prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

52
PENDIDIKAN DEMOKRATIS DALAM KONSEP TAUHID DAN ETIKA ISLAM A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan fondasi utama berdirinya sebuah peradaban. Pendidikan dimulai sejak lahirnya manusia di bumi dan akan berlangsung selama kehidupan itu berjalan. Seiring perkembangan zaman, pelaksanaan pendidikan banyak mengalami problem. Di era modernisasi, proses globalisasi dengan percepatan menggelindingnya liberalisasi ekonomi dan sisitem perdagangan bebas, menghadapkan dunia pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak sederhana. Ide reformasi pendidikan pun muncul dari pemikiran berbagai tokoh intelektual untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Salah satu teori yang dimunculkan adalah demokratisasi pendidikan. Isu tentang sekolah demokratis di Indonesia memang relatif baru dan belum terbiasa dalam wacana akademik bidang kependidikan, walaupun pekerjaannya sudah dimulai sejak lama, bahkan mungkin sejak zaman orde baru, walaupin belum spesifik. 1 Istilah demokrasi sendiri diambil dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang 1 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis (Jakarta: Prenada Media, 2004), 15

Transcript of prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Page 1: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

PENDIDIKAN DEMOKRATIS

DALAM KONSEP TAUHID DAN ETIKA ISLAM

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan fondasi utama berdirinya sebuah peradaban.

Pendidikan dimulai sejak lahirnya manusia di bumi dan akan berlangsung selama

kehidupan itu berjalan. Seiring perkembangan zaman, pelaksanaan pendidikan

banyak mengalami problem. Di era modernisasi, proses globalisasi dengan

percepatan menggelindingnya liberalisasi ekonomi dan sisitem perdagangan bebas,

menghadapkan dunia pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak

sederhana. Ide reformasi pendidikan pun muncul dari pemikiran berbagai tokoh

intelektual untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Salah satu teori yang

dimunculkan adalah demokratisasi pendidikan.

Isu tentang sekolah demokratis di Indonesia memang relatif baru dan belum

terbiasa dalam wacana akademik bidang kependidikan, walaupun pekerjaannya sudah

dimulai sejak lama, bahkan mungkin sejak zaman orde baru, walaupin belum

spesifik.1 Istilah demokrasi sendiri diambil dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri

dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan,

maka demokrasi bermakna kekuasaan di tangan rakyat.2 Teori demokrasi ini

memberikan banyak pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk

pendidikan.

Pemahaman tentang pendidikan demokratis mengandung banyak teori dan

konsep dari berbagai kalangan pemikir pendidikan, diantaranya James A. Beane dan

1 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis (Jakarta: Prenada Media, 2004), 152 Nathan Tarcov, “The Meaning of Democracy,” dalam Democracy, Education and School,

ed. Roger Soder (San Fransisco: Jossey Bass, 1996), 2. Lihat juga Webster New World Dictionary, terj: Peter Salim, (Jakarta: Modern English Press, 1993), 150

1

Page 2: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Michael W. Apple3 dan Ken Jones,4 serta beberapa peneliti lain yang mengaitkan

hubungan pendidikan demokratis dengan proses perkembangan sosial masyarakat dan

lingkungan, baik tentang warga negara atau civil society, norma, hukum, hak dan

kewajiban, diantaranya John Dewey5, Nel Noddings6, Carr dan Hartnett7, Amy

Gutmann,8 Gert J.J. Biesta9 dan Michael Engel.10 Namun, pemahaman tentang konsep

dan model pendidikan demokratis secara global dan komprehensif dapat dirumuskan

3 Menurut mereka sekolah demokratis adalah sekolah yang mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah, yang secara umum mencakup struktur organisasi, prosedur kerja dan kurikulum yang bisa mengantarkan anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratis. Lihat Michael W. Apple dan James A. Beane, “The Case of Democratic School,” dalam Democratic School, ed. Michael W. Apple dan James A. Beane (Virginia: ASCD, 1995), 9

4 Pendapatnya adalah bahwa dalam sekolah yang mempunyai tujuan demokrasi, prestasi akademis bukan menjadi satu-satunya indikator kesuksesan sekolah. Penekanan tidak hanya pada aspek yang dipelajari, tapi juga memberikan kesempatan kepada pembelajar secara adil untuk belajar dan berbicara mengenai apa yang mereka pelajari. Lihat Ken Jones, Democratic School Accountability; A Model for School Improvement (Toronto, Oxford: Rowman & Littlefield Education, 2006), 7

5 Menurutnya, realisasi pembentukan social life yang memiliki daya kritis yang tajam dimana kemajuan dan penyesuaian diri menjadi perhatian penting, dapat membuat sebuah komunitas demokratis lebih menarik daripada komunitas lainnya. Dan semua kriteria tersebut dapat tercapai dengan adanya sistem pendidikan yang sesuai dan mengandung nilai-nilai demokrasi. Lihat John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 83

6 Pendapatnya adalah bahwa sekolah seharusnya tidak melulu mempromosikan tentang kompetisi yang adil antara individu dan tidak pula memperlakukan murid sesuai keinginan sekolah semata. Namun sekolah mesti diorganisasikan secara demokratis sebagai tempat dimana asosiasi kehidupan bisa dipraktekkan sebaik mungkin. Sekolah, merupakan miniatur masyarakat dimana murid-murid belajar mempromosikan lingkungan kelahiran dan tumbuh kembang mereka. Lihat Nel Noddings, Philosophy of Education, cet. ke-2 (Colorado: Westview Press, 2007), 39

7 Mereka berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan untuk demokrasi (education for democracy) adalah untuk meyakinkan bahwa masa depan seluruh warga negara harus disempurnakan dengan ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan yang menunjang partisipasi mereka dalam kehidupan demokrasi masyarakat. Lihat W. Carr dan A. Hartnett, Education and the Struggle for Democracy: The Politics of Educational Ideas (Buckingham: Open University Press, 1996), 192

8 Menurutnya, bahwa suatu masyarakat yang mendukung terciptanya kesadaran sosial yang tinggi harus mendidik seluruh warganya untuk mampu berpartisipasi secara kolektif dalam membentuk dan mengatur masyarakat mereka. Lihat Amy Gutmann, Democratic Education (New Jersey: Princeton University Press, 1987), 39

9 Dia menyatakan bahwa pendidikan demokratis sesungguhnya berada dalam komunitas masyarakat itu sendiri, bukan dalam institusi-institusi pendidikan. Sekolah hanya bisa menunjang dan mendukung masyarakat di sekitarnya untuk bertindak dan berprilaku secara demokratis. Lihat Gert J.J. Biesta, Beyond Learning: Democratic Education for a Human Future (London: Paradigm Publisher, 2006), 145

10 Pendapatnya adalah bahwa dalam perspektif demokrasi, seorang pria maupun wanita dapat berkembang secara sempurna sebagai manusia sesungguhnya hanya dalam konteks pergaulan dan

2

Page 3: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

sebagaimana yang ditulis oleh Munir al-Mursi Sarhan dalam bukunya Fi Ijtimā’iyyat

al-Tarbiyyah dengan melihat hubungan antara demokrasi dan pendidikan itu sendiri

sebagai; pertama, pendidikan yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk

mendapat kesempatan belajar, berargumen dan memilih tanpa adanya diskriminasi11.

Kedua, pendidikan demokrasi adalah pendidikan nurani yang membangun

kepribadian seseorang sebagai individu dan civil society yang mampu menyelesaikan

masalah (problem solving) dan menciptakan perdamaian dalam masyarakat. Ketiga,

pendidikan yang mengandung nilai-nilai humanis, toleransi dan mengikutsertakan

masyarakat dalam proses pendidikan individu-individunya.12 Amy Gutmann

menambahkan bahwa pendidikan demokrasi didasarkan kepada; pertama, nilai

kebebasan moral, kedua, tidak hanya kebebasan memilih tetapi juga identifikasi dan

partisipasi dalam kebaikan bagi keluarga dan partisipasi politik kemasyarakatannya.

Setiap perilaku dibatasi dengan tingkah laku yang nonrepresif, prinsip nonrepresif ini

mencegah negara atau kelompok manapun menggunakan pendidikan untuk

membatasi deliberasi (pemikiran dan pertimbangan mendalam) rasional dalam

persaingan konsepsi mengenai kehidupan dan masyarakat yang baik.13

Lembaga pendidikan Islam di Indonesia seperti madrasah dan pesantren,

sebenarnya telah melaksanakan beberapa prinsip pendidikan demokratis tersebut.

Disamping ajaran Islam yang banyak mengandung unsur-unsur demokrasi,

persamaaan dan humanisme dalam aspek politik dan sosial, prinsip-prinsip tersebut

juga dapat rerlihat dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh Rasulullah

dan sahabat, baik di mesjid, rumah para pendidik, maupun toko-toko buku. Di masa

kejayaan Islam abad pertengahan, pemerintah mendukung perkembangan ilmu

relasi mereka dengan orang lain. Lihat Michael Engel, The Struggle for Control of Public Education: Market Ideology Vs Democratic Values (Philadelphia: Temple University Press, 2000), 51

11 Lihat juga Gordon C.Lee, Education and Democratic Ideals (New York: Harcourt, Brace & World, Inc., 1965), 11. Dalam bukunya ini, dia berpendapat bahwa etika demokrasi yang secara umum terdiri dari dua komitmen yaitu, memahami makna dari kesucian arti seorang manusia dan hak kuasanya untuk tidak mempercayai atau menyangsikan sesuatu, haruslah menjadi dasar atau landasan dalam menentukan kebijakan sosial dan pendidikan.

