PUTUSAN HAKIM DALAM PEMENUHAN NAFKAH PERCERAIAN...
Transcript of PUTUSAN HAKIM DALAM PEMENUHAN NAFKAH PERCERAIAN...
i
PUTUSAN HAKIM DALAM PEMENUHAN NAFKAH
PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga
Perspektif Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S. H)
Oleh
M SAMSUL ARIFIN
NIM 21113025
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2019
ii
iii
PUTUSAN HAKIM DALAM PEMENUHAN NAFKAH
PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga
Perspektif Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S. H)
Oleh
M SAMSUL ARIFIN
NIM 21113025
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2019
iv
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan
dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : M Samsul Arifin
NIM : 21113025
Judul : Putusan Hakim Dalam Pemenuhan Nafkah Perceraian
Pegawai Negeri Sipil (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga
Perspektif Peraturan Pemerintah Nomer 45 Tahun 1990)
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqasah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 25 Maret 2019
Pembimbing,
Ahmadi Hasanuddin Dardiri, M.H.
NIDT. 19890817 201608 1001
v
PENGESAHAN KELULUSAN
SKRIPSI
PUTUSAN HAKIM DALAM PEMENUHAN NAFKAH
PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga
Perspektif Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990)
Oleh
M SAMSUL ARIFIN
NIM: 211 13 025
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Fakultas Syari‟ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Jumat tanggal 29 Maret
2019 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Syari‟ah.
Susunan panitia Penguji
Ketuapenguji : Drs. Badwan, M.Ag.
SekretarisPenguji : Ahmadi Hasanuddin Dardiri, M.H.
Penguji I : Luthfiana Zahrian i, S.H.,M.H.
Penguji II : Farkhani,S.H.,S.HI,M.H.
Salatiga, 29 Maret 2019
Dekan Fakultas Syari‟ah
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
NIP.19670115 199803 2002
vi
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : M Samsul Arifin
NIM : 21113025
Jurusan : Hukum Keluarga Islam
Fakultas : Syari‟ah
Menyatakan bahwa sekripsi yang berjudul :
PUTUSAN HAKIM DALAM PEMENUHAN NAFKAH
PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga
Perspektif Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990)
menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan
jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat
dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 25 Maret 2019
Yang menyatakan,
M Samsul Arifin
NIM: 21113025
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Tabassam”
PERSEMBAHAN
Umikku tercinta
Almarhum Abah dan Keluraga,
Para Kiaku, dosenku, guruku,
Sahabat-sahabat seperjuanganku.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum. Wr. Wb
Rasa syukur Alhamdulillah yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan
kepada Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat-Nya penelitian ini dapat
selesai sesuai dengan yang diharapkan.
Sholawat serta penulis tetap curahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa umat muslim dari zaman kebodohan ke zaman yang tahu
akan ilmu dan pengalaman, serta selalu mendapat syafaat di dunia maupun
diakhirat nantinya.
Skripsi ini disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Program Studi
(S1) Hukum Keluarga Islam yang berjudul “PUTUSAN HAKIM DALAM
PEMENUHAN NAFKAH PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi
Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Perspektif Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990)”. Penulis menyadari sekali bahwa dalam menyelesaikan laporan
ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dr. Siti Zumratun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Saltiga.
3. Sukron Ma‟mun, M. H selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga
Islam Fakultas Syariah IAIN Salatiga.
4. Ahmadi Hasanuddin Dardiri, M.H. selaku pembimbing yang tak lelah
memberi arahan, saran, dan masukan sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan.
5. Bapak ibu Dosen Fakultas Syariah yang telah memberikan ilmunya selama
menempuh pendidikan S1 Hukum Keluarga Islam.
6. Alm. H. Matenur dan Hj. Rosidah Nurhalima sebagai orang tuaku yang
bersusah payah dalam membiayai semuanya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Studi di IAIN Salatiga penuh berkah.
ix
7. Teman-teman S1 Hukum Keluarga Islam Angkatan 2013 yang selalu
berjuang bersama (GGS).
8. Teman-teman IAIN Salatiga yang tak bisa saya sebutkan satu persatu yang
sudah mengajak banyak hal yang bermanfaat.
9. Dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namu
memberikan kontribusi banyak dalam menyusun skripsi ini.
Semoga Allah membalas semua amal kebaikan kalian dengan balasan yang
lebih dari yang kalian berikan kepada penulis, agar pula mendapat magfiroh, dan
diberi rahmat dan lindung-Nya.
Penulis sangat menyadari bahwa didalam penyusunan skripsi ini masih jauh
dari kata sempurna, maka dari itu semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis sendiri dan bagi pembaca pada umumnya.
Salatiga, 25 Maret 2019
Penulis
M Samsul Arifin
NIM: 21113025
x
ABSTRAK
Arifin, Muhammad Samsul.2019. Putusan Hakim Dalam Pemenuhan Nafkah
Perceraian Pegawai Negeri Sipil (Studi Kasus di Pengadilan Agama
Salatiga Perspektif Peraturan Pemerintah Nomer 45 Tahun 1990)
Pembimbing Ahmadi Hasanuddin Dardiri, M.H.
Kata kunci : Perceraian PNS, Pertimbangan Hakim
Suami sebagai kepala keluarga dalam rumah tangga bertanggung jawab
untuk memenuhi semua kebutuhan baik pakaian, nafkah, tempat tinggal serta
biaya bagi anak-anaknya guna tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah
warrahmah, begitupun seorang pegawai negeri sipil. Paradigma masyarakat yang
memandang pekerjaan PNS merupakan pekerjaan yang dimulyakan yang dijamin
oleh negara maka setiap warga dalam segi kehidupannya terikat dengan peraturan
yang berujung kepada ketertiban. Perceraian PNS berbeda derngan perceraian
pada umumnya karena pada perceraian ini terdapat aturan adminisratif tentang
pembagian gaji pasca perceraian PNS. Perceraian sendiri yang memutuskan
adalah hakim yang berwenang memeriksa perkara dan mempertimbangkan
tentang nafkah perceraian. Bermula dari pasal 39-41 Undang Undang Perkawinan
Nomer 1 Tahun 1974 tentang nafkah, maka peniliti mengadakan penelitian ini
dengan tujuan untuk mengatahui dan memahami dasar pertimbangan serta
putusan Majelis Hakim terhadap penentuan nafkah pada percerian Pegawai
Negeri Sipil yang terikat dengan beberapa aturan tertentu.
Peneliti ingin mengetahui tentang pertimbangan hakim dalam putusan
perceraian PNS, apakah menggunakan Peraturan Pemerintah Nomer 45 tahun
1990 atau menggunakan pertimbangan yang lain. Dalam penelitian ini, jenis
penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian kualitatif dan
pendekatannya menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Dengan metode ini,
dilakukan wawancara kepada informan sesuai data yang dibutuhkan. Peneliti juga
menggunakan data dan dokumentasi yang ada. Setelah data terkumpul kemudian
data tersebut dianalisis seperlunya agar diperoleh data yang matang dan akurat.
Dalam penganalisisan data tersebut penulis menggunakan analisa kualitatif yaitu:
analisis untuk meneliti kasus setelah terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk
uraian.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa hakim mengesampingkan
Peraturan Pemerintah Nomer 45 tahun 1990 yang mengatur tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi PNS dengan Alasan PP tersebut merupakan
produk dari pejabat Tata Usaha Negara dan tidak termasuk dalam Hukum Acara
Peradilan Agama. Hakim tetap menggunakan dasar pertimbangan Nafkah pada
Undang Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tanpa memandang
status Pegawai Negeri Sipil ataupun bukan dengan asas keadilan untuk suami dan
istri. Padahal ada peraturan yang mengikat PNS bahwa dalam perceraian ada
pembagian gaji. Pembagian gaji bertumpu pada kenususan seorang istri dan yang
berhak memberikan pertimbangan tentang nusus atau tidaknya seorang istri
adalah hakim yang memeriksa perkara. Maka perlu adanya hubungan antara
putusan hakim dengan aturan perundang-undangan tentang perceraian PNS.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................................ i
HALAMAN LOGO ..................................................................................................... ii
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... iii
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................................... vi
MOTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ................................................................................................. viii
ABSTRAK ................................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 8
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 8
E. Penegasan Istilah ............................................................................. 9
F. Telaah Pustaka ................................................................................. 10
G. Metode Penelitian ............................................................................ 13
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan ................................................ 13
2. Kehadiran Peneliti dan Tempat Penelitian ................................ 14
3. Tehnik Pengumpulan Data ........................................................ 15
4. Analisis Data ............................................................................. 16
5. Pengecekan Keabsahan Data ..................................................... 16
6. Tahab-tahab Penelitian .............................................................. 17
H. Sistematika Penulisan ...................................................................... 19
xii
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kekuasaan Kehakiman .................................................................... 21
1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman ............................................ 21
2. Hakim dan Kewajibannya ......................................................... 22
3. Penyelenggaraan dan Prinsip-prinsip Pokok Kekuasaan
Kehakiman ................................................................................ 23
4. Kemandirian Hakim ................................................................. 27
B. Perceraian ....................................................................................... 28
1. Pengertian Perceraian ................................................................ 28
2. Bentuk-bentuk Perceraian ........................................................ 30
3. Proses Hukum cerai Talak ........................................................ 37
4. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Bekas Istri ...................... 39
5. Akibat hukum Perceraian Terhadap Anak ................................ 41
C. Peraturan Perundang-Undangan ...................................................... 45
1. Pengertian dan Urutan Peraturan Perundang-Undangan ........... 45
2. Undang-Undang dan Sistem Hukum ......................................... 46
D. Perceraian Pegawai Negeri Sipil ..................................................... 47
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Putusan Hakim Pengadilan Agama Salatiga .................................... 55
1. Putusan Nomor 1091/Pdt.G/2017/PA.Sal ................................. 55
2. Putusan Nomor 0537/Pdt.G/2017/PA.Sal ................................. 58
B. Putusan Hakim Dalam Wawancara ................................................. 62
BAB IV ANALISIS
A. Analisis Putusan Majlis Hakim Dalam Penentuan Nafkah
Pasca Perceraian Bagi Istri Dan Anak Pegawai Negeri Sipil ......... 67
B. Analisis Putusan Majlis Hakim Dalam Penentuan Nafkah Pasca
Perceraian Bagi Istri Dan Anak Pegawai Negeri Sipil Perspektif
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 ................................. 71
xiii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 76
B. Saran ................................................................................................ 77
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 79
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP PENULIS
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan dengan
tujuan adanya ketenangan, kesenangan, kedamaian dan kebahagiaan. Hal
ini menjadikan semua laki-laki dan perempuan menginginkan pasangan
hidup yang dapat membentuk suatu keluarga. Dasar dari keluarga
mempengaruhi kualitas pada unit yang lebih besar, ketika dasar tersebut
kokoh maka unit selanjutnya pun akan menjadi kuat. Pengaruh yang akan
dirasakan secara nyata adalah dalam keberhasilan pembentukan sumber
daya manusia. Perkawinan merupakan sunnah rosul, islam mensyariatkan
dijalinnya pertemuan antara lelaki dan perempuan, selanjutnya
mengarahkan pertemuan tersebut sehingga terlaksananya suatu
perkawinan.
Perkawinan adalah pencampuran, penyelarasan, atau ikatan. Ikatan
tersebut terjadi diantara seorang lelaki dan wanita, dengan adanya kerelaan
menyelaraskan dan berdampingan bersama pasangannya. Sementara nikah
secara etimologis digunakan untuk mengungkapkan makna dari
persetubuhan, akad, dan pelukan (Mathlub, 2005:2). Sedangkan menurut
hukum islam, pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Allah ta‟alla berfirman dalam surat Ar-ruum (30): 21 :
2
فسكى أزواجا نتسكىا إنيها وجعم بيك أ خهق نكى ي آياته أ ت وي ى يىدة ورح
نك لياث نقىو يتفكرو في ذ إ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Kementrian Agama
Republik Indonesia, 2012:324).
Begitu juga rasulullah telah berkata :
أس وع ه ع الله ي ض ر يانك ب د ,ى ه س و ه ي ه ع الله ىه ص انبي أ عهيه وأثى الله ح
ج , وأفطر وأصىو , وأاو صهيأ أا نكي: وقال , , انساء وأتسو رغب ف ستي ع
)عهيه يتفق ( يي فهيس
Dari Anas Ibnu Malik bahwa Nabi Shallallaahu „alaihiwa
Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya
bersabda: “Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan
mengawini perempuan. Barang siapa membenci sunnahku,
ia tidak termasuk ummatku (HR. Ahmad, Bukhori dan
Muslim nomor 994).
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan
merupakan suatu perjanjian yang mengikat lahir batin dengan
dasariman.Dari segi ibadah, perkawinan merupakan suatu kejadian yang
3
penting dan sakral dalam kehidupan manusia yang mengandung nilai
ibadah. Salah satu hal yang diinginkan dengan adanya pernikahan adalah
hidup bersama.
Kerjasama yang baik antara suami dan istri dalam hal menjalankan
hak dan kewajiban masing-masing pihak sangat diperlukan dalam
mewujudkan tujuan dari suatu perkawinan. Hak adalah sesuatu yang
seharusnya diterima seseorang setelah ia memenuhi kewajibannya,
sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang seharusnya dilaksanakan oleh
seseorang untuk mendapat hak. Suami istri wajib saling setia dan
mencintai, hormat menghormati, dan saling memberi bantuan secara lahir
dan batin. Suami wajib melindungi dan memenuhi keperluan hidup rumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
Pernikahan bukan saja untuk menyalurkan kebutuhan biologis,
namun tujuannya juga dapat menyambung keturunan yang baik dalam
naungan rumah tangga yang penuh dengan kedamaian, cinta dan kasih
sayang. Ini sesuai dengan bunyi pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yakni: “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah mawaddah warahmah” (Departemen Agama RI, 2000: 14).
