosis atau neuritis optik) atau gagal jantung. (Chisholm-Burns et al., 2008).

Page 10: RA-kasus-98%

BAB III

CASE STUDY DAN ANALISIS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Ny. RA

Ruang : -

Umur : 55 tahun

Diagnosa : Rheumatoid arthritis

3.2 SUBYEKTIF

Keluhan Utama : 1 bulan mengalami nyeri pada persendian dan lengan, serta

bengkak pada jari-jemari, nyeri pada lutut. Merasa kaku dan

sulit berjalan terutama beberapa jam setelah bangun pagi. Letih

dan kesulitan menghidup matikan keran atau mengetik pada

keyboard komputer tanpa merasakan nyeri pada tangannya.

Keluhan

Tambahan

Riwayat

Pengobatan

Riwayat Penyakit

Terdahulu

:

:

:

:

-

Balsem

-

-

3.3 OBYEKTIF

Riwayat pemeriksaan laboratorium :

Hasil pemeriksaan TTV dbn, tampak pembengkakan pada buku–buku jari terutama pada

ibu jari.

Riwayat pengobatan : -

3.4 ASSESMENT

a. Terapi Pasien

Metrotreksat 2,5 mg 3 tablet tiap 1 minggu sebanyak 15 tablet

Prednison 5 mg ½ tablet 1 kali sehari sebanyak 10 tablet

Voltaren gel oleskan pada tempat yang sakit sebanyak 1 tube

Page 11: RA-kasus-98%

b. Problem medik dan DRP pasien

PROBLEM

MEDIKSUBYEKTIF OBYEKTIF TERAPI DRP

Nyeri

1 bulan mengalami nyeri pada

persendian dan lengan, serta bengkak

pada jari-jemari, nyeri pada lutut.

- Balsem

Pengobatan

yang tidak

tepat

RA

1 bulan mengalami nyeri pada

persendian dan lengan, serta bengkak

pada jari-jemari, nyeri pada lutut.

Merasa kaku dan sulit berjalan

terutama beberapa jam setelah bangun

pagi. Letih dan kesulitan menghidup

matikan keran atau mengetik pada

keyboard komputer tanpa merasakan

nyeri pada tangannya.

Hasil pemeriksaan

TTV dbn, tampak

pembengkakan

pada buku–buku

jari terutama pada

ibu jari

-Ada indikasi

tanpa obat

c. Pertimbangan pengatasan DRP

1) Pengobatan yang tidak tepat pada nyeri diatasi dengan pemberian NSAID dan

glukortikoid serta menghentikan penggunaan balsem.

2) Indikasi tanpa obat pada RA diatasi dengan pemberian obat DMARD (Metotreksat).

3.5. PLAN

a. Care plan

1) Nonfarmakologi

a) Terapi fisik dan okupasional

Terapi dengan cara mandi menggunakan air hangat atau pemanas untuk

mengurangi nyeri dan kejang otot. Selain itu, diperlukan latihan fisik untuk

memperkuat paha sehingga mengurangi cacat dan rasa sakit. Latihan sebaiknya

dilakukan 3-4 kali sehari dan dihentikkan jika pasien merasakan sakit.

b) Konsumsi makanan kaya kalsium seperti susu, brokoli, salmon, dan sardine.

c) Konsumsi makanan kaya provitamin D seperti ikan asin, putih telur dan susu.

d) Istirahat secukupnya.

2) Farmakologi

a) DMARD (Metotreksat)

Dosis : 2,5 mg 3 tablet tiap 1 minggu sebanyak 15 tablet

Lama Pemberian : 5 minggu

Jalur Pemberian : oral

Page 12: RA-kasus-98%

b) Asam folat

Dosis : 5 mg 1 tablet tiap minggu sebanyak 5 tablet

Lama Pemberian : 5 minggu

Jalur Pemberian : oral

c) NSAID (Diklofenak)

Dosis : digunakan 2 kali sehari atau bila timbul gejala nyeri 1 tube

Lama Pemberian : sampai gejala nyeri dan inflamasi hilang

Jalur Pemberian : topikal

d) Kortikosteroid (Prednison)

