Proposal Kualitatif Pedagang Kaki Lima

41
Proposal Kualitatif Pedagang Kaki Lima BAB IPENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya kota merupakan sebagai tempat pemungkiman yang relatif besar, berpenduduk padat dan permanen dari individu- individu yang secara sosialheterogen.semakin besar, semakin padat dan heterogen penduduknya. Dengan begitukota merupakan pusat dari kegiatan suatu masyarakat.Dari hal itu dalam perkembangan waktu, kota dianggap sebagian besar penduduk sebagai tempat yang menjanjikan dalam mencari mata pencaharian. Banyak orang yang pindah dari desa ke kota. Dalam beberapa hal, permasalahan itumenyebabkan perubahan kebiasaan mereka. Kebanyakan warga perkotaan menjadi bersifat individualis dan interaksianya bersifat impersonal, dan menciptakan orientasimasyarakat hanya sebatas pada mendapatkan keuntungan ekonomi bagi dirinyasendiri, hal ini membuat semakin lemah ikatan kelompok kekerabatan antar warga. Iniakan menimbulkan serentetan masalah bagi masyarakat bersangkutan, oleh karennyamasyarakat kota harus mengembangkan mekanisme-mekanisme baru untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan psikologi.Salah satu bentuk sektor ekonomi masyarakat perkotaan adalah dagang yang berbentuk PKL ( Pedagang Kaki Lima ). Sektor ekonomi ini banyak digelutimasyarakat di kota Surakarta. Meskipun yang berprofesi disektor ini tidak semuamerupakan warga Surakarta asli, akan tetapi pedagang kaki lima dalam kehidupannyamemunculkan berbagai permasalahan bagi ketertiban kota Surakarta. Dari hal inimaka pemahaman pedagang akan tata kehidupan kota mutlak diperlukan. Sehinggauntuk mengatasi permasalahan ketertiban masyarakat kota Surakarta tidak hanya dari pemerintah kota saja, akan tetapi terbentuk dari partisipasi aktif dari elemenmasyarakat kota Surakarta, salah satunya pedagang kaki lima. Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dalam penelitian ini penulismengambil judul BENTUK PANDANGAN DAN PERAN PEDAGANG KAKILIMA DALAM MEMBANTU MENCIPTAKAN KETERTIBAN KOTASURAKARTA

description

ani

Transcript of Proposal Kualitatif Pedagang Kaki Lima

Proposal Kualitatif Pedagang Kaki LimaBAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahPada umumnya kota merupakan sebagai tempat pemungkiman yang relatifbesar, berpenduduk padat dan permanen dari individu-individu yang secara sosialheterogen.semakin besar, semakin padat dan heterogen penduduknya. Dengan begitukota merupakan pusat dari kegiatan suatu masyarakat.Dari hal itu dalam perkembangan waktu, kota dianggap sebagian besarpenduduk sebagai tempat yang menjanjikan dalam mencari mata pencaharian. Banyakorang yang pindah dari desa ke kota. Dalam beberapa hal, permasalahan itumenyebabkan perubahan kebiasaan mereka. Kebanyakan warga perkotaan menjadibersifat individualis dan interaksianya bersifat impersonal, dan menciptakan orientasimasyarakat hanya sebatas pada mendapatkan keuntungan ekonomi bagi dirinyasendiri, hal ini membuat semakin lemah ikatan kelompok kekerabatan antar warga. Iniakan menimbulkan serentetan masalah bagi masyarakat bersangkutan, oleh karennyamasyarakat kota harus mengembangkan mekanisme-mekanisme baru untukmemenuhi kebutuhan ekonomi dan psikologi.Salah satu bentuk sektor ekonomi masyarakat perkotaan adalah dagang yangberbentuk PKL ( Pedagang Kaki Lima ). Sektor ekonomi ini banyak digelutimasyarakat di kota Surakarta. Meskipun yang berprofesi disektor ini tidak semuamerupakan warga Surakarta asli, akan tetapi pedagang kaki lima dalam kehidupannyamemunculkan berbagai permasalahan bagi ketertiban kota Surakarta. Dari hal inimaka pemahaman pedagang akan tata kehidupan kota mutlak diperlukan. Sehinggauntuk mengatasi permasalahan ketertiban masyarakat kota Surakarta tidak hanya daripemerintah kota saja, akan tetapi terbentuk dari partisipasi aktif dari elemenmasyarakat kota Surakarta, salah satunya pedagang kaki lima. Bertitik tolak dari latarbelakang masalah yang telah dikemukakan, maka dalam penelitian ini penulismengambil judulBENTUK PANDANGAN DAN PERAN PEDAGANG KAKILIMA DALAM MEMBANTU MENCIPTAKAN KETERTIBAN KOTASURAKARTAB. Perumusan MasalahDalam kaitannya dengan rumusan masalah yang dikemukakan maka penelitianmemiliki beberapa tujuan, yaitu :1.Bagaimanakah deskripsi persepsi pedagang kaki lima tentang ketertiban kotadi Surakarta ?2.Bagaimanakah pandangan pedagang kaki lima mengenai penciptaan ketertiban?3.Bagaimanakah pola partisipasi yang dilakukan oleh para pemuda desamandungan, jungke ?C. Tujuan PenelitianPenelitian tentang persepsi pedagang kaki lima tentang ketertiban kota diSurakarta ini bertujuan untuk mengungkapkan dan menjelaskan pandangan pedagangkaki lima mengenai penciptaan ketertiban dalam bentuk dan pola partisipasi yangdilakukan oleh para pemuda desa mandungan, jungke pada khususnya dan perananorganisasi Karang tarunan dalam membangun masyarakat desa pada umumnya.Dengan memahami bentuk dan pola partisipasi yang dilakukan karang -tarunatersebut maka dapat ditemui dan dikenali berbagai kendala dan hambatan yang dapatterjadi dalam berupaya mencari nilai tambah dan cenderung berwawasan ke depanyang lebih baik.Sedangkan tujuan praktisnya adalah tersedianya data mengenai bagaimanapandangan para pedagang kaki lima akan hal ketertiban di kota Surakarta Yang manaberhubungan dengan pemahaman warga akan hal menjaga dan menciptakanketeraturan dalam kehidupan bersama dengan elemen masyarakat kota lainnya diSurakarta. Sehingga dengan begitu pedagang kaki lima memiliki potensi dalammengarahkan akan ketertiban bersama sesama wargaD. Manfaat penelitian1.Manfaat Umum.Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap pihak yangmelakukan pengambilan kebijakan yang berkaitan tentang Pedagang Kaki Lima.2.Manfaat Khusus.2 Penelitian ini diharapkan mampu memberikan referensi bagi para pendampingPedagang kaki lima yang melakukan kegiatan kegiatan untuk pengembangandan pemberdayaan masyarakat.E. Tinjauan Pustaka dan Kerangka PemikiranDalam kehidupan di dunia, setiap manusia akan selalu berinteraksi denganmanusia lainnya. dalam setiap kehidupan sosialnya manusia akan selalu mengalamiperubahan dan perkembangan. Perubahan dan perkembangan masyarakat yangmewujudkan segi dinamikanya, disebabkan karena para warganya mengadakanhubungan satu dengan yang lainnya, baik dalam bentuk orang perorang maupunkelompok sosial. Dalam istilah ilmu sosial hal itu biasa disebut dengan interaksisosial.Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpainteraksi sosial, tidak akan mungkin terjadi perubahan maupun pembangunan. Dapatjuga dikatakan bahwa interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial ( soekanto, 1990: 67 ). Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupaproses asosiatif( Processes of association ) dalam bentuk kerja sama ( cooperation ) ,dan proses disosiatif( processes of dissociation ) yang meliputi, persaingan ( competition ) , dan bahkan juga berbentuk pertentangan atau pertikaian ( conflict ).Dilema pemikiran kualitatif dan kuantitatif terutama di bidang pendidikansebenarnya terpusat pada masalah apakah ada hubungan antara paradigma penelitiandengan tipe metodologi kedua jenis penelitian tersebut. Jika peneliti kuantitatifmenekankan pada cara berfikir yang lebih positifistik bertolak dari fakta sosial yangditarik dari realitas obyektif, maka peneliti kualitatif bertolak dari paradigmafenomenologis yang obyektifitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi tertentusebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu.3