Melindungi keselarasan pasangan suami istri tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan, namun memerlukan pengorbanan. Prinsip
perkawinan sendiri adalah untuk membentuk suatu keluarga yang tentram,
damai dan langgeng, namun dalam perjalanannya kehidupan tidak selalu
4
sesuai dengan keinginan manusia. Perceraian dapat terjadi oleh berbagai
faktor dalam suatu perkawinan.
Perceraian merupakan realitas yang tidak dapat dihindari apabila
kedua belah pihak telah mencoba untuk mencari penyelesaiannya, apabila
belum terdapat kesepakatan dan merasa tidak bisa melanjutkan keutuhan
keluarga maka kedua belah pihak bisa membawa permasalahan ke
pengadilan untuk dicari jalan keluar yang terbaik.
Sesuai dengan ketentuan pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. Tuntutan perceraian hanya dapat diajukan oleh pihak
yang tidak bersalah dengan alasan tersebut. Maksud pembentuk undang
undang ialah agar perceraian itu hanya dimungkinkan jika fakta pertikaian
rumah tangga benar benar terjadi ( Tutik, 2010:135).
Secara umum alasan perceraian dalam masyarakat adalah tidak ada
lagi kecocokan di antara suami dan istri. Selain itu, untuk melakukan
perceraian, harus ada cukup alasan pendorong bagi keduanya untuk tidak
bisa lagi hidup rukun dalam keharmonisan. Konflik yang terus menerus
dalam rumah tangga dan tidak ditemukan kata perdamain, sehingga
percerain sebagai jalan untuk mengakhiri konflik. Perceraian bisa terjadi
kepada siapa saja baik tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat negara,
rakyat sipil, artis, budayawan maupun kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS)
5
yang notabennya terikat dengan sejumlah peraturan yang mengikat secara
hukum.
Pegawai Negeri Sipil, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
“Pegawai” berarti orang yang bekerja kepada Pemerintah (perusahaan dan
sebagainya) sedangkan “Negeri” berarti negara atau pemerintah, jadi
Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang bekerja untuk negara atau untuk
kepemerintahan. Pegawai Negeri Sipil sebagai manusia biasa juga
memiliki naluri psikis dan biologis yang sama pada manusia umumnya,
hanya saja status sosial yang membedakan dengan yang lainnya. Sangat
manusiawi jika Pegawai Negeri Sipil apabila memiliki keinginan untuk
melakukan perkawinan dan perceraian. Perceraian untuk para Pegawai
Negeri Sipil maupun instansi yang terkait dan terikat dengan suatu aturan
tertentu, pasti bebeda dengan kasus perceraian pada umumnya.
Pada dasarnya, perundang undangan di Indonesia bidang keluarga,
utamanya bersifat umum, yang dimaksudkan untuk seluruh Warga Negara
Indonesia. Namun pada kenyataannya, terdapat Undang Undang khusus
seperti Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 tentang Izin
Perkawinan dan Percerain bagi Pegawai Negeri Sipil. Adanya
pengkhususan ini, dikarenakan Pegawai Negeri Sipil dan pejabat
merupakan unsur aparatur negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi
teladan yang baik bagi masyarakat dalam bertingkah laku, bertindak dan
taat pada peraturan yang berlaku, termasuk dalam menyelenggarakan
kehidupan berkeluarga ( Usman, 2006:416 )
6
Atas dasar pokok pikiran yang disebutkan sebelumnya, dalam
rangka usaha penigkatan disiplin Peagawai Negeri Sipil, terutama
Perkawinan dan Perceraian, maka dipandang sangat perlu untuk
menetapkan aturan aturan pemerintah terkait tentang perkawinan dan
percerain Pegawai Negeri Sipil yaitu sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 perubahan atas Undang Undang
sebelumnya, Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 yang mengatur
mengenai izin izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Terkait dengan perceraian Peagawai Negeri Sipil, yang
membedakan mereka dengan masyarakat biasa yang dapat dengan
langsung dan mudah untuk mendaftarkan percerain ke Pengadilan Agama
setempat, maka untuk Pegawai Negeri Sipil untuk melakukan permohonan
perceraian haruslah mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang dengan
memberikan alasan alasan yang logis untuk melakukan percerain,
dikarenakan adanya peraturan yang ditegaskan dan harus dipatuhi.
Dampak perceraian bagi Peagawai Negeri Sipil, bukan hanya
mengakhiri konflik antara mantan suami dengan mantan istri. Perceraian
merupakan suatu perbuatan hukum yang tentunya akan membawa akibat-
akibat hukum tertentu, perceraian hanya dapat dilakukan atas dasar
putusan hakim di depan sidang Pengadilan Agama (Pasal 115 KHI), dan
untuk perceraian Pegawai Negeri Sipil, Hakim pasti akan menambahkan
keputusan keputusan yang terkait dengan aturan aturan terikat, terutama
pada nafkah sesudah pernikahan.
7
Perceraian yang terjadi karena adanya talak dari suami terhadap
istrinya, maka sesuai dengan ketentuan pasal 41 (c) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami
untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu
kewajiban kepada mantan istrinya, maka dalam hal ini untuk Pegawai
Negeri Sipil yang hendak melakukan percerain berlaku dan masih
ditambahkan aturan pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990
pasal 8 tentang pembagian gaji akibat Perceraian Pegawawai Negeri Sipil.
Dalam hal ini, walaupun tidak adanya suatu tuntutan dari istri,
majelis hakim dapat menghukum mantan suami membayar kepada mantan
istri untuk memenuhi nafkah. Namun kenyataannya setelah istri dicerai,
pemenuhan nafkah tersebut ada yang belum terpenuhi sesuai dengan
keputusan majelis hakim.
Berdasarkan uraian diatas, fenomena pemenuhan nafkah setelah
adanya putusan Majlis Hakim sangat menarik untuk diteliti. Hal tersebut
menimbukan tentang putusan Hakim yang sesuai dengan peraturan yang
berlaku, maka penulis membuat skripsi dengan judul
“PUTUSAN HAKIM DALAM PEMENUHAN NAFKAH
PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi Kasus
di Pengadilan Agama Salatiga Perspektif Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990)
8
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam menentukan putusan
atas penentuan nafkah pasca perceraian bagi istri dan anak Pegawai
Negeri Sipil ?
2. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam pemenuhan nafkah oleh
suami terhadap mantan istri dan anak pasca perceraian Pegawai
Negeri Sipil Perspektif Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim dalam menentukan
putusan atas penentuan nafkah pasca peceraian bagi istri dan anak
Pegawai Negeri Sipil.
2. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam pemenuhan nafkah
oleh suami terhadap mantan istri dan anak pasca perceraian Pegawai
Negeri Sipil Perspektif Peraturan Pemerintah Nomer 45 Tahun 1990.
D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat lebih memperdalam dan
menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya di Fakultas
Syari‟ah Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah atau Hukum Keluarga
Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Instansi
9
Membantu memberikan masukan bagi para pihak yang
berkompeten terhadap masalah-masalah keluarga, juga menjadi
tolak ukur atas keberhasilan selama ini dalam mendidik dan
membekali ilmu bagi peneliti sebelum masuk ke dalam
kehidupan bermasyarakat.
b. Bagi Masyarakat
Memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang
perceraian Pegawai Negeri Sipil dan pelaksanakan putusan
pengadilan mengenai nafkah sesudah perceraian untuk Pegawai
Negeri Sipil.
c. Bagi Peneliti
Digunakan sebagai bahan awal bagi penelitian selanjutnya
yang memiliki pokok permasalahan yang sama.
E. Penegasan Istilah
Agar didalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda
dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah didalam
judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah:
1. Putusan pengadilan
Putusan menurut Mukti Arto (1998 : 245) adalah pernyataan
hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh
hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Jadi putusan adalah
kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi
10
wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu
sengketa/perkara, yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan yang terbuka untuk
umum.
2. Perceraian
Perceraian menurut Subekti (1985 : 42) adalah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak
dalam perkawinan itu. Jadi, pengertian perceraian menurut Subekti
adalah penghapusan perkawinan, baik dengan putusan hakim atau
tuntutan suami atau istri.
3. Nafkah
Nafkah adalah tanggung jawab utama seorang suami dan hak
utama istrinya. Apabila diberikan kepada istri dengan lapang dada,
tanpa unsur kikir, merupakan kontribusi utama yang dapat
mendatangkan keseimbangan dan kebahagiaan rumah tangga (Hamid,
2006:71).
4. Pegawai Negeri Sipil
Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang bekerja pada
pemerintahan atau negara.
F. Telaah Pustaka
Setelah melaksanakan penelusuran literatur yang membahas
mengenai eksekusi putusan majelis hakim atas nafkah mantan istri dan
anak, peneliti telah menemukan beberapa reverensi khususnya dari skripsi
11
dan buku. Diantaranya yang dapat dijadikan sumber telaah pustaka adalah
sebagai berikut:
Pertama adalah Skripsi Alfan Khaerul Umam yang berjudul
perceraian pegawai negeri (studi kasus perceraian pns daerah kabupaten
ciamis tahun 2014)” tahun 2014 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogjakarta. Dalam skripsi ini memiliki dua rumusan masalah yaitu Apa
alasan pengajuan izin percerain Pegawai Negeri Sipil daerah Kabupaten
Ciamis tahun 2014 dan Bagaimana Prosedur perizinan percerain Pegawai
Negeri Sipil daerah Kabupaten Ciamis tahun 2014. Penulis menjelaskan
bahwa penyebab perceraian PNS daerah Kabupaten Ciamis pada tahun
2014 adalah perselisihan, adanya pihak ketiga dalam rumah tangga,
ekonomi, tidak adanya keturunan, dan meninggalkan rumah. Faktanya
kabupaten Ciamis tetap memberikan izin perceraian kepada PNS dalam
tiga sebab yaitu pihak ketiga dalam rumah tangga, ekonomi dan tidak
adanya keturunan. Dikarenakan ketiga penyebab tersebut berujung dan
dibarengi dengan pertengkaran dan perselisihan.
Kedua, skripsi dari Erna Setiyowati yang berjudul “Fenomena
Meningkatnya Perkara Perceraian di Kalangan Pegawai Negeri Sipil (studi
kasus di pengadilan agama ngawi) tahun 2011 Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang. Dalam skripsi ini memiliki dua rumusan
masalah yaitu, mengapa perkara perceraian di kalangan pegawai negeri
sipil di pengadilan ngawi mulai tahun 2008 sampai tahun 2011 semakin
mengalami peningkatan, kedua bagaimana pandangan hakim pengadilan
12
agama ngawi terhadap fenomena meningkatnya perkara perceraian di
kalangan pegawai negeri sipil mulai tahun 2008 sampai tahun 2011.
Penulis menjelaskan bahwa perkara perceraian pegawai negeri sipil
disebabkan dengan beberapa faktor diantaranya tidak adanya
keharmonisan, rumah tangga telah pecah, tidak adanya tanggung jawab
antara kedua belah pihak baik istri maupun suami.
Kemudian yang ketiga adalah skripsi Muhamad Latif yang
berjudul “Pemberian Nafkah Anak Oleh Ayah Kandung Setelah
Perceraian (Studi Kasus Keluarga Broken Home Pada siswa di MAN
Salatiga)”.Dalam skripsi ini memiliki dua rumusan masalah yaitu
bagaimanakah pemberian nafkah oleh orang tua laki-laki (ayah) kepada
anak setelah terjadinya perceraian pada siswa-siswa broken home di MAN
Salatiga dan upaya apa yang harus ditempuh oleh ibu agar (ayah)
melaksanakan kewajibannya dalam memberi nafkah kepada anaknya
setelah terjadinya perceraian pada siswa-siswa broken home di MAN
Salatiga. Penulis menjelaskan bahwa pemberian nafkah anak oleh ayah
kandung setelah perceraian yang terjadi di MAN Salatiga sangat
bervariasi, yaitu dilakukan secara sukarela, secara berbelitbelit, dan tidak
pernah dilakukan. Penulis juga menjelasakan upaya ibu untuk
mengingatkan mantan suami memberikan nafkah anak setelah perceraian
yang terjadi di MAN Salatiga sangat bervariasi dalam tindakannya, yaitu
tindakan ibu untuk mengingatkan mantan suami tidak perlu dilakukan,
tindakan ibu untuk mengingatkan mantan suami dengan memintanya
13
secara langsung dan tindakab ibu untuk mengingatkan mantan suami tidak
pernah dilakukan.
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan peneliti dengan
penelitian terdahulu terletak pada fokus masalah yang akan diteliti.
