Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

175

description

Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Transcript of Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Page 1: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014
Page 2: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

i

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains

melalui Penelitian dan Karya Teknologi

yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

11 September 2014 – FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor:

Meiry Fadilah Noor

Nanda Saridewi

Erina Hertanti

Desain cover:

Siti Robiah Hazan

Iin Safrina

Layout:

Adi Ilhami

ISBN : 978-602-17290-2-1

Diterbitkan Oleh:

Jurusan Pendidikan IPA

Jl. Ir. H. Juanda No.95 Ciputat, Tangerang

Telp. (021)7443328 / Fax. (021)7443328

Page 3: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’ alaikum wr.wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan Inayah-Nya

Seminar Nasional Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2014 dapat terlaksana. Seminar ini bertemakan “Pengembangan

Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan

Kurikulum 2013.” Seminar ini diikuti oleh guru IPA/Sains di SD, SMP, SMA, SMK;

dosen LPTK, pemerhati pendidikan serta mahasiswa.

Seminar nasional ini merupakan program kerja Jurusan Pendidikan IPA tahun 2014

untuk peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Kegiatan ini diharapkan dapat

meningkatkan potensi diri guru atau calon guru menjadi lebih profesional dalam

melaksanakan tugas sebagai tenaga pengajar. Informasi yang didapatkan berupa:

Penggunaan penelitian kependidikan dalam jenis, teknis, dan instrumen penilaian;

Pengembangan karya teknologi; serta Penulisan dan publikasi karya ilmiah.

Makalah dan abstraksi yang disampaikan berasal dari pemakalah utama dan

pemakalah pendamping. Bahasan makalah berupa hasil penelitian atau pemikiran yang

berkaitan dengan evaluasi pembelajaran serta pengembangan/penggunaan media

pembelajaran. Kumpulan makalah ini, diharapkan dapat berguna dalam pembelajaran yang

disesuaikan dengan Kurikulum 2013.

Atas nama Jurusan Pendidikan IPA, kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan

FITK, narasumber utama, pemakalah, peserta seminar dan panitia yang telah memberikan

dukungan atas terselenggaranya seminar nasional ini. Terimakasih juga terucapkan kepada

para sponsor yang memberikan dukungan serta sarana untuk kegiatan ini. Semoga kegiatan

ini bermanfaat untuk peningkatan kualitas pendidikan IPA di Indonesia.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Jakarta, September 2014

Panitia

Page 4: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

iii

DAFTAR ISI

Halaman

Resume Keynote Speaker

1. Penelitian Pendidikan: Jenis, Teknis, dan Instrumentasi

Oleh : Harry Firman. .......................................................................................................................................... 1

Curriculum vitae ............................................................................................................................................... 10

2. Pembelajaran Saintifik yang Mengintegrasikan TIK

Oleh : Uwes Anis Chaeruman .......................................................................................................................... 12

Curriculum vitae ............................................................................................................................................... 17

3. Kiat Menulis dan Mempublikasikan Karya Ilmiah

Oleh: Ely Djulia................................................................................................................................................ 19

Curriculum vitae ............................................................................................................................................... 22

Abstrak Paralel

4. Analisis Kelayakan Course-Ware untuk Perkuliahan Fisiologi Hewan bagi Mahasiswa Calon Guru

Biologi

Oleh : Adeng Slamet dan Ijang Rohman .......................................................................................................... 26

5. Profil Kemampuan dan Hambatan Guru dalam Mengembangkan Profesi Melalui Karya Tulis Ilmiah

Oleh : Suciati Sudarisman ............................................................................................................................... 33

6. Profil Pemahaman Konsep Pemantulan Cahaya yang Dianalisis Menggunakan Three-Tier Test pada

Siswa SMP

Oleh : Uswatun Khasanah, Muslim, dan Achmad Samsudin .......................................................................... 37

7. Kreativitas Guru Biologi dalam Merencanakan Pembelajaran Biologi SMA Berbasis Komoditas

Hayati Unggulan Lokal

Oleh : Asep Agus Sulaeman, Liliasari, Sri Redjeki, dan Dewi Sawitri .......................................................................................................................................................................... 44

8. Demystifying Math and Science Phobia by Using A Module For Rebuilding Learning Concepts

Based on Spiral-Integrated Curriculum and Problem Based Learning (PBL)-Mapping

Oleh : Ludjeng Lestari ...................................................................................................................................... 54

9. Rekonstruksi Didaktis Bahan Ajar Perkuliahan Penelitian Laboratorium (PL) Konteks Batu Gamping

Berbasis Problem Solving-Decision Making (PSDM)

Oleh : Florida Doloksaribu , Ahmad Mudzakir , Hayat Sholihin, Fransisca Sudargo

.......................................................................................................................................................................... 60

10. Pemanfaatan Jejaring Sosial “Facebook” pada Diskusi Isu Sosiosaintifik untuk Mengembangkan

Keterampilan Berargumentasi Mahasiswa

Oleh : Yanti Herlanti ........................................................................................................................................ 68

11. Meningkatkan Literasi Sains Siswa pada Aspek Proses Sains Melalui Pembelajaran Berbasis

Multimedia Interaktif

Oleh : Evi Sapinatul Bahriah ............................................................................................................................ 79

Page 5: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

iv

12. Kajian Evaluasi Hasil Belajar Melalui Penerapan Penilaian Berbasis Kelas pada Program Studi

Berbasis Sains di Lingkungan Uin Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh : Ai Nurlaela dan Erina Hertanti ............................................................................................................. 85

13. Efektivitas Penerapan Pembelajaran Aktif Tipe Mind Maps untuk Meningkatkan Penguasaan

Konsep Fisika Mahasiswa dalam Kuliah Fisika Teknik

Oleh : Usmeldi.................................................................................................................................................. 96

14. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Game terhadap Hasil Belajar Siswa

pada Konsep Momentum dan Impuls

Oleh : Ilusi Pangarti dan Erina Hertanti ......................................................................................................... 101

15. Perbedaan Penggunaan Media Pembelajaran Animasi dan Komik terhadap Hasil Belajar Siswa pada

Konsep Sistem Pencernaan (Kuasi Eksperimen di SMP Negeri 1 Parung)

Oleh : Lola Novitasari, Meiry Fadilah Noor, dan Ahmad Sofyan ................................................................. 110

16. Perbedaan Hasil Belajar Biologi antara Penggunaan Kartu Card Sort dengan Index Card Match

pada Konsep Sistem Reproduksi Manusia

Oleh : Titik Kadarsih, Meiry Fadilah Noor, dan Nengsih Juanengsih .......................................................... 116

17. Pengaruh Media Audio-Visual (Video) terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas XI pada Konsep

Elastisitas

Oleh : Ika Risqi Citra Primavera dan Iwan Permana Suwarna ....................................................................... 122

18. Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk Mengoptimalkan Praktikum Virtual Laboratory

Materi Induksi Elektromagnetik

Oleh : Novitasari, Agus Suyatna dan I Dewa Putu Nyeneng ......................................................................... 130

19. Pengaruh Pembelajaran Fisika Berbasis Inkuiri Terbimbing Menggunakan LKS terhadap

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Madrasah Aliyah Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah

Oleh : Kosim dan Yuyu Sudarmini ................................................................................................................ 140

20. Pengaruh Penggunaan LKS Berbasis Inkuiri Terbimbing dengan Representasi Chemistry Triangle

terhadap Hasil Belajar Siswa untuk Materi Asam Basa Kelas XI SMA

Oleh : Iryani, Mawardi dan Andromeda ......................................................................................................... 146

21. Pengaruh Penggunaan LKS Berbasis Learning Cycle 7e Terhadap Hasil Belajar Siswa pada

Pembelajaran Konstruktivisme Konsep Sistem Peredaran Darah

Oleh : Nengsih Juanengsih, Zulfiani dan Ina Septi Wijaya ............................................................................ 154

22. Analisis Literasi Lingkungan Siswa pada Penggunaan Bahan Ajar Buku Suplemen Berbasis

Pendidikan Lingkungan

Oleh : Irzaqotul inayah .................................................................................................................................. 161

Page 6: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

1

Keynote Speaker 1

PENELITIAN PENDIDIKAN: JENIS, TEKNIS, DAN

INSTRUMENTASI

Harry Firman Universitas Pendidikan Indonesia

[email protected]

Abstrak

Makalah ini mengupas elemen-elemen dasar dari penelitian pendidikan pendidikan, baik

penelitian akademik untuk pengembangan teori maupun penelitian berbasis kelas untuk

penyelesaian masalah praktis pembelajaran. Lingkup makalah meliputi hakekat penelitian

pendidikan, paradigma-paradigma penelitian pendidikan, jenis, desain, dan teknis penelitian,

serta instrumen penelitian. Fokus makalah tertumpu pada isu-isu pokok dalam penelitian

pendidikan, yang mencakup fungsi penelitian, kontinum penelitian kuantitatif dan kualitatif,

desain-desain dasar dan ranah-ranah mutakhir bagi penelitian pendidikan IPA, serta penelitian

tindakan kelas (PTK) sebagai penelitian oleh praktisi pendidikan. Secara khusus makalah

menguraikan posisi instrumen penilaian sebagai alat pengumpul data serta obyek dari

penelitian pendidikan itu sendiri.

PENDAHULUAN

Penelitian pendidikan (educational research) dapat dimaknai sebagai penyelidikan secara sistematik,

cermat, dan mendalam, untuk menjawab masalah praktis dalam pendidikan dan/atau berkontribusi pada

pengembangan teori pendidikan (McMillan & Wergin, 2002). Hasil penelitian pendidikan ialah pengetahuan

baru (fakta-fakta, relasi-relasi, dan hubungaan kausal) tentang fenomena pendidikan tertentu yang belum

terungkap sebelumnya. Dengan pengetahuan baru tersebut, fenomena pendidikan terkait dapat lebih

dimengerti. Pengetahuan baru hasil penelitan, disamping mengembangkan teori kependidikan, juga

memperkaya praktisi pendidikan dengan pedoman yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah praktis

pendidikan secara efektif.

Dari segi fungsinya, penelitian pendidikan dapat dipandang sebagai suatu kontinum dengan salah satu

ujungnya penelitian dasar (basic research) dan penelitian terapan (applied research) sebagai ujung lainnya

Penelitian terapan berfungsi memecahan masalah praktis pendidikan. Sementara itu penelitian dasar

berfungsi mengembangan teori kependidikan, apakah membangun teori (to generate a theory), menguji teori

(to test a theory), atau menyempurnakan teori (to refine a theory) (McMillan, 2012).

Posisi suatu penelitian pendidikan dapat berada pada satu titik tertentu dalam kontinum tersebut,

bergantung pada sifat penelitiannya. Penelitian dasar tidak dituntut untuk dapat menghasilkan temuan yang

segera dapat diterapkan dalam praktek. Kalaupun ternyata dapat diterapkan segera untuk pemecahan masalah

praktis, hal itu sebetulnya bukan tujuan utamanya. Sebaliknya, walaupun tidak menjadi tujuannya, penelitian

terapan mungkin saja dapat berkontribusi pada pengembangan ilmu kependidikan. Salah satu jenis penelitian

yang tergolong penelitian terapan dalam bidang pendidikan adalah “penelitian tindakan kelas (PTK)” atau

“classroom action research (CAR)”, yakni penelitian oleh guru sebagai praktisi professional pendidikan

untuk memecahkan masalah sehari-hari pembelajaran yang dihadapi. Selain itu, terdapat jenis penelitian yang

dinamakan penelitian evaluasi, yang diarahkan untuk memberikan informasi sebagai landasan pembuatan

keputusan tentang suatu program pendidikan, apakah dapat dijalankan, apakah efektif, apakah sesuai dengan

tujuannya, apakah dampak-dampaknya, dsb. (Gay et al., 2009).

Upaya peningkatan mutu pendidikan IPA di Indonesia perlu berbasis pada kajian ilmiah, sehingga

memungkinkan upaya tersebut menghasilkan solusi-solusi yang efektif. Oleh karena itu penelitian-penelitian

perlu dilakukan terhadap permasalahan-permasalahan dalam bidang pendidikan IPA secara serempak, baik

oleh akademisi maupun praktisi pendidikan IPA. Makalah ini selanjutnya memaparkan secara lebih rinci

Page 7: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

2

paradigma-paradigma penelitian, desain dan teknis penelitian, ranah-ranah penelitian dalam pendidikan IPA,

serta instrumen penelitian. Diharapkan paparan ini dapat menginspirasi dan memperkuat penelitian dalam

pendidikan IPA, baik untuk pengembangan teori maupun pemecahamn masalah praktis pendidikan.

PARADIGMA-PARADIGMA PENELITIAN PENDIDIKAN

Istilah paradigma (paradigm) digunakan untuk mendeskripsikan pendekatan penelitian yang diterapkan

oleh peneliti pada umumnya dalam satu kurun waktu tertentu (Taber, 2013). Dalam konteks pendidikan,

sampai sekarang banyak penelitian dilakukan dalam paradigma positivistik, yaitu merujuk pada penelitian

dalam Sains yang menitikberatkan pengujian-pengujian hipotesis dengan eksperimen terkendali,

randomisasi, dan analisis statistik inferensial, untuk menemukan hukum umum (generalisasi) dalam

fenomena pendidikan. Namun, kompleksitas fenomena pendidikan dipandang kurang memadai jika dikaji

dengan paradigma positivistic. Bersamaan dengan itu sejumlah peneliti mengembangkan paradigma baru

dalam penelitian pendidikan, yang dikenal sebagai paradigma interpretif (pasca-positivistik), yang bertumpu

pada eksplorasi dan interpretasi sifat-sifat khusus kasus-kasus individual secara kualitatif. Jika paradigma

positivistik mengarahkan penelitian konfirmatori (pembuktian) teori secara kuantitatif, maka paradigma

pasca-positivistik (interpretif) mengarahkan penelitian eksploratori secara kualitatif. Penelitian pendidikan

dapat berupa penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Kembali perlu ditegaskan bahwa perbedaan

keduanya bukan dikhotomi, melainkan suatu kontinum. Banyak penelitian berada pada posisi tertentu dalam

kontinum itu, dalam arti menggunakan prosedur penelitian kualitatif dan kuantitatif sekaligus sesuai dengan

permasalahan yang akan dipecahkannya. Penelitian kualitatif dilakukan untuk memahami suatu fenomena

pendidikan secara mendalam dan holistik. Sedangkan penelitian kuantitatif dilakukan untuk menentukan

fakta, hubungan, dan pengaruh. Penelitian kualitatif terikat konteks (context-bound) sehingga tak dapat

digeneralisasi ke dalam konteks lain, sementara itu penelitian kuantitatif justru mencari generalisasi

(kesimpulan umum) yang bebas konteks (context-free). Jika penelitian kualitatif mempelajari fenomena

secara holistik (menyeluruh), maka penelitian kuantitatif justru terfokus pada faktor atau variabel tertentu

secara terpisah.

Dalam pengumpulan data, penelitian kuantitatif bertumpu pada desain, prosedur dan alat ukur standar

yang telah ditetapkan sebelumnya, sedangkan dalam penelitian kualitatif prosedur pengumpulan data lebih

fleksibel, dilakukan oleh peneliti sendiri (peneliti sebagai instrumen) dan memanfaatkan banyak cara (multi-

methods). Untuk meyakinkan peneliti dalam menarik kesimpulan, peneliti melakukan “triangulasi”, yakni

memperhatikan informasi tentang suatu aspek yang diteliti dari lebih dari satu sumber. Sementara itu, laporan

penelitian kuantitatif lebih menitikberatkan pada presentasi angka dan statistik, sedangkan laporan penelitian

kualitatif didominasi oleh deskripsi naratif.

Dewasa ini berkembang penelitian pendidikan yang menerapkan kedua paradigma penelitian secara

terintegrasi dalam bentuk metode campuran (mixed-method), yang memungkinkan peneliti dapat mengatasi

keterbatasan tradisi penelitian kuantitatif dan penelitian kuantitatif. Metode campuran dapat menjadi metode

yang tepat untuk penelitian yang bertujuan mengungkap sekaligus suatu keterkaitan dan menyediakan

eksplanasi bagi keterkaitan tersebut (McMillan, 2012).

DESAIN DAN TEKNIK PENELITIAN

Teknik penelitian tidak terlepas dari desain penelitian, yaitu bagaimana penelitian dijalankan. Oleh

karena itu paparan tentang teknik-teknik penelitian dikemukakan dengan merujuk pada desain penelitiannya.

1. Eksperimen/Quasi-eksperimen/Pra-eksperimen

Eksperimen adalah suatu desain penelitian yang di dalamnya peneliti menyelidiki pengaruh suatu

perlakuan (treatment) terhadap sekelompok subyek (Fraenkel & Wallen, 2006). Dalam penelitian eksperimen

satu variabel (variable eksperimen) secara sengaja “dimanipulasi” (divariasikan) oleh peneliti untuk

menentukan pengaruh dari variasi tersebut. Sementara itu variabel-variabel lain (extraneous variable) yang

secara teoritis berpengaruh pada hasil eksperimen, dikendalikan (dikontrol) dengan pelbagai cara, antara lain

memilih anggota kelompok eksperimen dan anggota kelompok kontrol sebagai pembanding secara acak

Page 8: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

3

(random). Selanjutnya kelompok eksperimen dikenai perlakuan (treatment), yakni dikenai variabel yang

dimanipulasi tersebut, sementara kelompok pembanding tidak menerima perlakukan tersebut. Dampak

variasi dievaluasi dengan membandingkan hasil pengukuran pasca perlakukan (post-test) terhadap kedua

kelompok tadi. Untuk lebih meyakinkan bahwa dampak tadi memang karena perlakuan, acapkali pre-test

dilakukan dan selisih antara post- dan pre-test (gain atau normalized-gain) turut diperbandingkan.

Dalam prakteknya sangat sulit untuk memilih anggota kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

secara acak, sebab dalam setting alaminya di persekolahan siswa telah dikelompokkan ke dalam rombongan-

rombongan belajar tertentu. Dengan demikian keacakan pemilihan sampel penelitian tak terpenuhi. Penelitian

yang tidak bertumpu pada keacakan (randomness) dalam penugasan kelompok eksperimen dan kelompok,

dinamakan penelitian quasi-eksperimen. Namun bukan berarti kedua kelompok sampel dibiarkan tidak

setara, karena yang diambil adalah dua kelompok yang lebih mempunyai kesamaan di antara keseluruhan

kelompok yang tersedia. Berdasarkan indikator-indikator tertentu ditunjukkan bahwa kedua kelompok

tersebut “setara”, misalnya dari tingkat kecerdasan rata-rata siswa, perolehan hasil belajar, fasilitas belajar

yang dipunyai, lingkungan belajar yang dialami, dan lain sebagainya.

Sebagai contoh penelitian quasi-eksperimen, seorang peneliti ingin meneliti dampak dari penggunaan

media pembelajaran berbasis Information and communications technology (ICT) terhadap pemahaman siswa

ketika mempelajari topik struktur atom di kelas satu SMA. Ia memilih dua kelas satu di suatu sekolah yang

berdasarkan indikator-indikator rata-rata kelas dalam prestasi belajar, tingkat status ekonomi sosial, dsb.

tidak berbeda. Tidak mungkin peneliti membentuk kelas eksperimen dan kelas kontrol sendiri secara acak.

Oleh karenanya salah satu kelas ditugasi sebagai kelompok eksperimen (akan menerima perlakukan

eskperimen) dan yang lainnya dijadikan kelompok pembanding. Selanjutnya pembelajaran berbasis ICT

diterapkan pada kelas eksperimen, sedangkan kelas pembanding menerima pengalaman belajar konvensional.

Waktu belajar dan ruang lingkup materi pembelajaran kedua kelas disamakan (dikontrol). Setelah materi

pelajaran selesai diajarkan, kepada dua kelas tersebut diberikan suatu tes yang sama, yang mengukur

pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut, untuk kemudian diperbandingkan rata-rata skor tes

kedua kelompok tersebut secara statistika.

Dalam kondisi tertentu yang sangat terbatasi, peneliti terpaksa melakukan penelitian untuk

mengevaluasi pengaruh satu fakor yang dihipotesiskan sebagai sebab dengan pengendalian minimum bahkan

tidak dilakukan sama sekali terhadap fakor-faktor lain. Metode penelitian seperti ini dinamakan pra-

eksperimen. Oleh karena tidak menggunakan kelompok pembanding, maka sangat sukar untuk menarik

kesimpulan yang meyakinkan tetang hubungan kausal dengan penelitian pra-eksperimen. Perbedaan antara

hasil post-test dan pre-test (Gain dan Normalized Gain) yang seringkali dijadikan andalan peneliti sebagai

bukti adanya pengaruh perlakuan, mungkin saja diakibatkan oleh faktor-faktor lain selain variabel penelitian.

Ada tidaknya pengaruh perlakuan dievaluasi dari perbedaan antara selisih nilai post-test dan pre-test pada

eksperimen pertama dan eksperimen kedua.

2. Bukan-Eksperimen

Beberapa tipe penelitian kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode non-eksperimen, yakni

penelitian deskriptif, penelitian komparatif, penelitian korelasional, serta penelitian “ex-post facto”

(McMillan & Wergin, 2002).

Penelitian deskriptif memaparkan suatu fenomena dalam pembelajaran dengan ukuran-ukuran statistik,

seperti frekuensi, persentase, rata-rata, variabilitas (rentang dan simpangan baku), serta citra visual dari data

misalnya dalam bentuk grafik. Sebagai contoh, penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi topik-topik

materi pelajaran IPA yang dirasakan sulit oleh siswa kelas VI SMP di Kota Bandung. Untuk mengumpulkan

data, dilakukan survei dengan instrumen kuesioner terhadap sejumlah siswa yang menjadi “sample”dalam

penelitian ini. Kekuatan penelitian seperti ini bergantung pada ketepatan melakukan “sampling”, sehingga

jumlah anggota sampel yang terbatas itu (misalnya 3-5% dari populasi) dapat representatif (mewakili)

populasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari sampel dapat disimpulkan tentang kondisi populasi, yakni

topik-topik materi pelajaran IPA yang dirasakan sulit. Teknik penarikan sampel (sampling technique) dapat

dipelajari secara khusus dari buku-buku statistika.

Page 9: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

4

Penelitian komparatif meninjau hubungan antara dua atau lebih variabel dengan melihat perbedaan

yang ada pada dua atau lebih kelompok subyek penelitian. Jadi, masing-masing kelompok diperbandingkan

dari variabel tertentu yang diselidiki. Sebagai contoh suatu penelitian berusaha meninjau hubungan antara

tingkatan kelas dan minat pada pelajaran kimia di suatu sekolah, dengan mensurvei minat siswa kelas X,

kelas XI, dan kelas XII terhadap pelajaran kimia, dan membedakannya satu sama lain secara statistika

(misalnya analisis varians untuk perbedaan antar rata-rata), sehingga hubungan antara minat terhadap

pelajaran kimia dan tingkatan kelas dapat disimpulkan. Namun demikian, hubungan yang ditemukan dari

penelitian komparatif ini, tidak serta merta dapat ditafsirkan sebagai hubungan kausal (sebab-akibat).

Penelitian korelasional menyelidiki hubungan di antara variabel-variabel, yang diungkapkan dengan

nilai koefisien korelasi. Untuk mencari korelasi, setiap subyek penelitian memberikan satu skor untuk

masing-masing variabel yang diteliti, sehingga terdapat dua himpunan skor yang jika dihitung nilai koefisien

korelasinya memperlihatkan derajad kekuatan hubungan di antara variabel-variabel yang diselidiki

hubungannya. Contoh penelitian korelasional adalah penelitian tentang kekuatan hubungan antara IQ dengan

kemampuan belajar fisika siswa SMA. Contoh lain adalah penelitian tentang daya prediksi nilai kimia tes

SBMPTN terhadap IPK mahasiswa program studi kimia di perguruan tinggi. Jika penelitian korelasional

melibatkan lebih dari dua variabel sekaligus, maka teknik analisis statistikanya yang lebih rumit diperlukan

dalam analisis data, misalnya regresi ganda. Hanya jika keterkaitan hubungan antar variabel dapat dijelaskan

secara teoretik, maka korelasi antarvariabel tersebut dapat dimaknai sebagai hubungan kausal.

Penelitian “ex-post facto” (setelah terjadi), yang seringkali disebut juga penelitian kausal-komparatif,

pada dasarnya merupakan penelitian non-eksperimen yang dipoles sehingga nampak seperti suatu

eksperimen. Studi ex-post facto menguji suatu fenomena yang telah terjadi dan berusaha menarik kesimpulan

tentang adanya hubungan-hubungan kausal. Contoh pertayaan penelitian dari studi ex-post facto: Apakah

siswa SMA yang mengikuti bimbingan belajar mempunyai prestasi belajar biologi lebih tinggi daripada

siswa yang tidak mengikuti bimbingan belajar dalam SBMPTN? Pada studi ini mengikuti bimbingan tes

dapat dipandang sebagai “perlakuan”, dan pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam SBMPTN diselidiki

dari perbedaan rata-rata nilai prestasi kedua kelompok tersebut.

Analisis konten (content analysis) adalah suatu desain penelitian untuk menghasilkan deskripsi yang

obyektif dan sistematik mengenai isi (content) yang terungkap dalam suatu komunikasi (Zuchdi, 1993).

Analisis konten dimanfaatkan untuk memahami makna dalam bentuk dokumen, artikel, buku ajar, soal ujian,

media pembelajaran, rekaman video interaksi belajar-mengajar, dll. Tahapan analisis konten mencakup tahap

pendeskripsian yang diikuti dengan tahapan analisis dan inferensi. Analisis dapat dilakukan secara

kuantitatif, seperti frekuensi, asosiasi dan korelasi, ataupun dilakukan secara kualitatif yang menekankan

pola-pola hubungan yang ada dalam dokumen yang dianalisis. Satu contoh penelitian yang menggunakan

analisis konten adalah penelitian tentang kandungan keterampilan proses dalam soal IPA UN SMA. Peneliti

mula-mula menentukan rentang tahun penerbitan soal-soal UN yang akan dianalisis, selanjutnya dengan

indiator keterampilan-keterampilan proses (interpretasi, menggunakan konsep, komunikasi, menggunakan

alat, merancang eksperimen) ia menentukan jenis keterampilan proses yang terkandung dalam setiap butir

soal. Pada pada akhirnya peneliti dapat menggambarkan profil soal IPA UN dari segi keterampilan proses

yang dikandungnya secara kuantitatif (frekuensinya dan %-tase), serta pola hubungan antara jenis

keterampilan proses dan materi pelajaran kimia dalam soal tes tersebut.

3 Etnografi dan Studi Kasus

Desain penelitian etnografik diadopsi dari tradisi penelitian antropologi. Etnografi adalah deskripsi

analitik secara mendalam tentang suatu situasi budaya (McMillan, 2012). Dalam konteks pendidikan,

penelitian etnografik didefinisikan sebagai pendeskripsian secara ilmiah sistem, proses, dan fenomena

pendidikan dalam konteks khusus. Penelitian etnografik berkaitan erat dengan observasi, deskripsi, dan

pertimbangan kualitatif atau interpretasi terhadap fenomena yang diselidiki. Penelitian etnografi berlangsung

dalam setting alami dan berfokus pada proses dalam mencoba memperoleh gambaran tentang obyek studi

secara holistik. Seringkali penelitian etnografik tidak mempunyai basis teoretik yang kuat, dan hanya sedikit

hipotesis dirumuskan sebelum penelitian dimulai. Justru hipotesis dan teori dibangun selama penelitian

dilakukan.

Page 10: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

5

Sebagai contoh, suatu penelitian etnografik dalam pendidikan kimia berangkat dari pertanyaan: “Seperti

apa pembelajaran kimia di sebuah sekolah nasional plus?” Observasi dilakukan dalam kelas dan laboratorium

kimia, pusat komputer, dan perpustakaan, dalam kurun waktu satu tahun pelajaran. Peneliti membuat catatan

lapangan (field notes) secara intensif tentang apa yang diobservasinya, serta melakukan interviu terhadap

banyak siswa dan guru. Berdasarkan semua informasi yang dikumpulkannya, peneliti memberikan paparan

dan interpretasi yang akurat tentang pembelajaran kimia di sekolah nasional plus yang menjadi situs (site)

penelitian.

Studi kasus (case study) sering dikaitkan dengan penelitian etnografik. Studi kasus dapat dipandang

sebagai jenis khusus metode penelitian karena dapat berkaitan dengan metode-metode penelitian lainnya.

Pada dasarnya studi kasus melibatkan pengkajian secara mendalam terhadap sebuah kelompok atau sejumlah

sangat terbatas individu. Sebuah penelitian etnografik yang di dalamnya suatu kelomopok dipelajari secara

mendalam, dapat dikatakan sebagai studi kasus. Studi kasus umunya bertalian dengan--tetapi tidak terbatas

pada--penelitian kualitatif. Penelitian quasi-eksperimen yang dilakukan terhadap jumlah subyek yang sangat

sedikit merupakan juga sebuah studi kasus.

4. Penelitian Tindakan Kelas

Secara sederhana penelitian tindakan kelas (PTK) dapat dikatakan sebagai suatu penelitian yang

dilakukan guru (sebagai praktisi pendidikan) untuk meningkatkan mutu pembelajaran dengan melakukan

tindakan-tindakan praktis terencana dalam setting kelasnya, serta mengadakan refleksi berdasarkan dampak

dari tindakan-tindakan tersebut (Costello, 2011). PTK lahir dari kebutuhan pragmatik guru untuk

meningkatkan kinerja profesional secara berkelanjutan. Dibandingkan dengan “penelitian-penelitian

tradisional”, PTK lebih bersifat informal, praktis, fleksibel, formatif. Ada baiknya PTK dilakukan secara

kolaboratif antara sejawat guru di suatu sekolah MGMP sekolah) agar terjadi proses saling melengkapi dan

saling berbagi pikiran dan pengalaman.

Gambar 1. Proses penelitian tindalan kelas Dari: Arikunto, Suhardjono, Supardi (2006)

Desain PTK dapat digambarkan sebagai rangkaian siklus yang terdiri atas tahap-tahap berikut: Pertama,

Mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan merencanakan strategi dan tindakan intervensi yang perlu

dilakukan (Rencana/Plan); kedua, Melakukan intervensi (Tindakan/Action); ketiga, Melakukan observasi dan

pengumpulan data ketika dan setelah tindakan dilakukan (Observasi/Observation); dan keempat, Melakukan

analisis dan penafsiran data, serta pengkajian terhadap dampak dari tindakan yang dilakukan

(Refleksi/Reflection)

Refleksi yang dilakukan mengarahkan penyempurnaan atau perbaikan terhadap rencana yang telah

dilakukan, sehingga diperoleh rencana baru untuk dipraktekan dan diamati dampaknya pada siklus

berikutnya. Rangkaian siklus seperti ini berjalan terus, sehingga PTK dapat diilustrasikan pada Gambar 1.

Selain itu, untuk meningkatkan kemaslahatan hasil PTK, “good practice” yang berhasil dikembangkan perlu

disebarluaskan kepada sejawat guru mata pelajaran lain di satu sekolah serta sejawat di sekolah lain (melalui

publikasi) sebagai model.

Pada tahap identifikasi masalah, hendaknya pertanyaan yang dirumuskan harus bermanfaat untuk kelas,

yakni yang jawabannya mengarah pada metode dan teknik pembelajaran yang lebih efektif, misalnya

Refleksi

Perencanaan

SIKLUS I Pelaksanaan

Pengamatan

Refleksi

Perencanaan

SIKLUS II Pelaksanaan

Pengamatan

?

Page 11: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

6

“Apakah pembelajaran aktif menyebabkan siswa lebih bergairah dalam belajar dan memperoleh hasil belajar

yang lebih baik?” Pada tahap perencanaan, literatur perlu dirujuk, hanya tidak terlalu merujuk pada sumber

primer (laporan riset), tetapi cukup sumber sekunder, misalnya buku-buku tentang pengajaran sains atau

informasi praktis dari WWW. Sementara itu metode penelitian yang diterapkan dapat merujuk pada metode-

metode standar, namun dapat dibuat lebih praktis, seperti misalnya cukup dengan desain pre-eksperimen atau

quasi-eksperimen untuk meninjau hubungan sebab-akibat. Data yang dikumpulkan dapat berupa data

kuantitatif (skor tes dan hasil survey) ataupun kualitatif (misalnya komentar dan evaluasi siswa pada dialog

atau focus group discussion (FGD).

Analisis data pada PTK terarah untuk menjawab secara langsung pertanyaan penelitian, misalnya

apakah strategi mengajar yang diterapkan membuahkan proses dan hasil belajar yang lebih baik. Pengujian

statistika yang canggih terhadap data kuantitatif tidak praktis dalam PTK, karena penelitian ini lebih bersifat

studi kasus dan terikat pada konteks sekolah, yang hasilnya tidak dapat digeneralisasi ke setting yang lebih

luas. Sementara itu kesimpulan yang ditarik dari PTK perlu memberikan informasi yang langsung untuk

pengambilan keputusan guru dalam menentukan strategi mengajar ke depan. Implikasinya perlu jelas, apakah

perlu mengadopsi strategi baru yang dikembangkan (jika ada indikasi memberikan hasil lebih baik), apakah

kembali ke strategi seperti biasa (jika ada indikasi lebih buruk), atau memodifiksi strategi baru tersebut untuk

diujicobakan lagi (tidak ada indikasi lebih baik, tetapi ada potensi untuk memberikan hasil lebih baik).

RANAH-RANAH PENELITIAN PENDIDIKAN IPA

Penelitian-penelitian untuk tujuan penulisan skripsi/tesis dalam bidang pendidikan IPA diarahkan

terutama pada “classroom based research”, yaitu penelitian yang dilakukan dalam setting kelas secara nyata

untuk mempelajari masalah pembelajaran (Wilson, 2013). Tugas melakukan penelitian tipe ini akan

memberikan pengalaman belajar kepada calon guru yang dapat mengembangkan profesionalisme guru,

termasuk kemampuan mengidentifikasi secara tajam permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran di

kelas, mengembangkan solusi bagi permasalahan tadi, serta mengujinya secara ilmiah. Duit (2007)

menyatakan bahwa dalam konteks pendidikan IPA, ranah-ranah penelitian yang bersesuaian dengan tujuan

itu antara lain sebagai berikut.

1. Analisis Konsepsi dan Miskonsepsi Siswa

Penelitian dalam ranah ini mengidentifikasi konsepsi-konsepsi (ide-ide) siswa mengenai konsep-konsep

esensial dalam silabus mata pelajaran kimia di SMP/MTs dan SMA/MA dengan berbagai macam metode

standar, antara lain asesmen dengan tes diagnostik miskonsepsi dua tingkat (two-tier diagnostic test), interviu

klisnis (dengan perekaman) terhadap siswa, atau pemetaan konsep oleh siswa. Hasil studi tipe ini diharapkan

dapat memperkaya pengetahuan tentang konsepsi-konsepsi alternatif yang ada dalam pikiran siswa sekolah

menengah pada umumnya. Sesuai dengan kaidah pembelajaran konstruktivis, pengetahuan ini penting

sebagai landasan bagi guru untuk merancang strategi pembelajaran yang efektif.

2. Remediasi Miskonsepsi dengan Menerapan Teori Pengubahan Konsep

Atas dasar miskonsepsi-miskonsepsi yang teridentifikasi dapat dilakukan penelitian untuk

mengembangkan dan mengevaluasi efektivitas metode, teknik, dan media (konvensional dan digital) inovatif

untuk meremedi kelompok siswa yang mengalami miskonsepsi tersebut. Metode pembelajaran inovatif untuk

meremedi miskonsepsi dapat dikembangkan dengan merujuk pada teori tentang pengubahan konsep

(conceptual change). Sementara itu metode penelitian yang laik dipakai untuk mengevaluasi efektivitas

metode inovatif yang dikembangkan adalah quasi-ekesperimen.

3. Diagnosis Kesalahan Umum Siswa dalam Memecahkan Masalah Numerik IPA

Kompetensi melakukan perhitungan-perhitungan numerik terkait IPA (terutama fisika dan kimia)

menjadi masalah nyata yang dihadapi siswa. Identifikasi perlu dilakukan terhadap titik kelemahan siswa

dalam proses pemecahan masalah, yang menyebabkan mereka memperoleh jawaban salah. Metode standar

yang dapat dipakai dalam mengidentifikasi kelemahan tersebut adalah analisis terhadap respon tertulis siswa

pada penyelesaian soal hitungan serta teknik “thinking-aloud”. Siswa yang menjadi subyek penelitian

diminta menyelesaikan soal hitungan sambil mengutarakan proses penalaran yang terjadi dalam pikirkannya,

Page 12: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

7

dan peneliti merekam apa yang dikatakan siswa. Dengan teknik thinking aloud dimungkinkan peneliti

menelusuri titik awal siswa berbuat salah dengan metode analisis konten terhadap transkripsi rekaman yang

dibuat.

4. Analisis Pembelajaran

Maksud dari analisis pengajaran adalah mengobservasi dan merekam interaksi belajar-mengajar yang

dilakukan oleh guru piawai ketika mengajarkan suatu topik tertentu pada kurikulum, untuk kemudian

melakukan analisis konten terhadap transkripsi interaksi belajar-mengajar tadi untuk menemukan bagaimana

guru memfasilitasi siswa dalam mengkontruksi konsep IPA. Strategi guru dalam menerapkan pedagogi sains

yang membuat materi pelajaran terpahami (tercerna) menjadi temuan-temuan penting dari penelitian

semacam ini. Dapat juga perilaku pengajar guru piawai diperbandingkan dengan guru pemula, sehingga

pengetahuan praktis pembelajaran (practical knowledge of teaching) guru yang menyebabkan kepiawaian

dalam mengajar IPA dapat diidentifikasi dan dihimpun untuk dijadikan rujukan bagi guru-guru lainnya.

5. Pengembangan dan Ujicoba Lapangan Pembelajaran

Penelitian dalam ranah ini berupaya menerapkan teori, prinsip, pendekatan baru dalam mengajar, atau

penggunaan teknologi yang prospektif untuk meningkatkan keberhasilan pembelajaran, khususnya yang

menyangkut topik yang sesuai. Dalam penelitian tipe ini dikembangkan suatu program pembelajaran dengan

menerapkan teori, prinsip, pendekatan yang dirujuk, misalnya konstruktivisme, pedagogical content

knowledge (PCK), contextual teaching-learning (CTL), science-environment-technology-society (SETS),

problem based learning (PBL), project based approach (PBA), pembelajaran kooperatif/kolaboratif,

pembelajaran berbasis ICT, dsb. Program pembelajaran beserta perangkat penunjangnya, seperti RPP, bahan

ajar dan media terkait dikembangkan, untuk kemudian diimplementasikan dalam kelas (oleh guru mitra atau

peneliti sendiri). Desain quasi-eksperimen diperlukan untuk menguji efektivitas program pembelajaran yang

dirancang, di samping observasi terhadap perilaku belajar siswa dalam pembelajaran inovatif yang

diujicobakan.

6. Pengembangan dan Validasi Alat Penilaian Kompetensi

Praktek penilaian kompetensi berbeda dari sekedar penilaian pemahaman konsep. Ketiadaan alat

penilaian kompetensi akan menyebabkan yang dievaluasi hanyalah salah satu aspek dari kompetensi saja. Di

sisi lain ketiadaan alat uji kompetensi yang dapat dijadikan model dalam mengembangkan soal ujian akhir

semester atau bahkan ujian akhir sekolah dan ujian akhir nasional, bahkan menyebabkan praktek

pembelajaran kembali ke cara-cara lama yang menekankan memorisasi pengetahuan sebagaimana diujikan

dalam tes konvensional (test driven instruction). Oleh karenanya model-model prosedur dan alat penilaian

(dalam format test atau penilaian alternatif) yang efektif untuk menilai kompetensi IPA (kognitif, afektif dan

psikomotor) baik dalam bentuk tes, skala sikap, ataupun rubrik penilaian keterampilan, perlu digagas,

dikembangkan, dan divalidasi melalui penelitian empirik. Dalam konteks penelitian tipe ini pula test-tes

kompetensi IPA yang digunakan secara internasional (TIMSS & PISA) perlu ditelaah secara mendalam, baik

dari segi konstruksi dan, lingkup kompetensi yang dinilai, untuk kemudian menjadi model bagi pengembang

tes kompetensi IPA di Indonesia ke depan.

INSTRUMEN PENELITIAN PENDIDIKAN

Relasi antara instrumen penilaian dan penelitian pendidikan adalah dua arah. Penelitian pendidikan

memerlukan instrument (alat pengumpul data) yang pada dasarnya adalah alat penilaian. Variabel-variabel

dalam penelitian kuantitatif perlu dipastikan nilainya dengan menggunakan alat penilaian (instrumen) yang

sesuai. Variabel capaian hasil belajar dinilai dengan tes hasil belajar, variable penalaran dan aspek-aspek

kemampuan psikologis lainnya seperti kemahiran berpikir kritis diukur dengan tes psikologis yang sesuai.

Variabel sikap dan motivasi diukur dengan instrumen berbentuk skala sikap dan inventori. Variabel

keterampilan diukur dengan rubrik penilaian kinerja.

Terdapat bermacam-ragam alat pengumpul data digunakan dalam penelitian pendidikan, antara lain tes,

inventori, skala sikap, pedoman observasi, kuesioner (angket), dan pedoman wawancara (Cohen et al., 2007).

Dalam berbagai studi kuantitatif, pengumpulan data dinamakan juga pengukuran, sebab peneliti memberikan

Page 13: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

8

nilai numerik (angka) pada fenomena atau obyek yang diamati dan pada respon yang diberikan oleh subyek

penelitian. Oleh karena itu dalam studi kuantitatif alat pengumpul data dinamakan juga alat ukur (measuring

instrument). Sementara itu dalam studi kualitatif, khususnya studi etnografik, peneliti umumnya

mengandalkan dirinya sebagai instrumen (researcher as instrument), sehingga data dan informasi tentang

variable-variabel penelitian dituliskan peneliti dalam catatan lapangan (fieldnotes). Kalaupun ada wawancara

yang dilakukan dalam studi kualitatif, sifatnya sangat kontekstual dan fleksibel, sehingga peneliti umumnya

tidak menyiapkan pedoman wawancara yang terstruktur, cukup daftar pertanyaan-pertanyaan utama saja.

Secara rinci instrumen-instrumen penelitian yang luas penggunaanya dipaparkan berikut ini.

1. Tes

Test adalah instrumen yang harus direspon oleh subyek penelitian dengan menggunakan penalaran dan

pengetahuannya. Ada dua macam tes yang dipakai dalam penelitian pendidikan, yakni tes psikologis

(psychological test) dan tes prestasi belajar (achievement test). Test psikologis yang sering dipakai dalam

penelitian pendidikan sains umumnya berbetuk tes penalaran berbasis teori Piaget, seperti Test of Logical

Thinking (TOLT), Test Longeot, Group Assessment of Logical Thinking (GALT). Baik tes psikologis

maupun tes prestasi belajar yang digunakan dalam penelitian harus terstandarisasi (standardized), dalam

pengertian teruji validitas dan reliabilitasnya berdasarkan pengujian empirik.

2. Inventori

Inventori adalah instrumen penelitian yang memuat daftar pernyataan yang direspon subyek dengan

menyatakan persetujuannya (ya) atau ketidaksetujuannya (tidak) secara pribadi terhadap pernyataan-

pernyataan yang diberikan. Inventori disusun sedemikian rupa sehingga mampu mengungkap kecenderungan

kepribadian (personality traits) misalnya inventori untuk mengungkap gaya belajar (learning style) dan profil

kecerdasan majemuk (multiple intelligence) seseorang.

3. Skala Sikap

Skala sikap (attitudes scale) adalah suatu bentuk instrumen untuk mengukur sikap seseorang terhadap

obyek sikap tertentu (benda, orang, peristiwa), misalnya pembelajaran sains, bidang studi kimia, ujian

nasional, dan guru kimia. Umumnya skala sikap dituliskan dalam format skala Likert, yakni terdapat

sejumlah pernyataan sikap, yang direspon subyek dengan menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuannya

dalam beberapa tingkatan, misalnya: Sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju

(STS).

4. Pedoman Observasi

Pedoman observasi merupakan instrumen untuk memfokuskan pengamat terhadap aspek-aspek tertentu

yang diselidiki ketika ia melakukan observasinya. Dengan-instrumen ini pula aspek-aspek yang diamati dari

sejumlah obyek pengamatan (misalnya indikator-indikator perilaku mengajar guru atau perilaku belajar

siswa) dapat diperbandingkan. Dengan perkembangan pada teknologi kamera video digital, obyek yang

diamati dapat direkam dan disimpan dalam format VCD, sehingga memungkinkan pengamat dapat

mengamati ulang obyek yang diamati ketika menganalisis hasil pengamatannya.

5. Kuesioner (Angket)

Kuesioner (questioner atau questionnaire) adalah instrumen penelitian untuk mensurvei pilihan, opini,

ekspektasi responden dalam jumlah besar. Tidak ada format khusus bagi kuesioner, namun umumnya berupa:

(1) sederetan pertanyaan yang perlu dijawab dengan esai singkat, (2) sejumlah pertanyaan dengan beberapa

opsi jawaban tersedia, (3) rating scale untuk menentukan nilai suatu obyek, orang atau peristiwa. Oleh

karena peneliti dapat mewakilkan kehadirannya kepada petugas pengumpul data pada saat pengumpulan data

dengan kuesioner, maka setiap pertanyaan harus jelas, tidak menimbulkan salah tafsir dan munculnya

permintaan penjelasan.

6 Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara adalah daftar pertanyaan yang direncanakan diajukan kepada responden. Pada

pedoman wawancara diberikan pula ruang untuk pewawancara menuliskan jawaban responden. Namun, pada

Page 14: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

9

saat ini terdapat banyak alat perekam audio dengan sensitivitas yang kuat, yang dapat dipakai merekam

jawaban responden. Dengan demikian pewawancara tak perlu menulis jawaban responden, namun

pewawancara dapat mengembangkan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut yang bersifat “menggali”, untuk

memperoleh informasi yang lengkap dari responden.

Apapun bentuk instrumennya, harus memenuhi kriteria valid dan reliable. Validitas menunjuk pada

kesesuaian antara informasi yang dicari dan pertanyaan yang disusun, sedangkan reliabilitas menunjuk pada

konsistensi (keajegan) informasi yang diungkap. Oleh karena itu pada saat dikembangkan, butir-butir

pertanyaan instrumen perlu ditulis dengan merujuk pada jenis informasi yang akan digali. Kesesuaian

tersebut akan lebih terjamin jika peneliti menyiapkan Tabel Spesifikasi (kisi-kisi) tes yang berformat matriks

yang pada kolom pertama memuat informasi yang dicari dan pada kolom berikutnya pertanyaan yang

disusun. Timbangan panel ahli (expert judgement), 3-5 orang, diperlukan untuk mengevaluasi validitas isi

masing-masing butir pertanyaan. Uji coba tentang keterbacaan pertanyaan-pertanyaan perlu dilakukan,

dengan cara memberikan buram (draft) instrumen tersebut kepada sejumlah orang yang dapat dipandang

setara dengan responden penelitian, untuk memperoleh informasi tentang aspek-aspek mana dari instrumen

yang perlu diperbaiki. Untuk instrumen berbentuk tes, pengujian validitas dan reliabilitas perlu dilakukan

secara intensif, dan ciri-ciri psikometrik dari tes yang dipakai perlu dimuat dalam paparan tentang instrumen

penelitian sebagai bagian dari metode penelitian.

Di sisi lain, instrumen-instrumen penilaian dapat menjadi obyek penelitian pendidikan. Sejak lama

pengembangan instrumen penilaian kompetensi IPA yang baku (standardized) menjadi topik-topik

penelitian yang dilaporkan dalam jurnal-jurnal ilmiah. Berdasarkan pandangan teoritis terhadap suatu

kompetensi IPA dielaborasi komponen-komponen dan indikator kompetensi tersebut, setelah itu butir-butir

(items) yang diprediksi mengukur indikator-indokator tersebut dikembangkan, ditimbang isinya oleh sebuah

panel pakar untuk memastikan validitasnya, seterusnya diujikan di lapangan terhadap sejumlah responden

yang serupa dengan target pengukuran untuk memastikan reliabilitas instrumen yang dikembangkan itu.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S, Suhardjono, Supardi. 2006. Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

Cohen L, Mainon L, Morrison K. 2007. Research methods in education. London: Routledge.

Costello PJM. 2011. Effective action research: Developing reflective thinking and practice. London:

Continuum International Publishing.

Duit R. 2007. Science education research internationally: Conceptions, research methods, and domains of

research. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 3(1): 3-15.

Gay LR, Mills GE, Airasian P. 2009. Educational research: Competencies for analysis and applications.

Upper Saddle River, NJ: Pearsoan Education.

Fraenkel JR, Wallen NE. 2006. How to design and evaluate research in education. New York: McGraw-Hill.

McMillan JH, Wergin JF. 2002. Understanding and evaluating educational research. Upper Saddle River,

NJ: Pearson Education.

McMillan, JH. 2012. Educational research: Fundamentals for the consumer. Boston, MA: Pearson

Education.

Taber KS. 2013. Beyond positivism: Scientific research into education. In E. Wilson (Ed.), School-based

research: A guide for education students (287-304). Los Angeles, CA: SAGE Publication.

Wilson E. 2013. Beyond positivism: Scientific research into education. In E. Wilson (Ed.), School-based

research: A guide for education students (24-38). Los Angeles, CA: SAGE Publication.

Page 15: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

10

CURRICULUM VITAE

Nama : Dr. Harry Firman, M.Pd.

Tgl. Lahir : 8 Oktober 1952

Alamat : Rumah: Jalan Titimplik 64 Bandung 40133

Indonesia;

Telp (022) 2500271; Cell-phone 08122030864

Kantor: Ruang S-110 FPMIPA, Universitas Pendidikan

Indonesia Jalan Dr. Setiabudhi 229 Bandung 40154

Telp & Fax: (022) 2000579

E-mail : [email protected]

A. Pendidikan

No Universitas/institut Gelar Tahun Lulus Bidang Studi

1 IKIP Bandung S1 1977 Pendidikan Kimia

2 IKIP Bandung S2 1983 Pendidikan Sains

3 Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjung

Malim, Malaysia S3 2013 Pendidikan Kimia

B. Pelatihan

Modern method of science teaching (3 months), SEAMEO-RECSAM, Penang Malaysia (1978).

Science Education (6 months), School of Education, State University of New York at Albany, Albany

New York (1986).

Science Education (2 months), School of Education, University of Houston, Texas (1993).

Science Teacher Education (2 months), College of Education, Ohio State University, Columbus Ohio

(1994).

Professional Training for Higher Education Teaching Staff and Trainers (1 week), Jakarta, The British

Council Indonesia, (1999).

C. Pekerjaan

Guru kimia SMA Santa Maria Bandung (1976-1980).

Dosen pada Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Bandung (kemudian menjadi UPI), 1978-sekarang.

Anggota Tim Pengembanga GBPP Mata Pelajaran Kimia Kurikulum 1994, Pusat Pengembangan

Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Balitbang Depdibud (1991-1993).

Dekan Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia

(2000-2004)

Anggota Tim Pengembang Instrumen Sertifikasi Guru, Ditjen Dikti (2006).

Visiting professor pada Center for the Study of International Cooperation in Education, Hiroshima

University (Agustus – Desember 2006)

Anggota Tim Studi PISA, Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Depdiknas (2007)

D. Publikasi

Artikel untuk Handbook:

Pendidikan Kimia di Indonesia (Dalam Handbook Teori dan Aplikasi Pendidikan, Pedagogiana, 2007).

Artikel Jurnal:

The Future of Schooling in Indonesia. Journal of International Cooperation in Education, Hiroshima

University Center for the Study of International Cooperation in Education, Vol. 11 No. 1(2008) pp 71-84.

Makalah Seminar :

Future Trends of Science Education in Indonesia (International Seminar on Science Education, P4TK IPA,

Bandung, 29 November 2007).

Page 16: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

11

Peta Penelitian Pendidikan Kimia (Lokakarya Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru Kimia, Jurusan

Pendidikan Kimia UPI, Bandung 2008).

Framework for Staff and Student Research on Chemistry Education, International Conference on Research,

Implementation, and Education, of Mathematics and Science 2014 (ICRIEMS 2014), Universitas Negeri

Yogyakarta, May 18-21, 2014.

Laporan Penelitian:

Analisis Capaian Siswa Indonesia dalam Studi PISA Nasional (Sponsor: Pusat Penilaian Pendidikan,

Balitbang Depdiknas, 2007).

Konsepsi Mahasiswa Calon Guru Kimia tentang Pengajaran Kimia di SMA (Penelitian Mandiri,

dipresentasikan dalam UPI-UPSI Conference, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Perak, malaysia, 25-27

November 2008).

Mengukuhkan Dampak Positif dan Mengurangi Dampak Negatif Ujian nasional dalam Konteks Mata

pelajaran Kimia SMA (Penelitian Mandiri, dipresentasikan dalam UPI-UPSI Conference, Universiti

Pendidikan Indonesia, Bandung, 8-10 November 2010).

Alignment between National Curriculum Content and National Examination Test – Secondary School

Chemistry (Penelitian Mandiri, dipresentasikan dalam International Seminar on Science, Math dan Computer

Education, FPMIPA UPI, September 2013)

Aktivitas Profesi:

Anggota Hipunan Kimia Indonesia (HKI) cabang Jawa Barat (1980 – sekarang).

Anggota Himpunan Sarjana Pendidikan IPA (HISPIPAI) (1995- sekarang)

Page 17: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014

12

Keynote Speaker 2

PEMBELAJARAN SAINTIFIK YANG MENGINTEGRASIKAN TIK

Uwes Anis Chaeruman Pustekkom, Kemdikbud

[email protected]

Peserta seminar yang berbahagia,

Pembelajaran, sebagai upaya membuat peserta belajar mengalami peristiwa belajar yang mendalam

telah menajdi obyek penelitian, pengembangan dan penerapannya di lapangan. Seiring dengan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi, paradigma pembelajaran telah bergeser dari pembelajaran yang tradisional

yang dicirikan dengan istilah pembelajaran yang berorientasi pada guru (teacher-centered instruction) ke

pembelajaran modern yang lebih berorientasi pada siswa (student-centered center). Kurikulum 2013,

memiliki semangat pembelajaran moder yang lebih menekankan pada pengalaman belajar sebagai peserta

aktif, daripada hanya sekedar pendengar aktif. Melalui pendekatan saintifik, yang dikenal dengan istilah 5M

(mengamati, menanya, mengasosiasi, meneksperimentasi, mengkomunikasikan), mendorong peserta belajar

untuk menjadi pemain utama dalam situasi pembelajaran.

Di sisi lain, masuknya pengaruh teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan warna

baru dalam praktek penerapan pembelajaran modern. TIK memberikan peluang sekaligus tantangan yang

besar guna mewujudkan terjadinya proses pembelajaran yang optimal pada diri peserta belajar, jika

diterapkan secara tetap guna. Jika tidak, akan memberikan dampak yang sebaliknya.

Dalam prakteknya, penerapan pembelajaran modern yang mengintegrasikan TIK tersebut memerlukan

pemahaman yang utuh dan kreatifitas dalam merancang pembelajaran yang tidak hanya efektif dan efisien

tapi juga meanrik dan menantang. Dalam pidato kunci yang singkat ini, saya ingin mencoba mengajak

peserta seminar mencermati beberapa point kunci dalam konteks pembelajaran modern berpendekatan

saintifik dan mengintegrasikan TIK.

Peserta seminar yang terhormat,

Untuk menjawab permasalahan tersebut mari kita kaji empat contoh kasus ilustratif berikut. Melalui

kasus-kasus ini saya mengajak Anda untuk dapat membedakan dari sekian kasus tersebut, manakah yang

termasuk dalam kategori pembelajaran modern?

Kasus Ilustratif #1:

Seorang guru SD kelas III, ingin mengajarkan tentang perbedaan zat padat, zat cair dan gas

kepada siswanya. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru membagi siswa kedalam

tiga kelompok besar dan mengajaknya keluar ruangan kelas. Di lapangan yang teduh, guru

meminta kelompok 1 untuk berpegangan erat-erat sekali satu sama lain. Kelompok 2 diminta

berpegangan tapi tidak erat. Kelompok 3 diminta berkumpul tanpa berpegangan sama sekali.

Kemudian guru meminta salah seorang siswa untuk menerjang menembus setiap keompok tersebut

secara bergantian. Kemudian, guru meminta semua siswa duduk berkumpul diatas rumput dan

mendiskusikan apa yang terjadi. Disitulah dijelaskan bahwa kelompok satu ibarat zat padat

dimana molekulnya begitu rapat sehingga susah ditembus alias keras. Kelompok dua adalah ibarat

zat cair dimana molekulnya tidak bergitu rapat sehingga relative lebih mudah ditembus. Dan

kelompok tiga ibarat gas, dimana molekul-molekulnya tidak rapat. Setelah diskusi, kemudian guru

meminta setiap kelompok untuk mengambil apa saja yang ada disekitar lapangan sekolah tersebut

dan dikumpulkan di lapangan. Setelah semua terkumpul, kemudian guru meminta setiap kelompok

untuk dapat mengelompokkan mana yang termasuk kategori padat, cair dan gas. Setelah itu, siswa

diminta mempresentasikannya atau menceritakannya didalam kelas hasil dari klasifikasi tersebut

dilanjutkan dengan diskusi dan klarifikasi.

Kasus Ilustratif #2:

Page 18: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014

13

Seorang guru SD kelas III, ingin mengajarkan tentang perbedaan zat padat, zat cair dan gas

kepada siswanya. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru membagi siswa kedalam

tiga kelompok besar dan mengajaknya keluar ruangan kelas. Di lapangan yang teduh, guru

meminta kelompok 1 untuk berpegangan erat-erat sekali satu sama lain. Kelompok 2 diminta

berpegangan tapi tidak erat. Kelompok 3 diminta berkumpul tanpa berpegangan sama sekali.

Kemudian guru meminta salah seorang siswa untuk menerjang menembus setiap keompok tersebut

secara bergantian. Kemudian, guru meminta semua siswa duduk berkumpul diatas rumput dan

mendiskusikan apa yang terjadi. Disitulah dijelaskan bahwa kelompok satu ibarat zat padat

dimana molekulnya begitu rapat sehingga susah ditembus alias keras. Kelompok dua adalah ibarat

zat cair dimana molekulnya tidak bergitu rapat sehingga relative lebih mudah ditembus. Dan

kelompok tiga ibarat gas, dimana molekul-molekulnya tidak rapat. Setelah diskusi, kemudian guru

meminta setiap kelompok untuk membawa Handphone masing-masing dan memotret apa saja yang

bisa dipotret dengan kamera HP. Setelah itu guru mengajak kedalam kelas dan duduk

berkelompok. Setelah semua terkumpul, kemudian guru meminta setiap kelompok untuk dapat

mengelompokkan mana yang termasuk kategori padat, cair dan gas dalam bentuk folderisasi

dalam komputer. Setelah itu, siswa diminta mempresentasikannya atau menceritakannya didalam

kelas hasil dari klasifikasi tersebut. kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan klarifikasi dari guru.

Kasus Ilustratif #3:

Seorang guru SM, ingin mengajarkan tentang teori penciptaan alam semesta. Untuk mencapai

tujuan pembelajaran tersebut, guru membagi siswa kedalam tiga kelompok besar. Setiap kelompok

masing-masing diberikan satu bacaan tentang satu teori penciptaan alam semesta. Masing-masing

kelompok diminta untuk mengkaji dan menyajikan ulang dengan media dan aplikasi TIK yang

mereka kuasai tentang teori tersebut. Yang menguasai slide presentasi dengan slide presentasi,

yang menguasai gambar dengan gabar, dan lain-lain. Bahkan bagi yang bisa menyanyi dapat

menyajikannya dalam bentuk lagu. Salah satu siswa anggota dari masing-masing kelompok

diminta memperesentasikan hasilnya dan dilanjutkan dengan diskusi. Pelajaran kemudian diakhiri

dengan memberikan kesimpulan bersama dan tugas kelompok berupa proyek tertentu.

Kasus Ilustratif #4:

Sama seperti kasus #3, seorng guru ingin mengajarkan tentang teori penciptaan alam semesta.

Guru kemudian membuat slide presentasi tentang penciptaan alam semesta. Katakan, dia berhasil

membuat sebanyak 54 slide prsentasi. Kemudian ketika masuk dalam kelas, guru langsung

mengajar dengan menggunakan slide prsentasi tersebut, diproyeksikan dengan menggunakan

overhead projector dan siswa menjadi pendengar setia. Pembelajaran diakhiri dengan diskusi dan

tanya jawab dan tugas kelompok sebagai pekerjaan rumah.

Peserta seminar sekalian,

Dari keempat kasus ilustratif tersebut, pada dasarnya manakah yang termasuk dalam kategori

pembelajaran modern?

Inilah jawabnya! Kasus ilustratif #4 saya katakan termasuk dalam kategori pembelajaran KUNO

DENGAN TEKNOLOGI MODERN. Kasus ilustratif #1 saya katakana termasuk dalam kategori

pembelajaran MODERN WALAU DENGAN TEKNOLOGI SEADANYA. Kasus ilustratif #2 dan #3 adalah

pembelajaran MODERN DENGAN TEKNOLOGI MODERN. Sebagai guru atau calon guru, kasus mana

yang akan Anda pilih? Tentu, kita akan tinggalkan kasus ilustratif #4. Kita akan praktekkan seperti kasus

ilustratif 1, 2 dan 3.

Mengapa demikian? Sebenarnya apa yang membedakan antara pembelajaran modern dan pembelajaran

“kuno”? Jawabnya sederhana. Ketika dalam suatu situasi pembelajaran, siswa menjadi PENONTON

UTAMA sementara guru menjadi PEMAIN UTAMA, maka dapat dikatakan pembelajaran tersebut adalah

pembelajaran yang berpusat pada guru. Itulah pembelajaran “KUNO”. Tapi, ketika dalam suatu situasi

pembelajarab, siswa menjadi PEMAIN UTAMA sementara guru menjadi SUTERADARA, maka dapat

dikatakan bahwa pembelajaran tersebut sebagai pembelajaran yang berpusat pada siswa. Itulah yang

dimaksud dengan pembelajaran MODERN.

Page 19: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014

14

Saudara-saudara sekalian,

Seperti yang disampaikan oleh Driscoll (2004) menyatakan bahwa esensi belajar adalah

MENGALAMI. Belajar terjadi ketika ada interaksi antara yang belajar dengan dunia (sumber belajar).

Semakin mengalami maka semakin tinggi derajat peristiwa belajar terjadi. Oleh karena itu, dalam semangat

kurikulum 2013 menekankan pada pendekatan sainitifik yang kita kenal dengan istilah 5M (mengamati,

mencoba/mengeksperimentasi, menalar, menanya dan mengkomunikasikan). Tujuannya adalah untuk

meningkatkan derajat mengalami atau peristiwa belajar pada diri siswa. Dalam kasus ilustratif #1, #2 dan #3

terlihat jelas bahwa peristiwa mengalami pada diri siswa memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan

dengan pada kasus ilustratif #4.

Bahkan, pada kasus #2 dan #3, tidak hanya menekankan pada proses mengalami, tapi juga proses

mengalami tersebut ditunjang oleh teknologi informasi dan komunikasi yang relevan. Inilah yang dimaksud

dengan mengintegrasikan TIK untuk pembelajaran. Karena dalam kasus tersebut telah menunjukkan

peristiwa belajar dengan teknologi (sebagai ciri pembelajaran modern), bukan mengajar dengan teknologi

(sebagai ciri pembelajaran kuno tapi berteknologi modern) seperti pada kasus ilustratif #4. Dalam konteks ini

guru harus lebih berperan sebagai fasilitator dan sutradara pembelajaran, dimana siswa sebagai pemain utama

dalam “sinetron pembelajaran” tersebut.

Oleh karena itu, jika Anda menjadi guru atau telah menjadi guru, coba perhatikan beberapa hal berikut:

1. Ketika akan mengajar, jangan pikirkan materi apa yang akan saya pelajari. Tapi, pikirkan aktivitas

belajar (pengalaman belajar) seperti apa yang harus terjadi pada diri siswa untuk dapat menguasai

materi tersebut.

2. Selama tiap dua jam pelajaran atau satu semester, pertimbangkan, berapa banyak waktu yang tersita

oleh kita untuk mengajar dibandingkan dengan waktu yang tersita oleh siswa mengalami aktifitas

belajar?

Peserta seminar yang saya hormati,

Mengapa pembelajaran yang mengintegrasikan TIK penting? Tantangan pendidikan abad 21, menurut

PBB adalah membangun masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society) yang memiliki (1)

keterampilan melek TIK dan media (ICT and media literacy skills), (2) keterampilan berpikir kritis (critical

thinking skills), (3) keterampilan memecahkan masalah (problemsolving skills), (4) keterampilan

berkomunikasi efektif (effective communication skills); dan (5) keterampilan bekerjasama secara kolaboratif

(collaborative skills). Keempat karakteristik masyarakat abad 21 menurut PBB tersebut dapat dibangun

melalui pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran. Dalam konteks pendidikan, sesungguhnya peran

TIK adalah sebagai “enabler” atau alat untuk memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang efektif

dan efisien serta menyenangkan. Jadi, TIK dijadikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu

sendiri.

Jika Anda diberikan suatu pertanyaan, ”Apakah TIK di sekolah telah dijadikan sebagai sarana untuk

pembelajaran atau masih dijadikan sebagai obyek yang dipelajari?” atau ”Apakah siswa sudah belajar dengan

TIK atau siswa masih belajar tentang TIK?” Apa jawaban jujur Anda? Pasti, Anda menjawab bahwa TIK di

sekolah masih dijadikan sebagai obyek yang dipelajari atau siswa masih diposisikan sebagai orang yang

sedang belajar TIK. Padahal, apa yang seharusnya terjadi adalah sambil belajar tentang TIK (learning about

ICT), siswa juga belajar dengan menggunakan atau melalui TIK (learning with and or through ICT).

Saudara-Saudara sekalian yang saya hormati,

Bagaimanakah peran guru dan siswa dalam pembelajaran yang mengintegrasikan TIK? Bila dilihat dari

sisi peran TIK bagi guru, maka pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran seharusnya memungkinkan

dirinya untuk:

1. menjadi fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar.

2. dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada siswa untuk mengalami peristiwa

belajar.

Jika, pengintegrasian TIK dalam proses pembelajaran hanya bertujuan untuk mempermudah guru

menyampaikan materi, dimana ia berperan sebagai satusatunya sumber informasi dan sumber segala

Page 20: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014

15

jawaban, maka lima keterampilan masyarakat abad 21 yang dicanangkan PBB seperti dijelaskan di atas tidak

akan berhasil. (adaptasi dari Division of Higher Education, UNESCO, 2002).

Sementara itu, bila dilihat dari sisi peran TIK bagi siswa, maka pengintegrasian TIK dalam proses

pembelajaran harus memungkinkan siswa:

1. menjadi partisipan aktif;

2. menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/keterampilan sert berpartisipasi sebanyak mungkin

sebagaimana layaknya seorang ahli.

3. belajar secara individu, sebagai mana halnya juga kolaboratif dengan siswa lain.

Jika pemanfaatan TIK dalam pembelajaran masih membuat siswa tetap pasif, mereproduksi

pengetahuan (sekedar menghafal), seperti guru mengajar dengan menggunakan slide presentasi dimana yang

masih dominan adalah dirinya, maka sia-sialah teknologi tersebut diiintegrasikan dalam proses pembelajaran

yang kita lakukan. Percayalah, jika itu yang terjadi, maka siswasiswi kita nanti hanya akan memiliki

”PENGETAHUAN TENTANG ....” bukan KEMAMPUAN UNTUK .....”. (adaptasi dari Division of Higher

Education, UNESCO, 2002)

Jadi, secara teoretis, integrasi TIK dalam pembelajaran yang sesungguhnya harus memungkinkan

terjadinya proses belajar yang:

1. Aktif; memungkinkan siswa dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan bermakna.

2. Konstruktif; memungkinkan siswa dapat menggabungkan ide-ide baru kedalam pengetahuan yang telah

dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan tahuan dan keraguan yang selama ini ada

dalam benaknya.

3. Kolaboratif; memungkinkan siswa dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling bekerjasama,

berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama anggota

kelompoknya.

4. Antusiastik; memungkinkan siswa dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai tujuan yang

diinginkan.

5. Dialogis; memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan dialogis

dimana siswa memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam maupun luar

sekolah.

6. Kontekstual; memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-world)

melalui pendekatan ”problem-based atau casebased learning”.

7. Reflektif; memungkinkan siswa dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta merenungkan apa yang

telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. (Jonassen (1995), dikutip oleh Norton

et al. (2001)).

8. Multisensory; memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar

(multisensory), baik audio, visual, maupun kinestetik (dePorter et al, 2000).

9. High order thinking skills training; memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi

(seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll.) serta secara tidak langsung juga meningkatkan

”ICT & media literacy” (Fryer, 2001).

Disinilah letak perbedaan antara guru abad 21 dengan guru tradisional. Kita sebagai guru abad 21 guru

yang telah menggeser paradigma pembelajaran dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered

learning) menuju pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning) dimana ia lebih

berperan sebagai desainer pembelajaran, fasilitator, pelatih dan manajer pembelajaran. Bukan sebagai

pencekok informasi dan satu-satunya sumber belajar, sang maha tahu. Oleh karena itu, guru harus mampu

mendesain pembelajaran atau menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang mencirikan

paradgma baru pembelajaran seperti dijelaskan di atas dengan mengintegrasikan TIK sebagai sarananya.

Saudara-saudara sekalian,

Demikianlah point-point kunci yang dapat saya sampaikan dalam pidato kunci ini. Sebagai kesimpulan,

saya hanya ingin menekankan empat point sebagai berikut:

1. Esensi belajar terjadi karena peristiwa mengalami. Tanpa mengalami tidak ada peristiwa belajar.

Semakin rendah kadar mengalami semakin rendah kadar peristiwa belajar terjadi.

Page 21: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014

16

2. Itulah sebabnya, kurikulum 2013 lebih mendorong kita untuk berpindah dari paradigma lama belajar

yang berorientasi pada siswa menjadi belajar yang berorientasi pada siswa aktif(pembelajaran modern).

Dalam implementasinya, juga lebih menekankan pada pendekatan saintifik (mengamati,

mencoba/mengeksperimentasi, mengasosiasi, menanya dan mengkomunikaiskan). Tujuan utamanya

adalah untuk meningkatkan derajat peristiwa belajar terjadi pada diri siswa.

3. Dalam era informasi dewasa ini, peristiwa mengalami tersebut dapat ditunjang dengan teknologi

informasi dan komunikasi (TIK) yang tepat guna. Oleh karena itu, penting sekali untuk

mengintegrasikan TIK dalam proses pembelajaran.

4. Integrasi TIK dalam proses pembelajaran sangat penting guna mendorong terbangunnya karakter

generasi abad 21 seperti kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, bekerja kolaboratif,

komunikasi efektif dan melek teknologi dan informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Driscoll, Marcy P. 2004. Pshycology of Learning for Instruction (third Edition). Boston,USA: Allyn and

Bacon

Dryden, Gordon, Voss, Jeanette. 1999. The Learning Revolution: to Change the Way the World Learn. the

Learning Web. Torrence, USA. http://www.thelearningweb.net.

Fryer, Wesley A. 2001. Strategy for effective Elementary Technology Integration.

http://www.wtvi.com/teks/integrate/tcea2001/powerpointoutline.pdf

NIE, Singapore. General Typology of Teaching Strategies in Integrated Learning System.

http://www.microlessons.com.

Norton P, Spargue D. 2001. Technology for Teaching. Boston, USA: Allyn and Bacon.

UNESCO Institute for Information Technologies in Education. 2002. Toward Policies for Integrating ICTs

into Education. High-Level Seminar for Decision Makers and Policy-Makers, Moscow.

UNESCO. 2002. Information and Communication Technologies in Teacher Education: a Planning Guide.

Division of Higher Education,

Page 22: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014

17

CURRICULUM VITAE

Name : Uwes Anis Chaeruman

Place, Date of Birth : Rangkasbitung,

11 March 1974

Nationality : Indonesia

Sex : Male

Religion : Moslem

Marital Status : Married

Address : Kompleks Lembah Pinus Sasmita Jaya Blok B3 No 4

RT 05 RW 24, Kel. Pamulnag Barat, Kec. Pamulang, Tangerang Selatan

Mobile Phone : 0812 9092 451

Email : [email protected]

A. EDUCATIONAL BACKGROUND

Year

2010 Studying doctoral degree (on progress) in educational technology at the State University of

Jakarta

2006 Graduated master degree in educational technology at the State University of Jakarta

1999 Graduated bachelor degree in deucational technology at the State University of Jakarta

B. WORKING EXPERIENCES

Year Position`

1998-2000 Lecturer Assistant at the Department of Educational Technology, the State

University of Jakarta

2000-now Lecturer at the Department of Educational Technology, the State

University of Jakarta

2007-now Lecturer at the Post-­‐Graduate Program, Department of Educational Technology,

Islamic University of Assyafi’iyah Jakarta

2007-now Lecturer at the Post-­‐Graduate Program, Department of Educational Technology,

State University of Sultan Ageng Tirtayasa, Banten

2008-2010 Educational research board member on the application of information and

communication technology for the Ministry of National Education expert staff

2008-now Educational consultant for Balai Balai Tekkom Pendidikan, Province of Banten

2008-2009 Educational consultant, providing technical assistance for the Center of Religious

Affairs Training and Education, Ministry of Religious Affairs in developing

distance training thorugh e-­‐learning system (online training system)

2009-now Educational consultant, assisting providing technical assistance the Center of

Health and Medical Training and Education, Minsitry of Health, in developing online

training system.

2011-2012 Educational consultant, providing technical assistance Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK), Joint Cooperation with USAID and Manajemen Sistem Informasi

(MSI) in developing e-­‐Learning media.

2013-now consultant (coffey international foundation), providing technical assistance

in the project of distance education development for Politeknik Kesehatan

Kemenkes Kupang, Minsitry of Health joint cooperation with AusAID.

Page 23: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 11 September 2014

18

C. LAST FIVE YEARS PARTICIPATION IN TRAINING/SEMINAR/WORKSHOP

Trainer and Facilitator in the Training of Trainer Conducted by the Center of ICT for Education,

Bogor and Pontianak, 2012. Topic: “Developing ICT-­‐integrated Lesson Plan”

National Seminar Speaker in the 21th Anniversary of Educational Technology Postgraduate Program,

the State University of Sebelas Maret , Solo. Topic: Implementing Blended Learning in Higher

Education: A Case-­‐based Sharing Experience. (November 2011)

Instructor and facilitator in the training of assessment and test development, the Center of Finance Audit,

Body of Financial Audit, Ministry of Finance (September, 2011)

Speaker and participant of International Seminar of Educational Technology conducted by the State

University of Jakarta, Jakarta June, 2011. Paper titled: Implementing Blended Learning in Higher

Education: A Case-­‐based Sharing Experience

Seminar Speaker in the event of “Festival e-­‐Pendidikan” in 10 Towns around Indonesia.

Topic: “Integrating ICT into Teaching and Learning” ((August – October 2010)

Speaker on the Training of e-­‐Learning for the State University of Semarang Lecturers.

Topic: “Designing Effective Blended Learning Strategy” (Sept 2010)

Participant of APEC e-­‐Learning Training Program, Seoul and Busan, South Korea (Sept, 2009)

Judge Board Member of e-­‐Learning Award (2006 – 2009)

National Judge Member of Indonesia ICT Award (INAICTA) conducted by Ministry of

Communication and Information (2007 – 2011)

Speaker and active participant in regular annual National Seminar of Educational Technology, since

2004 – now

Speaker and participant in International Symposium on e-­‐Learning, Melbourne, Australia, Dec, 2007.

Partcipant of the 21st

Century Education Leadership conducted by Partner in Learning Program,

Microsoft Indonesia, Singapore, 2006.

D. PUBLICATIONS

“e-­‐Learning dan Pendidikan Jarak Jauh”, ini “Mozaik Teknologi Pendidikan”, Prenada, Jakarta,

2013.

Instructional Strategy that Integrate ICT, Training Module, Pustekkom, 2009

The Application of Distcance Education System in Primary and Secondary Education, Universitas

Terbuka, 2006

Educational Model with Independent Learning System, Jurnal Teknodik, Pustekkom, 2006

Instructional Design for Development of Instructional Software, in the Development of Instructional

Software, Directorate of Secondary Education, Ministry of National Education, 2008

Other publication can be seen at http://teknologipendidikan.net.

Page 24: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

19

Keynote Speaker 3

KIAT MENULIS DAN MEMPUBLIKASIKAN KARYA ILMIAH

Ely Djulia Jurusan Pendidikan Biologi, FMIPA Universitas Negeri Medan

[email protected]

PENDAHULUAN

Mempublikasikan hasil penelitian dalam bidang studi apapun merupakan hal yang mutlak diperlukan di

dunia Pendidikan . Karena melalui publikasilah baik secara lisan maupun tulisan, berbagai temuan dan

inovasi dapat disebarluaskan kepada para pembaca di seluruh dunia, direview, diamplikasikan, serta diteliti

lebih dalam oleh para peneliti berikutnya. Maka khasanah ilmupun menjadi bertambah dan berkembang.

Publikasi secara lisan dapat kita simak melalui berbagai kegiatan seminar baik nasional, regional,

maupun internasional. Melalui kegiatan seminar para peserta bisa menyimak paparan hasil penelitian secara

langsung dari penelitinya, berdialog, tanya jawab, berdiskusi tentang penelitian yang sedang atau akan

dilakukan, bahkan merencanakan penelitian bersama. Namun publikasi secara lisan ini hanya dapat diikuti

oleh kalangan tertentu, jumlah orang tertentu, dan waktu tertentu. Ada cara lain untuk mengatasi kendala

publikasi lisan ini yaitu publikasi secara tertulis.

Publikasi tertulis ini sangat penting dan strategis karena bisa ditelaah oleh para pembaca di seluruh

dunia, dengan jumlah yang tak terbatas dibanding dengan komunikasi lisan dalam bentuk pertemuan ilmiah.

Walaupun demikian publikasi ilmiah dari para penulis Indonesia hingga saat ini masih minim dibanding

negara-negara lain. Untuk itu diperlukan upaya yang terprogram, secara bertahap dan berkelanjutan oleh para

dosen, para guru, para mahasiswa agar dapat menghidupkan publikasi ilmiah di segala bidang termasuk dunia

pendidikan. Kemampuan menulis karya ilmiah ini memerlukan kemampuan berbahasa yang lugas, berpikir

sistematis, penguasaan bidang studi, gaya bahasa yang mudah dipahami pembaca, serta yang terpenting

adalah menginspirasi pembaca. Untuk itu maka makalah ini akan mengenalkan beberapa bentuk manuskrip,

penggunaan gramatika, pengenalan umum struktur karya ilmiah, serta cara submit pada Journal internasional.

TIPE TIPE MANUSKRIP

Jika kita menelaah isi sebuah Journal Internasional, maka ada beberapa tipe manuskrip sebagai berikut:

1. Research Paper

Kategori ini merupakan paper yang melaporkan berbagai tipe penelitian yang sudah dilakukan oleh

penulisnya, bisa individual maupun group. Penelitian ini meliputi pengujian model atau kerangka kerja,

action research, pengujian data, survey empiris, saintifik, atau penelitian klinis.

2. Viewpoint

Kategori ini merupakan paper yang isinya berdasarkan pada opini dan interpretasi penulis termasuk

studi jurnalistik

3. Conceptual Paper

Kategori ini tidak berdasarkan hasil penelitian, tetapi merupakan pengembangan hipotesis, diskusi teori

baik secara filosofis, studi komparatif tentang suatu kegiatan atau pemikiran.

4. Technical Paper

Paper ini memaparkan dan mengevaluasi berbagai produk, proses, atau layanan teknis

5. Literatur Review

Diharapkan semua paper merujuk pada setiap literature relevan, kategori paper ini digunakan hanya jika

tujuan utama paper untuk merujuk atau mengkritik literature tentang bidang tertentu. Bisa jadi berupa

bibliografi yang memberikan masukan tentang sumber informasi secara komprehensif yang bertujuan

untuk mengembangkan suatu topic tertentu dan mengeksplorasi padangan-pandangan yang berbeda.

6. General Review

Kategori ini memuat paper yang memberikan overview atau pengujian historis tentang konsep, teknik

atau fenomena. Paper sifatnya lebih deskriptif atau instruksional (How to).

