PROPULSI - WordPress.com · Anehnya, sejak berakhirnya perang tersebut pada November 1918, secara...

10
Ketika kedua bersaudara Wright hampir merampungkan struktur pesawat ciptaannya, Flyer, mereka dicemaskan oleh belum tersedianya motor untuk sumber tenaga dorongannya. Beberapa pabrik mobil yang mengawali industri kendaraan baru dengan motor letup (reciprocating engine) ini tidak berminat untuk melayani kebutuhan motor pesawat yang harus kuat dan ringan pada jumlah yang sangat terbatas. Akhir abad ke-19 masih sangat dikuasai oleh mesin uap sebagai sumber tenaga utama bagi industri maupun kendaraan-kendaraan besar seperti kapal dan kereta api. Motor letup atau “Otto-motor” masih pada awal perkembangannya sebagai penggerak mobil. Akhirnya, mekanik dari kedua bersaudara tersebut, yaitu Charlie Taylor berhasil menciptakan sebuah motor dengan daya 12 DK yang memutar dua buah peopeler. Inilah sebuah motor setup yang sangat sederhana karena tak memiliki karburator dan pengapian (ignition) namun berhasil mendorong Flyer melakukan penerbangannya sebagai pesawat pertama di dunia (lihat gambar). Tenaga dorong merupakan syarat mutlak untuk pesawat dan beberapa pelopor penerbangan berusaha untuk mengembangkan sumber tenaga dorong ini. Sir Hiram Maxim yang menggunakan mesin uap sebagai tenaga dorong tidak berhasil karena mesin ini terlalu berat. Kemudian, Leon Levavasseur dari Prancis menciptakan motor dengan 8 silinder yang dipasang dalam bentuk V, didinginkan dengan air, memiliki fuel injection dan berdaya 50 DK. Enjin yang diberi nama Antoinette ini dikembangkan menjadi 16 silinder dan berdaya 100 DK Namun pada November 1908, Paris yang pada waktu itu menjadi pusat penerbangan dunia, digemparkan dengan munculnya sebuah motor jenis baru yang bernama Gnome. Engine ini terdiri dari 7 silinder yang dipasang secara radial. Uniknya propeler sama-sama berputar dengan rangkaian silinder tersebut untuk menghasilkan gaya dorong, oleh karena itu disebut “rotary engine”; alasannya adalah untuk mengefektifkan pendinginan udara pada kecepatan terbang yang masih rendah. Walaupun harganya cukup mahal, Gnome yang ringan dan handal ini diterima dengan hangat oleh dunia penerbangan yang baru mulai berkembang. Sebuah pabrik untuk memproduksi Gnome dibangun di Paris. Menjelang pecahnya Perang Dunia (PD) I pada 1914, berbagai versi rotary engine diproduksi, seperti misalnya Le Rhone, Clerget dan Bantley di Inggris. Beberapa di antaranya digunakan pada pesawat-pesawat tempur generasi pertama yang berperan dalam PD I. 19 Tanpa perkembangan yang mengagumkan dalam teknologi propulsi, dunia penerbangan tidak akan mengalami kemajuan sepesat ini. Karena tenaganya yang semakin besar, kehandalannya semakin tinggi, sehingga meningkatkan performa dan juga keamanan terbang. PROPULSI Motor untuk pesawat pertama terbang ”Flyer” dengan daya 12 DK yang diciptakan oleh mekanik kedua bersaudara Wright, yaitu Charlie Taylor

Transcript of PROPULSI - WordPress.com · Anehnya, sejak berakhirnya perang tersebut pada November 1918, secara...

  • Ketika kedua bersaudara Wright hampir merampungkan struktur pesawat ciptaannya, Flyer,

    mereka dicemaskan oleh belum tersedianya motor

    untuk sumber tenaga dorongannya. Beberapa pabrik

    mobil yang mengawali industri kendaraan baru dengan motor letup (reciprocating engine) ini tidak

    berminat untuk melayani kebutuhan motor pesawat

    yang harus kuat dan ringan pada jumlah yang sangat terbatas.

