Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan...

28
Implikasi Ilmu Bagi Kesalihan Tingkah Laku: Analisis Terhadap Psikologi Sufistik al Ghazâlî Oleh Abdullah Hadziq* Kata Kunci: ilmu, sufistik, kemaslahatan, kesalihan, tingkah laku, duniawi, ukhrawi Pendahuluan Ilmu, selama ini sering dimaknai sebagai science for science, akibatnya fungsi ilmu yang seharusnya sebagai pengembangan kepribadian yang berbasis moralitas, cenderung kurang mendapat perhatian, lantaran pengaruh paradigma keilmuan yang berasas pada value free. Dengan kerangka pikir ini, ilmu tidak harus berhubungan dengan nilai-nilai luhur yang bersumber dari agama ataupun dari sosial budaya, padahal ilmu dibangun untuk tujuan peningkatan taraf hidup dengan memperhatikan kodrat manusia dan martabatnya. Atas dasar latar belakang pemikiran tersebut, maka kajian terhadap ilmu dan implikasinya bagi kesalihan tingkah laku menjadi amat relevan, karena akan memberikan kontribusi bagi wacana keilmuan di masa depan. Paradigma keilmuan yang kita harapkan tidak perlu mengikuti arus Barat yang cenderung bersifat Positivistik, anti nilai-nilai keyakinan dan moralitas agama, melainkan harus diarahkan pada pemberian manfaat Ilmu dalam tataran ideal, seharusnya dapat membawa implikasi bagi kesalihan tingkah laku, karena fungsi ilmu dalam visi Psikologi Sufistik al Ghazâlî adalah untuk kemaslahatan kemanusiaan dalam hubungannya dengan kehidupan di dunia dan akhirat. Karena itu, ilmuwan yang mempelajari dan mengajarkan ilmu, diharapkan lebih mengedepankan kejernihan hati nurani, tingkah laku yang santun, dan kesehatan spiritual dalam wujud kesadaran psikologis yang semakin dekat dengan Allah. Psikoterapi

Transcript of Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan...

Page 1: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Implikasi IlmuBagi Kesalihan Tingkah Laku:

Analisis Terhadap Psikologi Sufistik al Ghazâlî

Oleh Abdullah Hadziq*

Kata Kunci: ilmu, sufistik, kemaslahatan, kesalihan, tingkah laku, duniawi,ukhrawi

Pendahuluan

Ilmu, selama ini sering dimaknai sebagai science for science, akibatnyafungsi ilmu yang seharusnya sebagai pengembangan kepribadian yangberbasis moralitas, cenderung kurang mendapat perhatian, lantaranpengaruh paradigma keilmuan yang berasas pada value free. Dengankerangka pikir ini, ilmu tidak harus berhubungan dengan nilai-nilai luhuryang bersumber dari agama ataupun dari sosial budaya, padahal ilmudibangun untuk tujuan peningkatan taraf hidup dengan memperhatikankodrat manusia dan martabatnya.

Atas dasar latar belakang pemikiran tersebut, maka kajian terhadapilmu dan implikasinya bagi kesalihan tingkah laku menjadi amat relevan,karena akan memberikan kontribusi bagi wacana keilmuan di masa depan.Paradigma keilmuan yang kita harapkan tidak perlu mengikuti arus Baratyang cenderung bersifat Positivistik, anti nilai-nilai keyakinan danmoralitas agama, melainkan harus diarahkan pada pemberian manfaat

Ilmu dalam tataran ideal, seharusnya dapat membawaimplikasi bagi kesalihan tingkah laku, karena fungsi ilmudalam visi Psikologi Sufistik al Ghazâlî adalah untukkemaslahatan kemanusiaan dalam hubungannyadengan kehidupan di dunia dan akhirat. Karena itu,ilmuwan yang mempelajari dan mengajarkan ilmu,diharapkan lebih mengedepankan kejernihan hatinurani, tingkah laku yang santun, dan kesehatan spiritualdalam wujud kesadaran psikologis yang semakin dekatdengan Allah.

Psikoterapi

Page 2: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

2 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

bagi kemaslahatan kemanusiaan dalam berakidah, beribadah danbermuamalah.

Untuk mewujudkan kajian keilmaun dalam konteks pengembangantingkah laku positif yang diharapkan, maka analisis kajian yangdidasarkan atas visi Psikologi Sufistik al Ghazâlî, menjadi sebuahkeniscayaan, karena ilmu jiwa yang dibangun al Ghazâlî lebih diarahkanpada terwujudnya kesalihan tingkah laku dan kesempurnaan moral. Olehkarena itu, pokok bahasan yang dikaji dalam artikel ini, lebih difokuskanpada konsep keilmuan dan peluang implikasinya bagi perbaikan tingkahlaku dari sudut pandang Psikologi Sufistik gagasan al Ghazâlî.

Setting Sosial al-Ghazâlî

Al Ghazâlî sebagai tokoh terkenal, utamanya di bidang PsikologiSufistik, mempunyai sejarah hidup seperti layaknya tokoh lain. Perjalananhidupnya, hampir dapat dipastikan selalu berhubungan dengan keadaansosial yang mengitarinya, sehingga wawasan intelektual yang dimilikinyabanyak bersinggungan dengan peristiwa sosial yang terjadi saat al Ghazâlîmasih hidup.

Al Ghazâlî, lengkapnya bernama Abû Hâmid Muhammad binMuhammad bin Muhammad bin Ahmad al Ghazâlî1, yang dilahirkan padatahun 450 H/1058 M.2 di Thûs3, wilayah Khurasan, Iran, yang diwarnaioleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiamioleh mayoritas umat Islam Sunni, juga banyak dihuni oleh orang-orangKristen dan Islam Syiah.4

Sesudah dirasa cukup mengikuti pendidikan awal di daerahnya, iakemudian pergi ke Jurjan untuk menuntut ilmu pada Imâm Abû Nashral Ismâ‘îlî.5 Setelah selesai belajar di Jurjan, ia kembali lagi ke Thûsuntuk menetap selama tiga tahun. Waktu itu ia memanfaatkan untukmempelajari tasawuf dan mempraktikkan ajaran-ajarannya di bawahbimbingan Yûsuf al-Nassaj.6

Pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh di Thûs belum memuaskanbagi al Ghazâlî, karena itu, ia pergi untuk belajar ke Naisabur bergurukepada salah seorang teolog aliran Asy‘ariyyah yang terkenal, Abû alMa‘âli ‘Abd al Mâlik Ibn Abî Muhammad al Juwaini, yang bergelar Imâmal-Haramain.7 Dari madrasah di Naisabur yang al Juwaini bertindaksebagai tenaga pengajarnya, al Ghazâlî memperoleh ilmu kalam, mantiq,hukum, retorika, ilmu pengetahuan alam dan tasawuf.8

Selama di Naisabur, al Ghazâlî tidak saja belajar dengan Imâm alHaramain, akan tetapi juga mempergunakan kesempatan belajar untukmenjadi pengikut sufi bersama Abû al-Fâdlil bin Muhammad bin ‘Ali alFarmadi, seorang murid pamannya, al-Qusyairî, yang ahli tasawuf.Sesudah dari Naisabur, al Ghazâlî lalu pergi ke al Askar, dengan mendapat

Page 3: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 3

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

sambutan hangat dari Perdana Menteri, karena Nizhâm al Mulk telahmengetahui kedudukan al Ghazâlî yang tinggi.9

Di al Askar ia pernah diundang untuk berdiskusi ilmiah dengansekelompok ulama di hadapan Perdana Menteri. Di dalam diskusi itu,Perdana Menteri melihat keluasan dan kedalaman ilmu al Ghazâlî biladibanding dengan ulama yang lain. Setelah penampilannya berhasil baik,Perdana Menteri menaruh simpatik kepadanya, dan segera menawarinyauntuk mengajar di Universitas yang didirikan oleh Nizhâm al Mulk diBagdad yang lebih dikenal dengan Universitas Nizhâmiyah. Al Ghazâlîkemudian berangkat ke Baghdad tahun 484 H, untuk mengajar sebagaidosen di Universitas tersebut.

Di Universitas al Nizhâmiyah, ia diakui dan dikagumi oleh paramahasiswa, ulama dan pembesar Dinasti Saljuk, sehingga pada masapemerintahan Nizhâm al Mulk, ia diangkat sebagai guru istana dan MuftiBesar yang hidup di bawah lindungan penguasa-penguasa keluargaSaljuk,10 sehingga dengan kedudukan yang sedemikian tingginya itumenjadikan al Ghazâlî didekati oleh para penguasa, seperti yang dikatakandalam al Munqidz “sebagai buktinya adalah kerasnya usaha mereka untukmendekati dan merunduk padaku, namun aku tidak peduli padasikap dan tutur kata mereka.”11

Sekalipun demikian besar nikmat dan sukses yang didapat al Ghazâlîdi bidang keduniaan, namun semuanya itu tidak mampu mendatangkanketenangan dan kebahagiaan baginya. Dari segi agama dan batin, iagelisah dan menderita serta mengalami perasaan syak, lebih-lebih setelahmenguji pengetahuan atas dasar inderawi dan akal.

Ketika menguji pengetahuan inderawi, al Ghazâlî melihat bahwapengetahuan itu tidak terlepas dari kemungkinan tersalah. Akal ternyatadapat membuktikan kesalahan-kesalahan inderawi. Bayang-bayangbenda yang dalam pandangan mata, dianggap diam, ternyata denganpengamatan dan eksperimen akal menyimpulkan bahwa bayang-bayangitu bergerak (mutaharrik).12

Dengan demikian, kepercayaan al Ghazâlî kepada pengetahuaninderawi menjadi hilang, dan selanjutnya menaruh kepercayaan padapengetahuan yang diperoleh melalui akal. Namun kepercayaan terhadapakal goncang kembali, ketika ia memikirkan apa dasar yang membuatakal dipercaya. Kalau ada dasar yang membuat akal dipercaya, makadasar itulah sesungguhnya yang lebih dipercaya, sebagaimana halnya akalmenjadi dasar kepercayaan terhadap indera. Ketidak jelasan adanyadasar yang lebih tinggi daripada akal, menurut al Ghazâlî, tidak mestimenunjukkan kemustahilannya.13 Dasar semestinya ada, sebab kalau tidakada, maka tidak ada alasan untuk mempercayai akal.

