PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING...

109
i PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING SEBAGAI PREDIKTOR TERHADAP EMPLOYEE ENGAGEMENT TESIS Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Magister dalam bidang Psikologi Sains (M.Si) Disusun oleh : ELISA KURNIADEWI NIM: 2110070000004 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433H/2012M

Transcript of PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING...

Page 1: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

i

PSYCHOLOGICAL CAPITAL

DAN WORKPLACE WELL-BEING

SEBAGAI PREDIKTOR TERHADAP

EMPLOYEE ENGAGEMENT

TESIS

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh

gelar Magister dalam bidang Psikologi Sains (M.Si)

Disusun oleh :

ELISA KURNIADEWI

NIM: 2110070000004

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1433H/2012M

Page 2: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

ii

Page 3: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

iii

Page 4: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

iv

Page 5: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

v

Motto

“Dan bersegerahlah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu

dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan

bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa

yaitu orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun

sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan

memaafkan orang lain. Dan Allah mencintai orang yang

berbuat kebaikan”

(Ali Imron; 133-134)

Dengan penuh cinta

karya tulis ini penulis persembahkan kepada

para pemerhati kinerja PNS Indonesia

Page 6: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

vi

ABSTRAK

(A) Magister Psikologi

(B) Oktober, 2012

(C) Elisa Kurniadewi

(D) Psychological Capital dan Workplace Well-being sebagai prediktor terhadap

Employee Engagement

(E) xix + 95 halaman + Lampiran

(F) Untuk menciptakan kesuksesan organisasi, maka organisasi sebaiknya

memaksimalkan potensi dari sumber daya manusia yang dimiliki. Termasuk

memperhatikan faktor yang dapat menjadi prediktor bagi keterikatan kerja karyawan.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel psychological capital dan

variabel Workplace well-being dapat menjadi prediktor employee engagement

(keterikatan kerja karyawan). Responden dalam penelitian ini berjumlah 202 yang

berasal dari dua lembaga dalam kementerian X. Data yang diperoleh dianalisis

dengan menggunakan analisis model struktural dengan bantuan Lisrel 8.70.

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Psychological capital tidak signifikan dalam

mempengaruhi keterikatan kerja karyawan (2) Workplace well-being terbukti

secara signifikan memberikan pengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan

dengan nilai standaradized sebesar 0.62 dan nilai-t 4.52.(3) Psychological

capital dan Workplace well-being tidak memiliki peran yang sama dalam

memberikan pengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan. Psychological

capital tidak secara signifikan menjadi prediktor bagi keterikatan kerja karyawan

(karena tidak memenuhi persyaratan signifikansi terhadap keterikatan kerja

dengan nilai standaradized sebesar 0.23, dengan nilai –t 1.77 yang lebih rendah

dari nilai persyaratan 1.96). Sedangkan workplace well -being secara positif

dan signifikan (dengan nilai standaradized sebesar 0.62 dan nilai-t 4.52) dapat

menjadi prediktor bagi keterikatan kerja karyawan.

Dengan demikian, workplace well-being dengan (1) dimensi ekstrinsik yang

terdiri dari: penggunaan waktu sebaik- baiknya, kondisi kerja, supervisi,

kesempatan promosi dan gaji; serta, (2) dimensi intrinsik yang terdiri dari:

tanggung jawab dalam pekerjaan, makna kerja, kemandirian kerja,

penggunaan kemampuan dan pengetahuan untuk bekerja serta perasaan

berprestasi dalam bekerja – terbukti lebih berperan dalam

memprediksi keterikatan kerja karyawan.

(G) 57 Daftar Pustaka meliputi: buku, jurnal,tesis dan disertasi (1990-2012)

Kata kunci : Employee Engagament (keterikatan kerja karyawan), psychological

capital dan workplace well-being

Page 7: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

vii

ABSTRACT

(A) Master of Psychology

(B) Oktober, 2012

(C) Elisa Kurniadewi

(D) Psychological Capital and Workplace Well-being as predictor for Employee

Engagement

(E) xiv + 95 page + attachement

(F) To achieve the successes of an organization is by maximizing the potential of its human

resources, also by considering factors that may be predictors for employee engagement.

The study has been conducted to determine whether psychological variables and variable

capital Workplace well-being can be predictors of employee engagement. There were

202 respondents involved in this study which comes from two institutions in the ministry

X. Data were analyzed by using analysis of the structural model using LISREL 8.70.

The results showed: (1) Psychological capital is not significantly influencing the

employee engagement (2) However, workplace well-being is significantly influencing

the employee engagement with standaradized value of 0.62 and t-value of 4.52. (3)

Psychological capital and the Workplace well-being do not have the same role in

influencing the employee engagement. Psychological capital is not significantly becomes

a predictor for employee engagement (because it does not meet the minimum

requirements as significance predictor of the work engagement with standaradized value

of 0:23, with a value of 1.77-t lower than the 1.96 value terms). While workplace well-

being is positively and significantly (because the standaradized value of 0.62 and t-value

of 4.52) becomes a predictor for employee engagement. Hence, workplace well-being

with (1) the extrinsic dimension consists of: using time as well as possible, working

conditions, supervision, promotion and salaries, as well as, (2) intrinsic

dimension consisting of: job responsibility, the meaning of employment, self

employment, the use of skills and knowledge to work as well as a feeling of achievement

were proved to be instrumental in predicting employee engagement.

(G) 57 Bibliography includes: books, journals, theses and dissertations (1990-2012)

Keywords: Employee Engagament, psychological capital and workplace well-being

Page 8: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji ditujukan hanya pada Allah SWT yang

telah memberi kesempatan, kesehatan dan akal fikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan

studi di Jurusan Psikologi Industri dan Organisasi Magister Psikologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Terimakasih selanjutnya penulis tujukan untuk orang tua Penulis;

Bapak Maqbul Achsan dan Ibu Sumartini atas kasih sayang, doa dan dukungannya.

Selama penelitian dan penulisan tesis, maupun selama studi, penulis mendapatkan

dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan

penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. JP. Soebandono, Msi, Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

waktu, tenaga dan fikiran, selalu memberikan dorongan dan teladan untuk

memberikan dan mengerjakan yang terbaik sebagai tugas kehidupan.

2. Bapak Jahja Umar Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang semangatnya membangun peradaban Psikologi patut diteladani.

3. Bapak Prof. Dr Asip F. Hadipranata, Dosen yang pemahaman mendalamnya tentang

manusia dapat menjadi semangat dan teladan bagi setiap mahasiswanya.

4. Bapak Dr Wazar Pulungan, M.Psi, Dosen penguji di jurusan PIO.

5. Kepala Inspektorat Jenderal dan Kepala Pusdiklat Kementerian X beserta staf atas

kesempatan yang diberikan. Khusus untuk para Auditor, Widyaiswara, Staf Pelaksana

dan Pejabat Struktural yang telah mengisi kuesioner dan melakukan diskusi,

terimakasih atas pengertian dan kerjasama yang baik.

6. Seluruh Dosen, Staf TU dan Mahasiswa S1 & S2 di Fakultas Psikologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta atas diskusi dan kerja sama yang baik.

7. Dekan dan jajarannya beserta seluruh Dosen, Staf TU dan Mahasiswa di Fakultas

Page 9: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

ix

Psikologi UIN Bandung atas kepercayaan yang diberikan.

8. Muhammad Yudhi Firmansyah; atas hari yang penuh oase cinta juga romantisme

gelombang badai. Ayo bawa tim kecil kita menjadi tim cahaya! Rana Abiya Rayyan

dan Manggala Tadzkira Lubna; Mutiara yang Allah amanahkan. Semoga Allah selalu

membimbing bunda agar bisa mendampingi dan membantu kalian tumbuh menjadi

anak-anak yang salih, amin.

9. Mas dan Mbakku: Mas Muhammad Suryawan, Mas Muhammad Ferdiansyah, Mbak

Diar, Mbak Syifa. Adikku: Atika Nurmaghfiroh & Andri, Ilham Fathurahman &

Dewi. Juga untuk Krucil: Balqis, Alfath dan 3 jagoan kembar, Najma & Astrela serta

Fafa, Rara & Mumtaz. Semoga persaudaraan kita sampai juga nanti di jannahNya,

amin.

10. Teman-teman: Puti, Adio dan Yulistin yang banyak membantu proses pemahaman

penulis mengenai pengolahan SEM. Juga untuk Nissa, Ika, Via, Rizka, Rini, Susi,

Mas Alfi, Mbak Mita, Mbak Ida, Mbak Riza, Kak Husna, Mbak Ade, Pak Marjuki,

Bu Nur, Siska dan teman-teman magister angkatan 2010 dan 2011 yang tidak penulis

sebutkan satu per satu. Tak lupa juga untuk adikku Asan dan Rifqi : ayo kamu bisa

menjadi yg lebih baik! Juga Sina, asistenku yang sedang belajar arti kesabaran.

Semoga Allah mudahkan cita-cita kalian.

11. Semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian, dengan kebaikan yang lebih

baik dan lebih banyak lagi. Jazakumullahu khairan katsiron

Jakarta, Oktober 2012

Elisa Kurniadewi

Page 10: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

x

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Halaman Pernyataan

Halaman Persetujuan

Halaman Pengesahan

Motto

Abstrak

Kata Pengantar

Daftar Isi

Daftar Tabel

Daftar Gambar

Daftar Lampiran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Identifikasi Masalah

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

1.3.2 Manfaat Penelitian

1.3.3 Sistematika Penulisan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Keterikatan Kerja Karyawan

2.1.1. Konsep Keterikatan Kerja Karyawan

2.1.2. Dimensi Keterikatan Kerja Karyawan

2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Keterikatan Kerja

2.2 Psychological Capital

2.2.1. Definisi Psychological Capital

2.2.2. Karakteristik Psychological Capital

2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Capital

i

ii

iii iv v vi

viii xi

xiii

xx

1-14

1

12

13 13

13

14

15-43

15

15

19

20

23

23

25

29

Page 11: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

xi

2.3 Workplace Well-Being

2.2.1. Teori Workplace Well-Being

2.1.2. Dimensi Workplace Well-Being

2.1.3. Faktor-faktor yang Workplace Well-Being

2.4 Psychological Capital dan Workplace Well-Being sebagai prediktor

terhadap Keterikatan Kerja Karyawan

2.5 Kerangka Berfikir

2.6 Hipotesis Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Model Penelitian

3.2 Subjek Penelitian

3.3 Pengembangan Alat Ukur

3.3.1 Keterikatan Kerja Karyawan

3.3.2 Psychological Capital

3.3.3 Workplace well-being

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Tahap Persiapan Penelitian

3.4.2 Tahap Pelaksanaan

3.4.3 Metode Analisa Data

3.4.4 Tahap Pengolahan Data

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Analisis Struktural Equation Modeling (SEM)

4.2 Analisis Model Pengukuran

4.2.1 Variabel Keterikatan Kerja Karyawan

4.2.1.1 Dimensi Kognitif

4.2.1.2 Dimensi Emosional

4.2.1.3 Dimensi Fisik

4.2.2 Variabel Psychological Capital

4.2.2.1 Dimensi Harapan

4.2.2.2 Dimensi Efikasi diri

4.2.2.3 Dimensi Resiliensi

4.2.2.4 Dimensi Optimisme

4.2.3 Variabel Workplace well-being

4.2.3.1.Dimensi Ekstrinsik

4.2.3.2 Dimensi Instrinsik

4.3 Analisis Struktural Model Penelitian

BAB V DISKKUSI, SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Diskusi

5.1.1 Keterikatan Kerja Karyawan

5.1.2 Psychological Capital

5.1.3 Workplace Well-Being

5.1.4 Diskusi Psychological Capital dan Workplace Well-Being

sebagai predictor terhadap Keterikatan Kerja Karyawan

5.2 Simpulan

5.3 Saran

Daftar Pustaka

30

30

35

36

38

41

43

44-57

44

45

46

47

49

50

52

52

52

53

55

58-79

58

58

59

61

61

62

63

65

66

67

67

68

70

71

72

80-91

80

80

82

84

86

88

90

92-95

Page 12: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabel Alat Ukur Keterikatan Kerja Karyawan 47

Tabel 3.2 Tabel Alat Ukur Psychological Capital 49

Tabel 3.3 Tabel Alat Ukur Workplace Well-being 51

Tabel 4.1 Tabel GOFI Variabel Laten Keterikatan Kerja Karyawan 59

Tabel 4.2 Tabel Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Laten 60

Keterikatan kerja karyawan

Tabel 4.3 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Kognitif 61

Tabel 4.4 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Emosi 62

Tabel 4.5 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Fisik 63

Tabel 4.6 Tabel GOFI Variabel Laten Psychological Capital 64

Tabel 4.7 Tabel Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Laten 65

Psychologicala capital

Tabel 4.8 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Harapan 65

Tabel 4.9 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Efikasi diri 66

Tabel 4.10 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Resiliensi 67

Tabel 4.11 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Optimisme 68

Tabel 4.12 Tabel GOFI Variabel Laten Workplace Well-Being 69

Tabel 4.13 Tabel Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Laten 70

Workplace well-being

Tabel 4.14 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Ekstrinsik 70

Tabel 4.15 Tabel GOFI Variabel Laten Dimensi Intrinsik 71

Tabel 4.16 Tabel GOFI Model Struktural Keterikatan Kerja Karyawan 76

Tabel 4.17 Tabel Uji Signifikansi Model Struktural Penelitian 77

Page 13: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Teori Employee Mental Health 31

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir 43

Gambar 4.1 analisis structural model penelitian 72

Gambar 4.2 diagram lintas model pengukuran struktural keterikatan kerja karyawan 74

(Standar Solusi)

Gambar 4.2 diagram lintas model pengukuran struktural keterikatan kerja karyawan 75

(nilai-t)

Page 14: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Surat Keterangan Penelitian 97-99

1. Surat Permohonan Ijin Penelitian 97

2. Surat Keterangan Penelitian 98

Lampiran B. Hasil Pengolahan Data 100-123

Lampiran Diagram Lintas Pengukuran Struktural Employee Engagement 101

(standar solusi)

Lampiran Diagram Lintas Pengukuran Struktural Employee Engagement 103

(nilai t)

Lampiran Hasil analisis Lintas Pengukuran Struktural 104

Lampiran Analisis Model Pengukuran 2nd

order Keterikatan Kerja Karyawan 112

Lampiran diagram Uji CFA Variabel Laten Dimensi Kognitif 113

Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Emosi 114

Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Fisik 115

Lampiran Analisis Model Pengukuran 2nd

order 116

Psychological Capital

Lampiran. Uji CFA Variabel Laten Dimensi Harapan 117

Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Efikasi Diri 118

Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Resiliensi 119

Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Optimisme 120

Lampiran Analisis Model Pengukuran 2nd

order 121

Workplace-Well-Being

Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Ekstrinsik 122

Lampiran Uji CFA Variabel Laten Dimensi Intrinsik 123

Page 15: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

1

BAB I

PENDAHULUAN

Tesis ini membahas tentang psychological capital dan workplace well-being sebagai

prediktor terhadap employee engagement (keterikatan kerja karyawan) pada pegawai

negeri sipil (PNS) di Kementerian X. Bab ini membahas tentang latar belakang

penulisan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam periode globalisasi – sebagaimana dikemukakan oleh McShane dan Glinow

(2010) - penuh dengan berbagai tantangan dan persaingan, dunia menuntut adanya

profesionalisme di segala aspek kehidupan, baik individu maupun organisasi. Sumber

daya manusia (SDM) yang berkualitas memiliki peran yang sangat penting dalam

sebuah kegiatan organisasi. SDM menjadi hal yang sama sekali tidak bisa diabaikan

keberadaannya, karena sebagai individu manusia merupakan sumber daya yang dapat

menggerakkan tanggung jawab bagi sumber daya lainnya dalam organisasi maupun

institusi. Selanjutnya ditegaskan bahwa satu kunci keberhasilan kinerja organisasi

sebagai sebuah kesatuan yang kolektif adalah adanya sumber daya manusia.

Keberadaan SDM menurut Fitz-Enz (1990) merupakan penentu bagi maju mundurnya

sebuah organisasi .

Para akademisi dan praktisi kini makin banyak yang melakukan studi mengenai

hal-hal yang dapat mendukung performa organisasi termasuk upaya menemukan

sumber daya manusia yang berkualitas. Kajian yang membahas bagaimana cara

mengembangkan fungsi optimal sumber daya manusia adalah kajian psikologi positif

Page 16: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

2

yang dikemukakan oleh Seligman dan Csikszentmihalyi (2000). Arah psikologi positif

dalam dunia organisasi dalam hal ini menekankan pada dua aspek yaitu variabel

organisasi dan perilaku bekerja. salah satu konstruk dalam perilaku bekerja adalah

keterikatan karyawan (Wefald, 2008).

Pentingnya sumber daya manusia bagi sebuah organisasi juga didukung oleh

Rudiyanto (bpp.depdagri.go.id. diunduh 20 Juni 2012) yang menyatakan bahwa

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2010-2014)

mengamanatkan pembangunan nasional ditekankan pada pembangunan sumber daya

manusia, iptek dan daya saing nasional. Dukungan yang sangat besar dari sumber daya

manusia diharapkan dapat mewujudkan tata pemerintah yang baik dan bersih (good

governance and clean government). Senada dengan hal ini Goodstein (dalam Fench,

Bell, Zawacki, 2000) menyatakan bahwa untuk menciptakan kesuksesan organisasi,

maka organisasi sebaiknya memaksimalkan potensi dari sumber daya manusia yang

dimiliki.

Penulis melihat banyak permasalahan dalam memaksimalkan potensi sumber

daya manusia, dan salah satu permasalahannya adalah berkaitan dengan keterikatan

kerja karyawan. Terkait dengan hal tersebut, Soebandono (2011) meneliti mengenai

keterikatan kerja. Penelitian tersebut diinspirasi dari keterikatan individu pada apa yang

dikerjakannya, seperti anggota militer, guru, pelatih olahraga dan abdi dalem keraton.

Meskipun dianggap kurang memiliki pendapatan yang cukup, banyak individu tetap

setia mengerjakan tugas dan profesinya dengan penuh tanggung jawab. Mereka tetap

memperlihatkan keterikatan kerja, bangga menjalankan peran dalam pekerjaan dan mau

Page 17: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

3

menerima segala konsekuensi yang diberikan. Menurut penulis apa yang dipaparkan

Soebandono (2011) nyata terjadi di sekitar lingkungan penulis. Sekelompok aktivis

tanpa imbalan yang besar bersemangat melakukan kegiatan organisasi, sekelompok

orang menjadi relawan selama bertahun-tahun untuk menolong korban bencana alam

dan di tempat yang berbeda terdapat dosen senior yang masih membaktikan dirinya

untuk mengajar meski sudah tiba saatnya pensiun. Fenomena ini menjadi sebuah

pertanyaan bagi penulis - Mengapa individu memiliki keterikatan kerja? Faktor apa

yang bisa membuat keterikatan kerja begitu tinggi?

Menurut Schaufeli dan Barker (2004), karyawan yang memiliki keterikatan kerja

yang tinggi akan bekerja keras, memberikan usaha yang lebih (extra effort), aktif

terlibat, focus terhadap pekerjaan, hadir secara fisik, dan memberikan energi terhadap

apa yang dikerjakan. Jika individu memiliki kebermaknaan dalam pekerjaannya maka

akan tumbuh komitmen afektif dan menjadikan identitas organisasi (institusi) sebagai

identitas dirinya, Karyawan yang memiliki kebermaknaan dan keselarasan identitas

dengan identitas organisasi (institusi) akan menunjukkan keterlibatan yang tinggi.

Semakin tinggi kebermaknaan yang diperolehnya akan semakin menyatu identitasnya

dengan identitas institusi. semakin dalam kelekatan (attachment) emosional dan

keterlibatannya maka akan semakin dalam pula keterikatan kerja. Dengan demikian

tidak akan ada keterikatan kerja jika individu tidak memiliki keterlibatan terhadap

pekerjaan dan institusinya (Soebandono,2011).

Schaulfeli et al. (2002), menyatakan bahwa keterkaitan kerja diasosiasikan

dengan sumber daya pekerjaan (job resources) yang dapat mengurangi tuntutan

Page 18: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

4

pekerjaan (job demands), membantu pencapaian target kerja, dan mendukung proses

pembelajaran dan pengembangan individu. Hal ini didukung dengan penelitian yang

menunjukkan bahwa keterikatan kerja berhubungan positif dengan hubungan atasan dan

rekan kerja, umpan balik terhadap kinerja (performance feedback coaching)

pengendalian kerja, variasi tugas kerja, dan fasilitas pelatihan (Demerouti, Bakker,

Nachreiner, & Schaufeli 2000). Selain itu diungkapkan oleh Albrecht (2010) yang

menyatakan bahwa baik buruknya performa kerja sumber daya manusia tergantung oleh

rasa keterikatannya terhadap pekerjaan (employee engagement).

