prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc
-
Upload
wenda-oktar -
Category
Documents
-
view
55 -
download
4
Transcript of prorposal KONSEP TAUHID DAN ETIKA.doc
PENDIDIKAN DEMOKRATIS
DALAM KONSEP TAUHID DAN ETIKA ISLAM
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan fondasi utama berdirinya sebuah peradaban.
Pendidikan dimulai sejak lahirnya manusia di bumi dan akan berlangsung selama
kehidupan itu berjalan. Seiring perkembangan zaman, pelaksanaan pendidikan
banyak mengalami problem. Di era modernisasi, proses globalisasi dengan
percepatan menggelindingnya liberalisasi ekonomi dan sisitem perdagangan bebas,
menghadapkan dunia pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak
sederhana. Ide reformasi pendidikan pun muncul dari pemikiran berbagai tokoh
intelektual untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Salah satu teori yang
dimunculkan adalah demokratisasi pendidikan.
Isu tentang sekolah demokratis di Indonesia memang relatif baru dan belum
terbiasa dalam wacana akademik bidang kependidikan, walaupun pekerjaannya sudah
dimulai sejak lama, bahkan mungkin sejak zaman orde baru, walaupin belum
spesifik.1 Istilah demokrasi sendiri diambil dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri
dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan,
maka demokrasi bermakna kekuasaan di tangan rakyat.2 Teori demokrasi ini
memberikan banyak pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk
pendidikan.
Pemahaman tentang pendidikan demokratis mengandung banyak teori dan
konsep dari berbagai kalangan pemikir pendidikan, diantaranya James A. Beane dan
1 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis (Jakarta: Prenada Media, 2004), 152 Nathan Tarcov, “The Meaning of Democracy,” dalam Democracy, Education and School,
ed. Roger Soder (San Fransisco: Jossey Bass, 1996), 2. Lihat juga Webster New World Dictionary, terj: Peter Salim, (Jakarta: Modern English Press, 1993), 150
1
Michael W. Apple3 dan Ken Jones,4 serta beberapa peneliti lain yang mengaitkan
hubungan pendidikan demokratis dengan proses perkembangan sosial masyarakat dan
lingkungan, baik tentang warga negara atau civil society, norma, hukum, hak dan
kewajiban, diantaranya John Dewey5, Nel Noddings6, Carr dan Hartnett7, Amy
Gutmann,8 Gert J.J. Biesta9 dan Michael Engel.10 Namun, pemahaman tentang konsep
dan model pendidikan demokratis secara global dan komprehensif dapat dirumuskan
3 Menurut mereka sekolah demokratis adalah sekolah yang mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah, yang secara umum mencakup struktur organisasi, prosedur kerja dan kurikulum yang bisa mengantarkan anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratis. Lihat Michael W. Apple dan James A. Beane, “The Case of Democratic School,” dalam Democratic School, ed. Michael W. Apple dan James A. Beane (Virginia: ASCD, 1995), 9
4 Pendapatnya adalah bahwa dalam sekolah yang mempunyai tujuan demokrasi, prestasi akademis bukan menjadi satu-satunya indikator kesuksesan sekolah. Penekanan tidak hanya pada aspek yang dipelajari, tapi juga memberikan kesempatan kepada pembelajar secara adil untuk belajar dan berbicara mengenai apa yang mereka pelajari. Lihat Ken Jones, Democratic School Accountability; A Model for School Improvement (Toronto, Oxford: Rowman & Littlefield Education, 2006), 7
5 Menurutnya, realisasi pembentukan social life yang memiliki daya kritis yang tajam dimana kemajuan dan penyesuaian diri menjadi perhatian penting, dapat membuat sebuah komunitas demokratis lebih menarik daripada komunitas lainnya. Dan semua kriteria tersebut dapat tercapai dengan adanya sistem pendidikan yang sesuai dan mengandung nilai-nilai demokrasi. Lihat John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 83
6 Pendapatnya adalah bahwa sekolah seharusnya tidak melulu mempromosikan tentang kompetisi yang adil antara individu dan tidak pula memperlakukan murid sesuai keinginan sekolah semata. Namun sekolah mesti diorganisasikan secara demokratis sebagai tempat dimana asosiasi kehidupan bisa dipraktekkan sebaik mungkin. Sekolah, merupakan miniatur masyarakat dimana murid-murid belajar mempromosikan lingkungan kelahiran dan tumbuh kembang mereka. Lihat Nel Noddings, Philosophy of Education, cet. ke-2 (Colorado: Westview Press, 2007), 39
7 Mereka berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan untuk demokrasi (education for democracy) adalah untuk meyakinkan bahwa masa depan seluruh warga negara harus disempurnakan dengan ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan yang menunjang partisipasi mereka dalam kehidupan demokrasi masyarakat. Lihat W. Carr dan A. Hartnett, Education and the Struggle for Democracy: The Politics of Educational Ideas (Buckingham: Open University Press, 1996), 192
8 Menurutnya, bahwa suatu masyarakat yang mendukung terciptanya kesadaran sosial yang tinggi harus mendidik seluruh warganya untuk mampu berpartisipasi secara kolektif dalam membentuk dan mengatur masyarakat mereka. Lihat Amy Gutmann, Democratic Education (New Jersey: Princeton University Press, 1987), 39
9 Dia menyatakan bahwa pendidikan demokratis sesungguhnya berada dalam komunitas masyarakat itu sendiri, bukan dalam institusi-institusi pendidikan. Sekolah hanya bisa menunjang dan mendukung masyarakat di sekitarnya untuk bertindak dan berprilaku secara demokratis. Lihat Gert J.J. Biesta, Beyond Learning: Democratic Education for a Human Future (London: Paradigm Publisher, 2006), 145
10 Pendapatnya adalah bahwa dalam perspektif demokrasi, seorang pria maupun wanita dapat berkembang secara sempurna sebagai manusia sesungguhnya hanya dalam konteks pergaulan dan
2
sebagaimana yang ditulis oleh Munir al-Mursi Sarhan dalam bukunya Fi Ijtimā’iyyat
al-Tarbiyyah dengan melihat hubungan antara demokrasi dan pendidikan itu sendiri
sebagai; pertama, pendidikan yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk
mendapat kesempatan belajar, berargumen dan memilih tanpa adanya diskriminasi11.
Kedua, pendidikan demokrasi adalah pendidikan nurani yang membangun
kepribadian seseorang sebagai individu dan civil society yang mampu menyelesaikan
masalah (problem solving) dan menciptakan perdamaian dalam masyarakat. Ketiga,
pendidikan yang mengandung nilai-nilai humanis, toleransi dan mengikutsertakan
masyarakat dalam proses pendidikan individu-individunya.12 Amy Gutmann
menambahkan bahwa pendidikan demokrasi didasarkan kepada; pertama, nilai
kebebasan moral, kedua, tidak hanya kebebasan memilih tetapi juga identifikasi dan
partisipasi dalam kebaikan bagi keluarga dan partisipasi politik kemasyarakatannya.
Setiap perilaku dibatasi dengan tingkah laku yang nonrepresif, prinsip nonrepresif ini
mencegah negara atau kelompok manapun menggunakan pendidikan untuk
membatasi deliberasi (pemikiran dan pertimbangan mendalam) rasional dalam
persaingan konsepsi mengenai kehidupan dan masyarakat yang baik.13
Lembaga pendidikan Islam di Indonesia seperti madrasah dan pesantren,
sebenarnya telah melaksanakan beberapa prinsip pendidikan demokratis tersebut.
Disamping ajaran Islam yang banyak mengandung unsur-unsur demokrasi,
persamaaan dan humanisme dalam aspek politik dan sosial, prinsip-prinsip tersebut
juga dapat rerlihat dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh Rasulullah
dan sahabat, baik di mesjid, rumah para pendidik, maupun toko-toko buku. Di masa
kejayaan Islam abad pertengahan, pemerintah mendukung perkembangan ilmu
relasi mereka dengan orang lain. Lihat Michael Engel, The Struggle for Control of Public Education: Market Ideology Vs Democratic Values (Philadelphia: Temple University Press, 2000), 51
11 Lihat juga Gordon C.Lee, Education and Democratic Ideals (New York: Harcourt, Brace & World, Inc., 1965), 11. Dalam bukunya ini, dia berpendapat bahwa etika demokrasi yang secara umum terdiri dari dua komitmen yaitu, memahami makna dari kesucian arti seorang manusia dan hak kuasanya untuk tidak mempercayai atau menyangsikan sesuatu, haruslah menjadi dasar atau landasan dalam menentukan kebijakan sosial dan pendidikan.
