PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii...

136
ISBN : 978-602-74604-1-6 Institut Teknologi Bandung BANDUNG 23-24 Mei 2016 PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN RISET KEBENCANAAN KE-3 Paradigma Baru, Peran dan Posisi Pengurangan Risiko Bencana dalam Sustainable Development Goals

Transcript of PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii...

Page 1: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDINGPERTEM

UAN ILMIAH TAHUNAN RISET KEBENCANAAN KE-3

Paradigma Baru, Peran dan Posisi Pengurangan Risiko Bencana dalam

Sustainable Development Goals

ISBN :978-602-74604-1-6

didukung oleh:

DIREKTORAT PENGURANGAN RISIKO BENCANA:: Grha BNPB Lt 14, Jl. Pramuka Kav. 38, Jakarta Timur

:: Gedung INA DRTG Lt. 2, Indonesia Peace and Security Center [IPCS] Jl. Anyer, Desa Tangkil, Kecamatan Citereup - Sentul, Jawa Barat

Institut Teknologi BandungBANDUNG

23-24 Mei 2016

PROSIDINGPERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN

RISET KEBENCANAAN KE-3Paradigma Baru, Peran dan Posisi Pengurangan Risiko Bencana

dalam Sustainable Development Goals

Page 2: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya
Page 3: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

IKATAN AHLI KEBENCANAAN INDONESIA

PROSIDINGPERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN

RISET KEBENCANAAN KE-3Paradigma Baru, Peran dan Posisi Pengurangan Risiko Bencana

dalam Sustainable Development Goals

Institut Teknologi BandungBANDUNG

23-24 Mei 2016

Page 4: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

ii PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

PROSIDINGPERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT)RISET KEBENCANAAN (RK) KE-3ITB, 23-24 Mei 2016

Paradigma Baru, Peran dan Posisi Pengurangan Risiko Bencana dalam Konteks Sustainable Development Goals (SDG’s)

Hak cipta dilindungi Undang-undangCopyright @2016ISBN : 978-602-74604-1-6

Editor:Ketua : Harkunti P. Rahayu, PhD,Wakil Ketua : Lilik Kurniawan, ST., M.Si

Anggota:In In Wahdiny, MTQurrata Aini, STDevina Khoirunnisa, ST

Diterbitkan Oleh:Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI)Alamat Sekretariat : Gedung INA-DRTG Lt.2, Indonesia Peace and Security Center (IPSC), Sentul, BogorE-mail : [email protected] : www.iabi-indonesia.org

Page 5: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii

PENGANTAR REDAKSI

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya buku Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Riset Kebencanaan ke-3 yang dilaksanakan pada tanggal 23-24 Mei 2016 di Kampus ITB. Prosiding ini merupakan dokumentasi karya ilmiah para akademisi, birokrat, lembaga riset, para praktisi PB, dan anggota masyarakat peduli bencana yang tergabung dalam Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI).

PIT Riset Kebencanaan merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI). PIT Riset Kebencanaan diselenggarakan dengan tujuan untuk (1) menghimpun para ahli kebencanaan untuk meningkatkan budaya riset dan memberikan kontribusi pemikiran secara komprehensif, holistik, dan sistemik; (2) sarana berbagi pengalaman terbaik (best practices/lessons learned) dalam mengembangkan IPTEK melalui pendidikan, riset dasar, dan terapan dari berbagai jenis dan karakteristik bencana di Indonesia; (3) memperoleh manfaat berupa meningkatkan kemampuan masyarakat untuk lebih memahami arti penting penanggulangan bencana, terutama dalam upaya pengurangan risiko bencana di tingkat lokal, nasional, regional (Asia-Pasifik), dan global; (4) mensinergikan kebutuhan kajian/penelitian di Indonesia sehingga dapat dijadikan acuan bersama dalam mengembangkan pengetahuan kebencanaan di Indonesia sesuai dengan jenis ancaman yang ada; dan (5) menjadi referensi riset yang terintegrasi untuk penanggulangan bencana di Indonesia serta dapat menjadi baseline perencanaan dan pendanaan riset/penelitian di Indonesia.

PIT Riset Kebencanaan ke-3 mengusung tema utama “Paradigma Baru, Peran dan Posisi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dalam Konteks Sustainable Development Goals (SDG’s)”. Prosiding ini memuat seluruh full paper terkait dengan tema tersebut yang terbagi kedalam 4 sub tema sebagai berikut:

1. Aglomerasi dalam konteks PRB, terdiri dari 7 (tujuh) buah paper. Strategi pengurangan risiko bencana dalam melindungi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan hasil

pembangunan dengan pendekatan kewilayahan.2. Paradigma Baru dalam Pengurangan “Risiko” Bencana Berkelanjutan terdiri dari 8 (delapan) buah

paper. Strategi menghadapi risiko saat ini, risiko yang akan terjadi pada masa mendatang, dan risiko yang

mungkin terjadi lagi dari masa lalu.3. Paradigma Baru dalam Risk Warning menuju SDGs terdiri dari 17 (tujuh belas) buah paper. Memahami kembali ancaman bencana dari faktor geologi, hidrometeorologi, biologi, dan kegagalan

teknologi.4. Paradigma Baru dalam Risk Communication menuju SDGs terdiri dari 12 (dua belas) buah paper. Mengkomunikasikan risiko bencana: dari pengetahuan ke kebijakan, dari pengetahuan ke praktis, dari

praktis ke kebijakan, dan dari praktis ke pengetahuan.

Semoga prosiding ini dapat bermanfaat dan menjadi referensi bagi para akademisi, birokrat, lembaga riset, para praktisi PB, dan anggota masyarakat peduli bencana dalam mengembangkan riset-riset pengurangan risiko bencana utamanya pengembangan sistem peringatan dini (Early Warning System) untuk bencana tsunami, banjir/banjir bandang, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, dan gerakan massa/tanah longsor yang menjadi fokus riset IABI tahun 2014-2017.

Akhir kata, terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan dan penyelesaian prosiding PIT Riset Kebencanaan Ke-3 ini.

Bandung, September 2016

Ketua Tim Editor

Page 6: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

iv PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Page 7: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 v

DAFTAR ISI

Halaman

Pengantar Redaksi ………………………………………………………………………..................................................... iii

Daftar Isi …………………………………………………………………………………......................................................... v

SUBTEMA 1 AGLOMERASI DALAM KONTEKS PRB

ANALISIS SPASIAL KERENTANAN WILAYAH DI KAWASAN RAWAN BENCANA BANJIR LAHAR GUNUNGAPI KELUDDyah R. Hizbaron, Danang Sri Hadmoko, Estuning Tyas Wulan M , Sigit Heru Murti BS., Purwita Eka S., Achmad Fandir T., Mertiara R.T.L., Budi Utama P. …………………………….......................……..................... 1-7

BELAJAR DARI PERENCANAAN REGIONAL PURBA SITUS-SITUS ARKEOLOGIS G. PENANGGUNGAN, JAWA TIMUR (PENGARUH VULKANOSTRATIGRAFI PADA POLA SEBARAN DAN KONDISI SITUS ARKEOLOGIS DI G. PENANGGUNGAN, JAWA TIMUR)Eko Teguh Paripurno, Purbudi Wahyuni, Girindra Pradhana, Wiratama Putra, Geri Prabowo ……..... 8-11

STRATEGI DAN KOORDINASI KEBIJAKAN PENGUATAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANANurrokhmah Rizqihandari, Ratri Candra Restuti, Fathia Hashilah ….................................................... 12-29

MUATAN ASPEK KEBENCANAAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONALDjoko Santoso Abi Suroso ………………………............................................................................................... 30-34

BENCANA DAN PARIWISATA: PERAN PARIWISATA PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPIArief Rosyidie, Saut H Aritua Sagala, Febriana ……………….….........................................…..................... 35-41

DAMPAK LETUSAN GUNUNG KELUD TERHADAP WILAYAH SEKITARArief Rosyidie ……….................…................….....................….....................….......................…..................... 42-47 PENGEMBANGAN MODEL PERENCANAAN EVAKUASI TSUNAMI UNTUK PENENTUAN JUMLAH DAN LOKASI TES (TEMPAT EVAKUASI SEMENTARA) DENGAN MODIFIKASI PROGRAM ESCAPEHarkunti Pertiwi Rahayu dan Kamelia Octaviani ……………….……........................................................... 48-61

SUBTEMA 2 PARADIGMA BARU DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERKELANJUTAN

PROSES DAN MANFAAT HUNIAN SEMENTARA BAGI KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI 2010 DI PULAU PAGAI SELATAN KEPULAUAN MENTAWAINasfryzal Carlo, Hidayatul Irwan, Eko Alvares, Eva Rita ……………………………........................................ 62-69

DESAIN DAN APLIKASI DRONMAG-1216T UNTUK MONITORING AKTIVITAS GUNUNGAPI BERDASARKAN PERUBAHAN INTENSITAS KEMAGNETAN BUMIZahidah Sholehah, Didi Ardiansyah, Nanang Kurniawan, Windu Nur Hardiranto,Syamsurijal Rasimeng ……………………………..............................………………………....................................... 70-77

PRA STUDI PEMBUATAN PELINDUNG API DARI PASTA GEOPOLIMER SEBAGAI SISTEM PERLINDUNGAN API PASIFFransisca Maria Farida, Adang Surahman …............................................................................................ 78-84

Page 8: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

vi PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

PENGARUH JARINGAN SOSIAL DAN PENDAPATAN TERHADAP KESIAPSIAGAAN RUMAH TANGGA DALAM MENGHADAPI BANJIR ROB DI JAKARTA UTARAYenny Satriyani Pertiwi, Rudy Pramono, dan Frega F.W. Inkiriwang ………………......…….................. 85-95

ANALISA POTENSI KAYU CEPAT TUMBUH SEBAGAI ELEMEN STRUKTUR BANGUNAN TAHAN GEMPASri Indah Setiyaningsih, Saptahari Sugiri, Adang Surahman, Eka Mulya Alamsyah ……….......…… 96-103

EVALUASI PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR DI KABUPATEN SITUBONDO: TINJAUAN TERHADAP KOMITMEN PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO DALAM PENANGGULANGAN BENCANA DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTANHadi Wijono, Hary Yuswadi, dan Syamsul Maarif ……….................…................….....................…........ 104-109 KARAKTERISTIK TEMPORAL DAN SPASIAL CURAH HUJAN PENYEBAB BANJIR DI WILAYAH DKI JAKARTA DAN SEKITARNYADestianingrum Ratna Prabawardani, Budi Harsoyo, Tri Handoko Seto dan M. Bayu Rizky .......... 110-116 BEBERAPA ISU PENTING BAGI PENINGKATAN KINERJA SISTEM PENGENDALIAN BANJIR DALAM MENURUNKAN RESIKO BENCANA BANJIRM.S.B. Kusuma, Kuntoro, A.A., M. Farid dan M.B. Adityawan ........................................................... 117-121

SUBTEMA 3 PARADIGMA BARU DALAM RISK WARNING MENUJU SDGs

APLIKASI SEISMIK SINGLE CHANNEL UNTUK PENYELIDIKAN SEDIMEN PEMBAWA GAS (GAS CHARGED SEDIMENT) DALAM KAJIAN POTENSI BAHAYA GEOLOGI PADA PERENCANAAN KONSTRUKSI DERMAGATaufan Wiguna, Omar Moefti, Rahadian, Muhamad Irfan ……………………………................................ 117-121

KAJIAN ALIRAN SUNGAI BAWAH TANAH DENGAN METODE VLF DI CEKUNGAN AIR TANAH WATUPUTIH DAERAH TEGALDOWO, KECAMATAN GUNEM, KABUPATEN REMBANG, PROVINSI JAWA TENGAHNandra Eko N, ET Paripurno, Sari Bahagiarti K ……………………………..............................……………..... 117-121

CAPACITY OF PERIPHERAL HEALTH UNITS (PHU) TO MANAGE EBOLA AND OTHER INFECTIOUS DISEASES IN DISTRICT OF KAMBIA, SIERRA LEONE, MARCH-APRIL 2015 ; AN URGENT ISSUEMasdalina Pane, Lukman Prayitno, Yin Mei Fiona Kong …................................................................ 117-121

MIKROZONASI RISIKO KERENTANAN BANGUNAN PERUMAHAN AKIBAT GEMPA PADA KECAMATAN TAMBORALaksamana Muhammad Sakti, Masyhur Irsyam, Muhammad Asrurifak & Reguel Mikhail …....... 117-121

SIMULASI NUMERIK DAMPAK TSUNAMI 2004 TERHADAP KEMUNDURAN GARIS PANTAI DI KAWASAN TELUK ULEE LHEUE, ACEH BESARTursina, Syamsidik, Asrita Meutia, Ella Meilianda, Musa Al’ala dan Mirza Fahmi ………..……….…. 117-121

ANALISIS KERENTANAN LAHAN SAWAH PADI TERHADAP BANJIR DAS CIDURIAN DENGAN PENDEKATAN BENTUK LAHAN DAN PERSEPSI MASYARAKATSiti Dahlia, Sudibyakto, Dyah.R.Hizbaron, dan Wira Fazri Rosyidin ……….............................…......... 117-121 ANALISIS DATA SEISMIK DAN CATATAN AKTIVITAS VISUAL PADA GUNUNG SINABUNGIka Sari Oktavianti, Rianza Julian ......................................................................................................... 117-121 IDENTIFIKASI ANCAMAN BENCANA GERAKAN TANAH DI DAERAH ACEH TAMIANG PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAMS. Rahman ................................................................................................................................................ 117-121 MIKROZONASI DAERAH RAWAN GEMPA BUMI DENGAN METODE HVSR DI KABUPATEN KLATEN, JAWA TENGAHRizqi Prastowo, Melfa Utari, Fitri Puspasari, Rita Desiasni, Rizka Anggraini, Achmad Nabil Zulfaqar, M. Rizki Fitraldi ............................................................................................. 117-121

Page 9: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 vii

SKALA INTENSITAS GEMPABUMI (STUDI KASUS: SIG-BMKG)Muzli, M., Masturyono, Murjaya, J., Riyadi, M. .................................................................................... 117-121 ANALISIS RISIKO GEMPA AKIBAT GEMPA BANTUL, YOGYAKARTA 2006 DENGAN MENGGUNAKAN OPEN QUAKEGarup L. Goro, Masyhur Irsyam, Irwan Meilano, dan M. Asrurifak ................................................... 117-121

SISTEM PERINGATAN DINI DAN AKSI DINI BANJIR DAS BENGAWAN SOLO: FLOOD EARLY WARNING AND EARLY ACTION SYSTEM (FEWEAS)Armi Susandi, Fadhil M. Firdaus, Aristyo R. Wijaya, dan Bobby M. Zaky ......................................... 117-121

ANALISIS KECEPATAN GELOMBANG GESER (VS30) MENGGUNAKAN METODE SEISMIK MULTICHANNEL ANALYSIS OF SURFACE WAVE (MASW) UNTUK MENENTUKAN RESIKO BENCANA GEMPABUMI DI KOTA BANDAR LAMPUNGAhmad Dahlan, Joss Kiliman, dan Reysia Lira, Syamsurijal Rasimeng, Eki Zuhelmi,Esha Firnanza dan Titi Setianing Rahayu ............................................................................................ 117-121

KAJIAN KARAKTERISTIK LONGSORLAHAN BERDASARKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI DI KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARADwi Wahyuni Nurwihastuti, Anik Juli Dwi Astuti, Eni Yuniastuti ....................................................... 117-121

ANALISIS RESIKO GEMPA BUMI DI DAERAH BANDAR LAMPUNG BERDASARKAN METODE HORIZONTAL TO VERTICAL SPECTRUM RATIO (HVSR) MIKROTREMORTiti Setianing Rahayu, Hilda Ayu Utami, Evi Muharoroh, Desta Amanda Nuarini,Syamsurijal Rasimeng ............................................................................................................................ 117-121

ANALISIS VARIASI TEMPORAL HUJAN DI BANDUNG BERBASIS DATA PERMUKAAN DAN SATELIT GPM TERKAIT DENGAN IDENTIFIKASI BENCANA HIDROMETEOROLOGISArief Suryantoro, Tiin Sinatra, Aisya Nafiisyanti, dan Gammamerdianti .......................................... 117-121

MITIGASI CUACA EKSTRIM DALAM KEJADIAN BANJIR DI TOL CIKAMPEKFindy Renggono, Erwin Mulyana, Tri Handoko Seto ........................................................................... 117-121

MITIGASI EL NINO: KASUS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI SUMATRA SELATAN TAHUN 2015Erwin Mulyana, Tri Handoko Seto, Bayu Rizki Prayoga ...................................................................... 117-121

RISET KEGEMPAAN DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERKELANJUTANSupriyanto Rohadi, Andi Eka Sakya, Masturyono, Bambang Sunardi, Sulastri, Pupung Susilanto, Drajat Ngadmanto, Suliyanti Pakpahan, Angga Setiyo Prayogo, Thomas Hardy, Jimmi Nugraha, Rasmid, Wiko Setyonegoro, Telly Kurniawan, Fachrizal ..................................................................................................................... 117-121

SUBTEMA 4 PARADIGMA BARU DALAM RISK WARNING MENUJU SDGs

STUDI KELAYAKAN PERAMALAN PENYAKIT (DISEASES FORECASTING) MENGGUNAKAN MULTIMEDIA SEBAGAI SARANA DISEMINASI INFORMASI DAN PROMOSI KESEHATAN (FOKUS PADA PENYAKIT BERPOTENSI WABAH DI KOTA SURABAYA DAN DKI JAKARTA)Masdalina Pane, Karlina, Jenny Veronika Samosir, Asep Kusnali .................................................... 117-121

ANALISIS KESENJANGAN ANTARA PERATURAN PERUNDANGAN DAN PROGRAM NASIONAL TERKAIT FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN YANG AMAN TERHADAP BENCANA DENGAN KERANGKA KERJA INTERNASIONALIsturini, I.A, Hamdani, M.I.S, Setiorini, Rahmawati, S., Tams, F.H., Supriyanto, J. .......................... 117-121

ESTIMASI KERUGIAN LAHAN PERTANIAN AKIBAT BENCANA ALIRAN LAHAR SUNGAI KONTO DI KECAMATAN KEPUNG, KABUPATEN KEDIRIDanang Sri Hadmoko, Dyah R. Hizbaron, Estuning Tyas Wulan Mei, Sigit Heru Murti B.S,Mertiara R.T.L, Etik Siswanti, Purwita Eka S., Achmad Fandir T., Ingrid Evalini T. ......................... 117-121

Page 10: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

viii PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

MODEL STRUKTUR PORTAL PELANA UNTUK RUMAH TINGGAL SATU LANTAI SEBAGAI MITIGASI BANGUNAN DI DAERAH RAWAN GEMPAPinta Astuti dan Restu Faizah ............................................................................................................... 117-121

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT TERHADAP BENCANA ALIRAN LAHAR GUNUNGAPI KELUD DI SUNGAI BLADAKVera Arida ................................................................................................................................................. 117-121

MODEL KOORDINASI KEMENTERIAN DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENANGANAN BENCANAEuis Sunarti, Tutut Sunarminto, dan Eka Dana Prabowo ................................................................... 117-121

MODEL EVAKUASI ERUPSI GUNUNG MERAPI MENGGUNAKAN SAFEVOLCANO DENGAN VISUALISASI WEB BERBASIS SPASIAL DAN APLIKASI ANDROIDKuswaji Dwi Priyono, Ivan Aryant Putra, Jumadi ................................................................................. 117-121

PENGURANGAN RISIKO BENCANA MENGGUNAKAN METODE TOWN WATCHING DI PROVINSI DKI JAKARTAAditya Bagus Wijaya, Hanandy Yanuar L., dan Priyanka P. P. ............................................................ 117-121

KONSEP WILLINGNESS TO PAY SEBAGAI STRATEGI PEMULIHAN PASCA BENCANA BANJIR PADA MASYARAKAT PERUMAHANAnnisa’ Kurnia Shalihat, Sapta Suhardono, Lanthika Atianta ........................................................... 117-121

PENGARUH KAPASITAS PEMIMPIN LOKAL TERHADAP KETAHANAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR DI JAKARTA UTARA Misriyani, Rudy Pramono, Khaerudin ................................................................................................... 117-121

AKSES SEKOLAH TERHADAP INFORMASI PERINGATAN DINI TSUNAMI: STUDI KASUS DI BANDA ACEHRina Suryani Oktari ................................................................................................................................. 117-121

REVIEW KAJIAN DAMPAK PSIKOLOGIS PADA LANJUT-USIA PASCA BANJIRRina K Kusumaratna, Stephanie MC, William M, Shabrina HP, Herliana W .................................... 117-121

Page 11: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 ix

Page 12: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

x PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Page 13: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 xi

SUBTEMA I AGLOMERASI

DALAM KONTEKS PRB

Page 14: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

xii PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Page 15: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 1

ANALISIS SPASIAL KERENTANAN WILAYAH DI KAWASAN RAWAN BENCANA BANJIR LAHAR GUNUNGAPI KELUD

Oleh:Dyah R. Hizbaron1, Danang Sri Hadmoko2, Estuning Tyas Wulan M3, Sigit Heru Murti BS.4, Purwita Eka

S.5, Achmad Fandir T.6, Mertiara R.T.L.7, Budi Utama P.8

1,2) Dosen Jurusan Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi UGM, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia, Email: [email protected]

3,4) Dosen Jurusan Sains Informasi Geografi dan Pengembangan Wilayah, Fakultas Geografi, UGM, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia,

Email: [email protected],6,7) Mahasiswa Program Studi Ilmu Lingkungan, Minat Studi Geo-Informasi untuk Manajemen Bencana,

Sekolah Pascasarjana, UGM, Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta.Email: [email protected]

Abstrak

Banjir lahar merupakan ancaman pengulangan bahaya pascaerupsi gunungapi. Pascaerupsi Gunungapi Kelud Tahun 2014, banjir lahar masih menjadi ancaman serius bagi wilayah yang terletak di sepanjang aliran Sungai Konto. Lahar masih dapat terjadi di Sungai Konto mengingat masih terdapat volume material berupa pasir dan debu yang cukup besar di daerah hulu. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sebaran lokasi yang memiliki ancaman bahaya banjir lahar dengan mengindentifikasi pola spasial tingkat kerentanan wilayah di sepanjang sempadan Sungai Konto. Wilayah penelitian meliputi Kec. Gudo (Kab. Jombang), Kec. Purwoasri, Kec. Kunjang, Kec. Pare, Kec. Kandangan, Kec. Kepung (Kab. Kediri), Kec. Kasembon, dan Kec. Ngantang (Kab. Malang). Penelitian ini memetakan kerentanan dengan memperhatikan tiga jenis kerentanan (sosial, fisik, dan ekonomi). Unit analisis yang digunakan adalah Desa. Analisis dari berbagai parameter dilakukan dengan metode pembobotan dan scoring karena diharapkan menghasilkan keputusan yang berimbang dengan skenario ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerentanan sosial di dominasi dengan kerentanan sedang. Untuk kerentanan fisik di wilayah penelitian didominasi oleh desa dengan tingkat kerentanan yang tinggi dan rendah, sedangkan untuk kerentanan ekonomi menunjukkan bahwa desa sekitar Sungai Konto di dominasi dengan kerentanan rendah. Gabungan dari ketiga kerentanan tersebut menunjukkan bahwa kerentanan wilayah pada daerah penelitian didominasi oleh kerentanan wilayah sedang dengan nilai persentase 41,67%, kemudian kerentanan wilayah rendah menunjukkan posisi kedua dengan nilai persentase 24,53%, dan kerentanan wilayah tinggi dengan nilai persentase terendah, yaitu 33,81%.

Kata kunci: Kerentanan, Spatial, SMCE, Lahar, Kelud.

1. PENDAHULUAN

Gunungapi Kelud termasuk dalam salah satu gunungapi aktif di Wilayah Jawa Timur. Gunungapi Kelud memiliki karakteristik tipe erupsi eksplosif yang diikuti aliran gelombang piroklastik (pyroclastic density currents), jatuhan abu vulkanik dan aliran lahar (De Belizal dkk., 2013; Thouret dkk., 1998). Tercatat Gunungapi Kelud mengalami erupsi hebat pada tahun 1000 M, 1311, 1334 (dengan selang waktu 9-75 tahun); 1586 M (dengan 10.000 orang meninggal akibat lahar erupsi), 1864, 1901, 1919 (5160 orang (Thouret dkk., 1998)), 1951, dan 1966, 1990, dan 2007 (Zaenuddin, 2009). Sebelum tahun 2007, Kelud memiliki danau kawah pada bagian puncak namun pada erupsi 2007 hingga 2008 mengalami perubahan tipe erupsi yang semula eksplosif (tipe Plinian) menjadi efusif. Hal ini mengakibatkan terjadinya pembentukan kubah lava dengan volume 16,3 juta m3 tepat pada danau kawah tersebut (Zaennudin, 2009). Kemudian, Gunungapi Kelud bererupsi kembali pada 14 Februari 2014.

Page 16: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

2 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Erupsi Gunungapi Kelud pada tahun 2014 menjadi eksplosif kembali. Kubah lava yang terbentuk pada erupsi tahun 2007-2008 terlontar menghasilkan cekungan dengan diameter 400 m di bekas kubah lava. Sekitar 120 juta m3 material vulkanik dikeluarkan dari tubuh Gunungapi Kelud. Bahaya sekunder dari Gunungapi Kelud adalah banjir lahar atau biasa disebut warga dengan lahar dingin. Lahar sendiri mempunyai pengertian secara etimologi, yaitu aliran material sisa hasil erupsi yang terakumulasi oleh curah hujan yang tinggi dari hulu menuju hilir sungai untuk terdeposit (Lavigne dkk. 2006). Bahaya gunungapi Gunungapi Kelud selain bahaya primer (yang berupa aliran lava, aliran piroklastik, dan lontaran material volkanik) adalah bahaya sekunder lahar (Bourdier et al., 1997; Thouret et al., 1998). Bahaya lahar masih mengancam pada lereng Kelud dan mengancam daerah di sekitar Kediri, Tulungagung, dan Blitar dengan total jumlah penduduk ~160.000 jiwa (Thouret et al).

Lahar bersifat merusak, memiliki debit tinggi (< 10-107 m3s−1), mampu mencapai area yang cukup jauh (>100 km), dan mempunyai periode merusak yang lebih lama. Kejadian lahar tahun 1919 menyebabkan 9000 rumah rusak dan korban jiwa sebanyak ~15.000 jiwa pada 1586 dan 1919 (Thouret et al., 1998). Bahaya yang ditimbulkan aliran lahar ini perlu diantisipasi dengan melakukan kajian yang dapat mengurangi risiko bencana, salah satunya dengan mengurangi kerentanan wilayah daerah banjir lahar.

Kerentanan merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi terjadinya risiko bencana. Pengertian kerentanan menurut BNPB (2012) adalah ketidakmampuan masyarakat dalam menghadapi bencana. Oleh karena itu, kerentanan perlu dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini. Kerentanan yang dikaji dalam penelitian ini adalah kerentanan wilayah yang terdiri dari tiga aspek kerentanan, yaitu kerentanan sosial, fisik, dan ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola spasial tingkat kerentanan wilayah di sepanjang sempadan Sungai Konto yang meliputi Kec. Gudo (Kab. Jombang), Kec. Purwoasri, Kec. Kunjang, Kec. Pare, Kec. Kandangan, Kec. Kepung (Kab. Kediri), Kec. Kasembon, dan Kec. Ngantang (Kab. Malang).

2. METODOLOGI

2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di sepanjang sempadan Sungai Konto yang meliputi delapan kecamatan, yaitu Kec. Gudo (Kab. Jombang), Kec. Purwoasri, Kec. Kunjang, Kec. Pare, Kec. Kandangan, Kec. Kepung (Kab. Kediri), Kec. Kasembon, dan Kec. Ngantang (Kab. Malang). Kec. Gudo terdiri dari tiga desa yang berpotensi terdampak lahar, yaitu Desa Plumbon Gambang, Desa Wangkalkepuh, dan Desa Gudo. Kec. Purwoasri hanya Desa Sumberejo yang berpotensi terdampak lahar. Kec. Kunjang terdiri dari empat desa yang berpotensi terdampak lahar, yaitu Desa Parelor, Desa Juwet, Desa Dungus, dan Desa Kuwik. Kec. Pare hanya Desa Blaru yang berpotensi terdampak lahar. Kec. Kandangan terdiri dari empat desa yang berpotensi terdampak lahar, yaitu Desa Karangtengah, Jerukwangi, Kasreman, Kandangan. Kec. Kepung terdiri dari empat desa yang berpotensi terdampak lahar, yaitu Desa Damarwulan, Desa Brumbung, Desa Siman, dan Desa Besowo. Kec. Kasembon terdiri dari tiga desa yang berpotensi terdampak lahar, yaitu Desa Sukosari, Desa Pondok Agung, Desa Bayem. Kec. Ngantang hanya Desa Pandansari yang berpotensi terdampak lahar. Desa-desa yang terdampak lahar tersebut secara jelas dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian, (1) Gunungapi Kelud; (2) Sungai Konto;

(3) Batas Administrasi.

Page 17: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 3

2.2. Kerentanan Wilayah di Sepanjang Sempadan Sungai Konto

Kerentanan wilayah yang dikaji dalam penelitian ini terdiri dari tiga aspek kerentanan, yaitu kerentanan sosial, fisik, dan ekonomi. Kerentanan sosial terdiri dari faktor jumlah penduduk, kepadatan penduduk, jumlah penduduk cacat, jumlah anak-anak, jumlah penduduk lanjut usia, ketersediaan EWS, dan ketersediaan jalur evakuasi. Kerentanan fisik terdiri dari faktor jumlah bangunan, kepadatan bangunan, jumlah jembatan, dan luas area 100 m dari sempadan. Kerentanan ekonomi terdiri dari faktor jumlah KK miskin, jumlah penduduk bekerja pada sektor pertanian, luas lahan pertanian. Masing-masing faktor dari ketiga aspek kerentanan tersebut mempunyai asumsi yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Masing-masing Faktor Kerentanan dengan Asumsinya

No Kriteria Faktor Asumsi

1 Sosial Jumlah penduduk Semakin tinggi jumlah penduduk, semakin tinggikerentanannya (+)

Kepadatan penduduk Semakin tinggi kepadatan penduduk, semakin tinggi kerentanannya (+)

Jumlah penduduk cacat Semakin tinggi jumlah penduduk cacat, semakin tinggi kerentanannya (+)

Jumlah anak-anak Semakin tinggi jumlah anak-anak, semakin tinggi kerentanannya (+)

Jumlah penduduk lanjut usia Semakin tinggi jumlah penduduk lanjut usia, semakin tinggi kerentanannya (+)

Ketersediaan EWS Apabila terdapat EWS, kerentanannya semakin rendah (-)

2 Fisik Jumlah bangunan Semakin tinggi jumlah bangunan, semakin tinggi kerentanannya (+)

Kepadatan bangunan Semakin tinggi kepadatan bangunan, semakin tinggi kerentanannya (+)

Jarak dari Zona Bahaya Semakin dekat dengan zona bahaya, semakin tinggi kerentanannya (+)

3 Ekonomi Jumlah KK miskin Semakin tinggi jumlah KK miskin, semakin tinggikerentanannya (+)

Jumlah penduduk bekerja pada sektor pertanian

Semakin tinggi jumlah penduduk bekerja pada sektor pertanian, semakin tinggi kerentanannya (+)

Luas lahan pertanian Semakin tinggi luas lahan pertanian, semakin tinggi kerentanannya (+)

Sumber: Peneliti, 2016

Pengumpulan data faktor-faktor yang digunakan dalam ketiga aspek kerentanan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan hasil deliniasi dari interpretasi citra penginderaan jauh. Citra yang digunakan adalah Citra WorldView-2 pemindaian 14 Mei 2014. Sumber citra adalah Digital Globe, Inc. Citra WorldView-2 merupakan pengembangan dari Citra WorldView-1. Citra WorldView-2 terdiri dari band pankromatik dan 8 band multispektral yaitu coastal, blue, green, yellow, red, red edge, Near Infrared (NIR) 1, dan Near Infrared (NIR) 2 sehingga memiliki akurasi warna yang baik. Resolusi Citra WorldView-2 adalah 0,5 m. Hasil deliniasi yang termasuk dalam faktor kerentanan sosial, fisik, dan ekonomi yang terdampak lahar kemudian dicek kesesuaiannya di lapangan.

Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini juga disesuaikan dengan faktor-faktor kerentanan yang telah dibuat berupa data jumlah penduduk, kepadatan penduduk, jumlah penduduk cacat, jumlah anak-anak, jumlah penduduk lanjut usia, jumlah KK miskin, dan jumlah penduduk bekerja pada sektor pertanian. Sumber data berasal dari podes desa yang sesuai dengan daerah penelitian.

Evaluasi penilaian tingkat kerentanan wilayah di sepanjang sempadan Sungai Konto menggunakan skoring dan pembobotan. Masing masing faktor dibobotkan dan diskoring untuk mengetahui kerentanan

Page 18: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

4 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

wilayah dari masing masing indikator. Masing masing indikator di dalam setiap wilayah dihitung pembobotan dan ditentukan skoringnya untuk memperoleh skenario kerentanan pada setiap aspek. Pembobotan ini digunakan agar faktor-faktor yang digunakan sesuai dengan kontribusinya dan sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini, yaitu untuk mengidentifikasi pola spasial tingkat kerentanan wilayah di sepanjang sempadan Sungai Konto. Pembobotan yang dilakukan bersifat subjektif tetapi dengan memperhatikan penelitian sebelumnya, sehingga memperoleh validasi yang cukup akurat. Pembobotan kerentanan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Pembobotan Masing-masing Faktor Kerentanan

Kriteria No Faktor Bobot

sosial

1 jumlah penduduk

30

2 jumlah penduduk cacat

3 jumlah anak-anak

4 jumlah penduduk lanjut usia

5 ketersediaan EWS

fisik

1 jumlah bangunan

302 kepadatan bangunan

3 jarak dari zona bahaya

ekonomi

1 jumlah KK miskin

402 jumlah penduduk bekerja pada sektor pertanian

3 luas lahan pertanian

Sumber: Peneliti, 2016

Selanjutnya, menentukan indeks kerentanan sosial dengan pembagian tiga kelas kerentanan berupa kerentanan tinggi, sedang, dan rendah, serta menentukan indeks kerentanan fisik yang berupa tiga kelas kerentanan pula berupa kerentanan tinggi, sedang, rendah, dan indeks kerentanan ekonomi dengan tiga kelas kerentanan, yaitu kerentanan tinggi, sedang, dan rendah. Hasil analisis dari ketiga kerentanan tersebut menghasilkan satu peta kerentanan total, yaitu kerentanan wilayah dengan tiga kelas kerentanan berupa kerentanan tinggi, sedang, dan rendah. Namun, pembobotan yang paling tinggi dalam penelitian ini adalah kerentanan ekonomi dikarenakan memperhatikan kerugian yang telah ditimbulkan aliran lahar pada kejadian sebelumnya.

3. HASIL DAN DISKUSI

3.1. Kerentanan Sosial Kawasan Rawan Bencana Banjir Lahar

Kerentanan sosial dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada tiga klasifikasi kerentanan, yaitu kerentanan tinggi yang ditunjukkan dengan warna abu-abu tua, kerentanan sedang yang ditunjukkan dengan warna abu-abu agak muda, dan kerentanan rendah yang ditunjukkan dengan warna abu-abu muda pada Gambar 1.

Kerentanan sosial sedang mendominasi dalam penelitian ini dengan nilai persentase 55,88%. Kemudian kerentanan sosial rendah dengan nilai persentase 25,82% dan kerentanan sosial tinggi dengan nilai persentase 18,31%.

Kerentanan sosial yang menunjukkan kerentanan tinggi hanya terdapat pada tiga desa, yaitu Desa Blaru di Kec. Pare dan Desa SIman di Kec. Kepung (Kab. Kediri), serta Desa Sukosari di Kec. Kasembon (Kab. Malang). Desa Siman dan Desa Sukosari yang menunjukkan kerentanan tinggi tersebut terletak pada daerah hulu yang menuju ke tengah Sungai Konto, sedangkan Desa Blaru berada di daerah tengah yang menuju ke daerah hilir Sungai Konto. Ketiga desa tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor yang meliputi jumlah penduduk, kepadatan penduduk, jumlah penduduk cacat, jumlah anak- anak, dan jumlah penduduk lanjut usia saling mempengaruhi dan memberikan nilai surplus pada kerentanan sosial. Kemudian untuk ketersediaan EWS yang termasuk dalam faktor kerentanan sosial seharusnya memberikan kontribusi yang dapat mengurangi nilai kerentanan sosial, akan tetapi faktor ketersediaan EWS memberikan kontribusi nilai

Page 19: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 5

surplus juga karena EWS di desa tersebut tidak tersedia. Untuk kerentanan sosial yang sedang dan rendah hampir merata nilainya di beberapa desa di sempadan Sungai Konto.

3.2. Kerentanan Fisik Kawasan Rawan Bencana Banjir Lahar

Kerentanan Fisik yang diukur pada wilayah bencana banjir lahar, yaitu jumlah bangunan, kepadatan bangunan, dan jarak dari zona bahaya. Ketiga indikator tersebut digunakan untuk penilaian kerentanan fisik di desa yang berada di sekitar Sungai Konto. Hasil analisis kerentanan fisik menunjukkan bahwa wilayah yang berada di sekitar Sungai Konto memiliki kerentanan tinggi mencapai 64,8% yaitu berjumlah 11 desa. Desa yang memiliki kerentanan tinggi antara lain, Desa Parelor, Des Kuwik, Desa Blaru, Desa Karangtengah, Desa Jerukwangi, Desa Kasreman, Desa Kandangan, Desa Brumbung, Desa Siman, Desa Bayem, dan Desa Pandansari. Desa yang memiliki kerentanan tinggi merupakan desa dengan kondisi jumlah dan kepadatan bangunan tinggi, sementara bangunan tersebut juga berjarak dekat dengan zona bahaya. Wilayah yang memiliki kerentanan rendah mencapai 35,2%, yang terdiri dari 8 desa, antara lain Desa Wangkalkepuh, Desa Gudo, Desa Juwet, Desa Dungus, Desa Damarwulan, Desa Sukosari, Desa Pondokagung, dan Desa Besowo. Desa yang memiliki kerentanan fisik yang rendah cenderung memiliki jarak yang agak jauh dari sungai. Secara lebih jelas kerentanan fisik dapat dilihat pada Gambar 2.

3.3. Kerentanan Ekonomi Kawasan Rawan Bencana Banjir Lahar

Kerentanan ekonomi dalam penelitian ini terdiri dari tiga klasifikasi kerentanan, yaitu kerentanan tinggi yang ditunjukkan dengan warna abu-abu tua, kerentanan sedang yang ditunjukkan dengan warna abu-abu agak muda, dan kerentanan rendah yang ditunjukkan dengan warna abu-abu muda pada Gambar 3.

Nilai persentase yang mendominasi dalam kerentanan ekonomi adalah kerentanan rendah sebanyak 52,94%. Kerentanan ekonomi rendah tersebut menyebar merata di desa sempadan Sungai Konto. Untuk

Gambar 2. Peta Kerentanan Sosial Kawasan Rawan Bencana Lahar, (1) Gunungapi Kelud; (2) Sungai Konto; (3) Batas

Administrasi; (4) Kerentanan Rendah; (5) Kerentanan Sedang; (6) Kerentanan Tinggi.

Gambar 3. Peta Kerentanan Fisik Kawasan Rawan Bencana Lahar, (1) Gunungapi Kelud; (2) Sungai Konto; (3) Batas

Administrasi; (4) Kerentanan Rendah; (5) Kerentanan Tinggi.

Page 20: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

6 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

kerentanan ekonomi sedang berada di posisi berikutnya dengan nilai persentase 26,27%. Selanjutnya, kerentanan tinggi berada di Desa Sukosari di Kec. Kasembon (Kab. Malang), serta Desa Dungus dan Kuwik di Kec. Kunjang (Kab. Kediri) dengan nilai persentase 20,78%.

3.4. Kerentanan Wilayah

Kerentanan wilayah yang dikaji dalam penelitian ini merupakan gabungan analisis dari kerentanan sosial, fisik, dan ekonomi. Ketiga kerentanan tersebut telah diulas pada pembahasan sebelumnya, sehingga gabungan dari analisis ketiga kerentanan tersebut diperoleh tiga klasifikasi kelas kerentanan wilayah. Kerentanan wilayah tinggi ditunjukkan dengan warna abu-abu tua, kerentanan wilayah sedang ditunjukkan dengan warna abu-abu agak muda, dan kerentanan wilayah rendah dengan warna abu-abu muda pada Gambar 4.

Kerentanan wilayah sedang paling mendominasi dengan nilai persentase 41,67%, kemudian kerentanan wilayah rendah menunjukkan posisi kedua dengan nilai persentase 24,53%, dan kerentanan wilayah tinggi dengan nilai persentase terendah, yaitu 33,81%.

Kerentanan wilayah tinggi terdapat di enam Desa dari 21 Desa yang terletak di sempadan Sungai Konto. Keenam Desa tersebut meliputi Desa Siman dan Desa Brumbung di Kec. Kepung, Desa Blaru di Kec. Pare, dan Desa Kuwik dan Desa Dungus di Kec. Kunjang (Kab. Kediri), serta Desa Sukosari di Kec. Kasembon (Kab. Malang). Desa Siman, Desa Sukosari, dan Desa Brumbung yang menunjukkan kerentanan wilayah tinggi terletak di daerah hulu menuju tengah Sungai Konto dan lokasi ketiga desa tersebut saling berdekatan, sedangkan Desa Blaru, Desa Kuwik, dan Desa Dungus yang juga menunjukkan kerentanan wilayah tinggi terletak berdekatan di daerah tengah menuju daerah hilir Sungai Konto. Untuk kerentanan wilayah rendah terdapat di enam desa, meliputi Desa Wangkalkepuh dan Desa Gudo di Kec. Gudo (Kab. Jombang), Desa Sumberejo di Kec. Purwoasri, Desa Parelor, Desa Juwet di Kec. Kunjang (Kab. Kediri), dan Desa Pondok Agung di Kec. Kasembob (Kab. Malang).

Gambar 4. Peta Kerentanan Ekonomi Kawasan Rawan Bencana Lahar, (1) Gunungapi Kelud; (2) Sungai Konto; (3) Batas

Administrasi; (4) Kerentanan Rendah; (5) Kerentanan Sedang; (6) Kerentanan Tinggi.

Gambar 5. Peta Kerentanan Ekonomi Kawasan Rawan Bencana Lahar, (1) Gunungapi Kelud; (2) Sungai Konto; (3) Batas

Administrasi; (4) Kerentanan Rendah; (5) Kerentanan Sedang; (6) Kerentanan Tinggi.

Page 21: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 7

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

• Kerentanan sosial pada wilayah rawan bencana banjir lahar Gunungapi Kelud menunjukkan tingkat kerentanan sedang yang diakibatkan oleh kondisi jumlah penduduk, jumlah penduduk cacat, jumlah penduduk anak-anak, dan jumlah penduduk lanjut usia yang merata sehingga kerentanan cenderung didominasi tingkat sedang.

• Kerentanan fisik di wilayah sekitar sungai didominasi kerentanan tinggi, hal tersebut dikarenakan sebagian besar desa berlokasi dekat dengan zona bahaya serta miliki jumlah dan kepadatan bangunan di sekitar wilayah rawan banjir lahar.

• Kerentanan ekonomi di wilayah sekitar sungai tergolong rendah, hal ini dikarenakan dimungkinan masyarakat di sekitar sungai memiliki jumlah penduduk miskin dalam ketegori rendah dan pekerja dan pemilik lahan pada sektor pertanian di wilayah sekitar Sungai Konto cenderung rendah.

• Kerentan wilayah total pada desa sekitar Sungai Konto menunjukkan kerentanan wilayah sedang yang merupakan hasil penggabungan dari kerentanan sosial, fisik, dan ekonomi.

4.2. Saran

• Diharapkan stakeholder melakukan survei lebih lanjut tentang kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar Sungai Konto, mengingat ke depannya masih dimungkinkan adanya ancaman aliran lahar.

• Stakeholder juga diharapkan memberikan sosialisasi pada masyarakat yang beraktivitas dan tinggal di sekitar sungai untuk peningkatan kapasitas.

• Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kerentanan wilayah dengan indikator yang lebih detail dan pembuatan skenario yang lebih dari satu.

DAFTAR PUSTAKA

1. BNPB. 2012. Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Jakarta: BNPB.2. De Bélizal, E., Lavigne, F. Hadmoko, DS., Degeai, JP., Dipayana, G.A., Mutaqin, BW., Marfai., MA., Cooquet,

M. Le Mauff, B., Robin, AK., Vidal, C., Choelik Noer dan Aisyah, N. 2013. Rain-triggered lahars following the 2010 eruption of Merapi volcano, Indonesia: A major risk, Journal of Volcanology and Geothermal Research (2013), http://dx.doi.org/10.1016/j.jvolgeores.2013.01.010.

3. Lavigne, Franck. Yanni Gunnell (2006) Land cover change and abrupt environmental impacts on Javan volcanoes, Indonesia: a long-term perspective on recent events. Springer: Reg Environ Change (2006) 6: 86-100.

4. Thouret, J.C., Abdurachman, K.E., Bourdier, J.L. and Bronto, S., 1998, Origin, Characteristics, and Behaviour of Lahars following the 1990 Eruption of Kelud Volcano, Eastern Java. Indonesia. Bulletin of Volcanology, Vol. 59, Issue 7, p. 460-480.

5. Zaennudin, A. 2009. Prakiraan Bahaya Erupsi Gunung Kelud. Buletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2009: 1 - 17.

Page 22: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

8 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

BELAJAR DARI PERENCANAAN REGIONAL PURBA SITUS-SITUS ARKEOLOGIS G. PENANGGUNGAN, JAWA TIMUR:

(PENGARUH VULKANOSTRATIGRAFI PADA POLA SEBARAN DAN KONDISI SITUS ARKEOLOGIS DI G. PENANGGUNGAN, JAWA TIMUR)

Oleh:Eko Teguh Paripurno1, Purbudi Wahyuni2, Girindra Pradhana1

Wiratama Putra1, Geri Prabowo1

1Jurusan Teknik Geologi, UPN “Veteran” Yogyakarta, Jalan Lingkar Utara, Yogyakarta, Indonesia Email; [email protected]

2Jurusan Ilmu Ekonomi UPN “Veteran” Yogyakarta, Jalan Lingkar Utara ,Yogyakarta

Abstrak

Kompleks G. Penanggungan secara geografis terletak pada 7,615°LS 112,62°BT, masuk wilayah kabupaten Mojokerto dan Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Selama ini G. Penanggungan dikemukakan sebagai “Penanggungan Volcanics”, berupa Satuan Piroklastika Penanggungan berumur Kuarter Atas. Di G. Penanggungan terdapat sekitar 120 situs-situs peninggalam Mataram Kuno (abad 10) sampai dengan Majapahit (abad 14). Sampai saat ini telah didatakan situs-situs berupa candi, pemandian/petirtaan, punden berundak, goa pertapaan (ceruk), pagar, jalan. Situs-situs tersebut tersebar di kaki hingga puncak. Hal ini karena Keberadaan air menjadi salah satu kunci penempatan situs. Kedudukan sebagian besar candi berada di sekitar mata air atau lapisan jenuh air. Berkenaan dengan hal tersebut posisi candi berdekatan dengan kontak aliran lava dan endapan piroklastika lainnya.

Kata kunci: Vulkanostratigrafi, Situs Arkeologis, G. Penanggungan.

1. PENDAHULUAN

G. Penanggungan memiliki 6 kerucut parasiter yang tersebar di sekitarnya. G. Bekel di sebelah barat laut, G. Genting di sebelah utara, G. Kemuncup di sebelah timur, G. Bendo di sebelah selatan, G. Wangi di sebelah tenggara, dan G. Gajahmungkur di timur laut. Kehadiran beberapa pusat erupsi ini menunjukkan adanya keanekaragaman litologi penyusun G. Penanggungan. Dalam Peta Geologi lembar Malang (S. Santosa dan T. Suwarni, 2011) selama ini G. Penanggungan dinyatakan sebagai Satuan Piroklastika Penanggungan berumur Kuarter Atas.

G. Penanggungan memiliki situs-situs peninggalan Mataram Kuno pada abad ke 10 hingga Majapahit pada abad ke 14. Situs-situs arkeologi ini tersebar di kaki hingga puncak G. Penanggungan dan berjumlah sekitar 120 situs. Situs-situs tersebut berupa candi, pemandian/petirtaan, punden berundak, goa pertapaan (ceruk), pagar, dan jalan. Dari sisi tempatan, 102 situs di G. Penanggungan di bagian tubuh, dan bagian bawah 18 situs.

2. DASAR TEORI

Vulkanostratigrafi merupakan ilmu yang mempelajari urutan dari rekaman kegiatan vulkanik dengan pemahaman satuan vulkanostratigrafi, yaitu satuan - satuan lapisan yang terpetakan terdiri dari batuan vulkanik yang terbentuk di darat (subaerial) atau di dalam air (subaqueous) oleh proses - proses vulkanik yang penentuannya berdasarkan sumber, jenis litologi dan genesanya.

Sandi Stratigrafi Indonesia (IAGI, 1996) menyebutkan bahwa vulkanostratigrafi gunungapi ditujukan untuk mengkorelasikan batuan atau endapan gunungapi berdasarkan urutan kejadian agar evolusi pembentukan gunungapi dapat dimengerti. Pembagian klasifikasi gunungapi dimaksudkan untuk menggolongkan batuan atau endapan gunungapi secara bersistem berdasarkan sumber, deskripsi dan genesa.

Page 23: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 9

Batuan gunungapi merupakan hasil kegiatan gunungapi secara langsung (primer) maupun tidak langsung (sekunder). Kegiatan secara langsung merupakan proses keluarnya magma ke permukaan bumi (erupsi) berupa letusan (eksplosif) dan lelehan (efusif) atau proses yang berhubungan. Kegiatan tidak langsung (sekunder) adalah proses yang mengikuti kejadian primer. Satuan batuan atau endapan gunungapi adalah kesatuan batuan atau endapan gunungapi sebagai hasil proses kegiatan gunungapi baik secara primer maupun sekunder dalam suatu interval waktu.

Batas satuan atau endapan gunungapi merupakan sentuhan antara dua satuan atau lebih yang berlainan, dibedakan berdasarkan sumber erupsi, ciri batuan atau endapan genesa, daur letusan atau waktu kejadian. Sentuhan antara dua satuan dapat berupa bidang horizontal, miring atau tegak dan perubahannya dapat tegas maupun berangsur.

Satu atau lebih satuan batuan atau endapan gunungapi dapat dihasilkan oleh satu letusan (monogenetik) atau beberapa peristiwa letusan (poligenetik). Satuan yang berubah berangsur atau jari-jemari, peralihannya dapat dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan. Batas daerah hukum (geografi) tidak dapat dipergunakan sebagai batas berakhirnya penyebaran satuan batuan/endapan gunungapi. Sebaran lateral satuan stratigrafi gunungapi dapat berupa batas jangkauan tubuh gunungapi atau benturan dengan satuan lainnya, baik secara stratigrafis maupun struktur.

3. METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan dalam penentuan unit stratigrafi G. Penanggungan dan hubungannya dengan keberadaan dan posisi situs-situs ini adalah: Pengumpulan data sekunder, digunakan untuk mengetahui dan mempelajari hasil dari peneliti terdahulu yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran hubungan dari litologi dan aktivitas vulkanisme di daerah penelitian terhadap posisi dan kondisi situs-situs. Pengumpulan data lapangan, digunakan untuk data litologi, mata air, morfologi dan data profil stratigrafi, serta hubunganya dengan posisi dan kondisi situs-situs. Perlatan yang digunakan dalam metode penelitian lapangan ini antara lain global positioning system (GPS), kompas geologi, palu geologi, dan meteran. Pekerjaan laboratorium dan analisis data, dilakukan hampir secara bersamaan yaitu mengenai analisa sayatan tipis petrografi dan penentuan umur melalui analisas karbon.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Geomorfologi

Morfologi gunungapi merupakan bentukan morfologi permukaan bumi yang spesifik akibat dari hasil dari interaksi antara proses eksogen dan endogen. Morfologi gunungapi tidak hanya dipengaruhi oleh material-material hasil erupsi dan tipe erupsinya saja, tetapi juga dikontrol oleh tingkat erosi. Daerah Penelitian memiliki ketinggian 10 m dpl - 1605 m dpl. Berdasarkan aspek-aspek di atas maka morfologi G. Penanggungan dapat dibagi menjadi 5 satuan yaitu: Kerucut Vulkanik (V1), Lereng Vulkanik Atas (V2), Lereng Vulkanik Tengah (V3), Lereng Vulkanik Bawah (V4), dan Kerucut Parasiter (V5).

4.1.1. Satuan Kerucut Vulkanik (V1) Satuan Kerucut Vulkanik disusun oleh lava dan breksi piroklastik. Menempati 10% dari daerah telitian,

dengan kemiringan lereng 380 - 710 pada ketinggian 1274 - 1605 m dpl. Satuan ini membentuk pola pengaliran radial, dengan lembah curam dan dalam bebentuk V. Bentuk lahan hanya ditumbuhi rumput-rumput liar.

