POLA KEADILAN DALAM PEMBERIAN NAFKAH PADA KELUARGA...
Transcript of POLA KEADILAN DALAM PEMBERIAN NAFKAH PADA KELUARGA...
POLA KEADILAN DALAM PEMBERIAN NAFKAH
PADA KELUARGA POLIGAMI (Studi Kasus pada Keluarga Poligami Salafi di Salatiga dan
Sekitarnya)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Ely Lidiana
NIM: 212 14 008
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA 2018
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan arahan dan
koreksi, maka naskah sekripsi mahasiswa :
Nama : Ely Lidiana
NIM : 212-14-008
Judul : POLA KEADILAN DALAM PEMBERIAN
NAFKAH PADA KELUARGA POLIGAMI (Studi
Kasus Pada Keluarga Poligami Salafi di Salatiga
dan Sekitarnya)
dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 3 Oktober 2018
Pembimbing
Sukron Ma'mun, S.H.I., M.Si.
NIP. 197904162009121001
iv
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH Jl. NakulaSadewo V No. 9 Tlpn. (0298) 3419400 SalatigaKodePos 50721
Website : http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail : [email protected]
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
POLA KEADILAN DALAM PEMBERIAN NAFKAH PADA KELUARGA POLIGAMI
(Studi Kasus Pada Keluarga Poligami Salafi di Salatiga dan Sekitarnya)
Oleh:
Ely Lidiana
212-14-008
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari senin tanggal 19
November 2018 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum.
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Muh. Hafidz, M. Ag. :
Sekretaris Penguji : Heni Satar Nurhaida, S.H., M .Si. :
Penguji I : M. Yusuf Khummaini, S.H.I., M.H :
Penguji II : Tri Wahyu Hidayati, M .Ag. :
Salatiga, 19 Oktober 2018 Dekan Fakultas Syari‟ah
Dr. Siti Zumrotun, M. Ag.
NIP: 19670115 199803 2 002
v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ely Lidiana
NIM : 212-14-008
Jurusan : Hukum Keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhsiyyah)
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi : POLA KEADILAN DALAM PEMBERIAN NAFKAH PADA
KELUARGA POLIGAMI (Studi Kasus Pada Keluarga
Poligami Salafi di Salatiga dan Sekitarnya)
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri,
bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 3 Oktober 2018
Yang menyatakan
Ely Lidiana
NIM : 212-14-008
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Jadikan hidup ini bermanfaat untuk semua mahluk PERSEMBAHAN
Untuk ketiga jagoan neon saya yang selalu jadi spirit tersendiri dalam
hidup saya (Helmi Aziz Saputra, Nyouluh Sasana Arya Tedja, Aslam
Ahmad Al-Faruq) bisa berdiri tegak dan selalu berdiri tegak karena
kalian.
Untuk Abey (good husband) yang setia dan sabar dengan secangkir
kopinya untuk saya.
Dan untuk penghuni kamar depan yang selalu heboh dengan
problematika masing-masing (Umami, Mutoh, Liya, Aini) tak
ketinggalan Kholiq yang siap direpotin. Transfer semangat buat
Amirudin Firman Asadid (must be Stronger).
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pola Keadilan Dalam Pemberian
Nafkah Pada Keluarga Poligami” (Studi Kasus Pada Keluarga Poligami
Salafi di Salatiga dan Sekitarnya). Shalawat dan salam semoga terus
terlimpahkan kepada Rasulullah SAW, para sahabat dan para pengikutnya
yang setia. Dan semoga kita layak mendapatkan syafa‟at Beliau kelak pada
hari perhitungan amal. Aaamiiin...
Skripsi ini terselesaikan tentu saja tidak lepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag Selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN
Salatiga.
3. Bapak Dr. Ilyya Muhsin, S.H.I., M. Si. Wakil Dekan III Fakultas Syari‟ah
IAIN Salatiga.
4. Bapak Sukron Ma‟mun, S.H.I., M.Si Selaku Ketua Jurusan Hukum
Keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhsiyyah) IAIN Salatiga sekaligus Dosen
Pembimbing Akademik dan Dosen Pembimbing Skripsi.
5. Bapak M. Yusuf Khummaini, S.H.I., M.H. Selaku dosen sekaligus
Direktur LKBHI IAIN Salatiga.
viii
6. Semua Civitas IAIN Salatiga.
7. Kedua orangtuaku yang senantiasa mendoakan perjuangan anaknya.
8. Semua guru-guruku yang telah membimbing dan mendidikku.
9. Suami dan anak-anakku tercinta yang selalu menjadi motivasiku.
10. Teman-temanku semua yang telah membantu dan mendukungku
terkhusus ASNR 14.
11. Semua pihak yang telah berjasa dalam menyelesaikan skripsi ini sampai
selesai.
Akhir kata, penulis hanya bisa mendoakan semoga semua pihak yang
telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini selalu mendapat limpahan
rahmat, berkah dan hidayah Allah SWT. Semoga penulis juga mendapatkan
ilmu yang bermanfa‟at, barokah dunia sampai akhirat. Aaamiin...
Salatiga, 3 Oktober 2018
Penulis
ix
ABSTRAK
Lidiana, Ely. 2018. Pola Keadilan Dalam Pemberian Nafkah Pada Keluarga Poligami (Studi Kasus Pada Keluarga Poligami Salafi di Salatiga dan
Sekitarnya). Skripsi. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Fakultas Syari‟ah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Sukron Ma‟mun, S. H.I., M. Si.
Kata Kunci: Poligami, Keadilan, Nafkah, Salafi
Penelitian ini adalah salah satu upaya untuk mengungkap secara lebih dalam dan lebih spesifik akan pola pembagian nafkah yang dilakukan oleh suami terhadap istri-istrinya dalam sebuah pernikahan poligami. Dan merupakan salah
satu penelitian yang bertujuan mengungkap bagaimana pandangan dan rasa yang timbul dari masing-masing istri selama menjalani pernikahan poligami yang
selama ini jarang dipertanyakan atau jarang sekali terungkap. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana konsep penerapan keadilan serta respon dari istri-istri tersebut dalam menanggapi pola pemberian nafkah yang
diterima dalam keluarga poligami? (2) Bagaimana mereka menyampaikan rasa ketidak adilan terhadap suami dalam pola pemberian nafkah? (3) Bagaimana
perspektif hukum Islam dalam penerapan keadilan pada keluarga poligami salafi? Lokasi penelitian adalah keluarga-keluarga pelaku poligami salafi di
Salatiga dan Sekitarnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analisis
dengan pendekatan fenomonologi. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi.
Berdasar pada hasil analisis terhadap hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa semua istri atau perempuan dalam mazhab salafi sependapat bahwa poligami merupakan syariat yang tertulis dalam al-Qur‟an dan yang sudah
dicontohkan oleh Nabi Saw. maka tidak ada alasan untuk tidak meyakini atau menentang adanya poligami dalam Islam. Sementara untuk masalah keadilan yang
diterima selama menjalani pernikahan secara poligami beraneka ragam, tergantung dari awal proses pernikahan poligami yang dijalani. Sehingga menimbulkan banyak pendapat akan pola penerapan pembagian nafkah yang
diterima masing-masing istri dari masing-masing suami. Dimana pada akhirnya dapat memberikan kesimpulan bahwa poligami bukanlah sebuah hal yang mudah
yang setiap orang dapat melakukannya. Tanpa sebuah alasan yang benar pernikahan poligami hanya akan menimbulkan dampak negatif bagi beberapa pihak terutama pada keluarga inti yaitu suami itu sendiri, istri beserta anak apabila
pernikahan poligami dilakukan tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi Saw. dan para sahabat. Dampak negatif yang paling tampak dalam sebuah pernikahan poligami tersebut adalah adanya ketidak adilan yang diperoleh oleh
masing-masing individu yang masuk dalam lingkup keluarga poligami.
x
DAFTAR ISI
JUDUL..................................................................................................................... i
LEMBAR BERLOGO .......................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... iii
PENGESAHAN .................................................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .............................................................v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN....................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
ABSTRAK............................................................................................................. ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
B. Rumusan masalah ............................................................................ 11
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 11
D. Manfaat penelitian............................................................................ 12
E. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 12
F. Metode penelitian............................................................................. 19
G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 24
xi
BAB II POLIGAMI DALAM TINJAUAN SYARIAT ISLAM
A. Pengertian Poligami ......................................................................... 26
B. Poligami Dalam Islam...................................................................... 27
C. Syarat Poligami Dalam Syariat Islam .............................................. 55
D. Poligami Dalam Perspektif Ulama................................................... 66
E. Pembagian Nafkah Rasulullah dalam Pernikahan Poligami.............74
BAB III Potret Poligami Dalam Keluarga Salafi di Salatiga dan Sekitarnya
A. Pengertian Salafi .............................................................................. 79
B. Sejarah Salafi Indonesia................................................................... 83
C. Potret Poligami Dalam Keluarga Salafi ........................................... 88
BAN IV Konsep dan Penerapan Pola Keadilan Dalam Poligami Keluarga
Salafi Dalam Pespektif Hukum Islam
A. Konsep dan penerapan keadilan keluarga poligami salafi ............. 113
B. Respon dan Sikap terhadap Penerapan Keadilan Poligami Keluarga
Salafi ..................................................................................................... 126
C. Perspektif hukum Islam dalam penerapan keadilan pada keluarga
poligami salafi....................................................................................... 130
xii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 134
B. Saran............................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 138
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam diyakini sebagai agama yang menebar rahmat lil alamin (rahmat
bagi alam semesta), dan salah satu bentuk rahmat yang dibawanya adalah
ajaran tentang perkawinan. Perkawinan merupakan aspek penting dalam
ajaran Islam. Di dalam al-Qur‟an dijumpai tidak kurang dari 80 ayat yang
berbicara soal perkawinan, baik memakai kata nikah (berhimpun), maupun
menggunakan kata zawwaja (berpasangan). Keseluruhan ayat tersebut
memberikan tuntunan kepada manusia bagaimana seharusnya menjalani
perkawinan.1
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal.
Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suami-
istri saling bantu-membantu serta saling lengkap melengkapi. Kedua, masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan
kepribadian itu suami-istri harus saling membantu. Ketiga, tujuan terakhir
yang ingin dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia
yang sejahtera dan material.2
1 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan
Gender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999), hlm. 1. 2 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi kritis
Perkembangan Islam Dari Fiqih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana Paramedia
Group, 2014), hlm. 51.
2
Tidak hanya itu, perkawinan merupakan salah satu perintah dalam
agama dimana sebagai umat Islam yang memiliki Al-Qur‟an dan Al-Hadist
sebagai pedoman yang harus diikuti banyak sekali membahas tentang masalah
perkawinan diantaranya dalil-dalil tersebut adalah surat Ar-Ruum 21:
Artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kaum
yang berfikir.3
Dan juga hadist Rasulullah Salallahualaihiwassalam yang dalam berbunyi:
ص سامون عن ط ال توت ازواج اميب عن اوس بن مال رض قال: جاء ر
ا و م ثقام وا كن ا اخب ص. فوم ص؟ قد عبادة اميب ن من اميب فقاموا: و ان ن
ر وما ثبخ م من ذهب ل اتدا. و .غفر الله ما ثقد ا ان فان اصل انو : ام قال احده
ر و لا افطر اتدا. و قال آخ ر: و ان اعتل امساء فلا قال آخر ان اصوم الد
ن قوت كذا و كذا؟ ام م. فقال اهت امقوم ال ج اتدا. فجاء رسول الله ص اهي ا احزو
. مكن اصوم و افطر و ج و الله ان لاخشاك لله و اثقاك ل اصل و ارقد و احزو
ت فوس من ما .امساء. فمن رغة عن س امبخارى و انوفظ ل و مسلم و غير Dari Humaid bin Abu Humaid Ath Thawil bahwa ia mendengar Anas bin
Malik radliallahu „anhu berkata; Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi shallahu „alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallahu
„alaihi wasallam, Dan setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka, Mereka berkata; “ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallahu „alaihi wasallam, bukanlah
beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?. Salah seorang dari mereka berkata; “Sungguh, aku akan shalat
3 Seluruh termahan Al-Qur‟an yang digunakan dalam skripsi ini adalah hasil terjemahan
Kementerian Agama RI, 2010.
3
malam selama-lamanya”. Kemudian yang lain berkata; “Kalau aku, maka
sungguh, aku akan berpuasa dahr (setehun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi; “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-selamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah shallahu „alaihi
wasallam kepada mereka seraya bertanya; “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di
antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta aku menikahi wanita. Barang siapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku”.4
Dari paparan dalil diatas menerangkan perintah untuk melaksanakan
perkawinan yang merupakan sunnah harus diikuti sebagaimana yang telah
diajarkan dan dicontohkan oleh beliau sendiri Rasulullah shallahu „alaihi
wasallam.
Bahkan perkawinan sendiri tertuang dalam undang-undang no.1 tahun
1974 yang mengatur dan melindungi perkawinan itu sendiri. Dimana,
Perkawinan adalah sebuah hubungan atau ikatan lahir batin antara laki-laki
dan perempuan. Perkawinan yang baik akan menghasilkan sebuah keluarga
yang sakinah, mawaddah, warohmah. Keluarga disini maksudnya adalah
sebuah keluarga yang mana istri memenuhi hak dan kewajibannya sebagai
seorang istri dan suami melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai suami.
Dan apabila para pihak telah melaksanakan kewajiban masing-masing maka
keluarga yang ideal atau keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah akan
terwujud. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
4 ”Anjuran Menikah Dan Larangan Membujang”, http://1001hadist.blogspot.com/2012/01/1-
anjuran-menikah-dan-larangan.html/m=1, diakses pada tanggal 20 Maret 2018 pukul 15.12.
4
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.5
Tidak hanya pernikahan monogami yang menjadi asas perkawinan di
Indonesia, tetapi ada beberapa dalil yang menerangkan tentang perkawinan
lebih dari satu istri yang disebut Poligami. Pernikahan poligami ini tertuang
beserta ketetapan dan hukumnya. Allah menetapkan ketetapan poligami pada
surat An-Nisaa‟ ayat 3:
Artinya, Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki, yang demikian tu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Perlu diketahui bahwa praktek poligami telah terjadi jauh sebelum masa
Rasulullah SAW yaitu pada masa jahiliyah bahkan jauh pada masa nabi-nabi
sebelumnya. Namun yang membedakannya praktek poligami pada masa
sebelum diturunkannya ayat tentang batasan poligami adalah bilangan isteri
yang tak terbatasi.Dimana secara logika akan jauh lebih sulit untuk bisa
berlaku adil.
5 Nuansa Mulia, Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan)
dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974, UU No.1 Tahun 2004, UU No.23 Tahun 2011, Fatwa
MUI Tentang Perkawinan, Fatwa MUI tentang Perkawinan Beda Agama, Fatwa MUI Tentang
Wakaf Uang, Fatwa MUI Tentang Zakat , (Bandung: CV. Nuansa Mulia, 2012), hlm. 76.
5
Dan ketika ayat tersebut turun maka serta merta seluruh sahabat
Rasulullah SAW menceraikan isteri-isterinya dan menyisakan empat
terkecuali Rasulullah sendiri yang diperbolehkan memiliki lebih dari empat
dengan tujuan untuk kemaslahatan dalam penyebaran agama Islam pada masa
itu.Kembali pada bahasan surat An-nisaa‟ ayat 3 tentang diperbolehkannya
berpoligami dan diwajibkanya berlaku adil tentu sangat berarti dalam
pelaksanaan praktek poligami pada masyarakat. Baik dari masyarakat dengan
status sosial yang tinggi seperti kalangan darah biru, pejabat, ulama,
pengusaha, artis dan masyarakat biasa pada umumnya.
Namun pada umumnya pernikahan poligami ini tidak serta merta
berjalan dengan baik seperti yang dikehendaki.Karena banyaknya poligami
yang dilakukan oleh publik figur dan akses sosial media yang begitu mudah
dimana setiap konflik poligami yang mereka jalani terexpose ke masyarakat
luas. Dan menimbulkan sebagian masyarakat memandang bahwa poligami itu
membawa dampak negatif diantaranya tindakan tidak adil, diskriminasi
terhadap wanita dan anak-anak, sebatas pelegalan syahwat hingga terjadinya
KDRT dalam rumah tangga.
Rasanya sudah menjadi ciri khas bila adanya sebuah ketetapan hukum
pasti ada perlawanan didalamnya. Tidak sedikit perlawanan yang dilakukan
untuk menentang pernikahan poligami ini.Terutama adanya perkumpulan
kaum feminis yang begitu gencar menyuarakan untuk tidak diperbolehkannya
pernikahan poligami dengan alasan melanggar HAM dan perlidungan anak.
6
Mernissi, merupakan salah satu feminis Muslim kontemporer yang
cukup keras dalam menentang praktik poligami. Poligami menurut mernissi
merupakan salah satu cara bagi laki-laki untuk merendahkan wanita secara
seksual. Selain Mernissi, Siti Musdah Mulia aktivis feminis muslim Indonesia
juga tercatat sebagai penentang poligami. Pada 2004, Mulia bersama koalisi
organisasi perempuan yang berbasis di jakarta mengajukan counter legal draft
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, yang berisi tuntutan agar negara
menerbitkan undang-undang yang mengatur larangan poligami. Meski
tuntutan tersebut diabaikan pemerintah, dalam diskursus di ruang publik
Indonesia, aktivis muslim penentang poligami cukup aktif memperjuangkan
aspirasi mereka.6
Lain lagi dengan masalah dendam yang tak pernah padam. Kadang –
kadang anak cucu ikut terlibat secara emosional maupun secara fisik dalam
pergolakan yang diakibatkan oleh nenek atau kekeknya maupun keluarga
yang lainnya akibat hubungan kekerabatan vertikal maupun horisontal. Jangan
lupa masalah yang dialami oleh hampir separo istri, misalnya terserang
gangguan mental. Kadang - kadang dapat dilihat pada wanita yang meledak
marah di tengah khalayak ramai, sehingga tidak menyadari dimana mereka
berada. Bahkan mereka tidak ragu-ragu menyerang madunya, suara ingar-
bingar yang keluar dari mulut kedua belah pihak sudah tidak terkontrol lagi,
6 Muhammad Ansor, Ijtihad “Berbagi Suami Atas Nama Tuhan: Pengalaman Keseharian
Perempuan Dipoligami di Langsa”, (Salatiga: Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Salatiga,
2014), hlm. 42.
7
dengan mengorek segala perbendaharaan gelap bahasa yang tak layak
diucapkan. Malah tak jarang suami-istri pun akhirnya saling memukul.7
Sehingga memunculkan pula anggapan bahwa, pada masa sekarang ini
adalah banyak orang yang kawin poligami tidak dapat menemukan
kedamaian, rumah tangganya berjalan tidak stabil dan senantiasa diamuk
keguncangan. Percecokan selalu terjadi antara istri pertama dan suami atau
istri pertama dengan istri muda. Hubungan yang terjalin diantara mereka tidak
bersendikan cinta kasih sayang sebagaimana mestinya, tetapi diwarnai saling
dengki dan fitnah memfitnah.8
Berdasarkan beberapa hal diatas yang merupakan pandangan negatif
poligami maka, disini penulis akan menyajikan serta memaparkan bahwa apa
yang masyarakat umum nilai tentang pernikahan poligami yang lebih banyak
sisi negatifnya daripada sisi positifnya tidak selamanya benar, bahwa apa
yang tertuang dalam dalil al-Qur‟an itu yang benar, hanya saja objek
pelakunya yang kurang faham akan nilai sebuah pernikahan dan nilai keadilan
yang terdapat didalamnya. Nyatanya ada juga pernikahan poligami yang
datang dari masyarakat dengan status sosial,ekonomi yang biasa saja. Bahkan
pernikahan yang dijalani hingga mencapai paripurna tanpa terjadi konflik
yang berarti dan berakibat fatal dalam rumah tangga seperti yang menjadi
doktrin dalam masyarakat pada umumnya. Terlepas dari pernikahan itu sah
menurut undang-undang atau sah menurut agama.
7 Haminah Ja‟afar, Siapa Pencemar Poligami, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm. 165.
8 Supardi Mursalin M, Menolak Poligami Studi Tentang Undang-Undang Perkawinan Dan
Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 35.
8
Poligami sendiri adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak
(suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang
bersamaan dan laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu
dikatakan bersifat poligami.9 Dengan kata lain penulis ingin memaparkan
bahwa tujuan pernikahan baik itu monogami dan poligami adalah sama,
dimana setelah terjadinya pernikahan hal yang paling diinginkan adalah
menjalani kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah.
Adapun syarat yang diberikan dalam hukum positif Indonesia untuk
melakukan pernikahan poligami bagi seseorang telah diatur dalam UU No.1
Tahun 1974 pasal 4 jo pasal 41 PP No.9 tahun 1975 jo pasal 57 Kompilasi
hukum Islam yaitu:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan
Khoirudin Nasution menjelaskan bahwa perundang-undangan
perkawinan Indonesia tentang poligami berusaha mengatur agar laki-laki yang
melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar: (1) mampu secara
ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan (sandang, pangan
dan papan) keluarga, istri dan anak-anak, serta (2) mampu berlaku adil
terhadap isteri-isterinya. Sehingga istri-istri dan anak-anak dari suami
poligami tidak disia-siakan. Perundang-undangan Indonesia terlihat berusaha
9Musdah Mulia, Pandangan Islam, hlm. 1.
9
menghargai istri sebagai pasangan hidup suami. Suami yang akan berpoligami
harus lebih dahulu mendapat persetujuan istri. Untuk mencapai tujuan ini,
semua perundang-undangan Indonesia memberikan kepercayaan yang sangat
besar kepada hakim di Pengadilan Agama. Disisi lain hal ini tentunya
membuka peluang bagi masyarakat untuk berpoligami.10
Di salatiga sendiri dan sekitarnya, terdapat beberapa pasangan keluarga
pelaku praktik poligami. Umumnya, dalam keluarga poligami ini memiliki
dua orang istri. Ada yang tinggal dalam satu wilayah dengan jarak yang tidak
berjauhan, ada yang tinggal dalam satu rumah dan ada pula yang tinggal beda
kota. Hal ini dikarenakan latar belakang dan profesi dari keluarga yang
berbeda juga.
Pada umumnya alasan pernikahan poligami lebih didominasi dari
kemampuan seorang suami dalam memberikan nafkah. Pemberian nafkah
yang diberikan merupakan sebuah kewajiban bagi suami terlepas dari
keterbatasan seorang istri. Sedangkan pemberian nafkah yang diberikan
haruslah bisa memenuhi rasa keadilan pada anggota keluarganya, terutama
terhadap istri-istrinya yang berupa pemberian nafkah lahir maupun batin.
Bagaimana pun juga keadilan itu adalah sebuah rasa, karena adil dan
tidaknya seseorang terhadap orang lain tidak bisa di nilai dari lahirnya saja.
Adakalanya dalam pandangan masyarakat pada umumnya seseorang itu sudah
memberikan keadilan pada orang lain namun, kenyataannya tidak begitu.
10
Miftah Ilham Irfani, Motifasi Poligami Aktifis Tarbiyah Studi Kasus Poligami Aktifis
Keluarga Tarbiyah di Salatiga dan Klaten, Skripsi (Salatiga: IAIN Salatiga, 2017), hlm. 6-7.
10
Menurut Jhon Rawls dalam bukunya A Theory of Justice
mengemukakan secara ringkas perkembangan rasa keadilan sebagaimana
diduga akan terjadi ketika institusi-institusi yang adil telah berdiri kokoh dan
diakui keadilannya. Dimana prinsip-prinsip psikologi moral mendapatkan
porsi tersendiri. Dan menekankan fakta bahwa prinsip-prinsip itu adalah
prinsip-prinsip yang bersifat resiprok (timbal-balik) dan ini menghubungkan
dengan pertanyaan tentang stabilitas relatif. Hal ini disimpulkan dengan
sebuah pemeriksaan terhadap sifat-sifat alami dalam kebajikan di mana
manusia berhutang jaminan kesetaraan keadilan, dan yang menentukan
landasan alami bagi kesetaraan.11
Masih menurut Jhon Rawls dalam buku yang sama dijelaskan bahwa
konsepsi keadilan secara umum tidak menerapkan batasan pada jenis
ketimpangan apa yang diperbolehkan. Ia hanya mengharuskan agar posisi
semua orang bisa diperbaiki. Maka ketidak adilan adalah ketimpangan yang
tidak menguntungkan semua orang.12
Dari paparan diatas peneliti ingin meneliti tentang bagaimana praktik
pemberian nafkah pada pernikahan poligami. Sehingga penulis bisa tahu
apakah sudah terpenuhi rasa keadilan dalam pernikahan tersebut. Untuk itu
penulis memberi judul pada penelitian ini “POLA KEADILAN DALAM
PEMBERIAN NAFKAH PADA KELUARGA POLIGAMI” (Studi Kasus
Pada Keluarga Poligami Salafi di Salatiga dan Sekitarnya), dimana besar
harapan peneliti untuk kemudian hasil penelitian bisa memberikan informasi,
11
Jhon Rawls, A Theory of Justice “Teori Keadilan, Dasar-Dasar Politik Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 591. 12
Ibid, hlm. 74-75.
11
kontribusi dan membuka wawasan masyarakat luas tentang bagaimana cara
pemberian nafkah pada keluarga poligami.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas peneliti ingin merumuskan pokok masalah
menjadi beberapa hal, yaitu:
1. Bagaimana konsep penerapan keadilan serta respon dari istri-istri
tersebut dalam menanggapi pola pemberian nafkah yang diterima
dalam keluarga poligami?
2. Bagaimana Istri-istri poligami menyampaikan rasa ketidak adilan
terhadap suami dalam pola pemberian nafkah?
3. Bagaimana penerapan keadilan di keluarga poligami salafi perspektif
hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Berdasar pada rumusan masalah diatas tujuan penulis dalam meneliti
adalah:
1. Mengetahui pola pemberian/pembagian serta cara para istri-istri
tersebut menyikapi bentuk nafkah yang diterima
2. Mengetahui bagaimana mereka menyampaikan rasa ketidak adilan
terhadap suami dalam pola pemberian nafkah yang diterima
3. Mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam dalam penerapan
keadilan pada keluarga poligami salafi
12
D. Manfaat penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dilaksanakan yaitu:
1. Secara teoritis dapat memberikan kontribusi dalam khasanah
pengembangan ilmu hukum terutama pengetahuan tentang poligami.
Dan mengetahui adanya praktik poligami di lapangan.
2. Secara praktis dapat memberikan sumbangan dan informasi tentang
praktik poligami sesuai dengan fakta yang terjadi.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam kehidupan keluarga yang berlatar belakang dan karakter yang
bermacam-macam, tentunya sering terjadi konflik, namun itulah sebagai
bumbu keharmonisan suatu keluarga. Bahkan tubuh kita yang sudah sangat
sempurnapun terkadang mengalami rasa sakit, tetapi rasa sakit itu sebagai rasa
syukur kita akan nikmat sehat yang luar biasa.13
Tak terkecuali pada keluarga poligami yang tak akan lepas pula dengan
sebuah konflik, entah konflik yang berhubungan dengan materiil maupun in
materiil.
Banyak sekali karya ilmiah yang membahas tentang pernikahan
poligami yang peneliti temukan, baik berupa jurnal, buku bahkan karya ilmiah
yang berupa skripsi diantaranya:
Skripsi Jeni Muliana dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap
Praktik poligami Pada Komunitas Petani (Studi Kasus Desa Kepuharjo,
13
Hasbiyallah, Keluarga Sakinah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015) hlm.38.
13
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman)”. Dimana skripsi ini memiliki
dua rumusan masalah yaitu; Faktor apa saja yang mendorong terjadinya
poligami di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman;
Bagaimana status hukum praktek poligami komunitas petani Desa Kepuharjo
perspektif Hukum Islam. Dalam karya ilmiah ini peneliti menggunakan
penelitian field reseach dimana peneliti terjun langsung kelapangan dengan
menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif analisis yang
merupakan sifat penelitiannya memberikan analisis langsung terhadap semua
hal yaang menyangkut poligami sehingga masyarakat mampu memahami dan
menggambarkan tentang fenomena yang terjadi. Hasil dari penelitian yang
dilakukan adalah faktor yang dominan dalam pernikahan poligami didasari
adanya kebutuhan biologis yang tidak tercukupi hanya dengan satu istri
dimana kebutuhan sex yang luar biasa sehingga mau tidak mau memaksa sang
suami untuk menikah lagi demi terpenuhinya kebutuhan tersebut. Adanya rasa
saling suka antar laki-laki dan perempuan meski sang laki-laki sudah terikat
dalam pernikahan. Kurangnya pemahaman tentang pernikahan poligami yang
diatur baik secara agama dan maupun diatur dalam UU No.1 Tahun 1974
sehingga mereka leluasa melakukan pernikahan poligami tanpa
mengindahkan tujuan poligami dan syarat sah tidaknya mereka berpoligami.14
Skripsi Muhammad Alfatih dengan judul “Pandangan Janda Tentang
Poligami (Studi Kasus Pondok Hidayatullah Balikpapan)”. Sama seperti
skripsi diatas, skripsiini juga memiliki dua rumusan masalah yaitu;Bagaimana
14
Jeni Muliana, Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik poligami Pada Komunitas Petani
Studi Kasus Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Skripsi (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2013).