12 Munir al-Mursi Sarhan, Fi Ijtimā’iyyat al-Tarbiyyah, cet. ke-2 (Mesir: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, 1978), 256
13 Amy Gutmann, Democratic Education, 14
3
pengetahuan dengan menyediakan sarana dan prasarana pendidikan bagi setiap warga
negara tanpa diskriminasi ras, agama dan golongan apapun.14 Abdul Halim
berpendapat bahwa tumbuhnya prinsip demokrasi dalam sistem pendidikan Islam
bukan hanya sebuah keharusan, tapi kewajiban bagi pemerintah untuk
menyelenggarakannya mengingat pentingnya demokrasi menurut pandangan Islam.15
Selain itu, menurut Azyumardi Azra, pendidikan Islam -khususnya madrasah-
dapat disebut sebagai “pendidikan rakyat”. Ketika pendidikan umum sejak zaman
Belanda begitu sulit dimasuki anak-anak kaum santri dan cenderung dijauhi banyak
keluarga santri, maka madrasah –baik yang ada di lingkungan pesantren maupun
berdiri secara independen di bawah yayasan pendidikan Islam tertentu. Maka
pendidikan Islam hampir menjadi satu-satunya alternatif pendidikan bagi banyak
keluarga muslim. Salah satu ciri penting pendidikan Islam sebagai pendidikan rakyat
adalah bahwa ia merupakan pendidikan yang murah dan karena itu dapat dijangkau
siapa saja. Hal ini karena beban pembiayaan pendidikan sebagian besarnya dipikul
oleh komunitas muslim sendiri.16 Pendidikan yang melibatkan masyarakat dalam
penyelenggaraannya ini merupakan suatu bentuk pendidikan demokratis yang dikenal
dengan pendidikan berbasis masyarakat.17
14 Pada masa Khalifah Al-Makmun, didirikan sebuah lembaga pendidikan Islam Bayt al-Hikmah. Di lembaga ini, nilai-nilai demokrasi sangat dihormati, misalnya kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan kesetaraan. Lihat Lailial Muhtifah, “Konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Institusi Pendidikan Islam Zaman al-Makmun,” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2005), 29
15 Abdul Halim, Islam dan Demokrasi Pendidikan (Kuala Lumpur: Angkatan Belia Islam Malaysia, 1989), 93
16 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi (Jakarta: Kompas, 2006), 147
17 Pendidikan berbasis masyarakat merupakan pemberdayaan sistem pendidikan di masyarakat dengan agenda: (1) Memobilisasi sumber daya setempat maupun dari luar dalam rangka meningkatkan peran masyarakat untuk ambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan. (2) Meningkatkan rasa pemilikan masyarakat terhadap sekolah dengan cara ikut bertanggung jawab atas pelaksanaannya lewat kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima keragaman. (3) Mendukung masyarakat, khususnya orang tua peserta didik, untuk mengambil peran yang jelas dalam pelaksanaan pendidikan dalam rangka desentralisai. (4) Mendorong peran masyrakat dalam mengembangkan inovasi kelembagaan untuk mempertegas peran sekolah, meningkatkan mutu, relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan sekolah, serta membuka kesempatan yang lebih besar untuk bersekolah dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar. Lihat A.Supratiknya, “Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,” dalam Pendidikan Manusia Indonesia, ed.
4
Meskipun demikian, masa depan pendidikan Islam di Indonesia tidak begitu
saja terlepas dari berbagai masalah yang menyangkut demokrasi, baik yang
ditentukan oleh faktor internal maupun eksternal. Secara internal, dunia pendidikan
Islam masih menghadapi masalah pokok berupa rendahnya kualitas sumber daya
manusia, perekrutan tenaga pegawai yang kurang efektif dan sebagainya. Sedangkan
faktor eksternal yang mempengaruhi pendidikan Islam di Indonesia diantaranya
adalah globalisasi18, liberalisasi Islam19 dan demokratisasi itu sendiri.
Jika dalam dunia pendidikan Indonesia secara umum terjadi berbagai masalah
dan kemelut yang diakibatkan oleh minimnya pemahaman dan pengajaran tentang
demokrasi, maka madrasah dan pesantren yang identik sebagai lembaga pendidikan
Islam pun tidak lepas dari problem tersebut. Misalnya, masalah pendidikan yang
mahal, sehingga tidak semua orang yang bisa menikmati pendidikan. Pendidikan bias
gender yang masih terjadi di beberapa pesantren atau madrasah. Contoh lainnya
adalah budaya korupsi yang juga merambah dunia pendidikan Islam. Penyelewangan
dana, sarana dan prasarana pendidikan juga terjadi di kalangan pengelola madrasah.
Kekerasan, pelecehan seksual, individualitas, humanisme, penolakan terhadap
pluralisme, tawuran dan lain sebgainya. Masalah-masalah tersebut berakar dari
kegagalan pendidikan demokratis yang dijalankan hanya secara teoritis semata, tanpa
adanya semangat untuk mengembangkan budaya demokrasi dan humanis di lembaga
pendidikan formal, informal ataupun non-formal.
Dalam pendidikan formal di Indonesia, pengajaran materi kewarganegaraan
merepresentasikan pendidikan demokratis, karena dalam materi ini tercakup semua
Tonny D. Widiastono (Jakarta: Kompas, 2004), 361 18 Faktor globalisasi yang berupa penetrasi budaya global terhadap kehidupan masyarakat
mendapatkan respon yang bermacam-macam, baik permisif, defensif maupun transformatif. Permisif berarti cenderung menerima begitu saja pola dan model budaya global yang dialirkan melalui teknologi informasi, tanpa memahami nilai dan substansinya. Defensif berarti akan bersikap apriori terhadap capaian budaya dan peradaban global, semata-mata karena ia tidak datang dari tradisi yang diikuti selama ini. Transformatif berarti sika berusaha mendialogkan antara budaya global dengan budaya lokalsehingga terjadi sintesis budaya yang dinamis dan harmonis.
19 Faktor liberalisasi Islam berkembang baik secara ekstrim yang berarti mengabaikan sama sekali teks-teks suci ketika membahas isu-isu yang memang tidak dijelaskan secara eksplisit di dalamnya, maupun secara moderat yang menyadari perlunya penafsiran yang bebas terhadap teks-teks suci sejauh konsisten dengan nilai dasar yang dikandungnya.
5
hal tentang demokrasi, baik teori maupun praktek, hak asasi manusia, masyarakat
madani dan lain-lain. Salah satu cara untuk mengembangkan kultur demokratis
berkeadaban (civilitized democracy) adalah melalui program Pendidikan Kewargaan
yang dilakukan melalui cara-cara demokratis oleh pengajar yang demokratis untuk
tujuan demokrasi.20 Sedangkan pendidikan tauhid dan etika Islam direpresentasikan
oleh pendidikan aqidah dan akhlak, karena didalamnya terkandung pembelajaran
ketauhidan, seperti keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa, Rasul Allah, Qadha dan
Qadar, Hari Akhir, akhlaq terpuji dan akhlaq tercela.21
Pendidikan kewarganegaraan22 sebagai suatu bentuk pendidikan demokrasi
muncul sejak lahirnya konsep demokrasi dalam sistem politik.23 Di era reformasi,
keberlangsungan dan keberhasilan pendidikan ini pun memerlukan reformasi dalam
bidang pendidikan. Reformasi tersebut adalah: (1) Kebebasan demokrasi di sekolah
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk aktif berpartisipasi dalam
mengambil keputusan, merencanakan dan melaksanakannya.24 (2) Pendidikan
20 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), cet. ke-3 (Jakarta: Indonesian Center for Civic Education (ICCE), 2008), 14.