12 Munir al-Mursi Sarhan, Fi Ijtimā’iyyat al-Tarbiyyah, cet. ke-2 (Mesir: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, 1978), 256

13 Amy Gutmann, Democratic Education, 14

3

Page 4: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

pengetahuan dengan menyediakan sarana dan prasarana pendidikan bagi setiap warga

negara tanpa diskriminasi ras, agama dan golongan apapun.14 Abdul Halim

berpendapat bahwa tumbuhnya prinsip demokrasi dalam sistem pendidikan Islam

bukan hanya sebuah keharusan, tapi kewajiban bagi pemerintah untuk

menyelenggarakannya mengingat pentingnya demokrasi menurut pandangan Islam.15

Selain itu, menurut Azyumardi Azra, pendidikan Islam -khususnya madrasah-

dapat disebut sebagai “pendidikan rakyat”. Ketika pendidikan umum sejak zaman

Belanda begitu sulit dimasuki anak-anak kaum santri dan cenderung dijauhi banyak

keluarga santri, maka madrasah –baik yang ada di lingkungan pesantren maupun

berdiri secara independen di bawah yayasan pendidikan Islam tertentu. Maka

pendidikan Islam hampir menjadi satu-satunya alternatif pendidikan bagi banyak

keluarga muslim. Salah satu ciri penting pendidikan Islam sebagai pendidikan rakyat

adalah bahwa ia merupakan pendidikan yang murah dan karena itu dapat dijangkau

siapa saja. Hal ini karena beban pembiayaan pendidikan sebagian besarnya dipikul

oleh komunitas muslim sendiri.16 Pendidikan yang melibatkan masyarakat dalam

penyelenggaraannya ini merupakan suatu bentuk pendidikan demokratis yang dikenal

dengan pendidikan berbasis masyarakat.17

14 Pada masa Khalifah Al-Makmun, didirikan sebuah lembaga pendidikan Islam Bayt al-Hikmah. Di lembaga ini, nilai-nilai demokrasi sangat dihormati, misalnya kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan kesetaraan. Lihat Lailial Muhtifah, “Konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Institusi Pendidikan Islam Zaman al-Makmun,” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2005), 29

15 Abdul Halim, Islam dan Demokrasi Pendidikan (Kuala Lumpur: Angkatan Belia Islam Malaysia, 1989), 93

16 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi (Jakarta: Kompas, 2006), 147

17 Pendidikan berbasis masyarakat merupakan pemberdayaan sistem pendidikan di masyarakat dengan agenda: (1) Memobilisasi sumber daya setempat maupun dari luar dalam rangka meningkatkan peran masyarakat untuk ambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan. (2) Meningkatkan rasa pemilikan masyarakat terhadap sekolah dengan cara ikut bertanggung jawab atas pelaksanaannya lewat kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima keragaman. (3) Mendukung masyarakat, khususnya orang tua peserta didik, untuk mengambil peran yang jelas dalam pelaksanaan pendidikan dalam rangka desentralisai. (4) Mendorong peran masyrakat dalam mengembangkan inovasi kelembagaan untuk mempertegas peran sekolah, meningkatkan mutu, relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan sekolah, serta membuka kesempatan yang lebih besar untuk bersekolah dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar. Lihat A.Supratiknya, “Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,” dalam Pendidikan Manusia Indonesia, ed.

4

Page 5: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Meskipun demikian, masa depan pendidikan Islam di Indonesia tidak begitu

saja terlepas dari berbagai masalah yang menyangkut demokrasi, baik yang

ditentukan oleh faktor internal maupun eksternal. Secara internal, dunia pendidikan

Islam masih menghadapi masalah pokok berupa rendahnya kualitas sumber daya

manusia, perekrutan tenaga pegawai yang kurang efektif dan sebagainya. Sedangkan

faktor eksternal yang mempengaruhi pendidikan Islam di Indonesia diantaranya

adalah globalisasi18, liberalisasi Islam19 dan demokratisasi itu sendiri.

Jika dalam dunia pendidikan Indonesia secara umum terjadi berbagai masalah

dan kemelut yang diakibatkan oleh minimnya pemahaman dan pengajaran tentang

demokrasi, maka madrasah dan pesantren yang identik sebagai lembaga pendidikan

Islam pun tidak lepas dari problem tersebut. Misalnya, masalah pendidikan yang

mahal, sehingga tidak semua orang yang bisa menikmati pendidikan. Pendidikan bias

gender yang masih terjadi di beberapa pesantren atau madrasah. Contoh lainnya

adalah budaya korupsi yang juga merambah dunia pendidikan Islam. Penyelewangan

dana, sarana dan prasarana pendidikan juga terjadi di kalangan pengelola madrasah.

Kekerasan, pelecehan seksual, individualitas, humanisme, penolakan terhadap

pluralisme, tawuran dan lain sebgainya. Masalah-masalah tersebut berakar dari

kegagalan pendidikan demokratis yang dijalankan hanya secara teoritis semata, tanpa

adanya semangat untuk mengembangkan budaya demokrasi dan humanis di lembaga

pendidikan formal, informal ataupun non-formal.

Dalam pendidikan formal di Indonesia, pengajaran materi kewarganegaraan

merepresentasikan pendidikan demokratis, karena dalam materi ini tercakup semua

Tonny D. Widiastono (Jakarta: Kompas, 2004), 361 18 Faktor globalisasi yang berupa penetrasi budaya global terhadap kehidupan masyarakat

mendapatkan respon yang bermacam-macam, baik permisif, defensif maupun transformatif. Permisif berarti cenderung menerima begitu saja pola dan model budaya global yang dialirkan melalui teknologi informasi, tanpa memahami nilai dan substansinya. Defensif berarti akan bersikap apriori terhadap capaian budaya dan peradaban global, semata-mata karena ia tidak datang dari tradisi yang diikuti selama ini. Transformatif berarti sika berusaha mendialogkan antara budaya global dengan budaya lokalsehingga terjadi sintesis budaya yang dinamis dan harmonis.

19 Faktor liberalisasi Islam berkembang baik secara ekstrim yang berarti mengabaikan sama sekali teks-teks suci ketika membahas isu-isu yang memang tidak dijelaskan secara eksplisit di dalamnya, maupun secara moderat yang menyadari perlunya penafsiran yang bebas terhadap teks-teks suci sejauh konsisten dengan nilai dasar yang dikandungnya.

5

Page 6: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

hal tentang demokrasi, baik teori maupun praktek, hak asasi manusia, masyarakat

madani dan lain-lain. Salah satu cara untuk mengembangkan kultur demokratis

berkeadaban (civilitized democracy) adalah melalui program Pendidikan Kewargaan

yang dilakukan melalui cara-cara demokratis oleh pengajar yang demokratis untuk

tujuan demokrasi.20 Sedangkan pendidikan tauhid dan etika Islam direpresentasikan

oleh pendidikan aqidah dan akhlak, karena didalamnya terkandung pembelajaran

ketauhidan, seperti keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa, Rasul Allah, Qadha dan

Qadar, Hari Akhir, akhlaq terpuji dan akhlaq tercela.21

Pendidikan kewarganegaraan22 sebagai suatu bentuk pendidikan demokrasi

muncul sejak lahirnya konsep demokrasi dalam sistem politik.23 Di era reformasi,

keberlangsungan dan keberhasilan pendidikan ini pun memerlukan reformasi dalam

bidang pendidikan. Reformasi tersebut adalah: (1) Kebebasan demokrasi di sekolah

memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk aktif berpartisipasi dalam

mengambil keputusan, merencanakan dan melaksanakannya.24 (2) Pendidikan

20 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), cet. ke-3 (Jakarta: Indonesian Center for Civic Education (ICCE), 2008), 14.