14
pandangan janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan tentang
poligami; Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pandangan janda di
Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan tentang poligami. Penelitian ini
dilakukan menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dengan
menggunakan pendekatan sosial terhadap pandangan janda di Hidayatullah
tentang poligami (Studi Kasus Pondok Pesantren Hihayatullah Balikpapan).
Adapun sifat penelitian ini adalah studi kasus dengan mengumpulkan data
yang diperlukan menggunakan observasi dengan teknik wawancara dan
angket yang di dalamnya terdapat pertanyaan tentang poligami. Hasil
penelitian Pertama, poligami merupakan syari‟at yang harus diyakini
keberadaanya dan menjalankan jika hal itu benar-benar harus diamalkan tanpa
ada tawaran. Sebaliknya, jika ada amalan yang lain amalan yang lebih mudah
dan dapat mengantarkan kita pada kemaslahatan orang banyak, maka hal
tersebut lebih baik agar tidak terjadi permasalahan dalam rumah tangga.
Seoarang istri pasti mengetahui sejauh mana kemampuan suaminya. Oleh
karena itu, lebih baik suami tidak poligami itulah harapan dari seorang istri,
“tidak usah poligami”. Selain itu hukum poligami itu mubah. Oleh karena itu,
tidak boleh ada paksaan dalam berpoligami. Kedua, suami tidak bisa berlaku
adil terhadap istri-istrinya. Hal itu karena bapak-bapak yang berada di Pondok
Pesantren Hidayatullah Balikpapan rata-rata adalah seorang da‟i yang dalam
kesehariannya tidak bersama-sama keluarga. Secara manusiawi, manusia
memang tidak mampu berlaku adil secara sempurna, namun usaha untuk
memenuhi tuntutan dan tanggung jawab untuk berbuat yang terbaik bagi
15
keluarga adalah keharusan. Ketika seorang suami yang berpoligami telah
berusaha semaksimal mungkin untuk berlaku adil, hal itu merupakan toleransi
baginya. Ketiga, Niat menolong karena Allah swt dan Rasul-Nya.
Sebagaimana reialitas yang ada dari hasil penelitian bahwa, banyak para janda
dan gadis yang merindukan dan menginginkan status sebagi seorang istri yang
membutuhkan kasih sayang, perlindungan, penghormatan dan nafkah dari
seorang suami, serta anak-anak yang terlantar tanpa seorang ayah yang
membutuhkan kasih sayang dan didikan seorang ayah. Sehingga terciptalah
kesimpulan bahwa faktor tersebut mempengaruhi pandangan janda di Pondok
Pesantren Hidayatullah Balikpapan tentang poligami, menggambarkan
bahwasanya penerimaan terhadap poligami terbagi atas dua poin. Pertama,
responden yang menerima syari‟at poligami dan harus diyakini
keberadaannya serta dijalankan jika hal itu benar-benar dari Allah
Subhanahuwata‟ala dan Rasul-Nya, kedua, menerima poligami sebagai
syari‟at dan ketetapan Allah Subhanahuwata‟ala yang memang harus diyakini
keberadaanya, tetapi dengan syarat tertentu yang masih dalam batasan
kewajiban suami mampu berlaku adil, istri mandul, istri sakit dan tidak
mampu melayani suaminya, namun pada akhirnya tidak siap dipoligami.
Menerima syari‟at poligami merupakan syari‟at Allah swt dan harus diyakini
keberadaannya, tetapi dengan syarat yang diluar batas kewajiban. Misalnya
suami tidak mampu berbuat adil, poligami pada saat ini cenderung untuk
memenuhi nafsu semata, suami belum memenuhi keriteria unntuk
berpoligami, suami belum mampu secara finansial, serta pernyataan yang
16
diungkapkan bahwa dirinya tidak bisa bersabar, ihklas dan tidak mampu
berbagi, dan jika suami tetap berpoligami maka lebih baik bercerai. Poin
pertama jelas menerima syariat maupun realitas dalam kehidupann sehari-
hari. Adapun poin kedua, keyakinan tetap pada syari‟at, tetapi dalam syarat
tertentu yang masih dalam kewajaran, serta syarat tertentu yang tidak dalam
batasan kewajaran. Faktor di atas, merupakan gambaran berfikir terhadap
pandangan diantara janda Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan yang
didominasi oleh kepentinga pribadi tanpa melihat dan mempertimbangkan
kondisi sekarang, karena banyaknya contoh para pelaku poligami yang gagal
dan tidak sesuai dengan Rasulullah Salallahialaihiwasalam.15
Skripsi M. Rafel dengan judul “Perlindungan Hak Anak Dalam
Keluarga Poligami (Studi Atas Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan)”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut yaitu; Bagaimana
ketentuan pemberian perlindungan hak anak dalam pemberian izin poligami
menurut perlindungan undang-undang di Indonesia; Bagaimana upaya hakim
memberikan perlindungan hak anak ketika memutuskan izin poligami. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian yang berdasarkan pada penelitian
hukum yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris
(sosiologis) dengan jenis penelitian kualitatif yang difokuskan kepada
perlindungan hak anak dalam pemberian izin poligami di Pengadilan Agama
dengan berpedoman pada aturan hukum yang berlaku. Dengan hasil penelitan
meliputi tentang peraturan perundang-undangan di Indonesia dimana
15
Muhammad Alfatih, Pandangan Janda Tentang Poligami Studi Kasus Pondok Hidayatullah
Balikpapan, Skripsi (Balikpapan: Sekolah Tinggi Agama Hidayatullah, 2015).
17
pemberian perlindungan hak anak dalam izin poligami belum diatur secara
khusus, namun ada beberapa pasal yang terkait dengan perlindungan hak anak
dalam izin poligami diantaranya: Pasal 55 ayat 2 sampai ayat 3 Kompilasi
Hukum Islam yang mengatur tentang syarat utama beristri lebih dari satu
orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami
dilarang beristri lebih dari satu orang. Kemudian adanya upaya hakim dalam
memperhatikan perlindungan hak anak ketika memutuskan pemberian izin
poligami dapat ditemukan pada sidang pertama, yaitu ketika majelis hakim
memerintahkan kepada pihak yang bersangkutan untuk melakukan mediasi.
Dalam proses mediasi, mediator menanyakan alasan dan pertimbangan suami
untuk melakukan poligami, mediator juga memberikan nasehat terhadap pihak
yang bersangkutan berupa akibat yang timbul karena poligami, kemudian
hak-hak dan kewajiban suami terhadap para istri dan anak-anaknya. Apabila
proses mediasi dikatakan gagal maka persidangan pun dilanjutkan, kemudian
hakim tetap menanyakan apakah suami sanggup untuk berlaku adil terhadap
para istri dan anak-anaknya. Ada ukuran tertentu yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam memberi izin. Majelis hakim mempertimbangkan
dari penghasilannya, kesediaan istri untuk dimadu dan pernyataan suami
untuk bisa berlaku adil kepada para istri dan anak-anaknya. Akan tetapi hak
anak dalam hal untuk menyatakan dan didengar pendapatnya untuk setuju
atau tidak setuju ayahnya berpoligami tidak pernah dilakukan di Pengadilan
18
Agama Jakarta Selatan, karena anak tidak pernah dihadirkan dalam
persidangan di Pengadilan Agama.16
Dan yang terakhir skripsi dari Miftah Ilham Irfani yang berjudul
“Motivasi Poligami Aktivis Tarbiah (studi kasus poligami keluarga aktivis
dakwah tarbiyah di salatiga dan klaten)”. Dengan rumusan masalah sebagai
berikut,yaitu; Bagaimana pemahaman tentang poligami dalam keluarga
Aktivis Tarbiyah; Apa motivasi berpoligami di kalangan Aktivis Tarbiyah.
Jenis penelitiannya adalah penelitian lapangan field research, yaitu penelitian
diambil langsung dari informan dengan sifat penelitian deskriptif analisis
sehingga dari penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Kader
Aktivis Tarbiyah memahami pernikahan poligami yaitu pernikahan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dengan memperistri dua perempuan atau
lebih dalam satu waktu. Mayoritas sepakat dengan pernikahan poligami
karena hal tersebut merupakan ajaran Al-Qur‟an, di lakukan oleh Nabi
Muhammad dan para sahabatnya. Ada juga yang tidak sepakat akan hal
tersebut didasarkan pada alasan rasionalitas dan emosional. Pemahaman
tersebut didapat dari Murobbi yang disampaikan melalui Halaqah pekanan.
Sedang kan motivasi poligami oleh Aktivis Tarbiyah adalah untuk
mempunyai anak dan ingin mempunyai keturunan yang banyak. Hal tersebut
didasarkan pada tujuan pernikahan dan juga hadist Nabi Muhammad tentang
memperbanyak keturunan.17
16
M. Rafel, Perlindungan Hak Anak Dalam Keluarga Poligami Studi Atas Putusan Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Skripsi (Jakarta: UIN Syarief Hidayatullah, 2016). 17
Miftah Ilham Irfani, Motifasi Poligami.
19
F. Metode penelitian
Dalam hal ini Metodologi penelitian adalah proses atau cara ilmiah
untuk mendapatkan data yang akan digunakan untuk keperluan penelitian
Metodologi juga merupakan analisis teoretis mengenai suatu cara atau
metode.18
Oleh sebab itu metode yang penelitian yang penulis lakukan adalah
sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Karena metode yang dilakukan adalah metode penelitian deskriptif
analisis dengan pendekatan fenomonologi dimana peneliti akan
menganalisa dan menceritakan bagaimana cara para istri-istri dari
pelaku poligami dalam menyikapi pola pemberian nafkah yang
diberikan kepada mereka. Lazimnya penelitian fenomonologis
(penelitian yang mencoba menjelaskan atau mengungkap makna
konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang
terjadi pada beberapa individu), peneliti tidak akan memberi
justifikasi moral atau pun hukum terhadap praktik poligami,
melainkan „sekedar‟ menyajikan deskripsi pengalaman kehidupan
keluarga poligami dari sudut pandang perempuan.19
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan/field reseach dimana
peneliti mengambil langsung informasi dari sumbernya (informan).
18
”Metodologi Penelitian”, Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Metodologi_penelitian,
diakses pada tanggal 4 Januari 2017 pukul 20.34. 19
Muhammad Ansor, Berbagi Suami, hlm. 45.
20
Dan objek utama yang diteliti adalah istri-istri dari keluarga poligami
pada jamaah salafi di Salatiga dan sekitarnya.
3. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini peneliti bertindak secara langsung dalam
pengumpulan data-data yang diperlukan. Selain itu peneliti juga
menggunakan alat-alat penunjang dalam pengumpulan data tersebut
seperti dokumen-dokumen keabsahan,rekaman wawancara dan
dokumentasi.
4. Subjek Penelitian
Subjek penelitian untuk kali ini pada keluarga poligami yang berada
di wilayah Kota Salatiga dan sekitarnya, keluarga-keluarga tersebut
terdiri dari latar belakang dan profesi yang berbeda-beda, beberapa
diantaranya tokoh ulama yang kesehariannya mengasuh sekolah
Islam terpadu dan mengisi beberapa kajian agama di daerah
sekitarnya. Ada juga sebagai pengajar yang mengajar pada sekolah-
sekolah Islam terpadu atau sebagai akademisi yang mengajar pada
sebuah fakultas,. Dan ada beberapa yang berprofesi sebagai
wirausaha.
5. Sumber Data
a. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari
tinjauan pustaka.
b. Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung
dari sumber pertama sebagai objek penelitian dengan jalan
21
wawancara kepada pelaku poligami dan seluruh anggota keluarga
yang terkait.
6. Metode pengumpulan data
a. Wawancara yaitu tehnik wawancara yang merupakan kegiatan
atau metode pengumpulan data yang dilakukan dengan bertatapan
langsung dengan responden, sama dengan penggunaan daftar
pertanyaan. Dalam wawancara alat yang digunakan adalah alat
pemandu/interview guide.20
Dalam metode wawancara yang perlu diwawancarai adalah istri,
suami, dan keluarga terdekat. Hal ini perlu karena mereka sebagai
objek peneliti.
b. Observasi yaitu metode pengumpulan data dengan jalan
pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap
sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra.21
Di metode ini penulis akan memperhatikan kehidupan sehari-hari
yang dilakukan objek peneliti baik mengenai peranannya dalam
keluarga, dan pergaulannya dengan lingkungan sekitar.
c. Dokumentasi/foto yaitu pengumpulan data dari dokumen-
dokumen yang dapat memberikan keterangan atau bukti yang
berkaitan dengan proses pengumpulan dan pengelolaan dokumen
20
Moehar Daniel, Metode Penelitian Sosial Ekonomi , (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), hlm.
143. 21
Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek , (Jakarta: Rineka Cipta,
1998), hlm. 146.
22
secara sistematis serta menyebarluaskan kepada pemakai
informasi tersebut.
Pada umumnya foto memberikan gambaran tentang foto sebagai
data atau sebagai pendorong ke arah menghasilkan data dan
umumnya foto tidak digunakan secara tunggal untuk
menganalisis data. Dengan kata lain, sebaiknya foto digunakan
sebagai pelengkap pada cara dan tehnik lainnya.22
Dalam dokumentasi ini beberapa hal yang perlu diambil
diantaranya foto subjek, foto dari dokumen pelengkap seperti
buku nikah, akta kelahiran dan beberapa surat-surat pelengkap.
d. Analisis Data
Analisis data adalah analisis yang dilakukan dalam suatu proses.
Proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak
pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif
sesudah meninggalkan lapangan penelitian.23
Dalam hal ini peneliti menggunakan jenis analisis penelitian
deskriptif kualitatif.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data dilakukan dengan wawancara silang
antara suami dan istri untuk mengkroscek ulang dan mendapatkan
akurasi data. Tujuannya tidak lain untuk lebih memperkuat bukti
22
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2014), hlm. 161-162. 23
Ibid, hlm. 281.
23
sebagai dasar pengambilan data pada fenomena pernikahan poligami
di Salatiga dan sekitarnya.
8. Tahap-tahap penelitian
Tahap penelitian yang digunakan dibagi menjadi beberapa hal seperti
berikut:
a. Tahap pra lapangan, yaitu tahapan yang dilakukan sebelum
melakukan penelitian seperti menentukan topik penelitian,
mencari informasi tentang keluarga poligami.
b. Tahap pekerjaan lapangan yaitu peneliti terjun langsung ke
lapangan dan mencari data yang diperlukan seperti
wawancara, melakukan observasi dan dokumentasi.
c. Tahap analisis, yaitu tahapan dimana bila semua data telah
terkumpul dan cukup maka selanjutnya adalah menganalisa
data-data tersebut dan menggambarkan hasil penelitian
sehingga bisa memberikan artian pada objek yang akan
diteliti.
d. Tahap penulisan hasil penelitian yaitu apabila semua data
telah terkumpul dan dianalisis dan dikonsultasikan kepada
pembimbing maka selanjutnya yang dilakukan peneliti adalah
menulis hasil penelitiannya sesuai dengan pedoman penulisan
yang telah ditentukan.
24
G. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan merupakan bab awal yang memiliki abstrak yang
menggambarkan sedikit tentang inti dari isi skripsi ini dibuat serta meliputi
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Dimana dalam bab I tersebut mencakup gambaran akan penelitian yang
dilakukan.
Bab II Kajian Pustaka adalah Tinjauan Umum tentang pernikahan poligami
seperti halnya pengertian poligami. Tidak hanya itu, dalam bab II ini juga
dikaji sejarah poligami, serta poligami dalam Islam yang notabene
memberikan gambaran akan perilaku poligami yang dilakukan Rasulullah
Saw. Dimana dalam bab ini pula ditulis secara rinci dan satu persatu poligami
Rasulullah dengan alasan-alasannya menikahi istri-istrinya. Bahkan dalam
bab ini juga penulis banyak mengkutip dan menulis tentang pendapat-
pendapat para tokoh ulama tentang pandangan mereka terhadap poligami serta
apa saja yang harus dilakukan dalam pernikahan poligami. Tak luput juga
dalam bab ini juga membahas makna sebuah keadilan dalam pernikahan
poligami.
Bab III Hasil Penelitian tidak lain adalah sebuah gambaran umum tentang
kehidupan rumah tangga dalam keluarga poligami. Pendapat para istri tentang
syariat poligami serta menceritakan bagaimana mereka bisa menjadi bagian
dari keluarga poligami. Disini juga akan diceritakan bagaimana sistem
komunikasi yang terbangun diantara anggota keluarga poligami tersebut.
25
Bab IV Analisis Data Terdiri dari tiga bagian analisis yaitu analisis tetang
pendapat para istri tentang syariat poligami. Pendapat tentang analisis konsep
pembagian nafkah yang diterapkan oleh suami terhadap masing-masing istri,
serta tentang analisis mengenai tatacara dalam menjalin komunikasi. Tidak
ketinggalan pula di bab ini juga diceritakan bagaimana cara menyikapinya.
Bab V Penutup Dimana penulis menyimpulkan apa yang penulis dapat dari
pembahasan bab-bab sebelumnya sehingga penulis bisa memberikan saran-
saran yang penulis sampaikan berdasarkan dari penelitian yang penulis
lakukan.
26
BAB II
POLIGAMI DALAM TINJAUAN SYARIAT ISLAM
A. Pengertian Poligami
Berbicara soal poligami memang tidak pernah ada habisnya, akan selalu
jadi perbincangan yang menarik dari berbagai kalangan. Poligami sendiri
banyak mengalami pertentangan dan perdebatan dikalangan masyarakat pada
umumnya. Namun tidak sedikit pula orang yang salah dalam memahami asal
usul poligami, mereka mengatakan bahwa pada dasarnya poligami itu dibawa
oleh ajaran Islam. Tetapi, sesungguhnya poligami sendiri ada jauh sebelum
ajaran Islam itu datang melalui Muhammad SAW.
Di Indonesia sendiri poligami telah ada jauh sebelum Islam masuk,
bahkan jauh sebelum Indonesia mengalami penjajahan. Poligami di Indonesia
pada jaman dahulu identik dilakukan oleh para raja, pengeran, pejabat dan
kepala suku. Poligami pada masa itu juga dianggap sebagai sistem
perbudakan pada kaum wanita, karena kaum wanita hanya diperlakukan
sebagai pemuas nafsu seksual semata dan hanya sebagai pengabdi dan
biasanya itu berlaku kepada wanita-wanita yang dijadikan istri kedua atau
hanya dijadikan sebagai selir semata.
Sebelum berbicara lebih lanjut akan poligami penulis akan mengupas
sedikit pengertian dari poligami. Dimana poligami secara etimologi berasal
dari bahasa yunani yaitu apolus yang artinya banyak dan gamos yang artinya
perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak.
27
Secara terminologi poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak
memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang
bersamaan.24
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan
secara umum bahwa arti atau pengertian dari poligami adalah poligami
sebagai sistem yang dipakai seorang laki-laki (suami) yang kawin lebih dari
satu wanita (istri).25 Singkatnya poligami adalah seorang suami yang memiliki
istri lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan.
B. Poligami Dalam Islam
1. Sejarah Poligami
Poligami sendiri sudah dilakukan secara meluas sejak sebelum
diutusnya Rasulullah SAW ke bumi membawa ajaran Islam. Dimana
poligami sudah dilakukan oleh berbagai suku bangsa baik non arab
ataupun arab. Dari pernikahan poligami itu, bahkan melahirkan keturunan
yang menjadi ras dari suku bangsa tertentu.
Diantara bangsa-bangsa yang mengamalkan poligami adalah bangsa
Ibrani, Arab jahiliyah dan Cisilia yang kemudian dari situ melahirkan
sebagian besar penduduk yang menghuni negara-negara seperti Rusia,
Poland dan Yugoslavia. Tidak ketinggalan pula orang Jerman dan Saxon
yang kemudian melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni
24
Haris Hidayatulloh, “Adil Dalam Poligami Pespektif Ibnu Hazm”, Religi: Jurnal Studi Islam,
vo. 6, no. 2, (oktober 2015), ISSN: 1978-306X: 207-236. 25
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2010), hlm. 693.
28
negara-negara seperti Jerman, Belanda, Denmark, Sweden, Norway dan
lain-lain.26
Dari pemaparan diatas makin meyakinkan bahwa, poligami sudah
ada jauh sebelum Islam datang. Hanya saja dalam Islam poligami lebih
diatur dengan baik karena poligami dalam Islam lebih bisa memelihara
martabat wanita bukannya mendzalimi. Dimana poligami dalam Islam
dibatasi hanya 4 istri dengan beberapa ketentuan dan syarat yang berlaku
baik dalam Al-Qur‟an dan Hadist.
Poligami tak hanya diperbolehkan dalam ajaran Islam. Menikah
lebih dari satu kali ini juga diizinkan dalam konsep ajaran Hindu. Bagi
orang bali zaman dahulu menikah dengan banyak istri menjadi
kebanggaan tersendiri. Terutama bagi kaum raja-raja kerajaan. Namun,
jika menikah lebih dari satu istri di sebut poligami, di agama Hindu
disebut dengan nama Tresna atau Kresna Brahmacari.27
Menurut Putu Wilasa, Ketua PHDI Kabupaten Buleleng
menyatakan bahwa memang tidak ada aturan tertulis yang membolehkan.
Namun, andaikata ada ajaran yang menyatakan boleh, tetap ada aturan
yang sangat ketat mengaturnya. Dalam Lontar Wrettisasana,buku
Silakrama, disebutkan salah satu dari bagian Catur Asrama yaitu
26
Zaini Nasohah, Poligami, (Kuala Lumpur: PERCETAKAN CERGAS (M) SDN. BHD, 2000)
hlm. 2. 27
M. Ilham Marjuk, Poligami Selebriti “Sunah Rasul atau Nafsu”, (Sidoarjo: Masmedia Buana
Pustaka, 2009), hlm. 8.
29
Brahmacari. Wilasa menjelaskan, konsep poligami menurut ajaran Hindu
terdapat pada salah satu bagiannya yaitu Kresna Brahmacari.28
2. Poligami Rasul
Tidak dipungkiri bahwa nabi kita Muhammad Rasulullah SAW
adalah salah satu contoh bagi umatnya dalam berbagai ilmu dan juga
tauladan dalam implementasi kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah
kehidupan pernikahan beliau. Dimana beliau adalah salah satu tokoh
poligami dalam Islam.
Jika dalam poligami yang dilakukan oleh Rasul kita bisa menelaah
lebih dalam untuk mengetahui apa rahasia dibalik poligami yang
dilakukan Rasulullah SAW, pastinya kita akan mengerti dan memaklumi
bahwa poligami yang dilakukan beliau motifnya bukan syahwat semata.
Sebagaimana yang banyak dilakukan pada jaman sekarang, sehingga bisa
mencoreng makna poligami itu sendiri. Ketidak tahuan itu juga dijadikan
salah satu penyebab terjadinya pro dan kontra dan suara-suara sumbang
dalam syariat Islam tentang pernikahan poligami.
Kurangnya pengetahuan orang-orang tersebut akan sejarah dan latar
belakang poligami yang dilakukan beliau SAW menyebabkan mereka
seenaknya menghujat utusan terakhir Allah SWT itu. Sampai-sampai ada
seorang muslim yang terang-terangan memilih menanggalkan
keIslamannya hanya gara-gara poligami yang dilakukan oleh Nabi SAW.
Mereka merasa malu; mereka pikir Nabi junjungan mereka doyan wanita.
28
Ibid, hlm. 9.
30
Terlebih ketika mereka juga tahu bahwa Aisyah, salah seorang istri beliau
SAW, masih sangat belia saat dinikahi. What a pity! Kedangkalan
pengetahuan akan agamanya sendiri sungguh telah melenakan mereka.29
Rasulullah menikah pada usia 25 tahun dengan janda yang berumur
40 tahun, beliau adalah Khatijah, istri pertama Rasulullah. Pernikahan
beliau berlangsung 25 tahun dan dikaruniai beberapa putra dan putri.
Bagaimana pernikahan beliau berlangsung dan dijalani secara monogami,
sementara pada masa itu lazimnya pernikahan dilakukan secara poligami
tanpa adanya batasan jumlah istri.
Beberapa tahun sepeninggal Khadijah, barulah beliau SAW mulai
menikah lagi. Dengan demikian, jelaslah bahwa tujuan beliau berpoligami
bukan berdasarkan alasan syahwat. Jika memang Nabi Muhammad SAW
hanya mencari kesenangan semata, tentulah tidak perlu beliau SAW
menunggu sampai berusia lebih dari 50 tahun, beberapa tahun setelah
ditinggal sang istri pertama, baru menikah lagi.30
Semua uraian dan penjelasan diatas bukanlah semata-mata
pembelaan dari kaum muslim terhadap hujatan poligami yang dilakukan
oleh junjungan mereka. Bukan, sama sekali bukan seperti itu. Setidaknya,
ada seorang profesor non muslim yang berkesempatan mempelajari
secara langsung mengenai sejarah dan kehidupan Nabi Muhammad SAW
dan akhirnya memiliki kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan
kaum nonmuslim lain pada umumnya. Profesor Jhon L. Esposito, seorang
29
Oktavia Pramono, Ya Allah, Jangan Biarkan Suamiku Poligami , (Jogjakarta: IN AZNA Books,
2013), hlm. 97. 30
Ibid, hlm. 98.
31
Professor Religion and Director of center for International Studies at the
College of the Holly Cross. Profesor L. Esposito mengatakan hampir
keseluruhan perkawinan Nabi Muhammad SAW adalah mempunyai misi
sosial dan politik (political and social motives). Demikian yang
dikatakannya dalam bukunya yang berjudul Islam the Straight Path,
terbitan Oxford University Press, tahun 1988.31
Salah seorang nonmuslim lainnya, yakni Caesar E. Farah, menulis
sebagai berikut: “In the prime of his youht and adult years Muhammad
consort”. Caesar Farah pun berkesimpulan bahwa perkawinan Nabi
Muhammad SAW lebih karena alasan politis dan alasan penyelamatkan
para janda yang suaminya meninggal dalam perang membela Islam. Dan
memang, jika melihat lagi ke sejarah, dapatlah diketahui apa alasan
sebenarnya perkawinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.32
Dalam menjalani kehidupan berkeluarga, Rasulullah dihadapkan
pada romantika rumah tangga. Istri-istri beliau dengan latar belakang
keturunan, watak, dan kepribadian yang berbeda sangat mewarnai
dinamika kehidupan beliau. Karena perbedaan keistimewaan yang mereka
miliki, tak ayal sering terjadi persaingan di antara mereka agar
diperlakukan dengan istimewa oleh Rasulullah SAW. Dalam menghadapi
kenyataan seperti itu, kadang kala beliau menyikapi dengan santun, baik,
lemah lembut, romantis bahkan adakalanya dengan tegas dan keras,
misalnya mencubit hidung, pisah ranjang, dan menceraikan.
31
Ibid, hlm. 99. 32
Ibid, hlm. 100.
32
Hiruk pikuk, romantika dan problem kehidupan keluarga Rasulullah
SAW sangatlah komplit. Sehingga menjadikan banyak tokoh-tokoh
muslim maupun nonmuslim menjadikannya sebagai kajian penelitian,
kemudian ditulis dan diterbitkan dalam berbagai buku dan literatur
dengan berbagai bahasa. Tidak perlu disembunyikan ataupun ditutup-
tutupi, termasuk masalah percintaan beliau bersama para istri-istri beliau
dan masalah rumah tangga beliau. Tentu saja tujuannya bukan untuk
membeberkan aib beliau, melainkan sebagai contoh dan cerminan secara
langsung.
Untuk lebih memahami bagaimana kehidupan pernikahan poligami
yang dijalani Rasulullah SAW dan apa tujuan sebenarnya, maka penulis
akan merangkum sekilas penjelasan dari beberapa nama istri Rasulullah
SAW:
a. Khadijah binti Khuwailid r.a
Khadijah dilahirkan di mekah. Ayahnya bernama
Khuwailid dan ibunya bernama Fathimah. Keduanya termasuk
keturunan bangsawan Qurays. Ditinjau dari silsilah keturunan,
Khadijah masih memiliki hubungan darah dengan Rasulullah,
yaitu sama-sama keturunan Qushay. Silsilah lengkap Khadijah
adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin
Qushay. Sementara itu silsilah Rasulullah adalah Muhammad bin
Abdullah bin Abdul Mutahlib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin
Qushay. Para ahli sejarah berpendapat bahwa diantara istri
33
Rasulullah yang silsilah keturunannya paling dekat dengan
Rasulullah adalah Khadijah.33
Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah pernah dua
kali menikah. Pertama dengan Athiq bin Abid yang juga seorang
keturunan bangsawan Qurays. Menurut riwayat, pernikahan
pertamannya ini menghasilkan dua anak, yaitu Abdullah bin
Athiq dan seorang anak perempuan yang tidak disebutkan
namanya. Anak perempuannya itu kemudian menikah dengan
Shaifi bin Rafiah. Pernikahan pertama Khadijah berakhir karena
Athiq bin Abid meninggal dunia.34
Khadijah kemudian menikah lagi dengan Nabasyi bin
Malik dari bani Usaid bin Amr bin Tamim yang merupakan
sekutu bani Abdul Dar. Pernikahan kedua itu juga membuahkan
dua anak, yaitu Halah bin Nabasyi dan Zainab binti Nabasyi.
