Putu Rarassani (1902611041)

48
Responsi Kasus Penyakit Ginjal Kronik Stadium V akibat Nefritis Lupus Pembimbing : dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan,M.Biomed, Sp.PD Mahasiswa : Putu Rarassani (1902611041) DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI DEPARTEMEN/KSM ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH TAHUN 2019

Transcript of Putu Rarassani (1902611041)

Page 1: Putu Rarassani (1902611041)

Responsi Kasus

Penyakit Ginjal Kronik Stadium V akibat

Nefritis Lupus

Pembimbing :

dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan,M.Biomed, Sp.PD

Mahasiswa :

Putu Rarassani (1902611041)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI

DEPARTEMEN/KSM ILMU PENYAKIT DALAM

RSUP SANGLAH

TAHUN 2019

Page 2: Putu Rarassani (1902611041)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan responsi kasus yang berjudul

“Penyakit Ginjal Kronik Stadium V akibat Nefritis Lupus” ini dengan baik.

Laporan responsi kasus ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik

Madya di Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari

awal hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada

kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM-FINASIM selaku Kepala Bagian

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP

Sanglah

2. dr. I Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah.

3. dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan,M.Biomed, Sp.PD selaku

pembimbing dalam penyusunan laporan responsi kasus ini, atas

bimbingannya.

4. Dokter residen yang bertugas di Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas

masukannya.

5. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan responsi kasus

ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan response kasus ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari

semua pihak sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhir

kata, penulis mengharapkan laporan responsi kasus ini dapat bermanfaat di

bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.

Denpasar, November 2019

Page 3: Putu Rarassani (1902611041)

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3

2.1 Nefritis Lupus ................................................................................................ 3

2.1.1 Definisi.................................................................................................... 3

2.1.2 Epidemiologi ........................................................................................... 4

2.1.3 Patogenesis.............................................................................................. 5

2.1.4 Manifestasi klinis ................................................................................... 7

2.1.5 Diagnosis ................................................................................................ 9

2.1.6 Penatalaksanaan .................................................................................... 10

2.1.7 Prognosis ............................................................................................... 15

2.2 Penyakit Ginjal Kronik ................................................................................ 19

2.2.1 Definisi.................................................................................................. 16

2.2.2 Klasifikasi ............................................................................................. 16

2.2.3 Epidemiologi ......................................................................................... 20

2.2.4 Etiologi.................................................................................................. 17

2.1.5 Patofisiologi .......................................................................................... 18

2.1.6 Manifestasi Klinis ................................................................................. 22

2.1.7 Diagnosis .............................................................................................. 19

2.1.8 Penatalaksanaan .................................................................................... 20

BAB III LAPORAN KASUS................................................................................ 28

3.1. Identitas Pasien ........................................................................................... 28

3.2. Anamnesis .................................................................................................. 30

3.3. Pemeriksaan Fisik ....................................................................................... 32

Page 4: Putu Rarassani (1902611041)

iv

3.4. Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 35

3.5 Diagnosis Kerja ........................................................................................... 36

3.6 Terapi ........................................................................................................... 40

3.7 Monitoring ................................................................................................... 40

3.8 Prognosis ..................................................................................................... 41

3.9 KIE .............................................................................................................. 41

BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 42

BAB V SIMPULAN ............................................................................................. 44

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 42

Page 5: Putu Rarassani (1902611041)

5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan kondisi kerusakan pada struktur maupun fungsi

ginjal dalam waktu lebih dari 3 bulan. Kondisi tersebut dapat menimbulkan beberapa komplikasi

yang cukup parah seperti gagal ginjal bahkan kematian.1

Berdasarkan data Global Burden of Disease Study 2015, penyakit ginjal merupakan

penyebab kematian ke-12 yang paling umum, mengakibatkan sebesar 1,1 juta kematian di seluruh

dunia. Salah satu yang perlu diwaspadai adalah PGK. Angka kematian akibat PGK telah meningkat

sebesar 31,7% selama 10 tahun terakhir. Menjadi penyebab peningkatan kematian tercepat, di

samping diabetes dan demensia.2 Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi

Indonesia tahun 2009, diperoleh prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%.3 Data

Riskesdas tahun 2018 menunjukkan, persentase penyakit ginjal kronis (PGK) sebesar 3,8%, dengan

kenaikan sebesar 1,8 % dari tahun 2013. Selain itu biaya untuk perawatan penyakit ginjal kronik

cukup besar dan terus meningkat. Berdasarkan data BPJS tahun 2017 gagal ginjal kronis menjadi

penyebab realisasi pembiayaan tertinggi setelah penyakit jantung dan kanker.4

Faktor yang dapat menjadi penyebab PGK salah satunya adalah nefritis lupus (NL).

Meskipun nefritis lupus bukan merupakan penyebab terbanyak PGK, tapi komplikasi yang

ditimbulkan cukup serius. PGK dan ESRD (end stage renal disease) yang disebabkan oleh lupus

nephritis adalah penyebab utama kematian pada pasien SLE (systemic lupus erythematosus).

Meskipun ada kemajuan baru-baru ini dalam pengobatan imunosupresif, perkembangan menjadi

ESRD dan mortalitas belum menurun dalam beberapa dekade terakhir. Perkembangan menjadi

penyakit ginjal stadium akhir diperkirakan terjadi pada 30% pasien dalam waktu 15 tahun setelah

diagnosis lupus nefritis.5 nefritis lupus adalah faktor risiko utama untuk morbiditas dan mortalitas

pada SLE dan 10% pasien dengan nefritis lupus akan mengakibatkan ESRD. Pasien dengan nefritis

lupus juga memiliki rasio kematian standar yang lebih tinggi (6-6,8 berbanding 2,4) dan meninggal

lebih awal dari pasien SLE tanpa nefritis lupus.6

Untuk mencegah komplikasi yang lebih parah akibat lupus nefritis terhadap ginjal, sehingga

perlu dilakukan terapi lebih dini. Tujuan utama dari terapi lupus nefritis adalah untuk mencegah

CKD dan ESRD. Pada saat lupus nefritis terlihat secara klinis, ginjal sudah meradang secara

moderat atau parah karena akumulasi kompleks imun yang mengandung autoantibodi. Oleh karena

itu, pasien diobati dengan agen antiinflamasi untuk segera melemahkan inflamasi intrarenal dan

memungkinkan penyembuhan untuk dimulai.6

Page 6: Putu Rarassani (1902611041)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nefritis Lupus

2.1.1 Definisi

Nefritis lupus (NL) merupakan salah satu tipe glomerulonefritis sekunder dimana terjadi

inflamasi dari glomerulus sebagai komplikasi dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Nefritis

lupus merupakan manifestasi klinis paling serius dari SLE yang biasanya muncul dalam 5 tahun

setelah SLE terdiagnosis. Nefritis lupus tampak jelas secara histologis pada kebanyakan pasien

dengan SLE meskipun belum menunjukkan manifestasi klinis pada ginjal. Keterlibatan ginjal pada

pasien SLE berkisar diantara 30-90%. World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan

nefritis lupus menjadi 5 tahap berdasarkan hasil biopsi ginjal, yaitu sebagai berikut7 :

Tabel 2.1 Klasifikasi Nefritis Lupus WHO7

Kelas I (Minimal Mesangial Glomerulonephritis)

Penampakan normal pada mikroskop cahaya, namun terdapat deposit mesangial

pada mikroskop elektron. Terjadi 5% pada nefritis lupus, gagal ginjal sangat

jarang terjadi pada tipe ini.

Kelas II (Mesangial Proliferative Glomerulonephritis)

Hiperselularitas mesangial dan terdapat ekspansi matriks, Hematuria

mikroskopis dengan atau tanpa proteinuria dapat terlihat. Tipe ini merespon

terhadap kortikosteroid. Terjadi pada 20% nefritis lupus, gagal ginjal jarang

terjadi pada tipe ini.

Kelas III (Focal Glomerulonephritis)

Lesi sklerotik kurang dari 50% glomerulus dengan lesi proliferatif endokapiler

atau ekstrakapiler. Pada mikroskop elektron deposit subendotel dan

perubahan mesangial dapat terlihat. Hematuria dan proteinuria akan tampak

dengan atau tanpa sindrom nefrotik, hipertensi dan peningkatan serum

kreatinin. Terjadi 25% dari kasus nefritis lupus. Gagal ginjal tidak umum

terjadi.

Kelas IV (Diffuse Proliferative Nephritis)

Tipe paling sering ditemukan dan paling berat. Terjadi 40% dari kasus nefritis

lupus. Lebih dari 50% glomerulus terlibat. Secara klinis tampak hematuria,

proteinuria, hipertensi, hipokomplenemia, peningkatan titer anti-dsDNA dan

Page 7: Putu Rarassani (1902611041)

7

peningkatan serum kreatinin. Gagal ginjal sering terjadi pada tipe ini.

Kelas V (Membranous Nephritis)

Adanya penebalan difus pada dinding kapiler glomerulus. Secara klinis pasien

akan memperlihatkan tanda sindrom nefrotik, juga dapat terlihat hematuria

mikroskopik dan hipertensi.Terjadi 10% dari nefritis lupus. Jarang terjadi

gagal ginjal pada tipe ini.