21 T. Ibrahim dan H. Darsono, Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP): Membangun Akidah dan Akhlak 1,2 dan 3 untuk Madrasah Tsanawiyah (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009)

22 Menurut Azyumardi Azra, pendidikan kewarganegaraan diposisikan sebagai pengganti pendidikan patriotisme dan pertahanan nasional, yang dikenal sebagai "pendidikan kewiraan" yang mengandung indoktrinasi militeristik yang menekankan kesatuan Nasional dan mengorbankan keanekaragaman nasional." Lihat Burton Bollag, “Indonesia tries Civic Education to promote Democratic Values,” Jurnal dari The Chronicle of Higher Education 47 No.44 A.41 Jl 13 (2001), http://vnweb.hwwilsonweb.com/hww/results/getResults.jhtml?_DARGS=/hww/results_common.jhtml.35 (diakses pada tanggal 22 Desember, 2010)

23 Demokrasi periode 1945-1959 disebut Demokrasi Parlementer. Namun, karena budaya demokrasi masa itu masih lemah, maka demokrasi model ini memberi peluang yang sangat besar kepada partai-partai politik untuk mendominasi kehidupan social politik. Demokrasi periode 1959-1965 disebut Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) yang bercirikan dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara dalam panggung politik nasional. Demokrasi periode 1965-1998 dikenal dengan Demokrasi Pancasila yang menawarkan tiga komponen demokrasi, yaitu demokrasi dalam bidang politik, ekonomi dan hokum. Dan demokrasi periode pasca Orde Baru yang dikenal juga dengan era Reformasi, termasuk reformasi system demokrasi di berbagai aspeknya. Lihat A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), 46

24 Reformasi ini dimulai dengan program KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yaing disusun berdasarkan amanat dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lihat Masnur Muslich, KTSP: Dasar Pemahaman dan Pengembangan (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 1. Dan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa,

6

Page 7: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

kebhinekaan yang menghargai dan mengakomodasi latar belakang seseorang yang

menyangkut nilai, budaya, sosial, ekonomi, bahkan problem kemampuan.25 Dan (3)

Reformasi materi civil education atau pendidikan kewarganegaraan, karena

mengandung tiga aspek pendidikan demokrasi yang meliputi aspek sejarah dan asal

mula demokrasi dan perkembangannya, jiwa demokrasi dalam pancasila dan UUD

1945 serta tantangan demokrasi di era modern.26

Selain poin-poin tersebut, pendidikan demokratis juga menuntut pengajaran

tentang hak asasi manusia yang menjadi isu global yang strategis. Diantara materi

pengajaran HAM tersebut adalah memperkenalkan definisi HAM, sejarah dan

perkembangannya, pengaruh demokrasi terhadap HAM, serta proses pelanggaran dan

pengadilan HAM kepada peserta didik. Beberapa lembaga pendidikan Islam bahkan

mengenalkan HAM dalam perspektif Islam.27 Kenyataannya, pesantren dan madrasah

tidak menolak konsep HAM yang dibuat oleh masyarakat internasional. Islam

memiliki ajaran-ajaran yang universal dan mengandung unsur-unsur HAM yang

sempurna, oleh karena itu pesantren dan madrasah mengaplikasikan HAM sebagai

implementasi dari tauhid.28

Disamping itu, korelasi antara pendidikan kewarganegaraan dengan

pendidikan demokratis juga mengikutsertakan pengajaran tentang masyarakat madani

atau civil society. Masyarakat madani ini memiliki beberapa unsur pokok yaitu,

penilaian, kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya pendidikan. Lihat Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, cet. ke-3 (Jakarta: Kencana, 2008), 6

25 Reformasi ini diwujudkan dalam Pendidikan Multikultural, yaitu strategi pendidikan yang yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa, seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Lihat M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, cet. ke-2 (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), 25

26 Bennni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Ar-ruzz Media,2008), 8127 Diantara konsep HAM yang terdapat dalam ajaran Islam adalah kebebasan beragama, hak

asasi perempuan, anak dan kelompok minoritas. Lihat Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia (t.tp: Naufan Pustaka, 2010), 53, 98, 236 dan 264. Lihat juga Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights, cet. ke-4 (Amerika: Westview Press, 2007), 47.

28 Yeni Dasti Rahayu, Hak Asasi Manusia dalam Pendidikan Pesantren, tesis Sps UIN Syaruf Hidayatullah, Jakarta, 2009, 61

7

Page 8: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

wilayah publik yang bebas (free public sphere),29 demokrasi, toleransi, kemajemukan

(pluralism) dan keadilan sosial.30

Nurcholis Madjid bahkan mengawali rumusan masyarakat madani dengan

istilah demokrasi. Demokrasi yang ditegakkan adalah untuk mewujudkan civil society

dengan menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup (way of life). Ia kemudian

mengemukakan beberapa noktah penting pandangan hidup demokratis dalam

masyarakat madani, antara lain: (1) Pentingnya kesadaran kemajemukan. (2)

Kedewasaan untuk tulus menerima kemungkinan kompromi, mengemukakan,

mendengarkan dan menerima perbedaan pendapat. (3) Menolak monolitisme dan

absolutisme. (4) Keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan. (5) Ketulusan

dalam mewujudkan tatanan sosial yang baik untuk semua. (6) Pemenuhan kebutuhan

sesuai dengan tujuan dan praktek demokratis. (7) Pengakuan dan kebebasan hak

nurani (freedom of conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua

(egalitarianism). (8) Pentingnya mensosialisasikan “demokrasi” melalui sarana

pendidikan. (9) Mengaplikasikannya dalam kehidupan.31

Pokok-pokok pembahasan yang menyangkut masyarakat madani demokratis

tersebut terangkum dalam materi civic education yang dipelajari di sekolah-sekolah,

termasuk lembaga pendidikan Islam. Namun, differensiasi yang perlu diperhatikan

adalah bahwa pendidikan Islam memiliki ciri khas yang cukup signifikan, yaitu

pendidikan berbasis ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadits). Di lembaga pendidikan

Islam, pengajaran agama bukan hanya sebagai pelengkap, tapi justru memiliki

kedudukan yang sangat penting, sama pentingnya dengan materi-materi umum

29 Ruang publik yang bebas merupakan sarana untuk mengemukakan pendapat warga masyarakat, dimana mereka memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi social dan politik tanpa rasa takut dan terancam.

30 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), 202. Lihat juga Thohir, Luth, Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Perbedaan, cet. ke-5 (Jakarta: Mediacita, 2006), 55

31 Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 52. Dia mengutip pendapat Nurcholis Madjid “Masyarakat Madani dalam Perspektif Aagama dan Politik, Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani”, makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional di Auditorium IAIN Jakarta, 22 Februari 1999, 8-10

8

Page 9: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

lainnya. Keseimbangan ini memungkinkan pendidikan demokratis berkembang lebih

sempurna dengan adanya dukungan dan motivasi demokrasi dalam ajaran Islam.

Meskipun demikian, beberapa pemikir pendidikan mengemukakan argumen

mereka tentang hubungan dan peran pengajaran agama dalam pengembangan

pendidikan demokratis. Pendapat yang kontra muncul dari kesimpulan David

Hargreaves dalam bukunya The Mosaic of Learning: Schools and Teachers for the

Next Century menyatakan bahwa dalam masyarakat sekuler dan plural, pendidikan

agama tidak bisa dijadikan landasan untuk pendidikan kewarganegaraan. Menurut

Hargreaves, untuk menciptakan kehidupan yang harmoni antara masyarakat yang

plural, pendidikan agama harus dihapuskan dari seluruh sekolah karena pendidikan

agama dianggap memiliki tujuan moral. Sedangkan dalam masyarakat yang plural,

tidak ada konsensus antara agama dan moral. Selain itu, Hargreaves juga

menawarkan solusi lain, yaitu bahwa pendidikan agama di sekolah-sekolah harus

digantikan dengan pendidikan kewarganegaraan (demokrasi), karena pendidikan

kewarganegaraan lebih berhasil dalam menanamkan pendidikan moral.32

Pendapat yang berlawanan dinyatakan oleh Robert Jackson dalam tulisannya

Citizenship as Replacement for Religious Education or Relogious Education as

Complementary to Citizenship Education? Dia menyatakan bahwa pendapat

Hargreaves mengenai penggantian pendidikan agama oleh pendidikan

kewarganegaraan mengandung kerancuan. Dia secara tegas membuktikan bahwa

pendidikan agama memiliki peran yang besar untuk mengembangkan pendidikan

kewarganegaraan (demokrasi). Misalnya, adanya analisis agama dalam menciptakan

konsep tentang etnik, komunitas dan nasionalitas. Atau peran agama dalam

membentuk pemahaman yang baik antara masyarakat yang plural.33 Argumen ini

32 David Hargreaves, The Mosaic of Learning: Schools and Teachers for the Next Century (London: Demos, 1994), 27 & 30

33 Robert Jackson, “Citizenship as Replacement for Religious Education or Religious Education as Complementary to Citizenship Education?” dalam International Perspective on Citizenship, Education and Religion Diversity, ed. Robert Jackson (London: Routledge Falmer, 2003), 67. Lihat juga Robert Jackson, Rethinking Religious Education and Plurality: Issues in Diversity and Pedagogy (London and New York: Routledge Falmer, 2005), 131

