Proposal Metil
-
Upload
mila-wati-3402 -
Category
Documents
-
view
216 -
download
6
Transcript of Proposal Metil
Bab I Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran dua
gerakan renaissance Islam modern : neorevivalis dan modernis. Tujuan utama dari
pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum
muslim untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al – Quran
dan As – Sunnah.
Upaya awal penerapan system profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan
Malaysia sekitar tahun 1940-an , yaitu adanya upaya mengelola dana jemaah haji secara
nonkonvensional. Rintisan intitusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit
Ghamr pada tahun 1963 di Kairo Mesir.
Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana ini, bank Islam tumbuh dengan
sangat pesat yang beroperasi diseluruh dunia, baik dinegara-negara yang berpenduduk
muslim maupun di Eropa, Australia maupun Amerika.
Satu hal yang juga patut dicatat adalah saat ini banyak nama besar dalam dunia
keuangan internasional seperti Citibank, Jardine Flemming, ANZ, Chase Chemical Bank,
Goldman Sech, dan lain-lain telah membuka cabang dan subsidiaries yang berdasarkan
syariah. Dalam dunia pasar modal pun, Islamic fund kini ramai diperdagangkan,
suatu hal yang mendorong singa pasar modal dunia Dow Jones untuk menerbitkan
Islamic Dow Jones Index .
Oleh karena itu tak heran jika Scharf, mantan direktur utama bank Islam Denmark
yang non muslim itu, menyatakan bahwa bank Islam itu adalah partner baru
pembangunan.
Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke
Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar
ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah
1. Karnael A. Purwataatmaja,
2. M. Dewam Rahardjo, A,
3. M. Saefuddin ,
4. M. Amien Azis, dan lain-lain.
1
Bab I Pendahuluan
Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Diantaranya
adalah Baitut Tamwil-Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta
juga dibentuk lembaga serupa yang berbentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru
dilakukan pada tahun 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di
Cisarua Bogor Jawa Barat. Hasil Lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada
Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25
Agustus 1990. Berdasarkan Amanat Munas IV MUI , dibentuk kelompok kerja untuk
mendirikan bank Islam di Indonesia. (M. Syafi’i Antonio, 2001)
Kelompok kerja yang disebut Tim perbankan MUI, bertugas melakukan
pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya
Undang-Undang No 10 Tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan
landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan
oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank
konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonvensi diri secara total
menjadi bank syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah
bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya.
Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam
institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonvensi diri secara total menjadi
bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan
“Pelatihan Perbankan Syariah” bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian,
terutama terutama aparat yang terkait langsung seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan
Pengaturan Perbankan), kredit, pengawasan, akuntansi, riset, dan moneter.
Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan bank milik pemerintah pertama yang
melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah. Secara structural, BSM berasal dari
Bank Susila Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan dilingkup Bank Mandiri
(ex BDN), yang kemudian dikonversikan menjadi bank syariah secara penuh.
Satu perkembangan lain perbankan syariah di Indonesia pasca reformasi adalah
diperkenankannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi bank syariah.
2
Bab I Pendahuluan
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan,
terutama pada sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi computer yang
digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal,
laporan keuangan, dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan mendasar
diantara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, stuktur organisasi, usaha yang
dibiayai, dan lingkungan kerja. (Adiwarman Karim , 2002)
Dalam bank syariah , akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan
ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah
berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hukum
positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban
hingga yaumil qiyamah nanti.
Setiap akad dalam perbankan syariah , baik dalam hal barang, perilaku transaksi,
maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut,
1. Rukun
Seperti :
- penjual,
- pembeli,
- barang,
- bunga,
- akad/ ijab-qabul
2. Syarat
Seperti syarat berikut :
- Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan
jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
- Harga barang dan jasa harus jelas.
- Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan
berdampak pada biaya transportasi.
- Barang boleh ditransaksikan harus sepenuhnya dalam
kepemilikan.
Bank syariah dapat memiliki stuktur yang sama dengan bank konvensional,
misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang membedakan adalah harus
3
Bab I Pendahuluan
adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan
produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakan pada posisi setingkat Dewan
Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dan setiap opini yang
diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penempatan Badan
Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat. Umumnya Pemegang Saham, setelah para
anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah
Nasional.
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari
saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang
terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan.
Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum
dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut,
1. Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
2. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat ?
3. Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila ?
4. Apakah proyek berkaitan dengan penjudian ?
5. Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang illegal atau
berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh masal ?
6. Apakah proyek dapat merugikan syiar islam, baik secara langsung maupun
tidak langsung ?
Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel
1.1 berikut ini,
4
Bab I Pendahuluan
Tabel 1.1
Perbandingan antara bank syariah dengan bank konvensional
BANK ISLAM BANK KONVENSIONAL
1. Melakukan investasi yang halal-halal saja.
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual-beli,
atau sewa.
3. Profit dan falah oriented.
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk
kemitraan.
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus
sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas
Syariah.
1. Investasi yang halal dan haram.
2. Memakai perangkat bunga.
3. Profit oriented
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk
debitor-debitor
5. Tidak terdapat dewan sejenis.
Sumber : Bank Indonesia, Biro Perbankan Syariah
Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan pada bank dapat dibagi menjadi dua
hal berikut,
1. Pinjaman produktif
Yaitu pinjaman yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam
arti luas yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan,
maupun investasi.
2. Pinjaman konsumtif
Yaitu pinjaman yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang
akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pinjaman produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut.
1. Pinjaman modal kerja
Yaitu pinjaman untuk memenuhi kebutuhan
a. peningkatan produksi
5
Bab I Pendahuluan
b. untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari
suatu barang.
2. Pinjaman investasi
Yaitu pinjaman untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital
goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
Bank konvensional memberikan kredit kerja dengan cara memberikan pinjaman
sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan
kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan
produksi maupun perdagangan dalam waktu tertentu,dengan imbalan berupa bunga.
Bank syariah dapat membantu seluruh kebutuhan modal kerja tersebut bukan
dengan meminjamkan uang, tetapi dengan menjalin hubungan partner ship dengan
nasabah, dimana bank bertindak sebagai pengusaha penyandang dana (shahibul maal),
sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema pembiayaan semacam ini
disebut dengan mudharabah (trust financing). Fasilitas ini dapat diberikan dalam jangka
waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang
disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta
porsi bagi hasil (yang belum dibagikan) yang menjadi bagian bank.
Bank syariah dapat menyediakan pinjaman komersil untuk pemenuhan kebutuhan
barang konsumsi dengan menggunakan skema berikut ini,
1. Al-bai’bi tsaman ajil atau jual beli dengan angsuran
2. Al-ijarah al-muntahia atau sewa beli
3. Al-musyarakah mustanaqhishah atau decresing participation, dimana secara
bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.
4. Ar-Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.
Pembiayaan konsumsi tersebut diatas lazim digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan sekunder. Adapun kebutuhan primer pada umumnya tidak dapat dipenuhi
dengan pinjaman komersil. Seseorang yang belum mampu memenuhi kebutuhan
pokoknya tergolong fakir atau miskin. Oleh karena itu, ia wajib diberi zakat atau sedekah,
atau maksimal diberikan pinjaman kebajikan (al-qardh al-hasan), yaitu pinjaman dengan
kewajiban pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apapun.
6
Bab I Pendahuluan
Dalam perbankan syariah, sebenarnya penggunaan kata pinjam-meminjam kurang
tepat digunakan disebabkan dua hal. Pertama, pinjaman merupakan salah satu metode
hubungan financial dalam islam. Kedua, dalam islam pinjam-meminjam adalah akad
sosial, bukan akad komersial. Artinya, bila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak boleh
disyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok pinjaman. Hal ini didasarkan pada
hadist Nabi SAW. Yang mengatakan bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat
atau riba, sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu pada
perbankan syariah, pinjaman tidak disebut kredit, tetapi pembiayaan (financing).
Seperti dalam perbankan konvensional, perbankan syariah memetapkan syarat-
syarat umum untuk sebuah pinjaman, seperti hal-hal berikut,
1. Surat permohonan tertulis, dengan dilampiri proposal yang memuat
gambaran umum usaha, rencana atau prospek usaha, rincian dan
rencana penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu
penggunaan dana.
2. Legalitas usaha, seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat izin
umum perusahaan, dan tanda daftar perusahaan.
3. Laporan keuangan, seperti neraca dan laporan rugi laba, data
persediaan terakhir, data penjualan, dan fotokopi rekening bank.
Contoh-contoh perhitungan praktis :
1. Al-Murabahah
Misalkan seorang nasabah ingin memiliki sebuah motor. Ia dapat memohon
kepada bank syariah agar bank membelikannya. Setelah diteliti dan
dinyatakan dapat diberikan, bank membelikan motor tersebut dan
memberikannya kepada nasabah. Jika harga motor tersebut Rp 4.000.000,00
dan bank ingin mendapatkan keuntungan
Rp 800.000,00 selama dua tahun, maka harga yang ditetapkan kepada nasabah
sebesar Rp 4.800.000,00. Nasabah dapat mencicil pembayaran tersebut Rp
200.000,00 perbulan.
2. Bai’as-Salam
Seorang petani memerlukan dana sebesar Rp 2.000.000,00 untuk mengolah
sawahnya seluas 1 hektar. Ia datang ke bank dan memohon permohonan dana
7
Bab I Pendahuluan
untuk keperluan itu. Setelah diteliti dan dinyatakan dapat diberikan , bank
memerlukan akad bai’as-Salam dengan petani, dimana bank akan membeli
gabah, misalnya, jenis IR dari petani untuk jangka waktu 4 bulan sebanyak 2
ton dengan harga
Rp 2.000.000,00. Pada saat jatuh tempo, petani harus menyetor gabah yang
dimaksud kepada bank. Jika bank tidak memerlukan gabah untuk
keperluannya sendiri, bank dapat menjualnya kepada pihak lain, atau meminta
petani mencarikan pembelinya dengan harga yang lebih tinggi, misalnya Rp
1.200,00 perkilogram. Dengan demikian, keuntungan bank dalam hal ini
adalah Rp 400.000,00 atau
(Rp 200,00 x 2000 kg).
3. Bai’al-Istishna
Seorang yang ingin membangun atau merenovasi rumah dapat mengajukan
permohonan dana untuk keperluan itu dengan cara bai’al-Istishna, bank
berlaku sebagai penjual yang menawarkan pembangunan/renovasi rumah.
Bank lalu membeli/memberikan dana, misalnya Rp 30.000.000 secara
bertahap. Stelah rumah itu jadi, secara hukum Islam rumah/ hasil renovasi
rumah itu masih menjadi milik bank dan sampai tahap ini akad istisna
sebenarnya telah selesai. Karena bank tidak ingin memiliki rumah tersebut,
bank menjualnya kepada nasabah dengan harga yang disepakati, misalnya Rp
39.000.000,00 dengan jangka waktu pembayaran 3 tahun. Dengan demikian,
bank memperoleh keuntungan Rp 9.000.000,00.
4. Al-Mudharabah
Seorang pedagang yang memerlukan modal untuk berdagang dapat
mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti mudharabah,
dimana bank bertindak sebagai shahibul maal dan nasabah selaku
mudharabah. Caranya adalah dengan mengitung dulu perkiraan pendapatan
yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya, dari
modal Rp 30.000.000,00 diperoleh pendapatan Rp 5.000.000,00 per bulan.
Dari pendapatan itu harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian
modal misalnya Rp 2.000.000,00 selebihnya dibagikan antara bank dengan
8
Bab I Pendahuluan
nasabah dengan kesepakatan dimuka, misalnya 60% untuk nasabah dan 40%
untuk bank.
5. Musyarakah
Pak Budi adalah seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek.