Dimana penelitian akan dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga dan
kepada keluarga Pegawai Negeri Sipil yang menjadi subyek daripada
putusan. Kajiian utama pada penelitian terdahulu fokus pada perizinan
perceraian Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan penelitian peneliti berfokus
pada pertimbangan hakim dalam penentuan pemenuhan nafkah pasca
perceraian kepada mantan istri Pegawai Negeri Sipil ataupun anak,
mengapa terjadi perceraian, cara pemenuhan nafkah dan pembagian gaji,
pelaksanaan nafkah dalam islam, dan implikasi terhadap keseharian istri
ataupun anak dalam keluarga yang memperoleh putusan dari Pengadilan
Agama Salatiga.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Untuk membantu dan memudahkan peneliti dalam melakukan
penelitian, peneliti akan menggunakan jenis penelitian secara
kualitatif dan menggunakan beberapa pendekatan sebagai acuan
dalam penulisanini. Secara jelasnya penulis paparkan sebagai berikut:
14
a. Penelitian Kualitatif
Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis,
yang tidak menggunakan prosedur analisis statistic atau cara
kuantifikasi lainnya (Moleong, 2002: 6). Dari pengertian tersebut,
sudah tentu sesuai dengan judul penelitian yang telah ada ini,
peneliti akan berada pada latar yang alamiah sehingga metode
yang akan digunakan adalah dengan melakukan observasi, catatan
lapangan dan wawancara dengan hakim dan pihak istri serta
keluarga yang mendapatkan putusan dari Pengadilan Agama
Salatiga.
b. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan
yuridis sosiologis. Dengan pendekatan ini diharapkan penulis bisa
mengetahui bagaimana pemenuhan nafkah pasca perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil yang mendapatkan putusan dari pengadilan.
Hal ini dilakukan dengan tinjauan pada pihak istri dan keluarga
yang mendapatkan putusan dari Pengadilan Agama Salatiga.
2. Kehadiran Peneliti dan Tempat Penelitian
Peneliti dalam melaksanakan observasi telah melaksanakan
wawancara pra penelitian di Pengadilan Agama Salatiga, sehingga
sudah tentu peneliti berada pada lapangan bersama nara sumber yang
ada. Penelitian dilaksanakan di Pengadilan Agama Salatiga. Alasan
15
peneliti memilih lokasi tersebut dikarenakan peneliti pernah ada
dalam praktikum kerja lapangan dan kasus perceraian Pegawai Negeri
Sipil yang menarik.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
penting dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah
untuk mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan
diperoleh dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data,
yaitu:
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu
pewawancara (Interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (Interview) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu (Moleong, 2002: 186). Peneliti akan melakukan
wawancara dengan hakim dan putusan hakim dari Pengadilan
Agama Salatiga.
b. Dokumen
Dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film
(Moeloeng, 2002 : 161). Sumber tertulis dapat terbagi atas
sumber buku dan majalah ilmiah, sumber arsip, dokumen pribadi
dan dokumen resmi (Moeloeng, 2002 : 113). Dalam hal ini
16
penulis mengambil dokumentasi berupa data tentang putusan
cerai gugat oleh Majelis Hakim di Pengadilan Agama Salatiga.
4. Analisis Data
Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis
seperlumya agar diperoleh data yang matang dan akurat. Dalam
penganalisisan data tersebut penulis menggunakan analisa kualitatif
yaitu: analisis untuk meneliti kasus setelah terkumpul kemudian
disajikan dalam bentuk uraian (Moeloeng, 2011 : 288).
Aktivitas dalam analisis ini meliputi tiga tahap yaitu tahap
reduksi data (data reduction), tahap penyajian data (data display) serta
tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion/ verification).
5. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam rangka informasi yang faktual dan terperinci maka
penulis menggunakan beberapa teknik pengecekan data yang
diuraikan sebagai berikut:
a. Triangulasi
Triangulasi adalah sebuah teknik pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Artinya melalui
teknik ini data pokok yang ada akan dibandingkan dengan data
pendukung lainnya, baik berdasarkan sumber, metode, dan teori.
Dalam hal ini peneliti membandingkan antara data-data yang
didapatkan peneliti melalui wawancara dengan dokumentasi serta
hasil observasi lapangan. Selain itu penulis juga membandingkan
17
antara metode yang dilaksanakan dengan apa yang menjadi
dasarnya.
b. Uraian Rinci
Dalam teknik ini penulis telah melaporkan hasil
penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan
secermat mungkin.
c. Auditing
Auditing adalah proses pemeriksaan kebergantungan dan
kepastian data dalam penelitian. Segala bentuk informasi yang
didapatkan peneliti, baik berbentuk catatan ataupun data lainnya
dimanfaatkan dalam proses auditing.
6. Tahap-Tahap Penelitian
Pada tahapan ini penulis membagi dalam tiga tahap, yaitu:
a. Tahap Pra Lapangan
Dalam tahap pertama ini ada lima hal yang telah
dilengkapi oleh peneliti yaitu:
1. Menyusun rancangan penelitian
2. Mengurus perizinan
3. Menjajaki dan menilai lapangan
4. Memilih dan memanfaatkan informan
5. Menyiapkan perlengkapan penelitian
18
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan, dibagi atas tiga
bagian yaitu:
1. Memahami latar penelitian
2. Adaptasi peneliti dilapangan
3. Berperan serta mengumpulkan data
c. Analisis Data
Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis
seperlumya agar diperoleh data yang matang dan akurat. Dalam
penganalisisan data tersebut penulis menggunakan analisa
kualitatif yaitu: analisis untuk meneliti kasus setelah terkumpul
kemudian disajikan dalam bentuk uraian (Moeloeng, 2011 : 288).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis
data model Miles dan Huberman (1984) atau yang sering disebut
dengan analisis alur (Flow) dimana aktivitas dalam analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsug secara terus
menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran
kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehya lagi data atau
informasi baru.
Aktivitas dalam analisis ini meliputi tiga tahap yaitu tahap
reduksi data (data reduction), tahap penyajian data (data display)
serta tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion/
verification).
19
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian yang penulis susun mencakup berbagai
subtansi diantaranya adalah sebagai berikut:
Bab satu adalah pendahuluan. Dalam bab ini peneliti menguraikan
tentang: Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka, metode penelitian ,
dan sistematika penulisan penelitian.
Bab dua adalah kajian teori tentang kekuasaan Hakim , hakim dan
kewajibannya, penyelenggaraan dan prinsip-prinsip pokok kehakiman,
kemandirian Hakim, pembahasan mengenai perceraian, peraturan
perundang-undangan di Indonesia terkait dengan perceraian dan perceraian
Pegawai Negeri Sipil.
Bab tiga yang berisi tentang pertimbangan Hakim dalam
pemenuhan nafkah perceraian Pegawai Negeri Sipil di Salatiga, dua
putusan Pengadilan Salatiga perkara nomor 0537/Pdt.G/2017/PA.Sal., dan
1091/Pdt.G/2017/PA.Sal. putusan dalam penentuan nafkah terhadap
mantan istri dan anak Pegawai Negeri Sipil dan hasil wawancara dengan
hakim.
Bab empat adalah analisis dasar pertimbangan hukum Majelis
Hakim dalam menentukan nafkah bagi istri dan anak Pegawai Negeri Sipil
pada putusan dan analisis Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomer 45 tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
20
Pegawai Negeri Sipil terhadap putusan pemenuhan nafkah oleh suami
terhadap mantan istri dan anak Pegawai Negeri Sipil pada putusan di
Pengadilan Agama Salatiga.
Bab lima yang berisi kesimpulan dan saran. Dalam bagian akhir
termuat daftar pustaka, lampiran-lampiran dan riwayat hidup penulis.
21
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kekuasaan Kehakiman
1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Perngertian kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggarakannya
Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan Kehakiman yang
merdeka ini mengandung arti bahwa kekuasaan kehakiman yang
bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya dan
kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari
pihak esktra yudisial, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh
undang undang. ( Kansil, 2000:12 )
Kebebasan dalam melaksankan wewenang yudisial tidaklah
mutlak sifatnya, karena tugas hakim yaitu untuk menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan hukum
dan mencari dasar asas-asas yang dijadikan landasannya, melalui
perkara perkara yang dihadapkan kepadaanya, sehingga keputusannya
mencerminkan keadilan bangsa dan rakyat indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan
badan peradilan dan ditetapkan dengan Undang Undang, dengan tugas
22
pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Pada hakekatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan tugas badan badan penegak hukum dan keadilan tersebut,
baik atau buruknya tergantung kepada manusia manusia pelaksananya
(Hakim), maka dalam Undang Undang mengenai ketentuan ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman harus dicantumkan syarat syarat yang
senantiasa harus dipenuhi oleh seorang hakim, yaitu jujur, merdeka,
berani mengambil keputusan, dan bebas dari pengaruh apapun, baik
dari luar maupun dari dalam.
Semua peradilan diseluruh wilayah Republik Indonesia
adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan Undang Undang
Peradilan Negara. Menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila. Ketentuan ini mengandung arti, bahwa
disamping peradilan negara, tidak diperkenan lagi adanya peradilan
peradilan yang dilakukan oleh badan hukum peradilan negara.
Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau
melalui wasit (abritase) tetap diperbolehkan.
2. Hakim dan Kewajibanya
Hakim sebagai penegak hukum dan kadilan wajib
menggali,dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak
tertulis, serta berada dalam masa pergolakkan dan peralihan, hakim
23
merupakan rumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup
dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami
perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat,
dengan demikian hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim
wajib mempertimbangkan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat
dari tertuduh. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh
wajib diperhatikan hakim dalam mempetimbangkan pidana yang akan
dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan
untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan
pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari
lingkungannya, rukun tetangga, dokter ahli jiwa dan sebagainya.
(Kansil, 1986:18).
3. Penyelenggaraan dan Prinsip-prinsip Pokok Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada
badan-badan peradilan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Sejalan dengan
tugas pokok tersebut, maka pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih
24
bahwa huum tidak atau kurang jelas, hal ini berarti pengadilan wajib
untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara tersebut.
Ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomer 4 tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman dinyatakan bahwa penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan-badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Prinsip-prinsip pokok kekuasaan kehakiman tidak dapat
dilepaskan dari penelaahan yang diatur oleh undang-undang pokok
kekuasaan kehakiman yang termuat didalam Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970, untuk mengetahui prinsip-prinsip yang ada, maka
akan didapat suatu pemahaman atas hakekat dari kekuasaan
kehakiman yang dianut oleh hukum positif kita. Adapun garis besar
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman ( Undang-Undang
Nomer 4 Tahun 2004 ) yang dihubungkan dengan beberapa
perundang-undangan lain yang terkait adalah :
a. kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dengan terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia.
b. diserahkan kepada badan-badan peradilan (peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, peradilan tat usaha negara dan
Mahkamah Agung sebagai peradilan tetinggi) dengan tugas
25
pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
c. semua peradilan di Indonesia adalah peradilan negara yang
menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila.
d. peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa serta dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan.
e. pelarangan campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-
pihak lain diluar kekuasaan kehakiman.
f. peradilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan.
g. tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan dijatuhi
pidana kecuali apabila pengadilan terdapat alat pembuktiaan yang
sah mendapatkan keyakinan darisaksi atas perbuatan yang
dituduhkan.
h. tidak seorangpun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh
kekuasaan yang sah dalm hal-hal dan menurut cara-cara yang
diatur dengan undang-undang.
i. penegakan atas praduga tak bersalah sebelum adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap .
26
j. ganti kerugian dan rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang
atau hukum yang ditetapkan.
k. Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah pengadilan negara
tertinggi, putusan tingkat terakhir, pengawasan tertinggi dan
berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
l. Pengadilan tidak boleh untuk memeriksa dan mengadili sesuatu
perkara diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
m. Peradilan memeriksa dan memutus dengan sekurang-kuranagnya
tiga orang hakim, kecuali apabila undang-undang menentukan
lain.
n. Pengalilan memeriksa dan memutus perkara pidana dangan
hadirnya penuduh atau terdakwa, kecuali undang-undang
menentukan lain.
o. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum
kecuali undang-undang menentukan lain.
p. Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (
Bambang Sutioso, 2005:29 )
27
4. Kemandirian Hakim
Kemandirian hakim disini dibedakan tersendiri, karena hakim
secara fungsional merupakan tenaga inti penegakan hukum dalam
menyelenggarakan keadilan. Parameter mandiri atau tidaknya hakim
dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan hakim dan
ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen
kebebasan profesinya dalm menjalankan tugas dan wewenangnya dari
adanya campur tangan dari pihak lain dalam proses peradilan. Kalau
para hakim tepengaruh oleh campur tangan pihak-pihak lain dalam
menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya berarti hakim tersebut
kurang atau tidak mandiri, sebaliknya kalu hakim tidak terpengaruh
dan dapat tetap bersikap obyektif, meskipun banyak tekanan
psikologis dan intervensi dari pihak lain, mak hakim tersebut adalah
hakim yang memegang teguh kemandiriannya.
Tidak semua hakim itu dapat dipengaruhi oelh pihak-pihak
lain dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, meskipun terkadang
kita sering latah menganggap bahwa seolah-olah sama saja, tidak
mandiri dalam menjalankan peradilan sehingga putusannya sering
dianggap kurang memuhi perasaan keadilan. Karena ternyata dibalik
merosotnya citra baik lembaga peradilan, masih ada hakim yang tetap
mandiri dan selalu menjaga integritas moralnya dalam melaksakan
tugas dan wewenangnya.
28
Beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian kehakiman
dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Pada faktor internal yang mempengaruhi kemandirian
hakim disini adalah segala hal yang berkaitan dengan sumber daya
manusia ( SDM ) hakim itu sendiri, yaitu mulai dari rekrutmen atau
seleksi untuk diangkat menjadi hakim, pendidikan hakim dan
kesejahteraan hakim. Berbeda dengan faktor eksternal, disini faktor-
faktor yang mempengaruhi terhadap proses penyelenggaraan
peradilan yang datangnya dari luar diri hakim tertama berkaitan
dengan sistem peradilan dan sistem penegakkan hukumnya mulai dari
peraturan perundangan, intervensi tehadap proses pengadilan,
hubungan hakim dengan penegak hukum lain, tekanan, kesadaraan
hukum, sampai sistem pemerintahan (politik) di negara Republik
Indonesia.
B. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian menurut pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 adalah
“Putusnya perkawinan”. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan
adalah menurut pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 adalah “Ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi,
perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri
29
yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga)
antara suami dan istri tersebut.
Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa
perspektif hukum berikut.
a. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam
Pasal 38 dan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah
dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain
sebagai berikut;
1) Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian
yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif
suami kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan
berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian
itu dinyatakan (diikrarkan) di depan sidang Pengadilan
Agama (vide Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP No.9
Tahun 1975).
2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian
yang diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri
kepada Pengadiilan Agama, yang dianggap terjadi dan
berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya
putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (vide Pasal 20 sampai dengan Pasal 36).
b. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah
pula dipositifkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan dijabarkan
30
dalam PP No. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan
cerainya diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada
Pengadilan Negeri, yang dianggap terjadi beserta segala akibat
hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar
pencatatan oleh Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil (vide
Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975).
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan
hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Jadi,
pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan
perkawinan, baik dengan putusan hakim atau tuntutan suami atau
istri. Dengan adanya perceraian, maka perkawinan antara suami
dan istri menjadi hapus. Namun, Subekti tidak menyatakan
pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu
dengan kematian atau yang lazim disebut dengan istilah “cerai
mati”. Jadi, pengertian perceraian menurut Subekti lebih sempit
daripada pengertian perceraian menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun
1974 sebagaimana telah diuraikan di atas. ( Subekti, 1985:42)
2. Bentuk-bentuk perceraian
Bentuk-bentuk perceraian yang mengakibatkan putusnya
perkawinan yang diatur dalam hukum islam, yang dapat menjadi
alasan-alasan hukum perceraiannya dan bermuara pada cerai talak dan
cerai gugat yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No.
9 Tahun 1975, dapat dijelaskan sebagai berikut :
31
a. Talak
Secara harfiah, talak berarti lepas dan bebas.
Dihubungkannya kata talak dalam arti kata ini dengan putusnya
perkawinan, karena antara suami dan istri sudah lepas
hubungannya atau masing-masing sudah bebas. Dalam
mengemukakan arti talak secara terminologis, ulama
mengemukakan rumusan yang berbeda, namun esensinya sama,
yakni melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan
lafaz talak dan sejenisnya (Anshori, 2011 : 105-106).
b. Syiqaq
Menurut Muhammad Syaifuddin (2013 : 128) konflik
antara suami istri itu ada beberapa sebab dan macamnya. Sebelum
konflik membuat suami mengalami keputusan berpisah yang
berupa thalaq, maka konflik-konflik tersebut antara lain adalah
syiqaq.
c. Khulu‟
Bentuk perceraian atas persetujuan suami istri dengan
jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta
atau uang dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan khulu‟
itu (Soemiyati, 1982 : 110).
d. Fasakh
Secara etimologi, fasakh berarti membatalkan. Apabila
dihubungkan dengan perkawinan fasakh berarti membatalkan
32
perkawinan atau merusakkan perkawinan. Kemudian, secara
terminologis fasakh bermakna pembatalan ikatan pernikahan oleh
Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang
dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang
telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan (Anshori, 2011 :
141).
e. Fahisah
Fahisah menurut Alquran Surah An-Nisa‟ (4): 15 ialah
perempuan yang melakukan perbuatan keji atau perbuatan yang
memalukan keluarga, seperti perbuatan mesum, homo seksual,
lesbian dan sejenisnya.
f. Ta‟lik talak
Pada prinsipnya ta‟lik talak menurut penjelasan Sudarsono
(1994 : 135) adalah suatu penggantungan terjadinya jatuhnya
talak terhadap peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang
telah dibuat sebelumnya antara suami istri.
g. Ila‟
Ila‟ menurut bahasa berasal dari kata aala, yu‟lii, dan iilaa‟
(bersumpah). Sementara ila‟ menurut syara‟ adalah bersumpah
untuk tidak menggauli istri.
h. Zhihar
Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan
ila‟. Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa
33
istrinya itu baginya sama dengan punggung istrinya. Ibarat seperti
ini erat kaitannya dengan kebiasaan masyarakat Arab, apabila
masyarakat Arab marah, maka ibarat/penyamaan tadi sering
terucap. Apabila ini terjadi berarti suami tidak akan menggauli
istrinya (Sudarsono, 1994 : 141).
i. Li‟an
Perkawinan dapat putus karena li‟an. Li‟an diambil dari
kata la‟n (melaknat), karena pada sumpah kelima, suami
mengatakan bahwa ia menerima laknat Allah bila ia termasuk
orang-orang yang berdusta. Perkara ini disebut li‟an, ilti‟an
(melaknat diri sendiri) dan mula‟anah (saling melaknat)
(Muhammad Syaifuddin, 2013 : 158).
j. Murtad (Riddah)
Syaikh Hasan Ayyub (2002 : 227) menjelaskan bahwa
apabila salah seorang suami istri murtad sebelum terjadi
persetubuhan, maka nikah terkena fasakh menurut pendapat
mayoritas ulama.
Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam memuat ketentuan
klasifikasi bahwa perkawinan putus karena kematian, perceraian, dan
atas putusan pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan
karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan
34
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Macam-macam dan
cara pemutusan hubungan perkawinan karena perceraian yang diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam, adalah sebagai berikut.
a. Talak
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan (vide
Pasal 117). Macam-macam talak, yaitu sebagai berikut.
1) Talak raj‟I, adalah talak kesatu atau kedua, dalam talak ini
suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah (vide Pasal
118).
2) Talak ba‟in, adalah talak yang ketiga kalinya atau talak
sebelum istri dicampuri atau talak dengan tebusan istri kepada
suami.
3) Talak sunny, adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang
dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak
dicampuri dalam waktu suci tersebut (vide Pasal 121).
4) Talak bid‟I, adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang
dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri
dalam keadaan suci, tetapi sudah dicampuri pada waktu
tersebut (vide Pasal 122).
Perceraian karena talak terjadi terhitung pada saat
perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.
35
b. Khuluk
Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri
dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas
persetujuan suaminya (vide Pasal 1 huruf i). khuluk harus
berdasarkan atas alasan perceraian sesuai dengan ketentuan Pasal
116, yaitu :
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak yang lain;
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri;
6) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga;
36
7) Suami melanggar taklik talak;
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
c. Taklik talak
Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon
mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta
Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang (vide
Pasal 1 huruf e). Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan
hukum Islam. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik
talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak
jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus
mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. Perjanjian taklik
talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap
perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan,
tidak dapat dicabut kembali (vide Pasal 46).
d. Li‟an
Li‟an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri
untuk selama-lamanya (vide Pasal 125). Li‟an terjadi karena
suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak
dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan
istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut (vide Pasal
126). Menurut Pasal 127, tata cara li‟an adalah sebagai berikut.
37
1) Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan
atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima
dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan
dan atau pengingkaran tersebut didusta”.
2) Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan
sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima
dengan kata-kata “murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan
atau pengingkaran tersebut benar”.
Tatacara tersebut merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Apabila tatacara pertama tidak diikuti
dengan tatacara kedua, maka dianggap tidak terjadi li‟an.
Menurut Pasal 128, li‟an hanya sah apabila dilakukan di
hadapan sidang Pengadilan Agama. Selanjutnya menurut
Pasal 162, bilamana li‟an terjadi, maka perkawinan itu putus
untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan
kepada ibunya, sedang suami terbebas dari kewajiban
memberi nafkah.
3. Proses hukum cerai talak
Pengajuan permohonan cerai talak Seorang suami yang
beragama islam yang akan menceraikan istrinya, menurut Pasal 67
UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50
tahun 2009, mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama
38
untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Jadi,
dalam proses hukum cerai talak suami berkedudukan hukum sebagi
pemohon, sedangkan istri berkedudukan hukum sebagai termohon.
Permohonan yang memuat nama, umur, dan tempat kediaman
suami sebagai pemohon dan istri sebagai termohon, dengan alasan-
alasan hukum perceraian yang menjadi dasar cerai talak, diajukan
kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman istri sebagai Termohon, kecuali apabila istri sebagai
Termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang
ditentukan bersama tanpa izin suami sebagai pemohon.
Dalam hal istri sebagai Termohon bertempat kediaman di
luar Negara, permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman suami sebagai
Pemohon. Dalam hal suami sebagai Pemohon dan istri sebagai
Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan
diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri
dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan
permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Jadi, sengketa perkawinan yang dapat diselesaikan di Pengadilan
Agama, tidak hanya perkara perceraian (cerai talak dan cerai
39
gugat) saja, tetapi juga sengketa penguasaan anak, sengketa nafkah
anak, sengketa nafkah istri, dan sengketa harta bersama suami dan
istri, yang merupakan akibat-akibat hukum dari putusnya
perkawinan karena perceraian, termasuk cerai talak dan cerai gugat
(Muhammad Syaifuddin, 2013 : 242).
4. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Bekas Istri
Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan
kewajiban mantan suami/istri menurut pasal 41 huruf c UU No. 1
Tahun 1974 ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami
untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan normative dalam pasal tersebut
mempunyai kaitan dengan Pasal 11 UU No.1 Tahun 1974 yang
memuat ketentuan normative bahwa seorang wanita yang putus
perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu, yang kemudian pasal ini
telah dijabarkan dalam Pasal 39 PP No.9 Tahun 1975 yang memuat
ketentuan imperative bahwa bagi seorang janda yang perkawinannya
putus karena perceraian, maka waktu tunggu bagi janda yang masih
datang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya
90 (Sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan
90 (Sembilan puluh) hari. Apabila perkawinan putus, sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai
ia melahirkan.
40
Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan
kewajiban mantan suami/istri menurut Pasal 41 huruf c UU No. 1
Tahun 1974 selaras dengan hukum Islam. Apabila terjadi perceraian
antara suami dan istri menurut hukum Islam, maka akibat hukumnya
adalah dibebankannya kewajiban mantan suami terhadap mantan
istrinya untuk memberi mut‟ah yang pantas berupa uang atau barang
dan memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama
mantan istri dalam masa iddah, serta melunasi mas kawin, perjanjian
ta‟lik talak dan perjanjian lain.
Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan
kewajiban mantan suami/istri yang diatur dalam hukum Islam, telah
dipositivisasi dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya Pasal 149
yang memuat ketentuan imperative bahwa bilamana perkawianan
putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla
aldukhul;
b. Memberikan nafkah, mas kawin dan kiswah kepada bekas istri
selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain
atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh
apabila qabla aldukhul;
41
d. Memberikan hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.
5. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anak
Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan dan
perlindungan hak-hak anak menurut Pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun
1974 ialah baik bapak maupun ibu tetap mempunyai kewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, maka Pengadilan yang memberikan keputusannya. Akibat
hukum perceraian terhadap anak ini tentu saja hanya berlaku terhadap
suami dan isrti yang mempunyai anak dalam perkawinan mereka,
tetapi tidak berlaku terhadap suami dan istri yang tidak mempunyai
anak dalam perkawinan mereka.
Menurut Soemiyati (1982 : 126) jika terjadi perceraian dimana
telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak
mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya ke
atas. Akan tetapi, mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu,
termasuk biaya pendidikannya adalah menjadi tanggung jawab
ayahnya. Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah
dapat ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Kalau anak tersebut
memilih ibunya, maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, kalau
anak itu memilih ikut bapaknya, maka hak mengasuh ikut pindah pada
bapak.
42
Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati (2006 : 126)
menguraikan pendapatnya mengenai akibat hukum perceraian
terhadap “nafkah anak” secara lebih rinci, sebagai berikut:
a. Kewajiban “membiayai” anak tidak hilang karena putusnya
perkawinan akibat adanya perceraian.
b. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayah (sampai anak
dewasa atau berdiri sendiri, bekerja/mendapat penghasilan atau
anak menikah). Kewajiban membiayai tetap menjadi tanggung
jawab ayah walaupun pemeliharaan anak tidak padanya. Artinya
ayah tetap mempunyai kewajiban untuk membiayai penghidupan
anak walaupun hak pemeliharaan anak berada pada ibu, kakek,
nenek, bibi, dan sebagainya.
c. Bila ayah tidak dapat memberi biaya pemeliharaan
(penghidupan), maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya hidup anak.
d. Bila ayah tidak melaksanakan putusan pengadilan untuk
membiayai pemeliharaan anak, maka seorang (mantan) istri dapat
melakukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan
Agama atau Pengadilan Negeri dimana proses perceraiannya
dilakukan. Selanjutnya, Pengadilan akan memanggil (mantan)
suami. Jika suami tidak memenuhi surat panggilan dari
pengadilan tanpa alasan yang patut, maka Ketua Pengadilan akan
mengeluarkan Surat Penetapan yang memerintahkan untuk
43
melakukan eksekusi kepada Panitera atau Juru Sita. Namun,
apabila (mantan) suami datang memenuhi panggilan dari
Pengadilan, maka Ketua Pengadilan akan mengeluarkan
peringatan pengadilan yang ditujukan kepada mantan suami agar
memenuhi kewajibannya. Lama waktu peringatan tidak boleh
lebih dari 8 hari. Setelah lebih 8 hari,mantan suami tidak
melaksanakan/memenuhi putusan Pengadilan, maka akan
dikeluarkan surat penetapan oleh Ketua Pengadilan yang
memerintahkan eksekusi kepada Panitera atau Juru Sita.