9

Page 10: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

dikuatkan oleh Geir Skeie dalam tulisannya “What Do We Mean by Religion in

Education” (2006). Dia berpendapat bahwa pendidikan agarma memberikan

kontribusi yang cukup besar dalam masyarakat modern yang plural, seperti adanya

materi ajar tentang keharmonisan sosial (nilai kebersamaan, dialog, hak asasi manusia

dan kerjasama) dan pengembangan kepribadian (spiritual, kepercayaan dan identitas

diri).34 Pendidikan agama juga mengintegrasikan antara sosial dan personal. Dia

memandang pendidikan agama sebagai ilmu yang mendorong murid-murid untuk

berpartisipasi dengan orang lain.35

J. Mark Halstead dan Mark A. Pike dalam bukunya Citizenship and Moral

Education: Values in Action, berpendapat bahwa pendidikan moral tidak bisa

dipisahkan dari pendidikan agama. Pendidikan agama memberikan kontribusi yang

signifikan terhadap spiritual, moral dan perkembangan budaya murid. diantara nilai

yang paling banyak ditanamkan oleh pendidikan agama adalah toleransi, rasa hormat

dan cinta pada orang lain. Pendidikan agama juga merupakan area dimana murid

diperkenalkan dengan isu-isu etika, seperti, euthanasia, etika pengobatan, kemiskinan,

bersikap baik terhadap sesama manusia, hewan dan lingkungan. Begitu juga dengan

isu-isu pendidikan kewarganegaraan, seperti moral, komitmen, rasa percaya, kaum

minoritas dan lain-lain.36 Robert Gutierrez menguatkan pendapat ini dengan

mengatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan saat ini membutuhkan landasan

spiritual (Spiritual Fondation) yang bersumber dari agama, kerena agama memiliki

nilai motivasi moral yang tinggi terhadap penganutnya, sekalipun dalam negara yang

menganut sekulerism antara agama dan negara.37

34 Geir Skeie, “What Do We Mean by Religion in Education,” dalam Religion, Spirituality and Identity, ed. Kirsi Tirri (Switzerland: Peter Lang AG, 2006), 86

35 Geir Skeie, Plurality and Pluralism: a Challenge for Religious Education (t.tp: British Journal of Religios Education, 1995), 84-91

36 J. Mark Halstead dan Mark A. Pike, Citizenship and Moral Education: Values in Action (New York: Routledge, 2006), 104

37 Robert Gutierez, “Spiritual Foundation for Civic Education,” Jurnal dari Taboo 9 No.1 Spring-Summer (2005), 69, http://vnweb.hwwilsonweb.com/hww/results/getResults.jhtml?DARGS= /hww/ results/results common.jhtml.35 (diakses pada tanggal 22 Desember 2010).

10

Page 11: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Peneliti lain seperti Suzanne Rosenblith dan Bea Bailey berpendapat bahwa

pendidikan agama yang dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif di sekolah

umum mampu memberikan pandangan dan pemahaman baru terhadap siswa tentang

perbedaan dan keharmonisan hidup dalam masyarakat plural. Pendidikan agama ini

bertujuan untuk mengenalkan berbagai ajaran agama tentang penghormatan,

perdamaian, toleransi dan kemanusiaan.38 Robert Nash dalam penelitiannya tentang

public school di United States juga menganjurkan pendekatan religius dengan

mengenalkan literatur-literatur agama kepada pembelajar. Menurutnya, setelah

peristiwa 11 September 2002, banyak terjadi missunderstanding dalam pluralitas

beragama. Sehingga diperlukan metode dan pendekatan baru untuk pembelajaran

civic education sebagai media pembentukan civil society.39

Terdapat juga perdebatan seputar hubungan dan peran budaya, agama dan

kondisi masyarakat terhadap pendidikan hak asasi manusia. Perdebatan tersebut

menyangkut universalitas dan partikular HAM yang tercermin dalam dua teori yang

berlawanan. Pertama, teori relativisme kultural yang berpandangan bahwa tidak ada

hak yang universal, semua tergantung pada kondisi sosial masyarakat yang ada, nilai-

nilai moral, budaya dan agama. Oleh karena itu HAM harus dikontekstualisasikan.

Kedua, teori universalitas HAM berargumen bahwa semua nilai-nilai HAM adalah

bersifat universal dan tidak bisa dimodifikasi dengan adanya perbedaan kondisi

sosial, budaya dan agama daerah tertentu.40

Berdasarkan perdebatan pendapat tersebut, tesis ini berusaha membuktikan

adanya peran dan pengaruh yang besar dari pendidikan atau pengajaran dengan

38 Suzanne Rosenblith dan Bea Bailey, “Comprehensive Religious Studies in Public Education: Educating for a Religiously Literate Society,” Jurnal dari Educational Studies (American Educational Studies Association) 42 No.2 (2007), 93-111, http://vnweb.hwwilsonweb.com/hww/ results/getResults.jhtml?_DARGS=/hww/results_common.jhtml.35 (diakses pada tanggal 22 Desember 2010).

39 Robert Nash, “A Letter to Secondary Teachers: Teaching about Religious Pluralism in the Public Schools,” dalam Educating Citizens for Global Awareness, ed. Nel Noddings (New York: Teachers College Press, 2005), 94

40 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 131. Lihat juga, Michael Freeman, Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2003), 108 dan Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, cet. ke-2 (New York: Cornell University Press, 2003), 90

11

Page 12: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

materi atau metode Islam terhadap pendidikan demokratis di lembaga pendidikan

Islam, karena itu diperlukan fungsionalisasi yang maksimal. Konsep tauhid dan etika

merupakan esensi prinsipil dari ajaran Islam dan tidak dapat dipisahkan dari seluruh

aspek pendidikan di dunia Islam, termasuk dalam aspek pendidikan demokratis yang

juga diadopsi di madrasah maupun pesantren. Kedua konsep tersebut terangkum

dalam pembelajaran aqidah dan akhlak. Urgensi pendidikan tauhid ini dan etika ini

diungkapkan oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya Tauhid: Its Implications for

Thought and Life. Dia menekankan pentingnya esensi tauhid sebagai visi dari seluruh

jenis pendidikan Islam. Tauhid merupakan jiwa dari semua pemikiran (ilmu) di setiap

aspek kehidupan.41 Sedangkan Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya The

Concept of Education in Islam: a Framework for an Islamic Philosophy of

Education, Kuala Lumpur, 1980) menjelaskan konsep ta’dib-nya, Al-Attas

mengatakan bahwa tujuan akhir pendidikan dalam Islam ialah menghasilkan manusia

yang baik, dan bukan seperti peradaban barat, warga negara yang baik. Manusia yang

baik adalah manusia adab, yaitu meliputi kebaikan hidup material dan spiritual. 42

Teori ini mengkonsolidasi urgensi tauhid dan etika Islam dalam seluruh sistem

pendidikan Islam

Selanjutnya, dengan memperhatikan perkembangan pendidikan demokratis di

Indonesia, dalam hal ini direpresentasikan oleh pendidikan kewarganegaraan, telah

mengalami banyak kendala bahkan kegagalan43 dalam menciptakan budaya hidup

yang demokratis, pemahaman yang benar tentang hak asasi manusia dan masyarakat

madani. Bukan hanya itu, beberapa pengembangan kurikulum seperti KTSP dan

pendidikan multikultural belum dijalankan secara maksimal. Problem terbesarnya

41 Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid: Its Implications for Thought and Life (Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought, 1982), 30

42 Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: a Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ABIM, 1980), 39

43 Kegagalan pendidikan demokratis dapat dilihat dari tiga aspek yang saling berkaitan. Pertama, secara substantive, pelajaran PPKn, Pendidikan Pancasila dan Kewiraan tidak dipersiapkan sebagai materi pendidikan demokratis dan kewarganegaraan. Kedua, secara metodologi pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentif, monologis dan tidak partisipatoris. Ketiga, subjek material lebih bersifat teoritis daripada praktis. Lihat Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, 158

12

Page 13: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

adalah tidak hanya karena minimnya pendekatan yang dilakukan oleh penyelenggara

pendidikan untuk mencapai tujuan demokrasi tersebut. Tetapi juga karena

demokratisasi yang dilakukan hanya sebatas kaitannya dengan kebebasan hak

pendidikan bagi tiap orang, metode pengajaran yang demokratis, administrasi dan

pengelolaan yang transparan, tanpa menanamkan dan mengajarkan hakikat dan nilai-

nilai luhur demokrasi, hak asasi dan hidup bermasyarakat yang madani itu sendiri.

Di lembaga pendidikan Islam, para siswa dan santri justru lebih banyak

mendapat pemahaman nilai-nilai tersebut dalam hidup berdemokrasi dan

menciptakan kerukunan masyarakat dari materi pendidikan agama Islam, seperti

pengajaran aqidah, akhlak, Al-Qur’an dan Hadits. Selain itu, pengajaran materi-

materi ini lebih mendapatkan perhatian dan waktu yang lebih banyak dibanding

pendidikan kewarganegaraan. Oleh karena itu, dominasi pendidikan agama ini

memungkinkan pendekatan religius lebih berpengaruh dalam mengimplementasikan

nilai-nilai demokrasi, HAM dan masyarakat madani di lingkungan pesantren dan

madrasah.

Dalam pendekatan religius ini, konsep tauhid yang diajarkan oleh Islam

merupakan esensi terpenting yang harus ada. Seseorang hanya akan dikatakan muslim

bila telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah

Rasulullah, serta meyakini bahwa tidak ada yang serupa dengan Allah.44 Tauhid

merupakan nilai yang paling fundamental dalam seluruh aspek kehidupan muslim,

termasuk pendidikan. Tauhid dalam pendidikan Islam –menurut tinjauan teolgis dan

filosofis – diarahkan pada dua dimensi, yaitu dimensi ketundukan vertikal antara

manusia dengan Allah (ḥabl min Allah) dan dimensi dialektika horizontal antara

manusia dengan manusia (ḥabl min al-nās).45 Dan dimensi kedua merupakan dasar

44 Dalam pemahaman akidah Islam, mentauhidkan Allah mencapai gradasi penyucian yang tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata, juga imajinasi rasio, dalam mendefinisikan hakikat zat Ilahi dan esensinya. Oleh karena itu, yang dilakukan adalah menafikan adanya sesuatu dari makhluk yang menyamai-Nya. Maka derajat tertinggi yang dapat dicapai oleh akal seorang muslim adalah menyatakan “tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS: Al-Syūrā: 11).

