MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

12
Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020 pp.19 - 30 ISSN 2310-6051 (Print), ISSN 2548-4907 (online) Journal hompage https://ejournal.undip.ac.id/index.php/interaksi MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI Ni Made Ras Amanda Gelgel [email protected] Ilmu Komunikasi, Universitas Udayana Article Info Keyword: Bali, Disaster, Mt. Agung, Literacy, Social Media, Abstract After a large, deadly explosive and effusive eruption during 1963-64, Indonesia's Mount Agung on Bali remained quiet until a new eruption began in November 2017 until 2019. Alert Level III (of four levels) remained in effect throughout the period with a 4 km exclusion radius around the volcano. Massive hysteria occurred when alert level reach the highest level (level IV). The situation get worsed when misinfor- mation has been spreading in social media about Mt. Agung. This research discuss- ing how literate was the Balinese in consuming disaster information. The research was in 2018 used positivisim paradigm. Data collected by using questionnaire with 410 sample from all the regency in Bali Province. Main theory was dependence the- ory. The result are (1) social media became the most sourceful media to gain disas- ter information, (2) but the Balinese people didnt verify the information they gained (3) 30 percent respondent shared the information without verification. It showed Balineses literacy in gaining disaster information need to be improve and have a high dependence in using social media. Copyright © 2020 Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi. All rights reserved. Corresponding Author: Communication Science Program, Udayana University, Bali, Indonesia Jl. PB Sudirman Denpasar Bali 80223 Email: [email protected] PENDAHULUAN Indonesia secara geografis merupakan Negara dengan wilayah yang penuh ancaman bencana alam, mulai dari gempa bumi hingga tsunami. Catatan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Min- eral menunjukan bahwa ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami. Di an- taranya Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan, Jawa Timur bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, kemudian Sulawesi Utara, Sula- wesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balik- papan Kalimantan Timur. Indonesia merupakan bagian dari jalur The Pasific Ring of Fire (Cincin Api Pasifik) (BPN.go.id, 2019), yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah, hampir 70 di antaranya masih aktif. Salah satu di antaranya adalah Gunung Agung di Pulau Bali. Gunung Agung adalah gunung tertinggi di Pulau Bali, yang berada di Kecamatan Ren- dang, Kabupaten Karangasem, Bali. Berdasarkan cata- tan, Gunung Agung meletus pertama kali pada 1808. Namun letusan terbesar adalah pada tahun 1963. Le- tusan ini berlangsung hingga awal tahun 1964, dengan jumlah korban meninggal dunia mencapai 1148 orang, dan ratusan lainnya luka-luka. Setelah tidur lama, akhir tahun 2017 hingga pertengahan Tahun 2019, Gunung Agung kembali menunjukkan aktivitasnya. Status gunung agung naik menjadi waspada, siaga kemudian awas, ribuan warga dievakuasi. Aktivitas yang terjadi beragam yakni dari semburan abu vulkanik, letusan fratik, gempa bumi, kebakaran hutan di lereng Gunung hingga lontaran batu pijar dari kawah. Hingga 2018 Gunung Agung menge- luarkan kolom abu dengan ketinggian yang beragam (Kompas.com, 2018). Kepanikan terbesar yang terjadi pada masa ak- tifnya Gunung Agung adalah pada saat penetapan status awas, di akhir November 2017. Peningkatan status yang

Transcript of MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Page 1: MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020 pp.19 - 30 ISSN 2310-6051 (Print), ISSN 2548-4907 (online) Journal hompage https://ejournal.undip.ac.id/index.php/interaksi

MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Ni Made Ras Amanda Gelgel [email protected]

Ilmu Komunikasi, Universitas Udayana

Article Info Keyword: Bali, Disaster, Mt. Agung, Literacy, Social Media,

Abstract

After a large, deadly explosive and effusive eruption during 1963-64, Indonesia's Mount Agung on Bali remained quiet until a new eruption began in November 2017 until 2019. Alert Level III (of four levels) remained in effect throughout the period with a 4 km exclusion radius around the volcano. Massive hysteria occurred when alert level reach the highest level (level IV). The situation get worsed when misinfor-mation has been spreading in social media about Mt. Agung. This research discuss-ing how literate was the Balinese in consuming disaster information. The research

was in 2018 used positivisim paradigm. Data collected by using questionnaire with 410 sample from all the regency in Bali Province. Main theory was dependence the-ory. The result are (1) social media became the most sourceful media to gain disas-ter information, (2) but the Balinese people didn’t verify the information they gained (3) 30 percent respondent shared the information without verification. It showed Balinese’s literacy in gaining disaster information need to be improve and have a high dependence in using social media.

Copyright © 2020 Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi. All rights reserved.

Corresponding Author: Communication Science Program, Udayana University, Bali, Indonesia Jl. PB Sudirman Denpasar Bali 80223 Email: [email protected]

PENDAHULUAN

Indonesia secara geografis merupakan Negara

dengan wilayah yang penuh ancaman bencana alam,

mulai dari gempa bumi hingga tsunami. Catatan

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi

(DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Min-

eral menunjukan bahwa ada 28 wilayah di Indonesia

yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami. Di an-

taranya Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatra Utara,

Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng

dan Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan, Jawa

Timur bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan

Nusa Tenggara Timur, kemudian Sulawesi Utara, Sula-

wesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku

Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balik-

papan Kalimantan Timur.

Indonesia merupakan bagian dari jalur The Pasific

Ring of Fire (Cincin Api Pasifik) (BPN.go.id, 2019),

yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di

dunia. Indonesia memiliki gunung berapi dengan

jumlah kurang lebih 240 buah, hampir 70 di antaranya

masih aktif. Salah satu di antaranya adalah Gunung

Agung di Pulau Bali. Gunung Agung adalah gunung

tertinggi di Pulau Bali, yang berada di Kecamatan Ren-

dang, Kabupaten Karangasem, Bali. Berdasarkan cata-

tan, Gunung Agung meletus pertama kali pada 1808.

Namun letusan terbesar adalah pada tahun 1963. Le-

tusan ini berlangsung hingga awal tahun 1964, dengan

jumlah korban meninggal dunia mencapai 1148 orang,

dan ratusan lainnya luka-luka.

Setelah tidur lama, akhir tahun 2017 hingga

pertengahan Tahun 2019, Gunung Agung kembali

menunjukkan aktivitasnya. Status gunung agung naik

menjadi waspada, siaga kemudian awas, ribuan warga

dievakuasi. Aktivitas yang terjadi beragam yakni dari

semburan abu vulkanik, letusan fratik, gempa bumi,

kebakaran hutan di lereng Gunung hingga lontaran batu

pijar dari kawah. Hingga 2018 Gunung Agung menge-

luarkan kolom abu dengan ketinggian yang beragam

(Kompas.com, 2018).