BAB IIPEMBAHASANPedagang kaki lima dalam melakukan usahanya tidak seperti orang yangbekerja disektor formal. Mereka melakukan usahanya sesuai dengan jenis barang ataujasa yang dihasilkan. Pedagang kaki lima rata-rata melakukan aktivitasnya pagisampai sore hari. Bagi pedagang kaki lima yang melakukan usaha siang sampaimalam hari rata-rata mereka mendirikan bangunan yang semi permanen. Sedangkanuntuk pedagang kaki lima yang melakukan kegiatan pagi sampai sore, merekamengunakan tenda-tenda yang bisa dibuka dan ditutup setiap saat, mereka inibiasanya menempati tempat yang bukan miliknya sendiri. Untuk pedagang kaki limayang melakukan kegiatan siang dan malam, mereka mengunakan peralatan gerobagdorong dan biasanya diengkapi dengan tenda yang setiap saat bisa dibuka dan ditutup.Untuk mengetahuhi seberapa besar pandangan pedang kaki lima surakartadalam kontribusinya menciptakan ketertiban kota maka sekiranya kita terlebih dahulumengkaji akan peraturan pemerintah daerah Surakarta yang terkait dengan pedagangkaki lima. Untuk menganalisa dari landasasan yuridis ini maka tahap yang kita amatiyakni terkait sosialisasi peraturan daerah ( Perda ) tersebut di mata Pedagang kakilima.Pemahaman PKL akan Peraturan Daerah No. 8 tahun 1995Perda ini berisi tentang Pembinaan dan Penataan Pedagang KakiLima.Peraturan Daerah agar dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat, makaperlu disosialisasikan secara meluas. Tujuannya tiada lain agar peraturan tersebut bisaberjalan dengan baik tanpa hambatan. Sosialisasi peraturan dilakukan pejabat ataupetugas yang sesuai dengan bidang kerjanya, yang dalam hal ini adalah kantorpedagang kaki lima. Dalam pelaksanaannya sosialisasi ini dilakukan oleh TimPembina dan Tim Operasi Lapangan yang nampaknya belum bisa berjalan secaramaksimal. Meskipun dalam kenyataannya pedagang kaki lima sebagian sudahmengetahui keberadaan Peraturan Daerah tersebut, namun mereka tidak mengetahuiisinya secara mendetil. Hal ini sebagaimana dikatakan Mas Di, seorang penjual sate,4 Saya mengetahui peraturan daerah tentang pedagang kaki lima itu dariKoran, dan saya memang langganan koran untuk servis para pembeli.Dengan melihat keterangan tersebut, maka para aparat perlu bersungguh-sungguh dalam mensosialisasikan Perda tersebut. Apa yang sudah dilakukansepertinya masih belum cukup dan kurang merata. Hal ini bisa diawali denganmembentuk kelompok-kelompok atau paguyuban-paguyuban kemudian dikumpulkandan diberikan penjelasaan tentang perda. Pembinaan dan penataan pedagang kaki limayang mengarah pada ketertiban kota, kemudian dari hasil pertemuan tersebut masing-masing ketua kelompok memberikan penjelasaan kepada para angotanya. Sehinggaperan instansi pemerintah saat ini harus dioptimalkan kembali, yang mana salahsatunya dengan mengoptimalan kerja kantor pedagang kaki limaSedangkan Kantor pedagang kaki lima di kota Surakarta sendiri merupakanlembaga baru yang khusus menangani urusan pedagang kaki lima, karena khususseharusnya kantor ini lebih intensif dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini ditanggapioleh kepala kantor pedagang kaki lima ; lembaga kami ini masih baru, instrument, personil, alat maupun pebeayaan,kalau hal tersebut belum lengkap maka kami belum bisa bekerja secaramaksimal. Sehingga apa yang kami kerjakan saat ini baru yang sifatnyapokok yaitu bagaimana membuat pedagang kaki lima itu tenang dansejahtera. Agar PKL tidak menganggap pemerintah itu selalu meminta darikantor satpol PP hadir untuk membicarakan hal yang sifatnya tehnis.Mencermati keterangan diatas ternyata kantor PKL merupakan lembaga baru,dimana sarana dan prasarananya belum begitu siap untuk melaksanakan pekerjaan.Sebetulnya ini bukan merupakan suatu alasan untuk tidak berbuat, karena upaya awalini sebetulnya merupakan suatu moment yang strategis untuk langkah yangberikutnya. Dalam hal koordinasi harus secara intensif dilakukan sebelummelaksanakan sosialisasi, tujuannya agar tidak terjadi kesimpang-siuran dalammenata pedagang kaki lima.Dari paparan Pedagang kaki lima didepan, sekiranya pihak pemerintah (kantorpedagang kaki lima) dalam menciptakkan ketertiban kota mempunyai peranan pokoksebab tugas yang dilakukan oleh kantor pedagang kaki lima, pada penegaan peraturanyaitu Perda. Maka sasaran kerja kantor pedagang kaki lima dalam penciptaanketertiban kota adalah:5 Melihat tujuan yang ingin dicapai oleh kantor pedagamng kaki lima tersebutsangatlah mulia. Sekarang tinggal bagaimana menyamakan persepsi antara pedagangkaki lima dengan pejabat sehingga tujuan yang akan dicapai dapat berjalan denganmudah. Yang perlu diingat bahwa para pejabat dalam menjalankan tugasnya janganterlalu sakeleg / kaku, karena yang ditangani adalah para korban PHK yang sifat danperilakunya mudah tersinggung. Dalam sosialisasi yang dilakukan secara periodoikdan terjadwal, sebaiknya diikat dengan kegiatan tertentu seperti arisan, koperasi,simpan pinjam, bahkan dengan bentuk kesenian / budaya (campursari, dll ). Kalau inibisa terbentuk maka para pejabat akan lebih mudah dalam melakukan sosialisasi.Dalam upaya mengumpulkan para pedagang kaki lima, perlu menyediakantempat dan saran yang lain, karena lembaga ini baru dan belum mempunyai tempatyang representatif sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Kantor Pedagang KakiLima ;Mengumpulkan orang dan memberikan suatu penjelasan yang kita undang,kita masih memperhatikan prinsip-prinsip orang jawa yaitu Gupuk, lungguhlan suguh. Gupuk artinya kita akan membuat atau membentuk suatuhubungan batin yang baik dan kental. Lungguh yaitu menyediakan tempatduduk artinya kita dalam mengundang orang kita harus menyediakan tempatduduk dimana tempatnya, untuk sementara ini kami harus menumpangditempat yang kosong. Kami menumpang di paguyuban-paguyuban. Suguhartinya memberikan hidangan kepada yang diundang. Kegiatan semacam inikami lakukan di beberapa kelurahan yang ada di Kota Surakarta ini. Dankami datang ke paguyuban-paguyuban bersama dengan tim/staf ,Camat danLurah.Kantor pedagang kaki lima dalam melakukan sosialisasi masih tetapmenggunakan dan memanfaatkan budaya Jawa yaitu dengan menggunakan slogan-slogan seperti gupuk, lungguh dan suguh. Ternyata cara ini cukup mengena danditerima di paguyuban- paguyuban. Sedikit demi sedikit sosialisasi dilakukan olehkantor pedagang kaki lima akhirnya akan menjangkau ke seluruh Kota Surakartasehingga kasus-kasus ketidaktahuan pedagang terhadap peraturan akan dapatdihilangkan .Mengenai tim pembina yang lama nampaknya tidak melakukansosialisasi dengan baik. Hal ini terlihat dari ketidaktahuan para pedagang kaki limadi masing-masing wilayah, padahal tim Pembina sudah dibentuk sejak tahun 1997.jika dibandingkan dengan setelah terbentuknya kantor pedagang kaki lima.maka7 kantor ini nampaknya mempunyai kinerja yang cukup bagus khususnya dalammelaksanakan sosialisasi peraturan daerah.Pembinaan Pedagang Kaki Lima sebagai sarana awal kearah penertiban kotaPembinaan yang dilakukan oleh kantor pedagang kaki lima dan tim Pembinadilakukan dengan jalan rapat dan penyuluhan. Penyuluhan dilakukan oleh tim tidakterbatas pada pertemuan-pertemuan yang sifatnya formal akan tetapi bisa setiap saatsetiap tim melakukan kegiatannya. Sedangkan rapat dilakukan dengan caramengumpulkan para pedagang kaki lima didalam suatu tempat tertentu kemudiandiberikan penjelasan. Hal ini seperti dikemukakan oleh Agus yang berusaha di bidangstiker:Kami pernah diberikan penjelasan tentang peraturan PKL oleh seorangpetugas yang datang secara kebetulan dan sambil berdiri.Dari pernyataan itu dapat diketahui bahwa aparat didalam melakukanpembinaan tidak pasti secara formal dan bisa terjadi setiap saat dan tempat yangberbeda-beda.cara ini akan menjadi lebih efektif apabila petugas mengetahui sikapmaupun sifat dari pedagang kaki lima. Penyuluhan yang dilakukan oleh tim pembinapedagang kaki lima sebetulnya dapat dilakukan secara tidak terbatas, bisa pagi, siangmaupun sore dan malam setelah mereka tidak bertugas.Disisi lain tim pembinaan pedagang kaki lima dalam melaksanakan tugasnyabisa mengundang para pedagang kaki lima dikumpulkan disuatu tempat seperti dikemukakan oleh Hendro yang berprofesi sebagai penjual timlo dan wedang ronde diJayengan.Kami pernah diundang mengikuti pertemuan di kelurahan yang dihadirioleh Lurah, Camat dan Tim Pembina PKL dan diberikan penjelasan tentangkeberadaan peraturan daerah tentang pedagang kaki lima. Dan dimohonuntuk mentaati peratiran-peraturan tersebut serta menjaga kebersihanlingkungan tempat usaha.Dari penjelasan Hendro tersebut dapat diketahui bahwa pada saat-saat tertentumemang ada pembinaan yang dilakukan oleh Tim PKL. Dilihat dari hasil pelaksanaanpembinaan lewat penyuluhan dan rapat ternyata lebih efektif lewat rapat-rapat, hanyasebagai konsekuensi rapat memerlukan biaya yang lebih besar. Hasil bagi parapedagang kaki lima yaitu dipatuhinya Perda, indikasinya kebersihan lingkungan8 terjaga, tempat usaha tertata rapi, ukuran tempat usaha sesuai dengan ketentuan danlain-lain. Bagi pedagang kaki lima oprokan, seperti di pasar-pasar tiban masih sangatsulit dilakukan karena mereka berdagang tidak telalu lama walaupun mereka ditarikretribusi oleh Petugas Dinas Pasar.Penataan Pedagang Kaki Lima sebagai bentuk ketertiban kotaPenataan pedagang kaki lima yaitu membuat agar para pedagang tertatasedemikian rupa sehingga toidak terkesan kumuh, tidak teratur dan lain-lain. Agarkelihatan rapi dan baik maka dalam rangka penataan ini dilakukan dengan beberapacara yaitu dibentuk kelompok-kelompok/paguyuban dan dengan tenda yang seragam.Hal ini seperti dikemukakan oleh Kepala Kantor PKL ;Penataan pedagang kaki lima kami lakukan dengan bermacam-macam cara,tetapi yang paling utama adalah dengan membentuk peguyuban dan tendaseragam untuk satu wilayah tertentuDengan melihat pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa penataan yangdilakukan memang mengarah terbentuknya pedagang kaki lima teratur dan rapi jugatidak berkesan kumuh dan menakutkan sehingga terwujud SOLO BERSERI.Penataan bisa dilakukan dengan baik apabila awal pembinaannya juga dilakukandengan baik, dengan demikian pekerjaan yang dilakukan oleh aparat dari kantorpedagang kaki lima harus secara sistematis.9 Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menelusuri buku-bukuyang berhubungan dengan tema penelitian ini.c.WawancaraPeneliti mewawancarai informan dengan mengajukan pertanyaan yangberhubungan dengan masalah yang di teliti dan wawancara dilakukan dengancara wawancara mendalam5.Tehnik Pengambilan Sampel.Penelitian kualitatif pada dasarnya merupakan suatu proses penyidikan,peneliti dapat membuat pengertian fenomena sosial secara bertahab kemudianmelaksanakan sebagian besar dengan cara mempertentangkan ,membandingkan,mereplikasi, menyusun katalog, dan mengklasifikasi objek kajian. Pada dasarnyasemua itu adalah kegiatan penarikan sample yaitu usaha untuk menemukankeseragaman dan sifat umum dunia sosial, dan kegiatan tersebut dilakukan secaraterus menerus dan berulang ulang oleh peneliti kalitatif ( A.M. Hubermas, 1992 ; 47). Salah satu metode penarikan sample adalah purpositive sample dalam penelitiankualitatif dapat berubah ( ibid : 48 ).Berdasarkan hal tersebut maka sample dapat diidentifikasikan sebagai berikut:a. Pedagang kaki lima Surakarta.b.Petugas kantor Pedagang kaki lima kota Surakarta.6.Validitas Data.Untuk menguji keabsahan data yang terkumpul peneliti mengunakan tekniktriangulasi sumber dengan cara mengecek, membandingkan informasi yang diperolehmelalui sumber yang berbeda.a.Pengecekan derajat kepercayaanpenemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data.b.Pengecekan derajat kepercayaan beberapasumber data dengan metode yang sama ( Patton dalam Moleong, 2000 : 178 ).Triangulasi teori dilakukan dengan melakukan kajian ulang setelah penelitian.Validitas data diperlukan dalam penelitian dengan maksud sebagai pembuktian danpenguatan, bahwa data yang diperoleh peneliti sesuai dengan yang terjadi dilapangan.7.Teknik Analisa Data.11 Lexy j. Moleong berpendapat bahwa analisa data adalah prosespengorganisasian data kedalam pola, kategori dan satuan variasi dasar sehingga dapatdiketemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti disarankan oleh data(Moleong, 1990 : 130 ). Teknk analisa yang digunakan adalah analisis interaktif.Dalam model ini ada tiga komponen analisis yaitu : reduksi data, penyajian data, danpenarikan kesimpulanAda tiga jalur kegiatan untuk melakukan analisis yang terjadi secara bersamauntuk memperoleh data, tiga komponen pokok tersebut adalah :a.Reduksi data( data reduction )merupakan proses seleksi,pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data kasar yang ada dalamfieldnote. Hasilnya data dapat disederhanakan, dan di transformasikan melaluiseleksi ketat, ringkasan serta pengolongan dalam satu pola.b.Penyajian data( data display )adalah rakitan organisasi informasiyang memungkinkan kesimpulan riset yang dilakukan, sehingga peneliti akanmudah memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.c.Penarikan kesimpulan( conclution drawing). Proses ini dilakukandari awal pengumpulan data, peneliti harus mengerti apa arti dari hal halyang ditelitinya, dengan cara pencatatan peraturan, pola pola, pernyataankonfigurasi yang mapan dan arahan sebab akibat sehingga memudahkandalam pengambilan kesimpulan ( Miles dan Huberman, 1992 :15-19).Tiga komponen analisa data diatas membentuk interaksi dengan prosespengumpulan yang berbentuk siklus, dimana sifat interaksi ketiganya berjalan terusmenerus semenjak turun lapangan sampai selesai penelitian.Dalam setiap turun lapangan akan dibuat catatan yang berisi skema pemikiran,pokok pembicaraan yang kemudian akan di buat cacatan lapangan setelah sampai dirumah. Catatan yang merupakan sarana pengumpulan data tersebut akan direduksidengan penambahan data dari literature yang mendukung yang kemudian diolah dandigabung dengan pengumpulan data yang lain ke dalam bentuk laporan penelitianyang sesunguhnya.12 BAB IVPENUTUPKesimpulanDari pemaparan bab di depan maka sekiranya seluruh unsur perlu berperansesuai dengan porsi masing-masing dalam menciptakan ketertiban kota, sertamemahami kelompok yang lain yang memang mengambil peran diwilayah yangberbeda pula. Dan yang perlu disatukan dalam fokus penelitian ini yang terkaitdengan ketertiban kota adalah bagaimana grand design pembangunan kota Surakartayang dilakukan Pemkot sesuai dengan peran dan kepentingan para pedagang kakilima di Surakarta sehingga hal ini menjadi kesatuan utuh demi terciptanya ketertibankota dan mengarah pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat kota Surakarta.Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang persepsi pedagang kakilima tentang penertiban kota Surakarta dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :Bawasanya kebijaksanaan, penataan pedagang kaki lima di Kota Surakarta belummedapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Kota, ini terlihat pada : Kurangnyasosialisasi penetapan Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 1995 tentang Pembinaan danPenataan Pedagang Kaki Lima serta diterbitkannya Surat Keputusan Walikota Nomor2 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Dati IISurakarta Nomor 8 tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang KakiLima.Berdasarkan kesimpulan diatas dalam rangka pembinaan dan penataanpedagang kaki lima di kota Surakarta umumnya disarankan:1.Memperluas sosialisasi peraturan perundang undangan yang berlaku dalampenataan dan pembinaan pedagang kaki lima melalui pertemuan formalmaupun pertemuan informal. Dalam pertemuan informal perlu lebih banyakdilakukan karena akan lebih mengena pada sasaran2..Dalam rangka penegakan /penertiban pedagang kaki lima harus dilakukansecara obyektif an secara rutin, maksudnya tidak pada daeah-daerah tertentu saja yang dilakukan operasi penertiban oleh tim PKL dan Satpol PolisiPamong Praja.