Menurut pengakuan al Ghazâlî sendiri, hampir dua bulan iamengalami kekacauan psikologis tanpa kemampuan menyelesaikannya.14

Page 4: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

4 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

Namun melalui nûr yang diberikan oleh Allah pada hatinya, ia merasasehat dan tenang, serta dapat menerima kebenaran pengetahuan yangbersifat aksiomatis yang tidak diperolehnya melalui dalil - dalil yangobjektif ( al ’adillah al muharrarah), melainkan melalui nûr yang disebutmiftâh al ma‘ârif (kunci ma’rifat).15

Sesudah menemukan ketenangan psikologis dan merasa ada sumberpengetahuan di atas akal, yaitu nûr yang dilimpahkan Allah secaralangsung ke dalam hatinya, ia mulai menempuh jalan tasawuf, setelah iameyakini metode falsafah, ilmu kalam, dan kebatinan, tidak mampumengantarkannya kepada pencapaian tujuannya.16 Sebaliknya ia hanyaberkeyakinan bahwa jalan tasawuflah yang dapat mengantarkannyakepada tujuan yang dimaksudnya, yakni Allah dan kebahagiaan akherat,seperti yang dinyatakan sendiri bahwa “ahli tasawuf adalah orang yangmempunyai moral terpuji (azka al akhlâq) dan jalan yang lurus (ashwabal thuruq) untuk menuju Allah dan kebahagiaan akherat.”17

Oleh karena itu, melalui jalan sufistik, al Ghazâlî berusaha keras untukmelakukan pembersihan jiwa (tazkiyat al nafs) dan pembeningan hatiterus menerus hingga menjadi pribadi yang taat, dan sehat secarapsikologis.18 Jalan pikiran al Ghazâlî ini, dilatarbelakangi oleh settingsosial psikologis yang melingkarinya saat itu. Al Ghazâlî (1058-1111 M),dilihat dari tahun kelahiran dan masa kehidupannya, merupakan salahseorang pemikir Islam yang muncul pada masa pasca puncak kemajuanIslam19 yang berarti berada dalam masa kemunduran (1000-1250 M.) dariperiode sejarah Islam.20

Dalam masa kemunduran tersebut, kekuatan sosial dan politik umatIslam di bawah pimpinan kerajaan Abbasiyah sudah sangat mundur danlemah. Kemunduran dan kelemahan tersebut terus berlangsung di masaal Ghazâlî, dan sampai pada masa kehancuran Bagdad di tangan HulaghuKhan tahun 1258 M.

Di samping kerajaan Abbasiyah sudah mengalami masa kelemahan,di bidang politik, datang pula serangan yang dilancarkan oleh golonganSyi’ah atas Bagdad, mulai dari pemberontakan yang dilancarkan olehkaum Qaramitah, sampai aksi pembunuhan terhadap para pembesarkerajaan yang memusuhi mereka Di antara para pembesar kerajaan yangmereka bunuh di masa al Ghazâlî masih hidup adalah Perdana MenteriNizhâm al Mulk dari Dinasti Saljuk di tahun 1092 M.21

Dari fakta sejarah di atas, dapat diketahui bahwa setting sosial Islamsaat al Ghazâlî hidup, sudah berada dalam keadaan disintegrasi, sehinggamembawa akibat matinya ilmu-ilmu Islam dalam jiwa pemeluknya. Halini dapat dilihat pada kasus pertentangan pendapat yang ditimbulkanoleh para mutakallimîn, filosof dan ahli kebatinan dalam soal mencarikebenaran, sehingga menimbulkan ketidakpuasan psikologis dalammasyarakat serta kebingungan dan keraguan di kalangan orang awam.22

Page 5: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 5

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

Demikian juga kasus pertentangan yang ditimbulkan oleh kaum Faqîhdan kaum Sufi. Di satu pihak kaum Sufi lebih banyak menekankan aspek-aspek keakhiratan dan batiniah dalam kehidupan, di pihak lain kaumFaqîh banyak menekankan aspek-aspek keduniaan dan lahiriah, sehinggamasing-masing tenggelam dalam ajarannya, dan demikian jauh dari salingmemahami pertentangan tersebut.23 Setting sosial psikologis yang demikianini, secara historis, sulit untuk dilepaskan dari kehidupan dan pemikiranal Ghazâlî hingga ia wafat24, karena di manapun seorang pemikir berada,tidak akan melepaskan diri dari bentukan sejarah yang melingkarinya.25

Wawasan Intelektual al Ghazâlî

Kehausan al Ghazâlî akan ilmu pengetahuan sudah tampak sejakkemampuan intelektualnya mulai berkembang. Ia cenderung untukmengetahui, memahami dan mendalami masalah-masalah yang hakiki.Hal ini dilukiskan oleh al Ghazâlî sendiri, seraya menyatakan :“kehausanku untuk menggali hakikat segala persoalan telah menjadikebiasaanku semenjak aku muda. Hal itu merupakan tabiat dan fitrahyang telah diletakkan oleh Allah dalam kejadianku, bukan karenausahaku”.26 Karenanya al Ghazâlî terdorong belajar tasawuf kepada salahseorang tokoh sufi, Abû al Fâdlil Ibn ‘Ali Muhammad Ibn ‘Ali al Farmadi(wafat 477 H.) dari segi teori dan prakteknya.27

Sewaktu jadi murid Imâm al Haramain, ia menanamkan kebiasaanskeptis terhadap persoalan dan pertentangan teologis, meskikecenderungan skeptis tersebut harus berhadapan pengaruh gurunya.Ketika Imâm al Haramain meninggal dunia tahun 478 H. / 1085 M.kecenderungan skeptis ini berkembang lebih lanjut semasa ia berada dimajlis seminar yang didirikan oleh Nizhâm al Mulk, wazir Saljuk, pencintailmu dan ulama. Di majlis ini beliau banyak berdiskusi dengan para ulamalebih kurang enam tahun. Selama itu ilmunya semakin mendalam ,terutama di bidang kalâm.

Kesan tersebut, dapat dibuktikan melalui karya intelektualnya dibidang kalâm, seperti Qawâ‘id al ‘Aqâ’id yang kini termasuk salahsatu bab dari Ihyâ’ ‘Ulûm al Dîn,28 Kitâb al Arba‘în fî Ushûl al Dîn,29 alRisâlah al Qudsiyyah,30 Al Iqtishâd fî al I‘tiqâd,31 dan Iljâm al ‘Awâm ‘an‘Ilm al Kalâm.32 Dengan reputasinya yang demikian itu, di NizhâmiyahBagdad, kuliah-kuliah al Ghazâlî menjadi daya tarik tersendiri bagi paraulama, karena kehebatan analisis dan ketajaman argumentasinya yangdikemukakannya.

Di sela-sela kegiatan mengajarnya, al Ghazâlî juga mempelajarifilsafat, dan melakukan pengujian terhadap kebenaran dalam filsafat.Sebelum melakukan pengujiannya terhadap filsafat, ia menyatakan“bahwa menentang satu aliran (filsafat) tanpa memahmi dan mengkajinya

Page 6: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

6 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

secara baik adalah bantahan yang tidak mendasar (radd fî ‘imâyah)”.33

Karena itu ia bersungguh-sungguh mencari buku-buku filsafat danmempelajarinya secara mendalam. Dalam tempo kurang dari dua tahunsecara otodidak dia sudah dapat menguasai segala aspek filsafat,34 dengandibuktikan adanya sebuah karya intelektualnya yang berjudul “Tahâfutal Falâsifah”.

Di dalam buku tersebut, ia menganggap adanya inkoherensi padasistem berpikir para filosof. Inkoherensi yang terutama adalah hubunganpandangan metafisik dengan logika dan matematika. Pandangan parafilosof yang mendudukkan pembahasan metafisik dalam ukuran logikadan matematik, merupakan akibat cara berpikir filsafat atas dasarkerangka ilmu riyâdliyah dan manthiqiyah yang bersifat ma‘qûlah. Padahalmenurut al Ghazâlî, kemampuan akal dalam berfilsafat untuk menangkaprahasia-rahasia metafisis sangat terbatas (qâshir ‘an idrâk haqâ’iq al ’umûral Ilâhiyyah), sehingga dalam pandangannya,akal tidak mungkindijadikan sandaran bagi penentuan benar dan tidaknya persoalanmetafisik,35 karenanya harus dikembalikan kepada berita Nabi yangma‘shûm.36

Kemampuannya di bidang filsafat, al Ghazâlî, seperti yangdiketengahkan Sulaiman Dunya, berhak menyandang gelar filosof,meskipun pemikiran filsafatnya berpretensi untuk menghancurkanreputasi para filosof di mata ummat, karena adanya kerancuan pemikiranmereka sehingga bertentangan dengan akidah yang benar.37

Ini menimbulkan kesan bahwa ia mempelajari filsafat tidak secarajujur mengujinya sebagai cara untuk menemukan kebenaran, tetapi untukmencari kelemahan dan menghancurkannya. Pernyataan tersebut tidakmesti dipahami sebagai ketidakjujurannya terhadap filsafat, sebabpernyataan yang menggambarkan pengalamannya ini, ditulisnya di dalamal Munqidz beberapa tahun sebelum ia meninggal dunia. Dengandemikian, sudut pandang yang digunakan al Ghazâlî dalam menilaipengalaman masa lalunya itu adalah sudut pandang tasawuf.38

Selain bidang filsafat, al Ghazâlî juga mendalami bidang fiqh dankalâm. Hal ini dapat dibuktikan melalui karya tulisnya yang berjudul AlWajîz (ringkasan), al Wasîth (pertengahan) dan al Basîth (sederhana)dalam bidang fiqh, dan al Iqtishâd fi al I‘tiqâd (moderasi dalam aqidah)di bidang kalâm.39 Dengan demikian al Ghazâlî dapat dianggap sebagaisosok intelektual yang berhasil mencapai puncak karier intelektualnya,sebagaimana harapan pada umumnya intelektual waktu itu.