4.1.2. Satuan Lereng Vulkanik Atas (V2)Satuan Vereng Vulkanik Atas disusun oleh lava dan breksi piroklastik. Menempati 15% dari daerah

telitian, dengan kemiringan lereng 380 - 460, pada pada ketinggian 700 - 1000 m dpl. Satuan ini membentuk pola pengaliran radial dengan lembah curam dan dalam berbentuk V. Satuan ini ditumbuhi oleh rumput-rumput liar dan pohon besar.

4.1.3. Satuan Lereng Vulkanik Tengah (V3)Satuan Lereng Vulkanik Tengah disusun oleh lava, breksi piroklastik, dan breksi lahar. Menempati

40% dari daerah telitian, dengan kemiringan lereng 100 - 200, pada ketinggian 200 - 700 m dpl. Satuan ini membentuk pola pengaliran radial dan subdendritik, dengan lembah curam dan dalam berbentuk V. Satuan ini digunakan sebagai lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan, serta mulai ada permukiman.

Page 24: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

10 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

4.1.4. Satuan Lereng Vulkanik Bawah (V4)Satuan Lereng Vulkanik Bawah disusun oleh lava, breksi piroklastik, dan breksi lahar. Menempati

30% dari daerah telitian, dengan kemiringan lereng 20 - 100, pada ketinggian 40 - 200 m dpl. Satuan ini membentuk pola pengaliran radial dan subdendritik, dengan bentuk lembah curam - landai serta berbentuk V - U. Satuan ini digunakan sebagai lahan pertanian, perkebunan, peternakan, dan permukiman, serta daerah wisata.

4.1.5. Satuan Kerucut Parasiter (V5)Satuan Kerucut Parasiter disusun oleh lava, dan breksi piroklastik. Menempati 15% dari daerah

telitian, dengan kemiringan lereng 200 - 730, pada ketinggian 900 - 1400 m dpl. Satuan ini membentuk pola pengaliran radial, dengan lembah curam dan dalam berbentuk V. Satuan ini digunakan sebagai lahan pertanian, perkebunan, peternakan, dan sedikit permukiman.

4.2. Vulkanostratigrasi

G. Penanggungan memiliki 6 kerucut parasiter yang tersebar di sekitarnya. G. Bekel di sebelah barat laut, G. Genting di sebelah utara, G. Kemuncup di sebelah timur, G. Bendo di sebelah selatan, G. Wangi di sebelah tenggara, dan G. Gajahmungkur di timur timur laut. Kehadiran beberapa pusat erupsi ini menunjukkan adanya keanekaragaman litologi penyusun G. Penanggungan, terdiri dari Satuan-satuan lava, aliran pirolastika, dan lahar.

Satuan-satuan lava dijumpai sebagai Satuan Lava Penanggungan 1 (PLv1) Watutalang, Satuan Lava Penanggungan 2 (Plv2) Watesnegoro, Satuan Lava Penanggungan 3 (Plv3) Kedungudi, Satuan Lava Penanggungan 4 (Plv4), Satuan Lava Penanggungan 5 (Plv5) Seloliman, Satuan Lava Penanggungan 6 (Plv6) Gajah-mungkur, Satuan Lava Penanggungan 7 (Plv7) Bekel, Satuan Lava Penanggungan 8 (Plv8) Genting, Satuan Lava Penanggungan 9 (Plv9) Kemucup, Satuan Lava Penanggungan 10 (Plv10) Bendo.

Satuan-satuan aliran piroklastika dijumpai sebagai Satuan Aliran Piroklastika 1 (Pap1) Wonosunyo, Satuan Aliran Piroklastika 2 (Pap2) Masedong, Satuan Aliran Piroklastika 3 (Pap3) Bekel, Satuan Aliran Piroklastika 4 (Pap4) Genting, Satuan Aliran Piroklastika 5 (Pap5), Kemucup, Satuan Aliran Piroklastika 6 (Pap6) Wangi.

Satuan-satuan lahar terdiri dari Satuan Lahar 1 (Plh1) Wonosunyo, Satuan Lahar 2 (Plh2) Masedong, Satuan Lahar 3 (Plh3) Bekel, Satuan Lahar 4 (Plh4) Kemucup, Satuan Lahar 5 (Plh5).

4.3. Situs Arkeologi

Di G. Penanggungan dan di G. Bekel meupun G.Gajahmungkur banyak terdapat situs arkeologi. Situs-situs ini tersebar dari kaki hingga puncak. Situs-situs ini tidak lepas dari keberadaan sumber mata air yang ada di sana, serta batuan penyusun G. Penanggungan.

4.3.1. Situs Petirtaan JolotundoSitus Petirtaan Jolotundo berada pada koordinat 0676021, 9158502. Situs ini secara administratif

berada di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Petirtaan ini berada di lereng G. Penanggungan dengan ketinggian 525 m dpl. Petirtaan Jolotundo ini dibuat di lereng barat G. Penanggungan dan berdiri di atas litologi lava. Struktur bangunan yang mengikuti toporafi lava yang ada di sekitarnya (Gambar 12). Sumber air di Petirtaan Jolotundo berasal dari aquifer celah pada Satuan Lava 1 (tua). Kualitas sangat baik dan kuantitas air besar sehingga mampu mengairi air hampir di semua dusun yang ada di dekatnya. Lava andesit di situs ini berwarna abu - abu- hitam, struktur masif. Tekstur dengan derajat kristalisasi hipokristalin, fanerik halus, bentuk kristal subhedral, hubungan antar kristal hipidiomorfik granular, kemas inekuigranular porfiritik. Komposisi mineral tersusun atas plagioklas, kuarsa, dan piroksen.

4.3.2. Candi Kama IICandi Kama II terletak di lereng barat G. Bekel pada koordinat 0677104, 9159053. Candi ini

merupakan candi bercorak Hindu ini bertumpu pada endapan breksi piroklastika. Candi ini rusak akibat longsoran pada endapan piroklastika penyusun. Breksi piroklastika berwarna coklat terpilah buruk hingga sedang dengan kemas tertutup derajat kebundaran butir menyudut tangung sampai membulat tanggung, berukuran butir 2 mm - 10 cm. Fragmen terdiri dari lava andesit dengan komposisi mineral hornblende dan plagioklas.

Page 25: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 11

4.3.3. Candi KendalisodoCandi Kendalisodo adalah candi tertinggi di G. Bekel, pada ketinggian 1200 m dpl. Candi ini terletak

di lereng barat, 200 m dari puncak G. Bekel. Candi ini dipahat pada lava andesit basaltik G. Bekel dan memanfaatkan resistensi batuan tersebut untuk menjaga keutuhannya. Di atas satuan lava ini diendapkan aliran piroklastik (gambar 14). Lava andesit basaltik G. Bekel berwarna abu - abu kehitaman, struktur masif. Tekstur dengan derajat kristalisasi hipokristalin, fanerik halus, bentuk kristal subhedral, hubungan antar kristal hipidiomorfik granular, kemas inekuigranular porfiritik. Komposisi mineral tersusun atas plagioklas, kuarsa, piroksen, dan hornblende. Encapan breksi piroklastika berwarna warna abu-abu sampai coklat, terpilah buruk hingga sedang dengan kemas tertutup. Derajat kebundaran butir menyudut tanggung sampai membulat tanggung dengan ukuran butir 2 mm - 4 cm. Fragmen andesit, dengan komposisi mineral hornblend, plagioklas, masif, dan terdapat pengelasan pada fragmen aliran piroklastika.

4.3.4. Goa BuyungGoa Buyung terletak di sisi lereng tenggara G. Bekel. Goa ini memanfaatkan lava andesit G.Bekel

untukk dijadikan ruangan (goa). Lava andesit berwarna abu - abu, struktur masif. Tekstur dengan derajat kristalisasi hipokristalin, fanerik halus, bentuk kristal subhedral, hubungan antar kristal hipidiomorfik granular, kemas inekuigranular porfiritik. Komposisi mineral tersusun atas plagioklas, kuarsa, dan piroksen.

Persebaran situs-situs arkeologi di G. Penanggungan ini tidak lepas dari keberadaan sumber air yang ada di G. Penanggungan. Hal ini ditunjukan dengan beberapa situs yang digunakan sebagai pemandian seperti di Jolotundo dan Sumber Tetek. Situs-Situs arkeologi yang lain seperti Candi Bayi, Candi Putri, Candi Gentong dan Candi Shinta juga terdapat di dekat sungai Batutalang yang berada di antara G. Penanggungan dan G. Bekel yang merupakan kerucut parasiter dari G. Penanggungan.

5. KESIMPULAN

Gunungapi terdiri dari 6 bentukan morfologi, yaitu Satuan Kerucut vulkanik (V1), Satuan Lereng Vulkanik atas (V2), Satuan Lereng vulkanik tengah (V3), Satuan Lereng vulkanik bawah (V4), dan Satuan Kerucut Parasiter (V5). Tubuh gunungapi terdiri dari 21 satuan litostratigrafi, terdiri dari 10 satuan-satuan lava, 6 satuan-satuan piroklastika dan 5 satuan-satuan lahar. Situs hadir di lingkungan mata air dan bertumpu pada lava. Bahan candi diambil dari lokasi sekitar dengan teknologi potong dan bakar.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta dan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia atas dukungan dana penelitian kelompok kami; serta kawan-kawan peneliti dan relawan di Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta yang membantu dan mendukung proses penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alzwar, M., Samodra, H., Taringan, J.I., 1987, Pengantar Dasar Ilmu Gunungapi. Nova, Bandung.2. Cas, R.A.F. & Wrigth, J.V., 1987, Volcanic Successions Modern and Ancient: A geological approach to

processes, product and successions. London: Allen & Unwin Ltd.3. Effendi, H., 2003, Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan, Kanisius,

Yogyakarta. 4. Fisher, R.V, Schmincke, H.U., 1984, Pyroclastic rocks, Springer-Verlag Berlin Heilelberg, New York.5. Howard, A.D., 1967, Drainage Analysis in Geologic Interpretation. AAPG. Bull., Vol 51. No.11, California.6. Mac Donald, G.A 1972, Volcanoes, Prentice - Hall. Inc, USA.7. Sidomulyo, Hadi, 2013, Mengenal Situs Purbakala Gunung Penanggungan, Universitas Surabaya8. Van Bemmelen, R.W, 1949. The Geology of Indonesia. Vol.1A. Martinus Nijhoff, The Hague, Netherland.9. Van Zuidam, R.A. 1983. Guide To Geomorphologic Interpretation and Mapping, Section of Geology and

Geomorphology, Copyright Reserved, ITC F.nschede The Nederlangs.

Page 26: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

12 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

STRATEGI DAN KOORDINASI KEBIJAKAN PENGUATAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Oleh:Nurrokhmah Rizqihandari, Ratri Candra Restuti, Fathia Hashilah

Jurusan Pusat Penelitian Geografi Terapan (PPGT), Departemen Geografi, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia

Abstrak

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai risiko bencana, baik karena faktor iklim, tektonik, vulkanik maupun demografis yang menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, harta benda dan dampak psikologis. Saat ini, penanggulangan bencana tidak hanya menekankan pada aspek tanggap darurat, tetapi juga menekankan pada keseluruhan manajemen risiko bencana, salah satunya adalah penguatan kapasitas masyarakat. Telaah strategi dan koordinasi kebijakan penguatan kapasitas masyarakat ini menggunakan dua dasar pertimbangan, yaitu landasan teori penguatan kapasitas masyarakat serta kontekstualisasi konsep revolusi mental untuk pelestarian lingkungan hidup yang mengacu pada paradigma baru pengelolaan pengurangan risiko bencana berdasarkan Kerangka Kerja Sendai. Kajian literatur dilakukan terhadap sistem nilai yang berlaku pada masyarakat dalam pengelolaan lingkungan yang berimbas pada pengurangan risiko bencana pada setiap karakteristik wilayah bencana yang berbeda, seperti wilayah vulkan, pengangkatan, dan pesisir dan pulau-pulau kecil. Kajian ini dibuat untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi upaya pengurangan risiko bencana secara keseluruhan dengan Kementerian/Lembaga terkait, Pemerintah Daerah di tingkat Propinsi, Kabupaten, dan Kota. Koordinasi teknis antar Lembaga Kementerian, Lembaga Negara Non Kementerian, dan Lembaga Non Kementerian untuk pembangunan informasi kebencanaan yang dapat dimanfaatkan sebagai pengetahuan kebencanaan berbasis wilayah yang disampaikan secara formal maupun informal ke masyarakat sebagai peningkatan pengatahuan dan kesadaran masyarakat terhadap wilayah agar dapat menciptaan “Build Back Better”.

Kata kunci: Bencana longsor dan kabut asap, Kebijakan pengurangan risiko bencana, Penguatan kapasitas masyarakat.

1. PENDAHULUAN

Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sedangkan menurut John Hopkins and The International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, bencana dapat dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri dari bencana alam, bencana yang menjadikan manusia sebagai salah satu faktor dan bencana yang diakibatkan langsung oleh manusia. Kedua acuan terkait bencana di atas menunjukkan bahwa garis merah dari definisi bencana adalah peristiwa yang mengancam kehidupan mahluk hidup di bumi akibat dari aktivitas alam, non alam bahkan bisa diakibatkan oleh aktivitas manusia.

Kemudian, berdasarkan risikonya, BNPB mengemukakan bahwa terdapat empat klasifikasi risiko bencana yaitu: bencana geologi, bencana hidrometeorologi, bencana biologi, dan bencana yang disebabkan oleh gagal teknologi. Definisi tersebut menyebutkan bahwa risiko bencana dapat disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia.

Page 27: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 13

2. PENDEKATAN KAJIAN

Indonesia memiliki karakteristik ekosistem beragam yang dapat menghasilkan sistem nilai dan budaya yang beragam. Jika dikaitkan dengan bencana maka akan salah satu hal yang dapat dilihat terkait masyarakat adalah sistem nilai, norma, adat, pamali, dan kearifan budaya. Hal yang akan dibahas pada kajian kali ini terkait kondisi masyarakat di wilayah bencana adalah mengenai faktor-faktor kausatif bencana longsor dan kebakaran lahan dan hutan (kabut asap). Selain itu juga akan dikaji terkait kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana dan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Berdasarkan kedua kebijakan tersebut, akan dilihat peran serta masyarakat di dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dan kemudian akan dirumuskan penguatan kapasitas masyarakat untuk mengurangi risiko bencana. Dalam proses penguatan kapasitas masyarakat untuk mengurangi risiko bencana, ada dua hal yang dijadikan dasar pertimbangan yaitu landasan teori penguatan kapasitas masyarakat untuk pengurangan risiko bencana dan kontekstualisasi konsep revolusi mental untuk pelestarian lingkungan hidup. Dua pertimbangan tersebut diharapkan mampu menjadi pedoman penguatan kapasitas masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana yang efektif dan efisien dan koprehensif antar kementerian/lembaga terkait & pemerintah daerah (Provinsi & Kabupaten/Kota).

3. KERAGAMAN KARAKTERISTIK WILAYAH INDONESIA

Karakteristik wilayah Indonesia yang beragam sekaligus menyebabkan bervariasinya bencana yang dihadapi Indonesia. Keragaman ini secara garis besar dapat di kategorikan menjadi tiga bagian besar, yaitu: (1) wilayah vulkan, (2) wilayah pengangkatan/wilayah dataran luas, dan (3) wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada setiap keragaman tersebut selain menyebabkan variasi bencana sekaligus menyebabkan variasi kondisi masyarakat di atasnya. Kedua hal ini tentunya akan menyebabkan tingginya variasi risiko terhadap bencana yang dihadapinya.

3.1. Wilayah Vulkan

Bentuk jajaran kepulauan Indonesia sekaligus menjadi penanda bahwa Indonesia merupakan bagian dari sebuah rantai gunungapi aktif. Rantai gunungapi aktif ini akan menyebabkan berbagai bencana, diantaranya adalah gempabumi, lahar dingin, sebaran abu vulkanik, awan panas, dan tanah longsor. Namun keberadaan deretan gunungapi ini memiliki berbagai keuntungan. Tanah vulkanis tersusun atas bahan-bahan organik asam yang lapuk, memiliki banyak liat, dan berstruktur lepas sehingga mudah ditanami tumbuhan. Kondisi tersebut membuat sifat tanah vulkan sangat subur sehingga hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh di wilayah vulkan dan baik untuk tanaman pertanian. Suburnya wilayah vulkan, seperti yang terdapat di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Lombok, Halmahera dan Sulawesi, menciptakan tingginya aktivitas penduduk berbasis pertanian, baik pertanian (sawah dan hortikultura) maupun kegiatan perladangan.

Masyarakat pertanian umumnya memiliki keterikatan yang erat pada tanah. Ancaman bencana vulkan yang ada tidak dianggap sebagai sebuah ancaman, tetapi lebih sebagai sebuah daur kehidupan lingkungannya. Contoh nyata pandangan hidup yang turun temurun untuk tunduk kepada hukum alam terdapat pada Masyarakat Merapi melalui sikap “nrimo ing pandum”, menerima realitas yang ada sebagai bagian dari kehidupan. Ketika hujan abu merapi turun yang berarti banyak tanaman pertanian mati, sikap masyarakat tetap bersyukur kepada Sang Pencipta karena guyuran abu diyakini mampu meningkatkan kesuburan tanah, adapun tanaman yang mati akan diganti dengan hasil panen yang melimpah dari tanah yang subur. Masyarakat Merapi meyakini bahwa selama mereka melestarikan tradisi yang diwariskan leluhurnya, maka Merapi tidak akan menyakiti masyarakat sekitar dengan letusan yang dahsyat. Pada akhirnya apa yang dilakukan oleh masyarakat Merapi merupakan wujud menjaga keselarasan antara penduduk dan alam.

3.2. Wilayah Pengangkatan/Wilayah Dataran Luas

Pada wilayah pengangkatan dapat dijumpai bentukan dataran rendah yang luas. Dataran rendahnya berada pada ketinggian kurang dari 200 meter di atas permukaan laut, memiliki banyak aliran sungai besar, dengan keadaan udaranya panas. Wilayah yang sebagian besar terdapat di Pulau Kalimantan dan Bagian Selatan Papua ini, jika dibandingkan dengan wilayah vulkan, kondisi tanah yang kurang subur dan

Page 28: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

14 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

berproduktivitas rendah. Umumnya orientasi kegiatan penduduknya adalah pengelolaan tanah pertanian ladang (berpindah) dan hasil hutan. Dalam perkembangan selanjutnya, kondisi tanah yang relatif datar ini menyebabkan tanah pertanian ladang berpindah dan hutan yang memiliki produktivitas rendah terkonversi menjadi lahan perkebunan komoditas unggulan, seperti karet, cengkeh dan kelapa. Sehingga selain sebagai peladang (berpindah) di dekat area hutan, penduduk pada wilayah ini bekerja sebagai buruh perkebunan.

Penduduk yang tinggal di sekitar hutan umumnya tinggal dan memanfaatkan hasil hutan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan strategi penghidupan ekonomi tradisional seperti perladangan, berburu, mengumpulkan hasil hutan seperti kayu, rotan madu. Merujuk pada hasil-hasil studi, masyarakat hutan pada umumnya memiliki ciri hubungan interpersonal yang saling menguntungkan, bersifat kekeluargaan, kurang inovatif, berserah pada nasib dan persepsi terhadap kehidupan kurang positif. Interaksi masyarakat dengan hutan dapat bernilai positif juga negatif, sangat bergantung pada nilai-nilai yang mendasarinya. Dampak negatif jika berfokus pada pemanfaatan sumber daya hutan adalah punahnya fauna, tanah gundul dan longsor dan kebakaran. Lain hal jika selain memanfaatkan juga mengelola dan melestarikan maka keseimbangan ekosistem akan terjaga dengan nilai kearifan lokal masyarakat.

3.3. Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil

Sebagai Negara dengan garis pantai terpanjang kedua dunia, keberadaan wilayah pesisir pulau-pulau kecil tidak bisa dinafikkan keberadaannya. Pulau-pulau kecil yang ada sebagian besar memiliki keterikatan terhadap sumber daya tanah yang kecil, tetapi besar terhadap sumber daya laut. Secara geografis, tipologi desa pantai dilihat dari komposisi dan dominasi sumber dayanya yang dalam hal ini dapat dibedakan menjadi empat sub tipologi, yaitu desa pantai tanaman industri, desa pantai tanaman bahan makanan, desa pantai nelayan dan empang, desa pantai niaga transportasi (Sallatang, 1997 dalam Kusnadi, 1997). Selain empat sub tipologi tersebut ada pula subtipologi masyarakat jasa wisata. Tipologi ini muncul akibat adanya perubahan dalam pola kebijakan pemerintah (policy), yang antara lain ditetapkannya suatu kawasan wisata bahari.

Karakteristik masyarakat nelayan yang mencolok adalah ketergantungan mereka pada musim. Ketergantungan ini disebabkan mereka kurang mampu mengakses teknologi penangkapan. Kondisi ini mempunyai implikasi terhadap perilaku konsumsinya, seperti pada musim penangkapan mereka cenderung konsumtif dan relatif kekurangan pada musim paceklik. Dalam upaya mempertahankan kehidupannya, sistem jaminan sosial (social security) membentuk apa yang dikenal dengan hubungan patron-klien. Pada musim paceklik, nelayan kecil, buruh nelayan, petani tambak kecil dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang atau barang untuk kehidupan sehari-hari dari para juragan. Konsekuensinya, para peminjam terikat dengan pihak juragan berupa keharusan menjual hasil tangkapan pada juragan tersebut.

Realitas lainnya adalah bahwa kehidupan masyarakat pesisir sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan maupun bencana. Wilayah pesisir dapat menjadi sumber maupun muara beragam kasus pencemaran, baik limbah industri ataupun tumpahan minyak. Sementara bencana akibat peristiwa alam yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir adalah gelombang pasang, banjir dan tsunami. Baik pencemaran maupun bencana dapat memperburuk kinerja usaha di bidang perikanan tangkap maupun budidaya, sehingga pada akhirnya akan menurunkan kualitas kehidupan sosial ekonomi wilayah pesisir.

Merujuk paparan di atas, dapat dilihat bahwasanya karakteristik wilayah selalu ada kaitannya dengan karakteristik masyarakat yang menempatinya. Karakter masyarakat tersebut mencakup di dalamnya nilai yang diyakini bersama perihal interaksi mereka dengan lingkungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki karakteristik/tipologi masyarakat yang beragam sehingga dalam upaya membangunnya dibutuhkan pendekatan yang sesuai dengan nilai-nilai terkait.

4. PENGUATAN KAPASITAS

Kapasitas merupakan kemampuan suatu kelompok (atau negara) secara keseluruhan untuk mengelola proses pembangunan. Berikutnya, mengembangkan kapasitas adalah sebuah proses yang berkelanjutan dan perubahannya perlu dilakukan bertahap, dari waktu ke waktu. Selanjutnya, isu dan prioritas yang dikembangkan akan sangat tergantung pada masterplan pembangunan yang dianut - tidak ada pakem khusus dalam pengembangan kapasitas. Dan yang terpenting adalah, permasalahan terkait

Page 29: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 15

kapasitas merupakan permasalahan multidimensi dan kompleks yang pelaksanaanya sangatlah dipengaruhi oleh kondisi sosial yang beragam, terutama jika terkait perlaksanaan kegiatan teknis seperti pelatihan, pengembangan keterampilan, ataupun transfer teknologi. Selain itu, penting untuk diingat bahwa aktor luar memiliki peran penting untuk bermain untuk membantu sebuah kelompok (atau negara) mencapai tujuan pembangunannya. UNISDR (2008) mengungkapkan bahwa kapasitas merupakan segala kombinasi dari semua kekuatan, atribut, dan sumber daya yang ada dalam sebuah komunitas, masyarakat, atau organisasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kemudian, UNDP (2009) mengungkapkan bahwa peningkatan kapasitas merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh individu, organisasi, dan masyarakat memperoleh, memperkuat, dan mempertahankan kemampuannya untuk mencapai tujuan pembangunannya.

S e l a n j u t n y a , dikemukakan bahwa dalam peningkatan kapasitas terdapat empat hal penting yang terlibat di dalamnya, yaitu: Pembangunan dan penguatan institusi, k e p e m i m p i n a n , pengetahuan, dan akuntabilitas. Keempat hal ini saling melengkapi dan bekerjasama. Pengaturan institusi menjadi bagian penting dalam kegiatan penguatan kapasitas. Pengaturan institusi haruslah tertera dalam kebijakan, sistem tata kelola, dan proses dimana pemerintah dapat melaksanakan kegiatan pengurangan risiko bencana dengan baik. Pada tingkat nasional, Indonesia telah memiliki BNBP untuk kegiatan terkait kebencanaan, tetapi kegiatan penguatan kapasitas masyarakat tentunya tidak terbatas bagi BNPB saja melainkan seluruh stakeholder yang ada dan berlaku dari tingkat pusat hingga lokal. Kepemimpinan dapat bersifat formal atau informal, dan ditunjukkan dalam bentuk kepemilikan visi, kompetensi dan integritas. Strategi pembangunan kapasitas dapat berusaha untuk menargetkan individu, kelompok, masyarakat dan bahkan organisasi untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan mereka. Hal ini dapat diberikan melalui program pengembangan sifat kepemimpinan, kemitraan, individu bermental “juara”, dan mampu meciptakan koalisi multi-stakeholder dalam penyelesaian masalah. Pengetahuan mengacu pada langkah-langkah pengembangan kapasitas untuk menggali dan menguatkan pengetahuan yang ada melalui pendidikan, pelatihan, pembinaan, ataupun kegiatan pendampingan. Kegiatan penguatan kapasitas dapat dilakukan pada berbagai platform yang mempertemukan organisasi masyarakat sipil, donor, dan lembaga pemerintah. Akuntabilitas mengacu pada cara di mana pemegang hak dan pengemban tugas dalam memenuhi kewajiban mereka. Akuntabilitas antara negara dan masyarakat haruslah menjadi prioritas. Akuntabilitas dapat tercipta jika terdapat pengawasan baik kegiatan audit, transparansi keuangan, dan pengambilan keputusan. Akuntabilitas yang baik mampu menciptakan koalisi dan jaringan pengurangan risiko bencana.

Peningkatan kapasitas dapat terdiri dari berbagai kegiatan peningkatan kapasitas yang berbeda, mengadopsi dari penerapan di tempat lain yang terdapat di dalamnya penyaringan terhadap ukuran-ukuran yang berlaku yang dapat diterapkan. Walaupun terdapat berbagai jenis penguatan kapasitas, terdapat sebuah konsensus yang mengungkapkan bahwa ada tiga tingkatan sudut pandang dalam membahas kegiatan peningkatan kapasitas, yaitu: pemberdayaan lingkungan, keberadaan organisasi, dan kondisi individu. Tingkatan kemampuan lingkungan sangat bergantung dengan sistem yang terbentuk antara organisasi dan individu, baik yang sifatnya saling menghambat ataupun saling memfasilitasi satu sama lain.

Pembangunandan Penguatan

Institusi

Kepemim-pinan

Pengetahuan

AkuntabilitasKegiatan

PenguatanKapasitas

Gambar 1. Kegiatan Penguatan Masyarakat.

Page 30: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

16 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Pada Tingkatan Organisasi kapasitas berkaitan dengan kebijakan internal, sistem dan strategi, pengaturan, prosedur dan kerangka kerja yang memungkinkan sebuah organisasi untuk berkegiatan dan memenuhi tugasnya; dan bukan tidak mungkin secara bersama-sama bersinergi dengan kapasitas individu untuk mencapai tujuan. Sedangkan pada Tingkatan Individu kapasitas berkaitan dengan keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki individu, masyarakat, atau bahkan kelompok. Ketiganya tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki keterkaitan. Akibatnya, tidak ada cetak biru terhadap pengembangan kapasitas - perlunya konteks dan tujuan lah yang memuatnya berbeda. Tiga tingkatan tersebut perlu mempertimbangan kapasitas “apa” yang diperlukan dan apakah “tujuan” dari kapasitas tersebut dikembangkan.

Gambar 2. Tiga Tingkatan Sudut Pandang Kapasitas. Gambar 3. Skema Proses Peningkatan Kapasitas.

UNDP 2008 mengungkapkan bahwa peningkatan kapasitas sangat bergantung kepada konteks dan kasus spesifik, serta diperlukan sebuah proses yang iteratif dari sebuah proses “assessment-design-application-learning-adjustment” yang bersifat siklus berulang. Proses tersebut adalah (1) Melibatkan para pemangku kepentingan dalam pembangunan kapasitas, (2) Menilai aset kapasitas d an kebutuhan, (3) Merumuskan Respon pengembangan kapasitas, (4) Melaksanakan respon pengembangan kapasitas, dan (5) Evaluasi pengembangan kapasitas. Kelima proses tersebut sangat mungkin dijalankan tidak runtun dan tidak linier bergantung pada kasus yang ada.

5. KEBIJAKAN PRB TINGKAT INTERNASIONAL TERHADAP KEBIJAKAN PRB NASIONAL PERIODE 2015-2030

Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (Sendai Framework for Disaster Risk Reduction/SFDRR) 2015-2030 yang telah menciptakan kesepakatan dengan 187 negara di dunia dalam upaya pengelolaan risiko bencana yang membangun konsepsi dan kerangka PRB sebagai landasan pelaksanaan strategi, program, dan aksi di tingkat global, regional, nasional, dan lokal. Secara umum SFDRR 2015-2030 ini menghasilkan tiga tujuan, tujuh target dan empat prioritas kerja yang menekankan pada pengurangan risiko dan kerugian bencana (secara detail hasil SFDRR dapat dilihat pada Gambar 3.4). Untuk Indonesia, pengakuan pengelolaan risiko bencana berbasis kepulauan berhasil diakui melalui konsep “disaster-prone countries with specific characteristic, such as archipelagic countries, as well as countries with extensive costline” yang menjadikan Indonesia leading dalam konsep pengelolaan bencana berbasis kepulauan dan maritim.

Seiring dengan perubahan paradigma penanganan bencana di Indonesia yang telah mengalami pergeseran, yaitu penanganan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat, tetapi lebih menekankan pada keseluruhan manajemen risiko bencana. Maka kebijakan penanggulangan bencana yang dikemukakan dalam dokumen konseptual Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) 2015-2019 sudah juga mencakup hal teknis terkait Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB). Penggabungan dua dokumen ini ditujukan agar tidak terjadi pengulangan dan

Page 31: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 17

tumpang tindih pekerjaan yang tidak perlu. Renas PB 2015-2019 pun sudah mengacu pada arahan kebijakan penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015-2019 diarahkan untuk mendukung agenda prioritas nasional mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik melalui fokus pelestarian sumber daya alam, lingkungan hidup dan pengelolaan bencana.

Adapun sasaran penanggulangan bencana dalam Renas PB 2015-2019, dirumuskan dan ditetapkan untuk tercapainya arah penanggulangan bencana sesuai dengan prioritas nasional yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019. Uraian mengenai keterkaitan antara program, fokus prioritas, dan sasaran penanggulangan bencana yang termuat dalam Renas PB 2015-2019 ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Fokus Prioritas, dan Sasaran Penanggulangan Bencana dalam Renas PB 2015-2019

Fokus Prioritas Sasaran

1 Penguatan kerangka hukum penanggulangan bencana

1 Tersedianya perangkat hukum yang mendorong penyelenggaraan penanggulangan bencana yang efektif dan mandiri di tingkat pusat hingga daerah secara proporsional

2 Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam pembangunan

2 Terintegrasinya penanggulangan bencana pada kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan non pemerintah

3 Meningkatnya efektivitas mekanisme penyelenggaraan penanggulangan bencana

3 Peningkatan kemitraan multi pihak dalam penanggulangan bencana

4 Diterapkannya strategi yang menjamin terlaksananya pemberdayaan masyarakat secara sinergi yang beroritentasi kepada penurunan risiko bencana dengan kearifan lokal dankemandirian daerah.

5 Meningkatnya kemitraan multi-pihak (pemerintah, lembaga usaha dan masyarakat sipil) dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

4 Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana

6 Meningkatnya upaya pencegahan dan mitigasi untuk mengurangi potensi korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan akibat bencana.

5 Peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana

7 Meningkatnya kesiapsiagaan dan penanganan darurat untuk menghadapi bencana secara mandiri dan proaktif.

6 Peningkatan kapasitas pemulihan bencana

8 Tersedianya mekanisme pendukung dalam menjamin terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara mandiri, efektif dan bermartabat.

9 Terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara lintas sektor sesuai dengan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana

7 Pemenuhan tata kelola bidang penanggulangan bencana

10 Meningkatnya kapasitas SDM serta kelembagaan pemerintah dan non pemerintah terkait penanggulangan bencana

Selanjutnya, kebijakan penanggulangan bencana yang diarahkan pada peningkatan kapasitas dan upaya pengurangan risiko bencana juga telah diinternalisasikan dalam berbagai prioritas bidang dalam agenda pembangunan bidang dan dalam agenda pembangunan kewilayahan, yang dijabarkan dalam rencana strategis dan dilaksanakan melalui program dan kegiatan kementerian/lembaga yang memiliki fungsi terkait dengan penanggulangan bencana. Strategi ini diambil guna menyambut kesepakatan internasional terkait Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s) 2015-2030.

6. KEARIFAN LOKAL UNTUK PENINGKATAN KAPASITAS PENYEBAB PENURUNAN RISIKO BENCANA

Catatan penting yang diperoleh dari Kerangka Kerja Sendai 2015-2030 bukan hanya sekedar menurunkan risiko bencana semata, melainkan juga menciptakan ketangguhan negara hingga tingkat lokal. Walaupun bencana dapat bersifat trans-boundary -- terutama yang memiliki kaitan dengan iklim, tetapi setiap negara memiliki karakteristik yang mempengaruhi kapasitasnya terutama pada tingkat lokal. Kapasitas yang dimiliki pada tingkat lokal sangatlah bergantung pada nilai dan norma lokalitas komunitas yang berlaku. Walaupun sebuah teknologi mutakhir terkait peringatan dini bencana telah

Page 32: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

18 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

diciptakan atau bahakan sebuah SOP terkait respon telah dibentuk, tetapi jika tidak mempertimbangkkan lokalitas sebuah tempat, maka peningkatan kapasitas yang berujung pada penurunan risiko bencana tidak dapat tercipta dengan efisien.

Pengurangan risiko bencana merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan secara khusus oleh pemerintah dan berbagai aspek dalam suatu negara agar mampu mencegah jatuhnya korban dan kerugian akibat terjadinya bencana. Pada era modern seperti saat ini, kebanyakan program yang dipraktikkan dalam upaya mengurangi risiko bencana mengacu pada kecanggihan teknologi, salah satunya adalah mengacu pada sistem peringatan dini. Secara praktis, hanya menggunakan teknologi sebagai upaya pengurangan risiko bencana agaknya sangat rentan mengingat karakteristik masyarakat dan lokasi kejadian bencana tidak seragam sehingga butuh ada pendekatan dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap penduduk asli sebagai salah objek dari pengurangan risiko bencana. Salah satu upaya yang dapat dilakukan selain penguatan teknologi adalah mengedepankan kearifan lokal suatu kelompok masyarakat dalam menghadapi bencana.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kesuksesan dan keberlangsungan dari intervensi yang dilakukan pada sebuah komunitas bergantung berbagai faktor yang berlaku pada budaya lokal. Kearifan lokal merupakan produk budaya khusus yang diwariskan dari generasi ke generasi dan dapat dimodifikasi sesuai perkembangan zaman tanpa meninggalkan akarnya dam merepresentasikan gaya hidup masyarakatnya. Penelitian yang dilakukan pada berbagai negara terkait kearifan lokal dapat diketahui bahwa kearifan lokal yang berlaku pada sebuah tempat dapat diaplikasikan pada berbagai tempat - tentu dengan melakukan kalibrasi dengan nilai setempat. Identifikasi pada pengetahuan lokal dalam mengatasi bencana ini merupakan salah satu prioritas pada Kerangka Aksi Hyogo (HFA) 2005-2015 yang kemudian pada Kerangka Aksi Sendai (SFDRR) 2015-2013 dipertajam dengan berfokus pada hasil yang menciptakan ketangguhan komunitas lokal.

Berdasarkan beberapa kasus terkait pemanfaatan kearifan lokal dalam penurunan risiko bencana, maka dapat diketahui bahwa dengan memanfaatkan kearifan lokal maka kegiatan penguatan kapasitas dalam penurunan risiko bencana memiliki banyak keunggulan, diantaranya adalah:1. Biaya yang dihabiskan relatif rendah. Kondisi ini terjadi karena segala kegiatan yang ada memanfaatkan

sumber daya dan pengetahuan lokal yang telah berkembang terlebih dahulu di masyarakat.2. Internalisasi yang efisien dan handal uji. Karena menggunakan kearifan lokal yang ada atau pernah

ada di masyarakat, maka penerimaan oleh masyarakat akan lebih cepat dan lebih mudah dipahami dan dipercaya.

3. Kepemilikan Komunitas. Nilai-nilai lokal yang telah ada dalam masyarakat cenderung telah mendarah-daging sehingga komunitas lokal cenderung merasa hidup dengan nilai-nilai tersebut, sehingga rasa kepemilikannya kuat.

4. Peka budaya dan Selaras dengan konteks dan kebutuhan lokal. Kegiatan yang dilakukan biasanya mengakomodir budaya setempat, sehingga pelaksanaannya selaras dengan budaya yang berlaku.

5. Pemantauan terus menerus. Komunitas lokal yang melakukan kegiatannya dan juga yang melakukan evaluasi terhadap setiap hasil kegiatan yang telah diakukan, sekaligus berperan sebagai pemantau dan penjaga kualitas kegiatan.

6. Memberdayakan masyarakat. Hal ini terutama pada kelompok yang paling rentan yang akan mengalami kerugian seperti penduduk miskin, orang tua dan anak, penyandang disabilitas, dan perempuan. Kelompok rentan ini diharapkan mampu dengan sendirinya mengambil tindakan tertentu dan tidak hanya mengandalkan bantuan eksternal.

7. Holistik (memperhitungkan tekanan lain atau prioritas yang mempengaruhi kerentanan kelompok sosial, rumah tangga atau individu).

7. PELAKSANAAN KEGIATAN PENGUATAN KAPASITAS DALAM PRB

Dalam penyusunan program, tujuan pelaksanaan menjadi sangat utama karena menjadi penentu luaran program terkait. Pada program penguatan kapasitas masyarakat, dasar utama tujuannya adalah menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat menuju arah yang lebih baik pada bidang tertentu. Perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara hidup yang diterima, akibat adanya perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, kompoisisi penduduk, ideologi, maupun karena difusi dan penemuan baru dalam masyarakat. Rujukan lain menyebutkan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok- kelompok dalam masyarakat.

Page 33: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 19

Demikian halnya pada program penguatan kapasitas masyarakat dalam pengurangan risiko bencana, tujuan program diharapkan mampu menciptakan perubahan sosial pada masyakarat yang meliputi aspek pengetahuan/kognisi, kemampuan/skill dan perilaku masyarakat dalam melihat/menghadapi bencana. Perubahan ini pada akhirnya akan menurunkan risiko kerugian maupun korban ketika bencana terjadi. Merujuk pada tabel 1 khususnya komponen tujuan program, berikut digambarkan kerangka tujuan penguatan kapasitas masyarakat dalam pengurangan risiko bencana.

Gambar 4. Kerangka Program Penguatan Kapasitas Masyarakat.

Apabila kerangka diatas digunakan untuk menelaah sejumlah tujuan program kementerian/lembaga terkait penguatan kapasitas (Gambar 4) maka diperoleh rumusan sebagaimana terlihat dalam Gambar 6. Terdapat program yang baru menyatakan tujuan programnya hingga tahap penambahan pengetahuan dan perubahan cara pandang, misalnya memberikan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang bahaya dan risiko bencana. Namun sebagian besar telah mendeskripsikan dengan tegas tujuan program mulai dari penambahan pengetahuan hingga perilaku yang diharapkan terbentuk setelah implementasi program terlaksana. Contoh perilaku yang diharapkan dan tercermin dalam tujuan program adalah meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana dan perubahan iklim di desa pesisir dan pulau-pulau kecil dan meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam pengelolaan sumber daya dalam rangka mengurangi risiko bencana. Pada akhirnya tujuan dari semua program penguatan kapasitas masyarakat adalah memperbaiki kualitas hidup masyarakat dalam hal ini pengurangan risiko bencana.

Gambar 5. Tahapan Perubahan Sosial dalam Penguatan Kapasitas Masyarakat.

Berangkat dari tujuan program dan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga terbentuk spesifikasi bentuk kegiatan penguatan kapasitas masyarakat. Merujuk pada Tabel 3 maka terlihat bahwa setiap program kementerian/lembaga memiliki bidang prioritasnya tersendiri. Berikut disajikan bidang prioritas dari program kementerian/lembaga yang berada dalam koordinasi kementerian koordinasi bidang pembangunan manusia dan kebudayaan.

Page 34: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

20 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Gambar 6. Bidang Prioritas Program Penguatan Kapasitas Masyarakat pada Kementerian di Bawah Koordinasi Kemenko PMK.

8. KEMITRAAN DAN KOORDINASI KEGIATAN PENGUATAN KAPASITAS DALAM PRB DI INDONESIA

Dalam pengaturan/manajemen modern, dalam pengembangan sumber daya manusia maupun pengembangan kelembagaan, kemitraan merupakan strategi yang dapat ditempuh untuk mendukung keberhasilan implementasi program. Kemitraan tidak hanya diartikan sebagai sebuah bentuk kerjasama, melainkan kemitraan memiliki pola dan nilai strategis dalam mewujudkan keberhasilan yang dimaksud. Construction institute (CII, 1989) secara konseptual mendefinisikan kemitraan sebagai suatu komitmen jangka panjang antara dua atau lebih organisasi dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu dengan memaksimalkan keefektifan sumber daya dari setiap partisipan.

Gambar 7. Stakeholder Pengurangan Risiko Bencana Menurut Kerangka Kerja Sendai, 2015.

Page 35: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 21

Kemitraan kementerian/lembaga dalam program penguatan kapasitas masyarakat diharapkan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dan mensinergikan program dalam hal ini pengurangan risiko bencana. Pada Tabel 3 dapat terlihat kementerian/lembaga dalam menjalankan programnya bermitra dengan kementerian/lembaga lain, pemerintah daerah, komunitas/kelompok masyarakat, swasta/industri, lembaga donor, pihak internasional. Merujuk pada framework Sendai (2015) stakeholder yang terlibat dalam pengurangan risiko bencana seperti bagan berikut. Jika merujuk Kerangka Kerja Sendai maka stakeholder yang belum dioptimalkan masuk dalam kemitraan kementerian/lembaga dalam program penguatan kapasitas masyarakat adalah masyarakat akademi, peneliti dan komponen risetnya. Masyarakat akademi di Indonesia merupakan entitas yang besar dan sangat berpotensi mendukung optimalisasi capaian program.

Beberapa bencana tertentu telah dibuatkan instruksi presiden terkait penanggulangannya. Inpres tersebut meliputi kegiatan dari pra hingga pascabencana. Inpres tersebut juga melihat pembagian peran antar kementerian/lembaga yang ada. Tabel berikut menjelaskan pembagian peran khusus terkait penguatan kapasitas masyarakat yang merupakan tindakan nyata dari turuanan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Bencana BNPB.

8.1. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2012 tentang Penanggulangan Bencana Banjir dan Tanah Longsor

Dalam rangka penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor di seluruh wilayah republik Indonesia, maka Presiden RI menginstruksikan 11 orang menteri, Kepala BNPB, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala BMKG, Kepala BPPT, Kepala Basarnas, dan Para Gubernur/Bupati/Walikota untuk:a. Melakukan koordinasi dan kerjasama untuk melaksanakan penanggulangan banjir dan tanah longsor. b. Meningkatkan peran serta masyarakat dan dunia usaha untuk kegiatan penanggulangan banjir dan

tanah longsor.

8.2. Instruksi Presiden No. 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

Dalam rangka peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di seluruh wilayah republik Indonesia, maka Presiden RI menginstruksikan 13 orang menteri, Jaksa Agung RI, Panglima Tentara RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Kepala BNBP, Kepala BMKG, para Gubernur, para Bupati/Walikota, dan Instansi lain yang dianggap perlu untuk:1. Melakukan peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di seluruh wilayah Republik

Indonesia, melalui kegiatan:a. pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.b. pemadaman kebakaran hutan dan lahan.c. penanganan pascakebakaran/pemulihan hutan dan lahan.

2. Melakukan kerjasama dan saling berkoordinasi untuk melaksanakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

3. Meningkatkan peran serta masyarakat dan pemangku kepentingan untuk kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

4. Meningkatkan penegakan hukum dan memberikan sanksi yang tegas terhadap perorangan atau badan hukum yang terlibat dengan kegiatan pembakaran hutan dan lahan.

Adanya kedua instruksi presiden tersebut pada dasarnya mengamanatkan kepada kementerian/lembaga terkait untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi program dalam penanggulangan bencana, baik pada saat prabencana (pengurangan risiko bencana), saat terjadi bencana dan pascabencana. Pengurangan risiko bencana telah mulai diintegrasikan ke dalam kerangka kebijakan di tingkat nasional maupun tingkat lokal untuk kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan pascabencana. Kebijakan rekonstruksi di wilayah pascagempa, misalnya, telah menerapkan prinsip-prinsip “build back better” atau “membangun kembali dengan lebih baik”. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan kembali yang lebih baik dan lebih aman atau “build back better” dari kondisi sebelum bencana haruslah dilaksanakan secara sistematis dengan pengaturan dan pengelolaan yang baik. Untuk mencapai hasil yang optimal sebagaimana yang diinginkan proses pembangunan kembali ini harus diawali dengan perencanaan yang baik, dilakukan pembagian tanggung jawab pelaksanaan serta penganggarannya serta pengawasan dan pengendalian.

Page 36: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

22 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

8.3. Apresiasi Konsep Dasar Revolusi Mental dalam Pengurangan Risiko Bencana

Dengan adanya karakteristik bencana yang datang dengan tidak terduga diperlukan upaya menyandingkan potensi bencana nusantara dengan kesiapsiagaan masyarakat menghadapinya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika revolusi mental diterapkan dalam aspek kebencanaan di Indonesia. Revolusi mental merupakan gerakan seluruh masyarakat Indonesia (pemerintah dan rakyat) untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategis yang diperlukan oleh bangsa sehingga mampu menciptakan ketertiban dan kesejahteraan rakyat.

Revolusi mental dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana menjadi sangat penting sehingga masyarakat akan tetap hidup aman dan nyaman meskipun tinggal di wilayah yang rawan bencana. Proses edukasi, intervensi atau secara umum disebut sebagai upaya penguatan kapasitas masyarakat tidak dapat berlangsung instan. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membentuk karakter masyarakat sadar bencana. Namun, pemerintah pusat maupun daerah dapat memulai membuat gerakan massif/program pengenalan dan pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai karakter wilayah Indonesia dan potensi bencananya. Perubahan pola pikir dan mental harus dilakukan sebab datangnya bencana tidak dapat dihindari, tetapi dapat diantisipasi untuk mencegah maupun mengurangi dampak bencana.

9. STRATEGI DAN ALUR KOORDINASI PENGURANGAN RISIKO BENCANA BIDANG PENGUATAN KAPASITAS MASYARAKAT

9.1. Strategi Koordinasi

Penanganan bencana di Indonesia saat ini mulai memasuki periode dimana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat, tetapi lebih menekankan pada keseluruhan manajemen risiko bencana. Hal ini diungkapkan pada Renas PB 2015-2019 yang mengungkapkan 7 fokus prioritas dan 10 sasaran penanggulangan bencana di Indonesia yang memiliki visi “Menjadikan Bangsa yang Tangguh Menghadapi Bencana”. Pada tingkatan Internasional melalui Kerangka Kerja Sendai, memutuskan bahwa penanggulangan bencana bukan hanya sekedar menurunkan risiko bencana semata, melainkan juga menciptakan ketangguhan negara hingga tingkat lokal.

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan kondisi alam beragam, menyebabkan keragaman masyarakat baik berupa norma, nilai, adat, dan kebiasaan - selain keragaman jenis bencana. Kebijakan penanggulangan bencana pada tingkat nasional untuk menciptakan masyarakat yang tangguh terhadap bencana, haruslah disesuaikan dengan kondisi lokal yang beragam. Pemanfaatan nilai pengetahuan lokal yang ada di setiap tempat dalam mererapkan nilai-nilai penanggulangan becana menjadi penting dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan koordinasi dan sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pada skala nasional dengan nilai-nilai lokal yang berada di masyarakat. Secara umum kegiatan penguatan kapasitas penduduk dalam mekanisme penurunan risiko bencana dapat dibagi menjadi berbagai kegiatan dasar, yaitu:1. Langkah awal pengelolaan pengurangan risiko bencana adalah melakukan kajian ancaman atau

potensi bencana alam yang ada di sekitar masyarakat baik dari jenis, tingkat risiko, frekuensinya waktu dan lamanya, wilayah yg terkena, serta perkembangan dan bahaya ikutannya.

2. Kajian selanjutnya adalah kajian kerentanan yaitu mengidentifikasi lokasi yang rawan bencana, siapa yang paling rentan ketika bencana terjadi baik dari status sosial-ekonomi, gender, umur dan lain-lain. Selain mengidentifikasi manusia juga melakukan identifikasi sumber daya alam lainnya yang rentan terkena dampak bencana seperti keragaman hayati, dan lingkungan hidup.

3. Kemudian dilakukan kajian kemampuan atau kapasitas masyarakat terhadap antisipasi bencana yang mungkin datang. Kajian ini dilakukan untuk memetakan kekuatan dan sumber-sumber yang dimiliki oleh perorangan, rumah tangga, dan komunitas, yang membuat mereka mampu mencegah, mengurangi, siap siaga, menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari bencana. Misalnya kesadaran masyarakat terhadap ancaman bencana, dilakukan prediksi dan peringatan dini dari lembaga yang berwenang., adanya upaya pencegahan dan mitigasi, kesiapan dan kemampuan masyarakat bersama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga lain dalam menanggapi bencana.

4. Terakhir melakukan kajian pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menganalisis peran dan partisipasi lembaga-lembaga, baik pada tahap manajemen krisis maupun manajemen risiko.

Page 37: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 23

Secara umum strategi dan koordinasi pengurangan risiko bencana bidang penguatan kapasitas masyarakat mengikuti 7 fokus prioritas 10 sasaran penanggulangan bencana pada RENAS PB 2015-2019 yang dapat disarikan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Strategi dan Koordinasi Pengurangan Risiko Bencana Bidang Penguatan Kapasitas Masyarakat

Fokus Prioritas Penanggulangan

Bencana

Kegiatan untuk Menyasar Peningkatan Kapasitas Masyarakat Terkait Penurunan Risiko Bencana

No Bencana Tanah Longsor Bencana Kabut Asap Serta Kebakaran Hutan dan Ladang

1

Penguatan kerangka hukum penanggulangan bencana

1 Tersinkronisasinya perangkat hukum pada tingkat lokal (hukum adat, norma, dan agama) dengan muatan pengurangan risiko bencana pada tingkat nasional.

Integrasi aturan lokal terkait zonasi tanaman yang dapat ditanam jenis kegiatan pertanian yang dapat dilakukan pada area berlereng curam.

Integrasi nilai adat terkait pengaturan tahapan kegiatan pembakaran lahan pada wilayah-wilayah rawan bencana dengan mempertimbangkan: (1) unsur-unsur cuaca (arah angin) serta iklim dan musim (2) jenis hutan sekitar (terutama wilayah gambut), jarak dari hutan kawasan lindung.Integrasi aturan adat terhadap kegatan pembakaran hutan terkait kriteria pembakar lahan yang tersertifikasi.

2

Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam pembangunan

2Terintegrasinya kegiatan penanggulangan bencana pada setiap kegiatan masyarakat berbasis lingkungan dan nilai sosial yang berlaku pada masyarakat setempat.

Pemanfaatan jenis tanaman tertentu (misal: bambu) pada area berlereng curam. Pengetahuan akan zonasi area permukiman yang jauh dari area berlereng curam.Pengetahuan siklus iklim terkait kegiatan pertanian guna persiapan pengolahan tanah pertanian.Penyuluhan terkait pengelolaan tanah pertanian pada area berlereng curam.

Pembuatan sekat bakar yang mengelilingi area ladang yang akan dibakar.Pengetahuan terkait arah angin, siklus iklim, dan jenis kawasan hutan hutan sekitar sebagai pertimbangan utama kegiatan pembakaran ladang. Penyuluhan terkait tahapan persiapan, pembakaran ladang, dan pascapembakaran ladang dengan mengundang tetua adat yang berpengalaman, pihak pemerintah, dan organisasi lingkungan hidup yang ada.

3 Meningkatnya efektivitas mekanisme penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan nilai sosial setempat.Terbentuknya jaringan masyarakat pengelola lingkungan terutama pada masyarakat petani pengelola area berlereng curam dan pada kawasan DAS kritis.