    Akhir abad ke-19 masih sangat dikuasai oleh

    mesin uap sebagai sumber tenaga utama bagi industri maupun kendaraan-kendaraan besar seperti

    kapal dan kereta api. Motor letup atau “Otto-motor”

    masih pada awal perkembangannya sebagai

    penggerak mobil. Akhirnya, mekanik dari kedua bersaudara

    tersebut, yaitu Charlie Taylor berhasil menciptakan

    sebuah motor dengan daya 12 DK yang memutar dua buah peopeler. Inilah sebuah motor setup yang

    sangat sederhana karena tak memiliki karburator

    dan pengapian (ignition) namun berhasil mendorong Flyer melakukan penerbangannya

    sebagai pesawat pertama di dunia (lihat gambar).

    Tenaga dorong merupakan syarat mutlak untuk

    pesawat dan beberapa pelopor penerbangan berusaha untuk mengembangkan sumber tenaga

    dorong ini. Sir Hiram Maxim yang menggunakan

    mesin uap sebagai tenaga dorong tidak berhasil karena mesin

    ini terlalu berat. Kemudian, Leon Levavasseur dari Prancis

    menciptakan motor dengan 8 silinder yang dipasang

    dalam bentuk V, didinginkan dengan air, memiliki

    fuel injection dan berdaya 50 DK. Enjin yang diberi nama Antoinette ini dikembangkan menjadi 16

    silinder dan berdaya 100 DK

    Namun pada November 1908, Paris yang pada waktu itu menjadi pusat penerbangan dunia,

    digemparkan dengan munculnya sebuah motor jenis

    baru yang bernama Gnome. Engine ini terdiri dari 7 silinder yang dipasang secara radial. Uniknya

    propeler sama-sama berputar dengan rangkaian

    silinder tersebut untuk menghasilkan gaya dorong,

    oleh karena itu disebut “rotary engine”; alasannya adalah untuk mengefektifkan pendinginan udara

    pada kecepatan terbang yang masih rendah.

    Walaupun harganya cukup mahal, Gnome yang ringan dan handal ini diterima dengan hangat oleh

    dunia penerbangan yang baru mulai berkembang.

    Sebuah pabrik untuk memproduksi Gnome dibangun di Paris. Menjelang pecahnya Perang

    Dunia (PD) I pada 1914, berbagai versi rotary

    engine diproduksi, seperti misalnya Le Rhone,

    Clerget dan Bantley di Inggris. Beberapa di antaranya digunakan pada pesawat-pesawat tempur

    generasi pertama yang berperan dalam PD I.

    19

    Tanpa perkembangan yang mengagumkan dalam

    teknologi propulsi, dunia penerbangan tidak akan

    mengalami kemajuan sepesat ini. Karena tenaganya yang

    semakin besar, kehandalannya semakin tinggi, sehingga

    meningkatkan performa dan juga keamanan terbang.

    PROPULSI

    Motor untuk pesawat pertama terbang ”Flyer” dengan daya 12 DK yang diciptakan oleh mekanik kedua bersaudara Wright, yaitu Charlie Taylor

  • Anehnya, sejak berakhirnya perang tersebut pada November 1918, secara mendadak rotary

    engine hilang dari peredaran. Hal ini mungkin

    disebabkan oleh persyaratan-persyaratan baru

    seperti kehandalan penggunaan bahan bakar yang lebih irit, daya yang lebih besar dan sebagainya,

    yang tidak dapat diwujudkan dalam bentuk rotary

    engine. Sebagai penggantinya muncul enjin-enjin baru

    dari tipe “in-line” atau “Vee” yang bersilinder 6

    atau 12 dengan pendinginan air (water cooled) dan berdaya antara 300 dan 400 DK. Karburator yang

    lebih baik digunakan untuk mencapai campuran

    udara dan bahan bakar yang optimal untuk terbang

    di berbagai ketinggian. PascaPD I ini, yaitu tahun 1920-an, beberapa

    pabrik di Eropa, Hispano-Suisa di Prancis, BMW di

    Jerman, Frail di Itali mengembangkan dan memproduksi motor unggulannya masing-masing.

    Bristol di Inggris mengembangkan motor “Jupiter”

    dengan 9 silinder radial dan dilengkapi 4 valves setiap silindernya. Motor ini sangat sukses; sampai

    tahun 1930 Bristol telah memproduksi 7.100 buah

    dan dibuat secara lisensi di 17 negara. Jupiter

    kemudian dikembangkan menjadi motor besar dan handal, namun dengan nama baru Pegasus.