Sesudah itu, al Ghazâlî menuju ke jalan tasawuf, karena diyakini bahwametode berpikir filsafat, ilmu kalâm, dan fiqh tidak mampumengantarkannya kepada pencapaian tujuannya. Sebaliknya ia hanyaberkeyakinan bahwa tasawuf merupakan jalan yang pantas dilaluimanusia, sebagaimana pernyataannya: “saya ketahui pasti bahwa para

Page 7: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 7

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

Sufi yang berjalan di jalan Allah, hidup mereka adalah hidup yang terbaik,cara mereka adalah cara yang paling benar dan moral mereka adalahpekerti yang paling bersih.”40

Atas dasar keyakinan tersebut, maka ia dengan tekun menelaah karyapara Sufi, sehingga ia mengerti sepenuhnya tentang aspek disiplin ilmuini dan menyadari, bahwa sesuatu yang khas dalam ilmu tersebut tidakbisa dipahami dengan penyelidikan akal, tetapi hanya lewat pengalamanlangsung (dzauq), dengan jalan ekstase atau perubahan moral. Usahauntuk mewujudkan kondisi ini menurutnya, harus dilakukan dua tahap.Yang pertama adalah mengosongkan jiwa dari selain Allah, dan yangkedua adalah mengisi jiwa dengan ingatan yang penuh kepada Allah41.

Untuk mengetahui wawasan intelektualnya di bidang tasawuf, dapatdilacak melalui sebagian karya ilmiahnya yang monumental, Ihyâ’ ‘Ulûmal Dîn. Karya intelektualnya ini terdiri dari empat jilid dan satusupplement. Dalam jilid pertama diuraikan tentang ilmu, dasar-dasaraqidah, rahasia thahârah, rahasia salat, rahasia zakat, rahasia puasa,rahasia haji, etika membaca al Qur’an dan adzkâr. Dalam jilid ke duadibahas panjang lebar tentang pelaksanaan muâ‘malah yang meliputi etikamakan, etika nikah, etika berekonomi, halal-haram, etika persaudaraan,etika uzlah, etika bepergian, etika ’amar ma‘rûf nahi munkar, kehidupandan akhlak Nabi. Dalam jilid ke tiga baru mulai dibahas tentang keajaibanhati, latihan pengembangan jiwa, pengendalian syahwat, bahaya lisan,kejelekan hasud-dengki, dan beberapa penyakit psikologis beserta carapenyembuhannya. Sementara dalam jilid yang ke empat diuraikan tentangajaran sufistik yang menyangkut taubat, shabar, syukr, khauf, raja‘, faqr,zuhd, mahabbah, ikhlâsh, muhâsabah, murâqabah, dan hal-hal lain yangbersifat metafisik.

Kapasitas al Ghazâlî di Bidang Psikologi Sufistik

Sebagai bukti bahwa al Ghazâlî memiliki kapasitas di bidang PsikologiSufistik dapat dilihat pada pemikirannya tentang pengembangan jiwa(takmîl al nafs) yang dikaitkan dengan hidup untuk pencapaiankebahagiaan akhirat, keutamaan jiwa (al fadlîlah al nafsiyyah),keutamaan fisik (al fadlîlah al badaniyyah) dan keutamaan taufîqiyyah42.

Munculnya konsep pengembangan jiwa yang digagas al Ghazâlîtersebut, didasarkan atas kerangka pikir psikologis : (1) bahwakebahagiaan di dunia dan akhirat kelak banyak bergantung pada keadaanjiwa, (2) jiwa merupakan pokok dari ajaran agama dan asas bagi orangyang berjalan menuju Allah, (3) ketaatan dan kedurhakaan manusiakepada Allah bergantung kepada jiwa.

Selain dasar di atas, terdapat landasan psikologis lain, bahwa manusiasecara ruhaniah berasal dari ruh Tuhan.43 Oleh karena itu, manusia harus

Page 8: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

8 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

selalu kembali kepada keadaan psikologis yang suci, melalui prosestathahhur (penyucian jiwa dari berbagai penyakit psikologis), tahaqquq(aktualisasi berbagai maqâm) seperti ikhlâs, sabar, syukur dan lainsebagainya), serta takhalluq (identifikasi akhlak Allah sebagai cermintingkah laku psikologisnya).

Keharusan pengembangan jiwa tersebut, sejalan dengan prinsip-prinsipsufistik yang menganjurkan agar seseorang dalam hidupnya selalu bersikap:“al shidq ma‘a Allah (jujur kepada Allah, kapan dan di manapun), serta“husn al mu‘âmalah ma‘a al nâs” (berperilaku baik kepada siapapun)44.

Konsep pengembangan jiwa dalam pandangan al Ghazâlî tersebut,secara psikologis dapat ditafsirkan sebagai proses penjernihan jiwa dariberbagai penyakit mental45 yang dalam istilah Hasan Langgulung, disebutsebagai ketidakseimbangan psikologis dalam menghadapi realitas.46

Keadaan psikologis semacam ini dapat menimbulkan berbagai gangguanmental, seperti riyâ’ (pamer), dengki, rakus, was-was, bohong, ghîbah(mencaci dari belakang), sombong, bakhîl dan lain sebagainya.

Untuk menghidari berbagai gangguan psikologis tersebut, kata alGhazâlî diperlukan upaya riyâdlat al nafs (latihan mental agar selalutermotivasi untuk melakukan tingkah laku terpuji)47. Latihan ini dalamperspektif Psikologi Sufistik al Ghazâlî, meliputi: (1) latihan sedikit makan,hingga dapat mengurangi kecenderungan negatif, (2) latihan sedikit tidur,hingga dapat menjernihkan kemauan dan keinginan, (3) latihan sedikitbicara, hingga dapat selamat dari berbagai malapetaka, dan (4) latihantabah menghadapi kenyataan pahit, hingga timbul kesabaran yangtinggi48.

Selain latihan mental positif, untuk mewujudkan jiwa yang sehatdiperlukan juga proses mujâhadat al nafs, yaitu latihan secara sungguh-sungguh dalam menangkal dorongan bawah sadar, dorongan hawa nafsudan bisikan-bisikan setan yang mengarah pada hal-hal negatif.49

Proses latihan, baik dalam bentuk tingkah laku terpuji maupunpenolakan terhadap perilaku tercela, merupakan upaya psikologis yangamat penting, karena dalam proses latihan terdapat potensi melakukankebiasaan yang mampu merubah keadaan jiwa seseorang.50 Kebiasaan iniakan lebih efektif bagi terwujudnya tingkah laku terpuji, manakala disertaidengan rasa senang dan dilakukan berulang-ulang51. Oleh karena itu, alGhazâlî menyampaikan contoh konkrit tentang latihan kejiwaankaitannya dengan tingkah laku positif :

“Barang siapa menghendaki untuk dirinya suatu tingkah laku terpuji, sepertikedermawanan umpamanya, maka caranya hendaklah ia memaksa dirinyamelakukan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang yang dermawan,yaitu selalu meberikan harta sehingga ia menjadi mudah melakukannya, danmenjadi seorang yang dermawan. Begitu pula orang yang menghendaki untuk

Page 9: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 9

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

dirinya budi pekerti tawâdlu‘ (tidak sombong), padahal ia sudah terbiasa sombong,maka caranya dalam mencapai akhlak tawâdlu‘ adalah berusaha terus menerusmelakukan tindakan-tindakan yang bernuansa tawâdlu‘. Usaha ini dilakukanselama-lamanya dan berulang-ulang”.52

Latihan tingkah laku positif sebagaimana digambarkan di atas, darisisi Psikologi Sufistik, dapat membawa kondisi jiwa menjadi jernih,sehingga berakibat pada pencapaian keadaan ruhani tertentu danperubahan tingkah laku dari yang negatif menjadi yang positif.53

Latihan semacam ini, dalam istilah psikologi masuk dalam lingkaranlaw of exercise54, di mana jiwa akan semakin bersih, manakala perbuatanyang ditampilkan selalu dilatih untuk mengikuti dorongan malaikat yangcenderung mengajak ke arah kebaikan. Sebaliknya, jika keadaan jiwaselalu dibiasakan untuk mengikuti dorongan hawa nafsu dan dorongansetan, maka tingkah laku yang diekspresikan cenderung jahat danbiadab.55

Pemikiran al Ghazâlî di atas mencerminkan teori psikologi tentanghubungan jiwa dengan fenomena tingkah laku yang ditampilkan. Teoriini, sekarang menjadi referensi psikologi modern dalam merumuskankorelasi antara ranah psikis dan tingkah laku lahiriah. Korelasi ini tidakbisa dipisahkan, karena perilaku yang nampak selalu dipengaruhi olehkeadaan psikologis yang ada dalam pikiran dan perasaan56.

Berdasarkan fakta keilmuan yang dipaparkan di atas, mengindikasikanbahwa al Ghazâlî memiliki keahlian di bidang psikologi. Bukti keahlianal Ghazâlî di bidang psikologi ini, dapat diperhatikan pada beberapapemikiran psikologinya tentang hakikat manusia yang terletak pada sisiruhaniah57, tentang latihan pengembangan pribadi58, tentang prosespengembangan kesadaran hati melalui pengembangan nilai-nilaipenghayatan59, tentang keharusan keterkaitan psikologi dengan prinsip-prinsip moral60, tentang hubungan antara sisi kognitif dan perilakupraktis61, tentang psikologi pendidikan melalui proses tashfiyah, tashlîhiyahdan takhlîshiyah62.

Selain fakta di atas, keahlian al Ghazâlî di bidang psikologi dapatdibuktikan pula melalui berbagai pemikiran Psikologi Sufistiknya sebagaiberikut:

Pertama, pemikiran tentang tashfiyat al nafs, selain di dalamnyamengandung upaya psikologis dalam konteks tahliyat al nafs (menghiasidiri dengan berbagai perilaku psikologis yang terpuji) dan takhliyat alnafs (pengosongan diri dari berbagai penyakit mental), juga memuatupaya psikologis dalam konteks tathhîr al jawârih ‘an al jarâ’im wa alatsâm, wa tathhîr al qalb ‘an al akhlâq al madzmûmah63.