Memperhatikan penjelasan beberapa ahli hukum perceraian
sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dipahami bahwa Pasal 41
huruf a UU No. 1 Tahun 1974 adalah wujud normative dari upaya
Negara untuk melindungi hak-hak anak setelah terjadi perceraian dari
kedua orang tuanya, berlandaskan fungsi Negara hukum mengaku dan
melindungi HAM.
Hak- hak anak yang dilindungi oleh pasal 41 huruf a UU No 1
Tahun 1974 dijelaskan secara lebih mendalam oleh Sudarsono (1994 :
188) hak untuk mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan dari kedua
orang tuanya. Baik ibu atau bapak si-anak berkewajiban untuk
memelihara dan mendidik anak yang mereka peroleh selama
pernikahan. Ketika bercerai antara suami istri akan ada status baru,
yaitu janda (bagi Istri) dan duda (bagi suami) serta ada istilah mantan/
bekas istri dan mantan/ bekas suami, tetapi istilah ini tidak berlaku
44
untuk anak dan orang tua. Tidak ada istilah mantan anak atau mantan
orang tua.Untuk itu, perceraian terjadi status anak dan orang tua tidak
akan berubah untuk memelihara dan mendidik anaknya sampai anak
itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Hak untuk dipelihara ini lebih
mengacu kepada pemenuhan kebutuhan secara lahiriah, anak berhak
untuk mendapatkan pemeliharaan anggota jasmaninya dari kedua
orang tuanya. Peran kedua orang tua dalam menjaga anak mereka
dapat berupa pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang
merupakan kebutuhan primer hingga jika memungkinkan pemenuhan
kebutuhan tertier. Sedangkan hak untuk mendapatkan pendidikan ini
lebih mengacu kepada pembinaan kejiwaan atau rohaniah si anak,
pemenuhan kebutuhan ini dapat berupa memberikan pendidikan atau
pengajaran ilmu pengetahuan yang terdapat di jenjang sekolah,
pendidikan agama, pendidikan kepribadian dan berbagai pendidikan
lainnya yang berkaitan dengan pembinaan dari kejiwaan si anak. Baik
pemeliharaan maupun pendidikan, keduanya harus mendapatkan
perhatian serius oleh kedua orang tua si anak, walaupun disaat
putusan cerai di bacakan oleh hakim di depan sidang pengadilan
menjatuhkan hak asuh kepada salah satu pihak, bukan berarti pihak
yang tidak diberikan hak asuh tersebut dapat lepas bebas tanpa
tanggung jawab. Keduanya tetap bertanggung jawab dalam hal
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka.
45
C. Peraturan Perundang-undangan
1. Pengertian dan Urutan Peraturan Perundang undangan
Pengertian dari Peraturan Perundang undangan diatur dalam
Pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomer 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan. Sedangkan dari sisi ilmu perundangan-
undangan menurut Maria Soeprapto (2010 : 10-11) pengertian
perundang undangan adalah sebagai berikut:
a. Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan
jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang
bersifat atau mengikat umum.
b. Merupakan aturan aturan timgkah laku yang berisi ketentuan
ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, dan status atau suatu
tatanan
c. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri umum abstrak atau
abstrak umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditunjukkan pada
obyek, peristiwa atau gejala konkret tertentu.
d. Mengambil pemahaman daalam kepustakaan Belanda, peraturan
perundang undangan lazim disebut dengan keputusan yang
dibentuk oleh pemerintah (regering).
46
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa peraturan
perundang-undangan adalah semua peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan.
Kemudian dari peraturan perundang-undangan yang diatur
dalam Pasal 7 UU Nomer 12 tahun 2011 tentag pembentukan
peraturan perundang-undangan dijelaskan tentang jenis dan herarki
peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang atau Peraturan Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota
Dalam Ayat 2 dijelaskan tentang kekuatan hukum peraturan
perundang-undangan sesuai dengan urutan herarki sebagai mana
dimaksud pada urutan diatas.
2. Undang-Undang dan Sistem Hukum
Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem
hukum. Karenanya, proses pembentukan undang-undang akan sangat
dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara tempat
47
undang-undang itu dibentuk. Sehingga, untuk mengkaji pembentukan
undang-undang secara komprehensif, haruslah dimulai dengan
mengkaji sistem hukum itu sendiri. Dari beberapa pendapat para ahli
hukum mengemukakan, untuk memahami sistem hukum dapat dilihat
dari unsur-unsur yang melekat pada sistem hukum itu sendiri yakni
seperti struktur hukum, subtansi hukum, dan budaya hukum.
Adanya pemahaman mengenai pengertian dari sistem hukum,
dan kaitannya dengan proses pembentukan undang-undang,
diharapkan akan berperngaruh pada ditempatkannya pembentukan
undang-undang, sebagai bagian utama dalam peroses berjalannya
sistem hukum dan penegakan hukum di negara tersebut. Akan tetapi,
pengembanga subtansi hukum melalui pembentukan undang-undang,
juga amat tergantung pada pengembangan sistem kelembagaan hukum
( pengadilan ) atau struktur hukum yang ada. Selain itu keberhasilan
dan berfungsinya sistem hukum juga sangat ditentukan oleh budaya
hukum yang ada dalam negara tersebut. ( Yuliandri, 2009: 31-36 )
D. Perceraian Pegawai Negeri Sipil
Sesuai dengan lingkup struktual Pemerintah Negara Indonesia
sebagai salah satu organisasi, maka lingkup pegawaian pun dapat dibagi
atas beberapa jenis pegawai sebagai sumber daya manusia dari pemerintah
negara republik Indonesia, termasuk pegawai negeri sipil sebagai bagian
dari pegawai negeri maka definisi pegawai negeri sipil pun tidak dapat
dipisahkan dari pengertian pegawai negeri itu sendiri.
48
Dari segi tata bahasa kepegawaian mempunyai asal kata pegawai,
adalah kata benda berupa orang-orang atau sekelmpok orang yang
mempunyai status tertentu, karna pekerjaannya. Sedangkan kepegawaian
berubah maknanya menjadi segala susuatu yang terkait dengan pegawai
yang oleh sesuatu organisasi dipertimbangkan untuk menjadi urusan
organisasi tersebut, ini berarti bahwa apa yang tercakup dalam
kepegawaian itu berbeda untuk setiap organisasi. Pengertian ini jika
dikaitkan dengan keberadaan negara sebagai suatu organisasi, maka yang
dimaksud dengan pegawai negeri adalah pekerja atau staf pada organisasi
pemerintah maupun instansi perusahaan milik negara dan segala sesuatu
yang berkaitan dengan pekerjaan yang diatur dan sesuai dengan peraturan
pemerintah yang ditetapkan. ( Buchari Zainun 1995: 75 )
Pegawai negeri sebagai unsur aparatur negara atau abdi masyarakat
wajib memenuhi pelaksanaan dan kebijakan pemerintah dalam rangka
meningkatkan kehidupan bangsa dan negara menuju masyarakat yang adil
dan makmur ( UU Nomer 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok
kepegawaian ) , pegawai negeri adalah setiap warga negara republik
Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh
pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau
diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dari konsep ini pegawai negeri dapat diabstrakkan sebagai berikut:
49
a. Harus memenuhi syarat yang telah ditentukan
b. Digaji menurut peraturan pemerintah
c. Dipekerjakan dalam jabatan negeri
d. Mengikuti segala peraturan yang mengikat dari negeri
Pengertian pegawai negeri juga dapat dilihat dari penjelasan
mockdijat yang melihatnya dari prespektif administrasi pemerintahan
adalah mereka yang diangkat dalam jabatan pemerintah oleh pembesar
yang berwenang dan diberi gaji anggaran belanja negara, maka
anggaran belanja pegawai serta segala sesuatu harus menurut
peraturan yang berlaku dari negara.
Bersangkutan dengan izin perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil ( aparatur negara, abdi negara, abdi masyarakat ) dimana PNS
yang harus menjadi teladan yang baik baik bagi masyarakat baik
dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan untuk dapat melaksanakan
kewajiban itu, maka kehidupan PNS harus ditunjang oleh kehidupan
bekeluarga yang serasi, sehingga setiap PNS dalam melaksanakan
tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah keluarga, dalam
kata lain PNS merupakan teladan bagi masyarakat.
Untuk melakukan perkawinan dan perceraian PNS harus
memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat yang bersangkutan.
Ketentuan yang berupa keharusan untuk memperoleh izin bagi PNS
yang hendak melakukan perkawinan dan perceraian tersebut, tidak
mengurangi ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi lembaga
50
perkawinan dan perceraian itu sendiri karena kedudukannya sebagai
pegawai negeri sipil. Ketentuan yang dimaksud disini adalah
ketentuan izin bagi PNS yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 45 tahun 1990.
Peraturan tersebut mengatur tentang kewajiban-kewajiban
yang haarus dipenuhi bagi pegawai negeri sipil dalam hal perkawinan
pertama, hendak melangsungkan perkawinan lebih dari seorang
hendak melakukan perceraian dan bagi PNS wanita dilarang untuk
menjadi istri kedua / ketiga / keempat dari seorang yang bukan PNS
harus memperoleh izin terlebih dahulu kepada pejabat setempat.
Disamping itu pada peraturan ini diatur juga tentang kewajiban bagi
PNS didalam hal menghadapi masalah permintaan izin bercerai,
permintaan izin beristri lebih dari satu karenannya diatur untuk
pembagian gaji akibat daripada perizinan tersebut.
PNS hanya dapat melakukan perceraian apabila ada alasan
yang sah diantaranya :
a. Salah satu pihak berbuat zina.
b. Salah satu pihak menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang
sukar disembuhkan.
c. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah serta
tanpa memberikan nafkah lahir maupun batin atau karena hal lain
diluar kemampuannya.
51
d. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau
hukuman yang lebih berat secara terus menerus setelah
perkawinan berlangsung.
e. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
baik lahir maupun batin yang membahayakan.
f. Antara suami dan istri terus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi.
Permohonan izin untuk melakukan perceraian ataupun surat
keterangan untuk melakukan perceraian disampaikan kepada
atasannya disertai dengan alasan yang lengkap yang mendasari
permohonan melakukan perceraian. Atasan yang menerima
permohonan perceraian meneruskan dan memberikan pertimbangan
kepada pejabat yang berwenang secara hirarkis. Pejabat pada SKPD
yang menerima permohonan, wajib menindaklanjuti dengan
memproses permohonan tersebut bersama tim pertimbangan
pembinaan disiplin dan pendayagunaan PNS yang ada di SKPD
setempat dengan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Sebelum mengambil keputusan tim pejabat terlebih dahulu berusaha
untuk merukunkan kembali PNS yang mengajukan perceraian dengan
pasangannya, namun apabila kedua belah pihak tetap meinginkan
untuk tetap melanjutkan proses perceraian maka permohonan tersebut
dapat diproses lebih lanjut disertai dengan dokumen pendukung
52
sesuai yang dipersyaratkan. Izin untuk becerai dapat diberikan oleh
pejabat apabila:
a. Tidak bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama yang
dianutnya, atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Ada alasan alasan yang sah, sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
c. Tidak bertentangan dengan Pearturan Perundangan yang
berlaku.
d. Alasan alasan untuk melakukan perceraian tidak bertentangan
dengan akal sehat.
Ketentuan lain dalam perceraian PNS adalah tentang
pembagian gaji, sesuai dengan pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor
45 tahun 1990. Apabila perceraian terjadi atas kehendak PNS Pria
(sebagai Penggugat/cerai gugat), maka Penggugat wajib
menyerahkan sepertiga gajinya untuk penghidupan bekas istri
sampai dengan mantan istri menikah lagi, sepertiga lagi untuk anak-
anaknya sampai dengan berusia 21 tahun atau sudah menikah dan
sepertiga sisanya untuk Penggugat itu sendiri. diantarnya ayat 3 dan
4 lama, disipkan satu ayat yang dijadikan ayat baru yang berbunyi
“pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan
perceraian disebabkan karena istri berzina, dan atau melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin
terhadap suami dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat, dan
53
penjudi yang sukar disembuhkan, dan istri telah meninggalkan
suami selama dua tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya”. Akan
tetapi pembagian gaji tersebut tidak diberikan kepada istri karena
Nusus seperti yang disebutkan diatas.
Apabila pernikahan merekan tidak dikaruniai anak, maka
pembagian gaji yaitu setengah diberikan kepada mantan istrinya.
Apabila perceraian tersebut terjadi karena kehendak bersama antara
suami dan istri, maka pembagian gaji dilaksankan atas kesepakatan
bersama. Bekas istri berhak juga atas bagian gaji walaupun
percerain terjadi atas kehendak istri, apabila alasan perceraian
adalah karena dimadu, suami berzina, melakukan kekejaman dan
penganiayaan, menjadi pemabok/pemadat/penjudi yang susah
disembuhkan, meninggalkan istri 2 tahun lebih tanpa alasan.
(Riduan Syahrani, 1987:72 )
Pegawai Negeri Sipil yang telah menerima Surat Keputusan
(SK) Perceraian dapat mencabut lagi permohonannya melalui surat
pengajuan tertulis kepada Pejabat yang berwenang, apabila pada
saat proses persidangan mereka memutuskan untuk rujuk atau
bersatu kembali. Sebelum mengajukan proses perceraian ke
Pengadilan, PNS Penggugat ataupun tergugat berkewajiban
mendapatkan izin tertulis untuk Melakukan Perceraian dari pejabat
yang berwenang. Selain itu, apabila sudah mendapatkan akta cerai,
54
seorang PNS wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang
secara hirarki dengan membuat laporan percerain selambat
lambatnya satu bulan mulai akta cerai tersebut diterbitkan sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomer 53 tahun 2013 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil.