Karena memiliki putra pertama bernama Halah, Nabasyi
mendapat panggilan Abu Halah. Pernikahan ini pun tidak kekal
karena Nabasyi meninggal Dunia.35
Dengan demikian, ketika menikah dengan Rasulullah,
Khadijah telah menjanda dua kali. Kedua suaminya tersebut
meninggalkan harta benda yang cukup banyak serta jaringan
perniagaan yang luas. Karena itulah Khadijah dikenal sebagai
33
Abdurahman Wahyudi, Muhammad‟s Lovers Pesona Cinta Kasih Rasulullah Bersama Istri -
istrinya, (Bandung: Oase Writers Managemen, 2010), hlm. 16. 34
Ibid, hlm. 17. 35
Ibid, hlm.18.
34
wanita pengusaha yang kaya dalam perdagangan. Sosok Khadijah
adalah seorang wanita yang luar biasa dan mencitrakan
kesempurnaan wanita. Jiwanya adalah perpaduan antara
kecantikan, kebijaksanaan, dan kemuliaan hati.36
Khadijah adalah wanita yang sangat disegani oleh seluruh
kaum Qurays, selain karena ahlak, keturunan juga kekayaannya.
Sehingga hampir semua yang dikatakan Khadijah merupakan
sebuah titah yang jarang orang akan menolaknya. Sehingga pada
saat Rasulullah SAW menikah dengan Khadijah Rasulullah
menjadi pusat perhatian dan kekaguman kaum Qurays.
Rasulullah sering menjadi tempat mengadu bagi orang-
orang Qurays dalam menyelesaikan masalah, perselisihan, dan
pertentangan sehingga orang banyak yang memberi beliau gelar
al-Amin. Semua itu menunjukkan tingginya kedudukan beliau di
tengah masyarakat pada masa sebelum kenabian beliau.37
Lima belas tahun setelah menikah dengan Khadijah, yaitu
ketika berumur 40 tahun, Muhammad pun diangkat menjadi
Nabi. Adapun Khadijah meninggal pada tahun yang bertepatan
dengan Mi‟raj-nya Nabi Muhammad SAW ke surga. Nabi
Muhammad sangat mencintai Khadijah. Buktinya, hanya setelah
sepeninggal Khadijah-lah Nabi SAW baru mau menikahi wanita
36
Ibid, hlm. 19. 37
Ibid, hlm. 34.
35
lain. Sementara pada waktu itu pernikahan poligami dengan
jumlah istri tak terbatas sangat jamak terjadi.38
b. Saudah binti Zum‟ah r.a
Saudah binti Zum‟ah adalah seorang janda yang usianya
sudah lanjut yang diperistri Rasulullah. Saudah adalah salah satu
istri Rasulullah yang namanya barangkali tidak populer
dikalangan umat Islam. Namun, ia adalah wanita yang memiliki
martabat dan kedudukan mulia di sisi Allah SWT dan Rasul-Nya.
Saudah diperistri oleh Rasulullah pada saat yang tepat, dimana
saat Rasulullah mengalami tekanan-tekanan hebat dari kaum
musyrikin Qurays yang sekaligus harus mengasuh ke empat
putrinya setelah ditinggalkan Khadijah. Dimana, anak-anak
beliau sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang seorang
ibu.
Perjalanan hidup Saudah penuh dengan keteladanan,
terutama bagi wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah tidak
menikahinya karena harta atau kecantikannya. Saudah memang
tergolong wanita yang tidak cantik atau kaya. Barangkali yang
dilihat Rasulullah adalah semangat jihadnya, kecerdasan otaknya,
perjalanan hidupnya yang baik, keimanan, dan keihklasannya
kepada Allah SWT. Ia tergolong orang-orang yang pertama yang
memeluk agama Islam bersama suaminya terdahulu.
38
Oktavia Pramono, Ya Allah, hlm. 101.
36
Nama lengkap Saudah adalah Saudah binti Zum‟ah bin
Abdi Syamsin bin Abdud dari suku Qurays Amiriyah. Nasabnya
bertemu dengan Rasulullah pada Lu‟ay bin Ghalib. Di antara
keluarganya, Saudah dikenal memiliki otak cemerlang dan
berpandangan luas. Sebelum dinikahi Rasulullah, ia menikah
dengan Sakran bin Amar, anak pamannya.39
Jika kembali membuka lembaran sejarah kehidupan
Rasulullah dengan Saudah, kita akan menemukan beberapa
keterangan tentang sosok Saudah. Saudah adalah seorang wanita
yang berbadan tinggi besar, gemuk, tidak cantik, dan tidak kaya.
Ia janda yang ditinggal mati suaminya. Dengan kondisi fisik yang
demikian, tentu saja tidak mungkin Rasulullah memilihnya
karena ketertarikan seksual. Beliau memandang Saudah sebagai
wanita yang kokoh imannya.40
Banyak riwayat yang mengatakan bahwa Saudah takut
diceraikan Rasulullah karena usianya yang sudah tua. Dalam
kitab Shahih karya Imam Bukhari dan Shahih karya Imam
Muslim terdapat cerita yang mengisahkan perihal kabar ini.
Sayyidah aisyah berkata, “Ketika usianya sudah tua, Saudah binti
Zam‟ah memberikan sebagian harinya bersama Rasulullah
kepadaku”.41
39
Abdurahman Wahyudi, Muhammad‟s lovers, hlm. 52. 40
Ibid, hlm. 60. 41
Ali Yusuf Subki, Biografi Istri-istri Rasulullah, Menyibak Hikmah dan Fitnah Dibalik Tabir
Poligami Rasulullah, (Depok: Keira Publishing, 2014), hlm. 55.
37
Imam Al-Tirmidzi mengatakan bahwa sanad cerita Aisyah
tersebut adalah hasan. Sedangkan Abu Daud, Al-Hakim
mengatakan bahwa cerita itu sahih. Bahwa Saudah sangat takut
diceraikan Rasulullah sampai-sampai Ia berkata, “jangan ceraikan
saya, wahai Rasulullah. Tetaplah menjadi suamiku. Berikan
sebagian jatah hariku bersama Anda kepada Aisyah”. Lalu
Rasulullah menyetujuinya.42
Terdapat firman Allah SWT yang menjelaskan perkara
Saudah, yaitu surat An-Nisa 128.
Artinya: Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan
nusyuz atau bersikap acuh tak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) meskipun manusia itu menurut tabiatnya
kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan acuh tak acuh), maka
sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.
c. Aisyah binti Abu Bakar r.a
Fase ini dimulai ketika Rasulullah berusia 55 tahun sampai
60 tahun. Pada fase ini, Rasulullah membina rumah tangga
dengan Aisyah dan istri-istrinya yang lain. Dia adalah Aisyah
42
Ibid, hlm. 56.
38
binti abu Bakar. Aisyah juga dijuluki sebagai Ummu Abdillah.
Sementara ayahnya bernama Abu Bakar, nama asli Abu Bakar
adalah Abdullah, dan dia dijuluki al-Sidhiq karena selalu
membela dan membenarkan apa-apa (ajaran) yang berasal dari
Rasulullah. Jadi, nama lengkap Aisyah adalah Aisyah binti
Abdullah (Abu Bakar Al-Sidhiq) bin Ustman (Abu Qahafah) bin
Amr bin Ka‟ab bin Sa‟ad bin Murrah bin Luay al-Quraysi al-
Taimi.43
Rasulullah menikahi Asiyah pada bulan syawal tahun ke-10
setelah kenabian, tepatnya tiga tahun sebelum hijrah. Saat itu,
Aisyah masih berusia 6 tahun, seperti yang diriwayatkan Imam
Bukhari. Sedangkan, menurut riwayat Imam Muslim, saat itu
Aisyah berusia 7 tahun dan Rasulullah memberinya mas kawin
sebesar 500 dirham.44
Saat dinikahi Rasulullah Aisyah masih berusia enam tahun.
Beliau berkumpul dengannya saat dia sudah berusia sembilan
tahun. Ubaid bin Ismail berkata, “Abu Usamah berkata kepada
kami, dan Hisyam dari Ayahnya, bahwa Khadijah meninggal tiga
tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Setelah kira-kira
dua tahun, Rasulullah menikahi Aisyah yang saat itu berusia
43
Ali Yusuf Subki, Biografi Istri-istri, hlm. 61. 44
Ibid, hlm. 65.
39
enam tahun dan berkumpul dengannya ketika dia sudah berusia
sembilan tahun.”45
Dari pernikahan Rasulullah dengan Aisyah dan bagaimana
cara beliau memperlakukan Aisyah setelah menikah. Dimana
Rasulullah baru tinggal dalam satu rumah dengan Aisyah ketika
Aisyah sudah berusia sembilan tahun. Usia sembilan tahun
merupakan masa baliq bagi wanita. Maka dengan demikian
jelaslah sudah apa yang dilakukan Rasulullah membantah
paradigma sebagian orang yang menuduh bahwa Rasulullah
adalah pelaku fedophilia.
d. Hafshah binti Umar bin Khatab r.a
Nama lengkap adalah Hafshah adalah Hafshah binti Umar
bin Khatab bin Naufal bin Abdul Uzza bin Riyyah bin Abdullah
bin Qurt bin rajah bin Lu‟ay dari suku Adawiyah. Ibunya adalah
Zainab binti Madh‟un bin Hubab bin Wahab bin Hudzaifah,
saudara perempuan Ustman bin Madh‟un. Hafshah merupakan
janda perang dari Khunais yang meninggal dalam keadaan
Syahid.46
Hafshah adalah putri dari Umar, khalifah kedua. Pada
mulanya Umar meminta Ustman mengawini anaknya, yaitu
Hafshah. Akan tetapi, Ustman menolak karena istrinya baru saja
meninggal dan dia belum mau menikah lagi. Umar kemudian
45
Ibid, hlm. 67. 46
Abdurahman Wahyudi, Muhammad‟s Lovers, hlm. 106-107.
40
pergi menemui Abu Bakar yang juga menolak untuk mengawini
Hafshah. Akhirnya Umar mengadu kepada Nabi SAW bahwa
Ustman dan Abu Bakar tidak mau menikahi anaknya. Nabi SAW
pun berkata pada Umar bahwa anaknya akan menikah. Demikian
juga Ustman akan menikah lagi. Akhirnya, Ustman mengawini
putri Nabi SAW, yaitu Umi kaltsum, sementara Hafshah sendiri
kawin dengan Nabi SAW. Hal ini membuat Ustman dan Umar
gembira.47
Hafshah adalah salah satu istri yang pernah diceraikan oleh
Rasulullah. Hal itu terjadi karena rasa cemburu Hafshah kepada
istri Rasulullah yang lain yaitu Maria Qibtiyah. Dimana saat
hafshah pergi kerumah orang tuanya dan ketika pulang Hafshah
melihat ada Maria Qibtiyah dirumahnya.
e. Zainab binti Khuzaimah r.a
Zainab seorang janda perang adalah istri Rasulullah yang
Rasulullah nikahi pada usia Zainab binti Khuzaimah sudah tua
yaitu 60 tahun. Zainab sendiri tidak begitu cantik. Tidak seorang
pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya, namun
Zainab dinikahi oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah menikahi Zainab untuk memberikan
perlindungan serta meringankan beban kehidupan yang
dialaminya. Terlebih, Zainab termasuk orang yang pertama
47
Oktavia Pramono, Ya Allah, hlm. 102.
41
masuk Islam dan turut dalam berbagai penderitaan akibat
permusuhan yang dilancarkan oleh musyrikin quraisy. Zainab
juga terkenal sebagai orang yang sangat memperhatikan orang-
orang miskin sehingga ia mendapat julukan Umm al-Masakin.48
Banyak perbedaan pendapat tentang lamanya Zainab berada
dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah. Ada yang
berpendapat tiga bulan. Ada juga yang mengatakan delapan
bulan. Yang pasti, keberadaan Zainab dalam rumah tangga
Rosulullah sangat singkat karena Zainab meninggal ketika
Rasulullah masih hidup. Tidak ditemukan data tentang penyebab
wafatnya Zainab. Zainab binti Khuzaimah adalah istri kedua yang
meninggal selama Rasulullah masih hidup. Oleh karena itu, data
mengenai perjalanan hidup dan kepribadiannya sangat terbatas.
Hanya sedikit sejarawan yang berhasil melacak perjalanan
hidupnya, baik selama bersama Rasulullah maupun sebelumnya.
Walaupun demikian, sejarah telah menorehkan tinta emasnya
tentang kehidupan Zainab bahwa ia adalah istri Rasulullah yang
dikenal dengan kebaikan, kedermawanan, dan sifat santunnya
terhadap orang-orang miskin. Bahkan, sebagai penghormatan
terakhir untuknya, ketika ia wafat, Rasulullah mengurus
48
Abdurahman Wahyudi, Muhammad‟s Lovers, hlm. 131.
42
jenazahnya dengan tangan beliau sendiri. Semoga Allah SWT
selalu merahmatinya.49
f. Ummu Salamah binti Suhail r.a
Ummu Salamah adalah janda dari Abu salamah. Dilukiskan
oleh para sahabat bahwa Ummu Salamah adalah wanita yang
cantik dan cerdas. Setelah kematian suaminya, Ummu Salamah
menjalankan perannya sebagai ibu dan sekaligus ayah bagi anak-
anaknya.
Beberapa waktu setelah kematian Abu Salamah, beberapa
pemuka dari kalangan sahabat bermaksud meminang Ummu
Salamah sebagai tanda penghormatan terhadap Abu Salamah dan
untuk melindungi diri Ummu Salamah. Diantara mereka adalah
Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Namun, dengan halus Ummu
Salamah menolak mereka.50
Setelah mempertimbangkan berbagai hal dan setelah masa
idah, Ummu Salamah lewat, Rasulullah mengutus Hathib bin Abi
Balta‟ah untuk meminang Ummu Salamah. Hal itu, beliau
lakukan tidak lebih sebagai wujud perasaan kasih beliau terhadap
seorang wanita yang telah berkorban demikian besar dalam
mempertahankan Islam sejak permulaan Islam serta memberikan
perlindungan kepada Ummu Salamah dan anak-anaknya.51
49
Ibid, hlm. 132. 50
Ibid, hlm. 142. 51
Ibid, hlm. 143.
43
Setelah menikahi Ummu Salamah, Rasulullah
menempatkannya di rumah Zainab binti Khuzaimah sampai
Ummu Salamah meninggal dunia. Ummu Salamah adalah istri
Rasulullah yang wafat terakhir kali. Ummu Salamah wafat pada
usia 84 tahun pada syawal 59 H. Ia wafat setelah menjalankan
berbagai kegiatan dakwah, pengorbanan, dan jihat di jalan Allah
SWT. Ia dishalati oleh Abu Hurairah dan dikuburkan di Baqi,
disamping kuburan Ummahatul Mukminin lainnya.52
g. Zainab binti Jahsy r.a
Zainab binti Jahsy adalah perempuan cantik berkulit putih
dan mempunyai nasab yang terpandang. Rasulullah pergi
melamarnya untuk Zaid bin Haritsah. Imam al-Thabrani
meriwayatkan hadist shahih bahwa “Rasulullah melamar Zainab
untuk Zaid bin Haritsah. Dia mengira bahwa lamaran itu untuk
beliau sendiri. Ketika dia tahu bahwa lamaran itu untuk Zaid, dia
lalu menolak dan berkata, „Saya lebih baik dari dia dari segi garis
keturunan (nasab), Zainab tidak setuju dan marah, lalu berkata
kepada Rasulullah, „Saya tidak mau menikah dengan dia wahai
Rasulullah. Apa saya harus memaksa diri saya? Saya memiliki
garis keturunan yang lebih baik daripada dia. Saya berasal dari
52
Ibid, hlm. 150.
44
golongan Quraisy, sedangkan dia adalah budak yang dijual di
pasar-pasar‟.”53
Zaid adalah anak angkat Rasulullah yang merupakan budak
hadiah dari Khatijah kepada Rasulullah. Zaid dirawat dan
dijadikan anak angkat Rasulullah. Meskipun Zainab sempat
menolak akan lamaran Rasulullah kepadanya untuk Zaid pada
akhirnya Zainab menjadi istri Zaid. Karena sejak awal Zainab
tidak suka dengan Zaid karena perbedaan garis keturunan, maka
pernikahan tersebut tidak berlangsung lama. Zaid menceraikan
Zainab binti Jahsy. Yang kemudian Zainab dinikahi Rasulullah
dengan beberapa alasan yaitu:
1) Menghapus larangan menikah janda anak angkat dan
kebiasaan masyarakat jahiliyah yang membangga-
banggakan kemuliaan garis keturunan.
2) Menyamaratakan derajat manusi dan mempraktikannya
setelah ada putri orang terpandang menikah dengan
seorang budak, meski budak tesebut telah dimerdekakan.
3) Menghapus perbedaan di kalangan manusia yang
sebelumnya bercokol kokoh diatas fanatisme masyarakat
jahiliyah. Karena semua manusia dalam pandangan Islam
adalah sama: sama-sama keturunan Adam dan Adam
sendiri berasal dari tanah “Tidak ada perbedaan bagi
53
Ali yusuf Subki, Biografi Istri-istri, hlm. 157-158.
45
orang Arab atau Ajam dan orang berkulit putih dan
berkulit hitam kecuali hanya dalam hal takwa”.
4) Pelaksanaan kehendak Allah SWT. Menikahkan budak
yang telah dimerdekakan, Zaid bin Haritsah dengan
seorang putri orang terpandang bengsa arab dan
menjadikan Rasulullah sebagai orang yang paling
terhormat. Lantaran beliau adalah orang pertama kali
yang menikahi janda seorang budak yang sebelumnya
tidak diperbolehkan dalam adat masyarakat jahiliyah.
5) Membuka pintu bagi putri-putri orang terpandang agar
bisa menikahi laki-laki budak. Dalam kasus ini, Zainab
binti Jahsy menikahi salah satu budak, Zaid bin Haritsah.
6) Diperbolehkannya bagi para pembesar arab menikahi
janda anak angkat mereka setelah diceraikan. Dalam
kasus ini, orang yang menjadi suri tauladan kaum
Muslimin dan pemimpin mereka diperintahkan Allah
SWT. Untuk membuka pintu tersebut dan menikahi janda
anak angkatnya setelah diceraikan.
7) Kehendak Allah SWT terlaksana dengan sempurna tanpa
kekurangan sedikitpun.54
Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang dekat
kekerabatannya dengan Rasulullah, karena Zainab binti Jahsy
54
Ibid, hlm. 187-188.
46
adalah putri dari bibi Rasulullah. Zainab binti Jahsy juga dikenal
sebagai wanita yang gemar bersedekah. Dan Zainab adalah istri
yang pertama meninggal setelah Rasulullah.
Zainab binti Jahsy meninggal di masa pemerintahan
Khalifah Umar bin Khattab. Pada tahun itu mesir telah berada
dibawah kekuasaan Islam. Ada yang berpendapat Zainab binti
Jahsy meninggal pada tahun 21 Hijriyah. Pada tahun itu terjadi
penahlukan kota Alexandria oleh tentara Islam.55
h. Juwairiyah binti Harits r.a
Rasulullah menikahi Juwariyah setelah melakukan operasi
militer terhadap kabilah-kabilah yang memusuhi Islam. Sebelum
menghadapi kabilah Juwariyah (bani Musthaliq), pasukan umat
Islam berhasil memukul mundur musrykin quraisy sebagaimana
yang mereka janjikan usai perang uhud. Setelah itu, umat Islam
mengonsolidasikan kewibawaannya ke selatan. Mereka bergerak
ke utara semenanjung Arabia untuk melakukan operasi militer
terhadap kabilah-kabilah di sekitar Daumatul Jandal, dekat
perbatasan syam.56
Tawanan yang sangat cantik itu telah menjadi istri
Rasulullah. Aisyah pun merasa gelisah karena ada saingan baru
dalam memperebutkan cinta Rasulullah dan dia tidak tinggal
55
Ibid, hlm. 196. 56
Abdurahman wahyudi, muhammad‟s Lovers, hlm.174.
47
diam. Untuk mengalahkan Juwariyah, ia melakukan tindakan
yang membuat Juwariyah kembali ke bani Musthaliq. Namun,
tidak ada ahli sejarah yang berhasil menguak tindakan yang
dilakukan oleh Aisyah. Walaupun demikian sengitnya persaingan
antara Aisyah dengan Juwariyah. Secara diam-diam, sebenarnya
Aisyah menaruh rasa kagum kepada Juwariyah. Tentang
Juwariyah, Aisyah berkata, “Tidak ada satu pun istri Rasulullah
yang paling banyak membawa berkah bagi kaumnya daripada
Juwariyah. Karena pernikahannya dengan Rasulullah SAW.
Seratus keluarga bani Musthaliq dibebaskan”.57
i. Ummu Habibah binti Abu Sufyan r.a
Ummu Habibah binti Abu Sufyan adalah putri dari
pemimpin kaum kafir quraisy Abu Sufyan. Abu sufyan adalah
seorang gan pemimpin yang berwibawa. Perkataannya dituruti
oleh orang dengan setia. Pendapatnya selalu dilaksanakan oleh
kaumnya. Kalau Ummu Habibah bersama ayahnya, tentu ia akan
hidup dengan damai dalam perlindungan ayahnya. Namun, ia
lebih memilih menyerahkan hidupnya pada perlindungan Allah
SWT. Ia rela hidup menderita dengan penuh kesabaran,
kejujuran, dan kesungguhan dalam berjuang menegakkan ajaran
agama. Oleh karena itu, perlindungan dan pertolongan Allah
SWT adalah segalanya bagi Ummu Habibah. Ummu Habibah
57
Ibid, hlm. 179.
48
adalah contoh wanita ideal bagi muslimat. Ia berani menantang
suami pertamanya yang mengajak kufur dengan keluar dari
Islam.58
Dalam hadist tidak banyak disebut tentang kehidupan
keluarga Ummu Habibah dengan Rasulullah. Namun, hal itu
justru mengindikasikan bahwa hubungan Ummu Habibah dengan
Rasulullah berlangsung dengan baik tanpa masalah apa pun.59
Ketika Ummu Habibah merasa bahwa tidak lama lagi ia
akan meninggalkan dunia ini, ia berkata kepada Aisyah, “Wahai
Aisyah, sungguh telah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan
selama kita bermadu. Aku harapkan kepadamu untuk
menghalalkan dan memaafkan diriku tentang sesuatu yang telah
terjadi”. Tidak hanya kepada Aisyah saja, namun kepada semua
istri-istri Rasulullah yang lain. Begitulah seterusnya, Ummu
Habibah meminta maaf dan ridha semua madunya.60
j. Mariyah al-Qibthiyah r.a
Mariah al-Qibthiyah adalah istri Rasulullah yang berasal
dari Mesir. Mariah adalah budak pemberian dari raja Muqauqis.
Rasulullah menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya.
Betapa terkejutnya Rasulullah menerima budak pemberian
Mauqauqis. Beliau mengambil Mariyah kemudian menikahinya
dan menyerahkan Sirin kepada pensyairnya, Hasan bin Tsabit.
58
Ibid, hlm. 193. 59
Ibid, hlm. 195. 60
Ibid, hlm. 196.
49
Istri-istri Rasulullah sangat cemburu atas kehadiran wanita mesir
yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di
rumah Haritsah bin Nu‟man yang terletak disebelah mesjid.
Walaupun Mariyah pada awalnya seorang budak, Rasulullah
memperlakukan Mariyah tidak berbeda dengan istri-istri beliau
yang lain. Demikian pula para sahabat. Selain Khadijah, Mariyah
adalah satu-satunya istri Rasulullah yang melahirkan anak untuk
beliau.61
Mariah melahirkan anak laki-laki yang diberi nama
Ibrahim. Namun, ibrahim akhirnya meninggal pada usia 18 bulan.
Tidak lama setelah meninggalnya Ibrahim, Rasulullah SAW
meninggal dunia. Sepeninggal Rasulullah, kesedihan dan
kecintaan Maiyah kepada Rasulullah dan anaknya membuatnya
hampir tidak pernah keluar rumah, kecuali untuk berziarah ke
makan suami dan anak tercintanya.62
k. Shafiyyah binti Huyay r.a
Shafiyyah adalah janda yang termasuk “harta rampasan”
yang jatuh ke tangan Dalyah al-Kalbi. Para sahabat kemudian
mengusulkan Rasulullah untuk mengambil Shafyyah karena
Shafiyyah adalah anak pemimpin kaum yahudi. Karena faktor
keturunan itulah, tentunya penanganan Shafiyyah harus
dibedakan dengan wanita rampasan lainnya. Rasulullah
61
Ibid, hlm. 199. 62
Oktavia Pramono, Ya Allah, hlm. 105.
50
memerdekan Shafiyyah sebagai mahar. Selain tertarik pada
pribadi Shafiyyah yang tidak histeris akan kematian keluarganya,
tidak sebagaimana wanita yahudi lainnya, beliau juga berhitung
secara politis. Dengan berharap permusuhan antara umat Islam
dengan kaum yahudi akan reda karena permusuhan itu
menggerogoti kekuatan umat Islam yang harus menghadapi
Musyrikin Quraisy Mekah.63
l. Maimunah binti Harits
Maimunah adalah istri terakhir yang dinikahi Rasulullah.
Pernikahan Maimunah dengan Rasulullah disebabkan oleh
penyerahan diri Maimunah kepada beliau karena keluarganya
hidup dalam adat jahiliyah. Diriwayatkan bahwa suatu ketika,
Maimunah menyatakan niat menyerahkan dirinya kepada
Rasulullah kepada kakaknya. Oleh ummu Fadhi, niat itu
disampaikan kepada suaminya, Abbas bin Abdul Muthalib.
Kemudian, Abbas menyampaikannya kepada Rasulullah.
Rasulullah lalu mengutus seseorang untuk meminang Maimunah.
Tentu Maimunah bahagia karena keinginannya terkabulkan.64
Rasulullah menempatkan Maimunah di kamar tersendiri.
Pergaulan Maimunah dengan istri-istri Rasulullah yang lain
berlangsung dengan sangat baik. Ia memperlakukan mereka
dengan sangat baik dan penuh hormat agar memperoleh kerelaan
63
Abdurrahman Wahyudi, Muhammad‟s Lovers, hlm. 206-207. 64
Ibid, hlm. 217.
51
hati mereka. Diriwayatkan bahwa Maimunah adalah istri
Rasulullah yang pertama kali mengkoordinasi orang-orang,
khususnya wanita, untuk memberikan pertolongan kepada orang-
orang yang terluka dalam peperangan. Jasanya sangat tampak
ketika terjadi perang Tabuk. Ia memberikan perawatan kepada
umat Islam yang menderita luka-luka dengan segala kasih
sayang, penuh perhatian dan keihklasan.65
Berdasarkan literatur-literatur, antara lain buku-buku mengenai
biografi Rasulullah SAW, baik yang dibuat oleh kaum orientalis maupun
dari kalangan Islam sendiri. Terdapat, fakta-fakta mengenai praktek
poligami yang dijalankan oleh Rasulullah SAW. Adapun praktek
poligami beliau SAW itu pada dasarnya dilaksanakan dengan motif-motif
sebagai berikut:
1) Motif Dukungan Moril;
2) Motif sosial
3) Strategi Politik
4) Mendapatkan Keturunan
5) Untuk Perdamaian dan Persahabatan
Jadi sangatlah salah apabila poligami Rasulullah hanya dilandaskan
pada syahwat semata. Dan yang lebih utama dalam poligami yang
dilakukan oleh Rasulullah adalah sebagai contoh bagi umat Islam
sesudahnya, bagaimana cara menghadapi sikap istri yang datang dari latar
65
Ibid, hlm. 218.
52
belakang dan sifat yang berbeda-beda. Tak hanya itu, sekaligus sebagai
contoh untuk para suami bagaimana berbuat adil antara satu dengan
lainnya. Dan untuk para wanita yang di poligami supaya sebagai contoh
bagaimana membangun ukhuwah yang baik antara para istri meskipun
adanya rasa kecemburuan dan iri antara satu dengan yang lainnya.