Kedua, pemikiran tentang ontologi Psikologi Sufistik yang tidak hanyamenekankan pada wilayah-wilayah kajian yang berada dalam jangkauan

Page 10: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

10 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

pengalaman manusia yang teramati, melainkan juga menaruh perhatianpada realitas-realitas yang terpikirkan dan yang tidak terpikirkan, sepertikeadaan pribadi yang lepas dari realitas fisik dan menyatu pada kekuatantransendental yang oleh al Ghazâlî disebut dengan istilah al qurb64.Lingkup penelaahan yang tidak hanya pada wilayah-wilayah yang teramati(observable area) tersebut, merupakan akibat dari pemikiran PsikologiSufistik al Ghazâlî yang didasarkan atas paradigma agama yang mengakuiadanya keterkaitan tingkah laku manusia dengan realitas transendentalseperti eksistensi Allah, setan, malaikat, surga, dan neraka65.

Ketiga, pemikiran tentang hubungan jiwa dan perbuatan jasmani,seperti yang telah diakui oleh psikologi modern. Menurut al Ghazâlî,tingkah laku manusia itu sangat ditentukan oleh keadaan jiwanya dalamrelasi horisontalnya dengan alam dan relasi transendentalnya denganTuhan66.

Keempat, pemikiran tentang metode eksperimen spiritual menyangkutpsikologis dirinya. Dari metode eksperimen spiritual ini, dapat diketahuibahwa dalam situasi sebelum dan sesudah al Ghazâlî memasuki duniakesadaran tasawuf, ada perbedaan keadaan psikologis yang menyolok,karena saat sebelum memasuki dunia kesadaran tasawuf, tingkah lakupsikologisnya lebih dipengaruhi oleh pemikiran rasionalistik, namunsetelah memasuki dunia kesadaran tasawuf, tingkah laku psikologisnyacenderung lebih diwarnai oleh hal-hal yang bersifat spiritual karenaterdorong oleh motivasi sufistik ke arah pencapaian kebahagiaan danketentraman melalui ilmu dan amal67 dengan disertai mujâhadah danriyâd}ah68.

Atas dasar bukti-bukti keahlian di bidang Psikologi Sufistik tersebut,maka dapat disimpulkan bahwa al Ghazâlî layak sebagai pakar PsikologiSufistik yang sangat unik bila diperbandingkan dengan pakar-pakarpsikologi modern yang cenderung positivistik. Kesimpulan ini, dalamkeyakinan penulis, dapat dipandang mendekati kebenaran, karena secaraakademik, pandangan tersebut diperkuat oleh pendapat sebagian pakaryang telah memberikan predikat terhadap al Ghazâlî sebagai psikologmuslim terbesar pada masanya69 dan sebagai tokoh penting dalam ilmujiwa.70

Konsep Ilmu dalam Tataran Ontologi, Epsitemologi danAksiologi

Ilmu dari sudut etimologis, berasal dari bahasa Arab ‘ilm71, yangmemiliki makna pengetahuan yang didapat melalui jalan keterangantentang hukum sebab-akibat. Keterangan ilmu ini dapat diartikan sebagaihukum manakala yang disebutkan itu berlaku kapan dan di manapun72,seperti halnya hukum tentang hubungan antara jiwa (al nafs) dan tingkahlaku lahir73.

Page 11: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 11

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

Dengan demikian, pengertian ilmu berbeda dengan pengetahuan yangdiperoleh melalui pengalaman, seperti pengalaman orang tua desa yanghanya berpendidikan setingkat Sekolah Dasar, namun mampumengantarkan anak-anaknya hingga menjadi sarjana yang shalih danberakhlak mulia. Kasus ini tentu bukan termasuk hal ihwal ilmu,melainkan pengetahuan, karena keberhasilan orang tua dalam mendidikbeberapa anaknya tersebut lebih didasarkan pada pengalaman pribadisebagai orang tua dan bukan pada teori-teori psikologi pendidikan.

Sedang ilmu secara terminologi, dimaknai sebagai pengetahuan yangdiusahakan melalui aktivitas manusia dengan metode-metode tertentuyang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang itu74. Pengertian ini sejalan dengan pandangan The Liang Gieyang menyatakan bahwa:

“Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia rasional dengan berbagai metode berupaaneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuanyang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan atau keoranganuntuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberi penjelasan,ataupun melakukan penerapan”75.

Dari deskripsi tentang ilmu tersebut muncul permasalahan, mengapayang melakukan aktivitas keilmuan harus manusia? Karena manusiadari sudut pandang psikologis memiliki potensi kognitif yang siap untukmenerima ilmu (al quwwah al muhayya’ah li qabûl al ‘ilm).76 Potensi inisecara psikologis, dimaknai sebagai kapasitas rasional77, yang mampumemecahkan masalah (problem solving capacity)78, mampu memahamihukum kausalitas, mampu memilah-memilah permasalahan, dan mampuberfikir kritis79.

Lebih dari itu al Ghazâlî menjelaskan juga bahwa kapasitas kognitif(al quwwah al ‘aqliyyah) memiliki empat potensi: (1) potensi yang mampumembedakan citra manusia dengan hewan, (2) potensi dalam menyerapberbagai ilmu pengetahuan, sehingga dapat mengetahui perbuatan baikyang selanjutnya diamalkan, dan perbuatan buruk selanjutnyaditinggalkan, (3) potensi dalam menyerap pengalaman, sehingga dapatdikatakan siapa yang banyak pengalaman, maka dialah orang yangberakal, (4) potensi yang dapat mengantarkan seseorang untukmengetahui akibat segala sesuatu, dan mengendalikan dorongan hawanafsu yang selalu menginginkan kenikmatan80.

Selain potensi kognitif, di dalam diri manusia juga terdapat potensi albashîrah atau mata batin (‘ain al bashîrah)81, yang dalam bahasa al Ghazâlîdisebut sebagai cahaya yang ditiupkan Allah ke dalam hati (nûryuqdzifuhu Allah fi al qalb)82. Dengan potensi ini, manusia mempunyaikemampuan untuk memperoleh ilmu yang lazim disebut sebagai al ‘ilm al

Page 12: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

12 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

hudlûrî, yaitu ilmu yang dihadirkan pada diri manusia lantaran matabatinnya yang sempurna. Dimaknai ilmu hudlûrî, karena merupakanpengetahuan yang hadir dalam pikiran subjek (manusia) yang tidakdiperoleh melalui dalil-dalil objektif,melainkan melalui nûr yang dalamistilah al Ghazâlî disebut miftâh al ma‘ârif.83

Pemaknaan ini sejalan dengan pandangan Syihab al Dîn Suhrawardiketika memberikan ilustrasi empiris tentang ilmu tersebut:

“Bahwa kita memang mempunyai semacam kesadaran (idrakah) yang tidak perlumengambil bentuk representasi (shurah) yang lain dari kehadiran realitas sesuatuyang disadari (mudrak). Kesadaran ini muncul manakala orang sedang mengalamirasa sakit karena teriris atau kerusakan pada salah satu organ tubuhnya. Dengandemikian yang dapat disadari hanyalah kerusakan itu sendiri. Ini membuktikanbahwa diantara hal-hal yang kita sadari ada beberapa hal yang cukup disadaridengan menerima realitasnya yang hadir dalam pikiran.”.84

Dari apa yang dijelaskan di atas, dapat disimpulakn bahwa ilmu dalamSufistik Islam, tidak hanya diarahkan kepada hal-hal yang bersifatmateri85, melainkan dapat juga berhubugan dengan realitas non materiyang tidak bisa terpikirkan 86, seperti keadaan pribadi yang lepas darirealitas fisik, kehidupan pasca kehidupan (akhirat), dan doronganmakhluk ghaib (malaikat-setan) yang oleh Sayyed Hossein Nasrdikategorikan sebagai realitas jabarût dan malakût87.

Pandangan ini amat berlawanan dengan semangat keilmuan positivistikyang hanya mendasarkan diri pada hasil penelitian terhadap kejadian-kejadian empirik yang teramati, dan terukur88. Sehingga terkesan bahwawilayah kajian keilmuan itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang adadalam realitas kognisi dan realitas inderawi89. Padahal dalam realitas,selain terdapat gejala tingkah laku sensual, bersifat persepsi, pemikirandan keyakinan yang bersifat transenden90, juga ditemukan adanyapengalaman transendensi diri91 Keberadaan realitas yang tidak tunggalini merupakan hal yang wajar, karena makrokosmos (seluruh tatananciptaan Tuhan) dan mikrokosmos (tatanan ciptaan Tuhan pada dirimanusia) dalam kenyataannya terdiri atas tiga keadaan fundamental,yaitu keadaan yang bersifat materiail, keadaan yang bersifat psikis dankeadaan yang bersifat spiritual-transendental.

Oleh karena itu, ontologi keilmuan dalam visi Psikologi Sufistik alGhazâlî, tidak sekedar membatasi lingkup penelaahan pada realitastunggal yang bersifat inderawi, melainkan memberi peluang juga padaobjek kajian yang berada dalam wilayah tak terpikirkan. Pandangan inimuncul didasarkan atas kerangka pikir al Ghazâlî, bahwa substansi ilmuadalah diarahkan untuk terwujudnya kesempurnaan jiwa gunapencapaian tujuan kebahagiaan akhirat, kesehatan jiwa dan kesalihan

Page 13: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 13

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

tingkah laku lahiriah92. Orientasi Ilmu Jiwa Sufistik ini, nampaknyasejalan dengan paradigma keilmuan yang menyatakan, bahwa ilmuseharusnya bisa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yangmencerminkan das sollen, daripada hanya mempelajari hal-hal yangbersifat das sein93, karena ilmu jiwa dalam pandangan Noeng Muhadjir,hendaknya menekankan pada kebenaran ontologik yang lebih mengejarmakna dan esensi, bukan hanya sekedar gejala yang nampak apa adanya.94

Mengingat ontologi yang dijadikan dasar al Ghazâlî untuk membangunkeilmuan tidak harus berbasis fakta sensorik, materialistik yang terukurdan teramati, maka kerangka epistemologik yang digunakan oleh PsikologiSufistik adalah metode yang mampu mengenali dan memahami keutuhantotalitas realitas manusia dalam keterkaitannya dengan kondisi lahirmaupun batin, individual maupun sosial, serta dunia maupun akhirat.Dengan demikian, untuk memahami realitas tentang manusia yangseutuhnya tidak cukup dengan alat indera saja, melainkan perlu puladigunakan sarana mata batin melalui jalur spiritual yang bersifatdzauqiyyah agar dapat diperoleh hakikat fenomena kehidupan secarahaqq al yaqin.95

Karena itu secara epistemologis, diperlukan metode-metode yangmampu melakukan peran di atas, bersifat fleksibel dan tidak harus terikatdengan metode ilmiah ala Positivistik96, seperti penggunaan metode kasf97, yang dalam pandangan al Ghazâlî, masih dapat dibenarkan sebagaisarana untuk memperoleh bahan pengetahuan, selama pengetahuan yangdihasilkan tidak bertentangan dengan akal sehat.98 Metode yang bersifatintuitif ini, sekalipun dikategorikan sebagai pendekatan “non ilmiah”dalam tataran Rasionalistik, namun keberadaannya menurut Sumadi,masih bisa diakui sebagai metode untuk memperoleh kebenaran ataupengetahuan.99

Metode kasyf sebagaimana dijelaskan di atas, dalam visi epistemologiBarat cenderung dipandang subjektif, bahkan tidak rasional. Kesan inimuncul karena paradigma kebenaran ilmiah yang dijadikan anutan adalahkebenaran yang didasarkan atas realitas tunggal. Padahal dalam filsafatilmu yang berbasis fenomenologik, ditemukan adanya empat kebenaranyang bersifat empirik sensual, emperik logik, empirik etik dan empiriktransedental100. Atas dasar fakta ini, maka keberadaan metode kasyfhubungannya dengan empirik transendental, masih layak untuk diakui,karena pengetahuan yang dihasilkan selalu bersifat hudlûrî, dan tidakpernah bersifat inderawi101.

Selain tataran pemikiran tentang ontologi dan epistemologi, al Ghazâlîjuga memiliki konsep tentang aksiologi dalam hubungannya denganPsikologi Sufistik. Konsep ini dapat diperhatikan pada fungsi ilmu sebagaipengembangan kepribadian yang berasas moralitas102. Pemikiran tentangaksiologi keilmuan ini, sejalan dengan tujuan ilmu sebagai peningkatan

Page 14: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

14 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

taraf hidup dengan memperhatikan kodrat manusia, dan martabatnya.103

Tujuan ini memuat prinsip-prinsip akhlak yang menuntut para ilmuwanuntuk selalu mempertimbangkan asas moral saat ingin memanfaatkanilmunya, karena setiap ilmuwan merupakan anggota masyarakat yangharus memiliki tanggung jawab bagi kemaslahatan yang lain.104

Atas dasar kenyataan tersebut, maka wajar jika al Ghazâlî dalam IlmuJiwa Sufistiknya lebih menitikberatkan pada dimensi aksiologisnya, dengankonsekuensi bahwa seluruh produk keilmuannya harus dapatdimanfaatkan untuk kemaslahatan kemanusiaan dalam berakidah,beribadah dan bermuamalah.105

Peran Ilmu dalam Pengembangan Tingkah Laku Positif

Pemikiran al Ghazâlî tentang konsep keilmuan sebagaimana dijelaskandi atas, mengindikasikan adanya keniscayaan hubungan antara ilmu danmoralitas106. Ini berarti bahwa keberadaan moral atau akhlak sebagailandasan keilmuan Psikologi Sufistik, menurut al Ghazâlî, tidak dapatdiabaikan, karena prinsip-prinsip akhlak yang tercermin pada ajaranmaqâmât merupakan asas bagi pemanfaatan ilmu tersebut. Dengandemikian ilmu ini diorientasikan untuk penciptaan kondisi psikologis(ahwâl al qulûb) yang semakin sehat dan melahirkan tingkah laku yangsemakin baik.

Orientasi ilmu jiwa Sufistik tersebut, nampaknya sejalan denganprinsip-prinsip ajaran Tasawuf yang lebih menekankan pada tingkah lakumulia dan budi pekerti luhur107, dengan senantiasa keluar dari perangaiyang tercela dan masuk ke dalam budi pekerti yang terpuji108.

Oleh karena itu, pengembangan tingkah laku berbasis moralitasmerupakan perhatian utama bagi Psikologi Sufistik al Ghazâlî, karenadari sisi aksiologi, ilmu ini dituntut untuk memberikan manfaat bagipeningkatan tingkah laku positif. Dengan demikian, para ilmuwan yangmelakukan studi terhadap ilmu tersebut diharapkan dapat melakukanpengembangan tingkah laku psikologis dirinya ke arah yang lebih positif,karena ilmuan baik sebagai pencari ilmu maupun sebagai orang yangmengajarkannya, menurut al Ghazâlî memiliki tanggungjawab moral yangharus dipenuhi, antara lain: (1) hendaknya selalu mengedepankankejernihan batin/ jiwa, hingga dapat menghindari kecenderunganpsikologis yang negatif dan sifat-sifat yang tercela, (2) selalu bertingkahlaku santun, tidak arogan terhadap siapapun, (3) ilmu yang dikaji atauyang diajarkan hendaknya memberikan implikasi bagi kesehatan mental,dan pengembangan spiritual dalam wujud semakin dekat dengan Allah,(4) ilmu yang telah diketahui atau yang diajarkan hendaknya dihayatidan diamalkan sesuai dengan misi dan tujuan ilmu tersebut.109

Page 15: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 15

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa Ilmu Jiwa Sufistik yangdigagas al Ghazâlî benar-benar menaruh perhatian pada kesalihan tingkahlaku dan kesempurnaan akhlak. Timbulnya perhatian ilmu ini padaorientasi pengembangan tingkah laku berbasis nilai-nilai moral, lebihdidasarkan pada kerangka pikir, bahwa ilmu termasuk psikologi harusmembawa implikasi bagi kesalihan tingkah laku110, dan timbulnyakesadaran untuk semakin takut atau dekat kepada Allah111. Atas dasarkerangka pikir ini, maka dapat dinyatakan bahwa tujuan ilmu jiwa Sufistikadalah lebih mengedepankan aspek takmîl al nafs (penyempurnaan jiwa)dan tazkiyat al nafs (penjernihan jiwa) sebagai sarana untukpengembangan tingkah laku psikologis ke arah kesempurnaan akhlak.

Secara substansial, tujuan ilmu jiwa Sufistik tersebut sejalan dengantujuan yang ingin dicapai oleh ajaran Islam, yaitu kemaslahatan umatmanusia di dunia dan akhirat112, yang oleh al Syathibi dijelaskan lebihrinci menjadi: kemaslahatan pokok (al mashâlih al dlarûriyyah),kemaslahatan yang dibutuhkan (al mashâlih al hajiyyah), dankemaslahatan yang berbentuk akhlak sopan santun (al mashâlih altahsîniyyah)113.

Jika prinsip-prinsip ajaran Islam yang tercermin pada al mashâlih dapatdihayati dan diamalkan oleh para ilmuwan, maka ilmu yang mereka milikidapat dianggap sebagai ilmu manfaat yang menurut al Ghazâlî memilikiciri-ciri sebagai berikut: (1) menimbulkan kesadaran semakin takut ataudekat dengan Allah, (2) semakin jujur dalam melihat kekurangan yangada dalam dirinya, (3) semakin bersemangat dalam melakukan ibadahterhadap Tuhannya, (4) semakin termotivasi untuk melakukan hal-halyang bermakna bagi kebahagiaan akhirat, (5) tidak rakus terhadap hal-hal yang bersifat materi duniawi, (6) memiliki kecerdasan hati nuraniyang selalu dugunakan untuk mempertimbangkan segala akibat negatifdari tingkah lakunya, dan (7) memiliki kewaspadaan yang tinggi terhadapbisikan setan dan tipu dayanya.114

Dari pandangan al Ghazâlî tentang indikasi ilmu manfaat tersebutdapat disimpulkan bahwa ilmu (termasuk Psikologi Sufistik) yang dihayatidan diamalkan akan mampu berperan dalam mengembangkan kondisikejiwaan yang lebih baik dan mewujudkan tingkah laku yang sejalandengan ridla Allah, karena suatu ilmu pengetahuan akan dapatdipandang bermakna, manakala dalam mempelajari dan memanfaatkanilmu tersebut selalu didasarkan atas keridlaan Allah115. Ini artinya, bahwailmu tersebut sesuai dengan fungsinya mampu membawa implikasi bagikesempurnaan tingkah laku116, dan timbulnya kesadaran psikologis untuksemakin dekat dengan Allah.117

Atas dasar pandangan ini, maka Psikologi Sufistik al Ghazâlîmengedepankan konsep tazkiyat al nafs sebagai upaya penjernihan jiwadari berbagai sifat yang madzmûmah118, dan riyâdlat al nafs sebagai proses

Page 16: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

16 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

pelatihan jiwa dengan berbagai hal yang positif119. Proses penjernihandan pelatihan jiwa hingga pada tingkat yang ideal tersebut dianggapamat penting, karena jiwa yang sehat dan jernih dalam pandangan alGhazâl, dapat membawa akibat positif bagi pengembangan tingkah lakupsikologis yang berbasis moral120.

Karena itu, wajar jika Psikologi Sufistik al Ghazâlî lebih menaruhperhatian pada pengembangan dimensi ruhaniah sebagai sarana untukmewujudkan tingkah laku psikologis yang lebih konstruktif. Pandanganini didasarkan sebuah konsep; bila potensi psikis yang bersifat rabbâniyyahlebih diberdayakan, maka perilaku yang diekspresikan cenderung cintakebaikan, kedamaian, kebenaran, dan keadilan, namun jikakecenderungan syaithâniyyah dibiarkan tanpa adanya pengendalian,maka tingkah laku yang ditimbulkan lebih banyak diwarnai oleh corakkekerasan dan kejahatan. Karena itu, ilmu yang dibangun atas dasarmotivasi rabbâniyyah, akan mampu memberikan sugesti bagi terwujudnyakejiwaan yang sehat dan tingkah laku yang terpuji.

Penutup

Ilmu yang hanya didudukkan sebagai pengetahuan yang berbasisPositivistik, sulit diharapkan manfaatnya bagi pengembangan kepribadianyang sehat. Oleh karena itu, ilmu yang ideal hendaknya dipandang secarautuh dari sisi ontologi, epistemologi dan aksiologinya. Jika landasankeilmuan ini dibangun atas kerangka pikir moralitas dan religiusitas yangtinggi, maka ilmu yang dilahirkan akan mampu membawa implikasi bagikesehatan mental dan kesalihan tingkah laku, seperti Ilmu Jiwa Sufistikyang digagas al Ghazâlî. Ilmu ini dari sisi aksiologik, amat memungkinkanmemiliki peran dalam mengembangkan kejiwaan ideal yang diharapkanberpengaruh terhadap perbaikan tingkah laku psikologis. Kemungkinanini didasarkan atas teori-teori psikologi yang diketengahkan oleh alGhazâlî.[]

Catatan Akhir :

*Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarangdan alumni Program Doktor Pascasarjana Universitas Islam Negeri SunanKalijaga Yogyakarta.

1Al Ghazâlî, Mîzân al ‘Amal, edisi Ahmad Syams al Dîn, (Bairut: Dâral Kutub al ‘Ilmiyyah, 1989), h. 3.

2Al Ghazâlî, Al Munqidz min al Dlalâl, edisi ‘Abd al Halîm Mahmûd,(Mesir: Dâr al Kutub al Hadîtsah, 1968), h. 1

3Distrik Thûs adalah tempat kelahiran banyak pribadi menonjol danorang terpelajar dalam Islam, termasuk negarawan Nizhâm al Mulk (wafat

Page 17: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 17

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

495 H/ 1092 M) yang ditakdirkan memainkan peran menonjol dalamkehidupan intelektual al Ghazâlî. (Osman Bakar, Classification ofKnowledge in Islam ; a Study in Islamic Philosophies of Science,diterjemahkan oleh Purwanto, dengan judul : Hirarki Ilmu, MembangunRangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al Farabi, al Ghazali dan Quthb alDîn al Syirazi, Bandung, Mizan, 1997, h. 179)

4Sulaimân Dunyâ, al Haqîqah fî Nazhr al Ghazâlî, (Kairo: Dâr alMa‘ârif, 1971), h. 18.

5Abû al Wafâ’ al Ghanîmî al Taftâzâni, Madkhal ilâ al Tashawwuf alIslâmî, (Kairo: Dâr al Tsaqâfah, 1976), h. 183.

6Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam MenumbuhkembangkanKepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1994), h.20.

7Tâj al Dîn al Subki, Thabaqât al Syâfi‘iyyah al Kubrâ, Vol. III, (Mesir:‘Isa al Halabi wa Syurakâ’uh, 1968), h. 162-221

8Yahya Jaya, loc. cit.9Abû al Wafâ al Ghanîmî al Taftâzâni, loc. cit.10Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1975), h. 40.11Al Ghazâlî, Al Munqidz Min al Dlalâl, op. cit, h. 1112Ibid., h. 77.13Ibid., h. 78.14Ibid., h. 79.15Ibid.16Karena dalam sistem pemahaman metode falsafah, ilmu kalam dan

kebatinan terdapat keterpisahan antara ilmu dan amal. Hal ini berbedadengan metode tasawuf, antara ilmu dan amal dalam tasawuf al Ghazâlîmerupakan satu kesatuan. Ilmu dimaksud adalah pengetahuan tentangkonsep dan langkah-langkah yang harus ditempuh, seperti zuhd, faqr,tawakkal, mahabbah, dan ma’rifat. Sedang amal adalah mengalami secaralangsung konsep dan langkah-langkah yang harus dilalui, seperti yangdilakukan oleh para sufi, yang kata al Ghazâlî, mereka adalah arbâb alahwâl, bukan ashhâb al aqwâl (Ibid., h. 128), sementara ilmu dan amaldipahami dan diamalkan dalam satu kesatuan secara utuh.

17Ibid., h. 132.18M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1999), h. 162.19Menurut Harun Nasution, puncak kemajuan Islam dalam periodisasi

sejarah Islam, mulai 650-1000 M. (lihat: Harun Nasution, Pembaharuandalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,1982) h. 13

20Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I,(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1978) h. 56-75.

21Ibid., h. 76-77

Page 18: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

18 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

22Sebagai bukti, karena dalam aliran Filsafat Ateisme (al-Dahriyyun),dan Naturalisme (al-Thabî‘iyyun) ada ajaran yang mengingkari wujudAllah. (Al Ghazâlî, al-Munqidz min al Dlalâl, op. cit., h. 91-92), danmengingkari kekekalan jiwa yang berakibat pengingkaran terhadap hariakhir, surga, neraka, hisab dan lain-lain (Ibid., h. 97). Dalam alirankebatinan (al Ta‘lîmiyyah) ada pendapat yang menyatakan, bahwa ajaranmereka dapat mengetahui hakikat segala sesuatu melalui al imâm alma‘shûm, al-qâ’im bi al haq (imam yang senantiasa terjaga dan selalubenar) ucapan dan perbuatannya (Ibid., h. 116). Demikian juga dalamaliran Kalam, ada pandangan-pandangan yang rumit dan semrawut(mu‘aqqadah mubaddadah) serta saling bertentangan (Ibid., h. 89).

23Kenyataan itu dapat diperhatikan pada ajaran fanâ’, hulûl, ittihâddan wahdat al wujûd di pihak ahli tasawuf, sementara di pihak ahli fiqhsama sekali tidak dapat membenarkannya, karena dianggap merusakaqidah. (Abdurrahman Abdul Khaliq dan Ihsan Ilahi Zhahir, PemikiranSufisme di Bawah Bayang-bayang Fatamorgana, Ihwan Fauzi Rizal(penyunting), Jakarta: Amzah, 2000, h. 71).

24Al Ghazâlî, wafat tanggal 14 Jumadil akhir 505 H/19 Desember 1111M. (baca kata pengantar tentang al Ghazâlî dan Tahâfut, dalam : alGhazâlî, Tahâfut al Falâsifah, diterjemahkan oleh Ahmadie Thaha,dengan judul:, Kerancuan Para Filosuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986,h. XIV), di Tabaran, dekat THûs dan dimakamkan di sana berdampingandengan makam penyair al-Firdaus (HAR. Gibb dan J.H. Kramers (ed.)Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1961, h. 111).

25M. Amin Abdullah, “Al-Ghazali di Muka Cermin Immanuel Kant:Kajian Kritis Konsepsi Etika dalam Agama”, dalam Jurnal Ilmu danKebudayaan Ulumul Qur’an, No.1, Vol. V, 1994, h. 46.

26Al Ghazâlî, Al Munqidz min al Dlalâl, op. cit., h. 7527Ahmad al Syarbâshî, Al Ghazâlî wa Tashawwuf al Islâmi, (Mesir:

Dâr Hilâl, t.th.), h. 29-3128Al Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al Dîn, Jilid I, edisi Zain al Dîn Abi Al Fadll

‘Abd al Rahim Ibn Husain al Iraqi (Bairut: Dâr al Kutub al ‘Ilmiyyah,t.th.), h. 125-144

29Kitab tersebut merupakan semacam ringkasan al Ihyâ,terdiri dariempat bagian, masing-masing memuat sepuluh pokok agama. Bagianaqidah mencakup sepuluh pokok pertama, yang meliputi tentang al Dzât(dzât Allah), al Taqdîs (pensucian terhadp Allah), al Qudrah (kekuasaanAllah), al ‘Ilm (pengetahuan Allah) al Irâdah (kehendak Allah), alKalâm (aqidah dalam aliran qadariyah, jabariyah, mu’tazilah dan ahl alsunnah wa al jamâ‘ah), al Qadlâ’ wa al Qadar (qadla dan qadar Allah),al Sama‘ wa al Bashar (pendengaran dan penglihatan Allah), al Af‘âl(perbuataan dan perilaku Allah), al Yaum al Akhir (hari kiamat), alNubuwwah (kenabian). Topik-topik bahasan tersebut dapat dilihat

Page 19: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 19

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

langsung pada (al Ghazâlî, Kitâb al Arba‘în fî Ushûl al Dîn, Bairut: Dâral Jail, 1988 h. 7-22),

30Kitab ini merupakan karya kalam yang disusun al Ghazâlî untukkeperluan penduduk al Quds di Syam, sewaktu dia ber’uzlah disana dalamkehidupan sufinya. Dalam kitab tersebut disajikan pembahasan materiaqidah dengan argumen-argumen rasional yang kebanyakan hanyadikemukakan secara sepihak, yaitu dari paham Ahlussunnah dan padabagian-bagian tertentu ditambah dengan dalil-dalil tekstual seperlunya.

31Kitab ini membahas tentang aqidah yang disusun dengan dalil-dalilrasional secara dialektis, dengan menggunakan dalil dari golongan ahlibid’ah sebagai sasaran untuk mematahkannya dengan dalil-dalil dariahlussunnah yang menopang kebenaran aqidah yang disajikan.

