Prostate k Tom i
-
Upload
yuni-fatmasari -
Category
Documents
-
view
72 -
download
2
Transcript of Prostate k Tom i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari pembangunan nasional
dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambunagan serta ditunjukkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, dengan arah
kebijakan dalam kesehatan yang disampaikan dalam ketetapan MPR RI No.
IV/MPR/1999/2004, salah satunya meningkatkan mutu sumber daya manusia
di lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat
yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan
sampai usia lanjut (Depkes, 2002).
Derajat kesehatan yang optimal akan dilihat dari unsur-unsur kualitas
hidup serta unsur-unsur mortalitas (angka kematian) dan yang
mempengaruhinya, yaitu morbiditas (angka kesakitan) dan status gizi salah
satu faktor yang mempengaruhi angka kesakitan adalah penyakit Benigna
Prostat Hypetrofi (BPH). BPH sebenarnya adalah suatu keadaan dimana
kelenjar periuretral prosat mengalami hiperplasia yang akan mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai di bedah
(Sjamsuhidajat & Wim De Jong , 2004)
Benigna Prostat Hypertofi merupakan penyakit yang paling umum No
5 di dunia yaitu paling banyak pada pria Singapura dan Amerika Serikat
(Scientific medicastore, 20 Maret 2007). Pembesaran prostat jinak (BPH)
merupakan penyakit pada laki-laki usia di atas 50 tahun yang sering dijumpai.
Karena letak anatominya yang mengelilingi uretra, pembesaran dari prostat
akan menekan lumen uretra yang menyebabkan sumbatan dari aliran
kandung kemih. Signifikan meningkat dengan meningkatnya usia. Pada pria
berusia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun
sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut di atas akan menyebabkan gejala
dan tanda klinik. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-
lahan maka efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan ( Sjamsuhidajat &
Wim De Jong , 2004 ).
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran
kemih dan diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia di atas 50 tahun
dengan angka harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65
tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria Indonesia sudah
berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk
Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria,
dan yang berumur 60 tahun atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan
ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita BPH (Furqon, 2003)
Telah diketahui bahwa prostat hiperplasia dapat menyebabkan retensi
urin akibat obstruksi saluran kemih dan dapat menimbulkan tekanan tinggi
intra vesika. Dengan adanya tekanan tersebut maka akan terjadi perubahan
pada ureter berupa hidroureter dan pada ginjal berupa hidronefrosis.
Hidronefrosis kronik yang bersifat unilateral atau bilateral, akibat adanya
pengembangan volume ekstrseluler atau penyakit ginjal lainnya dapat
menyebabkan hipertensi yang nyata ( Utomo, 2008 )
Selain itu prostat hiperplasi dapat meningkatkan frekuensi infeksi
saluran kemih melalui jalur ascenden. Superinfeksi pada sumbatan saluran
kemih dapat menyebabkan kerusakan jaringan ginjal yang cepat dan
menimbulkan hipertensi parenkim ginjal.
Prostatektomi adalah pembedahan untuk mengangkat jaringan tumor
pada prostat. Sebagian besar operasi ini berhasil menghilangkan sumbatan
yang memperbaiki aliran air seni. Vaughan dan Gillenwater melaporkan
bahwa dari 22 pasien dengan obstruksi uretra bilateral, 17 (77%) mempunyai
tekanan diastol lebih dari 90 mmHg. Dari 17 pasien yang mengalami
hipertensi, 15 pasien (88%) tekanan darahnya dapat kembali normal setelah
mendapatkan tindakan prostatektomi.
Prostatektomi adalah pembedahan untuk mengangkat jaringan tumor
pada prostat. Sebagian besar operasi ini berhasil menghilangkan sumbatan
yang memperbaiki aliran air seni. Ada berbagai macam prostatektomi yang
dapat dilakukan. Untuk terapi bedah intervensi yang digunakan
yaitu Transuretrhal Resection of the Prostat (TUR P), Transuretrhal Insision
of the Prostat (TUI P), Open Prostatektomi, Prostatektomi dengan laser
dengan Nd-YAG atau Ho-YAG. Pada open prostatektomi terdapat beberapa
metode yang digunakan yaitu retropubic infravesica (Terence Millin),
Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer), Transperineal. Setelah pembedahan,
pasien harus menjalani control paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk
mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Beberapa penyulit bisa terjadi
pada saat operasi, pasca bedah dini, maupun pasca bedah lanjut. Selama
operasi bisa terjadi perdarahan, sindrom TURP, dan perforasi. Pasca bedah
dini bisa terjadi perdarahan, infeksi local atau sistemik. Pasca bedah lanjut
bisa terjadi inkontinensia urine, disfungsi ereksi, ejakulasi retrogard dan
striktur uretra.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Anatomi Prostat
Kelenjar prostat merupakan kelenjar yang terletak di bawah vesika
urinaria melekat pada dinding bawah vesika urinaria di sekitar uretra bagian
atas. Kelenjar prostat kira-kira sebesar buah kenari. Letaknya di bawah
kandung kemih mengelilingi uretra dan terdiri dari kelenjar majemuk, saluran
dan otot polos. Kelenjar prostat terdiri dari 30-50 kelenjar yang terbagi atas
empat lobus yaitu:
a. Lobus posterior
b. Lobus lateral
c. Lobus anterior
d. Lobus medial (Syaifuddin, 2006)
Prostat adalah organ genetelia pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20
gram. Secara histopatologik kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar
dan stroma. Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh
darah, saraf, dan jaringan penyangga yang lain (Purnomo, 2007)
2.1.2 Fisiologi Prostat
Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang
mengandung ion sitrat, kalsium, ion fosfat, enzim pembeku, dan
profibrinolisin. Selama pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi sejalan
dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu yang
dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah lebih banyak lagi jumlah semen.
