Prosiding 2014 p7-16ff

10
Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014 7 KAJIAN PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN STROKE HEMORAGIK DI BANGSAL SARAF RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG Lassera Setriana 1 , Surya Dharma 1 , Suhatri 1 Fakultas Farmasi, Universitas Andalas email: [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian yang mengkaji penggunaan obat antihipertensi pada pasien stroke hemoragik di bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penelitian yang dilakukan dari tanggal 20 Agustus 2012 sampai tanggal 20 November 2012 ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara prospektif. Hasil penelitian terhadap 33 pasien stroke hemoragik yang mendapat antihipertensi pada penelitian ini menunjukkan bahwa 57,57% pasien berjenis kelamin laki-laki dan 42,42% pasien berjenis kelamin perempuan. Sebanyak 75,75% pasien berada dalam rentang umur 45- 65 tahun, sementara pasien <45 tahun diketahui sebanyak 6,06% dan pasien >65 tahun diketahui sebanyak 18,18%. Sebagian besar (75,75%) pasien menderita stroke hemoragik tipe perdarahan intraserebral; 15,15% pasien menderita perdarahan subarakhnoid dan 9,09% sisanya menderita kombinasi dari kedua tipe stroke hemoragik ini. Penggunaan obat antihipertensi pada penelitian ini dibandingkan dengan standar terapi yang menjadi rujukan. Hasil penelitian kemudian menunjukkan 100% penggunaan obat tepat indikasi; 75,76% tepat obat; 96,96% tepat dosis; 84,85% tepat rute pemberian; dan 100% tepat penderita. Ketidaktepatan pemilihan obat yang akan dikombinasikan dalam kombinasi antihipertensi merupakan jenis ketidaktepatan yang paling sering ditemui. Kata kunci: anti-hipertensi, stroke hemoragik. PENDAHULUAN Stroke termasuk di antara penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Menurut WHO, setiap tahunnya terdapat 15 juta orang di dunia menderita stroke. Sebanyak lima juta orang diantaranya meninggal dunia dan lima juta penderita stroke lainnya mengalami kecacatan permanen, sehingga menyebabkan suatu beban emosional dan ekonomi tersendiri bagi keluarga maupun komunitasnya. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan RI pada tahun 2007 menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian terbanyak di Indonesia pada penduduk berusia di atas lima tahun (Balitbangkes Depkes RI, 2008). Stroke merupakan kondisi neurologis pengancam kehidupan yang paling sering terjadi (Robinson, 2004). Organisasi kesehatan dunia, WHO, mendefinisikan stroke sebagai gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, berlangsung lebih dari 24 jam, dengan penyebab yang berasal dari gangguan pembuluh darah (WHO, 2006). Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia (stroke iskemik) atau perdarahan otak (stroke hemoragik). Stroke hemoragik mencakup stroke Perdarahan Intraserebral (PIS) dan stroke Perdarahan Subarakhnoid (PSA) (Setyopranoto, 2011). Stroke perdarahan intraserebral terjadi ketika suatu pembuluh darah intraserebral pecah sehingga menyebabkan darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan otak kemudian menyebabkan terbentuknya hematoma. Perdarahan

description

ff

Transcript of Prosiding 2014 p7-16ff

Page 1: Prosiding 2014 p7-16ff

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

7

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN STROKE

HEMORAGIK DI BANGSAL SARAF RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG

Lassera Setriana1, Surya Dharma1, Suhatri1

Fakultas Farmasi, Universitas Andalas

email: [email protected]

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian yang mengkaji penggunaan obat antihipertensi pada pasien

stroke hemoragik di bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penelitian yang dilakukan

dari tanggal 20 Agustus 2012 sampai tanggal 20 November 2012 ini merupakan penelitian

deskriptif dengan pengambilan data secara prospektif.

Hasil penelitian terhadap 33 pasien stroke hemoragik yang mendapat antihipertensi

pada penelitian ini menunjukkan bahwa 57,57% pasien berjenis kelamin laki-laki dan 42,42%

pasien berjenis kelamin perempuan. Sebanyak 75,75% pasien berada dalam rentang umur 45-

65 tahun, sementara pasien <45 tahun diketahui sebanyak 6,06% dan pasien >65 tahun

diketahui sebanyak 18,18%. Sebagian besar (75,75%) pasien menderita stroke hemoragik tipe

perdarahan intraserebral; 15,15% pasien menderita perdarahan subarakhnoid dan 9,09%

sisanya menderita kombinasi dari kedua tipe stroke hemoragik ini.