Kepanikan terbesar yang terjadi pada masa ak-

tifnya Gunung Agung adalah pada saat penetapan status

awas, di akhir November 2017. Peningkatan status yang

Page 2: MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020, pp. 19-30 20

dilakukan menjelang malam hari menyebabkan arus

pengungsi yang tidak terkendali. Kabar kepanikan ini

diperparah dengan banyaknya misnformasi mengenai

bencana gunung api khususnya Gunung Agung.

Haddow (2008) mengungkapkan komunikasi adalah

kunci sukses dari seluruh proses bencana, mulai dari

mitigasi, persiapan, respons dan pemulihan kembali.

Perencanaan dan kontrol arus komunikasi sebelum,

selama dan setelah bencana akan berpengaruh pada

pengelolaan bencana itu sendiri.

Di masa era informasi ini, media baru memberi

tantangan baru dalam proses komunikasi bencana. Di

Indonesia, aplikasi percakapan whatsapp adalah ap-

likasi terpopuler, menurut laporan comScore (2017),

whatsapp memiliki sekitar 35,8 juta pengguna di Indo-

nesia. Trisnani (2019) menuliskan penggunaan

whatsapp dianggap paling efektif dan terpercaya untuk

komunikasi. Aplikasi ini banyak digunakan untuk

kepentingan sosialisasi, berbagi informasi, dan pen-

yampai pesan yang bersifat individu, kelompok, organ-

isasi dan komunitas. Fitur kamera di telepon seluler

terutama pada smartphone memudahkan seseorang

mengirimkan pesan gambar via whatsapp atau media

sosial lainnya. Hal ini membuat siapapun dapat menjadi

komunikator pertama yang melaporkan langsung

keadaan setempat. Peran pemerintah pada komunikasi

bencana sebagai gate keeper informasi akhirnya tergan-

tikan sejalan dengan meningkatnya penggunaan dan

pengaruh dari media terbarukan ini. Namun prinsip-

prinsip dasar dari komunikasi bencana yang efektif

tetap tidak berubah yakni transparansi, terbukanya

akses, kepercayaan dan reliabilitas serta bekerjasama

dengan media.

Kasus kepanikan akibat misinformasi ini adalah

contoh dampak dari rendahnya literasi media digital

bagi masyarakat khususnya di Bali. Masyarakat seakan-

akan gagap mendapatkan informasi melalui media so-

sial. Rudianto (2015) menekankan dalam komunikasi

kebencanaan, masyarakat tidak hanya cukup diberikan

informasi yang berlimpah. Hal yang menjadi perhatian

adalah bagaimana cara memproses dan menyampaikan

informasi kepada masyarakat. Proses ini menjadi pent-

ing karena apabila terjadi kekeliruan penyampaian in-

formasi kebencanaan maka aman menimbulkan ketid-

akpastian yang aman memperburuk situasi. Maka tuli-

san ini mengangkat diskusi dan hasil penelitian yang

menggambarkan bagaimana masyarakat di Bali

menggunakan media sosial dalam mengolah dan

menerima informasi kebencanaan. Tulisan ini bertujuan

untuk memberi gambaran literasi digital masyarakat

dalam konteks kebencanaan. Dengan data yang

disajikan dan diolah akan dapat memberi masukan

kepada pemerintah dan kelompok-kelompok masyara-

kat untuk meningkat kesiapsiagaan sistem komunikasi

kebencanaan.

KAJIAN PUSTAKA

Metodologi

Penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan

dan paradigma positivisime/objektifitas. Kriyantono

(2014:50-51) menyebutkan bahwa realitas yang terjadi

di masyarakat dapat diukur dengan standar tertentu,

digeneralisasi dan bebas dari konteks dan waktu.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif

dengan pengumpulan data menggunakan kuesioner.

Kuesioner disebarkan pada bulan Agustus 2018 kepada

410 responden di seluruh Kabupaten di Provinsi Bali.

Teknik penentuan sampel adalah acak dengan ketentu-

an responden terpilih memiliki smartphone dengan

akses internet. Penelitian bersifat deskriptif dengan

penyajian data menggunakan analisis data distribusi

frekuensi dan tabulasi silang.

Penelitian ini menggunakan statistik inferensia

atau parameter. Martono (2010:5-6) menyebutkan pa-

rameter adalah nilai yang menggambarkan ciri/

karakteristik populasi, atau suatu nilai yang stabil kare-

na nilai tersebut diperoleh dari hasil observasi seluruh

anggota populasi dengan menggunakan sampel popu-

lasi. Statistika yang digunakan adalah statistik non par-

ametris di mana statistik ini menganalisis data yang

berskala nominal atau ordinal dari populasi yang bebas

distribusi. Jadi penelitian ini menggunakan skala nomi-

nal dan ordinal tidak mengukur hingga skala atau ting-

kat interval maupun rasio.

Penyajian data akan diuraikan dengan grafik

berdasarkan olah data distribusi frekuensi. Martono

(2010:37-38) menyebutkan distribusi frekuensi adalah

proses penyusunan data dari nilai terendah hingga

terbesar atau sebaliknya. Tabel distribusi frekuensi

Page 3: MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020, pp. 19-30 21

memudahkan penyajian data sehingga mudah dipahami

dan dibaca sebagai bahan informasi, kemudian dapat

digunakan dalam perhitungan membuat gambar statis-

tik dalam berbagai bentuk penyajian data.

Kajian Konseptual

Komunikasi Bencana

United Nation’s Interational Strategy for Disaster

Reduction (UNISDR 2000) menyebutkan bencana ada-

lah gangguan serius atas keberfungsian masyarakat

yang menimbulkan kerugian yang meluas pada ke-

hidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau ling-

kungan dan gangguan itu melampaui kemampuan

masyarakat yang bersangkutan. UU Nomor 24/2007

tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan kon-

sep penanggulangan bencana sebagai peristiwa atau

rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebab-

kan faktor alam, non alam atau manusia, sehingga me-

nyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan ling-

kungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Jenis bencana berdasarkan UU dibagi tiga yakni

bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial.

Bencana yang tergolong bencana alam adalah gempa

bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,

angina topan, tanah longsor. Bencana non-alam adalah

gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, wabah

penyakit. Bencana sosial adalah konflik sosial antar-

kelompok atau antar-komunitas masyarakat dan terror.