KOMPONEN PAPER

Berikut Ini dipaparkan komponen-komponen paper beserta karakteristik sebagaimana lazimnya pada

Journal Internasional yaitu:

Page 25: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

20

1. Title & Affiliations

Normalnya kurang dari 12 kata. Jelas, singkat dan tajam, merupakan frase yang mendeskripsikan atau

merefleksikan isi paper. Tertulis nama penulis beserta afiliasinya, serta korespondennya (No. HP, email,

fax, alamat lengkap). Nama harus konsisten. Padat dan informative karena judul paper sering digunakan

didalam system penggalian informasi. Hindari singkatan nama.

2. Abstract

Abstrak terdiri dari 100-200 kata, terkadang maksimum 250 kata, informative dan bersifat self-

explanatory. Menyajikan topic secara jelas dan singkat terdiri dari pengantar, tujuan, metodologi,

temuan, kesimpulan, implikasi, serta rekomendasi. Kalimat harus lengkap menggunakan passive verbs,

past tense, tidak usah menyebutkan kata ganti orang ketiga (dia), tidak ada singkatan. Tidak ada kutipan

didalam abstrak, karena abstrak Anda merupakan ringkasan dari hasil kerja atau penelitian Anda

sendiri.

3. Keywords

Biasanya 3-8 kata, lebih dianjurkan 5 kata. Kata kunci ini berguna untuk indeks atau referensi, untuk

pencarian di data base, namun tidak harus menyebutkan semua kata yang tertera pada judul. Beberapa

jurnal terutama yang submitnya melalui Scholar One Manuscript Central sudah mengkhususkan kata-

kata kunci pada bidang kajian yang dipilih.

4. Introduction

Pendahuluan perlu mencermati berbagai hal berikut ini:

a. Normalnya berisi 1-1,5 halaman, kecuali paper bidang management bisa lebih dari itu.

b. Pendahuluan harus memuat pernyataan yang jelas tentang masalah, literature yang relevan tentang

bidang tertentu, serta pendekatan atau solusi yang diajukan saat ini.

c. Berbagai overview atau latar belakang tentang mengapa paper ini ditulis merupakan hal yang sangat

penting meliputi definisi istilah-istilah yang relevan, review literature, hipotesis, serta bagaimana

paper ini berbeda dari kajian-kajian atau paper lain pada topic tersebut.

d. Pendahuluan juga menyampaikan berbagai pandangan tentang masalah terdahulu dan masalah

terkini. Semua yang dipaparkan itu harus dapat dipahami para kolega minimal yang memiliki

disiplin ilmu yang sama.

e. Pendahuluan perlu merujuk 10-15 referensi pada 1-3 tahun terakhir dari waktu sumbit paper.

Misalnya jika kita submit paper tahun 2014, maka perlu merujuk pada referensi hasil penelitian

yang relevan dari Journal-journal yang terbit tahun 2013, 2012, 2011 meskipun penelitian Anda

telah dilakukan 5 tahun yang lalu.

f. Pendahuluan perlu berisi pertanyaan penelitian, serta garis besar tentang bagaimana kajian Anda

menambah atau mengisi gap.

g. Tujuan penelitian harus disampaikan pada bagian akhir paragraph pendahuluan.

5. Methods & Materials

a. Bagian ini tidak ada batasan halaman.

b. Metode penelitian harus dipaparkan secara lengkap tentang bagaimana eksperimen itu direplikasi

atau dilakukan.

c. Setiap prosedur baru harus dideskripsikan secara rinci. Prosedur yang sudah dipublikasikan

sebelumnya harus dirujuk, modifikasi-modifikasi penting dari prosedur yang sudah terpublikasi itu

harus disebutkan dengan jelas.

d. Sub judul perlu digunakan dan konsisten dengan metodologi yang digunakan.

e. Metode-metode yang digunakan secara umum atau yang sudah biasa, tidak perlu dideskripsikan

secara rinci. Perlu juga dijelaskan mengapa Anda memilih populasi dan sampel tersebut sebagai

partisipan.

f. Penelitian relevan lain harus disajikan secara memadai. Jelaskan juga mengapa Anda menggunakan

pertanyaan atau instrument tertentu ?. Jelaskan juga misalnya mengapa Anda menggunakan

pertanyaan Likert berskala 4 atau 5?

6. Results & Discussion

a. Kata kunci untuk bagian ini adalah jelas dan padat. Metodologi dipaparkan menggunakan kata kerja

past tense.

b. Jelaskan dan diskusikan mengapa Anda memperoleh begitu banyak data, begitu banyak referensi,

untuk perbandingan.

c. Data lebih baik ditampilkan dalam bentuk bentuk charta, grafik, daripada table. Semua gambar dan

table perlu dirujuk sedekat mungkin dengan isi teksnya.

Page 26: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

21

d. Kata kerja past tense digunakan ketika mendeskripsikan temuan dari hasil eksperimen penulis,

sedangkan temuan yang sudah dipublikasi sebelumnya harus ditulis dalam bentuk present tense.

Jelaskan data Anda, bandingkan dan diskusikan dengan literature terdahulu.

7. Conlusion

a. Bagian ini harus memenuhi tujuan penelitian, misalnya dua kesimpulan untuk dua tujuan penelitian,

termasuk bagaimana paper ini memperkaya penelitian di bidang studi Anda, apa keunikannya,

kontribusinya serta inovasinya.

b. Kesimpulan itu merujuk hanya pada penelitian yang telah Anda lakukan.

c. Redaksi kesimbulan tidak lebih dari sepertiga halaman, lebih disarankan berupa 1-2 paragraf.

d. Kesimpulan juga mengandung implikasi praktis terhadap ruang lingkup bidang studi Anda.

e. Kesimpulan juga memuat rekomendasi terhadap penelitian lanjutan yang harus diarahkan pada

berbagai perbaikan yang perlu dilakukan oleh peneliti berikutnya.

8. References

Setelah dipaparkan komponen manuskrip di atas, bagian yang tidak kalah pentingnya dan perlu

dicermati adalah bahwa tanggung jawab akurasi kutipan itu sepenuhnya berada pada PENULIS.

Kutipan dalam teks. Beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan dengan kutipan pada teks adalah

sebagai berikut:

a. Kutiplah hasil penelitian Anda sendiri yang terdahulu dan relevan ketika menulis manuskrip untuk

disubmit ke Journal saat ini.

b. Pastikan bahwa setiap referensi yang dikutip didalam teks juga tertera didalam daftar referensi, dan

sebaliknya.

c. Hindari kutipan didalam abstrak

d. Hasil-hasil studi serta catatan komunikasi personal yang tidak terpublikasikan, tidak perlu dimasukkan

kedalam daftar referensi, tetapi bisa saja tersampaikan didalam teks

e. Kutipan referensi yang sedang “in press” mengimplikasikan bahwa referensi tersebut telah diterima

untuk publikasi.

f. Kutipan didalam teks harus mengikuti pola referensi yang digunakan oleh the American Psychological

Association (APA), Chicago atau Harvard

g. Anda dapat merujuk pada the Manual Publication of the American Psychological Association, Fifth

Edition, ISBN 1-55798-790-4, copies of which may be ordered from

http://www.apa.org/books/4200061.html or APA Order Dept., P.O.B.2710, Hyattsville, MD 20784,

USA or APA, 3 Henrietta Street, London, WC3E 8LU, UK

h. Rincian mengenai pola reference ini juga dapat ditemukan di

http://humanities.byu.edu/linguistics/Henrichsen/APA/APA01.html

i. Daftar Penulis. Referensi harus disusun secara alfabetis dan kronologis, apabila perlu diberi nomor.

Jika terdapat beberapa referensi dari satu nama yang sama pada tahun yang sama, maka perlu dituliskan

secara berurutan menggunakan huruf a, b, c dituliskan setelah tahun publikasinya. Jika terdapat lebih

dari 3 penulis pada satu referensi, maka gunakan et.al dan ditulis miring didalam teks, tetapi ditulis

penuh didalam daftar referensi

j. Kutipan dari Referensi Web. Kini referensi bukan hanya berasal dari buku atau Journal cetakan, tetapi

juga tersedia dari web. Referensi web dapat ditulis secara terpisah misalnya setelah daftar referensi

dengan diberi tanda berbeda, atau dapat juga dicantumkan didalam daftar referensi, bergantung pada

panduan Journalnya.

Demikian paparan singkat mengenai komponen manuscript, semoga bermanfaat bagi para akademisi,

para guru, para mahasiswa untuk membantu berlatih mengembangkan kemampuan menulis hasil

penelitiannya sehingga bisa dipublikasikan kedalam Journal baik nasional maupun Internasional.

Kemampuan mengkomunikasikan hasil karya ilmiah ini akan semakin meningkatkan kapasitas serta

profesionalisme sebagai pendidik agar dihasilkan generasi masa mendatang yang lebih bermutu.

DAFTAR PUSTAKA

Kamaruzaman J. 2012. Bahan Workshop Publikasi Internasional di UNIMED. Ecxellence in Higher

Education.Journal of Life Science Education

Page 27: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

22

CURRICULUM VITAE

Nama lengkap : Dr. Ely Djulia, M.Pd

NIP : 19660724 199103 2012

Tempat Tgl Lahir : Sumedang 24 Juli 1966

Jenis Kelamin : Perempuan

Pangkat/Gol : Lektor Kepala / III/c

Jabatan : Staff Pengajar

Bidang Keahlian : Pendidikan Sains, Strategi

Pembelajaran, Perencanaan dan Evaluasi

Pembelajaran, Seminar Pendidikan Biologi

Bidang lain yang ditekuni : Ekologi Tumbuhan, Pendidikan Berbasis Gender

Unit Kerja : FMIPA

Alamat Rumah : Perum Bandar Setia Asri No. A-25 Jl Pembinaan Medan

Telepon/HP : 081320403008

Email : [email protected]

A. PENDIDIKAN

NO Universitas/Institut Gelar Tahun Lulus Bidang Studi

1 IKIP Bandung S1 1989 Pendidikan Biologi

2 IKIP Bandung S2 1995 Pendidikan IPA

3 UPI – Bandung S3 2005 Pendidikan IPA

B. PENGALAMAN PENELITIAN

TAHUN JUDUL PENELITIAN JABATAN SUMBER DANA

2012-2013 Analytical Capacity Development Partnership

(ACDP) – 10: Pendidikan Lingkungan

Provincial Research

Coordinator: Jambi

ADB -

PUSKURBUK

2007-2009 Penelitian Tindakan Kelas di SDN 104242

Lubuk Pakam SUMUT Ketua Peneliti

Florida State

University

2009 Survey Baseline Danau Toba Sebagai Sumber

Belajar Biologi di Sekolah Menengah Ketua Peneliti

Research Grant –

PHKI

2008

Pengembangan Video Pembelajaran Untuk

Meningkatkan Penguasaan Metode-Metode

Pembelajaran Aktif pada Perkuliahan Strategi

Belajar Mengajar Biologi.

Ketua Peneliti Teaching Grant –

PHKI

2007

Penerapan Metode Bermain Peran pada

Pembelajaran Biologi Struktur dan Fungsi

Sel di SMAN 5 Binjai

Ketua Peneliti DIKTI

2006 Studi Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja

di Sumut. PSGPA – Lemlit UNIMED Anggota Peneliti

Kementrian

pemberdayaan

Perempuan

2004

Peran Budaya Lokal dalam Pendidikan Sains::

Studi Naturalistik tentang Pemerolehan sains

Kelompok Siswa SMA Budaya Sunda tentang

Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan pada

Konteks Sekolah dan Lingkungan Pertanian.

Disertasi Program Pascasarjana. Pendidikan

IPA. UPI.

Ketua Peneliti TMPD - DIKTI

1995

Konsepsi Siswa SMA tentang Fotosintesis.

Thesis Program Magister. Pendidikan IPA.

UPI.

Ketua Peneliti TMPD - DIKTI

C. PUBLIKASI DAN SEMINAR

TAHUN JUDUL PAPER / ARTIKEL PERAN PUBLIKASI/SEMINAR

2013

The Effect of Using Various Power point in

Junior Secondary Biology Classroom into

Students Scientific Attitude and Students

Poster

Presenter

The 5th International

Conference on Science and

Mathematics Education,

Page 28: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

23

Achievement of Photosynthesis Salamah, Ely Djulia, Syahmi Edi

Penang Malaysia, 11-14

November 2013

2013 Peserta

ICASE Borneo World

Conference on Science and

Technology Education

(WorldSTE) 2013, 30 Sept

-5 October 2013 ,

UNIMAS Kuching

Malaysia

2013

Analisis Kompetensi Guru Biologi SMA yang

Sudah Lulus Sertifikasi di Kota Medan

Retnita Ernayani Lubis, Ely Djulia, Hasruddin

Tim

Pembimbing

dan Penulis

Journal Penelitian

Pendidikan MIPA UPI,

Edisi Maret 2013

2012 Peserta

The 4th International

Conference in Bioscience

and Biotechnology. 20-21

September 2012 Udayana

University, Bali

2012 Peserta

International Research

Conference for

Globalization and

Sustainability,

August 14-16, 2012, Iloilo

City Philippines

2011

Active Learning in Language Study and

Science: Transforming Teacher Practice in

North Sumatera’s Elementary Schools

Ely Djulia, Tita Juwitaningsih, Abdul Hamid,

Roslin Siallagan, Parapat Gultom, Inayah

Hanum, Khairil Anwar, Nurul Wardhani Lubis

Ketua

Peneliti dan

Penulis

EHE Journal No 2 Winter

Edition (2011): 90-96

2011

Developing Active Learning for Higher

Education (ALFHE) Strategy in Indonesia

Universities to improve Quality of Higher

Education Achievement

Oral

Presenter

The 4th International

Conference on Science and

Mathematics Education,

Penang Malaysia, 15-17

November 2011

2009

Improving Quality of Science Classroom in

Elementary School through Implementation of

Active Learning Strategy in North Sumatera.

Penulis,

Presenter

National Conference on

Collaborative Action

Research in Education.

Universitas Terbuka

collaborated with Florida

State University, DBE-2

USAID. Tangerang,

December 4-5. 2009.

Indonesia

2008

Biological Thinking Skills Promoted by

Indonesian Senior High School Student on

Teaching Learning Process of Plant Metabolism

.

Penulis,

Presenter

Asia Pasific Educational

Research Association

(APERA) Conference.

Singapore, November 26-

28, 2008

2008

Local Science Knowledge about Traditional

Farming Constructed by Indonesian People

and their Ecological Wisdom into Nature.

Penulis,

Presenter

Conference of Asian

Science Education (CASE

2008), Kaohsiung, Taiwan,

February 20-24. 2008.

2007 Green Revolution: Modern Technology vs

Ecological Wisdom. Penulis

Indigenous Science

Network Bulletine (ISNB)

Vol.10 (6). December

2006 The Natural Wisdom from Mountain Kendeng.

Penulis

Indigenous Science

Network Bulletine (ISNB)

Page 29: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

24

Vol.9 (3). June.

2006

A naturalistic study of Science Acquisition of

Sundanese High School Students on

Photosynthesis and Plant Respiration in the

Context of School and Agricultural

Environment (Abstract).

Penulis

Indigenous Science

Network Bulletine. (ISNB)

Vol.9 (2). April

2006 Peran Budaya Lokal dalam Pemerolehan Sains. Penulis Mimbar Pendidikan No.3

Tahun XX, 2006

2005

A Naturalistic Study of Science Acquisition of

Sundanese High School Students on

Photosynthesis and Plant Respiration in The

Context of School and Agricultural

Environment.

Penulis,

Presenter

International Conference

of Science and

Mathematics Education

(CosMED 2005).

RECSAM. Penang.

Malaysia. December.

2005

Harvest Party Ceremony in Indonesian

Traditional Community: Seren Taun Ceremony

in Kampong Gede Kasepuhan Ciptagelar

Sukabumi.

Penulis

Indigenous Science

Network Bulletine. (ISNB)

Vol.8 (5). October

2004 Paradigma Ekokultural Pendidikan Sains. Penulis Mimbar Pendidikan No.2

Tahun XXIII, 2004

2003 The perspective of Positivism and

Postmodernism about Science. Penulis

Visi Wacana,

Vol.IX.No.12 Januari-

April 2003;

2003

The Diversity of Oryza sativa” from community

knowledge in West Java traditional community

about local rice variety into genetic engineering

rice variety to keep scientific and cultural

values.

Penulis,

Presenter

National Seminar.

Indonesian Society for

Plant Taxonomy.

Surakarta National

University. Solo.

2003 Virtual Class in Higher Education Biology

Classroom by using internet.

Penulis,

Presenter

National Seminar of

Science Education in

cooperation with JICA.

2003

School and Community Science Evaluation as

Alternative Strategy of Classroom-based

Evaluation in Science Education.

Penulis,

Presenter

National Seminar of

Science Education. School

of Mathematics and

Science Education.

Indonesia University of

Education.

2001

Proposition Generating Task (PGT): An

Evaluation Analysis of learning metabolism in

Senior Secondary School.

Penulis,

Presenter

National Seminar on The

Role of Science and

Mathematics Education,

Indonesia University of

Education in cooperation

with JICA and Directorate

General of Higher

Education.

2000 High School Students’conception of

Photosynthesis.

Penulis,

Presenter

National Seminar. The

Indonesian Society for

Biology in cooperation

with Bandung Institute of

Technology, Pajajaran

University, and Indonesia

University of Education

Page 30: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

25

D. PENGALAMAN PROFESIONAL

NO PEKERJAAN TEMPAT TAHUN

1 Lecturer, Research Advisor

FMIPA, Pascasarjana

UNIMED 1991 - Sekarang

2

Education Development Center (EDC), USAID

PRIORITAS, Teacher Training Institute

Development Specialist

Medan, Sumatera

Utara

April 2014 -

sekarang

3 Education Development Center (EDC), USAID

PRIORITAS, Teacher Training Primary

Medan, Sumatera

Utara

September 2012

– Maret 2014

4 Reviewer Journal EDUSAIN UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2012

5 Mitra Bestari Journal Pendidikan Dasar PGSD UPI Bandung 2013 - sekarang

6 Koordinator Pendidikan Profesi Guru (PPG) UNIMED Juni 2011 –

Februari 2014

7 Education Development Center (EDC), USAID –

DBE-2, University Advisor

Medan, Sumatera

Utara

March– July

2011

8 Academy for Educational Development (AED),

USAID DBE-2, University Advisor

Medan, Sumatera

Utara

Sept 2008 –

July 2010

9 Module Development Team (MDT),

USAID – DBE-2

Medan, Sumatera

Utara 2006-2007

10 Research Consultant, Save the Children Nias Island, North

Sumatera 2007

11 Evaluation Task Force, JICA IMSTEP, Lesson

Study IPA SMP- Biologi SMA UPI Bandung 2003-2004

Page 31: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

26

ANALISIS KELAYAKAN COURSE-WARE UNTUK PERKULIAHAN

FISIOLOGI HEWAN BAGI MAHASISWA CALON GURU BIOLOGI

Adeng Slamet

Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sriwijaya,

Email: [email protected]

Ijang Rohman

Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Email: [email protected]

Abstrak

Studi ini bertujuan untuk memperoleh kelayakan course-ware yang dikembangkan untuk perkuliahan

fisiologi hewan yang difokuskan pada topik-topik sistem respirasi, sistem sirkulasi, sistem ekskresi

dan osmoregulasi. Metode dalam studi ini adalah metode deskriptif, di mana pemilihan lokasi maupun

subjek dilakukan secara purposif. Dalam studi ini melibatkan 20 orang mahasiswa calon guru biologi

angkatan 2012/2013 di program S1 Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam (PMIPA) FKIP Universitas Sriwijaya. Untuk mengoleksi data kelayakan course-

ware dilakukan dengan meminta mahasiswa mengisi instrumen yang sebelumnya telah mendapat

penimbangan oleh pakar (expert judgment). Kriteria kelayakan didasarkan atas tingkat keterbacaan,

operasi teknis, dan daya tarik. Analisis dan pengolahan data dilakukan dengan statistik deskriptif.

Hasil studi menunjukkan berdasarkan tanggapan mahasiswa tingkat keterbacaan dan operasi teknis

course-ware yang dikembangkan, tidak sulit untuk digunakan. Demikian pula sajian course-ware

yang dikembangkan memiliki daya tarik yang baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

course-ware yang dikembangkan sudah lay`ak untuk kegiatan pembelajaran topik sistem respirasi,

sirkulasi, ekskresi dan osmoregulasi dalam perkuliahan fisiologi hewan bagi mahasiswa calon guru

biologi.

Kata Kunci : Course-ware, Fisiologi Hewan, Mahasiswa Calon Guru Biologi

PENDAHULUAN

Di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk membekali kompetensi profesional bagi

mahasiswa calon guru difasilitasi melalui mata kuliah keahlian. Dalam struktur kurikulum khususnya pada program

studi pendidikan biologi, salah satu mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa calon guru biologi

adalah fisiologi hewan.Tuntutan kurikulum mata kuliah tersebut menghendaki agar mahasiswa mampu memahami

konsep-konsep serta interelasi antara satu konsep dengan konsep lainnya dalam membangun fungsi organ tubuh

pada berbagai kelompok hewan, terutama golongan vertebrata (Tn, 2011). Kalau ditinjau dari aspek tuntutan

kurikulum sebagaimana dijelaskan di atas serta unsur muatan yang diajarkan dalam mata kuliah tersebut, dapat

dinyatakan bahwa kedudukan mata kuliah fisiologi hewan dalam stuktur kurikulum pada program studi pendidikan

biologi menempati posisi strategis bagi upaya membekali kompetensi profesional calon guru biologi. Mengingat

substansi materi yang dikaji dalam ruang lingkup mata kuliah tersebut memiliki jalinan fungsional dengan mata

kuliah lain, beberapa materi mendasari bagi pemahaman materi pada mata kuliah lain yang lebih lanjut.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan perkuliahan fisiologi hewan pada prodi pendidikan biologi FKIP

Universitas Sriwijaya terungkap bahwa para mahasiswa dalam mengikuti proses perkuliahan fisiologi hewan tidak

jarang menemui kesulitan dalam memahami materi subjek yang disajikan dosen, alasan mereka karena materi

fisiologi hewan banyak menyangkut mekanisme kerja organ (Slamet, 2010). Informasi dari hasil wawancara

tersebut, tampaknya sesuai dengan data dokumentasi yang tersedia di program studi pendidikan biologi

sebelumnya, dimana perolehan rata-rata hasil belajar mahasiswa dalam penguasaan materi fisiologi hewan masih

berada dalam kisaran sedang. Hal ini dapat dilihat dari data hasil belajar yang diperoleh dari tahun akademik

2006/2007, 2007/2008, dan 2008/2009 secara berturut-turut adalah 6,75; 6,80; dan 6,64. Jika dibandingkan dengan

target minimal hasil belajar yang ditetapkan untuk mata kuliah tersebut (70,00) tentu rata-rata nilai yang dicapai

belum sesuai dengan harapan. Timbul pertanyaan, apa penyebab hal itu bisa terjadi? Kalau ditelaah patut diduga,

salah satu faktornya adalah kemungkinan ada hubungannya dengan kurang lancarnya komunikasi dalam konteks

Page 32: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

27

pembelajaran antara dosen dengan mahasiswa sebagai akibat adanya ketidaktepatan dosen pengasuh dalam

menerapkan strategi perkuliahan yang dilakukan selama ini. Alasan tersebut didukung dari hasil observasi yang

dilakukan, di mana ada kecenderungan dalam melaksanakan praktik pembelajaran fisiologi hewan, dosen masih

menggunakan strategi teacher centered yang ditandai dengan masih dominannya kesan mengajar (teaching)

daripada membelajarkan (learning). Dalam praktik pembelajarannya tampak dosen lebih dominan membekali

mahasiswa dengan fokus pada pemahaman dan penimbunan informasi (rote learning). Dengan kata lain, kegiatan

perkuliahan didominasi kegiatan mengajar di mana fokus pembelajaran cenderung hanya bersifat mewariskan

pengetahuan (transfer of knowledge, content transmission) bukan kegiatan membelajarkan, sehingga banyak

mahasiswa merasakan kesulitan dalam pembelajaran yang mereka ikuti. Tampaknya dugaan tersebut seiring dengan

apa yang dinyatakan Michael (2007) yang telah melaporkan hasil survei terhadap mahasiswa untuk menjawab

pertanyaan:”Mengapa fisiologi hewan itu sulit dipelajari oleh mahasiswa?”. Dari laporan survei Michael (2007)

tersebut, teridentifikasi ada empat faktor utama yang menyebabkan fisiologi sulit dipelajari oleh mahasiswa, yaitu:

(1) hakikat disiplin fisiologi sendiri yang banyak membutuhkan kemampuan berpikir atau penalaran mengenai

hubungan sebab akibat; (2) faktor bagaimana cara mengajar fisiologi yang memerlukan pengemasan materi secara

pedagogis; (3) faktor bagaimana mahasiswa belajar fisiologi, hal ini terutama berkaitan dengan kesiapan dan

kemampuan bernalar mahasiswa; dan (4) faktor-faktor di luar kelas.

Mengingat Fisiologi hewan banyak memuat konsep-konsep yang abstrak dan rumit, lebih-lebih untuk

menjelaskan hubungan antar konsep dalam mendeskripsikan fungsi sebuah organ, maka dengan karakteristiknya

yang demikian tentu dibutuhkan kreativitas dan inovasi dari dosen pengasuh kaitannya dengan upaya untuk

menciptakan atmosfir perkuliahan yang kondusif sehingga diharapkan dapat memfasilitasi mahasiswa dalam

memahami materi pembelajaran yang diberikan. Banyak upaya yang dapat dilakukan dosen untuk untuk mengatasi

kesulitan belajar mahasiswa, salah satu langkahnya adalah dengan menyediakan media pembelajaran yang sesuai.

Karena seperti dinyatakan Sadiman dkk (2009) media pembelajaran merupakan salah satu aspek penting dalam

proses pendidikan yang berperan sebagai pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.

Lebih lanjut dijelaskan dengan pemanfaatan media yang bervariasi dalam kegiatan pembelajaran dapat mengatasi

sikap pasif peserta didik dan mampu membangkitkan antusiasme belajar peserta didik.

Berdasarkan hasil penelusuran beberapa pustaka, berbagai media telah dikenal dan dimanfaatkan bagi

kebutuhan pembelajaran mulai dari media yang sederhana hingga yang canggih. Namun saat ini, seiring dengan

pesatnya kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ragam media banyak mengarah ke pengintegrasian

teknologi informasi. Salah satu di antaranya adalah memanfaatkan kelebihan teknologi komputer, yang dapat

mengemas program berupa perangkat lunak (software) yang secara khusus untuk program pendidikan dikenal

dengan istilah course-ware (educational software) yang dapat membantu peningkatan hasil belajar. Sebagaimana

disebutkan Munir (2005) komputer menjadi popular sebagai media pengajaran karena komputer memiliki

keistimewaan yang tidak dimiliki oleh media pengajaran lain sebelum adanya komputer. Komputer sebagai salah

satu produk teknologi dinilai tepat digunakan sebagai alat bantu pembelajaran dan memiliki potensi yang cukup

besar untuk dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran. Komputer mampu menampilkan berbagai komponen

media, seperti video, gambar, teks, animasi, dan suara sehingga dapat merangsang lebih banyak indra.

Kleinsmith (Siegel & Foster, 2001) menyebutkan pembelajaran dengan berbantuan komputer (CAI) mempuyai

efek positif terhadap peningkatan skor hasil belajar anatomi dan fisiologi dalam beberapa materi subjek. Demikian

pula Griffin (2003) melaporkan berbagai program pembelajaran dengan menggunakan fasilitas komputer dapat

meningkatkan efektivitas waktu pembelajaran, kreativitas, keahlian dan kemampun berpikir peserta didik. Di lain

pihak, Andrews & Collin (1993) menyatakan penggunaan komputer dalam pembelajaran dapat memberi manfaat

terhadap motivasi belajar peserta didik yang diikuti peningkatan prestasi belajar. Demikian pula Sefton (2001)

strategi pembelajaran berbasis komputer yang interaktif dapat mendorong cara belajar aktif peserta didik apabila

dirancang dengan baik pada pembelajaran fisiologi. Bahkan Kulik (Heinich, 1996) secara spesifik telah melaporkan

bahwa pembelajaran melalui media komputer membantu meningkatkan rata-rata prestasi peserta didik antara 10-

18% dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Melalui berbagai keunggulan yang dimiliki komputer di mana

media komputer dapat menampilkan perpaduan antara teks, gambar, animasi, gerak, dan suara secara bersamaan

atau saling bergantian, sering kali para peserta didik ketika bekerja dengan komputer mereka sangat menikmatinya

dan dapat melakukan pembelajaran yang mandiri (Rusman dkk, 2011).

Mengingat peran strategis dari media pembelajaran sebagai salah salah satu aspek penting dalam proses

pendidikan, sedangkan di lain pihak karakteristik materi mata kuliah fisiologi hewan yang memuat konsep-konsep

abstrak dan sulit difahami, maka dikembangkannya suatu perangkat lunak pembelajaran yang diharapkan efektif

mengatasi masalah tersebut merupakan satu langkah yang tepat untuk pembaharuan proses pendidikan. Oleh karena

Page 33: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

28

itu, bertolak dari urgensi tersebut maka dilakukan studi analisis terhadap course-ware yang dikembangkan untuk

mengetahui seberapa jauh kelayakannya menurut persepsi mahasiswa calon guru biologi. Untuk itu, pada studi ini

dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu ”Bagaimana kelayakan course-ware yang dikembangkan untuk

perkuliahan fisiologi hewan menurut persepsi mahasiswa pada topik sistem respirasi, sistem sirkulasi, dan sistem

ekskresi/osmoregulasi? Urgensi penelitian ini dilakukan sebagai basis data untuk penelitian lebih lanjut. Dengan

pengembangan media ini diharapkan akan membantu membangkitkan antusiasme mahasiswa dalam pembelajaran

fisiologi hewan yang mereka ikuti.

METODE PENELITIAN

Metode dalam studi ini adalah metode deskriptif. Pemilihan lokasi maupun subjek dilakukan secara purposif

(Creswell, 2009). Subjek dalam penelitian ini adalah 20 orang mahasiswa calon guru biologi program S1 Jurusan

Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (PMIPA) FKIP Universitas Sriwijaya yang mengikuti

perkuliahan fisiologi hewan. Untuk mengoleksi data mengenai seberapa jauh tingkat kelayakan course-ware yang

dikembangkan dilakukan dengan meminta mahasiswa mengisi instrumen. Baik course-ware maupun instrumen

yang digunakan pada studi ini sebelumnya telah mendapat penimbangan oleh pakar (expert judgment). Tingkat

kelayakan course-ware yang dikembangkan ditentukan berdasarkan kriteria aspek keterbacaan, teknis operasi, dan

daya tarik. Data yang diperoleh dianalisis dan diolah dengan statistik deskriptif (Susetyo, 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang diperoleh dalam studi ini adalah persentase setiap indikator pernyataan pada masing-masing aspek

yang diukur yakni keterbacaan, operasi teknis, dan daya tarik yang diberikan mahasiswa calon guru biologi. Untuk

penjelasan lebih rinci mengenai hasil pengolahan data dan pembahasan dijelaskan melalui Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3,

dan Gambar 1.

Kelayakan Course-ware untuk topik Sistem Respirasi

Berdasarkan Tabel 1 tampak pada course-ware dengan topik sistem respirasi dari 13 indikator pernyataan

yang disajikan sebagian besar mahasiswa menunjukkan respon yang positif terhadap course-ware yang

dikembangkan.

Tabel 1. Persentase Tanggapan Mahasiswa terhadap Kelayakan Course-Ware pada Pokok Bahasan Sistem Respirasi

No Pernyataan

Jawaban Mahasiswa (%)

SS S TS ST

S

A. KETERBACAAN

1 Petunjuk mudah dipahami 50 50 - -

2 Perintah-perintah mudah dipahami 45 55 - -

3 Keterbacaan teks atau tulisan dalam course-ware jelas 35 65 - -

4 Peletakan tampilan (layout) gambar, skema, simbol

seimbang

50 50 - -

5 Ukuran dan jenis huruf dalam course-ware mudah dibaca 65 35 - -

6 Visualisasi komposisi warna latar dengan huruf, bagan, dan

sejenisnya kontras

50 45 5 -

7 Bagan-bagan yang digunakan jelas 45 45 10 -

8 Gambar animasi mudah dimengerti 45 45 10 -

9 Bahasa yang digunakan komunikatif 25 75 - -

B. OPERASI TEKNIS

10 Course-ware mudah dioperasikan 50 50 - -

11 Tautan (link) bekerja dengan lancer 55 40 5 -

12 Tombol-tombol navigasi berfungsi dengan lancer 75 25 - -

C. DAYA TARIK

13 Tampilan course-ware menarik 70 20 10 -

Rata-rata 50,77 46,15 3,08 -

Hal tersebut ditandai dengan tingginya jumlah persentase respon mahasiswa yang memberikan jawaban

terhadap kategori sangat setuju dan setuju pada setiap indikator pernyataan pada ketiga aspek kriteria kelayakan.

Page 34: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

29

Bahkan untuk aspek keterbacaan pada indikator pernyataan tentang kemudahan petunjuk, kemudhan perintah-

perintah, kejelasan teks atau tulisan, keseimbangan peletakan tampilan (layout), ukuran/jenis huruf, dan penggunan

bahasa, serta aspek operasi teknis pada indikator pernyataan mengenai kemudahan operasi teknis dan kelancaran

fungsi tombol-tombol navigasi, persentase respon positif menunjukkan nilai 100%.

Untuk indikator pernyataan tentang kekontrasan Indikator Pernyataan mengenai visualisasi komposisi warna

pada aspek keterbacaan dan indikator pernyataan pada aspek operasi teknis berkaitan dengan kelancaran tautan

jumlah persentasenya mencapai 95%, sedangkan indikator pernyataan mengenai kejelasan bagan-bagan, gambar

animasi pada aspek keterbacaan dan indikator pernyataan mengenai daya tarik course-ware jumlah persentasenya

90%. Dengan demikian, bertolak dari tingginya persentase respon positif pada setiap indikator yang diberikan

mahasiswa bisa dikatakan secara keseluruhan tingkat kelayakan course-ware yang berisi materi tentang sistem

respirasi sudah mencapai kategori baik, Namun demikian, di lain pihak ditemukan juga adanya respon negatif

terhadap course-ware yang dikembangkan yakni pada aspek keterbacaan pada indikator pernyataan mengenai

kekontrasan visulisasi komposisi warna dan indikator kelancaran tautan pada aspek operasi teknis dengan

persentase 5%, sedangkan pada indikator kejelasan bagan-bagan dan kemudahan gambar animasi pada aspek

keterbacaan dan indikator daya tarik, masing-masing menunjukkan respon negatif sebesar 10%.

Kelayakan Course-ware untuk topik Sistem Sirkulasi

Pada Tabel 2 tampak untuk course-ware sistem sirkulasi dari 13 indikator pernyataan sebagian besar

mahasiswa menunjukkan respon positif yang mirip dengan course-ware yang dikembangkan pada topik sistem

respirasi (Tabel 1). Hal ini tampak dari persentase respon positif yang mencapai 100%, di mana dari 13 indikator

pernyataan pada topik sirkulasi terdapat delapan indikator yang mencapai persentase maksimal (100%), yakni pada

aspek keterbacaan ditunjukkan pada indikator-indikator kemudahan petunjuk, kemudahan perintah-perintah,

kejelasan teks atau tulisan, kejelasan ukuran dan jenis huruf ; pada aspek operasi teknis pada indikator-indikator

kemudahan operasi, kelancaran tautan, kelancaran tombol-tobol navigasi, serta indikator kemenarikan pada aspek

daya tarik.

Tabel 2. Persentase Tanggapan Mahasiswa terhadap Kelayakan Course-Ware pada Topik Sistem Sirkulasi

No Pernyataan Jawaban Mahasiswa(%)

SS S TS STS

A. KETERBACAAN

1 Petunjuk mudah dipahami 60 40 - -

2 Perintah-perintah mudah dipahami 55 45 - -

3 Keterbacaan teks atau tulisan dalam course-ware jelas 55 45 - -

4 Peletakan tampilan (layout) gambar, skema, simbol

seimbang

40 55 5 -

5 Ukuran dan jenis huruf dalam course-ware mudah

dibaca

55 45 - -

6 Visualisasi komposisi warna latar dengan huruf, bagan,

dan sejenisnya kontras

55 40 5 -

7 Bagan-bagan yang digunakan jelas 50 40 10 -

8 Gambar animasi mudah dimengerti 40 50 10 -

9 Bahasa yang digunakan komunikatif 35 60 5 -

B. OPERASI TEKNIS

10 Course-ware mudah dioperasikan 65 35 - -

11 Tautan (link) bekerja dengan lancer 60 40 - -

12 Tombol-tombol navigasi berfungsi dengan lancar 60 40 - -

C. DAYA TARIK

13 Tampilan course-ware menarik 55 45 - -

Rata-rata 52.69 44.62 2.69

Tabel 2 juga dapat dijelaskan adanya respon negatif mengenai course-ware yang dikembangkan. Namun

demikian, tampaknya sebaran indikator yang mendapat respon negatif pada course-ware dengan topik sistem

sirkulasi berbeda dengan topik sistem respitasi (Tabel 1), di mana indikator yang mendapat respon negatif

semuanya ditemukan pada indikator- indikator dalam aspek keterbacaan, yakni pada indikator keseimbangan

peletakan tampilan, kekontrasan visualisasi warna, kejelasan bagan-bagan, kemudahan gambar animasi untuk

Page 35: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

30

dimengerti, kebahasaan yang komunikatif, dengan persentase berturut-turut: 5%, 5%, 10%. 10%, dan 5%. Akan

tetapi, jika dibandingkan antara persentase indikator-indikator respon negatif dengan persentase mahasiswa yang

memberikan respon positif, tampak sebagian besar mahasiswa yang berespon positif masih jauh lebih tinggi

dengan rata-rata persentase antara 90%% s.d. 95%. Hal lain yang menarik, pada course-ware topik sistem sirkulasi,

semua indikator pada aspek operasi teknis dan aspek daya tarik seluruhnya menunjukkan persentase yang maksimal

(100%).

Kelayakan Course-ware untuk topik Sistem Ekskresi dan Osmoregulasi

Hasil analisis course-ware topik sistem ekskresi dan osmoregulasi yang tertera pada Tabel 3 tampak dari 13

indikator pernyataan pada seluruh aspek hanya ada enam indikator yang mencapai persentase 100%. Indikator-

indikator yang mencapai 100% yaitu; kemudahan perintah-perintah, kejelasan teks atau tulisan, ukuran dan jenis

huruf, dan penggunaan bahasa pada aspek keterbacaan, selain itu indikator kelancaran tautan pada aspek operasi

teknis, dan indikator kemenarikan pada aspek daya tarik, sedangkan untuk indikator pernyataan lainnya yakni

indikator-indikator kemudahan petunjuk, keseimbangan peletakan tampilan, kekontrasan visualisasi warna,

kejelasan bagan-bagan, dan gambar animasi pada aspek keterbacaan dan indikator kemudahan operasi course-

ware, kelancaran tombol-tombol navigasi pada aspek operasi teknis persentase respon positif mahasiswa berada

pada kisaran antara 90% sampai dengan 95%.

Tabel 3. Persentase Tanggapan Mahasiswa terhadap Kelayakan Course-Ware pada Topik Sistem Ekskresi dan

Osmoregulasi

No Pernyataan Jawaban Mahasiswa(%)

SS S TS STS

A. KETERBACAAN

1 Petunjuk mudah dipahami 50 45 5 -

2 Perintah-perintah mudah dipahami 55 45 - -

3 Keterbacaan teks atau tulisan dalam course-ware jelas 50 50 - -

4 Peletakan tampilan (layout) gambar, skema, simbol

seimbang

60 30 10 -

5 Ukuran dan jenis huruf dalam course-ware mudah

dibaca

55 45 - -

6 Visualisasi komposisi warna latar dengan huruf, bagan,

dan sejenisnya kontras

65 30 5 -

7 Bagan-bagan yang digunakan jelas 50 45 5 -

8 Gambar animasi mudah dimengerti 55 35 10 -

9 Bahasa yang digunakan komunikatif 60 40 - -

B. OPERASI TEKNIS

10 Course-ware mudah dioperasikan 65 25 10 -

11 Tautan (link) bekerja dengan lancar 70 30 - -

12 Tombol-tombol navigasi berfungsi dengan lancar 65 30 5 -

C. DAYA TARIK

13 Tampilan course-ware menarik 70 30 - -

Rata-rata 59.23 37.31 3.46

Berdasarkan Tabel 3 tampak di samping respon positif, ditemukan juga pada beberapa indikator mahasiswa

memberikan respon yang negatif yakni indikator pernyataan mengenai keseimbangan peletakan tampilan, animasi

gambar, kemudahan operasi course-ware, dengan persentase masing-masing 10%, serta indikator pernyataan

kemudahan petunjuk, kekontrasan visualisasi warna, kelancaran tombol-tombol navigasi, dengan persentase masing-

masing indikator 5%.

Berdasarkan data-data tersebut, maka secara keseluruhan dapat dibuat rekapitulasi mengenai rata-rata

persentase respon mahasiswa pada seluruh topik yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1. Tampak dari grafik

yang tertera pada Gambar 1 rata-rata mahasiswa memberikan respon positif yang tinggi terhadap ketiga course-ware

yang dikembangkan, yaitu terhadap course-ware pada topik sistem respirasi rata-rata respon positif mencapai

96,82%, sistem sirkulasi mencapai 97,31%, dan pada sistem ekskresi dan osmoregulasi mencapai 96,54%. Dengan

mencermati tingginya persentase respon positif, maka secara kualitatif dapat dinyatakan bahwa berpatokan kepada

Page 36: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

31

kriteria aspek keterbacaan, operasi teknis dan daya tarik secara komprehesif course-ware yang dikembangkan layak

digunakan untuk kebutuhan dalam pembelajaran fisiologi hewan pada topik sistem respirasi, sistem sirkulasi, dan

sistem ekskresi/ osmoregulasi. Hal tersebut tampaknya sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan terhadap

beberapa orang mahasiswa, umumnya mereka merasa puas dan ingin terus belajar dengan menggunakan course-

ware yang dikembangkan. Mereka juga berpendapat melalui penggunaan course-ware dalam perkuliahan fisiologi

hewan mereka merasakan adanya variasi dalam perkuliahan yang berbeda dengan perkuliahan selama ini.

Gambar 1. Rekapitulasi Perbandingan Persentase Tanggapan Mahasiswa terhadap course-ware antar topic

Sistem Respirasi, Sistem Sirkulasi dan Sistem Ekskresi/Osmoregulasi

Namun demikian, adanya respon negatif dari mahasiswa terhadap produk course-ware yang dikembangkan,

hal itu merupakan bahan revisi yang akan dilakukan. Revisi produk akan dilakukan berdasarkan komentar dan

saran yang diberikan mahasiswa terhadap aspek yang menunjukkan respon negatif. Dari ketiga topik course-ware

yang dikaji, tampak ada kecenderungan topik sistem ekskresi dan osmoregulasi merupakan topik yang paling

banyak menunjukkan respon negatif meskipun persentasenya relatif rendah.

KESIMPULAN

Hasil analisis ditemukan course-ware yang dikembangkan ditinjau dari aspek keterbacaan, operasi teknis, dan

daya tarik penyajian menurut tanggapan mahasiswa tidak sulit untuk digunakan dan mendapat respon positif

dengan rata-rata di atas 90% untuk masing-masing course-ware dengan topik sistem respirasi, sistem sirkulasi, dan

sistem ekskresi serta osmoregulasi.

SARAN

Dengan demikian dapat direkomendasikan bahwa course-ware yang dikembangkan layak dan dapat

digunakan untuk kegiatan pembelajaran mata kuliah fisiologi hewan khususnya pada topik sistem respirasi,

sirkulasi, ekskresi dan osmoregulasi bagi mahasiswa calon guru biologi.

DAFTAR PUSTAKA

Andrews SE, Collins MAJ. 1993. Computer Enhanced Learning in Biology. in Tested studies for laboratory

teaching, 14, . Proceedings of the 14th workshop/Conference of the Association for Biology Laboratory

Education (ABLE), 169-190. Available at:http://www.zoo.utoronto.ca/able/volumes/copyright.htm. [20

Januari 2014].

Creswell JW. 2009. Research Design.Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. 3th ed. California:

SAGE Publications, Inc.

Griffin JD. 2003. Technology in the teaching of Neuroscience.Enhanced Student Learning. Journal Advances in

Physiology Education. 27: 146-155.

Heinich R, Molenda M, Russel JD. 1993. Instructional Media and The New Technologies of Instruction (4thed).

New York: Macmillan Pub. Co.

Page 37: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

32

Michael J. 2007. What Makes Physiology Hard for Student to Learn? Result of a Faculty Survey.Adv. Physiol. Educ.

31: 34-40.

Munir. 2005. Konsep dan Aplikasi Program Pembelajaran Berbasis Komputer (Computer Based Instrucion).

Bandung: P3MP UPI.

Rusman, Kurniawan D, Riyana C. 2011. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi

Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Radjawali Pers.

Sadiman A, Rahardjo R, Haryono, Anung RR. 2009. Media Pendidikan, Pengertian Pengembangan dan

Pemanfaatannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sefton AJ. 1998. The Future of Teaching Physiology: An International Viewpoint. Adv. Physiol. Educ. 20(1): 53-58.

Siegel D, Foster T. 2001. Laptop Computers and Multimedia and Presentation Software: Their Effects on Students

Achievement in Anatomy and Physiology. Journal of Research on Technology in Education. 34(1): 29-37.

Slamet A. 2010. Studi Persepsi dan Pemahaman Konsep-konsep Fisiologi serta Berpikir Kritis pada Perkuliahan

Fisiologi Hewan di Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sriwijaya. Laporan Field

Study.Tidak diterbitkan.

Susetyo B. 2010. Statistika untuk Analisis Data Penelitian. Bandung: PT Refika Aditama.

Tn. 2011. Pedoman Akademik FKIP Unsri. Palembang: Universitas Sriwijaya

Page 38: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

33

PROFIL KEMAMPUAN DAN HAMBATAN GURU

DALAM MENGEMBANGKAN PROFESI MELALUI KARYA TULIS ILMIAH

Suciati Sudarisman Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNS

email: [email protected]

Abstrak

Profesional dalam berbagai profesi merupakan tuntutan dalam menghadapi tantangan abad 21.

Mengembangkan profesi secara berkesinambungan merupakan salah satu ciri sebagai guru

profesional sebagaimana diamanahkan dalam Undang Undang Guru dan Dosen (2005).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kemampuan guru dalam mengembangkan

profesinya. Penelitian menggunakan metode survei yang melibatkan 80 orang guru sebagai

responden. Data dihimpun melalui angket dan wawancara yang selanjutnya dianalisis secara

kualitatif dan disajikan dalam bentuk bagan persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

berkaitan dengan pengembangan profesi, sebanyak 67,5% guru mengalami hambatan, 18,75%

lancar, 13,75% tidak merespon. Dapat disimpulkan bahwa membuat karya tulis ilmiah

merupakan salah satu faktor penghambat bagi guru dalam mengembangkan profesi. Setidaknya

ada 3 hal yang mempengaruhi rendahnya kemampuan guru dalam membuat karya tulis ilmiah

yaitu: 1) kurangnya kepekaan guru dalam mengidentifikasi permasalahan pembelajaran di kelas;

2) rendahnya kemampuan guru dalam melakukan inovasi pembelajaran; 3) kurangnya

pengetahuan guru tentang teknik penulisan karya tulis ilmiah yang baku.

Kata Kunci: pengembangan profesi guru, karya tulis ilmiah.

PENDAHULUAN

Keterbukaan yang merupakan ciri globalisasi telah menciptakan situasi seolah dunia tanpa batas,

akibatnya nilai-nilai baru semakin mudah masuk dalam kehidupan yang memunculkan ketidak pastian,

ketidak seimbangan, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pola hidup di masyarakat. Kondisi ini

membutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas handal, sehingga dunia pendidikan dituntut untuk

mampu menghasilkan peserta didik yang inovatif, kreatif dan kompetitif agar mampu survive secara

produktif di tengah derasnya peluang dan tantangan kehidupan global yang semakin kompleks. Oleh

karenanya, pendidikan harus didukung oleh pendidik (guru ) yang profesional. Menurut American

Association Colleges of Teacher Education / AACTE (2010) bahwa guru abd-21 dituntut menguasai

kompetensi yang dapat memfasilitasi belajar peserta didik sesuai dengan hasil belajar yang dipersyaratkan

yaitu mampu: menggabungkan antara teknologi dengan pedagogi dan materi pelajaran yang mendorong

kreativitas peserta didik, menguasai model-model pembelajarana dan berbagai model asesmen yang dapat

mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, bertindak sebagai mentor, aktif dalam asosiasi profesi

serta selalu meningkatkan profesionaltasnya sebagai guru. Hal ini relevan dengan isi Undang Undang Guru

dan Dosen (2005) dimana guru dituntut memiliki 4 kompetensi yang meliputi: kompetensi profesional,

kompetensi pedagogi, kompetensi sosial, dan kompetensi personal. Dengan demikian guru profesional harus

menguasai materi keilmuan yang dibidanginya, mampu mentransfer pengetahuan sesuai kaidah dasar-dasar

kependidikan, mampu bersosialisasi dengan lingkungan serta memiliki kepribadian yang baik yang dapat

menjadi panutan bagi peserta didiknya. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan IPTEK, persaingan

global, otonomi pendidikan dan perkembangan kurikulum, profesionalitas guru merupakan sebuah keharusan

(Saud, 2009). Hal ini relevan dengan isi Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, bahwa jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Untuk itu,

guru yang profesional dituntut untuk terus-menerus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu

pengetahuan, dan teknologi, serta kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan terhadap sumber daya manusia

yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing di forum regional, nasional, ataupun

internasional. Pengembangan profesi guru dapat ditempuh melalui berbagai jalur. Berdasarkan Peraturan

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPANRB) No 16 Tahun 2009

Tanggal 10 November 2009, maka: mulai tahun 2011 bagi Guru PNS yang akan mengusulkan kenaikan

Page 39: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

34

pangkatnya harus memenuhi kriteria pemerolehan angka kredit yang didapat dari: 1) Kegiatan

pengembangan diri (Pelatihan atau Kegiatan Kolektif); 2) Karya Tulis Ilmiah; 3) Membuat Alat Peraga,

Alat Pembelajaran; 4) Karya Teknologi/Seni; dan 5) Pengembangan Kurikulum. Karya tulis ilmiah

khususnya dalam bentuk hasil penelitian tindakan kelas (PTK) menjadi salah satu poin yang dipersyaratkan

dalam kenaikan pangkat golongan guru. Dengan demikian, setiap guru profesional idealnya mampu membuat

karya tulis ilmiah yang bersumber dari pengalaman pembelajaran di kelas yang menjadi tugas kesehariannya.

Penulisan karya ilmiah merupakan kegiatan yang sangat penting bagi seorang guru yang profesional.

Kegiatan ini tidak saja perlu dilakukan dalam rangka memperoleh angka kredit untuk kenaikan jabatan atau

untuk keperluan sertifikasi melalui portofolio, tetapi terlebih lagi perlu dilakukan dalam rangka peningkatan

kualitas pengelolaan kelas, kualitas layanan kepada anak didik, dan juga peningkatan profesionalisme guru

itu sendiri.

Keterampilan menulis khususnya menulis karya ilmiah sangat penting artinya bagi guru. Guru yang

tidak mampu menulis dengan baik akan mengalami berbagai kendala dalam berkomunikasi karena dalam

melaksanakan tugasnya sehari-hari seorang guru dituntut mampu menulis seperti menulis surat lamaran

pekerjaan, menulis surat dinas, dan menulis laporan suatu kegiatan, dan yang terutama menulis karya ilmiah

dalam rangka kenaikan pangkat (Keraf, 1996). Senada dengan hal di atas, Akhadiah (1998) mengatakan

bahwa menulis membawa seseorang mengenali potensi diri, memperluas cakrawala, mendorong seseorang

belajar aktif, dan membiasakan seseorang berpikir dan berbahasa secara tertib. Melalui kegiatan menulis,

seseorang dapat merekam, memberitahukan, meyakinkan, dan mempengaruhi orang lain. Bahkan, kiranya

tidak berlebihan apa yang dikatakan Tarigan (1994) bahwa menulis merupakan suatu ciri orang terpelajar

atau bangsa terpelajar.

Pada satu sisi, memang disadari betapa pentingnya keterampilan menulis karya ilmiah bagi guru, tetapi

pada sisi lain, seperti yang dikemukakan dalam Kompas, 14 Desember 2007, bahwa banyak guru yang

stagnan pada pangkat/golongan IVA karena untuk naik ke jenjang pangkat berikutnya mengharuskan mereka

untuk menulis karya ilmiah. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa realitas seperti ini secara statistik sangat jelas

terlihat, misalnya, pada data Badan Kepegawaian Nasional tahun 2005. Dari 1.461.124 orang guru saat itu,

ditinju dari golongan/ruang kepangkatannya, tercatat sebanyak 22.87% guru golongan IVA; 0.16% guru

golongan IVB; 0.006% guru golongan IVC; 0.001% golongan IVD, dan 0,00% guru golongan IVE. Data ini

jelas menunjukkan betapa rendahnya aktivitas guru di Indonesia dalam menulis karya ilmiah.

Namun secara faktual kemampuan guru di berbagai jenjang pendidikan dalam membuat karya tulis

ilmiah tampaknya belum optimal. Secara umum guru masih mengalami hambatan terutama dalam membuat

PTK. Meski telah dilakukan upaya-upaya peningkatan kompetensi guru dalam membuat karya tulis ilmiah,

namun hasilnya belum seperti yang diharapkan. Pihak institusi terkait dan guru sendiri, tampaknya belum

menemukan cara yang tepat untuk dapat mengakselerasi kompetensi dalam membuat karya tulis ilmiah

secara efektif. Belum tersedianya data tentang kompetensi guru dalam membuat karya tulis ilmiah,

menyebabkan upaya percepatan profesionalitas guru menjadi terhambat. Oleh karenanya, perlu dilakukan

pemetaan kompetensi guru dalam membuat karya tulis ilmiah, agar dapat diketahui profil kemampuan dan

hambatan guru dalam mengembangkan profesinya.

METODE

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kemampuan guru dalam mengembangkan profesinya

serta hambatan-hambatan yang dialami guru dalam mengembangkan profesinya khususnya dalam membuat

karya tulis ilmiah khususnya PTK. Penelitian menggunakan metode survei yang melibatkan 80 orang guru

jenjang SMA sebagai responden yang ada di wilayah kota Solo. Data dihimpun melalui angket dan wawancara

yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk bagan persentase.

Page 40: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

35

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Respon Guru Berkaitan dengan Pengembangan Profesi

Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa dari 80 orang responden, hanya 18,75% guru yang

pengembangan profesinya lancar (tidak mengalami hambatan). Sebanyak 13,75% tidak memberikan respon

apapun terkait dengan pengembangan profesinya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa tidak adanya respon

dari responden dikarenakan para guru merasa pasrah dengan keadaan karena peluang pengembangan

profesinya sudah mentok disebabkan faktor usia dan masa kerja yang telah mendekati pensiun. Sementara

sebanyak 67,5% guru menyatakan mengalami hambatan dalam pengembangan profesi. Kondisi tersebut

mengindikasikan bahwa guru tersebut pada umumnya cenderung mengalami hambatan dalam

pengembangan profesinya melalui kenaikan pangkat terutama dalam memenuhi persyaratan terkait karya

tulis ilmiah khususnya penelitian tindakan kelas.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa faktor-faktor penghambat dalam pengembangan profesi guru

dikarenakan beberapa hal. Pertama, kurangnya kepekaan guru dalam mengidentifikasi permasalahan

pembelajaran di kelas. Di dalam melaksanakan pembelajaran di kelas, guru terkesan hanya sekedar

menggugurkan kewajiban mengajar sesuai jam yang telah ditetapkan. Akibatnya pembelajaran berlalu tanpa

upaya perbaikan, sehingga menjadi kurang bermakna. Idealnya setiap pembelajaran selesai, guru melakukan

analisis sebagai refleksi. Jika terdapat kekurangan-kekurangan dalam praktik pembelajaran tersebut, maka

dapat dijadikan landasan untuk melakukan perbaikan pada pembelajaran selanjutnya. Sementara berbagai

hasil penelitian berbasis refleksi seperti lesson study, terbukti sangat efektif dalam meningkatkan kualitas

pembelajaran. Hal ini didukung oleh pernyataan (Arani, 2011:37) bahwa tahapan plan, do/observation, dan

reflection yang merupakan ruh dari lesson study, sangat efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.

Hasil refleksi terhadap proses pembelajaran yang dilakukan guru dapat menjadi landasan bagi upaya

perbaikan pembelajaran selanjutnya dan tanpa disadari sesungguhnya guru tersebut telah melakukan langkah-

langkah PTK secara praktis. Guru hanya menuangkannya dalam bentuk karya tulis ilmiah yang dapat

dimanfaatkan untuk pengembangan profesi. Kedua, kemampuan guru dalam melakukan inovasi

pembelajaran rendah. Ruh PTK adalah perbaikan kualitas pembelajaran di kelas (Arikunto, dkk., 2006).

Dengan demikian, strategi pembelajaran konvensional yang cenderung kurang efektif, perlu dilakukan

inovasi pembelajaran menggunakan strategi pembelajaran lain yang lebih kreatif dan inovatif. Guru dituntut

memahami berbagai strategi, pendekatan, metode, model pembelajaran inovatif sebagaimana disarankan

dalam Kurikulum 2013 seperti: pembelajaran berbasis penemuan (inquiry, discovery, dll.), pembelajaran

berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran berbasis proyek (problem based project)

(Kemendiknas, 2013). Berdasarkan hasil wawancara terungkap bahwa guru masih mengalami kendala dalam

melakukan inovasi pembelajara, sehingga memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan model-model

pembelajaran terutama pembelajaran konstruktivis dengan paradigma student center. Ketiga, pengetahuan

guru tentang teknik penulisan karya tulis ilmiah yang baku masih kurang. Hasil wawancara menunjukkan

bahwa menuangkan hasil pengalaman praktis guru dalam proses pembelajaran ke dalam bentuk karya tulis

ilmiah merupakan hambatan terbesar. Umumnya guru kurang memiliki informasi tentang teknik penulisan

karya tulis ilmiah yang baik dan benar sesuai yang dipersyaratkan. Kurangnya sumber informasi dan

rendahnya motivasi diri untuk memperoleh informasi merupakan kendala utama.

Page 41: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

36

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa melakukan wawancara dan pemberian angket

terkait dengan kemampuan guru dalam melalui pembuatan karya tulis ilmiah dalam penelitian ini, merupakan

salah satu bentuk pemetaan sederhana yang dapat dilakukan oleh institusi pendidikan yang terkait sejauh

mana kemampuan dan hambatan yang dialami guru dalam pengembangan profesinya. Profil ini merupakan

sumber informasi penting dalam upaya mendorong percepatan profesi guru pada umumnya.

KESIMPULAN

Berdasar hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Profil kemampuan dan hambatan guru-guru di

wilayah kota Solo secara umum masih belum optimal khususnya dalam membuat karya tulis ilmiah melalui

PTK; 2) Setidaknya ada 3 hal yang mempengaruhi rendahnya kemampuan guru dalam membuat karya tulis

ilmiah yaitu: a) kurangnya kepekaan guru dalam mengidentifikasi permasalahan pembelajaran di kelas; b)

rendahnya kemampuan guru dalam melakukan inovasi pembelajaran; c) kurangnya pengetahuan guru tentang

teknik penulisan karya tulis ilmiah yang baku.

SARAN

Keberadaan profil tentang kemampuan dan hambatan guru dalam pengembangan profesi sangat penting

bagi peningkatan profesionalitas guru, maka dapat dikemukan saran bahwa penelitian terkait profil

kemampuan dan hambatan guru dalam mengembangkan profesinya seyogyanya dapat dilakukan oleh

institusi pendidikan yang terkait di semua wilayah dan jenjang pendidikan, agar percepatan peningkatan

profesionalitas guru secara luas dapat segera terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Akhdiah S, Arsjad MG, Ridwan, Sakura H. 1998. Menulis I. Jakarta: Depdikbud.

Arani SR. 2011. Transnational Learning: The Integration of Jugyou kenkyuu inti Iranian Teacher Training.

Tokyo: Education Science Publishing House.

Arikunto S. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

Keraf G. 1996. Terampil Berbahasa Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.

Kompas. 14 Desember 2007.

Saud US. 2009. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta.

Suandi IN. 2008. Gerakan Menulis Karya Ilmiah (Sebuah Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru).

Singaraja: Undiksha.

Sutrisno. 2012. Kreatif Mengembangkan Aktivitas Pembelajaran Berbasis TIK. Jakarta: Referensi.

Tarigan HG. 1994. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Angkasa: Bandung

Tim. 2013. Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendiknas.

Tim. 2005. Undang Undang Guru dan Dosen. Jakarta: Kemendiknas.

Page 42: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

37

PROFIL PEMAHAMAN KONSEP PEMANTULAN CAHAYA

YANG DIANALISIS MENGGUNAKAN THREE-TIER TEST PADA SISWA SMP

Uswatun Khasanah Pendidikan Fisika, FPMIPA, UPI

[email protected]

Muslim Jurusan Pendidikan Fisika, FPMIPA , UPI

Achmad Samsudin Jurusan Pendidikan Fisika, FPMIPA , UPI

Abstrak

Fakta bahwa siswa lebih sering mendapatkan evaluasi dalam bentuk tes pilihan ganda atau

uraian. Pilihan ganda yang sering dipakai oleh guru yaitu hanya satu tingkat dan sederhana

tanpa ada tambahan kolom alasan. Tes pilihan ganda memungkinkan peluang menebak

jawaban lebih besar dan kurang menyaring pemahaman konsep secara mendalam. Kemudian

pilihan ganda biasa ini ditambahkan dengan pilihan alasan (tingkat dua) disebut pilihan ganda

dua tingkat atau two-tier test. Namun, two-tier test masih ada peluang untuk menebak

jawaban, maka ditambahkan lagi berupa tingkat keyakinan (tingkat tiga), maka disebut three-

tier test. Selain itu, three-tier test dapat mendeteksi miskonsepsi. Tujuan penelitian ini

menganalisis profil pemahaman konsep pemantulan cahaya menggunakan three-tier test.

Metode penelitian ini menggunakan deskriptif. Penelitian ini dilakukan di salah satu SMP

Negeri di Kabupaten Bandung Barat dengan 37 subyek penelitian. Hasil skor rata-ratanya

diperoleh yaitu 34 (sedang), artinya tingkat pemahaman konsep pemantulan cahaya sedang.

Kata Kunci: three-tier test, pemahaman konsep

PENDAHULUAN

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu

lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar

terlaksana secara efektif dan efisien. Dalam sistem pembelajaran, evaluasi merupakan salah satu komponen

penting dan tahap yang harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan pembelajaran (Arifin, 2009).

IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya

penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja, tetapi juga suatu proses

penemuan atau penyelidikan ilmiah (Standar Isi Permen No. 22 tahun 2006). Fisika adalah salah satu mata

pelajaran yang termasuk dalam rumpun IPA. Pembelajaran fisika memiliki ciri khas sendiri yaitu

berhubungan erat dengan fenomena dan konsep. Salah satu tujuan pendidikan fisika di sekolah agar siswa

paham terhadap fenomena alam secara ilmiah, memahami konsep, dan menerapkan atau mengaplikasikannya

secara fleksibel dalam kehidupan sehari-hari.

Fakta di lapangan, pembelajaran berpusat pada guru, akibatnya siswa lebih mampu menguasai materi

pada tingkat hafalan dan kurang memahaminya. Guru juga kurang memberikan pertanyaan kepada siswa dan

jarang praktikum. Peneliti menganalisis soal-soal IPA-fisika berupa pilihan ganda yang menunjukkan bahwa

soal fisika rata-rata lebih banyak bersifat kuantitatif, sedangkan soal yang bersifat kualitatif sedikit.

Diasumsikan jika siswa sudah dapat mengerjakan soal fisika yang bersifat kuantitatif atau hitungan, maka

siswa dianggap sudah paham konsep. Berdasarkan pengamatan di lapangan, skor rata-rata siswa terhadap

soal konseptual lebih rendah daripada skor rata-rata soal hitungan.

Solusi alternatif untuk mengukur pemahaman konsep, yaitu dengan pilihan ganda multi-tier. Pilihan

ganda dua tingkat atau two tier test pertama kali dikembangkan oleh Treagust (Treagust et al, 2007). Two-tier

test yaitu pengembangan pilihan ganda menjadi dua tingkat. Tingkat pertama yaitu pertanyaan pilihan ganda

biasa. Tingkat kedua yaitu pilihan alasan menjawab soal tingkat pertama dengan empat pilihan jawaban.

Menurut Hasan, Bagoyo, dan Kelley (Pesman dan Erylimas, 2010) bahwa two-tier test tidak dapat

membedakan antara miskonsepsi dan tidak paham konsep. Sehingga, two-tier test dikembangkan lagi

menjadi tiga tingkat dengan menambahkan tingkat keyakinan pada tingkat ketiga. Pilihan ganda tiga tingkat

ini disebut three-tier test.

Page 43: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

38

Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus permasalahan yang akan diteliti ialah “Bagaimana profil

pemahaman konsep pemantulan cahaya yang dianalisis menggunakan three-tier test pada siswa SMP kelas

VIII?”.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Tujuannya menganalisis profil pemahaman konsep

pemantulan cahaya menggunakan three-tier test. Penyusunan three-tier test diadaptasi dari model

penyusunan two-tier test Treagust seperti dalam Gambar 1. (Treagust et al, 2007).

Gambar 1. Tahap Penyusunan three-tier test Pemantulan Cahaya

Subyek penelitian ada 37 siswa dan lokasi penelitian adalah di salah satu SMP Negeri di Lembang,

Bandung Barat. Contoh soal three-tier test pemantulan cahaya yang diberikan terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh soal three-tier test Pemantulan Cahaya

Page 44: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

39

Aturan penskoran three-tier test ini (Pesman, 2010: 39-40) yaitu:

a. Skor A. Memberi skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk jawaban salah pada tingkat satu.

b. Skor B. Memberi skor 1 untuk jawaban benar pada tingkat satu dan tingkat dua. Jika jawabanya salah

pada salah satu tingkat maka diberi skor 0.

c. Skor C. Memberi skor 1 untuk jawaban benar pada tingkat satu dua dan yakin atas jawabannya, selain itu

diberi skor 0.

d. Skor tingkat keyakinan. Memberi skor 1 untuk jawaban yakin pada tingkat tiga. Jika jawabannya tidak

yakin maka diberi skor 0.

Pengkategorian siswa paham konsep, tidak paham konsep, error, dan miskonsepsi dari hasil skor C

seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategori Jawaban Siswa Berdasarkan Hasil Skor C

Kategori Tingkat satu Tingkat dua Tingkat

tiga Paham konsep Benar Benar Yakin

Tidak paham konsep (lack of

knowledge)

Benar Benar Tidak

Yakin

Benar Salah Tidak

Yakin

Salah Benar Tidak Yakin

Salah Salah Tidak

Yakin Error Salah Benar Yakin

Miskonsepsi Benar Salah Yakin

Salah Salah Yakin

(Kaltakci & Nilufer, 2007:500)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penskoran three-tier test pemantulan cahaya dengan skor C dan hasil data statistik

ditujukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Deskripsi Semua Data Statistik Three-Tier Test Berdasarkan Hasil Skor C

Statistik N

Siswa 37

Jumlah butir soal three-tier test

pemantulan cahaya 15

Skor ideal 100

Skor minimum 0

Skor maksimum 67

Rata-rata 34

Tingkat kesukaran Jumlah dan nomor soal

0,00-0.25 (Sukar) 7 (5, 8, 9, 11, 12, 13, 14)

0,26-0,75 (Sedang) 7 (1, 2, 3, 6, 7, 10, 15)

0,76-1,00 (Mudah) 1 (4)

Catatan : reliabilitas = 0,82 dan validitas = 0,69

Hubungan antara skor B dengan tingkat keyakinan

Berdasarkan hubungan antara skor B dengan tingkat keyakinan dapat dinyatakan bahwa terdapat

hubungan linier atau hubungan positif antara skor B dengan tingkat keyakinan. Artinya, siswa menjawab

benar pada tingkat satu dua, maka yakin atas jawabannya. Jika siswa memperoleh skor tinggi, maka tingkat

keyakinanya juga tinggi. Semakin besar perolehan skor B, maka semakin tinggi tingkat keyakinan siswa.

Siswa menjawab benar tingkat satu dua, dan yakin atas jawabannya, berarti paham konsep (Gambar 3).

Page 45: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

40

Gambar 3. Grafik Hubungan antara Skor B dengan Tingkat Keyakinan

Cataloglu (Pesman & Eryilmaz, 2010: 213), menegasakan bahwa siswa yang memiliki skor tinggi

diperkirakan lebih yakin daripada siswa yang memiliki skor rendah. Perkiraan ini dapat di amati dari tiap

butir soal tes yang berfungsi baik. J. Cohen (Pesman & Eryilmaz, 2010: 213), juga menegaskan bahwa jika

nilai koefisien korelasi Pearson product-moment> 0,50, maka ada hubungan kuat antara skor B dengan

tingkat keyakinan. Validitas three-tier test yaitu 0,69. Artinya, nilai validitasnya lebih besar dari 0,50.

Kesimpulannya tiap butir soal three-tier test pemantulan cahaya berfungsi dengan baik.

Perbandingan Skor A, Skor B, dan Skor C

Perbandingan skor A, skor B, dan skor C. Hasil rekapitulasi skor A, skor B, dan skor C dapat dilihat

pada Gambar 4.

Gambar 4. Jumlah Siswa yang Merespon Benar pada Masing-Masing Tingkat Tiap Butir Soal

Gambar 4, disimpulkan bahwa pada skor A, siswa rata-rata menjawab benar paling tinggi. Artinya, pada

tingkat satu berupa pilihan ganda biasa ini tingkat kesulitannya rendah. Semakin naik tingkatanya, maka

jawaban benar siswa semakin rendah, karena tingkat kesulitannya semakin tinggi. Skor B dan skor C rata-

rata nilainya sama. Bentuk soal three-tier test berbeda dengan tes pilihan ganda biasa, akibatnya waktu

pengerjaan soal three-tier test lebih banyak daripada soal pilihan ganda biasa. Kelebihan three-tier test

pemantulan cahaya, yaitu memperkecil peluang menebak jawaban, membedakan siswa yang paham konsep,

tidak paham konsep (lack of knowledge), miskonsepsi, dan error.

Pengategorian Berdasarkan Skor C

Pengategorian berdasarkan skor C, terdiri dari: paham konsep, tidak paham konsep (lack of knowledge),

miskonsepsi, dan error.Indikasi paham konsep, yaitu jawaban siswa tingkat satu dua benar dan menjawab

“ya, yakin”. Hasil pengkategorian berdasarkan skor C ditunjukkan pada Gambar 5.

32

14

32

27

19

33

29

22

6

21

10

30

1715

11

17

11

21

29

1

25

21

7

3

16

0

12 11

5

10

0

5

10

15

20

25

30

35

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Ju

mla

h S

isw

a

No. butir Soal

skor A skor B

Page 46: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

41

Gambar 5. Pengkategorian Berdasarkan Hasil Skor C

Gambar 5, bahwa pemahaman konsep tertinggi pada nomor soal 4 dengan indikator menglompokkan

benda yang tembus cahaya. sebesar 57% siswa paham konsep sifat cahaya yaitu cahaya dapat merambat

lurus. Sebelumnya siswa sudah memiliki pengetahuan awal, yaitu ketika benda yang transparan diletakkan di

depan sumber cahaya, maka cahaya tersebut masih bisa terlihat oleh mata. Sedangkan pemahaman konsep

terendah pada nomor soal 11 dengan indikator meramalkan letak benda pada cermin cekung. Persentasi siswa

yang tidak paham konsep sebesar 59%. Siswa tidak paham konsep bahwa ketika benda diletakkan di titik

fokus cermin cekung, maka bayangannya tak terhingga. Berdasarkan percobaan bahwa bayangan benda

semakin jauh dan semakin besar terlihat pada layar. Namun, siswa belum pernah melihat fenomenanya dan

belum pernah melakukan percobaan.

Pada nomor 9 dengan indikator membandingkan perbesaran bayangan pada cermin cembung, siswa

mengalami tidak paham konsep tertinggi. Hal ini karena siswa tidak hafal rumus perbesaran bayangan dan

siswa tidak terbiasa dengan pilihan jawaban berupa simbol. Siswa sudah terbiasa dengan soal yang berisi

pilihan angka.

Miskonsepsi tertinggi pada nomor soal 5 dengan indikator mengelompokkan cermin cembung dari

gambar. Sebesar 65% siswa mengalami miskonsepsi tentang cermin cembung. Siswa beranggapan bahwa

cermin cembung selalu bentuk permukaannya cembung, sedangkan kaca spion bentuknya datar dan termasuk

contoh cermin cembung. Miskonsepsi yang dibawa siswa yaitu kaca spion bentuk permukaannya datar, sifat

bayangannya yaitu maya dan tegak, sehingga kaca spion termasuk cermin datar.

Erorr tetinggi pada nomor soal 15 dengan indikator mengilustrasikan grafik antara jarak benda terhadap

jarak bayangan. Siswa mengalami kekeliruan mengilustrasikan grafik antara jarak benda terhadap jarak

bayangan, karena pada soal tidak dicantumkan tabel data jarak benda dan jarak bayangan. Siswa belum

mampu mengilustrasikan grafik.

Profil Pemahaman Konsep Pemantulan Cahaya dari Hasil Three-Tier Test

Data hasil skor C digunakan peneliti untuk mengukur pemahaman konsep pemantulan cahaya siswa.

Skor totalnya dikelompokkan seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Kategori Tingkat Pemahaman Siswa dari Hasil Skor Total

No. Interval skor Kategori tingkat

pemahaman konsep

siswa

Jumlah

siswa

1. 0-27 Rendah 16

2. 28-72 Sedang 21

3. 73-100 Tinggi 0

Skor rata-rata three-tier test sebesar 34 (sedang). Tingkat pemahaman konsep pemantulan cahaya yaitu

sedang. Hal ini karena pertama, materi cahaya bersifat abstrak, sehingga siswa harus mengkonstruksi

pikirannya terlebih dahulu dengan contoh atau peristiwa yang konkret. Kedua, pada saat pembelajaran

pemantulan cahaya, guru jarang memberi contoh konkret fenomena pemantulan cahaya dan tidak

menggunakan media pembelajaran yang mendukung. Keempat, siswa tidak hafal, tidak paham sinar-sinar

Page 47: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

42

istimewa pada cermin cembung maupun cermin cekung. Akibatnya, siswa kesulitan menggambarkan

pembentukan bayangan pada cermin cekung maupun cermin cembung. Berdasarkan hasil pengamatan di

lapangan, siswa tidak terbiasa dengan soal berbentuk pemahaman konsep dan bentuk soal three-tier test.

Sebelumnya, siswa belum pernah mengerjakan soal three-tier test.

Hasil penelitian Kumaedi (2000) bahwa siswa yang paham konsep pemantulan cahaya hanya 41 siswa

dari 172 siswa atau hanya sebesar 24% siswa. Werdhiana (2010) juga menegaskan bahwa skor rata-rata

hitungan lebih tinggi daripada skor rata-rata pemahaman konsep. Selain itu, menurut Mazuir (Werdhianaa,

2010: 2) bahwa skor rata-rata siswa terhadap masalah konseptual lebih rendah daripada skor rata-ratanya

terhadap masalah hitungan. Hal ini mungkin disebabkan karena pekerjaan memecahkan masalah hitungan itu

seperti pekerjaan mekanis yang hanya “memasukan” angka dalam rumus tertentu tanpa memahami atau

menghayati “arti fisis” yang terkandung dalam konsep atau rumus itu.

Keuntungan three-tier test, yaitu: Pertama, dapat membedakan siswa yang paham konsep, tidak paham

konsep, miskonsepsi, dan error. Kedua, dapat diselenggarakan untuk sampel yang lebih besar dan

membutuhkan waktu yang lebih sedikit. Ketiga, semua isi materi dapat diujikan, dan mudah dalam

penskorannya.

SIMPULAN

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah profil pemahaman konsep pemantulan cahaya dengan

menggunakan bentuk soal three-tier test yaitu sedang dengan skor rata-rata 34. Berdasarkan dari hasil

perbandingan skor A, skor B, skor C, bahwa nilai skor A paling tinggi. Hal ini mengidentifikasi bahwa siswa

dominan menjawab benar pada tingkat satu dengan bentuk soal pilihan ganda biasa dan tingkat kesulitannya

paling mudah dari pada soal two-tier test atau three-tier test. Namun, skor B dan skor C rata-rata nilainya

sama. Hanya siswa yang memiliki pemahaman konsep yang baik akan mendapatkan skor C lebih tinggi. Dari

hasil soal three-tier test ini, presentase siswa yang paham konsep rata-rata rendah dibandingkan presentase

siswa yang miskonsepsi, tidak paham konsep, maupun error. Siswa memahami konsep pemantulan cahaya

sedang. Hal ini karena kurang termotivasi belajar memahami konsep. Siswa tidak hafal dan tidak paham

sinar-sinar istimewa cermin cekung maupun cermin cembung, serta tidak paham cara menggambarkan

pembentukan bayangan oleh pemantulan cermin cekung maupun cermin cembung. Siswa lebih tertarik

menghafal rumus daripada memahami arti fisisnya.

SARAN

Setelah melakukan penelitian ini, peneliti menyarankan agar pada pembelajaran optik geometri siswa

diharapkan mampu menggambarkan proses pembentukan bayangan benda dari pemantulan cahaya. Jika

ditambahkan dengan kegiatan praktikum pemantulan cahaya, pemahaman konsep siswa akan menjadi kuat

dan bertahan lama.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson LW, Krathwohl DR. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing (A Revisions of

Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). New York: Addison Wesley Longman Inc.

Arifin Z. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Arikunto, S. 2010. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Caleon I, Subramaniam R. 2010. “Development and Application of a Three-Tier Diagnostic Test to Assess

Secondary Students’ Understanding of Waves”. International Journal of Science Education. 32(7):939-961.

Dahar, R. W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2006. Standar Isi Peraturan Mentri Nomor 22 Tahun 2006.

Jakarta: Depdikbud.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2009. Soal UN IPA-Fisika Kode Soal P1 Tahun Ajaran

2009/2010.

Ikhsan M. 2011. Soal UKK IPA Fisika Kelas VIII Tahun Ajaran 2011/2012. SMP Labschool UPI Bandung.

Bandung; Tidak Diterbitkan

Ikhsan M. 2011. Soal Pra-UN IPA Fisika Tahun Ajaran 2011/2012. SMP Labschool UPI Bandung.

Bandung; Tidak Diterbitkan

Page 48: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

43

Kaltakci D, Nilufer D. 2007. Identification of Pre-Service Physics Teachers' Misconceptions on Gravity

Concept: A Study with a 3-Tier Misconception Test. Sixth International Conference of the Balkan

Physical Union: American Institute of Physics.

Kilic D, Saglam N. 2009. “Development of a Two-Tier Diagnostic Test to Determine Students’

Understanding of Concepts in Genetics”. Eurasian Journal of Educational Research. 227-244.

Kumaedi. 2000. Analisis Miskonsepsi Siswa MAN Dalam Pembelajaran Pembentukan Bayangan Oleh

Cermin Datar, Cekung, Dan Cembung.Tesis pada Pascasarjana Pendidikan IPA UPI Bandung; Tidak

Diterbitkan.

Pesman H. 2010. Development Of A Three-Tier Test To Assess Misconceptions About Simple Electric

Circuits. Tesis pada Pascasarjana Pendidikan Fisika Firat University Turkey: Tidak Diterbitkan.

Pesman H, Eryilmaz A. 2010. “Development of a Three-Tier Test to Assess Misconceptions About Simple

Electric Circuits”. The Journal of Educational Research. 103, 208-222.

Sri E. 2010. Profil Tes Open Book Sesuai Dengan Tahap Perkembangan Intelektual. Tesis pada Pascasarjana

Pendidikan IPA UPI Bandung; Tidak Diterbitkan

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Penerbit Alfabeta.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Team Erlangga. 2012. E-book Soal TO UN IPA-Fisika SMP/MTs 2012. Jakarta; Erlangga.

Treagust DF, Chandrasegaran AL. 2007. “The Taiwan National Science Concept Learning Study in an

International Perspective”. International Journal of Science Education. 29, (4), 391-403.