Upaya Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Indonesia Syamsu Hilal 3 Apr 2013 PendahuluanMeningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya lapangan pekerjaan formal mengakibatkan bertambah besarnya angka pengangguran. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang kemudian bekerja atau berusaha pada sector informal seperti menjadi Pedagang Kaki Lima di kota-kota besar di Indonesia. Pedagang Kaki Lima timbul sebagai akibat dari tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam berproduksi, bisa juga sebagai akibat dari kebijakan ekonomi liberal yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi makro dan mengabaikan ekonomi mikro. Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) mencatat hingga tahun 2012 terdapat 23,4 juta pedagang kaki lima di seluruh Indonesia (Tempo.co, 5/9/2012).PKL dipandang sebagai aktivitas illegal dan terkadang diperlakukan seperti kriminal. Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan. Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi.Terbatasnya dukungan kebijakan, membuat sektor ini tidak aman dan berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Fakta menunjukkan bahwa PKL merupakan sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin urban.Aktivitas PKL pada umumnya menempati badan-badan jalan dan trotoar, sehingga tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.Akan tetapi, bagi sebagian kelompok masyarakat, PKL justru menjadi solusi, karena menyediakan harga lebih murah. Bagi masyarakat yang berpendapatan rendah, PKL menjadi pilihan. Hal ini membuat penertiban PKL di lokasi-lokasi strategis menjadi kontroversial dilihat dari kaca mata sosial. Padahal setiap hari, mereka adalah pekerja yang ulet, berjuang untuk menghidupi keluarga.Sebagai bentuk penghargaan kepada PKL sebagai pelaku ekonomi mandiri, Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pernah menyosialisasikan istilah Pedagang Kreatif Lapangan untuk mengganti Istilah Pedagang Kaki Lima. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, konsep pedagang kreatif lapangan sudah ada sejak ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Model dari konsep Pedagang Kreatif Lapangan tercantum dalam MoU antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Koperasi dan UKM. Mari Elka Pangestu berinisiatif mengganti istilah Pedagang Kaki Lima dengan Pedagang Kreatif Lapangan untuk meningkatkan martabat Pedagang Kaki Lima (Kompas.com, 6 Desember 2011). Bahkan, Kementerian Koperasi dan UKM telah menginstruksikan penggantian istilah Pedagang Kaki Lima dengan Pedagang Kreatif Lapangan kepada pimpinan dinas terkait maupun kabupaten/kota. Namun demikian, dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, penggunaan istilah Pedagang Kreatif Lapangan belum dapat digunakan secara formal.

