Putu Rarassani (1902611041)
Transcript of Putu Rarassani (1902611041)
Responsi Kasus
Penyakit Ginjal Kronik Stadium V akibat
Nefritis Lupus
Pembimbing :
dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan,M.Biomed, Sp.PD
Mahasiswa :
Putu Rarassani (1902611041)
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI
DEPARTEMEN/KSM ILMU PENYAKIT DALAM
RSUP SANGLAH
TAHUN 2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan responsi kasus yang berjudul
“Penyakit Ginjal Kronik Stadium V akibat Nefritis Lupus” ini dengan baik.
Laporan responsi kasus ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik
Madya di Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari
awal hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada
kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM-FINASIM selaku Kepala Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah
2. dr. I Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
3. dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan,M.Biomed, Sp.PD selaku
pembimbing dalam penyusunan laporan responsi kasus ini, atas
bimbingannya.
4. Dokter residen yang bertugas di Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas
masukannya.
5. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan responsi kasus
ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan response kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhir
kata, penulis mengharapkan laporan responsi kasus ini dapat bermanfaat di
bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.
Denpasar, November 2019
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
2.1 Nefritis Lupus ................................................................................................ 3
2.1.1 Definisi.................................................................................................... 3
2.1.2 Epidemiologi ........................................................................................... 4
2.1.3 Patogenesis.............................................................................................. 5
2.1.4 Manifestasi klinis ................................................................................... 7
2.1.5 Diagnosis ................................................................................................ 9
2.1.6 Penatalaksanaan .................................................................................... 10
2.1.7 Prognosis ............................................................................................... 15
2.2 Penyakit Ginjal Kronik ................................................................................ 19
2.2.1 Definisi.................................................................................................. 16
2.2.2 Klasifikasi ............................................................................................. 16
2.2.3 Epidemiologi ......................................................................................... 20
2.2.4 Etiologi.................................................................................................. 17
2.1.5 Patofisiologi .......................................................................................... 18
2.1.6 Manifestasi Klinis ................................................................................. 22
2.1.7 Diagnosis .............................................................................................. 19
2.1.8 Penatalaksanaan .................................................................................... 20
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................ 28
3.1. Identitas Pasien ........................................................................................... 28
3.2. Anamnesis .................................................................................................. 30
3.3. Pemeriksaan Fisik ....................................................................................... 32
iv
3.4. Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 35
3.5 Diagnosis Kerja ........................................................................................... 36
3.6 Terapi ........................................................................................................... 40
3.7 Monitoring ................................................................................................... 40
3.8 Prognosis ..................................................................................................... 41
3.9 KIE .............................................................................................................. 41
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 42
BAB V SIMPULAN ............................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 42
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan kondisi kerusakan pada struktur maupun fungsi
ginjal dalam waktu lebih dari 3 bulan. Kondisi tersebut dapat menimbulkan beberapa komplikasi
yang cukup parah seperti gagal ginjal bahkan kematian.1
Berdasarkan data Global Burden of Disease Study 2015, penyakit ginjal merupakan
penyebab kematian ke-12 yang paling umum, mengakibatkan sebesar 1,1 juta kematian di seluruh
dunia. Salah satu yang perlu diwaspadai adalah PGK. Angka kematian akibat PGK telah meningkat
sebesar 31,7% selama 10 tahun terakhir. Menjadi penyebab peningkatan kematian tercepat, di
samping diabetes dan demensia.2 Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi
Indonesia tahun 2009, diperoleh prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%.3 Data
Riskesdas tahun 2018 menunjukkan, persentase penyakit ginjal kronis (PGK) sebesar 3,8%, dengan
kenaikan sebesar 1,8 % dari tahun 2013. Selain itu biaya untuk perawatan penyakit ginjal kronik
cukup besar dan terus meningkat. Berdasarkan data BPJS tahun 2017 gagal ginjal kronis menjadi
penyebab realisasi pembiayaan tertinggi setelah penyakit jantung dan kanker.4
Faktor yang dapat menjadi penyebab PGK salah satunya adalah nefritis lupus (NL).
Meskipun nefritis lupus bukan merupakan penyebab terbanyak PGK, tapi komplikasi yang
ditimbulkan cukup serius. PGK dan ESRD (end stage renal disease) yang disebabkan oleh lupus
nephritis adalah penyebab utama kematian pada pasien SLE (systemic lupus erythematosus).
Meskipun ada kemajuan baru-baru ini dalam pengobatan imunosupresif, perkembangan menjadi
ESRD dan mortalitas belum menurun dalam beberapa dekade terakhir. Perkembangan menjadi
penyakit ginjal stadium akhir diperkirakan terjadi pada 30% pasien dalam waktu 15 tahun setelah
diagnosis lupus nefritis.5 nefritis lupus adalah faktor risiko utama untuk morbiditas dan mortalitas
pada SLE dan 10% pasien dengan nefritis lupus akan mengakibatkan ESRD. Pasien dengan nefritis
lupus juga memiliki rasio kematian standar yang lebih tinggi (6-6,8 berbanding 2,4) dan meninggal
lebih awal dari pasien SLE tanpa nefritis lupus.6
Untuk mencegah komplikasi yang lebih parah akibat lupus nefritis terhadap ginjal, sehingga
perlu dilakukan terapi lebih dini. Tujuan utama dari terapi lupus nefritis adalah untuk mencegah
CKD dan ESRD. Pada saat lupus nefritis terlihat secara klinis, ginjal sudah meradang secara
moderat atau parah karena akumulasi kompleks imun yang mengandung autoantibodi. Oleh karena
itu, pasien diobati dengan agen antiinflamasi untuk segera melemahkan inflamasi intrarenal dan
memungkinkan penyembuhan untuk dimulai.6
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nefritis Lupus
2.1.1 Definisi
Nefritis lupus (NL) merupakan salah satu tipe glomerulonefritis sekunder dimana terjadi
inflamasi dari glomerulus sebagai komplikasi dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Nefritis
lupus merupakan manifestasi klinis paling serius dari SLE yang biasanya muncul dalam 5 tahun
setelah SLE terdiagnosis. Nefritis lupus tampak jelas secara histologis pada kebanyakan pasien
dengan SLE meskipun belum menunjukkan manifestasi klinis pada ginjal. Keterlibatan ginjal pada
pasien SLE berkisar diantara 30-90%. World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan
nefritis lupus menjadi 5 tahap berdasarkan hasil biopsi ginjal, yaitu sebagai berikut7 :
Tabel 2.1 Klasifikasi Nefritis Lupus WHO7
Kelas I (Minimal Mesangial Glomerulonephritis)
Penampakan normal pada mikroskop cahaya, namun terdapat deposit mesangial
pada mikroskop elektron. Terjadi 5% pada nefritis lupus, gagal ginjal sangat
jarang terjadi pada tipe ini.
Kelas II (Mesangial Proliferative Glomerulonephritis)
Hiperselularitas mesangial dan terdapat ekspansi matriks, Hematuria
mikroskopis dengan atau tanpa proteinuria dapat terlihat. Tipe ini merespon
terhadap kortikosteroid. Terjadi pada 20% nefritis lupus, gagal ginjal jarang
terjadi pada tipe ini.
Kelas III (Focal Glomerulonephritis)
Lesi sklerotik kurang dari 50% glomerulus dengan lesi proliferatif endokapiler
atau ekstrakapiler. Pada mikroskop elektron deposit subendotel dan
perubahan mesangial dapat terlihat. Hematuria dan proteinuria akan tampak
dengan atau tanpa sindrom nefrotik, hipertensi dan peningkatan serum
kreatinin. Terjadi 25% dari kasus nefritis lupus. Gagal ginjal tidak umum
terjadi.
Kelas IV (Diffuse Proliferative Nephritis)
Tipe paling sering ditemukan dan paling berat. Terjadi 40% dari kasus nefritis
lupus. Lebih dari 50% glomerulus terlibat. Secara klinis tampak hematuria,
proteinuria, hipertensi, hipokomplenemia, peningkatan titer anti-dsDNA dan
7
peningkatan serum kreatinin. Gagal ginjal sering terjadi pada tipe ini.
Kelas V (Membranous Nephritis)
Adanya penebalan difus pada dinding kapiler glomerulus. Secara klinis pasien
akan memperlihatkan tanda sindrom nefrotik, juga dapat terlihat hematuria
mikroskopik dan hipertensi.Terjadi 10% dari nefritis lupus. Jarang terjadi
gagal ginjal pada tipe ini.