Purwo Nugroho (2018:75-77) menyebutkan Badan

Nasional Penanggulangan Bencana mencatat selama

sepuluh tahun terakhir (2008-2018) bencana di Indone-

sia masih didominasi oleh banjir, longsor dan puting

beliung

Berdasarkan UU no 24/2007 tentang penanggulan-

gan bencana, asas dan pinsip penanggulangan bencana

adalah selain berdasar pada ilmu pengetahuan dan

teknologi adalah bersifat professional. Purwo Nugroho

(2018:96-97) menyebutkan penanggulangan bencana

sebaiknya dilakukan dengan tepat serta cepat sesuai

tuntutan keadaan. Oleh karena itu maka komunikasi

bencana menjadi sesuatu yang penting dilakukan

Haddow (2008:xvii) membagi tahap manajemen

komunikasi bencana menjadi 4 tahapan. Di setiap taha-

pan diperlukan strategi komunikasi yang menyediakan

informasi secara periodik dan akurat. Empat tahapan

tersebut adalah (1)mitigasi, mempromosikan dan

mengimplementasikan strategi, teknologi dan aksi yang

diharapkan akan mengurangi korbanjiwa dan kerusa-

kan apabila terjadi bencana; (2) preparedness-

persiapan, untuk mengkomunikasikan pesan-pesan

yang mendukung dan mendidik masyarakat dalam an-

tisipasi bencana; (3) respon, menyediakan notifikasi

kepada masyarakat, peringatan, evakuasi dan perkem-

bangan situasi saat terjadi bencana; (4) recovery atau

pemulihan, membantu individu dan komunitas yang

terdampak bencana pascabencana. Dasar efektifitas

strategi komunikasi bencana yakni pada lima asumsi

penting yakni, customer focus, leadership commitment,

inclusion of communications in planning, situational

awareness dan media partnership.

Budi HH (2012) memaparkan bahwa komunikasi

adalah salah satu aspek yang sering menjadi persoalan

dalam manajemen bencana. Faktor-faktor lain yang

menjadi persoalan selain komunikasi adalah informasi,

koordinasi dan kerjasama. Haddow (2008, dalam Budi

HH, 2012:371) menjelaskan khalayak adalah fokus

penting dalam sebuah komunikasi bencana. Pemaham-

an akan karakteristik khalayak mempengaruhi

bagaimana pesan diterima oleh khalayak tersebut dan

agar pesan mitigasi bencana menjadi efektif. Aspek

lain yang perlu diperhatikan adalah aspek komitmen

kepemimpinan lembaga-lembaga terkait agar tidak

terjadi tumpang tindih informasi dan kewenangan.

Aspek terakhir yang perlu diperhatikan adalah media.

Haddow menekankan pentingnya peran media dalam

sebuah peristiwa bencana. Media memiliki dua peran,

positif dalam hal mengedukasi masyarakat namun me-

dia diharapkan tidak menjadikan bencana sebagai ko-

moditas.

Purwo Nugroho (2018:125) menuliskan bahwa

kajian mengenai komunikasi bencana pada umumnya

membahas mengenai hal-hal khusus saja seperti

bagaimana menyampaikan sebuah informasi bencana,

bagaimana mengatur media massa sebagai salah satu

elemen penanggulangan bencana dan mengatur koordi-

nasi komunikasi antar kelompok dan penggiat kemanu-

siaan dan lembaga penanggulangan bencana agar

Page 4: MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020, pp. 19-30 22

koordinasi berjalan optimal.

Media Baru dan Bencana

Haddow (2014:25) menyatakan bahwa media so-

sial adalah alat, teknologi dan aplikasi berbasis internet

yang memungkinan terjadinya komunikasi interaktif

dan pertukaran konten antara para pengguna yang

perannya fleksibel baik sebagai pengirim maupun pen-

erima pesan sebagai komponen utama dalam media

sosial Internet dan media sosial telah merubah

bagaimana berita dikemas dan didistribusikan. Haddow

(2008:36) menuliskan kemajuan teknologi ini pun

merubah alur dan arus informasi, menghilangkan peran

gatekeepers, merubah alur komunikasi top-down yang

digunakan pmerintah dan media, serta memberdayakan

masyarakat dalam membentuk jaringan komunikasi

yang bersifat ad hoc. Gillmor (2006) juga menyatakan

bahwa kemajuan teknologi informasi seperti internet ini

membuat siapapun dapat menjadi sumber penyebar

informasi. Bowman (2003 dalam Haddow, 2008: 37)

juga menambahkan, siapa pun dapat menjadi jurnalis

dan hegemoni gatekeeper akan terancam dengan peru-

bahan peran dari khalayak itu sendiri. Saat khalayak

pasif menjadi khalayak yang aktif dalam membuat beri-

ta dan menyebarkannya maka alur informasi tidak

dapat lagi dikontrol oleh jurnalis maupun agen-agen

pemerintah. Informasi yang tersaji untuk masyarakat

saat terjadi krisis biasanya tidak memadai, bias atau

terlambat. Gillmor dan Hattotuwa (2007, dalam

Haddow, 2008:38) menyatakan bahwa permasalahan

terbesar tidak berada pada penggunaan teknologi tetapi

pada budaya penyebaran atau sharing informasi di

masyarakat.

R. Yudha (2017) dalam jurnalnya menuliskan bah-

wa peristiwa-peristiwa atau kasus yang kemudian viral

kasus di media sosial berpengaruh secara massif dan

dianggap sebagai sebuah kebenaran. Publik kemudian

menganggap hal tersebut adalah kebenaran dan turut

membagikannya sehingga semakin popular. Ironisnya

penyebar pesan atau pengunggah tidak menyadari dam-

pak dari perbuatan ini.

Glaser (2006, dalam Haddow 2014) menyatakan

bahwa paradigma komunikasi penyiaran mengenai

penyiaran dari satu sumber ke pesan telah tidak berla-

ku. Komunikasi sekarang adalah percakapan antara

banyak sumber, di mana semua orang dapat berperan

sebagai pembuat pesan, penerima pesan, pencipta isi

pesan dan kurator. Mark Glaser (2006) menyatakan

bahwa khalayak mengetahui lebih banyak melalui sis-

tem kolektif dibandingkan para jurnalis. R. Yudha

(2017) menyatakan bahwa pesan yang tersebar di me-

dia sosial melahirkan interpretasi yang berbeda-beda

oleh penerima pesan tersebut. Dampak yang ditim-

bulkan pun beragam tergantung pada banyak hal. Pesan

di media sosial dapat berupa pesan verbal maupun non

verbal. Parabahasa dalam Bahasa nonverbal ini mem-

iliki kemampuan untuk menggugah emosi lawan bicara.

Interpretasi pesan ini kemudian dipahami sesuai tingkat

pemahamannya masing-masing.