    Di Amerika Serikat, kebanyakan motor dari

    jenis “air cooled” dan yang cukup signifikan pada waktu itu adalah tipe Wright Waal wind. Sesi ini

    dimulai dengan 7 silinder radial dengan daya 220

    DK, kemudian ada versi 5 dan 9 silinder. Tipe 7

    silinder tersebut menjadi terkenal karena digunakan untuk penerbangan Atlantic oleh Charles Lindberg

    dengan pesawatnya “Spirit of St. Louis” pada 1927.

    Gambar kiri Bristol “Hercules” dari Inggris yang terdiri dari 14 silinder dengan daya 2.000 DK. Motor ini sangat halus dan lirih (quiet) karena menggunakan “Sleeve Valves”. Motor ini digunakan oleh beberapa tipe pembom Inggris dalam PD II

    Gambar atas Rotary Engine “Gnome” yang dibuat oleh bersaudara Sequin dari Prancis

    Pada 1930 Wright menciptakan R-1820 “Cyclone” dengan daya 500 DK yang ditingkatkan

    menjadi 1.200 DK kemudian enjin ini

    dikembangkan menjadi R-2600 Cyclone dari 1.900

    DK dengan 14 silinder-2 baris, dan dengan 18 silinder-2 baris menjadi R-3350 Duplex Cyclone,

    ditujukan untuk mencapai daya 3.700 DK, yang

    merupakan puncak daya dari motor piston. Motor berdaya tinggi ini digunakan pada pembom raksasa

    B-29 “Super Fortress” dan airliner Lockheed “Super

    Constellation” sampai tahun 1950-an. Sementara itu pesaingnya, Pratt & Whitney,

    memproduksi R-1340 Wasp dan R-1690 Hornet

    yang dilengkapi dengan “gear drive” dan

    “supercharger”. Tipe ini terus dikembangkan setelah berakhirnya PD II menjadi R-4360 Wasp

    major, dengan 28 silinder dalam 4 deret yang

    mencapai daya sampai 3.500 DK. Setelah berakhirnya PD I, Rolls-Royce

    mengembangkan motor V-12 bernama Merlin.

    20

  • Motor ini menggunakan injection carburetor, supercharger: dua buah secara bertingkat.

    Pengembangannya menjadi Merlin XX mencapai

    daya 1.240 DK merupakan motor jenis ini yang

    paling efisien sehingga banyak digunakan pada pesawat-pesawat sekutu menjelang akhir PD II

    (lihat gambar dan penjelasan lanjut di hlm 22 ).

    Motor letup (piston) mengalami kejayaannya sejak diciptakannya pesawat terbang pertama, yaitu

    Flyer pada tahun 1903 dengan daya 12 DK, sampai

    pada 1950-an dengan daya puncak 3.700 DK setelah berperan dalam dua Perang Dunia.

    Peningkatan daya ini dimungkinkan oleh inovasi

    yang berkelanjutan yang disamping itu juga

    menambah kehandalan (reliability) dan pengiritan bahan bakar. Hal ini antara lain berwujud

    karburator, supercharger, bahan bakar dengan

    oktan tinggi dan “anti knock additive”. Ini semua berpengaruh terhadap proses pembakaran dalam

    silinder.

    Proses pembakaran akan memutar propeler pada kecepatan putar (r.p.m.) yang sesuai untuk

    menghasilkan gaya dorong tertentu. Pada kondisi

    tertentu kecepatan putar propeler lebih lambat dari

    putaran poros, maka untuk ini diterapkan apa yang disebut “geared propeller”. Guna memperbaiki

    efisiensi propeler pada berbagai kecepatan terbang,

    dikembangkan propeler dengan daun ganda (multi-blade) dan “variable pitch”.

    Hal lain yang terkait dengan perkemb-

    bangan piston engine adalah bentuk luarnya atau tata letak silinder-silendernya dan ini didasarkan

    pada sistem pendinginannya.

    Motor piston pertama yang populer, yaitu

    Gnome, memiliki bentuk radial dengan 7 silinder, yang alasannya adalah pendinginan udara (air

    cooled), yang kemudian masih diperkuat dengan

    putarannya silinder-silinder tersebut. PascaPD I, Inggris mengembangkan motor radial (lihat gambar)

    “Kestrel” kemudian menjadi Jupiter yang sangat

    sukses, seperti telah disebut di atas. Menjelang PD II, Amerika Serikat mengembangkan motor-motor

    radial, berderet 2 atau 3, yaitu Wright dan Pratt &

    Whitney hingga mencapai puncak daya 3.700 DK,

    seperti disinggung atas. Hal ini menunjukkan bahwa dengan bentuk radial dan pendingin udara dapat

    dicapai daya puncak.

