Prosiding - Universitas Brawijaya

10
INFORMATION FOR SOCIETY: SCIENTIFIC POINT OF VIEW SEMINAR ILMIAH DAN LOKAKARYA NASIONAL Prosiding Jakarta, 20-21 Juli 2011

Transcript of Prosiding - Universitas Brawijaya

Page 1: Prosiding - Universitas Brawijaya

INFORMATION FOR SOCIETY:

SCIENTIFIC POINT OF VIEW

SEMINAR ILMIAH DAN LOKAKARYA

NASIONAL

P r o s i d i n g

Jakarta, 20-21 Juli 2011

Page 2: Prosiding - Universitas Brawijaya

263

Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View

PERSOALAN EPISTEMOLOGI DALAM ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI

Putu Laxman [email protected]

PENGANTAR

Epistemologi, yang juga disebut teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan penyelidikan tentang hakikat, sumber/asal, dan kesahihan pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan utama yang diajukan adalah: apa yang dimaksud pengetahuan? Bagaimana kita mendapatkan pengetahuan? Dapatkah cara-cara kita mendapatkan pengetahuan dipertanggungjawabkan di hadapan pandangan yang skeptis? Walaupun pertanyaan ini sudah diajukan sejak Plato (c. 427–347 SM) khususnya dalam Theaetetus, namun epistemologi baru jadi kegiatan penting dalam filsafat sejak abad XVII lewat karya-karya Descartes (1596–1650) dan Locke (1632–1704) sejalan dengan mulai dikembangkannya ilmu pengetahuan yang tentu saja adalah pengetahuan juga adanya.

Khusus dalam Ilmu Perpustakaan dan Informasi (selanjutnya IP&I), sebagaimana disimpulkan Dick (1999: 307) persoalan epistemologi sering kali mengandung dua pertanyaan mendasar, yaitu (a) Apakah klaim pengetahuan yang diperoleh melalui IP&I telah benar-benar dapat dijustifikasi? (b) Pengetahuan spesifik macam apakah yang dicari dan dihasilkan lewat IP&I?1 Dalam bentuk populer, dan mungkin dalam bahasa yang lebih ‘terus terang’, kedua pertanyaan ini sering kali keluar di kalangan akademik sebagai “apakah IP&I benar-benar dapat disebut ilmu; dan kalau ya, ilmu macam apakah”. Sementara itu, di kehidupan sehari-hari dan profesional pertanyaannya adalah: apakah untuk menjadi pustakawan benar diperlukan sebuah ilmu, atau cukup keterampilan saja?

Epistemologi memang dapat tercermin di teori dan metodologi yang digunakan pada riset-riset formal sebuah ilmu, khususnya riset-riset puncak sebagaimana yang dilakukan para doktor. Itu sebabnya kajian epistemologis sering kali menjadi penegas dari karakter ilmu yang bersangkutan. Presentasi para doktor dua hari ini mungkin dapat juga menjadi representasi dari sikap skeptis tentang apakah epistemologi IP&I benar ada, ataukah ia sebenarnya penerapan ilmu-ilmu lain, seperti Ilmu Komunikasi, Ilmu Pendidikan, Antropologi, Ilmu Manajemen, dan Ilmu Komputer.

Begitu pula di dalam praktik bidang perpustakaan dan informasi, kajian epistemologi dapat mengungkap landasan pengetahuan dan orientasi dari apa yang disebut epistemic practice di sebuah profesi (lihat misalnya Hongladarom, 2002). Dari segi ini, sebenarnya kepustakawanan (librarianships) dapat (dan sudah) menyediakan epistemologi, walau kemudian kesibukan dan orientasi teknis dalam praktik perpustakaan sehari-hari menyebabkan pustakawan sendiri, dan lalu masyarakat pada umumnya, melihat bahwa pustakawan (dan profesi-profesi informasi lainnya) lebih merupakan kegiatan rutin berbasis aturan teknis, katimbang sebuah kerja yang memiliki orientasi epistemologis tertentu.2

1 Di dalam makalahnya, Dick menyebut dua jenis “pengetahuan khusus” sebagai contoh, yaitu bibliothecal knowledge (pengetahuan bibliotika) yang dilansir Kevin McGarry, dan “cognitive authority”(otoritas kognitif) yang diusulkan Patrick Wilson.

2 Banyak pihak luput mengamati bahwa kata dasar dari Kepustakawanan adalah “pustakawan”, sementara ilmunya menggunakan kata “perpustakaan”. Jika dalam kesehariannya pustakawan sendiri tak merasa perlu mendapat dukungan IP&I dalam mengatasi persoalan operasional mereka sehari-hari., salah satunya mungkin adalah karena perbedaan dalam penggunaan kata itu.