Universitas Pendidikan Indonesia. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI.

Werdhiana IK. 2010. Pengembangan tes pemahaman konsep fisika siswa SMA. Disertasi pada Pascasarjana

Pendidikan IPA Bandung; Tidak Diterbitkan

Page 49: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

44

KREATIVITAS GURU BIOLOGI DALAM MERENCANAKAN PEMBELAJARAN

BIOLOGI SMA BERBASIS KOMODITAS HAYATI UNGGULAN LOKAL

Asep Agus Sulaeman

PPPPTK IPA

Liliasari, Sri Redjeki, Dewi Sawitri

Universitas Pendidikan Indonesia

Institut Teknologi Bandung

Abstrak

Kajian ini dilakukan untuk mengetahui kreativitas guru Biologi SMA dalam merancang

rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa berbasis komoditas hayati

unggulan lokal. Kajian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu menggambarkan kreativitas

guru dalam mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa

berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Instrumen yang digunakan untuk menilai kreativitas

guru biologi SMA, yaitu instrumen penilaian produk kreatif untuk rencana pelaksanaan

pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang dihasilkan guru yang memuat topik-topik yang

terkait dengan seluruh aspek salah satu jenis komoditas hayati unggulan lokal. Data diperoleh

dengan menilai dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa mata

pelajaran biologi SMA yang dibuat oleh guru dengan mengintegrasikan komoditas hayati

unggulan lokal. Analisis data terhadap dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran biologi dan

lembar kegiatan siswa berbasis komoditas hayati unggulan lokal dilakukan secara deskriptif

kuantitatif dengan menggunakan kriteria sesuai instrumen yang telah dikembangkan. Hasil

penelitian menunjukan bahwa pada umumnya guru biologi SMA sudah dapat mengintegrasikan

aspek komoditas hayati unggulan ke dalam RPP dengan baik, dengan nilia paling rendah adalah

dalam merumuskan tujuan pembelajaran, yaitu 71,25 dan nilainya paling besar adalah

kemampuan merencanakan penilaian, yaitu 95. Guru biologi juga sudah bisa membuat LKS

yang memberikan nilai kebermaknaan dan kemanfaatan dengan nilai tertinggi dari aspek-aspek

lainya, yaitu dengan nilai 100 dan aspek kelengkapan materi dalam memperoleh nilai yang

paling kecil, yaitu 76,32.

Kata Kunci: RPP, LKS, deskriptif kuantitatif

PENDAHULUAN

Di wilayah pertanian, seperti di Indonesia, salah satu konteks pembelajaran yang dapat diintegrasikan

dalam pembelajaran adalah komoditas hayati unggulan lokal pertanian. Komoditas unggulan lokal adalah

komoditas yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan, baik karena potensi alam maupun karena

komoditas ini dipengaruhi oleh tingkat produksi, skala usaha, dan pemasarannya sebagai upaya menghasilkan

produk pertanian yang memiliki keunggulan (Susanto & Sirappa, 2005). Komoditas hayati unggulan lokal

pertanian merupakan konteks yang dekat dengan siswa di wilayah agraria, seperti Indonesia. Sejalan dengan

hal tersebut, Hofstein & Kesner (2006), menyatakan dalam pengembangan pembelajaran kimia kontekstual

di wilayah industri, salah satu prinsip dalam mengintegrasikan industri kimia ke dalam pembelajaran adalah

industri yang berperan dalam kepentingan lokal dan berbahan dasar material lokal. Oleh karena itu, konteks

komoditas hayati unggulan lokal pertanian memungkinkan untuk dapat diintegrasikan dalam pembelajaran

biologi di sekolah oleh guru di lingkungan wilayah pertanian.

Berkaitan dengan integrasi pertanian dalam sains sebagai konteks, Balschweid (2002) menjelaskan

bahwa lebih dari 90% subyek penelitian menyatakan setuju atau sangat setuju bahwa berpartisipasi dalam

kelas biologi yang menggunakan pertanian sebagai konteks membantu mereka untuk memahami hubungan

antara sains dan pertanian. Lebih dari 85% siswa menanggapi setuju atau sangat setuju bahwa berpartisipasi

dalam kelas biologi dengan konteks peternakan menyebabkan mereka menghayati sifat kompleks peternakan

hewan. Balschweid (2002) juga menyimpulkan bahwa sains yang diajarkan dalam konteks peternakan oleh

guru yang berpengalaman memiliki dampak positif pada sikap siswa terhadap pertanian dan mereka yang

bekerja di industri pertanian.

Adapun Balschweid & Huerta (2008) menyatakan bahwa pembelajaran Biologi dalam konteks

pengetahuan tentang hewan ternak dapat meningkatkan informasi langsung kepada siswa tentang tempat

kerja dan memberikan siswa landasan untuk memilih pendidikan pasca-sekolah menengah. Begitu pula

Page 50: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

45

sebaliknya, hasil penelitian mendukung pernyataan bahwa integrasi sains ke kurikulum pertanian adalah cara

yang lebih efektif untuk mengajarkan sains. Siswa yang diajar dengan mengintegrasikan pertanian dan

prinsip-prinsip ilmiah menunjukkan prestasi yang lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan pendekatan

tradisional (Balschweid & Huerta, 2008). Penggunaan kurikulum pertanian sebagai kerangka kontekstual

untuk mendukung akuisisi pendidikan IPA akan meningkatkan pembelajaran dan bermakna bagi siswa

sehingga dapat menerapkan pembelajaran yang telah mereka peroleh (Myers & Washburn, 2007)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bailey dan Merritt dalam Balschweid (2002), menunjukkan bahwa

peserta didik gagal mengembangkan pemahaman mendalam tentang sains dan matematika di kelas

tradisional yang menyebabkan gagalnya menerapkan pengetahuan ini dalam kehidupan di luar kelas. Oleh

karena itu, sekolah harus membantu siswa memenuhi kebutuhan kehidupan pribadinya dalam kontribusi ke

arah kesejahteraan keluarga, komunitas keluarga dan masyarakat. Dalam pembelajaran Sains, guru harus

memberikan kegiatan pembelajaran untuk peserta didik agar meningkatkan kemampuan mental dan

pengembangan sikapnya (Dailey, et al., 2001). Oleh karena itu, guru-guru biologi SMA di Indonesia perlu

mengembangakan pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal sebagai cara untuk memberikan

pembelajaran bermakna kepada siswanya.

Saat pengembangan bahan pembelajaran di kelas, berkaitan dengan komoditas hayati unggulan lokal,

guru ditantang untuk kreatif sehingga mampu mengintegrasikannya ke dalam pembelajaran. Guru biologi

SMA harus kreatif dan inovatif dalam penerapan dan pengembangan bidang ilmu biologi dan ilmu-ilmu yang

terkait (Depdiknas, 2007). Guru ditantang untuk menghasilkan lingkungan belajar yang dapat membantu

siswa dalam memahami sains dan relevansinya yang disesuaikan dengan minat dan kemampuan siswa

(Marshall, 2010). Konteks berpikir kreatif guru dalam pembelajaran adalah kemampuan guru dalam

menciptakan berbagai ide dan kemungkinan-kemungkinan baru dan asli, serta kemampuan berpikirnya

sebagai hasil refleksi dari wawasan, keingintahuan, kelenturan, keaslian, dan kemampuan menghubungkan

antara konsep-konsep atau ide-ide yang terkadang dilupakan oleh guru itu sendiri ketika menyusun program

pembelajaran (Meintjes & Grosser, 2010). Dalam konteks integrasi komoditas hayati unggulan lokal, guru

dituntut dapat melihat fakta bahwa setiap wilayah memiliki jenis komoditas unggulan hayati lokalnya

masing-masing dengan seluruh aspeknya, mulai aspek budidaya sampai ke industri pengolahan serta

pemasarannya. Selanjutnya, aspek-aspek komoditas hayati unggulan lokal dapat dipetakan dengan topik-

topik dalam pembelajaran biologi di SMA. Saat ini, guru-guru biologi belum mengembangkan rencana

pembelajaran dan lembar kegiatan pembelajaran yang mengintegrasikan komoditas hayati unggulan lokal.

Mengajar dengan kreatif adalah guru menggunakan berbagai pendekatan untuk mewujudkan

pembelajaran yang lebih menyenangkan, melibatkan siswa secara aktif dan efektif (Ellis & Read, 2006).

Meintjes & Grosser (2012) merangkum dari beberapa peneliti sebelumnya bahwa kreativitas guru dalam

mengambangkan pembelajaran merujuk pada kreativitas guru sebagai fungsi kognitif yang mengacu pada

kemampuannya untuk menghasilkan ide-ide dan konsep-konsep baru, serta kemampuan untuk berpikir

divergen dan berpikir produktif dalam domain akademik. Salah satu bentuk kreativitas adalah keterampilan

penting dalam memproduksi ide baru yang dapat memecahkan masalah pembelajaran serta membantu para

siswa dalam belajar biologi (Diki, 2013). Guru sendiri perlu untuk menjadi pemikir kreatif dalam merancang

program pembelajaran yang tepat dan untuk memelihara kemampuan berpikir kreatif peserta didik. Guru

bertanggung jawab untuk merancang dan membangun lingkungan belajar yang relevan, menantang, dan

berpusat pada peserta didik. Salah satu bentuk kreativitas guru adalah mengembangkan program

pembelajaran yang unik dan merangsang pelajaran yang relevan dengan masukan dari budaya lokal.

Berdasarkan hal tersebut, Sulaeman dkk. (2014) mengembangkan program diklat kreativitas guru

biologi SMA dalam pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal yang diharapkan menjadi

fasilitas bagi guru biologi untuk memperoleh pengetahuan komoditas hayati unggulan lokal dan keterampilan

menganalisisnya sehingga mereka kreatif membuat pembelajaran biologi di SMA berbasis keunggulan hayati

lokal. Kompetensi guru sebagai hasil dari program ini adalah; (1) memahami konsep komoditas hayati

unggulan lokal dan manfaatnya di suatu wilayah; (2) menganalisis komoditas unggulan lokal berdasarkan

data primer dan sekunder; (3) kreatif mengaitkan komoditas unggulan lokal dan diversifikasinya dengan

konsep-konsep biologi di SMA; (4) mengimplementasikan komoditas unggulan lokal dan diversifikasinya ke

dalam rencana pembelajaran; (5) mengimplementasikan komoditas unggulan lokal dan diversifikasinya ke

dalam lembar kegiatan siswa; (6) berkreasi menyusun pembelajaran biologi yang mendukung pengembangan

komoditas hayati unggulan lokal di wilayahnya masing-masing.

Hasil kajian Sulaeman dkk (2014) setelah melaksanakan program ini menunjukkan bahwa, melalui

penggunaan mind map guru-guru biologi sudah kreatif memetakan keberkaitan di antara aspek-aspek

komoditas hayati unggulan lokal. Mereka juga sudah dapat memetakan aspek-aspek komoditas hayati

unggulan lokal tersebut ke dalam topik-topik pembelajaran biologi di SMA. Hasilnya adalah guru dapat

memetakan 10 jenis komoditas hayati unggulan lokal di Kabupaten Majalengka dengan 15 topik biologi

Page 51: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

46

SMA dan mengajukan 76 alternatif pembelajaran yang tersebar di setiap jenjang kelas SMA. Jumlah

terbanyak alternatif pembelajaran terdapat di kelas X semester 2, yaitu sebanyak 36 jenis. Adapun jumlah

paling sedikit terdapat di kelas XII semester 2, yaitu sebanyak 2 jenis. Hasil pemetaan ini harus

ditindaklanjuti oleh guru-guru biologi dengan mengaplikasikannya ke dalam rencana pembelajaran. Oleh

karena itu, guru harus kreatif mengembangkan rencana pembelajaran dan LKS biologi SMA yang berbasis

komoditas hayati unggulan lokal. Sejalan dengan hal tersebut, Kajian ini dilakukan untuk mengetahui

Kreativitas guru Biologi SMA dalam merancang rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan

siswa berbasis komoditas hayati unggulan lokal.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu menggambarkan kreativitas guru dalam

mengembangan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa berbasis komoditas hayati

unggulan lokal. Kajian ini dilakukan pada bulan April 2014. Pengambilan data dilakukan terhadap kreativitas

guru-guru biologi SMA di kabupaten Majalengka yang mengikuti pendidikan dan pelatihan kreativitas guru

biologi SMA dalam pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Responden dalam kajian ini

adalah 20 guru biologi SMA yang menjadi perwakilan setiap SMA Negeri dan Swasta yang terdapat di

Kabupaten Majalengka.

Instrumen yang digunakan untuk menilai kreativitas guru biologi SMA yaitu instrumen penilaian

produk kreatif untuk rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang dihasilkan guru

yang memuat topik-topik yang terkait dengan seluruh aspek salah satu jenis komoditas hayati unggulan lokal.

Pengembangaan instrumen dilakukan berdasarkan atas komponen-komponen yang terdapat di dalam

komponen rencana pelaksanaan pembelajaran, dan komponen lembar kegiatan siswa. Komponen rencana

pelaksanaan pembelajaran terdiri atas merumuskan tujuan pembelajaran, mengorganisasikan materi, media

dan sumber belajar, merencanakan skenario pembelajaran, dan menyiapkan alat penilaian. Adapun

komponen lembar kegiatan siswa terdiri atas kebermaknaan dan kebermanfaatan, melibatkan siswa secara

aktif, kelengkapan materi, keakuratan materi, dan sistematika keilmuan. Selanjutnya setiap komponen ini

dibuatkan deskriptor penilaiannya berdasarkan komponen produk kreatif yang dikembangkan oleh Besmer

and O' Quin (1986), yang terdiri atas novelty (kemampuan menghasilkan ide baru), applicability to problem

solving (kemampuan menghasilkan pemecahan masalah yang berguna), style of creation (menghasilkan

bentuk kreasi), dan scientific knowledge (menghasilkan karya yang berlandaskan pengetahuan ilmiah).

Indikator masing-masing aspek produk kreatif tersebut dikembangkan dengan mengaitkan komoditas hayati

unggulan lokal sebagai kontennya.

Dalam kajian ini, data diperoleh dengan menilai dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran dan

lembar kegiatan siswa mata pelajaran biologi SMA yang dibuat oleh guru dengan mengintegrasikan

komoditas hayati unggulan lokal. Analisis data terhadap dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran biologi

berbasis komoditas hayati unggulan lokal dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan

kriteria sesuai instrumen yang telah dikembangkan. Analisis data dokumen lembar kegiatan siswa juga

dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan kriteria sesuai instrumen yang telah

dikembangkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Diklat Kreativitas Guru Biologi dalam Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Komoditas Hayati

Unggulan Lokal, guru dibekali beberapa keterampilan, yaitu memahami keanekaragaman hayati di Indonesia,

memahami komoditas unggulan lokal dan manfaatnya bagi pengembangan wilayah, menganalisis komoditas

unggulan lokal berdasarkan dokumen perencanaan, merancang keberkaitan antara komoditas hayati unggulan

lokal serta diversifikasinya dan konsep-konsep biologi di SMA, menyusun perangkat rencana pembelajaran

berbasis komoditas hayati unggulan lokal, dan menyusun lembar kegiatan siswa berbasis komoditas hayati

unggulan lokal. Di awal kegiatan diklat, guru dibekali pengetahuan tentang keanekaragaman hayati di

Indonesia. Selanjutnya, guru dibekali pengetahuan tentang komoditas unggulan lokal dan manfaatnya bagi

pengembangan wilayah. Setelah itu, guru dilatih menganalisis komoditas hayati unggulan lokal berdasarkan

dokumen perencanaan dari Bappeda dan Dinas Pertanian sehingga guru dapat menentukan jenis komoditas

unggulan di Kabupaten Majalengka. Selanjutnya guru biologi dibekali cara memetakan topik-topik dari

seluruh aspek komoditas hayati unggulan lokal dan praktik memetakannya ke dalam pembelajaran biologi

SMA. Setelah guru mampu memetakan topik-topik dari seluruh aspek komoditas hayati unggulan lokal ke

dalam pembelajaran, guru dituntut untuk dapat mengembangkan pembelajaran biologi SMA berbasis

komoditas hayati unggulan lokal, yaitu dengan mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)

dan lembar kegiatan siswa (LKS).

Page 52: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

47

Pembelajaran biologi yang difasilitasi guru dapat difokuskan untuk memperkenalkan konten baru,

mengulas materi, atau menerapkan apa yang telah dipelajari melalui pemecahan masalah. Dalam

mengembangkan pembelajaran saat persiapan mengajar, sangat penting bagi guru biologi SMA untuk

menemukan cara dalam menghubungkan konten sains dengan kehidupan sehari-hari siswa. Guru memiliki

kesempatan untuk berpikir secara mendalam tentang materi pelajaran, termasuk cara mempresentasikan

materi yang terdapat di dalam buku teks atau aspek-aspek lainnya, seperti struktur kurikulum yang menjadi

standar dan tolok ukur ketika mengembangan rencana pembelajaran. Mereka juga memiliki waktu untuk

mengembangkan kegiatan pedagogis atau metode yang memungkinkan siswa untuk mudah dalam memahami

materi pelajaran. Artinya, guru harus memikirkan komptensi yang harus siswa pahami dan menentukan

proses terbaik agar mudah memahami isinya.

Guru tidak akan dapat merancang, merencanakan, atau menerapkan pembelajaran yang diinginkan

dengan baik jika tidak melalui suatu siklus rasional yang dimulai dengan merumuskan tujuan, memutuskan

untuk memilih strategi pembelajaran tertentu, memilih sumber daya dan media, mengorganisasikan kegiatan

pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi hasilnya (John, 2006). Membuat persiapan

mengajar dengan menyusun RPP merupakan tugas guru yang sangat penting karena kegiatan yang telah

dirancang dengan baik, biasanya dapat diimplementasikan dengan baik pula (Rustaman, 2007). Rencana

pembelajaran merupakan hasil aktivitas individual guru yang dibentuk oleh latar belakang guru, pengalaman,

kecenderungan dan keyakinan guru, serta kemampuan profesionalitasnya yang dihubungkan dengan

kebutuhan siswa (Ellis & Read, 2006).

Langkah pertama dalam merencanakan pembelajaran adalah pemilihan topik atau komponen dari subjek

yang akan diajarkan. Karakteristik materi, karakteristik siswa, dan kemampuan siswa merupakan faktor

utama sebagai pertimbangan awal dalam menentukan tujuan dan sasaran yang tepat. Langkah kedua adalah

menetapkan maksud dan tujuan, yang keduanya harus dikaitkan dengan pertimbangan kurikulum yang lebih

luas, yaitu gabungan antara domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Langkah ketiga adalah penyusunan

konten yang akan dibahas dan menentukan metode pengajaran dan pengalaman belajar terbaik yang akan

membawa siswa mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Selanjutnya RPP dikembangkan

menjadi bentuk langkah-langkah pembelajaran yang terdiri atas aktivitas rincian aktivitas siswa dan alokasi

waktunya. Langkah keempat adalah proses perencanaan penilaian terhadap efektivitas metode pembelajaran

dan kegiatan belajar sehingga dapat diukur pencapaian terhadap tujuan yang telah ditetapkan.

Kreativitas Guru dalam Mengembangkan RPP Berbasis Komoditas Hayati Unggulan Lokal

Salah satu keterbatasan guru IPA saat ini adalah kemampuan untuk mengintegrasikan kehidupan sehari-

hari ke dalam kurikulum pembelajaran IPA di kelas (Balschwed, 2002). Begitu pula kelemahan untuk

mengimplementasikan pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal, kendalanya adalah

keterbatasan kemampuan guru biologi dalam memetakan komoditas ke dalam topik-topik biologi,

mengkorelasikan antara topik-topik dari aspek komoditas hayati unggulan lokal dan pembelajaran untuk

kemudian diintegrasikan ke dalam pembelajaran. Pada umumnya guru-guru biologi SMA belum pernah

menganalisis komoditas unggulan lokal, tidak mengetahui cara menganalisis komoditas unggulan hayati

lokal secara sistematis sehingga mereka belum pernah membuat rencana pembelajaran berbasis komoditas

hayati unggulan lokal (Sulaeman, dkk., 2012). Mereka tidak mengetahui cara membuat rencana pembelajaran

berbasis keanekaragaman hayati unggulan lokal secara sistematis.

Dengan menggunakan mind map pada proses diklat, akhirnya guru mampu memetakan topik-topik

komoditas hayati unggulan lokal ke dalam pembelajaran biologi SMA. Berdasarkan hasil kajian sebelumnya,

guru berhasil memetakan topik-topik biologi dan alternatif jenis kegiatan pembelajaran biologi SMA yang

berbasis komoditas hayati unggulan lokal dengan mengunakan mind map (Sulaeman, 2014).

Pada kajian ini, guru-guru biologi SMA mengembangkan RPP biologi berbasis komoditas hayati

unggulan lokal dari satu altenatif jenis kegiatan pembelajaran yang telah dipetakan sebelumnya. Selanjutnya,

guru-guru merancang rencana pembelajaran dengan lengkap, mulai dari menentukan indikator pencapaian

kompetensi, menentukan tujuan pembelajaran, memilih metode, mengembangkan materi ajar, menentukan

langkah pembelajaran, dan merencanakan penilaian yang dihubungkan dengan topik komoditas hayati

unggulan lokal. Indikator penilaian kemampuan guru biologi SMA dalam mengembangkan RPP berbasis

komoditas hayati unggulan lokal terdiri atas (1) merumuskan tujuan pembelajaran, (2) mengorganisasikan

materi, media dan sumber belajar, (3) merencanakan langkah pembelajaran, dan (4) merencanakan penilaian.

Pada awalnya guru tidak mengenal komoditas hayati unggulan dan tidak mampu mengidentifikasi

komoditas hayati unggulan lokal di daerahnya karena tidak mengetahui kriterianya. Kondisi tersebut

menyebabkan guru tidak pernah membuat indikator dan tujuan pembelajaran biologi di SMA dengan

mengintegrasikan komoditas hayati unggulan lokal. Setelah dibekali pengetahuan tentang komoditas hayati

unggulan lokal dan cara menganalisisnya, akhirnya guru dapat menentukan jenis komoditas hayati unggulan

Page 53: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

48

lokal. Berdasarkan hasil analisis ini, guru-guru biologi menetapkan indikator dan tujuan pembelajaran

berdasarkan kompetensi dasar yang telah ditetapkan dengan mengintegrasikan komoditas hayati unggulan

lokal. Dalam pengembangan pembelajaran dengan konteks lokal, interpretasi pertama oleh guru adalah

memfokuskan pada isi kurikulum yang dipilih untuk kemudian dikembangkan sesuai dengan minat dan

pengalaman peserta didik di kehidupan sehari-hari (Kasandaa et al., 2005). Melalui Diklat Kreativitas Guru

Biologi dalam Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Komoditas Hayati Unggulan Lokal, guru sudah dapat

merumuskan indikator hasil belajar dan merumuskan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi

dasar dengan mengintegrasikan komoditas hayati unggulan lokal, serta merancang dampak pengiring

berbentuk kecakapan hidup (life skills) berkaitan dengan komoditas hayati unggulan lokal. Kemampuan guru

mengembangkan RPP berbasis komoditas hayati unggulan lokal dapat terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kemampuan Guru dalam Membuat RPP Biologi Berbasis Komoditas Hayati unggulan Lokal

Berdasarkan Gambar 1 tampak bahwa pada umumnya guru biologi sudah dapat mengintegrasikan aspek

komoditas hayati unggulan ke dalam RPP dengan baik. Artinya, guru sudah bisa merencanakan pengalaman

belajar untuk siswanya sesuai tuntutan kompetensi dasar yang dihubungkan dengan pemahaman komoditas

hayati unggulan lokal bagi siswanya. Indikator merumuskan tujuan pembelajaran dalam RPP yang

memperoleh nilai paling rendah, yaitu 71,25, akan tetapi nilai tersebut masih dalam katagori baik. Tujuan

pembelajaran merupakan titik tolak atau pijakan guru dalam membuat rencana dan menilai keberhasilan

rencana pembelajarannya (Rustaman, 2007). Tanpa ada tujuan, rencana pembelajaran tidak dapat disusun,

demikian juga untuk merancang evaluasinya. Adapun aspek yang nilainya paling besar adalah kemampuan

merencanakan penilaian, yaitu 95.

Dalam menetapkan indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran, sebagian besar guru-

guru biologi sudah mampu memilih kata kerja operasional yang sesuai dengan kompetensi yang telah

ditetapkan dalam standar isi. Selain itu, guru-guru juga sudah mampu mengintegrasikan komoditas hayati

unggulan lokal, baik dari aspek pengetahuan maupun keterampilannya ke dalam pembelajaran. Banyak

indikator pencapaian kompetensi yang dihasilkan oleh guru dalam mengembangkan pembelajaran berbasis

komoditas hayati unggulan lokal. Sebagai contoh, indikator pencapaian kompetensi dari aspek pengetahuan

komoditas hayati unggulan lokal yang dihasilkan oleh guru adalah (1) menjelaskan pengaruh faktor luar

terhadap pertumbuhan tanaman cabe merah (Capsicum annuum L.), dan (2) menjelaskan kandungan zat

makanan pada kentang (Solanum tuberosum L.), dan jagung (Zea mays). Berdasarkan contoh indikator

pencapaian kompetensi tersebut, jenis komoditas hayati unggulan adalah cabe merah, jagung, dan ubi jalar.

Adapun pengetahuan yang akan dicapai oleh siswa dalam pembelajaran tersebut adalah (1) faktor-faktor

yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan (2) kandungan zat gizi pada makanan. Contoh indikator

pencapaian kompetensi dari aspek keterampilan yang berbasis komoditas hayati unggulan lokal yang

dihasilkan oleh guru adalah (1) mempraktikkan pemanfaatan ikan nila (Oreochromis niloticus) menjadi

makanan ringan, (2) mempraktikkan pembuatan medium jamur merang dari jerami padi (Oryza sativa L.),

dan (3) menganalisis hasil fermentasi kentang (Solanum tuberosum L). Berdasarkan contoh tersebut, jenis

komoditas hayati unggulannya adalah ikan nila, padi, dan kentang. Adapun keterampilan yang akan dicapai

oleh siswa adalah mengolah ikan nila, membuat medium tumbuh jamur merang, dan membuat donut.

Pengetahuan dan keterampilan yang menjadi pengalaman belajar siswa ini dapat memberikan motivasi bagi

siswa untuk turut berpartisipasi dalam pengembangan komoditas hayati unggulan lokal di kehidupan

nyatanya di luar sekolah.

Nilai dari aspek mengorganisasikan materi, media dan sumber belajar sangat baik, yaitu 81,4. Pada

aspek ini guru harus mengembangkan dan mengorganisasikan materi pembelajaran sesuai tujuan,

menentukan dan mengembangkan media pembelajaran, memilih sumber belajar yang sesuai yang berkaitan

dengan komoditas hayati unggulan lokal. Untuk membuat pembelajaran IPA relevan dengan lingkungan

siswa, diperlukan perencanaan dan persiapan dari pengajar (Marshall, 2010). Guru-guru tidak hanyak

Page 54: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

49

dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang konsep-konsep IPA baik. Dalam penyampaiannya, guru-guru

harus lebih berperan sebagai fasilitator untuk siswanya daripada hanya sebagai pemberi informasi. Dalam

kajian ini, guru sudah mampu menampilkan materi ajar yang berbasis komoditas hayati unggulan lokal.

Dalam pengembangannya pun, pengetahuan tentang komoditas hayati unggulan lokal yang berkaitan dengan

konten pun ditambahkan ke dalam pembelajaran oleh guru-guru. Dalam pemilihan media, guru-guru sudah

mampu memilih media pembelajaran yang berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Misalnya pada

kegiatan uji makanan, pada awalnya guru-guru menyediakan jenis makanan yang akan diuji yang sesuai

dengan jenis makanan yang terdapat di LKS yang dikembangkan oleh penerbit, tanpa ada kemamuan guru

untuk mengubahnya. Sekarang, guru sudah menambahkan jenis-jenis komoditas hayati unggulan lokal

sebagai objek yang diuji. Contoh lainnya, dalam pembelajaran dengan materi pengolahan limbah organik,

biasanya guru-guru mengembangkan pembelajaran dengan mendaur ulang kertas bekas sesuai LKS di buku.

Pada kajian ini, guru mampu menampilkan kegiatan lain untuk materi pengolahan limbah organik, yaitu

pembuatan media jamur merang dengan memanfaatkan limbah jerami padi. Jerami padi merupakan limbah

padi yang sangat berlimpah di lingkungan wilayah pertanian. Artinya, berdasarkan uraian tersebut guru-guru

sudah mampu memanfaatkan aspek-aspek komoditas hayati unggulan lokal sebagai media dalam

pembelajaran.

Dalam merencanakan pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan guru mendapatkan nilai sangat

baik, yaitu 84,8. Perangkat pembelajaran yang disusun seharusnya memberikan pengalaman belajar yang

melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar siswa, siswa dengan guru, siswa dengan

lingkungan dan siswa dengan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar (Utami dan

Jailani, 2012). Kegiatan pembelajaran dengan konteks lokal, seperti pembelajaran biologi berbasis komoditas

hayati unggulan lokal merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa kerena guru harus menggunakan

pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki siswa pada saat membelajarkan suatu topik. Oleh karena itu, di

dalam perencanaan pembelajaran harus tergambarkan kegiatan-kegiatan yang menggali dan memberdayakan

pengetahuan dan keterampilan siswa di kehidupan sehari-hari. Salah satu elemen penting dalam

membelajarkan siswa dengan konteks lokal ke dalam pembelajaran kepada siswa adalah dengan

mempraktikkan langsung keterampilan yang berkaitan dengan aspek lokal (Gilbert, et al., 2011). Dalam

memilih metode pembelajaran, guru-guru harus bisa menyajikan pembelajaran biologi yang membekalkan

keterampilan-keterampilan yang berkaitan dengan penanganan komoditas hayati unggulan lokal kepada

siswa. Dalam kajian ini pada umumnya sudah mampu merencanakan pembelajaran yang membekalkan

keterampilan penanganan komoditas hayati unggulan lokal. Beberapa keterampilan dimunculkan guru dalam

perencanaan pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan dalam bentuk konten ataupun konteks yang

dibelajarkan kepada siswa. Salah satu contoh keterampilan mengolah komoditas hayati unggulan lokal yang

menjadi konten pembelajaran adalah mengolah dan memproduksi makanan dari komoditas hayati unggulan

lokal, yaitu ketika membelajarkan manfaat keanekaragaman hewan dan tumbuhan. Adapun contoh

keterampilan yang menjadi konteks dalam pembelajaran adalah membuat donut dengan berbahan dasar

kentang atau ubi ketika membelajarkan pengetahuan tentang metabolisme dan bioteknologi.

Terdapat dua kriteria dalam merencanakan penilaian, yaitu menentukan prosedur dan menunjukan

bahwa jenis penilaian yang sesuai tujuan pembelajaran yang mengintegrasikan komoditas hayati unggulan

lokal. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran oleh siswa dan guru dapat diketahui melalui kegiatan

penilaian. Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dibuat, guru-guru sudah mampu menentukan tujuan

pembelajaran dengan mempertimbangkan antara kompetensi, konten, dan komoditas hayati unggulan lokal.

Dalam pengembangan konteks lokal ke dalam pembelajaran, harus dipertimbangkan aspek pengetahuan dan

keterampilan lokal sebagai pengalaman belajar siswa. Sejalan dengan tuntutan kurikulum 2013, bahwa

seluruh aspek siswa harus dinilai secara otentik, guru dituntut mampu mengembangkan instrumen penilaian

sikap, pengetahuan, dan keterampilan (Kemdikbud, 2013). Oleh karena itu, dalam penilaian, guru juga harus

mempertimbangkan aspek pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan komoditas hayati unggulan

lokal yang dibelajarkan kepada siswa. Dalam pengembangan evaluasinya, guru sudah mampu

mengembangan perangkat penilaiannya, baik dari aspek sikap, pengetahuan yang berkaitan dengan

komoditas, dan keterampilan yang berkaitan dengan komditas hayati unggulan lokal. Pada umumnya, guru-

guru merencanakan penilaian dengan baik, tetapi dalam pengembangannya tidak terbiasa mengembangkan

melalui tahap kisi-kisi, terutama dalam pengembangan soal tes. Guru-guru terbiasa mengembangkan soal

berdasarkan perkiraan dengan merujuk pada tujuan pembelajaran. Adapun untuk aspek keterampilan, guru

sudah bisa mengembangkan instrumen pengamatan keterampilan siswa ketika melakukan praktik.

Diklat yang telah dilakukan membantu guru untuk kreatif dalam membuat pembelajaran sehingga guru

lebih mengenal komoditas hayati unggulan lokal dan mengimplementasikannya ke dalam pembelajaran. RPP

merupakan produk kreatif dari guru. Meintjes & Grosser (2012) yang merangkum dari beberapa peneliti

sebelumnya menyatakan bahwa kreativitas guru dalam mengembangkan pembelajaran merujuk pada

Page 55: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

50

kreativitas guru sebagai fungsi kognitif yang mengacu pada kemampuannya untuk menghasilkan ide-ide dan

konsep-konsep baru, dan kemampuan untuk berpikir divergen dan berpikir produktif dalam domain

akademik. Adapun kriteria yang digunakan untuk menilai kreativitas guru dalam mengembangkan RPP

adalah novelty (kemampuan menghasilkan ide baru), applicability to problem solving (kemampuan

menghasilkan pemecahan masalah yang berguna), style of creation (menghasilkan bentuk kreasi), dan

scientific knowledge (menghasilkan karya yang berlandaskan pengetahuan ilmiah). Indikator masing-masing

aspek produk kreatif tersebut dikembangkan dengan mengaitkan komoditas hayati unggulan lokal sebagai

kontennya (Besmer & O' Quin, 1986).

Gambar 2. Kreativitas Guru dalam Membuat RPP Biologi Berbasis Komoditas Hayati unggulan Lokal

Berdasarkan Gambar 2 tampak bahwa nilai kreativitas guru dalam mengembangkan RPP dengan

mengintegrasikan aspek komoditas hayati unggulan termasuk katagori sangat baik. Artinya, guru sudah bisa

merencanakan pengalaman belajar untuk siswa sesuai kompetensi dasar yang dihubungkan dengan

pemahaman komoditas hayati unggulan lokal. Nilai kreativitas dari aspek style of creation (menghasilkan

bentuk kreasi) menghasilkan nilai paling rendah, yaitu 80. Akan tetapi nilai tersebut masih dalam katagori

yang sangat baik. Niali kreativitas tertinggi dari aspek applicability to problem solving (kemampuan

menghasilkan pemecahan masalah yang berguna), yaitu 100.

Kreativitas Guru dalam Mengembangkan LKS Berbasis Komoditas Hayati Unggulan Lokal

Salah satu alternatif bahan ajar untuk belajar mandiri siswa adalah Lembar Kerja Siswa (LKS). LKS

dapat dikembangkan sesuai kebutuhan siswa, konten yang dibelajarkan, dan konteks yang tersedia sehingga

mempermudah siswa dalam memahami konsep dan membantu siswa dalam mencapai kompetensinya. LKS

yang disusun dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan siswanya, misalnya keterampilan

mengolah jenis koditas hayati unggulan lokal. Sebagai hasil kerja guru, penilaian LKS yang telah dibuat

meliputi aspek kebermaknaan dan kemanfataan, pelibatan siswa secara aktif, kelengkapan mater, dan

sitematika materi. Secara khusus, pengembangan indikator dari masing-masing aspek penilaian LKS tersebut

dengan mengaitkan komoditas hayati unggulan lokal.

Berdasarkan Gambar 3, tampak bahwa pada umumnya guru sudah bisa mengembangkan LKS yang

membekalkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan komoditas hayati unggulan lokal dalam

kegiatan pembelajaran biologi. Guru sudah dapat mengaplikasikan pemahaman jenis komoditas hayati

unggulan lokal dan prosesnya sebagai bahan aktivitas siswa. Berdasarkan aspeknya, guru sudah bisa

membuat LKS yang memberikan nilai kebermaknaan dan kemanfaatan dengan nilai tertinggi dibandingkan

aspek-aspek lainya, yaitu dengan nilai 100. Adapun aspek kelengkapan materi dalam LKS yang telah dibuat

oleh guru memperoleh nilai yang paling kecil, yaitu 76,32. Kondisi tersebut berkaitan dengan kebiasaan guru

yang jarang mengembangkan materi dan hanya menggunakan bahan ajar yang sudah ada.

Page 56: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

51

Gambar 3. Kemampuan Guru dalam Membuat LKS Biologi Berbasis Komoditas Hayati unggulan Lokal

Salah satu domain akademik yang dihasilkan guru sebagai bentuk kreativitasnya adalah LKS. Seperti

dalam penilaian RPP, kriteria yang digunakan untuk menilai kreativitas guru dalam mengembangkan LKS

adalah novelty (kemampuan menghasilkan ide baru), applicability to problem solving (kemampuan

menghasilkan pemecahan masalah yang berguna), style of creation (menghasilkan bentuk kreasi), dan

scientific knowledge (menghasilkan karya yang berlandaskan pengetahuan ilmiah). Indikator masing-masing

aspek produk kreatif tersebut dikembangkan dengan mengaitkan komoditas hayati unggulan lokal sebagai

kontennya (Besmer and O' Quin, 1986).

Gambar 4. Kreativitas Guru dalam Membuat LKS Biologi Berbasis Komoditas Hayati unggulan Lokal

Berdasarkan Gambar 3 dan Gambar 4, pada umunya sudah dapat mengintegrasikan aspek komoditas

hayati unggulan ke dalam lembar kegiatan siswa. Aspek-aspek komoditas hayati unggulan lokal dijadikan

bagian dari kegiatan pembelajaran sebagai objek langsung dalam pembelajaran. Dari keseluruhan aspek,

seluruh guru sudah bisa memberikan nilai kebermanfaatan komoditas hayati unggulan lokal untuk siswanya.

Artinya, dalam mengembangkan LKS, guru-guru biologi SMA sudah mampu mengaitkan konsep,

menawarkan kegiatan pembelajaran, dan memberikan kemudahan kepada siswa dalam memahami suatu

konsep yang dikaitkan komoditas hayati unggulan lokal. Lebih dari itu, guru juga sudah mampu

membelajarkan beberapa keterampilan yang berkaitan dengan pengolahan komoditas unggulan lokal melaui

kegiatan pembelajaran yang difasilitasinya. Guru juga sudah dengan baik pula mengembangkan aspek

sistematika materi, keakuratan materi dan pelibatan siswa aktif di dalam LKS-nya yang dihubungkan dengan

komoditas hayati unggulan lokal. Adapun untuk aspek kelengkapan materi mendapatkan nilai paling rendah.

Aspek ini berkaitan dengan kemampuan guru memberikan apa yang mencakup materi yang ada dalam

kurikulum yang berlaku dan dikaitkan dengan komoditas hayati unggulan lokal serta mencakup seluruh

kompetensi dasar. Kondisi ini terjadi karena pada umumnya guru tidak terbiasa mengembangkan materi

sendiri sesuai konteks lingkungan sekolah dan objek pembelajaran. Dalam mengembangkan materi, guru

lebih mengandalkan dari buku paket atau buku LKS yang sudah dikembangkan oleh penerbit. Kondisi

tersebut sejalan dengan kajian Marshall (2010) yang menyatakan bahwa sebagian besar guru di Amerika

Serikat selalu menggunakan permasalan dan bahan pembelajaran dari buku teks dan LKS yang sudah ada,

yang hampir sama di seluruh negara. Padahal dalam konteks pembelajaran berbasis bahan lokal seharusnya

Page 57: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

52

guru harus lebih kreatif menyediakan bahan pembelajaran sendiri, bukan hanya menggunakan bahan

pembelajaran yang sudah ada (Hofstein & Kesner, 2006).

PENUTUP

Kesimpulan

Guru-guru biologi memiliki banyak tanggung jawab terhadap siswa untuk mengembangkan sikap,

materi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan sehingga siswa bisa lebih berperan dan berkiprah di

lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Guru harus dapat menyediakan kegiatan pembelajaran yang

berarti yang akan memperdalam pengetahuan mereka, memperluas wawasan mereka dan menanamkan

keinginan untuk mempelajari lebih lanjut tentang materi dan keterampilan yang telah mereka pelajari di

dalam maupun di luar kelas. Sebenarnya siswa sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang kaya

tentang lingkungannya yang seharusnya dapat dibawa dan lebih diperkuat lagi oleh gurunya dalam

pembelajaran di kelas. Jangan sampai pengetahuan tentang komoditas hayati unggulan lokal yang telah

mereka miliki menjadi tidak berkembang atau bahkan menjadi hilang karena tidak diberi kesempatan untuk

dibelajarkan dalam kelas karena guru memberikan pengetahuan dan keterampilan mata pelajaran biologi

yang hanya terpaku kepada buku teks dan LKS yang telah dikembangkan penerbit.

Kreativitas guru dalam mengembangakan pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal dapat

tercermin dari RPP dan LKS yang telah mereka hasilkan. Kemampuan mengembangan RPP dan LKS

berbasis komoditas hayati unggulan lokal merupakan keterampilan baru bagi sebagian besar guru biologi

karena selama ini mereka mengembangkannya hanya berpedoman pada buku teks dan LKS yang sudah

disediakan penerbit yang tidak memperhatikan aspek kehidupan sehari-hari siswa sesuai daerahnya. Melalui

kegiatan Diklat Kreativitas Guru Biologi SMA dalam Pembelajaran Berbasis komoditas Hayati Unggulan

Lokal, guru-guru biologi sudah dapat kreatif dalam mengintegrasikan topik-topik dari seluruh aspek

komoditas hayati unggulan lokal di wilayahnya. Selanjutnya, melalui penyusunan RPP dan LKS berbasis

komoditas hayati lokal, guru-guru sudah mampu menyediakan langkah-langkah pembelajaran yang

membekalkan pengetahuan dan keterampilan tentang komoditas hayati unggulan lokal kepada siswanya.

Selanjutnya, kreativitas guru biologi juga harus terus dikembangkan dalam implementasi pembelajaran

berbasis komoditas hayati unggulan lokal. Dalam aplikasinya, guru tidak hanya dituntut untuk kreatif dalam

memetakan aspek-aspek komoditas hayati unggulan lokal ke dalam topik-topik biologi SMA, untuk

kemudian dibuatkan RPP dan LKS-nya, tetapi mereka juga dituntut juga untuk kreatif

mengimplementasikannya secara nyata pembelajaran berbasis komoditas hayati unggulan lokal di sekolah.

Oleh karena itu, guru dituntut harus terus kreatif dalam mengembangkan pembelajaran berbasis komoditas

hayati unggulan lokal sehingga mampu memberikan pembelajaran bermakna bagi siswanya.

DAFTAR PUSTAKA

Balschweid, M. 2002. Teaching Biology Using Agriculture as The Context: Preceptions of High School

Students. Journal of Agricultural Education 56. Volume 43, Number 2

Balschweid, M. Huerta. 2008. Teaching Advanced Life in Animal Context: Agricultural Science Teacher

Voices. Journal of Agricultural Education. Volume 49, Number 1

Bessemer, O’Quin. 1986. Analyzing Creative Product: Refinement and Test of Judging Instrument. Journal

of Creative Behaviour. Vol 20, No. 2. PP. 107-114

Braund M, Reiss M. 2006. Toward a More Authentic Science Curiculum : The Contribution of Out-of-

School Learning. 2006. International Journal of Science Education. Vol. 28. No. 12; pp. 1373-1388

Dailey AL, Conroy CA, Shelley-Tolbert CA. 2001. Using Agricultural Education's The Context to Teach

Life Skills. Journal of Agricultural Education, Volume 49, Number 1, pp. 17 - 27.

Depdiknas. 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan

Kompetensi Guru. Jakarta

Diki D. 2013. Creativity for Learning Biologi in Higher Education. Lux: A Journal of Trandisciplinary

Writing and Research from Claremont Graduated University. Vol. 3, Issue 1. Article 3.

Gilbert JK, Bulte AMW, Pilot A. 2011. Concept Development and Transfer in Context-Based Science

Education. International Journal of Science Education Vol 33., No. 6. Pp 817-837.

Page 58: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

53

Feierabend T. dan Eilks I. 2010. Raising students’ perception of the relevance of science teaching and

promoting communication and evaluation capabilities using authentic and controversial socio-

scientific issues in the Framework of climate change. Science Education International. Vol.21, No.3,

September 2010, pp. 176-196

Hofstein A, Kesner M. 2006. Industrial Chemistry and School Chemistry: Making Chemistry Studies more

Relevant. International Journal of Science Education. Vol. 28. No. 9; pp. 1017-1039

John PD. 2006. Lesson Planning and The Student Teacher: Re-Thinking The Dominant Model. J.

Curriculum Studies, 2006, VOL. 38, NO. 4, 483–498

Kasandaa C, Lubbenb F, Gaoseba N, Kandjeo-Marengaa U, Kapendaa H, Campbell B. 2005. The Role of

Everyday Contexts in Learner-centred Teaching: The practice in Namibian secondary schools.

International Journal of Science Education Vol. 27, No. 15, 16 December 2005, pp. 1805–1823

Keles O. 2011. Mind Maps and Scoring Scale for Environmental Gains in Science Education. International

conference on New Horizons in Education Conference Proceedings Book.

Marshal G. 2010. Student Centered, Active Learning Pedagogies in Chemistry Education. Making Chemistry

Relevant, Sharsmistha, B. (ed.). A John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.

Meintjes H, Grosser M. 2010. Creative Thinking in Prosfectif Teacher: The Status Quo and The Imfact of

Contextual Factor. South African Journal of Education. Vol 30:361-386

NRC. 1996. National Science Education Standards. Washington DC : National Academic Press

Oloruntegbe, et al. 2010. Teachers’ Involvement, Commitment and Innovativeness in Curriculum

Development and Implementation. Educational Research, Vol. 1(12) pp. 706-712

Purwati, T. 2008. KTSP, Prospek dan Problema dalam Tataran Aplikasinya. Paradigma, Tahun XIII, Nomor

25. Januari-Juni 2008.

Sastradipradja, SD, Widjaja EA. 2010. Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin Kedaulatan Pangan.

LIPI Press; Jakarta

Sudaryanto T, Rusastra IW, Simatupang P. 2002. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Pedesaan

Berbasis Agribisnis. Prosiding Seminar dan Ekspose Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Jawa Timur.

BPTP Jawa Timur: Surabaya

Susanto AN, Sirappa MP. 2005. Prospek dan Strategi Pengembangan Jagung untuk Mendukung Ketahanan

Pangan di Maluku. Jurnal Litbang Pertanian, 24(2): 70-79.

Wahyu U, Jailan. 2009. Permasalahan Penyusunan Perangkat Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar

Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika ISBN : 978-979-16353-8-7

Walujo EB. 2011. Keanekaragaman Hayati untuk Pangan. Disampaikan Pada Konggres Ilmu Pengetahuan

Nasional X, Jakarta, 8 – 10 Nopember 2011. Diunduh Dari

Http://Www.Opi.Lipi.Go.Id/Data/1228964432/Data/13086710321320841770.Makalah.Pdf

Yager SO, Dogan, OK, Haceeminoglu E, Yager RE. 2012. The Role of Student and Teacher Creativity in

Aiding Current Reform Efforts in Science and Technology Education. National Forum of Applied

Educational Research Journal. Vol 25. No. 3; 1-2

Page 59: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

54

DEMYSTIFYING MATH AND SCIENCE PHOBIA BY USING A MODULE FOR REBUILDING

LEARNING CONCEPTS BASED ON SPIRAL-INTEGRATED CURRICULUM AND PROBLEM

BASED LEARNING (PBL)-MAPPING

Ludjeng Lestari

CEO Ludjeng Math and Science Center

[email protected]

Abstrak

Mengobati Fobia Matematika dan IPA dengan Menggunakan Modul yang Dirancang

Berdasarkan Kurikulum Spiral Terintegrasi dan Pemetaan Problem Based Learning (PBL)

untuk Membangun Ulang Pemahaman Kosep Belajar. Fobia matematika dan IPA kerap terjadi

pada siswa.Ketakutan ini merupakan reaksi siswa akibat belajar matematika dan IPA yang

disertai dengan pengalaman kurang menyenangkan atau adanya salah pemahaman terhadap

konsep yangdipelajari. Fobia ini seringkali tergambar sebagai sikap siswa yang tidak atau

kurang berpartisipasi dalam mengerjakan soal-soal matematika dan IPA atau bahkan sampai

siswa mengucapkan “Saya tidak suka matematika dan IPA”. Studi ini akan mengidentifikasi

berbagai masalah dan penyebab fobia matematika dan IPA di antara siswa Sekolah Dasar

sampai siswa Sekolah Menengah Atas, serta pengaruh yang ditimbulkan terhadap prestasi

belajar siswa di sekolah.Sebuah modul pembelajaran yang disusun berdasarkan kurikulum

spiral terintegrasi dan metode Problem Based Learning (PBL) sedang dikembangkan sebagai

suatu bentuk usaha untuk mengobati fobia matematika dan IPA pada siswa.Kurikulum spiral

terintegrasi memiliki ruang lingkup pembahasan yang luas, menyediakan sebuah kerangka

pembelajaran yang mencakup keterkaitan seluruh materi dari tingkat dasar sampai tingkat atas

dan tema-tema pembelajaran yang terintegrasi dalam kurikulum.Problem Based Learning

(PBL) menggunakan pendekatan konstruktivisme.Ide dasar metode ini adalah memberi

kesempatan pada siswa dalam mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri melalui berbagai

aktivitas berupa praktek ataupun penyelesaian masalah (soal-soal cerita).Pada akhirnya

penggunaan modul pembelajaran ini dianggap sebagai salah satu upaya terbaik dalam mengikis

fobia matematika dan IPA pada siswa..

Kata Kunci: fobia matematika dan IPA, modul pembelajaran, kurikulum spiral terintegrasi,

pemetaan - problem based learning (PBL).

PENDAHULUAN

Pengertian “pendidikan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan

tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

pelatihan.

Memperoleh pendidikan merupakan hak setiap manusia karena pendidikan memiliki peranan yang

sangat penting bagi kelangsungan hidup dan masa depan seseorang. Tanpa pendidikan, seseorang akan

tumbuh menjadi pribadi yang tidak berkualitas, dia akan tumbuh menjadi seseorang yang tidak mengenal

aturan, seenaknya sendiri, malas dan cenderung memiliki mental yang lemah, tidak memiliki daya juang

positif yang akhirnya akan membuat arah hidupnya tidak jelas, tidak terkendali dan dapat terjerumus ke hal-

hal negatif. Tanpa pendidikan, manusia akan sangat mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan oleh pihak tertentu

yang ingin mencari keuntungan pribadi. Peningkatan mutu pendidikan sangat berpengaruh terhadap

perkembangan suatu bangsa.Pendidikan kita peroleh di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan

lingkungan masyarakat.Dengan pendidikan yang matang, suatu bangsa akan memiliki sumber daya manusia

yang berkualitas dan tidak mudah diperbudak oleh pihak lain

Dalam proses pendidikan manusia, belajar matematika dan IPA memegang peranan yang amat penting.

Matematika bukan hanya sekedar kumpulan teknik mendapat jawaban soal atau definisi, teorema ataupun

pembuktian, melainkan matematika kaya akan koneksi yang meliputi visualisasi, imajinasi, analisa,

pengabstrakan ide asosiasi

Sementara itu, IPA merupakan ilmu pengantar teknologi.Dengan menguasai IPA maka dapat

mengembangkan teknologi.Dengan menguasai teknologi maka dapat mengolah sumber daya alam. Belajar

IPA memerlukan ilmu matematika sebagai pembentuk pola logika dan alat hitung. Pembelajaran matematika

dan IPA seharusnya bersinergi dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang berakal dan pencari

tahu.Matematika dengan berbagai problem solving merupakan ilmu alat pengasah dan pembangun logika

Page 60: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

55

berpikir. Sedangkan IPA melalui metode saintifiknya (pendekatan ilmiah: pengamatan, bertanya, percobaan,

mengolah data, menyajikan data, menganalisis, menalar, menyimpulkan dan mencipta) sangat sesuai dengan

fitrah manusia yang selalu ingin mencari tahu tentang sesuatu yang asing di sekelilingnya.

Tujuan belajar matematika adalah untuk pembentukan mental matematika siswa, yang nantinya akan

menjadi sebuah keahlian, menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, dari hal yang sederhana

sampai hal yang kompleks. Tujuan belajar IPA adalah untuk pembangunan keahlian IPA/science

Wittig dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan belajar sebagai: any relatively

permanent change in an organism’s behavioural repertoire that occurs as a result of experience. Belajar

adalah perubahan yang relative menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu

organisme sebagai hasil pengalaman.

Reber dalam kamus susunannya yang tergolong modern, Dictionary of Psychology membatasi belajar

dengan dua definisi. Pertama, belajar adalah The process of acquiring knowledge, yakni proses memperoleh

pengetahuan. Pengertian ini biasanya lebih sering dipakai dalam pembahasan psikologi kognitif yang oleh

sebagian ahli dipandang kurang representative karena tidak mengikusertakan perolehan keterampilan

nonkognitif.

Kedua, belajar adalah A relatively permanent change in respons potentiality which occurs as a result of

reinforced practice, yaitu suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relative langgeng sebagai hasil praktik

yang diperkuat. Dalam definisi ini terdapat empat macam istilah yang esensial dan perlu disoroti untuk

memahami proses belajar.

1. Relatively permanent, yang secara umum menetap.

Bahwa perubahan yang bersifat sementara seperti perubahan karena mabuk, lelah, jenuh, dan perubahan

karena kematangan fisik tidak termasuk belajar

2. Response potentiality, kemampuan bereaksi.

Menunjukkan pengakuan terhadap adanya perbedaan antara belajar dengan penampilan atau kinerja hasil-

hasil belajar.Hal ini merefleksikan keyakinan bahwa belajar itu merupakan peristiwa hipotesis yang hanya

dapat dikenali melalui perubahan kinerja akademik yang dapat diukur.

3. Reinforcel, yang diperkuat.

Kemajuan yang didapat dari proses belajar mungkin akan hilang apabila tidak diberi penguatan.

4. Practice, praktik atau latihan.

Proses belajar membutuhkan latihan yang berulang-ulang untuk menjamin kelestarian kinerja akademik

yang telah dicapai siswa (Syah, 2013: 89).

Ekpo (1999) mengkategorikan lima strategi pembelajaran dan pengajaran efektif untuk pelajaran IPA,

teknologi dan matematika. Strategi tersebut meliputi:

1. Merencanakan instruksi pembelajaran: Pada tahap perencanaan pengajaran dan pembelajaran konsep

matematika dan IPA, para guru harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: area materi yang akan

diajarkan, usia dan kemampuan pelajar, bahasa pengajaran yang digunakan, waktu dan ruang yang

tersedia untuk proses pengajaran serta gaya mengajar yang sesuai.

2. Teknik Instruksional: Teknik/pendekatan instruksional meliputi berbagai macam metode pengajaran yang

dapat digunakan dalam mengajar IPA dan matematika. Beberapa teknik mengajar yang efisien seperti:

strategi pembelajarn kooperatif, strategi problem solving, strategi permainan, dan pemanfaatan

laboratorium baik untuk IPA maupun matematika

3. Lingkungan mengajar dan belajar: Kelas atau suasana belajar yang nyaman berpengaruh besar pada

pencapaian belajar siswa. Berkaitan dengan ini, lingkungan sekolah dan ruang kelas haruslah kondusif

untuk pelaksanaan proses pembelajaran.

4. Menjaga kedisiplinan: Suatu pengajaran dan pembelajaran yang efektif selalu dicapai dalam kelas yang

terjaga kedisiplinan di dalamnya. Ukeje (1997) menggambarkan sebuah kelas matematika dan IPA yang

disiplin merupakan kelas di mana gurunya memegang kendali penuh.

5. Evaluasi perkembangan pelajar: Evaluasi hasil belajar merupakan hal yang sangat penting dalam

mengukur keberhasilan proses pembelajaran yang telah dilakukan (Gbolagade & Sangoniyi, 2013).

Namun dalam proses berlangsungnya pembelajaran IPA dan matematika di sekolah, sering terjadi

bahwa tujuan pendidikan tidak tercapai dengan baik. Belajar matematika yang seharusnya berperan sebagai

asah logika dan belajar IPA yang seharusnya melatih keahlian saintifik beralih menjadi kebiasaan

menghapal.Kebiasaan menghapal tidak sepenuhnya menjamin keberhasilan siswa dalam mencapai prestasi di

sekolah.Banyak siswa yang mengalami kegagalan belajar matematika dan IPA, mendapat nilai jelek atau

bahkan menjadi tidak suka (fobia) terhadap kedua pelajaran ini.

Page 61: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

56

Selain kebiasaan menghapal, fobia matematika dapat juga disebabkan oleh beberapa hal seperti: (1)

Kurangnya kompetensi guru (kompetensi akademik, kompetensi psikologis dalam berinteraksi dengan

siswa), (2) Ketidakcocokan antar cara belajar siswa dengan metode mengajar guru, (3) Kurangnya motivasi

dari orang tua (orang tua sibuk, orang tua mengatakan tidak suka matematika) , (4) Motivasi

teman/pergaulan, (5) Kematangan pribadi siswa (motivasi dari dalam diri, tingkat kesadaran akan tujuan

yang ingin dicapai, untuk siswa perempuan terdapat anggapan bahwa matematika dan IPA adalah hal berat

bagi perempuan).

Untuk membantu tercapainya tujuan pembelajaran matematika dan IPA, digunakan modul sebagai

media pembelajaran. Modul merupakan bahan belajar yang dapat digunakan siswa untuk belajar secara

mandiri dengan bantuan seminimal mungkin dari orang lain. Modul dibuat berdasarkan program

pembelajaran yang utuh dan sistematis serta dirancang system pembelajaran mandiri.Di dalamnya

mengandung tujuan, bahan dan kegiatan belajar, serta evaluasi.Oleh karena itu, cakupan bahasan materi

dalam modul lebih fokus dan terukur, serta lebih mementingkan aktivitas belajar pembacanya, semua

sajiannya disampaikan melalui bahasa yang komunikatif. Dengan sifat penyajian tersebut, maka proses

komunikasinya dua arah bahkan dapat dikatakan bahwa modul dapat menggantikan beberapa peran pengajar

(Munadi, 2012: 99).

Modul dalam pembahasan ini, disusun berdasarkan kurikulum spiral terintegrasi dan pemetaan problem

based learning. Prinsip kurikulum spiral dimulai dengan hipotesis bahwa semua mata pelajaran dapat

diajarkan kepada semua siswa dengan berbagai tingkat intelektual. Beberapa ciri kurikulum ini adalah : (1)

Siswa mendapat kesempatan untuk mempelajari sebuah topik bahasan beberapa kali selama masa

pembelajaran sekolah mereka, (2) Kompleksitas sebuah topik makin meningkat setiap kesempatan

pembelajaran berikutnya, (3) Pembelajaran yang baru saling terhubung dengan pembelajaran yang lama dan

disajikan secara konstekstual.

Kelebihan kurikulum spiral: (1) Interaktif, konkrit, pendekatan-pendekatan instruksional dapat

dimanipulasi sejak tingkat awal untuk mengenalkan topic-topik umum yang banyak terdapat di setiap mata

pelajaran. Kurikulum spiral sangat memungkinkan digunakan di banyak pembahasan pada pelajaran

matematika dan IPA, (2) Mengaktifkan pengetahuan/konsep awal, membangun konsep baru di atas konsep

lama, menghasilkan pencapaian belajar yang bagus terlepas dari tingkat usia perkembangan (Bruner, 1960).

PBL hadir sebagai metode mengajar yang dibangun di atas ide konstruktivisme dan student-centered

learning.Ketika menggunakan PBLdalam mengajar, guru membantu siswa agar fokus pada penyelesaian

masalah dalam konteks kehidupan sehari-hari, menyemangati mereka memilah dan menentukan situasi di

mana masalah ditemukan ketika mencari penyelesaian.

Menurut Plucker & Nowak (1999), beberapa ciri PBL: (a) Manfaat dari kolaborasi kerja kelompok-

kelompok kecil, (b) pendekatan student centered, (c) Peran guru sebagai fasilitator dan (d) Penggunaan

masalah-masalah nyata dalam kehidupan sebagai topik pembahasan.

Aplikasi PBL meliputi enam aspek penting: (1) Peranan kasus-kasus yang dipelajari, (2) Peranan guru,

(2) Peranan siswa, (4) Peranan keahlian berpikir, (5) Peranan interaksi social, (6) Peranan tugas-tugas (Nasir

& Taylor, 2008).

Penjabaran tema pembelajaran dalam modul ini akan disajikan secara pemetaan. Setiap kasus akan

dijabarkan dari tingkat dasar sampai tingkat kompleksitas tertinggi berdasarkan tingkatan level belajar.

Pemetaan kasus-kasus dan konsep dilakukan berdasarkan konsep mind mapping.

Mind Map adalah “alternatif pemikiran keseluruhan otak terhadap pemikiran linear. (Mind Map)

menggapai ke segala arah dan menangkap berbagai pikiran dari segala sudut. Michael Michalko, Cracking

Creativity.Mind Map akan:

1. Mengaktifkan seluruh otak

2. Membersekan akal dari kekusutan mental

3. Memungkinkan kita berfokus pada pokok bahasan

4. Membantu menunjukkan hubungan antara bagian-bagian informasi yang saling terpisah

5. Memberi gambaran yang jelas pada keseluruhan dan perincian

6. Memungkinkan kita mengelompokkan konsep, membantu kita membandingkannya.

7. Mensyaratkan kita untuk memusatkan perhatian pada pokok bahasan yang membantu mengalihkan

informasi tentangnya dari ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang (Buzan, 2007).

Dalam setengah abad pertama abad ke-20 ditemukan bahwa jumlah sel otak bukan beberapa juta-tapi

satu juta juta (1000 000 000 000), 167 kali jumlah manusia di planet ini.Makna dari jumlah ini sangat luas,

bahkan jika setiap sel hanya dapat melakukan beberapa operasi mendasar. Tetapi, jika setiap sel otak penuh

daya, maka makna jumlah mereka akan membawa para ilmuwan ke dalam realisme yang nyaris supernatural.

Page 62: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

57

Modul yang disusun berdasarkan kurikulum spiral terintegrasi, dan pemetaan problem based learning

telah digunakan dalam beberapa periode pembelajaran yang dijalankan oleh peneliti. Dan selama itu pula

modul ini terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar matematika dan IPA siswa dan menghilangkan fobia

matematika dan IPA pada siswa. Modul ini membantu guru dalam membuka paradigma baru pada siswa,

bahwa menjadi bisa dan berhasil dalam pembelajaran matematika dan IPA adalah sesuatu yang sangat

mungkin.

Adapun rumusan masalah meliputi beberapa hal. Pertama, fenomena fobia matematika dan IPA di

kalangan siswa berbanding terbalik dengan idealisme pentingnya matematika dan IPA bagi kehidupan.

Kedua, fobia matematika dan IPA merupakan salah satu penyebab siswa tidak memiliki kesempatan

mengembangkan potensi berpikir logis dan jiwa saintis dalam penyelesaian masalah sehari-hari. Ini

merupakan penyia-nyiaan sumber daya manusia. Ketiga, suatu bentuk solusi yang tepat guna namun ringan

amat diperlukan kehadirannya di tengah-tengah kejenuhan siswa dalam belajar matematika dan IPA.

Tujuan metode ini meliputi. Pertama, mengidentifikasi gejala fobia matematika dan IPA pada siswa

sebagai reaksi proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kedua, menjelaskan keunggulan model SPM

(Spiral-integrated curriculum, Problem Based Learning/PBL, dan Mind Mapping) dalam mengatasi fobia

matematika dan IPA.

Manfaat penelitian yang dilakukan antara lain: Pertama, memberikan gambaran tentang penyebab, ciri-

ciri dan solusi akan fobia matematika dan IPA, sehingga dapat merencanakan dan melakukan tindakan

preventif; Kedua, memperkuat peran modul terprogram sebagai media pembelajaran untuk mendukung

keberhasilan proses belajar dan mengajar.

METODE

Metode penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif.Penelitian ini berusaha menggambarkan

peranan modul SPM (Spiral-integrated curriculum, Problem Solving Learning/PBL, Mind Mapping) dalam

mengatasi fobia matematika dan IPA pada siswa. Pendekatan kualitatif dianggap tepat oleh penulis dalam

penelitian ini karena penulis dapat memahami secara langsung mengamati, menjalankan dan mengevaluasi

seluruh proses pembelajaran sebagai bahan penelitian. Sedangkan populasi meliputi siswa dari berbagai level

sekolah, dari sekolah yang berbeda dan jenis kurikulum berbeda (nasional dan internasional). Jumlah siswa

per level: SD 50 orang, SMP 50 orang dan SMA 50 orang.

Jenis data yang dikumpulkan meliputi: pertama, data kognitif: nilai yang diperoleh di sekolah (nilai

ulangan harian, project, nilai ulangan tengah semester dan akhir semester), nilai hasil evaluasi pembelajaran

modul Spiral PBL Mapping (nilai evaluasi per tema, try outs) ; kedua, data non kognitif: Motivasi belajar dan

tingkat fobia matematika dan IPA sebelum dan setelah menggunakan modul SPM. Data yang didapat

dianalisis dengan teknik yang digunakan berupa analisa persentasi rata-rata perubahan yang terjadi pada tiap

penilaian instrument.

Waktu untuk pengambilan data penelitian dikumpulkan pada beberapa waktu yang berbeda. Pertama,

Pra-data, data diambil pada awal siswa masuk program pembelajaran dengan modul SPM. Data berupa:

Matematika: test diagnose mental matematika. IPA: Test diagnose keahlian sains. Nilai pencapaian di

sekolah sebelum program. Kedua, data berdasarkan observasi harian yang tertulis dalam laporan

perkembangan belajar siswa. Lama observasi 3 – 6 bulan (tercatat dalam laporan perkembangan pelajar).

Ketiga, Post-data diambil setelah selesai mengikuti program pembelajaran. Sedangkan pelaksanaan penelitian

di luar sekolah sebagai asistansi pembelajaran bagi siswa untuk membantu mengatasi kesulitan belajar dan

meningkatkan prestasi belajar di sekolah. Lama penelitian selama 6 bulan untuk setiap satu paket program

pembelajaran. Penelitian berulang telah dilaksanakan selama 10 x 6 bulan (satu paket program pembelajaran

SPM)

Pada pelaksanaan informan yang ikut membantu dalam penelitian adalah guru di sekolah, tim guru pada

program pembelajaran yang menggunakan modul SPM (kurikulum spiral terintegrasi, pemetaan problem

based learning). Adapun tahapan pelaksanaan yang dilakukan peneliti sebagai berikut. Pertama, Peneliti

menghadiri seluruh sesi belajar selama masa observasi, meliputi seluruh level, SD, SMP, dan SMA dan

meliputi seluruh subjek pelajaran yang diteliti yaitu Matematika, IPA (Biologi, Fisika, Kimia). Jumlah total

sesi belajar untuk masing-masing subjek pelajaran: Matematika 40 sesi. IPA untuk tiap subjek pelajaran

masing-masing sebanyak 25 sesi. Kedua, Peneliti menganalisa secara langsung proses belajar dengan

menggunakan modul SPM (kurikulum spiral terintegrasi, pemetaan problem based learning) ini kemudian

mengevaluasi tingkat keberhasilan pembelajaran.

Page 63: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

58

HASIL DAN PEMBAHASAN

Problem Based Learning pada pelajaran matematika dan IPA

PBL mendorong kepercayaan diri siswa dalam keahlian menyelesaikan masalah. Keahlian ini akan

sangat menunjang kelanjutan pengembangan akademik maupun karir. PBL mengangkat potensi meta kognisi

dan memacu keinginan sisa untuk belajar seiring dengan aktivitas siswa memproduksi strategi dalam

menganalisa kasus, mengumpulkan informasi, menganalisa data, membangun dan mengevaluasi hipotesis.

PBL membawa siswa belajar dengan cara yang sama manusia menghadapi permasalahan dalam kehidupan

nyata. Pembelajaran lebih merupakan sebuah pemahaman bukan replikasi. Kasus-kasus dan solusi berkaitan

dengan jelas, sehingga akan mudah diingat (Smith, 1999).

PBL sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran IPA karena prinsip-prinsip utama PBL sejalan

dengan pengembangan keahlian IPA melalui aplikasi pendekatan saintifik dalam pemecahan masalah. PBL

memungkinkan siswa mengembangkan cara berpikir kritis, kemampuan menganalisa dan menyelesaikan

masalah yang kompleks, masalah-masalah dalam kehidupan nyata, bekerjasama dalam kelompok, serta

berkomunikasi secara oral ataupun tertulis (Behiye, 2009).

Penerapan PBL pada pelajaran matematika, mendorong siswa menyelesaikan kasus-kasus matematika

yang kompleks dan abstrak menjadi lebih memiliki arti dan mudah untuk diselesaikan.Sejak kasus pembuka

sampai kasus yang menuntut penyelesaian aplikasi, siswa diharapkan dapat mengeksplorasi kasus, membuat

hubungan-hubungan dan membuat persamaan matematika serta penyelesaian secara matematis. Dan

menggunakannya pada contoh kasus yag sama namun dalam konteks yang berbeda (Dianne & Erickson,

1999).

Kurikulum Spiral terintegrasi memungkinkan siswa pada level tertentu mendapatkan materi yang

lengkap dari level sebelumnya. Namun dikemas secara sederhana dan ringan. Sinergi pembelajaran SPM

dalam mengatasi fobia matematika dan IPA. Penyusunan problem konstruktivisme dari masalah paling

sederhana sampai masalah paling kompleks. Keterkaitan antar problem dan konsep terhubung secara

pemetaan yang searah dengan pola kerja otak (sel-sel syaraf). Kurikulum spiral juga memungkinkan siswa

dari level pendidikan yang sama maupun dari level pendidikan yang berbeda untuk berkumpul dan berdiskusi

secara kelompok menyelesaikan masalah tematik.

Observasi fobia matematika dan IPA terhadap siswa sebelum mengikuti program pembelajaran.

Distribusi persentasi jumlah siswa untuk setiap kategori faktor penyebab fobia matematika dan IPA disajikan

dalam Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi persentasi jumlah siswa untuk setiap kategori faktor penyebab fobia matematika dan IPA

Faktor penyebab fobia matematika dan IPA

Persentasi jumlah siswa

Sekolah Dasar

(SD)

Sekolah Menengah

Pertama (SMP)

Sekolah Menengah

Atas (SMA)

Kurangnya kompetensi guru 60 % 70% 75 % Ketidakcocokan cara belajar siswa dengan metode mengajar guru 20 % 35 % 40 %

Kurangnya motivasi dari orang tua 80 % 60 % 60 %

Motivasi/pengaruh negati teman/pergaulan 10 % 70 % 50 % Kurangnya kematangan pribadi siswa 60 % 80 % 50 %

Tingkat perubahan sikap dan hasil belajar setelah mengikuti program belajar dengan modul SPM

Tabel 2. Tingkat perubahan sikap dan hasil belajar setelah mengikuti program belajar dengan modul SPM Kategori sikap yang diukur Rata-rata Presentasi

perubahan jumlah siswa

Kategori perubahan

nilai akademik

Rata-rata Presentasi

perubahan nilai

Tingkat kesadaran akan pentingnya belajar matematika

dan IPA

+ 30 – 50 % Nilai ulangan harian/umum

+ 30 - 50 %

Tingkat kenyamanan belajar

matematika dan IPA + 20 – 40 % Nilai project + 30 – 50 %

Tingkat motivasi diri + 20 – 30 % Try Out + 20 – 50 %

Penggunaan modul ini terbukti efektif dan efisien dalam mengatasi fobia matematika dan IPA pada

siswa. Penyajian modul sebagai alat bantu pembelajaran tidak hanya merangsang perkembangan otak kiri

(untuk berpikir logis dan teratur) tetapi juga perkembangan otak kanan melalui pola berpikir kreatif.

Pembelajaran ini diharapkan dapat mengembalikan manusia ke fitrah pembelajarannya semula, sebagai

makhluk berpikir dengan menggunakan anugerah terindah dari Allah yakni akal.Manusia memahami alam

dengan logika dan merekam dan menyimpan konsep pengetahuan ke dalam memori jangka panjang otak.

Page 64: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

59

SIMPULAN

1. Pembangunan ulang mental matematika siswa dan keahlian IPA siswa dapat dilakukan melalui pemetaan

logika berpikir dan konsep belajar.

2. Siswa yang telah dipetakan mental matematika dan keahlian IPA (konsep belajar IPA nya) lebih dapat

mengatasi fobia matematika dan IPA.

3. Problem Based Learning (PBL) mampu menempatkan siswa pada suasana belajar yang kondusif untuk

perkembangan logika berpikir yang kreatif dan kemampuan aplikasi metode saintifik yang lebih nyata dan

konstektual.

4. Konsep dan kasus pembelajaran dalam PBL yang disajikan sesuai dengan konsep mind mappingakan

mempermudah dan mempercepat siswa mengembangkan dan menyusun ulang memori belajar sesuai

dengan tujuan pembelajaran.

5. Kurikulum spiral terintegrasi memungkinkan siswa membangun ulang mental matematika dan keahlian

IPA dengan melengkapi pemahaman konsep belajar pada titik yang tidak lengkap.

SARAN

1. Semakin merebaknya kasus fobia matematika dan IPA, hendaknya segera diaplikasikan semua solusi

yang memungkinkan untuk dilakukan saat ini.

2. Faktor eksternal yang berpengaruh dalam penentuan keberhasilan dalam belajar, seperti orang tua, guru,

teman, dan lingkungan hendaknya menyadarai betapa pentingnya peranan mereka dalam ,e,bantu

kesuksesan siswa selama masa perkembangan yang singkat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Behiye AKCAY. 2009. Problem-Based Learning in Science Education. Journal of Turkish Science

Education, Volume 6, Issue 1, Turky.

Bruner, J. 1960. The Process of Education.Cambridge, MA: The President and Fellows of Harvard College.

Buzan, T. 2007. Mind Map, Buku Pintar. Cetakan ke-7, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Erickson, Dianne. K. A. 1999. Problem-Based Approach to Mathematics Instruction, Connecting Research

to Teaching Journal, Vol. 92, No 6, New York.

Gbolagade, A.M., Sangoniyi S.O. 2013. Demystifying Mathematics Phobia in Schools for Transforming

Nigeria in Attaining Vision 20:2020. International Journal of Academic Research in Business and

Social Sciences. Vol. 3, No. 2, ISSN: 2222-6990.

Munadi, Y. 2012. Media Pembelajaran, Sebuah Pendekatan Baru, Jakarta: Gaung Persada Press. Page 99

Nasir, NS., Hand, V., & Taylor, E. V. 2008. Culture and mathematics in school: Boundaries between

“cultural” and “domain” knowledge in the mathematics classroom and beyond. Review of Research in

Education, 32, 187-240.

Smith, CA. 1999. Problem-based learning. Biochemical Education, 15, England.

Syah, M. 2013. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cetakan ke-18, Bandung: Rosda. Page 89.

Page 65: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

60

REKONSTRUKSI DIDAKTIS BAHAN AJAR PERKULIAHAN PENELITIAN

LABORATORIUM (PL) KONTEKS BATU GAMPING BERBASIS PROBLEM SOLVING-

DECISION MAKING (PSDM)

Florida Doloksaribu, Ahmad Mudzakir, Hayat Sholihin, Fransisca Sudargo

Universitas Cenderawasih Jayapura dan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung

[email protected]

ABSTRAK

PL merupakan mata kuliah wajib pendidikan kimia UNCEN, disinergikan dengan mata kuliah

pilihan. Tujuannya menghasilkan guru professional dibidang penelitian dan pengajaran kimia.

Kenyataannya, perkuliahan tidak menunjukkan pencapaian maksimal. Studi pendahuluan

menunjukkan tidak tuntasnya perkuliahan disebabkan ketidak mampuan mahasiswa mengelola

PL. Rencana/dan hasil PL sering gagal disebabkan penelitian tidak menunjukkan originalitas

(plagiat), yang berdampak pada pengulangan penelitian. Berdasarkan masalah tersebut, peneliti

merekonstruksi bahan ajar PL konteks batu gamping berbasis PSDM untuk meningkatkan

keterampilan berpikir penelitian mahasiswa. Penelitian menggunakan metode R & D Model

Education Rekonstruksi/MER (Duit 2007). Instrumen berupa kuesioner respon ahli untuk

menentukan kelayakan materi buku teks sesuai tingkat kognitif mahasiswa dengan kurikulum.

Karakteristik bahan ajar : 1) dikembangkan sesuai aspek dan sikap PSDM Myers-Briggs

Type Indikator (MBTI), 2) konteks perkuliahan sesuai isu kimia bahan galian batu gamping, 3)

konten sesuai tingkat kognitif mahasiswa kriteria accesible, 4) Perancangan bahan ajar

menggunakan urutan pembelajaran Sains dan Teknologi, 5) Perspektif mahasiswa terhadap

konsep materi melalui wawancara. Hasil wawancara menunjukkan >80 % mahasiswa memiliki

prakonsepsi salah tentang pemaknaan metode ilmiah dan berpikir penelitian berbasis PSDM.

Oleh karena itu, penyisipan materi berpikir penelitan berbasis PSDM pada bahan ajar perlu

dimunculkan. Validasi metode CVR memperoleh nilai rata-rata 0,84, dan CVI hitung > CVI

tabel menunjukkan bahan ajar cocok digunakan pada kuliah PL konteks kimia batu gamping.

Kata Kunci: Bahan Ajar, penelitian laboratorium, problem solving-decision making MBIT,

dan MER

PENDAHULUAN

Matakuliah PL disajikan sebagai matakuliah wajib bagi mahasiswa calon guru kimia UNCEN,

tujuannya untuk mengemban misi perkuliahan dan standar kelulusan yang mampu mengelola secara sains

sumber daya alam Papua yang berlimpah. Mahasiswa calon guru kimia selain professional dibidang

pengajaran juga harus professional dibidang penelitian laboratorium. Untuk dapat mencapai tujuan

perkuliahan mahasiswa perlu dibekali pemahaman konsep penelitian laboratorium secara bermakna yang

ditunjang dengan strategi perencanaan penelitian melalui konteks yang diteliti. Mengarahkan pola berpikir

penelitian pada perencanaan penelitian seperti seleksi topik, mengidentifikasi masalah, mencari teori

pendukung/literatur yang relevan, memulai bertanya tentang penelitian atau hipotesis, mengidentifikasi

desain penelitian, metode, dan pendekatan identifikasi analisis data. Dengan demikian perkuliahan PL yang

disinerjikan dengan mata kuliah pilihan dapat terlaksana secara efektif.

Menurut Skoumios & Passalis (2010), banyak penelitian yang ditemukan di lapangan tidak

mencerminkan penggalian ide sesungguhnya, tetapi cenderung sebagai pelaksanaan tugas yang harus

dipenuhi dalam menyelesaikan tugas akhir, sehingga kelihatan lebih cenderung sebagai penelitian

plagiarism.

Dalam memahami konsep penelitian laboratorium ada hal yang harus dipikirkan sehingga dapat

menindak lanjuti penelitian, mengarahkan berpikir pada perencanaan penelitian yang berpedoman pada 1)

seleksi topik, 2) mengidentifikasi masalah penelitian, 3) mencari teori-teori pendukung/literatur 4) memulai

bertanya tentang penelitian atau hipotesis, 5) mengidentifikasi desain penelitian, 6) metode determinasi, 7)

pendekatan mengidentifikasi analisis data (Ross & Morrison, 2003). Untuk tujuan di atas sebaiknya para

tenaga pendidik membuat suatu rancangan perkuliahan yang dapat memacu berpikir mahasiswa dalam

Page 66: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

61

melakukan penelitian, untuk meningkatkan kognitif, afektif,dan psikomotorik dalam keterampilan

laboratorium (Donnel et al., 2007). Keterampilan berpikir pada penelitian sangat diperlukan oleh mahasiswa

agar dapat melaksanakan suatu perencanaan penelitian yang lebih bermakna. Selain itu mahasiswa harus

memahami pola, tata cara, dan tahapan yang harus dilaksanakan. Menurut Ross dan Morisson (2003), dalam

penelitian ada beberapa langkah yang harus di ikuti dan perlu di pahami oleh mahasiswa seperti: 1)

pentingnya memilih topik untuk memberikan daya tarik pembaca atau yang ingin mendalami penelitian, 2)

mengidentifikasi masalah penelitian, dalam hal ini agar si peneliti dapat memberi batasan penelitian, 3)

literatur, yaitu untuk mencari informasi penting dan relevan dengan penelitian yang akan dilakukan dalam hal

literatur dasar, 4) pertanyaan penelitian atau hipotesis 5) metode penelitian, 6) teknik analisis data, 7) hasil,

diskusi, dan publikasi penelitian.

