PROSIDING - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/860/2/LIPI1-2_me.pdfEnsilase adalah suatu cara...
Transcript of PROSIDING - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/860/2/LIPI1-2_me.pdfEnsilase adalah suatu cara...
i
PROSIDINGSEMINAR NASIONAL
BIORESOURCES UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMIHIJAU
Bogor, 24 September 2014
Peran Bioteknologi dalam Peningkatan Populasi danMutu Genetik Ternak Mendukung Kemandirian
Daging dan Susu Nasional
Diselenggarakan olehPusat Penelitian Bioteknologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesa
Prosiding Seminar Nasional“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau” PRO
175
KUALITAS KUMPAI MINYAK (Hymenacheamplexicaulis Haes ) DAN KUMPAI BATU (Ischaemumpolystachyum J Presl) YANG DIENSILASE DENGAN
EKSTRAK RUMPUT FERMENTASI
Tintin Rostini
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Islam KalimantanJln Adyaksa No 2 Kayu Tanggi Banjarmasin
Email : [email protected]
ABSTRAKEnsilase adalah suatu cara pengawetan secara anaerob melalui prosesfermentasi pada kandungan air tinggi. Penelitian ini bertujuan untukmengevaluasi kualitas, karakteristik fermentasi, in vitro dan kecernaan nutriensilase Hymenache amplexicaulis Haes dan Ischaemum polystachyum JPresl dengan ektrak rumput terfermentasi. Metode penelitian terdiri dari empatperlakuan yang terdiri atas kumpai minyak tanpa aditif (A), kumpai minyakdengan aditif rumput fermentasi(B); kumpai batu tanpa aditif (C) dan kumpai batudengan aditif rumput fermentasi (D). Peubah yang diamati adalah karakteristikfisik (bau, tekstur, jamur dan warna), VFA, NH3, pH, jumlah BAL, kandungannutrisi dan kecernaan in vitro. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa silasedengan penambahan ektrak rumput fermentasi menunjukkan kualitas silase yangbaik dilihat dari nilai pH, NH3 ,VFA dan kecernaan in vitro.
Kata kunci : aditif ,kumpai minyak, kumpai batu, silase
PENDAHULUAN
Silase adalah pakan produk fermentasi hijauan, hasil samping
pertanian dan agroindustri dengan kadar air tinggi yang diawetkan
dengan menggunakan asam, baik yang sengaja ditambahkan maupun
secara alami dihasilkan bahan selama peyimpanan dalam kondisi
anaerob. Pada pembuatan silase secara biologis sering ditambahkan
bahan aditif sebanyak kurang lebih 3% dari berat hijauan yang digunakan.
Menurut Bolsen et al. (1996) proses ensilase merupakan salah satu cara
untuk meminimumkan kehilangan nutrien dan perubahan nilai nutrisi
suatu bahan pakan hijauan.
Prosiding Seminar Nasional“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
176
Proses ensilase pada dasarnya sama dengan proses fermentasi
di dalam rumen anaerob. Perbedaannya antara lain adalah bahwa dalam
silase hanya sekelompok/group bakteri pembentuk asam laktat yang aktif
dalam prosesnya, sedangkan proses di dalam rumen melibatkan lebih
banyak mikroorganisme dan beraneka ragam. Salah satu kelemahan
hijauan di daerah tropis adalah mempunyai pori-pori yang luas sehingga
pada saat pembuatan silase akan mempersulit pemadatan di dalam silo
yang akhirnya dapat berakibat kondisi anaerob tidak segera tercapai
dibanding dengan hijauan pada daerah terperate yang punya pori-pori
lebih kecil, sehingga pemotongan hijauan sebelum dibuat silase
merupakan upaya mengatasi hal tersebut (Mc Donald et al., 1991). Lebih
lanjut dikatakan bahwa hijauan tropis mempunyai kadar gula terlarut/
Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang rendah, oleh karena itu perlu
penambahan aditif yang mempunyai kadar karbohidrat terlarut yang
cukup, sehingga bakteri asam laktat dapat memanfaatkan untuk
aktivitasnya. Namun menurut Ridwan et al. (2005), hijauan tropik/rumput
dapat diawetkan dengan proses ensilase baik dengan penambahan aditif
maupun tanpa aditif.