    Namun bentuk radial memiliki luas “frontal” yang besar, sehingga menimbulkan hambatan

    (drag) yang tinggi. Maka motor tipe ini, dengan

    daya yang tinggi digunakan sebagai pendorong dari pesawat-pesawat pembom atau transpor. Pada

    kondisi ini maka ukuran enjin yang besar masih

    seimbang antara daya dan ukuran badan dari

    pesawat yang didorongnya Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan

    dengan lahirnya motor radial Kestrel dan Jupiter, di

    Eropa diciptakan motor-motor dengan pendinginan

    Motor Curtis-Wright Turbo Compound dengan 18 silinder 2 baris, merupakan mo-tor piston generasi terakhir dengan daya 3.220 DK yang digunakan pada Lockheed “Super Constellation” pada tahun 1950-an

    21

  • fluida yang berbentuk “inline” atau “Vee”

    awal tahun 1950-an. Tetapi sejak itu, secara bertahap tetapi pasti, motor baru ini menguasai

    dunia penerbangan, terutama pada pesawat-pesawat

    militer dan pesawat-pesawat transport besar yang secara bertahap pula motor-motor piston berdaya

    tinggi digantikan oleh motor-motor jet.

    Namun sejarah menunjukkan, bahwa

    perkembangan ini bukan berarti berakhirnya motor piston. Kenyataan menunjukkan bahwa sampai kini

    (awal abad ke-21), ratusan ribu pesawat “General

    Aviation” (pesawat penumpang sampai 20 orang atau pesawat ringan untuk pertanian dan fungsi

    lainnya) yang beroperasi di seluruh dunia masih

    menggunakan motor piston dari tipe “flat-opposite” (berderet-berlawanan letak silindernya)

    dan sebagian besar menggunakan pendinginan

    udara.

    22

    Rolls Royce Merlin

    Bertenaga 1.240 DK tipe V-12 didinginkan fluida (liquid cooled), 2-speed supercharger, bahan bakar 100 oktan, merupakan enjin yang luas digunakan Inggris pada pesawat-pesawatnya dalam PD II, antara lain Spitfire, Avro Lancaster, Hurricane, dsb.

    fluida yang berbentuk “inline” atau “Vee”. Menjelang PD II Rolls Royce mengembangkan

    “Merlin” yaitu enjin berbentuk V-12 (12 silinder)

    dengan volume 27 liter dan mencapai 1.240 DK

    pada versi terakhirnya: Merlin XX. Motor jenis ini memang tidak dapat mencapai daya setinggi motor

    radial karena jumlah silindernya terbatas (sekitar

    12), namun daya per silindernya dapat lebih tinggi dan penampang frontalnya lebih kecil sehingga

    hambatannya lebih kecil. Maka enjin seperti Merlin

    ini digunakan pada pesawat tempur dan pembom (lihat gambar bawah).

    Menjelang berakhirnya PD II, dunia

    penerbangan dibayang-bayangi oleh motor jenis

    baru, yaitu motor pancar gas (jet) atau motor “turbin gas”. Penemunya adalah Frank Whittle di

    pihak Sekutu, dan dalam waktu yang hampir

    bersamaan von Ohain di pihak Jerman juga melakukan pengembangan. Kedua belah pihak juga

    menciptakan pesawat tempur masing-masing

    bertenaga motor baru tersebut, namun sampai berakhirnya perang, keduanya belum pernah saling

    mengadu keunggulannya. Ternyata dibutuhkan

    waktu kurang lebih 10 tahun untuk memersiapkan

    motor turbin gas menjadi operasional, yaitu pada

    Pesawat tempur Supermarine “Spitfire”

    Pesawat pembom Handley Page “Halifax”

    Pengguna RR Merlin XX

  • kecepatan 600 km/jam dan terbuat dari carbon fibre. Sampai masa kini, batas bawah dari daya

    turboprop terletak di sekitar 400 DKE (Daya Kuda

    Efektif/EHP Effective Horse Power). Artinya, motor

    piston masih menguasai pasaran di bawah 400 DK.

    Suharto

    Referensi:

    1. Flight Internasional 1908-1998, Reed Business

    Information, Surrey, 1998, UK.