Sifat yang sedikit basa dari cairan prostat mungkin penting untuk suatu
keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relative asam akibat
adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, dan sebagai
akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma. Juga sekret vagina bersifat
asam (pH 3,5 sampai 4,0) sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH 6
sampai 6,5. Akibatnya, merupakan suatu kemungkinan bahwa cairan prostat
menetralkan sifat asam dari cairan lainnya setelah ejakulasi dan juga
meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma.
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu
komponen dari cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius
dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan
semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan ± 25%
dari seluruh volume ejakulat. Prostat mendapatkan inervasi otonomik
simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus
(pleksus pelvikus) menerima masukan serabut parasimpatik dari korda
spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus (T10-L2). Stimulasi
parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan
rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra
posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi
pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Di tempat-tempat
itu banyak terdapat reseptor adrenergic-α. Jika kelenjar ini mengalami
hyperplasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu uretra
posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Purnomo,
2007).
2.2 Benigna Hyperplasia Prostat
2.2.1 Pengertian
Hiperplasia prostat adalah pembesaran kelenjar periuretra yang
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.
Prevalensinya meningkat sejalan dengan peningkatan usia dan pria. Insidens
di negara berkembang meningkat karena adanya peningkatan umur harapan
hidup ( FK UI 2000 )
Pembesaran kelenjar prostat (kelenjar yang hanya ada pada leher
kandung kemih laki-laki) yang normal terjadi pada pria berusia 50 tahun atau
lebih. Pembesaran tersebut menyebabkan sumbatan pada saluran kemih
sehingga aliran air seni menjadi tidak lancar atau bahkan tidak dapat berkemih
sama sekali. Pada usia 40an, seorang pria mempunyai kemungkinan terkena
BPH sebesar 25%. Menginjak usia 60-70 tahun, kemungkinannya menjadi
50%, dan pada usia diatas 70 tahun risiko akan membesar menjadi 90%.
2.2.2 Etilogi
Etiologi belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon
androgen. Perubahan mikroskopik pada prostat terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopis ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%,
usia 80 tahun sekitar 80% dan usua 90 tahun 100% (Arif Mansjoer, 2000).
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan
testosterone estrogen, karena produksi testtoseron menurun dan terjadi
konversi testosterone menjadi estrogen pada jarinagn adipose di perifer. akan
menyebabkan gejala dan tanda klinik. Karena pembesaran prostat terjadi
secara perlahan-lahan maka efek perubahan juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prosatat, resistensi pada leher
vesika dan daerah prosatat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal.
Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan
terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat
menerobos ke luar di antara serat detrusor. Tonjolan mukosa yang kecil
dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut
maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin (R.
Sjamsuhidajat & Wim de Jong, 2004).
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hyperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging. Beberapa hipotesis yang diduga
sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah:
1. Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari
testosterone di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan
koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor
androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak
jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH,
aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak
pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal.
2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan
kadar estrogen relative tetap sehingga perbandingan antara estrogen :
testosterone relative meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam
prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormone androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari
semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru
akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah
ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih
besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa difernsiasi dan pertumbuhan sel
epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma
mendapatka stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu
sendiri secara intrakrin dan atuokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosisi) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel
yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel disekitarnya
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada
prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan
massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor
yang menghambat proses apoptosis. Diduga hormon androgen berperan
dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi,
terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Estrogen
diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor
pertumbuhan TGFβ berperan dalam proses apoptosis.
5. Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu
dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem,
yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif.
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen,
sehingga jika hormone ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada
kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya prolifersai sel-sel
pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatannya aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
2.2.3 Faktor Resiko Terjadinya Hiperplasia Prostat
Menurut Lanny Sustrani (2007), faktor-faktor yang dapat memicu
terjadinya hiperplasia prostat adalah:
1. Usia di atas 50 tahun
Seiring dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun
secara pelan-pelan pada usia 30 tahun, dan turun lebih cepat mulai sekitar usia
50 tahun ke atas. Penurunan kadar testosteron telah diketahui sebagai
penyebab dari penurunan libido, massa otot, melemahnya otot pada organ
seksual dan kesulitan ereksi. Tetapi , kadar testosteron yang rendah juga
menyebabkan masalah lain yang tidak segera terlihat, yaitu pembesaran
kelenjar prostat Usia lanjut diduga akan meningkatkan sensitivitas kelenjar
prostat terhadap perangsangan hormonal sehingga perbesaran prostat terjadi.
2. Gaya hidup stress
Dalam keadaan stress, akan meyebabkan kejang otot di sekitar
panggul. Hal ini akan berdampak langsung pada prostat, karena penjepitan
mau tak mau akan mengakibatkan pembengkakan. Dalam keadaan stress
kronis, tubuh memproduksi lebih banyak steroid stres (kortisol) yang dapat
mengeser produksi DHEA (dehidroepianandrosteron). DHEA berfungsi
mempertahankan kadar hormon seks yang normal, termasuk testosterone.
Stress kronis juga menyebabkan penuaan dini dan penurunan fungsi testis.
Contohnya: sseorang pengawas produksi yang mengahadapi tugas menoton
dan dikejar target.
3. Merokok.
Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) adalah beberapa zat
yang terkandung pada rokok, zat-zat ini dapat meningkatkan aktivitas enzim
perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar testosteron.
4. Menyukai makanan dengan lemak tinggi dan kurang sayur.
Nutrisi yang buruk, terutama kekurangan mineral penting seperti seng,
tembaga, dan selenium, berpengaruh pada fungsi reproduksi pria. Yang paling
penting adalah seng, karena defisiensi seng yang parah dapat menyebabkan
pengecilan testis yang selanjutnya berakibat penurunan kadar testosteron.
