psikosomatik lengkap
description
Transcript of psikosomatik lengkap
Laporan Kasus
SKIZOFRENIA YTT
DI SUSUN OLEH:
NAMA : Andi Masni
NIM : 09 777 015
PEMBIMBING : dr. Mardianto, SpKJ
BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
RSD MADANI
PALU
2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II: TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1. Definisi....................................................................................................2
2. Klasifikasi................................................................................................2
3. Etiologi....................................................................................................3
4. Patofisiologi gangguan psikosomatik......................................................5
5. Kriteria klinis gangguan psikosomatik....................................................7
6. Pendekatan diagnosis...............................................................................8
7. Terapi.......................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Pengertian sehat menurut UUNo.23 tahun 1992 adalah keadaan sejahtera
dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan
ekonomi. Psikis dan fisik sangat berkaitan erat dan tidak bisa dipisahkan antara
satu dengan lainnya. Kedua aspek yang saling mempengaruhi ini tercermin dalam
ilmu kedokteran Psikosomatik. Dalam perkembangannya tidak hanya aspek psikis
dan fisik saja yang menjadi titik perhatian, tetapi juga aspek spiritual dan
lingkungan merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk mencapai keadaan
kesehatan yang optimal. Menurut WHO 1994 pengertian sehat meliputi 4 aspek,
yaitu: fisik, psikologi, sosial, dan spiritual (bio-psiko-sosial-spiritual).1,2
Hubungan antara psikis dan somatik telah menjadi perhatian para ahli dan
para peneliti sejak dahulu. Aspek psikis dan soma saling terkait secara erat dan
tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya.1,2,3,4
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1. Definisi
Psikosomatis berasal dari dua kata yaitu psiko yang artinya psikis (jiwa),
dan somatis yang artinya tubuh. Dalam Diagnostic And Statistic Manual Of
Mental Disorders edisi keempat (DSM IV) istilah psikosomatis telah
digantikan dengan kategori diagnostik faktor psikologis yang mempengaruhi
kondisi medis.3
Gangguan psikosomatik adalah gangguan atau penyakit yang ditandai oleh
keluhan- keluhan psikis dan somatik yang dapat merupakan kelainan
fungsional suatu organ dengan atau tanpa gejala objektif dan dapat pula
bersamaan dengan kelainan organik atau struktural yang berkaitan erat dengan
stresor atau peristiwa psikososial tertentu.1
Pada gangguan psikosomatik yang sudah berlangsung lama gangguan
fungsional dan struktural yang dijumpai bersamaan sering kali sulit dibedakan
mana yang lebih dulu terjadi. Untuk mempermudah pemahaman berdasarkan
ada tidaknya patologi sistem organ, gangguan psikosomatik dibagi menjadi:1
a. Gangguan psikosomatik fungsional (malfungsi fisiologis) atau gangguan
psikosomatik primer
b. Gangguan psikosomatik struktural (malfungsi fisiopatologis) atau gangguan
psikosomatik sekunder.
2. Klasifikasi
Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk faktor psikologis yang
mempengaruhi keadaan medis sebagai berikut:3
a. Terdapat keadaan medis umum
b. Faktor psikologis mempengaruhi keadaan medis secara berlawanan dalam
satu atau lebih cara:
1) Faktor mempengaruhi perjalanan keadaan medis umum, seperti yang
ditunjukkan oleh hubungan waktu yang erat antara faktor psikologis dan
timbulnya atau memburuknya, atau tertundanya pemulihan keadaan
medis umum.
2) Faktor mengganggu terapi keadaan medis umum
3) Faktor merupakan resiko kesehatan tambahan untuk individu
Kelainan yang tidak termasuk dalam kelainan di atas adalah:3
a. Gangguan jiwa yang klasik yang memiliki gejala fisik sebagai bagian dari
gangguan (contohnya: gangguan konversi, yaitu gejala fisik ditimbulkan
oleh konflik psikologis)
b. Gangguan somatisasi, yaitu gejala fisik tidak didasari oleh patologi organik
c. Hipokondriasis, yaitu pasien memiliki kepedulian yang berlebihan dengan
kesehatan mereka.
d. Keluhan fisik yang sering dikaitkan dengan gangguan jiwa (contoh:
gangguan distimik yang biasanya memiliki penyerta somatik, seperti
kelemahan otot, astenia, lelah, dan keletihan)
e. Keluhan fisik yang dikaitkan dengan gangguan terkait zat (contoh: batuk
dikaitkan dengan ketergantungan nikotin)
3. Etiologi
Manusia tidak pernah lepas dari masalah. Jika hal tersebut dirasakan
menekan, mengganggu dan mengancam maka keadaan ini dapat disebut stres.