Terbentuknya jaringan masyarakat pengelola kawasan sekitar hutan yang berinteraksi dengan kegiatan perladangan berpindah, perkebunan, dan pemanfaat hasil hutan.

Jaringan masyarakat sangat diperlukan untuk membantu dalam melaksanakan rencana aksi, peningkatan kapasitas team/forum pengurangan risiko bencana selain itu juga untuk keberlanjutan dari team atau forum pengurangan risiko bencana di suatu wilayah.

Terdapatnya kurikulum penanganan bencana terkait pengelolaan lingkungan pada kurikulum pendidikan formal melalui mata pelajaran muatan lokal pada sekolah-sekolah pedesaan.

Terdapatnya kurikulum penanganan bencana terkait pengelolaan lingkungan hutan, kegiatan perladangan berpindah, interkasi dengan kegiatan perkebunan, interkasi dan pemanfaatan hasil hutan, pada kurikulum pendidikan formal melalui mata pelajaran muatan lokal pada sekolah-sekolah kawasan hutan.

Page 38: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

24 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

3

Peningkatan kemitraan multi pihak dalam penanggulangan bencana.

4Diterapkannya strategi yang menjamin terlaksananya pemberdayaan masyarakat secara sinergi yang beroritentasi kepada penurunan risiko bencana dengan kearifan lokal dan kemandirian daerah.

Penerapan strategi dan cara pengelolaan tanah pertanian pada lereng curam - pembuatan teras tanah, penanaman komoditas pertanian bernilai tinggi tertentu pencegah longsor, pengiliran tanaman, dsb. Inovasi pada komoditas pertanian ekonomi tinggi yang mampu menjaga siklus pengelolaan tanah yang aman dari longsor.

Penerapan strategi dan cara pembersihan lahan (land clearing) tanpa pembakaran lahan.Penerapan strategi dan cara pembersihan lahan (land clearing) menggunakan metode pembakaran lahan yang aman dari bahaya kebakaran. Menggeser sebagian kegiatan masyarakat kawasan hutan dari kegiatan estensifikasi ladang menjadi intensifikasi ladang melalui adanya bibit unggul yang memiliki siklus produksi lebih panjang.

5Meningkatnya kemitraan multi-pihak (pemerintah, lembaga usaha dan masyarakat sipil) dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal.

Replikasi strategi pengolahan tanah pertanian pada lereng curam pada wilayah lain sejenis.Pelibatan lembaga penelitian terkait komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi.Pelibatan lembaga riset baik yang berasal dari akademisi maupun LSM terkait (1) pemetaan partisipatif wilayah rawan longsor, (2) waktu-waktu yang menjadi potensi kejadian longsor, dan (3) mekanisme evakuasi dan penyaluran bantuan.

Replikasi strategi pengelolaan ladang berpindah yang dianut satu suku pada wilayah lain.Pelibatan lembaga penelitian terkait komoditas dengan siklus produksi panjang dan bernilai ekonomi tinggi, sehingga kegiatan land clearing dapat diminimalisiasi.Pelibatan lembaga riset baik yang berasal dari akademisi maupun LSM terkait (1) pemantauan titik rawan kebakaran dan hotspot berbasis pelaporan aktif masyarakat; (2) kegiatan pengelolaan ladang berpindah yang aman.

Pembuatan jaring simpul universitas terkait riset terkait pengelolaan lingkungan, komoditas unggul, kegiatan pendampingan masyarakatPelibatan mahasiswa sebagai tenaga relawan baik untuk kegiatan prabencana - cepat tanggap - pemulihan bencana.Pembuatan kerjasama triple helix antara universitas - swasta - pemda terkait penanggulangan bencana.Sosialisasi kegiatan pertanian berbasis pengelolaan lingkungan untuk mencegah longsor melalui media massa secara rutin dalam program prime time.Akses pada insentif untuk melaksanakan kegiatan pertanian berbasis lingkungan dalam bentuk bantuan modal/kredit perbankan.

4

Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana.

6 Meningkatnya upaya pencegahan dan mitigasi untuk mengurangi potensi korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan akibat bencana.Pembuatan rencana kontijensi bencana, dari rantai komando saat bencana, evakuasi, pemulihan, jalur informasi kebencanaan termutakhir.Pembuatan zonasi rawan bencana berbasiskan partisipasi masyarakat.Pengelolaan dan pemutahkiran data kependudukan untuk dapat mengetahui besaran kerawanan manusia dan sumber daya lainnya.

5

Peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana.

7Meningkatnya kesiapsiagaan dan penanganan darurat untuk menghadapi bencana secara mandiri dan proaktif berbasis pengetahuan lokal dan diselenggarakan oleh komunitas lokal yang ada.Pembuatan rencana kontigensi terkait informasi keadaan bencana terkait early warning system yang berbasis partisipasi masyarakat dengan teknologi terkini.Pengelolaan data kependudukan, terkait aset pertanian dan peternakan agar memudahkan evakuasi dan penyaluran bantuan pascabencana.

Pembuatan rencana kontigensi evakuasi warga.Pembuatan rencana kontigensi evakuasi sumber daya hutan endemik dan langka.Pelibatan swasta dan LSM terkait inovasi penyediaan tabung dan rumah oksigen.

Page 39: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 25

6

Peningkatan kapasitas pemulihan bencana.

8 Tersedianya mekanisme pendukung dalam menjamin terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara mandiri, efektif dan bermartabat.

Mekanisme asuransi lahan pertanian.Mekanisme asuransi ternak.Mekanisme memulihan lahan pertanian.

Mekanisme asuransi kesehatan pernafasan.Mekanisme jaring pengaman akses pada kebutuhan oksigen.Mekanisme pelaporan gangguan kesehatan (ISPA).

9 Terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara lintas sektor sesuai dengan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana

Kegiatan pendampingan masyarakat untuk pemulihan ekonomi berbasis inovasi pengelolaan pertanian agar mengurangi risiko bencana Mekanisme permohonan bantuan faktor produksi untuk pemulihan ekonomi.

Kegiatan pendampingan masyarakat untuk inovasi pembersihan lahan (land clearing) menggunakan metode tanpa pembakaran lahan berbiaya rendah.Kegiatan pendampingan masyarakat untuk inovasi pembersihan lahan (land clearing) menggunakan metode pembakaran lahan yang aman dari bahaya kebakaran.Kegiatan pendampingan masyarakat untuk inovasi sekat bakar, kanal gambut yang aman secara ekologis.

7

Pemenuhan tata kelola bidang penanggulangan bencana.

10 Meningkatnya kapasitas SDM serta kelembagaan pemerintah dan non pemerintah terkait penanggulangan bencana.Kegiatan bersama dengan masyarakat di dekat lereng curam dengan LSM dan Pemda untuk mensosialisasikan kegiatan pengelolaan kegiatan pertanian bebasis keberlanjutan lingkungan.Kegiatan pelatihan dan penyuluhan bagi pengelola lahan pertanian di lereng curam.

Kegiatan bersama dengan Masyarakat Kawasan Hutan dengan LSM dan Pemda untuk mensosialisasikan kegiatan pembersihan lahan tanpa pembakaran berbiaya murah.Kegiatan pelatihan dan penyuluhan bagi pengelola lahan di kawasan sekitar hutan.

Jika memperhatikan rincian di atas dapat diketahui bahwa hal terpenting dalam kegiatan penguatan kapasitas adalah (1) meningkatkan pengetahuan masyarakat pada wilayahnya, baik dari segi potensi ancaman, kerentanan, modal dasar yang menjadi kekuatan; (2) terdapatnya jaring informasi dan kerjasama antar stakeholder kebencanaan sehingga terbukanya akses untuk kembali pada kondisi sebelum bencana agar mampu “build back better”.

9.2. Alur Koordinasi Pengurangan Risiko Bencana Bidang Penguatan Kapasitas Masyarakat

Alur Koordinasi yang dapat dilakukan oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan terkait peningkatan kapasitas didominasi pada kegiatan yang melibatkan softskill setiap stakeholder yang terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana, baik secara langsung maupun tidak langsung. Telah dikatakan sebelumnya bahwa terdapat tiga kegiatan penting dalam kegiatan penguatan kapasitas masyarakat dalam penanggulangan bencana untuk menurunkan risiko. Alur koordinasi yang dapat dilakukan Kemenko PMK akan dikerucutkan pada dua kegiatan penting tersebut.

Page 40: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

26 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Gambar 8. Alur Koordinasi Pengurangan Risiko Bencana Bidang Penguatan Kapasitas Masyarakat.

Tabel 3. Alur Koordinasi Pengurangan Risiko Bencana Bidang Penguatan Kapasitas Masyarakat

Kegiatan Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Masyarakat terhadap Wilayah untuk Build Back Better

Materi Informasi Terkait Pengetahuan Kementerian/Lembaga Pihak lain Jenis Peran

Potensi Bencana

Kondisi batuan, tanah, topografi

Kondisi iklim dan cuaca

Badan Informasi GeospasialBadan Meteorologi Klimatologi

dan GeofisikaPenyedia data

Kerentanan Sumber daya Manusia Badan Pusat StatistikKementerian Sosial Penyedia data

Kegiatan Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Masyarakat terhadap Wilayah untuk Build Back Better

Struktur umur penduduk (orang tua dan anak)

Jenis kelamin penduduk (perempuan)

Kondisi perekonomian (penduduk miskin)

Sumber daya LainnyaTanah pertanian di lereng

curamLokasi permukiman di dekat

hutanLokasi permukiman dekat

lereng curamTernak dan komoditas

ekonomi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Bidang: Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan

Perubahan IklimKementerian Pertanian

LSM setempatMasyarakat adat Penyedia Data

Modal dasar yang menjadi

kekuatan

Inventarisasi lokalitas terkait nilai-nilai lokal terkait Tindakan pengelolaan

lingkunganHukum adatNorma sosial

Kementerian Sosial LSM setempatKomunitas Lokal Penyedia Data

Page 41: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 27

Penyampaian Informasi PengetahuanPembagian Peran

Kementerian/Lembaga Pihak lain Jenis Peran

Formal

Kurikulum bencana pada muatan lokal pada pendidikan dasar hingga

atas

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Bidang: Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan

Masyarakat.

Integrasi pendidikan bencana pada ajaran

agama terkait menjaga keseimbangan alam

Kementerian AgamaBidang: penelitian dan pengembangan serta

pendidikan dan pelatihan di bidang keagamaan

Kegiatan Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Masyarakat terhadap Wilayah untuk Build Back Better

Informal

Kegiatan pelatihan dan pendampingan masyarakat

di area rawan bencana

Kementerian Pemuda dan Olahraga

Kementerian Bidang: Pemberdayaan

PemudaKementerian Ristek dan Dikti

Bidang: Pembelajaran dan Kemahasiswaan.

LSM setempatKomunitas Lokal

Universitas

Pelaku relawan - pada kegiatan pendampingan

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan AnakBidang: Penyuluhan

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terhadap

bencana.

Pelaku relawan - fokus pada

pemberdayaan perempuan dan

perlindungan anak

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Bidang: Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan

MasyarakatBidang: Pembinaan sarana

teknis lingkungan dan peningkatan kapasitas.

Supporting materi terkait pengelolaan lingkungan

Pemanfaatan media massa untuk penyampaian

informasi terkait risiko bencana, penguatan

kapasitas masyarakat, contoh suskses pengelolaan

lingkungan

Kegiatan Institusional untuk Build Back Better

Pembagian Peran

Kementerian/Lembaga Pihak lain Jenis Peran

Sinkronisasi peraturan nasional - lokal (adat dan

nilai lokal)

Kementerian Hukum dan HamKementerian Dalam Negeri

Dukungan pada hukum dan

kelembagaanDukungan

adminsitrasi

Page 42: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

28 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Kegiatan Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Masyarakat terhadap Wilayah untuk Build Back Better

Integrasi antar program pendampingan desa berbasis adminstrasi

(integrasi program Desa Tangguh Bencana,

Masyarakat Peduli Api, Kampung Iklim Desa Pesisir Tangguh, Desa Siaga Aktif,

Kampung Siaga, P2KP)

Kementerian Dalam NegeriKementerian Kelautan dan

PerikananKementerian Pekerjaan Umum

dan Perumahan RakyatBadan Nasional

Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan

Bencana DaerahKementerian Kesehatan

Kementerian Sosial

Sinkronisasi program

Integrasi antar program pendampingan masyarakat

berbasis komunitas (Integrasi Masyarakat

Peduli Api, Relawan, Forum Bencana, Sekolah Aman)

Kementerian AgamaKementerian Pendidikan dan

KebudayaanKementerian Pekerjaan Umum

dan Perumahan RakyatKementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan

Ekonomi dan penghidupan

Insentif kegiatan pertanian berbasis lingkungan hidup

Kementerian Dalam NegeriKementerian Keuangan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kementerian Ristek&Dikti

Bank

Pendampingan pinjaman

modal/kredit ataupun hibah

10. KESIMPULAN

Untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi pengurangan risiko bencana sehingga menghasilkan output dan dampak implementasi program yang optimal baik di tingkat pusat maupun daerah. Dibutuhkan strategi koordinasi dan sinkronisasi program secara keseluruhan antara Kementerian/Lembaga terkait, Pemerintah Daerah di tingkat Propinsi, Kabupaten, dan Kota.

Koordinasi teknis antar Lembaga Kementerian, Lembaga Negara Non Kementerian, dan Lembaga Non Kementerian dibutuhkan dalam rangka diseminasi informasi kebencanaan yang dapat dimanfaatkan sebagai pengetahuan kebencanaan berbasis wilayah yang disampaikan secara formal maupun informal ke masyarakat sebagai peningkatan pengatahuan dan kesadaran masyarakat terhadap wilayah agar dapat menciptaan “Build Back Better”.

DAFTAR PUSTAKA

1. BAPPENAS. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015 - 2019. Jakarta.2. Capacity for Disaster Reduction Initiative (CaDRi).____. Basics of Capacity for Disaster Risk Reduction. 3. Gautam, Dhruba Raj. 2009. Commuinity - Based Disaster Risk Reduction: Good Practice. Mercy Corps:

Nepal.4. International Strategy for Disaster Reduction (ISDR). 2008. Indigenous Knowledge for Disaster Risk

Reduction: Good Practices and Lessons Learned from Experiences in The Asia-Pacific Region.5. Kamil, Mustofa. 2006. Strategi Kemitraan dalam Membangun PNF Melalui Pemberdayaan Masyarakat

(Model, Keunggulan dan Kelemahan. Bandung: Lokakarya Penyelenggaraan Pendidikan Pendidikan.6. Kementerian Sosial Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Sosial Republik Indoneisa tentang

Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial.

7. Kementerian Lingkungan Hidup. 2015. Luas Lahan Terbakar Akibat Kebakaran Hutan (Ha) http://sipongi.menlhk.go.id/ (31 Oktober 2015). Diakses pada: 8 Desember 2015. Pukul: 10.00 WIB.

8. Kementerian Lingkungan Hidup. 2015. Jumlah Titik Api Menurut Provinsi dan Kabupaten per 31 Oktober 2015 Sumber: http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/main). Diakses pada: 6 Desember 2015 Pukul: 13.50 WIB.

Page 43: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 29

9. Kusnadi, 1997. Kemiskinan Nelayan dan Pembangunan Desa Pantai. Seri Kertas Kerja No.3 Agustus 1997, Pusat Studi Komunitas Pantai, Jember Jawa Timur.

10. Muhari, Abdul, et al. 2011. Belajar dari Bencana Jepang 11.03.2011, Gempa Bumi - Tsunami - Radiasi Nuklir. Institue for Science and Tecnology Studies (ISTECS): Jepang.

11. Nughoro, Iwan dan Rokhmin Dahuri. 2012. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.

12. Nugroho, Sutopo Purwo. 2015. Belum Ada Penetapan Bencana Asap Sebagai Bencana Nasional. Humas BNPB. Dikutip dari http://www.bnpb.go.id/berita/2613/belum-ada-penetapan-bencana-asap-sebagai-bencana-nasional//. Diakses pada: 7 Desember 2015 Pukul: 13.00 WIB.

13. Presiden Republik Indonesia. 2015. Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaa.

14. Presiden Republik Indonesia. 2015. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

15. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. 16. Roy, Prahlad Dr. 2014. Social Changes: The View of Sociologist. India: Laxmi Book Publication17. Sandy, I Made. 1996. Republik Indonesia Geografi Regional. Jakarta: Jurusan Geografi FMIPA UI, PT.

Indograph Bakti.18. Soemardjan, Selo. 2009. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu.19. Sumekto, Didik Rinan. _____. Pengurangan Resiko Bencana Melalui Analisis Kerentanan dan Kapasitas

Masyarakat dalam Menghadapi Bencana. Makalah Seminar Nasional “Pengembangan Kawasan Merapi: Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pascabencana.

20. The John Hopkins and The International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies. 2008. Public Helath Guide in Emergencies.

21. Triyono, S.Si dan Ahmad Arief, ST. 2003. Modal Sosial Sebagai Mainstream Pengembangan Masyarakat Pesisir: Sebuah Pendekatan Sosial untuk Mendukung Pembangunan Lokal Tipologi Masyarakat Pesisir. Jurnal Prosiding Nasional Fakultas Geografi UGM.

22. United Nation (UN). 2014. Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015 - 2030. 23. UNDP. 2009. Mengungkapkan Bahwa Peningkatan Kapasitas Merupakan Sebuah Proses Yang

Dilakukan Oleh Individu, Organisasi, Dan Masyarakat Memperoleh, Memperkuat, Dan Mempertahankan Kemampuannya Untuk Mencapai Tujuan Pembangunannya.

24. UNDP, Bureau for Crisis Prevention and Recovery. 2010. Capacity Development fo Disaster Risk Reduction. UNDP.

25. UNISDR. 2008. mengungkapkan bahwa kapasitas merupakan segala kombinasi dari semua kekuatan, atribut, dan sumber daya yang ada dalam sebuah komunitas, masyarakat, atau organisasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

26. Upe, Ambo. 2012. Tipologi Desa dalam http://lensasosiologi.blogspot.co.id/2012/03/tipologi-desa.html.

27. Yusfida, Irma. 2014. Partisipasi Masyarakat Pada Kawasan Rawan Bencana di Indonesia (PraBencana, Tanggap Darurat dan Pascabencana). Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota. ITB.

28. Zalukhu, Steady N. ____. Efektifitas Pelaksanaan Program Penguatan Kapasitas dan Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Bencana (Learn II) oleh Heks dan Yayasan Holi Ana’a.

Page 44: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

30 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

MUATAN ASPEK KEBENCANAAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL

Oleh:Djoko Santoso Abi SurosoInstitut Teknologi Bandung

Email: [email protected]

Abstrak

Undang Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), sebagai revisi dari UUPR pertama yaitu UU 24 Tahun 1992, menyatakan dalam butir dasar pertimbangan (e) “bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan”. Untuk mengatur pelaksanaan UUPR tersebut, dikeluarkan Peraturan Pemerintah 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP 26/2008), dimana pada Pasal 51 menyatakan bahwa Kawasan Rawan Bencana Alam dan Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi merupakan Kawasan Lindung. UUPR 26/2007 Pasal 1 Ayat 21 mendefinisikan Kawasan Lindung sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Berbagai jenis Kawasan Rawan Bencana dalam PP 26/2008, diatur pada Pasal 52, Ayat 4 yaitu kawasan rawan bencana alam terdiri atas: (a) kawasan rawan tanah longsor; (b) kawasan rawan gelombang pasang; dan (c) kawasan rawan banjir; sedangkan pada Ayat 5 dinyatakan bahwa Kawasan lindung geologi terdiri atas antara lain, kawasan rawan bencana alam geologi, yang sesuai Pasal 53, Ayat 2 terdiri dari: (a) kawasan rawan letusan gunung berapi; (b) kawasan rawan gempabumi; (c) kawasan rawan gerakan tanah; (d) kawasan yang terletak di zona patahan aktif; (e) kawasan rawan tsunami; (f) kawasan rawan abrasi; dan g. kawasan rawan bahaya gas beracun. Sesuai dengan Permen PU 20/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, Sosial Budaya dalam Perencanaan Tata Ruang, peta kebencanaan diwujudkan dalam bentuk Satuan Kemampuan Lahan (SKL) terhadap bencana alam, yang tidak sesuai dengan kriteria kawasan rawan bencana alam di atas. Dari sisi substantif, klasifikasi jenis bencana belum sesuai dengan referensi akademik, yang biasanya membagi jenis bencana menjadi kelompok bencana geologi (geological hazards) dan kelompok bencana hidrometeorologi (hydrometeorological hazards). Selain itu ada beberapa jenis bencana yang belum dimasukkan dalam PP 26/2008, misalnya kebakaran hutan, kekeringan, dan rendaman pesisir (coastal inundation). Untuk landslide hazards (bencana gerakan tanah) yang harusnya masuk dalam bencana geologi, dalam PP 26/2008, ada 2 terminologi yaitu rawan tanah longsor masuk di rawan bencana alam, dan rawan gerakan tanah masuk di rawan bencana geologi. Secara konseptual yang paling mendasar perlu dikaji ulang dalam revisi PP 26/2008 adalah dimasukkannya Kawasan Rawan Bencana dalam Kawasan Lindung, karena dengan dimasukkan sebagai Kawasan Lindung menimbulkan persepsi KRB mutlak tidak diperbolehkan untuk Kawasan Budidaya, sedangkan dalam disiplin pengelolaan bencana ada prinsip Mitigasi Bencana di wilayah KRB. Persoalan berikutnya adalah pembakuan istilah rawan bencana, kerentanan bencana, bahaya bencana dan risiko bencana mendesak untuk dilakukan. Sebagai contoh, PP 26/2008 menyebutkan istilah rawan gerakan tanah, tetapi Badan Geologi mengeluarkan peta kerentanan gerakan tanah. Mengingat PP 8/2013, yang mengatur ketelitian peta dalam setiap hirarki rencana tata ruang, mulai dari tingkat nasional sampai tingkat kota/kabupaten, maka perlu peta kebencanaan yang skalanya sesuai dengan tingkat rencana tata ruang yang disusun dengan kualitas yang memadai. Pengaturan institusi yang mempunyai tugas pokok menghasilkan peta kebencanaan juga mendesak untuk dilaksanakan.

Kata kunci: Kebencanaan, Tata Ruang.

Page 45: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 31

1. PENDAHULUAN

Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR 26/2007) yang merupakan perubahan dari UU No. 24 Tahun 1992 disahkan setelah kejadian bencana Tsunami di Aceh pada Tahun 2004 yang mengakibatkan ratusan ribu orang meninggal dan kerugian materi yang signifikan. UUPR 26/2007 tersebut disahkan pada saat yang hampir bersamaan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB 24/2007). Secara konseptual, seharusnya terjadi harmonisasi dan sinkronisasi antara UUPR 26/2007 dan UUPB 24/2007, agar punya peranan saling menguatkan dalam mitigasi bencana. Pada butir menimbang (e) dari UUPR, disebutkan bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Pada penjelasan terhadap Pasal 5 Ayat 2, UUPR disebutkan bahwa, antara lain, yang termasuk dalam Kawasan Lindung adalah Kawasan Rawan Bencana Alam, diantaranya terdiri dari: kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempabumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir. Tidak ada lagi pengaturan lebih lanjut terkait kebencanaan dalam UUPR. Pengaturan lebih lanjut terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Paper ini menelaah sejauhmana muatan aspek kebencanaan pada PP 26/2008 telah sesuai dengan kaidah akademik, sehingga dapat berperan penting dalam penguatan mitigasi bencana. Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah content analysis terhadap berbagai peraturan perundangan terkait perencanaan tata ruang, serta diperkuat dengan expert judgment berdasarkan pengalaman penulis melaksanakan penelitian, pengajaran dan pengabdian masyarakat di bidang kebencanaan dalam penataan ruang sejak Tahun 2007. Bagian latar belakang ini kemudian dilanjutkan dengan pemaparan kajian literatur, hasil analisis dan diskusi serta kesimpulan dan saran.

2. KEBENCANAAN DAN PENATAAN RUANG

Dalam pengelolaan bencana, dikenal pendekatan pengurangan risiko bencana (PRB), yang dapat dilakukan pada semua tahapan siklus bencana, mulai dari pra-bencana, bencana dan pascabencana. Penataan ruang merupakan salah satu perangkat penting PRB, terutama pada tahap prabencana. Melalui penataan ruang, diharapkan agar pembangunan pada wilayah yang tingkat kerawanan bencananya tinggi dapat dimitigasi. Dalam PRB, dikenal juga konsep kajian risiko bencana, dimana Risiko (risk) pada dasarnya adalah hasil interaksi antara bahaya (hazards) dengan kerentanan (vulnerability), sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut:

R (risk) = H (hazard) x V (vulnerability)

Formula tersebut menunjukkan suatu hubungan pseudo math (Wisner, 2004) bahwa risiko bencana akan terjadi jika faktor hazard bertemu dengan vulnerability.

Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang sudah mengadopsi konsep kajian risiko bencana, mendefinisikan Risiko Bencana sebagai potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Sedangkan, hazard (bahaya) adalah potensi kejadian, fenomena fisik yang merusak, atau aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan kehilangan jiwa atau korban terluka, kerusakan harta benda, gangguan terhadap sosial dan ekonomi masyarakat, serta kerusakan lingkungan (ISDR, 2014). Sementara UU 24/2007 tidak mengenal istilah bahaya, melainkan ancaman bencana yang artinya suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana (Pasal 1, butir 13). Selain itu pada UUPB juga dikenal istilah Rawan Bencana, yaitu kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Jika dikaji lebih mendalam atas definisi Rawan Bencana pada UUPB tersebut, pada aspek fisiknya yang terdiri dari karakterisitik geologi, hidrologis, dan klimatologis, cenderung mirip dengan definisi bahaya pada suatu wilayah. Sedangkan kerentanan (vulnerability) merupakan kondisi yang ditentukan berdasarkan faktor atau proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan, yang dapat meningkatkan kerawanan suatu komunitas untuk terkena dampak bahaya (ISDR, 2014).

Page 46: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

32 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Dalam komunitas penataan ruang, terminologi yang dipergunakan adalah kawasan rawan bencana yang merupakan salah satu kriteria kawasan lindung. Sedangkan dalam komunitas kebencanaan, sejalan dengan konsep risiko bencana menggunakan terminologi risiko, bahaya dan kerentanan.

Menurut Sutanta (2012), aspek kebencanaan, agar sesuai dengan tujuan jangka panjang pembangunan, seharusnya diintegrasikan dengan perencanaan tata ruang dimana perhatian utama difokuskan pada pengelolaan guna lahan yang sangat penting dalam mengelola hubungan antara lahan atau ruang, manusia dan bencana alam. UUPB, Pasal 44 menyatakan bahwa penanggulangan bencana dilakukan melalui: kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana. Kemudian Pasal 47 UUPB merinci lebih lanjut bahwa mitigasi bencana antara lain dilakukan melalui pelaksanaan penataan ruang. Sejalan dengan ketentuan tersebut, UUPR menyatakan bahwa penataan ruang harus berbasis mitigasi bencana, sementara UUPB menekankan pentingnya penataan ruang sebagai salah satu perangkat mitigasi bencana. Hal ini mengindikasikan bahwa agar terjadi sinergi antara UUPB dan UUPR, diperlukan proses integrasi aspek kebencanaan dalam perencanaan tata ruang.

Pengintegrasian dapat dilakukan pada dua bagian dalam Perencanaan Tata Ruang yaitu diintegrasikan pada proses penyusunan dan penetapan RTR, serta diintegrasikan pada proses peninjauan kembali RTR yang telah disahkan dan dijalankan. Untuk melaksanakan proses penyusunan dan penetapan RTR dan proses peninjauan kembali RTR telah disusun pedoman-pedoman penyusunan dan pelaksanaannya. Namun dalam rangka menyesuaikan dengan dinamika dan perkembangan yang terjadi, pedoman-pedoman tersebut dimungkinkan untuk disempurnakan dan dilengkapi. Pedoman yang digunakan dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang, antara lain:• PP No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.• Permen PU No. 15/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi.• Permen PU No. 16/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten.• Permen PU No. 17/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Kota.• Permen PU No. 20/2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota.• Permen PU No. 15/2012 tentang Pedoman Penyusunan Kawasan Strategis Nasional.• Permen PU No. 20/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta

Sosial Budaya dalam Rencana Tata Ruang.• Permen PU No. 21/2007 tentang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi.• Permen PU No. 22/2007 tentang Kawasan Rawan Longsor.

Sementara pedoman dalam proses peninjauan kembali rencana tata ruang, saat ini masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Menteri ATR tentang Pedoman Peninjauan Kembali RTRW.

Pelaksanakan upaya pengintegrasian kebencanaan dalam perencanaan tata ruang di sebagaian besar negara dunia hingga saat ini masih terbatas dan hanya fokus pada masing-masing jenis bahaya secara parsial, masih sulit ditemukan perencanaan tata ruang dengan mempertimbangkan multi-hazard. Hasil penelitian terhadap 8 negara di Eropa oleh Fleischhauer pada tahun 2006 dalam Schmidt-Thome & Klein (2011) menunjukkan bahwa hanya Prancis yang telah mengintegrasikan seluruh bencana alam dan bencana teknologi yang terkait secara spasial ke dalam sistem perencanaan tata ruang.

ISDR (2014) memberikan ilustrasi pengintegrasian informasi kebencanaan yang baik, yaitu terdapat pada United States Geological Survey’s Center for Integration of Natural Disaster Information (CINDI). Berbagai informasi kawasan rawan bencana dari multi-hazards disajikan ke publik di website resmi lembaga tersebut, juga dapat memberikan pemantauan real-time bahaya dengan mengintegrasikan berbagai informasi teknis yang diambil dari berbagai sumber (ISDR, 2014).

3. HASIL DAN DISKUSI

Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 (PP 26/2008) merupakan kerangka hukum yang disusun dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan pasal 20 ayat (6) UU No. 26 Tahun 2007. Aspek kebencanaan yang merupakan salah satu butir menimbang dari UUPR tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam PP 26/2008 dalam bentuk rincian berbagai jenis Kawasan Rawan Bencana.

Kawasan Rawan Bencana pada PP 26/2008 dimasukkan dalam jenis Kawasan Lindung Nasional. Dua dari enam jenis Kawasan Lindung Nasional di dalamnya terdapat rincian yang termasuk Kawasan Rawan Bencana, yaitu pada jenis Kawasan Rawan Bencana Alam dan Kawasan Lindung Geologi. Pada pasal 52 Ayat (4), dijelaskan bahwa Kawasan Rawan Bencana Alam terdiri atas:a. kawasan rawan tanah longsor. b. kawasan rawan gelombang pasang. c. kawasan rawan banjir.

Page 47: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 33

Kemudian pada Ayat (5) pasal tersebut disebutkan bahwa dalam Kawasan Lindung Geologi terdapat jenis Kawasan Rawan bencana Alam Geologi. Rincian jenis kawasan tersebut dijelaskan pada Pasal 53 Ayat (2), yaitu terdiri dari:a. kawasan rawan letusan gunung berapi.b. kawasan rawan gempabumi. c. kawasan rawan gerakan tanah. d. kawasan yang terletak di zona patahan aktif. e. kawasan rawan tsunami. f. kawasan rawan abrasi. g. kawasan rawan bahaya gas beracun.

Apabila ditinjau lebih lanjut, penjabaran dari Kawasan Rawan Bencana dalam PP26/2008 tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Permen PU No. 20/PRT/M/2007 (Permen PU 20/2007) tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Rencana Tata Ruang. Permen PU tersebut merupakan pedoman bagi pemangku kepentingan dalam melakukan analisis-analisis aspek penataan ruang sebagai salah satu tahapan yang diperlukan untuk menyusun Rencana Tata Ruang. Kebencanaan dalam Permen PU 20/2007 tersebut dipaparkan pada bagian analisis aspek fisik lingkungan dimana perlunya penyusunan peta kebencanaan dalam bentuk Satuan Kemampuan Lahan (SKL) terhadap bencana alam. Tetapi kriteria Kawasan Rawan Bencana Alam yang digunakan dalam penyusunan peta kebencanaan tersebut berbeda dengan yang dipaparkan pada PP 26/2008.

Kemudian dari sisi substantif, klasifikasi jenis bencana pada PP 26/2008 juga belum sesuai dengan referensi akademik. Berdasarkan referensi akademik, umumnya jenis bencana dibagi menjadi kelompok bencana geologi (geological hazards) dan kelompok bencana hidrometeorologi (hydrometeorological hazards). Selain tidak diklasifikasikannya jenis bencana menjadi kedua kelompok tersebut, terdapat beberapa jenis bencana yang belum dimasukkan dalam PP 26/2008, misalnya kebakaran hutan, kekeringan, dan rendaman pesisir (coastal inundation). Sementara untuk landslide hazards (bencana gerakan tanah) yang seharusnya masuk dalam bencana geologi, dalam PP 26/2008, terdapat dua terminologi yaitu rawan tanah longsor sebagai jenis rawan bencana alam, dan rawan gerakan tanah sebagai jenis rawan bencana geologi.

Selain itu, permasalahan mengenai pembakuan istilah rawan bencana, kerentanan bencana, bahaya bencana dan risiko bencana yang mendesak untuk dilakukan. Terdapat perbedaan istilah yang digunakan oleh dua sumber. Sebagai contoh, PP 26/2008 menyebutkan istilah rawan gerakan tanah, tetapi Badan Geologi mengeluarkan peta kerentanan gerakan tanah.

Hal lain yang perlu ditinjau kembali yaitu terkait penyusunan peta kebencanaan. Pada Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2013 (PP 8/2013), diatur ketelitian peta dalam setiap hierarki rencana tata ruang, mulai dari tingkat nasional sampai tingkat kota/kabupaten. Oleh karena itu, peta kebencanaan juga seharusnya memiliki skala yang sesuai dengan tingkat rencana tata ruang, dan disusun dengan kualitas yang memadai.

Keberadaan peta kebencanaan bergantung pada pihak yang bertangung jawab untuk menghasilkan peta tersebut. Sampai saat ini di Indonesia belum terdapat pembagian tanggung jawab yang jelas terkait penyusunan dan penerbitan peta kebencanaan secara. Oleh karena itu hal yang mendesak untuk dilakukan adalah pengaturan institusi yang mempunyai tugas pokok menghasilkan peta jenis bencana tertentu, misalnya peta rawan banjir ditugaskan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa PP No. 26 Tahun 2008 sebagai peraturan pelaksanaan yang yang lebih rinci dari UU No. 26 Tahun 2007, belum sesuai dengan kaidah akademik dalam konteks pengintegrasian aspek kebencanaan ke dalam perencanaan tata ruang. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam revisi PP 26/2008 adalah sebagai berikut: • Peninjauan kembali dimasukannya Kawasan Rawan Bencana dalam Kawasan Lindung Nasional. • Klasifikasi jenis bencana disesuaikan dengan referensi akademik yaitu geological hazards dan

hydrometeorological hazards. • Terdapat beberapa jenis bencana yang belum dimasukkan dalam PP 26/2008, misalnya kebakaran

hutan, kekeringan, dan rendaman pesisir (coastal inundation). • Untuk landslide hazards (bencana gerakan tanah) yang seharusnya masuk dalam bencana geologi, dalam

PP 26/2008, terdapat dua terminologi yaitu rawan tanah longsor sebagai jenis rawan bencana alam, dan rawan gerakan tanah sebagai jenis rawan bencana geologi.

Page 48: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

34 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

• Pembakuan istilah rawan bencana, kerentanan bencana, bahaya bencana dan risiko bencana, mendesak untuk dilakukan.

• Penyusunan peta kebencanaan yang skalanya sesuai dengan tingkat rencana tata ruang, yang disusun dengan kualitas yang memadai.

• Pengaturan institusi yang mempunyai tugas pokok menghasilkan peta kebencanaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. ISDR (2014). “Living with Risk, a Global Review of Disaster Reduction Initiatives”. Internet source: www.unisdr.org

2. Permen PU 20/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, Sosial Budaya dalam Perencanaan Tata Ruang.

3. PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.4. PP No. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang.5. Schmidt-Thome, Philipp and Klein, Johannes (2011). Applying climate change adaptation in spatial

planning process. Global Change and Baltic Coastal Zone, p. 177-192.6. Sutanta, H. (2012). Spatial Planning Support System for an Integrated Approach to Disaster Risk Reduction.

Melbourne: University of Melbourne.7. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Bencana.8. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.9. Wisner B. At Risk. Routledge. London and New York. 2nd ed; 2004.

Page 49: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 35

BENCANA DAN PARIWISATA: PERAN PARIWISATA PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI

Oleh:Arief Rosyidie1, Saut H Aritua Sagala2, Febriana3

1Program Studi Magister Perencanaan Kepariwisataan-SAPPK-ITBEmail: [email protected]

2Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota-SAPPK-ITB3Lulusan Program Studi Magister Perencanaan Kepariwisataan-SAPPK-ITB

Abstrak

Indonesia, sebagai salah satu negara yang rawan bencana, mengalami beragam bencana, terutama yang disebabkan oleh alam. Salah satunya adalah letusan gunungapi. Bencana tersebut menimbulkan kerugian harta benda dan korban jiwa yang tidak sedikit. Banyak penduduk kehilangan tempat tinggal maupun pekerjaan atau sumber pendapatan. Bencana tidak hanya merubah kondisi fisik kawasan tetapi juga kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Beberapa kawasan bencana ternyata juga dapat menjadi daya tarik wisata terutama karena daya tarik lingkungan, misalnya kawasan terdampak letusan gunung berapi (Merapi, Tangkuban Perahu, Galunggung, dan lain-lain). Kawasan yang hancur bekas diterjang awan panas dan lahar ternyata menarik wisatawan. Kunjungan wisatawan tersebut memberikan dampak ekonomi kepada penduduk korban erupsi. Makalah ini membahas tentang bagaimana kawasan terdampak erupsi Merapi menjadi daya tarik wisata dimana kegiatan pariwisata berperan sebagai salah satu alternatif kegiatan ekonomi pascaerupsi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan pariwisata dapat berkontribusi dalam pengelolaan kawasan bencana khususnya sebagai salah satu alternatif katup pengaman dalam membantu pemulihan perekonomian masyarakat di kawasan bencana erupsi Merapi. Pariwisata juga dapat menjadi media dalam pendidikan kebencanaan khususnya bagi wisatawan, yang bermanfaat bukan hanya ketika sedang berada di tempat wisata (berwisata) tetapi juga ketika berada di tempat tinggal atau sebagai anggota masyarakat.

Kata kunci: Pariwisata, Bencana, Masyarakat, Merapi, Pemulihan.

1. PENDAHULUAN

Indonesia mempunyai kondisi lingkungan dan sumber daya alam beragam, yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan dan penghidupan penduduknya. Beraneka ragam kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi oleh lingkungan atau sumber daya alam yang tersedia, baik secara langsung maupun melalui proses pengolahan lebih dulu.

Salah satu kegiatan sosial ekonomi yang telah lama memanfaatkan potensi jasa lingkungan adalah pariwisata. Berbagai bentuk keindahan dan pemandangan alam seperti sungai, lembah, pantai, gunung, danau, laut telah lama menjadi daya tarik wisata di berbagai negara atau daerah. Sebagian besar wisatawan Indonesia ternyata juga mengunjungi daya tarik wisata alam.

Secara global, terdapat sekitar 1,184 milyar orang yang melakukan perjalanan meninggalkan negaranya untuk mengunjungi negara lain dengan beragam motivasi (UNWTO, 2016). Di Indonesia, lebih dari 10 juta wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia pada 2015 (Kemenpar, 2016) dimana sebagian besar mengunjungi daya tarik alam atau lingkungan. Adapun penduduk Indonesia yang mengunjungi negaranya sendiri diperkirakan sekitar 255 juta perjalanan. Diantara beragam daya tarik wisata yang dikunjungi, sebagian wisatawan mengunjungi kawasan gunungapi dengan daya tarik utama pemandangan alam gunung maupun melakukan pendakian.

Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan bencana. Beragam bencana pernah terjadi di Indonesia antara lain banjir, gempabumi, tanah longsor, letusan gunungapi, tsunami, puting beliung, dan lain-lain. Bencana yang paling sering terjadi adalah yang terkait dengan unsur hidrometeorologi (air) terutama

Page 50: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

36 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

banjir. Diantara beragam jenis bencana yang pernah terjadi tersebut, salah satu yang terjadi di Indonesia adalah letusan gunungapi.

Di Indonesia terdapat sekitar 129 gunungapi, menempatkannya sebagai negara dengan jumlah gunungapi terbanyak di dunia. Sebagian gunung tersebut berada dalam status waspada dan siaga, sebagian besar lainnya dalam status normal (Putrohari, 2014).

Bila gunungapi mengalami erupsi maka biasanya menghancurkan kawasan di sekitarnya, termasuk permukiman penduduk, lahan pertanian, jaringan infrastruktur, keragaman hayati, dan lain-lain. Sebagian besar penduduk kehilangan sumber penghidupan padahal kehidupan mereka harus terus berjalan. Untuk itu harus dicari sumber penghidupan yang baru dimana salah satunya melalui sektor pariwisata dengan daya tarik utama kawasan bekas letusan atau kawasan bencana. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengidentfikasi potensi pariwisata di kawasan bekas letusan gunungapi dan sejauh mana pariwisata mampu berperan membantu masyarakat korban bencana untuk membangun kembali kehidupannya.

2. GUNUNGAPI SEBAGAI SUMBERDAYA.

Gunungapi dapat dilihat sebagai ancaman atau bahaya bagi penduduk yang tinggal di sekitarnya. Namun tidak sedikit yang melihat gunungapi juga membawa berkah, banyak manfaat, atau sebagai sumber daya baik bagi penduduk yang tinggal di sekitarnya maupun yang jauh darinya.

Banyak orang yang menggantungkan kehidupannya dari gunungapi, seperti penggali atau penambang batu dan pasir. Penduduk di lereng gunung menjadi penggali pasir yang dihasilkan oleh gunung. Pasir Galunggung, misalnya, banyak dibawa ke Jakarta dan Bandung untuk memenuhi kebutuhan sektor konstruksi. Begitu pula pasir Merapi, banyak ditambang untuk memenuhi kebutuhan kota di sekitarnya seperti Yogyakarta, Solo, Semarang, dan lain-lain. Di Gunung Ijen, banyak orang yang memperoleh pendapatan dari menambang belerang yang dihasilkan oleh gunung tersebut.

Indonesia, terutama Jawa, kondisi tanahnya relatif subur karena terdapat banyak gunungapi yang mengeluarkan material yang mengandung material vulkanis yang baik bagi tanah. Kondisi wilayah dengan tanah yang subur tersebut menarik penduduk dari daerah lain untuk tinggal dan menggantungkan hidupnya. Oleh karena itu di dekat gunung seringkali dijumpai konsentrasi penduduk dengan pertumbuhan yang relatif tinggi. Tidak sedikit pula orang membangun rumah peristirahatan di lereng gunung untuk memperoleh pemandangan indah dan kondisi lingkungan yang lebih baik (tenang, sepi, asri, jauh dari keramaian). Juga tidak sedikit kota-kota di Indonesia yang terletak di lereng atau dekat gunungapi, dengan berbagai manfaat yang dapat didapatkan maupun risiko bahaya yang mungkin timbul.

Berbagai jenis tanaman pertanian (padi, palawija, sayuran dan buah-buahan, dan lain-lain) telah dihasilkan oleh daerah-daerah yang dekat atau di lereng gunungapi. Juga kegiatan peternakan banyak dilakukan oleh penduduk di kawasan gunungapi karena lahannya cocok ditanami tanaman untuk pakan ternak. Wilayah Bandung Selatan (Ciwidey), Bandung Utara (Lembang dan sekitarnya), Cipanas Garut, Dieng, Merapi dan sekitar merupakan wilayah yang subur dan menarik banyak penduduk untuk hidup dan memperbaiki kehidupan di kawasan tersebut.

Gunung di Indonesia juga dikenal akan keindahan pemandangannya. Beberapa gunungapi atau wilayah sekitarnya telah lama menjadi daya tarik wisata populer seperti Krakatau, Galunggung, Papandayan, Gde Pangrango, Merapi, Bromo, Tangkubanparahu, Kawah Putih, dan lain-lain. Daya tarik kawasan gunungapi antara lain berupa pemandangan yang indah, udara yang relatif sejuk, sumber air panas, kawah, kegiatan mendaki, juga keragaman flora dan faunanya. Beberapa hari setelah letusan, ketika suatu gunung sudah dinyatakan aman untuk dikunjungi, bekas letusannya juga sering menjadi daya tarik wisata seperti yang terjadi pada G. Merapi dengan volcano tournya, dan beberapa daya tarik lainnya. Beberapa kawasan gunungapi di negara lain juga menjadi daya tarik wisata populer, bahkan di Hawai aliran lavanya sudah lama menjadi daya tarik wisata bagi wisatawan ke kawasan tersebut. Banyak wisatawan ke Hawaii yang mengunjungi lava tour ini. Misalnya, Kilauea, yang terletak di Taman Nasional Gunung Api Hawaii menawarkan kepada pengunjung untuk menyaksikan dari dekat aliran lava dan mendengarkan suaranya. Bila ingin menyaksikan daya tarik wisata kawasan gunungapi sebaiknya mendatangi langsung dan menyaksikan dari dekat.

Gunungapi juga dapat menjadi sumber energi terutama panas bumi. Potensi panas bumi Indonesia termasuk terbesar di dunia namun belum banyak dimanfaatkan. Energi panas bumi selain cadangannya yang sangat besar dan harganya murah juga relatif ramah lingkungan dan terbarukan. Pembangkit Kamojang Garut merupakan salah satu contoh pemanfaatan gunungapi sebagai sumber energi.

Indonesia mempunyai gunungapi sebanyak 127 buah (terbanyak di dunia), walaupun sebagian besar (107) dalam status normal, dan sisanya dalam status waspada, siaga, dan awas (Putrohari, 2014).

Page 51: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 37

Diperkirakan setiap tahun terdapat sekitar 50 gunungapi di dunia yang meletus (Coppola, 2007), diantaranya yang cukup terkenal adalah antara lain Tambora (1815), Krakatau (1883), St Helens-US (1980), Pinatubo (1991), Eyjafjallajokull-Islandia (2010), dan lain-lain.

3. GUNUNG MERAPI

Merapi adalah salah satu gunungapi di Indonesia yang masih aktif. Gunungapi ini dikenal bukan hanya dalam lingkup nasional tetapi juga internasional, terutama karena aktivitas vulkaniknya yang relatif tinggi. Banyak peneliti, terutama dalam bidang kegeologian, memanfaatkan gunung Merapi untuk penelitian karena mempunyai banyak informasi tentang proses kegeologian. Merapi juga dikenal oleh banyak orang karena daya tarik wisatanya, terutama keindahan pemandangan alamnya dan tantangan untuk pendakian. Sudah ribuan orang, baik orang Indonesia maupun asing, yang telah mendaki gunung Merapi.

Menurut Badan Geologi (Kementerian ESDM, 2016), Gunung Merapi terletak pada ketinggian 2.986 m dpl; dan secara administratif terletak pada perbatasan dari empat kabupaten yaitu Kabupaten Sleman (Propinsi DIY), Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten di Propinsi Jawa Tengah. Aktivitas Merapi selama abad ke-20 terjadi minimal 28 kali letusan, dengan letusan terbesar terjadi pada tahun 1931. Sudah ¾ abad tidak terjadi letusan besar.

Berdasarkan data letusan yang tercatat sejak tahun 1600-an, G. Merapi meletus lebih dari 80 kali atau rata-rata sekali meletus dalam 4 tahun. Masa istirahatnya berkisar antara 1-18 tahun, artinya masa istirahat terpanjang adalah 18 tahun (Badan Geologi, 2016).

Ketika penulis tinggal di Yogyakarta sekitar tahun 1977-1981, pada malam hari kadang-kadang dapat menyaksikan lelehan lava di puncak Merapi, menandakan bahwa gunungapi tersebut masih aktif. Aliran lava tersebut sering menjadi pemandangan yang menarik dari Merapi pada malam hari bagi penduduk sekitar Yogyakarta.

Penghidupan sebagian besar penduduk di kawasan lereng Merapi tergantung dari sumber daya alam yang ada, antara lain bertani, menambang batu dan pasir, beternak, serta pekerja jasa wisata.

4. DAMPAK ERUPSI MERAPI.

Gunung Merapi sudah meletus beberapa kali antara lain tahun 1994, 1997, 1998, 2001 dan 2006. Pada 26 Oktober 2010, Gunung Merapi meletus lagi yang diikuti oleh beberapa letusan berikutnya sampai awal November 2010. Letusan tersebut menimbulkan terjadinya hujan abu, awan panas atau wedus gembel, lahar dingin, yang berdampak terhadap penduduk sekitar. Menurut BNPB, sampai 27 November 2010, erupsi Gunung Merapi telah menimbulkan korban meninggal dunia, yaitu sebanyak 242 jiwa di wilayah D.I Yogyakarta dan 97 jiwa di wilayah Jawa Tengah (Bappenas dan BNPB, 2011).

Dampak yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Merapi antara lain tampak pada sektor permukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi, dan terganggunya aktivitas dan pelayanan umum di daerah sekitar Gunung Merapi. Material yang dikeluarkan oleh letusan Gunung Merapi telah mengubur beberapa dusun dan menimbun serta merusak ribuan rumah penduduk terutama di Kabupaten Sleman. Di Provinsi DIY, tercatat sebanyak 3.424 rumah mengalami kerusakan baik rusak ringan (632), rusak sedang (156), maupun rusak berat (2.636); sedangkan di Provinsi Jawa Tengah tercatat sejumlah 1.635 rumah mengalami kerusakan yang terdiri dari rusak ringan (950), rusak sedang (551), dan 174 rusak berat (Bappenas dan BNPB, 2011). Perbedaan tingkat kerusakan yang terjadi pada masing-masing rumah penduduk dipengaruhi terutama oleh lokasi rumah dan kondisi atau kualitas rumah.

Letusan periode 100 tahunan ini, yang mencapai ketinggian 12 km dan sekitar 280 kejadian lahar, berdampak sangat besar bagi masyarakat yang tinggal tidak jauh dari kawah Merapi (Surono et al., 2012 dalam Wimbardana, et al 2013).

Berdasarkan data BNPB (Bappenas dan BNPB, 2011) sampai 31 Desember 2010, erupsi Gunung Merapi pada 2010, yang merupakan erupsi terbesar dalam 100 tahun, telah mengakibatkan kerusakan dan kerugian sebesar Rp. 3.628 Triliun. Kerusakan dan kerugian terbesar terjadi pada sektor ekonomi produktif (Rp. 1,692 triliun atau 46,64%), diikuti oleh sektor infrastruktur (Rp. 707,427 miliar atau 19,50%), sektor perumahan (Rp. 626,651 miliar atau 17,27%), lintas sektor (Rp. 408,758 miliar atau 13.22%), dan sektor sosial (Rp. 122,472 miliar atau 3,38%).

Wilayah di Propinsi Jawa Tengah yang paling terkena dampak erupsi Merapi adalah kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten sedangkan di provinsi DIY adalah kabupaten Sleman. Kerugian akibat letusan Merapi 2010 lebih dari Rp 5 triliun. Dampak yang diakibatkan oleh erupsi Kelud terhadap Yogya lebih kecil

Page 52: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

38 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

dari dampak yang diakibatkan oleh erupsi Merapi (Kedaulatan Rakyat, 2014). Hal tersebut antara lain karena jarak dan posisi Kota Yogyakarta terhadap Merapi yang lebih dekat dari pada terhadap Kelud.

Erupsi Merapi juga berdampak terhadap spesies keragaman hayati. Menurut keterangan pihak Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), jumlah anggrek yang tumbuh di kawasan Merapi sebelum erupsi 2010 berjumlah 97, yang kemudian berkurang menjadi 51 dan bertambah menjadi 65 pascaerupsi 2015 (Liputan6, 24 Maret 2016).

Kawasan yang dilalui awan panas dan lahar dingin banyak yang hancur. Rumah penduduk yang tersapu awan panas hancur, Begitu pula areal pertanian atau kebun masyarakat juga terbakar dan tertutup oleh material semburan Merapi seperti batuan dan pasir. Masyarakat sekitar banyak yang kehilangan pekerjaan dan sumber pendapatan sehingga pendapatan masyarakat menurun dan tingkat pengangguran meningkat. Pada sub sektor peternakan, misalnya, banyak ternak yang menjadi korban. Ternak yang selamat juga tidak sedikit yang kondisi kesehatannya terganggu sehingga mengganggu atau menurunkan produksi susunya.

Letusan Merapi tahun 2006 dan 2010 banyak mengubah kondisi alam kawasan sekitarnya terutama pada kawasan rawan bencana. Kawasan yang hancur tersapu oleh material hasil letusan menjadi daya tarik wisata baik bagi mereka yang sudah pernah berkunjung sebelumnya maupun yang belum pernah. Misalnya, kawasan Kaliadem yang semula area perkemahan dengan lingkungan sekitar yang hijau, telah tertutup oleh lahar hasil letusan Merapi sehingga saat ini menjadi lokasi daya tarik lava tour. Di kawasan ini pengunjung juga dapat menyaksikan bekas kedahsyatan atau kehebatan letusan Merapi, termasuk bekas bunker tempat perlindungan yang sudah hancur dan tidak berfungsi lagi.