Penggunaan obat antihipertensi pada penelitian ini dibandingkan dengan standar terapi

yang menjadi rujukan. Hasil penelitian kemudian menunjukkan 100% penggunaan obat tepat

indikasi; 75,76% tepat obat; 96,96% tepat dosis; 84,85% tepat rute pemberian; dan 100%

tepat penderita. Ketidaktepatan pemilihan obat yang akan dikombinasikan dalam kombinasi

antihipertensi merupakan jenis ketidaktepatan yang paling sering ditemui.

Kata kunci: anti-hipertensi, stroke hemoragik.

PENDAHULUAN

Stroke termasuk di antara penyebab utama

kematian dan kecacatan di seluruh dunia.

Menurut WHO, setiap tahunnya terdapat 15

juta orang di dunia menderita stroke.

Sebanyak lima juta orang diantaranya

meninggal dunia dan lima juta penderita

stroke lainnya mengalami kecacatan

permanen, sehingga menyebabkan suatu

beban emosional dan ekonomi tersendiri bagi

keluarga maupun komunitasnya. Hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen

Kesehatan RI pada tahun 2007 menunjukkan

bahwa stroke merupakan penyebab kematian

terbanyak di Indonesia pada penduduk

berusia di atas lima tahun (Balitbangkes

Depkes RI, 2008).

Stroke merupakan kondisi neurologis

pengancam kehidupan yang paling sering

terjadi (Robinson, 2004). Organisasi

kesehatan dunia, WHO, mendefinisikan

stroke sebagai gangguan fungsional otak

fokal maupun global akut, berlangsung lebih

dari 24 jam, dengan penyebab yang berasal

dari gangguan pembuluh darah (WHO,

2006).

Stroke dengan defisit neurologik yang

terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh

iskemia (stroke iskemik) atau perdarahan

otak (stroke hemoragik). Stroke hemoragik

mencakup stroke Perdarahan Intraserebral

(PIS) dan stroke Perdarahan Subarakhnoid

(PSA) (Setyopranoto, 2011).

Stroke perdarahan intraserebral terjadi

ketika suatu pembuluh darah intraserebral

pecah sehingga menyebabkan darah keluar

dari pembuluh darah dan masuk ke dalam

jaringan otak kemudian menyebabkan

terbentuknya hematoma. Perdarahan

Page 2: Prosiding 2014 p7-16ff

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

8

subarakhnoid terjadi ketika darah masuk ke

ruangan subarakhnoid atau karena pecahnya

pembuluh darah intrakranial (DiPiro, 2008;

Junaidi, 2011).

Sekitar 70-94% pasien stroke akut

mengalami peningkatan tekanan darah

sistolik >140 mmHg (PERDOSSI, 2011).

Menurut hasil penelitian International Stroke

Trial (IST) pada tahun 2002 (seperti dikutip

dalam PERDOSSI, 2011), di Indonesia

didapatkan sekitar 73,9% pasien stroke akut

mengalami hipertensi, sebesar 22,5-27,6%

diantaranya mengalami peningkatan tekanan

darah sistolik di atas 180 mmHg.

Banyak studi yang menunjukkan adanya

hubungan berbentuk kurva U antara

hipertensi pada stroke akut (iskemik maupun

hemoragik) dengan kematian dan kecacatan.

Hubungan tersebut menunjukkan bahwa

tingginya tekanan darah pada level tertentu

berkaitan dengan tingginya kematian dan

kecacatan (PERDOSSI, 2011). Namun

demikian, penatalaksanaan hipertensi pada

kedaruratan neurovaskular akut

sesungguhnya mempunyai potensi manfaat

terapetik maupun potensi menyebabkan

kerusakan jika tidak diberikan dengan teliti

(Pancioli, 2003).

Pengontrolan tekanan darah setelah

terjadinya perdarahan harus dilakukan

dengan penuh kehati-hatian (Elliot and

Smith, 2010; Pancioli and Kasner, 2006).

Tekanan darah yang terlalu rendah pada

pasien stroke hemoragik, baik perdarahan

intraserebral maupun perdarahan

subarakhnoid, dapat menyebabkan

hipoperfusi otak maupun jantung (Sugiyanto,

2007). Dengan demikian, baik tekanan darah

yang terlalu tinggi maupun tekanan darah

yang terlalu rendah, berhubungan dengan

keluaran (outcome) terapi yang buruk (Li-

Hsian, 2009).