Menurut Levy, Dignan, dan Shifers mengatakan bahwa stres merupakan
beberapa reaksi fisik dan psikologis yang ditunjukkan seseorang dalam
merespon beberapa perubahan yang mengancam dari lingkungannya yang
disebut stresor.
Menurut beberapa ahli stres dapat disimpulkan bahwa stres adalah segala
sesuatu kondisi berupa perubahan reaski biokimia, fisiologis, kognitif, dan
perilaku sebagai penyesuaian diri individu ketika mengalami tekanan karena
dihadapkan pada suatu kesenjangan antara kebutuhan dengan kenyataan
sehingga tercipta suatu kondisi ketidakseimbangan.
Keadaan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa ataupun
terlalu banyak yang mengancam kesejahteraan atau integritas individu. Stres
dibagi menjadi dua sebagai berikut:
1. Stres yang merugikan dan merusak yang disebut distress
2. Stres yang positif dan menguntungkan disebut eustres
Pada tahun 1920, Walter Cannon melakukan studi sistemik pertama
menganai hubungan stres dengan penyakit. Ia menunjukkan bahwa
perangsangan sistem saraf otonom memudahkan organisme untuk respon “fight
or flight” yang ditandai dengan hipertensi, takikardi, dan meningkatkan curah
jantung. Pada orang yang tidak dapat beradaptasi, stres dapat menimbulkan
penyakit.1,3,4
Hans Selye berpendapat bahwa ketika suatu organisme berhadapan dengan
stresor ia akan menggerakkan dirinya untuk bertindak. Respon yang
dipamerkan berupa tidak spesifik dan tergantung kepada stresor tersebut. Dari
waktu ke waktu, paparan stres yang berkepanjangan dan berulang akan
merugikan sistem tubuh. Hans Seyle (1907-1982) mengembangkan suatu
model stres yang ia sebut sindrom adaptasi umum. Model ini terdiri atas tiga
fase, yaitu:1,3,4
1. Reaksi alarm, merupakan fase awal dimana satu individu mulai mengenali
gejala stress. Ketika satu individu berada pasa posisi mental dan fisiologis
prima, ia segera melawan gejala stress dan langsung mengeliminasinya.
2. Tahap resistensi (perlawanan), fase ini merupakan tahap adaptasi maksimal
atas gejala stress. Idealnya, individu segera dapat kembali pada
keseimbangan mental sebelum dilanda stress pada fase ini. Namun, jika
stress terus berlanjut atau mekanisme pertahanan dirinya tidak bekerja,
seseorang akan memasuki fase ketiga.
3. Tahap kelelahan (stage of exhaustion), terjadi karena paparan stressor yang
sama akan tetapi dalam jangka waktu yang lama, dan pada tingkat resistensi
tinggi memungkinkan untuk terjadinya homeostasis. Kondisi ini terjadi
tatkala mekanisme adaptif dalam individu yang mampu melawan stress
mengalami kegagalan.
Jika stage of exhaustion terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan
berulang, Selye meyakini akan ada kelainan psikologis yang menyebabkan
timbulnya suatu penyakit.