Kecamatan Cangkringan merupakan salah satu wilayah yang terkena dampak paling berat dari erupsi Merapi 2010. Tidak hanya banyaknya jumlah penduduk yang menjadi korban dan meninggal dunia tetapi juga jumlah rumah yang hancur diterjang lahar maupun awan panas cukup banyak. Wilayah ini termasuk salah satu yang paling menarik bagi pengunjung yang ingin menyaksikan kedahsyatan erupsi Merapi. Salah satu desa yang menjadi daya tarik wisata pascaerupsi adalah desa Umbulharjo. Sebelum erupsi 2010, desa ini juga sudah populer sebagai tempat wisata dengan daya tarik antara lain perkemahan Wonogondang, Sinolewah, Cindelaras, desa wisata, dan banyak pondok wisata atau homestay yang telah berperan dalam membantu perekonomian penduduk (Febriana, 2013).

Sebagian penduduk korban erupsi Merapi mengungsi dan ditempatkan di hunian tetap. Walaupun kondisi hunian tetap lebih aman dibandingkan rumah mereka, ternyata banyak pengungsi di hunian tetap yang kembali ke rumah asal mereka yang berada di KRB III (Liputan6.com, Oktober 2015). Hal ini karena menyangkut kehidupan mereka dimana sumber kehidupan mereka berada di KRB (Yusuf, 2016). Rumah warga yang rusak akibat letusan namun sudah banyak yang diperbaiki sehingga dapat dihuni kembali. Di Dusun Kopeng Desa Kepuharjo, misalnya, banyak rumah warga yang tidak rusak total dan dapat segera diperbaiki sehingga warga korban letusan kadang tinggal di hunian tetap kadang kembali ke rumahnya. Diperkirakan jumlah warga yang masih tinggal di KRB III sekitar 400 kepala keluarga (Liputan6.com, Oktober 2015).

5. PARIWISATA DI KAWASAN BENCANA MERAPI

Secara umum, bencana biasanya menimbulkan berbagai dampak negatif yang merugikan dan menyengsarakan masyarakat sekitar. Namun dibalik bencana yang banyak merugikan tersebut terdapat berkah atau dampak positip yang dapat dimanfaatkan atau ambil oleh penduduk sekitar untuk menunjang kehidupan ekonominya antara lain melalui kegiatan pertanian di tanah yang subur, peternakan, jasa pariwisata, dan lain-lain.

Daya tarik kawasan gunungapi sebagai destinasi wisata tidak hanya ketika kondisinya normal namun juga setelah erupsi. Semakin parah atau berat dampak yang diakibatkan oleh erupsi (korban jiwa, kerusakan) biasanya semakin menarik untuk dilihat atau dikunjungi. Begitu pula dari waktu sejak erupsi selesai, dimana semakin dekat dengan waktu erupsi selesai biasanya daya tariknya semakin besar.

Berita tentang dahsyatnya erupsi Merapi dan dampak yang ditimbulkan membuat masyarakat dari luar daerah penasaran ingin menyaksikan dampak dari letusan Merapi terhadap daerah sekitar. Begitu dinyatakan bahwa area terdampak sudah dinyatakan aman untuk dikunjungi, maka banyak penduduk dari luar yang datang. Semakin hari semakin banyak pengunjung yang datang untuk menyaksikan dampak kedahsyatan erupsi Merapi. Banyaknya pengunjung yang datang dilihat oleh pengungsi korban Merapi sebagai peluang ekonomi untuk membantu kehidupan mereka sehingga para pengungsi memutuskan untuk kembali ke desa tempat tinggal mereka sebelum erupsi. Mereka memenuhi kebutuhan pengunjungi antara lain menyediakan jasa yang diperlukan seperti menjadi pemandu wisata, tukang parkir, membuka warung makan, menyewakan sepeda motor atau ojek, dan lain-lain (Febriana, 2013; Dwiputra, 2012).

Page 53: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 39

Umbulharjo merupakan salah satu desa yang mempunyai kegiatan wisata yang relatif sudah berkembang. Sebagian daya tarik wisata lain muncul setelah adanya erupsi Merapi 2010.

Volcano Tour, merupakan daya tarik wisata unggulan yang muncul terutama setelah erupsi Merapi dimana material hasil letusan menghancurkan dan menutupi kawasan sekitar. Bila ingin membayangkan dahsyat atau hebatnya letusan Merapi, pengunjung dapat menyaksikan kawasan ini. Kegiatan wisata ini juga muncul akibat antusiasme penduduk dari luar yang cukup besar untuk menyaksikan bekas-bekas letusan Merapi. Pengunjung dapat menyaksikan material hasil letusan seperti bekas lahar, batu-batu besar sampai kecil, pasir, kawasan yang habis dihantam awan panas, dan lain-lain. Melihat jumlah pengunjung dari luar yang cukup banyak maka masyarakat lokal berinisiatif memanfaatkan kondisi tersebut dengan melihatnya sebagai peluang untuk menciptakan lapangan kerja atau usaha dalam upaya memenuhi atau memperbaiki kehidupan ekonomi mereka yang sempat menurun akibat erupsi Merapi (Febriana, 2013; Dwiputra, 2012).

Volcano tour menyusuri kawasan yang hancur oleh terjangan awan panas dan lahar Merapi, yaitu antara Dusun Pelemsari dan Dusun Kaliadem. Bila akan mengikuti volcano tour dapat memilih rute pendek, sedang, maupun panjang dengan tarif yang berbeda. Penyedia jasa angkutan untuk paket volcano tour ini menyediakan sepeda motor trail untuk pengunjung individual dan jeep roda 4 untuk rombongan.

Dengan mengikuti volcano tour Merapi ini, selain dapat menyaksikan sisa atau bekas kedahsyatan erupsi Merapi maka pengunjung atau wisatawan juga dapat menyaksikan pemandangan puncak Merapi dari jarak pandang yang relatif dekat (sekitar 2 km) dimana terlihat keluarnya asap sulfatar secara terus menerus dari kawah.

Rumah almarhum mbah Marijan (juru kunci Merapi) dan kawasan sekitar juga banyak dikunjungi wisatawan, termasuk bangkai kendaraan roda 4 yang semula akan digunakan untuk menyelamatkan diri dari terjangan awan panas. Mbah Marijan merupakan juru kunci Merapi yang menolak untuk dievakuasi (bersama dengan beberapa penduduk lain) ke tempat yang aman karena merasa kawasan dimana yang bersangkutan bertempat tinggal akan aman dari erupsi Merapi. Namun akhirnya diketahui bahwa rumahnya (dan rumah beberapa penduduk lain) termasuk yang hancur diterjang awan panas Merapi. Dua dusun yang mengalami kehancuran paling parah adalah dusun Pelemsari dan Pangukrejo.

Pengunjung biasanya melihat-lihat kawasan/dusun yang hancur tersebut, berfoto dengan latar belakang bekas rumah mbak Marijan, ataupun kendaraan yang terbakar akibat diterjang awan panas dari erupsi Merapi. Di kawasan tersebut juga disediakan menara pandang, terbuat dari bambu dan kayu, yang dapat digunakan oleh pengunjung yang ingin menyaksikan kondisi kerusakan kawasan sekitar dari atas (sekitar 10 m),

Pengunjung, yang sebagian besar berasal dari provinsi DIY dan Jawa Tengah, biasanya banyak yang datang secara rombongan seperti rombongan siswa sekolah, karang taruna, ibu anggota PKK, kelompok pengajian, keluarga, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lain-lain. Pengunjung ke kawasan bekas terdampak letusan gunungapi termasuk wisatawan explorer. Berdasarkan survei terhadap pengunjung tampak bahwa sekitar separoh responden pengunjung bertujuan untuk menyaksikan kawasan yang hancur akibat erupsi Merapi (Sagala, et al; 2012).

Daya tarik kawasan bencana ini relatif masih tinggi ketika belum lama terdampak erupsi Merapi. Beberapa tahun setelah erupsi dimana kondisi lingkungan sedikit demi sedikit mulai kembali hijau tertutup tumbuhan maka daya tariknya menurun. Pengunjung yang datang terutama pada akhir pekan atau hari libur sedangkan pengunjung pada hari biasa relatif sedikit atau sepi.

Sebagian penduduk lokal korban erupsi Merapi pada awalnya mungkin merasa dijadikan obyek tontonan sehingga kurang setuju dengan banyaknya pengunjung yang datang yang seolah-olah menyaksikan penderitaan atau kesedihan mereka. Namun kemudian disadari bahwa bencana tersebut merupakan fakta yang harus dihadapi, dan kedatangan pengunjung diharapkan dapat menjadi salah satu peluang untuk membantu memperbaiki kondisi nasib dan kehidupan korban erupsi Merapi.

Sebelum erupsi Merapi tahun 2010, Desa Umbulharjo sebenarnya telah menjadi kawasan wisata dan sering dikunjugi wisatawan sejak 1999 dengan daya tarik wisata antara lain perkemahan Sinolewah, perkemahan Wonogondang, Desa Wisata Pentingsari, Cindey Laras. Sejak erupsi 2010, daya tarik wisata bertambah a.l dengan Volcano Tour, dan lain-lain. Selama erupsi 2010, semua daya tarik wisata yang sudah ada sebelumnya, terpaksa berhenti beroperasi karena ditinggalkan pengelola dan pegawainya. Beberapa desa wisata juga berhenti beroperasi pascaerupsi Merapi. Desa wisata Pentingsari, misalnya, sempat berhenti beroperasi selama kurang lebih 6 bulan; sementara Sinolewah berhenti sampai sekitar 1 tahun (Febriana, 2013).

Munculnya kegiatan wisata volcano tour sebenarnya merespon adanya kunjungan masyarakat dari luar daerah yang ingin melihat dampak erupsi Merapi dan perlunya alternatif kegiatan yang dapat membantu pemulihan atau perbaikan ekonomi masyarakat setelah erupsi.

Page 54: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

40 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Pendapatan yang diperoleh dari jasa pariwisata ternyata memberikan kontribusi terhadap pendapatan penduduk dan desa. Diperkirakan sekitar 20 persen dari tiket masuk disumbangkan ke kas desa yang dapat digunakan untuk peningkatan pelayanan pariwisata dan peningkatan kualitas desa (Sagala, et al; 2012).

Walaupun pendapatan yang dapat diperoleh masyarakat dari kegiatan wisata volcano Tour relatif lebih kecil dibandingkan ketika masih menjadi peternak maupun petani (aantara lain karena besarnya biaya operasional, penyamarataan pendapatan antar anggota, jadwal giliran bekerja yang terbatas, dan tidak pastinya jumlah pengunjung terutama pada hari biasa), namun keberadaan wisata di kawasan ini secara nyata telah berkontribusi terhadap pemulihan atau peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat setelah bencana (Sagala, et al; 2015; Febriana, 2013; Yusuf, 2016).

Mengingat adanya ketidakpastian dari kegiatan wisata, terutama jumlah pengunjung yang datang, maka banyak masyarakat yang beranggapan bahwa beternak ternyata dapat memberikan peluang penghasilan yang relatif lebih pasti dan berkelanjutan (Sagala, et al; 2015).

Di satu sisi, kawasan Volcano Tour ini memang telah berperan dalam pemulihan atau memperbaiki kondisi ekonomi korban erupsi melalui berbagai kegiatan wisata, namun di sisi lain keberadaan aktivitas wisata ini juga dapat membahayakan wisatawan maupun pekerja (Febriana, 2013).

Setelah erupsi Merapi 2010, pemerintah daerah juga telah berupaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya wisatanya untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk, serta meningkatkan perekonomian daerah.

Dana yang dibutuhkan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi akibat erupsi Merapi sebesar Rp.1,35 Triliun, yaitu sebesar Rp. 770,90 Miliar untuk Provinsi DI Yogyakarta dan sebesar Rp. 548,31 Miliar untuk Provinsi Jawa Tengah (Bappenas dan BNPB, 2011).

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) juga telah menyusun peta kawasan rawan bencana Gunung Merapi yang menetapkan kawasan-kawasan di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DI Yogyakarta yang rawan terhadap bencana erupsi Gunung Merapi 2010. Peta tersebut memberikan petunjuk tentang tingkat kerawanan bencana suatu daerah apabila terjadi letusan gunungapi. Setiap pemanfaatan ruang atau kegiatan yang akan dilaksanakan di kawasan tersebut harus memperhatikan zonasi rawan bencana tersebut.

6. KESIMPULAN.

Erupsi Merapi memberikan dampak yang besar terhadap kondisi lingkungan fisik dan sosial ekonomi penduduk di kawasan sekitar. Kondisi kehidupan ekonomi penduduk sempat terpuruk pascaerupsi.

Selain merupakan bahaya atau bencana dengan berbagai dampak negatifnya, gunungapi juga dapat merupakan sumber daya dimana memberikan manfaat atau berkah bagi penduduk yang tinggal di sekitarnya antara lain menyediakan batu dan pasir yang dapat digunakan untuk pembangunan, belerang, tanah yang subur sehingga cocok untuk pertanian dan peternakan, sumber energi panas bumi, serta daya tarik wisata.

Pariwisata telah berperan, baik langsung maupun tidak langsung, dalam menunjang perekonomian masyarakat sekitar. Begitu pula di Merapi, pariwisata membantu perekonomian masyarakat sekitar, baik sebagai sumber penghasilan utama maupun sampingan, sampai sekarang walaupun perannya belum sebesar yang diharapkan. Pada tahap pemulihan pascabencana, pariwisata juga telah banyak berperan dalam pemulihan ekonomi masyarakat, walaupun tidak sebesar pendapatan sebelum erupsi, dan belum berkelanjutan.

Pariwisata bisa lebih berperan secara berkelanjutan dalam menunjang perekonomian penduduk dengan melakukan perbaikan pada pengelolaan industri pariwisata, peningkatan daya tarik, peningkatan aksesibilitas dan fasilitas, peningkatan kualitas SDM, pemasaran, dan lain-lain.

Kegiatan pariwisata di kawasan ini harus tetap dilakukan dengan memperhatikan rambu atau aturan yang ada yang sudah ditetapkan oleh pemerintah mengingat kawasan wisata ini, khususnya kawasan wisata volcano tour, termasuk dalam kawasan rawan bencana.

UCAPAN TERIMA KASIH

Sebagian data dan informasi diperoleh dari penelitian yang dibiayai oleh LPPM-ITB (2013), didukung oleh asisten KK dan mahasiswa penulis Tugas Akhir.

Page 55: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 41

DAFTAR PUSTAKA

1. Bappenas dan BNPB (2011): Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Erupsi Merapi di Wilayah Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah. Bappenas dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta.

2. Dwiputra, R (2012): Persepsi dan Preferensi Wisatawan Terhadap Sarana Wisata di Kawasan Terdampak Erupsi Merapi, Kabupaten Sleman, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

3. Febriana (2013): Peran Pariwisata Dalam Penyerapan Tenaga Kerja Lokal di Desa Umbulharjo pada PascaBencana Erupsi Merapi. Proyek Akhir Program Studi Magister Perencanaan Kepariwisataan, SAPPK, ITB.

4. Kementerian Pariwisata (2016): Statistik Wisatawan Mancanegara Tahun 2015. Diakses dari kemenpar.go.id.

5. Liputan6. Pasca-erupsi, Berbagai Anggrek Jenis Baru Bermekaran di Merapi. 24 Maret 2016.6. Liputan6; Sekitar 400 Korban Erupsi Merapi Balik Lagi ke Kawasan Rawan Bencana. 12 Oktober 2015.7. Putrohari, Rovicky Dwi (2014): Dinamika Gunung di Cincin Api. Republika, 20 Februari 2014.8. Republika (2014): Perbedaan Letusan Gunung Merapi, Kelud, Sinabung. Edisi 14 Februari.9. Sagala, Saut Aritua, et al (2012): Promoting Volcano Tourism in Hazard Zone Area for Rebuilding Local

Economy: Case study of Tourism in Cangkringan Sub-District, Mt. Merapi, Yogyakarta.10. Sagala, Saut Aritua, et al (2015): Perencanaan Pemulihan Sosial-Ekonomi Masyarakat Akibat Erupsi

Gunung Merapi Tahun 2010.11. Surono (2014): Gunung Api; antara berkah dan bencana. Kompas 15 Februari 2014.12. UNWTO (2016): UNWTO Annual Report 2015.13. Yusuf, Yasin (2016). Resiliensi Komunitas di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi dalam

Perspektif Konstruksi Ruang-Waktu. Disertasi Doktor, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.

Page 56: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

42 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

DAMPAK LETUSAN GUNUNG KELUD TERHADAP WILAYAH SEKITAR

Oleh:Arief Rosyidie

Program Pengajar, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan

Institut Teknologi Bandung

Abstrak

Indonesia merupakan negara dengan jumlah gunungapi terbanyak di dunia, yaitu 127 buah. Dari jumlah tersebut, posisi pada 17 Februari 2014 menunjukkan sebanyak 107 berada dalam status normal, sedangkan sisanya dalam status waspada, siaga, dan awas. Salah satu gunungapi, yaitu Kelud, mengalami erupsi pada 14 Februari 2014 jam 22.50. Jenis erupsinya termasuk besar namun singkat, berbeda dengan erupsi beberapa gunung lain seperti Merapi, Sinabung, dan Galunggung. Informasi kepada masyarakat tentang letusan Kelud dan dampaknya tersebut diberikan oleh BNPB dan BPBD serta banyak diulas oleh berbagai media masa nasional, regional, dan lokal. Erupsi Kelud terutama berdampak pada wilayah sekitar (Kab. Kediri, Kab. Malang, Kab. Jombang), yaitu merusak atau berpengaruh pada permukiman penduduk, transportasi, lahan pertanian, pendidikan, kesehatan, perekonomian, pariwisata, dan lain-lain. Debu vulkanisnya bahkan mencapai provinsi Jawa Barat seperti Bandung, Sukabumi, dan lain-lain. Tujuh bandara harus berhenti beroperasi dan kegiatan penerbangan ke 7 kota tersebut dihentikan karena tertutup debu vulkanis. Kegiatan pendidikan (sekolah) dan perkantoran di beberapa kota juga dihentikan sementara. Beberapa tempat wisata (Borobudur, Prambanan, Gembiraloka) yang jauh dari Kelud juga terkena dampaknya sehingga ditutup sementara waktu. Upaya kewaspadaan perlu dimiliki oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya agar dapat memanfaatkan potensi yang diberikan oleh gunungapi secara berkelanjutan dengan tenang dan aman. Makalah ini melihat dampak letusan gunung Gunung Kelud dengan memanfaatkan data dan informasi yang dikeluarkan oleh pihak terkait, seperti BNPB, media massa, dan lain-lain.

Kata kunci: Gunungapi, erupsi, sumber daya, pariwisata.

1. PENDAHULUAN

Bahaya atau hazard merupakan peristiwa atau kondisi fisik yang memiliki potensi untuk menyebabkan kematian, luka-luka, kerusakan properti, kerusakan infrastruktur, kerugian pertanian, kerusakan lingkungan, gangguan bisnis, atau jenis lain dari kerusakan atau kerugian (FEMA, 1997 in Coppola, 2007).

Dalam kehidupan manusia banyak dijumpai hazards yang tampak dalam berbagai bentuk, yang menurut asal atau sumbernya dapat dikelompokan menjadi: bahaya alam, bahaya teknologi, bahaya social.

Salah satu hazard adalah gunungapi, merupakan lubang atau saluran dalam kerak bumi di mana batuan yang mencair mengalir sebagai lava atau dikeluarkan sebagai abu atau puing-puing kasar, kadang-kadang disertai dengan uap dan gas panas yang beracun (Wishner et al, 2004). Suatu hazard akan menjadi bencana atau tidak, ditentukan oleh risiko dan kerentanan kawasannya (Coppola, 2007).

Bila memperhatikan sejarah letusan gunungapi di dunia, termasuk Indonesia, terdapat beberapa letusan gunungapi yang populer baik karena besarnya letusan maupun daya tariknya seperti Tambora (1815), Krakatau (1883), St Helens-US (1980), Nevado de Ruiz-Columbia (1985), Pinatubo (1991), Galeras (1992), Eyjafjallajokull-Islandia (2010), Toba, Vesuvius (mengubur kota Pompei), Etna, Sakurajima, Mayon. Setiap tahun, di seluruh dunia terdapat sekitar 50 gunungapi yang meletus (Coppola, 2007).

Indonesia mempunyai jumlah gunungapi terbanyak di dunia, yaitu 127 buah, dimana sebagian berada dalam status waspada dan siaga, sebagian besar lainnya dalam status normal. Pada tanggal 19 Februari 2014, terdapat 2 gunungapi berstatus awas, 3 berstatus siaga, 17 berstatus waspada, serta 107 berstatus normal (Putrohari, 2014). Sebagian gunung yang bersatus waspada tersebut sering menjadi tempat pendakian.

Page 57: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 43

Beberapa dari gunungapi di Indonesia yang dikenal baik karena letusannya maupun sebagai daya tarik wisata antara lain Merapi, Merbabu, Bromo, Slamet, Tangkubanperahu, Krakatau, Galunggung, Sinabung. Beberapa gunungapi lain yang dalam lingkup internasional dikenal karena letusannya sangat besar namun di dalam negeri tidak begitu populer mungkin karena sudah terlalu lama adalah Tambora dan Toba.

Banyak pakar kebencanaan telah memperingatkan selama beberapa dekade bahwa sifat dari bencana, termasuk gunungapi, mengalami perubahan dengan cepat. Perubahan tersebut tidak lepas dari pengaruh kegiatan manusia dan pola pembangunan yang terjadi. Namun yang cukup merisaukan dari perubahan tersebut adalah meningkatnya atau semakin seringnya terjadi bencana setiap tahunnya, intensitas yang lebih besar, dan semakin banyak penduduk yang terkena dampak, baik langsung maupun tidak langsung. Walaupun jumlah korban yang meninggal cenderung menurun namun kerugian finansial cenderung mengalami peningkatan, baik pada negara yang terkena dampaknya maupun yang tidak terkena dampaknya. Negara-negara miskin, penduduknya mungkin beranggapan bahwa bencana lebih banyak berdampak kepada mereka (Coppola, 2007).

Makalah ini mencoba melihat dampak yang ditimbulkan oleh letusan gunungapi khususnya Gunung Kelud dengan memanfaatkan data dan informasi yang dikeluarkan oleh pihak terkait, seperti BNPB, dan media massa yang turun langsung ke lapangan dan selalu memperbaharui informasi yang diperoleh di lapangan, maupun keterangan dari pihak terkait.

2. DAMPAK LETUSAN GUNUNGAPI

Letusan gunung memberikan dampak bagi banyak pihak (masyarakat, petani, peternak, pengusaha angkutan, pedagang, anak sekolah), banyak orang, banyak daerah. Secara umum dampak letusan gunungapi bisa bersifat negatif maupun positif; langsung maupun tidak langsung; primer maupun sekunder (Coppola, 2007), kecil sampai besar; fisik, ekonomi, dan sosial.

Letusan gunung berapi membahayakan orang yang tinggal di sekitarnya terutama yang berada dalam zona risiko tinggi (kawasan rawan bencana), baik kelompok anak-anak maupun muda dan dewasa serta tua, wanita maupun pria, sehat maupun sakit, miskin maupun kaya, pemilik tanah pertanian maupun buruh tani, beragama A maupun B, anggota partai politik Y maupun Z (Coppola, 2007).

Serangan dari gas beracun tidak membedakan kelas-kelas sosial di masyarakat, walaupun beberapa faktor seperti tingkat pendapatan, jenis pekerjaan, kualitas bangunan rumah memberikan sedikit perbedaan kapasitas masyarakat terhadap letusan gunungapi. Penduduk kaya mempunyai akses terhadap ilmu pengetahuan tentang kebencanaan termasuk kepedulian terhadap risiko gunungapi, mereka tanggap dan kesiapan untuk evakuasi bila terjadi erupsi. Penduduk miskin yang tinggal di dekat gunungapi aktif juga waspada terhadap risiko. Ketika mereka merasakan atau melihat tanda-tanda aktivitas vulkanik mereka juga ikut evakuasi seperti tetangganya yang kaya (Kuester and Forsyth, 1985; Zarco, 1985 in Wisner at al, 2004).

Ketika gunung Cero Negro (Nicaragua) meletus tahun 1992, tanah pertanian tertutup lapisan tebal debu vulkanis dan kegiatan pertaniannya juga terganggu beberapa tahun; tetapi dalam sepuluh bulan berikutnya ternyata petani sudah dapat menikmati tanaman yang tumbuh baik di tanah yang subur yang bercampur dengan debu vulkanis (Baxter, 1993 dalam Wisner et al, 2004). Tidak mengherankan bila berkah tanah subur tersebut mampu menarik penduduk untuk tinggal di wilayah atau kawasan lereng gunungapi dengan risiko terhadap bencana alam yang tinggi dengan periode ulang sekitar 45 tahun sementara manfaat dan kesempatan ekonomi bisa mereka peroleh hampir tiap hari. Selama masyarakat dapat memperhatikan kesiapsiagaan terhadap bencana secara efektif, peringatan dini dan evakuasi yang baik, maka hal tersebut akan lebih memberikan rasa ketenangan dan keyakinan bagi mereka untuk tinggal di kawasan rawan bencana (Wisner, 2004).

Bila memperhatikan sejarah letusan gunungapi di beberapa negara menunjukkan bahwa beberapa gunungapi mengubur kota atau permukiman yang ada di sekitarnya seperti yang dialami oleh kota Pompeii dan Stabiae ketika gunung Vesuvius meletus, juga ketika Galunggung meletus hingga debunya menutupi udara di kota sekitar (Garut, Tasikmalaya, Bandung, dan lain-lain). Letusan Nevada del Ruiz (Columbia) mempunyai pengaruh yang besar pada pengembangan upaya perlindungan terhadap bencana di Columbia (Wisner, 2004).

Berdasarkan aspeknya maka dampak letusan gunungapi terdiri dari dampak terhadap lingkungan sekitar seperti rusaknya bentang alam, tanah pertanian yang tertutup material batu dari letusan, tanaman yang hancur tersapu lahar atau tertutup debu, ternak yang tersapu lahar, rumah-rumah penduduk yang rusak oleh aliran lahar, dan lain-lain.

Page 58: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

44 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Penduduk di kawasan rawan bencana kadang-kadang tidak mau meninggalkan rumah untuk mengungsi atau pengungsi yang ingin segera kembali ke rumah terutama disebabkan oleh harta benda (rumah dan isinya, sepeda motor, ternak, lahan pertanian, dan lain-lain) yang masih mereka tinggalkan. Banyak peternak yang kehilangan ternaknya karena mati tersapu oleh awan panas atau debu. Pada kasus letusan gunung Merapi, tidak sedikit penduduk yang tidak bersedia mengungsi karena khawatir akan ternaknya. Setelah pemerintah memberikan jaminan ganti rugi atas ternak mereka barulah mereka bersedia meninggalkan rumahnya (evakuasi) untuk mengungsi. Kekawatiran penduduk akan ternak dapat dimaklumi mengingat harga ternak yang cukup mahal sehingga hilang atau matinya ternak berarti kerugian yang cukup besar bagi pemiliknya.

Penduduk di sekitar gunungapi juga ada yang mengalami trauma akibat gunungapi yang meletus baik karena suara letusan, awan panas, lahar dingin, aliran lava maupun dampak yang ditimbulkan seperti harus mengungsi, suasana mencekam, dan lain-lain.

Erupsi gunung juga dapat berdampak pada transportasi, termasuk transportasi udara. Ketika G. Galunggung meletus (5 Mei 1982), debunya memaksa pesawat British Airways dari London menuju Auckland terpaksa melakukan pendaratan darurat di Halim Perdana Kusuma karena mesinnya mati, yang ternyata sudah dipenuhi oleh debu vulkanik yang berasal dari letusan Galunggung. Juga ketika gunung Eyjafjallajokull-Islandia meletus, penerbangan di Eropa lumpuh sehingga banyak penumpang dan wisatawan yang tertunda perjalanannya. Tidak sedikit wisatawan yang terpaksa harus menginap di bandara karena terbatas kemampuan finansialnya untuk membayar penginapan diluar bandara.

Debu dari letusan gunung yang menutupi atmosfer juga dapat menghalangi sinar matahari ke bumi sehingga dapat menimbulkan peredupan global atau lebih parah lagi pendinginan global. Hal ini pernah dialami ketika G. Krakatau maupun G. Tambora meletus yang menyebabkan atmosfer tertutup debu hasil letusan gunung tersebut sehingga suhu bumi menurun. Akibat turunnya suhu bumi maka berdampak pada produksi pangan dunia dan keberlanjutan keragaman hayati lainnya.

3. GUNUNG KELUD

Salah satu gunungapi di Indonesia adalah Gunung Kelud, yang terletak di kabupaten Kediri, yang pada awal tahun 2014 menjadi perhatian dan bahan diskusi bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Banyak ahli dan pengamat gunungapi mendiskusikan letusan dan dampaknya terhadap daerah sekitar.

Setelah pada bulan Januari 2014 gunung tersebut menununjukkan aktivitas vulkaniknya dan berstatus siaga dan awas, maka pada hari Kamis tanggal 13 Februari 2014 jam 22.50 G. Kelud meletus. Dibandingkan gunungapi lain, lama waktu dalam status waspada, siaga dan awas tampaknya relatif singkat. Tanda-tanda alam seperti gempa yang makin sering dan turunnya jenis binatang tertentu menjauh dari gunung menjadi salah satu tanda bahwa gunung akan meletus. Gunung dengan ketinggian 1.724 meter tersebut meletus dan menyemburkan debu vulkanis lebih dari seratus juta meter kubik setinggi 17000 meter atau dua kali lebih tinggi dari letusan Merapi. Suara letusannya terdengar sampai kabupaten Banyuwangi yang berjarak 400 kilometer. Besar letusannya termasuk terbesar sejak 1990 dengan waktu letusan yang singkat, yaitu langsung cepat erupsi dengan banyak material yang dimuntahkan, dibandingkan dengan Sinabung yang meletus sedikit demi sedikit sehingga memakan waktu lama, atau sekitar sebulan untuk Merapi serta beberapa bulan untuk Galunggung (Kompas, 2014; Pikiran Rakyat, 2014; Republika, 2014).

Memperhatikan sejarah letusannya maka gunung Kelud pernah meletus pada tahun 1311, 1376, 1586, 1848, 1901, 1919, 1951, 1966, 1990, 2007. Pada erupsi Mei 1919, yang terdengar sampai Kalimantan, debunya terbawa angin kearah timur sampai pulau Bali, sementara pada letusan Agustus tahun 1951, abu vulkaniknya sampai ke Bandung seperti pada letusan 2014 (Putrohari, 2014; Kompas, 2014).

4. DAMPAK ERUPSI GUNUNG KELUD

Letusan Gunung Kelud termasuk eksplosif atau meledak dalam waktu singkat, sekitar 1-2 hari, tapi sangat besar. Jumlah material yang dikeluarkan Kelud relatif sama dengan material yang dikeluarkan Gunung Merapi pada 2010, yaitu lebih dari 100 juta meter kubik, sementara material Gunung Sinabung hanya sedikit (kurang dari 10 juta m3) walaupun sudah aktif erupsi selama 5 bulan. Gunung Sinabung didominasi oleh letusan efusif, yaitu membuat kubah lava, lalu gugur yang diikuti oleh luncuran awan panas (Surono, 2014; Republika, 2014).

Page 59: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 45

Letusan gunung berdampak pada wilayah atau daerah sekitar. Lontaran material vulkanis seperti batuan, kerikil, pasir bisa mencapai radius 10 kilometer dari kawah (Kompas, 2014). Walaupun demikian, erupsi Kelud relatif tidak menimbulkan korban jiwa karena sosialisasi, antisipasi, dan evakuasi petugas yang lebih baik.

Dampak terbesar terutama dialami oleh daerah terdekat seperti Kediri, Blitar, Batu, Kab. Malang, Tulungagung. Di kabupaten Malang, ratusan rumah rusak diterjang debu dan bebatuan. Di kawasan tertentu ketebalan debu mencapai 30 cm dengan jarak pandang hanya 5 meter. Banyak pengendara motor terjatuh karena licin.

Debu yang banyak menumpuk diatap rumah penduduk harus segera dibersihkan karena ketika turun hujan maka debu akan tercampur air hujan sehingga mengeras dan dapat meruntuhkan atap rumah.

Di kawasan Batu (Malang), lahan perkebunan apel dan sayuran mengalami kerusakan karena tertutup debu Kelud sampai 2-3 cm sehingga petani mengalami kerugian puluhan miliar, begitu pula peternakan (Metro TV, 18 Februari 2014).

Penduduk yang harus mengungsi sementara diperkirakan lebih dari 100 ribu. Wilayah dalam radius 10 kilometer harus dibebaskan dari kegiatan manusia untuk menghindari adanya korban jiwa atau hal-hal yang tidak diinginkan.

Akibat letusan Kelud maka kecamatan Ngantang (Kab. Malang), yang terkena dampak paling parah karena letaknya hanya sekitar 7-10 km dari kawah, seperti kota mati tak bertuan karena banyak ditinggalkan penduduknya untuk mengungsi ke tempat lain yang lebih aman. Ketebalan debu di kawasan ini mencapai 20-30 cm. Kawasan ini juga terkena lontaran material vulkanik antara lain berupa batu dengan diameter 5-8 cm (Sindonews, 2014; Tempo, 2014; BNPB dalam Republika, 2014).

Salah satu desa yang kerusakannya paling parah adalah Desa Pandansari. Kerusakan dijumpai pada jalan, rumah, fasilitas umum, pekarangan dan lahan pertanian yang merupakan lahan untuk mata pencarian penduduk. Permukaan lahan tertutup pasir/debu antara 25-40 cm, bangunan rumah rusak berat, sekitar 99% pertanaman mati akibat semburan debu/pasir panas. Kondisi pertanaman padi di sawah rusak total, tanaman padi yang telah berumur 10 - 20 hari mati karena lahan tertutup debu/pasir. Lahan tegalan yang telah ditanami tanaman musiman (jagung, tomat, cabe, sayuran, rumput pakan ternak) juga mati karena tertutup pasir. Tanaman tahunan seperti durian, nangka, cengkeh, kakao, kopi juga mati akibat awan panas dan debu/pasir panas (Balitkabi, 2014).

Debu yang dikeluarkan Kelud terbawa angin kearah barat sampai Solo, Yogya, Kudus, Semarang, Cilacap, bahkan sampai Bandung maupun Bogor. Murid sekolah dan perkantoran di Yogyakarta terpaksa harus diliburkan. Di Kota Bandung juga banyak penduduk, terutama pengendara sepeda motor, yang memakai masker untuk mencegah dampak negatip menghirup debu vulkanis. Debu Kelud memiliki keasaman yang lebih tinggi sehingga lebih halus dan terbawa lebih jauh (Kompas, 2014).

Menurut Kementerian Kesehatan (Sindonews, 2014), secara umum debu dan gas beracun akibat letusan gunung berapi dapat berbahaya bagi manusia karena dapat menimbulkan iritasi pada mata, kulit dan gangguan pernapasan (ISPA). Apalagi bila debu tersebut mengandung unsur logam, terutama Silica, yang berupa butiran kecil dan sangat tajam. Adapun kandungan gas yang berbahaya adalah SO2 karena dapat membentuk unsur sulfat yang sangat iritatif pada kulit, mata dan saluran pernapasan. Selain itu, daya tahan tubuh juga bisa mengalami penurunan secara drastis. Hasil penelitian Subandrio (2014) terhadap debu vulkanis yang sampai kota Bandung menunjukkan adanya kandungan kristal halus klino piroksen, plagioklas andesine, gelas vulkanik, mineral opak.

Lahar dingin pada sungai yang berhulu di lereng Kelud terjadi malam 18 Februari, beberapa rumah terbawa hanyut dan beberapa desa terisolir. Menurut BNPB, sebanyak 15.717 rumah penduduk di Kab. Kediri mengalami kerusakan akibat diterjang lahar dingin. Selain menghancurkan rumah, lahar dingin juga merusak infrastruktur jalan, jembatan, sawah dan kebun. Lahar dingin membawa pasir, kerikil, batu, batang pohon. Bahkan batunya ada yang sebesar bak truk (Pikiran Rakyat, 2014). Diperkirakan, terdapat 50 juta m3 material lahar yang berada di lereng gunung Kelud (BNPB, 2014 dikutip dari Pikiran Rakyat, 2014).

Letusan gunung juga berdampak pada transportasi. Kegiatan penerbangan termasuk yang terkena dampak letusan gunung terutama melalui debu vulkanis yang dimuntahkan ke atmosfer. Sejauh mana debu ini akan mengganggu lalu lintas penerbangan tergantung pada karakteristik debu (jenis, ukuran, jumlah, dan lain-lain), kondisi klimatologis (arah dan kecepatan angin, dan lain-lain). Pada kasus letusan gunung Kelud, sebaran debunya yang cukup tebal menyebabkan beberapa bandara seperti Juanda Surabaya, Adisucipto Yogyakarta, Ahmad Yani Semarang, Malang, Adisurmarmo Solo, Cilacap, Husein Sastranegara Bandung harus ditutup sementara sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan. Penerbangan dari Jakarta dan dari kota lain ke beberapa bandara di Jawa Timur dan Jawa Tengah tersebut juga dibatalkan (Pikiran Rakyat, 2014; Kompas, 2014; Republika, 2014).

Page 60: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

46 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Jumlah penerbangan yang dibatalkan yaitu 332 penerbangan di Bandara Juanda Surabaya, 16 penerbangan di Bandara Abdurrahman Saleh Malang, 110 penerbangan di bandara Adisucipto Yogyakarta, 76 penerbangan di Ahmad Yani Semarang, 28 penerbangan di Adi Sumarno Solo, dan 14 penerbangan di Bandung (Merdeka, 2014).

Secara keseluruhan lebih dari 500 penerbangan di wilayah tersebut dibatalkan. Penerbangan harus dihentikan selain karena bandara tertutup debu sehingga jarak pandang yang pendek (kurang dari 100 meter) juga debunya berbahaya untuk mesin pesawat. Akibat penerbangan dibatalkan maka banyak calon penumpang pesawat yang kemudian beralih ke kereta api maupun bis serta jenis angkutan umum lainnya (Pikiran Rakyat, 2014; Republika, 2014; Tribunnews, 2014).

Kegiatan perekonomian khususnya jual beli di kawasan Malioboro, yang biasanya ramai pengunjung, ikut terpengaruh dan seperti kota mati. Kegiatan jual beli di kawasan tersebut sepi (Merdeka, 2014).

Tempat wisata juga terkena dampak letusan Gunung Kelud seperti Borobudur, Prambanan, Keraton Yogyakarta, kebun binatang Gembiraloka Yogya, dan beberapa obyek wisata di daerah lain sempat ditutup baik ketika tertutup debu dari letusan Merapi maupun Kelud. Bahkan debu Kelud dikhawatirkan dapat merusak batu candi maupun bangunan keraton. Kalaupun tempat wisata tersebut dibuka, mungkin juga tidak akan banyak pengunjungnya.

Menurut BNPB (2014), kerugian yang diakibatkan oleh letusan Kelud sekitar Rp 329, 66 M. kerugian tersebut hanya kerugian langsung pada areal pertanian dan rumah di Kab. Malang, Kab. Kediri, Kab. Blitar.

Adapun dampaknya pada pertanian, sawah seluas 5.146 ha, kebun 1.792 ha, tanaman dan buah-buahan 260.060 pohon, dan sebanyak 25.290 sapi perah (Al Hamzah, 2014; Republika, 2014). Di wilayah Gunungkidul juga terkena dampak hujan abu dari Kelud, antara lain dua juta bibit tanaman muda (yang ditanam pada 35 ribu hektar lahan hutan) mati akibat tertimbun abu (Tempo, 2014).

Abu vulkanik hasil letusan Kelud mengenai dataran tinggi sehingga mengganggu produksi hortikultura di kawasan sekitar (Merdeka, 2014).

Menurut Kementerian Pertanian (Republika, 2014), kerugian akibat erupsi Kelud sebesar Rp 377,54 miliar. Kementerian Pertanian mencatat bahwa akibat bencana alam yang terjadi di Indonesa, maka terdapat sekitar 50 ribu hektar lahan pertanian mengalami kerusakan (Al Hamzah, 2014).

5. MITIGASI KEBENCANAAN

Pengelolaan kebencanaan yang menyeluruh biasanya didasarkan pada 4 komponen penting, yaitu mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (Coppola, 2007). Mitigasi merupakan upaya untuk mengurangi dan atau menghilangkan dampak dari adanya bahaya. Mitigasi berusaha memperlakukan bahaya sehingga dampaknya ke masyarakat akan sekecil mungkin. Kesiapsiagaan, memperlengkapi orang-orang yang mungkin terkena dampak bencana atau yang mungkin dapat membantu mereka yang terkena dampak dengan alat untuk meningkatkan kesempatan mereka untuk dapat bertahan hidup dan meminimalkan kerugian dan kehilangan lainnya. Tanggap Darurat, merupakan upaya untuk mengurangi atau menghilangkan dampak bencana yang sudah atau sedang terjadi, untuk mencegah penderitaan lebih lanjut, kerugian keuangan, atau kombinasi keduanya.

Pengamatan aktivitas gunungapi telah dilakukan oleh instansi terkait, yaitu PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), dan dikomunikasikan kepada masyarakat, terutama masyarakat sekitar, melalui berbagai cara. Hal ini perlu diperhatikan mengingat masyarakat kadang-kadang memperoleh informasi tentang proses erupsi gunungapi dari sumber yang belum dapat dipercaya.

Letusan gunung termasuk bencana alam yang tidak dapat dicegah oleh manusia walaupun menggunakan teknologi canggih. Upaya yang dapat dilakukan adalah memperkecil agar dampaknya seminimal mungkin. Bila menelan korban jiwa maka jumlahnya sekecil mungkin atau bahkan tidak ada yang meninggal. Begitu pula bila ada yang luka-luka atau kerusakan fisik maka diupayakan sesedikit mungkin.

Masyarakat yang tinggal di sekitar gunungapi yang masih aktif harus selalu waspada dan mengikuti perkembangan kondisi gunungapi yang ada di dekatnya.

Pada kasus letusan gunungapi tertentu, dimana ramalan dari juru kunci kurang didasarkan pada pertimbangan ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan, dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat agar lebih mempercayai informasi yang berasal dari sumber resmi yang dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Informasi dari juru kunci maupun masyarakat dan pihak terkait lainnya dapat menjadi masukan untuk merumuskan rencana tindakan yang dapat dilakukan.

Dalam menghadapi material letusan, masyarakat harus waspada antara lain tidak keluar rumah bila tidak ada keperluan yang penting, menghindari berkendaraan terutama bersepeda motor, menggunakan masker dan penutup/pelindung kepala lain (helm).

Kementerian kesehatan juga telah mengimbau kepada masyarakat agar menutup saluran air (sumur

Page 61: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 47

galian terbuka dan penampungan air) agar tidak terkena debu, juga dianjurkan untuk mencuci atau memasak makanan sebelum dimakan (Sindonews, 2014).

6. KESIMPULAN

Indonesia termasuk negara dengan banyak gunungapi; di satu sisi harus diwaspadai dan diantisipasi risiko bahayanya sedangkan di sisi lain harus disyukuri manfaat dan berkahnya. Kawasan sekitar gunungapi, yang biasanya merupakan kawasan yang subur sehingga menarik banyak penduduk untuk hidup dan tinggal, juga merupakan kawasan rawan bencana sehingga masyarakat harus selalu waspada akan berbagai kemungkinan yang terjadi terutama erupsi dan berbagai dampaknya.

Dampak yang ditimbulkan oleh letusan gunungapi, walaupun ada positifnya namun selama ini dirasakan lebih banyak negatifnya, tidak mengenal batas administrasi, bisa lintas kabupaten, propinsi, bahkan lintas negara.

Berdasarkan sejarah letusan beberapa gunungapi, baik di Indonesia maupun di negara lain, dapat diambil pelajaran bahwa letusan gunung berbeda-beda dan bisa berubah sifat letusannya walaupun pada gunung yang sama. Hal tersebut dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam merumuskan upaya pengurangan risiko bencana pada kawasan bahaya gunungapi.

Badan Penanggulangan Bencana (Pusat maupun Daerah) dan media massa mempunyai peran penting dalam memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang kebencanaan, termasuk letusan gunungapi, terutama hal-hal yang dapat dilakukan masyarakat agar dampaknya minimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Al Hamzah, Zaky (2014): Berkah Pertanian Pasca Bencana. Republika, 20 Februari 2014.2. Antara (2014): Menghitung kerugian akibat bencana Kelud. AntaraNEWS.com, Selasa, 18 Februari 2014,

diakses 23 Februari 2014.3. Badan Geologi (2011): Data Dasar Gunung Api Indonesia. Kementerian ESDM.4. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi/Balitkabi (2014): Desa Pandansari Paling Parah

Terkena Dampak Erupsi Gunung Kelud di Malang. Selasa, 25 Februari 2014.5. Bappenas dan BNPB (2011): Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Erupsi Merapi

di Wilayah Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah. Bappenas dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta.

6. Coppola, Damon P (2007): Introduction to International Disaster Management. Elsevier, Oxford.7. Kedaulatan Rakyat (2014): Aktivitas Bisnis Normal Setelah Sebulan. Koran KR, 20 Februari 2014, hal 9.8. Kodoatie, Robert, J dan Roestam Sjarief (2006): Pengelolaan Bencana Terpadu. Penerbit Yarsif

Watampone, Jakarta.9. Kompas (2014): Erupsi Kelud; selimut abu hingga 700 kilometer; Bahaya Kelud masih ada.10. Merdeka (2014): Dampak erupsi Gunung Kelud bagi aktivitas ekonomi. Edisi 16 Februari 2014.11. Pikiran Rakyat (2014): Lahar Rusak 15.717 Rumah. Edisi 20 Februari 2014.12. Putrohari, Rovicky Dwi (2014): Dinamika Gunung di Cincin Api. Republika, 20 Februari 2014.13. Republika (2014): Perbedaan Letusan Gunung Merapi, Kelud, Sinabung. Edisi 14 Februari.14. Republika (2014): Pariwisata Sleman Merugi Rp 2 M per Hari Akibat Kelud. Edisi Kamis, 20 Februari

2014; diakses 23 febr 2014.15. Republika (2014): Pertanian rugi triliunan rupiah akibat bencana. Edisi Rabu 5 Maret 2014.16. Republika (2014): Kecamatan Ngantang Paling Parah Terkena Dampak Erupsi Gunung Kelud. Edisi 19

Februari 2014. 17. Sindonews (2014): Kelud Meletus, Kecamatan Ngantang seperti kota mati. Edisi 15 Februari, diakses 25

Februari 201418. Sindonews (2014): Kemenkes: Hirup debu letusan Kelud berbahaya. Edisi 14 Februari, diakses 25

Februari 201419. Subandrio, Andri (2014): Debu Letusan Gunung Kelud. Mailing list Dosen ITB, 15 Februari 2014.20. Surono (2014): Gunung Api; antara berkah dan bencana. Kompas 15 Februari 2014. 21. Tempo (2014): Erupsi Kelud, Ngantang Kena Dampak Paling Parah. Edisi 16 Februari 2014.22. Tribunnews (2014): Tujuh Bandara masih ditutup akibat letusan Kelud. Edisi 15 Februari, diakses dari

tribunnews.com, 25 Februari 2014.23. Wisner, Ben; Piers Blaikie, Terry Cannon, Ian Davis (1994): Natural Hazards, People’s Vulnerability and

Disasters. Second Editions. Routledge, London.

Page 62: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

48 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

PENGEMBANGAN MODEL PERENCANAAN EVAKUASI TSUNAMI UNTUK PENENTUAN JUMLAH DAN LOKASI TES (TEMPAT EVAKUASI SEMENTARA)

DENGAN MODIFIKASI PROGRAM ESCAPE

Oleh:Harkunti Pertiwi Rahayu1 dan Kamelia Octaviani2

1Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan dan Pusat Penelitian Mitigasi Bencana, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Indonesia,

Email: [email protected] Pasca Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan

Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132Email: [email protected]

Abstrak

Wilayah Pesisir Sumatera Barat memiliki tingkat kerawanan yang sangat tinggi terhadap bahaya tsunami terlihat dari posisi geodinamik kawasan tersebut. Tidak terkecuali dengan Kota Pariaman yang terletak di tepi Pantai Barat Sumatera dan berjarak 56 km dari Kota Padang - Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat. Belajar dari Gempa Sumatera 29 September 2009 yang telah banyak merusak rumah penduduk maupun infrastruktur kota, berbagai upaya pengurangan risiko bencana telah banyak dilakukan oleh Kota Pariaman terutama pada tahap kesiapsiagaan dan tanggap darurat. Namun demikian dari hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan peneitian ini, terlihat bahwa perencanaan evakuasi tsunami belum dilakukan dengan optimal dan belum menggunakan pendekatan ilmiah. Besar harapan dari Kota Pariaman untuk dibantu dengan mengkaji dan memperbaiki rencana evakuasi tsunami. Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang merupakan bagian dari Penelitian PEER Cycle 3 - NAS Sub Grant 2000004899-FFATA telah dilakukan kajian terhadap rencana evakuasi tsunami yang ada dengan melakukan Pengembangan Model Perencanaan Evakuasi Tsunami untuk Penentuan Jumlah dan Lokasi TES (Tempat Evakuasi Sementara) dengan Modifikasi Program ESCAPE. Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kecamatan Pariaman Tengah, karena memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan terdapat 4 Kelurahan yang berada di tepi pantai. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk Evaluasi dan Rekomendasi Perencanaan Evakuasi Tsunami Menggunakan Shelter Vertikal di Kecamatan Pariaman Tengah, pengembangan dari Program Escape, menggunakan model Sistem Informasi Geografi (SIG). Penelitian dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dengan sebar kuesioner kepada masyarakat dan wawancara kepada aktor yang terlibat atau mengetahui waktu reaksi masyarakat pada saat terjadi gempa Tahun 2009. Sedangkan penelitian kuantitatif dilakukan melalui Merancang Model Evakuasi Tsunami berdasarkan Program Simulasi Utama (Arah, Basin, dan Waktu Evakuasi), Program Simulasi Rute Evakuasi (Jalur, dan lokasi shelter), Program Simulasi Shelter (Basin, Eksposure/Paparan). Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, digunakan 2 skenario yaitu Skenario dari Pemerintah dan Skenario Usulan. Untuk Skenario Rencana Lokasi Shelter Pemerintah menggunakan 9 lokasi, diperoleh status kemampuan respon yang lemah (weak response capability) untuk semua lokasi dengan menggunakan waktu reaksi masyarakat (RT) minimum 7 menit dan maksimum 30 menit dan waktu tanda peringatan dini secara natural dan dari Pemerintah (TONW) sebesar 20 menit. Sedangkan jika kapasitas Pemerintah dan Masyarakat dalam menghadapi ancaman tsunami dinaikkan 100%, maka waktu reaksi masyarakat minimum sebesar 0,5 menit dan maksimal sebesar 15 menit, dengan waktu tanda peringatan dini (TONW) sebesar 10 menit, maka diperoleh 2 lokasi shelter yang aman dengan status kemampuan respon yang baik (good response capability) di exit point 2 (Kelurahan Cimparuh) dan exit point 11 (Kelurahan Jalan Baru). Luaran dan rekomendasi dalam pemodelan Perencanaan Evakuasi Tsunami adalah jumlah TES Tempat Evakuasi Sementara yang secara optimal dibutuhkan di tiap kelurahan dan waktu untuk mengevakuasi seluruh kawasan.

Page 63: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 49

Kata kunci: Perencanaan Evakuasi Tsunami, Kajian Kebutuhan Jumlah dan Sebaran TES, Waktu Evakuasi.

1. PENDAHULUAN

Adanya Mega tsunami yang dihasilkan oleh skala kekuatan momen Mw 9,2 pada Tahun 2004, telah menghancurkan banyak kota-kota pesisir di zona rawan tsunami di Indonesia maupun di Samudera Hindia. Setelah kejadian tersebut, Indonesia maupun negara-negara yang terkena dampak lain di kawasan Samudera Hindia menempatkan prioritas tertinggi pada pengembangan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia (Ina-TEWS) dengan tujuan untuk memiliki infrastruktur yang handal untuk memantau, mendeteksi, menganalisis dan menyebarkan peringatan potensi tsunami dalam waktu yang akurat, mempunyai waktu yang cukup bagi penduduk untuk evakuasi dari daerah risiko tsunami; memiliki pejabat pemerintah yang responsif dan bertanggung jawab di tingkat lokal dan regional dalam menerima sistem peringatan dini tsunami dan tepat waktu mengeluarkan perintah evakuasi untuk penduduk yang terpapar; dan memiliki penduduk yang responsif (Rahayu et al, 2013). Sejalan dengan penyempurnaan Sistem Peringatan Dini Tsunami tersebut, peningkatan kesiapsiagaan tsunami serta inisiatif pengurangan risiko bencana telah dilakukan di banyak kota/kabupaten rawan tsunami di Indonesia, salah satunya di Provinsi Sumatera Barat yang terletak di kawasan geodinamik, yaitu Kota Pariaman, yang terletak di tepi Pantai Barat Sumatera dan berjarak 56 km dari Kota Padang - Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat, yang berada tidak jauh dari zona subduksi, rawan tsunami jarak dekat (near field tsunami) dan banyak memiliki pengalaman Gempa dan Tsunami, terutama pada saat Gempa Tahun 2004 dan Gempa Padang Tahun 2009 yang lalu, yang menyebabkan kerusakan infrastruktur di Pariaman dan merenggut korban jiwa sebanyak 37 orang (Satkorlak BPBD Sumatera Barat).