55
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Putusan Hakim Pengadilan Agama Salatiga
Pertimbangan hakim dalam putusan terutama berkaitan dengan
nafkah perceraian Pegawai Negeri Sipil di kota Salatiga, terutama tentang
tuntutan nafkah berkaitan dengan perkara cerai talak atau permohonan
talak. Sesuai dengan ketentuan pasal 8 Peraturan Pemerintah nomer 45
tahun 1990 tentang izin perkawinan dan percerain bagi PNS yang
menyatakan “Apabila perceraian terjadi atas kehendak PNS pria maka ia
wajib menyerahkan sebagaian gajinya untuk penghidupan mantan istri dan
anak anaknya” maka ketentuan tentang pertimbangan hakim untuk
pembagian gaji lebih terlihat pada kasus permohonan talak.
Pembahasan tentang beberapa tuntuntan nafkah dari istri kepada
suami, meliputi nafkah madliyah, nafkah iddah, nafkah mut‟ah dan nafkah
hadzonah serta pertimbangan hakim terhadap penetapan besaran nafkah
yang diterima. Penetapan nafkah dari hakim tersebut digunakan dasar
untuk pembagian gaji PNS Pria yang hendak melakukan perceraian
dengan permohonan talak. Beberapa pertimbangan Hakim pada kasus
cerai talak Pegawai Negeri Sipil:
1. Putusan Nomor 1091/Pdt.G/2017/PA.Sal
a. Duduk perkara
Pemohon disebut juga Tergugat Rekonpensi bernama Indra
Nur Noviyanto bin Nursalim (28tahun) Pekerjaan PNS, melawan
56
Termohon disebut juga Penggugat Rekonpensi Devi Eva AMA
binti Marliardi (26tahun) pekerjaan Swasta. Mempunyai seorang
anak bernama Deandra Loui (6th), rumah tangga sudah tidak dapat
dipertahankan lagi, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran,
antara pemohon dan termohon telah dalam keadaan pisah rumah
kurang lebih 17 bulan, hampir satu setengah tahun. Gagalnya
upaya untuk mediasi mendamaikan kedua pihak. Bahwa dengan
demikian maka rumah tangga Pemohon dan Termohon telah rusak
dan pecah sehinnga tujuan untuk membentuk rumah tangga yang
sakinah mawadah wa rahmah tidak mungkin terwujud, sehingga
jalan terbaik bagi Pemohon adalah menjatuhkan talak dan sesuai
dengan pasal 39 ayat 2 Undang Undang Nomer 1 Tahun 1974 jo
Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomer 9 tahun 1975 jo
Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam telah cukup alasan bagi
pemohon untuk mengajukan permohonan cerai talak ini melalui
Pengadilan Agama Salatiga.
b. Tuntutan Termohon atau Penggugat Rekonpensi
Termohon menuntut beberapa tuntutan nafkah atas dirinya
kepada Pemohon, diantaranya:
1) Nafkah Lowong atau Nafkah Madliyah selama 18 bulan,
1.500.000 x 18 = 27.000.000 (dua puluh tujuh juta rupiah)
2) Nafkah Mutah sebesar 5.000.000 (lima juta rupiah)
3) Nafkah Iddah 4.500.000 (empat juta lima ratus ribu rupiah)
57
4) Nafkah Anak atau Hadlonah perbulan sebesar 1.000.000 (satu
juta rupiah)
c. Kemampuan atau Kesanggupan Pemohon atau Tergugat
Rekonpensi
Bahwa sebagai seorang suami yang hendak menceraikan
istrinya, Pemohon atau Tergugat Rekonpensi sanggup
memberikan:
1) Tetap memberikan nafkah lowong seperti yang dimaksudkan
diatas meskipun telah pisah rumah.
2) Nafkah Mut‟ah berupa uang sejumlah 500.000 ( lima ratus ribu
rupiah)
3) Nafkah iddah 1.500.000 ( satu juta lima ratus ribu rupiah)
4) Nafkah Anak atau Hadlonah sebesar 500.000 (lima ratus ribu
rupiah) perbulan.
d. Hasil putusan dari Majelis Hakim
Dari besaran tuntutan istri dan kesanggupan suami, majelis
hakim menatapkan pada putusan ini adalah:
1) Terjadinya kesepakatan tentang pembagian nafkah
2) Nafkah Iddah sebesar 3.000.000 ( tiga juta rupiah )
3) Nafkah Mut‟ah sebesar 2.000.000 ( dua juta rupiah )
4) Nafkah Anak atau Hadlonah 700.000 ( tujuh ratus ribu rupiah)
perbulan.
58
2. Putusan Nomer 0537/Pdt.G/2017/PA.Sal
a. Duduk perkara
Pemohon disebut juga Tergugat Rekonpensi bernama Nyoto
Dwi Sabdo bin Sriyanto Noto Siswanto (41 tahun) Pekerjaan PNS,
melawan Termohon disebut juga Penggugat Rekonpensi Bintari Rasti
Bangsa bin Drs.A.Indarto (30 tahun) pekerjaan tidak berkerja.
Mempunyai 2 orang anak yaitu Yasmin Prastiwi (8 tahun) dan Sijalu
Fauzan (4 tahun), rumah tangga sudah tidak dapat dipertahankan lagi,
sering terjadi perselisihan dan pertengkaran, antara pemohon dan
termohon telah dalam keadaan pisah rumah kurang lebih 15 bulan,
hampir satu setengah tahun. Bahwa sebagai salah satu bukti Pemohon,
yaitu tidak pernah melibatkan dan atau minta pertimbangan termohon
dalam melakukan sesuatu pada sekitar bulan februari 2016 Pemohon
mengajukan Pinjaman ke Bank BPD Jateng dengan jaminan SK
Pegawai sebesar 100jt, yang hasil pinjaman tersebut dipergunakan
seluruhnya secara pribadi oleh pemohon diluar sepengetahuan
Termohon. Gagalnya upaya untuk mediasi mendamaikan kedua pihak.
Bahwa dengan demikian maka rumah tangga Pemohon dan Termohon
telah rusak dan pecah sehinnga tujuan untuk membentuk rumah tangga
yang sakinah mawadah wa rahmah tidak mungkin terwujud, sehingga
jalan terbaik bagi Pemohon adalah menjatuhkan talak dan sesuai
dengan pasal 39 ayat 2 Undang Undang Nomer 1 Tahun 1974 jo Pasal
19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomer 9 tahun 1975 jo Pasal 116
59
huruf f Kompilasi Hukum Islam telah cukup alasan bagi pemohon
untuk mengajukan permohonan cerai talak ini melalui Pengadilan
Agama Salatiga.
b. Tuntutan Termohon atau Pengugat Rekonpensi
Termohon menuntut beberapa tuntutan nafkah atas dirinya
kepada pemohon, diantaranya:
1) Nafkah Madliyah 50.000 (lima puluh ribu) perhari, dikalikan 15
bulan = 22.500.000 ( dua puluh dua juta lima ratus ribu rupiah)
2) Nafkah iddah sejumlah 13.500.000 ( tiga belas juta lima ratus ribu
rupiah )
3) Nafkah Mut‟ah sejumlah 50.000.000 ( lima puluh juta rupiah )
4) Nafkah Anak atau Hadlonah, anggara membeli susu dan pakaian
dan pendidikan adalah 2.500.000 ( dua juta lima ratus ribu rupiah)
x 15 bulan = 37.500.000 ( tiga puluh juta lima ratus ribu rupiah)
c. Kemampuan atau Kesanggupan Pemohon atau Tergugat Rekonpensi
Bahwa sebagai seorang suami yang hendak menceraikan
istrinya, pemohon atau Tergugat Rekonpensi sanggup memberikan:
1) Terhadap tuntutan Nafkah Madliyah, karena perlu diketahui
bahwa perbuatan Termohon/Penggugat Rekonpensi jelas jelas
nusu ( Penggugat Rekonpensi tidak taat pada Tergugat
Rekonpensi )
60
2) Nafkah iddah, karena perlu diketahui bahwa perbuatan
Termohon/Penggugat Rekonpensi jelas jelas nusu (Penggugat
Rekonpensi tidak taat pada Tergugat Rekonpensi)
3) Nafkah Mut‟ah sesuai dengan kemampuan sebesar 1.000.000 (
satu juta rupiah )
4) Terhadap Nafkah Anak, menetapkan hak asuh anak yang
bernama Yasmin Prastiwi (8th) dan Sijalu Fauzan (4th) jatuh
kepada Pemohon selaku bapak kandungannya sendiri, dengan
Alasan nusus daripada Termohon.
d. Hasil Putusan dari Majelis Hakim
Dari besaran tuntutan istri dan kesanggupan suami, Majelis
Hakim menetapkan pada putusan ini adalah:
1) Nafkah Madliyah, selama 15 bulan, bahwa uang 50.000 perhari
itu merupakan tuntutan dari pihak Termohon/Penggugat
Rekonpensi saja, maka diperhitungkan ½ dari 50.000 menjadi
25.000 dikalikan 15 bulan = 11.250.000 ( sebelas juta dua ratus
lima puluh ribu rupiah)
2) Nafkah Iddah, tuntutan istri sebesar 13.500.000 ( Tiga belas juta
lima ratus ribu rupiah) dianggap terlalu besar oleh Majelis Hakim.
Dikaitkan dengan besaran perhari pada Nafkah Madliyah yaitu
25.000, maka Majelis Hakim dengan mengacu pertimbangan
diatas, kiranya patut dikabulkan 25.000 x 3 bulan= 2.250.000 (
dua juta duaratus lima puluh ribu rupiah )
61
3) Nafkah Mut‟ah, dengan acuan nominal 25.000 perhari dan
pendapat pakar hukum islam, yaitu Wahbah Al Zuhayli dalam
kitab Ahwalus Syahsiyyah Halaman 334 berbunyi: “Apabila
terjadi talak sesudah dukhul tanpa kerelaan dari istri, hendaknya
bagi istri diberi mut‟ah sejumlah nafkah selama satu tahun setelah
massa iddah”. Dengan demikian, maka mut‟ah untuk Penggugat
Rekonpensi dapat ditetapkan sejumlah 25.000 x 30 x 12 =
9.000.000 ( sembilan juta rupaih )
4) Nafkah Anak atau Hadlonah yang belum mummayiz, hak asuh
ditetapkan kepada Penggugat Rekonpensi karena cukup
beralasan, dan ternyata Tergugat Rekonpensi meninggalkan
tempat kediaman bersama selama 15 bulan sudah tidak
memperdulikannya. Tergugat Rekonpensi selaku ayah dari kedua
anak tersebut, punya kewajiban untuk memberikan nafkah
berdasarkan ketentuan pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum
Islam. Majelis Hakim karena Jabatannya, berpendapat, bahwa
Tergugat Rekonpensi patut dihukum untuk membayar atau
memberikan nafkah hadlonah kepada kedua anaknya melalui
Penggugat Rekonpensi sebesar 1.500.000 ( satu juta lima ratus
ribu rupiah ) hingga kedua anak tersebut dewasa atau telah
berusia 21 Tahun.
62
B. Putusan Hakim dalam Wawancara
Berdasarkan wawancara pada tanggal 19 Maret 2019 di Pengadilan
Agama Salatiga, tentang pertimbangan hakim dalam menetukan
perceraian Pegawai Negeri Sipil kasus cerai talak di Salatiga, menjelaskan
bahwa dasar dasar Hukum Acara dalam Peradilan Agama harus menjadi
dasar dalam setiap kasus perceraian apapun termasuk perceraian Pegawai
Negeri Sipil. Dasar dasar dalam penentuan nafkah tetap disesuaikan
dengan asas keadilan antara suami dan istri.
Penentuan Nafkah terhadap percerai apapun, Hakim membedakan
antara nafkah anak dan nafkah istri karena ada Analisis sendiri.
Pembedaan nafkah ini, dikarena pada nafkah anak tidak dibebankan
kewajiban apapaun dari anak terhadap orang tua, akan tetapi merupakan
kewajiban orang tua untuk membiayai anak terutama seorang ayah.
Penentuan nafkah anak pun tetap menjadi perebutan ketika terjadinya
perceraian, dimana tentang siapa yang berhak untuk mengasuh anak
tersebut sebelum anak itu dewasa atau berumur 21 tahun. Karena tentang
penentuan hak asuh anak tidak selalu jatuh ke tangan si ibu dengan alasan
nusus yang berdampak tidak baik untuk masa tumbuh si anak. Bilamana
Mantan Istri berperilaku nusus, nafkah anak dari Mantan Suami diberikan
melalui Mantan Istri dikhawatirkan tidak sampai untuk biaya kehidupan
dan pendidikan si anak yang umumnya diberikan setiap bulan sampai anak
itu dewasa atau berumur 21 tahun.
63
Didalam Undang undang Perkawinan Nomer 1 tahun 1974, Hakim
memaparkan bahwa Nafkah Anak adalah Tanggung Jawab Orang Tua
bersama, karena tidak diterangkan berapa besaran suami untuk
memberikan nafkah terhadap anak istri, hanya diterangkan sesuai dengan
kemampuan suami untuk memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga. Bahkan jika suami tidak mampu, atau tidak cukup untuk
memenuhi kehidupan rumah tangga, istripun mempunyai kewajiban untuk
andil membiayai nafkah anak.
Berbeda dengan keadaan Anak perceraian Pegawai Negeri Sipil,
dikarenakan ada kepastian gaji yang otomatis menjamin keberadaan si
anak dalam keadaan bercerai ataupun masih utuh ketika berumah tangga.
Pertimbangan Hakim berbeda untuk ini, karena perceraian Pegawai Negeri
Sipil dianggap mampu untuk memberikan Nafkah Anak dari Bapak untuk
keperluan Nafkah Hadzonah, sekalipun nanti Hak asuh anak jatuh kepada
Mantan Istri.
Pertimbangan hakim terhadap nafkah istri pun juga dibedakan,
untuk menentukan nafkah-nafkah yang dibebankan kepada suami pasca
percerai talak diantara nafkah madliyah (lowong, terhutang), nafkah iddah,
nafkah mut‟ah. Hakim selalu memegang dasar tentang pembagian nafkah
dalam perceraian dan setiap kasus itu berbeda pertimbangan (Kasuistis)
akan tetapi, penentuan Nafkah selalu berpedoman pada Hukum Acara
Peradilan Agama yang mendasar.
64
Pedoman Umum Hakim untuk menetukan pembagian nafkah cerai
talak adalah dasar nafkah. Dasar nafkah diartikan bahwa Nafkah itu ada
dan diberikan suami kepada istri, Apabila keawajiban istri terhadap suami
sudah dilaksanakan yaitu melayanani suami secara Tamkin yang Tam, istri
melayani suami secara sempurna barulah istri menuntun haknya untuk
meminta nafkah dari suami. Ketentuan ketentuan ini sesuai dengan
Kompilasi Hukum Islam pasal 80-83 tentang kewajiban memberikan
nafkah.
Hakim menjelaskan bahwa nafkah-nafkah yang dituntunkan
tersebut bisa didapatkan istri, asalkan dalam rekonpensi bisa membuktikan
sangkaan-sangkaan terhadap dirinya (nusus) tidak benar adanya, karena
nusus adalah tolak ukur bagi hakim untuk memberikan perhitungan
keadilan dalam nafkah pasca perceraian, baik perceraian biasa maupun
percerain Pegawai Negeri Sipil.
Pertimbangan Hakim terhadap Nafkah Madhiyah
(Lowong,Terhutang ), ada ketentuan Litamlik, yaitu nafkah yang dimiliki
istri yang ada pada suami, karna suatu hal tidak terpenuhi dan bisa untuk
ditagih nafkah tersebut. Menelantarkan istri dan tidak memberikannya
nafkah selama masa tidak hidup serumah (pisah ranjang) ataupun masa
pertengkaran dapat dihitung selama itu pula sebagai Nafkah Terhutang,
akan tetapi kembali lagi kepada kaidah dasar nafkah, bahwa apabila tidak
melayani, apakah istri berhak atas nafkahnya (katankanlah nusus), Mantan
Suami jika bisa membuktikan kebernarkan nusus tersebut, maka
65
perhitungan nafkah madhiyah pun berbeda atau bahkan tidak diberikan
sama sekali oleh majelis terhadap tuntutan istri.
Pertimbangan juga wajib mempertimbangkan kemampuan suami
dalam memberikan tuntutan tuntutan tersebut, dan hakim pun mempunyai
analisa ataupun perhitungan tersendiri baik itu Pegawai Negeri Sipil
ataupun bukan, karena pada dasarnya cerai talak, adalah inisiatif pihak laki
laki untuk mengajukan perceraian dan pembuktian nusus kepada mantan
istri. Dibenarkan pula jika ketika pada gugatan rekonpensi, mantan istri
menuntut Nafkah-nafkah tersebut setinggi mungkin jika bisa membuktikan
penghasilan suami lebih daripada gaji, dengan contoh semisal pekerjaan
tetapnya adalah pegawai negeri sipil dan mempunyai gaji tetap sebagai
pegawai dan mempunyai pabrik sepatu sebagai penghasilan yang lain,
maka majelispun akan mempertimbangkan besaran pertimbangan nafkah
tersebut.
Pertimbang hakim diatas, juga beruntut untuk pertimbangan
Nafkah iddah dan Nafkah Mutah mengikuti bagaimana hukum acara
pengadilan agama berlaku dan pertimbangan hakim terhadap kasus
tersebut, dikarenakan setiap kasus itu mempunyai karakter tersendiri. Pada
dasarnya, semua hakim menggunakan hukum acara acara peradilan agama
akan tetapi pertimbangan tiap kepala seorang hakim dengan hakim yang
lain berbeda, maka perlu juga untuk penyatuan kesepaktan antara hakim
satu dengan hakim yang lain, dan jadilah keputusan majelis hakim.
66
Mengenai pertimbangan Hakim terhadap pembagian gaji pasca
perceraian Pegawai Negeri Sipil, Hakim memberikan penjelasan bahwa
pembagian gaji perceraian Pegawai Negeri Sipil, seperti yang tertera di
pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomer 10 tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomer 45 Tahun 1990, yaitu sepertiga untuk Mantan Suami,
Sepertiga untuk Mantan Istri dan Sepertiga lagi untuk Nafkah Anak,
Bukanlah merupakan Bagian dari Majelis Hakim karena itu merupakan
urusan Tata Usaha Negara, dan Peraturan Pemerintah merupakan
keputusan Pejabat Tata Usaha Negara bukan Merupakan Hukum Acara
Peradilan Agama, Akan tetapi hanya digunakan hakim dalam acuan
besaran Nafkah. Penjabaran tersebut sesauai dengan kaidah kaidah
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomer 11K/AG/2001 Tanggal 10 Juli
2003 bahwa tentang pembagian gaji perceraian PNS, bukan termasuk
Hukum Acara Pengadilan Agama dan tidak terdapat pembagian apapun
pada putusan tersebut dan sama disesuaikan dengan perceraian seperti
pada umumnya.
Lebih lanjut Hakim memaparkan penjelesan ini, dikembalikan lagi
pada dasar nafkah, dimana sang Mantan Istri sudah tidak melayani Mantan
Suami akan tetapi gaji Suami masih tetap untuk kehidupan Mantan Istri.
Berbeda jika untuk Nafkah Anak, karena bagaimanapun, keotomatisan
Gaji PNS Pria ada kewajiban untuk diberikan keanak, dan Acuan Hakim
menggunakan Sepertiga seperti pada pasal 8 PP Nomer 45 tahun 1990.
67
BAB IV
ANALISIS
A. Analisis Putusan Majelis Hakim dalam penentuan nafkah pasca perceraian
bagi istri dan anak Pegawai Negeri Sipil
Pertimbangan Majelis Hakim dalam penentuan nafkah pasca
perceraian bagi istri dan anak Pegawai Negeri Sipil adalah membedakan
antara nafkah istri dan nafkah anak. Pembedaan pembagian nafkah ini
dikarenakan dasar pembagian nafkah yang satu dengan yang lain berbeda
acuan untuk penetapan dan setiap kasus mempunyai karakteristik yang
berbeda, dengan melihat keadaan dan kenyataan yang ada dilapangan.
Berdasarkan 3 contoh putusan, Majelis Hakim memberikan pertimbangan
yang berbeda beda antara kasus satu dengan kasus yang lain, akan tetapi
Hakim tetap berpedoman pada satu dasar Hukum Acara Peradilan Agama
tentang Pembagian Nafkah yaitu disesuaikan dengan Asas Keadilan antara
Suami dan Istri yang sesuai dengan Undang Undang Perkawinan Nomer 1
tahun 1974 pasal 34 ayat 2 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 2
“Suami wajib melindungi istrinya, dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”.
Putusan Majelis Hakim juga tidak berisikan tentang pembagian gaji
mantan suami PNS Pria seperti yang disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomer 45 tahun 1990 pasal 8 yang pada intinya Gaji PNS Pria
dibagi 3 dengan rincian sepertiga untuk dirinya sendiri sepertiga untuk
bekas istrinya, dan sepertiga lagi untuk anak dan apabila tidak mempunyai
68
anak, maka pembagian gaji PNS bersangkutan dibagi dua dengan bekas
istri. Hal ini menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah untuk Perceraian
Pegawai Negeri Sipil dikesampingkan oleh Hakim dalam memutus perkara
cerai talak Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah meskipun dibuatkan khusus untuk mengadili
dan menetapkan putusan hanya digunakan untuk acuan Hakim dalam
beberapa hal semisal berkaitan dengan Nafkah, terutama PNS Pria, otomatis
dia mempunyai gaji, dan tentunya Hakim mempunyai Pertimbangan untuk
tetap memberikan dan mengabulkan tuntutan Nafkah Hadhonah atau
nafkah anak. Persoalan pada nafkah anak adalah mengenai hak asuh anak
jatuh kepada ayah atau ibu, karena bisa saja hak asuh anak itu jatuh ke
tangan ayah meskipun belum mumayyiz, jika benar ibu mempunyai sifat
yang tidak baik untuk tumbuh kembang si anak dan dikhawatirkan tidak
tersampaikannya hak anak untuk masa depan mendatang.
Pembagian gaji perceraian PNS seperti yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah tidak dipergunakan hakim dalam pertimbangan, meskipun
mantan istri menuntutnya dalam Rekonpensi karena Hakim berpegangan
pada Hukum Acara Peradilan Agama. Hal ini juga tidak bisa dipersalahkan
adanya, meskipun untuk PNS ada peraturan terikat mengenai pembagian
gaji setelah diterbitkannya akta perceraian. Majelis Hakim tidak
mempergunakan Peraturan Pemerintah juga berdasarkan aturan
perundangan undangan yang ada di Indonesia.
69
Peraturan Pemerintah dalam tatanan urutan perundang undangan
hierarki indonesia, berada dibawah Undang Undang atau Peraturan Peganti
Undang Undang yang membuat Hakim memberikan Putusan yang
mengutamakan berdasarkan pada Undang Undang terkait maupun
Yurisprudensi terkait. Daripada itu juga Peraturan Pemerintah ini
merupakan produk Pejabat Tata Usaha Negara dan tidak termasuk pada
Hukum Acara Peradilan Agama.
Hakim yang diposisikan sebagai pengadil atau sering disebut sebagai
pengganti Tuhan dimuka bumi untuk memberikan rasa keadilan tidak
membedakan antara perceraian PNS dengan perceraian orang biasa pada
umumnya, meskipun Pekerjaan PNS merupakan yang memuliakan yang
dijamin oleh negara. Hakim sebagai badan yang independensi juga
mempunyai kekuasaan tersendiri untuk mempertimbangkan setiap
permasalahan yang ada karena hakim tidak diperkenan juga untuk menolak
perkara yang datang padanya.
Untuk memberikan rasa keadilan yang seadil-adilnya, atau bisa
dikatan sebagai putusan terbaik, Majelis Hakim mempunyai pertimbangan
yang berbeda antara putusan satu dengan putusan yang lain, dikarena untuk
setiap kasus, mempunyai karakterisistik tersendiri, motif tersendiri dan
duduk perkara yang satu dengan yang lainnya berbeda. Hakim dalam
perceraian PNS, tidak langsung menggunakan pembagian gaji, meskipun
untuk Pegawai Negeri Sipil mempunyai aturan tersendiri.
70
Tidak adanya Kolerasi antara Aturan yang Mengikat tentang
Perceraian Pegawai Negeri Sipil dengan Putusan Hakim megakibatkan
ketidakpastian Hukum dan berdampak pada kesejahteraan Istri PNS dan
anak PNS jika mempunyai Anak. Hakim sendiri juga tidak bisa
dipersalahkan karena Hakim adalah badan independensi yang berdasarkan
pada Hukum Acara Peradilan Agama.
Pada penerapannya Hakim juga tidak menggunakan Peraturan
Pemerintah, padahal pada kasus perceraian hanya Hakim yang bisa
memeriksa perkara dan memberikan pertimbangan serta putusan, terutama
pada Pekerjaan PNS yang mempunyai aturan yang mengikat pada dirinya
tentang tertib kepegawaian. Perlindungan terhadap istri dan anak juga harus
diperhatikan mengingat pekerjaan PNS yang dipandang mulia dan
mempunyai gaji yang dijamin secara otomatis oleh negara.
Akar Permasalahan dari Nafkah Perceraian PNS adalah, Majelis
Hakim mengesampingkan Peraturan Pemerintah yang Khusus untuk PNS
karena Hakim berpedoman hanya pada Hukum Acara Peradilan Agama dan
PP Merupakan produk Pejabat Tata Usaha Negara. Untuk memberikan
perlindungan kepada istri dan anak terutama PNS maka diperlukannya
kepastian hukum yang satu dasar antara Hakim dengan Peraturan
Pemerintah. Akan tetapi Hakim juga mempunyai Hak untuk memutus setiap
perkara berdasarkan setiap kasus yang dihadapi (kasuistik) oleh Hakim itu
sendiri sesuai kenyataan yang berada dilapangan agar terciptanya keadilan
yang seadil adilnya.
71
B. Analisis Putusan Hakim dalam pemenuhan nafkah oleh mantan suami
terhadap mantan istri dan anak pasca perceraian Pegawai Negeri Sipil
Perspektif Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990
Hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 yang
merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil adalah
untuk Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan contoh yang baik kepada
bawahannya dan menjadikan teladan, sebagai warga negara yang baik
dalam masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan
berkeluarga. Latar belakang adanya Peraturan Pemerintah ini juga menitik
beratkan pada usaha untuk meningkatkan disiplin Pegawai Negeri Sipil
untuk melakukan perkawinan dan perceraian.