Selain itu, makanan tinggi lemak dan rendah serat juga membuat penurunan
kadar tetosteron.
5. Kurang aktif berolahraga
Aktivitas yang padat, tanpa diimbangi dengan olahraga cukup dan
teratur. Dapat menyebabkan sesorang beresiko mengalami gangguan prostat,
dikarenakan otot-otot sekitar pinggul dan organ seksual mengalami
kelemahan.
6. Berat badan berlebih (obesitas).
Berat badan berlebih (obesitas) juga akan membuat gangguan pada
prostat dan kemampuan seksual. Untuk ereksi, misalnya, diperlukan tekanan
darah yang lebih tinggi mengisi penis, sehingga jantung harus bekerja lebih
keras. Bilamana berat badan berlebih, jantung harus bekerja ekstra keras
memompa darah untuk mengerakkan beban berlebih dari tubuh tersebut. Bila
berat badan berlebih tentunya akan terjadi penumpukan lemak pada perut
yang akan menekan otot-otot seksual dan mengganggu testis. Sehingga
kelebihan lemak tersebut justru dapat menurunkan kemampuan seksual.
7. Hiperkolesterolemia
Kolesterol adalah bahan dasar untuk sintesis pregnolen yang
merupakan bahan baku DHEA, dan nantinya akan memproduksi testosteron.
Bila kadar kolesterol darah tinggi, tentunya akan terjadi penumpukan lemak
pada perut yang akan menekan otot-otot seksual dan mengganggu testis,
sehingga kelebihan lemak tersebut justru dapat menurunkan produksi
testosterone, yang kelak dapat mengganggu fungsi kelenjar prostat dan dapat
menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar prostat.
8. Mengkonsumsi obat-obatan pemicu libido dari golongan hormon testoteron
Pada pria yang yang gemar mengkonsumsi obat kuat yang
mengandung hormon testosteron pada masa mudanya. Obat kuat yang
dipromosikan sebagai pemacu kemampuan seksualnya, tanpa disadari telah
mencederai atau bahkan membunuh kemampuan produksi testosterone oleh
tubuhnya sendiri. Ketika tidak mengkonsumsi obat kuat lagi, pemakai
cenderung mengalami “penuaan dini”. Oleh karena kadar testosteron yang
rendah setelah berusia tengah baya, mereka ini rawan menderita gangguan
prostat, penurunan kemapuan seksual.
9. Mengalami gangguan jantung (kerusakan organ, payah atau pembesaran
jantung).
Bila jantung mengalami gangguan maka suplai darah ke organ-organ
dan jaringan tubuh terganggu. Begitu juga supai darah ke organ reproduksi
akan megalami gangguan, untuk ereksi, diperlukan tekanan darah yang lebih
tinggi untuk mengisi penis, sehingga jantung harus bekerja lebih keras.
Apabila hal ini terjadi terus-menerus dan dalam waktu yang lama, maka
keadaan jantung akan semakin terganggu.
2.2.4 Patofisiologi Hiperplasia Prostat
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli
harus berkontarksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontarksi yang terus-
menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
( LUTS ) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Hyperplasia prostat↓
Penyempitan lumen uretra posterior↓
Tekanan intravesikal meningkat
Buli-buli Ginjal dan Ureter Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter Trabekulasi - Hidroureter Selula - Hironefrosis Divertikel buli-buli - Pionefrosis Pilonefritis
- Gagal Ginjal
Bagan pengaruh hyperplasia prostat pada saluran kemih
Obstruksi yang diakibatkan oleh hyperplasia prostat benigna tidak
hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior,
tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat,
kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi
oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel.
Kalau pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1,
pada BPH rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH
terjadi peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat
normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen
static sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai
penyebab obstruksi prostat. ( Basuki B. Purnomo, 2007 ).
2.2.5 Manifestasi Klinik
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencakup peningkatan
frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan,
abdomen tegang, volume urin menurun dan harus mengejan saat berkemih,
aliran urin tidak lancar, dribbling (dimana urin terus menetes setelah berkemih),
rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi urin akut ( bila
lebih dari 60 ml urin tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih), dan
kekambuhan infeksi saluran kemih. Pada akhirnya dapat terjadi azotemia
(akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis
dan volume residu yang besar. Gejala generalisata juga mungkin tampak,
termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada
epigastrik. ( Brunner dan Suddarth, 2002)
2.2.6 Gambaran Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah ( LUTS ) terdiri atas
gejala obstruksi dan gejala iritatif. Untuk menilai tingkat keparahan dari
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli/organisasi urologi
membuat system scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung
sendiri oleh pasien. System scoring yang dianjurkan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) adalah Skor Internasional Gejala Prostat atau
I-PSS ( International Prostatic Symptom Score )
Obstruksi Iritasi
1. Hesitansi2. Pancaran miksi lemah
3. Intermitensi
4. Miksi tidak puas
5. Menetes setelah miksi
1. Frekuensi
2. Nokturi
3. Urgensi
4. Disuri
System scoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi ( LUTS ) dan satu pertanyaan yang
berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai dari 0-5, sedangkan keluhan
yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1-7. Dari skor I-PSS
itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan:
skor 0-7, (2) sedang: skor 8-19, dan (3) berat: skor 20-35.
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot
buli-buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli
mengalami kepayahan sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang
diwujudkan dalam bentuk retensi urine akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa
faktor pencetus antara lain:
a. Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan
kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang
mengandung diuretikum (alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah
yang berlebihan.
b. Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas
seksual atau mengalami infeksi prostat akut.
c. Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi
otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain:
golongan antikolinergik atau adrenergic alfa.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hyperplasia prostat pada saluran kemih
bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di
pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
3. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya
hernia inginalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering
mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan
intraabdominal.