3. Dalil dan nash tentang poligami
Dalil dan nash tentang poligami terdapat dalam Al-Qur‟an surat An-
Nissa‟ ayat 3 :
Artinya, Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian tu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Makna firman Allah : ( مثـى وثلاث وربع )
'Dua, tiga, atau empat.' Yakni nikahilah wanita-wanita yang kalian sukai
selain mereka, jika salah seorang dari kalian suka, silahkan menikah
dengan wanita dan jika suka, silahkan menikah dengan empat wanita.”
Sedangkan Al-Fakhrus Razi berkata, “Dibolehkan menikahi dua wanita
jika suka, tiga wanita jika suka dan empat wanita jika suka. Dibolehkan
menikahi sejumlah ini bagi siapa yang suka. Jika dia takut tidak dapat
53
berlaku adil, cukuplah dengan dua orang wanita. Dan jika dia masih takut
tidak dapat berbuat adil diantara keduanya maka, cukuplah menikahi satu
wanita saja.”66
Ayat ini dipahami sebagai dalil yang menjadi dasar tentang
bolehnya seorang suami berpoligami. Dimana, ayat ini diturunkan kepada
Rasulullah SAW pada tahun ke delapan hijriyah untuk membatasai
jumlah istri pada batas maximal empat orang saja. Sebelumnya, sudah
menjadi hal biasa jika seorang pria arab mempunyai istri banyak tanpa
ada batasan. Dengan diturunkannya ayat ini, seorang muslim dibatasi
hanya boleh beristri maksimal empat orang saja tidak boleh lebih dari itu.
Adapun hadist Nabi yang memperkuat jumlah pembatasan istri yaitu:
ري دبن جعفرحدثيامعمرعن امز حدثيايي بن حكيم حدثيامحم
خ لان بن سومة وت عن سامم عن ابن عرقال آسلم غ
خذ منن آرتعا. عش وسلم وسوة فقل ل اميب صل الل عو
)روا ابن ما ج(
Telah bercerita kepada kami Yahya bin Hakim; telah bercerita kepada
kami Muhammad bin Ja‟far; telah bercerita kepada kami Ma‟mar; dari Az-Zuhri; dari Salim; dari ibnu Umar; berkata : Ghailan bin Salamah masuk Islam, sedangkan padanya ada sepuluh orang istri, maka Nabi
SAW bersabda padanya ; “silahkan ambil (pertahankan) empat diantara mereka”. (HR. Ibnu Majah)67
66
“Dalil-dalil Poligami Dalam Islam”, https://almanhaj.or.id/774-dalil-dalil-poligami-dalam-
Islam.html, diakses pada tanggal 01 Mei 2018 pukul 13.00. 67
“Kumpulan Makalah-Makalah”, http://kumpulan-kumpulan-
makalah.blogspot.co.id/2016/03/makalah-hadist-tentang-poligami.html, diakses pada 01 Mei 2018
pukul 14.18.
54
ل ف انو كن طوف عل وسائ وسلم آن اميب صل الله عو
امواحدة ول ومئذ جسع وسوة
“Sungguh Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah mengelilingi
(menggilir) isteri-isterinya dalam satu malam, dan ketika itu beliau memiliki sembilan isteri”. [HR al Bukhari, no. 5068 dan an-Nasaa-i, 6/54]
Juga nampak dalam perkataan Ibnu „Abbas kepada Sa‟id bin Jubair:
ا وساء ة آكث الم ذ ن خير ج! فا و جت؟ قوت: لا, قال: فت ل حزو
“Apakah kamu telah menikah?” Sa‟id menjawab,”Belum,” lalu beliau berkata,”Menikahlah! Karena orang terbaik ummat ini paling banyak
isterinya.” [HR al Bukhari no. 5069] Dalam kalimat “orang terbaik ummat”, terdapat dua pengertian. :
Pertama : Yang dimaksudkan ialah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam. Sehingga memiliki pengertian, bahwa Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam orang terbaik dari ummat ini adalah orang yang paling
banyak isterinya.
Kedua : Yang dimaksud dengan “yang terbaik dari ummat ini” dalam
pernikahan, yaitu yang paling banyak isterinya.
Syaikh Mushthafa al „Adawi berkata,”Semuanya mempunyai dasar dan
menunjukkan pengertian yang sama, yang menjadi dasar pendapat ulama
yang menyatakan sunnahnya berpoligami”.68
68
“Keindahan Poligami Dalam Islam”, https://almanhaj.or.id/2551-keindahan-poligami-dalam-
Islam.html, diakses pada tanggal 01 Mei 2018 pukul 15.44.
55
Landasan lain yang menunjukkan poligami merupakan sunnah, juga
didapatkan dengan merujuk kepada hadits-hadits yang menganjurkan agar
kaum Muslimin memiliki banyak anak. Karena Rasulullah sangant
berbangga dengan banyaknya umat Beliau SAW. Diantara hadist-hadist
tentang anjuran tersebut salah satunya adalah:
وسلم عو ل اميب صل اللعن معقل بن سار قال: جاء رجل ا
جا ؟ فق ا لا ثل آفبحزو نن آصبت امرآة ذات حسة وجال وا
ال: ا
جوا امودود امومود :قال امثة فقال: حزو امث ث آت ة فنا اه امث لا, ث آت
ن مكثر بك المم فا
“Dari Ma‟qil bin Yasar, beliau berkata: Seseorang datang menemui Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam dan berkata: “Aku mendapatkan seorang wanita yang memiliki martabat dan cantik, namun ia mandul. Apakah aku
boleh menikahinya?” Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam menjawab: “Jangan!” Lalu ia mendatangi beliau kedua kalinya, dan beliau melarangnya. Kemudian datang ketiga kalinya, dan beliau berkata:
“Nikahilah wanita yang baik dan subur, karena aku berbangga-bangga dengan banyaknya kalian terhadap ummat-ummat lainnya”. [HR Abu
Dawud no. 2050, dan Syaikh al Albani bekata: “Hadits hasan shahih”. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud].69
C. Syarat Poligami Dalam Syariat Islam
Berbicara akan syarat poligami dalam Islam tentu akan ada perbedaan
dengan syarat poligami yang ditetapkan dalam undang-undang negara.
69
“Hukum Poligami Dalam Islam dan Dalilnya”, https://dalamIslam.com/hukum-Islam/hukum-
poligami-dalam-Islam, diakses pada 01 Mei 2018 pukul 15.54.
56
Dimana, dalam UU No.1 Tahun 1974 pasal 4 jo pasal 41 PP No.9 tahun 1975
jo pasal 57 Kompilasi hukum Islam yaitu: Istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan. Istri tidak dapat melahirkan.
Sedang dalam Islam sendiri terdapat beberapa syarat yang harus
tersebut meliputi 5 hal, yaitu: 1) Jumlah istri maksimal empat. 2) Mampu
berlaku adil. 3) Tidak melupakan ibadah kepada Allah. 4) Dilarang
berpoligami dengan dua wanita yang bersaudara. 5) Mampu menjaga
kehormatan istri.70
Untuk lebih memahami akan syarat poligami dalam Islam. Maka, akan
dibahas satu persatu dengan disertakan dalil yang menguatkan. Baik dalil
tersebut dari Al-Qur‟an maupun dari hadist Nabi SAW.
1. Jumlah istri maksimal 4
Tidak sedikit dari kaum laki-laki yang menjadikan dalil
poligami dijadikan landasan untuk menikah lagi dan lagi tanpa
mengenal batasan. Dan tidak sedikit pula laki-laki yang menikahi
wanita hingga lebih dari 5 sampai 10 kali hanya sebagai pemuas
nafsu belaka. Berdasarkan itu, syariat agama hanya boleh melakukan
poligami tidak lebih dari empat istri. Dan hal tersebut didasari pada
firman Allah SWT.
70
“5 Syarat Poligami Dalam Islam”, https://dalamIslam.com/hukum-Islam/pernikahan/syarat-
poligami-dalam-Islam, diakses pada 04 Mei 2018 pukul 08.45.
57
ن خفت آلاثقسطوا ف امخامى فاىكحوا ماطاب مسبء مثن وا ن ام ك م
ن خفت آلاثعدموا فواحدة آو ماموكت آماىك ذل آدن وثلاث وربع فا
آلاثعوموا
Artinya, Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian tu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dari ayat diatas untuk syarat pertama dalam poligami lebih
dititik beratkan pada batasan wanita yang dipoligami yaitu pada
jumlah wanita “dua, tiga, empat”. Hal ini dikarenakan bahwa,
poligami itu tidak mudah untuk dijalani. Sedangkan dalil lain yang
menguatkan batasan jumlah istri adalah hadist Rasulullah SAW.
Yang berbunyi:
ري عن سامم دبن جعفرحدثيامعمرعن امز حدثيايي بن حكيم حدثيامحم
لان بن وسوة فقل ل اميب صل عن ابن عرقال آسلم غ عش خ سومة وت
خذ منن آرتعا. )روا ابن ما ج( وسلم الل عو
Telah bercerita kepada kami Yahya bin Hakim; telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja‟far; telah bercerita kepada kami Ma‟mar;
dari Az-Zuhri; dari Salim; dari ibnu Umar; berkata : Ghailan bin Salamah masuk Islam, sedangkan padanya ada sepuluh orang istri,
maka Nabi SAW bersabda padanya ; “silahkan ambil (pertahankan) empat diantara mereka”. (HR. Ibnu Majah)
58
2. Mampu berlaku adil
Suami yang berpoligami wajib memenuhi syarat yang
ditentukan. Syarat tersebut adalah mampu bersikap adil, baik kepada
para istri maupun anak-anak. Adil merupakan sikap ideal yang harus
dimiliki oleh setiap orang Islam. Didalam Al-Qur‟an terdapat tidak
kurang dari dua puluh ayat yang tersebar dalam beberapa surat yang
berbicara masalah keadilan dalam berbagai konteks.71
Sebelum membahas keadilan dalam konteks poligami. Terlebih
dahulu dibahas beberapa makna keadilan atau kata adil menurut sudut
pandang dari beberapa ulama, diantaranya:
a. Pendapat ahli Hadist
Para ahli hadist berpendapat bahwa yang dimaksud adil
adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Dalam
studi ilmu hadist, dijelaskan bahwa seseorang khususnya
perawi, dapat dikatakan adil apabila ia memenuhi beberapa
syarat. Syarat-syarat tersebut, antara lain: beragama Islam,
mukalaf, melaksanakan ketentuan agama, memiliki dan
memelihara muru‟ah, teguh dalam agamanya, tidak
melakukan dosa besar, selalu menjauhi dosa kecil, tidak
melakukan bid‟ah, tidak fasik, tidak berbuat maksiat, dapat
dipercaya, dan lain sebagainya.72
b. Pendapat Imam Ghazali
71
Iffah Qanita Nailiya, Poligami Berkah Ataukah Musibah?, (Jokjakarta: DIVA Press, 2016), hlm.
36. 72
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadist (Bandung: Angkasa, 1987), hlm.179.
59
Dalam pandangan Imam Ghazali, sikap adil merupakan salah
satu hal yang penting untuk melahirkan akhlak baik. Spirit
jalan tengah (adil) sejalan dengan ajaran Islam. Di dalam Al-
Qur‟an, banyak dijumpai ayat-ayat yang memberi isyarat
untuk bersikap adil, seperti larangan untuk tidak boleh kikir,
tetapi juga tidak boleh boros (adil atau mengambil jalan
tengah-tengah). Seseorang yang konsisten berada di jalan
tengah (bersikap adil) maka ia akan selamat.73
c. Pendapat Ibnu Miskawaih
Dalam pandangan Ibnu Miskawaih, keadilan atau jalan
tengah merupakan salah satu keutamaan moral. Pertengahan
atau adil dipahami sebagai suatu sikap yang menunjukkan
adanya sikap harmoni, moderat, mulia, dan utama yang ada
dalam jiwa manusia. Ibnu Miskawaih membagi keadilan ke
dalam tiga macam, yaitu keadilan alam, keadilan adat
istiadat, dan keadilan Tuhan. Seseorang bisa berbuat adil bila
ia berhasil memadukan fungsi syariat dan filsafat. Dengan
syariat, seseorang dapat menciptakan keadilan dalam jiwanya
yang penuh daya fikir.74
Keadilan harus dilaksanakan dalam setiap lini kehidupan.
Keadilan akan menambah kualitas hidup seseorang menjadi
73
Imam al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Ahlak Mulia , (Jakarta: Mizania, 2014), hlm. 71. 74
Iffah Qanita Nailiya, Poligami berkah, hlm.40.
60
manusia yang mampu menggunakan akal cerdasnya. Yang
selanjutnya dapat menggapai ridha Allah SWT.75
d. Pendapat Quraish Shihab
Pendapat Quraish Shihab, di dalam Al-Qur‟an, ada beberapa
istilah yang pengertiannya menunjuk pada makna adil atau
keadilan. Beberapa istilah tersebut, antara lain: al-„adl, al-
qisth, al-mizan, serta beberapa ungkapan yang bermakna
menafikan kezhaliman, meskipun pengertian keadilan tidak
selalu menjadi antonim kezhaliman. Kata al-„adl, memiliki
arti „sama‟. Kata ini memeberikan kesan adanya dua pihak
atau lebih. Sebab, jika hanya satu pihak, maka tidak akan
terjadi persamaan. Contohnya adalah perintah berbuat adil
(menggunakan kata „adl) bagi suami yang ingin berpoligami.
Sementara itu, kata al-qisth memiliki arti asal sebagai
semengantarkan adanya “persamaan”, mengingat bagian
dapat saja diperoleh hanya oleh satu pihak. Dengan demikian,
kata al-qisth lebih umum dari kata al-„adl. Karena itulah,
ketika menuntut seseorang untuk berlaku adil pada diri
sendiri, Allah SWT menggunakan kata al-qisth, (QS. An-
Nisaa‟ [4]: 135).
Selain itu, ada juga kata al-mizan yang berasal dari kata
wazn, yang berarti “timbangan”. Sedangkan, Mizan berarti
75
Ibid, hlm.41.
61
alat untuk menimbang. Kata ini juga berarti keadilan karena
bahasa sering kali menyebut alat untuk mengatakan hasil
yang diperoleh dari penggunaan alat tersebut.76
Cakupan makna adil dalam poligami yang merupakan salah
satu syarat dari poligami merupakan makna mutlak. Dimana, seorang
suami dituntut berlaku adil dalam beberapa hal, diantaranya:
a. Adil dalam memberikan kebutuhan lahir
Seorang suami yang memiliki istri lebih dari seorang, baik
dua, tiga, maupun empat orang istri, harus memberikan
nafkah materi secara adil kepada semua istrinya. Dimana,
kata adil maksudnya adalah menuntut adanya kesamaan
dalam membagi sesuatu kepada dua pihak atau lebih. Dan
tidak hanya menuntut hanya kepada sebagian saja meski
adakalanya pembagian itu tidak harus sama nilainya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud adil dalam
memberikan nafkah kepada para istri harus sama atau tidak
jumlahnya. Ibnu Hazm mengatakan bahwa wajib hukumnya
bagi suami untuk memberikan nafkah harta bagi para istrinya
dengan jumlah yang sama. Ibnu taimiyah juga mengatakan
bahwa harus ada kesamaan nafkah yang diberikan suami
kepada para istrinya.77
76
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Mudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat ,
(Jakarta: Mizan, 1998), hlm. 111-112. 77
Isham Muhammad Syarif, Selamat Datang Istri Impian: Membedah Karakter dan Kepribadian
Wanita yang Diimpikan Kaum Pria, (Jakarta: Mirqat, 2008), hlm. 185.
62
b. Adil dalam memberikan kebutuhan batin
Salah satu kebutuhan naluri setiap manusia adalah kebutuhan
batin, termasuk diantaranya adalah kebutuhan seksual. Allah
SWT memberikan naluri seksual bagi setiap manusia. Naluri
tersebut harus disalurkan melalui cara yang benar. Tujuannya
adalah untuk memberikan ketentraman sekaligus keturunan.
Seorang suami yang menikahi lebih dari satu orang istri harus
adil dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan biologis bagi
masing-masing istrinya. Termasuk dalam hal ini adalah
keharusan suami untuk membagi giliran bermalam di rumah
masing-masing istrinya. Seorang suami perlu memiliki
kemampuan dan kesehatan fisik yang prima. Hal ini agar
tercipta keadilan bagi setiap istri, baik lahir maupun batin.
Dengan demikian, seorang suami dalam hal memberikan
nafkah lahir dan batin tidak dibenarkan bila lebih condong
pada salah satu istri.78
c. Adil dalam memperhatikan anak-anak dan keluarga
Seorang suami yang menikah dengan lebih dari satu istri
tentu akan memiliki banyak anak dari masing-masing
istrinya, baik anak dengan istrinya maupun anak tirinya.
Dalam Islam, anak merupakan amanah Tuhan yang diberikan
kepada kedua orang tua untuk dirawat dan dididik dengan
78
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 388.
63
sebaik-baiknya. Mengabaikan anak sama halnya dengan
mengabaikan amanah sebagai salah satu tanda kemunafikan.
Setiap anak yang lahir dari para istri merupakan tanggung
jawab seorang suami. Memperhatikan anak dari salah
seorang istri, dan mengabaikan anak dari istri lain akan
menimbulkan kecemburuan dalam keluarga. Kecemburuan
menjadi akar timbulnya permasalahan dan percecokan dalam
rumah tangga yang tidak jarang berujung pada perceraian.
Bahkan, hal tersebut akan memicu permusuhan.
Padahal, Islam sangat memperhatikan keharmonisan rumah
tangga. Itulah sebabnya, Allah SWT dalam beberapa firman-
Nya menyatakan agar suami memperlakukan istrinya dengan
baik, menjaga keluarganya dari api neraka, dan membenci
perceraian, meskipun perceraian itu dihalalkan atau
diperbolehkan.
3. Tidak melupakan ibadah kepada Allah
Tidak dapat dipungkiri bahwa adakalanya seorang laki-laki memiliki
banyak istri dan banyak anak menjadikan mereka lalai terhadap
ibadahnya. Terlalu sibuk dalam mengurus keluarganya, kemudian
berbangga diri dengan apa yang sudah dimiliki. Seolah-olah tidak
akan ada batas akhirnya dan melupakan Allah SWT. Seperti dalam
firman Allah yang terdapat pada surat Al-Munafiqun ayat 9 dan Ath-
Thaghabun ayat 14 yang artinya:
64
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-
anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS. Al-Munafiqun: 9)
Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ath-Thaghabun: 14)
4. Dilarang berpoligami dengan dua wanita yang bersaudara
Dalam melakukan poligami, sebaiknya pilihlah isteri-isteri dari
keturunan yang berbeda-beda. Pernikahan yang dilakukan terhadap
dua wanita yang masih memiliki hubungan darat erat (misalnya
saudara atau bibi) tidak diperbolehkan dalam Islam. Allah SWT
berfirman yang artinya:
Diharamkan atas kamu menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi dimasa
lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nissa‟: 23)
Larangan menikahi dua wanita yang bersaudara diperkuat oleh hadist
Rasulullah SAW, bahwa Ummu Habibah (isteri Rasulullah)
mengusulkan agar baginda menikahi adiknya. Maka beliau
menjawab; “Sesungguhnya dia tidak halal untukku.” (HR. Imam
Bukhari, An Nasai). 79
79
5 Syarat Poligami Dalam Islam, https://dalamIslam.com/hukum-Islam/pernikahan/syarat-
poligami-dalam-Islam, diakses pada 14 Mei 2018 pukul 22.27.
65
5. Mampu menjaga kehormatan istri
Seorang suami memiliki kewajiban membimbing dan mendidik
istrinya untuk hidup dijalan yang lurus sesuai syariat agama. Sebab
suami adalah pemimpin keluarga. Apabila ia membiarkan istrinya
bersikap bebas dan bermaksiat, maka suami pun juga ikut berdosa.
Tak peduli seberapa banyak jumlah isterinya, entah satu, dua, tiga
atau empat, semuanya harus bisa dididik secara benar.80
Firman Allah dalam Al-Qur‟an:
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (At-Tahrim: 6)
Perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan
bersabarlah dalam menegakkannya. (Thaha; 132)
80
Ibid
66
D. Poligami Dalam Perspektif Ulama
Surat An-Nissa‟ ayat 3-4 diyakini dan difahami sebagai dalil yang
menjadi dasar tentang bolehnya poligami. Meskipun demikian, para ulama
berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Para jumhur ulama sepakat bahwa
ayat tersebut turun setelah berakhirnya perang uhud.
Para syuhada perang uhud meninggalkan banyak janda dan anak-anak
yatim yang terancam kehidupan dan masa depan mereka. Keadaan inilah yang
dinilai melatarbelakangi disyariatkannya poligami lewat turunnya surat An-
Nissa‟ ayat 3 tersebut.81
Berikut adalah penafsiran dan pendapat para ulama tentang poligami
yang tertuang dalam surat An-Nissa‟ 3 tersebut:
1. Pendapat Ibnu Jarir ath-Thabari
Menurut Ath-Thabari, ayat tersebut mengandung arti bahwa
seorang laki-laki boleh berpoligami bila ia khawatir jika anak yatim
tidak mempunyai wali yang mampu berbuat adil terhadap hartanya.
Kekhawatiran terhadap ibunya. Karena itu, dibolehkannya poligami
harus didasarkan pada kesanggupan laki-laki untuk berbuat adil atau
tidak. Apabila laki-laki merasa mampu berbuat adil, maka ia boleh
menikah dengan dua hingga empat orang istri. Akan tetapi, bila ada
kekhawatiran tidak dapat berbuat adil, cukuplah bagi suami untuk
menikahi seorang saja.82
81
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Study atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 85. 82
Iffah Qanita Nailiya, Poligami Berkah, hlm. 23.
67
2. Pendapat Al-Maraghi
Menurut Al-Maraghi, kebolehan seorang suami berpoligami,
pada dasarnya, merupakan kebolehan yang dipersulit atau diperketat.
Seorang suami boleh berpoligami jika dalam keadaan darurat dan
benar-benar membutuhkan. Secara tidak langsung Al-Maraghi
hendak mengatakan bahwa seorang laki-laki (suami) harus berhati-
hati sebelum membuat keputusan berpoligami. Ada banyak hal yang
harus dipertimbangkan oleh suami sebelum berpoligami. Hal tersebut,
seperti perasaan dan kesiapan istri yang hendak dimadu, perasaan dan
kesiapan anak-anak, kondisi finansial, dan sebagainya.83
3. Pendapat Asy-Syaukani
Asy-Syaukani mengatakan bahwa surat An-Nissa‟ ayat 3
tersebut turun berhubungan dengan kebiasaan orang-orang Arab
sebelum datangnya Islam. Konon, para wali dari bangsa Arab
sebelum datangnya Islam memiliki kebiasaan ingin menikahi anak-
anak yatim. Namun, mereka tidak memberikan mahar dengan jumlah
yang sama sebagaimana mahar yang mereka berikan kepada
perempuan lain yang bukan yatim. Karena itulah Allah SWT
memerintahkan untuk menikahi perempuan bukan yatim hingga
maksimal empat orang dengan syarat berbuat adil. Jika tidak bisa
berbuat adil, cukup menikahi seorang perempuan saja. Batas
maksimal menikahi perempuan hingga empat orang merupakan hal
83
Ibid, hlm. 24.
68
yang mutlak. Menurut Asy-Syaukani, haram hukumnya bagi laki-laki
menikah dengan lebih dari empat orang istri. Hal tersebut karena
bertentangan dengan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW
sekaligus bertentangan dengan pemahaman bahasa Arab yang
umum.84
4. Pendapat Az-Zamakhsyari
Az-Zamakhsyari berbeda pendapat dengan para ulama lainnya
mengenai batasan jumlah perempuan yang boleh dinikahi. Beberapa
ulama menilai bahwa seorang laki-laki hanya boleh menikahi
perempuan hingga empat orang. Bahkan, Asy-Syaukani menghukum
haram apabila laki-laki menikahi perempuan lebih dari empat orang.
Az-Zamakhsyari justru berpendapat sebaliknya. Menurut Az-
Zamakhsyari, kata “wa” pada kalimat matsnaa wa tsulaatsa wa
rubaa‟a, berfungsi sebagai penjumlahan (lil jami‟). Dengan demikian,
laki-laki yang mampu berbuat adil kepada para isterinya boleh
menikahi perempuan bukan hanya empat orang, melainkan sembilan
orang sebagai hasil penjumlahan dari 2 + 3 + 4.85
5. Pendapat Al-Qurthubi
Al-Qurthubi memiliki pendapat yang berbeda dengan Az-
Zamakhsyari. Menurutnya, seorang suami hanya boleh menikahi istri
hingga empat orang, sebagaimana tertera jelas dalam surat An-Nissa‟
ayat 3. Batasan tersebut juga telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad
84
Ibid, hlm. 27. 85
Ibid, hlm. 28.
69
SAW. Ketika menyuruh sahabat beliau untuk menyisakan empat
orang isteri saja bagi yang memiliki istri lebih dari empat orang.
Terkait dengan budak, Al-Qurthubi sebagaimana Az-
Zamakhasyi juga sepakat bahwa seorang majikan harus menikahi
terlebih dahulu budaknya sebelum ia menggauli layaknya suami istri.
Hal itu berbeda dengan pendapat Asy-Syaukani yang mengatakan
bahwa seorang majikan boleh menggauli budaknya tanpa harus
dinikahi terlebih dahulu.86
6. Pendapat Imam Syafi‟i
Sebagaimana pendapat ulama yang lain, Imam Syafi‟i juga
mengatakan bahwa seorang suami boleh memiliki istri lebih empat
orang isteri saja. Beliau mengharamkan suami memiliki isteri lebih
dari empat orang. Hal tersebut bertentangan dengan sunah Rasulullah
SAW yakni apabila seorang memiliki lebih dari empat orang isteri,
maka dia harus memilih empat orang saja, dan menceraikan yang
lainnya. Ia boleh memilih isteri yang lebih tua atau yang lebih muda.
Lebih lanjut, Imam Syafi‟i mengatakan bahwa suami hanya
tidak dibatasi untuk dijadikan selir, sebgaimana dalam surat An-
Nissa‟ ayat 3, Allah SWT tidak memberi batasan seperti halnya
isteri.87
86
Ibid, hlm 28-29. 87
Ibid, hlm 29-30.
70
7. Pendapat Sayyid Qutub
Menurut Sayyid Qutub, pada dasarnya, poligami merupakan
perbuatan yang bersifat rukhsah semata. Suami boleh berpoligami
hanya saat ia benar-benar berada dalam keadaan darurat. Dengan
berpoligami, suami dapat terbebas dari kondisi darurat yang
dialaminya. Meskipun demikian keadaan darurat tersebut tidak serta
merta dijadikan alasan untuk berpoligami. Sebab, suami yang ingin
dijadikan alasan untuk berpoligami. Sebab, suami yang ingin
berpoligami harus memenuhi syarat khusus, yakni adanya sikap adil
kepada para isterinya.
Keadilan yang dipersyaratkan bagi suami yang ingin
berpoligami adalah dalam memberikan nafkah, pergaulan, muamalah,
dan giliran tidur malam. Apabila suami memiliki kekhawatiran tidak
dapat berlaku adil pada beberapa hal tersebut, maka poligami tidak
boleh dilakukan.88
8. Pendapat Muhammad Abduh
Pendapat cukup keras tentang hukum poligami datang dari
Muhammad Abduh. Menurut Abduh, poligami hanya boleh dilakukan
oleh suami dalam keadaan-keadaan tertentu, seperti isterinya tidak
dapat mengandung (mandul) sehingga tidak bisa memberikan
keturunan. Tanpa alasan demikian, abduh berpendapat bahwa
poligami haram dilakukan. Dalam kenyataannya, memang ada suami
88
Ibid, hlm. 31.
71
yang sel-sel spermanya mengalami kerusakan akibat suatu sebab
sehingga tidak bisa membuahi sel ovum pada isterinya. Apabila sudah
dipastikan bahwa yang mengalami kemandulan adalah dari pihak
istri, maka suami boleh berpoligami. Tanpa sebab tersebut, poligami
tidak boleh, bahkan haram hukumnya. Dalam pandangan Abduh,
salah satu penyebab keharaman poligami adalah karena sulitnya
seorang suami melayani para isterinya dengan seadil-adilnya.
Sedangkan, syarat bagi laki-laki yang ingin berpoligami adalah
kemampuan berbuat adil bagi semua isterinya. Abduh menyimpulkan
bahwa pada dasarnya, pernikahan dalam Islam bersifat monogami,
bukan poligami.89
Rasyid Ridha juga mengatakarn bahwa poligami hukumnya
haram apabila suami tidak bisa berbuat adil terhadap istrinya.
Menurutnya, pernikahan yang ideal di dalam Islam adalah pernikahan
monogami. Yakni, menikahi satu orang isteri saja.90
9. Pendapat Abdul Halim Abu Syuqqah
Menurut Abu Syuqqah, seorang suami boleh berpoligami
apabila ia mengalami sedikitnya empat keadaan. Pertama, untuk
mengatasi masalah keluarga yang dialaminya. Seperti, istrinya
mengalami kemandulan, mengalamin cacat fisik, atau menderita
penyakit berkepanjangan sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya
sebagai seorang istri. Suami boleh menikah lagi dengan perempuan
89
Ibid, hlm. 32. 90
Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 104.