Studi Brenner (2013) di Amerika Serikat

mengungkap masyarakat kini dapat dengan mudah

mengakses, membuat, mempengaruhi atau membagi

berita di manapun dan kapan pun. Hal ini didorong

dengan semakin meningkatknya media sosial berbasis

internet seperti twitter dan facebook yang berperan se-

bagai penyedia berita. Fenomena ini pun didorong

dengan meningkatnya pengguna smartphone sehingga

memiliki akses langsung terhadap internet. Tercatat 81

persen usia dewasa memiliki akses internet melalui

smartphone mereka di Amerika Serikat. Hal ini

menurut Pew (2019) membuat hubungan khalayak

dengan berita menjadi portable, personalized dan par-

ticipatory. Namun hal ini tidak menurunkan minat

khalayak untuk memperoleh informasi maupun berita.

Bahkan saat ini khalayak mendapatkan informasi yang

lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Penurunan

terjadi pada penggunaan sumber-sumber berita konven-

sional, namun khalayak mulai tergantung pada media

sosial dan internet sebagai sumber informasi. Pening-

katan sumber informasi dari media sosial ini semakin

meningkat drastis.

Asteria (2016) menyebutkan Informasi yang

tersebar melalui media sosial maupun yang digagas

oleh jurnalisme warga dalam keadaan bencana dapat

menjadi jembatan bagi khayalak untuk mengetahui

informasi tanpa batasan dan dukungan pada media

komunitas untuk melengkapi informasi yang diterima

khalayak melalui internet.

N. Fithryani (2015) dalam tulisannya yang ber-

Page 5: MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020, pp. 19-30 23

judul “Peran Citizen Journalism dalam Program Berita

Stasiun Televisi (Studi Deskriptif Kualitatif pada Situs

Liputan6.com pada Program Berita Liputan6 SCTV”,

menekankan kekhawatirannya mengenai nilai objek-

tivitas dan kredibilitas dari jurnalisme warga di jurnal-

isme online. Jurnalisme seperti ini berkembang pesat

ini dan bersifat real time, di mana semua pihak dapat

mengirimkan pesan tanpa ada proses gatekeeping atau

penyeleksian. N. Fithryani (2015) menjelaskan dalam

media online, aspek yang menjadi prioritas adalah ke-

cepatan bukan faktualitas. Hal ini berbeda dengan me-

dia massa lainnya seperti Koran, buku, televisi yang

melalui proses verifikasi sebelum informasi itu terse-

bar. Jurnalisme ini pun dinilai seringkali berdasarkan

isu dengan narasumber yang tidak jelas dan kebenaran

atas fakta yang ditulis kerap dipertanyakan. Ironisnya

N. Fithryani (2015) menyebutkan sistem seperti ini

kerap merugikan beberapa pihak karena ketidakjelasan

kebenaran dan tidak melaksanakan praktik jurnalisme

yang baik seperti cover both sides.

Peran jurnalistik dalam meliput bencana menjadi

hal yang penting. Arif (2010) mengatakan dalam meli-

put bencana, jurnalis kadang menulis berita tanpa

mengedepankan keseimbangan maupun memverifikasi

ulang sebuah fakta yang didapatkan. Akibat dari ketele-

doran ini, maka jurnalis termakan dan menjadi penye-

bar berita bohong atau hoax, sehingga menjadi bencana

tersendiri. Pemberitaan mengenai bencana Gunung

Agung menurut Panuju (2018) di balipost.com cender-

ung memenuhi kaidah jurnalistik dan kaidah jurnalistik

bencana. Namun Panuju (2018) menekankan ku-

rangnya tulisan mendalam yang disajikan media

balipost.com dan kurangnya penulisan yang berdasar-

kan observasi.

Teori Dependensi Media

Littlejohn dan Foss (2009 :979-980) menjelaskan

dalam menggunakan media, pengguna kerap kali

mengembangkan ketergantungan yang akhirnya mem-

perkuat kekuatan media akan masyarakat penggunanya.

Pengaruhnya berkembang pada tingkat kognitif, afektif

bahkan perilaku. Sandra Ball-Rokeach dan Melvin

DeFleur (1970, dalam Littlejohn, 2009: 980) me-

mandang audiens, media dan sistem sosial bekerja ber-

samaan. Tingkat dependensi atau ketergantungan indi-

vidu terhadap media dipengaruhi tingkat kebutuhan

individu, motif, kondisi sosial dan tujuan kehidupan.

Contohnya apabila individu yang membutuhkan banyak

informasi maka akan mengekspose media dengan

cukup tinggi. Dalam teori dependensi terdapat alternatif

fungsional. Hal ini bicara tentang alternatif-alternatif

media yang digunakan dalam menjadi informasi. Apa-

bila media lain tidak dapat digunakan atau tidak mem-

berikan informasi yang cukup maka ketergantungan

terhadap media tertentu akan semakin tinggi. Alternatif

media juga mampu membuat seseorang tidak tergan-

tung pada salah satu media saja. Para peneliti efek me-

dia menggunakan teori dependensi untuk melihat

bagaimana ragam pola dampak eksposure media. Mere-

ka yang menggunakan beragam alternatif media akan

lebih memiliki pengetahuan, keluasan informasi dan

pemahaman yang mendalam akan suatu isu dibanding

mereka yang hanya menggunakan satu media.

TEMUAN DAN DISKUSI

Gambaran Umum Responden

Responden berasal dari berbagai kabupaten di

Provinsi Bali, dengan total 410 responden. Dari total

100% responden yang tersebar di seluruh Bali, re-

sponden terbanyak berada di dua kabupaten, yakni Ka-

bupaten Tabanan sebanyak 20,5% dan Kabupaten

Buleleng sebanyak 20,5%. Jumlah responden terbesar

kedua yaitu Kabupaten Jembrana dengan jumlah re-

sponden sebanyak 17,6%, mengikuti yakni responden

Kabupaten Karangasem sebanyak 15,1%, responden

Kabupaten Klungkung sebanyak 8,8%, responden Ka-

bupaten Gianyar sebanyak 5,9%, dan responden Kabu-

paten Bangli sebanyak 2,9%. Dari keseluruhan re-

sponden, sebagian besar menjawab pernah menerima

informasi terkait kebencanaan khususnya informasi

mengenai status atau kondisi terkini Gunung Agung.

Berdasarkan jenis kelamin, 43% responden per-

empuan dan 57% responden laki-laki. Dalam

penelitian kali ini, peneliti membagi responden ke da-

lam lima kategori, yaitu petani/pedagang, wirausaha/

swasta, PNS/dosen/dosen, pelajar dan pensiunan. Da-

lam pengambilan data, kategori tersebut mendapatkan

jumlah responden yang berbeda. Responden petani/

pedagang sebanyak 29% , responden wiraswata/swasta

Page 6: MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020, pp. 19-30 24

sebanyak 26%, responden pelajar sebanyak 31%, re-

sponden PNS/guru/dosen sebanyak 12%, dan respond-

en pensiunan hanya sebanyak 2% dari seluruh respond-

en.