Hasil penelitian prospektif yang dilakukan

oleh Rahajeng pada tahun 2007 (seperti

dikutip oleh Sari, 2009) pada 102 pasien

stroke rawat inap RSAL Dr. Ramelan periode

1 September - 31 Oktober 2006 ditemukan

67 pasien (65,69%) mengalami masalah

terkait obat. Sementara penelitian prospektif

terbatas yang dilakukan di ICU RSSN

Bukittinggi (Farizal, 2011) selama bulan

Mei-Juli 2011, juga menunjukkan tingginya

kejadian medication error dan Drug Related

Problems (DRPs) pada pasien stroke.

Menurut WHO (2006), obat-obat yang

digunakan pada pengobatan kedaruratan

yang penting, diantaranya adalah obat

antihipertensi pada penanganan penderita

stroke hemoragik, termasuk prioritas bagi

pelaksanaan Evaluasi Penggunaan Obat

(EPO). Hasil penelitian yang dilakukan oleh

beberapa peneliti sebelumnya juga

menunjukkan tingginya kejadian medication

error dan Drug Related Problems (DRPs)

pada pasien stroke. Berangkat dari berbagai

latar belakang di atas, penelitian tentang

penggunaan obat antihipertensi pada pasien

stroke hemoragik menjadi suatu topik yang

menarik untuk diteliti.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan selama 3

bulan, dari tanggal 20 Agustus 2012 hingga

tanggal 20 November 2012, di bangsal saraf

RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif

dengan pengambilan data secara prospektif.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi

Pasien stroke hemoragik dengan/ tanpa

komplikasi yang mendapat terapi obat

antihipertensi, yang sedang rawat inap di

bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Kriteria Eksklusi Pasien stroke hemoragik dengan/ tanpa

komplikasi yang tidak mendapatkan terapi

obat antihipertensi dan/ atau tidak sedang

rawat inap di bangsal saraf RSUP Dr. M.

Djamil Padang.

Page 3: Prosiding 2014 p7-16ff

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

9

Prosedur Penelitian

Pengumpulan Data Data-data pada penelitian ini bersumber

pada rekam medis pasien, catatan perawat,

dan buku kontrol injeksi di bangsal saraf

RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Standar/kriteria penggunaan obat Penggunaan obat antihipertensi di bangsal

saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang

dibandingkan dengan standar/kriteria yang

menjadi rujukan. Kriteria yang dipilih

sebagai rujukan adalah Guideline Stroke

2011 yang dikeluarkan oleh Perhimpunan

Dokter Spesialis Saraf Indonesia

(PERDOSSI) serta dua rujukan utama bagi

penatalaksanaan hipertensi, yaitu pedoman

penatalaksanaan hipertensi yang dikeluarkan

oleh JNC7 dan European Society of

Hypertension/European Society of

Cardiology (ESH/ESC) pada tahun 2007.

Analisis Data 1. Analisis deskripsi pasien berupa analisis

terhadap gambaran pasien stroke

hemoragik berdasarkan kelompok umur,

jenis kelamin, dan tipe stroke hemoragik

yang diderita oleh pasien.

2. Analisis ketepatan penggunaan obat

antihipertensi pada pasien stroke

hemoragik.

HASIL DAN DISKUSI

Hasil

Tabel 1. Karakteristik Demografi Pasien

Kategori Sub-kategori n %

Jumlah seluruh pasien 33 100

Jenis Kelamin Laki-laki 19 57,57

Perempuan 14 42,42

Usia (thn) < 45 2 6,06

45-65 25 75,75

> 65 6 18,18

Tipe Stroke Hemoragik Perdarahan intraserebral (PIS) 25 75,75

Perdarahan subarakhnoid (PSA) 5 15,15

PIS + PSA 3 9,09

Tabel 2. Ketepatan Penggunan Obat Antihipertensi pada Pasien Stroke Hemoragik yang