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-buli yang terisi
penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine.
Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh
pasien yaitu merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa. Pada colok
dubur diperhatikan: (1) tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus untuk
menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik, (2) mukosa rectum,
dan (3) keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi,
konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat.
Colok dubur pada pembesaran prostat benigna menunjukkan
konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri
simetris dan tidak didapatkan nodul; sedangkan pada karsinoma prostat,
konsistensi prostat keras/ teraba nodul dan mungkin diantara lobus prostat
tidak simetri.
2.2.7 Penatalaksanaan
Rencana pengobatan bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi,
dan kondisi pasien. Jika pasien masuk rumah sakit dalam keadaan darurat
Karena ia tidak dapat berkemih, maka kateterisasi segera dilakukan. Kateter
yang lazim mungkin terlalu lemah dan lemas untuk dimasukkan melalui uretra
ke dalam kandung kemih. Dalam kasus seperti ini, kabel kecil yang disebut
stylet dimasukkan (oleh ahli urologi) ke dalam kateter untuk mencegah kateter
kolaps ketika menemui tahanan. Pada kasus yang berat, mungkin digunakan
kateter logam dengan tonjolan kurva prostatic. Kadang suatu insisi dibuat ke
dalam kandung kemih (sistostomi suprapubik) untuk drainase yang adekuat.
Meskipun prostatektomi untuk membuang jarngan prostat yang
mengalami hyperplasia sering dilakukan, terdapat juga pengobatan lain.
2.3 Prostatektomi
Prostatektomi adalah pembedahan untuk mengangkat jaringan tumor
pada prostat. Sebagian besar operasi ini berhasil menghilangkan sumbatan yang
memperbaiki aliran air seni.
2.3.1 Factor-faktor yang berhubungan dengan keputusan melakukan tindakan
operatif pada pasien dengan pembesaran prostat
Menurut Basuki Purnomo (2007) penyelesaian masalah pasien
hyperplasia prostat jangka panjang yang paling baik saat ini adalah
pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi non invasife lainnya
membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk melihat hasil terapi.
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan
miksi yang tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka,
reseksi prostat transuretra (TUIP). Pembedahan direkomendasikan pada pasien-
pasien hyperplasia prostat yang:
(1). Tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa
(2). Mengalami retensi urine
(3). Infeksi saluran kemih
(4). Hematuria
(5). Gagal ginjal
(6). Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran
kemih bagian bawah
2.3.2. Jenis-jenis Prostatektomi
Ada berbagai macam prostatektomi yang dapat dilakukan. Untuk
terapi bedah intervensi yang digunakan yaitu Transuretrhal Resection of the
Prostat (TUR P), Transuretrhal Insision of the Prostat (TUI P), Open
Prostatektomi, Prostatektomi dengan laser dengan Nd-YAG atau Ho-YAG.
Pada open prostatektomi terdapat beberapa metode yang digunakan yaitu
retropubic infravesica (Terence Millin), Suprapubic Transvesica/
TVP (Freeyer), Transperineal.
a. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP )
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan
mengurangi kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat
berukuran kecil (30 gram/kurang) dan efektif dalam mengobati banyak
kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai
angka komplikasi lebih rendah dibanding prosedur bedah prostat lainnya.
b. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat)
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat
uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan
endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi
dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik.
Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan
tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas
minimal (Smeltzer, 2002)
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan menggunakan
cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan
tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan
non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat
operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O
steril (aquades).
c. Open prostatektomi
Adalah suatu tindakan enukleasi adenoma prostat melalui insisi
ekstraperitoneal pada dinding bulianterior bagian bawah. Open
prostatektomi dibagi menjadi tiga yaitu retropubic infravesica (Terence
Millin), Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer), Transperineal. Setiap
metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
1) Retropubic infravesica (Terence Millin)
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan
suprapubik. Dokter bedah membuat insisi abdomen rendah mendekati
kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa
memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang
terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang hilang lebih dapat
dikontrol dengan baik dan letak bedah lebih mudah untuk dilihat, infeksi
dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis. (Smeltzer, 2002).
Keuntungan :
a) Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada
subservikal
b) Mortaliti rate rendah
c) Langsung melihat fossa prostat
d) Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
e) Perdarahan lebih mudah dirawat
f) Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu
selama bila membuka vesika
Kerugian :
a) Dapat memotong pleksus santorini
b) Dapat terjadi osteitis pubis
2) Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)
a) Definisi
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen. Suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih, dan kelenjar
prostat diangkat dari atas. Pendekatan demikian dapat digunakan untuk
kelenjar dengan segala ukuran, dan beberapa komplikasi terjadi,
meskipun kehilangan darah mungkin lebih banyak dibanding metode
lainnya. Kerugian lainnya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya
dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
b) Ruang Lingkup
Semua penderita laki-laki berusia >50 tahun yang datang dengan
keluhan kencing kurang lancar yang terdiri dari gejala obstruktif
(hesitansi, pancaran urin melemah atau mengecil, intermitensi, terminal
dribbling, terasa ada sisa setelah miksi) dan gejala iritasi (urgensi yaitu
sulit menahan miksi, frekuensi yaitu miksi lebih sering dari biasanya,
disuria sampai akhirnya terjadi retensi urin).
c). Indikasi Operasi
1) Penderita BPH dengan retensio urin akut atau pernah retensio
urin akut
2) Penderita BPH dengan retensio urin kronis artinya dalam buli-
buli selalu lebih dari 300 ml.
3) Penderita BPH dengan penyulit: batu buli-buli, divertikel buli-
buli, hidronephrosis, gangguan faal karena obstruksi.