Gambar 2.1 Gambaran Histopatologi Kelas Nefritis Lupus 7
2.1.2 Epidemiologi
Penelitian kohort multietnis menemukan bahwa setelah 15 bulan dari diagnosis SLE ditegakkan,
nefritis lupus terjadi pada 700 dari 1827 pasien (38,3%). Didapatkan pula bahwa nefritis lupus adalah
manifestasi awal tersering dari SLE dan teridentifikasi sebesar 80,9% dari kasus. Pasien lupus
nefritis lebih banyak pada usia muda, dan terjadi pada ras Afrika, Asia dan Hispanik.8
Nefritis lupus
umumnya terjadi pada wanita, dengan rasio wanita berbanding pria adalah 9:1 dan paling banyak
terjadi pada usia 20-40 tahun. Rata-rata angka kelangsungan hidup pasien penderita LES sekitar
95% pada 5 tahun pertama setelah terdiagnosa dan 92% pada 10 tahun berikutnya setelah
terdiagnosa. Adanya LN menurunkan secara signifikan angka kelangsungan hidup menjadi 88%
pada 10 tahun setelah terdiagnosa, dengan angka yang jauh lebih rendah pada ras Afrika Amerika.9
2.1.3 Patogenesis
Patogenesis yang megakibatkan nefritis lupus dapat diuraikan menjadi dua fase yaitu
8
mekanisme sistemik yang terjadi pada sistem imun terkait dengan SLE dan juga mekanisme lokal
pada organ target yaitu ginjal. Secara sistemik SLE timbul diawali oleh adanya interaksi antara faktor
predisposisi genetik dengan faktor lingkungan, faktor hormone seks, dan faktor sistem
neuroendokrin. Interaksi dari faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi dan mengakibatkan
terjadinya respon imun yang menimbulkan peningkatan aktivitas sel-T dan sel-B, sehingga terjadi
peningkatan autoantibodi. Sebagian autoantibodi ini akan membentuk kompleks imun dengan
nukleosom (DNA-histon), kromatin, C1q, laminin, Ro(SS-A), ubiquintin, dan ribososm, yang
kemudia akan membentuk deposit dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ target.9
Nefritis lupus terjadi oleh adanya reaksi hipersensitifitas tipe III berupa terbentuknya
kompleks imun. Kompleks imun ini akan terdeposit pada mesangium, subendotel dan atau di ruang
subepitel di dekat membrane basal glomerulus di ginjal.10
Gambaran klinis kerusakan glomerulus dihubungkan dengan lokasi terbentuknya deposit
kompleks imun. Deposit pada mesangium dan subendotel letaknya proksimal terhadap basalis
glomerulus sehingga mempunyai akses dengan pembuluh darah. Deposit yang terjadi pada daerah ini
akan mengaktifkan komplemen yang selanjutnya menghasilkan kemoatraktan C3a dan C5a yang
menyebabkan adanya influx sel neutrophil dan mononuclear.11,12
Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran
mesangial, proliferatif fokal dan prolifertif difus yang secara klinis memberikan gambaran sedimen
urin yang aktif yaitu ditemukan eritrosit, leukosit, sel silinder dan granular, adanya proteinuria dan
sering disertai dengan penurunan fungsi ginjal.11
Sedangkan deposit pada subepitelial juga akan menegaktifkan sistem komplemen namun tidak
terjadi influx sel-sel inflamasi, karena kemoatraktan dipisahkan oleh membrane basalis glomerulus
dari sirkulasi. Secara histopatologi akan memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara
klinis hanya didapatkan proteinuria.11,12
Tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan karakteristik dari antigen dan antibodi:
a) Kompleks imun yang besar atau antigen yang anionic, yang tidak dapat melewati sawar dinding
kapiler glomerulus yang juga bersifat anionic, akan diendapkan dalam mesangium dan subendotel.
Banyaknya deposit imun ini akan menentukan apakah pada pasien akan berkembang gejala
penyakit yang ringan (deposit imun pada mesangium), atau terdapat gejala yang lebih berat
(proliferative fokal atau difus).
b) Kompleks imun kationik dapat melewati membrane basal glomerulus dan dapat terdeposisi pada
subendotel.
9
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bervariasi yang merupakan kombinasi manifestasi klinis sesuai penyebab
dasar yaitu SLE yang memenuhi 4 dari 11 kriteria American Rheumatism Association (ARA) dan
manifestasi klinis sebagai akibat kerusakan pada organ target yaitu ginjal.13
Manifestasi klinis SLE sesuai dengan kriteria ARA adalah sebagai berikut :13
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis SLE
a. Ruam Malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipatan nasolabial
b. Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan keratosis dan sumbatan
folikel, pada SLE lanjut ditemukan parut atrofi.
c. Fotosensitifitas Ruam kulit sebagai reaksi sinar matahari yang tidak biasa
d. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, biasanya tanpa rasa sakit
e. Arthritis Artritis nonerosive melibatkan dua atau lebih sendi perifer
ditandai dengan nyeri, bengkak atau efusi
10
f. Serositis a) Pleuritis : riwayat nyeri atau terdengar gesekan pleura,
atau
b) Perikarditis : terbukti dengan EKG atau adanya gesekan
pericardium, atau terdapat bukti efusi pericardial
g. Gangguan
Ginjal
a) Proteinuria persisten >0,5 g/dl/hari atau > 3+ jika tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b) Silinder seluler : dapat berupa sel darah merah,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran
h. Gangguan
neurologis
a) Kejang : bukan karena obat atau gangguan metabolic,
atau
b) Psikosis : bukan karena obat atau gangguan metabolic
i. Gangguan
hematologi
a) Anemia hemolitik dengan retikulositosis, atau
b) Leukopenia <4000/mm3 total pada ≥ 2 x pemeriksaan
c) Limfopenia : <1500/mm3 pada
≥2 x pemeriksaan
d) Trombositopenia : <100000/ mm3
tanpa disebabkan obat-
obatan
j. Gangguan
imunologi
a) Anti-DNA : antibody terhadap natif DNA dengan titer
abnormal, atau
b) Anti-Sm : adanya antibody terhadap antigen nuclear Sm,
atau
c) Temuan positif antibody antifosfolipid berdasarkan (1)
kadar serum antibody anticardiolipin IgG atau IgM
serum yang abnormal, (2) hasil tes positif lupus
antikoagulan menggunakan metode standar, atau (3) uji
serologi sifilis positif palsu ≤ 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan imunomobilisasi Tpenonema pallidum atau test
fluoresensi absorpsi antibody treponema
h.Antibodi
antinuclear
positif
Titer antibody nuclear abnormal melalui imunoflouresensi
atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang
11
diketahui berkaitan dengan sindrom lupus yang diinduksi
obat.
Sedangkan manifestasi kelainan ginjal adalah berupa proteinuria yang diapatkan pada seluruh
pasien nefritis lupus, sindrom nefritik pada 45-65% pasien, hematuria mikroskopik pada 80%
pasien, gangguan tubular pada 60-80% pasien, hipertensi pada 15-50% pasien, penurunan fungsi
ginjal pada 40-80% pasien dan penurunan fungsi ginjal yang cepat pada 30% pasien.11,12
Pada pemeriksaan fisik, umumnya dapat ditemukan tanda-tanda seperti xanthelasma, ruam
pada kulit, purpura, serta tanda menurunnya fungsi ginjal seperti edema, clubbing finger dan
hipertensi. Auskultasi abnormal dapat terdengar di jantung dan paru yang menandakan overload
cairan. Manifestasi klinis nefritis lupus berdasarkan kelasnya dapat diperlihatkan pada tabel berikut :
11,12
Tabel 2.3 Manifestasi Klinis Berdasarkan Gambaran Histopatologi
Lupus
Nefri
tis
Proteinuria Hematuria Hipertensi Sindrom
Nefrotik
Gangguan
Fungsi
Ginjal
Kelas I 1 gr/24 jam Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal
Kelas II 1-3 gr/24 jam Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal
Kelas
III
>3 gr/24 jam Ada Ada Ada ↑Kreatinin
Kelas
IV
>3 gr/24 jam Sering Sering Sering ↑Kreatinin
Kelas V >3 gr/24 jam Ya/Tidak Ya/Tidak Sering Normal atau
↓ kreatinin
Kelas
VI
1 gr/24 jam Ya/Tidak Ya/Tidak Ya/Tidak ↓Lambat
2.1.5 Diagnosis
12
Adanya hematuria, proteinuria, ataus sedimen urin yang patologis pada pemeriksaan
urinalisis menujukkan terdapatnya nefritis lupus. Diagnosis klinis nefritis lupus dapat ditegakkan
apabila pada pasien SLE terdapat:
a) Proteinuria ≥ 500 mg/24 jam dan/atau
b) Hematuria (>8 eritrosit/LPB) dan/atau
c) Penurunan fungsi ginjal sampai dengan 30%
Proteinuria umumnya diperiksa dengan cara mengukur jumlah protein secara kuantitatif
dengan mengumpulkan urin selama 24 jam. Cara lain yang lebih praktis dan sekarang mulai banyak
dilakukan adalah dengan mengukur rasio protein dengan kreatinin pada sampel urin sewaktu.