72
yang mampu mengatasi masalah tersebut dan menjalankan fungsinya
sebagai isteri.
Kedua, suami sering melakukan perjalanan dalam waktu yang
lama. Sehingga, ia tidak bisa melibatkan isterinya karena mengurus
anak-anaknya di rumah. Suami boleh berpoligami kerena keadaan
yang mendesak tersebut.
Ketiga, poligami dilakukan dengan tujuan berbuat baik pada
seorang perempuan shalihah. Perempuan tersebut tidak ada yang
karena sedang menanggung anak-anak yatim. Dalam hal ini, suami
boleh menikah lagi dengan perempuan tersebut.
Keempat, suami ingin menambah kesenangan karena
kesahatannya prima dan memiliki materi yang cukup untuk
digunakan menafkahi isteri-isterinya. Keempat faktor tersebut
ditambah dengan syarat lain, yakni kemampuan suami untuk berbuat
adil kepada semua isteri dan anak-anaknya serta mampu memelihara
mereka dengan baik.91
10. Pendapat Qurais Syihab
Dalam pandangan Qurais Syihab, surat An-Nissa‟ ayat 3
memang menjadi dasar kebolehan berpoligami. Namun, keberadaan
ayat tersebut sering disalahpahami oleh kebanyakan orang. Pada
dasarnya, ayat tersebut diturunkan bukan untuk membuat satu
peraturan tentang poligami, mengingat poligami sudah dikenal dan
91
Abdul Halim Abu Syuqqani, Kebebasan Wanita, hlm. 388.
73
dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ayat
tersebut turun. Ayat tersebut tidak mewajibkan atau menganjurkan
poligami, tetapi hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Poligami
merupakan pintu darurat kecil yang hanya dilalui jika sangat
diperlukan dengan syarat yang tidak ringan.92
Lebih lanjut, Qurais Syihab memaparkan bahwa pembahasan
poligami tidak hanya dikaji dari sudut pandang ideal atau baik dan
buruknya. Poligami juga harus ditinjau dari sudut pandang
pengaturan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.
Sehingga, sebagai agama yang berlaku setiap waktu dan kondisi,
agama Islam wajar mempersiapkan ketetapan hukum yang bisa
ditetapkan pada suatu kejadian tertentu, meskipun kejadian tersebut
hanya sebuah kemungkinan.93
Dengan demikian, surat An-Nissa‟ ayat 3 tidak bisa dipahami
sebagai sebuah anjuran untuk berpoligami, apalagi sebuah kewajiban.
Poligami atau tidak, semua diserahkan pada masing-masing suami
berdasarkan pada pertimbanganya. Al-Qur‟an hanya memberikan
wadah, selain banyak wadah-wadah lain yang memiliki syarat lebih
ringan daripada poligami.94
Demikianlah pendapat atau perspektif beberapa ulama tentang poligami
yang terkait dengan surat An-Nissa‟ ayat 3. Dari beberapa pendapat dan
perspektif tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun diperbolehkan, namun
92
„Iffah Qanita Nailiya, Poligami Berkah, hlm. 34. 93
Ibid, hlm. 35. 94
M. Quraish shihab, Wawasan Al-Qur‟an, hlm.199-200.
74
poligami memiliki syarat yang tidak ringan. Dan tidak semua orang dapat
memenuhi syarat-syarat tersebut.
E. Pembagian Nafkah Rasulullah dalam Pernikahan Poligami
Ada banyak pembagian nafkah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW
kepada kita selaku umat beliau. Dimana pembagian itu dilakukan sangat adil
diantara istri-istri beliau SAW. seperti halnya pembagian nafkah batin, nafkah
kunjungan malam, nafkah ekonomi, nafkah tempat tinggal, memberikan kasih
sayang yang sama terhadap keluarga.
1. Nafkah batin merangkap nafkah pembagian malam
Imam An-Nawawi dalam syarah Imam Muslim menjelaskan melalui
sebuah hadis dari Anas bin Malik ra berkata:
“Bahwa Nabi SAW mempunyai sembilan istri, ketika beliau membagi hari kepada mereka, maka beliau tidak kembali lagi ke istri
yang pertama kecuali setelah giliran hari bagi istri beliau yang kesembilan. Mereka semua berkumpul pada setiap malamnya di
rumah salah satu istri yang beliau datangi. Suatu ketika beliau sedang di rumah Aisyah maka datanglah Zainab, maka beliau mengulurkan tangan beliau kepadanya. Aisyah berkata: “Dia adalah Zainab”, maka
Nabi pun menarik kembali tangan beliau. Keduanya pun saling bercakap-cakap sampai terdengar ramai suaranya.”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa tidak disyaratkan dalam berbuat
adil kepada para istri masing-masing mendapatkan giliran satu malam
dan tidak bertemu dengan istrinya yang lain, namun boleh juga duduk
bersama dengan istri yang tidak mendapatkan giliran pada malam itu
dan bercakap-cakap dengannya. Maka dari itu mereka semua setiap
75
malam berkumpul di rumah istri yang mendapat giliran pada malam
itu.95
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa begitu adilnya
Rasulullah SAW. Terlebih dalam memenuhi kebutuhan nafkah batin.
Hal ini yang sulit diterapkan dalam kehidupan poligami pada masa
sekarang.
2. Nafkah Materi
Jika suami mampu96 (lihat QS.At-Thalaq 6), maka wajib baginya
memenuhi kebutuhan istrinya sesuai dengan „urf/ adat setempat,
(karena hal ini termasuk dalam QS.an-Nisa‟ 19). Suatu contoh, jika
adat penduduk setempat makanan sehari- harinya adalah roti, atau
jika kebiasaan mereka tidur diatas kasur dan menggunakan bantal
(bukan dilantai atau beralas tikar) maka itulah yang menjadi
kewajiban suami jika ia mampu.97
3. Nafkah Rumah atau tempat tinggal yang layak (maskan)
Wajib bagi seorang suami untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal
istrinya dengan layak , hal ini telah disepakati oleh para ulama,
sebagaimana firman- Allah:
95
Imam An-Nawawi, Syarah Imam Muslim. (Darus Sunnah. 2009), hal. 6/257.
97
Ibnu Qudamah, al-Mughni 9/236.
76
„‟Dan bergaulah dengan mereka secara patut.‟‟ (QS.An-Nisa’ 19)
Keterangan: termasuk mempergauli istri dengan cara yang patut
adalah menempatkan istri dirumah yang patut/layak baginya, sebab
istri membutuhkan tempat tinggal yang dapat dipakai beristirahat,
bersenang- senang dengan suaminya dan menutupi auratnya dari
pandangan manusia, serta untuk menjaga hartanya, hanya saja tempat
tinggalnya disesuaikan dengan kemampuan sang suami.98 sebab Allah
berfirman;
„‟Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.‟‟ (QS.At-Thalaq 6)
4. Nafkah untuk keluarga
Kewajiban menafkahi tidak hanya kepada istri, tetapi kepada para
kerabat juga wajib (jika terpenuhi syarat- syaratnya), seperti
menafkahi anak- anaknya, atau orang tuanya, hal ini didasari oleh
beberapa dalil, diantaranya; Seperti Firman Allah tentang kewajiban
seorang ayah menafkahi istri yang telah dicerai dalam keadaan hamil,
dan nafkah tersebut adalah untuk sang anak;
98
Maktabah Abiyah. “ https://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/06/06/fiqih-nafkah-
memahami-kewajiban-memberi-nafkah-dalam-islam/”, Diakses pada 21 Maret 2019 pukul 16.20.
77
„‟Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.‟‟ (QS.at-Thalaq 6)
Lebih diperjelas kewajiban seorang ayah memberi nafkah kepada
anak- anaknya, dalam hadits kisah Hindun bintu Itbah yang artinya
berbunyi:
‟‟Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang
kikir, dia tidak memberi nafkah yang cukup buat aku dan anak- anakku, kecuali aku harus mengambilnya sedangkan dia tidak tahu,‟‟ maka (Rasulullah) mengatakan,‟‟ambilah apa yang cukup buatmu dan
anak- anakmu dengan cara yang patut.‟‟ (HR.Bukhori 4945)
Adapun kewajiban seseorang menafkahi orang tua dan kerabatnya,
maka ditunjukkan oleh keumuman ayat- ayat al-Qur‟an tentang
perintah berbakti kepada orang tua (seperti firman Allah QS.al-Isra‟
23, dan 26)
“dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”.
“ dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”
78
dan lebih jelas lagi seperti dalam hadits;
Mulailah (memberi nafkah) kepada orang yang menjadi
tanggunganmu, Ibumu, ayahmu, saudarimu, saudaramu, dan
seterusnya.99
Kewajiban menafkahi para kerabat menjadi wajib jika terpenuhi
syarat- syaratnya. Diantaranya, jika kerabat tersebut (orang tua,
saudara dan lainnya) dalam keadaan faqir/ miskin tidak mampu
menafkahi diri mereka sendiri, dan tidak ada orang lain yang
menafkahi mereka. Tetapi jika mereka mampu, atau ada orang lain
menafkahi mereka, maka gugurlah kewajiban ini. Jika seseorang
mempunyai kelebihan setelah menafkahi diri dan yang
ditanggugngnya, Rasulullah bersabda;
„‟Mulailah menafkahi dirimu sendiri, jika tersisa, maka untuk anggota keluargamu, jika tersisa, maka untuk kerabat dekatmu.‟‟
(HR.Muslim 1663) Catatan; Adapun kadar besaran nafkah kepada kerabat adalah sama
dengan kadar besaran nafkah kepada ustri yaitu mencukupi kebutuhan
mereka dengan cara yang patut sesuai kemampuan.100
99
Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram5/145, 100
Muslim Abu Ishaq al Atsari, http://asysyariah.com/aturan-dalam-poligami/. diakses pada 21
Maret 2019 pukul 17.23..
79
BAB III
Potret Poligami Dalam Keluarga Salafi di Salatiga dan Sekitarnya
A. Pengertian Salafi
Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu,
keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa arab Ibnu
Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu,
yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada diatasmu dari sisi umur
dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para
sahabat disebut salafush shalih (pendahulu yang baik)”.101
Makna semacam ini
serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka
tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami
tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf
(pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian”. 102
Artinya adalah: Kami
menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan
perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau
mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya.103
Sedangkan salafi sendiri dalam istilah yang sering disebut-sebut oleh
para ulama adalah tentang akidah salaf. Dimana kata salaf merupakan maksud
yang diantaranya mencakup tiga kemungkinan. Dan diantaranya tiga
kemungkinan itu adalah sebagai berikut:
Pertama: Para Sahabat Nabi SAW.
101
“Lisanul „Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30, Mari Mengenal Mahaj Salaf”,
https://muslim.or.id/430-mari-mengenal-mazhab-salaf.html, diakses pada tanggal 11 Juli 2018
pukul 12.05. 102
Ibid 103
Ibid
80
Kedua: Sahabat dan murid-murid mereka (tabi‟in).
Ketiga: Sahabat, tabi‟in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya
di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan
berjuang membasmi bid‟ah.
Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara
terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat secara pada diri
para sahabat radhiyallahu‟anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga
mencakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka yang
meneladani para sahabat”. Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al‟Aql
mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi‟in
dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan
keutamaan (sahabat, tabi‟in dan tabi‟ut tabi‟in, -red). Dan setiap orang yang
meneladani dan berjalan di atas mazhab mereka sepanjang masa disebut
sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka”.104
Kata salaf sebagai sebutan tiga generasi muslim pertama yang dimulai
masa nabi yakni generasi sahabat, tabiin, dan tabi„ tabiin. Dalam literature
Islam merekalah yang dikenal sebagai salafus shalih karena pola hidup
mereka yang terbentuk dengan Al Qur„an dan Sunnah. Ajaran salaf dikenal
dengan manhaj salaf adalah ajaran atau jalan yang terang lagi mudah, yang
ditempuh para Salafus shalih dalam memahami ajaran Rasulullah. Sering
disebut sebagai Ahli Sunnah Wal Jamaah, ungkapan lain yang juga
disematkan pada golongan ini adalah firqoh Najiyah (golongan yang selamat)
104
Ibid
81
dan ath-Thaifah al Manshurah (golongan yang selalu ditolong). Pada
prinsipnya, seluruh gerakan Islam pasti merasa bahwa mereka adalah
golongan ahlussunnah wal jamaah dan mengikuti kaidah salaf.105
Sebagaimana diketahui pemahaman agama yang bersifat rasional
kontekstual cenderung memahami Al-Qur„an dan ajaran Rasulullah dengan
memberi makna kontekstual dari teks, Sementara pemahaman literal-tekstual
sering kali memahami teks tanpa memperhatikan konteks historis maupun
sosiologisnya. Pemahaman yang kontekstual pada gilirannya mampu memberi
ruang perbedaan dan toleran, sementara pemahaman yang bersifat tekstual-
literal sering melahirkan perspektif katagoris alias hitam putih, salah benar,
kafir mukmin yang pada gilirannya akan memunculkan klaim-klaim
kebenaran secara absolut dengan menegasikan kelompok lain yang berbeda.
Konsekuensi lebih lanjut adalah berkembangnya sikap prejudice dan
ekslusivisme. Model pemahaman yang terakhir inilah yang sering menyulut
kekerasan atas nama agama atau yang sering disebut sebagai radikalisme
agama.106
Sedangkan dalam konteks Islam Indonesia, pemahaman yang bersifat
tekstualliteralis sering dikaitkan dengan Islam yang diimpor dari Timur
Tengah seperti Islam wahabi atau Islam salafi atau yang disebut oleh Gellner
sebagai fundamentalisme dengan ciri utama agama tertentu dipegang kokoh
dalam bentuk literal dan bulat tanpa kompromi.107 Ajaran pemikiran Salafi
105
Siti Zumrotun, dkk, Menabur Benih Islam Salafi di Pedesaan, (Salatiga: IAIN Salatiga Pusat
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, 2010), hlm. 36. 106
Ibid, hlm. 26. 107
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 108.
82
dimungkinkan dimulai dari terbentuknya LIPIA di Jakarta. Lembaga ini
merupakan perluasan atau kuliah jarak lauh dari Universitas Ibnu Saud dai
Saudi Arabia. Disini para dosennya banyak yang berasal dari Saudi, dan dari
merekalah pemahaman atas ajaran wahabi Saudi itu berkembang leluasa. Dari
banyak alumninya, mereka mengembangkan pemikiran yang sama, di
berbagai wilayah. Salah satunya yang dianggap berhasil adalah pendirian
pesantren Islam Al Irsyad di Tengaran. Awalnya pesantren ini diinginkan
berbasis kultur seperti pesantren Gontor, tapi kemudian mulai 1990an, terjadi
perubahan paradigma berpikir menjadi salafi, dengan hadirnya ustadz-ustadz
alumni LIPIA yang kemudian menjadi tokoh-tokoh penggerak salafi di
Indonesia.108
Adapun tujuan dari salafi itu sendiri adalah purifikasi Islam. Dimana
sebuah upaya pemurnian ajaran dan mengembalikan Islam kepada yang
diyakini asli dari Nabi melalui ajaran Al-Qur‟an dan hadist. Adanya
pemahaman terhadap akidah hanya benar bila mengikuti jejak Nabi dan
salafusshalih. Dimana memahami Islam, aqidah, hukum-hukum, dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan semua baik soal keyakinan dan dalil-
dalilnya dikembalikan atau difahami dengan penjelasan Al-Qur‟an dan hadist.
Sedangkan kaitan salafi dengan gerakan Islamisme adalah adanya
pengerucutan yang muncul akibat pengakuan dan penisbatan kata salafi, yang
khusus mengarah pada kelompok gerakan Islam tertentu yang berkembang di
Tanah Air dimana mereka berkiblat pada ajaran awal Muhammmad bin Abdul
108
Siti Zumrotun, Menebar Benih, hlm. 34.
83
Wahhab, atau wahhaby, yang bersumber pada pemikiran ibnu Taymiyah, dan
bermuara pada pemikiran syeikh-syeikh timur tengah baik itu Saudi (seperti
Syeikh Bin Baz dan Syeikh Utsaimin,) maupun Yaman (Syeikh Muqbil al
Hadi dkk). Mereka memiliki beberapa ide dan karakter yang khas yang
kemudian membedakannya dengan gerakan pembaruan Islam lainnya di
Indonesia.109
B. Sejarah Salafi Indonesia
Pada dasarnya perkembangan dakwah salafi di Indonesia tidak terlepas
dari mudahnya Islam diterima oleh bangsa Indonesia sebagai agama yang
pada akhirnya mereka anut. Dimana penyebaran Islam sendiri pada awalnya
dibawa oleh para pedagang Islam dari timur tengah. Adapun beberapa faktor
yang membantu penyebaran Islam di Indonesia diantaranya bisa diringkas
dengan beberapa hal sebagai berikut:
1. Mudahnya agama Islam, tidak terdapat hal-hal yang rumit bagi
seseorang yang berkeinginan memeluk agama Islam.
2. Sifat orang indonesia dan fitrahnya yang senantiasa mau menerima
segala sesuatu yang baik.
3. Adanya asimilasi, yaitu pernikahan antara orang pribumi dengan
pedagang dari arab.
4. Akulturasi bangsa arab dan penduduk pribumi yang begitu mudah
dan eratnya.
109
Ibid, hlm. 40.
84
Negeri Indonesia belumlah lama mengenal dakwah salafiyyah yang
murni dan benar, tidak lebih dari 10 tahun yang lalu melalui perantara
sebagian putra-putra Indonesia yang lulus dari Universitas Islam Madinah,
dan mereka terpengaruh dengan para ulama salafiyyin di Madinah sedangkan
mereka itu sedikit. Pengaruh yang jelas dan penyebaran yang luas dakwah
salafiyyah ini juga timbul dari penyebaran dan penerjemahan kitab-kitab
salafiyyah ke dalam bahasa Indonesia dari para ulama salaf, baik yang lampau
maupun ulama pada saat ini. Dari buku-buku itulah mereka mengenal mazhab
salaf yang benar.110
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Salafi di Indonesia
banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh
Muhammad ibn Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Kembali kepada
al-Quran dan al-Sunnah serta pemberantasan takhayul, bid„ah dan khurafat
adalah ide mendasarnya. Meskipun satu hal yang patut dicatat bahwa
nampaknya gerakan-gerakan ini tidak sepenuhnya mengambil apalagi
menjalankan cara-cara yang dibawa oleh gerakan purifikasi Muhammad ibn
Abd al-Wahhab, seperti contoh cara kekerasan dan pemberontakan. Di
Indonesia, ajaran awal yang dibawa adalah purifikasi Islam, bagaimana
membersihkan Islam yang di Indonesia dianggap terlalu banyak bercampur
dengan adat, dan mengembalikannya pada ajaran seperti yang dibawa Nabi
Muhammad dan dilakukan oleh sahabat dan pengikut dekatnya saja.111
110
“Perkembangan Dakwah di Indonesia”, https://almazhab.or.id/1128-perkembangan-dakwah-
salafiyah-di-indonesia.html, diakses pada tanggal 11 Juli 2018 pukul 13.56. 111
Siti Zumrotun, Menabur benih, hlm. 40.
85
Pemikiran salafi Indonesia sangat dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-
tokoh luar Indonesia yang paling berpengaruh terhadap Gerakan Salafi
Modern ini. Diantaranya para ulama Saudi Arabia secara umum, seperti
Syeikh Bin Baz, Syeikh Utsaimin, Syekh Rabi al-Madkhaly Madinah dan
sebagainya. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albany di Yordania , dan
Syekh Muqbil al-Wadi„iy di Yaman. Pengaruh mereka nampak jelas dalam
penerjemahan besar-besaran karya mereka sehingga mewarnai beberapa
terbitan buku-buku di tahun 90an dan 2000an. Bahkan fatwa-fatwa apapun
senantiasa dirujukkan kepada 44 pendapat mereka ini. . Ide-ide yang
berkembang di kalangan Salafi Indonesia tidak jauh berputar dari arahan,
ajaran dan fatwa tokoh-tokoh tersebut.112
Di Indonesia sendiri salafi terbagi menjadi beberapa kelompok,
diantaranya kelompok yang paling mendominasi dan yang menonjol adalah
kelompok salafi Yamani dan Haraki atau yang biasa disebut Saudi. Hal ini
bisa dilihat dari majelis-majelis ilmu yang diselenggarakan. Biasanya yang
paling menonjol adalah dari mana ustad yang mengisi kajian ilmu tersebut
atau dari lulusan mana. Jika Yamani pasti ustadnya dari yaman atau lulusan
universitas ternama di yaman, sebaliknya jika Haraki pasti ustad yang mengisi
dari saudi arabia atau lulusan dari universitas mekah atau madinah.
Pada dasarnya dari dua kelompok ini hampir tidak ada perbedaan dalam
beberapa hal. Dimana beberapa hal itu menyangkut aqidah, fiqih ibadah dan
muamalah. Aqidah mereka yaitu meyakini bahwa Allah diatas arsy yang
112
Ibid, hlm. 43.
86
dipahami secara mutlak tanpa boleh ditakwilkan atau dipertanyakan.
Sedangkan untuk ibadah selalu berorientasi dan mencotoh pada Rasulullah
dan para sahabat, seperti halnya yang paling benar-benar berbeda dari
masyarakat pada umumnya adalah tidak mengadakan tahlilan, tawasul dan
ziarah kubur.
Pada dasarnya perbedaan salafi Yamani dan Haraki yang paling
meonjol adalah soal sikap mereka. Dimana, salafi Yamani cenderung lebih
keras dan hampir tidak memiliki toleransi dalam berdakwah dan cara
memandang kelompok diluar mereka. Sedangkan salafi Haraki lebih lembut
dan lebih bisa bersikap terbuka terhadap orang-orang diluar kelompok
mereka.
Seperti halnya sikap terhadap politik, sosial dan kemasyarakatan.
Misalnya terhadap politik Tak hanya itu, mereka memandang keterlibatan
dalam semua proses politik praktis seperti pemilihan umum sebagai sebuah
bid„ah dan penyimpangan, terutama dalam pandangan Salafi Yamani.
Muhammad As-Sewed misalnya –yang saat itu masih menjabat sebagai ketua
FKAWJ mengulas kerusakan-kerusakan pemilu diantaranya sebagai sebuah
upaya menyekutukan Allah (syirik) karena menetapkan aturan berdasarkan
suara terbanyak (rakyat), padahal yang berhak untuk itu hanya Allah.,
kesepakatan suara terbanyak itulah yang dianggap sah, itu bertentangan
dengan agama atau aturan Allah dan Rasul-Nya. Pemilu adalah tuduhan tidak
langsung kepada Islam bahwa ia tidak mampu menciptakan masyarakat yang
adil sehingga membutuhkan sistem lain. Partai-partai Islam tidak punya
87
pilihan selain mengikuti aturan yang ada, meskipun aturan itu bertentangan
dengan Islam. Dalam pemilu terdapat prinsip jahannamiyah, yaitu
menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan-tujuan politis, dan sangat
sedikit yang selamat dari itu.Pemilu berpotensi besar menanamkan fanatisme
jahiliah terhadap partai-partai yang ada.113
Berbeda dengan Salafi Haraki yang cenderung menganggap masalah ini
sebagai persoalan ijtihadiyah belaka. Dalam sebuah tulisan bertajuk al-
Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah yang dimuat oleh situs
Islamtoday.com, dipaparkan bahwa sistem peralihan dan penyematan
kekuasaan dalam Islam tidak memiliki sistem yang baku. Karena itu, tidak
menutup mungkin untuk mengadopsi sistem pemilu yang ada di Barat setelah
memodifikasi„nya agar sesuai dengan prinsip-prinsip politik Islam. Alasan
utamanya adalah karena hal itu tidak lebih dari sebuah bagian adminstratif
belaka yang memungkinkan kita untuk mengadopsinya dari manapun selama
mendatangkan mashlahat. Maka tidak mengherankan jika salah satu ormas
yang dianggap sebagai salah satu representasi faksi ini, Wahdah Islamiyah,
mengeluarkan keputusan yang menginstruksikan anggotanya untuk ikut serta
dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu-pemilu yang lalu.114
Khusus di Salatiga yang mendominasi adalah salafi Haraki. Dimana
adanya halaqoh-halaqoh dan majelis ilmu serta beberapa lembaga pendidikan
diisi oleh ustad-ustad dari pesantren Al-Irsyad yang notabene lulusan dari
113
Ibid, hlm. 48. 114
Ibid, hlm. 49.
88
universitas di mekah dan madinah. Meskipun ada juga salafi Yamani yang
tinggal di Salatiga meski jumlahnya lebih sedikit dibandingkan salafi Haraki.
C. Potret Poligami Dalam Keluarga Salafi115
Khusus dalam penelitian ini, semua responden yang ada dalam
penulisan penelitian ini adalah responden dari salafi Haraki. Karena kesemua
responden adalah orang-orang yang dikenal baik oleh peneliti. Mereka
tergabung dalam satu wadah kajian ilmu yaitu kajian ilmu yang dipimpin oleh
ustad-ustad dari pesantren Al-Irsyad atau pesantren lainnya yang memiliki
satu pemahaman dengan ustad-ustad dari pesantren Al-Irsyad.
Semua responden yang ada dalam penelitian ini saling mengenal satu
dengan lainnya. Bahkan mereka bisa dibilang sahabat baik. Salafi sendiri
bukan organisasi dan tidak ada organisasi dalam salafi. Tetapi ada wadah
tersendiri, yaitu majelis ilmu yang diadakan rutin baik dalam sekala kecil atau
khusus maupun sekala besar atau umum. Sekala kecil adalah majelis ilmu
yang dilakukan rutin seminggu sekali untuk membahas kitab-kitab tertentu
yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal masing-masing responden.
Sedangkan sekala besar biasanya dilakukan setiap tiga bulan sekali yang
terpusat di masjid Darul Amal kota Salatiga yang mana merupakan salah satu
ajang untuk berkumpul dan bersilaturahmi antar semua salafi Haraki di kota
Salatiga dan sekitarnya.
115
Semua nama informan dalam penelitian ini disamarkan (pseudo name) demi menjaga
kerahasiaan informan, semua informan dalam penelitian ini telah menyepakati untuk
dipublikasikan.
89
Sedangkan untuk latar belakang keluarga dari masing-masing responden
beragam. Dari pegawai, pendidik, akademisi, ustad dan wirausaha. Yang
pada dasarnya dari semua responden tidak ada yang bermazhab salafi dari
lahir. Kesemuanya mengenal salafi ketika masuk dan mengikuti majelis ilmu
yang diadakan oleh ustad-ustad salafi
1. Keluarga Bapak Amin, Poligami sebagai bukti sehat.
Bapak Amin lahir di Salatiga 46 tahun yang lalu. Ia bekerja
sebagai pedagang asongan di terminal tingkir Salatiga. Bapak Amin
menempuh pendidikan hingga sekolah menengah atas. Bapak Amin
terlahir dari keluarga sederhana di desa Suruh. Pada tanggal 6
september 2000, Bapak Amin menikah dengan seorang wanita
bernama Ustadzah Fitrii melalui ajang perjodohan yang dilakukan
oleh seorang ustad dimana beliau berdua berada dalam satu majelis
ilmu, salah satunya majelis ilmu yang diselenggarakan di Masjid Al-
Burhan dan Masjid Darul Amal Salatiga yang notabene adalah istri
pertamanya.
Ustadzah Fitri lahir dari keluarga terpandang dan berada, Ia
dilahirkan di daerah industri kerajinan perak di kabupaten Semarang,
yaitu di desa Bedono. Ustadzah Fitrii menyelesaikan pendidikan
terakhirnya dengan gelar sarjana pendidikan. Karena Ustadzah Fitri
memiliki potensi di bidang ilmu pendidikan dan memiliki cukup
modal, maka Ustadzah Fitri mendirikan lembaga pendidikan yang
khusus untuk PAUD dan TK. Lembaga pendidikan yang didirikan
90
dan dikelola Ustadzah Fitrii cukup pesat perkembangannya. Sehingga
memberikan penghasilan yang lumayan bagi Ustadzah Fitrii yang
bisa dibilang 80% kebutuhan keluarga ditopang oleh Ustadzah Fitri.
Lembaga pendidikan ini jadi satu dengan tempat tinggal Ustadzah
Fitrii yaitu di kecamatan Sidorejo Lor kota Salatiga.
Dalam pernikahannya hingga saat ini Bapak Amin dan
Ustadzah Fitri belum dikaruniai anak. Pernah beberapa kali Ustadzah
Fitri hamil namun tiap kali hamil selalu berakhir dengan keguguran.
Menurut dokter ada yang bermasalah dengan kesehatan Bapak Amin
yang menganjurkannya untuk menjalani pengobatan dan terapi.