Pengertian Pedagang Kaki LimaPedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan colonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika merunut sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki.Dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima pasal 1 nomor 1 dijelaskan bahwa Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.Menurut McGee dan Yeung (1977), PKL mempunyai pengertian yang sama dengan hawkers, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual ditempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Senada dengan hal itu, Soedjana (1981) mendefinisikan PKL sebagai sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di atas trotoar atau di tepi/di pinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan/pertokoan, pasar, pusat rekreasi/hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari.Proses perencanaan tata ruang, sering kali belum mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhhan ruang untuk PKL. Ruang-ruang kota yang tersedia hanya difokuskan untuk kepentingan kegiatan dan fungsi formal saja. Kondisi ini yang menyebabkan para Pedagang Kaki Lima berdagang di tempat-tempat yang tidak terencana dan tidak difungsikan untuk mereka. Akibatnya mereka selalu menjadi obyek penertiban dan pemerasan para petugas ketertiban serta menjadikan kota berkesan semrawut.Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan (Bhowmik, 2005). Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi.Terbatasnya dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman (Bhowmik, 2005), yang berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Disamping fakta bahwa PKL adalah sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga menempati badan-badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.PKL atau dalam bahasa inggris disebut juga street trader selalu dimasukkan dalam sektor informal. Dalam perkembangannya, keberadaan PKL di kawasan perkotaan Indonesia seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan sudah menjadi label paten yang melekat pada usaha mikro ini. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota. PKL dipandang sebagai bagian dari masalah (part of problem).Upaya penertiban, sebagaimana sering diekspose oleh media televisi acapkali berakhir dengan bentrokan dan mendapat perlawanan fisik dari PKL sendiri. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pada hal, sejatinya bila keberadaannya dipoles dan ditata dengan konsisten, keberadaan PKL ini justru akan menambah eksotik keindahan sebuah lokasi wisata di tengahtengah kota. Hal ini bisa terjadi apabila PKL dijadikan sebagai bagian dari solusi (part of solution).Seperti yang sudah dikemukakan di atas, PKL yang dikelompokkan dalam sektor informal sering dijadikan sebagai kambing hitam dari penyebab kesemrawutan lalu lintas maupun tidak bersihnya lingkungan. Meskipun demikian PKL ini sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih mampu bertahan hidup survive dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena sektor informal relative lebih independent atau tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya.Bukti-bukti tersebut menggambarkan bahwa pekerjaan sebagai PKL merupakan salah satu pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi karena dampak krisis ekonomi tidak secara nyata dirasakan oleh pedagang kaki lima. Dalam hal ini PKL mampu bertahan hidup dalam berbagai kondisi, sekalipun kondisi krisis ekonomi.

Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh Pemerintah PusatPemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima yang kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Dalam Permendagri disebutkan bahwa tujuan penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah untuk memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya; menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.Dengan adanya Perpres nomor 125 tahun 2012 dan Permendagri nomor 41 tahun 2012, maka Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten wajib melakukan penataan dan pembinaan PKL di wilayahnya masing-masing. Salah satu amanat yang tercantum di dalam Permendagri nomor 41 tahun 2012 adalah Bupati/Walikota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukannya sebagai lokasi tempat kegiatan usaha PKL. Penetapan lokasi atau kawasan tempat kegiatan usaha PKLdilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Lokasi tempat kegiatan usaha PKL merupakan lokasi binaan Bupati/Walikota yang bersifat permanen atau sementara dan telah dilengkapi dengan papan nama lokasi dan rambu atau tanda yang menerangkan batasan jumlah PKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Selain itu, Bupati/Walikota juga diwajibkan untuk melakukan pemberdayaan terhadap PKL melalui peningkatan kemampuan berusaha; fasilitasi akses permodalan; fasilitasi bantuan sarana dagang; penguatan kelembagaan; fasilitasi peningkatan produksi; pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi; dan pembinaan dan bimbingan teknis. Sedangkan pemberdayaan PKL yang membutuhkan fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.Dalam melakukan pemberdayaan PKL, Bupati/Walikota dapat melakukan kerjasama atau kemitraan dengan dunia usaha melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk penataan peremajaan tempat usaha PKL; peningkatan kemampuan berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan permodalan; promosi usaha dan event pada lokasi binaan; dan berperan aktif dalam penataan PKL di kawasan perkotaan agar menjadi lebih tertib, bersih, indah dan nyaman.

Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh Pemerintah DaerahDi antara Pemerintah Daerah yang telah melakukan penataan dan pembinaan PKL adalah:1. Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan melalui Perda No. 20 tahun 2001tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima dan Pedagang Kaki Lima Musiman.2. Pemkot Yogyakarta melalui Perda No.26 tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.3. Pemkot Surabaya melalui Perda No.17 tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.4. Pemkot Mojokerto melalui Perda No.5 tahun 2005 tentang Penataan dan Pembinaan Kegiatan Pedagang Kaki Lima.5. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri melalui Perda No.7 tahun 2006 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.6. Pemkot Surakarta melalui Perda No.3 tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima. 7. Pemkot Bima dengan Perda No.11 tahun 2010 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.8. Pemkab Kepulauan Selayar melalui Perda No.4 tahun 2010 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.9. Pemkab Semarang melalui Perda No.11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.10. Pemkot Bandung melalui Perda No.4 tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.Selain 10 pemerintah daerah di atas, masih banyak kota dan kabupaten yang telah memiliki perda untuk menata dan memberdayakan PKL. Dengan semakin banyaknya pemkot dan pemkab yang memiliki perda tentang penataan dan pemberdayaan PKL diharapkan pemberdayaan ekonomi melalui sektor informal, khususnya PKL, akan semakin meningkatkan jumlah entrepreneur yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.