Usaha tersebut memerlukan modal Rp 100.000.000,00. Ternyata setelah
dihitung, Pak Budi hanya memiliki Rp 50.000.000,00 atau 50% dari modal
yang diperlukan. Pak Budi kemudian datang ke sebuah bank syariah untuk
mengajukan pembiayaan dengan skema musyarakah. Dalam hal ini,
kebutuhan terhadap modal Rp 100.000.000 dipenuhi oleh nasabah 50% dan
50% dari bank. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut
bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. Seandainya keuntungan
dari proyek itu Rp 20.000.000 dan nisbah atau porsi bagi hasil yang disepakati
adalah 50:50, pada akhirnya Pak Budi harus mengembalikan dana sebesar Rp
50.000.000,00 (dana pinjaman dari bank) ditambah Rp 10.000.000,00 (50%
keuntungan untuk bank).
6. Musyarakah Mutanaqishah
Nasabah dan bank berkongsi dalam pengadaan suatu barang (biasanya rumah
atau kendaraan), misalkan 30% dari nasabah dan 70% dari bank. Untuk
memiliki barang tersebut, nasabah harus membayar kepada bank sebesar porsi
yang dimiliki bank. Karena pembayarannya dilakukan secara angsuran,
penurunan porsi kepemilikan bank pun berkurang secara proporsional sesuai
dengan besarnya angsuran. Barang yang telah dibeli secara kongsi tadi baru
akan menjadi milik nasabah setelah porsi nasabah menjadi 100% dan porsi
bank 0%.
7. Al-Ijarah
Bank syariah yang mengoperasikan ijarah dapat melakukan leasing, baik
operational lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya bank-
bank syariah lebih banyak melakukan financial lease with purchase option
atau ijarah muntahia bit-tamlik. Hal ini karena skema lebih sederhana dari sisi
pembukuan dan bank tidak direpotkan oleh beban pemeliharan asset. Ditinjau
9
Bab I Pendahuluan
dari hal tersebut, ijarah lebih sering dipakai untuk pembiayaan investasi dan
customer loan.
Syarat kehidupan sehari-hari kian lama kian rumit. Karena itu pentingnya
pinjaman konsumtif untuk kebutuhan pokok bagi tiap orang tidak berlebihan. Pinjaman
konsumtif sedikit banyak bersifat tidak produktif, walaupun ada pengaruhnya pada
produktifitas masyarakat secara tidak langsung, yaitu mendorong produksi dan supply.
Tentu saja pinjaman harus ada tanggungan berupa deposito atau bukti harta tetap yang
dimiliki si peminjam.
Maka dalam tataan sosial Islami pemerintah terpaksa menarik pajak semua
deposito dan saldo kredit untuk memperoleh biayanya. Rakyat tidak akan merasa berat
memikul beban perpajakan ini karena adanya pelayanan cuma-cuma, dengan demikian,
perdagangan, perniagaan, dan industri pun akan tumbuh dengan pesat. Akibatnya,
sumberdaya ekonomi akan dimanfaatkan dengan baik, masalah pengangguran akan
terpecahkan, dan pendapatan nasional pun akan meningkat dalam suatu negara Islam.
Pada semua negara Islam terdapat sejenis pinjaman yang khas yang disebut Qard i-
Hasanah yang artinya suatu pinjaman tanpa bunga. Seseorang yang berhutang harus
menyelesaikan semua utangnya sebelum ia meninggal dunia, kalau tidak maka ia
berdosa, dalam beberapa hal si pemberi pinjaman akan memberi Qard i-Hasanah,
pinjaman tanpa bunga yang harus dibayar kembali.( M.A.Mannan,1992)
10
Bab I Pendahuluan
Dengan berpatokan kepada pinjaman tanpa bunga ,maka fenomena ini menjadi
latar belakang penulis untuk memilih judul :
“ Analisis Pinjaman Konsumtif Riil Pada Bank Syariah
di Indonesia ”
1.2 Identifikasi Masalah
Dengan demikian identifikasi permasalahan dalam penelitian ini akan
menganalisis tentang :
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan pinjaman konsumtif
pada Bank Syariah di Indonesia?
2. Diantara faktor-faktor tersebut, faktor mana yang lebih berpengaruh terhadap
permintaan pinjaman konsumtif pada Bank Syariah di Indonesia?
1.3 Tujuan penelitian
Berdasarkan hal-hal diatas maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
pinjaman konsumtif pada Bank Syariah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui tentang faktor mana yang lebih berpengaruh terhadap
permintaan pinjaman konsumtif pada Bank Syariah di Indonesia.
1.4 Kerangka Pemikiran
1.4.1 Definisi bank syariah
Bank syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berlandaskan etika dan
mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
1.4.2 Bank syariah yang terdapat di Indonesia,
1. Bank IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999),
2. Bank Niaga (akan membuka cabang syariah),
3. Bank BNI’46 (telah membuka 5 cabang syariah),
4. Bank BTN (akan membuka cabang syariah),
5. Bank Mega (akan mengkonversikan satu bank konvensional anak
perusahaannya menjadi bank syariah),
11
Bab I Pendahuluan
6. Bank BRI (akan membuka cabang syariah),
7. Bank Bukopin (tengah melakukan konversi untuk cabang Aceh),
8. BPD JABAR (telah membuka cabang syariah di Bandung),
9. BPD Aceh (tengan menyiapkan SDM untuk konvensi cabang).
Catatan : Data per November 2000
1.4.3 Pinjaman Konsumtif
Pinjaman konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi. Kebutuhan konsumsi dibedakan atas kebutuhan primer dan kebutuhan
sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok atau dasar baik berupa barang,
seperti makanan , minuman, pakaian dan tempat tinggal maupun berupa jasa seperti
pendidikan dasar dan pengobatan. Adapun kebutuhan sekunder adalah kebutuhan
tambahan, yang secara kuantitatif dan kualitatif lebih tinggi ataupun lebih mewah dari
kebutuhan primer, baik berupa barang seperti makan dan minuman, pakaian/perhiasan,
bangunan rumah dan kendaraan dan sebagainya, maupun berupa jasa seperti pendidikan
dan pelayanan kesehatan, pariwisata dan hiburan.(M, Syafi’i Antonio, 2001,hal 168)
Sedangkan untuk Syariah yang dikatakan dengan konsumsi adalah permintaan
dan produksi adalah penyediaan kebutuhan konsumen yang kini dan yang sebelumnya,
merupakan insentif pokok bagi kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri. Mereka mungkin
tidak hanya menyerap pendapatannya tetapi juga memberi insentif untuk
meningkatkannya. Hal ini mengandung arti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi
adalah primer. (M. A Mannan,1992 hal 44)
Perbedaan antara ilmu ekonomi modern dan ilmu ekonomi Islam adalah dalam
hal konsumsi yaitu terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan
seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola
konsumsi modern.
Aturan pertama mengenai konsumsi terdapat dalam ayat suci Al-Quran :
“ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi ............” (Q.S, Al-Baqarah,2:169)
12
Bab I Pendahuluan
Pada tabel 1.2 dibawah ini memperlihatkan pembiayaan tanpa bunga yang
diberikan oleh bank syariah di Indonesia yang memperlihatkan peningkatan, apalagi
dengan pengalamannya dengan sangat minim untuk ukuran bank di Indonesia,
Tabel 1.2
Pinjaman yang diberikan Perbankan Syariah
( Juta Rupiah)
Bulan – tahun Jumlah
September 2001 1.939.087
Desember 2001 2.049.793
Maret 2002 2.153.084
Sumber:Bank Indonesia, Biro Perbankan Syariah
1.4.4 Teori Permintaan Uang Keynes
Menurut Keynes teori permintaan uang didorong oleh 3 (tiga) hal yaitu :
1. Motif transaksi (Transaction Motive)
Keynes berpendapat bahwa orang-orang yang memegang uang guna
memenuhi dan melancarkan transaksi-transaksi yang dilakukan, dan
permintaan akan uang dari masyarakat untuk tujuan ini dipengaruhi oleh
tingkat pendapatan nasional dan tingkat bunga. Semakin tinggi pendapatan
nasional semakin besar volume transaksi dan semakin besar pula
kebutuhan akan uang untuk memenuhi kebutuhan transaksi. Selain itu,
Keynes berpendapat bahwa permintaan akan uang untuk tujuan transaksi
ini pun tidak merupakan suatu proporsi yang konstan, tetapi dipengaruhi
pula oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Tapi, Keynes tidak terlalu
menekankan faktor bunga untuk motif ini.
2. Motif berjaga-jaga (Precautionary motive)
Selain untuk keperluan transaksi, permintaan akan uang bertujuan
untuk memenuhi kemungkinan yang tidak terduga atau untuk melakukan
pembayaran-pembayaran yang diluar transaksi normal. Menurut keynes,
permintaan akan uang untuk tujuan berjaga-jaga ini dipengaruhi oleh
13
Bab I Pendahuluan
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan akan uang untuk transaksi,
yaitu terutama dipengaruhi oleh tingkat penghasilan orang tersebut dan
mungkin dipengaruhi pula oleh tingkat suku bunga.
3. Motif spekulasi (Speculative motive)
Motif dari pemegang yang ini bertujuan untuk memperoleh
“keuntungan” yang bisa diperoleh seandainya si pemegang uang mampu
meramal apa yang akan terjadi dengan benar. Keynes tidak membicarakan
faktor “uncertainty” dan “expectation” secara umum, tetapi ia membatasi
“uncertainty” dan “expectation” pada suatu variabel, yaitu tingkat suku
bunga sebagai opportunity cost ditekankan oleh keynes, dimana semakin
tinggi tingkat bunga maka semakin rendah permintaan uang untuk
spekulasi, begitu juga sebaliknya.
Hal yang berbeda dinyatakan oleh Keynes sehubungan dengan kesimpulan dari
Irving fisher di atas. Keynes berpendapat bahwa perubahan tingkat bunga dapat
mempengaruhi tingkat harga, meskipun kuantitas uang M masih tetap sebagai variabel
kunci. Dengan kata lain, Keynes menyatakan bahwa selain kuantitas M, tingkat bunga
bisa mempengaruhi tingkat harga.
Persamaan permintaan akan uang versi Keynes merupakan permintaan akan saldo
riil, dimana permintaan seseorang untuk saldo riil tidak berubah apabila harga berubah.
Permintaan uang untuk saldo riil/real balances (Md/P) ditentukan dari besarnya
pendapatan riil (Y) serta opportunity cost (i). Secara matematis formula Keynes untuk
permintaan uang dapat dituliskan sebagai berikut:
M d
P=f ( i
−, Y
+)
Selanjutnya, dengan menarik fungsi preferensi likuiditas untuk velocity PY/M,
kita dapat melihat bahwa teori permintaan uang Keynes berdampak bahwa velocity of
money tidaklah konstan tetapi sebaliknya berfluktuasi dengan pergerakan tingkat bunga.
Persamaan preferensi likuiditas dapat ditulis kembali sebagai berikut:
P
M d= 1f ( i , Y )
14
Bab I Pendahuluan
Dengan mengalikan kedua sisi persamaan di atas dengan Y dan menganggap
bahwa Md dapat diganti dengan M karena pada saat pasar uang dalam kondisi ekulibrium
jumlah uang M yang dipegang oleh masyarakat sama dengan jumlah permintaan uang
Md, maka persamaan untuk velocity of money menjadi
PYM
= Yf ( i , Y )
=V
Dari persamaan di atas diketahui bahwa permintaan uang berhubungan secara
negatif dengan tingkat bunga; ketika i naik, f(i, Y) turun, oleh karena itu velocity of
money juga naik. Dalam perkataan yang lain, kenaikan tingkat bunga mendorong
masyarakat untuk memegang real money balances lebih sedikit pada tingkat pendapatan
yang tetap. Sehingga tingkat perputaran uang menjadi lebih tinggi. Hal ini secara tidak
langsung menyatakan bahwa tingkat bunga memainkan peranan yang penting untuk
mempengaruhi tingkat perputaran uang.