Kecamatan Pariaman Tengah menjadi fokus dalam penelitian ini karena berada pada bibir pantai Samudera Hindia dan memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Usaha Pengurangan Risiko Bencana yang dilakukan Kota Pariaman, khususnya Kecamatan Pariaman Tengah diantaranya adalah Pengkajian Risiko Tsunami, membuat peraturan daerah tentang penanggulangan bencana, peningkatan kesadaran masyarakat terhadap risiko tsunami, pengembangan kapasitas kelembagaan dan infrastruktur untuk pelayanan peringatan dini, serta rencana kontijensi dan rencana evakuasi tsunami baik vertikal maupun horizontal yang dibuat tahun 2012. Namun rencana tersebut dirasa belum optimal dan belum mendekati pendekatan ilmiah.

Hal tersebut dilihat dari adanya adanya ketidaksesuaian jumlah dan lokasi Tempat Evakuasi Sementara (TES) dengan jumlah penduduk yang ada, ketidakcukupan antara waktu evakuasi Tsunami (evacuation time) dibandingkan dengan golden time yang ada, sehingga dapat menimbulkan keterlambatan untuk mengevakuasi warga; dan adanya ketidaksesuaian rute yang ada dengan lokasi Tempat Evakuasi Sementara (TES). Berdasarkan Laporan Studio ITB Tahun 2015, untuk mencapai lokasi Tempat Evakuasi Akhir mencapai 120 menit, sehingga perencanaan evakuasi tsunami horizontal tidak memungkinkan. Untuk itu dalam Penelitian ini dilakukan Kajian Model Perencanaan Evakuasi Tsunami Vertikal dengan modifikasi Program Escape.

Program Escape merupakan Sistem evaluasi untuk Aksesibilitas Perhitungan dan Perencanaan Evakuasi untuk memberikan informasi dan panduan rute tercepat dan arah evakuasi menuju tempat evakuasi (Pedoman Escape, 2015), program ini merupakan program dari RIMES, yaitu suatu Lembaga Internasional yang dimiliki dan dikelola oleh negara-negara anggota di Asia dan Afrika, yang berlokasi di Bangkok. Namun dalam penelitian ini Program Escape yang ada ini hanya akan diambil konsepnya saja, sedangkan model yang dikaji menggunakan Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System/GIS).

Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian PEER Cycle 3 - NAS Sub Grant 2000004899-FFATA, dengan menggunakan perangkat PEER yang dikembangkan melalui kuesioner semi struktur dalam melakukan analisa kualitatif dalam Kajian Model Perencanaan Evakuasi Tsunami Vertikal di Kecamatan Pariaman Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan Rekomendasi untuk Penyempurnaan Rencana Evakuasi Tsunami Vertikal Menggunakan Tempat Evakuasi Sementara di Kecamatan Pariaman Tengah, sebagai modifikasi dari Program Escape dengan menggunakan model Sistem Informasi Geografi/Geographic Information System (GIS). Berikut merupakan Peta Wilayah Penelitian Kecamatan Pariaman Tengah :

Page 64: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

50 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Gambar 1. Peta Wilayah Penelitian

2. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Metode kuantitatif yaitu dengan mengkaji model perencanaan evakuasi tsunami vertikal, modifikasi program escape dengan menggunakan sistem informasi geografi (SIG). Sedangkan metode kualitatif yaitu untuk mencari waktu reaksi masyarakat dan waktu sistem peringatan dini tsunami. Metode pengumpulan data primer melalui survei lapangan dengan menggunakan kuesioner berbasis wawancara semi struktur, observasi, dan wawancara kepada stakeholder terkait. Sedangkan data sekunder melalui studi literatur, akuisisi dokumen Pemerintah maupun pihak lain.

Analisis spasial menggunakan sistem informasi geografis (SIG) untuk menampilkan dan mengolah data spasial. Sumber data spasial berasal dari citra satellite online yang diperoleh dari ARC-GIS 10.2 dan Bappeda Kota Pariaman. Permodelan Tsunami di wilayah penelitian menggunakan interpretasi dari pemodelan tsunami oleh AIFDR dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Wilayah Pesisir- Kelompok Riset Tsunami-ITB (Dr Hamzah Latief dan Ryan Pranantyo). Dalam identifikasi ketinggian genangan tsunami, penulis menggunakan peta genangan tsunami di Kota Pariaman yang belum dipublikasikan dalam makalah “Sensitivity Study of Roughness Coefficient to Tsunami Inundation” (Pranantyo, Rian 2014).

Ketinggian rendaman tsunami tersebut diukur dari permukaan rata-rata air laut dengan ketinggian maksimal 9 meter dengan dikurangi topografi yang ada di wilayah tersebut. Skenario tersebut merupakan skenario terburuk yang mungkin terjadi. Kuesioner diperoleh dengan membangun dari perangkat PEER, dengan metoda purposive sampling dan snowball sampling. Purposive sampling dilakukan karena responden yang dituju berada pada bibir pantai dan yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi yaitu berada pada Kelurahan Lohong, Karan Aur, Kampung Perak, Pasir, dan Pauh Barat. Total Responden adalah sebanyak 150 responden, namun yang dapat dipakai hanya 87 responden. Observasi yang digunakan adalah observasi langsung, dengan rekam jejak/tracking menggunakan GPS untuk mengukur panjang jalan dan lokasi Tempat Evakuasi Sementara (TES) yang berada di Kecamatan Pariaman Tengah dan Tempat Evakuasi Akhir (TEA) yang berada di Kecamatan Pariaman Timur. Sedangkan wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara melalui daftar pertanyaan yang bersifat terbuka, untuk menggali informasi berkaitan dengan pengalaman atau pengetahuan responden mengenai lokasi rencana evakuasi menggunakan Tempat Evakuasi Sementara dan waktu respon masyarakat ketika mendengar peringatan dini tsunami.

Page 65: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 51

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Analisis Peta Paparan/Exposure Penduduk Kota Pariaman dan Peta Risiko Tsunami Kota Pariaman

Pada penelitian ini, dalam menghitung jumlah masyarakat yang terpapar diperoleh dari bangunan yang ada, dengan mengkalikan jumlah penduduk di satu kelurahan dengan persentase luas bangunan dan luas kelurahan. Kelurahan yang paling tinggi paparan penduduknya adalah Kelurahan Kampung Baru. Seperti terlihat pada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Kelas Indeks Paparan (Exposure) Tsunami di Kecamatan Pariaman Tengah

No Jumlah Penduduk (jiwa) Kelas Indeks

1 690 - 865 Sangat Rendah

2 865 - 1353 Rendah

3 1353 - 1888 Sedang

4 1888 - 2430 Tinggi

5 2430 - 3444 Sangat Tinggi

Sumber: Hasil pengolahan, 2016.

Gambar 2. Peta Paparan Penduduk (Sumber: Hasil Pengolahan, 2016).

Untuk Peta Bahaya Tsunami diperoleh melaui Peta Bahaya dengan Tinggi Rendaman Tsunami (Flow Depth) yang sudah dikurangi dengan Topografi wilayah Kecamatan Pariaman Tengah. Tinggi rendaman diukur dari tinggi rata rata permukaan air laut. Dengan maksimal tinggi tsunami adalah 9 m (Sesuai hasil konsultasi dan arahan dari Dr. Hamzah Latief, Pakar Tsunami, Institut Teknologi Bandung pada tanggal 22 Mei 2016). Berikut adalah Kelas indeks bahaya yang digunakan :

Page 66: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

52 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Tabel 2. Kelas Indeks Bahaya Tsunami di Kecamatan Pariaman Tengah

No Tinggi Rendaman Kelas Indeks

1 0 - 1 m Sangat Rendah

2 1 - 2 m Rendah

3 2 - 4 m Sedang

4 4 - 6 m Tinggi

5 6 - 8 m Sangat Tinggi

Sumber: Hasil pengolahan, 2016.

Kelas bahaya paling tinggi berada pada Kelurahan Pauh Barat, Lohong, Pauh Timur, Karan Aur. Sedangkan kelas terendah berada pada Kelurahan Jati Hilir dan Cimparuh.

Berikut merupakan Peta Bahaya Tsunami yang dihasilkan :

Gambar 3. Peta Bahaya Tsunami Wilayah Penelitian.(Sumber: AIFDR-Pusat Penelitian dan Pengembangan Wilayah Pesisir dan Laut- Kelompok Riset Tsunami-ITB 2014, diolah).

Sedangkan untuk Peta Risiko Tsunami diperoleh dengan overlay antara Peta Paparan Penduduk dengan Peta Bahaya, Kelas Indeks Risiko yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Kelas Indeks Risiko Tsunami di Kecamatan Pariaman Tengah

No Tinggi Rendaman Kelas Indeks

1 0 - 13 Sangat Rendah

2 13 - 36 Rendah

3 36 - 88 Sedang

4 88 - 417 Tinggi

5 417 - 1304 Sangat Tinggi

Sumber: Hasil pengolahan, 2016.

Peta risiko tsunami yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

Page 67: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 53

Gambar 4. Peta Risiko Tsunami Wilayah Penelitian.(Sumber: Hasil Pengolahan, 2016).

3.2. Analisis Inverse Evacuation Speed Grid (1/Kecepatan), Waktu Evakuasi, Arah Evakuasi, dan Basin Evakuasi

Inverse Evacuation Speed grid merupakan nilai 1/kecepatan yang diperoleh dari faktor pengkalian dari slope/kemiringan lahan, tata guna lahan, kecepatan berlari penduduk yang didasarkan pada faktor usia dan gender, kepadatan fasilitas kritis (rumah sakit, sekolah, puskesmas, klinik). Dari hasil inverse evacuation speed grid diperoleh hasil sebagai berikut :

Gambar 5. Peta Inverse Evacuation Speed Grid.(Sumber: Hasil Pengolahan, 2016).

Page 68: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

54 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Nilai maksimal dari inverse tersebut adalah 20 (s/m) berada pada Kelurahan Lohong, Pasir, Karan Aur, Pauh Timur, Cimparuh sedangkan nilai inverse minimal adalah 1,2 (s/m) berada pada Kelurahan Alai Gelombang dan Jatihilir. Hal ini berarti yang dapat evakuasi dengan cepat adalah yang memiliki nilai inverse evacuation tinggi, karena berbanding lurus dengan waktu evakuasi.

Setelah memperoleh nilai inverse evacuation speed grid, maka diperoleh waktu evakuasi melalui fungsi biaya jarak yang dibobotkan di dalam GIS. Pada Penelitian ini dibuat skenario kajian yang berbeda-beda karena berdasarkan hasil wawancara dengan Pusdalops Provinsi Sumatera Barat, nilai waktu TONW/ sistem peringatan dini tsunami yang diperoleh dari nilai yang didapat pada saat gempa terjadi secara real time dan waktu yang dibutuhkan Pusdalop Kota Pariaman adalah 13 menit, dan untuk mendapatkan waktu yang rasional sehingga dibuat beberapa skenario dan asumsi untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah dan masyarakat sehingga waktu golden time yang dibutuhkan dapat lebih besar.

Tabel 4. Skenario Kajian Model Perencanaan Evakuasi

No Skenario Penjelasan

1 Skenario 1A Menggunakan TES usulan Pemerintah sebanyak 9 lokasi.

2 Skenario 2A Menggunakan TES usulan Peneliti sebanyak 55 lokasi.

3 Skenario 1B Menggunakan TES 21 lokasi dengan mengasumsikan kenaikan kapasitas Pemerintah dan masyarakat.

4 Skenario 2B Menggunakan TES usulan Peneliti sebanyak 55 lokasi dengan mengasumsikan kenaikan kapasitas pemerintah dan masyarakat.

Sumber: Hasil pengolahan, 2016.

Waktu Evakuasi yang diperoleh pada Skenario 1A dan 2 A adalah sebagai berikut :

Gambar 6. Waktu Evakuasi Skenario 1A.(Sumber: Hasil Pengolahan, 2016).

Page 69: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 55

Gambar 7. Peta Waktu Evakuasi Skenario 2A (Sumber: Hasil Pengolahan, 2016).

Waktu yang diperoleh adalah nilai maksimum adalah 56,23 menit diperoleh Kelurahan Karan Aur, dan minimal adalah 18,29 menit diperoleh pada exit point 2 (Kelurahan Cimparuh). Waktu yang diperoleh adalah nilai maksimum adalah 56,34 menit diperoleh Kelurahan Karan Aur, dan minimal adalah 0-6,4 menit diperoleh Kelurahan Jatimudik dan Pasir.

Untuk Arah evakuasi, diperoleh dengan fungsi flow direction dalam ARC-GIS dengan menggunakan input waktu evakuasi yang sudah diperoleh. Hasil dari arah evakuasi adalah sebagai berikut :

Di dalam Arah tersebut, diperoleh 8 arah seperti arah mata angin dan menjauhi pantai. Arah yang paling banyak muncul adalah arah no.1 ke arah timur dan no. 64 ke arah utara, yang keduanya menjauhi pantai. Sedangkan untuk Arah evakuasi skenario 2A diperoleh arah evakuasi yang dihasilkan lebih banyak berwarna biru no.4, yaitu ke arah selatan (Kelurahan Karan Aur) dan warna hitam no.1 yaitu menuju timur (Kelurahan Pauh Timur). Berikut arah evakuasi:

Gambar 8. Peta Arah Evakuasi Skenario 1A (Sumber: Hasil Pengolahan, 2016).

Page 70: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

56 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Gambar 9. Peta Arah Evakuasi Skenario 2A (Sumber: Hasil Pengolahan, 2016).

Untuk menentukan Basin Evakuasi di Kota Pariaman diperoleh dengan menggunakan fungsi basin dengan input memasukkan arah evakuasi, diperoleh sebagai berikut :

Gambar 10. Peta Basin Evakuasi Skenario 1A. (Sumber: Hasil Pengolahan, 2016).

Page 71: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 57

Gambar 11. Peta Basin Evakuasi Skenario 2A.(Sumber: Hasil Pengolahan, 2016).

Untuk Skenario 1A diperoleh Basin sebanyak 21 basin evakuasi, basin ini bersifat seperti poligon, untuk memudahkan perhitungan jumlah penduduk yang akan dievakuasi. Sehingga terbagi menjadi beberapa ruang yang luasnya berdasarkan arah evakuasi dengan menggunakan cost backlink yaitu sebagai fungsi untuk menentukan arah di dalam Program GIS agar output basin membagi basin sesuai dengan tata guna lahan yang ada dan slope/kemiringan yang ada. Sedangkan untuk Skenario 2A diperoleh 54 basin, karena ada 2 TES di dalam 1 basin.

3.3. Analisis Jalur Evakuasi dan Jumlah Lokasi Tempat Evakuasi Sementara (TES)

Jalur evakuasi diperoleh menggunakan analisis cost path pada GIS, yaitu dengan memasukkan input lokasi titik TES dan basin evakuasi, maka diperoleh jalur evakuasi sebagai berikut :

Gambar 12. Peta Rute Evakuasi Skenario 1A. (Sumber: Hasil Pengolahan, 2016).

Page 72: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

58 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Jalur evakuasi yang diperoleh pada Skenario 1A ini dengan memasukkan lokasi TES sebanyak 21 lokasi, diperoleh 23 jalur. Karena ada 2 lokasi yang memiliki 2 jalur, yaitu lokasi Simpang Taratak dan Exit Point 5 (Jati hilir).

Untuk Jalur Evakuasi pada skenario 2A, input yang dimasukkan adalah lokasi TES sebanyak 55 lokasi dengan basin evakuasi yang sudah diperoleh. Jalur evakuasi tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 13. Peta Rute Evakuasi Skenario 1A. (Sumber: Hasil Pengolahan, 2016).

Rute yang dihasilkan ada 54 rute sesuai dengan lokasi shelter yang ditentukan, tetapi ada 2 lokasi shelter yang memiliki 1 rute yaitu BPS Kota Pariaman dan Masjid Jihad Kabun di Kelurahan Jati Hilir.

3.4. Analisis Waktu Reaksi Masyarakat, Waktu Sistem Peringatan Dini Tsunami (Technical or Natural Warning System), dan Waktu Respon Aktual yang Tersedia (Golden Time)

Dalam menghitung waktu golden time menggunakan rumus J-Post sebagai berikut :

RsT = ETA − ToNW - RT

Dimana :ETA = Waktu tiba gelombang tsunami, dalam hal ini Kota Pariaman adalah 35 menit

berdasarkan makalah dari Dr. Hamzah Latief. ToNW = Technical or Natural Warning Time atau waktu sistem peringatan dini Tsunami yang

terdiri dari IDT (Institutional Decision Time) atau real time dari gempa terdeteksi oleh alat dari BMKG yaitu 5 menit. Dan INT (Institutional Notification Time) yaitu waktu ketika Pusdalops Kota Pariaman memutuskan untuk menekan tombol sirine, dalam penelitian ini ditetapkan sebesar 15 menit.

Reaction Time = Waktu Reaksi Masyarakat yang diperoleh dari kuesioner semi struktur pada 87 responden di Kelurahan di Kecamatan Pariaman Tengah.

Waktu Reaksi Masyarakat yang diperoleh dari survei kuesioner semi struktur diambil pada tanggal 4 Maret sampai dengan 12 Maret 2016 di setiap Kelurahan di Kecamatan Pariaman Tengah. Nilai yang

Page 73: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 59

diperoleh dirata-ratakan, dengan total responden adalah 87 orang. Dengan nilai minimal waktu reaksi masyarakat yang diperoleh adalah 3 menit dan maksimal 62 menit.

3.5. Analisis Kapasitas TES dan Status TES

Kapasitas TES diperoleh dengan menggunakan perhitungan 0,5 m² per orang, dengan kata lain setiap 1 m² dapat menampung 2 orang. Pengungsi diasumsikan duduk tanpa kursi (bersila atau menekuk kaki ke depan) selama beberapa jam menunggu waktu kritis gelombang tsunami mereda. Posisi duduk tanpa kursi dan duduk bersila posisi duduk santai dengan kaki ditekuk ke depan membutuhkan ruang seluas 0,47 m² s.d 0,55 m² per orang (Neufert, 2001). Pada Tabel 5 berikut menampilkan perbandingan hasil dari penelitian:

Tabel 5. Perbandingan Parameter Evakuasi Tsunami Vertikal

No Skenario Kategori Nilai Min Nilai Max Banyaknya Shelter

1. Evacuation Time (ET) Skenario 1A 18.29 56.23 21

Skenario 2A 3.18 56.34 55

Skenario 1B 18.29 56.23 21

Skenario 2B 3.18 56.34 55

2. Reaction Time (RT) Skenario 1A 1 30 21

Skenario 2A 1 31 55

Skenario 1B 0.5 15 21

Skenario 2B 0.5 15.5 55

3. RsT (Available Respon Time) Skenario 1A -15 14 21

Skenario 2A -16 4 55

Skenario IB 10 25 21

Skenario 2B 9.5 25 55

4. Arah Evakuasi Skenario 1A 8 21

Skenario 2A 8 55

Skenario 1B 8 21

Skenario 2B 8 55

5. Basin Evakuasi Skenario 1A 21 21

Skenario 2A 54 55

Skenario 1B 21 21

Skenario 2B 54 55

6. Rute Evakuasi Skenario 1A 23 21

Skenario 2A 56 55

Skenario 1B 23 21

Skenario 2B 56 55

7. Jumlah Penduduk yang Terevakuasi Skenario 1A 0 21

Skenario 2A 7500 55

Skenario 1B 8000 21

Skenario 2B 73380 55

8. Jumlah Penduduk yang Tidak Terevakuasi Skenario 1A 31672 21

Skenario 2A 24172 55

Skenario IB 22985 21

Skenario 2B 0 55

Page 74: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

60 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

9. Status Shelter “Weak Response Capability”Status Shelter “Good Response Capability” Skenario 1A

21

0

Status Shelter “Weak Response Capability”Status Shelter “Good Response Capability” Skenario 2A

48

7

Status Shelter “Weak Response Capability”Status Shelter “Good Response Capability” Skenario 1B

19

2

Status Shelter “Weak Response Capability”Status Shelter “Good Response Capability” Skenario 2 B

32

23

Sumber: Hasil pengolahan, 2016.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa Setelah dilakukan kajian menggunakan Skenario 1A, 2A, 1B, 2B Seluruh Lokasi Tempat Evakuasi Sementara (TES) Usulan Pemerintah Kota Pariaman yaitu Skenario 1A berada pada titik yang tidak aman dilihat berdasarkan waktu evakuasi dengan mempertimbangkan kemiringan lahan (slope), tata guna lahan (landuse), kecepatan orang berjalan yang dipertimbangkan dengan kepadatan penduduk dan faktor demografi, serta mempertimbangkan kepadatan fasilitas kritis yang dapat dijadikan sebagai Buffer, dengan nilai waktu evakuasi minimal 18,29 menit dan maksimal 56,23 menit, dan dengan waktu reaksi masyarakat minimum 1 menit dan maksimal 30 menit.

Pada Skenario 2A, dengan menambah lokasi Tempat Evakuasi Sementara total menjadi 55 lokasi dengan waktu reaksi masyarakat minimum 1 menit dan maksimum 31 menit, maka diperoleh tempat evakuasi sementara yang aman sebanyak 7 lokasi yaitu 5 lokasi di Kelurahan Kampung Baru, 1 lokasi di Kantor Pelayanan Terpadu (Kelurahan Pasir), dan 1 lokasi di Kelurahan Kampung Pondok II.

Pada skenario 1B dengan menggunakan 21 titik TES dan meningkatkan kapasitas pemerintah sebesar 100%, dengan waktu reaksi masyarakat menjadi 0,5 menit minimum dan maksimal 15 menit, maka diperoleh 2 tempat evakuasi sementara yang aman yaitu di exit point 2 (Kelurahan Cimparuh) dan exit point 11 (Kelurahan Jalan Baru).

Kapasitas TES yang dapat ditampung yang paling banyak adalah dengan menggunakan Skenario 2B dengan mengasumsikan kapasitas pemerintah dan masyarakat naik sebesar 100% sehingga diharapkan nilai golden time berkurang sebesar 50%, dengan waktu masyarakat diperoleh dari kuesioner semi struktur yang diambil dari nilai rata rata dari 87 responden pada setiap Kelurahan yaitu minimum 5 menit dan maksimum 15,5 menit. Untuk Skenario 2B, masyarakat yang dapat dievakuasi adalah 73.380 jiwa, dengan status TES yang aman adalah sebanyak 32 lokasi TES, dengan menambah 28 lokasi tempat evakuasi sementara yang baru yaitu berada di Kelurahan Cimparuh (3 titik lokasi shelter), Pasir (2 titik lokasi shelter), Kampung Baru (7 titik lokasi shelter), Jati mudiak (1 titik lokasi shelter), Jalan Baru (2 titik lokasi shelter), Jati Hilir (3 titik lokasi shelter), Kampung Jawa 1 (1 titik lokasi shelter), Taratak (1 titik lokasi shelter), Alai Gelombang (1 titik lokasi shelter), Kampung Pondok II (2 titik lokasi shelter), Jawa Jawi II (1 titik lokasi shelter), Rawang (1 titik lokasi shelter), Pauh Timur (2 titik lokasi shelter), Kampung Perak (1 titik lokasi shelter).

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Melalui Skenario Tsunami, diperoleh bahwa wilayah Kecamatan Pariaman Tengah hampir seluruhnya tergenang tsunami, dengan ketinggian dari 1-8 m, dengan waktu evakuasi yang berbeda beda untuk berbagai skenario, dengan nilai yang hampir sama dengan waktu evakuasi maksimal >50 menit, sedangkan untuk jalur dan basin evakuasi jumlahnya akan sama dengan lokasi TES yang kita tentukan. Dan untuk nilai Reaction time rata - rata adalah nilai minimum: 0.5 menit, maximum: 30 menit dan golden time minimum 0 menit dan maksimum 25 menit. Waktu Evakuasi dan Waktu Respon Aktual yang tersedia/golden time merupakan variabel penting yang dapat menentukan evakuasi masyarakat di Kecamatan Pariaman Tengah, karena apabila ada suatu shelter yang dapat menampung banyak orang, tetapi waktunya itu mencukupi, maka shelter tersebut tetap tidak dapat digunakan. Untuk Skenario yang terbaik pada penelitian ini adalah Skenario 2B karena status TES-yang aman yang ditentukan oleh waktu evakuasi, dengan tidak melihat seberapa banyak kapasitas TES yang ada. Dari Hasil Perhitungan Skenario 1A, 2A, 1B, 2B maka jika ingin masyarakat Kecamatan Pariaman Tengah dapat terevakuasi seluruhnya, maka perlu menggunakan Skenario 2B dengan menambah lokasi sebanyak 28 titik tempat evakuasi sementara/shelter.

Page 75: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 61

Untuk mencapai skenario aman tersebut diperlukan peningkatan capacity building untuk pemerintah dengan mempercepat pengambilan keputusan pada saat terjadi gempa berpotensi tsunami dan memperbanyak jumlah bangunan shelter vertikal, peningkatan capacity building untuk masyarakat yaitu berupa peningkatan sosialisasi dan tsunami drill, tidak hanya untuk pendidikan di sekolah, tetapi juga untuk masyarakat pada umumnya seperti ibu rumah tangga, manula, dan penyandang keterbatasan fisik (difabel) dan disabilitas, dan melebarkan jalan terutama untuk Kelurahan Karan Aur dan Ujung Betung sehingga memudahkan masyarakat untuk berlari jika terjadi tsunami, serta penyusunan Perda mengenai building code untuk bangunan-bangunan yang akan dibangun maupun bangunan eksisting yang akan dijadikan tempat evakuasi sementara. Untuk pengembangan penelitian diperlukan juga pengembangan Program Escape untuk kasus - kasus serupa di wilayah rawan bencana tsunami di Indonesia dengan menambahkan perhitungan kerugian akibat tsunami (damage and loss assessment).

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan Terima Kasih disampaikan kepada Tim Peer Science USAID - Pusat Penelitian dan Mitigasi Bencana (PPMB) ITB dan Pusat Pengembangan Wilayah Pesisir dan Laut (ITB) serta BPBD dan BAPPEDA Kota Pariaman dalam penyediaan data, diskusi, serta bantuan selama di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim (2009). Escape User Manual, Regional Facility, Early Warning System for Africa and Asia. RIMES. Thailand.

2. Anonim (2012). Ekspos Walikota Pariaman mengenai Usulan Shelter. BPBD Kota Pariaman.3. Eufert, E. a. P. (2001). Architects’ Data : Blackwell Science.4. J.Post et al, (Juli 2009). Assessment of Human Immediate Respon Capability, Nat. Hazards Earth Syst.

Sci., 9, 1075-1086, 2009.5. Latief, Hamzah., (10-13 September 2012). Kajian Risiko Tsunami di Provinsi Sumatera Barat dan Urpaya

Mitigasinya. Pusat Pengembangan Wilayah Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung. Indonesia.6. MPWK ITB (2015). Laporan Kajian Analisa Risiko Tsunami Kota Pariaman. Studio Perencanaan

Penanggulangan Bencana. Bandung. Institut Teknologi Bandung.7. Pranantyo, Ignatius Ryan. (Desember 2014). Unpublished Paper - Sensitivity Study Of Roughness

Coefficient To Tsunami Inundation. AIFDR - Pusat Pengembangan Wilayah Pesisir dan Laut. Institut Teknologi Bandung. Indonesia.

8. Rahayu et al, (2008). National Guidelines for Tsunami Drill for City and Regency of Indonesia. Indonesian Ministry of Research and Technology. Jakarta. Indonesia.

9. Rahayu, H.P. (2012). Integrated Logic Model of Effective Tsunami Early Warrning System. Dissertation of Kochi University of Technology. Japan.

10. Rahayu, H.P. (2013); Seigo, Nesu (2013). The Use of Logic Model In Strategic Plan For Tsunami Early Warning. Institute of Technology Bandung; Kochi University of Technology. Japan.eb.

11. Satkorlak BPBD (2009). Laporan Mitigasi Tsunami. Provinsi Sumatera Barat.

Page 76: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDINGPERTEM

UAN ILMIAH TAHUNAN RISET KEBENCANAAN KE-3

Paradigma Baru, Peran dan Posisi Pengurangan Risiko Bencana dalam

Sustainable Development Goals

ISBN :978-602-74604-1-6

didukung oleh:

DIREKTORAT PENGURANGAN RISIKO BENCANA:: Grha BNPB Lt 14, Jl. Pramuka Kav. 38, Jakarta Timur

:: Gedung INA DRTG Lt. 2, Indonesia Peace and Security Center [IPCS] Jl. Anyer, Desa Tangkil, Kecamatan Citereup - Sentul, Jawa Barat

Institut Teknologi BandungBANDUNG

23-24 Mei 2016

PROSIDINGPERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN

RISET KEBENCANAAN KE-3Paradigma Baru, Peran dan Posisi Pengurangan Risiko Bencana

dalam Sustainable Development Goals

Page 77: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 63

SUBTEMA II PARADIGMA

BARU DALAM PENGURANGAN

RISIKO BENCANA BERKELANJUTAN

Page 78: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

64 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

PROSES DAN MANFAAT HUNIAN SEMENTARA BAGI KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI 2010 DI PULAU PAGAI SELATAN KEPULAUAN MENTAWAI

Oleh:Nasfryzal Carlo1, Hidayatul Irwan2, Eko Alvares3, Eva Rita4

1Dosen MRB Program Pascasarjana Universitas Bung HattaEmail: [email protected]

2Alumni MRB Program Pascasarjana Universitas Bung HattaEmail: [email protected]

3Dosen MRB Program Pascasarjana Universitas Bung HattaEmail: [email protected]

4Dosen MRB Program Pascasarjana Universitas Bung HattaEmail: [email protected]

Abstrak

Kejadian gempabumi dan tsunami di Kepuluan Mentawai tahun 2010 telah memberi dampak terhadap pemukiman dan kehidupan masyarakat setempat. Kebijakan pemerintah untuk merelokasi mereka ke tempat yang lebih aman telah mempengaruhi proses penyiapan hunian sementara dan hunian tetap. Hunian sementara dibangun pada masa tanggap darurat sebagai tempat proses pemulihan. Sebanyak 516 hunian sementara telah dibangun oleh Palang Merah Indonesia di Pulau Pagai Selatan. Hunian ini dipersiapkan untuk dapat didiami selama 2 tahun, hingga selesai pembangunan hunian tetap. Pada kenyataannya, pembangunan hunian tetap selesai melebihi alokasi waktu yang ditetapkan, sehingga masyarakat masih tetap tinggal di hunian sementara lebih dari 4 tahun. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian terhadap proses pembangunan hunian sementara dan terhadap masyarakat penghuni hunian sementara di Pulau Pagai Selatan untuk menjawab pertanyaan (i) bagaimana proses pembangunan hunian sementara dilakukan?, (ii) kenapa masyarakat korban gempa dan tsunami dapat bertahan lebih lama berada pada hunian sementara?, dan (iii) apa saja manfaat hunian sementara bagi masyarakat setempat? Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif-eksplanatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembangunan hunian sementara dilakukan dengan pola gotong royong dengan melibatkan calon penghuni dibantu fasilitator sejak awal proses pembangunan, aktivitas harian mereka tidak terganggu karena lokasi hunian cukup dekat dengan lokasi pekerjaan harian mereka. Setelah mereka mendiami hunian tetap, sebagian hunian sementara masih dimanfaatkan sebagai dapur dan gudang.

Kata kunci: Hunian sementara, Mentawai, Pagai Selatan.

1. PENDAHULUAN

Kejadian gempabumi yang terjadi di Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 25 Oktober 2010, berkekuatan 7,2 SR telah memicu terjadinya gelombang tsunami (Anon, 2014), sehingga telah memberikan dampak dan kerugian pada daerah dan penduduk setempat khususnya pada Kecamatan Sipora Selatan, Pagai Selatan, Pagai Utara, dan Sikakap (Rita et al, 2015; Irwan, 2015). Bencana gempabumi dan tsunami tersebut telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 509 orang meninggal dunia, 59 orang hilang, 173 orang luka berat, 11.425 jiwa mengungsi dan sebanyak 2.072 kk di relokasi ke tempat yang lebih aman (Rita et al, 2015). Irwan (2015) mengungkapkan bahwa berdasarkan kajian lapangan pada daerah bencana ditemukan jumlah rumah rusak berat 879 unit, rusak sedang 116 unit, dan 274 unit rusak ringan. Selain berdampak terhadap rumah penduduk bencana gempa dan tsunami telah menyebabkan terjadi kerusakan terhadap sarana jalan, kantor pemerintahan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, kantor pemerintahan, pasar dan resort pariwisata.

Page 79: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 65

Dampak terhadap insfrastruktur yang tidak layak huni lagi, pemerintah mengambil kebijakan untuk merelokasi semua korban yang terkena dampak langsung dan tidak langsung ke lokasi yang jauh dari pantai sehingga masyarakat boleh lagi berada di dusun tempat tinggal semula (Rita et al, 2015). Dampak dari kebijakan tersebut membawa konsekuensi terhadap rencana pembangunan hunian sementara sebagai wadah tempat pemulihan korban gempa dan tsunami tersebut. Salah satu tempat yang representatif adalah dengan membangun hunian sementara. Pembangunan hunian sementara tersebut diserahkan kepada lembaga sebagaimana ditunjukan pada tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Hunian Sementara yang Dibangun di Kepulauan MentawaiPascagempa dan Tsunami 2010 (Anon., 2010a)

No Lokasi Huntara Jumlah Pelaksana/Penanggung jawab

1 Pagai Utara 410 BNPB2 Pagai Selatan 516 PMI3 Sipora 316 Surf Aids4 Sipora 613 BNPB

Jumlah hunian sementara yang akan di bangun adalah sebanyak 1.855 unit dengan lokasi tersebar di berbagai tempat. Pada pulau Pagai Utara sebanyak 410 unit, penanggung jawab BNPB, di Pulau Pagai Pagai Selatan sebanyak 516 unit PMI sebagai penanggung jawab, di Pulau Sipora sebanyak 316 unit, penanggung jawab Surf Aids, dan 613 unit oleh BNPB.

Berdasarkan hasil keputusan rapat bersama BNPB, BPBD, PU dan lembaga yang terlibat (Irwan, 2015), diputuskan bahwa kriteria hunian sementara yang akan dibangun adalah (i) lama hunian sementara dapat dipergunakan minimal 1-2 tahun (sampai hunian tetap siap digunakan), (ii) lokasi relokasi sedekat mungkin dengan desa asal, (iii) pelaksanaan berdasarkan hasil desain Pekerjaan Umum dan BNPB, (iv) diupayakan material bangunan menggunakan bahan lokal, (v) mengikutsertakan masyarakat dalam pelaksanaan, (vi) titik relokasi bersifat sementara.

Sesuai dengan tabel 1, menurut Irwan (2015), jumlah hunian sementara yang diserahkan kepada PMI merupakan hasil pendataan dan kebutuhan pada saat pelaksanaan tanggap darurat serta rekomendasi dari pemerintah Kabupatan Kepulauan Mentawai. Hunian sementara dikerjakan secara bertahap mulai dari pertengahan Desember 2010 hingga bulan Februari 2011. Hunian ini diperuntukan sebagai sebagai tempat transisi pemulihan dini masyarakat sampai hunian tetap selesai dikerjakan oleh Pemerintah (diperkirakan maksimum selama 2 tahun). Namun, pada kenyataannya di lapangan, hunian tetap baru dapat ditempati oleh masyarakat pada tahun 2015 sehingga masyarakat bertahan untuk tinggal di hunian sementara selama 4 tahun.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan (i) bagaimana proses pembangunan hunian sementara yang dilakukan PMI di Dusun Kinumbuk, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai dilakukan, (ii) kenapa masyarakat penghuni hunian sementara dapat bertahan mendiami hunian tersebut melebihi masa transisi (2 tahun), dan apa saja manfaat hunian sementara bagi masyarakat semenjak mendiami hunian sementara sebelum dan sesudah berpindah ke hunian tetap?

2. METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif-eksplanatif berdasarkan data-data lapangan. Lokasi penelitian difokuskan terhadap hunian sementara yang dibangun oleh PMI di Dusun Kinumbuk, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan. Pengambilan data primer dilakukan melalui pengamatan secara langsung di lokasi dan melalui wawancara terstruktur secara snowball pada masyarakat penerima manfaat hunian sementara dan hunian tetap. Responden lain adalah BPBD Sumatera Barat yang terlibat dalam pelaksana teknis program rehab-rekon pascabencana gempa/tsunami Kepulauan Mentawai 2010, dan PMI yang terlibat langsung dalam proses pembangunan hunian sementara. Data sekunder diperoleh dari laporan BNPB, BPBD, dan PMI Sumatera Barat.

Page 80: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

66 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Proses Pelaksanaan Pembangun Hunian Sementara oleh PMI

Kebijakan pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai melalui Keputusan Bupati Kepulauan Mentawai No.188.45-288 tahun 2010 (Anon, 2010c), untuk merelokasi seluruh masyarakat yang terkena dampak langsung atau tidak langsung akibat gempa dan tsunami ke tempat yang lebih tinggi merupakan salah satu upaya untuk mengurangi risiko dari ancaman tsunami. Namun kebijakan ini membawa dampak lain terhadap persiapan jumlah hunian sementara yang harus disiapkan (Rita et al, 2015).

Menurut Irwan (2015), pada awalnya rencana relokasi terdapat dua opsi yaitu pada lokasi yang lebih tinggi, minimal 20 m dpl atau tetap pada desa lama dengan cara membuat fasilitas mitigasi escape building sebagai penahan gelombang tsunami. Berdasarkan rapat koordinasi pemerintah dengan lembaga yang akan melaksanakan operasi tanggap darurat tangal 9 November 2010 (Anon, 2010a) disepakati dan menyetujui bahwa melakukan relokasi pada lokasi yang lebih aman dengan membangun hunian sementara. Pembangunan hunian sementara akan dilakukan oleh PMI sebanyak 516 unit di Dusun Kinumbuk, desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan. Lokasi berada pada ketinggian 95-174 dpl melebihi persyaratan minimal 20 dpl (Irwan, 2015). Posisi lahan hunian sementara berada di kiri-kanan memanjang jalan poros tengah Pagai Selatan mulai km 40-km 48.

Pembangunan hunian sementara yang dilakukan oleh PMI dengan cara mengikutsertakan masyarakat penerima bantuan yang akan menempati hunian sementara tersebut. Empat sampai enam kepala keluarga disatukan dalam kelompok masyarakat (pokmas). Jumlah pokmas keseluruhan di Dusun Kinumbuk ada 22 pokmas. Setiap pokmas mempunyai struktur ketua, sekretaris, dan bendahara dengan satu orang fasilitator dari PMI yang bertindak sebagai pendamping teknis. Masing-masing pokmas bertanggung jawab untuk menyelesaikan hunian sementara bagi anggotanya. Pelaksanana pembangunan dilakukan dengan cara gotong royong. Bantuan dana dicairkan dalam 2 tahap melalui rekening pokmas. Pencairan dana hanya dapat dilakukan oleh ketua dan bendahara pokmas. Cara ini sangat membantu dan bermanfaat bagi masyarakat karena semua anggota pokmas terlibat langsung dalam penyelesaian hunian sementara. Makin giat pokmas makin cepat cepat hunian sementara ditempati (Irwan, 2015). Hal ini dibenarkan oleh salah satu informan (58 tahun) “semangat gotong royong muncul kembali dalam membangun hunian sementara, semakin cepat hunian selesai maka makin cepat kami pindah dari tenda darurat”. Cara demikian juga membuat calon penghuni menjadi tertib dan merasa memiliki karena sejak awal pembersihan lahan sudah dilibatkan. Hal ini dibenarkan oleh informan 2 (48 tahun); “hunian sementara yang kami tempati, rasanya sudah kami miliki sejak saat pembersihan lahan hingga pemilihan penempatan lokasi, bahkan sebelum kayu ada untuk membangun hunian sementara, sampai sekarang kami tidak pernah bertengkar karena hunian sementara”.

Adapun model desain hunian sementara yang dibangun oleh PMI di dusun Kinumbuk ditunjukkan pada Gambar 1 (rangka) dan Gambar 2 (tampak setelah selesai) dengan spesifikasi pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Hunian Sementara yang Dibangun di Kepulauan MentawaiPascagempa dan Tsunami 2010 (Anon., 2010a)

Uraian Spesifikasi

Ukuran 4 x 6 (24 m2)

Pondasi Kayu Kelapa

Dinding Papan Kayu Meranti

Tinggi Dinding 2.70 m

Atap Seng

Ukuran Rangka 5 x 10

Rangka Kayu Meranti

Lantai Papan Kayu Meranti

Ventilasi 2 Pintu, 2 Jendela, Lubang Angin

Page 81: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 67

Untuk merealisasi pembangunan hunian dengan jenis dan spesifikasi tersebut pemerintah membantu uang tunai untuk membeli bahan kayu dan papan sebesar Rp. 5 juta, dengan pencairan dana tahap 1 sebesar Rp. 3 juta, dan tahap 2 sebesar Rp. 2 juta. Menurut Irwan (2015), bantuan uang tunai diberikan karena masyarakat Pagai Selatan (i) memahami jenis kayu yang berkualitas untuk bangunan yang direncanakan, (ii) masyarakat setempat mengetahui bagaimana memperoleh kayu tersebut, (iii) sebagai proses pembelajaran dan memberikan rasa memiliki dengan mencari dan mendapatkan material yang baik untuk membangun hunian sementara yang akan mereka tempati, (iv) meningkatkan perekonomian masyarakat terutama bagi pengrajin kayu dan buruh angkut kayu, (v) PMI pada saat itu tidak mempunyai kemampuan untuk membeli kayu yang baik dalam jumlah yang banyak. Selain dapat bantuan tunai untuk pembelian material kayu, PMI juga memberikan bantuan 50 lembar seng untuk setiap kepala keluarga.

Hunian sementara yang dibangun PMI berukuran 4m x 6m (24 m2) (tabel 1) di Pagai Selatan berbeda dengan hunian sementara bagi korban erupsi Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta, berukuran 6m x 6m (36 m2) dengan bahan utamanya adalah bambu (Anon, 2011b). Terdapat persamaan pola pembangunan yaitu dengan memberdayakan masyarakat calon penghuni dan atap hunian dari seng. Namun hunian sementara di Pagai Selatan belum dilengkapi dengan fasiltas umum sementara hunian sementara di Sleman dilengkapi dengan fasilitas umum.

3.2. Manfaat Hunian Sementara bagi Korban Dampak Gempa dan Tsunami

Penyelesaian hunian tetap layak huni di Dusun Kinumbuk membutuhkan waktu yang lama sehingga mengakibatkan masyarakat tetap mendiami hunian sementara selama 4 tahun, padahal hunian sementara dirancang hanya untuk tahan 2 tahun. Namun pada kenyataan hunian sementara dapat digunakan melebihi umur rencana. Hal ini disebabkan hunian sementara yang dibangun PMI bersama masyarakat secara gotong royong dapat terpelihara oleh penghuni dengan rasa memiliki yang tinggi dan kualitas yang dibangun oleh PMI lebih baik kualitasnya. Informasi ini disampaikan oleh informan 3 (58 tahun): “hunian sementara yang dibangun oleh PMI lebih tahan dari hunian lain yang dibangun di Pagai Utara” karena atapnya dari seng, bahannya dari kayu yang kami pilih sendiri secara bersama dan dapat menampung seluruh keluarga dengan ukuran 4m x 6m. Selain itu, tidak ada pilihan lain untuk pindah sebelum hunian tetap dapat ditempati. Ini berarti hunian sementara sangat bermanfaat bagi penghuninya sebagai media pemulihan dari traumatic akibat gempa dan tsunami. Penghuni merasa nyaman dengan situasi dan kondisi yang ada. Mereka aman terhadap ancaman risiko tsunami karena berada pada ketinggian 95-174 m dpl, jarak ke pantai 5-7 km, lokasi hunian sementara dekat dengan lokasi aktivitas harian sehingga mereka dapat pulang pergi dengan nyaman. Desain hunian sementara cukup sesuai dengan sosial budaya setempat. Apalagi penempatan kelompok berdasarkan daerah asal yang sama, bahkan kepala dusun/kepala desanya tetap sama dengan daerah asal semula.

Gambar 1. Desain Hunian Sementara PMI (Dokumen PMI, 2010).

Gambar 2. Desain Hunian Sementara Setelah Dibangun PMI (Dokumen PMI, 2010).

Page 82: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

68 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

3.3. Fungsi Hunian Sementara setelah Hunian Tetap Ditempati

Pembangunan hunian tetap berada di lokasi yang sama dengan hunian sementara. Menurut BPBD Sumatera Barat (2015), masing-masing kepala keluarga memperoleh hunian tetap dengan ukuran 7 m x 9 m (63 m2). Posisi hunian tetap dengan hunian sementara ada yang menempel pada hunian sementara (Gambar 3) dan ada yang terpisah dengan hunian sementara dan berdekatan (Gambar 4). Pola ini sangat menguntungkan masyarakat setempat. Mereka tidak perlu bersosialiasi lagi dengan lingkungan baru (hunian tetap). Ketika studi ini dilakukan dan berdasarkan informan 4 (50 tahun) di Dusun Kinumbuk (2015) terdapat 9 dari 51 unit (17,6%) hunian sementara masih digunakan sebagai dapur dan menempel dengan hunian tetap. Hunian sementara dijadikan gudang dan rumah kedua berjumlah 4 unit (7,8%) berada di belakang atau disamping hunian tetap dan tidak menempel. Terdapat 38 unit hunian tetap tanpa adanya hunian sementara (hunian sementara sudah dibongkar). Pembongkaran dilakukan oleh penghuni yang sudah berpindah ke hunian tetap.

Gambar 3. Hunian Sementara Menempel pada Hunian Tetap.

Gambar 4. Hunian Sementara Terpisah Dengan Hunian Tetap.

Page 83: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 69

4. KESIMPULAN

Proses hunian sementara yang dilakukan PMI di Dusun Kinumbuk difokuskan untuk mengatasi masa tanggap darurat bagi masyarakat korban bencana gempa dan tsunami tahun 2010. Pembangunan hunian tersebut dilakukan dengan membentuk kelompok masyarakat (pokmas) beranggotakan 4-6 kepala keluarga dengan fasiltator dari PMI. Sistem kerja melalui pola gotong royong dengan melibatkan calon penghuni sejak dari awal proses pembangunan termasuk mencari bahan material kayu lokal yang sesuai. Dengan pola tersebut mereka sudah merasa memiliki sejak awal pembangunan dan sebagai proses pembelajaran serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab.

Hunian sementara yang difasilitasi PMI dapat bertahan selama 4 tahun melebihi umur rencana 2 tahun. Hal ini sangat bermanfaat bagi penghuni dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari sebelum berpindah ke hunian tetap.

Ketika hunian tetap sudah ditempati, beberapa hunian sementara masih digunakan sebagai dapur dan gudang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous (2010a). Nota Kesepahaman Bersama antara PMI Provinsi Sumatera Barat, Gubernur Sumatera Barat, dan Bupati Kepulauan Mentawai pada tanggal 19 November 2010, Nomor 1078/01.04.00/Org/XI/2010, Nomor 120-9.1/GSB-2010, dan nomor 361/269/Bup/XI-2010 tentang Dasar Pelaksanaan Hunian Huntara oleh PMI.

2. Anonymous (2010b). Keputusan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 188.45-228 Tahun 2010 tentang Penetapan Lokasi Relokasi Pembangunan Hunian Sementara Masyarakat Korban Gempa dan Tsunami tanggal 25 Oktober 2010 dan Jumlah Kepala Keluarga Kecamatan Pagai Utara, Pagai Selatan dan Sipora Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2010.

3. Anonymous (2010c). Keputusan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 188.45-320 Tahun 2010 tentang Perubahan SK nomor 188.45-288 tahun 2010 tentang Penetapan Lokasi Relokasi Pembangunan Hunian Sementara Masyarakat Korban Gempa dan Tsunami tanggal 25 Oktober 2010 dan Jumlah Kepala Keluarga Kecamatan Pagai Utara, Pagai Selatan dan Sipora Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2010.

4. Anonymous (2011a). Peraturan Kepala BNPB nomor 03 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana serta Percepatan Pembangunan Wilayah Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2013.

5. Anonymous (2011b). Upaya Pemukiman Transisi Pascabencana. HRC, Huntara Merapi.6. Anonymous (2014). Habis Tangis, Tawa Berderai di Mentawai. Jakarta: BNPB.7. Irwan, H. (2015). Kajian Proses dan Manfaat Hunian Sementara sebagai Media Pemulihan Pengungsi

Gempa/tsunami 2010 di Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Tesis Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana, Universitas Bung Hatta.

8. Rita, E., Irwan, H., dan Carlo, N. (2015). Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Pemanfaatan Hunian Sementara Pascagempa dan Tsunami 2010 di Pulau Pagai Selatan. Makalah pada Semnas Etika Lingkungan dan Eksploitasi Pangan dan Energi, Kerjasama PPLH Unsri-BKPSL Indonesia, Palembang, 11-12 November 2015.

Page 84: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

70 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

DESAIN DAN APLIKASI DRONMAG-1216TUNTUK MONITORING AKTIVITAS GUNUNGAPI BERDASARKAN

PERUBAHAN INTENSITAS KEMAGNETAN BUMI

Oleh:Zahidah Sholehah1, Didi Ardiansyah2, Nanang Kurniawan2, Windu Nur Hardiranto2,

Syamsurijal Rasimeng3

1Mahasiswa Strata Satu Teknik Geofisika, Fakultas Teknik, Universitas Lampung, Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung, 35145, Indonesia

Email: [email protected] 2Mahasiswa Strata Satu Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Lampung,

Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung, 35145, IndonesiaEmail: [email protected]

3Pusat Kajian Mitigasi Bencana Fakultas Teknik, Universitas Lampung, Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung, 35145, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Telah dilakukan desain alat ukur intensitas medan magnet total bumi menggunakan tipe sensor Adafruit-HMC5883 dan dilengkapi dengan global positioning system untuk pengukuran posisi. Alat ukur tersebut diberi nama DronMAG-1216T. DronMAG-1216T dihubungkan dengan micro-controller sehingga memungkinkan dilakukan pengukuran intensitas medan magnet bumi secara otomatis dan tersimpan pada memori. DronMAG-1216T juga digerakkan oleh wahana drone sehingga memungkinkan untuk bergerak bebas di udara, dengan sistem remote control untuk mengatur pergerakan dan arah pengukuran DronMAG-1216T tersebut. DronMAG-1216T didesain untuk mengefektifkan pengukuran intensitas medan magnet bumi. Salah satu obyek penerapan DronMAG-1216T adalah pengukuran intensitas kemagnetan bumi di daerah gunungapi, dimana perubahan intensitas kemagnetan bumi menjadi salah satu parameter dalam monitoring aktivitas magma pada gunungapi. Penggunaan DronMAG-1216T sangat efektif untuk diterapkan karena akan mempermudah akuisisi data magnetik pada wilayah gunungapi aktif, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah mitigasi bencana gunungapi untuk memperkecil risiko yang dapat ditimbulkan.

Kata kunci: DronMAG-1216T, mitigasi, gunungapi, medan magnet.

1. PENDAHULUAN

Metode magnetik merupakan metode yang memanfaatkan respon nilai suseptibilitas batuan di bawah permukaan dengan merekam nilai magnetik total di suatu titik pengukuran. Salah satu sifat kemagnetan adalah akan berkurang nilai magnetisasinya jika terkena panas. Prinsip ini dapat dimanfaatkan dalam mitigasi bencana gunungapi aktif. Ketika magma pada tubuh gunungapi mengalami kenaikan hal ini akan berpengaruh pada turunnya nilai medan magnet batuan di sekitarnya. Jika kenaikan magma yang berpotensi erupsi dapat diketahui lebih dini maka mitigasi bencana dapat dilakukan secepat mungkin. Begitu pula sebaliknya ketika magma pada tubuh gunungapi mulai turun, nilai medan magnet batuan di sekitarnya akan kembali naik. Kejadian naiknya nilai kemagnetan batuan dapat menjadi parameter tingkat kewaspadaan akan ada atau tidaknya erupsi susulan.

Umumnya akuisisi magnetik dilakukan menggunakan magnetometer proton atau fluxgate dengan berjalan kaki atau menggunakan pesawat penumpang (Airborne Magnetic). Pada kasus gunungapi aktif akuisisi menggunakan magnetometer dengan berjalan kaki memiliki risiko tinggi karena tidak stabilnya konstruksi batuan di sekitar kawah gunungapi aktif. Maka pengukuran yang dilakukan biasanya menggunakan helikopter dengan menggantungkan sensor magnetik. Namun penggunaan pesawat dalam akuisisi medan magnet dirasa kurang efisien dalam segi pendanaan dan noise yang dihasilkan dari besi berat pada pesawat.