32Kitab ini disusun al Ghazâlî menjelang wafat, setelah lebih sepuluhtahun menjadi seorang sufi. Di dalam al Iljâm ini, al Ghazâlîmelarang orang awam dari beberapa hal, seperti menta’wilkan ayat-ayatatau hadis-hadis yang dianggap mutasyâbihat dan mempelajari argumen-argumen rasional selain dari al Qur’an (al Ghazâlî, “Iljâm al ‘Awâm ‘an‘Ilm al Kalâm”, dalam Majmû’at Rasâ’il al Imâm al Ghazâlî, Bairut: Dâral Fikr, 1996, h. 300 dan 333)

33Lihat muqaddimah edisi pertama, dalam : Sulaimân Dunyâ, (ed.),Tahâfut al Falâsifah li al Imâm al Ghazâlî, (Mesir: Dâr Ma‘ârif, 1966), h.69

34Al Ghazâlî, Al Munqidz min al Dlalâl, op. cit, h. 9035Sulaimân Dunyâ (ed.), op. cit, h. 4336Ibid.37Ibid., h. 19-2438Al Ghazâlî, Al Munqidz min al Dlalâl, op. cit, h. 13239‘Abd al Karîm al Utsmâni, Sirat al Ghazâlî wa Aqwâl al Mutaqaddimîn

fîh (Damaskus: Dâr al Fikr, t.th.), h. 202-20340Al Ghazâlî, Al Munqidz min al Dlalâl, op. cit., h. 13241Ibid.42Al Ghazâlî, Mizân al ‘Amal, op. cit., h. 9743Firman Allah: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan

kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, makatunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (Al Qur’an, surat al Hijr15 : 29)

44Al Ghazâlî, “Khulâshat al Tashânif”, dalam Majmû‘at Rasâ’il al Imâmal Ghazâlî, op. cit., h. 174

45Al Ghazâlî, Mizân al ‘Amal, op. cit., h. 13046Hasan Langgulung, Teori-teori, Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka

al Husna, 1986), h. 32747Al Ghazâlî, Mizân al ‘Amal, op. cit., h. 6748Al Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al Din, Jilid III, op. cit., h. 71

Page 20: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

20 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

49Al Ghazâlî, “Raudlat al Thâlibîn wa ‘Umdat al Sâlikin”, dalamMajmû‘at Rasâ’il al Imâm al Ghazâlî, op. cit., h. 102

50Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), h. 118

51A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 9652Al Ghazâlî, Mizân al ‘Amal, op. cit., h. 6453Al Ghazâlî, “Al Munqidz min Dlalâl”, dalam Majmû‘at Rasâ’il al

Imâm al Ghazâlî, op. cit., h. 55454Hukum latihan tersebut, mengandung dua hal : (1) law of use (hukum

menggunakan), artinya hubungan baru akan bertambah kuat, manakalaada latihan-latihan lain yang sama dengan yang pernah dilakukan(digunakan ) sebelumnya, (2) law of disuse, (hukum tidak digunakan),artinya hubungan akan menjadi lemah, manakala latihan-latihan adayang dihentikan. ( Abd. Rochman Abror, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta:Tiara Wacana, 1993, h. 78)

55Al Ghazâlî, Mizân al ‘Amal, op. cit., h. 62-6356Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1998), h. 156-15757Al Ghazâlî, Mukhtashar Ihyâ’ ‘Ulûm al Dîn, (Bairut : Dâr al Fikr,

1983), h. 13058Al Ghazâlî, Mîzân al ‘Amal, op. cit., h. 6459Al Ghazâlî, Ibadah Perspektif Sufistik, terj. Roudlon, (Surabaya:

Risalah Gusti, 1999), h. 3460Al Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al Dîn, Jilid III, op. cit., h. 1961Ibid., h. 6462Al Ghazâlî, “Ayyuhâ al Walad”, dalam Majmû‘at Rasâ’il al Imâm al

Ghazâlî, op. cit., h. 26663Al Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al Dîn, Jilid I, op. cit., h. 32 dan 15064Al Ghazâlî, “Al Munqidz min al Dlalâl”, dalam Majmû‘at Rasâ’il al

Imâm al Ghazâlî, op. cit., h. 55565Al Ghazâlî, Mukâsyafat al Qulûb, (Bairut: Dâr al Fikr, t.th.), h. 9,

17 dan 9366Al Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al Dîn, Jilid III, op. cit., h. 6467Al Ghazâlî, Mîzân al ‘Amal, op. cit., h. 1968Ibid., h. 20-2169Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam,

(Bandung: Al Ma’arif, 1998), h. 110-11270Zakiah Daradjat, “Aspek-aspek Psikologi dalam Karya al Ghazâlî”,

Makalah Simposium tentang al Ghazâlî, diselenggarakan oleh BadanKerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta se Indonesia, di Jakarta, tanggal26 Januari 1985, h. 8

71Dawam Rahadjo, “Ilmu: Ensiklopedi al Qur’an”, Jurnal Ilmu danKebudayaan Ulumul Qur’an, Nomor 4, Volume I, Jakarta: 1990, h. 56

Page 21: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 21

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

72Mohammad Hatta, PengantarKe Jalan Ilmu dan Pengetahuan,(Jakarta: PT. Pembangunan, 1961), h. 6-7

73Al Ghazâlî, Mîzân al ‘Amal, op. cit., h. 6474Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, (New Jersey: Littlefield,

Adam & Co. Totowa, 1976), h. 9375The Laing Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1996),

h. 9376Al Râghib al Isfahânî, Mu‘jam Mufradat Alfâzh al Qur’an, (Beirut:

Dâr al Fikr, t.th.), h. 35477M. Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an, tafsir Maudlu‘i atas Pelbagai

Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 43578Malinda Jo Levin, Psychology: a Biographical Approach, (New York:

Mc. Graw-Hill Book Company, 1978), h. 111-11279Achmad Mubarok, Jiwa dalam al Qur’an, (Jakarta: Paramadina,

2000), h. 125-12680Al Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al Dîn, Jilid I, op. cit., hal. 101-10281Ahmad Mushthafa al Marâghî, Tafsîr al Marâghî, Jilid X, (Beirut:

Dâr al Ihyâ’ al Turâts al ‘Arabiyyah, 1985), h. 15082Al Ghazâlî, Al Munqidz min al Dlalâl, op. cit., h. 7983Ibid.84Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic

Philosophy, diterjemahkan oleh Ahsin Mohammad dengan judul: IlmuHudluri : Prinsip-prinsip Epistemologi, dalam Filsaffat Islam, (Bandung:Mizan, 1994), h. 109

85Seperti asumsi ontologi Positivisme tentang realitas tunggal yangteramati dan terukur. (Jalaluddin Rahmat (Pengantar), dalam Ali AbdulAzhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu: Perspektif Al Qur’an, Bandung:Rosdakarya, 1989, h. V)

86Muhammad Mahmûd Mahmûd, ‘Ilm al Nafs al Mu‘âshir fi Dlau’i alIslâm, (Jiddah: Dâr al Syurûq, 1984), h. 47

87Ali Maksum, “Rekonsiliasi Epistemologi Antara Agama dan Sains:Studi tentang Pemikiran Filsafat Sayyed Hossein Nasr”, dalam JurnalPenelitian Qualita Ahsana, IAIN Sunan Ampel Surabaya, No. 1, Vol. I,April-September 1999, h. 169

88Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: RakeSarasin, 1990), h. 80

89Rendra K. (ed.), Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2000), h. 105

90Ibid., h. 2791Sebagai pengalaman kejiwaan yang luar biasa dengan disertai

perasaan mendapatkan anugrah Allah dalam bentuk dibukanya alamghaib (kasy al mahjûb), sehingga timbul kemampuan berkomunikasilangsung dengan makhluk ghaib, seperti para malaikat, ruh para Nabi,

Page 22: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

22 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

dan makhluk halus yang lain. (Simuh, “Pemikiran dalam Bidang Tasawuf”,dalam Al Jami’ah ; Jurnal Ilmu Pengetahuan Agama Islam, IAIN SunanKalijaga Yogyakarta, No. 57, tahun 1994, h. 72)

92Al Ghazâlî, Mîzân al ‘Amal, op. cit., h. 9793Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan

Politik, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 494Noeng Muhadjir, “Landasan Metodologi Psikologi Islami”, dalam

Rendra K. (ed.), op. cit., h. 11395Al Ghazâlî, Al Munqidz min al Dlalâl, op. cit., h. 133-13496S.H. Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, (New

York: State University of New York Press, 1993), h. 7597Metode kasyf adalah suatu metode pemahaman tentang apa yang

tertututp bagi pemahaman rasional dan sensual, yang tersingkap bagiseseorang, seakan dia melihat dengan mata telanjang. (At Thûsî, AlLuma‘, edisi Abd al Halîm Mahmud, Kairo: tanpa penerbit, 1960, h. 422)

98Al Ghazâlî, Al Maqshad al Asnâ fi Syarh Asmâ’ Allah al Husnâ,(Bairut: Dâr al Kutub al ‘Ilmiyyah, t.th.), h. 125

99Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: CV. Rajawali,1987), h. 4-5

100Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta:Rake Sarasin, 1996), h. 13

101Miska M. Amien, “Memahami Arti Ilmu Hudluri”, dalam JurnalFilsafat, Fakultas Filsafat UGM, Seri 21, Mei 1995, h. 20

102Miska M. Amien, “Kerangka Epistemologis al Ghazali” dalam JurnalFilsafat, Fakultas Filsafat UGM, Seri 14, Mei 1993, h. 14-15.

103Jujun S. Suriasumantri, op. cit., h. 17-18104Bustanuddin Agus, Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Gema

Insani, 1999), h. 11105Muhammad Jamâl al Dîn al Qâsimî, Mau‘izhat al Mu’minîn min

Ihyâ’ ‘Ulûm al Dîn, (Beirut: Dâr al Fikr, 1995), h. 6106Pemikiran tersebut bertolak belakang dengan Positivisme yang

menyatakan bahwa sikap ilmiah yang ada dalam ilmu harus bersifatdisinterestedness; (tidak memihak), dan unbiased by personal feeling(bebas dari prasangka atau kecenderungan pribadi) yang ujung-ujungnyadisimpulkan, pengetahuan ilmiah harus value free (Bustanuddin Agus,op. cit., h. 56-57)

107Al Qusyairî, Al Risâlah al Qusyairiyyah fi ‘Ilm al Tashawwuf, (Bairut:Dâr al Khair, t.th.), h. 242

108Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h. 3109Al Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al Dîn, Jilid I, op. cit., h. 62-72110Ibid., h. 32111Ibid., h. 23

Page 23: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 23

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

112Izzu al Dîn ibn ‘Abd al Salâm, Qawâ‘id al Ahkâm fi Mashâlih alAnâm, Jilid II, (Kairo: al Maktabah al Husainiyyah, 1974), h. 70

113Al Syathibî, Al Muwâfaqât fî Ushûl al Ahkâm, Jilid II, (Kairo:Muhammad Ali Shubaih wa Auladuh, 1968), h. 4-5

114Al Ghazâlî, “Raudlat al Thâlibîn wa ‘Umdat al Salikîn”, dalamMajmû‘at Rasâ’il al Imâm al Ghazâlî, op. cit., h. 162

115Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia,(Yogyakarta: IKIP Negeri, 1999), h. 192

116Al Ghazâlî, Mizân al ‘Amal, op. cit., h. 50117Al Ghazâlî, “Bidâyat al Hidâyah”, dalam Majmû‘at Rasâ’il al Imâm

al Ghazâlî, op. cit., h. 378118Al Ghazâlî, Mizân al ‘Amal, op. cit., h. 130119Ibid., h. 67120Ibid., h. 64

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Abdul Khaliq dan Ihsan Ilahi Zhahir, Pemikiran Sufismedi Bawah Bayang-bayang Fatamorgana, Ihwan Fauzi Rizal(penyunting), Jakarta: Amzah, 2000

Ahmad al Syarbâshî, Al Ghazâlî wa Tashawwuf al Islâmi, Mesir: Dâr Hilâl,t.th.

A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997

Abd. Rochman Abror, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Tiara Wacana,1993

Achmad Mubarok, Jiwa dalam al Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2000

Ali Maksum, “Rekonsiliasi Epistemologi Antara Agama dan Sains: Studitentang Pemikiran Filsafat Sayyed Hossein Nasr”, dalam JurnalPenelitian Qualita Ahsana, IAIN Sunan Ampel Surabaya, No. 1,Vol. I, April-September 1999

Bustanuddin Agus, Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: GemaInsani, 1999

Dawam Rahadjo, “Ilmu: Ensiklopedi al Qur’an”, Jurnal Ilmu danKebudayaan Ulumul Qur’an, Nomor 4, Volume I, Jakarta: 1990

Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia,Yogyakarta:IKIP Negeri, 1999

Page 24: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

24 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

Ghazâlî, Al, Mîzân al ‘Amal, edisi Ahmad Syams al Dîn, Bairut: Dâr alKutub al ‘Ilmiyyah, 1989

Ghazâlî, Al, Al Munqidz min al Dlalâl, edisi ‘Abd al Halîm Mahmûd,Mesir: Dâr al Kutub al Hadîtsah, 1968

Ghazâlî, Al, Tahâfut al Falâsifah, diterjemahkan oleh Ahmadie Thaha,dengan judul:, Kerancuan Para Filosuf, Jakarta: Pustaka Panjimas,1986

Ghazâlî, Al, Ihyâ’ ‘Ulûm al Dîn, Jilid I, edisi Zain al Dîn Abi Al Fadll‘Abd al Rahim Ibn Husain al Iraqi Bairut: Dâr al Kutub al ‘Ilmiyyah,t.th.

Ghazâlî, Al, Kitâb al Arba‘în fî Ushûl al Dîn, Bairut: Dâr al Jail, 1988

Ghazâlî, Al, “Iljâm al ‘Awâm ‘an ‘Ilm al Kalâm”, dalam Majmû’at Rasâ’ilal Imâm al Ghazâlî, Bairut: Dâr al Fikr, 1996

Ghazâlî, Al, Mukhtashar Ihyâ’ ‘Ulûm al Dîn, Bairut : Dâr al Fikr, 1983

Ghazâlî, Al, Ibadah Perspektif Sufistik, terj. Roudlon, Surabaya: RisalahGusti, 1999

Ghazâlî, Al, Mukâsyafat al Qulûb, Bairut: Dâr al Fikr, t.th.

Ghazâlî, Al, Al Maqshad al Asnâ fi Syarh Asmâ’ Allah al Husnâ, Bairut:Dâr al Kutub al ‘Ilmiyyah, t.th.

Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam,Bandung: Al Ma’arif, 1998

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran danGerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1982

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta:Universitas Indonesia Press, 1978

Hasan Langgulung, Teori-teori, Kesehatan Mental, Jakarta: Pustaka alHusna, 1986

HAR. Gibb dan J.H. Kramers (ed.) Shorter Encyclopaedia of Islam,Leiden: E.J. Brill, 1961

Isfahânî, Al Râghib, al, Mu‘jam Mufradat Alfâzh al Qur’an, Beirut: Dâral Fikr, t.th.

Jalaluddin Rahmat (Pengantar), dalam Ali Abdul Azhim, Epistemologidan Aksiologi Ilmu: Perspektif Al Qur’an, Bandung: Rosdakarya,1989

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998

Page 25: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 25

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik,Jakarta: PT. Gramedia, 1986

Levin, Malinda Jo, Psychology: a Biographical Approach, (New York: Mc.Graw-Hill Book Company, 1978

M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1999

M. Amin Abdullah, “Al-Ghazali di Muka Cermin Immanuel Kant: KajianKritis Konsepsi Etika dalam Agama”, dalam Jurnal Ilmu danKebudayaan Ulumul Qur’an, No.1, Vol. V, 1994

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru, Bandung:Remaja Rosdakarya, 1995

Mohammad Hatta, PengantarKe Jalan Ilmu dan Pengetahuan, (Jakarta:PT. Pembangunan, 1961

Marâghî, Ahmad Mushthafa, al, Tafsîr al Marâghî, Jilid X, Beirut: Dâr alIhyâ’ al Turâts al ‘Arabiyyah, 1985

M. Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an, tafsir Maudlu‘i atas PelbagaiPersoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996

Muhammad Mahmûd Mahmûd, ‘Ilm al Nafs al Mu‘âshir fi Dlau’i al Islâm,Jiddah: Dâr al Syurûq, 1984

Miska M. Amien, “Memahami Arti Ilmu Hudluri”, dalam Jurnal Filsafat,Fakultas Filsafat UGM, Seri 21, Mei 1995

Miska M. Amien, “Kerangka Epistemologis al Ghazali” dalam JurnalFilsafat, Fakultas Filsafat UGM, Seri 14, Mei 1993

Muhammad Jamâl al Dîn al Qâsimî, Mau‘izhat al Mu’minîn min Ihyâ’‘Ulûm al Dîn, Beirut: Dâr al Fikr, 1995

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: RakeSarasin, 1990

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: RakeSarasin, 1996

Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam ; a Study in IslamicPhilosophies of Science, diterjemahkan oleh Purwanto, denganjudul : Hirarki Ilmu, Membangun Rangka Pikir Islamisasi IlmuMenurut al Farabi, al Ghazali dan Quthb al Dîn al Syirazi, Bandung:Mizan, 1997

Qusyairî, Al, Al Risâlah al Qusyairiyyah fi ‘Ilm al Tashawwuf, Bairut: Dâral Khair, t.th.

Page 26: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

26 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

Rendra K. (ed.), Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000

Runes, Dagobert D., Dictionary of Philosophy, New Jersey: Littlefield,Adam & Co. Totowa, 1976

Sulaimân Dunyâ, al Haqîqah fî Nazhr al Ghazâlî, Kairo: Dâr al Ma‘ârif,1971

Simuh, “Pemikiran dalam Bidang Tasawuf”, dalam Al Jami’ah ; JurnalIlmu Pengetahuan Agama Islam, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,No. 57, tahun 1994

S.H. Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, New York:State University of New York Press, 1993

Sulaimân Dunyâ, (ed.), Tahâfut al Falâsifah li al Imâm al Ghazâlî, Mesir:Dâr Ma‘ârif, 1966

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: CV. Rajawali, 1987

Salâm, Izzu al Dîn ibn ‘Abd, al, Qawâ‘id al Ahkâm fi Mashâlih al Anâm,Jilid II, Kairo: al Maktabah al Husainiyyah, 1974

Syathibî, Al, Al Muwâfaqât fî Ushûl al Ahkâm, Jilid II, Kairo: MuhammadAli Shubaih wa Auladuh, 1968

Subki, Tâj al Dîn, al, Thabaqât al Syâfi‘iyyah al Kubrâ, Vol. III, Mesir:‘Isa al Halabi wa Syurakâ’uh, 1968

Taftâzâni, Abû al Wafâ’ al Ghanîmî, al, Madkhal ilâ al Tashawwuf alIslâmî, Kairo: Dâr al Tsaqâfah, 1976

The Laing Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1996

Thûsî, Al, Al Luma‘, edisi Abd al Halîm Mahmud, Kairo: tanpa penerbit,1960

Utsmâni, ‘Abd al Karîm, al, Sirat al Ghazâlî wa Aqwâl al Mutaqaddimînfîh Damaskus: Dâr al Fikr, t.th.

Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam MenumbuhkembangkanKepribadian dan Kesehatan Mental, Jakarta: Ruhama, 1994

Yazdi, Mehdi Ha’iri, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy,diterjemahkan oleh Ahsin Mohammad dengan judul: Ilmu Hudluri:Prinsip-prinsip Epistemologi, dalam Filsaffat Islam, Bandung: Mizan,1994

Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali, Jakarta: BulanBintang, 1975

Page 27: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005 27

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq

Zakiah Daradjat, “Aspek-aspek Psikologi dalam Karya al Ghazâlî”,Makalah Simposium tentang al Ghazâlî, diselenggarakan olehBadan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta se Indonesia, diJakarta, tanggal 26 Januari 1985

Page 28: Psikoterapi - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/21/jtptiain...oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami

28 Teologia, Volume 16, Nomor 2, Juli 2005

Implikasi Ilmu bagi Kesalihan Tingkah Laku... Abdullah Hadziq