Pemeriksaan ini utamanya dilakukan untuk menilai perubahan jumlah protein urin setelah dilakukan
pengobatan. Beberapa tes serologis yang dapat diperiksa pada pasien nefritis lupus adalah :
a) Tes ANA
Tes ANA sangat sensitif untuk SLE, namun ANA tidak spesifik untul SLE karena ada
penyakit lain yang dapat memunculkan hasil positif. Titer ANA tidak memiliki korelasi yang baik
dengan kelainan ginjal pada SLE
b) Tes anti ds-DNA
Tes anti ds-DNA lebih spesifik, tetapi kurang sensitive untuk SLE. Tes ini positif pada kira-
kira 75% pasien SLE aktif yang belum diobati. Anti ds-DNA mempunyai korelasi yang baik dengan
adanya kelainan ginjal.
c) Antibodi anti-ribonuklear (anti-Sm dan anti-nRPN)
Antibodi anti-Sm sangat spesifik untuk SLE. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
antibody anti-Sm mempunyai hubungan dengan peningkatan insiden penyakit ginjal dan susunan
saraf pusat serta menunjukkan prognosis yang buruk. Antibodi anti-nRNP ditemukan pada 35%
pasien SLE.
d) Kadar Komplemen
Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif SLE, terutama pada nefritis lupus tipe
proliferative. Kadar C3 dan C4 serum sering sudah dibawah normal sebelum gejala lupus
bermanifestasi. Normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan pada nefritis lupus
Bila terdapat fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontraindikasi (trombositopenia berat, reaksi
penolakan terhadap komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) maka biopsi ginjal
perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis karena biopsi ginjal merupakan standar baku emas
diagnosis nefritis lupus. Selin untuk prosedur diagnostic, biopsy juga berfungsi sebagai bahan
evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan patologik ginjal dan menetukan prognosis serta terapi
yang tepat.14,15
13
2.1.6 Penatalaksanaan
Pada nefritis lupus sebaiknya pengobatan diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan
histopatologi dan biopsi ginjal. Pilihan regimen pengobatan adalah berdasarkan gambaran
histopatologi. Prinsip dasar pengobatan adalah menekan reaksi inflamasi lupus, memperbaiki fungsi
ginjal, atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk. Perlu juga
diperhatikan efek samping obat yang timbul karena pengobatan nefritis lupus memerlukan waktu
yang relatif lama.16
Seluruh pasien nefritis lupus harus menjalani biosi ginjal apabila tidak terdapat kontraindikasi
dan tersedianya dokter ahli di bidang biopsi ginjal. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan
rutin terutama sedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-ds
DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung situasi klinis. Pada penyakit
glomerulonefritis progesivitas cepat diperlukan pemeriksaan kreatinin serum harian, untuk parameter
lain diperlukan waktu 1 sampai 2 minggu untuk berubah.16
Pengobatan hipertensi harus dilakukan secara agresif dengan target tekanan darah pasien
adalah ≤ 120/80 mmHg. Obat pilihan adalah ACE inhibitor untuk pasien dengan proteinuria
menetap. Diet rendah garam direkomendasikan pada seluruh pasien hipertensi dengan nefritis lupus.
Bila diperlukan loop diuetik dapat digunakan untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi.15
Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko premature aterosklerosis dan
mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga harus dikurangi bila terdapat hyperlipidemia
atau pasien sindrom nefrotik. Target terapi adalah kolesterol serum <180 mg/dL. Pasien SLE dengan
hyperlipidemia dapat diberikan obat penurun lemak seperti HMG Co-A reductase inhibitor atau
statin.15
Pasien SLE yang mendapatkan terapi kortikosteroid memerlukan penilaian risiko osteoporosis.
Pemberian kalsium atau suplemen vitamin D juga latihan fisik perlu dipertimbangkan. Memonitor
toksisitas kortikosteroid dan agen sitotoksik juga diperlukan dan dimonitor sesuai dengan kondisi
klinis.15
Pasien dianjurkan untuk menghindari NSAID karena dapat menggangu fungsi ginjal,
mencetuskan edema dan hipertensi dan meningkatkan toksisitas gastrointestinal, terkecuali sangat
diperlukan dapat diberikan kortikosteroid dengan dosis rendah dan waktu singkat dengan
pemantauan ketat. 15
Secara umum terapi pada nefritis lupus antara lain:15,16
- Restriksi protein 0,6-0,8 gram/kgBB/hari bila sudah terdapat gangguan ginjal
14
- Pemberian ACE inhibitor dan ARB untuk mengurangi proteinuria
- Mengontrol faktor risiko dan efek samping obat
Dislipidemia, dianjurkan pemberian statin
Hipertensi, diberikan ACE inhibitor atau ARB sebagai pilihan utama
Sindrom antifosfolipid diberikan golongan aspirin
Pemberian vitamin D
Kontrol gula darah dengan mempertahankan HbA1C <7%
Penatalaksanaan nefritis lupus berdasarkan kelasnya ditunjukkan pada tabel berikut :
Lupus Nefritis
Kelas I
Tidak memerlukan pengobatan spesifik. Pengobatan lebih
ditekankan pada gejala ekstrarenal
Lupus Nefritis
Kelas II
-Jika tidak disertai oleh proteinuria yang bermakna (>1
gram/24 jam) dan sedimen tidak aktif maka tidak
diperlukan pengobatan spesifik.
Jika disertai proteinuria >1gram/24 jam, titer ds-DNA
tinggi dan hematuria diberikan prednisone 0,5-1
mg/kgBB/hari selama 6-12 minggu. Kemudian dosis
diturunkan perlahan-lahan (5-10 mg) tiap 1-3 minggu.
Lupus Nefritis
Kelas III dan IV
- Terapi Induksi
Bertujuan untuk mencapai keadaan remisi aktivitas
lupus yang ditandai oleh resolusi gejala ekstrarenal,
manifestasi serologic menjadi lebih baik, serta resolusi
dari hematuria, kristal seuler, dan konsentrasi kreatinin
serum berkurang atau paling tidak menetap.
Obat-obat yang dipakai untuk terapi induksi adalah:
a) Pulse glukokortikoid
Pada pasien dengan lupus yang sangat aktif (Acute
Kidney Injury, rapidly progressive glomerulonephritis,
dan kelainan ekstra renal yang berat), diberikan pulse
metilprednisolone sebanyak 0.5-1gr IV/hari untuk
15
menginduksi efek anti-inflamasi yang cepat. Setelah 3
hari pemberian, dilanjutkan dengan prednison dengan
dosis 0.5-1 mg/hari. Prednison diberikan bersama obat-
obat imunosupresan yang lain.
b) Siklofosfamid
Siklofosfamid diberikan dengan dosis 750mg/m2 tiap
bulan selama 6 bulan. Diberikan bersama prednison
dengan dosis 0.5mg/kg/hari, yang kemudia diturunkan
perlahan-lahan sampai dosis 0.25 mg/kg/hari terutama
untuk mengontrol gejala ektra renal.
c) Mikofenolat mofetil
Sejak kurang lebih 10 tahun terakhir, mikofenolat
mofetil dipakai untuk terapi induksi N kelas III dan IV,
terutama untuk menghindari efek samping siklofosfamid
(hipoplasia gonad, dan sistitis hemoragik). Untuk terapi
induksi dosis mikofenolat mofetil yang dianjurkan 1gr
2x sehari diberikan sampai 6 bulan.
d) Rituximab
Rituximab adalah suatu anti CD-20 yang bekerja pada
limfosit B. Digunakan untuk menginduksi remisi pada
pasien LN yang berat, yang tidak memberikan respons
dengan pemberian siklofosfamid atau MMF. Meskipun
hasil beberapa penelitian tidak menunjukkan perbedaan
bermakna, tetapi masih dimungkinkan pemberian
rituximab pada pasien yang resisten, mencegah flare,
dan mengurangi jumlah atau dosis immunosupresan
lain.
e) Takrolimus + MMF atau Azatioprin + steroid
Dipakai pada pasien LN proliferatif (kelas IV) yang
superimposed dengan nefritis lupus membranosa (kelas
V). Remisi yang terjadi pada pemakaian obat ini lebih
16
tinggi dari pada hanya memakai siklofosfamid+steroid.
Selain itu, efek samping yang terjadi juga lebih sedikit
pada pasien yang mendapat tacrolimus + MMF atau
azatioprin + steroid.
f) Obat lain
Beberapa obat lain yang juga dipakai untuk induksi
adalah :
o Imunoglobulin IV
o Siklosporin
o Leflunomid
o Antibodi monoklonal
o Inhibitor komplemen
o Pemakaian oabt-obatan ini masih terbatas dan hasil
pengobatan belum jelas
- Terapi pemeliharaan (maintenance)
Bertujuan untuk mencegah relaps dan menekan aktivitas
penyakit, mencegahprogresifitas ke arah penyakit ginjal
kronis dan mencegah efek samping pengobatan yang
lama
a. Kortikosteroid tetap merupakan komponen utama dalam
terapi pemeliharaan LN, dan tidak ada studi klinis yang
tidak memakai/menggunakan steroid dalam terapi
pemeliharaan. Dosis kortikosteroid dipertahankan
seminimal mungkin, yang dengan dosis tersebut
aktivitas lupus tetap terkontrol
b. Siklofosfamid, diberikan dengan dosis 0.75gram IV
setiap 3 bulan sampai 2 tahun. Saat ini pemakaian
siklofosfamid >3-6 bulan sebaiknya dihindari karena
efek siklofosfamid seperti alopesia, sistitis hemoragika,
kanker kandung kencing, kerusakan gonad dan
menopause yang lebih awal.
c. Mikofenolat mofetil, dosis diberikan sebanyak 1-2 gram
17
sehari sekurang-kurangnya 2 tahun
d. Azatioprin, diberikan dengan dosis 2mg/kg BB/hari
sekurang-kurangnya 2 tahun. Penggunaan azatioprin
selama kehamilan lebih aman dibandingkan dengan
penggunaan imunosupresan lainnya
e. Siklosporin, diberikan dengan dosis 2-2.5mg/kg
BB/hari, selama 2 tahun
f. Rituximab, sebagai terapi aditif pada penggunaan
dengan MMF atau siklofosfamid IV
g. Abatacept, suatu modulator selektif sel T
h. Belimumab, suatu antibodi monoklonal yang mengikat
stimulator limfosit B soluble
i. ACTH, merupakan pilihan terpai yang potensial
terutama pada nefritis lupus kelas V
Lupus Nefritis
Kelas V
Bila pada hasil biopsi ginjal didapatkan tipe campuran
LN kelas V dengan kelas III atau kelas IV, maka terapi
diberikan sesuai untuk terapi LN kelas III dan IV
Pada LN kelas V diberikan prednison dengan dosis 1
mg/kg BB/hari selama 6-12 minggu. Prednison
kemudian diturunkan menjadi 10-15 mg/hari selama 1-2
tahun. Beberapa penelitian mengkombinasikan
prednison dengan siklosporin, klorambusil, azatioprin,
atau mikofenolat mofetil.