Karbohidrat yang larut didalam air (WSC) merupakan sumber
energi untuk memulai dan mempertahankan berlangsungnya fermentasi,
bakteri asam laktat dapat berkembang biak dengan cepat pada kondisi
dimana tersedia makanan yang kaya akan karbohidrat (Cullison, 1978).
Diantara komponen yang termasuk WSC tersebut antara lain
monosakarida (glukosa dan fruktosa), disakarida dan polimer fruktan
karbohidrat (Mc Donald et al., 1991). Lebih lanjut dinyatakan bahwa
fruktan pada hijauan terdiri dari ikatan unit fruktosa melalui ikatan β-2,6
atau β-2,1 membentuk rantai lurus. Tingkat dan panjang rantai tersebut
tergantung dari spesies hijauan. Ridwan et al. (2005) telah melakukan
penelitian silase dengan menggunakan aditif yang terdiri dari
Lactobacillus plantarum yang dilakukan selama 80 hari diperoleh data
bahwa pH dan WSC semakin turun seiring dengan lamanya waktu
Prosiding Seminar Nasional“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau” PRO
177
inkubasi, sedangkan produksi asam laktat, asam asetat dan N-Amonia
terlihat semakin meningkat dengan meningkatnya waktu inkubasi
Bakteri asam laktat dalam pengawetan bahan pakan digunakan
dalam proses ensilase yang akan menghasilkan suatu produk yaitu silase.
Silase ini dapat dikategorikan sebagai probiotik yang bermanfaat sebagai
feed additive dengan beberapa kelebihan sebagai berikut : dapat
meningkatkan ketersediaan lemak dan protein bagi ternak,
mempertahankan konversi pakan, meningkatkan pertumbuhan berat
badan, mampu memperbaiki resistensi penyakit akibat stimulasi dan
peningkatan natural immunity, selain itu juga dapat meningkatkan
kandungan vitamin B komplek melalui proses fermentasi (McDonald et al.,
1991). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas, karakteristik
fermentasi, in vitro dan kecernaan nutrien silase Kumpai minyak
(Hymenache amplexicaulis Haes) dan Kumpai batu (Ischaemum
polystachyum J Presl) dengan ektrak rumput terfermentasi
MATERI DAN METODEHijauan rawa Kumpai minyak dan Kumpai batu, dipotong sekitar
5 – 10 cm dari permukaan air rawa pada umur 40 hari, kemudian
dilayukan sehari semalam untuk digunakan sebagai ekstrak rumput
fermentasi Ekstrak rumput fermentasi (ERF) dengan prosedur Bureenok
et al. (2006) sebanyak 100 g rumput segar yang telah dilayukan ditambah
dengan 500 ml aquades kemudian diblender untuk melembutkan
selama 30 menit, kemudian disaring dengan kertas saring sehingga
menghasilkan ekstrak rumput. Ekstrak yang dihasilkan kemudian
dicampur dengan glukosa sebanyak 10 g dan dicentrifius 1000 rpm
selama 15 menit, kemudian diinkubasi pada suhu 300C. Ekstrak rumput
digunakan untuk proses fermentasi rumput setelah diinkubasi selama 2
hari.
Prosiding Seminar Nasional“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
178
Pembuatan SilaseHijauan dipotong-potong menjadi ukuran 3-5 cm, dilayukan
selama 12 jam hingga kadar air mencapai 60 %, untuk silase dan
kemudian ditambah dedak sebanyak 5% dari BK bahan. Hijauan yang
telah tercampur dedak kemudian diaduk secara merata dan dibagi
menjadi 3 bagian masing-masing 1 kg. Empat perlakuan terdiri atas
rumput kumpai minyak tanpa aditif (KM); kumpai minyak + aditif; (KMA);
kumpai batu tanpa aditif (KB); kumpai batu + aditif (KBA); lalu diperam
selama 21 hari. Produk silase dipanen setelah 21 hari pemeraman.