Dosis : 5 mg tablet 1 kali sehari sebanyak 20 tablet

Lama Pemberian : 20 hari

Jalur Pemberian : oral

b. Implementasi care plan

1) KIE untuk penggunaan metotreksat :

a) Pasien harus diberikan konseling agar menghindari penggunaan alkohol,

mengkonsumsi asam folat sesuai petunjuk untuk mencegah terjadinya penipisan

folat, mematuhi jadwal pemantauan laboratorium, dan segera melaporkan gejala

fibrosis paru (misalnya, batuk atau dyspnea) dan hepatotoksisitas (misalnya, sakit

kuning atau sakit perut) (Chisholm-Burns et al., 2008).

b) Segeralah berobat ke dokter bila timbul radang pada pangkal tenggorokan,

demam, radang pada mulut, diare, ruam kulit, mudah memar, air kencing menjadi

kehitam-hitaman atau kulit menjadi kekuningan.

c) Pasien diberitahu untuk melaporkan tanda-tanda atau gejala sugestif infeksi,

terutama sakit tenggorokan (yang mungkin mengindikasikan bahwa jumlah sel

darah putih telah menurun) atau dispnea atau batuk (toksisitas paru sugestif).

2) KIE untuk penggunaan Prednison

a) Diminum sesudah makan

b) Bila ada sesuatu yang mengharuskan anda berobat lagi ke dokter, katakanlah

bahwa anda sedang mempergunakan obat ini.

c) Jangan menggunakan obat lebih dari yang dianjurkan oleh dokter, dan juga jangan

menghentikannya tanpa seizin dokter.

d) Jangan menghentikan penggunaan obat secara tiba-tiba.

3) KIE untuk penggunaan NSAID

a) Jangan menggunakan obat-obat NSAID selain yang dianjurkan dokter.

b) Digunakan bila timbul gejala nyeri

Page 13: RA-kasus-98%

4) KIE untuk penggunaan Asam Folat

a) Diminum minimal 24 jam setelah penggunaan metotreksat.

3.6 Monitoring

a. Efektivitas Terapi

1. Kondisi klinik

Tanda-tanda klinis terjadinya perbaikan berupa berkurangnya pembengkakan, rasa

panas, dan tenderness pada sendi. Penurunan gejala RA meliputi berkurangnya nyeri

dan kekakuan sendi yang dirasakan pada pagi hari, tidak cepat lelah, meningkatnya

kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Perbaikan aktivitas sehari-hari

dapat dinilai secara objektif dengan menggunakan kuesioner penilaian kesehatan.

2. Tanda-tanda vital :

Sebelum dilakukan pemberian terapi, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa

TTV pasien berada dalam batas normal. Diharapkan setelah pemberian terapi, TTV

pasien tetap berada dalam batas normal (suhu tubuh 35,5-35,8°C (96-97°F)); denyut

nadi (60-100 bpm); respirasi 12‐20 rpm; dan tekanan darah 120/80 mmHg).

3. Laboratorium :

Pemeriksaan radiografi dalam menilai perkembangan penyakit menunjukkan

bahwa terjadi sedikit atau tidak ada perkembangan penyakit.

b. Efek samping

1. Kondisi klinik

a) Penggunaan diklofenak dapat menyebabkan pruritus, ruam, dermatitis, kulit

kering dan mengelupas, GI ulcer dan pendarahan (Lacy et al., 2006).

b) Penggunaan prednison dapat menyebabkan dispepsia, stimulasi nafsu makan,

insomnia, kecemasan, retensi cairan (umum). Sindrom Chushing, insufisiensi

adrenokortikal, osteoporosis, kehilangan kalium, glaukoma, katarak,

hiperglikemia, ulkus peptikum, psikosis, dan insomnia (berat), hipertensi, dan

hiperglikemia (Ehrenpreis and Ehrenpreis, 2001).

c) Penggunaan metotreksat dapat menyebabkan terjadi diare, mual, muntah dan ulcer

mulut, myelosupresi, toksisitas paru, hepatotoksisitas, leukopenia,

trombositopenia dan anemia (BNF, 2007; Setter and Baker, 2002).

2. Tanda – tanda vital

Tanda-tanda vital yang diamati berupa perubahan tekanan darah (efek samping

penggunaan prednison), perubahan respirasi (efek samping penggunaan metotreksat),

denyut nadi (efek samping penggunaan diklofenak dan prednison).