4) Penderita BPH yang tidak berhasil dengan terapi medikamentosa
d). Kontra indikasi operasi
1) Penyakit jantung berat/gagal jantung berat
2) Gangguan faal pembekuan darah
Khusus:
1) Prostat yang kecil
2) Sudah pernah dilakukan prostatektomi
3) Pernah operasi di daerah prostat sebelumnya yang berhubungan
dengan kelenjar prostat
4) Beberapa tipe kanker prostat
e). Diagnosis Banding
1) Striktur uretra
2) Batu uretra post
f). Pemeriksaan Penunjang
Prostate spesific antigen (PSA), foto polos abdomen,
pyelografi intravena (pada kasus BPH tanpa retensio urin), USG bila
terjadi gangguan faal ginjal (serum kreatinin >4), uroflowmetri bila
penderita masih bisa kencing atau untuk evaluasi pasca terapi, dan
TRUS (Transrektal USG) dengan indikasi tertentu.
g). Teknik Operasi
1) Dengan pembiusan umum.
2) Posisi pasien terlentang dengan meja sedikit fleksi.
3) Pasang kateter urin, isi buli-buli dengan air steril 300cc, lepaskan
kateter.
4) Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptik.
5) Lapangan pembedahan dipersempit dengan linen steril.
6) Insisi kulit di garis tengah infraumbilikal diperdalam sampai
membuka fasia rektus (linea alba)
7) Lemak perivesika disisihkan ke proksimal, identifikasi buli-buli,
pasang retraktor.
8) Buat jahitan hemostasis dengan chromic catgut di proksimal dan
distal tempat yang akan diinsisi pada buli. Insisi buli diantara
kedua jahitan, perlebar dengan klem. Identifikasi leher buli,
trigonum dan muara ereter.
9) Insisi mukosa yang mengelilingi penonjolan adenoma dengan
kauter, pisahkan mukosa dengan adenoma menggunakan gunting
bengkok.
10) Enukleasi adenoma prostat di antara kapsul dan adenoma dengan
jari. Potong sisa mukosa dengan gunting. Bekas enukleasi di
tekan dengan kasa selama ± 5 menit untuk menghentikan
perdarahan, jahit dasar prostat pada jam 5 dan 7 untuk
hemostasis.
11) Pasang kateter lubang tiga no. 24F sampai ke buli-buli (balon
jangan diisi dulu)
12) Jahit buli-buli 2 lapis, mukosa muskularis dengan plain catgut 3-
0 secara jelujur, tunika serosa dengan Dexon 3-0.
13) Tes evaluasi kebocoran buli-buli dengan memasukkan PZ 250cc
melalui kateter, bila tidak ada kebocoran isi balon kateter balon
dengan air 40cc dan ditraksi kemudian dipasang spoel dengan
PZ.
14) Pasang redon drain peri vesikal.
15) Tutup lapangan operasi lapis demi lapis.
h). Komplikasi operasi
Komplikasi pasca bedah ialah perdarahan, sistitis, epidimo-
orkitis, inkontinensia urin, kontraktur leher buli, disfungsi ereksi,
dan ejakulasi retrograde.
i). Mortalitas
Rendah
j). Perawatan Pascabedah
1) Kateter ditraksi selama 24 jam, dan dilepas 5-7 hari
2) Pelepasan redon drain bila dalam 2 hari berturut-turut produksi <
20cc/24 jam.
3) Pelepasan benang jahitan keseluruhan 10 hari pasca operasi.
k). Follow-up
Pada bulan pertama control 2 minggu sekali untuk evaluasi
keluhan dan pancaran kencingnya, selanjutnya setiap 3 bulan, 4
bulan, 6 bulan dan setiap tahun.
Apabila terdapat gangguan pancaran segera periksa
uroflowmetri. Setiap kontrol dilakukan pemeriksaan laboratorium
(darah lengkap, urin lengkap faal ginjal, urin kultur dan tes
kepekaan).
Keuntungan :
a) Baik untuk kelenjar besar
b) Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
c) Kerusakan spingter eksterna minimal
Kerugian :
a) Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada
dinding vesica sembuh
b) Sulit pada orang gemuk
c) Sulit untuk kontrol perdarahan
d) Merusak mukosa kulit
e) Mortality rate 1 -5 %
3) Transperineal
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam
perineum. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat
berguna untuk biopsi terbuka. Pada periode pasca operatif, luka bedah
mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rectum.
Lebih jauh lagi, inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal lebih
mungkin menjadi komplikasi dari pendekatan ini.
Keuntungan :
a) Dapat langssung pada fossa prostat
b) Pembuluh darah tampak lebih jelas
c) Mudah untuk pinggul sempit
d) Langsung biopsi untuk karsinoma
Kerugian :
a) Impotensi
b) Inkontinensia
c) Bisa terkena rectum
d) Perdarahan hebat
e) Merusak diagframa urogenital
2.3.3. Komplikasi Pasca Prostatektomi
Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi bergantung pada jenis
pembedahan dan mencakup hemorogi, pembentukan bekuan, obstruksi kateter,
dan disfungsi seksual.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun
prostatektomi perinial dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan syaraf
pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual
dapat dilakukan kembali dalam 6-8 minggu, karena saat ini fossa prostatic telah
sembuh. Setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung
kemih dan diekskresikan melalui urin. Vasektomi mungkin dilakukan selama
pembedahan untuk mencegah penyebaran infeksi dari uretra prostatic melalui
vas deferens ke dalam epidedemis (Smeltzer, 2002).