Mendapat Antihipertensi

Kategori %

Jumlah seluruh pasien 100

Tepat indikasi Tepat 100

Tidak Tepat 0

Tepat obat Tepat 75,76

Tidak Tepat 24,24

Tepat penderita Tepat 100

Tidak Tepat 0

Tepat dosis Tepat 96,97

Tidak Tepat 3,03

Tepat rute pemberian Tepat 84,85

Tidak Tepat 15,15

Hasil analisis deskripsi pasien

dirangkum pada tabel 1, sedangkan analisis

penggunaan obat antihipertensi pada

pasien stroke hemoragik yang mendapat

antihipertensi terangkum pada tabel 2

Page 4: Prosiding 2014 p7-16ff

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

10

Diskusi

Data yang telah dikumpulkan (seperti

yang terangkum dalam tabel 1) menunjukkan

bahwa pasien stroke hemoragik di bangsal

saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang yang

mendapatkan terapi dengan obat

antihipertensi, lebih banyak yang berjenis

kelamin laki-laki jika dibandingkan dengan

pasien berjenis kelamin perempuan. Laki-

laki memang diketahui memiliki resiko yang

lebih besar untuk terkena serangan stroke

dibanding perempuan (Junaidi, 2011).

Lebih tingginya angka kejadian stroke

pada laki-laki dibandingkan perempuan

dapat disebabkan oleh beberapa

kemungkinan. Efek positif estrogen bagi

sirkulasi serebral pada perempuan

merupakan salah satu kemungkinan yang

telah lama diasumsikan oleh para peneliti

sebagai alasan mengapa angka kejadian

stroke lebih tinggi pada laki-laki dan

perempuan pasca-menopause jika

dibandingkan dengan perempuan yang

belum mengalami menopause. Kemungkinan

kedua berkaitan dengan tekanan darah.

Beberapa penelitian telah menunjukkan

bahwa tekanan darah pada laki-laki lebih

tinggi jika dibandingkan dengan perempuan

pada umur yang sama. Kemungkinan ketiga

berkaitan dengan penyakit jantung koroner,

penyakit arteri perifer, dan kebiasaan

merokok yang lebih sering dijumpai pada

penderita stroke laki-laki. Ketiga kondisi ini

berkaitan dengan kelainan pada pembuluh

darah besar (Appelros, 2009; Pennington,

2007).

Data yang terangkum dalam tabel 1

menunjukkan bahwa jika dilihat dari rentang

umurnya, sebagian besar penderita berada

dalam usia produktif. Pola serupa juga

ditemukan pada penelitian yang dilakukan

oleh Misbach di 28 rumah sakit di Indonesia

pada tahun 2007 (Misbach, 2000).

Stroke sering kali diasumsikan sebagai

penyakit yang hanya menyerang lansia.

Tetapi, pada kenyataannya kira-kira

sepertiga kasus stroke terjadi pada penderita

berusia di bawah 65 tahun. Walaupun stroke

iskhemik merupakan tipe stroke yang paling

banyak ditemukan di hampir semua

kelompok umur penderita, jenis stroke yang

lebih banyak diderita oleh pasien di bawah

65 tahun adalah stroke hemoragik. Stroke

pada penderita di bawah 65 tahun dapat

disebabkan oleh beberapa kondisi medis,

diantaranya tekanan darah tinggi, diabetes,

kelainan pembuluh darah atau jantung, dan

migrain. Faktor gaya hidup yang tidak sehat,

seperti konsumsi rokok dan alkohol, juga

diketahui dapat meningkatkan resiko

terjadinya stroke pada kelompok usia ini

(UK Stroke Association, 2012).

Tipe stroke hemoragik yang diderita oleh

pasien pada umumnya (75,75%) adalah

berupa stroke perdarahan intraserebral.

Sementara stroke perdarahan subarakhnoid

diderita oleh lima orang pasien (15,15%).

Tiga orang pasien lainnya menderita stroke

perdarahan intraserebral sekaligus

perdarahan subarakhnoid. Penentuan tipe

stroke hemoragik yang diderita oleh pasien

sangatlah penting dilakukan karena

penanganan kedua jenis stroke ini, termasuk

penatalaksanaan hipertensinya, masing-

masingnya menggunakan pendekatan yang

berbeda.

Pada analisis ketepatan penggunaan obat

dilakukan evaluasi terhadap ketepatan

indikasi, ketepatan pemilihan obat, ketepatan

penderita, ketepatan dosis, dan ketepatan rute

pemberian. Tepat indikasi berarti obat

digunakan sesuai dengan indikasi dan

diagnosa pasien (Siregar, 2005).