Daftar PustakaMcGee, TG and YM Yeung, 1977. Hawkers in Southeast Asian Cities: Planning for the Bazaar Economy. IDRC Ottawa, Canada.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2012 Tentang Koordinasi Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.Tamba, Halomoan dan Saudin Sijabat, 2006. Pedagang Kaki Lima: Entrepreneur yang Terabaikan. Infokop Nomor 29 Tahun XXII.Winarti, 2012. Analisa Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima dari Perspektif Kebijakan Deliberatif. E-Journal UNISRI Volume XXIV No.1.Permen no.41 th_2012 Document Transcript 1. 2. SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, Men a. bahwa peningkatan jumlah pedagang kaki lima di daerah imb telah berdampak pada terganggunya kelancaran lalu lintas, ang estetika dan kebersihan serta fungsi prasarana kawasan perkotaan maka diperlukan penataan pedagang kaki lima; b. bahwa kegiatan pedagang kaki lima sebagai salah satu usaha ekonomi kerakyatan yang bergerak dalam usaha perdagangan sektor informal perlu dilakukan pemberdayaan untuk meningkatkan dan mengembangkan usahanya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Pedoman Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima; Men 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan ging Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan at Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848); 2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20081. 2. -2- Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); MEMUTUSKAN: Me : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK net INDONESIA TENTANG PEDOMAN PENATAAN DAN ap PEMBERDAYAAN PEDAGANG KALI LIMA. ka n BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:1. Pedagang Kaki Lima, yang selanjutnya disingkat PKL, adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.2. Penataan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk melakukan penetapan, pemindahan, penertiban dan penghapusan lokasi PKL dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan, ekonomi, keamanan, ketertiban, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.3. Pemberdayaan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim usaha dan pengembangan usaha terhadap PKL sehingga mampu tumbuh dan berkembang baik kualitas maupun kuantitas usahanya.4. Lokasi PKL adalah tempat untuk menjalankan usaha PKL yang berada di lahan dan/atau bangunan milik pemerintah daerah dan/atau swasta.5. Lokasi binaan adalah lokasi yang telah ditetapkan peruntukannya bagi PKL yang diatur oleh pemerintah daerah, baik bersifat permanen maupun sementara.6. Tanda Daftar Usaha, yang selanjutnya disebut TDU, adalah surat yang dikeluarkan oleh pejabat yang ditunjuk sebagai tanda bukti pendaftaran usaha PKL sekaligus sebagai alat kendali untuk pemberdayaan dan pengembangan usaha PKL di lokasi yang ditetapkan oleh pemeritah daerah.7. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, yang selanjutnya disingkat RPJMD, adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun.8. Satuan Kerja Pemerintah Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah perangkat daerah pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.9. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.10. Rencana Strategis SKPD, yang selanjutnya disebut dengan Renstra SKPD, adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima) tahun.11. Menteri adalah Menteri Dalam Negeri. Pasal 2 3. -3-(1) Menteri berwenang melakukan pembinaan dalam penataan dan pemberdayaan PKL.(2) Gubernur dan Bupati/Walikota wajib melakukan penataan dan pemberdayaan PKL. Pasal 3(1) Pembinaan dalam penataan dan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a. pendataan; b. perencanaan penyediaan ruang bagi kegiatan sektor informal; c. fasilitasi akses permodalan; d. penguatan kelembagaan; e. pembinaan dan bimbingan teknis; f. fasilitasi kerjasama antar daerah; dan g. mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha.(2) Program penataan dan pemberdayaan PKL sebagimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam RPJMD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang perencanaan pembangunan daerah. BAB II RUANG LINGKUP DAN TUJUAN Pasal 4Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi penataan danpemberdayaan PKL. Pasal 5 Tujuan penataan dan pemberdayaan pedagang kali lima adalah:a. memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya;b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; danc. untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan. BAB III PENATAAN PKL Bagian Kesatu Umum Pasal 6(1) Penataan PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan terhadap PKL dan lokasi tempat kegiatan PKL.(2) Penataan lokasi tempat kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di kawasan perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penataan ruang. Pasal 7 4. -4- Gubernur melakukan penataan PKL melalui:a. fasilitasi penataan PKL lintas kabupaten/kota di wilayahnya;b. fasilitasi kerjasama penataan PKL antar kabupaten/kota di wilayahnya; danc. pembinaan Bupati/Walikota di wilayahnya. Pasal 8 Bupati/Walikota melakukan penataan PKL dengan cara:a. pendataan PKL;b. pendaftaran PKL;c. penetapan lokasi PKL;d. pemindahan PKL dan penghapusan lokasi PKL; dane. peremajaan lokasi PKL. Bagian Kedua Pendataan PKL Pasal 9(1) Bupati/Walikota melalui SKPD yang membidangi urusan PKL melakukan pendataan PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a.(2) Tahapan dalam melakukan pendataan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama aparat kelurahan dengan cara antara lain: a. membuat jadwal kegiatan pelaksanaan pendataan; b. memetakan lokasi; dan c. melakukan validasi/pemutakhiran data. Pasal 10(1) Pendataan PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan berdasarkan: a. identitas PKL; b. lokasi PKL; c. jenis tempat usaha; d. bidang usaha; dan e. modal usaha.(2) Data PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar untuk penataan dan pemberdayaan PKL. Pasal 11 Lokasi PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b terdiri atas lokasi PKL sesuai peruntukannya dan lokasi PKL tidak sesuai peruntukannya. Pasal 12(1) Lokasi PKL sesuai peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b terdiri atas: a. Lokasi PKL yang bersifat permanen; dan b. Lokasi PKL yang bersifat sementara. 5. -5-(2) Lokasi PKL tidak sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b merupakan lokasi bukan peruntukan tempat berusaha PKL. Pasal 13(1) Lokasi PKL yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a merupakan lokasi yang bersifat tetap yang diperuntukkan sebagai tempat usaha PKL.(2) Lokasi PKL yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b merupakan lokasi tempat usaha PKL yang terjadwal dan bersifat sementara.(3) Lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Pasal 14Jenis tempat usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c terdiriatas jenis tempat usaha tidak bergerak dan jenis tempat usaha bergerak. Pasal 15(1) Jenis tempat usaha tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 antara lain: a. gelaran; b. lesehan; c. tenda; dan d. selter.(2) Jenis tempat usaha bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 antara lain: a. tidak bermotor; dan b. bermotor. Pasal 16(1) Jenis tempat usaha PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a antara lain gerobak beroda dan sepeda.(2) Jenis tempat usaha PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b terdiri atas: a. kendaraan bermotor roda dua; b. kendaraan bermotor roda tiga; dan c. kendaraan bermotor roda empat. Pasal 17 Bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d antara lain:a. kuliner;b. kerajinan; 6. -6-c. tanaman hias;d. burung;e. ikan hias;f. baju, sepatu dan tas; dang. barang antik. Bagian Ketiga Pendaftaran PKL Pasal 18(1) Bupati/Walikota melalui SKPD yang membidangi urusan PKL melakukan pendaftaran PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b.(2) Pendaftaran PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh SKPD yang membidangi urusan PKL bersama dengan lurah.(3) Pendaftaran PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pengendalian PKL dan menjamin kepastian hukum berusaha. Pasal 19(1) Pendaftaran PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilakukan terhadap 2 (dua) kategori PKL, yaitu PKL lama dan PKL baru.(2) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melengkapi dan menyampaikan berkas pendaftaran usaha kepada SKPD yang membidangi urusan PKL. Pasal 20(1) PKL kategori lama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dengan kriteria sebagai berikut: a. PKL pada saat pendataan sudah berusaha di lahan atau lokasi sesuai peruntukannya; dan/atau b. PKL pada saat pendataan sudah berusaha di lahan atau lokasi yang tidak sesuai peruntukannya dan ditetapkan sebagai lokasi sementara;(2) PKL yang sudah berusaha di lahan atau lokasi yang tidak sesuai peruntukannya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan relokasi. Pasal 21(1) PKL kategori baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) merupakan PKL yang belum pernah berusaha sebagai PKL di kabupaten/kota setempat.(2) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengajukan permohonan pendaftaran untuk berusaha pada lokasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah melalui SKPD yang membidangi urusan PKL. Pasal 22Tata cara pendaftaran usaha bagi PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat(2) meliputi:a. permohonan TDU;b. penerbitan TDU;c. perpanjangan TDU; dan 7. -7-d. pencabutan dan tidak berlakunya TDU. Pasal 23(1) PKL mengajukan permohonan TDU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a kepada Bupati/Walikota melalui SKPD yang membidangi urusan PKL.(2) Permohonan TDU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus melampirkan berkas permohonan sebagai berikut: a. kartu tanda penduduk yang beralamat di kabupaten/kota setempat; b. pas photo terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak dua lembar; c. mengisi formulir yang memuat tentang: 1) nama; 2) alamat/tempat tinggal/lama tinggal; 3) bidang usaha yang dimohon; 4) tempat usaha yang dimohon; 5) waktu usaha; 6) perlengkapan yang digunakan; dan 7) jumlah modal usaha. d. mengisi formulir surat pernyataan belum memiliki tempat usaha; e. mengisi formulir surat pernyataan kesanggupan untuk menjaga keindahan, ketertiban, keamanan, kebersihan, dan kesehatan serta fungsi fasilitas umum; dan f. mengisi formulir surat pernyataan yang memuat: 1) tidak memperdagangkan barang ilegal; 2) tidak merombak, menambah, dan mengubah fungsi serta fasilitas yang ada ditempat atau lokasi PKL; 3) tidak memindahtangankan TDU kepada pihak lain; dan 4) kesanggupan mengosongkan, mengembalikan atau menyerahkan tempat usaha PKL apabila: a) lokasi dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan dan atau dikembalikan kepada fungsinya; b) lokasi usaha tidak ditempati selama satu bulan; dan c) setelah dievaluasi PKL dinilai layak menjadi usaha kecil.(3) Permohonan TDU bagi PKL yang menggunakan jenis tempat usaha dengan kendaraan bermotor untuk kegiatan usaha harus bernomor polisi daerah kabupaten/kota setempat. Pasal 24(1) SKPD yang membidangi urusan PKL mendistribusikan formulir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f kepada lurah.(2) PKL yang akan mendaftarkan usahanya meminta formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada lurah. Pasal 25(1) SKPD yang membidangi urusan PKL melakukan pemeriksaan berkas pendaftaran PKL.(2) Berkas pendaftaran PKL yang telah memenuhi persyaratan menjadi dasar penerbitan TDU. Pasal 261) Bupati/Walikota melalui SKPD yang membidangi urusan PKL menerbitkan 8. -8- TDU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b.2) Penerbitan TDU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan: a. TDU diterbitkan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penerimaan surat permohonan pendaftaran diterima, lengkap dan benar; b. TDU hanya dapat digunakan untuk menempati 1 (satu) lokasi tempat usaha bagi PKL yang tidak bergerak dan 1 (satu) kendaraan bagi PKL yang bergerak; c. TDU berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal diterbitkan dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi perkembangan usaha; dan d. penerbitan TDU tidak dipungut biaya. Pasal 27(1) Dalam hal berkas pendaftaran PKL tidak memenuhi persyaratan, Bupati/walikota melalui kepala SKPD yang membidangi urusan PKL menyampaikan surat penolakan penerbitan TDU.(2) Surat penolakan penerbitan TDU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai alasan penolakan.(3) Surat penolakan disampaikan kepada PKL paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penerimaan surat permohonan pendaftaran. Pasal 28(1) Perpanjangan TDU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c, dilakukan 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa berlaku TDU.