45 Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (t.tp: Friska Agung Insani, 2000), 111

13

Page 14: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

atau fundamen dalam konteks demokrasi, humanisme, dan civil society. Diantara poin

pokok dari dimensi tauhid dan ḥabl min al-nās ini adalah, pertama, bahwa dalam

ajaran tauhid, manusia hanya menjalin hubungan vertikal dengan Allah yang Esa,

maka ia mengharamkan feodalisme, kapitalisme, sosialisme, anarkisme maupun

otoritarianisme, karena sebenarnya manusia berasal dari spesies yang sama dan

memiliki kedudukan yang sama. Dengan kata lain tauhid menolak penindasan,

penganiayaan, diskriminatif, pelecehan seksual, pemiskinan,dan lain-lain. Kedua,

dalam pandangan tauhid, kehadiran dan keterlibatan seorang muslim di tengah

masyarakat adalah untuk berjuang di jalan Allah dalam membangun dan

mensejahterakan mereka.46

Amien Rais misalnya menyebut konsep tauhid dalam hubungan manusia

dengan manusia sebagai tauhid sosial, istilah ini mengacu kepada ajaran Islam yang

yang sangat kental dengan pemberdayaan masyarakat agar bisa bangun dan mandiri.47

Ia berpendapat bahwa konsep tauhid merupakan formula yang ampuh dalam

menggempur kesenjangan sosial. Dalam bukunya yang berjudul “Tauhid Sosial”,

Amien Rais menjelaskan bahwa peran penting tauhid dalam menumbuhkan nilai-nilai

demokrasi Islam yang berbeda dengan demokrasi konvensional yang muncul di dunia

barat. Menurutnya, yang dimaksud dengan demokrasi adalah musyawarah yang

mendasarkan pendapat dan kebenaran mutlak dari Allah, bukan dari rakyat semata.

Penyerahan kekuasaan mutlak pada rakyat tidak selamanya benar, karena pikiran

manusia seringkali keliru.48 Pendapat ini juga didukung oleh Al-Maududi yang

menyatakan bahwa demokrasi yang mengandalkan sumber kedaulatan pada rakyat

sangat riskan, karena manusia tidak selalu benar. Dalam demokrasi Islam pemerintah

dan rakyat harus memenuhi kehendak dan tujuan Tuhan.49

46 Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, 118

47 M. Amien Rais, Tauhid Sosial, cet. ke-3 (Bandung: Mizan, 1998), 1848 M. Amien Rais, Tauhid Sosial, 7049 Lihat juga, Andi Mardian, Teori Politik Islam Abu al-‘Ala al-Maududi antara Modernisme

dan Fundamentalisme, tesis Sps UIN Syaruf Hidayatullah, Jakarta, 2004, 51

14

Page 15: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Sedangkan kaitan antara tauhid dan keberagaman manusia dijelaskan oleh

Muhammad Imarah dalam bukunya al-Islām wa al-ta’addudiyyah Islam hanya

mengakui “ketunggalan” (yang tidak mempunyai sisi parsial dan bentuk plural)

semata bagi Zat Allah SWT dan tidak bagi makhluk, seluruh alam dan semua yang

ada di segala bidang dan dunia makhluk (materil, hewani, manusia dan pemikiran,

yaitu semua yang berdiri di atas kemajemukan, interelasi, serta yang tersusun dari

partikel-partikel lain yang terpisah.50 Dengan demikian Islam menjadikan pluralitas

sebagai fitrah dan sunnatullah di alam semesta.

Disamping tauhid, konsep etika51 Islam memberikan kontribusi akhlak yang

juga berperan dalam menanamkan nilai-nilai demokrasi, hak asasi dan civil society.

Hanya saja nilai-nilai ini berbeda dengan nilai-nilai yang diberikan oleh konsep

demokrasi, HAM dan civil society yang sekuler. Jika ajaran tauhid melahirkan konsep

demokrasi teologis, maka etika Islam menyentuh banyak hal tentang hak kebebasan

beragama, hak-hak wanita, anak dan kaum minoritas,52 etika tentang pluralisme53 dan

civil society.

50 Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, diterjemahkan dari buku aslinya “Al-Islām wa al-Ta’addudiyyah: al-Ikhtilāf wa al-Tanazzu’ Fi Ithār al-Wihdah” oleh Abdul Hayyie al_Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 10

51 Etika dalam kajian filsafat berarti ilmu akhlak, bukan akhlak itu sendiri. Namun dalam tradisi ilmiah Islam, etika dalam konteks tesis ini disebut etika religius yang merupakan gabungan antara etika skriptual (yang didasarkan sepenuhnya kepada Al-Qur’an dan Hadits), etika filosofis (yang lebih bersifat rasional), dan etika sufistik. Tema-tema yang diasung dalam etika religius adalah makārim al-akhlāq yang mengedepankan jenis akhlak terpuji dan tercela dengan nuansa spiritual yang sangat intens. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Filsafat Islam, Etika dan Tasawuf (Jakarta: Ushul Press UIN Syarif Hidayatullah, 2009), 57

52 Nabi sudah mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan dan penghormatan kepada manusia dalam masyarakat Madinah yang sangat heterogen sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah, yang pada intinya berisi tentang: (1) Prinsip persaudaraan yang menegaskan bahwa semua manusia berasal dari satu asal dan karenanya mereka itu bersaudara. (2) Prinsip saling menolong dan melindungi penduduk Madinah yang terdiri dari suku, agama dan bahasa, srta harus saling membantu dalam menghadapi lawan. (3) Prinsip melindungi yang lemah dan teraniaya. (4) Prinsip saling menasihati, (5) Prinsip kebebasan beragama. Lihat Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, 10

53 Ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an memberikan legitimasi secara esensi (essential legitimacy) terhadap agama-agama lain, yaitu, adanya pengakuan Al-Qur’an terhadap Ahli Kitab sebagai bagian dari komunitas masyarakat, dalam hal makanan dan perkawinan, hukum agama dan norma-norma ajaran lain. Lihat Supiyan Ramli, Menggagas Pluralisme dalam Islam (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2008), 97

15

Page 16: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Etika Islam atau al-akhlāq al-islāmiyyah muncul jauh lebih awal sebelum

adanya etika global (a global ethic)54. Etika global menekankan komitmen terhadap

budaya tanpa-kekerasan dan penghormatan terhadap hidup, solidaritas, toleransi dan

kejujuran, serta persamaan dan kemitraan antara pria dan wanita.55 Semua komitmen

tersebut merupakan perpanjangan dari hukum Islam yang mengharamkan

pembunuhan, pencurian, kebohongan dan perzinahan. Dalam konteks etika Islam,

humanisme dan pluralisme, Muhammad Ali menjelaskan perlunya paradigm shift

dari sikap beragama yang inhumane kepada yang humane. Paradigma humanis ini

adalah paradigma nilai, sikap, norma dan praktik keberagaman (religiosity) yang

mendukung kehidupan tanpa kekerasan dan damai, meningkatkan keadilan

masyarakat, menjunjung HAM, memajukan harmoni antarbudaya dan kelestarn

ekologis.56

Harun Nasution berpendapat bahwa etika Islam juga mengandung unsur-unsur

pancasila yang mencermikan nilai demokrasi dan HAM. Diantaranya, Islam

menganjurkan untuk hidup dengan penuh rasa kemanusiaan, persaudaraan, persatuan

umat, nasionalisme yang tinggi, budaya bermusyawarah dan berkeadilan.57 Selain itu,

etika Islam juga mengajarkan tentang kepemimpinan dan penghormatan terhadap

hak-hak wanita. Said Agil Al Munawwar mengatakan isu agama seringkali dipandang

sebagai sumber masalah atas terjadinya ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam

relasi laki-laki dan wanita. Masalahnya adalah, pertama, rendahnya pengetahuan dan

pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai agama yang menjelaskan peranan dan

fungsi wanita. Kedua, ditemukannya berbagai penafsiran ajaran agama yang kurang

proporsional sehingga merugikan kedudukan dan peranan wanita.58 Dan masih

54 Etika global dimaksudkan sebagai sumbangan dan jawaban agama-agama dunia terhadap problem kehidupan umat manusia pada era globalisasi.

55 M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), 210

56 Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural (Jakarta: Kompas, 2003), 10857 Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), 21858 Said Agil Husin Al Munawwar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan

Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 110

16

Page 17: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

banyak lagi ajaran-ajaran etika Islam yang berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi di

tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan uraian tersebut, dalam tesis ini, penulis ingin membuktikan

bahwa pendidikan agama bukanlah penghambat kemajuan pendidikan demokratis di

madrasah atau pesantren. Pendidikan agama yang menanamkan nilai tauhid dan etika

atau moral justru menjadi pendorong peranan dan fungsi pendidikan

kewarganegaraan (civic education) dalam menciptakan masyarakat madani. Sekaligus

sebagai komplementer dari demokratisasi pendidikan Islam. Selain itu, tesis ini juga

ingin membahas nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan civil society dalam

perspektif tauhid dan etika Islam. Untuk kemudian menjelaskan peran dan pengaruh

konsep tauhid dan etika Islam tersebut dalam membentuk paradigma baru pendidikan

demokratis di kalangan lembaga pendidikan Islam. Disamping itu, tesis ini

menawarkan pendekatan baru dalam mengembangkan pendidikan demokratis, yaitu

dengan pendekatan religius melalui pengajaran aqīdah (tauhid) dan akhlāq (etika).