Paradigma masyarakat yang memandang Pekerjaan PNS
merupakan perkerjaan yang dimuliakan dan dianggap suatu golongan
khusus (priayi) pada waktu itu, dan dianggap harus bisa memberikan
contoh yang baik dan membenarkan sebagai kalangan orang-orang yang
dijamin kehidupannya oleh negara. Setiap langkah dalam segi
kehidupannya terikat dengan semua peraturan yang berujung kepada
ketertiban, karena hidup dan keluarganya pun dijamin oleh negara.
Negara memberikan Pegawai Negeri Sipil tunjangan kehidupan
yang serasi, sejahtera dan bahagia dengan memberikan gaji yang dikatakan
cukup bahkan lebih daripada orang biasa pada umumnya. Gaji yang
72
dimaksudkan digunakan untuk membangun keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah sesuai dengan tujuan Undang Undang Perkawinan.
Jaminan kesejahteraan tersebut dibarengi dengan peraturan yang mengikat
pada pekerjaan PNS. Disiplin kerja serta memberikan contoh yang baik
termasuk dalam hal Perkawinan yang sakinah tanpa adanya pertengkaran
bahkan perceraian.
Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil Pria melalui
tahapan administrasi yang sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomer 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian PNS. PNS
Pria yang hendak melakukan perceraian wajib menerima izin dari pejabat
lingkup setempat bersertakan alasan alasan yang lengkap dan mendasari
untuk melaksankan perceraian.
Izin untuk bercerai tidak diberikan oleh pejabat apabila
bertentangan dengan ajaran/peraturan Agama yang dianut Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan, bertentangan dengan undang-undang yang
berlaku dan alasan-alasan yang dikemukan untuk bercerai tersebut
bertentangan dengan akal sehat.
Pegawai Negeri Sipil sebelum dia melakukan perceraian dan
bertekad bulat untuk tetap bercerai, Pejabat diatas berusaha terlebih dahulu
untuk merukunkan kembali suami istri yang bersangkutan dengan cara
memanggil mereka secara langsung untuk diberi nasehat agar sudi kiranya
untuk berdamai. Karena perceraian pada Pekerjaan PNS berdampak pada
73
pembagian Gaji atas dirinya sesuai dengan aturan disiplin kerja untuk
Pegawai.
Mengenai pertimbangan Hakim terhadap pembagian gaji pasca
perceraian Pegawai Negeri Sipil, Majelis Hakim mengesampingkan
adanya Peraturan Pemerintah Nomer 10 Tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomer 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil. Hakim tetap pada aturan dasar Hukum Acara
Peradilan Agama baik itu Perceraian PNS maupun Perceraian orang biasa.
PNS yang notabennya terikat dengan Peraturan Pemerintah, seharusnya
diadili berbeda dengan Perceraian pada umumnya.
Majelis Hakim seharusnya juga wajib memberikan perlindungan
terhadap nafkah mantan istri dan anak Pegawai Negeri Sipil. Selayaknya
pula pasal Pembagian gaji PNS diterapkan pada tuntutan juga digunakan
untuk pertimbangan bahkan putusan Majelis Hakim. Adanya Peraturan
Pemerintah tentang PNS diharapkan untuk menertibkan golongan PNS
yang dianggap mulia agar tidak sembarangan dalam berbuat maka diatur
dengan sedemikian rupa agar menekan angka-angka perceraian Pegawai
Negeri Sipil.
Majelis Hakim selaku pemeriksa perkara perceraian seharusnya
memberikan putusan yang berkaitan dengan pembagian gaji perceraian
PNS agar terciptanya kolerasi antara putusan hakim dengan Peraturan
Pemerintah tentang Perceraian Pegawai Negeri Sipil. Memang dibenarkan
Majelis Hakim taat dengan Hukum Acara Peradilan Agama, jika tentang
74
hal pembagian Nafkah Percerai PNS Berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung Nomer 11K/AG/2001 Tanggal 10 Juli 2003 bahwa
tentang pembagian gaji perceraian PNS, bukan termasuk Hukum Acara
Pengadilan Agama dan tidak terdapat pembagian apapun pada putusan
tersebut dan sama disesuaikan dengan perceraian seperti pada umumnya,
akan tetapi Hakim juga harus mempertimbangkan adanya Peraturan
Pemerintah Khusus PNS ini.
Hadirnya putusan Majelis Hakim dalam percerai PNS diyakini
bisa memberikan bantuan untuk pertimbangan pembagian gaji di tahap
selanjutnya perceraian PNS. Putusan yang sedemikian rupa juga bisa
memberikan jaminan terhadap nafkah anak maupun nafkah istri karena
PNS kehidupannya dijamin oleh Negara yang diharapkan sikap ketertiban
pada diri seorang Pegawai.
Majelis Hakim meskipun mempunyai kekuasaan untuk
memutuskan perkara sesuai dengan independensinya, diharapkan juga
mempertimbangkan bahwa perceraian PNS dengan orang biasa dibedakan
karena PNS dianggap sebagai golongan yang mampu mempunyai gaji
otomatis dan hidupnya dijamin oleh negara. Kepastian hukum dari putusan
Majalesi Hakim harus berbeda antara Perceraian PNS dengan perceraian
pada umumnya.
Selayaknya Hakim juga memberikan pemaparan yang jelas
Mengenai benar tidaknya perbuatan Nusus Mantan Istri ketika berumah
tangga pada tahapan pemeriksaan perkara. Nususnya mantan istri juga
75
digunakan untuk pertimbangan pembagian gaji pada pasal 8 PP No 45
tahun 1990 serta berkaitan dengan Hak Asuh Anak sepaket dengan Nafkah
Hadzonah.
Permasalahan pada Putusan Hakim ketika mengabulkan beberapa
tuntutan mantan istri, dikhawatirkan diartikan sebagai hilangnya nusus
pada tahapan administratif pembagaian gaji pasca perceraian PNS. Maka
perlu adanya Kolerasi antara putusan Hakim dengan Peraturan terkait
dengan Pegawai Negeri Sipil. Jika itu dikatakan setiap kasus mempunyai
karakteristik sendiri, mungkin Majelis hakim bisa memberikan Lampiran
khusus pada setiap Perceraian Pegawai Negeri Sipil.
Perlunya koordinasi antara Substansi penegak Hukum, karena
Peraturan Pemerintah mengharapkan Putusan Hakim untuk memberikan
besaran pertimbangan berlanjut untuk implementasi pembagian gaji pasca
perceraian Pegawai Negeri Sipil. Hakim merupakan badan untuk
memeriksa dan mengadili perkara perceraian . Karena PNS ada aturan
tersendiri, dan digaji oleh negara untuk keberlangsungan hidupnya, maka
jaminan kepastian hukum diperlukan untuk menentukan agar tidak terjadi
ketetapan hukum yang tidak satu dasar, terutama perceraian Pegawai
Negeri Sipil.
76
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Majelis Hakim dalam menentukan putusan atas penentuan nafkah bagi
istri dan anak pegawai negeri sipil dibedakan. Majelis hakim
menggunakan dasar nafkah tersendiri dan tidak langsung membagi
gaji PNS pria seperti aturan pada Peraturan Pemerintah Nomer 45
tahun 1990 yang menjurus pada pembagian gaji yaitu dibagi dua tidak
mempunyai anak dan dibagi tiga jika mempunyai anak, dengan
batasan istri sampai menikah lagi dan anak sampai dewasa atau
berumur 21 tahun. Majelis hakim juga mempertimbangkan
kemampuan suami meskipun Pegawai Negeri Sipil, terhadap tuntutan
nafkah mantan istri dalam hitungan sewajarnya. Majelis hakim tetap
menggunkan dasar nafkah pada hukum acara peradilan agama yaitu
adanya nafkah sesudah istri melayani secara sempurna (Tamkin yang
Tam) dengan dasar Kompilasi Hukum Islam pasal 80-83, UU
Perkawinan Nomer 1 Tahun 1974 pasal 34 meskipun itu Perceraian
Pegawai Negeri Sipil. Berhubungan dengan gaji yang otomatis ada
pada pekerjaan PNS, Hakim tidak memberikan pembagian gaji
(karena bukan merupakan kewenangan hakim dalam hukum acara
peradilan agama, melainkan kewenangan pejabat tata usaha negara),
akan tetapi menjadi acuan Hakim untuk pertimbangan besaran nafkah
madhiyah, nafkah iddah, nafkah mut‟ah ataupun nafkah hadzonah.
77
2. Majelis Hakim mengesampingkan Peraturan Pemerintah Nomer 10
Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomer 45 Tahun 1990 tentang
Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil dalam
mempertimbangkan dan memberikan putusan untuk Perceraian
Pegawai Negeri Sipil. Hadirnya Peraturan Pemerintah ini diharapkan
bisa untuk menertibkan dalam rangka usaha meningkatkan disiplin
PNS dalam melakukan Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai
Negeri Sipil. Perceraian PNS seharusnya diperhatikan lebih oleh
Majelis Hakim karena ada tahapan selanjutnya untuk penetuan
pembagian gaji. Keterkaitan antara badan-badan penegak aturan
hukum yang satu dengan yang lainnya, diharuskan ada kesamaan yang
satu dasar agar tidak terjadi kekosongan hukum dan memberikan
kepastian hukum.
B. SARAN
Adapun saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
1. Kepada Pengadilan Agama Salatiga
a. Memberikan keterangan nusus yang sejelas mungkin, karena
untuk Pegawai Negeri Sipil pun terikat oleh aturan pasca
percerain (pasal 8 PP No 45 tahun 1990) agar tidak terjadi
kerancauan dalam putusan.
b. Memberikan lampiran khusus untuk perceraian PNS, karena
bagaimanapun proses perceraian PNS terikat dengan kedisiplinan
pegawai yang menyangkut gaji.
78
2. Substansi Hukum di Indonesia untuk saling berkoordinasi bagaimana
untuk memberikan keputusan yang senada dan ada kepastian hukum
disetiap lini peradilan karena untuk menjamin rasa keadilan yang
sesuai peraturan dan islami.
79
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. 2011. Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan
Hukum Positif). Yogyakarta: UII Press.
Arto, Mukti. 1998. Praktek Perkara Perdata. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ayyub, Syaikh Hasan. 2002. Panduan Keluarga Muslim. Jakarta: Cendikia Sentra
Muslim.
Departemen Agama RI. 2000. Alqur’an dan Terjemahnya. Semarang: CV.
Diponegoro.
Ernaningsih, Wahyu dan Samawati, Putu. 2006. Hukum Perkawinan Indonesia.
Palembang: PT Rambang Palembang.
Fuaida, Aina Sufya. 2012. “Pelaksanaan Putusan Dalam Pembagian Waris di
Pengadilan Agama”.
Kansil, C.S.T. 1986. “Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK)”.
Jakarta: PT Internusa.
Kansil, C.S.T. dan Cristine S.T.Kansil. 2000. “Hukum Tatanegara Republik
Indonesia”. Jakarta : PT Renika Cipta.
Kementerian Agama Republik Indonesia. 2012. Al-Qur’an Qordoba. Jakarta:
PT.Qordoba Internasional Indonesia.
Latif, Muhamad. 2015. “Pemberian Nafkah Anak Oleh Ayah Kandung Setelah
Perceraian”. IAIN Salatiga.
80
Matlhub, Abdul Majid Mahmud. 2005. Panduan Hukum Keluarga Sakinah. Solo:
Era Intermedia.
Moleong, Lexy J. 1999. Metode Penelitian. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Rahmadi, Usman. 2006. Aspek Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia. Jakarta: PT.Sinar Grafika.
Setiyowati, Erna. 2011. “Fenomena Meningkatnya Perkara Perceraian di
Kalangan PNS”. UIN Maulana Malik Ibrahim. Malang.
Soemiyati. 1982. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Yogyakarta:
Liberty.
Soeprapto, Maria. 2010. “Ilmu Perundang-Undangan”. Jakarta Kencana.
Subekti. 1985. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Internusa.
Sudarsono. 1994. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sutiyoso, Bambang. 2005. “Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman
Di Indonesia”. Jakarta: PT Sinar Grafika.
Syahrani, Riduan. 1987. “Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil”. Jakarta: Pustaka Kartini.
Syaifuddin, Muhammad. 2016. Hukum Perceraian. Jakarta Timur: Sinar Grafika.
Tutik, Titik Triwulan. 2010. Hukum Perdata dan Sistem Hukum Nasional.
Jakarta: Kencana
81
Umam, Alfan Khaerul. 2016. “Perceraian Pegawai Negeri”. UIN Sunan
Kalijaga. Yogyakarta.
Yuliandri. 2009. “Asas-Asas Pembentukan Perundang-Undangan Yang Baik”
Jakarta: Kencana.
Zainun, Buchari. 1995. “Administrasi Dan Manajemen Kepegawaian Pemerintah
Negara Indonesia”. Jakarta: PT Puro Gunung Agung.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian Pegawai Negeri Sipil (PNS)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
Nama : M Samsul Arifin
Tempat dan tanggal lahir : Salatiga, 22 Juni 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Surropati 41 RT 03/05 Togaten,
Mangunsari, Sidomukti, Salatiga
Email : [email protected]
B. Riwayat Pendidikan
a. SD Negeri Mangunsari 02 Tahun lulus 2006/2007
b. SMP Plus Bina Insani Tahun lulus 2009/2010
c. SMA Plus Bina Insani Tahun lulus 2012/2013
Salatiga, ……………………
Mahasiswa peneliti
M Samsul Arifin
NIM. 211 13 025