2.2.4 Asuhan Pasien dengan Prostatektomi
a. Perawatan Perioperatif
Kelenjar prostat adalah organ yang sangat vascular, maka perdarahan
adalah komplikasi pasca opersai yang sering timbul. Perawat perlu mengkaji
masalah yang dialami pasien yang bisa mempengaruhi masa pembekuan dan
perdarahan seperti anemia. Obat-obat yang dimakan pasien harus dicatat. Obat-
obat seperti aspirin, NSAID, antikogulan seperti Coumadin dapat
mempengaruhi masa pembekuan maka harus dilaporkan ke dokter.
Perawat perlu mengkaji pola defekasi pasien. Konstipasi dan feses yang
keras dapat menimbulkan masalah pasca-operasi. Pasien harus menghindari
manuver Valsava pasca-operasi karena bahaya perdarahan dan tekanan pada
prostat ketika mengejan dapat menimbulkan rasa nyeri dan spasme kandung
kemih. Pasien perlu diberi obat laksatif untuk membuat feses lembut.
Perawat juga perlu mengkaji pengetahuan pasien akan tujuan
pembedahan, efek pada eliminasi urine, fungsi seksual, dan fertilitas. Perlu juga
dijelaskan pada pasien tentang kateter Foley 3 jalur dan irigasi kandung kemih
pasca-operasi.
b. Perawatan Pasca-operasi
1). Meningkatkan Eliminasi Urine Adekuat
Pasca prostatektomi 24-48 jam pertama adalah waktu yang sangat kritis
dalam mempertahankan kepatenan kateter. Risiko adanya darah beku yang bisa
menyumbat aliran urine adalah sangat tinggi dalam 24-48 jam pertama.
Tetesan irigasi kandung kemih harus dipantau dan dipertahankan agar urine
bebas dari darah beku (warna urine bisa merah muda). Apabila warna urine
menjadi merah, tetesan irigasi perlu dipercepat. Asupan dan haluaran urine
harus dipantau dengan tepat dan didokumentasikan. Catatan asupan dan
haluaran mendokumentasikan haluaran urine dibandingkan dengan
pengeluaran larutan dari irigasi. Haluaran urine harus paling sedikit adalah 50
ml/jam lebih dari pengeluaran per jam larutan irigasi. Haluaran urine yang
kurang bisa menunjukkan kemungkinan obstruksi, maka perawat perlu
memeriksa kepatenan semua slang. Apabila semua slang paten, maka irigasi
kateter secara manual dilakukan dengan memakai spuit 50 ml untuk
melepaskan darah beku yang menyumbat kateter.
2). Mengontrol Ketidaknyamanan karena Spasme dan Peregangan Kandung
Kemih
Belladonna dan Opium dalam bentuk supositoria rectal efektif untuk
menangani nyeri karena spasme kandung kemih. Supositoria ini lembut dan
tidak ada bahaya trauma pada jaringan rectum. Pasien dianjurkan minum
sebanayak 8-10 penuh tiap hari. Asupan yang banyak bisa menjadi irigasi
internal untuk kandung kemih dan bisa mencegah iritasi dan spasme kandung
kemih.
3). Mencegah Infeksi
Antibiotika intravena atau oral diberikan dalam beberapa hari setelah
pembedahan. Pasien perlu diberi tahu tentang pentingnya asupan caiaran untuk
menghindari stasis dan infeksi traktus urinarius.
4). Meredakan Ansietas
Pasien perlu diberi tahu bahwa kebanyakan pasien, setelah
prostatektomi mengalami inkontinensia tetapi hanya sementara. Pasien
dianjurkan melakukan latihan Kegel untuk memperkuat perineum sehingga
pasien bisa mengendalikan urinasi. Kecemasan pasien juga bisa dikurangi
apabila diberi tahu bahwa pengangkatan prostat tidak mengganggu
kemampuan untuk mengadakan ereksi dan mengalami orgasme.
Pedoman Perawatan Pasca Prostatektomi
1. Pertahankan kepatenan system kateter
2. Pantau urine (dalam 24 jam pertama warna urine merah muda, dalam 3 hari
warna urine berubah menjadi kuning tua)
3. Pantau tanda intoksikasi air (bingung, gelisah, kulit basah, hangat,
anoreksia, mual, dan muntah)
4. Beri tahu pasien untuk tidak mengejan; terangkan bahwa perasaan ingin
berkemih disebabkan oleh tekanan balon kateter pada sfingter internal
5. Hindari lavamen dan pemakaian thermometer rectal
6. Beri medikasi yang diresepkan (analgesic, antispasmodic) apabila perlu beri
tahu pasien bahwa spasme akan berkurang dalam 24-48 jam
7. Setelah kateter dilepas:
a. Pantau gejala retensi urine
b. Pantau inkontinensia, dorong pasien melakukan latihan Kegel
c. Dorong pasien meningkatkan asupan cairan (8-10 gelas penuh/hari) dan
sering mengosongkan kandung kemih
8. Untuk pasien dengan prostatektomi suprapubik; ganti balutan pada insisi
suprapubik sesering mungkin untuk mencegah iritasi kulit dan kerusakan
kulit
9. Beri pasien kesempatan untuk mengungkapkan perasaan tentang masalah
seksualitas dan kemungkinan inkontinensia
10. Penyuluhan kesehatan:
a. Tidak mengangkat barang berat (>10 kg) dan hindari koitus selama 3
minggu
b. Tidak mengejan waktu defekasi; pakai obat laksatif
c. Minum sebanyak 8-10 gelas/ hari untuk menghindari stasis urine dan
dan infeksi traktus urinarius
d. Segera lapor ke dokter bila ada tanda infeksi traktus urinarius,
hematuria, atau penurunan deras urine ketika berkemih (Baradero,
Dayrit dan Siswadi, 2008)
2.4 Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri.