Persoalan epistemologi dalam ilmu perpustakaan & informasi

Page 3: Prosiding - Universitas Brawijaya

264

Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View

Makalah ini bermaksud memberikan gambaran umum tentang diskusi epistemologi sebagai pembenar dari keberadaan IP&I, baik sebagai bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan (akademik) maupun sebagai landasan praktik/profesionalisme.

EPISTEMOLOGI SOSIAL

Margaret Egan dan Jesse Shera sebenarnya mulai membahas epistemologi IP&I sejak 1952 (lihat misalnya Furner, 2004; Zandonade, 2004). Sebagai pustakawan profesional, keduanya berupaya mencari penegasan tentang apa yang sesungguhnya melandasi pekerjaan mereka, yang lebih dari sekadar menjalankan pengelolaan perpustakaan berdasarkan aturan dan mekanisme tertentu. Menggunakan analisis struktural-fungsionalis Talcot Parsons, khususnya tentang tiga “modes of orientation”, yaitu kognitif, goal-directed, dan afektif. Egan dan Shera menyimpulkan bahwa perlu ada sebuah “disiplin baru” yang mengacu kepada apa yang mereka namakan “social epistemology” atau epistemologi sosial. Secara ringkas, epistemologi sosial merujuk kepada kenyataan bahwa sebuah masyarakat selalu secara bersama-sama memerlukan pengetahuan tentang diri dan lingkungannya, sehingga masyarakat itu akan senantiasa terlibat dalam pembuatan, penyebaran, dan penggunaan pengetahuan3.

Egan dan Shera kemudian mengajukan sebuah kerangka teoritis untuk mempelajari apa yang mereka sebut intellectual products (produk pemikiran) yang dalam kehidupan sehari-hari dapat berwujud “instruments of graphic communication” (alat/sarana komunikasi grafis). Lalu, untuk membantu sebuah masyarakat menata pembuatan, penyebaran, dan penggunakan produk pemikiran berbentuk alat komunikasi itu, diperlukan apa yang mereka sebut “instruments of bibliography” (alat/sarana bibliografi). Secara spesifik, Egan dan Shera melihat “bibliography” sebagai sarana dengan mana pengetahuan individual dapat dikoordinasikan dan diintegrasikan sehingga masyarakat sebagai kesatuan dapat “tahu” dengan cara yang transendental. Sekarang ini kita tahu bahwa “instruments of graphic communication” itu tentunya adalah dokumen dalam segala bentuknya, sedangkan “instruments of bibliography” adalah berbagai sarana seperti indeks dan sistem temu kembali.

Setelah meletakkan dasar pemikiran seperti itu, Egan dan Shera kemudian menegaskan bahwa setiap masyarakat memerlukan sebuah sebuah profesi yang dapat membantu masyarakat tersebut melakukan tindakan-tindakan sosial yang cerdas melalui sebuah sistem yang mampu mengelola pengetahuan bersama. Sejak awal rupanya Egan dan Shera telah berkonsentrasi pada penciptaan sebuah sistem terencana di tingkat nasional, di dalam mana komponen-komponen pengetahuan individual dikoordinasikan dan diintegrasikan.

Untuk dapat membuat sistem yang demikian itu, Egan dan Shera mengajukan tiga wilayah analisis, yaitu1. Analisis situasi yang kemudian berkembang menjadi “information needs analysis,” untuk

memahami situasi masyarakat berdasarkan kebutuhan informasi anggota masyarakat atau individu dalam situasi tertentu.

2. Analisis unit informasi yang kemudian menjadi dasar bagi pengorganisasian pengetahuan (knowledge organization) di mana metodologi dikembangkan untuk mengklasifikasi dokumen berdasarkan isinya.

3. Analisis statistik produksi, distribusi, dan penggunaan dokumen yang biasa disebut bibliometrika.

3 Egan dan Shera melihat pengetahuan sebagai persoalan kognitif (perilaku kognitif). Menurut mereka, epistemologi tradisional mengkaji perilaku kognitif di tingkat individual (epistemologi individual), sehingga untuk mengkaji perilaku kognitif di tingkat sosial digunakanlah epistemologi sosial .

Persoalan epistemologi dalam ilmu perpustakaan & informasi

Page 4: Prosiding - Universitas Brawijaya

265

Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View

Jelaslah bahwa Egan dan Shera pada tahun 1952 itu sedang berusaha meletakkan ilmu dan praktik pada posisinya masing-masing, sekaligus menggambarkan jembatan antara keduanya. Apa yang mereka sebut epistemologi sosial adalah sebenarnya tujuan yang niscaya bagi setiap masyarakat, sebuah kondisi yang “alamiah” tanpa mana masyarakat modern tak dapat berkembang sehingga penyelidikan tentangnya memerlukan sebuah ilmu, sedangkan penerapan hasil penyelidikan itu adalah berupa sebuah profesi. Egan dan Shera dianggap sebagai orang-orang yang secara resmi (dalam bentuk artikel ilmiah) menggunakan istilah epistemologi sosial. Tiga puluh tahun kemudian istilah ini menjadi sebuah cabang khusus dalam bidang filsafat.

Adalah Steve Fuller (1959– ) yang memulai kajian tentang hakikat kolektif dari pengetahuan sepeninggalan Egan dan Shera. Tanpa sepenuhnya mengaitkan diri dengan pandangan-pandangan sebelumnya, Fuller mengembangkan sebuah proyek penelitian filsafat yang dilengkapi sebuah jurnal di tahun 1987, Social Epistemology. Fuller menggambarkan programnya sebagai sebuah gerakan intelektual yang melibatkan berbagai pihak secara lintas disiplin, untuk berupaya merekonstuksi masalah epistemologi ketika pengetahuan sudah diakui sebagai secara intrinsiknya bersifat sosial. Salah satu pertanyaan pokok proyek filsafat ini adalah: Bagaimana selama ini sebuah masyarakat mengelola upaya mencari pengetahuan, mengingat pengetahuan ini dikejar oleh banyak orang dan setiap orangnya bekerja berdasarkan sebuah pengetahuan yang sudah relatif pasti; masing-masing orang tersebut memiliki kapasitas kognitif yang tidak sempurna selain juga memiliki berbagai bentuk hubungan satu sama lainnya.

Jelaslah bahwa epistemologi sosial sebagaimana diperkenalkan ke pembahasan formal oleh Egan dan Shera, serta dikembangkan lebih lanjut oleh Fuller, sebenarnya merupakan salah satu tawaran landasan filosofis bagi sebuah ilmu yang ingin mempelajari bagaimana pengetahuan menjadi sebuah milik bersama, digunakan bersama-sama, untuk keperluan bersama pula. Namun sampai beberapa dekade, tawaran ini tampaknya tak pernah sungguh-sungguh dipertimbangkan, dan bahkan IP&I berkembang seolah-olah tanpa landasan epistemologis sama sekali.

Mengapa demikian? Walaupun tak langsung mempersoalkan adopsi epistemologi sosial oleh IP&I, tulisan Nolin dan Astrom (2010) mungkin dapat membantu kita melihat persoalan lebih terang. Mereka membahas krisis dalam IP&I, khususnya krisis yang disebabkan kekaburan identitas ilmu ini. Di dalam artikelnya, mereka menulis tentang 10 persoalan yang dirunut sebagai berikut (2010: 11-15).1. Muasal IP&I adalah bidang praktik dan konsentrasi kepada hal-hal yang praktis ini menyebabkan

para anggota profesi bergantung lebih banyak kepada pengetahuan praktis.2. Untuk keperluan profesionalisme, ada upaya untuk menerjemahkan pengetahuan praktis itu

langsung menjadi subjek akademik, tanpa melengkapinya dengan disiplin ilmu yang pasti. Untuk beberapa lama, tak ada disiplin khusus yang dikembangkan untuk mengkaji persoalan-persoalan praktis.

3. Ketika hal-hal praktis yang sudah menjadi akademik itu memerlukan kajian, dan karena kajian khusus tentangnya tidak ada maka digunakanlah kajian-kajian terhadap bidang lain.

4. Persoalan menjadi bertambah rumit karena masalah praktis itu menyentuh berbagai dimensi tentang perpustakaan dan informasi yang semakin luas, dan penggunaan dua kata dalam satu ilmu (“perpustakaan dan informasi”) menimbulkan kebingungan tentang apa persamaan dan perbedaan keduanya.

5. Heterogenitas subdisiplin yang muncul dari masing-masing dimensi itu menambah kerumitan.

Persoalan epistemologi dalam ilmu perpustakaan & informasi

..

Page 5: Prosiding - Universitas Brawijaya

266

Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View

6. Masing-masing subdisiplin itu sendiri lalu juga bersifat interdisiplin, tetapi koordinasi antar- disiplin selalu sulit dilakukan.

7. Keterlibatan disiplin lain karena kebutuhan (seperti terlihat di butir 3) maupun karena kondisi heterogen dan interdisiplin (butir 5 dan 6) menimbulkan potensi pemisahan dari, dan fragmentasi di dalam IP&I.

8. Topik khusus tentang “informasi” menjadi laris dan diminati berbagai perspektif ilmu; positifnya adalah kalau perspektif itu melebur atau memperkuat IP&I, negatifnya adalah kalau topik itu diambil alih oleh ilmu lain.

9. Riset dan institusi riset IP&I terlalu kecil untuk tampil baik di lingkungan lokal (universitas) apalagi di lingkungan yang lebih luas (antarilmu).

10. Kalaupun ada bidang riset atau institusi yang berkembang besar, tetap tak ada koordinasi dan kooperasi yang mengarah ke pengembangan IP&I secara mandiri.

Sebelumnya Dick (ibid, hlm. 307-312) juga mengentarai apa yang disebutnya “general complexities” (persoalan atau kerumitan umum) dan “specific difficulties” (masalah khusus) dalam IP&I, yaitu1. Adalah memang sulit untuk berpindah-pindah dari tataran praktis/kebijakan ke tataran

epistemologis/filosofis dan sebaliknya. Persoalan seleksi dan pengembangan koleksi, misalnya, penuh dengan pertanyaan epistemologis (mengapa ada buku yang terpilih dan ada yang tidak; apa alasan mendasar yang menyebabkan sebuah sisi pandang tertentu diutamakan/diprioritaskan katimbang sisi pandang lain?). Namun kesibukan beban kerja sehari-hari di kalangan pustakawan menyebabkan perhatian mereka tersita rutinitas, tak menjadikan epistemologis sebagai persoalan.

2. Rutinitas dan beban kerja pula yang menyebabkan pustakawan lebih berkonsentrasi pada “what librarians do” daripada “what libraries mean” bagi masyarakatnya. Ini antara lain disebabkan oleh kecenderungan para pemangku kepentingan kepustakawanan untuk terutama berorientasi pada jasa (service oriented) yang kemudian direduksi menjadi efisiensi dan efektivitas kerja atau sistem prosedural. Padahal, sebuah institusi semacam perpustakaan memiliki pula aspek makna atau nilai; bukan semata-mata tempat transaksi. Bahkan dari segi arsitektural, penataan ruang, dan penempatan lokasi, perpustakaan sejak lama mencerminkan cara sebuah masyarakat menilai institusi pengetahuan.

3. Di luar dua persoalan umum tersebut, Dick juga melihat ada lima masalah khusus, yaitu:

a. Pilihan antara memperhatikan sisi kognitif individual dan sisi pengetahuan umum (masyarakat), atau keduanya.

b. Perdebatan tentang apakah pengetahuan itu “ditemukan”atau “dikembangkan”.c. Ragam landasan epistemologis yang lebih menimbulkan keraguan daripada kepastian,

khususnya jika melihat perbedaan antara epistemologi sosial, positivisme, fenomenologi hermenitik.

d. Kritik terhadap positivisme amat gencar, namun alternatifnya juga kurang meyakinkan.e. Perdebatan epistemologis juga seringkali membuat orang lupa pada perkembangan amat

penting dalam masalah-masalah politik-ekonomi yang langsung berkaitan dengan produksi-konsumi pengetahuan dalam suasana global yang diwarnai oleh perkembangan teknologi informasi yang amat pesat.

Persoalan epistemologi dalam ilmu perpustakaan & informasi

Page 6: Prosiding - Universitas Brawijaya

267

Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View

Sidang pembaca mungkin dapat melihat bahwa baik kesepuluh persoalan yang disinyalir Nolin dan Astrom maupun masalah umum sampai khusus yang diangkat Dick, juga ada di Indonesia. Sebagaimana halnya di negara-negara lain, Pustakawan Indonesia mengalami apa yang mungkin dapat disebut sebagai “kerangkeng praktik pertukangan”. Namun, tentunya ada pengaruh sosial-budaya yang menyebabkan pustakawan menghadapi persoalan ini dengan cara berbeda-beda di tiap negara. Di Indonesia, misalnya, orientasi teknis sehari-hari terlihat sebagai bagian dari sikap “pasrah” pustakawan untuk menerimanya sebagai keniscayaan, sementara rekan-rekannya di negara lain mungkin bersikap kritis. Selain itu, dapat diduga bahwa fokus ke teknis-prosedural ini bukan karena timbunan pekerjaan akibat ledakan informasi sebagaimana terjadi di negara-negara maju, melainkan lebih sebagai bagian dari kontrol terhadap proses informasi. Citra pustakawan di Indonesia juga menyebabkan persepsi yang salah tentang pekerjaan utamanya.

Sementara itu, kajian-kajian di Indonesia yang menjadikan pengetahuan sebagai objeknya, bukanlah hal biasa kalau tak dapat dikatakan amat langka. Apalagi kajian yang mengaitkan pengetahuan dengan fungsi dan makna perpustakaan. Banyak penyebabnya, tetapi penulis menduga sikap serta cara pandang kita tentang pengetahuan dan kebenaran di Indonesia adalah penyebab utama kelangkaan itu. Khusus dalam kepustakawanan, jelaslah bahwa walaupun dari mulut pejabat sering terucap bahwa pengetahuan adalah salah satu tiang pokok bangsa, pengembangan dan pengelolaannya di perpustakaan bukanlah prioritas. Dalam kondisi ini, kepustakawanan yang berorientasi teknis-prosedural tentu saja lebih diterima sebagai keniscayaan daripada dipertanyakan.

Hal lain yang amat relevan dan menarik untuk konteks Indonesia adalah usulan Nolin dan Astrom tentang “konvergensi epistemologi” selain konvergensi institusi IP&I. Di Indonesia upaya ini belum pernah ada, walaupun koordinasi antarperguruan tinggi penyelenggara pendidikan IP&I dalam penyusunan kurikulum sudah beberapa kali terjadi. Selain bahwa para pendidik lebih peduli pada aspek efisiensi dan efektivitas pengajaran dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga terampil, perhatian perguruan tinggi terhadap riset juga amat sedikit. Ini tentu saja bukan cermin dari kondisi IP&I saja, namun mungkin cermin dari hampir semua ilmu di Indonesia!

Di tingkat global, upaya melebur epistemologi tersebut misalnya dapat dilihat dalam upaya delapan tahun belakangan ini untuk menemukan dasar filsafat bagi segala yang berhubungan dengan informasi.

FILSAFAT INFORMASI

Luciano Floridi merupakan salah satu filsuf kontemporer yang mencoba mengembangkan filsafat untuk secara spesifik menjawab tantangan-tantangan tentang perkembangan informasi dan masyarakat informasi. Ia mendekati persoalan-persoalan ini dengan berkonsentrasi pada penyelidikan tentang hakikat teknologi yang telah menentukan ciri masyarakat masa kini, yakni teknologi komputer (1999a dan 1999b), sebelum akhirnya menyentuh persoalan-pesoalan yang lebih umum dan berlabuh di persoalan tentang informasi. Ketika diundang untuk membahas IP&I di jurnal Social Epistemology ia langsung menyergah bahwa epistemologi sosial dan IP&I memang sama-sama tertarik pada dinamika sosial dari pengetahuan, namun epistemologi sosial tak dapat menjadi pondasi IP&I (2002, hlm. 38).

Salah satu alasan utama Floridi menyimpulkan demikian adalah karena epistemologi sosial sesungguhnya terdiri atas dua bidang riset utama, yaitu (1) sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) sebagai sebuah disiplin yang empirik dan deskriptif, dan (2) epistemologi tentang pengetahuan sosial

Persoalan epistemologi dalam ilmu perpustakaan & informasi

..

..

Page 7: Prosiding - Universitas Brawijaya

268

Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View

(epistemology of social knowledge) yang merupakan kajian kritis dan konseptual tentang dimensi sosial dari setiap pengetahuan. Menurut pandangan Floridi, IP&I adalah ilmu yang memiliki posisi normatif (normative stance) sebab tradisi dan praktik di bidang perpustakaan “far from being neutral, evaluation-free activities” (2002, hlm. 39). Dengan karakter seperti ini, menurut Floridi, IP&I cenderung lebih menyerupai epistemologi tentang pengetahuan sosial.

Floridi kemudian menyatakan bahwa IP&I adalah lebih tepat jika mendasarkan dirinya ke apa yang ia sebut Filsafat Informasi (Philosophy of Information, biasa disingkat PI). Di kesempatan lain (2009), ketika membahas persoalan filsafati dari perkembangan masyarakat informasi Floridi menyatakan bahwa PI merupakan bidang filsafat yang berurusan dengan: (a) kajian secara kritis tentang hakikat konseptual dan prinsip-prinsip dasar informasi, termasuk dinamikanya, penggunaannya, dan ilmu-ilmunya, (b) pengembangan dan penerapan teori informasi dan metodologi komputasi untuk menjawab masalah-masalah filosofis. Secara mendasar, PI melakukan interpretasi yang eksplisit, jernih, dan persis terhadap pertanyaan ala Socrates yang klasik, “ti esti. . . ?” (“apa yang dimaksud dengan. . . ?”), yaitu “apa yang dimaksud dengan informasi?”4

PI melakukan kajian kritis yang tidak sama dengan teori matematik tentang komunikasi data (dikenal sebagai information theory)5, melainkan secara menyeluruh mengembangkan dan mengintegrasikan sekumpulan teori untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menjelaskan berbagai prinsip dan konsep tentang informasi; memberi perhatian khusus kepada isu-isu sistemik yang muncul dari berbagai konteks aplikasi dan interkoneksi dengan konsep-konsep dasar filsafat tentang pengetahuan, kebenaran, makna, realita, dan nilai-nilai etika. Secara spesifik, Floridi juga mengungkapkan bahwa “dinamika informasi” seharusnya diartikan sebagai:1. Pembentukan dan pemodelan lingkungan informasi yang bersifat sistemik, termasuk perangkat,

format interaksi, pertumbuhan internal, aplikasi, dan sebagainya.2. Daur hidup informasi, serangkaian jenjang bentuk dan aktivitas fungsional lewat mana informasi

disampaikan, mulai dari kemunculan awalnya, sampai ke pemanfaatan finalnya, dan sampai ke kemungkinan kepunahannya.

3. Komputasi, baik dalam pengertian proses olah algoritme maupun dalam pengertian yang lebih luas sebagai pengolahan informasi. Berdasarkan pengertian-pengertian itu, Floridi menawarkan PI sebagai basis dari IP&I dan bahkan

sebagai applied philosophy of information yang ia definisikan seperti ini: … sebuah disiplin yang berurusan dengan dokumen dan daur hidupnya, termasuk prosedur, teknik,

dan perangkat yang mengimplementasikan, mengelola, dan mengaturnya… IP&I menerapkan prinsip-prinsip dasar dan teknik filsafat informasi dalam mengatasi masalah konseptual maupun praktis… IP&I melaksanakan riset empirik untuk tujuan-tujuan praktis yang berorientasi jasa. (hlm. 46).

Usulan Floridi tersebut sebenarnya membantu banyak pihak berkonsentrasi pada hal-hal mendasar dalam IP&I yang selama ini dianggap menjadi praktik utama di bidang perpustakaan. Namun, pada saat

4 Walaupun mirip, PI dianggap berbeda dari filsafat teknologi informasi (philosophy of information technology). Menurut Mitcham (2003), filsafat teknologi informasi adalah bagian dari filsafat teknologi. Refleksi filosofis tentang teknologi secara umum bertujuan untuk memahami hakikat dan makna dalam membuat dan menggunakan sesuatu/teknologi buatan manusia, dalam hal ini adalah komputer. Refleksi ini mengandung ketegangan antara dua tradisi: satu yang datang dari rekayasa/enjiniring, dan satu lagi dari humaniora.

5 Sebagaimana dikembangkan oleh Claude Shannon di tahun 1949, konsep teknis dari informasi digambarkan sebagai kemungkinan atau probabilitas sebuah sinyal terkirim dari alat A ke alat B yang dapat dikuantifikasi. Teori ini membuka jalan bagi berbagai analisis yang akhirnya menjadi basis pengembangan teknologi digital.

Persoalan epistemologi dalam ilmu perpustakaan & informasi

Page 8: Prosiding - Universitas Brawijaya

269

Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View

sama, Floridi memancing kontroversi yang akan terlalu panjang jika dibahas di makalah ini. Salah satu kontroversi yang muncul, dan yang sebenarnya sudah sejak dua dekade ini menjadi bagian dari diskusi ilmuwan IP&I, adalah upaya “menggiring” IP&I ke ranah material-teknologis dengan mereduksi objek perhatian IP&I pada dokumen (dalam segala bentuknya) dan daur hidupnya.

Cornelius (2004) adalah salah satu penulis yang mengritik Floridi dan mencoba mengambalikan konsep epistemologi sosial Shera (yang direduksi Floridi hanya menjadi bagian dari PI), khususnya dengan menekankan kenyataan bahwa di dalam dunia praktik para profesional melakukan kegiatan-kegiatan sosial-budaya, bukan melulu teknis. Argumentasi dasarnya adalah: dokumen maupun daur hidupnya tak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat, khususnya karena penggunaan dokumen tersebut berpotensi menimbulkan pengaruh terhadap (dan dipengaruhi oleh) kondisi sosial-budaya masyarakatnya. Secara lebih spesifik, Cornelius juga mengaitkan dokumen dengan pendidikan ketika ia menulis: Keterkaitan antara informasi, dokumen, dan pengetahuan terlihat jelas pada konsep pembelajaran (learning),

dan dengan berkomitmen pada upaya memperlancar proses belajar inilah IP&I membangun disiplinnya (2004, hlm. 383).Cornelius jelas mengarahkan kembali IP&I ke epistemologi sosial, khususnya kalau kita menyadari

bahwa pembentukan “pengetahuan bersama” di dalam masyarakat pada dasarnya mengandalkan pendidikan dan pembelajaran dalam segala bentuknya.

TARIKAN KE HUMANIORA

Dari sisi pandang budaya, sejak sebelum Floridi mengusulkan PI sebagai basis IP&I sudah muncul juga argumentasi yang ikut berupaya “menjauhkan” IP&I dari kecenderungan materialis-teknologis, seperti yang terakhir dilakukan Hongladarom (2002) dengan pandangannya tentang aspek lintas budaya (cross-cultural) sebagai bagian tak terpisahkan dari epistemologi sosial, dan Trosow (2002) yang menolak IP&I dijadikan bagian dari upaya mencari kebenaran tunggal yang bebas nilai, melainkan sebaliknya adalah mengikuti atau membela sisi pandang tertentu (standpoint epistemology).

Hongladarom berpendapat semua pihak yang terlibat dalam epistemologi sosial tak dapat menghindari kesadaran bahwa setiap budaya punya serangkaian nilai epistemik berbeda. Jika IP&I mengakui hal ini maka ilmu ini akan menuntun praktik-praktik pustakawan dan profesi informasi pada pengakuan bahwa praktik epistemik seseorang hanyalah salah satu dari praktik orang lain yang berbeda. Pengakuan ini tidak sama dengan relativisme epistemik atau relativisme budaya; melainkan pengakuan terhadap praktik epistemik seseorang selalu merupakan sebuah keadaan yang berlanjut (ongoing affair) dan perlu disesuaikan dan disesuaikan-kembali sesuai dengan perubahan situasi. Dan tujuan dari penyesuaian-penyesuarian ini harus dikaitkan dengan apa yang paling dihargai oleh sebuah budaya.

Hongladarom berbeda pendapat dengan Alvin Goldman yang bersama Fuller membangun proyek epistemologi sosial dan berkonsentrasi pada prinsip tentang peningkatan jumlah kebenaran (truths) di sebuah masyarakat atau komunitas tertentu. Bagi Goldman, praktik-praktik epistemik dianggap betul jika meningkatkan jumlah kebenaran yang dapat digunakan oleh sebuah masyarakat atau komunitas; dan dianggap salah jika tidak demikian. Epistemologi seperti ini bersifat veritistic dalam arti kebenaran memiliki fungsi sentral sebagai tujuan dari pencarian pengetahuan, dan bersifat sosial karena titik rujukan pengetahuan ada di dalam masyarakat atau komunitas, bukan di masing-masing individu. Perbedaannya dengan Hongladarom adalah karena bagi Hongladarom, kebenaran belum tentu satu-satunya faktor

Persoalan epistemologi dalam ilmu perpustakaan & informasi

Page 9: Prosiding - Universitas Brawijaya

270

Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View

dalam pembentukan pengetahuan bersama. Pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat pragmatik mungkin juga berperan menjustifikasi sebuah pengetahuan di masyarakat, selain kebenarannya.

Pemikiran tentang kemungkinan perbedaan sisi pandang budaya ini sebenarnya juga sudah diajukan sebelumnya, misalnya ketika Hannigan (1994) berargumentasi tentang perlunya sekolah IP&I mempetimbangkan feminisme dalam kurikulum mereka. Argumentasi ini kemudian dilanjutkan oleh Trosow (2002) sebagai bagian dari upaya menawarkan perspektif non-positivistik yang selama ini mendominasi IP&I. Baik Hannigan maupun Trosow melirik ke figur feminis seperti Sandra Harding yang mengajukan pemikiran tentang epistemologi-epistemologi ‘standpoint’ atau ‘borderlands’. Ia menganggap bahwa pertimbangan-pertimbangan epistemologi sebaiknya didasarkan pada posisi sosio-kultural atau hirarkis seseorang. Jelas bagi Harding, menjadi seorang perempuan memungkinkan seseorang memiliki pendirian tertentu, yang tidak dapat dimiliki oleh seorang pria. Hal sama berlaku untuk anggota-anggota kelompok minoritas dan yang secara sosiologis dirugikan atau terpinggirkan oleh pandangan-pandangan dominan.