Lebih lanjut, model permintaan uang untuk spekulasi Keynes juga dapat
menjelaskan kenapa perputaran uang berfluktuasi. Apa yang akan terjadi terhadap
permintaan uang apabila tingkat bunga normal berubah? Misalnya, apa yang akan terjadi
jika di masa yang akan datang masyarakat mengharapkan tingkat bunga normal lebih
tinggi daripada tingkat bunga normal sekarang? Karena tingkat bunga diharapkan lebih
tinggi di masa yang akan datang, maka masyarakat mengharapkan di masa mendatang
harga obligasi turun sehingga para pemegang obligasi akan mengalami capital loss.
Dengan demikian, memegang uang akan menjadi lebih menarik daripada memegang
obligasi. Akibatnya, jumlah permintaan uang naik. Hal ini berarti bahwa f (i, Y) akan
naik dan akibatnya velocity of money turun. Jadi, velocity of money akan berubah
apabila ekspektasi tentang tingkat bunga normal di masa yang akan datang berubah, dan
ketidakstabilan ekspektasi tentang pergerakan tingkat bunga normal di masa yang akan
datang akan menyebabkan velocity of money menjadi tidak stabil pula. (Gujarati, 2003)
1.5 Metode Penelitian
1.5.1 Metode yang digunakan
Dalam penulisan skripsi ini metode penelitian yang dilakukan adalah melalui
pendekatan deskriptif kuantitatif dengan menggunakan data sekunder, yaitu dengan
15
Bab I Pendahuluan
menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-
fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara variabel yang diteliti.
Untuk analisa kuantitatif, penulis menggunakan alat bantu ekonometrika. Teknik
ekonometrika yang bersifat time series digunakan dalam menguji masing-masing variabel
independent terhadap variabel dependent dan bersifat korelasional dengan menggunakan
metode regresi sederhana yaitu OLS (Oldinary Least Square).
1.5.2 Sumber data
Dalam hal ini perlu pula dijelaskan bahwa data pendukung untuk analisis dalam
skripsi ini adalah data triwulan (tiga bulanan) dari periode1998.2 – Juni 2003.1
Semua data yang digunakan adalah data sekunder yang diterbitkan oleh :
1. Bank Indonesia
2. Biro Pusat Statistik
3. Referensi studi kepustakaan melalui jurnal, artikel, makalah, litelatur dan
bahan-bahan lain, perpustakaan UNPAD, koleksi buku kajian ekonomi
Islam, Perpustakaan Bank Indonesia, Internet, serta sumber-sumber lain
yang berhubungan dengan penelitian ini.
1.5.3 Model ekonometrik
Pada penelitian ini model yang digunakan adalah model dari penelitian Ahmad
Kaleem dan Khan ,1990 yaitu tentang penelitian stabilisasi keuangan dan kredit bank
syariah (studi kasus di Malaysia).
ln(Credit(isl)/P)t = a+ b1lnYRt + b2lnPt + b3ln(credit (isl)/P)t-1 + b4Dummy+mt
Keterangan :
Kredit (Isl ) = Kredit Islam (kredit syariah)
Kredit/P = Kredit riil
Y = Pendapatan riil
R = Tingkat suku bunga
P = Tingkat inflasi
a, b1, b2, b3, b4 = Parameter
t = waktu
m = Unsur gangguan
Dummy = Akibat krisis yang dtimbulkan
16
Bab I Pendahuluan
Sedangkan untuk penelitian ini model adopsi dari penelitian Ahmad Kaleem dan
Khan dengan menghilangkan variabel Dummy dan formulasinya menjadi :
ln(Credit(isl)/P)t= a+ b1lnYt + b2lnPt + b3ln(credit (isl)/P)t-1+ µ
Keterangan :
Credit (Isl ) = Pinjaman Konsumtif
Credit (isl)/P = Pinjaman Konsumtif Riil
Y = GDP Riil
P = Indeks Harga Konsumen
a, b1, b2, b3, b4 = Parameter
t = waktu
µ = Unsur gangguan
1.6 Metode Analisis (Gujarati,2003)
Sebelum dilakukan analisis ekonomi terhadap pengolahan data berdasarkan model
yang telah di bentuk, terlebih dahulu akan dilakukan pengujian dengan menggunakan
metode pengujian statistik, antara lain :
1.6.1 Uji Determinasi (R2)
Uji ini menunjukkan besarnya kemampuan variabel bebas (independent variable)
untuk menerangkan variabel tidak bebas (dependent variable) secara bersamaan dengan
tujuan untuk mengukur kebaikan dan kebenaran hubungan antara variabel dalam model
yang digunakan. Nilai R2 berkisar antara 0-1, dimana semakin besar nilainya (mendekati
1) maka semakin dekat hubungan antara variabel tidak bebas dengan variabel bebasnya.
1.6.2 Uji t
Uji t dilakukan untuk menguji tingkat signifikan variabel bebas terhadap variabel
tidak bebas melalui koefisien regresi suatu model. Kriteria yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pengujian dua arah (two tailed significance level). Dengan demikian
berlaku pengujian sebagai berikut :
Jika t stst > t tabel atau t stat < t tabel maka pengaruhnya signifikan
Jika –t tabel < t stat < +t tabel maka pengaruhnya tidak signifikan
17
Bab I Pendahuluan
1.6.3 Uji F
Uji f digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen secara bersama-
sama terhadap pergerakan variabel dependen dengan nilai koefisien determinan R :
F = ESS / ( k – 1 )
RSS / ( n – k )
Keterangan :
F Statistik F yang menyebar mengikuti distribusi F dengan derajat bebas
k-1 dan n-k
ESS : jumlah kuadrat yang dijelaskan
RSS : jumlah kuarat residual
k – 1 : derajat bebas regresi, dengan k adalah banyaknya parameter dalam
model regresi
n – k : derajat bebas error dimana n adalah banyaknya pengamatan
(ukuran sampel)
Seandainya seluruh nilai sebenarnya dari seluruh variabel regresi ini sama dengan
nol, maka dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan linear antara variabel bebas dengan
variabel tidak bebas dalam model. Sebaiknya jika angka F statistik lebih besar dari nilai
kritis pada tingkat signifikansi tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel
bebas dalam model tersebut secara bersama-sama akan mempengaruhi variabel tidak
bebas pada tingkat signifikan tertentu.
1.6.4 Uji Durbin Watson
Uji statistik Durbin–Watson digunakan untuk mendeteksi masalah autokorelasi
(serial korelasi) dalam suatu model regresi linier. Autokorelasi adalah korelasi antara
anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data time
series) atau ruang (seperti dalam data cross sectional). Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : tidak ada autokorelasi dalam model regresi
H1 : terdapat autokorelasi dalam model regresi
Pengujian yang dilakukan untuk menyatakan adanya autokorelasi pada error-
terms adalah dengan melihat nilai Durbin-Watson yang diperoleh dengan memperhatikan
kriteria-kriteria yang didasarkan pada tabel 1.3 berikut ini.
18
Bab I Pendahuluan
Tabel 1.3
Batas Kritis Hipotesis untuk DW Statistik
Nilai DW berdasarkan
Estimasi Model Regresi
Kesimpulan
0 < DW < DL
DL < DW < DU
DU < DW < (4 - DU)
(4 - DU) < DW < (4 - DL)
(4 - DL) < DW < 4
H0 ditolak, terdapat autokorelasi positif
Daerah Ragu-ragu
H0 diterima, tidak terdapat autokorelasi
Daerah Ragu-ragu
H0 ditolak, terdapat autokorelasi negative
Sumber: Damodar N. Gujarati. 1993. Ekonometrika Dasar. Jakarta : Erlangga.
1.6.5 Run Test
Uji ini dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya masalah autokorelasi dalam
model, dengan melakukan perhitungan terhadap pergerakan (positif dan negatif) residual
yang diperoleh dari selisih antara nilai aktual dari variabel dependen terhadap
estimasinya. Setelah diperoleh data residual, maka ditentukan jumlah nilai residual yang
positif (N1), nilai negatif (N2), jumlah/banyaknya run atau perubahan nilai positif dan
negatif residual (n) dan jumlah observasinya (N).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Permintaan Uang
Dengan berbagai elemen sistem ekonomi Islam tidak hanya dapat meminimisasi
ketidakstabilan permintaan uang agregat, tetapi juga mempengaruhi berbagai komponen
money demand yang pada gilirannya akan meningkatkan efisiensi dan pemerataan
penggunaan dana. Dengan lebih stabilnya money demand di dalam perekonomian Islam
akan menciptakan tingkat stabilitas yang lebih baik bagi velocity of circulation of money.
Money demand dalam perekonomian Islam tercermin dalam equation sebagai berikut:
Md = f ( Ys , S , π )
19
Bab I Pendahuluan
Keterangan
Ys, merupakan barang dan jasa yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan
investasi produktif yang sesuai dengan nilai-nilai Islam,
S, merupakan nilai-nilai moral sosial dan kelembagaan (termasuk zakat) yang
mempengaruhi alokasi dan distribusi resources yang tidak digunakan untuk konsumsi
yang tidak bermanfaat, investasi yang tidak produktif dan juga tidak untuk motif-motif
spekulasi.
π adalah profit-and-loss sharing.
Umumnya termasuk di beberapa negara-negara Islam, Y merupakan output yang
termasuk untuk pemenuhan konsumsi yang tidak bermanfaat dan investasi yang
nonproduktif. Sedangkan karakteristik Ys, merupakan sesuatu yang normatif yang belum
mencerminkan sesuatu kenyataan yang berlaku saat ini, namun bukan sesuatu hal yang
tidak mungkin untuk dicapai. Selanjutnya S merupakan nilai-nilai dan kelembagaan yang
kompleks yang tidak harus dapat dikuantifikasi. Hal penting yang harus diperhatikan
adalah aktualisasi pencapaian tujuan-tujuan dimana Y harus dibersihkan dari hal-hal yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan unsur-unsur yang dapat mengagalkan
pencapaian tujuan ekonomi. Selain dari pada itu, penting pula diperhatikan bahwa dengan
adanya nilai-nilai dan kelembagaan tersebut maka tidak ada alasan untuk menggunakan
suku bunga yang pada dasarnya telah terbukti tidak efektif dalam mempengaruhi money
demand.
Penghapusan suku bunga, penetapan kewajiban pembayaran pajak atas biaya
produktif yang menganggur, serta penghilangan insentif bagi pemegang uang iddle
mendorong orang melakukan :
Qard (meminjamkan harta kepada orang lain)
Penjualan muajjal
Mudarabah (bagi hasil)
Para pemilik dana akan menginvestasikan dana pada kegiatan yang memberikan
keuntungan terbesar (actual return). Semakin tinggi permintaan akan uang untuk investasi
di sektor riil, tingkat harapan keuntungan yang akan diraih relatif menurun. Karena
20
Md1 Md0
Pajak thdp asset produktif yg menganggur
Ms
M/P
M0 M1
Bab I Pendahuluan
besarnya tingkat actual return tidak berfluktuatif seperti halnya suku bunga, permintaan
akan uang akan lebih stabil.
Ketika actual return dari investasi di sektor riil menurun karena lesunya kondisi
ekonomi, pemegang dana akan mengurangi investasi dan lebih senang memegang uang
tunai riil. Dalam gambar 2.1, terlihat permintaan akan uang tunai riil meningkat dari Md0
menjadi Md1. Kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah adalah meningkatkan biaya atas
aset atau dana yang dianggurkan, yang menempatkan pemilik dana sebagai penanggung
biaya peniduran uang. Diharapkan mereka akan menginvestasikan uang dan menurunkan
permintaan akan uang tunai riil kembali kepada Md0, yaitu ketika terjadi perpotongan
antara Md0 dengan Ms.