Menurut Pati dan Kumar ( 2010), terdapat tiga pendekatan teori terhadap

keterikatan kerja karyawan: (1) pendekatan yang pertama adalah role theory yang

dipelopori oleh Kahn (1990) dan May et.al. (2004) yang mengedepankan “peran” dalam

pekerjaan sebagai alasan bagi karyawan untuk terikat pada organisasi; (2) pendekatan

kedua adalah burn out theory yang menurut Maslach dan Leiter (2001) keterikatan

kerja merupakan perlawanan langsung dari burn out. Namun Schaufeli et al.(2002)

membantah dengan alasan bahwa kedua konsep tersebut tidak dapat dianggap secara

sempurna berkorelasi negatif terhadap sesama. Oleh sebab itu, Schaufeli et.al. (2002)

mengusulkan bahwa keterikatan kerja merupakan pemikiran positif dengan ciri-ciri

gairah kerja (vigor), dedikasi dan larut dalam pekerjaan; dan (3) pendekatan ketiga

adalah melalui social exchange theory dari Sacks (2006) yang menunjukkan bahwa

keterikatan kerja merupakan cara individu untuk “membalas budi” kepada organisasi

atas sumber daya ekonomis dan sosial emosional (socioemotional resourses) yang

mereka. Menurut Social exchange theory, keterikatan kerja dipengaruhi oleh bagaimana

Page 19: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

5

organisasi memperlakukan individu.

Meskipun keterikatan kerja memiliki beberapa nama dan definisi, bahkan

dianggap sebagai „anggur lama‟ dalam kemasan (botol) yang baru (Albrecht, 2010) para

akademisi dan praktisi organisasi semakin giat meneliti karena menyadari bahwa

keterikatan karyawan dapat memberikan konsekuensi yang positif bagi perusahaan

(Saks, 2006; Mohapatra & Sharma, 2010). Dalam sebuah organisasi, karyawan

diharapkan untuk memfokuskan pikiran pada posisi yang dijalankan. Kondisi ini

merupakan psychologically presence seperti yang dikatakan oleh Kahn (1990).

Psychologically presence adalah kondisi ketika individu merasakan dan menjadi

perhatian (attentive), menyatu (integrated) dan focus terhadap kinerja tanggung

jawabnya. Kahn (1990) berpendapat bahwa karyawan perlu secara aktif, memfasilitasi

diri (harnessing selves) dalam menjalankan peran kerjanya sehingga dapat maksimal

bekerja dan memberikan kontribusi terhadap kesuksesan organisasi.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan definisi yang disampaikan oleh

Kahn (1990). Employee engagement (selanjutnya di sebut dengan keterikatan kerja

karyawan) merupakan kehadiran karyawan secara psikologis (dengan penuh kesadaran)

di tempat kerjanya karena: (a) memperoleh kebermaknaan secara psikologis dan (b)

merasa aman secara psikologis dan (c) secara psikologis menyediakan diri menjalankan

peran atau tanggung jawabnya (Kahn,1990).

Keterikatan kerja dinilai penting dalam memprediksi hasil kerja karyawan

(employee outcomes), keberhasilan organisasi (organizational success) dan kinerja

Page 20: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

6

finasial perusahaan (Harter et al., 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Luthans et al.

(2007) menemukan adanya pengaruh psychological capital (self efficacy, hope,

optimism & resiliency) terhadap keterikatan kerja karyawan. Psychological capital

merupakan keadaan perkembangan psikologis seseorang yang terdiri dari karakteristik

adanya kepercayaan diri dalam semua tugas, optimisme, harapan serta tingkat resiliensi

yang merupakan kemampuan untuk bertahan dan maju ketika dihadapkan pada sebuah

masalah (Luthans et al., 2007).

Beberapa penelitian menyebutkan pentingnya konsep psychological capital

dalam suatu organisasi. Luthans et al.(2007) menyebutkan bahwa psychological capital

berhubungan dengan performa dan juga kepuasan kerja, baik pada karyawan yang

bekerja dibidang manufaktur atapun bidang jasa. Avolio (dalam Luthans et al.,2007)

menjelaskan bahwa psychological capital dapat digunakan untuk meningkatkan

kompetisi dalam mencapai keuntungan dan kesuksesan perusahaan. Psychological

capital danggap dapat menawarkan sebuah potensi yang dinamis dan mampu

berkembang sepanjang masa (luthans, Youssef & Avolio, 2007). Psychological capital

merupakan konstruk yang sedang berkembang saat ini (Shahnawaz & Jafri, 2009) yang

diajukan sebagai salah satu konsep penting yang dapat membantu menjelaskan masalah

manusia dalam organisasi. Pratiwi (2011) menemukan keterkaitan antara psychological

capital dan penerimaan organisasi dengan keterikatan kerja yang dilakukan pada

perusahaan BUMN.

Menurut penulis, munculnya pemahaman baru mengenai psikologi positif dapat

meningkatkan kesadaran akan pentingnya kekuatan psikologi positif dalam menjelaskan

Page 21: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

7

fungsi manusia. Dengan kekuatan positif yang dimiliki manusia memiliki potensi untuk

menghasilkan produktivitas yang lebih baik dalam organisasinya. Penulis berpendapat

bahwa untuk mewujudkan aparatur pemerintahan yang baik dan bersih (good

governance and clean government), sumber daya manusia dalam hal ini pegawai negeri

sipil (PNS) perlu mengembangkan aspek-aspek positif dalam dirinya. Dengan demikian

penting bagi institusi memfokuskan kosentrasi pada kekuatan potensi positif psikologis

yang dimiliki oleh karyawan.

Terkait dengan kemajuan organisasi, Page (2005) menyatakan bahwa

kesejahteraan pegawai (karyawan) di lingkungan kerja atau biasa dikenal dengan istilah

workplace well-being (WWB) memberikan efek yang besar bagi kemajuan organisasi.

Workplace well-being merupakan kesejahteraan (well-being) yang diperoleh karyawan

dari hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya yang terdiri atas perasaan menyeluruh

(core affect) disertai kepuasan terhadap nilai-nilai instrinsik dan ekstrinsik dari

pekerjaan (work values). Core affect dapat diartikan sebagai perasaan individu secara

umum dimana terdapat rasa nyaman atau tidak nyaman serta dorongan yang

mempengaruhi aktivitas seseorang. sementara work values merujuk pada aspek-aspek

penting dari pekerjaan yang membuat individu menikmati pekerjaannya (Page, 2005).

Workplace well-being atau kesejahteraan karyawan merupakan salah satu faktor

kunci dalam memotivasi karyawan menuju kesuksesan organisasi atau perusahaan. Oleh

karena itu, penting bagi perusahaan untuk memperhatikan kesejahteraan karyawan,

dimana kesejahteraan karyawan akan berdampak pada kesehatan karyawan baik fisik

maupun psikis (Harter et al., 2003). Karyawan yang sehat dan sejahtera dapat

Page 22: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

8

meningkatkan kontribusi berharga mereka pada organisasi untuk mencapai

produktivitas organisasi yang lebih tinggi (Avey, Luthans, Smith & Palmer, 2010).

Lebih lanjut organisasi dengan karyawan yang memiliki tingkat well-being yang tinggi

dilaporkan memiliki beberapa keuntungan antara lain mendapatkan kepuasan dan

loyalitas konsumen yang lebih tinggi, lebih produktif dan tingkat turnover yang lebih

rendah (Harter & Schmidt, 2000; Harter et al.,2003).

Konsep mengenai workplace well-being yang disampaikan oleh Page (2005)

merupakan konstruk yang pararel/setara dengan subjective well-being. Subjective well-

being merupakan kebahagiaan atau yang digambarkan sebagai keadaan fikiran positif

yang meliputi keseluruhan pengalaman hidup seseorang (Page & Vella-Brodrick, 2009).

Secara umum, kesuksesan yang dimunculkan oleh well-being dapat terjadi dalam

berbagai domain kehidupan, termasuk dalam dunia kerja (Avey,Luthans, Smith &

Palmer 2010). Tingkat well-being individu yang tinggi akan membuat karyawan lebih

terikat dengan pekerjaannya, memperoleh pendapatan yang lebih baik, memiliki

hubungan yang baik dengan atasan dan rekan kerja, serta membuat karyawan

mempunyai rasa memiliki pada organisasi (George & Brief,1992 dalam Russel 2008).

Dari pemaparan diatas penulis berpendapat bahwa workplace well-being

menjadi faktor penting karena dapat mempengaruhi kesejahteraan individu secara

keseluruhan. Terlebih hal ini disebabkan karena individu dewasa pada umumnya

menghabiskan sebagian besar waktunya di lingkungan kerja ( Harter, Schmidt & Keyes,

2002; Russel, 2008). Untuk menciptakan organisasi dengan pegawai (aparatur) yang

unggul di Kementerian X, pemerintah melalui MENPAN Nomor

Page 23: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

9

PER15/M.PAN/7/2008 (Itjen 2009) mengeluarkan Pedoman Umum Reformasi

Birokrasi seperti: (1) Birokrasi yang bersih yaitu birokrasi yang sistem dan SDM

(aparat) bekerja atas dasar aturan dan koridor nilai-nilai yang dapat mencegah

timbulnya berbagai tindakan penyimpangan dan perbuatan tercela. Birokrasi yang

bersih ditandai dengan (a) keimanan yang kuat; (b)tidak melakukan korupsi karena

jabatan dan wewenang yang dimilikinya; (c) tidak melakukan kolusi atau

persekongkolan jahat yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya dan

golongannya; (d) tidak melakukan tindakan nepotisme karena rekruitmen dan promosi

jabatan berdasar merit system; (e) jujur dan berjiwa besar; (f) mencintai tugas dan

pekerjaannya; (g) kreatif dan inovatif dalam melaksanakan tugas. (2) Birokrasi yang

efisien,efektif dan produktif yaitu birokrasi yang mampu memberikan dampak positif

kepada masyarakat dan mampu menjalankan tugas secara tepat, cepat, berdaya guna dan

berhasil guna. (3) Birokrasi yang transparan yaitu birokrasi yang membuka diri terhadap

hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak diskriminatif dengan

tetap perlindungan atas hak asasi pribadi,golongan dan rahasia negara. Inti dari

transparansi ini adalah kejujuran dalam pengelolaan birokrasi yang menyangkut hajat

hidup masyarakat. (4) Birokrasi yang melayani masyarakat yaitu birokrasi yang tidak

minta dilayani masyarakat tetapi memberi pelayanan prima pada masyarakat. (5)

Birokrasi yang akuntabel, yaitu birokrasi yang bertanggung jawab atas hasil setiap

proses dan kinerja hasil akhir dari setiap program.

Kementerian X memiliki karakteristik yang dikelompokkan dalam 3 ranah,

(Itjen, 2009) yaitu: (a) melayani dengan fokus memudahkan pelayanan; (b)

Page 24: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

10

memberdayakan dengan fokus memberi peluang membantu memecahkan persoalan

yang dihadapi; (c) menjadi teladan dengan fokus Kementerian X sebagai sumber

inspirasi dan teladan dalam mengawal bangsa. Menurut penulis, sebagai bagian dari

aparatur negara, potensi sumber daya manusia Kementerian X idealnya terus

dimaksimalkan agar mampu menciptakan kualitas pelayanan prima kepada masyarakat.

Dengan fitrah kemanusiaan yang dimiliki, aparatur sumber daya manusia

Kementerian X diharapkan mampu menjadi teladan dalam berkhidmat pada bangsa dan

negara. Fitrah manusia pada prinsipnya positif dan cenderung mencari kebenaran.

Fitrah dapat dimaknai sebagai sifat-sifat ketuhanan yang ditiupkan pada setiap manusia

sebelum dilahirkan. Implikasi fitrah dalam kehidupan manusia dapat dikaji melalui

beberapa pendekatan. (1) pendekatan teologis: manusia membutuhkan agama yang

membimbing kehidupan spiritualnya. (2) pendekatan falsafi: manusia memiliki qalbu

dan akal pikiran yang memungkinkannya memahami sumber pengetahuan dan wahyu

untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. (3) pendekatan psikologis: manusia

memiliki perasaan yang baik sejak dilahirkan dan karenanya berpotensi berbuat baik

pula. (4) pendekatan pragmatis dalam bekerja: nilai kesadaran akan keberadaan Tuhan

sebagai zat yang Maha Mengawasi, nilai kesucian dan kebersihan yang mendorong

manusia untuk bekerja secara bersih tanpa penyimpangan, nilai kebaikan yang

mendorong untuk bekerja secara serius,disiplin dan bertanggungjawab, nilai keadilan

sebagai manusia, nilai toleransi, nilai persaudaraan, nilai cinta kasih dan nilai kejujuran

(Itjen, 2011). Sebagaimana firman Allah SWT (QS. Al-Syams(91):7-10) “dan jiwa

serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan

Page 25: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

11

dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan

sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.

Kementerian X, sesuai dengan paparan di atas, idealnya melakukan upaya

pengembangan budaya kerja aparatur untuk mewujudkan aparatur negara yang memiliki

budaya kerja tinggi dengan indikator utama tidak memiliki niat berbuat menyimpang

dan senantiasa memiliki etos kerja tinggi untuk dapat memperoleh kinerja maksimal

sesuai tugas dan fungsinya. Sebagai bagian dari keseluruhan penyelenggaraan reformasi

birokrasi pemerintah, maka pelaksanaan reformasi Kementerian X (Itjen, 2009)

dilakukan secara sistemik dan komprehensif, mengingat: (1) kelembagaan/organisasi

masih sangat gemuk; (2) SDM aparatur dengan jumlah, kompetensi, penyebaran yang

tidak sesuai dengan kebutuhan, tingkat etos kerja, etika kerja, budaya kerja dan

kesejahteraan yang rendah; (3) ketatalaksanaan masih banyak yang kurang efektif, rumit

dan belum mempunyai standar operasional prosedur yang jelas.

Pelaksanaan reformasi birokrasi membuahkan banyak persepsi dari PNS di

Kementerian X, antara lain sebagaimana didapatkan dalam sebuah interview yang

dilakukan penulis di suatu komunitas: (1) “Sulit menemukan keterikatan kerja pada

pegawai negeri sipil (PNS)”, (2)“Kalaupun ada keterikatan kerja itu hanya

dikarenakan mereka membutuhkan peningkatan gaji, butuh kesejahteraan yang lebih

baik”,(3)“sangat birokratis, tidak familiar dengan tehnologi,“tidak ramah publik”, (4)

“PNS Kementerian X melakukan korupsi karena mereka tahu cara bertaubatnya, (5)”

“tidak ada supervisi yang jelas”, dan (6) “prestasi kerja bukan jaminan untuk dapat

menduduki suatu jabatan, tetapi suka-suka pimpinan mau pilih siapa”. Namun ada

Page 26: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

12

juga yang menyatakan: “menjadi PNS Kementerian X sama artinya dengan menjadi

penjaga moral bangsa, maka harus bekerja penuh dedikasi,mestinya PNS Kementerian

X bisa menjadi teladan, profesional berkhidmat untuk bangsa”.

Sejauh ini, penulis tidak banyak menemukan studi literatur yang mengukur

pengaruh psychological capital dan workplace well-being terhadap employee

engagement (keterikatan kerja) pada aparatur negara (Pegawai Negeri Sipil). Maka dari

itu, situasi ini menjadi pertanyaan bagi penulis, apakah kesejahteraan karyawan pada

aparatur negara (PNS) dapat mempengaruhi keterikatan kerja karyawan? modal potensi

positif apa yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan keterikatan kerja karyawan?

Pertanyaan diatas mendorong penulis untuk melakukan penelitian pada PNS di

Kementerian X. Penulis tertarik untuk meneliti: “Psychological Capital (PsyCap) dan

Workplace Well-Being (WWB) sebagai prediktor Employee Engagement (keterikatan

kerja karyawan) pada pegawai Kementerian X”

1.2 RUMUSAN MASALAH

Dalam penelitian ini, penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut: (1) Apakah

Psychological Capital dapat menjadi prediktor terhadap keterikatan kerja karyawan

pada pegawai Kementerian X? (2) Apakah Workplace Well-Being dapat menjadi

prediktor terhadap keterikatan kerja karyawan pada pegawai Kementerian X? (3)

Variabel psychological capital atau variabel Workplace well-being yang paling besar

dalam menjadi prediktor keterikatan kerja karyawan?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Page 27: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

13

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui: (1) Apakah psychological capital dapat

menjadi prediktor terhadap keterikatan kerja karyawan pada pegawai Kementerian X?

(2) Apakah workplace well-being dapat menjadi prediktor terhadap keterikatan kerja

karyawan pada pegawai Kementerian X? (3) Variabel psychological capital atau

variabel workplace well-being yang paling besar dalam menjadi prediktor keterikatan

kerja karyawan?

2. Manfaat Penelitian

2.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan: (1) dapat menambah khasanah teori dalam bidang Psikologi

Industri dan Organisasi utamanya mengenai pengaruh psychological capital dan

workplace well-being terhadap employee engagement (keterikatan karyawan) pada

Pegawai Negeri Sipil (PNS). (2) Menyempurnakan alat ukur psychological capital dan

workplace well-being yang sesuai dengan konteks PNS.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan: (1) dapat memberikan gambaran awal mengenai

keterikatan kerja karyawan pada PNS di Kementerian X. (2) dapat memberikan

gambaran awal mengenai psychological capital pada PNS di Kementerian X. (3)dapat

memberikan gambaran awal mengenai workplace well-being pada PNS di Kementerian

X. (4) Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi upaya

Page 28: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

14

pengembangan sumber daya manusia di lingkungan pemerintah khususnya di

Inspektorat Jenderal serta Pusat Pendidikan dan Latihan Kementerian X.

1.4 SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan tesis terdiri dari beberapa bagian, antara lain: Bab (1) merupakan

bab pendahuluan. Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab (2)

merupakan bab tinjauan pustaka dari variabel penelitian yang ada. Definisi dan faktor

yang mempengaruhi keterikatan kerja karyawan. Uraian tentang definisi dan faktor

yang mempengaruhi psychological capital serta definisi dan faktor yang mempengaruhi

workplace well-being. Bagian terakhir dari bab 2 menjelaskan model dan hipotesis

penelitian . Bab (3) merupakan bab metode penelitian. Metode dalam penelitian

psychological capital dan workplace well-being sebagai prediktor terhadap keterikatan

kerja karyawan. Meliputi metode, populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi

operasional. Alat/Instrumen Pengumpulan data,pengolahan data, pengembangan alat

ukur, analisis deskriptif tentang subyek penelitian. Bab (4) merupakan bab hasil dan

interpretasi penelitian. Hasil penelitian mengenai psychological capital dan workplace

well-being sebagai prediktor terhadap keterikatan kerja karyawan, Rangkuman analisis.

Bab (5) merupakan bagian penutup dari penelitian. Bab ini membahas mengenai

simpulan, diskusi dan saran. Pada bagian terakhir terdapat daftar pustaka dan lampiran.

Page 29: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

15

BAB II

KAJIAN TEORI

Dalam pengkajian teroretis ini, dibahas tentang teori employee engagement (keterikatan

kerja karyawan) psychological capital dan workplace well-being serta faktor-faktor

yang berperan didalamnya. Selain itu, juga dijabarkan mengenai kerangka pemikiran

dalam sebuah model beserta variabel didalamnya, definisi operasional yang digunakan

dan hipotesis yang diajukan.

2.1 Keterikatan Kerja Karyawan

2.1.1. Konsep Keterikatan Kerja Karyawan

Konsep keterikatan kerja karyawan memiliki definisi yang beragam. Beberapa istilah

yang digunakan oleh para akademisi untuk menjelaskan keterikatan kerja karyawan

yaitu: personal engagement (Kahn, 1990), employee engagement (Saks, 2006) dan work

engagement (Schaufeli & Bakker, 2004) – selanjutnya dalam tesis ini, penulis akan

menggunakan istilah “keterikatan kerja karyawan” sebagaimana dikemukakan oleh

Soebandono (2011).

Dalam literatur psikologi, konsep keterikatan kerja karyawan pertama kali

dikembangkan oleh Kahn pada tahun 1990 (Kular et al., 2008). Kahn (1990)

menggunakan istilah (term) personal engagement untuk menjelaskan keterikatan kerja

karyawan. Pengertian personal engagement menurut Kahn (1990, halaman: 694)

adalah:

Page 30: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

16

“...as the harnessing of organization members‟ selves to their work role; in

engagement, people employ and express themselves pshisically, cognitively and

emotionally during role performances..”.

Keterikatan kerja merupakan keadaan dimana individu memfasilitasi diri secara

kognitif, emosional dan fisik dalam peran kerjanya. Dengan demikian, karyawan yang

memiliki keterikatan kerja akan melakukan banyak usaha dalam pekerjaan, karena

individu tersebut mengidentifikasi dirinya pada peran kerjanya. Menurut Kahn (1990)

keterikatan kerja terjadi ketika individu memiliki kesadaran psikologis (psychological

presence) akan kehadiran dirinya di tempat kerjanya. Psychological presence

merupakan kondisi ketika individu merasakan dan menjadi perhatian, menyatu dan

fokus terhadap tanggung jawabnya. Keterikatan kerja menurut Kahn (1990) diperoleh

karena: (1) didapatkannya keberartian atau kebermaknaan secara psikologis

(psychological meaningfulness), (2) adanya rasa aman secara psikologis (psychological

safety), serta (3) keberadaan atau kesediaan dirinya (psychological availability).

Schaufeli, Salanova et al. (2002, halaman: 74) menyatakan bahwa keterikatan

kerja didefinisikan sebagai:

a positive, fulfilling, work related state of mind that is characterized by vigor,

dedication and absorption”.