Page 14: RA-kasus-98%

3. Laboratorium

a) Penggunaan monoterapi metotreksat berpotensi toksik bagi tubuh, Committee on

the Safety of Medicines (CSM) menyarankan agar setiap pasien yang diberikan

metotreksat harus diuji full blood count dan tes fungsi ginjal dan hati sebelum

memulai pengobatan. Uji ini harus diulang setiap minggu sampai terapi stabil, dan

selanjutnya dilakukan setiap 2 sampai 3 bulan.

b) Penggunaan NSAID memerlukan monitoring berupa uji serum kreatinin (Scr),

blood urea nitrogen (BUN), dan complete blood cell (CBC) setiap 2-4 minggu

setelah terapi dimulai dilakukan selama 1-2 bulan (Wells et al., 2006).

3.7 Pembahasan

Obat yang diberikan dokter untuk pengobatan RA yang dialami oleh Ny. RA berupa

Metrotreksat 2,5 mg 3 tablet tiap 1 minggu, Prednison 5 mg ½ tablet 1 kali sehari sebanyak 10

tablet dan Voltaren gel. Pemberian obat yang dilakukan sudah sesuai dengan problem medic

berupa nyeri (diobati dengan NSAID dan kortikosteroid) dan RA (diobati dengan

metotreksat). Untuk obat Kortikosteroid (Prednison) perlu dilakukan konsultasi dengan dokter

untuk meningkatkan dosis pemberiannya menjadi 5 mg karena rentang dosis Prednison yang

disarankan untuk terapi RA pada orang dewasa sebesar 5-10 mg/hari. NSAID (Voltaren) yang

diberikan berupa sediaan gel untuk mengurangi resiko pendarahan GI yang mungkin terjadi

pada pemberian secara bersamaan dengan kortikoseteroid. Jika setelah pasien menggunakan

metotreksat mengalami penipisan folat yang ditandai dengan stomatitis, diare, mual dan

gangguan pada mukosa maka dapat diberikan Asam folat 5 mg/minggu untuk menurunkan

frekuensi efek samping biasanya paling tidak 24 jam setelah pemberian metotreksat. Selama

terapi, pasien diharapkan melakukan uji lab untuk memantau efek samping yang mungkin

terjadi. Ketika obat yang diberikan telah habis, pasien harus berkonsultasi lagi dengan dokter

untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan terapi sehingga dapat ditentukan tata laksana terapi

selanjutnya.

Page 15: RA-kasus-98%

DAFTAR PUSTAKA

BNF. 2007. British National Formulary 54. London: BMJ Publishing Groups.

Bruce, S. P. 2008. Rheumatoid Arthritis. In: Chisholm-Burns, M. A., Wells, B. G., Schwinghammer, T. L., Malone, P. M., Kolesar, J. M., Rotschafer, J. C. and DiPiro, J. T. editors. Pharmacoterapy Principles & Practices. New York: McGraw-Hill. P. 867; 869.

Chisholm-Burns, M.A., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer, P. M. Malone, J. M. Kolesar, J. C. Rotschafer, and J. T. DiPiro. 2008. Pharmacotherapy Principles & practice. The McGraw-Hill Companies.

Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Arthritis Rematik. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Hal. 17-18.

DiPiro, J.T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, and L. M. Posey. 2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th ed. New York: McGraw-Hill.

Ehrenpreis, S. and Ehrenpreis, E. D. 2001. Clinician’s Handbook of Prescription Drugs. New York: McGraw-Hill. P. 585; 791.

Fauci, A. S., Kasper, D. L., Longo, D. L., Braunwald, E., Hauser, S. L., Jameson, J. L. and Loscalzo, J. 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine, 17th Edition. New York: McGraw-Hill.

Firestein, G. S., Kelley, W. N., Budd, R. C. and Harris, E. D. 2009. Kelley’s Textbook of Rheumatology. Philadelphia: Saunders/Elsevier. P. 1036.

IONI, 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008. Jakarta: BPOM. Hal. 714.

Kumar, V., Abbas, A. K., Fausto, N. and Aster, J. C. 2010. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, Eighth Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Schuna, A. A. 2005. Rheumatoid Arthritis. In: DiPiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G. and Posey, L. M. editors. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition. New York: McGraw-Hill. P. 1671-1682.

Schwinghammer, T. L. 2009. Section 1: Bone and Joint Disorder. In: Wells, B. G., DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L. and DiPiro, C. V. editors. Pharmacotherapy Handbook, Seventh Edition. New York: McGraw-Hill. P. 31-32; 34.