Gambar 2.1 Gambaran Histopatologi Kelas Nefritis Lupus 7

2.1.2 Epidemiologi

Penelitian kohort multietnis menemukan bahwa setelah 15 bulan dari diagnosis SLE ditegakkan,

nefritis lupus terjadi pada 700 dari 1827 pasien (38,3%). Didapatkan pula bahwa nefritis lupus adalah

manifestasi awal tersering dari SLE dan teridentifikasi sebesar 80,9% dari kasus. Pasien lupus

nefritis lebih banyak pada usia muda, dan terjadi pada ras Afrika, Asia dan Hispanik.8

Nefritis lupus

umumnya terjadi pada wanita, dengan rasio wanita berbanding pria adalah 9:1 dan paling banyak

terjadi pada usia 20-40 tahun. Rata-rata angka kelangsungan hidup pasien penderita LES sekitar

95% pada 5 tahun pertama setelah terdiagnosa dan 92% pada 10 tahun berikutnya setelah

terdiagnosa. Adanya LN menurunkan secara signifikan angka kelangsungan hidup menjadi 88%

pada 10 tahun setelah terdiagnosa, dengan angka yang jauh lebih rendah pada ras Afrika Amerika.9

2.1.3 Patogenesis

Patogenesis yang megakibatkan nefritis lupus dapat diuraikan menjadi dua fase yaitu

Page 8: Putu Rarassani (1902611041)

8

mekanisme sistemik yang terjadi pada sistem imun terkait dengan SLE dan juga mekanisme lokal

pada organ target yaitu ginjal. Secara sistemik SLE timbul diawali oleh adanya interaksi antara faktor

predisposisi genetik dengan faktor lingkungan, faktor hormone seks, dan faktor sistem

neuroendokrin. Interaksi dari faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi dan mengakibatkan

terjadinya respon imun yang menimbulkan peningkatan aktivitas sel-T dan sel-B, sehingga terjadi

peningkatan autoantibodi. Sebagian autoantibodi ini akan membentuk kompleks imun dengan

nukleosom (DNA-histon), kromatin, C1q, laminin, Ro(SS-A), ubiquintin, dan ribososm, yang

kemudia akan membentuk deposit dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ target.9

Nefritis lupus terjadi oleh adanya reaksi hipersensitifitas tipe III berupa terbentuknya

kompleks imun. Kompleks imun ini akan terdeposit pada mesangium, subendotel dan atau di ruang

subepitel di dekat membrane basal glomerulus di ginjal.10

Gambaran klinis kerusakan glomerulus dihubungkan dengan lokasi terbentuknya deposit

kompleks imun. Deposit pada mesangium dan subendotel letaknya proksimal terhadap basalis

glomerulus sehingga mempunyai akses dengan pembuluh darah. Deposit yang terjadi pada daerah ini

akan mengaktifkan komplemen yang selanjutnya menghasilkan kemoatraktan C3a dan C5a yang

menyebabkan adanya influx sel neutrophil dan mononuclear.11,12

Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran

mesangial, proliferatif fokal dan prolifertif difus yang secara klinis memberikan gambaran sedimen

urin yang aktif yaitu ditemukan eritrosit, leukosit, sel silinder dan granular, adanya proteinuria dan

sering disertai dengan penurunan fungsi ginjal.11

Sedangkan deposit pada subepitelial juga akan menegaktifkan sistem komplemen namun tidak

terjadi influx sel-sel inflamasi, karena kemoatraktan dipisahkan oleh membrane basalis glomerulus

dari sirkulasi. Secara histopatologi akan memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara

klinis hanya didapatkan proteinuria.11,12

Tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan karakteristik dari antigen dan antibodi:

a) Kompleks imun yang besar atau antigen yang anionic, yang tidak dapat melewati sawar dinding

kapiler glomerulus yang juga bersifat anionic, akan diendapkan dalam mesangium dan subendotel.

Banyaknya deposit imun ini akan menentukan apakah pada pasien akan berkembang gejala

penyakit yang ringan (deposit imun pada mesangium), atau terdapat gejala yang lebih berat

(proliferative fokal atau difus).

b) Kompleks imun kationik dapat melewati membrane basal glomerulus dan dapat terdeposisi pada

subendotel.

Page 9: Putu Rarassani (1902611041)

9

2.1.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis bervariasi yang merupakan kombinasi manifestasi klinis sesuai penyebab

dasar yaitu SLE yang memenuhi 4 dari 11 kriteria American Rheumatism Association (ARA) dan

manifestasi klinis sebagai akibat kerusakan pada organ target yaitu ginjal.13

Manifestasi klinis SLE sesuai dengan kriteria ARA adalah sebagai berikut :13

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis SLE

a. Ruam Malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah

malar dan cenderung tidak melibatkan lipatan nasolabial

b. Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan keratosis dan sumbatan

folikel, pada SLE lanjut ditemukan parut atrofi.

c. Fotosensitifitas Ruam kulit sebagai reaksi sinar matahari yang tidak biasa

d. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, biasanya tanpa rasa sakit

e. Arthritis Artritis nonerosive melibatkan dua atau lebih sendi perifer

ditandai dengan nyeri, bengkak atau efusi

Page 10: Putu Rarassani (1902611041)

10

f. Serositis a) Pleuritis : riwayat nyeri atau terdengar gesekan pleura,

atau

b) Perikarditis : terbukti dengan EKG atau adanya gesekan

pericardium, atau terdapat bukti efusi pericardial

g. Gangguan

Ginjal

a) Proteinuria persisten >0,5 g/dl/hari atau > 3+ jika tidak

dilakukan pemeriksaan kuantitatif

b) Silinder seluler : dapat berupa sel darah merah,

hemoglobin, granular, tubular atau campuran

h. Gangguan

neurologis

a) Kejang : bukan karena obat atau gangguan metabolic,

atau

b) Psikosis : bukan karena obat atau gangguan metabolic

i. Gangguan

hematologi

a) Anemia hemolitik dengan retikulositosis, atau

b) Leukopenia <4000/mm3 total pada ≥ 2 x pemeriksaan

c) Limfopenia : <1500/mm3 pada

≥2 x pemeriksaan

d) Trombositopenia : <100000/ mm3

tanpa disebabkan obat-

obatan

j. Gangguan

imunologi

a) Anti-DNA : antibody terhadap natif DNA dengan titer

abnormal, atau

b) Anti-Sm : adanya antibody terhadap antigen nuclear Sm,

atau

c) Temuan positif antibody antifosfolipid berdasarkan (1)

kadar serum antibody anticardiolipin IgG atau IgM

serum yang abnormal, (2) hasil tes positif lupus

antikoagulan menggunakan metode standar, atau (3) uji

serologi sifilis positif palsu ≤ 6 bulan dan dikonfirmasi

dengan imunomobilisasi Tpenonema pallidum atau test

fluoresensi absorpsi antibody treponema

h.Antibodi

antinuclear

positif

Titer antibody nuclear abnormal melalui imunoflouresensi

atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu

perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang

Page 11: Putu Rarassani (1902611041)

11

diketahui berkaitan dengan sindrom lupus yang diinduksi

obat.

Sedangkan manifestasi kelainan ginjal adalah berupa proteinuria yang diapatkan pada seluruh

pasien nefritis lupus, sindrom nefritik pada 45-65% pasien, hematuria mikroskopik pada 80%

pasien, gangguan tubular pada 60-80% pasien, hipertensi pada 15-50% pasien, penurunan fungsi

ginjal pada 40-80% pasien dan penurunan fungsi ginjal yang cepat pada 30% pasien.11,12

Pada pemeriksaan fisik, umumnya dapat ditemukan tanda-tanda seperti xanthelasma, ruam

pada kulit, purpura, serta tanda menurunnya fungsi ginjal seperti edema, clubbing finger dan

hipertensi. Auskultasi abnormal dapat terdengar di jantung dan paru yang menandakan overload

cairan. Manifestasi klinis nefritis lupus berdasarkan kelasnya dapat diperlihatkan pada tabel berikut :

11,12

Tabel 2.3 Manifestasi Klinis Berdasarkan Gambaran Histopatologi

Lupus

Nefri

tis

Proteinuria Hematuria Hipertensi Sindrom

Nefrotik

Gangguan

Fungsi

Ginjal

Kelas I 1 gr/24 jam Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal

Kelas II 1-3 gr/24 jam Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal

Kelas

III

>3 gr/24 jam Ada Ada Ada ↑Kreatinin

Kelas

IV

>3 gr/24 jam Sering Sering Sering ↑Kreatinin

Kelas V >3 gr/24 jam Ya/Tidak Ya/Tidak Sering Normal atau

↓ kreatinin

Kelas

VI

1 gr/24 jam Ya/Tidak Ya/Tidak Ya/Tidak ↓Lambat

2.1.5 Diagnosis

Page 12: Putu Rarassani (1902611041)

12

Adanya hematuria, proteinuria, ataus sedimen urin yang patologis pada pemeriksaan

urinalisis menujukkan terdapatnya nefritis lupus. Diagnosis klinis nefritis lupus dapat ditegakkan

apabila pada pasien SLE terdapat:

a) Proteinuria ≥ 500 mg/24 jam dan/atau

b) Hematuria (>8 eritrosit/LPB) dan/atau

c) Penurunan fungsi ginjal sampai dengan 30%

Proteinuria umumnya diperiksa dengan cara mengukur jumlah protein secara kuantitatif

dengan mengumpulkan urin selama 24 jam. Cara lain yang lebih praktis dan sekarang mulai banyak

dilakukan adalah dengan mengukur rasio protein dengan kreatinin pada sampel urin sewaktu.