Lain halnya dengan Ustadzah Fitri yang notabene sebagai istri
pertama dari Bapak Amin. Mbak Sila adalah istri kedua Bapak Amin
yang dinikahi pada tahun 2013 secara agama (secara siri). Mbak Sila
berasal dari Purworejo Jawa Tengah, namun selama ini Mbak Sila
hidup dan bekerja di Jakarta sebagai asisten rumah tangga.
Sewaktu Ia kembali ke Purworejo oleh teman pamannya
dikenalkan pada Bapak Amin. Pada saat Bapak Amin datang untuk
nadhor dan mengutarakan maksudnya untuk menikah dengan Mbak
Sila, Mbak Sila mengiyakan. Hal tersebut Ia lakukan karena beberapa
pertimbangan, salah satunya adalah desakan keluarga yang
mengharuskan Mbak Sila menikah, sebab pada waktu itu usia Mbak
Sila tidak muda lagi. Dimana bisa disebut perawan tua, dan
pertimbangan yang kedua yaitu, Bapak Amin mengatakan bahwa Ia
91
menikah karena Ia tidak dikaruniai anak dan karena istri pertamanya
yang meminta sekaligus memberikan ijin. Pada saat itu Mbak Sila
dan keluarganya baru mulai menegenal dan belajar tentang mazhab
salafi.
Pada saat pewawancara bertanya kepada Bapak Amin tentang
alasannya menikah lagi, Bapak Amin menjawab bahwa karena
menginginkan adanya keturunan. Alasan Bapak Amin tidak hanya itu,
selain untuk memperoleh keturunan juga sebagai pembuktian bahwa
Bapak Amin dalam keadaan sehat dan bisa memiliki keturunan. Dan
terbukti, dengan Mbak Sila Bapak Amin memiliki anak kembar laki-
laki dan perempuan. Meskipun demikian, pernikahan yang dilakukan
Bapak Amin tidak secara terang-terangan. Pernikahan yang Ia
lakukan dengan Mbak Sila tanpa sepengetahuan dari istri pertamanya
Ustadzah Fitri.
Pada dasarnya ini bukan kali pertama Bapak Amin hendak
berpoligami. Pada tahun ke 10 pernikahannya dengan Ustadzah Fitri
Bapak Amin dekat dengan wanita lain dan sudah melakukan proses
ta‟aruf namun diluar sepengetahuan Ustadzah Fitri. Tetapi, belum
sampai ke jenjang yang lebih dalam Ustadzah Fitri mengetahui dan
menentang kalau Bapak Amin menikah lagi sehingga rencana Bapak
Amin dibatalkan.
Empat tahun setelah Bapak Amin membatalkan pernikahan
poligaminya. Untuk yang kedua kalinya Bapak Amin melakukan hal
92
yang sama, namun bedanya kali ini Bapak Amin langsung membawa
istri mudanya (Mbak Sila) pulang kerumah Ustadzah Fitrii dan
diperkenalkan dengan Ustadazah Fitri namun tidak bertemu.
Selama menjalani pernikahan poligami Bapak Amin membagi
waktunya untuk istri pertama ditiap malam dan istri kedua hanya 2
jam sebelum berangkat kerja dan 3 jam setelah pulang dari kerja.
Sedangkan tempat tinggal untuk istri pertama dirumah peibadi dan
istri kedua dirumah kos. Kemudian dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari Bapak Amin hanya mengeluarkan secukupnya untuk
kebutuhan makan kepada istri kedua setiap harinya dan untuk istri
pertama Bapak Amin tidak memberikannya karena memang selama
ini Ustadzah Fitri yang berperan lebih besar setiap pemenuhan
kebutuhan keluarga. Untuk anak-anaknya hingga saat ini belum
diketahui bagaimana pemenuhan nafkahnya, hal itu disebabkan sudah
terjadi pisah rumah yang berujung talak dengan istri kedua sebelum
anak-anaknya dilahirkan dan hingga saat ini tidak ada komunikasi
sama sekali.
93
2. Keluarga Ustad Mirja, Istri ingin menjadi sempurna sebagai
perempuan
Ustad Mirja adalah seorang ustad salafi yang tinggal
dipinggiran berbatasan antara kota Salatiga dengan Kabupaten
Semarang. Di daerah ini Ia menjadi seorang pengajar sekaligus
pembina dari yayasan pendidikan yang berbasis Tahfidhul Qur‟an.
Selain sebagai pengajar kesehariannya adalah mengisi kajian-kajian
pada majelis ilmu yang ada di kota Salatiga dan sekitarnya, seperti
halnya kajian yang diselenggarakan oleh yayasan hati beriman. Tidak
hanya itu, beliau juga berjualan produk-produk herbal meliputi obat-
obatan,madu dan vitamin.
Untuk latar belakang pendidikannya tidak banyak yang bisa
diketahui oleh penulis, tetapi yang pasti Ustad Mirja pernah lama
berada di Mekah dan Madinah. Beliau masih kerabat dari wakil
walikota Salatiga saat ini. Yang notabene adalah dari keluarga yang
begitu religius.
Umi Husna adalah seorang istri yang rela menyepakati dan
menikahkan suaminya demi menyempurnakan dirinya. Wanita
kelahiran kota Bogor ini menikah dengan Ustad Mirja pada tanggal
26 februari 1996, bermula dari seorang teman yang menjodohkan
mereka berdua. Setelah menikah Umi Husna dengan suaminya pergi
ke Saudi Arabiya untuk bersama-sama bekerja dan mendampingi
94
Ustad Mirja menuntut ilmu. Selang beberapa tahun di negeri orang
mereka berdua pulang ke Indonesia.
Umi Husna adalah perempuan yang baik dan lembut, Ia sosok
yang sederhana dan penyabar. Ia senantiasa menjalani hari-harinya
dengan dengan mendedikasikan diri untuk keluarga dan untuk
mendampingi suaminya dalam berdakwah. Hingga lebih dari lima
tahun berumah tangga Umi Husna belum dikaruniai anak dan
berdasarkan diagnosa dokter karena suatu hal Umi Husna dinyatakan
Infertil sehingga sudah tidak ada harapan untuk mempunyai
keturunan.
Ustad Mirja tidak mau menceraikan Umi Husna dan Umi Husna
juga tidak ingin suaminya tidak memiliki keturunan, maka
berdasarkan pertimbangan yang cukup lama dan dari hasil
musyawarah seluruh keluarga Umi Husna menikahkan suaminya
dengan seorang wanita yang dianggap mampu dan cocok untuk
menjadi madunya dan bekerjasama dengan dirinya dalam
membangun keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Ia memilih
wanita untuk menjadi istri kedua suaminya tidak begitu saja, dimana
terlebih dahulu dia mengenal dengan baik karena sebut saja Umi
Marwah adalah salah satu perempuan yang aktif mengikuti majelis
ilmu suaminya.
Umi Marwah adalah perempuan belia yang duduk dimajelis
ilmu Ustad Mirja untuk menuntut ilmu. Ia tidak pernah menyangka
95
ketertarikannya untuk lebih faham ilmu agama mengantarkannya
menjadi seorang istri kedua dari gurunya. Umi Marwah adalah sosok
perempuan yang sederhana juga, yang lahir dari keluarga sederhana.
Umi Marwah pada awalnya harus berfikir berulang-ulang
namun ketika Ia melihat ketulusan dari Umi Husna selaku istri
pertama sang ustad Ia pun mengiyakan dengan syarat bahwa Ia tidak
ingin pernikahannya hanya sebatas pernikahan sah menurut agama
namun Ia berharap agar pernikahannya sah secara negara dan Umi
Husna beserta suami menyanggupinya. Karena alasan itulah Umi
Marwah dengan senang hati menerima pinangan tersebut dan
menikah dengan Ustad Mirja pada tahun 2002 dan terbukti Ustad
Mirja menikahinya sah secara agama dan negara.
Memang yang menjadi alasan mendasar Ustad Mirja
berpoligami adalah tidak bisanya Umi Husna memberikan keturunan
berdasarkan vonis dari dokter. Tetapi hal itu tidak serta merta Ustad
Mirja berlaku sekehendaknya. Bahkan pada saat memutuskan untuk
menikah lagi itupun semua diserahkan kepada Umi Husna tentang
kesiapannya dan semua prosesnya. Hingga keputusan terakhirpun
Umi Husna yang menentukan siapa pasangan yang cocok untuk
suaminya dan bisa bekerjasama dengannya dalam mengurus rumah
tangga.
Soal pembagian nafkah baik nafkah lahir atau batin Ustad Mirja
punya pendapat dan konsep sendiri, yaitu menjadikan satu istri-
96
istrinya dalam satu atap. Tidak dipungkiri setelah pernikahan pada
dasarnya Umi Husna meminta ijin agar Ia bisa tinggal dan
mengontrak ditempat lain. Namun suaminya menolak dengan alasan
bahwa Umi Husna tidak akan pernah merasakan menjadi seorang ibu,
apalagi kondisi Umi Husna yang sering sakit. Padahal niat awal Ustad
Mirja menikah salah satunya supaya Umi Husna juga bisa merasakan
menjadi seorang ibu dari anak-anaknya.
Umi Marwah sendiri bersedia tinggal serumah dengan Umi
Husna karena Ia tahu wanita seperti apa Umi Husna itu. Baginya Umi
Husna tidak sekedar madunya, melainkan seperti seorang kakak
tempat berbagi segala sesuatu dan memecahkan masalah bersama.
Untuk memberikan waktu supaya Umi Husna lebih bisa menerima
dengan keadaan yang terjadi Ustad Mirja dan Umi Marwah pergi ke
Saudy Arabiya dengan tujuan yang sama ketika pergi dengan Umi
Husna untuk beberapa tahun dan Umi Husna tinggal dirumah.
Sepulang dari luar negeri Umi Marwah mengandung dan untuk
pertama kalinya keluarga Ustad Mirja memiliki seorang anak. Umi
Husna pun turut bahagia karena baik Ustad Mirja dan Umi Marwah
menyerahkan semua kepada Umi Husna dengan kata lain Umi
Marwah yang melahirkan namun itu anak Umi Husna. Hingga saat ini
Umi Marwah sudah dikaruniai empat putra dan dua putri.
Karena tinggal dalam satu rumah untuk mengelolaan dalam
pembagian nafkah baik nafkah lahir maupun batin berjalan secara
97
fleksibel tanpa ada tuntutan satu sama lainnya. Apalagi dalam
pemenuhan nafkah untuk anak-anaknya tidak ada kendala. Semua
berjalan seadil mungkin, terbukti jika ada acara keluar Ustad Mirja
akan mengajak semua anggota keluarganya tanpa terkecuali atau jika
salah satu tidak bisa Ustad Mirja lebih baik sendiri. Segala sesuatu
yang terjadi dalam keluarganya baik Ustad Mirja, Umi Husna dan
Umi Marwah lebih suka menyelesaikannya secara musyawarah dan
duduk bersama.
“ saya tidak pernah sedikit pun terlintas akan dipoligami dan menjadi bagian dari keluarga poligami, tapi semua sudah takdir dari Allah dan hanya orang-orang pilihan saja yang sanggup dan diberi amanah
seperti ini, saya adalah wanita yang tidak sempurna jadi untuk menyempurnakan diri saya, saya harus menikahkan suami saya
dengan wanita lain, kalau ditanya bagaimana kita semua membangun komunikasi dalam keluarga, hampir tidak ada masalah dalam keluarga karena kita tinggal serumah dan semua dibicarakan bersama,
bahkan pekerjaan rumahpun kita lakukan secara bersama-sama, anak-anak juga lebih dekat dan manja terhadap saya daripada ke ibu
kandungnya, bagi mereka saya adalah umi yang kedudukannya sama dengan umi yang melahirkan mereka”.116
“saya bersedia menerima pinangan dari Ustad Mirja karena beliau datang dan meminang saya tidak sendiri melainkan bersama Umi
Husna istri pertamanya, karena itu saya merasa begitu dihormati dan ditinggikan derajat saya karena saya tidak dijadikan istri yang hanya akan memenuhi kebutuhan sepihak seorang suami, saya menganggap
Umi Husna lebih dari sekedar seorang madu, tapi beliau orang kedua setelah suami saya yang saya hormati dan saya cintai karena Allah,
karena ahlaknya dan kesabarannya”.117
3. Keluarga Ustad Setiawan, Poligami tanpa sepengetahuan istri
Ustad Setiawan atau Prof Setiawan begitu semua orang
terdekatnya dan teman-temannya memangilnya. Ia asli Salatiga yang
116
Wawancara Umi Husna, pada Minggu 5 Agustus 2018, di Salatiga. 117
Wawancara Umi Marwah, pada Minggu 5 Agustus 2018, di Salatiga.
98
lahir dari keluarga sederhana dan jauh dari kata kaya yang memiliki
segalanya. Namun itu tidak menjadikan suatu halangan bagi Ustad
Setiawani untuk mengenyam pendidikan yang baik dan dibilang
sukses. Dari TK hingga SMA Ia di Salatiga kemudian setrata satunya
Ia tempuh di Universitas Indonesia dan mengambil sastra Jepang
sebagai konsentrasinya. Tak berhenti sampai disitu, Ia kemudian
melanjutkan studinya di Nanzan University jurusan International
student dan Hiroshima University jurusan Intellectual and Cultural
History, Sociologi of Knowledge.
Tak berhenti sampai disitu juga, Ia bekerja di Nagoya
University sekaligus lecturer and Head of Japanese Studies Program
di universitas swasta ternama di Semarang. Tentunya ini merupakan
kebanggan bagi orang tua dan keluarga besarnya. Kiprahnya dalam
dunia pendidikan sangat banyak. Diantaranya Ia berhasil
menerjemahkan beberapa kitab dari ulama-ulama salaf Mekah dan
Madinah kedalam bahasa Indonesia dan Jepang, bahkan ada beberapa
juga yang merupakan kitab atau buku-buku dari ulama salafi
Indonesia yang Ia translate ke bahasa Jepang dan Arab.
Kiprahnya juga tidak berhenti sampai disitu. Selain Ia sering
menjadi pemateri dari beberapa kajian salafi di Salatiga dan
sekitarnya Ia juga sering diundang sebagai pemateri kajian ilmu di
luar jawa tengah. Di salatiga sendiri Ia beserta beberapa temannya
yang merupakan alumni dari sekolah menengah atas ternama di
99
Salatiga yang sama-sama bermazhab salaf mendirikan sebuah
kelompok kajian ilmu yang disebut Al-Kahfi. Dimana kajian ilmu ini
berisi tentang kajian yang membedah beberapa kitab-kitab dari ulama
salaf.
Pada tahun 2005 Ustad Setiawan menikahi perempuan asal
lamongan yang bernama Umi Pipit, mereka menikah melalui proses
pendekatan pribadi tanpa melalui proses perjodohan. Pernikahannya
dengan Ustad Setiawan, Umi Pipit dikarunia empat orang anak, dua
laki-laki dan dua perempuan. Dimana kedua anaknya lahir di Jepang
pada saat mengikuti suaminya bertugas disana. Lima tahun Umi Pipit
tinggal di Jepang bersama ke empat anaknya dan mendedikasikan
seluruh hidupnya untuk mengurusi keluarga dan mendidik anak-
anaknya meskipun Ia seorang perempuan yang memiliki pendidikan
strata satu sastra Arab Universitas Indonesia dan mempunyai
segudang talenta.
Memasak adalah hobi yang dimiliki Umi Pipit. Selama di
Jepang Ia tidak menyia-nyiakan kesempatannya untuk lebih dalam
mengasah kemampuannya memasak. Masakan Jepang Ia tekuni dan
sesampainya di Indonesia yaitu di Salatiga Ia menerima pesanan
makanan-makanan khas Jepang dan menjualnya secara online.
Lain hal nya dengan Diah istri kedua Ustad Setiawan. Ia
seorang mahasiswa yang aktif disalah satu universitas negeri ternama
di Semarang. Diah sendiri seorang perempuan lajang asal Padang
100
Pariaman Sumatra Barat. Awal perkenalannya dengan Ustad
Setiawan dimulai saat Diah mulai mengikuti akun sosial media dari
Ustad Setiawan pada tahun 2011 ketika Ustad Setiawan maih belajar
di Jepang. Dari situ Diah secara intens bertanya akan banyak hal
mengenai kitab-kitab dan mazhab salafi.
Hingga pada tahun 2014 Ustad Setiawan berkunjung ke
Indonesia karena urusan pekerjaan. Saat itu Ia bertemu dengan Diah
dan menunjukkan reaksi kepada Ustad Setiawan kalau Ia memiliki
ketertarikan kepada Ustad Setiawan. Mengetahui hal itu Ustad
Setiawan menyampaikan kepada teman-teman terdekatnya yang satu
komunitas salafi. Diluar perkiraan Ustad Setiawan, ternyata teman-
temannya sepakat dan menganjurkan agar Ustad menikahi Diah dan
menjadikan istri keduanya.
Di tahun 2017 Ustad Setiawan menikah untuk yang ketiga
kalinya. Namun kali ini Ustad Setiwan menikahi seorang janda yang
usianya terpaut jauh di atas nya. Namanya Umi Nabil, Ia janda yang
ditinggal mati mendiang suaminya yang bekerja sebagai salah satu
pegawai di BUMN. Umi Nabil tidak dikaruniai anak sewaktu dengan
almarhum suaminya. Kegiatan sehari-hari Umi Nabil adalah sebagai
penggiat di komunitas umahat salafi yang sering mengikuti kajian
ilmu dibawah naungan yayasan hati beriman yaitu kajian ilmu quro‟ta
ayun di Salatiga dan beberapa kajian ilmu lainnya.
101
Didalam pernikahannya dengan kedua istrinya baik istri kedua
dan istri ketiga Ustad Setiawan tidak memberitahukan kepada Umi
Pipit selaku istri pertamanya. Dan pada saat Umi Pipit bertanya Ustad
Setiawan menyampaikan alasannya tersendiri. Untuk pernikahan
poligaminya dengan istri kedua Ustad Setiawani memberikan alasan
bahwa adanya jarak yang jauh, dimana Ia harus bolak balik antara
Jepang Indonesia dan harus menetap ditiap-tiap negara cukup lama.
Sedangkan istri pertamanya beserta anak-anaknya Ia ajak ke Jepang.
Sehingga Ia menikah dengan istri keduanya yag notabene berada di
Indonesia. Jadi, tiap ke Indonesia Ia pulang ketempat istri keduanya.
Sedangkan untuk istri ketiganya Ia memeberikan alasan bahwa
Ia menikah kembali karena istri ketiganya yang menawarkan diri dan
meminta untuk dinikahinya. Ia bilang bahwa tidak ada salahnya
menikah lagi tanpa sepengetahuan istri atau ijin dari istri pertama. Hal
itu dikarenakan tidak ada dalil yang meawajibkan seorang suami
untuk menikah lagi harus ijin kepada istrinya terlebih dahulu. Lagi
pula pernikahan yang dilakukan baik dengan istri kedua maupun istri
ketiga adalah pernikahan tanpa akta nikah (pernikahan siri).
Pada April 2018 Ustad Setiawan sekeluarga pulang ke
Indonesia karena memang kontrak kerja di Jepang sudah habis. Umi
Pipit tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah Salatiga sedang
istri kedua berada di daerah Semarang dan istri ketiga tinggal di
102
daerah perumahan candi Kabupaten Semarang. Jarak domisili antara
istri pertama dan ketiga tidaklah terlalu jaun meskipun beda wilayah.
Sejauh ini berdasarkan apa yang diungkapkan oleh istri
pertamanya, dalam pembagian nafkah Ustad Setiawan memberikan
uang belanja untuk masing-masing istrinya sama. Sedangkan untuk
waktu Ustad Setiawan sendiri lebih condong bermalam dirumah istri
ketiga. Dan beberapa bulan terakhir ini Ustad Setiawan sudah tidak
pernah lagi mengunjungi istri kedua. Untuk tempat tinggal sendiri
Ustad Setiawani belum bisa memberikan tempat yang layak bagi istri-
istrinya. Dimana istri pertama di rumah kontrakan, istri kedua di
rumah kost dan istri ketiga di rumah pribadi. Sedangkan waktu
bertemu anak-anak terbatasi hanya bisa saat pagi ketika
mengantarkan sekolah atau hari libur jika itu bukan jadwal
berkunjung ke isrti yang lainnya.
“selama ini saya diam karena saya tidak bisa berbuat apa-apa,semua
pernikahan dilakukan tanpa sepengetahuan saya dan kesemuanya dilakukan ketika saya berada di Jepang, di Jepang saya sendiri tanpa
saudara dan bergantung sepenuhnya dengan suami jadi saya hanya bisa pasrah dan menahan semua sendiri serta menerima apapun yang menjadi keputusan dari suami, saya sudah tidak mau memperpanjang
masalah dan meramaikan suasana asal suami bisa berlaku adil baik secara lahir, batin, waktu dan materi terlebih adil untuk anak-
anak”.118 “Kakak saya itu menikah lagi hanya salah satu alasan dari sekian
banyak alasan, saya sebagai adiknya merasa bahwa yang jadi alasan utamanya hanya soal gengsi, bagaimana tidak, istrinya sudah
sempurna dan tidak kurang satu apapun, tidak ada alasan bagi suami untuk berpoligami jika semua kebutuhan terpenuhi, namun lagi-lagi kakak saya terpengaruh dengan teman-temannya, saya menilai kakak
118
Wawancara Umi Pipit, pada hari Selasa 31 Juli 2018, di Salatiga.
103
saya itu hanya ingin menunjukkan bahwa dia bisa, tidak hanya itu,
menurut sepengetahuan kami sekeluarga termasuk ibu dan ayah serta saudara-saudara saya yang lain,perempuan yang dijadikan istri kedua dan ketiga ayah saya hanyalah perempuan yang menikah karena ingin
mendapatkan finansial dan pengakuan publik bahwa mereka bisa mendapatkan suami yang punya pendidikan tinggi”.119
4. Keluarga Ustad Abdul, Poligami karena saling cinta
Kalau untuk keluarga Ustad Abdul peneliti tidak dapat
mewawancarai secara langsung karena istri Ustad Abdul tidak
bersedia untuk diwawancara. Namun peneliti bisa menceritakan apa
yang terjadi berdasarkan wawancara dengan beberapa keluarga dan
orang terdeket Ustad Abdul. Ustad Abdul sendiri adalah seorang
Ustad yang bersama dengan beberapa saudaranya mendirikan
yayasan sekaligus lembaga pendidikan yang ada di pinggiran kota
Salatiga. Disamping itu Ia mengajar dan memberikan tausiyah-
tausiyah dibeberapa tempat kajian salafi.
Tidak hanya itu, keseharian Ustad Abdul juga sebagai seorang
terapis tibun nabawi atau yang lebih dikenal masyarakat umum
sebagai pengobatan ala Nabi. Khusus untuk pengobatan ala Nabi ini
Ustad Abdul sering dimintai tolong untuk melakukan pengobatan
hingga keluar pulau.kepergian Ustad Abdul kadang memekan waktu
cukup lama meskipun tidak sampai hitungan bulan.
Tidak diketahui tepatnya tahun berapa Ustad Abdul pertama
menikah. Ummu Asma istri pertama yang dinikahi Ustad Abdul. Ia
orangnya sangat tertutup dan memiliki sensitifitas cukup tinggi.
119
Wawancara Anggi (adik kandung Ustad Setiawan), pada Rabu 15 Agutus 2018, di Salatiga.
104
Sehingga saudara-saudaranya banyak yang enggan berurusan
dengannya. Mereka lebih banyak menghindari Ummu Asma daripada
pada akhirnya menyebabkan rasa tidak nyaman diantara mereka.
Dengan Ummu Asma Ustad Abdul dikaruniai tujuh anak, empat
perempuan dan tiga laki-laki.
Sementara istri kedua Ustad Abdul yaitu Umi Aida adalah
seorang perempuan asal Lampung yang berprofesi sebagai seorang
dokter. Orang tua dari istri kedua Ustad Abdul seorang pengusaha
yang cukup kaya yang memiliki tempat pengisian bahan bakar dan
juga usaha-uasaha lainnya. Ustad Abdul mengenal Umi Aida saat Ia
masih menjadi mahasiswa akhir sebuah fakultas kedokteran yang
cukup ternama di Semarang. Dari perkenalan itu timbul rasa suka
diantara keduanya dan ketika lulus dari fakultas kedokteran Umi Aida
ingin menikah dengan Ustad Abdul. Namun dari keluarga besar Umi
Aida tidak menyetujuinya karena dianggap tidak sebanding.
Akhirnya Umi Aida menikah dengan seorang dokter namun
tidak berlangsung lama, pernikahan itu tidak sampai setahun dan
memutuskan untuk bercerai dan menikah dengan Ustad Abdul.
Sebelum menikah Ustad Abdul menyampaikan maksud dan
tujuannya kepada istrinya dan istrinya meneyetujuinya bahkan
istrinya bersedia memberikan persetujuannya di pengadilan agama
untuk melegalkan pernikahan suaminya. Selama proses dipengadilan
105
Ustad Abdul telah menikah secara agama dengan istri keduanya dan
menyatukan semua istrinya dalam satu rumah.
Jadi yang menjadi alasan Ustad Abdul untuk menikah lagi
adalah karena adanya rasa ketertarikan satu dengan lainnya atau yang
biasa disebut dengan rasa saling cinta. Berdasarkan dari hasil
wawancara terhadap orang-orang terdekatnya., diketahui bahwa untuk
pengelolaan rumah tangga tidak jauh berbeda seperti apa yang
diterapkan oleh Ustad Mirja. Yaitu tinggal bersama antara istri
pertama dan kedua dalam satu rumah hingga terjadi perceraian antara
Ustad Abdul dengan Umi Aida. Dimana Saat itu dengan Umi Aida
Ustad Abdul dikaruniai satu anak laki-laki.
5. Keluarga Bapak Puji, Poligami karena motif ekonomi
Bapak Puji berasal dari kota Pemalang yang dari lulus SMP
sudah pergi untu mengadu nasib ke Jakarta. Selama di Jakarta Bapak
Puji terbilang sukses dengan usahanya dibidang pelelangan ikan pada
sebuah pelabuhan. Usahanya tersebut berkembang pesat dan
menjadikan Ia hidup serba kecukupan bahkan dibilang sangat lebih
daripada orang-orang disekitarnya.
Hingga suatu hari Ia tidak sengaja mengenal perempuan asal
Salatiga yang bernama Umi Ani dan berkunjung dirumahnya. Dalam
sekali kunjungannya ke Salatiga keluarga dari Umi Ani langsung
menyukai Bapak Puji dan meminta Bapak Puji untuk bersedia
menikahi putrinya. Bapak Puji tidak kuasa menolak dan Ia pun
106
menerima permintaan orang tua Umi Ani untuk menikahinya
meskipun saat itu posisinya Bapak Puji sudah memiliki tunangan di
Pemalang.
Umi Ani sendiri sosok perempuan yang terbiasa dengan
kehidupan serba ada dan dimanja oleh orang tuanya. Hingga saat
menikah sampai memiliki anak Umi Ani masih ketergantungan
kepada orang lain terutama dalam mengurus pekerjaan rumah dan
mengasuh anak-anaknya. Dengan Umi Ani Bapak Puji memiliki
enam anak, tiga putra dan tiga putri yang kesemuanya sebagian besar
masih duduk dibangku sekolah.
Sedangkan Umi Ningsih yang menjadi istri kedua Bapak Puji
yang dinikahi secara siri adalah seorang janda yang memiliki dua
anak laki-laki. Umi Ningsih adalah sosok perempuan yang tangguh,
Ia perempuan yang tidak mudah menyerah. Pada saat Ia diceraikan
oleh suaminya sebelumnya Ia berjuang sendiri merintis usahanya
dibidang produksi pakaian-pakaian muslim yang Ia pasarkan secara
online hingga sekarang usahanya berkembang cukup baik. Sifat sabar
dan pantang menyerah merupakan modal utama dari Umi Ningsih.
Pertemuan Bapak Puji dengan Umi ningsih sekaligus alasan
Bapak Puji untuk menikahi Umi ningsih tak lepas dari peran utama
istri Bapak Puji Sendiri. Umi Ani adalah teman semasa SMP umi
ningsih, jadi mereka sudah mengenal cukup baik dan lama. Umi Ani
memperkenalkan Umi ningsih ke suaminya dan meminta agar Umi
107
Ningsih bersedia menikah dengan suaminya. Alasannya Umi Ani
meminta agar Umi Ningsih bersedia membantu dan menemani
suaminya untuk merintis usaha barunya, dikarenakan usaha lama
suaminya sudah gagal dan mengalami kebangkrutan.
Umi Ani meyakinkan Umi Ningsih untuk bersedia menerima
pinangannya. Sebab alasan yang dikemukakan Umi Ani kepada Umi
Ningsih salah satunya adalah Umi Ani tidak bisa mendampingi
suaminya. Dia harus fokus mengurus anak-anaknya yang sebagian
masih sangat kecil sehingga Umi Ani harus pergi kembali bersama
orang tuanya dan tidak bisa menemani suaminya terus menerus.