Kategori pendidikan terakhir responden yang

terbagi dalam beberapa kategori yakni kategori tidak

sekolah, Pendidikan terakhir SD/SMP, SMA, S1, S2,

dan S3. Masing-masing kategori memiliki jumlah re-

sponden yang beragam. Jumlah terbanyak yakni re-

sponden yang memiliki pendidikan terakhir yaitu SMA

sebanyak 50%. Jumlah responden terendah memiliki

pendidikan terakhir yaitu S3 dengan jumlah sebanyak

0%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata responden

memiliki latar belakang Pendidikan minimal SMA atau

Pendidikan Menengah.

Masyarakat Bali dan Media Baru

Pada penelitian kali ini, kepemilikan media sosial

dan surat elektronik dibagi dalam enam jenis media

sosial dan elektronik yang masih digunakan oleh seba-

gian besar masyarakat Indonesia. Enam jenis media

sosial tersebut adalah facebook, instagram, whatsapp,

BBM, e-mail, dan line. Masing-masing jenis media

sosial tersebut memiliki jumlah pengguna yang be-

ragam. Secara garis besar, sebanyak 68% responden

merupakan pengguna whatsapp. Kemudian menyusul

facebook dan e-mail yang masing-masing memiliki

responden sebanyak 64%, kemudian 51% responden

merupakan pengguna instagram, dan 48% responden

menggunakan pengguna line. Jumlah terrendah ialah

responden yang merupakan pengguna BBM dengan

persentase hanya 22%. BBM menjadi platform berme-

dia sosial yang memiliki pengguna paling sedikit di

antara para responden. Hal ini terlihat pada diagram 1.

Kepemilikan Media.

Diagram 1.

Kepemilikan Media

Diagram 2.

Frekuensi Konsumsi Media per Minggu

Pada diagram 2 memperlihatkan frekuensi re-

sponden dalam menggunakan media sosial dan media

massa. Dalam penelitian kali ini, peneliti mengukur

frekuensi penggunaan media di berbagai jenis media

yang dikonsumsi oleh responden dalam satu minggu.

Media-media tersebut di antaranya adalah Koran, me-

dia radio, media online, youtube, majalah dan televisi.

Hasil yang didapatkan cukup beragam dari masing-

masing jenis media. Secara garis besar, televisi,

youtube dan media online memiliki jumlah presentasi

yang cukup tinggi sebagai media yang sering dikon-

sumsi oleh responden dalam satu minggu. Dengan rin-

cian sebagai berikut: televisi sebanyak 66% responden,

media online sebanyak 49% responden dan youtube

sebanyak 43,7% responden sebagai media yang selalu

dikonsumsi setiap minggunya.

Sementara itu, media radio dan Koran merupakan

media yang cukup jarang dikonsumsi oleh responden.

Hal ini ditunjukkan dari data yang peneliti dapatkan

bahwa sebanyak 66,6% responden mengaku jarang

menggunakan radio sebagai media informasi, dan

sebanyak 55,4% responden mengaku jarang membaca

Koran sebagai sarana informasi secara mingguan. Se-

bagian besar responden tidak pernah menggunakan

majalah sebagai sarana informasi mingguannya.

Sebanyak 63,4% responden menyatakan tidak pernah

membaca majalah. Hal ini memperkuat hipotesis

peneliti mengenai mulai ditinggalkannya media-media

konvensional sebagai pilihan platform bagi masyarakat

dalam memperoleh informasi. Namun televisi tetap

menjadi media yang paling banyak dan paling sering

dikonsumsi oleh responden. Data pada diagram 2 juga

menunjukkan data yang menarik bagaimana frekuensi

responden menggunakan media youtube. Sebanyak

Page 7: MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020, pp. 19-30 25

43,7% responden menyatakan selalu menonton youtube

dalam setiap minggunya, namun data juga menunjuk-

kan 33,4% responden tidak pernah mengkonsumsi

youtube sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa ada

perilaku yang sangat berbeda pada pola konsumsi

youtube. Hasil tabulasi silang menyatakan yang selalu

menggunakan youtube adalah yang berusia muda, se-

dangkan untuk usia yang lebih tua lebih jarang bahkan

tidak pernah mengkonsumsi youtube per minggunya.

Masyarakat dan Media Informasi Kebencanaan

Diagram 3.

Pernah Mendapatkan Informasi Mengenai Kebencanaan

Pada Diagram 3, digambarkan informasi

kebencanaan apa yang kerap dan pernah diterima oleh

responden. Dalam penelitian kali ini, peneliti secara

khusus meneliti mengenai informasi kebencanaan yang

sering diterima oleh masyarakat. Informasi

kebencanaan yang dimaksud ialah bencana alam yang

membutuhkan kecepatan dalam proses penyebarannya.

Untuk mempermudah proses penelitian, peneliti mem-

bagi informasi kebencanaan ke dalam 5 jenis bencana

alam. Jenis-jenis tersebut antara lain adalah

kebencanaan pada umumnya, bencana gunung api,

bencana gempa bumi, bencana kekeringan dan bencana

tanah longsor. Kelima jenis informasi kebencanaan

tersebut memiliki hasil dengan jumlah yang berbeda-

beda. Dari jumlah total 100%, rata-rata responden yang

pernah mendapatkan pengetahuan mengenai

kebencanaan. Informasi pengetahuan tentang

kebencanaan terbanyak yang sering diterima oleh re-

sponden ialah informasi kebencanaan dan gunung api.

Jumlah informasi pengetahuan tentang kebencanaan

terendah yang diterima oleh responden ialah informasi

mengenai kekeringan. Berikut adalah rincian persentase

responden dalam menerima informasi pengetahuan

tentang kebencanaan. Pengetahuan kebencanaan

sebanyak 100%, informasi gunung api sebanyak 100%,

informasi gempa bumi sebanyak 72%, informasi

kekeringan sebanyak 45% dan informasi longsor

sebanyak 64%. Hasil yang beragam tersebut di-

pengaruhi oleh keadaan lingkungan dan struktur tanah

yang berbeda dari masing-masing kabupaten yang men-

jadi tempat tinggal responden. Selain itu, akses dan

sumber informasi bagi responden yang beragam juga

turut mempengaruhi dalam penyebaran informasi

mengenai kebencanaan. Secara garis besar, akan sangat

berbeda hasilnya jika responden yang berdomisili di

Kabupaten Bangli dan responden yang berdomisili di

Kota Denpasar dalam menjawab pertanyaan penelitian

mengenai bencana longsor. Selain karena lingkungan

dan geologi yang berbeda, dalam hal ini Kabupaten

Bangli berada di dataran tinggi, sedangkan Kota

Denpasar berada di dataran rendah, akses informasi

yang terbatas bagi wilayah Kabupaten Bangli diband-

ing kota Denpasar juga menjadi penyebab beragamnya

hasil dari penelitian kali ini. Namun dibandingkan

Semua jenis bencana alam, informasi mengenai

bencana gunung api adalah informasi yang pernah

diterima seluruh responden. Hal ini menunjukkan

bencana Gunung Api adalah bencana yang mendapat

perhatian bagi responden maupun sumber penyebar

informasi kebencanaan.