2.1.7 Prognosis
Pada nefritis lupus kelas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi ginjal yang bermakna
sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki prognosis yang baik. Nefritis lupus kelas III dan
IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Pada nefritis lupus kelas III yang
keterlibatan glomerulusnya <50% akan memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan
kelompok yang keterlibatan glomerulusnya >50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai
prognosis nefritis lupus kelas IV yaitu buruk. Nefritis lupus kelas V memiliki prognosis yang cukup
baik sama dengan nefropati membranosa primer, sebagian kecil akan menimbulkan sindrom nefrotik
yang berat.
18
2.2 Penyakit Ginjal Kronik
2.2.1 Definisi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang beragam yang berakibat pada penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang bersifat ireversibel atau tidak dapat kembali, pada
suatu derajat akan memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, dapat berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam kelainan yang ditemukan selama
pemeriksaan, yang bisa saja bersifat nonspesifik terhadap penyakit penyebabnya tetapi dapat
mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara
bersamaan pada hampir semua kasus PGK.17-19
Adapun yang termasuk kriteria PGK menurut Kidney Disease: Improving Global Outcomes
(KDIGO) 2012 adalah sebagai berikut:20
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional yang dapat dideteksi
melalui pemeriksaan laboratorium (albuminuria (AER ≥ 30 mg/24jam; ACR ≥ 30 mg/g [≥3
mg/mmol]), abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit atau yang lain oleh karena gangguan
pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui
pemeriksaan radiologi, atau riwayat transplantasi ginjal.
2. Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60 ml/menit/1,73 m2) dalam waktu lebih dari 3 bulan,
dengan atau tanpa kelainan struktural ginjal.
2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi PGK didasarkan atas derajat penyakit. Klasifikasi derajat penyakit, dibuat atas
dasar laju filtrasi glomerulus yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-Gault dengan
klasifikasi sebagai berikut :20
Tabel.1 Klasifikasi derajat penyakit berdasarkan perhitungan Laju Filtrasi Ginjal
19
Derajat LFG (ml/menit/1,73m2) Penjelasan
G1 ≥ 90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Penurunan ringan
G3a 45-59 Penurunan ringan-sedang
G3b 30-44 Penurunan sedang-berat
G4 15-29 Penurunan berat
G5 < 15 Gagal ginjal
2.2.3 Epidemiologi
Penyakit Ginjal Kronik merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai. Prevalensinya di
negara maju mencapai 10-13% dari populasi. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya
jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Di Australia
pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 1.7 juta pasien yang menderita Penyakit Ginjal Kronis, atau 1
dari 10 orang di Australia mengalami Penyakit Ginjal Kronis.Di negara-negara berkembang lainnya,
insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun. Menurut Suharjono (2010),
sebanyak 12,5 % populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.Sebuah studi dari
Indonesia Renal Registry pada tahun 2014 melaporkan bahwa jumlah pengidap PGK baru di
Indonesia sebanyak 17.193 dan di Bali sebanyak 1.258.Pada era BPJS, perawatan penyakit ginjal
merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung.
Indonesia Renal Registry juga menyebutkan bahwa penyebab tersering kedua pada gagal ginjal
kronis adalah diabetes melitus (23%).21,22
2.2.4 Etiologi
Etiologi PGK sangat bervariasi. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) mencatat
penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, antara lain adalah glomerulonefritis
(46,39%), diabetes mellitus (18,65%), obstruksi dan infeksi (12,85%), hipertensi (8,46%), dan sebab-
sebab lain yang dapat berupa nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan,
tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui (13,65%).19
2.2.5 Patofisiologi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan pada ginjal,
terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membrane basal glomerulus, sel endotel, dan sel
20
podosit. Kerusakan komponen ini dapat disebabkan secara langsung oleh kompleks imun, mediator
inflamasi, atau toksin. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh mekanisme progresif yang berlangsung
dalam jangka panjang. Berbagai sitokin dan growth factor berperan dalam menyebabkan kerusakan
ginjal.23
Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)
sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis
renin-angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas PGK
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.24
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pada PGK, gambaran klinis yang muncul seringkali tidak spesifik dan biasanya
ditemukan pada tahap akhir penyakit. Pada stadium awal, PGK biasanya asimtomatik. Tanda dan
gejala PGK dapat melibatkan berbagai macam sistem organ. Gambaran klinis yang muncul dapat
berupa gambaran klinis yang sesuai dengan penyakit dasarnya seperti diabetes mellitus, SLE,
stenosis arteri renalis, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, dan
lain sebagainya. Dapat pula berupa sekumpulan gejala yang disebut sindrom uremia, yang terdiri
dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang, hingga koma. Jika sudah terjadi komplikasi, gejala
komplikasi yang dapat muncul ialah hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis
metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida).25
25
Pada pemeriksaan laboratorium, dapat ditemukan temuan yang sesuai dengan penyakit yang
21
mendasarinya. Dapat pula ditemukan adanya penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockroft-Gault. Selain itu,
dapat ditemukan kelainan pada kadar biokimawi darah yang dapat berupa penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. Kelaian pada urinalisis juga dapat
muncul, berupa proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.24
Pemeriksaan serum fosfat, 25-hydroxyvitamin D, alkaline phosphatase dan hormon paratiroid
intak dapat dilakukan untuk menentukan apakah ada kelainan tulang akibat ginjal atau dikenali
sebagai renal bone disease. Selain itu, pemeriksaan kadar serum sistatin-C memainkan peran yang
penting dalam estimasi fungsi ginjal. Sistatin-C merupakan satu peptida kecil yang dihasilkan dalam
semua sel nukleasi, diproduksi pada kadar yang tetap dan disaring oleh glomerulus. Walaupun
disaring oleh glomerulus sistatin-C tidak sekresikan tetapi diabsorbsi kembali oleh sel epitel tubular
dan dikatabolisme dan tidak memasuki ke dalam aliran darah.Suatu penelitian yang menggunakan
serum sistatin-C sebagai gantinya serum kreatinin untuk estimasi LFG simpulkan bahwa rumus LFG
berdasarkan serum sistatin-C mengungguli rumus LFG berdasarkan serum kreatinin pada pasien
PGK yang obesitas, terutama dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) diatas 35kg/m2.26
Pada pemeriksaan radiologis, dapat ditemukan adanya batu radioopaque pada pemeriksaan
foto polos abdomen, ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau
batu ginjal, kista, massa, atau kalsifikasi pada pemeriksaan ultrasonografi ginjal. Dapat pula
dilakukan pielografi antegrad atau retrogad maupun renografi bila ada indikasi. Pielografi intravena
jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak dapat melewati filter glomerulus. Selain itu juga
dikhawatirkan adanya pengaruh toksik kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.27
Dapat juga dilakukan pemeriksaan biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Kontraindikasi dikerjakannya biopsi ginjal adalah
ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.24
2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita PGK bergantung dari derajat penyakit pasien tersebut.
Penatalaksanaan pada pasien PGK meliputi: Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan
dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition), Memperlambat pemburukan fungsi
ginjal, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi dan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau
22
transplantasi ginjal. Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan fungsi ginjal, dan
memperkecil risiko kardiovaskular dilakukan pada pasien PGK dengan LFG ≥90 mL/menit/1,73
m2 (derajat G1). Penderita PGK dengan LFG 60-89 mL/menit/1,73 m2 (derajat G2)
dilakukan penatalaksanaan untuk menghambat perburukan fungsi ginjal. Evaluasi dan terapi
komplikasi yang muncul.dilakukan padan penderita PGK dengan LFG 30-59 mL/menit/1,73 m2
(derajat G3). Persiapan terapi untuk pengganti ginjal mulai dilakukan pada penderita PGK dengan
LFG
<15mL /menit/1,73 m2 . Pada penderita PGK stadium akhir atau dengan LFG <15 mL/menit/1,73
m2 terapi pengganti ginjal harus dilakukan.24
Canadian society of nephrology pada tahun 2014 merekomendasikan untuk menunda dialisis
pada penderita PGK tanpa gejala hingga LFG 6 mL/menit/1,73 m2 atau hingga terjadi onset indikasi
klinis pertama berupa sindrom uremia, kelebihan cairan, hiperkalemi refrakter atau asidosis.
2.1.7.1 Terapi Penyakit Dasar
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan
LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara
USG, biopsi, dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap
terapi spesifik. Sebaliknya, bila GFR sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. 24
2.1.7.2 Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien PGK. Hal ini untuk
mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor komorbid tersebut
antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
24
2.1.7.3 Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Hiperfiltrasi pada glomerulus merupakan faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal.