Pandangan Hongladorm memang banyak kesamaannya dengan standpoint epistemologies, namun praktik epistemik cross-cultural tidak berasumsi atau berpendapat bahwa menjadi anggota dari sebuah budaya tertentu memungkinkan seorang mengambil sebuah posisi yang menyebabkan ia memiliki pengetahuan tertentu yang tidak dapat dilakukannya jika ia tidak menjadi anggota budaya tersebut. Memang benar, menjadi anggota budaya dunia ketiga, misalnya, membuat seorang berada di posisi inferior (setidaknya secara ekonomi dan kekuasaan) di hadapan anggota dari dunia pertama. Namun, Hongladorm mendebat bahwa persoalannya di sini adalah tidak ada yang inheren di kedua budaya yang bisa membuat anggota-anggotanya mengetahui sesuatu secara eksklusif.

Usulan Cross-cultural epistemic practices dari Hongladorm memperlihatkan munculnya pandangan-pandangan kritis terhadap konsep perpustakaan yang cenderung menjadi perpanjangan budaya tertentu. Jika dijadikan bagian dari epistemologi IP&I maka itu artinya pandangan-pandangan material-teknologis dari Floridi sudah mendapat penentangan yang sangat hebat. Selain itu, pandangan budaya yang kritis ini akan bermuara pada kesadaran tentang keragaman budaya dunia, termasuk dalam praktik-praktik kepustakawanan. Profesi informasi dengan demikian bisa berada di posisi yang lebih baik untuk melayani klien dan komunitas, dengan menyadari bahwa ada budaya-budaya lain yang praktik epistemiknya dapat jauh berbeda dari yang ia selama ini ketahui. Dari segi ini maka epistemologi sosial Shera sekaligus merupakan sebuah pertimbangan empirik yang menjabarkan bagaimana pengetahuan disebarkan dan dikelola di masyarakat, dan pertimbangan normatif yang berupaya mencapai kondisi optimal di mana pengetahuan seharusnya disebarkan dan diorganisasikan dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan budaya.

PENUTUP

Sebagai pengantar diskusi, makalah ini tidak bermaksud mengajukan usul tentang bagaimana menyikapi dan mengambil keputusan atas berbagai perkembangan pandangan tentang epistemologi IP&I. Persoalan epistemologi dalam IP&I adalah persoalan universal. Kita di Indonesia perlu mempertimbangkan sebuah strategi tentang bagaimana menghadapi perkembangan itu dengan melihat konteks sosial-budaya negeri ini. Penulis percaya, semua ilmu (dan ilmu yang paling “pasti” atau paling “alam” sekalipun) berkembang dalam konteks masyarakatnya. Melalui peninjauan tentang epistemologi

Persoalan epistemologi dalam ilmu perpustakaan & informasi

Page 10: Prosiding - Universitas Brawijaya

271

Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View

IP&I, seyogyanya kita dapat bersepakat dan selanjutnya mengembangkan ilmu ini di Indonesia.

DAFTAR BACAAN

Cornelius, I. 2004. Information and its philosophy. Library Trends, 52: 377-386.

Dick, A.L. 1999. Epistemological positions and library and information science, The Library Quarterly, 69: 305-323

Fallis, D. 2004. On verifying the accuracy of information: philosophical perspectives. Library Trends; 52 (3): 463-487

Floridi, L. 1999a. Information ethics: on the theoritical foundation of computer ethics. Ethics and Information Technology, 1: 35-37.

Floridi, L. 1999b. Philosophy and Computing – an introduction. London: Routledge.

Floridi, L. 2009. The Information Society and its philosophy: introduction to the special issue on the philosophy of information, its nature, and future developments. The Information Society, 25: 153–158, online DOI: 10.1080/01972240902848583

Floridi, L. 2002. On defining library and information science as applied philosophy of information. Social Epistemology, 16: 37-49.

Furner, J. 2004. A Brilliant mind: Margaret Egan and Social Epistemology. Library Trends, 52 (4): 792-809.

Hannigan, A. 1994. A feminist standpoint for Library and Information Science education. Journal of Education for Library and Information Science, 35: 297-319.

Hongladarom, S. 2002. Cross-cultural epistemic practices, Social Epistemology, 16 (1): 83–92.

Mitcham, C., 2003. Philosophy of information technology, The Blackwell Guide to the Philosophy of Computing and Information. Floridi, Luciano (ed). Blackwell Publishing. Blackwell Reference Online. 15 July 2011.

Trosow, S. E. 2002. Standpoint epistemology as an alternative methodology for Library and Information Science. The Library Quarterly, 71: 360-382.

Zandonade, T. 2004. Social epistemology from Jesse Shera to Steve Fuller. Library Trends, 52 (4): 810–832

Nolin, J. dan Astrom, F. 2010. Turning weakness into strength : strategies for future LIS. Journal of Documentation, 66 (1): 7 – 27.

Persoalan epistemologi dalam ilmu perpustakaan & informasi

..