Hal tersebut berkaitan pula dengan sumber in-

formasi kebencanaan yang bisa digunakan oleh

masyarakat di Bali. Pada diagram berikut adalah dia-

gram 4 yang menggambarkan sumber informasi

kebencanaan apa yang paling sering digunakan untuk

mendapatkan informasi mengenai kebencanaan.

Diagram 4.

Sumber Informasi Kebencanaan

Dalam penelitian kali ini, peneliti membagi sumber

informasi kebencanaan menjadi 4 sumber, yaitu media

massa, banjar/desa adat, media sosial dan keluarga.

Page 8: MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020, pp. 19-30 26

Dari data yang didapatkan di lapangan, peneliti

mendapatkan hasil yang cukup menarik. Persentase

media massa dan media sosial yang dijadikan sumber

informasi kebencanaan berada pada besaran yang sama.

Hal ini dibuktikan dari jumlah persentase yang cukup

tinggi dari kedua sumber informasi tersebut yang mas-

ing-masing mendapatkan jumlah presentase sebanyak

40%. Hal ini menunjukkan masyarakat di Bali cukup

banyak terterpa informasi kebencanaan dari media mas-

sa dan media sosial. Sumber informasi lainnya yang

juga menjadi sumber informasi kebencanaan adalah

keluarga dan banjar/desa adat. Kedua sumber ini

mendapatkan persentase yang cukup rendah dengan

hanya 10%. Hal ini menunjukkan bahwa informasi

kebencanaan lebih banyak responden terima dari media

massa dan media sosial dibandingkan informasi yang

bersifat antar pribadi atau kelompok.

Sumber Informasi Aktivitas Gunung Agung

Informasi kebencanaan kemudian dikerucutkan

mengenai informasi kebencanaan yang terkait dengan

aktivitas Gunung Agung. Hasil yang peneliti dapatkan

juga cukup beragam. Peneliti membagi media referensi

yang digunakan responden untuk mengetahui informasi

tentang aktivitas Gunung Agung menjadi empat media

referensi, yaitu media sosial, media massa, keluarga

dan banjar/desa adat. Pertanyaan ini tumbuh disebab-

kan tren yang menunjukkan bahwa media sosial lebih

sering diakses oleh masyarakat dibandingkan media

lainnya. Hal lain dikarenakan akses informasi berbasis

internet dan digital yang semakin meluas dengan cepat.

Data menunjukkan bahwa media dengan jumlah terban-

yak sebagai media referensi tentang informasi aktivitas

Gunung Agung yang banyak digunakan oleh responden

ialah media sosial. Media sosial mendapat hasil persen-

tase sebanyak 42%. Angka ini lebih tinggi 2% dari pa-

da media massa yang mendapatkan jumlah presentase

sebanyak 40%. Data ini menunjukkan bahwa media

massa seperti televisi, radio, koran dan lain sebagainya

menjadi pilihan kedua bagi masyarakat di Bali untuk

dijadikan media referensi tentang Gunung Agung.

keluarga dan banjar/desa adat juga menjadi media ref-

erensi tentang Gunung Agung walaupun dua saluran

informasi lainnya mendapatkan persentase yang lebih

rendah. Sebanyak 11% responden menyatakan

keluarga adalah sebagai salah satu media referensi ten-

tang informasi aktivitas Gunung Agung, dan terdapat

hanya sebanyak 7% responden yang menyatakan ban-

jar/desa adat dapat dijadikan media referensi tentang

informasi aktivitas Gunung Agung. Hal ini menunjuk-

kan bahwa mereka lebih banyak menggunakan media

massa dan media sosial sebagai rujukan untuk menge-

tahui informasi terkini mengenai aktivitas Gunung

Agung.

Dampak Bencana Erupsi Gunung Agung

Erupsi Gunung Agung yang aktif kembali sejak

akhir tahun 2017 lalu tentunya memberi dampak yang

signifikan di segala aspek. Dampak riil yang biasa ter-

jadi akibat gunung berapi antara lain adalah hujan abu,

hujan pasir, gempa bumi, gemuruh dan juga lahar

dingin. Dari kelima dampak alam yang terjadi, hanya

hujan abu, gempa bumi dan gemuruh yang bisa dirasa-

kan oleh responden. Sedangkan hujan pasir dan lahar

dingin tidak dirasakan oleh para responden.

Diagram 5.

Dampak Erupsi

Dari diagram 5 di atas diketahui sebanyak kurang

lebih 38% responden menyatakan merasakan dampak

erupsi Gunung Agung berupa hujan abu, sedangkan

sebanyak kurang lebih 22% responden menyatakan

merasakan dampak erupsi Gunung Agung berupa gem-

pa bumi. Dan yang terendah yakni sebanyak kurang

lebih 8% responden menyatakan merasakan dampak

aktivitas Gunung Agung berupa gemuruh. Dari dia-

gram 5. di atas juga diketahui secara umum hampir

seluruh responden tidak merasakan dampak langsung

dari aktivitas Gunung Agung. Hujan abu pun hanya

dialami oleh responden yang berada di Kabupaten Ka-

rangasem dan sekitarnya. Namun ironisnya setengah

dari responden menyatakan terancam dengan aktivitas

Page 9: MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020, pp. 19-30 27

Gunung Agung. Hal ini terlihat pada diagram 6 di

bawah ini.

Diagram 6.

Merasa Terancam dengan Gunung Agung

Status Gunung Agung yang dapat berubah sewaktu

-waktu tentu sedikit banyak memberikan kekhawatiran

bagi masyarakat di Bali. Namun kekhawatiran tersebut

justru menumbuhkan sikap waspada dan awas terhadap

kondisi gunung agung terkini. Dari data yang peneliti

dapatkan, jumlah masyarakat yang merasa terancam

dan tidak terancam terhadap status Gunung Agung ada-

lah sama. Sebanyak 50% responden menyatakan tidak

terancam terhadap status terkini Gunung Agung, se-

dangkan 50% lainnya menyatakan terancam terhadap

status terkini Gunung Agung. Kekhawatiran masyara-

kat terhadap status terkini Gunung Agung mendorong

mereka untuk aktif memantau situasi terkini gunung

agung melalui berbagai media dan platform informasi.