Silase yang dipanen sebelum dievaluasi kualitasnya, terlebih dahulu
diangin-anginkan untuk menghilangkan gas yang berbahaya, setelah itu
diambil sampel dari setiap perlakuan untuk dianalisis di laboratorium.
Peubah yang diukur adalah karakteristik fisik (bau, tekstur, jamur dan
warna), VFA, NH3, pH, jumlah BAL, kandungan nutrisi dan kecernaan
in vitro. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dan dianalisa dengan sidik ragam dan apabila terdapat perbedaan
dilakukan uji jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASANKualitas silase hijauan diperlihatkan dengan karaktersistik fisik yaitu
bau, tekstur, ada tidaknya jamur dan warna dari silase (Tabel 1).
Menunjukkan karakteristik fisik silase yang dihasilkan memiliki kualitas
baik yaitu warna hijau segar untuk rumput yang ditambah ekstrak rumput
fermetasi.
Tabel 1. Karakteristik fisik silase setelah 21 hari ensilaseKM KMA KB KBA
Bau kurang asam asam kurang asam asamTekstur Agak basah segar Agak basah segarWarna hijau tua hijau segar hijau tua hijau segarJamur banyak jamur tidak ada banya jamur tidak adaKeterangan : KM = rumput kumpai minyak tanpa aditif, KMA = rumput kumpai
minyak + aditif ERF. KB= rumput kumpai batu tanpa aditif, KBA=rumput kumpai batu +aditif ERF
Prosiding Seminar Nasional“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau” PRO
179
Hasil pengamatan secara umum keempat perlakuan
memperlihatkan warna yang relatif sama. Warna hijau, sampai hijau tua,
pada perlakuan KMA dan KBA dengan penambahan ERF menunjukkan
warna yang lebih baik yaitu warna hijau segar dibandingkan dengan
tanpa penambahan ERF. Warna silase mengindikasikan permasalahan
yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak
mengandung asam asetat akan berwarna kekuningan, sedangkan kalau
kelebihan asam butirat akan berlendir dan berwarna hijau-kebiruan dan
silase yang baik menunjukkan warna hampir sama dengan warna
asalnya. Saun dan Heinrichs (2008), sedangkan Rostini, (2004) bahwa
silase yang berkualitas baik akan berwarna hijau terang sampai kuning
atau hijau kecoklatan tergantung materi silase.
Bau asam yang dihasilkan pada perlakuan KMA dan KBA (Tabel 1)
disebabkan dalam proses pembuatan silase bakteri anaerobik aktif
bekerja menghasilkan asam organik. Proses ensilase terjadi apabila
oksigen telah habis dipakai, respirasi tanaman akan terhenti dan suasana
menjadi anaerob, sehingga jamur tidak dapat tumbuh dan bakteri
anaerob saja yang masih aktif terutama bakteri pembentuk asam .
Tekstur silase pada masing-masing perlakuan setelah 21 hari
ensilase menunjukkan tekstur yang basah dan segar. Hal ini disebabkan
semua perlakuan silase mempunyai kadar air yang sesuai untuk suatu
proses fermentasi berkisar 60% dan 30 %. Macaulay (2004) menyatakan
bahwa tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal
ensilase, silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan
memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak dan berjamur. Sedangkan
silase berkadar air rendah (<30%) mempunyai tekstur kering dan
ditumbuhi jamur.
Kandungan bahan kering pasa silase KMA dan KBA yaitu silase
yang ditambahkan ERF relatif lebih tinggi dibandingkan tanpa
penambahan terutama pada kumpai batu (Tabel 2). Kandungan bahan
organik (BO) pada silase KMA dan KBA relatif lebih tinggi dibandingkan
Prosiding Seminar Nasional“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
180
KM dan KB disebabkan degradasi karbohidrat menjadi asam organik
seperti asetat, propionat dan butirat atau VFA total (Tabel 4) lebih rendah
dibandingkan pada silase tanpa penambahan ERF. Demikian pula
dengan kandungan PK yang relative lebih tinggi pada silase KMA dan
KBA disebabkan degradasi protein menjadi asam amino dan amonia
pada silase KM dan KB lebih tinggi dibandingkan dengan silase KMA dan
KBA. Hal ini didukung pula dengan kandungan NH3 (Tabel 4).
Tabel 2. Komposisi kimia silase setelah 21 hari ensilase (%BK)
KM KMA KB KBA SEbahan organik 84.65 88.72 85.48 89.12 2.26Protein 10.68 11.21 14.36 16.43 2.71Serat kasar 16.37 14.01 17.35 15.17 1.45NDF 62.6 62.92 40.38 43.65 12.05ADF 36.75 34.64 39.26 35.52 2.01Selulosa 33.95 33.41 25.77 25.62 4.62Hemiselulosa 25.85 25.56 1.12 1.1 14.20Keterangan : KM = rumput kumpai minyak tanpa aditif, KMA = rumput kumpai
minyak+aditif.ERF KB= rumput kumpai batu tanpa aditif, KBA=rumput kumpai batu +aditif ERF
Kandungan NDF dan ADF silase KMA dan KBA lebih rendah
dibandingkan dengan KM dan KB, hal ini disebabkan adanya aktivitas
enzim selulase dan hemiselulase yang lebih tinggi selama ensilase
karena adanya penambahan ERF yang ditambahkan. Penurunan
konsentrasi NDF dan ADF memberikan keuntungan pada peningkatan
kualitas silase dan nilai kecernaan pakan (Yahaya et al., 2004; Santoso
et al., 2009).
Tabel 3. Nilai pH. populasi bakteri, NH3 dan VFA total silaseKM KMA KB KBA SE
pH 6.21 4.09 5.98 3.89 1.06BAL ( 105 cfu/ml) 2.9 5.12 2.4 4.14 1.23N-NH3 (g/kg N total) 115 52.12 94.43 39.54 5.39VFA Total (g/kg BK) 102 60.53 128 57.34 4.09Keterangan : KM = rumput kumpai minyak tanpa aditif, KMA= rumput kumpai
minyak + aditif ERF KB= rumput kumpai batu tanpa aditif, KBA=rumput kumpai batu +aditif ERF
Prosiding Seminar Nasional“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau” PRO
181
Tingkat keasaman silase sangat penting untuk diperhatikan
karena merupakan penilaian yang utama terhadap keberhasilan silase.
Nilai PH pada perlakuan KMA dan KBA (Tabel 4) yang diperoleh
memenuhi kriteria silase yang baik yaitu sebesar 4.09 dan 3.89 yang
dapat menekan pertumbuhan jamur dan tidak menyebabkan busuk.
Rendahnya pH silase pada perlakuan ini disebabkan adanya
penambahan ERF dibandingkan dengan yang tanpa penambahan,
sehingga terjadi peningkatan jumlah BAL serta di didukung oleh cukup
ketersediaan kandungan WSC (3 dan 4 BK) yang berfungsi sebagai
substrat pendorong pertumbuhan bakteri asam laktat. Untuk
mendapatkan silase yang baik diperlukan jumlah minimal WSC yang
terdapat pada bahan ensilase sebesar 3−5% BK(McDonald et al. 1991).
Sedangkan Schroeder (2004) menyatakan bahwa silase yang berkualitas
tercapai apabila produksi asam didominasi oleh asam laktat, pH lebih
cepat turun dan proses fermentasi sempurna dalam waktu singkat,
sehingga lebih banyak nutrisi yang dapat dipertahankan. Dominasi
pertumbuhan bakteri asam laktat yang ditandai dengan rendahnya nilai
pH mampu menekan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan,
seperti Clostridia tidak mampu bertahan pada pH di bawah 4.6−4.8,
Kandungan N-NH3 berperan sebagai sumber nitrogen mikroba
rumen yang selanjutnya berguna dalam mencerna makanan. Konsentrasi
NH3 pada silase yang diberi ERF lebih rendah dibandingkan dengan
yang tanpa ekstrak rumput. Hal ini diduga karena protein dalam silase
yang ditambahkan ekstrak rumput (KMA dan KBA) cenderung tahan
degradasi dibandingkan silase tanpa ekstrak rumput (KM dan KB)
sehingga menurunkan konsentrasi amonia (McDonald et al., 1991).
Meskipun kumpai minyak dan kumpai batu tergolong mudah
difermentasi, namun pada silase sebagian besar fraksi protein
fermentabel sudah dirombak pada proses ensilase. Aktivitas
mikroorganisme selama proses ensilase membantu menguraikan
protein dalam hijauan yang ditambahkan pada silase sehingga lebih
Prosiding Seminar Nasional“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
182
fermentabel dan menghasilkan konsentrasi amonia yang lebih tinggi dari
pada tanpa ekstrak rumput. NH3 yang dihasilkan dari fermentabilitas
protein silase masih berada pada kisaran yang optimal untuk
pertumbuhan ternak dan tidak berlebihan. Menurut McDonald et al.
(2002), kisaran konsentrasi amonia yang optimal untuk sintesis protein
oleh mikroba rumen adalah 6-21 mM.
Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan produk akhir
fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama
ruminansia asal rumen. Kadar VFA pada penelitian ini berkisar antara
57.34 sampai 128 mM/L, hal ini menunjukkan mudah atau tidaknya
pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Hasil ini dalam area
normal untuk pertumbuhan mikroorganisme yaitu 6-12 mM/L dan 80-
160mM/L (Van Soest, 1982) Oleh sebab itu, produksi VFA di dalam
cairan rumen dapat digunakan sebagai tolok ukur fermentabilitas pakan
(Suparjo et al., 2011). Profil VFA (molar proporsi VFA) yang dihasilkan
dapat digunakan sebagai gambaran apakah suatu ransum dapat
dijadikan sumber energy pakan ternak ruminansia (McDonald et
al., .2002)
Tabel 4. Kecernaan bahan kering dan bahan organik silase secara in vitro
KM KMA KB KBA SEKCBK (%) 59.45. 66.65 60.76 68.34 3.98KCBO (%) 57.12 62.43 58.26 65.18 3.73Keterangan : KM = rumput kumpai minyak tanpa aditif, KMA= rumput kumpai
minyak +aditif.ERF KB= rumput kumpai batu tanpa aditif, KBA=rumput kumpai batu +aditif ERF KCBK = kecernaan bahan kering,KCBO = kecernaan bahan organik
Kecernaan bahan kering dan bahan organik pada silase KMA dan
KBA (Tabel 4) menunjukkan nilai kecernaan yang lebih tinggi
dibandingkan silase KM dan KB. Nilai kecernaan lebih tingi pada
perlakuan KMA dan KBA, disebabkan bahan kering dan bahan organik
yang hilang selama enslase lebih sedikit. Disamping itu kandungan NDF
dan ADF pada kedua perlakuan tersebut rendah akibat adanya degradasi
Prosiding Seminar Nasional“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau” PRO
183
fraksi serat selama ensilase menyebabkan kecernaan nutrien meningkat.
Hal ini didukung dengan penelitian Santoso et al, (2011) yang
melaporkan bahwa rumput yang ditambah ekstrak rumput fermentasi
menghasilkan kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa
penambahan. Sedangkan Weinberg et al. (2007) melaporkan bahwa
penambahan BAL dapat meningkatkan kecernaan secara invitro. Pada
penelitian lain Santoso et al. (2009) melaporkan bahwa nilai kecernaan
bahan kering dan bahan organik pada rumput gajah dan rumput raja
yang ditambah BAL lebih tinggi dibandingkan tanpa BAL.
KESIMPULANPenambahan ERF (ekstrak rumput fermentasi) pada rumput rawa
dapat meningkatkan kualitas fermentasi silase, dengan ditandai nilai pH,
nilai nutrisi dan kecernaan invitro lebih tinggi, sehingga dapat
meningkatkan kualitas nutrisi silase rumput
UCAPAN TERIMA KASIHPenulis menyampaikan terima kasih kepada Yayasan Universitas
Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-banjary yang telah mendanai
Penelitian ini dengan Dipa Uniska tahun 2013.
DAFTAR PUSTAKABolsen KK, Ashbell G, Weinberg ZG. 1996. Silage fermentation and silage
additives. Review. AJAS. 9: 483–493.Bureenok ST, Namihira T,Mizumachi S, Kawamoto Y dan Nakada T. 2006. The
effect of epiphytic lactic acid bacteria without different by product fromdefated rice bran and green tea waste on napiergrass (pennisetumpurpurium shumach) silage fermentation. J. Sci food Agric. 86:1073-1077
Macaulay A. 2004. Evaluating silage quality .http://www1.agric.gov.ab.ca/department/deptdocs.nsf/all/for4909. html [Feb 2012].
McDonald P, Henderson AR, Heron SJE. 1991. The Biochemistry of Silage. Edke-2. Marlow: Chalcombe
McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition.Ed ke-6. London: Prentice Hall.
Ridwan R, Ratnakomala S, Kartika G, Widyastuti Y. 2005. PengaruhPenambahan dedak padi dan lactobacillus plantarum 1BL-2 dalam
Prosiding Seminar Nasional“Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
184
Pembuatan Silase Rumput gajah. Jurnal Media peternakan, 28 (3) : 117-123.
Rostini T . 2004. Kajian Mutu silase Ransum Komplit berbahan baku local untukmemperbaiki peforma dan kualitas daging kambing. Laporan Penelitian.Uniska KalSel.
Santoso B, Hariadi BT, Manik h dan Abubakar H. 2009. Kualitas rumput unggultropika hasil ensilase dengan aditif bakteri asam laktat dari ekstrakrumput terfermentasi. Media Petern. 32:138-145
Santoso B, Hariadi BT, Alimuddin dan Seseray DY. 2011. Kualitas fermentasidan nilai nutrisi silase berbasis sisa tanaman padi yang diensilase denganpenambahan inokulum bakteri asam laktat epifit. JITV. 16:1-8
Saun RJV, Heinrichs AJ. 2008. Troubleshooting silage problems: How to identifypotential problem. Di dalam: Proceedings of the Mid-Atlantic Conference;Pennsylvania, 26−26 May 2008. Penn State’s Collage. hlm 2−10.
Schroeder JW. 2004. Silage fermentation and preservation. Extension DairySpeciaslist. AS-1254. www.ext.nodak.edu/extpubs/ansci/dairy/as 1254w.htm. [June 2012].
Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Ed ke-2. Sumantri B,penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: ThePrinciple and Procedure of Statistics.
Suparjo K, Wiryawan KG, Laconi EB, Mangunwidjaja D. 2011. Perubahankomposisi kimia kulit buah kakao akibat penambahan mangn dankalsium dalam biokonversi dengan kapang Phanenruceta chrysesperium.J. Media. Peternakan. 32:204-211
Van Soest PJ. 1991. Nutritional Ecology of Ruminant. Ruminant Metabolism,Butritional Strategis, The Cellulolytic Fermentation and The Chemistry ofForages and Plant Fibers. Cornel University
Weinberg ZG, Shazz O, Chen Y, Yosef E, Nikbahat M, Ben-Ghedalla D andMiron J. 2007. Effect of lactic acid bacteria inoculants on in vitrodigestibility of wheat and corn silages. J. Dairy Sci. 90:4754-4762
Yahaya MS, Goro M, Yumiti W, Smeran B, dan Kawamoto . 2004. Evaluation offermentation quality of a tropical and temperate forage crops ensiled withdditivies of fermented juice of epiphytic lctic acid bacteria (FLJB). Asian-Aust..J. Anim Sci. 17:942-946