Setelah menikah Umi Ningsih mengikuti suaminya ke
Pemalang dan tinggal dirumah suaminya. Sedangkan Umi Ani
memutuskan untuk tetap tinggal di Salatiga. Umi Ningsih menyetujui
apa yang sudah menjadi kesepakatannya, Ia mengikuti suaminya ke
Pemalang, menetap dan merintis usahanya disana.
Kurang lebih enam bulan Umi Ningsih tinggal di Pemalang,
Umi Ani yang selaku istri pertama meminta untuk tinggal di
Pemalang lagi dan meminta Umi Ningsih mencari kontrakan dan
meninggalkan rumah suaminya. Umi Ningsih pun mengiyakan apa
yang diminta oleh Umi Ani dan pergi mencari kontrakan yang dekat
dengan rumah Umi Ani. Umi Ningsih tinggal tidak jauh dari rumah
Umi Ani. Dengan harapan bahwa suaminya akan lebih bisa belajar
108
bagaimana menjadi suami yang menjalani rumah tangga secara
poligami.
Pengelolaan rumah tangganya Bapak Puji membagi waktunya
sama rata, semisal seminggu di istri pertama dan seminggu di istri
kedua. Namun, untuk saat ini lebih dibagi dengan hitungan malam
dan siangnya relatif, karena sekarang kedua istrinya tinggal dalam
satu lingkungan yang jaraknya tidak kurang dari 200 meter.
Sedangkan untuk jatah belanja Bapak Puji memberikan jatah yang
sama untuk kedua istrinya terlepas dari kebutuhan anak-anaknya.
Sementara tempat tinggal untuk istri pertama dirumah pribadi dan
istri kedua dirumah kontrakan. Komunikasi pun terjalin baik antara
anak-anak Bapak Puji dengan Umi Ningsih karena memang
dibiasakan. Sedangkan untuk anak-anak Umi Ningsih sendiri tidak
satupun yang ikut Umi Ningsih, semua lebih memilih ikut dengan
neneknya dan menetap di Salatiga. Hal tersebut bisa dimaklumi sebab
ini bukan pernikahan pertama kali bagi Umi Ningsih melainkan ini
pernikahan ke empat kalinya dan juga merupakan pernikahan
poligami yang kedua kalinya.
109
Untuk mempermudahkan dalam mengenal masing-masing keluarga yang
menjadi responden dalam penulisan skripsi ini serta pola keadilan dalam
pemberian nafkah , maka penulis sajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel I
No Keluarga Poligami Status Pernikahan Jumlah anak Keterangan
1
Bapak Amin a) - Fitri (istri pertama).
b) c) - Sila (istri kedua)
d) -Tercatat di KUA
e) f) - Secara Agama
g) -Tidak ada
h) i) -Dua orang
anak (laki-laki dan perempuan)
j) -Infertil
k) l) - Bercerai
2
Ustad Mirja
-Husna (istri pertama)
-Marwa (istri kedua)
-Tercatat di KUA
-Tercatar di KUA
-Tidak ada
-Enam orang anak (4 perempuan dan
2 laki-laki)
-Infertil
-Hingga saat ini tinggal
dalam satu rumah
dengan istri pertama
3
Ustad Setiawan -Pipit (istri pertama)
-Diah (istri kedua)
-Nabil (istri ketiga)
-Tercatat di KUA
-Secara Agama
-Secara Agama
-Empat orang
anak (2 laki-laki dan 2
perempuan) -Tidak ada
-Tidak ada
4
Ustad Abdul
-Asma
-Aida (istri kedua)
-Tercatat di KUA
-Secara Agama
-Tujuh orang anak (4 Perempuan
dan 3 Lali-laki)
-Satu orang
-Bercerai
110
anak laki-laki
5
Bapak puji -Ani (istri pertama)
-Ningsih (istri kedua)
-Tercatat di KUA
-Secara Agama
-Empat orang
anak (2 anak laki-laki dan 2
orang anak perempuan)
-Dua orang anak laki-laki
-Dari pernikahann
ya yang terdahulu
Tabel II
No Responden Motif
Poligami
Pola Pembagian Nafkah
Malam Tempat
tinggal Materi
Kasih
sayang
untuk
keluarga
1 Keluarga
Bapak Amin
Sebagai bukti
sehat
Tidak
ada
pembagi
an
malam,
karena
tiap
malam
pulang
kerumah
istri
pertama
Untuk istri
pertama
tinggal
dirumah
pribadi
sedangkan
istri kedua
tinggal
dirumah
kos
Hanya
memberi
kan
cukup
untuk
makan
saja
kepada
istri-
istrinya
Hingga
saat ini
keduan
anak dari
pernikaha
n
keduanya
tidak tahu
kabrnya
pasca
perceraia
n dan
tidak
diberi
tunjangan
nafkah
2 Keluarga
Ustad Mirja
Istri ingin
sempurna
menjadi
Adil
karena
bergantia
Tinggal
dalam satu
rumah
Menyera
hkan
semua
Tidak ada
kesenjang
an antara
111
perempuan n tiap
malam
dengan
pertimban
gan lebih
mudah
untuk
mengkond
usifkan
keperlua
n dapur
dan
lainnya
kepada
kedua
istri dan
memper
cayakan
nya
kecuali
untuk
biaya
pendidik
an anak-
anak
kedua
keluarga
dari
kedua
belah
pihak,
semua
diperlaku
kan sama
3 Keluarga
Ustad
Setiawan
Menikah tanpa
sepengetahuan
istri dan
karena ingin
diakui oleh
teman-
temannya
Tidak
seimbang
karena
malam
yang
paling
banyak
ditempat
istri
ketiga
dan
pertama,
sedangka
n istri
kedua
semingg
u sekali
Untuk istri
pertama
tinggal
dirumah
kontrakan,
istri kedua
di rumah
kos sedang
istri ketiga
di rumah
pribadi
Semua
diberi
jatah
perbulan
yang
sama
meskipu
n
kebutuh
an istri
pertama
lebih
besar
karena
ada
empat
orang
anak
Tidak
diketahui
4 Keluarga
Ustad Abdul
Karena cinta Berganti
an antara
keduanya
Tinggal
dalam satu
rumah
Sama
rata
kecuali
untuk
kebutuh
Kurang
begitu
faham
karena
sudah
112
an anak-
anaknya
langsung
dari
Ustadz
Abdul
bercerai
dengan
istri
kedua
5 Keluarga
Bapak Puji
Karena Motif
Ekonomi
Seimban
g antara
istri
pertama
dan istri
kedua
Istri
pertama
dirumah
pribadi
sedangkan
istri kedua
dirumah
kontrakan
Sama
rata
kecualia
tambaha
n untuk
nafkah
anak-
anak
yang
disesuai
kan
Diperlaku
kan sama
baik anak
kandung
maupun
anak
bawaan.
113
BAN IV
Konsep dan Penerapan Pola Keadilan Dalam Poligami Keluarga Salafi
Dalam Pespektif Hukum Islam
A. Konsep dan penerapan keadilan keluarga poligami salafi
1. Konsep keadilan pemberian nafkah dalam poligami keluarga salafi
Konsep keadilan pemberian nafkah disini adalah merupakan konsep
secara garis besar dari apa yang diutarakan oleh semua informan. Baik
dari pihak suami maupun istri diantaranya membagi nafkah batin sama
kepada semua istri, membagi waktu kunjungan malam yang sama,
membagi nafkah ekonomi sama rata sesuai kebutuhan, memberikan
tempat tinggal yang layak sesuai kebutuhan masing-masing, membagi dan
memberikan kasih sayang yang sama terhadap semua anak. Hal ini sesuai
dengan apa yang diungkapkan oleh beberapa informan yang akan
dijelaskan sebagai berikut :
a. Membagi nafkah batin sama kepada semua istri
Disini yang dimaksud dengan nafkah batin tidak hanya soal
kebutuhan biologi, tetapi meliputi jalinan komunikasi yang baik,
kepercayaan, perhatian, kasih sayang dan cinta. Dimana tidak ada
perbedaan antara satu dengan lainnya. Seperti apa yang
diungkapkan oleh Ustad Mirja bahwa dia sangat menekankan
adanya komunikasi yang baik pada semua anggota keluarganya
dan lebih mengedepankan musyawarah dalam setiap penyelesaian
114
maslah dan dalam mengambil keputusan . tidak hanya itu,
kepercayaan untuk mengurus segala kebutuhan rumah tangga
juga diserahkan sepenuhnya kepada istri-istrinya.
“saya lebih suka semua anggota keluarga saya terbuka, misalnya ada rasa tidak nyaman (uneg-uneg) supaya disampaikan dan dicarikan solusi penyelesaiannya, biar semuanya bisa tahu dan
bisa saling intropeksi untuk memperbaiki keadaan, orang jawa bilang gen lego (biar lega), terus saya juga sudah tidak ambil
pusing urusan dirumah, semua apa kata umi-uminya saja, saya percaya semua bisa mengatasinya”.120
b. Membagi waktu kunjungan malam sama
Dalam hal ini pembagian malam merupakan pembagian
waktu yang paling diutamakan oleh semua anggota keluarga, baik
istri maupaun anak-anak karena saat malam merupakan saat
santai untuk berkumpul semua anggota keluarga. Disini
pembagian waktu lama yang ideal adalah dengan pembagian
malam yang sama, semalam dirumah istri pertama dan bergilir
malam berikutnya dirumah istri kedua dan seterusnya. Seperti
yang diungkapkan oleh Umi Pipit istri Ustad Setiawan. Dan Umi
Ningsih Istri Bapak Puji.
“Komitmen yang dibuat suami saya ketika kita pertama kembali dari Jepang adalah membagi malam sama antara saya dengan
istri-istrinya yang lain, Ia bilang kalau siang itu adalah untuk kerja, sabtu untuk mengajak anak-anak bermain, minggu jika tidak ada undangan untuk mengisi materi diluar maka itu juga
untuk anak-anak, jadi untuk malamnya satu disana dan satu disini, supaya saya juga bisa berkumpul dengan anak-anak walau
sekedar makan malam”121
120
Wawancara Ustad Mirja, pada Minggu 5 Agustus 2018, di Salatiga. 121 Wawancara Umi Pipit, pada hari Selasa 31 Juli 2018, di Salatiga.
115
“Pada awal menikah selama enam bulan kami hidup bersama di
Pemalang, sedangkan madu saya di Salatiga, waktu itu seminggu disini dengan saya dan seminggu di Salatiga, kini setelah kami tinggal berdekatan, suami membagi malam saja, semalam
ditempat saya dan semalam ditempat istri pertamanya, kalau siangnya relatif, dan karena ada anak-anak biasanya setelah
magrib suami saya ketempat istri pertamanya karena disana ada anak-anak baru setelah isyak ke tempat saya”.122
c. Membagi nafkah ekonomi sama rata sesuai kebutuhan
Untuk nafkah ekonomi harus dibagi sama rata sesuai
dengan kebutuhan masing-masing istri salah satunya dilihat dari
jumlah anggota keluarga yang ada semisal jumlah anak di
masing-masing istri. Dikarenakan tiap istri berbeda-beda jumlah
anaknya. Ini dicontohkan oleh keluarga dari Bapak Puji. Ia
memberikan nafkah ekonomi dengan jumlah yang sama terhadap
istri-istrinya, sedangkan kebutuhan seluruh anak-anaknya
menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari Bapak Puji.
“Suami saya memberi uang belanja yang sama antara saya dengan istrinya, saya tahu karena sewaktu kami di Pemalang,
saya yang sering mentransfer uang belanja untuk madu saya, jumlahnya pun disesuaikan dengan beberapa rincian, seperti
sekian untuk bayar sekolah, sekian untuk uang saku, sekian untuk beli susu,dan sekian untuk jatah makan anak-anak”.123
Lain halnya dengan Ustad Mirja, karena semua hidup
dalam satu rumah Ia tidak kesulitan dalam membagi nafkah
ekonomi. Ia menyerahkan sepenuhnya semua kepada kedua
istrinya bagimana istri-istrinya mengatur keuangan. Sedangkan
122
Wawancara Umi Ningsih, pada Rabu 22 Agustus 2018, di Salatiga. 123
Wawancara Umi Ningsih, pada Rabu 22 Agustus 2018, di Salatiga.
116
biaya kebutuhan anak-anaknya yang bukan kebutuhan pangan
semua menjadi tanggungjawabnya.
“Saya menyerahkan sepenuhnya tentang urusan dapur dan kebutuhan-kebutuhan khusus para umi-umi, biar saja mereka
mengaturnya, dan membaginya diantara mereka, tugas saya hanya mencari nafkah dan memberikannya, khusus untuk kebutuhan sekolah anak-anak atau anak-anak minta baju, mainan,
itu juga menjadi tanggungjawab saya”.124
d. Memberikan tempat tinggal yang layak sesuai kebutuhan masing-
masing
Tempat tinggal itu penting, tidak hanya sebagai tempat
bernaung namun juga sebagai tempat berlindung. Tempat tinggal
atau rumah harus layak dan sama antara satu dengan yang lainnya
meskipun tidak harus sama persis bentuknya, tetapi minimal
memiliki status tempat tinggal yang sama. Misalnya, sama-sama
rumah pribadi atau kontrak.
“Tempat tinggal itu sangat penting, disitu jadi wadah buat semua anggota keluarga, harus baik walaupun tidak mewah, selain itu
harus disesuaikan dengan kebutuhan, misalnya ada anak, tidak mungkin kalau kita taruh di kos-kosan, minimal ya kita kontrakan
rumah. Kalau saya pribadi memang belum bisa membuat rumah lagi, dan saya menjadikan satu istri-istri saya, tapi itu sesuai kebutuhan istri-istri saya, saya tidak mengijinkan Umi Husna
kontrak bukan karena saya tidak mampu, tapi karena keadaan dan kesehatan Umi Husna yang tidak memungkinkan Ia hidup
sendiri, takut ada apa-apa ketika pas saya tidak ada”.125
124 Wawancara Ustad Mirja, pada Minggu 5 Agustus 2018, di Salatiga. 125 Wawancara Ustad Mirja, pada Minggu 5 Agustus 2018, di Salatiga.
117
e. Memberikan dan membagi kasih sayang yang sama terhadap
semua anak
Disini yang dimaksud memberikan dan membagi kasih
sayang yang sama terhadap anak-anak adalah memberikan kasih
sayang tidak hanya sebatas pemenuhan kebutuhan tetapi waktu
dan juga membangun komunikasi secara baik. Dimana
komunikasi ini tidak hanya terhadap anak kandungnya saja tetapi
meliputi semua anak yang ada dalam lingkup keluarga (anak
bawaan).
Ini dicontohkan oleh Bapak Puji bahwa setiap liburan
ketika anak-anak dari Umi Ningsih datang ke Pemalang atau
ketika Bapak Puji berkunjung ke Salatiga, Ia tidak pernah lupa
untuk datang atau mengajak mereka pergi jalan-jalan walau
hanya sekedar jajan. Tidak jarang juga semua anak-anaknya
diajak bersama.
Berdasarkan wawancara dari keluarga informan didapat beberapa
kesamaan dalam konsep penerapan nafkah untuk anggota keluarganya.
Dimana konsep-konsep tersebut tidak berbeda jauh dengan apa yang
disepakati beberapa ulama akan makna keadilan. Diantaranya Imam Al-
Ghazali, Ibnu Miskawaih, Quraisyi Shihab dan beberapa ulama hadist
tentang konsep keadilan itu adalah mampu berada ditengah-tengah
sehingga bisa menempatkan dan memberikan segala sesuatunya sesuai
dengan tempatnya serta porsinya
118
2. Pola penerapan keadilan dalam poligami keluarga salafi
Untuk pola penerapan keadilan dalam poligami keluarga salafi
masing-masing keluarga pasti berbeda meskipun tidak jarang ada yang
sama. Misalnya, penerapan dalam pembagian waktu kunjungan atau
mungkin penerapan dalam memberikan nafkah ekonomi. Tidak
dipungkiri jika berbicara soal pemberian nafkah baik nafkah batin
maupun nafkah lahir merupakan hal yang tabu bagi sebagian orang.
Bagaimana tidak, nafkah bukan lagi soal yang bisa dianggap sepele dan
ringan. Nafkah sudah merupakan hal yang begitu sensitif, karena dari
nafkah juga banyak timbul gesekan-gesekan satu dengan yang lain.
Jangankan keluarga poligami, keluarga monogami pun banyak
mengalami pasang surut dan hilangnya keharmonisan dalam keluarga
hanya karena pemenuhan nafkah yang tidak seimbang atau bahkan
kurang. Tidak dipungkiri perceraian pun kerap terjadi hanya karena
nafkah. Beberapa kasus yang terjadi soal adanya ketidak adilan dalam
pemenuhan nafkah bisa dijabarkan sebagai berikut berdasarkan dari
wawancara peneliti terhadap Informan yang meliputi ketidak adilan
dalam pemenuhan nafkah ekonomi, nafkah batin, pembagian malam,
tempat tinggal dan pemberian kasih sayang untuk anak-anak.
a. Ketidak adilan dalam pemenuhan nafkah ekonomi
Seperti halnya kasus Ustadzah Fitri dimana suaminya
menikah tanpa sepengetahuannya dan tidak adil dalam
memberikan nafkah ekonomi. Setiap ditanya soal pola keadilan
119
dalam pemberian nafkah Ia menjawab dengan tegas bahwa tidak
ada keadilan untuk dirinya akan nafkah yang diberikan. Pada saat
Ia dipoligami Ia begitu keras menolak dirinya untuk dipoligami
dengan alasan suaminya tidak akan pernah bisa memberikan
keadilan nafkah baik lahir maupun batin terhadap dirinya.
Terbukti menjalani kehidupan poligami yang seumur jagung yang
tidak pernah Ia setujui, Ustadzah Fitri sudah merasa bahwa Ia
sangat didzolimi.
Bagaimana tidak, suaminya sering pulang larut malam dan
hampir tidak pernah memberikan uang untuk membeli makan tiap
harinya. Memang selama ini diakui Ustadzah Fitri, soal nafkah Ia
tidak pernah meminta dengan menentukan nominal. Apa yang
diberikan itu yang diterima, tidak jarang terkadang Ustadzah Fitri
yang memenuhi semua kebutuhan rumah tangga. Tetapi semua
itu tidak menjadi masalah asal suaminya tetap dirumah dan hanya
untuk dirinya, dan mau menerima keadaan rumah tangganya
dengan segala kekurangannya. Intinya Ustadzah Fitri tidak
bersedia dipoligami karena Ia yakin suaminya tidak akan pernah
bisa berbuat adil meskipun Ia tidak pernah menentang syariat
tentang poligami.
“Saya tidak pernah menentang poligami, karena itu merupakan
syariat yang Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah, namun saya tidak pernah setuju jika suami saya menikah lagi, karena suami saya tidak akan pernah bisa berbuat adil, jika pun memaksa
dan saya menyetujuinya tentu berdampak buruk terhadap saya dan keluarga saya, sebab tidak menutup kemungkinan untuk
120
memenuhi semua kebutuhan hidup terhadap istri keduannya akan
dilimpahkan kepada saya dan keluarga besar saya, jadi intinya saya tidak pernah menentang poligami namun tidak setuju jika seseorang berpoligami tidak melihat terlebih dahulu
kemampuannya terutama kemampuan dalam segi finansial”.126
Lainnya halnya dengan Umi Pipit, Ia merasa sangat tidak
adil sekali tentag apa yang diterapkan suaminya mengenai nafkah
ekonomi yang Ia terima. Dimana suaminya memberikan jumlah
uang yang sama tiap bulannya kepada semua istrinya. Padahal,
istri yang lain tidak memiliki anak sedangkan Ia memiliki empat
orang anak.
“Saya sangat kecewa ketika apa yang dilakukan suami saya
terhadap saya sangat jauh dari kata adil, coba saja difikir, saya itu punya empat anak dan semuanya adalah anak kandungnya, tiga
anak saya sekolah, butuh biaya sedangkan uang bulanan yang diberikan kepada saya sama dengan uang bulanan yang diberikan kepada istri-istrinya yang lain, saya tahu dari bukti transfer dan
dari istri keduannya, karena istri keduanya pernah WA saya sewaktu menayakan apakah suami saya sudah mentransfer uang
belanja apa belum”.127 b. Ketidak adilan nafkah batin
Kalau untuk nafkah batin tidak hanya sebatas pemenuhan
biologis, tapi juga meliputi rasa kasih sayang, perhatian,
komunikasi dan cinta. Namun apabila salah satu dari hal-hal
tersebut tidak ada maka bisa dibilang nafkah batin tersebut belum
bisa sepenuhnya terpenuhi, sebab nafkah batin ini adalah soal
rasa.
126
Wawancara dengan Ustadzah Fitri, pada hari Senin 21 Mei 2018, di Salatiga. 127 Wawancara Umi Pipit, pada hari Selasa 31 Juli 2018, di Salatiga
121
Seperti halnya apa yang terjadi pada Mbak Sila, selama
menjadi istri dari Bapak Amin dan tinggal di Salatiga Ia merasa
tidak adanya perhatian darinya. Terbukti Bapak Amin kurang
peduli dengan apa yang diinginkan oleh Mbak Sila dan condong
acuh tak acuh dengan perasaan Mbak Sila. Sebagaimana apa yang
diungkapkan Mbak sila kepada peneliti.
“Selama menjadi istri saya merasa tidak ada cinta dari mantan suami saya, Dia datang hanya sebatas memenuhi hasrat
biologinya saja, hampir tidak ada waktu untuk saling mengobrol dan menyelesaikan masalah yang ada, tidak ada kesempatan bagi
saya untuk mengungkapkan apa yang saya rasa, dari situ saya benar-benar merasa bahwa menikahi saya hanya sebatas pembuktian diri saja”.128
c. Ketidak adilan dalam pembagian malam
Hampir semua orang jika ditanya kapan ingin suaminya ada
untuk dirinya dan keluarganya atau kapan momen yang tepat
berkumpul denga anggota keluarga. Pasti rata-rata orang akan
menjawab pada saat malam hari. Dimana saat malam merupakan
waktu santai dan waktu untuk beristirahat dari segala aktifitas
yang sudah dijalani pada siang hari. Namun tidak semua orang
bisa mendapatkannya.
Kembali lagi ke Mbak Sila, Ia tidak pernah mendapat jatah
pembagian malam dengan utuh dari suaminya. Seperti halnya
yang sudah dibahas dibab tiga tentang pola pemberian nafkah
yang diterapkan Bapak Amin, dimana Ia hanya menemui mbak
128 Wawancara Mbak Sila, pada hari Kamis 7 Juni 2018, di Pemalang.
122
sila pada waktu pagi sebelum berangkat kerja dan sore setelah
pulang kerja. Semakin hari waktu yang diberikan Bapak Amin
semakin berkurang bahkan terkesan Bapak Amin datang
menemui Mbak Sila hanya sebatas untuk menyalurkan hasrat
biologinya hingga Ia mengandung. Hal itu disebabkan istri
pertamanya tidak menyetujui pernikahan poligaminya.
Sedangkan yang terjadi dengan Umi Pipit adalah perubahan
yang dilakukan oleh Ustad Setiawan yang semakin kesini
semakin sering menghabiskan waktunya bersama istri ketiganya.
Tidak seperti apa yang sudah disepakati ketika sebelum pulang ke
Indonesia. Yang disesalkan adalah tidak hanya waktu malam saja
melainkan waktu libur juga sering Ia habiskan dirumah istri
ketiganya.
d. Ketidak adilan dalam pemenuhan tempat tinggal
Pemenuhan tempat tinggal sangat penting, terlepas dari
tempat itu bagus atau tidaknya. Yang pasti harus ada sebagai
tempat bernaung dan berlindung. Terkadang tempat tinggal tidak
harus yang mewah tetapi layak dan sesuai kebutuhan. Namun
alangkah menyakitkan jika adanya ketidak samaan tempat tinggal
bagi para istri-istri yang dipoligami terlebih soal status rumah itu
meskipun disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.
Keluarga Bapak Amin, pemenuhan kebutuhan tempat
tinggal sangat jelas terlihat, dimana istri pertama berada dirumah
123
pribadi dan istri kedua hanya sebatas kamar kos yang jauh dari
segala fasilitas. Sedangkan keluarag Ustad Setiawan ketidak
adilan dalam pemenuhan rumah terlihat pada istri pertama dan
ketiganya yaitu istri pertama dengan keempat anaknya tinggal
diruma kontrakan yang masuk dalam gang kecil ditengah kota.
Kemudian untuk istri ketiganya tinggal dirumah pribadi
dikomplek perumahan terlepas rumah itu beli dari uang peribadi
Ustad Setiawan atau dari hasil patungan keduanya. Lain lagi
dengan Umi Ningsih yang awalnya tinggal dirumah pribadi
suaminya namun ketika istri pertamanya meminta untuk tinggal
bersama suaminya Umi Ningsih harus rela keluar dan tinggal
dirumah kontrakan.
e. Ketidak adilan dalam pemberian kasih saya terhadap anak
Poligami yang tidak sesuai sesuai dengan landasan yang
disyariatkan hanya akan menambah kesengsaraan bagi
pelakunya. Terlebih jika salah satu pelaku itu ada diposisi paling
lemah yang tidak bisa memeberikan kontribusi lebih. Dan yang
paling miris adalah jika pernikahan poligami itu dilakukan tanpa
aturan dan alasan yang yang sesuai akan berimbas buruk terhadap
anak-anak. Anak-anak yang notabene tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi menjadi salah satu objek yang menerima
akibat paling besar, dimana banyak kebahagiaan, waktu dan juga
momen-momen kebersamaan akan keluarga yang lengkap yang
124
terenggut dari mereka. Itu bisa berakibat pada psikologi dan
tumbuh kembang anak.
Dan itu terbukti, seperti apa yang dialami oleh keluarga
ustad setiawan yang diungkapkan oleh istri pertamanya. Dimana,
seharusnya hari libur itu diperuntukan untuk anak-anak ternyata
tidak sama sekali. Bahkan anak-anak sering bertanya dimana
ayahnya kalau tidur tiap malam karena sudah lama tidak pernah
pulang di waktu malam atau pulang tetapi pada saat anak-anak
sudah tidur.
“Setelah pulang ke Indonesia keadilan itu semakin jauh dari
harapan, yang membuat miris dan menangis ketika anak-anak bertanya abinya kemana, kalau malam tidur dimana, dan kenapa
sudah jarang dirumah tiap hari libur sering tidak ada bahkan sudah tidak pernah mengajak keluar untuk jalan-jalan, belum lagi gangguan dari istri keduanya sering menghubungi saya dan
bercerita bahwa Ia sudah tidak pernah lagi dikunjungi bahkan akses untuk berkomunikasi serba dibatasi istilah jawanya (ora
direken) membuat saya semakin tidak nyaman, kini saya hanya bisa bertahan demi anak-anak, terserah mau pulang apa tidak mau dianggap apa tidak yang penting saya tetap menjalankan
kewajiban saya sebagai seorang istri dan seorang ibu, terus terang yang menguatkan saya hanya anak-anak saya dan masa
depannya, saya seri menangis mendengar pertanyaan anak-anak saya terutama anak saya yang usianya enam tahun, Ia bertanya kok abi tidak pernah ada dikamarnya kalau malam, abi tidur
dimana?, sedangkan anak saya yang sulung mendapat banyak masalah disekolahnya itu akibat Ia sering lihat bagaimana abinya
memarahi saya dan berkata kasar juga keras, dia menjadi anak tempramental dan mengharuskan saya menggunakan jasa psikolog untuk dia”.129
Seperti halnya kasus Ustad Abdul tentang bagaimana kasih
sayang terhadap anaknya tidak dapat dia penuhi karena jarak
129
Wawancara Umi Pipit, pada hari Selasa 31 Juli 2018, di Salatiga
125
yang jauh. Berdasarkan wawancara dari informan yang
merupakan kerabat dari Ustad Abdul mengenai poligami Ustad
Abdul. Peneliti memperoleh keterangan dari informan tersebut
bahwa sampai saat ini Ustad Abdul belum bisa memberikan
kewajibannya kepada anaknya.
“Kalau kata istri pertamanya Ustad Abdul, Umi Aida sudah
diceraikan, tapi kenyataannya sampai sekarang Umi Aida belum menikah lagi, pernah kapan hari mengabari saya, karena saya masih iparnya bahwa dia ikut dalam group kajian ilmu di sosial
media yang ada di Salatiga dan sekitarnya, dia bilang dia tahu semua informasi di Salatiga namun dia tidak mau menyebutkan
nama aslinya di komunitas itu, dia juga memberitahukan bahwa anaknya sudah besar (anak dari Ustad Abdul), ketika saya tanya tentang keputusannya tidak menikah lagi, dia menjawab statusnya
masih meragukan, kalaupun hingga saat ini ternyata Umi Aida belum diceraikan adil darimana poligami yang seperti ini,
kenyataannya istri pertama dan anak-anaknya setiap saat ada didekat suaminya dan istri keduanya ada diluar jawa, terus bagaimana dengan anaknya, apakah semua kebutuhannya bisa
terpenuhi terutama kebutuhan kasih sayangnya”.130
Diatas merupakan pola penerapan keadilan keluarga poligami salafi
yang ternyata diluar dari konsep keadilan yang ada. Sehingga malah
berakibat adanya ketidak adilan yang dirasakan sepihak oleh anggota
keluarga. Namun tidak semua poligami berdampak negatif adapula
poligami yang benar-benar memberikan rasa nyaman dan rasa adil bagi
semua anggota keluarga poligami ketika, semua terpenuhi dan seimbang
antara satu dengan lainnya. Seperti halnya kasus poligami Ustad Mirja
yang sarat akan sikap saling toleransi, saling mengerti antar semua
130
Wawancara Umi Husna, pada Minggu 6 Agustus 2018, di Salatiga.
126
anggota keluarga. Dikarenakan poligami yang dilakukan Ustad Mirja
bukan karena sebatas kepentingan sendiri.
“untuk pembagian nafkah baik lahir maupun batin termaksuk pembagian kasih sayang tidak ada kesepakatan dan tidak ada konsep karena memang
kita tinggal serumah disamping itu kita lebih sering pergi menghadiri kegiatan diluar rumah secara bersama-sama, dan jika ditanya motivasi apa yang mendorong ketersediaan saya untuk dipoligami adalah saya ingin
menjadi wanita yang sempurna yang hingga meninggal status saya seorang istri dan seorang ibu, terlebih saya begitu dihargai oleh semua
anggota keluarga ini termasuk suami, madu dan anak-anak”.131
Yang pasti jika poligami dilakukan benar-benar sesuai dengan
syariat maka semua akan berjalan dengan baik. Semua akan merasakan
keadilan dan indahnya rumah tangga yang dijalani secara poligami. Anak-
anak juga tumbuh lebih baik karena mereka tidak hanya mendapatkan
satu figur ibu yang memebrikan contoh serta membantu mereka dalam
segala hal, tapi mereka akan mendapatkan figur beberapa ibu yang siap
memeberikan kasih sayang kepada mereka secara lebih.
“Saya tidak pernah keberatan berbagi apapun dengannya bahkan soal anak yang saya lahirkan, bagi saya anak saya adalah anak Umi Husna dan
saya pun mengajarkan kepada anak-anak untuk lebih menyayangi serta menurut apa yang dikatakan Umi Husna mereka, kalau soal nafkah baik
lahir maupun batin saya pribadi tidak ada masalah karena segala sesuatunya kita bicarakan bersama, jadi tidak ada konsep pembagian yang harus dan tidak ada masalah komunikasi diantara keluarga kami”.132
B. Respon Dan Sikap Terhadap Penerapan Keadilan Poligami Keluarga
Salafi
Dari beberapa responden dapat di analisa bahwa pola pembagian nafkah
dalam pernikahan poligami bukanlah hal yang mudah dilakukan atau
131
Wawancara Umi Husna, pada Minggu 5 Agustus 2018, di Salatiga. 132
Wawancara Umi Marwah, pada Minggu 5 Agustus 2018, di Tegal Waton.
127
diterapkan. Banyak sekali hal-hal yang terjadi diluar prediksi dan diluar teori.
Dijaman sekarang minim orang yang mampu berbuat adil, apalagi jika pola
pembagian nafkah yang diterapkan saja sudah tidak berdasarkan pada sunah
Rasulullah Saw.
Dari uraian diatas dapat diambil dua garis besar respon dan sikap
terhadap penerapan keadilan poligami yang dilakukan oleh suami-suami
mereka. Dimana akan ada respon dan sikap positif apabila poligami dilakukan
karena memang terpaksa tidak ada jalan lain dan karena memenuhi syarat
ketentuan dibolehkannya berpoligami. Namun tak cukup hanya itu, faktanya
dalam keluarga pasti ada yang namanya perbedaan pendapat atau ketidak
cocokan antara satu dengan lainnya. Hal tersebut bisa diselesaikan dengan
beberapa cara diantaranya:
1. Mendiskusikan dengan suami atas ketidak adilan tentang apa yang
diterima
Ini merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh semua
informan (istri-istri) ketika terjadi ketidak adilan yang dirasa oleh
mereka baik dari segi apapun. Bentuk protes secara langsung terhadap
suami merupakan salah satu cara yang ditempuh meskipun tidak
semua berjalan seperti harapan, contohnya seperti apa yang
disampaikan beberapa informan dalam wawancara yang peneliti
lakukan.
“Untuk poligami sendiri saya tidak pernah menentang namun saya menolak ketika poligami dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan
tanpa ada alasan yang sesuai syariat, untuk komunikasi dengan istri-istri yang lain saya hampir tidak pernah karena memang tidak pernah
128
dikenalkan secara langsung dan hingga saat ini saya tidak pernah
dikunjungi atau dipertemukan dengan mereka, hingga detik ini jika saya ditanya apa pendapat saya tentang poligami saya akan bilang bahwa poligami jauh dari syariat itu menjijikan, setiap ada ketidak
nyamanan dalam keluarga atau sesuatu yang tidak sesuai saya selalu mengatakan kepada suami, tapi bukannya suami mendengar apa yang
saya katakan ujungnya dia malah emosi, marah dengan suara nada tinggi, kalau sudah begitu saya yang harus mengalah mbak daripada anak-anak saya ikut jadi korban dan tertekan”.133
2. Berembuk dengan istri lainnya (Madu)
Adakalanya jika menyampaikan suatu masalah yang
berhubungan dengan rasa ketidak nyamanan antara satu dengan
lainnya bisa dilakukan antar sesama istri. Namun dengan catatan
antara satu dengan lainnya saling mengenal dan mengetahui. Hal
tersebut lebih mempermudah komunikasi terlebih jika ada sikap
saling mengerti. Tetapi sayangnya tidak semua pernikahan poligami
itu dilakukan atas dasar keridhoan satu sama lain. Kebanyakan malah
dilakukan sembunyi-sembunyi. Salah satu contoh dari keluarga yang
apabila terjadi masalah ketidak nyamanan mengenai sikap, perlakuan
dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah keluarga
dibicrakan bersama adalah keluarga dari Ustad Mirja yang memang
sedari awal sudah Ustad Mirja tekankan.
“Saya dari awal sudah menerima kehadiran Umi Marwah dalam bagian kehidupan saya, dari awal juga saya sudah menjalin komunikasi yang baik dengannya hingga saya dan Umi Marwah itu
menyepakati soal urusan keluarga yang menyangkut anak-anak, dapur, rumah dan sebagainya dibicarakan bersama kecuali masalah
didalam kamar pribadi masing-masing, soalnya kan tiap orang itu juga punya rahasia”.134
133
Wawancara Umi Pipit, pada hari Selasa 31 Juli 2018, di Salatiga. 134
Wawancara Umi Husna, pada Minggu 5 Agustus 2018, di Salatiga.
129
3. Tindakan Tegas
Tindakan tegas juga dilakukan oleh beberapa informan ketika
mereka sudah tidak menemukan titik temu dalam menyelesaikan
masalah. Atau ketika mereka sudah melakukan berbagai cara namun
tidak ditanggapi. Tindakan tegas itu diantaranya seperti yang
dilakukan oleh Ustdzah Fitri yang minta diceraikan, Mbak Sila yang
memberikan anak-anaknya ke orang lain, dan Umi Ningsih yang tidak
mau menggabungkan usahanya serta memperinci semua bentuk
pembagian yang dilakukan suaminya.
“Saya memang mengambil sikap tegas untuk suami saya, sekali lagi
saya tidak menentang poligami tetapi saya sangat tidak setuju ketika suami saya berpoligami, sebab suami saya belum mampu dalam segi
apapun, yang ada nanti pasti akan merepotkan saya, saya menyampaikan hal ini berulang-ulang karena memang sejak tahun ke empat pernikahan suami saya sudah ada niatan untuk menikah lagi,
baru dia jalani pada tahun 2012, pada saat itu saya sudah bialng baik-baik tapi terkesan diam, ya saya bialang ke dia untuk memilih salah
satu dari kami dan berjanji tidak mengulanginya lagi, jika terjadi sekali lagi saya yang minta untuk diceraikan”.135
“Ketika mantan suami saya sudah bisa membuktikan bahwa Ia sehat dan pada saat tahu sya hamil Ia lepas dari semua tanggungjawab,
bagaimana tidak saya berkata seperti ini, pada kenyataannya dari pertama ketemu Ia tidak menginginkan saya untuk menunda kehamilan, setelah saya hamil hingga melahirkan kedua anaknya
sekalipun Ia tidak berusaha menemui saya atau keluarga saya, malah dia menceraikan saya, saya sudah mengabarinya, mengirim foto anak-
anak lewat adek iparnya namun tida ada respon, saya juga bilang bial tidak ada kejelasan tentang status dan kebutuhan hidup anak-anak, saya akan memberikan anak-anaknya kepada orang lain, dan
nyatanya dia tidak memperdulikan anak-anak ya saya berikan kepada orang diluar jawa”.136
135
Wawancara dengan Ustadzah Fitri, pada hari Senin 21 Mei 2018, di Salatiga. 136
Wawancara Umi Sila, pada hari Kamis 7 Juni 2018, di Pemalang.
130
“Lama-lama saya tahu tujuan menikahi saya adalah untuk menjadikan
saya rekan kerja dan merintis usaha baru secara instan, yaitu dengan gabung di bisnis yang saya kelola, dan yang lebih menyakitkan saya, adalah ketika mereka berfikiran bahwa menikahi saya maka mereka
tidak akan terbebani nafkah istilahnya tidak dikasi makanpun tetap bisa makan, sendiri tidak menentang syariat cuma menurut saya
pribadi dan berdasarkan apa yang saya alami saya hanya akan bilang bahwa poligami yang dilakukan dengan niatan yang salah tidak pernah bisa memberikan keadilan dan kebahagiaan bagi semua yang
terlibat didalamnya, dan tidak semua anggapan benar, dimana istri kedua, ketiga atau ke empat akan diperlakukan lebih dibanding istri
pertama, nyatanya dua kali saya menjadi istri kedua dan dua kali saya mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari istri pertama, bahkan saya harus merelakan tinggal jauh dengan anak-anak saya dengan
harapan saya bisa menjalankan kewajiban saya sebagai seorang istri secara totalitas, yang pasti sikap tegas saya adalah tidak
menggabungkan bisnis dan tegas dalam hal nafkah semisal jika ada kekurangan dalam pembagian nafkah yaitu kurang dari kebutuhan saya, saya akan menghitung hal itu sebagai hutang nafkah yang wajib
dibayar oleh suaminya. Baik hutang nafkah ekonomi maupun nafkah kunjungan malam.”.137
C. Perspektif hukum Islam dalam penerapan keadilan pada keluarga
poligami salafi
Bila kita berbicara akan konsep keadilan berdasarkan perspektif hukum
Islam tentu tidak akan pernah lepas dari makna adil itu sendiri. Dimana
makna adil atau keadilan memiliki banyak artian sesuai sudut pandang dari
tiap-tiap orang. Keadilan sendiri bukanlah sekedar persamaan hak yang
didapat dan bisa diwujudkan dalam bentuk benda saja tetapi keadilan itu soal
rasa yang tiap-tiap individu berbeda penerimaannya.
Berbicara mengenai penerapan keadilan pada keluarga poligami yang
peneliti teliti. Dan bagaimana perspektif hukum Islam dalam memandangnya,
tentu tidak akan lepas dari pespektif para para ulama dalam memaknainya.
137
Wawancara dengan Umi Ningsih, pada Rabu 22 Agustus 2018, di Salatiga.
131
Dimana ada beberapa ulama yang memaknai keadilan dengan meletakkan
segala sesuatunya pada tempatnya, spirit jalan tengah, sebagai cara
menunjukkan adanya keharmonian, moderat, mulia serta adanya suatu
persamaan.
1. Pendapat ahli hadist
Pendapat ahli hadist dan memaknai tentang keadilan adalah
meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya. Namun tidak semua
keluarga-keluarga tersebut bisa menerapkanya. Misalnya Ustad
Setiawan yang memukul rata dalam pembagian nafkah ekonomi
terhadap semua istrinya padahal istri pertama memiliki empat orang
anak sedangkan kedua istrinya yang lain tidak. Bisa disimpulkan
bahwa pembagian nafkah ekonomi yang merata tidak tepat dan tidak
pada tempatnya.
2. Pendapat Imam al-Ghazali
Keadilan adalah spirit jalan tengah. Orang bisa dikatakan adil
atau bisa memberi keadilan apabila Ia bisa berada ditengah-tengah.
Tidak pernah condong hanya pada satu pihak saja dari segi apapun.
Namun, hal ini tidak berlaku pada keluarga Bapak Amin. Bapak
Amin tidak pernah berusaha menjembatani kedua istrinya untuk bisa
bertemu dan berbicara satu dengan yang lainnya. Ia lebih banyak
diam dan lebih condong memihak pada istri pertamanya. Sedangkan
istri keduanya sudah berulang kali mencoba untuk menemui dan
berbicara dengan istri pertamanya dan tidak sekalipun Bapak Amin
132
berusaha untuk bisa mempertemukan mereka, sehingga tidak ada
jalan untuk mereka berdua saling memahami satu dengan lainnya.
3. Pendapat Ibnu Maskawih
Kalau Ibnu Maskawih lebih menekankan bahwa keadilan
adalah keharmonian, moderat, mulia dan utama yang ada dalam jiwa
manusia. Namun hampir pada semua keluarga poligami yang peneliti
teliti tidak ada keharmonian dalam keluarganya. Baik keluarga Bapak
Amin, Ustad Setiawan, Ustad Abdul dan keluarga Bapak Puji,
bagaimana mereka bisa menerapkan apabila keadilan salah satunya
adalah harmoni jika faktanya salah satu dari anggota keluarganya
entah istri atau anak-anaknya merasa bahwa ada hak-hak mereka
yang tidak terpenuhi dan mereka merasa adanya ketidaknyamanan
ketika ada pelanggaran komitmen. Seperti terjadi pertengkaran dalam
keluarga, satu dengan yang lain tidak saling komunikasi dan tidak
adanya toleransi serta sikap saling menghargai.
4. Pendapat Quraish Shihab
Quraish Shihab memiliki pendapat yang menyatakan bahwa
keadilan itu dimaknai sebagai persamaan. Jadi adil itu harus sama,
kenyataannya tidak serta merta orang itu bisa memberikan kesamaan
dan persamaan. Seperti hal nya memberikan kesamaan dalam hal
pembagian nafkah lahir, yang meliputi cinta, kasih sayang,
kepercayaan kepada semua anggota keluarganya. Dan berdasarkan
uraian dari apa yang telah peneliti tulis persamaan pada keluarga
133
poligami yang meliputi keluarga dari Bapak Amin, Ustad Setiawan,
Ustad Abdul dan Bapak Puji belum bisa memberikan keadilan akan
persamaan hak bagi semua anggota keluarganya.
Dari beberapa ulama tentang perspektif keadilan yang mereka
sampaikan hampir semua keluarga poligami yang menjadi informan dalam
penelitian ini belum bisa menerapkan. Bahkan sebagian besar jauh dari kata
adil jika dikembalikan lagi dari apa yang ulama definisikan tentak apa makna
keadilan dan kata adil. Tetapi tidak semuanya, kembali lagi kepada keluarga
Ustad Mirja yang sedari awal telah memikirkan benar-benar sebelum
melangkah untuk berpoligami. Tak hanya itu sikap Ustad Mirja yang
menghargai semua anggota keluarganya menjadikan perspektif keadilan yang
disampaikan oleh beberapa ulama bisa diterapkan pada keluarganya. Hal ini
terbukti hingga selama enam belas tahun menjalani pernikahan poligami
belum pernah ada problematika dalam keluarga yang tidak bisa dipecahkan
bersama dan hampir semua anggota keluarganya jika ditanya bagaimana
kehidupan keluarganya mereka menjawab semua baik-baik saja dan dijalani
dengan penuh keharmonisan.
134
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep penerapan keadilan dalam pemberian nafkah pada keluarga
poligami salafi dilakukan tidak berbeda jauh dengan konsep keadilan
pada umumnya. Seperti halnya apa yang beberapa keluarga lakukan yaitu:
a. Memberikan nafkah batin yang sama yang meliputi kebutuhan
biologi, kepercayaan, perhatian, kasih sayang dan cinta
b. Membagi waktu kunjungan malam sama kepada semua istri
c. Membagi nafkah ekonomi sama rata sesuai kebutuhan tiap-tiap
anggota keluarga
d. Memberikan tempat tinggal yang layak sesuai kebutuhan masing-
masing
e. Memberikan dan membagi kasih sayang yang sama terhadap semua
anak baik anak kandung maupun anak bawaan
Sedangkan respon yang diterima masing-masing istri bervariatif namun
pada umumnya semua menerima karena terpaksa dan dianggap sesuai
kesepakatan. Itu merupakan gambaran bagi penerapan pemberian nafkah
yang tidak adil. Ketidak adilan bagi salah satu anggota keluarga terutama
istri, diantaranya :
135
a. Memberikan nafkah batin yang tidak sama rata kepada semua istri
seperti halnya perhatian yang tidak terpenuhi ketika pernikahannya
hanya sebatas pemenuhan nafkah biologi dimana acuh tak acuh akan
apa yang dirasakan dan dibutuhkan oleh salah satu istrinya.
b. Membagi nafkah malam tidak rata terjadi ketika jatah malam lebih
banyak kesalah satu istri meskipun dengan banyak alasan.
c. Memberikan nafkah ekonomi tidak rata kepada semua istri tanpa
melihat seberapa banyak anggota keluarga dari masing-masing istri
(salah satu istri memiliki 4 anak sedang istri yang lain tidak memiliki
anak) yang mengakibatkan salah satu istri nafkah ekonominya kurang
tercukupi.
d. Memberikan tempat tinggal yang layak kepada semua istri namun
faktanya tidak, dimana istri yang satu berada dirumah sendiri
sementara yang lainnya hanya sebatas rumah kontrakan yang minim
fasilitas.
e. Memberikan kasih sayang yang sama kepada semua anak baik anak
kandung maupun anak bawaan yang kenyataannya setelah terjadi
poligami malah tidak terpenuhi, jangankan pada anak bawaan pada
anak kandungpun banyak hak dan kewajiban yang terbengkalaikan.
2. Cara para istri-istri tersebut menyampaikan rasa ketidak adilan bervarian
yaitu:
a. Menyampaikan langsung kepada suami tentang apa yang mereka rasa
136
b. Menyampaikan kesesama istri dan menyelesaikan bersama atau
melakukan musyawarah bersama semua anggota keluarga terutama
suami dengan istri-strinya
c. Mengambil tindakan tegas (meminta kompensasi dan konsekuensi
akan tindakan yang dirasa tidak memberikan keadila dan diluar
kesepakatan)
3. Adapun konsep penerapan keadilan menurut hukum Islam pada keluarga
poligami salafi sebagian sudah sesuai seperti halnya keadilan adalah
meletakan segala sesuatu pada tempatnya. Berdasarkan pendapat dari
sebagian ulama keadilan merupakan spirit jalan tengah. Keadilan adalah
keharmonisan dan keadilan adalah tentang persamaan. Tetapi sebagian
juga belum bisa memenuhi apa yang menjadi konsep keadilan dalam
hukum Islam dikarenaka tidak sesuai, seperti halnya keadilan adalah
tentang persamaan. Jika adil tentang persamaan maka pemberian nafkah
dengan jumlah yang sama tetapi kebutuhan tidak sama dikarenakan
jumlah anak yang berbeda maka tidak akan bisa dinilai berbuat keadilan.
Namun kenyataannya poligami pada masa sekarang jauh sekali dari nilai-
nilai adil dan jauh dari poligami ala Rasulullah. Poligami pada masa
sekarang hanya lebih pada sifat keegoisan dari masing-masing individu
seorang suami tanpa mengindahkan perasaan dari istri.
137
B. Saran
Saran dalam skripsi ini disampaikan dengan harapan skripsi ini dapat
dijadikan bahan pertimbangan bagi yang ingin berpoligami atau yang sudah
melakukan poligami.
1. Sebaiknya bagi yang ingin berpoligami diharapkan mengetahui konsep
pernikahan poligami ala Rasulullah secara baik terutama menempatkan
tiap keadilan dalam Islam
2. Pernikahan poligami hendaknya bukan saja menjadi kajian keilmuan
dalam dunia akademisi namun poligami juga bisa dijadikan sebuah
contoh akan penerapan keadilan mengingat poligami dilakukan tidak
hanya sebatas pada orang yang memiliki kemampuan finansial tetapi juga
bisa berbuat adil dalam segala hal sebab keadilan adalah soal rasa.
138
DAFTAR PUSTAKA
Anjuran Menikah dan Larangan Membujang. (2012). Retrieved Maret 20, 2018, from http://1001hadist.blogspot.com/2012/01/1-anjuran-menikah-dan-
larangan.html/in=1
Kumpulan Makalah-Makalah. (2016, Maret). Retrieved Mei 01, 2018, from
http://kumpulan-kumpulan-makalah.blogspot.co.id/2016/03/makalah-hadist-tentang-poligami.html
5 Syarat Poligami Dalam Islam. (n.d.). Retrieved Mei 01, 2018, from https://dalamIslam.com/hukum-Islam/pernikahan/syarat-poligami-dalam-
Islam
Alfatih, M. (2015). Pandangan Janda tentang Poligami Studi Kasus Pondok Hidayatullah Balikpapan. Skripsi Sekolah Tinggi Agama Hidayatullah Balikpapan.
al-Ghazali, I. (2014). Mengobati Penyakit Hati Ahlak Mulia. Jakarta: MIZANia.
Ansor, M. (2014). Berbagai Suami atas Nama Tuhan: Pengalaman Keseharian Perempuan di Poligami Di Langsa. Ijtihad STAIN Salatiga, 42.
Azra, A. (1996). Pergolakan Politik Islam. Jakarta: Para Madina.
Dalil-Dalil Poligami dalam Islam. (n.d.). Retrieved Mei 01, 2018, from http://almanhaj.or.id/774-dalil-dalil-poligami-dalam-Islam.html
Daniel, M. (2002). Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hasbiyallah. (2015). Keluarga Sakinah. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Hidayatullah, H. (2015). Adil dalam Poligami Perspektif Ibnu Hazm. Religi: Jurna Studi Islam, 6(2), 2017-236.
Hukum Poligami Dalam Dari Dalilnya. (n.d.). Retrieved Mei 01, 2018, from https://dalamIslam.com/hukum-Islam/hukum-poligami-dalam-Islam
Irfani, M. I. (2017). Motifasi POligami Aktifis Tarbiyah Studi Kasus Poligami Aktifis Keluarga Tarbiyah di Salatiga dan Klaten. Skripsi IAIN Salatiga.
Ismail, S. (1987). Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.
Ja'afar, h. (1995). Siapa Pencemar Poligami. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kebudayaan, K. P. (2010). Kamus Besar Bahasa Indonesia. jakarta: Balai
Pustaka.
139
Keindahan Poligami dalam Islam. (n.d.). Retrieved Mei 01, 2018, from
http://almanhaj.or.id/2551/keindahan-poligami-dalam-Islam.html
Lisanul 'arab: Mengenal Mahaj Salaf. (n.d.). Retrieved Juli 11, 2018, from
https://muslim.or.id/430-mari-mengenal-mazhab-salaf.html
M, S. M. (2007). Menolak Poligami Studi Tentang Undang-Undang Perkawinan
dan Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Marjuk, M. I. (2009). poligami Selebriti "Sunah Rasul atau Nafsu". Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka.
Mulia, M. (1999). Pandangan Islam Tentang Pologami. Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Gender Denagn Perserikatan Solidaritas Perempuan Dan The
Asia Foundation.
Mulia, N. (2012). Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan
Perwakafan) dilengkapi dengan UU N.1 tahun 1974, UU No.1 tahun 2004, UU No.23 tahun 2011, Fatwa MUI tentang Perkawinan, Fatwa MUI tentang Perkawinan Beda Agama, Fatwa MUI tentang Wakaf Uang.
Bandung: CV Nuansa Mulia.
Mulyana, J. (2013). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Poligami Pada Komunitas Petani Studi Kasus Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkrigan, Kabupaten Slamen. Skripsi UIN Sunan Kalijaga.
Nailiya, I. K. (2016). Poligami Berkah Ataukah Musibah? Jogjakarta: DIVA
Press.
Nasohah, Z. (2000). Poligami. Kuala Lumpur: Percetakan Cergas (M) SDN.
BHD.
Nasution, K. (1996). Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran
Muhammad Abduh. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Nurudin, A., & Tarigan, A. A. (2014). Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Islam Dari Fiqih, UU No.1/1974 Sampai KHI. Jakarta: Kencana Paramedia Group.
Perkembangan Dakwah di Indonesia. (n.d.). Retrieved Juli 11, 2018, from https://almazhab.or.id/1128-perkembangna-dakwah-salafiyah-di-
indonesia.html
Pramono, O. (2013). Ya Allah, Jangan Biarkan Suamiku Poligami. Jogjakarta: IN AZNA Books.
Rafel, M. (2016). Perlindungan Hak Anak Dalam Keluarga Poligami Studi Atas Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan . Skripsi UIN Syarief Hidayatullah Jakarta.
140
Rawls, J. (2011). A Theory Of Justice "Teori Keadilan, Dasar-Dasar Politik
Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
RI, K. A. (2010). Al-Qur'an dan terjemahan. Jakarta: Kementerian Agama RI.
Shihab, M. Q. (1998). Wawasan Alqur'an: Tafsir Mudhu'i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Jakarta: Mizan.
Subki, A. Y. (2014). Biografi Istri-Istri Rasulullah, Menyibak Hikmah dan Fitnah Dibalik Tabir Poligami Rasulullah. Depok: Keira Publishing.
Suharsono, A. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Syarif, I. M. (2008). Selamat Datang Istri Impian: Membedah Karakter Dan Kepribadian Wanita yang di Impikan kaum Pria. Jakarta: Mirqat.
Syuqqah, A. H. (1997). Kebebasan Wanita. Jakarta: Gema Insani Press.
Wahyudi, A. (2010). Muhammad's Lovers Pesona Cinta Kasih Rasulullah Bersama Istri-Istrinya. Bandung: Oase Writers Managemen.
Wikipedia. (n.d.). Metodologi Penelitian. Retrieved Januari 4, 2017, from https://id.wikipedia.org/wiki/metodologi_Penelitian
Zumrotun, S., & dkk. (2010). Menabur Benih Islam Salafi di Pedesaan. Salatiga: IAIN Salatiga Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat.
Wawancara Ustadzah Fitri, Pada Senin 21 Mei 2018, di Salatiga.
Wawancara Mbak Sila, Pada Kamis 7 Juni 2018, di Pemalang.
Wawancara Umi Pipit, Pada Selasa 31 Juli 2018, di Salatiga.
Wawancara Ustad Mirja. Pada Minggu 5 Agustus 2018, di Salatiga.
Wawancara Umi Husna, Pada Minggu 5 Agustus 2018, di Salatiga.
Wawancara Umi Marwah, Pada Minggu 5 Agustus 2018, di Salatiga.
Wawancara Anggi, Pada 15 Agustus 2018, di Salatiga.
Wawancara Umi Ningsih, 22 Agustus 2018, di Salatiga.
141
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ely Lidiana
Tempat, Tanggal Lahir : Jember,21 Februari 1985
Fakultas/ Prodi : Syariah / Hukum Keluarga Islam
NIM : 212 14 008
Alamat : Jl.Dewi Kunti 25. 010/004 Grogol, Kel. Dukuh, Kec.
Sidomukti, Kota Salatiga, Jawa Tengah 50722.
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Orang tua : a. Ayah : M Shino
b. Ibu : Siti Mulickah
No. Telp : 085 735 634 151
Riwayat Pendidikan : 1. TK Aisyiah Abba Balung Kulon Jember 1990
2. SDN Kraton 3 Kencong Jember 1997
3. SLTPN 01 Kencong Jember 2000
4. SMAN 01 Kencong Jember 2003
5. IAIN Salatiga lulus tahun 2019
6. Sedang Menempuh Magister Hukum di UNISSULA
Pengalaman Kerja : 1. Kepala Administrasi Keuangan STIMIK Bandung-
Bali 2003-2005
2. Owner AJ Group 2010-Sekarang
3. Tenaga Pengajar di Lembaga Pendidikan IBNU
ABBAS 2012-2013
4. Kepala Administrasi Keuangan Lembaga Pendidikan
IBNU ABBAS 2013-2015
142
5. Badan Pertimbangan Lembaga Pendidikan IBNU
ABBAS 2015-Sekarang
6. Paralegal LKBHI IAIN Salatiga 2017- Sekarang
Salatiga, 8 April 2019
Penulis
143
144
145
146
147
148
149