Tahapan pengambilan keputusan dimana solusi benar-benar dilaksanakan yaitu: 1) bingkai masalah: apa

yang diputuskan dan mengapa hal itu diputuskan, 2) memilih orang yang tepat yang dapat membantu

langkah-langkah pengambilan keputusan, 3) proses yang benar sesuai dengan signifikansi dan kompleksitas

keputusan, 4) sebuah set alternatif lengkap yang tergantung pada bagaimana pertanyaan dibingkai, yaitu

secara lengkap dan berbeda satu sama lain, 5) menetapkan nilai preferensi alternatif yang dapat dinyatakan

dengan atribut yang diinginkan dan tidak diinginkan, 6) informasi yang menggambarkan nilai dari alternatif.

Pengambilan keputusan yang baik tidak hanya menuntut fakta-fakta tetapi memahami batas-batas

pengetahuan.

Model of educational reconstruction (MER) (Duit et al., 2012 ) didesain dengan tujuan spesifik yang

menyediakan kerangka teori untuk peserta didik agar bermanfaat dan memungkinkan untuk mengajarkan

fakta sains dengan komponen analisis struktur konten, penelitian mengajar dan belajar,dan pengembangan

dan evaluasi pelajaran. Tujuannya untuk mengklarifikasi konsepsi sains spesifik dan struktur konten dari

sudut pandang pendidikan. penyajian konten secara ilmiah langsung dari buku teks merupakan hal yang tidak

accessible karena itu perlu “penyederhanaan”.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah rekonstruksi didaktis perkuliahan penelitian PL pada konteks kimia batu

gamping berbasis PSDM. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perkuliahan dalam meningkatkan berpikir

penelitian mahasiswa. Metode penelitian dan pengembangan (educational research dan development) MER

(Duit,et al 2012). Penelitian dilakukan di pendidikan kimia Universitas Cenderawasih. Selama 1 semester,

partisipan mahasiswa yang telah menyelesaikan perkuliahan semester 1-6. Instrumen yang digunakan pada

penelitian ini didasarkan kriteria PSDM type Indicator Myers-Briggs type Indicator (MBTI) menurut

William (1992), data yang dikumpulkan dianalisis dengan menguji kelayakan buku ajar yang direkonstruksi

berdasarkan nilai content validity ratio(CVR) ahli. Sedangkan prosedur penelitian terdiri dari 3 tahapan

besar yaitu: klarifikasi dan analisis konten sains, analisis instrumen pada partisipan, desain dan evaluasi

bahan ajar perkuliahan .

Gambar 1. Sekilas Skema tahapan penelitian rekonstruksi didaktis bahan ajar penelitian laboratorium

konteks batu gamping berbasis PSDM

1).Klarifikasi dan analisis konten sains (klarifikasi materi subjek

dan analisis signifikansi pendidikan Problem solving-decision

making, kimia bahan galian : batu gamping.

2) Desain dan Evaluasi bahan ajar Perkuliahan : pada

perkuliahan Penelitian laboratorium pada konteks kimia

bahan galian pada topik batu gamping. Berbasis PSDM.

3). Hasil konstruksi Bahan ajar PL Konteks Batu gamping

berbasis PSDM.

Instrumen skala sikap, teks asli konten, analisis eksplanasi, penghalusan

konten, teks asli konteks berbasis PSDM, penghalusan konteks,

Indikator dan tujuan aspek sikap, indikator dan tujuan

aspek kognitif, validasi analisis konsep, validasi

bahan ajar/perkuliahan

Melalui tahapan STL, tahap kontak,

elaborasi sampai tahapan nexus

Page 67: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

62

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang diperoleh meliputi karakteristik bahan ajar penelitian laboratorium konteks batu

gamping berbasis PSDM, gambaran persfektif mahasiswa terhadap isu penelitian laboratorium konteks batu

gamping yang berbasis PSDM, .penilaian para ahli terhadap bahan ajar perkuliahan penelitian laboratorium

konteks batu gamping berbasis PSDM. Bahan ajar yang dikembangkan sesuai dengan aspek kompetensi dan

sikap problem solving decision making MBTI- 2007 dan beberapa sikap PSDM yang dikembangkan melalui

kriteria PSDM berdasarkan tinjauan pustaka yang dibangun kembali dengan memperhatikan tujuan

pendidikan pada aspek kognitif dan afektif dan psikomotorik (Duit et al., 2012) yang didukung dengan

kurikulum 2013 dimana peserta didik yang mampu berkompetensi yang ditandai oleh kompetensi sikap,

pengetahuan, keterampilan berpikir, dan keterampilan psikomotorik.

Tabel 1. Kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, kompetensi berpikir

Kompetensi Berpikir (PSDM) sebagai skala sikap

Kompetensi Pengetahuan

Standar

Kompetensi

Kompetensi Dasar

Mahasiswa harus menjadi insan yang mandiri, dan menjauhkan

sikap yang tidak memenuhi etika keilmuan seperti kriteria

plagiarism karya orang lain yang akan memunculkan penelitian

yang bersifat plagiarism.

Menerapkan konsep

Batu Gamping)

sebagai konteks

penelitian

laboratorium yang

berbasis PSDM

1.1.Memberikan gambaran efektif dari

permasalahan yang dapat digali dari

konsep batu gamping berdasarkan uraian

dasar , pembentukan, sifat, aplikasi batu

gamping

Sikap MBTI Indikator

Ekstravert:

Menunjukkan kemampuan

mengemukakan masalah terkait

batu gamping

Berpikir keras dalam

menggali permasalahan yang

terkait batu gamping.

. 1.2.Mempertimbangkan konstruksi

permasalahan dengan solusi yang akan

dirancang dalam rumusan

permasalahan

Intravert:

Menunjukkan kemampuan

berpikir logik merepleksikan

rmasalah terkait batu gamping.

Berpikir keras menyelidiki

secara seksama, dan

merenungkan permasalahan

terkait batu gamping.

1.3.Mempertimbangkan aplikasi pada

penelitian laboratorium melalui tahapan

berpikir problem solving-Decision

making.

Sensing:

Menunjukkan kemampuan

menjabarkan pengalaman dalam

mempraktekkan suatu solusi.

Menseringkan nilai,ide,

fakta ditemukan secara

induksi mengenai materi

terkait batu gamping

1.4.Menerapkan poin 1.1.-1.3. dalam

penelitian laboratorium melalui tahapan

berpikir /berbasis PSDM

Intuitif :

kemampuan memaknai secara

mendalam tentang fakta, dan

solusi pada situasi permasalahan

yang menandakan sesuatu

prospek yang bersifat original.

Mengklasifikasi ,

mengidentifikasi

permasalahan, memberikan

alas an secara deduktif

dengan asumsi yang

menantang, secara visualisasi

Thinking:

Kemampuan memahami suatu

solusi berdasarkan fakta, model,

dan/atau prinsip-prinsip.

Bagaimana mengklasifikasi,

menkategorikan,

menganalisis, menrangkai

analisis, dan tugas analisis.

Feeling:

Kemampuan mempertimbangkan

solusi yang tepat memberikan

pengaruh kuat pada manusia.

Menseringkan nilai pribadi,

serta mendengar nilai orang

lain. Dan mengklarifikasi

nilai-nilai tersebut.

Judging:

Kemampuan membuat

keputusan yang dapat

diimplemantasikan secara

bertahap sesuai prosedur.

Mengevaluasi, teknik-teknik

evaluasi, rencana terbalik,

dan memilih satu solusi.

Perceiving:

Solusi-yang fleksibel, dapat

diadaptasi, informasi yang cukup

yang tersedia untuk solusi yang

benar-benar dipertimbangkan

Memiliki gagasan cemerlang,

dengan berbagai teknik ,

dengan bias diperdebatkan,

untuk membuat perspektif

orang lain.

Page 68: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

63

PSDM-MBTI tidak semata-mata berupa pengukuran tingkat pemahaman terhadap penelitian

laboratorium, tetapi juga pemahaman terhadap aspek proses (kompetensi) berpikir penelitian, sikap berpikir

penelitian, serta kemampuan mengaplikasikan berpikir tersebut pada pengetahuan.

Dari hasil validasi kesesuaian indikator dengan tujuan perkuliahan terhadap sikap berpikir PSDM,

diperoleh indikator yang telah dinyatakan valid. Berikut hasil validasi terhadap kesesuaian indikator dengan

tujuan perkulaihan yang ditunjukkan tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi CVR Indikator dan tujuan perkuliahan pada aspek kognitif

Konteks Konten Proses Kompetensi Standarisasi Indikator Tujuan perkuliahan aspek

kognitif

CVR

rerata

Konversi

lahan

gambut dan

netralisasi

pH lahan

gambut

Batu

gamping

Mengidentifikasi , merumuskan ,

mengeksplorasi strategi

pemecahan, melaksanakan

strategi pemecahan, mengevaluasi

strategi masalah.

Menjelaskan

peranan batu

gamping pada

netralisasi pH

lahan gambut

1.1. Mahasiswa mampu

mengungkap berbagai masalah

yang menyangkut rekayasa

batu gamping pada bidang

penetralan pH.

0,77

1.2.Mahasiswa mampu

memberikan gambaran efektif

dari permasalahan terungkap

seputar pH lahan gambut

0,66

Kapur

Tohor dan

kapur

padam

Kalsinasi

Batu

gamping

Mengidentifikasi masalah,

merumuskan masalah,

mengeksplorasi strategi

pemecahan masalah,

melaksanakan strategi pemecahan

masalah, mengevaluasi strategi

masalah.

Menjelaskan

dan memahami

terbentuknya

kapur tohor

sebagai proses

fisika kimia

2.1. Mahasiswa mampu

menjelaskan tujuan

pengungkapan masalah, dan

merumuskan solusi dan

evaluasi masalah dibiang

rekayasa batu gamping

0,88

Bahan

Pemutih

Pemutusa

n ikatan

Mengidentifikasi , merumuskan

masalah, mengeksplorasi strategi

pemecahan masalah,

melaksanakan strategi pemecahan

masalah, mengevaluasi strategi

masalah.

Menyelidiki,

mengungkap,

menjelaskan,

dan memahami

peran batu

gamping

3.1.Mahasiswa mampu menjelaskan

masalah yang terdapat

disekitar kehidupan, dengan

mengemukakan berbagai

peranan batu gamping sebagai

pemecah masalah.

0,88

3.2. Mahasiswa mampu

memberikan gambaran

permasalahan yang

berhubungan dengan blecing,

batu gamping sebagai solusi.

0,77

Pupuk an

Organik

Defisiens

i kalsium

Mengidentifikasi masalah,

merumuskan masalah,

mengeksplorasi strategi

pemecahan masalah,

melaksanakan strategi pemecahan

masalah, mengevaluasi strategi

masalah.

Menyelidiki,

mengungkap,

menjelaskan,

dan memahami

manfaat batu

gamping pupuk

anorganik

4.1.Mahasiswa mampu memberikan

suatu gambaran permasalahan

yang berhubungan dengan

defisiensi mineral kalsium

pada tanaman

1

Penjernihan

air

Sediment

asi

Mengidentifikasi masalah,

merumuskan masalah,

mengeksplorasi strategi

pemecahan masalah,

melaksanakan strategi pemecahan

masalah, mengevaluasi strategi

masalah.

Menyelidiki,

mengungkap,

menjelaskan,

dan memahami

manfaat batu

gamping,

penjernihan air

5.1.Mahasiswa mampu

menjelaskan, memahami

kontribusi batu gamping dalam

proses penjernihan air melalui

sedimentasi

0,88

CVR 0,83

CVR didapat dari rumus CVR = 𝑁𝑒−(

𝑁

2)

𝑁/2 , CVR hitung 0,83 > CVR tabel 0, 68 hal ini menunjukkan indikator

dan tujuan perkuliahan dengan aspek kognitif adalah valid.

Page 69: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

64

Tabel 3. Rekapitulasi CVR Indikator dan Tujuan Perkuliahan aspek sikap PSDM MBTI

Konteks Konten Sikap PSDM-MBTI Indikator

Tujuan

Perkuliahan

aspek sikap

𝒄𝒗𝒓̅̅ ̅̅ ̅

1. Konversi

lahan

gambut dan

netralisasi

pH lahan

gambut

Netralisasi

pH dengan

Batu

gamping

1. Ekstravert:

Menunjukkan kemampuan

mengemukakan permasalahan

terkait batu gamping

Berpikir keras dalam menggali

permasalahan yang berkaitan

dengan batu gamping,

Mahasiswa tidak

melakukan aksi

meniru,

menjiplak, sikap

plagiarism terkait

gamping

1

2. Kapur

Tohor dan

kapur

padam

Kalsinasi

CaCO3

2. Intravert:

Menunjukkan kemampuan

berpikir

logik dengan ide-ide

cemerlang yang mampu

merepleksikan permasalahan

terkait batu gamping.

Berpikir keras dengan

menyelidiki secara seksama, dan

merenungkan permasalahan yang

ditemukan berkaitan dengan batu

gamping.

0,77

3. Bahan

Pemutih

Pemutusan

ikatan

3. Sensing:

Menunjukkan kemampuan

menjabarkan pengalaman diri,

mempraktekkan suatu solusi

sesuai dengan kemampuan diri

terkait batu gamping

Menseringkan (share) ide-ide, dan

fakta-fakta yang ditemukan secara

induksi mengenai materi yang

berkaitan dengan batu gamping.

0,88

4. Pupuk an

Organik

Defisiensi

Kalsium

4. Intuitif :

kemampuan memaknai

mendalam tentang fakta-fakta,

dan solusi-solusi pada

permasalahan yang

menandakan sesuatu prospek

yang bersifat original terkait

batu gamping.

Mengklasifikasi ,

mengidentifikasi , memberikan

alasan secara deduktif dengan

asumsi yang menantang,

memberikan gambaran secara

visualisasi,dan mensintesis materi

terkait batu gamping.

0,88

5.

Penjernihan

air

Sedimentasi

5. Thinking:

Kemampuan memahami suatu

solusi-solusi berdasarkan

ffakta, models, prinsip batu

gamping.

Bagaimana mengklasifikasi,

menkategorikan, menganalisis,

merangkai analisis tugas analisis

terkait batu gamping

0,77

6. Feeling:

Kemampuan

mempertimbangkan solusi

tepat yang memberikan

pengaruh kuat pada manusia

Menseringkan nilai-nilai , serta

mendengar nilai-nilai orang lain,

mengklarifikasi nilai-nilai

tersebut untuk mengungkap ide –

ide terkait batu gamping.

7. Judging:

Kemampuan membuat

keputusan yang dapat

diimplemantasikan sesuai

dengan prosedur yang tepat.

Mengevaluasi, teknik-teknik

evaluasi, rencana terbalik, dan

memilih satu solusi yang tepat

dalam mengungkap ide yang

berkaitan dengan batu gamping.

8. Perceiving:

Solusi-solusi yang fleksibel

dan dapat diadaptasi,

informasi-informasi yang

cukup tersedia untuk solusi

yang benar-benar

dipertimbangkan.

Memiliki gagasan-gagasan

cemerlang, dengan berbagai

teknik-teknik , dengan bias yang

diperdebatkan, untuk membuat

perspektif orang lain pada materi

batu gamping.

CVR

0,86

Berdasarkan Tabel 4, CVR hitung 0,86 > dari CVR hal ini menunjukkan indikator dan tujuan perkuliahan

pada aspek sikap PSDM MBTI dapat diterima.

Page 70: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

65

Tabel 4. Rekapitulasi Penilaian terhadap Rancangan Bahan Perkuliahan Penelitian Laboratorium Konteks

Batu Gamping Berbasis PSDM

Tahapan STL

Kesesuaian materi

dengan kurikulum

Ketepatan gambar

dan tugas

Kesesuaian materi :

kemampuan mahasiswa

CVR rata-

rata

Tahap Kontak CVR CVR CVR

1. Konversi lahan gambut dan

netralisasi pH lahan gambut 1 0,66 0,66 0,77

2. Kapur Tohor dan kapur

padam 0,66 1 1 0,88

3. Bahan Pemutih 1 0,66 1 0,88

4. Pupuk an Organik 0,66 0,66 1 0,88

5. Penjernihan air 0,66 0,66 1 0,66

CVR 0,81

Tabel 5. Rancangan bahan perkuliahan penelitian laboratorium konteks berbasis PSDM dengan nilai pada

tahap kontak dengan nilai CVR

Tahapan Elaborasi

Tujuan Perkuliahan

Ketepatan

materi

konten dan

konteks

Kesesuaian

antara

konten dan

konteks

Kesesuaian

materi dengan

kurikulum

(tujuan

perkuliahan)

Ketepatan

gambar,

ilustrasi,

Kesesuaian

materi

dengan

kemampuan

mahasiswa

CVR rata-

rata

CVR CVR CVR CVR CVR

1. Mahasiswa dapat

menerapkan konsep batu

gamping pada penelitian

laboratorium berbasis

PSDM

0,66 0,66

1

1 0,66 0,79

2 . Mahasiswa dapat

menerapkan konsep

pembentukan batu

gamping pada penelitian

laboratorium berbasis

PSDM

1 1 0,66 1 0,66 0,86

3. Mahasiswa dapat

menerapkan konsep sifat

fisik-kimia batu gamping

pada penelitian

laboratorium berbasis

PSDM

0,66 0,66 0,66 0,66 1 0,72

Tahap Nexus

CRV CRV CRV CRV CRV

CVR rata-

rata

1. Contoh soal 1.

Pembentukan batu

gamping

1 0,66 0,66 1 1 0,86

2. Contoh soal 2. Sifat fisik

batu gamping 1 1 0,66 0,66 0,66 0,79

3. Tugas 0,66 0,66 0,66 1 1 0,79

CVR 0,80

Pada Tabel 5 menunjukkan rancangan bahan perkuliahan penelitian laboratorium konteks berbasis

PSDM dengan nilai pada tahap kontak dengan nilai CVR 0,80 artinya responden mempunyai persfektif baik

terhadap kesesuaian materi dengan kurikulum 2013, ketepatan gambar, serta kesesuaian materi dengan

kemampuan mahasiswa, dengan CVI hitung 0,80 > 0,67 (nilai batas minimum CVI tabel). Hal ini

menunjukkan bahwa tahapan penyusunan bahan ajar STL pada tahap kontak alur konversi lahan gambut dan

netralisasi pH lahan gambut, kapur tohor dan kapur padam, bahan pemutih, pupuk anorganik, dan

penjernihan air memberikan kesesuaian dengan teks keluaran. Demikian juga pada tahap elaborasi yaitu

dimana mahasiswa dapat menerapkan konsep batu gamping, pembentukannya, sisfat fisika kimianya pada

Page 71: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

66

penelitian laboratorium berbasis PSDM. Selain itu tahap nexus memahami contoh serta menyelesaikan tugas

rancangan PL berbasis PSDM terkait batu gamping, hal ini ditunjukkan pada nilai CVR 0,66-1menunjukkan

persfektip yang baik berdasarkan ketepatan materi konten dan konteks, kesesuai antara konten dan konteks,

kesesuaian materi dengan kurikulum,ketepatan gambar, dan kesesuaian materi dengan kemampuan

mahasiswa dengan nilai CVI hitung 0,81> CVI tabel (0,67), dalam hal ini tingkat kesesuaian yang amat

baik. Tingkat penerimaan mahasiswa kepada bahan ajar melalui analisis materi subjek batu gamping

berbasis PSDM. Komponen pertama MER adalah klarifikasi struktur konten yaitu klarifikasi materi subjek

dan analisis signifikansi pendidikan. Pada penelitian ini ada empat buku teks yang dijadikan acuan dalam

melakukan analisis konten secara kualitatif. Secara keseluruhan tampilan naskah dari beberapa buku teks

meliputi: pengantar, isi pokok, penilaian, dan rangkuman. Konten sains harus diproses sesuai dengan

rekonstruksi didaktis (Duit, 2012). Sehingga struktur konten asli dari buku teks asli yang sudah ditetapkan,

dipindahkan kedalam struktur konten perkuliahan melalui tahap elementasi dan konstruksi “proses

penyederhanaan” untuk pengurangan tingkat kesulitan bahan ajar agar mahasiswa dapat memahami dengan

mudah melalui penghalusan, penyisipan dan penghapusan kata atau frasa. Tahap Kontak, dikembangkan isu-

isu serta beberapa permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar yaitu, isu konversi lahan gambut, konversi

batu gamping menjadi bahan semen, bahan bleching (pemutih), defisiensi unsur hara tanaman, dan

penjernihan air. Dalam hal ini agar mahasiswa menyadari dan membuka cakrawala berpikirnya bahwa

material bahan gamping merupakan sesuatu yang penting dipahami dan ditelusuri untuk kebutuhan

pengembangan ilmu dan sains. Tahap Kuorisiti, pada tahap ini mahasiswa diberikan pertanyaan PSDM

sesuai dengan isu atau fakta yang terjadi pada kehidupan sehari-hari.

1. Tahap Elaborasi, pada tahap ini dilakukan eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep sampai pada

tahap kuriositi dapat terjawab.

2. Tahap pengambilan keputusan, melakukan analisis dan evaluasi terhadap masalah yang ada. Tahapan ini

mengajak mahasiswa menggali jawaban terkait dengan konteks permasalahan melalui berbagai proses

penelusuran terkait batu gamping.

3. Tahap Nexus, tahap ini merupakan fase dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi. Penyajian susunan

wacana teks yang telah dijabarkan pada bahan perkuliahan yang dirangkum untuk proses pengambilan

intisari. Dalam hal ini konteks lain yang dikembangkan adalah mengenai pembentukan batu gamping,

sifat fisika kimia, dan berbagai aplikasi pada bidang kehidupan.

Perspektif mahasiswa terhadap isu PL terkait batu gamping berbeda-beda. Berdasarkan wawancara

dengan 10 pertanyaan pada 10 mahasiswa angkatan yang berbeda-beda yaitu bagaimana keterkaitan konsep

batu gamping pada konteks penelitian. Pertanyaan nomor 1-5 menanyakan prakonsepsi mahasiswa tentang

batu gamping sedangkan pertanyaan 6-10 menanyakan tentang sikap dan ketertarikan mahasiswa terhadap

isu kimia bahan galian batu gamping yang telah berkembang.

Pada Tabel 6 pertanyaan nomor 1 dan 2 pada hanya 20% menjawab pernah mendengar dan

membacanya. Nomor 3 dijawab benar hanya 10%. Melihat pola jawaban yang diberikan 10 mahasiswa, dapat

diketahui bahwa pengetahuan mahasiswa tentang batu gamping sebagai prospek PL kimia masih sangat

minim (blank mind). Pertanyaan nomor 4 pada hanya dijawab benar (40%), selebihnya pada penggunaan

secara fisik saja. Nomor 5, 100% menjawab secara singkat tanpa penjelasan konkrit. Pertanyaan nomor 6

sebanyak 20% memberikan alasan dengan sikap yang diinginkan. Pertanyaan nomor 7 dijawab baik oleh

100% mahasiswa.Pertanyaan nomor 8 dijawab 100% mahasiswa pendapat yang sangat dangkal. Pertanyaan

nomor 9 dijawab 100% mahasiswa, dengan tidak ada keterkaitan antara PL dengan mata kuliah. Pertanyaan

nomor 10, 100% menunjukkan respon yang sangat baik. Berdasarkan wawancara tersebut dapat dikatakan >

80 % mahasiswa sangat minim memahami batu gamping sebagai prospek penelitian kimia. Sehingga perlu

dimunculkan perkuliahan PL konteks batu gamping berbasis PSDM.

Page 72: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

67

Tabel 6. Pedoman Wawancara Mahasiswa

No. Pertanyaan Tanggapan

1. Apakah kamu pernah membaca atau mengetahui tentang kimia batu gamping sebagai bahan (penetral

keasaman tanah, bahan pembuatan semen, bahan pemutih, sebagai pupuk anorganik, dan penjernih air)?

2. Dari manakah kamu mendapatkan informasi tersebut?

3. Menurut pendapatmu apakah batu gamping sangat berarti bagi perkembangan penelitian kimia?

4. Berikanlah salah satu contoh aplikasi batu gamping pada kehidupan yang pernah anda ketahui.

5. Apakah anda pernah mendengar/atau membaca tentang permasalahan kimiawi menyangkut batu

gamping? Menurut pendapatmu, adakah perbedaan pemahaman anda pada batu gamping yang anda

lihat selama ini dengan batu gamping pada prospek kimiawi?

6. Apakah yang kamu pikirkan tentang gambar dibawah ini

7. Bila ada permasalahan yang anda temui di lingkungan sekitar anda. Solusi apa yang anda dapat berikan,

bila hal itu dapat diselesaikan dengan cara mengaplikasikan keberadaan batu gamping?

8. Pernahkah anda mendengar prinsip-prinsip tentang pengelolaan lingkungan dengan pemanfaatan batu

gamping?, keuntungan apakah yang anda dapat peroleh jika mengikuti prinsip kimiawi batu gamping?

9. Apakah bahan perkuliahan yang kamu gunakan telah mengkaitkan antara konten kimia bahan galian

dengan konteks penelitian laboratorium?

10. Menurut anda, perlukah perkuliahan kimia bahan galian dirancang menjadi suatu prospek penelitian

laboratorium ? apa alasan anda?

KESIMPULAN

Temuan dan analisis data penelitian memiliki karakteristik bahan ajar yang dikembangkan melalui

MER yaitu: bahan ajar dikembangkan sesuai dengan aspek kompetensi dan sikap PSDM-MBT, konteks

pembelajaran disesuaikan dengan isu sosial-ilmiah (PSDM) dan kurikulum 2013, konten perkuliahan

disesuaikan dengan tingkat kognitif mahasiswa kriteria accesible, peracangan bahan perkuliahan

menggunakan urutan pengajaran STL dengan tahap perkuliahan berbasis PSDM, konsep PL konteks kimia

batu gamping yang berbasis PSDM.

1. Perspektif mahasiswa terhadap isu PL konteks batu gamping berbasis PSDM digali melalui hasil

wawancara, > 80% prakonsepsi salah terhadap penelitian.

2. Penilaian bahan ajar keseluruhan meliputi : 1).Ketepatan materi (konten dan konteks), 2) Kesesuaian

antara konten dan konteks, 3) Kesesuaian materi dengan kurikulum (tujuan pembelajaran), 4) Ketepatan

gambar dan tugas percobaan, dan 5) Kesesuaian materi dengan kemampuan mahasiswa. Berdasarkan

poin penilaian tersebut maka diperoleh CVR rata-rata untuk bahan ajar perkuliahan adalah 0,84. CVIh>

CVIt(0,83> 0,68) ini menandakan bahwa bahan perkuliahan yang dihasilkan layak untuk mahasiswa

pendidikan kimia.

DAFTAR PUSTAKA

Donnel CM, Cristine O, Michael KS. 2007. ”Developing Practical Chemistry Skill by Means of Students-

Driven Problem Based Learning Mini-Projects Mini”. Journal Chemistry Education Research and

Practice. 8, (2),130-139.

Duit R, Harald G, Kattmann U, Komorek M, Ilka P. 2012. ” The Model of Educational Reconstruction-A

Framework for Improving Teaching and Learning Science”. Science Education Research and Practice

in Europe.

Huitt G, William. 1992. “Problem solving decision making, consideration of individual differences using the

Meyers Briggs Type Indicator. [online] Avalaible: http://www.edssyanteractive.org/pgpers/prbsm

Ross MS, Morrison GR. 2003. Hand Book: Research Methods in Experimental. The University of Memphis

& Wayne State University. Aect.org/edtech/ed 1/38 pdf.

Page 73: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

68

PEMANFAATAN JEJARING SOSIAL “FACEBOOK” PADA DISKUSI ISU

SOSIOSAINTIFIK UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN

BERARGUMENTASI MAHASISWA

Yanti Herlanti Pendidikan Biologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

[email protected]

Abstrak

Makalah ini memaparkan cara memanfaatkan jejaring sosial “facebook” sebagai media diskusi

isu sosiosaintifik. Jejaring sosial “facebook” merupakan media yang popular di Indonesia.

Ada sekitar 50 juta pengguna facebook di Indonesia, namun pemanfaatannya masih bersifat

entertainment. Padahal dunia pendidikan dapat memanfaatkan facebook sebagai media

diskusi, terutama diskusi isu sosiosaintifik. Diskusi isu sosiosaintifik adalah diskusi isu-isu

sains yang dipandang tidak hanya dengan sudut pandang sains tetapi juga sosial yaitu politik,

ekonomi, budaya, dan etika. Beberapa penelitian menunjukkan diskusi isu sosiosaintifik lebih

mudah meningkatkan keterampilan berargumentasi. Facebook dimanfaatkan sebagai media

diskusi isu sosiosaintifik karena, facebook memiliki fasilitas grup. Fasilitas grup dapat

mengumpulkan partisipan dalam satu kelompok diskusi. Fasilitas kirim tulisan dan komentar

yang bersifat interaktif dapat dimanfaatkan sebagai media diskusi antara partisipan.

Kata Kunci: jejaring sosial, facebook, diskusi isu sosiosaintifik, argumentasi.

PENDAHULUAN

Penggunaan jejaring sosial facebook (facebookers) Indonesia cukup banyak, namun pemanfaatannya

dalam bidang pendidikan masing kurang. Padahal jejaring sosial ‘facebook’ mempunyai beberapa kelebihan

yang berpotensi untuk digunakan dalam pembelajaran. Jejaring sosial memiliki karakter interaksi dan umpan

balik, sehingga antar partisipan dapat berhubungan, berbagi, dan berkolaborasi (Bosman & Zagenczyk,

2011), serta dapat melakukan konstruksi pengetahuan secara kolaboratif (Serrano, 2011). Selain itu menurut

Brunsell & Cimino (2009:) sifat komunikasi tulis secara maya pada jejaring sosial menciptakan lingkungan

belajar yang bersifat partisipatif dan ramah (bebas dari waswas dan malu).

Salah satu pemanfaatan jejaring sosial dalam pembelajaran sains adalah sebagai media diskusi isu

sosiosaintifik. Diskusi isu sosiosantifik adalah permasalahan atau isu sainstifik yang menimbulkan

kontroversi di masyarakat karena dipengarui oleh sudut pandang sosial politik (Salder & Zeidler, 2004;

Sadler, 2011; Dawson & Venville, 2009; Robert & Gott, 2009). Kelebihan diskusi isu sosiosaintifik menurut

Cross et al. (2008) adalah sangat efektif dalam mengkontruksi pengetahuan, karena para pelajar

mengemukakan ideanya, bertanya, memberikan umpan balik, dan mengevaluasi idenya. Kelebihan lainnya

menurut penelitian Osborne (2005), Chang & Chiu (2008), dan Dawson & Venville (2009) adalah

peningkatan kemampuan argumentasi pelajar. Menurut Osbone, Eduran & Simon (2005); McNeill, (2009)

peningkatan kemampuan argumentasi terjadi karena partisipan diskusi membangun, mempertimbangkan, dan

mendebatkan argumennya, sehingga terjadi keluasan diskusi tidak hanya melibatkan pengetahuan saintifik,

tetapi sosial, politik, etika atau nilai. Kelebihan lainnya menurut Osborne (2005) diskusi isu sosiosaintifik

peningkatan partisipasi dalam diskusi, karena partisipan berargumen dengan berbagai sudut pandang.

Facebook menawarkan sebuah media diskusi isu sosiosaintifik untuk meningkatkan keterampilan

berargumentasi. Makalah ini akan memaparkan bagaimana memanfaatkan facebook sebagai sarana diskusi

isu sosiosaintifik yang dapat meningkatkan keterampilan berargumentasi partisipan diskusi.

DISKUSI ISU SOSIOSAINTIFIK

Selama tahun 1970-1990-an diyakini bahwa strategi Science Technology Society (STS) merupakan cara

terbaik untuk mempromosikan literasi sains (DeBoer, 1991). Yager (1996) menyatakan STS bertolak dari isu

yang kemudian digunakan untuk mengorganisasikan pembelajaran sains di sekolah. Pada STS pembelajar

Page 74: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

69

berperan merencanakan dan melaksanakan aktivitas pemecahan masalah berdasarkan isu-isu yang

berkembang dalam masyarakat. Pada masa kini (2000-an), STS saja dipandang belum lengkap. Zelder et al.

(2005) menyatakan pengetahuan dan pemahaman tentang keterkaitan antara ilmu pengetahuan, teknologi,

masyarakat, dan lingkungan merupakan komponen utama dari pengembangan literasi sains, tetapi konteksi

antara kompetensi utama tersebut sangat berkaitan dengan “keyakinan” yang bersumber dari kognitif

personal dan perkembangan moralnya. Keyakinan ini akan memunculkan perbedaan persepsi atau

pluralisme pendapat, dan STS belum mengakomodasi ini. Zelder et al. (2005) mengusulkan perlunya

melibatkan unsur sosisiosaintifik untuk mempromosikan literasi sains. Unsur-unsur sosiosaintifik yang dapat

meningkatkan literasi sains terlihat pada Gambar 1.

Isu budaya, kritis, kasus, dan saintifik kemudian diistilahkan dengan isu sosiosaintifik. Dawson &

Venville (2009) menafsirkan isu sosiosaintifik sebagai isu berbasis konsep dan masalah sainstifik,

kontroversi yang terjadi, dan diskusi publik yang banyak dipengaruhi sosial politik. Chang & Chiu (2008)

menyatakan isu-isu sosiosaintifik terjadi karena hubungan sains dan sosial. Robert & Gott (2009)

menyatakan isu sosiosaintifik melibatkan komponen sosial sebagaimana keterlibatan saintifik. Berdasarkan

definisi di atas, isu sosiosaintifik adalah isu kontroversial terkait dengan sains yang terjadi di masyarakat.

Kontroversial terjadi karena isu tersebut dipandang dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari sudut

pandang sains tetapi juga sudut pandang budaya, sosial politik, moral dan etika.

Gambar 1. Unsur-unsur sosiosaintifik meningkatkan literasi sains (Zeidler, et al., 2005)

Promosi literasi sains melalui pendekatan isu sosiosaintifik di kelas sains dapat dilakukan dengan

berbagai metode, salah satunya diskusi. Menurut Lewis (2003) diskusi isu sosiosaintifik memiliki kelebihan,

yaitu menjadikan kelas sains lebih hidup karena adanya perdebatan saintifik, pembelajaran sains pun

mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan membuat keputusan.

Beberapa penelitian menunjukkan diskusi isu sosiosaintifik dapat mempromosikan literasi sains

(Osborne, 2005; Dawson & Venville, 2009; Marreo & Mensah, 2010; Nuangchalernm, 2010). Penelitian lain

menggambarkan diskusi isu sosiosaintifik di kelas sains, membuat sains lebih manusiawi dan lebih menarik

bagi siswa. Lee (2008) menyatakan strategi hakikat sains melalui diskusi isu sosiosaintifik (NOS SSI) telah

mengubah pandangan siswa terhadap sains. Sains semula digambar sebagai kegiatan laboratorium yang kaku

menjadi lebih humanis. NOS SSI pun telah membuat siswa terpacu untuk mencari informasi dan bertanggung

jawab secara sosial terhadap keputusannya. Harris & Ratcliffe (2005) menyatakan diskusi isu sosiosaintifik

membuat siswa lebih tertarik pada sains, karena sains lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Meningkatkan

Page 75: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

70

DISKUSI ISU SOSIOSAINTIFIK DAN KETERAMPILAN BERARGUMENTASI

“I’m not really interested in it (Biology), but the ethical side was really interesting and made it

more life” (from a student, Harris, R. & Ratcliffe, M., 2005)

Pernyataan di atas diungkapkan oleh peserta didik yang telah melakukan diskusi isu sosiosaintifik.

Hasil penelitian mengungkapkan diskusi isu sosiosaintifk membuat pembelajaran sains lebih humanis dan

juga meningkatkan keterampilan berargumentasi (Osborne, 2005; Chang & Chiu, 2008; Dawson & Venville,

2009).

Argumen dan argumentasi memiliki makna tersendiri. Argumen diartikan sebagai sebuah penyataan

yang berisi sebuah klaim yang didukung oleh data dan dikemukakan untuk mempengaruhi seseorang (Inch,

et al., 2006). Kuhn & Udell (2003) mendefinisikan argumen sebagai sebuah pernyataan dengan disertai

pembenaran. Mean and Voss (Dawson & Venville, 2009) menggambarkan argumen sebagai pendapat dari

suatu kesimpulan yang didukung minimalnya oleh satu alasan. Girle (1991) mendefinisikan argumen sebagai

serangkaian pendapat yang bersifat interakif yang memungkinkan untuk disanggah.

Menurut Inch et al. (2006) argumen memiliki tiga karakteristik. Pertama, sebuah klaim berupa opini

atau kesimpulan yang ingin diterima pembantah. Kedua, sebuah klaim didukung oleh fakta dan alasan atau

kesimpulan yang terhubung antara fakta ke klaim. Ketiga, sebuah argumen berusaha mempengaruhi

pendapat seseorang yang berada dalam ketidaksetujuan. Ciri sebuah argumen yang baik menurut Toulmin

(2003) mengangung komponen klaim, data, penjamin, pendukung, kualifer, dan reservasi. Komponen ini

menggambarkan sebagai fungsi dalam argumen. Gambar 2 memperlihatkan komponen argumentasi dan

keterkaitannya

Gambar 2. Model lengkap argumentasi Toulmin (Toulmin, 2003)

Keterangan: D = Data, Q = Qualifier/kualifer, K = Klaim, B = Backing/pendukung,

W = warrant/penjamin

Inch et al. (2006) dan Freeley & Steinberg (2009) menjelaskan lebih lanjut keenam komponen tersebut

yaitu.

1. Data (grounds) adalah sinonim dari bukti (evidence). Data/bukti adalah fakta atau kondisi obyektif

yang dapat diamati, kepercayaan, atau premis yang telah diterima sebagai sebuah kebenaran oleh audien

atau kesimpulan-kesimpulan yang telah ditetapkan sebelumnya. Ringkasnya, data adalah bukti dan

alasan untuk menyokong dasar dari argumen.

2. Klaim (claim) adalah pendapat atau kesimpulan yang dikemukan oleh orang yang berpendapat dan

ingin diterima audien.

3. Penjamin (warrant) adalah penalaran yang digunakan untuk menghubungkan data dan klaim. Bukti

dan alasan dikembangkan menjadi klaim yang tak terbantahkan kebenarnya.

D Maka Q, K

Berdasarkan B

Kecuali R

Karena W

Page 76: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

71

Sumber: Freeley & Steinberg (2009)

1. Pendukung (backing) adalah fakta lebih lanjut atau penalaran yang digunakan untuk mendukung atau

melegitimasi prinsip yang ada pada penjamin.

Sumber: Freeley & Steinberg (2009)

2. Kualifikasi (modal qualifications) adalah kata keterangan sehari-hari (adverb) atau kalimat keterangan

tambahan (adverbial frase) yang memodifikasi klaim dan menunjukkan kekuatan rasional atau derajat

kekuatan dari orang yang berpendapat tersebut. Ketika berpendapat derajat kekuatan pendapat biasanya

tercermin dari ungkapan atau tulisannya dengan beberapa kata seperti “kuat/sangat (stongly),

kemungkinan (probably), tentu (certainly), bisa saja (possibly)”.

3. Pengecualian (reservation) adalah keadaan atau kondisi yang melemahkan argumen. Hal ini terjadi

karena adanya keterbatasan atau pengecualian yang membatalkan penerapan penjamin. Reservasi ini

dikemukan oleh ini Inch et al. (2006). Adapun Freeley & Steinberg (2009) menyatakan komponen

keenam adalah penyanggah (rebutal), yaitu bukti atau alasan yang akan melemahkan atau

menghancurkan klaim.

Menurut Inch et al. (2006) ada empat model argumentasi Toulmin yang mungkin terjadi dalam sebuah

teks. Keempat model tersebut adalah sebagai berikut.

a) Data – Klaim (DK)

b) Data – Penjamin/Warrant – Klaim (DWK)

c) Data – Penjamin – Pendukung/Backing – Klaim (DWBK)

d) Data–Penjamin–Pendukung – Reservasi-Qualifier– Klaim (DWBRQK)

Keempat model argumentasi Toulmin yang dikemukan Inch et al. (2006) merupakan argumentasi

informal. Menurut Chang & Chiu (2008) argumentasi informal dapat dibedakan dengan formal dari cara

pengambilan klaim. Pengajuan klaim pada argumentasi formal didasarkan pada premis-premis yang baku,

penambahan dan penghapusan isi premis tidak diperbolehkan. Pengajuan klaim pada argumentasi informal

mengandung fitur kognitif dan afektif, individu dapat mengubah premis berdasarkan pengetahuan dan

keyakinan pribadi, informasi dari media massa, buku teks, atau pengalaman hidup, dan lain-lain.

Berdasarkan perbedaan ini, argumentasi informal memiliki karakteristik membuat klaim, menyediakan

alasan, menyajikan argumen kounter, menunjukkan kualifer, dan mengevaluasi argumen.

Argumentasi yang terjadi pada diskusi isu sosiosaintfik bersifat argumentasi informal. Argumentasi

informal dikembangkan berdasarkan model Toulmin. Argumentasi pada model Toulmin merupakan

Data

Teroris melakukan aksi terror

untuk mendapatkan publisitas

Penjamin

Media sensasional

memberikan peluang bagi

publikasi teroris

Klaim

Pelarangan media sensasional

akan mengurangi aksi

terorisme

Data

Kekerasan oleh anak

menghasilkan kematian dan

kecelakaan

Penjamin

Karena media kekerasan

menghantarkan pada

kekerasan pada anak

Klaim

Pelarangan media

kekerasan akan mengurangi

kematian dan kecelakaan

Pendukung:

Kajian memperlihatkan hubungan antara media dan kekerasan dan kekerasan

pada anak

Page 77: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

72

aktivitas rasional yang melibatkan klaim yang dikembangkan dan didukung oleh data, penjamin yang

menghubungkan data pada klaim. Klaim mempunyai kualifer dan penjamin didukung oleh

pendukung/backing. Lebih jauh lagi, aktivitas diskusi berkaitan dengan memberikan sanggahan (rebuttal)

terhadap argumen.

Pengembangan argumentasi di kelas sains dapat dilakukan dengan metode diskusi berbasis isu

sosiosaintifik (Osbone, 2005; Erduran et al., 2005, Dawson & Venville, 2009), dan dengan melakukan

perdebatatan isu saintifik di kelas (Aleixandre et al., 2000; Hakyolu & Bekiroglu, 2011). Diskusi isu

sosiosaintifik mempunyai potensi yang lebih besar dalam meningkatkan kualtias argumentasi, karena

argumentasi pada konteks sosiosaintifik lebih mudah. Pada konteks isu sosiosaintfik peserta didik

berargumen dengan sudut pandang yang dikuasainya atau diminatinya, akibatnya argumentasi pun meluas

tidak hanya menggambarkan pengetahuan ilmiah, tetapi juga etika dan nilai (Osborne, 2005).

Osborne dan Erduran adalah pakar yang mengembangkan keterampilan argumentasi dalam

pembelajaran sains. Osborne dan Erduran mengembangkan penilaian kualitas argumentasi berdasarkan

model argumentasi Toulmin. Osborne (2005) mengklasifikasikan argumen ke dalam tiga kelompok yaitu: 1)

klaim sederhana, 2) argumen dengan justifikasi, dan 2) argumen dengan justifikasi dan penyanggah. Tiga

kelompok ini kemudian dikuantifikasi menjadi lima level argumentasi, yang merupakan sebuah kerangka

kerja analitik untuk menilai kualitas argumentasi. Kerangka kerja analitik untuk menilai kualitas argumentasi

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kerangka analitik digunakan untuk menilai kualitas argumentasi pada diskusi isu sosiosaintifik

kelas

Level Keterangan

5 Argumen meunjukkan keluasan argumen dengan lebih dari satu sanggahan

4 Argumentasi menunjukkan beberapa argumen dengan klaim atau klaim-klaim dan klaim balasan

dengan sanggahan yang jelas

3 Argumentasi mengandung beberapa argumen dengan serangkaian klaim atau klaim balasan

dengan data, penjamin atau pendukung dengan terkadang sanggahan yang kurang bagus

2 Argumentasi mengandung beberapa argumen yang mengandung klaim dengan data, penjamin,

atau pendukung, tapi tidak ada sanggahan

1 Argumentasi mengandung beberapa argumen yaitu klaim sederhana lawan sebuah klaim balasan

atau klaim lawan klaim

Sumber Osborne (2005: 371) dan Erduran et al., (2005:390).

Kerangka analitik kualitas argumen yang dikembangkan Osborne, Erduran, & Simon (2005) sangat

cocok digunakan untuk menganalisis dialog yang digunakan siswa pada sebuah diskusi isu sosiosaintifik

dalam bentuk berpasangan atau kelompok kecil, penyanggah merupakan komponen penting pada kerangka

ini (Dawson & Venville, 2009). Bagi diskusi yang kurang memberi kesempatan untuk memunculkan

penyanggah, Dawson & Venville (2009) memodifikasi kerangka Osborne, Erduran, & Simon menjadi

kerangka baru (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Kerangka analitis kualitas argumentasi

Level Keterangan

4 Klaim, data, penjamin, pendukung, dan kualifer

3 Klaim, data, penjamin, pendukung (asumsi yang mendukung penjamin) atau kualifer (kondisi

tentang ketepatan klaim)

2 Klaim, data (bukti yang mendukung klaim), dan/atau penjamin (penghubung antara data dan

klaim)

1 Klaim (pernyataan, kesimpulan, proposisi saja)

Sumber: Dowson & Venville (2009: 1432-1433) memodifikasi dari Osborne & Erduran, et al. (2005: 371, 390)

Page 78: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

73

DISKUSI ISU SOSIOSAINTIFIK MELALUI JEJARING SOSIAL “FACEBOOK”

Media sosial memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam pendidikan di Indonesia, dilihat dari

dua sisi yaitu jumlah pengguna dan sifat media sosial. Jumlah pengguna media sosial di Indonesia cukup

besar terutama terutama facebook. Sejak didirikan pada tahun 2004 sampai tahun 2012, situs socialbakers

mencatat pengguna facebook aktif di seluruh dunia berjumlah 900 juta orang, dan pengguna facebook di

Indonesia mencapai hampir 44 juta. Pada 1 Febuari 2013 jumlah pengguna facebook di Indonesia meningkat

menjadi 48.777.600. Menurut Wahyudi (2011) ada 55 juta pengguna internet di Indonesia, berdasarkan data

ini maka hampir 80% pengguna internet di Indonesia adalah pengguna facebook.

Facebook merupakan situs jejaring sosial yang memungkinkan seseorang berhubungan dengan orang

lain secara bertatapan muka (face to face) secara online tertulis ataupun interaksi secara multilog pada sebuah

komunitas (group facebook). Seperti media sosial lainnya, faceebook pun memiliki sifat berhubungan,

berbagi, dan berkolaborasi (connecting, sharing, and collaborating). Sifat media sosial seperti ini

memberikan beberapa keuntungan antara lain menambah kuantitas komunikasi antara pengajar dan

pembelajar, membuka peluang berdiskusi dan berkolaborasi dalam penyelesaian tugas, dan meningkatkan

partisipasi serta keterlibatan pembelajar dalam berbagai program aksi di sekolah.

Sifat dan kepopuleran facebook berpotensi digunakan sebagai media diskusi isu sosiosaintifik.

Ragupathi (2011) mengemukakan facebook bersifat kontruksi sosial yaitu peserta didik mengirim dan bebagi

pandangannya dan peserta lain memberi komentar. Saikaew (2011) menyatakan facebook bersifat memberi

kenyamanan dan kemudahan dalam berinteraksi sosial dalam berdiskusi. Popularitas facebook di kalangan

peserta didik, membuat kiriman guru cepat ditanggapi oleh peserta didik.

Perbandingan antara blog dan facebook terlihat dari Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Blog dan Facebook

No Fasilitas Weblog Facebook

1. Pembuatan akun gratis V V

2. Pembuatan dan pengeloaan mudah (tidak

menggunakan bahasa program/webmaster)

V V

3. Pengiriman tulisan V V

4. Pemberian komentar V V

5. Pemberitahuan setiap tulisan/komentar V V

6. Pemberitahuan terintegrasi secara “mobile” melalui

telepon gengam

X V

7. Tulisan dan komentar yang dikirimkan bersifat terbuka

bagi public

V V

8. Tulisan dan komentar yang dikirimkan dapat dibuat

tertutup hanya untuk jaringan teman

X V

9. Grup diskusi dan partisipan dapat dipilih (dapat

bersifat tertutup atau terbuka pada publik)

X V

10. Penanda (tag in) yang dapat terkoneksi secara mobile

dan muncul dalam pemberitahuan, untuk memanggil

pengguna lain, sehingga aktif berdiskusi.

X V

11. Satu tulisan dapat menampung lebih dari 100

komentar tanpa “low loading”

X V

12. Selain diskusi ON I OFF juga dapat dilakukan diskusi

online

X V

Keterangan: V = ada, X = tidak ada

Dibandingkan dengan weblog, facebook memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah.

a. Daya tampung komentar dan kecepatan akses. Daya tampung komentar pada grup jejaraing facebook

dapat mencapai ratusan dalam satu halaman/satu kiriman status, tanpa mengalami kelambatan muat (low

Page 79: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

74

loading). Jumlah komentar lebih dari seribu pada grup jejaring facebook pun tidak mengalami

kelambatan muat (low loading).

b. Sistem unggah komentar. Pada grup facebook, setiap komentar akan terunggah dengan baik, walaupun

ada beberapa komentar yang masuk bersamaan.

c. Fasilitas mengaktifkan partisipan dalam diskusi. Partisipan yang mempunyai nilai rendah, cenderung

rendah tingkat partisipasinya. Moderator dapat memanggil partisipan yang belum memberi

komentar/tanggapan untuk berpartisipasi dalam diskusi, melalui fasilitas “menandai/tag in/@” yang

tersedia dalam facebook. Penandaan oleh moderator pada partisipan, akan muncul pada

pemberitahuan/notifikasi facebook partisipan, hal ini akan mendorong partisipan untuk berpartisipasi.

d. Kemudahan akses. Facebook dapat diakses dengan mudah melalui telepon genggam, sehingga partisipasi

dapat dilakukan secara mobile.

e. Pemberian rasa nyaman. Grup pada facebook dapat dibuat terbuka atau tertutup. Jika dibuat tertutup,

maka hanya anggota grup yang dapat mengakses dan melihat perbincangan yang terjadi, sehingga privasi

dan kenyamaan partisipan terlindungi.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan facebook sebagai media diskusi isu

sosiosaintifik adalah sebagai berikut.

1. Sesi diskusi untuk menghantarkan pada literasi sains

Empat sesi diskusi dilakukan untuk menghantarkan pada literasi sains partisipan. Empat sesi pada

diskusi isu sosiosaintifik bersifat kontekstual, konstruksional, dan problem solving. Sesi I (polemik)

berdiskusi isu kontekstual dan kontroversial yang terjadi di masyarakat. Pada sesi I, isu sains bersifat sosial

yang menimbulkan kontroversi, karena perbedaan sudut pandang. Argumentasi pro dan kontra akan

didukung data, fakta, dan alasan logis serta rasional, penilaian bukan salah dan benar, tetapi kuat dan tidak

argumentasi yang dikemukakan. Tujuan dari sesi I adalah mengeksplorasi kemampuan argumentasi

partisipan. Sesi II (eksplorasi) mengkonstruksi pengetahuan sains secara kolaboratif. Sesi dua lebih

membahas tentang hakikat dan penjabaran sainstifik tentang pokok persoalan yang dipermasalahkan

(menjadi isu). Sesi ini bertujuan untuk mengembalikan isu sosial kepada isu sains, sehingga partisipan

memperoleh literasi sains tentang topik yang sedang didiskusikan. Literasi sains yang sudah diperoleh pada

sesi kedua, menjadi sebuah patokan untuk menyikapi isu yang terjadi di masyarakat secara benar. Sesi (III)

merumuskan solusi dan berperan aktif memberi pemahaman pada masyarakat terhadap permasalahan

kontroversial yang terjadi di masyarakat. Sebagai seorang calon guru sains yang memiliki literasi sains,

solusi terhadap isu sosiosaintifik harus kembali diletakkan secara sainstifik, sehingga masyarakat dapat

memperoleh solusi praktis dan ilmiah (saintifik). Sesi IV (kesimpulan) menegaskan kembali posisi terhadap

isu yang berkembang. Partisipan pun mengkontruksi argumen yang lebih kaya daripada argumen sebelum

diskusi dilaksanakan.

Hal yang patut diperhatikan pada setiap sesi diskusi adalah waktu jeda. Waktu jeda setiap sesi diskusi

diperlukan partisipan untuk mencari dan membaca literatur yang relevan dengan topik diskusi. Kejelasan

alokasi waktu jeda setiap sesi diskusi sangat diperlukan untuk memberi kesempatan pada partisipan

memahami dan mencerna isi diskusi.

2. Aturan diskusi

Aturan diskusi merupakan bagaian penting dalam diskusi isu sosiosaintifik, karena tujuan diskusi adalah

meningkatkan mengembangkan kualitas argumentasi secara individual maupun sosial. Secara individual,

kualitas argumentasi akan terasah dengan seringnya memberi argumen pada saat diskusi berlangsung.

Aturan diskusi isu sosiosaintifik yang ditampilkan pada media facebook adalah sebagai berikut.

Aturan diskusi:

a. Diskusi ini akan dimoderatori oleh saya Yanti Herlanti Full.

b. Sesi 1: Polemik E. sakazakii akan berlangsung 1 hari saja, yaitu 20 November Pukul 19.00 WIB -

21.00 WIB, secara online, so tune on and stay on selama 2 jam.

c. Pukul 19.00-19.05, ditunggu untuk posting pertama: satu orang mengemukan pendapat pro, dan

satu orang mengemukakan pendapat kontra.

Page 80: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

75

d. Posting kedua dan selanjutnya, dimulai pukul 19.05, posting dapat berupa menambahkan atau

memperkuat argumen posting sebelumnya, dengan cara merujuk pendapat sebelumnya, caranya

dengan memberi "tag (ketik @ lalu nama orang yang dirujuk pendapatnya)" berikan juga hastag (#)

sebagai identifikasi anda berada dikubu mana, misalnya #KubuKontraIPB artinya berpendapat

bahwa IPB harus mengumumkan susu formula E. sakazakii, atau #KubuProIPB artinya

berpendapat bahwa IPB tidak perlu mengumumkan susu formula E. sakazakii.

e. Ingat tanda/simbol yang moderator berikan:

..... = diskusi lanjutkan

,,,,,, = diskusi stop untuk jeda sementara waktu

XXX = diskusi diakhiri untuk dilanjutkan pada dinding baru/sesi berikutnya, partisipan tidak

berkomentar lagi di dinding yang telah diberikan

f. Untuk setiap posting, perolehan point akan mengikuti penilaian seperti terlampir (atau termuat di

bagian D. Evaluasi BlogQuest 1.02 pada weblog)

g. Pada saat memandu diskusi, moderator akan menggunakan HURUF KAPITAL, partisipan dilarang

menggunakan huruf kapital.

SILAHKAN BERI JEMPOL ANDA, JIKA ANDA SUDAH MEMBACA DAN MEMAHAMI

ATURAN DISKUSINYA!

Penggunaan simbol dan huruf kapital oleh moderator dilakukan untuk mengatasi kelemahan yang ada

pada sistem facebook. Beberapa kelemahan pada sistem facebook adalah sebagai berikut.

a. Komentar moderator terlihat jelas pada pengiriman status (standpoint), tetapi sukar terlihat bedanya pada

proses diskusi. Oleh sebab itu pada proses diskusi moderator mengarahkan diskusi melalui kolom

komentar dengan penggunaan huruf kapital untuk moderator.

b. Komentar yang dikirmkan cepat mengalami penggulungan (scrolling). Hal ini karena layar komputer

memuat jumlah komentar sesuai luas pandangan partisipan yaitu sebanyak 10 komentar atau setara

dengan 215 kata atau 1.391 karakter atau 10 kali twit (1 kali twit pada twitter = 140 karakter). Ketika

moderator memberikan arahan diskusi pada kolom komentar pada pukul 19.40, maka pada pukul 19.41

baru ada komentar yang menanggapi moderator, tetapi dominanya masih membahas permasalahan

sebelumnya. Dalam satu menit, komentar yang masuk mencapai 571 kata atau setara 4.619 karakter

(setara 32 twit, luas pandang layar hanya 10 twit). Facebook tidak memiliki fasilitas memunculkan

komentar penting dari moderator secara permanen, sehingga huruf kapital dan pengulangan arahan sangat

diperlukan dan untuk hal-hal yang berkaitan dengan jeda dan berhenti diskusi digunakan tanda tersendiri

agar lebih jelas terlihat partisipan.

c. Sistem penggulungan yang cepat dan tidak adanya fasilitas mendeteksi duplikasi komentar memyebabkan

partisipan sering sekali mengulang-ulang tautan yang dirujuk dan mengulang-ulang pendapat

sebelumnya. Penggunaan sistem minus point belum mampu mengendalikan komentar multi ganda,

karena berdasarkan 32 kuisioner yang diisi oleh partisipan menunjukkan 38% menyatakan membaca

penilaian, tetapi tidak memperhatikan lagi ketika diskusi isu sosiosaintifik dilaksanakan

3. Menyediakan rubrik penilaian dengan sistem minus point

Facebook adalah media diskusi informal, hal ini menyebabkan partisipan sering memberi komentar

diluar konteks dari diskusi isu sosiosaintifik. Untuk mengatasi hal ini dan untuk menjaga kualitas argumen

partisipan maka digunakanlah sistem penilaian minus. Penelitian menunjukkan sistem minus point (sistem

penilaian minus) berhasil dalam mengendalikan komentar partisipan. Penelitian Cowan (2002) tentang

penggunaan sistem nilai minus (plus/minus marking) menghasilkan hasil yang sama. Penskoran dengan

sistem minus menjadi assesmen diri bagi mahasiswa (self assesment) dan menjadi pendorong untuk

memperoleh kinerja yang lebih baik. Rubrik sistem minus point dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 81: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

76

Tabel 4. Rubrik penilaian untuk komentar yang diberikan pada diskusi isu sosiosaintifik pada jejaring

sosial dengan sistem minus point

Skor Penjelasan

-2 Memberi komentar yang tidak berkaitan dengan topik diskusi

-1.5 Memberi komentar berupa klaim, data dan penjamin yang serupa dengan pada

komentar sebelumnya (plagiasi)

-1

Memberi komentar berupa klaim, data dan penjamin yang senada dengan pada

komentar sebelumnya (tidak mengandung kebaruan data, klaim, dan penjamin,

walaupun dikemas dalam bahasa berbeda)

-0.5 Memberi data/penjamin/pendukung/pengecualian/klaim yang memiliki kesamaan

dengan komentar sebelumnya

0 Memberi persetujuan/ketidaksetujuan tanpa menyebutkan Klaim yang disetujui/tidak

disetujui

1 Memberi komentar berupa klaim saja, dan tidak mengkaitkan dengan pendapat sebelumnya. NEW

KLAIM

2

Memberi komentar dengan merujuk pada pendapat dari komentar sebelumnya, untuk mendukung atau

membantah klaim sebelumnya dengan sebuah klaim baru. COUNTER KLAIM/BACKING KLAIM NEW

KLAIM

3

Memberi komentar dengan merujuk pada pendapat dari komentar sebelumnya, untuk mendukung atau

membantah klaim sebelumnya dengan sebuah klaim baru yang dilengkapi dengan bukti (Data/Evidence)

COUNTER KLAIM/BACKING KLAIM NEW KLAIM+D

4

Memberi komentar dengan merujuk pada pendapat dari komentar sebelumnya, untuk mendukung atau

membantah klaim sebelumnya dengan sebuah klaim baru yang dilengkapi dengan bukti (Data*/Evidence) dan

alasan (jaminan/reasoning) COUNTER KLAIM/BACKING KLAIM + DW

5

Memberi komentar dengan merujuk pada pendapat dari komentar sebelumnya, untuk mendukung atau

membantah klaim sebelumnya dengan sebuah klaim baru tegas/kuat memperlihatkan kualitas/pengecualian

yang dilengkapi dengan bukti (Data*/Evidence) dan alasan (jaminan/reasoning) disertai penyataan yang

mendukung terhadap penjamin COUNTER KLAIM/BACKING KLAIM NEW KLAIM + DWBRQ

Keterangan: *) data merupakan data/fakta baru yang dikemukan bukan berasal dari bagian Pendahuluan pada quest

4. Peran moderator

Pada pelaksanaan diskusi, setiap sesi moderator memberikan standpoint, menilai kualitas argumen,

memanggil partisipan (mention) yang belum aktif, dan memfokuskan permasalahan. Contoh tindakan

moderator dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Tindakan Moderator pada Diskusi Isu Sosiosaintifik

Tindakan moderator Contoh

Memberikan standpoint "Perlukah IPB mengumumkan nama merk Susu Formula dan Makanan Bayi yang

terkontaminasi E. sakazakii didasarkan pada hasil penelitian Sri Estuningsih 2006? “

Menilai kualitas argument

Record point anda, 14.12-15.10= Cuda Lupita4, Anisa Lina Anggraeni=1, Murti

MSari=1, Lianda Shasyli=3,Nuri Shabania=6, Muhammad Fuad Fahrudin=1, Endah

Lestari=2,Reny Pujiati Sakhi=5, Azkiah Rahmi=1, Alie Akbar=1, @rosihananwar= 2,

arifa=1, Dini=1

Memanggil partisipan

menarik Endah Lestari, menyinggung gugatan Bapak David yang dimenangkan

pengandilan, mungkin kubu kontra bisa menanggapi??? kita tunggu saja, bagaimana

komentar dari Adjie Pratama, Ichi Ajjah Dech, Novia Btari Krishnamuty, Disa Fajriah

Arifin, BebHilaliyah Hilda Ningsih, dan ani!!

Memfokuskan permasalahan

Kita beralih ke bakteri ataupun mikroba secara umum ya!!! Mana yang lebih banyak,

bakteri yang merugikan atau bakteri yang bersahabat?

siip, Sekarang. Closing statement, terhadap hasil ekplorasi ES!!!

PENUTUP

Facebook dapat dijadikan sebagai media diskusi isu sosiosaintifik. Diskusi isu sosiosaintifik melalui

facebook memberikan peluang untuk meningkatkan keterampilan berargumentasi dengan syarat harus

memperhatian hal-hal berikut yaitu penyelenggaraan sesi diskusi, penggunaan rubrik menilai keterampilan

berargumentasi dengan sistem minus point, pengaturan aturan-aturan diskusi, dan peranan moderator dalam

memfasilitasi diskusi isu sosiosaintifik.

Page 82: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

77

DAFTAR PUSTAKA

Aleixandre MPJ, Rodri´Guez AB, Duschl RA. 2000. “Doing the Lesson” or “Doing Science”: Argument in

High School Genetics. Science Education, 84(6):757-792 .

Bosman L, Zagenczyk T. 2011. Revitalize Your Teaching: Creative Approaches to Applying Social Media

in the Classroom. White, B., King, I., & Tsang, P. (Eds). Social Media Tools and Platforms in

Learning Environtment. London: Springer.

Brusell E, Cimino C. 2009. Investigating the Impact of Weekly Weblog Assignments on the Learning

Environment of a Secondary Biology Course. Technology & Social Media (Special Issue, Part 1),

15(2).

Chang SN, Chiu MH. 2008. Lactos’s Scientific Research: Programmes as a Framework for Analysing

Informal Argumentation about Sosio-scientific Issues. International Journal of Science Education, 30

(17):1753-1773.

Cowan J. 2002. Plus/Minus Marking: a method of assessment worth considering. The Higher Education

Academy. Tersedia secara online di: http://jisctechdis.ac.uk [Akses 6 Febuari 2014]

Cross D, Taasoobshirazi G, Hendricks S, Hickey, DT. 2008. Argumentation: a Strategy for improving

achievement and revealing scientific identities. International Journal of Science Education, 30(6),

837-861.

Dawson V, Venville GJ. 2009. High School Student’s Informal Reasoning and Argumentation about

Biotechnology: An Indicator of Science Literacy?. International Journal of Science Education,

31(11): 1412-1445.

DeBoer GE. 1991. A history of Ideas in Science Education. New York: Teacher College Press.

Erduran S, Ardac D. Guzel BY. 2006. Learning to Teach Argumentation: Case Studies Secondary Science

Teachers. Eurasia Journal of Matematics Science and Teachnology Eduacation. 2(2):1-12

Freeley AJ, Steinberg DL. 2009. Argumentation and Debate. Miami: Wadsworth Cengage Learning.

Girle RA. 1991. Dialogue and the Teaching of Reasoning. Educational Philosophy and Theory, 23 (1):45–

55.

Hakyolu H, Bekiroglu FO. 2011. Assessment of Students’ Science Knowledge Levels and Their

Involvement with Argumentation. International Journal for Cross-Disciplinary Subjects in Education

(IJCDSE), 2(1): 264-270.

Harris R. Ratcliffe M. 2005. Socio-scientific Issues of Exploratory Talk-What Can be Learned from School

Involved in a ‘Collapsed Day Project’?. The Curriculum Journal. 16(4): 439-453.

Inch ES, Warnick B, Endres D. 2006. Critical Thinking and Communication: The Use of Reason in

Argument. Boston: Pearson Education Inc.

Khun D, Udell W. 2003. The Development of argumentation Skill. Child Development, 74(5): 1245-1260.

Lee CK. 2008. A Proposed Instructional Model Using Socioscientific Issues to Illustrate the Nature of

Science (NOS-SSI Instructional Model). Tersedia online di http://aracte.org. [Unduh 3 Maret 2011]

Lewis SE. 2003. Issue-Based Teaching in Science Education. American Institute of Biological Sciences.

Tersedia online di http://www.actionbioscience.org. [Unduh 3 Juni 2012]

Marrero ME, Mensah FMM. 2010. Socioscientific Decision Making the Ocean: The Case Study of 7th Grade

Life Science Students. Electronic Journal of Science Education, 14(1).

Mc Neill KL. 2009. Teachers’ Use of Curriculum to Support Students in Writing Scientific Arguments to

Explain Phenomena. Journal of Science Education 93, 223-268. Tersedia online di

http://interscience.wiley.com [Unduh 3 Juni 2012]

Nuangchalern P. 2010. Engaging Students to Perceive Nature of Science Though Socioscientific Issue-Based

Instruction. European Journal of Social Science. 13(1): 34-37.

Page 83: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

78

Osborne J, Eduran S, Simon J. 2005. “The role of argument in Developing Science Literacy”. K. Boesma,

M. Goedhart, O. De Jong, & H. Eijkelhof [Eds]. Research and Quality of Science Education.

Dordrecht, Nederlands: Spinger.

Osborne J. 2005. The Role of argument in Science Education. K. Boesma, M. Goedhart, O. De Jong, & H.

Eijkelhof [Eds]. Research and Quality of Science Education. Dordrecht, Nederlands: Spinger.

Ragupathi W. 2011. Facebook for Teaching and Learning. Technology in Pedagogy, 1. Tersedia online di

http://www.cdtl.nus.edu.sg. [Unduh 18 April 2013]

Robert R, Gott R. 2009. A framework for Practical Work, Argumentation, and Scientific Literacy.

G.Cakmaci, MF Tafsar [Eds]. a Collection of papers presented at ESERA 2009 Conference.

Contemporary Science Education Research: Scientific Literacy and Social Aspects of Science. pp.

99–105. Ankara: Pegem Akademi.

Sadler TD. 2011. Socio-scientific Issues in The Clasroom: Teaching, Learning, & Research. Dordrecht:

Springer.

Sadler TD, Zeidler DL. 2004. The Morality of Sosioscientific Issues: Construal and resulution on genetic

engineering dillemas. Journal of Science Education 88:4-27. Tersedia online di

http://interscience.wiley.com. [Unduh 3 Juni 2012]

Serrano MJH. 2011. Progressing the Social Dimension Toward the Collaborative Construction of

Knowledge in 2.0 Learning Environments: A Pedagogical Approach. White, B., King, I., & Tsang,

P. (Eds). Social Media Tools and Platforms in Learning Environtment. London: Springer.

Toulmin SE. 2003. The Uses of Argument. New York: Cambridge University Press.

Wahyudi R. 2011. Naik 13 Juta, Pengguna Internet Indonesia 55 Juta Orang. Tersedia online di

http://tekno.kompas.com [Unduh 18 April 2013]

Yager RE. 1996. Science Technology Society as Reform in Science Education. New York: State University

of New York Press. Tersedia online di http://books.google.co.id

Zeidler DL, Sadler TD, Simmons ML, Howets SE. 2005. Beyond STS: A Research-Based Framework for

Socioscientific Issues Education. Wiley Periodicals, Inc. Tersedia online di

http://faculty.education.ufl.edu. [Unduh 12 April 2012]

Page 84: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

79

MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA PADA ASPEK PROSES SAINS MELALUI

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIMEDIA INTERAKTIF

Evi Sapinatul Bahriah

Dosen Prodi Pendidikan Kimia, Jurusan Pendidikan IPA

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

[email protected]/[email protected]

Abstract

This study aims to improve the scientific literacy of students in aspects of the process of

science through interactive multimedia based learning on the theme of chemical equilibrium in

living creatures and industry. The research method used is weak experimental with The One-

Group Pretest-Postest Design. Research instrument in the form of pieces of scientific literacy

test in the form of multiple choice questions. The trial results demonstrate scientific literacy of

students in every aspect of the process of science has increased with an average value of N-

Gain (%) on the indicator "Identifying scientific issues" of 74.2 (high category), indicators of

"Explaining phenomena scientifically" by 72, 5 (high category), and indicators of "Using

scientific evidence" of 78.5 (high category).

Keywords: Science Literacy, Aspects of Process Science, Interactive Multimedia Software,

Chemical Equilibrium, Weak Experimental.

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini berpengaruh pada berbagai bidang

kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah proses akademik yang tujuannya

untuk meningkatkan nilai sosial, budaya, moral, serta mempersiapkan sumber daya manusia yang melek

sains dan teknologi, yang mampu menghadapi tantangan dalam kehidupan nyata baik pada lingkup lokal

maupun global.

Pendidikan sains memiliki potensi dan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang

berkualitas seperti yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2006).

Potensi ini akan terwujud jika pendidikan sains mampu melahirkan peserta didik yang cakap dalam

bidangnya dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, memecahkan masalah,

bersifat kritis, menguasai teknologi, melek sains, serta adaptif terhadap perubahan dan perkembangan zaman

(Mudzakir, 2005). Arti lebih lanjut adalah bahwa pendidikan sains harus mampu menghasilkan masyarakat

yang literate terhadap sains (Hayat & Yusuf, 2010). Literate dalam sains ini dikenal dengan literasi sains.

PISA (Programme for International Student Assesment) mendefinisikan literasi sains sebagai kapasitas

individu dalam menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan, menarik

kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia

alami serta interaksi manusia dengan alam (OECD, 2009).

Namun, berdasarkan hasil studi penilaian yang dilakukan oleh PISA (Programe for International

Student Assessment) mengungkapkan bahwa pembelajaran sains di Indonesia kurang berhasil meningkatkan

kemampuan literasi sains. Hal ini terungkap berdasarkan hasil studi PISA pada tahun 2000 Indonesia berada

pada peringkat ke-38 dari 41 negara peserta PISA dengan nilai rerata tes 393; pada tahun 2003 Indonesia

menempati peringkat ke-38 dari 41 negara peserta dengan nilai rerata tes 395; pada tahun 2006 juga

menunjukkan tingkat literasi sains anak-anak Indonesia masih rendah, yakni: 29% untuk konten, 34% untuk

proses, dan 32% untuk konteks dengan rerata tes 395; dan terakhir pada tahun 2009 Indonesia menempati

peringkat ke-57 dari 65 negara peserta dengan skor 383 (OECD, 2009).

Page 85: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

80

Literasi sains terhadap materi pelajaran kimia saat ini juga masih belum menggembirakan salah satu

sebabnya adalah proses pembelajaran kimia yang terjadi di Indonesia masih menitikberatkan pada aspek

menghafal konsep, teori, dan hukum tanpa diikuti pemahaman yang bisa digunakan siswa dalam kehidupan

nyata mereka. Keadaan ini diperparah dengan pembelajaran yang berorientasi pada tes akhir. Akibatnya ilmu

kimia sebagai proses, sikap, dan aplikasi belum tersentuh seutuhnya dalam pembelajaran.

Implikasi dari kenyataan tersebut, guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan di sekolah

dihadapkan pada tantangan bagaimana pembelajaran kimia dirancang dan diimplementasikan agar aktif,

inspiratif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Bagaimanapun pemilihan dan penggunaan metode dan media

pembelajaran yang inovatif dan komunikatif dalam penyampaian materi merupakan komponen pembelajaran

yang masih perlu diantisipasi oleh guru.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, sangat penting untuk dikembangkan suatu model

pembelajaran alternatif yang menyenangkan dan interaktif, yang dapat meningkatkan literasi sains tetapi

tidak mengurangi esensi materi pelajaran yang dituntut dalam kurikulum nasional. Salah satu alternatif yang

dapat diterapkan dalam mengatasi masalah ini adalah dengan memanfaatkan teknologi komputer dalam

bentuk multimedia interaktif.

Beberapa pakar multimedia interaktif (Muhammad, 2002; Setiawan, 2007) mengemukakan bahwa

pembelajaran multimedia interaktif dapat digunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran,

perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar. Bentuk-bentuk media yang

ditampilkan harus mencerminkan pengalaman belajar. Peningkatan kualitas pengalaman belajar lebih berarti

bagi siswa, sehingga diharapkan berdampak pula pada hasil belajarnya.

Penelitian yang mengkaji bagaimana pengaruh penggunaan komputer sebagai multimedia terus

berkembang. Hasil penelitian Polla (2000), mengungkapkan bahwa pembelajaran berbantuan komputer

mampu menciptakan suatu proses belajar mengajar yang interaktif, sehingga dapat memberikan manfaat

optimal bagi siswa dan guru dalam mencapai tujuan pendidikan. Wiratama (2010) mengungkapkan bahwa

pemanfaatan laboratorium virtual interaktif pada pembelajaran kesetimbangan kimia dapat meningkatkan

kemampuan generik sains dan keterampilan berpikir kritis siswa SMA. Bahriah, E.S (2012) juga

mengungkapkan bahwa penggunaan multimedia interaktif dapat meningkatkan literasi sains siswa baik pada

aspek konten, proses, konteks, dan sikap sains siswa.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa secara umum

pembelajaran dengan multimedia interaktif dapat diterapkan pada berbagai level pembelajaran dan

memberikan dampak positif terhadap hasil belajar. Hal ini sejalan dengan hasil studi PISA yang

mengungkapkan bahwa penggunaan komputer sebagai produk teknologi informasi dan komunikasi

berhubungan erat dengan pencapaian akademik yang tinggi (Horrison, et al. dalam OECD, 2009). Oleh

karena itu, dipandang perlu adanya penelitian lebih lanjut.

Materi yang dipilih dalam penelitian ini adalah kesetimbangan kimia. Hal ini dikarenakan materi

kesetimbangan kimia berkaitan dengan kompetensi proses yaitu pengetahuan tidak hanya mengandalkan

daya ingat siswa dan berkaitan hanya dengan informasi tertentu dan merupakan salah satu materi kimia yang

bersifat abstrak tetapi sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari karena aplikasinya luas. Oleh karena itu,

dalam memahami konsep tersebut, siswa dituntut untuk memiliki pemahaman abstraksi yang baik. Untuk

membantu mengembangkan konsep abstraksi tersebut guru harus pandai memilih media.

Berdasarkan paparan tersebut, masih jarang peneliti yang mengembangkan pembelajaran multimedia

interaktif kesetimbangan kimia untuk meningkatkan literasi sains pada aspek proses sains. Oleh karena itu,

peneliti tertarik untuk meneliti dan mengembangkan lebih lanjut tentang bagaimana meningkatkan literasi

sains siswa pada aspek proses sains melalui pembelajaran berbasis multimedia interaktif.

KAJIAN TEORI

Literasi Sains

Paul de Hart Hurt dari Stamford University menyatakan bahwa Scientific Literacy berarti memahami

sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat. Literasi sains menurut National Science Education

Standards adalah suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan proses sains yang akan

Page 86: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

81

memungkinkan seseorang untuk membuat suatu keputusan dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut

terlibat dalam hal kenegaraan, budaya, dan pertumbuhan ekonomi.

PISA mendefinisikan literasi sains sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains,

mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami

serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui

aktivitas manusia. Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya

pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan lebih dari itu. PISA menetapkan tiga dimensi besar

literasi sains dalam pengukurannya, yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains.

PISA juga memandang pendidikan sains berfungsi untuk mempersiapkan warga negara masa depan,

yakni warga negara yang mampu berpartisipasi dalam masyarakat yang semakin terpengaruh oleh kemajuan

sains dan teknologi. Oleh karenanya pendidikan sains perlu mengembangkan kemampuan peserta didik

memahami hakekat sains, prosedur sains, serta kekuatan dan limitasi sains. Peserta didik perlu memahami

bagaimana ilmuwan sains mengambil data dan mengusulkan eksplanasi-eksplanasi terhadap fenomena alam,

mengenal karakteristik utama penyelidikan ilmiah, serta tipe jawaban yang dapat diharapkan dari sains.

Karakteristik utama sains mencakup: pengumpulan data dipandu oleh gagasan dan konsep, sifat tentatif dari

pengetahuan sains, keterbukaan terhadap pengujian dan pengkajian, menggunakan argumen logis, serta

kewajiban untuk melaporkan metode dan prosedur yang digunakan dalam pengumpulan bukti.

Oleh karena itu, PISA menjadikan proses sains ini sebagai salah satu domain penilaiannya. Namun

dalam perkembangan terakhir, PISA memilih istilah “Kompetensi Sains” sebagai pengganti proses sains.

Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan

masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di

dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak di jawab oleh sains, mengenal bukti apa yang

diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang

tersedia. PISA juga menetapkan tiga aspek dari komponen proses dalam penilaian literasi sains, yakni: (1)

Mengidentifikasi pertanyaan ilmiah; yaitu pertanyaan ilmiah meminta jawaban berlandaskan bukti ilmiah.

Termasuk di dalamnya mengenal pertanyaan yang mungkin diselidiki secara ilmiah dalam situasi yang

diberikan, mengidentifikasi kata-kata kunci untuk mencari informasi ilmiah tentang suatu topik yang

diberikan. (2) Menjelaskan fenomena secara ilmiah; dimana peserta didik mendemonstrasikan kemampuan

proses sains ini dengan mengaplikasikan pengetahuan sains dalam situasi yang diberikan. Kompetensi ini

mencakup mendeskripsikan atau menafsirkan fenomena, memprediksi perubahan. Kompetensi ini melibatkan

pengenalan dan identifikasi deskripsi, eksplanasi, dan prediksi yang sesuai. (3) Menggunakan bukti ilmiah;

Kompetensi yang menuntut peserta didik memaknai temuan ilmiah sebagai bukti untuk suatu kesimpulan.

Multimedia Pembelajaran Interaktif

Secara etimologis multimedia berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua kata yaitu multi yang berarti

banyak atau bermacam-macam dan medium yang diartikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya

komunikasi dari pengirim menuju ke penerima (Heinich et al., 1996). Konsep multimedia didefinisikan oleh

Haffost (Munir, 2008) sebagai suatu sistem komputer yang terdiri dari hardware dan software yang

memberikan kemudahan untuk menggabungkan gambar, video, fotografi, grafik, animasi, suara, teks, dan

data yang dikendalikan oleh komputer. Sejalan dengan hal tersebut, Thomson (1994) mendefinisikan

multimedia sebagai suatu sistem yang menggabungkan gambar, video, animasi, suara secara interaktif.

Arsyad (2011) juga mengemukakan bahwa multimedia dapat diartikan sebagai lebih dari satu media.

Ini bisa kombinasi antara teks, grafik, animasi, suara, atau video, yang mana perpaduan dan kombinasi dua

atau lebih jenis media ditekankan pada satu kendali komputer sebagai penggerak keseluruhan gabungan

media itu. Multimedia juga merupakan media pengajaran dan pembelajaran yang efektif dan efisien

berdasarkan kemampuannya menyentuh berbagai panca indera seperti penglihatan, pendengaran, dan

sentuhan, sebagaimana dikemukakan oleh Schade dalam Munir (2008):“Multimedia improves sensory

stimulation, particulary due to the inclusion of interactivity”.