21 T. Ibrahim dan H. Darsono, Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP): Membangun Akidah dan Akhlak 1,2 dan 3 untuk Madrasah Tsanawiyah (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009)
22 Menurut Azyumardi Azra, pendidikan kewarganegaraan diposisikan sebagai pengganti pendidikan patriotisme dan pertahanan nasional, yang dikenal sebagai "pendidikan kewiraan" yang mengandung indoktrinasi militeristik yang menekankan kesatuan Nasional dan mengorbankan keanekaragaman nasional." Lihat Burton Bollag, “Indonesia tries Civic Education to promote Democratic Values,” Jurnal dari The Chronicle of Higher Education 47 No.44 A.41 Jl 13 (2001), http://vnweb.hwwilsonweb.com/hww/results/getResults.jhtml?_DARGS=/hww/results_common.jhtml.35 (diakses pada tanggal 22 Desember, 2010)
23 Demokrasi periode 1945-1959 disebut Demokrasi Parlementer. Namun, karena budaya demokrasi masa itu masih lemah, maka demokrasi model ini memberi peluang yang sangat besar kepada partai-partai politik untuk mendominasi kehidupan social politik. Demokrasi periode 1959-1965 disebut Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) yang bercirikan dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara dalam panggung politik nasional. Demokrasi periode 1965-1998 dikenal dengan Demokrasi Pancasila yang menawarkan tiga komponen demokrasi, yaitu demokrasi dalam bidang politik, ekonomi dan hokum. Dan demokrasi periode pasca Orde Baru yang dikenal juga dengan era Reformasi, termasuk reformasi system demokrasi di berbagai aspeknya. Lihat A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), 46
24 Reformasi ini dimulai dengan program KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yaing disusun berdasarkan amanat dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lihat Masnur Muslich, KTSP: Dasar Pemahaman dan Pengembangan (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 1. Dan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa,
6
kebhinekaan yang menghargai dan mengakomodasi latar belakang seseorang yang
menyangkut nilai, budaya, sosial, ekonomi, bahkan problem kemampuan.25 Dan (3)
Reformasi materi civil education atau pendidikan kewarganegaraan, karena
mengandung tiga aspek pendidikan demokrasi yang meliputi aspek sejarah dan asal
mula demokrasi dan perkembangannya, jiwa demokrasi dalam pancasila dan UUD
1945 serta tantangan demokrasi di era modern.26
Selain poin-poin tersebut, pendidikan demokratis juga menuntut pengajaran
tentang hak asasi manusia yang menjadi isu global yang strategis. Diantara materi
pengajaran HAM tersebut adalah memperkenalkan definisi HAM, sejarah dan
perkembangannya, pengaruh demokrasi terhadap HAM, serta proses pelanggaran dan
pengadilan HAM kepada peserta didik. Beberapa lembaga pendidikan Islam bahkan
mengenalkan HAM dalam perspektif Islam.27 Kenyataannya, pesantren dan madrasah
tidak menolak konsep HAM yang dibuat oleh masyarakat internasional. Islam
memiliki ajaran-ajaran yang universal dan mengandung unsur-unsur HAM yang
sempurna, oleh karena itu pesantren dan madrasah mengaplikasikan HAM sebagai
implementasi dari tauhid.28
Disamping itu, korelasi antara pendidikan kewarganegaraan dengan
pendidikan demokratis juga mengikutsertakan pengajaran tentang masyarakat madani
atau civil society. Masyarakat madani ini memiliki beberapa unsur pokok yaitu,
penilaian, kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya pendidikan. Lihat Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, cet. ke-3 (Jakarta: Kencana, 2008), 6
25 Reformasi ini diwujudkan dalam Pendidikan Multikultural, yaitu strategi pendidikan yang yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa, seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Lihat M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, cet. ke-2 (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), 25
26 Bennni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Ar-ruzz Media,2008), 8127 Diantara konsep HAM yang terdapat dalam ajaran Islam adalah kebebasan beragama, hak
asasi perempuan, anak dan kelompok minoritas. Lihat Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia (t.tp: Naufan Pustaka, 2010), 53, 98, 236 dan 264. Lihat juga Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights, cet. ke-4 (Amerika: Westview Press, 2007), 47.
28 Yeni Dasti Rahayu, Hak Asasi Manusia dalam Pendidikan Pesantren, tesis Sps UIN Syaruf Hidayatullah, Jakarta, 2009, 61
7
wilayah publik yang bebas (free public sphere),29 demokrasi, toleransi, kemajemukan
(pluralism) dan keadilan sosial.30
Nurcholis Madjid bahkan mengawali rumusan masyarakat madani dengan
istilah demokrasi. Demokrasi yang ditegakkan adalah untuk mewujudkan civil society
dengan menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup (way of life). Ia kemudian
mengemukakan beberapa noktah penting pandangan hidup demokratis dalam
masyarakat madani, antara lain: (1) Pentingnya kesadaran kemajemukan. (2)
Kedewasaan untuk tulus menerima kemungkinan kompromi, mengemukakan,
mendengarkan dan menerima perbedaan pendapat. (3) Menolak monolitisme dan
absolutisme. (4) Keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan. (5) Ketulusan
dalam mewujudkan tatanan sosial yang baik untuk semua. (6) Pemenuhan kebutuhan
sesuai dengan tujuan dan praktek demokratis. (7) Pengakuan dan kebebasan hak
nurani (freedom of conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua
(egalitarianism). (8) Pentingnya mensosialisasikan “demokrasi” melalui sarana
pendidikan. (9) Mengaplikasikannya dalam kehidupan.31
Pokok-pokok pembahasan yang menyangkut masyarakat madani demokratis
tersebut terangkum dalam materi civic education yang dipelajari di sekolah-sekolah,
termasuk lembaga pendidikan Islam. Namun, differensiasi yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pendidikan Islam memiliki ciri khas yang cukup signifikan, yaitu
pendidikan berbasis ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadits). Di lembaga pendidikan
Islam, pengajaran agama bukan hanya sebagai pelengkap, tapi justru memiliki
kedudukan yang sangat penting, sama pentingnya dengan materi-materi umum
29 Ruang publik yang bebas merupakan sarana untuk mengemukakan pendapat warga masyarakat, dimana mereka memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi social dan politik tanpa rasa takut dan terancam.
30 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), 202. Lihat juga Thohir, Luth, Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Perbedaan, cet. ke-5 (Jakarta: Mediacita, 2006), 55
31 Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 52. Dia mengutip pendapat Nurcholis Madjid “Masyarakat Madani dalam Perspektif Aagama dan Politik, Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani”, makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional di Auditorium IAIN Jakarta, 22 Februari 1999, 8-10
8
lainnya. Keseimbangan ini memungkinkan pendidikan demokratis berkembang lebih
sempurna dengan adanya dukungan dan motivasi demokrasi dalam ajaran Islam.
Meskipun demikian, beberapa pemikir pendidikan mengemukakan argumen
mereka tentang hubungan dan peran pengajaran agama dalam pengembangan
pendidikan demokratis. Pendapat yang kontra muncul dari kesimpulan David
Hargreaves dalam bukunya The Mosaic of Learning: Schools and Teachers for the
Next Century menyatakan bahwa dalam masyarakat sekuler dan plural, pendidikan
agama tidak bisa dijadikan landasan untuk pendidikan kewarganegaraan. Menurut
Hargreaves, untuk menciptakan kehidupan yang harmoni antara masyarakat yang
plural, pendidikan agama harus dihapuskan dari seluruh sekolah karena pendidikan
agama dianggap memiliki tujuan moral. Sedangkan dalam masyarakat yang plural,
tidak ada konsensus antara agama dan moral. Selain itu, Hargreaves juga
menawarkan solusi lain, yaitu bahwa pendidikan agama di sekolah-sekolah harus
digantikan dengan pendidikan kewarganegaraan (demokrasi), karena pendidikan
kewarganegaraan lebih berhasil dalam menanamkan pendidikan moral.32
Pendapat yang berlawanan dinyatakan oleh Robert Jackson dalam tulisannya
Citizenship as Replacement for Religious Education or Relogious Education as
Complementary to Citizenship Education? Dia menyatakan bahwa pendapat
Hargreaves mengenai penggantian pendidikan agama oleh pendidikan
kewarganegaraan mengandung kerancuan. Dia secara tegas membuktikan bahwa
pendidikan agama memiliki peran yang besar untuk mengembangkan pendidikan
kewarganegaraan (demokrasi). Misalnya, adanya analisis agama dalam menciptakan
konsep tentang etnik, komunitas dan nasionalitas. Atau peran agama dalam
membentuk pemahaman yang baik antara masyarakat yang plural.33 Argumen ini
32 David Hargreaves, The Mosaic of Learning: Schools and Teachers for the Next Century (London: Demos, 1994), 27 & 30
33 Robert Jackson, “Citizenship as Replacement for Religious Education or Religious Education as Complementary to Citizenship Education?” dalam International Perspective on Citizenship, Education and Religion Diversity, ed. Robert Jackson (London: Routledge Falmer, 2003), 67. Lihat juga Robert Jackson, Rethinking Religious Education and Plurality: Issues in Diversity and Pedagogy (London and New York: Routledge Falmer, 2005), 131
9
dikuatkan oleh Geir Skeie dalam tulisannya “What Do We Mean by Religion in
Education” (2006). Dia berpendapat bahwa pendidikan agarma memberikan
kontribusi yang cukup besar dalam masyarakat modern yang plural, seperti adanya
materi ajar tentang keharmonisan sosial (nilai kebersamaan, dialog, hak asasi manusia
dan kerjasama) dan pengembangan kepribadian (spiritual, kepercayaan dan identitas
diri).34 Pendidikan agama juga mengintegrasikan antara sosial dan personal. Dia
memandang pendidikan agama sebagai ilmu yang mendorong murid-murid untuk
berpartisipasi dengan orang lain.35
J. Mark Halstead dan Mark A. Pike dalam bukunya Citizenship and Moral
Education: Values in Action, berpendapat bahwa pendidikan moral tidak bisa
dipisahkan dari pendidikan agama. Pendidikan agama memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap spiritual, moral dan perkembangan budaya murid. diantara nilai
yang paling banyak ditanamkan oleh pendidikan agama adalah toleransi, rasa hormat
dan cinta pada orang lain. Pendidikan agama juga merupakan area dimana murid
diperkenalkan dengan isu-isu etika, seperti, euthanasia, etika pengobatan, kemiskinan,
bersikap baik terhadap sesama manusia, hewan dan lingkungan. Begitu juga dengan
isu-isu pendidikan kewarganegaraan, seperti moral, komitmen, rasa percaya, kaum
minoritas dan lain-lain.36 Robert Gutierrez menguatkan pendapat ini dengan
mengatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan saat ini membutuhkan landasan
spiritual (Spiritual Fondation) yang bersumber dari agama, kerena agama memiliki
nilai motivasi moral yang tinggi terhadap penganutnya, sekalipun dalam negara yang
menganut sekulerism antara agama dan negara.37
34 Geir Skeie, “What Do We Mean by Religion in Education,” dalam Religion, Spirituality and Identity, ed. Kirsi Tirri (Switzerland: Peter Lang AG, 2006), 86
35 Geir Skeie, Plurality and Pluralism: a Challenge for Religious Education (t.tp: British Journal of Religios Education, 1995), 84-91
36 J. Mark Halstead dan Mark A. Pike, Citizenship and Moral Education: Values in Action (New York: Routledge, 2006), 104
37 Robert Gutierez, “Spiritual Foundation for Civic Education,” Jurnal dari Taboo 9 No.1 Spring-Summer (2005), 69, http://vnweb.hwwilsonweb.com/hww/results/getResults.jhtml?DARGS= /hww/ results/results common.jhtml.35 (diakses pada tanggal 22 Desember 2010).