Keterikatan kerja merupakan pemikiran positif dengan ciri-ciri yang mencakup (1)

Vigor, menunjukkan tingkat energi yang tinggi dan “daya lenting” dalam bekerja,

kemauan untuk berusaha lebih banyak dalam pekerjaannya, kemampuan untuk

Page 31: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

17

mencegah terjadinya kelelahan dan kemampuan secara persisten dalam menghadapai

tantangan saat bekerja; (2) Dedication, ditandai dengan melibatkan diri secara aktif

dalam bekerja, antusias, memiliki kebanggaan dan inspirasi terhadap pekerjaannya; dan

(3) Absorption, merupakan suatu karakteristik keadaan dimana individu merasakan larut

dalam pekerjaan, merasa waktu berjalan begitu cepat dan sulit untuk melepaskan diri

dari pekerjaannya. Selain itu ditegaskan oleh Schauefeli (2002) bahwa absorbsi ditandai

dengan perhatian yang terfokus, fikiran yang jernih, kesenangan yang berasal dari

dalam diri, kehilangan kesadaran diri , distorsi waktu, merasa sangat berarti dan mudah

berkosentrasi. Schaufeli dan Bakker (2010) menegaskan bahwa keterikatan kerja

merupakan sebuah konstruk yang berdiri sendiri yang didefinisikan sebagai suatu yang

positif, keadaan fikiran yang berhubungan dengan kesejahteraan pekerjaan dan

memenuhi diri yang memiliki karakteristik energi tingkat tinggi dan teridentifikasi kuat

dalam suatu pekerjaan.

Dalam pandangan Harter, Schimidt dan Keyes (2002) keterikatan kerja

dimaksudkan sebagai sebuah keterlibatan karyawan yang mencakup kepuasan dan

antusiasmenya dalam melakukan pekerjaan. Wefald dan Downey (2008) menyatakan

bahwa keterikatan kerja merupakan suatu keadaan di mana individu merasakan puncak

terpenuhinya kepuasan dalam kerjanya. Menurut Csikszentmihalyi (dalam Albrecht

2010) ada dua aspek penting berkaitan dengan keterikatan kerja, yaitu: (a) job value,

nilai pekerjaan yang meningkatkan citra diri individu; (b) flow, sebagai puncak dari

kondisi kognitif individu dan suatu pengalaman yang dialaminya secara sadar, penuh

Page 32: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

18

perhatian terhadap tercapainya suatu tujuan.

Macey et al. (2009, halaman: 7) memaknai kerterikatan kerja dengan pengertian:

“an individual‟s sense of purpose and focused energy, evident to others in the

display of personal iitiative adaptability, effort, and persintence directed toward

organizational goals”.

Dari ulasan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa keterikatan kerja merupakan

tujuan dan fokus dari energi individu yang terlihat dari perilaku seperti inisiatif

personal,berusaha dan tidak menyerah dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam

disertasinya, Soebandono (2011) menjelaskan bahwa keterikatan kerja adalah suatu

konstruk yang merupakan persenyawaan (amalgam) dari beberapa konstruk yang

berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan kaitannya satu dengan lainnya. Keterikatan kerja

terjadi karena karyawan sadar atas keberadaannya secara psikologis di tempat kerjanya,

karena: (a) memperoleh kebermaknaan secara psikologis, (b) mendapat rasa aman

secara psikologis dan (c) menyatakan kesediaan diri secara psikologis untuk

menjalankan peran atau tanggung jawabnya. Di dalam keterikatan kerja tersebut

terdapat tiga elemen yang tidak terpisahkan dan tampil secara bersamaan , yaitu : (1)

keterikatan secara kognitif, (2) keterikatan secara emosional, dan (3) keterikatan secara

fisikal.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep yang disampaikan oleh Kahn

(1990), bahwa employee engagement atau keterikatan kerja karyawan merupakan

keadaan dimana individu memfasilitasi diri secara kognitif, emosional dan fisik dalam

peran kerjanya. Alasan menggunakan teori Kahn (1990) dikarenakan pengertian

Page 33: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

19

keterikatan kerja menurut Kahn lebih menunjukkan keterikatan kerja secara hampir

menyeluruh yaitu psikologis, emosional dan fisik. Definisi operasional yang digunakan

penulis adalah keterikatan kerja karyawan merupakan kehadiran karyawan dengan

penuh kesadaran ditempat kerjanya karena: (a) memperoleh kebermaknaan secara

psikologis dan (b) merasa aman secara psikologis dan (c) secara psikologis

menyediakan diri menjalankan peran atau tanggung jawabnya untuk membantu

pencapaian tujuan organisasi.

2.1.2 Dimensi Keterikatan Kerja Karyawan

Menurut Kahn (1990) keterikatan kerja karyawan terdiri dari beberapa dimensi yaitu:

keterikatan kerja kognitif (cognitive engagmennt), keterikatan kerja emosional

(emotional engagement), dan keterikatan kerja fisik (physical engagement).

Schaufeli et al. (2004) menyatakan bahwa keterikatan kerja karyawan memiliki

beberapa dimensi yaitu: gairah kerja atau semangat (vigor), dedikasi (dedication) dan

meresap atau larut (absorb) dalam pekerjaan. Semangat atau gairah kerja merupakan

tingkatan energi tinggi serta ketahanan mental yang besar ketika individu

menyelesaikan pekerjaannya, memiliki kemauan untuk berupaya ekstra dan tetap

konsisten pada saat menghadapi kesulitan dalam bekerja. Dedikasi adalah karakteristik

yang merujuk pada perasaan yang kuat, keterlibatan yang tinggi pada pekerjaan,

antusiasme, terinspirasi, memiliki rasa bangga, dan penuh tantangan. Larut dalam

pekerjaan merujuk pada karakteristik penuh kosentrasi dan perasaan senang terhadap

pekerjaan, waktu dirasakan berjalan cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan.

Page 34: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

20

Menurut Soebandono (2011) keterikatan kerja karyawan merupakan

persenyawaan (amalgam) dari beberapa konstruk yang berkaitan, dan tidak bisa

dipisahkan kaitannya satu dengan lainnya. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan

dimensi keterikatan kerja sebagai suatu kesatuan konstruk yang berkaitan dan tidak

terpisahkan antara satu dengan lainnya.

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterikatan Kerja Karyawan

Merujuk pada landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini (Kahn, 1990)

menyatakan bahwa keterikatan kerja dapat diperoleh dari: kebermaknaan secara

psikologis (psychological meaningfulness); rasa aman secara psikologis (psychological

safety); serta keberadaan atau kesediaan diri (psychological availability). Menurut

Ferguson (2007) Kebermaknaan secara psikologis merupakan kondisi psikologis yang

dimaknai dengan: (a) individu merasa bermakna (psychological meaningfulness), rasa

bahwa apa yang dikerjakannya berguna, bermanfaat (bisa dipakai) dan bernilai; (b)

tidak merasakan perbedaan, diperlakukan secara adil dan tidak disepelekan; (c)

pekerjaan yang dipunyai diakui telah memberi makna pada organisasi.

Kahn (1990) mengungkapkan ada tiga faktor yang mempengaruhi

kebermaknaan psikologis, yaitu: (a) karakteristik tugas, ketika seseorang mengerjakan

tugas yang menantang, jelas, bervariasi, kreatif dan memungkinkan karyawan memiliki

otonomi, ia cenderung mengalami kebermaknaan psikologis; (b) karakteristik peran,

ketika seseorang mampu untuk mempengaruhi, menempati posisi yang bermakna dalam

sistemnya dan memperoleh status yang diinginkan, maka ia akan memperoleh

Page 35: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

21

kebermaknaan psikologis; (c) interaksi kerja, ketika performa kerja seseorang, termasuk

didalamnya memeiliki interaksi interpersonal yang berharga dengan rekan kerja dan

klien, maka ia juga akan mengalami kebermaknaan psikologis.

Rasa aman secara psikologis (psychological safety) menurut Kahn (1990) ketika

individu dapat menunjukkan diri tanpa harus merasa takut terhadap kemungkinan

adanya konsekuensi negatif terhadap citra diri, status atau karirnya. Ada empat faktor

yang secara langsung mempengaruhi keamanan psikologis, yaitu: hubungan

interpersonal, dinamika kelompok, gaya manajerial dan norma organisasi. Kesediaan

diri (psychological availability) dimaknai jika karyawan memiliki sumberdaya yang

diperlukan: peralatan, perlengkapan dan informasi untuk mengerjakan pekerjaannya.

Menurut Kahn (1990) ada empat hal yang dapat menggangu adanya ketersediaan

psikologis, yaitu: (a) kehabisan energi fisik; (b) kehabisan energi emosional; (c)

perasaan tidak nyaman terhadap status pekerjaan; (d) kehidupan di luar pekerjaan.

Menurut Gallup (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja

adalah : (1) rasa percaya dan integritas; (2) pekerjaan yang menstimulasi mental; (3)

keserasian antara kinerja individual dengan kinerja organisasi; (4) kesempatan untuk

mengembangkan karir; (5) rasa bangga terhadap hubungan dengan organisasi; (6)

hubungan dengan rekan kerja; (7) pengembangan karyawan; (8) hubungan dengan

atasan kerja. Penelitian Schaufeli dan Bakker (2004) mengenai prediktor keterikatan

kerja karyawan dengan menggunakan Job Demands – Resources Model, menunjukkan

hasil bahwa Job resources merupakan merupakan prediktor utama keterikatan kerja

karyawan , dimana individu yang terikat dengan pekerjaannya memiliki banyak sumber

Page 36: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

22

untuk penyelesaian tugas pekerjaan (Bakker, Demerouti & Schaufeli (2005).

Dalam pandangan Schaufeli dan Salanova (2007), agar dapat menjadi lebih

maju, berkembang dan bertahan di dalam lingkungan bisnis yang mudah berubah,

organisasi membutuhkan sumber daya manusia yang sehat dan termotivasi. Schaufeli

dan Bakker (2004) menyebutkan bahwa ketersediaan sumber daya lain dalam pekerjaan

seperti dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan, umpan balik performa kerja, variasi

tugas, kemandirian dalam bekerja,kesempatan belajar serta fasilitas pelatihan akan

mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan. Faktor ini menunjukkan bahwa

kenyamanan dan kesejahteraan yang didapatkan seseorang dari pekerjaan dan

lingkungan pekerjaannya akan memiliki dampak terhadap keterikatannya dengan

pekerjaan. Sebaiknya perhatian organisasi tidak hanya pada kinerja pegawai, namun

juga kapasitas psikologis, kesehatan dan kesejahteraan pegawai (Schaufeli & Salanova,

2007). Hal ini didukung oleh Ulrich (2007, halaman: 125) yang menyatakan:

“employee contribution becomes a critical business issue because in trying to

produce more output with less input, companies have no choice but to try to

engage not only the body but the mind and soul of every employee”,

Pernyataan Ulrich (1997) menunjukkan bahwa kontribusi pegawai menjadi masalah

yang penting, karena dalam usaha untuk menghasilkan dengan bahan yang terbatas

namun harus mendapatkan hasil yang maksimal. Untuk itu, organisasi tidak punya

pilihan lain, selain meningkatkan keterikatan kerja bagi pegawai, tidak hanya fisiknya

namun juga jiwanya.

Page 37: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

23

Penulis berpendapat, untuk mendapatkan keterikatan kerja karyawan, maka

diperlukan suatu kondisi psikologis dari karyawan yang dapat mendukung terciptanya

tujuan organisasi, selain itu juga diperlukan suatu kondisi yang nyaman dan sehat

ditempat kerja, terkait hubungan karyawan dengan rekan kerja, atasan dan kondisi

organisasi secara umum.

2.2. Psychological Capital

2.2.1 Definisi Psychological Capital

“Psychological capitasl is an individual positive psychological state

development and is characterized by: (1)having confidence (self efficacy) to take

on and put in the necessary effort to succed at challenging tasks; (2) making a

positive attribution (optimism) about succeeding now and in the future; (3)

persevering toward goals and,when necessary,redirecting paths to

goals(hope)in order to succeed;and (4) when beset by problems and

adversity,sustaining and bouncing back and evend beyond (resiliency) to attain

success” (Luthans, Youssef, Avolio, 2007, halaman:3)

Berdasarkan definisi diatas, maka psychological capital dapat dijelaskan sebagai

keadaan perkembangan psikologis yang positif dan terdiri dari karakteristik:(1)

kepercayaan diri (efikasi diri) dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup

berhasil pada tugas yang menantang; (2) membuat atribusi yang positif tentang

kesuksesan dimasa sekarang dan masa depan atau yang akan datang (optimisme);

(3)memiliki harapan dalam mencapai tujuan dan mencari jalan lain jika diperlukan

Page 38: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

24

dalam rangka mencapai tujuan (harapan); (4) ketika dihadapkan pada masalah dan

rintangan dapat bertahan dan bangkit kembali dan bahkan dapat melebihi untuk

mencapai kesuksesan atau disebut dengan resiliensi. (Luthans, Youssef &

Avolio,2007).

Luthans et al.(2007) berpendapat bahwa psychological capital merupakan

perkembangan dari konsep positive psychology. Konsep Positive Psychology dalam

dunia kerja dikenal dengan istilah Positive Organizational Behaviour (Luthans,

Youssef & Avolio, 2007). Positive Organizational Behaviour (selanjutnya juga disebut

sebagai POB) didefinisikan sebagai sebuah studi dan aplikasi yang positif; menekankan

pada kekuatan sumber daya manusia dan kapasitas psikologi yang dapat di

ukur,berkembang dan diatur secara efektif untuk kemajuan performa pada dunia kerja

Definisi positive organizational behaviour tersebut menekankan pada adanya sebuah

konstruk yang positif, state like dan dapat berkembang (open to development).( Luthans,

et al., 2007) .

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan definisi psychological capital yang

disampaikan oleh Luthans (2007) psychological capital merupakan sebuah kapasitas

psikologis individu yang berkembang dengan karakteristik: (1) memiliki keyakinan

terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan memberikan usaha yang cukup agar

berhasil dalam melakukan tugas yang menantang (self efficacy). (2) membuat atribusi

yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan (optimism). (3) memiliki

harapan untuk mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan atau mencari jalan lain

untuk mencapai tujuan (hope) dan (4) ketika dihadapkan pada masalah dan tantangan

Page 39: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

25

dapat bertahan dan bangkit kembali bahkan lebih dalam meraih kesuksesan – yang

dikenal sebagai resiliency (Luthans, Youssef, dan Avolio, 2007). Definisi operasional

yang digunakan penulis mengenai psychological capital adalah kapasitas psikologis

individu yang positif yang terdiri dari self efficacy, optimisme, harapan dan kemampuan

untuk bangkit kembali meraih kesuksesan (resiliensi).

2.2.2 Karakteristik Psychological Capital

Merujuk pada definisi yang disampaikan Luthans (2007) psychological capital memiliki

beberapa karakteristik yang saling berintegrasi dan terkait yaitu: efikasi diri (self

efficacy), harapan (hope) optimisme (optimism) dan resiliensi (reciliency). Stajkovic

dan Luthans (dalam Luthans et al., 2007 halaman:38) mendefinisikan efikasi diri

berdasarkn teori Bandura dalam dunia kerja sebagai:

“„one‟s conviction (or confidence) about his or her abilities to mobilize the

motivation,cognitive resources and courses of action needed to successfully execute a

specific task within a given contect” .

Efikasi diri merupakan sebuah keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya untuk

mengerahkan motivasi, sumber-sumber kognitif dan sejumlah tindakan yang diperlukan

untuk berhasil dan sukses dalam menjalankan tugasnya. Efikasi diri juga merupakan

domain spesifik yang terbukti memiliki pengaruh positif dalam berbagai aplikasi pada

dunia kerja (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Luthans et al. (2007) menyebutkan

lima karakteristik yang dapat membedakan individu dengan efikasi diri yang baik, yaitu:

(1) menentukan target yang tinggi untuk dirinya dan memilih tugas-tugas yang sulit; (2)

Page 40: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

26

menerima dan berkembang dengan adanya tantangan; (3) memiliki motivasi diri yang

tinggi; (3) mengerahkan usaha-usaha yang diperlukan untuk mencapai tujuannya; (4)

gigih ketika dihadapkan pada hambatan. Individu dengan efikasi diri yang tinggi tidak

akan menunggu tantangan menghampiri mereka. Sementara itu individu dengan efikasi

diri yang rendah cenderung ragu, skeptis dan sering mengulangi kesalahan terdahulu.

Efikasi diri juga dianggap berfungsi efektif saat individu berada dalam keadaan stres,

takut dan tertantang. Lebih lanjut juga ditegaskan jika efikasi diri sangat berpotensi

menjadi kekuatan sangat besar yang berdampak pada performa kerja dan kesuksesan

individu, kelompok dan organiasi.

Bandura (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) menjelaskan cara yang

dapat digunakan dalam mengembangkan efikasi diri : (1) task mastery, dimana individu

merasa yakin untuk dapat melakukan tugas tertentu dikarenakan keberhasilan

melaksanakan tugas tersebut sebelumnya. (2) Vicarious learning. Individu belajar dari

sukses orang lain. (3) Umpan balik yang diterima dari atasan kerja yang dihormati

(feedback positif). SnyAnderson

Snyder, Irving dan Anderson (dalam Luthans 2010) mendefinisikan harapan

sebagai keadaan motivasional positif yang didasarkan pada proses interaktif yang

berusaha mendapatkan kesuksesan dengan tetap realistis untuk mencapai tujuan dan

pathways (perencanaan untuk mencapai tujuan). Berdasarkan definisi tersebut,maka kita

melihat dalam harapan terkandung 2 hal penting yaitu adanya keyakinan bahwa dirinya

mencapai target yang menantang namun tetap realistis (agency) dan adanya keyakinan

bahwa dirinya mampu untuk membuat berbagai cara alternative untuk mencapai tujuan

Page 41: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

27

yang diinginkan ketika cara yang utama terhambat (pathways). Harapan biasa ditemui

dalam bahasa sehari-hari. Namun, Luthans menyatakan bahwa harapan pada konteks

psychological capital berbeda dengan harapan pada umumnya. Aspek pathways yang

melekat pada dimensi ini pada aspek pathways, dan tidak melihat adanya

alternative,maka dapat digambarkan bahwa individu ini tidak hanya mengalami frustasi

tetapi juga belajar menolong dirinya.

Optimisme dimaksudkan sebagai sisi positif dari emosi yang digunakan untuk

menjelaskan kejadian baik dan buruk. Lebih lanjut juga dijelaskan bahwa optimisme

merupakan sebuah cara yang menjelaskan bahwa kejadian positif disebabkan karena

faktor pribadi, permanen dan mudah menyebar. Sementara kejadian dilihat sebagai

kejadian yang disebabkan oleh factor eksternal, bersifat sementara dan specific pada

saat kejadian saja. Merujuk definisi diatas, Envick (2005) menyatakan bahwa optimisme

memiliki 2 aspek yaitu: permanen dan pervasive, dimana aspek permanen berkaitan

dengan hal waktu dan pervasive berkaitan dengan tempat. Individu yang optimis akan

melihat kejadian buruk yang terjadi hanyalah bersifat sementara dan dapat memberikan

penjelasan yang khusus mengenai kejadian tersebut. Di lain fihak, individu yang

pesimis akan melihat hal tersebut sebagai hal yang bersifat menetap dan juga

menjelaskan kejadian tersebut secara universal. Individu yang optimis melihat penyebab

dari suatu kejadian berada dibawah control dirinya. Mereka juga cenderung berharap

bahwa hal ini dapat terus berlanjut pada kejadian lain di masa depan. Dengan demikian

gaya optimis ini memungkinkan individu untuk memandang sesuatu secara positif dan

Page 42: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

28

menginternalisasi aspek - aspek baik tidak hanya pada masa lalu dan sekarang tapi juga

masa depan.

Resiliensi merupakan karakteristik psychological capital yang diartikan sebagai

bangkit kembali dari kesulitan, ketidakpastian, konflik, kesalahan atau bahkan

perubahan yang positif, kemajuan dan tanggungjawab yang bertambah (Luthans 2005).

Envick (2005) memodifikasi penjelasan Luthans mengenai resiliensi, dimana

menurutnya resiliensi merupakan sebuah proses untuk menyesuaikan diri dengan baik

ketika menghadapi tantangan,trauma, tragedy, ancaman atau bahkan penyebab stres

yang signifikan seperti kesalahan dalam bisnis. Penelitian juga menunjukkan bahwa

resiliensi merupakan hal wajar atau lazim (bukan sesuatu yang luar biasa) yang

umumnya ditunjukkan individu. Masten (dalam Luthans 2004) menyatakan bahwa

resiliensi dapat memiliki dampak yg mendalam untuk meningkatkan kompetensi dan

sumber daya manusia baik secara individu maupun dalam masyarakat. Merujuk pada

pendapat Coutu (dalam Luthhans 2004), individu yang memiliki resiliensi akan

menampilkn ciri: dapat menerima kenyataan, keyakinan yang mendalam bahwa hidup

itu bermakna dan memiliki kemampuan untuk menerima dan menyesuaikan diri

terhadap perubahan yang signifikan. Lebih lanjut Luthans et.al (2007) menunjukkan

adanya hubungan yang positif antara resiliensi dan performansi hasil kinerja.