Gambar 1. Skema sindrom adaptasi umum
4. Patofisiologi gangguan psikosomatik
Stimulus stres mengaktifkan sistem saraf dan hormonal. Mekanismenya
sebagai berikut:1,3,4
1. Sistem saraf
Sebagai respon terhadap stres, melalui sistem rangsangan saraf
mengaktivasi sistem simpatik di spinal cord. Sistem simpatik yang
teraktivasi merangsang korteks adrenal menghasilkan epinefrin dan
norepinefrin yang dapat merangsang respon fight or flight. Efektor viseral
juga teraktivasi melalui mekanisme sistem simpatik.Teraktivasinya respon
Fight or flight dan efektor viseral menghasilkan respon sebagai berikut:
a. Takikardi
b.Vasokontriksi pembuluh darah viseral dan perifer
c. Vasodilatasi pembuluh darah jantung, otak, paru, dan muskuloskeletal
d.Kontraksi dari lien
e. Proses glukogenesis di hati meningkat
f. Berkeringat banyak
g.Dilatasi pada jalan napas
h.Menurunnya aktifitas gastrointestinal
i. Retensi natrium dan air menyebabkan hipertensi
2. Sistem hormonal
Sebagai respon terhadap stres, hipotalamus teraktifasi untuk mensekresikan
Corticotropin Releasing Hormone (CRH), Growth Hormone Releasing
Hormone (GHRH), dan Thyrotropin Releasing Hormone (TRH). Ketiga
hormon tersebut akan mengaktivaasi hipofisis anterior untuk merangsang
pelepasan hormon adrenokortikotropin (ACTH), hormone Growth Hormone
(hGH), dan Thyroid Simulating Hormone (TSH). Setelah itu, ACTH
merangsang korteks adrenal untuk merangsang sintesis dan pelepasan
cortisol, hGH mempengaruhi liver, dan TSH bekerja dikelenjar tiroid.
Respon dimasing-masing organ sebagai berikut:
1. Korteks adrenal, responnya: lipolisis, glukoneogenesis, dan katabolisme
protein meningkat, vasokontriksi pembuluh darah, dan sistem imun
menurun.
2. Liver, responnya: lipolisis dan glikogenolisis meningkat.
3. Tiroid, responnya: meningkatnya metabolisme (penggunaan ATP dari
glukosa meningkat).
Jika, dilihat dari mekanisme stres di atas banyak mempengaruhi organ-
organ viseral. Oleh karena itu keluhan-keluhan tersebut banyak orang yang
mendatangi dokter penyakit dalam.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang mengalami stress dalam
jangka panjang maka akan bermunculan berbagai penyakit seperti hipertensi,
dan juga akan mudah mengalami penyakit menular. selain itu juga stres dapat
memperberat penyakit, seperti diabetes, hipertensi atau penyakit jantung.
Semua hal ini diakibatkan faktor hormonal.
Gambar 2. Patofisiologi gangguan psikosomatik
5. Kriteria klinis ganguan psikosomatik
Karena gangguan psikosomatik terdapat dalam borderline cases ilmu
penyakit dalam dan psikiatri. Oleh karena itu perlu adanya batasan-batasan
dalam bidang ilmu penyakit dalam dengan membuat kriteria-kriteria klinis
gangguan psikosomatik sebagai berikut:1
a. Kriteria yang biasanya tidak ada (kriteria negatif)
1)Tidak didapatkan kelainan-kelainan organik pada pemeriksaan yang teliti
sekalipun, walaupun menggunakan peralatan canggih. Bila ada kelainan
organik belum tentu bukan gangguan psikosomatik, sebab:
Bila gangguan psikosomatik tidak diobati dalam jangka waktu cukup
lama, dapat menimbulkan kelainan-kelainan organik pada alat-alat
yang dikeluhkannya
Secara kebetulan ada kelainan organik, tetapi kelainan ini tidak dapat
menerangkan keluhan yang ada pada pasien tersebut (koinsidensi).
Sebelum timbulnya kelainan psikosomatik, telah terdapat kelaian
organik, tetapi tidak disadari oleh pasien sendiri. Baru disadari setelah
diberitahukan oleh orang lain atau dokter yang mengobatinya. Hal ini
membuatnya takut, khawatir, dan gelisah (iatrogen)
2)Tidak didapatkan kelainan psikiatrik
b. Kriteria yang biasanya ada (kriteria positif)
1) Keluhan-keluhan pasien ada hubungan dengan emosi tertentu
2) Keluhan-keluhan tersebut berganti-ganti dari satu sistem ke sistem lain
(shifting phenomen atau alternasi)
3) Adanya ketidaseimbangan susunan saraf pusat
4) Penuh dengan stres sepanjang kehidupan yang menjadi sebab konflik
mentalnya
5) Adanya perasaan yang negatif yang menjadi titik tolak keluhan-
keluhannya
6) Adanya faktor pencetus (faktor presipitasi) dan faktor predisposisi
Kriteria di ata harus terpenuhi semuanya, tetapi bila ada salah satu atau lebih
dapat merupakan suatu indikator gangguan psikosomatik.