10
Peneliti lain seperti Suzanne Rosenblith dan Bea Bailey berpendapat bahwa
pendidikan agama yang dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif di sekolah
umum mampu memberikan pandangan dan pemahaman baru terhadap siswa tentang
perbedaan dan keharmonisan hidup dalam masyarakat plural. Pendidikan agama ini
bertujuan untuk mengenalkan berbagai ajaran agama tentang penghormatan,
perdamaian, toleransi dan kemanusiaan.38 Robert Nash dalam penelitiannya tentang
public school di United States juga menganjurkan pendekatan religius dengan
mengenalkan literatur-literatur agama kepada pembelajar. Menurutnya, setelah
peristiwa 11 September 2002, banyak terjadi missunderstanding dalam pluralitas
beragama. Sehingga diperlukan metode dan pendekatan baru untuk pembelajaran
civic education sebagai media pembentukan civil society.39
Terdapat juga perdebatan seputar hubungan dan peran budaya, agama dan
kondisi masyarakat terhadap pendidikan hak asasi manusia. Perdebatan tersebut
menyangkut universalitas dan partikular HAM yang tercermin dalam dua teori yang
berlawanan. Pertama, teori relativisme kultural yang berpandangan bahwa tidak ada
hak yang universal, semua tergantung pada kondisi sosial masyarakat yang ada, nilai-
nilai moral, budaya dan agama. Oleh karena itu HAM harus dikontekstualisasikan.
Kedua, teori universalitas HAM berargumen bahwa semua nilai-nilai HAM adalah
bersifat universal dan tidak bisa dimodifikasi dengan adanya perbedaan kondisi
sosial, budaya dan agama daerah tertentu.40
Berdasarkan perdebatan pendapat tersebut, tesis ini berusaha membuktikan
adanya peran dan pengaruh yang besar dari pendidikan atau pengajaran dengan
38 Suzanne Rosenblith dan Bea Bailey, “Comprehensive Religious Studies in Public Education: Educating for a Religiously Literate Society,” Jurnal dari Educational Studies (American Educational Studies Association) 42 No.2 (2007), 93-111, http://vnweb.hwwilsonweb.com/hww/ results/getResults.jhtml?_DARGS=/hww/results_common.jhtml.35 (diakses pada tanggal 22 Desember 2010).
39 Robert Nash, “A Letter to Secondary Teachers: Teaching about Religious Pluralism in the Public Schools,” dalam Educating Citizens for Global Awareness, ed. Nel Noddings (New York: Teachers College Press, 2005), 94
40 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 131. Lihat juga, Michael Freeman, Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2003), 108 dan Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, cet. ke-2 (New York: Cornell University Press, 2003), 90
11
materi atau metode Islam terhadap pendidikan demokratis di lembaga pendidikan
Islam, karena itu diperlukan fungsionalisasi yang maksimal. Konsep tauhid dan etika
merupakan esensi prinsipil dari ajaran Islam dan tidak dapat dipisahkan dari seluruh
aspek pendidikan di dunia Islam, termasuk dalam aspek pendidikan demokratis yang
juga diadopsi di madrasah maupun pesantren. Kedua konsep tersebut terangkum
dalam pembelajaran aqidah dan akhlak. Urgensi pendidikan tauhid ini dan etika ini
diungkapkan oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya Tauhid: Its Implications for
Thought and Life. Dia menekankan pentingnya esensi tauhid sebagai visi dari seluruh
jenis pendidikan Islam. Tauhid merupakan jiwa dari semua pemikiran (ilmu) di setiap
aspek kehidupan.41 Sedangkan Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya The
Concept of Education in Islam: a Framework for an Islamic Philosophy of
Education, Kuala Lumpur, 1980) menjelaskan konsep ta’dib-nya, Al-Attas
mengatakan bahwa tujuan akhir pendidikan dalam Islam ialah menghasilkan manusia
yang baik, dan bukan seperti peradaban barat, warga negara yang baik. Manusia yang
baik adalah manusia adab, yaitu meliputi kebaikan hidup material dan spiritual. 42
Teori ini mengkonsolidasi urgensi tauhid dan etika Islam dalam seluruh sistem
pendidikan Islam
Selanjutnya, dengan memperhatikan perkembangan pendidikan demokratis di
Indonesia, dalam hal ini direpresentasikan oleh pendidikan kewarganegaraan, telah
mengalami banyak kendala bahkan kegagalan43 dalam menciptakan budaya hidup
yang demokratis, pemahaman yang benar tentang hak asasi manusia dan masyarakat
madani. Bukan hanya itu, beberapa pengembangan kurikulum seperti KTSP dan
pendidikan multikultural belum dijalankan secara maksimal. Problem terbesarnya
41 Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid: Its Implications for Thought and Life (Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought, 1982), 30
42 Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: a Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ABIM, 1980), 39
43 Kegagalan pendidikan demokratis dapat dilihat dari tiga aspek yang saling berkaitan. Pertama, secara substantive, pelajaran PPKn, Pendidikan Pancasila dan Kewiraan tidak dipersiapkan sebagai materi pendidikan demokratis dan kewarganegaraan. Kedua, secara metodologi pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentif, monologis dan tidak partisipatoris. Ketiga, subjek material lebih bersifat teoritis daripada praktis. Lihat Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, 158
12
adalah tidak hanya karena minimnya pendekatan yang dilakukan oleh penyelenggara
pendidikan untuk mencapai tujuan demokrasi tersebut. Tetapi juga karena
demokratisasi yang dilakukan hanya sebatas kaitannya dengan kebebasan hak
pendidikan bagi tiap orang, metode pengajaran yang demokratis, administrasi dan
pengelolaan yang transparan, tanpa menanamkan dan mengajarkan hakikat dan nilai-
nilai luhur demokrasi, hak asasi dan hidup bermasyarakat yang madani itu sendiri.
Di lembaga pendidikan Islam, para siswa dan santri justru lebih banyak
mendapat pemahaman nilai-nilai tersebut dalam hidup berdemokrasi dan
menciptakan kerukunan masyarakat dari materi pendidikan agama Islam, seperti
pengajaran aqidah, akhlak, Al-Qur’an dan Hadits. Selain itu, pengajaran materi-
materi ini lebih mendapatkan perhatian dan waktu yang lebih banyak dibanding
pendidikan kewarganegaraan. Oleh karena itu, dominasi pendidikan agama ini
memungkinkan pendekatan religius lebih berpengaruh dalam mengimplementasikan
nilai-nilai demokrasi, HAM dan masyarakat madani di lingkungan pesantren dan
madrasah.
Dalam pendekatan religius ini, konsep tauhid yang diajarkan oleh Islam
merupakan esensi terpenting yang harus ada. Seseorang hanya akan dikatakan muslim
bila telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah, serta meyakini bahwa tidak ada yang serupa dengan Allah.44 Tauhid
merupakan nilai yang paling fundamental dalam seluruh aspek kehidupan muslim,
termasuk pendidikan. Tauhid dalam pendidikan Islam –menurut tinjauan teolgis dan
filosofis – diarahkan pada dua dimensi, yaitu dimensi ketundukan vertikal antara
manusia dengan Allah (ḥabl min Allah) dan dimensi dialektika horizontal antara
manusia dengan manusia (ḥabl min al-nās).45 Dan dimensi kedua merupakan dasar
44 Dalam pemahaman akidah Islam, mentauhidkan Allah mencapai gradasi penyucian yang tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata, juga imajinasi rasio, dalam mendefinisikan hakikat zat Ilahi dan esensinya. Oleh karena itu, yang dilakukan adalah menafikan adanya sesuatu dari makhluk yang menyamai-Nya. Maka derajat tertinggi yang dapat dicapai oleh akal seorang muslim adalah menyatakan “tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS: Al-Syūrā: 11).
