Proposal Skripsi Qie Revisi 6

download Proposal Skripsi Qie Revisi 6

of 30

Transcript of Proposal Skripsi Qie Revisi 6

1

RASIONALITAS PERESEPAN OBAT GOLONGAN ANTAGONIS RESEPTOR H2 DAN PENGHAMBAT POMPA PROTON PADA PASIEN ASKES TUKAK PEPTIK (Kajian pada Poliklinik Penyakit Dalam di RSUD H. Damanhuri Barabai Tahun 2010)

Usul Penelitian Untuk memenuhi persyaratan melakukan penelitian dalam rangka penyusunan skripsi

Oleh: Rezky Febriani NIM J1E107008

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU DESEMBER 2010

2

RASIONALITAS PERESEPAN OBAT GOLONGAN ANTAGONIS RESEPTOR H2 DAN PENGHAMBAT POMPA PROTON PADA PASIEN ASKES TUKAK PEPTIK (Kajian pada Poliklinik Penyakit Dalam di RSUD H. Damanhuri Barabai Tahun 2010)

I.

LATAR BELAKANG Tukak peptik (peptic ulcer disease) adalah kerusakan atau hilangnya

jaringan mukosa, submukosa sampai lapisan otot (muskularis propia) dari lambung, usus dua belas jari dan pada esofagus (Hamsafir, 2010). Tukak ini secara lebih spesifik diberi nama menurut lokasinya, yakni tukak esofagus, tukak lambung, dan tukak duodenum (Hayes & Kee, 1996). Tukak peptik merupakan suatu penyakit yang sering diderita oleh manusia diseluruh dunia pada semua kelompok umur, tetapi jarang ditemukan pada remaja dan sangat jarang ditemukan pada anak-anak (Kurniati, 2004). Prevalensi tukak peptik di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara barat, yakni antara 6-15% terutama pada usia 20-50 tahun (Nasif

et al., 2007). Meskipun angka kejadian tukak peptik relatif sedikit, namun penyakit tukak peptik perlu mendapatkan perhatian yang serius karena masih banyak orang yang belum paham tentang apa, bagaimana gejala dan bahaya komplikasi apabila tidak ditangani dengan benar (Putri, 2010). Penggunaan obat yang rasional sangat penting dalam terapi pengobatan pada pasien untuk mencegah adanya kegagalan dalam terapi pengobatan. Penggunaan obat yang tidak rasional sering kali dijumpai dalam praktek sehari-hari,

3

baik di pusat kesehatan primer (puskesmas), rumah sakit, maupun praktek swasta. Ketidaktepatan indikasi, pemilihan obat, pasien dan dosis menjadi penyebab kegagalan terapi. Penggunaan obat yang tidak rasional pada pengobatan tukak peptik dapat menimbulkan efek yang merugikan bagi pasien yaitu terjadinya kekambuhan penyakit, komplikasi pendarahan pada saluran cerna, kanker lambung bahkan kematian (Putri, 2010). Antagonis Reseptor H2 (H2RA) dan Penghambat pompa proton (PPI) merupakan terapi utama yang digunakan dalam pengobatan tukak peptik. Kedua golongan obat ini efektif dalam meningkatkan proses penyembuhan ulkus lambung dan ulkus duodenum serta mencegah kekambuhan penyakit (Katzung, 2002).

PPI merupakan first-choice drug dalam pengobatan tukak peptik karena memiliki efek yang sangat besar terhadap produksi asam sehingga lebih efektif dibandingkan H2RA (Abrams et al., 2006). Rumah Sakit Umum Daerah H. Damanhuri Barabai merupakan salah satu rumah sakit yang terdapat di propinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan survey pendahuluan diketahui bahwa angka kejadian tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai pada tahun 2010 cukup tinggi, yakni sebanyak 365 kasus. Kejadian tukak peptik menempati peringkat kelima dari sepuluh penyakit terbesar di Instalasi Rawat Jalan RSUD H. Damanhuri Barabai dengan jumlah kunjungan yang terbanyak adalah pasien Asuransi Kesehatan (ASKES), dengan angka kejadian sebesar 36,98% atau sebanyak 135 kasus. Selain itu, dari data yang diperoleh di bagian apotek RSUD H. Damanhuri Barabai juga diketahui bahwa obat yang sering diresepkan dalam terapi tukak peptik pada pasien ASKES rawat jalan pada tahun

4

2010 adalah Antagonis Reseptor H2 (H2RA) dan Penghambat Pompa Proton (PPI), yaitu sebanyak 5.466 dan 8.008 tablet. Berdasarkan hal tersebut diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang rasionalitas peresepan obat golongan antagonis reseptor H2 dan penghambat pompa proton pada pasien ASKES tukak peptik Di RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010. II. PERUMUSAN MASALAH Rumusan masalah pada penelitian ini adalah :1. Berapa persentase obat golongan antagonis reseptor H2 dan penghambat pompa

proton yang digunakan pada pasien ASKES tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010 ?2. Berapa persentase kerasionalan obat golongan antagonis reseptor H2 pada

pasien ASKES tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010?3. Berapa persentase kerasionalan obat golongan penghambat pompa proton pada

pasien ASKES tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010? III. TUJUAN PENELITIAN 3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kerasionalan peresepan obat golongan antagonis reseptor H2 dan penghambat pompa proton pada pasien ASKES tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010.