Page 43: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

29

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological capital

Psychological capital dibangun dari pengertian „ siapa dirimu dan „kamu bisa menjadi

apa, berdasarkan pengembangan positif (Luthans, et.al., 2007). Oleh sebab itu Luthans

(2007) memasukan faktor-faktor: pengetahuan (knowledge,) ketrampilan (skills),

kemampuan teknikal serta pengalaman sebagai faktor-faktor yang berperan dalam

mempengaruhi psychological capital. Faktor-faktor tersebut merupakan bagian dari

“siapa dirimu”dan juga group-level metaconstruct seperti social support & network of

relationships juga merupakan bagian dari siapa dirimu (Sarason, dalam Luthans 2007).

Psychological capital mengenali pergerakan dari diri sebenarnya atau actual self

(human social & psychologi) menuju potensi diri atau possible self (Avolio & Luthans,

2006).

Pada level individual, psychological capital merupakan sumber performa dan

berkembang. Pada level organisasi, psychological capital dapat memberikan pengaruh,

investasi kembali dan keuntungan yang kompetitif melalui peningkatan kinerja

karyawan (Luthans & Youssef, 2007). Hal yang dapat dirasakan organisasi dari

kehadiran psychological capital pada karyawan dan pegawai adalah adanya penurunan

pada tingkat ketidakhadiran (absen) pegawai,sinisme antar pegawai dan intensi untuk

meninggalkan perusahaan. Dalam penelitian yang sama juga ditemukan adanya

hubungan positif antara psychological capital dengan kepuasan kerja, komitmen

karyawan, perilaku kewarganegaraan organisasi, performa karyawan dan juga efektifitas

kepemimpinan (Luthans,Avolio,Walumbwa & Li, 2004 dalam Shahnawas dan Jafri

2009).

Page 44: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

30

Luthans et al. (2007) menjelaskan bahwa psychological capital merupakan

inti konstruk yang dapat memprediksi kinerja karyawan. Setiap dimensi psychological

capital secara independen dapat mempengaruhi performa karyawan pada organisasi.

Meski demikian Luthans, et al. (2007) menegaskan bahwa konsep psychological

capital secara keseluruhan akan memprediksi employee outcomes (misalnya performa

dan kepuasan kerja) dengan lebih baik jika dibandingkan kinerja independen setiap

dimensinya. Keseluruhan konsep psychological capital telah menjadi sebuah konstruk

utama (higher order construct) sehingga dapat lebih efektif dalam memprediksi

employee outcomes (Avey, Luthans, Smith & Palmer 2010)

Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa dengan

memperhatikan aspek pengetahuan, ketrampilan, jaringan sosial dan pengalaman pada

karyawan maka akan muncul pemahaman positif untuk mendapatkan psychological

capital dalam organisasi. Dengan adanya psychological capital diharapkan organisasi

akan mengembangkan potensi sumber daya manusianya, dimana individu dengan

psychological capital diharapkan dapat meningkatkan produktifitas demi mencapai

kesuksesan organiassi.

2.3. Workplace Well-being

2.3.1 Teori Workplace Well-being

Page dan Vella-Brodick (2009), menjelaskan bahwa konsep workplace well-being

merupakan konstruk yang paralel dengan konstruk subjective well-being dan

psychological well-being. Konsep ini menjadi landasan dalam membangun konsep

Page 45: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

31

kesehatan mental karyawan (employee mental health). Subjective well-being memiliki

definisi sebagai kebahagiaan,yang digambarkan sebagai keadaan pikiran positif yang

meliputi keseluruhan pengalaman hidup seseorang (Page & Vella-Brodrick, 2009).

Sebagaimana terlihat dalam bagan dibawah ini:

Gambar 2.1

Bagan Teori Employee Mental Health (Page & Vella-Brodrick, 2009)

Psychological well-being merupakan usaha keras yang dilakukan oleh

seseorang duntuk kesempurnaan dan potensinya, sedangkan Workplace well-being

merupakan komponen yang paling dekat hubungannya dengan karyawan dan

lingkungan kerja. Hal ini disebabkan karena workplace well-being fokus pada

kepuasan aspek-aspek pekerjaan dan work-related affect (Page dan Vella-Brodrick,

2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa workplace well-being ditandai dengan hadirnya

Kesehatan Mental Karyawan

( Employee Mental Health )

Kesejahteraan Respondentif

(Subjective Well-being)

Kesejahteraan Psikologis

(Psychological Well-being)

Kesejahteraan di lingkungan kerja (Workplace well-being)

Kepuasan hidup

life satisfaction

Dispositional

effect

Afek-afek dalam

ranah pekerjaaan

Kepuasan dalam

ranah pekerjaan

(satisfaction

Page 46: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

32

afek/persaan positif. Dalam Gambar 2.1. Page dan Vella-Brodrick (2009) menjabarkan

letak konsep workplace well-being dibandingkan konsep kesehatan positif lainnya.

Dalam gambar 2.1. dengan jelas terlihat bahwa kosep workplace well-being

merupakan salah satu konsep yang membentuk employee mental health dan memiliki

kedudukan yang setara/parallel dengan konsep-konsep subjective well-being dan

psychological well-being. Hal yang membedakan konsep workplace well-being dengan

kedua konsep lainnya adalah konsep ini menekankan pada kepuasan dan afek-afek

yang berhubungan dengan pekerjaan. Afek-afek yang berhubungan dengan pekerjaan

(work-related affect) terdiri dari komponen afek positif dan negative. Dalam hal

ini,kepuasan dalam bidang pekerjaan merupakan bentuk evaluasi kognitif mengenai

hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Sedangkan, afek yang berhubungan

dengan pekerjaan pekerjaan merupakan bentuk evaluasi afektif (emosional) terhadap

pekerjaannya. Namun demikian kedua hal pembentuk workplace well-being tersebut

sudah melebur menjadi satu dalam konstruk workplace well-being sehingga tidak dapat

dipisahkan unsur kognitif dan afektif dalam mengukur tingkat workplace well-being

seseorang (Page & Vell - Brodrick, 2009)

Dalam tulisannya Danna dan Griffin (1999 halaman 9) menyatakan:

“generally appears to encompass both physiological symtomlogy within a

more medical context and well-being should be used as approriate to include

context-free measures of life experiences and within the organizational

research realm to include both generalized job-related experiences”

Page 47: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

33

Dari pernyataan Danna dan Griffin (1999) di atas, dapat diketahui bahwa well-

being merupakan sebuah konstruk yang luas dan mencakup banyak hal seperti gejala-

gejala fisiologis dan psikologis yang berkaitan dengan medis, dan well-being itu sendiri,

yakni mencakup pengukuran terhadap kesejahteraan berdasarkan pengalaman hidup dan

pengalaman yang berkenaan dengan pekerjaan.

Menurut Page (2005, halaman 3) workplace well-being didefinisikan sebagai:

“The sense of well-being that employees gain from their. It is conceptualised as

core affect plus the satisfaction of intrinsic and/or extrinsic,work values”.

Workplace well-being merupakan perasaan well-being (sehat sejahtera) yang diperoleh

karyawan dari pekerjaan mereka,yang berhubungan dengan perasaan karyawan secara

umum (core affect) dan kepuasan terhadap nilai-nilai instrinsik dan ekstrinsik dari suatu

pekerjaan (work values). Berkaitan dengan definisi Page, Russel (Page 2005)

memberikan penjelasan mengenai core effect yaitu sebagai keadaan dimana terdapat

rasa nyaman dan tidak nyaman serta dorongan yang mempengaruhi aktivitas seseorang.

Lebih lanjut juga dijelaskan bahwa core affect dapat diartikan sebagai perasaan individu

secara umum. Core-affect memiliki peran dalam meneliti dan mengukur subjective well-

being.

Untuk menjelaskan pengaruh core-affect pada subjective well-being, Cummins,

Gullone dan Lau (dalam Page 2005) menggunakan konsep abstract-specific hypothesis

yang menjelaskan bahwa jawaban yang diberikan responden ketika ditanya mengenai

kualitas hidup mereka,bergantung pada seberapa abstrak atau spesifik mode pengukuran

tersebut. Cummins (dalam Page, 2005) menyatakan bahwa yang diperhatikan responden

Page 48: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

34

ketika membuat keputusan yang cepat tentang pertanyaan ini berdasar pada bagaimana

perasaan/mood ketika responden diberikan pertanyaan tersebut. Ketika pertanyaan yang

diberikan menjadi lebih spesifik,maka pengaruh dari core affect akan berkurang, dan

ketika itu seseorang lebih mengandalkan proses evaluasi kognitif yang spesifik terhadap

pertanyaan tersebut (Page, 2005). Hal ini terjadi karena core affect hanya focus pada

pandangan yang bersifat personal terhadap diri. Page (2005) menegaskan bahwa

workplace well-being didasari oleh nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik dalam pekerjaan.

Nilai intrinsik dalam hal ini merujuk pada dorongan bekerja yang disebabkan oleh

penghargaan yang bersifat psikologis yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri,

seperti prestasi dan tanggung jawab. Nilai ekstrinsik lebih disebabkan oleh keinginan

untuk mendapatkan hal yang berhubungan dengan faktor eksternal itu sendiri seperti

upah. Dalam mengembangkan konstruk teori workplace well-being, Page (2005)

merujuk pada teori dualitas motivasi yang diajukan Herzberg (dalam Page, 2005) yang

mengelompokkan pencapaian,tanggung jawab, dan kemajuan yang dihasilkan sebagai

faktor intrinsik perusahaan yang merupakan faktor motivator. Di sisi lain, kebijakan

perusahaan, gaji, hubungan interpersonal, kondisi kerja dan atasan dikelompokkan

sebagai faktor ekstrinsik pekerjaan yang merupakan faktor hygiene.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan definisi yang digunakan oleh Page

(2005) untuk menjelaskan workplace well-being dengan alasan karena definisi yang

digunakan telah fokus pada aspek-aspek yang diperlukan terkait dengan kesejahteraan

dalam pekerjaan (dimensi intrinsik dan ekstrinsik).

Page 49: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

35

2.3.2 Dimensi-dimensi Workplace well-being

Page (2003) menyatakan bahwa workplace well-being memiliki 13 bagian yang terbagi

atas dimensi intrinsik dan ekstrinsik, yaitu: Dimensi intrinsik yang terdiri atas lima

bagian antara lain; (1) tanggung jawab dalam pekerjaan (amount of responbility at

work) yaitu perasaan seseorang mengenai tanggung jawab dan kepercayaan yang

diberikan kepadanya untuk dapat melakukan pekerjaan dengan baik. (2) makna kerja

(meaningfulness of work)yaitu perasaan bahwa pekerjaan memiliki makna dan

mempunyai tujuan baik secara personal maupun pada tingkatan yang lebih tinggi. (3)

kemandirian kerja (independence of work) yaitu perasaan dapat mengerjakan pekerjaan

sendiri tanpa harus mendapat arahan atau instruksi dari manajemen. (4) penggunaan

kemampuan dan pengetahuan kerja (use of abilities and knowledge of work) yaitu

perasaan bahwa lingkungan pekerjaan mengijinkannya menggunakan kemampuan dan

pengetahuan dan bakat personalnya.(5) perasaaan berprestasi dalam bekerja (sense of

achievement from work) yaitu perasaan berprestasi yang berasal dari formasi dan

kepuasan yang berkaitan dengan pekerjaan.

Dimensi ekstrinsik terdiri dari delapan bagian: (1) penggunaan waktu yang

sebaik-baiknya (convenience of work hours) yaitu perasaan bahwa waktu kerja

memungkinkan seseorang untuk menyeimbangkan kehidupan pribadi dan pekerjaannya.

(2) kondisi kerja (work condition) yaitu kepuasan karyawan terhadap kondisi kerja

seperti ruang kerja dan budaya organisasi. (3) supervisi (supervisor) yaitu perasaan

bahwa supervisor memperlakukan individu sebagai karyawan dengan baik ,

memberikan dorongan, umpan balik yang sesuai serta pengakuan. (4) peluang promosi

Page 50: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

36

(promotional opportunies) yaitu perasaan bahwa lingkungan kerja memberikan ruang

untuk pengembangan profesinya. (5) pengakuan akan pekerjaan yang baik (recognition

for good work) perasaan bahwa institusi mampu memperlakukan secara berbeda antara

karyawan yang berkualitas baik dan buruk. (6) nilai sebagai manusia (value as a person

at work) yaitu perasaan bahwa supervisor mampu mengapresiasi karyawan sebagai

individu yang unik. (7) upah (pay) yaitu kepuasan akan gaji, keuntungan dan

penghargaan yang terkait dengan uang dari lingkungan kerja. (8) keamanan kerja (job

security) yaitu kepuasan terhadap rasa aman di posisi kerjanya.

Dalam penelitian ini, delapan bagian dalam dimensi ekstrinsik penulis

gabungkan menjadi lima bagian. Lima bagian tersebut antara lain: (1) penggunaan

waktu sebaik-baiknya. (2) kondisi kerja dan keamanan kerja menjadi satu bagian

kondisi kerja. (3) supervisi dan nilai sebagai manusia menjadi satu bagian supervisi. (4)

kesempatan promosi dan pengakuan akan kinerja yang baik menjadi satu bagian

kesempatan promosi. (5) gaji. Alasan penggabungan tersebut dikarenakan adanya faktor

kemiripan antara beberapa bagian. Selain itu, dengan adanya penggabungan tersebut

dimensi ekstrinsik dapat seimbang dengan dimensi instrinsik.

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Workplace well-being

Menurut Kahneman et.al (1999) terdapat dua faktor yang mempengaruhi kesejahteraan

individu dalam pekerjaannya yaitu faktor lingkungan dan faktor individu. Yang

termasuk ke dalam faktor lingkungan antara lain: (1) kesempatan akan personal control

meliputi penilaian kinerja, kebebasan berkehendak, tidak adanya supervisi yang terlalu

Page 51: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

37

ketat, self determination, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan kebebasan

dalam memilih. (2) kesempatan untuk mengaplikasikan keahlian yang terdiri dari

penggunaan keahlian dan penggunanaan kemampuan yang dibutuhkan. (3) exterbally

generated goal meliputi tuntutan pekerjaan, tuntutan tugas beban kerja secara kualitatif

dan kuantitatif, tuntutan akan perhatian kerja, tanggungjawab atas peran,tuntutan yang

berkonflik, konflik peran, konflik kerja serta tuntutan norma yang harus dipenuhi.(4)

variasi terdiri dari variasi dalam konten dan lokasi pekerjaan,pekerjaan yang tidak

berulang, variasi dalam kemampuan dan variasi dalam tugas. (5) kejelasan dalam

lingkungan meliputi kejelasan mengenai informasi akan konsekuensi dari suatu tingkah

laku, umpan balik tugas, informasi masa depan, adanya keamanan dalam

pekerjaan,ambiguitas peran rendah.(6) ketersediaan uang meliputi tingkat pendapatan,

jumlah pendapatan dan sumber finansial.(7) keamanan fisik terdiri atas hilangnya

bahaya, kondisi kerja yang baik, peralatan yang memadai, tingkat temperatur dan

kebisingan yang aman. (8) supervisi yang mendukung meliputi pimpinan yang

perhatian,dukungan dari atasan, manajemen yang mendukung, kepemimpinan yang

efektif. (9) kesempatan untuk melakukan kontak interpersonal meliputi kuantitas dan

kualitas interaksi, hubungan yang baik dengan orang lain, dukungan sosial dan

komunikasi yang baik. (10) penilaian dalam posisi sosial terdiri dari penilaian atas

status pekerjaan di masyarakat, peringkat sosial, prestise akan pekerjaan,penilaian yang

lebih khusus tentang status pekerjaan, penilaian personal atas signifikansi dari tugas,

peranan dalam tugas, kontribusi terhadap orang lain, kebermaknaan pekerjaan serta

penghargaan diri dari pekerjaan.

Page 52: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

38

Menurut Kahneman et al. (1999) Faktor individu yang terkait dengan well-being

adalah disposisi afektif. Disposisi afektif ini terdiri dari afek positif dan afek negatif.

Afek negatif meliputi keadaan emosi negatif yang luas dimana orang dengan afek

negatif yang tinggi cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi. Aspek positif

dilihat sebagai semangat, antusiasme dan ketertarikan yang tinggi. Dibandingkan

individu dengan tingkat afek positif yang rendah, individu dengan afek positif yang

tinggi cenderung lebih aktif dalam hidupnya dan lebih mampu merespon lingkungan

secara positif . Dalam penelitian ini penulis berpendapat bahwa faktor lingkungan dan

faktor individu mampu menjadi faktor yang kuat terhadap munculnya kesejahteraan

karyawan.

2.4. Psychological capital dan workplace well-being sebagai prediktor terhadap

keterikatan kerja karyawan

Menurut Schaufeli dan Salanova (2007), untuk dapat menjadi lebih maju, berkembang

dan bertahan di dalam lingkungan bisnis yang mudah berubah, organisasi

membutuhkan SDM yang sehat dan termotivasi. Schaufeli dan Bakker (2004)

menyebutkan bahwa ketersediaan sumber daya lain dalam pekerjaan seperti dukungan

sosial dari rekan kerja dan atasan, umpan balik performa kerja, variasi tugas,

kemandirian dalam bekerja,kesempatan belajar serta fasilitas pelatihan akan

mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan. Faktor ini menunjukkan bahwa

kenyamanan dan kesejahteraan yang didapatkan seseorang dari pekerjaan dan

lingkungan pekerjaannya akan memiliki dampak terhadap keterikatannya dengan

pekerjaan. Sebaiknya perhatian organisasi memang tidak hanya pada kinerja

Page 53: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

39

pegawai, namun juga kapasitas psikologis, kesehatan dan kesejahteraan pegawai

(Schaufeli & Salanova, 2007). Hal ini didukung oleh Ulrich (2007 P; 125 ) yang

mengatakan “employee contribution becomes a critical business issue because in trying

to produce more output with less input, companies have no choice but to try to engage

not only the body but the mind and soul of every employee”, ini menunjukkan bahwa

kontribusi pegawai menjadi masalah yang penting, karena dalam usaha untuk

menghasilkan dengan situasi dan kondisi yang terbatas namun harus mendapatkan hasil

yang maksimal. Untuk itu, organisasi tidak punya pilihan lain. Selain membuat pegawai

terkait sejahtera tidak hanya secara fisik, namun juga secara mental.

Dampak yang dapat dirasakan organisasi dari kehadiran kapasitas psikologis

yang positif dalam hal ini psychological capital pada karyawan dan pegawai adalah

adanya penurunan pada tingkat ketidakhadiran (absen) pegawai,sinisme antar pegawai

dan intensi untuk meninggalkan perusahaan. Dalam penelitian yang sama juga

ditemukan adanya hubungan positif antara psychological capital dengan kepuasan

kerja, komitmen karyawan, perilaku kewarganegaraan organisasi, performa karyawan

dan juga efektifitas kepemimpinan (Luthans,Avolio,Walumbwa & Li, 2004 dalam

Shahnawas & Jafri 2009).

Workplace well-being yang dimiliki seorang karyawan dapat berpengaruh pada

organisasi dan dapat berpengaruh pada karyawan itu sendiri (Luthans et al., 2010).

Karyawan yang memiliki well-being cenderung lebih terlihat bahagia, memiliki keadaan

fisik, mental serta perilaku yang lebih sehat (Lyubormirsky, King & Deiner 2005 dalam

Avey, Luthans, Smith & Palmer, 2010). Dalam hal ini, seseorang yang lebih bahagia

Page 54: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

40

dan lebih positif dinilai akan lebih kebal dalam menghadapi rintangan atau situasi sulit,

memiliki system imun yang lebih kuat,serta memiliki keadaan fisik yang lebih baik

(Lyubormirsky, King & Deiner 2005 dalam Avey,Luthans, Smith && Palmer,2010).

Lebih lanjut, Pavot dan Diener (2004 dalam Rusel, 2008) mencoba menegaskan bahwa

well-being yang dirasakan seorang karyawan yang bahagia akan lebih produktif dan

merasa lebih puas.

Karyawan akan menunjukkan performa kerja yang baik ketika merasa sejahtera

dilingkungan kerjanya (Wright & Cropanzo dalam Page & Vella-Brodrick, 2009).

Sebaliknya ketika lingkungan kerja tidak menyediakan kesejahteraan, karyawan akan

menunjukkan performa kerja yang rendah. Rendahnya kesejahteraan juga

mengakibatkan tingkat produktifitas yang rendah, kualitas yang rendah dalam

mengambil keputusan dan cenderung untuk absen dari pekerjaan (Boyd dalam Danna &

Griffin,1999) serta penurunan dalam memberikan kontribusi kepada organisasi (Price &

Hoooijberg dalam Danna & Griffin,1999) Tingkat well-being individu yang tinggi

akan membuat karyawan lebih memiliki keterikatan dengan pekerjaannya, memperoleh

pendapatan yang lebih baik, memiliki hubungan yang baik dengan atasan dan rekan

kerja, serta membuat karyawan mempunyai rasa memiliki pada organisasi (George &

Brief,1992 dalam Russel 2008). Sementara itu Sweetman dan Luthans (dalam Bakker &

Leither, 2010) menyebutkan bahwa tuntutan pekerjaan dapat menurunkan keterikatan

karyawan dikarenakan tidak dapat mengontrol pekerjaan. Hal ini berlawanan dengan

dampak optimisme dimana pekerjaan berada dibawah kontrol walaupun banyaknya

tuntutan pekerjaan (Karaksek, 1979, dalam Bakker & Leither, 2010). Penelitian yang

Page 55: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

41

dilakukan oleh Schaufeli, Demerouti dan Bakker ( 2010) menemukan bahwa keterikatan

kerja berhubungan dengan self efficacy, optimism dan organizational based-self esteem

(kepercayaan bahwa individu dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan menjalankan

peran dalam organisasi).