    2. David Monday, The Internasional Encyclopedia

    of Aviation, Octopus Book , Ltd, 1980, UK.

    23

    Motor Piston, Flat Opposite

    Uniknya, pasar enjin sebesar itu sebagian besar dilayani oleh hanya dua manufaktur yaitu Teledyne

    Continental dan AVCO Lycoming. Keduanya dari

    Amerika Serikat.

    Pengembangan yang terjadi adalah versi diesel dan “multi-fuel”, yaitu antara lain dapat

    menggunakan AVTUR/JET A1 dan AVGAS Fuel.

    Di kemudian hari akan dapat digunakan “bio-fuel” seperti yang sudah dicoba pada motor turbin gas

    yang mendorong pesawat-pesawat besar.

    Untuk meningkatkan daya guna propulsi (ηp), digunakan propeler dengan desain baru, yaitu daun

    propeler lebih lebar dan jumlahnya 4-6 dengan

    putaran lambat. Propeler digunakan sampai

    Pesawat-pesawat “General Aviation”

    Teledyne Continental IOL-300, 190 DK

    Pesawat transpor ringan

    Pesawat latih/sport

    Pesawat pertanian

    Teledyne Continental TS10-520, 325 DK

  • Perkembangan Motor Turbin gas

    Pada 1941, motor ciptaan Whittle ini diserahkan

    kepada General Electric di Amerika. Salah satu kritik terhadap rancangan motor Whittle adalah

    digunakannya “kompresor radial” yang dianggap

    terlalu sederhana sehingga tidak efisien. Para pakar berpendapat bahwa “kompresor aksial” yang

    merupakan silinder yang di dalamnya berputar

    deretan sudu pada kecepatan tinggi akan lebih

    sesuai.

    24

    PROPULSI BARU

    Sebetulnya sudah sejak 1929, Frank Whittle, seorang perwira teknik dari Angkatan Udara

    Inggris (RAF) yang brilian dalam termodinamika,

    telah mewujudkan suatu rancangan sistem propulsi

    baru yang kemudian disebut motor turbin gas. Motor jenis baru ini prinsip kerjanya lebih

    sederhana dari motor piston yang sudah diterapkan

    pada pesawat-pesawat tempur dan pembom pada waktu itu.

    Namun untuk pembuktiannya dengan

    pembuatan sebuah prototipe, belum ada sponsor yang membantunya. Akhirnya, baru pada 1937

    prototipe ini menjadi kenyataan setelah melewati

    hambatan dari mereka yang menganggap motor

    turbin gas ini akan menyaingi motor piston yang sedang berjaya.

    Di pihak Jerman, Pabst von Ohain, seorang

    enjiner dan pernah membaca paten dari Whittle, langsung menantang perancang pesawat terkenal

    Ernst Heinkel, bahwa ia dapat mewujudkan enjin

    jenis baru ini dengan segera. Heinkel yang mengerti akan pentingnya motor

    jenis baru tersebut menyetujuinya. Dan pada 1938

    sudah terwujud sebuah prototipe yang akan dicoba

    pada pesawat pembom tukik (dive-bomber) He-118 dan pada pesawat “test bed” khusus He-178. Sejak

    itu, pengembangan motor turbin gas memiliki

    prioritas utama di negeri ini. Di Inggris, pengembangan motor turbin gas

    dilakukan pada pesawat Gloster E.28/29 pada 1941.

    Pelaksanaannya menjadi lebih lancar ketika proyek

    ini diserahkan kepada Rolls-Royce yang kemudian (masa kini) menjadi salah satu produsen enjin

    terbesar di dunia.

    MOTOR TURBIN GAS

    Gambar paling atas Prototipe motor turbin gas ciptaan Frank Whittle dari Inggris. Gambar di bawahnya Pesawat Gloster E.28/29 yang digunakan untuk melakukan percobaan. Gambar samping Me-262, pesawat tempur jet pertama dari Jerman.

  • sangat besar dan menjelajah jarak jauh. Untuk itu

    dibutuhkan enjin dengan gaya dorong sangat besar dan irit bahan bakar.

    General Electric (GE) melaksanakan proyek

    enjin ini dengan GE-1/6 yang memiliki pressure

    ratio 23, suhu masuk turbin 1.733 oC dan bypass ratio 8 (ketiga besaran tersebut jauh lebih tinggi

    dari yang berlaku waktu itu).

    Ini berarti aliran udara inti yang mendapat energi pembakaran, memutar fan (kipas) yang

    mengalirkan udara dingin dengan massa delapan

    kalinya dan inilah yang menghasilkan hampir

    seluruh gaya dorongnya. Pada kondisi ini enjin tersebut memiliki konsumsi bahan bakar spesifik

    (SFC) 0,336 lb/lb-thrust/hour, sedangkan pada enjin

    lainnya yang digunakan pada pesawat-pesawat airline: 0,80. GE memproduksi enjin tersebut

    (sebagai TF-39) untuk C-5 “Galaxy” yang

    merupakan pesawat transpor terbesar Angkatan Udara AS sampai masa kini.

    25

    Kenyataannya bahwa kompresor radial selama 10 tahun berikutnya masih merupakan komponen

    yang sesuai untuk motor turbin gas. Misalnya pada

    1950, Pratt & Whitney J-48 dari Amerika,

    menggunakan kompresor radial dan menghasilkan gaya dorong 7.000 lb (31,15 kN) pada berat 924 kg

    (1.922 lb). Di lain pihak, Rolls-Royce Avon RA.1

    dengan gaya dorong 5.950 lb (26,5 kN) pada berat 1.092 kg (2.405 lb) mengalami kerusakan, yaitu

    patahnya sudu-sudu kompresor (aksial) pada awal

    pengembangannya. Namun dengan meningkatnya gaya dorong,

    penggunaan kompresor aksial akan lebih sesuai,

    karena memiliki ukuran frontal yang lebih kecil

    pada “compression ratio” yang lebih besar. Di samping itu, hal ini akan memungkinkan prinsip

    twin spool guna pengiritan konsumsi bahan bakar,

    seperti akan dibahas di bawah. Sampai saat ini, kompresor radial masih digunakan pada motor-

    motor turbin gas berdaya kecil, terutama untuk

    APU (Auxillary Power Unit). Perlu disebutkan di sini, bahwa sebelum

    prototipe motor turbin gasnya terwujud, Whittle

    telah pula memikirkan pengembangannya, yaitu

    after burner dan turbofan. Yang pertama berkaitan dengan peningkatan gaya dorong dalam waktu

    pendek, guna akselerasi yang diperlukan oleh

    pesawat tempur. Sedangkan turbofan menerapkan prinsip twin spool yang memungkinkan

    peningkatan gaya dorong dengan pengiritan bahan

    bakar (menekan SFC-Specific Fuel Consumpation).

    Ironisnya motor turbofan pertama yang disiapkan oleh Whittle untuk dicoba malah

    dibatalkan oleh pemerintah Inggris pada 1944

    karena alasan yang tidak jelas. Bahkan selama 20 tahun berikutnya, Rolls-Royce yang menangani

    proyek ini pun kurang menghargai solusi

    “turbofan” ini, walaupun mereka telah mengenalkan dua tipe jet-engine baru, “Conway”

    dan “Spey”. Dua tipe yang lebih tepat disebut

    “bypass-jet” karena aliran udara kedua (bypass-

    flow) yang dingin lebih berfungsi untuk menurunkan suhu pada dinding luar ruang

    pembakaran.

    Gebrakan dengan turbofan justru terjadi di Amerika ketika Angkatan Udara AS (USAF)

    membutuhkan pesawat transpor strategis yang

    SECONDARY FLOW (DINGIN)

    PRIMARY FLOW (PANAS) TWIN SPOOL SINGLE SPOOL

    TURBOJET TURBOFAN

    Turbojet Rolls-Royce “Derwent”, GD 3.500 lb dengan kompresor radial

    Rolls-Royce “Avon”, GD 17.000 lb Dengan kompresor aksial

  • merupakan cara yang efektif untuk mewujudkan tujuan ini yaitu dengan meningkatkan BR.

    Maka produsen utama seperti Rolls-Royce yang

    telah sukses dengan “turbojet” (single spool)

    generasi pertamanya seperti Avon (lihat atas), memelopori pelaksanaan “turbofan” (twin spool)

    denga tipe “Conway” yang menggunakan BR lebih

    rendah 0,42; dan karena itu disebut “bypass-jet” (1956).

    Di Amerika, Pratt & Whitney pada 1963

    mengembangkan JT3D dengan gaya dorong 18.000 lb pada BR 1,36. Sementara itu, GE seperti telah

    disebut di atas, menerapkan yang tinggi BR 8

    dengan tipe TF-39 pada pesawat transpor Angkatan

    Udara AS: C-5 “Galaxy”. Perkembangan ini memicu transportasi udara komersial untuk

    mengoperasikan para airliner yang semakin besar

    seperti Boeing 777 dan kemudian Boeing 747. Dan untuk itu, ketiga produsen enjin tersebut

    sejak 1970 mengembangkan turbofan baru. GE

    dengan gaya dorong 40.000-60.000 lb pada BR 5-6. Rolls-Royce menawarkan semi turbofan RB 211-

    524 dengan gaya dorong 50.000-60.000 lb pada BR

    4,5. Pratt & Whitney menyajikan seri JT9D-7

    dengan gaya dorong 40.000-60.000 lb pada BR 5,1. Peningkatan BR 1,3 ke BR 5 tersebut menurunkan

    SFC dari sekitar 0,80 ke 0,35 lb/lb-thrust/hour.

    Enjin-enjin tersebut dengan berbagai variannya digunakan oleh para airliner yang pada waktu itu

    26

    Tetapi generasi pertama airliner seperti “Comet 1-4” dari Inggris dan “Caravelle” dari Prancis pada

    1950-an menggunakan motor turbojet (single spool)

    Rolls-Royce “Avon”, sedangkan Boeing 707 dari

    Amerika menggunakan turbojet Pratt & Whitney JTC3. Perbedaan yang tampak antara pesawat ini

    dengan Comet, kecuali ukurannya lebih besar,

    adalah dalam hal penempatan enjinnya. Pada Comet terbenam di dalam pangkal sayap sedangkan pada

    Boeing 707 terpasang di bawah sayap dengan

    penyangga “pod”, dan sayap memiliki serong ke belakang (swept back) 35o yang sesuai untuk

    kecepatan tinggi.

    Pemasangan enjin pada sayap ini didasarkan

    pada pengalaman Boeing dari perancangan pesa-wat-pesawat pembom seperti B-47 dan B-36. Cara

    ini memungkinkan efisiensi struktur sayap lebih

    tinggi (lebih ringan) dan penggunaan enjin berbagai ukuran (diameter), terutama terkait perkembangan

    bypass ratio (BR) yang hanya berdampak sedikit

    pada perubahan rancangan sayap. Era baru transportasi udara dengan propulsi

    turbin gas ini berkembang dengan cepat karena

    diterima dengan baik oleh masyarakat luas. Rute-

    rute baru direncanakan dan untuk itu dibutuhkan pesawat-peswat baru dengan performa lebih besar

    dan kehandalan lebih tinggi. Di samping itu pula

    diusahakan penekanan SFC (irit bahan bakar). Pelaksanaan versi “turbofan” (twin-pool) ternyata

    Pesawat transpor jet pertama di dunia: de Havilland “Comet 1” ditenagai oleh motor turbojet (single spool) Rolls-Royce “Avon”

  • Motor Turboprop

    Di atas kita membahas perkembangan turbofan yang melayani pesawat-pesawat yang semakin besar

    dan berjarak jauh. Di sini kita akan menelaah

    perkembangan ke arah sebaliknya, yang diwujudkan

    dengan motor turbin gas versi turboprop. Beda bentuk luarnya dari kedua versi lainnya adalah

    dipasangnya propeler pada ujung depannya,

    berdiameter besar dan berdaun dua atau lebih. Penerapannya pada daerah kecepatan dan jarak

    yang lebih kecil bertujuan untuk meningkatkan

    “daya guna propulsi-ηp” (seperti juga pada kedua versi lainnya) yang bertujuan untuk menurunkan

    SFC pada daerah operasinya masing-masing.

    Rolls-Royce “Dart”merupakan salah satu tipe turboprop yang sukses, terutama ketika berpasangan

    dengan airliner jarak pendek Vickers “Viscount”.

    Motor ini memiliki rancangan sederhana serta klasik , yaitu menggunakan kompresor radial dan

    ruang bakar “can type”. Dengan daya 2.100 DKE,

    Dart digunakan pada pesawat-pesawat tipe lain

    termasuk pesawat pengintai militer. Selanjutnya, Rolls-Royce mengembangkan “Tyne” dengan daya

    5.500 DKE yang digunakan pada Vickers

    “Vanguard” dan Canadair CL-44, dengan rancangan lebih maju antara lain kompresor aksial dan

    propeler dengan putaran lebih lambat.

