PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... ·...

186
i

Transcript of PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... ·...

Page 1: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

i

Page 2: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

ii

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA JAWA SEBAGAI

PENGUAT BUDI PEKERTI PESERTA DIDIK UNTUK

MENGHADAPI MEA

28 Maret 2016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO Alamat : Jalan K.H. A. Dahlan No 3 Telp/ Fax (0275) 321494 Purworejo

54111

Page 3: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

iii

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

“Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa sebagai Penguat Budi Pekerti Peserta

Didik untuk Menghadapi MEA”

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Muhammadiyah Purworejo

Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang

Editor :

Aris Aryanto, S.S., M.Hum.

Herlina Setyowati, M.Pd.

Rochimansyah, M.Pd.

Penyunting :

Yuli Widiyono, M.Pd.

Eko Santosa, S.Pd., M.Hum.

Zuly Qurniawaty, S.Pd., M.Hum.

ISBN: 978-602-74499-0-9

Diterbitkan Oleh :

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Muhammadiyah Purworejo

Alamat : jalan K.H.A. Dahlan No 3 dan 6 Telp/Fax (0275) 321494 Purworejo

54111

Website: Digilib.umpwr.ac.id

Page 4: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

iv

KATA PENGANTAR

Pasar bebas Asia Tenggara atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

akhirnya telah bergulir. artinya, mobilitas manusia secara bebas keluar masuk

Indonesia, begitupun sebaliknya. hal ini mengisyaratkan masyarakat Indonesia

harus siap bersaing dengan Negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.

mau tidak mau persaingan sudah ada di depan mata, dan masyarakat Indonesia

harus siap menghadapinya. selain memperbaiki kualitas produk lokal, Sumebr

Daya Manusia (SDM) tentu saja juga harus ditingkatkan kemampuan dan

ketahanannya karena Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi faktor penentu

dalam menyokong pembangunan dalam segala bidang. untuk itu, perlu

diupayakan suatu usaha untuk mencetak manusia-manusia Indonesia yang

tangguh dalam menghadapi gejolak zaman. maka, usaha nyata yang dapat

dilakukan salah satunya melalui pendidikan karena pendidikan sebagai tolok ukur

kualitas SDM suatu Negara.

Seminar Nasional dengan tema “Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa

sebagai Penguat Budi Pekerti Peserta Didik untuk Menghadapi MEA” sebagai

event yang menjadi petanda semakin kuatnya kesadaran bersama akan pentingnya

pembelajaran budi pekerti yang tercerap dalam kearifan lokal budaya nusantara

terutama dalam hal ini adalah bahasa dan sastra daerah.

Ucapan terimakasih kami haturkan kepada Prof. Dr. Teguh Supriyanto, M.

Hum. dan Prof. Dr. Sukirno M. Pd. sebagai Pembicara Utama dalam seminar.

tidak lupa kami haturkan terimakasih kepada para pemakalah pendamping dan

seluruh peserta dari kalangan akademisi, guru, mahasiswa yang telah

berpartisipasi dalam kegiatan Seminar Nasional ini. Semoga dengan penerbitan

buku prosiding ini dapat menjadi bahan permenungan dan referensi bagi semua

kalangan terutama guru sebagai ujung tombak pendidikan.

Purworejo, Maret 2016

Panitia

Pelaksana

Page 5: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Pengembangan Materi Ajar Bahasa Jawa di Sekolah

Prof. Dr. Teguh Supriyanto, M.Hum. ̴ 1

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa berbasis Kuantum dan Tembang Macapat

sebagai Penguat Budi Pekerti Peserta Didik Menghadapi Masyarakat Ekonomi

Asia

Prof. Dr. Sukirno, M.Pd. ̴ 9

Pendidikan Bahasa, Sastra, Budaya di Sekolah dan Masyarakat sebagai Wujud

Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia

Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴ 24

(Tanggap) Ing Sasmita Amrih Lantip dalam Serat Wulangreh Suatu Kajian

Pragma-Semiotik

Aris Wuryantoro ̴ 34

Memasyarakatkan Kandungan Isi Naskah Jawa Klasik sebagai Bentuk

Implementasi Pendidikan Budi Pekerti

R. Adi Deswijaya, S.S., M.Hum. ̴ 44

Revitalisasi Nilai-Nilai Sejarah dan Pendidikan Budi Pekerti Melalui Kesenian

Ketoprak

Bagus Wahyu Setyawan ̴ 61

Budaya Ujung sebagai Sarana Pendidikan Budi Pekerti Bagi Masyarakat Jawa

Sawitri, S.Sn.M.Hum ̴ 71

Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat Tingkat Sosial Masyarakat

Bayu Indrayanto, S.S., M.Hum. ̴ 85

Inovasi Proses Pengajaran Tembang Macapat Menggunakan Media Audio sebagai

Upaya optimalisasi Fungsi Pembelajaran Bahasa Daerah di Era MEA

Astiana Ajeng Rahadini ̴ 95

Mendekatkan Kesenian tradisional Ketoprak kepada Masyarakat Pendidikan

Budi Waluyo ̴ 104

Bahasa Ibu : Kepunahan, Pelestarian, dan Pengembangan

Djoko Sulaksono, M.Pd. ̴ 114

Optimalisasi Potensi Kearifan Lokal Bahasa dan Budaya Jawa sebagai strategi

Peningkatan Nilai Budi Pekerti dan Penguatan Jati Diri dalam Menyongsong

MEA

Favorita Kurwidaria ̴ 124

Page 6: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

vi

Penguatan Sikap Positif sebagai Upaya Pemertahanan Bahasa Ibu dalam

Masyarakat Tuturnya

Kenfitria Diah Wijayanti. ̴ 137

Sejarah dan Pandangan tentang Kebijakan Bahasa (Strategi Menghadapi MEA)

Rahmat, S.S., M.A. ̴ 146

Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Sangu Pati II Karya Ki Padma Sujana

Yuli Widiyono, M, Pd. ̴ 156

Nilai-Nilai Luhur Budaya Jawa dalam Lakon Wayang Sawitri Karya Ki

Nartosabdo Sumbangannya Bagi Pendidikan Budi Pekerti

Aris Aryanto, S.S., M.Hum. ̴ 169

Page 7: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

1

PENGEMBANGAN MATERI AJAR BAHASA JAWA DI SEKOLAH

Oleh:

Prof. Dr. Teguh Supriyanto, M. Hum.

Universitas Negeri Semarang

PENDAHULUAN

Judul makalah saya adalah pengembangan materi ajar bahasa Jawa, artinya

persoalan ini termasuk dalam lingkup pembelajaran. Pembelajaran adalah sebuah

proses, yaitu proses membelajarkan siswa yang tadinya tidak mengerti menjadi

mengerti. Dengan demikian, materi ajar merupakan bagian dari serangkaian

proses pembelajaran sehingga sangat berkait dengan rencana, proses, dan evaluasi

pembelajaran. Di samping itu, materi ajar harus dikembangkan mulai dari

kesesuaian kurikulum dan bagaimana mengukurnya apakah materi ajar sudah

tersampaikan dengan benar. Pada diskusi siang ini makalah ini saya bagi kedalam

empat subbagian. Pertama, dibicarakan gambaran umum kurikulum, bagaimana

kurikulum seharusnya disusun dan kaitannya dengan kurikulum tiga belas. Bagian

kedua, dibicarakan arah dan strategi penyusunan kurikulum kaitannya dengan

materi ajar. Bagian ketiga, berisi pengembangan materi ajar bahasa Jawa, dan ke

empat penutup.

PEMBAHASAN

1. Kurikulum

Diskusi siang ini menjadi menarik kaitannya dengan persoalan kurikulum

bahasa Jawa yang sekarang ini diterapkan. Saya beri nama kurikulum tiga belas,

artinya kurikulum Bahasa Jawa yang disesuaikan dengan kurikulum tiga belas.

Harapan saya, hasil diskusi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran

(rekomendasi) apakah kurikulum bahasa Jawa masih perlu dievaluasi atau

memperkuat apakah kurikulum tiga belas bahasa Jawa itu sudah sangat cukup dan

layak dilanjutkan.

Yang pertama-tama muncul dalam kaitan dengan materi ajar kurikulum tiga

belas bahasa Jawa adalah banyaknya keluhan beratnya muatan materi ajar.

Page 8: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

2

Keluhan inilah yang harus diselesaikan oleh para guru untuk menyikapi materi

ajar yang dianggap memberatkan itu. Titik berat kurikulum tiga belas mengacu

pada kurikulum nasional (kurtilas) sehingga kurikulum tiga belas bahasa Jawa

lebih didasarkan pada pendidikan karakter. Lebih dari itu, apakah kurikulum

bahasa Jawa memiliki karakteristik yang berbeda dengan kurikulum bahasa

Indonesia misalnya, atau sebenarnya sama? Atau lebih jauh lagi apakah

kurikulum bahasa Jawa harus sama dengan kurikulum bahasa Inggris? Inilah

berbagai persoalan mendasar sebenarnya yang selama ini menggelayut di benak

saya.

Marilah kita mencoba melihat gambaran umum kurikulum terutama pada

aspek tujuan pembelajaran, sebelum kita mengembangkan materi ajar. Hal ini

penting untuk dasar pengembangan materi ajar yang kita diskusikan siang ini.

Sebagaimana disebutkan di depan, bahwa materi ajar tidak dapat dilepaskan

dengan tujuan pembelajaran yang ada dalam kurikulum.

Sebelum merumuskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dalam

rumusan kurikulum mestilah harus diketahui karakteristik kurikulum tersebut

termasuk di dalamnya adalah sifat kurikulum tersebut. Tujuan pembelajaran dari

kurikulum harus dinyatakan dengan jelas. Apa yang akan dicapai setelah siswa

selesai belajar bahasa Jawa. Oleh karena itu, kita dapat menentukan arah dan

strategi misalnya pada jenjang sekolah dasar sampai mana selanjutnya diteruskan

jenjang beikutnya sampai tercapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Dalam

kaitan ini, saya berpendapat bahwa tujuan pembelajaran bahasa Jawa adalah

membuat siswa terampil berbahasa Jawa dengan baik sesuai dengan unggah-

ungguh basa.

Terampil berbahasa Jawa artinya terampil menyimak, berbicara, membaca,

menulis, dan apresiasi sastra sesuai dengan unggah ungguh bahasa Jawa. Tujuan

ini harus dijabarkan dalam arah dan strategi. Arah setiap jenjang serta strategi

setiap jenjang harus dirumuskan sehingga tujuan akhir dari pembelajaran bahasa

Jawa dapat tercapai. Artinya, seorang siswa SMA yang lulus harus menguasai

keterampilan tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa Jawa. Ia

mestilah harus terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis sesuai

Page 9: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

3

dengan unggah ungguh bahasa serta mampu mengapresiasi karya sastra dengan

baik. Dengan demikian, lulusan SMA dapat digolongkan dalam kategori para

sepuh:ngerti basa atau wis njawani. Supaya tujuan kurikulum tercapai, arah dan

strategi antara jenjang sekolah dasar dan menengah harus berkesinambungan dan

berjenjang. Karenanya, materi ajar disesuaikan dengan tujuan yang hendak

dicapai sehingga tidak akan muncul materi yang tumpang tindhih dan terlalu

berat.

Apakah tujuan pembelajaran kurikulum bahasa Jawa yang sekarang, yaitu

kurikulum tiga belas sudah disusun secara jelas? Jika sudah apakah tujuan itu

sudah dirumuskan arah dan strateginya sehingga tujuan tersebut dapat tercapai

dengan baik? Inilah yang harus kita cermati sehingga proses pembelajaran bahasa

Jawa kita sekarang ini menjadi jelas dan terarah.

2. Arah dan Strategi Penyusunan Kurikulum

Arah dan strategi merupakan langkah strategis untuk mencapai tujuan

pembelajaran yang hendak dicapai. Arah merupakan road map sehingga dapat

diketahui dan direkam jejaknya. Ibarat rel kereta, arah tergelar menuju tujuan

yang hendak dituju. Strategi merupakan cara untuk melengkapi arah yang akan

dituju. Rel merupakan jalan panjang yang harus ditempuh. Proses pembelajaran

bahasa Jawa memerlukan waktu mulai dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah

menengah, artinya proses pembelajaran berlangsung kira-kira 12 tahun.

Sementara, tujuan pembelajaran bahasa Jawa yang hendak dicapai adalah

mengarahkan siswa terampil berbahasa Jawa dengan baik sesuai dengan unggah-

ungguh basa.

Oleh karena itu, arah dan strategi jelas dibedakan ke dalam tiga jenjang.

Mengapa? Hal ini karena karakteristik siswa di setiap jenjang sangat berbeda, jika

dilihat dari segi pembelajaran bahasa dan karakter kepribadian siswa. Implikasi

dari itu, materi ajar mestilah harus disesuaikan dengan karakteristik siswa di

setiap jenjang. Jelasnya, target sasaran setiap jenjang harus mencerminkan

kesinambungan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai

dalam kurikulum. Apa target yang harus dicapai siswa lulusan sekolah dasar

Page 10: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

4

enam tahun dan apa target yang harus dicapai siswa setiap jenjang berikutnya.

Selanjutnya, materi ajar yang bagaimana supaya target tujuan di setiap jenjang

tercapai.

Inilah sebenarnya persoalan yang sedang kita hadapi di samping persoalan-

persoalan eksternal di luar kurikulum, misalnya persoalan kondisi guru, buku ajar,

dan sebagainya. Pada diskusi siang ini saya berpendapat dan sodorkan di hadapan

hadirin untuk didiskusikan bersama.

Materi ajar untuk anak sekolah dasar, terutama kelas pemula (kelas satu

dan dua) semestinya ditikberatkan pada dua keterampilan berbahasa, yaitu

mendengarkan (menyimak dan berbicara). Mengapa demikian? Anak usia kelas

satu dan dua memiliki kepekaan bahasa yang sangat kuat. Oleh karena itu,

pembelajaran mendengarkan kosakata merupakan langkah strategis seseorang

nantinya mampu memproduksi kata yang mereka kuasai. Di samping itu, secara

kejiwaan siswa kelas satu dan dua memiliki karakteristik menerima respon dari

luar yang kuat. Otak bagian medan Brocca dan Wernik dalam proses

pembelajaran bahasa sangat peka dalam usia ini. Kosakata bahasa Jawa terutama

ragam ngaka saangatlah banyak dan variatif. Kosakata bahasa Jawa ragam ngaka

dapat ditemukan di lingkungan siswa belajar. Artinya, bahasa Jawa ragam itulah

sesungguhnya bahasa ibu siswa tersebut.

Implikasi dari itu, materi ajar bahasa Jawa di jenjang kelas satu dan dua

sebaiknya disesuaikan dengan sumber belajar di lingkungan siswa. Implikasi

kedua adalah materi ajar untuk jenjang kelas itu sebaiknya adalah bahasa Jawa

ragam ngaka sesuai dengan lingkungannya. Dengan demikian, varian bahasa Jawa

(dalan istilah linguistik: dialek) menjadi lestari dan terjaga sebagai bahasa ibu

mereka. Pemilihan materi ajar yang dipilih bahasa Jawa ragam ngaka yang ada di

lingkungan siswa juga sudah sesuai dengan prinsip belajar. Prinsip pembelajaran

yang pertama mestilah prinsip belajar dari yang mudah ke yang sulit. Arah

pembelajaran bahasa Jawa di jenjang kelas satu dan dua menjadi jelas, siswa

mampu mendengarkan dan berbicara bahasa Jawa ragam ngaka di lingkungannya

dengan baik. Bagimana strateginya? Strategi untuk mencapai target sebagaimana

dirumuskan dalam arah di setiap jenjang harus disesuaikan dengan karakteristik

Page 11: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

5

psikologi siswa. Dalam konteks ini, peran pembelajaran sastra menjadi penting.

Melalui teknik bercerita (bisa menggunakan metode sosiodrama), materi dapat

tersampaikan dengan menyenangkan sesuai dengan dunia anak. Dengan demikian,

materi ajar dongeng batau cerita yang ada di lingkungan siswa menjadi pilihan

strategi berikutnya.

Demikian selanjutnya, arah dan strategi beikutnya disusun sesuai dengan

jenjang kelas, dan karakter siswa sampai akhirnya selesai pada tahap akhir

pembelajaran, yaitu kelas tiga SMA. Di jenjang ini, jelas materi ajar lebih sulit

atau katakanlah paling sulit, yaitu berbicara bahasa Jawa dalam ragam krama

sesuai dengan unggah-ungguh basa. Namun, jika setiap jenjang sudah ditentukan

arah dan strateginya saya berkeyakinan siswa akan samapai ke tujuan

pembelajaran yang hendak dicapai.

3. Pengembangan Materi Ajar Bahasa Jawa

Para guru yang berbahagia dan terhormat, di bagian ini saya uraikan

pengalaman saya mengembangkan materi ajar yang saya tulis di buku ajar yang

saya buat, yaitu dalam Prigel Basa Jawi untuk siswa SMA terbitan Erlangga.

Materi dengan topik rumah adat misalnya, siswa diajak berselancar mengetahui

seluk beluk rumah adat. Ada beberapa buku yang beredar justru mengembangkan

materi ini seperti misalnya jenis rumah adat, cara membuat rumah adat, bahan

yang dibuat, dan seterusnya. Pertanyaannya, apakah kita ingin mencetak siswa

setelah mempelajari topik rumah adat itu mampu mebuat rumah adat seperti

tukang misalnya?

Materi berikut adalah pokok bahasan makanan tradisional. Banyak juga

buku yang beredar sebagai pegangan guru untuk digunakan sebagai mahan ajar

memuat berbagai jenis makanan tradisional, mulai dari tempat, jenis, bahan, dan

lagi-lagi cara membuatnya. Pertanyaan sama saya ajukan apakah kita akan

mencetak siswa setelah lulus mempelajari materi pokok bahasan makanan

tradisional untuk menjadi ahli membuat jenis makanan tradisional?

Jawaban pertanyaan saya jangna dijawab dengan serampangan. Marilah kita

lihat apa karakter kurikulum tiga belas dan apa tujuan pembelajaran yang hendak

Page 12: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

6

dicapai. Dengan demikian, jika setelah selesai mempelajari rumah adat kemudian

makanan tradisional siswa dapat dan mampu membuat rumah adat dan membuat

makanan tradisional akan melenceng dari tujuan pembelajaran. Dengan gampang,

kita juga bisa terpeleset pendapat bahwa ini pelajaran bahasa Jawa dengan topik

ngawur? Pandangan ini juga dapat menjerumuskan atau sesat berpraduga.

Marilah kita mencoba melikat dasar atau hakikat kurikulum tiga belas itu.

Bahwa kurikulum bahasa Jawa tiga belas sebenarnya mengacu pada kurikulum

nasional yang kita sebut kurikulum duaribu tiga belas (kurtilas) yang menekankan

segi karakter. Inilah kunci jawabnya. Oleh karena itu, materi ajar dengan pokok

bahasan rumah tgradisional dapat dikembangkan sesuai dengan karakter

kurikulum. Dalam buku yang saya tulis, siswa diajak mampu menghargai dan

bangga dengan rumah tradisional yang kita miliki bukan bagaimana cara membuat

rumah tradisional itu. Diuraikan bentuk bangunan serta bagian dan fungsinya.

Fungsi bangunan disesuaikan dengan konteks topografi lingkungan kita, misalnya

mengapa rumah joglo harus memiliki atap yang miring sekian serajat?

Lingkungan kita adalah lingkungan tropis sehingga curah hujan sangat tinggi juga

kemarau sangat seimbang dengan musim hujan. Air yang jatuh di genting beratap

miring akan cepat jatuh ke tanah. Berbagai langit-langit di atas yang ksong

memungkinkan ssirkuliasi udara sahant sehat. Oleh karena di cuaca panas kita

tidak akan merasa panas dan seterusnya dan seterusnya. Akhirnya siswa diajak

memahami berbagai fungsi yang pada ahirnya siswa menjadi bangga memiliki

jenis rumah yang tangguh terhadap gempa (terbuat dari kayu dengan kaitan yang

memungkinkan tahan gempa), memiliki fungsi rumah hunian yang nyaman dan

seterusnya.

Pengembangan materi ajar pokok bahasan makanan tradisional juga

didasarkan pada karakteristik kurikulum.Siswa diajak belajar lingkungan yang ada

di wilayah Jawa Tengah. Misalnya makanan tiwul sebagaimana kita singgung di

muka. Geografis dan topografis menjadi jawaban yang membuat siswa menjadi

terkagum dan pada akhirnya bangga terhadap berbagai jenis makanan tradisional

yang kita jumpai.

Page 13: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

7

Materi wayang yang ada juga dapat menggelincirkan kita jika kita kurang

hati-hati mengembangkannya. Sama seperti pokok bahasan yang telah disebut,

pokok bahasan Gatutkaca gugur misalnya jika diajarkan wantah tidak pas untuk

diajarkan kepada siswa. Kita akan mengajarkan peperangan, kematian, kebencian

dan ini tidak sesuai dengan prinsip pembelajaran kita. Oleh karena itu, kita harus

mengembangkannya ke arah keteladanan. Sifat kepahlawanan sebagai tokoh yang

patut diteladani menjadi penting ditonjolkan. Hal-hal yang berbau kekerasan harus

dihilangkan.

Pengembangan materi sebagaimana saya lakukan tersebut sesuai dengan

prinsip pengembangan. Langkah pertama anadalah analisis kebutuhan. Kita butuh

materi keteladanan untuk mendidik siswa berkarakter baik (ngerti unggah-ungguh

basa). Kita juga butuh nilai kebanggaan dan menghargai yang kita miliki. Pokok

bahasan rumah adat dan makanan tradisional sarat memiliki nilai-nilai yang kita

butuhkan untuk pemebelajaran. Pokok bahasan cerita wayang memiliki nilai-nilai

keteladanan serta nilai-nilai sosial yang kita butuhkan. Memang, dalam cerita

wayang banyak nilai filosofisnya tetapi itu terlalu tinggi bagi anak usia remaja.

KESIMPULAN

Dari paparan di depan dapat diambil simpulan bahwa pengembangan materi

ajar tidak dapat dilepaskan dari kerangka kurikulum, terutama tujuan

pembelajaran. Setiap aspek kurikulum saling melengkapi. Tujuan pembelajaran

harus dicapai dengan menyusun arah danstrategi sehingga terget setiap jenjang

pendidikan dapat diukur dengan jelas. Materi pembelajaran harus sesuai dengan

tingkat jenjang sekolah dengan memperhatikan aspek pemerolehan bahasa dan

perkembangan jiwa siswa. Pengembangan materi ajar seyogyanya disesuaikan

dengan prinsip pengembangan dan didasarkan dengan tujuan pembelajaran serta

karakteristik kurikulum. “Tiada gading yang tak retak”.

Page 14: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

8

DAFTAR RUJUKAN

Supriyanto, Teguh. 2013. Bedah Kurikulum Bahasa Jawa 2013. Makalah (belum

diterbitkan). Semarang: FBS Unnes.

Widiyartono, Gandung., Teguh Supriyanto, dkk. 2014. Prigel Basa Jawi kangge

Siswa Kelas X SMA. Jakarta Erlangga.

Page 15: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

9

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA JAWA

BERBASIS KUANTUM DAN TEMBANG MACAPAT

SEBAGAI PENGUAT BUDI PEKERTI PESERTA DIDIK MENGHADAPI

MASYARAKAT EKONOMI ASIA

Oleh:

Prof. Dr. Sukirno, M.Pd.

Universitas Muhammadiyah Purworejo

[email protected].

Abstrak

Tujuan penyusunan makalah ini adalah memaparkan dua model pembelajaran

bahasa dan sastra Jawa sebagai penguat budi pekerti peserta didik yang inovatif

dan kreatif, yaitu pembelajaran berbasis kuantum dan tembang macapat.

Pembelajaran berbasis kuantum memperhatikan tiga ciri, yaitu konteks, isi, dan

langkah tandur (tumbuhkan, alami, namai, demonstrasi, ulangi, dan rayakan).

Pembelajaran berbasis tembang macapat bersumber pada tembang macapat.

Adapun langkah-langkahnya menggunakan langkah tandur. Kedua model tersebut

sudah diujicobakan oleh beberapa pakar dan hasilnya berpengaruh positif

terhadap motivasi dan hasil belajar siswa. Direkomendasikan dua model tersebut

untuk digunakan oleh para guru sebagai alternatif pembelajaran bahasa dan sastra

Jawa.

Kata kunci: pembelajaran bahasa dan sastra jawa, berbasis, kuantum,

tembang macapat

PENDAHULUAN

Tahun 2016 merupakan tahun pertama memasuki Masyarakat Ekonomi

Asean (MEA). Dengan demikian perdagangan bebas yang mencakup barang dan

jasa antarsesama negara anggota Asean tidak ada batasnya lagi. Diprediksi mereka

akan membanjiri Indonesia sebagai eksportir, infestor, pencari kerja, maupun

sebagai turis. Hal ini membawa dampak terutama bagi pekerja di bidang tenaga

medis, arsitek, dokter gigi, perawat, akuntan, tenaga riset, dan pariwisata yang

memiliki spesialisasi dibutuhkan di negara Asean. Pertanyaannya adalah

mampukah barang dan jasa Indonesia bersaing dengan barang dan jasa negara

Asean lainnya?

Page 16: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

10

Agar pekerja Indonesia tidak kalah bersaing, kita harus pandai membekali

diri dengan aneka keterampilan seperti bahasa Inggris dan keterampilan bahasa

dan budaya lokal yang dapat dieksport atau dapat dijual kepada para turis asing di

negara kita sendiri. Satu-satunya kekayaan Indonesia yang tidak perlu

mengimport ke luar negeri adalah bahasa dan budaya lokal. Agar bahasa dan

budaya kita dapat dipertahankan, dikembangkan, dan dapat mendatangkan

keberkahan, kita perlu memperkuat bahasa dan budaya lokal kita melalui jalur

pendidikan, khususnya model pembelajarannya. Beberapa model pembelajaran

yang cocok yaitu pembelajaran berbasis kuantum dan tembang macapat.

Pembelajaran adalah proses belajar dan mengajar. Bahasa dan sastra Jawa

adalah semua bentuk teks bahasa dan sastra yang menggunakan bahasa dan sastra

Jawa. Berbasis maksudnya berpusat atau bersumber. Kuantum maksudnya

dipercepat. Tembang macapat maksudnya semua tembang Jawa yang termasuk

jenis tembang macapat. Penguat maksudnya memperkuat, budi pekerti maksudnya

perilaku atau tingkah laku. Peserta didik maksudnya siswa. Menghadapi MEA

maksudnya menyambut atau menghadapi masyarakat ekonomi asean. Jadi,

maksud istilah judul makalah ini adalah penjelasan konsep pembelajaran bahasa

dan sastra Jawa yang berpusat pada model kuantum dan tembang macapat untuk

menanamkan budi pekerti siswa yang kokoh dalam menghadapi masyarakat

ekonomi Asean.

Saryono (2007:1) menjelaskan bahwa hasil-hasil pembelajaran berbagai

bidang studi terbukti selalu kurang memuaskan berbagai pihak yang

berkepentingan (stakeholder). Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkem-

bangan kebutuhan dan aktivitas berbagai bidang kehidupan selalu meninggalkan

proses pembelajaran atau hasil pembelajaran melaju lebih dahulu daripada proses

pembelajaran sehingga hasil-hasil pembelajaran tidak cocok dengan kenyataan

kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-

temuan kajian yang baru dari berbagai bidang tentang pembelajaran membuat

metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai

permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pembelajaran menuntut

diupayakannya pembaharuan paradigma dan metodologi pembelajaran. Dengan

Page 17: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

11

demikian, diharapkan mutu dan hasil pembelajaran dapat makin baik dan

meningkat.

Untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses dan hasil pembela-

jaran, kalangan pendidik dan pakar pendidikan berusaha menyelaraskan, menye-

rasikan, memutakhirkan, memperbaharui proses pembelajaran dengan pandangan-

pandangan dan temuan-temuan baru di berbagai metodologi pembelajaran. Oleh

karena itu, metodologi pembelajaran silih berganti dipertimbangkan, digunakan

atau diterapkan dalam proses pembelajaran dan pengajaran. Bahkan bermunculan

secara serempak; satu falsafah dan metodologi pembelajaran dengan cepat

dirasakan usang dan ditinggalkan, kemudian diganti dengan dimunculkan satu

falsafah dan metodologi pembelajaran yang lain.

Beberapa tahun terakhir ini di Indonesia telah bermunculan berbagai

falsafah dan metodologi pembelajaran yang dipandang baru-mutakhir meskipun

akar-akar atau sumber-sumber pandangannya sebenarnya sudah ada sebelumnya,

malah jauh sebelumnya. Beberapa di antaranya, yaitu model pembelajaran

kontekstual, model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran berbasis

masalah, model pembelajaran berbasis komputer, model pakem, dan model

pembelajaran kuantum (cuantum learning).

Dibandingkan dengan falsafah dan metodologi pembelajaran lainnya,

model pembelajaran kuantum tampak lebih populer dan lebih banyak disambut

gembira oleh berbagai kalangan di Indonesia berkat penerbitan beberapa buku

mengenai hal tersebut oleh penerbit Nuansa, Bandung [Accelerated Learning For

The 21st Century], penerbit Dahara Prize, Semarang [How to Learn Anything

Quickly], penerbit KAIFA Bandung [Quantum Learning, Quantum Writing,

Quantum Teaching, dan 99 Cara Menjadi Anak Anda Bergairah Menulis].

Walaupun demikian, masih banyak pihak yang mengenali pembelajaran

kuantum secara terbatas–terutama terbatas pada hakikat pembelajaran kuantum,

bangun (konstruks) utamanya, dan penerapannya dalam pembelajaran. Ini

berakibat belum dikenalinya pembelajaran kuantum secara utuh dan lengkap.

Berikut ini dipaparkan dua model pembelajaran bahasa dan sastra Jawa yang

Page 18: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

12

inovatif dan kreatif yaitu model pembelajaran berbasis kuantum dan tembang

macapat.

PEMBAHASAN

A. PEMBELAJARAN BERBASIS KUANTUM

1. Pengertian Belajar Kuantum

Belajar kuantum atau belajar cepat diambil dari istilah quantum learning

(dePorter dan Hernacki, 2003), quantum teaching (dePorter, Reardon, dan

Nouire (2002), accelerated learning (Rose dan Nicholl, 2003), dan how to learn

anything quickly (Linksman, 2004). Istilah lain yang erat dengan belajar kuantum

adalah suggestology atau suggestopedia (Lozanov dalam dePorter dan Hernacki,

2003).

Rose dan Nicholl (2003: 125) menjelaskan bahwa untuk memperoleh

informasi secara cepat dapat melalui gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik.

Linksman (2004: xii) mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai kecepatan

belajar dengan gaya belajar yang berbeda, seperti visual, auditori, taktile, dan

kinestetis. Gaya belajar visual mengandalkan penglihatan yang ditangkap mata.

Gaya belajar auditori mengandalkan pendengaran dan pembicaraan. Gaya

belajar taktile mengandalkan penyentuhan pada objek secara fisik maupun

emosi, dan penciuman. Gaya belajar kinestetik mengandalkan kekuatan motorik

atau gerak. dePorter dan Hernacki (2003:12) menjelaskan bahwa quantum

learning pada hakikatnya adalah metode, kiat-kiat, petunjuk, strategi, dan

seluruh proses yang dapat menghemat waktu, mempertajam pemahaman dan

daya ingat, dan membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan

bermanfaat serta sebagai obat penawar yang menghidupkan dan memperkuat

kembali kegembiraan dan kecintaan belajar. Profil semacam itu sangat cocok

diterapkan dalam pembelajaran sastra karena karya sastra merupakan karya

kreatif yang melibatkan banyak indra.

dePorter, Reardon, dan Nouire (2002:6) menjelaskan bahwa belajar

dengan model kuantum adalah proses pembelajaran dengan cara menyingkirkan

Page 19: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

13

hambatan yang menghalangi proses belajar yang mudah dan alamiah dengan

menggunakan musik, mewarnai lingkungan sekeliling, menyusun bahan

pengajaran yang sesuai, cara efektif penyajian, dan keterlibatan aktif siswa dan

guru.

Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria telah mengadakan

penelitian eksperimen dengan model belajar suggestology atau suggestopedia.

Pada simpulannya dikatakan bahwa sugesti terbukti efektif di sekolah dan untuk

semua tipe orang dari segala usia, pada prinsipnya sugesti dapat dan pasti

memengaruhi situasi dan hasil belajar. Sugesti berarti memberikan kesan,

bisikan, pendapat, anjuran, nasihat, atau saran yang dikemukakan untuk diper-

timbangkan (Echols dan Shadily, 1992:567). Selain itu, sugesti juga berarti

dorongan atau pengaruh yang dapat menggerakkan hati orang (Depdikbud,

1996:969). Sugesti dapat disampaikan secara langsung melalui tulisan atau lisan

dan dapat disampaikan secara tidak langsung melalui lambang, gambar, kode,

hadiah, dan tugas. Dengan sugesti, akan muncul motivasi atau dorongan yang

timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu

tindakan dengan tujuan tertentu.

Pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dengan model belajar kuantum

tidak dapat dipisahkan dengan keterampilan berbahasa seperti menyimak,

berbicara, membaca, dan menulis. Sejalan dengan beberapa pendapat tersebut

di atas dapat dikatakan bahwa belajar kuantum adalah petunjuk, kiat-kiat,

strategi, dan seluruh proses yang dapat menghemat waktu untuk mempercepat

dan mengoptimalkan hasil belajar siswa dengan cara membangun komunikasi

yang membangkitkan semangat belajar siswa dengan mengunakan media yang

tepat dan memberikan keleluasaan siswa menggunakan gaya belajar serta

melakukan kegiatan belajar secara berulang-ulang sebagai proses belajar yang

menyenangkan.

2. Tujuan Belajar Kuantum

Page 20: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

14

Tujuan utama pembelajaran kuantum adalah membantu siswa

mempercepat dan mengoptimalkan hasil belajar siswa sesuai dengan indikator-

indikator pencapaian. Untuk mencapai tujuan tersebut, tugas guru secara umum

adalah menyugesti, mengaktifkan, memfasilitasi, menggerakkan, menyalurkan,

mengarahkan, mengevaluasi sikap dan perilaku individu belajar siswa sambil

terus-menerus memotivasi belajar siswa. Oleh karena itu, belajar bahasa dan

sastra Jawa berbasis kuantum perlu diwujudkan.

3. Manfaat Belajar Kuantum

Setidaknya, ada enam hal penting yang mendorong penulis

mengembangkan belajar berbasis kuantum. Keenam hal penting tersebut

dijelaskan sebagai berikut: (a) belajar berbasis kuantum memanfaatkan siswa

untuk mengembangankan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sistem informasi dan

komunikasi yang semakin cepat dan modern: (b) belajar berbasis kuantum

mewujudkan pembelajaran yang lebih demokratis, menarik, dan menyenangkan;

(c) belajar berbasis kuantum memberi kesempatan kepada siswa untuk memilih

materi ajar yang cocok dan belajar sesuai dengan gaya atau kebiasaan belajar yang

digemari; (d) belajar berbasis kuantum dapat menciptakan proses belajar dengan

hasil belajar maksimal; (e) belajar berbasis kuantum menghasilkan proses belajar

yang dihasilkan menyenangkan bagi siswa dan guru; (f) belajar berbasis kuantum

mampu mengantar siswa menyelesaikan tugas yang mendekati sempurna dalam

waktu yang cepat.

Pembelajaran yang demokratis adalah pembelajaran yang mengutamakan

persamaan hak dan kewajiban terhadap siswa dan guru. Setiap siswa memiliki hak

memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan kompetensi

dasar yang dibelajarkan. Siswa mempunyai hak untuk memilih materi

pembelajaran, memilih gaya belajar pribadi, dan memperoleh pengakuan hasil

belajar. Guru mempunyai kewenangan dan kreativitas sebagai pengatur/pengelola

proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan dari awal sampai dengan

akhir pembelajaran, sehingga dapat mewujudkan tujuan pembelajaran yang telah

Page 21: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

15

dirancang sebelumnya. Kewajiban siswa adalah menyimak, membaca, berdiskusi,

menulis, dan mengerjakan tugas-tugas pembelajaran. Guru mempunyai kewajiban

merencanakan, melaksanakan pembelajaran dengan menumbuhkan semangat

belajar siswa, membimbing, memberikan kesempatan siswa berlatih, dan meng-

evaluasi proses dan hasil belajar siswa.

Pembelajaran dikatakan menarik dan menyenangkan apabila pembelajaran

itu mampu membangkitkan hasrat dan semangat siswa untuk memerhatikan atau

ingin tahu banyak lagi tentang substansi yang dibelajarkan. Pembelajaran yang

menarik dan menyenangkan memerlukan adanya pengelolaan kelas, tata ruang,

media dan sumber belajar yang memadai, dan cara belajar yang bervariasi.

Suasana belajar yang seperti itu akan menggairahkan minat siswa dalam belajar.

Pembelajaran yang menarik dan menyenangkan membuat pembelajaran itu men-

jadi mudah. Pembelajaran yang mudah dapat diselesaikan dengan waktu yang

cepat. Konsep pembelajaran yang demokratis, menarik dan menyenangkan telah

dikemas dalam pembelajaran berbasis kuantum.

4. Asumsi/Landasan Berpikir Belajar Kuantum

Pembelajaran berbasis kuantum ini dilandasi oleh sejumlah asumsi atau

landasan berpikir sebagai berikut: (a) memuat skemata yang dapat menumbuhkan

pemahaman dan minat siswa dalam belajar, (b) melatih kemandirian dan tanggung

jawab siswa dalam memilih materi dan gaya belajar yang dikehendaki, (c) melatih

kerja sama dengan sesama siswa dalam mendiskusikan hasil identifikasi maupun

proses belajar sehingga terjadi persaingan yang sehat, (d) melatih kepemimpinan

khususnya dalam membahas tugas kelompok maupun pelaksanaan lomba dan

publikasi, (e) memberi kesempatan kepada siswa belajar secara terus-menerus

atau berulang-ulang sehingga diperoleh pengalaman belajar yang lengkap, (f)

membentuk kebiasaan belajar siswa menjadi lebih efektif, kritis, imajinatif,

kreatif, produktif, dan menyenangkan, (g) memanfaatkan media pembelajaran

yang ada di sekitar siswa dan melatih siswa siap menghadapi berbagai situasi

dalam perubahan, (h) melibatkan berbagai keterampilan berbahasa (menyimak,

Page 22: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

16

berbicara, membaca, menulis, apresiasi sastra) secara terpadu, sehingga diperoleh

hasil belajar yang tuntas.

5. Ciri-Ciri Belajar Kuantum

dePorter, Reardon, dan Noruie (2002:9) memaparkan tiga hal pokok yang

menjadi ciri-ciri pembelajaran berbasis kuantum, yaitu yang berhubungan

dengan konteks, isi, dan langkah-langkah pembelajaran.

a. Konteks

Konteks ada tiga bentuk, yaitu (1) bahasa, (2) media, dan (3) lingkungan

belajar. Ketiga bentuk itu diusahakan dapat menciptakan suasana belajar

menyenangkan dan mendukung proses belajar. Bahasa yang dimaksudkan di

sini adalah bahasa guru diharapkan dapat membangkitkan semangat belajar

siswa. dePorter dkk. (2002:17) menjelaskan cara membuat suasana yang

menggairahkan, yaitu (i) guru harus menggunakan bahasa yang mampu

membangkitkan niat belajar, (ii) bahasa guru harus dapat menciptakan jalinan

rasa simpati dan saling pengertian, (iii) bahasa guru dapat menciptakan

suasana riang dan menakjubkan, (iv) bahasa guru dapat menciptakan rasa

saling memiliki, dan (v) perilaku berbahasa guru dijadikan teladan siswanya.

Intinya, bahasa guru mudah dipahami, objektif, intelektual, akrab, menarik,

penuh humor, dan banyak kata bersifat sugesti. Selain itu, muatan isi

pembicaraan harus menimbulkan multiinteraksi antarsiswa dan guru dalam

membangkitkan inspirasi dan imajinasi yang tampak dalam aktivitas

menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Media adalah alat bantu pembelajaran. Ada tiga media yang dapat

digunakan pada belajar berbasis kuantum, yaitu media pandang, media

dengar, dan media pandang-dengar. Media yang digunakan dalam strategi

belajar kuantum adalah media yang dapat membantu memperlancar proses

belajar dan membantu siswa yang memiliki gaya belajar berbeda-beda. Media

pandang seperti bahan ajar/buku, majalah, surat kabar, alat-alat peraga, alat

tulis, papan tulis, gambar, dan benda-benda serta suasana yang ada di sekitar

Page 23: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

17

lingkungan belajar. Media tersebut untuk memenuhi siswa yang lebih suka

membaca atau belajar dengan kekuatan mata. Media dengar seperti radio

kaset, pesawat radio, pesawat telepon, telepon genggam, rekaman suara

berbagai peristiwa, dan suara-suara yang ada di sekitar lingkungan belajar.

Media tersebut untuk membantu siswa yang gaya belajarnya mengandalkan

kekuatan pendengaran. Alat pandang-dengar misalnya televisi, kaset video,

VCD, DVD, CD, komputer program multimedia, pementasan, dan media

pandang-dengar di sekitar lingkungan belajar. Media itu untuk memenuhi

siswa yang gemar belajar membaca sambil menyimak sekaligus.

Lingkungan belajar yang diciptakan yaitu lingkungan belajar yang

aman, nyaman, mendukung proses belajar, santai, dan menggembirakan.

Untuk mewujudkan lingkungan seperti itu ada dua lingkungan yang harus

diciptakan, yaitu fisik dan suasana. Lingkungan fisik diciptakan dengan cara

memanfaatkan aktivitas fisik untuk belajar dalam bentuk gerakan anggota

badan seperti (membaca, menulis, menyanyikan, memerankan), membuat

perubahan tempat belajar yang sesuai, belajar dengan menggunakan berbagai

metode, permainan, dan perlombaan. Adapun lingkungan suasana adalah

terciptanya suasana yang nyaman, cukup penerangan, tersedianya media

belajar yang memadai yang di dalamnya ada unsur gambar yang bergerak,

dialog, musik, peristiwa, dan enak dipandang.

b. Isi

Isi pembelajaran berbasis kuantum adalah pembelajaran yang mengkaji

isi materi pembelajaran sesuai dengan kompetensi dasar. Isi materi terdapat

dalam silabus dan sistem penilaian. Silabus sudah memuat standar

kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, indikator pencapaian, teknik

penilaian dan sumber belajar. Namun, untuk mencapai indikator pencapaian

belajar diperlukan kejelian dan kreativitas guru dalam memilih dan menentu-

Page 24: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

18

kan isi materi pembelajaran, menentukan strategi pembelajaran, dan

mengevaluasi proses dan hasil belajar sastra. Evaluasi pembelajaran bahasa

dan sastra berbasis kuantum tediri atas evaluasi proses dan evaluasi hasil

belajar. Guru mempunyai banyak waktu untuk mengevaluasi proses belajar

siswa karena model pembelajaran ini menempatkan guru berperan sebagai

fasilitator, motivator, evaluator, konselor, dan narasumber. Evaluasi proses

dilaksanakan sejak awal sampai dengan akhir pelajaran. Evaluasi proses

diperoleh melalui angket penilaian observasi. Evaluasi hasil diperoleh setelah

siswa selesai melakukan aktivitas belajar.

c. Langkah-Langkah Pembelajaran

Secara umum, langkah-langkah pembelajaran berbasis kuantum

memiliki spesifikasi terciptanya proses belajar secara individual dengan

menggunakan kebiasaan belajar yang disukai dan kebebasan menentukan

kreativitas dalam mengemukakan gagasan dengan memanfaatkan fungsi otak

kanan dan otak kiri. Di sisi lain, penerapan pembelajaran ini juga menciptakan

proses belajar sosial karena saling berbagi pengalaman dengan sesama siswa

dalam kelompok kecil maupun kelompok besar dan terciptanya diskusi kelas

antara siswa dengan guru. Langkah-langkah pembelajaran ini memberikan

peluang kepada siswa untuk memperoleh banyak pengalaman karena

aktivitas belajar yang berulang-ulang tidak pernah berhenti. Selain itu,

langkah-langkah pembelajaran ini juga menciptakan suasana belajar yang me-

nyenangkan karena siswa dapat menggunakan dan menikmati media belajar

yang lebih lengkap, menikmati karyanya, mendapat perhatian teman dan

guru, serta adanya penyaluran melalui perlombaan secara lisan maupun

tulisan.

Langkah-langkah pembelajaran berbasis kuantum menggunakan enam

langkah pokok yang dikenal dengan istilah TANDUR, yaitu tumbuhkan, alami,

namai, demonstrasi, ulangi, dan rayakan. (i) Tumbuhkan yaitu menumbuhkan

Page 25: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

19

pemahaman dan minat siswa terhadap materi ajar/kompetensi dasar yang

dipelajari, menyugesti siswa dengan cara menjelaskan tujuan dan manfaat

belajar materi yang diajarkan bagi kehidupan siswa. (ii) Alami yaitu siswa

mengalami secara langsung sesuai dengan kegemaran siswa masing-masing

seperti menyimak rekaman atau membaca contoh-contoh teks untuk

diidentifikasi unsur-unsurnya. (iii) Namai yaitu membicarakan hasil identifikasi

unsur-unsur materi dalam diskusi kelompok. (iv) Demonstrasi yaitu siswa

mendemonstrasikan materi yang diajarkan sesuai dengan indikatornya. (v)

Ulangi yaitu memperbaiki kembali hasil belajarnya berdasarkan saran dari

teman dan guru sehingga hasil belajarnya menjadi semakin sempurna. (vi)

Rayakan yaitu aktivitas siswa dan guru untuk menilai atau memberi

pengakuan hasil kerja siswa melalui perlombaan atau publikasi hasil karyanya.

B. PEMBELAJARAN BERBASIS TEMBANG MACAPAT

1. Pengertian Belajar Berbasis Tembang Macapat

Belajar bahasa dan sastra Jawa berbasis tembang macapat yaitu belajar

bahasa dan sastra Jawa bersumber pada teks dan konteks tembang macapat. Teks

pembelajaran berupa tembang macapat. Sedangkan konteksnya adalah makna dari

tembang macapat yang dipelajari. Pemilihan teks tembang macapat disesuaikan

dengan suasana peserta didik. Pembelajaran dapat dilakukan secara klasikal,

kelompok, maupun individual.

2. Tujuan Belajar Berbasis Tembang Macapat

Tujuan belajar berbasis tembang macapat ada tiga ranah, yaitu pengetahuan,

keterampilan, dan sikap. Tujuan pengetahuan yaitu mengenali, mengkaji,

mengapresiasi, dan menghayati bentuk dan makna tembang macapat yang

dipelajari. Bentuk tembang dapat dikaji berdasarkan nama atau judul tembang, titi

laras, jumlah larik dalam satu pada tembang, jumlah kata dalam satu larik, kosa

kata, guru lagu tembang, dan guru wilangan tembang. Adapun kajian makna dapat

ditinjau dari karakter tembang, makna, dan amanat tembang. Tujuan keterampilan

Page 26: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

20

diarahkan pada kemampuan peserta didik menyanyikan tembang sesuai dengan

guru lagu dan guru wilangan, terampil menceritakan unsur-unsur tembang

macapat kepada orang lain, dan kemampuan mencipta tembang macapat.

Sedangkan ranah sikap, peserta didik menghayati makna dan amanat tembang

sebagai pesan moral atau pembentuk karakter atau budi pekerti yang diwujudkan

dalam kehidupan sehari-hari.

3. Manfaat Belajar Berbasis Tembang Macapat

Belajar bahasa dan sastra Jawa berbasis tembang macapat sangat

bermanfaat dalam menanamkann nilai-nilai luhur yang terkandung dalam

tembang macapat yaitu (a) dapat menambah wawasan peserta didik terhadap

bahasa dan sastra Jawa; (b) dapat menambah kecintaan peserta didik terhadap

bahasa dan sastra Jawa; (c) dapat membentuk karakter dan budi pekerti peserta

didik yang sopan dan santun; (d) dapat mewarisi, mempertahankan, dan

mengembangkan bahasa dan sastra Jawa; (e) dapat membentengi masuknya

budaya asing akibat pergaulan masyarakat ekonomi asia (MEA).

4. Langkah-Langkah Belajar Berbasis Tembang Macapat

Langkah pokok pembelajaran bahasa dan sastra Jawa berbasis tembang

macapat ditempuh enam tahap seperti yang terdapat dalam pembelajaran berbasis

kuantum yaitu langkah TANDUR. (a) Tumbuhkan motivasi dan pemahaman

peserta didik terhadap tembang macapat yang akan disampaikan. (b) Arahkan

siswa untuk mengalami sendiri dengan cara menyimak atau membaca contoh

tembang macapat yang dipelajari. (c) Ajaklah siswa untuk menamai hasil

pemahaman tembang yang dipelajari dalam diskusi kelompok sehingga siswa

dapat mengenali amanat atau pesan moral tembang itu. (d) Arahkan peserta didik

untuk mendemonstrasikan atau menyanyikan tembang atau mencipta tembang

macapat berdasarkan guru lagu dan guru wilangan yang benar. (e) Ajaklan siswa

untuk memperbaiki cara nembang dan atau mencipta tembang berdasarkan saran

teman atau guru. (f) Selanjutnya akhirilah pembelajaran itu dengan merayakan

hasil belajar siswa dengan pujian, nilai, tepuk tangan, atau lomba-lomba dan

pemberian hadiah yang membanggakan siswa.

Page 27: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

21

5. Contoh Tembang Macapat

Beberapa contoh tembang macapat yang dapat dijadikan sebagai sumber

belajar bahasa dan sastra Jawa berbasis tembang macapat yaitu tembang Pucung,

Kinanthi, Gambuh, Durma, Maskumambang, Asmaradana, Mijil, Dhandhanggula,

Sinom, Pangkur, dan Megatruh. Terlampir beberapa jenis tembang macapat yang

dapat dijadikan sebagai sumber belajar bahasa dan sastra Jawa.

PENUTUP

Pembelajaran berbasis kuantum diaplikasikan dalam konteks, isi, dan

langkah TANDUR. Konteks meliputi aspek bahasa guru, media, dan lingkungan

belajar. Isi pembelajaran disesuaikan dengan kurikulum atau KTSP. Langkah

TANDUR terdiri atas enam tahapan yaitu tumbuhkan, alami, namai, demonstrasi,

ulangi, dan rayakan. Pembelajaran berbasis tembang macapat bersumber pada teks

dan konteks tembang macapat. Teks tembang dikaji untuk memperoleh

pengetahuan, sedangkan konteks tembang dikaji untuk memperoleh pendidikan

karakter dan pembentukan budi pekerti yang baik. Dua model pembelajaran

tersebut di atas dapat dijadikan sebagai model pembelajaran bahasa dan sastra

Jawa yang tepat untuk memperkuat budi pekerti peserta didik dalam menghadapi

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

DAFTAR RUJUKAN

Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar Kompetensi Mata

Pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia SMA dan MA. Jakarta.

Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional.

dePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2000. Quantum Business: Membiasakan

Bisnis secara Etis dan Sehat. Bandung: Kaifa. .

dePorter,B., Reardon, M., Naurie, S.S. 2002. Quantum Teaching: Mempraktikan

Quantum Learning di Ruang Kelas. Penerjemah, Ary Nilandari. Bandung:

Kaifa.

Page 28: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

22

dePorter, B. dan Mike H. 2003. Quantum Learning. Penerjemah, Alwiyah Abdur-

rahman. Bandung: Kaifa.

Linksman, R. 2004. How to Learn Anything Quickly. New York: Barnes & Noble

Books.

Meier, Dave. 2000. The Accelerated Learning Handbook. New York: McGraw-

Hill.

Rose, C. dan Nicholl, M.J. 2003. Accelerated Learning For The 21st

Century.

Terjemahan oleh Dedy Ahimsa. Bandung: Nuansa.

Sagala, S. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Saryono, J. 2009. Pembelaran Kuantum sebagai Model Pembelajaran yang

Kreatif. Malang: UM Press.

Sukirno. 2009. Menulis Kreatif Wacana Narasi dengan Strategi Belajar

Akselerasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sukirno. 2013. Belajar Cepat Menulis Kreatif Berbasis Kuantum. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Suratno, Hadi. Suwarni. dkk. Tuntunan Sekar Macapat. Semarang: Adi Karya.

Temple, C., Ruth, N, and Nancy, B. 1988. The Beginning of Writing. Boston:

Allyn and Bacon, Inc.

Tompkins, G.E. 1994. Teaching Writing: Balancing Process and Producct. New

York: Macmillan College Publishing Company.

Lampiran Beberapa jenis tembang macapat

PUCUNG

Ngelmu iku kalakone kanthi laku

lekase lawan kas

tegese kas nyantosani

setya budya pangekese dur

angkoro

Ilmu itu bisa tercapai karena usaha

mulainya dengan niat yang kuat

maksudnya kuat jiwa dan raganya

usaha yang baik akan membasmi yang

jahat

Bapak pucung, wader kali sodheripun,

miwah jenang sela,

kekanthening suruh gambir,

apuranta, yen wonten lepat kawula

Page 29: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

23

MASKUMAMBANG

Adhuh nyawa putraku bocah kang sigit

lamun sira padha

diwasa ing tembe buri

den bisa wruh tata krama

DHANDHANGGULA

Luwih becik urip jaman mangkin

Kudu sregep tlaten lawan sabar

Nyangkul samubarang gawe

Sanguine ati jujur

Linambaran sruning pangesti

Tetakon aja sungkan

Mrih undhaking ngelmu

Mumpung sira maksih mudha

Upayanen aywo kongsinutuh diri

Ing mbenjang gesangira

Rama ibu tansah muji dhikir

Mrih katekan panjangkaning putra

Kasembadan sedyane

Rina wengi jinurung

Iku wajib padha den eling

Ngabekti mring wong tuwa

Njunjung asma luhur

Lubering rasa katresnan

ibu rama marang putra tanpa tandhing

Nuli walesmu apa

GAMBUH

Tuwa mudha wajib angleluri

Ngembangaken mring sekar macapat

Binudi mrih lestarine

Tetilaran kang luhur

Ngemot isi wewarah gati

Tumrap ing kautaman

Dimen nora kleru

Makarti sadina-dina

Datan wani dalan kang sisip

Mulane kawruhana

Nora kurang kesenian adi

Page 30: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

24

Jawa Tengah kedhung ing budhaya

Maneka warna coreke

Kabeh wajib den rangkul

Yekti iku bandha kang aji

Yen pinter nggulawentah

Sumber dayanipun

Bias anyembuh kuncara

Nusantara tan keri lan manca nagri

Ngumandhang sabuana

MEGATRUH

Bareng mijil sinuson sacekapipun

tan ngetag rina lan wengi

watone anake besuk

bisa gawe marem ati

jebul malah kok mangkono

PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA, BUDAYA DI SEKOLAH DAN

MASYARAKAT SEBAGAI WUJUD STRATEGI BUDAYA MENUJU

PERADABAN DUNIA

Oleh:

Eko Santosa, S.Pd. M.Hum.

Universitas Muhammadiyah Purworejo

[email protected]

PENDAHULUAN

Di era global, otonomi daerah (Otda), dan gejala multikultural ini, banyak

pihak selalu meragukan terhadap eksistensi budaya tradisi, salahsatu contoh

sebagai studi kasus adalah budaya tradisi Jawa. Budaya Jawa selalu dianggap

marginal, kurang bergengsi, kolot, kurang kompetitif, dan selalu dipertaruhkan.

Hal ini dimungkinkan juga ada pada budaya tradisi daerah lainnya selain Jawa.

Bahkan seringkali, entah secara riil (blak-blakan) maupun terselubung, masih ada

yang mempertanyakan kemampuan budaya Jawa jika harus kontak dengan

percaturan budaya lain.

Kenyataan yang sulit dipungkiri itu menggejala, karena khalayak (awam)

sering memandang dengan „kacamata hitam‟ dan sebelah mata terhadap budaya

Page 31: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

25

tradisi (Jawa). Seringkali mereka belum mengetahui esensi budaya Jawa yang

kaya akan keluhuran. Gerak jiwa dan karya lahiriah orang Jawa, yang menurut

Partokusumo (1995:109) didasari naluri: memayu hayuning sarira (memelihara

keselamatan diri), memayu hayuning bangsa, dan juga memayu hayuning bawana

(menjaga keselarasan, ketenteraman, keselamatan dunia)-mungkin kurang

menyentuh dan jarang dirujuk sebagai suatu keunggulan budaya oleh pihak lain.

Akibat dari semua itu, memang tidak terlalu salah jika “pengajaran budaya

(Jawa)” pun menjadi kurang berdampak luas. Hal ini juga diakui oleh pihak

Depdiknas, bahwa selama tiga tahun terakhir seakan-akan kita gagal dalam

membentuk budi pekerti bangsa (2000:3). Padahal, jika nation and character

building ini terabaikan cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Bangsa kita yang

selama ini dikenal berbudaya, bisa jadi kelak dituding menjadi kurang beradab.

Bagaimanakah menyikapinya?

PEMBAHASAN

1. Tradisi Kebudayaan (Jawa) sebagai strategi dalam Otonomi Daerah

Terkait permasalahan tersebut, perlu strategi yang jelas. Strategi

kebudayaan sebagai suatu sistem atau cara yang ampuh dalam menyikapi

fenomena perkembangan pendidikan dan budaya dewasa ini. Kini yang menjadi

tantangan budaya Jawa, adalah bagaimana „membuka mata‟ generasi baru dan

dunia luas agar mengangguk, salut, yakin, dan percaya. Ini jelas bukan hal yang

mudah, jika tanpa ketekunan dan proses yang mendasar. Karena itu, perlu upaya

meyakinkan dunia modern bahwa budaya tradisi (Jawa) ternyata bersifat terbuka,

luwes, lentur, toleran momot (akomodatif), dan optimistik. Perlu strategi baru

khususnya mengahadapi era otonomi daerah yang memerlukan persaingan ketat

ini, agar pihak lain mau „angkat topi‟ kalau budaya Jawa menyimpan

keistimewaan, seperti pandangan Robert J Keyle (1998), peneliti antrophologi

Australia, yang menyatakan: orang Jawa suka meredam (tidak senang konflik),

bersikap „ngalah‟ (mengalah), mawas diri, dan mengendalikan diri.

Lebih jauh lagi, perlu strategi baru agar kebudayaan (Jawa) memiliki nyali

sebagai modal pencerahan hidup manusia. Antara lain, kalau budaya tersebut

mampu menjadi komponen pencipta good governance (Nasikun, 2001:2). Ini

Page 32: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

26

semua adalan tantangan berat, yakni bagaimana langkah strategis agar budaya

Jawa itu tidak lagi sebagai legitimasi kekuasaan, instrumen liberasi, melainkan

mampu menciptakan civil society di era global, otonomi daerah, dan multikultural.

Tantangan budaya (Jawa) di era global dan multikultural ini,

sesungguhnya bisa datang dari dalam dan dari luar. Tantangan dari dalam, adalah

datang dari pemerhati budaya Jawa itu sendiri dan tantangan dari luar berasal dari

orang di luar komunitas budaya (Jawa). Misalkan saja adanya percobaan

perumusan budaya Jawa oleh „orang kita‟ yang selama ini „memojokkan‟ dan

„melemahkan‟ perlu ditinjau kembali. Seperti halnya yang terungkap dalam buku

Manusia Jawa tulisan Marbangun Hardjowirogo (1989:11-26) yang menegatifkan

budaya Jawa, yakni bersikap lamban, perasa, feodalistik, suka menggerutu,

fatalistik, dan lain-lain. Betulkah sajian semacam ini didasarkan tinjauan secara

kritis. Belum lagi ditambah dengan munculnya buku Ciri Budaya Manusia Jawa

oleh J Tukiman Taruna yang seakan-akan menganggap orang Jawa juga negatif

dalam berpikir tentang hidup dan kehidupan, seperti sikap nylekuthis, masih perlu

ditinjau ulang.

Lebih tajam lagi, Eki Syahrudin, mantan anggota Komisi VII DPR RI

menyatakan dengan getol ketika seminar bertajuk Membangun Sikap dan Perilaku

Budaya Bangsa Indonesia Abad XXI, 17 Desember 1997 di Taman Mini

Indonesia Indah – bahwa budaya Jawa yang cenderung bersifat kratonik itu sudah

kurang layak sebagai modal menyongsong abad XXI nanti. Budaya stratik itu

harus dirombak, diganti dengan budaya demokratik. Pasalnya, budaya kratonik itu

justru menghambat kemajuan dan kreativitas bangsa. Budaya semacam ini, sering

„anti kritik‟, melainkan lebih ke arah „ABS‟ (asal bapak senang) dan jilatisme.

Implementasi budaya Jawa yang kraton life dan terlalu hirarkhis itu,

menghendaki bawahan harus patuh. Bawahan harus bisa ngapurancang, tutup

mulut, sendika dhawuh, dan inggih-inggih, jika pinjam istilah Darmanta Jatman.

Budaya ini akan „mematikan‟ prestasi. Kurang memupuk jiwa untuk berkembang

secara wajar. Memang menyakitkan sentilan tajam begitu, meskipun pada satu

sisih juga ada benarnya.

Page 33: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

27

2. Tradisi Kebudayaan (Jawa) sebagai Kearifan Lokal

Sampai saat ini istilah kearifan lokal masih problematis,yang dimaksud

apa, kabur. Jika lokal itu etnis, daerah, kurang jelas. Etnis sendiri masih dapat

dibagi menjadi lokal-lokal lain. Orang menangkap lokal, bisa menterjemahkan hal

yang sempit secara georgafis. Katakan saja keraifan lokal Jawa. Berarti, Jawa

sebagai lokal etnis. Anehnya, kearifan yang ”dipandang” lokal, sering ada yang

mengglobal. Mondial. Hal ini tidak perlu dianggap repot. Toh akhirnya, yang

mendunia pun akarnya lokal. Maksudnya, seluruhnya berasal dari jati diri lokal.

Jika begitu, lokal bisa juga merujuk pada jati diri. Boleh-boleh saja.

Menurut hematnaya, kearifan lokal juga dari dan untuk selingkungnya.

Namun, kebermaknaan yang lokal itu sering ditarik ke batas luas. Hingga

menyebabkan yang lokal tetapi bermuatan global. Atas dasar ini, dapat saya

simpulkan kearifan lokal adalah kebijaksanaan (kawicaksanan) yang berasal dari

dan untuk lokal maupun mondial. Kearifan termaksud bersifat abadi. Kearifan itu

tulus.

Kearifan lokal, dinyatakan sebagai gumpalan makna. Di dalamnya ada

jaring-jaring makna. Di dalamnya pula ada jutaan bahkan milyaran makna. Maka,

kearifan lokal juga ibarat sumur, tak akan habis ditimba maknanya, di musim

kemarau sekalipun. Dia, menurut hemat saya memiliki sifat open interpretation.

Oleh sebab itu, sebuah kearifan lokal dapat ditafsir apa saja, menurut konteks dan

kebutuhan.

Kearifan lokal merefer pada aspek daya nalar. Karena, kata arif berarti

bijak. Bijak, memiliki daya nalar yang jernih. Orang bijak, adalah yang mampu

berpikir dengan nalar sempurna. Sebagai misal, andai kata pemerintah mengadili

pencuri ayam dengan koruptor milyaran adil, berarti bijak (arif). Sebaliknya, jika

pengadilan terkesan emban cindhe emban siladan, artinay tak arif.

Dalam kearifan lokal terkenadung local genius. Bahkan, tak diragukan lagi

local emotional-nya. Itulah pemikir yang menggunakan konsep ‟nalapadhanga”.

Misal, seorang A (pegawai bank) diminta mengisi kamar yang penuh apa saja,

jika dipenuhi dengan uang ratusan ribu ditata miring – orang itu tak bijak, karena

instrumentalis. Orang lain seorang B (petugas pengairan), mungkin akan mengisi

Page 34: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

28

kamar dengan air, penuh, juga kurang bijak, karena lebih materialis. Sementara

yang lain C (dukun), akan mengambil lampu 40 watt, teranglah kamar itu.

Mindset yang dibangun sang spiritualis, cenderung menggunakan inteligensi

spiritualis.

Apapun yang mereka gunakan dalam mengambil kebijakan, sah-sah saja.

Yang penting, efesiensi dan efektivitas semestinya dipegang oleh orang arif.

Orang yang arif, memang wicaksana. Dalam bertindak, biasanya penuh

pertimbangan. Hal ihwal kearifan ini, sebenarnya telah include dalam budaya

Jawa. Pijar-pijar kearifan lokal Jawa, telah lekat di benak orang Jawa. Sayangnya,

banyak pihak masih belum mau tahu tentang hal ini.

Kearifan lokal Jawa, amat banyak macamnya. Sendi-sendi hidup orang

Jawa, hampir semuanya berupa kearifan lokal. Tak sedikit orang Jawa yang

memiliki bundhelan (bothekan), memuat kearifan lokal. Masalahnya, memang

ada kearifan lokal yang semestinya ditinjau ulang. Jangan-jangan kearifan lokal

termaksud sudah tidak sesuai dengan jaman. Misalkan saja, ungkapan alon-alon

waton klakon, masih relevankah? Paling tidak, jika kurang relevan, tentu

membutuhkan penafsiran kembali. Kecuali itu, masalahnya merasakah kita

memiliki kearifan lokal yang demikian indah dan kaya itu. Jika ya, implementasi

bagaimana. Jangan-jangan sekedar dilisankan atau ditulis sebagai prasasti hidup,

sayang sekali. Oleh karena, tanpa ada niat tulus untuk mengimplimentasikan

kearifan itu dalam hidup utuh, sia-sia. Jadi sampah, bukan? Nyaris seperti

‟kotoran kuda‟ di aspal jalan raya. Jadi kearifan-kearifan lokal sangatlah penting

sebenarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan identitas dan

jatidiri bagi bangsa secara nasional, karena kearifan-kearifan lokal itulah yang

membuat suatu budaya bangsa memiliki akar (Suminto A Sayuti, 2005).

Sumber-sumber kearifan lokal yang ada dalam tradisi dan budaya

masyarakat Jawa antara lain berupa ungkapan, tuturan, ajaran, pepiridan, unen-

unen, dan lain-lainnya perlu diidentifikasi dan diintrepretasi;Dari bahasa dan

sastra Jawa benyak terkandung nilai-nilai luhur: tentang kejiwaan, kepercayaan,

keyakinan dan spiritualitas (aspek Ketuhanan Yang Maha Esa), kebersamaan,

toleransi, rela berkorban, dan semangat 'mamayu hayuning sasama' (aspek

Page 35: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

29

Kemanusiaan yang adil dan beradab), semangat cinta tanah air, dan 'mamayu

hayuning nusa Bangsa' (aspek Persatuan Indonesia), semangat rela berkorban,

'sepi ing pamrih rame ing gawe' (aspek Kerakyatan), 'adil paramarta, 'sing sapa

salah seleh' (aspek Keadilan). Hasil identifikasi terhadap kearifan lokal yang ada

perlu dikaji dan diintrepretasi agar menjadi sumber inspirasi untuk memecahkan

persoalan-persoalan kehidupan dalam rangka mewujudkan ketahanan budaya dan

ketahanan Bangsa; Masyarakat Jawa sebagai kelompok mayoritas memiliki

peranan yang cukup besar dalam memberdayakan nilai-nilai dan kearifan lokalnya

dalam mewujudkan persa-tuan dan kesatuan bangsa berdasarkan makna Bhineka

Tunggal Ika. Kearifan lokal perlu diaktualisasikan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara melalui upaya-upaya nyata di berbagai aspek,

kehidupan (hasil KBJ IV Semarang, 2006).

3. Upaya Pelestarian dan Pengembangan kritis Kebudayaan (Jawa).

Upaya pengembangan kritis kebudayaan dapat dicontohkan sbb:

1. Sarasehan tingkat lokal /daerah melalui bincang budaya bahasa dan sastra

Jawa, talk show bahasa dan sastra Jawa disiarkan melalui Televisi lokal

ataupun Nasional. Lokal contohnya Yogya TV, TATV Surakarta, JTv Jawa

Timur, Tv banyumas, TVRI Yogyakarta, TVRI Semarang, TVRI Surabaya.

2. Konferensi Bahasa Jawa tingkat Nasional, dengan mengundang pakar-pakar di

bidang bahasa dan sastra Jawa, sastrawan, budayawan, seniman lokal, seniman

daerah, seniman-seniman luar daerah, wartawan, guru-guru dan profesional

lain dari tiga propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY, dan siapa saja yang

peduli ikut berpartisipasi dalam pelestrian dan pengembangan bahasa dan

sastra Jawa.

3. Kongres bahasa Jawa tingkat Internasional dengan mengundang pakar luar

negeri dan dalam negeri. Pakar dari dalam negeri yakni mengundang peserta

yang ahli/ pakar di bidang bahasa dan sastra Jawa, sastrawan, budayawan,

seniman lokal, seniman daerah, seniman-seniman luar daerah, swartawan,

guru-guru dan profesional lain dari tiga propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur,

dan DIY, dan siapa saja yang peduli ikut berpartisipasi dalam pelestrian dan

Page 36: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

30

pengembangan bahasa dan sastra Jawa, sedangkan dari peserta luar negeri

mengundang negara-negara yang ada seperti; Inggris, Jepang, Belanda,

Amerika, Canada, Suriname, Malaysia, Australia, Spanyol, Portugal, China

atau negara lainnya yang mempunyai kompeten peduli pada bidang sastra,

bahasa bahkan budaya di Jawa.

4. Koordinasi Bahasa dan Sastra Jawa antar propinsi (Jateng, DIY, Jatim) dengan

membuat rancangan kegiatan lomba, festival dan gelar seni bahasa dan sastra

Jawa seperti macapat, geguritan, drama Jawa, pranatacara medharsabda dan

nyandra, antawacana dhalang dan lainnya dengan membuat ketetapan bergilir

dalam penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan, pengembangan pelestarian

bahasa dan sastra Jawa ini.

5. Pembuatan Ensiklopedia Bahasa dan Sastra budaya Jawa dengan

pendokumentasian rapi semua kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian dan

pengembangan bahasa dan sastra Jawa dan menyusun panduan yang dibuat

buku, majalah dan pendataan dan pengelompokan semua ragam kegiatan yang

menyangkut bahasa dan sastra budaya Jawa.

6. Eksplorasi naskah kuna Bahasa Jawa dengan menyalin kembali naskah-naskah

kuna Jawa dengan transliterasi dan terjemahan, dibuat buku, majalah dan

hasilnya disebarluaskan pada kalangan profesional baik akademis maupun

nonakademis sebagai bahan materi pembelajaran bahasa dan sastra budaya

Jawa.

7. Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Jawa dengan mengundang pakar luar

negeri dan dalam negeri. Pakar dari dalam negeri yakni mengundang peserta

yang ahli/ pakar di bidang bahasa dan sastra Jawa, sastrawan, budayawan,

seniman lokal, seniman daerah, seniman-seniman luar daerah, wartawan, guru-

guru dan profesional lain dari tiga propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan

DIY, dan siapa saja yang peduli ikut berpartisipasi dalam pelestrian dan

pengembangan bahasa dan sastra Jawa, sedangkan dari peserta luar negeri

mengundang negara-negara yang ada seperti; Belanda,Suriname, Malaysia,

Australia, Spanyol, Portugal, China atau negara lainnya yang mempunyai

kompeten peduli pada bidang sastra, bahasa bahkan budaya di Jawa.

Page 37: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

31

8. Penciptaan Javanese day (pembiasaan penggunaan bahasa Jawa krama bagi

instansi/institusi pemerintah dapat dilaksanakan tiap minggu, bulan tertentu

minimal satu bulan dua atau tiga kali, kemudian tiap memperingati hari jadi

kota Yogyakarta, hari bahasa Ibu di dunia).

9. Pembuatan kebijakan penyeragaman penggunaan bahasa Jawa tiap

memperingati hari jadi DIY atau hari bahasa Ibu, peringatan bulan bahasa,

setiap satu bulan sekali, setiap penyelenggaraan sarasehan, semiloka, seminar,

workshop atau talkshow bahasa dan sastra Jawa.

10. Pertukaran sastrawan dan budayawan antar propinsi atau tiga propinsi Jateng,

DIY, Jatim dengan pengadaan sarasehan, semiloka, seminar, workshop atau

talkshow bahasa dan sastra Jawa.

11. Penerbitan/ penyebarluasan media masa/ majalah berbahasa Jawa

(pemanfaatan media djoko lodhang, sempulur, Penyebar Semangat, Mekar

Sari kalau masih ada, koran-koran seperti Bernas Radar Yogya, Kedaulatan

Rakyat) dan lainnya.

12. Kursus-kursus dan pelatihan bahasa Jawa bagi (pemandu wisata, orang

asing/public figure, kalangan ekonom, kalangan akademis, kalangan

nonakademis lain yang berminat/ berkeinginan belajar seni, bahasa, sastra dan

budaya Jawa.

13. Safari Macapat antar hotel sebagai media penarik wisata budaya Jawa

(pementasan, pertunjukan tembang Jawa baik macapatan maupun sekar

gendhing Jawa dengan kolaborasi gamelan Jawa dan selingan-selingan

geguritan Jawa).

14. Penyiaran kegiatan bahasa dan sastra dan budaya Jawa melalui media

elektronik dan media cetak (pemanfatan stasiun televisi untuk menyiarkan

kegiatan yang berkaitan bahasa, sastra dan kebudayaan Jawa seperti Yogya

TV, TATV Surakarta, Tv Banyumas, Tv Jawa Timur,TVRI Yogyakarta,

TVRI Semarang, TVRI Surabaya, bila perlu disebarluaskan melalui stasiun

TV swasta lain seperti TansTV,TVOne, Indosiar, MetroTV dan lainnya).

15. Pembuatan situs website bahasa dan sastra Jawa; dilakukan dengan

memanfatkan beberapa website sebagai media pembelajaran bahasa dan

Page 38: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

32

sastra Jawa, situs-situs yang sudah ada dapat dimanfaatkan dalam

pembelajaran bahasa.

KESIMPULAN

Akhirnya, jika nilai tradisi budaya (Jawa) bisa dibangun melalui kearifan

lokal yakni dengan persepsi nilai-nilai keberagaman daerah di nusantara sebagai

ejawantahan bhineka tunggal ika, tersebut berhasil ditanamkan lewat optimalisasi

pendidikan, penanaman kemandirian budi pekerti yang berfungsi mencerdaskan

bangsa, akan dihasilkan pula manusia-manusia yang berdaya guna dalam

kehidupan manusia: manusia yang sadar budaya ke depan dapat membangun

bangsa dengan memanfaatkan sumber daya manusia. Ini dapat terwujud tentunya

juga perlu memandang bahwa Modernisasi perlu juga sebagai kebutuhan

pembangunan tanpa meninggalkan tradisi budaya lokal,perlu dikembangkan pula

penanaman budi pekerti melalui multimedia elektronik, Optimalisasi peranan pers

sebagai media efektif membangun jatidiri bangsa, dan juga perlu penekanan

penanaman cinta budaya nusantara melalui pendidikan akan memperkuat

membantu menciptakan karakteristik dan jati diri bangsa Indonesia.

DAFTAR RUJUKAN

Endraswara, Suwardi. 2006. “Paradoksal, Kotak Hitam, Klobotisme, Dan Perda

Bahasa Jawa” Semarang: Suara Merdeka, Minggu.

___________. 2007. Pemberdayaan Aksara, Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan

Jawa di Propinsi DIY. Yogyakarta: Dinasbud.

___________. 2008. “Rancangan Program Pengembangan Kebudayaan tahun

2010-2013. Yogyakarta: Dinasbud.

___________. 2008. “Pengembangan Nilai Budaya”, proposal. Yogyakarta:

Dinasbud.

___________. 2007. Peraturan Mendagri Nomor 40 tahun 2007. Jakarta:

Depdagri.

___________. 2008. “Program Kegiatan Seksi Bahasa Jateng”. Semarang:

Dinasbud.

Page 39: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

33

___________. 2007. “Pemasyarakatan Bahasa dan Sastra Balai Bahasa

Surabaya”. Surabaya: Balai Bahasa.

Hardjowirogo. 1989. Manusia Jawa. Jakarta: Masagung.

Keyle, Robert, J. 1998. “Kekuasaan dan Kebijaksanaan Jawa”. Atmajaya:

Makalah Diskusi Budaya.

Nasikun, J. “Strategi Kebudayaan di Era Otonomi Daerah” Yogyakarta: Makalah

Lokakarya Puat Studi Budaya UNY, 24-25 September.

Partokusumo, Kamajaya Karkono. 1995. Perpaduan Kebudayaan Jawa dan

Islam. Yogyakarta: IKAPI.

Prasetya, Nur. 2008. “Strategi Budaya Kompetitif Menuju DIY Pusat Studi

Budaya Terkemuka”. Yogyakarta: Dinasbud.

Sujamto. 1982. Refleksi Budaya Jawa dalam Pemerintahan dan Pembangunan.

Semarang: Effhar & Dhahara Prize.

Sayuti, Suminto A.2005. “Menuju Situasi Sadar Budaya: Antara Yang Lain dan

Kearifan Lokal”. Yogyakarta: Artikel Ilmiah 24 Februari 2005.

Sutrisno, Mudji, Hendar Putranto, 2005. Teori-teori kebudayaan, Yogyakarta:

Kanisius.

Page 40: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

34

(TANGGAP) ING SASMITA AMRIH LANTIP DALAM

SERAT WULANGREH: SUATU KAJIAN PRAGMA-SEMIOTIK

Oleh:

Aris Wuryantoro

IKIP PGRI Madiun

[email protected]

Abstrak

Tanggap ing sasmita merupakan tembung atau tuturan lama yang sudah turun

temurun dan masih sangat diperlukan dalam kehidupan saat ini terutama dalam

era pasar bebas dengan berbagai macam informasi untuk berkomunikasi. Tanggap

sasmita amrih lantip merupan salah satu tembung dalam tembang Serat

Wulangreh yang ditulis oleh Sri Paku Buwana IV (PB IV) yang sangat fenomenal.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis Serat Wulangreh karya Sri Paku

Buwana IV khususnya pada tembang Kinanti 1 dengan pendekatan pragmatik dan

semiotik. Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan

simak catat yang bersumber pada dokumen tembang Kinanti 1 karya Sri Paku

Buwana IV. Hasil analisis menunjukkan bahwa tembung “tanggap ing sasmita

amrih lantip” dalam Serat Wulangreh sarat akan tuturan yang menunjukkan

adanya piwulang (pengajaran) kompetensi pragmatik dan semiotik baik untuk

penutur maupun mitra tutur.

Page 41: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

35

Kata kunci: tanggap ing sasmita, kompetensi, pragmatik, semiotik

PENDAHULUAN

Dengan masuknya Indonesia dalam pasar bebas Asia Tenggara atau

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka semua sendi-sendi kehidupan

masyarakat dalam negara anggota ASEAN akan bergerak bebas tak terkecuali

dengan arus informasi yang melibatkan banyak komunikasi. Komunikasi

merupakan sarana vital dalam pergaulan pasar bebas baik secara individu ataupun

institusi. Para pihak yang terlibat dalam komunikasi, penutur dan petutur,

hendaknya harus saling mengerti apa yang dimaksudkan oleh penutur meskipun

tuturan tersebut secara tidak langsung yang diwujudkan dalam tanda-tanda

tertentu (tanggap ing sasmita).

Tanggap ing sasmita (mengerti dalam tanda-tanda) merupakan tembung

atau tuturan yang adiluhur dari nenek moyang kita yang masih sangat ampuh

khasiatnya dan tidak menggurui bagi petutur. Tanggap ing sasmita merupakan

ajakan kepada kita agar kita selalu respon terhadap semua tanda atau gejala-gejala

yang ada di sekitar kita, baik gejala yang kentara atau pun tidak, gejala yang

dilambangkan atau dituliskan atau diucapkan. Tuturan tanggap ing sasmita

dimunculkan oleh si penutur kepada petutur agar si petutur tidak mendapatkan

kesulitan atau masalah dalam berbagai hal, terutama dalam berkomunikasi dengan

pihak asing atau orang penting. Karena dengan tanggap ing sasmita, petutur dapat

menangkap semua maksud dalam informasi yang diberikan oleh si penutur

sehingga tidak terjadi salah pengertian (misunderstanding).

Tuturan tanggap ing sasmita dapat kita temukan dalam tembang Jawa,

Kinanthi yang ada dalam Serat Wulangreh karya Sri Paku Buwana IV. Serat

Wulangreh merupakan salah satu karya dari Sri Paku Buwana IV yang paling

familiar dalam masyarakat Jawa (bahkan kalangan akademik) karena banyak

ajaran-ajaran moral dalam serat yang diperhatikan oleh masyarakat Jawa, bahkan

dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari (Purwadi, 2007:82). Sri Paku Buwana

IV dikenal dengan sebutan Sunan Bagus adalah putra dari Sri Paku Buwana III

dengan Gusti Ratu Kencana yang lahir pada tanggal 18 Rabiul Akhir 1694 Saka

Page 42: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

36

(2 September 1768 Masehi) dan wafat pada tanggal 25 Besar 1747 Saka (2

Oktober 1820 Masehi).

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pragmatik

Levinson (1983) menyatakan bahwa pragmatics is the study of the

relation between language and context that are basic to an account of language

understanding. berdasarkan dari pernyataan tersebut bahawa ada untuk

memahami makna bahasa (komunikasi) ada hubungan yang sangat erat antara

bahasa dan konteks. Dalam memahami makna bahasa, penutur atau mitra tutur

dituntut untuk tidak saja mengetahui makna kata dan hubungan gramatikal

antarkata namun juga mampu menarik simpulan yang menghubungkan antara

bahasa dan konteks yang ada. Di sisi lain, Leech (1983) mengungkapkan bahwa

one cannot really understand the nature of language itself unless he understands

pragmatics, i.e. how language is used in communication. Menurut Leech

pemahaman pragmatik dalam mempelajari bahasa terutama dalam berkomunikasi

sangat penting. Pragmatik adalah pengetahuan tentang bagaimana bahasa

digunakan dalam berkomunikasi. Pemahaman pragmatik sangat berperan dalam

penyampaian maksud penutur dapat diterima dengan baik oleh mitra tuturnya.

Dari dua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk memahami

komunikasi melalui bahasa diperlukan kemampuan pragmatik. Pragmatik sangat

dipengaruhi oleh bahasa itu sendiri dan konteks yang menyertainya. Peran

konteks ini memungkinkan mitra tutur dalam mendapatkan makna yang harus

diinterpretasikan dan juga mendukung interpretasi yang dimaksudkan. Menurut

Joan Cutting (2002:3-15) ada tiga tipikal konteks, yaitu: (1) konteks situasional

ialah konteks mengenai apa yang penutur ketahui tentang apa yang dapat dilihat di

sekelilingnya, atau situasi di mana interaksi terjadi pada saat tuturan terjadi; (2)

konteks pengetahuan mempunyai dua macam, yaitu konteks pengetahuan umum

budaya dan pengetahuan antarpersonal. Konteks pengetahuan umum budaya

adalah pengetahuan yang dimiliki dalam pikiran seputar kehidupan manusia

Page 43: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

37

secara umum. Konteks pengetahuan antarpersonal adalah pengetahuan yang

dimiliki personal melalui interaksi verbal sebelumnya atau bersamaan aktivitas

dan pengalaman; dan (3) konteks ko-teks adalah konteks seputar teks itu sendiri,

meliputi kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.

Bicara pragmatik, bahasa dan konteks, artinya bicara tindak tutur. Austin

(dalam Cutting, 2002:16) mendefinisikan tindak tutur sebagai tindakan yang

dilakukan dalam menyatakan sesuatu. Tindakan yang dilakukan ketika ujaran

dihasilkan dapat dianalisis dengan tiga tingkatan yang berbeda. Austin membagi

tindak tutur menjadi tiga tingkatan, yaitu: (1) locutionary act, tuturan yang

menentukan makna yang diujarkan yang dipengaruhi oleh pengalaman dari

penutur; (2) illocutionary act, tuturan yang ditujukan terhadap mitra tutur untuk

melakukan suatu hal, dan (3) perlocutionary act, tindakan yang dilakukan oleh

mitra tutur sesuai tujuan yang dimaksudkan oleh penuturnya (speaker).

Di sisi lain, Searle (dalam Cutting, 2002:16-17) mengklasifikasi tindak

tutur menjadi lima macam, yaitu: (1) tindak tutur deklaratif, kata atau ungkapan

yang mengubah dunia melalui ujarannya, seperti pernyataan, pengumuman atau

kesaksian; (2) tindak tutur representatif, tindakan di mana kata-kata yang

menyatakan bahwa penutur percaya pada kejadian tersebut, misalnya penjabaran,

penuntutan, dugaan dan penegasan; (3) tindak tutur komisif, mencakup tindakan-

tindakan di mana kata-kata membuat penutur untuk melakukan suatun tindakan,

misalnya perjanjian, penawaran, ancaman dan penolakan; (4) tindak tutur direktif,

mencakup tindakan di mana kata-kata ditujukan untuk pada mitra tutur untuk

melakukan sesuatu, seperti perintah, permintaan, undangan, larangan, anjuran,

dsb; dan (5) tindak tutur ekspresif, meliputi tindakan di mana kata-kata

menyatakan apa yang penutur rasakan, misalnya permohonan maaf, penghargaan,

ucapan selamat dan penyesalan.

Celce-Murcia et al. (1995) mengungkapkan bahwa ada lima komponen

dalam kompetensi komunikatif yang terdiri dari: (a) kompetensi wacana

(discourse competence) yakni kompetensi yang berhubungan dengan pemilihan,

pengurutan, dan penyusunan kata, struktur; (b) kompetensi linguistik (linguistic

competence) terdiri dari elemen dasar komunikasi., seperti jenis dan pola kalimat,

Page 44: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

38

struktur pembentuk, infleksi morfologis, dan suberleksikal; (c) kompetensi

aksional (actional competence) berhubungan erat dengan pragmatik antarbahasa

(interlanguage pragmatics) merupakan kompetensi dalam pengalihan dan

pengetahuan komunikatif yang dimaksudkan, yakni kecocokan antara tindakan

dan bentuk linguistik yang berdasarkan pada pengetahuan dari inventaris skemata

verbal yang mencakup tindakan ilokusioner; (d) kompetensi sosiokultural

(sociocultural competence) mengacu pada pengetahuan pembicara bagaimana

mengungkapkan pesan secara tepat dalam konteks sosial budaya dari komunikasi;

dan (e) kompetensi strategik (strategic competence) meliputi tiga fungsi strategi

penggunaan dari tiga perspektif yang berbeda (psikolinguistik, interaksional, dan

kontinuitas komunikasi).

2. Kompetensi Pragmatik

Kompetensi pragmatik menurut Baron (2003), . . . is understood as the

knowledge of the linguistic resources available in a given language for realising

particular illocutions, knowledge of the sequential aspects of speech acts, and

finally, knowledge of the appropriate contextual use of the particular language's

linguistic resources." Dalam kompetensi pragmatik ada tiga pengetahuan yang

harus dikuasai oleh pengguna bahasa, yaitu pengetahuan sumber linguistik (baca

bahasa) untuk mewujudkan ilokusi (makna yang maksudkan) si penutur,

pengetahuan rentetan aspek-aspek tindak tutur yang ada, dan pengetahuan

penggunaan kontekstual dari sumber linguistiknya bahasa tertentu secara tepat.

Kompetensi pragmatik merupakan salah satu kompetensi komunikatif

yaitu kompetensi aksional yang mengacu pada tindakan dan bentuk linguistik

(informasi) yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur untuk diketahui dan

selanjutnya untuk dilaksanakan seperti yang dimaksudkan oleh penutur tanpa

harus memberi penjelasan secara gamblang (eksplisit) agar tidak terjadi

kesalahpahaman (misunderstanding) di antara penutur dan mitra tuturnya.

3. Semiotik

Page 45: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

39

Saussure (1916) menyatakan,“Language is a system of signs that express

ideas, and is therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf-

mutes, symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. But it is the most

important of these systems. A science that studies the life of signs within society is

conceivable;.....I shall call it semiology (from the Greek semeion, 'sign')”. Dari

pernyataan di atas menunjukkan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang

mengungkapkan gagasan terutama dalam kehidupan masyarakat yang dapat

dipahami. Ilmu pengetahuan untuk mengkaji tentang tanda disebut semiologi yang

berasal dari bahasa Latin, semeion, yang artinya tanda. Semiotik adalah ilmu yang

mempelajari tanda.

Menurut Saussure semiotik dibagi menjadi dua, yaitu penanda (signifier)

dan tertanda (signified). Penanda merupakan wujud fisik dapat dikenal secara

langsung, sedangkan tertanda adalah makna yang dapat terungkap melalui konsep,

fungsi atau nilai-nilai yang terkandung dalam wujud fisik tersebut. Eksistensi

semiotika adalah hubungan antara penanda dan tertanda berdasarkan konvensi,

sering disebut dengan signifikasi.

Barthes juga membagi semiotik menjadi dua tingkatan penandaan, yaitu

tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat penandaan yang

menjelaskan hubungan antara penanda dan tertanda pada realitas yang

menghasilkan makna eksplisit, makna tersurat. Konotasi adalah tingkat penandaan

yang menjelaskan hubungan penanda dan tertanda yang di dalamnya beroperasi

makna implisit, makna tersirat. Secara garis besar semiotika digolongkan menjadi

tiga konsep dasar, yaitu: (1). Pragmatik semiotik (semiotic pragmatic)

menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya

dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan dalam batas perilaku subjek; (2).

Sintaktik semiotik (semiotic syntactic) menguraikan tentang kombinasi tanda

tanpa memperhatikan ‟maknanya‟ ataupun hubungannya terhadap perilaku subjek.

Semiotika sintaktik ini mengabaikan pengaruh bagi subjek yang

menginterpretasikannya; dan (3). Sematik semiotik (semiotic sematic)

menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‟arti‟ yang

Page 46: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

40

disampaikan (Sumber:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16803/4/

Chapter %20II. Pdf).

PEMBAHASAN

Tembang Kinanti merupakan salah satu tembang Macapat yang ada dalam

Serat Wulangreh karya PB IV dan merupakan karya yang sangat fenomenal

terutama bagi masyarakat Jawa. Pada kajian ini, penulis menyoroti tembang

Kinanti pupuh (bait) 2 dan 3 yang dibahas di bawah ini.

Kinanti

(Pupuh 2)

padha gulangen ing kalbu ing sasmita amrih lantip aja pijer mangan nendra kaprawiran den kaesthi

pesunen saliranira sudanen dhahar lan guling

Terjemahan versi penulis

mari kita melatih dalam hati dalam isyarat agar pintar jangan hanya makan tidur keberhasilan harus diraih

kerjakan dengan sepenuh hati kurangi makan dan tidur

Secara garis besar, tembang Kinanti di atas memiliki tiga tuturan yang

saling terkait satu sama lain. Namun karena pakem tembang Kinanti harus

mengikuti guru lagu dan guru wilangan , maka tiga tuturan tersebut dipecah

menjadi enam baris. Adapun tiga tuturan tersebut adalah padha gulangen ing

kalbu – ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra – kaprawiran den

kaesti, dan pesunen saliranira – sudanen dhahar lan guling. Perhatikan uraian di

bawah ini.

Baris pertama dan kedua sebenarnya merupakan satu tuturan, padha

gulangen ing kalbu dan (padha gulangen) ing sasmita amrih lantip yang arti

harfiahnya adalah adalah mari kita melatih dalam hati dan melatih dalam

Page 47: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

41

isyarat agar pintar. Kata gulangen memiliki makna berlatih agar menjadi

terampil, sedangkan kata kalbu memiliki makna jiwa atau rasa. Sementara kata

sasmita bermakna isyarat atau tanda baik yang jelas ataupun tanda yang samar-

samar dan kata lantip memiliki makna pandai atau pintar.

Memang tuturan padha gulangen ing kalbu dan (padha gulangen) ing

sasmita amrih lantip memiliki makna secara ekplisit (lokusioner) ajakan mari kita

melatih dalam hati dan melatih dalam isyarat agar pintar. Namun apabila kita

kaji, tuturan tersbut memiliki makna jauh lebih dalam dan berbobot. Makna yang

tersembunyi dari tuturan ini adalah marilah kita mengasah hati, jiwa ataupun

rasa kita dan mengasah rasa tanggap (sense of response atau sense of crisis)

terhadap isyarat atau tanda-tanda agar kita menjadi orang yang waskita (pandai

lagi bijaksana). Artinya, hendaknya kita melatih hati, jiwa dan rasa kita serta

melatih rasa tanggap terhadap tanda-tanda atau isyarat apapun agar kita

menjadi orang yang pandai dalam bersikap dan bijaksana dalam tindakan.

Baris ketiga dan keempat adalah tuturan aja pijer mangan nendra

kaprawiran den kaesthi yang memiliki makna harfiah jangan hanya makan dan

tidur, keberhasilan harus diraih. Tuturan mangan nendra tidak hanya bermakna

makan dan tidur, namun memiliki makna yang jauh lebih dalam. Yang dimaksud

dengan kata mangan di sini adalah makan-makan atau foya-foya, menghambur-

hamburkan uang di jalan yang tidak benar, hanya bersenang-senang, seperti

dugem dan tempat maksiat. Sedangkan kata nendra tidak hanya bermakna tidur

namun dapat juga bermakna terlena, bermalas-malasan, mengulur-ulur waktu,

santai dan tidak disiplin.

Kata kaprawiran secara harfiah bermakna keberanian (kekendelan),

namun sesuai dengan konteks yang ada, kata kaprawiran dapat bermakna

keberhasilan karena didukung dengan kata den kaesthi yang secara harfiah

bermakna yang dituju atau tujuan. Menurut hemat penulis, tuturan aja pijer

mangan nendra kaprawiran den kaesthi memiliki makna jangan hanya makan

dan tidur, keberhasilan harus kita raih. Dengan kata lain, untuk meraih

Page 48: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

42

keberhasilan atau kesuksesan harus dilakukan dengan kerja keras dan sungguh-

sungguh serta disiplin, tidak hanya bermalas-malasan serta berfoya-foya

menghambur-hamburkan uang dan membuang-buang waktu percuma.

Pada baris kelima dan keenam, tuturan pesunen saliranira – sudanen

dhahar lan guling memiliki arti harfiah kerjakan dengan sepenuh hati – kurangi

makan dan tidur. Kata guling merupakan simbol dari tidur karena guling (bantal

panjang) merupakan perlengkapan untuk tidur, ataupun kata guling (berguling)

yang artinya tiduran begitu juga dengan dhahar yang artinya makan. Namun

apabila ditilik secara konteks, tuturan pesunen saliranira – sudanen dhahar lan

guling memiliki makna yang jauh lebih dalam (illokusioner), yaitu hendaknya diri

kita harus bekerja sungguh-sungguh dan harus disertai prihatin, berani

meninggalkan gemerlapnya dunia.

Tembang Kinanti di atas apabila dikaji lebih jauh memiliki makna yang

adiluhur dan sudah sangat maju karena banyak mengandung kompetensi

komunikatif, khususnya kompetensi pargamatik dan semiotik. Makna

keseluruhan dari tembang tersebut adalah Apabila Memang tuturan padha

gulangen ing kalbu dan (padha gulangen) ing sasmita amrih lantip memiliki

makna secara ekplisit (lokusioner) ajakan mari kita melatih dalam hati dan

melatih dalam isyarat agar pintar. Namun apabila kita kaji, tuturan tersebut

memiliki makna jauh lebih dalam dan berbobot.

Makna yang tersembunyi dari tembang tersebut adalah marilah kita

mengasah hati, jiwa ataupun rasa kita dan mengasah tanggap terhadap isyarat

atau tanda-tanda agar kita menjadi orang yang waskita (pandai lagi bijaksana);

untuk meraih keberhasilan atau kesuksesan harus dilakukan dengan kerja keras

dan sungguh-sungguh serta disiplin, tidak hanya bermalas-malasan serta

berfoya-foya menghambur-hamburkan uang dan membuang-buang waktu

percuma; dan hendaknya diri kita harus bekerja sungguh-sungguh dan harus

disertai prihatin, berani meninggalkan gemerlapnya dunia.

Page 49: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

43

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa tembang Kinanti

dengan lirik padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer

mangan nendra, kaprawiran den kaesthi, pesunen saliranira, dan sudanen

dhahar lan guling banyak mengandung unsur-unsur atau kompetensi pragmatik

dan semiotik. Tuturan yang ada dalam lirik merupakan tindak tutur lokusioner

yang harus dicerna lebih jauh oleh mitra tutur (pembaca) karena tuturan

tersebut memiliki makna yang tersirat (ilokusioner). Agar maksud yang ada

dalam tuturan lokusioner sampai ke mitra tutur secara utuh dari penutur (PB IV),

maka kita harus memiliki kompetensi pragmatik yang memadai. Begitu juga

dengan tanda-tanda atau isyarat-isyarat yang ada dalam lirik tembang Kinanti

tersebut sangat banyak, seperti kalbu, lantip, mangan, nendra, dhahar dan

guling. Dengan belajar tembang Kinanti ini kita dapat banyak belajar kompetensi

pragmatik dan semiotik agar kita dapat menjadi orang yang tanggpa ing sasmita,

dalam artian kira memiliki rasa peduli (tanggap) yang tinggi pada isyarat atau

fenomena-fenomena yang ada di masyarakat kita agar kita menjadi orang yang

pandai lagi bijaksana.

DAFTAR RUJUKAN

Barron, Anne. 2003. Acquisition in Interlanguage Pragmatics: Learning How to

Do Things With Words in a Study-Abroad Context. London: John

Benjamins

Celce - Murcia, M, Z. Dornyei, dan S. Thurrell. 1995. Communicative

Competence: A Pedigogically Motivated Model with Content

Specifications. Issues in Applied Linguistics 6/2, pages 5-35.

Leech, G. N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.

Levinson, S. C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16803/4/Chapter%20II. Pdf

(diakses tanggal 15 Maret 2016).

http://www.pesantrenglobal.com/serat-wulangreh-susuhunan-pakubuwono-iv/

Page 50: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

44

MEMASYARAKATKAN KANDUNGAN ISI NASKAH JAWA KLASIK

SEBAGAI BENTUK IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

Oleh:

R. Adi Deswijaya, S.S., M.Hum.

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, FKIP, Univet Sukoharjo

[email protected]

Abstrak

Arus globalisasi begitu derasnya masuk dan mempengaruhi seluruh lini

kehidupan bangsa kita (sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, dan sebagainya).

Tidak semua arus globalisasi mendatangkan dampak positif bagi kehidupan kita,

melainkan pula mendatangkan dampak negatif bagi perkembangan bangsa.

Perlunya sebuah tatanan yang mengawasi masuknya mobilitas dunia yang

Page 51: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

45

semakin tak terkendali ini. Lingkungan pendidikan tak henti-hentinya

menyerukan adanya pendidikan budi pekerti di setiap mata pelajaran di sekolahan

ataupun mata kuliah di tingkat akademisi. Penyeruan adanya pendidikan budi

pekerti seperti ini sebenarnya sudah lama ada di dunia Jawa, khususnya di dalam

dunia pernaskahan Jawa. Raja, pujangga maupun pihak-pihak terdekat dari

lingkungan kerajaan telah berulangkali menyerukan tentang pendidikan karakter

melalui hasil karyanya yang berupa naskah Jawa Klasik. Hal ini dikarenakan

pengikisan moral yang melanda tidak hanya terjadi pada jaman seperti sekarang

ini, melainkan jaman dahulu pun pernah terjadi pergolakan moral. Jika kita arif

dan mau membuka kembali naskah-naskah Jawa Klasik tersebut, akan besar

faedahnya bagi kehidupan kita untuk menanggulangi berbagai bentuk pengikisan

moral di era globalisasi seperti jaman sekarang ini. Wasiyat Dalêm Kangjêng

Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara Kaping 3, Sêrat Kandha Cetha,

Sêrat Jalma Suyatna, Sêrat Wulang Rèh, Sêrat Bagawadgita, dan Sêrat

Kridhawasita merupakan sebagian contoh dari kebanyakan naskah-naskah

wulang yang beredar di dunia Jawa yang sepantasnya dapat kita jadikan contoh

ajarannya sebagai pegangan hidup kita di jaman serba android serta dalam rangka

menyongsong pasar bebas MEA.

kata kunci : pendidikan budi pekerti, naskah Jawa klasik.

PENDAHULUAN

Masuknya pengaruh asing ke dalam semua lini bidang kehidupan yang

tidak dapat diduga-duga dan tidak dapat diprediksi kecepatannya, telah

melunturkan budaya asli masyarakat kita. Hasil-hasil budaya asli masyarakat kita

telah tergantikan dengan datangnya produk budaya-budaya Barat. Sebagai contoh,

hasil budaya Jawa berupa dolanan bocah dengan berbagai wujudnya antara lain

engklek, jamuran, sluku-sluku bathok, egrang, dan sebagainya. Wujud-wujud dari

dolanan bocah masyarakat Jawa tersebut saat ini telah tergantikan posisinya

dengan hadirnya game sebagai produk dunia Barat. Kehadiran produk-produk

Barat telah merubah kepribadian diri anak menjadi kepribadian yang egois. Nilai-

nilai luhur dari nenek moyang yang berupa ajaran kebersamaan, kebahagiaan, dan

hidup sehat yang terkandung di dalam dolanan bocah sudah tidak dapat kita

temukan lagi. Di mana pun dan kapan pun waktunya, fenomena anak-anak yang

tengah asyik memainkan game-nya akan selalu dijumpai. Akibat pengaruh game

tersebut, sifat egois dan malas, secara perlahan telah tertanam dalam pribadi anak-

anak.

Page 52: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

46

Food, film, dan fashion adalah sekelumit contoh lain yang dapat menjadi

bumerang dalam menjerumuskan moral anak-anak bangsa Indonesia. Keaslian

hasil-hasil budaya masyarakat Indonesia yang sebelumnya menciptakan

masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, kini telah terhapus oleh masuknya

pengaruh food, film, dan fashion dari negara luar. Makanan tradisional atau istilah

sekarang kuliner tradisional, merupakan salah satu warisan leluhur yang

sepatutnya kita pertahankan keberadaannya bagi anak cucu di masa yang akan

datang. Kehadiran makanan modern yang merambah ke dalam kehidupan kita di

jaman serba teknologi ini telah mengambil alih kuliner tradisional kita.

Kekerasan, percintaan tanpa sensor, politik dan sebagainya telah

merambah ke dalam dunia perfilman Indonesia yang notabene penontonnya

adalah kaum remaja. Film yang seharusnya dapat menjadikan tuntunan positif di

dalam kehidupan generasi muda, kini beralih fungsi menjadi tontonan dan

tuntunan yang negatif. Kehadiran krisis moral pun semakin tak terelakkan di

tengah-tengah kehidupan masyarakat kita.

Busana Jawa yang konon dahulu begitu adi luhung dan penuh akan makna

filosofinya, sekarang telah tergantikan oleh busana manca yang sangat fenomenal.

Fenomenal dalam artian, sudah tidak lagi mengedepankan rasa kesopanan dalam

berbusana. Semuanya serba nglegena tanpa tedheng aling-aling. Unen-unen

ajining raga ana ing busana sudah tidak berlaku lagi di jaman era android seperti

sekarang ini.

Kondisi moral generasi muda yang mengkhawatirkan, pengangguran dan

kemiskinan yang semakin bertambah, rusaknya moral para pemimpin, dan

bencana yang sering terjadi di Indoensia adalah fenomena keadaan negara saat ini.

Masuknya akses-akses internet semakin tak terkendali dan dengan bebasnya dapat

diterima khalayak. Tawaran-tawaran bentuk produk sampai dengan bentuk

pengikisan moral pun telah melanda moral masyarakat kita khususnya para

generasi muda.

Beberapa fenomena abad 21 yang terjadi di dalam kehidupan kita ini,

tentunya tidak menjadikan kita hanya berpangku tangan begitu saja, akan tetapi

perlunya semangat cancut tali wanda untuk menyikapinya, terlebih-lebih dalam

Page 53: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

47

menyambut datangnya MEA. Pertukaran SDM, pertukaran budaya, dan

sebagainya akan semakin tak terelakkan. Dampak pasar bebas MEA tidak hanya

akan terasa pada persaingan perekonomian saja, melainkan akan melahirkan

kebijakan-kebijakan baru yang mungkin dapat berpengaruh pada sikap atau

karakter asli masyarakat kita. Datangnya MEA akan menambah pekerjaan rumah

bagi kita, yaitu selain bersaing dalam bidang ekonomi melalui promosi produk-

produk dalam negeri sendiri, di sisi lain kita diharuskan dapat menyaring segala

bentuk mobilitas dari luar yang dapat merongrong kepribadian generasi muda.

Bagaimanakah cara-cara yang sepatutnya dapat kita lakukan dalam menghadapi

fenomena-fenomena tersebut?

PEMBAHASAN

A. Pendidikan Budi Pekerti dalam Naskah Jawa Klasik

Pasar bebas Asean sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan

perekonomian negara Indonesia. Mobilitas manusia sedunia dengan bebasnya

dapat masuk ke dalam wilayah yang mereka inginkan. Kita tidak bisa

membendungnya selain memberikan bekal bagi para generasi muda untuk dapat

memilah-milah mana yang terbaik dan terburuk baginya. Perlu adanya sarana

pengatur mobilitas kehidupan bersama ini, yaitu adanya nilai-nilai moral atau

nilai-nilai budi pekerti dalam menghadapi bentuk mobilitas yang semakin bebas

dan tak terkendali nantinya.

Berkaitan dengan budi pekerti, Nurul Zuriah mengatakan bahwa budi

pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan

sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: (a) adat

istiadat, (b) sopan santun, dan (c) perilaku (2011:17). Budi pekerti berkaitan erat

dengan moral.

Perilaku seseorang dalam menyikapi suatu masalah sangatlah tergantung

dari karakternya masing-masing. Di dalam pembangunan karakter, perlu

dipertimbangkan segi moralitas sebagai salah satu penunjang yang diutamakan

(Lukitaningsih, 2012:58). Menurut Ratna Megawangi dalam Deswijaya (2012:

48) mengatakan bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani to mark yang

Page 54: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

48

berarti „menandai atau mengukir perilaku‟. Deswijaya menambahkan pendidikan

karakter dapat membentuk perilaku dan kepribadian anak melalui pendidikan

moral dan budi pekerti sehingga dampaknya akan tampak dalam perilaku

seseorang, misalnya perilaku jujur, bertanggungjawab, menghormati hak orang

lain, dan bekerja keras (2012:48).

Perlunya memasyarakatkan naskah-naskah Jawa Klasik, sebenarnya dapat

menjadi program tersendiri bagi para pendidik, baik di lingkup formal maupun

nonformal. Lingkup formal, khususnya di lingkungan sekolah, sejak SD sampai

Perguruan Tinggi perlu adanya penyisipan kandungan isi naskah-naskah Jawa

Klasik ke dalam mata pelajaran bermuatan budi pekerti, seperti: mata pelajaran

agama, bahasa Jawa, dan sebagainya. Sedangkan lingkup nonformal, diadakannya

sarasehan tentang naskah-naskah Jawa Klasik dengan cara menggali ajaran-ajaran

yang terkandung di dalam teks naskah tersebut.

Fathurahman membahasa tentang pengertian naskah dalam konteks

filologi Indonesia, kata “naskah” dan “manuskrip” dipakai dalam pengertian yang

sama, yakni merujuk pada dokumen yang di dalamnya terdapat teks tulisan

tangan, baik berbahan kertas (kebanyakan kertas Eropa), daluwang (kertas lokal

dari daun saeh), lontar (kertas lokal dari daun lontar), bambu dan lainnya

(2015:22-23). Naskah merupakan salah satu dokumen peninggalan tertulis para

leluhur jaman dahulu yang ditulis di atas kertas, daluwang, lontar, kulit kayu, dan

rotan yang berisikan segala aspek kehidupan manusia. Deswijaya mengatakan

bahwa kandungan isi naskah-naskah Jawa Klasik begitu luhur dan sangat besar

manfaatnya apabila dijadikan pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari. Seiring

dengan adanya krisis moral pada jaman sekarang, khususnya anak-anak muda,

ajaran-ajaran para pujangga maupun penyair jaman dahulu yang tertuang di dalam

teks-teks naskah Jawa tersebut bisa dijadikan tuladha dalam memilah-milah

tindakan mana yang baik dan mana yang buruk (2012:48).

Ke-adiluhung-an naskah-naskah Jawa Klasik dikarenakan kandungan

isinya, terutama dalam hal piwulang budi pekerti. Piwulang merupakan salah satu

kategori isi yang terkandung di dalam naskah Jawa klasik. Piwulang di dalam

naskah Jawa Klasik lebih banyak mengarah kepada pendidikan moral atau

Page 55: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

49

pendidikan budi pekerti. Awalnya, para pujangga Jawa maupun para raja Jawa

terdahulu, tujuan penulisan karyanya hanya khusus diperuntukkan bagi para putra-

putrinya. Namun, setelah jaman kemerdekaan, fungsinya telah beralih hingga

keluar pagar keraton. Di dalam piwulangnya, para pujangga atau raja-raja Jawa

selalu mengutamakan piwulang budi pekerti. Berikut sebagian dari beberapa

contoh naskah-naskah Jawa klasik yang mengandung piwulang budi pekerti atau

pendidikan moral.

1. Wasiyat Dalêm Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara

Kaping 3

Naskah Wasiyat Dalem Kangjeng Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara

Kaping 3 berisikan ajaran tentang 6 perilaku hidup dalam bermasyarakat, antara

lain yang terdapat pada halaman 3-5 berikut.

a. Têmên. Secara lahiriah, jika melaksanakan pekerjaan, haruslah bersungguh-

sungguh, tidak menganggap mudah. Secara batiniah, tidak berselingkuh

(korupsi) serta berbuat tidak terpuji dan sebagainya, tutur katanya teratur dan

bersahaja, tidak suka berpura-pura dan bohong. Orang yang temen dapat

dikatakan suci lahir batinnya.

b. Mantêp. Secara lahiriah, semua yang telah disanggupi harus dapat diselesaikan,

tidak menggerutu, semua yang dikerjakan tetap dilaksanakan. Tidak teledor

dan selalu bersungguh-sungguh serta tidak suka membandingkan, tidak iri

terhadap milik orang lain. Orang yang mantep dapat disebut orang yang setia

terhadap janji. Secara batiniah, apa yang dicita-citakan diraih hingga tercapai.

Tidak mudah putus asa dan tidak mudah bosan.

c. Gêlêm. Secara lahiriah, maksudnya tidak sungkanan, tidak merasa takut,

namun tak meninggalkan kewaspadaan. Semua pekerjaan yang berat dan

gawat, tidak pernah ditinggalkannya. Orang yang gêlêm, secara lahiriah dapat

disebut sebagai pekerja keras. Secara batiniah, segala beban batinnya tidak

merasa khawatir, tidak menggerutu, harapannya dapat melaksanakan semuanya

hingga selesai. Secara batiniah disebut sebagai orang yang kuat tekatnya.

Page 56: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

50

d. Nglakoni. Secara lahir, kelanjutan: gêlêm (berkemauan), pelaksanaannya

menyesuaikan situasi dan kondisi, tanpa henti, tekun dan sabar menurut

kepentingan pekerjaan, pandai memilih dan menyeleksi mana yang wajib dan

mana yang sunah, tidak dicampur bawur. Dalam hati mau menerima mudah

dan sulitnya pemikiran, perjalanan hidupnya tidak sempit dan tidak berpamrih,

pada akhirnya selalu ikhlas hatinya. Tidak berwatak bersemangat pada awalnya

saja, apa yang diwajibkan harus mampu melaksanakan, jadi dapat disebut dapat

menyelesaikan pekerjaan dengan baik, akhirnya hidupnya tidak akan merasa

sengsara.

e. Aja kagetan. Bukan terkejut oleh kerasnya suara, tetapi keterkejutan hati. Agar

dapat demikian haruslah merasa sebagai makluk yang lemah, semua sudah

ditakdirkan menurut perbuatannya sendiri, mengetahui jika di dunia ini ada

dalam kekuasaan gaib yang abadi, akhirnya hatinya menjadi sabar.

f. Aja gumunan. Agar dapat demikian, haruslah percaya bahwa diciptakannya

makhluk ini atas curahan kasih sayang Allah yang tiada batas kekuasaan-Nya.

Apa yang diinginkan dengan berbekal kesungguhan pastilah tercapai, akhirnya

terjadi tataran kemuliaan setimpal dengan perbuatannya-masing-masing yang

akhirnya tidak akan memiliki watak iri, dengki, jahil, dan sebagainya. Apa saja

yang terjadi diyakini dari kasih sayang Yang Maha Memelihara Alam, berkat

kesungguhan dari yang menerima anugerah.

2. Serat Kandha Cetha.

Serat Kandha Cetha dikarang oleh Ki Darsasawega. Berikut beberapa ajaran

yang disampaikan oleh Ki Darsasawega di dalam naskahnya.

a. Menciptakan suasana kerukunan di dalam hidup bermasyarakat

Pupuh Sinom

17. Yèn wus cukup butuh ngomah / banjur salin gênti mikir / butuh mênyang kalumrahan / karo tangga kanan kering / titinên jroning batin / tata-caraning pirukun / kang bêcik timbangana / aja nganti kalah ati / awit tangga sadulur katêmu rina //

‘jika kebutuhan rumah sudah tercukupi / kemudian ganti memikirkan / kebutuhan kepada sesama / terhadap tetangga kanan dan kiri / amatilah dalam hati / tatacara hidup rukun / pilihlah yang baik-baik /

Page 57: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

51

jangan sampai kalah hati / karena tetangga merupakan saudara kita yang bertemu setiap hari’ //

18. Trêsnoa sapadha-padha / aja sok dhêmên marahi / amêminihi prakara / mêngko mundhak dicirèni / para ngalah sathithik / yèn tinimbang padha-padu / pedahe ora ana / mung gawe rêngkaning ati / ati gêla anyudakake sih trêsna //

‘sayangilah sesama / jangan senang memulai / mencari-cari masalah / nantinya akan diketetahui / lebih baik mengalah sedikit / daripada menjadikan pertengkaran / tidak ada faedahnya / hanya akan mengotori hati / hati kecewa yang akan mengurangi rasa kasih sayang’ //

19. Kowe dhewe bisa kandha / kahananing wong ngaurip / rukun agawe santosa / mula bêcik ngati-ati / awit yèn padu mêsthi / anggêmpil karukunanmu / dadi nyuda santosa / wêkasane banjur ringkih / sasrawungan pêrlu nganggo têpa-têpa //

‘kamu sendiri bisa berkata / bahwa keadaan orang hidup / rukun akan membuat sentausa / oleh karenanya berhati-hatilah / karena jika bertengkar pasti / akan menghancurkan kerukunanmu / sehingga akan mengurangi sentaousa / akhirnya akan lemah / berhubungan sesama harus memperhatikan situasi //

Bait 17 dan 18 di atas menunjukkan ajakan untuk menciptakan suasana

hidup rukun bermasyarakat. Tatacara berkomunikasi dengan tetangga harus

diperhatikan, saling sayang-menyayangi dan jangan suka mencari-cari masalah.

Lebih baik mengalah, daripada menciptakan suasana perkelahian yang tidak ada

gunanya, yang akhirnya akan menyakitkan hati orang lain dan menyebabkan

hilangnya rasa kasih sayang di antara sesama. Ki Darsasawega dalam bait 19 juga

mengatakan bahwa rukun agawe santosa, perkelahian akan merusak dan

menghilangkan kerukunan sehingga akan mengurangi kekuatan dan akhirnya akan

melemahkan hubungan bermasyarakat. Dalam berkomunikasi dengan tetangga

harus mengenal papan lan wektu „tempat dan waktu‟.

b. Ajakan untuk mengetahui unggah-ungguh tatakrama

Sinom

21. Unggah-ungguh tata-krama / iya kudu diwêruhi / wong mêruhi tata-

krama / ora beda wêruh tarip / bisa angrêta aji / barang kang arêp

tinuku / tumraping sêsrawungan / tata-krama iku dadi / pangruwating

saru siku lan dêksura //

Page 58: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

52

„unggah-ungguh tatakrama / haru kamu ketahui / orang yang

mengetahui akan tatakrama / tidak berbeda dengan orang yang

mengetahui akan harga / dapat mengira-ngira kegunaannya / barang

yang hendak dibeli / dalam berhubungan di dalam masyarakat /

tatakrama akan menjadi / penghilang perilaku yang tidak pantas,

kesalahan dan watak kurang ajar‟ //

Bait di atas menjelaskan bahwa orang harus tahu akan unggah-ungguh

tatakrama. Orang yang mengetahui tatakrama tidak berbeda dengan orang yang

mengetahui akan harga sebuah benda. Dia dapat mengetahui manfaat barang yang

hendak dibelinya. Bait di atas juga menjelaskan bahwa dengan tatakrama akan

dapat menghilangkan pocapan yang tidak baik, menghidari bahan perbincangan

orang lain maupun tingkah laku yang kurang baik.

3. Serat Jalma Suyatna

Serat Jalma Suyatna „Manusia Yang Berhati-hati‟ dikeluarkan oleh toko

buku M. Tanojo pada tahun 1923 juga menjelaskan permasalahan tatakrama.

Tatakrama yaiku ngadekake patrap tuwin pangucap minangka pakurmatan. Tata,

anduweni teges prenah sarta wijang, yaiku ora resah. Krama tegese ulahing

tembung kanthi trapsilaning pratingkah. Manungsa kudu eling marang tindaking

tatakrama, supaya aja nganti kapitunan tumraping rengkuh-rinengkuh.

„tatakrama yaitu menjadikan tingkah laku dan ucapan sebagai penghormatan.

Tata, memilik makna tertata, yaitu tidak gundah. Krama bermakna olah kata

dengan menggunakan aturan tingkah laku. Manusia harus ingat terhadap semua

tatakrama, agar jangan sampai mengalami kerugian dalam hidup berdampingan‟.

Menggunakan tatakrama berarti memperhatikan patrap dan pocap sebagai

bentuk penghormatan kepada orang lain. Tata, mempunyai makna tertata, yaitu

segala tingkah laku maupun pembicaraan bisa terarah atau tertata dengan baik.

Krama, berarti olah kata dengan memperhatikan kesesuaian tingkah laku.

Manusia harus ingat dan tahu benar akan tatakrama agar jangan sampai

mengalami kekecewaan dalam hidup bersaudara di antara sesama.

4. Serat Wulang Reh

Page 59: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

53

Serat Wulang Reh merupakan hasil karya sastra dari Sinuhun Pakubuwana

IV yang berisikan tentang ajaran tingkah laku dan juga cara menjalankan roda

pemerintahan. Karena begitu banyaknya ajaran yang disampaikan Sinuhun

Pakubuwana IV di dalam Serat Wulang Reh-nya, maka dapat diambilkan

beberapa contoh ajaran dari Sinuhun Pakubuwana IV, seperti yang tercantum

pada pupuh Kinanthi, bait 1 berikut.

1. padha gulangên ing kalbu / ing sasmita amrih lantip / aja pijêr mangan

nendra / ing kaprawiran dèn kèsthi / pêsunên saliranira / sudanên

dhahar lan guling //

„latihlah hati / terhadap segala pertanda agar tajam atau awas / jangan

hanya makan dan tidur / raihlah keberanian / jagalah badanmu dengan

sungguh-sungguh / kurangilah makan dan tidur„ //

Bait 1 di atas adalah ajakan untuk melatih hati dengan sungguh-sungguh

agar tajam dan awas dalam menyikapi suatu permasalahan atau gejala di dalam

masyarakat, baik itu yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Mengurangi

kebiasaan makan dan tidur secara berlebihan merupakan cara melatih hati agar

tajam dan awas.

Menghilangkan kebiasaan berhura-hura adalah salah satu ajakan PB IV di

dalam pupuh Kinanthi bait 2 di bawah ini.

2. dadia lakunirèku / cêgah dhahar lawan guling / lan aja asukan-sukan /

anganggoa sawêtawis / ala watêke wong suka / nyuda prayitna ing batin //

„jadikanlah pegangan untuk hidupmu / kurangilah makan dan tidur / dan

jangan terlalu senang hidup berhura-hura / hiduplah sederhana / tidak baik

watak orang yang senang berhura-hura / akan mengurangi kehati-hatian di

hati‟ //

Bait 2 di atas mengajak untuk mengurangi makan dan tidur serta melarang

untuk hidup berhura-hura. Hiduplah dengan sederhana. Orang yang hidup terlalu

berlebihan hidupnya tidak akan baik dan akan mengurangi sifat kehati-hatiannya.

Meninggalkan kelebihan yang terdapat dalam diri kita merupakan ajakan

lain dari PB IV dalam Serat Wulang Reh. Berikut ajaran yang terdapat dalam

pupuh Gambuh, bait 4-10.

4. ana pocapanipun / adiguna adigang adigung / pan adigang kidang adigung

pan èsthi / adiguna ula iku / têlu pisan mati sampyoh //

Page 60: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

54

„ada sebuah ungkapan / adiguna adigang adigung / adigang adalah kidang

adigung adalah gajah / adiguna adalah ular / ketiganya sama-sama mati‟/

5. si kidang umbagipun / ngandêlakên kêbat lampahipun / pan si gajah

ngandêlakên agêng inggil / ula ngandêlakên iku / mandine kalamun nyokot //

„sang kidang kesombongannya / mengandalkan jalannya yang cepat / sang gajah

mengandalkan besar dan tinggi / ular mengandalkan / bisanya jika menggigit‟

//

6. iku upamènipun / aja ngandêlakên sira iku / sutèng nata iya sapa ingkang

wani / iku ambêking wong digung / ing wusana dadi asor //

„itulah perumpamaannya / janganlah kamu mengandalkan / putra dari seorang

raja siapakah yang berani / itulah sifat orang adigung / akhirnya akan rendah‟

//

7. adiguna puniku / ngandêlakên kapintêranipun / samubarang kabisan dipun

dhèwèki / sapa pintêr kaya ingsun / toging têmah nora enjoh //

„adiguna yaitu / mengandalkan kepandaiannya / semua keahlian dimiliki sendiri

/ siapa yang pandai seperti aku / pada saatnya akhirnya tidak bisa‟ //

8. basa adigang iku / angungasakên ing suranipun / parang tangtang cêndhala

anyênyampahi / tinêmênan nora purun / satêmah dadi gêguyon //

„makna adigang yaitu / mengumumkan kekuatannya atau kesaktiannya / siapa

pun ditantang sifatnya jelek dan senang merendahkan / jika disuruh

membuktikan tidak mau / akhirnya menjadi bahan tertawaan‟ //

9. ing wong urip puniku / aja nganggo ambêk kang tatêlu / anganggoa rèrèh

ririh ngati-ati / dèn kawawang barang laku / dèn waskitha solahing wong //

„manusia hidup itu / janganlah berbekal ketiga sifat tersebut / berbekallah sifat

yang tenang, pelan dan selalu berhati-hati / perhatikanlah semua tindak tanduk

/ harus awas terhadal tindak-tanduk orang lain‟ //

Piwulang untuk meninggalkan sifat adigang, adigung dan adiguna

tertuang dalam bait 4-10 di atas. Sifat adigang memperlambangkan seekor

menjangan, adigung memperlambangkan seekor gajah, dan adiguna

memperlambangkan seekor ular. Menjangan mengandalkan kecepatan larinya,

gajah mengandalkan kebesaran tubuhnya, dan ular mengandalkan upasnya.

Demikian pula ketiga sifat tersebut dapat menempel pada diri manusia apabila

tidak bisa menguasainya. Adigang, mengandalkan kesaktian yang dimilikinya,

adigung mengandalkan anak dari seorang raja atau orang yang berkuasa di

pemerintahan, dan adiguna mengandalkan kepandaiannya. Orang hidup janganlah

mengandalkan pada ketiga sifat tersebut, gunakanlah tingkah laku yang serba

sabar, tenang dan selalu berhati-hati.

5. Serat Baghawadgita

Page 61: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

55

Dalam Serat Baghawadgita dapat ditemui karakter seorang Arjuna

sewaktu berbicara dengan Kresna di tengah-tengah medan pertempuran.

Aturipun Arjuna : Dhuh pukulun, kados pundi sagêd kula lumawan Sang

Bisma miwah Druna, môngka sakalihan wau pantês ingaji-aji.

„Arjuna berkata : Aduh Tuan, bagaimana saya dapat melawan Sang Bisma dan

Guru Druna, padahal keduanya sangatlah pantas untuk dihormati.‟

Awit ing donya punika kados langkung eca nêdha sêkul sapulukan sangking

anggènipun papariman, tinimbang kamulyan agêng sarana amêjahi para guru

kang dibya, sêngsêmipun dhatêng kasugihan tuwin kamuktèn, ingkang

makatên wau badhe cêmêr dening rah.

„Karena di dunia ini lebih nikmat memakan nasi satu suapan tangan dari hasil

meminta-minta, daripada mendapat kemuliaan besar dengan cara membunuh

para guru yang sakti karena tergoda oleh kekayaan dan hidup yang tercukupi.

Hal seperti itu akan membuat banjir darah.‟

Merunut pembicaraan Arjuna di atas, dapat dijelaskan bahwa Arjuna

sangat keberatan apabila melawan Bisma dan Durna yang merupakan kakek serta

gurunya sendiri. Menurut Arjuna, mereka berdua seharusnya dihormati dan

dihargai, tidak untuk dibunuh. Arjuna menganggap bahwa makan sesuap nasi dari

hasil meminta-minta akan lebih nikmat daripada mendapatkan kemuliaan besar

dengan cara membunuh para gurunya yang begitu linuwih atau sakti. Kesenangan

dengan tujuan untuk mendapatkan kekayaan dan kamukten melalui cara seperti itu

merupakan perbuatan nistha.

6. Serat Margawirya

Menghadapi dampak dari adanya pasar bebas MEA, pendidikan budi

pekerti sangatlah dibutuhkan sebagai bekal kelak. Serat Margawirya sangat syarat

akan adanya hal ini. Berikut uraian pendidikan karakter yang dapat kita jadikan

tauladan dari Serat Margawirya, tembang Dhandhanggula.

33. têgêse kang ingaranan gêmi / pama rayap marang ratunira / tan awèh kênèng

srêngenge / eman manawa kuru / wadyanira samya tur bukti / salamine

mangkana / têmah mênthêk mênthu / kang aran nastiti uga / iku sêmut rina

wêngi wira-wiri / tansah papag-pinapag //

„makna gemi diartikan / seperti rayap terhadap rajanya / berusaha agar tidak

terkena matahari / sangat disayangkan apabila menjadi kurus / semua anak

buahnya memberikan makan / seterusnya seperti itu / akhirnya menjadi

Page 62: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

56

gemuk / sedangkan yang dinamakan nastiti / seperti semut siang malam

selalu ke sana ke mari / selalu berjumpa‟ //

34. takon tinakon sabên pinanggih / sangkan paranira tinakonan / kaya mangkana

esthane / prayoga yèn tiniru / kang ingaran angati-ati / iku yêkti calarat / yèn

mencok ing kayu / gurda nadyan sadipôngga / maksih wang-wang dèn êncot-

êncot kapati / samar manawa rêbah //

„dan saling bertanya setiap bertemu / dari mana dan akan ke mana selalu

ditanyakan / itulah kenyataannya / akan lebih baik jika dicontoh / yang

dimaksud berhati-hati / seperti clarat gombel / apabila hinggap di ranting /

meskipun sebesar gajah / masih kawatir kemudian diinjak-injak sekuat tenaga

/ kawatir jika rubuh‟ //

35. iku kang ingaran ngati-ati / yèku prayogane ponang clarat / yèn manungsa

panulade / amawa unggah-ungguh / yèn mênênga nora prayogi / cupêt

pangandêlira / yèn tan unggah-ungguh / nging yitna aywa tininggal / tri

prakara ingaran gêmi nastiti / ngati-ati lirira //

„begitulah yang dimaksud dengan sikap berhati-hati / lebih baik mencontoh si

clarat gombel / apabila manusia mencontoh / menggunakan unggah-ungguh /

jika hanya diam tidak baik / tidak dipercaya / jika tanpa unggah-ungguh /

tetapi berhati-hati janganlah ditinggalkan / tiga perkara itulah yang

dinamakan gemi „hemat‟ nastiti „teliti‟ / dan ngati-ati „berhati-hati‟ sebagai

pesanku //

Bait 33, baris 1-7, tembang Dhandhanggula di atas, merupakan gambaran

karakter gemi „hemat atau cermat‟ yang dicontohkan seperti perilaku rayap „anai-

anai‟. Gambaran perilaku gemi „hemat atau cermat‟ seekor prajurit rayap „anai-

anai‟ yang selalu memberikan perhatiannya kepada rajanya. Prajurit rayap sangat

menyayangkan apabila rajanya melakukan pekerjaan sendirian di dalam mencari

sesuap nasi demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Prajurit rayap akan

berusaha menjaga rajanya supaya tidak keluar dari singgasananya dan terbebas

dari sengatan cahaya matahari dengan cara bekerja keras mencarikan segala

kebutuhan hidup rajanya.

Penyampaian karakter gemi „hemat atau cermat‟ yang terdapat pada

kesetiaan prajurit rayap tersebut yang secara tidak eksplisit memang

diperuntukkan bagi pembentukan sikap seseorang, yaitu kesetiaan masyarakat

kepada pemimpinnya atau kesetiaan bawahan kepada atasannya.

Bait 33, baris 8-10, serta bait 34 baris 1-4, pada Tembang Dhandhanggula

di atas merupakan gambaran bentuk perilaku nastiti „teliti‟ dari seekor semut.

Sering kita jumpai seekor semut yang sedang berjalan tiba-tiba berhenti ketika

Page 63: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

57

bertemu dengan temannya. Fenomena perilaku seekor semut seperti itu memang

sengaja digambarkan oleh Raden Mas Arya Jayadiningrat I bagi manusia dalam

pembentukan karakter nastiti „teliti‟. Seperti halnya seekor semut, kapan pun dan

di mana pun kita berada, jika bertemu dengan seseorang yang belum dikenal, kita

diharapkan dapat selalu menyapa dan selalu menanyakan kabar kepada seseorang

yang sudah dikenalnya. Cara seperti ini dapat mempererat tali silaturahmi.

Penggambaran karakter ngati-ati „berhati-hati‟ yang diperumpamakan

pada perilaku clarat gombel tampak pada bait 34 (baris 5-10) dan bait 35 (baris 1-

2). Seekor clarat gombel yang setiap kali menginjakkan kakinya di sebuah batang

atau ranting pohon, akan selalu mencoba menggerak-gerakkan batang atau ranting

pohon tersebut. Seberapa kuatkah ranting atau batang pohon tersebut dia injak,

sekali pun berada di pohon beringin yang begitu kokohnya. Dalam berpikir,

berperilaku, dan bertindak, manusia haruslah selalu berhati-hati seperti halnya

clarat gombel, meskipun dalam keadaan tenang maupun genting.

7. Serat Kridhawasita

Karakter keteguhan hati dapat ditemukan dalam Serat Kridhawasita,

tembang Pangkur, bait 3-5 di bawah ini.

3. pra mudha dèn kawruhana / sanjatane pêrang tan amung bêdhil / mortir

miwah metraliyur / granat bêdhil mêsinnya / motor mabur mriyêm alit miwah

agung / iku kabèh kalairan / tan rampung mung iku kaki //

„ketahuilah anak muda / senjata perang tidak hanya senapan / mortir dan mesiu

/ geranat senapan mesin / pesawat terbang meriam kecil maupun besar / itu

semua adalah wujud lahiriah / tidak akan selesai jika hanya itu nak‟ //

4. gaman batin aywa tinggal / satuhune ampuhnya gêgirisi / datan abot

bêktanipun / tur datan karondhahan / tan dinyana ginembol nora barênjul /

pusaka tabon wetanan / yèn dèn èsthi tan ngowani //

„senjata batiniah atau hati janganlah ditinggalkan / ampuhnya sungguh

mengerikan / tidak berat membawanya / dan juga tidak perlu dijaga / tidak

dinyana jika dimasukkan saku tidak menonjol / pusaka tertua dari timur / jika

diniati tidak akan pergi‟ //

5 lamun arsa migunakna / gaman batin kang bisa angrampungi / kurdaning

mungsuh kang liwung / sayêkti nora beda / lawan gaman kalairan prigêlipun /

linalatih sabên dina / supaya tan mindho kardi //

„jika hendak menggunakan / senjata batin yang dapat menyelesaikan /

kemarahan musuh yang membabibuta / sesungguhnya tidak berbeda / dengan

terampilnya senjata lahiriah / dilatih setiap hari / supaya tidak merugikan‟ //

Page 64: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

58

Bait 3 menjelaskan bahwa perang melawan musuh tidak akan dapat

terselesaikan jika hanya menggunakan senjata lahiriah berupa senapan, meriam,

pesawat dan sebagainya. Diperjelas lagi di dalam bait 4 dan 5, bahwa orang tidak

akan berani menghadapi musuh dengan hanya berbekal senjata lahiriah berupa

senapan, meriam, pesawat, dan sebagainya, jika di dalam hatinya tidak ada

keberanian untuk mati. Dalam keadaan apa pun kita, senjata batiniah akan selalu

menyertai kita dan selalu menenangkan hati kita. Sebagaimana senjata lahiriah

yang harus dilatih agar terampil di dalam menggunakannya, senjata batiniah pun

perlu dilatih setiap hari sebagai bekal menghadapi amukan musuh yang

mengerikan sekali pun.

KESIMPULAN

Beberapa contoh ajarah-ajaran yang terdapat di dalam naskah-naskah Jawa

Klasik tersebut di atas merupakan bentuk ajaran budi pekerti yang mengarah

kepada pembentukan karakter seseorang. Ajaran-ajaran tersebut kiranya dapat kita

implementasikan ke dalam kehidupan kita serta dapat kita jadikan pegangan

dalam menghadapi datangnya pasar bebas MEA. Piwulang-piwulang yang dapat

kita ambil dari naskah-naskah tersebut antara lain:

1. Têmên. Melakukan pekerjaan haruslah dengan bersungguh-sungguh sesuai

dengan tugasnya sehingga akan tercipta watak jujur dan kehati-hatian dalam

bekerja.

2. Mantêp. Rasa yakin terhadap pekerjaan kita akan menciptakan rasa nyaman

dan cinta terhadap pekerjaan sendiri. Cinta terhadap hasil produk negara kita

sendiri akan menjauhkan rasa iri terhadap milik orang lain. Kita akan puas

dengan hasil jerih payah kita sendiri.

3. Gêlêm. Harus bersedia menerima pekerjaan dalam wujud apa pun, baik

ringan maupun berat, terlebih-lebih dalam bersaing di pasar bebas Asean.

Sebagai pekerja yang keras, dia tidak akan merasa sungkan dan takut, namun

juga tidak akan meninggalkan kewaspadaan.

Page 65: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

59

4. Nglakoni. Tekun dan sabar dalam menghadapi situasi dan kondisi, dapat

memilih mana pekerjaan yang wajib dilakukan dan mana yang tidak wajib

jalankan. Mau menerima mudah dan sulitnya pemikiran, tidak berpamrih dan

selalu ikhlas hatinya.

5. Aja kagetan. Sukses tidaknya suatu hasil dari pekerjaan dapat diterimanya

dengan kuat dan sabar. Tahu sebagai makhluk yang lemah.

6. Aja gumunan. Tidak mempunyai rasa keheranan atas semua yang terjadi di

dunia ini. Yakin bahwa apa saja yang terjadi adalah berkat dari kasih sayang

Tuhan, berkat kesungguhan dari yang menerima anugerah.

7. Hidup rukun bersama. Sebagai masyarakat sosial dan bernegara, kita harus

dapat hidup saling berdampingan secara rukun damai sebagai pemerkuat

dalam menghadapi MEA. Persatuan dan kesatuan adalah salah satu sikap

yang harus diterapkan dalam menghadapi pasar bebas Asean.

8. Saling kasih sayang. Sifat peduli dan kasih sayang akan menciptakan perilaku

tolong-menolong di antara sesama.

9. Tahu akan unggah-ungguh dan tatakrama. Adanya penerapan unggah-ungguh

dan tatakrama dalam menjalankan pasar bebas sangatlah penting dimiliki oleh

masing-masing negara. Hal ini dimaksudkan agar tidak melewati batas dari

kebebasannya dalam bermobilitas.

10. Waspada dan selalu berhati-hati. Selalu waspada dan berhati-hati terhadap

segala produk yang ditawarkan oleh negara lain kepada kita. Di mana pun

kita berada haruslah selalu berhati-hati seperti perilaku seekor clarat gombel.

11. Janganlah tergoda oleh kekayaan dan hidup yang serba berkecukupan. Sikap

tidak tergoda oleh tawaran produk-produk atau kebijakan-kebijakan dari luar

maupun dalam negeri yang dapat menjanjikan kita dapat kaya raya dan hidup

yang serba berkecukupan harus ditanam dalam diri pribadi masyarakat

Indonesia, khususnya generasi muda.

12. Jauhilah sifat adigang, adigung, dan adiguna. Sifat-sifat adigang atau

mengandalkan kekuatannya, sifat adigung atau mengandalkan kekuasaannya,

dan sifat adiguna atau mengandalkan kepandaiannya adalah sifat-sifat yang

dapat menciptakan kesenjangan sosial di berbagai bidang.

Page 66: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

60

13. Hemat atau cermat. Masuknya pasar bebas ke dalam negara kita harus

menjadikan kita pandai-pandainya untuk berhemat atau cermat terhadap

produk atau kebijakan yang ditawarkan di dalam kehidupan kita sehari-hari.

14. Teliti. Masuknya mobilitas orang luar ke dalam negara kita harus kita sikapi

secara teliti atau dewasa. Kita diharuskan teliti dalam memilih teman. Siapa

dan untuk tujuan apa kedatangan mereka ke dalam negara kita harus terus

terawasi.

15. Keteguhan Hati. Senjata batiniah adalah senjata ampuh kita dalam

menenangkan hati kita untuk menghadapi ancaman dari musuh. Senjata

batiniah perlu dilatih setiap hari sebagai bekal menghadapi amukan musuh

yang mengerikan sekali pun.

Kelima belas piwulang para leluhur tersebut sangatlah tepat jika

diterapkan ke dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai makhluk individu maupun

sebagai makhluk sosial yang hidup bernegara. Memayu hayuning bawana

karyenak tyasing sasama adalah tujuan terakhir dari adanya pendidikan karakter.

DAFTAR RUJUKAN

Darsosawego. 1963. Serat Kandha Cetha. Solo: Selamat.

Deswijaya, Adi. 2012. Pentransferan Kandungan Isi Naskah Jawa Klasik sebagai

Pembentuk Karakter, dalam Prosiding Seminar Nasional Peningkatan

Peran Bahasa dan Sastra dalam Pencerdasan dan Pembentukan Karakter

Bangsa. Yogyakarta: Lokus Tiara Wacana Group.

Fathurahman, Oman. 2015. Filologi Indonesia: Teori dan Metode. Jakarta:

Prenadamedia Group.

Jayadiningrat I. 1919. Serat Margawirya. Surakarta: N. V. Mij. t/v. d/z/ ALBERT

RUSCHE & Co.

Lukitaningsih, Dwi Yanny. 2012. Pendidikan Etika, Moral, Kepribadian dan

Pembentukan Karakter. Malang: Banyumedia Publishing.

NN. Wasiyat Dalêm Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara

Kaping 3.

Partawiraya. 1919. Serat Baghawadgita. Surakarta: NV Sidyan H.

PB IV. 1858. Serat Wulang Reh Sekar Macapat. Bataviah: Tuan Lange.

Page 67: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

61

Purbadarsana. 1946. Serat Kridhawasita. Surakarta: PBPNI

Tanojo, M. 1923. Serat Jalma Suyatna.Surakarta: M. Tanojo.

REVITALISASI NILAI-NILAI SEJARAH DAN PENDIDIKAN BUDI

PEKERTI MELALUI KESENIAN KETOPRAK

Oleh:

Bagus Wahyu Setyawan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah

Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

[email protected]

Abstrak

Kesenian ketoprak merupakan salah satu produk kebudayaan Jawa yang memiliki

nilai etika dan estetika tinggi.Kesenian ketoprak merupakan jenis kesenian rakyat

yang dalam pementasannya mengandung nilai budi pekerti luhur yang patut

diteladani oleh generasi muda penerus bangsa. Cerita atau lakon dalam naskah

ketoprak diambil dari cerita masa lalu, babad, atau legenda di salah satu daerah

yang kental akan nilai kearifan lokal. Selain itu, melalui kesenian ketoprak dapat

Page 68: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

62

digali beberapa pembelajaran mengenai nilai-nilai sejarah bangsa yang dewasa ini

sudah mengalami kemerosotan bahkan bisa dikatakan kurang mendapat perhatian

dari berbagai kalangan.

Kata kunci: Ketoprak, budi pekerti, nilai sejarah.

Abstract

Ketoprak is one of product of Javanese culture which having high ethic and

aesthetics values. Ketoprak is one kind of people art when is performing contains

glorious budi pekerti values how can be exampling for young generation in the

nation. Story in the ketoprak taken from past story, babad, or legend in one

territory how contains most of local wisdom values. In addition, from ketoprak

can be entractive some of lesson about national historical values which now have

being decreased because less of attention from many people.

Keywords: ketoprak, budi pekerti, historical values.

PENDAHULUAN

Kesenian dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Kesenian merupakan produk ekspresi jiwa manusia yang kemudian dituangkan

dalam bentuk dan kemasan yang beragam, bisa berbentuk tari, musik (gendhing

karawitan, pop, dangdut), sandiwara (teater, sandiwara Jawa, ketoprak), ataupun

paduan antara ketiganya (wayang wong). Hubungan kesenian dengan manusia

juga diungkapkan oleh Simatupang (2013: 3) bahwa jagad seni adalah jagad

refleksi kemanusiaan, sebuah dialektika tiada henti yang hanya akan berakhir pada

saat sirnanya manusia dari atas bumi. Oleh karenanya, selama manusia masih

hidup dan berpijak di atas bumi, maka seni itu akan tetap tumbuh dan

berkembang.

Seperti halnya bentuk kesenian lainnya, ketoprak juga merupakan sebuah

ekspresi jiwa pengarangn yang kemudian dikemas menjadi sebuah sajian yang

memadukan antara unsur drama (dialog), gerak, dan musik sebagai instrument

pengiringnya.Adapun cerita yang dalam ketoprak menurut Lisbijanto (2013: 1)

menceritakan tentang kisah-kisah kehidupan yang terjadi dijaman kerajaan

dahulu, yang merupakan kisah legenda yang ada di dalam masyarakat dengan

latar belakang kehidupan kerajaan Jawa pada waktu dahulu.

Page 69: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

63

PEMBAHASAN

A. Sejarah Ketoprak

Banyak pendapat yang menjelaskan mengenai sejarah awal munculnya

ketoprak.Akan tetapi hal itu tidak perlu menjadi perdebatan mengenai kapan

mulanya kesenian ketoprak lahir.Perlu digaris bawahi bahwasannya kesenian

ketoprak lahir dari kalangan masyarakat sebagai kesenian masyarakat, bukan

kesenian yang muncul dari lingkungan kraton.Bentuk kesenian ketoprak pertama

kali disajikan pada tahun 1908 di Kampung Widyataman (sekarang Kampung

Madyataman), Surakarta, Tumenggung Wreksodiningrat yang mengumpulkan

beberapa anak muda untuk diajak bermain kesenian ketoprak, yang pada saat itu

bentuknya masih sederhana.Kesenian ketoprak pada masa itu masih sekedar acara

kesenian yang dilakukan oleh para petani sebagai bentuk rasa syukur dari hasil

panen yang diterimanya.Mereka bercanda dan menyanyikan lagu sambil

menggunakan alat yang seadanya, para petani pada saat itu menggunakan lesung,

gendang, suling, dan rebana.Mengacu pada piranti utama yang digunakan pada

saat itu adalah lesung, maka periodesasi ketoprak pada masa itu kemudian

dinamakan ketoprak lesung.

Adapun mengenai sejarah perkembanga kesenian ketoprak bisa dilihat

dalam buku National Geographic Traveler edisi Mei 2013, yang mengisahkan

perjalanan kesenian ketoprak dimulai dari tahun 1887 yang masih menggunakan

lesung, masa surut ketoprak pada tahun 1942-1945 akibat pendudukan Jepang

hingga kethoprak yang hampir punah pada tahun 1966–1967 akibat pergolakan

politik pasca tragedi 1965, seniman LEKRA diburu, diasingkan, bahkan banyak

yang dibunuh, sampai pada kesenian ketoprak yang berkembang dan bisa diterima

masyarakat pada saat kemunculan Ketoprak Humor di acara televisi swasta sekitar

tahun 2001 hingga sekarang di era kesenian ketoprak yang sudah mengalami

proses penggarapan.

Mengenai sejarah ketoprak Endraswara (2014: 176) mengatakan bahwa

kesenian ketoprak sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan rakyat, tak luput

dari dampak perubahan (transformasi) budaya. Sejak lahirnya ketoprak lesung

Page 70: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

64

disusul kemudian oleh ketoprak ongkek (barangan), lalu ketoprak pendapan

(semuwanan), hingga ketoprak keliling (tobong), maka kini berkembang pula

ketoprak radio (audio) dan ketoprak televisi (audiovisual) menunjukkan bahwa

ketoprak terus menerus melakukan pergulatan dengan budaya yang semakin

modern. Selain beberapa hal yang diungkapkan di atas, perkembangan kesenian

ketoprak juga dipengaruhi oleh tuntutan penonton yang lebih menyenangi

kesenian ketoprak yang dipentaskan dengan menyesuaikan teknologi yang

berkembang pada saat ini, seperti penggunaan tata panggung, tata lampu (lighting)

yang memukau, tata rias dan kostum yang variatif, hingga cerita yang lebih

relevan dengan pola kehidupan sekarang.

B. Nilai-nilai Sejarah dalam Kesenian Ketoprak

Sebelum membahas mengenai nilai-nilai sejarah yang terdapat dalam

ketoprak akan dibahas mengenai ketoprak yang merupakan salah satu bentuk

tradisi lisan. Pernyataan tersebut mungkin terasa janggal dan bisa dikatakan asing,

karena pada umumnya ketoprak digolongkan sebagai salah satu bentuk kesenian

ataupun suatu jenis karya sastra, yaitu berupa naskah ketoprak. Oleh karena itu,

dalam pembahasan ini akan dibahas bukti yang mendasari ketoprak merupakan

salah satu bentuk tradisi lisan.

Tradisi lisan menurut Vansina (2014: 1) mengacu kepada sebuah proses

dan kepada hasil dariproses tersebut. hasilnyaberupa pesan-pesan lisan yang

berdasarkan pada pesan-pesan lisan terdahulu, yang berusia paling tidak satu

generasi. Tradisi lisan merupakan salah satu bagian dari folklor. Folkor seperti

yang diungkapkan Simatupang (2013: 17) terbentuk dari kata „folk‟ – yang berarti

suatu komunitas, kelompok orang, dan „lore‟ yang dapat dipahami secara luas

sebagai tradisi, yakni perilaku dan materi yang diwarisi turun-temurun dari

beberapa generasi.Dapat dikatakan baik tradisi lisan maupun folklor merupakan

sebuah tradisi (materi, pesan, atau perilaku) yang diwariskan secara turun-temurun

kurang selama satu generasi atau lebih.

Ketoprak bisa disebut salah satu jenisfolklor terkait dengan proses

perkembangan ketoprak dari masa ke masa. Pada awalnya, pementasan ketoprak

Page 71: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

65

tidak menggunakan naskah, seperti dikemukakan oleh Endraswara (2014: 19)

bahwa pada ketoprak konvensional, pada dasarnya tidak mempergunakan naskah

singkat, sederhana yang terdiri hanya pokok-pokok persoalan dan pokok-pokok

pembicaraan saja. Jalan cerita yang akan dipentaskan biasanya hanya akan

dipaparkan oleh dalang atau sutradara ketoprak pada saat sebelum pementasan,

dalam istilah ketoprak tobong disebut dengan penuangan. Jadi, pemain datang

beberapa saat sebelum pentas, kemudian dalang mulai bercerita dari awal sampai

akhir mengenai cerita atau lakon yang akan dipentaskan. Pada saat penuangan

seluruh pemain harus memperhatikan arahan atau cerita si dalang, hal ini

ditujukan supaya mengerti keseluruhan alur cerita.Setelah membabar cerita dalang

atau sutradara memilih pemain untuk memerankan tokoh apa dan pada adegan

berapa pemain tersebut masuk, atau biasa disebut dengan istilah dhapukan.

Mengacu pada proses penuangan dapat dikatakan bahwa cerita atau lakon

ketoprak sebenarnya merupakan sebuah cerita yang diturunkan secara turun

temurun oleh dalang atau sutradara ketoprak, kemudian dilanjutkan oleh generasi

berikutnya. Selanjutnya ketika ada mantan pemain yang menjadi seorang dalang

atau sutradara ketoprak, mereka akan melakukan teknik yang sama pada saat

penuangan. Cerita yang dibabar juga akan sama dan mengacu kepada cerita yang

pernah didengar ketika masih menjadi pemain. Hal seperti ini sudah berlangsung

mulai dari awal ketoprak tobong atau ketoprak panggung dikenalkan, yaitu sekitar

tahun 1930-an.

Proses ketoprak yang disampaikan secara lisan oleh sutradara kepada

pemainnya, bisa dikatakan bahwa ketoprak merupakan salah satu jenis tradisi

lisan. Hal ini mengacu pada jalan cerita yang cenderung sama dari waktu ke

waktu, misalnya saja cerita Andhe-andhe Lumut, Rara Mendhut Pranacitra, Arya

Penangsang Gugur, Panembahan Senoprati, Ki Ageng Mangir Wonoboyo, dan

masih banyak cerita-cerita lainnya cenderung sama jalan ceritanya. Pendapat

bahwa ketoprak merupakan sebuah tradisi lisan juga diungkapkan oleh

Simatupang (2013: 161) yang menegaskan bahwa ketoprak adalah sebuah tradisi

masyarakat Jawa karena ia hadir dalam masyarakat Jawa sejak lebih dari tiga

generasi lalu.

Page 72: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

66

Ketoprak juga dapat digunakan sebagai sarana mempelajari sejarah.Cerita

ketoprak yang merupakan sebuah representasi peristiwa yang terjadi di masa

lampau, menceritakan kehidupan dan segala pergejolakan pada masa kerajaan

Jawa.Lakon yang dipentaskan pada kesenian ketoprak seputar babad kerajaan,

legenda, maupun sejarah yang terjadi di berbagai daerah (Lisbijanto, 2013:

29).Dengan begitu ketika menonton pementasan ketoprak atau membaca naskah

ketoprak secara tidak langsung juga belajar mengenai sejarah, yaitu sejarah pada

masa kerajaan Jawa.

Dalam membuat rangkaian cerita dalam ketoprak seorang sutradara sudah

pasti melakukan observasi terlebih dahulu, mengenai cerita, tokoh-tokoh yang

terlibat, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu, nama daerah dan tempat

dimana peristiwa itu terjadi, bahasa yang digunakan, kondisi sosial budaya,

bahkan sampai kepada kostum atau asesoris yang digunakan. Misalnya pada

pementasan ketoprak dengan lakon “Sang Gajahmada” yang merupakan sebuah

lakon dari jaman Majapahit kostum yang digunakan tidak mungkin menggunakan

sorjan, batik, dan blangkon yang kesemuanya baru hadir pada saat jaman

Mataram Islam. Oleh karenanya, sutradara atau penulis lakon harus mempunyai

pengetahuan yang luas mengenai lakon yang akan dipentaskan. Hal ini ditujukan

untuk menyajikan sebuah gambaran peristiwa masa lalu yang representatif.

Cerita ketoprak juga dapat digunakan untuk menggambarkan ulang cerita

legenda atau asal-usul suatu daerah, seperti diungkapkan dalam Majalah National

Geographic Traveler yang melakukan penelusuran pementasan ketoprak di daerah

Kabupaten Blora.Dalam penelusurannya di Desa Wado, tedapat sebuah

pementasan ketoprak dengan lakon asal-usul Desa Wado yang diambil dari cerita

Raden Ranggakusuma putra Panembahan Senopati yang sedang bertarung dengan

seekor naga.Pada waktu itu Raden Ranggakusuma kewalahan dan terluka parah,

hingga berteriak “Waduuh…waduuuh…waduuh”.Kemudian tempat dimana

Raden Ranggakusuma bertarung dengan naga tadi dinamakan Desa Wado, karena

pada saat itu Raden Ranggakusuma berteriak kesakitan.Selain cerita di atas juga

dapat dilihat dari naskah Nyi Ageng Karang, karangan Trisno Santoso yang

dipentaskan dalam rangka ulang tahun Kabupaten Karanganyar.Cerita pada

Page 73: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

67

naskah ini mengenai Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) yang pada saat itu

berjuang melawan penjajah Belanda dan memilih untuk pergi dari Kraton

Kartasura.Dalam pengembaraannya Pangeran Sambernyawa dan prajuritnya

sampai disebuah daerahbernama Desa Karang. Di sana Raden Mas Said beserta

prajuritnya diterima dengan baik oleh sesepuh desa yang bernama Nyi Ageng

Karang, yang juga masih kerabat Kraton. Pada saat kompeni menyerang, Raden

Mas Said beserta masyarakat Desa Karang dengan bantuan Nyi Ageng Karang

berhasil mengalahkan prajurit Belanda.Sebagai rasa terima kasih Raden Mas Said

kemudian berpesan kepada Nyi Ageng Karang dan masyarakat Desa Karang,

“mbesuk yen ana rejane jaman papan panggonan iki bakal tak jenengi

Karanganyar”.Jadi, asal mula nama Karangayar berasal dari Nyi Ageng Karang.

Nilai-nilai sejarah selain dari jalan cerita, juga dapat dilihat dari

penyebutan nama istilah, nama tempat, atau nama tokoh-tokoh yang sesuai

dengan fakta sejarah. Misalnya, dalam lakon Arya Penangsang yang merupakan

seorang adipati dari Kadipaten Jipang Panolan. Nama Jipang Panolan merupakan

nama daerah yang benar-benar ada, yaitu tepatnya di Kabupaten Blora, di sana

ada daerah yang bernama Desa Jipang. Dalam cerita tersebut juga disebut nama-

nama daerah lain, misalnya Bumi Pati yang sekarang menjadi Kabupaten Pati,

Kraton Pajang sampai sekarang masih tetap ada, terletak di Desa Pajang.Dalam

kisah Arya Penangsang juga disebutkan mengenai tombak Kyai Pleret yang

digunakan Danang Sutawijaya untuk membunuh Arya Penangsang.Sampai

sekarang tombak Kyai Pleret merupakan disimpan sebagai salah satu benda

pusaka di Kraton Surakarta. Pusaka-pusaka lain yang digunakan untuk

penyebutan pusaka dalam ketoprak dan sampai sekarang masih ada diantaranya,

Keris Kyai Sabuk Inten (Yogyakarta), Keris Kyai Brongot SetanKober (Cirebon),

Keris Kyai Crubuk, Tumbak Kyai Baru Klinting, hingga Umbul-umbul Gula-

Klapa milik Kerajaan Majapahit yang menjadi asal-usul bendera kebangsaan

Indonesia.

Selanjutnya, pemerolahan nilai sejarah dapat diambil dengan cara

menganalisis naskah ketoprak dengan menggunakan pendekatan Historis. Analisis

karya sastra menggunakan pendekatan historis mengandung asumsi bahwa karya

Page 74: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

68

sastra merupakan fakta sejarah karena karya sastra merupakan salah satu hasil

ciptaan manusia yang mengungkapkan semangat zamannya, (Suaka, 2014: 53).

Ratna (2012: 66) juga menambahkan bahwa pendekatan historis pada umumnya

dikaitkan dengan kompetensi sejarah umum yang dianggap relevan, sastra lama

dengan kerajaan-kerajaan besar, sastra modern dengan gerakan sosial politik,

ekonomi, dam kebudayaan pada umumnya. Oleh karena itu, dengan menggunakan

pendekatan historis diharapkan mampu mengungkap nilai-nilai sejarah yang

terdapat dalam naskah ketoprak.

Ketika menganlisis naskah ketoprak menggunakan pendekatan historis,

yaitu dengan cara melihat hubungan apakah cerita dalam ketoprak memiliki

relevansi dengan kejadian yang terjadi di masa tersebut. Apakah terjadi

kesesuaian antara tokoh yang terlibat, nama tempat terjadinya peristiwa, dan

kondisi sosial masyarakat pada saat itu. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena

naskah ketoprak merupakan sebuah karya sastra yang dalam hakikatnya karya

sastra adalah imajinasi, tetapi imajinasi yang memiliki konteks sosial

sejarah.Misalnya, dalam naskah ketoprak “Mbalapan” yang menceritakan asal

mula pembangunan Stasiun Kereta Api Solo Balapan. Dalam naskah tersebut

apabila dibaca lebih mendalam terjadi kesesuaian antara waktu, tempat, peristiwa,

dan tokoh walaupun beberapa tokoh merupakan tokoh rekaan. Kesesuaian unsur-

unsur dilihat dari cerita yang mengisahkan bahwa pembangunan stasiun Solo-

Balapan dilakukan di kota Surakarta pada masa pemerintahan KGPAA

Mangkunegara IV, dimana pada saat itu Belanda masih berkuasa. Dari peryataan

di atas ditemukan kesesuaian antara informasi yang termuat di dalam naskah

dengan fakta sejarah yang terdapat dalam buku ataupun bukti sejarah lainnya.Bisa

dikatakan dengan membaca naskah ketoprak juga dapat memetik nilai-nilai

sejarah di dalamnya.

Adapun yang menjadi penting ketika menganalisis naskah ketoprak

dengan menggunakan pendekatan historis juga harus dicocokkan dengan

dokumen atau bukti sejarah yang autentik untuk mendapat sebuah kebenaran

mengenai sejarah.Hal ini juga ditujukan supaya tidak terjadi salah persepsi dalam

penafsiran cerita atau peristiwa sejarah. Selanjutnya, Kuntowijoyo (2003: 32) juga

Page 75: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

69

menambahkan bahwa sejarah hanya akan berbuat adil jika mampu mengunkapkan

gambaran total tentang masa lampau – termasuk sejarah revolusi. Sejarah, seperti

sastra, mampu menciptakan sebuah epos revolusi – tidak melalui imajinasi, tetapi

melalui fakta.

C. Nilai Pendidikan Budi Pekerti dalam Ketoprak

Budi pekerti menurut Dwijanagara (2015: 24) merupakan ranah sikap atau

domain pendidikan afektif.Budi pekerti luhur terkait dengan muna-muni dan

tindak-tanduk atau ucap dan patrap atau ucap dan sikap.Bisa dikatakan budi

pekerti terkait dengan sikap dan karakter yang dimiliki oleh individu.

Kesenian Tradisional Jawa mempunyai karakteristik selain sebagi media

hiburan (tontonan) juga sebagai sarana menyampaikan pesan atau pendidikan

moral (tuntunan).Hal itu juga berlaku dalam kesenian ketoprak yang notabene

merupakan salah bentuk kesenian tradisional.Lisbijanto (2013: 37) juga

mengatakan bahwa kesenian ketoprak adalah salah satu kesenian tradisional yang

berfungsi sebagai media pendidikan, dimana lakon atau cerita yang ditampilkan

dipakai sebagai tuntunan bagi para penonton yang menikmatinya.Pesan moral

dalam ketoprak disampaikan melalui tokoh yang berperan di dalamnya yang sifat

maupun karakternya patut untuk dijadikan teladan bertindak dalam keseharian.

Hal ini seperti tercermin dari tokoh Danang Sutawijaya yang pemberani, Patih

Mandaraka yang cerdik, cerdas, dan pintar, dan masih banyak lagi tokoh yang

bisa dijadikan referensi dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, penerapan unggah-ungguh basa yang baik juga tercermin dalam

pementasan ketoprak, yaitu pada saat dialog antara Raja atau juragan dengan

bawahannya yang menggunakan ragam ngoko, sedangkan abdinya menggunakan

ragam krama inggil.Terlihat suatu pemakaian ragam bahasa Jawa yang tepat

antara dua orang yang memiliki status sosial berbeda.Hal ini bisa memberika

sebuah pelajaran kepada para penonton dan generasi muda pada khususnya untuk

selalu menggunakan ragam bahasa Jawa yang baik dan benar ketika berbicara

dengan siapapun.Endraswara (2014: 196) mengutarakan bahwa penerapan

unggah-ungguh yang sudah mentradisi itu dituntut ketepatan dan kebenarannya.

Page 76: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

70

Begitu juga dialog ketoprak. Unggah-ungguh ini sesungguhnya perwujudan etika

dan tatakrama. Selanjutnya, Lisbijanto (2013: 45) juga menambahkan kesenia

ketoprak merupakan sebuah karya seni yang sarat dengan pesan moral, sarat

dengan filosofi tentang kebaikan, sehingga kesenian ketoprak dapat memberikan

pencerahan bagi para penontonnya untuk tetap hidup dalam akidah-akidah yang

telah digariskan.

KESIMPULAN

Kesenian ketoprak yang sudah berkembang di masyarakat Jawa sejak

beberapa tahun yang lalu ternyata mengandung banyak nilai-nilai sejarah di

dalamnya.Nilai-nilai sejarah tersebut dapat dilihat dari jalan ceritanya yang

mengacu dari cerita sejarah kerajaan, babad, atau legenda asal-usul suatu

daerah.Hal ini terlihat dari kesesuaian tokoh, tempat, waktu, dan peristiwa dalam

pementasan ketoprak dengan peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lalu. Untuk

mencari kebenaran sejarah dalam ketoprak diperlukan sebuah observasi

mendalam dan proses pencocokan dengan dokumen sejarah maupun bukti sejarah

yang masih ada.

Kesenian ketoprak juga sarat akan nilai budi pekerti. Hal ini tidak terlepas

dari fungsi kesenian ketoprak selain sebagai tontonan juga sebagai

tuntunan.Pendidikan budi pekerti terlihat dari sifat dan karakter tokoh yang dapat

dijadikan teladan karena cenderung mempunyai karakter yang baik.Selain itu juga

sebagai media penanaman unggah-unggah atau tatakrama, tercermin dari dialog

tokoh yang menggunakan ragam bahasa Jawa yang baik dan benar.

DAFTAR RUJUKAN

Bidang Kesenian Kanwil DEPDIKBUD DIY.Tuntunan Seni Kethoprak. Proyek

Pengembangan Kesenian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dwijanagara, Suwarna. 2015. “Optimalisasi Pragmatis Pendidikan Budi Pekerti

Berbasis Kearifan Lokal dalam Perikehidupan Sekolah” disampaikan dalam

Seminar Penggalian Nilai-nilai Budi Pekerti dan Kearifan Lokal melalui

Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa. Prodi Pendidikan Bahasa Jawa,

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Page 77: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

71

Endraswara, Suwardi. 2014. Metode Pembelajaran Drama: Apresiasi, Ekspresi,

dan Pengkajian. Yogyakarta: Caps.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana

Lisbijanto, Herry. 2013. Ketoprak. Yogyakarta: Graha Ilmu.

National Geographic Traveler. 2013. Kelana Ketoprak Jawa: Upaya Melestarikan

Seni Pertunjuan dari Budaya Agraris. Edisi Mei 2013.

Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Simatupang, Lono. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya.

Yogyakarta: Jalasutra.

Suaka, I Nyoman. 2014. Analisis Sastra: Teori dan Aplikasi. Yogakarta: Ombak.

Vansina, Jan. 2014. Tradisi Lisan sebagai Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

BUDAYA UJUNG SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

BAGI MASYARAKAT JAWA

Oleh:

Sawitri, S.Sn.M.Hum

Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah

Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

[email protected]

Abstrak

Indonesia masih senantiasa dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial, moral

yang muncul seperti: (1) masih tingginya kasus tindakan kekerasan, terjadi antar

rekan pelajar dan mahasiswa, antar masyarakat, dalam keluarga, maupun

kekerasan yang dilakukan oleh preman atau juga oknum penguasa, (2)

perampokan secara sadis, pemerkosaan, pembunuhan, (3) meningkatnya

dekandensi moral, etika/sopan santun para pelajar, Ada tiga asumsi yang

Page 78: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

72

menyebabkan gagalnya pendidikan moral/budi pekerti ke dalam sikap dan

perilaku siswa juga masyarakat Jawa. Pertama, adanya anggapan bahwa persoalan

pendidikan moral adalah persoalan klasik yang penanganannya adalah sudah

menjadi tanggung jawab guru agama, guru PPKn, bahkan semua pendidik begitu

juga dosen sedangkan itu masalah kompleks dan menjadi tanggung jawab kita

bersama. Kedua, rendahnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam

mengembangkan dan mengintegrasikan aspek-aspek moral/budi pekerti ke dalam

setiap mata pelajaran yang diajarkan. Dan ketiga, proses pembelajaran mata

pelajaran yang berorientasi pada akhlak dan moralitas serta pendidikan agama

cenderung bersifat transfer of knowledge dan kurang diberikan dalam bentuk

latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari.Salah

satunya adalah budaya Ujung atau sungkeman yang masih berlaku pada

masyarakat Jawa. Budaya Ujung mampu mewakili budaya-budaya luhur

Indonesia lainnya yang memiliki tendensi budaya dan nilai-nilai pengajaran budi

pekerti, terutama budi anak kepada orang yang lebih tua. Budi pekerti yang

ditanamkan pada masyarakat jawa.

Kata kunci: budaya Ujung, Budi Pekerti, Masyarakat jawa

Page 79: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

72

PENDAHULUAN

Sampai saat ini bangsa Indonesia masih senantiasa dihadapkan pada

berbagai permasalahan sosial dan moral yang muncul seperti: (1) masih tingginya

kasus tindakan kekerasan, baik yang terjadi antarrekan pelajar atau mahasiswa,

antarmasyarakat, dalam keluarga, maupun kekerasan yang dilakukan oleh preman

atau juga oknum penguasa, (2) perampokan secara sadis, pemerkosaan,

pembunuhan, (3) meningkatnya dekandensi moral, etika/sopan santun para

pelajar, (4) meningkatnya ketidakjujuran pelajar, seperti menyontek, suka bolos,

suka mengambil barang milik orang lain, (5) berkurangnya rasa hormat terhadap

orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang seharusnya dihormati, (6)

timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seks

bebas, penyalahgunaan narkoba, dan perilaku bunuh diri, (7) semakin lunturnya

sikap saling hormat-menghormati dan rasa kasih sayang diantara manusia, serta

semakin meningkatnya sifat kejam dan bengis terhadap sesama, (8) maraknya

korupsi, kolusi dan nepotisme serta berbagai persoalan lainnya yang mengarah

pada terjadinya dekadensi moral bangsa. Persoalan di atas mendeskripsikan

bahwa orientasi pembangunan nasional ke arah terbentuknya jati diri bangsa yang

disiplin, jujur, beretos kerja tinggi, serta berakhlak mulia belum dapat diwujudkan

bahkan cenderung menurun. Mencermati persoalan demikian, orang kemudian

berpaling pada pendidikan. Pendidikan nasional dianggap telah gagal dalam

menyemai moral serta karakter bangsa yang berbudi pekerti luhur.

Ada tiga asumsi yang menyebabkan gagalnya pendidikan moral/budi

pekerti ke dalam sikap dan perilaku siswa. Pertama, adanya anggapan bahwa

persoalan pendidikan moral adalah persoalan klasik yang penanganannya adalah

sudah menjadi tanggung jawab guru agama dan guru PPKn. Kedua, rendahnya

pengetahuan dan kemampuan guru dalam mengembangkan dan mengintegrasikan

aspek-aspek moral/budi pekerti ke dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan.

Dan ketiga, proses pembelajaran mata pelajaran yang berorientasi pada akhlak dan

moralitas serta pendidikan agama cenderung bersifat transfer of knowledge dan

kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak

kehidupan sehari-hari.

Page 80: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

73

Namun, sebenarnya secara langsung maupun tidak langsung budaya yang

mengakar pada bangsa Indonesia sangat menjunjung budi pekerti, meski sekarang

telah tergerus oleh laju globalisasi. Salah satunya adalah budaya Ujung atau

sungkeman yang masih berlaku pada masyarakat Jawa. Budaya Ujung setidaknya

mampu mewakili budaya-budaya luhur Indonesia lainnya yang memiliki tendensi

budaya dan nilai-nilai pengajaran budi pekerti, terutama budi anak kepada orang

yang lebih tua.

Budaya Ujung dilakukan setiap lebaran atau hari raya Idul Fitri memiliki

sejarah panjang bahkan lebih lama daripada lahirnya Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Budaya ujung ini dipahami baik oleh anak-anak, remaja dan tentunya

orang yang lebih tua. Berangkat dari berbagai permasalahan di atas, maka banyak

pihak mulai memikirkan kembali tentang perlunya pendidikan moral, pendidikan

watak atau pendidikan budi pekerti. Oleh karena itu, baik kurikulum berbasis

kompetensi maupun kurikulum tingkat satuan pendidikan yang saat ini berlaku,

tetap menempatkan pendidikan budi pekerti sebagai pendidikan yang terintegrasi

dengan mata pelajaran lain dalam pembelajaran. Namun demikian, sebagaimana

dinyatakan dalam asumsi kegagalan pendidikan, pendidikan budi pekerti bukan

semata-mata merupakan tanggung jawab sekolah saja, ada baiknya seluruh

masyarakat dan kebudayaan yang mendukungnya dapat berpartisipasi dalam

usaha menanamkan budi pekerti lurus pada generasi penerus bangsa.

Masyarakat Jawa menanamkan sikap budi pekerti pada budaya Ujung atau

sungkeman. Lingkungan keluarga memberikan peran penting bagi anak, anggota

keluarga, masyarakat. Tanggung jawab menjadi tanggung jawab bersama sebagai

warga masyarakat apalagi masyarakat Jawa. Penekanan pada unggah-ungguh

sangat dijunjung. Generasi penerus menjadi tanggung jawab semua kalangan

sehingga tercapai generasi yang berkarakter, bermoral, beretika, berbangsa, dan

memiliki jiwa spiritual yang baik.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Budaya Ujung

Sungkeman atau ujung adalah istilah yang sudah sangat populer

khususnya bagi orang Jawa dan umumnya bagi masyarakat Indonesia. Istilah ini

Page 81: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

74

telah ada sejak zaman nenek moyang dulu. Orang Jawa menggunakan istilah ini

untuk menggambarkan suatu aktivitas ritual keagamaan, khususnya bagi yang

beragama Islam.

Ada yang unik pada perayaan idul fitri dalam tradisi Jawa. Tradisi halal

bihalal dalam keluarga besar biasa dikenal dengan istilah “ujung”. Tradisi ini pada

umumnya dilakukan di kalangan kerabat dekat saja. Inti dari acara sungkeman

adalah saling minta maaf antar kerabat. Ujung tidak hanya dilakukan dengan

berjabat tangan. Ada sejumlah prosedur tertentu yang perlu dilakukan pada acara

ujung ini.

Dalam sejarahnya, budaya sungkem dikenalkan oleh Raja Amangkurat I

yang bergelar pangeran sambernyowo di kerajaan mataram pada abad 16. Ketika

itu raja dan para abdi keratin menggelar sungkem untuk saling bermaaf-maafan.

Hal itu diikuti masyarakat disekeliling keraton dan seiring perkembangan, budaya

ini meluas diseluruh penjuru tanah air. Hal ini tidak saja memberikan hal positif

dalam masyarakat, namun juga menjadi budaya, tradisi yang mengakar dan

menjadi karakter masyarakat di Indonesia.

Acara sungkeman sendiri dilakukan setelah menjalankan shalat sunat „Idul

Fitri berjama‟ah. Shalat „Idul Fitri ini dilaksanakan tepat pada waktu dhuha, yaitu

saat matahari naik ke atas setinggi sekitar satu tombak atau jika dalam waktu

normal biasanya sekitar jam 07.30 WIB. Setelah selesai shalat „Idul Fitri, orang

yang lebih muda berkunjung ke rumahnya orang yang dianggap lebih tua dari

dirinya, baik dari segi umur ataupun kedudukannya di masyarakat. Dalam proses

berkunjung itu, orang yang lebih muda menyatakan permohonan maafnya baik

yang disengaja maupun yang tidak seraya bersimpuh dan berjabatan tangan

kepada yang lebih tua. Untuk kemudian orang yang dianggap lebih tua dengan

kebesaran hatinya mengabulkan permohonan maaf itu.

Ujung dilakukan secara terurut dari yang dituakan. Misal dalam keluarga

besar ada Kakek, Nenek, Budhe, Om, Anak Budhe, Anak Om; maka urutan

sungkeman adalah

Budhe sungkem ke kakek, lalu ke nenek

Om sungkem ke kakek, lalu ke nenek, lalu ke budhe.

Page 82: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

75

Anak budhe sungkem ke kakek, lalu ke nenek, lalu ke budhe, lalu ke

om.

dan terus mengalir hingga semua anggota keluarga besar sudah

sungkeman.

Sungkem dilakukan dengan menundukkan kepala ke lutut kerabat yang

dituakan. Berikut contoh isi kalimat yang diucapkan saat sungkeman:

“Ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten sadaya

kalepatan kula, indak tanduk ingkang kirang mranani penggalih kula

nyuwun agunging pangaksami,nyuwun donga pangestunipun saged dipun

paringi nikmat kasarasan, katentream”

yang artinya:

“Mengucapkan selamat hari raya, mohon maaf atas segala

kesalahan saya, dikasih nkmat sehat, sejahtera, bahagia, tentram dan

minta doa restunya”.

Biasanya, kalimat tersebut akan dijawab dengan permohonan maaf

kembali dan disambung dengan do‟a dari kerabat yang dituakan dan diamini oleh

yang sungkem. Semua tentu tidak luput dari penggunaan tingkat dalam bahasa

jawa sesuai tingkat usianya.

Melalui tradisi sungkeman ini pula, kita dapat mengetahui bahwa

masyarakat Jawa masih memiliki kebutuhan untuk hidup bermasyarakat. Selain

itu, tradisi ini juga menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan meredam

egoisitas yang bersifat individualis dan cenderung primitif. Mereka memiliki

pandangan dan keyakinan bahwa dengan ketulusan meminta maaf dan memaafkan

orang lain maka jiwa akan kembali suci seperti bayi yang baru lahir dengan tidak

membawa dosa. Sekiranya, tradisi mulia ini akan terus langgeng dan lestari agar

tercipta masyarakat yang rukun dan damai.

2. Pendidikan Budi Pekerti

a. Pengertian Pendidikan

Ada berbagai ragam makna rumusan pendidikan yang telah

dikemukakan oleh para pakar sesuai dengan sudut pandang dan konteks

penggunaan masing- masing rumusan tersebut. Pendidikan (education) dalam

bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin “educare” berarti memasukkan

Page 83: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

76

sesuatu (Hasan Langgulung,1988: 4). Dalam konsteks ini, istilah pendidikan

dapat dimaknai sebagai proses menanamkan nilai-nilai tertentu ke dalam

kepribadian anak didik.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pendidikan dimaknai

sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok

orang dalam suatu usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran itu

sendiri". Dalam konteks formal, makna pendidikan sebagaimana tertulis dalam

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

pasal I adalah:

"Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara".

Dalam konteks filsafat, Driyarkoro (Madya Ekosusilo & Kasihadi,

1989) mengemukakan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk

“memanusiakan manusia”. Dalam konteks tersebut pendidikan tidak dapat

dimaknai sekedar membantu pertumbuhan secara fisik saja, tetap juga

keseluruhan perkembangan pribadi manusia dalam konteks lingkungan

manusia yang memiliki peradaban. Pendidikan di tinjau dari sudut pandang

masyarakat menurut Hasan Langgulung (1988: 3) berarti : Pewarisan

kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat

tetap berkelanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-

nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke genarasi agar identitas

masyarakat tersebut tetap terpelihara.

Pandangan Hasan Langgulung tersebut sesuai dengan makna

pendidikan yang diungkapkan oleh Kneller yang memaknai pendidikan

sebagai proses pewarisan budaya. Menurut Kneller (1967: 21):

Education is the process by which society, through schools, colleges,

universities, and other institutions, deliberately transmits its cultural

heritage - its accumulated knowledge, value, and skill from one generation

to another.

Page 84: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

77

Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses dimana masyarakat

melalui sekolah-sekolah, perguruan tinggi, universitas, dan institusi lain

dengan sengaja mewariskan warisan budayanya-yakni berupa akumulasi

pengetahuan, nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi yang lain.

Hal senada juga diungkapkan oleh Laska (1976: 3), bahwa:

Education is one of the most important activities in which human beings

engage. It is by means of the educative process and its role in transmitting the

cultural heritage from one generation to the next that human societies are

able to maintain their existence.

Artinya, pendidikan merupakan salah satu aktivitas yang paling utama

yang melibatkan tubuh manusia. Pendidikan merupakan sarana proses

mendidik dan perannya di dalam mewariskankan warisan budaya dari satu

generasi kepada generasi berikutnya sehingga masyarakat manusia bisa

memelihara keberadaan mereka.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga

pendidikan sekolah pada dasarnya merupakan salah satu harapan

masyarakat (sebagai wakil orang tua) untuk mewariskan atau

menanamkan nilai-nilai moral/budi pekerti yang bersumber pada norma,

etika, tradisi budaya yang dianutnya kepada generasi mereka. Oleh karena

itu bagi masyarakat, lembaga pendidikan disamping diharapkan mampu

mengembangkan kemampuan berfikir dan ketrampilan hidup, juga diharapkan

mampu mewariskan nilai-nilai budaya luhur kepada anak didiknya.

b. Pengertian Budi Pekerti

Secara etimologis, istilah budi pekerti, atau dalam bahasa Jawa

disebut budi pakerti, dimaknai sebagai budi berarti pikir, dan pakerti berarti

perbuatan. Berangkat dari kedua makna kata budi dan pakerti tersebut, Ki

Sugeng Subagya (Februari 2010) mengartikan istilah budi pakerti sebagai

perbuatan yang dibimbing oleh pikiran; perbuatan yang merupakan realisasi

dari isi pikiran; atau perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran.

Menurut Ensiklopedia Pendidikan, budi pekerti diartikan sebagai

kesusilaan yang mencakup segi-segi kejiwaan dan perbuatan manusia;

Page 85: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

78

sedangkan manusia susila adalah manusia yang sikap lahiriyah dan

batiniyahnya sesuai dengan norma etik dan moral.

Dalam konteks yang lebih luas, Badan Pertimbangan Pendidikan

Nasional (1997) mengartikan istilah budi pekerti sebagai sikap dan

prilaku sehari-hari, baik individu, keluarga, masyarakat, maupun bangsa

yang mengandung nilai-nilai yang berlaku dan dianut dalam bentuk jati

diri, nilai persatuan dan kesatuan, integritas, dan kesinambungan masa depan

dalam suatu sistem moral, dan yang menjadi pedoman prilaku manusia

Indonesia untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan bersumber

pada falsafah Pancasila dan diilhami oleh ajaran agama serta budaya Indonesia.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa

budi pekerti pada dasarnya merupakan sikap dan prilaku seseorang, keluarga,

maupun masyarakat yang berkaitan dengan norma dan etika. Oleh karena itu,

berbicara tentang budi pekerti berarti berbicara tentang nilai-nilai perilaku

manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui

ukuran norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, atau norma

budaya/adat istiadat suatu masyarakat atau suatu bangsa.

c. Pendidikan Budi Pekerti

Pada hakekatnya, pendidikan budi pekerti memiliki substansi dan

makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.

Haidar (2004) mengemukakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah usaha

sadar yang dilakukan dalam rangka menanamkan sikap dan prilaku peserta

didik agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (berakhlakul karimah)

dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan

sesama manusia maupun dengan alam/lingkungan.

Secara konsepsional, Pendidikan Budi Pekerti dapat dimaknai

sebagai usaha sadar melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran

dan latihan, serta keteladanan untuk menyiapkan peserta didik menjadi

manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya di

masa yang akan datang. Pendidikan budi pekerti juga merupakan suatu upaya

pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan

Page 86: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

79

perilaku peserta didik agar mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas

hidupnya secara selaras, serasi, seimbang antara lahir-batin, jasmani-rohani,

material-spiritual, dan individu- sosial. (Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001).

Sedang secara operasional, pendidikan budi pekerti dapat

dimaknai sebagai suatu upaya untuk membentuk peserta didik sebagai

pribadi seutuhnya yang tercermin dalam kata, perbuatan, sikap, pikiran,

perasaan, dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan

moral luhur bangsa Indonesia melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan

pengajaran. Tujuannya agar mereka memiliki hati nurani yang bersih,

berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban

terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk (Balitbang Puskur, Depdiknas,

2001).

Tujuan pendidikan Budi Pekerti adalah untuk mengembangkan nilai,

sikap dan prilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti luhur

(Haidar, 2004). Hal ini mengandung arti bahwa dalam pendidikan Budi Pekerti,

nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia, yaitu

tertanamnya nilai- nilai akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang

kemudian terwujud dalam tingkah lakunya.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa hakekat dari tujuan pendidikan

budi pekerti adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik,

warga masyarakat dan warga negara yang baik. Indikator manusia yang

baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat

atau bangsa, secara umum didasarkan atas nilai-nilai sosial tertentu yang

banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat atau bangsa tersebut. Oleh karena

itu, hakikat pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia

adalah pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa

Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Berkaitan dengan hal tersebut, Pusbangkurandik (1997)

mengkategorikan pendidikan budi pekerti menjadi tiga komponen yaitu:

a. Keberagamaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) kekhusukan hubungan dengan

Tuhan, (b) kepatuhan kepada Agama, (c) niat baik dan keikhlasan, (d)

Page 87: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

80

perbuatan baik, (e) pembalasan atas perbuatan baik dan buruk.

b. Kemandirian, terdiri dari nilai-nilai; (a) harga diri, (b) disiplin, (c) etos kerja

(kemauan untuk berubah, hasrat mengejar kemajuan, cinta ilmu, teknologi

dan seni), (d) rasa tanggungjawab, (e) keberanian dan semangat, (f)

keterbukaan, (g) pengendalian diri.

c. Kesusilaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) cinta dan kasih sayang, (b)

kebersamaan, (c) kesetiakawanan, (d) tolong-menolong, (e) tenggang rasa, (f)

hormat menghormati, (g) kelayakan (kapatutan), (h) rasa malu, (i) kejujuran

dan (j) pernyataan terima kasih, permintaan maaf (rasa tahu diri).

Adapun aspek-aspek yang ingin dicapai dalam pendidikan budi pekerti

menurut Haidar (2004) dapat dibagi ke dalam 3 ranah, yaitu: Pertama ranah

kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada

tahap tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat

memfungsikan akalnya menjadi kecerdasan intelegensia. Kedua, ranah afektif,

yang berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam

diri pribadi seseorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai,

membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai

kecerdasan emosional. Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan

tindakan, perbuatan, perilaku, dan seterusnya.

Apabila disinkronkan ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan bahwa

aspek pendidikan budi pekerti dicapai mulai dari memiliki pengetahuan tentang

sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut, dan selanjutnya

berperilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya.

Pendidikan budi pekerti, adalah meliputi ketiga aspek tersebut.

Seseorang mesti seseorang memiliki sikap terhadap baik dan buruk, dimana

seseorang sampai ke tingkat mencintai kebaikan dan membenci keburukan.

Pada tingkat berikutnya bertindak, berperilaku sesuai dengan nilai-nilai

kebaikan, sehingga muncullah akhlak atau budi pekerti mulia.

Sebagaimamana dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantoro (1977), bahwa

supaya nilai yang ditanamkan dalam pendidikan tidak tinggal sebagai

Page 88: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

81

pengetahuan saja, tetapi sungguh menjadi tindakan seseorang, maka produk

pendidikan mestinya memperhatikan tiga unsur berikut secara

terpadu,yaitu“ngerti-ngerasa-ngelakoni”. Hal tersebut mengandung pengertian

bahwa agar pendidikan budi pekerti dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Hal senada disampaikan oleh Lickona (1992), bahwa dalam proses

pendidikan moral/budi pekerti, hendaknya guru tidak semata-mata terfokus

pada pemberian materi tentang konsep-konsep pendidikan moral/budi pekerti

kepada peserta didik, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter

yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan

tindakan atau perilaku moral. Pernyataan tersebut semakin memperkokoh

bahwa pendidikan moral hendaknya tidak hanya terfokus pada aspek kognitif

saja, tetapi juga harus menyentuh pada aspek afektif dan psikomotorik.

PEMBAHASAN

1. Kondisi Budi Pekerti Masyarakat Jawa

Budaya tercipta melalui perjalanan panjang sejarah yang diwariskan para

pendahulu bangsa. Budaya ujung sebuah hasil budaya yang ada pada masyarakat

jawa yang keberadaannya masih lestari. Dilakukan setiap hari besar idul fitri,

setelah sholat. Yang pertama dilakukan kepada kedua orang tua baru ke saudara

dan para sahabat serta tetangga.

Bahasa Jawa Ujung atau "sungkem" dilakukan masyarakat Jawa pada saat

Idul Fitri. Sungkem biasanya dilakukan kepada orang tua, orang yang lebih tua

atau dituakan di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan maksud yang berbeda-

beda, bisa jadi meminta doa restu atau meminta maaf. Ujung atau sungkeman

merupakan budaya Jawa yang dilakukan secara turun-temurun" biasanya

dilakukan secara kelompok. Dilakukan satu keluarga, kelompok muda-mudi yang

datang bersama-sama, bahkan ada "gerombolan" anak kecil yang membuat

suasana menjadi "kemriyek" atau ramai. Ucapkan ketika menyampaikan

permintaan maaf mereka. Misalnya:

a. Untuk orang dewasa atau yang sudah berkeluarga

Page 89: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

82

Biasanya bahasa yang digunakan cenderung halus dan dan agak panjang.

Kurang lebih:

"Ngaturaken sugeng riyadi dumateng bapak/ibu/mbah/pakdhe/budhe/paklik/bulik,

dll. -pilih salah satu sesuai sikon- hambok bilih anggenipun kawulo srawung

dumateng panjenengan kathah atur saha tindak tanduk kulo ingkang mboten

mranani wonten ing manah panjenengan, kulo ngaturaken agunging samudro

pangaksami".

b. Untuk remaja tanggung atau kelompok muda-mudi

Karena kosakata bahasa Jawa yang kurang, biasanya mengucapkan

kalimat yang sederhana. Seperti: "Mbah/Pak/Bu/Lik/Dhe, dll. -pilih salah satu

sesuai sikon- ngaturaken sugeng riyadi, sedoyo lepat kulo nyuwun pangapunten."

c. Untuk anak-anak

Kalimat singkat, "Sugeng riyadi, Mbah/Pak/Bu/Lik/Dhe". Adapun untuk

jawaban yang biasanya disampaikan oleh orang tua atau yang dituakan juga

berbeda-beda. Ada yang menjawab dengan bahasa Jawa halus campur dan ada

juga yang menjawab sebisanya.

d. Dengan bahasa Jawa halus campur

Biasanya orang yang sudah terbiasa dengan lingkungan kental dengan

bahasa Jawa halusnya. Seperti, "Semanten ugi kulo nggih nak, kulo dados wong

tuwo sok kadang enten salah, mugi-mugi dosa kulo lan dosa jenengan dipun lebur

wonten dinten rioyo niki".

Terkadang juga ketika yang sungkem adalah orang yang sudah

berkeluarga menambahkan doa, "Kulo naming saget dongaaken mugi lancar

anggenipun Mas... pados sandang pangan, mimpin keluarga sarto didik putra

putrinipun dados anak ingkang soleh solihah." Kemampuan masyarakat berbeda-

beda dalam memberikan jawaban "Yoh, podho-podho yo mas yo, dosamu lan

dosaku dilebur ing dino rioyo iki".

Budaya Ujung sebuah budaya untuk mengajarkan etika sopan-santun, budi

pekerti, dan salimg menghormati. Berbagai kalimat diatas beberapa contoh ajaran

yang ada pada budaya ujung. Masyarakat memiliki tanggung jawab untuk

pembentukan karakter anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Tercipta

budaya yang beretika, bermoral dan cerdas spiritualnya.

Page 90: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

83

KESIMPULAN

Pendidikan moral/budi pekerti ke dalam sikap dan perilaku masyarakat

menjadi sebuah tanggung jawab dari semua pihak. Masyarakat terkadang berfikir

bahwa Jawa persoalan pendidikan moral adalah persoalan klasik yang

penanganannya adalah sudah menjadi tanggung jawab guru agama, guru PPKn,

bahkan semua pendidik begitu juga dosen sedangkan itu masalah kompleks dan

menjadi tanggung jawab kita bersama. Rendahnya pengetahuan dan kemampuan

guru dalam mengembangkan dan mengintegrasikan aspek-aspek moral/budi

pekerti ke dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan. Proses pembelajaran pada

pelajaran yang berorientasi pada akhlak dan moralitas serta pendidikan agama

cenderung bersifat transfer of knowledge dan kurang diberikan dalam bentuk

latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan untuk kehidupan

sehari hari dengan sopan santun dalam berbicara, berperilaku dan bertindak.

Pendidikan moral tidak semua diberikan di sekolah melainkan lingkungan

keluarga, masyarakat di sekitar tempat tinggal. Memberikan contoh untuk

menanamkan sifat menghormati, menghargai kepada yang lebih tua. Sikap yang

ada pada masyarakat jawa adalah budaya Ujung atau sungkeman yang masih

berlaku pada masyarakat Jawa. Budaya Ujung mampu mewakili budaya-budaya

luhur Indonesia lainnya yang memiliki tendensi budaya dan nilai-nilai pengajaran

budi pekerti, terutama budi anak kepada orang yang lebih tua. Budi pekerti yang

ditanamkan pada masyarakat jawa selalu dilakukan setiap tahun setelah Sholat

Idul Fitri dan dijadikan wahana untuk berkumpul dengan keluarga, tetangga,

saudara sehingga menanamkan kebersamaan.

DAFTAR RUJUKAN

Bag.I. Kneller, G. F. 1967. The philosophy of education. New York: London-

Sydney

Dirjen Dikti, Depdikbud. 2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun

2003 tentang sistem pendidikan nasional. Bandung: Citra Umbara

Haidar Putra Daulay, 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional

di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, Cet. ke-1.

Page 91: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

84

Hasan Langgulung. 1988. Asas-asas pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-

Husna.

Ki Hajar Dewantara, 1977. Pengajaran Budi Pekerti. Yogyakarta: Taman Siswa,

Jamhari Ma‟ruf. Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam dalam

www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp diunduh pada Kamis, 13 Juni 2013

jam 05.13

Lailatul Faizah dkk. 2011. Psikologi Lintas Budaya: Kebudayaan Jawa Tengah.

Jakarta: Universitas Gunadarma

Laska, J. A. (1976). Schooling and education, basic concepts and problems. New

York: D. Van Nostrand Company.

Madya Ekosusilo & Kasihadi. 1989. Dasar-dasar pendidikan. Semarang: Effar

Publishing.

Muhammad Ali, Kamus Lengkap bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka

Amani.

Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, 1997. Pedoman

Pengajaran Budi Pekerti. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan kebudayaan.

Pusat Pengembangan Kurikulum, 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata

Pelajaran Budi Pekerti untuk kelas I-VI SD. Balitbang Puskur, Depdiknas.

Soegarda Poerbakawatja, 1976. Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung

Agung.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka, edisi kedu

Page 92: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

85

TINGKAT TUTUR DALAM BAHASA JAWA

AKIBAT TINGKAT SOSIAL MASYARAKAT

Oleh :

Bayu Indrayanto, S.S. M.Hum.

Universitas Widya Dharma Klaten

Abstrak

Fenomena tingkat tutur dalam bahasa Jawa merupakan pemakaian bahasa Jawa

yang terjdi di masyarakat Jawa. Dalam menggunakan bahasa Jawa penutur harus

memahami unggah-ungguh, akan tetapi sering terjadi kesalahan dalam

penggunaan leksikon. Hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya, sebab itu dapat

terjadi karena adanya beberapa faktor, misalnya : kurangnya pengetahuan

penutur tentang konsep unggah-ungguh dalam berbahasa Jawa, kurangnya

penguasaan kosa kata bahasa Jawa oleh penutur. Biasanya hal ini dialami oleh

pendatang yang telah lama menetap di luar Jawa atau oleh kaum muda

(khususnya anak-anak) yang belum mengerti dan menguasai tentang unggah-

ungguh.

Kata Kunci: tingkat tutur, unggah-ungguh, ngoko, krama

PENDAHULUAN

A. Tingkat Tutur/Unggah-Ungguh Bahasa Jawa

Bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang selama ini dikenal secara luas

oleh masyarakat Jawa adalah bentuk ngoko dan krama. Menurut Sasangka (2009 :

92) disebutkan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa yang secara jelas dapat

dibedakan, pada prinsipnya hanya ada dua macam, yaitu unggah-ungguh yang

berbentuk ngoko dan yang berbentuk krama. Kedua unggah-ungguh itu dibedakan

secara jelas karena leksikon (kosakata) yang dirangkaikan menjadi sebuah kalimat

dalam kedua unggah-ungguh itu dapat dikontraskan satu sama lain secara tegas.

Unggah-ungguh bahasa Jawa dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni

ngoko (ragam ngoko) dan krama (ragam krama). Jika terdapat bentuk unggah-

ungguh yang lain dapat dipastikan bahwa bentuk-bentuk itu hanya merupakan

varian dari ragam ngoko atau krama.

a. Ragam Ngoko

Page 93: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

86

Yang dimaksud ragam ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa

yang berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam

ngoko adalah leksikon ngoko bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam

ragam ini pun semuanya berbentuk ngoko (misalnya: afiks di-, -e, dan –ake).

Ragam ngoko boleh digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh

mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada mitra tuturnya.

Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus.

1) Ngoko Lugu

Ngoko Lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua

kosakatanya berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko dan netral) tanpa

terselip leksikon krama, krama inggil, atau krama andhap, baik untuk O1, O2,

maupun (O3).

Contoh:

(1) Yen mung kaya ngana wae, aku mesthi ya bisa!

„Jika cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa!‟

(2) Yen mung kaya ngana wae, kowe mesthi ya bisa!

„Jika cuma seperti itu saja, kamu pasti juga bisa!‟

(3) Yen mung kaya ngana wae, dheweke mesthi ya bisa!

„Jika cuma seperti itu saja, dia pasti juga bisa!‟

2) Ngoko Alus

Ngoko Alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya bukan hanya

terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon

krama inggil, krama andhap. Namun, leksikon krama inggil, krama andhap

yang muncul di dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk

menghormati mitra tutur (O2 atau 03).

Leksikon krama inggil yang muncul di dalam ragam ini biasanya hanya

terbatas pada kata benda (nomina), kata kerja (verba), atau kata ganti orang

(pronomina). Jika leksikon krama andhap muncul dalam ragam ini, biasanya

leksikon itu berupa kata kerja, dan jika leksikon krama muncul biasanya kata

kerja atau kata benda.

Contoh:

(4) Mentri pendhidhikan sing anyar iki asmane sapa?

„Menteri pendidikan yang baru ini siapa namanya?‟

Page 94: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

87

(5) Kae bapakmu gek maos ning kamar.

„Itu bapakmu sedang membaca di dalam kamar.‟

b. Ragam Krama

Yang dimaksud ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa

yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam

krama adalah leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam

ragam ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya: afiks dipun-, -ipun, dan -

aken).

Ragam krama digunakan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah

status sosialnya daripada mitra tuturnya. Ragam krama mempunyai dua bentuk

varian yaitu krama lugu dan krama alus.

1) Krama Lugu

Istilah lugu pada krama lugu tidak didefinisikan seperti lugu pada ngoko lugu.

Makna lugu pada ngoko lugu mengisyaratkan makna bahwa bentuk leksikon

yang terdapat di dalam unggah-ungguh tersebut semuanya berupa ngoko.

Sementara itu, lugu dalam krama lugu tidak diartikan sebagai suatu ragam

yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama, tetapi digunakan untuk

menandai suatu ragam yang kosakatanya terdiri atas leksikon krama, madya,

dan/atau ngoko serta dapat ditambah leksikon krama inggil atau krama

andhap. Meskipun begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam krama

lugu adalah leksikon krama, madya, dan atau netral, sednagkan leksikon

krama inggil atau krama andhap yang muncul dalam ragam ini hanya

digunakan untuk menghormati mitra tutur.

Secara semantis ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk

ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, jika

dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan kadar

kehalusan. Contoh:

(6) Sing dipilih Sigit niku jurusan jurnalistik utawi perhotelan.

‟Yang dipilih Sigit itu jurusan jurnalistik atau perhotelan‟.

(7) Sakniki nek boten main plesetan, tiyang sami kesed nonton kethoprak.

‟Sekarang jika tidak main plesetan, orang malas melihat ketoprak‟.

Page 95: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

88

2) Krama Alus

Yang dimaksud dengan krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa

Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah

dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Meskipun begitu, yang

menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk

krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko tidak pernah muncul dalam

tingkat tutur ini. Selain itu, leksikon krama inggil atau krama andhap -- secara

konsisten – selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra tutur.

Secara semantis ragam krama alus dapat didefinisikan sebagai ragam krama

yang kadar kehalusanya tinggi. Contoh:

(8) Aksara jawi punika manawi kapangku dados pejah.