6. Pendekatan diagnosis
Menegakkan diagnosis pasien dengan gangguan psikosomatik tidak berbeda
dengan menegakkan diagnosis penyakit lain pada umumnya, yaitu dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Tetapi yang harus
ditekankan di sini adalah anamnesis yang teliti dan mendalam karena pada
umumnya gangguan psikosomatik datang ke dokter dengan keluhan-keluhan
somatiknya. Jarang sekali pasien datang dengan keluhan psikis atau konfliknya
yang dikeluhkan secara spontan. Keluhan psikis dan stresornya baru akan
muncul setelah dilakukan anamnesis yang baik dan mendalam.3
Untuk mempertajam diagnosis dan untuk membatasi dari gangguan psikiatri
yang nyata (misalnya psikosis), gangguan psikosomatik harus memilki ciri-ciri
kriteria yang telah disebutkan di atas.
7. Terapi
Terapi gangguan psikosomatik sesuai konsep kedokteran psikosomatik,
yaitu melihat semua aspek yang mempengaruhi timbulnya gangguan ini (aspek
bio-psiko-sosio-spiritual).1,3,4
a. Aspek psikiatri
Psikiater harus memusatkan terapi pada pemahaman motivasi dan
mekanisme fungsi yang terganggu serta membantu pasien menyadari sifat
penyakit mereka serta kaitan pola adaptif yang merugikan tersebut. Karena
pada pasien psikosomatik menyangkal kalau mereka dewasa mempunyai
banyak konflik dan masalah.
b. Aspek medis
Mengobati penyakit fisik pasien dengan menggunakan peralatan canggih
atau obat-obatan yang sesuai dengan penyakit fisiknya dan obat-obatan
psikofarma untuk mengatasi pasikisnya, tetapi dokter internis harus tetap
memberikan penjelasan tentang penyakit yang sebenarnya dan kaitannya
dengan pikiran pasien.
c. Perubahan perilaku
Psikiater atau dokter harus mengubah pola perilaku pasien untuk
mengoptimalkan proses penyembuhan pada pasien (contohnya, pasien
diabetes melitus harus mengubah pola makan). Agar kita dapat mengubah
perilaku pasien dibutuhkan suatu hubungan yang baik harus menciptakan
Rapport. Rapport adalah perasaan disadari dan spontan mengenai
responsivitas yang harmonis antara pasien dan dokter. Jika sudah terjalin
hubungan yang baik, maka akan sangat mudah untuk pasien menerima saran
dari dokter.
d. Relaksasi
Pasien yang mengalami psikosomatik harus sering melakukan relaksasi
karena penyebab dari psikosomatik adalah stres. Salah satu manajemen stres
adalah melakukan relaksasi, seprti yoga. Di bawah ini merupakan salah satu
contoh latihan relaksasi yang mudah dilakukan.
Gambar 3. Tahapan relaksasi
e. Terapi hipnosis
Terapi hipnosis ini adalah cara untuk masuk ke pikiran bawah sadar.
Dengan kita masuk kepikiran bawah sadar melalui terapi hipnosis ini kita
bisa tahu apa sebenarnya kemauan dari pikiran bawah sadar ini, dan dengan
kita mengetahui maunya maka persoalan kita juga akan terselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi 5. Jakarta:
interna publishing; 2009.
2. Anonim. Available from: URL:http://repository.unand.ac.id/18335/1.
3. Sadock BJ, Sadock KA. Kaplan & Sadock’s “Synopsis of Psychiatry. Ed. 10 th.
New York; Wolters Kluwers: 2010.
4. ]elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta; FKUI: 2010.