(2) Permohonan perpanjangan TDU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui SKPD yang membidangi urusan PKL. Pasal 291) Bupati/Walikota melalui SKPD yang membidangi urusan PKL dapat melakukan pencabutan TDU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d.2) Pencabutan TDU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila: a. pemegang TDU melanggar ketentuan yang terdapat di dalam surat pendaftaran; b. lokasi usaha yang bersangkutan tidak lagi ditetapkan sebagai tempat usaha PKL; c. pemegang TDU melanggar ketentuan perundang-undangan; d. tidak memperpanjang TDU; e. tidak melakukan usaha PKL lagi; dan/atau f. dipindahtangankan TDU PKL.3) Tidak berlakunya TDU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d apabila: a. pemegang TDU meninggal dunia; b. atas permintaan tertulis dari pemegang TDU; dan c. pemegang TDU pindah lokasi usaha.4) Dalam hal pemegang TDU meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, maka suami, isteri, dan/atau anak pemegang TDU dapat mengajukan permohonan TDU untuk menggunakan tempat usaha pada lokasi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. 9. -9- Pasal 30 PKL mempunyai hak antara lain:a. mendapatkan pelayanan pendaftaran usaha PKL;b. melakukan kegiatan usaha di lokasi yang telah ditetapkan;c. mendapatkan informasi dan sosialisasi atau pemberitahuan terkait dengan kegiatan usaha di lokasi yang bersangkutan;d. mendapatkan pengaturan, penataan, pembinaan, supervisi dan pendampingan dalam pengembangan usahanya; dane. mendapatkan pendampingan dalam mendapatkan pinjaman permodalan dengan mitra bank. Pasal 31 PKL mempunyai kewajiban antara lain:a. mematuhi ketentuan perundang-undangan;b. mematuhi waktu kegiatan usaha yang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota;c. memelihara keindahan, ketertiban, keamanan, kebersihan dan kesehatan lingkungan tempat usaha;d. menempatkan dan menata barang dagangan dan/atau jasa serta peralatan dagangan dengan tertib dan teratur;e. tidak mengganggu lalu lintas dan kepentingan umum;f. menyerahkan tempat usaha atau lokasi usaha tanpa menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun, apabila lokasi usaha tidak ditempati selama 1 (satu) bulan atau sewaktu-waktu lokasi tersebut dibutuhkan oleh pemerintah kabupaten/kota; dang. menempati tempat atau lokasi usaha yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah sesuai TDU yang dimiliki PKL. Pasal 32 PKL dilarang melakukan hal-hal sebagai berikut:a. melakukan kegiatan usahanya di ruang umum yang tidak ditetapkan untuk lokasi PKL;b. merombak, menambah dan mengubah fungsi serta fasilitas yang ada di tempat atau lokasi usaha PKL yang telah ditetapkan dan/ atau ditentukan Bupati/Walikota;c. menempati lahan atau lokasi PKL untuk kegiatan tempat tinggal;d. berpindah tempat atau lokasi dan/atau memindahtangankan TDU PKL tanpa sepengetahuan dan seizin Bupati/Walikota;e. menelantarkan dan/atau membiarkan kosong lokasi tempat usaha tanpa kegiatan secara terus-menerus selama 1 (satu) bulan;f. mengganti bidang usaha dan/atau memperdagangkan barang ilegal;g. melakukan kegiatan usaha dengan cara merusak dan atau mengubah bentuk trotoar, fasilitas umum, dan/atau bangunan di sekitarnya;h. menggunakan badan jalan untuk tempat usaha, kecuali yang ditetapkan untuk lokasi PKL terjadwal dan terkendali;i. PKL yang kegiatan usahanya menggunakan kendaraan dilarang berdagang di tempat-tempat larangan parkir, pemberhentian sementara, atau trotoar; danj. memperjualbelikan atau menyewakan tempat usaha PKL kepada pedagang lainnya. Bagian Keempat Penetapan Lokasi PKL 10. -10- Pasal 33(1) Bupati/Walikota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukannya sebagai lokasi tempat kegiatan usaha PKL.(2) Penetapan lokasi atau kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota.(3) Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan lokasi binaan yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota.(4) Lokasi binaan yang telah ditetapkan dilengkapi dengan papan nama lokasi dan rambu atau tanda yang menerangkan batasan jumlah PKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 34(1) Lokasi binaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), terdiri atas: a. lokasi permanen; dan b. lokasi sementara.(2) Lokasi PKL yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi dengan aksesabilitas, dan sarana serta prasarana antara lain fasilitas listrik, air, tempat sampah dan toilet umum.(3) Lokasi permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diarahkan untuk menjadi kawasan atau pusat-pusat bidang usaha promosi, produksi unggulan daerah.(4) Lokasi sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan lokasi tempat usaha PKL yang terjadwal sampai jangka waktu yang ditetapkan oleh Pemerintah kabupaten/kota. Pasal 35 Bupati/Walikota menetapkan jadwal usaha PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4). Bagian Kelima Pemindahan PKL dan Penghapusan Lokasi PKL Pasal 36(1) PKL yang menempati lokasi yang tidak sesuai peruntukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dapat dilakukan pemindahan atau relokasi PKL ke tempat/ruang yang sesuai peruntukannya.(2) Penghapusan lokasi tempat berusaha PKL yang telah dipindahkan ditertibkan dan ditata sesuai dengan fungsi peruntukannya.(3) Pemindahan PKL dan penghapusan lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Bagian Keenam Peremajaan Lokasi PKL 11. -11- Pasal 37(1) Pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan peremajaan lokasi PKL pada lokasi binaan.(2) Peremajaan lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meningkatkan fungsi prasarana, sarana dan utilitas kota. Bagian Ketujuh Larangan Bertransaksi Pasal 38(1) Setiap orang dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan PKL pada fasilitas-fasilitas umum yang dilarang untuk tempat usaha atau lokasi usaha PKL.(2) Fasilitas umum yang dilarang untuk tempat usaha PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan rambu atau tanda larangan untuk tempat atau lokasi usaha PKL.(3) Bupati/Walikota mengenakan sanksi atas pelanggaran sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1). BAB IV PEMBERDAYAAN PKL Pasal 39(1) Gubernur melakukan pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) meliputi: a. fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota di wilayahnya; dan b. pembinaan dan supervisi pemberdayaan PKL yang dilaksanakan oleh bupati/walikota.(2) Pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan melalui: a. kerjasama antar daerah kabupaten/kota; dan b. kemitraan dengan dunia usaha. Pasal 40 Bupati/Walikota melakukan pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) antara lain melalui:a. peningkatan kemampuan berusaha;b. fasilitasi akses permodalan;c. fasilitasi bantuan sarana dagang;d. penguatan kelembagaan;e. fasilitasi peningkatan produksi;f. pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi; dang. pembinaan dan bimbingan teknis. Bagian Kesatu Pemberdayaan PKL Melalui Kerjasama Antar Daerah 12. -12- Pasal 41(1) Menteri dapat memfasilitasi kerjasama PKL antar provinsi.(2) Gubernur memfasilitasi kerjasama pemberdayaan PKL antar kabupaten/kota di wilayahnya.(3) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kerjasama antar daerah. Bagian Kedua Kemitraan Dengan Dunia Usaha Pasal 42(1) Bupati/Walikota dalam melakukan pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b antara lain dapat dilakukan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan/CSR (Corporate Social Responsibility).(2) Pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi oleh Pemerintah sesuai dengan bidang usaha berdasarkan data PKL.(3) Bentuk kemitraan dengan dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain: a. penataan peremajaan tempat usaha PKL; b. peningkatan kemampuan berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan permodalan; c. promosi usaha dan event pada lokasi binaan; dan d. berperan aktif dalam penataan PKL di kawasan perkotaan agar menjadi lebih tertib, bersih, indah dan nyaman. BAB V MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN Bagian Kesatu Monitoring dan Evaluasi Pasal 43(1) Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan penataan dan pemberdayaan PKL di daerah.(2) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama kementerian terkait.(3) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilaksanakan paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun dan/atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pasal 44(1) Gubernur melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penataan dan pemberdayaan PKL di kabupaten/kota di wilayahnya.(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Bupati/Walikota. Pasal 45(1) Bupati/Walikota melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penataan dan 13. -13- pemberdayaan PKL di wilayahnya.(2) Monitoring dan evaluasi dilaksanakan paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun dan/atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Bagian Kedua Pelaporan Pasal 46(1) Bupati/Walikota menyampaikan laporan hasil pelaksanaan penataan dan pemberdayaan PKL kepada Gubernur.(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tembusan disampaikan kepada Menteri.(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat pada akhir bulan Februari tahun berikutnya. Pasal 47(1) Gubernur menyampaikan laporan hasil pelaksanaan penataan dan pemberdayaan PKL kepada Menteri.(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat pada akhir bulan Maret tahun berikutnya. Pasal 48 Menteri melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan penataan dan pemberdayaan PKL yang disampaikan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sebagai bahan pengambilan kebijakan lebih lanjut. BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 49(1) Menteri melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan peraturan menteri ini.(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. koordinasi dengan kementerian terkait; b. sosialisasi peraturan menteri ini; c. peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah; d. bimbingan teknis, pelatihan, konsultasi, dan supervisi penataan dan pemberdayaan PKL; dan e. monitoring dan evaluasi. Pasal 50(1) Gubernur melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan kegiatan penataan dan 14. -14- pemberdayaan PKL di kabupaten/kota di wilayahnya.(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. koordinasi dengan Menteri dan Bupati/Walikota; b. sosialisasi terkait peraturan menteri ini dan kebijakan Gubernur dalam penataan dan pemberdayaan PKL kepada bupati/walikota di wilayahnya; c. fasilitasi kerjasama antar Kabupaten/Kota dalam penataan dan pemberdayaan PKL lintas Kabupaten/Kota di wilayahnya; d. bimbingan teknis, pelatihan, konsultasi, serta supervisi penataan dan pemberdayaan PKL; dan e. monitoring dan evaluasi. Pasal 51(1) Bupati/walikota melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan kegiatan penataan dan pemberdayaan PKL di kabupaten/kota.(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. koordinasi dengan Gubernur; b. pendataan PKL; c. sosialisasi kebijakan tentang penataan dan pemberdayaan PKL; d. perencanaan dan penetapan lokasi binaan PKL; e. koordinasi dan konsultasi pelaksanaan penataan dan pemberdayaan PKL; f. bimbingan teknis, pelatihan, supervisi kepada PKL; g. mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha dan masyarakat dalam penataan dan pemberdayaan PKL; dan h. monitoring dan evaluasi. Pasal 52(1) Menteri melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dan kebijakan provinsi di bidang penataan dan pemberdayaan PKL.(2) Gubernur melakukan pengawasan penataan dan pemberdayaan PKL di kabupaten/kota di wilayahnya.(3) Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap penataan dan pemberdayaan PKL yang dilaksanakan oleh SKPD. BAB VII PENDANAAN Pasal 53 Biaya pelaksanaan penataan dan pemberdayaan PKL bersumber dari:a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi;c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota; dand. Lain-lain sumber pendapatan yang sah dan tidak mengikat. BAB VIII KETENTUAN LAIN LAIN 15. -15- Pasal 54(1) Penataan dan Pemberdayaan PKL di Provinsi DKI Jakarta dilaksanakan oleh Gubernur DKI Jakarta.(2) Ketentuan mengenai penataan dan pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 53 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penataan dan pemberdayaan PKL di Provinsi DKI Jakarta. Pasal 55(1) Penetapan lokasi PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), lokasi binaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), jadwal usaha PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, pemindahan PKL dan penghapusan lokasi PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan bertransaksi beserta sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 56 Bagi daerah yang telah menetapkan RPJMD dapat melakukan perubahan RPJMD atau menyusun rencana penataan dan pemberdayaan PKL dalam Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) sebagai landasan penyusunan rancangan APBD sampai dengan ditetapkan RPJMD periode berikutnya. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 57Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Juni 2012 MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA ttd 16. -16- GAMAWAN FAUZIDiundangkan di Jakartapada tanggal 13 Juni 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd AMIR SYAMSUDINBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 607Salinan sesuai denganaslinya KEPALA BIRO HUKUM ttdZUDAN ARIFFAKRULLOH Pembina Tk.I (IV/b) NIP. 19690824 199903 1001