Penggunaan media pembelajaran dapat mendukung keberhasilan pembelajaran karena menurut Munir

(2008) media pembelajaran memiliki kelebihan-kelebihan sebagi berikut: (1) Dapat memberikan pemahaman

yang lebih dalam terhadap materi pembelajaran yang sedang dibahas, karena dapat menjelaskan konsep yang

Page 87: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

82

sulit atau rumit menjadi mudah atau lebih sederhana. (2) Dapat menjelaskan materi pembelajaran atau objek

yang abstrak menjadi konkrit. (3) Membantu pengajar menyajikan materi pembelajaran menjadi lebih mudah

dan cepat, sehingga materi pun mudah dipahami, lama diingat, dan mudah diungkapkan lagi. (4) Menarik dan

membangkitkan perhatian, minat, motivasi, aktivitas, dan kreativitas belajar peserta didik, serta dapat

menghibur peserta didik. (5) Memancing partisifasi peserta didik dalam proses pembelajaran dan

memberikan kesan yang mendalam dalam peserta didik. (6) Materi pelajaran yang sudah dipelajari dapat

diulang kembali (playback). (7) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. (8) Membentuk sikap

peserta didik dan meningkatkan keterampilan. (9) Peserta didik dapat belajar sesuai dengan karakteristiknya,

kebutuhan, minat, dan bakatnya, baik belajar secara individual, kelompok, atau klasikal. (10) Menghemat

waktu, tenaga, dan biaya.

METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah weak experimental dengan desain The One-Group Pretest-

Postest Design (Fraenkel, et al., 2006). Desain The One-Group Pretest-Postest Design adalah desain

penelitian yang hanya menggunakan satu kelas, dimana sebelum dan setelah perlakuan diberikan tes. Berikut

adalah gambaran desain penelitian yang digunakan.

Gambar 1. Weak Experimental dengan Desain

The One-Group Pretest-Postes Design

Dimana: O1 = Pretes; O2 = Postes; X = Pembelajaran dengan multimedia interaktif

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA-Reguler Tahun Pelajaran

2011/2012 di SMA X Jakarta. Subjek penelitian berjumlah 31 siswa yang terdiri dari 17 orang siswa laki-laki

dan 14 siswa perempuan dan dipilih dengan cara purposive sampling. Adapun instrumen yang digunakan

adalah tes pilihan ganda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan selama 4 kali pertemuan (6x40‘). Pada pertemuan pertama dilakukan pretes

dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan literasi awal siswa. Pertemuan kedua dan ketiga dilakukan

implementasi pembelajaran dengan menggunakan multimedia interaktif kesetimbangan kimia. Setelah proses

perlakuan selesai, kegiatan diakhiri dengan pemberian postes, yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan

kemampuan literasi sains siswa pada aspek proses sains.

Dari kegiatan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data skor pretes, postes, dan N-Gain (%)

tentang kemampuan literasi sains siswa. Berikut adalah Tabel 1 yang menggambarkan hasil belajar siswa

pada aspek proses sains sebelum dan setelah implementasi pembelajaran dengan menggunakan software

multimedia interaktif.

Tabel 1. Hasil Belajar Siswa pada Aspek Proses Sains

Indikator

Proses Sains No. Soal

Rata-rata (%) N-Gain

(%) Pretes Postes

Mengidentifikasi isu ilmiah 18, 22 17,7 82,3 74,2

Menjelaskan fenomena ilmiah 1, 2,

3,4,5,6,7,8,9,10,12,1

3,14,15,17,19,21,23,

24,25

52,3 89,7 72,5

Menggunakan bukti ilmiah 11, 16, 20 21,5 84,9 78,5

Rata-rata 30,5 85,6 75,1

Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa secara umum semua aspek proses sains mengalami

peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai rata-rata N-Gain (%) sebesar 75,1

O1 X O2

Page 88: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

83

(kategori tinggi) yang menunjukkan adanya peningkatan rata-rata tes dari 30,5 menjadi 85,6. Peningkatan

hasil belajar pada aspek proses sains dapat dilihat juga pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Grafik peningkatan hasil belajar siswa pada aspek proses sains dengan P-1= Mengidentifikasi

isu ilmiah; P-2= Menjelaskan fenomena ilmiah; dan P-3= Menggunakan bukti ilmiah

Berdasarkan data pada Gambar 2, dapat dilihat bahwa secara umum semua aspek proses sains

mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai rata-rata N-Gain (%) dari

masing-masing indikator. Nilai rata-rata N-Gain (%) indikator “Mengidentifikasi isu ilmiah” yaitu sebesar

74,2 (kategori tinggi), nilai rata-rata N-Gain (%) indikator “Menjelaskan fenomena ilmiah” yaitu sebesar 72,5

(kategori tinggi), dan nilai rata-rata N-Gain (%) indikator “Menggunakan bukti ilmiah” yaitu sebesar 78,5

(kategori tinggi). Setiap indikator pada aspek proses sains mengalami peningkatan pada kategori tinggi. Hal

ini dikarenakan dalam penyampaian konsep kesetimbangan banyak ditampilkan simulasi, gambar, animasi,

dan video yang memuat konteks-konteks yang dekat dengan siswa dan merangsang keingintahuan mereka

untuk memperdalam lebih jauh konsep ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Levie dan Lentz (1982) yang

mengemukakan bahwa media visual berfungsi untuk atensi, afektif, kognitif, dan kompansatoris.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa literasi sains siswa pada

setiap aspek proses sains mengalami peningkatan dengan nilai rata-rata N-Gain (%) pada indikator

“Mengidentifikasi isu ilmiah” sebesar 74,2 (kategori tinggi), indikator “Menjelaskan fenomena ilmiah”

sebesar 72,5 (kategori tinggi), dan indikator “Menggunakan bukti ilmiah” sebesar 78,5 (kategori tinggi).

SARAN

Adapun saran-saran demi perbaikan antara lain: software multimedia yang dihasilkan belum dapat

memberikan konstribusi yang maksimal untuk mamantapkan konsep-konsep yang bersifat hitungan sehingga

diperlukan penguatan dengan penambahan jam pelajaran. Software multimedia interaktif ini juga masih perlu

perbaikan terutama pada simulasi percobaan serta konsep-konsep yang bersifat mikroskopik.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.

Arsyad A. 2004. Media pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Bahriah ES. 2012. Pengembangan Multimedia Interaktif Kesetimbangan Kimia Untuk Meningkatkan Literasi

Sains Siswa. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Fraenkel J, Wallen NE. 2006. How to Design and Evaluate Research in Education Seventh Edition. San

Francisco: The McGraw-Hill Companies.

Holbrook J. 1998. “A Resource Book for Teachers of Science Subjects”. UNESCO.

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

P-1 P-2 P-3

17,7

52,3

21,5

82,389,7 85,0

74,2 72,578,5

Rat

a-ra

ta

Aspek Proses Sains

PRETES

POSTES

N-Gain (%)

Page 89: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

84

Hayat B, Yusuf S. 2010. Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Heinich R, et al. 1996. Instructional Media and Technology for Learning. New Jersey: Pretince Hall. Inc.

Meltzer DE. 2002. “The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Grains in

Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostice Pretest Scores”. American Journal Physics. 70,

(12), 1259-1286.

Matlin MW. 1994. Cognition. Fort Worth: Harcourt Brace Publishers.

Mudzakir A. 2005. Chemie im Kontext (Konsepsi Inovatif Pembelajaran Kimia di Jerman). Seminar Nasional

Pendidikan Kimia.

Munir. 2008. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta.

OECD-PISA. 2006. Science Competencies for Tomorrow’s World. Volume 1: Analysis. USA. OECD-PISA.

OECD. 2009. PISA 2009 Assesment Framework: Key Competences in Reading, Mathematics, and Science.

PISA. 2000. The PISA 2000 Assesment of Reading, Mathematical and Scientific Literacy. [Online]. Tersedia:

http://www.pisa.oecd.org/dataoecd/44/63/33692793.pdf. [26 Februari 2011].

Polla Gerardus. 2000. Buletin Pelangi Indonesia. Jakarta: UNJ.

Retmana LR. 2010. Pembelajaran Berbasis Multimedia Interaktif untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi

Sains Siswa SMP. Tesis S2 UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Setiawan A. 2007. Dasar-dasar Multimedia Interaktif (MMI). Tesis S2 UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Thiagarajan S, et al. 1974. Intructional Development for Training Teacher of Exceptional Children.

Minnesota: Indiana University.

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2006. Jakarta: Depdiknas.

Wallen NE. 2006. How to Design and Evaluate Research in Education Seventh Edition. San Francisco: The

McGraw-Hill Companies.

Wiratama BS. 2010. Pemanfaatan Laboratorium Virtual Interaktif Pada Pembelajaran Kesetimbangan

Kimia Untuk Meningkatkan Kemampuan Generik Sains dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA.

Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Page 90: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

85

KAJIAN EVALUASI HASIL BELAJAR MELALUI PENERAPAN PENILAIAN

BERBASIS KELAS PADA PROGRAM STUDI BERBASIS SAINS DI LINGKUNGAN UIN

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Ai Nurlaela Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

[email protected]

Erina Hertanti Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini mengkaji keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan

mahasiswa Fisika Saintek UIN Syarif Hidayatullah jakarta, semester 1 pada praktikum Fisika

Dasar bab Pengenalan Alat Ukur. Keterampilan proses sains yang dinilai adalah keterampilan

merencanakan percobaan, mengajukan pertanyaan, menggunakan alat/bahan, menerapkan

konsep, berkomunikasi, klasifikasi, dan interpretasi. Dari penelitian ini diperoleh nilai rata-rata

persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK

sebesar 87% dan mahasiswa Fisika Saintek sebesar 86%. Kedua nilai persentase tersebut setelah

dilakukan pengujian selisih antara dua proporsi dengan taraf nyata sebesar α 0,025 menghasilkan

nilai z hitung sebesar 0,272978. Nilai z hitung ini lebih rendah dari zα 1,96 sehingga

kesimpulannya terima H0, yaitu tidak terdapat perbedaan antara nilai rata-rata persentase

ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK dengan

mahasiswa Fisika Saintek. Apabila ditinjau dari setiap indikator keterampilan proses sains,

mahasiswa pendidikan Fisika FITK memiliki nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator

berturut-turut dari tinggi ke rendah adalah keterampilan mengajukan pertanyaan dan interpretasi

dengan nilai 100%, berkomunikasi 95%, klasifikasi 89%, menggunakan alat/bahan 81,67%,

merencanakan percobaan 79%, dan menerapkan konsep 67%. Sementara pada mahasiswa Fisika

Saintek diperoleh rata-rata persentase ketercapaian indikator berturut-turut dari tinggi ke rendah

adalah keterampilan mengajukan pertanyaan, berkomunikasi, dan interpretasi dengan nilai

100%, klasifikasi 89%, menggunakan alat/bahan 87,33%, menerapkan konsep 77%, dan

merencanakan percobaan 50%. Dari semua keterampilan proses sains hanya keterampilan

merencanakan percobaan yang menunjukkan perbedaan yang nyata antara mahasiswa

pendidikan Fisika FITK dengan mahasiswa Fisika Saintek dengan nilai persentase rata-ratanya

berturut-turut adalah 79% dan 50%. Dalam hal ini, mahasiswa pendidikan Fisika FITK lebih

unggul dari mahasiswa Fisika Saintek.

Kata Kunci: Keterampilan proses sains, hasil belajar, evaluasi

PENDAHULUAN

Evaluasi dan penilaian memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk

melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan

dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Dalam praktek pembelajaran secara umum,

pelaksanaan evaluasi menekankan pada evaluasi proses pembelajaran atau evaluasi manajerial, dan evaluasi

hasil belajar atau evaluasi substansial. Kedua jenis evaluasi ini dapat dipergunakan untuk mengetahui kekuatan

dan kelemahan pelaksanaan dan hasil pembelajaran. Selanjutnya pada gilirannya dapat dipergunakan sebagai

dasar memperbaiki kualitas proses pembelajaran menuju ke perbaikan kualitas hasil pembelajaran.

Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk

memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian

kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar

seorang peserta didik. Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan

nilai kuantitatif (berupa angka).

Secara khusus, dalam konteks pembelajaran di kelas, penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan

dan hasil belajar peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik/perbaikan proses

belajar mengajar. Melalui penilaian dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan

Page 91: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

86

pembelajaran dan keberhasilan belajar peserta didik, pendidik, serta proses pembelajaran itu sendiri.

Berdasarkan informasi itu, dapat dibuat keputusan tentang pembelajaran, kesulitan peserta, serta keberadaan

kurikukulum.

Penilaian memiliki tujuan yang sangat penting dalam pembelajaran, salah satu diantaranya adalah

menggambarkan sejauh mana seorang peserta didik telah menguasai kompetensi. Dalam hal ini kompetensi

diartikan sebagai (1) Seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai

syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu

(SK. Mendiknas No. 045/U/2002); (2) Kemampuan yang dapat dilakukan oleh peserta didik yang mencakup

pengetahuan, keterampilan, dan perilaku; (3) Integrasi domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang

direfleksikan dalam perilaku. Mengacu pengertian kompetensi tersebut, maka hasil belajar peserta didik dapat

diklasifikasikan dalam tiga ranah/domain, yaitu (1) domain kognitif (pengetahuan atau yang mencakup

kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika-matematika), (2) domain afektif (sikap dan nilai atau yang mencakup

kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional), dan (3) domain

psikomotor (keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, dan

kecerdasan musikal).

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, baik di tingkat dasar hingga perguruan tinggi penilaian

pembelajaran sains selama ini cenderung lebih difokuskan pada penilaian domain kognitif dan kurang

memperhatikan domain afektif dan psikomotor. Saat praktikum, pendidik kerapkali mengabaikan keterampilan

dan sikap ilmiah peserta didik dalam melakukan percobaan maupun menciptakan hasil karya. Sesungguhnya

menurut Roth, kegiatan praktikum dan eksperimen dapat meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan

proses peserta didik, karena dalam kegiatan praktikum peserta didik dituntut untuk merumuskan masalah,

membuat hipotesis, merancang eksperimen, merakit alat, melakukan pengukuran secara cermat, menganalisis

data, membuat kesimpulan tentang konsep yang dipelajari melalui berbagai fakta langsung sehingga konsep

tersebut menjadi lebih nyata dan bermakna bagi peserta didik.

Penilaian kegiatan praktikum biasanya lebih ditekankan pada hasil (produk) dan cenderung hanya menilai

kemampuan aspek kognitif, yang kadang-kadang direduksi sedemikian rupa melalui laporan hasil praktikum

peserta didik. Hasil penelitian multi kecerdasan menunjukkan bahwa kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika-

matematika yang termasuk dalam domain kognitif memiliki kontribusi hanya sebesar 5% terhadap kesuksesan

kehidupan seseorang. Kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi yang termasuk domain afektif

memberikan kontribusi yang sangat besar, yaitu 80%. Kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spatial dan

kecerdasan musikal yang termasuk dalam domain psikomotor memberikan sumbangannya sebesar 5%. Oleh

sebab itu, sudah seharusnya paradigma penilaian berubah dari sesuatu yang mudah dinilai menjadi sesuatu

yang penting dinilai. Artinya, kompetensi inti yang harus dimiliki oleh pendidik adalah kompetensi

menyelenggarakan penilaian dan evaluasi hasil belajar. Untuk menilai sejauhmana peserta didik telah

menguasai beragam kompetensi, tentu saja berbagai jenis penilaian perlu diberikan sesuai dengan kompetensi

yang akan dinilai, salah satunya dengan menerapkan penilaian berbasis kelas.

Penilaian berbasis kelas merupakan salah satu pilar dalam kurikulum berbasis kompetensi. Penilaian

berbasis kelas adalah proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh pendidik untuk pemberian nilai

terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan kemajuan belajarnya, sehingga didapatkan

potret/profil kemampuan peserta sesuai dengan daftar kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum. Penilaian

berbasis kelas dilaksanakan secara terpadu dalam kegiatan belajar mengajar.

Dalam penelitian ini akan diterapkan penilaian berbasis kelas, yaitu penilaian unjuk kerja. Penilaian unjuk

kerja untuk mengungkap hasil belajar peserta didik dalam domain psikomotorik. Menurut Pusat Kurikulum

Balitbang, penilaian unjuk kerja tepat digunakan untuk menilai ketercapaian kompetensi yang menuntut peserta

didik melakukan tugas tertentu. Misalnya, tugas untuk melakukan percobaan, pengamatan, hipotesis, ataupun

tugas keterampilan proses sains lainnya saat praktikum di laboratorium.

Mengingat kegiatan evaluasi yang belum optimal dan kenyataan di lapangan pun menunjukkan adanya

kesenjangan antara pembelajaran sains dengan teknik penilaiannya, maka penelitian ini dirasakan sangat

penting sebagai upaya terobosan alternatif penilaian komprehensif. Realitas menunjukkan bahwa penilaian

dengan cara konvensional belum mampu mengungkap hasil belajar peserta didik dari aspek unjuk kerja peserta

didik secara aktual. Oleh sebab itu diperlukan penerapan penilaian yang dapat mengungkap aspek tersebut.

Penilaian dengan cara ini dirasakan lebih adil dan fair bagi peserta didik, selain itu juga dapat meningkatkan

motivasi peserta didik untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

Page 92: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

87

METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian

deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejasian yang terjadi pada

saat sekarang. Sedangkan deskriptif analitik adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran

tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Pada penelitian ini obyek yang ditelitinya adalah

keterampilan proses sains mahasiswa prodi Fisika fakultas Saintek dan mahasiswa Prodi pendidikan Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini meliputi dua tahap yaitu

tahap persiapan penelitian dan tahap pelaksanaan penelitian

Persiapan Penelitian

Persiapan yang dilakukan untuk melaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:1) Melakukan studi

pustaka mengenai teori yang melandasi penelitian; 2) Melakukan survey ke fakultas yang akan dijadikan tempat

penelitian; 3) Melakukan konsultasi dengan laboran di tempat dilaksanakannya penelitian; 4) Melakukan

penentuan populasi dan sampel; dan 5) Melakukan pembuatan instrument.

Pelaksanaan Penelitian

Tahap pelaksanaan penelitian meliputi: Pertama, Penilaian terhadap aspek psikomotor terhadap mahasiswa

yang melakukan praktikum sains; Kedua, Analisis data terhadap aspek psikomotor mahasiswa dalam

melakukan praktikum. Adapun teknik analisis datanya adalah dengan menggunakan uji selisih dua proporsi

dengan rumus. Uji ini adalah mencari nilai z hitung melalui persamaan

21

21

11ˆˆ

nnqp

ppz (1)

21

21ˆnn

xxp

(2)

pq ˆ1ˆ (3)

dengan taraf nyata α = 0,025.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dilakukan penilaian terhadap keterampilan proses sains mahasiswa Fisika Saintek dan

mahasiswa Pendidikan Fisika FITK semester 1. Keterampilan proses sains yang diukur pada penelitian ini

meliputi enam keterampilan, yaitu merencanakan percobaan, mengajukan pertanyaan, menggunakan

alat/bahan, menerapkan konsep, klasifikasi, berkomunikasi, dan interpretasi. Pada penelitian ini penilaian

dilakukan dengan menggunakan lembar observasi dengan skala penilaian ya dan tidak. Penilaian dilakukan

pada saat praktikum Fisika Dasar pada bab pengenalan alat ukur.

Observasi dilakukan terhadap enam kelompok mahasiswa, setiap kelompok terdiri dari enam sampai

tujuh orang mahasiswa. Observasi dilakukan oleh dua orang observer dengan masing-masing observer

mengobservasi tiga kelompok praktikan. Adapun penilaiannya adalah dengan melihat indikator pada masing-

masing keterampilan proses sains. Selanjutnya dari lembar observasi masing-masing kelompok dihitung

persentase ketercapaian setiap indikator pada masing-masing keterampilan proses sains. Berikut adalah tabel

persentase ketercapaian indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan

mahasiswa Fisika Saintek pada praktikum pengenalan alat ukur.

Tabel 1. Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Pendidikan Fisika FITK

Keterampilan Proses Sains Persentase ketercapaian indikator (%)

Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Kel 5 Kel 6 Rata-rata

Merencanakan percobaan 75 100 75 75 75 75 79

Mengajukan pertanyaan 100 100 100 100 100 100 100

menggunakan alat/bahan 83 83 75 83 83 83 81.67

Menerapkan konsep 60 60 80 60 60 80 67

Klasifikasi 100 67 100 67 100 100 89

Berkomunikasi 100 100 67 100 100 100 95

Interpretasi 100 100 100 100 100 100 100

Rata-rata 88 87 85 84 88 91 87

Page 93: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

88

Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada Tabel 1, menunjukkan bahwa rata-rata persentase ketercapaian

indikator keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan Fisika FITK sebesar 87%. Berdasarkan indikator

keberhasilan nilai persentase tersebut, mempunyai arti sangat baik. Perolehan persentase tersebut jika dianalisis

dari indikator keterampilan proses sains berturut dari tinggi ke rendah adalah kemampuan untuk mengajukan

pertanyaan dan interpretasi menempati nilai rata-tata paling tinggi yaitu 100%. Berdasarkan indikator

keberhasilan nilai persentase tersebut, mempunyai arti sangat baik. Keterampilan proses yang berada di urutan

kedua adalah keterampilan berkomunikasi dengan nilai 95%. Diikuti oleh keterampilan klasifikasi yang berada

di urutan ke tiga dengan nilai rata-rata persentasenya 89%. Selanjutnya keterampilan menggunakan alat dan

bahan dengan nilai rata-rata persentase 81,67% menempati urutan ke empat. Ketiga nilai rata-rata tersebut

apabila ditinjau berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti sangat baik. Selanjutnya keterampilan

merencanakan percobaan menempati urutan ke lima dengan nilai rata-rata persentasenya 79%. Berdasarkan

indikator keberhasilan, nilai persentase tersebut mempunyai arti baik. Dan keterampilan proses dengan nilai

rata-rata terendah pada mahasiswa pendidikan Fisika FITK adalah keterampilan menerapkan kosep dengan

nilai rata-rata persentasenya sebesar 67%. Nilai rata-rata persentase ini berdasarkan indikator keberhasilan,

mempunyai arti cukup.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada tabel 2, menunjukkan bahwa rata-rata persentase ketercapaian

indikator keterampilan proses sains mahasiswa Fisika Saintek sebesar 86%. Berdasarkan indikator

keberhasilan nilai persentase tersebut, mempunyai arti sangat baik. Perolehan persentase tersebut jika dianalisis

dari indikator keterampilan proses sains berturut dari tinggi ke rendah adalah kemampuan untuk mengajukan

pertanyaan, berkomunikasi dan interpretasi menempati nilai rata-tata paling tinggi yaitu 100%. Berdasarkan

indikator keberhasilan nilai persentase tersebut, mempunyai arti sangat baik. Keterampilan proses yang berada

di urutan kedua adalah keterampilan klasifikasi dengan nilai rata-rata 89%. Diikuti oleh keterampilan

menggunakan alat/bahan yang berada di urutan ke tiga dengan nilai rata-rata persentasenya 87,33%.

Tabel 2. Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Fisika Saintek

Keterampilan Proses Sains Persentase ketercapaian indikator (%)

Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Kel 5 Kel 6 Rata-rata

Merencanakan percobaan 50 50 50 50 50 50 50

Mengajukan pertanyaan 100 100 100 100 100 100 100

menggunakan alat/bahan 83 83 100 100 75 83 87.33

Menerapkan konsep 80 80 80 80 80 60 77

Klasifikasi 100 100 100 100 67 67 89

Berkomunikasi 100 100 100 100 100 100 100

Interpretasi 100 100 100 100 100 100 100

Rata-rata 88 88 90 90 82 80 86

Kedua nilai rata-rata tersebut apabila ditinjau berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti sangat

baik. Selanjutnya keterampilan menerapkan konsep menempati urutan ke empat dengan nilai rata-rata

persentasenya 77%. Berdasarkan indikator keberhasilan, nilai persentase tersebut mempunyai arti baik. Dan

keterampilan proses dengan nilai rata-rata terendah pada mahasiswa Fisika Saintek adalah keterampilan

merencanakan percobaan dengan nilai rata-rata persentasenya sebesar 50%. Nilai rata-rata persentase ini

berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti kurang dari cukup.

Kedua tabel 1 dan 2 dapat disajikan dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu dengan mengambil nilai

rata-rata persentase ketercapaian keterampilan proses sains mahasiswa pendidikan fisika FITK dan mahasiswa

fisika Saintek. Seperti terlihat pada tabel 3 keterampilan merencanakan percobaan mahasiswa pendidikan

Fisika FITK lebih unggul dari mahasiswa Fisika Saintek dengan nilai rata-rata 79% untuk mahasiswa

pendidikan Fisika FITK dan 50% untuk mahasiswa Fisika Saintek. Jadi dalam hal ini, keterampilan

merencanakan percobaan mahasiswa Fisika Saintek masih kurang dari cukup. Di lain pihak, untuk

keterampilan menggunakan alat dan bahan nilai tertinggi dicapai oleh mahasiswa Fisika Saintek dengan nilai

rata-rata persentase ketercapaian indikator sebesar 87,33%, sementara mahasiswa pendidikan Fisika FITK

hanya mencapai nilai 81,67%. Walaupun demikian keduanya sudah mencapai nilai dengan indikator sangat

baik.

Page 94: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

89

Tabel 3. Perbandingan Nilai Rata-Rata Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains

Mahasiswa Pendidikan Fisika FITK dan Mahasiswa Fisika Saintek

Keterampilan Proses Sains

Persentase ketercapaian

indikator (%)

FITK Saintek

Merencanakan percobaan 79 50

Mengajukan pertanyaan 100 100

menggunakan alat/bahan 81.67 87.33

Menerapkan konsep 67 77

Klasifikasi 89 89

Berkomunikasi 95 100

Interpretasi 100 100

Rata-rata 87 86

Keterampilan menerapkan konsep mahasiswa Fisika Saintek lebih unggul dengan nilai rata-rata

persentase ketercapaian indikator sebesar 77% dari mahasiswa pendidikan Fisika FITK yang hanya memiliki

nilai rata-rata persentase 67%. Dalam hal ini mahasiswa pendidikan Fisika FITK masih memiliki nilai dengan

kategori cukup. Demikian pula untuk keterampilan berkomunikasi, mahasiswa Fisika Saintek lebih unggul dari

mahasiswa pendidikan Fisika FITK. Namun keduanya sudah menunjukan nilai persentase rata-rata dengan

kategori sangat baik. Sementara itu, keterampilan klasifikasi dan interpretasi antara mahasiswa pendidikan

Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek keduanya memiliki nilai pencapaian yang sama yaitu 100%.

Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana perbedaan persentase ketercapaian indikator dari setiap

keterampilan proses sains, dilakukan pengujian selisih antara dua proporsi dengan taraf nyata (α) 0,025. Untuk

taraf nyata 0,025 ini proporsi keberhasilan diuji dengan wilayah kritik z > 1,96. Apabila nilai z yang diperoleh

lebih besar dari 1,96 maka tolak H0, berarti persentase ketercapaian indikator Keterampilan Proses Sains dari

mahasiswa FITK dan Saintek berbeda nyata. Sebaliknya apabila nilai z yang diperoleh lebih kecil dari 1,96

maka terima H0, berarti persentase ketercapaian indikator antara mahasiswa pendidikan fisika FITK dan

mahasiswa fisika Saintek tidak berbeda nyata. Berikut adalah tabel hasil pengujian selisih antara dua proporsi

ketercapaian indikator Keterampilan Proses Sains mahasiswa pendidikan fisik FITK dan mahasiswa fisika

Saintek.

Tabel 4. Pengujian Selisih antara Dua Proporsi Ketercapaian Indikator KPS Mahasiswa Pendidikan Fisika

FITK dan Mahasiswa Fisika Saintek

Keterampilan Proses Sains

Persentase ketercapaian

indikator (%)

Uji selisih dua proporsi

FITK Saintek

Merencanakan percobaan 79 50 2.099411 Tolak H0

Mengajukan pertanyaan 100 100 0.000000 Terima H0

menggunakan alat/bahan 81.67 87.33 0.938391 Terima H0

Menerapkan konsep 67 77 0.862582 Terima H0

Klasifikasi 89 89 0.000000 Terima H0

Berkomunikasi 95 100 1.240356 Terima H0

Interpretasi 100 100 0.000000 Terima H0

Rata-rata 87 86 0.272978 Terima H0

Data-data yang tersaji pada tabel 4 memperlihatkan keterampilan merencakan percobaan antara

mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek berbeda nyata (tolak H0). Sementara untuk

keterampilan proses yang lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (terima H0). Data-data tersebut

dapat disajikan dalam bentuk grafik batang seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Page 95: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

90

Gambar 1. Perbandingan Nilai Rata-rata Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses

Sains

Gambar 1 memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan pada keterampilan merencanakan

percobaan. Perbedaan yang tidak terlalu signifikan pada keterampilan menggunakan alat/bahan, menerapkan

konsep, dan berkomunikasi.

Keterampilan proses sains merupakan keterampilan-keterampilan yang biasa dilakukan ilmuwan

untuk memperoleh pengetahuan. Keterampilan proses ini perlu untuk dikaji karena sangat bermanfaat bagi

mahasiswa. Mahasiswa yang terlatih menggunakan keterampilan proses ini akan mudah menerapkan konsep

sains dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa keterampilan proses sains pada penelitian ini hanya

mengambil tujuh keterampilan proses sains yang diobservasi pada mahasiswa saat melakukan praktikum

pengenalan alat ukur. Berikut akan dijelaskan hasil observasi pada masing-masing keterampilan proses sains

Merencanakan Percobaan

Keterampilan merencanakan percobaan pada penelitian ini meliputi beberapa indikator yang harus

dipenuhi oleh mahasiswa pada saat memulai praktikum pengenalan alat ukur. Adapun beberapa indikator

tersebut adalah:

1. Membaca buku panduan praktikum dengan baik sebelum praktikum dimulai

2. Menyiapkan/memeriksa alat dan bahan sesuai yang tercantum dalam buku panduan praktikum

3. Melakukan kalibrasi sederhana sebelum melaksanakan praktikum

4. Melakukan aspek-aspek keamanan (diri, alat, dan lingkungan) sesuai dengan pedoman kerja

Berdasarkan Tabel 1, hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa pendidikan Fisika FITK

diperoleh nilai persentase ketercapaian indikator rata-rata sebesar 79%. Dari ke enam kelompok mahasiswa

pendidikan fisika FITK yang diobservasi, tidak melakukan indikator ke 3 yaitu melakukan kalibrasi sederhana

sebelum melaksanakan praktikum. Sedangkan hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa fisika

saintek dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel terlihat nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator untuk

mahasiswa saintek sebesar 50%. Semua kelompok tidak melakukan indikator ke 3 yaitu melakukan kalibrasi

sederhana sebelum melaksanakan praktikum dan indikator ke 4 yaitu melakukan aspek-aspek keamanan (diri,

alat, dan lingkungan) sesuai dengan pedoman kerja.

Pengujian selisih dua proporsi untuk nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator pada keterampilan

merencanakan percobaan antara mahasiswa Pendidikan Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek dengan

nilai taraf nyata (α) 0,025 menghasilkan nilai z sebesar 2.099411. Keputusannya adalah tolak H0 karena nilai

z hitung lebih besar dari zα, hal ini mengindiasikan bahwa mahasiswa pendidikan Fisika FITK lebih unggul

ketercapaian indikator merencanakan percobaanya daripada mahasiswa Fisika Saintek.

Apabila dilihat secara keseluruhan baik mahasiswa pendidikan Fisika FITK maupun mahasiswa Fisika

Saintek belum memperhatikan pentingnya kalibrasi alat sebelum melakukan pengukuran. Pada saat mereka

menggunakan jangka sorong, mikrometer skrup dan neraca analitik semua kelompok langsung menggunakan

alat-alat ukur tersebut tanpa memastikan bahwa skala pada alat tersebut benar-benar sudah berada di posisi nol.

Keterampilan merencanakan percobaan ini penting karena dari pengukuran keterampilan ini dapat dilihat

kesiapan mahasiswa untuk melakukan percobaan dalam hal ini penggunaan alat ukur. Apabila mahasiswa

sudah mengalami kesalahan pada tahap ini maka akan berakibat pada kesalahan selanjutnya. Mengenai

kalibrasi alat sebelum digunakan, pada buku panduan praktikum Fisika Dasar Pendidikan Fisika FITK itu

Page 96: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

91

sudah tercantum dengan jelas pada langkah pertama baik itu untuk penggunaan alat ukur mikrometer sekrup,

jangka sorong maupun neraca analitik. Namun pada saat praktikum kemungkinan mahasiswa tidak menyadari

bahwa kalibrasi itu benar-benar penting dan harus selalu dilakukan di awal pengukuran. Dalam hal ini peran

asisten lab diperlukan untuk selalu mengingatkan praktikan agar melakukan kalibrasi. Sementara itu, pada

buku panduan praktiukum Fisika Dasar mahasiswa Fisika Saintek tidak dicantumkan tahap kalibrasi ini. Ini

bisa dijadikan masukan kepada tim penyusun buku panduan praktikum bahwa tahap kalibrasi harus dinyatakan

secara eksplisit dalam buku panduan praktikum.

Adapun mengenai aspek-aspek keselamatan diri mahasiswa masih terlihat tidak terlalu memperhatikan

hal ini karena mereka menganggap bahwa praktikum Fisika tidak sebahaya praktikum Kimia. Akibatnya

mereka terlihat tidak hati-hati dalam menggunakan alat bahkan ada beberapa orang yang justeru memainkan

beberapa alat ukur, becanda dengan teman dan masih ada beberapa tidak menggunakan jas lab.

Petunjuk praktikum fisika dasar yang sudah ada, menyebutkan tujuan, alat dan bahan praktikum serta

langkah kerja dengan rinci, sehingga mahasiswa tinggal melaksanakan praktikum, tanpa membuat perencanaan

percobaan terlebih dahulu. Sehingga dalam pelaksanaan, petunjuk praktikum yang digunakan selama ini

kurang mengembangkan keterampilan ilmiah.

Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Wawan Kuriawan dan Diana Endah H mengenai

pembelajaran fisika dengan metode inquiry terbimbing untuk mengembangkan keterampilan proses sains

menjelaskan bahwa buku panduan praktikum dapat dibuat sedemian rupa sehingga menuntut mahasiswa calon

guru untuk dapat mengembangkan keterampilan ilmiah.

Wawan Kurniawan juga memaparkan dalam jurnalnya bahwa yang jadi penyebab rendahnya

keterampilan merencanakan percobaan salah satunya dimungkinkan karena mahasiswa belum memiliki

persiapan dalam menghadapi praktikum. Hal ini disebabkan mungkin karena mahasiswa saat belajar di sekolah

menengah jarang atau belum pernah melakukan praktikum fisika. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wawan

Kurniawan tersebut keterampilan merencanakan percobaan hanya mencapai nilai rata-rata persentase pada

siklus satu sebesar 60,01% yang berarti kategori nilai tersebut masih kurang dari cukup.

Mengajukan pertanyaan

Keterampilan mengajukan pertanyaan merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki peserta didik

sebelum mempelajari suatu masalah lebih lanjut. Pertanyaan yang diajukan dapat meminta penjelasan, tentang

apa, mengapa, bagaimana, atau menanyakan latar belakang hipotesis.

Hasil observasi terhadap mahasiswa secara keseluruhan mahasiswa sudah menunjukkan keterampilan

untuk bertanya dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator sebesar 100%. Berdasarkan indikator

keberhasilan, nilai tersebut mempunyai arti sangat baik. Sebelum praktikum mahasiswa menanyakan beberapa

pertanyaan terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan praktikum. Rata-rata mereka

menanyakan apa saja yang akan diukur.

Menggunakan alat/bahan

Keterampilan menggunakan alat dan bahan merupakan keterampilan proses selanjutnya yang harus

dimiliki oleh mahasiswa. Pada keterampilan ini menurut Zulfiani aspek-aspek yang diukur antara lain adalah

keterampilan untuk memkai alat/bahan, mengetahui alasan mengapa menggunakan alat/bahan, mengetahui

bagaimana menggunakan alat/bahan. Karena pada penelitian ini peneliti mengukur aspek psikomotor

mahasiswa selama melakukan praktikum pegenalan alat ukur, maka peneliti menentukan beberapa indikator

yang harus dipenuhi dalam pengukuran keterampilan menggunakan alat/bahan. Indikator-indikator tersebut

adalah:

1. Menggunakan jangka sorong ketika mengukur diameter dalam, luar dan kedalaman

2. Menempatkan jangka sorong tegak lurus dengan benda yang diukur

3. Menempatkan sedekat mungkin benda yang diukur dengan skala utama pada jangka sorong

4. Mengencangkan baut pengunci jangka sorong ketika pengukuran sudah pas

5. Memperhatikan angka pada skala utama dan skala nonius pada jangka sorong ketika melakukan

pengukuran

6. Menggunakan mikrometer skrup ketika mengukur ketebalan suatu benda

7. Menjepit benda yang diukur diantara poros tetap dan poros geser sampai terjepit dengan tepat

8. Memutar pengunci poros penggeser pada mikrometer skrup sampai terdengar bunyi klik agar tidak bisa

bergerak lagi

9. Memperhatikan angka pada skala utama dan skala putar pada mikrometer ketika mengukur

10. Meletakkan benda yang diukur massanya pada neraca analitik

11. Menggeser skala neraca analitik dimulai dari skala besar kemudian skala kecil

12. Membaca hasil pengukuran neraca analitik ketika dua garis sejajar sudah seimbang (panah sudah berada

di titik setimbang 0)

Page 97: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

92

Hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa pendidikan Fisika FITK menghasilkan data rata-rata

persentase ketercapaian indikator keterampilan menggunakan alat/bahan sebesar 81,67% seperti tertera pada

Tabel 1 di atas. Semua kelompok tidak melakukan indikator ke 1 yaitu penggeser pada micrometer skrup

sampai terdengar bunyi klik agar tidak bisa bergerak lagi. Dan satu kelompok tidak melakukan indikator ke 3

yaitu menempatkan sedekat mungkin benda yang diukur dengan skala utama pada jangka sorong.

Sementara itu untuk mahasiswa Fisika Saintek, hasil observasi terhadap enam kelompok diperoleh data

rata-rata persentase ketercapaian indikator pada keterampilan menggunakan alat/bahan seperti terlihat pada

Tabel 2, yaitu sebesar 87,33%. Ada 4 kelompok yang tidak melakukan indikator ke 2 yaitu menempatkan

jangka sorong tegak lurus dengan dengan benda yang diukur, 2 kelompok tidak melakukan indikator ke 4 yaitu

mengencangkan baut pengunci jangka sorong ketika pengukuran sudah pas, 2 kelompok tidak melakukan

indikator ke 11 yaitu menggeser skala neraca analitik dimulai dari skala besar kemudian skala kecil, 1

kelompok tidak melakukan indikator ke 12 yaitu membaca hasil pengukuran neraca analitik ketika dua garis

sejajar sudah seimbang.

Nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan menggunakan alat/bahan pada mahasiswa

fisika Saintek sedikit lebih unggul dibandingkan mahasiswa pendidikan Fisika FITK seperti dapat dilihat pada

grafik Gambar 1. Namun demikian, nilai pengujian selisih antara dua proporsi menghasilkan nilai z hitung

sebesar 0,938391, nilai ini lebih kecil dari zα sehingga keputusannya adalah terima H0 berarti perbedaan nilai

rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan menggunakan alat/bahan untuk mahasiswa pendidikan

Fisika FITK dan mahasiswa Fisika Saintek tidak berbeda secara nyata.

Apabila dikaji lebih lanjut kelemahan yang terjadi pada mahasiswa pendidikan Fisika FITK dan

mahasiswa Fisika Saintek berbeda. Mahasiswa pendidikan Fisika FITK lemahnya pada penggunaan jangka

sorong, mereka tidak melakukan pengukuran diameter dalam, luar dan kedalaman. Hal ini memang terjadi

karena di buku pedoman praktikum tidak dinyatakan secara eksplisit perintah untuk melakukan pengukuran

diameter dalam, luar dan kedalaman. Adapun pada mahasiswa fisika saintek kelemahanya adalah pada

penggunaan jangka sorong, mahasiswa tidak menempatkan jangka sorong tegak lurus dengan benda yang

diukur dan tidak mengencangkan baut pengunci jangka sorong ketika pengukuran sudah pas.

Pada tahun 2010 Wawan Kurniawan dan Diana Endah dalam jurnal penelitiannya mengenai pembelajaran

fisika dengan metode inkuiri terbimbing untuk mengembangkan keterampilan proses sains menemukan hasil

pengukuran terhadap keterampilan proses melaksanakan pada siklus I dengan nilai rata-rata presentase

keberhasilan indikator sebesar 63,43%. Nilai tersebut berdasarkan indikator keberhasilan, mempunyai arti

cukup. Pengukuran terhadap mahasiswa tersebut dilakukan pada saat praktikum fisika dasar dengan materi

fluida. Wawan Kurniawan mengemukakan bahwa rendahnya nilai tersebut dimungkinkan akibat mahasiswa

kurang mengenal alat ukur yang digunakan. Kemungkinan yang lain mahasiswa juga kurang memahami dalam

penggunaan alat ukur tersebut. Sehingga mahasiswa menjadi kurang teliti dalam membaca alat ukur. Hasil

temuan tersebut apabila dikaitkan dengan hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa keterampilan

menggunakan alat/bahan dalam hal ini adalah alat ukur merupakan keterampilan yang sangat penting untuk

melakukan praktikum-praktikum lebih lanjut. Apabila penggunaan alat ukur dasar mahasiswa lemah, maka

pada saat praktikum berikutnya mahasiswa akan kesulitan dalam melakukan pengukuran.

Menerapkan Konsep

Keterampilan menerapkan konsep ini menurut Zulfiani meliputi keterampilan menggunakan konsep-

kosep yang telah dipahami untuk menjelaskan peristiwa baru, menerapkan konsep yang dikuasai pada situasi

baru atau menerapkan rumus-rumus pada pemecahan soal-soal baru.

Pada penelitian ini indikator-indikator untuk keterampilan menerapkan konsep disesuaikan dengan

praktikum yang dilakukan yaitu pengenalan alat ukur, adapun indikator-indikatornya ntara lain:

1. Melakukan pengukuran dan pembacaan hasil pengukuran minimal 3 kali

2. Membaca hasil pengukuran dengan cepat dan tepat dalam waktu kurang dari 60 detik

3. Menentukan hasil pengukuran dengan memperhatikan aturan penulisan angka penting

4. Mengetahui nilai skala terkecil (nst) dari jangka sorong, micrometer skrup, dan neraca analitik

5. Menjawab pertanyaan yang tercantum dalam buku panduan praktikum

Nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan menerapkan konsep pada mahasiswa

pendidikan Fisika FITK seperti terlihat pada Tabel 1 adalah sebesar 67%. Keenam kelompok tidak melakukan

indikator ke 3 yaitu menentukan hasil pengukuran dengan memperhatikan aturan penulisan angka penting, 3

kelompok tidak melakukan indikator ke 2 yaitu membaca hasil pengukuran dengan cepat dan tepat dalam

waktu kurang dari 60 detik dan 1 kelompok tidak melakukan indikator ke 1 yaitu melakukan pengukuran dan

pembacaan hasil pengukuran minimal 3 kali ulangan. Ketercapaian indikator keterampilan menerakan konsep

ini termasuk ke dalam kategori cukup.

Page 98: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

93

Sementara itu, hasil yang diperoleh dari observasi terhadap mahasiswa fisika saintek diperoleh nilai rata-

rata persentase ketercapaian indikator ketempilan menerapkan konsep sebesar 77%. Semua kelompok tidak

melakukan indikator ke 3 yaitu menentukan hasil pengukuran dengan memperhatikan aturan penulisan angka

penting, 3 kelompok tidak melakukan indikator ke 2 yaitu membaca hasil pengukuran dengan cepat dan tepat

dalam waktu kurang dari 60 detik, 1 kelompok tidak melakukan indikator ke 1 yaitu melakukan pengukuran

dan pembacaan hasil pengukuran minimal 3 kali.

Nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator untuk keterampilan menerapkan konsep pada mahasiswa

fisika saintek sedikit lebih unggul dibandingkan mahasiswa pendidikan fisika FITK. Dapat dilihat pada grafik

nilai rata-rata untuk mahasiswa fisika saintek grafik batangnya lebih tinggi dari mahasiswa pendidikan fisika

FITK. Namun dari pengujian selisih dua proporsi nilai z hitung yang didapat sebesar 0,862582 lebih kecil dari

zα , hal ini berarti perbedaan antara keduanya tidak nyata.

Apabila dibandingkan dengan keterampilan proses lainnya, keterampilan menerapkan konsep ini berada

pada nilai yang paling rendah baik pada mahasiswa pendidikan Fisika FITK maupun mahasiswa fisika Saintek.

Gambar 1 memperlihatkan grafik batang untuk keterampilan menerapkan konsep ini paling rendah

dibandingkan keterampilan lainnya. Rata-rata kelompok belum bisa menerapkan konsep penulisan angka

penting. Selain itu, masih ada beberapa kelompok yang tidak dapat membaca hasil pengukuran dengan cepat.

Masih ada beberapa kelompok yang terlalu lama dalam menentukan berapa nilai hasil pengukuran yang didapat

dari masing-masing alat ukur terutama pada neraca analitik.

Klasifikasi

Dasar keterampilan mengklasifikasikan adalah kemampuan mengidentifikasi perbedaan dan persamaan

anatara berbagai objek yang diamati, atau bisa juga disebut sebagai keterampilan dalam mengelompokkan atau

menggolong-golongkan. Dasar yang perlu diperhatikan dalam membuat klasifikasi, seperti mencari perbedaan,

mengontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan, dan mencari dasar pengelompokan.

Indikator-indikator yang dibuat pada saat penilaian keterampilan mengklasifikasi pada penelitian ini

disesuaikan dengan praktikum pengenalan alat ukur. Adapun indikator-indikatornya adalah:

1. Mencatat hasil pengukuran jangka sorong dalam satuan cm

2. Mencatat hasil pengukuran mikrometer skrup dalam satuan mm

3. Mencatat hasil pengukuran neraca analitik dalam satuan gram

Dari hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa pendidikan fisika FITK diperoleh nilai rata-rata

persentase ketercapaian indikator keterampilan mengklasifikasi adalah 89%. Masih ada kelompok yang salah

dalam menuliskan satuan hasil pengukuran. Demikian pula hasil observasi terhadap mahasiswa fisika Saintek

diperoleh nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator dengan nilai yang sama yaitu 89%. Hampir sama

dengan mahasiswa pendidikan Fisika FITK, masih ada beberapa kelompok yang salah dalam penulisan satuan.

Berkomunikasi

Berkaitan dengan keterampilan berkomunikasi ini menurut Zulfiani meliputi keterampilan

menginformasikan hasil pengamatan, hasil prediksi atau hasil percobaan kepada orang lain. Bentuk komunikasi

ini bisa dalam bentuk lisan dan tulisan. Jenis komunikasi dapat berupa paparan sistematis (laporan) atau

transformasi parsial, menggambarkan data empiris dengan tabel, grafik atau diagram.

Pada penelitian ini, indikator-indikator keterampilan berkomunikasi yang dinilai selama praktikum

pengenalan alat ukur adalah:

1. Mendiskusikan hasil pengukuran dengan teman sekelompok

2. Menyajikan semua data hasil pengukuran pada sebuah tabel

3. Menyusun laporan praktikum secara sistematis

Hasil observasi terhadap enam kelompok mahasiswa pendidikan Fisika FITK diperoleh nilai rata-rata

persentase ketercapaian indikator keterampilan berkomunikasi adalah 100%. Begitu pula hasil yang didapat

dari observasi terhadap enam kelompok mahasiswa fisika Saintek sebesar 100%. Ini mengindikasikan

keterampilan mahasiswa dalam berkomunikasi sudah sangat baik. Semua mahasiswa mendiskusikan semua

yang mereka dapatkan dari hasil pengukuran, setiap anggota kelompok terlihat saling bekerja sama dengan

baik pada saat praktikum. Semua mahasiswa juga melakukan serta menyajikan hasil pengukuran dalam tabel.

Mereka pun sangat rapi dalam menyusun laporan dan menyajikannya secara sistematis sesuai denga petunjuk

yang ada pada buku panduan praktikum. Hal ini tentunya merupakan hasil kerjasama antara dosen pengajar

dengan asisten praktikum yang memotivasi mahasiswa untuk sungguh-sungguh dalam penyusunan laporan.

Interpretasi

Keterampilan interpretasi merupakan keterampilan dalam menafsirkan. Keterampilan interpretasi

meliputi keterampilan mencatat hasil pengamatan, menghubung-hubungkan hasil pengamatan, dan

Page 99: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

94

menemukan pola keteraturan dari satu seri pengamatan hingga memperoleh kesimpulan. Pada penelitian

indikator keterampilan interpretasi ini adalah membuat kesimpulan hasil praktikum.

Hasil observasi pada enam kelompok mahasiswa pendidikan fisika FITK dan mahasiswa fisika Saintek

diperoleh nilai rata-rata ketercapaian indikator 100%. Semua mahasiswa sudah sangat baik dalam menuangkan

sebuah hasil praktikum dalam sebuah laporan serta membuat kesimpulan hasil praktikum dengan baik.

Hal tersebut tentunya didukung oleh adanya buku panduan praktikum yang baik. Pada buku panduan

praktikum fisika dasar mahasiswa pendidikan fisika FITK maupun buku panduan praktikum fisdas mahasiswa

fisika saintek telah mencantumkan cara-cara pembuatan laporan disertai dengan contoh format laporannya.

Nilai Rata-Rata Persentase Ketercapaian Indikator Keterampilan Proses Sains

Hasil observasi secara keseluruhan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator keterampilan proses

sains mahasiswa pendidikan fisika FITK adalah sebesar 87% sementara untuk mahasiswa fisika Saintek 86%.

Diantara keduanya memiliki perbedaan yang sangat kecil. Berdasarkan pengujian selisih dua proporsi antara

nilai rata-rata persentase keduanya diperoleh nilai z hitung 0,272978. Nilai z hitung ini lebih kecil dari zα,

sehingga perbedaan antara keduanya tidak nyata.

Dengan demikian, penilaian berbasis kelas yang berupa penilaian kinerja pada praktikum pengenalan alat

ukur ini secara umum telah dapat mengukur hasil pembelajaran mahasiswa khususnya mengenai alat ukur dan

konsep-konsep penting di dalam pengukuran seperti penulisan angka penting, penggunaan alat ukur yang

benar, nilai skala terkecil suatu alat ukur dan besaran serta satuan. Dari penilaian ini terlihat aspek-aspek mana

saja yang telah memenuhi indikator keberhasilan dan aspek mana yang belum memenuhi indikator

keberhasilan.

Dari penelitian ini diperoleh gambaran bahwa pada umumnya mahasiswa telah menunjukkan

keterampilan proses yang baik terutama pada praktikum pengenalan alat uku. Adapun mengenai beberapa

aspek yang belum dipenuhi dengan baik, dimungkinkan karena praktikum pengenalan alat ukur merupakan

praktikum pertama dan mahasiswa belum memiliki pengalaman praktikum sebelumnya.

SIMPULAN

Penelitian ini memperoleh hasil yang mengindikasikan keterampilan proses sains antara mahasiswa

pendidikan fisika FITK dan mahasiswa fisika saintek tidak berbeda nyata. Mahasiswa fisika FITK memiliki

nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator 87% dan mahasiswa fisika Saintek nilai rata-rata persentase

ketercapaiannya sebesar 86%. Namun demikian, apabila dilihat dari setiap indikator mahasiswa pendidikan

Fisika memiliki keterampilan proses sains dengan urutan persentase keberhasilan dari tinggi ke rendah meliputi

keterampilan mengajukan pertanyaan dan interpretasi dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator

100%, keterampilan berkomunikasi 95%, keterampilan klasifikasi 89%, keterampilan menggunakan alat/bahan

81,67%, keterampilan merencanakan percobaan 79%, dan keterampilan menerapkan konsep 67%. Sementara

itu, untuk mahasiswa fisika Saintek jika dilihat dari setiap indikator memiliki keterampilan proses dengan

urutan persentase keberhasilan dari tinggi ke rendah meliputi keterampilan mengajukan pertanyaan,

berkomunikasi, dan interpretasi dengan nilai rata-rata persentase ketercapaian indikator 100%, keterampilan

klasifikasi 89%, keterampilan menggunakan alat/bahan 87,33%, keterampilan menerapkan konsep 77%, dan

keterampilan merencanakan percobaan 50%.

Dari beberapa indikator keterampilan proses sains, untuk mahasiswa pendidikan fisika FITK

keterampilan menerapkan konsep menempati pada posisi nilai ketercapaian indikator paling bawah dengan

nilai 67%, sementara untuk mahasiswa fisika Saintek keterampilan dengan pencapaian indikator paling rendah

adalah keterampilan merencanakan percobaan yaitu 50%.

Adapun hasil pengujian selisih antara dua proporsi, hanya keterampilan untuk merencanakan percobaan

yang menunjukkan perbedaan yang nyata. Mahasiswa pendidikan fisika FITK lebih tinggi ketercapaian

indikator keterampilan merencanakan percobannya dengan nilai 79% dari mahasiswa fisika saintek dengan

nilai 50%. Sedangkan untuk keterampilan proses lainnya tidak berbeda nyata. Hampir semua kelompok

mahasiswa belum memperhatikan pentingnya kalibrasi alat ukur sebelum digunakan. Dan ada beberapa

kelompok belum memperhatikan pentingnya aspek-aspek keamanan dan keselamatan diri, alat dan lingkungan.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wawan Kurniawan dan Diana Endah H yang

memaparkan penemuannya pada penilaian keterampilan proses sains mahasiswa saat praktikum fisika dasar

dengan materi fluida, bahwa nilai persentase ketercapaian indikator merencanakan percobaan masih

menunjukkan ketercapaian yang kurang dari cukup dikarenakan mahasiswa tidak siap untuk melakukan

percobaan, karena pada saat mereka belajar di sekolah menengah jarang melakukan praktikum atau bahkan

mungkin belum pernah sama sekali.

Page 100: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

95

SARAN

Dari penelitian yang telah dilakukan ini, maka disarankan :

1. Perlunya penelitian lanjutan terhadap keterampilan proses sains untuk materi-materi fisika dasar yang

lain seperti gerak harmonik sederhana, mesin atwood, dan fluida

2. Agar dapat lebih memperlihatkan pencapaian hasil belajar data penilaian kinerja ini perlu didukung oleh

data tes tertulis mengenai kemampuan kognitif mahasiswa agar dapat diketahui apakah hasil yang

diperoleh dari penilaian unjuk kerja berbanding lurus atau tidak tingkat pemahaman mahasiswa pada

materi tersebut

3. Bagi tim pembuat buku panduan praktikum fisika dasar, agar membuat buku panduan praktikum yang

dapat lebih mengeksplore keterampilan proses sains mahasiswa tanpa harus menuangkan semua langkah-

langkah kerja praktikum

4. Bagi asisten praktikum, agar lebih memberikan pengarahan yang baik mengenai pentingnya menjaga tata

tertib pelaksanaan praktikum serta perlunya menjaga keselamatan diri, alat dan lingkungan.

5. Bagi dosen pengampu mata kuliah fisika dasar dan alat ukur agar memberikan pemahaman yang lebih

baik lagi kepada mahasiswa mengenai penggunaan alat ukur yang baik serta mengenai penulisan angka

penting.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin Z. 2011. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT. Rosdakarya.

Bambang S. 2011. Pengukuran Kreativitas Keterampilan Proses Sains dalam Konteks Assesment for Learning.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2011, Th. XXX, No. 1

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). 2008. Sistem Penilaian Kelas SD SMP SMA dan SMK,

Kompetensi Supervisi Akademik: Stategi Pembelajaran MIPA. Jakarta.

http://elearning.unesa.ac.id/metode-pembelajaran-dengan-penilaian/

Majid A. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.

Muslich M. 2009. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 20 Tahun 2007.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005. Standar Nasional Pendidikan

Semiawan C. 1992. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: Gramedia

Sofyan A, dkk. 2006. Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN

Sudjana N, Ibrahim. 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru

Surapranata S. 2007. Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT. Rosdakarya

Wawan K, Diana EH. Pembelajaran Fisika dengan Metode Inquiry Terbimbing untuk Mengembangkan

Keterampilan Proses Sains. JP2F, Volume 1 Nomor 2 September 2010

Zulfiani, dkk. 2009. Strategi Pembelajaran Sains. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta

Page 101: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

96

EFEKTIVITAS PENERAPAN PEMBELAJARAN AKTIF TIPE MIND MAPS UNTUK

MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP FISIKA MAHASISWA DALAM KULIAH

FISIKA TEKNIK

Usmeldi Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang

[email protected]

Abstrak

Fisika Teknik merupakan salah satu mata kuliah pendukung di Fakultas Teknik Universitas

Negeri Padang (FT UNP). Survei awal menunjukkan bahwa mahasiswa kurang menguasai

konsep fisika, sehingga sulit menerapkannya dalam mata kuliah keahlian yang relevan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan efektivitas penerapan pembelajaran aktif

tipemind mapsuntukmeningkatkanpenguasaankonsepfisikamahasiswadalam kuliah Fisika

Teknik. Penelitian menggunakan metode eksperimenkuasi dengan desain satu grup pre-

testpost-test. Subyek penelitian adalah mahasiswa program studi Pendidikan Teknik Elektro FT

UNP yang mengikuti kuliah Físika Teknik, sebanyak 36 orang. Data dikumpulkan dengan

menggunakan format observasi, format penilaian pelaksanaan pembelajaran, dan tes

penguasaan konsep fisika.Untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran disusun satuan acara

perkuliahan, handout,media pembelajaran berupa program powerpoint dan macromedia

flash.Hasil penelitian menunjukkan bahwapembelajaran aktif tipe mind mapsefektif untuk

meningkatkanpenguasaankonsepfisika mahasiswa. Hal ini ditunjukkan oleh;(1) kemampuan

mahasiswa dalam membuat mind maptermasuk kategori baik, (2) kemampuan berdiskusi dalam

kelompoktermasuk kategori baik, (3)kemampuan mempresentasikan hasilmind maptermasuk

kategori sangat baik, (4) kemampuan menguasai konsep fisika termasuk kategori baik, (5)

peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa termasuk kategori sedang.Saran diajukan

kepada dosen fisika teknik untuk dapat menggunakan pembelajaran aktif tipe mind mapsuntuk

meningkatkanpenguasaankonsepfisikamahasiswa.

Kata Kunci:pembelajaran aktif, mind maps,penguasaan konsep fisika.

PENDAHULUAN

Peningkatan mutu pendidikan sangat penting untuk mengantipasi perkembangan

teknologi.Perkembangan teknologi tidak terlepas dari perkembangan fisika.Fisika merupakan ilmu yang

mendasari perkembangan teknologi.Untuk dapat menguasai dan mencipta teknologi diperlukan penguasaan

fisika dan matematikayang kuat sejak dini (Depdiknas, 2004).Sejalan dengan perkembangan teknologi,

pendidikan banyak menghadapi berbagai tantangan, diantaranya adalah peningkatan mutu

pendidikan.Rendahnya mutu pendidikan dapat dilihat dari kemampuan peserta didik, mereka kurang mampu

menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu faktor

penyebabnya adalah proses pembelajaran yang bersifat informatif sehingga pelajaran kurang bermakna.

Peserta didik kurang dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran.Pembelajaran adalah suatu proses yang rumit

karena tidak sekedar menyerap informasi dari dosen, tetapi juga melibatkan berbagai kegiatan dan tindakan

yang harus dilakukan terutama bila diinginkan hasil belajar yang baik. Rendahnya hasil belajar fisika

mahasiswa diduga disebabkan oleh kesulitan memahami konsep fisika.Fakta menunjukkan pada saat

pembelajaran berlangsung sebagian besar mahasiswa kurang antusias menerimanya, mahasiswa bersifat

pasif, tidak berani mengemukakan pendapatnya.

Mata kuliah Fisika Teknikdi Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang (FT UNP) berfungsi sebagai

mata kuliah pendukung bagi mata kuliah keahlian (MKK) yang relevan. Diharapkan mahasiswa dapat

menguasai konsep fisika dan memiliki keterampilan dalam melakukan kegiatan praktikum fisika teknik.

Kemampuan menguasai konsep fisika dan melakukan praktikum fisika teknik diperlukan oleh mahasiswa

pada saat mengikuti MKK yang relevan. Dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam

menguasai konsep fisika, telah dilakukan survei terhadap perkuliahan fisika teknik bagi mahasiswa jurusan

Teknik Elektro FT UNP. Hasil survei menunjukkan bahwa: (1) Perkuliahan fisika teknik dilaksanakan secara

teori. (2) Dosen lebih dominan menggunakan metode ceramah, diskusi, dan tanya jawab. (3) Dosen

menyajikan pelajaran dengan media power point. (4) Penguasaan konsep fisika mahasiswa masih rendah. Hal

ini ditunjukkan oleh rata-rata nilai fisika teknik adalah C (55-59).

Untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep fisika,salah satu metode

pembelajaran yang dapat digunakan adalah pembelajaran aktif tipe mind maps (peta pikiran).Menurut Buzan

Page 102: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

97

(2004) mind map adalah metode untuk menyimpan suatu informasi yang diterima oleh seseorang dan

mengingat kembali informasi yang diterima tesebut. Mind map merupakan teknik meringkas bahan yang

akan dipelajari dan memproyeksikan masalah yang dihadapi ke dalam bentuk peta atau grafik sehingga lebih

mudah memahaminya. Mind map merupakan metode belajar yang efektif untuk memahami kerangka konsep

suatu materi pelajaran. Menurut Buzan (2004) mind map dapat menghubungkan konsep yang baru diperoleh

mahasiswa dengan konsep yang sudah didapat dalam proses pembelajaran, sehingga menciptakan hasil peta

pikiran berupa konsep materi yang baru. Mind map merupakan salah satu produk kreatif yang dihasilkan oleh

mahasisw dalam kegiatan belajar. Buzan (2006) menyatakan bahwa pembelajaran fisika dengan

menggunakanmetode mind mapdapat meningkatkan daya hafal dan motivasibelajar siswa yang kuat, serta

mahasiswa menjadi lebih kreatif. Selanjutnya menurut Buzan (2008) bahwa pembelajaran

denganmenggunakan metode mind map dapat membantu mahasiswa: (1) Mudah mengingat sesuatu; (2)

Mengingat fakta, angka, dan rumus dengan mudah;(3) Meningkatkan motivasi dan konsentrasi; (4)

Mengingat dan menghafalmenjadi lebih cepat.

Menurut Pandley (1994) tahap-tahap pembelajaran dengan menggunakan metode mind map adalah: (1)

Dosen menyampaikan tujuan dan materi pembelajaran. (2) Mahasiswa mempelajari konsep tentang materi

pelajaran dengan bimbingan dosen. (3) Setelah mahasiswa memahami materi yang telah dijelaskan, dosen

mengelompokkan mahasiswa ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan tempat duduk yang berdekatan.

Kemudian mahasiswa diminta untuk membuat mind map dari materi yang dipelajari. (4) Untuk mengevaluasi

mahasiswa tentang pemahaman terhadap konsep-konsep yang dibahas, dosen menunjuk beberapa mahasiswa

untukmempresentasikan hasil mind map yang telah dibuat. (5) Dari hasil presentasi yang disajikan oleh

mahasiswa, dosen membimbing mahasiswa untuk membuat kesimpulan. (6)Dosen memberikan soal latihan

tentang materi yang telah dipelajarikepada siswa untuk dikerjakan secara individu. (7) Pada akhir

pembelajaran, dilaksanakan tes untuk mengetahui penguasaankonsep fisika mahasiswa.Penilaian mind map

menggunakan rubrik yang terdiri atas delapan aspek penilaian, yaitu: (1) gambar ditengah mind map, (2)

struktur mind map, (3) kesesuaian kata kunci kode dan simbol, (4) kesesuaian kata kunci istilah, (5)

pemilihan warna, (6) pemilihan sub tema, (7) pemilihan keterangan tambahan, (8) pemilihan kata sambung

(Tee, 2009).

Berdasarkan pada kondisi perkuliahan fisika teknik yang telah diuraikan di atas maka dilakukan

penelitian tentang penerapan metode pembelajaran aktif tipe mind mapuntuk meningkatkan kompetensi

mahasiswa dalam menguasai konsep fisika. Masalah dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimana efektivitas pembelajaran aktif tipe mind maps untuk meningkatkan penguasaan konsep fisika

mahasiswa? Tujuan penelitian adalah untuk mengungkapkan efektivitas pembelajaran aktif tipe mind maps

untuk meningkatkan penguasaan konsep fisika mahasiswa.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimenkuasi dengan desain one group pretest-posttest

(Creswell, 1994). Pre-test dan post-test diberikan pada mahasiswa kelas eksperimen dengan menggunakan

soal yang setara. Penelitian dilaksanakan pada mahasiswa jurusan Teknik Elektro FT UNP yang mengikuti

kuliah Fisika Teknik yang berjumlah 36 orang. Materi fisika teknik yang disajikan dalam penelitian adalah

konsep listrik arus searah, rangkaian listrik, dan hukum dasar rangkaian. Langkah-langkah pelaksanaan

penelitian adalah: (1) melakukan survei pendahuluan, (2) menyiapkan perangkat pembelajaran dan instrumen

penelitian, (3) memvalidasi perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, (4) melakukan ujicoba

instrumen penelitian, (5) menganalisis data ujicoba, (6) memberikan pre-test, (7) memberikan perlakuan

dengan melaksanakan pembelajaran aktif tipe mind map, (8) memberikan post-test(9) menganalisis data, dan

(10) menginterpretasi hasil yang diperoleh. Untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran disusun satuan

acara perkuliahan, handout,media pembelajaran berupa program powerpoint dan macromedia flash.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa: lembaran observasi, lembaran penilaian proses

pembelajaran, dan tes penguasaan konsep fisika. Lembaran observasi digunakan dalam survei pendahuluan.

Lembaran penilaian proses pembelajaran digunakan untuk menilai kemampuan mahasiswa dalam membuat

mind map, berdiskusi dalam kelompok, dan mempresentasikan hasil mind map. Tes penguasaan konsep

fisika berbentuk tes esei dengan mengutamakan pertanyaan konsep fisika daripada penyelesaian soal berupa

perhitungan dengan menggunakan rumus-rumus fisika. Naskah soal ini disusun oleh peneliti dengan bantuan

penimbang ahli (expert judgment) untuk mengetahui validitas isi tes. Validitas konstruksi dan reliabilitas tes

diperoleh melalui ujicoba instrumen penelitian. Data penilaian proses pembelajaran dan penguasaan konsep

fisika dianalisis secara kuantitatif untuk mengetahui efektivitas pembelajaranaktif tipe mind maps. Data

penilaian proses pembelajaran dianalisis dengan membandingkan rata-rata skor dengan kategori skor.

Peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa dianalisis dengan menghitung rata-rata skor gain

dinormalisasi dari skor pre-test dan post-test.

Page 103: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

98

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Efektivitas pembelajaran aktif tipe mind mapsuntuk meningkatkanpenguasaankonsepfisikamahasiswa

dalam kuliah Fisika Teknik ditinjau dari kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran, kemampuan

menguasai konsep fisika, dan peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa.

Kemampuan Mahasiswa dalam Pembelajaran

Dalam pembelajaran aktif tipe mind mapdilakukan penilaian proses dan hasil belajar. Hasil penilaian

proses pembelajaran digunakan untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran, yakni

kemampuan dalam; (1) membuat mind map, (2) berdiskusi dalam kelompok, (3) mempresentasikan hasil

mind map. Data yang diperoleh melalui lembaran penilaian proses pembelajaran dikelompokkan berdasarkan

pada aspek kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran. Rata-rata skor kemampuan mahasiswa dalam

pembelajaran disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kemampuan Mahasiswa dalam Pembelajaran No. Aspek Kemampuan Rata-rata Standar Deviasi

1 Membuat mind map (MM) 68,15 11,14

2 Berdiskusi dalam kelompok (BK) 72,23 6,21 3 Mempresentasikan hasilmind map (MH) 82,27 5,53

Merujuk pada Tabel 1 dan kategori penilaian dalam buku pedoman akademik Universitas Negeri

Padang dapat dinyatakan bahwa kemampuan mahasiswa dalam: (1) membuat mind map termasuk kategori

baik, (2) berdiskusi dalam kelompok termasuk kategori baik, (3)mempresentasikan hasil mind maptermasuk

kategori sangat baik. Rata-rata skor kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran dalam Tabel 1 dapat

divisualisasikan dengan grafik (Gambar 1).

Gambar 1. Grafik Kemampuan Mahasiswa dalam Pembelajaran

Kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran denganmetode mind map secara keseluruhan termasuk

kategori baik. Namun demikian ditemukan sejumlah mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam membuat

mind map. Faktor penghambat dalam pembuatan mind mapping yang berasal dari kesalahan mahasiswa

adalah: (1) Pusat mind map. Mahasiswa malas membuat gambar dan lebih memilih menuliskan langsung

judulnya. (2) Cabang Utama. Mahasiswa kesulitan mencari cabang utama jika struktur materi tidak terlalu

sistematis. (3) Kata Kunci. Kesulitan mahasiswa mencari kata kunci suatu kalimat untuk dituliskan di atas

cabang mind map. (4) Cabang-cabang.Mahasiswa membuat cabang-cabang dalam mind map tidak menyebar

ke segala arah. (5) Warna.Mahasiswa malas menggunakan beberapa warna karena merasa repot mewarnai.

(6) Gambar.Mahasiswa malas menggunakan atau menambahkan gambar dalam mind map. Mereka tidak tahu

apa yang harus digambar. (7) Tata Ruang. Ketidakrapian mahasiswa dalam hal tata ruang dalam membuat

mind map.

Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa

Kemampuan mahasiswa menguasai konsep fisika diperoleh melalui tes penguasaan konsep fisika. Rata-

rata skor pre-test adalah 62,52 dengan standar deviasi 6,85. Rata-rata skor post-test adalah 71,48 dengan

standar deviasi 7,76. Kemampuan mahasiswa dalammenguasai konsep fisikasetelah pembelajaran dengan

mind maptermasuk kategori baik. Peningkatan penguasaan konsep fisika mahasiswa dapat diketahui dengan

menghitung rata-rata skor gain dinormalisasi (NG) dari skor pre-test dan post-test (Tabel 2). Setelah melalui

proses analisis data diperoleh rata-rata skor NG sebesar 0,43. Peningkatan penguasaan konsep fisika

mahasiswa termasuk kategori sedang.

0

20

40

60

80

100

MM BK MH

Ra

ta-r

ata

Aspek Kemampuan

Page 104: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

99

Tabel 2. Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa No. Kelompok Uji Rata-rata Standar Deviasi

1 Pre-test 62,52 6,85 2 Post-test 71,48 7,76

3 NG 0,43 0,54

Rata-rata skor penguasaan konsep fisika mahasiswa dalam Tabel 2 dapat divisualisasikan dengan grafik

Gambar 2. Grafik Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan metode mind map dapat meningkatkan

penguasaan konsep fisika mahasiswa. Adanya peningkatan penguasaan konsep mahasiswa disebabkan oleh

beberapa hal yang merupakan kelebihan dalam metode pembelajaran Mind Mapping. Penggunaan metode

pembelajaran aktif tipemind mapping memiliki serangkaian proses yang membuat mahasiswa memiliki

pengalaman belajaryang baik dan mandiri. Selain itu, mahasiswa dituntut untuk dapat berpikir dan mengolah

materi pelajaran bukan dengan cara menghafal tetapi menyimpan dan meringkas materi dengan ingatan.

Dalam pembelajaran Mind Mapping, mahasiswa dituntun untuk menemukan dan mengelola pengetahuan

secara mandiri yaitu mendapatkan pengetahuan dengan mengkaji berbagai sumber yang relevan. Mahasiswa

membuat ide dasar untuk topik sentral, biasanya adalah judul bab atau sub bab dari materi yang mereka

pelajari. Mahasiswa melengkapi ide dasardengan cabang-cabang yang berisi data-data pendukung yang

terkait, seluruh data-data harus ditempatkan dalam setiap cabang ide dasar.Setiap cabang dilengkapi oleh

siswa dengan gambar atau simbol yang membuat mind mapping tersebut menjadi menarik sehingga lebih

mudah untuk dimengerti dan diingat.Menurut Sugiarto (2004) mind map merupakan suatu metode

pembelajaran yang sangat baik digunakan untuk meningkatkan daya hafal, pemahaman konsep, dan daya

kreativitas mahasiswa melalui kebebasan berimajinasi. Connor (2011) menyatakan bahwa mind map

memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk menunjukkan tingkat pemahamannya.

Metode pembelajaran aktif tipe mind maps dapat membentuk pola pikir kreatif bagi mahasiswa dengan

aktivitas belajar mandiri untuk menghasilkan ide-ide, mengeluarkan informasi dengan bahasa sendiri,

menemukan contoh dan mencatat pelajaran dengan cara yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat

Silberman (2009) yang menyatakan bahwa metode pembelajaran aktif tipe mind maps dapat melatihkretivitas

mahasiswa secara individual untuk menghasilkan ide-ide, mencatat pelajaran, atau merencanakan penelitian

baru.Mind map dapat membantu mahasiswa mengembangkan potensi berpikir secara kreatif. Melalui mind

map mahasiswa dapat memfokuskan perhatian pada masalah atau materi yang dipelajari, mengembangkan

imajinasi, dan memberikan penguasaan konsep yang lebih utuh. Mustami (2007) dalam penelitiannya

menemukan bahwa metode pembelajaran aktif tipe mind maps memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap kemampuan berpikir kreatif, sikap kreatif, dan penguasaan materi pelajaran.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran aktif tipe mind maps efektif untuk

meningkatkanpenguasaankonsepfisika mahasiswa. Hal ini ditunjukkan oleh; (1) kemampuan mahasiswa

dalam membuat mind map termasuk kategori baik, (2) kemampuan berdiskusi dalam kelompok termasuk

kategori baik, (3) kemampuan mempresentasikan hasil mind map termasuk kategori sangat baik, (4)

kemampuan menguasai konsep fisika termasuk kategori baik, (5) peningkatan penguasaan konsep fisika

mahasiswa termasuk kategori sedang.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Pre-test Post-test NG (%)

Ra

ta-r

ata

Page 105: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

100

SARAN

Saran diajukan kepada dosen fisika teknik untuk dapat menggunakan pembelajaran aktif tipe mind maps

untuk meningkatkanpenguasaankonsepfisikamahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

Buzan T. 2004.Mind Map untuk Meningkatkan Kreativitas. Jakarta: Gramedia.

Buzan T. 2006.Mind Map: The Ultimate Thinking Tool. London: Thorson.

Buzan T. 2007.Buku Pintar Mind Map untuk Anak. Jakarta: Gramedia.

Buzan T. 2008. The Buzan Study Skills Handbook: The Shortcut to Success in Your Studies with Mind

Mapping, Speed, Reading and Winning Memories Tchniques. China: BBC Active.

Connor R. 2011. “The Used on Mind Maps as an Assessment Tool”.International Conference on Engaging

Pedagogy. Dublin, Inland. December 16, 2001.

Creswell JW. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. New Delhi: SAGE

Publications.

Depdiknas. 2004. Model Pembelajaran Matematika. Jakarta: Gramedia.

Mustami. 2007. “PengaruhModel Pembelajaran Synectics Dipadu Mind Maps Terhadap Kemampuan

Berpikir Kreatif, Sikap Kreatif dan Penguasaan Materi Biologi”. Lentera Pendidikan, edisi X No. 2. p.

173-184.

Silberman, M Sarjuli dkk. 2009. Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif.. Yogyakarta: Pustaka

Insan Madani.

Sugiarto I. 2004. Mengoptimalkan Daya Kerja Otak dengan Berfikir Holistik dan Kreatif. Jakarta: Gramedia.

Tee TK, Jailani, Baharom, Widad, Yee MH. 2009. “Pengintegrasian Kemahiran Berfikir Aras Tinggi

Menerusi Peta Minda bagi Mata Pelajaran Kemahiran Hidup”. Persidangan Kebangsaan Pendidikan

Sains dan Teknologi 2009. p.114-121.

Page 106: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

101

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD

DENGAN GAME TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA

PADA KONSEP MOMENTUM DAN IMPULS

Ilusi Pangarti

Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

[email protected]

Erina Hertanti

Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe

STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls.

Penelitian dilakukan di kelas X IPA 2 dan X IPA 4 MAN 4 Jakarta. Penelitian ini

berlangsung pada bulan Januari sampai Februari 2014. Instrumen yang digunakan adalah

instrumen tes berupa soal-soal pilihan ganda dan instrumen non tes berupa lembar observasi

dan angket. Berdasarkan analisis data tes, diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh model

pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep

momentum dan impuls. Hal tersebut didasarkan pada hasil uji hipotesis dengan menggunakan

uji t. Hasilnya adalah nilai thitung = 2,59 sedangkan nilai ttabel = 2,00. Terlihat bahwa nilai thitung

ttabel. Selain itu, pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe STAD dengan game

terbukti unggul dalam meningkatkan kemampuan mengingat (C1), memahami (C2),

menerapkan (C3), dan menganalisis (C4). Selanjutnya, berdasarkan analisis data non tes

berupa lembar observasi, penerapan game pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD

berada pada kategori baik. Hasil analisis angket pun menunjukkan bahwa model

pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game berada pada kategori baik sekali.

Kata kunci: STAD, Game, Hasil Belajar, Lembar Observasi, Angket.

PENDAHULUAN

Sekitar tahun 1960-an, belajar kompetitif dan individualis telah mendominasi pendidikan di Amerika

Serikat. Siswa biasanya datang ke sekolah dengan harapan untuk berkompetisi. Siswa mendapatkan tekanan

dari orang tua untuk menjadi yang terbaik. Dalam belajar kompetitif dan individualis, guru menempatkan

siswa pada tempat duduk yang terpisah dari siswa lain. Kata-kata dilarang mencontoh, geser tempat

dudukmu, kerjakan tugasmu sendiri, dan jangan perhatikan orang lain, perhatikan dirimu sendiri, sering

digunakan dalam belajar kompetitif dan individualis. Proses belajar seperti itu masih terjadi dalam

pendidikan di Indonesia sampai sekarang.

Kelebihan dari belajar kompetitif dan individualis adalah dapat memotivasi siswa untuk melakukan

yang terbaik dalam kegiatan pembelajaran. Namun, belajar kompetitif dan individualis memiliki kelemahan

yaitu: pertama, menimbulkan kompetisi antar siswa yang tidak sehat. Kedua, siswa yang berkemampuan

rendah kurang termotivasi. Ketiga, siswa yang berkemampuan rendah sulit untuk sukses dan semakin

tertinggal. Keempat, dapat menimbulkan frustasi pada siswa lain. Kelima, siswa sulit untuk bersosialisasi dan

bekerjasama. Kurangnya motivasi dalam belajar, keadaan frustasi dan ketertinggalan dalam pelajaran dapat

berdampak pada rendahnya hasil belajar.

Tujuan dari pendidikan bukan hanya mencerdaskan siswa, tetapi juga membentuk budi pekerti yang

baik. Melahirkan generasi yang mempunyai kepedulian yang tinggi, mampu bersosialisasi, bekerjasama

dengan baik dan dapat berkompetisi dengan sehat. Untuk itu perlu sebuah cara yang dapat meningkatkan

kemampuan dalam bersosialisasi, kerjasama, dan berkompetisi sekaligus meningkatkan hasil belajar siswa

dalam pembelajaran. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan model pembelajaran

kooperatif. Model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan

Page 107: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

102

bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat

merangsang siswa untuk bersosialisasi, bekerjasama dan lebih bergairah dalam belajar. Salah satu model

pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student

Teams Achievement Divisions). STAD terdiri atas lima komponen utama yaitu: presentasi kelas, tim, kuis,

skor kemajuan individual, dan rekognisi tim. Dengan menggunakan model pembelajaran STAD, siswa

terlibat aktif pada proses pembelajaran yang memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan

komunikasi antar siswa. Hal tersebut dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya.