‟Aksara Jawa itu jika dipangku malah mati.‟

(9) Ingkang sinuhun tansah angengetaken bilih luhur nisthaning asma gumantung

wijiling pangandika.

‟Sang raja selalu mengingatkan bahwa baik buruknya nama seseorang

bergantung pada apa yang diucapkan.‟

(10) Para miyarso, wonten ing giyaran punika kula badhe ngaturaken rembag

bab kasusastran Jawi.

‟Para pendengar, dalam (kesempatan) siaran ini saya akan berbicara tentang

kasusastraan Jawa.‟

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Faktor-faktor situasional dan sosial berpengaruh terhadap penggunaan

ragam ngoko atau ragam krama, yaitu siapa yang berbicara dengan bahasa apa,

kepada siapa, kapan dan dimana.

a. Jenis Kelamin

Dalam budaya Jawa, seorang istri kepada suami menggunakan ragam krama

dan tidak sebaliknya.

(11) A : Bapak, mangke sonten kundur jam pinten?

B : Mengko jam 4.

Terjemahan :

A : „Nanti jam 4.‟

B : „Bapak, nanti sore pulang jam berapa?‟

Kata mengko merupakan leksikon ngoko, sehingga suami tersebut

menggunakan ragam ngoko.

Page 96: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

89

b. Usia

Usia yang lebih muda harus menggunakan ragam krama kepada yang lebih tua

dan tidak sebaliknya.

(12) A : Ibu badhe tindak pundi?

B : Menyang pasar.

Terjemahan :

A : „Ibu mau pergi kemana?‟

B : „Ke pasar.‟

c. Status Sosial

Status sosial lebih rendah harus menggunakan krama kepada orang yang

status sosialnya lebih tinggi. Misalnya tuturan atasan kepada bawahannya.

(13) A : Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran untuk surat.

B : O, ya sudah, inilah !

A : Terima kasih

B : Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor

sebelah, saya sudah kenal dia, orangnya baik, banyak relasinya,

dan tidak banyak mencari untung. Lha saiki yen usahane pengin

maju kudu wani ngono.

A : Pancen ngaten, pak !

B : Pancen ngaten priye ?

A : Tegesipun, mbok modalipun agenga kados menapa menawa ...

B : Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbathi kakehan usahane

ora bakal dadi. Ngono karepmu ?

A : Lho, inggih ngaten.

B : O ya, apa surat untuk Jakarta sudah jadi dikirim kemarin ?

A : Sudah pak. Bersama surat Pak Ridwan dengan kilat khusus.

Terjemahan :

A : Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran untuk surat.

B : O, ya sudah, inilah !

A : Terima kasih

B : Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor

sebelah, saya sudah kenal dia, orangnya baik, banyak relasinya,

dan tidak banyak mencari untung. Lha sekarang kalau usahanya

ingin sukses harus berani seperti itu.

A : Seperti itu, pak !

B : seperti itu bagaimana ?

A : Artimya, meskipun modalnya besar sekalipun bila ...

B : Bila tidak banyak hubungannya dan dalam mencari tidak akan

jadi. Begitu keinginanmu ?

A : Lha, seperti itu.

B : O ya, apa surat untuk Jakarta sudah jadi dikirim kemarin ?

A : Sudah pak. Bersama surat Pak Ridwan dengan kilat khusus.

Page 97: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

90

d. Hubungan kekerabatan

Hubungan kekerabatan yang kuat dalam tuturan di bawah ini menggunakan

ragam ngoko.

(14) A : Piye PRe ? Wis rampung.

B : Wis tapi during rampung kabeh.

A : Aku wis kabeh, mau tak cocoke PRe Ahmad. Yang lain nomer

sembilan.

B : Aku garap mung sampai nomer pitu thok. Endi PR mu ?

A : Sik takjipuke ning tas, Ki !

B : Aku nurun ya, nomer wolu karo sanga.

A : He ... he ... he ...

Terjemahan :

A : Bagaimana PRe ? Sudah selesai.

B : Sudah tapi belum selesai semua.

A : Saya sudah semua, tadi saya samakan PRnya Ahmad. Yang lain

nomer sembilan.

B : Saya mengerjakan hanya sampai nomer tuju saja. Mana PRmu ?

A : Sebentar saya ambilkan di tas. Ini !

B : Saya mencontoh ya, nomer delapan dan sembilan.

A : He ... he ... he ...

C. Fenomena Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa

a. Ketidaktepatan penggunaan tingkat tutur/unggah-ungguh dalam bahasa Jawa

dapat dikarenakan penguasaan yang kurang terhadap leksikon-leksikon bahasa

Jawa, atau kurangnya pemahaman terhadap konsep ragam ngoko dan ragam

krama.

Contoh:

(15) Nyuwun pamit Pak, kula badhe kondur.

„Permisi pulang Bu, saya mau pulang.‟

Konteks: seorang anak yang berpamitan kepada tuan rumah.

Frase badhe kondur tidak tepat, lebih tepat jika menggunakan badhe mantuk.

Frase badhe kondur merupakan leksikon krama yang tidak tepat digunakan

jika untuk menyatakan hal tentang dirinya sendiri. Penutur mungkin

maksudnya baik, jika berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan

ragam krama, namun penutur salah bahwa dalam unggah-ungguh bahasa Jawa

juga mengenal merendahkan status dirinya dan leksikon-leksikon yang

menunjuk dirinya tidak boleh dikramakan.

Page 98: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

91

(16) Yen angsal, mangpundhutke gangsal iji mawon kangge kula

‟Jika boleh, Anda mintakan lima biji saja untuk saya.‟

Data 16 merupakan leksikon krama andhap yang digunakan oleh O1 yaitu

oleh kula ‟saya‟. Namun, pada kata mangpundhutke menjadikan kalimat tidak

berterima, ketidakberterimaannya itu dikarenakan O1 (kula) menggunakan

bentuk krama inggil pundhut ‟minta, beli, ambil‟ untuk diri sendiri. Sehingga

kata mangsuwunke diganti mangsuwunke pada data 16 menjadi berterima.

(17) a. Panjenengan kersa kula tukokaken gethuk goreng ?

‟Anda mau saya belikan (kue) getuk goreng ?‟

b. Mbak Darmi badhe menehaken buku waosan punika (menika) dhateng Pak

Daliman.

‟Kak Darmi akan memberikan buku bacaan ini kepada Pak Daliman.‟

Begitu pula halnya dengan sufiks -aken (-kaken) yang terdapat pada

contoh (17) di atas, sufiks itu tidak dapat bergabung dengankata tuku „beli‟

seperti pada *tukokaken „belikan‟ (17a) dan tidak dapat bergabung dengan

kata weneh „beri‟ seperti pada *menehaken „memberikan‟ (17b) sehingga

kalimat (17a-17b) pun tergolong kalimat yang tidak berterima.

Ketidakberterimaan kedua kalimat tersebut disebabkan pada kata tuku dan

weneh merupakan leksikon ngoko yang mempunyai padanan bentuk krama

dan krama inggil. Karena mempunyai padanan bentuk krama dan krama

inggil, leksikon krama dan krama inggil itulah yang seharusnya dilekati afiks -

ipun (-nipun). Jika kaidah ini dilanggar, kalimat akan menjadi tidak berterima.

Padanan leksikon ngoko tuku adalah tumbas, dan padanan leksikon ngoko

weneh adalah atur/caos. Sehubungan dengan itu, agar kalimat 17a menjadi

berterima, kata tuku harus diganti dengan kata tumbas dan kata wenehaken

diganti dengan aturaken/caosaken pada kalimat 17b, sehingga ubahannya

menjadi.

Panjenengan kersa kula tumbasaken gethuk goreng ?

Mbak Darmi badhe nyaosaken/ngaturaken buku waosan punika (menika)

dhateng Pak Daliman.

Dalam unggah-ungguh bahasa Jawa terdapat fenomena dimana penutur

akan merendahkan diri lewat bentuk ragam bahasanya. Penutur akan

Page 99: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

92

menggunakan pilihan kata/leksikon ngoko untuk menyatakan dirinya dan memilih

leksikon krama untuk mitra tuturnya.

b. Anak-anak ketika berbicara dengan orang tua

(18) A : Bu lawuhe apa?

B : kuwi le, neng njero lemari.

Terjemahan :

A :„Bu, lauknya apa?‟)

B : „Itu nak, di dalam almari.‟

Konteks: seorang anak ketika pulang sekolah, lapar dan segera menuju dapur.

Kurangnya pengetahuan tentang unggah-ungguh bahasa Jawa dapat

menyebabkan terjadinya fenomena tersebut. Bisa saja anak itu berasal dari latar

belakang sosial keluarganya; ayahnya berasal dari luar Jawa dan Ibu dari Jawa.

Sangat dimungkinkan bahasa Jawa bukan menjadi prioritas utama dalam bertutur,

apalagi dalam hal membedakan krama dan ngoko. Atau mungkin memang orang

tuanya tidak mengajarkan unggah-ungguh bahasa Jawa, anak mendapat

pembelajaran bahasa Jawa dari lingkungannya.

c. Ketika orang tua berbicara kepada anaknya (masih kecil)

(19) A : Mangke adik menawi sampun rampung matur nggeh.

B : Nggeh Bu!

Terjemahan :

A :„Nanti adik kalau sudah selesai, bilang ya.‟

B : „Ya Bu!‟

Konteks: orang tua sedang memberi pesan kepada anaknya yang sedang belajar.

Pada tuturan orang tua tersebut bukan dalam rangka menghormati

anaknya, tetapi dalam rangka mengajarkan kepada anak tentang unggah-ungguh

bahasa Jawa.

d. Keakraban yang melunturkan status sosial dan unggah-ungguh bahasa Jawa.

(20) A : Ne, kenthongane wis mbok thuthuk?

B : Durung Yu, kenthongen!

Terjemahan :

A : „Ne, kenthongan itu sudah kamu pukul?‟

B :„Belum Yu, pukullah!‟

Konteks: Pembicaraan di pos ronda. A berumur 30 tahun, seorang dosen dan

B berumur 25 tahun, seorang karyawan pabrik. Mereka teman bermain sejak

kecil.

Page 100: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

93

Bila A dan B bukan teman bermain sejak kecil atau tingkat keakrabannya

kurang bahkan tidak akrab, B sangat dimungkinkan akan menggunakan ragam

krama saat bertutur kepada A.

(21) A : Ne, kenthongane wis mbok thuthuk?

B : Dereng Pak, dikenthong mawon!

Terjemahan :

A : „Ne, kenthongan itu sudah kamu pukul?‟

B : „Belum Pak, pukullah!‟

e. Tidak akrab dan kebutuhan akan sesuatu, penutur memunculkan bentuk

bahasa krama kepada mitra tutur.

(22) A : Ndherek tanglet Mas!

B : Njih Mas.

A : Dalemipun Bu Marini menika pundi nggih?

B : O.. pertigaan niku ngetan, griya nomor kalih madhep ngaler.

Terjemahan :

A : „Mau tanya Mas!‟

B : „Ya Mas.‟

A : „Rumahnya Bu Marini itu dimana ya?‟

B : „O.. pertigaan itu ke timur, rumah nomor dua menghadap ke utara.‟

Konteks: A bertanya ke B mengenahi alamat Bu Marini, dan B menunjukkan

denah yang ada.

Ketidakakraban penutur dengan mitra tutur dapat memunculkan ragam

krama, padahal bisa jadi salah satu dari mereka memiliki usia yang lebih

muda, status sosial yang lebih rendah, atau yang lainnya.

f. Status sosial mitra tutur lebih rendah, maka mitra tutur harus menggunakan

ragam krama kepada atasannya (penutur) meskipun jauh lebih muda dari

penutur.

(23) A : Pak, sukete ngarep omah wis mbok resiki?

B : Injih, sampun.

Terjemahan :

A : „Pak, rumput depan rumah itu sudah kau bersihkan?‟

B :„Iya, sudah.‟

Konteks: A adalah seorang juragan, B adalah tukang kebun Pak Bayu.

Meskipun Nene berumur lebih tua, selayaknya dia menggunakan

ragam krama kepada Bayu karena status sosialnya. Status sosial dalam hal ini

Page 101: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

94

sangat berperan penting dalam menentukan unggah-ungguh yang harus

digunakan oleh penutur.

KESIMPULAN

Masyarakat jawa menggunakan bahasa jawa harus mengenal unggah-

ungguh, akan tetapi sering terjadi kesalahan dalam penggunaan leksikon. Hal ini

tidak dapat disalahkan sepenuhnya sebab itu dapat terjadi karena adanya beberapa

faktor, misalnya : kurangnya pengetahuan penutur tentang konsep unggah-ungguh

dalam berbahasa Jawa, kurangnya penguasaan kosa kata bahasa Jawa oleh

penutur. Biasanya hal ini dialami oleh pendatang yang telah lama menetap di luar

Jawa atau oleh kaum muda (khususnya anak-anak) yang belum mengerti dan

menguasai tentang unggah-ungguh. Kebiasaan menggunakan bahasa selain

bahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari atau bahasa Jawa berupa ngoko,

dikarenakan : (1) alasan keakraban antara O1 dan O2 ; (2) kemungkinan adanya

perbedaan wilayah asal antara penutur dan mitra tutur ; (3) penggunaan bahasa

ngoko lebih banyak digunkan sebab lebih mudah dipahami dalam menyampaikan

informasi.

DAFTAR RUJUKAN

Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolingustik Perkenalan Awal. Jakarta

: PT. Rineka Cipta.

Chaedar Alwasilah, A. 1985. Sosiologi Bahasa.Bandung : Angkasa.

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Halliday, M.A.K,. et al. 1970. “ The Usurs and Uses of Language”. dalam J.A

Fishman, Reading in the Sosiology of Linguage.The Hague : Mounton.

Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung : Angkasa.

Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2009. Unggah-Ungguh Bahasa Jawa

(Editor: Yeyen Maryani). Jakarta: Yayasan Paramalingua.

Soepomo, Poedjosoedarmo,. 1976. Pengaruh Bahasa Indonesia Terhadap Bahasa

Jawa. Stensilan.

Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolingustik.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Page 102: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

95

INOVASI PROSES PENGAJARAN TEMBANG MACAPAT

MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI

FUNGSI PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH DI ERA MEA

Oleh:

Astiana Ajeng Rahadini

Universitas Sebelas Maret

Abstrak

Di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), bahasa daerah mempunyai peranan

penting sebagai penguat jiwa nasionalisme sehingga tidak luntur oleh gencaran

arus yang datang dari luar. Salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk

melestarikan bahasa daerah adalah melalui jalur pendidikan. Tembang macapat

adalah salah satu materi pembelajaran bahasa Jawa. Namun, menguasai tembang

macapat bukanlah hal yang mudah. Diperlukan kepekaan terhadap titi laras dan

penguasaan berbagai jenis tembang macapat. Untuk meminimalisir kesalahan

ketika mengajarkan tembang macapat, penggunaan media audio dapat digunakan

sebagai inovasi pembelajaran dan membantu guru mencapai tujuan pembelajaran.

Kata kunci: bahasa daerah, tembang macapat, inovasi pembelajaran

PENDAHULUAN

Bahasa daerah mempunyai kedudukan yang tidak kalah penting dengan

fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Selain sebagai

lambang identitas dan kebanggaan daerah, bahasa daerah juga berfungsi sebagai

pendukung bahasa nasional. Terutama di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA),

bahasa daerah mempunyai peranan penting sebagai penguat jiwa nasionalisme

sehingga tidak luntur oleh gencaran arus yang datang dari luar.

Bahasa Jawa sebagai bahasa daerah dengan penutur terbanyak di Indonesia

diharapkan tetap menjadi salah satu unsur budaya Indonesia yang dibanggakan.

Kehalusan budi pekerti, kesopanan dalam unggah-ungguh basa, dan keagungan

nilai moral yang terkandung dalam bahasa dan budaya Jawa adalah hal-hal yang

sangat disayangkan seandainya bahasa Jawa sampai punah tergerus arus

modernisasi. Apalagi melihat kenyataan bahwa banyak pemuda Jawa yang sudah

merasa asing dan kesulitan menggunakan atau memahami bahasa Jawa, bahasa

Page 103: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

96

ibunya sendiri. Belum lagi jika melihat fenomena bahwa banyak anak-anak yang

tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga dengan bahasa pengantar bahasa

Indonesia. Oleh karena itu, proses pengenalan dan internalisasi bahasa dan

kebudayaan daerah menjadi suatu hal yang penting.

Melihat fungsi dan peranan penting bahasa dan budaya daerah maka sudah

selayaknya bahasa dan budaya daerah tetap dilestarikan dan dipertahankan.

Pemertahanan bahasa-bahasa daerah agar tetap exist (bertahan), selain ditentukan

oleh jumlah penutur, kekuatan dan potensinya, bahasa daerah juga ditentukan oleh

3 (tiga) faktor, yaitu faktor budaya atau tradisi tulis, faktor pemakaian dalam

bidang pendidikan, dan faktor peranannya sebagai sarana pendukung kebudayaan

daerah.

Salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk melestarikan bahasa daerah

adalah melalui jalur pendidikan. Untuk wilayah Jawa Tengah, DIY, dan Jawa

Timur, telah menetapkan bahasa Jawa yang merupakan bahasa daerah di wilayah

tersebut sebagai bagian dari muatan lokal wajib yang harus diajarkan di tingkat

SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Pemasukan bahasa Jawa ke dalam

kurikulum muatan lokal di tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA, telah

diamanatkan dalam Konggres Bahasa Jawa III di Yogyakarta. Melalui

rekomendasi dari hasil putusan Konggres Bahasa Jawa III inilah maka Gubernur

Jawa Tengah mengeluarkan SK Gubernur No 895.5/01/2005 tertanggal 23

Februari 2005. Surat Keputusan tersebut mengatur tentang Penetapan Kurikulum

Mata Pelajaran Bahasa Jawa pada Jenjang Pendidikan SMA/SMALB/SMK/MA.

Pembelajaran bahasa Jawa di tingkat SMA/SMK/MA mungkin sesuatu yang baru

dalam dunia pendidikan kita, namun untuk pembelajaran bahasa Jawa di tingkat

SD/MI dan SMP/MTs telah lama dilaksanakan.

Macapat adalah salah satu kebudayaan Jawa yang menjadi materi pelajaran

Bahasa Jawa di semua jenjang pendidikan. Namun, mengajarkan Macapat

bukanlah hal yang mudah. Guru harus benar-benar menguasai tembang tembang

Macapat dan paham atau peka terhadap titi laras atau nada. Namun, hal tersebut

tidaklah mudah. Kepekaan terhadap titi laras dapat dikatakan sebagai suatu

Page 104: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

97

„anugerah‟ bagi guru bahasa Jawa. Penguasaan titi laras yang benar akan

menyebabkan transfer ilmu yang benar pula dalam proses belajar mengajar.

Namun, sangat disayangkan, bahwa pada kenyataannya, guru yang menguasai

titi laras dan tembang macapat dengan baik hanya berada pada batas minimum.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, sudah selayaknya dilakukan inovasi dalam

pembelajaran untuk mengoptimalisasikan pembelajaran tembang macapat untuk

menginternalisasi nilai-nilai keraifan lokal sebagai penguat jati diri bangsa.

PEMBAHASAN

1. Pembelajaran Tembang Macapat

Padmopuspito melalui Suwardi (2010: 9) menyatakan bahwa macapat itu

berasal dari kata maca papat-papat „membaca empat-empat‟. Hal ini juga dapat

dinalar sebab ketika membaca macapat hampir selalu silabik, empat suku kata,

lalu bernafas. Macapat juga sering dikaitkan kedalam akronim dari maca sipat

„membaca sifat‟. Maksudnya sifat-sifat manusia sering terungkap dalam pesan

yang terkandung dalam tembang macapat. Ajaran sufisme Jawa juga sering

menjadi tumpuan tembang macapat.

Macapat merupakan suatu khasanah kebudayaan lokal Jawa yang kaya akan

nilai luhur. Pesan-pesan yang terkandung di dalamnya berisi tentang nilai-nilai

moral kehidupan yang dapat menjadi pedoman bagi manusia. Oleh karena itu,

tembang macapat ini dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah sebagai salah satu

materi yang diajarkan dalam pelajaran bahasa Jawa, baik di tingkat SD, SMP,

maupun SMA. Jumlah tembang macapat yang diajarkan di dalam kurikulum

sekolah ada 11 macam, yaitu: dhandhanggula, sinom, pangkur, asmaradhana,

durma, kinanthi, mijil, pocung, maskumambang, megatruh, dan gambuh.

Tembang macapat yang diajarkan di sekolah biasanya disesuaikan tingkat

kesulitannya pada setiap jenjang pendidikan. Misalnya untuk SD tembang

macapat yang diajarkan yaitu tembang Pocung dan Gambuh yaang pendek. Untuk

tingkat SMP dan SMA hampir semua tembang macapat sudah diajarkan. Berikut

ini contoh kurikulum SMP kelas VII semester 1 yang memuat materi tembang

macapat.

Page 105: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

98

Standar Kompetensi : Mengungkapkan gagasan ragam wacana lisan sastra dalam

kerangka budaya Jawa.

Kompetensi Dasar : Melagukan tembang Asmaradhana

2. Media Pembelajaran Audio

Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata

medium yang secara harafiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah suatu

alat yang merupakan saluran untuk menyampaikan suatu pesan atau informasi dari

suatu sumber kepada penerima (Soeparno, 1980: 1). Hamalik (1986: 12)

mendefinisikan media pembelajaran sebagai alat, metode, dan teknik yang

digunakan dalam rangka mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru

dan murid. Jadi, berbagai alat yang digunakan untuk membantu kelancaran

penyampaian materi pelajaran disebut dengan media.

Media pembelajaran merupakan salah satu komponen dalam kegiatan belajar

mengajar. Wibawa dan Mukti (1992: 24) mengklasifikasikan media pembelajaran

untuk tujuan praktis. Secara praktis klasifikasi media dibagi menjadi: (1) media

audio, (2) media visual; (3) media audio visual; dan (4) media serbaneka (di

dalamnya memuat permainan). Setiap jenis media dapat disesuaikan dengan

materi pembelajaran yang akan disampaikan.

Menurut Supadi (1987: 22) hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan

media antara lain: (1) tujuan yang ingin dicapai; (2) cara mencapai tujuan; (3)

kesesuaian; (4) tingkat kesukaran; (5) biaya; (6) ketersediaan; (7) kualitas teknik.

Sedangkan menurut Soeparno (1980: 13) beberapa hal yang harus diperhatikan

dalam emmilih media antara lain: (1) memperhatikan karakteristik setiap media;

(2) memilih media sesuai dengan tujuan yang akan dicapai; (3) memilih media

yang sesuai dengan metode dan strategi yang kita pakai; (4) disesuaikan dengan

keadaan siswa; (5) disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat

media itu akan digunakan; (6) disesuaikan dengan kreativitas penggguna.

Penggunaan dari suatu alat pasti ada alasannya. Begitu pula dengan

penggunaan media. Media digunakan karena memiliki fungsi dan manfaat yang

dapat membantu kelancaran proses pembelajaran. Rowntree (dalam Supadi, 1983:

11) mengemukakan bahwa sebagai bagian dari sistem pembelajaran, media

Page 106: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

99

mempunyai beberapa fungsi yaitu untuk membangkitkan motivasi belajar siswa,

menyediakan stimulus belajar siswa, emmbantu siswa untuk mengulang atau

mempelajari kembali pelajaran yang telah diterima, dan dapat memberikan umpan

balik dengan segera baik bagi siswa maupun guru. Selain itu Miarso (1984: 52)

menambahkan fungsi dan manfaat penggunaan media yaitu dapat menyajikan

informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan menurut

kebutuhan, mengatasi keterbatasan waktu dan ruang, serta untuk mengontrol arah

maupun kecepatan belajar siswa.

Pembelajaran yang menjadi objek penelitian ini adalah pembelajaran yang

menggunakan media audio untu mengajarkan materi tembang Macapat. Menurut

Rahardjo dalam Miarso (1984: 54) media audio adalah media yang hanya

memanipulasikan kemampuan-kemampuan suara semata-mata. Setiap media

memiliki kelemahan dan kelebihan. Menurut Miarso (1984: 60) kelebihan media

audio ini, yaitu: (1) mudah dipersiapkan dengan sedikit pengetahuan

penyuntingan, (2) dapat dipergunakan hampir untuk semua keperluan, (3) tidak

memerlukan peralatan putar ulang yang rumit, (4) mudah diproduksi dan murah

ongkosnya. Kelemahan media audio ini, yaitu hanya menekankan pada aspek

pendengaran saja dan cenderung untuk menurun kualitas suaranya karena

pemakaian (usang). Namun, penggunaan media audio untuk pembelajaran

tembang Macapat dirasa tepat karena input yang dibutuhkan siswa hanya input

suara atau audio. Siswa hanya membutuhkan informasi dan pedoman tentang lagu

atau suara dan tinggi rendahnya nada yang tepat.

3. Pelaksanaan Proses Pembelajaran Tembang Macapat dengan Media

Audio

Macapat merupakan salah satu materi dalam mata pelajaran bahasa Jawa.

Untuk tingkat SMP, baik kelas 7, 8, maupun 9, pada kurikulumnya tercantum

kompetensi dasar dimana siswa ditekankan mampu melagukan tembang Macapat.

Macapat termasuk ke dalam aspek kompetensi berbicara. Jadi, output dari

pembelajaran tembang Macapat diharapkan siswa mampu melagukan tembang

macapat, minimal satu buah, dengan titi laras (nada) dan lirik yang benar.

Page 107: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

100

Meskipun jumlah tembang Macapat yang diajarkan sedikit namun ini

bukanlah hal yang mudah. Guru bahasa Jawa yang memiliki kemampuan

kepekaan nada yang bagus sangatlah sedikit. Pada umumnya mereka dapat

menyanyikan tembang Macapat tersebut secara benar, tetapi tidak tepat. Banyak

nada-nada yang keliru. Belum lagi melihat fenomena bahwa mata pelajaran

bahasa Jawa banyak diampu oleh guru yang tidak berijazah S1 bahasa Jawa. Hal

ini terjadi untuk melengkapi tuntutan 24 jam mengajar. Sangat disayangkan ketika

guru mengajarkan hal yang salah kepada muridnya.

Untuk menghindari atau meminimalisir kesalahan dalam mengajar, guru-guru

bahasa Jawa dapat pembelajaran macapat dengan menggunakan bantuan media

audio. Media audio yang digunakan dapat berupa CD hasil rekaman dimana lagu

atau tembangnya dapat didownload atau direkam sendiri. Sebelum memasukan

lagu dan mengemasnya menjadi CD pembelajaran, guru dapat mengkaji ulang

ketepatan titi laras dan tembang yang sesuai syair dengan tujuan pembelajaran

sehingga materi yang disajikan benar dan tepat.

Penggunaan media audio ini untuk memaksimalkan tercapainya tujuan

pembelajaran. Media audio ini juga untuk menyiasati porsi pembelajaran macapat

yang begitu sedikit. Jatah untuk materi tembang Macapat tiap satu semester

adalah 1-2 buah tembang Macapat dengan alokasi waktu masing-masing tembang

dua kali pertemuan. Tentu waktu yang sangat terbatas bagi siswa untuk dapat

menguasai tembang macapat dengan benar dan tepat. Selain dimainkan pada saat

pembelajaran Macapat, CD-CD ini juga dibagikan kepada siswa agar siswa dapat

mengulang dan mempelajari sendiri tembang Macapat tersebut di rumah. Dengan

menggunakan CD tembang macapat, siswa dapat belajar sendiri di rumah dan

mengulangnya berkali-kali di saat waktu senggang.

Pembelajaran Macapat menggunakan media audio ini dapat dilaksanakan di

ruang TIK atau membawa piranti pemutar audio. Hal ini untuk memudahkan

pelaksanaan pembelajaran karena memang alat untuk memainkan CD tersebut

berada di ruang TIK. Selama pembelajaran setiap siswa menghadap komputer,

satu komputer untuk dua orang siswa. Selanjutnya selama proses belajar mengajar

pada tiap-tiap komputer dimainkan CD tembang Macapat dan pembelajaran pun

Page 108: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

101

berlangsung dengan dipandu oleh guru. Untuk lebih rincinya pelaksanaan proses

pembelajaran Macapat menggunakan CD adalah sebagai berikut:

1. Pembukaan kurang lebih 15menit.

Setelah siswa duduk menghadap komputer (satu komputer untuk dua siswa)

dan guru berada di belakang meja komputer guru maka pembelajaran dimulai.

Pertama-tama diawali dengan salam dan berdoa bersama. Selanjutnya guru

menjelaskan apa yang akan dilaksanakan selama proses pembelajaran dan

guru pun memberikan instruksi untuk memutar CD tembang Macapat pada

CD-Rom. Pada komputer guru juga dimainkan CD tembang Macapat. Guru

juga memberikan pengetahuan awal mengenai tembang Macapat dan

pengetahuan sekilas tentang tembang Macapat yang akan dipelajari. Guru

menuliskan lirik tembang Macapat yang akan dipelajari di papan tulis dan

siswa mencatatnya.

2. Isi kurang lebih 60 menit.

Setelah semuanya siap, yang pertama kali diputar adalah CD Macapat

yang berada di komputer guru. Semua siswa menyimak tembang Macapat

tersebut. Tembang Macapat yang dimainkan adalah tembang Kinanthi.

Tembang tersebut diputar dua kali. Setelah itu pemutaran CD dihentikan

sementara. Semua siswa beserta guru melagukan bersama-sama tembang

Macapat tersebut satu kali secara keseluruhan. Selanjutnya, guru memandu

siswa untuk melagukan tembang Macapat tersebut baris demi baris. Guru

terlebih dahulu melagukan kemudian siswa menirukan. Setelah itu guru dan

semua siswa kembali melagukan tembang Macapat secara keseluruhan dan

bersama-sama disertai dengan pemutaran CD Macapat.

Selanjutnya guru membagi siswa yang berjumlah 32 orang tersebut

menjadi 5 kelompok. Tiap-tiap kelompok kemudian diminta untuk

melagukan tembang Kinanthi baris demi baris dan secara keseluruhan

masing-masing satu kali. Ketika setiap kelompok melagukan tembang

kinanthi tersebut guru juga membenarkan kesalahan nada. Guru juga

memberikan apresiasi berupa pujian bagi siswa yang dapat melagukan

tembang Kinanthi dengan baik. Setelah menyanyikan tembang Kinanthi per

Page 109: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

102

kelompok, selanjutnya siswa diminta untuk melagukan tembang Kinanthi dua

orang-dua orang. Pada sesi ini guru juga membenarkan kesalahan nada.

Setelah semua siswa sudah selesai melagukan tembang Kinanthi, guru

bersama semua siswa kembali melagukan tembang Kinanthi bersama-sama

dengan disertai pemutaran CD Macapat.

Setelah selesai melagukan, guru memberikan pengetahuan tentang guru

lagu, guru wilangan, dan guru gatra tembang Macapat. Selanjutnya guru

memandu siswa menemukan guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra

tembang Kinanthi tersebut beserta maknanya. Setelah semua materi selesai,

guru dan siswa kembali menyanyikan tembang Kinanthi keseluruhan secara

bersama-sama satu kali.

3. Penutup

Di akhir pembelajaran guru memberikan pesan agar siswa sering

mengulang pembelajaran tembang Macapat tersebut di rumah menggunakan

CD masing-masing dan pertemuan berikutnya akan diadakan penilaian

penguasaan tembang Kinanthi secara individual.

4. Penilaian Pembelajaran Tembang Macapat

Tagihan capaian kompetensi penguasaan tembang Macapat dilakukan dengan

dua cara, yaitu penilaian teoretik dan penilaian unjuk kerja. Penilaian teoretik

berkaitan dengan teori-teori tembang Mcapat, khususnya tembang Kinanthi,

sedangkan penilaian unjuk kerja yaitu dengan menilai performa siswa dalam

melagukan tembang Kinanthi. Format penilaian yang digunakan guru adalah

sebagai berikut:

No Pedoman Penskoran

Skor Soal Teoretis

1

2

3

Tembang kinanthi iki:

Golekana guru lagu, guru gatra lan guru wilangan!

Apa isine tembang kinanthi!

Golekana piwulang-piwulang kang ngandhut budhi pekerti ing

tembang kinanthi!

20

15

15

Penilaian performansi

1

2

Mampu melagukan tembang Kinanthi dengan lirik yang tepat

Mampu melagukan tembang Kinanthi dengan nada yang tepat

20

30

Skor maksimum 100

Page 110: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

103

Jadi, bobot untuk teori dan unjuk kerja adalah 50-50.

C. KESIMPULAN

Penggunaan media audio sangat membantu pelaksanaan pembelajaran

tembang Macapat. Tidak hanya guru, siswa juga sangat terbantu dengan adanya

media audio ini. Selain dapat meminimalisir kesalahan guru, media audio ini

dapat mengatasi masalah keterbatasan waktu yang dialokasikan untuk

pembelajaran Macapat. Siswa dapat mengulang kembali materi yang telah

diterima di sekolah dengan mudah. Kapanpun dan dimanapun siswa dapat belajar

Macapat kembali dengan pedoman yang benar. Selain itu selama pembelajaran

siswa juga menjadi lebih antusias karena berada pada situasi ruangan yang

berbeda dan metode pembelajarannya bukan hanya menggunakan metode

ceramah.

DAFTAR RUJUKAN

Hamalik, Oemar. 1986. Media Pendidikan. Bandung: Alumni.

Miarso, Yusufhadi, dkk. 1984. Teknologi Komunikasi Pendidikan. Jakarta: CV.

Rajawali.

Soeparno. 1980. Media Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.

Supadi, Imam. 1983. Media pendidikan. FIP: IKIP Yogyakarta.

____________. 1987. Media Pendidikan. FIP: IKIP Yogyakarta.

Suwardi. 2010. Tuntunan Tembang Jawa. Yogyakarta: Lumbung Ilmu.

Wibawa, Basuki dan Mukti F. 1992. Media Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

Page 111: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

104

MENDEKATKAN KESENIAN TRADISIONAL KETHOPRAK

KEPADA MASYARAKAT PENDIDIKAN

Budi Waluyo

Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa

FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta

[email protected]

Abstrak

Kethoprak merupakan salah satu jenis seni pertunjukkan tradisional atau daerah

atau rakyat yang masih potensial untuk direaktualisasi, restrukturisasi dan

refungsialisasi pada saat sekarang. Sifatnya yang lebih luwes dan dinamis

daripada jenis seni pertunjukkan lain, sangat memungkinkan untuk mendukung

pernyataan di atas. Pada perkembangan sekarang, beberapa kelompok menjadi

sangat pesat perkembangnnya karena mereka menerapkan konsep “mengunjungi”.

Artinya mereka tidak mengundang penonton untuk datang, tetapi kelompok ini

justru datang, bersilaturahmi dan menggelar pementasan di tempat mereka.

Konsep seperti inilah yang sekarang mendapat tempat di hati masyarakat.

Beberapa hambatan perkembangan seni tradisi Jawa khususnya kethoprak di

sekolah banyak dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor itu antara lain: 1) ada

semacam jarak yang tidak terlihat tetapi ada antara siswa dengan kethoprak; 2)

Siswa merasa, mempersiapkan pagelaran kethoprak adalah sesuatu yang rumit; 3)

Belum banyak festival drama Jawa atau kethoprak bagi para siswa; 4) belum

menjadikan sekolah sebagai ruang untuk pagelaran kethoprak; 5) sekolah kurang

greget memikirkan perkembangan seni tradisi Jawa khususnya kethoprak; dan 6)

kekurangan naskah kethoprak di kalangan para siswa.

Kata kunci: kethoprak, konsep mengunjungi

PENDAHULUAN

Sejarah Kemunculan Seni Tradisional Kethoprak

Perjalanan manusia dari suatu tempat ke tempat lain, melewati ruang

waktu; pada hakikatnya merupakan upaya untuk memenuhi kerinduannya pada

sesuatu yang lain, yang unik, yang khusus dan sesuatu yang dapat membuatnya

terpesona. Dari sekian daya tarik kunjungan; banyak pesona yang dirangkum dan

diringkas dalam bentuk seni pertunjukkan. Karena dalam sebuah pentas

pertunjukkan, tidak saja ruang dan waktu yang membuat menjadi khas dan unik,

Page 112: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

105

tetapi pentas itu juga merangkum berbagai ekspresi seni yang lain, misalnya seni

rupa, seni musik, seni sastra dan seni olah tubuh.

Kethoprak merupakan salah satu jenis seni pertunjukkan tradisional atau

daerah atau rakyat yang masih potensial untuk direaktualisasi, restrukturisasi dan

refungsialisasi pada saat sekarang. Sifatnya yang lebih luwes dan dinamis

daripada jenis seni pertunjukkan lain, sangat memungkinkan untuk mendukung

pernyataan di atas.

Menurut sejarahnya, kethoprak muncul pertama kali sekitar tahun 1930-

an. Menurut sumber yang dapat memberikan petunjuk asal mula kethoprak dapat

dikemukakan sebagai berikut.

a. Kethoprak lahir di Surakarta pada tahun 1908, diciptakan oleh Raden Mas

Tumenggung Wreksodiningrat, pada saat beliau mengadakan kethoprak. Dalam

latihan tersebut, beliau menggunakan alat tetabuhan sebuah lesung (kayu utuh

dilubang tempat penunbuk padi), sebuah terbang (rebana) dan sebuah seruling.

Pelaku utama pada saat itu ialah Mbok Gendro alias Nyi badur dan Ki

Wisangkoro. Nama-nama gendhing yang digunakan ialah Megamendhung,

Kupu Tarung, Trim, Bak-bak, Simah-simah, Bluluk Tiba, dan Randa Ngangsu.

Lakon yang dibawakan menceritakan seorang petani yang sedang mencangkul

di sawah, disusul istrinya dengan membawa makanan. Busana yang dikenakan

oleh para pelakunya adalah pakaian sehari-hari para petani. Properti yang

dibawanya adalah cangkul dan bakul. Cara penampilannya dengan menari.

Kadang-kadang berlebih-lebihan dan lucu, sehingga penonton menyebutnya

dengan tontonan badutan (banyolan/lawakan). Sesuai dengan nama penari

utamanya, tari yang dibawakan dalam kethoprak tersebut disebut joget Gendro

(tari Gendro). Cakapan atau dialog yang dibawakan sebagian dengan bentuk

nyanyian atau tembang (puisi), sebagian dengan bentuk bahasa kolokuial

(bahasa sehari-hari, prosa) atau dalam kesusastraan Jawa disebut dengan

bentuk gancaran. Dengan demikian cakapan yang digunakan dalam kethoprak

meliputi tiga jenis, yaitu puisi, prosa dan drama.

b. Berdasarkan buku Jawa dan Bali Dua Pusat Perkembangan Drama Tradisional

(R.M. Soedarsono, 1972) dikemukakan antara lain, “Kethoprak merupakan

Page 113: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

106

tarian rakyat yang belum begitu tua usianya. Kethoprak merupakan drama tari

kerakyatan yang sesungguhnya, diciptakan oleh Raden Mas Tumenggung

Wreksodiningrat dari Surakarta tahun 1914”.

c. Sumber ketiga, dalam buku Ensiklopedi Umum terbitan Yayasan Kanisius

Yogyakarta (1973:669) menerangkan sebagai berikut.“Kethoprak, sandiwara

rakyat khas Jawa Tengah, waktu lahirnya, siapa penciptanya tidak dapat

dinyatakan dengan pasti. Cerita-ceritanya diambil dari dunia kaum tani dengan

maksud memajukan pertanian, juga cerita-cerita sejarah.”“Pakaian pelakunya

sangat sederhana, celana hitam sampai lutut (tapak belo), baju kurung dan kain

kepala. Gamelannya terdiri atas lesung (alat penumbuk padi), kendang, rebana,

dan keprak, yang diselingi bunyi pukulan pada lesung sehingga disebut

kethoprak.”

d. Sumber keempat ialah berdasarkan Serat Pustaka Raja Purwa. Dikatakan

bahwa terlepas dari mana, kapan lahir, dan siapa penciptanya, kethoprak benar-

benar tumbuh dari dan untuk rakyat yang sebagian besar hidupnya dari

pertanian. Pernyataan demikian didasarkan atas kenyataan bahwa iringan yang

masih primitif, seperti lesung, tong-tong (kentongan), seruling, dan keprak

menunjukkan alat-alat yang biasa digunakan oleh para petani.

Sekilas Sejarah Perkembangan Kelompok Kethoprak

Pada sekitar tahun 1925, untuk pertama kalinya kethoprak dipentaskan

oleh kelompok, yaitu oleh Perkumpulan Kethoprak Krido Madyo Utomo dari

Solo, yang terkenal dengan sebutan Kethoprak Lesung.

Pada sekitar tahun 1928, grup wayang orang Bekso Langen Wanodyo di

bawah pimpinan Mbok Kertonoyo dari Solo, mengubah sajian dalam bentuk

wayang orang menjadi bentuk kethoprak. Grup ini merupakan kelompok

kethoprak pertama yang anggotanya adalah kaum wanita.

Pada tahun 1929 di Yogyakarta muncullah kelompok kethoprak Krido

Mudo. Kelompok ini dalam penyajiannya tidak menggunakan instrument lesung,

kentongan, rebana, atau instrument musik Barat, melainkan menggunakan

Page 114: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

107

instrument musik Jawa, yaitu gamelan. Bunyi tong-tong (kentongan) diganti

dengan keprak.

Tahun 1931 muncullah grup kethoprak pimpinan Sosroganjur dari

kampong Dagen. Setahun kemudian muncul lagi kelompok kethoprak Mardi

Wandowo.

Pasca G 30 S PKI, muncullah beberapa grup kethoprak keliling, antara

lain Dahono Mataram yang berganti nama Waringin Dahono, Wiro Budoyo dan

Budi Rahayu.

Tahun 1971, Bagong Kussudiarjo mendirikan kelompok Kethoprak

Mataram Sapta Mandala Kodam VII (sekarang Kodam IV).

Sekitar tahun 1985, muncullah beberapa kelompok kethoprak di beberapa

kota, misalnya di Solo muncul kethoprak Jati Budaya Pimpinan Gepeng

(kelanjutan dari grup kethoprak Cokrojio pimpinan Teguh), di Semarang muncul

Ngesti Pandowo dan Sri Wanita, meskipun merupakan grup wayang orang,

namun juga memainkan kethoprak seminggu sekali. Di Tulungagung muncul

kelompok kethoprak Gaya Baru Siswo Budoyo pimpinan Ki Siswando

Hardjosuwito.

Pada tahun 2000-an ini, setelah keberadaan kethoprak mulai tergeser arus

modernisasi dan teknologi, muncullah kethoprak humor Sami Aji (kelompok yang

sebagian besar adalah anggota Srimulat) yang menggunakan pendekatan baru

dalam penggarapan, yaitu menampilkan banyak sisi humornya. Kelompok ini

cukup mendapat perhatian dari masyarakat, meskipun sudah beralih bahasa dari

bahasa asli Jawa, menjadi bahasa campuran Indonesia-Jawa. Hal ini tidak lain

karena kelompok ini mendapat dukungan yang cukup kuat dari pihak swasta,

antara lain siaran televisi swasta yang cukup rutin.

PEMBAHASAN

Pendekatan Kethoprak Kepada Masyarakat

Kethoprak, pada masa sekarang lebih bersifat praktis sehingga untuk

mementaskan sebuah pertunjukkan kethoprak tidak lagi harus melalui latihan

maupun peralatan yang rumit. Pementasan kethoprak pada era sekarang oleh para

Page 115: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

108

pelaku kethoprak lebih disederhanakan dalam bentuk penyajian dan

penggarapannya, sesuai dengan kemampuan masing-masing kelompok pelaku

kethoprak.

Apabila kita mencoba mencermati lebih detail, sejak kemuncullan

kethoprak pertama kali sampai sekarang, pergeseran-pergeseran baik dari sisi

garapan ataupun penyajian ini selalu saja terjadi.

Kita amati, kemunculan pertama kali kethoprak yang menggunakan alat

tetabuhan sebuah lesung (kayu utuh dilubang tempat penunbuk padi), sebuah

terbang (rebana) dan sebuah seruling, sudah mengalami perubahan yang

signifikan tiap periodenya, sampai akhirnya menggunakan gamelan Jawa lengkap

dan utuh.

Lakon yang dibawakan pun sudah mengalami perubahan yang sangat luar

biasa. Dari lakon-lakon yang sangat sederhana (kehidupan sederhana kaum

petani), sudah bergeser atau berganti menjadi lakon-lakon yang sangat kompleks,

misalnya sudah mengambil cerita-cerita kerajaan di Jawa (Majapahit,

Blambangan, Demak, Mataram, dsb) maupun cerita-cerita dari negeri manca.

Kesenian memang diciptakan sejalan dengan keadaan zamannya. Untuk

saat-saat ini, di tengah perekonomian yang begitu berat, fungsi kesenian yang

pada awalnya adalah sebagai adat kebiasaan, atau ritual barangkali, sudah

bergeser fungsi menjadi alat atau sarana hiburan. Masyarakat melihat kesenian

sebagai sebuah tontonan yang menghibur, yang bisa melupakan mereka dari

beban kerja maupun beban kebutuhan ekonomi.

Mulai tahun 2000-an, ketika kebutuhan tontonan masyarakat sudah

berfokus pada kesenian sebagai sebuah hiburan yang segar dan dinamis,

kethoprak humor mengalami masa-masa kejayaan. Penonton dimanjakan dengan

hiburan kethoprak ini. Garapan yang membebaskan bahasa, karakter, sikap, dan

penyajian yang cair membuat penonton merasa betul-betul “merdeka” dalam

memberikan apresiasi.

Namun lama-kelamaan, sesuatu yang memang biasanya biasa, terjadi.

Kebosanan akhirnya juga menghinggapi pada diri masyarakat penikmat kesenian.

Page 116: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

109

Cerita yang berulang-ulang, dialog yang terkesan monoton, humor (guyon) yang

sudah dihafali membuat penonton akhirnya jenuh juga.

Berangkat dari hal di atas, nampaknya ada sinyal yang ditangkap oleh

beberapa kelompok kethoprak. Ketika masyarakat sudah jenuh dengan konsep

pertunjukkan seperti ini, termasuk sulit melihat secara langsung (tempat yang

terbatas dan biaya yang mahal), muncullah kelompok-kelompok kesenianlah yang

mengunjungi mereka. Tentu dengan konsep menghibur, gampang dilihat dan

murah!

Salah satu yang menonjol (meskipun belum berskala nasional), adalah

kelompok Thoprak Pendapan. Kelompok kethoprak dari Solo yang dipimpin

Hanindawan ini muncul sebagai sebuah alternatif tontonan. Pergeseran penyajian

dan lokasi pementasan pun mereka lakukan. Mereka tidak memfokuskan diri

berpentas di sebuah gedung kesenian, tetapi “mengunjungi” penonton di tengah-

tengah masyarakat. Kelompok ini tidak selalu memerlukan gedung untuk tempat

pertunjukkan, tetapi cukup perempatan jalan, halaman rumah, lapangan dan

tempat-tempat lain di masyarakat yang mudah untuk didapatkan dan “baru”

sebagai lokasi pertunjukkan.

Konsep “mengunjungi” ini mempunyai banyak kelebihan, diantaranya

adalah tidak mungkin mereka akan ditinggalkan penonton, karena penonton akan

bersikap menghargai kedatangan mereka dengan cara melihat pementasan sampai

berakhir.

Konsep cerita pun mengalami transformasi dan pergeseran. Kelompok ini

menganut konsep cerita yang luwes. Kadang ending pun “semau” mereka. Konsep

cerita yang baru, kadang cerita carangan (fiktif ataupun merupakan sempalan-

sempalan cerita yang sudah ada) kerap mereka gunakan.

Begitu juga dengan konsep gamelan yang mereka gunakan. Tidak selalu

mereka menggunakan gamelan Jawa komplit, namun hanya beberapa gamelan

saja sesuai dengan kebutuhan mereka. Termasuk untuk gendhing-gendhingnya,

yang kadang menggunakan lagu anak, lagu pop, lagu nasional yang mereka gubah

sesuai dengan konsep cerita pada kethoprak ini. Hal-hal tersebut memberikan nilai

rasa yang baru!

Page 117: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

110

Komunikasi yang cair kadang mereka gunakan tidak hanya untuk dialog

antarpemain, tetapi juga dengan penonton. Sahut-sahutan spontan antara penonton

dan pemain membuat pertunjukkan ini menjadi terasa akrab.

Kelompok kethoprak lain yang saat ini menggunakan metode

“mengunjungi” penonton adalah Kethoprak Ngampung Surakarta. Kelompok ini

digawangi oleh anak-anak muda yang merupakan generasi lanjut dari Kethoprak

Balekambang. Konsep “mengunjungi dan tidak memasang tarif” inilah yang

diterapkan oleh penulis dan sutradara Kethoprak Ngampung yaitu Dwi Mustanto

dan dimanajemeni oleh Tatak.

Keampuhan konsep “mengunjungi dan tidak memasang tarif” ini betul-

betul dirasakan oleh kelompok Ngampung ini. Mereka selalu berkeliling dari

kampung ke kampung, kadang juga memenuhi undangan untuk pentas di suatu

tempat tanpa memperhitungkan dengan rumit segi finansialnya. Bagi mereka,

yang penting dana cukup untuk membiayai pementasan itu sudah cukup.

Yang menarik dari konsep yang mereka terapkan ini adalah,

dilatarbelakangi keprihatinan Kelompok Kethoprak Ngampung Surakarta dengan

kurangnya apresiasi generasi muda terhadap kesenian kethoprak. Mereka

berpendapat jarang sekali ada anak muda yang masih mau menggeluti seni

kethoprak sebagai sebuah profesi ataupun hanya sekadar hobi.