Hiperfiltrasi pada glomerulus dapat dikurangi dengan melakukan restriksi protein, terapi
farmakologis, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuar. 24
A. Restriksi Protein.
Penelitian mengenai modifikasi diet pada penyakit ginjal mendapatkan restriksi protein
23
0.58g/kg/hari dibandingkan dengan diet proten pada umumnya sebesar 1.3 g/kg/hari tidak secara
signifikan mempengaruhi rata-rata LFG dalam 3 tahum. Namun diet rendah protein dapat
memperlambat penurunan LFG yang mengalami penurunan LFG progresif. Restriksi protein pada
pasien PGK tidak selalu dilakukan. Restriksi protein mulai dilakukan pada pada penderita PGK
denganLFG< 60 ml/mnt. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan
fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Konsumsi protein yang
dianjurkan pada pasien PGK adalah konsumsi protein dengan nilai biologi tinggi sebanyak 0.6-0.8
gr/kgBB/hari dengan kalori yang direkomendasikan sejumlah 30-35kkal/kgBB/hari. Pada pasien
dengan terapi hemodialisis HD, asupan protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari untuk
mempertahankan keadaaan klinik yang stabil. Restriksi protein dilakukan mengingat protein yang
dikonsumsi tidak dapat disimpan dalam tubuh bila dikonsumsi berlebih namun akan diekskresikan
dalam bentuk urea dan nitrogen melalui ginjal. Konsumsi protein berlebih menyebabkan
terjadinya penumpukan substansi hasil pemecahan protein seperti urea, nitrogen dan ion anorganik
yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu sindrom uremia. Diet protein berlebih juga dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah dan tekanan intragromerular yang menyebabkan
terjadinya perubahan hemodinamik pada ginjal sehingga meningkatkan perburukan fungsi ginjal.
Penderita PGK yang sebelumnya telah memiliki predisposisi untuk terjadinya malnutrisi, resiko
untuk terjadinya malnutrisi akan sangat meningkat pada diet restriksi protein. Malnutrisi juga
merupakan salah satu prediktor dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas pada penderita PGK
stadium akhir, sehingga hal tersebut harus dihindari. Pembatasan asupan protein dan fosfat pada
penderita PGK secara lebih lengkap dapat dilihat pada tabel berikut.Pembatasan asupan protein
dan fosfat pada penyakit ginjal kronik dapat dilihat pada tabel berikut: 24
Tabel 4. Asupan protein dan fosfat pada pender penyakit ginjal kronis
LFG
mL/menit
Asupan Protein g/kh/hari Fosfat g/kg/hari
24
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari ≤ 10 g
5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 g asam
amino esensial atau asam keton
≤ 10 g
<60 (Sindrom
Nefrotik)
0,8/kg/hari(=1 gr protein /g proteinuria
atau
0,3 g/kg tambahan asam amino esensial
atau asam keton
≤ 9 g
B. Terapi Farmakologis
Menurunkan tekan intraglomerulus juga dapat dicapai dengan penggunaan obat antihipertensi
seperti obat antihipertensi terutama penghambat enzim yang merubah angiotensin (ACE inhibitor)
melalui berbagai studi dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat mekanismenya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Pengurangan tekanan intraglomerulus sangat penting
untuk menghambat perburukan kerusakan nefron hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Proteinuria merupakan faktor resiko
terjadinya perburukan fungsi ginjal. ACE atau ARB sangat efektif digunakan pada pasien penyakit
ginjal diabetik dalam memperlambat progresifitas dari penyakit pada pasien dengan proteinuria lebih
dari 500 mg per hari.24
C. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular adalah
pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap
kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan
terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.24
1. Diabetes Mellitus
Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea
dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi,
untuk DM tipe 2 adalah 6%.24,28,29,30
2. Hipertensi
Kontrol tekanan darah secara agresif dapat membantu mengurangi penurunan fungsi renal
25
pada penderita PGK. Joint National Commitee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure (JNC
VIII) merekomendasikan target tekanan pada pasien PGK kurang dari 140/80mmHg. Kontrol dari
tekanan darah sistolik lebih bermakna dibandingkan tekanan diastolik, namun tekanan darah
sistolik pada pasien lanjut usia lebih sulit untuk dikontrol. Penggunaan obat golongan CCBs dan
thiazide type diuretic dianjurkan pada pasien berusia lebih dari 75 tahun dengan PGK dimana
fungsi ginjal menurun akibat adanya risiko hiperkalemia, peningkatan kreatinin, dan gangguan
lainnya. Penggunaan ACE atau ARB ditoleransi dengan pengawasan ketat terhadap perburukan
ginjal dan resiko hiperkalemia yang dapat terjadi. Setiap perubahan dosis yang diberikan, serum
kreatinin perlu dimonitor. Jika serum kreatinin meningkat lebih dari 30% dari batas bawah setelah
diberikan obat ACE atau ARB, penggunaan obat tersebut harus dihentikan. Waktu meminum obat
antihipertensi juga dapat mempengaruhi pola sirkardian dari tekanan darah yang dapat
mempengaruhi hasil klinis. Hermida melaporkan, setelah dilakukan follow- up selama 5.4 tahun,
penderita PGK yang mengonsumsi setidaknya 1 jenis obat antihipertensi sebelum tidur
menurunkan resiko total dari kejadian kardiovaskular hingga 1/3 dibandingkan pasien yang
meminum obat tersebut saat terbangun. 24,28,29,30
3. Dislipidemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin. KDIGO 2013
merekomendasikan penggunaan statin pada penderita PGK dengan rekomendasi spesifik seperti :
24,28,29,30
• Pasien berumur 50 tahun atau diatasnya dengan LFG kurang dari 60 mL/min/1.73m2 yang tidak
diterapi dialisis atau transplantasi ginjal.
• Terapi dengan statin tidak boleh dinisiasikan untuk diberikan pada penderita PGK yang
bergantung dialisis
• Penderita PGK yang sebelumnya telah diterapi dengan statin pada saat dialisa, terapi dapat
dilanjutkan
• Pada pasien transplantasi ginjal, diterapi dengan statin mengingat adanya peningkatan resiko
kejadian coronary events
• Penderita PGK usia 18-49 tahun dengan dengan LFG kurang dari 60 mL/min/1.73m2 yang tidak
diterapi dialisis atau transplantasi ginjal harus diterapi dengan statin bila memiliki riwayat
penyakit koroner, diabetes, stroke iskemik
26
• Pasien berumur 50 tahun atau diatasnya dengan LFG 60 mL/min/1.73m2 atau lebih
4. Hiperfosfatenemia
Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg.hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak
dianjurkan, untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Pemberian pengikat fosfat dapat pula diberikan
pada pasien penyakit ginjal kronik dengan hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang banyak dipakai,
adalah garam kalium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan
secara oral, untuk menghambat absorbs fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang
banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. Pengurangan terhadap serum
fosfat pada penderita PGK yang menjalani hemodialisia juga dapat dicapai dengan pemberian
sevelamer. Sevelamer berikatan dengan fosfat di usus halus, sehingga menyebabkan
peenghambatan absorbsi fosfat tersebut. 24,28,29,30
5. Kelebihan Cairan
Jumlah cairan yang dianjurkan pada penderita PGK adalah sebanyak 500- 800 ml ditambah
jumlah urin, mengingat terdapat insensible water loss antara 500- 800ml/hari sehingga dengan
demikian dapat dicapai keseimbangan antara air yang keluar dengan air yang masuk kedalam
tubuh. Pemberian obat-obatan yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium seperti
sayur dan buah harus dibatasi mengingat resiko terjadinya hiperkalemia dan hipernatremia pada
penderita PGK. 24,28,29,30
6. Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar Hb ≤ 10 g% atau Hct ≤ 30%, meliputi evaluasi
terhadap status besi, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis. Koreksi anemia dilakukan dengan target Hb 10-12 g/dl. 24,28,29,30
2.1.7.4 Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit Ginjal Kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. PGK derajat G1, biasanya belum
menimbulkan komplikasi. PGK derajat G2, mulai menimbulkan komplikasi berupa tekanan darah
yang mulai naik. PGK derajat G3, dapat menimbulkan komplikasi berupa hiperfosfatemia,
hipokalsemia, anemia, hiperparatiroid, hipertensi, dan hiperhomosisteinemia. PGK derajat G4,
dapat menimbulkan komplikasi berupa malnutrisi, asidosis metabolik, hiperkalemia, dan
dislipidemia. Sedangkan PGK derajat G5, dapat menimbulkan komplikasi gagal jantung dan
27
sindrom uremia. 24,28,29,30
A. Anemia
Anemia pada pasien PGK diakibatkan akibat penurunan produksi eritropoetin oleh ginjal.
Faktor lain seperti infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merah yang pendek pada penyakit
ginjal kronik dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti defisiensi besi,
defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium juga ikut berkontribusi. Keadaan anemia dapat
bertambah berat apabila terdapat perdarahan saluran cerna tersembunyi dan malnutrisi. 24,28,29,30
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status besi harus
diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberuan EPO
diberikan untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb=10g/dL. Target pencapaian Hb
dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL. Pemberian transfusi darah pada pasien penyakit ginjal
kronik harus hati-hati dan hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu:
- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
- Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO
- Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik
Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO ataupun yang telah mendapat
EPO namun respon tidak adekuat, diberi preparat besi intravena. 24,28,29,30
B. Penyakit Kardiovaskular
Kondisi primer PGK dapat menyebabkan suatu penurunan fungsi jantung, hipertrofi ventrikel,
disfungsi diastolik dan atau peningkatan resiko kejadian kardiovaskular. Pasien dengan PGK
memiliki resiko kardiovaskular yang sangat tinggi, dan lebih dari 50% kematin pada penderita
PGK disebabkan oleh penyakit kardiovaskular yang muncul. Gagal jantung pada pasien PGK
diakibatkan karena adanya peningkatan atau ekspansi volume cairan, penurunan LFG, aktivasi
sisem simpais, aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron, gangguan elektrolit, asam basa dan
koagulasi. Kejadian kardiovaskular pada pasien PGK dihubungkan dengan peningkatan kadar
biomarker spesifik dalam plasma seperti troponin, asymmetric dimethylarginine, plasminogen-
activator inhibitor type-1, homocysteine, natriuretik peptida, c-reacive protein, potein amiloid A,
Hemoglobin dan albumin. 24,28,29,30
2.1.7.5 Terapi Pengganti Ginjal
28
Dilakukan pada PGK derajat G5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal. Pembuatan akses vaskular
sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan
pembuatan akses vaskular jika klirens kreatinin telah dibawah 20 ml/menit. 24,28,29,30
A. Hemodialisis
Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan
(dialiser) yang terdiri atas dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan
ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan dengan kompartemen
dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan
komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolism nitrogen. Cairan
dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut
berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai24,28,29,30
Konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga
dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan
tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut
ultrafiltrasi. 24,28,29,30
Komplikasi yang sering terjadi selama hemodialisis berlangsung adalah hipotensi, kram otot,
mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil.