Gambar 2.1
Permintaan dan Penawaran Saldo Uang Riil dalam Ekonomi Islam
Teori permintaan uang pada hakikatnya merupakan teori tentang alokasi sumber-
sumber ekonomi yang bersifat terbatas. Seseorang yang memegang uang tunai
dihadapkan pada kemungkinan untung dan rugi. Keuntungannya, ia mendapatkan tingkat
likuiditas dan dapat membelanjakan uangnya, namun ia kehilangan peluang mendapatkan
21
Bab I Pendahuluan
nilai-lebih uang ( value added of money) karena uang tersebut tidak diinvestasikan untuk
kegiatan produktif. Memegang uang tunai juga akan terkena risiko menurunnya nilai riil
uang karena inflasi. (Adiwarman A Karim dan Sidiq Haryono, 2002)
2.1.1 Teori Permintaan Uang dalam Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, hanya dikenal dua motif permintaan akan uang, yaitu
motif transaksi dan motif berjaga-jaga. Karena dalam ekonomi Islam melarang tindakan
spekulasi, instrumen moneter tidak menggunakan variabel yang mengarah kepada motif
spekulasi . Penggunaan instrumen pengganti suku bunga dimaksudkan untuk mencapai
tujuan yang penting dan mendesak serta mendorong investasi yang produktif dan efisien.
Diskusi tentang pola dan penerapan manajemen moneter tidak terlepas dari
pemikiran untuk mempertemukan permintaan akan uang dengan penawaran akan uang
pada tingkat paling ideal. Kita tidak dapat mengasumsikan bahwa salah satu diantaranya
merupakan variabel eksogen namun harus melihat bagaimana kedua variabel ini
mencapai tingkat ekuilibrium dalam makroekonomi
Pemikiran dalam ekonomi islam dibagi dalam tiga mazhab yaitu mazhab
iqtishad, mainstream economic, dan mazhab alternatif. (Adiwarman A Karim dan Sidiq
Haryono, 2002)
2.1.2 Permintaan Uang Mazhab Iqtishaduna
Permintaan uang ditujukan hanya untuk memenuhi dua tujuan pokok, yaitu untuk
transaksi atau berjaga-jaga. Secara matematis diformulasikan dengan:
Permintaan uang untuk transaksi merupakan fungsi tingkat pendapatan seseorang.
Semakin tinggi tingkat pendapatan, prmintaan akan uang untuk memfalisitasi transaksi
barang dan jasa juga meningkat.
Fungsi permintaan akan uang untuk motif berjaga-jaga (meliputi juga permintaan akan
uang untuk investasi dan tabungan ) ditentukan oleh besar kecilnya harga barang
tangguh untuk pembelian barang tidak tunai.
Md = Md trans + Md prec
22
Pt/P0
Md2
Md1
Md
Bab I Pendahuluan
Setiap fungsi permintaan akan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga dapat
dituliskan sebagai berikut:
Md trans = f ( Y )
Md prec = f ( Y, Pt /Po ) ,
Pt / Po adalah rasio harga antara harga bayar tangguh (future price) dengan harga
bayar kini (present price) .
Dalam formula permintaan uang di bawah terlihat bahwa variabel bebas
pendapatan mempunyai koefisien yang positif dan harga bayar tangguh mempunyai
koefisien negatif.
Dalam gambar 2.2, permintaan uang memiliki kemiringan negatif, garis vertikal
mewakili nilai Pt / Po dan jumlah Md berada pada garis horizontal. Pergerakan sepanjang
kurva ( titik a ke titik b ) pada kurva Md1 dipengaruhi oleh perubahan-perubahan harga
pada Pt / Po, sedangkan pergeseran kurva dari Md1 ke Md2 diakibatkan oleh perubahan-
perubahan pada variabel eksogen, seperti peningkatan ekspor atau impor. (Adiwarman A
Karim dan Sidiq Haryono, 2002)
Gambar 2.2
Kurva Permintaan dalam Mazhab Iqtishaduna
2.1.3 Permintaan Uang Mazhab Mainstream
Md = f (Y+ , Pt /Po
− )
a
b
23
Bab I Pendahuluan
Strategi utama mazhab mainstream adalah pengenaan pajak terhadap aset
produktif yang menganggur (dues of iddle cash) dengan tujuan mengalokasikan sumber
dana pada kegiatan usaha produktif. Semakin tinggi pajak yang dikenakan terhadap aset
produktif yang dianggurkan, permintaan terhadap aset ini akan berkurang. Kebijakan ini
berdampak pada pola permintaan akan uang untuk motif berjaga-jaga.
Secara matematis, permintaan uang untuk mazhab kedua ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Md = Md trans + Mdprec
Mdtrans = f (Y)
Mdprec & trans = f (Y, μ)
Tingkat dues of iddle fund diwakili oleh nilai μ, Semakin tinggi nilai μ, semakin
kecil permintaan akan uang untuk motif berjaga-jaga karena biaya risiko untuk
membayar pajak terhadap uang tunai tersebut menjadi naik, apabila nilai μ relatif rendah,
tindakan memegang atau menyimpan uang tunai relatif tidak berisiko. Tinggi rendahnya
tingkat risiko menyimpan uang tunai ( Ω ) dipengaruhi oleh besarnya dues of iddle fund
( μ ) dikurangi risiko investasi ( Ψ ) .
Dalam persamaan di bawah ini kita dapat tuliskan bahwa variabel pendapatan (Y)
berbanding positif dengan banyaknya permintaan uang dan berbanding terbalik dengan
nilai pajak yang dikenakan terhadap aset atau kekayaan yang dianggurkan (μ).
Semakin tinggi nilai μ , velocity of money akan meningkat, hubungan ini dapat dilihat
pada gambar 2.3. Peningkatan ini mengurangi permintaan akan uang untuk berjaga-jaga
dan sekaligus meningkatkan permintaan uang untuk transaksi. Peningkatan jumlah uang
Ω = μ - Ψ
Md = f (Y+ , μ−
24
Bab I Pendahuluan
yang digunakan untuk transaksi dan investasi akan berdampak pada peningkatan
pendapatan nasional.
Gambar 2.3
Kurva Permintaan Uang Mazhab Mainstream
Gambar 2.3, menjelaskan hubungan kurva permintaan akan uang dengan tingkat μ, Y,
dan Ms dalam berbagai tingkatan. Permintaan akan uang untuk tansaksi dan berjaga-jaga
bervariasi sebagai kebalikan tingkat biaya atas uang menganggur (μ). Pada tingkat biaya
μ1, keseimbangan akan tercapai pada titik E1. Pada grafik di atas pergeseran motif untuk
berjaga-jaga direspons secara berlawanan oleh pergeseran motif untuk transaksi Md =
Md trans + Md prec. Bila Md tetap, kenaikan Md untuk berjaga-jaga akan berdampak pada
pengurangan Md untuk transaksi, sehingga kurva Md trans akan bergeser kekiri.
25
Bab I Pendahuluan
Pada tingkat pendapatan sekarang Y* dan biaya-biaya yang berlaku terdapat
kecenderungan untuk menahan uang, pemerintah akan meningkatkan pajak terhadap uang
yang ditahan itu menjadi μ2 sehingga keseimbangan antara Ms dan Md tetap terjaga.
Suatu hal yang penting dalam pengelolaan uang adalah kebijakan pemerintah
ketika terjadi ketidakseimbangan antara permintaan uang dengan penawaran uang ,
dengan memainkan peranan biaya atas uang yang menganggur, dan bukan dengan
menaikkan dan menurunkan jumlah uang beredar. (Adiwarman A Karim dan Sidiq
Haryono, 2002)
2.1.4 Permintaan Uang Mazhab Alternatif
Keberadaan uang pada hakikatnya adalah representasi volume transaksi yang ada
dalam sektor riil. Permintaan uang dalam mazhab ini erat kaitannya dengan konsep
endogenous uang dalam Islam. Teori ini menjembatani pertumbuhan uang di sektor
moneter dan pertumbuhan nilai tambah uang di sektor riil.
Permintaan uang adalah representasi keseluruhan kebutuhan transaksi dalam
sektor riil (M.A Choudhury, 1997). Semakin tinggi kapasitas dan volume sektor riil,
semakin meningkat permintaan akan uang. Variabel yang mempengaruhi permintaan
permintaan akan uang adalah variabel sosio-ekonomi (X), kebijakan pemerintah dalam
regulasi ekonomi (Y), dan informasi objektif masyarakat akan kondisi riil perekonomian.
Tidak seperti teori exogenous uang dalam literatur konvensional, mazhab
alternatif berpendapat, permintaan akan uang dan penawaran akan uang dipengaruhi oleh
besarnya pembagian keuntungan (profit sharing) atau tingkat kentungan yang diharapkan
(expected rate of profit). Tinggi rendahnya expected rate of profit merupakan representasi
prospek pertumbuhan aktual ekonomi.
Secara matematis M.A Choudhury (1997), memformulasikan permintaan akan
uang sebagai berikut:
Ms( π , y , p , S , R , X ,Y )(θ )=∑b=1
N
Mdb (rb , y , p , S , X ,Y )(θ )
Ms=∑b=1
N
Md b=∑b=1
N
Ms=∑j=1
m
∑b=1
N
Mdbj=Md
26
Bab I Pendahuluan
b=1,2,3 , .. . ,N
Md=f (r b+, y+, p
¿, S+, X
+,Y+)(θ)
Ket:
Ms = Penawaran uang
Л = Tingkat keuntungan yang diharapkan
p = Tingkat harga atau inflasi
S = Total pengeluaran nasional
R = Reserve requirement
X = Variabel sosio ekonomi
Y = Kebijakan pemerintah dalam regulasi ekonomi
Θ = Pengetahuan masyarakat akan kondisi objektif tiap-tiap variabel
Md = Permintaan uang
b = Lembaga keuangan
rb = Rasio profit sharing
y = Pendapatan riil
Formula diatas memperlihatkan hubungan antara variabel-variabel yang ada
terhadap permintaan uang dan penawaran uang. Variabel bebas y, pendapatan riil yang
dimiliki oleh seorang individu akan berhubungan secara positif dengan banyaknya
permintaan akan uang. Variabel p, inflasi memiliki hubungan yang berbanding terbalik
dengan banyaknya permintaan akan uang. Variabel pengeluaran nasional S, berhubungan
secara positif dengan permintaan akan uang sedangkan X, dan Y adalah variabel untuk
sosio-ekonomi dan kebijakan pemerintah. θ adalah induced-knowledge , pengetahuan
masyarakat akan kondisi objektif tiap-tiap variabel, kualitas pengetahuan ini juga akan
berpengaruh terhadap besaran permintaan akan uang yang diinginkan oleh seorang
pelaku ekonomi.
27
Bab I Pendahuluan
2.2 Teori Penawaran Uang
Jika money demand akan dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat dan
pembangunan, diharapkan money demand akan stabil. Selanjutnya, perlu diperhatikan
bagaimana mengiring aggregate money supply bertemu dengan money demand sehingga
terjadi equilibrium. Hal ini penting untuk diperhatikan karena dua instrumen utama dalam
manajemen moneter sistem kapitalis, yaitu discount rate dan operasi pasar terbuka yang
mengandung suku bunga tidak dapat dipakai dalam ekonomi Islam. Selanjutnya, yang
perlu juga diperhatikan adalah bagaimana mengalokasikan money supply sehingga
pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dapat berlangsung dengan baik.