Setiap dimensi psychological capital secara independen dapat mempengaruhi

performa karyawan pada organisasi. Meski demikian Luthans, Avolio et al. (2007)

menegaskan bahwa konsep psychological capital secara keseluruhan akan memprediksi

employee outcomes (misalnya performa dan kepuasan kerja) dengan lebih baik jika

dibandingkan kinerja independen setiap dimensinya. Keseluruhan konsep psychological

capital telah menjadi sebuah konstruk utama (higher order construct) sehingga dapat

lebih efektif dalam memprediksi employee outcomes (Avey, Luthans, Smith & Palmer,

2010). Dari uraian diatas, penulis berpendapat bahwa psychological capital dan

workplace well-being dapat menjadi prediktor bagi keterikatan kerja karyawan.

2.5. Kerangka Berfikir

Penelitian untuk tesis ini menggunakan sebuah model sebagaimana tertera di

bawah ini (Gambar 2.2). Sebagai dependen variabel dalam penelitian ini yaitu:

employee engagement (keterikatan kerja karyawan) dengan definisi: kehadiran

karyawan secara psikologis (dengan penuh kesadaran) ditempat kerjanya karena: (a)

memperoleh kebermaknaan secara psikologis dan (b) merasa aman secara psikologis

dan (c) secara psikologis menyediakan diri menjalankan peran atau tanggung jawabnya

untuk membantu pencapaian tujuan organisasi.

Page 56: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

42

Independen variabel (IV) terdiri dari (1) psychological capital dan (2)

workplace well-being. Psychological capital adalah: kapasitas psikologis individu yang

positif yang terdiri dari dimensi efikasi diri, optimisme, harapan dan resiliensi.

Workplace well-being merupakan perasaan well-being (sehat sejahtera) yang diperoleh

karyawan dari pekerjaan, yang berhubungan dengan perasaan karyawan terhadap nilai-

nilai instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan (work values). Dimensi instrinsik

terdiri dari: (1) tanggung jawab dalam pekerjaan (2) makna kerja (3) kemandirian kerja

(4) penggunaan kemampuan dan pengetahuan kerja (5) perasaaan berprestasi dalam

bekerja. Dimensi ekstrinsik terdiri dari: (1) penggunaan waktu sebaik-baiknya. (2)

kondisi kerja dan keamanan kerja menjadi satu bagian kondisi kerja. (3) supervisi dan

nilai sebagai manusia menjadi satu bagian supervisi. (4) kesempatan promosi dan

pengakuan akan kinerja yang baik menjadi satu bagian kesempatan promosi (5) gaji.

Gambar 2.2 . Model Penelitian

Page 57: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

43

Keterikatan Kerja

Karyawan

Psychological Capital

Workplace Well-Being

Efikasi diri

Ekstrinsik

Intrinsik

Fisik

Emosi

Kognitif

Harapan

Resiliensi

Optimisme

2.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah: (1) terdapat pengaruh yang signifikan dari

psychological capital sebagai prediktor bagi employee engagement (keterikatan kerja

karyawan); (2) terdapat pengaruh yang signifikan dari workplace well-being sebagai

prediktor bagi employee engagement (keterikatan kerja karyawan); (3) Psychological

capital dan workplace well-being secara signifikan bersama-sama menjadi prediktor

bagi employee engagement (keterikatan kerja karyawan).

Page 58: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

44

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai metode yang digunakan dalam penelitian,yang

meliputi model penelitian, hipotesis penelitian, subjek penelitian, pengembangan alat

ukur prosedur penelitian dan metode pengolahan data.

3.1. Model Penelitian

Penelitian ini menfokuskan pada tiga variabel. Sebagai dependen variabel yaitu variabel

keterikatan kerja karyawan yang didefinisikan sebagai kehadiran karyawan secara

psikologis (dengan penuh kesadaran) ditempat kerjanya karena: (a) memperoleh

kebermaknaan secara psikologis (b) merasa aman secara psikologis dan (c) secara

psikologis menyediakan diri menjalankan peran atau tanggung jawabnya untuk

membantu pencapaian tujuan organisasi. Independen variabel dalam penelitian ini

adalah (1) variabel psychological capital yang didefinisikan sebagai modal kapasitas

psikologis individu yang positif yang terdiri dari efikasi diri, optimisme, harapan dan

resiliensi. (2) variabel workplace well-being merupakan perasaan sehat sejahtera

karyawan yang berkaitan dengan aspek intrinsik dan akstrinsik pekerjaan.

Berdasarkan tipe pencarian informasi (Kumar, 1996), penelitian ini digolongkan

kedalam penelitian kuantitatif. Penelitian ini mengkuantifikasi variasi dalam suatu isu,

masalah atau fenomena, informasi yang dikumpulkan berupa variabel kuantitatif dan

analisis yang dilakukan bertujuan untuk memastikan tingkat variasi tersebut. Dalam

perspektif sifat penelitian, penelitian ini merupakan jenis desain penelitian non-

eksperimental dimana variabel yang diteliti tidak dimanipulasi dan dikontrol oleh

Page 59: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

45

peneliti karena manifestasinya sudah berlangsung dan tidak dapat dimanipulasi

(Kerlinger & Lee, 2000). Berdasarkan periode referensi yang digunakan, penelitian ini

termasuk dalam penelitian restropektif (restropective study) karena penelitian ini

berusaha untuk meneliti suatu fenomena, situasi atau isu yang sudah terjadi di masa lalu

atau sudah ada sebelumnya (Kumar,1996). Teknik pengambilan sampel yang digunakan

pada penelitian ini adalah nonprobability sample (convenience sample). Dalam

convenience sample peneliti memilih responden berdasarkan ketersediaan untuk

mengakses responden (Creswell, 2009). Dalam penelitian ini alat pengumpul data yang

digunakan berupa kuesioner.

3.2. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel dengan menyebarkan 400 kuesioner

dari 2 lembaga dalam kementerian X. Kedua lembaga tersebut adalah pusat pendidikan

dan pelatihan (pusdilat) yang memiliki 124 karyawan yang terdiri dari 42 Widyaiswara

dan 32 staf pelaksana serta Inspektorat Jenderal (itjen) yang memiliki 427 karyawan,

dengan rincian 153 Auditor dan 149 calon Auditor (sumber: data kepegawaian Itjen

Kementerian X, 2012). Dari 400 kuesioner yang disebarkan, terdapat 248 yang

kembali. Sedangkan yang benar-benar dapat dianalisis hanya 202 responden. Adapun

karakteristik dari sampel tersebut adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian X

yang berlokasi di Jakarta dan menjalankan peran sebagai pejabat struktural, peran

administratif serta peran fungsional seperti Auditor dan Widyaiswara.

Page 60: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

46

Karakteristik responden yang dipilih untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut: (1) Pegawai Negeri Sipil (PNS) bukan pegawai honorer atau

magang. (2) Bekerja minimal 1 tahun. (3) Pendidikan minimal SMA/Sederajat,

karakteristik ini dipilih karena peneliti berasumsi bahwa karyawan dengan pendidikan

minimal SMA/sederajat dianggap dapat memahami instruksi serta pertanyaan yang

diberikan untuk mengerjakan kuesioner. (4) Usia. Pada penelitian ini, peneliti

menggunakan batas usia,yaitu minimal berusia 20 tahun.

Dari 202 responden didapatkan gambaran data sebagai berikut: (1) Inspektorat

Jenderal (Itjen) dengan Staf 32%, Auditor 34% (2) Pusdiklat dengan Staf 18%,

Widyaiswara 10%, Pejabat struktural 4%. 66% responden berasal dari Itjen dan 34%

responden dari Pusdiklat. Gambaran responden yang berpendidikan S1=62% S2=30%

S3=9% dan SLTA atau sederajat=4%. Dari segi usia <25 tahun= 34%, usia 25-44

tahun=66% dan >45 tahun=29%. Dari jenis kelamin terdapat laki-laki sebanyak 35%

dan perempuan 64%. Untuk masa kerja <3 tahun=26%,3-10 tahun=29%, 10-20

tahun=22% dan >20tahun=21%. Dalam hal mengikuti training Pengawasan Pendekatan

Agama (PPA) dan training ESQ sebanyak 34% belum mengikuti training dan 65% telah

mengikuti training.

3.3. Pengembangan Alat Ukur

Pengukuran keterikatan kerja karyawan sebagai dependen variabel dilakukan

menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Soebandono (2011) yang juga

mengacu pada Q12 (Gallup, 2000) dan UWES (Schaufeli et al., 2003). Adapun untuk

pengukuran independen variabel; psychological capital dan workplace well-being,

Page 61: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

47

penulis melakukan modifikasi dari alat ukur psychological capital questionnaire

(Luthans et.al.,2007) yang berjumlah 24 item, penulis modifikasi menjadi 36 item. Alat

ukur workplace well-being menggunakan alat ukur Page (2008) yang berjumlah 15

item dengan skala Likert 1-10, penulis modifikasi menjadi 51 item dengan skala Likert

1-6.

3.3.1 Alat Ukur Keterikatan Kerja Karyawan

Alat ukur yang dikembangkan oleh Soebandono (2011) mengenai keterikatan kerja

karyawan memiliki tiga dimensi yang merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan,

yaitu keterikatan kerja secara kognitif, keterikatan kerja secara emosional dan

keterikatan kerja secara fisikal, dengan setiap dimensi memiliki 10 item, sebagaimana

dalam Tabel 3.1

Tabel 3.1 Alat Ukur Keterikatan Kerja Karyawan

Dimensi Item Pertanyaan VI DE AB Pekerjaan dan peran yang diberikan membuat saya

Engaged secara kognitif

1 Larut dengan pekerjaan sehingga lupa akan sekeliling x 2 Tertantang untuk menguasai pengetahuan baru X 3 Lupa waktu karena peran dan tugas memberikan nilai

tambah X

4 Bersemangat karena sesuai dengan ketrampilan dan kemampuan yang dipunyai

x

5 Mengerjakan tugas sebai-baiknya karena yakin akan mendapatkan pengakuan

X

6 Membuat selalu harus belajar 7 Meningkatkan kinerja karena yakin akan mendapatkan

pengakuan X

8 Giat karena dengan berprestasi karir akan lebih baik 9 Berharap mendapatkan nilai tambah dengan kompetensi X 10 Sadar bahwa diberikan wewenang yang cukup

menjalankan peran

Page 62: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

48

VI= Vigor; DE=Dedication;AB=Absorbtion (UWES. Schaufeli et al., 2003)

Soebandono (2011) mengacu pada beberapa item dari Q12 dan juga unsur-unsur

vigor, dedication dan absorption dalam UWES dengan pengertian engaged secara

kognitif, emosional dan fisikal. Untuk pengujian terhadap validitas dan reliabilitas, alat

ukur ini dapat dikatakan valid karena memiliki self leading factor (SLF) > 0,5 dan

construct reliability (CR) > serta variance extracted (VE) > 0,50 artinya memiliki

reliabilitas yang baik.

Engaged secara emosi

11 Merasa aman karena lingkungan kerja yang mendukung 12 Merasa sangat diperhatikan oleh lingkungan kerja saya 13 Rekan kerja saling mengisi dan berbagi pengetahuan 14 Merasa berada ditengah-tengah keluarga dalam

komunitas di tempat kerja

15 Selalu siap bila diperlukan 16 Menuntaskan kerja meski harus bermalam di tempat

kerja X

17 Menyenangi pekerjaan X 18 Tidak pernah merasa lelah X 19 Merasa rugi meninggalkan pekerjaan sebelum tuntas X 20 Merasa diperlukan karenanya membantu rekan kerja X

Engaged Secara fisik

21 Merasa harus hadir secara fisik di tempat kerja X 22 Mengerahkan kosentrasi dan ketrampilan X 23 Kalau diperlukan akan selalu berada di tempat kerja X 24 Tidak pernah merasa bosan X 25 Harus memelihara kesehatan,agar tidak merugikan

institusi X

26 Harus hadir agar tidak mengganggu jalannya pekerjaan X 27 Merasa betah di tempat kerja X 28 Tidak ingin cepat pulang 29 Bersedia untuk diberi tambahan beban kerja X 30 Bersedia untuk membantu rekan kerja yang

membutuhkan bantuan tenaga

Page 63: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

49

3.3.2 Pengembangan alat ukur Psychological Capital

Psychological capital questionare (PCQ) menunjukkan reliabilitas dan konstruk

validitas dan dengan menggunakan confirmatory factor analysis didapati bahwa PCQ

memenuhi kriteria untuk struktur empat faktor memiliki loading factor yang signifikan

bila dibandingkan dengan masing-masing dimensi (p < 0,05). Dengan menggunakan chi

square significance test, maka dibuktikan bahwa “the four factor second order

structure” merupakan “the best fitting model” (Luthans, Avolio, Avey & Norman,

2006).

Tabel 3.4 Variabel Psychological Capital

________________________________________________________________________

VARIABEL DIMENSI INDIKATOR PERNYATAAN

Psychological Capital

Self Efficacy Keyakinan individu untuk mengerahkan segenap motivasi untuk mencapai tujuan

1. Percaya terhadap kemampuan diri saya dalam menyelesaikan permasalahan

2. Merasa percaya diri dalam mempresentasikan informasi di depan kolega-kolega saya

3. Merasa yakin bahwa apa yang diusahakan dengan sungguh-sunguh akan tercapai

Optimisme Mampu memandang peristiwa secara positif, menginternalisasi masa lalu,sekarang dan masa depan

1. Selalu melihat sisi positif pekerjaan saya.

2. Berpegang teguh pada peribahasa “setiap kesulitan pasti ada jalan keluar”

Peristiwa negatif dilihat sebagai hal yang sementara

1. Mengharapkan yang terbaik pada saat dihadapkan pada hal yang tidak menentu.

Resiliensi Proses menyesuaikan diri dengan baik ketika menghadapi tantangan,trauma/stress

1. Mudah bangkit kembali dari keterpurukan dalam area pekerjaan saya

2. Mampu mengatasi hal yang menimbulkan stres dengan tenang

Menerima kenyataan dan keyakinan yang mendalam

1. Percaya bahwa pasti ada hikmah untuk setiap kejadian

Page 64: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

50

tentang makna hidup yang menimpa saya Harapan Motivasi positif sebagai

keyakinan untuk mampu mencapai target yang menantang dan tetap realistis

1. Selalu percaya bahwa setiap permasalahan pasti ada jawabannya

2. Merasa mampu menganalisis dan menemukan solusi dari permasalahan jangka panjang perusahaan

Mampu membuat berbagai cara alternatif untuk mencapai tujuan,ketika cara utama terhambat.

1. Mampu memikirkan banyak jalan keluar ketika terhambat dalam pekerjaan.

________________________________________________________________________

*) diadaptasi dari Psychological Capital Questionaire (Luthans et.al 2006)

Dalam penelitian ini penulis melakukan modifikasi item menjadi 36 pertanyaan.

Setelah melakukan modifikasi item, kemudian dilakukan uji validitas konten dan expert

judgment. Hasil dari expert judgment, ada 2 pernyataan yang harus di perbaiki yaitu 1

pernyataan pada dimensi harapan dan 1 pernyataan pada dimensi resiliensi. Uji

validitas dan reabilitas dengan menggunakan Alpha Cronbach‟s menghasilkan 0.895.

3.3.1 Workplace Well-being (WWB)

Alat ukur workplace well-being yang digunakan dalam penelitian ini merupakan alat

ukur yang dimodifikasi dari alat ukur Page (2005). Alat ukur Page (2005) terdiri dari 15

item yang berbentuk pertanyaan dengan menggunakan skala Likert 1-10. Pada

penelitian ini, peneliti menggunakan uji validitas konten dengan expert judgment. Hasil

dari expert judgment adalah dilakukan perbaikan terhadap 5 item pernyataan. 1 item

pada bagian kemandirian kerja,1 item pada bagian penggunaan waktu, 2 item pada

bagian supervisi dan 1 item pada bagian gaji. Uji validitas dan reabilitas dengan

menggunakan Alpha Cronbach‟s menghasilkan 0.805

Page 65: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

51

Tabel 3.5 Variabel Workplace well-being

Independent Variabel

Dimensi Indikator Item Pernyataan

Workplace wellbeing

Instrinsik Tanggung jawab dalam pekerjaan

1. Jika ada pekerjaan yang harus diselesaikan, saya akan menyelesaikannya saat itu juga meski terasa lelah

2. Saya yakin institusi tempat saya bekerja mempertahankan saya karena saya bertanggung jawab

Makna Kerja 3. Saya mendapatkan kebahagiaan ketika berhasil menyelesaikan suatu tugas.

4. Pekerjaan saya memungkinkan saya dipandang terhormat oleh masyarakat

Kemandirian dalam bekerja

5. Saya menyelesaikan pekerjaan saya,meskipun atasan tidak mengawasi .

6. Sesulit apapun tugas yang diberikan atasan, saya berusaha menyelesaikan pekerjaan itu sendirian.

Penggunaan kemampuan

7. Saya merasa, pekerjaan saya memungkinkan saya untuk menerapkan pemahaman yang saya miliki.

Perasaan berprestasi 8. Bagi saya bekerja dengan kualitas yang baik adalah prestasi.

9. Saya merasa berprestasi bila pekerjaan yang saya lakukan dapat tuntas sempurna sebelum tenggat waktu yang ditentukan

Ekstrinsik Penggunaan waktu yang sebaik-baiknya

10. Saya terpacu untuk mengerjakan tugas dengan lebih baik lagi setelah saya menyelesaikan satu pekerjaan

11. Saya merasa jumlah jam kerja saya tidak menyulitkan saya untuk menikmati waktu bersama keluarga

Kondisi kerja 12. Saya merasa nyaman dengan lingkungan sosial tempat saya bekerja

13. Saya merasa dapat bekerja maksimal dengan ruang kerja seperti saat ini

Nilai sebagai manusia

14. Saya yakin bahwa atasan saya bersedia meberikan saran kepada saya, apabila saya memintanya.

15. Saya merasa keunikan saya sebagai individu menjadi warna bagi institusi saya

Peluang promosi 16. Saya bekerja dengan baik atau tidak baik,tidak berpengaruh pada kenaikan karir saya

Page 66: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

52

Gaji 17. Saya yakin bahwa gaji yang saya terima sesuai dengan pekerjaan yang saya lakukan

18. Saya merasa kebutuhan saya kurang tercukupi dengan gaji yang diberikan oleh institusi saya

_____________________________________________________________________________________

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Tahap Persiapan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian yang sesungguhnya, peneliti melakukan beberapa tahap

persiapan penelitian untuk menunjang kelancaran penelitian. Hal pertama yang

dilakukan adalah mencari dan membaca berbagai literatur terkait dengan variabel

penelitian yaitu keterikatan kerja karyawan, psychological capital dan workplace well-

being. Literatur ini didapat dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, skripsi, tesis dan

disertasi. Peneliti berharap dengan semakin banyak literatur yang digunakan semakin

banyak pula informasi yang diperoleh. Selain hal diatas peneliti juga akan

mempersiapkan beberapa hal teknis yang mendukung kelancaran penelitian, seperti

penentuan karakteristik sampel dan organisasi tempat pengambilan data,perizinan

penelitian,mengadaptasi kuesioner dan mempersiapkan reward bagi responden yang

berpartisipasi dalam penelitian ini.

3.4.2. Tahap Pelaksanaan

Pengambilan data dilakukan pada akhir 25 Juni hingga 30 Agustus 2012. Peneliti

menyebar sejumlah 400 kuesioner. Pengambilan data dilakukan setelah mendapat ijin

Page 67: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

53

dan adanya kesepakatan waktu. Peneliti berhubungan dengan beberapa orang yang

dianggap bisa membantu pelaksanaan penelitian melalui kontak telepon. Pada hari

pertama peneliti menyebarkan kuesioner, peneliti tidak mendapatkan data yang

memadai. Hal ini disebabkan karena sebagian besar para pegawai sedang sibuk

mempersiapkan dinas ke luar daerah. Lamanya waktu dalam pengambilan data pada

penelitian ini dikarenakan sebagian besar tenaga PNS yang berada pada kedua lembaga

di kementerian X tersebut lebih sering menjalankan tugas luar atau dinas ke daerah.

Peneliti harus menunggu 1 bulan kemudian untuk mendapatkan data tersebut. Pada saat

para pegawai telah pulang dari tugasnya di daerah, peneliti berharap kuesioner yang

telah dibagikan dapat diisi. Namun tidak semua pegawai mau mengisi kuesioner

tersebut dengan sejumlah alasan: “masih sibuk, masih capek, yang lain saja dan jumlah

pertanyaannya banyak”. Peneliti sangat terbantu dengan keberadaan staf yang menetap

di kantor tersebut dalam proses pengisian kuesioner.