Dengan demikian, objek yang menjadi kasus dalam tesis ini adalah materi dan

metode pembelajaran aqidah akhlak di madrasah. Oleh karena itu, penelitian ini layik

untuk dilakukan mengingat pentingnya pemahaman nilai-nilai demokrasi dan

kemanusiaan yang benar terhadap pembelajar demi mewujudkan masyarakat ideal

yang demokratis.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari paparan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi masalah-masalah

yang terkait dengan penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

a. Apakah peran pendidikan Islam di Indonesia dalam menciptakan keharmonisan

umat dapat dikembangkan melalui demokratisasi pendidikan Islam?

b. Apakah demokratisasi pendidikan Islam telah diaplikasikan secara maksimal

oleh lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren?

17

Page 18: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

c. Bagaimanakah pendidikan Islam demokratis menanamkan nilai-nilai kehidupan

masyarakat yang demokratis terhadap pembelajar?

d. Bagaimanakah nilai-nilai demokrasi, humanisme dan masyarakat madani

dipandang dalam perspektif tauhid dan etika Islam?

e. Bagaimanakah konsep tauhid dan etika Islam membangun pendidikan

demokratis di madrasah dan pesantren melalui pendekatan religius?

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa masalah yang teridentifikasi tersebut, penulis membatasi

permasalahan pada penelitian konsep tauhid dan etika dalam pendidikan agama

Islam dan fungsinya dalam penanaman nilai-nilai demokrasi, humanisme dan civil

society.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah tersebut, penulis merumuskan

masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: “Apakah pendidikan tauhid dan etika

Islam menjadi motivator atau inhibitor dalam pengembangan pendidikan

demokratis di madrasah dan pesantren?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini meliputi:

1. Meneliti hubungan kooperatif pendidikan agama dan pendidikan

kewarganegaraan dalam pengembangan demokratisasi pendidikan Islam.

2. Menganalisa dan mengkaji nilai-nilai demokrasi, humanisme dan civil society

dalam perspektif tauhid dan etika Islam.

3. Meneliti dan memaksimalkan peran dan fungsi tauhid dan etika Islam yang

terkandung dalam pendidikan aqidah akhlak dalam membangun paradigma baru

pendidikan demokratis.

D. Signifikansi Penelitian

18

Page 19: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:

1. Mengenalkan bahwa pendidikan demokratis di madrasah atau pesantren tidak

cukup difokuskan kepada kurikulum dan metode pengajaran yang demokratis,

tetapi juga harus menanamkan nilai demokrasi, humanisme dan civil society

islami kepada pembelajar.

2. Melengkapi teori, konsep dan pendekatan demokratisasi pendidikan yang telah

ada selama ini dengan pendekatan religius.

3. Menambah informasi tentang khazanah keilmuan Islam dalam dunia pendidikan

untuk membina masyarakat yang madani.

E. Penelitian-penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian dan pembahasan tentang pendidikan demokratis telah dilakukan

oleh beberapa penulis sebelumnya, baik yang berkaitan dengan pendidikan

demokratis ataupun peran konsep tauhid dan etika dalam pendidikan Islam. Diantara

kajian dan karya mereka yang relevan adalah tulisan Robert Jackson yang berjudul

Citizenship as Replacement for Religious Education or Religious Education as

Complementary to Citizenship Education.59 Dalam tulisan ini Jackson berkesimpulan

bahwa pendidikan agama tidak dapat digantikan atau dihapuskan dari sekolah, karena

pada dasarnya pendidikan agama berisi nilai yang sama dengan pendidikan

kewarganegaraan, maka pendidikan agama dapat menjadi complementer pendidikan

kewarganegaraan. Penelitian serupa juga tedapat dalam beberapa artikel lain,

diantaranya Educating for Citizenship: The Emerging Relationship between Relgious

Education and Citizenship Education60 yang ditulis oleh Jacqueline Watson dan

Democratic Citizenship and Religious Education: Challenges and Perspectives for

59 Robert Jackson, “Citizenship as Replacement for Religious Education or Religious Education as Complementary to Citizenship Education” dalam ed. Robert Jackson, International Perspective on Citizenship, Education and Religion Diversity (London: Routledge Falmer, 2003)

60 Jacqueline Watson, “Educating for Citizenship: The Emerging Relationship between Relgious Education and Citizenship Education,” dalam British Journal of Religious Education 1740-7931, vol. 26 (2004), 259-271, http://www.informaworld.com/smpp/quicksearch~db=all?quickterm= religious+education+and+citizenship+education&searchtype= (diakses pada tanggal 22 Desember 2010).

19

Page 20: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Schools in the Netherlands61 yang ditulis oleh Rob Freathy, Faith in School?:

Autonomy, Citizenship and Rligious Education in the Liberal State62 yang ditulis oleh

Ian MacMullen. Karya berikutnya ialah David Hargreaves dalam bukunya The

Mosaic of Learning: Schools and Teachers for the Next Century63 yang

berkesimpulan bahwa pendidikan agama merupakan penghambat tumbuhnya nilai-

nilai demokratis dalam masyarakat yang plural, oleh karena itu, pendidikan agama

dalam kurikulum harus diganti dengan pendidikan kewarganegaraan, atau dihapuskan

sama sekali.

Sedangkan penelitian yang berkaitan dengan pendidikan demokratis ditulis

oleh Ismariaty Munziah dalam tesisnya Demokratisasi Pendidikan Islam di

Indonesia,64 membahas tentang upaya demokratisasi melalui pengembangan

kurikulum dan pembelajaran pendidikan agama Islam di SMU/MA, pengembangan

dan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai model pendidikan

demokratis dalam PAI. Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah bahwa

demokratisasi pendidikan Islam di Indonesia dapat dilakukan dengan demokratisasi

kurikulum dan pembelajaran PAI. Tesis ini, lebih menfokuskan kajiannya pada

pendekatan demokrasi dalam kurikulum, seperti KTSP dan implementasi nilai

demkrasi dan pendekatan pembelajaran demokratis melalui pembelajaran quantum,

contextual Teaching and Learning, humanistik dan cooperative learning. Namun,

tidak membahas secara mendalam penanaman nilai-nilai demokrasi, humanisme dan

masyarakat madani dan kaitannya dengan tauhid dan etika dalam pendidikan agama

Islam.

61 Rob Freathy, “Democratic Citizenship and Religious Education: Challenges and Perspectives for Schools in the Netherlands,” dalam History of Education: Journal of the History of Education Society, 1464-5130, vol. 37 (2007), 295 – 316, http://www.informaworld.com/smpp/ quicksearch~db=all?quickterm=religious+education+and+citizenship+education&searchtype= (diakses pada tanggal 24 Desember 2010)

62 Ian MacMullen, Faith in School?: Autonomy, Citizenship and Rligious Education in the Liberal State (New Jersey: Princeton University Press, 2007)

63 David Hargreaves, The Mosaic of Learning: Schools and Teachers for the Next Century (London: Demos, 1994)

64 Ismariaty Munziah, Demokratisasi Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)

20

Page 21: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Penelitian selanjutnya adalah tesis yang bejudul Demokrasi dalam Sistem

Pendidikan Pesantren65, ditulis oleh Mukhyidin. Tesis ini secara umum membahas

tentang pemahaman dan kultur demokrasi di pesantren dan implementasi nilai-nilai

demokrasi baik di pesantren salafiyah maupun khalafiyah. Kesimpulan yang

dihasilkan adalah bahwa demokrasi yang ada di pesantren adalah demokrasi anomal

(anomalus democracy), yaitu demokrasi yang rancu, ganjil dan kontra produktif

dengan pakem demokrasi yang sesungguhnya yang disebabkan oleh masih banyaknya

praktek-praktek demokrasi tradisional yang incompatible dengan lebih

mengedepankan emosional.

Sedangkan dalm bukunya Paradigma Pendidikan Demokratis,66 Dede

Rosyada membahas secara rinci teori-teori demokratisasi dalam kurikulum dan

pembelajaran sebagai sebuah model pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan

pendidikan. Hanya saja buku ini, membahas secara umum pendidikan demokratis di

Indonesia, dan tidak membahas pendidikan demokratis dalam sistem pendidikan

Islam. Fuad Fachruddin dalam bukunya Agama dan Pendidikan Demokrasi67

membahas demokrasi, pendidikan kewarganegaraan dan masyarakat madani dalam

kaitannya dengan agama Islam di Indonesia yang diwakili oleh Muhammadiyah dan

Nahdlatul Ulama. Dalam buku ini, penulis banyak melakukan kajian secara

deskriptif, analitis dan komparatif mengenai nilai-nilai demokrasi dalam kedua

organisasi masyarakat tersebut. Selain itu, hubungan agama dan pendidikan

demokratis juga dibahas oleh Abdul Halim dalam bukunya Islam dan Demokrasi

Pendidikan68. Penelitian ini difokuskan pada kajian tentang demokrasi pendidikan

Islam dalam Perspektif ajaran Islam dan sejarah Pendidikan Islam.