Agar pertumbuhan money supply mencapai target, diperlukan instrumen-
instrumen yang digunakan oleh bank sentral untuk menciptakan keselarasan antara
pertumbuhan money supply yang ditargetkan dan yang aktual terjadi. Oleh karena
dekatnya hubungan antara pertumbuhan kredit dengan pertumbuhan M0 atau
highpowered money, maka bank sentral berkewajiban untuk mengatur dengan ketat
pertumbuhan M0.
Terdapat tiga sumber utama dari high-powered money, yaitu:
1. Pinjaman pemerintah kepada bank sentral.
2. Kredit bank sentral kepada bank komersial.
3. Surplus neraca pembayaran.
Setelah perang dunia kedua, sumber pertama merupakan yang terbesar bagi high-
powered money karena besarnya defisit anggaran pemerintah. Berlebihnya defisit pada
anggaran pemerintah mengakibatkan beban yang sangat berat bagi sektor moneter untuk
menjaga stabilitas serta kebijakan moneter yang sehat sangat sulit diciptakan. Ekspansi
moneter hanya dapat dikontrol bila sumber utama dari high-powered money dapat diatur
dengan baik. Merupakan suatu hal yang tidak realistik bagi negara Islam membicarakan
meng-Islamkan perekonomiannya tanpa ada usaha serius untuk mengatur defisit
anggaran pemerintah yang sesuai dengan azas manfaat.
Selanjutnya, dimungkinkan bagi bank sentral untuk mengendalikan penyaluran
kredit kepada bank-bank komersial. Penerapan profit-and-loss sharing yang
menggantikan suku bunga akan lebih dapat meningkatkan kemampuan bank sentral untuk
28
Bab I Pendahuluan
mengendalikan penyaluran pinjaman tersebut. Penyaluran pinjaman oleh bank sentral
kepada bank komersial bisa dalam bentuk mudarabah (bagi hasil), yang berarti bank
sentral harus lebih berhati-hati dalam menyalurkan pinjaman kepada bank komersial.
Dilain pihak, bank komersial juga harus lebih ber-hati-hati dalam menyalurkan kredit
kepada debiturnya baik sektor pemerintah maupun swasta, guna menghindari
pemanfaatan kredit pada kegiatan-kegiatan spekulasi dan non-produktif. Oleh karena itu,
manajemen perbankan yang konservatif sangat diperlukan, namun tetap menjaga
momentum pertumbuhan ekonomi. Untuk pengendalian surplus neraca pembayaran,
dapat dilakukan dengan melakukan sterilisasi. Sterilisasi dapat dilaksanakan dengan
menggunakan instrument moneter yang tersedia pada suatu negara. (Adiwarman A Karim
dan Sidiq Haryono, 2002)
2.3 Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia
Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 10 tahun 1998 perbankan dapat berusaha
berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 Bank
Indonesia dapat melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah.
Berdasarkan UU tersebut, perbankan di Indonesia mulai beralih dari sistem
konvensional menjadi dual banking system yang mengakomodir baik sistem perbankan
konvensional maupun sistem perbankan syariah yang tidak menggunakan suku bunga
dalam bertransaksi. Namun dalam UU No. 10 tahun 1998 belum secara jelas
memperlihatkan bagaimana operasi perbankan syariah yang seharusnya, padahal sistem
perbankan syariah dan konvensional sangat berbeda. Maka untuk menunjang
berlangsungnya dual banking system dengan dasar hukum yang lebih kuat, perlu
dipikirkan adanya undang-undang perbankan syariah tersendiri.
Bank Indonesia dapat mengimplementasikan manajemen moneter tanpa
menggunakan suku bunga. Sesuai dengan amanah UU No. 23 tahun 1999, Bank
Indonesia telah mengeluarkan kebijakan mengenai Pasar Uang Antarbank Berdasarkan
Prinsip Syariah (PUAS) dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Kebijakan PUAS
mengatur bank umum syariah maupun konvensional dapat berinvestasi jangka pendek
pada bank umum syariah yang membutuhkan likuiditas dengan menggunakan prinsip
29
Bab I Pendahuluan
mudharabah atau bagi hasil. Sedangkan dengan SWBI memungkinkan bagi Bank
Indonesia mempengaruhi likuiditas perekonomian melalui bank umum syariah maupun
konvensional dengan menggunakan prinsip wadiah atau penitipan.
Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 memungkinkan bagi Bank Indonesia untuk
menerapkan statutory reserves terhadap perbankan syariah dan hal ini telah berlangsung
dengan adanya kebijakan Giro Wajib Minimum bagi bank umum syariah. Walaupun
disadari penentuan Giro Wajib Minimum yang harus dipelihara perbankan syariah masih
berdasarkan seluruh dana pihak ketiga termasuk deposito mudharabah.
Selanjutnya sesuai dengan UU tersebut memungkinkan bagi Bank Indonesia
menerapkan pagu kredit (credit ceilings) kepada bank umum syariah sehingga
pertumbuhan penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah dapat sejalan dengan target
moneter. Namun mengingat peran perbankan syariah dalam mempengaruhi likuiditas
perekonomian saat ini masih kecil dan perbankan syariah masih mengalami kelebihan
likuiditas karena masih kesulitan dalam menyalurkan pembiayaan, maka kebijakan
tersebut belum diperlukan.
Sebagai pemegang kas pemerintah tidak memungkinkan bagi Bank Indonesia
memindahkan demand deposits pemerintah yang ada pada bank sentral ke dan dari bank
umum. Hal ini hanya dapat terlaksana bila pemerintah mendelegasikan wewenang
tersebut kepada Bank Indonesia sehingga operasi pasar terbuka yang secara tidak
langsung mempengaruhi reserves perbankan dapat digantikan dengan wewenang Bank
Indonesia memindahkan deposit pemerintah yang ada pada bank sentral ke dan dari bank
umum sehingga dapat secara langsung mempengaruhi reserves perbankan syariah
maupun konvensional.
Berdasarkan UU No. 10 tahun 1998, perbankan syariah dapat saja bekerja sama
untuk membentuk pooling funds yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah, guna
mengatasi kesulitan likuiditas yang terjadi. Kebijakan pooling funds memiliki kelemahan,
yaitu umumnya yang memanfaatkan hanya bank-bank yang tidak baik performance-nya.
Oleh karena itu penyelenggaraan pooling funds perlu diatur dengan ketat guna
menghindari moral hazard dari peserta. Selanjutnya pooling funds belum diperlukan
karena perbankan syariah yang mengalami kesulitan likuiditas saat ini dapat
memanfaatkan keberadaan PUAS.
30
Bab I Pendahuluan
Bank Indonesia telah melakukan moral suasion kepada perbankan syariah melalui
berbagai kegiatan sosialisasi dan training/seminar mengenai perbankan syariah.
Sosialisasi perbankan syariah kepada masyarakat dilaksanakan Bank Indonesia bekerja
sama dengan perbankan syariah, melalui kegiatan sosialisasi ini tercipta komunikasi yang
baik antara Bank Indonesia dengan perbankan syariah.
Menurut UU No. 23 tahun 1999 tidak memungkinkan bagi Bank Indonesia
menyisihkan dana untuk secara langsung maupun tidak langsung membiayai proyek-
proyek yang berlangsung di sektor riil. Namun skim dan lembaga penjaminan yang
menghubungkan sektor riil dan sektor keuangan perlu dipertimbangkan keberadaannya
guna melengkapi sistem perbankan tanpa suku bunga. Adanya lembaga ini dapat
menghindari kesalahan dalam mengalokasikan dana sehingga hanya yang memiliki
peluang investasi terbaiklah yang akan dapat memanfaatkan dana. Dengan adanya
perbankan yang menyediakan pembiayaan yang berdasarkan profit-and-loss sharing yang
dilengkapi dengan skim dan lembaga penjaminan tersebut, usaha kecil akan memiliki
kontribusi yang maksimal dalam kegiatan sektor riil.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia, maka bank dengan dual banking system
mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Kantor Cabang Syariah.
Kantor cabang bank umum konvensional yang telah diberi ijin usaha melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah harus mencantumkan kata “ Kantor Cabang
Syariah “ pada setiap penulisan nama kantornya.
2. Unit Usaha Syariah
Kantor-kantor cabang dari bank umum konvensional pada dasarnya merupakan
unit yang mempunyai karakteristik kegiatan usaha yang berbeda, serta mempunyai
pencatatan pembukuan yang terpisah dari kantor-kantor operasionalnya. Oleh karena itu
bank umum dengan dual banking system juga diwajibkan membentuk Unit Usaha
Syariah (UUS) yang berfungsi sebagai kantor- kantor induk bagi seluruh kantor cabang
syariah. Unit tersebut berada di Kantor Pusat Bank dan dipimpin oleh seorang anggota
direksi atau pejabat satu tingkat dibawah direksi.
Secara umum tugas UUS mencakup:
Mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan kantor cabang syariah.
31
Bab I Pendahuluan
Melaksanakan fungsi treasury dalam rangka pengelolaan dan penempatan
dana yang bersumber dari kantor-kantor cabang syariah.
Menyusun laporan keuangan konsolidasi dari seluruh kantor-kantor
cabang syariah.
Melaksanakan tugas penata-usahaan laporan keungan kantor-kantor
cabang syariah .
3. Modal Kantor Cabang Syariah
Bagi bank umum konvensional yang membuka cabang syariah wajib
menyediakan modal kerja untuk setiap kantor. Modal tersebut harus disisihkan oleh bank
dalam suatu rekening tersendiri atas nama pimpinan unit usaha syariah. Penyisihan modal
tersebut dimaksudkan agar dana yang dikelola oleh kantor cabang syariah tidak
tercampur dengan dana kantor induk yang beroperasi scara konvensional
4. Rekening Giro pada Bank Indonesia
Bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah wajib memelihara dua
rekening giro rupiah, masing-msing satu rekening untuk kantor pusat bank dan satu
rekening untuk UUS. Bagi bank konvensional berstatus devisa dan memiliki UUS, maka
selain diwajibkan memelihara dua rekening giro dalam rupiah tersebut , wajib pula
memelihara dua rekening giro dalam valuta asing di Kantor Pusat Bank Indonesia. Kedua
rekening giro valuta asing tersebut masing-masing satu rekening untuk kantor pusat bank
dan satu rekening untuk UUS.
Kebijakan pokok yang melandasi system operasioanal dual banking system
adalah:
1. Bahwa kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah berbeda sama sekali dengan
kegiatan usaha secara konvensional. Oleh karena itu kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah hanya diselenggarakan secara terpisah dari unit / kantor cabang
lainnya.
2. Bank syariah atau unit/cabang syariah atau unit/kantor cabang syariah hanya
boleh menginvestasikan dananya pada bank syariah atau unit/kantor cabang
syariah . Sedangkan bank/unit usaha konvensional diperkenankan
menginvestasikan dana nya pada bank syariah atau unit/syariah. Bank/unit usaha
konvensional tidak diperkenankan mengelola dana-dana yang berasal dari bank
32
RUPS/ Rapat Anggota
Dewa Komisaris Dewan Pengawas Syariah
DireksiDewan Audit
Divisi / Urusan Divisi/ Urusan Divisi/ Unit Usaha SyariahDivisi/ Urusan
Kantor Cabang KonvensionalKantor Cabang KonvensionalKantor Cabang SyariahKantor Cabang Syariah
Bab I Pendahuluan
syariah atau unit/kantor cabang syariah (M. Syafe’i. Antonio, Bank Syariah, Dari
teori ke praktik, Gema Insan Press,2001)
Gambar 2.4 :
Bagan Organisasi Bank dengan Dual Banking System
2.4 Konsep Uang Beredar
2.4.1 Mazhab Iqtishaduna
Pandangan utama mazhab ini adalah jumlah uang beredar elastis sempurna
dengan asumsi pemerintah sebagai pemegang otoritas moneter tidak mampu
mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Pada gambar 2.5, terlihat bahwa fungsi
penawaran akan uang berbentuk elastis sempurna (perfect elastis). Banyak sedikitnya Ms
yang beredar tidak berdampak dan berpengaruh terhadap rasio harga tangguh terhadap
harga tunai (Pt/Po), karena dengan perdagangan yang bebas dan tidak adanya bea cukai,
nilai uang yang keluar dan masuk selalu diseimbangkan dengan nilai ekonomi barang
yang diperdagangkan. Elastisitas sempurna Ms ini didukung oleh kesamaan nilai uang
dengan nilai intrinsiknya serta tidak adanya institusi tertentu yang melakukan pencetakan
dan pengontrolan uang. (Adiwarman Karim(2002), hal.162).
33
Pt/P0
Ms
Ms
Bab I Pendahuluan
Gambar 2.5
Elastisitas kurva penawaran uang menurut mazhab Iqtishaduna
Mazhab ini menerangkan beberapa kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah
untuk menciptakan pasar persaingan sempurna. Kebijakan pertama adalah mengenakan
sejumlah pajak terhadap barang atau uang, menentukan harga pasar atau price
intervention, yang bertujuan untuk mencegah adanya praktek penimbunan barang,
kedua, pelarangan membeli barang dari pedagang yang belum memasuki pasar,
disebabkan karena ketidaksempurnaan informasi terhadap harga pasar bagi pedagang
yang belum memasuki pasar. Kebijakan-kebijakan ini dilatarbelakangi oleh kehidupan
perekonomian pada masa Nabi Muhammad SAW.
Untuk menjelaskan bagaimana keseimbangan antara pasar barang dengan pasar uang
pada masa tersebut ,dijelaskan pada gambar 2.6 di bawah ini,
Gambar 2.6
Keseimbangan antara pasar uang dengan pasar barang
34
Bab I Pendahuluan
Gambar 2.6 (a) Pasar barang
(b) Pasar uang
Keseimbangan awal pasar barang berada pada titik e2, yaitu titik perpotongan antara
kurva AD2 dan AS. Pada e2 ini tingkat pendapatan adalah Y2 dengan tingkat harga P2.
Ketika ada tambahan ekspor barang (tambahan impor uang), aggregate demand dalam
negeri naik. Peningkatan aggregate demand ini dipicu oleh peningkatan pendapatan
dalam negeri. Kenaikan aggregate demand digambarkan oleh pergerakan kurva AD2 ke
AD3, sehingga keseimbangan di pasar barang yang baru terletak di titik e3, meningkatnya
harga dari P2 ke P3 disebabkan oleh meningkatnya permintaan terhadap barang,
sedangkan jumlah barang-barang yang ditawarkan tidak berubah.
Pada pasar uang, naiknya jumlah pendapatan mengakibatkan meningkatnya
permintaan akan uang. Dengan demikian, titik keseimbangan di pasar uang bergeser dari
35
μ
Ms2 Ms1
Ms
Bab I Pendahuluan
e2 ke e3, ketika jumlah uang beredar bertambah dari M2 ke M3. Pergeseran tersebut dapat
dilihat melalui surplus ekspor barang yang berdampak pada peningkatan capital inflow.
Mazhab Mainstream
Menurut mazhab ini, penawaran uang dalam Islam sepenuhnya dikontrol oleh
negara sebagai pemegang monopoli penerbitan uang yang sah. Diasumsikan penawaran
uang sepenuhnya dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral sehingga pada gambar 2.7,
terlihat Ms bersifat perfect inelastic. Akibatnya, penawaran uang terbebas dari pengaruh
tinggi rendahnya kebijakan biaya atas aset yang menganggur (μ ). Otoritas moneter
menetapkan jumlah uang beredar berdasarkan proporsi tingkat pendapatan atau nilai
transaksi, yaitu:
Ms = f (μ ) dan Ms = β Y ; β > 0
Gambar 2.7
Inelastis Sempurna kurva penawaran dari mazhab mainstream
Bentuk kurva Ms adalah tegak lurus dengan garis horizontal Ms, artinya
pergerakan Ms1 dari dan ke Ms2 tidak dipengaruhi oleh pergerakan nilai μ , melainkan
36
Bab I Pendahuluan
oleh variabel eksogen di luar sistem ini, yaitu bank sentral sebagai otoritas moneter.
Pergerakan μ hanya akan berdampak pada pergerakan di sepanjang kurva Ms.
Suatu kondisi yang penting diciptakan bagi terwujudnya keseimbangan uang
adalah seimbangnya persediaan uang dengan penawaran uang , Ms = Md
Apabila terdapat kelebihan permintaan akan uang, cara yang digunakan untuk
mengembalikan pada tingkat yang stabil adalah menaikkan biaya atas uang yang
menganggur (μ ). Secara matematis kita dapat menuliskan bagaimana keseimbangan
yang terjadi dengan tingkat pendapatan (Y) dan biaya atas aset yang menganggur (μ 0 ).
Md0 (Y0 / μ 0 ) > Ms0 = α Y0
Sehubungan dengan adanya kelebihan permintaan akan uang sedangkan banyak
uang yang mengangur, pemerintah menaikkan biaya atas aset yang menganggur menjadi
μ1, sehingga persamaan matematikanya menjadi:
Md0 (Y0 / μ 1 ) > Ms0 = α Y0
Kebijakan menaikkan biaya atas aset yang menganggur ini berdampak pada
naiknya permintaan uang untuk investasi dan konsumsi, yang dapat menaikkan
pendapatan. Tingkat pendapatan yang baru akan mendorong kurva permintaan ke kanan,
sehingga tingkat keseimbangan yang baru :
Md1 (Y1 / μ 1 ) > Ms1 = α Y1
Keterkaitan antara permintaan uang, penawaran uang dan biaya atas aset
produktif yang mengangur terlihat pada gambar 2.8 berikut:
Gambar 2.8
Hubungan penawaran uang, permintaan uang, dan biaya atas uang kas dalam
mazhab Mainstream
Md2 MS
E2
μ
μ 2
μ 1
Md1
37
Bab I Pendahuluan
E1
M1 M2
Kurva penawaran berbentuk perfect inelastis menunjukkan pasar tidak mampu
mempengaruhi penawaran akan uang karena adanya kebijakan otoritas moneter yaitu
bank sentral. Pada tingkat biaya μ 1 tingkat keseimbangan berada pada E1. Apabila pada
tingkat biaya μ 1 permintaan akan uang melebihi kurva penawaran akan barang (misalnya
kurva Md2), pemerintah berusaha mengalihkan uang tunai milik masyarakat kepada
transaksi di pasar, baik untuk konsumsi maupun investasi, dengan cara meningkatkan
biaya menjadi μ 2 . Hal ini akan mendorong kurva permintaan bergeser ke atas (Md2)
karena adanya peningkatan velocity of money dan pendapatan. Kenaikan μ 2
menyebabkan terjadinya pergerakan di sepanjang kurva Md2 sehingga mencapai
keseimbangan baru di titik E2 . Keseimbangan akan bergeser ke E2 sebagai konsekuensi
perpotongan kuva Md2 dengan Ms. (Adiwarman Kari,2002.162)
2.4.3 Mazhab Alternatif
Keberadaan uang pada dasarnya terintegrasi dalam sistem sosial ekonomi sosial
yang berlaku. Artinya, nilai (value) dan jumlah uang bukan variabel yang berdiri sendiri.
Terintegrasinya uang dalam sebuah sistem yang kompleks menjadikan uang tidak
independent atau bukan variabel yang exogenous., mazhab ini berpendapat, jumlah uang
beredar lebih ditentukan oleh actual spending demand dalam transaksi di pasar barang
dan jasa.
Asumsi yang digunakan dalam konsep ini sebagai berikut:
1. Telah terjadi globalisasi perekonomian sehingga bank sentral tidak mampu lagi
mengontrol secara penuh jumlah uang beredar. Fund Manager adalah pihak diluar
bank
sentral yang mempunyai pengaruh cukup signifikan dalam mempengaruhi level
stock uang di pasar.
M
38
M
Ms
Bab I Pendahuluan
2. Perekonomian mengarah kepada tahap Islamisasi sistem keuangan, dengan
dihapuskannya suku bunga dan digunakan expected rate of profit.
Gambar 2.9
Elastisitas kurva Ms sebagai teori endogenous uang dalam islam
ρ
Ms menyatakan jumlah uang beredar, ρ mewakili expected rate of profit atau
profit sharing rate . Dalam teori exogenous uang, suku bunga berperan dalam
mempertemukan fungsi permintaan uang dan penawaran uang. Dalam teori endogenous
uang, instrumen yang digunakan untuk mempertemukan kedua fungsi tersebut adalah
variabel yang mampu merefleksikan kondisi riil sebuah perekonomian . Variabel tersebut
adalah tingkat keuntungan rata-rata semua
Investasi mudharabah atau musharakah. Keseimbangan antara pertumbuhan volume uang
dengan pertumbuhan volume perekonomian di sektor riil menjadi sumber inspirasi teori
endogenous uang.
Pada gambar 2.9, kurva Ms berbentuk elastis, dalam hal ini menunjukkan bahwa
bank sentral sebagai pemegang otoritas tidak mampu mengendalikan volume uang
beredar . Ms dipengaruhi oleh ρ . Semakin tinggi ρ (tingkat keuntungan dalam investasi
syariah).
Kesimpulannya, pergerakan penawaran akan uang merupakan derivasi kondisi riil
perekonomian itu sendiri, bukannya fungsi suku bunga yang keberadaannya
39
1
Ms
Md1
Md2
M1 M2
Bab I Pendahuluan
ditentukan di luar sistem. Teori endogenous bertujuan menjaga keseimbangan antara
pertumbuhan sektor riil dengan sektor moneter sehingga nilai instrinsik uang dapat
dijaga.
Gambar 2.10
Keseimbangan expected rate of profit dengan uang beredar dalam sistem keuangan
Islam
E2
E1
Keterangan
π adalah tingkat keuntungan dan M adalah stock uang yang ditawarkan dalam
sistem keuangan syariah, yang merupakan fungsi Φ . Pergerakan kurva permintaan untuk
sistem keuangan mudharabah dipengaruhi oleh tinggi rendahnya ekspektasi terhadap
tingkat keuntungan. M1 adalah banyaknya uang yang ditawarkan untuk memenuhi
transaksi mudharabah. M0 adalah jumlah uang yang disediakan lebih sedikit dari
kebutuhan.
Jika terjadi perubahan teknologi dalam proyek mudharabah, maka akan terjadi
penarikan dana di luar proyek
M⟨Φ⟩M0
40
E1 E2
E
E3 E4
Ms
Md
M
Bab I Pendahuluan
mudharabah ini, yang mempunyai pengaruh bertambahnya stock uang menjadi M2 dan
keseimbangan bergeser dari E1 ke E2. Pergeseran E1 ke E2 merupakan fungsi nilai Φ ,
dengan Φ adalah objektifitas pengetahuan masyarakat terhadap perubahan teknologi.
Dalam teori endogenous uang, Ms hanyalah representasi total permintaan akan
uang, sementara dalam formula permintaan uang menurut mazhab ini Md adalah fungsi
adalah fungsi rb, y, p, S, X, Y dan θ . Dengan demikian, dari sisi penawaran akan uang
Md adalah fungsi dari:
Ms ( π+, y+S+, R−, X
+ ) ( θ )
Dari formulasi diatas terlihat bahwa hanya variabel R yang mempunyai hubungan negatif
dengan Ms. Semakin tinggi R, semakin meningkat dana pihak ketiga yang harus
disimpan bank umum sehingga penawaran uang di pasar akan turun.
Dalam konsep endogenous uang, Md akan menentukan level Ms dan keduanya
sama-sama bergerak menuju tingkat keseimbangan keseimbangan dalam pembentukan
market clearing. Gambar 2.11, menunjukkan ketika expected rate of profit atau biaya
opportunity uang tunai berada pada level π 1, maka Md berada pada titik E1 dan Ms
berada pada titik E2. Adanya kesenjangan antara permintaan akan uang dan penawaran
akan uang mendorong kedua variabel bergerak sepanjang kurva bersama-sama menuju
titik ekuilibrium E. Begitu pula sebaliknya, apabila nilai π terlalu rendah, yaitu π 2 <
π *, Md akan lebih besar daripada Ms. Kesenjangan ini dieliminir dengan pergerakan
sepanjang kurva dari Md dan Ms menuju titik keseimbangan E.
Gambar 2.11
Pergerakan keseimbangan moneter dalam teori endogenous uang
41
Bab I Pendahuluan
2.5 Penelitian – Penelitian Empiris
2.5.1 Penelitian Ahmad Kaleem
Penelitian Ahmad Kaleem (University of Malaysia, 2000) yang berjudul :
Modeling Monetary Stability Under Dual Banking System : The Case of Malaysia,
mempuyai tujuan utama melakukan pengujian secara empiris tentang kebenaran dari
hipotesis bahwa instrumen-instrumen moneter islam sama stabilnya dengan instrumen
moneter berbasiskan bunga, pada kasus dual banking system.
Dalam penelitian ini, Kaleem mengkonsentrasikan pada tiga masalah utama.
Pertama, mengembangkan dan mendefinisikan instrumen-instrumen moneter islam pada
kasus dual banking system di Malaysia. Kedua, mengevaluasi permintaan terhadap
instrumen-instrumen ini dan yang terakhir membandingkan secara empiris degan
menggunakan metodologi Darrat (1988) kebenaran dan efektivitas dari instrumen-
instrumen islami dan yang berbasiskan bunga untuk tujuan-tujuan kebijakan.
Pada penelitian ini , mempunyai periode observasi dari Januari 1994 sampai
dengan Desember 1999 dengan periode bulanan, dengan masuknya periode krisis
keuangan di Malaysia, maka dimasukkan variabel dummy pada model regresi dengan
tujuan membuktikan pendapat ahli-ahli ekonomi Islam bahwa perbankan Islam lebih
stabil selama krisis .
Masalah pertama pada penelitian ini adalah menguji secara empiris stabilitas dari
instrumen keuangan dan kredit islam, persamaan ini menggunakan prosedur Koyck
seperti disarankan
oleh Darrat (1988).
Tabel 2.1
Hasil regresi permintaan untuk instrumen-instrumen keuangan dan kredit
Konvensional
X Y M1 / P M 2 / P Credit / P
Dummy 97 -0.037 (-2.05) -0.012 (-1.24) -0.012 (-182)
Log GDP 0.081 (2.294) 0.031 (1.92) -0.015 (-0.95)
Log Inf 0.289 (2.508) 0.321 (1.77) -0.141 (-101)
42
Bab I Pendahuluan
Log M1/ P 0.289 (14.76)
Log M2/ P 0.913 (18.507)
Log credit/ P 1.01 (37.35)
C -1.06 (-2.08) -1215 (-2.79) 0.726 (1.487)
Adj R2 0.789 0.843 0.988
Durbin h 0.88 0.70 0.63
Catatan : t-stat dalam tanda kurung
Secara keseluruhan, hasil dari model pada penelitian ini cukup memuaskan dan
menjelaskan sedikitnya 79 persen dari observasi yang tersedia. Variabel dummy untuk
krisis signifikan untuk (M1/P) dan (Credit/P), sementara inflasi menghasilkan tanda yang
benar dan signifikan hanya untuk (M1/P) dan (M2/P).
Tabel 2.2
Hasil regresi permintaan untuk instrumen-instrumen
Keuangan dan kredit islam
X Y M1 / P M 2 / P Credit / P
Dummy 97 -0.045 (-2.74) -0.012 (-1.18) -0.019 (-1.82)
Log GDP -0.017 (-0.41) -0.018 (-0.35) 1.089 (0.675)
Log Inf 0.396 (2.537) 0.573(2.59) 0.129 (0.115)
Log M1/ P (t-1) 0.811 (11.49)
Log M2/ P (t-1) 0.05 (11.63)
Log credit/ P (t-1) 0.979 (27.118)
C -0.69 (1.9) -15.0 (1.9) -1.06 (0.1)
Adj R2 0.662 0.921 0.947
Durbin h 0.47 0.6 1.04
Variabel dummy untuk krisis dan inflasi menunjukkan hasil yang hampir sama
seprti instrumen-instrumen keuangan konvensional, kedua regresi ini menunjukkan hasil
yang relatif sama terhadap permintaan instrumen-instrumen moneter baik konvensional
maupun Islam, penelitian ini menolak pendapat Khan (1985) mengenai lebih stabilnya
instrumen moneter Islam terhadap konvensional
43
Bab I Pendahuluan
Penelitian ini mengacu pada penelitian Darrat (1988) yang mengajukan dua
prasyarat yang dapat digunakan untuk meneliti penampilan dari kedua instrumen
keuangan islam dan konvensional. Pertama adalah kontrol efektif dari otoritas moneter
terhadap instrumen diatas tersebut. Kedua adalah hubungan yang kuat antara instrumen
keuangan dan tujuan utama kebijakan moneter dari otoritas moneter, jika hubungan
tersebut lemah meskipun instrumen tersebut dapat dikontrol tetapi tidak dapat digunakan
untuk tujuan kebijakan.
Seperti dijelaskan oleh Karim (1996), instrumen-instrumen keuangan Islam
mempunyai resiko yang berbeda dari instrumen konvensional. Maka dari itu persentasi
yang sama dari reserve requirement tidak dapat dipaksakan terhadap instrumen tersebut.
Tabel 2.3
Hasil regresi untuk pengujian kemampuan kontrol
Otoritas Moneter
X
Y
GMB GMB
(ISL)
C R2 D.W
GM1 0.123
(1.508)
0.005
(1.373)0.032 2.31
GM2 0.098
(2.44)
0.011
(5.968)0..079 2.16
GM1 (ISL) 0.105
(2.92)
0.001
(0.324)0.111 2.02
GM2 (ISL) 0.168
(5.971)
0.003
(0.963)0.341 2.03
Catatan: t-statistik di dalam tanda kurung
Hasil regresi diatas menunjukkan bahwa otoritas moneter secara signifikan
mempunyai tingkat kontrol yang tinggi terhadap M1 (ISL) daripada M1, ditunjukkan oleh
t-statistik GMB yang bergerak dari 1.508 sampai 2.92 untuk GMB (ISL) . Hasil yang
sama terdapat pada tingkat kontrol yang tinggi terhadap M2 (ISL) ditunjukkan oleh
koefisiennya 0.168 dibandingkan dengan M2 yang koefisiennya 0.098. Secara
keseluruhan hasil dari regresi diatas memperkuat hipotesis dari penelitian ini yang
44
Bab I Pendahuluan
menunjukkan tingkat kontrol yang tinggi pada instrumen-instrumen moneter Islam
dibandingkan instrumen moneter konvensional.
Teori ketersediaan kredit menganjurkan bahwa rasio likuiditas dapat digunakan
sebagai instrumen moneter untuk mengontrol pertumbuhan kredit. Menurut pandangan
ini, investasi swasta berespon terhadap setiap perubahan dalam ketersediaan kredit, setiap
peningkatan dalam rasio likuiditas dapat menurunkan penawaran kredit dan karena itu
memperkecil permintaan total.
Menurut Karim dan Abdullah (1995) kebanyakan dari pembiayaan perbankan
Islam terdiri dari instrumen berbasiskan Murabaha dan hampir semua penjualan melalui
instrumen ini berhubungan langsung dengan sektor swasta, diamana hal tersebut
mempunyai 100% resiko menurut perjanjian Basle. Banyak pendapat mengatakan bahwa
instrumen kredit Islam berbeda secara alami , maka dari itu persentase syarat likuiditas
yang disarankan oleh perjanjian Basle hanya akan meningkatkan keseluruhan cost of
capital-nya.
Tabel 2.4
Hasil regresi untuk instrumen kredit
Pada
hasil regresi
ini,
koefisien CREDIT(ISL) adalah 0.943 dan signifikan ketika LIQUID(ISL) digunakan
sebagai dependent variable. Dengan membandingkan ukuran koefisien dari kedua
instrumen, 0.076 dan 0.943 dan t- statistik nya, bisa disimpulkan bahwa instrumen kredit
Islam berada dibawah tingkat kontrol yang tinggi oleh Otoritas Moneter, yang juga
membuktikan hipotesis dari penelitian ini bahwa rasio CAR (capital adequacy ratio) yang
ada saat ini tidak dapat diaplikasikan pada instrumen kredit Islam, ini berarti bahwa
Otoritas Moneter harus mendefinisikan program penyesuaian atau menggunakan syarat
likuiditas yang berbeda untuk perbankan Islam.
45
X
Y
LIQUID LIQUID
(ISL)C R2 D.W
CREDIT0.076
(2.547)
0.0128
(4.651)0.264 2.18
CREDIT(ISL)0.943
(14.07)
0.011
(1.264)0.781 1.98
Bab I Pendahuluan
Tabel 2.5
Hasil regresi untuk instrumen-instrumen keuangan dalam mencapai tujuan
Otoritas Moneter
INFLATION M1 M2 M1(ISL) M2(ISL)
t -0.007
(-1.92)
0.004
(0.332)
-0.011
(-1.72)
-0.019
(-1.832)
t-1 -0.007
(-0.989)
-0.003
(-0.18)
0.004
(0.494)
0.005
(0.967)
t-2 -0.009
(-1.199)
-0.006
(-0.530)
0.004
(0.594)
0.008
(1.007)
C 0.004
(8.472)
0.004
(5.589)
0.003
(7.446)
0.004
(7.482)
R2 0.477 0.491 0.506 0.515
D.W 2.01 2.01 2.00 2.04
Catatan: t-statistik di dalam tanda kurung
Regresi diatas menunjukkan hasil yang hampir sama antara instrumen-instrumen
keuangan Islam dan konvensional dalam hubungannya dengan inflasi, yang ditunjukkan
oleh R2 sebesar 0.477 untuk M1, 0.506 untuk M1 (ISL) dan R2 sebesar 0.491 untuk M2,
0.515 untuk M2 (ISL), hasil-hasil ini mengindikasikan hampir samanya hubungan yang
dapat diandalkan antara instrumen-instrumen keuangan Islam dan konvensional dengan
tujuan Otoritas Moneter dalam hal ini inflasi. (Ahmad Kaleem, “ Modeling Monetary
Stability under Dual Banking System,2000)
Penelitian Mahmood Yousefi dan Sohrab Abizadeh (1996)
Penelitian yang berjudul Monetary Stability and Interest-free Banking dengan
periode penelitian 1962-1991 mengambil sampel negara Pakistan yang mempunyai
sejarah perbankan Islam sejak akhir tahun 1979.
46
Bab I Pendahuluan
Dengan menggunakan data dari International Financial Statistics-IMF dari tahun
1962-1991, hasil estimasi menunjukkan bahwa pergerakan velocity of non-interest-
bearing money (VMNI) relatif lebih stabil daripada velocity of interest-bearing money
(VMI). Selama periode penelitian menunjukkan bahwa nilai varians dan standar deviasi
dari VMNI ternyata lebih kecil daripada nilai varians dan standar deviasi dari VMI (lihat
tabel 2.6 dan tabel 2.7).
Tabel 2.6
Nilai Velocity of Money for Non-Interest Bearing Assets
Period Minimum Maximum Mean Variance
1962-1991
1962-1983
1984-1991
2.71
2.70
3.30
4.34
4.34
23.97
3.63
3.65
3.55
0.11
0.13
0.06
Tabel 2.7
Nilai Velocity of Money for Interest Bearing Assets
Period Minimum Maximum Mean Variance
1962-1991
1962-1983
1984-1991
6.14
6.14
6.63
17.18
17.18
10.99
8.65
8.82
8.18
5.95
8.94
3.49
Dalam penelitian ini juga meneliti kemampuan otoritas moneter dalam mengontrol
agregat moneter. Hal ini bisa dilihat dari korelasi antara agregat moneter dengan
47
Bab I Pendahuluan
monetary base (MB). Adapun model ekonometrik yang digunakan untuk mengestimasi
kemampuan kontrol otoritas moneter yaitu:
Sistem Moneter Konvensional
(GMI)t = γ + δGMB + v
Sistem Moneter Bebas Bunga
(GMNI)t = η + θMBt + π
dimana:
GMI = Tingkat pertumbuhan M2
GMNI = Tingkat pertumbuhan M1
GMB = Tingkat pertumbuhan moneter
Dengan menggunakan data dari International Financial Statistics-IMF periode
1962-1991, hasil regresi dari model di atas adalah sebagai berikut:
Tabel 2.8
Hasil Analisis Regresi
Dependent
Variable Constant GMB R2 D-W
GMI
GMNI
0.07
-0.02
0.63
(2.15)
0.96
(30.11)
0.18
0.95
2.14
1.64
Hasil regresi di atas menunjukkan bahwa antara non-interest bearing money
balances dan MB memiliki korelasi yang lebih kuat daripada interest-bearing money
balances dan MB. Hal ini bisa dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Nilai R2
untuk GMNI dan GMB lebih besar daripada nilai adjusted R2 untuk GMI dan GMB (0,95
> 0,18). Selain itu, tingkat perbedaan elastisitas antara kedua agregat moneter tersebut
48
Bab I Pendahuluan
(derajat kepekaan MNI atau MI terhadap perubahan dalam MB) juga cukup signifikan.
Yang terlihat dari masing-masing nilai koefisien MB-nya (0,96 > 0,63).
Masalah terakhir yang diteliti dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara agregat
moneter dan tujuan utama kebijakan moneter. Adapun model ekonometrik yang
digunakan untuk mengestimasi keterkaitan antara agregat moneter dengan tujuan utama
kebijakan moneter (di sini diasumsikan bahwa tujuan utama dari kebijakan moneter
adalah pencapaian stabilitas harga) yaitu:
Sistem Moneter Konvensional
GPt = ρ0 + ρ1(GMI)t + ρ2(GMI)t-1 + ρ3(GMI)t-2 + ρ4(GMI)t-3 + τ
Sistem Moneter Bebas Bunga
GPt = λ0 + λ 1(GMNI)t + λ 2(GMNI)t-1 + λ3(GMNI)t-2 +
λ 4(GMNI)t-3 + θ
di mana :
GP = Tingkat pertumbuhan IHK
τ dan θ = Unsur gangguan
Tabel 2.9
Hasil Analisis Regresi
Monetary
Aggregate
Consta
nt
t t-1 t-2 t-3 D-W R2
Interest-
bearing
Non-Interest
bearing
0.11
0.18
-0.07
(0.99)
-0.39
(5.89)
-0.05
(0.50)
-0.13
(1.69)
0.01
(1.14)
-0.04
(0.56)
-0.01
(0.14)
-0.04
(0.55)
1.97
1.62
0.47
0.80
Hasil regresi di atas menunjukkan bahwa antara non-interest bearing money
balances dan tingkat harga (CPI) memiliki keterkaitan yang relatif lebih kuat daripada
49
Bab I Pendahuluan
antara interest-bearing money balances dan tingkat harga (CPI). Yang ditunjukkan dari
masing-masing nilai R2-nya (0,80 > 0,47).
BAB III
OBYEK PENELITIAN
3.1 Pinjaman Konsumtif
Pinjaman konsumtif adalah pinjaman yang dibutuhkan untuk membiayai
kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Gambaran umum mengenai tingkat Pinjaman Komsumtif Riil di Indonesia pada periode
1997.I sampai 2003. I dapat dilihat pada tabel 3.1 dan grafik 3.1 berikut ini :
Tabel 3.1
Jumlah pinjaman konsumtif riil yang diberikan di Indonesia pada tahun 1997.I
sampai 2003.I
Tahun Kuartal Credit Isl/P
1997 I 2.963115385
II 3.768337478
III 2.719397153
IV 2.664853744
1998 I 3.422883879
II 3.740325153
III 2.200275117
IV 2.386788935
1999 I 2.206776051
I I 2.080247216
III 2.149248992
IV 2.12233144
2000 I 2.297009885
II 2.707380907
III 3.937565488
IV 5.742250531
2001 I 6.569049726
II 7.476925383
III 8.098425493
50
C Isl/P
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
I II III IV I II III IV I I I III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
1997 1998 1999 2000 2001 20022003
C Isl/P
Bab I Pendahuluan
IV 8.227144291
2002 I 8.349493931
II 10.41329491
III 12.0177787
IV 11.95290556
2003 I 13.25919343
Sumber: Bank Indonesia, data diolah
Grafik 3.1
Jumlah pinjaman konsumtif riil yang diberikan di Indonesia pada tahun 1997.I
sampai 2003.I
3.2 Tingkat IHK
Inflasi merupakan kecenderungan naiknya tingkat harga umum. Inflasi
merupakan salah satu indikator perekonomian secara umum dan tingkat inflasi dipakai
sebagai dasar pengukuran secara statistik terhadap perkembangan harga barang dan jasa
yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia. Terdapat beberapa indikator untuk
mengukur laju inflasi, diantaranya adalah Indeks Harga Konsumen (IHK), Indeks Harga
51
Bab I Pendahuluan
Perdagangan Besar (IHPB) dan GDP deflator. IHK merupakan pengukur perkembangan
daya beli rupiah yang dibelanjakan untuk membeli barang dan jasa dari bulan ke bulan.
IHK mulai digunakan sejak April 1979, sebelumnya menggunakan Indeks Biaya Hidup
(IBH) / Cost of Living (CLI).
Pertumbuhan IHK tahun 1999 menunjukkan penurunan yang cukup besar dari
tahun sebelumnya, disumbang oleh perbaikan sisi penawaran jangka pendek dan
sumbangan yang besar dari penurunan laju inflasi inti. Dalam triwulan I/1999 laju IHK
mencapai 4,05% dibanding 1,23% pada triwulan sebelumnya. Tingginya laju inflasi di
awal tahun laporan terutama disebabkan oleh faktor musiman, yaitu bulan Ramadhan dan
hari raya Idul Fitri yang tercermin dari tingginya laju inflasi kelompok makanan.
Pada semester pertama 2002 laju inflasi menunjukkan kecenderungan yang
menurun. Hal ini terutama disebabkan oleh menguatnya nilai tukar rupiah dan
membaiknya ekspektasi inflasi. Pada semester kedua 2002, penurunan IHK sedikit
tertahan. Kondisi ini terutama terkait dengan faktor musiman yakni menghadapi perayaan
hari besar keagamaan, berlanjutnya administered prices, dan meningkatnya ekspektasi
inflasi Gambaran umum mengenai tingkat IHK di indonesia periode 1997.I -2003.I dapat
dilihat pada grafik 3.2 dan tabel 3.2 berikut:
Tabel 3.2
Tingkat IHK di Indonesia pada periode 1997.I sampai dengan 2003.I
Tahun Kuartal IHK
1997 I 104
II 104.54
52
Bab I Pendahuluan
III 107.49
IV 111.79
1998 I 141.06
II 163
III 196.28
IV 198.47
1999 I 206.61
II 203.87
III 198.4
IV 202.45
2000 I 204.34
II 208.24
III 211.87
IV 221.37
2001 I 226.04
II 233.46
III 239.44
IV 249.15
2002 I 257.87
II 260.25
III 264.53
IV 274.13
2003 I 276.23
Sumber: Bank Indonesia, data diolah
Grafik 3.2
Tingkat IHK di Indonesia pada periode 1997.I sampai dengan 2003.I
53
Bab I Pendahuluan
INF(IHK)
0
50
100
150
200
250
300
I II III
IVI II III
IVI II III
IVI II III
IVI II III
IVI II III
IVI
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
INF(IHK)
3.3 Pendapatan Riil /GDP Riil
Dalam kerangka ekonomi makro pendapatan nasional menggambarkan aktivitas
perekonomian dalam suatu negara. Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan nilai
dari total output yang dihasilkan dalam suatu negara. Peningkatan GDP menunjukkan
membaiknya perekonomian secara umum. Sekalipun demikian, dalam perhitungan
pendapatan nasional terdapat unsur harga yang mempengaruhi besarnya nilai
(nominal) pendapatan nasional. Dengan asumsi harga konstan, maka nilai barang yang
diproduksi dengan pengeluaran agregat akan bergerak kearah yang sama. Konsekuensi
dari asumsi ini adalah pendapatan riil memiliki nilai yang sama dengan GDP Riil
Tingkat pertumbuhan GDP Riil tidak terlepas dari pengaruh kegiatan ekonomi,
baik dalam negeri maupun faktor yang mewarnai keadaan ekonomi serta pola
perdagangan dan situasi moneter internasional. Dalam kondisi demikian, nilai GDP dapat
digunakan sebagai salah satu cara untuk mengukur perkembangan taraf hidup dan tingkat
kesejahteraan rakyat yang merupakan pencerminan hasil-hasil pembangunan yang telah
dicapai. Perkembangan GDP REAL di Indonesia periode 1997.I sampai 2003.II dapat
dilihat pada Tabel 3.3 dan grafik 3,3 berikut ini:
54
Bab I Pendahuluan
Tabel 3.3
Tingkat GDP Riil dan GDP Nominal di Indonesia pada periode 1997.I sampai
dengan 2003.I
(jutaan rupiah)
Tahun
Kuarta
l GDP GDP Riil
1997 I 124876.7 120073.75
II 129961.8
124317.773
1
III 141165.1
131328.588
7
IV 144123.4
128923.338
4
1998 I 197424.4
1399.57748
5
II 186301.3
114295.276
1
III 236344.4
120411.860
6
IV 227521.4
114637.678
2
1999 I 248034
120049.368
4
II 223284.8
109523.127
5
III 239232
120580.645
2
IV 232479.9
114833.242
8
2000 I 283427.6 138703.964
55
Bab I Pendahuluan
8
II
251070.2
7
120567.743
9
III
281521.7
5
132874.758
1
IV
331311.6
6
149664.209
2
2001 I
306708.9
3
135687.900
4
II
318450.1
3
136404.578
9
III
328333.5
5
137125.605
6
IV
333931.0
4
134028.111
6
2002 I
332357.8
6
128885.818
4
II
349720.3
5
134378.616
7
III
346013.7
3
130803.209
5
IV
352416.8
8
128558.304
5
2003 I
355007.6
4
128518.857
5
Sumber: Bank Indonesia, data diolah
Grafik 3.3
Tingkat GDP RiiL dan GDP Nominal di Indonesia pada periode 1997.I sampai
dengan 2003.I
56
Bab I Pendahuluan
(jutaan rupiah)
0.00
50,000.00
100,000.00
150,000.00
200,000.00
250,000.00
300,000.00
350,000.00
400,000.00
I II III
IVI II III
IVI II III
IVI II III
IVI II III
IVI II III
IVI
1997 1998 1999 2000 2001 20022003
GDP Nominal
GDP Riil
57