45 Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (t.tp: Friska Agung Insani, 2000), 111
13
atau fundamen dalam konteks demokrasi, humanisme, dan civil society. Diantara poin
pokok dari dimensi tauhid dan ḥabl min al-nās ini adalah, pertama, bahwa dalam
ajaran tauhid, manusia hanya menjalin hubungan vertikal dengan Allah yang Esa,
maka ia mengharamkan feodalisme, kapitalisme, sosialisme, anarkisme maupun
otoritarianisme, karena sebenarnya manusia berasal dari spesies yang sama dan
memiliki kedudukan yang sama. Dengan kata lain tauhid menolak penindasan,
penganiayaan, diskriminatif, pelecehan seksual, pemiskinan,dan lain-lain. Kedua,
dalam pandangan tauhid, kehadiran dan keterlibatan seorang muslim di tengah
masyarakat adalah untuk berjuang di jalan Allah dalam membangun dan
mensejahterakan mereka.46
Amien Rais misalnya menyebut konsep tauhid dalam hubungan manusia
dengan manusia sebagai tauhid sosial, istilah ini mengacu kepada ajaran Islam yang
yang sangat kental dengan pemberdayaan masyarakat agar bisa bangun dan mandiri.47
Ia berpendapat bahwa konsep tauhid merupakan formula yang ampuh dalam
menggempur kesenjangan sosial. Dalam bukunya yang berjudul “Tauhid Sosial”,
Amien Rais menjelaskan bahwa peran penting tauhid dalam menumbuhkan nilai-nilai
demokrasi Islam yang berbeda dengan demokrasi konvensional yang muncul di dunia
barat. Menurutnya, yang dimaksud dengan demokrasi adalah musyawarah yang
mendasarkan pendapat dan kebenaran mutlak dari Allah, bukan dari rakyat semata.
Penyerahan kekuasaan mutlak pada rakyat tidak selamanya benar, karena pikiran
manusia seringkali keliru.48 Pendapat ini juga didukung oleh Al-Maududi yang
menyatakan bahwa demokrasi yang mengandalkan sumber kedaulatan pada rakyat
sangat riskan, karena manusia tidak selalu benar. Dalam demokrasi Islam pemerintah
dan rakyat harus memenuhi kehendak dan tujuan Tuhan.49
46 Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, 118
47 M. Amien Rais, Tauhid Sosial, cet. ke-3 (Bandung: Mizan, 1998), 1848 M. Amien Rais, Tauhid Sosial, 7049 Lihat juga, Andi Mardian, Teori Politik Islam Abu al-‘Ala al-Maududi antara Modernisme
dan Fundamentalisme, tesis Sps UIN Syaruf Hidayatullah, Jakarta, 2004, 51
14
Sedangkan kaitan antara tauhid dan keberagaman manusia dijelaskan oleh
Muhammad Imarah dalam bukunya al-Islām wa al-ta’addudiyyah Islam hanya
mengakui “ketunggalan” (yang tidak mempunyai sisi parsial dan bentuk plural)
semata bagi Zat Allah SWT dan tidak bagi makhluk, seluruh alam dan semua yang
ada di segala bidang dan dunia makhluk (materil, hewani, manusia dan pemikiran,
yaitu semua yang berdiri di atas kemajemukan, interelasi, serta yang tersusun dari
partikel-partikel lain yang terpisah.50 Dengan demikian Islam menjadikan pluralitas
sebagai fitrah dan sunnatullah di alam semesta.
Disamping tauhid, konsep etika51 Islam memberikan kontribusi akhlak yang
juga berperan dalam menanamkan nilai-nilai demokrasi, hak asasi dan civil society.
Hanya saja nilai-nilai ini berbeda dengan nilai-nilai yang diberikan oleh konsep
demokrasi, HAM dan civil society yang sekuler. Jika ajaran tauhid melahirkan konsep
demokrasi teologis, maka etika Islam menyentuh banyak hal tentang hak kebebasan
beragama, hak-hak wanita, anak dan kaum minoritas,52 etika tentang pluralisme53 dan
civil society.
50 Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, diterjemahkan dari buku aslinya “Al-Islām wa al-Ta’addudiyyah: al-Ikhtilāf wa al-Tanazzu’ Fi Ithār al-Wihdah” oleh Abdul Hayyie al_Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 10
51 Etika dalam kajian filsafat berarti ilmu akhlak, bukan akhlak itu sendiri. Namun dalam tradisi ilmiah Islam, etika dalam konteks tesis ini disebut etika religius yang merupakan gabungan antara etika skriptual (yang didasarkan sepenuhnya kepada Al-Qur’an dan Hadits), etika filosofis (yang lebih bersifat rasional), dan etika sufistik. Tema-tema yang diasung dalam etika religius adalah makārim al-akhlāq yang mengedepankan jenis akhlak terpuji dan tercela dengan nuansa spiritual yang sangat intens. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Filsafat Islam, Etika dan Tasawuf (Jakarta: Ushul Press UIN Syarif Hidayatullah, 2009), 57
52 Nabi sudah mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan dan penghormatan kepada manusia dalam masyarakat Madinah yang sangat heterogen sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah, yang pada intinya berisi tentang: (1) Prinsip persaudaraan yang menegaskan bahwa semua manusia berasal dari satu asal dan karenanya mereka itu bersaudara. (2) Prinsip saling menolong dan melindungi penduduk Madinah yang terdiri dari suku, agama dan bahasa, srta harus saling membantu dalam menghadapi lawan. (3) Prinsip melindungi yang lemah dan teraniaya. (4) Prinsip saling menasihati, (5) Prinsip kebebasan beragama. Lihat Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, 10
53 Ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an memberikan legitimasi secara esensi (essential legitimacy) terhadap agama-agama lain, yaitu, adanya pengakuan Al-Qur’an terhadap Ahli Kitab sebagai bagian dari komunitas masyarakat, dalam hal makanan dan perkawinan, hukum agama dan norma-norma ajaran lain. Lihat Supiyan Ramli, Menggagas Pluralisme dalam Islam (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2008), 97
15
Etika Islam atau al-akhlāq al-islāmiyyah muncul jauh lebih awal sebelum
adanya etika global (a global ethic)54. Etika global menekankan komitmen terhadap
budaya tanpa-kekerasan dan penghormatan terhadap hidup, solidaritas, toleransi dan
kejujuran, serta persamaan dan kemitraan antara pria dan wanita.55 Semua komitmen
tersebut merupakan perpanjangan dari hukum Islam yang mengharamkan
pembunuhan, pencurian, kebohongan dan perzinahan. Dalam konteks etika Islam,
humanisme dan pluralisme, Muhammad Ali menjelaskan perlunya paradigm shift
dari sikap beragama yang inhumane kepada yang humane. Paradigma humanis ini
adalah paradigma nilai, sikap, norma dan praktik keberagaman (religiosity) yang
mendukung kehidupan tanpa kekerasan dan damai, meningkatkan keadilan
masyarakat, menjunjung HAM, memajukan harmoni antarbudaya dan kelestarn
ekologis.56
Harun Nasution berpendapat bahwa etika Islam juga mengandung unsur-unsur
pancasila yang mencermikan nilai demokrasi dan HAM. Diantaranya, Islam
menganjurkan untuk hidup dengan penuh rasa kemanusiaan, persaudaraan, persatuan
umat, nasionalisme yang tinggi, budaya bermusyawarah dan berkeadilan.57 Selain itu,
etika Islam juga mengajarkan tentang kepemimpinan dan penghormatan terhadap
hak-hak wanita. Said Agil Al Munawwar mengatakan isu agama seringkali dipandang
sebagai sumber masalah atas terjadinya ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam
relasi laki-laki dan wanita. Masalahnya adalah, pertama, rendahnya pengetahuan dan
pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai agama yang menjelaskan peranan dan
fungsi wanita. Kedua, ditemukannya berbagai penafsiran ajaran agama yang kurang
proporsional sehingga merugikan kedudukan dan peranan wanita.58 Dan masih
54 Etika global dimaksudkan sebagai sumbangan dan jawaban agama-agama dunia terhadap problem kehidupan umat manusia pada era globalisasi.
55 M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), 210
56 Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural (Jakarta: Kompas, 2003), 10857 Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), 21858 Said Agil Husin Al Munawwar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan
Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 110
16
banyak lagi ajaran-ajaran etika Islam yang berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi di
tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut, dalam tesis ini, penulis ingin membuktikan
bahwa pendidikan agama bukanlah penghambat kemajuan pendidikan demokratis di
madrasah atau pesantren. Pendidikan agama yang menanamkan nilai tauhid dan etika
atau moral justru menjadi pendorong peranan dan fungsi pendidikan
kewarganegaraan (civic education) dalam menciptakan masyarakat madani. Sekaligus
sebagai komplementer dari demokratisasi pendidikan Islam. Selain itu, tesis ini juga
ingin membahas nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan civil society dalam
perspektif tauhid dan etika Islam. Untuk kemudian menjelaskan peran dan pengaruh
konsep tauhid dan etika Islam tersebut dalam membentuk paradigma baru pendidikan
demokratis di kalangan lembaga pendidikan Islam. Disamping itu, tesis ini
menawarkan pendekatan baru dalam mengembangkan pendidikan demokratis, yaitu
dengan pendekatan religius melalui pengajaran aqīdah (tauhid) dan akhlāq (etika).