Contoh Makalah merintah Terhadap Masalah Pedagang Kaki Lima A. Pendahuluan

Kebijakan publik adalah segala hal yang diputuskan oleh pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah.

Masalah kebijakan merupakan sebuah fenomena yang memang harus ada mengingat tidak semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Tak jarang kebijakan dari pemerintah itu justru menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah dalam memberdayakan para pedagang kaki lima. Kebijakan tatanan kota yang merujuk pada ketertiban dan keindahan kota menjadikan sebuah harga mahal bagi kehadiran para pedagang kaki lima.

Untuk mendefinisikan tentang masalah kebijakan kita harus merujuk pada definisi dari kebijakan publik itu sendiri seperti yang telah dijelaskan diatas. Masalah kebijakan merupakan sebuah kesenjangan dari implementasi sebuah kebijakan di dalam masyarakat. Terjadinya ketidakserasian antara isi dari kebijakan terhadap apa yang terjadi dilapangan merupakan masalah dari kebijakan tersebut.

Fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL) telah banyak menyita perhatian pemerintah. Karena PKL sering kali dianggap mengganggu ketertiban lalu lintas, jalanan menjadi tercemar, menimbulkan kerawanan sosial dan tata ruang kota yang kacau. Dimata pemerintah citra negatif tersebut telah mendogma. Sebagai pembuat kebijakan pemerintah harus besikap arif dalam menentukan kebijakan.

Masalah keberadaan pedagang kaki lima terutama dikota-kota besar menjadi warna tersendiri serta menjadikan pekerjaan rumah bagi pemerintah kota. Pedagang kaki lima atau PKL adalah merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terutama kebijakan tentang ketertiban dan keindahan kota. Dampak yang paling signifikan yang dirasakan oleh PKL adalah seringnya PKL menjadi korban penggusuran oleh para Satpol PP serta banyaknya kerugian yang dialami oleh PKL tersebut, baik kerugian materil maupun kerugian non materil.

Tujuan dari penyusunan policy paper ini adalah memberikan gambaran kepada pemerintah tentang implikasi dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut serta memberikan alternatif kebijakan yang lain yang mungkin bisa dijadikan rujukan untuk memberdayakan PKL tersebut.

Dalam penulisan Policy Paper ini dilakukan dengan metode studi kepustakaan. Berbagai sumber bacaan, terutama artikel dari jurnal-jurnal pada beberapa situs internet, menjadi bahan rujukan penulis dalam penulisan policy paper ini. Penulis menemukan berbagai refrensi yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah dalam penanganan masalah Pedagang Kaki Lima.

B. Pernyataan Masalah

Keberadaan PKL menjadi hal yang paling urgen bagi pemerintah untuk segera dicarikan solusinya. Seringnya terjadi penggusuran terhadap keberadaan PKL menuntut pemerintah untuk segera mencarikan tempat atau alternatif lokasi bagi para PKL untuk menjalankan usahanya. Jika pemerintah tidak mampu untuk mencarikan solusi tentang keberadaan PKL tersebut, artinya pemerintah secara tidak langsung menelantarkan masyarakatnya serta mematikan usaha dari masyarakat untuk bagaimana mempertahankan hidupnya. Pemerintah harus segera menyelamatkan keberadaan PKL tersebut.

Melalui kertas kebijakan ini penulis mengajak semua elemen masyarakat untuk turut serta mendesak pemerintah agar segera mencari solusi untuk menyelamatkan keberadaan dari PKL tersebut. Permasalahan PKL menjadi menarik, karena PKL menjadi sebuah dilema tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, disisi lain PKL menjalankan peran sebagai Shadow Economy. Namun, mengingat bahwa kontribusi PKL sangat besar bagi semua kalangan masyarakat. Keberadaannya sangat membantu masyarakat terutama saat-saat kondisi tertentu.

Masalah keberadaan PKL serta upaya untuk menghilangkannya atau menggusurnya sesungguhnya merupakan fenomena lama yang dialami oleh pemerintah di kota-kota besar. Sejak terjadinya krisis ekonomi, pembangunan perekonomian daerah dan pengembangan wilayah sebagai upaya peningkatan pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan antar daerah mengalami hambatan dan keterbatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam, ketersediaan modal, kemitraan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.Seiring dengan perkembangan Daerah Perkotaan dan adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kurangnya ketersediaan lapangan kerja dan sarana prasarana dalam jumlah yang banyak, sehingga banyak masyarakat bawah mengambil alternatif untuk berprofesi sebagai PKL.

Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah membangun ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan ekonomi, tidak berkembangnya usaha usaha di sektor riil yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran yang sampai saat ini diprediksi kurang lebih 40 juta penduduk sedang menganggur.

Yang menjadi perhatian kita, Seandainya pemerintah punya komitmen yang kuat dalam mensejahterakan masyarakatnya harus menyiapkan dana khusus sebagai jaminan PKL yang digusur untuk memulai usaha baru ditempat lain.Mengingat PKL yang digusur biasanya tanpa ada ganti rugi karena dianggap illegal .Bagaimanapun juga PKL adalah juga warga negara yang harus dilindungi hak-haknya, hak untuk hidup, bebas berkarya , berserikat dan berkumpul. Jadi yang terkena dampak dari adanya PKL yaitu para masyarakat pengguna jalan dan mengurangi keindahan tatanan jalan perkotaan maupun didesa.