Tekanan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti curah jantung,
ketegangan arteri, dan volume, laju serta kekentalan ( viskositas darah ). Tekanan
darah terjadi akibat fenomena siklis. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel
berkontraksi dan disebut tekanan sistoloik. Tekanan diastolic adalah tekanan
terendah, yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya
digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolic, dengan
nilai dewasa normalnya berkisar dari 100/60 sampai 140/90. Rata-rata tekanan
darah normal biasanya 120/80. ( Smeltzer, 2002 )
Tekanan darah adalah tekanan yang didesakkan dengan mensirkulasikan
darah pada dinding pembuluh darah, dan merupakan salah satu tanda-tanda vital
yang prinsipil. Tekanan dari pensirkulasian darah menurun ketika ia bergerak
menjauh dari jantung melalui pembuluh arteri dan kapiler serta menuju jantung
melalui pembuluh vena. Tekanan darah terjadi karena ada dua kekuatan. Satu
kekuatan diciptakan oleh jantung ketika ia memompa darah menuju pembuluh
arteri dan melalui system sirkulatori. Sedangkan kekuatan yang lainnya adalah
kekuatan pembuluh arteri ketika mendesak darah mengalir dari jantung.
Distole
Diastole adalah periode istirahat yang mengikuti periode kontraksi.
Pada awalnya:
1. Darah vena memasuki atrium kanan melalui vena kava superior dan inferior
2. Darah yang teroksigenasi melewati atrium kiri melalui vena pulmonalis
3. Kedua katup atrioventrikular (tricuspidalis dan mitralis) tertutup dan dicegah
untuk memasuki atrium ke dalam ventrikel
4. Katup pulmonalis dan aorta tertutup, mencegah kembalinya darah dari arteria
pulmonalis ke dalam ventrikel kanan dan dari aorta ke dalam ventrikel kiri.
5. Dengan bertambah banyaknya darah yang memasuki kedua atrium, tekanan
di dalamnya meningkat; dan ketika tekanan di dalamnya lebih besar dari
ventrikel, katup atrioventrikuler terbuka dan darah mulai mengalir dari atrium
ke dalam ventrikel.
Systole
Systole adalah periode kontraksi otot, yang berlangsung selama 0,3 detik.
1. Dirangsang oleh nodus sino-atrial, dinding atrium berkontraksi, memeras sisa
darah dari atrium ke dalam ventrikel.
2. Ventrikel melebar untuk menerima darah dari atrium dan kemudian mulai
berkontraksi
3. Ketika tekanan dalam ventrikel melebihi tekanan dalam atrium, katup
atrioventrikular menutup. Chordae tendinea mencegah katup terdorong ke
dalam atrium
4. Ventrikel terus berkontraksi. Katup pulmonalis dan aorta membuka akibat
peningkatan tekanan ini.
5. Darah menyembur keluar dari ventrikel kanan ke dalam arteria pulmonalis
dan darah dari ventrikel kiri menyembur ke dalam aorta
6. Kontraksi otot kemudian berhenti, dan dengan dimulainya relaksasi otot,
siklus baru dimulai.
Tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya utama yang mendorong darah
ke jaringan. Tekanan ini harus diatur secara ketat karena dua alasan. Pertama,
tekanan tersebut harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya dorong yang
cukup; tanpa tekanan ini, otak dan jaringan lain tidak akan menerima aliran yang
adekuat seberapa pun penyesuaian lokal mengenai resistensi arteriol ke organ-
organ tersebut yang dilakukan. Kedua, tekanan tidak boleh terlalu tinggi,
sehingga menimbulkan beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan
risiko kerusakan pembuluh serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh
halus. ( Lauralee Sherwood, 2001 )
Tekanan arteri rata-rata secara konstan dipantau oleh baroseptor (sensor
tekanan) di dalam sistem sirkulasi. Apabila reseptor mendeteksi adanya
penyimpangan dari normal, akan dimulai serangkaian respons refleks untuk
memulihkan tekanan arteri ke nilai normalnya. Penyesuaian jangka pendek
(dalam beberapa detik ) dilakukuan dengan mengubah curah jantung dan
resistensi perifer total, yang diperantarai oleh pengaruh system saraf otonom pada
jantung, vena, dan arteriol. Penyesuaian jangka panjang (memerlukan waktu
beberapa menit hingga hari) melibatkan penyesuain volume darah total dengan
memulihkan keseimbangan garam dan air melalui mekanisme yang mengatur
pengeluaran urin dan rasa haus. Besarnya volume darah total, pada gilirannya,
menimbulkan efek nyata pada curah jantung dan tekanan arteri rata-rata.
Setiap perubahan pada tekanan darah rata-rata akan mencetuskan refleks
baroseptor yang diperantarai secara otonom dan mempengaruhi jantung serta
pembuluh darah untuk menyesuaikan curah jantung dan resistensi perifer total
sebagai usaha untuk memulihkan tekanan darah ke normal. Seperti refleks
lainnya, refleks baroseptor mencakup resptor, jalur aferen, pusat integrasi, jalur
eferen, dan organ efektor. Reseptor terpenting yang berperan dalam pengaturan
terus-menerus tekanan darah, yaitu sinus karotikus dan baroseptor lengkung
aorta, adalah mekanoreseptor yang peka terhadap perubahan tekanan arteri rata-
rata dan tekanan nadi. Ketanggapan reseptor-reseptor tersebut terhadap fluktuasi
tekanan nadi meningkatkan kepekaan mereka sebagai sensor tekanan, karena
perubahan kecil pada tekanan sistolik atau diastolic dapat mengubah tekanan nadi
tanpa mengubah tekanan rata-rata.
Baroseptor secara terus-menerus memberikan informasi mengenai
tekanan darah; dengan kata lain mereka secara kontinu menghasilkan potensial
aksi sebagai respon terhadap tekanan di dalam arteri. Jika tekanan arteri
meningkat, potensial reseptor di kedua baroseptor itu meningkat, sehingga
kecepatan pembentukan potensial aksi di neuron aferen yang bersangkutan juga
meningkat. Sebaliknya, apabila tekanan darah menurun kecepatan pembentukan
potensial aksi di neuron aferen oleh baroseptor berkurang.