International Network for the Rational Use

of Drugs (INRUD) menyebutkan bahwa

penggunaan obat dikatakan tepat indikasi

ketika keputusan peresepan obat didasarkan

atas indikasi medis yang ditemukan pada

pasien dan terapi obat yang dipilih

merupakan terapi obat yang efektif dan

aman. Secara keseluruhan, dari hasil

penelitian ditemukan 100% ketepatan

indikasi.

Pada penelitian ini ditemukan 75,75%

ketepatan pemilihan obat. Tepat obat artinya

ketika pemilihan obat dilakukan dengan

mempertimbangkan kemanjuran, keamanan

dan kecocokan bagi pasien, serta sesuai

dengan kriteria/pedoman terapi yang menjadi

rujukan (Siregar, 2006). Ketidaktepatan

Page 5: Prosiding 2014 p7-16ff

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

11

pemilihan obat dalam penelitian ini pada

umumnya ditemukan dalam pemilihan obat

dalam kombinasi antihipertensi. Data yang

telah dikumpulkan menunjukkan bahwa dari

lima belas variasi kombinasi antihipertensi

yang telah diresepkan, sembilan diantaranya

merupakan kombinasi yang tidak tepat

karena berasal dari golongan antihipertensi

yang sama. Pemilihan antihipertensi dari

golongan yang sama dalam kombinasi

antihipertensi dapat meningkatkan resiko

terjadinya efek samping dari golongan ini.

Pengkombinasian antihipertensi dari

golongan yang sama juga tidak sesuai

dengan pedoman penatalaksanaan

antihipertensi, baik yang dikeluarkan oleh

JNC 7 maupun yang dikeluarkan oleh

ESH/ESC.

Pada analisis ketepatan dosis, diperoleh

ketidaktepatan dosis sebesar 3,03%.

Dikatakan tidak tepat dosis bila obat

digunakan tidak sesuai dengan dosis dan/atau

frekuensi pemberian yang ditetapkan

(INRUD, 1999). Pemberian obat dengan

dosis kurang mengakibatkan ketidakefektifan

terapi obat sedangkan dosis berlebih

mengakibatkan hipotensi dan kemungkinan

munculnya toksisitas (Muchid,et al., 2006).

Ketidaktepan dosis ditemukan pada

pasien dengan nomor urut 27 yang berumur

73 tahun. Pasien ini mendapatkan terapi

hipertensi dengan amlodipin, yang diberikan

dalam dosis awal 10 mg dengan frekuensi 1

kali dalam sehari. Dosis ini kemudian terus

diberikan sebagai dosis pemeliharaan hingga

hari terakhir penggunaan. Data tekanan

darah pasien kemudian menunjukkan

penurunan tekanan darah hingga tekanan

darah yang terlalu rendah (100/60 mmHg)

pada hari ketiga penggunaan amlodipin.

Padahal tekanan darah yang terlalu rendah

pada pasien stroke hemoragik dapat

berhubungan dengan keluaran neurologis

yang buruk (PERDOSSI, 2011).

Pemberiaan 10 mg amlodipin sebagai

dosis awal pada terapi hipertensi bagi pasien

ini dipandang sudah tepat. Ketidaktepatan

terletak pada keputusan untuk tetap

menggunakan dosis 10 mg amlodipin

sebagai dosis pemeliharaan. AHFS (2011)

maupun Martindale (2009)

merekomendasikan penggunaan amlodipin

dalam dosis yang lebih rendah (2,5 mg

perhari) bagi pasien geriatri. Hal ini

dikarenakan eliminasi amlodipin pada pasien

geriatri berkurang secara substansial yang

kemudian menyebabkan peningkatan pada

bioavailabilitasnya (McEvoy, 2011).

Pada analisis rute pemberian, ditemukan

ketidaktepatan rute pemberian antihipertensi

sebesar 15,15%. Ketidaktepatan rute

pemberian yang ditemukan diantaranya

adalah pemberian antihipertensi yang tidak

sesuai dengan kriteria yang telah

direkomendasikan oleh PERDOSSI.

Ketidaktepatan rute pemberian yang sering

ditemukan adalah pemberian antihipertensi

melalui rute per oral pada pasien dengan

tekanan darah sistolik (TDS) di atas 180

mmHg, sementara PERDOSSI

merekomendasikan pemberian antihipertensi

melalui rute parenteral bagi pasien stroke

hemoragik dengan TDS >180 mmHg.

Algoritma terapi hipertensi pada pasien

stroke hemoragik yang direkomendasikan

oleh PERDOSSI dapat dilihat pada gambar

1.

Pada penelitian ini ditemukan 100%

ketepatan penderita. Tepat penderita dapat

diartikan bahwa obat yang diberikan sesuai

dengan kondisi fisiologis atau patofisiologis

pasien (Siregar, 2006).

Sebanyak tiga orang pasien pada

penelitian ini mengalami hipertensi resisten,

yaitu pasien dengan nomor urut 1, 7, dan 20.

JNC 7 (2003) mendefinisikan hipertensi

resisten sebagai kegagalan untuk mencapai

target tekanan darah pada pasien yang telah

mengikuti terapi dengan tiga jenis

antihipertensi (yang salah satunya berupa

diuretik) dengan dosis yang adekuat.

Terjadinya hipertensi resisten harus

mendapat perhatian karena hipertensi

resisten dikenal sering berkaitan dengan

kerusakan organ target lebih lanjut atau

peningkatan resiko kardiovaskuler

(ESH/ESC, 2007).

Page 6: Prosiding 2014 p7-16ff

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

12

Gambar 1. Algoritma terapi hipertensi bagi pasien stroke hemoragik (PERDOSSI, 2011)

Gambar 2. Kombinasi antihipertensi yang

dimungkinkan. Garis hijau tebal: kombinasi

pilihan; garis hijau putus-putus: kombinasi yang

bermanfaat, dengan beberapa batasan; garis

hitam putus-putus: kombinasi yang

dimungkinkan, tapi belum teruji dengan baik;

garis merah tebal: kombinasi yang tidak

direkomendasikan. (ESH/ESC, 2007).

Hipertensi resisten dapat diakibatkan oleh

berbagai penyebab, diantaranya:

volume cairan tubuh berlebih, yang dapat

berhubungan dengan insufisiensi ginjal,

konsumsi natrium berlebih, terapi diuretik

yang kurang adekuat atau

hiperaldosteronisme

penyebab yang berhubungan dengan obat,

diantaranya dosis yang tidak adekuat,

kombinasi obat antihipertensi yang

kurang tepat, atau penggunaan obat-

obatan yang dapat meningkatkan tekanan

darah, seperti NSAID, glukokortikoid,

dan sebagainya

kerusakan organ target yang tidak dapat

atau hampir tidak dapat pulih kembali

kondisi lain yang berhubungan, seperti

obesitas atau konsumsi alkohol

(Chobanian, 2003; ESH/ESC, 2007).

Analisis yang telah dilakukan juga

menunjukkan adanya kemungkinan interaksi

obat pada beberapa orang pasien. Potensi

interaksi obat ditemukan pada pemberian

Page 7: Prosiding 2014 p7-16ff

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

13

nimodipin dan fenitoin secara bersamaan.

Nimodipin diketahui dapat menghambat

metabolisme fenitoin, sehingga berpotensi

meningkatkan toksisitas fenitoin (McEvoy,

2011). Potensi interaksi nimodipin dan

fenitoin ini ditemukan pada tiga orang

pasien. Potensi interaksi obat lainnya yang

ditemukan pada penelitian ini adalah potensi

interaksi farmakodinamik antara diltiazem

dan benzodiazepin (diazepam). Potensi

interaksi ini ditemukan pada empat orang

pasien. Potensi interaksi farmakodinamik

juga ditemukan pada penggunaan diltiazem

dan haloperidol pada pasien nomor urut 25.

Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan

dapat meningkatkan resiko terjadinya

hipotensi.

Tabel 3. Jenis Kombinasi Antihipertensi yang Paling Sering Diresepkan pada Pasien Stroke

Hemoragik di Bangsal Saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang

Lima orang diantara 33 pasien stroke

hemoragik yang mendapat antihipertensi

pada penelitian ini diketahui meninggal

dunia setelah mendapatkan perawatan

Page 8: Prosiding 2014 p7-16ff

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

14

selama beberapa hari perawatan di bangsal

saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang. Analisis

yang telah dilakukan menunjukkan adanya

masalah terkait obat antihipertensi pada tiga

orang diantara lima pasien meninggal dunia.

Dua orang pasien meninggal dunia

diketahui mendapatkan terapi dengan

diltiazem dan diazepam yang diduga dapat

berinteraksi secara farmakodinamik.

Sementara pasien ketiga mendapatkan

kombinasi antihipertensi amlodipin dan

nimodipin yang berasal dari golongan

antihipertensi yang sama.

Salah seorang pasien yang meningggal

dunia, yaitu pasien dengan nomor urut 28,

mengalami asidosis respiratorik. Hal ini

diketahui dari hasil pemeriksaan

laboratorium sehari sebelum pasien

meninggal dunia. Asidosis respiratorik

merupakan kondisi yang terjadi ketika paru-

paru tidak dapat membuang semua karbon

dioksida yang diproduksi oleh tubuh,

sehingga cairan tubuh, terutama darah,

menjadi terlalu asam. Asidosis repiratorik

bisa kronis atau akut dan dapat disebabkan

oleh penyakit saluran nafas, penyakit dada

(sarkoidosis), penyakit yang mempengaruhi

saraf dan otot-otot yang mengatur

pernapasan, obesitas parah, atau obat-obat

yang menekan pernapasan, termasuk

benzodiazepin dan obat-obat penahan nyeri

yang kuat, seperti narkotika (Dugdale, 2011).

Asidosis respiratorik akut terjadi pada

penyumbatan jalan napas yang mendadak,

trauma dada yang merusak otot pernapasan,

paralisis akut, atau depresi pusat pernafasan

pada susunan saraf pusat (Sacher, 2000).

Pasien ini diketahui menderita gangguan

pada sistem pernafasan dan juga tercatat

menerima 3 jenis obat yang dapat menekan

sistem pernafasan, yaitu diltiazem

(antihipertensi), diazepam, dan fenitoin.

Namun demikian, untuk mengetahui dengan

lebih jelas apakah asidosis respiratorik yang

terjadi merupakan reaksi merugikan yang

diakibatkan oleh salah satu obat di atas atau

merupakan reaksi merugikan yang

diakibatkan oleh interaksi farmakodinamik

dari obat-obat tersebut, tentu memerlukan

penelitian dan pengkajian lebih lanjut.

KESIMPULAN

Hasil penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa masih terdapat

ketidaktepatan penggunaan obat

antihipertensi bagi pasien stroke hemoragik

di bangsal saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang

ketika penggunaan obat ini dibandingkan

dengan standar/ kriteria yang menjadi

rujukan. Ketidaktepatan yang ditemukan

berupa tidak tepat obat, tidak tepat dosis, dan

tidak tepat rute pemberian dengan persentase

yang bervariasi pada masing-masingnya.

Ketidaktepatan pemilihan obat yang akan

dikombinasikan dalam kombinasi

antihipertensi merupakan jenis

ketidaktepatan yang paling sering ditemui

pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Academy of Managed Care Pharmacy

(AMCP). 2009. Drug Utilization

Review. Diakses 3 Februari 2013 dari

http://amcp.org/WorkArea/DownloadA

sset.aspx.

American Society of Health-System

Pharmacist. 2008. AHFS Drug

Information. Bethesda: ASHP.

American Society of Health-System

Pharmacist. 2011. AHFS Drug

Information Essentials. Bethesda:

ASHP.

Appelros, P., Stegmayr, B., Terent, A. 2009.

Sex Differences in Stroke

Epidemiology: A Systematic Review.

Stroke, 40, 1082-1090.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Departemen Kesehatan RI. 2008. Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007:

Laporan Nasional 2007. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI.

Page 9: Prosiding 2014 p7-16ff

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

15

Baxter, K. (Ed.). 2008. Stockley’s Drug

Interactions (8th ed). London:

Pharmaceutical Press.

Broderick, J., Connoly, S., Feldmann, E.,

Hanley, D., Kase, C., Krieger, D.,

Mayberg, M., & Morgenstern, L. 2007.

Guidelines for the Management of

Spontaneous Intracerebral

Hemorrhage in Adults:2007 Update: A

Guideline From the American Heart

Association/American Stroke

Association. Dallas: AHA/ASA.

Chobanian, A.V., Lenfant, C., Bakris, G.L.,

Black, H.R., Burt, V., Carter, B.L.,

Cohen, J.D, & Colman, P.J. 2003.

Seventh Report of the Joint National

Committee on Prevention, Detection,

Evaluation, and Treatment of High

Blood Pressure.JAMA, 289, 2560-

2572.

Connoly, E.S., Rabinstein, A.A.,

Carhuapoma, J.R., Derdeyn, C.P.,

Dion, J., Higashida, R.T., Hoh, B.L., &

Kirkness, C.J. 2012. Guidelines for the

Management of Aneurysmal

Subarachnoid Hemorrhage: A

Guideline for Healthcare Professionals

From the American Heart Association/

American Stroke Association. Dallas:

AHA/ASA.

DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C.,

Matzke G.R., Wells, B.G., & Posey,

L.M. 2008. Pharmacotherapy: A

Pathophysiologic Approach (7th Ed.).

New York:McGraw-Hill.

Dugdale, D.C. (Ed.). 2011. Respiratory

Acidosis. Diakses 2 September 2013

dari

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/e

ncy/article/000092.htm

Elliot, J., & Smith, M. 2010. The Acute

Management of Intracerebral

Hemorrhage: A Clinical Review.

Anesth. Analg., 110, 1419-1425.

Farizal. 2011. Drug Related Problems

(DRPs) pada Pasien Stroke di ICU

(Intensive Care Unit) Rumah Sakit

Stroke Nasional Bukittinggi. Padang:

Universitas Andalas.

INRUD. 1999. Session Guide: Problems of

Irrational Drug Use. Diakses 24 Mei

2013 dari

http://dcc2.bumc.bu.edu/prdu/Session_

Guides/problemsofirrationaldruguse.ht

m.

Junaidi, I. 2011. Stroke: Waspadai

Ancamannya. Yogyakarta: Penerbit

Andi.

Kaplan, N., Shanti, M., Poulter, N., &

Whitworth, J. 2003. WHO/ISH

Statement on Management of

Hypertension. Geneva: WHO

Li-Hsian, C.C., Lee, S.H., Chan, B., Thomas,

J., Ramani, N.V., Ng, I., Lee, K.E, &

Sitoh, Y.Y. 2009. Stroke and Transient

Ischaemic Attacks Assessment,

Investigation, Immediate Management

and Secondary Prevention. Singapore:

Singapore Ministry of Health.

Morgensten, L.B., Hemphill, J.C., Anderson,

C. Becker, K., Broderic, J.P, &

Connolly E.S. 2012. Guidelines for the

Management of Spontaneous

Intracerebral Hemorrhage: A

Guideline for Healthcare Professionals

from the American Heart

Association/American Stroke

Association. Dallas: AHA/ASA.

Pancioli, A., & Kasner, S.E. 2006.

Hypertension Management in Acute

Neurovascular Emergencies. EMCREG

Int., 3, 1-10.

Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis

Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2004.

Guideline Stroke 2004. Jakarta:

PERDOSSI.

Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis

Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2007.

Guideline Stroke 2007. Jakarta:

PERDOSSI.

Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis

Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2011.

Guideline Stroke 2011. Jakarta:

PERDOSSI.

Robinson, T.G., &Potter, J.F. 2004. Review:

Blood Pressure in Acute Stroke. Age &

Ageing, 33, 6-12.

Setyopranoto, I. 2008. Pendekatan Evidence-

Based Medicine pada Manajemen

Page 10: Prosiding 2014 p7-16ff

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

16

Stroke Perdarahan Intraserebral. CDK,

165, 35, 321-327.

Shah, Q.A., &Qureshi, A. 2006. Acute

Hypertension in Intracerebral

Hemorrhage –Pathophysiology and

Management. US Neur. Dis., 48-52.

Siregar, C.J.P. 2006. Farmasi Klinik: Teori

dan Penerapan. Jakarta: EGC.

Sweetman, S.C (Ed.). 2009. Martindale The

Complete Drug Reference (36th ed).

London: Pharmaceutical Press.

The Society of Hospital Pharmacists of

Australia (SHPA). 2004. SHPA

Standards of Practice for Drug Use

Evaluation in Australian Hospitals. J.

Pharm. Pract. Res., 34, 220-223.

The Task Force for the Management of

Arterial Hypertension of the European

Society of Hypertension (ESH) and of

the European Society of Cardiology

(ESC). 2007. 2007 Guidelines for The

Management of Arterial Hypertension.

Eur. Heart J.,28, 1462–1536.

UK Stroke Association. 2012. Stroke in

Younger Adults. Diakses tanggal 1

November 2013 dari

http://stroke.org.uk.

World Health Organization (WHO). 2004.

The Atlas of Heart Disease and Stroke.

Geneva: WHO.

World Health Organization (WHO). 2006.

The WHO STEPwise Approach to

Stroke Surveillance. Geneva: WHO.