Namun dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD banyak masalah yang timbul

pada tahapan tim yaitu: pertama, perilaku siswa yang melalaikan tugas dalam kelompok. Kedua, gagal untuk

mencapai kebersamaan. Dan ketiga pemanfaatan waktu kelompok yang tidak efektif. Untuk itu perlu sebuah

inovasi untuk mengatasi masalah yang sering terjadi pada tahapan tim. Tahapan tim dapat dimodifikasi

dengan game atau permainan yang menggunakan komputer. Game yang dapat dimasukkan pada tahapan ini

adalah game Who Wants to be a Winner. Game Who Wants to be a Winner adalah game yang diadopsi dari

kuis Who Wants to be Millionaire. Pada game Who Wants to be a Winner siswa secara berkelompok akan

menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru dengan waktu tertentu dan secara acak anggota kelompok

harus menjelaskan jawaban kelompok mereka. Apabila jawaban dari kelompok tersebut salah, maka akan

digantikan oleh kelompok lain yang memiliki skor tertinggi. Dengan menggunakan game tidak ada siswa

yang melalaikan tugas dalam kelompoknya karena setiap siswa berpeluang untuk menjawab pertanyaan yang

diberikan guru. Masalah dalam mencapai kebersamaan pun dapat teratasi karena ketika anggota kelompok

tidak bisa menjawab pertanyaan yang diberikan guru, maka tim mereka akan gugur. Dengan begitu setiap

anggota kelompok akan lebih termotivasi untuk membantu mengatasi kesulitan anggota kelompoknya. Selain

itu, dengan menggunakan game masalah dalam pemanfaatan waktu dalam kelompok ketika berdiskusi dapat

teratasi karena game membuat tim lebih termotivasi untuk lebih cepat mengerjakan tugas yang diberikan.

Dengan aturan yang ada pada game Who Wants to be a Winner diharapkan dapat mengatasi permasalahan

pada tahapan tim.

Adapun dipilihnya konsep momentum dan impuls dalam penelitian ini karena pada konsep ini

diperlukan kemampuan matematis yang baik. Namun, tidak semua siswa mempunyai kemampuan matematis

yang baik. Misalnya dalam menghitung kecepatan setelah tumbukan diperlukan kemampuan matematis

seperti subsitusi dan eliminasi. Terbatasnya waktu membuat guru tidak mungkin menjelaskan aturan

subsitusi atau eliminasi karena masih banyak materi yang harus dijelaskan. Dengan menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa yang mempunyai kemampuan matematis yang baik dapat

membantu teman sekelompoknya. Selain itu, pada konsep momentum dan impuls banyak sekali perhitungan

yang membuat siswa jenuh. Game membuat siswa tidak merasa bahwa dirinya sedang mengerjakan soal,

sehingga membuat siswa menjadi betah belajar. Betah belajar inilah yang membuat siswa dapat mengikuti

pelajaran dengan baik, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Berdasarkan penjelasan di atas peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh model pembelajaran kooperatif

tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah terdapat

pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep

momentum dan impuls? Berdasarkan rumusan masalah di atas, terdapat beberapa fokus pertanyaan penelitian

meliputi: (1) Bagaimana hasil belajar siswa di setiap ranah kognitif setelah diberi perlakuan menggunakan

model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game? (2) Bagaimana aktivitas siswa saat menggunakan

model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game? (3) Bagaimana respon siswa terhadap penggunaan

model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game?

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe

STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls, dan secara khusus

yaitu: (1) Untuk mengetahui hasil belajar siswa di setiap ranah kognitif setelah diberi perlakuan

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game. (2) Untuk mengetahui aktivitas

siswa saat menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game. (3) Untuk mengetahui

respon siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game.

Page 108: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

103

Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam

mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai

pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar

mengajar.

Pembelajaran kooperatif berasal dari kata “cooperative” yang artinya mengerjakan sesuatu secara

bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Slavin

mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dengan sistem belajar dan

bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat

merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Menurut Effandi Zakaria, pembelajaran kooperatif

dirancang bagi tujuan melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran menerusi perbincangan

dengan rekan-rekan dalam kelompok kecil. Pembelajaran ini memerlukan siswa bertukar pendapat, memberi

tanya-jawab serta mewujudkan dan membina proses penyelesaian kepada suatu masalah. Anita Lie menyebut

pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran gotong-royong, yaitu sistem pembelajaran yang

memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang

terstruktur.

Tipe STAD (Student Team Achievement Division) merupakan salah satu tipe kooperatif yang

menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling

membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Tipe STAD adalah

model pembelajaran kooperatif yang mengelompokkan siswa secara heterogen dan melibatkan pengakuan

tim serta tanggung jawab kelompok untuk pembelajaran setiap anggota.

Permainan adalah sebuah aktivitas peserta yang mengikuti peraturan yang telah ditetapkan yang

berbeda dari kehidupan nyata, mereka berusaha untuk mencapai tujuan yang menantang. Permainan adalah

kegiatan yang kompleks yang didalamnya terdapat peraturan, play dan budaya. Sebuah permainan adalah

sebuah sistem yang pemainnya terlibat dalam konflik buatan, disini pemain berinteraksi dengan sistem dan

konflik dalam permainan merupakan rekayasa atau buatan, dalam permainan terdapat peraturan yang

bertujuan untuk membatasi perilaku pemain dan menentukan permainan. Permainan adalah suatu aktifitas

yang dilakukan oleh beberapa anak untuk mencari kesenangan yang dapat membentuk proses kepribadian

anak dan membantu anak mencapai perkembangan fisik, intelektual, sosial, moral dan emosional.

Beberapa kelebihan dari metode permainan adalah (1) siswa dirangsang untuk aktif, berfikir logis,

sportif dan merasa senang dalam proses belajar mengajar. (2) Materi pembelajaran dapat lebih cepat

dipahami. (3) Kemampuan memecahkan masalah pada siswa dapat meningkat.

Belajar adalah suatu upaya pembelajar untuk mengembangkan seluruh kepribadiannya, baik fisik

maupun psikis. Belajar juga dimaksudkan untuk mengembangkan seluruh aspek inteligensi sehingga anak

didik akan menjadi manusia yang utuh, cerdas secara inteligensi, cerdas secara emosi, cerdas psikomotornya,

dan memiliki keterampilan hidup yang bermakna bagi dirinya. Proses belajar menimbulkan hasil yang

disebut dengan hasil belajar. Menurut Nana Sudjana hasil belajar siswa adalah kemampuan-kemampuan yang

dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan, maka hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh

model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep

momentum dan impuls.

METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap Tahun Ajaran 2013-2014. Pengambilan data

dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2014. Adapun tempat penelitiannya di MAN 4 Jakarta yang

berlokasi di Jalan Pondok Pinang Raya, Jakarta Selatan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment dengan Nonequivalent Control

Group Design. yaitu desain penelitian yang dilakukan pada dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol yang tidak dipilih secara random. Sebelum diberikan perlakuan, pada kedua kelompok

diberikan pretest untuk mengetahui keadaan awal, adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol, serta untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dasar siswa pada konsep momentum dan

impuls. Kemudian keduanya diberikan perlakuan yang berbeda, yaitu kelompok eksperimen akan diberikan

Page 109: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

104

perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game, sedangkan kelompok kontrol

akan diberikan perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Setelah diberikan perlakuan,

kedua kelompok diberikan posttest untuk mengetahui sejauh mana pengaruh model pembelajaran kooperatif

tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar.

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa MAN 4 Jakarta dengan populasi sasarannya adalah

seluruh siswa kelas X di sekolah tersebut. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik purpossive sampling

dan terpilih kelas X IPA 2 sebagai kelas kontrol dan kelas X IPA 4 sebagai kelas eksperimen.

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini berupa tes dengan instrumen berupa soal

tes objektif tipe pilihan ganda, dan nontes berupa lembar observasi dan angket. Instrumen tes penelitian ini

diuji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. Sedangkan pengujian instrumen nontes

dilakukan dengan pertimbangan ahli. Pertimbangan para ahli ini berhubungan dengan validitas isi yang

bekaitan dengan butir-butir pernyatan yang terdapat pada lembar observasi dan angket.

Analisis data tes, dilakukan dua tahapan, yaitu uji prasyarat analisis dan uji hipotesis. Sebelum

melakukan uji hipotesis, perlu dilakukan uji prasyarat analisis untuk menentukan rumus statistik yang akan

digunakan dalam uji hipotesis. Uji prasyarat analisis yang digunakan adalah uji normalitas dan uji

homogenitas. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji t, prinsip uji t ini yaitu membandingkan rata-rata

(mean) kelompok kontrol dan eksperimen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rekapitulasi Hasil Belajar

Hasil belajar siswa untuk setiap jenjang kognitif dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 1. Diagram Hasil Pretest dan Posttest pada Jenjang kognitif

Berdasarkan diagram Gambar 1, terlihat bahwa hasil belajar akhir (posttest) kelas kontrol dan kelas

eksperimen mengalami peningkatan dari hasil pretest. Pada saat pretest kemampuan kelas kontrol dalam

mengingat (C1) 31%, memahami (C2) 34%, menerapkan (C3) 40%, dan menganalisis (C4) 16%. Pada saat

posttest kemampuan kelas kontrol dalam mengingat (C1) 93%, memahami (C2) 77%, menerapkan (C3) 86%,

dan menganalisis (C4) 57%. Sementara kemampuan kelas eksperimen pada saat pretest dalam hal mengingat

(C1) 27%, memahami (C2) 30%, menerapkan (C3) 29%, dan menganalisis (C4) 21%. Pada saat posttest

kemampuan kelas eksperimen dalam mengingat (C1) 98%, memahami (C2) 83%, menerapkan (C3) 89%, dan

menganalisis (C4) 71%.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

C1 C2 C3 C4

31%34%

40%

16%

93%

77%

86%

57%

27%30% 29%

21%

98%

83%89%

71%

Perse

nta

se

Ranah KognitifPretest Kontrol Posttest Kontrol

Pretest Eksperimen Posttest Eksperimen

Page 110: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

105

Pengujian normalitas dilakukan terhadap dua buah data, yaitu hasil pretest dan posttest kedua kelas,

dengan menggunakan rumus uji kai kuadrat (chi square). Berikut ini adalah hasil yang diperoleh dari

perhitungan tersebut:

Tabel 1. Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kai Kuadrat Pretest dan Posttest

Statistik

Pretest Posttest

Kelas

Kontrol

Kelas

Eksperimen

Kelas

Kontrol

Kelas

Eksperimen

Nilai X2hitung 9,177 3,758 4,620 10,469

Nilai X2tabel 11,070

Keputusan

Data

terdistribusi

normal

Data

terdistribusi

normal

Data

terdistribusi

normal

Data

terdistribusi

normal

Pengujian homogenitas dilakukan pada kedua data pretest dan posttest. Berikut adalah hasil yang

diperoleh dari uji homogenitas.

Tabel 2. Hasil Perhitungan Uji Homogenitas Pretest dan Posstest

Statistik

Pretest Posttest

Kelas

Kontrol

Kelas

Eksperimen

Kelas

Kontrol

Kelas

Eksperimen

Nilai Varians 8,79 9,48 15,91 13,07

Nilai Fhitung 1,16 1,48

Nilai Ftabel 1,88

Keputusan Kedua data homogen Kedua data homogeny

Berdasarkan uji prasyarat analisis statistik, diperoleh bahwa kedua data terdistribusi normal dan

homogen. Oleh karena itu, pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan menggunakan analisis tes statistik

parametrik. Perhitungan untuk menentukan nilai thitung disajikan pada lampiran. Hasil perhitungan dapat

dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Perhitungan Uji Hipotesis Pretest dan Posttest

Statistik Pretest Posttest

thitung 1,20 2,59

ttabel 2,00

Keputusan Ha ditolak Ha diterima

Hasil Analisis Data Lembar Observasi

Hasil observasi direkapitulasi dan dijumlahkan skor masing-masing kelompok untuk setiap indikator.

Skor yang diperoleh kemudian dihitung persentasenya dan dikonversi menjadi data kualitatif. Hasil

perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Lembar Observasi Aktivitas Pembelajaran

No. Indikator Lembar Observasi Diskusi Kelompok Game

Persentase Kesimpulan Persentase Kesimpulan

1 Bekerja sama dengan teman satu tim

untuk menyelesaikan tugas 82% Baik sekali 83% Baik sekali

2 Mengerjakan tugas yang diberikan

guru 99% Baik sekali 88% Baik sekali

3 Bertukar pendapat antar teman

dalam tim 74% Baik 78% Baik

4 Kepedulian terhadap kesulitan

sesama anggota tim 63% Baik 83% Baik sekali

5 Mengumpulkan tugas tepat waktu 25% Kurang 58% Cukup

6 Menggunakan waktu untuk

mengerjakan tugas 79% Baik 82% Baik sekali

Rata-rata 70% Baik 79% Baik

Page 111: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

106

Hasil Analisis Data Angket

Hasil data angket direkapitulasi dan dijumlahkan skor masing-masing siswa untuk setiap indikator. Skor

yang diperoleh kemudian dihitung persentasenya dan dikonversi menjadi data kualitatif. Hasil perhitungan

dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Angket Respon Siswa

No Indikator Angket Diskusi kelompok Game

Persentase Kesimpulan Persentase Kesimpulan

1

Bekerja sama

dengan teman satu

tim untuk

menyelesaikan

tugas

85% Baik sekali 86% Baik sekali

2

Mengerjakan

tugas yang

diberikan guru

80% Baik 81% Baik sekali

3

Bertukar pendapat

antar teman dalam

tim

87% Baik sekali 90% Baik sekali

4

Kepedulian

terhadap kesulitan

sesama anggota

tim

80% Baik 86% Baik sekali

5 Mengumpulkan

tugas tepat waktu 79% Baik 84% Baik sekali

6

Menggunakan

waktu untuk

mengerjakan tugas

72% Baik 89% Baik sekali

7 Senang belajar 77% Baik 84% Baik sekali

8

Aktif dalam

pembelajaran

83% Baik sekali 84% Baik sekali

9 Memahami materi 76% Baik 79% Baik

Rata-rata 79% Baik 84% Baik sekali

Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD

dengan game terhadap hasil belajar siswa pada konsep momentum dan impuls. Hal tersebut didasarkan pada

hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t terhadap data posttest. Hasilnya adalah nilai thitung = 2,59

sedangkan nilai ttabel = 2,00. Terlihat bahwa nilai thitung ttabel . Dilihat dari nilai rata-rata (mean) pun siswa

kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran STAD dengan game lebih tinggi dibandingkan

siswa pada kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran STAD. Selisih nilai rata-rata kelas

eksperimen dan kelas kontrol sebesar 10,00. Keadaan ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa, pada

konsep momentum dan impuls lebih baik menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan

game dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hal ini sejalan dengan

hasil penelitian Aji Anugrah Wijaya dan J.A. Pramukantoro yang berjudul ”Pengaruh Pembelajaran Aktif

dengan Strategi Who Wants To Be Smart untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Standar Kompetensi

Menerapkan Dasar-dasar Elektronika Kelas X Di SMK Negeri 1 Blitar”, menunjukkan bahwa pengaruh

pembelajaran aktif dengan strategi who wants to be smart dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Jika dilihat lebih rinci, game lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar pada semua jenjang

kognitif dibandingkan dengan diskusi kelompok. Peningkatan hasil pretest dan posttest menunjukkan bahwa

game dapat meningkatkan kemampuan mengingat (C1) sebesar 71%, memahami (C2) sebesar 53%,

menerapkan (C3) sebesar (60%), dan menganalisis (C4) sebesar 51%. Hal tersebut sejalan dengan hasil

Page 112: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

107

penelitian dari beberapa peneliti dan psikolog pendidikan yang menyatakan bahwa game dapat membangun

kemampuan kognitif siswa.

Game who wants to be a winner mampu meningkatkan kemampuan mengingat (C1). Ketika siswa

belajar menggunakan game siswa berusaha mengingat materi untuk memenangkan game. Siswa menjadi

aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini terbukti dari angket respon siswa yang menyatakan bahwa game

mendorong siswa untuk aktif dalam pembelajaran dengan sangat baik. Sejalan dengan pendapat Neville

Bennet yang mengatakan bahwa game dapat meningkatkan mutu pembelajaran karena game mampu

membuat siswa mengingat hal-hal yang dilakukan, dibandingkan dengan mengerjakan tugas yang membuat

siswa merasa terbebani. Granic juga menyatakan bahwa game dapat meningkatkan kemampuan navigasi,

berpikir, mengingat, dan menerima informasi baru.

Game who wants to be a winner juga mampu meningkatkan kemampuan memahami (C2). Animasi

yang terdapat dalam game who wants to be a winner menurut ahli materi telah sesuai dengan konsep

momentum dan impuls, sehingga mampu membantu siswa dalam memahami pertanyaan dalam game.

Animasi membantu siswa dalam memvisualisasikan hal yang sulit dibayangkan oleh siswa. Hasil angket

siswa pun mendukung bahwa game who wants to be a winner mampu membuat siswa memahami materi

momentum dan impuls dengan baik. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Slamet Anwar yang

berjudul ”Pengaruh Media Animasi pada Kompetensi Sistem Bahan Bakar Motor Bensin Terhadap

Pemahaman Siswa” menunjukkan bahwa penggunaan animasi membuat siswa lebih memahami materi yang

diberikan.

Kemampuan menerapkan (C3) juga dapat ditingkatkan dengan menggunakan game who wants to be a

winner. Game ini mendorong siswa untuk menerapkan pengetahuan yang dimilikinya. Penerapan ini

dilakukan ketika siswa menjawab soal dalam game. Hasil angket pun mendukung hal tersebut, terlihat pada

indikator siswa mengerjakan tugas, memperoleh persentase sebesar 81% (baik sekali). Artinya, game mampu

mendorong siswa mengerjakan tugas yang diberikan guru. Mengerjakan tugas berarti siswa telah menerapkan

pengetahuan yang dimilikinya. Selain itu, hasil angket pada indikator bekerja sama dengan teman satu tim

memperoleh persentase sebesar 86% (baik sekali). Hal tersebut menunjukkan bahwa game mendorong siswa

untuk bekerja sama dengan teman satu tim. Bekerja sama membuat siswa saling membantu menerapkan

kemampuan yang dimiliki untuk memenangkan game. Senada dengan penelitian BBC News dan TEEM

(Teachers Evaluating Educational Media) yang menunjukkan bahwa game dapat mengembangkan

kemampuan matematis (menerapkan rumus atau pengetahuan yang telah dimiliki) untuk mengambil

keputusan dalam menjawab pertanyaan dalam game.

Game who wants to be a winner pun mampu meningkatkan kemampuan menganalisis (C4). BBC News

dan TEEM (Teachers Evaluating Educational Media) juga berpendapat bahwa game berkontribusi dalam

kurikulum dengan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Game menyediakan tantangan yang

harus di atasi siswa untuk menyelesaikan game dengan sukses. Jika siswa telah berhasil memecahkan

masalah, tentu siswa juga telah berhasil dalam menganalisis tantangan yang ada pada game. Salah satu

tantangan yang terdapat dalam game adalah menjawab soal analisis. Soal analisis termasuk soal yang sulit

untuk dikerjakan, soal yang sulit cenderung membuat siswa untuk malas mengerjakan. Namun, game dapat

membuat siswa untuk mengerjakan tugas yang diberikan guru. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil observasi

dimana pada indikator mengerjakan tugas yang diberikan guru, memperoleh persentase sebesar 88% (baik

sekali). Selain itu, hasil angket pun menunjukkan bahwa game mampu mendorong siswa dengan sangat baik

(90%) untuk bertukar pendapat dengan teman satu tim. Saling bertukar pendapat membuat siswa mampu

untuk menganalisis soal yang diberikan. Game pun sangat baik dalam mendorong siswa untuk memiliki

kepedulian terhadap kesulitan sesama anggota. Dengan begitu, siswa yang berkemampuan rendah pun dapat

terbantu dalam menganalisis soal yang diberikan dalam game.

Selain kelebihan game yang telah dijelaskan di atas, game juga memiliki kelebihan lain dibandingkan

dengan diskusi kelompok, yaitu: pertama, game who wants to be a winner juga unggul dalam pemanfaatan

waktu dibandingkan dengan diskusi kelompok. Tantangan pada game berupa waktu yang terbatas untuk

menjawab pertanyaan, membuat siswa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Selain itu, tantangan

tersebut membuat siswa berlomba-lomba dalam mengumpulkan jawaban agar dapat memenangkan game.

Page 113: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

108

Kedua, berdasarkan angket siswa, game juga mampu untuk memotivasi siswa dan membantu siswa dalam

menguasai materi dibandingkan dengan diskusi kelompok. Hal ini terlihat pada saat pelaksanaan game siswa

tampak sangat antusias. Game dapat membangun motivasi siswa yang tidak didapatkan dari pembelajaran

lainnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, secara keseluruhan pembelajaran dengan model pembelajaran

kooperatif tipe STAD dengan game dapat meningkatkan hasil belajar. Selain itu, inovasi penggunaan game

pada tahapan tim lebih baik dibandingkan dengan diskusi kelompok. Namun, game juga memiliki kelemahan

dibandingkan dengan diskusi kelompok, yaitu pada indikator mengerjakan tugas yang diberikan guru. Hal ini

mungkin disebabkan siswa terlalu terfokus untuk memenangkan game, sehingga lupa untuk menulis jawaban

pada lembar kegiatan mereka sendiri. Senada dengan pendapat Sharon, Deborah, dan James dalam buku

Instructional Technology & Media for Learning yang menyebutkan bahwa game memiliki kelemahan yaitu

tujuan belajar (tugas) mungkin terlupakan karena adanya keinginan menang dibandingkan sekedar belajar.

Untuk itu, agar pelaksanaan game dalam pembelajaran dapat berjalan lebih baik, sebaiknya guru berupaya

mengingatkan siswa untuk mengerjakan tugas.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini

adalah terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terhadap hasil belajar

siswa pada konsep momentum dan impuls. Pengaruh tersebut terlihat dari nilai thitung ttabel. Dilihat dari nilai

rata-rata pun hasil belajar siswa kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

STAD dengan game lebih tinggi dibandingkan siswa kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran

kooperatif tipe STAD. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan game terbukti lebih unggul dalam

meningkatkan kemampuan mengingat (C1), memahami (C2), menerapkan (C3), dan menganalisis (C4).

Ditinjau dari proses pembelajaran, game pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD berada pada

kategori baik dengan persentase (79%). Selain itu, respon siswa terhadap game pada model pembelajaran

kooperatif tipe STAD berada pada kategori baik sekali.

SARAN

Pada penelitian ini terdapat beberapa kelemahan. Pertama, pada pelaksanaan game. Agar pelaksanaan

game who wants to be a winner dapat berjalan lebih baik, sebelum penelitian dimulai, guru harus memastikan

bahwa siswa telah memahami tata cara dan aturan dalam game. Kedua, tampilan game yang kurang menarik.

Solusi untuk kelemahan ini adalah menyesuaikan warna animasi dengan keadaan sebenarnya. Jika penelitian

ini akan dilanjutkan, maka sebaiknya software game who wants to be a winner dilengkapi materi agar

pengguna dapat lebih memahami tentang momentum dan impuls.

DAFTAR PUSTAKA

Anugrah W, Aji, JA Pramukantoro. 2013. Pengaruh Pembelajaran Aktif dengan Strategi Who Wants To Be

Smart untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Standar Kompetensi Menerapkan Dasar-dasar

Elektronika Kelas X di SMK Negeri 1 Blitar. Jurnal Pendidikan.Teknik Elektro Volume 01 Nomor 1.

Anwar S. Pengaruh Media Animasi pada Kompetensi Sistem Bahan Bakar Motor Bensin Terhadap

Pemahaman Siswa. Jurnal IKIP Veteran Semarang.

Arikunto S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Slavin ER. 2008. Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Hamalik O. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Putro WE. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Huda M. 2013. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Isjoni. 2011. Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi antar Peserta Didik cet. III.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jacobsen, David A., Eggen, Paul, Kauchak, Donald. 2009. Methods for Teaching Edisi ke-8. Jakarta: Pustaka

Pelajar.

Page 114: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

109

Lestari, Dewi. Definisi Game. Artikel Game Universitas Muhammadiyah Sukabumi.

Neville Bennet, Liz Wood, dan Sue Rogers. 2005. Teaching Through Play (Teachers Thinking and

Classroom Practice). Jakarta: Grasindo.

Nikmah S. 2012. Penggunaan Metode Permainan Dalam Pembelajaran IPA Untuk Meningkatkan Aktivitas

dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 11 Sungai Melayu Rayak. Artikel Penelitian

pada Universitas Tanjungpura Pontianak.

Rahmawati I. “Media Permainan Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa”, http://suaraguru.wordpress.com, 24

Agustus 2013.

Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sharon, Deborah, James. 2005. Instructional Technology and Media for Learning. Amerika: Pearson,

Sharon, Deborah, James. 2011. Instructional Technology & Media for Learning: Teknologi Pembelajaran

dan Media untuk Belajar, Terj. Arif Rahman. Jakarta: Kencana.

Suciati. Implementing Computer Games in Formal Learning. Artikel Universitas Negeri Yogyakarta.

Sudijono A. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sudjana N. 1992. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana.

Usman, Husaini, R. Purnomo S. 2006. Pengantar Statistik Cet. I. Jakarta: Bumi Aksara.

Dahar RW. 2006. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

Winkel WS. 2009. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi. “Ini Nilai Positif Bermain Game”,

Tempo online, 27 November 2013.

Page 115: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

110

PERBEDAAN PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN ANIMASI DAN KOMIK

TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP SISTEM PENCERNAAN

Lola Novitasari

Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

[email protected]

Meiry F. Noor, Ahmad Sofyan Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar biologi pada siswa yang

diajar menggunakan media animasi dan media komik pada konsep sistem pencernaan.

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Parung. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan rancangan penelitian two group

pretest-posttest design. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik

purposive sampling (sampel bertujuan) dan penentuan kelas eksperimen I dan kelas

eksperimen II secara acak. Sampel penelitian yang pertama berjumlah 35 siswa untuk kelas

eksperimen I dengan menggunakan media animasi. Sampel yang kedua berjumlah 33 siswa

untuk kelas eksperimen II dengan menggunakan media komik. Instrumen yang digunakan

untuk mengukur hasil belajar siswa berupa tes pilihan ganda dan angket. Analisis data tes

kedua kelompok menggunakan uji t pada taraf signifikan α = 0.05, diperoleh hasil thitung

3.84 dan ttabel sebesar 1.67, maka thitung lebih besar dari ttabel. Hal ini menunjukan bahwa

terdapat perbedaan hasil belajar secara signifikan, sehingga H0 ditolak dan H1 diterima.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar biologi siswa yang diajar dengan

menggunakan media animasi berbeda dengan siswa yang diajarkan dengan menggunakan

media komik.

Kata Kunci: Media Animasi, Media Komik, Sistem Pencernaan, Hasil Belajar

PENDAHULUAN

Pembelajaran sebagai perwujudan real dari proses pendidikan menempati posisi strategis dalam

mengupayakan perubahan kearah yang lebih baik dari kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk Tuhan

yang memiliki akal sudah sewajarnya memikirkan pemecahan masalah berdasarkan informasi yang

dicapainya sehingga kehidupan menjadi lebih dinamis. Generasi baru yang lahir akan terus terlibat dalam

proses transformasi dengan belajar pada generasi sebelumnya dan mengupayakan kondisi yang lebih baik

dibanding masa sebelumnya. Oleh karena itu pendidikan menjadi komponen yang mutlak adanya.

Proses pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi yang berkaitan dengan segala

usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Proses komunikasi yang

dimaksud adalah proses penyampaian pesan atau informasi dari sumber belajar kepada penerima untuk

kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar.

Berkaitan dengan hasil belajar, berbagai survei nasional dan internasional menunjukan bahwa

pencapaian hasil belajar Indonesia masih di bawah Negara-negara tetangga. Berdasarkan analisis Direktorat

Perguruan Tinggi (DIKTI) rendahnya pencapaian hasil belajar dikarenakan tenaga pendidik Indonesia masih

menggunakan pembelajaran konvensional dan bersifat verbalistik (Asyhar, 2011). Verbalistik disini berarti

guru menyampaikan informasi kepada peserta didik hanya dengan berbicara (Asnawir dan Usman, 2002).

Tidak akan menjadi suatu masalah apabila kata verbal mengungkapkan sebuah benda, akan tetapi apabila ia

merujuk pada sebuah peristiwa, konsep, hubungan, dan lain-lain seperti yang menjadi tujuan dalam

pembelajaran biologi maka akan memunculkan masalah komunikasi yang lebih rumit, sehingga dapat saja

komunikasi bersifat tak efektif (Munadi, 2008).

Banyak pembicaraan yang sering diucapkan oleh seseorang tidak efektif, termasuk seorang pendidik.

Oleh karena itu, untuk menghindari komunikasi yang tidak efektif dalam proses pembelajaran hendaknya

guru disamping mengetahui karakteristik simbol (bahasa) verbal juga dapat membantu siswa pada

pemahaman kata-kata verbal dengan cara menunjukan referennya yakni menghadirkan simbol-simbol non

Page 116: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

111

verbal dalam proses pembelajaran, diantaranya adalah gambar, grafik, diagram, bagan, dan peta yang

dituangkan dalam berbagai penyalur pesan visual (media visual) secara variatif (Munadi, 2008)

Ada dua faktor yang turut mempengaruhi proses dan hasil belajar, faktor-faktor tersebut berasal dari

dalam diri manusia itu sendiri atau yang disebut faktor internal, dan faktor yang berasal dari luar diri manusia

itu atau yang disebut faktor eksternal. Salah satu aspek penting dalam perkembangan kognitif yang berkaitan

erat dengan faktor eksternal adalah persepsi. “Persepsi merupakan interpretasi seseorang tehadap sebuah

rangsangan” (Trianto, 2010). Setelah individu mengindrakan objek di lingkungannya, kemudian informasi ini

diproses sampai timbulah makna tentang objek.

Kurang lebih 90% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indra penglihatan, dan hanya 5% diperoleh

melalui indra dengar, dan 5% lainnya diperoleh melalui indra yang lain (Munadi, 2008). Hal ini menunjukan

bahwa pengetahuan seseorang paling banyak diperoleh indra pengelihatan. Dengan demikian, penggunaan

media pembelajaran, khususnya media pembelajaran yang dapat dilihat (visual) menjadi poin penting dalam

kegiatan pembelajaran.

Media visual adalah media yang melibatkan indera pengelihatan. Media visual ini ada yang

menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti film strip film bingkai), foto, gambar atau lukisan,

cetakan. Tetapi ada pula media visual yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti film

bisu, film kartun (Faturrahman dan Sutikno, 2007).

Media grafis termasuk kedalam media visual, dimana pesan disampaikan dengan menggunakan

lambang atau simbol komunikasi visual (Asnawir dan Usman, 2002). Dua diantara media grafis ialah media

komik dan media animasi. Media komik dan animasi memilki kesamaan yakni menampilkan informasi dalam

bentuk gambar, selain itu keduanya juga memiliki fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, dan fungsi

kompensatoris sebagai media pembelajaran. Akan tetapi disamping sejumlah persamaan tersebut, kedua

media ini berbeda dalam hal penyajiannya. Jika media animasi disajikan dalam bentuk penggambaran yang

bergerak (visual gerak), berbeda halnya dengan media komik, media komik menyajikan informasi dalam

bentuk gambar yang diam (visual diam). Dalam kerucut pengalaman Edgar Dale, 30% informasi yang

diperoleh oleh siswa berasal dari media visual, akan tetapi media yang bergerak (animasi) lebih dapat diingat

dan dipahami oleh siswa dibandingakan denga gambar yang tidak bergerak (komik).

Berdasarkan hasil observasi di SMP Negeri 1 Parung, diketahui bahwa hasil belajar siswa pada konsep

sistem pencernaan masih tergolong rendah hal ini didasarkan pada hasil belajar siswa yang hampir 50% di

bawah KKM. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui perbedaan media animasi berkarakter dengan

penyajian gambar yang bergerak, dan media komik dengan penyajian gambar yang diam pada konsep sistem

pencernaan terhadap hasil belajar siswa. Melalui penelitian ini, penggunaan kedua media ini diharapkan

dapat menunjukan perbedaan yang signifikan terhadap hasil belajar siswa pada konsep sistem pencernaan.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Metode ini dinamakan metode

kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistic (Sugiono, 2010).

Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen (eksperimen semu), yaitu penelitian yang tidak

dapat memberikan kontrol penuh. Analisis data pada penelitian ini menggunakan teknik komparasi. Dalam

penelitian ini sampel yang telah diambil dikelompokkan menjadi 2 yaitu kelompok eksperimen I dan

kelompok eksperimen II. Kelompok eksperimen I diberikan perlakuan dengan menggunakan menggunakan

media pembelajaran berupa animasi, dan kelompok Eksperimen II diberi perlakuan dengan menggunakan

media komik.

Adapun desain penelitian menggunakan Two Group Pretest-Postest Design. Untuk hasil kognitif, pada

awal kegiatan penelitian, siswa akan dikenakan test awal (pretest) untuk mengetahui kemampuan awal siswa.

Pada penelitian ini terdapat dua kelompok yang sama-sama diberi perlakuan.Kelompok I atau kelas

eksperimen I merupakan kelas yang diberi perlakuan pengajaran dengan menggunakan media animasi,

sedangkan kelompok II atau kelas eksperimen II adalah kelas yang diberikan perlakuan pengajaran dengan

menggunakan media komik. Kedua variabel tersebut merupakan variabel X. pada akhir penelitian kedua

Page 117: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

112

kelompok ini akan dikenakan test akhir (posttest). Hasil kedua penelitian tersebut akan dipakai sebagai data

penelitianuntuk diolah dan dibandingkan hasilnya.

Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 1 Parung. Populasi terjangkau

adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP Negeri 1 Parung sebanyak 9 kelas. Teknik yang digunakan dalam

penentuan sampel dilakukan dengan dua cara. Penentuan sampel mula-mula menggunakan teknik purposive

sampling. Sampel diambil dari VIII-1 yang terdiri atas 33 siswa dan VIII-2 yang terdiri atas 35 siswa. Tujuan

pengambilan kelas VIII-1 dan VIII-2 berdasarkan kebijakan guru karena memiliki tingkat pemahaman sama.

Selanjutnya penentuan sampel untuk dijadikan kelas eksperimen I dan eksperimen II dilakukan secara acak

(random sampling). Dalam hal ini kelas VIII-2 sebagai kelas eksperimen I dan kelas VIII-1 sebagai kelas

eksperimen II. Penentuan secara acak ini dimaksudkan agar peneliti dalam menentukan kelas eksperimen I

dan kelas eksperimen II tidak bersikap subjektif.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode tes dan non-tes. Tes berupa pilihan ganda sebanyak 25

dengan empat pilihan jawaban. Test ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu dengan cara pengambilan soal

pretest dan posttest. Soal pretest diberikan kepada siswa sebelum pembelajaran, test berupa soal pilihan

ganda. Sementara soal posttest diberikan kepada siswa setelah pembelajaran. Sedangkan instrument nontes

berupa angket. Angket mengukur tingkat persepsi siswa terhadap media yang digunakan oleh guru, angket

terdiri dari sebelas pernyataan.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda

dengan empat pilihan. Soal test disusun berdasarkan ruang lingkup materi serta disesuaikan dengan

pengukuran ranah kognitif, yang meliputi aspek ingatan, pemahaman, aplikasi, dan analisis siswa pada

konsep pencernaan. Selain menggunakan tes tertulis, penelitian ini juga menggunakan angket sebagai alat

bantu dalam mendukung penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut ini disajikan data dari dua kelompok subjek penelitian, yaitu kelompok yang menggunakan

media animasi (eksperimen I) dan kelompok yang menggunakan media komik (eksperimen II) yang diambil

dari hasil pretest dan posttest.

Tabel 1. Data Pretest dan Postest Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II

Deskripsi Pretes Postes

Eks. I Eks. II Eks. I Eks. II

Nilai terkecil 32 32 52 48

Nilai terbesar 64 64 96 96

Mean 44.44 47.77 83.16 74.55

Median 45 47.83 85.37 75.94

Modus 46.5 47 87.71 79.7

Standar deviasi 8.24 9.58 9.57 11.58

Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa nilai mean pretest eksperimen I dan eksperimen II memiliki

selisih 3.33, ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelas. Setelah diberi perlakuan, nilai

mean posttest kelas eksperimen I lebih besar dari pada kelas Eksperimen II dan memiliki selisih yang cukup

besar, yaitu 8.61. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang dijar dengan

menggunakan media animasi dan media komik

Hal ini sejalan dengan pengujian hipotesis data pretest yang dilakukan, diperoleh bahwa thitung < ttabel

(1.51 < 1.67), dapat diartikan bahwa thitung berada diluar daerah penolakan H0 atau dengan kata lain H0

diterima. Sehingga pernyataan hipotesisnya adalah tidak terdapat perbedaaan antara hasil belajar siswa yang

menggunakan media animasi dengan media komik. Hal ini menunjukan bahwa kelas yang menggunakan

media animasi (eksperimen I) dan kelas yang menggunakan media komik (eksperimen II), kedua kelas

terebut sudah memiliki kemampuan awal yang sama sehingga memenuhi persyaratan sebagai sampel

penelitian.

Page 118: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

113

Setelah diberi perlakuan pada kedua kelas dalam proses pembelajaran, hasil uji hipotesis data posttest

diperoleh bahwa thitung > ttabel (3.84 >1.67), dapat diartikan bahwa thitung berada diluar daerah penerimaan H0

atau dengan kata lain H0 ditolak. Maka , hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa rata-rata hasil

belajar biologi siswa yang diajar dengan menggunakan media animasi lebih tinggi dibandingkan dengan rata-

rata hasil belajar biologi yang diajar dengan menggunakan media komik diterima pada taraf signifikansi 5%.

Dengan demikian terdapat perbedaan hasil belajar dari kedua kelas.

Tabel 2. Nilai N-gain Hasil Belajar Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II

Deskripsi Eks. I Eks. II

N 35 33

Rendah 2.86 % 15.15 %

Sedang 45.71 % 69.70 %

Tinggi 51.48 % 15.15 %

Rata-rata 0.68 0.52

Untuk mengetahui keunggulan dari kedua media maka dilakukan pengukuran peningkatan hasil belajar,

berdasarkan penghitungan N-gain hasil belajar. Didapatkan kriteria N-gain kelas eksperimen I dan

eksperimen II dalam kategori sedang, akan tetapi, nilai N-gain kelas eksperimen I mendekati kiteria tinggi

(0.63) jika dibandingkan dengan kelas eksperimen II dalam nilai N-gain kelas eksperimen II (0.58).

Tingginya nilai N-gain pada kelas eksperimen I dikarenakan sebanyak 51.43 % siswa mengalami

peningkatan ke kriteria tinggi, bila dibandingkan dengan kelas eksperimen II yang hanya 15.15 % siswa yang

dapat mengalami peningkatan ke kriteria tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa media animasi lebih baik

dibandingkan dengan media komik.

Tabel 3. Nilai Rata-Rata Gain Hasil Belajar Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II

Kelas Rata-rata Gain

C1 C2 C3 C4

Eks. I 2.171 2.6 2.486 2.3429

Jumlah 4.771 4.829

Eks.II 2.152 2.485 1.242 0.9697

Jumlah 4.637 2.212

Agar dapat mengetahui lebih lanjut mengenai peningkatan hasil belajar siswa, maka peneliti mengukur

empat jenjang pengetahuan yang digunakan dalam penelitian, yaitu jenjang C1 (mengingat), C2 (memahami),

C3 (menerapkan), dan C4 (menganalisis). Hal ini bertujuan untuk mengetahui jenjang pengetahuan yang

mengalami peningkatan tertinggi. Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa peningkatan gain pada kelas

eksperimen I berbeda dengan kelas eksperimen I, baik pada jenjang C1, C2, C3, maupun C4. Kelas

eksperimen I memiliki nilai gain yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelas eksperimen II. Khususnya

pada jenjang C3 dan C4. Hal ini dikarenakan jenjang C3 dan C4 mewakili soal-soal yang berhubungan dengan

sebuah peristiwa, konsep dan hubungan, sehingga siswa yang diajarkan dengan menggunakan media animasi

cenderung lebih dapat mengingat informasi karena informasi disajikan secara lebih konkret dan dapat

menghindari salah persepsi oleh siswa.

Tabel 4. Data Angket Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II

Deskripsi Eks. I Kriteria Eks. II Kriteria

Menyerap 80 % Amat baik 75% Baik

Memahami 82 % Amat baik 76 % Baik

Menilai 84% Amat baik 75% Baik

Rata-rata 82% - 75% -

Page 119: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

114

Kelebihan media animasi sejalan dengan hasil angket yang diisi oleh siswa. Siswa yang diajarkan

dengan menggunakan media animasi memiliki tingkat penyerapan dan pemahaman materi yang sangat baik

jika dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan menggunakan media komik. Pada Tabel 4 terlihat bahwa

rata-rata persepsi siswa terhadap media animasi sebesar 82 %, hal ni berbeda nyata dengan siswa yang

diajarkan dengan media komik yang memiliki rata-rata sebesar 75 %. Terkait dari hasil persentase yang

diperoleh, hasil penelitian Rotbain, dkk dalam artikel yang berjudul Using a Computer Animation to Teach

High School Molecular Biology, mengindikasikan bahwa kelompok siswa yang menggunakan animasi

komputer memperlihatkan pemahaman konsep yang signifikan (Robtain et al., 2008)

Selain mengukur daya serap dan tingkat pemahaman siswa, hasil angket ini juga mengukur penyajian

kedua media, berupa bahasa yang digunakan, alur, kesesuaian media dengan materi pembelajaran serta daya

humor kedua media. Berdasarkan hasil penghitungan angket didapatkan bahwa isi media animasi lebih baik

dibandingkan dengan media komik. Perbedaan ini disebabkan oleh banyaknya siswa yang menganggap

komik tidak terlalu mengandung unsur humor, sehingga mempengaruhi hasil penghitungan angket. Pada

media aniamasi unsur humor dapat tergambar baik melalui gerakan-gerakan, yang tidak dapat digambarkan

oleh media komik.

Sebagai bentuk umpan balik untuk mengukur pemahaman siswa dalam menerima informasi dibagian

eksplorasi, kedua kelas diberikan lembar kerja siswa (LKS) yang dielaborasikan dengan pembelajaran

kooperatif tipe think, pairs and share (TPS). Adapun tahap-tahap TPS yang digunakan di kdua kelas adalah

sebagai berikut; Tahap think, siswa di kedua kelas mengerjakan LKS secara individu. Hal ini dimaksudkan

untuk mengukur kemampuan setiap siswa dalam menerima informasi yang diberikan melalui media.

Berdasarkan observasi peneliti, baik siswa yang diajarkan dengan menggunakan media animasi ataupun

dengan menggunakan media komik tidak memiliki kesulitan yang berarti ketika mengerjakan LKS; Tahap

pairs, siswa berpasangan dengan teman sebangku untuk mendiskusikan jawaban dari LKS yang telah diisi

secara individu. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat saling mencocokkan jawaban dan mengetahui

jawaban yang tepat dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di LKS melalui kegiatan diskusi;Tahap share,

beberapa siswa diminta untuk menginformasikan jawaban dari LKS tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk

mengungkapkan jawaban yang telah dikerjakan secara individu dan diskusi bersama teman sebangku

terhadap siswa lain, sehingga menjadi bahan diskusi bersama terkait jawaban yang paling tepat.

Setelah dilakukan penghitungan nilai LKS yang menjadi alat ukur umpan balik media, kelas eksperimen

I memperoleh nilai yang lebih tinggi (82) dibandingkan kelas eksperimen II (80). Hal tesebut menunjukan

bahwa pembelajaran konsep sistem pencernaan manusia yang dieksplorasikan dengan menggunakan media

animasi dapat memudahkan siswa untuk memahami berbagai proses yang terjadi selama berlangsungnya

pencernaan pada manusia. Animasi menjelaskan konsep sistem pencernaan manusia menjadi lebih rinci

khususnya pada proses pencernaan karena animasi menampilkan efek berupa gerakan. Sehingga video

animasi mampu membuat suatu konsep yang sifatnya abstrak menjadi konkret. Hal ini didasarkan pada

kerucut pengalaman (cone of experience) yang di kemukakan oleh Dale (Arsyad, 2010)

Berbeda dengan siswa yang diajarkan dengan media komik, yang tidak menampilkan efek berupa

gerakan. Tentu selama pembelajaran berlangsung, siswa masih agak kesulitan memahami bagaimana proses

mencerna makanan. Sekalipun gambar didukung dengan adanya panah-panah yang menandakan bahwa

gambar tersebut menunjukkan makna sebuah gerakan, namun siswa masih merasa kesulitan untuk dapat

memahami proses pencernaan pada manusia. Menurut kerucut pengalaman Dale, bahwa media gambar

komik yang hanya mengedepankan efek visual diam, tentu masih membuat konsep sistem pencernaan

manusia terlihat abstrak (Arsyad, 2010)

Dilihat dari kaidah pembelajaran, meningkatkan kadar hasil belajar yang tinggi sangat ditunjang oleh

peggunaan media pembelajaran. Melalui media potensi indra peserta didik dapat diakomodasi sehingga kadar

hasil belajar akan meningkat (Asyhar, 2011). Namun penggunaan media tersebut harus disesuaikan dengan

kebutuhan penyampaian informasi terhadap konsep.

Media Animasi sebagai media pendidikan, memiliki kemampuan untuk dapat memaparkan sesuatu yang

rumit atau kompleks, yang sulit untuk dijelaskan hanya dengan gambar atau kata-kata saja menjadi lebih

sederhana dan mudah untuk dipaparkan. Dengan kemampuan ini media animasi sangat baik digunakan untuk

Page 120: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

115

materi-materi yang secara nyata tidak dapat terlihat oleh mata menjadi lebih tergambarkan dalam bentuk

visual. Dengan visualisasi, materi yang dijelaskan dapat tergambarkan dengan baik oleh siswa. Bahkan

Hofler dan lautner dalam jurnalnya yang berjudul Instructional animation versus static pictures juga

mengidentifikasikan bahwa animasi dapat membantu otak untuk memproses informasi lebih baik,

dibandingkan dengan gambar statis yang dapat menimbulkan salah persepsi (Hoffler dan Lautner, 2007).

Pemanfaatan media animasi dalam menjelaskan materi yang berhubungan dengan kerja tubuh manusia,

seperti halnya pada sistem pencernaan manusia dapat memudahkan siswa untuk menangkap pesan atau

informasi selama kegiatan belajar mengajar. Selain itu, media animasi dapat menarik minat dan motivasi

siswa selama pembelajaran berlangsung, sehingga memudahkan siswa dalam memahami konsep. Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Miri Barak, Tamar Ashkar, dan Yhudit J Dori yang dituliskan

dalam jurnal yang berjudul Teaching Science via Animated Movies: It’s Effect on Students Learning

Outcomes and Motivation, bahwa media animasi dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan dapat

memotivasi siswa dalam belajar (Barak, 2010).

Dengan demikian, dapat diartikan bahwa penggunaan media animasi pada konsep sistem pencernaan

memberikan nilai yang lebih baik daripada penggunaan media komik. Hal ini didukung dengan pencapaian

nilai rata-rata keseluruhan hasil belajar siswa yang menggunakan media animasi sebesar 83.16. Keberhasilan

prestasi siswa dalam proses pembelajaran sangat didukung oleh penggunaan media pembelajaran yang dapat

menampilkan suatu proses secara lebih rinci, sehingga konsep-konsep yang tadinya bersifat abstrak menjadi

lebih mudah dipahami oleh siswa.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil

belajar antara siswa yang diajar dengan menggunakan media animasi dengan siswa yang diajar dengan

menggunakan media komik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penghitungan uji hipotesis hasil belajar dengan

taraf signifikansi 95% didapat t-hitung sebesar 3.84. Nilai ini berada pada daerah penolakan H0. Berdasarkan

perbedaan nilai rata-rata posttest antara kelompok eksperimen I (media animasi) dan kelompok eksperimen II

(media komik), kelompok eksperimen I mendapatkan nilai lebih baik daripada kelompok eksperimen II yakni

83.16 > 74.55. Pengaruh dari perlakuan juga terlihat dari rata-rata N-gain untuk kelas eksperimen I sebesar

0,68 dan untuk kelas Eksperimen II sebesar 0,52. Selain itu, hasil angket menunjukan bahwa persepsi siswa

terhadap media animasi menunjukan hasil yang amat baik jika dibandingkan dengan persepsi siswa yang

menggunakan media komik yang menunjukan hasil baik.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad A. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Asnawir, Basyiruddin U. 2002.Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Press.

Asyhar R. 2011.Kreatif mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: GP press.

Barak M.2010. Teaching Science via Animated Movies.

Fathurrohman, Pupuh, Sobry S. 2007.Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Refika Aditama.

Hoffler, Tim N, Detlev L. 2007.Instructional animation versus static picture, Learning and Instruction.

Munadi Y. 2008. Media Pembelajaran. Ciputat: Gaung Persada Press.

Rotbain, Yosi, Marbach-Ad, Ruth Stavy. 2008. Using a Computer Animation to Teach High

SchoolMolecular Biology, Journal of Science Educational Technology, 17.

Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:CV.

Alfabeta, 2010.

Page 121: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

116

PERBEDAAN HASIL BELAJAR BIOLOGI ANTARA PENGGUNAAN KARTU CARD

SORT DENGAN INDEX CARD MATCH PADA KONSEP SISTEM REPRODUKSI

MANUSIA

Titik Kadarsih

Pendidikan Biologi, Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

[email protected]

Meiry Fadilah Noor, Nengsih Juanengsih

Pendidikan Biologi, Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Teknik Card Sort dan Index Card Match dapat digunakan untuk pembelajaran aktif di

kelas. Kedua teknik ini dapat membuat siswa aktif berpikir (mental) dan aktif bergerak

(fisik) secara berkelompok dalam proses pembelajaran, sehingga siswa memperoleh

pemahaman dan menguasai konsep yang dipelajari. Namun, pada Card Sort keaktifan

siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok kecil, sedangkan Index Card Match dibentuk

dari kelompok besar menjadi kelompok kecil (berpasangan). Oleh karena itu penelitian ini

bertujuan mengukur perbedaan hasil belajar biologi antara siswa yang diajar melalui

strategi pembelajaran aktif teknik card sort dengan teknik index card match pada konsep

sistem reproduksi. Populasi penelitian ini adalah siswa SMAN 05 Depok. Penelitian ini

menggunakan metode kuasi eksperimen dengan desain Two Group Pretest-postest design.

Sampel ditentukan dengan teknik simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan

terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen satu dengan kelas eksperimen

dua. Hasil ini diperoleh dari thitung 2,98 dan ttabel 1,99 (2,98 > 1,99) pada taraf

signifikansi 5%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar biologi antara siswa yang diajar

melalui strategi pembelajaran aktif teknik card sort lebih baik (90,50) dibandingkan

dengan teknik index card match (88) pada konsep sistem reproduksi manusia.

Kata kunci: Pembelajaran Aktif, Hasil Belajar, Card Sort dan Index Card Match

PENDAHULUAN

Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945 memiliki tujuan untuk membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam mengemban

amanat tersebut, pemerintah harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu,

relevansi dan efisiensi dalam pendidikan baik dalam hal manajemen maupun komponen-komponen yang

terkait dalam pendidikan. Salah satu upaya pendidikan nasional dalam pemerataan pendidikan adalah dengan

dibangun program wajib belajar 9 (Sembilan) tahun. Sistem pendidikan nasional terus menerus berupaya

memberikan inovasi dalam kegiatan kependidikan (BNSP, 2006).

Sekolah sebagai salah satu lembaga yang penting dalam upaya mencerdaskan bangsa dan meningkatkan

sumber daya manusia, sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan yang terdapat didalamnya. Kualitas

pendidikan di sekolah terlihat dari komponen-komponen yang terkait dalam suatu sistem yaitu guru, metode

pembelajaran, kurikulum, siswa, sarana dan prasarana sekolah dan lain sebagainya. Komponen penting dalam

sistem pendidikan di sekolah adalah kegiatan belajar mengajar.

Kegiatan belajar mengajar di sekolah, para guru cenderung belum mengoptimalkan pemilihan strategi

pembelajaran baik bahan ajar, metode, teknik, maupun media pembelajaran. Ketidakoptimalan menjadikan

pembelajaran tidak kreatif dan tidak menarik. Apalagi pembelajaran yang tidak menuntun siswa ikut serta

aktif dalam proses belajar. Padahal kesuksesan siswa disertai dengan keaktifannya dalam berfikir, menyusun

konsep, dan kebermaknaan dalam belajar (Warsita, 2008).

Page 122: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

117

Keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran di kelas menjadikan mereka lebih mudah untuk

memahami dan membuat materi pelajaran dapat lebih lama berada dalam memorinya. Salah satu strategi

yang diharapkan dapat melibatkan lebih banyak kegiatan pembelajaran siswa secara komprehensif adalah

strategi pembelajaran aktif (Rusdiana, 2006; Silberman, 2007).

Proses belajar yang mengaktifkan siswa tidak hanya mengandalkan guru dalam mendapatkan materi

pembelajaran, namun dibutuhkan teknik yang tepat untuk mendukung aktivitas belajar didalamnya.

Penggunaan teknik sebagai suatu cara untuk menyampaikan informasi dalam suatu pembelajaran diperlukan

kreativitas guru, sehingga dapat digunakan secara efektif dan efisien sesuai dengan kesederhanaan fasilitas

sekolah. Teknik yang dapat digunakan dengan fasilitas yang memadai adalah teknik card sort dan teknik

index card match.

Kedua tehnik ini menggunakan kartu sebagai alat bantu dalam pembelajaran (Silberman, 2007).

Keduanya juga membantu siswa dalam memperkuat daya ingat setelah materi diberikan (Hamruni, 2011).

Namun pada Card sort kartu dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori mengenai materi pelajaran

(Hamruni, 2011). Sehingga, siswa diaktifkan dengan mencari kartu yang memiliki kategori yang sama

dengan memilah-milah kartu yang berada di tangan siswa lain (Kadir, 2008). Sedangkan kartu pada index

card match dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok yang berisikan pertanyaan dan kelompok yang

berisikan jawaban (Yasin, 2008).

Berdasarkan perbedaan tersebut, maka diperlukan pengujian untuk membedakan efektifitas kedua

tehnik ini dalam mempengaruhi hasil belajar. Oleh karena itu, dilakukannya perbandingan hasil belajar siswa

antara teknik pembelajaran aktif teknik card sort dan index card match.

METODE

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian eksperimen jenis quasi experimental.

Metode ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-

variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen (Arikunto, 2005). Dalam penggunaan metode

penelitian ini, peneliti meniadakan kelas kontrol tetapi memberikan perlakuan kepada kedua kelas dan

kemudian membandingkannya. Adapun desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan two

group pretest and postest design, dimana penentuan kelompok eksperimen satu (E1) maupun kelompok

eksperimen dua(E2) dipilih secara random (Sugiyono, 2007). Variabel penelitian dengan dua variabel, yaitu

strategi pembelajaran dengan card sort sebagai variabel bebas satu (variabel X E1) dan index card match

sebagai variabel bebas dua (variabel X E2). Sedangkan hasil belajar biologi siswa sebagai variabel terikat

(variabel Y).

Dalam penelitian ini, peneliti menentukan seluruh siswa SMAN 5 Depok yang terdaftar dalam semester 2

pada tahun ajaran 2012-2013 sebagai populasi target. Adapun untuk populasi terjangkaunya adalah SMAN 5

Depok kelas XI semester 2 tahun ajaran 2012-2013. Kemudian yang dijadikan sampel adalah dua kelas dari

seluruh kelas XI yang ada di SMAN 5 Depok pada semester 2 tahun ajaran 2012-2013, dimana kelas XI A 5

sebagai kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) dan kelas XI A 4 sebagai kelas yang diajar dengan

teknik index card match (E2).

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan tes tertulis berupa pilihan ganda yang

ditujukan untuk mengukur hasil belajar siswa. Sedangkan lembar observasi digunakan untuk mengamati

keterlaksanaan strategi pembelajaran aktif oleh guru dan partisipasi siswa dalam pembelajaran di kelas.

Teknik analisis data dalam penelitian ini diawali dengan pensekoran bentuk soal pilihan ganda sejumlah 35

soal. Adapun indikator hasil belajar merujuk pada Taksonomi Bloom pada tingkat pengetahuan, pemahaman,

aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Penskoran data bentuk soal pilihan ganda yaitu setiap butir soal yang

dijawab benar diberi skor 1, dan untuk butir soal yang dijawab dengan salah diberi skor 0. Kemudian data diuji

kenormalitasannya dengan uji Liliefors, dan dengan uji Fisher untuk menguji kehomogenannya pada taraf

signifikansi 0,05 (. Selanjutnya pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t (Sudijono, 2010).

Pada penelitian ini juga menggunakan lembar observasi yaitu mengamati keterlaksanaan penerapan

Penggunaan kartu oleh peneliti. Lembar observasi ini digunakan oleh pengamat pada setiap kali pertemuan

Page 123: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

118

proses pembelajaran. Adapun hasil pengamatan lembar observasi tersebut diolah dengan menghitung

persentasenya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dikumpulkan dua jenis data yakni kuantitatif dan kualitatif. Adapun data kuantitatif

berupa tes bentuk pilihan ganda sejumlah 35 soal. Kemudian data kualitatif berupa lembar observasi

keterlaksanaan proses pembelajaran. Berdasarkan hasil dari pengolahan data berupa tes kognisi dalam bentuk

pilihan ganda kepada kedua kelas sebelum dan setelah perlakuan didapatkan statistik kemampuan siswa pada

Tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi Data Sebelum dan Setelah Perlakuan

Data Statistik Eksperimen 1 Eksperimen 2

Pretes Postes Pretes Postes

Nilai tertinggi 28 60 28 73

Nilai Terendah 60 100 63 97

Rata-rata 44 90,5 43 88

Simpangan baku 9,40 7,7 7,48 6,42

Jumlah siswa 45 45 44 44

Berdasarkan data rata-rata pretest di kedua kelas menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang

jauh di antara keduanya. Setelah diberikan perlakuan, didapatkan perbedaan hasil belajar dengan kelas yang

menggunakan teknik card sort lebih baik dibandingkan ICM.

Berdasarkan hasil penghitungan uij-t pada data pretest diperoleh thitung < ttabel, (1,28<1,99) maka dapat

disimpulkan bahwa Ho diterima. Dengan demikian bahwa hasil pretest kelas yang diajar dengan teknik card

sort (E1) dan kelas yang diajar dengan teknik index card match (E2) tidak berbeda nyata. Maka dapat

dinyatakan bahwa kemampuan awal siswa di kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) dan dan kelas

yang diajar dengan teknik index card match (E2) sebelum proses pembelajaran tidak ada perbedaan yang

signifikan. Namun setelah diberi perlakuan, maka hasil uji hipotesis pada skor posttest menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan yang signifikan antara skor kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) dan kelas yang

diajar dengan teknik index card match (E2), dimana nilai thitung lebih dari ttabel (2,98>1,99). Dengan demikian

dapat dinyatakan bahwa hasil belajar biologi siswa antara kelas kelas yang diajar dengan teknik card sort

(E1) dan kelas yang diajar dengan teknik index card match (E2) dalam pembelajaran aktif terdapat perbedaan

yang signifikan, dimana penggunaan teknik card sort lebih baik dibandingkan dengan teknik index card

match dalam strategi pembelajaran aktif.

Hasil belajar biologi siswa yang menggunakan teknik card sort lebih tinggi dari pada hasil belajar

biologi siswa yang menggunakan teknik index card match sebesar 90,5 > 88. Walaupun peningkatan hasil

belajar di kedua kelas ini dalam kategori tinggi, namun rata-rata ketercapaian penggunaan teknik belajar di

kelas E2 lebih tinggi. Kondisi demikian juga dapat terlihat pada aktifitas siswa pada lembar observasi,

dimana kelas E1 aktifitas siswa lebih tinggi dibandingkan dengan kelas E2. Hal tersebut dikarenakan dalam

pembelajaran menggunakan teknik card sort siswa lebih aktif dalam kegiatan belajar di kelas. Keaktifan

tersebut ditunjukan pada saat siswa bersama-sama mencari kartu dengan kategori yang sama kemudian

membentuk kelompok-kelompok kecil yang memiliki kategori yang sesuai. Hal ini sejalan dengan Widiastusi

(2010), dari hasil penelitiannya menunjukan bahwa dengan menggunakan pembelajaran aktif teknik card sort

memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif baik aktif fisik yang ditunjukan dengan pencarian kartu

yang satu kategori maupun aktif berkomunikasi yang ditunjukan dengan diskusi kelompok, memberikan

pertanyaan maupun menyajikan hasil kerja kelompok melalui presentasi.

Menurut Roziq (2012) yang dalam penelitiannya mengatakan bahwa card sort lebih mengutamakan

pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan cara membuat kelompok-kelompok kecil, sehingga

memungkinkan siswa untuk mendapatkan kelompok yang bervariatif dan lebih mudah dalam proses

pembelajaran. Proses pelaksanaan pembelajaran dengan pembentukan kelompok-kelompok kecil merupakan

salah satu tujuan yang membuat siswa lebih mudah berdiskusi, dimana diskusi kelas merupakan aspek yang

sangat penting dari pembelajaran aktif. Dari faktor-faktor tersebut maka dapat dikatakan bahwa penggunaan

teknik card sort lebih efektif dibandingkan menggunakan teknik index card match.

Page 124: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

119

Keefektifan kelas card sort dari pada index card match dapat dilihat dari hasil uji Peningkatan hasil

belajar (N-Gain) yang menunjukkan terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan teknik card

sort dengan siswa yang menggunakan teknik index card match, hasil yang diperoleh adalah bahwa kelas card

sort lebih baik dari kelas index card match. dapat diamati dalam Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan Persentase Peningkatan Hasil Belajar (N-Gain) Kelas Berteknik Card Sort (E1)

dan Kelas Berteknik Index Card Match (E2)

Kategori Persentase

(EI) (E2)

Tinggi 86,70 77,30

Sedang 13,30 22,70

Rendah 0 0

Kategori Tinggi Tinggi

Selama proses pembelajaran dilakukan penilaian aktifitas siswa oleh guru mata pelajaran sebagai

observer, penilaian aktifitas siswa dalam pembelajaran mengacu pada lembar observasi dalam bentuk

persentase nilai rata-rata kelompok dengan nilai maksimal 100% yang berkategori sangat baik. Hasil

pengamatan dari tiga pertemuan oleh observer diperoleh nilai rata-rata pada kedua kelompok baik kelompok

kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) maupun kelompok kelas yang diajar dengan teknik index card

match (E2). Adapun persentase hasil penilaian aktifitas siswa dalam pembelajaran diperoleh data yang

digambarkan pada Tabel 2.

Tabel 3. Data Persentase (%) Hasil Penilaian Aktifitas Siswa Kelas Berteknik Card Sort (E1) dan Kelas

Berteknik Index Card Match (E2)

Aktifitas Siswa Persentase Aktifitas Siswa (%)

E1 E2

Mendengarkan dengan aktif 80 79

Membaca buku siswa 93,3 80

Mengajukan pertanyaan seputar materi 82 80

Berdiskusi dengan anggota kelompok 90 82,3

Mengerjakan Lembar Kerja Siswa 82,3 80,7

Melakukan permainan kartu 100 90

Presentasi 77 79

Membuat Kesimpulan 87 79

Rata-rata 86,45 81,25

Kategori Baik Baik

Berdasarkan Tabel 3, persentase ketercapaian hasil penilaian aktifitas siswa dapat dilihat dari kegiatan

yang dilakukan siswa dalam proses pembelajaran. Hasil observasi tersebut, rata-rata yang diperoleh untuk

kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) lebih tinggi dari kelas yang diajar dengan teknik index card

match (E2) yaitu sebesar 86,45% termasuk ke dalam kategori baik. Sedang kelas berteknik index card match

(E2) sebesar 81,25% dan juga dalam kategori baik. Hal tersebut terjadi karena pada dasarnya kedua teknik ini

dapat membuat siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Seluruh indikator dicapai oleh kedua kelas,

persentase setiap indikator di kelas eksperimen satu (E1) selalu lebih tinggi dari kelas eksperimen dua (E2).

Bahkan pada indikator melakukan permainan kartu mencapai nilai 100%, hal ini menunjukan bahwa saat

melakukan kegiatan pelaksanaan teknik card sort semua siswa terlibat dengan antusias yang tinggi. Tetapi

pada indikator pelaksanaan presentasi, kelas yang diajar dengan teknik card sort (E1) memiliki nilai lebih

kecil di bandingkan dengan kelas yang diajar dengan teknik index card match (E2) yakni sebesar 77% dan

79%. Hal ini disebabkan siswa kelas eksperimen dua (E2) lebih siap dan lebih baik dalam melaksanakan

presentasi di kelas.

Terdapat perbedaan dari hasil penilaian observasi aktifitas siswa untuk kedua kelas, kelas yang

menggunakan teknik card sort lebih tinggi dengan perolehan persentase 86,45% dari pada kelas yang

menggunakan teknik index card match dengan perolehan persentase 81,25% (86,45% > 81,25% ), meski

Page 125: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

120

memiliki kategori yang juga baik. Hal ini dikarenakan semua siswa mengikuti semua aspek dan indikator

yang rata-rata memperoleh nilai 4 dari skor ideal 5 pada kelas yang menggunakan teknik card sort berbeda

dengan kelas yang menggunakan teknik index card match rata-rata perolehan nilai 3,2 dari skor ideal 5.

Kondisi ini menunjukan partisipasi siswa lebih baik pada kelas berteknik card sort dibandingkan dengan

kelas berteknik index card match. Diketahui pula pada aspek mendengarkan dengan aktif, membaca buku

siswa, mengajukan pertanyaan seputar materi, berdiskusi dengan anggota kelompok, mengerjakan lembar

kerja siswa, melakukan permainan kartu dan membuat kesimpulan kelas yang menggunakan teknik card sort

lebih tinggi pencapaiaannya dibandingkan dengan kelas yang berteknik index card match. Dalam kegiatan

pembelajaran menggunakan teknik card sort dan index card match peneliti menggunakan metode diskusi

kelompok kecil yang disertai kartu sebagai alat bantu dari teknik yang digunakan. Tujuan penggunaan

metode diskusi kelompok kecil yang membagi siswa ke dalam berbagai kelompok untuk lebih memfokuskan

siswa pada kerja kelompok dan mengikuti langkah-langkah pembelajaran. Langkah pertama siswa menyimak

materi yang disampaikan guru, setelah pemberian materi selesai, guru memberikan arahan untuk melakukan

teknik pembelajaran menggunakan kartu, setelah siswa merasa siap melakukan permainan kartu, guru

memberikan Lembar Kerja Siswa yang akan dikerjakan siswa setelah melakukan permainan kartu. Pada saat

pelaksanaan teknik card sort siswa mencari kategori yang sesuai dengan kartu yang dimilikinya dan duduk

bersama dalam satu kelompok kemudian mengerjakan LKS yang telah disediakan melalui proses diskusi

bersama. Kemudian setelah diskusi selesai siswa diperkenankan melakukan presentasi hasil kerja kelompok

masing-masing.

Pada pelaksanaan pembelajaran kelas E1 yang menggunakan teknik card sort terlihat siswa antusias

melihat kartu-kartu yang dibawa oleh guru. Kemudian ketika siswa dijelaskan tentang mekanisme

penggunaan teknik card sort awalnya siswa merasa bingung dan banyak bertanya yang menimbulkan

suasana kelas menjadi gaduh. Tetapi setelah guru menerangkan penggunaan teknik card sort siswa mulai

mengerti dan siswa mulai fokus menjalankan kegiatan pembelajaran. Pada saat pertemuan pertama siswa

masih banyak yang harus mengingat mekanisme penggunaan teknik card sort terlebih jika siswa belum

membaca materi yang akan dipelajari sebelumnya, sehingga pada saat pencarian teman dengan kategori yang

sama, siswa kebingungan karena tidak dapat menentukan kategori kartu yang dimilikinya. Pertanyaan pun

bermunculan dari para siswa mengenai teknik permainan kartu tersebut, guru sebagai fasilitator memberi

arahan kepada siswa untuk dapat menemukan kelompoknya. Tetapi pada pertemuan selanjutnya siswa mulai

beradaptasi dengan teknik pembelajaran card sort, siswa mulai kompak, antusias mencari teman dengan

kategori yang sama, kelas lebih kondusif karena siswa fokus melaksanakan kegiatan pembelajaran. Hal yang

berbeda terjadi pada kelas E2, pada pertemuan pertama, setelah guru menjelaskan mekanisme pelaksanaan

teknik index card match siswa langsung mengerti dan suasana pembelajaran lebih kondusif. Karena

pelaksanaan teknik index card match lebih mudah, hanya mencari pasangan jawaban atau pertanyaan yang

sesuai dengan kartu yang didapat masing-masing siswa.

Pelaksanaan perlakuan pada kelas E1 siswa bekerja sama dengan kelompok dengan kategori yang sama,

berdiskusi untuk mengisi LKS dan sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang belum dipahami,

berbeda dengan kelas E2, siswa bekerja sama dengan kelompok dan jarang mengajukan pertanyaan kepada

guru. Hal ini dikarenakan pada kelas E2, setiap kelompok sudah memegang kartu masing-masing yang sudah

terdapat pertanyaan dan jawaban yang sesuai. Pada kelas E2 interaksi kelompok tergolong rendah, masih ada

beberapa siswa yang mengandalkan teman satu kelompok dalam mengisi LKS, sehingga hanya mengkopi

pekerjaan teman satu kelompoknya. Berbeda dengan kelas E1, interaksi antar kelompok tergolong lebih baik,

karena setiap siswa dalam kelompok aktif mengerjakan LKS dengan kemampuannya masing-masing.

Pada aspek presentasi, siswa kelas E2 lebih baik dan lebih memiliki persiapan dalam hal penguasaan

materi hal tersebut terbukti ketika kelompok presentator mempresentasikan hasil kerja kelompok, mereka

dapat menjawab pertanyaan dengan baik. Berbeda dengan kelas E1, berdasarkan hasil observasi, satu-satunya

aspek yang memiliki presentase lebih kecil dibandingkan kelas E2 adalah pada aspek presentasi, hal ini

dikarenakan kebanyakan kelompok presentator belum mampu menjawab pertanyaan kelompok lain dengan

baik.

Page 126: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

121

Secara umum dari berbagai aspek yang diteliti, mulai dari aktifitas siswa dalam kelas melalui lembar

observasi oleh guru mata pelajaran, kemudian hasil posttest dan N-Gain yang menghasilkan perolehan angka

yang signifikan, kelas yang diajar menggunakan card sort lebih baik dibandingkan dengan kelas yang diajar

menggunakan teknik index card match terhadap hasil belajar biologi siswa pada konsep sistem reproduksi.

Rusdiana dalam jurnalnya mengatakan belajar aktif bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa

secara aktif untuk mengembangkan kemampuan daya pikir dan daya ciptanya yang terlibat langsung dalam

proses belajar mengajar, salah satunya melalui teknik card sort (Rusdiana, 2010).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil

belajar biologi siswa antara siswa yang diajar melalui teknik card sort dengan teknik index card match pada

konsep sistem reproduksi manusia kelas XI semester 2 SMA Negeri 5 Depok tahun ajaran 2012/2013.

Perbedaan tersebut lebih baik pada penggunaan teknik card sort berdasarkan rata-rata hasil belajar dan

aktivitas siswa.

SARAN

Penerapan teknik card sort dan index card match disamakan jumlah kategorinya. Sehingga pada index

card match terbagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan kategori yang selanjutnya ditiap kategori

tersebut dibagi kembali menjadi 2 kelompok kartu, yaitu kartu pertanyaan dan kartu jawaban.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

_____________ . 2010. Prosedur Penelitian (suatu pendekatan praktik), Jakarta: Rineka Cipta.

BSNP. 2006.. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan

Menengah. Jakarta: Balitbang Depdiknas.

Hamruni. 2011. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Insan Madani.

Kadir SF. 2008. Ragam Strategi Pembelajaran. Jurnal Al-Ta’Dib Vol 1 No.1,

Rusdiana. 2006. Penerapan Belajar Aktif Dalam Pembelajaran. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI

Kalimantan, Vol 4 No.5.

Silberman ML. 2007..Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.

Sudijono A. 2010. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Warsita B. 2008. Teknologi Pembelajaran dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Widiastuti K. Peningkatan Keaktifan Bertanya Siswa Melalui Strategi Motivasi Dalam Model Pembelajaran

Aktif Tipe Card Sort di kelas RSBIXI IPA SMAN 01 Surakarta. Skripsi FKIP Universitas Sebelas

Maret, Surakarta, 2010. Tidak dipublikasikan

Uzlul RA. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Dengan Strategi Kartu Sortir (Card

Sort) Terhadap Prestasi Belajar Fisika Pada Materi Fluida Statis. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisik.

Yasin FA. 2008. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang press.

Page 127: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

122

PENGARUH MEDIA AUDIO-VISUAL (VIDEO) TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA

KELAS XI PADA KONSEP ELASTISITAS

Ika Risqi Citra Primavera Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

[email protected]

Iwan Permana Suwarna, M.Pd Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media audio-visual (video) terhadap hasil

belajar siswa kelas XI pada konsep elastisitas. Media audio-visual (video) ini dibuat

menggunakan software AVS Video Editor. Penelitian ini dilakukan di kelas XI IPA 1 dan XI

IPA 3 SMA Negeri 87 Jakarta. Penelitian berlangsung pada bulan November 2013. Metode

penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain nonequivalent control

group design dan teknik pengambilan sampel purpossive sampling. Instrumen yang digunakan

adalah instrumen tes berupa soal pilihan ganda dan instrumen nontes berupa angket. Data hasil

instrumen tes dan nontes dianalisis secara kuantitatif, namun hasil data nontes dikonversi ke

dalam bentuk kualitatif. Berdasarkan analisis data, diperoleh hasil terdapat pengaruh media

audio-visual (video) terhadap hasil belajar siswa kelas XI pada konsep elastisitas. Hasil uji

hipotesis terhadap data posttest menunjukkan nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,41 dan nilai 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,99.

Nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , sehingga 𝐻0 ditolak. Rata-rata hasil belajar siswa yang menggunakan

media audio-visual (video) lebih tinggi dibandingkan rata-rata hasil belajar siswa yang

menggunakan pembelajaran konvensional. Hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih unggul

pada jenjang kognitif C2, C3, dan C4. Pembelajaran menggunakan media audio-visual (video)

ini memiliki daya dukung terhadap proses pembelajaran pada kategori baik dengan persentase

sebesar 79%.

Kata kunci: AVS Video Editor, media audio-visual (video), hasil belajarsiswa, elastisitas.

PENDAHULUAN

Fisika adalah salah satu cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang mempelajari gejala alam secara

keseluruhan. Fisika mempelajari materi, energi, dan fenomena atau gejala alam, baik yang bersifat

makroskopis (berukuran besar) maupun yang bersifat mikroskopis (berukuran kecil). Gejala-gejala alam

tersebut pada mulanya adalah apa yang tertangkap oleh alat indera, misalnya penglihatan, pendengaran, dan

indera peraba. Kemudian diolah menjadi suatu konsep-konsep yang bisa menjelaskan kenapa suatu gejala

alam bisa terjadi dan berdampak pada gejala alam lainnya. Dengan kata lain, fisika memungkinkan manusia

memperoleh kebenaran ilmiah dari gejala-gejala alam, sehingga memudahkan dalam menggambarkan dan

mengatur alam.

Namun beberapa siswa masih kesulitan mengolah konsep-konsep tersebut. Hal ini tidak lain karena

proses pembelajaran terkadang tidak berjalan dengan baik. Ditambah lagi kecenderungan beberapa siswa

yang menganggap bahwa fisika adalah pelajaran yang sulit, mereka akan mulai kesulitan saat dihadapkan

pada soal-soal yang berisi banyak notasi matematis. Padahal mempelajari fisika bukan hanya menyelesaikan

soal-soal yang rumit namun juga pemahaman konsep yang tepat, sehingga dari pemahaman tersebut siswa

dapat mengembangkan konsep dan mengaitkannya dengan konsep-konsep lain.

Konsep fisika dapat diamati pada fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan maupun

lingkungan sehari-hari. Beberapa fenomena dapat dengan jelas terlihat dan dirasakan oleh alat indera. Namun

beberapa lagi terjadi secara cepat, sehingga tidak dapat tertangkap secara langsung karena keterbatasan

Page 128: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

123

indera manusia,. Jika tidak menggunakan alat bantu dalam mempelajarinya, siswa akan kesulitan mengamati

fenomena yang sedang dipelajari. Dengan demikian siswa hanya mengetahui fenomena tersebut dari

penjelasan verbal guru. Padahal penjelasan verbal diterima dan diproses oleh siswa secara berbeda-beda.

Bagi siswa yang sulit berimajinasi, dia hanya akan terbiasa menghafal konsep fisika tanpa tahu gambaran

prosesnya secara nyata. Siswa yang mampu berimajinasi tidak berarti menjadi lebih paham, karena

penjelasan tersebut akan divisualisasikan secara berbeda-beda oleh tiap siswa sesuai tingkat imajinasinya

masing-masing. Dengan begitu, siswa tidak dapat menguasai konsep secara tepat. Konsep yang tidak tepat itu

kemudian akan mengakibatkan miskonsepsi. Dari ketidaktepatan konsep, siswa akan lebih kesulitan lagi

meyelesaikan persoalan-persoalan fisika baik secara teori ataupun matematis. Jika dibiarkan terus menerus

akan berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa.

Diperlukan suatu media pembelajaran yang dapat menggambarkan konsep fisika secara nyata. Salah

satu media pembelajaran yang dapat digunakan adalah video. Video merupakan media audio-visual yang

dapat mengungkapkan objek dan peristiwa seperti keadaan sesungguhnya. Dengan menggunakan video,

siswa mampu memahami pesan pembelajaran secara lebih bermakna sehingga informasi yang

disampaikan melalui video tersebut dapat dipahami secara utuh. Video jarang digunakan dalam

pembelajaran fisika, keberadaannya mulai tergeser dengan multimedia lain yang berisi animasi

ataupun simulasi. Padahal penggunaan video dapat memudahkan guru menyampaikan materi secara

sederhana karena memberi gambaran nyata yang biasa terjadi di kehidupan ataupun lingkungan

sehari-hari. Tampilan video juga dapat menjadi daya tarik sehingga mampu mempertahankan

perhatian siswa selama video tersebut diputar.

Dengan melihat karakteristik media tersebut, salah satu konsep yang sesuai untuk disampaikan

menggunakan video adalah elastisitas. Elastisitas merupakan salah satu konsep fisika yang diajarkan

di jenjang SMA kelas XI. Materi elastisitas sangat berkaitan erat dengan kehidupan sehari -hari,

terlihat dari subkonsep elastisitas yaitu susunan pegas seri paralel yang aplikasinya digunakan dalam

shockbreaker, spring bed, dan lain-lain. Beberapa subkonsep lagi berisi banyak notasi matematis

yang berasal dari fenomena pegas. Namun beberapa fenomena sulit diamati karena pergerakan pegas

berlangsung sangat cepat.

Karakteristik dari konsep elastisitas tersebut dapat dijelaskan oleh video. Video dapat

memperlambat tampilan gerakan objek dan menampilkan suatu peristiwa seperti keadaan

sesungguhnya, contohnya peristiwa gerak harmonis sederhana pada pegas, saat gaya pemulih bekerja

pada pegas dan mendorong benda ke posisi kesetimbangan. Peristiwa kembalinya pegas pada keadaan

setimbang seringkali sulit diamati. Namun dengan bantuan video, dapat tervisual isasikan besaran-

besaran (simpangan, amplitudo, satu gelombang, dan lain-lain) yang terkait ketika pegas itu

digetarkan, sehingga proses penyerapan materi elastisitas dapat berlangsung secara maksimal. Dengan

demikian, berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh media

audio-visual (video), dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media audio-visual (video)

terhadap hasil belajar siswa kelas XI pada konsep elastisitas.

Menurut Munadi (2010), media audio-visual merupakan peralatan suara dan gambar dalam satu unit,

seperti film bersuara, televisi, dan video. Namun, ada pengelompokan lain dari media audio-visual yaitu

peralatan visual seperti slide dan OHP yang diberi unsur suara dari rekaman kaset yang dimanfaatkan secara

bersamaan dalam satu waktu atau satu proses pembelajaran. Video merupakan salah satu jenis media-audio

visual yang merupakan serangkaian gambar gerak yang disertai suara yang membentuk satu kesatuan yang

dirangkai menjadi sebuah alur, dengan pesan-pesan di dalamnya untuk ketercapaian tujuan pembelajaran

yang disimpan dengan proses penyimpanan pada media pita atau disk.Video memiliki banyak kelebihan yang

dapat mengatasi keterbatasan dalam pembelajaran diantaranya, menampilkan suatu objek atau peristiwa

seperti keadaan sesungguhnya.