Page 85: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 71

Penggunaan DroMAG-1216Tdalam akuisisi data magnetik pada gunungapi aktif akan mempermudah proses akusisi karena akuisisi dapat dilakukan dengan menggunakan remote control. Penggunaan DroMAG-1216T dapat mempermudah akuisisi data magnetik pada wilayah gunungapi aktif dalam hal mitigasi bencana dengan mengurangi risiko kehilangan nyawa dan efisiensi waktu ketika monitoring aktivitas magma dalam tubuh gunungapi sebelum atau sesudah erupsi terjadi.

2. METODE

Metode yang dilakukan dalam percobaan ini adalah dengan menggabungkan drone dengan sensor magnetik. Intensitas medan magnet dipermukaan bumi diukur menggunakan sensor magnetometer. Hasil pengukuran dari sensor magnetometer ini merupakan penjumlahan dari medan magnet bumi utama, variasi medan magnet bumi yang berhubungan dengan anomali medan magnet regional, medan magnet remanen dan variasi harian akibat aktivitas matahari.

∆ H = Htotal + ∆ Hharian + Ho

Dengan Keterangan:∆ H = Anomali Medan Magnet RegionalHtotal = Medan Magnet Bumi Total∆ Hharian = Variasi Harian Medan MagnetHo = Medan Magnet Utama Bumi (IGRF)

Dengan desain drone yang perekaman dijalankan dengan simulasi seperti pengukuran magnetik dengan airbornemagnetic. Data yang terekam melalui sensor magnetik tersimpan dalam memory selama perekaman berlangsung.

3. HASIL

3.1. Desain Drone

Gambar 1. Dimensi Frame Quad Copter.

Page 86: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

72 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Keterangan:1. Propeller menggunakan 11,5 inch.2. Motor rc timer 530 KV. 3. Frame dengan panjang 50 cm4. Landing skit f4505. Baterai lipo 5200 mah 45c6. Komponen utama (APM, Telemetri, Module)7. GPSTambahan power module sebagai inverter baterai lipo dari 12 volt menjadi keluaran 5 volt ke komponen quad copter yang lainnya.

Gambar 2. Dimensi Frame Quad Copter dengan Sensor.

Gambar 3. Sensor Magnetometer.

Page 87: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 73

Keterangan:Gambar Kenampakan Bawah Sensor8. Sensor Magnetik9. Lampu Indikator On atau Off10. Lampu Indikator Record atau Non Record

Gambar 4. Wiring Diagram Quad Copter.

Wahana drone yang digunakan pada percobaan ini menggunakan desain multicopter dengan jumlah motor brushless 4 buah (quad copter). Adapun prinsip kerja dari quad copter sendiri dapat dilihat pada wiring diagram di atas. Menggunakan ardupilot sebagai kontroler penerbangan kemudian 4 buah Electric Speed controller (ESC) sebagai pengatur kecepatan dari motor brushless. Menggunakan daya baterai lipo 5200 mah dengan powermodule sebagai inverter tegangan dari baterai ke sistem ESC dan APM. Menggunakan telemetry 915MHz yang berfungsi sebagai komunikasi data ketika wahana sedang terbang dan bisa dipantau sekaligus dikendalikan dengan Ground Control System (GCS), pada kasus ini kami menggunakan GCS Mission Planner. Kemudian menggunakan remote control sebagai manual pengendali wahana ketika take off dan landing ataupun ketika terbang di udara dengan menggunakan module remote control Fr-Sky dan remote control Turnigy 9XR.

3.2. Desain Sensor

3.2.1. Perangkat Keras Untuk Sistem Pemantauan

1. Arduino Uno Arduino Uno adalah board mikrokontroler berbasis Atmega 328 P. Memiliki 14 pin input/output digital

dimana 6 pin diantaranya dapat digunakan sebagai output PWM, serta 6 pin input analog, 16 MHz Osilator Kristal, Koneksi USB, serta ICSP Header. Seperti ditunjukkan pada gambar 1.1. Untuk menjalankan Arduino Uno cukup menghubungkanya dengan USB Komputer dapat juga menggunakan adaptor AC ke adaptor DC 5 Volt atau 12 Volt serta dapat juga menggunakan baterai.

Page 88: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

74 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Gambar 5. Arduino Uno Tampak Atas.

Adapun spesifikasi Arduino Uno adalah sebagai berikut:a. Daya Arduino Uno dapat diaktifkan melalui koneksi USB atau dengan catu daya external (non otomatis).

Kisaran Kebutuhan daya yang disarankan untuk Arduino Uno adalah 7 sampai 12 Volt, jika diberi tegangan 5 Volt kemungkinan pin Vcc 5 Volt dapat bekera tidak stabil sedangkan jika diberikan tegangan lebih dari 12 Volt dapat merusak regulator tegangan pada board Arduino Uno.

b. Memory ATmega 328 memiliki memory 32 kb dengan 0,5 kb digunakan untuk bootloader, 2 KB dari SRAM

dan 1 KB dari EEPROM.c. Input dan Output Konfigurasi pin dari Arduino Uno dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 6. Arduino Uno pin Mapping.

Masing-masing 14 pin Arduino Uno dapat digunakan sebagai pin input output 6 diataranya dapat digunakan sebagai output PWM 8 bit yaitu pin 3, 5, 6, 9, 10 dan 11, serta pin 0 (TX) dan 1 (RX) untuk komunikasi serial, serta pin 10(SS), 11(Mosi), 12(Miso), dan 13(SCK) untuk komunikasi SPI.

Page 89: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 75

d. Komunikasi Arduino Uno memiliki beberapa fasilitas untuk komunikasi baik dengan mikro kontroler lain maupun

dengan komputer, fasilitas tersebut antara lain komunikasi Serial UART TTL (5 Volt), SPI, serta I2C.

2. Sheld Data Logger (Perekam Data) Sheld Data Logger merupakan suatu alat

elektronika yang difungsikan sebagai perekam data dari waktu ke waktu baik yang berinteraksi dengan sensor dan instrumen di dalamnya maupun external sensor dan instrumen. Berikut ini merupakan gambar Sheld Data logger.

Sheld Data Logger dilengkapi dengan RTC

merupakan jam elektronik berupa chip yang dapat menghitung waktu (mulai detik hingga tahun) dengan akurat dan menjaga/menyimpan data waktu tersebut secara real time. Karena jam tersebut bekerja real time, maka setelah proses hitung waktu dilakukan output datanya langsung disimpan atau dikirim ke perangkat lain melalui sistem antar muka. Selain RTC Sheld data logger juga dilengkapi dengan slot SD Card yang berfungsi untuk slot memori penyimpanan data.

3. Sensor HMC5883L Sensor HMC5883L merupakan sebuah

sensor magnet yang terkemas dalam sebuah surface mout 3.0x3.0x0.9 mm 16-pin leadless chip carrier (LCC). HMC5883L tersusun atas sensor resistif magnet beresolusi tinggi dengan demagnetisasi otomatis, penghilang offset dan ADC 12-bit untuk pengukuran medan magnet bumi dengan resolusi tinggi. Menggunakan teknologi anisotropic magneto-resistive (AMR) Honeywell, HMC5883L menyediakan kepresisian lebih pada sensitifitas dan linieritas sumbu dan dirancang untuk mengukur kedua arah dan medan magnet bumi. Berikut ini gambar mengenai sensor HMC5883L LCC yang telah disusun pada papan pcb diintegrasikan dengan komponen lain.

Sensor ini memiliki spesifikasi ADC 12 bit

yang terkopling dengan sensor ARM low noise yang akan menghasilkan resolusi 2 mili Gauss pada medan ± 8 Gauss. Akurasi kompas yang dimiliki sensor ini adalah 1-2 derajat. Memiliki tegangan kerja yang rendah yaitu (2,1-3.6 Volt) serta konsumsi daya yang rendah ( 100µA). Serta tersedia antar muka digital I2C. Sehingga sensor ini dapat digunakan pada lingkungan dengan medan magnet yang kuat dengan akurasi 1-2 derajat.

3.2.2. Gambaran Sistem yang Akan Dibuat

Sistem yang akan dibuat adalah alat ukur medan magnet menggunakan sensor HMC5883L kemudian data dari pengukuran tersebut akan diolah dengan mikro kontroler ATmega 328 P yang telah terintegrasi pada board Arduino Uno. Setelah data diolah maka data tersebut akan disimpan pada data logger berupa data

Gambar 8. Sensor HMC5883L.

Gambar 7. Sheld Data logger dengan RTC.

Page 90: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

76 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Excel dimana pada data tersebut diperoleh data pengukuran berupa 3 axis x, y, z serta waktu pengambilan data tersebut. Hasil dari data tersebut nantinya akan disinkronisasi dengan data GPS pada Quad copter. Berikut ini diagram blok dari sistem yang akan dibuat:

Gambar 9. Diagram Blok Sistem Alat Ukur.

3.3. Aplikasi DroMAG-1216T

Untuk keperluan mitigasi bencana gunungapi, pengukuran data magnetik dengan resolusi spasial yang cukup tinggi perlu dilakukan secara sistematik pada semua gunungapi aktif. Kemajuan dalam bidang instrumentasi magnetik dan navigasi memungkinkan pengukuran data magnetik secara airborne yang disebut sebagai survei aeromagnetik (Grandis dkk, 2016).

Selain pemetaan anomali magnetik yang bersifat statik dapat pula dilakukan pengukuran medan magnetik secara kontinu sebagai bagian dari pemantauan aktivitas gunungapi aktif. Penelitian yang telah dilakukan di Gunung Merapi menunjukkan adanya perubahan anomali magnetik periode sangat panjang (lebih dari 10 tahun), periode menengah (1-2 tahun) dan periode pendek (dalam orde bulan). Perubahan anomali magnetik periode menengah diduga berkorelasi kuat dengan periode aktivitas Gunung Merapi (Zlotnicki dkk, 2000).

Dengan asumsi bahwa temperatur magma telah melampaui temperatur Curie batuan maka magma tidak memiliki sifat kemagnetan atau memiliki intensitas magnetisasi lebih rendah relatif terhadap batuan sekitarnya. Kondisi tersebut dapat menimbulkan anomali magnetik yang bervariasi sesuai dengan perubahan posisi magma selama proses aktivitas volkanik. Grandis dkk (2004) melakukan simulasi yang menggambarkan perubahan anomali magnetik pada beberapa titik di sekitar puncak sebagai respons perubahan posisi benda anomali non-magnetik yang bergerak secara bertahap naik dari kedalaman 5000 meter mendekati permukaan bumi.

Mogi dkk (2003) juga melakukan simulasi erupsi Usu Volcano (Hokkaido, Jepang) pada tahun 2000 dan berhasil memperoleh pola perubahan anomali magnetik yang sesuai dengan pengamatan. Simulasi data tersebut mengindikasikan adanya letusan menyamping (lateral blast). Keberhasilan pemantauan gunungapi aktif dengan pengukuran anomali magnet secara kontinu cukup menjanjikan, terutama untuk prediksi aktivitas vulkanik jangka menengah. Hal tersebut dimaksudkan sebagai komplemen pemantauan seismisitas dengan jangka yang lebih pendek. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut dan implementasi di lapangan perlu segera dilakukan secara intensif.

Aplikasi dari DroMAG-1216T pada paper ini dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut. DroMAG-1216T diterbangkan untuk mendapatkan data nilai anomali magnetik pada wilayah gunungapi secara prediktif dengan data yang ada pada saat kejadian erupsi gunungapi. DroMAG-1216T diterbangkan setelah letusan pertama terjadi. Hal ini dilakukan untuk memprediksi letusan susunan dengan melihat perubahan nilai magnetik di sekitar gunungapi. Ketika nilai magnetik di sekitar gunungapi rendah maka dapat diprediksi bahwa terjadi kenaikan magma atau benda anomali non-magnetik yang bergerak ke permukaan yang berisiko menjadi letusan susulan.

Page 91: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 77

4. DISKUSI

DroMAG-1216T dapat melakukan pengukuran secara otomatis dengan memasukkan titik latitude dan longitude sesuai dengan lokasi pengukuran nilai medan magnet yang diinginkan, yang dalam hal ini adalah pemantauan aktivitas magma pada gunungapi aktif. DroMAG-1216T menggunakan sistem terbang Auto, yaitu wahana diterbangkan dari home dan akan kembali ke home setelah melakukan pengukuran. Sistem pengambilan data intensitas kemagnetan bumi dilakuan secara otomatis, kemudian data disimpan dalam sebuah memori yang dapat di akses dalam bentuk data Excel. Perangkat yang digunakan dalam sistem perekaman ini disebut data logger yang telah input dalam DroMAG-1216T. Waktu perekaman data telah tersinkronisasi dalam DroMAG-1216T sehingga data diambil sesuai dengan waktu sebenarnya. Jarak tempuh dengan baterai yang digunakan mampu terbang sejauh kisaran 3.600 meter.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Telah dirancang desain DroMAG-1216T sebagai alat monitoring aktivitas gunungapi berdasarkan perubahan intensitas kemagnetan bumi. DroMAG-1216T diharapkan dapat menjadi alternatif mitigasi bencana gunungapi pada Paradigma Baru dalam pengurangan Risiko Bencana berkelanjutan.

5.2. Saran

Perlu dilakukan pengembangan lebih lanjut terhadap sensor magnetik yang digunakan. Perlu dilakukan pengkalibrasian terhadap hasil output dari DroMAG-1216T, dengan magnetometer yang umumnya digunakan sebagai alat ukur magnetik.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT atas nikmat dan rahmat-Nya sehingga paper ini dapat selesai. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Syamsurijal Rasimeng S.Si., M.Si. selaku pembimbing dalam perancangan Desain DroMAG-1216T. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada segenap mahasiswa Teknik Elektro Universitas Lampung, Windu Hardiranto, Nanang Kurniawan dan Didi Ardiansyah yang telah berkontribusi penuh dalam perancangan wahana drone dan sensor magnetik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Grandis, H., Widarto, D.S., Yudistira, T., dan Herawati A., 2004, Simulasi Fenomena Volkano-magnetik menggunakan Pemodelan magnetik 3-D. Prosiding PIT HAGI ke-29, Yogyakarta.

2. Grandis, H., Abidin, Hasanuddin Z., Soemintadiredja, Prihadi, Herdianita, Niniek R., Santoso, Djoko., 2016. Gunung-Api dan Mitigasi Bencana Erupsi. www.academia.edu/18335513/gunung-Api_dan_Mitigasi_Bencana_Erupsi

3. Dwipakresna, Ida Bagus Made. 2015. Rancang Bangun Pemantauan dan Pengendalian Kondisi Lingkungan GREENHOUSE untuk Tanaman Paprika dengan Teknologi Zigbee. Fakultas Teknik. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

4. Kadir, Abdul. 2012. Panduan praktis mempelajari Aplikasi Mikrokontroler dan Pemrogramannya menggunakan Arduino. Penerbit Andi: Yogyakarta.

5. Mogi, T., Sato, H., Saba, M., Tanimoto, K., Nishida Y., Takada, M., Utsuki, M., Hashimoto, T., and Sasai, Y., 2003, Electric and magnetic Field Change Associated with the 2000 usu Volcano Eruption. IUGG General Assembly.Sapporo-Japan.

6. Tamtomi, M. Yusuf. 2015. Rancang Bangun Wahana Udara Tanpa Awak V-TOL sebagai Wahana Identifikasi Dini Kondisi Udara Berbasis Video Sender. Fakultas Teknik. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

7. Zlotnicki, J., Brof, M., Perdereau, L., Yvetot, P., Tjetjep, W., Sukhyar, R., Purbawinata, M.A., and Suharno, 2000, Magnetic monitoring at Merapi Volcano, Indonesia. J. Volcanol geotherm.Res, 100,321-336.

Page 92: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

78 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

PRA STUDI PEMBUATAN PELINDUNG API DARI PASTA GEOPOLIMER SEBAGAI SISTEM PERLINDUNGAN API PASIF

Oleh:Fransisca Maria Farida1, Adang Surahman2

1Mahasiswa Program Studi Doktor Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganeca No. 10, Bandung 40132, Indonesia, dan Staf Pengajar

Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta, Jakarta 13220, IndonesiaEmail: [email protected], [email protected]

2Staf Pengajar, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung,Jl. Ganeca No. 10, Bandung 40132, Indonesia,

Email: [email protected]

Abstrak

Api dapat menguntungkan dan merugikan. Api dapat merugikan apabila api tidak bisa dikendalikan. Kerugian yang ditimbulkan antara lain adalah terjadi banyak kematian dan kerusakan properti. Salah satu strategi menghadapi kerugian yang ditimbulkan oleh api adalah melalui sistem perlindungan api pasif. Sistem perlindungan api pasif merupakan perlindungan yang terdapat pada bahan konstruksi bangunan untuk keamanan serta perlindungan terhadap kebakaran dengan cara melawan lidah api, panas, dan asap dalam rangka memperoleh kebutuhan mendasar bagi kompartemenisasi bangunan, stabilitas struktur, pemisahan kobaran api, dan keamanan tempat pelarian pada saat terjadi kebakaran. Sistem perlindungan api pasif mengontrol api atau dampak api dengan sistem yang dibangun dalam struktur atau dengan material bangunan dan tidak memerlukan operasional khusus pada saat terjadi kebakaran. Sementara itu, tujuan dari sistem perlindungan api pasif adalah untuk melindungi kehidupan, melindungi bangunan dari api dan asap, melalui bukaan dan hambatan terhadap bahaya api, pemberdayaan bangunan setelah kebakaran, meminimalkan biaya pembangunan kembali, dan memfasilitasi perbaikan bisnis dan kelangsungan bisnis pada bangunan. Pada material yang terbakar terjadi penurunan kuat leleh dan modulus elastisitas. Untuk mengatasi kerugian akibat api, material memerlukan pelindung api. Material pelindung api yang ada terbuat dari semen, pelapis intumescent dan material berfiber. Terdapat kekurangan material pelindung api yang telah ada. Kekurangan material pelindung api yang ada adalah berkurangnya kualitas material seiring bertambahnya waktu, kehilangan kekuatan saat terbakar, berat dan mahal. Tujuan dari penelitian ini merupakan prastudi pemilihan material anorganik polimer sebagai material pelindung api untuk mengatasi kekurangan pada material pelindung api. Nama material anorganik ini adalah geopolimer. Penelitian ini akan menggunakan granulated blast furnace slag dan class f fly ash sebagai bahan dasar panel geopolimer. Panel pasta geopolimer dapat diaplikasikan sebagai pintu tahan api dan dinding tahan api. Metoda yang digunakan pada pra studi ini menggunakan literature review. Keluaran dari penelitian ini adalah perubahan komposisi dan morfologi pada geopolimer yang terbuat dari fly ash, granulated blast furnace slag dan campuran antara fly ash dan granulated blast furnace slag sebelum dan setelah dibakar pada suhu tinggi. Hasil yang diharapkan dari penggunaan granulated blast furnace slag sebagai bahan dasar geopolimer adalah peningkatan kekuatan dan pengurangan retak pada geopolimer.

Kata kunci: Pelindung api, Panel Pasta Geopolimer, Granulated Blast Furnace Slag, Class F Fly Ash.

1. PENDAHULUAN

Api memiliki dua sisi. Kedua sisi tersebut adalah sisi yang menguntungkan dan sisi yang merugikan. Sisi menguntungkan diperoleh dari api kecil. Api kecil dipakai dalam kehidupan manusia untuk memasak

Page 93: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 79

dan menghangatkan badan. Pada sisi lain, kerugian timbul akibat adanya api besar. Kerugian yang ditimbulkan antara lain adalah terjadi banyak kematian dan kerusakan properti. Berdasarkan data profil kebakaran Indonesia dari tahun 2013 sampai tahun 2015, dibagi jenis intensitas kebakaran menjadi enam jenis. Keenam jenis intensitas kebakaran tersebut meliputi pemukiman, hutan, lahan gambut, gedung publik, pabrik atau industri dan jenis lain. Yang dimaksud properti dari jenis kebakaran meliputi pemukiman, gedung publik, pabrik atau industri dan jenis lain. Kerusakan properti yang terjadi antara tahun 2013 sampai tahun 2015 menurut Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia minimal 68,44% dari keseluruhan jenis intensitas kebakaran. Besarnya kerusakan properti menjadi salah satu dasar penelitian perlindungan api untuk material.

Kerusakan properti merupakan salah satu bentuk kerugian yang ditimbulkan oleh api. Penyebab kerusakan ini adalah material properti yang terbakar oleh api. Pada material yang terbakar menurut Buchanan (2009) terjadi penurunan kuat leleh dan modulus elastisitas. Penurunan kuat leleh dan modulus elastisitas disebabkan oleh meningkatnya suhu/temperatur. Buchanan (2009) menyatakan bahwa modulus elastisitas menurun akibat terjadinya rangkak. Sementara itu, Strong (2006) dan Groover (2013) menjelaskan untuk material yang diberi temperatur yang meningkat akan memiliki temperatur transisi glass (Tg) dan temperatur leleh (Tm). Dimana temperatur transisi glass (Tg) merupakan temperatur dimana material mengalami perubahan dari fasa padat menjadi rubber. Definisi temperatur leleh (Tm) adalah temperatur dimana material mengalami perubahan dari fasa rubber menjadi cair. Saat temperatur meningkat, atom-atom pada material memiliki energi panas yang besar. Atom-atom ini membentuk keseimbangan pada material dengan mengisi tempat kosong atau mengatur letak dari atom-atom tersebut seperti yang ditunjukkan oleh mekanisme rangkak Penanggulangan kerugian akibat terbakarnya properti oleh api dapat dilakukan dengan memberikan sistem perlindungan api. Secara umum, terdapat tiga macam sistem perlindungan api yang terdapat pada sub bab berikut ini.

Sistem Perlindungan ApiSistem perlindungan api menurut Langdon dkk. (1972) dan Suprapto (2011) diklasifikasikan menjadi

tiga buah. Sistem perlindungan api meliputi sistem perlindungan api aktif, sistem perlindungan api pasif dan manajemen keamanan api. Ketiga sistem perlindungan api terdapat pada Gambar 1. Dimana pada Gambar 1, escape terdapat pada sistem perlindungan api pasif. Penjelasan lebih lengkap tentang sistem perlindungan api aktif, sistem perlindungan api pasif dan manajemen keamanan api terdapat pada tiga paragraf berturut-turut berikut.

Sistem perlindungan api aktif memerlukan energi seperti energi listrik untuk operasional. Sistem perlindungan api aktif terdiri dari sistem deteksi api dan alarm, sistem perlindungan api dengan menggunakan air (contoh: sistem sprinkler otomatis, standpipe, selang dan gulungan selang), sistem perlindungan api yang berbahan dasar kimia dengan bentuk portable (contoh alat pemadam api) atau dengan bentuk fixed (contoh total flooding dan tipe aplikasi lokal). Beberapa peralatan dan fasilitas pendukung sistem perlindungan api aktif meliputi fire pump, suplai daya listrik dan sumber air untuk pemadaman api yang meliputi sambungan siamesse untuk menambahkan air dari unit pemadam kebakaran.

Gambar 1 Perlindungan Api Total.

Page 94: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

80 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Selain sistem perlindungan api aktif, terdapat sistem perlindungan api pasif. Sistem perlindungan api pasif merupakan bagian konstruksi bangunan. Dimana pada sistem perlindungan api pasif meliputi pemilihan dan penggunaan material yang tidak mudah terbakar, pemilihan dan penggunaan material lain yang memiliki properti tidak mendukung intensitas api, pemilihan dan penggunaan kompartemenisasi yang memiliki nilai tahanan api atau separasi yang memadai sesuai standar SNI 03-1736-2000, perlindungan terhadap bukaan, penggunaan material penghambat api, dan damper api atau damper asap yang dipasang pada sistem pendingin ruangan. Jika sistem perlindungan aktif dikenal sebagai sistem energi, maka sistem perlindungan api pasif dikenal sebagai perlindungan api yang sudah dibangun pada sistem. Selain penggunaan material tahan api, perlindungan terhadap bukaan, damper api dan damper asap, bentuk lain dari sistem perlindungan api pasif adalah pengendalian asap, pengeluaran asap dan ventilasi asap. Sebagai tambahan, means of escape yang merupakan bagian dari sistem perlindungan api pasif meliputi pintu api, jendela api, tangga bertekanan, daerah evakuasi, lobi tempat merokok. Sistem perlindungan api pasif juga meliputi akses pemadam kebakaran, hardstanding, hydrant dan muster point. Manajemen pengamanan api terdapat pada paragraf selanjutnya.

Manajemen pengamanan api berhubungan dengan semua kegiatan manajerial untuk mencegah dan memadamkan api. Kegiatan manajerial ini dilakukan melalui manajemen sumber daya manusia, material, mesin/peralatan, metoda, informasi dan alokasi biaya. Maryono dkk. (2010) menyatakan bahwa lingkup manajemen pengamanan api meliputi pemeriksaan, dan perawatan peralatan pelindung api, pembentukan tim api internal dan tim darurat, latihan evakuasi kebakaran, latihan pemadaman api, menyiapkan rencana darurat kebakaran, melakukan audit pengamanan kebakaran, menerapkan pengamanan lingkungan terhadap kebakaran dan mempromosikan kesadaran keamanan terhadap api. Manajemen pengaman api dikenal sebagai sistem manusia.

Sistem perlindungan api yang dibahas pada paper ini adalah sistem perlindungan api pasif. Fokus dari sistem perlindungan api pasif adalah pemilihan dan penggunaan material yang dapat menghambat menjalarnya api. Properti dasar panas dan mekanisme aliran panas untuk material menjadi dasar untuk pemilihan jenis material yang dapat dijadikan perlindungan api. Properti dasar panas dan mekanisme aliran panas yang diperlukan untuk material pelindung api terdapat pada sub bab berikut.

Properti Dasar Panas, Mekanisme Aliran Panas dan Kekurangan pada Material Pelindung Api yang AdaAddleson (1976) menyatakan bahwa terdapat lima buah properti dasar panas. Dimana properti

dasar panas tersebut meliputi konduktivitas panas (k), transfer panas spesifik (c), kapasitas panas (mc), kapasitas panas per satuan volume (ρc), dan difusifitas (keterbauran) panas (h2). Berdasarkan sifat-sifat pelindung api untuk material dari Buchanan (2009) dan Temuujin dkk. (2011) diperoleh properti dasar panas yang perlu dimiliki oleh pelindung api untuk material. Properti dasar panas tersebut adalah konduktivitas panas (k) yang rendah. Dimana konduktivitas panas (k) merupakan salah satu properti dasar panas mengenai laju panas substansi dari satu permukaan substansi ke permukaan substansi yang lain. Selain properti dasar panas material yang diperlukan untuk perlindungan api, terdapat mekanisme aliran panas yang akan dijelaskan pada paragraf berikut ini.

Addleson (1976) menyatakan bahwa ada dua cara panas mencapai permukaan. Dimana cara pertama adalah cara tidak langsung. Cara pertama ini terjadi karena adanya perbedaan temperatur pada udara yang berhubungan dengan kedua bagian permukaan benda. Di lain pihak, cara kedua adalah cara langsung. Cara langsung terjadi sebab panas mencapai permukaan dikarenakan radiasi. Material pelindung api yang terdapat pada studi yang dilakukan Buchanan (2009) dan Temuujin dkk. (2011) memiliki satu jenis mekanisme aliran panas. Cara panas mencapai permukaan adalah secara tidak langsung. Material pelindung api yang ada saat ini memiliki kekurangan. Kekurangan setiap jenis perlindungan api untuk material terdapat pada sub bab selanjutnya.

Perlindungan api untuk material menurut Temuujin dkk. (2011) meliputi material yang terbuat dari semen, pelapis intumescent dan material berfiber. Dimana kekurangan material pelindung api menurut Temuujin dkk. (2011) adalah berkurangnya kualitas material seiring bertambahnya waktu, kehilangan kekuatan saat terbakar, berat dan mahal. Kekurangan pada material pelindung api yang ada dicoba untuk diatasi dengan mengunakan material inorganik polimer. Nama material inorganik ini adalah geopolimer.

Latar Belakang Usulan Material Pelindung Api BaruGeopolimer merupakan material polimer anorganik. Davidovits (1991) menyatakan bahwa

geopolimer terbentuk melalui proses geopolimerisasi dari reaksi antara aluminosilikat padat dan solusi aktivasi berupa alkaline silicate atau alkaline hydroxide pada suhu ruang. Bahan aluminosilikat padat yang digunakan antara lain fly ash kelas f, fly ash kelas c, granulated blast furnace slag, kaolin,

Page 95: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 81

redmud, dan tailing. Sementara solusi aktivasi yang digunakan umumnya adalah sodium dan potassium. Geopolimerisasi menurut Davidovits (1991) merupakan reaksi exothermic. Reaksi exothermic mentransfer energi ke lingkungan sekitarnya. Energi yang ditransfer merupakan energi panas yang menyebabkan terjadi pencampuran bahan dan membuat lingkungan sekitar campuran tersebut menjadi panas. Reaksi exothermic ini ditunjukkan dalam general chemistry (http://www.myips.org/cms/lib8/IN01906626/Centricity/Domain/8123/General%20Chemistry%20Unit%205%20Energetics_Jan%202010.pdf).

Geopolimer merupakan sumber produk yang sangat potensial dengan banyak keuntungan. Keuntungan yang bisa diperoleh dari penggunaan geopolimer adalah ekonomis, ramah lingkungan, kemampuan untuk bekerja sampai suhu 1200°C, kemampuan berpolikondensasi, anti ultraviolet, tahan korosi, anti aging dan memiliki kuat lekat yang tinggi. studi yang dilakukan oleh McLellan dkk. (2011) dan Cristelo dkk. (2015) mendapatkan bahwa geopolimer memiliki sifat ekonomis. Dimana McLellan dkk. (2011) melakukan studi tentang biaya dan emisi karbon untuk pasta geopolimer dibandingkan dengan Portland semen. Sementara Cristelo dkk. (2015) melakukan studi untuk membandingkan biaya perbaikan tanah untuk membangun jet mixing columns dengan mengunakan fly ash dan semen. Disamping sifat geopolimer yang ekonomis, penggunaan bahan hasil proses industri dalam pembuatan geopolimer merupakan sifat geopolimer yang ramah lingkungan. Penggunaan bahan dari hasil proses industri menyebabkan terjadi pengurangan kebutuhan energi untuk pembuatan material baru dan mengurangi karbon footprint. Sifat ramah lingkungan geopolimer dinyatakan dalam studi yang dilakukan oleh Andini dkk (2008) yang menggunakan fly ash untuk membuat blok pracetak. Selain Andini dkk (2008), Komunitas (2011) dalam studinya menggunakan geopolimer untuk membuat beton dan komponen-komponen konstruksi baru. Selain ekonomis dan ramah lingkungan, pada penelitian yang dilakukan oleh Schmucker dkk. (2005) mempelajari perubahan komposisi dan morfologi pada geopolimer setelah dibakar pada suhu tinggi. Studi yang dilakukan oleh Schmucker dkk. (2005) menemukan bahwa komposisi matriks material geopolimer yang terbuat dari kaolin tetap sama sebelum dan sesudah dibakar pada suhu 1200°C. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa geopolimer yang terbuat dari kaolin bersifat tahan api. Disamping sifat geopolimer yang ekonomis, ramah lingkungan dan tahan api, kemampuannya ber polycondensasi menjadikan geopolimer sebagai material yang tahan api. Hal ini disebabkan oleh karena proses polycondensasi akan menghasilkan air yang dapat melindungi geopolimer terhadap panas dimana air yang diperlukan untuk penguapan menahan kenaikan suhu di dalam geopolimer. Anti ultraviolet, tahan korosi dan anti aging dari penggunaan geopolimer ditemukan oleh Li et al. (2013). Studi yang dilakukan oleh Li et al. (2013) mengenai mekanisme perlindungan korosi dari pelapis yang banyak mengandung zink. Kuat lekat antara geopolimer dengan material yang dilindunginya terdapat pada studi yang dilakukan oleh Temuujin et al. (2009) mengenai kuat lekat dengan perbandingan Si:Al. Kuat lekat geopolimer terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Temuujin et al. (2011) tentang kuat lekat dari penggunaan sodium silicate hasil proses industri. Sifat geopolimer yang tahan api yang diperoleh dari studi yang dilakukan oleh Schmucker dkk. (2005) menjadi salah satu penyebab geopolimer dapat digunakan sebagai material pelindung api. Pada paragraf berikut ini, akan diberikan penyebab lain geopolimer dapat digunakan sebagai material pelindung api.

Riessen dkk. (2009) dalam studinya menyatakan bahwa konduktivitas panas (k) dari geopolimer merupakan properti panas geopolimer. Nilai konduktivitas panas (k) geopolimer kurang dari satu diperoleh pada studi yang dilakukan Subaer dkk. (2006). Konduktifitas panas geopolimer diukur untuk mengetahui aplikasi potensial geopolimer sebagai produk insulator untuk panas. Insulator memerlukan konduktivitas panas yang rendah karena insulator di desain untuk mengurangi konduksi panas. Selain properti panas geopolimer yang memiliki kesamaan dengan properti panas material pelindung api yang terdapat pada studi yang dilakukan Buchanan (2009) dan Temuujin dkk. (2011), mekanisme aliran panas geopolimer juga memiliki kesamaan dengan mekanisme aliran panas material pelindung api yang terdapat pada studi yang dilakukan Buchanan (2009) dan Temuujin dkk. (2011). Dimana cara panas mencapai permukaan adalah secara tidak langsung. Kedua hal yang sama ini yaitu properti panas dan mekanisme aliran panas antara geopolimer dan studi yang dilakukan Buchanan (2009) dan Temuujin dkk. (2011) menjadi dasar studi geopolimer sebagai bahan tahan api. Sub bab berikut akan mereview beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan geopolimer sebagai bahan tahan api.

2. METODA LITERATUR REVIEW

Delapan buah penelitian tahan api telah dilakukan dengan menggunakan geopolimer. Tiga paragraf berikut secara berurutan akan menjelaskan secara singkat mengenai penelitian-penelitian tersebut. Penelitian pertama adalah penelitian tahan api berupa panel geopolimer yang terbuat dari granulated

Page 96: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

82 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

blast furnace slag oleh Cheng dkk. (2003). Pada studi ini, Cheng dkk. (2003) mengukur properti fisik (berat jenis, porositas dan laju penyerapan air), properti mekanis (uji tekan) dan ketahanan api. Hasil dari penelitian ini adalah properti fisik dan mekanis dari geopolimer berhubungan dengan solusi alkali dan jumlah metakaolin yang ditambahkan. Penelitian kedua merupakan penelitian geopolimer tahan api untuk pelat yang terbuat dari metakaolin oleh Krivenko dkk. (2009). Pada penelitiannya, Krivenko dkk. (2009) berusaha mendapatkan komposisi pada sistem Na2O-Al2O3-nSiO2-mH2O dan teknologi pembuatan geopolimer tahan api yang tidak menurunkan nilai factor bloating material tahan api yang digunakan. Hasil penelitian ini adalah komposisi Na2O.Al2O3.7SiO2.23H2O memiliki nilai factor bloating tertinggi dan penggunaan additive berupa calcium carbonate dan campuran sodium tetraborate dengan sodium bicarbonate mempercepat laju pengerasan dan daya lekat pelapis tanpa menurunkan nilai factor bloating. Sementara itu, penelitian ketiga berupa penelitian geopolimer tahan api untuk stainless steel dan mild steel yang terbuat dari metakaolin oleh Temuujin dkk. (2009). Perbandingan Si terhadap Al diteliti daya lekatnya untuk stainless steel dan mild steel. Hasil studi Temuujin dkk. (2009) yang diperoleh adalah saat perbandingan Si terhadap Al sebesar 2,5 daya lekat geopolimer terhadap stainless steel dan mild steel cukup kuat dimana lebih besar dari 3,5 MPa. Penelitian keempat sampai penelitian keenam akan dijelaskan secara singkat pada paragraf berikut.

Penelitian keempat adalah penelitian geopolimer tahan api untuk metal yang terbuat dari class f fly ash oleh Temuujin dkk. (2010). Penelitian daya lekat geopolimer terhadap bahan yang dilakukan tahun 2010 ini mendekati hal yang sama dengan penelitian tahun 2009. Perbedaan penelitian tahun 2010 dengan penelitian tahun 2009 adalah bahan, karakterisasi material dan variabel penelitian baru. Bahan yang digunakan pada penelitian Temuujin dkk. (2010) adalah class f fly ash sementara bahan yang digunakan pada tahun 2009 adalah metakaolin. Penelitian Temuujin dkk. (2010) menggunakan karakterisasi material X-ray Diffractometry (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan penelitian tahun 2009 tidak menggunakan karakterisasi material. Variabel baru pada penelitian tahun 2010 dibandingkan penelitian tahun 2009 adalah perbandingan air terhadap semen. Variabel perbandingan antara Si terhadap Al digunakan pada penelitian tahun 2010 dan studi oleh Temuujin dkk. (2009). Dimana kuat lekat lebih dari 3,5 MPa dapat diperoleh pada perbandingan Si terhadap Al sebesar 2,5 untuk metakaolin dan 3,5 untuk class f fly ash. Sementara itu, penelitian kelima merupakan penelitian geopolimer tahan api yang terbuat dari metakaolin untuk pelat baja oleh Temuujin dkk. (2011). Pada studinya, ditambahkan sodium silicate dan sodium hydroxide pellet dengan perbandingan Si terhadap Al adalah 3,1 serta tiga macam komposisi air terhadap semen. Hasil penelitian Temuujin dkk. (2011) adalah ketiga komposisi menunjukkan daya lekat cat lebih besar dari 3,5 MPa tegangan tarik dan integritas struktur yang tinggi dengan pelat baja dari hasil XRD. Penelitian keenam sampai penelitian kedelapan akan dijelaskan secara singkat pada paragraf berikut

Penelitian keenam adalah penelitian geopolimer tahan api yang terbuat dari fly ash dengan tambahan butiran vermiculite kasar dan halus oleh Temuujin dkk. (2012). Penelitian ini tentang properti panas yang meliputi DTA-TG dan pertambahan panas. Hasil yang diperoleh dari studi Temuujin dkk. (2012) adalah properti panas yang meliputi DTA-TG dan pertambahan panas dari geopolimer tahan api yang terbuat dari bahan fly ash sangat tergantung pada struktur dalam dari geopolimer. Selain itu, studi yang dilakukan Temuujin dkk. (2012) adalah penambahan butiran vermiculite kasar akan memperbaiki properti tahanan api dibandingkan dengan penambahan butiran vermiculite halus. Sementara itu, pada penelitian ketujuh Allison dkk. (2015) melakukan penelitian kuat lekat baja tulangan yang diberi pelapis tahan api dengan mortar geopolimer yang terbuat dari fly ash ditinjau dari sisi mikro struktur dan komposisi kimia pada interfacial transition zone (ITZ). Penelitian ini dilakukan menggunakan nanoindentation dan SEM-EDX pada tulangan baja yang telah diberi pelapis dan ditanam pada mortar geopolimer yang terbuat dari fly ash. Hasil studi ini adalah peningkatan kuat lekat memerlukan gabungan antara mortar dengan tulangan baja longitudinal yang telah diberi pelapis. Di lain sisi, penelitian kedelapan oleh Luna-Galiano dkk. (2015). Luna-Galiano dkk. (2015) melakukan penelitian tentang pengaruh api pada panel pasta geopolimer yang terbuat dari fly ash, metakaolin dan sodium silicate. Studi yang dilakukan oleh Luna-Galiano dkk. (2015) dilakukan untuk mendapatkan properti fisik, properti kimia, tahanan api dan lingkungan. Properti fisik meliputi densitas, penyerapan air dan porositas. Properti mekanis berupa kuat lentur dan kuat tekan. Hasil studi Luna-Galiano dkk. (2015) adalah geopolimer dengan kandungan fly ash yang besar baik digunakan sebagai pelat tahan api. Sementara geopolimer dengan metakaolin memiliki densitas dan penyerapan air yang lebih rendah dan porositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan geopolimer tanpa metakaolin. Geopolimer yang berbahan fly ash memiliki ketahanan api yang lebih besar dari Portland semen. Kuat tekan geopolimer lebih tinggi dibandingkan dengan Portland semen. Geopolimer dengan fly ash tidak berdampak negatif terhadap lingkungan.

Page 97: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 83

3. KESIMPULAN

1. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian ini dapat disimpulkan bahwa geopolimer dapat digunakan sebagai material tahan api.

2. Penelitian-penelitian geopolimer tahan api yang dilakukan sebagian besar menggunakan metakaolin dan fly ash.

3. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, tidak banyak penelitian geopolimer tahan api yang menggunakan granulated blast furnace slag dan tidak banyak penelitian mengenai perilaku panel geopolimer ketika dibakar. Padahal menurut Cheng dkk. (2003), granulated blast furnace slag merupakan material yang tidak beracun. Cheng dkk. (2003) menyatakan bahwa granulated blast furnace slag dapat digunakan sebagai bahan dasar geopolimer tahan api. Dombrowski dkk. (2007) menyatakan 50% komposisi slag berupa calcium oxide. Studi yang dilakukan oleh Dombrowski dkk. (2007) menemukan keuntungan penggunaan calcium pada geopolimer berbahan dasar fly ash. Keuntungan tersebut adalah penambahan 8% Ca(OH)2 pada fly ash geopolimer dapat meningkatkan kekuatan geopolimer dan mengurangi susut pada saat geopolimer dibakar pada temperature 1050°C. Proposal penelitian ini akan menggunakan blast furnace slag dan class f fly ash sebagai bahan dasar panel geopolimer. Panel pasta geopolimer merupakan bentuk geopolimer yang akan dibakar. Panel pasta geopolimer dapat diaplikasikan sebagai pintu tahan api dan dinding tahan api. Hasil yang diharapkan dari penggunaan blast furnace slag sebagai bahan dasar geopolimer adalah peningkatan kekuatan dan pengurangan retak pada geopolimer. Sebagai tambahan, penggunaan blast furnace slag dan class f fly ash yang merupakan produk sisa industri sebagai bahan dasar geopolimer dapat mendukung program sustainability of passive fire protection (perlindungan api pasif yang berkelanjutan). Dimana penggunaan produk sisa industri dapat mengurangi penggunaan energi, mengurangi limbah industri, dan mengurangi emisi CO2.

DAFTAR PUSTAKA

1. Addleson, L,. 1976, Materials for building vol. 4 heat and fire and their effects, Newness-butterworths, London, England, 6-8.

2. Allison, P. G., Weiss jr, C. A., Moser, R. D., Diaz, A. J., Rivera, O.G., Holton, S. S., 2015, Nanoindentation and SEM/EDX Characterization of The Geopolymer-to-Steel Interfacial Transition Zone for A Reactive Porcelain Enamel Coating, Composites Part B, Vol.78, pp. 131-137.

3. Andini, S., Cioffi, R., Colangelo, F., Grieco, T., Montagnaro, F., Santoro, L., 2008, Coal fly ash as raw material for the manufacture of geopolymer-based products, Waste management, Vol. 28, pp. 416-423.

4. Buchanan, A. H., 2009, Structural design for fire Safety, John Wiley and Sons LTD, Chichester, England, 143.

5. Cheng, T., W., Chiu, J. P., 2003 Fire Resistant Geopolymer Produced by Granulated Blast Furnace Slag, Minerals engineering, Vol. 16, pp. 205-210.

6. Cristelo, N., Miranda, T., Oliveira, D. V., Rosa, I., Soares, E., Coelho, P., Fernandes, L., 2015, Assessing the Production of Jet Mix Columns using Alkali Activated Waste based on Mechanical and Financial Performance and CO2 (eq) Emissions, Journal of Cleaner Production, pp. 1-14.

7. Data profil kebakaran Indonesia dari tahun 2013 sampai tahun 2015, Direktur Manajemen Penanggulangan Bencana dan Kebakaran pada Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri

8. Davidovits, J., 1991, Geopolymer in organic new materials, Journal of thermal analysis, Vol. 37, pp.1633-1656

9. Dombrowski, K., Buchwald, A., Weil, M., 2007, The influence of calcium content on the structure and thermal performance of fly ash based geopolimer, J. Mater. Sci., Vol. 42, pp. 3033-3043.

10. General Chemistry, Akses online 19 Febuari 2016, URL: http://www.myips.org/ cms/lib8/IN01906626/Centricity/Domain/8123/General%20Chemistry%20Unit%205%20Energetics_Jan%202010.pdf.

11. Groover, M. P. (2013): Fundamentals of modern manufacturing: materials, processes and systems, fifth edition, John wiley & sons inc., USA, 52-94.

12. Komnitsas, K.A., 2011, Potential of Geopolymer Technology towards Green Buildings and Sustainable Cities, Procedia Engineering, Vol. 21, pp. 1023-1032.

13. Krivenko, P. V., Pushkareva, Ye. K., Sukhanevich, M. V., Guziy, S. G., 2009, Fireproof Coatings on The Basis of Alkaline Aluminium Silicate Systems, development in strategic materials, Ceramic Engineering Science Proceeding, Vol. 29, No.10, pp. 129-142.

Page 98: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

84 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

14. Langdon, G. J, Thomas, 1972, Fire Safety in Buidings: Principles and Practice, A & C Black Publishers Ltd, England.

15. Li, X., Cui, X., Liu, S., Mo, B., Cui, L., 2013, Preparation and Characterization of Inorganic Zinc-Rich Coatings Based on Geopolymers, Key Engineering Materials, Vol. 537, pp. 261-264.

16. Luna-Galiano, Y., Cornejo, A., Leiva, C., Vilches, L.F., Fernandez-Pereira, C., 2015, Properties of fly ash and metakaolin based geopolymer panels under fire resistance test, Materiales de construccion, Vol. 65, No. 319, e059.

17. Maryono, 2010, A Study on The Application of Fire Safety Management in Public Buildings, Paper presented in 2011 Colloquium, Research Institute for Human Settlements.

18. McLellan, B. C., Williams, R. P., Lay, J., Riessen, A.V., Corder, G. D., 2011, Costs and Carbon Emissions for Geopolymer Pastes in Comparison to Ordinary Portland Cement, Journal of Cleaner Production, Vol.19, pp. 1080-1090.

19. Mekanisme rangkak, Akses online 21 Mei 2016., URL: www.tech.plym.ac.uk /sme/mats340/cpmech.pdf.

20. Riessen, A. V., Rickard, W., Sanjaya, J. (2009): 15-Thermal properties of geopolymer, In Woodhead Publishing Series in Civil and Structural Engineering, Woodhead Publishing, pages 315-342.

21. Schmucker, M., MacKenzie, K. J. D., 2005, Microstructure of Sodium Polysialate Siloxo Geopolymer, Ceramics International, Vol. 31, pp. 433-437.

22. SNI 03-1736-2000, Tata Cara Perencanaan Sistem Proteksi Pasif untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan Rumah dan Gedung

23. Strong, A.B., 2006, Plastics: Materials and Processing, third edition, Pearson Prentice Hall, New Jersey, pp. 78-190.

24. Subaer, Riessen, V., 2006, A Themo-mechanical and microstructural characterization of sodium-poly(sialate-siloxo) (Na-PSS) geopolymers, Journal of Materials Science, Vol. 42, No. 9, pp. 3117-3123.

25. Suprapto, 2011, A Study on Developing Concept of Sustainable Total Fire Protection Systems, Journal of Human Settlements, Vol. 3, No. 1, pp. 39-48.

26. Temuujin, J., Minjigmss, A., Rickard, W., Lee, M., Williams, L., Riessen, A. V., 2009, Preparation of Metakaolin based Geopolymer coatings on Metal Substrates as Thermal Barriers, Applied Clay Science, Vol. 46, pp. 265-270.

27. Temuujin, J., Minjigmaa, A., Rickard, W., Lee, M., Williams, L., Riessen, A. V., 2010, Fly Ash Based Geopolymer Thin Coatings on Metal Substrates and Its Thermal Evaluation, Journal of Hazardous Materials, Vol. 180, pp.748-752.

28. Temuujin, J., Rickard, W., Lee, M., Riessen, A. V., 2011, Preparation and Thermal Properties of Fire Resistant Metakaolin-based Geopolymer-Type Coatings, Journal of non-crystalline solids, Vol. 357, pp.1399-1404.

29. Temuujin, J., Minjigmaa, A., Rickard, W., 2012, Thermal Properties of Spray-Coated Geopolymer-Type Composition, Journal of Thermal Anal. Calorim, Vol. 107, pp. 287-292.

Page 99: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 85

PENGARUH JARINGAN SOSIAL DAN PENDAPATAN TERHADAP KESIAPSIAGAAN RUMAH TANGGA DALAM MENGHADAPI BANJIR ROB

DI JAKARTA UTARA

Oleh:Yenny Satriyani Pertiwi1, Rudy Pramono2, dan Frega F.W. Inkiriwang3

1Alumni Pasca Sarjana Manajemen Bencana, Universitas Pertahanan, IPSC, Bogor, Indonesia Email: [email protected]

2Dosen Universitas Pertahanan, IPSC, Bogor dan Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci, Tangerang, Indonesia

Email: [email protected] Universitas Pertahanan, IPSC, Bogor, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

DKI Jakarta sebagai ibukota negara adalah wilayah strategis sekaligus vital. Pembangunan di berbagai sektor dilakukan guna mendukung aktivitas ekonomi dan sosial. Salah satu kotamadya di DKI Jakarta adalah Jakarta Utara dimana wilayah ini merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan rawan akan banjir rob. Risiko akan ancaman yang disebabkan banjir rob semakin tinggi seiring dengan perubahan lingkungan wilayah pesisir. Populasi yang tinggi membuat Jakarta Utara mengalami penurunan muka tanah yang signifikan yaitu 5-12 cm/tahun, sementara itu muka air laut mengalami kenaikan sebesar 0,5 cm/tahun. Hal itu berdampak pada kerentanan wilayah pesisir dalam menghadapi banjir rob di masa datang. Oleh karena itu diperlukan parameter kesiapan masyarakat yang berada di wilayah pesisir Jakarta sebagai strategi pengurangan risiko bencana banjir rob pada saat ini. Selain itu, penilaian yang dilakukan dapat menjadi acuan pengambilan ataupun perumusan kebijakan dalam menghadapi risiko di masa datang serta risiko akan bencana yang mungkin terjadi kembali dari masa lalu. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara jaringan sosial dan pendapatan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana banjir rob. Penelitian kuantitatif dilakukan melalui pendekatan survei dengan menyebarkan kuesioner kepada 100 sampel di Jakarta Utara. Analisis Regresi berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh jaringan sosial dan pendapatan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga. Hasil menunjukkan bahwa tingkat kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana banjir rob di Jakarta Utara berada pada tingkat siap dengan indeks rata-rata 75,63. Jaringan sosial berpengaruh positif terhadap kesiapsiagaan rumah tangga sebesar 0,435. Sementara itu, pendapatan berpengaruh positif terhadap kesiapsiagaan rumah tangga sebesar 0,660. Kesiapsiagaan rumah tangga dipengaruhi secara signifikan oleh jaringan sosial dan pendapatan dengan arah yang positif sebesar 45,4%. Berdasarkan hal tersebut pendapatan adalah faktor yang lebih dominan dalam mempengaruhi kesiapsiagaan rumah tangga. Maka, diperlukan kerjasama dari pemerintah dan dunia usaha untuk mengembangkan kemitraan agar meningkatkan kapasitas ekonomi lokal guna kelangsungan kehidupan dan mata pencaharian masyarakat pesisir Jakarta Utara.

Kata kunci: Banjir rob, jaringan sosial, kesiapsiagaan, risiko, pendapatan.

1. PENDAHULUAN

Bencana adalah sebuah gangguan serius dari keberfungsian suatu komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, material, kerugian ekonomi atau lingkungan yang melebihi kemampuan komunitas atau masyarakat untuk mengatasi menggunakan sumber dayanya (UNISDR, 2009). Bencana dapat diakibatkan oleh faktor alam maupun manusia. Informasi mengenai perubahan iklim membangun

Page 100: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

86 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

persepsi baru akan bencana yang diakibatkan oleh manusia. Meningkatnya badai, kekeringan dan bencana lainnya diperkirakan meningkat dikarenakan akumulasi gas rumah kaca di atmosfer sebagai akibat dari industrialisasi dan deforestasi yang tidak terjadi secara alami (UNISDR, 2008). Wilayah pesisir adalah wilayah rentan terkena dampak perubahan iklim dan dapat berakibat bencana.

Banjir rob adalah fenomena alami yang biasa terjadi di wilayah pesisir. Banjir rob adalah banjir yang disebabkan masuknya air laut ke daratan melalui sungai ataupun gelombang pasang. Banjir rob dapat menjadi salah satu ancaman bencana bagi kota pesisir. Kondisi Jakarta yang termasuk sebagai kota pesisir menurut (Chandra K dan Supriharjo, 2013) berdasarkan hasil pengukuran pada tahun 1925-2003, permukaan air laut Jakarta selalu naik setiap tahun, kenaikannya rata-rata 0,5 cm per tahun. Sebaliknya laju penurunan muka tanah Jakarta mencapai 5 cm hingga 12 cm per tahun di sejumlah titik selama tiga dekade terakhir, kondisi ini yang menyebabkan akumulasi permukaan air laut yang menggenangi tanah Jakarta lebih tinggi. Sedangkan, Jakarta diperkirakan mengalami penurunan tanah sedalam 4 cm per tahun, penyebab utamanya adalah pengambilan air tanah dan pembangunan (Aerts et al., 2012).