3.4.3. Metode Analisis Data

Perkembangan structural equation modeling (SEM) didukung oleh software yang

dikenal dengan nama LISREL dari Joreskog dan Sorbom. Alasan yang digunakan

penulis dalam menggunakan metode SEM mengacu pada apa yang disampaikan Kline

dan Klammer (dalam Wijanto 2008). Kline dan Klammer lebih mendorong penggunaan

SEM dibandingkan dengan regresi berganda karena 5 alasan sebagai berikut: (1) SEM

memeriksa hubungan diantara variabel-variabel sebagai sebuah unit, tidak seperti

regresi berganda yang pendekatannya sedikit demi sedikit (piecemeal). (2) Asumsi

pengukuran yang andal dan sempurna pada regresi berganda tidak dapat dipertahankan,

Page 68: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

54

dan pengukuran dengan kesalahan dapat ditangani dengan mudah oleh SEM. (3)

Modification index yang dihasilkan oleh SEM menyediakan lebih banyak isyarat

tentang arah penelitian dan pemodelan yang perlu ditindaklanjuti dibandingkan pada

regresi. (4) Interaksi juga dapat ditangani dengan SEM. (5) Kemampuan SEM dalam

menangani non recursive path.

SEM memiliki 2 bagian yaitu model variabel laten dan model pengukuran.

Kedua model SEM ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan regresi biasa.

Regresi biasa umumnya menspesifikasikan hubungan kausal antara variabel-variabel

teramati (observed variables), sedangkan pada model variabel laten SEM, hubungan

kausal terjadi diantara variabel-variabel tidak teramati (unobserved variables) atau

variabel-variabel laten. Penggunaan variabel-variabel laten pada regresi berganda dapat

menimbulkan kesalahan-kesalahan pengukuran (measurement errors) yang berpengaruh

pada estimasi parameter dari sudut bias-unbiased dan besar kecilnya variance (Gujarati

1995 dalam Wijanto, 2008). Masalah kesalahan pengukuran ini dapat diatasi oleh

structural equation modeling (SEM) melalui persamaan yang ada pada model

pengukuran.

Terdapat perbedaan orientasi pada statistik secara umum dengan SEM (Wijanto,

2008), prosedur SEM lebih menekankan penggunaan kovarian dibandingkan dengan

kasus-kasus secara individual, dan dalam SEM yang diminimumkan adalah perbedaan

kovarian sampel dengan kovarian yang diprediksi dalam model. Dengan kata lain,

residual dalam SEM adalah perbedaan antara kovarian yang diprediksikan atau

dicocokkan (predicted/fitted) dengan kovarian yang diamati. Secara umum beberapa

Page 69: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

55

tahapan yang harus dilalui dalam menggunakan analisis dengan SEM adalah sebagai

berikut: (1) Menentukan spesifikasi model (model specification),tahap ini berkaitan

dengan pembentukan model awal persamaan struktural, sebelum dilakukan estimasi.

Model awal ini diformulasikan berdasarkan suatu teori atau penelitian sebelumnya; (2)

identifikasi, pengkajian tentang kemungkinan diperolehnya nilai yang unik untuk setiap

parameter yang ada dalam model dan kemungkinan persamaan simultan yang tidak

memiliki solusi; (3) estimasi, berkaitan dengan perkiraan terhadap model untuk

menghasilkan nilai-nilai parameter dengan menggunakan salah satu metode estimasi

yang tersedia. Pemilihan metode estimasi yang digunakan sesuai dengan karakteristik

variabel yang dianalisis; (4) uji kecocokan (testing fit) tahap ini menguji kecocokan

antara model dengan data. Beberapa kriteria ukuran kecocokan atau goodness of fit

(GOF) dapat digunakan untuk melaksanakan tahap ini; (5) Respesifikasi

(respecification) berkaitan dengan penyesuaian kembali spesifikasi dari model

berdasarkan hasil uji kecocokan sebelumnya.

3.4.4. Tahap Pengolahan data

Setelah melakukan pengambilan data, peneliti kemudian melakukan entry data

berdasarkan kuesioner yang telah kembali. Pada tahap pengolahan data, peneliti

melakukan seleksi terhadap kuesioner yang kembali, apakah setiap kuesioner

menyediakan data yang cukup dan sesuai untuk dapat diolah lebih lanjut.

Dalam pengolahan data peneliti menggunakan Structural Equation Modeling

(SEM) dengan 2 pendekatan (Wijanto, 2008), yaitu: (1) tahap Analisis Model

Pengukuran (Structural Model) dan (2) tahap Analisis Model Pengukuran

Page 70: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

56

(Measurement Model) menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) untuk

memastikah apakah berbagai indikator atau variabel teramati yang ditentukan secara

teoritis dapat dimasukkan dalam kelompok masing-masing variabel laten. Dalam model

penelitian, analisis model pengukuran dilakukan dengan langkah pengolahan data,

sebagai berikut: (a) menganalisis model-model pengukuran yang ada dalam model

penelitian; (b) menghitung Latent Variable Score (LVS) dari variabel variabel laten;

dan (c) menganalisis model pengukuran dari model penelitian.

Dalam analisis model pengukuran terdapat tiga jenis analisis atau pengujian

yaitu: (1) pengujian kecocokan keseluruhan model yang dilihat dari Goodness of Fit

Indices (GOFI) yang dihasilkan, (2) analisis validitas, dan (3) analisis reliablitas.

Pengujian kecocokan keseluruhan model ditujukan untuk melihat tingkat kecocokan

antara model penelitian dan data penelitian yang berhasil dikumpulkan. Tingkat

kecocokan tersebut dapat dilihat dari perbandingan hasil perhitungan GOFI dengan

standar nilai GOFI untuk beberapa indek goodness of fit sebagai berikut: (1) p-value,

(2) RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation), (3) NFI (Normed Fit Index),

(4) NNFI (Non Normed Fit Index), (5) CFI (Comparative Fit Index), (6) IFI (Increment

Fit Index), (7) RFI (Relative Fit Index), (8) Standarized RMR ( Root Mean Square

Residual) dan (9) GFI (Goodness of Fit Index).

Setelah mendapatkan hasil penelitian, peneliti melakukan deep interview dan

focus group discuss untuk mengkonfirmasi hasil penelitian. Focus group discuss (FGD)

merupakan suatu tipe kelompok tertentu (berdasarkan tujuan, komposisi dan prosedur)

Page 71: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

57

yang berkumpul untuk mendiskusikan suatu masalah (Krueger dalam Prawitasari,

2002). Kelebihan FGD menurut Shamdasani dan Steward (dalam Prawitasari, 2002)

antara lain: (1) format terbuka dalam diskusi kelompok terarah memberikan kesempatan

untuk mendapatkan data yang banyak dan kaya dengan kalimat responden (2) interaksi

secara langsung sehingga pernyataan dapat dipertanyakan kembali (3) dapat diterapkan

untuk semua lapisan masyarakat.

Page 72: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

58

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Analisa terhadap hasil penelitian ini meliputi uraian hasil pengolahan data dari masukan

yang melalui penyebaran kuesioner. Penjabaran dan analisis meliputi penggunaaan

Structural Equation Modeling (SEM) yang terdiri atas analisis model pengukuran dan

analisis model struktural, serta pembahasan hasil uji hipotesis.

4. Analisis Struktural Equation Modeling (SEM)

Analisis data menggunakan SEM ditujukan untuk mengestimasi parameter-parameter

dari model penelitian dalam rangka menguji hipotesis-hipotesis penelitian. Model

penelitian yang ada dianalisis dan diuji dengan pendekatan dua tahap (Wijanto, 2008);

(1) Analisis model (measurement model) untuk mengevaluasi validitas dan reliabilitas

model pengukuran; dan (2) Analisis model struktural (structural model) untuk

menganalisis hubungan antara semua variabel laten penelitian utama yang membentuk

hipotesis-hipotesis penelitian yang telah disederhanakan.

4.1. Analisis Model Pengukuran

Analisis model pengukuran (measurement model) ini dilakukan untuk memastikan, (1)

indikator atau variabel teramati yang sudah ditentukan secara teoritis merupakan

indikator yang valid pada kelompok masing-masing variabel laten di dalam model

penelitian dan (2) model pengukuran dari setiap variabel laten di dalam model

penelitian mempunyai reliabilitas yang baik. Analisis model pengukuran dari setiap

Page 73: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

59

variabel laten dan analisis model pengukuran dari model penelitian dilakukan pada

setiap model pengukuran, dalam bentuk: uji kecocokan keseluruhan model (overall

model fit), uji validitas dan uji reliabilitas dengan n=202

4.1.1. Variabel Keterikatan Kerja Karyawan

Hasil pengukuran estimasi terhadap model variabel laten keterikatan kerja 2nd

order

dengan variabel laten : (1) kognitif, (2) emosi, (3) fisik. Hasil pengukuran estimasi

terhadap model variabel laten keterikatan kerja diperoleh setelah mengolah model

pengukuran CFA disimpulkan valid dan reliabel dengan solusi standar (Chi

square=238.73, df=207, P-value=0.064 dan RMSEA=0.028). Goodness of Fit Indices

(GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar untuk kecocokan yang baik, disimpulkan

model pengukuran variabel laten keterikatan kerja karyawan secara keseluruhan

memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.1

Tabel 4.1 Goodness Of Fit Index (GOFI) Variabel Laten Keterikatan Kerja Karyawan

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.064 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.028 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.97 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.95 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.05 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.92 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik

Page 74: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

60

Dari 30 item yang mengukur Keterikatan kerja karyawan, ternyata ada empat item yang

tidak signifikan (item nomer 1,3,12 dan 24), karena nilai t lebih kecil dari 1, 96

(absolut), selebihnya merupakan item yang signifikan. Dari hasil yang diperoleh,

awalnya model ini tidak fit, namun setelah dilakukan modifikasi terhadap model dimana

kesalahan pengukuran pada beberapa item diperbolehkan atau dibebaskan berkorelasi

satu sama lainnya, maka akhirnya diperoleh model fit (terlampir).

Pengujian validitas dan reliabilitas terhadap model pengukuran variabel laten

keterikatan kerja pada tabel 4.2 di bawah ini memperlihatkan bahwa seluruh variabel

teramati dari variabel keterikatan kerja memenuhi persyaratan validitas (karena nilai

SLF > 0.50) dan reliabilitas, construct reliability (CR) > 0.7, sehingga dapat

disimpulkan model pengukuran CFA variabel laten keterikatan kerja memenuhi

persyaratan validitas dan reliabilitas.

Tabel 4.2 Uji Validitas dan Reliabilitas CFA Variabel laten keterikatan kerja karyawan

_____________________________________________________________________________

Variabel * SLF> 0.5 Error * CR> 0.7 * VE> 0.5 Kesimpulan

Keterikatan kerja karyawan 0.85 0.68 Reliabilitas baik

Kognitif 0.33 0.07 Validitas baik

Emosi 0.53 0.07 Validitas baik

Fisik 0.26 0.07 Validitas baik

*SLF= Standardized Loading Factor, CR*= Construct Reliability, *VE=Variance Extraced

Page 75: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

61

4.1.1.1 Dimensi Kognitif

Hasil pengukuran estimasi terhadap dimensi kognitif 1st order. Hasil pengukuran

estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan

reliabel dengan solusi standar (Chi square=24.96 df=17, P-value=0.09567 dan

RMSEA=0.048). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar

untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran keterikatan kerja karyawan

dimensi kognitif memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum

dalam Tabel 4.3

Tabel 4.3 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Kognitif

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.095 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.048 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.97 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.98 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.95 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.049 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.97 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik

Dari 10 item yang mengukur keterikatan kerja karyawan pada dimensi kognitif terdapat

2 item yang di drop,karena nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 1 dan 3. Selebihnya

merupakan item yang valid.

4.1.1.2 Dimensi Emosi

Hasil pengukuran estimasi terhadap model dimensi emosi 1st order. Hasil pengukuran

estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan

Page 76: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

62

reliabel dengan solusi standar (Chi square=34.73 df=24, P-value=0.0725 dan

RMSEA=0.047). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar

kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran keterikatan kerja karyawan pada

dimensi emosi memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum dalam

Tabel 4.4

Tabel 4.4 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Emosi

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.072 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.048 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.96 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.98 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.94 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.044 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.96 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik

Dari 10 item yang mengukur keterikatan kerja karyawan pada dimensi emosi terdapat 1

item yang di drop,karena nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 2. Selebihnya

merupakan item yang valid.

4.1.1.3 Dimensi Fisik

Hasil pengukuran estimasi terhadap model dimensi fisik 1st order. Hasil pengukuran

estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan

reliabel dengan solusi standar (Chi square=18.21 df=22, P-value=0.06935 dan

RMSEA=0.000). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar

Page 77: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

63

untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran keterikatan kerja karyawan

pada dimensi fisik memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum

dalam Tabel 4.5

Tabel 4.5 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Fisik

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.069 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.000 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.97 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 1.01 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 1.00 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 1.01 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.95 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.038 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.98 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik

Dari 10 item yang mengukur keterikatan kerja pada dimensi fisik terdapat 1 item yang

di drop,karena nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 4. Selebihnya merupakan item

yang valid.

4.1.2 Variabel Psychological Capital

Hasil pengukuran estimasi terhadap model variabel laten psychological capital 2nd

order

dengan dimensi: (1) harapan (2) efikasi diri (3) resiliensi (4) optimisme. Hasil

pengukuran estimasi terhadap model variabel laten psychological capital diperoleh

setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan reliabel dengan solusi

standar (Chi square=285.67, df=251, P-value=0.065 dan RMSEA=0.026). Goodness of

Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar untuk kecocokan yang baik,

Page 78: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

64

disimpulkan model pengukuran variabel laten psychological capital secara keseluruhan

memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.6

Tabel 4.6 Goodness Of Fit Index (GOFI) Variabel Laten Psychological Capital

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.065 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.026 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.98 NFI > 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI > 0.90 Kecocokan baik CFI 1.00 CFI > 0.90 Kecocokan baik IFI 1.00 IFI > 0.90 Kecocokan baik RFI 0.97 RFI > 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.05 Std.RMR< 0.05 Kecocokan baik GFI 0.92 GFI > 0.90 Kecocokan baik

Dari 36 item yang mengukur psychological capital, ternyata ada lima item yang tidak

signifikan (item nomer 1, 13, 23, 24 dan 33), karena nilai t < 1, 96 (absolute),selebihnya

merupakan item yang signifikan. Dari hasil yang diperoleh, awalnya model ini tidak fit,

namun setelah dilakukan modifikasi terhadap model dimana kesalahan pengukuran pada

beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka akhirnya diperoleh

model fit (terlampir).

Pengujian validitas dan reliabilitas terhadap model pengukuran variabel laten

psychological capital pada tabel 4.7 di bawah ini memperlihatkan bahwa seluruh

variabel teramati dari variabel psychological capital memenuhi persyaratan validitas

(karena nilai SLF > 0.50) dan reliabilitas, construct reliability (CR) > 0.7, sehingga

dapat disimpulkan model pengukuran CFA variabel laten psychological capital

memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas. Tabel

4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas CFA Variabel laten psychological capital

Page 79: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

65

Variabel * SLF> 0.5 Error * CR> 0.7 * VE> 0.5 Kesimpulan

Psychological capital 0.94 0.80 Reliabilitas baik

Hope 0.54 0.06 Validitas baik

Self Efficacy 0.48 0.07 Validitasbaik

Resiliency 0.66 0.06 Validitas baik

Optimism 0.38 0.07 Validitas baik

*SLF= Standardized Loading Factor, CR*= Construct Reliability, *VE=Variance Extraced

4.1.2.1 Dimensi Harapan

Hasil pengukuran estimasi terhadap dimensi harapan 1st order. Hasil pengukuran

estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan

reliabel dengan solusi standar (Chi square=14.67 df=10, P-value=0.14466 dan

RMSEA=0.048). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar

untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran variabel psychological

capital pada dimensi harapan memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana

tercantum dalam Tabel 4.8 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Harapan

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.14 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.048 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.99 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 1.00 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 1.00 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.97 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.027 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.98 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik

Page 80: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

66

Dari 7 item yang mengukur dimensi harapan nilai t semuanya > 1.96. jadi ke tujuh item

merupakan item yang valid.

4.1.2.2 Dimensi Efikasi Diri

Hasil pengukuran estimasi terhadap dimensi efikasi diri 1st order. Hasil pengukuran

estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan

reliabel dengan solusi standar (Chi square=19.26 df=15, P-value=0.202 dan

RMSEA=0.038). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar

untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran psychological capital pada

dimensi efikasi diri memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum

dalam Tabel 4.9

Tabel 4.9 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Efikasi Diri

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.202 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.038 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.98 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 1.00 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 1.00 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 10.97 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.032 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.98 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik

Dari 9 item yang mengukur dimensi efikasi diri terdapat 1 item yang di drop,karena

nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 9. Selebihnya merupakan item yang valid.

Page 81: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

67

4.1.2.3 Dimensi Resiliensi

Hasil pengukuran estimasi terhadap dimensi resiliensi 1st order. Hasil pengukuran

estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan

reliabel dengan solusi standar (Chi square=29.34 df=21, P-value=0.10 dan

RMSEA=0.044). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar

untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran psychological capital pada

dimensi resiliensi memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum

dalam Tabel 4.10

Tabel 4.10 Goodness Of Fit Index (GOFI) Variabel Laten Dimensi Resiliensi

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.10 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.044 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.98 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.96 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.037 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.97 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik

Dari 12 item yang mengukur dimensi resiliensi terdapat 3 item yang di drop,karena

nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 1,3,10. Selebihnya merupakan item yang valid.

4.1.2.4 Dimensi Optimisme

Hasil pengukuran estimasi terhadap model dimensi optimisme 1st order. Hasil

pengukuran estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan

valid dan reliabel dengan solusi standar (Chi square=19.06 df=12, P-value=0.086 dan

Page 82: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

68

RMSEA=0.054). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar

untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran variabel psychological

capital pada dimensi optimisme memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana

tercantum dalam Tabel 4.11

Tabel 4.11 Goodness Of Fit Index (GOFI) Variabel Laten Dimensi Optimisme

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.086 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.054 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.97 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.98 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.95 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.036 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.97 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik

Dari 8 item yang mengukur dimensi optimisme terdapat 1 item yang di drop,karena

nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 6. Selebihnya merupakan item yang valid.

4.1.3. Variabel Laten Workplace Well-being

Hasil pengukuran estimasi terhadap model variabel laten workplace well-being 2nd

order dengan dimensi: (1) ekstrinsik, (2) intrinsik. Hasil pengukuran estimasi terhadap

model variabel laten workplace well-being diperoleh setelah mengolah model

pengukuran CFA disimpulkan valid dan reliabel dengan solusi standar (Chi

square=172.88, df=149, P-value=0.087 dan RMSEA=0.028). Goodness of Fit Indices

(GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar untuk kecocokan yang baik, disimpulkan

Page 83: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

69

model pengukuran variabel laten workplace well-being secara keseluruhan memiliki

kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.12

Tabel 4.12 Goodness Of Fit Index (GOFI) Variabel Laten Workplace Well-being

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.087 p-value > 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.028 RMSEA< 0.08 Kecocokan baik NFI 0.96 NFI > 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI > 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI > 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI > 0.90 Kecocokan baik RFI 0.95 RFI > 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.05 Std.RMR< 0.05 Kecocokan baik GFI 0.93 GFI > 0.90 Kecocokan baik

Dari 51 item yang mengukur workplace well-being, terdapat 29 item yang tidak

signifikan(item1,2,3,5,6,7,8,10,12,15,16,17,18,20,21,23,25,27,29,30,31,34,35,36,45,46,

49,50,51), karena nilai t < 1, 96 (absolute), 22 item yang lain termasuk signifikan (item

4,9,11,13,14, 19, 22, 24,26,28,32,33,37,38,39,40,41,42,43,44,47,48). Dari hasil yang

diperoleh, awalnya model ini tidak fit, namun setelah dilakukan modifikasi terhadap

model dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item diperbolehkan atau

dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka akhirnya diperoleh model fit.

Pengujian validitas dan reliabilitas terhadap model pengukuran variabel laten

workplace well-being pada tabel 4.13 di bawah ini memperlihatkan bahwa seluruh

variabel teramati dari variabel workplace well-being memenuhi persyaratan validitas

(karena nilai SLF > 0.50) dan reliabilitas, construct reliability (CR) > 0.7, sehingga

dapat disimpulkan model pengukuran CFA variabel workplace well-being memenuhi

persyaratan validitas dan reliabilitas.

Page 84: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

70

Tabel 4.13 Uji Validitas dan Reliabilitas CFA Variabel laten workplace well-being

______________________________________________________________________

Variabel * SLF> 0.5 Error * CR> 0.7 * VE> 0.5 Kesimpulan

Workplace well-being 0.91 0.71 Reliabilitas baik

Ekstrinsik 0.57 0.07 Validitas baik

Intrinsik 0.58 0.06 Validitasbaik

*SLF= Standardized Loading Factor, CR*= Construct Reliability, *VE=Variance Extraced

4.1.3.1 Dimensi Ekstrinsik

Hasil pengukuran estimasi terhadap dimensi ekstrinsik 1st order. Hasil pengukuran

estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan

reliabel dengan solusi standar (Chi square=42.56 df=34 P-value=0.14 dan

RMSEA=0.035). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar

untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran variabel workplace well-

being pada dimensi ekstrinsik memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana

tercantum dalam Tabel 4.14 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Ekstrinsik:

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.14 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.035 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.95 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.99 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.94 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.046 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.96 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik

Page 85: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

71

Dari 30 item yang mengukur dimensi ekstrinsik terdapat 20 item yang di drop,karena

nilai t kurang dari 1,96 yaitu item :6,7,8,10,16,17,18,20,21,23,25, 27,30,34,35,36,

45,46,49,50. Selebihnya merupakan item yang valid (4,12,14,20,21,22,23,24,27,28).