Sudjana (2009) menyatakan bahwa hasil belajar siswa adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki

siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Pada hakikatnya kemampuan-kemampuan tersebut berupa

perubahan tingkah laku yang berdasarkan klasifikasi Bloom mencakup ranah kognitif, afektif, dan

psikomotorik. Kemampuan-kemampuan yang berupa perubahan tingkah laku yang ditunjukkan oleh siswa,

Page 129: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

124

diukur oleh guru berdasarkan klasifikasi tertentu. Perubahan tingkah laku ini berupa peningkatan atau

pengembangan yang lebih baik dari sebelumnya dan dapat dijadikan tolak ukur oleh guru maupun siswa

untuk pembelajaran selanjutnya.

Pada penelitian ini, peneliti hanya akan mengukur hasil belajar pada ranah kognitif (C1-C4). Dengan

menggunakan video, memvisualisasi konsep-konsep fisika yang terjadi terlalu cepat diharapkan dapat

tervisualisasi sehingga siswa dapat memahami konsep tersebut dengan baik dan hasil belajarnya meningkat.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen semu (quasi experiment). Desain yang

digunakan yaitu Nonequivalent Control Group Design.Pengambilan kelompok tidak dilakukan secara acak,

namun dipilih dengan pertimbangan tertentu agar memiliki homogenitas yang relatif sama. Kemudian

diberikan pretest untuk mengetahui keadaan awal kemampuan siswa pada konsep elastisitas. Setelah

didapatkan hasil pretest-nya barulah masing-masing kelas diberikan perlakuan berbeda. Kelas kontrol

diberikan perlakuan pembelajaran konvensional, sedangkan kelas eksperimen diberikan perlakuan

menggunakan media audio-visual (video). Setelah itu dilanjutkan dengan memberikan posttest untuk melihat

sejauh mana kemampuan siswa pada konsep elastisitas setelah diberikan perlakuan. Desain penelitiannya

dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Desain Penelitian

Kelompok Pretest Perlakuan Posttest

A Y1 XA Y2

B Y1 XB Y2

Keterangan: A= Kelas eksperimen

B = Kelas kontrol

XA= Perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen berupapenggunaan media

audio-visual (video)

XB = Perlakuan yang dilakukan pada kelompok kontrol berupa pembelajarankonvensional,

Y1= Pretest

Y2= Posttest.

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 87 Jakarta dengan populasi sasarannya

adalah seluruh siswa kelas XI di sekolah tersebut. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik purpossive

sampling. Data diambil dari hasil pretest dan posttest menggunakan soal pilihan ganda dan data penunjang

diambil dari angket respon siswa. Data hasil tes kemudian dianalisis dengan menggunakan uji prasyarat

analisis dan uji hipotesis dengan menggunakan uji t. sedangkan respon angket siswa dianalisis secara

kuantitatif dan hasilnya dikonversi ke dalam bentuk kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Belajar Siswa

Berdasarkan data hasil pretest siswa, diperoleh nilai rata-rata kelas eksperimen 22,96 dan nilai rata-rata

kelas kontrol 23,55. Meskipun demikian, hasil uji homogenitas dari rata-rata hasil pretest menunjukkan

bahwa kedua kelas homogen, artinya tidak ada perbedaan hasil belajar yang signifikan antara kelas kontrol

dan kelas eksperimen mengenai konsep elastisitas sebelum diberikan perlakuan. Setelah masing-masing kelas

diberikan perlakuan yang berbeda, diperoleh nilai rata-rata kelas eksperimen 65,82 dan nilai rata-rata kelas

kontrol 57,68. Hasil analisis data menunjukkan nilai thitung = 2,41 dan nilai ttabel = 1,99, artinya nilai

thitung lebih besar dibanding nilai ttabel. Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh media audio-visual

(video) terhadap hasil belajar siswa pada konsep elastisitas. Hasil ini pun didukung oleh selisih nilai rata-

rata posttest dengan pretest antara kedua kelas, kelas eksperimen yang menggunakan media audio-visual

(video) lebih unggul sebesar 8,73 dibanding kelas kontrol yang hanya menggunakan pembelajaran

konvensional.

Hasil belajar siswa pada ranah kognitif dapat dilihat pada diagram berikut:

Page 130: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

125

Gambar 1. Diagram Hasil Belajar Siswa Pretest dan Posttest Kedua Kelas pada Ranah Kognitif

Berdasarkan diagram di atas, terlihat bahwa hasil belajar akhir (posttest) kedua kelas mengalami

peningkatan dari hasil pretest. Pada saat pretest, kemampuan kelas kontrol dalam mengingat (C1) 13%,

memahami (C2) 23%, menerapkan (C3) 27%, dan menganalisis (C4) 26%. Sementara kemampuan kelas

eksperimen pada saat pretest dalam mengingat (C1) 21%, memahami (C2) 28%, menerapkan (C3) 23%, dan

menganalisis (C4) 21%.

Pada saat posttest kemampuan kelas kontrol dalam mengingat (C1) 53%, memahami (C2) 58%,

menerapkan (C3) 58%, dan menganalisis (C4) 61%. Sementara kemampuan kelas eksperimen dalam

mengingat (C1) 53%, memahami (C2) 67%, menerapkan (C3) 67%, dan menganalisis (C4) 67%. Diagram di

atas juga menunjukkan bahwa setelah diberikan perlakuan yang berbeda terhadap kedua kelas, hasil belajar

siswa (posttest) kelas eksperimen lebih unggul pada kemampuan berpikir C2, C3, C4, sedangkan pada

kemampuan berpikir C1, kedua kelas memiliki kemampuan yang sama.

Jika ditinjau dari segi peningkatan, hasil peningkatan dari masing-masing ranah kognitif dapat dilihat

pada Gambar 2 berikut:

Gambar 2. Diagram Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kedua Kelas pada Ranah Kognitif

Hasil peningkatan ini didapatkan dari selisih hasil pretest dan posttest masing-masing kelas. Kelas

kontrol unggul dalam meningkatkan kemampuan berpikir C1 (meningkat 40%). Sementara kelas eksperimen

lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan berpikir C2 (meningkat 39%), C3 (meningkat 44%), C4

(meningkat 46%).

Respon Siswa terhadap Penggunaan Media Audio-Visual (Video)

Hasil data angket yang telah diperoleh selanjutnya dihitung secara kuantitatif, menghasilkan data berupa

persentase kemudian dikonversi menjadi data kualitatif. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

C1 C2 C3 C4

13%

23%27% 26%

53%

58% 58%61%

21%

28%

23%21%

53%

67% 67% 67%

Perse

nta

se

Ranah Kognitif

Pretest Kontrol

Posttest Kontrol

Pretest Eksperimen

0%

10%

20%

30%

40%

50%

C1 C2 C3 C4

40%

35%31%

35%32%

39%

44%46%

Perse

nta

se

Ranah Kognitif

Kontrol

Eksperimen

Page 131: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

126

Tabel 2. Hasil Angket Penggunaan Media Audio-Visual (Video)

Indikator Angket

Kelas Eksperimen

Persentase Kesimpulan

Perpaduan antara suara dan tampilan 79% Baik

Tampilan warna dan desain secara keseluruhan 81% Baik Sekali

Kemudahan isi pesan untuk dipahami 81% Baik Sekali

Kesesuaian isi video dengan materi pelajaran 75% Baik

Kesesuaian media dengan pengguna (siswa) 80% Baik

Rata-Rata 79% Baik

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa secara keseluruhan penggunaan media audio-visual (video)

dalam pembelajaran fisika konsep elastisitas mendapatkan respon yang baik dari para siswa. Artinya,

penggunaan media audio-visual (video) menarik bagi para siswa dan mampu membantu siswa dalam

memahami materi. Namun pada indikator keempat, didapat persentase sebesar 75%. Hal itu mengindikasikan

bahwa sebagian kecil siswa menganggap isi video tidak sesuai dengan materi pelajaran. Meskipun begitu,

indikator tersebut tetap berada dalam kategori baik.

Pembahasan

Dalam penelitian ini, kelas eksperimen unggul dalam meningkatkan kemampuan memahami (C2)

sebesar 39%, menerapkan (C3) sebesar 44%, menganalisis (C4) sebesar 46%. Pembelajaran dengan

menggunakan media audio-visual (video) memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pembelajaran

konvensional diantaranya, dengan melihat program video bersama-sama, sekelompok siswa yang berbeda-

beda bisa membangun kesamaan pengalaman untuk membahas sebuah isu secara efektif, dengan kata lain

setiap siswa memiliki pemahaman yang seragam terhadap suatu materi, dalam hal ini pada konsep elastisitas.

Hal tersebut menyebabkan kelas eksperimen yang menggunakan media ini memiliki peningkatan

kemampuan dalam memahami (C2) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional

yang menekankan pada penyampaian materi secara verbal. Hal ini didukung oleh angket siswa, yaitu sebesar

81% siswa memberi respon yang baik sekali mengenai kemudahan isi pesan untuk dipahami. Sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Haryoko (2009), ia menyatakan bahwa media audio-visual (video) dapat

memperlancar pemahaman sehingga para siswa dapat mengoptimalkan kemampuan dan potensinya.

Media audio-visual (video) juga menyajikan materi secara bertahap, dimana gerakan ditampilkan secara

berurutan (Smaldino, 2011). Dengan begitu, siswa mendapatkan gambaran yang nyata terhadap konsep

elastisitas dan mampu menerapkan kembali materi yang telah dipelajarinya, sehingga kemampuan

menerapkan (C3) siswa di kelas eksperimen lebih unggul dibandingkan dalam pembelajaran konvensional

dimana siswa hanya dapat membayangkan apa yang disampaikan oleh guru. Hal ini didukung oleh hasil

angket siswa yang menolak pernyataan “cuplikan video tidak dapat menggambarkan konsep elastisitas secara

nyata”. Artinya, 75% siswa beranggapan bahwa cuplikan video dapat menggambarkan materi secara nyata.

Hasil validasi ahli materi pun pada indikator kesesuaian cuplikan video dalam menggambarkan aplikasi dari

konsep elastisitas mendapat skor 4 (kategori baik), keterwakilan penjelasan konsep oleh cuplikan video

dalam media mendapat skor 5 (kategori sangat baik).

Penampilan video yang dapat diulang sesuai dengan keinginan, membuat para siswa termotivasi untuk

mengamati dan menganalisis fenomena dalam kehidupan sehari-hari (Smaldino, 2011). Walaupun diulang,

siswa tidak mengalami kejenuhan, sebaliknya, siswa dapat lebih paham dengan pengulangan tampilan video

dalam cuplikan tertentu. Hal ini didukung oleh angket siswa yang menunjukkan 81% siswa beranggapan

bahwa tampilan media menarik sehingga tidak membosankan. Ditambah lagi, cuplikan video berisi beberapa

Page 132: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

127

fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya gambaran terhadap fenomena tersebut

dan disajikan dengan tampilan menarik, siswa akan lebih termotivasi karena konsep yang sedang ia pelajari

itu ada di sekitarnya, sehingga siswa mampu menganalisis konsep tersebut. Hal itu yang menyebabkan hasil

belajar siswa pada ranah kognitif dalam tingkatan menganalisis (C4) yang menggunakan media audio-visual

(video) lebih unggul dibanding kelas kontrol yang hanya didominasi oleh ceramah.

Namun pada kemampuan mengingat (C1), hasil belajar siswa yang menggunakan media audio-visual

(video) lebih rendah (meningkat sebesar 32%) dibandingkan dengan kelas kontrol yang diberikan perlakuan

pembelajaran konvensional (meningkat sebesar 40%). Pembelajaran konvensional cenderung berorientasi

pada target penguasaan materi dengan cara menghapal karena pembelajaran didominasi oleh ceramah. Hal ini

sejalan dengan yang disampaikan Haryoko dalam penelitiannya. Dari sisi penguasaan materi, menghapal

terbukti berhasil dalam meningkatkan hasil belajar siswa, tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan

persoalan dalam jangka panjang dan juga proses pembelajaran membutuhkan waktu yang relatif lama

(Haryoko, 2009). Penyajian materi melalui ceramah pun hanya akan mempermudah siswa yang memiliki tipe

belajar auditif, karena mereka terbiasa memahami materi pembelajaran dengan mengandalkan pendengaran.

Berbeda dengan pembelajaran konvensional yang didominasi oleh ceramah, keberhasilan media audio-

visual (video) salah satunya disebabkan karena siswa menyerap materi lebih banyak saat menyaksikan video.

Hal ini juga dikemukakan oleh Porter (2010), penggagas Quantum Learning, bahwa manusia dapat menyerap

suatu materi sebanyak 70% dari apa yang dilakukan, 50% dari apa yang didengar dan dilihat (audio-visual),

30% dari yang dilihat, 20% dari yang didengar, dan hanya 10% dari apa yang dibaca. Hasil pengamatan

dalam proses pembelajaran menunjukkan bahwa beberapa siswa memiliki tipe belajar auditif, dan sebagian

lagi memiliki tipe visual. Dengan begitu pembelajaran menggunakan media audio-visual (video) dapat

menyentuh gaya belajar setiap siswa. Siswa yang terbiasa mengandalkan pendengaran dalam pembelajaran

(tipe auditif) akan terbantu dengan adanya narasi dan backsound di dalam video. Sedangkan siswa yang

mengandalkan penglihatan (tipe visual) akan terbantu dengan gambaran yang ditampilkan oleh video.

Terbukti respon siswa terhadap perpaduan antara suara dan tampilan video berada dalam kategori baik (79%)

serta tampilan warna dan desain secara keseluruhan berada dalam kategori baik sekali (81%). Hasil validasi

ahli media pada indikator keterlibatan beberapa indera mendapatkan skor 4 (kategori baik).

Berdasarkan penjelasan di atas, pembelajaran menggunakan media audio-visual (video) memiliki

banyak kelebihan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Oleh sebab itu dapat diambil kesimpulan

bahwa media audio-visual (video) berpengaruh positif dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada

konsep elastisitas.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini

adalah terdapat pengaruh media audio-visual (video) terhadap hasil belajar siswa kelas XI pada konsep

elastisitas. Pengaruh tersebut terlihat dari:

1. Pembelajaran menggunakan media audio-visual (video) terbukti lebih unggul dalam meningkatkan

kemampuan memahami (C2), menerapkan (C3), dan menganalisis (C4). Sedangkan pembelajaran di kelas

kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan

mengingat (C1).

2. Respon siswa terhadap pembelajaran menggunakan media audio-visual (video) berada pada kategori baik.

SARAN

Pada penelitian ini terdapat dua kelemahan. Pertama, tampilan video kurang membangun interaktivitas

siswa dalam pembelajaran, solusi untuk kelemahan ini adalah dibutuhkan desain dan skenario yang matang

untuk membuat video yang dapat berinteraksi dengan siswa serta membuat siswa tidak sadar sedang belajar

dan mampu bertahan dalam menonton video yang ditampilkan. Kedua, kurang mendalamnya materi yang

disajikan, sehingga saran yang dapat diajukan untuk penelitian ke depan, yaitu menambahkan materi ke

dalam video secara efektif sehingga durasinya tidak menjadi terlalu lama.

Page 133: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

128

DAFTAR PUSTAKA

A Sahertian P. 2008.Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Afifah N, dkk. 2013. Penerapan Pendekatan Kontekstual Menggunakan Media Video untuk Meningkatkan

Hasil Belajar Fisika pada Kelas XI RPL 1 SMKN 8 Semarang. Seminar Nasional 2nd Lontar Physics

Forum.

Ariani N, Haryanto D. 2010.Pembelajaran Multimedia di Sekolah. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Arikunto S. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IX.

------------------------. 2002.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet.

XII.

Arsyad A. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. XV.

Daryanto. 2008. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. V.

Dimyati. Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. III.

E. Barron A, et al. 2002.Technologies for Education. United States: Libraries Unlimited, Fourth Edition.

E Smaldino S, et a.l. 2011.Instructional Technology and Media for Learning. Jakarta: Kencana Prenada

Group, Cet. I.

Fansuri H. 2013. Penerapan Video Pembelajaran untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas X

Teknik Fabrikasi Logam pada Mata Pelajaran Teori Las Oxy-Acetylene di SMK Negeri 1 Seyegan.

Jurnal Skripsi UNY.

Fechera B, dkk. 2012.Desain dan Implementasi Media Video Prinsip-Prinsip Alat Ukur Listrik dan

Elektronika. Portal Jurnal UPI. 8.

George M, Nalliveettil, Odeh H, Ali. 2013.A Study on the Usefulness of Audio-Visual Aids in EFL

Classroom: Implication for Effective Instruction. Sciedu Press. 2.

Hamalik O. 2008.Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara, Cet. VIII.

Haryoko S. 2009. Efektivitas Pemanfaatan Media Audio-Visual sebagai Alternatif Optimalisasi Model

Pembelajaran. Jurnal Edukasi Elektro. 5.

Ikrayenti Y, dkk. 2013. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbentuk Video Tutorial Berbahasa

Inggris pada Pembelajaran Fisika SMA. Pillar of Physics Education. 1.

Kanginan M. 2002. Fisika 2A untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.

M Soelarko, R. 1980. Audio Visual: Media Komunikasi Ilmiah Pendidikan Penerangan. Bandung: Binacipta,

Cet. I.

Munadi Y. 2010.Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press, Cet. 3.

Munir. 2012. Multimedia: Konsep dan Aplikasi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Quarcoo NR., et al. 2012.Impact of Audio-Visual Aids on Senior High School Student’s Achievement in

Physics. Eurasian Journal of Physics and Chemistry Education.

Rusman, dkk. 2012.Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta: Rawajali Press,

Cet. II.

S Sadiman A, dkk. 2011.Media Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. XV.

Sudijono A.2008.Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sudijono A.2009. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sudjana N. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. XIV.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito, Cet. I.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Page 134: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

129

Trianto. 2010.Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi Pendidikan dan Tenaga

Kependidikan. Jakarta: Kencana, Cet. I.

Usman H, Setiady A, Purnomo.1995. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara.

WA Lorin, R Krathwohl, David. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: a revision of

Bloom’s taxonomy of educational objectives. New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Zhang D, et al.2006.Instructional Video in E-Learning: Assessing the Impact of Interactive Video on

Learning Effectiveness. Elsevier.

Page 135: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

130

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) UNTUK MENGOPTIMALKAN

PRAKTIKUM VIRTUAL LABORATORY MATERI INDUKSI ELEKTROMAGNETIK

Novitasari Pendidikan Fisika, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia

Email: [email protected]

Agus Suyatna dan I Dewa Putu Nyeneng Dosen Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lampung

Abstrak

Perubahan medan magnetik dijadikan objek yang ditinjau dalam Materi Induksi

Elektromagnetik. Alat praktikum nyata sulit menvisualisasikan perubahan medan magnetik

terjadi saat magnet bergerak terhadap kumparan. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan

praktikum visrtual laboratory menjadi pilihan yang tepat untuk menunjang kegiatan

pembelajaran. Salah satu upaya guru agar siswa tidak hanya mencapai tujuan pembelajaran

kognitif produk tetapi juga proses (KPS siswa), guru membutuhkan LKS untuk

mengoptimalkan praktikum virtual laboratory. Tujuan penelitian pengembangan ini untuk

mengetahui bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory pada Materi

Induksi Elektromagnetik, mengetahui hasil belajar ranah kognitif produk dan KPS siswa

setelah menggunakan LKS hasil pengembangan. Subjek penelitian dalam penelitian

pengembangan ini adalah siswa kelas IX SMPN 1 Bandar Lampung. Penelitian pengembangan

ini memiliki tujuh tahapan pengembangan yang terdiri dari analisis kebutuhan, identifikasi

sumber daya untuk memenuhi kebutuhan, identifikasi spesifikasi produk, pengembangan

produk, uji internal (uji materi, uji desain, uji kesesuaian RPP dengan LKS yang dikembangkan

dan alat praktikum virtual laboratory, uji kualitas LKS, dan uji satu lawan satu), uji eksternal

(uji kelompok kecil, uji kemenarikan dan kemudahan LKS), dan produksi. Berdasarkan

penelitian pengembangan ini, dapat disimpulkan bahwa bentuk LKS yang dikembangkan dapat

mengoptimalkan praktikum virtual laboratory pada Materi Induksi Elektromagnetik. Hasil

belajar kognitif produk setelah menggunakan LKS hasil pengembangan belum dapat

menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk. KPS siswa setelah menggunakan LKS hasil

pengembangan telah dapat menuntaskan tujuan pembelajaran KPS.

Kata Kunci: LKS, praktikum virtual laboratory, Induksi Elektromagnetik, KPS, Hasil belajar

PENDAHULUAN

Pembelajaran fisika tidak hanya menekankan pada suatu penguasaan kumpulan pengetahuan, tetapi juga

suatu proses penemuan. Hal ini mengakibatkan proses penguasaan kumpulan pengetahuan dalam kegiatan

pembelajaran ditekankan pada pemberian pengalaman langsung. Oleh karena itu, pembelajarannya

dilaksanakan dengan menggunakan model inkuiri dan metode eksperimen.

Model inkuiri merupakan salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran berpusat

pada siswa (Student Center Learning). Model inkuiri cocok digunakan dalam kegiatan pembelajaran karena

pembelajarannya menekankan pada proses penemuan. Hal ini sejalan dengan pendapat Suyanto (2006:11)

yang menyatakan bahwa esensi dari model pembelajaran inkuiri untuk melibatkan siswa dalam masalah

yang sesungguhnya dengan cara memberikan tantangan kepada suatu area (lingkup) penyelidikan,

membantu mereka untuk mengidentifikasi suatu masalah secara konseptual atau bersifat metodologis, dan

merekayasa mereka untuk merancang cara pemecahan masalah tersebut. Pernyataan tersebut secara impilit

mengungkapkan bahwa materi pelajaran tidak diberikan secara langsung dalam kegiatan pembelajaran

dengan menggunakan model tersebut. Melainkan siswa dituntut untuk mencari dan menemukan sendiri

materi pelajaran dan guru hanya berperan sebagai fasilitator dan pembimbing.

Model inkuiri terbagi menjadi berbagai jenis inkuiri. Tentunya, pemilihan jenis inkuiri yang digunakan

dalam kegiatan pembelajaran bergantung pada kondisi siswa yang ada di sekolah. Berdasarkan hasil

wawancara tak langsung dengan guru yang mengajar di kelas IX SMPN 1 Bandar Lampung, guru belum

pernah menggunakan model pembelajaran inkuiri. Model inkuiri yang belum pernah digunakan dalam proses

Page 136: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

131

pembelajaran di kelas IX SMPN 1 Bandar Lampung mengakibatkan siswa belum berpengalaman belajar

dengan model inkuiri sehingga guru perlu menyediakan bimbingan dan petunjuk dalam kegiatan

pembelajaran. Oleh karena itu, model yang cocok digunakan dalam penelitian pengembangan yang

dilaksanakan di IX SMPN 1 Bandar Lampung adalah model pembelajaran inkuiri terbimbing (guided

inquiry).

Keunikan dari model pembelajaran tipe inkuiri terbimbing dibandingkan dengan tipe lainnya menurut

Trowbridge dalam Sahrul (2009:1) adalah guru dapat memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa

dalam melakukan kegiatan-kegiatan pembelajaran. Selain itu, Inkuiri terbimbing biasanya digunakan

terutama bagi siswa-siswa yang belum berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri. Oleh karena itu,

pembelajaran di SMPN 1 Bandar Lampung yang belum terbiasa dengan penggunaan model inkuiri membuat

jenis inkuiri terbimbing menjadi pilihan.

Metode yang sesuai dengan model inkuiri terbimbing dan tepat digunakan dalam pembelajaran fisika

adalah metode eksperimen. Hal ini dikarenakan cara penyajian pembelajarannya bersifat pemberian

pengalaman langsung. Djamarah & Zain (2010:84) mengungkapkan bahwa cara penyajian pembelajaran

dalam metode eksperimen berkarakteristik siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan

membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Selain itu, sejumlah kegiatan mengekspesikan pengalaman

langsung didalam metode eksperimen di mana siswa diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen sendiri

berdasarkan langkah-langkah yang telah ditentukan, yaitu mengamati suatu objek, menganalisis,

membuktikan, dan menarik kesimpulan sendiri mengenai suatu obyek, keadaan atau proses sesuatu.

Pemilihan dan penyelenggaraan metode pembelajaran tidak hanya memperhatikan karakteristik siswa

dan jenis pelajaran yang dibelajarkan, namun materi pembelajaran yang dibelajarkan perlu diperhatikan.

Garis medan magnetik yang merupakan objek yang akan ditinjau dalam Materi Induksi Elektromagnetik

membuat guru dituntut dapat menyelenggarakan praktikum di mana garis medan magnetik seolah-olah dapat

diamati. Alat praktikum nyata belum tentu dapat memvisualisasikan garis medan magnetik agar dapat

terlihat sehingga praktikum dilakukan bersifat virtual yang diselenggarakan dalam laboratorium virtual atau

virtual laboratory. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008:851 dan 1801), laboratorium

virtual adalah ruangan yang dilengkapi dengan peralatan khusus untuk melakukan percobaan maya. Peralatan

tersebut software dan hardware yang mendukung percobaan maya. Software dapat berupa suatu multimedia

interaktif dan hardware dapat berupa seperangkat komputer, LCD, dan sebagainya yang dapat mendukung

dilakukannya percobaan maya. Berdasarkan hasil observasi secara langsung di SMP N 1 Bandar Lampung

mengungkapkan bahwa SMPN 1 Bandar Lampung sudah memiliki LCD dan seperangkat komputer yang ada

di dalam laboratorium multimedia. Hal ini menjadikan penyelenggaraan praktikum virtual laboratory dalam

kegiatan pembelajaran adalah pilihan yang tepat.

Selain karakteristik siswa, jenis pelajaran yang dibelajarkan, dan materi pembelajaran, Trianto

(2011:137) juga mengungkapkan bahwa beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan

pelaksanaan praktikum adalah pengadaan alat dan bahan dan ketersediaan waktu. Dari segi alat dan bahan,

jumlah alat dan bahan di dalam melakukan sebuah percobaan harus cukup untuk tiap siswa sehingga siswa

dapat merasakan sendiri pengalaman dari kegiatan percobaan yang dilakukan. Selain itu, kondisi alat dan

bahan yang akan digunakan harus baik dan bersih sehingga sebelum melakukan praktikum atau percobaan

diperlukan persiapan untuk mengecek masing-masing alat dan bahan. SMPN 1 Bandar Lampung yang sudah

memiliki satu LCD di setiap kelas dan laboratorium, jumlah perangkat komputer yang sesuai dengan rombel

siswa dalam laboratorium multimedia, dan setiap siswa juga telah memiliki laptop, menjadikan beberapa hal

yang perlu diperhatikan dalam penyeleggaraan pelaksanaan praktikum tidak perlu dikhawatirkan dan dapat

dipastikan penyelenggaraan praktikum dalam berjalan dengan lancar dan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP).

Banyak sekali jenis sajian multimedia yang dapat mendukung metode eksperimen. Salah satunya adalah

format sajian multimedia. Tujuan format sajian ini adalah pengguna diharapkan dapat menjelaskan suatu

konsep atau fenomena tertentu berdasarkan eksperimen yang dilakukan secara maya. Format sajian ini lebih

ditujukan kepada kegiatan-kegiatan yang bersifat eksperimen, seperti kegiatan praktikum dalam laboratorium

fisika. Format sajian ini menyediakan serangkaian alat dan bahan yang kemudian dilanjutkan dengan

Page 137: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

132

kegiatan eksperimen berdasarkan petunjuk yang telah disediakan (Daryanto, 2010:54). Contoh sajian

multimedia yang menampilkan cara eksperimen adalah berbagai eksperimen maya yang dikembangkan

Universitas Colorado dalam bentuk program PhET. Siswa seolah-olah melakukan serangkaian kegiatan

eksperimen (mulai dari menyiapkan dan merangkai alat dan bahan sampai melakukan percobaan) dalam

sajian multimedia percobaan.

Penyelenggaraan praktikum belum cukup dengan mengandalkan adanya media. Perlu adanya Lembar

Kerja Siswa (LKS) yang dapat mengoptimalkan media tersebut sehingga siswa dapat mencapai tujuan

pembelajaran yang hendak dicapai. Hal ini dikarenakan LKS memuat sekumpulan kegiatan mendasar yang

harus dilakukan oleh siswa, membuat penilaian tidak hanya dilihat dari segi hasil belajar kognitif produk

tetapi juga proses (Keterampilan proses sains siswa) (Trianto, 2010:222). Selain itu, belum ada LKS yang

dapat mendukung program PhET yang digunakan dalam kegiatan praktikum. Menindaklanjuti kondisi

tersebut, Penulis mencoba memberikan alternatif dengan membuat LKS yang dapat mengoptimalkan

praktikum virtual laboratory Materi Induksi Elektromagnetik. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian

pengembangan dengan judul “Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk Mengoptimalkan Praktikum

Virtual Laboratory pada Materi Induksi Elektromagnetik.”

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory pada Materi Induksi Eketromagnetik,

hasil belajar kognitif produk dan KPS siswa yang menggunakan LKS yang telah dikembangkan.

METODE

Subjek penelitian dalam penelitian pengembangan ini adalah seluruh siswa kelas IX SMPN 1 Bandar

Lampung pada semester ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013 yang terdiri dari 6 kelas dengan masing-masing

kelas berjumlah 24 orang.

Penelitian pengembangan dalam penelitian ini berpedoman pada prosedur pengembangan Suyanto dan

Sartinem (2009:322). Prosedur pengembangan ini memiliki tujuh tahap pengembangan produk, yaitu: (1)

analisis kebutuhan, (2) identifikasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan, (3) identifikasi spesifikasi

produk yang diinginkan pengguna, (4) pengembangan produk, (5) uji internal: uji kelayakan produk, (6) uji

eksternal: uji kemanfaatan produk oleh pengguna, dan (7) produksi.

Tahap analisis kebutuhan dilakukan dengan cara wawancara langsung terhadap salah satu orang guru

Fisika SMPN 1 Bandar Lampung. Tahap identifikasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dilakukan

dengan cara observasi langsung di SMPN 1 Bandar Lampung. Tahap identifikasi spesifikasi produk diawali

dengan melakukan analisis kurikulum, kemudian menyusun peta kebutuhan LKS, menentukan jumlah LKS,

dan menentukan format LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory dengan

memperhatikan hasil analisis kebutuhan dan hasil identifikasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan.

Hasil dari identifikasi sumber daya dijadikan sebagai panduan untuk tahap pengembangan produk. Tahap

pengembangan produk dilakukan dengan cara merancang produk berdasarkan tahap sebelumnya yang

disesuaikan dengan KPS yang dapat dimunculkan dalam LKS yang dikembangkan. Hasil dari pengembangan

produk ini menjadi prototipe I. Tahap uji internal dilakukan dengan cara menguji prototipe I melalui uji

materi, uji desain, uji kualitas LKS, uji kesesuaian RPP dengan LKS dan alat praktikum virtual laboratory,

dan uji satu lawan satu. Kelima uji tersebut menghasilkan data kualitatif. Selanjutnya dilakukan revisi

berdasarkan hasil yang telah diperoleh. Hasil revisi uji internal dijadikan sebagai prototipe II. Tahap uji

eksternal dilakukan dengan cara menggunakan LKS dalam kondisi pembelajaran yang sebenarnya untuk

melihat hasil belajar kognitif produk, KPS, keefektifan produk, kemenarikan, dan kemudahan menggunakan

produk. Hasil prototipe II akan dikenakan uji eksternal yaitu uji kebermanfaatan produk oleh pengguna. Pada

uji ini, produk diberikan kepada siswa untuk digunakan sebagai media belajar. Desain penelitian yang

digunakan dalam uji kebermanfaatan produk oleh pengguna adalah desain one shot study case di mana

sampel diberikan treatment yaitu penggunaan produk di dalam pembelajaran kemudian sampel diberi soal

posttest dilihat dalam segi ketercapaian tujuan pembelajaran kognitif produk. Gambar Desain one shot study

case dapat dilihat pada gambar 1. Sebelum posttest dilakukan, instrumen soal posttest diuji validitas dan

reliabilitas terlebih dahulu. Setelah valid dan reliabil, uji Keefektivan produk (LKS) dilihat dari segi

Page 138: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

133

ketercapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dilakukan di kelas IX.3 yang berjumlah 24 orang siswa.

Tentunya penilaian tidak hanya dilakukan dengan memberikan soal posttest, namun penilaian KPS siswa

juga dilakukan selama proses pembelajaran.

Gambar 1. Desain One Shot Case Study

Di mana X: Treatment, penggunaan produk

O: Hasil belajar siswa, posttest

Selain uji coba kemanfaatan produk oleh pengguna dari segi keefektivan produk dilihat dalam segi

ketercapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dan KPS siswa, uji coba kemanfaatan produk oleh

pengguna juga dilihat dalam segi kemenarikan dan kemudahan menggunakan produk. Kemudian dilakukan

revisi berdasarkan hasil dari uji eksternal dan dijadikan sebagai prototipe III. Prototipe III merupakan produk

yang diproduksi dalam penelitian pengembangan ini.

Secara keseluruhan, data, jenis data, sumber data, dan jenis instrumen penilaian yang digunakan dalam

penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data, Jenis Data, Sumber Data, dan Jenis Instrumen Penilaian

No Data Jenis data Sumber Data Jenis Instrumen

Penilaian

1. Uji desain Data Kualitatif Satu orang dosen yang

ahli desain Lembar angket

2. Uji materi Data Kualitatif Satu orang dosen yang

ahli materi Lembar angket

3.

Uji kesesuaian RPP dengan

LKS dan alat praktikum

virtual laboratory

Data Kualitatif Dua orang dosen yang

ahli dalam bidang sains Lembar angket

4. Uji Kualitas LKS Data Kualitatif

Dua orang guru fisika

SMPN 1 Bandar

Lampung

Lembar angket

5. Uji kemanarikan dan

kemudahan

Data

Kuantitatif siswa-siswa kelas IX.3 Lembar angket

6.

Uji keefektivan dalam segi

ketercapaian tujuan

pembelajaran kognitif

produk

Data

Kuantitatif siswa-siswa kelas IX.3 Tes Hasil Belajar

7. Uji keefektivan dalam segi

KPS Siswa

Data

Kuantitatif siswa-siswa kelas IX.3 Lembar Observasi

Teknik analisis data penilaian untuk uji materi, uji desain, uji kualitas LKS, dan uji kesesuaian RPP

dengan LKS dan alat praktikum virtual laboratory memiliki 2 pilihan jawaban sesuai konten pertanyaan,

yaitu: “Ya” dan “Tidak”. Revisi dilakukan pada konten pertanyaan yang diberi pilihan jawaban “Tidak”, atau

para ahli memberikan masukan khusus terhadap LKS yang sudah dibuat. Sedangkan teknik analisis

instrumen penilaian uji kemudahan dan uji kemenarikan LKS memiliki 4 pilihan jawaban sesuai konten

pertanyaan, misalnya: “sangat menarik”, “menarik”, “kurang menarik” dan “tidak menarik” atau “sangat

mudah”, “mudah”, “sulit” dan “sangat sulit”. Skor penilaian dari tiap pilihan jawaban ini dapat dilihat dalam

Tabel 2. Data kemenarikan dan kemudahan LKS sebagai sumber belajar diperoleh dari siswa sebagai

pengguna. Angket respon terhadap penggunaan produk.

X O

Page 139: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

134

Tabel 2. Skor Penilaian terhadap Pilihan Jawaban

Pilihan Jawaban Pilihan Jawaban Skor

Sangat menarik Sangat mudah 4

Menarik Mudah 3

Kurang menarik Sulit 2

Tidak menarik Sangat sulit 1

Rumus yang digunakan untuk menentukan kemenarikan dan kemudahan LKS yang dikembangkan adalah

sebagai berikut:

(1)

dengan

(2)

Keterangan:

= rata-rata akhir

= nilai uji operasional angket tiap siswa

banyaknya siswa yang mengisi angket

Hasil penilaian uji ahli desain dan isi diinterpretasikan ke dalam kriteria pada Tabel 3.

Tabel 3. Kriteria Penilaian untuk Uji Kemenarikan dan Kemudahan dalam Tahap Eksternal

Skor Kualitas Pernyataan kualitas aspek

kemenarikan

Pernyataan kualitas aspek

kemudahan

3,26-4,00 Sangat menarik Sangat mudah

2,51-3,25 Menarik Mudah

1,76-2,50 Kurang menarik Sulit

1,01-1,75 Tidak menarik Sangat sulit

Sumber: Suyanto & Sartinem (2009:227)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis kebutuhan dalam penelitian pengembangan ini adalah dibutuhkannya LKS dalam kegiatan

pembelajaran yang mengacu pada model inkuiri terbimbing dan metode eksperimen dengan memberdayakan

sumber, media, dan fasilitas belajar yang disediakan sekolah agar pembelajaran berpusat pada siswa,

memudahkan guru untuk memonitor kegiatan, mengembangkan keterampilan proses siswa, dan mengarahkan

siswa dalam menemukan konsep.

Hasil identifikasi sumber daya berdasarkan kebutuhan adalah dibutuhkannya perangkat komputer atau

laptop untuk melaksanakan praktikum virtual laboratory dan sumber belajar yang dapat mendukung LKS.

Berdasarkan hasil identifikasi sumber daya, SMPN N 1 Bandar lampung memiliki potensi yang besar dalam

pelaksanaan praktikum virtual laboratory. Hal ini dikarenakan sekolah telah memiliki la-boratorium

komputer yang lengkap, jaringan hotspot, setiap siswa memiliki laptop, ruang kelas yang telah dilengkapi

perlengkapan multimedia, dan setiap siswa telah memiliki sumber belajar pendukung LKS.

Hasil identifikasi spesifikasi produk yang diinginkan pengguna adalah Materi yang menjadi pokok

bahasan dalam LKS yang dikembangkan adalah Materi Induksi Elektromagnetik, LKS yang dikembangkan

berjumlah empat LKS dengan judul-judul LKS meliputi: GGL induksi, faktor-faktor GGL induksi, generator

dan transformator, LKS yang dikembangkan mengacu pada model inkuiri terbimbing dengan metode

eksperimen, dan penugasan disetiap kegiatan dalam LKS yang dikembangkan dapat memunculkan KPS

siswa.

Hasil pengembangan produk mengacu pada hasil identifikasi spesifikasi produk yang diinginkan

pengguna. Hasil pengembangan produk dijadikan prototipe I.

Hasil Uji internal dalam penelitian pengembangan ini adalah tidak adanya revisi LKS dari segi materi

dan adanya revisi LKS dari segi desain, kualitas LKS, keterbacaan produk, dan kesesuaian RPP dengan LKS

dan alat praktikum virtual laboratory. Hasil revisi LKS dijadikan sebagai prototipe II.

Page 140: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

135

Hasil uji eksternal dalam penelitian pengembangan ini berupa bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan

praktikum virtual laboratory, data hasil belajar kognitif produk dan KPS siswa setelah menggunakan produk,

data keefektifan LKS dilihat dari segi pencapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dan KPS siswa, data

kemenarikan dan kemudahan menggunakan produk.

Tabel 4. Rangkuman Hasil Belajar Kognitif Produk

No. Jenis LKS Nomor

Soal

Nilai Rata-

rata siswa

Jumlah Siswa

yang lulus

KKM 80

Persentase

siswa yang

lulus KKM

Ketuntasan tujuan

pembelajaran

1. LKS GGL induksi 1, 2, 7 79 2 8,3 % Tujuan pembelajaran

belum tuntas

2. LKS Faktor-faktor GGL

Induksi 3 86 16 67 %

Tujuan pembelajaran

belum tuntas

3. LKS Generator 4 47 5 21 % Tujuan pembelajaran

belum tuntas

4. LKS Transformator 5, 6 54 1 4,1 % Tujuan pembelajaran

belum tuntas

Hasil hasil belajar kognitif produk siswa dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, persentase

siswa yang tuntas tujuan pembelajaran setelah menggunakan LKS GGL induksi, faktor-faktor GGL induksi,

generator, dan transformator ≤ 75 % siswa. Oleh karena itu, hasil belajar kognitif produk siswa setelah

menggunakan LKS hasil pengembangan belum dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk.

Hasil belajar KPS siswa dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, persentase siswa yang tuntas

tujuan pembelajaran setelah menggunakan LKS GGL induksi, faktor-faktor GGL induksi, generator, dan

transformator ≥ 75 % siswa. Oleh karena itu, hasil belajar KPS siswa setelah menggunakan LKS hasil

pengembangan sudah dapat menuntaskan tujuan pembelajaran KPS siswa.

Tabel 5. Rangkuman Hasil Belajar KPS Siswa

No. Jenis LKS Persentase ketercapaian tujuan

pembelajaran KPS

Ketuntasan tujuan pembelajaran

KPS

1. LKS GGL Induksi 83 % Tujuan Pembelajaran KPS tuntas

2. LKS Faktor-faktor GGL

Induksi

88 % Tujuan Pembelajaran KPS tuntas

3. LKS generator dan LKS

transformator

75 % Tujuan Pembelajaran KPS tuntas

Hasil keefektifan LKS dilihat dari segi pencapaian tujuan pembelajaran kognitif produk dan KPS

siswa dapat dilihat dari Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, LKS tidak efektif dilihat dari pencapaian tujuan

pembelajaran kognitif produk dan KPS siswa.

Tabel 6. Rangkuman Hasil Uji Keefektifan Produk dari Segi Ketercapaian Tujuan Pembelajaran KPS Siswa

dan Kognitif Produk

No. Jenis LKS

Persentase ketercapaian

tujuan pembelajaran KPS dan

kognitif produk

Hasil kualitas Keefektifan LKS

dalam segi KPS dan kognitif

produk

1. LKS GGL Induksi 33 % LKS belum efektif

2. LKS Faktor-faktor GGL

Induksi 58 % LKS belum efektif

3. LKS generator dan LKS

transformator 4,1 % LKS belum efektif

Hasil uji kemudahan dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, didapatkan kesimpulan bahwa

seluruh LKS yang dikembangkan memiliki nilai kuantitas kemudahan 3,26 dengan kategori sangat mudah.

Page 141: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

136

Tabel 7. Rangkuman Hasil Uji Kemudahan Menggunakan LKS

No. Aspek Kriteria Nilai Kuantitas

Kemudahan LKS

Nilai Kualitas

Kemudahan LKS

1.

Isi Petunjuk dalam LKS 3,08 Mudah

Kejelasan Isi 3,38 Sangat Mudah

2. Kebahasaan Kejelasan Penggunaan

Bahasa 3,33 Sangat Mudah

Hasil uji kemenarikan dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, secara garis besar LKS yang

dikembangkan memiliki nilai kuantitas 3,24 dengan kategori menarik.

Tabel 8. Rangkuman Hasil Uji Kemenarikan Menggunakan LKS

No. Aspek Kriteria Nilai Kuantitas

Kemenarikan LKS

Nilai Kualitas

Kemenarikan LKS

1. Tampilan

Desain Cover 3,33 Sangat Menarik

Kemenarikan Tulisan (Jenis Font

dan Ukuran) 3,29 Sangat Menarik

Pemilihan Ilustrasi Gambar 3,17 Menarik

Desain Lay Out 3,38 Sangat Menarik

Penggunaan Warna 3,46 Sangat Menarik

2. Isi

Kesesuaian permasalahan dengan

materi 3,04 Menarik

Petunjuk dalam LKS 3,08 Menarik

Alur Penyajian/Format

Keseluruhan Media 3,21 Menarik

Berdasarkan ketujuh hasil penelitian pengembangan ini, didapat bentuk LKS yang dapat

mengoptimalkan praktikum virtual laboratory, meliputi: (1) Judul berupa judul materi yang akan

dipraktikumkan, (2) Pengantar berupa gambar yang didukung dengan wacana yang berisi apersepsi untuk

membuat siswa tertarik melaksanakan kegiatan selanjutnya di dalam LKS, (3) Tujuan percobaan berupa pe-

maparan tujuan dari percobaan yang akan dipraktikumkan sehingga siswa mengetahui tujuan dari percobaan

yang akan dipraktikumkan, (4) Bekal awal berupa penugasan yang menuntun siswa untuk memiliki

kemampuan-kemampuan awal sebelum melakukan kegiatan praktikum. Bentuk penugasan berupa tugas

membaca yang kemudian diberi tagihan berupa beberapa pertanyaan yang jawabannya didapatkan dari

bacaan dan dan tugas mengenai penggunaan alat sebelum melakukan kegiatan praktikum agar siswa

mengenal dan mengetahui cara-cara penggunaan alat dari percobaan yang akan dipraktikumkan, (5) Kegiatan

I: Penyajian Masalah berupa penyajian serangkaian pertanyaan berbasis masalah dan siswa memprediksi

jawaban dari pertanyaan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan disajikan secara terarah yang akhirnya akan

membuat siswa dapat merumuskan dugaan sementara dari prediksi jawaban pertanyaan. Selain itu, kegiatan

memprediksi juga bertujuan agar siswa dapat mengajukan pemikiran tentang sesuatu yang belum terjadi

berdasarkan kecenderungan sehingga siswa memunculkan keterampilan memprediksi, (6) Kegiatan II:

Merumuskan dugaan sementara berupa penyajian pertanyaan mengenai hubungan antara dua variabel dan

penjelasan dari hubungan tersebut. Jawaban siswa dalam kegiatan ini ada dua macam, yaitu jawaban siswa

berdasarkan kegiatan memprediksi dan jawaban siswa berdasarkan kegiatan kajian teoritis. Siswa diharapkan

dapat menyatakan hubungan dua variabel atau memperkirakan penyebab sesuatu terjadi dan mengajukan

penjelasan yang konsisten beserta bukti-bukti sehingga memunculkan keterampilan berhipotesis, (7)

Kegiatan III: Merancang Percobaan berupa penyajian serangkaian pertanyaan yang membimbing

menentukan alat dan bahan, variabel-variabel yang diamati, dan langkah percobaan. Jawaban-jawaban dari

pertanyaan-pertanyaan ini akan menuntun siswa dalam melakukan percobaan. Perangkat komputer atau

laptop boleh digunakan dalam kegiatan ini. Siswa diharapkan dapat menentukan alat dan bahan, menentukan

Page 142: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

137

apa yang diamati, diukur, dan ditulis, dan menuliskan langkah percobaan atau merancang percobaan sehingga

memunculkan keterampilan merencanakan percobaan, (8) Kegiatan IV: Melakukan Percobaan berupa

penyajian tabel untuk mengisi data hasil pengamatan. Data pada tabel diisi berdasarkan kegiatan melakukan

percobaan. Siswa melaksanakan percobaan dengan tepat waktu dan mencatat hasil pengamatan berdasarkan

penggunaan indera penglihat di dalam melakukan pengamatan sehingga memunculkan keterampilan

melakukan pengamatan dan menafsirkan pengamatan dalam kegiatan ini. Pengisian data hasil pengamatan

dengan cara memilih data yang sesuai dengan hasil pengamatan. Pilihan data dapat digaris bawah atau

dilingkari, (9) Kegiatan V: Menganalisis Percobaan berupa penyajian serangkaian pernyataan yang

kalimatnya masih rumpang untuk menganalisis data hasil pengamatan. Pengisian kalimat rumpang dengan

cara memilih kata berdasarkan analisis hasil pengamatan. Pilihan kata dapat digaris bawah atau dilingkari.

Siswa diharap-kan dapat memunculkan kegiatan me-nafsirkan pengamatan dan mengomunikasikan dari

kegiatan ini, (10) Kegiatan VI, berupa penyajian serangkaian pertanyaan yang membimbing siswa untuk

membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis percobaan. Siswa diharapkan dapat memunculkan

keterampilan mengomunikasikan. Serangkaian kegiatan di dalam LKS diharapkan dapat membantu siswa

mencapai tujuan pembelajaran dari segi kognitif produk dan KPS siswa.

Penilaian KPS siswa dilakukan dengan cara observasi saat kegiatan pembelajaran berlangsung.

Berdasarkan rangkuman hasil belajar KPS pada Tabel 5, siswa yang telah menggunakan LKS hasil

pengembangan dapat menuntaskan tujuan pembelajaran KPS yang telah ditetapkan. Penilaian hasil belajar

kognitif produk dilakukan setelah semua LKS digunakan. Berdasarkan rangkuman hasil belajar kognitif

produk siswa pada Tabel 4, siswa yang telah menggunakan LKS hasil pengembangan belum dapat

menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk yang telah ditetapkan. Selain itu, rangkuman data uji

kemudahan pada Tabel 7 mengungkapkan bahwa LKS yang dikembangkan sangat mudah dan rangkuman

data uji kemenarikan pada Tabel 8 mengungkapkan LKS yang dikembangkan menarik. Seharusnya jika LKS

menarik dan pengisiannya dianggap sangat mudah oleh siswa serta menuntaskan tujuan pembelajaran KPS

maka siswa juga dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk. Ketidakcocokan antara rangkuman

hasil belajara KPS, kognitif produk, uji kemudahan, dan uji kemenarikan mengindikasikan ada faktor lain

yang siswa belum dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk. Kemungkinan faktor lain yang

menjadi penyebabnya adalah kelemahan LKS yang diungkapkan oleh penguji ahli desain, yaitu sebaik-

baiknya LKS yang dikembangkan bila guru tidak dapat menguasai kelas, memanajemen kelas dengan baik,

dan kreatif dalam melakukan kegiatan pembelajaran maka LKS tidak dapat berjalan secara optimal.

Berdasarkan wawancara langsung dengan observer yang mengobservasi KPS siswa, didapatkan

beberapa kemungkinan penyebab kegagalan penggunaan LKS untuk menuntaskan tujuan pembelajaran

kognitif produk, meliputi: (1) Guru belum bisa menguasai kelas sehingga ada beberapa siswa tidak

memperhatikan penjelasan dari guru, (2) Guru belum memanajemen kelas dengan baik sehingga

pembelajaran yang dilakukan terlihat tergesa-gesa tanpa memperhatikan pemahaman siswa, dan (3) Bahasa

yang digunakan guru untuk menjelaskan materi pada siswa belum bisa dipahami oleh siswa tingkat SMP.

Berdasarkan wawancara langsung terhadap beberapa siswa, didapatkan fakta bahwa: (1) Ada ujian mata

pelajaran lain dilakukan pada hari yang sama dan siswa lebih memilih mempelajari ujian tersebut, (2)

Menurut siswa soal-soal yang diujiankan merupakan soal konsep dan siswa belum terbiasa dengan jenis soal

tersebut, serta terlalu banyak LKS yang harus dipelajari dan tidak mengerti bagian mana yang harus

dipelajari.

Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai LKS hasil

prototipe III.

SIMPULAN

Simpulan dari penelitian pengembangan ini sebagai berikut:

1. Bentuk LKS yang dapat mengoptimalkan praktikum virtual laboratory Materi Induksi Elektromagnetik,

meliputi:

a. Judul LKS disesuaikan dengan pokok bahasan yang akan dipraktikum dalam praktikum virtual

laboratory.

Page 143: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

138

b. Pengantar berupa wacana yang didukung dengan gambar yang dapat memunculkan motivasi dan

apersepsi siswa mengenai pokok bahasan yang dipraktikumkan dalam praktikum virtual laboratory.

c. Tujuan percobaan tiap LKS mengacu pada tujuan dari percobaan yang dapat dipraktikumkan dalam

praktikum virtual laboratory.

d. Bekal awal berupa penugasan disertai tagihan agar siswa memiliki kemampuan awal sebelum

melakukan praktikum virtual laboratory. Perihal yang ditugaskan mengenai materi yang harus

dikuasai sebelum melakukan praktikum dan keterampilan dalam menggunakan piranti-piranti yang

akan digunakan dalam praktikum virtual laboratory.

e. Kegiatan I: Penyajian masalah berupa penyajian serangkaian pertanyaan berbasis masalah disertai

gambar yang diambil dari praktikum virtual laboratory. Siswa memprediksi jawaban dari pertanyaan

tersebut. Penyajian serangkaian pertanyaan ini akan menjadi panduan pembuatan rancangan percobaan

untuk melakukan praktikum virtual laboratory.

f. Kegiatan II: Merumuskan dugaan sementara berupa penyajian pertanyaan mengenai hubungan antara

dua variabel dan penjelasan dari hubungan tersebut. Dugaan sementara didapat setelah siswa

melakukan kajian teoritis kemudian dugaan dibuktikan dalam analisis percobaan setelah melakukan

praktikum virtual laboratory.

g. Kegiatan III: Merancang percobaan berupa penyajian serangkaian pertanyaan yang membimbing

menentukan alat dan bahan, variabel-variabel yang diamati, dan langkah percobaan yang kemudian

menjadi panduan dalam melaksanakan praktikum virtual laboratory.

h. Kegiatan IV: Melakukan percobaan berupa penyajian tabel yang membimbing siswa untuk mengisi

data hasil pengamatan setelah melakukan pengamatan dalam praktikum virtual laboratory.

i. Kegiatan V: Menganalisis percobaan berupa penyajian serangkaian pernyataan yang kalimatnya masih

rumpang untuk menganalisis data hasil pengamatan.

j. Kegiatan VI, berupa penyajian serangkaian pertanyaan yang membimbing siswa untuk membuat

kesimpulan berdasarkan hasil analisis percobaan.

2. Persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran Materi GGL Induksi sebesar 8,3 %, persentase siswa

yang tuntas Materi Faktor-Faktor GGL Induksi sebesar 67 %, persentase siswa yang tuntas tujuan

pembelajaran Materi Gene-rator sebesar 21 %, dan persen-tase siswa yang tuntas pembela-jaran Materi

Transformator sebe-sar 4,1 %. Berdasarkan bukti empirik hasil uji coba eksternal dapat disimpulkan

bahwa hasil belajar kognitif produk setelah menggunakan LKS hasil pengembangan belum dapat

menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk.

3. Persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran KPS pada Materi GGL Induksi sebesar 83 %,

persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran KPS pada Materi Faktor-Faktor GGL Induksi sebesar

88 %, dan persentase siswa yang tuntas tujuan pembelajaran KPS pada Materi Generator dan

Transformator sebesar 75 %. Berdasarkan bukti empirik hasil uji coba eksternal dapat disimpulkan bahwa

KPS siswa setelah menggunakan LKS hasil pengembangan sudah dapat menuntaskan tujuan

pembelajaran KPS.

SARAN

Saran penelitian pengembangan ini sebagai berikut:

1. Penggunaan praktikum virtual laboratory bukan sebagai pengganti praktikum nyata tetapi sebagai

pelengkap praktikum nyata sehingga siswa memahami kebermaknaan IPA sebagai produk.

2. Pengoptimalan praktikum virtual laboratory difokuskan melengkapi hal-hal yang tidak dapat diamati

dalam praktikum nyata sehingga LKS yang didesain untuk menyeimbangkan praktikum virtual

laboratory dan praktikum nyata.

3. Penilaian tujuan pembelajaran kognitif produk sebaiknya dilakukan diakhir pembelajaran.

4. LKS yang dikembangkan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, menimbang LKS yang mengoptimalkan

praktikum virtual laboratory tidak dapat menuntaskan tujuan pembelajaran kognitif produk siswa.

Page 144: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

139

DAFTAR PUSTAKA

Daryanto. 2010. Media Pembelajaran (Peranannya sangat penting dalam tujuan pembelajaran). Gava

Media. Yogyakarta.

Djamarah, Syaiful B, Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.

Hoetomo. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Mitra Pelajar. Surabaya.

Sahrul. 2009. Macam-macam Model Pembelajaran Inkuiri. Artikel. Diakses 17 Desember 2011 dari

http://sahrulgmail.blogspot.com.

Suyanto E. 2006. Penguasaan Teori dan Praktik Membuat Skenario Pembelajaran Mikro. Makalah Mata

Kuliah Strategi Pembelajaran Fisika. Universitas Lampung. Bandarlampung.

Suyanto E, Sartinem. 2009. Pengembangan Contoh Lembar Kerja Fisika Siswa dengan Latar Penuntasan

Bekal Awal Ajar Tugas Studi Pustaka dan Keterampilan Proses Untuk SMA Negeri 3

Bandarlampung. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan 2009, 322.

Trianto. 2010. Pembelajaran IPA Terpadu. Kencana. Jakarta.

_____. 2011. Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik Cetakan ke-2. Prestasi Pustaka. Jakarta.

Page 145: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

140

PENGARUH PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS INKUIRI TERBIMBING

MENGGUNAKAN LKS TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

MADRASAH ALIYAH QAMARUL HUDA BAGU LOMBOK TENGAH

Kosim

FKIP IPA Universitas Mataram

[email protected]

Yuyu Sudarmini

MA Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran fisika berbasis inkuiri

terbimbing dengan menggunakan LKS terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Jenis

penelitian yang digunakan adalah eksperimen. Populasi dalam penelitian adalah siswa kelas XI

IPA MA Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah. Sampel penelitian terdiri dari dua kelas yang

diambil secara simple random sampling. Kelas yang tepilih pertama menjadi kelas eksperimen

yang diberikan perlakukan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbimbing dengan

menggunakan LKS dan kelas yang terpilih kedua dijadikan kelas kontrol dengan perlakuan

pembelajaran konvensional’. Teknik pengumpulan data menggunakan pretes dan postes pada

kedua kelas tersebut dengan materi fisika yang sama, untuk mengetahui kemampuan

keterampilan berpikir kritis siswa. Kategori Peningkatan keterampilan berpikir kritis dianalisis

menggunakan rumus N-gain. Uji hipotesis menggunakan uji t dua sampel independen dengan

bantuan program spss pada taraf signifikansi 0,05 (𝛼 = 5%). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan

LKS terhadap kemampuan berpikir kritis siswa Madrasah Aliyah Qamarul Huda Bagu Lombok

Tengah.

Kata kunci : Inkuiri terbimbing, LKS, keterampilan berpikir kritis

PENDAHULUAN

Pembelajaran fisika yang merupakan bagian dari IPA, diharapkan pembelajaran yang sesuai dengan

tujuan pembelajaran IPA itu sendiri seperti yang dinyatakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia No 22 Tahun 2006 bahwa tujuan pembelajaran IPA di sekolah menengah adalah agar

siswa berkompeten untuk melakukan metode ilmiah untuk menyelesaikan suatu masalah, menguasai konsep

IPA dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006).

Kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukan bahwa masih banyak guru yang menggunakan metode

ceramah sehingga siswa kurang diberikan kesempatan untuk terlibat aktif selama proses pembelajaran. Hal

ini mengakibatkan tidak terlatihnya kemampuan berpikir siswa terutama kemampuan berpikir tingkat tinggi,

salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis. Kondisi ini juga diperkuat oleh pernyataan Keefer dalam

Trianto (2007) mengungkapkan bahwa kebanyakan guru masih bertahan pada model pembelajaran klasikal

yang didominasi oleh kegiatan ceramah dimana arus informasi lebih bersifat satu arah dan kegiatan berpusat

pada guru. Menurut Wirtha & Rapi (2008), guru kurang kreatif dan aktif dalam memaksimalkan peranan

siswa dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan kualitas dan kuantitas proses dan produk pembelajaran

fisika masih rendah. Dari segi kualitas terlihat dari pemilihan pendekatan, strategi, metode yang kurang

bervariasi. Proses belajar mengajar dimulai dengan orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan dengan

konsep yang akan dipelajari, pemberian contoh soal dan dilanjutkan dengan memberikan tes. Kondisi ini

mengakibatkan proses pembelajaran kurang memberikan kesempatan siswa untuk terlibat aktif dalam proses

pembelajaran fisika, padahal tujuan pembelajaran fisika sebagai proses adalah meningkatkan kemampuan

berpikir siswa, sehingga siswa tidak hanya mampu dan terampil dalam bidang psikmotorik, tetapi juga

mampu berpikir secara sistematis, objektif dan kreatif. Siswa perlu diberikan kemampuan seperti mengamati,

menggolongkan, mengukur, berkomunikasi, menafsirkan data dan bereksperimen secara bertahap sesuai

Page 146: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

141

tingkat berpikir anak dan materi pelajaran.yang sesuai dengan kurikulum, agar dapat memberikan penekanan

lebih besar pada aspek proses.

Salah satu cara agar dapat memberikan penekanan lebih besar pada aspek proses adalah dengan

mengkondisikan proses pembelajaran sedemikian rupa melalui pembelajaran yang tepat, salah satunya adalah

dengan diberikannya pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS karena

dalam pembelajaran ini siswa dilatih untuk merumuskan permasalahan berdasarkan hasil observasi dalam

bentuk cerita yang terdapat dalam LKS, lalu merumuskan hipotesis, kemudian diuji untuk mencari tahu

jawaban dari hipotesis yang telah dibuat melalui kegiatan eksperimen. Dari data yang diperoleh dari kegiatan

eksperimen, siswa diharapakan dapat menganalisis sehinga dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat

terhadap konsep fisika yang ingin ditanamakan pada siswa. Adanya tahapan-tahapan yang dilalui oleh siswa

seperti di atas selama proses pembelajaran diharapkan dapat memberikan dampak terhadap kemampuan

berpikir kritis siswa. Oleh karena itu tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan mengunakan LKS terhadap kemampuan berpikir

kritis siswa.

METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen dengan menggunakan pretest-postest control

group design. Populasi dalam penelitian adalah siswa kelas XI IPA MA Qamarul Huda Bagu Lombok

Tengah. Sampel penelitian diambil secara simple random sampling, sehingga di dapat satu kelas sebagai

kelas eksperiment dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol. Variabel dalam penelitian ini yaitu pembelajaran

fisika sebagai variabel bebas dan kemampuan berpikir kritis sebagai variabel terikat.

Data skor kemampuan keterampilan berpikir kritis siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes essay

sebanyak 8 soal. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis di analisis menggunakan rumus

N-gain ternormalisasi dengan rumus

max

( )

( )

post pre

pre

s sg

s s

(1)

Hasil analisis peningkatan kemampuan berpikir kritis dikategorikan kedalam kategori tinggi, sedang

dan rendah seperti ditunjukan pada tabel

Tabel 1. Interpretasi Skor Gain Ternormalisasi

Nilai (g) Kategori

0,00 < (g) ≤ 0,30 Rendah

0,31 < (g) ≤ 0,70 Sedang

0,71 < (g) ≤ 1.00 Tinggi

Pengujian hipotesis menggunakan uji t dua sampel independen dengan taraf kepercayaan 95 % dengan

bantuan program spss. Sebelum dilakukan uji hipotesis dilakukan uji prasayarat yaitu uji normalitas pada

masing-masing sampel dan uji homogenitas untuk kedua sampel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi data untuk keterampilan berpikir kritis siswa diperoleh dari hasil pretes dan postes baik dari

kelas kontrol maupun kelas eksperimen yang ditampilkan pada Gambar 1. Hasil ini menunjukkan bahwa skor

rata-rata pretes kelas kontrol lebih tinggi daripada kelas eksperimen namun dengan selisih nilai yang tidak

berbeda jauh yaitu sebesar 1,4 %. Kondisi ini menunjukan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa sebelum

diberikan perlakuan pada kedua kelas dapat dikatakan hampir sama. Pada uji homogenitas data pretes

menunjukkan bahwa kedua sampel homogen. Setelah diberikan perlakuan pada kedua kelas, persentase skor

rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa pada saat postes untuk kelas eksperimen lebih tinggi dari pada

kelas kontrol. Demikian pula dengan persentase skor rata-rata peningkatan (gain) ternormalisasi kemampuan

berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan

LKS mengalami peningkatan (gain) ternormalisasi kemampuan berpikir kritis lebih tinggi daripada rata-rata

Page 147: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

142

peningkatan (gain) ternormalisasi kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika

secara konvensional. Persentase Peningkatan (gain) ternormalisasi kemampuan berpikir kritis pada siswa

yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing sebesar 59% termasuk dalam kategori

sedang, sementara persntase peningkatan (gain) ternormalisasi keterapilan berpikir kritis pada siswa yang

mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional sebesar 30 % termasuk dalam kategori rendah.

Gambar 1. Grafik Persentase Skor Rata-rata Pretes, Postes dan N-Gain (g) untuk Kemampuan Berpikir

Kritis

Hal ini menunjukan dengan adanya pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing degan

menggunakan LKS memberikan dampak yang lebih baik terhadap kemampuan berpikir kritis siswa daripada

dengan pembelajaran fisika secara konvensional. Hal ini berarti terdapat pengaruh pembelajaran fisika

berbasis inkuiri terbimbing dengan mengunakan LKS terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.Kenyataan

ini diperkuat oleh hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t dua sampel independen seperti pada Tabel 2

berikut ini.

Tabel 2. Hasil uji t dengan menggunakan software SPSS

Berdasarkan Tabel 2, data varian kedua sampel homogeny, maka diperoleh nilai thitung=5,383 lebih besar

daripada nilai sig=0,05. Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir

kritis antara siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan

LKS dan siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional. Peningkatan kemampuan

berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan

LKS lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional. Hal ini berarti

terdapat pengaruh pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan mengunakan LKS terhadap

kemampuan berpikir kritis siswa. Kenyataan ini disebabkan karena dalam pembelajaran fisika berbasis

inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS menuntut siswa untuk menggunakan seluruh kemampuan

berpikirnya terutama kemampuan berpikir kritis dalam menemukan permasalahan yang disajikan dalam LKS,

lalu berusaha mencari tahu jawaban atas permasalahan yang telah diajukan oleh siswa melalui kegiatan

eksperimen yang telah dirancang sendiri secara ilmiah sehingga mampu menganalisis, menyimpulkan dan

menerapkan konsep yang telah diperoleh dari kegiatan eksperimen tersebut dengan tepat melalui bimbingan

yang terdapat dalam LKS. Adanya kondisi pembelajaran seperti ini menuntut siswa untuk mau berpikir,

siswa tidak hanya menerima begitu saja tetapi melatih siswa untuk mencari tahu jawaban dengan percobaan

yang tepat.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

PRETES POSTES N-GAIN

EKSPERIMEN

KONTROL

86

22

59

23,430

55,4

Per

sen

tase

(%)

Independent Samples Test

1.482 .230 5.383 41 .000 .29 .054 .182 .399

5.320 37.479 .000 .29 .055 .180 .401

Equal variances

assumed

Equal variances

not assumed

NGKBK

F Sig.

Levene's Test f or

Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed)

Mean

Dif f erence

Std. Error

Dif f erence Lower Upper

95% Conf idence

Interv al of the

Dif f erence

t-test for Equality of Means

Page 148: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

143

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rubiyanto (2010), yang mengungkapkan bahwa terdapat

perbedaaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang belajar dengan menggunakan kartu inkuiri biologi

dengan siswa yang tidak belajar dengan menggunakan kartu inkuiri biologi. Kemampuan berpikir kritis

siswa yang belajar dengan menggunakan kartu inkuiri biologi lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang

tidak belajar dengan kartu inkuiri biologi. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Jufri (2009) yang

mengungkapkan bahwa kegiatan pembelajaran berbasis inkuiri dapat membantu siswa untuk

mengembangkan kompetensi yang berkaitan dengan indikator berpikir kritis. Hal yang senada juga

diungkapkan oleh Lawson (2001) dalam (Suardana, 2008) yang menyatakan bahwa siswa dapat ditingkatkan

keterampilan berpikir kritisnya jika kurikulum didesain secara eksplisit untuk meningkatkan keterampilan

berpikir kritis melalui urutan pembelajaran inkuiri dari konsep yang dipahami dan dapat diamati (observable)

menuju konsep yang tidak dipahami dan abstrak. Oleh karena itu pembelajaran fisika berbasis inkuiri

terbimbing dengan menggunakan LKS sangat tepat diterapkan dalam pembelajaran sebagai salah satu upaya

untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Karena selama proses pembelajaran berlangsung,

tahapan-tahapan dalam pembelajaran inkuiri yang disajikan dalam LKS dapat melatih kemampuan berpikir

kritis siswa.

Persentase peningkatan tiap indikator kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian baik

pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol mengalami peningkatan seperti pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Grafik Persentase Skor N-Gain setiap Indikator Kemampuan Berpikir Kritis

Gambar 2 menunjukan bahwa kelas eksperimen mengalami peningkatan lebih tinggi dari pada kelas

kontrol pada setiap indikator kemampuan berpikir kritis. Hal ini berarti kemampuan berpikir kritis siswa

dapat ditingkatkan dengan pembelajaran yang dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif

dalam menggunakan seluruh kemampuan berpikir selama proses pembelajaran, salah satunya adalah

pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS. Peningkatan tertinggi terletak

pada indikator kemampuan melaporkan hasil observasi sebesar 64,6% pada kelas ekperimen dan 51,2% pada

kelas kontrol. Sedangkan peningkatan terendah pada indikator kemampuan menarik kesimpulan untuk kelas

eksperimen sebesar 24% dan indikator kemampuan menyatakan tafsiran untuk kelas kontrol sebesar 6,07%.

Kenyataan ini disebabkan karena siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri

terbimbing dengan menggunakan LKS diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuanya dalam

berpikir baik kemampuan melaporkan hasil observasi berdasarkan apa yang diamati, kemampuan merancang

eksperimen untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan yang muncul dari hasil observasi, kemampuan

menyatakan tafsiran dan kemampuan menarik kesimpulan berdasarkan hasil ekperimen maupun kemampuan

menerapakan konsep berdasarkan apa yang telah diperoleh dari hasil ekpserimen melalui pertanyaan-

pertanyaan penuntun yang terdpat dalam LKS inkuiri, sementara pada siswa yang mendapatkan pembelajaran

fisika secara konvensional lebih bersifat mengikuti dan melakukan perintah yang terdapat pada LKS

konvensional sehingga siswa tidak dilatih untuk mengembangkan kemampuan berpikir.

Pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol peningkatan tertinggi terletak pada indikator

melaporkan hasil observasi. Hal ini disebabkan karena kemampuan ini sudah biasa dilakukan siswa pada

kegiatan-kegiatan praktikum sehingga kemampuan melaporkan hasil observasi bukan sesuatu yang baru

0

20

40

60

80 kelas eksperimen

kelas kontrol

Page 149: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

144

ditemui oleh siswa. Meskipun demikian kemampuan siswa dalam melaporkan hasil observasi pada kelas

yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan mnggunakan LKS lebih tinggi

dari pada kelas yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional. Hal ini dikarenakan siswa yang

mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS dilatih untuk dapat

melaporkan apa yang diamati secara ilmiah karena selam proses pembelajaran siswa diberi kesempatan untuk

mengamati, dan menganalisis sesuai kemampuan berpikir siswa tanpa ada batasan dari guru. Sedangkan pada

kelas yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional, kemampuan siswa dalam mengobservasi

bersifat terbatas karena siswa mengamati apa yang sudah diperintahkan dalam LKS sehingga tidak diberikan

kesempatan kepada siswa secara luas dalam menggunakan dan mengembangkan kemampuan berpikirnya

selama proses pembelajaran.

Pada kelas kontrol kemampuan menyatakan tafsiran mengalami peningkatan terendah. Hal ini

dikarenakan siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional belum terbiasa untuk

menafsirkan atau mengintrepetasikan suatu data terutama dalam bentuk grafik secara tepat, ini berarti tingkat

pemahaman terhadap materi tersebut masih rendah. Sedangkan pada kelas eksperimen peningkatan terendah

berada pada indikator kemampuan menarik kesimpulan. Hal ini disebabkan karena dalam pembelajaran

inkuiri siswa dituntut untuk merumuskan dan membuat hipotesis serta merancang suatu percobaan untuk

menguji rumusan masalah yang telah dibuat. Hal ini merupakan sesuatu yanag baru, siswa masih

membutuhkan bimbingan yang lebih banyak dalam hal menghubungkan antara kesimpulan yang diambil

dengan rumusan masalah yang telah dibuat.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pembelajaran fisika berbasis

inkuiri terbimbing dengan mengunakan LKS terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Kemampuan

berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan

LKS lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran fisika secara konvensional.

SARAN

Rekomendasi yang dapat dijadikan saran yaitu : (1) Guru hendaknya menerapkan pembelajaran fisika

berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS dalam proses belajar mengajar karena dapat

memberikan dampak positip terhadap kemampuan berpikir kritis siswa;(2).Diharapkan kepada guru untuk

mengkombinasikan pembelajaran fisika berbasis inkuiri terbimbing dengan menggunakan LKS dengan

model pembelajaran lain terutama untuk materi yang bersifat abstrak; (3) Pembelajaran fisika berbasis inkuiri

terbimbing dengan menggunakan LKS diharapkan dapat menjadi salah satu cara agar pembelajaran tidak lagi

berpusat kepada guru melainkan berpusat kepada siswa, sehingga guru hanya berperan sebagai fasilitator.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Peraturan Meneteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No

22 Tahun 2006 Tentang Standdar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menegah. Jakarta : BSNP

Jufri AW. 2009. Peranan Perangkat Pembelajaran Berbasis Inkuiri Dan Implementasinya Dengan Strategi

Kooperatif Terhadap Perkembangan Keterampilan Berpikir Kritis. Jurnal Pendidikan Biologi 1(1):

87-92.

Rubiyanto. 2010. Penerapan Pembelajaran dengan Kartu Inkuiri Terbimbing Melalui Strategi kooperatif

Untuk Meningkatkan Keterampilan Bepikir Kritis Dan Retensi siswa SMPN 2 Mataram. Tesis.

Program Pascasarjana Universitas Mataram.

Suardana IW. 2008. Teaching and Learning analysis of basic Chemistry In Developing Teaching and

Learning Of Critical Thinking Skils PROCEEDING The Second International Seminar on Science

Education: 551-556.

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Page 150: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

145

Wirtha IM, Rapi NK. 2008. Pengaruh Model Pembelajaran dan Penalaran Formal terhadap Penguasaan

Konsep Fisika dan Sikap Ilmiah Siswa SMA Negeri 4 Singaraja. JPP. Lembaga penelitian Undiksha,

April 2008. Hal 15-28.

Page 151: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

146

PENGARUH PENGGUNAAN LKS BERBASIS INKUIRI TERBIMBING DENGAN

REPRESENTASI CHEMISTRY TRIANGLE TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA

UNTUK MATERI ASAM BASA KELAS XI SMA

Iryani Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang

Jl. Prof. DR. Hamka Air Tawar Padang

[email protected]

Mawardi dan Andromeda Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang

Jl. Prof. DR. Hamka Air Tawar Padang

Abstrak

Kurikulum 2013 menuntut perubahan dalam proses pembelajaran dari siswa diberi tahu

menjadi siswa mencari tahu. Proses pembelajaran dikembangkan berorientasi pendekatan

saintifik, dimana siswa aktif (mengamati, bertanya, mengasosiasi, dan berkomunikasi), untuk

itu diperlukan bahan ajar yang berorientasi proses saintifik yang dapat menfasilitasi terjadinya

siswa aktif.Salah satu bahan ajar tersebut adalah LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan

representasi chemistry triangle.Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan

LKSberbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle terhadap hasil belajar

siswa untuk materi asam basa. Tujuan penelitian adalah untuk mengungkapkan pengaruh

penggunaan LKS berbasis Inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar siswa pada materi asam

basa.Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen, dengan rancangan “Randomized Control

Group Posttest Only Design”.sebagai populasi adalah siswa kelas XI IPA SMAN 1

BatuSangkar sebanyak 4 kelas, tahun ajaran 2013/2014. Sampel terdiri dari dua kelas yaitu:

kelas XI IPA4sebagai kelas kontrol dan kelas XI IPA2 sebagai kelas eksperimen. Pengumpulan

data dilakukan dengan pemberian tes di akhir penelitian. Dari hasil tes diperoleh nilai rata-rata

kelas eksperimen (85,15) dan kelas kontrol (81,15). Hasil uji normalitas dan homogenitas dari

hasil tes akhir didapat bahwa kedua kelas sampel terdistribusi normal dan homogen. Analisis

data dilakukan dengan uji-t pada taraf nyata 0,05 dengan derajat kebebasan 38 diperoleh

thitung= 1.84 dan ttabel= 1,68. Berdasarkan analisis diperoleh bahwa penggunaan LKS

berbasis inkuiri terbimbing berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, di mana hasil belajar

siswa yang menggunakan LKS berbasis Inkuiri Terbimbing lebih tinggi secara signifikan

dibandingkan dengan hasil belajar siswa tanpa menggunakan LKS berbasis Inkuiri Terbimbing

pada materi asam basa di kelas XI SMAN 1Batusangkar.

Kata Kunci: inkuiri terbimbing, chemistry triangle, representasi, hasil belajar, asam basa.

PENDAHULUAN

Ilmu kimia adalah ilmu yang mempelajari tentang komposisi, sifat-sifat, dan transformasi dari suatu

materi (Brady, 2010:2).Salah satu materi kimia yang dipelajari di SMA/MA adalah asam basa.Materi asam

basa ini dipelajari di kelas XI semester 2 pada kurikulum 2013. Sebagian besar bahan kajian asam basa

bersifat abstrak, seperti konsep asam basa Arrhenius, asam basa menurut Bronstead Lowry dan Lewis. Asam

menurut Arrhenius adalah zat yang di dalam air menghasilkan ion H+ dan basa adalah zat yang di dalam air

menghasilkan ion OH-. Ion H+ dan ion OH- yang dihasilkan tersebut tidak dapat diamati secara langsung.Hal

ini merupakan suatu hambatan bagi siswa untuk memahami konsep tersebut. Oleh sebab itu dalam proses

pembelajarannya guru harus bisa mengonstruksikan model-model atau analogi-analogi yang tepat sehingga

konsep mudah diterima oleh siswa. Konsep-konsep asam basa dipelajari dengan urutan tertentu, dimulai dari

yang paling sederhana atau mendasar sampai pada yang kompleks, contohnya sesuai dengan salah satu

indicator yaitu setelah mempelajari asam basa, siswadituntut untuk menentukan pH larutan asam/basa kuat

dan asam/basa lemah. pH suatu larutan dipengaruhi oleh perbandingan jumlah ion H+ dan OH-di dalam

larutan. Penentuan perbandingan ini tidak dapat dilakukan secara langsung namun dilakukan dengan cara

perhitungan yang memerlukan pemahaman dasar siswa tentang konsep asam basa dan berhubungan dengan

konsep materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dan materi kesetimbangan kimia sebelumnya.Dengan

demikian, maka pada saat pembelajaran asam basa diperlukan pengetahuan prasyarat yang berhubungan

Page 152: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

147

dengan konsep yang akan dibahas sehingga siswa mengetahui kaitan konsep terdahulu dengan konsep yang

akan dipelajari (Rostianingrum, 2011). Namun kenyataannya, proses pembelajaran kimia selama ini masih

berorientasi pada hafalan sehingga proses penemuan konsep menjadi sering terabaikan karena kurangnya

keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.

Proses pembelajaran menurut ilmu kognitif menyatakan bahwa orang belajar dengan cara: (1)

membangun pemahaman mereka sendiri berdasarkan pengetahuan awal, pengalaman, keterampilan, sikap,

dan keyakinan; (2) mengikuti siklus pembelajaran eksplorasi, pembentukan konsep, dan aplikasi; (3)

menghubungkan dan memvisualisasikan konsep-konsep dan representasi yang beragam; (4) mendiskusikan

dan berinteraksi dengan orang lain; (5) merefleksikan kemajuan dan menilai kinerja; (6)

menginterkoneksikan konseptual dan prosedural pengetahuan dalam struktur mental yang besar (Kuhlthau,

2007).

Pembelajaran kimia melibatkan suatu pengenalan terhadap ide-ide pokok, seperti: unsur-unsur kimia

secara periodik ditampilkan dalam bentuk sifat fisik dan kimianya, senyawa terdiri dari dua atau lebih unsur

yang dalam banyak kasus ini melibatkan penciptaan spesifik, ikatan kimia akan terbentuk apabila electron

berpasangan, ada hambatan energik dan geometri untuk terjadinya reaksi kimia, reaksi oksidasi-reduksi

menyangkut transfer suatu elektron, ikatan kovalen masalah berbagi elektron, dll. Memahami ide-ide

tersebut, melibatkan mental yang menyangkut representasi (gambaran) ide dan fenomena dimana ide tersebut

berhubungan, namun demikian cara merepresentasikan gagasan merupakah hal yang tidak mudah karena

representasi yang dibuat tidak mengandung informasi (pesan) yang diinginkan. Untuk itu Johnstone

mengusulkan model untuk memahami masing-masing elemen inti yang digambarkan menggunakan tiga jenis

representasi (Chemistry triangle) di mana ide-ide kimia dinyatakan yaitu : simbolis, makroskopik dan sub-

mikroskopis (Gilbert, 2009).

Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.Pemerintah khususnya

Kemendikbud telah memberlakukan Kurikulum 2013 mulai semester ganjil 2013. Proses pembelajaran yang

dituntut dalam kurikulum 2013 ini adalah proses pembelajaran berorientasikan siswa aktif yang ditandai

dengan aktivitas peserta didik berupa latihan untuk mengamati, bertanya, mengasosiasi, dan berkomunikasi

(kemendikbud, 2013 ).agar tuntutan kurikulum 2013 tersebut bisa terujud, maka diperlukan bahan ajar yang

berorientasi proses saintifik yang dapat menfasilitasi terjadinya siswa aktif. Salah satu bahan ajar tersebut

adalah LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle.

Lembar Kerja Siswa (LKS) disusun berdasarkan siklus belajar inkuiri terbimbing yaitu orientasi,

eksplorasi, pembentukan konsep, aplikasi dan penutup.LKS yang berbasis inkuiri terbimbing ini

didalamnya terdapat petunjuk penggunaan LKS, orientasi, model, informasi, pertanyaan kunci dan

aplikasi atau latihan.Orientasi merupakan materi prasyarat yang harus dikuasai siswa sebelum

mempelajari materi asam basa. Model-model dan informasi merupakan data atau pusat perhatian yang

akan diamati dan dinalisis oleh siswa untuk menemukan konsep-konsep pada materi asam basa.

Pertanyaan kunci merupakan pertanyaan-pertanyaan yang akan membimbing siswa untuk

menemukan konsep-konsep pada materi asam basa. Pertanyaan kunci ini merupakan jantung dari

kegiatan inkuiri terbimbing untuk membimbing siswa mengeksplorasi suatu model (Hanson.2005.3)

Sedangkan aplikasi atau latihan berfungsi untuk memperkuat konsep-konsep pada materi asam basa

yang telah ditemukan oleh siswa.

Dari hasil observasi dan tanya-jawab penulis dengan guru kimia dan siswa di beberapa SMA di

Sumatera Barat, seperti Kota Padang, Bukittinggi, Payakumbuh dan Batusangkar, diperoleh suatu

kesimpulan bahwa LKS yang digunakan selama ini masih bersifat verbal dan belum ada LKS yang

berbasiskan siklus belajar inkuiri terbimbing.LKS yang disediakan hanya berisi soal-soal latihan yang

bersifatverbalistis, hafalan, pengenalan rumus-rumus, dan pengenalan istilah-istilah melalui serangkaian

latihan secara verbal, serta uraian materi yang terdapat pada LKS belum mendukung siswa dalam proses

pencarian dan pembentukan konsep, sehingga penggunaan LKS tersebut belum maksimal.

Berdasarkan uraian di atas telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan LKS berbasis

inkuiri terbimbing dengan representasichemistry triangleterhadap hasil belajar siwa untuk materi asam basa.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : apakah penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan

Page 153: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

148

representasi chemistry triangle untuk materi asam basa mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar siswa

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan pengaruh penggunaan LKS berbasis Inkuiri

terbimbing terhadap hasil belajar siswa pada materi asam basa. Hasil penelitian ini dapatdimanfaatkan oleh

guru kimia sebagai salah satu bahan ajar alternatif dalam proses pembelajaran untuk materi asam basa dalam

rangka meningkatkan hasil belajar siswa. Hipotesis penelitian adalah “Penggunaan LKS berbasis inkuiri

terbimbing dengan representasi chemistry triangle untuk materi asam basa berpengaruh terhadap hasil belajar

siswa, dimana hasil belajar siswa yang menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi

chemistry triangle lebih tinggi daripada hasil belajar siswa tanpa menggunakan LKS berbasis inkuiri

terbimbing.

Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya

(Sudjana, 2010: 22). Hasil belajar juga merupakan prestasi yang dapat dicapai siswa setelah mengikuti proses

pembelajaran dalam kurun waktu tertentu. Seorang siswa dapat dikatakan berhasil dalam belajar apabila

terjadi perubahan tingkah laku dalam dirinya dan perubahan itu terjadi karena latihan dan pengalaman yang

mereka peroleh.Hasil belajar tersebut dapat diukur melalui tes yang diberikan kepada siswa. Dari hasil

belajar diketahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap suatu materi pelajaran.

Setelah melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan yang dituntut dalam kurikulum, maka perlu

dilakukan penilaian terhadap hasil belajar. Penilaian hasil belajar mencakup tiga ranah yaitu : tanah kognitif,

afektif dan psikomotor (Bloom dalam Sudjana ,2010 : 22).

METODE PENELITIAN

Metode dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Rancangan penelitian menggunakan Posttest Only

Control Design.Dalam rancangan penelitian ini sampel digolongkan kedalam dua kelompok, yaitu kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol.Kelompok eksperimen dikenakan perlakuan tertentu, yaitu dengan

menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing. Pada kelompok kontrol digunakan LKS biasa yang tidak

berbasis inkuiri terbimbing sebagai sumber belajar. Pertama-tama dilakukan pengukuran lalu dikenakan

perlakuan untuk jangka waktu tertentu kemudian dilakukan pengukuran untuk kedua rancangan ini. Secara

bagan rancangan ini dapat digambarkan sebagai berikut .

Tabel 1. Rancangan Penelitian

Kelas Perlakuan Posttest

Eksperimen

Kontrol

X

-

T

T

(Lufri.2007 : 69)

Keterangan:

X:Perlakuan terhadap kelas eksperimen yaitu proses pembelajaran dengan penerapan LKS berbasis Inkuiri Terbimbing (guided

inquiry).

T: Tes akhir yang diberikan kepada kedua kelas sesudah pembelajaran

Populasi adalah sekelompok orang, kejadian atau benda yang dijadikan objek penelitian. Populasi

dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Batusangkar pada tahun pelajaran 2013/2014 yang

terdiri 4 kelas. Menurut Sugiyono (2007:73) “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi tersebut”. Pengambilan sampel dilakukan dengan suatu teknik penyampelan, yaitu

teknik random sampling. Sampel dalam penelitian ini ada dua kelas yaitu kelas XI IPA4 sebagai kelas kontrol

dan kelas XI IPA2 sebagai kelas eksperimen.

Variabel adalah konsep yang mempunyai variasi nilai.Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut.

a. Variabel bebas merupakan variabel yang berpengaruh terhadap variabel lain. Pada penelitian ini yang

merupakan variabel bebas adalah perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen berupa proses belajar

mengajar dengan menggunaan LKS berbasis Inkuiri Terbimbing (guided inquiry).

Page 154: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

149

b. Variabel terikat adalah variabel yang berpengaruh karena adanya variabel bebas. Pada penelitian ini yang

merupakan variabel terikat adalah hasil belajar kimia siswa kelas XI IPA SMAN 1Batusangkar tahun

pelajaran 2013/2014.

c. Variabel kontrol merupakan segala sesuatu yang bisa mempengaruhi hasil belajar siswa selain perlakuan.

Pada penelitian ini yang merupakan variabel kontrol adalah alokasi waktu, materi pembelajaran, buku

sumber dan guru yang mengajar pada kedua kelas sampel adalah sama.

Prosedur Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan perlu disusun prosedur yang sistematis. Secara

umum prosedur penelitian dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu: persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian.

Pada tahap persiapan yang dilakukan adalah: Menentukan tempat dan jadwal penelitian, menentukan

populasi dan sampel, menentukan kelas kontrol dan kelas eksperimen, membuat Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP) untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Mempersiapkan LKS berbasis inkuiri

terbimbing, membuat kisi-kisi soaldan mempersiapkan soal tes akhir.

Dalam pelaksanaan penelitian dilakukan proses pembelajaran yang berbeda antara kelas eksperimen dan

kelas kontrol. Pembelajaran yang diberikan kepada kedua kelas sampel adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Skenario Pembelajaran Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

No Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

1

2

Pendahuluan

Guru menginstruksikan kepada siswa agar berdo’a

sebelumajar.

Guru mengecek kehadiran siswa dan mengkondisikan kelas

agar kondusif sehingga pembelajaran dapat dimulai.

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

Guru memotivasi siswa dengan menuntun siswa dalam

mempelajari topik yang akan dibahas yaitu tentang teori

asam basa dan menggali pengetahuan siswa tentang materi

asam basa

Siswa dibagi dalam beberapa kelompok dengan jumlah

anggota 2 orang perkelompok.

Guru membagikan LKS berbasis Inkuiri Tebimbing kepada

masing-masing siswa dan menjelaskan isi LKS secara

umum.

Kegiatan Inti

Siswa membaca dan memahami materi prasyarat, yaitu

tentanglarutan elektrolit.

Siswa mengamati model dan mendiskusikan hasil

pengamatan yang terdapat pada LKS tentang teori asam basa

menurut Arrhenius, Bronstead Lowry dan Lewis, dan materi

asam basa yang lainnya

Siswa menjawab pertanyaan kunci pada tiap-tiap model

melalui pengamatan terhadap gambar yang ada pada LKS.

Guru mengontrol jalannya diskusi dan menghampiri masing-

masing kelompok untuk melihat perkembangan diskusi siswa

dan untuk mengatasi jika siswa mengalami kendala dalam

diskusi.

Siswa menemukan dan membentuk konsep sebagai hasil dari

proses eksplorasi.

Siswa mengerjakan latihan-latihan yang tersedia di dalam

LKS dengan bimbingan dari guru.

Siswa diminta mewakili kelompok untuk menyampaikan

hasil diskusi mengenai teorii asam basa, jenis atau kekuatan

asam basa.

Guru memberikan kesempatan kepada siswa lainnya untuk

menanggapi, bertanya ataupun memberikan tanggapan.

Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil diskusi siswa

dan membenarkan konsep siswa jika siswa mengalami

kesalahan-kesalahan dalam memahami konsep.

Pendahuluan

Guru menginstruksikan kepada siswa agar berdo’a sebelum

belajar.

Guru mengecek kehadiran siswa dan mengkondisikan kelas

agar kondusif sehingga pembelajaran dapat dimulai.

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

Guru memotivasi siswa dengan menuntun siswa dalam

mempelajari topik yang akan dibahas yaitu tentang teori

asam basa dan menggali pengetahuan siswa tentang materi

asam basa.

Siswa dibagi dalam beberapa kelompok dengan jumlah

anggota 2 orang perkelompok dan masing-masing siswa

sudah memiliki LKS yang biasa mereka gunakan dalam

pembelajaran kimia (bukan LKS berbasis inkuiri

terbimbing).

Kegiatan inti

Guru membantu siswa dalam mengingat kembali materi

pelajaran yang terkait yaitu mengenai larutan elektrolit.

Siswa membaca mengenai materi yang akan dipelajari, yaitu

: teori asam basa menurut Arrhenius, Bronstead Lowry dan

Lewis.

Siswa menjawab pertanyaan pada LKS yang telah

dimilikinya (bukan LKS berbasis inkuiri terbimbing).

Guru mengontrol jalannya diskusi dan menghampiri masing-

masing kelompok untuk melihat perkembangan diskusi

siswa dan untuk mengatasi jika siswa mengalami kendala

dalam diskusi.

Siswa menemukan dan membentuk konsep sebagai hasil

dari proses eksplorasi.

Siswa diminta mewakili kelompok untuk menyampaikan

hasil diskusi mengenai teorii asam basa, jenis atau kekuatan

asam basa .

Guru memberikan kesempatan kepada siswa lainnya untuk

menanggapi, bertanya ataupun memberikan tanggapan.

Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil diskusi siswa

dan membenarkan konsep siswa jika siswa mengalami

kesalahan-kesalahan dalam memahami konsep

Page 155: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

150

3

a. Penutup

Siswa dengan bimbingan guru, menyimpulkan materi asam

basa yang telah dipelajari .

Guru memberikan soal evaluasi tentang materi yang telah

dipelajari dan siswa mengerjakannya secara individu.

Guru memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan di

rumah.

Penutup

Siswa dengan bimbingan guru, menyimpulkan materi yang

baru saja dipelajari

Guru memberikan evaluasi mengenai materi yang dipelajari

dengan memberikan soal dan siswa mengerjakannya secara

individu.

Guru memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan di

rumah.

Pada tahap penyelesaian ini yang akan dilakukan adalah: Memberikan tes pada kedua kelas sampel

setelah pembelajaran berakhir, mengolah data dari kedua sampel, menarik kesimpulan dari hasil belajar yang

didapat dengan teknik analisis data yang digunakan.

Instrumen penelitian yang dipakai adalah tes hasil belajar karena yang menjadi objek penelitian adalah

hasil belajar siswa.Tes yang digunakan berupa soal objektif yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran.

Analisis Data

Untuk menganalisis kebenaran data hasil penelitian digunakan uji hipotesis yaitu dengan uji perbedaan

dua rata-rata atau uji-t. Sebelum melakukan uji-t terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji

homogenitas. Uji normalitas menggunakan uji Lilierfors (Sudjana, 2005: 466) dan tujuan melakukan uji

homogenitas (Sudjana, 2005:249).

Uji hipotesis yaitu uji dengan kesamaan rata-rata dengan uji satu pihak yaitu uji pihak kanan yang

sejalan dengan hipotesis penelitian. Perumusan umum untuk uji pihak kanan mengenai rata-rata μ

berdasarkan Ho dan H1 adalah:

Ho : μ1≤μ2

H1 : μ1>μ2

Keterangan: 1 = Skor rata-rata kelas eksperimen

2 = Skor rata-rata kelas kontrol

Berdasarkan hasil uji normalitas dan uji homogenitas diperoleh bahwa kedua kelas mempunyai nilai

hasil belajar siswa yang terdistribusi normal dan mempunyai varians yang homogen.Oleh karena itu untuk

menguji hipotesis menggunakan uji-t Sudjana ( 2005: 239).

Hasil perhitungan diperoleh harga thitung 1,84 pada α = 0,05 dan harga ttabeladalah 1,68, sehingga dapat

disimpulkan bahwa pengaruh penerapan penggunaan lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing adalah

signifikan dan hipotesis penelitian diterima.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Dari penelitian yang telah dilakukan pada kedua kelas sampel, diperoleh data tentang hasil belajar

siswa, seperti yang tertera pada Tabel 3 dan 4.Data tersebut diperoleh dari tes akhir pada kegiatan penelitian.

Tabel 3. Nilai Hasil Belajar Siswa Kelas Kontrol

No Nilai Frekuensi

1 58 1

2 63 1

3 65 1

4 70 1

5 73 1

6 78 1

7 80 2

8 83 2

9 85 2

10 88 3

11 90 3

12 93 2

Page 156: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

151

Tabel 4. Nilai Hasil Belajar Siswa Kelas Eksperimen

No Nilai Frekuensi

1 65 1

2 70 2

3 80 3

4 85 5

5 88 2

6 90 3

7 93 1

8 98 3

Berdasarkan data pada Tabel 3 dan 4 nilai terendah pada kelas kontrol adalah 58 yang diperoleh oleh 1

orang siswa, sedangkan pada kelas eksperimen nilai terendah adalah 65 yang diperoleh oleh 1 orang siswa.

Nilai tertinggi pada kelas kontrol adalah 93 dan pada kelas eksperimen adalah 98.

Data hasil belajar disusun berdasarkan distribusi frekuensinya, kemudian ditentukan nilai rata-rata (�̅�),

simpangan baku (S) dan variansi (S2) dari masing-masing kelas eksperimen dan kelas kontrol seperti yang

tertera pada Tabel 5

Tabel 5. Nilai Rata-rata, Simpangan Baku dan Variansi Kelas Sampel

Kelas N �̅� S S2

Eksperimen 20 85,15 9,14 83,61

Kontrol 20 81,15 10,32 106,45

Berdasarkan Tabel 5dimana hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan hasil belajar kelas

kontrol.Data hasil penelitian terhadap hasil belajar siswa pada kedua kelas sampel dianalisis menggunakan

“uji t”. Untuk itu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas untuk menentukan sampel terdistribusi

normal atau tidak dan memiliki varians yang homogen atau tidak. Setelah itu baru dilakukan uji hipotesis.

Uji normalitas untuk data dari kedua kelas sampel digunakan Uji Liliefors.. Uji normalitas melalui uji

Liliefors ini dilakukan dengan membandingkan nilai L0 dan Ltabel yang ditentukan pada taraf nyata 0,05 ,

untuk lebih jelasnya tertera pada Tabel 6.

Tabel.6. Hasil Uji Normalitas Data Tes Akhir Kelas Sampel

Kelas Sampel N Α L0 Ltabel Keterangan

Eksperimen 20 0,05 0,1015 0,19 Normal

Kontrol 20 0,05 0,1251 0,19 Normal

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa kedua kelas sampel memiliki nilai L0 yang lebih kecil

dibandingkan nilai Ltabel.Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelas terdistribusi normal.

Uji homogenitas data dilakukan dengan uji F. Uji ini bertujuan untuk melihat apakah kedua kelas

sampel memiliki variansi yang homogen atau tidak. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan harga

Fhitung dengan Ftabel yang terdapat dalam tabel distribusi dengan taraf signifikan 5% dan dk pembilang = n1 – 1

serta dk penyebut = n2 – 1, lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Uji Homogenitas Kelas Sampel

Kelas Sampel N α Fhitung Ftabel Keterangan

Eksperimen 20

0,05 1,27 1,84 Variansi

homogen Kontrol 20

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa Fhitung< Ftabel. Hal ini menunjukkan bahwa data mempunyai

variansi yang homogen.

Page 157: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

152

Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, diperoleh bahwa data dari kedua kelas sampel

terdistribusi normal dan memiliki variansi yang homogen, sehingga pengujian hipotesis yang dapat

digunakan adalah “Uji t” dan data hasil uji hipotesis terangkum pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Uji Hipotesis Tes Akhir

Kelas Sampel thitung ttabel Kesimpulan

Eksperimen

1,84 1,68 Hipotesis diterima

Kontrol

Tabel 8 terlihat bahwa harga thitung> ttabel, maka disimpulkan H0 ditolak dan hipotesis alternatif diterima

pada taraf nyata 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan LKS berbasis

inkuiri terbimbing lebih tinggi secara signifikan daripada hasil belajar siswa yang tanpa menggunakan LKS

berbasis inkuiri terbimbing pada materi asam basa di kelas XI IPA SMAN 1 Batusangkar.

PEMBAHASAN

Berdasarkandatahasil penelitian dan analisis data, diperoleh bahwa penggunaan LKS berbasis inkuiri

terbimbing memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil belajar siswa pada kedua kelas sampel.Hasil

belajar pada kelas eksperimen dengan menggunakan lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing lebih

tinggi daripada kelas kontrol yang menggunakan lembar kerja biasa yang bukan berbasis inkuiri terbimbing.

Lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing disusun berdasarkan tahapan pada strategi inkuiri

terbimbing yaitu, orientasi, eksplorasi, pembentukan konsep, aplikasi, dan penutup (Hanson, 2005:1), LKS

memuat pengetahuan pra syarat atau orientasi, informasi dan model berupa gambar serta tabel, pertanyaan

kunci, soal dan latihan. Melalui lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing, siswa dapat menemukan

konsep setelah menjawab pertanyaan kunci. Pertanyaan kunci dapat dijawab melalui eksplorasi model

maupun informasi. Dalam menjawab pertanyaan kunci inilah siswa berdiskusi sesamanya dan guru dapat

mengatur serta membimbing jalannya diskusi yang berarti pembelajaran berpusat pada siswa.Hal ini sesuai

dengan kelebihan dari strategi inkuiri terbimbing yang di ungkapkan oleh Suyanti (2010:51).

Pembelajaran dengan menggunakan lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing dapat menarik minat

siswa dalam belajar, karena pada lembar kerja berbasis inkuiri terbimbing terdapat model yang berupa

gambar dengan ilustrasi makroskopis maupun mikroskopis yang disertai dengan warna yang menarik bagi

siswa. Selama kegiatan diskusi berlangsung, siswa antusias untuk menjawab pertanyaan kunci dan juga

dalam mengerjakan soal-soal maupun latihan. Antusias dari siswa juga terlihat pada saat akhir pelajaran,

yaitu saat konfirmasi dari guru. Siswa berlomba-lomba untuk mengemukakan kesimpulan yang mereka

dapatkan mengenai konsep asam basa.

Pembelajaran pada kelas kontrol, digunakan lembar kerja siswa yang bukan berbasis inkuiri terbimbing.

Lembar kerja siswa ini hanya berisi ringkasan materi dan soal-soal yang tidak membimbing siswa untuk

dapat menemukan suatu konsep. Soal yang terdapat pada LKS ini tidak berkaitan antara satu soal dengan soal

berikutnya. Dalam menjawab soal-soal tersebut siswa berdiskusi dalam kelompok dan dengan menggunakan

buku sumber lain disamping LKS. Peranan guru dalam proses ini bukan menyampaikan konsep, akan tetapi

membimbing dan mengarahkan siswa untuk menjawab soal-soal berdasarkan konsep materi asam basa.

Tercapainya tujuan pembelajaran terlihat pada hasil belajar yang diperoleh oleh siswa pada kedua kelas

sampel. Hasil yang didapatkan berdasarkan tes akhir yang telah diberikan menunjukkan perbedaan pada

kedua kelas. Perbedaan tersebut terlihat pada soal C3 yaitu soal penerapan atau aplikasi, yang dijawab lebih

banyak oleh siswa pada kelas eksperimen daripada kelas kontrol. Tingkat ketuntasan dan nilai yang diperoleh

oleh siswa pada kelas ekperimen jauh lebih tinggi dibandingkan kelaskontrol dan nilai KKM yang

ditetapkan yaitu 78. Jadi, hasil belajar siswa dengan menggunakan lembar kerja berbasis inkuiri terbimbing

lebih tinggi secara signifikan dari pada hasil belajar siswa yang menggunakan lembar kerja yang bukan

berbasis inkuiri terbimbing pada materi asam basa pada kelas XI SMA Negeri 1Batu sangkar.

Page 158: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

153

KESIMPULAN

Penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasichemistry triangle untuk materi asam

basa memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa yang menggunakan

LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle lebih tinggi secara signifikan

padataraf kepercayaan 95% (α 0,05) dibandingkan hasil belajar siswa yang menggunakan LKS biasa (tanpa

inkuiri terbimbing).

SARAN

Dari hasil penelitian dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut.

1. Kepada guru kimia disarankan untuk menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbingdengan representasi

chemistry trianglesebagai salah satu sumber belajaryang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 dan

untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi asam basa.

2. Dalam penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle ini sebaiknya

strategi pembelajaran yang digunakan adalah sterategi inkuiri terbimbing.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S. 2009. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Citra.

Bilgain I. 2009. The Effect Of Guided Inquiry Incorporating a Cooperative Learning Approach ON

University Student Achievement Of Acid And Bases Concep And Attitude Toward Guided Inquiry

Instruction.

Brady JE. 2010. Chemistry The Molecular Nature of Matter 6th Edition. John Wiley and Sons : New York.

Gilbert JK, Treagust D. 2009, Introduction: Macro, Submicro, and Symbolic Representaions and the

Relationship Between Them: Key Models in Chemistry Education (ed), Multiple Representaions in

Chemical Education, Springer.

Hamalik O. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Hanson DM.2006.Instructor’s Guided to Process-Oriented Guided-Inquiry Learning. Lisle, IL: Pacific Crest.

Hanson DM. 2005. Designing Process-Oriented Guided-Inquiry Activities. In Faculty Guidedbook: A

Comprehensive Tool For Improving Faculty Performance, ed. S. W.Beyerlein and D. K. Apple. Lisle,

IL: Pacific Crest.

Kemendikbud. 2013. Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA).

Balitbang: Kemendikbud.

Kuhlthau CC, Maniotes LK, Caspari AK. 2007. Guided Inquiry: Learning in the 21st Centiry. London:

Libraries Unlimited Westpor.

Lufri. 2007. Metodologi Penelitian. Padang: UNP Press.

Putri I. 2013. Pengembangan Bahan Ajar dalam bentuk Lembar Kerja Siswa (LKS) berbasis Inkuiri

Terbimbing pada Materi Asam Basa untuk Pembelajaran Kimia Kelas XI Tingkat SMA/MA. Padang:

SkripsiJurusan Kimia FMIPA-UNP.

Rostianingrum HA. 2011. “Pengembangan Prosedur Praktikum Kimia pada Topik Indikator Asam Basa

Alami yang Layak Diterapkan di SMA”. Jurnal Skripsi. FMIPA UPI Bandung.

Straumanis A. 2010. Process Oriented Guided Inquiry Learning.

Sudijono A. 2007. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito Bandung.

Sudjana N. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Suyanti D. 2010. Strategi Pembelajaran Kimia. Yogyakarta: Graha lmu.

Page 159: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

154

PENGARUH PENGGUNAAN LKS BERBASIS LEARNING CYCLE 7E TERHADAP

HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME KONSEP

SISTEM PEREDARAN DARAH

Nengsih Juanengsih Prodi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan IPA

FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

[email protected]

Zulfiani dan Ina Septi Wijaya Prodi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan IPA

FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

[email protected], [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan LKS berbasis learning cycle

7e (elicit, engage, explore, explain, elaborate, evaluate, dan extend) terhadap hasil belajar

siswa pada pembelajaran konstruktivisme konsep sistem peredaran darah. Penelitian ini

dilakukan di SMAN 33 Jakarta tahun ajaran 2013/2014. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan desain pre-test and post-test group

design. Subjek penelitian ini berjumlah 39 siswa. Instrumen penelitian yang digunakan adalah

tes hasil belajar yang berupa tes objektif berbentuk pilihan ganda yang telah diuji validitas dan

reliabilitasnya. Hasil penelitian menunjukkan hasil rerata nilai pengerjaan oleh siswa pada LKS

1 sebesar 88,02, LKS 2 sebesar 86,50 dan LKS 3 sebesar 89,48. Adapun hasil belajar siswa

pada pretes sebesar 38,29 dan postes sebesar 84,19, dengan N-Gain 0,74 (kategori tinggi).

Berdasarkan hasil uji paired sample t-test menunjukkan bahwa sig-2 tailed 0,000 < 0,050 yang

berarti terdapat pengaruh penggunaan LKS berbasis learning cycle 7e terhadap hasil belajar

siswa.

Kata Kunci: LKS, learning cycle 7e, hasil belajar.

PENDAHULUAN

Mata pembelajaran biologi merupakan salah satu cabang dari pembelajaran IPA. Mata pelajaran biologi

dikembangkan melalui kemampuan berpikir analitis, induktif, dan deduktif untuk menyelesaikan masalah yang

berkaitan dengan peristiwa alam sekitar. Oleh karena itu pembelajaran biologi seharusnya diajarkan dengan

model pembelajaran yang memberi kesempatan siswa untuk berpikir sendiri dan mengembangkan

pengetahuannya.

Belajar biologi bukan hanya sekedar tahu teori dan hafalan saja, lebih jauh siswa diharapkan mampu

memahami konsep-konsep yang terkandung di dalamnya dan bukan hanya itu, diharapkan konsep yang

dipahami siswa juga bertahan dalam ingatan jangka panjang. Namun kenyataannya pembelajaran biologi

banyak yang masih disampaikan dengan cara yang konvensional. Beberapa peneliti sudah mengobservasi

kegiatan pembelajaran biologi di kelas, salah satu peneliti yang mengobservasi kegiatan pembelajaran

tersebut yaitu Dewi Setyawati Nur Fadhillah, yang melakukan penelitian di SMAN 5 Surakarta. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar waktu belajar siswa di kelas dihabiskan untuk

mendengarkan ceramah guru, menghafalkan materi, dan mencatat materi. Pembelajaran dengan model

belajar konvensional memberikan dampak yang kurang efektif, yaitu siswa cenderung pasif dan hanya

menerima materi saja kemudian menghafalkan materi tersebut (Fadhillah, 2011). Hal tersebut dapat

tergambar ketika mereka ditanyakan materi yang sudah dipelajari terkadang mereka diam dan lupa akan

konsep-konsep yang telah dipelajari. Ini membuktikan bahwa ingatan yang melekat pada otak mereka hanya

ingatan jangka pendek, karena hanya di transfer materi oleh guru.

“Belajar kognitif adalah belajar dengan tujuan membangun struktur kognitif siswa” (Suyono &

Hariyanto, 2012). Aspek kognitif siswa merupakan aspek yang memberikan pengaruh yang besar dalam

keberhasilan proses pembelajaran. Aspek kognitif akan mengarah pada kecakapan hidup siswa.

Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan aspek kognitif dapat disiasati dengan cara belajar yang

Page 160: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

155

aktif dan melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran yang aktif guru akan lebih

banyak memberikan siswa kebebasan untuk menemukan permasalahan sendiri dan menyelesaikannya,

sehingga akan terbentuk skema pengetahuan mereka sendiri.

Selain solusi tersebut, guru juga dapat mengembangkan aspek kognitif siswa dengan cara menerapkan

model pembelajaran di kelas yang dapat merangsang pengetahuan awal siswa. Salah satu pembelajaran

yang sesuai dengan konsep tersebut, yaitu pembelajaran konstruktivisme. Melalui pembelajaran

konstruktivisme siswa dapat membangun pengetahuan mereka sendiri. Ketika belajar siswa diharapkan

mampu mengaitkan suatu konsep yang diajarkan dengan kenyataan pada pengalaman mereka, dengan

demikian siswa lebih mudah memahami konsep yang diajarkan oleh guru. Jean Piaget merupakan pencetus

filsafat konstruktivisme. Model konstruktivisme berpandangan bahwa proses belajar diawali dengan

terjadinya interaksi antara konsep awal siswa dengan fenomena yang baru didapat, sehingga diperlukan

perubahan struktur kognitif untuk mencapai keseimbangan. Salah satu model pembelajaran dengan

pendekatan konstruktivisme yaitu pembelajaran dengan model learning cycle. Pembelajaran learning cycle

sendiri pada awalnya memang merupakan model pembelajaran dikembangkan dalam kurikulum

pembelajaran sains. Pada awalnya learning cycle hanya terdiri dari tiga tahap, kemudian berkembang

menjadi lima tahap, dan sekarang berkembang lagi menjadi tujuh tahap.

Learning cycle memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

Pembelajaran model ini akan dapat menumbuhkan kegairahan belajar siswa dan meningkatkan motivasi

belajar siswa. Model pembelajaran ini dapat mempermudah siswa untuk mengingat kembali materi

pelajaran yang telah mereka dapatkan sebelumnya.

Guru memiliki posisi yang menentukan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan, yang

dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Bahan pengajaran merupakan salah satu komponen sistem

pembelajaran yang memegang peranan penting dalam membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran.

Bahan ajar sebaiknya dirancang sedemikian rupa dengan memperhatikan beberapa komponen dalam

pembelajaran.

Materi pembelajaran harus diidentifikasi secara tepat sehingga dapat memudahkan guru dalam

menentukan pendekatan, strategi, metode, model, media dan penilaiannya. Dengan rancangan pembelajaran

yang baik, maka proses pembelajaran akan berlangsung efektif, efisien, menarik, dan hasil pembelajaran

menjadi bermutu.

Pada pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dikembangkan sesuai dengan teori belajar

konstruktivistik, siswa harus diperhatikan secara sistematis, kedisiplinan kelas perlu dijaga, kebutuhan

individu siswa perlu ditentukan dan komunikasi guru-murid harus disediakan oleh guru. Dalam

menciptakan kondisi pembelajaran tersebut, guru dapat memanfaatkan Lembar Kerja Siswa (LKS). LKS

adalah bahan pengajaran yang efektif dalam penerapan prinsip-prinsip teori belajar konstruktivis. LKS

didefinisikan sebagai alat dasar yang berisi langkah-langkah proses yang diperlukan dan membantu siswa

untuk mengatur pengetahuan dan pada saat yang bersamaan memberikan partisipasi penuh dari seluruh

kelas dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu, LKS memberikan panduan dan menawarkan solusi untuk

masalah yang muncul dalam proses pembelajaran. LKS juga memungkinkan siswa untuk berpartisipasi

dalam proses belajar aktif dan meningkatkan prestasi siswa (Celikler, 2010).

LKS yang digunakan saat ini masih ringkasan materi dan soal-soal. Sebenarnya sudah banyak LKS yang

diterbitkan dan memenuhi karakteristik pembelajaran konstruktivisme, namun guru tidak memanfaatkan

dan memaksimalkan kegiatan yang terdapat di LKS dan hanya menyuruh siswa mengerjakan soal-soalnya

saja. Seharusnya guru dapat memaksimalkan fungsi LKS tersebut dalam pembelajaran. LKS yang

digunakan di sekolah biasanya dibeli melalui penerbit, padahal LKS dapat dibuat dan dikembangkan oleh

guru, disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, kondisi lingkungan belajar, dan standar kompetensi

dan kompetensi dasar. Dengan demikian LKS yang dibuat guru akan lebih tepat sasaran dalam mencapai

tujuan pembelajaran.

LKS yang ada saat ini jarang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengkonstruk

pengetahuannya sendiri. Model learning cycle dirasa cocok diterapkan dalam LKS, karena model

pembelajaran learning cycle sesuai dengan teori konstruktivisme, selain itu model pembelajaran learning

Page 161: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

156

cycle juga membantu berpikir siswa dari berpikir abstrak ke konkrit. Dengan dimasukkannya model

pembelajaran learning cycle dalam LKS diharapkan dapat membantu siswa untuk membangun

pengetahuannya sendiri melalui fenomena dan pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam LKS. Oleh karena

itu dalam penelitian ini akan dikaji penggunaan LKS berbasis learning cycle, yang menggunakan

pendekatan konstruktivisme dengan model learning cycle.

Sistem peredaran darah merupakan salah satu konsep yang dipelajari pada semester ganjil kelas XI

SMA. Marlina menjelaskan bahwa konsep sistem peredaran darah memuat materi mengenai jantung,

pembuluh darah, darah, peredaran darah, dan penyakit pada sistem peredaran darah. Dalam bab ini siswa

mengalami kesulitan mengidentifikasi penggolongan darah dan mekanisme transfusi darah selain itu pada

umumnya bahasa latin yang masih asing terdengar oleh siswa (Marlina, 2011). Di dalam Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) termuat Kompetensi Dasar (KD) yang harus dicapai siswa pada konsep

sistem peredaran darah, yaitu menjelaskan keterkaitan antara struktur, fungsi, dan proses serta kelainan atau

penyakit yang dapat terjadi pada sistem peredaran darah.

Bila dilihat berdasarkan KD tersebut, siswa dituntut untuk menjelaskan keterkaitan fungsi dan proses.

“Materi pembelajaran biologi, khususnya tentang Sistem Peredaran Darah Pada Manusia, memiliki

karakteristik kompleks dan abstrak”. Konsep abstrak tersebut antara lain struktur bagian jantung,

mekanisme proses kerja jantung, peredaran darah pada tubuh, dan proses jantung memompa darah. Materi-

materi tersebut sulit diamati secara langsung, oleh karena itu untuk memudahkan siswa mengkonkritkan hal

yang abstrak dapat dipakai model pembelajaran learning cycle, agar penerapannya lebih mudah dibantu

dengan LKS.

Tahapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E

Menurut Bently, Ebert II, dan Ebert model learning cycle 7e terdiri dari 7 tahap, yaitu elicit, engage,

explore, explain, elaborate, evaluate, dan extend. Elicit merupakan perluasan dari tahap engage, sedangkan

extend diperluas dari tahap elaborate dan evaluate. Ketujuh tahap tersebut digambarkan sebagai berikut ini

(Bently, 2007):

Gambar 1. Tahapan Learning Cycle 7e

Menurut Eisenkraft terdapat tujuh tahap pembelajaran dalam learning cycle 7e , ketujuh tahapan

dijabarkan di bawah ini (Eisenkraft, 2003):

1) Elicit, yaitu fase yang dimulai dengan pertanyaan mendasar terkait pelajaran yang akan dipelajari. Fase

ini bertujuan untuk mengetahui sampai dimana pengetahuan awal siswa, dengan memberikan pertanyaan-

pertanyaan yang merangsang pengetahuan awal siswa agar muncul respon pemikiran siswa.

2) Engage, yaitu fase dimana guru menarik perhatian siswa untuk belajar dan memastikan siswa sudah siap

untuk belajar. Guru memberi tahu siswa tentang ide dan rencana pembelajaran sekaligus memotivasi

siswa agar lebih berminat untuk mempelajari konsep dan memperhatikan guru dalam mengajar.

Page 162: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

157

3) Explore, yaitu fase yang memberikan kesempatan siswa mengamati, mencatat data, merencanakan

percobaan, menginterpretasikan hasil percobaan dan mengorganisasikan temuan.

4) Explain, yaitu fase dimana siswa diperkenalkan pada model, hukum-hukum dan teori. Siswa merangkum

hasil penyelidikan pada teori/konsep baru. Guru membantu siswa megeneralisasikan hasil penyelidikan.

5) Elaborate, yaitu fase yang memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan. Fase

ini menyediakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan contoh dari pelajaran yang

dipelajari, untuk diselesaikan.

6) Evaluate, yaitu fase untuk mengevaluasi hasil pembelajaran yang telah dilakukan.

7) Extend, yaitu fase yang bertujuan untuk memperluas konsep dan mengingatkan guru pentingnya transfer

pembelajaran. Guru dapat meyakinkan bahwa pengetahuan diterapkan oleh siswa dan tidak terbatas pada

elaborasi sederhana.

Adapun permasalahan yang ingin dicari jawaban dalam penelitian ini adalah Apakah terdapat pengaruh

Penggunaan LKS Berbasis Learning Cycle 7e Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Pembelajaran

Konstruktivisme Konsep Sistem Peredaran Darah?

METODE

Metode dalam penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi experiment). Desain penelitian ini

menggunakan Pre-test and Post-test design. Sebelum diberikan perlakuan, pada kelompok eksperimen

diberikan pretest untuk mengetahui kemampuan dasar siswa pada konsep sistem peredaran darah. Kemudian

diberikan perlakuan pembelajaran dengan menggunakan LKS berbasis learning cycle 7e. Setelah diberikan

perlakuan, diberikan posttest untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa terhadap konsep sistem

peredaran darah. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA 1 semester 1 SMAN 33 Jakarta berjumlah 39

siswa.

Tabel 1. Desain LKS Berbasis Learning Cycle 7e

No Tahap/Fase Kegiatan pada LKS

1 Elicit Pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait materi yang akan dipelajari untuk

mengetahui sejauh mana pengetahuan awal siswa, sehingga muncul respon

pemikiran awal siswa.

2 Engage Artikel maupun kegiatan yang dapat menimbulkan rasa penasaran dan minat

belajar siswa pada materi yang akan dipelajari.

3 Explore Kegiatan penyelidikan baik pengamatan maupun percobaan, yang

memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji hipotesis dan

mencatat data percobaan. Kegiatan penyelidikan yang dilakukan, antara lain:

uji golongan darah, mengamati anatomi dan cara kerja jantung manusia

melalui video, dan penghitungan denyut nadi.

4 Explain Kegiatan diskusi untuk menjelaskan konsep-konsep dan definisi-definisi

awal yang mereka dapatkan selama fase eksplorasi. Pada LKS terdapat

pertanyaan yang membimbing siswa untuk berdiskusi dan menyimpulkan

konsep/definisi.

5 Elaborate Pertanyaan-pertanyaan maupun permasalahan-permasalahan yang berkaitan

dengan contoh dari konsep yang dipelajari untuk menerapkan konsep yang

telah diperoleh siswa.

6 Evaluate Pertanyaan-pertanyaan untuk menilai/mengevaluasi pembelajaran yang telah

dilakukan, sesuai dengan indikator pembelajaran.

7 Extend Pertanyaan-pertanyaan yang dapat memperluas konsep yang telah diperoleh

siswa, sehingga siswa dapat mencari hubungan konsep yang mereka pelajari

dengan konsep lain yang sudah atau belum mereka pelajari.

Page 163: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

158

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes (pre-test dan post-test) dan non

test (lembar observasi). Tes digunakan untuk mengukur hasil belajar kognitif, meliputi pengetahuan dan

pemahaman konsep siswa. Tes yang digunakan berupa soal pilihan ganda. Lembar observasi digunakan

untuk mengamati proses belajar siswa dan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Data berupa hasil

pretes dan postes kemudian diolah menggunakan uji statistik paired sample t-test dengan menggunakan

program SPSS 20 sedangkan data berupa hasil observasi dideskripsikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pengerjaan LKS berbasis learning cycle 7e pada konsep sistem peredaran darah dibagi ke dalam 3 LKS,

yang dibagi berdasarkan sub bab yang terdapat pada sistem peredaran darah. LKS 1 berisi materi mengenai

darah. LKS 2 berisi meteri mengenai alat-alat peredaran darah. LKS 3 berisi materi mengenai sistem limfatik

dan gangguan atau kelainan yang terjadi pada sistem peredaran darah. LKS berbasis learning cycle 7e

memiliki 7 tahap pembelajaran. Pada LKS berbasis learning cycle 7e terdapat 7 tahap, diawali dengan tahap

elicit dan diakhiri dengan tahap extend. Hasil penilaian pengerjaan LKS dengan menggunakan LKS berbasis

learning cycle 7e disajikan pada tabel 2 di bawah ini:

Tabel 2. Hasil Penilaian LKS Learning Cycle 7e

Data

Hasil/Nilai LKS

LKS 1 LKS 2 LKS 3

Maksimum 98,63 96,15 97,40

Minimum 73,97 70,51 68,83

88,02 86,50 89,48

SD 5,61 6,80 7,28

Tabel 3. Data Pre-test dan Post-test

Deskripsi Pre-test

Pretes postes

Minimum 16,67 66,67

Maximum 66,67 96,67

Mean 38,29 84,19

SD 11,18 9,63

Tabel 4. Hasil Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig.

(2-

tailed)

Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence Interval

of the Difference

Lower Upper

Pair 1

pretes

-

postes

-45,89718 13,12361 2,10146 -50,15136 -41,64300 -21,841 38 ,000

Berdasarkan tabel 4 di atas diperoleh sig(2-tailed) adalah 0,000 < 0,05 yang berarti bahwa Ho ditolak.

Page 164: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

159

Pembahasan

Hasil uji hipotesis pada hasil belajar siswa (post-test) menunjukkan kesimpulan bahwa H0 ditolak.

Ditolaknya H0 menjelaskan bahwa terdapat pengaruh penggunaan LKS berbasis learning cycle 7e terhadap

hasil belajar siswa pada pembelajaran konstruktivisme konsep sistem peredaran darah. Rata-rata hasil belajar

siswa kelas eksperimen yang diajarkan dengan dengan LKS berbasis learning cycle 7e berada dalam

kategori tinggi (84,19). Hasil tersebut menjelaskan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan LKS

berbasis learning cycle 7e hasil belajarnya sangat baik.

Pada proses pembelajaran terdapat 3 LKS yang dikerjakan. Pembagian LKS ini disesuaikan dengan sub

bab pada materi sistem peredaran darah manusia. LKS 1 masing-masing LKS memuat materi mengenai

darah, yang terdiri dari komponen dan fungsi darah, penggolongan darah, dan transfusi darah. LKS 2 memuat

materi mengenai alat-alat peredaran darah, yang terdiri dari jantung, pembuluh darah, dan macam-macam

peredaran darah. LKS 3 memuat materi mengenai sistem limfatik dan gangguan/kelainan yang terjadi pada

sistem peredaran darah manusia.

Pada kelas eksperimen proses pembelajaran dilakukan dengan menggunakan LKS berbasis learning

cycle 7e. Pembelajaran dimulai dengan pengerjaan LKS tahap elicit. Pada tahap ini peneliti menyediakan

beberapa pertanyaan mendasar terkait materi yang akan dipelajari untuk mengetahui sampai dimana

pengetahuan awal siswa, sehingga muncul respon pemikiran siswa. Selanjutnya terdapat tahap explore,

explain, elaborate, dan evaluate. Pada tahap akhir LKS berbasis learning cycle 7e, terdapat tahap extend.

Pada tahap extend siswa memperluas konsep yang sudah mereka dapatkan, selain itu siswa juga mencari

hubungan konsep yang mereka pelajari dengan konsep lain yang sudah atau belum mereka pelajari.

Model pembelajaran learning cycle 7e merupakan pengembangan dari model learning cycle 5e, seperti

yang dijelaskan oleh Eisenkraft dalam Ebert II, Ebert, dan Bentley, versi siklus belajar (learning cycle)

bermunculan dengan fase yang berkisar dari 3 ke lima (5e) sampai tujuh (7e). Dengan demikian,siswa yang

diajarkan dengan LKS berbasis learning cycle 7e memiliki respon pemikiran awal dan membangun persepsi

mereka pada tahap awal pembelajaran sambil mengingat/membangkitkan konsep yang sudah ada melalui

tahap elicit. Selain itu, pada kelas eksperimen yang diajarkan dengan LKS berbasis learning cycle 7e, siswa

memiliki kesempatan yang lebih untuk memperluas pengetahuannya dan mencari hubungan konsep yang

telah mereka dapatkan pada proses pembelajaran dengan konsep lain yang berhubungan, pada tahap extend

yang mereka kerjakan di rumah dan mencari referensi-referensi yang berkaitan.

Pada LKS berbasis learning cycle 7e terdapat tahap elicit yang merangsang pengetahuan awal siswa agar

muncul respon pemikiran siswa. Pada akhir LKS berbasis learning cycle 7e juga terdapat tahap extend yang

merangsang siswa untuk mencari hubungan konsep yang mereka pelajari dengan konsep lain yang sudah atau

belum mereka pelajari. Kedua tahap tersebut cukup memberikan dampak.

Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru diamati melalui lembar observasi. Berdasarkan hasil

observasi, terlihat bahwa pada tahap elicit guru memberikan pertanyaan mendasar pada LKS yang

berhubungan dengan materi yang akan dipelajari. Pada tahap engage, hasil observasi menunjukkan bahwa

guru membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa melalui artikel/kegiatan pada LKS. Pada tahap explore,

hasil observasi menunjukkan bahwa guru memberi waktu siswa untuk melakukan percobaan pada uji

golongan darah dan penghitungan denyut nadi. Guru juga mamfasilitasi siswa untuk melakukan percobaan

dan menyediakan tabel pada LKS untuk mencatat data hasil percobaan. Pada tahap explore pengamatan

anatomi dan cara kerja jantung melalui video, guru memutarkan video, memberi waktu siswa untuk

memperhatikan video, dan menyediakan kolom pada LKS untuk membuat resume video. Pada tahap explain,

hasil observasi menunjukkan bahwa guru membimbing siswa untuk menginterpretasikan hasil percobaan dan

mengarahkan diskusi siswa melalui pertanyaan yang terdapat pada LKS. Pada tahap elaborate, hasil

observasi menunjukkan bahwa guru menyediakan permasalahan baru untuk diselesaikan yang mirip dengan

konsep yang dipelajari. Pada tahap evaluate, hasil observasi menunjukkan bahwa guru melakukan evaluasi

pada keseluruhan fase pembelajaran yang sesuai dengan indikator yang harus dicapai. Pada tahap extend,

hasil observasi menunjukkan bahwa guru memberikan kesempatan untuk mentransfer pengetahuan siswa

pada LKS dan memberikan pertanyaan pada LKS yang berkaitan dengan konsep lain.

Page 165: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

160

Observer juga mengamati proses belajar siswa di kelas, pada setiap pertemuan. Hasil observasi tersebut

menunjukkan bahwa partisipasi siswa dalam proses pembelajaran menggunakan LKS lebih dari 50%. Ini

berarti bahwa hampir seluruh siwa berpartisipasi pada saat proses pembelajaran, dalam hal ini pada saat

pengerjaan LKS.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa LKS berbasis learning cycle 7e memberikan pengaruh pada

proses pembelajaran siswa dan hasil belajarnya. Hasil tersebut relevan dengan penelitian Nuhoglu

dan

Yalcin (2006) yang menunjukkan bahwa model learning cycle membantu siswa untuk belajar secara efektif

dan mengatur pengetahuan dalam cara yang berarti. Model ini dapat membuat pengetahuan jangka panjang.

Siswa menjadi lebih mampu menerapkan pengetahuan mereka di bidang lain di luar konteks aslinya.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh penggunaan LKS berbasis

learning cycle 7e pada pembelajaran konstruktivisme konsep sistem peredaran darah.

SARAN

Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, khususnya kepada para guru sebagai orang yang langsung

berinteraksi dengan siswa disarankan untuk membuat dan memilih lembar kegiatan siswa (LKS) yang sesuai

dengan kebutuhan siswa dan indikator pembelajaran. Dengan demikian tujuan pembelajaran akan tercapai

dengan lebih efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Cet XIV. Jakarta: Rineka Cipta.

Bentley, Michael L, et al. 2007. Teaching Contructivist Science, K-8: Nurturing Natural Investigators in The

Standards-based Classroom. United States of America: Corwin Press.

Celikler D. 2010. The Effect of Worksheets Developed for the Subject of Chemical Compounds on Student

Achievement and Permanent Learning. The International Journal of Research in Teacher Education,

1.

Ebert II, Edward S, et al. 2011. The educator’s Field Guide: From Organization to Assessment (and

Everything in Between). United States of America: Corwin Presss.

Eisenkraft A. 2003. Expanding The 5E Model: A proposed 7E Model Emphasized “Transfer of Learning”

and The Importance of Eliciting Prior Understanding. National Science Teacher Association.

Fadhillah DSN. 2011. Hasil Belajar Biologi Melalui Penerapan Metode Talking Stick dalam Model Learning

Cycle Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa di SMA Negeri 5 Surakarta. Jurnal Pendidikan Biologi,

Tidak dipublikasikan.

Marlina L. 2011. “Pengaruh Model Cooperative Learning Teknik Think-Pair-Share Terhadap Hasil Belajar

Biologi Siswa pada Konsep Sistem Sistem Peredaran Darah”, Skripsi pada Sarjana UIN Syarif

HIdayatullah Jakarta: Tidak dipublikasikan.

Nuhoglu H,

Yalcin N. 2006. The Effectiveness of The Learning Cycle Model to Increase Students’

Achievement In The Physics Laboratory. Journal of Turkish Science Education, 3.

Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. 2006. Jakarta: Badan Standar Nasional

Pendidikan.

Suyono H. 2012. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Cet III. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Cet I. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Page 166: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

161

ANALISIS LITERASI LINGKUNGAN SISWA PADA PENGGUNAKAN BAHAN AJAR

BUKU SUPLEMEN BERBASIS PENDIDIKAN LINGKUNGAN

Irzaqotul Inayah

Pendidikan kimia, fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan literasi lingkungan pada siswa terhadap

penggunaan bahan ajar buku suplemen berbasis pendidikan lingkungan. Penelitian ini tergolong

penelitian deskriptif kuantitatif yang dilakukan melalui tahapan pembuatan bahan ajar buku

suplemen yang diintegrasikan pendidikan sebagai media pembelajaran yang kemudian

diimplementasikan kepada siswa dan menganalisis kemampuan literasi lingkungan yang dimiliki

oleh siswa. Kemampuan literasi lingkungan yang diukur meliputi tiga aspek yaitu knowledge

(pengetahuan), attitude (sikap) dan skill (keahlian). Pada tahap pembuatan bahan ajar yang

digunakan, telah divalidasi oleh dua pakar dari akademisi dan praktisi. Jumlah sampel sebanyak 39

siswa kelas X-1 dari sekolah SMAN 11 Tangerang. Berdasarkan analisis kamampuan literasi

lingkungan siswa diperoleh hasil rata-rata pada aspek pengetahuan tentang lingkungan (knowledge)

82,21%, sikap (attitude) terhadap lingkungan 69,56%, keahlian menentukan keputusan terhadap

lingkungan (skill) 75,02%. Dari hasil yang diperoleh dapat dikatagorikan rata-rata pencapaian

literasi lingkungan siswa dengan kriteria baik. Dan dapat disimpulkan kemampuan literasi

lingkungan dapat didukung oleh penggunaan bahan ajar buku suplemen berbasis pendidikan

lingkungan khususnya pada aspek pengetahuan. Selain itu respon siswa terhadap penggunaan

bahan ajar buku suplemen untuk literasi lingkungan sangat positif

Kata Kunci: Buku Suplemen, Pendidikan Lingkungan, Literasi Lingkungan

PENDAHULUAN

Tantangan pendidikan saat ini bagi bangsa Indonesia adalah salah satunya bagaimana siswa dapat

menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diajarkan dengan realita kehidupan sehari-hari, sehingga pendidikan

sekolah benar-benar dapat dijadikan proses pengembangan kemampuan akademik serta karakter yang baik bagi

lingkungan sekitar dan dalam bermasyarakat. Sebagaimana kita ketahui saat ini negara menggunakan minyak

bumi, batubara dan gas sebagai sumber energi utama yang menimbulkan banyak pencemaran bagi lingkungan,

serta masih banyaknya siswa yang kurang sadar terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan seperti

penggunaan energi yang kurang hemat, malasnya memakai masker saat di jalan. Sehingga dapat dibuat tanggapan

hipotesis bahwa pengaturan lingkungan adalah pada dasarnya seiring dengan pengaturan aktifitas manusia.

Nurmalahayati (2011) menuturkan pendidikan kimia yang diharapkan meliputi tujuan dari produk, proses,

sikap dan tujuan dari penerapan dari konsep dan teknologi terlihat kehilangan tujuan sepenuhnya, saat ini

pembelajaran sains lebih diarahkan untuk mendapatkan nilai akademik yang tinggi. Salah satunya yaitu upaya

menjadikan pelajar yang berilmu dan sadar akan hubungan dengan lingkungan dan tanggung jawabnya.

Berhubungan dengan pelajaran kimia dan pelajaran pengetahuan alam lainnya, pendidikan lingkungan

adalah penting untuk mendapatkan perhatian sebagai salah satu pendidikan berkelajutan. Konsep pendidikan

lingkungan pertama kali muncul dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Massacusets pada tahun 1969. istilah

ini pertama kali dikemukakan oleh Charles E. Roth pada tahun 1968 sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan

media tentang ketidakpedulian terhadap lingkungan, yaitu “siapakah yang telah mencemari lingkungan”

Page 167: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

162

Selain tentang pengetahuan, pengembangan karakter adalah tujuan pendidikan kimia. Pembangunan

karakter memiliki aspek yang sangat penting dalam hidup bernegara. Salah satu karakter sebagai hamba Tuhan

yang harus ditanamkan oleh peserta didik adalah peka dan cinta terhadap alam dan lingkungan. Karakter peka

terhadap lingkungan dan tanggung jawab sebagai warga negara tersebut dapat dibentuk melalui pendidikan kimia

yang dihubungkan dengan sikap individu yang diimplementasikan terhadap kehidupan dimana mereka tinggal

(Nurmalahayati, 2011).

Wilke (1995) sebagaimana dikutip oleh Mony, menuturkan bahwa pendidikan lingkungan ini meliputi

sebuah pemahaman peran manusia di alam, kepentingan memelihara lingkungan hidup, dan prinsip ilmu dasar

yang dihubungkan dengan pemanfaatan alam. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan yang harus dicapai yaitu

pendidikan yang holistik atau menyeluruh, dimana prinsip dasarnya adalah interaksi atau hubungan antara

individu dengan lingkungannya (relation), tanggung jawab (responsibility) untuk menciptakan dan menjaga

hubungan yang harmonis dan sinergis dengan alam semesta.

Tujuan awal dari pendidikan lingkungan adalah membangun literasi lingkungan pada beberapa tingkatan

kompetensi. Pada dasarnya pengertian litarasi selalu berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.

Roth (1992) menyatakan bahwa literasi lingkungan adalah kemampuan menghayati dan mengartikan sistem

kesahatan lingkungan yang tidak menentu dan mengambil tindakan yang sesuai untuk memelihara, memperbaiki,

atau meningkatkan kesehatan dari sistem tersebut.

Literasi lingkungan dapat dikatakan sebagai kemampuan dimana seseorang mampu melihat dan menjaga

alamnya dari berbagai kemungkinan yang merugikan. Seseorang dapat melihat keadaan alamnya serta bahaya-

bahaya yang mengancamnya, seperti kegiatan eksploitasi alam yang akan menyebabkan ketidakseimbangan alam

seperti banjir, naiknya suhu bumi yang membahayakan lingkungan alam dan kehidupan tersebut. Dengan

berliterasi lingkungan seseorang memiliki rasa peduli, perhatian, motivasi untuk melakukan sebuah tindakan dan

perumusan strategi dalam memelihara alam, lebih jauh lagi dapat diaplikasikan dalam masalah-masalah social

Lalu bagaimanakah tujuan tersebut dapat dicapai, hal tersebut dapat dilaksanakan dengan melihat faktor-

faktor penunjang proses belajar mengajar tersebut. Salah satunya yaitu penggunaan sumber belajar yang tepat.

Sumber belajar akan menentukan darimana para siswa memperoleh pengetahuan, dan saat ini sumber belajar

yang paling umum adalah buku. Pada saat ini pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari buku. Lewat buku

siswa dapat menambah wawasan yang pada akhirnya secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi

pola pikir dan sikapnya. Buku teks pelajaran merupakan salah satu sumber yang berisi bahan yang diperlukan

untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dituntut dalam kurikulum (Sitepu, 2012). Oleh karena itu buku teks

memainkan peran yang penting dalam proses belajar mengajar di kelas (Maya 2011). Lebih lanjut Masnur (2010)

menyatakan lewat membaca buku, anak akan terpengaruh perkembangan minat, sikap sosial, emosi dan

penalarannya sehingga buku dapat mempengaruhi siswa itu sendiri. Dalam teori pedagogi setidaknya ada tiga

unsur yang menunjang tercapainya proses belajar mengajar yaitu pembelajar, pengajar dan materi subjek (Yanti,

2008).

Saat ini pemerintah telah memberikan kebebasan kepada satuan tingkat pendidikan untuk mengembangkan

indikator-indikator serta bahan ajar yang ada dengan rambu-rambu penyusunan dan pengembangannya yang telah

ditentukan oleh pemerintah. Dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 20, diisyaratkan bahwa guru diharapkan

mengembangkan materi pembelajaran. Dengan demikian, guru diharapkan untuk mengembangkan bahan ajar

sebagai salah satu sumber belajar. Menurut pusat kurikulum dan perbukuan nasional terdapat empat jenis buku

yang dugunakan dalam dunia pendidikan yaitu (1) Buku Teks Pelajaran; (2) Buku Pengayaan/buku suplemen;

(3) Buku Referensi; dan (4) Buku Panduan Pendidik.

Buku suplemen berbasis pendidikan lingkungan adalah buku yang digunakan untuk melengkapi materi

pelajaran yang disusun dengan isi yang berhubungan dan berdasarkan tujuan dari pendidikan lingkungan itu

sendiri. Hubungan antara pengembangan buku ajar dan suplemen dengan nilai budaya tertentu yang akan dicapai

dapat dilakukan dengan menggabungkan konsep meteri dengan nilai yang akan diperoleh. Sebagaimana

Page 168: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

163

penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Suja dengan judul “Pengembangan Buku Ajar Sains SMP

Mengintegrasikan Content dan Context Pedagogi Budaya Bali”, dapat meningkatkan kualitas dan proses hasil

belajar. Temuan tersebut sesuai dengan temuan Supriadi (1997) yang menyatakan bahwa tingkat kepemilikan

siswa akan buku berkorelasi positif dan bermakna terhadap prestasi belajar.

Mengingat betapa pentingnya faktor penunjang pencapaian pendidikan lingkungan bagi siswa dan buku

pelajaran dalam menunjang pencapaian pembelajaran, dimana tidak semua buku mencakup nilai tersebut, maka

dalam penelitian ini dilakuakan analisis atau peninjauan seberapa besar kontribusi buku suplemen berbasis

pendidikan lingkungan terhadap pencapaian literasi lingkungan.

Menurut Palmer (1994) dimensi literasi lingkungan yang tertuang dalam pendidikan lingkungan meliputi

tiga aspek yaitu: pengetahuan dan pemahaman (knowledge and understanding), keahlian (skill) dan sikap

(attitude). Semua dimensi tersebut dibagi lagi dalam berbagai indikator yang digabungkan dengan indikator pada

topik minyak bumi. Dalam perencanaan pencapaian kurikulum pendidikan lingkungan dapat dilakukan dari

komponen-komponen yang berhubungan sebagaimana terlihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Hubungan Komponen Pendidikan Lingkungan

Komponen-komponen tersebut dirangkum dan dituangkan dalam bahan ajar buku suplemen dimana siswa

dapat belajar mengenai manfaat dan dampak serta bagaimana menjaga kesehatan dari bahaya minyak bumi yang

berupa pembelajaran dari lingkungan tentang lingkungan dan untuk lingkungan.

METODE

Analisis literasi lingkungan pada penelitian ini dilakukan melalui metode deskriptif dengan pendekatan

kuantitatif. Jumlah sampel yang diambil adalah kelas X-1 SMAN 11 Tangsel. Tahapan penelitian diawali dengan

persiapan dengan pembuatan bahan ajar buku suplemen yang disusun berdasarkan penggabungan konsep minyak

bumi dengan kisi-kisi dan indikator pendidikan lingkungan, selanjutnya pembuatan instrumen penilaian literasi

lingkungan. Tahap pembuatan buku suplemen meliputi anilisis kebutuhan bahan ajar, memahami kriteria

pemilihan sumber belajar, membuat struktur bahan ajar, kemudian dilakukan validasi. Tahap selanjutnya adalah

penerapan bahan ajar buku suplemen dalam proses pembelajaran berdasarkan RPP yang telah disusun. Adapun

teknik pengumpulan data secara keseluruhan dari penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

1. Pengetahuan dan

pemahamankonsep 2. Keahlian/ kemampuan

3. Sikap

Proses

Pembelajaran

Pendidikan di dan melalui lingkungan

Page 169: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

164

Tabel 1. Jenis Data, Sumber Data dan Instrumen

No Jenis data Sumber

data

Teknik

pengumpulan

data

Instrumen

1* Kualitas bahan ajar dan perangkat

penilaian yang dikembangkan

Pakar,

buku

Telaah

dokumen

Pedoman

validasi

2 Penilaian kemampuan literasi

lingkungan

Siswa Soal-soal

literasi

lingkungan dan

pertanyaan

sikap

Tes

Angket

3 Unjuk kerja siswa dalam kegiatan

pembelajaran

Siswa Dokumentasi Rubrik kerja

siswa

*Proses pembuatan buku, sebelum dilaksanakannya pengukuran literasi lingkungan

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa tes literasi lingkungan. Soal-soal disusun berdasarkan

indikator literasi lingkungan yang disesuaikan dengan konsep minyak bumi, yang meliputi tiga aspek yaitu

pengetahuan, sikap dan keahlian terhadap lingkungan, dengan kriteria penilaian sebagai berikut:

Tabel 2. Kriteria Penilaian Indikator Pertanyaan Literasi Lingkungan

No Indikator Pertanyaan dan Skor Maksimum Aspek Literasi Lingkungan

1

Ilmu dasar tentang lingkungan (16 poin)

Mengetahui keadaan lingkungan baik lokal maupun global

Mengetahui dan memahami dari permasalahan lingkungan pada jenjang

yang berbeda yang meliputi pemahaman dari perbedaan pengaruh

diantara alam dan manusia pada permasalahan-permasalahan yang ada

Mengetahui sikap yang harus diambil dan pendekatan untuk

menghadapi masalah lingkungan

2 Pengetahuan tentang masalah-masalah

lingkungan (6 poin)

Memiliki sebuah pengetahuan tentang lingkungan dan kepedulian alam

untuk membangun lingkungan

3 Penghayatan pengetahuan dalam tindakan (12

poin)

Memiliki sebuah sikap yang berhubungan dengan permasalahan

lingkungan dan pemahaman terhadap lingkungan

4 Penghayatan kemampuan dalam tindakan (60

poin)

Bersikap baik terhadap lingkungan dan menyampaikan informasi

kepada sesama tentang tindakan yang baik terhadap lingkungan

5 Pengidentifikasian masalah

(1poin)

Menghubungkan pendapat pribadi dengan pilihan sikap terhadap

permasalahan lingkungan, yang meliputi pembenaran sebuah sikap atau

pencapaian sebelumnya

6

Analisis masalah (10 poin)

Mengevaluasi informasi tentang lingkungan, dari sumber yang berbeda

untuk dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan

7 Perencanaan tindakan (7 poin)

Menyebutkan cara yang sesuai dalam masyarakat untuk membawa

perubahan lingkungan yang lebih baik

Setelah semua data terkumpul dilakukan analisis data berdasarkan persentase pencapaian yang dikonversi

dalam kriteria berikut:

Page 170: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

165

91,0385,26

71,37 70,0972,44

66,15 74,36 67,18

83,52

0

20

40

60

80

100

Pengetahuan Sikap Kemampuan

Perse

nta

se

Kemampuan Literasi Lingkungan

MENGETAHUI KEADAAN LINGKUNGAN ALAM BAIK LOKAL MAUPUN GLOBAL

MENGETAHUI DAN MEMAHAMI PERMASALAHAN PADA TINGKAT YANG BERBEDA

MENGETAHUI SIKAP YANG HARUS DIAMBIL UNTUK MENGHADAPI MASALAH LINGKUNGAN

MEMILIKI PENGETAHUAN TENTANG LINGKUNGAN DAN KEPEDULIAN LINGKUNGAN

MEMILIKI SIKAP YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN

BERSIKAP BAIK TERHADAP LINGKUNGAN DAN MENYAMPAIKAN INFORMASI KEPADA SESAMA

MENGHUBUNGKAN PENDAPAT PRIBADI DENGAN PILIHAN SIKAP TERHADAP PERMASALAHAN LINGKUNGAN

MENGEVALUASI INFORMASI TENTANG LINGKUNGAN, DARI SUMBER YANG BERBEDA

MENYEBUTKAN CARA YANG SESUAI DALAM MASYARAKAT UNTUK MEMBAWA PERUBAHAN LINGKUNGAN YANG LEBIH BAIK

Tabel 3. Pedoman Penilaian Persentase

Ngalim Purwanto (2010)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis kemampuan literasi lingkungan dilakukan setelah para siswa mendapatkan pembelajaran pada

konsep Minyak Bumi yang dihubungkan dengan pendidikan lingkungan, dimana pada penyampaian pendidikan

tersebut dilakukan dengan menggunakan media buku suplemen berbasis pendidikan lingkungan.

Sebelum seseorang dapat bertindak secara sadar terhadap fakta permasalahan lingkungan, seseorang tersebut

harus disadarkan terhadap permasalahan yang benar-benar ada di sekitar mereka, sehingga pengetahuan terhadap

masalah tersebut sebagai prasyarat untuk bertindak.

Berdasarkan hasil pengukuran kemampuan literasi lingkungan diperoleh hasil dengan persentase pada aspek

pengetahuan sebesar 82,21% (baik), aspek sikap sebesar 69,56% (cukup) dan aspek keahlian (kemampuan

kognitif) sebesar 75,02% (cukup). Secara keseluruhan diperoleh hasil pengukuran kemampuan literasi

lingkungan dengan persentase rata-rata sebesar 75,60% (baik). Dengan rincian pada tabel berikut:

Gambar 2. Diagram Batang Pencapaian Aspek-Aspek Literasi Lingkungan

Tingkat penguasaan Predikat

86 – 100%

76 – 85%

60 – 75%

55 – 59%

≤ 54%

Sangat baik

Baik

Cukup

Kurang

Kurang sekali

Page 171: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

166

Pada dimensi pengetahuan (knowledge) ini berisi tentang proses alami yang berlangsung di alam dan

dampak dari kegiatan manusia terhadap lingkungan, sebagai dasar aspek pengambilan keputusan. Siswa

mengetahui hubungan antara indikator pada konsep minyak bumi dengan aspek pendidikan lingkungan dengan

baik dengan pencapaian 82,21%, seperti kegunaan minyak bumi dan keadaan lingkungan mereka saat ini sebagai

akibat dari pengaruh kegiatan manusia serta pemberdayaan alam yang ada. Namun masih terdapat beberapa siswa

yang belum dapat memahami secara keseluruhan, keterkaitan antara satu aspek yang berakibat kepada aspek lain.

Misalnya perubahan suhu yang tidak menentu akibat gas pemanasan global menyebabkan punahnya sebagian

ekosistem dan perkembangan yang tidak terkendali dari ekosistem lainnya.

Berdasarkan data yang diperoleh pada dimensi ini, buku suplemen yang digunakan telah memberikan

informasi yang baik terhadap pencapaian pengetahuan pada pendidikan lingkungan khususnya pada konsep

minyak bumi yang terangkum secara keseluruhan di dalamnya. Hal ini sejalan dengan tujuan dari buku suplemen

berdasarkan PerMenDikNas Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 6 Ayat 3 yang menyatakan bahwa buku suplemen

digunakan untuk menambah pengetahuan dan wawasan peserta didik, khususnya guna pencapaian tujuan

pendidikan. Dari pengetahuan tentang lingkungan tersebut diharapkan dapat menjadi modal awal siswa untuk

lebih memahami lingkungan, sebagaimana Environment Literacy Council mendefinisikan literasi ekologi yang

sebagai hubungan antara makhluk hidup dan pengaruhnya terhadap yang lain sebagai kemampuan untuk bertanya

“kemudian apa?” dan bagaimana untuk hidup di bumi?.

Kegunaan buku suplemen sebagai bacaan bahan pelajaran sangatlah mungkin, sebagaimana penelitian yang

dilakukan oleh Siti Maryam (2012) yang menyatakan bahwa cerita pendek sebagai salah satu dari hasil budaya

dapat dibuat sebagai media atau bahan untuk mengajarkan nilai sosial dan budaya, sehingga buku suplemen dapat

dibuat sebagai media pembawa kebenaran.

Dimensi sikap ini merupakan bagian dari pendidikan untuk lingkungan (education for environment).

Pencapaian paling tinggi aspek literasi lingkungan pada dimensi ini adalah “Memiliki sebuah sikap yang

berhubungan dengan permasalahan lingkungan dan pemahaman terhadap lingkungan” sebesar 72,4%. Siswa

merasa memiliki pemahaman terhadap lingkungan dan dapat mengambil sikap yang baik terhadap permasalahan

lingkungan seperti kegiatan hemat energi listrik. Adapun pada aspek yang lainnya diperoleh persentase yang

lebih rendah. Dari sini dapat terlihat kemampuan yang dirasakan oleh siswa masih belum sama seutuhnya dengan

pencapaian sikap dan tindakan yang mereka miliki. Namun pada hasil penelitian setiap aspek pada dimensi ini

memiliki persentase pencapaian yang tidak terlalu jauh sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan pencapaian

dimensi sikap dengan kriteria cukup.

Pada penilaian dimensi sikap (attitude), siswa menggambarkan masalah-masalah yang ada di dunia nyata

bukan hanya di dunia sekolah. Pengetahuan ini membangun sikap kepedulian mereka dalam melihat keadaan

alam di sekitar lingkungan mereka. Siswa yang memiliki pengalaman dengan permasalahan yang terkenal

menunjukkan reaksi empati yang kuat terhadap alam dalam sebuah perkumpulan (Palmer, 1998). Hal ini

menujukkan siswa yang memiliki pengetahuan tentang permasalahan yang umum mampu menggambarkan

keadaan lingkungannya sebagai rasa kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar. Adapun siswa yang tidak

termasuk ke dalam persentase pencapaian pada penelitian ini mereka belum dapat menggambarkan secara jelas.

Sebagian besar hanya menyebutkan akibat dari penggunaan bahan bakar fosil.

Pada aspek ini siswa menilai diri mereka sendiri terhadap penguasaan literasi lingkungan dan

menyampaikan sikap yang telah mereka lakukan. Hal ini menjadi tolak ukur atau perasaan siswa untuk

mengintrospeksi bagaimanakah pemahaman dan sikap mereka untuk lingkungan, dimana siswa menilai diri

mereka sendiri. Berdasarkan data hasil analisis aspek tersebut diperoleh pencapaian sebesar 72,44% dengan

kriteria cukup.

Penilaian ini sesuai dengan ruang lingkup penilaian pada kurikulum 2013 yang diterapkan khususnya pada

dimensi sikap. Siswa yang terbiasa melakukan penilain diri sendiri, mereka akan terbiasa dengan sikap yang lebih

objektif. Dari penilaian ini siswa mengukur kemampuan literasi lingkungkungan diri mereka sendiri terhadap

Page 172: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

167

kegiatan yang yang harus dilakukan untuk lingkungan. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa pencapaian

dimensi sikap tidak dapat tercapai dengan waktu yang singkat.

Pada aspek ini dibagi menjadi dua bagian yaitu “bersikap baik” berupa tindakan hemat energi atau ramah

lingkungan dan “menyampaikan informasi kepada sesama” berupa sosialisasi dari kegiatan tersebut. Sebagian

besar siswa melakukan kegiatan ramah lingkungan dengan baik terkait penggunaan energi, yaitu sebesar 71,05%

dengan kriteria cukup, namun masih rendah dalam kegiatan sosialisasi terhadap kegiatan untuk alam yaitu

sebesar 52,56% dengan kriteria kurang sekali. melakukan kegiatan terhadap lingkungan, yang berupa “satu jiwa

satu pohon” sebagai salah satu kepedulian terhadap lingkungan. Siswa melakukan penanaman pohon. Hal ini

sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Carl Rogers dalam Sudjana (2009) menyatakan bahwa seseorang

yang telah menguasai tingkat kognitif perilakunya dapat diramalkan. Pada dimensi sikap yang dimaksudkan

disini merupakan ranah efektif yang mengarah pada hasil belajar psikomotorik. Ranah efektif ini yang berkenaan

dengan perasaan, minat dan perhatian keinginan dan penghargaan yang tertuang bagi alam. Kondisi inilah yang

menyebabkan siswa memiliki perasaan kebermaknaan belajar mengenai alam dan menunjukkan perilaku atau

perbuatan sesuai dengan makna yang terkandung, berupa kemauan melakukan hal yang harus mereka lakukan,

meskipun terdapat beberapa siswa yang tidak melakukan kegiatan alam tersebut.

Siswa melakukan kegiatan sosialisasi tentang lingkungan berupa kegiatan terhadap lingkungan dengan

memberikan informasi tentang lingkungan dan larangan serta kegiatan yang tidak baik. Kepedulian terhadap

lingkungan juga merupakan hal penting yang harus dicapai dalam pendidikan ini. Hal ini sejalan dengan pendapat

yang dikemukakan oleh Witherington yang menyatakan bahwa tujuan dari pembelajaran adalah melakukan,

berinteraksi, bertindak, mengalami. Hasil dari pembelajaran adalah segala yang diperoleh oleh peserta didik

melalui kegiatan mereka sendiri (Bahri, 2006).

Pada aspek keahlian (skill) ini siswa menunjukkan kemampuan dasar literasi lingkungan secara fungsional

dalam menganalisis permasalahan yang ada dan mencari penyelesaiannya dengan menggunakan strategi utama

atau kedua (Roth, 1992). “Isu lingkungan” mewakili hubungan perubahan sosial dan menghubungkannya kepada

permasalahan antara akibat positif dan negatif yang terlibat dalam proses perubahan tersebut. Isu tersebut

meliputi manusia, teknologi, lingkungan dan aspek ekonomi yang dihubungkan dengan pembangunan

berkelanjutan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh sebesar 75,02% dengan kriteria baik. Dari permasalahan yang diberikan

siswa dapat mengidentifikasi permasalahan lingkungan, Mengevaluasi informasi tentang latar belakang

permasalahan lingkungan misalnya “faktor ekonomi yang menyebabkan pemerintah kurang memperhatikan

perbaikan angkutan umum yang kurang ramah lingkungan” dan menyebutkan cara yang sesuai dalam masyarakat

untuk membawa perubahan lingkungan yang lebih baik.

Pada dimensi ini, masalah yang diberikan tertuang pada buku suplemen, dari jawaban siswa dapat diambil

sebuah kesimpulan tentang keahlian (cognitive skill) yang dimilikinya. Dimensi keahlian ini berkorelasi dengan

dimensi pengetahuan yang siswa miliki dari proses membaca dan belajar, khususnya keahlian dalam pengambilan

sebuah sikap dan keputusan yang terbaik terhadap lingkungan.

Berdasarkan angket yang diberikan kepada 39 responden siswa kelas X-1 di SMAN 11 Tangerang Selatan

mengenai penggunaan bahan ajar buku suplemen berbasis pendidikan lingkungan, diperoleh hasil rata-rata

kepuasan penggunaan sebesar 88,84% dengan kriteria sangat baik. Pertanyaan tersebut berupa bagaimana

taggapan siswa terhadap penggunaan buku suplemen sebagai sumber informasi dan bahan ajar yang membantu

mereka dalam pembelajaran pendidikan lingkungan. Pada aspek mudah dipahami siswa merasa kurang dalam

segi keberurutan penyusunan materi, sehingga perlu diperbaiki.

SIMPULAN

Literasi lingkungan merupakan pencapaian pendidikan lingkungan yang sangat penting. Sebuah sikap dan

tindakan diperlukan pendidikan yang tidak singkat. Begitu pula pada bagian aspek tersebut belum tercapai secara

Page 173: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

168

maksimal. Siswa masih kurang dalam melakukan kegiatan sosialisasi kegiatan untuk alam, namun pada

penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian besar siswa menjalankan sikap yang baik untuk lingkungan yang

didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran yang mereka miliki.

Pembangunan kemampuan literasi lingkungan memerlukan waktu yang lama. Sebagaimana dijelaskan

Charles E. Roth (1992) yang menyatakan tidak ada seorang guru secara pribadi dapat melaksanakan seluruh

kegiatan dalam membentuk seseorang hingga pada tingkat tertinggi kompetensi literasi lingkungan, namun

masing-masing aspek akan memberikan pengaruh yang signifikan pada komponenen-komponen (dimensi)

tertentu. Begitu pula dengan penggunaan bahan ajar suplemen tersebut, dapat terlihat pada aspek manakah

diperolah pencapaian yang maksimal atau bagian-bagian tertentu yang harus ditingkatkan, yang pada dasarnya

kompetensi literasi lingkungan dapat dibentuk dari pembelajaran tersebut.

Pada dasarnya literasi lingkungan merupakan usaha seumur hidup (life long effort). Komponen yang

berperan tersebut meliputi keluarga, komunitas, media, organisasi keagamaan dan kelompok yang diminati dan

tempat kerja. Sehingga berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, persentase pada aspek pengetahuan sebesar

82,21% (baik), aspek sikap sebesar 69,56% (cukup) dan aspek keahlian (kemampuan kognitif) sebesar 75,02%

(cukup), dapat dikatakan bahwa penggunaan bahan ajar suplemen sebagai media memberikan kontribusi dalam

pembelajaran pendidikan lingkungan dalam menunjang literasi lingkungan terutama pada dimensi pengetahuan.

Dimana siswa merasa lebih faham dan mengerti bagaimana keadaan lingkungan saat ini dan tindakan apa yang

harus dilakukan, meskipun hasil yang dicapai belum dicapai secara maksimal khususnya dalam pencapaian

literasi lingkungan secara total.

SARAN

1. Pembuatan bahan ajar suplemen lebih divariasikan dengan kegiatan-kegiatan lingkungan yang bersifat

langsung kepada lingkungan guna meningkatkan khususnya dimensi sikap

2. Dalam pencapaian literasi lingkungan perlu adanya peran guru dalam pemanfaatan bahan ajar guna

merangsang kemampuan siswa dalam dimensi literasi

DAFTAR PUSTAKA

Bahri S. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. III, 2006.

Environment Literacy Council, (Environmental Science and Engineering for the 21st Century,

http://www.enviroliteracy.org/article.php/1489.html, diakses pada ) 19 Februari 2012.

Defianty MK, Ummi. Are English Teacher the Agent of Cultural Imperialism. Pendidikan Holistik. Jakarta: FITK

Press, 2011.

Nurmalahayati. Developing Character Building through Chemistry Education in the University in Aceh.

Pendidikan Holistik. Jakarta: FITK Press, 2011.

Maryam S. Strengthening the Character: Uphold Ethics in Indonesian Language Study Pass by Supplementary

Books, International Journal for Educational Studies, 5(1), 2012.

Muslich M. Text Book Writing. Jakarta: Ar-Ruz Media, Cet.1, 2010.

Palmer, Joy, Neal, Philip. The Handbook of Environmental Education. London: Routledge, 1994).

Purwanto N. 2010. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung :Rosda.

Roth CE. Environmental Literacy Its Roots, Evolution and Direction in 1990s. Massachusetts: Education

Development Center, 1992.

Sitepu. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.

Page 174: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 11 September 2014

169

Suja, IW. Pengembangan Buku Ajar Sains SMP Mengintegrasikan Content dan Context Pedagogi Budaya Bali,

Jurnal Penelitian, 2002.

Sudjana N. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosda Karya, Cet ke-14, 2009.

Page 175: Prosiding Seminar Nasional IPA 2014