Hipotensi adalah penyulit akut tersering pada hemodialisis. Faktor-faktor yang menyebabkan
meningkatkan resiko hipotensi pada pada pasien seperti ultrafiltrasi yang berlebihan, respon
vasoaktif autonom, pergeseran osmolar, pemberian obat antihipertensi, dan berkurangnya
cadangan jantung. Keram otot selama dialisis juga dapat dijumpai pada pasien yang menjalani
dialisis, perubahan pada perfusi otot akibat pengeluaran volume yang terlalu agresif dan pemakaian
dialisat yang rendah natrium diperkirakan sebagai pemicu hal tersebut. Reaksi anafilaktoid
terhadap dialiser juga dapat terjadi terutama pada pemakaian membran yang mengandung
selulosa. Reaksi tersebut biasanya terjadi segera setelah terapi dimulai dan dapat berkembang
menjadi anafilaksis sempurna jika terapi tidak segera dihentikan. Di Indonesia, hemodialisis
dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Pasien
hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi
kurang merupakan prediktor penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. 24,28,29,30
29
Indikasi dilakukannya hemodialisis pada PGK selain sudah memasuki derajat G5 adalah:
pasien dengan keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata, serum kalium > 6 mEq/L, ureum
darah > 200 mg/dL, pH darah < 7,1, anuria berkepanjangan (> 5 hari), dan overload cairan.
24,28,29,30
B. Peritoneal Dialysis
Peritoneal Dialysis (PD) adalah suatu metode dialisis dengan memanfaatkan peritoneum
sebagai membran semipermeabel. PD terbagi atas PD akut yang merupakan metode terapi
pengganti ginjal (TPG) untuk pasien yang mengalami kegawatan akut, yang bersifat sementara;
dan PD kronis yang merupakan metode TPG untuk pasien yang mengalami penurunan fungsi
ginjal secara permanen (PGK stadium 5) yang bersifat berkesinambungan. Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) biasanya dilakukan sampai 4 kali dalam dengan cara
menginjeksikan cairan dialisat sebanyak 2-2,5 liter ke dalam rongga peritoneum melalui kateter
trans-abdominal yang bersifat lentur dan terbuat dari karet silikon melewati dinding abdomen
anterior, menembus peritoneum parietal dengan ujungnya terletak di pelvis. Cairan dialisat
dibiarkan berada pada peritoneum selama 4-6 jam,. Membran peritoneum, yang bertindak sebagai
“penyaring alami”. Pertukaran ini dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan osmotik antara
cairan dialisat dan darah, dimana cairan dialisat konsentrasinya lebih tinggi daripada darah.
24,28,29,30
2.1.7.6 Terapi nutrisi pada pasien Penyakit Ginjal Kronik
Status gizi kurang masih banyak dialami pasien dengan penyakit ginjal kronik Terapi nutrisi
pada pasien PGK berupa : pengaturan asupan protein, pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB
ideal/hari, pengaturan asupan lemak: 30- 40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama
antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh, pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari
kalori total, garam (NaCl): 2-3 gram/hari, kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari, Fosfor: 5-10
mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari, Kalsium: 1400-1600 mg/hari, Besi: 10- 18mg/hari,
Magnesium: 200-300 mg/hari, Asam folat pasien HD: 5mg, air: jumlah urin 24 jam + 500ml
(insensible water loss). 24,28,29,30
30
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : RHMWT
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 31 Desember 1951
Umur : 27 tahun
31
Alamat : NTB
Pekerjaan : Guru SMK
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Hindu
Suku/Bangsa : Bali
No. Rekam Medis : 19022251
Tanggal MRS : 12 November 2019
Tanggal Pemeriksaan : 21 November 2019
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama: Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dalam keadaan sadar ke IGD RSUP Sanglah dengan keluhan sesak napas yang
mulai dirasakan sejak 1 minggu SMRS, memberat 1 hari SMRS. Sesak seperti pasien tidak mampu
menarik napas sama sekali. Sesak berat sampai pasien kehilangan tenaga dan tidak mampu untuk
berdiri. Pada awalnya sesak muncul saat pasien sedang beraktivitas, kemudian mulai muncul saat
pasien tidur di malam hari. Sesak muncul secara mendadak, hilang timbul sesuai dengan berat
ringannya aktivitas yang dilakukan. Sesak bertambah berat saat pasien melakukan aktivitas seperti
berlari atau berjalan dalam waktu yang lama. Sesak mereda bila pasien duduk bersandar.
Pasien juga mengeluh lemas seluruh tubuh. Lemas dirasakan sejak 1 bulan SMRS. Lemas
dirasakan seperti anggota tubuh pasien dapat digerakkan akan tetapi pasien tidak memiliki keinginan
untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Pasien merasa sangat lemas sampai tidak mampu untuk
beraktivitas seperti sebelumnya. Keluhan lemas muncul secara perlahan, terjadi terus menerus
sepanjang hari. Semakin lama pasien merasa semakin bertambah lemas. Keluhan tidak membaik
dengan beristirahat.
Pasien mengeluh mual. Mual dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Mual sampai pasien
mengalami penurunan nafsu makan yang berat. Pasien hanya mau makan beberapa sendok bubur
dalam sehari dan kadang-kadang makanan itu dimuntahkan kembali oleh pasien. Mual dirasakan
setiap hari hilang timbul. Mual semakin memberat ketika makan. Mereda bila pasien sedang istirahat
terutama dalam posisi duduk.
32
Pasien tidak demam baik sebelum maupun sesudah muncul keluhan. BAK normal sekitar 3
kali sehari berwarna kuning. Tidak ada kencing berwarna merah maupun berbuih. Nyeri saat kencing
dan kencing batu disangkal oleh pasien.
Pada saat dilakukan pemeriksaan pada tanggal 21 November 2019, pasien mengatakan bahwa
keluhan sesak sudah tidak ada, keluhan lemas pada seluruh tubuh masih ada tapi sudah mulai
berkurang. Pasien dapat bangun dan ke toilet sendiri tanpa dibantu. Makan dan minum pasien
dikatakan meningkat dari sebelumnya, sekitar 5 sendok makan setiap kali makan. BAK dan BAB
tanpa keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan
Pada Mei tahun 2015 di rumah sakit B pasien terdiagnosis SLE dan saat ini dengan terapi
metil prednisolon 3x8 mg. Selain itu juga terdiagnosis CKD. Pasien dengaan CKD stage V on HD
reguler sejak 6 bulan yang lalu di RSUP Sanglah. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi. Riwayat
penyakit lain seperti diabetes melitus, penyakit jantung bawaan, asma, maupun alergi obat disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien merupakan anak ke 7 dari 7 bersaudara. Salah satu kakak pasien saat masih kuliah
pernah memiliki gejala bercak-bercak kemerahan di sekitar wajah dengan batas seperti kupu-kupu,
lemas seluruh tubuh. Tetapi saat diperiksakan ke dokter dikatakan hanya cacar. Kemudain beberapa
bulan setelahnya kakak pasien meninggal. Ayah pasien juga sudah meninggal sejak pasien masih
kecil dengan penyebab yang tidak diketahui.
Riwayat Pribadi/ Sosial/ Lingkungan
Pasien merupakan seorang guru SMK. Pasien masih bekerja akan tetapi saat ini sedang cuti. Di
Rumah pasien dapat beraktivitas seperti biasa, tapi kadang-kadang kurang bertenaga. Pasien tidak pernah
merokok kurang maupun mengkonsumsi alkohol. Makan dan minum baik dengan porsi sedikit.
3.3 PEMERIKSAAN FISIK (21 November 2019)
Status Present
Kondisi Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Tekanan darah : 110/70 mmHg (tgl 12/11/19 TD: 170/100 mmHg)
33
Nadi : 92 kali/menit, regular, isi cukup
Respirasi : 18 kali/menit, regular, thorakoabdominal (tgl 12/11/19 RR 24 kali/menit)
Suhu aksila : 36,4o C
VAS : 0/10
SpO2 : 98% udara ruangan
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 165 cm
IMT : 20,22 kg/m2
Status General
Kepala : Bentuk normal
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera kuning -/-, reflex pupil +/+ isokor 3mm/3mm,
edema palpebra -/-
THT :Telinga : Daun telinga N/N, sekret tidak ada, pendengaran normal
Hidung : Sekret tidak ada, tidak ada deviasi septum nasi
Tenggorokan : Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Lidah : Ulkus (-), papil lidah atrofi (-)
Bibir : Basah, stomatitis (-), sianosis (-)
Leher : JVP PR ± 0 cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-).
Thoraks : Simetris
Cor: Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V midclavicular line
sinistra, kuat angkat (-), thrill (-)
Perkusi : batas kanan jantung ICS II parasternal line dekstra
batas kiri jantung ICS V midclavicular line sinistra
batas bawah jantung ICS V midclavicular line
sinistra
Auskultasi: S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : Inspeksi : Simetris statis dan dinamis, retraksi (-)
34
Palpasi : Vokal fremitus Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi: Vesikuler rhonki
Wheezing
+ +
+ +
+ + - -
- -
- -
- -
- -
- -
35
Abdomen:
Inspeksi : distensi (-), scar (-), terpasang
kateter CAPD
Auskultasi : bising usus
(+) normal
Palpasi : hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri
tekan (-)
Perkusi : shifting dullness (-),
undulasi (-)
Ekstremitas : CRT < 2 detik
Hangat Edema - -
- -
+ +
+ +
36
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (tgl 12, 14, 21, Novemver 2019)
Parameter Hasil Hasil Hasil
Unit Nila
i Normal (12/11/19) (14/11/19) (21/11/19)
WBC 7.49 11.36↑ 5.23 103/Μl 4.1-11
Neu 88.94↑ 87.27↑ 67.16 % 47-80
Lym 5.65 2.75 10.46 % 13-40
Mono 4.4 8.96 8.71 % 2.0-11
Eos 0.67 0.53 12.31↑ % 0-5
Baso 0.33 0.5 1.36 % 0-2
RBC 3.1 4.24 3.36 106/μL 4.5-5.9
HGB 9.38↓ 12.06↓ 10.32↓ g/dl 13.5-17.5
HCT 29.18 37.6 31.98↓ % 41-53
MCV 94.09 88.73 88.05 Fl 80-100
MCH 30.22 28.46 28.4 Pg 26-34
MCHC 32.13 32.08 32.36 g/dl 31-36
PLT 143.5 120.9 81.23 103/ul 150-440
RDW 14.89 14.96↑ 14.14↑ % 11.6-14.8
MPV 4.47 6.05 6.35 fL 6.8-10
37
Kimia Klinik (12, 14, 16, 18, 21 November 2019)
Parameter Hasil
(12/11/19)
Hasil
(14/11/19)
Hasil
(16/11/19)
Hasil
(18/11/19)
Hasil
(21/11/19) Unit
Nilai
Normal
AST/SGO
T 18.3 U/L
11.00-
27.00
ALT/SGPT 13.9
U/L 11.00-
34.00
Albumin 3.7 g/dL 3.4-4.8
BUN 84.1↑ 21.5 14.7 19.4
mg/dl 8.00-
23.00
Kreatinin 8.13 ↑ 3.11 ↑ 3.2↑ 3.08↑ 4.32 mg/dl 0.7-1.2
e-LFG 6.02↓ 19.22 ↓ 18.57↓ 19.45↓ 12.92 >=90
Kalium 6.85↑ 4.42 4.76 4.44 4.84
mmol/
L 3.5-5.1
Natrium 132 133 140 141 140
mmol/
L
136-
145
Klorida 104 104
mmol/
L
96-
108
GDS 137 133
mmol/
L 94-110
Ph 7.41 7.51
7.35-
7.45
Faal Hemostasis (12, 18 November 2019)
Parameter Hasil Hasil Uni
t
Nilai
Normal (12/11/19) (18/11/19)
APTT 21.8 41.6↑ Detik 24-36
PPT 14 12.7 Fl
10.8-
14.4
INR 1 0.9 0.9-1.1
38
Urin Lengkap (12, 20 November 2019)
Parameter Hasil
(12/11/19)
Hasil
(20/11/19) Unit Nilai Normal
Warna Yellow Yellow
p yellow-
yellow
Leukosit Sedimen 5 1315 ↑ /LPB ?7
Eritrosit Sedimen 5 74 ↑ /LPB ?5
Silinder Sedimen Granula + granula + /LPB
Berat Jenis 1.019 1.028 1.003-1.035
Kekeruhan keruh (+) keruh
(++)
pH 6.5 4.5-8
Leukosit (3+) 500 (3+) 500 leuco/uL Negatif
Nitrit Negatif Negatif mg/ dL Negatif
Protein (4+)
OVER
(4+)
OVER mg/ dL Negatif
Glukosa Negatif Negatif mg/ dL Negatif
Keton Negatif Negatif mg/ dL Negatif
Darah (2+) (2+) ery/ Ul Negatif
Urobilinogen Normal Normal mg/ dL Normal
Bilirubin Negatif Negatif mg/ dL Negatif
39
Foto Abdomen AP (15 November 2019)
Klinis : CKD st V
Tak tampak distensi abdomen, pre peritonial fat line kanan kiri tegas
Distribusi gas usus normal bercampur fecal material
Tak tampak gambaran herring bone, coiled spring maupun udara
bebas di luar sistema usus
Tak tampak bayangan radioopaque di sepanjang traktu urinarius
Kontur ginjal kanan kiri tak tampak jelas
Psoas line kanan kiri simetris
Bayangan lien dan hepar tak tampak membesar
Corpus pedicle dan sputum intervertebralis baik
Tampak terpasang kateter CAPD pada cavum abdomen yang
terposisi baik, tidak tampak kingking
Kesan:
Tak tampak gambaran ileus maupun pneumoperitoneum
Tak tampak batu radioopaque di sepanjang traktus urianarius
Terpaang kateter CAPD pada cavu abdomen yang terposisi baik, tidak tampak
kingking
40
EKG (Elektrokardiografi)
3.5 DIAGNOSIS KERJA
(12/11/19)
a. CKD stage V ec Lupus Nefritis on HD reguler
-HT grade II
-Hiperkalemia
-Anemia Ringan NN on CKD
b. SLE on treatment
(21/11/19)
a. CKD stage V ec Lupus Nefritis on HD reguler
-HT grade II
-Anemia Ringan NN on CKD
b. SLE on treatment
3.6 TERAPI
(12/11/19)
- IVFD NaCl 0,9% 8 tpm
- Diet CKD 35 kkal/kgBB/hari + protein 1,2 gram/kgBB/hari
- Ca glukonas 1 gram tiap 8 jam IV
41
- Nebulizer salbutamol tiap 8 jam
- D 40% 100 cc (habis dalam 30 menit)
- D 10% 100 cc (habis dalam 30 menit)
- Insulin Novorapid 20 unit (habis dalam 30 menit)
- Cek K 6 jam post triple drug
- Ramipril 1 x 10 mg
- Asam folat 2 x 2 mg
- Hubungi urologi -> CAPD
- Cek UL
- HD elektif
Terapi monitoring (21/11/2019)
-Bedrest
- Diet CKD 35 kkal/kgBB/hari + protein 1,5 gram/kgBB/hari
-IVFD NaCl 0,9 % 8 tpm tiap 8 jam
-Asam folat 2 mg tiap 12 jam
-Ciprofloxacin 200 mg tiap 12 jam IO
-Methylprednisolon 8 mg tiap 8 jam IO
-Myforatic 180 mg tiap 12 jam IO
-Paracetamol 500 mg tiap jam IO
-Cek UL
-Post HD
3.7 MONITORING
Vital Sign
Keluhan
42
3.8 PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad malam
Ad Sanationam : dubia ad malam
3.9 KIE
- Menjelaskan mengenai penyakit yang dialami pasien dan bagaimana
faktor risiko, perkiraan perjalanan penyakitnya, dan rencana terapi lebih
lanjut.
- Menjelaskan mengenai prognosis dan kemungkinan yang dapat
disebabkan penyakit yang dialami pasien.
- Mengedukasi keluarga pasien dalam kepatuhan meminum obat, serta
perlunya dukungan keluarga untuk membantu kesembuhan pasien.
43
BAB IV
PEMBAHASAN
Penyakit gagal ginjal kronis (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam yang berakibat pada penurunan fungsi ginjal yang
bersifat ireversibel dengan karakteristik adanya kerusakan struktural atau
fungsional. Etiologi dari PGK beragam salah satunya adalah oleh nefritis lupus
yang dicetuskan oleh penyakit dasar yaitu Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Berdasarkan anamnesis yang dilakukan pada pasien didapatkan bahwa
pasien perempuan, 27 tahun, datang dengan keluhan utama sesak disertai dengan
lemah seluruh tubuh. Pasien riwayat mengalami Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) sejak tahun 2015, dan mengalami hipertensi yang diketahui beberapa bulan
yang lalu. Saat ini pasien mengalami penyakit ginjal kronik stadium V.
Pasien memiliki riwayat SLE yang merupakan salah satu etiologi
terjadinya gangguan ginjal berupa nefritis lupus. Nefritis lupus yang terjadi pada
pasien disebabkan oleh adanya kompleks autoimun antibodi yang terdeposisi di
subendotel, subepitel dan mesangial nefron yang menginduksi terjadinya respon
inflamasi dan memunculkan manifestasi klinis terkait penurunan fungsi ginjal.
Diagnosis nefritis lupus ditegakkan oleh karena pasien memiliki riwayat
SLE dengan hasil pemeriksaan penunjang urinalisis yang patologis salah satunya
adalah ditemukan hematuria >8 eritrosit/LPB yang pada pasien mencapai 74
eritosit/LPB, disertai dengan adanya proteinuria dan sedimen urin patologis.