Dengan demikian, objek yang menjadi kasus dalam tesis ini adalah materi dan
metode pembelajaran aqidah akhlak di madrasah. Oleh karena itu, penelitian ini layik
untuk dilakukan mengingat pentingnya pemahaman nilai-nilai demokrasi dan
kemanusiaan yang benar terhadap pembelajar demi mewujudkan masyarakat ideal
yang demokratis.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari paparan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi masalah-masalah
yang terkait dengan penelitian ini, antara lain sebagai berikut:
a. Apakah peran pendidikan Islam di Indonesia dalam menciptakan keharmonisan
umat dapat dikembangkan melalui demokratisasi pendidikan Islam?
b. Apakah demokratisasi pendidikan Islam telah diaplikasikan secara maksimal
oleh lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren?
17
c. Bagaimanakah pendidikan Islam demokratis menanamkan nilai-nilai kehidupan
masyarakat yang demokratis terhadap pembelajar?
d. Bagaimanakah nilai-nilai demokrasi, humanisme dan masyarakat madani
dipandang dalam perspektif tauhid dan etika Islam?
e. Bagaimanakah konsep tauhid dan etika Islam membangun pendidikan
demokratis di madrasah dan pesantren melalui pendekatan religius?
2. Pembatasan Masalah
Dari beberapa masalah yang teridentifikasi tersebut, penulis membatasi
permasalahan pada penelitian konsep tauhid dan etika dalam pendidikan agama
Islam dan fungsinya dalam penanaman nilai-nilai demokrasi, humanisme dan civil
society.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah tersebut, penulis merumuskan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: “Apakah pendidikan tauhid dan etika
Islam menjadi motivator atau inhibitor dalam pengembangan pendidikan
demokratis di madrasah dan pesantren?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini meliputi:
1. Meneliti hubungan kooperatif pendidikan agama dan pendidikan
kewarganegaraan dalam pengembangan demokratisasi pendidikan Islam.
2. Menganalisa dan mengkaji nilai-nilai demokrasi, humanisme dan civil society
dalam perspektif tauhid dan etika Islam.
3. Meneliti dan memaksimalkan peran dan fungsi tauhid dan etika Islam yang
terkandung dalam pendidikan aqidah akhlak dalam membangun paradigma baru
pendidikan demokratis.
D. Signifikansi Penelitian
18
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:
1. Mengenalkan bahwa pendidikan demokratis di madrasah atau pesantren tidak
cukup difokuskan kepada kurikulum dan metode pengajaran yang demokratis,
tetapi juga harus menanamkan nilai demokrasi, humanisme dan civil society
islami kepada pembelajar.
2. Melengkapi teori, konsep dan pendekatan demokratisasi pendidikan yang telah
ada selama ini dengan pendekatan religius.
3. Menambah informasi tentang khazanah keilmuan Islam dalam dunia pendidikan
untuk membina masyarakat yang madani.
E. Penelitian-penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian dan pembahasan tentang pendidikan demokratis telah dilakukan
oleh beberapa penulis sebelumnya, baik yang berkaitan dengan pendidikan
demokratis ataupun peran konsep tauhid dan etika dalam pendidikan Islam. Diantara
kajian dan karya mereka yang relevan adalah tulisan Robert Jackson yang berjudul
Citizenship as Replacement for Religious Education or Religious Education as
Complementary to Citizenship Education.59 Dalam tulisan ini Jackson berkesimpulan
bahwa pendidikan agama tidak dapat digantikan atau dihapuskan dari sekolah, karena
pada dasarnya pendidikan agama berisi nilai yang sama dengan pendidikan
kewarganegaraan, maka pendidikan agama dapat menjadi complementer pendidikan
kewarganegaraan. Penelitian serupa juga tedapat dalam beberapa artikel lain,
diantaranya Educating for Citizenship: The Emerging Relationship between Relgious
Education and Citizenship Education60 yang ditulis oleh Jacqueline Watson dan
Democratic Citizenship and Religious Education: Challenges and Perspectives for
59 Robert Jackson, “Citizenship as Replacement for Religious Education or Religious Education as Complementary to Citizenship Education” dalam ed. Robert Jackson, International Perspective on Citizenship, Education and Religion Diversity (London: Routledge Falmer, 2003)
60 Jacqueline Watson, “Educating for Citizenship: The Emerging Relationship between Relgious Education and Citizenship Education,” dalam British Journal of Religious Education 1740-7931, vol. 26 (2004), 259-271, http://www.informaworld.com/smpp/quicksearch~db=all?quickterm= religious+education+and+citizenship+education&searchtype= (diakses pada tanggal 22 Desember 2010).
19
Schools in the Netherlands61 yang ditulis oleh Rob Freathy, Faith in School?:
Autonomy, Citizenship and Rligious Education in the Liberal State62 yang ditulis oleh
Ian MacMullen. Karya berikutnya ialah David Hargreaves dalam bukunya The
Mosaic of Learning: Schools and Teachers for the Next Century63 yang
berkesimpulan bahwa pendidikan agama merupakan penghambat tumbuhnya nilai-
nilai demokratis dalam masyarakat yang plural, oleh karena itu, pendidikan agama
dalam kurikulum harus diganti dengan pendidikan kewarganegaraan, atau dihapuskan
sama sekali.
Sedangkan penelitian yang berkaitan dengan pendidikan demokratis ditulis
oleh Ismariaty Munziah dalam tesisnya Demokratisasi Pendidikan Islam di
Indonesia,64 membahas tentang upaya demokratisasi melalui pengembangan
kurikulum dan pembelajaran pendidikan agama Islam di SMU/MA, pengembangan
dan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai model pendidikan
demokratis dalam PAI. Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah bahwa
demokratisasi pendidikan Islam di Indonesia dapat dilakukan dengan demokratisasi
kurikulum dan pembelajaran PAI. Tesis ini, lebih menfokuskan kajiannya pada
pendekatan demokrasi dalam kurikulum, seperti KTSP dan implementasi nilai
demkrasi dan pendekatan pembelajaran demokratis melalui pembelajaran quantum,
contextual Teaching and Learning, humanistik dan cooperative learning. Namun,
tidak membahas secara mendalam penanaman nilai-nilai demokrasi, humanisme dan
masyarakat madani dan kaitannya dengan tauhid dan etika dalam pendidikan agama
Islam.
61 Rob Freathy, “Democratic Citizenship and Religious Education: Challenges and Perspectives for Schools in the Netherlands,” dalam History of Education: Journal of the History of Education Society, 1464-5130, vol. 37 (2007), 295 – 316, http://www.informaworld.com/smpp/ quicksearch~db=all?quickterm=religious+education+and+citizenship+education&searchtype= (diakses pada tanggal 24 Desember 2010)
62 Ian MacMullen, Faith in School?: Autonomy, Citizenship and Rligious Education in the Liberal State (New Jersey: Princeton University Press, 2007)
63 David Hargreaves, The Mosaic of Learning: Schools and Teachers for the Next Century (London: Demos, 1994)
64 Ismariaty Munziah, Demokratisasi Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)
20
Penelitian selanjutnya adalah tesis yang bejudul Demokrasi dalam Sistem
Pendidikan Pesantren65, ditulis oleh Mukhyidin. Tesis ini secara umum membahas
tentang pemahaman dan kultur demokrasi di pesantren dan implementasi nilai-nilai
demokrasi baik di pesantren salafiyah maupun khalafiyah. Kesimpulan yang
dihasilkan adalah bahwa demokrasi yang ada di pesantren adalah demokrasi anomal
(anomalus democracy), yaitu demokrasi yang rancu, ganjil dan kontra produktif
dengan pakem demokrasi yang sesungguhnya yang disebabkan oleh masih banyaknya
praktek-praktek demokrasi tradisional yang incompatible dengan lebih
mengedepankan emosional.
Sedangkan dalm bukunya Paradigma Pendidikan Demokratis,66 Dede
Rosyada membahas secara rinci teori-teori demokratisasi dalam kurikulum dan
pembelajaran sebagai sebuah model pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan. Hanya saja buku ini, membahas secara umum pendidikan demokratis di
Indonesia, dan tidak membahas pendidikan demokratis dalam sistem pendidikan
Islam. Fuad Fachruddin dalam bukunya Agama dan Pendidikan Demokrasi67
membahas demokrasi, pendidikan kewarganegaraan dan masyarakat madani dalam
kaitannya dengan agama Islam di Indonesia yang diwakili oleh Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama. Dalam buku ini, penulis banyak melakukan kajian secara
deskriptif, analitis dan komparatif mengenai nilai-nilai demokrasi dalam kedua
organisasi masyarakat tersebut. Selain itu, hubungan agama dan pendidikan
demokratis juga dibahas oleh Abdul Halim dalam bukunya Islam dan Demokrasi
Pendidikan68. Penelitian ini difokuskan pada kajian tentang demokrasi pendidikan
Islam dalam Perspektif ajaran Islam dan sejarah Pendidikan Islam.