Pemeriksaan ini utamanya dilakukan untuk menilai perubahan jumlah protein urin setelah dilakukan

pengobatan. Beberapa tes serologis yang dapat diperiksa pada pasien nefritis lupus adalah :

a) Tes ANA

Tes ANA sangat sensitif untuk SLE, namun ANA tidak spesifik untul SLE karena ada

penyakit lain yang dapat memunculkan hasil positif. Titer ANA tidak memiliki korelasi yang baik

dengan kelainan ginjal pada SLE

b) Tes anti ds-DNA

Tes anti ds-DNA lebih spesifik, tetapi kurang sensitive untuk SLE. Tes ini positif pada kira-

kira 75% pasien SLE aktif yang belum diobati. Anti ds-DNA mempunyai korelasi yang baik dengan

adanya kelainan ginjal.

c) Antibodi anti-ribonuklear (anti-Sm dan anti-nRPN)

Antibodi anti-Sm sangat spesifik untuk SLE. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

antibody anti-Sm mempunyai hubungan dengan peningkatan insiden penyakit ginjal dan susunan

saraf pusat serta menunjukkan prognosis yang buruk. Antibodi anti-nRNP ditemukan pada 35%

pasien SLE.

d) Kadar Komplemen

Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif SLE, terutama pada nefritis lupus tipe

proliferative. Kadar C3 dan C4 serum sering sudah dibawah normal sebelum gejala lupus

bermanifestasi. Normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan pada nefritis lupus

Bila terdapat fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontraindikasi (trombositopenia berat, reaksi

penolakan terhadap komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) maka biopsi ginjal

perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis karena biopsi ginjal merupakan standar baku emas

diagnosis nefritis lupus. Selin untuk prosedur diagnostic, biopsy juga berfungsi sebagai bahan

evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan patologik ginjal dan menetukan prognosis serta terapi

yang tepat.14,15

Page 13: Putu Rarassani (1902611041)

13

2.1.6 Penatalaksanaan

Pada nefritis lupus sebaiknya pengobatan diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan

histopatologi dan biopsi ginjal. Pilihan regimen pengobatan adalah berdasarkan gambaran

histopatologi. Prinsip dasar pengobatan adalah menekan reaksi inflamasi lupus, memperbaiki fungsi

ginjal, atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk. Perlu juga

diperhatikan efek samping obat yang timbul karena pengobatan nefritis lupus memerlukan waktu

yang relatif lama.16

Seluruh pasien nefritis lupus harus menjalani biosi ginjal apabila tidak terdapat kontraindikasi

dan tersedianya dokter ahli di bidang biopsi ginjal. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan

rutin terutama sedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-ds

DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung situasi klinis. Pada penyakit

glomerulonefritis progesivitas cepat diperlukan pemeriksaan kreatinin serum harian, untuk parameter

lain diperlukan waktu 1 sampai 2 minggu untuk berubah.16

Pengobatan hipertensi harus dilakukan secara agresif dengan target tekanan darah pasien

adalah ≤ 120/80 mmHg. Obat pilihan adalah ACE inhibitor untuk pasien dengan proteinuria

menetap. Diet rendah garam direkomendasikan pada seluruh pasien hipertensi dengan nefritis lupus.

Bila diperlukan loop diuetik dapat digunakan untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi.15

Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko premature aterosklerosis dan

mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga harus dikurangi bila terdapat hyperlipidemia

atau pasien sindrom nefrotik. Target terapi adalah kolesterol serum <180 mg/dL. Pasien SLE dengan

hyperlipidemia dapat diberikan obat penurun lemak seperti HMG Co-A reductase inhibitor atau

statin.15

Pasien SLE yang mendapatkan terapi kortikosteroid memerlukan penilaian risiko osteoporosis.

Pemberian kalsium atau suplemen vitamin D juga latihan fisik perlu dipertimbangkan. Memonitor

toksisitas kortikosteroid dan agen sitotoksik juga diperlukan dan dimonitor sesuai dengan kondisi

klinis.15

Pasien dianjurkan untuk menghindari NSAID karena dapat menggangu fungsi ginjal,

mencetuskan edema dan hipertensi dan meningkatkan toksisitas gastrointestinal, terkecuali sangat

diperlukan dapat diberikan kortikosteroid dengan dosis rendah dan waktu singkat dengan

pemantauan ketat. 15

Secara umum terapi pada nefritis lupus antara lain:15,16

- Restriksi protein 0,6-0,8 gram/kgBB/hari bila sudah terdapat gangguan ginjal

Page 14: Putu Rarassani (1902611041)

14

- Pemberian ACE inhibitor dan ARB untuk mengurangi proteinuria

- Mengontrol faktor risiko dan efek samping obat

Dislipidemia, dianjurkan pemberian statin

Hipertensi, diberikan ACE inhibitor atau ARB sebagai pilihan utama

Sindrom antifosfolipid diberikan golongan aspirin

Pemberian vitamin D

Kontrol gula darah dengan mempertahankan HbA1C <7%

Penatalaksanaan nefritis lupus berdasarkan kelasnya ditunjukkan pada tabel berikut :

Lupus Nefritis

Kelas I

Tidak memerlukan pengobatan spesifik. Pengobatan lebih

ditekankan pada gejala ekstrarenal

Lupus Nefritis

Kelas II

-Jika tidak disertai oleh proteinuria yang bermakna (>1

gram/24 jam) dan sedimen tidak aktif maka tidak

diperlukan pengobatan spesifik.

Jika disertai proteinuria >1gram/24 jam, titer ds-DNA

tinggi dan hematuria diberikan prednisone 0,5-1

mg/kgBB/hari selama 6-12 minggu. Kemudian dosis

diturunkan perlahan-lahan (5-10 mg) tiap 1-3 minggu.

Lupus Nefritis

Kelas III dan IV

- Terapi Induksi

Bertujuan untuk mencapai keadaan remisi aktivitas

lupus yang ditandai oleh resolusi gejala ekstrarenal,

manifestasi serologic menjadi lebih baik, serta resolusi

dari hematuria, kristal seuler, dan konsentrasi kreatinin

serum berkurang atau paling tidak menetap.

Obat-obat yang dipakai untuk terapi induksi adalah:

a) Pulse glukokortikoid

Pada pasien dengan lupus yang sangat aktif (Acute

Kidney Injury, rapidly progressive glomerulonephritis,

dan kelainan ekstra renal yang berat), diberikan pulse

metilprednisolone sebanyak 0.5-1gr IV/hari untuk

Page 15: Putu Rarassani (1902611041)

15

menginduksi efek anti-inflamasi yang cepat. Setelah 3

hari pemberian, dilanjutkan dengan prednison dengan

dosis 0.5-1 mg/hari. Prednison diberikan bersama obat-

obat imunosupresan yang lain.

b) Siklofosfamid

Siklofosfamid diberikan dengan dosis 750mg/m2 tiap

bulan selama 6 bulan. Diberikan bersama prednison

dengan dosis 0.5mg/kg/hari, yang kemudia diturunkan

perlahan-lahan sampai dosis 0.25 mg/kg/hari terutama

untuk mengontrol gejala ektra renal.

c) Mikofenolat mofetil

Sejak kurang lebih 10 tahun terakhir, mikofenolat

mofetil dipakai untuk terapi induksi N kelas III dan IV,

terutama untuk menghindari efek samping siklofosfamid

(hipoplasia gonad, dan sistitis hemoragik). Untuk terapi

induksi dosis mikofenolat mofetil yang dianjurkan 1gr

2x sehari diberikan sampai 6 bulan.

d) Rituximab

Rituximab adalah suatu anti CD-20 yang bekerja pada

limfosit B. Digunakan untuk menginduksi remisi pada

pasien LN yang berat, yang tidak memberikan respons

dengan pemberian siklofosfamid atau MMF. Meskipun

hasil beberapa penelitian tidak menunjukkan perbedaan

bermakna, tetapi masih dimungkinkan pemberian

rituximab pada pasien yang resisten, mencegah flare,

dan mengurangi jumlah atau dosis immunosupresan

lain.

e) Takrolimus + MMF atau Azatioprin + steroid

Dipakai pada pasien LN proliferatif (kelas IV) yang

superimposed dengan nefritis lupus membranosa (kelas

V). Remisi yang terjadi pada pemakaian obat ini lebih

Page 16: Putu Rarassani (1902611041)

16

tinggi dari pada hanya memakai siklofosfamid+steroid.

Selain itu, efek samping yang terjadi juga lebih sedikit

pada pasien yang mendapat tacrolimus + MMF atau

azatioprin + steroid.

f) Obat lain

Beberapa obat lain yang juga dipakai untuk induksi

adalah :

o Imunoglobulin IV

o Siklosporin

o Leflunomid

o Antibodi monoklonal

o Inhibitor komplemen

o Pemakaian oabt-obatan ini masih terbatas dan hasil

pengobatan belum jelas

- Terapi pemeliharaan (maintenance)

Bertujuan untuk mencegah relaps dan menekan aktivitas

penyakit, mencegahprogresifitas ke arah penyakit ginjal

kronis dan mencegah efek samping pengobatan yang

lama

a. Kortikosteroid tetap merupakan komponen utama dalam

terapi pemeliharaan LN, dan tidak ada studi klinis yang

tidak memakai/menggunakan steroid dalam terapi

pemeliharaan. Dosis kortikosteroid dipertahankan

seminimal mungkin, yang dengan dosis tersebut

aktivitas lupus tetap terkontrol

b. Siklofosfamid, diberikan dengan dosis 0.75gram IV

setiap 3 bulan sampai 2 tahun. Saat ini pemakaian

siklofosfamid >3-6 bulan sebaiknya dihindari karena

efek siklofosfamid seperti alopesia, sistitis hemoragika,

kanker kandung kencing, kerusakan gonad dan

menopause yang lebih awal.

c. Mikofenolat mofetil, dosis diberikan sebanyak 1-2 gram

Page 17: Putu Rarassani (1902611041)

17

sehari sekurang-kurangnya 2 tahun

d. Azatioprin, diberikan dengan dosis 2mg/kg BB/hari

sekurang-kurangnya 2 tahun. Penggunaan azatioprin

selama kehamilan lebih aman dibandingkan dengan

penggunaan imunosupresan lainnya

e. Siklosporin, diberikan dengan dosis 2-2.5mg/kg

BB/hari, selama 2 tahun

f. Rituximab, sebagai terapi aditif pada penggunaan

dengan MMF atau siklofosfamid IV

g. Abatacept, suatu modulator selektif sel T

h. Belimumab, suatu antibodi monoklonal yang mengikat

stimulator limfosit B soluble

i. ACTH, merupakan pilihan terpai yang potensial

terutama pada nefritis lupus kelas V

Lupus Nefritis

Kelas V

Bila pada hasil biopsi ginjal didapatkan tipe campuran

LN kelas V dengan kelas III atau kelas IV, maka terapi

diberikan sesuai untuk terapi LN kelas III dan IV

Pada LN kelas V diberikan prednison dengan dosis 1

mg/kg BB/hari selama 6-12 minggu. Prednison

kemudian diturunkan menjadi 10-15 mg/hari selama 1-2

tahun. Beberapa penelitian mengkombinasikan

prednison dengan siklosporin, klorambusil, azatioprin,

atau mikofenolat mofetil.