Setter, S. M. and Baker, D. E. 2002. Antirheumatic Drugs. In: Anderson, P. O., Knoben, J. E. and Troutman, W. G. editors. Handbook of Clinical Drug Data, Tenth Edition. New York, McGraw-Hill. P. 15; 634.

Spearing, N. 2004. Evidence to Support the National Action Plan for Osteoarthritis, Rheumatoid Arthritis and Osteoporosis; Opportunities to Improve Health-Related Quality of Life and Reduce the Burden of Disease and Disability. Canberra: Australian Government Department of Health and Ageing. P. 37.

Wells, B.G., J. DiPiro, T. Schwinghammer, and C. Hamilton. 2006. Pharmacotherapy Handbook 6th ed. New York: McGraw-Hill.

Woolf, A. D. and Pfleger, B. 2003. Burden of Major Musculoskeletal Conditions. Bulletin of the World Health Organization, Vol. 81 (9): 646-656.

Page 16: RA-kasus-98%

LAMPIRAN

Obat-obat yang digunakan pada kasus RA pasien Ny. RA:

1. Diklofenak

Dosis : Untuk topikal dua kali sehari selama 60-90 hari.

Efek samping : Bila digunakan topikal dapat menyebabkan pruritus, ruam, dermatitis,

kulit kering dan mengelupas.

Interaksi obat : Meningkatkan efek/toksisitas: digoksin, siklosporin, litium, insulin,

sulfonylurea, warfarin, aspirin. Menurunkan efek: aspirin, tiazid,

furosemid.

Kontraindikasi : hipersensitivitas terhadap diklofenak (Lacy et al., 2006).

2. Prednison

Dosis : Untuk RA 5-7,5 mg/hari (Setter and Baker, 2002)

Efek samping : Dispepsia, stimulasi nafsu makan, insomnia, kecemasan, retensi

cairan (umum). Sindrom Chushing, insufisiensi adrenokortikal,

osteoporosis, kehilangan kalium, glaukoma, katarak, hiperglikemia,

ulkus peptikum, psikosis, dan insomnia (berat) bakteri (Ehrenpreis

and Ehrenpreis, 2001).

Interaksi obat : Menurunkan efek antikolinesterase, isoniazid, salisilat, insulin,

barbiturat, fenitoin, rifampin (Semla et al., 2002).

Kontraindikasi : Infeksi jamur sistemik, virus atau bakteri (Ehrenpreis and Ehrenpreis,

2001)

3. Metotreksat

Dosis : Untuk RA 5 – 10 mg/minggu. Maksimal 15-25 mg/minggu per oral

(BNF, 2007). Dosis subkutan dan intramuskular 7,5-25 mg/minggu

Efek samping : Umumnya terjadi diare, mual, muntah dan ulcer mulut . Metotreksat

juga dapat menyebabkan myelosupresi, toksisitas paru,

hepatotoksisitas, leukopenia, trombositopenia dan anemia (BNF,

2007; Setter and Baker, 2002).

Interaksi obat : Konsentrasi metotreksat ditingkatkan dengan pemberian probenecid,

omeprazol, penisilin, aspirin dan NSAID lainnya. Kombinasi

metotreksat dengan obat-obat yang menghambat sintesis asam folat

seperti trimetoprim-sulfametoksasol atau triamteren harus dihindari.

Page 17: RA-kasus-98%

Alkohol dapat meningkatkan hepatotoksisitas metotreksat. Antibiotik

spektrum luas dapat menurunkan level serum metotreksat (Setter and

Baker, 2002).

Kontraindikasi : Kehamilan, menyusui, gangguan hati atau ginjal berat, depresi

sumsum tulang belakang pada pasien psoriasis dan AIDS (Ehrenpreis

and Ehrenpreis, 2001).

4. Asam Folat

Dosis : 5 mg/minggu, biasanya paling tidak 24 jam setelah pemberian

metotreksat (IONI, 2008).

Efek samping : Alergi, bronkospasma, malaise, pruritus dan ruam (Lacy et al., 2006).

Interaksi obat : Asam folat menurunkan kadar plasma fenobarbital, fenitoin dan

pirimidon (BNF, 2007; IONI, 2008).

Kontraindikasi : Anemia pernisiosa dan anemia aplastik (Lacy et al., 2006).