Dari keprihatinan hal-hal inilah, anak-anak muda yang masih sangat peduli

dengan kesenian tradisi kethoprak ini mengunjungi masyarakat untuk

mementaskan kethoprak. Kelompok ini juga tidak mempermasalahkan tempat

atau arena untuk bisa pentas. Di gedung mereka senang, di perempatan jalan

mereka juga senang, di pos ronda, di terminal, di balai desa, atau di manapun

tidak menjadi masalah asal bisa untuk menggelar pementasan.

Yang harus diperhitungkan sekarang adalah bagaimana kelompok-

kelompok kesenian kethoprak ini pandai membaca apa yang dibutuhkan

masyarakat. Melihat dan mengamati keseharian terhadap masyarakat harus selalu

dilakukan. Fenomena-fenomena apa saja yang terjadi pada masyarakat harus

selalu diikuti, dan kepekaan sosial nampaknya harus terus diasah oleh para kaum

Page 118: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

111

seniman. Perubahan dan trasformasi harus selalu dilakukan agar suasana

kejenuhan para penonton terhadap seni tradisi kethoprak bisa diminimalkan.

Pendekatan Kesenian Tradisional Kethoprak di Sekolah

Dewasa ini sekolah-sekolah menengah atas (SMA dan SMK) selalu hingar

bingar dengan aktivitas teater modernnya. Mereka selalu rutin menggelar pentas-

pentas teater baik pentas rutin maupun pentas dalam rangka lomba atau festival.

Namun, hal ini tidak terjadi untuk pementasan seni tradisi. Sangat jarang, siswa-

siswa di sekolah mementaskan kesenian drama tradisi, apalagi kethoprak. Ada

beberapa hal mengapa peristiwa ini bisa terjadi.

Pertama, siswa menganggap bahwa pementasan tradisi, baik drama Jawa

maupun kethoprak hanyalah milik kalangan tua saja. Ada semacam jarak yang

tidak terlihat tetapi terasa bahwa ada semacam rasa ketertarikan yang kurang dari

para siswa terhadap kesenian tradisi kethoprak.

Kedua, siswa menganggap bahwa untuk mementaskan kethoprak

memerlukan persiapan yang lebih rumit. Di samping para pelaku harus berlatih

akting dan berdialog dengan bahasa Jawa, mereka juga harus memikirkan musik

pengiringnya, yang sebagian besar menggunakan gamelan yang tidak setiap siswa

bisa memainkannya. Namun, beranjak dari tulisan yang sudah dipaparkan di atas

tentang musik pengiring, bahwa sebenarnya tidak selalu kethoprak harus diiringi

dengan gamelan Jawa. Perkembangan selera jiwa muda sekarang, musik

pengiring gamelan bisa digantikan dengan alat musik modern, misalnya dengan

gitar, drumb atau keyboard. Atau bahkan bisa juga menggunakan alat-alat perkusi

misalnya kendang, jimbe, kentongan atau yang lainnya, yang notabene tidak

serumit seperti ketika menggunakan gamelan.

Ketiga, kurangnya lomba-lomba atau festival drama tradisi Jawa atau

kethoprak. Hal inilah yang mengakibatkan perkembangan seni tradisi baik drama

Jawa maupun kethoprak gaungnya terasa sangat kurang.

Keempat, belum menjadikan sebuah sekolah menjadi tempat pementasan

seni tradisi Jawa atau kethoprak. Andai saja kelompok-kelompok kethoprak atau

seni tradisi Jawa bisa menjadikan sekolah sebagai tempat pementasannya,

Page 119: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

112

tentunya akan memberikan pengaruh bagi para siswa. Paling tidak mereka sudah

melihat pementasan seni tradisi Jawa.

Kelima, pihak sekolah juga kurang greget untuk memperkenalkan dan

mengembangkan seni tradisi yang luhur ini di sekolahnya masing-masing.

Padahal, seni pertunjukkan apapun bentuknya, termasuk kethoprak, adalah salah

satu sarana yang efektif dalam rangka mengenalkan budaya Jawa, membangun

kembali sifat budi perkerti maupun sifat unggah-ungguh di kalangan siswa.

Keenam, tidak dipungkiri bahwa siswa kesulitan untuk mendapatkan

naskah kethoprak. Model-model latihan era dulu, yang hanya menulis garis besar

lalu mengembangkan dialog sendiri, bagi para siswa adalah sebuah kendala.

Sebab mereka adalah pemula, yang masih belajar untuk mengasah kemampuan

berimprovisasi. Maka kehadiran naskah-naskah kethoprak yang sederhana,

tentunya bisa menolong perkembangan seni tradisi Jawa khususnya kethoprak di

sekolah.

KESIMPULAN

Akhirnya, dari berbagai paparan di atas dapat ditarik sebuah simpulan

bahwa dalam memelihara dan mengembangkan kesenian tradisi kethoprak

maupun kesenian Jawa lain diperlukan berbagai upaya dari berbagai pihak. Setiap

individu maupun kelompok yang berusaha mengembangkan seni tradisi ini harus

didukung sepenuhnya, karena tanggung jawab kelangsungan seni tradisi Jawa

apapun bentuknya menjadi tanggung jawab generasi sekarang. Jika tidak dari

sekarang kita memulai memelihara dan mengembangkan seni tradisi Jawa ini, lalu

apa yang akan kita wariskan kepada generasi yang akan datang? Kita tentunya

tidak ingin melihat generasi yang akan datang, melihat seni tradisi Jawa sebagai

sesuatu yang gelap, karena mereka tidak menerima warisan apa-apa dari generasi

sebelumnya.

DAFTAR RUJUKAN

Budi Susanto. 1997. Kethoprak. Yogyakarta: Kanisius

Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. tt. Direktori Seni Pertunjukan

Tradisional

Page 120: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

113

R.M.A. Harymawan. 1988. Dramaturgi. Bandung: CV Rosda.

R.M. Soedarsono. Edisi Ketiga. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sudiro Satoto. 1989. Pengkajian Drama II. Surakarta: UNS Press.

http://njowo.multiply.com/journal/item/860/kethoprak

http://jv.wikipedia.org/wiki/kethoprak

Page 121: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

114

BAHASA IBU

KEPUNAHAN, PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN

Oleh:

Djoko Sulaksono

Pendidikan Bahasa Jawa, FKIP UNS

[email protected]

Abstrak

UNESCO menetapkan hari bahasa ibu jatuh pada tanggal 21 Pebruari. Hal in

menandakan betapa besar perhatian UNESCO kepada bahasa-bahasa ibu yang

tersebar diseluruh penjuru dunia. Bahasa ibu tidaklah sama dengan bahasa daerah,

akan tetapi banyak yang menyamakan arti dari kedua bahasa tersebut. Bahasa

Jawa (sebagai bahasa ibu dan bahasa daerah) mempunyai banyak ragam/jenis

yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda-beda (walaupun

hakikat/fungsi bahasa sebagai alat komunikasi).

Kata kunci: bahasa ibu, kepunahan, pelestarian, pengembangan

PENDAHULUAN

Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Namun, apabila

ditelaah lebih dalam, ternyata bahasa juga mempunyai fungsi yang lain, misalnya

sebagai salah satu sumber nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup

dalam kehidupan. Apa manfaat mempelajari bahasa ? dengan tidak dipelajaripun

(dilingkungan formal) orang tetap bisa berbahasa. Salah satu alasan bahasa

dipelajari yaitu supaya bahasa tidak punah. Ibarat hewan/binatang purba yang

sudah punah maka tidak akan bisa dihidupkan lagi dan yang dapat dilakukan

adalah memperkirakan bentuknya berdasarkan hasil pada fosil-fosil yang

ditemukan. Akankah bahasa ibu/daerah akan mengalami nasib seperti itu ?

Bahasa jawa sebagai salah satu bahasa ibu dan juga bahasa daerah

mempunyai ragam/jenis yang jumlah cukup banyak. Hal ini tentu saja

menandakan “ada yang lain” dalam bahasa tersebut. dan salah satu “yang lain

tersebut” yaitu sebagai salah satu sumber nilai pendidikan budi pekerti. budi

pekerti sama artinya dengan karakter, moral ataupun akhlak, yaitu petunjuk dalam

hal yang baik-buruk, hal yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan yang

Page 122: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

115

menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, orang lain, diri sendiri maupun

lingkungan.

A. Hakikat Bahasa Ibu

Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari beribu-ribu pulau

dan bermacam-macam suku. Sebagai salah satu suku yang ada di Indonesia, suku

Jawa mempunyai bahasa daerah yang disebut bahasa Jawa. Hakikat atau definisi

bahasa ibu tidaklah sama dengan bahasa daerah walaupun secara umum bahasa

ibu seseorang adalah bahasa daerah. Dalam tulisan ini, karena yang akan dibahas

adalah bahasa Jawa, maka diasumsikan bahwa yang dimaksud dengan bahasa ibu

dalam tulisan ini adalah bahasa daerah (Jawa).

Bahasa daerah (vernacular) adalah bahasa yang dipergunakan penduduk

asli suatu daerah, biasanya dalam wilayah yang multilingual; dipertentangkan

dengan bahasa persatuan, bahasa nasional, atau lingua franca (Kridalaksana,

2008: 25). Selanjutnya, bahasa daerah sering diartikan sebagai bahasa ibu,

padahal kedua bukanlah hal yang sama. Mengenai pengertian bahasa ibu,

Kridalaksana, (2008: 26) menyatakan bahwa bahasa ibu (native language, mother

language) adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya

melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, terutama dengan

keluarga dekatnya. Senada dengan pendapat Kridalaksana, Subroto (2013: 8)

menegaskan bahwa bahasa daerah (bd) sering bertumpang tindih dengan bahasa

ibu (mother tongue, mother language, native language). Bahasa ibu adalah bahasa

yang dikuasai oleh seseorang atau sekelompok orang sejak ia mulai belajar

berbahasa untuk berkomunikasi dengan lingkungan terdekatnya (ayah, ibu, kakak,

nenek, kakek, teman bermain, tetangga, dan sebangsanya). Pada umumnya,

bahasa ibu seseorang atau kelompok orang juga merupakan bahasa daerah orang

tersebut. Namun, keadaan ini juga tidak selalu demikian. Seorang anak Jawa

barangkali memiliki bahasa ibu bahasa Inggris kalau ia dilahirkan dan dibesarkan

di lingkungan masyarakat berbahasa Inggris.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa ibu

tidaklah sama dengan bahasa daerah walaupun secara umum bahasa ibu

Page 123: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

116

merupakan bahasa daerah. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang diperoleh

seseorang/kelompok semenjak dilahirkan yang digunakan untuk berkomunikasi

dengan orang-orang terdekat. Sebagai contoh, anak dari suku Jawa karena orang

tuanya lama hidup di Jakarta maka bahasa ibunya bisa saja bahasa Indonesia. Hal

ini bisa disebabkan kedua orang tuanya, dalam kesehariannya selalu

menggunakan bahasa Indonesia padahal suku Jawa mempunyai bahasa sendiri

yaitu bahasa Jawa.

Hari Bahasa Ibu sedunia oleh The United Nations Educational Scientific,

and Cultural Organization (UNESCO) ditetapkan pada tanggal 21 Februari. Hal

ini berdasarkan konferensi pada bulan November 1999 yang dilaksanakan di Paris

(markas UNESCO). Dengan ditetapkannya hari bahasa ibu tentu saja kita

diharapkan untuk berperan dalam usaha pelestarian dan pengembangan suatu ilmu

pengetahuan, khususnya bahasa ibu/daerah. Dalam

www.endangeredlanguages.com sebagaimana dikutip oleh Gonggong (2013: 4)

dinyatakan bahwa “UNESCO memandang pentingnya setiap bangsa menanamkan

kesadaran pendidikan bahasa ibu kepada generasi penerusnya. Di sisi lain,

UNESCO menangkap keprihatinan dunia yang terus kehilangan bahasa-bahasa

ibunya. UNESCO memperkirakan sekitar 3000 bahasa akan punah di akhir abad

ini. Hanya separuh dari jumlah bahasa yang dituturkan oleh penduduk dunia saat

ini yang masih eksis pada 2100 nanti. National Geographic merinci lagi bahwa

ada 1 bahasa ibu di dunia yang punah setiap 14 hari. Di banyak tempat di dunia,

bahasa ibu sedang berjalan menuju kepunahannya.

B. Kepunahan, Pelestarian dan Pengembangan bahasa Ibu/daerah

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai hal-ikhwal yang berkaitan dengan

kepuanahan, pelestarian dan pengembangan bahasa ibu/ daerah.

1. Kepunahan

Bahasa, di samping seperti salah satu cirinya, yaitu berkembang ternyata

juga mengalami kepunahan. Kepunahan/musnahnya suatu bahasa disebabkan oleh

berbagai hal. Demi menjaga bahasa dari kepunahan (termasuk sastra dan budaya),

berbagai cara dan usaha dilakukan, baik oleh pemerintah atau lembaga/instansi,

Page 124: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

117

antara lain memasukan mata pelajaran bahasa daerah pada jenjang SD, SMP, dan

SMA, pendirian Program Studi Pendidikan Bahasa Daerah (Jawa, Sunda, dan lain

sebagainya), seminar, konferensi atau kongres bahasa dan lain sebagainya.

Tanda-tanda kepunahan suatu bahasa dapat dilihat dari gejala-gejala yang

dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu penyebab utamanya adalah

masalah pemakaian. Jumlah pemakai suatu bahasa yang terus berkurang lambat-

laun akan menyebabkan suatu kata atau leksikon akan terus berkurang kemudian

hilang sama sekali.

Selanjutnya kepunahan suatu bahasa bisa berpengaruh pada kebudayaaan

suatu bangsa. Demikian juga pada hal kesastraan, pandangan hidup, budi pekerti,

dan lain sebagainya. Demikian kuatnya pengaruh suatu bahasa maka bahasa ibarat

sentral atau hal yang vital, ketika terjadi sesuatu padanya maka banyak yang

terkena dampak atau akibatnya. Banyak data-data yang menunjukkan tanda-tanda

kepunahan suatu bahasa. UNESCO (Purwo, 2000: 10 dalam Setiadi, 2007: 7)

menyatakan bahwa sepuluh bahasa akan mati setiap tahun. Selanjutnya

dinyatakan bahwa dalam abad ini diperkirakan 50 sampai 90% dari bahasa yang

dituturkan saat ini akan punah. Penjajahan atas negara lain terbukti menjadi

penyebab cepatnya penurunan keanekaragaman bahasa. Misalnya pada akhir abad

ke -18 di Australia terdapat 250 bahasa, tetapi saat ini tinggal 20 bahasa saja.

Brazilia yang memiliki 540 bahasa, sejak penjajahan portugis mulai tahun 1530

telah kehilangan tiga perempatnya (bjeljac-babic dalam Purwo, 2000 dalam

Setiadi, 2007: 7). Berikut akan disampaikan hal-ikhwal yang berpengaruh

terhadap kepunahan dan usaha-usaha pelestarian bahasa.

2. Pelestarian

Usaha pelestarian bahasa Jawa (termasuk sastra, budaya maupun

filsafatnya) dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui jalur formal dan

nonformal. Jalur formal antara lain dengan cara penerapan kurikulum yang

mencantumkan mata pelajaran muatan lokal wajib. Misalnya dalam mata

pelajaran bahasa Daerah (Jawa). Dalam mata pelajaran bahasa Jawa tersebut

secara otomatis akan dipelajari juga sastra maupun kebudayaannya. Dalam jalur

nonformal/nonkependidikan, usaha pelestarian bahasa Jawa dapat dilakukan

Page 125: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

118

dengan berbagai hal, misalnya mewajibkan penggunaan bahasa daerah (Jawa)

pada hari-hari tertentu, dalam pidato-pidato, rapat dan lain sebagainya.

Selain hal-hal tersebut, peran yang sangat besar dalam usaha pelestarian

bahasa Jawa adalah dari orang tua. Orang tua sebagai orang pertama yang

mengajari anaknya berbahasa mempunyai andil yang sangat besar terhadap

pelestarian bahasa Jawa. Mereka tidak perlu khawatir anaknya yang diajari bahasa

Jawa tidak akan bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia akan diajarkan atau

digunakan dalam proses belajar mengajar sehingga si anak akan secara otomatis

bisa menggunakannya. Jalur lain yang sangat berperan dalam usaha pelestarian

bahasa Jawa melalui kesenian-kesenian, baik tradisional maupun modern yang

menggunakan bahasa Jawa, misalnya wayang purwa. Menurut Nurhayati (2009:

77) dalam pertunjukan wayang purwa terdapat 17 tingkat tutur.

Selanjutnya, hal-hal yang menjadikan bahasa Jawa tetap ada sampai

sekarang antara lain adalah sebagai berikut

a. Tradisi kesusastraan Jawa yang sudah berurat dan berakar

b. Pecinta-pecinta bahasa Jawa yang masih cukup banyak dan masih giat

mengusahakan agar bahasa Jawa tetap terpelihara

c. Penutur bahasa Jawa sebagai bahasa ibu yang berjumlah sangat besar

(Poedjasoedarma, dkk. 1979: 2)

Sementara itu, Mardiyanto (2014: v) menyatakan usaha-usaha yang

dilakukan dalam rangka pelestarian bahasa daerah/Jawa antara lain sebagai

berikut

a. Kongres bahasa Jawa I pada tahun 1991

Kongres bahasa Jawa I merupakan terapi yang baik untuk kembali

memahami etika Jawa melalui bahasa Jawa/adat-istiadat/tradisi dengan

kearifan lokal.

b. YSBJ Kanthil (1992 oleh alm. Bapak H. Ismail)

Pada waktu itu oleh gubernur ditugaskan untuk menjalankan hasil

Kongres Bahasa Jawa dan mendorong untuk diadakan Kongres Bahasa

Jawa lagi sampai selanjutnya.

1. Kongres Bahasa Jawa II di Malang/Jawa Timur pada tahun 1996.

Page 126: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

119

2. Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta pada tahun 2001

3. Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang pada tahun 2006

4. Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya pada tahun 20011

Selain hal-hal tersebut di atas, masih terdapat kegiatan-kegiatan lain

dengan tujuan yang sama, antara lain pertemuan ilmiah/seminar pada tahun 2008

yaitu Konferensi Nasional Kebudayaan Jawa di Purwokerto, tahun 2009

Konferensi Nasional Budaya Jawa di Sala, dan pada tahun 2010 diadakan Dialog

Nasional Tentang Jati Diri Bangsa di Semarang (Mardiyanto (2014: V).

Berdasarkan keterangan-keterang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

ketahanan budaya dipengaruhi oeh jati diri suatu masyarakat sehingga segala

sesuatu yang berkaitan dengan “Jawa” misalnya seni, upacara maupun tata cara

akan pas, pantas dan berkualitas jika dilakukan atau diungkapkan dengan bahasa

atau konteks Jawa. Merupakan suatu tanggung jawab masyarakat jawa sendirilah

pemertahanan dan pelestarian bahasa, sastra dan budaya Jawa disertai dengan

dukungan dari pemerintah atau pihak-pihak terkait. Hal ini dapat dilakukan

dengan hal yang paling mendasar antara lain dengan mengajari anak-anak atau

keturunan kita, dimulai dari rumah atau ranah keluarga untuk menggunakan

bahasa Jawa krama/krama inggil.

Selanjutnya dalam hal pengajaran di lembaga formal. Pengajaran

hendaknya difokuskan pada penggunaan bahasa krama dan krama inggil. Jangan

sampai mata pelajaran bahasa Jawa penyampaiannya malah menggunakan selain

bahasa Jawa. salah satu langkah untuk mendukung program tersebut adalah mata

pelajaran bahasa Jawa/daerah dijadikan mata pelajaran wajib yang didukung oleh

pengajar-pengajar yang berkompeten dalam bidang bahasa Jawa.

3. Strategi Pengembangan

Sumarlam (2009: 84-86) menyatakan beberapa pendapat/anggapan

sebagian anggota masyarakat berkaitan dengan kendala-kendala dan hambatan-

hambatan dalam memelihara dan mengembangkan budaya daerah antara lain (a)

Ada sementara anggapan bahwa mempelajari bahasa dan budaya daerah adalah

kuno dan tidak banyak memberikan manfaat, karena peluang kerja dalam bidang

itu sangat terbatas, lebih-lebih pada zaman modern seperti sekarang ini, (b)

Page 127: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

120

sempitnya wadah yang dapat menampung lulusan sarjana-sarjana bahasa dan

budaya daerah sehingga menimbulkna rasa pesimis bagi orang yang akan terjun di

dalamnya, (c) belum begitu seriusnya media massa, baik TV, radio, surat kabar,

dan majalah yang memberikan adanya hiburan dan wisata intelektual dengan

berbasis pada bahasa dan budaya daerah, (d) belum tersedianya subsidi dari

pemerintah daerah bagi para budayawan yang menekuni dan mengembangkan

kebudaaan daerahnya, (e) dalam kaitannya dengan bidang pendidikan, alokasi jam

pelajaran yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pengembangan bahasa dan

budaya daerah sebagai muatan lokal hanya mendapat alokasi waktu yang sangat

minim, yaitu 2 jam pelajaran setiap minggunya, (f) belum adanya jaringan

bersama semacam komunikasi formal yang tetap diberbagai daerah yang dapat

dijadikan sebuah forum untuk membahas dan merekomendasikan upaya

pemeliharaan dan pengembangan bahasa dan budaya daerah (g) kuatnya pengaruh

bahasa dan budaya asing (bahasa dan budaya barat) terhadap kehidupan bahasa

dan budaya daerah sehingga mengakibatkan semakin terdesaknya eksistensi

bahasa dan budaya daerah tersebut, dan (h) kendala-kendala dan hambatan-

hambatan lainnya dalam memelihara dan mengembangakan bahasa dan budaya

daerah yang ada di nusantara

Selanjutnya, berkaitan dengan beberapa masalah tersebut di atas, strategi-

strategi pengembangan yang dapat dilakukan antara lain (a) perlu disadari

bersama bahwa substansi Indonesia adalah pluralitas, (b) perlu membentuk

wadah-wadah baru yang dapat menampung para pekerja budaya daerah sehingga

menumbuhkan rasa optimis bagi orang yang akan terjun di dalamnya, (c) perlu

disediakan hiburan dan wisata intelektual bahasa dan budaya daerah dengan cara

menerbitkan buku-buku cerita, novel, majalah, Koran bermedia bahasa daerah;

serta pengemasan acara TV dan radio yang berbasis pada bahasa dan budaya

daerah yang dapat menimbulkan rasa bangga memiliki bahasa dan budaya daerah

bagi komunitas pendukungnya, (d) diperlukan subsidi dari pemerintah daerah/kota

kepada para sarjana yang sungguh-sungguh berminat mengkaji, mendalami, dan

mengembangkan kebahasaan dan kebudayaan daerah, (e) menambah alokasi

waktu pelajaran muatn lokal dari 2 jam pelajaran menjadi minimal 4 jam pelajaran

Page 128: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

121

dalam setiap minggunya, (f) perlu dirintis dan dibentuk jaringan bersama atau

lembaga formal di berbagai daerah yang mempunyai wewenang untuk

memelihara dan mengembangkan bahasa-bahasa dan budaya-budaya daerah yang

terdapat di Indonesia, (g) perlu adanya “politik budaya nasional” yang

merencanakan dan mengatur pembinaan dan pengembangan budaya daerah,

budaya nasional, dan budaya asing sedemikian rupa sehingga ketiga budaya

tersebut dapat hidup dan berkembang di Indonesia seseuai dengan fungsi dan

kedudukannnya masing-masing, dan (h) resolusi pemikiran dan strategi lainnya

yang memungkinkan berkembangnya bahasa-bahasa dan budaya-budaya daerah di

Indonesia perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh (Sumarlam, 2009:

86-88).

KESIMPULAN

Berdasarkan beberapa data di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

berbagai faktor yang menjadi kendala pengembangan bahasa dan budaya

daerah/Jawa. Adapun faktor-faktor tersebut memang berupa fakta atau hanya

suatu anggapan yang belum tentu jelas kebenarannya. Sebagai contoh pada

pernyataan “(a) ada sementara anggapan bahwa mempelajari bahasa dan budaya

daerah adalah kuno dan tidak banyak memberikan manfaat, karena peluang kerja

dalam bidang itu sangat terbatas, lebih-lebih pada zaman modern seperti sekarang

ini, (b) sempitnya wadah yang dapat menampung lulusan sarjana-sarjana bahasa

dan budaya daerah sehingga menimbulkna rasa pesimis bagi orang yang akan

terjun di dalamnya”. Apabila kita baca sekilas kedua pernyataan di atas, mungkin

memang benar tetapi apabila kita renungkan dalam-dalam mungkin akan berbeda.

Banyak peluang terbuka apabila kita mau bersungguh-sungguh mempelajari

bahasa, budaya dan sastra daerah, salah satunya menjadi pambiwara atau MC.

Profesi menjadi pambiwara merupakan profesi yang masih jarang digeluti padahal

dengan semakin meningkatnya jumlah manusia tentu saja akan semakin banyak

upacara-upacara yang membutuhkan pambiwara.

Selanjutnya pada pernyataan (b) mengenai “sempitnya wadah yang dapat

menampung lulusan sarjana-sarjana bahasa dan budaya daerah sehingga

Page 129: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

122

menimbulkna rasa pesimis bagi orang yang akan terjun di dalamnya”. Sebenarnya

banyak tempat yang membutuhkan sarjana-sarjana dari lulusan sarjana-sarjana

bahasa dan budaya daerah, misalnya pengajar/guru, pambiwara, wartawan,

penerbit, balai bahasa, konsultan pendidikan, dan lain sebagainya. Pada saat

perkuliahan, mungkin mahasiswa sudah memilih salah satu mata kuliah pilihan

dari beberapa yang ditawarkan, misal penyiaran, jurnalistik dan penyuntingan.

Mata kuliah tersebut untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan-

keterampilan khusus seperti penyiar, wartawan, dan editor

DAFTAR RUJUKAN

Gonggong, Anhar. 2013.”Bahasa Ibu/Daerah: Permenungan Sejarah, Kaitannya

dengan “Pembentukan” Karakter. Makalah dibentangkan pada Seminar

Nasional Bahasa Ibu “Bahasa Daerah Sebagai Sumber Kearifan Bangsa”

yang diselenggarakan oleh Panitia Dies Natalis FKIP UNS pada tanggal

20 April 2013.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Mardiyanto. 2014.”Apakah kita Perlu Murwakala atau un Declare War?. Makalah

dibentangkan pada seminar nasional “Eksistensi Bahasa Daerah di

Tengah Budaya Global” yang diselenggrakan oleh Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, FKIP UM Purworejo pada tanggal

10 Mei 2014.

Moeliono, Anton. 1981. Pengembangan dam Pembinaan Bahasa. Jakarta:

Jambatan.

Nurhayati, Endang. 2009. Sosiolinguitik: Kajian Kode Tutur dalam Wayang Kulit.

Yogyakarta: Kanwa Publisher.

Poedjasoedarma, Soepomo, dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Setiadi, Putut. 2007. “Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa dalam Kerangka

Budaya Sebagai Bagian dari Upaya Pelestarian Kebudayaan dan Bahasa

Jawa”. makalah dibentangkan pada seminar nasional “Pembelajaran

Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya” yang diselenggrakan

oleh Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, FBS UNY, 08 september 2007.

Page 130: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

123

Subroto, Edi. 2013: 8. “Upaya Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Jawa dalam

Konteks Pembelajaran di Sekolah”. Makalah dibentangkan pada Seminar

Nasional Bahasa Ibu “Bahasa Daerah Sebagai Sumber Kearifan Bangsa”

yang diselenggarakan oleh Panitia Dies Natalis FKIP UNS pada tanggal

20 April 2013.

Sumarlam . 2009. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Budaya. Surakarta:

Jurusan Sastra Daerah, FSSR UNS.

Page 131: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

124

OPTIMALISASI POTENSI KEARIFAN LOKAL BAHASA DAN BUDAYA

JAWA SEBAGAI STRATEGI PENINGKATAN NILAI BUDI PEKERTI

DAN PENGUATAN JATI DIRI DALAM MENYONGSONG MEA

Oleh:

Favorita Kurwidaria, S,S., M.Hum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrak

Di dalam mengahadapi era pasar bebas MEA, maka tidak terlepas dari adanya peluang,

tantangan dan hambatan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia. Bagi masyarakat

Jawa pada khususnya, peluang, tantangan dan hambatan tersebut dapat dihadapi dengan

kembali merujuk pada potensi bentuk-bentuk dan nilai kearifan lokal budayanya,baik

yang berwujud bahasa, sastra maupun bentuk budaya lainnya. Hal ini dimaksudkanselain

untuk melestarikan bentuk kebudayaan Jawa juga memaksimalkan kekayaan yang ada

dalam budaya lokal untuk dapat diangkat dan didayagunakan dalam menghadapi era

Masyarakat Ekonomi Asean.

Kata kunci: potensi kearifan lokal Jawa dalam MEA, kearifan lokal bahasa dan sastra

Jawa, penguatan jatidiri

PENDAHULUAN

Berbicara mengenai Masyarakat Ekonomi Asean tentu akan memberikan

kesan bagisetiap orangtentanghadirnya sebuah tantangan baru, persaingan,

kecanggihan teknologi, serta mobilitas manusia secara bebas. Masyarakat

Ekonomi Asean yang selanjutnya disingkat MEA merupakan istilah untuk

menyebut pembentukan pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara. Kebijakan ini

dibentuk dengan tujuan agar stabilitas ekonomi dan daya saing negara-negara di

kawasan Asia Tenggara dapat meningkat, sehingga dapat sejajar dengan negara

yang telah maju secara ekonomi, seperti Cina, Korea dan India. Salah satu

upayanya yaitu dengan menarik investor-investor asing agar mau menanamkan

modalnya di negara tersebut. Mekanismenya, pasar bebas ini tidak hanya

memperjualbelikan barang dan jasa saja akan tetapi juga membuka peluang bagi

masuknya tenaga kerja asing dari maupun ke Indonesia. Tidak terkecuali tenaga

profesional, seperti pengacara, teknisi, tenaga medis, bahkan sampai tenaga

pendidik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam era pasar bebas MEA,

Page 132: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

125

persaingan di dunia kerja akan semakin ketat, sehingga tuntutan kualitas SDM

juga semakin meningkat.

Dengan diberlakukannya kebijakan MEA sejak akhir tahun 2015, masyarakat

Indonesia dituntut untuk segera dapat mempersiapkan dirinya dalam menghadapi

era pasar bebas tersebut. Tuntutan yang diperlukan tidak hanya pada peningkatan

aspek produk yang bernilai ekonomi, baik berupa barang, jasa, maupun investasi

lainnya, akan tetapi juga kesiapan dan kemampuan dari segi mentalitas dan

kualitas SDM. Apabila sumber daya manusianya berkualitas, maka akan lebih

siap menghadapi tantangan maupun persaingan dalam bentuk apapun.

Sebenarnya berlakunya kebijakan MEA ini dapat menjadi momentum serta

peluang pemerintah dan masyarakat, untuk dapat mendayagunakan kembali

potensi kearifan lokal budaya daerahnya. Hal ini diperlukanagar masyarakat tidak

mudah terbawa arus dan pengaruh budaya asing yang masuk dan mengikis budaya

kita. Selain itu pemanfaatan potensi budaya lokal juga berfungsi sebagai sumber

kearifan yang dapat dijadikan pedoman untuk meningkatkan nilai budi pekerti dan

karakter dalam memperkuat jatidiri bangsa.

Salah satu aspek utama yang mampu mendukung kualitas SDM adalah sikap

mental dan kepribadian yang dimiliki oleh seorang individu. Koentjaraningrat

(2004:26) memberikan batasan sikap mental sebagai suatu disposisi atau keadaan

jiwa di dalam diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya. Sikap

ini biasanya dipengaruhi oleh nilai budaya, dan sering juga bersumber kepada

sistem nilai budaya. Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan

keragaman dan kekhasannya baik yang berwujud bahasa, sastra, maupun bentuk

budaya lainnya, sesungguhnya merupakan sumber-sumber kearifan yang

mengandung nilai-nilai kehidupan, baik religi, sikap moral, sosial, etika, serta

pendidikan, yang sesuai dengan jatidiri dan kehidupan bangsa.

Khasanah budaya Jawa yang termasuk di dalamnya bahasa dan sastra,

merupakan produkbudaya yang sangat bernilai dan potensial untuk dapat

didayagunakan dalam menghadapi era MEA. Dapat dikatakan demikian karena

produk budaya tersebut memiliki keanekaragaman bentuk yang bersumber dari

sistem nilai dan kearifan masyarakat Jawa itu sendiri. Selain itu produk budaya itu

Page 133: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

126

juga bersifat khas, yang belum tentu dimiliki oleh negara atau bangsa lain.

Adapun wujud kebudayaan menurut J.J. Hoeningman (dalam Koentjaraningrat,

2000: 186) yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak.Masyarakat Jawa memiliki ketiga

wujud tersebut. Budaya yang berwujud artefak mengacu pada sesuatuyang

konkret, dapat dilihat, diraba, dan didokumentasikan, yaitu seperti keraton, batik,

naskah tradisional Jawa, tari-tarian, alat musik tradisional, dan sebagainya.

Sedangkan yang berupa aktivitas mengacu pada sesuatu yang merupakan tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan

sistem sosial.Dalam budaya Jawa wujud budaya yang berupa aktivitas misalnya

tradisi bersih desa, gugur gunung, serta upacara-upacara adat Jawa. Gagasan

mengacu pada kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, pemikiran, nilai-

nilai, norma-norma yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud

gagasan ini seperti: ungkapan tradisional, sastra lisan/cerita rakyat, peribahasa,

gugon tuhon, kawruh basa, unggah-ungguh basa Jawa dan sebagainya.

Ketiga wujud budaya Jawa tersebutdapat dipotensikan dan didayagunakan

dalam upaya peningkatan ekonomi kreatif serta moral dan budi pekerti dalam

rangka menghadapi MEA. Wujud budaya yang bersifat konkret misalnya, dapat

dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis. Sedangkan

wujud budaya yang bersifat abstrak, dapat dijadikan sebagai sumber nilai kearifan

dan budi pekerti yang dapat diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai

modal dalam peningkatan kualitas SDM.

Pembelajaran bahasa Jawa juga dapat menjadi sarana strategis dalam

pengintegrasian nilai-nilai budi pekerti dan penguatan karakter siswa, karena

dalam pembelajaran bahasa Jawa terkandung nilai kearifan budaya yang dekat

dengan kehidupan sehari-hari siswa sehingga bersifat aplikatif. Namun demikian,

generasi muda saat ini cenderung menganggap pembelajaran bahasa Jawa sulit,

tidak menyenangkan bahkan tidak penting. Hal ini tentunya menjadikan tantangan

bagi para pendidik untuk dapat mengembangkan pembelajaran bahasa Jawa, agar

tidak hanya berimplikasi pada aspek kognitif, namun juga aspek afektif dan

psikomotorik. Salah satunya yaitu dengan menggali potensi-potensi kearifan lokal

yang ada dalam budaya Jawa, baik berupa bahasa, sastra maupun bentuk budaya

Page 134: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

127

lainnya. Dengan demikian pembelajaran bahasa Jawa dapat memberikan andil

nyata bagi upaya peningkatan nilai budi pekerti dan karakter siswa.

A. Pembahasan

Di dalam menghadapi era pasar bebas MEA, maka tidak terlepas dari adanya

peluang, tantangan dan hambatan. Bagi masyarakat Jawa pada khususnya,

peluang, tantangan dan hambatan tersebut dapat dihadapi dengan kembali

merujuk pada nilai budaya serta kearifan lokal Jawa. Hal ini dapat dimengerti

karena nilai tersebut berasal dari nilai budaya Jawa yang khas yang belum tentu

dimiliki oleh bangsa/negara lain.

Kearifan lokal yang sering disebut dengan kebijakan setempat (local widom),

pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius),

merupakan perangkat pengetahuan dan praktek-praktek pada suatu komunitas–

baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari

pengalamannya, berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk

menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi,

yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak (Ahimsa-Putra, tt:5).

Kearifan lokal budaya Jawa pada umumnya dapat dilihat melalui pemahaman

dan perilaku masyarakat Jawa. Pemahaman dan perilaku itu dapat dilihat melalui:

(1) norma-norma lokal yang dikembangkan, seperti laku Jawa, pantangan dan

kewajiban, (2) ritual dan tradisi masyarakat Jawa serta makna di baliknya, (3)

lagu-lagu rakyat, legenda, mitos, dan cerita rakyat Jawa yang biasanya

mengandung pelajaran atau pesan-pesan tertentu yang hanya dikenali oleh

masyarakat Jawa, (4) informasi data dan pengetahuan yang terhimpun pada diri

sesepuh masyarakat, pemimpin spiritual, (5) manuskrip atau kitab-kitab kuno

yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa, (7) cara-cara komunitas lokal

masyarakat Jawa dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari, (8) alat dan bahan

yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu, dan (9) kondisi sumber daya alam

atau lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari

(Sartini, 2004). Untuk dapat mengetahui potensi kearifan lokal yang dapat

dikembangkan dalam upaya peningkatan nilai budi pekerti, penguatan jatidiri

sekaligus peluang ekonomi bagi masyarakat, maka perlu diuraikan lebih lanjut.

Page 135: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

128

Potensi Kearifan Lokal dalam Bahasa Jawa

Salah satu permasalahan yang cukup urgent dalam bidang perdagangan bebas

yang terjalin antarsuku, budaya dan negara adalah aspek bahasa. Bahasa

merupakan sarana komunikasi terpenting dalam hubungan antarindividu dan

masyarakat. Nababan (1986:49) menyatakan bahawa fungsi bahasa yang paling

utama adalah sebagai alat komunikasi sesama manusia, sebab tanpa komunikasi

sosial, sistem kemasyarakatan tidak akan terwujud.

Adanya mobilitas manusia yang akan keluar masuk Indonesia, tentulah

berdampak pada masalah pemakaian bahasa. Selama ini bahasa yang digunakan

dalam kegiatan komunikasi dengan orang asing adalah bahasa Inggris. Hal ini

dapat dimengerti karena bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa internasional

yang pemakaiannya paling luas, termasuk di kawasan Asean. Namun demikian,

bahasa Indonesia sebenarnya justru dapat berpeluang menjadilingua franca di

wilayah Asia Tenggara, mengingat penutur bahasa Indonesia menduduki urutan

paling banyak dari negara lain di kawasan Asean.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional memegang peranan penting dalam

hubungannya dengan kontak bahasa antarnegara, akan tetapi eksistensi dari

bahasa daerah juga tidak dapat dikesampingkan. Hal ini mengingat bahwa bahasa

Indonesia telah banyak menyerap kosakata dari bahasa Jawa.Bahasa Jawa

memiliki keragaman jumlah leksikon, yang tidak semuaterdapat padanannya

dalam bahasa Indonesia. Misalnya leksikon dalam taksonomi binatang, tumbuhan,

dalam bidang kesehatan, pertanian, sikap hidup masyarakat, dan lain-lain. Dalam

bidang kesehatan misalnya, terdapat leksikon “tindhien”untuk menyebut

gangguan psikologi saat tidur atau yang disebut sleep paralysis, “beleken” yang

bermakna iritasi pada mata atau istilah medis disebut konjungtivitis. Istilah

tersebut memiliki padanan dalam bahasa Inggris sertaistilah medis, akan tetapi

tidak terdapat padanannya dalam bahasa Indonesia. Selain itu tidak semua

masyarakat Indonesia mengetahui istilah medis tersebut. Apabila istilah itu dapat

diserap oleh bahasa Indonesia, maka akan dapat menambah kekayaan kosakata

bahasa Indonesia serta mendukung proses komunikasi berbahasa yang efektif.

Page 136: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

129

Dengan demikian, bentuk-bentuk leksikon bahasa Jawa lainnya, yang

mungkin tidak terdapat padanannya dalam bahasa Indonesia, memiliki peluang

untuk dapat diserap oleh bahasa Indonesia, sehinggatidak berlebihan jika

dikatakan bahwa bahasa Jawa dapat berperansebagai salah satu pendukung atau

pemerkaya bahasa Indonesia.

Keragaman dan keunikan bahasa Jawa juga telah diakui dunia internasional.

Hal ini terbukti dari banyaknya orang asing yang berminat untuk belajar bahasa

Jawa. Salah satunya yaitu di Australian National University, yang membuka mata

kuliah bahasa Jawa. Dalam Artikel Radio Australia tanggal 13 Maret 2015(Error!

Hyperlink reference not valid.), sebagian besar mahasiswa menuturkan bahwa

“Belajar bahasa Jawa tidak hanya memberi wawasan budaya tapi juga membuat

kita lebih di hargai, terutama saat berbicara dengan kemampuan yang sangat

dasar. Bahasa Jawa adalah bahasa yang penuh rasa hormat”. Pernyataan tersebut

menyiratkan bahwa dalam bahasa Jawa mengandung muatan sikap santun dalam

berbahasa. Hal ini dapat dipahami karena dalam bahasa Jawa terdapat ragam

unggah-ungguh basa. Jika seseorang berbicara kepada mitratutur yang lebih tua,

maka menggunakan leksikon krama untuk menghormati mitra tutur tersebut.

Dengan demikian, seorang penutur bahasa Jawa, harus dapat menyeleksi

pemilihan kata (diksi) yang tepat untuk mengungkapkan gagasan/pesan yang

disampaikan kepada mitra tuturnya. Ia harus memperhatikan dengan siapa lawan

bicaranya, konteks, serta latar belakang penutur/mitra tutur. Hal ini mengandung

nilai kearifan mengenai perilaku kesantunan dan menghargai orang lain di dalam

proses komunikasi. Sikap dan perilaku yangdemikian, apabila telah menjadi

sebuah kebiasaan, maka akan berpengaruh pada kemampuan dalamberkomunikasi

serta bersosialisasi dengan orang lain. Ia akan lebih santun,

menghormati/menghargai orang lain, sertamudah untuk memahami

konteks/situasi komunikasi. Permasalahan ini tentulah sangat diperlukan oleh

masyarakat dalam menghadapi era keterbukaan seperti pasar bebas MEA, dimana

dibutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan komunikasi serta kesantunan

sikap yang baik yang menjadi ciri dari kualitas SDM.

Page 137: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

130

Peran dan potensi bahasa Jawa dalam era pasar bebas memang tidak dapat

dikesampingkan. Selain menjadi salah satu pendukung atau pemerkaya bahasa

Indonesia, serta sikap santundalam berbahasa, bahasa Jawa juga memiliki

keunikan dan kekhasan ragam dan bentuk. Keunikan dan kekhasan itulah yang

telah membuat Google, perusahaan multinasional dibidang internet memberikan

lisensi untuk menambahkan terjemahan bahasa Jawa pada perangkat Google

translete mereka. Hal ini dapat menjadi sumber motivasi para generasi muda

untuk lebih berminat mempelajari dan melestarikan bahasa daerahnya, serta

memiliki kebanggaan terhadap budayanya.

Keunikan dan kekhasan kosakata bahasa Jawa juga berpotensi memacu

peningkatan produk lokal. Para produsen barang dan jasa lokal dapat

menggunakan istilah-istilah/leksikon bahasa Jawa dalam brand/merk produk

mereka untuk memberikan ciri khas produk lokal daerahnya. Hal ini selain dapat

mengangkat eksistensi bahasa Jawa, juga dapat menunjukkan kekhasan produk

lokal Jawa tersebut. Misalnya kata„wedang‟yang dalam Bausastra Jawa

(2011:776) bermakna air rebusan; air panas. Makna kata wedang ini lebih

spresifik dari kata minuman/air minumdalam bahasa Indonesia. Kata

„wedang‟berciri disajikan dalam keadaan panas/hangat, sehingga tidak bisa

dipakai untuk menyebut wedang dhawet yang biasa disajikan dalam keadaan

dingin. Melalui ekspresi linguistik dengan leksikon tersebut, terdapat beragam

jenis wedang yang ada di masyarakat Jawa, seperti wedang jahe, wedang ronde,

wedang asle, wedang uwuh, wedang bajigur, wedang bandrek, wedang dongo,

yang kesemuanya terbuat dari bahan herbal dan disajikan dalam keadaan

hangat/panas. Dengan kata wedang, yang dapat memberikan ciri lebih spesifik

dari kata „minuman‟ dalam bahasa Indonesia, serta beragam jenisnya itu, dapat

didayagunakan dalam brand produk lokal unggulan masyarakat Jawa yang dapat

memberikan ciri budaya lokal yang khas. Brand tersebut saat ini juga telah

diadopsi oleh produk nasional seperti wedang Nutrisari yang terbuat dari sarijahe

dan sereh, dengan ciri spesifiknya harus disajikan dalam keadaan panas. Hal ini

dapat menunjukkan potensi kekayaan kuliner Jawa yang bersumber dari kearifan

lokal budaya masyarakat Jawa.

Page 138: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

131

Kearifan lokal dalam bahasa Jawa juga tampak dalam ekspresi lisan yang

berwujud tuturan taklangsung, yaitu penyampaian tuturan secara tersirat

(implicated). Salah satu bentuk tuturan tak langsung adalahperibahasa. Triyono

dkk (1988:3) memberikan batasan peribahasa sebagai suatu ungkapan kebahasaan

yang pendek, padat dan berisi pernyataan, pendapat, atau satu kebenaran umum.

Peribahasa dalam bahasa Jawa mencakup saloka, bebasan, paribasan, pepindhan,

sanepa, dan isbat. Dalam kesusastraan Jawa, paribasan termasuk dalam

kesusastraan tradisional yang berbentuk gancaran (Subalidinata, 1994:7). Sebagai

ungkapan yang padat, peribahasa dalam bahasa Jawa mengandung nilai-nilai

kearifan lokal serta pendidikan yang dapat didayagunakan sebagai cerminan sikap

hidup dan nilai moral masyarakat Jawa dalam membentuk budi pekerti dan

karakter luhur. Sebagai satu pegangan hidup, nilai-nilai itu lazim diungkapkan

secara tidak langsung atau dalam bentuk perumpamaan. Misalnya: “golek banyu

apikulan warih, golek geni adedamar”, yang bermakan, mencari air berbekal

pikulan air, mencari api berbekal pelita. Pada contoh tersebut, sifat

ketaklangsungan digambarkan denganpikulan warih „pikulan air‟dan adedamar

„berpelita‟ sebagai syarat untuk tindak golek banyu „mencari air‟ dan golek geni

„mencari api‟.Peribahasa ini dapat dimaknai, jika seseorang ingin dapat meraih

cita-cita, menggapai tujuan atau kesuksesan, maka ia harus memiliki bekal, baik

yang berupa ilmu maupun keterampilan yang mumpuni. Hal ini bertujuan agar

cita-cita dan harapandapat tercapai secara optimal. Peribahasa ini sangat relevan

jika dihayati oleh para generasi muda saat ini, dimana, banyak pemuda yang

menggantungkan cita-cita yang tinggi tapi malas dalam berusaha atau mencari

bekal awalnya, akhirnya justru menggunakan jalan pintas. Peribahasa tersebut

hanya merupakan salah satu dari sekian banyak contoh lainnya.

Potensi Kearifan Lokal dalam Kesusastraan Jawa

Potensi kearifan lokal budaya Jawa selain dapat digali dari aspek

bahasanya, juga dapat ditemukan dari berbagai ragam karya sastra. Berdasarkan

bentuknya, karya sastra dapat dibagi menjadi sastra lisan dan sastra tertulis.

Masyarakat Jawa memiliki kedua jenis sastra tersebut. Salah satu bentuk dari

sastra lisanadalah cerita rakyat. Cerita rakyat sebagai bagian dari foklore dapat

Page 139: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

132

dikatakan menyimpan sejumlah informasi mengenai sistem budaya, filsafat,

norma, serta perilaku masyarakat. Apabila ditelaah lebih jauh, cerita rakyat

sesungguhnya mengandung nilai kearifan, terutama nilai-nilai budi pekerti dan

ajaran moral. Kearifan lokal yang ada dalam cerita rakyat menyangkut moral

maupun etika yang ditunjukkan melalui; apa yang dialami oleh tokoh-tokohnya,

konflik, perjuangan hidup, maupun cara tokoh dalam menyikapi permasalahan.

Cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Jawa, sebagian besar berkaitan

dengan eksistensi/keberadaan tempat atau asal usul tempat tertentu, seperti candi,

gua-gua, sendhang, desa, gunung, laut, serta makam. Hal ini tidak terlepas dari

pandangan hidup masyarakat masa lampau, yang menganggap bahwa tempat-

tempat tersebut memiliki penghuni atau penunggu yang merupakan cikal bakal

keberadaan tempat itu. Penghuni atau penunggu ini biasanya berwujud tokoh atau

makhluk-makhluk yang memiliki kekuatan ghaib/supranatural, sehingga

seringkali tempat-tempat itu dikeramatkan dan dianggap suci. Misalnya dalam

cerita rakyatsendhang Senjoyo, Rara jonggrang, Nyi Rara Kidul, Jaka Poleng,

Ajisaka, Kawah Sikidang, Dewi Sri, Rawa pening dan lain sebagainya.