3.2 Tujuan Khusus

5

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :1. Menghitung persentase obat golongan antagonis reseptor H2 dan penghambat

pompa proton yang digunakan pada pasien ASKES tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010 ?2. Menghitung persentase kerasionalan obat golongan antagonis reseptor H2 pada

pasien ASKES tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010?3. Menghitung persentase kerasionalan obat golongan penghambat pompa proton

pada pasien ASKES tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010 ? IV. MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini adalah sebagai masukan kepada manajemen rumah sakit mengenai penggunaan obat tukak peptik secara rasional serta memberikan saran dan informasi kepada tenaga kesehatan seperti dokter pemberi resep dan farmasis untuk menerapkan pengobatan yang rasional. V. TINJAUAN PUSTAKA 5.1 Rasionalitas Pengobatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006), secara praktis menyatakan penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria: 1. Tepat diagnosis Pengunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. 2. Sesuai dengan indikasi penyakit

6

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian pemberian ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memiliki gejala adanya infeksi bakteri. 3. Tepat pemilihan obat Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Pemilihan obat yang tepat adalah penggunaan obat yang efektif, aman, murah, tidak polifarmasi, drug combination (fixed), individualisasi, serta pemilihan obat atas dasar daftar obat yang telah ditentukan bersama. 4. Tepat dosis Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat dengan rentang terapi yang sempit (narrow therapeutic margin) akan sangat beresiko timbulnya efek samping. 5. Tepat cara pemberian. Obat antasida dalam bentuk tablet seharusnya dikunyah baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membentuk ikatan yang tidak dapat diabsorbsi sehingga menurunkan efektifitasnya. 6. Tepat interval waktu pemberian Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Obat yang harus diminum 3x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam.

7.

Tepat lama pemberian

7

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing, misalnya untuk tuberkulosis lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. 8. Waspada terhadap efek samping Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. 9. Tepat penilaian kondisi pasien Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin, dan aminoglikosida sebaiknya dihindarkan karena resiko terjadinya nefrotoksik pada kelompok ini. 10. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin serta tersedia setiap saat dengan harga terjangkau. 11. Tepat informasi Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. 12. Tepat tindak lanjut (follow up) Pada saat memutuskan pemberian terapi harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. 13. Tepat penyerahan obat (dispensing) Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerahan obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Proses penyiapan dan penyerahan obat harus dilakukan secara tepat agar pasien mendapatkan obat sebagaimana seharusnya.

8

14. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan. Pemberian obat dalam jangka lama tanpa informasi/ supervisi dapat menurunkan kepatuhan penderita. 5.2 TUKAK PEPTIK

5.2.1 Definisi Tukak peptik merupakan gangguan yang dikarakterisasi oleh adanya ulkus pada saluran gastrointestinal yang terpapar oleh asam lambung atau gastrin. Lokasi ulkus yang paling sering adalah di bulbus duodenalis (90%) dan kurvatura minor lambung. Namun ulkus peptikum juga dapat terjadi di daerah esofagus bagian distal, lengkung duodenum, jejunum (Helms et al., 2006). Tukak ini secara lebih spesifik diberi nama menurut lokasinya, yakni tukak esofagus, tukak lambung, dan tukak duodenum (Hayes & Kee, 1996). Anatomi lambung dan lokasi terjadinya tukak peptik dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Anatomi lambung (Dipiro et al., 2008)

5.2.2 Patofisiologi Tukak Peptik

9

Ada beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab tukak peptik, yaitu karena infeksi Helicobacter pylori, stres, perubahan pola makan, kepekaan/ rentannya mukosa gastrointestinal terhadap asam lambung dan gastrin, merokok, serta efek samping obat-obat antiinflamasi nonstreroid (AINS) (Priyanto, 2009). Destruksi mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam pataogenesis tukak lambung. Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat-zat lain yang merusak mukosa lambung mengubah permeabilitas sawar epitel, memungkinkan difusi balik asam klorida dengan akibat kerusakan jaringan, khusunya pembuluh darah. Efek NSAID (termasuk aspirin) menyebabkan perubahan kualitatif mukus lambung yang dapat mempermudah degradasi mukus oleh pepsin dalam jumlah berlebihan dalam mukus gastrik dan memegang peranan penting dalam pertahanan mukosa lambung (Price & Wilson, 2005). Helicobacter pylori ialah suatu bakteri mikroaerofilik dan hidup di lingkungan yang unik yaitu di bawah mukus dinding lambung yang bersuasana asam. Kuman ini mempunyai enzim urease yang dapat memecah ureum menjadi amonia yang bersifat basa, sehingga tercipta lingkungan memungkinkan kuman ini bertahan hidup. Terdapat hubungan timbal balik antara infeksi Helicobacter pylori, gastritis dengan asam lambung. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum menyebabkan inflamasi pada antrum sehingga menstimulasi sekresi gastrin, yang selanjutnya akan merangsang sel parietal untuk meningkatkan sekresi asam lambung meningkatkan sekresi asam lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum (Price & Wilson, 2005). 5.2.3 Obat-Obat Tukak Peptik

10

Tujuan terapi tukak peptik adalah untuk mengurangi serta menetralkan asam lambung, menghilangkan faktor penyebab, meringankan atau menghilangkan nyeri epigastrik, mencegah kekambuhan dan memperkuat sistem perlindungan mukosa serta mencegah terjadinya komplikasi yang serius (Misnadiarly, 2009). Adapun obat-obat yang digunakan dalam pengobatan tukak peptik adalah sebagai berikut. 1. Antasida Antasida adalah garam anorganik lemah yang mempunyai kemampuan menetralkan asam lambung. Mekanisme kerja antasida adalah meningkatkan pH sehingga mengakibatkan berkurangnya kerja proteolitis dari pepsin (optimal pada pH 2) (Tjay & Rahardja, 2002). Umumnya, tablet-tablet antasida mempunyai kemampuan netralisasi asam yang lemah, sehingga diperlukan tablet dalam jumlah besar. Cara ini tidak dianjurkan dalam pengobatan tukak peptik yang aktif. Jadi, antasida yang akan menetralisasi asam lambung secara maksimal selama periode 24 jam akan menggunakan 140 meq antasida dalam bentuk cairan yang diberikan 1 dan 3 jam setelah makan dan pada waktu tidur (Katzung, 2002). Penggunaan jangka panjang natrium atau kalsium pada antasida dapat menyebabkan alkalosis sistemik. Hypercalcemia dapat terjadi dengan mengkonsumsi kalsium dalam jumlah besar. Antasida yang mengandung aluminium menyebabkan sembelit, khususnya bagi orang tua. Penggunaan berkepanjangan atau dosis besar aluminium hidroksida atau karbonat dapat mengakibatkan hypophosphatemia, terutama pada orang tua dan pecandu alkohol (Anderson et al., 2002). 2. Zat Penghambat Sekresi Asam

11

a.

Antagonis Reseptor H2 Empat antagonis H2 yang beredar di USA adalah: simetidin, ranitidin,

famotidin, dan nizatidin. Pemberian dosis tunggal obat-obat ini mampu mereduksi lebih dari 90% dalam basal, rangsangan makanan, dan sekresi nokturnal asam lambung (Katzung, 2002). Struktur kimia dari ranitidin ditunjukkan pada 2. gambar

Gambar 2. Struktur kimia ranitidin (Swetmaan, 2009) 1. Mekanisme Kerja Antagonis reseptor H2 bekerja sangat spesifik, hanya menghambat reseptor H2 saja yang terdapat dalam jumlah banyak di mukosa lambung. Antagonis reseptor H2 menurunkan sekresi asam lambung dalam waktu yang lebih lama daripada efek antasida, sehingga lebih efektif (Katzung, 2002).

2. Dosis Dosis obat golongan antagonis reseptor H2 dalam terapi tukak peptik ditunjukkan pada tabel 1.

12

Tabel 1. Dosis Obat Antagonis Reseptor H2 Terapi Tukak Obat Simetidin Famotidin Ranitidin Nizatidin lambung/duodenum (mg/dosis) 300 4x sehari atau 400 2x sehari atau 800 sebelum tidur 20 (2x sehari) atau 40 (sebelum tidur) 150 (2x sehari) atau 300 (sebelum tidur) 300 (sebelum tidur) 150 (sebelum tidur) 150 (2x sehari) Sumber : Dipiro et al., 2008. 3. Farmakokinetik Data farmakokinetik obat golongan antagonis reseptor H2 ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 2. Data Farmakokinetik obat golongan Antagonis Reseptor H2Simetidin Ranitidin Famotidin Nizatidin

Pemeliharaan untuk tukak lambung/ duodenum (mg/dosis) 400 (sebelum tidur) 20 (sebelum tidur) 150 (sebelum tidur)

Bioavailibilitas (%) Waktu paruh (jam) Durasi (jam) Menghambat enzim CYP 450 Sumber : Anderson et al., 2002.

80 1,5 2,3 6 1

50 1,6 2,4 8 0,1

40 2,5 - 4 12 0

>90 1,1 1,6 8 0

4. Efek Samping Semua antagonis reseptor H2 pada umunya ditoleransi dengan baik dengan laporan efek samping yang sedikit. Efek samping yang paling sering (1-7%) yaitu sakit kepala, diare, sembelit, pusing, mengantuk, dan fatigue. Arimia jantung, takikardi dan hipotensi dapat terjadi setelah pemberian IV bolus simetidin atau

13

ranitidin (Anderson, et al., 2002). Terapi simetidin, terutama pada pemakaian jangka panjang dan pada dosis tinggi dapat menyebabkan ginekomastia reversibel (Katzung, 2002). 5. Interaksi Obat Simetidin menghambat aktivitas metabolisme oksidatif obat dengan cara mengikat sitokrom P-450 mikrosoma hati. Hambatan tersebut dapat meningkatkan kerja (potensiasi) warfarin, fenitoin, dan teofilin atau aminofilin. Karena itu pemberian pada pasien yang sedang mendapat terapi intensif dengan obat-obat tersebut harus dihindari (Sukandar et al., 2008). 6. Tindakan Pencegahan Kehamilan, laktasi : pengurangan dosis perlu dilakukan pada pasien gagal ginjal/ hati. Pengurangan dosis tidak diperlukan pada pasien yang menjalani terapi dengan simetidin karena obat ini meningkatkan Crs (klirens renal) dengan bersaing dengan sekresi ginjal (Anderson et al., 2002). b. Penghambat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor) Penghambat pompa proton merupakan pengobatan jangka pendek yang efektif untuk tukak lambung dan duodenum. Selain itu, juga digunakan dalam kombinasi dengan antibiotika untuk eradikasi Helicobacter pylory. Penghambat pompa proton yaitu omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol et al., 2008). Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+/H+ ATP-ase yang akan memecah K+/H+ ATP. Pemecahan K+/H+ ATP akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam dan kanalikuli sel parietal ke dalam lumen (Sukandar

14

lambung. Penghambat pompa proton memiliki efek yang sangat besar terhadap produksi asam (Brunton et al., 2008). Struktur kimia dari lansoprazol ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Struktur kimia lansoprazol (Sweetman, 2009) 1. Dosis Dosis obat golongan penghambat pompa proton dalam terapi tukak peptik ditunjukkan pada tabel 3. Tabel 3. Dosis obat golongan penghambat pompa proton Obat Terapi Tukak lambung/duodenum Omeprazol Lansoprazol Rabeprazol (mg/dosis) 20- 40 sehari 15 30 sehari 20 sehari Pemeliharaan untuk tukak lambung/ duodenum (mg/dosis) 20 40 sehari 15 30 sehari 20 sehari 40 sehari

Pantoprazol 40 sehari Sumber : Dipiro et al., 2008.

2.

Farmakokinetik Data farmakokinetik obat golongan penghambat pompa proton ditunjukkan

pada tabel 4. Tabel 4. Data farmakokinetik golongan penghambat pompa proton Parameter Bioavailibilitas oral Waktu paruh (t) Lansoprazol 80-85 % 1,5 1,7 jam Omeprazole 30-40% 0,5 1 jam Pantoparazol 77% 1 1,9 jam Rabeprazol 52% 1 2 jam

15

Ikatan protein 97% Eksresi Urin 30% Sumber : Anderson et al., 2002. 3. Efek Samping

95% 77%

98% 71%

96% 90%

Efek samping yang umum terjadi meliputi sakit kepala, diare, ruam, gatalgatal dan pusing. Efek samping yang dilaporkan untuk omeprazol dan lansoprazol meliputi urtikaria, mual dan muntah, konstipasi, kembung, nyeri abdomen, lesu, nyeri otot dan sendi, pandangan kabur, perubahan enzim hati dan gangguan fungsi hati (Sukandar et al., 2008). 4. Interaksi Obat Omeprazol dapat meningkatkan kerja warfarin, fenitoin, dan menghambat metabolisme diazepam. Rabeprazole tidak berinteraksi dengan fenitoin, warfarin, atau teofilin, namun menyebabkan 20% peningkatan kadar serum digoksin. Sedangkan pantoprazole tidak berinteraksi dengan warfarin, fenitoin, diazepam, atau teofilin (Anderson et al., 2002).

3. a)

Obat penangkal kerusakan mukus Koloid Bismuth Koloid bismuth bekerja secara selektif berikatan dengan ulkus, melapisi dan

melindungi ulkus dari asam dan pepsin. Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan Antagonis reseptor H2 sehingga kemungkinan relaps berkurang (Suwarni, 2009). Ranitidin bismuth sitrat digunakan dalam kombinasi

16

dengan dua antibiotik untuk eradikasi Helicobacter pylori. Bismut koloid subsitrat digunakan dalam kombinasi dengan dua antibiotik dan penghambat proton pompa (PPI) untuk eradikasi Helicobacter pylori yang resisten terhadap pengobatan (Farthing & Ballinger, 2003). b) Sukralfat Sukralfat atau aluminium sukrosa sulfat adalah disakarida sulfat yang dikembangkan untuk digunakan dalam penyakit tukak peptik. Mekanisme kerja sukralfat melibatkan ikatan selektif pada jaringan ulkus yang nekrotik. Obat ini berkerja sebagai sawar terhadap asam, pepsin, dan empedu dan dapat langsung mengabsorpsi garam-garam empedu (Katzung, 2002). c) Analog Prostaglandin: Misoprostol Misoprostol merupakan suatu analog prostaglandin sintetik yang memiliki sifat antisekresi dan proteksi, mempercepat penyembuhan tukak lambung dan duodenum. Senyawa ini dapat mencegah terjadinya tukak karena AINS. Penggunaannya paling cocok bagi pasien yang lemah atau berusia sangat lanjut tetapi penggunaan AINS tidak dapat dihentikan (Sukandar et al., 2008).

5.2.4

Algoritma Terapi Tukak Peptik Algoritma evaluasi dan manajemen pasien yang menunjukan gejala tukak,

atau dyspepsia ditunjukkan pada gambar 4.Pasien yang menunjukkan gejala ulcer

Dispepsia tanpa gejala Menggunakan NSAID ?

Menunjukkan gejala seperti pendarahan, anemia, kehilangan berat badan Endoskopi untuk diagnosa ulcer

17

Ya Menghentikan NSAID, jika tidak mengurangi dosis atau mengubah COX-2 inhibitor

Tidak Tidak menunjukan ulcerPertimbangan etiologi lain untuk gejala seperti GERD, NUD

Terapi untuk HP sebelumnya? Tidak Ya

Menunjukkan ulcer Tes HP positif Terapi dengan PPIregimen dasar HP negatif

Terobati

Gejala tetap

Melakukan tes serologi

Tidak ada terapi lanjutan

Dimulai H2RA atau PPI

negatif

positif

menggunakan NSAID? Hentikan pemakaian NSAIDLanjutkan NSAID / ganti dengan COX-2 inhibitor

Gejala Berubah

Gejala tetap

Tidak ada Tidak terapi lanjutan

Tanda/gejala 1-2 minggu setelah terapi

ya melanjutkan H2RA atau PPI Hentikan pemakaian NSAID

Terapi dengan PPI

Terapi dg PPI, dilanjutkan dgn koterapi dengan PPI / misoprostol

Gambar 4. Algoritma Terapi tukak peptik/ dispepsia (Dipiro et al., 2008)Keterangan : HP = Helicobacter pylory ; NUD = Non Ulcer Dyspepsia NSAID = Nonsteroid Antiinflamation Drug; GERD = Gastroesofageal Reflux Disease

VI. METODE PENELITIAN 6.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah survey deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif (Notoadmodjo, 2002).

18

6.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di bagian rekam medik dan apotek RSUD H.

Damanhuri Barabai. Waktu pelaksanaan penelitian dari bulan Januari-Maret 2011. 6.3 Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah semua rekam medik yang memuat obat tukak peptik pada pasien ASKES tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010. Sedangkan sampel penelitian yang dipilih dibatasi adalah rekam medik yang memuat obat tukak peptik golongan antagonis reseptor H2 dan penghambat pompa proton pada pasien ASKES di poliklinik penyakit dalam RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu di mana sampel yang diambil dianggap baik dan sesuai untuk dijadikan sampel penelitian. Sampel yang dianggap baik dan sesuai ini antara lain memiliki kriteria: 1. Rekam medik yang dapat dibaca 2. Rekam medik yang memuat obat tukak peptik golongan Antagonis Reseptor H2 dan atau Penghambat Pompa Proton serta terapi pengobatan lainnya. 3. 4.5.

Rekam medik yang memuat dosis obat Rekam medik yang memuat jumlah obat Rekam medik memuat aturan minum obat 6.4 Desain penelitian 6.4.1 Desain

19

Desain penelitian yang dilakukan adalah dengan pendekatan retrospektif (Imron & Munif, 2010). Data diambil dengan melihat kembali, mengumpulkan dan mencatat data secara langsung dari rekam medik yang memuat informasi pengobatan pasien ASKES tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010. 6.4.2 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini berupa blangko isian yang memuat tabel analisis data rasionalitas. 6.4.3 Variabel Penelitiaan

Variabel pada penelitian ini yaitu rasionalitas peresepan obat golongan Antagonis H2 dan penghambat pompa proton pada pasien ASKES tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010. 6.4.4 Definisi Operasional 1. Rasionalitas adalah penggunaan obat yang tepat secara medik dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Rasionalitas diketahui dengan cara

membandingkan pengobatan yang tertulis di rekam medik dibandingkan dengan literatur yang telah ditentukan. Rasionalitas peresepan menurut Departemen Kesehatan RI (2006) terdiri dari 14 kriteria meliputi : tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat lama pemberian, waspada terhadap efek samping, tepat penilaian kondisi pasien, obat yang diberikan harus efektif dan aman, tepat informasi, tepat tindak lanjut (follow up), tepat penyerahan obat (dispensing), pasien patuh terhadap perintah

20

pengobatan yang dibutuhkan. Oleh karena analisis data dilakukan dengan asumsi diagnosis benar oleh dokter di RSUD H. Damanhuri Barabai maka kriteria tepat diagnosis dan tepat indikasi penyakit sudah terpenuhi, sedangkan kriteria waspada terhadap efek samping, tepat penilaian kondisi pasien, obat yang diberikan harus efektif dan aman, tepat informasi, tepat tindak lanjut (follow up), tepat penyerahan obat (dispensing), pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan tidak dianalisis karena data yang digunakan adalah data sekunder, yakni rekam medik dengan pendekatan retrospektif. Oleh karena itu kriteria yang dapat dianalisis pada penelitian ini adalah 5 kriteria, yaitu sebagai berikut : 1. Tepat pemilihan obat (TPO) 2. Tepat dosis pemberian (TDO) 3. Tepat cara pemberian (TCP) 4. Tepat interval pemberian (TIW) 5. Tepat lama pemberian (TLP) Pengobatan dikatakan rasional apabila memenuhi semua kriteria rasionalitas. Pengobatan dikatakan tidak rasional jika satu atau lebih dari kriteria tersebut tidak terpenuhi. 2. Antagonis Reseptor H2 adalah golongan obat yang bekerja dengan menghambat reseptor H2 di mukosa lambung sehingga menurunkan sekresi asam lambung, digunakan secara oral serta tercantum dalam Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO), yaitu ranitidin.

21

3. Penghambat pompa proton adalah golongan obat yang bekerja dengan memblok kerja enzim K+/H+ ATP-ase sehingga menghambat sekresi asam lambung, digunakan secara oral serta tercantum dalam Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO), yakni lansoprazol. 3. Pasien tukak peptik adalah pasien dewasa yang telah didiagnosis oleh dokter yang bertugas serta terdaftar sebagai pasien ASKES.

6.5

Alur penelitian Alur penelitian secara skematis pada penelitian ini ditunjukkan pada gambar

5.

Perizinan dan observasi

Penggunaan obat golongan Antagonis Reseptor H2 dan Penghambat Pompa Proton H2 yang rasional pada pasien ASKES tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai periode tahun 2010

22

Populasi pengobatan tukak peptik pada tahun 2010 Pengambilan sampel dari populasi rekam medik pada tahun 2010 dengan teknik purposive sampling Pengumpulan data dengan cara pencatatan Pengolahan data dengan menghitung masing-masing persentasi dari data yang telah dikumpulkan Analisis data secara deskriptif Hasil Pembahasan Kesimpulan Gambar 5. Alur penelitian

6.6 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara pencatatan langsung setiap rekam medik yang memuat obat golongan Antagonis H2 dan penghambat pompa proton pada pasien ASKES tukak peptik di RSUD H. Damanhuri Barabai tahun 2010. 6.7 Pengolahan Data

23

Pengolahan data penelitian dilakukan secara manual yaitu dengan menghitung persentase untuk tiap-tiap data yang diinginkan, yakni : % Obat Golongan Antagonis Reseptor H2 yang Digunakan = Jumlah obat dari golongan antagonis reseptor H2 yang digunakan x 100% Jumlah semua golongan obat tukak peptik yang tercantum dalam DPHO % Obat golongan Penghambat Pompa Proton yang digunakan = Jumlah obat dari golongan penghambat pompa proton yang digunakan Jumlah semua golongan obat tukak peptik yang tercantum dalam DPHOx 100%

% Kerasionalan Obat Tukak Peptik Golongan Antagonis Reseptor H2 = Jumlah obat golongan antagonis reseptor H2 yang rasional Jumlah seluruh resep yang memuat obat antagonis reseptor H2x 100%

% Kerasionalan Obat Tukak Peptik Golongan Penghambat Pompa Proton = Jumlah obat golongan penghambat pompa proton yang rasional Jumlah seluruh resep yang memuat obat penghambat pompa protonx 100%

6.7 Analisis Data Analisis data untuk mengetahui bahwa rekam medik pada pasien ASKES tukak peptik rasional atau tidak rasional dengan asumsi diagnosa benar di Rumah Sakit Umum Daerah H. Damanhuri Barabai. Rasionalitas diketahui dengan cara membandingkan pengobatan yang tertulis direkam medik dibandingkan dengan lima kriteria yang telah ditentukan. Kriteria rasionalitas pengobatan tukak peptik ditunjukkan pada tabel 6. Tabel 6. Kriteria rasionalitas pengobatan tukak peptikKeterangan No. Kriteria Indikator Tidak

24

Rasional 1 Tepat pemilihan obat (TPO) Obat tukak peptik : Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping dan kontraindikasi. Bila memberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat. Apabila memenuhi kriteria seperti dalam kolom indikator maka dapat dikatakan tidak tepat pemilihan Interaksi Obat : H2RA (Ranitidin) obat.

Kontraindikasi :Kontraindikasi dengan pasien yang memiliki hipersentitivitas terhadap Ranitidin dan Lansoprazol Pengurangan dosis : pada kehamilan, laktasi, serta pasien dengan gangguan ginjal / hati.

Meningkatkan efek/ toksisitas siklosforin (meningkatkanserum kreatinin). Menurunkan efek : Ranitidin meningkatkan efek hipoglikemia glipizid (Anderson, et al., 2002). Ranitidin menurunkan absorbsi dari itrakonazol dan ketokonazol, atazanavir dan sianokobalamin, mengurangi absorbsi beberapa sefalosforin (sefuroksim dan sefpodoksim) (Lacy, et al., 2009). PPI (Lansoprazol)

Meningkatkan efek/ toksisitas :Citalopram, diazepam, HMG-CoA reduktase inhibitor, metrotreksat, fenitoin, propanolol. Menurunkan efek : Lansoprazol menurunkan absorbsi atazanavir, indinavir, garam besi oral, itrakonazol, dan ketokonazol, memperlambat dan mengurangi absorbsi sukralfat. Efek lansoprazol dapat diturunkan oleh aminoglutimid, carbamazepin, fosfenitoin, nafcilin, nevirapin, fenobarbital, fenitoin, rifamisin. (Lacy et al., 2009)

25

2

Tepat Dosis pemberian (TPD) PPI : Lansoprazol H2RA : Ranitidin Obat

Tukak lambung/ duodenum 15- 30 mg 150 atau

Pemeliharaan tukak lambung/ duodenum 15-30 mg 150 mg

Apabila tidak memenuhi kriteria maka dapat dikatakan tidak tepat dosis.

300 mg Sumber : Dipiro et al., 2008.

3

Tepat cara pemberian (TCP)

Obat H2RA : Ranitidin PPI : Lansoprazol Sumber : Dipiro et al., 2008.

Cara Pemberian Oral Oral

Apabila tidak memenuhi kriteria maka dapat dikatakan tidak tepat cara pemberian. Apabila tidak memenuhi kriteria maka resep dapat dikatakan tidak tepat interval pemberian Apabila tidak memenuhi kriteria maka dapat dikatakan tidak tepat lama pemberian

4

Tepat Interval Pemberian (TIP)

Obat Ranitidin Lansoprazol

Dosis 150 mg 300 mg 15 mg 30 mg

Interval Waktu Pemberian 1-0-1 pagi dan malam 0-0-1 1-0-0 1-0-0 malam Pagi pagi

Sumber : Anderson, et al., 2002.

5

Tepat Lama Pemberian (TLP)

Obat H2RA : Ranitidin PPI : Lansoprazol

Lama Pemberian 6 8 minggu 4 minggu

Sumber : Dipiro et al., 2008.

26

Keterangan :PPI : Propon Pump Inhibitor atau penghambat pompa proton H2RA : Antagonis reseptor H2

Cara mencatat unsur-unsur dari data rekam medik adalah dengan memasukkan data ke dalam tabel analisis sebagai berikut :1. Nomor dan tanggal

: Merupakan tanggal dan nomor dari rekam medik pasien di RSUD H. Damanhuri Barabai.

2. Nama pasien dan umur

: Berisi data nama dan umur pasien yang menderita tukak peptik.

3. Resep

: Berisi nama obat yang tertulis pada rekam medik yang diperoleh dari hasil pencatatan di RSUD H. Damanhuri Barabai.

4. Kriteria Rasionalitas

: Berisi 5 kolom kriteria pengobatan, yaitu TPO (Tepat Pemilihan Obat), TDP (tepat dosis

pemberian), TCP (tepat cara pemberian), TIW (tepat interval waktu pemberian) dan TLP (tepat lama pemberian).5. Penilaian

: Dikatakan rasional (R) apabila memenuhi semua kriteria rasionalitas. Dikatakan tidak rasional (TR) apabila tidak memenuhi satu atau lebih dari kriteria rasionalitas.

Blanko isian analisis data rasionalitas resep dalam pengobatan tukak peptik ditunjukkan pada tabel 7. Tabel 7. Blanko Analisis Data Rasionalitas

27

Tanggal & Nomor

Nama Pasien & umur Resep TPO

Kriteria Rasionalitas TDP TCP TIW TLP

Rasional Ya Tidak

Jumlah

VII. JADWAL PENELITIANBulan Kegiatan Persiapan Pelaksanaan penelitian Pengolahan data Penyusunan skripsiDesember 2010 Januari 2011 Februari 2011 Maret 2011 April 2011 Mei 2011

X X X X X X X

VIII. DAFTAR PUSTAKA Abrams, A.C., S. S. Pennington, C. B. Lammon. 2006. Clinical Drug Therapy : Rational for Nursing Practice Eight Edition. Lipincott Williams and Wilkins, London. Anderson, P.O., J. E. Knoben, W. G. Troutman. 2002. Handbook of Clinical Drug Data 10th edition. McGraw-Hill Companies, New York. Brunton, L., K. Parker, D. Blumenthal, L. Buxton. 2008. Manual of Pharmacology and Therapeutics. Mc-Graw-Hill, New York. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Modul Pelatihan Penggunaan Obat Rasional. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Dipiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, L. M. Posey. 2008. Pharmacotherapy handbook Seventh Edition. McGraw-Hill Companies, New York. Farthing, M. & A. B. Ballinger. 2003. Drug Therapy for Gastrointestinal and Liver Disease. Martin Dunitz Ltd, London.

28

Hayes, E. R. & J. L. Kee. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan Terjemahan Peter Anugerah. EGC, Jakarta. Helms, R.A., D. J. Quan, E. T. Herfindale, D. R. Gourley. 2006. Textbook of Therapeutic. Drug and Disease Management Eight Edition. Lipincott Williams and Wilkins, London. Imron, M. & A. Munif. 2010. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan. Sagung Seto, Jakarta. Katzung, B. G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Kurniati, S. 2004. Faktor-Faktor yang Berperan pada Terjadinya Tukak Peptik. Majalah Kedokteran Atma Jaya. 3 : 3. Lacy, C. F., L. L. Amstrong, M. P. Goldman, L. L. Lance. 2009. Drug Information Handbook 17th Edition. Lexi-Comp, Ohio. Misnadiarly. 2009. Mengenal penyakit Organ Cerna. Pustaka Populer Obor, Jakarta. Nasif, H., R. Dahlan, I. L. Lingga. 2007. Profil dan Optimalisasi Penggunaan Kombinasi Anti Tukak peptik Dengan Antasida pada Pasien Tukak Peptik di Ruang Rawat Inap SMF Penyakit Dalam RSAM Bukit tinggi. Jurnal Sains Dan Teknologi Farmasi. 12 : 24-33. Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. Priyanto. 2009. Farmakoterapi & Terminologi Medis. Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi (LESKONFI), Jawa Barat. Price, S.A. & L. M. Wilson. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Terjemahan Peter Anugerah. Penerbit EGC, Jakarta. Putri, D. P. R. 2010. Evaluasi Penggunaan Obat Tukak Peptik Pada Pasien Tukak Peptik (Peptic Ulcer Disease) Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Tahun 2008. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah, Surakarta. (tidak dipublikasikan). Sukandar, E.Y., R. Andrajati, J.I. Sigit, I.K. Adnyana, A.A.P. Setiadi, Kusnandar. 2008. Iso Farmakoterapi. PT ISFI Penerbitan, Jakarta Barat. Suwarni, T. 2009. Evaluasi Penggunaan Obat Tukak Peptik pada Pasien Tukak Peptik di Instalasi Rawat Inap RS Islam Surakarta Tahun 2008. Skripsi.

29

Fakultas Farmasi, dipublikasikan).

Universitas

Muhammadiyah,

Surakarta.

(tidak

Swetmaan, S. C. 2009. Martindale: The Complete Drugs Reference Thirthy-Sixth Edition. Pharmaceutical Press, London. Tjay, T.H. & K. Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Edisi Ke-5. PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

USUL PENELITIAN

RASIONALITAS PERESEPAN OBAT GOLONGAN ANTAGONIS RESEPTOR H2 DAN PENGHAMBAT POMPA PROTON PADA PASIEN ASKES TUKAK PEPTIK (Kajian pada Poliklinik Penyakit Dalam RSUD H. Damanhuri Barabai Tahun 2010)

Oleh Rezky Febriani NIM J1E107008

30

Disetujui oleh pembimbing untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi pada tanggal : Pembimbinmg Utama Pembimbing Pendamping

Dr. H. Syamsul Arifin, M.Pd NIP. 19750218 200212 1 008 Mengetahui,

Hari Setyanto, S.Si., Apt NIP. 19690820 20012 1 002

Ketua Program Studi Farmasi

Arnida,S.Si, M.Si, Apt NIP. 19731225 200604 2 001