65 Mukhyidin, Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
66 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis (Jakarta: Prenada Media, 2004)67 Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006)68 Abdul Halim, Islam dan Demokrasi Pendidikan (Kuala Lumpur: Angkatan Belia Islam
Malaysia (ABIM), 1989)
21
Sedangkan penelitian yang berkaitan dengan kajian akhlak dan tauhid serta
implementasinya dalam dunia pendidikan dilakukan oleh Burhanuddin Abdullah
dalam tesisnya Akhlak Sebagai Esensi Materi Pendidikan Islam. Tulisan ini berisi
tentang kedudukan akhlak sebagai materi pendidikan Islam yang berdiri sendiri,
unsur yang menjiwai materi pelajaran lainnya dan keterkaitan akhlak dengan metode
percontohan. Mohammad Irfan dan Mastuki dalam bukunya Teologi Pendidikan:
Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam69 menulis tentang esensi tauhid dalam
menjiwai perubahan sosial dan pendidikan Islam melalui wawasan kemanusiaan.
Penelitian-penelitian tersebut banyak membahas tentang demokratisasi
pendidikan di madrasah dan pesantren, baik dalam nilai kebebasan memperoleh
pendidikan, mengemukakan pendapat, berfikir kreatif-inovatif, kepemimpinan
sekolah yang demokratis dan metode pembelajaran yang berfokus pada keaktifan
pembelajar. Namun dalam tesis ini, penulis lebih banyak memaparkan tentang upaya
maksimalisasi esensi tauhid dan etika dalam menciptakan pendidikan demokratis,
humanisme dan masyarakat madani di madrasah dan pesantren.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk mencapai tujuan pelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian
deskriptif-eksploratif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berkenaan
dengan hubungan antara berbagai variabel, menguji hipotesis dan mengembangkan
generalisasi, prinsip atau teori-teori yang memiliki validitas universal.70 Penelitian
ini berusaha mendeskripsikan konsep tauhid dan etika Islam dalam membentuk
paradigma baru pendidikan demokratis di madrasah atau pesantren.
2. Teknik Pengumpulan Data
69Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (t.tp: Friska Agung Insani, 2000)
70 Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional 1982), 120
22
Berdasarkan jenis penelitian tersebut, maka teknik pengumpulan data dan
informasi yang dilakukan adalah melalui penelitian kepustakaan (library
research)71 yaitu, penelitian yang menggunakan sumber-sumber dari tertulis,
seperti manuskrip, buku, majalah, surat kabar, dan dokumen lainnya. Selain
penelitian kepustakaan, informasi dan bahan penunjang juga diakses melalui
internet.
Disamping itu, penulis juga melakukan teknik komunikasi langsung, yaitu
teknik pengumpulan data dengan mempergunakan interview72 yaitu pengumpulan
informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab
secara lisan pula.
3. Pendekatan dan Analisa Data
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Penelitian ini digunakan untuk menghasilkan grounded theory, yaitu
teori yang timbul dari data, bukan dari hipotesis-hipotesis.73
Sedangkan analisis data yang digunakan adalah analisis dokumen atau anlisi
isi (content analysis)74 yaitu, telaah sistematis atas catatan-catatan atau dokumen-
dokumen sebagai sumber data. Kemudian seluruh data itu dikaji isinya secara
71 Sumardi Suryabrata, Metodologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press, 1989), 1672 Amirul Hadi dan H. Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia,
2005), 135. Sedangkan teknik komunikasi tidak langsung dilakukan dengan menggunakan angket atau kuesioner sebagai alatnya.
73 Amirul Hadi dan H. Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan, 14. Lihat juga Robert C. Bogdan dan Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education, cet. ke-3 (United States of America: Allyn & Bacon, 1998), 4. Lihat juga Sharan B. Merriam, Qualitative Research and Case Study Applications In Education (San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 1998), 3
74 Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan, 133. Lihat juga Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung, Rosda, 2008), 81.
23
induktif, deduktif dan komparatif75 dengan menggunakan metode analitis kritis
(critical analysis).
4. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber data
primer dan sekunder. Sumber primer adalah buku-buku pelajaran pendidikan
agama Islam di madrasah, diantaranya adalah buku-buku tentang aqidah dan
akhlak sebagai sumber kajian untuk konsep tauhid dan etika Islam.
Sedangkan sumber sekunder adalah buku-buku yang membahas tentang
hubungan pendidikan dengan demokrasi, humanisme, masyarakat madani (civil
society dan demokratisasi pendidikan Islam.
G. Sistematika Pembahasan
Agar penulisan tesis ini sistematis, terarah dan tiap-tiap bab mempunyai
hubungan yang logis dengan bab lainnya, maka penulis mengklasifikasikan penelitian
ini kepada lima bab, yang terdiri dari satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan dan
satu bab penutup, berikut rinciannya:
Bab I merupakan pendahuluan yang menggambarkan landasan umum
penelitian ini, terdiri dari; latar belakang masalah, permasalahan yang terbagi pada
identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian,
penelitian terdahulu yang relevan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II dialokasikan untuk mendeskripsikan relasi pendidikan agama dan
pendidikan demokratis yang mencakup pembahasan mengenai hubungan agama,
budaya dan kewarganegaraan, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan
demokratis, pendidikan agama dan pendidikan moral, relasi pendidikan
kewarganegaraan dan pendidikan agama, aplikasi pendidikan agama dan
75 Sharan B. Merriam, Qualitative Research (San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 2009), 175
24
kewarganegaraan dalam masyarakat pluralis-multikultural, serta pendidikan agama
dan kewarganegaraan di madrasah.
Bab III merupakan pembahasan yang menyangkut pendidikan demokrasi,
humanisme dan civil society dalam konsep tauhid dan etika Islam, yang berisi tentang
tauhid dan etika dalam perspektif pendidikan Islam, esensi tauhid dan etika Islam
dalam pembelajaran Aqidah Akhlak, kurikulum dan pembelajaran Aqidah Akhlak di
madrasah dan nilai-nilai pendidikan demokratis dalam pendidikan Aqidah Akhlak,
diantaranya: demokrasi, humanisme dan civil society.
Bab IV membahas tentang penyempurnaa demokratisasi pendidikan Islam
melalui pendekatan religius. Pembahasan yang termasuk dalam bab ini adalah
demokratisasi pendidikan Islam melalui pendekatan metode pembelajaran,
pendidikan demokratis melalui pendekatan religius dalam pembelajaran Aqidah
Akhlak, yang terdiri dari musyawarah, humanisme-religius, amar makruf nahi
mungkar dan dakwah islamiyyah, pendidikan Islam demokratis sebagai upaya
pembentukan karakter warga negara ideal dan manusia ideal, serta pendidikan Islam
demokratis sebagai problem solver dalam masyarakat. Dan bab V adalah penutup,
yang berisi kesimpulan dan saran.
OUTLINE
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Permasalahan
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
F. Metodologi Penelitian
G. Sistematika Pembahasan
BAB II: RELASI PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAAN DEMOKRATIS
25
A. Agama, Budaya dan Kewarganegaraan
B. Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Demokratis
C. Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral
D. Relasi Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama
E. Aplikasi Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan dalam Masyarakat
Pluralis-Multikultural
F. Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan di Madrasah
BAB III: PENDIDIKAN DEMOKRASI, HUMANISME DAN CIVIL SOSIETY
DALAM KONSEP TAUHID DAN ETIKA ISLAM
A. Tauhid dan Etika dalam Perspektif Pendidikan Islam
B. Esensi Tauhid dan Etika Islam dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak
C. Kurikulum dan Pembelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah
D. Nilai-nilai Pendidikan Demokratis dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak:
1) Demokrasi
2) Humanisme
3) Civil Society
BAB IV: PENYEMPURNAAN DEMOKRATISASI PENDIDIKAN ISLAM
MELALUI PENDEKATAN RELIGIUS
A. Demokratisasi Pendidikan Islam melalui Pendekatan Metode
Pembelajaran
B. Pendidikan Demokratis melalui Pendekatan Religius dalam Pembelajaran
Aqidah Akhlak:
1) Musyawarah
2) Humanisme-Religius
3) Amar Makruf Nahi Mungkar
4) Dakwah Islamiyyah
C. Pendidikan Islam Demokratis sebagai Upaya Pembentukan Karakter:
26
1) Warga Negara Ideal
2) Manusia Ideal
D. Pendidikan Islam Demokratis sebagai Problem Solver dalam Masyarakat
BAB V: PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. Teologi Pluralis-Multikultural. Jakarta: Kompas, 2003.