Catatan kejadian banjir rob akibat gelombang pasang yang terjadi di pesisir Jakarta dapat dillihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Kejadian Gelombang Pasang di Jakarta Utara

No Tgl/Bulan/Dampak

Terluka Menderita Mengungsi Rumah Rusak Berat

Rumah Rusak Ringan

Fasilitas Kesehatan

1 27/01/2006 0 0 0 11 0 0

2 07/02/2007 120 0 19

3 20/05/2007 167 0 4.300 0 0 1

4 25/11/2007 0 16.000 0 5 0 0

5 05/05/2008 1 2

Sumber: dibi.bnpb, 2015.

Tabel 1 kejadian gelombang pasang di Jakarta Utara menunjukkan kejadian gelombang pasang yang tercatat sebanyak 5 kejadian dalam rentang waktu 2006-2008. Kejadian gelombang pasang pada November tahun 2007 menyebabkan 16.000 orang mengungsi dan mengakibatkan 5 rumah rusak berat. Banjir November, 2007 disebut sebagai banjir yang berbeda karena disebabkan oleh pasang yang ketinggiannya melebihi tanggul laut. Sehingga air laut memenuhi jalanan dan menimbulkan genangan hingga sedalam 1,5 m di beberapa tempat selama beberapa hari (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2014:14). Ancaman akan banjir rob pada tahun-tahun selanjutnya masih tinggi bagi Jakarta Utara karena dipengaruhi perubahan lingkungan dan populasi yang bertempat tinggal di pesisir. Wilayah pesisir Jakarta ditempati oleh 33% penduduknya (Wibowo, 2012). Usaha pemerintah untuk mengurangi dampak banjir rob adalah dengan membangun tanggul laut. Namun, hal itu tidaklah cukup dan bukan merupakan solusi terbaik untuk menahan banjir rob (Abdillah, 2016). Oleh karena itu, diperlukan partisipasi masyarakat dan kerjasama pemerintah serta dunia usaha dalam peningkatan kapasitas rumah tangga untuk penanggulangan bencana banjir rob. Berdasarkan uraian diatas banjir rob di Jakarta akan semakin tinggi ancamannya apabila diiringi perubahan lingkungan seperti kenaikan muka air laut dan penurunan tanah sebagai akibat dari aktivitas manusia. Kapasitas yang dikaji dalam penelitian ini adalah kesiapsiagaan rumah tangga yang dipengaruhi jaringan sosial dan pendapatan rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan menganalisis tingkat kesiapsiagaan rumah tangga di Jakarta Utara serta mengetahui dan menganalisis pengaruh jaringan sosial dan pendapatan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga di Jakarta Utara dalam menghadapi banjir rob.

2. METODE

Desain penelitian ini menggunakan penelitian survei yang merupakan metode penelitian kuantitatif yang digunakan untuk mendapatkan data yang terjadi pada masa lampau atau saat ini (Sugiyono, 2011). Populasi penelitian ini adalah rumah tangga di Jakarta Utara yang terdampak banjir rob.

Page 101: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 87

Gambar 1. Teknik Cluster Random Sampling.Sumber: Sugiyono, 2011.

Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling dengan rumus Slovin sehingga didapat 100 KK sebagai sampel dengan pembagian pada 3 kelurahan yang berada di pesisir Jakarta Utara. Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan tingkat kesiapsiagaan rumah tangga di Jakarta Utara. Tingkat kesiapsiagaan rumah tangga, variabel jaringan sosial dan pendapatan dianalisis secara deskriptif dalam penelitian ini. Variabel independen dalam penelitian ini terdiri atas jaringan sosial dan pendapatan yang merupakan data numerik dan dianalisis dengan uji korelasi.

Jika data telah memenuhi persyaratan maka dapat dilanjutkan dengan analisis multivariat (regresi berganda). Dengan rumus:

Y’ = α + β1X1 + β2X2 + βnXn + ԑ.

Keterangan :Y’ = Nilai yang diprediksikan yaitu Kesiapsiagaan Rumah Tangga α = Konstanta atau bila Harga X= 0 β1 = Koefisien regresi yaitu Jaringan Sosial β2 = Koefisien regresi yaitu Pendapatan X1 = Nilai Variabel independen yaitu Jaringan Sosial X2 = Nilai Variabel independen yaitu Pendapatan ɛ = Error terms (Sugiyono, 2014)

Model rancangan uji regresinya dapat dilihat dalam Gambar 2 sebagai berikut:

Gambar 2. Rancangan Uji RegresiSumber: Diolah Sendiri, 2015.

Page 102: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

88 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran umum wilayah Jakarta Utara berdasarkan letak astronominya pesisir Jakarta Utara berada pada Koordinat 60 10’ 00’’ Lintang Selatan dan 106020’00” Bujur Timur dengan luas 146,66 km (BPS, 2014). Dengan garis pantai sepanjang 32 km yang melewati 6 kelurahan di Jakarta Utara. Beberapa wilayah Jakarta Utara berada di bawah muka laut, sehingga termasuk wilayah yang rawan akan bencana banjir rob.

3.1. Karakteristik Responden

Responden terdiri dari 100 sampel dengan kriteria kepala keluarga atau anggota keluarga dewasa yang dapat mewakili. Karakteristik responden terdiri atas 63% perempuan dan 27% laki-laki. Sebaran usia responden terbanyak pada rentang 30-39 tahun. Selanjutnya usia 17-29 tahun sebanyak 26%, usia 40-49 tahun sebanyak 25% dan 50-60 tahun sebanyak 13%. Responden dengan usia di atas 60 tahun adalah yang paling sedikit yaitu 6%. Respoden didominasi oleh penduduk yang telah kawin sebanyak 81%. Sedangkan responden yang belum kawin sebanyak 19%. Responden yang berstatus kepala keluarga sebanyak 29%. Responden didominasi oleh istri sebagai status dalam keluarga sebanyak 52%. Sedangkan status sebagai anak dalam keluarga yang menjadi responden sebesar 19%. Sebagian masyarakat berada pada tingkat pendidikan menengah yaitu adalah SMU/SMK/MA sebesar 32% disusul dengan SMP/MTS sebesar 31%. Responden yang menamatkan SD sebanyak 23% sedangkan tidak tamat SD sebesar 8%. Responden yang mencapai pendidikan tinggi sebesar 6%. Dapat disimpulkan dari gambar 7 bahwa responden terbanyak telah menempuh pendidikan menengah atas.

3.2. Deskripsi Variabel Y (Kesiapsiagaan Rumah Tangga)

Dimensi kesiapsiagaan dalam penelitian ini adalah perbekalan, keterampilan, perencanaan dan perlindungan. Perbekalan dijelaskan dalam indikator pemenuhan kebutuhan dasar. Keterampilan meliputi indikator keselamatan, penyelamatan dan keamanan. Perencanaan meliputi indikator respon keluarga dan rencana evakuasi. Serta dimensi perlindungan yang meliputi perlindungan harta benda dan aksesibilitas.

3.3. Tingkat Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menghadapi Banjir Rob di Jakarta Utara

Gambar 3. Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga di Jakarta Utara.Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016.

Sebaran terbanyak indeks kesiapsiagaan rumah tangga di Jakarta Utara berada pada tahap sangat siap dan siap, serta tidak ada yang berada pada tahap belum siap. Disimpulkan kesiapsiagaan rumah tangga di Jakarta Utara berada pada tingkat siap dengan nilai 75,63. Indikator dalam kesiapsiagaan rumah tangga dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel yaitu perbekalan, keterampilan, perencanaan dan perlindungan. Nilai tiap indikator berada dalam tingkat siap.

Page 103: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 89

3.4. Analisa Hubungan Jaringan Sosial dan Pendapatan Terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga

Untuk mengetahui hubungan jaringan sosial dan pendapatan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga maka dilakukan uji korelasi sebagai berikut:

Tabel 2. Hubungan Jaringan Sosial dengan Kesiapsiagaan Rumah Tangga

Kesiapsiagaan Jaringan Sosial

Kesiapsiagaan

Pearson Correlation 1 ,536**

Sig. (2-tailed) ,000

N 100 100

Jaringan Sosial

Pearson Correlation ,536** 1

Sig. (2-tailed) ,000

N 100 100

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016

Hubungan (korelasi) antara kesiapsiagaan dengan jaringan sosial memiliki nilai yang cukup kuat yaitu 0,536 dengan nilai signifikansi 0,000. Tanda positif (+) menunjukkan hubungan yang searah, jika jaringan sosial mengalami peningkatan maka kesiapsiagaan rumah tangga akan mengalami peningkatan pula.

Tabel 3. Hubungan Pendapatan dengan Kesiapsiagaan Rumah Tangga

Kesiapsiagaan Pendapatan

Kesiapsiagaan

Pearson Correlation 1 ,529**

Sig. (2-tailed) ,000

N 100 100

Pendapatan

Pearson Correlation ,529** 1

Sig. (2-tailed) ,000

N 100 100

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016.

Bahwa hubungan (korelasi) antara kesiapsiagaan dengan pendapatan memiliki nilai yang cukup kuat yaitu 0,529 dengan nilai signifikansi 0,000. Tanda positif (+) menunjukkan hubungan yang searah, yang berarti semakin tinggi pendapatan maka kesiapsiagaan rumah tangga akan mengalami peningkatan pula.

3.5. Pengaruh Jaringan Sosial dan Pendapatan Terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga

Sebelum melakukan uji regresi syarat yang harus dipenuhi adalah uji asumsi klasik sebagai berikut:

3.5.1. Uji Asumsi KlasikUji Asumsi Klasik terdiri dari: uji kenormalan, uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji

heterokedastisitas. Berikut adalah uji asumsi klasik dalam penelitian ini:1. Uji Normalitas

Tabel 4. Uji Normalitas

Skewness Kurtosis

Statistic Std. Error Statistic Std. Error

Unstandardized Residual -,402 ,241 -,143 ,478

Valid N (listwise)

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016.

Page 104: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

90 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Rasio skewness dan rasio kurtosis dapat dijadikan petunjuk apakah suatu data berdistribusi normal atau tidak. Rasio skewness adalah nilai skewness dibagi dengan standard error skewness; sedang rasio kurtosis adalah nilai kurtosis dibagi dengan standard error kurtosis. Sebagai pedoman, bila rasio kurtosis dan skewness berada di antara -2 hingga +2, maka distribusi data adalah normal (Santoso, 2000: 53). Berdasarkan hal tersebut hasil penghitungan pada tabel 4 rasio skewness -0,402/0,241 menghasilkan nilai -1,68 dan rasio kurtosis -0,143/0,478 menghasilkan nilai -0,29. Rasio skewness dan rasio kurtosis berada di antara -2 hingga +2, maka dapat disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Kesimpulan bahwa data yang dikumpulkan terdistribusi normal atau tidak dapat pula dillihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 4. Grafik Distribusi Normal P Plot.Sumber: Olahan Peneliti, 2016.

Kriteria sebuah (data) residual terdistribusi normal atau tidak dengan pendekatan Normal P-P Plot dapat dilakukan dengan melihat sebaran titik-titik yang ada pada gambar. Apabila sebaran titik-titik tersebut mendekati atau rapat pada garis lurus (diagonal) maka dikatakan bahwa (data) residual terdistribusi normal, namun apabila sebaran titik-titik tersebut menjauhi garis maka tidak terdistribusi normal. Berdasarkan gambar 14. diketahui sebaran titik-titik mendekati garis lurus (diagonal) sehingga dapat dikatakan data residual yang ada pada penelitian ini terdistribusi normal.

2. Uji MultikolinearitasSetelah melakukan uji normalitas maka syarat berikutnya yang harus terpenuhi adalah uji multikolinearitas.

Tabel 5. Uji Multikolinearitas

Collinearity Statistics

Tolerance VIF

1 (Constant)

Jaringan Sosial ,938 1,066

Pendapatan ,938 1,066

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016.

Untuk mengetahui apakah data terbebas dari gejala multikolinearitas dapat dilihat dari nilai VIF (Variance Inflation Factor). Jika nilai VIF tidak lebih dari 10 maka dapat dikatakan data terbebas dari multikolinearitas dan dapat dilanjutkan uji regresi berganda. Berdasarkan tabel 3.4 terlihat bahwa nilai VIF kedua variabel

Page 105: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 91

adalah 1,066. Nilai tersebut tidak lebih dari 10 sehingga data yang terdapat dalam penelitian ini terbebas dari gejala multikolinearitas.

3. Uji AutokorelasiUntuk mengetahui ada tidaknya autokorelas dalam model ini maka dilakukan Uji Durbin-Watson (DW Test). Uji ini hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept dalam model regresi dan tidak ada variabel lag di antara variabel penjelas. Hipotesis yang diuji adalah:

Ho: p = 0 (baca: hipotesis nolnya adalah tidak ada autokorelasiHa: p ≠ 0 (baca: hipotesis alternatifnya adalah ada autokorelasi)

Dengan asumsi, bila nilai Durbin -2 sd +2 berarti asumsi independensi terpenuhi, sebaliknya bila nilai Durbin < -2 atau > +2 berarti asumsi tidak terpenuhi.

Tabel 6. Uji Autokorelasi

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson

1 ,674a ,454 ,443 6,721 1,849

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016

Tabel 6. menunjukkan nilai Durbin Watson hitung adalah 1,849. Nilai tersebut berada diantara -2 dan 2 sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model regresi linear tidak terjadi autokorelasi.

4. Uji HeterokedastisitasPengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan membuat Scatterplot (alur sebaran) antara residual dan nilai prediksi dari variabel terikat yang telah distandarisasi. Hasil uji heteroskedastisitas dapat dilihat pada gambar Scatterplot, seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 5. Uji Heteroskedasitas.Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016.

Berdasarkan gambar 5. terlihat bahwa sebaran titik tidak membentuk suatu pola atau alur tertentu sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heterokedastisitas. Asumsi klasik tentang heteroskedastisitas dalam model ini terpenuhi, yaitu terbebas dari heteroskedastisitas.

3.5.2. Uji Hipotesis StatistikUji hipotesis statistik tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

A. Uji Deskriptif Kesiapsiagaan (One Sampel t-Test)Hipotesis tingkat kesiapsiagaan rumah tangganya adalah sebagai berikut :

Page 106: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

92 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

H0 : µ = 65 dan H1 : µ > 65H0 : Rata-rata tingkat kesiapsiagaan rumah tangga berada pada tingkatan hampir siap H1 : Rata-rata tingkat kesiapsiagaan rumah tangga berada pada tingkatan siap

Tabel 7. Hasil Uji One Sampel Test

Test Value = 65

T Df Sig.(2-tailed)

MeanDifference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Kesiapsiagaan -18,032 99 ,000 -16,240 -18,03 -14,45

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016.

Berdasarkan tabel tampak bahwa nilai signifikansi adalah 0,000. Nilai signifikasi 0,000 lebih kecil dari α=0,1 sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan taraf uji 10%, dapat dinyatakan bahwa rata-rata tingkat kesiapsiagaan rumah tangga berada pada tingkatan siap.

B. Pengaruh Jaringan Sosial terhadap Kesiapsiagaan Rumah TanggaUntuk melihat signifikansi pengaruh jaringan sosial terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8. Uji Parsial Pengaruh Jaringan Sosial terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga di Jakarta Utara

ɑ=0,1, ttabel 1,660715

ModelUnstandstandardized

CoefficientStandardized

Coefficient T Sig.B Std. Error Beta

(Constant)Jaringan sosial

17,636 3,540 4,982 ,000

,435 ,078 ,431 5,572 ,000

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016.

Berdasarkan Tabel 8. diketahui nilai thitung = 5,572. Hasil perbandingan sig dengan alpha dan thitung dengan ttabel, yang keduanya menunjukkan dalam model H0 ditolak dan H1 diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa jaringan sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga.

C. Pengaruh Pendapatan terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga di Jakarta UtaraBegitupula untuk melihat signifikansi pengaruh pendapatan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga di Jakarta Utara dapat dilihat pada Tabel 9. berikut:

Tabel 9. Uji Parsial Pengaruh Pendapatan terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga di Jakarta Utara

ɑ=0,1, ttabel 1,660715

ModelUnstandstandardized

CoefficientStandardized

Coefficient T Sig.B Std. Error Beta

(Constant)Jaringan sosial

17,636 3,540 4,982 ,000

,660 ,121 ,422 5,448 ,000

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016.

Berdasarkan Tabel 9. diketahui bahwa hipotesis pendapatan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga. Hasil perbandingan sig dengan alpha dan thitung dengan ttabel, yang keduanya menunjukkan dalam model H0 ditolak dan H1 diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa pendapatan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga.

Page 107: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 93

D. Pengaruh Jaringan Sosial dan Pendapatan terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga (Uji F)Uji keterandalan model atau uji kelayakan model atau yang lebih populer disebut sebagai uji F sebagai berikut:

Tabel 10. Anova untuk Uji Koefisien Regresi secara Bersama-sama

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 3649,195 2 1824,598 40,398 ,000b

Residual 4381,045 97 45,165

Total 8030,240 99

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016.

Pada tabel di atas diketahui:

Nilai sig (0,000) < alpha (0,1), sehingga dalam model H0 ditolak dan H1 diterima.

Selain itu, diketahui Fhitung 40,398 > Ftabel 1,298597, maka dalam model H0 ditolak dan H1 diterima. Berdasarkan hasil perbandingan sig dengan alpha dan Fhitung dengan Ftabel, yang keduanya menunjukkan dalam model H0 ditolak dan H1 diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa jaringan sosial dan pendapatan secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga.

E. Koefisien Determinasi (R Square) Jaringan Sosial dan Pendapatan terhadap Kesiapsiagaan Rumah TanggaKoefisien determinasi menjelaskan variasi pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikatnya. Dapat pula dikatakan sebagai proporsi pengaruh seluruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Dalam output spss koefisien determinasi dapat dilihat pada tabel Model Summary yang ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 11. Uji Koefisien Determinasi

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 ,674a ,454 ,443 6,721

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016.

Tabel 11. memperlihatkan nilai R square adalah 0,454 hal ini menunjukkan bahwa jaringan sosial dan pendapatan mempengaruhi kesiapsiagaan rumah tangga sebesar 45,4% sedangkan 54,6% (100% -45,4%) lainnya dipengaruhi oleh variabel lain di luar dari model regresi linear. Hal ini menunjukkan bahwa jaringan sosial dan pendapatan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan rumah tangga. Kesiapsiagaan rumah tangga dipengaruhi oleh faktor lain seperti karakteristik sosio-demografi, pengetahuan dan kesadaran keluarga terhadap bahaya, pengalaman kebencanaan, dan persepsi risiko.

3.5.3. Uji Regresi Berganda (Multivariate)

Setelah semua uji asumsi dilakukan dan terpenuhi syaratnya, maka dilanjutkan dengan uji regresi linear ganda sebagai berikut:

Tabel 12. Uji Regresi Berganda

UnstandstandardizedCoefficient

Standardized Coefficient T Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 17,636 3,540 4,982 ,000

Jaringan Sosial ,435 ,078 ,431 5,572 ,000

Pendapatan ,660 ,121 ,422 5,448 ,000

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016.

Page 108: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

94 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Berdasarkan Tabel 12. dapat dibuat model regresi berganda sebagai berikut:

Y’ = α + β1X1 + β2X2 + eY’= 17,636 + 0,435X1 + 0,660X2 + ePersamaan regresi linear berganda jaringan sosial dan pendapatan terhadap kesiapsiagaan

rumah tangga yang diperoleh menunjukkan konstanta (α) sebesar 17,636 artinya jika jaringan sosial (X1) dan pendapatan (X2) nilainya adalah 0, maka Kesiapsiagaan Rumah Tangga (Y’) nilainya tetap adalah 17,636. Koefisien regresi variabel Jaringan Sosial (X1) sebesar 0,435 artinya jika variabel independen lain yaitu pendapatan (X2) memiliki nilai yang tetap dan Jaringan Sosial (X1) mengalami kenaikan 1% atau 1 unit, maka Kesiapsiagaan Rumah Tangga (Y’) akan mengalami peningkatan sebesar 0,435. Koefisien regresi variabel pendapatan (X2) sebesar 0,660 artinya jika variabel jaringan sosial (X1) memiliki nilai koefisien yang tetap dan pendapatan mengalami kenaikan 1% atau 1 unit, maka kesiapsiagaan rumah tangga (Y’) akan mengalami peningkatan sebesar 0,660.

Tidak hanya melihat besaran angka di setiap variabel bebas dan terikat namun interpretasi model regresi berganda pun melihat tanda (positif (+) atau negatif (-)). Tanda positif (+) atau negatif (-) di depan besaran variabel bebas dan terikat menunjukkan arah hubungan antar varibel. Dari rumus tersebut menunjukkan bahwa tanda koefisien regresi jaringan sosial bernilai positif terhadap kesiapsiagaan rumah tangga sehingga dapat diartikan apabila jaringan sosial individu semakin banyak dan kuat maka kesiapsiagaan rumah tangga pun mengalami peningkatan. Begitupula dengan tanda pada variabel pendapatan menunjukkan koefisien regresi yang bernilai positif, apabila pendapatan sebuah keluarga semakin tinggi maka kesiapsiagaan rumah tangga akan meningkat pula.

Jika pendapatan meningkat maka rumah tangga dapat lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana banjir rob. Pendapatan yang tinggi akan membantu keluarga dalam mempersiapkan kebutuhan dasar sebelum dan saat mengalami bencana. Perlindungan aset yang dimiliki rumah tangga dengan pendapatan tinggi akan menggunakan asuransi, sedangkan rumah tangga dengan pendapatan rendah cenderung tidak memiliki asuransi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa jaringan sosial yang berupa keterikatan dalam keluarga inti, hubungan dengan kerabat dan tetangga serta keikutsertaan dalam organisasi akan menambah informasi mengenai kesiapsiagaan dalam menghadapi banjir rob. Walaupun kejadian banjir rob di Jakarta Utara adalah kejadian yang dapat terjadi secara tiba-tiba namun jika masyarakat telah siap dalam menghadapinya maka dapat meminimalkan risiko yang dapat terjadi. Mengenali tanda-tanda bahaya dan mengetahui tindakan apa yang perlu dilakukan serta komunikasi dan koordinasi yang baik dengan lingkungan sekitar akan membantu rumah tangga siap dalam menghadapi bahaya banjir rob. Begitupula, jika salah satu anggota keluarga memiliki kesiapsiagaan terhadap bencana maka akan meningkatkan ketahanan keluarga akan bencana. namun dalam penelitian ini pendapatan lebih mempengaruhi kesiapsiagaan, jika pendapatan anggota keluarga meningkat maka akan menambah kesiapsiagaan keluarga dalam menghadapi bencana. pendapatan membantu keluarga melindungi aset yang dimiliki, melengkapi kebutuhan dasar yang dipersiapkan oleh keluarga serta memudahkan mobilitas rumah tangga.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan

a. Tingkat kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana banjir rob di Jakarta Utara berada pada tingkat siap dengan nilai indeks rata-rata 75,63.

b. Pendapatan memiliki pengaruh positif sebesar 0,660 terhadap kesiapsiagaan rumah tangga. Hal ini menunjukkan faktor pendapatan lebih dominan dibandingkan dengan faktor jaringan sosial (0,435) dalam mempengaruhi kesiapsiagaan rumah tangga di Jakarta Utara.

c. Hasil uji model regresi berganda menunjukkan adanya pengaruh jaringan sosial dan pendapatan signifikan terhadap kesiapsiagaan sebesar 0,454. Hal ini menunjukkan kesiapsiagaan rumah tangga dibangun dari variabel pendapatan dan jaringan sosial 45,4%. Sedangkan terdapat kontribusi lebih besar dari faktor lain terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dibanding dengan variabel yag telah diamati sebesar 54,6%.

Page 109: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 95

4.2. Saran

a. Bagi Pemerintah Daerah Kotamadya Jakarta Utara. Untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui: 1. Pelatihan dan simulasi mengenai hal-hal yang perlu dilakukan dalam menghadapi banjir rob.

Walaupun masyarakat telah beberapa kali mengalami banjir rob namun pelatihan dan sosialisasi mengenai kesiapsiagaan tetap perlu dilakukan karena kejadian tidak terduga seperti banjir pada November, 2007 dapat terulang kembali. Ketidaksiapan masyarakat akan menimbulkan kepanikan yang meningkatkan risiko. Oleh karena itu, pelatihan dan simulasi diharapkan dapat mengurangi tingkat kepanikan saat menghadapi kondisi darurat.

2. Meningkatkan kapasitas sosial yang dapat membantu masyarakat mulai dari tingkat pemerintah daerah hingga RT.

b. Bagi Pemerintah Kotamadya Jakarta Utara melalui Kelurahan Cilincing, Penjaringan dan Tanjung Priok1. Perlunya mengidentifikasi pendapatan berdasarkan jenis pekerjaan masyarakat secara menyeluruh

agar pemerintah mengetahui program yang tepat untuk meningkatkan kapasitas finansial masyarakat. Sehingga usaha peningkatan kapasitas finansial untuk pengurangan risiko bencana dalam masyarakat dapat efektif dan efisien.

2. Perlunya peningkatan pendapatan masyarakat dengan melakukan pelatihan untuk industri padat karya ataupun pemberian modal untuk usaha mandiri.

c. Bagi Masyarakat melalui RT dan RW 1. Mengaktifkan kembali peran tabungan bersama (kas) di lingkungan sebagai bantuan saat bencana

terjadi.2. Mengembangkan usaha bersama yang dapat menjadi tambahan sumber pendapatan rumah tangga

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimaksih kepada rekan-rekan seperjuangan terutama mb cohort 5, Bapak Rudy Pramono selaku pembimbing kesatu dan Bapak Frega W. Inkiriwang yang telah memberikan masukan dan arahan bagi penelitian ini. Serta pihak-pihak lain yang telah berkontribusi dalam proses penelitian, penulisan, dan juga pendukung perjalanan untuk presentasi makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdillah, Ali. (2016). Pelajar Indinesia di Belanda: Reklamasi Pulau di Teluk Jakarta itu Ide Kuno. Diunduh pada 21 Juni 2016 pukul 7.34 wib http://ppibelanda.org/pelajar-indonesia-di-belanda-relamasi-pulau-di-teluk-jakarta-ide-kuno

2. Adger, W. Neil (2005).Social-Ecological Resilience to Coastal Disaster. Sciencemag. Diunduh pada 6 Agustus 2015 pk. 6.12 wib. http://www.sciencemag.org/content/309/5737/1036.full

3. Aerts, J. B. (2012). Climate Adaptation and Flood Risk in Coastal Cities. New York: Earthscan.4. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2015). Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI). Pusat

Data Informasi dan Humas-BNPB. Diunduh pada Agustus, 2015 dari dibi.bnpb.go.id5. Chandra K, R. &.Supriharjo (2013). Mitigasi Bencana Banjir Rob di Jakarta Utara. Jurnal Teknik POMITS

Vol. 2 No. 1 , 25-30.6. Susetyo, B. (2010). Statistika Untuk Analisis Data Penelitian. Bandung: Redaksi Refika.7. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta8. Wibowo, A. (2012). Kerentanan Lingkungan Laut Tiap Provinsi di Indonesia. Jurnal Ilmu dan Teknologi

Kelautan Tropis, Vol. 4, No.1 , 145-162.9. UNISDR, Links between Disaster Risk Reduction, Development and Climate Change (Report prepared for

the Commission on Climate Change and Development, Sweden, 2008, p. 1).10. UNISDR. (2009). Terminologi Pengurangan Risiko Bencana. Bangkok: UN-ISDR.11. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2014). Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara

(PTPIN). Jakarta: Kemenko Bid. Perekonomian

Page 110: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

96 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

ANALISA POTENSI KAYU CEPAT TUMBUH SEBAGAI ELEMEN STRUKTUR BANGUNAN TAHAN GEMPA

Oleh:Sri Indah Setiyaningsih1, Saptahari Sugiri2, Adang Surahman3, Eka Mulya Alamsyah4

1Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan,Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha No. 10, Bandung 40132, Indonesia

Email; [email protected] Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung,

Jalan Ganesha No.10, Bandung 40132, IndonesiaEmail: [email protected]

3Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan,Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha No.10, Bandung 40132, Indonesia

Email: [email protected] Studi Teknologi Hasil Hutan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati,

Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha No.10, Bandung 40132, IndonesiaEmail: [email protected]

Abstrak

Di Indonesia tumbuh sekitar 4.000 jenis pohon. Kebutuhan kayu semakin meningkat seiring dengan berkembangnya pembangunan di Indonesia. Namun fakta menunjukkan bahwa besarnya laju deforestasi di Indonesia menyebabkan krisis bahan baku pada industri kehutanan. Masalah lain yang dihadapi adalah penduduk Indonesia semakin bertambah yang mengakibatkan berkurangnya pasokan kayu dalam jumlah besar bersama konsekuensinya. Kayu secara fisik menarik sehingga pilihan dalam hal nilai artistiknya. Secara mekanik kayumenjadi pilihan karena memiliki kuat tarik dan kuat geser yang relatif lebih tinggi dibandingkan kuat tarik dan kuat geser beton sehingga relatif aman jika digunakan sebagai komponen struktur bangunan di daerah rawan gempa, terutama untuk perumahan. Kondisi tersebut harus diantisipasi dengan mencari pengganti penggunaan kayu dengan bahan kayu lain yang memiliki potensi signifikan dan dapat dimanfaatkan dengan baik serta dapat menggantikan penggunaan kayu hutan alam sebagai bahan konstruksi dan bahan-bahan lain dari kebutuhan manusia. Misalnya, dengan menggunakan produk komposit seperti bahan baku kayu laminasi yang berasal dari kayu cepat tumbuh. Hal ini dapat diperoleh dari kayu yang dibudidayakan oleh Hutan Tanaman Rakyat dan atau Hutan Tanaman Industri. Studi ini berkonsentrasi pada Analisa Potensi Kayu Cepat Tumbuh sebagai Elemen Struktur Bangunan Tahan Gempa dengan Metode Kayu Laminasi dilihat dengan cara pengujian sifat fisik dan mekanik dari kayu solid dan kayu laminasi. Semua pengujian mengacu pada SNI 7973:2013 tentang Spesifikasi Desain untuk Konstruksi Kayu yang diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional. Penelitian ini bertujuan utama untuk mengatasi kelangkaan kayu/kayu dari alam dan keterbatasan dimensi elemen struktur kayu pada bangunan. Metode dalam penelitian ini adalah pemilihan lima jenis kayu cepat tumbuh, menguji sifat fisik dan mekanik kayu di laboratorium, pembuatan kayu laminasi. Dan kemudian dilanjutkan dengan pengujian sifat fisik dan mekanik kayu. Pembuatan Sambungan Balok Kolom Laminasi yang kemudian diuji terhadap pembebanan siklik yang merupakan representasi dari beban gempa.Hasil yang telah dicapai dalam penelitian ini adalah bahwa dari 5 jenis kayu cepat tumbuh yang dipilih yaitu kayu Surian, Gmelina, Manglid, Tisuk dan Jabon, maka yang memenuhi kriteria sebagai komponen struktur bangunan adalah kayu Surian, Gmelina dan Manglid. Dilihat dari sifat fisis dan mekanisnya Kayu Surian dan Gmelina termasuk dalam kelas kuat II dengan densitas 0,66 untuk kayu Surian dan 0,62 untuk kayu Gmelina, sedangkan kayu Mangid dan Kayu Tisuk termasuk dalam kelas kuat III dengan densitas 0.51 dan 0,56. Sedangkan kayu Jabon termasuk kelas kuat IV masing-masing dengan densitas 0,33. Semua kayu yang diuji dalam riset ini berumur kurang dari 10 tahun.

Page 111: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 97

Kata kunci: Kayu cepat tumbuh, sifat fisik dan mekanik, elemen struktur, metode laminasi, bangunan tahan gempa, SNI 7973:2013.

1. PENDAHULUAN

Kecenderungan penggunaan kayu sebagai bahan bangunan sekarang ini dan pada masa yang akan datang terus mengalami peningkatan, khususnya keperluan bangunan rumah untuk tempat tinggal, bangunan dan kontruksi ringan dan perabotan rumah tangga. Menpera (Kompas, 1 Juni 2011) menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan 13 juta rumah baru bagi masyarakat berdasarkan atas hasi l sensus penduduk oleh BPS tahun 2010. Menpera saat itu juga mengungkapkan bahwa selama ini angka kekurangan kebutuhan (backlog) perumahan di Indonesia memang masih terus meningkat setiap tahun. Muh. Dimyati (2011) dalam makalahnya yang berjudul Mengatasi Backlog Perumahan bagi masyarakat Perkotaan, menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan 950.000 unit rumah baru pertahun (berdasarkan perhitungan tahun 2008), sedangkan pembangunan rumah rata-rata pertahun hanya sekitar 350.000 unit. Sehingga setiap tahunnya mengalami kekurangan sebanyak 600.000 unit rumah. Dalam hal ini tentu membutuhkan bahan baku yang cukup untuk memenuhi “kebutuhan papan” tersebut.

Penggunaan kayu sebagai bahan baku mungkin dapat menjadi solusi alternatif terhadap permasalahan ini. Masalah lain yang dihadapi adalah jumlah penduduk Indonesia semakin bertambah yang mengakibatkan kekurangan pasokan kayu dalam jumlah besar bersama konsekuensinya. Secara fisik kayu menarik sehingga menjadi pilihan adalah karena nilai artistiknya. Secara mekanik kayu menjadi pilihan karena nilai kuat tarik dan kuat gesernya yang relatif lebih tinggi dari kuat tarik dan kuat geser beton sehingga relatif lebih aman jika digunakan sebagai komponen struktur bangunan di daerah rawan gempa, terutama untuk rumah tinggal. Kayu dibutuhkan manusia dalam banyak penggunaan, diantaranya sebagai komponen struktur rumah, jembatan, peralatan rumah tangga, alat-alat olahraga, komponen kapal serta komponen peralatan kesenian. Di Indonesia tumbuh lebih kurang 4.000 jenis pohon. Kebutuhan akan kayu semakin meningkat dengan berkembangnya pembangunan di Indonesia. Namun fakta menunjukkan, besarnya laju kerusakan hutan di Indonesia menyebabkan industri kehutanan mengalami krisis bahan baku. Menurut SKEPHI (Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia) terhadap kondisi hutan di Indonesia sepanjang tahun 2007-2008, manifestasi dari kehancuran hutan Indonesia ini dibuktikan dengan dipecahkannya rekor Guinnes World Record yang menetapkan Indonesia pada 2007 sebagai negara penghancur hutan tercepat.

Gambar 1.1. Grafik Trend Kebutuhan Rumah di Indonesia.Sumber: Purnawan (2010) dalam Muh. Dimyati (2011).

Gambar 1.2. Data Produksi HTI Kayu dan Pembangunan Areal Penanaman.Sumber: Kementerian Kehutanan (2009).

Page 112: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

98 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Sebagai salah satu dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, Indonesia meraih tingkat laju penghancuran tercepat antara 2000-2005, yakni dengan tingkat 1,871 juta hektar atau sebesar 2 persen setiap tahun atau 51 kilometer persegi per hari, atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya. Padahal tingkat kerusakan tersebut merujuk pada data FAQ yang bersifat konservatif.

Gambar 1.3. Grafik Jumlah Penduduk Indonesia.Sumber: Badan Pusat Statistik.

Kayu merupakan salah satu material konstruksi yang sudah lama dikenal, sebelum digunakan material baja dan beton. Hanya saja untuk struktur bangunan saat ini, kayu jarang digunakan karena dimensi kayu yang tersedia terbatas bila dibandingkan dengan baja dan beton. Untuk mengatasi masalah dimensi kayu yang terbatas, saat ini mulai dikembangkan suatu teknologi di bidang material konstruksi berupa teknologi kayu glulam. Kayu glulam adalah kayu yang terdiri dari beberapa lapisan kayu yang direkatkan dengan bantuan lem untuk mendapatkan dimensi ukuran yang lebih besar dari pada kayu yang tersedia di pasaran. Kondisi seperti ini harus diantisipasi dengan mencari pengganti penggunaan kayu dengan bahan berkayu lain yang memiliki potensi cukup besar dan dapat di manfaatkan dengan baik serta dapat menggantikan penggunaan kayu hutan alami sebagai bahan konstruksi dan bahan bahan lain kebutuhan manusia. Misalnya dengan penggunaan produk komposit seperti kayu laminasi yang berbahan baku dari kayu cepat tumbuh dan berkembang.

Manfaat yang dihasilkan dengan adanya teknologi kayu glulam antara lain adalah dimensi kayu dapat direkayasa menjadi lebih besar, biaya yang lebih ekonomis karena dapat mengunakan beberapa mutu kayu yang berbeda, dan dapat mengatur posisi cacat kayu. Hal ini bisa didapatkan pada kayu yang dibudidayakan oleh Hutan Produksi atau Hutan Rakyat atau Hutan Tanaman Industri.

Keseluruhan persoalan yang dihadapi oleh industri pengolahan kayu baik secara parsial maupun nasional harus dicarikan jalan terbaik agar bisa keluar dari krisis tersebut di atas. Salah satu faktor penting yang perlu dilakukan adalah efisiensi bahan baku karena selain sumber daya hutan yang semakin langka, harga kayu yang semakin mahal, juga karena tekanan dunia internasional yang menghendaki agar seluruh produk industri perkayuan yang dihasilkan dari hutan yang dikelola secara lestari dan berkesinambungan (sustainable forest management).

2. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemilihan kayu cepat tumbuh dilakukan di lokasi Hutan Rakyat di Desa Cibugel Kecamatan Cibugel Kabupaten Sumedang Propinsi Jawa Barat pada Tanggal 15 Mei 2015. Adapun jenis kayu yang dipilih disajikan dalam tabel di bawah ini :

Page 113: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 99

Tabel 1. Jenis Kayu Cepat Tumbuh yang diteliti dan Pengkodean

No. Jenis Kayu Diameter Umur Kode

1 Jabon Putih (Antochepallus cadamba) 25 cm 5 tahun B

2 Gmelina (Gmelina arborea) 25-30 cm 6 tahun E

3 Surian (Toona Sinensis Roem) 25 cm 8 tahun A

4 Manglid (Melia azedarach) 25-30 cm 8 tahun C

5 Tisuk 30 cm 5 tahun D

Hasil uji sifat fisis yang telah dilakukan yaitu:

Tabel 2. Hasil Pengujian Kadar AirTanggal: 2 September 2015

Tempat: Laboratorium Struktur dan Bahan ITB

No. Jenis Kayu Sampel

Berat awal

Sampel (W0)

Berat (gr)

oven2 jam ke-1(W1)

Berat (gr)

oven2 jam ke-2(W2)

Berat (gr)

oven2 am ke-3(W3)

Berat (gr)

oven2 am ke-4(W4)

Berat (gr)

oven2 jam ke-5(W5)

Kadar Air W0 - W2w = x 100% W0

1 A A1 (5,04X4,85X4,85) 65,92 63,92 61,40 60,26 60,25 60,25 0,08

A2(4,95X5X4,8) 63,11 60,90 59,76 58,57 58,55 58,55 0,079

A3(5X4,85X4,85) 73,42 70,85 68,91 67,51 67,50 67,50 0,081

2 B B1(5X4,9X4,8) 36,09 33,84 33,33 32,98 32,98 - 0,086

B2(5X4,9X4,825) 36,65 34,45 33,63 33,56 33,56 - 0,084

B3(4,9X4,82X4,85) 34,69 32,61 31,88 31,53 31,53 - 0083

3 C C1(4,95X4,8X4,9) 62,36 58,35 55,99 55,40 54,21 54,21 0,13

C2(4,95X4,87X4,85) 56,94 54,18 51,97 50,67 50,65 50,65 0,10

C3(4,95X4,85X4,8) 56,6 53,2 51,89 51,13 51,10 51,10 0,12

4 D D1(4,955X4,825X4,955) 61,55 58,04 56,50 55,56 55,54 55,54 0,097

D2(4,955X4,955X4,9) 60,82 56,93 54,91 53,99 53,97 53,97 0,096

D3(4,9X4,95,4,955) 60,87 57,73 56,24 54,63 54,61 54,61 0,098

5 E E1(4,955X4,86C4,86) 58,69 56,00 52,93 50,35 50,33 50,33 0,14

E2(4,955X4,86X4,86) 61,35 58,41 54,98 52,45 52,43 52,43 0,12

E3(4,95X4,9,4,85) 73,16 68,95 64,69 60,91 60,90 60,90 0,10

Page 114: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

100 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Tabel 3. Hasil Pengujian Kerapatan/DensitasTanggal: 2 September 2015

Tempat: Laboratorium Struktur dan Bahan ITB

No. Jenis Kayu Sampel Berat (gr) awalSampel (m) Densitas ( r ) dengan rumus

1 A A1 (5,04X4,85X4,85) 65,92 0,62736

A2(4,95X5X4,8) 63,11 0,60488

A3(5X4,85X4,85) 73,42 0,68736

2 B B1(5X4,9X4,8) 36,09 0,298

B2(5X4,9X4,825) 36,65 0,303

B3(4,9X4,82X4,85) 34,69 0,321

3 C C1(4,95X4,8X4,9) 62,36 0,502

C2(4,95X4,87X4,85) 56,94 0,513

C3(4,95X4,85X4,8) 56,6 0,512

4 D D1(4,955X4,825X4,955) 61,55 0,520

D2(4,955X4,955X4,9) 60,82 0,516

D3(4,9X4,95,4,955) 60,87 0,501

5 E E1(4,955X4,86C4,86) 58,69 0,612

E2(4,955X4,86X4,86) 61,35 0,610

E3(4,95X4,9,4,85) 73,16 0,601

Hasil Uji Sifat Mekanis adalah sebagai berikut:Uji mekanis yang telah dilakukan terhadap material kayu cepat tumbuh yang akan digunakan sebagai elemen struktur bangunan tahan gempa yaitu:1. Uji Tarik 2. Uji Geser3. Uji Tekan

mr = v

Page 115: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 101

Dengan hasil yang dapat dilihat dalam 3 grafik berikut :

Gambar 1.4. Grafik 3 Uji Sifat Mekanis

Page 116: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

102 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Tabel 4. Konversi Nilai Sifat Fisis dan Mekanis Berdasarkan Eurocode

A. Surian Timber

Properties Eurocode Formula Test value Converted Value

Compression (KN) 7,2f 0,45 17.5 26.10355266

Shear (KN) 0,32f 0,8 20.5 3.585527578

Density (gr/cm3) 1,1ρ 0.67 0.737

Tension (KN) 5 + 0,8f 1.6 6.28

B. Jabon Timber

Properties Eurocode Formula Test value Converted Value

Compression (KN) 7,2f 0,45 15.33 24.59384695

Shear (KN) 0,32f 0,8 3.03 0.776790814

Density (gr/cm3) 1,1ρ 0.31 0.341

Tension (KN) 5 + 0,8f 0.5 5.4

C. Manglid Timber

Properties Eurocode Formula Test value Converted Value

Compression (KN) 7,2f 0,45 21.67 28.73882491

Shear (KN) 0,32f 0,8 9.4 1.921552529

Density (gr/cm3) 1,1ρ 0.51 0.561

Tension (KN) 5 + 0,8f 1.925 6.54

D. Tisuk Timber

Properties Eurocode Formula Test value Converted Value

Compression (KN) 7,2f 0,45 20.02 27.73264736

Shear (KN) 0,32f 0,8 8.7 19.05970437

Density (gr/cm3) 1,1ρ 0.56 5.546475623

Tension (KN) 5 + 0,8f 1.89 9.588271177

E. Gmelina Timber

Properties Eurocode Formula Test value Converted Value

Compression (KN) 7,2f 0,45 17.1 25.83335108

Shear (KN) 0,32f 0,8 19.9 27.65772033

Density (gr/cm3) 1,1ρ 0.61 5.764092242

Tension (KN) 5 + 0,8f 1.5 8.641190172

3. KESIMPULAN

1. Diantara 5 Jenis Kayu cepat tumbuh yang diteliti kayu Surian dan kayu Gmelina memiliki nilai Kuat Tarik sejajar serat, kuat tekan sejajar serat dan kuat geser sejajar serat yang tertinggi.

2. Densitas yang tertinggi diperoleh pada kayu Surian yaitu antara 0,67 kg/cm3 dan kayu Gmelina yaitu 0,61 kg/cm3 disusul oleh kayu Manglid dan Tisuk dengan Densitas 0.51 kg/cm3 dan 0,56 kg/cm3.

3. Kadar air rata-rata tertinggi ada pada kayu Gmelina yaitu 12%.4. Berdasarkan Eurocode maka kayu cepat tumbuh yang layak untuk dijadikan komponen struktur bangunan

tahan gempa setelah dilaminasi adalah kayu Surian, kayu Gmelina dan kayu Manglid dan Kayu Tisuk.

4. PENELITIAN YANG AKAN DILAKUKAN SELANJUTNYA

1. Penelitian selanjutnya akan dilakukan uji terhadap kelenturan kayu untuk mengetahui fleksibilitas material kayu terhadap goyangan gempa.

2. Uji Siklik terhadap elemen struktur berupa sambungan Balok Kolom juga akan dilakukan untuk

Page 117: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 103

mengetahui seberapa besar beban siklik yang merupakan representasi dari beban gempa yang mampu ditahan oleh struktur bangunan, mengingat sambungan balok kolom merupakan titik paling kritis pada bangunan karena adanya gaya geser yang besar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 2000. ASTM D143-94 (Reapprove 2000), Standard Test Methods for Small Clear Specimens of Timber.

2. Anonim. 2007. Japanese Agricultural Standard (JAS) for Glued Laminated Timber. Ministry of Agriculture, Forstry and Fisheries of Japan.

3. Anonim. 2005. Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang di pilih secara masinal. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum.

4. Anonim, SNI 7023: 2013.5. Anonim, 2009. Kementerian Kehutanan. Produksi HTI kayu dan pembangunan areal penanaman tahun

2007 dan 2008.Anonim, 2010. Badan Pusat Statistik. Jumlah Penduduk Indonesia. 6. Dimyati M. 2011, Kebutuhan Rumah Penduduk di Indonesia.7. Smith T, et al. 2012. Seismic Peformance of a Post-Tensioned Glue Lamnated Beam to Column Joint:

Experiental and Numerical Results. World Conference on Timber Engineering. Auckland, 16-19 Juli 2012.8. Sugiri S, et al. 2013. Mapping of Indonesian Timber: Potential of Glulam Wooden Beams without

Reinforcment ang with Reinforcement for Timber Structures. The Second international Conference on Sustainable Infrastructure and Built Environment, Bandung 19-20 November 2013.

9. Vinci L D, 2008, Handbook2 Design of Timber Structures according to EC 5, Educational Material for Designing and Testing of Timber Structure- TEMTIS.

Page 118: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

104 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

EVALUASI PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR DI KABUPATEN SITUBONDO: TINJAUAN TERHADAP KOMITMEN PEMERINTAH

KABUPATEN SITUBONDO DALAM PENANGGULANGAN BENCANADAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Oleh:Hadi Wijono1, Hary Yuswadi2, dan Syamsul Maarif2

1Program Doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember dan Dosen Unars Situbondo Jl. PB Sudirman No. 7 Situbondo 68312

2Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas JemberJl. Kalimantan Kamus Tegalboto Jember 68121

Abstrak

Kajian dalam artikel ini difokuskan pada seberapa jauh upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Situbondo, dan stakeholders dalam upaya penanggulangan bencana banjir di Kabupaten Situbondo yang komprehensif dan berbasis berbasis pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh penulis, penyebab bencana banjir di Kabupaten Situbondo disebabkan oleh tiga aspek, antara lain: 1). Faktor alam, 2). Faktor manusia, dan 3). Faktor mismanagement. Dari ketiga faktor tersebut, faktor mismanagement-lah penyebab utama kurang optimalnya penanggulangan bencana banjir di Kabupaten Situbondo saat ini. Yang dimaksud dengan mismanagement adalah kurang tanggap dan kurang efisiennya sistem penanggulangan bencana banjir yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Situbondo, dan kurang tepatnya pengelolaan DAS oleh satkeholders lain, dengan belum berpinsip pada one river, one plan, and one integrated management. Mismanagement dalam kajian ini, disebabkan antara lain: Pertama, tidak adanya peraturan daerah tentang penanggulangan bencana yang berbasis kearifan lokal. Kedua, belum adanya komitmen yang sungguh- sungguh dari bupati untuk menjadikan penggulangan bencana sebagai salah satu prioritas program pembangunan. Ketiga, tidak optimalnya peran BPBD Kabupaten Situbondo dalam penanggulangan bencana, khususnya bencana banjir. Keempat, kurang terbukanya Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam melibatkan stakeholders dalam kegiatan kebencanaan apakah pada tahap pra, saat maupun pasca bencana. Kelima, rendahnya partisipasi stakeholders dalam penanggulangan bencana banjir. Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan sulit terwujudnya tata kelola kebencanaan yang berbasis pembangunan berkelanjutan, yang sesuai dengan kebutuhan dan kehendak masyarakat.

Kata kunci: Pemerintah, bencana, dan pembangunan berkelanjutan.

1. INTEGRASI ANTAR PARA PIHAK DALAM PENAGGULANGAN BENCANA BANJIR: TELAAH TERHADAP REALITAS

Bencana banjir yang sering melanda Kabupaten Situbondo, secara umum disebabkan perubahan alam yang drastis, tingginya kepadatan penduduk, banyaknya permukiman di sekitar aliran sungai, banyaknya perubahan peruntukan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, serta berkurangnya kapasitas infrastruktur pengendalian banjir. Memang disadari atau tidak bencana banjir tidak dapat sepenuhnya dicegah, akan tetapi banyak hal, yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan para pihak untuk meminimalisir dampak dari bencana banjir. Terkait dengan perspektif tersebut, maka penanganan bencana banjir harus dilakukan secara komprehensif, terutama oleh pemerintah. Penanganan bencana banjir secara komprehensif dapat dilakukan dengan tiga tahapan, antara lain: Pertama, tahapan sebelum terjadinya bencana. Kedua tahapan saat terjadinya bencana, dan ketiga, tahapan sesudah terjadinya bencana. Dengan pola penanganan

Page 119: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 105

tersebut, potensi penanggulangan bencana banjir dapat diantisipasi dan diminimalisir. Terlebih karakteristik bencana banjir di Kabupaten Situbondo bersifat lokal, sehingga penanganannya lebih fokus pada satu wilayah saja.

Salah satu fokus yang harus dilakukan, utamanya oleh Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam penanggulangan bencana banjir adalah dengan melakukan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) bersama para pihak, seperti diketahui penyebab bencana banjir bandiang di Kabupaten Situbondo tahun 2003, 2005 dan 2008 adalah buruknya pengelolaan pada DAS Sampean, sehingga menyebabkan bencana banjir bandang. Terulangnya kasus banjir bandang di Kabupaten Situbondo jelas sekali menunjukkan kurang komitmennya Pemerintah Kabupaten Situbondo dan para pihak dalam melakukan langkah antisipasi penanggulangan bencana banjir. Konsep one river, one plan and one integrated management, sebagai bentuk pengelolaan DAS yang terintegrasi guna menghindari Kabupeten Situbondo dari bencana banjir kerap kali berhadapan dengan sikap ego sektoral para pemangku kepentingan. Padahal pengelolaan DAS yang buruk selama ini merupakan pangkal utama bencana banjir di Kabupaten Situbondo. Berdasarkan kerangka uraian di atas, maka artikel ini akan membahas tentang “Evaluasi penanggulangan bencana banjir di Kabupaten Situbondo”.

2. EVALUASI PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR DI KABUPATEN SITUBONDO DAN KOMITMEN PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

Berdasarkan data Badan Nasional Penaggulangan Bencana (BNPB) tahun 2012, Kabupaten Situbondo termasuk daerah dengan potensi rawan bencana, salah satunya adalah bencana banjir, masih menurut data BNPB, potensi bencana banjir Kabupaten Situbondo termasuk daerah dengan kategori tinggi, sehingga tidak mengherankan apabila setiap tahun Kabupaten Situbondo terkena bencana banjir, sehingga menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar masyarakatnya.

Faktor kenapa Kabupaten Situbondo sering terkena bencana banjir? Penyebab dari hal tersebut secara umum disebabkan oleh 2 (dua) faktor, antara lain: Faktor alam (natural disaster), dan faktor ulah manusia (man made disaster), kedua faktor tersebut memberikan kontribusi yang signifikan bagi terjadinya bencana banjir di Kabupaten Situbondo. Untuk merinci masing- masing faktor tersebut penulis sudah melakukan kajian, Pertama, faktor alam (natural disaster). Kabupaten Situbondo merupakan daerah yang dialiri oleh beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS), salah satunya adalah DAS Sampean. DAS Sampean merupakan aliran sungai terbesar di Kabupaten Situbondo tersebut memiliki potensi yang baik bagi bidang irigasi dan pertanian bagi masyarakat Situbondo. Namun di sisi yang lain DAS Sampean juga berpotensi sebagai bencana. Hal tersebut disebabkan daya tampung DAS yang tidak memadai.