Efek yang ditimbulkan dari keberadaan PKL ini dengan pola ketidakteraturannya misalnya menciptakan kawasan kumuh, kesemrawutan, kemacetan lalu lintas dan mengurangi keindahan atau estetika kota. Permasalahan PKL ini runtut sejak awal dan semakin besar serta tidak mudah teratasi akibat arus migrasi yang tidak pemah berhenti. Dan kebijakan demi kebijakan telah diterapkan pemerintah khususnya pemerintah kota, namun hingga kini belum menampakkan hasil yang memuaskan. Pemkot menegaskan komitmen penataan dan pengelolaan sektor informal. Selain itu, secara khusus didirikan Dinas Koperasi dan Sektor Informal. Lembaga tersebut berupaya menyediakan kawasan legal bagi PKL untuk berjualan dan menyediakan dana bergulir.

Pemkot sendiri mengaku telah melakukan pendataan, penataan, pemberian modal bergulir hingga pelatihan kerja melalui Dinas Koperasi dan Sektor Informal.

Melihat kenyataan di lapangan, upaya Pemkot dalam penataan PKL ternyata diangggap beberapa kalangan masih terkesan setengah-setengah. Akibatnya, upaya penertiban seringkali berujung pada bentrokan dan perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun justru melakukan unjuk rasa menghujat kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk measyarakat miskin.

C. Alternatif Kebijakan

Implementasi kebijakan pemerintah yaitu dilakukan dengan pemikiran yang rasional dan proporsional. Logikanya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dalam hal ini relokasi, srelokasi tersebut adalah pemerintah berupaya mencari win-win solution atas permasalahan PKL. Dengan dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL untuk menopang ekonomi daerah. Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi aktor informal, artinya dengan ditempatkannya pedagang kaki lima pada kios-kios yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut hukum. Sehingga dengan adanya legalisasi tersebut pemkab dapat menarik restribusi secara dari para pedagang agar masuk kas pemerintah dan tentunya akan semakin menambah Pendapatan Asli Daerah.

Pemerintah Kota mengeluarkan kebijakan yang isinya antara lain :1. Pedagang Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-kios.2. Kios kios tersebut disediakan secara gratis..3. Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi4. Bagi Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dengan demikian, Pemerintah kota menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios-kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu, pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.

Pemerintah Kota merasa telah melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi tersebut, beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi penolakan terhadap rencana relokasi ini. Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini yaitu;

Pertama, dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang menggodok konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.

Kedua, adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah seringkali menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap Pemerintah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah Kota atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidakjelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.

Dalam perencanaan tata kota, relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL mulai dari tahap penentuan lokasi hingga kapan harus menempati. Rekomendasi kebijakannya adalah penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan akses ke proses pengambilan keputusan. Pemerintah mestinya serius untuk mendengarkan aspirasi para PKL melalui paguyuban-paguyuban PKL di lokasi masing-masing sehingga program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadi sia-sia belaka.

Dalam keadaan Seperti ini sebaiknya Pemerintah melakukan pembinaan mental, yaitu bagaimana mengelola PKL itu sendiri. Kalau kita bicara tentang PKL itu bukan hanya mengelola tempat tetapi juga mengelola orang. Salah satu keengganan orang untuk berbelanja di pasar adalah kesadaran lingkungan yang rendah dan ketidakjujuran. Kesadaran lingkungan yang rendah terhadap sampah dan aroma yang menyengat hidung juga menyebabkan kalah populernya PKL dibanding pusat perbelanjaan modern. Dan ketidakjujuran sangat mengganggu proses jual beli di PKL. Untuk mencegah dan mengurangi hal tersebut salah satu cara dengan social value system atau nilai-nilai yang mengikat di masyarakat. Upaya pembinaan mental terhadap PKL perlu dilakukan agar PKL menjadi lebih jujur dan sadar lingkungan.

Pembinaan mental dapat dilakukan dengan mengadakan kajian keagamaan yang berkenaan dengan masalah muamalah atau himbauan yang dikemas dalam nuansa religius baik melalui media tatap langsung, selebaran, dan sebagainya.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi

Harus diakui bahwa upaya menata PKL dan menertibkan bangunan liar di Kota bukanlah hal yang mudah namun tiada masalah kecuali pasti ada solusinya. Memang, Pemerintah Kota pada akhirnya tidak bisa sendirian dalam penuntasan permasalahan PKL ini, perlu bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat kota bahkan stake holder dari kota-kota yang lain terkait arus urbanisasi namun tetap saja kunci pertama adalah keseriusan dan konsistensi yang harus ditunjukkan oleh Pemerintah Kota dalam mengawal program-program terkait PKL ini. Beberapa hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan Pemerintah kota dalam menangani PKL ini adalah :1. Mengawali dengan paradigma bahwa PKL bukanlah semata-mata beban atau gangguan bagi keindahan dan ketertiban kota. Tetapi, PKL juga punya hak hidup dan mendapatkan penghasilan secara layak, namun tentunya alasan seperti ini jangan sampai digunakan pedagang untuk berdagang tanpa mematuhi aturan karena tidak semua lokasi bisa dipakai sebagai tempat usaha. Pemkot tetap harus tegas namun tentunya ini membutuhkan komunikasi dengan penuh keterbukaan.2. PKL sesungguhnya juga merupakan aset dan potensi ekonomi jika benar-benar bisa dikelola dengan baik. Paradigma ini akan berimplikasi pada cara pendekatan Pemkot ke PKL yang selama ini dianggap sangat represif-punitif yang justru melahirkan perlawanan dan mekanisme kucing-kucingan yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah.3. Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan (RTRW) yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL. Kawasan yang dikhususkan untuk PKL telah terbukti menjadi solusi dibeberapa tempat di Indonesia. Bahkan bisa menjadi alternative tempat wisata jika dimodifikasi dengan hiburan yang menarik perhatian masyarakat.4. Pemerintah Kota harus memiliki riset khusus secara bertahap untuk mengamati dan memetakan persoalan PKL, pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota, sehingga bisa meletakkan argumen logis untuk aktivitas berikutnya. Sehingga model pembinaan ke PKL bisa beragam bentuknya dan tidak mesti dalam bentuk bantuan modal. Model pembinaan PKL dari Pemkot yang memang sudah berjalan dan dirasakan efektif mungkin bisa dilanjutkan tinggal bagaimana memperkuat pengawasan implementasi di lapangan karena masih banyak keluhan indikasi lemahnya pengawasan penyimpangan.5. Pemerintah Kota harus membuka diri untuk bekerja sama dengan elemen masyarakat dalam penanganan masalah PKL ini. Semisal LBH dan beberapa LSM atau pihak akdemis mungkin bisa dilibatkan untuk melakukan riset pemetaan persoalan PKL dan advokasi ke mereka. Beberapa Ormas bahkan Parpol pun bisa berperan dalam hal pembinaan ke mereka sehingga PKL ini benar-benar menjadi tanggung jawab bersama masyarakat.6. Pemerintah Kota harus memastikan payung hukum (Perda) yang tidak menjadikan PKL sebagai pihak yang dirugikan. Pelibatan semua elemen yang terkait baik itu masyarakat, pengusaha, dewan, dinas terkait dan elemen yang lain dengan semangat keterbukaan justru akan menjadikan kebijakan pemkot didukung dan dikawal implementasinya oleh banyak kalangan. 7. Pemerinyah Kota juga harus berani mengawal regulasi terkait penyediaan 10 % area bagi tiap-tiap tempat pembelanjaan seperti Mall atau supermarket yang dikhususkan untuk PKL. Tentunya Pemerintah kota harus memfasilitasi sehingga antara pihak PKL dan Pengusaha bisa sama-sama tidak dirugikan.8. Penertiban terhadap PKL liar mestinya harus dilakukan dengan pendekatan dialog yang bernuansa pembinaan dan bukan pendekatan represif yang justru memicu perlawanan dan tidak boleh terkesan tebang pilih karena bisa memicu kecurigaan masyarakat tentang adanya tekanan politis dari kekuatan tertentu yang mengarahkan penertiban hanya pada komunitas tertentu. Penggusuran yang tidak disertai keberlanjutan program yang pasti bisa berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran yang jika tidak terkendali dengan baik justru memicu tindakan kriminalitas baru.9. Selain penerapan Kebijakan penertiban terhadap PKL, Pemerintah kota juga harus berani melakukan penertiban kepada komunitas lain yang memang juga melanggar aturan tata tertib kota semisal sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang menempati jalur hijau kota, dan bangunan-bangunan komersial yang melanggar garis sempadan.10. Pemerintah Kota juga harus punya langkah preventif berupa pencegahan arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota. Kerja sama dengan daerah hinterland (pedalaman) mutlak dilakukan.Konsistensi langkah Pemerintah kota dalam mengawal poin-poin diatas semoga bisa menempatkan PKL menjadi bagian terintegral dari masyarakat yang lain dan menjadi bagian penting dalam sistem ekonomi perkotaan dan bukan sebagai korban pembangunan kota metropolitan.