    Sementara di Amerika di kembangkan

    turboprop Allison 501– D13A dengan daya 3.750 DKE untuk Lockheed “Electra” dan Allison 501–

    D22A dengan daya 4500 DKE untuk Lockheed C-

    130 “Hercules” yang merupakan pesawat transpor

    27

    praktis didominasi oleh Amerika, seperti Boeing 707, Boeing 727, Douglas DC-8, Douglas DC-9.

    Pada awal 1980-an Boeing memerkenalkan

    tipe baru Boeing 737 yang lebih kecil untuk

    melayani jarak pendek/sedang (short/medium haul—lihat hlm. 3). Khasnya pesawat ini, guna

    memberikan kesan “wide body”, menggunakan

    penampang badan yang sama dengan saudara-saudara tuanya. Maka dengan kapasitas sedikit di

    atas seratus penumpang, 737 tampak

    “gemuk” (stubby). Namun sejarah menunjukkan bahwa B 737 menjadi pesawat transpor yang paling

    sukses karena melayani sektor jarak yang paling

    dibutuhkan oleh masyarakat di seluruh dunia, yaitu

    “regional” atau “short/medium range”. Inilah awal sebuah persaingan sengit dalam

    transportasi udara internasional, karena didominasi

    Amerika yang mencapai 90 persen itu, menghadapi penantangnya. Seperti disebut dalam artikel

    pembuka (lihat hlm. 1-2), persaingan yang secara

    global adalah antara Amerika dengan Eropa, kemudian terfokus menjadi antara: Airbus versus

    Boeing.

    Dalam rubrik PROPULSI ini, kita awali dengan

    membahas pengaruhnya dalam pengembangan enjin yang merupakan persaingan bayangan dari

    pesawat-pesawat penggunanya. Pada artikel

    berikut, masih di rubrik PROPULSI, akan dipaparkan perkembangan dari motor turbin gas

    selama setengah abad dalam aspek-aspek

    pengoperasiannya sehingga menjadi sumber tenaga

    utama bagi transportasi udara (lihat Setengah Abad Perkembangan Motor Turbin Gas hlm. 29).

    Pesawat transpor jet generasi pertama yang paling sukses Boeing 707 bertenaga 4 buah turbojet Pratt & Whitney JT3-6

  • Pengunaan turboprop tidak sebanyak turbofan, karena daerah operasinya (kecepatan dan jarak

    terbang) lebih kecil. Pada batas atas dengan

    turbofan, terjadi persaingan sengit antara kedua

    versi turbin gas tersebut. Tetapi bagi masyarakat luas turbofan lebih favorit karena bentuk

    (appearance) yang lebih modern (propeler memberi

    kesan pesawat kuno) dan kecepatan lebih tinggi, mengalahkan kenaikan harga tiket yang lebih mahal

    pada pesawat-pesawat turbofan.

    28

    militer paling sukses. General Electric menyajikan tipe CT-7 dengan daya 1.750 DKS (Daya Kuda

    Spesifik/SHP Specific Horse Power) untuk

    pesawat SAAB-Fairchild SF-340 dari Swedia dan

    CN-235 dari Indonesia. Motor-motor turboprop Amerika ini memiliki desain yang khas yaitu

    gearbox untuk propeler terletak di depan, terpisah

    dari “gas generator” sehingga membentuk modul-modul yang bertujuan memermudah perawatan.

    Motor turboprop GE CT-7 dengan daya 1.750 DKS (SHP), antara lain sebagai pendorong dari SAAB-Fairchild SF-340 dan CN-235

    Suharto

    Referensi:

    1. Flight Internasional 1908-1998, Reed Business

    Information, Surrey, 1998, U.K.

    2. John W.R. Taylor & Kenneth Munson, History of

    Aviation, Octopus Book , Ltd, 1973, London, UK.

    3. R.G. Grant, Flight, the Complete History,

    Smithsonian, National Air and Space Museum, DK

    Publishing, London-New York, 2007.

    Vickers “Viscount” airliner jarak dekat dengan kapasitas 80 pemumpang

    Rolls-Royce “Dart” adalah turboprop paling sukses pada 1960-an antara lain sebagai pendorong “Viscount”