Berdasarkan data yang ditemukan oleh penulis, komposisi sedimentasi di Sungai Sampean, saat dinormalisasi tahun 2002 adalah 20 meter. Namun di tahun 2008 kedalamannya kurang dari 10 meter. Akibatnya, volume tampung DAM Sampean yang didesain 1,5 juta meter kubik, tinggal 60 persen yang mampu terserap. Kondisi ini jelas berbahaya bagi terjadinya bencana banjir. Namun, sampai sekarang pemerintah belum membangun sistem pengendali banjir di DAS Sampean, akibat dari komposisi DAS di bawah standar mengakibatkan debit banjir di Kota Situbondo pada 8 Februari 2008 sebesar 2.480 meter kubik per detik. Daya dukung alam DAS Sampean yang rendah, menyebabkan jika turun hujan deras cukup lama di hulu, tanah tidak mampu menyerap, sehingga hujan langsung masuk ke sungai dan mengalir sangat deras ke muara dan tidak jarang hal tersebut berakhir dengan bencana banjir bandang.

Kedua, faktor ulah manusia (man made disaster). Penyebab terjadinya bencana banjir bukan hanya disebabkan oleh faktor alam semata, namun karena ulah manusia seperti perilaku membuang sampah sembarangan, bantaran sungai dijadikan tempat permukiman, hulu sungai dijadikan kawasan budi daya dan lainnya. Kedua faktor di atas terbukti menyebabkan banjir berulang kali terjadi di Kabupaten Situbondo, yang terparah terjadi 2003, 2005, dan pada 16 Januari 2008 dan 8 Februari 2008, di mana terjadi bencana banjir bandang yang disebabkan oleh tidak muatnya daya tampung DAS Sampean, banjir bandang bukan hanya menyebabkan sawah tergenang sehingga tidak dapat dipanen, meluluhlantakkan perumahan dan permukiman tetapi juga merusak fasilitas pelayanan sosial ekonomi masyarakat, prasarana publik serta bahkan menelan korban jiwa, yang terjadi di 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Situbondo, antara lain: Kecamatan Situbondo, Kecamatan Bungatan, Kecamatan Mlandingan, Kecamatan Panji dan Kecamatan Panarukan, akibat banjir bandang juga menyebabkan terputusnya jalur Situbondo-Banyuwangi. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Page 120: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

106 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Tabel. 1 Kerusakan dan Korban Jiwa Akibat Bencana Banjir Tahun 2008

No. Tempat Kerusakan/ Korban Jiwa Jumlah

1 Kecamatan Situbondo Dinas Kesehatan 1 Unit

RS. Elisabeth 1 Unit

Puskesmas Pembantu 1 Unit

Rumah Rusak 500 Unit

Meninggal 4 Orang

2 Kecamatan Bungatan Rumah Rusak 100 Unit

3 Kecamatan Mlandingan Rumah Rusak 22 Unit

Meninggal 1 Orang

4 Kecamatan Panji Rumah Rusak 100 Unit

Meninggal 1 Orang

Puskesmas pembantu 1 Unit

5 Panarukan Rumah Rusak 200 Unit

Meninggal 5 Orang

Sumber: Departemen Kesehatan RI, Februari 2008.

Banyaknya korban jiwa dan harta benda masyarakat yang rusak dan hanyut pada bencana banjir bandang tersebut membuktikan bahwa Pemerintah Kabupaten Situbondo kurang berkomitmen dalam penanggulangan bencana banjir, sehingga menyebabkan proses antisipasi dan penanganannya bencana banjir menjadi sangat buruk dalam penanganannya. Ketidaksiapan Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam mengantisipasi hal tersebut disebabkan karena pemerintah daerah tidak mempunyai perencanaan dan manajemen bencana yang berkelanjutan. Oleh karena itu, penulis melihat lemahnya komitmen Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam kasus penaggulangan bencana banjir, menjadi penyebab lain, bahkan utama dalam penanggulangan bencana banjir di Kabupaten Situbondo selama ini. Lemahnya komitmen Pemerintah Kabupaten Situbondo berdampak pada terjadinya mismanagement pada kebijakan dan pengelolaan penanggulangan bencana banjir.

Bahkan Badan Penggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai penggung jawab teknis kebencanaan yang bertugas menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana sesuai dengan peraturan perundang - undangan, juga terkesan tidak mampu optimal dalam menjalankan fungsinya, bahkan cenderung saling lempar tanggung jawab dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang lain, sehingga dampaknya banyak korban yang tidak tertangani secara maksimal baik pada sisi kesehatan pada korban maupun pada sisi rekonstruksi tempat tinggal dan fasilitas umum yang rusak. Berikut lokasi banjir di Kabupaten Situbondo:

Gambar 1. Peta Lokasi Banjir di Kabupaten Situbondo.Sumber: BNPB Kabupaten Situbondo.

Page 121: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 107

Kekurangsigapan Pemerintah Kabuapaten Situbondo, khususnya BPBD dalam menangani dampak bencana banjir, menjadi salah satu hal yang sering dikeluhkan oleh masyarakat yang tertimpa bencana banjir. Karena terkesan penaganannya masih bersifat parsial, dengan hanya pendekatan tanggap darurat (emergency response) saja, sehingga banyak aspek lain yang sengaja ditinggalkan, misalnya pemulihan sosial psikologis korban, rekonsiliasi dan resolusi konflik. Ditambah lagi terlalu panjang dan berliku-likunya proses birokrasi juga kadang memperlambat penanganan bencana. Apabila merujuk pada Undang-undang (UU) No. 24 Tahun 2007 Tentang Penaggulangan Bencana sudah jelas, bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan berorientasi pada penanggulangan bencana baik sebelum, saat dan pascabencana. Secara eksplisit ditegaskan di dalam pasal 6, bahwa Pemerintah (pusat maupun daerah) dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana harus meliputi: pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; 1. Perlindungan masyarakat dari dampak bencana.2. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai

dengan standar pelayanan minimum.3. Pemulihan kondisi dari dampak bencana.4. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

yang memadai.5. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai.6. Pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.

Harusnya dengan gambaran tersebut, persoalan di atas tidak perlu terjadi lagi. Karena UU tersebut sudah memberikan pedoman kepada Pemerintah Kabupaten Situbondo untuk bertindak secara lebih tanggap dan proporsional sesuai kebutuhan lokal yang ada, dengan melalui proses antisipasi bencana dan rehabilitasi serta rekonstruksi. Namun proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh BPBD Kabupaten Situbondo masih belum dilakukan secara komprehensif. Ketidak menyeluruhan proses rehabilitasi dan rekonstruksi terlihat dari pengamatan penulis pada saat melakukan penelitian, misalnya: a. Proses rehabilitasi yang dilakukan oleh BPBD Kabupaten Situbondo hanya sampai pada perbaikan

lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana, sarana umum, pelayanan kesehatan, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.dan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat. Sedangkan pemulihan sosial psikologis korban, rekonsiliasi dan resolusi konflik masyarakat, pemulihan sosial ekonomi budaya masih belum dilakukan. Padahal pemulihan traumatic mayarakat harusnya menjadi prioritas yang tak kalah penting dari sekedar perbaikan fisik.

b. Proses rekonstruksi yang dilakukan oleh BPBD Kabupaten Situbondo melalui kegiatan pembangunan, sebagai tindak lanjut dari proses rehabilitasi, namun nampaknya, hanya berhenti pada pembangunan kembali prasarana dan sarana fisik. Sedangkan persoalan traumatic korban cenderung diabaikan, padahal keterlibatan para pihak dalam urusan penggulangan traumatic korban, animonya tinggi, tetapi tidak diberikan ruang yang cukup oleh pemerintah. Sesungguhnya hal tersebut merupakan momentum sinergi antara pemerintah dan para pihak dalam penyelengaraan pemerintahan, guna menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan, akuntabel dan partisipatif (Fernanda dan Suhady: 2001).

Kurang tanggapnya pemerintah, dalam hal ini kalangan birokrasi pemerintahan menimbulkan kecurigaan banyak kalangan, bahwa sesungguhnya penanganan bencana merupakan “berkah” bagi sebagian birokrasi pemerintahan, dengan menjadikan itu sebagai “proyek”. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila proses rehabilitasi dan rekonstruksi lebih berorientasi pada pembangunan fisik semata. Sehingga pembagunan non fisik seperti pemulihan sosial psikologis korban, rekonsiliasi dan resolusi konflik masyarakat, pemulihan sosial ekonomi budaya terabaikan. Sehingga tidak jarang proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh BPBD dan SKPD lain sering terjadi konflik kepentingan (conflict of interest), apakah terkait kewenangan maupun terkait lahan garapan.

Padahal untuk menciptakan optimalisasi pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi perlu keterlibatan SKPD lainnya untuk menopang kekurangan yang dimiliki BPBD di satu sisi, di sisi yang lain hal tersebut merupakan tugas BPBD untuk melakukan koordinasi dengan SKPD terkait. Namun lagi- lagi hal tersebut juga tidak berjalan secara baik. Dengan kondisi yang demikian peran Bupati sebagai kepela daerah nampaknya terkesan membiarkan hal tersebut terjadi. Bencana banjir yang terus terulang tiap tahun, tidak cukup menjadi pembelajaran bagi bupati dan aparatur dibawahnya untuk bersikap responsif.

Kebijakan penanggulangan bencana banjir yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Situbondo yang cenderung sektoral, sentralistik dan top-down, tanpa melibatkan para pihak secara optimal, tidak

Page 122: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

108 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintah yang (good governance). Di mana dalam prisnsip tata kelola pemerintah yang (good governance) aktor pembangunan disamping pemerintah juga ada pihak swasta dan civil society. Harusnya keterlibatan para pihak dalam tahapan kebijakan merupakan salah satu poin penting dalam agenda evaluasi kebijakan. Maka oleh karena itu, kelemahan dalam penaggulangan bencana di atas, harus diperbaiki dengan diawali oleh perumusan/formulasi kebijakan yang melibatkan banyak para pihak. Hal tersebut penting untuk menghindari kekeliruan dalam kebijakan. Karena apabila terjadi kekeliruan akan menyebabkan berbagai kepentingan individu/kelompok masuk dan mendominasi, sehingga kebijakan tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan negatif.

Secara umum penanggulangan bencana banjir yang selama ini, hanya melulu berbasis pembangunan fisik (structural approach), namun juga kurang optimal. Harus disinergikan dengan pembangunan non fisik (non-structural approach) yang menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya partisipasi para pihak, dengan menempatkan para pihak pada porsi yang sesuai. Keterlibatan para pihak pada tahapan evaluasi kebijakan. Tahap evaluasi kebijakan penanggulangan bencana banjir merupakan bagian strategis untuk tercapainya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang bertujuan sebagai evalusai dan perbaikan keadaan sosial ekonomi pihak-pihak yang berkepentingan dengan tidak mengabaikan keterlanjutan daya dukung dan kualitas lingkungan.

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa proses evaluasi kebijakan akan berlangsung dengan efektif apabila disertai pedoman kerja yang berisi prinsip-prinsip formulasi, antara lain:1. Tujuan atau sasaran utama kebijakan penanggulangan bencana banjir secara menyeluruh harus

dievaluasi secara jelas dengan disertai mekanisme sistem monitoring dan evalusi yang dilakukan secara periodik. Dengan demikian, apabila ditemukan adanya dampak lingkungan yang cukup serius dapat segera ditangani secara dini, serta seluruh usulan kegiatan dan hasil yang diperoleh harus berorientasi pada pembangunan jangka panjang.

2. Perlu disiapkan mekanisme administrasi yang efisien dengan fokus perhatian pada aspek- aspek sosial, ekonomi, politik dan kerjasama yang harmonis di antar institusi (pemerintah, swasta dan civil society) sehingga proses evaluasi kebijakan dapat terkoordinasi secara efektif dan dapat mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

3. Penanggulangan bencana banjir secara menyeluruh diarahkan pada penyelesaian konflik yang muncul di antara pihak (pemerintah, swasta dan civil society) yang berkepentingan dalam melaksanaan pembangunan. Apabila konflik sudah terjadi maka diperlukan kompromi yang berlandaskan atas kepentingan masyarakat dan apabila kompromi sudah dicapai di antara kelompok yang mengalami konflik, maka harus ada komitmen untuk saling menghormati dan dilaksanakan dengan konsisten. Selain masalah penyelesaian konflik (conflict resolution), pendekatan menyeluruh penanggulangan bencana banjir juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip upaya pengendalian dan proses umpan balik yang mengarah pada proses pengambilan keputusan yang optimal dengan melibatkan pemerintah, swasta dan civil society.

4. Evaluasi kebijakan yang telah tersusun harus merupakan dokumen publik yang diumumkan (bisa diakses) secara terbuka oleh kalangan para pihak, serta kalangan para pihak berhak memberikan masukan serta keberatan. Dengan demikian konsensus dapat berjalan secara dua arah untuk mendapatkan masukan yang optimal.

Prinsip di atas menjadi penting bagi proses penangggulangan bencana banjir di Kabupaten Situbondo, karena selama ini penanggulangan bencana banjir di Kabupaten Situbondo, hanya mengacu pada Undang- undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, masih belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Situbondo, sebagai payung hukum yang lebih operasional berdasarkan atas kondisi dan kebutuhan lokal. Padahal menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah daerah diwajibkan membuat peraturan perundang- undangan di tingkat daerah untuk menanggulangi bencana, apakah itu dalam wujud Peraturan daerah, peraturan bupati atau produk hukum daerah lainnya. Peraturan tersebut menjadi penting guna memberikan dampak positif bagi kepentingan masyarakat, karena akan mendatangkan pengaruh ketika kebijakan di evaluasi, apakah berdampak positif maupun negatif (Soenarko: 2005).

3. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penanganan bencana banjir di Kabupaten Situbondo masih belum optimal, sebab utama dari kurang optimal dan komitmen Pemerintah Kabupaten Situbondo terlihat sebagai berikut:

Page 123: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 109

1. Tidak adanya peraturan daerah tentang penanggulangan bencana yang berbasis kearifan lokal. 2. Belum adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari bupati untuk menjadikan penggulangan bencana

sebagai salah satu prioritas program pembangunan. 3. Tidak optimalnya peran BPBD Kabupaten Situbondo dalam penggulangan bencana, khususnya bencana

banjir. 4. Kurang terbukanya Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam melibatkan stakeholders dalam kegiatan

kebencanaan apakah pada tahap pra, saat maupun pascabencana. 5. Rendahnya partisipasi para pihak dalam penanggulangan bencana banjir.Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan sulit terwujudnya tata kelola kebencanaan yang berbasis pembangunan berkelanjutan, yang sesuai dengan kebutuhan dan kehendak masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arie Priambodo, S., (2009). Panduan Praktis Menghadapi Bencana. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.2. BNPB. (2011). Indeks Rawan Bencana. Jakarta. 3. Departemen Kehutanan (2009). Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Sampean. Bondowoso: Balai

Pengelolaan DAS Sampean.4. Depkes RI. (Februari 2008). Banjir Bandang di Kabupaten Situbondo Mengakibatkan 11 Orang Meninggal

Duna. Diambil pada tanggal 10 Desember 2010 dari http://www.ppk-depkes.org.5. Dinas Kehutanan (2009). Kebijakan Pembangunan Kehutanan Provinsi Jawa Timur Tahun 2009.

Surabaya: Dinas Kehutanan-Pemprov Jatim.6. Fernanda, D. dan Suhady, I. 2001. Dasar-dasar Kepemerintahan yang Baik. Jakarta: Lembaga Administrasi

Negara. 7. Soenarko SD. MPA. Drs. 2005. Public Policy: Pengertian Pokok untuk Memahami dan Menganalisa

Kebijaksanaan Pemerintah. Airlangga University Press, Surabaya.

Page 124: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

110 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

KARAKTERISTIK TEMPORAL DAN SPASIAL CURAH HUJAN PENYEBAB BANJIR DI WILAYAH DKI JAKARTA DAN SEKITARNYA

Oleh:Destianingrum Ratna Prabawardani1, Budi Harsoyo2, Tri Handoko Seto3 dan M. Bayu Rizky4

1Perekayasa Pertama di Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Gedung Ir. Soebagio, Kompleks Geostech, Kawasan Puspiptek,

Serpong Tangerang Selatan 15314, IndonesiaEmail: [email protected]

2Peneliti Muda di Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Gedung Ir. Soebagio, Kompleks Geostech, Kawasan Puspiptek,

Serpong Tangerang Selatan 15314, IndonesiaEmail: [email protected]

3Peneliti Madya di Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Gedung Ir. Soebagio, Kompleks Geostech, Kawasan Puspiptek,

Serpong Tangerang Selatan 15314, IndonesiaEmail: [email protected]

4Perekayasa Pertama di Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Gedung Ir. Soebagio, Kompleks Geostech, Kawasan Puspiptek,

Serpong Tangerang Selatan 15314, IndonesiaEmail: [email protected]

Abstrak

Curah hujan merupakan faktor utama penyebab banjir, tidak terkecuali banjir di wilayah DKI Jakarta. Oleh karena itu, karakteristik curah hujan perlu dipelajari untuk tujuan mitigasi bencana banjir di wilayah Ibukota. Kegiatan riset IOP (Intensive Observation Period) yang telah dilaksanakan oleh BPPT dan BMKG pada tanggal 18 Januari 2016 hingga 16 Februari 2016 bertujuan untuk mengetahui karakteristik atmosfer yang menyebabkan cuaca ekstrim di sekitar wilayah DKI Jakarta. Tulisan ini secara lebih spesifik membahas karakteristik curah hujan dari data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, untuk mengetahui bagaimana distribusinya baik secara temporal maupun spasial. Dari hasil pengamatan selama periode kegiatan IOP dapat diketahui bahwa secara temporal distribusi curah hujan yang memiliki intensitas tinggi terjadi pada siang hari (mulai pukul 13.00 WIB) hingga malam hari (pukul 24.00 WIB) dengan intensitas tertinggi terjadi pada rentang waktu antara pukul 13.00 sampai dengan 18.00 WIB. Secara spasial total hujan tertinggi selama periode IOP terpusat di daerah sekitar perbatasan antara Provinsi DKI Jakarta (Jakarta Selatan), Provinsi Jawa Barat (Depok), dan Provinsi Banten (Kota Tangerang Selatan) dengan total curah hujan berkisar antara 600 mm hingga lebih dari 650 mm. Suplai utama curah hujan terbesar adalah hujan-hujan yang terjadi di daerah Selatan hingga tengah bagian Provinsi DKI Jakarta.

Kata kunci: Curah Hujan, Banjir, Intensive Observation Period.

1. PENDAHULUAN

Jakarta sebagai ibukota negara menjadi salah satu jantung nadi ekonomi utama di Indonesia.Oleh karena itu, bencana banjir yang sering melanda wilayah DKI Jakarta setiap kali musim hujan tiba tidak hanya mencoreng citra kota Jakarta sebagai ibukota negara di mata dunia, tetapi juga kerap melumpuhkan sektor ekonomi nasional.

Banjir Jakarta merupakan permasalahan kompleks. Ada banyak faktor penyebabnya, mulai dari aspek geologi dan geomorfologi wilayah Jakarta yang merupakan daerah cekungan dan dataran banjir, morfometri ke-13 aliran sungai yang melintas di wilayah Jakarta, hingga kepada infrastruktur dan perilaku

Page 125: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 111

sosial warganya yang kerap membuat upaya mitigasi banjir menjadi sulit untuk diimplementasikan. Dari sekian banyak faktor penyebab banjir tersebut, perlu disadari bahwa secara hakiki sebenarnya faktor utama penyebab banjir adalah curah hujan.Tidak mungkin terjadi banjir jika tidak pernah terjadi hujan.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi banjir di wilayah Ibukota. Salah satu terobosan yang telah dilakukan dalam upaya mitigasi banjir di wilayah Ibukota adalah melalui aplikasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Dengan kemampuannya untuk melakukan rekayasa cuaca, TMC telah dua kali dimanfaatkan (tahun 2013 dan 2014) untuk tujuan mengurangi intensitas curah hujan selaku faktor utama penyebab banjir di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Pelaksanaan rekayasa cuaca saat berlangsungnya periode puncak musim hujan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya diharapkan mampu mengurangi potensi banjir dan menekan potensi kerugian yang dapat timbul akibat banjir. Dari kedua pengalaman pelaksanaan TMC pada tahun 2013 dan 2014, TMC terbukti mampu memindahkan distribusi curah hujan berintensitas tinggi jauh dari wilayah Ibukota dan terhitung mampu mengurangi intensitas curah hujan di wilayah DKI Jakarta sekitar 30%.

Hujan merupakan salah satu variabel kunci untuk siklus air dan keseimbangan energi bumi, juga berperan penting dalam monitoring terkait dengan bencana alam dan pengelolaan sumber daya air. Saat ini, banyak model iklim global memprediksi bahwa perubahan iklim akan mengubah pola spasial presipitasi pada skala global dan menunjukkan perubahan yang umum akan terjadi pada waktu dan jumlah hujan yang diberikan (Cai, dkk. 2015).

Presipitasi memberikan efek yang utama pada ekosistem bumi, dan siklus hidrologi. Pengukuran presipitasi yang akurat penting untuk mengetahui pola spasial dari hujan pada skala regional. Mempunyai data hujan yang akurat akan meningkatkan pemahaman efek presipitasi pada hidrologi dan perubahan iklim. Secara tradisional, penakar hujan adalah hal yang utama atau bahkan satu-satunya untuk mendapatkan curah hujan yang detail. Bagaimanapun juga, keterbatasan pengukuran penakar hujan membatasi pemahaman mengenai presipitasi: salah satu representasi spasial yang tidak memadai, yang berarti pengukuran curah hujan langsung pada satu stasiun umumnya tidak berguna saat estimasi curah hujan areal dan pola spasial di area yang luas, lainnya dalah distribusi yang jarang pada pegunungan dan yang tidak tersedia di lautan (Cai, dkk. 2015).

Saat ini, ada tiga macam sumber daya yang dapat digunakan untuk menghitung curah hujan: penakar hujan, radar berbasis di darat, dan satelit penginderaan jauh. Pemantauan curah hujan in situ akurat dan dapat dipercaya, tetapi biasanya ada keterbatasan kegunaannya dalam skala spasial dan global karena variabilitas curah hujan temporal dan spasial yang tinggi. Radar di darat (ground based radar) dapat digunakan untuk memperkirakan distribusi spasial dari intensitas curah hujan dalam awan, dimana bisa terintergrasi secara elektronik untuk menyediakan perkiraan jumlah intensitas curah hujan pada periode waktu kapanpun.

Observasi dari radar di darat dapat mencerminkan distribusi temporal dan spasial dari curah hujan, sementara area yang termasuk dalam cakupan radar terbatas dan tidak ada jaringan yang sempurna untuk berbagai negara. Dengan perkembangan yang sangat cepat pada teknologi penginderaan jauh saat ini, penginderaan jauh microwave cocok digunakan untuk mendapatkan cakupan hujan temporal dan spasial karena keterjangkauannya secara global dan frekuensi pengukurannya. Berbagai satelit curah hujan menghasilkan dengan resolusi spasial dan temporal yang berbeda-beda. Satelit mempunyai bias dan eror yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti frekuensi sampling, ketidakseragaman cara pandang sensor, dan ketidakpastian perbaikan algoritma hujan (Gu, dkk. 2010).

Salah satu data penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk monitoring curah hujan adalah data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission). Satelit TRMM ini merupakan misi antara NASA dan JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) untuk pengukuran curah hujan di wilayah tropis. TRMM dirancang khusus untuk mengukur curah hujan di daerah tropis dan subtropis, serta memberikan informasi tentang ketinggian atmosfer dimana pemanasan dan pendinginan yang terkait dengan hujan sedang berlangsung.

Perkiraan panas yang dilepaskan ke atmosfer pada ketinggian yang berbeda berdasarkan pada pengukuran dapat digunakan untuk meningkatkan model sirkulasi atmosfer global. Model ini yang kemudian akan memberikan nilai estimasi curah hujan pada satelit TRMM. TRMM adalah sebuah alat yang mengukur radiasi yang diemisikan oleh zat cair atau yang dihamburkan oleh es di awan. Radiasi ini diterima sebagai sinyal-sinyal yang kemudian sinyal-sinyal ini dapat dikonversi menjadi jumlah curah hujan.

Guna memperoleh karakteristik cuaca ekstrim penyebab banjir di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, BPPT dan BMKG selama sebulan penuh sejak 18 Januari - 16 Februari 2016 telah melakukan kegiatan observasi beberapa parameter atmosfer secara intensif (Intensive Observation Period; IOP) selama periode musim hujan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Pengamatan yang dilakukan selama pelaksanaan

Page 126: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

112 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

kegiatan riset bersama tersebut setiap harinya dilakukan selama 24 jam nonstop. Pengamatan dilakukan dari dua lokasi, yaitu di Kawasan Geostech (Serpong) dan di Stasiun BMKG Dermaga (Bogor), dengan menggunakan peralatan mobile radar, radiosonde, radiometer, microrain radar, dan AWS.

Tulisan ini membahas karakteristik curah hujan di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya berdasarkan data yang terkumpul selama periode pelaksanaan IOP. Secara lebih spesifik, analisis curah hujan dilakukan melalui pendekatan secara temporal dan spasial untuk mengetahui bagaimana pola curah hujan berdasarkan waktu kejadian (temporal) dan lokasi kejadiannya secara keruangan (spasial). Dengan diketahuinya karakteristik curah hujan penyebab banjir di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dari hasil riset ini, dapat menjadi masukan penting bagi penyusunan strategi pelaksanaan operasional TMC apabila ke depan akan dimanfaatkan lagi untuk tujuan antisipasi dan mitigasi bencana banjir di DKI Jakarta dan sekitarnya.

2. METODOLOGI

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data satelit TRMM Jaxa yang mempunyai resolusi spasial sekitar 0,1 degree dengan resolusi temporal setiap 1 jam. Data Satelit TRMM yang digunakan adalah data wilayah sekitar Jabodetabek yang berlangsung antara tanggal 18 Januari hingga 16 Februari 2016.

Data Satelit TRMM tersebut diunduh (download). Data tersebut kemudian diekstraksi untuk kemudian diolah dengan menggunakan software bantu GrADS. Dalam komputasi yang dilakukan dengan bantuan software GrADS maka bisa didapatkan data tabular dan data spasial curah hujan. Data tersebut kemudian disajikan ke dalam grafik dan selanjutnya dianalisis, sedangkan data spasial hasil olahan dapat disajikan dalam format gambar (.jpg) dengan menggunakan software GrADS.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Karakteristik Curah Hujan Berdasarkan Distribusi Temporal

Gambar 1 menunjukkan distribusi temporal curah hujan dalam orde jam-jaman di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya selama periode IOP (Intensive Observation Period). Dari gambar 1 tersebut dapat diketahui bahwa intensitas hujan tertinggi terjadi di tanggal 19 Januari 2016 dengan intensitas sebesar 12,78 mm/jam, hujan ini terjadi pada pukul 14.00 WIB. Intensitas hujan dan curah hujan tinggi yang terjadi selama periode IOP terjadi pada tanggal 2 Februari 2016. Pada tanggal 2 Februari 2016 hujan terjadi dari pukul 9.00 WIB hingga pukul 6.00 WIB (keesokan harinya).

Gambar 1. Distribusi Curah Hujan TRMM dalam Orde Jam-Jaman di DKI Jakarta dan Sekitarnya Selama Periode IOP.

Page 127: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 113

Gambar 2 menunjukkan distribusi curah hujan TRMM dalam orde harian di DKI Jakarta dan sekitarnya selama periode IOP berlangsung. Gambar 2 menunjukkan bahwa curah hujan harian tertinggi terjadi pada tanggal 2 Februari 2016 dengan curah hujan sebesar 77,9 mm. Selama periode IOP berlangsung, persentase hari tidak terjadi hujan adalah sebesar 10% atau sekitar 3 hari. Secara umum, dari pola hujan harian selama periode IOP diketahui bahwa hujan dengan curah hujan sebesar 10 - 40an mm terjadi pada awal periode kegiatan. Pada pertengahan periode IOP terjadi hujan dengan curah hujan ekstrim (terbesar), yakni sekitar 30 - 70an mm. Sedangkan pada akhir periode akhir periode IOP curah hujan harian sekitar <30 mm.

Gambar 2. Distribusi Temporal Curah Hujan TRMM Harian di DKI Jakarta dan Sekitarnya Selama IOP

Gambar 3 menunjukkan distribusi temporal hujan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya selama periode IOP. Dari gambar tersebut terlihat bahwa puncak hujan terjadi pada pukul 14.00 WIB dengan intensitas rata-rata hingga mencapai sekitar 2,2 mm/jam. Intensitas hujan yang besar terjadi pada pukul 13.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB dengan rata-rata intensitas hujan sebesar 1,5 mm/jam hingga 2,2 mm/jam. Dari siang hari hingga tengah malam intensitas hujan yang terjadi cenderung lebih besar. Sedangkan pada dini hari hingga siang hari (pukul 12.00 WIB) intensitas hujan di DKI Jakarta dan sekitarnya cenderung lebih kecil. Intensitas hujan terkecil selama periode IOP terjadi antara pukul 03.00 WIB hingga pukul 07.00 WIB.

Dapat dikatakan bahwa pola hujan di DKI Jakarta selama periode IOP dengan intensitas yang besar cenderung terjadi pada siang hari hingga malam hari. Berdasarkan hal tersebut kondisi atmosfer pada siang hingga malam hari cenderung labil yang dapat mengakibatkan proses pembentukan awan lebih mudah dibandingkan pada kondisi dini hari hingga menjelang siang hari dengan kondisi atmosfer yang stabil.

Gambar 3. Pola Rerata Curah Hujan di Wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya Selama Periode Kegiatan IOP (Dalam Orde Jam-Jaman).

Page 128: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

114 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Dengan melihat pola temporal curah hujan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya seperti dalam Gambar 3 tersebut di atas, maka risiko kejadian banjir akibat tingginya intensitas curah hujan yang diketahui terjadi selama rentang waktu antara pukul 13.00 - 18.00 WIB tersebut sangat memungkinkan untuk dapat ditekan dengan pemanfaatan TMC. Dari pengalaman pelaksanaan TMC redistribusi curah hujan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya tahun 2013 dan 2014, terbukti bahwa selama periode pelaksanaan TMC berhasil menekan intensitas curah hujan yang terjadi sejak pagi hingga sore hari, seperti terlihat dalam Gambar 4.

Gambar 4. Perbandingan Karakteristik Curah Hujan Temporal Dalam 24 Jam di Wilayah DKI Jakarta dan SekitarnyaAntara Periode Sebelum Adanya Kegiatan TMC (Biru) dan Selama Periode Pelaksanaan Kegiatan TMC (Merah).

Dari Gambar 4 terlihat bahwa sebelum pelaksanaan TMC (warna biru), distribusi kejadian hujan hampir terjadi secara merata sepanjang hari; sejak pagi, siang, malam hingga dini hari.Setelah dilakukan TMC (warna merah), intensitas hujan yang terjadi sejak pagi hari (pukul 09.00 WIB) hingga malam hari (pukul 22.00 WIB) mampu ditekan.

Dengan segala keterbatasannya, TMC masih belum mampu menekan curah hujan beritensitas tinggi yang terjadi pada malam hingga dini hari (mulai pukul 23.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB).Perlu diketahui bahwa aktivitas penyemaian awan dengan pesawat efektif beroperasi mulai pukul 08.00 WIB dan maksimal hanya mampu dikerjakan sampai dengan sekitar pukul 18.00 WIB (batas akhir sunset), sehingga secara teknis efek penyemaian awan dengan pesawat hanya mampu bekerja dan mempengaruhi proses di atmosfer pada siang sampai sore hari.

Untuk mengantisipasi risiko banjir akibat curah hujan berintensitas tinggi yang terjadi pada rentang waktu antara malam hingga dini hari, maka operasional TMC dengan metode kompetisi yang dilakukan dengan teknik penyemaian statis dari permukaan menggunakan alat Ground Based Generator atau Ground Particle Generator perlu tetap dioperasikan pada malam hari.

3.2. Karakteristik Curah Hujan Berdasarkan Distribusi Spasial

Sebaran hujan di DKI Jakarta dan sekitarnya selama periode IOP terlihat cenderung bervariasi di beberapa daerah. Gambar 5 menunjukkan total presipitasi di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya selama periode pelaksanaan IOP, tanggal 18 Januari - 16 Februari 2016. Dari gambar 4 dapat diketahui bahwa secara total curah hujan yang terjadi selama periode IOP memiliki intensitas lebih dari 650 mm. Secara spasial curah hujan tertinggi yang terjadi selama periode IOP terpusat di wilayah sekitar perbatasan antara Provinsi DKI Jakarta (Jakarta Selatan), Provinsi Jawa Barat (Depok), dan Provinsi Banten (Tangerang Selatan) dengan total curah hujan berkisar antara 600 mm hingga lebih dari 650 mm di bagian Tengah dan Selatan wilayah DKI Jakarta terjadi total hujan yang berkisar antara 600-650 mm.

Page 129: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 115

Sedangkan di bagian Utara wilayah DKI Jakarta berkisar antara 500-550 mm. DAS Ciliwung Hulu yang menjadi suplai air permukaan di Wilayah DKI Jakarta terjadi total hujan yang berkisar antara 350-450 mm. Hal ini mengindikasikan bahwa hujan selama IOP cenderung terkonsentrasi di wilayah selatan hingga tengah wilayah DKI Jakarta. Suplai utama hujan di wilayah DKI Jakarta adalah hujan-hujan yang terjadi di wilayah selatan hingga tengah DKI Jakarta.

Gambar 5. Distribusi Spasial Hujan yang terjadi di wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya selama periode IOP (18 Januari - 16 Februari 2016)

Dari Gambar 5 terlihat bahwa secara lokasi kejadian hujan, hujan yang terjadi di wilayah DKI Jakarta sendiri ternyata memang sudah cukup tinggi intensitasnya jika dibandingkan dengan wilayah lain di sekitarnya. Artinya, tanpa mempertimbangkan akan adanya air kiriman dari hujan yang terjadi di daerah hulu, sebenarnya Jakarta sudah cukup tinggi risiko banjirnya.

Dari pengalaman pelaksanaan TMC redistribusi curah hujan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya yang pernah dilaksanakan pada tahun 2013 dan 2014, terbukti bahwa aktivitas modifikasi cuaca yang dilakukan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya mampu memindahkan konsentrasi curah hujan tinggi menjadi berada jauh di luar wilayah DKI Jakarta. Gambar 6 berikut memperlihatkan perbandingan distribusi pusat konsentrasi curah hujan antara sebelum dan selama pelaksanaan TMC di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2014 lalu.

Gambar 6. Peta Distribusi Spasial Curah Hujan Sebelum (Kiri) dan Selama (Kanan) Pelaksanaan TMC di Wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya Tahun 2014.

Page 130: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

116 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Dari Gambar 6 jelas terlihat bahwa sebelum dilakukan TMC konsentrasi hujan berada tepat di sekitar wilayah Jakarta - Bogor, sementara selama dilakukan TMC konsentrasi hujan terlihat berpindah ke wilayah Selat Sunda, selatan Pelabuhan Ratu dan wilayah perairan Pantura Jawa Barat.

4. KESIMPULAN

Selama periode pelaksanaan IOP, curah hujan tertinggi terjadi pada tanggal 2 Februari 2016 yang berlangsung dari pagi hari (sekitar pukul 09.00 WIB) hingga pagi hari keesokan harinya (pukul 6.00 WIB). Secara temporal, kejadian hujan di Wilayah DKI Jakarta cenderung terjadi sejak siang hari hingga malam hari (pukul 13.00-24.00 WIB). Intensitas curah hujan tinggi terjadi antara pukul 14.00-18.00 WIB dengan puncaknya terjadi pada sekitar pukul 14.00 WIB.

Secara spasial, konsentrasi curah hujan yang paling tinggi cenderung terjadi di wilayah tengah hingga selatan Provinsi DKI Jakarta, terutama pada sekitar perbatasan antara DKI Jakarta (Jakarta Selatan), Jawa Barat (Depok), dan Banten (Kota Tangerang Selatan). Hujan yang terjadi di DKI Jakarta cenderung banyak terakumulasi di wilayah tengah hingga Selatan DKI Jakarta. Suplai utama curah hujan terbesar adalah hujan-hujan yang terjadi di daerah Selatan hingga tengah bagian Provinsi DKI Jakarta.

Apabila TMC nantinya akan kembali dimanfaatkan untuk mitigasi banjir di wilayah Ibukota, maka perlu dipertimbangkan opsi melakukan aktivitas penyemaian awan statis dari permukaan menggunakan alat Ground Based Generator atau Ground Particle Generator yang tetap beroperasi pada malam hari, dengan tujuan menekan risiko banjir akibat curah hujan berintensitas tinggi yang terjadi pada rentang waktu antara malam hingga dini hari mengingat aktivitas penyemaian awan dengan pesawat tidak/belum mampu dilaksanakan pada malam hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chai, Y., Jin, C., Wang, A., Guan, D., Wu, J., Yuan, F., dan Xu, l. 2015, Spatio-Temporal Analysi of the Accuracy of Tropical Multisatelillite Precipitation Analysis 3B42 Precipitation Data in Mid-Hidgh Latitudes of China. Plos One DOI:10.1371/Journal.Pone.0120026, April 2015.

2. Collischonn, B., Collischonn, W., Tucci, C. E. M,. 2008, Daily Hydrologycal Modeling in the Amazon Basin Using TRMM Rainfall Estimates, Journal of Hydrology (2008) 260, 207-216.

3. Gu, H-h., Yang, C., Ju, Q., Lung, B., dan Liang, C., 2010, Hydrologycal Assesment of TRMM Rainfall Data Over Yangtze River Basin, Water Science and Engineering, 2010, 3 (4): 418-430.

4. Harsoyo, B., dkk. 2014. Efektivitas Teknologi Modifikasi Cuaca Untuk Mitigasi Banjir; Arti Penting Pengurangan Curah Hujan 30% Bagi Banjir Jakarta, BPPT Press, Cetakan Pertama Tahun 2014, ISBN 978-602-1124-39-0.

Page 131: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 117

BEBERAPA ISU PENTING BAGI PENINGKATAN KINERJA SISTEM PENGENDALIAN BANJIR DALAM MENURUNKAN RESIKO BENCANA BANJIR

Oleh:M.S.B. Kusuma, Kuntoro, A.A., M. Farid dan M.B. Adityawan

KK TSA FTSL ITB,Jalan Ganesa 10 Bandung 40132

Abstrak

Banjir merupakan bencana tahunan bagi beberapa kota besar dan penting di Indonesia. Berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas sistem pengendalian banjir telah dilakukan sejak lama, namun rekam jejak kejadian bencana banjir menunjukan bahwa risiko bencana banjir belum berhasil diturunkan dan justru cenderung meningkat di beberapa tempat. Beberapa hasil penelitian terkait mengindikasikan bahwa kurangnya kontribusi upaya struktural dalam peningkatan kapasitas banjir tersebut terjadi sebagai akibat dari belum sepenuhnya pengaruh perubahan iklim, perubahan tata ruang dan risiko bencana diperhitungkan dalam mengembangkan kapasitas sistem pengendalian banjir yang ada. Perubahan tata ruang yang diakibatkan oleh adanya pengembangan wilayah pada umumnya telah meningkatkan tidak saja indeks banjir dan kekeringan tapi juga bencana sekunder susulan lainnya misalnya tanah longsor, gagal panen, intrusi air laut, dsb. Dalam tiga dekade terakhir, rekam jejak perubahan kondisi hidroklimatologi dan kejadian bencana hidrologis menunjukan adanya korelasi yang kuat antara kedua hal tersebut. Perubahan iklim tersebut tidak hanya meningkatkan indeks banjir dan kering tapi juga meningkakan variasi distribusi hujan (massa air) terhadap waktu dan ruang. Pada umumnya program pembangunan sistem pengendalian banjir yang saat ini berlangsung masih didasari masterplan masa lalu (tahun 1990an) yang disusun berdasarkan karakteristik hidrologis yang belum memperhitungkan pengaruh perubahan iklim dan lebih condong pada solusi struktural. Selain itu, pengaruh perubahan tata ruang, yang pada dasarnya berpengaruh pada perubahan kondisi sosial ekonomi (dan tentu risiko bencana dari) daerah rawan bencana, juga belum sepenuhnya dapat diperhitungkan dengan semestinya sebagai akibat masih minimnya ketersediaan data, kapasitas dan peraturan pendukung yang diperlukan. Seperti diketahui, kinerja upaya mitigasi bencana dapat dievaluasi berdasarkan seberapa efektif upaya tersebut dapat menurunkan risiko bencana yang ada. Sementara itu, seperti yang diuraikan diatas, aspek risiko bencana ini pada dasarnya belum dijadikan parameter baku dalam penyusunan rencana sistem pengendalian banjir di masa lalu, sehingga program-program pengembangan sistem pengendalian banjir yang berlangsung saat ini berpotensi mempunyai korelasi yang sangat rendah dengan program-program strategis yang sesungguhnya dibutuhkan bagi pengurangan risiko bencana di wilayah rawan bencana tersebut. Makalah ini menyajikan berbagai permasalahan dan upaya yang dapat dilakukan agar pengaruh dari ketiga aspek tersebut diatas dapat diperhitungkan/dimasukan sebagai tambahan kriteria perencanaan pengendalian banjir. Sebagai bahan bahasan akan disajikan rekam jejak yang diperoleh untuk kejadian banjir di wilayah Jakarta dan Bandung. Dengan diterapkannya berbagai upaya yang diusulkan tersebut di atas, diharapkan kontribusi peningkatan kinerja system pengendalian banjir yang ada dalam menurunkan risiko banjir dimasa dating dapat lebih ditingkatkan dan terukur.

Kata kunci: Banjir, Penurunan Resiko, Perubahan Iklim, Tata Guna Lahan.

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kerentanan yang tinggi terdapat bencana alam. Dengan lebih dari 17.000 pulau dan 5.000 daerah aliran sungai (DAS), kondisi topografi dan lokasi geografis dianggap berkontribusi kejadian bencana alam di Indonesia. Berdasarkan jumlah kejadian bencana data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir merupakan jenis bencana yang paling sering

Page 132: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

118 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

terjadi di Indonesia, meskipun jika dihitung berdasarkan jumlah korban jiwa masih berada di bawah tsunami dan letusan gunungapi. Jika ditinjau dari kerugian ekonomi, banjir diperkirakan menempati urutan pertama bencana dengan total kerugian terbesar di Indonesia.

Faktor alami utama yang mempengaruhi kejadian banjir adalah curah hujan dengan intensitas tinggi. Hujan yang jatuh di daerah perkotaan dapat menyebabkan banjir lokal di area terbatas di wilayah kota tersebut. Adapun hujan yang terjadi di DAS dapat mengakibatkan terjadinya banjir bandang. Perubahan iklim dan variabilitas iklim diperkirakan akan semakin meningkatkan intensitas banjir. Faktor alami yang juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia adalah kondisi DAS. Degradasi DAS akibat perubahan penggunaan lahan sebagai akibat dari perkembangan ekonomi dan urbanisasi telah mengakibatkan terjadinya peningkatan aliran permukaan yang menjadikan banjir di kota besar seperti Jakarta semakin parah. Faktor alami lain yang mempengaruhi kejadian banjir adalah pasang surut air laut. Banjir yang terjadi di dataran rendah dan pesisir laut dapat terjadi aliran sungai tertahan oleh pasang surut air laut sehingga mengakibatkan terjadinya aliran balik (backwater). Di banyak lokasi aspek ini juga diperparah oleh tingginya penurunan tanah akibat penggunaan air tanah berlebih.

2. STUDI KASUS: DAS CITARUM

2.1. Historis Kejadian Banjir di Citarum Hulu

Sungai Citarum terletak di Provinsi Jawa Barat, meliputi sebagian besar wilayah administratif Kota Bandung dan Cimahi, serta Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Sumedang. Hulu Sungai Citarum terletak di sebelah Selatan kota Bandung, mengalir melalui tiga bendungan tangga: Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, sebelum kemudian bermuara ke laut Jawa. Dengan panjang sungai sekitar 297 km, Citarum adalah sungai terpanjang dan terbesar dan Jawa Barat, dan memiliki peran penting bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat seperti pertanian, energi listrik, dan air bersih untuk perkotaan dan industri, termasuk untuk Kota Jakarta.

Dalam beberapa dekade terakhir, kondisi lingkungan dari aliran Sungai Citarum mengalami penurunan secara signifikan menurun secara signifikan. Urbanisasi yang cepat menyebabkan ancaman banjir banyak daerah di wilayah ini. Perubahan tata guna lahan di bagian hulu menunjukkan terdapat sekitar 45% penurunan tutupan hutan, dari sekitar 35,000 ha sampai 19,000 ha [1]. Banjir di hulu Sungai Citarum juga dipengaruhi oleh kondisi topografi dan geologi yang menyerupai cekungan, sehingga dikenal dengan nama “Cekungan Bandung”. Daerah datar di bagian tengah cekungan dan daerah pegunungan sekitarnya telah menyebabkan historis banjir yang berkepanjangan di wilayah ini. Beberapa peristiwa banjir besar yang menggenangi area yang luas terjadi di wilayah ini pada tahun 1986 (tentang 7,100 ha daerah genangan), 1995 (sekitar 6,000 ha), 2002 (7,800 ha), dan 2010 (9,180 ha) [1],[2].

2.2. Variasi debit dan hujan ekstrim di Citarum Hulu

Variasi debit di Citarum Hulu antara lain dapat dilihat dari catatan data historis debit di Stasiun Nanjung, yang terletak di bagian hilir Citarum Hulu, atau di sebelah hulu Waduk Saguling. Gambaran mengenai DAS Citarum Hulu, lokasi Stasun Nanjung, dan data debit historis di Nanjung disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1: Kiri: DAS Citarum Hulu; Kanan: Flow Duration Curve Debit di Nanjung.

Page 133: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 119

Gambar 2: Curah Hujan Harian Maksimum Wilayah DAS Citarum Hulu.

Pada Gambar 1 terlihat bahwa di masa lalu (periode 1977-1988) debit harian di Nanjung cenderung lebih besar saat kondisi ekstrim kering (debit andalan besar), dan lebih kecil saat kondisi ekstrim basah (debit banjir kecil) dibandingkan dengan di masa kini (periode 1990-2009). Hal ini merupakan indikasi terjadinya peningkatan volume limpasan permukaan yang berpotensi mengakibatkan banjir saat kejadian ekstrim basah, dan sekaligus terjadinya penurunan baseflow yang berpotensi mengakibatkan kekeringan dan kekurangan air saat kejadian ekstrim kering di Citarum Hulu.

Secara umum pola curah hujan di Kepulauan Indonesia dan daerah sekitarnya dipengaruhi oleh variabilitas iklim di Pasifik dan Samudra Hindia. El Niño-Southern Oscillation (ENSO) adalah fluktuasi kondisi laut-atmosfer di Samuderara Pasifik Tropis yang terutama ditandai dengan anomali suhu permukaan laut (SST), tekanan permukaan laut (SLP), angin permukaan dan radiasi gelombang panjang keluar ( OLR). Indian Ocean Dipole (IOD) adalah fluktuasi kondisi laut-atmosfer di Samudera Hindia yang terutama ditandai dengan anomali SST dan angin permukaan. Secara umum, anomali SST negatif di bagian timur Samudera Hindia (Sumatera Barat) dan SST positif di Samudera barat India (Afrika Timur) mungkin mengakibatkan curah hujan rendah di kepulauan Indonesia dan curah hujan yang tinggi di Afrika Timur. Dengan menggunakan data curah hujan bulanan lebih dari lebih dari 800 stasiun dari Global Historical Climatology Network (GHCN) hasil penelitian menunjukkan adanya tiga wilayah yang dominan presipitasi: wilayah A adalah luas dengan korelasi yang signifikan untuk ENSO, terutama yang terletak di bagian Selatan dari kepulauan Indonesia; wilayah B adalah daerah dengan korelasi lemah untuk ENSO, terutama terletak dekat Laut Cina Selatan, beberapa bagian dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sarawak; sementara wilayah C adalah daerah dengan korelasi tertinggi untuk ENSO, terutama terletak dekat Laut Banda [3]

Meskipun kecenderungan peningkatan intensitas curah hujan dan efek perubahan iklim masih memerlukan penelitian lebih lanjut [4], pada Gambar 2 terlihat bahwa curah hujan harian maksimum di wilayah DAS Citarum Hulu dari tahun 1980-2009 bervariasi antara sekitar 30 mm/hari hingga 70 mm/hari., trend data dari tahun 1995 hingga 2009 menunjunkkan adanya peningkatan intensitas curah hujan harian maksimum di DAS Citarum Hulu yang juga dapat menjadi indikasi potensi meningkatnya kejadian banjir di masa mendatang.

2.3. Program pengendalian banjir di Citarum Hulu

Program pengendalian banjir terpadu di Citarum Hulu dimulai pada studi kelayakan dengan bantuan dari JICA pada tahun 1998, dan dilanjutkan dengan desain rinci pada tahun 1992. Pelaksanaan Program dibagi menjadi tiga tahap dari tahun 1994 sampai 2017. Pengurangan genangan banjir diharapkan dapat mengurangi genangan banjir hingga periode ulang banjir rencana 20 tahun. Strategi yang diterapkan hingga saat ini dititikberatkan pada upaya peningkatan kapasitas sungai dan sistem drainase, berupa pelebaran alur, peningkatan kemiringan, normalisasi, serta beberapa strategi lain terkait dengan pengelolaan DAS.

Page 134: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

120 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2

Strategi yang sedang dijajaki adalah melalui peningkatan kapasitas tampungan di Sungai Citarum melalui pembangunan kolam retensi, yang hingga saat ini belum terealisasikan.

3. DISKUSI

Dalam kebanyakan kasus di Indonesia, termasuk di Citarum Hulu, rencana pengendalian atau manajemen banjir belum disinkronisasi dengan perencanaan penataan penggunaan lahan. Perencanaan penggunaan lahan disetujui oleh Pemerintah Daerah dengan hanya mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi, tanpa mempertimbangkan kapasitas sumber daya air di DAS, yang dalam hal ini berdampak pada potensi kejadian banjir dan kekeringan. Kondisi ini mengakibatkan ketidakseimbangan sumber daya air di DAS di kemudian hari, seperti yang mulai terlihat di DAS Citarum Hulu. Perubahan tata guna lahan yang terjadi secara cepat, dari hulu hingga hilir, dari daerah bervegetasi padat hingga ke daerah terbuka dan kedap air, akan mengakibatkan peningkatan limpasan air yang utamanya terjadi di wilayah perkotaan. Di masa depan, rencana induk pengendalian banjir serta rencana induk penyediaan air bersih, perlu disusun bersama dengan perencanaan penggunaan lahan.

Selain itu, perlu disadari juga bahwa permasalahan banjir bukanlah merupakan tugas pemerintah saja. Stakeholder lain seperti akademisi, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat umum juga memiliki peran yang tidak kecil dalam pengurangan risiko. Skema keterlibatan stakeholders dalam pengurangan risiko banjir disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3: Skema Penelitian dan Pelibatan Stakeholders Dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana.

Penanggulangan risiko banjir berupa struktural yang memerlukan biaya besar yamg dapat dikelola oleh pemerintah antara lain adalah pembangunan waduk di hulu, pembangunan kolam retensi di hilir, tanggul, normalisasi sungai, serta pembuatan sistem polder dam pompa, tanpa melupakan upaya non-struktural berupa manajemen daerah rawan banjir seperti pembangunan Sistem Peringatan Dini, diseminasi sistem peringatan dini, pembuatan peta bahaya banjir, dan peningkatan kapasitas masyarakat. Upaya non-struktural lain seperti manajemen hulu DAS juga perlu diupayakan secara terus menerus seperti melalui penataan ruang, pengedalian erosi di hulu DAS, pengendalian alih fungsi lahan, pengendalian perizinan pemanfaatan lahan, pengendalian kualitas air sungai, kelembagaan konservasi hulu DAS, serta peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat untuk konservasi hulu DAS.

Upaya lain yang dapat dipertimbangkan adalah melalui peningkatan pemahaman masyarakat untuk dapat dipindahkan dari area banjir, atau di sisi lain, hidup secara harmonis bersama banjir. Dalam hal ini,

Page 135: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 121

aspek yang terkait sosial budaya juga perlu dipertimbangkan seperti alih mata pencaharian, perubahan perilaku permukiman sehat, serta menghidupkan kembali kearifan lokal.

Upaya inovatif yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat juga perlu ditingkatkan, antara lain melalui penggunaan teknologi informasi dan media sosial, penanganan berbasis komunitas, dan penyusunan basis data berbasis masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Peta Informasi Citarum (Information Map of Citarum), Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (Citarum River Basin Organization), 2011.

2. Upper Citarum Basin Flood Management, Volume 1, Deltares, 2011.3. Aldrian, E., Susanto, R.D.: Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their

Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of Climatology, 23, 1435-1452, 2003.4. Kusuma, M.Syahril Badri, Kuntoro, Arno Adi, Silasari, Rasmiaditya, Preparedness Effort toward Climate

Change Adaption in Upper Citarum River Basin, West Java, Indonesia. Society for Social Management Systems Internet Journal, 2011.

Page 136: PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN - iabi · PDF filePROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2 iii PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya

122 PROSIDING PIT RISET KEBENCANAAN KE-2