4.1.3.2 Dimensi Instrinsik

Hasil pengukuran estimasi terhadap dimensi instrinsik 1st order. Hasil pengukuran

estimasi diperoleh setelah mengolah model pengukuran CFA disimpulkan valid dan

reliabel dengan solusi standar (Chi square=56.95 df=42 P-value=0.061 dan

RMSEA=0.042). Goodness of Fit Indices (GOFI) menunjukkan memenuhi nilai standar

untuk kecocokan yang baik, disimpulkan model pengukuran variabel workplace well-

being pada dimensi instrinsik memiliki kecocokan model yang baik (fit) sebagaimana

tercantum dalam Tabel 4.15

Tabel 4.15 Goodness Of Fit Index (GOFI) Dimensi Instrinsik:

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.061 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.042 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.97 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 0.98 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 0.99 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 0.99 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.95 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.04 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.95 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik

Dari 21 item yang mengukur dimensi Instrinsik terdapat 9 item yang di drop,karena

nilai t kurang dari 1,96 yaitu item no 1,2,3,5,7,11,14,15,21. Selebihnya merupakan item

yang valid (4,6,8,9,10,12,13,16,17,18,19,20)

Page 86: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

72

4.2. Analisis Struktural Model Penelitian

Setelah dilakukan uji GOFI (goodness of fit indices) untuk keseluruhan 1st dan 2

nd

order dan mendapatkan hasil bahwa semua independen variabel (psychological capital

dan workplace well-being) dan dependen variabel disimpulkan reliabel dan valid, maka

dilakukan pemrosesan sesuai model penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan

gambaran apakah hipotesis yang diajukan diterima atau tidak. Diagram pada gambar 4.1

Sebagai diagram lintas model pengukuran struktural keterikatan kerja karyawan

dibawah ini memberikan gambaran dari hasil pemrosesan tersebut.

Jika dilihat dari uji nilai-t model analisis model penelitian keterikatan kerja

karyawan dapat dilihat pada gambar 4.1 (Gambar Analisis Model Penelitian):

Page 87: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

73

Hasil pengolahan model pengukuran struktural keterikatan kerja karyawan

(berdasarkan nilai- t) dalam diagram 4.1 Variabel independen psychological capital

tidak mempunyai signifikansi dalam mempengaruhi variabel keterikatan kerja karyawan

karena berada dibawah nilai –t standar yaitu: > 1.96 . Sedangkan variabel workplace

well-being mempengaruhi variabel keterikatan kerja karyawan secara positif dan

signifikan. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) psychological capital; 1.77

(2) workplace well-being; 4.52.

Selain itu dalam gambar 4.2 sebagaimana tertera di bawah menunjukkan bahwa

dimensi kognitif, emosi dan fisik secara langsung mewakili keterikatan kerja karyawan.

Hasil yang diperoleh: kognitif; 1.00 emosi; 16.6 dan fisik; 15.6. Pada dimensi hope,

efficacy, resiliency, optimism semuanya secara langsung mewakili variabel independen

psychological capital. Hasil yang diperoleh: hope; 1.00, efficacy; 19.5, resiliency;19.2

optimism; 12.9. Dimensi ekstrinsik dan intrinsik secara langsung mewakili variabel

independen workplace well-being. Hasil yang diperoleh dimensi instrinsik lebih besar

dalam mempengaruhi workplace well-being (14.29) dibandingkan dengan dimensi

ekstrinsik (10.49).

Page 88: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

74

PSYCHOLOGICAL CAPITAL

WORKPLACE WELL-BEING

Hope

Self Efficacy

Resiliency

Optimism

Ekstrinsik

Intrinsik

Kognitif

Emosi

Fisik

KETERIKATAN KERJA

KARYAWAN

1.77

4.52

1.00

16.85

15.68

1.00

19.51

19.26

12.90

10.49

14.29

Chi-square=27.19, df=21, P-value=0.16464, RMSEA-0.038

Gambar 4.2 (Nilai –t)

Diagram Lintas Model Pengukuran Struktural Keterikatan Kerja Karyawan

Hasil pemrosesan pengukuran struktural keterikatan kerja karyawan

(berdasarkan standar solusi) dalam diagram 4.3 di bawah ini menunjukkan bahwa

dimensi kognitif, emosi dan fisik secara langsung mewakili keterikatan kerja karyawan.

Hasil yang diperoleh dengan standar solusi: kognitif; 0.84, emosi; 0.93 dan fisik; 0.87.

Pada dimensi harapan, efikasi diri, resiliensi dan optimisme semuanya secara langsung

mewakili variabel independen psychological capital. Hasil yang diperoleh dengan

standar solusi: harapan; 0.95, efikasi diri; 0.86, resiliensi; 0.86 optimisme; 0.71.

Page 89: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

75

Dimensi ekstrinsik dan intrinsik secara langsung mewakili variabel independen

workplace well-being. Hasil yang diperoleh dengan standar solusi: ekstrinsik; 0.69 dan

intrinsik; 0.88.

PSYCHOLOGICAL CAPITAL

WORKPLACE WELL-BEING

Hope

Self Efficacy

Resiliency

Optimism

Ekstrinsik

Intrinsik

Kognitif

Emosi

Fisik

KETERIKATAN KERJA

KARYAWAN

0.23

0.62

0.84

0.93

0.87

0.95

0.86

0.86

0.71

0.69

0.88

Chi-square=27.19, df=21, P-value=0.16464, RMSEA-0.038

Gambar 4.3 Diagram lintas Model Pengukuran Struktural Keterikatan Kerja Karyawan

(Solusi Standar)

Page 90: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

76

Tabel 4.16 Goodness of Fit Index (GOFI) Model Pengukuran Struktural Keterikatan Kerja

Karyawan

GOFI NILAI HASIL HITUNG NILAI STANDAR KECOCOKAN KESIMPULAN

p-value 0.1646 p-value ≥ 0.05 Kecocokan baik RMSEA 0.038 RMSEA ≤ 0.08 Kecocokan baik NFI 0.99 NFI ≥ 0.90 Kecocokan baik NNFI 1.00 NNFI ≥ 0.90 Kecocokan baik CFI 1.00 CFI ≥ 0.90 Kecocokan baik IFI 1.00 IFI ≥ 0.90 Kecocokan baik RFI 0.98 RFI ≥ 0.90 Kecocokan baik Std.RMR 0.02 Std.RMR < 0.05 Kecocokan baik GFI 0.97 GFI ≥ 0.90 Kecocokan baik

Secara keseluruhan, model keterikatan kerja karyawan dikatakan memenuhi kecocokan

(fit), hal ini dapat dilihat dari besaran p-value = 0.16464 (>0.05) dan RMSEA= 0.038

(<0.08). Hasil ini menegaskan bahwa uji kecocokan keseluruhan model terbukti fit dan

didukung oleh nilai GOFI sebagaimana tertera dalam tabel 4.14 mengenai Goodness of

Fit Indices untuk model pengukuran struktural keterikatan kerja karyawan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Variabel independen psychological capital

tidak siginifikan dalam mempengaruhi variabel dependen keterikatan kerja karyawan.

Sedangkan variabel workplace well-being mempengaruhi variabel keterikatan kerja

karyawan secara positif dan signifikan. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1)

psychological capital; 0,23 (2) workplace well-being; 0.62.

Selanjutnya, jika dikaitkan dengan hipotesis yang diajukan dalam tesis ini,

ringkasan dari uji signifikansi Model Struktural Penelitian adalah pada tabel 4.17

sebagai berikut:

Page 91: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

77

Tabel 4.17

Kesimpulan Uji Signifikasi Model Pengukuran Struktural Keterikatan kerja

Hipotesis Pengaruh Antar Variabel Laten

Nilai-t hitung

Koefisien Kesimpulan Uji Signifikansi

H1

Psychological capital tidak signifikan dalam memprediksi keterikatan kerja karyawan.

1.77

0.23

H1 tidak dapat diterima, karena tidak signifikan dalam mempengaruhi keterikatan kerja karyawan.

H2 Workplace well-being secara signifikan mempunyai pengaruh positif dalam memprediksi keterikatan kerja karyawan.

4.52 0.62 H2 diterima, hasil menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap Keterikatan kerja karyawan.

H3 Psychological capital dan workplace well-being tidak memiliki peran yang sama dalam mejadi prediktor keterikatan kerja karyawan.

H1 tidak diterima, H2 signifikan

Koeffisien H1 < koefeisien H2

Dengan tidak diterimanya H1 maka hanya workplace wellbeing yang berperan sebagai prediktor terhadap keterikatan kerja karyawan.

Nilai t-hitung H2 berada diatas nilai 1.96 menunjukkan koefisien positif dan

signifikan karena data mendukung model penelitian. Sedangkan H1 tidak diterima

karena data tidak mendukung, perolehan nilai hitung < 1.96 dan koeefisien tidak

menunjukkan signifikansi karena terlalu rendah.

Hipotesis 1:

Psychological capital tidak signifikan dalam mempengaruhi keterikatan kerja

karyawan. Hal ini disebabkan karena data yang diperoleh dalam penelitian hasil

Page 92: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

78

penelitian menunjukkan bahwa psychological capital tidak memenuhi persyaratan

signifikansi secara langsung terhadap keterikatan kerja dengan nilai standardized

sebesar 0.23, dengan nilai –t 1.77 yang lebih rendah dari nilai persyaratan 1.96. Dengan

demikian, psychological capital (dengan dimensi harapan, efikasi diri, resiliensi dan

optimisme) tidak terbukti memberikan pengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan

secara signifikan.

Hipotesis 2:

Workplace well-being terbukti memberikan pengaruh keterikatan kerja karyawan secara

positif dan signifikan dengan nilai standardized sebesar 0.62 dan nilai-t 4.52. Dengan

demikian, workplace well-being dengan (1) dimensi ekstrinsik yang terdiri dari:

penggunaan waktu sebaik-baiknya, kondisi kerja, supervisi, kesempatan promosi dan

gaji; serta, (2) dimensi intrinsik yang terdiri dari: tanggung jawab dalam pekerjaan,

makna kerja, kemandirian kerja, penggunaan kemampuan dan pengetahuan untuk

bekerja serta perasaan berprestasi dalam bekerja - terbukti berperan dalam memprediksi

keterikatan kerja karyawan. Dengan semakin tingginya workplace well-being maka

akan semakin meningkatkan keterikatan kerja karyawan.

Hipotesis 3:

Psychological capital dan workplace well-being terbukti tidak memiliki peran yang

sama dalam memberikan pengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan. Psychological

capital tidak signifikan menjadi prediktor bagi keterikatan kerja karyawan (karena tidak

memenuhi persyaratan signifikansi secara langsung terhadap keterikatan kerja dengan

Page 93: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

79

nilai standaradized sebesar 0.23, dan nilai –t 1.77 yang lebih rendah dari nilai

persyaratan 1.96). Sedangkan workplace well-being secara positif dan signifikan

(dengan nilai standaradized sebesar 0.62 dan nilai-t 4.52) dapat menjadi prediktor bagi

keterikatan kerja karyawan. Dengan demikian, workplace well-being dengan (1)

dimensi ekstrinsik yang terdiri dari: penggunaan waktu sebaik-baiknya, kondisi kerja,

supervisi, kesempatan promosi dan gaji; serta, (2) dimensi intrinsik yang terdiri dari:

tanggung jawab dalam pekerjaan, makna kerja, kemandirian kerja, penggunaan

kemampuan dan pengetahuan untuk bekerja serta perasaan berprestasi dalam bekerja,

terbukti lebih berperan dalam memprediksi keterikatan kerja karyawan.

Page 94: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

80

BAB 5

DISKUSI, SIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab 5 ini akan dikemukakan mengenai diskusi yang berkaitan dengan bahasan

teoritik dari hasil penelitian dan selanjutnya diajukan simpulan dari tesis ini. Sebagai

bagian akhir dari penulisan tesis ini, penulis mengajukan saran-saran untuk penelitian

selanjutnya.

5.1 Diskusi

5.1.1 Diskusi keterikatan kerja karyawan

Keterikatan kerja karyawan yang diawali dengan teori Kahn (1990) merupakan

grounded theory dan pada dekade selanjutnya telah menghasilkan minat yang sangat

besar bagi para akademisi maupun praktisi untuk mengembangkannya. Keterikatan

kerja karyawan memiliki komponen kognitif, afektif dan perilaku dalam proses

bekerjanya. Berdasarkan hasil penelitian ini keterikatan kerja karyawan pada

kementerian X menghasilkan nilai-t= 5.49. ini artinya keterikatan kerja karyawan pada

kementerian X signifikan pada objek penelitian ini. Hasil penelitian ini mendukung apa

yang disampaikan Ferguson (2007) yang menyatakan bahwa salah satu hal yang

menjadi kunci untuk membentuk sebuah organisasi dengan performa yang terus

meningkat adalah keterikatan kerja karyawan.

Menurut penulis salah satu penyebab keterikatan kerja karyawan yang signifikan

pada pegawai (PNS) kementerian X ini adalah adanya kelekatan emosi dalam

Page 95: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

81

pekerjaannya. Hal ini terlihat dalam dimensi emosi yang cukup tinggi (0.93)

dibandingkan dengan dua dimensi yang lain (kognitif;0.84 dan fisik;0.87). Masclach

et.al (2001), Schaufeli et.al (2002) May et.al. (2004) menyatakan bahwa individu akan

lebih mendedikasikan diri untuk keberhasilan pekerjaan jika memiliki kelekatan

(attacchment) emosional dalam pekerjaannya.

Kaitannya dengan keterikatan kerja karyawan, komitmen emosi dianggap

sebagai rasa terikat atau engaged (Fleming et.al, dalam Little & Little, 2006). Kelekatan

emosi yang dimiliki oleh PNS kementerian X , merupakan bentuk komitmen pegawai

terhadap organisasinya. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Meyer dan Allen

(1997) yang menyatakan bahwa kelekatan emosi dapat terjadi jika individu

mengidentifikasi dirinya dengan organisasi, merasa sebagai bagian dari organisasi,

merasa bernilai bagi organisasi dan keinginan kuat untuk membantu organisasi

mencapai tujuan. Harter, Schmidt dan Keyes (2002) menyatakan bahwa perasaan

kecocokan antara individu dengan lingkungan pekerjaan memiliki kontribusi dalam

membentuk keterikatan kerja karyawan. Penulis berpendapat , keterikatan kerja

karyawan secara emosi idealnya dapat menggerakkan etos untuk dapat terus

meningkatkan performa organisasi secara umum.

Menurut Robbins dan Judge (2008) agar karyawan dapat meningkatkan

keterikatan kerjanya, maka organisasi perlu meningkatkan kelekatan emosional

karyawan dengan cara: pemberdayaan dan pemberian wewenang dalam pekerjaan.

Secara psikologis hal ini akan membuat karyawan lebih memiliki kepercayaan, merasa

dihargai, kompetensinya diakui, dan memperoleh kebermaknaan dalam pekerjaannya.

Page 96: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

82

5.1.2 Diskusi Psychological Capital

Menurut Schaufeli, Demerouti dan Bakker (2007) faktor personal seperti optimisme

dan efikasi diri yang tinggi berhubungan dengan keterikatan kerja karyawan.

Optimisime, efikasi, harapan dan resiliensi merupakan bagian dari psychological capital

(Luthans et.al, 2007). Dampak yang dihasilkan dengan adanya kapasitas psikologis

yang positif dalam hal ini psychological capital adalah adanya penurunan sinisme antar

pegawai, ketidakhadiran dan intensi untuk meninggalkan perusahaan. Psychological

capital juga dianggap dapat memprediksi employee outcomes (Avey, Luthans, Smith &

Palmer, 2010). Performa psikologis karyawan yang rendah akan diikuti dengan

keterikatan kerja karyawan yang rendah juga (Salanova, 2009).

Sejalan dengan hasil penelitian Salanova, Luthans (2006) menemukan bahwa

semakin tinggi karakteristik psychological yang dimiliki, akan semakin tinggi pula

komitmen afektif yang dimiliki. Pada penelitian ini, penulis tidak menemukan pengaruh

yang signifikan dari psychological capital terhadap keterikatan kerja karyawan di

kementerian X pada objek penelitian ini. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar bagi

penulis. Mengapa psychological capital tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap keterikatan kerja karyawan di kementerian X?. Sebagaimana disebutkan pada

bab III, penulis akan mengkonfirmasi melalui deep interview dan focus group discuss.

Berdasarkan apa

yang didapat dalam deep interview dan focus group discuss pada tanggal 19 Oktober

2012 terdapat beberapa pendapat mengenai tidak signifikannya psychological capital di

kementerian X khususnya yang menjadi objek dalam penelitian ini: (1) merasa berada di

Page 97: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

83

comfort zone sebagai PNS, jadi stagnan dengan situasi yang dihadapi, apalagi ada istilah

pandai dan bodoh sama saja, ini membuat idealisme luntur dan karyawan jadi malas

maju. (2) Kegiatan terlalu banyak, namun tidak diimbangi dengan pengembangan diri

dalam sikap kerjanya, jadi hasilnya seadanya. (3) Mind set terhadap kehidupan harus

luas, bahaya jika tidak memiliki kesiapan menghadapi perubahan yang tidak sesuai

dengan harapan. (3) Arah kegiatan tidak jelas outputnya. Jadi mengikuti kegiatan karena

ada uang. Bekerja harus sesuatu yang dicintai, karenanya menghasilkan prestasi, bukan

hanya karena ada uangnya. (4) Ketidakpahaman PNS terhadap visi misi organisasi

karena tidak membaca dan juga kurangnya sosialisasi. (5) Tidak adanya teladan dari

atasan, terutama atasan langsung. Figur pimpinan tidak memberikan supervisi dan

mencontohkan cara kinerja yang baik. (6) Hasil penelitian ini menggambarkan apa

yang terjadi di lingkungan ini, bahaya jika tidak segera ditangani. Selama ini evaluasi

kinerja hanya standar untuk administrasi saja. Perlu ada sistem evaluasi dan pembinaan

khusus terkait dengan pola pikir dan sikap kerja

Dari apa yang disampaikan di atas penulis

berpendapat, tidak signifikannya psychological capital dimungkinkan karena belum

optimalnya kapasitas psikologis sumber daya manusia yang dimiliki oleh kementerian

X. Dengan kata lain, apa yang dimiliki sebagai psychological capital belum

sepenuhnya terinternalisasi ke dalam diri pegawai kementerian X. Karena jika

psychological capital telah terinternalisasi maka akan menjelma ke dalam sosok yang

penuh optimisme, memiliki harapan tinggi, keyakinan diri yang kuat untuk bersungguh-

sungguh dalam bekerja dan memiliki resiliensi serta kegigihan ketika dihadapkan pada

Page 98: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

84

masalah yang berat. Namun jika modal kapasitas psikologis yang positif ini tidak

dioptimalkan maka yang muncul sebaliknya, akan didapati karyawan yang kurang

memiliki optimisme mengenai masa depan, kurang memiliki keyakinan diri yang kuat

untuk maju dan berkembang, kurang memiliki harapan mengenai performa organisasi

yang diharapkan dan kurang memiliki ketangguhan dalam menghadapi masalah yang

berat.

5.1.3 Diskusi Workplace well-being

Hasil penelitian dalam tesis ini menunjukkan workplace well-being yang signifikan di

Kementerian X pada objek penelitian ini. Dimensi yang lebih berpengaruh dalam

penelitian ini adalah dimensi intrinsik, dengan nilai-t ; 14.29 dan standar solusi; 0.88.

Dimensi instrinsik memiliki lima domain didalamnya yaitu: (1) tanggung jawab dalam

pekerjaan; perasaan seseorang mengenai tanggung jawab dan kepercayaan yang

diberikan kepadanya untuk melakukan pekerjaan dengan baik. (2) makna kerja;

perasaan bahwa pekerjaan memiliki makna dan tujuan baik personal maupun organisasi.

(3) kemandirian kerja; perasaan dapat mengerjakan pekerjaan itu sendiri tanpa bantuan

manajemen. (4) penggunaan kemampuan dan pengetahuan kerja; perasaan bahwa

lingkungan mengijinkan menggunakan bakat personalnya dalam bekerja (5) perasaan

berprestasi; perasaan puas terkait dengan apa yang dikerjakan. Dimensi intrinsik ini

dikenal dengan dimensi yang bersifat sebagai faktor motivasi. Sedangkan dimensi

ekstrinsik menyumbang nilai –t ;10.49 dan standar solusi 0.69. Dimensi ekstrinsik

terdiri dari (1) penggunaan waktu sebaik-baiknya (2) kondisi kerja (3) supervisi (4)

kesempatan promosi dan (5) gaji.