Adanya tokoh-tokoh yang diyakini memiliki kekuatan ghaib serta dianggap

suci oleh masyarakat setempat, seringkali memunculkan mitos yang berupa

larangan, anjuran, atau perintah yang sifatnya turun temurun dari nenek moyang

mereka. Hal ini membuat masyarakat di daerah sekitar cenderung tunduk

mematuhinya serta tidak berani melanggar, karena dipercaya akan mendatangkan

keburukan bagi dirinya. Misalnya saja cerita rakyat sendhang kunti, di daerah

Boyolali. Dalam cerita tersebut terdapat mitos yang berupa larangan tidak boleh

menebang/merusak pepohonan di daerah sekitar sendhang. Masyarakat di daerah

setempat maupun pendatang, tidak akan berani melanggar aturan tersebut karena

dipercaya akan mendatangkan keburukanatau marabahaya. Hal ini sebenarnya

mengandung sebuah kearifan lokal, yaitu menciptakan cara berperilaku yang

sejalan dengan prinsip konservasi alam. Dengan tidak menebang pohon-pohon di

sekitar sendang, maka ketersediaan dan kemurnian air di tempat itu akan tetap

terjaga, sehingga hal ini dapat menjadi langkah konkret bagi upaya pelestarian

ekosistem alam.

Page 140: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

133

Keberadaan cerita rakyat yang digerakkan oleh tokoh-tokoh dalam cerita,

mengandung nilai kearifan yang dapat dijadikan pembelajaran dalam kehidupan,

seperti nilai patriotisme, semangat berjuang, rela berkorban, laku prihatin, nilai

religius serta nilai moral. Nilai-nilai tersebut dapat menjadi sebuah cerminan yang

dapat diteladani dalam menghadapi persaingan, globalisasi dan modernisasi

dewasa ini. Sikap mental dan budi pekerti yang demikian tentulah sangat

diperlukan masyarakat Indonesia.

Cerita rakyat daerah sesungguhnya juga menyimpan potensi sebagai

penggerak pariwisata daerah. Cerita rakyat yang berkaitan dengan tempat-tempat

tertentu, memiliki potensi pengembangan untuk konservasi alam serta aset

pariwisata. Pemerintah daerah dapat mengupayakannya dengan melakukan

sosialisasi cerita rakyat melalui tulisan baik dalam bentuk buku, artikel di media

massa, media sosial internet, maupun seminar-seminar. Hal ini bertujuan untuk

lebih memperkenalkan cerita rakyat daerah. Apabila cerita tersebut telah banyak

dikenal/diketahui masyarakat luas, maka akan dapat menarik antusiasme orang

untuk datang langsung ke tempat tumbuh dan berkembangnya cerita tersebut.

Demikian juga dengan cerita rakyat yang berkaitan dengan ritual atau upacara

adat tertentu, seperti:grebeg Maulud di Surakarta, ruwatan rambut gembel di

daerah Wonosobo dan lain-lain. Ritual adat ruwatan rambut gembel didasari pada

tradisi lisan masyarakat mengenai keistimewaan dari anak yang berambut gembel.

Anak yang berambut gembel dipercaya merupakan keturunan dari Kyai Kaladite,

tokoh yang dianggap nenek moyang masyarakat Dieng. Anak tersebut harus

diruwat dengan upacara adatruwatan. Dengan adanya upacara ruwatan, maka

akan menarik minat wisatawan lokal maupun mancanegara, untuk dapat

menyaksikan langsung prosesi adat tersebut. Dengan demikian, maka infrastruktur

dan fasilitas yang diperlukan oleh wisatawan akan menjadi meningkat

permintaannya, misalnya: penginapan, rumah makan, jasa angkutan, jasa

dokumentasi, souvenir khas daerah, dan lain-lain. Hal ini tentunya dapat

menggerakkan roda perekonominan masyarakat dan menjadi sebuah peluang

kreatif untuk dapat dikembangkan sebagai manifestasi daerah yang berbasis pada

budaya lokal.

Page 141: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

134

Kearifan lokal budaya Jawa juga banyak ditemukan dalam kesusastraan

tradisional Jawa dalam bentuk tertulis. Naskah-naskah Jawa yang memuat

pemikiran, sikap hidup, dan sistem budaya, merupakan bukti fisik adanya sumber

pengetahuan nenek moyang pada masa lampau. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Widyastuti (2014) mengenai naskah Jawa yang menyimpan

informasi tentang pengobatan tradisional, diungkapkan bahwa terdapat naskah-

naskah Jawa yang mengandung informasi fitotherapi atau pengobatan tradisional

Jawa dengan tumbuhan dan hewan. Hal ini merupakan buah dari pemikiran nenek

moyang yang merupakan kearifan lokal masa lampau. Beraneka makanan dan

obat tradisional tersebut dapat dipotensikan dan dikembangkan sedemikian rupa,

agar dapat menjadi produk lokal unggulan yang bernilai jual.

Di dalam naskah-naskah Jawa terkandung ungkapan-ungkapan (paribasan),

yang memiliki nilai-nilai filsafat, budaya, moral, religi, serta pendidikan. Bahkan

melalui ajaran moral dan filsafat dalam karya sastranya, pujangga sekaligus raja

Mangkunegara IV tercantum sebagai salah satu filsuf dunia yang termuat dalam

buku Dictionare Des Philosophes (Kamus Para Filsuf Dunia) Jilid I dan II yang

dikeluarkan oleh Preses Univertaires de France, Paris, Prancis (Sentanu, 2008:

70). Ungkapan tradisional yang terdapat di dalam kesusastraan Jawadapat

didayagunakan sebagai sumber kearifan masyarakat Jawa, yang dapat

diintegrasikan dalam kehidupan. Misalnya, ungkapan “Susila anor raga, wignya

met tyasing sesami” dalam serat Wedhatama pupuh II/Sinom, bait 17. Dalam

ungkapan tersebut terkandung makna susila (santun), anor raga (rendah hati), dan

wignya (kemampuan), met tyasing sesami (menjadi senang, bahagia, tentram hati

orang lain). Secara umum dapat dimaknai sebagai seseorang yang berperilaku

santun, rendah hati, akan menumbuhkan rasa tentram dan kesenangan orang lain.

Selain itu terdapat ungkapan “ngelmu iku kalakone kanthi laku”, yang memiliki

makna bahwa ilmu akan dapat tercapai melalui sebuah proses, dengan kata lain

melalui praktik yang berkesinambungan. Seseorang di dalam mencari ilmu perlu

berjuang melewati proses, dan laku (praktik), dan perlu disertai dengan sikap

prihatin.

Page 142: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

135

Harapan dan Tantangan Pembelajaran Bahasa Jawa dalam Menyongsong

MEA

Salah satu upaya strategis pengintegrasian nilai-nilai budaya Jawa dapat

dioptimalisasikan melalui pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. Dengan

dibukanya era perdagangan bebas MEA, menjadi sebuah tantangan sekaligus

peluang bagi pembelajaran bahasa Jawa untuk dapat difungsikan sebagai sarana

peningkatan budi pekerti dan karakter siswa. Guru hendaknya dapat lebih

memberikan motivasi dan inovasi dalam pembelajaran. Motivasi dapat berupa

pemahaman mengenai potensi yang terkandung dalam bahasa dan budaya Jawa

yang juga telah dikenal di dunia internasional. Hal ini sebagai langkah untuk

menumbuhkan kebanggan mereka terhadap bahasa dan budaya Jawa, mengingat

minat (aspek afektif) para generasi muda terhadap budaya Jawa terus menerus

mengalami pelemahan. Sedangkan inovasinya, yaitu dengan mengintegrasikan

nilai-nilai budi pekerti dari aspek kebahasaan maupun kesusastraan Jawa dalam

pembelajaran bahasa Jawa. Guru juga dapat mengembangkan materi

pembelajaran, dan mendesainnya dalam model serta media yang menarik.

Misalnya pembelajaran bahasa Jawa dengan memanfaatkan aplikasi internet, atau

mendesain media untuk apresiasi sastra dengan aplikasi film animasi pendek.

KESIMPULAN

Dibukanya era pasar bebas Asean atau MEA, sebenarnya tidak hanya

memberikan tantangan namun juga peluang bagi eksistensi budaya lokal,

khususnya bahasa, sastra dan budaya.Di dalam bahasa Jawa terkandung kekayaan

ragam bahasa serta leksikon, yang memiliki nilai kearifan lokal, untuk dapat

dikembangkan dalam membentuk sikap/perilaku berbahasa yang baik. Bahasa

Jawa juga dapat berperan sebagai pendukung atau pemerkaya bahasa Indonesia.

Dalam bidang kesusastraan Jawa juga terkandung berbagai potensi kearifan lokal,

misalnya dalam cerita rakyat dapat berfungsi sebagai (1) sumber nilai-nilai

budaya, moral, etika, budi pekerti, (2) mendukung upaya pelestarian ekosistem

alam, dan (3)penggerak potensi pariwisata daerah.

Page 143: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

136

DAFTAR RUJUKAN

Ahimsa-Putra, Hedi Shri, tt. Bahasa, Sastra dan Kearifan Lokal di Indonesia.

Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Kirrilly McKenzie. 2015. Mahasiswa Australia: Bahasa Jawa adalah Bahasa yang Penuh

RasaHormat.(Artikeldalam http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2015-

03-12/mahasiswa-australia-bahasa-jawa-adalah-bahasa-yang-penuh-

rasahormat/1423799. (Diakses tanggal 20 Maret 2016).

Koentjaraningrat.2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineke Cipta.

______________. 2004. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Nababan. 1986. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebagai Kajian Filsafat. Jurnal

Filsafat.37(2):111-120(http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2009/08/kearifan-

lokal-dalam-arsitektur.html). Diakses 20 Maret 2016.

Sentanu, Erbe. 2008. The Science and Miracle of Zona Ikhlas

(AplikasiTeknologiKekuatanHati– Quantum Ikhlas Book Series). Jakarta: PT.

Elex Media Komputindo-KompasGramediaSholeh. 2013. “Persiapan

Indonesia Dalam Menghadapi AEC (Asean Economic Community) 2015”. e-

Journal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 509-522.

Subalidinata. 1994. Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka

Nusatama

Triyono, Adi. 1988. Peribahasadalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa.

Widyastuti, Sri Harti. Cara Pengobatan Tradisional dalam Serat Centini”, dimuat

dalam KEJAWEN, Jurnal Kebudayaan Jawa, diterbitkan oleh Jurusan

Pendidikan Bahasa Daerah FBS UNY,Vol.1, 1 Mei 2014 halaman 14-25.

______________., dkk. tt. Kearifan Lokal dalam Fithosterapi yang Terdapat

Pada Naskah-NaskahJawa.

(https://dinamikaguruSD.kalimnuryati/posts/642456712465. Diakses 20 Maret

2016).

Page 144: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

137

PENGUATAN SIKAP POSITIF SEBAGAI UPAYA PEMERTAHANAN

BAHASA IBU DALAM MASYARAKAT TUTURNYA

Oleh:

Kenfitria Diah Wijayanti

Universitas Sebelas Maret

[email protected]

Abstrak

Kebanggaan, kesetiaan, dan rasa memiliki menjadi pondasi dasar untuk

menumbuhkan sikap positif dalam berbahasa. Sikap positif diperlukan untuk

mempertahankan keberadaan bahasa ibu bagi masyarakat Jawa. Dalam

perkembangannya, bahasa ibu mendapat pengaruh besar bahkan dominasi dari

bahasa kedua yakni bahasa Indonesia. Goyahnya minat masyarakat tutur

menggunakan bahasa ibu yang dimilikinya akan mengantar pada kepunahan

bahasa tersebut. Artikel ini memfokuskan permasalahan pada Penguatan Sikap

Positif sebagai Upaya Pemertahanan Bahasa Ibu dalam Masyarakat Tuturnya.

Strategi yang dapat dilakukan sebagai upaya menumbuhkan sikap positif terhadap

bahasa ibu antara lain dengan kegiatan: (1) dongeng, (2) permaianan tradisional,

dan (3) lagu anak tradisional atau tembang dolanan.

Kata kunci: sikap positif, bahasa ibu, upaya pemertahanan bahasa

PENDAHULUAN

Masyarakat Jawa hidup dalam lingkungan budaya yang kental. Budaya

diterapkan pada semua aspek kehidupan. Salah satu aspek kehidupan yang tidak

bisa terlepas dari budaya adalah bahasa. Bahasa Jawa menjadi bahasa ibu bagi

masyarakat Jawa. Perannya sebagai media dalam berkomunikasi menjadikan

bahasa selalu berkembang mengikuti perubahan jaman, namun peminat atau

pengguna bahasa Jawa berbanding terbalik. Generasi muda semakin enggan

menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa kesehariannya. Keluarga muda banyak

menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa asing dalam komunikasi kepada

anaknya. Bahasa Jawa dianggap kurang modern, selain itu menggunakan bahasa

Jawa dianggap kurang bergengsi.

Page 145: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

138

Bahasa Jawa dianggap rumit, karena memiliki struktur dan aturan tersendiri.

Ragam bahasa Jawa memiliki speech level „tingkat tutur‟. Penggunaan tingkat

tutur sangat memperhatikan unsur lawan tuturnya. Di sisi lain dalam pembelajaran

bahasa Jawa juga terdapat aksara Jawa yang cara penulisannya pun dianggap sulit,

karena banyaknya aturan untuk menulisnya. Sementara itu, apabila dilihat dari

diksi atau kosa kata bahasa Jawa sangat variatif. Hal ini bisa diamati melalui

penyebutan salah satu benda dengan detailnya. Dalam bahasa Jawa terdapat kata

pelem „mangga‟ - pelok „biji mangga‟ dan duren „durian‟ – pongge „isi durian‟,

dsb. Kerumitan strukur, bentuk, dan aturan inilah yang menjadikan masyarakat

tutur mulai beralih ke bahasa kedua (bahasa Indonesia) yang dianggap lebih

mudah secara aplikasinya. Sikap seperti ini dikategorikan sebagai sikap negatif

dalam berbahasa. Apabila sikap negatif dibiarkan tumbuh, maka dapat dipastikan

keberadaan bahasa Jawa akan menuju masa kepunahannya. Oleh karena itu,

diperlukan upaya pemertahanan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu melalui strategi

yang mudah diterapkan. Melalui artikel ini, penulis membahas mengenai

Penguatan Sikap Positif Sebagai Upaya Pemertahanan Bahasa Ibu Dalam

Masyarakat Tuturnya.

PEMBAHASAN

1. Sikap Bahasa

Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri

atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2011). Suwito (1983: 88) mengungkapkan

bahwa, sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku tutur, tetapi perilaku tutur

tidak mutlak mencerminkan sikap bahasa. Sikap bahasa memiliki ciri:

a. Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty) yang mendorong masyarakat suatu

bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya

pengaruh bahasa lain.

b. Kebanggaan Bahasa (Language Pride) yang mendorong orang

mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang

identitas dan kesatuan masyarakat.

c. Kesadaran adanya norma bahasa (Awareness Of The Norm) yang

Page 146: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

139

mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun

merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu

kegiatan menggunakan bahasa (language use).

Hal-hal yang terkait dengan sikap bahasa yang dapat dikaji adalah faktor-

faktor sosial, kultural, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi

sikap bahasa. Faktor-faktor tersebut di samping berpengaruh terhadap bahasa

juga berpengaruh terhadap sikap bahasa. Faktor kultural seperti pemilikan

pakaian daerah, frekuensi pemakaian pakaian daerah, pemeliharaan kebudayaan

leluhur, dan lain-lain berpengaruh terhadap sikap bahasa.

Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan

proses terbentuknya sikap pada umumnya. Sebagaimana halnya dengan sikap,

maka sikap bahasa juga merupakan peristiwa kejiwaan sehingga tidak dapat

diamati secara langsung. Sikap bahasa dapat diamati antara lain lewat perilaku

berbahasa atau perilaku tutur. Namun dalam hal ini juga berlaku ketentuan

bahwa tidak setiap perilaku tutur mencerminkan sikap bahasa. Demikian pula

sebaliknya, sikap bahasa tidak selamanya tercermin dalam perilaku tutur. Sikap

bahasa terjadi akibat adanya faktor: (a) kebutuhan pribadi penutur; (b) situasi

saat pembicaraan berlangsung (immediate situation); dan (c) situasi yang

melatarbelakangi pembicaraan (background situation).

Sikap bahasa dapat dikategorikan menjadi dua yakni sikap positif dan

sikap negatif. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan

bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur di mana

dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari

diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka

berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok

orang itu. Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian

bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan

bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali

(Suwito, 1983: 90-93). Sepertihalnya generasi muda masyarakat Jawa yang

mulai goyah menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya dapat

dikategorikan sebagai sikap negatif. Dalam pergaulan atau berkomunikasi, kaum

Page 147: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

140

muda masyarakat Jawa lebih cenderung senang menggunakan bahasa Indonesia,

karena dianggap lebih mudah, aplikatif, dan bergengsi. Namun sebenarnya

tindakan seperti inilah yang lama kelamaan akan menghilangkan eksistensi

bahasa Jawa dalam masyarakat tuturnya sendiri.

2) Fenomena Kedwibahasaan

Dwibahasa merupakan penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam

kehidupan berbahasanya. Kedwibahasaan muncul diawali karena adanya kontak

bahasa. Bahasa satu bersinggungan dengan bahasa lain pada saat penutur

mempelajari bahasa kedua (B2). Masyarakat Indonesia dapat digolongkan sebagai

masyarakat dwibahasa, karena dilihat dari kondisi geografis yang terdiri dari

pulau-pulau dan keanekaragaman budaya serta bahasanya. Kondisi bahasa daerah

yang beragam disatukan dengan adanya bahasa pemersatu yakni bahasa

Indonesia.

Penggunaan dua bahasa atau lebih bisa menimbulkan dampak berupa

kemungkinan pergantian dan percampuran pemakaian bahasa oleh penutur. Hal

ini akan menimbulkan interferensi atau transfer bahasa. Seringnya terjadi

interferensi dianggap sebagai peristiwa kebahasaan yang bersifat negatif, karena

masuknya unsur-unsur B1 ke dalam B2 atau sebaliknya sehingga menyimpang

dari kaidah atau aturan kebahasaan masing-masing. Jacobvit (dalam Pranowo,

2014: 104) menyebutkan adanya lima unsur dasar yang memingkinkan terjadinya

transfer, yaitu:

a. kemampuan berbahasa pertama,

b. kemampuan berbahasa kedua,

c. adanya hubungan antara B1 dan B2,

d. keterlibatan B2 di dalam B1, dan

e. keterlibatan B1 di dalam B2.

Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau

multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia

dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia

sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Namun dampak negatifnya

Page 148: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

141

seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa

daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka bolak-

balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering

terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi/ campur

kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru.

Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Jawa yang

terkontaminasi bahasa Indonesia, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di

masyarakat pengguna bahasa sekarang. Berikut beberapa contoh fenomena

kontaminasi B1 dan B2.

a. Adanya pemakaian akhiran „o‟ dalam bahasa Indonesia

ambil + o : ambilo (yang baku sebenarnya adalah ambilah)

pulang + o : pulango (yang baku sebenarnya adalah pulanglah)

Jadi kata bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -o, atau seperti

akhiran a dalam bahasa Jawa.

b. Adanya pemakaian akhiran „-en‟

ambil + en : ambilen (yang baku adalah ambilah)

Kata ambil dalam bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -en yang

merupakan akhiran dalam bahasa Jawa.

c. Menembak + i menembaki, seharusnya menembakki.

d. Adanya pemakaian akhiran „-ke‟

biar + ke : biarke (yang baku adalah biarkan)

duduk + ke : dudukke (yang baku adalah dudukkan)

ambil + ke : ambilke (yang baku adalah ambilkan)

Akhiran -ke tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, akhiran -ke disini

digunakan seperti dalam penggunaan akhiran –ake dalam bahasa Jawa.

e. Menggunaan kata ganti orang + nya.

Mbake menjadi mbaknya

Mase menjadi masnya

f. Menyebut nama tempat menggunakan aksen dialek terutama yang berawalan

/b/, /d/, /g/, dan /j/.

Bandung menjadi mBandung

Page 149: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

142

Dayu menjadi nDayu

Gemolong menjadi ngGemolong

Jember menjadi nJember

3) Strategi Menumbuhkan Sikap Positif sebagai Upaya Pemertahanan

Bahasa Ibu dalam Masyarakat Tuturnya

Bahasa dapat dikatakan mendekati kepunahan apabila sudah tidak ada

ketertarikan penuturnya untuk menggunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah

satu penyebab menurunnya ketertarikan seorang penutur dalam menggunakan

bahasa ibu yang dimilikinya adalah karena adanya pengaruh kuat dan dominan

bahasa kedua. Strategi pemertahanan bahasa khususnya bahasa Jawa sebagai

bahasa ibu masyarakat tuturnya adalah dengan memperkenalkan bahasa tersebut

sejak dini kepada generasi penerus masyarakat tutur itu. Pengenalan bahasa dapat

dilakukan melalui lingkungan formal maupun non formal. Keduanya memiliki

daya pengaruh kuat dalam perkembangan bahasa pada anak. Lingkungan non

formal memiliki porsi lebih besar dalam pengenalan dan pemertahanan bahasa

kepada anak. Hal terpenting dalam usaha pemertahanan bahasa adalah dengan

menumbuhkan rasa kecintaan dan memiliki terhadap bahasa tersebut, sehingga

sikap positif akan tertanam seutuhnya dalam benak anak.

Pembelajar usia dini (young learner) memiliki kemampuan menguasai

keterampilan berbahasa yang diawali dari mendengar, mengucap, membaca,

kemudian menulis. Secara alami anak merupakan makhluk peniru yang peka

terhadap lingkungan sekitarnya. Hal-hal yang dianggap menarik akan lebih cepat

ditirukan. Anak usia 1-5 tahun memiliki kemampuan untuk menyampaikan

kegiatan yang sedang mereka lakukan, apa yang mereka dengar, dapat membuat

rencana, dan dapat menggunakan alasan-alasan logis.

a. Dongeng

Dongeng merupakan karya fiksi yang berasal dari imajinasi pengarangnya.

Dongeng yang baik memuat pesan moral yang mampu membentuk karakter

pada anak. Melalui dongeng dapat disisipkan pendidikan karakter yang positif,

baik itu berupa bahasa maupun substansinya. Bercerita atau mendongeng dapat

memberikan stimulan pada anak dalam berimajinasi. Ajaran mengenai nilai-

Page 150: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

143

nilai kesopanan berunggah-ungguh Jawa yang disampaikan melalui dongeng

tersebut dapat bermanfaat bagi perkembangan anak. Judul cerita anak: Andhe-

andhe Lumut, Lutung Kasarung, Cindhelaras, Kleting Kuning, Tiyang Tani lan

Tikus .

b. Permainan Tradisional

Permainan tradisional memiliki nilai-nilai kebaikan baik secara motorik,

kognitif, maupun ditinjau dari nilai moralnya. Secara sosial permainan

tradisional membuat anak dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Berbeda

sekali dengan zaman modernisasi yang memperkenalkan dunia gadget, anak

yang memainkannya tidak perlu berinteraksi dengan lingkungannya karena

asyik dengan dunianya sendiri. Melalui permainan tradisional anak diajarkan

rasa percaya diri, tanggung jawab, kejujuran, setia kawan, dan mengajarkan

bagaimana cara berkomunikasi/ berinteraksi yang baik dengan teman

sepermainannya. Beberapa permainan tradisional yang ada dalam masyarakat

Jawa antara lain: dakon, bekelan, udhing, jamuran, betengan, gobak sodhor,

delikan.

c. Lagu Anak Tradisional (tembang dolanan)

Salah satu wujud warisan budaya adalah lagu, masyarakat Jawa memiliki lagu

anak tradisional yang disebut dengan tembang dolanan. Dalam tembang

dolanan

Beberapa judul tembang dolanan yang ada dalam masyarakat Jawa yakni: jago

kluruk, menthok-menthok, cublak-cublak suweng, gundhul pacul, kupu kuwi,

dan jaranan.

Mengajarkan bahasa kepada anak harus dilakukan dengan strategi yang menarik.

Pengajaran dengan metode yang menyenangkan dapat menarik perhatian dan

mudah dipahami anak. Melalui kegiatan mendongeng, bermain permaianan

tradisional, dan tembang dolanan dapat disisipkan pembelajaran berbahasa Jawa

yang baik dan benar. Dalam teori pemerolehan bahasa, anak akan mampu

menguasai bahasa ibu hanya dalam waktu relatif singkat yakni tiga hingga empat

tahun. Usia tersebut merupakan the golden years „usia keemasan‟ dalam

pertumbuhan anak. Oleh karena itu, bahasa Jawa sudah seharusnya diperkenalkan

Page 151: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

144

pada anak sejak dini. Namun, pengenalannya harus disesuaikan dengan tingkatan

usia.

Pengenalan bahasa dapat dilakukan melalui tiga lingkungan, yaitu

keluarga, sekolah, dan organisasi. Keluarga merupakan pusat pendidikan pertama

dan terpenting. Pengenalan bahasa dalam keluarga inilah yang justru sangat

mempengaruhi tumbuh kembang si anak. Peranan orang tua dalam pendidikan

anak adalah memberikan pendidikan sikap dan keterampilan dasar. Oleh karena

itu, bahasa ibu yang diperkenalkan kepada anak akan sangat mempengaruhi

penggunaan bahasanya kelak. Dengan menumbuhkan sejak dini kecintaan dan

rasa memiliki bahasa Jawa sebagai bahasa ibu, maka akan menyelamatkannya dari

kepunahan.

KESIMPULAN

Sikap positif diperlukan untuk mempertahankan eksistensi sebuah bahasa.

Penanaman sikap positif terhadap bahasa Ibu dapat dilakukan semenjak dini.

Dalam menumbuhkan sikap positif dibutuhkan strategi dan metode yang

menyenangkan, sehingga anak tertarik untuk ikut berpartisipasi dan secara tidak

sadar mempelajari kaidah-kaidah bahasa tersebut. Pembelajaran bahasa dapat

dilakukan melalui kegiatan mendongeng, bermain permainan tradisional, dan

menyanyikan tembang dolanan. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut norma

kebahasaan dapat ditanamkan secara tidak langsung, sehingga dari awalnya hanya

mengenal, kemudian terbiasa, dan akhirnya menjadi bisa.

DAFTAR RUJUKAN

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.

Jakarta: Rineka Cipta.

Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi ke Empat. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Pranowo. 2014. Teori Belajar Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 152: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

145

Saddhono, Kundharu. 2013. Pengantar Sosiolinguistik Teori dan Konsep Dasar.

Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta:

Henary Offset Solo.

Page 153: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

146

SEJARAH DAN PANDANGAN TENTANG KEBIJAKAN BAHASA

(STRATEGI MENGHADAPI MEA)

Oleh:

Rahmat, S.S., M.A.

Pendidikan Bahasa Jawa, Universitas Sebelas Maret

[email protected]

Abstrak

Berlakunya kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berarti bahwa telah

terjadinya kesepakatan antar negara-negara di ASEAN yang mana terbuka

kesempatan bekerja bagi komunitas dengan dimudahkannya akses bekerja di

negara-negara anggota. Realita yang terjadi ialah, masuknya pekerja-pekerja dari

negara lain di Indonesia. Hal ini tentunya akan membawa beberapa dampak, salah

satunya kebahasaan. Kedatangan pekerja asing itu tentunya berimbas pada

pengaruh bahasa yang dituturkan.Untuk mengatasi kekhawatiran akan dampak

kebahasaan, maka sebaiknya disusun beberapa usaha yang berkaitan dengan

kebijakan bahasa mengingat kondisi kebahasaan di Indonesia yang terdiri dari

bahasa nasional dan bahasa daerah. Adapun kebijakan yang dapat dilakukan

meliputi empat aspek, yaitu perencanaan status, perencanaan korpus, perencanaan

pemerolehan bahasa, dan pemerolehan gengsi. Dengan demikian, bahasa daerah

dan bahasa nasional akan tetap berdiri kokoh.

Kata kunci: kebijakan bahasa, bahasa daerah, bahasa nasional, perencanaan

bahasa, MEA.

PENDAHULUAN

Bahasa secara sederhana didefinisikan sebagai kode bersama yang

memungkinkan pengguna untuk mengirimkan ide-ide, pesan, gagasan, dan

keinginan (Owen, 1992). Dari sudut pandang linguistik murni wilayah bahasa

yang bersifat aneka bahasa merupakan firdaus bagi siapa saja yang mempunyai

minat terhadap penelitian. Keanekaan bahasa tersebut merupakan segi kebahasaan

dari keanekaan etnis dan budaya suatu masyarakat. Jika masyarakat yang secara

sosial budaya beraneka ragam itu secara politis dan geografis merupakan

kesatuan, maka akan timbul masalah kebahasaan terlebih pada negara yang

masyarakatnya multi etnis (Moeliono, 1985). Oleh sebab itu, diperlukan suatu

upaya nyata untuk menjembatani masalah kebahasaan yang akan muncul itu.

Page 154: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

147

Dinamika kebahasaan muncul tidak saja di jaman modern ini tetapi dapat

ditelusuri lebih jauh dari jaman-jaman sebelumnya. Beberapa sumber literatur

menyampaikan ulasan mengenai bahasa dan filsafat yang melatarbelakanginya

sejak jaman kuna (Yunani dan Romawi), abad Pertengahan, dan jaman modern.

Meskipun demikian,masing-masing jaman memiliki pandangan-pandangan yang

berbeda bahkan mungkin bertentangan terhadap bahasa itu.

Kajian dan minat terhadap bahasa di jaman modern merupakan kelanjutan

dari jaman-jaman sebelumnya, mulai dari tata bahasa tradisional yang merujuk

pada tradisi Yunani terus dikembangkan sampai Romawi dan Eropa pada abad

pertengahan, serta diperluas sampai studi-studi bahasa daerah pada jaman

Renaisans dan sesudahnya. Adapun ciri khas kajian bahasa pada jaman modern

ialah prioritas pada bahasa lisan. Bahasa lisan dianggap lebih tua dan lebih luas

daripada bahasa tulis. Dalam kenyataannya, segala sistem tulisan berdasarkan

satuan bahasa lisan. Perhatian linguis (pada dasarnya) terhadap semua bahasa

dengan tujuan menyusun teori ilmiah mengenai struktur bahasa manusia yang

selanjutnya semua contoh peristiwa bahasa itu dicatat dan diamati lebih lanjut

(Lyons, 1995). Hal itu menunjukkan bahasa dari sudut pandang pengetahuan.

Bahasa dalam kaitannya dengan tindak komunikasi di era globalisasi

membuat bangsa menyadari akan situasi kebahasaan sehingga menuntut warganya

untuk memperoleh bahasa tambahan (mempelajari bahasa lainnya) yang berguna

bagi pergaulan internasional terutama untuk tujuan ekonomis atau akademis

(Shohamy, 2006). Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda bertemu dalam

sebuah kontak, maka bahasa akan memfasilitasi mereka untuk berkomunikasi.

Oleh sebab itu, diperlukan bahasa kedua yang umum dapat menjadi lingua franca

(Rowe, 2009). Adapun bahasa yang lazim digunakan untuk komunikasi

internasional tersebut adalah bahasa Inggris. Selain itu, kondisi global telah

membuat sejumlah bahasa, dialek dan kode dapat hidup berdampingan secara

harmonis menciptakan varietas baru, hibrida, dan multi kode, namun bisa pula

membuat bahasa tertentu tidak lagi berguna di luar wilayah spesifik negara

(Shohamy, 2006).

Page 155: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

148

PEMBAHASAN

A. Perspektif Filosofis

Bahasa adalah sistem yang cenderung kita anggap sudah benar dan

semestinya, sesuatu yang sudah kita kenal sejak kecil dengan mempraktekkannya

dan tanpa memikirkannya (Lyons, 1995). Dalam pemakaian sehari-hari,

menguasai bahasa sering diartikan sebagai kemampuan berbicara menggunakan

bahasa itu dan sebagai kemampuan menggunakan simbol secara bermakna untuk

berkomunikasi. Jadi dalam konteks ini penguasaan bahasa bergantung pada empat

kata kunci, yaitu penggunaan, simbol, makna, dan komunikasi (Phoenix dalam

Alwasilah, 2010).

Pandangan Brown (2000) terhadap bahasa ada tujuh, yaitu bahasa itu

sistematis, bahasa adalah seperangkat simbol manusia, simbol-simbol itu

utamanya adalah vokal, tetapi bisa juga visual, simbol mengonvensionalkan

makna yang dirujuk, bahasa dipakai untuk berkomunikasi, bahasa beroperasi

dalam sebuah komunitas atau budaya wicara, bahasa pada dasarnya untuk

manusia, walaupun bisa jadi tidak hanya terbatas untuk manusia, bahasa dikuasai

oleh semua orang dalam cara yang sama; bahasa dan pembelajaran bahasa sama-

sama mempunyai karakteristik universal.

Definisi lain tentang bahasa diungkapkan oleh Shohamy (2006) antara lain

bahasa itu dinamis, energik, terus berkembang, kreatif, ekspresif, interaktif

bahkan bahasa itu diperdebatkan dan dinegosiasikan. Bahasa terus berkembang

sebagai akibat dari interaksi antara orang-orang dalam kelompok. Sebagai bagian

dari sebuah bentuk interaksi dan upaya untuk membuat hubungan yang bermakna,

maka unsur-unsur baru bahasa diciptakan, digunakan, dan dipertukarkan. Bahasa

cenderung berubah dari waktu ke waktu, manusia telah berperan dalam

mengembangkan, memperluas, mengecilkan, meminjam, dan mencampur bahasa

sebagai bagian dari proses dinamika interaksi manusia. Lebih lanjut, bahasa

disebut-sebut sebagai ekspresi kebebasan. Orang bebas untuk menggunakan

bahasa dan mengekspresikan diri dengan bentuk dan cara apapun yang mereka

inginkan. Oleh karena itu, orang diizinkan untuk berbahasa dengan cara mereka

sendiri, selama tidak membahayakan orang lain.

Page 156: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

149

B. Perspektif Politis

Rahman (2010) berpendapat politik adalah suatu tujuan untuk mengejar

kekuasaan. Dengan kekuasaan seseorang dapat mendapatkan apa yang ia

inginkan. Adapun kaitan antara bahasa dan politik dapat didefinisikan dengan

istilah bahasa kekuasaan. Bahasa kekuasaan adalah bahasa yang dipakai dan

dikuasai oleh penutur agar mereka dapat memberdayakan diri mereka sendiri.

Artinya, dengan penguasaan terhadap bahasa kekuasaan maka seseorang bisa

mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Bahasa kekuasaan di Asia Selatan

ialah bahasa Inggris. Seseorang yang mampu menguasai bahasa Inggris, maka ia

akan bisa bekerja di sektor-sektor penting. Hal itu menandakan begitu pentingnya

bahasa kekuasaan, bahkan saat Inggris menguasai India Raja Ram Mohan Roy

meminta Inggris untuk mengajar bahasa Inggris di India. Contoh lainnya ada di

belahan Eropa, di mana bahasa Perancis merupakan bahasa kekuasaan di negara

Perancis, di sana tidak ada yang bisa mencapai posisi sosial yang tinggi jika

mereka tidak bisa berbahasa Perancis. Elit Perancis (baca=penguasa) mengklaim

Perancis dipersatukan oleh bahasa Perancis.

Kaitan politik dengan kekuasaan juga diungkapkan oleh Wareing dan

Jason Jones (2007) sebagai berikut. Politik adalah masalah kekuasaan, yaitu

kekuasaan untuk membuat keputusan, mengendalikan sumber daya,

mengendalikan perilaku orang lain dan sering kali juga mengendalikan nilai-nilai

yang dianut orang lain. Contoh yang paling sederhana ialah bahasa iklan, yang

mana iklan berusaha mempengaruhi pemirsa untuk menggunakan produknya.

Shohamy (2006) berpandangan bahwa bahasa digunakan sebagai simbol

dan alat ideologi untuk menciptakan dan mengkonsolidasikan keanggotaan

kelompok, patriotisme kepada negara, dan kepentingan ekonomi. Hal itu

menunjukkan bahwa bahasa juga mencerminkan pemikiran kolektif berbasis

sosial dan cara berpikir. Di Amerika, kata „demokrasi‟ mencerminkan makna

tertentu dan emosi serta mempengaruhi konsep tentang tata pemerintahan (Owen,

1992).

Page 157: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

150

C. Hubungan antara Perspektif Filosofis dan Politis

Pandangan filosofis tentang bahasa menunjukkan bahwa bahasa itu adalah

suatu sistem yang sudah dikenal sejak kecil dengan mempraktekkan dalam

kehidupan sehari-hari untuk berkomunikasi. Bahasa itu berkembang dari waktu ke

waktu atau bersifat dinamis akibat interaksi yang dilakukan manusia dan bahasa

itu merupakan ekspresi kebebasan di mana manusia bebas berbahasa dengan cara

mereka sendiri, namun jangan sampai merugikan dan membahayakan orang lain.

Bahasa juga sebagai sesuatu yang diperdebatkan dan dinegosiasikan. Sedangkan

pandangan politis tentang bahasa mencakup bahasa itu sebagai bahasa kekuasaan,

bahasa itu digunakan untuk mempengaruhi masyarakat, dan sebagai alat

pemersatu kelompok.

Bahasa sebagai bentuk komunikasi digunakan manusia untuk berinteraksi

dengan manusia yang lain untuk tujuan dan motif-motif tertentu. Sifat dinamis

bahasa menunjukkan bahwa suatu bahasa dalam suatu masa menjadi bahasa

kekuasaan atau dengan kata lain sebagai bahasa yang sangat penting perannya dan

harus dikuasai oleh masyarakat pada masa itu, contohnya bahasa Latin yang wajib

dikuasai oleh masyarakat Eropa pada abad pertengahan dan bahasa Inggris yang

menjadi bahasa penghubung internasional. Selain itu, bahasa sebagai sebuah

bentuk ekspresi, di mana bahasa digunakan untuk mempengaruhi orang lain.

Terakhir bahasa sebagai sesuatu yang diperdebatkan dan dinegosiasikan adalah

kaitan bahasa yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu. Perdebatan yang

dimaksud ialah pemilihan suatu bahasa untuk dijadikan sebagai bahasa nasional

atau bahasa pengantar dalam suatu percakapan, sedangkan negosiasi yang

dilakukan untuk mendapatkan suatu keputusan bersama agar dapat diterima oleh

masyarakat atau kelompok-kelompok yang ada di dalamnya.

D. Masalah Kebahasaan dan Kebijakan Bahasauntuk Menghadapi MEA

Perkembangan jaman ke jaman menunjukkan dinamika yang terjadi

terhadap bahasa. Dalam perjalanannya, masalah bahasa merupakan gejala global

yang artinya terjadi pada manusia di seluruh dunia dan dalam lingkup yang

dibatasi, yakni negara. Adapun latar belakang masalah kebahasaan tersebut adalah

Page 158: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

151

bahasa-bahasa di seluruh dunia ini banyak jumlahnya. Oleh sebab itu, perlu

diperikan jumlah dan keberadaannya. Yang kedua, suatu negara sangat mungkin

dibangun dari bermacam etnis (multi etnis). Setiap etnis tentunya memiliki bahasa

sendiri. Sehingga, diperlukan suatu alat perhubungan dalam komunikasi untuk

menjembatani komunikasi di antara mereka.

Berdasarkan latar belakang masalah kebahasaan, maka masalah

kebahasaan yang muncul ialah pemakaian bahasa oleh suatu masyarakat dan

kedudukan bahasa itu sendiri. Untuk mengatasi hal itu, maka diperlukan sebuah

solusi untuk mengatasinya. Dalam hal ini, solusi tersebut dikenal dengan istilah

perencanaan atau kebijakan bahasa. Istilah perencanaan atau kebijakan bahasa itu

bertumpang tindih (Moeliono, 2010).

Beberapa sumber (Moeliono, 1985; Kaplan, 2004; Shohamy 2006;

Rahman, 2010, Moeliono, 2010) menjelaskan tentang kebijakan bahasa. Rahman

(2010) berpandangan bahwa kebijakan bahasa sebagai salah satu cara

menggunakan bahasa untuk tujuan politik. Pandangan itu ditegaskan oleh

pendapat Shohamy (2006) bahwa kebijakan bahasa telah menjadi alat utama yang

digunakan oleh mereka yang berkuasa. Secara politis, kebijakan bahasa kiranya

menjadi langkah pemerintah untuk mempersatukan warga masyarakatnya.

Secara universal kebijakan bahasa di dunia yang dapat diterapkan oleh

masing-masing negara ialah, perencanaan status, perencanaan korpus,

perencanaan pemerolehan bahasa, dan perencanaan gengsi (Moeliono, 1985;

Rahman, 2010; Moeliono, 2010). Berikut ini empat perencanaan kebahasaan yang

secara khusus ditujukan untuk bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Adapun

bahasa daerah yang dimaksud dalam kajian ini diwakili bahasa Jawa.

1. Perencanaan Status.

Perdebatan tentang dialek tertentu yang akan menjadi dasar bahasa

nasional telah terjadi semenjak jaman renaisans di Perancis, semenanjung Iberia,

Jerman, Skandinavia, dan Kepulauan Inggris, Balkan, Polandia, Turki dan India

(Joseph, 2004).Perencanaan status adalah pemilihan bahasa yang akan dijadikan

sebagai bahasa nasional, bahasa propinsi, bahasa untuk pendidikan. Keputusan

akan pemilihan bahasa untuk beberapa tujuan itu ditetapkan oleh pemerintah.

Page 159: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

152

Namun demikian, bukanlah hal yang mudah untuk menetapkan suatu bahasa

dijadikan bahasa nasional. Tetapi, Indonesia tidak perlu khawatir karena sudah

memiliki bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Sementara itu, bahasa Jawa

statusnya sebagai bahasa daerah. Kiranya untuk perencanaan ini pemerintah telah

menetapkan peraturan perundangan-undangannya.

2. Perencanaan Korpus.

Moeliono (2010) menggolongkan perencanaan korpus menjadi tiga

bidang, yaitu peningkatan keberaksaraan dan keberangkaan (mengurangi buta

aksara dan buta angka), pembakuan bahasa, dan pemodernan bahasa (pemekaran

kosakata). Sementara itu, Rahman (2010) mengklasifikasikan perencanaan

korpus menjadi dua bidang yaitu standarisasi dan modernisasi. Standarisasi

meliputi penyeragaman ejaan dan tanda baca (untuk bahasa tulis), pembuatan

kamus dan tata bahasa. Modernisasi berarti penciptaan istilah-istilah baru untuk

sebuah konsep yang sebelumnya belum ada dalam bahasa. Setiap bahasa

dimaksudkan untuk mengekspresikan realitas budaya dimana ia diciptakan.

Masyarakat yang membuat pesawat, mobil, komputer atau benda teknologi akan

membuat istilah-istilah baru.

Adapun bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sampai saat ini telah

menerbitkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang hampir setiap tahunnya

menerbitkan cetakan dengan isi yang terkini, sedangkan bahasa Jawa dalam hal

standarisasi yang perlu sekali menyeragamkan penulisan lambang tulis untuk

artikel maupun karya sastra yang diterbitkan. Hal yang penting untuk bahasa

Jawa ialah perencanaan modernisasi, yaitu menciptakan atau menyusun

kosakata-kosakata baru yang berkaitan dengan teknologi. Kiranya ini yang belum

terlaksana dengan lancar.

3. Perencanaan Pemerolehan Bahasa.

Pemerolehan bahasa ialah proses memperoleh kemampuan berbahasa

atau dengan kata lain belajar bahasa. Orang belajar suatu bahasa untuk

mendapatkan pekerjaan, pergaulan, bahkan bisa pula bermotif politis.

Pemerolehan bahasa ini berusaha meningkatkan jumlah orang yang

menggunakan bahasa. Dalam rangka menghadapi MEA pemerintah sebaiknya

Page 160: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

153

menyelenggarakan kursus bahasa Indonesia sekaligus menerbitkan sertifikat

resmi untuk pekerja asing yang masuk ke Indonesia. Sehingga, mereka yang

datang ke Indonesia wajib menguasai bahasa Indonesia. Sementara itu, untuk

bahasa Jawa pemerolehan bahasa dalam rangka pendidikan sebaiknya diajarkan

sejak dini, yaitu sejak PAUD maupun TK.

4. Perencanaan Gengsi

Perencanaan ini berupaya untuk mempromosikan atau menggalakkan

suatu bahasa sehingga khalayak menjadi senang menggunakan bahasa itu. Usaha

yang dapat dilakukan melalui media massa.Perencanaan gengsi ini dapat

diterapkan untuk menghadapi persoalan eksistensi bahasa daerah. Bahasa daerah

perlu digalakkan dan dipromosikan agar masyarakat penutur aslinya senang dan

tetap menggunakan bahasa daerah. Adapun cara yang telah ditempuh dapat

melalui publikasi karya sastra di koran-koran lokal atau nasional yang diterbitkan

secara berkala, dapat pula dengan cara penyusunan kebijakan untuk pemberian

nama tempat usaha menggunakan bahasa dan aksara Jawa, serta publikasi bahasa

Jawa di tempat-tempat atau fasilitas umum seperti di kereta api, terminal, mall,

dan pasar.

Keempat perencanaan itu memerlukan upaya dan langkah strategis dari

beberapa pihak. Moeliono (1985) menyatakan pentingnya melibatkan ahli bahasa

dalam kegiatan pemecahan masalah kebahasaan. Pandangan tersebut rupanya

berpangkal dari pendapat Haugen yang menyatakan bahwa ahli bahasa dapat

berperan dalam proses perubahan dan pengubahan bahasa dan dalam usaha

mengatasi masalah kebahasaan.

Dalam setiap perencanaan bahasa sangat penting untuk tetap berhubungan

dengan pihak pengambil keputusan. Hal itu penting untuk memastikan

kelangsungan hidup situasional dan ekonomi dari solusi yang diusulkan. Pihak

pengambil keputusan diharapkan selalu ada untuk memonitor dan melakukan

koreksi ketika kesulitan dihadapi. Penggunaan data-data untuk kebijakan bahasa

harus hati-hati dan cermat. Solusi yang diambil harus dari data yang

sesungguhnya, bukan data yang menyesuaikan solusi yang diajukan. Solusi harus

peka dengan kondisi budaya, sosial, dan historis karena solusi akan “dijual”

Page 161: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

154

kepada masyarakat. Perubahan bahasa tentunya tidak mudah diterima oleh

masyarakat karena isu bahasa paling sering sarat dengan emosi (Kaplan, 1997).

KESIMPULAN

Berkaitan dengan perspektif filosofis, perspektif politis, dan sejarah

perkembangan kebijakan bahasa, maka saran yang dapat diberikan dalam rangka

usaha-usaha untuk menghadapi berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean di

Indonesia adalah sebagai berikut.

Berkaitan dengan bahasa kekuasaan, maka pemerintah Indonesia perlu

menerapkan peraturan untuk orang asing yang akan belajar atau bekerja di

Indonesia wajib memiliki sertifikat penguasaan bahasa Indonesia. Yang kedua,

merevisi dan mengevaluasi pengajaran dan pembelajaran bahasa daerah. Bahasa

daerah sebagai bahasa yang komunikatif yang tetap wajib dipertahankan

eksistensinya. Adapun langkahnya ialah menerapkan kebijakan pembelajaran

bahasa daerah wajib mulai tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.

Hal ini sangat penting karena penanaman kebahasaan yang dilakukan sejak dini

merupakan salah satu bentuk penguatan dan pelestarian bahasa.Sebagai bentuk

promosi dan penggalakan bahasa daerah, maka pembelajaran bahasa daerah tidak

hanya menjadi tanggungjawab keluarga dan sekolah saja, namun masyarakat juga

harus ikut serta di dalamnya. Promosi harus dan wajib dilaksanakan terutama di

tempat-tempat atau fasilitas umum. Sehingga, dimanapun masyarakat melakukan

segenap aktivitas, mereka setidaknya mengingat bahasa daerah.

Dengan demikian paling tidak terdapat tiga langkah rekomendasi

sehubungan kebijakan terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Jawa berdasarkan

empat prinsip perencanaan kebijakan bahasa. Ketiga unsur, yaitu pemerintah,

swasta, dan masyarakat hendaknya saling bekerjasama untuk mewujudkan

kebijakan tersebut. Sehingga, kekhawatiran akan pengaruh kebijakan MEA di

Indonesia terutama yang bersingunggan dengan bahasa dapat segera diatasi.

Page 162: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

155

DAFTAR RUJUKAN

Alwasilah, A. Chaedar.2010.Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Sekolah

Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan PT. Remaja

Rosdakarya.

Brown, H. Douglas.2000. Principles of Language Learning and Teaching. New

York: Longman.

Joseph, John E.2004.”Language Politics” dalam The Handbook of Applied

Linguistics. Alan Davies dan Catherine Elder (Editor). USA: Blackwell

Publishing.

Kaplan, Robert B dan Richard B. Baldauf, Jr.1997. Language Planning From

Practice to Theory. United Kingdom: Multilingual Matters Ltd.

Lyons, John.1995. Pengantar Teori Linguistik. I. Soetikno (Penerjemah). Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama.

Moeliono, Anton M.1985.Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan

Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.

Owens Jr, Robert E.1992. Language Development an Introduction. USA:

Macmillan Publishing Company.

Rahman, Tariq.2010. Linguistics for Beginners: Basic Concepts. Oxford: Oxford

University Press.

Rowe, Bruce M. dan Diane P. Levine.2009. A Concise Introduction to Linguistics.

USA: Pearson.

Shohamy, Elana.2006. Language Policy: Hidden agendas and new approaches.

London and New York: Routledge.

Wareing, Shan dan Jason Jones.2007.”Bahasa dan Politik” dalam Bahasa,

Masyarakat, dan Kekuasaan. Linda Thomas dan Shan Wareing (Editor).

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pustaka Elektronik

www.scribd.com/doc/59781040/Moeliono-2010-Kebijakan-Bahasa-dan-

Perencanaan-Bahasa-di Indonesia- Kendala-dan- Tantangan. (diunduh

tanggal 15 September 2012).

Page 163: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

156

NILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM SERAT SANGU PATI II

KARYA KI PADMA SUJANA

Oleh:

Yuli Widiyono, M,Pd.

Universitas Muhammadiyah Purworejo

[email protected]

Abstrak

Ancasipun makalah menika ngandharaken bab ingkang kamot wonten serat Sangu

Pati II karya Ki Padma Sujana inggih menika babagan pendhidhikan moral. Serat

menika ngemot prekawis tumindak tuwin solah bawa ingkang kedah

dipunlampahi wonten gesang ing dunya kangge sangu pati wonten alam

salajengipun. Ngrembang babagan kearifan lokal wonten piwulangan bahasa

daerah lumantar karya sastra inggih menika naskah manuskrip, satunggaling

ngupya ingkang nyengkuyung kompetensi, katrampilan, lan nuwuhaken

kawigatosanipun siswa wonten diri pribadi, sesami, lan Gusti. Nilai kearifan lokal

wonten karya sastra Jawa dados jangkepipun budaya Nasional, awit menika

pemerintah kedah nguri-uri lan nyengkuyung sedaya maneka warni budaya daerah

supados nilai-nilai luhur menika tansah ngrembaka. Kanthi nyinaoni nilai

pendhidhikan moral wonten serat Sangu Pati II menika, mugi tansah paring

wewarah kangge nuwuhaken bab budi pekerti, satemah saged nyengkuyung

wujudipun bangsa ingkang misuwur lan pribadi ingkang kiyat tuwin basa, sastra,

lan budaya ingkang adi luhung.

Kata kunci: nilai, pendidikan moral, serat Sangu Pati II

Abstrak

Tujuan dari makalah ini adalah mendeskripsikan nilai pendidikan moral yang

terdapat pada serat Sangu Pati II karya Ki Padma Sujana. Serat tersebut berisi

sikap dan watak yang harus dilakukan dalam menjalani perjalanan hidup dari lahir

sampai meninggal yaitu ajaran yang harus disiapkan untuk menjalani dunia

sampai dengan kehidupan selanjutnya yaitu kehidupan akhirat. Mengangkat

kembali nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran bahasa Daerah melalui

pengkajian karya sastra lampau berupa naskah merupakan salah satu upaya

penting untuk mendukung kompetensi, kecapakan, dan menanamkan kepedulian

peserta didik terhadap diri sendiri, sesama, dan Tuhan. Karya sastra Jawa dengan

nilai–nilai kearifan lokal memiliki kontribusi besar terhadap kekayaan budaya

nasional. Peran pentingnya kebijakan pemerintah dalam membina dan memelihara

kekayaan daerah memberikan dampak terhadap kelangsungan nilai-nilai luhur

yang terdapat di dalam naskah-naskah Jawa. Dengan mengilhami dan

Page 164: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

157

mengaplikasikan nilai pendidikan moral dalam serat Sangu Pati II karya Padma

Sujana diharapkan mampu memberikan peran yang banyak dalam meningkatkan

budi pekerti, sehingga mampu mendukung terciptanya bangsa yang bermartabat

dan memiliki karakter yang kuat dengan nilai bahasa, sastra, budaya yang

adiluhung.

Kata kunci: nilai, pendidikan moral, serat Sangu Pati II

PENDAHULUAN

Teknologi informasi sekarang ini berkembang sangat cepat seiring dengan

berkembangnya ilmu pengetahuan. Perkembangan teknologi informasi ternyata

tidak hanya berdampak positif tetapi juga dampak negatif. Dampak positif

memberikan pengaruh besar terhadap kemajuan peradaban manusia dalam

memenuhi kebutuhan. Salah satu peranan positif yaitu adanya kontribusi

teknologi dalam dunia pendidikan di Indonesia.Dampak negatif tersebut

disebabkan kurangnya pemaanfaatan secara optimal. Dalam hal ini teknologi

secara mutlak tidak memberikan manfaat positif, tetapi bisa membawa dampak

buruk jika salah dalam penggunaannya.

Sesuai yang diamanatkan dalam pasal 3 UU No 20 tahun 2003 tentang

Sisdiknas, bahwa tujuan pendidikan mengembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pemanfaatan teknologi secara

tepat hendaknya dapat membantu peserta didik untuk membentuk dan

mengambangkan kemampuan atau kecakapannya dalam proses pembelajaran,

sesuai yang diamanatkan dalam pasal tersebut. Namun, pemanfaatan teknologi

yang tidak tepat akan berdampak pada masalah perilaku hingga bisa berimbas

pada kemerosotan akhlak atau moral sumber daya manusia.

Masalah degradasi atau kemerosotan moral sumber daya manusia bangsa

ini perlu segera mendapat penanganan khusus. Hal ini tampak pada kasus-kasus

yang bisa diperoleh dari informasi, baik media cetak maupun elektronik. Kasus-

kasus tersebut menjadi indikator bahwa kondisi masyarakat bahkan pendidikan di

Indonesia sekarang ini sangat mengkhawatirkan. Pelajar yang seyogianya menjadi

Page 165: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

158

harapan generasi ke depan banyak melakukan tindakan-tindakan yang tidak

terpuji. Tindakan yang dilakukan salah satunya yaitu tawuran atau perkelahian

antar pelajar, Bahkan kasus yang mengakibatkan tewasnya pelajar akaibat

tawuran. Insan terdidik ini seharusnya mampu menjadi panutan bagi anak-anak

lain yang tidak se beruntung mereka. Hal ini berarti, bahwa tindakan ini tidak

sepatutnya mereka lakukan.

Kasus tawuran yang terjadi antar pelajar disinyalir terjadi karena beberapa

faktor. Menurut Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), menyebutkan

faktor penyebab terjadinya tawuran adalah karena tidak adanya relasi antara guru

dengan murid (Harian Tribun Jakarta, 4 Oktober 2012). Faktor lain menurut

Farhan Ahmad (2012) penyebab terjadinya tawuran antar siswa adalah kurangnya

peran sekolah. Sekolah memiliki peran yang besar dalam menghentikan tawuran.

Kondisi semacam itu jika terus berlanjut, kecenderungan yang terjadi

adalah pelajar atau masyarakat dapat berbuat apa saja tanpa harus memperhatikan

apakah tindakan yang dilakukan itu baik dan buruk atau benar dan salah.

Akibatnya, orang akan sulit membedakan tindakan seseorang itu baik atau buruk,

benar atau salah. Keadaan itu perlu diantisipasi, Salah satu upaya penanganan

khusus yang memungkinkan untuk meminimalisir kasus tersebut adalah melalui

pendidikan moral maupun budi pekerti, yaitu melalui pembelajaran,

pengungkapan, dan pelestarian nilai-nilai yang bermanfaat yang ada dari berbagai

sumber. Salah satu upaya untuk menjaga nilai atau ajaran (nilai didik) adalah

menuangkannya dalam bentuk karya sastra.

Pendidikan Moral adalah nilai yang berpangkal dari baik dan buruk serta

nilai kemanusiaan. Demikian pula nilai yang bersifat konsepsional adalah nilai-

nilai tentang keindahan yang sekaligus merangkum nilai-nilai tentang moral.

Karya sastra Jawa yang banyak ditulis oleh para pujangga banyak menberikan

tentang ajaran atau piwulang. Salah satu wujud karya sastra yang ditulis oleh para

pujangga berupa serat. Serat merupakan salah satu karya satra Jawa yang ditulis

oleh para bangsawan atau pujangga pada masa lampau, yang isinya menceritakan

budaya atau kehidupan pada saat karya sastra dibuat yang dituangkan dalam

bentuk naskah.

Page 166: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

159

Karya sastra dalam naskah-naskah Jawa banyak memuat ajaran-ajaran

serta nilai-nilai adiluhung yang bersifat mendidik. Hal tersebut senada dengan Edi

Sedyawati (2001:138) yang menyatakan bahwa setiap karya sastra Jawa

mengandung banyak teladan, kegunaan dari budi pekerti manusia, dalam kriteria

ini terutama bagi orang muda dan anak-anak. Salah satu karya sastra Jawa yang

mengandung nilai pendidikan moral adalah Serat Sangu Pati Jilid II Karya Ki

Padma Sujana.Serat tersebut menjelaskan tentang perjalanan manusia dari lahir

sampai meninggal. Manusia dalam menjalani kehidupan harus seimbang antara

masalah duniawi dan masalah akhirat. Menjalin hubungan yang baik dengan

sesama dan bekal mat menuju akhirat, kewaspadaan, nasihat, berbuat baik, dan

watak merupakan isi secara garis besar dari serat tersebut. Melalui Pengkajian

tentang nilai pendidikan moral dalam naskah ini, diharapkan dapat bermanfaat

untuk membangun dan membina moral generasi muda, agar siap menyongsong

era globasisasi ini tanpa menanggalkan nilai-nilai kearifan atau tradisi budaya

bangsa Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA

A. PUISI JAWA TRADISIONAL

Dalam khasanah sastra Jawa salah satu jenis karya sastra yang bersifat

puitik adalah tembang. Tembang menurut Padmosoekotjo (dalam Prawiradisastra,

1991: 64) yaitu, gubahan bahasa atau karya sastra dengan peraturan tertentu dan

membacanya harus dilagukan dengan seni suara. Tembang dalam bahasa Jawa

adalah sekar yaitu, karangan yang terikat oleh aturan guru gatra, guru wilangan,

guru lagu beserta lagu-lagunya. Tembang sebagai bagian dari hasil kesenian Jawa

merupakan unsur seni budaya atau unsur kesenian yang perlu dilestarikan

pembinaan dan pengembangannya.

Jenis tembang tradisional dibedakan menjadi 1) Tembang Gcdhe/Sekar

Ageng, 2) Tembang Tengahan/Sekar Tengahan, dan 3) Tembang Macapat/Sekar

Alit (Karsono Saputra, 2001: 103). Selanjutnya menurut Tedjohadisumarto (dalam

Sadjijo Prawiradisastra, 1991: 64) menyatakan: “Sekar Jawi menika wonten

Page 167: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

160

tigang werni inggih punika Sekar Macapat, Sekar Tengahan, lan Sekar Ageng,

kejawi punika wonten malih Lagu Dolanan Lare lan Sekar Gendhing”. Sekar

(tembang) Jawa itu ada tiga macam yaitu, Sekar Macapat, Sekar Tengahan, dan

Sekar Ageng, selain itu ada lagi Lagu Dolanan Anak dan Sekar Gendhing.

Hubungan antara tembang/sekar dengan bahasa dan sastra Jawa menurut

Asia Padmosoekotjo (1960: 25) adalah kang diarani tembang iku reriptan utawa

dhapukaning basa mawa paugeran tartemtu (gumathok) kang pamacane kudu

dilagokake nganggo kagunan swara. Terjemahannya “yang disebut tembang

adalah gubahan bahasa (karya sastra) dengan peraturan tertentu yang cara

membacanya dengan (vocal art)”.

Dalam puisi Jawa yang menggunakan bentuk Tembang biasanya termasuk

golongan puisi. Bentuk Tembang ini memakai ikatan-ikatan yang lebih tertentu

sesuai dengan jenis Tembangnya. Jenis-jenis Tembang yang terdapat pada puisi

Jawa antara lain; sekar alit, sekar tengahan, dan sekar ageng Tembang macapat

termasuk di dalamnya (R. S. Subalidinata, 1981:34).

Dalam kenyataannya tiap-tiap jenis Tembang macapat memiliki Guru

Lagu, Guru Wilangan, dan Guru Gatranya sendiri-sendiri yang tidak mesti sama

antara yang satu dengan yang lain. Istilah lain yang dipakai dalam Tembang

macapat adalah pada dan pupuh. Pada sama dengan istilah bait dalam puisi, satu

pada dalam Tembang macapat sama dengan satu bait (dalam satu jenis Tembang

macapat tertentu biasa terjadi dari beberapa pada). Pupuh adalah sekumpulan

bait-bait dalam satu jenis Tembang tertentu. Tembang macapat terdiri dari sebelas

macam, nama-nama Tembang tersebut adalah; Kinanthi, Pocung, Asmaradana,

Mijil, Maskumambang, Pangkur, Sinom, Durma, Gambuh, Megaruh dan

Dhandhanggula.

B. NILAI PENDIDIKAN MORAL

1. Pengertian Nilai dalam Karya Sastra

Nilai atau value termasuk pengertian filsafat. Persoalan-persoalan tentang

nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai

(Axiology, Theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang

nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjukkan kata

Page 168: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

161

benda abstrak yang artinya keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Dan

kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau

melakukan penilaian yang terdapat dalam Pendidikan Pancasila (Frankena

dalam Kaelan, 2000: 174)

Pendapat ini hampir sama dengan Sjarkawi (2005: 29) dalam

Pembentukan Kepribadian Anak yang menyatakan bahwa nilai atau value

(bahasa Inggris) atau valere (bahasa Latin) berarti berguna, mampu akan,

berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal

itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek

kepentingan. Menurut pandangan relativisme: (a) nilai bersifat relative karena

berhubungan dengan preferensi (sikap, keinginan, perasaan, selera,

kecenderungan, dan sebagainya), baik secara sosial maupun pribadi yang

dikondisikan oleh lingkungan, kebudayaan, atau keturunan; (b) nilai berbeda dari

suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya; (c) penilaian seperti benar-salah, baik-

buruk, tepat-tidak tepat, tidak dapat diterapkan padanya; (d) tidak ada, tidak

dapat ada nilai-nilai universal, mutlak, dan objektif maupun yang dapat

diterapkan pada semua orang pada segala waktu. Pandangan subjektivitas

menegaskan bahwa nilai-nilai seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, tidak ada

dalam dunia nyata secara objektif, tetapi merupakan perasaan, sikap pribadi,

ddan merupakan penafsiran atas kenyataan.

Nilai-nilai itu sendiri telah ada dalam diri manusia dan dalam hidup ini

(Mardiatmaja, 1986: 20). Dalam Tujuan Dunia Pendidikan, proses kehidupan

manusia, nilai-nilai disadari, diidentifikasi dan diserap menjadi milik yang

disadari untuk dikembangkan. Adapun nilai dalam karya sastra menurut Asia

Padmopuspito (1990:4) berupa ajaran, pesan, dan nilai-nilai kehidupan yang

dapat digunakan sebagai bahan piwulang (ajaran). Selain itu, karya sastra dapat

dimanfaatkan untuk kepentingan generasi berikutnya pada masa sekarang atau

masa yang akan datang. Hal senada juga dinyatakan oleh (Zulfahnur dkk, 1996:

132) bahwa karya sastra merupakan ekspresi dan penghayatan serta pengalaman

batin si pengarang terhadap masyarakat dalam situasi dan waktu tertentu. Di

dalamnya dilukiskan keadaan kehidupan sosial suaru masyarakat, nilai-nilai

Page 169: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

162

berupa pesan, ajaran atau anjuran serta bahasanya sehingga sastra berguna untuk

pembacanya.

2. Nilai Pendidikan Moral

Moral juga diartikan sebagai hubungan dalam pergaulan masyarakat dan

hubungan tersebut didasarkan kepada ukuran baik buruk (Ali, 1997: 218). Lebih

lanjut Edgel dan Magnis (dalam Darusuprapta, 1990: 1) mengemukakan bahwa

nilai moral merupakan kaidah dan pengertian yang menentukan hal-hal yang

dianggap baik buruk, serta menerangkan apa yang seharusnya dan sebaiknya

dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat didalam bertingkah laku punya

standar atau ukuran yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang ada. Dengan

demikian, nilai moral merupakan aturan yang dijadikan patokan oleh semua

manusia dalam pergaulannya dimasyarakat.

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup

pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai lebenaran, dan hal

itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dalam karya sastra pengarang

menampilkan modal yang berhubungan dengaan nilai-nilai kehidupan. Greibstein

(dalam Damono, 1984: 5) menyebutkan bahwa karya sastra yang bisa bertahan

lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik hubungannya dengan seseorang

maupun dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya.

Gazalba (1978: 118) bahwa, nilai-nilai pendidikan moral adalah nilai-

nilai yang berkaitan dengan perbuatan, tingkah laku, dan sikap yang baik serta

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di masyarakat. Nilai moral ini meliputi

sikap moral hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan

sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia

dengan alam. sejalan dengan pendapat di atas, Nurgiyantoro (2002: 324)

menyatakan bahwa ajaran moral dalam karya sastra mencakup masalah yang bisa

dikaitkan bersifat tidak terbatas. Secara garis besar dibedakan menjadi 3, yaitu: a)

Moral yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan; b) Moral yang

menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial

Page 170: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

163

termasuk dalam hubungan dengan lingkungan alam, dan; c) Moral yang

menyangkut hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

PEMBAHASAN

Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Sangu Pati II

Serat Sangu Pati II Karya Padma Sujana berisi tentang piwulang atau

ajaran tentang perilaku kebaikan yang harus dilakukan semasa hidup untuk bekal

hidup di akhirat. Selain itu, dalam serat tersebut juga menguraikan tentang hal-hal

yang bisa menjadi penghalang kehidupan serta simbol yang menggambarkan sifat

keadaan di bumi.

Serat Sangu Pati Jilid 2 Karya Ki Padma Sujana menggunakan aksara

Jawa dan masih dapat dibaca. Serat ini terdiri diri dari tujuh pupuh. Pupuh satu

Dhandhanggula 8 pada, pupuh dua Pangkur 12 pada, pupuh tiga Sinom 10 pada,

pupuh empat Kinanthi 15 pada, pupuh lima Durma 25 pada, pupuh enam

Gambuh 12 pada, pupuh tujuh Dhandhanggula 28 pada. Serat Sangu Pati berisi

tentang piwulangan atau ajaran yang diberikan oleh Ki Padma kepada manusia

berupa bekal mati menuju akhirat. Berikut beberapa nilai pendidikan moral yang

terdapat dalam serat Sangu Pati II:

1. Nilai Pendidikan Moral yang Membahas Hubungan Manusia dengan Tuhan

dalam Serat Sangu Pati II

a. Beriman pada Tuhan

“bali marang alamipun, alam duk durung dumadi, kaya paran marga nira,

bangkité yén arsa bali, tumêkané alam lam, kang langgêng tanpo wuh

gingsir”.

„Kembali ke alamnya, ketika alam belum terbentuk, seperti sudah menjadi

jalannya, pergi akan kembali, datang ke alam, yang abadi tanpa berpindah‟.

Pada bait tembang di atas menunjukkan bahwa yang yakini yaitu Tuhan.

Dalam agama diajarkan petunjuk tentang hidup yang sempurna hingga akhir

hayat, Manusia diciptakan oleh Tuhan untuk selalu meyakini awal dan

kembalinya bahwa ketetapan Tuhan itu mutlak. Hal tersebut memang nyata dalam

kehidupan ini Tuhan yang telah menetapakan kehidupan dan kematian, artinya

hidup dan mati ada ditangan Tuhan. Manusia sebagai ciptaan Tuhan harus tunduk

Page 171: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

164

dan patuh kepadaNya, hendaklah selalu ingat akan perilaku atau tindakan yang

diperbuat.

b. Bersyukur pada Tuhan

“kang rila lêga wéng kalbu, têtêp mantêp nyantosani, ingkang sabar myang

darana, duga prayoga ywa lali, iku marga ning utama, hanjog mring

klanggêngan kaki”.

„Yang tulus ikhlas dari kalbu, tetap memberi kebahagiaan, kesabaran dan

kebahagiaan, jangan melupakan kemuliaan-Nya, karena itu merupakan yang

utama, kepada ketetapan leluhur‟.

Nilai pendidikan moral yang terdapat pada bait tembang di atas yaitu

menusia hendaklah selalu ingat kepada Tuhan yang mencipta alam semesta ini.

Percaya dan yakin kepada Tuhan, harus pasrah dan bersyukur kepada kehendak

Tuhan. Untuk bisa mencapai pada tingkat ikhlas hendaknya bersikap sabar,

diperintahkan untuk selalu melatih kebaikan dan meyakini semua

kekuasaanNya.

2. Nilai Pendidikan Moral yang Membahas Hubungan Manusia dengan Sesama

dalam Serat Sang Pati II

a. Tidak memaksakan kehendak

“samêngko ingsun tutur, marang sakéh anak putu ningsun, bok di aling réh

ning tatih nitah jawi, jawané baé tan putus, pêksa mêlik wéking nguwong”.

„Sementara jika saya berbicara dengan semua anak cucu saya, maka dibatasi

dengan tatanan hidup Jawa. Tatanan hidup Jawa saja tanpa terputus, jadi tidak

memaksakan kehendak orang lain.

Data di atas menjelaskan bahwa kelak jika berbicara dengan anak cucu

perlu memperhatikan tata cara atau adat Jawa, agar nilai nilai yang terdapat

dalam budaya Jawa tidak luntur, sehingga tertanam jiwa untuk menghargai dan

menghormati diri sendiri dan orang lain. Nilai-nilai luhur budaya Jawa dalam

khususnya dalam membimbing melalui proses komunikasi akan melatih anak

untuk rasa (angon rasa), sehingga anak dalam situasi apapun dapat

menunjukkan rasa hormat dan membawa diri menurut tatakrama. Masyarakat

Jawa mengatur interaksi dengan sesama melalui dua prinsip, yaitu prinsip

Page 172: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

165

kerukunan dan prinsip hormat, sehingga dalam komunikasi di masyarakat

mampu menahan diri serta tidak memaksakan kehendak.

Dari data tersebut dapat dijelaskan bahwa nilai yang terdapat dalam Serat

Sangu Pati II memberikan ajaran bahwa sebagai orang tua yang masih

mengedapankan nilai-nilai luhur budaya Jawa serta mampu menanamkannya

pada anak cucu. Hal tersebut dapat menuntun dan mengendalikan anak dalam

situasi apapun, sehingga anak dapat membawa diri menurut tatakrama untuk

menghormati dan menghargai orang lain.

b. Menjalin kerukunan dengan sesama

“godha lair iku mangkéné wujudnya, gêsang srawungan dhingin, mangkéné

wajibnya, kudu tindak utawa, nilar laku ingkang nisthip, watake candhala:

kabéh kang dén singkiri”.

„Godaan lahir itu seperti ini wujudnya. pertama hidup saling menghormati,

menjalankan kewajibannya, atau harus bertindak meninggalkan yang hina,

semua sifat yang kasar disingkirkan‟.

Dari data di atas menjelaskan bahwa sebagai manusia harus hidup saling

menghormati, menjalankan kewajiban-kewajibannya, meninggalkan perbuatan

yang hina, dan menyingkirkan hal-hal yang bersifat kasar. Orang Jawa mampu

membawa diri menurut tatakrama, Dari penjelasan tersebut menunjukkan bahwa

dalam Serat Sangu Pati II memberikan ajaran mengenai orang Jawa yang

memiliki akal budi pasti juga memiliki rasa untuk menghormati orang lain baik

yang sederajat maupun yang lebih tua. Mampu mengedapankan laku utama atau

kebaikan dan menjauhi sifat hina. Pengendalian diri terhadap perbuatan hina dan

selalu menjalankan kewajiban-kewajiban merupakan tindakan yang dapat

menyelaraskan kehidupan masyarakat.

3. Nilai Pendidikan Moral yang Membahas Hubungan Manusia dengan Diri

Pribadi dalam serat Sangu Pati II

a. Ajaran pengendalian diri

“ana ingkang darbé tékad, mung tuman-tumanêm sêpi, pinêsu ing tapa brata,

tékad dédén santosani, binudi siyang ratri, ning kês kamurkaning napsu, cêgah

Page 173: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

166

dhahar myang néndra, titis datan nguciwani, bangkit béngkas rubéd kang

moncawarna”.

„Ada yang memiliki tekat, hanya melakukan kebiasaan-kebiasaan menyepi,

berdoa dalam keadaan marah. tekat menjadi kebahagiaan, menjaga siang malam

dari kemurkaan nafsu, menghindari makan dan tidur, tidak mengecewakan, dan

munculnya penghalang bermacam-macam‟.

Pada bait tembang di atas menjelaskan tentang ajaran atau perintah untuk

mengendalikan diri dari segala kenikmatan hidup berupa makan dan tidur.

Dalam masyarakat jawa terdapat istilah prihatin, dalam kamus Baoesastra

Djawa prihatin berarti lelaku atau melakukan suatu keadaan dengan seadanya

atau merasakan keadaan yang secukupnya bahkan bisa dikatakan keadaan susah.

Perilaku ini dilakukan untuk memperoleh pencerahan hati, keluhuran hati, hal

ini dilakukan dengan cara mengurangi makan dan mengurangi tidur.

b. Hati-hati dan Waspada

“Samangkyané sira kudu kang waspada, dalané mring kajatin, iya mring

kasidan, iku kalangkung gawat,akéh godha ngriribêdi, ambêdhung lampah:

lamun arsa manunggil”.

„Sementara kamu harus waspada, jalan menuju kebenaran, akan tercapai,

dengan kesungguhan, itu terlalu sulit, banyak godaan mengganggu, akan

menghambat perilaku, jika Tuhan berkehendak‟.

Dari data di atas menjelaskan bahwa manusia yang memiliki tekad dapat

mengendalikan diri walaupun dalam keadaan marah dan mengendalikan hawa

nafsu. Cara mengendalikan hal tersebut adalah dengan melakukan laku tapa

tidak makan dan tidur terjaga siang dan malam serta menghadapi godaan yang

muncul demi meraih kebahagiaan.

Nilai moral yang terdapat dalam kutipan Serat Sangu Pati Jilid 2

memberikan ajaran bahwa sebagai manusia harus dapat mengendalikan dua hal,

yaitu nafsu dan sifat egois. Pengendalian diri melalui laku tapa tersebut

bermaksud untuk memperkuat kehendak dalam usaha mempertahankan

keseimbangan batin.

KESIMPULAN

Serat Sangu Pati II merupakan serat yang memuat tentang ajaran tentang

perilaku yang harus dilakukan manusia di dunia untuk menyiapkan bekal untuk

Page 174: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

167

menghadapi kematian. Selain itu, nilai-nilai yang berisi pengetahuan untuk mengatur atau

mengajar dijadikan bahan pengajaran untuk mencapai keluhuran hidup atau pelajaran

hidup supaya selamat.

Upaya-upaya nyata dalam proses pembinaan moral dan pendidikan dalam Serat

Sangu Pati II dapat dilakukan oleh para pendidik (guru) atau tokoh masyarakat. Para

pengajar dapat mengajarkan sastra Jawa kaitannya dengan tembang berdasarkan teks-teks

tembang Serat Sangu Pati II dengan memberikan kajian terhadap nilai yang ada dalam

teks tersebut. Hal itu sangat relevan mengingat ajaran nilai-nilai moral sangat dibutuhkan

dalam proses pembentukan budi pekerti bagi peserta didik. Selain itu, para tokoh

masyarakat dapat menggunakan hasil penjabaran tembang dalam Serat Sang Pati II

tersebut sebagai bahan pembinaan moral, pendidikan masyarakat.

DAFTAR RUJUKAN

Ali M.N. 1979. Dasar-dasar Ilmu Mendidik. Jakarta: Mutiara. Asia Padmopuspita. 1990. “Citra Wanita dalam Sastra” Dalam Cakrawala Pendidikan.

Yogyakarta: Lembaga Pengabdian Masyarakat.

Burhan Nurgiyantoro. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Darusuprapta. 1985. Serat Wulangreh. Surabaya: Citra Jaya.

Farkhan Ahmad, 2012. Peran Sekolah dalam Menghentikan Budaya Tawuran.

http://log.viva.co.id/news/read/356685-peran-sekolah-dalam-menghentikan-

budaya-tawuran. Diakses tanggal 6 Januari 2013.

Karsono H. Saputra 2001. Puisi Jawa Struktur dan Estetika. Jakarta: Wedatama Widya

Sastra.

Padmosoekotjo, S. 1956. A Ngengrengan Kasusutraan Djawa I. Jogjakarta: Hien Hoo.

Sing.

Padmosoekotjo, S. 1956. B Ngengrengan Kasusutraan Djawa II. Jogjakarta: Hien Hoo.

Sing.

Poerwadarminto, W. J. S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers

Maatschappij. NV.

Sapardi Djoko Damono. 2001. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Bahasa

Page 175: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

168

Sjarkawi. 2002. Pembentukan Kepribadian Anak (Peran Moral, Intelektual,

Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri).

Jakarta: Bumi Aksara.

Subalidinata, R. S. 1994. Kawruh Kasustraan Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka

Nusantara.

Zulfahnur, dkk.1996. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Page 176: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

169

NILAI-NILAI LUHUR BUDAYA JAWA DALAM LAKON WAYANG

SAWITRI

KARYA KI NARTOSABDO SUMBANGANNYA

BAGI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

Oleh:

Aris Aryanto, S.S., M.Hum.

Universitas Muhammadiyah Purworejo

[email protected]

Abstrak

Seni pertunjukan wayang dikenal sebagai seni yang adiluhung. Di

dalamnya terkandung berbagai macam hal yang berkaitan dengan

pedoman hidup dan tingkah laku karena wayang merupakan

representasi kehidupan manusia. Meskipun asal-usul mengenai

pertunjukan wayang belum bisa dipastikan. Akan tetapi, dalam

kenyataannya, pertunjukan wayang masih bisa bertahan sampai saat

ini mengikuti perkembangan jaman mengingat fakta bahwa

pertunjukan wayang masih menjadi pilihan oleh sebagian

masyarakat Nusantara, khususnya suku Jawa sebagai pedoman

berbagai tingkah laku. Salah satu di antaranya adalah lakon wayang

Sawitri sanggit Ki Nartosabdo. Nilai-nilai budaya Jawa masih

relevan sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat

terutama dalam penumbuhkembangan pendidikan budi pekerti.

Nilai-nilai keluhuran budaya Jawa dalam lakon wayang Sawitri

sanggit Ki Nartosabdo, antara lain: berbudi bawa leksana, berbudi

luhur, tidak pernah menyimpang dari kebaikan, berbakti kepada

orangtua dan setia kepada suami, adil paramarta, memiliki

kewibawaan dan memiliki tata krama, dan pantang menyerah.

Kata kunci : pertunjukan wayang, pendidikan budi pekerti.

PENDAHULUAN

Persoalan antara Jawa dan wayang dalam prosesnya tidak akan pernah

selesai untuk dibicarakan dan dikaji. Selamanya akan terus berproses karena Jawa

merupakan kekuatan faktual dalam konstelasi kehidupan Indonesia, dan wayang

merupakan bentuk kesenian Jawa yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam

kehidupan masyarakat Jawa (Kayam, 2001:2). Wayang bagi sebagian masyarakat

Jawa merupakan representasi kehidupan manusia. Di dalamnya, memuat nilai,

Page 177: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

170

norma, etika, estetika, serta aturan-aturan dalam berbuat dan bertingkah laku yang

baik di kehidupan. Maka, tidak mengherankan jika kajian mengenai wayang yang

sarat dengan nilai yang terkandung di dalamnya masih merupakan objek kajian

yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.

Pertunjukan wayang sampai saat ini masih memiliki eksistensinya.

Terbukti, pertunjukan wayang sering dipentaskan dalam acara-acara untuk

memperingati hari jadi suatu daerah atau lembaga negeri dan swasta, pesta

pernikahan, acara kenegaraan, dan lain sebagainya. Ditambah lagi, seni wayang

diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO. Meskipun begitu,

sebagai masyarakat Jawa khususnya, dan warga negara Indonesia pada umumnya

tidak harus cepat berbangga hati. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan yang

terjadi di segala bidang kehidupan manusia sedikit banyak telah membawa

dampak yang begitu jelas bagi perkembangan kehidupan masyarakat di Indonesia,

terutama remaja usia produktif. fenomena westernisasi telah menyebabkan

terjadinya perubahan tata pikir, tata kelakuan dan sikap mental hidup masyarakat.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Sutrisno (1985:29) bahwa

teknologi bukan semata-mata merupakan penerusan yang lebih sempit dari

peralatan yang terdapat diseluruh taraf kebudayaan, melainkan telah bergerak

meloncat ke tangga yang lebih tinggi dalam kapasitas implikatif, berupa

kecenderungan untuk mendisposisi/merubah tata pikir, tata kelakuan, dan sikap

mental hidup masyarakat. Maka, hal ini memunculkan kekawatiran di kalangan

para cendekia untuk segera mengambil langkah menggali kembali nilai-nilai

budaya sebagai basis pertahanan terakhir yaitu dengan pendidikan budaya.

Pendidikan budaya merupakan suatu usaha untuk menumbuhkembangkan

pemahaman akan nilai-nilai hidup dan kehidupan. Pendidikan budaya (budi

pekerti) tidak bisa lepas dari sistem nilai yang dimiliki oleh masyarakat (Muslich,

2011:137). Nilai luhur budaya dianggap sebagai senjata yang paling ampuh untuk

mengatasi dekadensi moral dan etika di masyarakat. Dengan nilai-nilai budaya

tersebut, manusia dapat memahami dan memandang segala gejala yang tampak,

sekaligus memilah-milah dan menentukan tata cara atau strategi pengaturannya

(Kresna, 2010:7).

Page 178: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

171

Nilai-nilai luhur yang ada dalam pewayangan, salah satunya yaitu lakon

wayang sawitri sanggit Ki Nartosabdo sesungguhnya bisa menjadi benteng

kebudayaan Indonesia sebagai sarana pembangun dan pemerkokoh karakter

bangsa. Meskipun menceritakan tentang perjuangan seorang wanita (Sawitri)

untuk menghidupkan kembali suaminya (Bambang Satyawan) dari maut, akan

tetapi di sisi lain banyak mengungkapkan tentang nilai-nilai budaya yang patut

dijadikan sebagai pedoman hidup. Hal ini sejalan dengan pendapat Damono

(1993:206) yang menyatakan bahwa wayang selain sebagai seni pertunjukan yang

digemari masyarakat luas, juga merupakan sangkutan dari berbagai pengertian

mengenai sikap dan pandangan hidup.

PEMBAHASAN

1. Sinopsis Lakon Wayang Sawitri

Diceritakan di negara Madras, terdapatlah seorang raja yang bernama

Aswapati dan istrinya bernama Dewi Hapsari. Sebenarnya Prabu Aswapati

menjalani brata atau laku selama delapan belas tahun karena dia tidak memiliki

anak. Oleh Sanghyang Brahma diberi anugerah anak, yang anak itu diberi nama

Dewi Sawitri. Dewi Sawitri sebenarnya merupakan titisan dari Bethari Gayatri

atau Saraswati. Ketika telah beranjak dewasa dan harus menikah, akhirnya Dewi

Sawitri menjatuhkan pilihan kepada Bambang Satyawan. Dewi sawitri

menjatuhkan pilihan kepada Bambang Satyawan menurut Narada tepat karena

Bambang Satyawan merupakan sosok yang tampan, sakti, baik hati, setia pada apa

yang diucapkan tetapi mempunyai satu ciri yang merusak segala kebaikan

Bambang Satyawan. Akan tetapi, terhitung sejak hari itu ketika Dewi Sawitri

memilih Bambang Satyawan menjadi suami, umur Bambang Satyawan hanya satu

tahun. Karena begitu besar kesetiaan dan cinta kasih Dewi Sawitri kepada

Bambang Satyawan, maka akhirnya Dewi Sawitri tetap menikah dengan Bambang

Satyawan. Suatu hari Dewi Sawitri mendapat petunjuk agar melakukan triratya.

Akhirnya Dewi Sawitri melakukan triratya yaitu selama tiga hari tiga malam

tidak tidur, tidak makan dan minum.

Page 179: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

172

Triratya merupakan laku atau tapa yang berat, tetapi hal itu tetap

dilakukan oleh Dewi Sawitri. Laku yang dikerjakan oleh Dewi Sawitri akhirnya

membuahkan hasil ( wohing kadarman). Tepat pada hari terakhir nyawa Bambang

Satyawan dicabut oleh dewa yang bernama Yamadipati. Pada saat itu, Dewi

Sawitri dan Bambang Satyawan sedang berada di kebun. Laku triratya yang

dilakukan oleh Dewi Sawitri membuahkan hasil, Dewi Sawitri dapat melihat dan

berbicara dengan Yamadipati.

Yamadipati terkesan dengan pembicaraan Dewi Sawitri sehingga Dewi

Sawitri mendapat anugerah. Jika Ki Nartosabdo memberikan dua anugerah

kepada Dewi Sawitri oleh Yamadipati, yaitu Mertua Dewi Sawitri Begawan

Jumyatsena diberikan kesembuhan matanya dari kebutaan dan Dewi Sawitri

mendapat anugerah seratus anak yang perkasa.

2. Nilai-Nilai Keluhuran Budaya Jawa dalam lakon Wayang Sawitri Karya

Ki Nartosabdo

Nilai keluhuran dalam budaya Jawa adalah pandangan hidup yang tidak

menyimpang dari kaidah-kaidah kemanusiaan, yaitu kaidah tingkah laku, norma

masyarakat, dan tentu saja sesuai dengan ajaran agama. Nilai-nilai keluhuran

budaya Jawa sebagai kearifan lokal perlu digali karena memiliki karakteristik

yang cukup efektif untuk menjaga harmoni dalam kehidupan masyarakat dan

mampu menyelesaikan konflik yang terjadi (Roqib, 2007:5). Maka, studi budaya

menjadi posisi yang penting.

Cerita wayang memiliki nilai-nilai budaya, terutama terkait dengan pola

tingkah laku baik yang berguna bagi manusia untuk menjalani kehidupan karena

wayang merupakan refleksi kehidupan manusia. Hal ini cukup beralasan karena

dalam setiap pementasan terdapat nilai-nilai atau falsafah hidup yang tinggi

melalui sanggit (kreatifitas) lakon atau cerita wayang purwa yang disampaikan

oleh seorang dalang (orang yang memainkan wayang) yang tertuang pada alur

dramatik ke dalam antawecana janturan, pocapan, dan dialog wayang. Nilai-nilai

budaya yang terdapat dalam lakon wayang Sawitri karya Ki Nartosabdo antara

lain: berbudi bawa leksana, berbudi luhur, tidak pernah menyimpang dari

Page 180: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

173

kebaikan, berbakti kepada orangtua dan setia kepada suami, adil paramarta,

memiliki kewibawaan dan memiliki tata krama, dan pantang menyerah.

a. Berbudi bawa leksana

Sosok Dewi Sawitri merupakan sosok wanita yang luar biasa, wanita

yang setia, tulus ikhlas melakukan apapun demi menghidupkan kembali

suaminya (Bambang Satyawan) dari kematian. Wanita yang benar-benar

mengamalkan ilmu berbudi bawa leksana yaitu melakukan apapun yang telah

diucapkan, bila berjanji ditepati. Seperti kutipan di bawah ini:

Kutipan :

“Sawitri : Kula sampun janji dhateng raos kula piyambak menawi

ngantos kula mblenjani awit sangking katarik cendhak lan panjanging

umur, menawi ngaten katresnan kula dhateng pun Satyawan nadyan

dereng kelampahan panemunipun nanging menika winatesan cendhak

lan panjanging umur ”.

Terjemahan :

“Sawitri : Saya sudah berjanji kepada hati saya sendiri bahwa jikalau

saya berbohong hanya tertarik kepada panjang dan pendeknya umur,

jika begitu cinta saya kepada Satyawan meskipun belum terjadi tetapi

hal ini dibatasi oleh panjang dan pendeknya umur”.

Sifat berbudi bawa leksana tidak hanya melekat kepada seorang

pemimpin saja akan tetapi melekat kepada semua orang seperti yang

dilakukan oleh Dewi Sawitri. Jika hal ini diterapkan di dunia pendidikan,

maka paling tidak kehidupan guru, murid, kepala sekolah, dan seluruh warga

sekolah akan merasa tentram. Semua orang melakukan apa yang sudah

diucapkan sehingga tidak akan mungkin berbohong. Perbuatan yang sudah,

akan, atau belum merupakan tanggungjawab masing-masing individu.

Berbudi bawa leksana dalam filsafat Jawa, dinyatakan sebagai seorang

pemimpin (raja) yang secara konsekuen selalu bertekad untuk

melaksanakan apa yang telah diucapkan (Sujamto, 1993:17). Biasanya

berbudi bawa leksana selalu diikuti dengan ungkapan “sabda brahmana

raja, tan kena wola-wali” artinya, segala ucapan yang telah terucap oleh

Page 181: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

174

sang raja (pemimpin) tidak boleh diulang-ulang. Akan tetapi, yang terjadi

di masyarakat sekarang ini, cenderung menilai para wakil rakyat hanya

mengumbar janji tanpa adanya realisasi. Hal ini yang menyebabkan

kepercayaan masyarakat kepada wakil rakyat semakin rendah. Maka,

paling tidak jika manusia mengamalkan sifat berbudi bawa leksana,

kehidupan manusia akan merasa tentram dan sejahtera.

Lebih lanjut, Sujamto (1993:47) mengatakan bahwa bawaleksana

merupakan nilai etika Jawa yang masih dijunjung tinggi. Maka tidak

mengherankan jika sikap bawaleksana diakui sebagai mengandung nilai yang

baik, dan perlu dipegang teguh oleh semua orang.

b. Berbudi luhur

Kutipan :

“...eling-eling putri langkung luhuring budi nadyan kaya ngapa

suksukane raos,...”

Terjemahan :

“Seorang putri yang berbudi luhur meskipun seperti apapun keadaan

hati,...”

Di dalam cerita, disebutkan pula bahwa Dewi Sawitri memiliki sifat

berbudi luhur. Utamanya bagi insan manusia, memiliki sifat berbudi luhur

sangat dianjurkan karena akan membawa kebaikan yang ada di sekelilingnya.

Maka tidak heran jika ada orang memiliki budi yang luhur akan banyak

didekati oleh orang.

c. Tidak pernah menyimpang dari kebaikan, berbakti kepada orangtua,

dan setia kepada suami.

Kutipan :

“Sanghyang Yamadipati : Lha iya nggenah kowe taktitipriksa. Kowe

sawijining wanita kang runtut samubarangmu. Siji, kowe ora tau

nyimpang saka kautaman. Loro, kowe bekti marang Rama lan Ibumu.

Kaping telune, kowe setya marang guru lakimu”.

Terjemahan :

Page 182: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

175

“Sanghyang Yamadipati : benar, kamu telah saya ketahui. Kamu

seorang wanita yang lurus keseluruhannya. Satu, kamu tidak pernah

menyimpang dari kebaikan. Kedua, kamu berbakti kepada kedua orang

tuamu. Ketiga, kamu setia kepada suamimu”.

Sebagai seorang manusia yang diciptakan ke dunia, sudah

sepantasnyalah harus selalu berjalan di jalan dharma atau kebaikan. Jika salah

melangkah atau melakukan hal-hal yang menyimpang, celakalah dan sia-sia

hidup di dunia ini. Maka, manusia diberikan akal untuk berpikir yang baik dan

melakukan segala sesuatu yang baik. Selain itu, berbakti kepada kedua orang

tua, dan bagi para istri, setia kepada suami merupakan perbuatan yang mulia.

Jika seluruh masyarakat mengamalkan nilai-nilai kesetiaan, kebaktian, dan

berjalan di jalan kebaikan, paling tidak kehidupan masyarakat akan selalu

dihiasi dengan perasaan tentram dan damai.

d. Adil paramarta

Prabu Aswapati di dalam Lakon Wayang Sawitri merupakan orangtua

Dewi Sawitri. Prabu Aswapati mengadakan sayembara agar dapat berbuat adil

bagi semua raja dari seribu negara yang ingin melamar Dewi Sawitri.

Keputusan ini diambil oleh Prabu Aswapati agar tidak terjadi pertumpahan

darah di negara Madras dalam memperebutkan Dewi Sawitri. Adil paramarta

yaitu dapat berbuat adil kepada siapapun seperti yang dilakukan oleh Prabu

Aswapati yang telah berbuat adil kepada para raja dari seribu negara dengan

mengadakan sayembara pilih. Hal ini dapat dirumuskan berdasarkan kutipan

yang terdapat dalam Lakon Wayang Sawitri.

Kutipan :

“Aswapati : ...dienggo adiling lelakon, aja nganti tuwuh rasa

panggresula kang tinampik, ning aja kebombongen rasane kang pada

tinampa. Anakku Sawitri takdhunake sayembara pilih...”

Terjemahan :

Prabu Aswapati : ...agar adil bagi semua, jangan sampai timbul rasa

sedih bagi yang ditolak, tetapi juga jangan sombong bagi yang

diterima. Putriku Sawitri saya jadikan sayembara pilih...”

Adil paramarta dapat diartikan yang lain, yaitu tidak berat sebelah.

Segala keputusan yang dihasilkan dapat diterima dengan lapang dada.

e. Berwibawa dan bertata krama.

Page 183: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

176

Kutipan :

“Bambang Satyawan ingkang wus tetep kasusilane, lumampah andhap

anoraga angeka pada kaya sata matarangan. Kathah para janma kiwa

tengene kang padha nunggal karep, byak-byak dadi dalan mulat Sang

Satyawan, katarik ing reh kebagusane, kaperbawaning reh

kasusilane.”

Terjemahan :

Bambang Satyawan yang memiliki tatakrama yang baik, berjalan

sopan diibaratkan seperti ayam betina masuk ke kandangnya. Banyak

para raja yang berada di kanan dan kiri yang memiliki niat yang sama,

seperti mempersilahkan dan semua mata tertuju kepada Satyawan

karena tertarik dengan ketampanannya, kewibawaan dan tata

kramanya.”

Dalam menapaki kehidupan, manusia dituntut untuk selalu bersikap

sesuai dengan adat sopan santun atau tata krama yang telah disepakati

bersama oleh masyarakat meskipun sifatnya hanya konvensi. Tetapi, ancaman

sanksinya adalah cemoohan atau bahkan pengusiran warga dari kehidupan

masyarakat setempat. Maka, pembelajaran tata krama paling tidak sudah

ditanamkan kepada anak-anak di lingkungan yang paling kecil, yaitu keluarga.

Dengan pendidikan budaya, transmisi budaya atau pewarisan budaya akan

berjalan dengan baik demi terciptanya stabilitas hidup bermasyarakat yang

sejahtera.

f. Pantang menyerah

Di dalam lakon wayang Sawitri tersebut, menceritakan tentang daya

upaya yang dilakukan oleh Dewi Sawitri yang tak kenal menyerah untuk

menghidupkan kembali suaminya dengan menjalani laku triratya. Makna lain

yang tersirat adalah besarnya daya upaya ternyata mampu merubah jalannya

takdir kehidupan (gedhening wiradat bisa ngendhih tekane kodrat). Artinya

bahwa cita-cita yang diusahakan dengan penuh keberanian, semangat,

kejujuran, keikhlasan, kesetiaan, dan kasih sayang pada akhirnya akan

memetik buah yang setimpal.

Dalam tulisan Koentjaraningrat (1984:70) mengatakan bahwa

mentalitas mengenai ihtiar (berusaha) atau pantang menyerah sudah

ditunjukkan oleh para pujangga-pujangga Jawa dalam karya-karyanya.

Page 184: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

177

Konsepsi ihtiar mewajibkan manusia untuk selalu berusaha meskipun hidup

itu pada hakikatnya harus dialami sebagai suatu ujian yang penuh dengan

penderitaan, agar penderitaan hidup itu diperbaiki.

KESIMPULAN

Dalam kenyataannya, pertunjukan wayang masih dapat bertahan

mengikuti perkembangan jaman sampai saat ini, mengingat fakta bahwa

pertunjukan wayang masih menjadi pedoman berbagai pola tingkah laku oleh

sebagian masyarakat Nusantara, khususnya suku Jawa. Salah satu di antaranya

adalah lakon wayang Sawitri sanggit Ki Nartosabdo. Nilai-nilai budaya yang

terdapat dalam pewayangan masih relevan dengan perkembangan dinamika

masyarakat terutama dalam penumbuhkembangan pendidikan budi pekerti. Selain

itu, wayang merupakan refleksi kehidupan manusia. Maka tidak mengherankan

jika ajaran-ajaran dalam cerita wayang masih dihayati oleh para penghayatnya.

Penumbuhkembangan mengenai nilai-nilai luhur budaya Jawa dapat

dipahami sebagai “pedoman tingkah laku” manusia dalam menjalani hidup di

dunia. Nilai-nilai keluhuran budaya Jawa kaitannya dengan pendidikan budi

pekerti adalah memberikan pemahaman dan sudut pandang betapa pentingnya

pendidikan budaya di masyarakat. Nilai-nilai keluhuran budaya Jawa dalam lakon

wayang Sawitri sanggit Ki Nartosabdo, antara lain: berbudi bawa leksana, berbudi

luhur, tidak pernah menyimpang dari kebaikan, berbakti kepada orangtua dan setia

kepada suami, adil paramarta, memiliki kewibawaan dan memiliki tata krama,

dan pantang menyerah.

DAFTAR RUJUKAN

Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi,

dan Struktur. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT

Gramedia.

Page 185: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

178

Kresna, Ardian. 2010. Semar dan Togog: yin yang dalam budaya Jawa.

Yogyakarta:Narasi.

Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: menjawab tantangan krisis

multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Roqib, Moh. 2007. Harmoni dalam Budaya Jawa: dimensi edukasi dan keadilan

gender. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Sujamto. 1993. Sabda Pandhita Ratu. Semarang:Dahara Press.

Sutrisno, Slamet. 1985. Sorotan Budaya Jawa dan Yang Lainnya. Yogyakarta :

Andi Offset.

Page 186: PROSIDING - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/PROSIDING-SEMINAR-28... · Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴24 (Tanggap)

179