Hal ini tergambarkan pada diagram 7 mengenai apakah

responden memantau status dan aktivitas Gunung

Agung. Pada diagram 7 tergambarkan sebanyak 53%

responden menyatakan selalu memantau kondisi terkini

dari Gunung Agung. Sementara itu terdapat sebanyak

47% responden menyatakan tidak memantau Gunung

Agung secara intens.

Diagram 7.

Apakah Memantau Status/Aktivitas

Gunung Agung

Media untuk memantau kondisi terkini Gunung

Agung cukup beragam. Masyarakat dapat memilih plat-

form yang mudah untuk diakses guna mendapatkan

informasi terbaru mengenai status dan aktivitas

Gunung Agung. Tidak hanya terus menerus mengan-

dalkan media sosial, namun masyarakat juga

menggunakan media masa serta kerabat atau keluarga

sebagai media untuk mendapatkan informasi. Tidak

bisa dipungkiri, bahwa kekuatan media sosial yang

terdepan dalam kecepatan akses informasi menjadi

pilihan utama bagi masyarakat untuk “cepat tahu” sta-

tus Gunung Agung. Hal tersebut dibuktikan dari jumlah

responden yakni sebanyak 54% menyatakan

menggunakan media sosial untuk memantau kondisi

Gunung Agung. Sementara itu, sebanyak 45% respond-

en menyatakan menggunakan media massa seperti tele-

visi, koran dan radio untuk memantau status terkini

Gunung Agung. Sedangkan hanya sebanyak 1% re-

sponden menyatakan kerabat/keluarga sebagai media

untuk memantau status terkini Gunung Agung. Kera-

bat/keluarga yang dimaksud adalah mereka yang ber-

domisili di kabupaten Karangasem atau kebupaten-

kebupaten lainnya yang tergolong dekat dengan lokasi

Gunung Agung. Dan atau mereka-mereka yang tinggal

di radius kawasan rawan bencana di wilayah Ka-

rangasem. Hal ini terlihat pada diagram 8.

Diagram 8.

Media yang Digunakan dalam Memantau Aktivitas Gunung Agung

Data di atas menunjukkan bahwa media sosial ada-

lah adalah media yang dijadikan rujukan dalam me-

mantau aktivitas Gunung Agung. Hal ini cukup

mengkhawatirkan mengingat sifat media sosial yang

terkait dengan kredibilitas sumber dan akurasi informa-

si yang kerap masih dipertanyakan. Sifat informasi

yang langsung ke dalam genggaman tanpa ada gate-

keeper, dan perasaan terancam dengan aktivitas

Page 10: MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020, pp. 19-30 28

Gunung Agung menyebabkan adanya kepanikan saat

ada informasi mengenai naiknya status Gunung Agung

dan masyarakat diharapkan untuk segera mengungsi.

Kepanikan ini terjadi saat tidak lagi ada kesempatan

untuk melakukan verifikasi informasi yang diterima.

Data penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian

kecil responden yang memiliki kebiasaan untuk

memverifikasi informasi yang diterima di media sosial

mengenai status dan aktivitas Gunung Agung.

Selengkapnya pada diagram 9.

Diagram 9.

Apa yang Dilakukan

Setelah Menerima Info Gunung Agung

Diagram 9 di atas menggambarkan bagaimana

respons masyarakat saat menerima informasi berupa

teks dan gambar mengenai keadaan Gunung Agung.

Sebagian besar responden yakni 70% responden

menyatakan pernah mendapatkan/menerima gambar/

info mengenai Gunung Agung. Namun setelah meneri-

ma informasi tersebut hanya 36% responden yang

melakukan konfirmasi informasi atau foto tersebut.

Dari diagram 9 diketahui juga bahwa dari yang meneri-

ma gambar 30 persennya langsung membagikan kem-

bali. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 30% re-

sponden yang menerima gambar dan langsung mem-

bagikan kembali informasi/gambar yang diterima. Re-

sponden yang melakukan konfirmasi memilih konfir-

masi melalui media massa dan pemerintah.

DISKUSI

Dari temuan di atas maka diketahui bahwa masyarakat

Bali memiliki ketergantungan yang tinggi pada media

khususnya untuk mencari dan mengkonsumsi informasi

mengenai perkembangan aktivitas Gunung Agung.

Televisi dan media sosial menjadi sumber informasi

akan aktivitas Gunung Agung. Berdasarkan teori de-

pendensi, masyarakat di Bali sebenarnya telah memiliki

sumber utama maupun sumber media alternatif. Namun

sumber utama informasi yang didapatkan adalah dari

media sosial seperti whatsapp dan facebook. Bahkan

54% responden memantau melalui media sosial. Angka

ini menunjukkan ketergantungan yang tinggi akan me-

dia sosial. Tingkat kepercayaan responden pada media

sosial pun tinggi sehingga mempengaruhi responden

hingga tingkat afektif dan perilaku.

Dari data di atas juga diketahui bahwa walaupun

terdapat alternatif lain untuk mengetahui perkem-

bangan aktivitas Gunung Agung, responden kerap kali

membagikan informasi yang ia terima di media sosial

tanpa melakukan verifikasi ke media alternatif lainnya.

KESIMPULAN

Masyarakat di Bali tercatat telah mendapat terpaan

mengenai informasi bencana secara luas. Sumber infor-

masi mengenai kebencanaan yang paling banyak

digunakan adalah dari media sosial. Namun literasi

digital kebencanaan masyarakat masih kurang. Dari

data yang diperoleh di atas maka memberi gambaran

bahwa sebagian besar masyarakat di Bali tidak cukup

memiliki literasi digital kebencanaan. Hal ini ditunjuk-

kan dengan rendahnya masyarakat yang melakukan

verifikasi atau konfirmasi atas informasi kebencanaan

yang diterimanya. Ironisnya masyarakat pun cenderung

membagikan kembali informasi kebencanaan Gunung

Agung tanpa melakukan verifikasi.

Hal ini menyebabkan walau pun sebagian besar

masyarakat tidak berada di kawasan bencana Gunung

Agung namun mereka tetap merasakan terancam. Jadi

kegelisahan dan perasaan tidak aman yang mereka

rasakan lebih banyak disebabkan dari banyaknya infor-

masi mengenai gunung Agung yang beredar di media

sosial mereka. Hal ini diperparah dengan cepatnya in-

formasi mengenai Gunung Agung yang beredar di me-

dia sosial tanpa informasi dan terverifikasi.

Saran dari hasil penelitian ini adalah perlunya

peningkatan literasi digital dalam konteks kebencanaan

bagi masyarakat di Bali. Penelitian ini menambahkan

konteks pesan yang harus dimiliki berbagai lembaga

0

20

40

60

80

100

120

Mendapatkan gambar/info ttg Gn

Agung

Konfirmasi informasi Share kembali

Ya Tidak

30 %

Page 11: MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020, pp. 19-30 29

yang terlibat dalam sistem komunikasi kebencanaan.