Apple, Michael W. dan James A. Beane. “The Case of Democratic School.” Dalam
Democratic School, ed. Michael W. Apple dan James A. Beane. Virginia:
ASCD, 1995.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. The Concept of Education in Islam: a
Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ABIM,
1980.
27
Azra, Azyumardi. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan
Demokratisasi. Jakarta: Kompas, 2006.
Biesta, Gert J.J.. Beyond Learning: Democratic Education for a Human Future.
London: Paradigm Publisher, 2006.
Bogdan, Robert C. dan Sari Knopp Biklen. Qualitative Research for Education. Cet.
ke-3. United States of America: Allyn & Bacon, 1998.
Bollag, Burton. “Indonesia tries Civic Education to promote Democratic Values.”
Jurnal The Chronicle of Higher Education 47 No.44 A.41 Jl 13 (2001),
http://vnweb.hwwilsonweb.com/hww/results/getResults.jhtml?_DARGS=/
hww/results_common.jhtml.35 (diakses pada tanggal 22 Desember 2010).
Carr, W. dan A. Hartnett. Education and the Struggle for Democracy: The Politics of
Educational Idea. Buckingham: Open University Press, 1996.
Dewey, John. Democracy and Education. New York: Macmillan, 1916.
Donnelly, Jack. Universal Human Rights in Theory and Practice. Cet. ke-2. New
York: Cornell University Press, 2003.
Engel, Michael. The Struggle for Control of Public Education: Market Ideology Vs
Democratic Values. Philadelphia: Temple University Press, 2000.
Fachruddin, Fuad. Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.
Faisal, Sanapiah. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional 1982.
Al-Faruqi, Ismail Raji. Tauhid: Its Implications for Thought and Life. Kuala Lumpur:
The International Institute of Islamic Thought, 1982.
Freathy, Rob. “Democratic Citizenship and Religious Education: Challenges and
Perspectives for Schools in the Netherlands.” Dalam History of Education:
Journal of the History of Education Society, 1464-5130, vol. 37 (2007), 295
–316, http://www.informaworld.com/smpp/quicksearch~db=all?quickterm=
religious+education +and+citizenship+education&searchtype= (diakses
pada tanggal 24 Desember 2010).
Freeman, Michael. Human Rights. Cambridge: Polity Press, 2003.
28
Gutierez, Robert. “Spiritual Foundation for Civic Education.” Jurnal Taboo 9 No.1
Spring-Summer (2005). http://vnweb.hwwilsonweb.com/hww/results/get
Results.jhtml?DARGS= /hww/ results/results common.jhtml.35 (diakses
pada tanggal 22 Desember 2010).
Gutmann, Amy. Democratic Education. New Jersey: Princeton University Press,
1987.
Hadi, Amirul dan H. Haryono. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka
Setia, 2005.
Halim, Abdul. Islam dan Demokrasi Pendidikan. Kuala Lumpur: Angkatan Belia
Islam Malaysia, 1989.
Halstead, J. Mark dan Mark A. Pike. Citizenship and Moral Education: Values in
Action. New York: Routledge, 2006.
Hargreaves, David. The Mosaic of Learning: Schools and Teachers for the Next
Century. London: Demos, 1994.
Ibrahim, T. dan H. Darsono. Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP): Membangun Akidah dan Akhlak 1,2 dan 3 untuk Madrasah
Tsanawiyah. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009.
Imarah, Muhammad. Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam
Bingkai Persatuan. Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattanie. Jakarta:
Gema Insani Press, 1999.
Irfan, Mohammad dan Mastuki HS. Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma
Pendidikan Islam. T.tp: Friska Agung Insani, 2000.
Jackson, Robert. “Citizenship as Replacement for Religious Education or Religious
Education as Complementary to Citizenship Education?” Dalam
International Perspective on Citizenship, Education and Religion Diversity,
ed. Robert Jackson. London: Routledge Falmer, 2003.
Jackson, Robert. Rethinking Religious Education and Plurality. London and New
York: Routledge Falmer, 2005.
29
Jones, Ken. Democratic School Accountability; A Model for School Improvement.
Toronto, Oxford: Rowman & Littlefield Education, 2006.
Kartanegara, Mulyadhi. Filsafat Islam, Etika dan Tasawuf. Jakarta: Ushul Press UIN
Syarif Hidayatullah, 2009.
Lee, Gordon C. Education and Democratic Ideals. New York: Harcourt, Brace &
World, Inc., 1965.
Luth, Thohir. Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Perbedaan. Cet. ke-5.
Jakarta: Mediacita, 2006.
MacMullen, Ian. Faith in School?: Autonomy, Citizenship and Rligious Education in
the Liberal State. New Jersey: Princeton University Press, 2007.
Mardian, Andi. Teori Politik Islam Abu al-‘Ala al-Maududi antara Modernisme dan
Fundamentalisme. Jakarta: Tesis Sps UIN Syaruf Hidayatullah, 2004.
Mayer, Ann Elizabeth. Islam and Human Rights. Cet. ke-4. Amerika: Westview
Press, 2007.
Merriam, Sharan B. Qualitative Research and Case Study Applications In Education.
San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 1998.
Merriam, Sharan B. Qualitative Research. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher,
2009.
Muhtifah, Lailial. “Konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Institusi Pendidikan
Islam Zaman al-Makmun.” Dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ed.
Suwito. Jakarta: Prenada Media Kencana, 2005.
Mukhyidin. Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: Tesis Sps UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Mulia, Musdah. Islam dan Hak Asasi Manusia. T.tp: Naufan Pustaka, 2010.
Al Munawwar, Said Agil Husin. Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem
Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Munziah, Ismariaty. Demokratisasi Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Tesis Sps
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
30
Nash, Robert. “A Letter to Secondary Teachers: Teaching about Religious Pluralism
in the Public Schools.” Dalam Educating Citizens for Global Awareness.
ed. Nel Noddings. New York: Teachers College Press, 2005.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1995.
Noddings, Nel. Philosophy of Education. Cet. ke-2. Colorado: Westview Press, 2007.
Rahayu, Yeni Dasti. Hak Asasi Manusia dalam Pendidikan Pesantren. Jakarta: Tesis
Sps UIN Syaruf Hidayatullah, 2009.
Rais, M. Amien. Tauhid Sosial. Cet. ke-3. Bandung: Mizan, 1998.
Ramli, Supiyan. Menggagas Pluralisme dalam Islam. Jambi: Sulthan Thaha Press,
2008.
Rosenblith, Suzanne dan Bea Bailey. “Comprehensive Religious Studies in Public
Education: Educating for a Religiously Literate Society.” Jurnal
Educational Studies (American Educational Studies Association) 42 No.2
(2007). http://vnweb. hwwilsonweb.com/hww/results/getResults.jhtml?
_DARGS=/hww/results_common.jhtml.35 (diakses pada tanggal 22
Desember 2010).
Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Sanjaya, Wina. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Cet. ke-3. Jakarta: Kencana, 2008.
Sarhan, Munir al-Mursi. Fi Ijtima’iyyāt al-Tarbiyyah. Cet. ke-2. Mesir: Maktabah al-
Anglo al-Mishriyyah, 1978.
Setiawan, Bennni. Agenda Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2008.
Skeie, Geir. “What Do We Mean by Religion in Education.” Dalam Religion,
Spirituality and Identity, ed. Kirsi Tirri. Switzerland: Peter Lang AG, 2006.
Skeie, Geir. Plurality and Pluralism: a Challenge for Religious Education. T.tp:
British Journal of Religios Education, 1995.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung, Rosda, 2008.
Supratiknya, A. “Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.” Dalam Pendidikan
Manusia Indonesia, ed. Tonny D. Widiastono. Jakarta: Kompas, 2004.
31
Suryabrata, Sumardi. Metodologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press, 1989.
Syamsuddin, M. Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2000.
Tarcov, Nathan. “The Meaning of Democracy.” Dalam Democracy, Education and
School, ed. Roger Soder. San Fransisco: Jossey Bass, 1996.
Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewargaan (Civil Education). Cet. ke-
3. Jakarta: Indonesian Center for Civic Education (ICCE), 2008.
Watson, Jacqueline. “Educating for Citizenship: The Emerging Relationship between
Relgious Education and Citizenship Education.” Dalam British Journal of
Religious Education 1740-7931, vol. 26 (2004)
http://www.informaworld.com/smpp/quicksearch~db=all?
quickterm=religious+education+and+citizenship+education&searchtype=
(diakses pada tanggal 22 Desember 2010).
Webster New World Dictionary. Diterjemahkan oleh Peter Salim. Jakarta: Modern
English Press, 1993.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan. Cet. ke-2. Yogyakarta: Pilar Media, 2007.
Yasmadi. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
PENDIDIKAN ISLAM DEMOKRATIS
DALAM KONSEP TAUHID DAN ETIKA ISLAM
Proposal Tesis
Diajukan untuk dipresentasikan dalam
Sidang Proposal Tesis
32
Oleh:
Yulia Rahman
09.2.00.1.03.01.0023
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
33