Nefritis lupus yang dialami pasien membuat pasien saat ini mengalami penyakit
ginjal kronik stadium V yang dibuktikan dengan adanya penurunan laju filtrasi
glomerulus di bawah 15 ml/menit/1,73 m2
Saat awal masuk pasien diketahui
mengalami hipertensi grade II karena tekanan darah pasien 170/100 mmHg yang
memenuhi kriteria tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau tekanan darah
diastolik lebih dari 100 mmHg. Pasien juga mengalami anemia ringan
normokromik normositer yang dibuktikan dengan pemeriksaan darah lengkap
dengan hemoglobin 9,38 gr/dL (anemia ringan : 9,0-10,0 gr/dL), MCV (Mean
Corpuscular Volume) 94.09 fl (80-100 fl) menandakan normositer dan MCH
(Mean Corpuscular Hemoglobin) 30.22 Pg (26-34 Pg) dengan klinis anemia
44
berupa sesak dan lemas yang menjadi keluhan utama pasien masuk rumah sakit
disertai dengan tanda konjungtiva anemis.
Pasien mengalami hiperkalemia dengan kadar kalium 6.85 (3,5-5,1
mmol/L). Keadaan hiperkalemia ini disebabkan oleh penurunan kemampuan
ginjal untuk menjaga keseimbangan kalium.
Terapi yang diberikan kepada pasien yaitu mulai dari kebutuhan cairan
dan diet. Cairan yang diberikan adalah sesuai dengan jumlah urin 24 jam
ditambah 500 ml (insensible water loss). Kebutuhan kalori 35 kkal/kgBB/hari dan
protein 1,5 gram/kgBB/hari. Saat masuk rumah sakit pasien mengalami
hiperkalemia sehingga diberikan tatalaksana koreksi akut berupa triple therapy
yaitu 1) kalsium glukonas intravena untuk menghilangkan efek neuromuskular
dan jantung akibat hiperkalemia, 2) glukosa dan insulin intravena untuk
memindahkan kalium ke dalam sel dengan efek penurunan kalium kira-kira 6 jam
dengan dosis insulin 10 unit dalam glukosa 40% 50 ml bolus intravena, 3) b2
agonis berupa salbutamol inhalasi untuk memindahkan kalium ke dalam sel.
Pasien juga mendapatkan obat antihipertensi ramipril yang merupakan golongan
ACE inhibitor. Golongan ACE inhibitor merupakan pilihan obat antihipertensi
pada CKD karena dapat mengurangi efek proteinuria juga memiliki efek
antiremodelling pembuluh darah pada pasien CKD dengan risiko penyakit
jantung. Pemberian asam folat pada pasien ini berfungsi untuk mengubah
homosistein menjadi methionine, dimana homosistein terbukti dapat
meningkatkan risiko inflamasi dan kerusakan endotel yang dapat memperparah
keadaan CKD.
Metilprednisolon merupakan steroid sebagai terapi inisial pada pasien SLE
yang berfungsi untuk menekan kaskade imun sebagai dasar dari penyakit SLE.
Pasien juga diberikan terapi imunosupresan yaitu mikofenolat mofetil (MMF)
yang merupakan terapi pilihan pada pasien nefritis lupus stadium III atau IV.
Pasien juga saat ini menjalani terapi hemodialisa karena pada penderita PGK
stadium akhir atau dengan LFG <15 mL/menit/1,73 m2 terapi pengganti ginjal
harus dilakukan. Hemodialisa yang dilakukan pada pasien saat ini adalah melalui
jalur CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis).
45
BAB V
SIMPULAN
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD)
merupakan suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam yang
berakibat pada penurunan fungsi ginjal yang progresif. Faktor yang dapat menjadi
penyebab PGK salah satunya adalah nefritis lupus (NL). Nefritis lupus (NL)
merupakan salah satu tipe glomerulonefritis sekunder dimana terjadi inflamasi
dari glomerulus sebagai komplikasi dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Prinsip dasar pengobatan Nefritis lupus adalah menekan reaksi inflamasi
lupus, memperbaiki fungsi ginjal, atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal
agar tidak bertambah buruk. Pada nefritis lupus kelas I dan II hampir tidak terjadi
penurunan fungsi ginjal yang bermakna sehingga secara nefrologis kelompok ini
memiliki prognosis yang baik. Nefritis lupus kelas III dan IV hampir seluruhnya
akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal.
-
DAFTAR PUSTAKA
1. Infodatin. Siatuasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta : Pusat data dan informasi
kementrian kesehatan RI ; 2017. Hal 1-12
2. Xie Y, Bowe B, Mokdad AH, et al. epidemiology from 1990 to 2016.
Kidney Int. 2016;94(3):567-581. doi:10.1016/j.kint.2018.04.011.
3. Kemenkes.Ginjal Kronis.2017.Diakses pada November 23, 2019. Tersedia
pada http://www.p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/subdit-penyakit-
jantung-dan-pembuluh-darah/ginjal-kronis.
4. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.2018
5. Choi HS, Han KD, Jung JH, et al. The risk of end-stage renal disease in
systemic lupus erythematosus: A nationwide population-based study in
Korea. Medicine (Baltimore). 2019;98(28):e16420.
doi:10.1097/MD.0000000000016420
6. Almaani S, Meara A, Rovin BH. Update on Lupus Nephritis. Am Soc
Nephrol. 2017;12:825-835. doi:DOI: https://doi.org/10.2215/CJN.05780616.
7. Lewis, Edmund J.; Schwartz, Melvin M. Lupus Nephritis.OUP Oxford.174-
177.
8. Hanly JG, O’Keeffe AG, Su L, Urowitz MB, Romero-Diaz J, et al. The
frequency and outcome of lupus nephritis: results from an international
inception chort study.Rheumatology (Oxford). 2016 Feb.55(2):252-62.)
9. Bevra HH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, et al.
American College of Rheumatology Guidelines for Screening, Treatment,
and Management of Lupus Nephritis. Arthritis Care & Research. 2012.
64:977-808.)
10. Lisnevskakia L, Murphy G, Isenberg D. Systemic lupus
erythematosus.Lancet.2014 Nov 22.384 (9957):1878-1888
11. Alberto DZS, Catalina HD.Lupus Nephritis : An Overview of recet
Findings.Autoimmune Diseases:Hindawi.2012 (21).
12. Yasser Matter. Lupus Nephritis : From Basics to Practice.Mansoura
University-Egypt.)
13. (Harrison Systemic Lupus Erythematosus. Principles of Internal Medicine.
16 ed. Mc Graw Hill Med Pub, 2005 : 1960-1967)
14. Saxena R. Mahajan T, Mohan C. Lupus Nephritis: current updates. Arthritis
Research and Therapy.2011.13:240)
15. Schwartz N, Goilav B, Putterman C. The pathogenesis, diagnosis and
treatment of lupus nephritis, Curr Opin Rheumatol.2015.26:502-9)
16. .Bevra HH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, et al.
American College of Rheumatology Guidelines for Screening, Treatment,
and Management of Lupus Nephritis. Arthritis Care & Research. 2012.
64:977-808.
17. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik, Dalam: Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Simadibrata MK, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014. hal.1035-1040
18. Joanne M dan Karl S. Chronic Kidney Disease Dalam: Jameson J. L,
Loscalzo J, editor. Harrison nephrology and Acid Base Disorders. Second
edition. Philadelphia: McGrawHill, 2013. Hal 123-140.
19. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group.
KDIGO clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease. Kidney Int Suppl. 2013;3:1-150.
20. Guideline: National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative. Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and
Stratification.
21. Infodatin. Siatuasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta : Pusat data dan informasi
kementrian kesehatan RI ; 2017. Hal 1-12
22. Indonesian Renal Registry (IRR). 7th Report Of Indonesian Renal
Registry.2014. Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/ (diakses
pada: 27 Juni 2017)
23. Eknoyan, G, Lameire, N. Kidney International Supplements. Boston:
Official Journal of The International Society of Nephrology; 2013.
24. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik, Dalam: Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Simadibrata MK, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014. hal.1035-1040
25. Kerr M, Bray B, Medcalf J. Chronic Kidney Disease in Adults: Assestment
and Management. England: National Institute for Health and Care
Excellence; 2014. hal 1-8.
26. Tangri N, Stevens LA, Griffith J, Tighiouart H, Djurdjev O, Naimark D, et al.
A predictive model for progression of chronic kidney disease to kidney
failure. JAMA. 2011 Apr 20. 305(15):1553-9.
27. Kathleen Dm Liu, Glenn M. Dyalisis in The Treatment of Renal Failure
Dalam: Jameson J. L, Loscalzo J, editor. Harrison nephrology and Acid Base
Disorders. Second edition. Philadelphia: McGrawHill, 2013. Hal 141-147
28. Tangri N, Stevens LA, Griffith J, Tighiouart H, Djurdjev O, Naimark D, et al.
A predictive model for progression of chronic kidney disease to kidney
failure. JAMA. 2011 Apr 20. 305(15):1553-9.
29. Kathleen Dm Liu, Glenn M. Dyalisis in The Treatment of Renal Failure
Dalam: Jameson J. L, Loscalzo J, editor. Harrison nephrology and Acid Base
Disorders. Second edition. Philadelphia: McGrawHill, 2013. Hal 141-147
30. Nesrallah GE, Mustafa RA, Clark WF, Bass A, Barnieh L, Hemmelgarn BR,
et al. Canadian Society of Nephrology 2014 clinical practice guideline for
timing the initiation of chronic dialysis. CMAJ. 2014 Feb 4. 186(2):112-7