Lestari dkk (2019) dalam menyusun rencana komu-

nikasi kebencanaan melibatkan berbagai sistem sosial

dari berbagai lembaga mulai dari Kepolisian, URC

BPBD, PVMBG, Kominfo, Rumah Sakit Daerah, TNI

(Lestari, Paripurno, & Nugroho, 2019). Konteks yang

dimaksud adalah pentingnya satu pesan yang seragam

untuk beredar di masyarakat. Pesan yang disampaikan

selain seragam juga diharapkan dapat secepatnya

beredar di masyarakat untuk menangkal misinformasi.

Saran lain yang dapat disampaikan dari

penelitian ini adalah penggunaan saluran-saluran infor-

masi berbasis kearifan lokal seperti institusi sosial ban-

jar di Bali. Dalam penelitian terungkap bagaimana ban-

jar dijadikan salah satu tempat memverifikasi informasi

mengenai kebencanaan. Fatanti dkk (2019) dalam

jurnalnya menekankan bagaimana manajemen

kebencanaan di Indonesia masih didominasi analisis

saintifik dan meminggirkan pengetahuan dan kearifan

lokal. Noer Fatanti (2015) menyatakan bahwa masyara-

kat di berbagai belahan Indonesia memiliki beragam

warisan pengetahuan/ nilai lokal terkait kesiapsiagaan

bencana. Oleh karena itu media maupun saluran alter-

natif-alternatif yang berbasis kearifan lokal menjadi

salah satu media yang membantu penyebaran informasi

dan berfungsi menangkal informasi bohong yang

beredar di media sosial. Ke depannya penelitian dapat

dikembangkan menjadi lebih mendalam dengan

melihat bagaimana pengaruh informasi kebencanaan di

media sosial terhadap sikap dan tindakan masyarakat

tidak hanya persepsi dan dampak afektifnya saja.

DAFTAR PUSTAKA

ATR-BPN.go id. (2019) sumber: http://tataruang.atr-

bpn.go.id/Bulletin/upload/data_artikel/posisi%

20indonesia.pdf diakses pada 1 September 2019

Arif, Ahmad. (2010). Jurnalisme Bencana, Bencana

Jurnalisme. Pustaka Gramedia : Jakarta

Asteria, Donna. (2016). Optimalisasi Komunikasi

Bencana di Media Massa sebagai Pendukung Mana-

jemen Bencana. Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana

Komunikasi Indonesia. 01 (2016) 1-11

Budi HH, Setio. (2012). Komunikasi Bencana: Aspek

Sistem (Koordinasi, Informasi dan Kerjasama). Jurnal

Komunikasi, Vol.1 No.4. Januari 2012, hal 363-372

Gillmor, Dan. (2006). We The Media, Grassroots Jour-

nalism from The People by the People. O’Reilly Media

Inc., Cambridge, MA.

Haddow, George D., Kim. S. Haddow. (2008). Disaster

Communication in a Changing Media World. Elsevier:

USA

Haddow, George D., Kim. S. Haddow. (2014). Disaster

Communication in a Changing Media World 2nd Ed.

Elsevier: USA

Kompas.com. (2018). dengan judul "Meletus Pertama

pada 1808, Ini Catatan Letusan Gunung Agung” sum-

ber: https://regional.kompas.com/

read/2018/07/03/16410061/meletus-pertama-pada-

1808-ini-catatan-letusan-gunung-agung?page=all di-

akses pada 31 Agustus 2019

Lestari, P., Paripurno, E. T., & Nugroho, A. R. B.

(2019). Table Top Exercise Disaster Communication

Model in Reducing Disaster Risk. Jurnal Penelitian

Komunikasi, 22(1), 17–30. https://doi.org/10.20422/

jpk.v22i1.587

Littlejohn, Stephen, Karen Foss. (2009) The Encyclope-

dia of Communication Theory. Sage Publications :

USA

N. Fithryani, (2015). Peran Citizen Journalism dalam

Program Berita Stasiun Televisi (Studi Deskriptif

Kualitatif terhadap Situs Liputan6.com pada Program

Berita Liputan6 SCTV. Interaksi: Jurnal Ilmu Komu-

nikasi, Vol 4, no,1 pp 22-31. Januari 2015. https://

doi.org/10.14710/interaksi.4.1.22-31

Martono, Nanang. (2010). Statistika Sosial, Teori dan

Aplikasi Program SPSS. Gaya Media: Yogyakarta

Noer Fatanti, Megasar., Dyan Rahmiati, Ika Rizki Yus-

tisia. (2019). Merawat Tradisi Lokal sebagai Strategi

Pengurangan Risiko Bencana di Dusun Brau, Jawa

Timur Preserving Local Traditions as a Strategy for

Disaster Risk Reduction in Brau Village, East Java.

IPTEK-KOM Vol. 21 No.1, Juni 2019:75-91

Panuju, R. (2018). Etika Jurnalistik dan Jurnalisme

Bencana pada Pemberitaan Gunung Agung di Portal

Berita Balipost.com. Jurnal ILMU KOMUNIKASI, 15

Page 12: MEDIA SOSIAL DAN LITERASI KEBENCANAAN DI BALI

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 9, No. 1, Juni 2020, pp. 19-30 30

(2), 219–232. https://doi.org/10.24002/jik.v15i2.1455

PEW Reseacrh centre. (2019). “Mobile Fact Sheets”

sumber: https://www.pewinternet.org/fact-sheet/mobile/

diakses pada 2 September 2019

Purwo Nugroho, Sutopo., Dyah Sulistyorini. (2018).

Komunikasi Bencana, Membedah Relasi BNPB dengan

Media. Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyara-

kat BNPB : Jakarta

R. Yudha. (2017). Tantangan Literasi Era Media Digi-

tal (Analisa Pengguna Media Berdasarkan Model

Kemungkinan Elaborasi). Interaksi: Jurnal Ilmu Komu-

nikasi vol. 6 no.1 pp. 132-139, Dec. 2017.https://

doi.org/10.14710/interaksi.6.1.132-139

Rudianto. (2015). Komunikasi dalam Penanggulangan

Bencana. Jurnal Simbolika, 1(1), 1–12. https://

doi.org/10.1139/T08-100

Trisnani. (2019). “Whatsapp sebagai Media Komu-

nikasi Tokoh Masyarakat”, Media Digital dan Peru-

bahan Budaya Komunikasi, Arifianto S., (ed). Balit-

bang Kominfo & Aswaja Presindo : Yogyakarta

UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana