Proposal Skripsi Mike
-
Upload
kinan-valdhiest-botranogi -
Category
Documents
-
view
79 -
download
11
Transcript of Proposal Skripsi Mike
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka menjamin kelangsungan pembiayaan pembangunan nasional, pajak
menjadi salah satu tumpukan sektor penerimaan negara. Dari segi ekonomi, pajak
merupakan pemindahan sumber daya dari sektor privat (perusahaan) ke sektor publik.
Pemindahan sumber daya tersebut akan mempengaruhi daya beli (purchasing power) atau
kemampuan belanja (spending power) dari sektor privat. Agar tidak terjadi gangguan
yang serius terhadap jalannya perusahaan, maka pemenuhan kewajiban perpajakan harus
dikelola dengan baik. Disamping itu, keputusan bisnis sebagian besar dipengaruhi oleh
pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keputusan bisnis yang baik jika
berhubungan dengan pajak bisa menjadi keputusan bisnis yang kurang baik, begitu juga
sebaliknya.
Pajak bagi pemerintah merupakan sumber pendapatan yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin, maupun pengeluaran
pembangunan (fungsi budgeter/budgetory). Selain itu, pajak sebagai alat kebijakan
moneter serta mengatur kehidupan dengan mendorong atau mengekang suatu cara hidup
(fungsi mengatur/regulatory). Semakin besar pajak yang dibayarkan perusahaan maka
pendapatan negara semakin banyak. Namun sebaliknya bagi perusahaan, pajak
merupakan biaya atau beban yang akan mengurangi laba bersih sehingga perusahaan
akan berusaha untuk meminimalkan beban tersebut untuk mengoptimalkan laba. Dengan
demikian, dalam hal membayar pajak, biasanya perusahaan berupaya agar pengeluaran
1
pajaknya menjadi sekecil mungkin. Dalam rangka meningkatkan efisiensi daya saing,
maka manager wajib menekankan biaya seoptimal mungkin.
Pada dasarnya, ada dua hal yang perlu dilakukan perusahaan berhubungan dengan
pajak. Langkah pertama yaitu mulai dengan mendaftarkan diri sebagai wajib pajak
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan terdaftar di salah satu
Kantor Pelayanan Pajak, melaksanakan akuntansi perpajakan,serta membayar dan
menyampaikan SPT masa tahunan sesuai dengan jenis pajaknya pada tanggal yang telah
ditentukan. Langkah kedua adalah merencanakan pajak (tax planning) yaitu dengan
memperhitungkan pengaruh pengambilan keputusan tertentu terhadap kewajiban
pajaknya, misalnya keputusan untuk melakukan investasi.
Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan kepentingan antara Wajib Pajak dengan
pemerintah. Wajib pajak berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin karena dengan
membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Di lain pihak,
pemerintah memerlukan dana unruk membiayai penyelenggaraan pemerintah, yang
sebagian besar bersal dari penerimaan pajak.
Perbedaan kepentingan ini menyebabkan Wajib Pajak cenderung untuk mengurangi
jumlah pembayaran pajak, baik secara legal maupun ilegal. Hal ini dimungkinkan jika ada
peluang yang dapat dimanfaatkan, baik karena kelemahan peraturan pajak maupun
sumber daya manusia (fiskus).
Usaha meminimalisasi (menghemat) beban pajak dapat dilakukan dengan berbagai
cara, mulai dari yang masih berada dalam bingkai peraturan perpajakan atau
penghindaran pajak (tax avoidance) sampai dengan yang melangar peraturan perpajakan
atau penggelapan pajak (tax evasion). Umumnya perncanaan pajak merujuk pada proses
merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak supaya utang pajak berada dalam jumlah
2
yang minimal tetapi masih berada dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun
perencanaan pajak juga dapat berkonotasi positif sebagai perencanaan pemenuhan
kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, tepat waktu sehingga dapat menghindari
pemborosan sumber daya.
Usaha penghindaran pajak yang dilakukan dengan melanggar ketentuan perpajakan
disebut juga dengan tax evasion. Cara ini disebut dengan penggelapan pajak atau
penyelundupan pajak. Harry Graham Balter (dalam Moh.Zan, 2003 : 49) mengatakan
bahwa ‘penyelundupan pajak mengandung arti sebagai usaha yang dilakukan wajib
pajak –apakah berhasil atau tidak- untuk mengurangi atau sama sekali menghapus
utang pajak yang berdasarkan ketentuan yang berlaku sebagai pelanggaran
terhadap Undang- undang perpajakan’, seperti meninggikan harga pembelian,
merendahkan penghasilan yang diperoleh, meninggikan beban usaha atau melakukan
pembayaran deviden secara diam-diam. Dalam manajemen pajak cara ini tidak sejalan
dengan prinsip manajemen.
Berlawanan dengan penyelundupan pajak, penghindaran pajak yang masih
berada dalam bingkai ketentuan pajak yang juga disebut dengan tax avoidance
menurut Harry Graham Balter (dalam Moh.Zain, 2003:49) adalah ‘merupakan
usaha yang sama, yang tidak melanggar ketentuan peraturan Undang- undang
perpajakan’. Misalnya dilakukan dengan mematuhi ketentuan di bidang perpajakan
dan menggunakan strategi di bidang perpajakan yang digunakan, seperti
memanfaatkan pengecualian dan potongan yang diperkenankan maupun
memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Oleh karena itu diperlukan manajemen pajak yang bertujuan menekan pajak serendah
mungkin dan menunda selambat mungkin pembayaran pajak untuk memperoleh laba
3
likuiditas yang diharapkan. Untuk mencapai tujuan ini, yang perlu dilakukan oleh
perusahaan adalah melakukan perencanaan pajak (tax planning), dan ini hanya
mungkin dilakukan apabila pihak manajemen perusahaan memahami
ketentuan perpajakan serta menyelenggarakan kebijakan-kebijakan akuntansi dan
pembukuan yang memenuhi syarat.
Perencanaan pajak (tax planing) itu sendiri menurut Moh. Zain (2003 : 43)
dalam Manajemen Perpajakan, adalah “ proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau
kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak
penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal,
sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan maupun secara komersial.
CV. BMK merupakan suatu persekutuan komanditer yang berlokasi di Talawi,
kota Sawahlunto. Perusahaan ini didirikan pada tahun 2007 dengan kegiatan usahanya
perdagangan barang dan atau jasa. Jenis barang/jasa dagangan utama dari persekutuan
komanditr ini meliputi : alat/peralatan/ suku cadang/ jasa : pertambangan, jasa
kontruksi bagunan sipil, jalan, jembatan, bendungan, dan pemukiman, ATK, peralatan
kantor, pegawai/pakaian dinas/sekolah, percetakan, komputer, teknik mekanikal
elektrikal, labotarium, obat-obatan, alat kedokteran, perabot rumah tangga,
furniture/mobiler, bahan kontruksi/ bangunan, pembibitan pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan & peternakan, air conditioner (AC), telekomunikasi, cleaning
service. Namun sebagai perusahaan yang belum lama berdiri ini belum melakukan
perencanaan pajak secara sistematis. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan
penelitian pada CV. BMK ini untuk mengetahui berapa penghematan pajak yang bisa
dilakukan jika perencnaan pajak diterapkan pada CV. BMK ini.
Berdasarkan uaraian tersebut di atas, saya tertarik untuk melakukan penelitian
4
dengan judul “Penghematan yang diperoleh dengan Penerapan Tax Planing
Sebagai Upaya Untuk Memaksimalkan Laba dan Meminimalkan Beban Pajak
Penghasilan Pada CV. Bara Mitra Kencana Di Sawahlunto.”
1.2 Identifikasi Masalah
1. Prinsip-prinsip ketentuan perpajakan secara teoristis telah diterapkan di CV. BMK
ini, tetapi akan lebih baik lagi jika digunakan secara optimal dengan penerapan
perencanaan pajak.
2. Bagi perusahaan sendiri, pajak merupakan beban yang harus diminimalkan, namun di
lain pihak pajak merupakan kewajiban perusahaan kepada negara.
1.3 Perumusan Masalah
1. Apakah penerapan tax planing dalam pengelolaan keuangan CV. Bara Mitra
Kencana dapat menghemat pembayaran pajak penghasilan?
2. Seberapa besar pajak yang dapat dihemat dengan menerapkan perencanaan pajak
metode penyusutan aktiva tetap?
3. Manakah diantara metode penyusutan garis lurus dan saldo menurun yang
menghasilkan penghematan pajak lebih besar?
4. Manakah diantara metode persediaan yang lebih baik digunakan oleh perusahaan?
1.4 Pembatasan Masalah
1. Objek penelitian ini adalah CV. Bara Mitra Kencana di Sawahlunto.
2. Tax Planing dalam penelitian ini hanya meliputi tax planing pada CV. Bara Mitra
Kencana di Sawahlunto dengan metode penyusutan aktiva tetap.
3. Penelitian ini memakai UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh.
5
4. Perencanaan pajak (tax planing) yang dilakukan dalam penelitian ini terbatas pada
perencanaan pajak ditinjau dari aspek material.
1.5 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh perencanaan pajak yang dilakukan
perusahaan sebagai upaya untuk mengoptimalkan laba perusahaan dan meminimalkan
beban pajak pada perusahaan.
2. Mengetahui seberapa besar penghematan yang diperoleh perusahaan dengan
menggunakan metode penyusutan aktiva.
3. Mengetahui manakan yang menghasilkan penghematan pajak lebih besar antara
metode penyusutan garis lurus dan saldo menurun.
4. Mengetahui manakah diantara metode persediaan yang lebih baik digunakan oleh
perusahaan.
1.6 Kegunaan Penelitian
1. Bagi Perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh perusahaan dalam mengambil
kebijakan manajemen pajak atau strategi perpajakan yang akan digunakan sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
masukan yang bermanfaat sebagaitambahan informasi dan pengetahuan yang
memberikan nilai guna bagi pihak yang berkepentingan dalam pengambilan
keputusan.
2. Bagi Penulis
Hasil penelitian ini merupakan aplikasi dari teori yang diperoleh dari referensi
dengan melihat keadaan senyatanya dan sebagai bahan perbandingan dengan
6
penelitian sebelumnya. Diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan
dapat menambah wawasan dalam bidang akuntansi dan perpajakan dengan
cara penerapan secara langsung teori yang diperoleh di perkuliahan, dalam
memperbanyak kepustakaan ataupun bentuk lainnya, terutama yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti.
3. Bagi Pihak Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi untuk memperluas
wawasan maupun sebagai acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang
mungkin akan dilakukan khususnya yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu
perpajakan. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan yang
bermanfaat dan berguna sebagai bahan referensi, sumber informasi, dan bahan
pertimbangan bagi penelitian selanjutnya, serta sebagai tambahan nilai guna
bagi yang membutuhkan.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Perpajakan
2.1.1 Pengertian Perpajakan
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam
pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri
berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi
kepentingan bersama. Pajak sendiri adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan)
yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang
menyelenggarakan pemerintah (Waluyo, 2005:2).
Hampir seluruh kehidupan manusia dan perkembangan dunia bisnis saat ini,
dipengaruhi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengaruh tersebut
seringkali cukup berarti, sehingga para pelaku bisnis, komponen pajak merupakan
komponen yang harus mendapat perhatian serius karena merupakan faktor menentukan
bagi lancarnya suatu bisnis.
Pengertian pajak itu sendiri, menurut Soemitro (1984 :19), seperti yang diuraikan
dalam Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pendapatan 1984, adalah sebagai berikut : “ Pajak
adalah iuran rakyat kepada kas negara atau peralihan kekayaan dari sektor swasta ke
sektor pemerintah dengan tiada mendapat imbal jasa timbal yang langsung dapat ditunjuk
dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum”.
Meliala (1990 : 8) dalam Azas dan Dasar Perpajakan, menyatakan bahwa : “ Pajak
adalah iuran rakyat kepada kas negaqra berdasarkan Undang-undang sebagai perwujudan
pengabdian dan peran serta rakyat untuk membiayai negara dan pembangunan nasional”.
8
Sementara itu, Brotodiharjo, sebagaimana dikutip oleh Adrian (1991 : 2) dalam
Pengantar Ilmu Hukum Pajak, menyebutkan bahwa : “ Pajak adalah iuran kepada negara
(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan tugas pemerintah”. Dari definisi diatas,
dapat diinterpretasikan bahwa pada hakekatnya :
1. Pajak dipungut berdasarkan undang- undang serta aturan pelaksanaannya.
2. Sifatnya dapat dipaksakan. Hal ini ini berarti pelanggaran atas aturan
perpajakan akan berakibat adanya sanksi.
3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi secara
langsung oleh pemerintah.
4. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Selanjutnya, Mardiasmo (2001 : 2) menjelaskan bahwa secara teoristis pajak
mempunyai dua fungsi, yakni :
1. “ Fungsi Budgeter,
Yaitu fungsi dimana pajak sebagai sumber dana pajak sebagai sumber dana
bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya
2. Fungsi Mengatur
Yaitu fungsi dimana pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi”.
Fungsi ini terutama ditujukan terhadap sektor swasta.
Manfaat yang diperoleh dari kebijaksanaan pajak sebagai “pangatur” tidak dapat
segara dilihat dan dinyatakan secara kuantitatif, sehingga kecenderungan untuk
menjadikan pajak sebagai penerimaan negara (budgeter) semata-mata dan melupakan
9
fungsi mengatur menjadi dominan, terutama dalam keadaan penerimaan negara dan
penerimaasn negara dan sumber lain tidak dapat diharapkan.
2.1.2 Pengertian Pajak Penghasilan
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu hasil pembaharuan
perpajakan (tax reform), yakni melalui Undang-undang Republik Indonesia No.7 tahun
1983 yang mulai berlaku di Indonesia sejak 1 Januari 1984, dan kemudian diperbarui
menjadi Undang-undang No.7 tahun 1991 dan selanjutnya diperbarui lagi menjadi
Undang-undang No. 10 tahun 1994 dan kemudian diperbarui lagi menjadi Undang-
undang No.17 tahun 200 dan terakhir diperbarui terakhir menjadi Undang-undang No.36
tahun 2008 yang digunakan sampai saat sekarang ini. Undang-undang pajak penghasilan
ini hanya mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang bersifat materil, sedangkan
ketentuan-ketentuan tang bersifat formal diatur tersendiri dalam Undang-undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Mengacu pada Undang-undang No.36 tahun 2008, dapat dikatakan bahwa pajak
penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan, baik penghasilan yangh
diterima atau diperoleh orang pribadi atau perorangan maupun badan yang berada di
dalam negeri dan/atau di luar negeri, yang terutang selama tahun pajak.
Pajak penghasilan mengatur mengenai pajak atas penghasilan yang diperoleh Wajib
Pajak selama satu tahun pajak, sehingga semua penghasilan yang diterima oleh
perseorangan maupun badan selama satu tahun pajak, akan dikenai pajak penghasilan
sesuai dengan ketentuan Undang—undang Pajak Penghasilan.
Dalam buku Perbandingan Pembaharuan Perpajakan Nasional Moh.Zain (1984 :95)
menyatakan bahwa jenis-jenis pajak penghasilan mencakup :”
1. Pajak Penghasilan dari Pekerjaan (PPh pasal 21)
10
2. Pajak Penghasilan dari usaha (PPh pasal 22)
3. Pajak Penghasilan dari Modal dan Jasa (PPh pasal 23)
4. Pajak Penghasilan dari yang Terutang/dibayar di Luar Negeri (PPh pasal 24)
5. Pajak Penghasilan dari yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (PPh pasal 25)”.
Tahun Pajak (tahun takwim) dimulai dari tanggal 1 Januari sampai tanggal 31
Desember. Pajak Penghasilan dipungut setelah takwim dan paling lambat bulan maret
tahun berikutnta. Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh wajib pajak adalah mengisi
dan menyampaikan SPT (surat Pemberitahuan) tahunan dengan benar dan jujur.
2.1.3 Subjek Pajak Penghasilan
Dalam Undang-undang Np.36 tahun 2008, pasal 2 disebutkan bahwa :
(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak;
b. badan; dan
c. bentuk usaha tetap.
(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan
(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak
luar negeri.
(3) Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu
tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal
11
di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang‐undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atauAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
PemerintahDaerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
(4) Subjek pajak luar negeri adalah :
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
12
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki,
disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
13
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan
oleh DirekturJenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
Dalam Undang-undang No.36 tahun 2008 pasal 4, akan dijelaskan mengenai objek
pajak. Pada dasarnya, objek pajak penghasilan adalah setiap penghasilan yang
diperoleh/diterima wajib pajak, dari penghasilan tersedbut akan ditentukan berapa
besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang sebelumnya dikurangi terlebih dahulu
dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang dikenakan bagi wajib pajak yang
bersangkutan. Sebagaimana terutang dalam Keputusan Dirgen Pajak Kep-545/PJ/2000
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak PPh
Pasal 21 dan Pasal 26. Selanjutnya, pada Undang-undang pajak yang sama, pasal 5 ayat
(1)akan dijelaskan mengenai :
(1) Yang menjadi Objek Pajak bentuk usaha tetap adalah:
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasai;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
2.2 Tax Planing
2.2.1 Defenisi Tax Planing
Defenisi teoristik tax planing merupakan bagian dari manajemen pajak. Tax planing
disini tidak sama dengan perencanaan yang merugikan penerimaan negara, tujuannya
14
adalah mengatur pajak harus yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya.
Untuk itu perusahaan perlu untuk melakukan penelitian dan pengumpulan peraturan
perpajakan yang ada sehingga bisa ditentukan usaha penghematan pajak apa yang akan
dilakukan.
Dalam kamus Istilah Akuntansi, Siegel and Shim (1994 : 461) memberikan
pengertian bahwa : “perencanaan pajak merupakan analisis sistematis yang ditujukan
untuk memimalkan kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak dapat
ditekankan serendah mungkin guna memperoleh laba likuiditas yang diharapkan”.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan perencanaan pajak
adalah suatu usaha pengurangan beban pajak dengan tetap mematuhi ketentuan-
ketentuan peraturan perpajakan, seperti memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam
peraturan perpajakan yang berlaku, usaha penghematan pajak berdasarkan the least and
latest rule, yaitu wajib pajak selalu berusaha menekan pajak sekecil mungkin akan
menunda pembayaran pajak selambat mungkin sebatas masih diperkenankan oleh
peraturan perpajakan.
Menekan pajak sekecil mungkin dilakukan dengan menahan penghasilan-
penghasilan atau memperbesar biaya-biaya yang boleh dikurangkan daripenghasilan
sehingga Penghasilan atau Laba Kena Pajak menurun, atau memanfaatkan hal-hal yang
belum diatur dalam peraturan perpajakan. Usaha penundaan pembayran pajak selambat
mungkin dilakukan dengan memanfaatkan peraturan perpajakan yang ada, seperti
ketentuan yang berkaitan dengan penyusutan. Penundaan pembayaran pajak selambat
mungkin yang berkaitan dengan konsep time value for money. Dengan menunda
pembayaran pajak sampai batas waktu yang diperbolehkan oleh Undang-undang dan
Peraturan Perpajakn, perusahaan bisa mendapatkan penghematan aliran kas konsep time
15
value for money itu sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Husnan (1992 :29) dalam
Manajemen Keuangan, Teori dan Penerapan adalah sebagai berikut :
“Setiap individu berpendapat nilai uang saat ini lebih berharga daripadananti.
Dengan demikian mereka akan lebih menyukai untuk menerima jumlah yang sama saat
ini daripada nanti, dan lebih suka membayar jumlah yang sama pada waktu nanti
daripada saat ini.
2.2.2 Strategi Dalam Perencanaa Pajak
Dalam melaksanakan perencanaan pajak, ada empat strategi yang harus
diperhatikan, yaitu :
1. Memahami masalah perpajakan. Permasalahn ini tidak terbatass pada
pemahaman Undang-undang Perpajakan saja, tetapi juga meliputi Peraturan
Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (KepPres), Surat Keputusan Menteri
Keuangan dan Surat Keputusan/Surat Edaran Dirjen Pajak, agar tidak kehilangan
jejak mengenai segala ketentuan peraturan Undang-undang Perpajakan. Lebih-
lebih Perpajakan dan Petunjuk Pelaksanaannya. Oleh karena itu, yang terpenting
bagi perencanaan pajak adalah memilik kemampuan menerapkan ketentuan
Undang-undang Perpajakan dalam situasi nyata (life situasions) dan bukan hanya
memiliki bakat mengungkapkan ketentuan Undang-undang Perpajakan sampai
ke akar-akarnya, serta melihat implikasinya terhadap pengambilan keputusan.
2. Menyadari bahwa masalah perpajakan adlah masalah perundang-undagan,
sehingga hanya otoritas loyal yang berwenang untuk memutuskan apa yang
benar sesuai dengan yang dimaksud oleh ketentuan Undang-undang Perpajakan.
Apabila terjadi aplikasi yang benar (correct application) menurut ketentuan
Undang-undang Perpajakan dan hasilnya menyimpang dari standar teori
16
akuntansi, ekonomi dan sosial, maka yang harus diikuti adalah ketentuan
Undang-undang Perpajakan. Dalam praktek sebagai perselisihan perpajakan
terjadi karena ketidaksamaan pendapat mengenai correct application dari suatu
ketentuan Undang-undang Perpajakan untuk situasi yang spesifik, misalnya
perlakuan akuntansi komersial dan perpajakan dan pajak dalam hal; pembayaran
kenikamatan kepada karyawan. Mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan
(SAK), pembayaran kenikmatan kepada karyawan diakui sebagai pengurang
pajak. Akan tetapi, menurut Undang-undang PPh pasal 9 ayat (1) bagian (e),
pembayaran kenikmatan tersebut di atas tidak diakui sebagai pengurang pajak.
Dalam kasus di atas, perusahaan harus mengikuti ketentuan Undang-undang
Perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial yang mengacu pada SAK
direkonsiliasi menjadi laporan keuangan fiskal.
3. Memahami bahasa yang digunakan Undang-Undang Perpajakan. Pengungkapan
verbal merupakan hal yang kritis. Suatu pengertian yang sama dalam
pembicaraan sehari-hari dapat didefinisikan berbeda dengan ketentuan ketentuan
Undang-undang Perpajakan. Misalnya pengertian “penghasilan” menurut
Undang-undang Perpajakan berbeda dengan pengertian pajak dalam bahasa
sehari-hari. Menurut Undang-undang No.36 tahun2008, pengertian penghasilan
adalah sebagai berikut :
“setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun”.
(Pasal 4 ayat 1 Undang-undang No.36 tahun 2008)
17
4. Menyadari bahwa perencanaan pajak mepunyai keterbatasan strategi
penghindaran pajak yang mempunyai kobinasi antara kepentingan bisnis dan
strategi menghindari pajak yang menguntungkan kedua belah pihak,
keberhasilan perencanaan pajak ini sangat bergantung pada sistem akuntansi
yang ada di dalam perusahaan. Dalam perencanaan pajak ini harus diketahui
terlebih dahulu jumlah pajak yang akan dihindarkan dan bagaimana cara
menghindarinya. Semua ini hanya dapat dilakukan jika perusahaan
menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat.
2.2.3 Aspek-aspek Perncanaan Pajak
Dalam buku Perncanaan Pajak sebagai Langkah Peningkatan Kepatuhan dan
Efesiensi Pajak (1997 : 18), dijelaskan beberapa alternatif untuk mengolah variable-
variable kritis tersebut, yakni melalui aspek-aspek :
“1. Proyeksi Pajak
2. Bentuk Usaha
3. Bidang Usaha
4. Pengawasan/Pemeriksaan Pajak
5. Kebijakan Akuntansi
Selanjutnya, aspek-aspek di atas akan dijelaskan secra singkat dalam uraian di bawah
ini.
2.2.3.1 Proyeksi Pajak
Perencanaan perpajakan dapat dilakukan melalui suatu proyeksi. Proyeksi ini dapat
berupa proyeksi arus kas, laba-rugi atau proyeksi atas rencana-rencana perusahaan.
Proyeksi itu sendiri menurut Badudu dan Zain (2001 : 1094), dalam Kamus Bahasa
18
Indonesia adalah: “ suatu perkiraan atau perhitungan untuk masa yang akan datang
berdasarkan data yang ada sekarang”.
Dalam proyeksi-proyeksi tersebut, perusahaan dapat memiliki laba yang tinggi
dengan pajak penghasilan yang tinggi serta cash flow bersaldo kecil, atau mementingkan
saldo yang lebih kecil, pembayaran pajak yang kecil, serta saldo kas yang besar. Saldo
kas yang lebih besar berarti membawa keuntungan bagi perusahaan.
Melalui perencanaan budget (proyeksi) tersebut, perusahaan dapat memilih beban
karyawan, apakah tunjangan-tunjangan untuk karyawan (seperti tunjangan kendaraan,
transportasi, tunjangan perumahan, tunjangan makan dan minu, dan lain-lain) diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind) atau dibayarkan dalam bentuk
uang. Jika perudahaan dalam kondisi menderita kerugian maka akan lebih
menguntungkan apabila tunjangan tersebut diberikan dalam bentuk natura/atau
kenikmatan. Hal ini diatur dalam pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-undang No.36 tahun
2008, bahwa :” penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah”.
Atas beban karyawan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tersebut,
manajemen dapat melakukan koreksi fiskal di dalam SPT PPh Wajib Pajak Badan.
Tujuan dilakukannya koreksi fiskal adalah agar beban karyawan berupa natura/atau
kenikmatan tersebut di dalam laporan keuangan dikurangkan/dikeluarkan dari
biaya/beban atau pengurang/penghasilan.
Dengan dilakukannya koreksi fiskal, PPh karyawan tidak diperhitungkan, sedangkan
di dalam SPT PPh Wajib Pajak Badan masih tidak membayar pajak penghasil;an karena
perusahaan masih menderita kerugian. Dari segi pajak, koreksi fiskal tersebut
diperkenankan karena membayar beban karyawan akan berakibat memperkecil saldo
19
rugi, sehingga apabila berlaku surut, koreksi fiskal tersebut menimbulkan konsekuensi
kompensasi akan lebih kecil.
Non deductible expense tidak dapat diperlakukan sebagai pengurang laba kena
pajak. Dalam keadaan perusahaan memperoleh laba maka koreksi fiskal tersebut akan
memperbesar laba kena pajak dan dalam keadaan perusahaan menderita rugi akan lebih
kecil. Sebaliknya, apabila perusahaan memperoleh laba tinggi, maka dapat dilakukan
peninjauan kembali mengenai masalah pembayaran natura dan/atau kenikmatan terhadap
karyawan tersebut. Dengan mengalihkannya ke dalam bentuk tunjangan akan lebih
menguntungkan, sebab akan menjadi penghasilan karyawan tersebut yang mungkin
terkena tarif pajak yang lebih rendah.
2.2.3.2 Bentuk Usaha
Bentuk usaha juga berpengaruh terhadap pemajakan, bentuk usaha misalnya PT,
Koperasi, CV dengan modal yang terdiri dari saham, firma, persekutuan atau perorangan
a. Perseran Terbatas
Bentuk uasaha yang berbentuk PT., para pemegang sahamnya terdiri dari badan atau
perorangan berakibat lain dari segi pemajakannya. Penghasilan dividen atau bagian laba
yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai pemegang saham, bukan
merupakan objek pajak penghasilan begitu pula dengan dividen atau bagian laba yasng
diterima koperasi, yayasan atau organisasi sejenis, badan usaha milik negara, atau badan
usaha milik daerah, anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, serta persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, bukan merupakan objek
pajak penghasilan. Demikian juga dengan bunga obligasi yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura. Sebaliknya, jika dividen atau pembagian laba tersebut
diterima oleh perorangan sebagai pemegang saham, maka akan merupakan objek pajak
penghasilan.
20
b. Yayasan
Yayasan yang tujuannya nirlaba dan kegiatannya semata-mata menyelenggarakan
pendidikan dan sosial, penghasilannya bukan objek pajak
c. Dana Pensiun
Penghasilan dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan dari
modal yang ditanamkan di bidang tertentu berdasarkan keputusan Menteri Keuangan,
bukan merupakan objek pajak penghasilan. Penanaman di bidan tertentu tersebut,
antara lain :
a. Bunga deposito, diskonto deposito, sertifikat deposito, dan tabungan Bank
Indonesia;
b. Bunga obligasi di Pasar Modal;
c. Deviden dari saham
d. Penghasilan Ventura
Atas penghasilan dari transaksi penjualan saham kepada perusahaan pasangannya,
dikenakan PPh final sebesar 0,1% dari jumlah bruto yang bersifat final.
e. Perusahaan Pusat dan Cabang
Perusahaan pusat dan cabang akan lebih efektif bila diajukan permohonan
sentralisasi faktur PPN. Dengan sentralisasi ini, transaksi pemindahan atau pengiriman
barang antar pusat ke cabang dan sebaliknya atau pengiriman antar cabang, tidak perlu
terkena PPN, jadi tidak perlu mengeluarkan faktur PPJ.
f. Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional berbentuk Permanent Establishment (Bentuk Usaha
Tetap) dapat menghindari pengenaan pajak Witholding Tax (PPh pasal 26) atas
21
penghasilan setelah pajak, apabila penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia, dengan syarat :
a) Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan
yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta atau
pendiri; dan
b) Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berikutnya dari tahun pajak
diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut.
c) Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-
kurangnya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat
penanaman dilakukan, berproduksi komersial.
2.2.3.3 Bidang Usaha
Bidanmg usaha tertentu memperoleh perlakuan perpajakan yang berbeda, misalnya
untuk perusahaan konstruksi, dikenakan pajak penghasilan sebagai berikut :
2% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang berkualifikasi
usaha kecil
4% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang tidak memiliki
berkualifikasi usaha
3% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang berkualifikasi
usaha menengah dan besar
4% untuk perencanaan atau pengawasan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa
yang berkualifikasi usaha
6% untuk perencanaan atau pengawasan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa
yang tidak berkualifikasi usaha
22
Ketentuan di atas berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi yang berlaku sejak
tanggal 1 Januari 2008. Peraturan Pemerintah ini adalah pengganti dari Peraturan
Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang hal yang sama.
Bidang usaha pengecer (retail) juga memperoleh perlakuan khusus di bidang PPN,
yaitu dengan tarif 2%, baik dari penjualan Barang Kena Pajak (BKP), maupun Barang
Tidak Kena Pajak (BPKP), dengan catatan bahwa PPN Masukan tidak dapat dikreditkan.
Oleh karena itu, bila komposisi dari penjualan BKP lebih besar dari Non BPKP, maka
akan lebih menguntungkan bila dikenakan tarif 2% dibandingkan dengan tarif biasa 10%.
Juga untuk perusahaan yang mempunyai pelanggan yang cukup banyak, dapat
menggunakan permohonan untuk menggunakan faktur gabungan untuk PPN.
2.2.3.4 Pengawasan/Pemeriksaan Perpajakan
Direktorat Jendral Pajak akan melakukan pemeriksaan pajak dengan tujuan untuk :
a. Menetepkan pajak-pajak negara yang terutang;
b. Menetapkan besarnya kerugian yang dapat dikompensasikan dengan saldo
laba tahun-tahun berikutnya.
Pemeriksaan dilakukan melalui Kantor Pealayanan Pajak berdasarkan : (a) sampling
pemeriksaan; (b) SPT lebih bayar; (c) SPT rugi; dan (d) adanya pengaduan masyarakat.
Dengan memperhatikan tidak hanya dilakukan untuk mengurangi beban pajak saja,
karena terdapat aspek yang tidak dapat diabaikan yaitu pemeriksaan. Apabila dalam
pemeriksaan ternyata, penerapan perencanaan pajak tersebut dinyatakan tidak benar, hal
ini berarti bahwa perencanaan pajak tersebut justru membebani perusahaan
23
2.2.3.5 Kebijakan Akuntansi
a. Penilaian Persediaan
Kebijakan akuntansi mengenai persediaan mensyaratkan penggunaan metode FIFO
atau Average Methode, sedangkan LIFO tidak diperkenankan dalam ketentuan
perpajakan. Sesuai dengan Undang-undang No.36 tahun2008 pasal 10 ayat (6), adalah :”
Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok
dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata‐rata atau
dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama”. Dalam keadaan harga
barang cenderung naik, maka Average Methode akan lebih menguntungkan, karena
harga poko penjualan akan lebih besar bila dibandingkan dengan metode FIFO.
Sebaliknya, apabila harga barang cenderung turun, penggunaan metode FIFO akan
lebih menguntungkan, karena persediaan akan lebih kecil dan harga pokok persediaan
akan lebih besar. Dengan demikian, saldo laba kecil dan pajak penghasilan juga
menjadi lebih kecil. Dengan pertimbangan bahwa, setiap perusahaan memiliki metode
penghitungan persediaan yang konstan tiap tahunnya, apabila akan melakukan
perubahan wajib melaporkan perubahan tersebut kepada KPP atau Direktorat Jendral
Pajak dan apabila disetujui dapat menggunakan metode yang baru, kecuali untuk
perusahaan yang baru.
b. Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan dalam peraturan perpajakan adalah metode
garis dan/atau saldo menurun. Berdasarkan pasal pasal 11 dan 11A Undang-undang
No.36 tahun 2008. Dengan metode garis lurus, besarnya beban penyusutan setiap tahun
akan sama, sedangkan degan metode saldo menurun beban penyusutan yang semakin
menurun dari tahun ke tahun. Dengan beban penyusutan yang semakin menurun, berarti
24
pada tahun-tahun awal beban penyusutan lebih besar, akibatnya saldo laba kecil, dan
pajak penghasilan lebih kecil dibandingkan dengan metode garis lurus.
Dengan pembayaran pajak penghasilan yang lebih kecil di awal-awal tahun,
memungkinkan tersedianya cash flow tyang lebih besar dan kondisi saat ini sangat
berguna bagi operasional perusahaan yag baru mulai berjalan. Manfaat yang sama yang
dapat diperoleh oleh perusahaan yang sudah mapan, apabila menerapkan saldo
menurun, memungkinkan perusahaan untuk menunda pembayaran pajak dan
penundaan ini sangat menguntungkan sesuai dengan konsep time value of money.
c. Sewa Guna Usaha
Sewa guna usaha (leasing) aktiva tetap juga menguntungkan dari segi beban
pembayran angsuran. Dari segi pemajakan, aktiva tetap sewa guna usaha tidak boleh
disusutkan, tetapi beban angsuran lebih besar dari beban penyusutan, maka pembebanan
pajaknya dapat menjadi lebih kecil.
d. Penilaian Kembali Aktiva Tetap
Dengan mengadopsi model revaluasian sesuai PSAK 16 (2007) maka revaluasi aset
tetap dalam rangka penyajian laporan keuangan tidak lagi harus mengikuti ketentuan
perpajakan. Suatu entitas yang memilih model revaluasian mempunyai pilihan untuk
melaporkan atau tidak atas hasil revaluasi untuk tujuan perpajakan. Apabila entitas
bermaksud tidak melaporkan hasil revaluasian tersebut untuk tujuan perpajakan maka
akan terjadi beda temporer antara laporan keuangan dengan laporan fiskalnya sehingga
pengaruh pajak tangguhan atas revaluasi tersebut perlu dihitung. Dalam hal ini akan
muncul pertanyaan, kapan suatu perusahaan sebaiknya melakukan revaluasi?, apakah
akan dilakukan revaluasi total atau revaluasi parsial?. Untuk yang berkaitan dengan
masalah pajak, pertimbangan yang harus diperhatikan adalah kondisi perusahaan yang
bersangkutan, seperti :
25
a. Kondisi perusahaan dalam kondisi laba atau rugi?
b. Kalu laba, berapa labanya?
c. Jika rugi, kapan rugi terjadi? Tahun berjalan atau tahun-tahun sebelumnya? Kapan
batas akhir kompensasi kerugian?
d. Bagaimana dampak revaluasi terhadap beban pajak tahun berjalan dan tahun-tahun
yang akan datang?
Jika perusahaan tidak memiliki rugi fiskal, yang harus dilakukan adalah menghitung
nilai tunai dari jumlah penyusutan aset yang berasal dari selisih lebih, baru kemudian
dibandingkan dengan PPh final yang harus dibayar.
Jika perusahaan mempunyai rugi fiskal dan memiliki laba tahun berjalan, misalnya
rugi fiskal tahun 2010 adalah Rp. 500.000.000 dan laba tahun berjalan diprediksi adalah
Rp.200.000.000, maka akan ada kompensasi kerugian yang akan hangus sebesar
Rp.300.000.000 (karena sudah 5 tahun). Daripada kompensasi tersebut hangus,
perusahaan sebaiknya melakukan revaluasi pada tahun2010. Hal ini karena, misalkan
saja terdapat selisih revaluasi sebesar Rp.350.000.000, maka selisih tersebut
dikompensasikan terlebih dahulu dengan rugi fiskal, sehingga tidak dikenakan PPh final.
Dengan demikian, rugi fiskal pada tahun 2010 tinggaL sebesar Rp.150.000.000, dan
apabila laba tahun berjalan Rp.2000.000.000, maka perusahaan tinggal membayar pajak
untuk laba setelah dikompensasi sebesar Rp.50.000.000. Di samping itu, perusahaan juga
akan mendapat tambahan beban penyusutan dari revaluasi, yang juga akan mengurangi
laba fiskal.
2.3 Beberapa Cara dalam menyusun Perncanaan Pajak
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk tujuan meminimalkan beban
perusahaan, diantaranya adalah :
1. Perencanaan perpajakan untuk penyusutan aktiva tetap perusahaan.
26
2. Perencanaan perpajakan melalui penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap
perusahaan.
3. Perencanaan perpajakan berdasarkan penentuan harga transfer (transfer
pricing) perusahaan.
4. Perencanaan perpajakan melalui manajemen persediaan,
5. Perencanaan perpajakan dengan mendefenisikan revenue dan expense
perusahaan.
6. Perencanaan perpajakan melalui pembelian aktiva.
7. Perencanaan perpajakan melalui pemberian imbalan berupa uang atau berupa
ventura.
8. Perencanaan perpajakan melalui pemberian tunjangan berupa uang makan
atau berupa makan.
9. Perencanaan perpajakan melalui pembiayaan berupa obligasi.
10. Perencanaan perpajakan dengan menangguhkan pendapatan
11. Perencanaan perpajakan dengan mempercepat atau segera mebiayakan
pengeluaran.
Perencanaan pajak merupakan penghindaran pajak yang sukses dan perlu dibedakan
dengan penyelundupan pajak. Pada umumnya, perencanaan pajak (tax planning) merujuk
kepada proses merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak agar utang pajak berada
dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun
demikian, perencanaan pajak juga dapat diartikan sebagai perencanaan pemenuhan
kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga dapat secara
optimal menghindari pemborosan sumber daya. Sedangkan penyelundupan pajak
27
merupakan suatu tindakan penghindaran pajak dengan menggunakan cara-cara yang
ilegal.
2.4 Depresiasi Aktiva Tetap
2.4.1 Pengertian Depresiasi Aktiva Tetap
Menurut Baridwan (2004:304), depresiasi adalah sebagian dari harga
perolehan aktiva tetap yang secara sistematis dialokasikan menjadi biaya
setiap periode akuntansi.
Berdasarkan PSAK No.17, penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aset
yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi yang akan
dibebankan ke pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kebijakan pajak untuk penyusutan harus mempertimbangkan tiga hal yaitu:
a. Keadilan pajak (tax equity)
Untuk keadilan pajak perlu diperhatikan jenis kegiatan dari Wajib Pajak,
apakah perusahaan manufaktur atau perusahaan jasa, bagaimana struktur
modalnya, padat modal atau padat karyanya. Dengan adanya penyusutan
maka kegiatan usaha manufaktur dan jenis usaha yang padat modal akan
lebih diuntungkan dibanding den gan yang lainnya.
b. Kebijakan ekonomi
Dengan adanya penyusutan membawa akibat pada peningkatan modal
(capital growth). Jika penyusutan besar laba setelah pajak juga besar,
pengembalian atas investasi (ROI) besar, sehingga arus kas menjadi tinggi.
Menurut ketentuan perpajakan, perhitungan penyusutan dimulai pada
tahun perolehan. Secara ekonomis dapat diatur dengan peraturan tertentu
28
secara selektif, untuk mendorong atau menghambat suatu peningkatan
modal. Penyusutan secara selektif dapat dibedakan menjadi :
1) Penyusutan untuk barang baru atau barang beka
2) Penyusutan berdasarkan jenis industri tertentu
3) Penyusutan berdasarkan jenis aset.
4) Penyusutan berdasarkan lokasi (terpencil)
3. Administrasi
Secara administrasi penyusutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu sedxerhana
dan kompleks. Pemilihan jenis penyusutan, baik yang sederhana ataupun
kompleks, tergantung pada beberapa hal, seperti besarnya biaya administrasi,
sumber daya manusia, dan kepatuhan dari Wajib Pajak.
2.4.2 Karekteristik Dari Aset yang Dapat Disusutkan
a. Digunakan dalam kegiatan usaha
Aset yang boleh disusutkan adalah aset yang dipakai dalam usaha atau
menjalankanm usaha. Aset ini dapat dibedakan menjadi aset bisnis, aset
campuran, dan aset pribadi. Untuk aset bisnis dapat disusutkan semuanya,
sedangkan untuk aset campuran boleh disusutkan sebagian sesuai dengan
yang digunakan dalam kegiatan usaha.
b. Nilainya menurun secara bertahap
Nilai aset yang dapat disusutkan harus menurun secara bertahap, baik
karena semakin buruk fisiknya atau karena faktor kualitas. Kalau nilainya
tidak menurun secara bertahap maka tidak dapat disusutkan tetapi
langsung dibiayakan. Adapun aset yang tidak dapat disusutkan adalah
tanah, aset pendanaan, barang dagangan, dan persediaan.
c. Aset berwujud dan aset tidak berwujud
29
Aset berwujud maupun aset tidak berwujud yang mempunyai manfaat
lebih dari satu periode dapat disusutkan. Untuk aset tidak berwujud
penyusutannya disebut dengan amortisasi
d. Pihak yang berhak melakukan penyusutan
Pihak yang berhak melakukan penyusutan adalah :
1) Pihak yang menggunakan aset tersebut dalam kegiatan usaha
2) Pemilik, dapat dibagi menjadi legal owner dan beneficial owner
e. Saat dilakukan penyusutan
Secara umum saat dilakukan penyusutan adalah saat digunakan, tetapi
adakalanya pada tahun perolehan
f. Dasar untuk melakukan penyusutan
g. Pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga :
1) Harga perolehan (historical cost)
2) Harga penggantian (replacement cost)
3) Revaluasi (revaluation)
Sebagaimana telah diatur dalam pasal 9 ayat 2 UU PPh bahwa
pengeluaran untuk mendapatkan manfaat, menagihb dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu yahun tidak
boleh dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan.
Mulai tahun 1995 ketentuan fiskal mengharuskan penyusutan aktiva
tetap dilakukan secara individula per aset, tidak lagi secara gabungan
(berdasarkan golonghan) seperti yang berlaku sebelumnya kecuali untuk
alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis masih boleh
menggunakan penyusutan secara golongan.
30
2.4.3 Perbedaan Penyusutan Aktiva Tetap Antara Akuntansi komersial dan
Ketentuan Fiskal
a. Sudut pandang akuntansi komersial
Diperbolehkan untuk menggunakan nilai sisa
Masa manfaat ditentukan berdasarkan nilai taksiran dengan
berpedoman pada kewajaran dan kelayakan
Menggunakan metode garis lurus, saldo menurun. Jumlah angka
tahun dan metode lainnya sesuai SAK untuk aktiva tetap
b. Sudut pandang ketentuan fiskal
Tidak adanya nilai sisa
Sudah ditentukan masa manfaat dari masing-masing aktiva tetap
dan tidak boleh menyimpang dari masa mafaat yang sudah
ditentukan (Alim.2005:109)
Menggunakan metopde garis lurus hanya untuk aktiva tetap berupa
bangunan dan metode garis lurus ataupun saldo menurun ganda
untuk aktiva tetap selain bangunan dengan nilai sisa diamortisasi
seluruhnya di akhir tahun (Faisal.2009:308)
2.4.4 Pengelompokan Harta Berwujud
Dalam sistem penyusutan menurut UU PPh nomor 36 tahun 2008, semua
aktiva tetap berwujud yang memenuhi syarat penyusutan fiskal
dikelompokkan terlebih dahulu menjadi dua golongan :
a. Harta berwujud kelompok bukan bangunan
Harta berwujud kelompok bangunan dikelompokkan menurut masa
manfaatnya sebagai berikut :
31
Kelompok Bukan Bangunan Masa manfaat
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
4 Tahun
8 Tahun
16 Tahun
20 Tahun
b. Harta berwujud kelompok bangunan
Harta berwujud bangunan menurut masa manfaatnya sebagai berikut :
Kelompok Bangunan Masa manfaat
Bangunan Permanen
Bangunan Bukan Permanen
20 tahun
10 tahun
2.4.5 Tarif Penyusutan Untuk Aktiva Bukan Bangunan
Kelompok Bukan
Bangunan
Tarif Penyusutan
Metode garis lurus Metode Saldo
Menurun
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
25%
12,5%
6,5%
5%
50%
25%
12,5%
10%
2.4.6 Tarif Penyusutan Untuk Aktiva bangunan
Kelompok Bangunan Tarif Penyusutan ( Metode Garis
32
Lurus)
Bangunan Permanen
Bangunan Bukan Permanen
5%
10%
2.4.7 Kelompok Aktiva Bukan Bangunan
a. Kelompok I (4 tahun)
1. Membel dan peralatan dari kayu atau rotan
Contoh ; Meja, kursi, lemari
2. Mesin kantor
Contoh : komputer, mesin tik, printer, dsb.
3. Perlengkapan lain
Contoh : tape recorder, amply, televisi
4. Sepeda motor, sepeda becak
5. Alat perlengkapan khusus bagi industri jasa yang bersangkutan
6. Alat dapat untuk memasak makanan dan minuman
b. Kelompok II (8 tahun)
1. Mebel yang terbuat dri logam
Contoh : meja, kursi, lemari dari logam, kipas angin
2. Mobil, bus, spitbot, truk
3. Kontener dan sejenisnya
c. Kelompok III (16 tahun)
1. Contoh untuk industry yang berhubungan dengn telekomunikasi :
Kapal barang
Kapal penumpang
Kapal pendingin
33
Kapal tangki
Kapal khusus yang dibuat untuk mengangkut barang-barang tertentu
termasuk juga kapal
Kapal penangkap ikan yang beratnya 100-1000 dwt
2. Dok terapung
3. Perahu layar pakai/tanpa motor yang beratnya diatas 250 dwt
4. Pesawat, Helikopter
d. Kelompok IV (16 Tahun)
1. Lokomotif uang dan tender atas rel
2. Lokomotif listrik atas rel
3. Lokomotif atas rel lainnya
4. Kereta, gerbang penumpang dan barang termasuk kontainer yang ditarik
5. Kapal khusus yang dibuat untuk menghela termasuk juga kapal suar, kapal
pemandam kebakaran, kapal keruk, keran-keran terapung yang beratnya diatas
1000 dwt
6. Dok-dok terapung
2.5 Metode Penilaian Persediaan
Manajemen persediaan berhubungan degan metode perhitungan persediaan. Metode
perhitungan persediaan yang diperkenankan dalam perpajakn hanya metode rata-rata
(average) atau FIFO (First In Firs Out).
Pada metode penilaian persediaan rata-rata, harga yang digunakan untuk menilai
persediaan yang terpakai adalah nilai rata-rata perolehan persediaan dalam satu periode
34
sedangkan pada metode FIFO persediaan yang dipakai dinilai seharga nilai persediaan
yang pertama masuk.
Tinggi rendahnya perhitungan pemakaian bahan sangat tergantung pada fluktuasi
harga. Namun dengan mengasumsikan kondisi harga bahan cenderung mengalami
kenaikan maka kondisi inilah yang lebih relevan untuk menjadi dasar pertimbangan
dalam penentuan metode persediaan.
2.6 Pajak Terutang Wajib Pajak Badan
2.6.1 Pajak Terutang Wajib Pajak Badan menurut Standar Akuntansi Keuangan
Tujuan penyajian laporan keuangan seperti yang termuat dalam Kerangka Dasar dan
Penyajian Laporan Keuangan adalah mentediakan informasi menyangkut posisi keuangan,
kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar
pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Menurt Kerangka Dasar dan Penyajian Laporan Keuangan, seperti yang termuat dalam
2.6.2 Penghitungan Pajak Terutang Wajib Pajak Badan menurut Undang-undang
Perpajakan.
Laporan keuangan komersial disusun berdasarkan prinsip akuntansi yang lazim, demikian
juga halnya dengan laporan keuangan fiskal yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi, namun
disesuaikan dahulu dengan keputusan-keputusan peraturan perpajakan. Menurut Peraturan
Perpajakan, penyesuaian dilakukan pada biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan terhadap
pendapatan. Dengan demikian, penghitungan pajak terutang wajib pajak badan adlaah :
a. Menentukan laba bruto yang diperoleh perusahaan dalam suatu tahun pajak;
b. Menentukan laba bruto dengan biaya-biaya yang menurut Peraturan Perpajakan dapat
dikurangkan;
c. Mengkoreksi kemungkinan pembebanan biaya yang bersifat menambah/mengurangi
penghasilan kotor;
35
d. Hasil pengurangan biaya-biaya tersebut mempunyai laba netto sebelum pajak atau
disebut juga dengan laba kena pajak atau Penghasilan Kena pajak (PKP). PKP ini
mempunyai dasar penghitungan besarnya pajak terutang.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perencanaan pajak mencakup hal-hal seperti
meminimalkan tarif pajak dan memaksimalkan biaya fiskal yang dapat dikurangkan serta
memaksimalkan penghasilan yang ditangguhkan atau dikecualikan dari penghematan pajak.
Dengan mengacu pada buku petunjuk pengisian SPT PPh yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jendral Pajak, Skema Penghitungan PPh Wajib Pajak Badan, yang mencakup pula Laba Kena
Pajak atau PKP menurut Undang-undang Perpajakan No.36 vtahun 2008 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1
Skema Penghitngan PPh Wajib Pajak
1
2 (-)
Jumlah seluruh penghasilan
Penghasilan yang tidak objek Pajak Penghasilan
3
4
(=)
(-)
(+/-)
Penghasilan Bruto
Biaya fiskal yang dapat dikurangkan
(Koreksi Biaya Fiskal tidak dapat dikurangkan)
5
6
7
(=)
(-)
(-)
Penghasilan Netto
Kompensasi Kerugian (bila ada)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (WP Perseorangan)
8
9
(=)
(x)
Penghasilan Kena Pajak
Tarif pasal 17
10
11
(=)
(-)
Pajak Penghasilan Tertang
Kredit Pajak
12 (=) Pajak Penghasilan Lebih Bayar/Kurang Bayar/Nihil
Sumber : DJP, Petunjuk Pengisian SPT PPh 2000
Sesuai dengan Undang-undang Perpajakan, item-item di ata dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Jumlah seluruh Penghasilan
36
Yang dimaksud dengan penghasilan, sesuai dengan pasal 4 Undang-undang No.36 tahun
2008 adalah :
1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang‐ undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan,kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan social termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
37
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihakpihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau
seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan,
atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
e. penerimaan kembali pembaqyaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
38
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi
dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi
derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan;
dan
e. penghasilan tertentu lainnya,
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
2. Penghasilan yang ditangguhkan/dikecualikan pengenaan pajaknya tercantum pada
pasal 4 ayat (3) Undang-undang No.36 tahun 2008, yaitu :
3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1) Bantuan sumabangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
39
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang
berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus 1 (satu) derajat, dan oleh badan keagamaan atau bagian pendidikan atau
badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetaokan oleh
Menteri Keuangan;
b. Warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib
Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan
norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang
ditahan; dan
40
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha
milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan
yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang‐bidang tertentu yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham‐saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor‐sektor usaha yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia;
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
41
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
3. Penghasilan (laba) Bruto
Penghasiolan bruto adalah jumlah seluruh penghasilan sedbelum dikurangi biaya-
biaya
4. Biaya fiskal dapat dikurangkan
Biaya fuskal dapat dikurangkan adalah biaya-biaya sesuai pasal 6 ayat (1) Undang-
undang No.36 tahun 2008, yaitu sebagai berikut :
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
12. biaya pembelian bahan;
13. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk
uang;
14. bunga, sewa, dan royalti;
15. biaya perjalanan;
42
16. biaya pengolahan limbah;
17. premi asuransi;
18. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
PeraturanMenteri Keuangan;
19. biaya administrasi; dan
20. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata‐nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat
ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri
atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau
adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan
43
utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya
pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
PeraturanPemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
5. Penghasilan (laba) Netto
Penghasilan netto adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang
diperkenankan oleh Ketentuan Perundang-undangan Perpajakan.
6. Kompensasi Kerugian dan/atau Penghasilan Tidak Kena Pajak (bagi Wajib Pajak
Perseorangan)
Kompensasi kerugian adalah rugi tahu n sebelumnya samapai dengan 5 tahun ke
44
belakang berturut-turut dapat diperhitungkan sebagai pengurang laba netto sesuai pasal
6 ayat (2) Undang-undang No.36 tahun 2008 adalahLapisan Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP). Berdasarkan Undang-undang No.36 tahun 2008 pasal 7, lapisan Tarif
Pengasilan Tidak Kena Pajak adalah sebagai berikut :
a. Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah)
untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin;
c. Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah)
tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
d. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk
setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus
serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga)
orang untuk setiap keluarga.
7. Penghasilan (laba) Kena Pajak
Penghasilan atau laba kena pajak adalah penghasilan netto dikurangi kompensasi
kerugian bagi Badan Usaha dan Orang Pribadi dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
8. Tarif
Tarif adalah presentase untuk menetapkan Jumlah Pajak Terutang, yaitu sesuai Pasal
17 Undang-undang No.36 tahun 2008, yaitu sebagai berikut :
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
45
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah)
5%
(lima persen)
di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) s.d. Rp 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas Rp25.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah)
25%
(dua puluh lima persen)
di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah)
30%
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%
(dua puluh delapan persen).
(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(2a)Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh
lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
9. Pajak (PPh) Terutang
Sesuai pasal 1 angka (9) Undnag-undang No.16 tahun 2000, pajak terutang adalah
pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau
46
Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Pajak.
10. Kredit Pajak
Sesuai Pasal 1 angka (22) Undang-undang No.16 tahun 2000, kredit pajak untuk
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan
pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam
tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah denga pajak yang dipotong atau
dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terhutang di luar
negeri, dikurangi pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, dikurangkan dari pajak
yang terutang.
11. Pajak Penghasilan Kurang/Lebih Bayar/Nihil
Adalah pajak yang harus dibayar oleh Wajib pajak, apabila pajak yang terutang
untuk satu tahun pajak ternyata lebih besar restitusi yang dapat diminta kemali, apabila
lebih kecil daripada jumlah kredit pajak atau apabila pajak yang terutang besarnya sama
dengan jumlah kredit pajak.
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Unit PT. BA UPO Ombilin yang berlokasi di Sawahlunto.
3.2 Variabel Penelitian
pada penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu datu variabel independent dan satu
variabel dependent, adapun variabel yang dimaksud yaitu :
1. Variabel Independent
Perencanaan pajak
2. Variable Dependent
a. Memaksimalkan laba
b. Meminimalkan beban pajak
3.3 Defenisi Oprasional
Dari variable penelitian, akan dijelaskan mengenai defenisi operasional variabel
penelitian, yaitu :
1. Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak merupakan suatu upaya atau strategi-strategi legal yang dapat
48
dilakukan perusahaan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dan
meminimalkan beban pajak seperti mengetahui bagaimana perhitungan pajak
berdasarkan undang-undang yang berlaku dan pematuhan terhadap pembayaran
pajak sehingga terhindar dari sanksi pajak.
2. Pengoptimalan Laba
Pengoptimalan laba merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan perusahaan
dalam meningkatkan laba perusahaan dengan berbagai usaha dan kinerja dalam
perusahaan salah satunya dengan membayar pajak tepat pada waktunya sehingga
tidak terkena sanksi pajak.
3. Meminimalkan Beban Pajak
Peminimalan beban pajak merupakan suatu upaya perusahaan dalam melakukan
perencanaan pajak sehingga dapat memperbesar beban atau biaya perusahaan.
3.4 Sumber Data
Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil data pada CV. Bara Mitra
Kencana di Sawahlunto dan sumber datanya terdiri dari :
1. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh langsung pada objek penelitian (tidak
melalui media perantara) yaitu pada Unit PT. BA UPO Sawahlunto, berupa
laporan keuangan perusahaan.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan atau diperoleh dari berbagai
literatur yang berkaitan dengan Perencanaan Pajak serta dokumen tentang objek
penelitian yang datanya dipublikasikan secara umum. Data ini digunakan untuk
mengetahui bagaiman profil PT. BA UPO Sawahlunto.
49
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah :
1. Studi Kepustakaan (Library Research)
Yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh landasan teori yang akan
digunakan dalam analisa kasus. Dasar-dasar teoristis dapat diperoleh dari
berbagai literatur-literatur, artikel-artikel, makalah, jurnal, buku-buku dan
catatan kuliah serta sumber-sumber lainnya yang relevan yang ada kaitannya
dengan masalah yang dibahas dan digunakan sebagai pembahasan penelitian ini.
2. Penelitian Lapangan (Field Research)
Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian langsung
pada perusahaan untuk mendapatkan data dan keterangan lainnya yang
dibutuhkan dalam pembahasan.
3.6 Teknik Analisa Yang Digunakan
Dalam melakukan penelitian penulis menganalisa data dengan cara :
1. Metode Deskriptif Kualitatif
Yaitu metode analisa yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menjawab
pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu sedang berjalan dari pokok suatu
penelitian atau membandingkan antara teori-teori dan praktek yang telah dilaksanakan
oleh perusahaan. Metode ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana pajak dapat
diminimalkan dengan menggunakan perencanaan pajak.
2. Metode Kuantitatif
Melakukan perhitungan penyusutan aktiva tetap bukan bangunan dengan tahapan :
a. Mengidentifikasi aktiva tetap bukan bangunan yang dimiliki perusahaan.
b. Mengelompokkan aktiva tetap bukan bangunan tersebut ke dalam empat kelompok
50
berdasarkan masa manfaatnya
c. Menggunakan metode garis lurus untuk menghitung penyusutan aktiva tetap bukan
bangunan :
Menghitung penyusutan tiap tahun masing-masing jenis aktiva tetap bukan
bangunan
Untuk Menghitung Besarnya Biaya Penyusutan :
Kemudian menghitung nilai tunai penyusutan tersebut dengan menggunakan
discount factor tertinggi 20%
Menjumlahkan keseluruhan penyusutan aktiva tetap bukan bangunan pertahun
d. Menggunakan metode saldo menurun untuk menghitung penyusutan aktiva tetap
bukan bangunan :
Menghitung penyusutan tiap tahun masing-masing jenis aktiva tetap bukan
bangunan
Untuk Menghitung Besarnya Biaya Penyusutan
Kemudian menghitung nilai tunai penyusutan tersebut dengan menggunakan
discount factor tertinggi 20%
Menjumlahkan keseluruhan penyusutan aktiva tetap bukan bangunan pertahun
e. Membandingkan besarnya penyusutan aktiva tetap bukan bangunan antara metode
garis lurus dengan saldo menurun
f. Membandingkan besarnya penghematan pajak per tahun dengan menggunakan
metode penyusutan garis lurus dan saldo menurun
51
Biaya Penyusutan = Persentase (%) Penyusutan X harga Perolehan
Biaya Penyusutan = Persentase (%) Penyusutan X harga Perolehan
g. Menenentukan metode penyusutan yang menghasilkan penghematan pajak paling
besar.
Melakukan perhitungan nilai persediaan dengan menggunakan metode rata-rata dan
FIFO. Kemudian menentukan metode penilaian persediaan yang paling menguntungkan
dalam pembayaran pajak.
52