2.1.7 Prognosis

Pada nefritis lupus kelas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi ginjal yang bermakna

sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki prognosis yang baik. Nefritis lupus kelas III dan

IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Pada nefritis lupus kelas III yang

keterlibatan glomerulusnya <50% akan memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan

kelompok yang keterlibatan glomerulusnya >50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai

prognosis nefritis lupus kelas IV yaitu buruk. Nefritis lupus kelas V memiliki prognosis yang cukup

baik sama dengan nefropati membranosa primer, sebagian kecil akan menimbulkan sindrom nefrotik

yang berat.

Page 18: Putu Rarassani (1902611041)

18

2.2 Penyakit Ginjal Kronik

2.2.1 Definisi

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan suatu proses

patofisiologis dengan etiologi yang beragam yang berakibat pada penurunan fungsi ginjal yang

progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis

yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang bersifat ireversibel atau tidak dapat kembali, pada

suatu derajat akan memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, dapat berupa dialisis atau transplantasi

ginjal. Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam kelainan yang ditemukan selama

pemeriksaan, yang bisa saja bersifat nonspesifik terhadap penyakit penyebabnya tetapi dapat

mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara

bersamaan pada hampir semua kasus PGK.17-19

Adapun yang termasuk kriteria PGK menurut Kidney Disease: Improving Global Outcomes

(KDIGO) 2012 adalah sebagai berikut:20

1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional yang dapat dideteksi

melalui pemeriksaan laboratorium (albuminuria (AER ≥ 30 mg/24jam; ACR ≥ 30 mg/g [≥3

mg/mmol]), abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit atau yang lain oleh karena gangguan

pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui

pemeriksaan radiologi, atau riwayat transplantasi ginjal.

2. Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60 ml/menit/1,73 m2) dalam waktu lebih dari 3 bulan,

dengan atau tanpa kelainan struktural ginjal.

2.2.2 Klasifikasi

Klasifikasi PGK didasarkan atas derajat penyakit. Klasifikasi derajat penyakit, dibuat atas

dasar laju filtrasi glomerulus yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-Gault dengan

klasifikasi sebagai berikut :20

Tabel.1 Klasifikasi derajat penyakit berdasarkan perhitungan Laju Filtrasi Ginjal

Page 19: Putu Rarassani (1902611041)

19

Derajat LFG (ml/menit/1,73m2) Penjelasan

G1 ≥ 90 Normal atau tinggi

G2 60-89 Penurunan ringan

G3a 45-59 Penurunan ringan-sedang

G3b 30-44 Penurunan sedang-berat

G4 15-29 Penurunan berat

G5 < 15 Gagal ginjal

2.2.3 Epidemiologi

Penyakit Ginjal Kronik merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai. Prevalensinya di

negara maju mencapai 10-13% dari populasi. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya

jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Di Australia

pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 1.7 juta pasien yang menderita Penyakit Ginjal Kronis, atau 1

dari 10 orang di Australia mengalami Penyakit Ginjal Kronis.Di negara-negara berkembang lainnya,

insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun. Menurut Suharjono (2010),

sebanyak 12,5 % populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.Sebuah studi dari

Indonesia Renal Registry pada tahun 2014 melaporkan bahwa jumlah pengidap PGK baru di

Indonesia sebanyak 17.193 dan di Bali sebanyak 1.258.Pada era BPJS, perawatan penyakit ginjal

merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung.

Indonesia Renal Registry juga menyebutkan bahwa penyebab tersering kedua pada gagal ginjal

kronis adalah diabetes melitus (23%).21,22

2.2.4 Etiologi

Etiologi PGK sangat bervariasi. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) mencatat

penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, antara lain adalah glomerulonefritis

(46,39%), diabetes mellitus (18,65%), obstruksi dan infeksi (12,85%), hipertensi (8,46%), dan sebab-

sebab lain yang dapat berupa nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan,

tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui (13,65%).19

2.2.5 Patofisiologi

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan pada ginjal,

terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membrane basal glomerulus, sel endotel, dan sel

Page 20: Putu Rarassani (1902611041)

20

podosit. Kerusakan komponen ini dapat disebabkan secara langsung oleh kompleks imun, mediator

inflamasi, atau toksin. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh mekanisme progresif yang berlangsung

dalam jangka panjang. Berbagai sitokin dan growth factor berperan dalam menyebabkan kerusakan

ginjal.23

Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam

perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal

mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)

sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth

factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler

dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses

maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan

penurunan fungsi nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya

peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi

terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis

renin-angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth

factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas PGK

adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual

untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.24

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Pada PGK, gambaran klinis yang muncul seringkali tidak spesifik dan biasanya

ditemukan pada tahap akhir penyakit. Pada stadium awal, PGK biasanya asimtomatik. Tanda dan

gejala PGK dapat melibatkan berbagai macam sistem organ. Gambaran klinis yang muncul dapat

berupa gambaran klinis yang sesuai dengan penyakit dasarnya seperti diabetes mellitus, SLE,

stenosis arteri renalis, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, dan

lain sebagainya. Dapat pula berupa sekumpulan gejala yang disebut sindrom uremia, yang terdiri

dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer,

pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang, hingga koma. Jika sudah terjadi komplikasi, gejala

komplikasi yang dapat muncul ialah hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis

metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida).25

25

Pada pemeriksaan laboratorium, dapat ditemukan temuan yang sesuai dengan penyakit yang

Page 21: Putu Rarassani (1902611041)

21

mendasarinya. Dapat pula ditemukan adanya penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan

kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockroft-Gault. Selain itu,

dapat ditemukan kelainan pada kadar biokimawi darah yang dapat berupa penurunan kadar

hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau

hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. Kelaian pada urinalisis juga dapat

muncul, berupa proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.24

Pemeriksaan serum fosfat, 25-hydroxyvitamin D, alkaline phosphatase dan hormon paratiroid

intak dapat dilakukan untuk menentukan apakah ada kelainan tulang akibat ginjal atau dikenali

sebagai renal bone disease. Selain itu, pemeriksaan kadar serum sistatin-C memainkan peran yang

penting dalam estimasi fungsi ginjal. Sistatin-C merupakan satu peptida kecil yang dihasilkan dalam

semua sel nukleasi, diproduksi pada kadar yang tetap dan disaring oleh glomerulus. Walaupun

disaring oleh glomerulus sistatin-C tidak sekresikan tetapi diabsorbsi kembali oleh sel epitel tubular

dan dikatabolisme dan tidak memasuki ke dalam aliran darah.Suatu penelitian yang menggunakan

serum sistatin-C sebagai gantinya serum kreatinin untuk estimasi LFG simpulkan bahwa rumus LFG

berdasarkan serum sistatin-C mengungguli rumus LFG berdasarkan serum kreatinin pada pasien

PGK yang obesitas, terutama dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) diatas 35kg/m2.26

Pada pemeriksaan radiologis, dapat ditemukan adanya batu radioopaque pada pemeriksaan

foto polos abdomen, ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau

batu ginjal, kista, massa, atau kalsifikasi pada pemeriksaan ultrasonografi ginjal. Dapat pula

dilakukan pielografi antegrad atau retrogad maupun renografi bila ada indikasi. Pielografi intravena

jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak dapat melewati filter glomerulus. Selain itu juga

dikhawatirkan adanya pengaruh toksik kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.27

Dapat juga dilakukan pemeriksaan biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal pada pasien

dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa

ditegakkan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan

mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Kontraindikasi dikerjakannya biopsi ginjal adalah

ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak

terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.24

2.2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita PGK bergantung dari derajat penyakit pasien tersebut.

Penatalaksanaan pada pasien PGK meliputi: Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan

dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition), Memperlambat pemburukan fungsi

ginjal, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi dan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau

Page 22: Putu Rarassani (1902611041)

22

transplantasi ginjal. Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan fungsi ginjal, dan

memperkecil risiko kardiovaskular dilakukan pada pasien PGK dengan LFG ≥90 mL/menit/1,73

m2 (derajat G1). Penderita PGK dengan LFG 60-89 mL/menit/1,73 m2 (derajat G2)

dilakukan penatalaksanaan untuk menghambat perburukan fungsi ginjal. Evaluasi dan terapi

komplikasi yang muncul.dilakukan padan penderita PGK dengan LFG 30-59 mL/menit/1,73 m2

(derajat G3). Persiapan terapi untuk pengganti ginjal mulai dilakukan pada penderita PGK dengan

LFG

<15mL /menit/1,73 m2 . Pada penderita PGK stadium akhir atau dengan LFG <15 mL/menit/1,73

m2 terapi pengganti ginjal harus dilakukan.24

Canadian society of nephrology pada tahun 2014 merekomendasikan untuk menunda dialisis

pada penderita PGK tanpa gejala hingga LFG 6 mL/menit/1,73 m2 atau hingga terjadi onset indikasi

klinis pertama berupa sindrom uremia, kelebihan cairan, hiperkalemi refrakter atau asidosis.

2.1.7.1 Terapi Penyakit Dasar

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan

LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara

USG, biopsi, dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap

terapi spesifik. Sebaliknya, bila GFR sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap

penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. 24

2.1.7.2 Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid

Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien PGK. Hal ini untuk

mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor komorbid tersebut

antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus

urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

24

2.1.7.3 Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal

Hiperfiltrasi pada glomerulus merupakan faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal.

Hiperfiltrasi pada glomerulus dapat dikurangi dengan melakukan restriksi protein, terapi

farmakologis, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuar. 24

A. Restriksi Protein.

Penelitian mengenai modifikasi diet pada penyakit ginjal mendapatkan restriksi protein

Page 23: Putu Rarassani (1902611041)

23

0.58g/kg/hari dibandingkan dengan diet proten pada umumnya sebesar 1.3 g/kg/hari tidak secara

signifikan mempengaruhi rata-rata LFG dalam 3 tahum. Namun diet rendah protein dapat

memperlambat penurunan LFG yang mengalami penurunan LFG progresif. Restriksi protein pada

pasien PGK tidak selalu dilakukan. Restriksi protein mulai dilakukan pada pada penderita PGK

denganLFG< 60 ml/mnt. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan

fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Konsumsi protein yang

dianjurkan pada pasien PGK adalah konsumsi protein dengan nilai biologi tinggi sebanyak 0.6-0.8

gr/kgBB/hari dengan kalori yang direkomendasikan sejumlah 30-35kkal/kgBB/hari. Pada pasien

dengan terapi hemodialisis HD, asupan protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari untuk

mempertahankan keadaaan klinik yang stabil. Restriksi protein dilakukan mengingat protein yang

dikonsumsi tidak dapat disimpan dalam tubuh bila dikonsumsi berlebih namun akan diekskresikan

dalam bentuk urea dan nitrogen melalui ginjal. Konsumsi protein berlebih menyebabkan

terjadinya penumpukan substansi hasil pemecahan protein seperti urea, nitrogen dan ion anorganik

yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu sindrom uremia. Diet protein berlebih juga dapat

menyebabkan peningkatan aliran darah dan tekanan intragromerular yang menyebabkan

terjadinya perubahan hemodinamik pada ginjal sehingga meningkatkan perburukan fungsi ginjal.

Penderita PGK yang sebelumnya telah memiliki predisposisi untuk terjadinya malnutrisi, resiko

untuk terjadinya malnutrisi akan sangat meningkat pada diet restriksi protein. Malnutrisi juga

merupakan salah satu prediktor dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas pada penderita PGK

stadium akhir, sehingga hal tersebut harus dihindari. Pembatasan asupan protein dan fosfat pada

penderita PGK secara lebih lengkap dapat dilihat pada tabel berikut.Pembatasan asupan protein

dan fosfat pada penyakit ginjal kronik dapat dilihat pada tabel berikut: 24

Tabel 4. Asupan protein dan fosfat pada pender penyakit ginjal kronis

LFG

mL/menit

Asupan Protein g/kh/hari Fosfat g/kg/hari

Page 24: Putu Rarassani (1902611041)

24

>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi

25-60 0,6-0,8/kg/hari ≤ 10 g

5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 g asam

amino esensial atau asam keton

≤ 10 g

<60 (Sindrom

Nefrotik)

0,8/kg/hari(=1 gr protein /g proteinuria

atau

0,3 g/kg tambahan asam amino esensial

atau asam keton

≤ 9 g

B. Terapi Farmakologis

Menurunkan tekan intraglomerulus juga dapat dicapai dengan penggunaan obat antihipertensi

seperti obat antihipertensi terutama penghambat enzim yang merubah angiotensin (ACE inhibitor)

melalui berbagai studi dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat mekanismenya

sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Pengurangan tekanan intraglomerulus sangat penting

untuk menghambat perburukan kerusakan nefron hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran

terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Proteinuria merupakan faktor resiko

terjadinya perburukan fungsi ginjal. ACE atau ARB sangat efektif digunakan pada pasien penyakit

ginjal diabetik dalam memperlambat progresifitas dari penyakit pada pasien dengan proteinuria lebih

dari 500 mg per hari.24

C. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular

Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular adalah

pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap

kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan

terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.24

1. Diabetes Mellitus

Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea

dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi,

untuk DM tipe 2 adalah 6%.24,28,29,30

2. Hipertensi

Kontrol tekanan darah secara agresif dapat membantu mengurangi penurunan fungsi renal

Page 25: Putu Rarassani (1902611041)

25

pada penderita PGK. Joint National Commitee on Prevention, Detection, Evaluation, and

Treatment of High Blood Pressure (JNC

VIII) merekomendasikan target tekanan pada pasien PGK kurang dari 140/80mmHg. Kontrol dari

tekanan darah sistolik lebih bermakna dibandingkan tekanan diastolik, namun tekanan darah

sistolik pada pasien lanjut usia lebih sulit untuk dikontrol. Penggunaan obat golongan CCBs dan

thiazide type diuretic dianjurkan pada pasien berusia lebih dari 75 tahun dengan PGK dimana

fungsi ginjal menurun akibat adanya risiko hiperkalemia, peningkatan kreatinin, dan gangguan

lainnya. Penggunaan ACE atau ARB ditoleransi dengan pengawasan ketat terhadap perburukan

ginjal dan resiko hiperkalemia yang dapat terjadi. Setiap perubahan dosis yang diberikan, serum

kreatinin perlu dimonitor. Jika serum kreatinin meningkat lebih dari 30% dari batas bawah setelah

diberikan obat ACE atau ARB, penggunaan obat tersebut harus dihentikan. Waktu meminum obat

antihipertensi juga dapat mempengaruhi pola sirkardian dari tekanan darah yang dapat

mempengaruhi hasil klinis. Hermida melaporkan, setelah dilakukan follow- up selama 5.4 tahun,

penderita PGK yang mengonsumsi setidaknya 1 jenis obat antihipertensi sebelum tidur

menurunkan resiko total dari kejadian kardiovaskular hingga 1/3 dibandingkan pasien yang

meminum obat tersebut saat terbangun. 24,28,29,30

3. Dislipidemia

Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin. KDIGO 2013

merekomendasikan penggunaan statin pada penderita PGK dengan rekomendasi spesifik seperti :

24,28,29,30

• Pasien berumur 50 tahun atau diatasnya dengan LFG kurang dari 60 mL/min/1.73m2 yang tidak

diterapi dialisis atau transplantasi ginjal.

• Terapi dengan statin tidak boleh dinisiasikan untuk diberikan pada penderita PGK yang

bergantung dialisis

• Penderita PGK yang sebelumnya telah diterapi dengan statin pada saat dialisa, terapi dapat

dilanjutkan

• Pada pasien transplantasi ginjal, diterapi dengan statin mengingat adanya peningkatan resiko

kejadian coronary events

• Penderita PGK usia 18-49 tahun dengan dengan LFG kurang dari 60 mL/min/1.73m2 yang tidak

diterapi dialisis atau transplantasi ginjal harus diterapi dengan statin bila memiliki riwayat

penyakit koroner, diabetes, stroke iskemik

Page 26: Putu Rarassani (1902611041)

26

• Pasien berumur 50 tahun atau diatasnya dengan LFG 60 mL/min/1.73m2 atau lebih

4. Hiperfosfatenemia

Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg.hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak

dianjurkan, untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Pemberian pengikat fosfat dapat pula diberikan

pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang banyak dipakai,

adalah garam kalium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan

secara oral, untuk menghambat absorbs fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang

banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. Pengurangan terhadap serum

fosfat pada penderita PGK yang menjalani hemodialisia juga dapat dicapai dengan pemberian

sevelamer. Sevelamer berikatan dengan fosfat di usus halus, sehingga menyebabkan

peenghambatan absorbsi fosfat tersebut. 24,28,29,30

5. Kelebihan Cairan

Jumlah cairan yang dianjurkan pada penderita PGK adalah sebanyak 500- 800 ml ditambah

jumlah urin, mengingat terdapat insensible water loss antara 500- 800ml/hari sehingga dengan

demikian dapat dicapai keseimbangan antara air yang keluar dengan air yang masuk kedalam

tubuh. Pemberian obat-obatan yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium seperti

sayur dan buah harus dibatasi mengingat resiko terjadinya hiperkalemia dan hipernatremia pada

penderita PGK. 24,28,29,30

6. Anemia

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar Hb ≤ 10 g% atau Hct ≤ 30%, meliputi evaluasi

terhadap status besi, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya

hemolisis. Koreksi anemia dilakukan dengan target Hb 10-12 g/dl. 24,28,29,30

2.1.7.4 Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi

Penyakit Ginjal Kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai

dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. PGK derajat G1, biasanya belum

menimbulkan komplikasi. PGK derajat G2, mulai menimbulkan komplikasi berupa tekanan darah

yang mulai naik. PGK derajat G3, dapat menimbulkan komplikasi berupa hiperfosfatemia,

hipokalsemia, anemia, hiperparatiroid, hipertensi, dan hiperhomosisteinemia. PGK derajat G4,

dapat menimbulkan komplikasi berupa malnutrisi, asidosis metabolik, hiperkalemia, dan

dislipidemia. Sedangkan PGK derajat G5, dapat menimbulkan komplikasi gagal jantung dan

Page 27: Putu Rarassani (1902611041)

27

sindrom uremia. 24,28,29,30

A. Anemia

Anemia pada pasien PGK diakibatkan akibat penurunan produksi eritropoetin oleh ginjal.

Faktor lain seperti infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merah yang pendek pada penyakit

ginjal kronik dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti defisiensi besi,

defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium juga ikut berkontribusi. Keadaan anemia dapat

bertambah berat apabila terdapat perdarahan saluran cerna tersembunyi dan malnutrisi. 24,28,29,30

Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status besi harus

diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberuan EPO

diberikan untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb=10g/dL. Target pencapaian Hb

dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL. Pemberian transfusi darah pada pasien penyakit ginjal

kronik harus hati-hati dan hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu:

- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik

- Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO

- Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik

Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO ataupun yang telah mendapat

EPO namun respon tidak adekuat, diberi preparat besi intravena. 24,28,29,30

B. Penyakit Kardiovaskular

Kondisi primer PGK dapat menyebabkan suatu penurunan fungsi jantung, hipertrofi ventrikel,

disfungsi diastolik dan atau peningkatan resiko kejadian kardiovaskular. Pasien dengan PGK

memiliki resiko kardiovaskular yang sangat tinggi, dan lebih dari 50% kematin pada penderita

PGK disebabkan oleh penyakit kardiovaskular yang muncul. Gagal jantung pada pasien PGK

diakibatkan karena adanya peningkatan atau ekspansi volume cairan, penurunan LFG, aktivasi

sisem simpais, aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron, gangguan elektrolit, asam basa dan

koagulasi. Kejadian kardiovaskular pada pasien PGK dihubungkan dengan peningkatan kadar

biomarker spesifik dalam plasma seperti troponin, asymmetric dimethylarginine, plasminogen-

activator inhibitor type-1, homocysteine, natriuretik peptida, c-reacive protein, potein amiloid A,

Hemoglobin dan albumin. 24,28,29,30

2.1.7.5 Terapi Pengganti Ginjal

Page 28: Putu Rarassani (1902611041)

28

Dilakukan pada PGK derajat G5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi tersebut dapat

berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal. Pembuatan akses vaskular

sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan

pembuatan akses vaskular jika klirens kreatinin telah dibawah 20 ml/menit. 24,28,29,30

A. Hemodialisis

Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan

(dialiser) yang terdiri atas dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan

ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan dengan kompartemen

dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan

komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolism nitrogen. Cairan

dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut

berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai24,28,29,30

Konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga

dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan

tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut

ultrafiltrasi. 24,28,29,30

Komplikasi yang sering terjadi selama hemodialisis berlangsung adalah hipotensi, kram otot,

mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil.

Hipotensi adalah penyulit akut tersering pada hemodialisis. Faktor-faktor yang menyebabkan

meningkatkan resiko hipotensi pada pada pasien seperti ultrafiltrasi yang berlebihan, respon

vasoaktif autonom, pergeseran osmolar, pemberian obat antihipertensi, dan berkurangnya

cadangan jantung. Keram otot selama dialisis juga dapat dijumpai pada pasien yang menjalani

dialisis, perubahan pada perfusi otot akibat pengeluaran volume yang terlalu agresif dan pemakaian

dialisat yang rendah natrium diperkirakan sebagai pemicu hal tersebut. Reaksi anafilaktoid

terhadap dialiser juga dapat terjadi terutama pada pemakaian membran yang mengandung

selulosa. Reaksi tersebut biasanya terjadi segera setelah terapi dimulai dan dapat berkembang

menjadi anafilaksis sempurna jika terapi tidak segera dihentikan. Di Indonesia, hemodialisis

dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Pasien

hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi

kurang merupakan prediktor penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. 24,28,29,30

Page 29: Putu Rarassani (1902611041)

29

Indikasi dilakukannya hemodialisis pada PGK selain sudah memasuki derajat G5 adalah:

pasien dengan keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata, serum kalium > 6 mEq/L, ureum

darah > 200 mg/dL, pH darah < 7,1, anuria berkepanjangan (> 5 hari), dan overload cairan.

24,28,29,30

B. Peritoneal Dialysis

Peritoneal Dialysis (PD) adalah suatu metode dialisis dengan memanfaatkan peritoneum

sebagai membran semipermeabel. PD terbagi atas PD akut yang merupakan metode terapi

pengganti ginjal (TPG) untuk pasien yang mengalami kegawatan akut, yang bersifat sementara;

dan PD kronis yang merupakan metode TPG untuk pasien yang mengalami penurunan fungsi

ginjal secara permanen (PGK stadium 5) yang bersifat berkesinambungan. Continuous

Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) biasanya dilakukan sampai 4 kali dalam dengan cara

menginjeksikan cairan dialisat sebanyak 2-2,5 liter ke dalam rongga peritoneum melalui kateter

trans-abdominal yang bersifat lentur dan terbuat dari karet silikon melewati dinding abdomen

anterior, menembus peritoneum parietal dengan ujungnya terletak di pelvis. Cairan dialisat

dibiarkan berada pada peritoneum selama 4-6 jam,. Membran peritoneum, yang bertindak sebagai

“penyaring alami”. Pertukaran ini dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan osmotik antara

cairan dialisat dan darah, dimana cairan dialisat konsentrasinya lebih tinggi daripada darah.

24,28,29,30

2.1.7.6 Terapi nutrisi pada pasien Penyakit Ginjal Kronik

Status gizi kurang masih banyak dialami pasien dengan penyakit ginjal kronik Terapi nutrisi

pada pasien PGK berupa : pengaturan asupan protein, pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB

ideal/hari, pengaturan asupan lemak: 30- 40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama

antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh, pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari

kalori total, garam (NaCl): 2-3 gram/hari, kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari, Fosfor: 5-10

mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari, Kalsium: 1400-1600 mg/hari, Besi: 10- 18mg/hari,

Magnesium: 200-300 mg/hari, Asam folat pasien HD: 5mg, air: jumlah urin 24 jam + 500ml

(insensible water loss). 24,28,29,30

Page 30: Putu Rarassani (1902611041)

30

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : RHMWT

Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal Lahir : 31 Desember 1951

Umur : 27 tahun

Page 31: Putu Rarassani (1902611041)

31

Alamat : NTB

Pekerjaan : Guru SMK

Status Perkawinan : Belum Menikah

Agama : Hindu

Suku/Bangsa : Bali

No. Rekam Medis : 19022251

Tanggal MRS : 12 November 2019

Tanggal Pemeriksaan : 21 November 2019

3.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama: Sesak

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dalam keadaan sadar ke IGD RSUP Sanglah dengan keluhan sesak napas yang

mulai dirasakan sejak 1 minggu SMRS, memberat 1 hari SMRS. Sesak seperti pasien tidak mampu

menarik napas sama sekali. Sesak berat sampai pasien kehilangan tenaga dan tidak mampu untuk

berdiri. Pada awalnya sesak muncul saat pasien sedang beraktivitas, kemudian mulai muncul saat

pasien tidur di malam hari. Sesak muncul secara mendadak, hilang timbul sesuai dengan berat

ringannya aktivitas yang dilakukan. Sesak bertambah berat saat pasien melakukan aktivitas seperti

berlari atau berjalan dalam waktu yang lama. Sesak mereda bila pasien duduk bersandar.

Pasien juga mengeluh lemas seluruh tubuh. Lemas dirasakan sejak 1 bulan SMRS. Lemas

dirasakan seperti anggota tubuh pasien dapat digerakkan akan tetapi pasien tidak memiliki keinginan

untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Pasien merasa sangat lemas sampai tidak mampu untuk

beraktivitas seperti sebelumnya. Keluhan lemas muncul secara perlahan, terjadi terus menerus

sepanjang hari. Semakin lama pasien merasa semakin bertambah lemas. Keluhan tidak membaik

dengan beristirahat.

Pasien mengeluh mual. Mual dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Mual sampai pasien

mengalami penurunan nafsu makan yang berat. Pasien hanya mau makan beberapa sendok bubur

dalam sehari dan kadang-kadang makanan itu dimuntahkan kembali oleh pasien. Mual dirasakan

setiap hari hilang timbul. Mual semakin memberat ketika makan. Mereda bila pasien sedang istirahat

terutama dalam posisi duduk.

Page 32: Putu Rarassani (1902611041)

32

Pasien tidak demam baik sebelum maupun sesudah muncul keluhan. BAK normal sekitar 3

kali sehari berwarna kuning. Tidak ada kencing berwarna merah maupun berbuih. Nyeri saat kencing

dan kencing batu disangkal oleh pasien.

Pada saat dilakukan pemeriksaan pada tanggal 21 November 2019, pasien mengatakan bahwa

keluhan sesak sudah tidak ada, keluhan lemas pada seluruh tubuh masih ada tapi sudah mulai

berkurang. Pasien dapat bangun dan ke toilet sendiri tanpa dibantu. Makan dan minum pasien

dikatakan meningkat dari sebelumnya, sekitar 5 sendok makan setiap kali makan. BAK dan BAB

tanpa keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan

Pada Mei tahun 2015 di rumah sakit B pasien terdiagnosis SLE dan saat ini dengan terapi

metil prednisolon 3x8 mg. Selain itu juga terdiagnosis CKD. Pasien dengaan CKD stage V on HD

reguler sejak 6 bulan yang lalu di RSUP Sanglah. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi. Riwayat

penyakit lain seperti diabetes melitus, penyakit jantung bawaan, asma, maupun alergi obat disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien merupakan anak ke 7 dari 7 bersaudara. Salah satu kakak pasien saat masih kuliah

pernah memiliki gejala bercak-bercak kemerahan di sekitar wajah dengan batas seperti kupu-kupu,

lemas seluruh tubuh. Tetapi saat diperiksakan ke dokter dikatakan hanya cacar. Kemudain beberapa

bulan setelahnya kakak pasien meninggal. Ayah pasien juga sudah meninggal sejak pasien masih

kecil dengan penyebab yang tidak diketahui.

Riwayat Pribadi/ Sosial/ Lingkungan

Pasien merupakan seorang guru SMK. Pasien masih bekerja akan tetapi saat ini sedang cuti. Di

Rumah pasien dapat beraktivitas seperti biasa, tapi kadang-kadang kurang bertenaga. Pasien tidak pernah

merokok kurang maupun mengkonsumsi alkohol. Makan dan minum baik dengan porsi sedikit.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK (21 November 2019)

Status Present

Kondisi Umum : Sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

GCS : E4 V5 M6

Tekanan darah : 110/70 mmHg (tgl 12/11/19 TD: 170/100 mmHg)

Page 33: Putu Rarassani (1902611041)

33

Nadi : 92 kali/menit, regular, isi cukup

Respirasi : 18 kali/menit, regular, thorakoabdominal (tgl 12/11/19 RR 24 kali/menit)

Suhu aksila : 36,4o C

VAS : 0/10

SpO2 : 98% udara ruangan

Berat Badan : 55 kg

Tinggi Badan : 165 cm

IMT : 20,22 kg/m2

Status General

Kepala : Bentuk normal

Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera kuning -/-, reflex pupil +/+ isokor 3mm/3mm,

edema palpebra -/-

THT :Telinga : Daun telinga N/N, sekret tidak ada, pendengaran normal

Hidung : Sekret tidak ada, tidak ada deviasi septum nasi

Tenggorokan : Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)

Lidah : Ulkus (-), papil lidah atrofi (-)

Bibir : Basah, stomatitis (-), sianosis (-)

Leher : JVP PR ± 0 cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran

kelenjar tiroid (-).

Thoraks : Simetris

Cor: Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V midclavicular line

sinistra, kuat angkat (-), thrill (-)

Perkusi : batas kanan jantung ICS II parasternal line dekstra

batas kiri jantung ICS V midclavicular line sinistra

batas bawah jantung ICS V midclavicular line

sinistra

Auskultasi: S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo : Inspeksi : Simetris statis dan dinamis, retraksi (-)

Page 34: Putu Rarassani (1902611041)

34

Palpasi : Vokal fremitus Normal Normal

Normal Normal

Normal Normal

Perkusi : Sonor Sonor

Sonor Sonor

Sonor Sonor

Auskultasi: Vesikuler rhonki

Wheezing

+ +

+ +

+ + - -

- -

- -

- -

- -

- -

Page 35: Putu Rarassani (1902611041)

35

Abdomen:

Inspeksi : distensi (-), scar (-), terpasang

kateter CAPD

Auskultasi : bising usus

(+) normal

Palpasi : hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri

tekan (-)

Perkusi : shifting dullness (-),

undulasi (-)

Ekstremitas : CRT < 2 detik

Hangat Edema - -

- -

+ +

+ +

Page 36: Putu Rarassani (1902611041)

36

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap (tgl 12, 14, 21, Novemver 2019)

Parameter Hasil Hasil Hasil

Unit Nila

i Normal (12/11/19) (14/11/19) (21/11/19)

WBC 7.49 11.36↑ 5.23 103/Μl 4.1-11

Neu 88.94↑ 87.27↑ 67.16 % 47-80

Lym 5.65 2.75 10.46 % 13-40

Mono 4.4 8.96 8.71 % 2.0-11

Eos 0.67 0.53 12.31↑ % 0-5

Baso 0.33 0.5 1.36 % 0-2

RBC 3.1 4.24 3.36 106/μL 4.5-5.9

HGB 9.38↓ 12.06↓ 10.32↓ g/dl 13.5-17.5

HCT 29.18 37.6 31.98↓ % 41-53

MCV 94.09 88.73 88.05 Fl 80-100

MCH 30.22 28.46 28.4 Pg 26-34

MCHC 32.13 32.08 32.36 g/dl 31-36

PLT 143.5 120.9 81.23 103/ul 150-440

RDW 14.89 14.96↑ 14.14↑ % 11.6-14.8

MPV 4.47 6.05 6.35 fL 6.8-10

Page 37: Putu Rarassani (1902611041)

37

Kimia Klinik (12, 14, 16, 18, 21 November 2019)

Parameter Hasil

(12/11/19)

Hasil

(14/11/19)

Hasil

(16/11/19)

Hasil

(18/11/19)

Hasil

(21/11/19) Unit

Nilai

Normal

AST/SGO

T 18.3 U/L

11.00-

27.00

ALT/SGPT 13.9

U/L 11.00-

34.00

Albumin 3.7 g/dL 3.4-4.8

BUN 84.1↑ 21.5 14.7 19.4

mg/dl 8.00-

23.00

Kreatinin 8.13 ↑ 3.11 ↑ 3.2↑ 3.08↑ 4.32 mg/dl 0.7-1.2

e-LFG 6.02↓ 19.22 ↓ 18.57↓ 19.45↓ 12.92 >=90

Kalium 6.85↑ 4.42 4.76 4.44 4.84

mmol/

L 3.5-5.1

Natrium 132 133 140 141 140

mmol/

L

136-

145

Klorida 104 104

mmol/

L

96-

108

GDS 137 133

mmol/

L 94-110

Ph 7.41 7.51

7.35-

7.45

Faal Hemostasis (12, 18 November 2019)

Parameter Hasil Hasil Uni

t

Nilai

Normal (12/11/19) (18/11/19)

APTT 21.8 41.6↑ Detik 24-36

PPT 14 12.7 Fl

10.8-

14.4

INR 1 0.9 0.9-1.1

Page 38: Putu Rarassani (1902611041)

38

Urin Lengkap (12, 20 November 2019)

Parameter Hasil

(12/11/19)

Hasil

(20/11/19) Unit Nilai Normal

Warna Yellow Yellow

p yellow-

yellow

Leukosit Sedimen 5 1315 ↑ /LPB ?7

Eritrosit Sedimen 5 74 ↑ /LPB ?5

Silinder Sedimen Granula + granula + /LPB

Berat Jenis 1.019 1.028 1.003-1.035

Kekeruhan keruh (+) keruh

(++)

pH 6.5 4.5-8

Leukosit (3+) 500 (3+) 500 leuco/uL Negatif

Nitrit Negatif Negatif mg/ dL Negatif

Protein (4+)

OVER

(4+)

OVER mg/ dL Negatif

Glukosa Negatif Negatif mg/ dL Negatif

Keton Negatif Negatif mg/ dL Negatif

Darah (2+) (2+) ery/ Ul Negatif

Urobilinogen Normal Normal mg/ dL Normal

Bilirubin Negatif Negatif mg/ dL Negatif

Page 39: Putu Rarassani (1902611041)

39

Foto Abdomen AP (15 November 2019)

Klinis : CKD st V

Tak tampak distensi abdomen, pre peritonial fat line kanan kiri tegas

Distribusi gas usus normal bercampur fecal material

Tak tampak gambaran herring bone, coiled spring maupun udara

bebas di luar sistema usus

Tak tampak bayangan radioopaque di sepanjang traktu urinarius

Kontur ginjal kanan kiri tak tampak jelas

Psoas line kanan kiri simetris

Bayangan lien dan hepar tak tampak membesar

Corpus pedicle dan sputum intervertebralis baik

Tampak terpasang kateter CAPD pada cavum abdomen yang

terposisi baik, tidak tampak kingking

Kesan:

Tak tampak gambaran ileus maupun pneumoperitoneum

Tak tampak batu radioopaque di sepanjang traktus urianarius

Terpaang kateter CAPD pada cavu abdomen yang terposisi baik, tidak tampak

kingking

Page 40: Putu Rarassani (1902611041)

40

EKG (Elektrokardiografi)

3.5 DIAGNOSIS KERJA

(12/11/19)

a. CKD stage V ec Lupus Nefritis on HD reguler

-HT grade II

-Hiperkalemia

-Anemia Ringan NN on CKD

b. SLE on treatment

(21/11/19)

a. CKD stage V ec Lupus Nefritis on HD reguler

-HT grade II

-Anemia Ringan NN on CKD

b. SLE on treatment

3.6 TERAPI

(12/11/19)

- IVFD NaCl 0,9% 8 tpm

- Diet CKD 35 kkal/kgBB/hari + protein 1,2 gram/kgBB/hari

- Ca glukonas 1 gram tiap 8 jam IV

Page 41: Putu Rarassani (1902611041)

41

- Nebulizer salbutamol tiap 8 jam

- D 40% 100 cc (habis dalam 30 menit)

- D 10% 100 cc (habis dalam 30 menit)

- Insulin Novorapid 20 unit (habis dalam 30 menit)

- Cek K 6 jam post triple drug

- Ramipril 1 x 10 mg

- Asam folat 2 x 2 mg

- Hubungi urologi -> CAPD

- Cek UL

- HD elektif

Terapi monitoring (21/11/2019)

-Bedrest

- Diet CKD 35 kkal/kgBB/hari + protein 1,5 gram/kgBB/hari

-IVFD NaCl 0,9 % 8 tpm tiap 8 jam

-Asam folat 2 mg tiap 12 jam

-Ciprofloxacin 200 mg tiap 12 jam IO

-Methylprednisolon 8 mg tiap 8 jam IO

-Myforatic 180 mg tiap 12 jam IO

-Paracetamol 500 mg tiap jam IO

-Cek UL

-Post HD

3.7 MONITORING

Vital Sign

Keluhan

Page 42: Putu Rarassani (1902611041)

42

3.8 PROGNOSIS

Ad Vitam : dubia ad bonam

Ad Functionam : dubia ad malam

Ad Sanationam : dubia ad malam

3.9 KIE

- Menjelaskan mengenai penyakit yang dialami pasien dan bagaimana

faktor risiko, perkiraan perjalanan penyakitnya, dan rencana terapi lebih

lanjut.

- Menjelaskan mengenai prognosis dan kemungkinan yang dapat

disebabkan penyakit yang dialami pasien.

- Mengedukasi keluarga pasien dalam kepatuhan meminum obat, serta

perlunya dukungan keluarga untuk membantu kesembuhan pasien.

Page 43: Putu Rarassani (1902611041)

43

BAB IV

PEMBAHASAN

Penyakit gagal ginjal kronis (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis

dengan etiologi yang beragam yang berakibat pada penurunan fungsi ginjal yang

bersifat ireversibel dengan karakteristik adanya kerusakan struktural atau

fungsional. Etiologi dari PGK beragam salah satunya adalah oleh nefritis lupus

yang dicetuskan oleh penyakit dasar yaitu Systemic Lupus Erythematosus (SLE).

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan pada pasien didapatkan bahwa

pasien perempuan, 27 tahun, datang dengan keluhan utama sesak disertai dengan

lemah seluruh tubuh. Pasien riwayat mengalami Systemic Lupus Erythematosus

(SLE) sejak tahun 2015, dan mengalami hipertensi yang diketahui beberapa bulan

yang lalu. Saat ini pasien mengalami penyakit ginjal kronik stadium V.

Pasien memiliki riwayat SLE yang merupakan salah satu etiologi

terjadinya gangguan ginjal berupa nefritis lupus. Nefritis lupus yang terjadi pada

pasien disebabkan oleh adanya kompleks autoimun antibodi yang terdeposisi di

subendotel, subepitel dan mesangial nefron yang menginduksi terjadinya respon

inflamasi dan memunculkan manifestasi klinis terkait penurunan fungsi ginjal.

Diagnosis nefritis lupus ditegakkan oleh karena pasien memiliki riwayat

SLE dengan hasil pemeriksaan penunjang urinalisis yang patologis salah satunya

adalah ditemukan hematuria >8 eritrosit/LPB yang pada pasien mencapai 74

eritosit/LPB, disertai dengan adanya proteinuria dan sedimen urin patologis.

Nefritis lupus yang dialami pasien membuat pasien saat ini mengalami penyakit

ginjal kronik stadium V yang dibuktikan dengan adanya penurunan laju filtrasi

glomerulus di bawah 15 ml/menit/1,73 m2

Saat awal masuk pasien diketahui

mengalami hipertensi grade II karena tekanan darah pasien 170/100 mmHg yang

memenuhi kriteria tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau tekanan darah

diastolik lebih dari 100 mmHg. Pasien juga mengalami anemia ringan

normokromik normositer yang dibuktikan dengan pemeriksaan darah lengkap

dengan hemoglobin 9,38 gr/dL (anemia ringan : 9,0-10,0 gr/dL), MCV (Mean

Corpuscular Volume) 94.09 fl (80-100 fl) menandakan normositer dan MCH

(Mean Corpuscular Hemoglobin) 30.22 Pg (26-34 Pg) dengan klinis anemia

Page 44: Putu Rarassani (1902611041)

44

berupa sesak dan lemas yang menjadi keluhan utama pasien masuk rumah sakit

disertai dengan tanda konjungtiva anemis.

Pasien mengalami hiperkalemia dengan kadar kalium 6.85 (3,5-5,1

mmol/L). Keadaan hiperkalemia ini disebabkan oleh penurunan kemampuan

ginjal untuk menjaga keseimbangan kalium.

Terapi yang diberikan kepada pasien yaitu mulai dari kebutuhan cairan

dan diet. Cairan yang diberikan adalah sesuai dengan jumlah urin 24 jam

ditambah 500 ml (insensible water loss). Kebutuhan kalori 35 kkal/kgBB/hari dan

protein 1,5 gram/kgBB/hari. Saat masuk rumah sakit pasien mengalami

hiperkalemia sehingga diberikan tatalaksana koreksi akut berupa triple therapy

yaitu 1) kalsium glukonas intravena untuk menghilangkan efek neuromuskular

dan jantung akibat hiperkalemia, 2) glukosa dan insulin intravena untuk

memindahkan kalium ke dalam sel dengan efek penurunan kalium kira-kira 6 jam

dengan dosis insulin 10 unit dalam glukosa 40% 50 ml bolus intravena, 3) b2

agonis berupa salbutamol inhalasi untuk memindahkan kalium ke dalam sel.

Pasien juga mendapatkan obat antihipertensi ramipril yang merupakan golongan

ACE inhibitor. Golongan ACE inhibitor merupakan pilihan obat antihipertensi

pada CKD karena dapat mengurangi efek proteinuria juga memiliki efek

antiremodelling pembuluh darah pada pasien CKD dengan risiko penyakit

jantung. Pemberian asam folat pada pasien ini berfungsi untuk mengubah

homosistein menjadi methionine, dimana homosistein terbukti dapat

meningkatkan risiko inflamasi dan kerusakan endotel yang dapat memperparah

keadaan CKD.

Metilprednisolon merupakan steroid sebagai terapi inisial pada pasien SLE

yang berfungsi untuk menekan kaskade imun sebagai dasar dari penyakit SLE.

Pasien juga diberikan terapi imunosupresan yaitu mikofenolat mofetil (MMF)

yang merupakan terapi pilihan pada pasien nefritis lupus stadium III atau IV.

Pasien juga saat ini menjalani terapi hemodialisa karena pada penderita PGK

stadium akhir atau dengan LFG <15 mL/menit/1,73 m2 terapi pengganti ginjal

harus dilakukan. Hemodialisa yang dilakukan pada pasien saat ini adalah melalui

jalur CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis).

Page 45: Putu Rarassani (1902611041)

45

BAB V

SIMPULAN

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD)

merupakan suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam yang

berakibat pada penurunan fungsi ginjal yang progresif. Faktor yang dapat menjadi

penyebab PGK salah satunya adalah nefritis lupus (NL). Nefritis lupus (NL)

merupakan salah satu tipe glomerulonefritis sekunder dimana terjadi inflamasi

dari glomerulus sebagai komplikasi dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE).

Prinsip dasar pengobatan Nefritis lupus adalah menekan reaksi inflamasi

lupus, memperbaiki fungsi ginjal, atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal

agar tidak bertambah buruk. Pada nefritis lupus kelas I dan II hampir tidak terjadi

penurunan fungsi ginjal yang bermakna sehingga secara nefrologis kelompok ini

memiliki prognosis yang baik. Nefritis lupus kelas III dan IV hampir seluruhnya

akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal.

-

Page 46: Putu Rarassani (1902611041)

DAFTAR PUSTAKA

1. Infodatin. Siatuasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta : Pusat data dan informasi

kementrian kesehatan RI ; 2017. Hal 1-12

2. Xie Y, Bowe B, Mokdad AH, et al. epidemiology from 1990 to 2016.

Kidney Int. 2016;94(3):567-581. doi:10.1016/j.kint.2018.04.011.

3. Kemenkes.Ginjal Kronis.2017.Diakses pada November 23, 2019. Tersedia

pada http://www.p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/subdit-penyakit-

jantung-dan-pembuluh-darah/ginjal-kronis.

4. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.2018

5. Choi HS, Han KD, Jung JH, et al. The risk of end-stage renal disease in

systemic lupus erythematosus: A nationwide population-based study in

Korea. Medicine (Baltimore). 2019;98(28):e16420.

doi:10.1097/MD.0000000000016420

6. Almaani S, Meara A, Rovin BH. Update on Lupus Nephritis. Am Soc

Nephrol. 2017;12:825-835. doi:DOI: https://doi.org/10.2215/CJN.05780616.

7. Lewis, Edmund J.; Schwartz, Melvin M. Lupus Nephritis.OUP Oxford.174-

177.

8. Hanly JG, O’Keeffe AG, Su L, Urowitz MB, Romero-Diaz J, et al. The

frequency and outcome of lupus nephritis: results from an international

inception chort study.Rheumatology (Oxford). 2016 Feb.55(2):252-62.)

9. Bevra HH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, et al.

American College of Rheumatology Guidelines for Screening, Treatment,

and Management of Lupus Nephritis. Arthritis Care & Research. 2012.

64:977-808.)

10. Lisnevskakia L, Murphy G, Isenberg D. Systemic lupus

erythematosus.Lancet.2014 Nov 22.384 (9957):1878-1888

11. Alberto DZS, Catalina HD.Lupus Nephritis : An Overview of recet

Findings.Autoimmune Diseases:Hindawi.2012 (21).

12. Yasser Matter. Lupus Nephritis : From Basics to Practice.Mansoura

University-Egypt.)

13. (Harrison Systemic Lupus Erythematosus. Principles of Internal Medicine.

16 ed. Mc Graw Hill Med Pub, 2005 : 1960-1967)

14. Saxena R. Mahajan T, Mohan C. Lupus Nephritis: current updates. Arthritis

Research and Therapy.2011.13:240)

15. Schwartz N, Goilav B, Putterman C. The pathogenesis, diagnosis and

Page 47: Putu Rarassani (1902611041)

treatment of lupus nephritis, Curr Opin Rheumatol.2015.26:502-9)

16. .Bevra HH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, et al.

American College of Rheumatology Guidelines for Screening, Treatment,

and Management of Lupus Nephritis. Arthritis Care & Research. 2012.

64:977-808.

17. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik, Dalam: Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Simadibrata MK, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid

II. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014. hal.1035-1040

18. Joanne M dan Karl S. Chronic Kidney Disease Dalam: Jameson J. L,

Loscalzo J, editor. Harrison nephrology and Acid Base Disorders. Second

edition. Philadelphia: McGrawHill, 2013. Hal 123-140.

19. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group.

KDIGO clinical practice guideline for the evaluation and management of

chronic kidney disease. Kidney Int Suppl. 2013;3:1-150.

20. Guideline: National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes

Quality Initiative. Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and

Stratification.

21. Infodatin. Siatuasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta : Pusat data dan informasi

kementrian kesehatan RI ; 2017. Hal 1-12

22. Indonesian Renal Registry (IRR). 7th Report Of Indonesian Renal

Registry.2014. Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/ (diakses

pada: 27 Juni 2017)

23. Eknoyan, G, Lameire, N. Kidney International Supplements. Boston:

Official Journal of The International Society of Nephrology; 2013.

24. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik, Dalam: Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Simadibrata MK, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid

II. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014. hal.1035-1040

25. Kerr M, Bray B, Medcalf J. Chronic Kidney Disease in Adults: Assestment

and Management. England: National Institute for Health and Care

Excellence; 2014. hal 1-8.

26. Tangri N, Stevens LA, Griffith J, Tighiouart H, Djurdjev O, Naimark D, et al.

A predictive model for progression of chronic kidney disease to kidney

failure. JAMA. 2011 Apr 20. 305(15):1553-9.

27. Kathleen Dm Liu, Glenn M. Dyalisis in The Treatment of Renal Failure

Dalam: Jameson J. L, Loscalzo J, editor. Harrison nephrology and Acid Base

Disorders. Second edition. Philadelphia: McGrawHill, 2013. Hal 141-147

Page 48: Putu Rarassani (1902611041)

28. Tangri N, Stevens LA, Griffith J, Tighiouart H, Djurdjev O, Naimark D, et al.

A predictive model for progression of chronic kidney disease to kidney

failure. JAMA. 2011 Apr 20. 305(15):1553-9.

29. Kathleen Dm Liu, Glenn M. Dyalisis in The Treatment of Renal Failure

Dalam: Jameson J. L, Loscalzo J, editor. Harrison nephrology and Acid Base

Disorders. Second edition. Philadelphia: McGrawHill, 2013. Hal 141-147

30. Nesrallah GE, Mustafa RA, Clark WF, Bass A, Barnieh L, Hemmelgarn BR,

et al. Canadian Society of Nephrology 2014 clinical practice guideline for

timing the initiation of chronic dialysis. CMAJ. 2014 Feb 4. 186(2):112-7