65 Mukhyidin, Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)

66 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis (Jakarta: Prenada Media, 2004)67 Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan

Nahdlatul Ulama (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006)68 Abdul Halim, Islam dan Demokrasi Pendidikan (Kuala Lumpur: Angkatan Belia Islam

Malaysia (ABIM), 1989)

21

Page 22: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Sedangkan penelitian yang berkaitan dengan kajian akhlak dan tauhid serta

implementasinya dalam dunia pendidikan dilakukan oleh Burhanuddin Abdullah

dalam tesisnya Akhlak Sebagai Esensi Materi Pendidikan Islam. Tulisan ini berisi

tentang kedudukan akhlak sebagai materi pendidikan Islam yang berdiri sendiri,

unsur yang menjiwai materi pelajaran lainnya dan keterkaitan akhlak dengan metode

percontohan. Mohammad Irfan dan Mastuki dalam bukunya Teologi Pendidikan:

Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam69 menulis tentang esensi tauhid dalam

menjiwai perubahan sosial dan pendidikan Islam melalui wawasan kemanusiaan.

Penelitian-penelitian tersebut banyak membahas tentang demokratisasi

pendidikan di madrasah dan pesantren, baik dalam nilai kebebasan memperoleh

pendidikan, mengemukakan pendapat, berfikir kreatif-inovatif, kepemimpinan

sekolah yang demokratis dan metode pembelajaran yang berfokus pada keaktifan

pembelajar. Namun dalam tesis ini, penulis lebih banyak memaparkan tentang upaya

maksimalisasi esensi tauhid dan etika dalam menciptakan pendidikan demokratis,

humanisme dan masyarakat madani di madrasah dan pesantren.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Untuk mencapai tujuan pelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian

deskriptif-eksploratif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berkenaan

dengan hubungan antara berbagai variabel, menguji hipotesis dan mengembangkan

generalisasi, prinsip atau teori-teori yang memiliki validitas universal.70 Penelitian

ini berusaha mendeskripsikan konsep tauhid dan etika Islam dalam membentuk

paradigma baru pendidikan demokratis di madrasah atau pesantren.

2. Teknik Pengumpulan Data

69Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (t.tp: Friska Agung Insani, 2000)

70 Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional 1982), 120

22

Page 23: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Berdasarkan jenis penelitian tersebut, maka teknik pengumpulan data dan

informasi yang dilakukan adalah melalui penelitian kepustakaan (library

research)71 yaitu, penelitian yang menggunakan sumber-sumber dari tertulis,

seperti manuskrip, buku, majalah, surat kabar, dan dokumen lainnya. Selain

penelitian kepustakaan, informasi dan bahan penunjang juga diakses melalui

internet.

Disamping itu, penulis juga melakukan teknik komunikasi langsung, yaitu

teknik pengumpulan data dengan mempergunakan interview72 yaitu pengumpulan

informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab

secara lisan pula.

3. Pendekatan dan Analisa Data

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif. Penelitian ini digunakan untuk menghasilkan grounded theory, yaitu

teori yang timbul dari data, bukan dari hipotesis-hipotesis.73

Sedangkan analisis data yang digunakan adalah analisis dokumen atau anlisi

isi (content analysis)74 yaitu, telaah sistematis atas catatan-catatan atau dokumen-

dokumen sebagai sumber data. Kemudian seluruh data itu dikaji isinya secara

71 Sumardi Suryabrata, Metodologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press, 1989), 1672 Amirul Hadi dan H. Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia,

2005), 135. Sedangkan teknik komunikasi tidak langsung dilakukan dengan menggunakan angket atau kuesioner sebagai alatnya.

73 Amirul Hadi dan H. Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan, 14. Lihat juga Robert C. Bogdan dan Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education, cet. ke-3 (United States of America: Allyn & Bacon, 1998), 4. Lihat juga Sharan B. Merriam, Qualitative Research and Case Study Applications In Education (San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 1998), 3

74 Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan, 133. Lihat juga Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung, Rosda, 2008), 81.

23

Page 24: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

induktif, deduktif dan komparatif75 dengan menggunakan metode analitis kritis

(critical analysis).

4. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber data

primer dan sekunder. Sumber primer adalah buku-buku pelajaran pendidikan

agama Islam di madrasah, diantaranya adalah buku-buku tentang aqidah dan

akhlak sebagai sumber kajian untuk konsep tauhid dan etika Islam.

Sedangkan sumber sekunder adalah buku-buku yang membahas tentang

hubungan pendidikan dengan demokrasi, humanisme, masyarakat madani (civil

society dan demokratisasi pendidikan Islam.

G. Sistematika Pembahasan

Agar penulisan tesis ini sistematis, terarah dan tiap-tiap bab mempunyai

hubungan yang logis dengan bab lainnya, maka penulis mengklasifikasikan penelitian

ini kepada lima bab, yang terdiri dari satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan dan

satu bab penutup, berikut rinciannya:

Bab I merupakan pendahuluan yang menggambarkan landasan umum

penelitian ini, terdiri dari; latar belakang masalah, permasalahan yang terbagi pada

identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian,

penelitian terdahulu yang relevan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II dialokasikan untuk mendeskripsikan relasi pendidikan agama dan

pendidikan demokratis yang mencakup pembahasan mengenai hubungan agama,

budaya dan kewarganegaraan, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan

demokratis, pendidikan agama dan pendidikan moral, relasi pendidikan

kewarganegaraan dan pendidikan agama, aplikasi pendidikan agama dan

75 Sharan B. Merriam, Qualitative Research (San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 2009), 175

24

Page 25: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

kewarganegaraan dalam masyarakat pluralis-multikultural, serta pendidikan agama

dan kewarganegaraan di madrasah.

Bab III merupakan pembahasan yang menyangkut pendidikan demokrasi,

humanisme dan civil society dalam konsep tauhid dan etika Islam, yang berisi tentang

tauhid dan etika dalam perspektif pendidikan Islam, esensi tauhid dan etika Islam

dalam pembelajaran Aqidah Akhlak, kurikulum dan pembelajaran Aqidah Akhlak di

madrasah dan nilai-nilai pendidikan demokratis dalam pendidikan Aqidah Akhlak,

diantaranya: demokrasi, humanisme dan civil society.

Bab IV membahas tentang penyempurnaa demokratisasi pendidikan Islam

melalui pendekatan religius. Pembahasan yang termasuk dalam bab ini adalah

demokratisasi pendidikan Islam melalui pendekatan metode pembelajaran,

pendidikan demokratis melalui pendekatan religius dalam pembelajaran Aqidah

Akhlak, yang terdiri dari musyawarah, humanisme-religius, amar makruf nahi

mungkar dan dakwah islamiyyah, pendidikan Islam demokratis sebagai upaya

pembentukan karakter warga negara ideal dan manusia ideal, serta pendidikan Islam

demokratis sebagai problem solver dalam masyarakat. Dan bab V adalah penutup,

yang berisi kesimpulan dan saran.

OUTLINE

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Permasalahan

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

F. Metodologi Penelitian

G. Sistematika Pembahasan

BAB II: RELASI PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAAN DEMOKRATIS

25

Page 26: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

A. Agama, Budaya dan Kewarganegaraan

B. Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Demokratis

C. Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral

D. Relasi Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama

E. Aplikasi Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan dalam Masyarakat

Pluralis-Multikultural

F. Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan di Madrasah

BAB III: PENDIDIKAN DEMOKRASI, HUMANISME DAN CIVIL SOSIETY

DALAM KONSEP TAUHID DAN ETIKA ISLAM

A. Tauhid dan Etika dalam Perspektif Pendidikan Islam

B. Esensi Tauhid dan Etika Islam dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak

C. Kurikulum dan Pembelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah

D. Nilai-nilai Pendidikan Demokratis dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak:

1) Demokrasi

2) Humanisme

3) Civil Society

BAB IV: PENYEMPURNAAN DEMOKRATISASI PENDIDIKAN ISLAM

MELALUI PENDEKATAN RELIGIUS

A. Demokratisasi Pendidikan Islam melalui Pendekatan Metode

Pembelajaran

B. Pendidikan Demokratis melalui Pendekatan Religius dalam Pembelajaran

Aqidah Akhlak:

1) Musyawarah

2) Humanisme-Religius

3) Amar Makruf Nahi Mungkar

4) Dakwah Islamiyyah

C. Pendidikan Islam Demokratis sebagai Upaya Pembentukan Karakter:

26

Page 27: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

1) Warga Negara Ideal

2) Manusia Ideal

D. Pendidikan Islam Demokratis sebagai Problem Solver dalam Masyarakat

BAB V: PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. Teologi Pluralis-Multikultural. Jakarta: Kompas, 2003.

Apple, Michael W. dan James A. Beane. “The Case of Democratic School.” Dalam

Democratic School, ed. Michael W. Apple dan James A. Beane. Virginia:

ASCD, 1995.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. The Concept of Education in Islam: a

Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ABIM,

1980.

27

Page 28: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Azra, Azyumardi. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan

Demokratisasi. Jakarta: Kompas, 2006.

Biesta, Gert J.J.. Beyond Learning: Democratic Education for a Human Future.

London: Paradigm Publisher, 2006.

Bogdan, Robert C. dan Sari Knopp Biklen. Qualitative Research for Education. Cet.

ke-3. United States of America: Allyn & Bacon, 1998.

Bollag, Burton. “Indonesia tries Civic Education to promote Democratic Values.”

Jurnal The Chronicle of Higher Education 47 No.44 A.41 Jl 13 (2001),

http://vnweb.hwwilsonweb.com/hww/results/getResults.jhtml?_DARGS=/

hww/results_common.jhtml.35 (diakses pada tanggal 22 Desember 2010).

Carr, W. dan A. Hartnett. Education and the Struggle for Democracy: The Politics of

Educational Idea. Buckingham: Open University Press, 1996.

Dewey, John. Democracy and Education. New York: Macmillan, 1916.

Donnelly, Jack. Universal Human Rights in Theory and Practice. Cet. ke-2. New

York: Cornell University Press, 2003.

Engel, Michael. The Struggle for Control of Public Education: Market Ideology Vs

Democratic Values. Philadelphia: Temple University Press, 2000.

Fachruddin, Fuad. Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah

dan Nahdlatul Ulama. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.

Faisal, Sanapiah. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional 1982.

Al-Faruqi, Ismail Raji. Tauhid: Its Implications for Thought and Life. Kuala Lumpur:

The International Institute of Islamic Thought, 1982.

Freathy, Rob. “Democratic Citizenship and Religious Education: Challenges and

Perspectives for Schools in the Netherlands.” Dalam History of Education:

Journal of the History of Education Society, 1464-5130, vol. 37 (2007), 295

–316, http://www.informaworld.com/smpp/quicksearch~db=all?quickterm=

religious+education +and+citizenship+education&searchtype= (diakses

pada tanggal 24 Desember 2010).

Freeman, Michael. Human Rights. Cambridge: Polity Press, 2003.

28

Page 29: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Gutierez, Robert. “Spiritual Foundation for Civic Education.” Jurnal Taboo 9 No.1

Spring-Summer (2005). http://vnweb.hwwilsonweb.com/hww/results/get

Results.jhtml?DARGS= /hww/ results/results common.jhtml.35 (diakses

pada tanggal 22 Desember 2010).

Gutmann, Amy. Democratic Education. New Jersey: Princeton University Press,

1987.

Hadi, Amirul dan H. Haryono. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka

Setia, 2005.

Halim, Abdul. Islam dan Demokrasi Pendidikan. Kuala Lumpur: Angkatan Belia

Islam Malaysia, 1989.

Halstead, J. Mark dan Mark A. Pike. Citizenship and Moral Education: Values in

Action. New York: Routledge, 2006.

Hargreaves, David. The Mosaic of Learning: Schools and Teachers for the Next

Century. London: Demos, 1994.

Ibrahim, T. dan H. Darsono. Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP): Membangun Akidah dan Akhlak 1,2 dan 3 untuk Madrasah

Tsanawiyah. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009.

Imarah, Muhammad. Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam

Bingkai Persatuan. Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattanie. Jakarta:

Gema Insani Press, 1999.

Irfan, Mohammad dan Mastuki HS. Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma

Pendidikan Islam. T.tp: Friska Agung Insani, 2000.

Jackson, Robert. “Citizenship as Replacement for Religious Education or Religious

Education as Complementary to Citizenship Education?” Dalam

International Perspective on Citizenship, Education and Religion Diversity,

ed. Robert Jackson. London: Routledge Falmer, 2003.

Jackson, Robert. Rethinking Religious Education and Plurality. London and New

York: Routledge Falmer, 2005.

29

Page 30: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Jones, Ken. Democratic School Accountability; A Model for School Improvement.

Toronto, Oxford: Rowman & Littlefield Education, 2006.

Kartanegara, Mulyadhi. Filsafat Islam, Etika dan Tasawuf. Jakarta: Ushul Press UIN

Syarif Hidayatullah, 2009.

Lee, Gordon C. Education and Democratic Ideals. New York: Harcourt, Brace &

World, Inc., 1965.

Luth, Thohir. Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Perbedaan. Cet. ke-5.

Jakarta: Mediacita, 2006.

MacMullen, Ian. Faith in School?: Autonomy, Citizenship and Rligious Education in

the Liberal State. New Jersey: Princeton University Press, 2007.

Mardian, Andi. Teori Politik Islam Abu al-‘Ala al-Maududi antara Modernisme dan

Fundamentalisme. Jakarta: Tesis Sps UIN Syaruf Hidayatullah, 2004.

Mayer, Ann Elizabeth. Islam and Human Rights. Cet. ke-4. Amerika: Westview

Press, 2007.

Merriam, Sharan B. Qualitative Research and Case Study Applications In Education.

San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 1998.

Merriam, Sharan B. Qualitative Research. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher,

2009.

Muhtifah, Lailial. “Konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Institusi Pendidikan

Islam Zaman al-Makmun.” Dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed.

Suwito. Jakarta: Prenada Media Kencana, 2005.

Mukhyidin. Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: Tesis Sps UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Mulia, Musdah. Islam dan Hak Asasi Manusia. T.tp: Naufan Pustaka, 2010.

Al Munawwar, Said Agil Husin. Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem

Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Munziah, Ismariaty. Demokratisasi Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Tesis Sps

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

30

Page 31: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Nash, Robert. “A Letter to Secondary Teachers: Teaching about Religious Pluralism

in the Public Schools.” Dalam Educating Citizens for Global Awareness.

ed. Nel Noddings. New York: Teachers College Press, 2005.

Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1995.

Noddings, Nel. Philosophy of Education. Cet. ke-2. Colorado: Westview Press, 2007.

Rahayu, Yeni Dasti. Hak Asasi Manusia dalam Pendidikan Pesantren. Jakarta: Tesis

Sps UIN Syaruf Hidayatullah, 2009.

Rais, M. Amien. Tauhid Sosial. Cet. ke-3. Bandung: Mizan, 1998.

Ramli, Supiyan. Menggagas Pluralisme dalam Islam. Jambi: Sulthan Thaha Press,

2008.

Rosenblith, Suzanne dan Bea Bailey. “Comprehensive Religious Studies in Public

Education: Educating for a Religiously Literate Society.” Jurnal

Educational Studies (American Educational Studies Association) 42 No.2

(2007). http://vnweb. hwwilsonweb.com/hww/results/getResults.jhtml?

_DARGS=/hww/results_common.jhtml.35 (diakses pada tanggal 22

Desember 2010).

Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media, 2004.

Sanjaya, Wina. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Cet. ke-3. Jakarta: Kencana, 2008.

Sarhan, Munir al-Mursi. Fi Ijtima’iyyāt al-Tarbiyyah. Cet. ke-2. Mesir: Maktabah al-

Anglo al-Mishriyyah, 1978.

Setiawan, Bennni. Agenda Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2008.

Skeie, Geir. “What Do We Mean by Religion in Education.” Dalam Religion,

Spirituality and Identity, ed. Kirsi Tirri. Switzerland: Peter Lang AG, 2006.

Skeie, Geir. Plurality and Pluralism: a Challenge for Religious Education. T.tp:

British Journal of Religios Education, 1995.

Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung, Rosda, 2008.

Supratiknya, A. “Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.” Dalam Pendidikan

Manusia Indonesia, ed. Tonny D. Widiastono. Jakarta: Kompas, 2004.

31

Page 32: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Suryabrata, Sumardi. Metodologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press, 1989.

Syamsuddin, M. Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta:

Logos Wacana Ilmu, 2000.

Tarcov, Nathan. “The Meaning of Democracy.” Dalam Democracy, Education and

School, ed. Roger Soder. San Fransisco: Jossey Bass, 1996.

Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewargaan (Civil Education). Cet. ke-

3. Jakarta: Indonesian Center for Civic Education (ICCE), 2008.

Watson, Jacqueline. “Educating for Citizenship: The Emerging Relationship between

Relgious Education and Citizenship Education.” Dalam British Journal of

Religious Education 1740-7931, vol. 26 (2004)

http://www.informaworld.com/smpp/quicksearch~db=all?

quickterm=religious+education+and+citizenship+education&searchtype=

(diakses pada tanggal 22 Desember 2010).

Webster New World Dictionary. Diterjemahkan oleh Peter Salim. Jakarta: Modern

English Press, 1993.

Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk

Demokrasi dan Keadilan. Cet. ke-2. Yogyakarta: Pilar Media, 2007.

Yasmadi. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat Press, 2002.

PENDIDIKAN ISLAM DEMOKRATIS

DALAM KONSEP TAUHID DAN ETIKA ISLAM

Proposal Tesis

Diajukan untuk dipresentasikan dalam

Sidang Proposal Tesis

32

Page 33: prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc

Oleh:

Yulia Rahman

09.2.00.1.03.01.0023

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010

33