Page 99: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

85

Penulis berpendapat, workplace well-being yang signifikan terjadi karena

pegawai pada kementerian X merasakan memiliki (1) tanggung jawab dalam pekerjaan

(2) perasaan bermakna dalam pekerjaannya (3) kemandirian dalam bekerja (4) dapat

menggunakan pengetahuan dan kemampuan dalam bekerja (5) perasaan berprestasi

dengan apa yang telah dikerjakan. Dengan demikian, hal yang tampak kemudian adalah

adanya suasana batin yang nyaman dan tumbuhnya makna tentang bekerja dengan

ketulusan hati. Sebagaimana diungkapkan Lyubormirsky (dalam Avey, Luthans, Smith

& Palmer, 2010) bahwa karyawan yang memiliki well-being cenderung terlihat lebih

bahagia, memiliki keadaan fisik, mental serta perilaku yang lebih sehat. George (dalam

Russel 2008) menegaskan bahwa tingkat workplace well-being yang tinggi akan

membuat karyawan lebih memiliki keterikatan kerja.

Tercapainya kesejahteraan akan mempengaruhi seluruh kegiatan karyawan

secara positif. Sebagaimana diungkapkan Boyd (dalam Danna & Griffin, 1999) bahwa

kesehatan dan kesejahteraan memiliki peran penting dalam pekerjaan. Workplace well-

being pada dimensi ekstrinsik juga dianggap sebagai faktor yang dapat membuat

memudar atau tidaknya tingkat keterikatan kerja karyawan. Rendahnya kesejahteraan

akan mengakibatkan tingkat produktifitas yang rendah, kualitas yang rendah dalam

mengambil keputusan serta penurunan kontribusi dalam organisasi. Dengan melihat

lebih rendahnya dimensi ekstrinsik pada hasil penelitian ini, penulis berpendapat bahwa

workplace well-being yang dimiliki oleh PNS pada kementerian X lebih berorientasi

pada dimensi intrinsik.

Page 100: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

86

5.1.4. Diskusi Psychological Capital dan Workplace Well-being sebagai prediktor

terhadap Keterikatan kerja karyawan

Berdasarkan uraian pada diskusi di atas dapat diketahui bahwa dibandingkan dengan

psychological capital, maka workplace well-being (dengan dimensi instrinsik) secara

signifikan lebih memprediksi keterikatan kerja karyawan di Kementerian X.

Keterikatan kerja merupakan gambaran dari self-employment yang diekspresikan secara

kognitif, emosional dan fisikal selama menjalankan perannya dengan menyadari

keberadaan dirinya secara psikologis di tempat kerjanya.

Pada variabel psychological capital ditemukan bahwa dimensi harapan

memberikan sumbangan yang tertinggi (0.95) diantara tiga dimensi yang lain (efikasi

diri, resiliensi dan optimisme). Penulis berpendapat, hal ini sebagai tingginya harapan

PNS pada kementerian X untuk dapat terus maju dan berkembang meski keadaan sangat

sulit. Terkait dengan rendahnya psychological capital dalam penelitian ini, dari hasil

deep interview dan focus group discuss yang telah dilakukan terdapat beberapa

pendapat antara lain: (1) merasa berada di comfort zone sebagai PNS, jadi stagnan

dengan situasi yang dihadapi, apalagi ada istilah pandai dan bodoh sama saja, ini

membuat idealisme luntur dan orang jadi malas maju. (2) Kegiatan terlalu banyak,

namun tidak diimbangi dengan pengembangan diri dalam sikap kerjanya, jadi hasilnya

seadanya. (3) Mind set terhadap kehidupan harus luas, bahaya jika tidak memiliki

kesiapan menghadapi perubahan yang tidak sesuai dengan harapan. (3) Arah kegiatan

tidak jelas outputnya. Jadi mengikuti kegiatan karena ada uang. Bekerja harus sesuatu

yang dicintai, karenanya menghasilkan prestasi, bukan hanya karena ada uangnya. (4)

Page 101: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

87

Ketidakpahaman PNS terhadap visi misi organisasi karena tidak membaca dan juga

kurangnya sosialisasi. (5) Tidak adanya teladan dari atasan, terutama atasan langsung.

Figur pimpinan tidak memberikan supervisi dan mencontohkan cara kinerja yang baik.

(6) Hasil penelitian ini menggambarkan apa yang terjadi di lingkungan ini, bahaya jika

tidak segera ditangani. Selama ini evaluasi kinerja hanya standar untuk administrasi

saja. Perlu ada sistem evaluasi dan pembinaan khusus terkait dengan pola pikir dan

sikap kerja. Meski telah dikonfirmasi melalui deep interview dan focus group discuss ,

hasil penelitian mengenai psychological capital yang rendah ini tetap harus

diperlakukan hati-hati.

Untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia pada aparatur (PNS), salah

satu yang bisa dilakukan adalah reedukasi (Azizy, 2007) melalui: (1) memahami proses

dalam menyentuh budaya; mengubah budaya pesimis menjadi optimis, mengubah

budaya malas menjadi kerja keras. (2) Keterlibatan kerja; PNS dilibatkan dalam proses

perubahan, sejak perencanaan sampai pada tataran aplikasi. (3) Faktor lingkungan;

kapasitas psikologis positif yang tertanam dalam lingkungan akan lebih mudah

menyebar, apalagi jika dimulai dari pimpinan.

Dalam persoalan workplace well-being, Herzberg (dalam Page, 2005)

menyatakan bahwa kunci utama untuk memotivasi karyawan adalah dengan

meningkatkan faktor intrinsik dari suatu pekerjaan. Menurut penulis salah satu cara

yang bisa dilakukan untuk mempertahankan faktor intrinsik adalah meluruskan motivasi

pada saat memulai aktivitas pekerjaan. Dalam memulai aktivitas bekerja dengan bacaan

basmallah yang memiliki arti “Atas nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha

Page 102: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

88

Penyayang” aktivitas apapun yang dilakukan aparatur negara (PNS) semata-mata atas

nama Tuhan yang bertujuan merealisasikan tugas-tugas kepemimpinan. Karena aktivitas

tersebut atas nama Tuhan, maka pekerjaan harus dilakukan sebaik mungkin. Dengan

demikian workplace well-being yang tinggi juga dapat berimplikasi: (1) Bekerja sebagai

bagian dari ibadah yang tidak saja berdimensi kemanusiaan tetapi juga berdimensi

ketuhanan. Sebagaimana firman Allah (QS: Al-Nahl:97) “ Barangsiapa yang

mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,

maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan

sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik

dari apa yang telah mereka kerjakan”. (2) Bekerja dengan penuh makna dan tidak

menyalahgunakan wewenang merupakan manifestasi tanggung jawab setiap karyawan.

5.2 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dari penelitian tesis ini, maka dapat disimpukan bahwa:

Psychological capital tidak signifikan dalam mempengaruhi keterikatan kerja

karyawan. Hal ini disebabkan karena data yang diperoleh dalam penelitian

menunjukkan tidak memenuhi persyaratan signifikansi secara langsung terhadap

keterikatan kerja dengan nilai standaradized sebesar 0.23, dengan nilai –t 1.77 yang

lebih rendah dari nilai persyaratan 1.96. Dengan demikian, psychological capital

(dengan dimensi harapan, efikasi diri, resiliensi dan optimisme) tidak terbukti

memberikan pengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan secara signifikan.

Workplace well-being terbukti memberikan pengaruh keterikatan kerja

karyawan secara positif dan signifikan dengan nilai standaradized sebesar 0.62 dan

Page 103: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

89

nilai-t 4.52. Dengan demikian, workplace well-being dengan (1) dimensi ekstrinsik yang

terdiri dari: penggunaan waktu sebaik-baiknya, kondisi kerja, supervisi, kesempatan

promosi dan gaji; serta, (2) dimensi intrinsik yang terdiri dari: tanggung jawab dalam

pekerjaan, makna kerja, kemandirian kerja, penggunaan kemampuan dan pengetahuan

untuk bekerja serta perasaan berprestasi dalam bekerja - terbukti berperan dalam

memprediksi keterikatan kerja karyawan. Dengan semakin tingginya workplace well-

being maka akan semakin meningkatkan keterikatan kerja karyawan.

Psychological capital dan workplace well-being terbukti tidak memiliki peran

yang sama dalam memberikan pengaruh terhadap keterikatan kerja karyawan.

Psychological capital tidak signifikan menjadi prediktor bagi keterikatan kerja

karyawan (karena tidak memenuhi persyaratan signifikansi secara langsung terhadap

keterikatan kerja dengan nilai standaradized sebesar 0.23, dengan nilai –t 1.77 yang

lebih rendah dari nilai persyaratan 1.96). Sedangkan workplace well-being secara

positif dan signifikan (dengan nilai standaradized sebesar 0.62 dan nilai-t 4.52) dapat

menjadi prediktor bagi keterikatan kerja karyawan. Dengan demikian, workplace well-

being dengan (1) dimensi ekstrinsik yang terdiri dari: penggunaan waktu sebaik-

baiknya, kondisi kerja, supervisi, kesempatan promosi gaji; serta, (2) dimensi intrinsik

yang terdiri dari: tanggung jawab dalam pekerjaan, makna kerja, kemandirian kerja,

penggunaan kemampuan dan pengetahuan untuk bekerja serta perasaan berprestasi

dalam bekerja – terbukti lebih berperan dalam memprediksi keterikatan kerja karyawan.

Page 104: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

90

5.3 Saran

Sebagai penutup dari tesis ini, penulis mengajukan beberapa saran pada Kementerian X

agar dapat terus berbenah memperbaiki performa organisasinya termasuk dalam

penataan sumber daya manusia. Apa yang dihasilkan dari penelitian ini dapat menjadi

gambaran mengenai tingkat keterikatan kerja di kementerian X.

Beberapa saran yang bisa diterapkan: Membuat suatu program yang

berkelanjutan dengan proses pembelajaran tiada henti (never ending learning process)

yang mudah dihayati dan dimengerti karyawan (PNS). Untuk itu, program tersebut

harus merupakan pembelajaran yang integrated yang dapat membuat karyawan mau

melibatkan diri (involved) secara bersungguh-sungguh.

Kementerian X idealnya dapat meningkatkan kapasitas psychological capital

PNS yang ada didalamnya. Psychological capital PNS perlu diarahkan pada

kemampuan menghadapi persaingan global, bukan sekedar survive. Terkait dengan ini

maka sekali lagi, pendidikan dan pelatihan menjadi hal yang sangat penting, karena

dengan pendidikan dan pelatihan (pengembangan diri) akan mampu memberi modal

psikologis untuk menjadi PNS yang bermoral, berprestasi, optimis, penuh harapan,

memiliki resiliensi dalam menghadapi masalah berat dan memiliki efikasi diri yang kuat

untuk meraih kesuksesan dan memberi manfaat pada birokrasi Indonesia sekarang dan

di masa depan.

Kementerian X idealnya juga memperhatikan upaya peningkatan faktor

ekstrinsik pada workplace well-being untuk meningkatkan keterikatan kerja karyawan.

Selain perlunya renumerasi, perlu juga diperhatikan faktor supervisi, lingkungan

Page 105: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

91

pekerjaan dan jenjang pengembangan karir secara profesional.

Dari hasil focus group discussion (FGD) ada beberapa saran yang diusulkan

antara lain: (1) Perlunya teladan dari pimpinan, membangun kematangan sistem (2)

Pemilihan orang-orang yang tepat untuk membantu manajemen. Nepotisme jangan

terlalu kuat, perlu mengedepankan profesionalisme. (3) Setiap karyawan harus mampu

menunjang pelayanan visi misi organisasi. (4) Perlu ada pembinaan mental secara

khusus, pengembangan diri melalui pendidikan dan training yang berkelanjutan. (5)

Hasil penelitian ini merupakan gambaran apa yang terjadi pada 2 lembaga di

Kementerian X, maka pimpinan perlu segera membaca dan mempertimbangkan atau

menindaklanjuti saran yang diusulkan.

Sampai dengan penelitian ini dilakukan, di Indonesia belum banyak penelitian

tentang keterikatan kerja karyawan yang dilakukan pada aparatur negara (PNS).

Dengan demikian, masih diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui karakteristik

dan faktor-faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja PNS pada setiap departemen.

Dengan mengetahui karakteristik setiap departemen, maka akan lebih mudah untuk

melakukan reformasi birokrasi. Adapun dalam metode penelitian, penulis mengakui

bahwa apa yang dilakukan dalam penelitian ini belum mencakup semua hal. Dalam hal

alat ukur, penelitian ini masih perlu disempurnakan dengan memasukkan faktor-faktor

lain secara lebih luas.

Secara keseluruhan, penulis mengakui bahwa penelitian ini masih mempunyai

banyak keterbatasan, karenanya diperlukan suatu penelitian lanjutan untuk mendapatkan

gambaran yang lebih menyeluruh.

Page 106: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

92

DAFTAR PUSTAKA

---------- (2009): Alqur‟an & terjemahannya Penerbit: Syamil Cipta Media, Bandung.

Albrecht Simon (2010). Handbook of employee engagement. perspectives, issues, research and

practice. MPG Books Group, UK

Avey, James. B., Luthans. Fred., Smith, Ronda M., & Palmer, Noel F. (2010). Impact of

positive psychological capital on employee well-being over time. Journal of occupational

health psychology 2010, Vol. 15.

Azizy, A. Qodri (2007) Change management dalam reformasi birokrasi (2007). Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta

Bakker,A.B., Schaufeli, W.B., Leiter, M.P., & Taris, T.W. (2008). Work engagement: an

emerging concept in occupational health psychology.work & stress, 22 (3), 187-200.

Creswell, John (2009. Research design: Qualitative, quantitative and mixed methods

approaches. Third Edition. Sage Publications. Thoussand Oaks California

Danna, Karen. & Griffin, Ricky. W.(1999). Health and well-being in the workplace: A review

and synthesis of the Literature, Journal of management .

Demerouti, E., Bakker, A.B., Nachreiner, F & Schaufeli., W.B. (2000) “A model of burnout and

life satisfaction among nurses”, Journal of advanced nursing.

Dessler, Gary. (2008). Human resources management. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Envick, Brooke R. (2005). Beyond human and social capital: The importance of positive

psychologycal. The entrepreneurial executive; 2005;10, Entrepreneurship pg.41.

Feist, J dan Feist, G.J.(2006). Theories Of personality. New York: McGraw Hill Companies,

Inc.

French, Bell, Zawacki (2000) Organization development and transformation. managing

effective change. McGraw-Hill International Editions. Singapore

Ferguson, Amanda.(2007). Employee engagement : does it exist, and if so, how does it so, how

does it relate to performance, other constructs, and individual differences?

.http://www.lifethatworks.com/ employee-engagement.prn.pdf. (Diakses pada 20 Juli

2012).

Gallup Leadership Institute. Psychological Capital: Measurement, development and

performance impact. http://www.gli.unl.edu. (Di akses 29 Juni 2012)

Gallup; Harter, Schmidt, Killham, Agrawal (2009) Q12 Meta-Analiysis: The relationship

between engagement at work and organizational outcomes

Page 107: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

93

Harter, J.K., Schmidt, F,L., & Keyes, C.L.M.(2002). well-weing in the workplace and it‟s

relationship to business outcomes: A Review Of The Gallup Studies. Dalam Keyes, Corey

L.M & Haidt,Jonathan (Eds). Flourishing : The positive person and the good life (205-

224). Washington DC :American Psychological Association.

Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI (2008): Membangun jati diri aparatur negara

melalui internalisasi nilai-nilai agama

Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI (2009): Pengembangan budaya kerja departemen

agama.

Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI (2011) Mengembangkan budaya kerja melalui

pengawasan dengan pendekatan agama, Modul 1-5.

Jac Fitz-Enz (1990) Human value management. Jossey-Bass Publishers. San Francisco

Kahn, W .A. (1990). Psychological conditions of personal engagement and disengagement

at work. Academy of management journal, 33(4),692-724.

Kerlinger, F.N. & Lee ,H.B (2000). Foundations of behavioral research ( 4th Ed). Orlando, FL:

Harcourt College Publishers.

Kular, Sandeep., Gatenby, Mark ., Rees, Chris., Soane, Emma. & Truss, Katie. (2008).

Employeeengagement: A Literature Review.Working Paper Series, 19.

http://eprints.kingston,ac.uk /4192/1/19wempen.pdf (Diakses pada 30 April 2012)

Kumar, R.(1999). Research methodology: a step-by-step guide for beginners. London: SAGE

Publication Ltd.

Litle & Litle (2006). Employee engagement: conceptual issues. Journal of organizational

culture, communication and conflict

Luthans, F., Avolio, B.J., Avey, B.,& Norman, S.M.(2007). Positive psychological capital:

measurement and relationship with performance and satisfaction. Personnel psychology,

60,541-572.

Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio,Bruce,J (2007). Psychological capital: developing the

human competitive edge. New York: Oxford University Press.

Luthans, F., & Youssef, C M. (2007). Emerging positive behavior. Journal of management.

Luthans, F.,(2002). The need for and meaning of positive organizational behavior. Journal of

organizational behavior hlm. 695-706.

Luthans, F., Luthans, W. K & Luthans, C. Bt. (2004). Positive psychological capital: Beyond

human and social capital. Business horizon 47/1,45-50.

Page 108: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

94

Luthans, Fred., Avey, Avolio, Peterson (2010). The development and resulting performance

impact of positive psychological capital: www.interscience.willey.com

Macey, W.H., Scheneider, B. (2009). The meaning of employee engagement. Industrial and

Organizational Psychology

Maslach, C., Schaufeli, W.B. & Leiter, M.P. (2001), “Job burnout”, Annual review of

psychology.

Mac Millan English Dictionary for Advance Learnes. (2002). International student edition.

London : Mac Millan Publishing.CO.

McShane, steven L.,Glinov, Von. (2010). Organizational behaviour: emerging knowledge and

Practice for the real world 5th edition. Newyork: Mc Graw-Hill/Irwin

May, D.R., Gilson, R.L. & Harter, L.M. (2004), The psychological condition of

meaningfullness, safety and availability and the engagement of the human spirit at work.

Journal of occupational and organizational psychology.

Meyer, J.P & Allen, N.J (1997), Commitment in the workplace: theory, research and

application, Thousand Oaks, CA: Sage

Mohapatra, M. & Sharma, B.R.(2010). Study of employee engagement and it‟s predictors in an

Indian public sector undertaking. Global Bussiness Review, 11(2),281-302.

Page, K.M. (2005).Subjective well-being in the workplace. Unpublished Honous thesis, Deakin

University, Melbourne Australia. Accessedvia http//www.deakin.edu.au/research/acqol

/instruments/index.htm.

Page, K.M. & Vella-Brodrick, D.A. (2009). The „what‟,‟why‟,and „how‟ of employee well-

being: a new model. Social Indicators Research, 90, 441-458.

Pati & Kumar (2010) Employee engagement: role of self-efficacy, organizational support &

supervisor support. The Indian Journal of Industrial Relations Vol 46.

Pratiwi, Dini. Keterikatan kerja dan kaitannya dengan perceived organizational support dan

psychological capital pada karyawan PT XYZ. Tesis, Universitas Indonesia, tidak

diterbitkan.

Prawitasari, Johana (2002) Diskusi kelompok terarah. Hand-out asesmen & intervensi. Program

Profesi Psikolog. Fakultas Psikologi UGM

Russell, J.E.A. (2008). Promoting subjective well-being at work. journal of career assessment,

16.

Rudiyanto dalam http://www. bpp.depdagri.go.id (di akses tanggal 20 Juni 2012)

Page 109: PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN WORKPLACE WELL-BEING …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46318/1/ELISA KURNIADEWI-FPSI.pdfteman magister angkatan 2010. dan 2011. yang tidak

95

Saks, A.M. (2006) Antecedents and consequences of employee engagement. Journal of

Managerial Psychology,21(6),600-619.

Schaufeli, W. B.Salanova, M., Gonzalez-Roma, V. & Bakker, A.B. (2002). The measurement of

burnout and engagement : A confimantory factor analytic approach. Journal of Happiness

Studien, 3,71-92.

Schaufeli, W. B. & Bakker, A. B. (2004). Job demands, job resources, and their relationship

with burnout and engagement : a multi-sample study. Journal of Organizational Behavior,

25,293-315.

Schaufeli, W. B. Bakker, A. B., & Salanova, M. (2004). The Measurement of work engagement

with a short questionnaire: A Cross-National Study. Educational and psycological

measurement, 66(4),701-716.

Shahnawaz, M.G. & Jafri. (2009). Psychological capital as predictor of organizational

commitment and organizational citizenship behavior. Journal of the Indian Academic

Applied Psychology hlm.78-84.

Seligman, M.E.P. & Csikszentmihalyi, M. (2000), “Positive psychology: an introduction”,

American Psychologist.

Singh, Sandeep., & Mansi. (2009). Psychological capital as predictor of psychological well-

being. Journal of the indian academy of applied Psychology. July 2009,35, no. 2, 233-238.

Sivanathan, N., Arnold, K.A.,turner, N., & Barling, J. (2004). Leading well: transformational

leadership and well-being. Dalam Linley, P.A.& Joseph, S. (Eds). Positive psychology in

practice (241-255). New Jersey: John Wiley & Sons, inc.

Soebandono, J. P. (2011): Peran rasa bangga, kepercayaan, rasa aman, dan nilai kerja pribadi

dalam keterikatan kerja karyawan, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Psikologi

Universitas Indonesia - Tidak diterbitkan

The Gallup Organisation. (2005). Employee engagement : The employee side of the human

sigma Equation. http://www.gallup.com/

Ulrich, D & Brockbank, W (2005), The HR value proposition, Boston, MA: Harvard Bussiness

School Press.

Wefald, A.J. & Downey, R.G (2008). Job engagement in organizations: fashion or folderol?

Journal of organizational behaviour