Kadang-kadang mekanisme kontrol tekanan darah tidak berfungsi secara
benar atau tidak mampu secara total mengkompensasi perubahan-peubahan yang
terjadi. Tekanan darah dapat meningkat di atas rentang normal (Hipertensi
apabila di atas 140/90 mmHg) atau di bawah normal (Hipotensi apabila kurang
dari 100/60 mmHg).
2.5 Perbedaan Tekanan Darah Pre dan Post Prostatektomi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-
buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter
ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi
refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Hidronefrosis kronik yang bersifat unilateral atau bilateral, akibat adanya
pengembangan volume ekstraseluler atau penyakit ginjal lainnya dapat
menyebabkan hipertensi yang nyata. Selain itu prostat hiperplasi dapat
meningkatkan frekuensi infeksi saluran kemih melalui jalur ascenden.
Suprainfeksi pada sumbatan saluran kemih dapat menyebabkan kerusakan
jaringan ginjal yang cepat dan menimbulkan hipertensi parenkim ginjal
(Purnomo, 2011)
Renin adalah hormone lain yang diproduksi oleh ginjal. Fungsi utama
hormone ini adalah untuk mengatur aliran darah pada waktu terjadinya iskemia
ginjal (penurunan suplai darah). Renin disintesis dan dilepaskan dari sel
jukstaglomerulus, yang berada di aparatus jukstaglomerulus ginjal.
Fungsi renin adalah sebagai enzim yang mengubah angiotensinogen
(suatu substansi yang disintesis oleh hati) menjadi angiotensin I. Begitu
angiotensin I bersikulasi di dalam paru-paru, angiotensin I dirubah menjadi
angiotensin II dan angiotensin III. Angiotensin II mengeluarkan efeknya pada
otot polos pembuluh darah sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah dan menstimulasi pelepasan aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
menyebabkan retensi air, yang akan mengakibatkan peningkatan volume darah.
Angiotensin III mengeluarkan efek yang serupa namun derajatnya lebih rendah.
Efek gabungan dari mekanisme ini adalah peningkatan tekanan darah dan aliran
darah ginjal. (Potter dan Perry, 2006)
Dengan menghilangkan penyebab, maka tekanan tinggi intravesika dapat
turun dan diharapkan tekanan darah dapat kembali normal. Untuk menghilangkan
adanya obstruksi pada prostat hiperpalsia, maka perlu dilakukan terapi berupa
medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi lain. Akan tetapi,
sampai saat ini tindakan terbaik untuk menyelesaikan masalah pada pasien
Benigna Hiperplasia Prostat adalah dengan pembedahan atau prostatektomi.
Pasca operasi, maka proses diueresis dan natriuresis dapat berjalan lancar
sehingga volume plasma yang berlebihan berkurang dan tekanan darah akan
turun (Roerhborn, 2005).
Vaughan dan Gillenwater melaporkan bahwa dari 22 pasien dengan
obstruksi uretra bilateral, 17 (77%) mempunyai tekanan diastol lebih dari 90
mmHg. Dari 17 pasien yang mengalami hipertensi, 15 pasien (88%) tekanan
darahnya dapat kembali normal setelah mendapatkan tindakan prostatektomi.
Ghose dan Harindra dalam Unrecognised high pressure chronic retention of
urine presenting with systemic arterial hypertension (1989) melaporkan bahwa
dari 6 pasien hipertensi yang disebabkan oleh obstruksi akibat prostat hiperplasi,
semuanya dapat mengalami penurunan tekanan darah setelah dilakukan
prostatektomi. Akan tetapi, 3 dari pasien tersebut kembali mengalami
peningkatan tekanan darah beberapa bulan setelah operasi dan memerlukan obat-
obat antihipertensi. Dari riwayat medis ketiganya telah lama menderita hipertensi
akibat obstruksi yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
Baradero, Mary dkk. 2008. Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta:EGC
Depkes RI. 2002. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Pusat Data Kesehatan
Furqon. Evaluasi Biakan Urin pada Penderita BPH setelah pemasangan kateter menetap: pertama kali dan berulang. 2003. Karya Tulis Akhir Program Dokter Spesialis Bedah, Bagian Ilmu Bedah FK. USU. Medan
Gibson, Jhon. 2002. Fisiologi dan Anatomi modern untuk Perawat. Edisi ke-2. Jakarta: EGC
Junqueira, Carlos Luiz dan Jose Carneiro. 2007. Histologi Dasar Teks & Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Purnomo, Basuki. 2007. Dasar-dasar Urologi. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto
Purnomo, Basuki. 2011. Dasar-dasar Urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto
Potter, Patricia A dan Anne Griffin Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC
R. Fajar Prasojo Utomo. Pengaruh Prostatektomi terhadap Penurunan Tekanan Darah pada Penderita Prostat Hiperplasi. 2008. Artikel Karya Ilmiah. FK UNDIP. Semarang
Riwidikdo, Handoko. 2010. Statistik untuk Penelitian Kesehatan dengan Aplikasi Program R dan SPSS. Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Roehrborn CG. 2002. Etiology, pathophysiology, epidemiology, and natural history of benign prostatic hyperplasia. Dalam: LR, Novick AC, Partin AW, dan Peters CA (editor). Campbell’s Urology. Phyladelphia: Saunders
Sjamsuhidajat R dan Jong WD. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Stamm WE. 2000. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam ed 13. Jakarta : EGC
Sustrani, lanny, dkk. 2007. Prostat. Jakarta: PT Gramedia.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC