Promosi Demokrasi UE di Maroko dalam Kerangka ENP...
Transcript of Promosi Demokrasi UE di Maroko dalam Kerangka ENP...
1
PROMOSI DEMOKRASI UNI EROPA DI MAROKO
DALAM KERANGKA EUROPEAN NEIGHBORHOOD
POLICY (2011-2013)
Skripsi
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh
Tisa Lestari
1110113000013
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
PROMOSI DEMOKRASI UNI EROPA DI MAROKO DALAM KERANGKA
EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY (2011-2013)
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 Desember 2014
Tisa Lestari
ii
iii
iv
ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan tentang promosi demokrasi yang dilakukan oleh
Uni Eropa (UE) di Maroko dalam kerangka European Neighborhood Policy
(ENP) selama tahun 2011-2013. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa cara
UE dalam mempromosikan demokrasi di Maroko, setelah terjadinya Revolusi
Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara pada tahun 2010, serta reformasi
konstitusi Maroko pada tahun 2011. Penelitian ini fokus pada tiga aspek dalam
reformasi demokrasi Maroko, yaitu dalam aspek pemisahan kekuasaan, penguatan
peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil dalam
pembangunan demokrasi.
Penulis menggunakan pemahaman konstruktivisme sebagai landasan
pemikiran utama dalam penelitian ini. Pemahaman konstruktivisme ini digunakan
untuk menjelaskan sosialisasi norma dalam membentuk identitas kolektif. Penulis
menggunakan konsep sosialisasi norma yang diungkapkan oleh Thomas Risse dan
asumsi identitas kolektif Alexander Wendt. Penulis juga menggunakan konsep
promosi demokrasi yang diungkapkan oleh Thomas Risse, bahwa promosi
demokrasi dapat dijelaskan secara normatif sebagai bentuk transfer norma.
Terakhir, penulis menggunakan konsep strategi promosi demokrasi Trine
Flockhart, yaitu strategi pengaruh sosial (social influence) atau penguatan
dukungan (reinforcement), dalam wujud kondisionalitas.
Berdasarkan analisis konsep-konsep dan asumsi-asumsi tersebut,
penelitian ini menemukan bahwa UE telah melaksanakan konstruksi sosial politik
dalam mempromosikan demokrasi di Maroko. Adapun konstruksi tersebut telah
menghasilkan capaian penting dalam di tiga aspek reformasi demokrasi Maroko,
yaitu adanya komitmen Kerajaan Maroko terhadap pemisahan kekuasaan,
penggunaan kerangka kerja UE sebagai kerangka kerja Parlemen Maroko, dan
pembangunan Civil Society Facility (CSF) dan Citizen for Dialogue yang
menjembatani komunikasi pemerintah dan masyarakat sipil Maroko. Penelitian ini
juga menemukan bahwa UE mempromosikan demokrasi di Maroko dengan
menggunakan kondisionalitas sebagai instrumen yang diwujudkan dalam
program-program ENP. Adapun promosi demokrasi UE di Maroko dalam
kerangka ENP ini merupakan bentuk sosialisasi norma demokrasi UE di Maroko
untuk membentuk identitas kolektif UE dan Maroko sebagai aktor yang pro
demokrasi.
Kata Kunci: Uni Eropa, Maroko, ENP, Promosi Demokrasi
v
ABSTRACT
This Research explains European Union’s (EU) democracy promotion in
Morocco within the framework of European Neighborhood Policy (ENP) during
2011-2013 period. This Research aims to analyze the way used by EU to promotes
democracy in Morocco, after Arab Revolution in Middle East and North Africa in
2010, and also Morocco constitutional reform in 2011. This study focuses on
three aspects of Moroccan democratic reform, that are the separation of power,
strengthening the role of parliament, and strengthening the role of civil society
organizations in the development of democracy .
I use constructivism as a basis of main thought in this research.
Constructivism is used to explain norm socialization in constructing collective
identity. I use norm sosialization concept from Thomas Risse and assumption of
collective identity by Alexander Wendt. I also use democracy promotion concept
from Thomas Risse, which explain that normatively democracy promotion can be
seen as a form of transfer of norms. The Latter, I use democarcy promotion
strategy concept by Trine Flockhart, that is social influence or reinforcement
strategy, in the form of conditionality.
Based on the analysis of concepts and assumptions , this study found that
the EU has implemented social and political construction in promoting
democracy in Morocco . The construction has resulted in important achievements
in three aspects of democratic reform in Morocco, that are the Kingdom of
Morocco 's commitment to the separation of powers, the use of the framework of
the EU as a framework for the Moroccan parliament, and the development of the
Civil Society Facility (CSF) and Citizen for Dialogue as a bridge for the
communication of Moroccan government and Moroccan civil society. This study
also found that the EU promote democracy in Morroco by using conditionality as
an instrument in the form of ENP programmes. EU democracy promotion in
Morocco within the framework of ENP is a relization of EU’s democratic norm
socialization in Morocco that constructs EU and Morocco’s collective identity as
pro-democracy actors.
Key Word: European Union, Morocco, ENP, Democracy Promotion
vi
KATA PENGANTAR
Assalammu‟alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah Rabb al-A’alamin. Segala puji bagi Allah SWT atas semua
nikmat dan karunia-Nya yang telah peneliti terima, sholawat serta salam penulis
sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW atas wasilah serta
pencerahannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka European
Neighborhood Policy (2011-2013)” ini dengan baik.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk yang teristimewa kedua orang tua
penulis, Bapak Salamun dan Ibu Astuti. Terima kasih kepada keduanya yang tak
pernah lelah memberikan dukungan baik moral, material, dan do‟a untuk penulis.
Terima kasih untuk Bapak dan Ibu. Juga kepada adik-adik penulis, Ridwan Dwi
Hanggoro dan Assidiq Nurrohman, skripsi ini penulis persembahkan untuk
mereka berdua yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis
untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
Dalam penelitian skripsi ini, penulis juga banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, baik spiritual, moral dan material. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini peneliti dengan segenap hati dan dengan segala hormat
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Ibu Debbie Afianty, M.Si, dan sekretaris program studi,
Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si.
2. Bapak Faisal Nurdin Idris, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
mendedikasikan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk membimbing
penulis. Terima kasih atas begitu banyak arahan, dorongan, motivasi, dan ilmu
yang telah diberikan dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak M. Adian Firnas, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan, solusi, dukungan, dan motivasi kepada penulis di awal
penulisan skripsi ini.
vii
4. Bapak Budi Satari, M.Sc dan Bapak Irfan Hutagalung, S.H, LLM sebagai
dosen penguji sidang DPS; serta Ibu Mutiara Pertiwi, MA dan Bapak Teguh
Santosa, MA sebagai dosen penguji sidang skripsi; yang telah memberikan
banyak sekali masukan, arahan, dan melatih penulis untuk konsisten berfikir
secara ilmiah demi terciptanya sebuah skripsi yang baik.
5. Seluruh jajaran staff dan pengajar di Prodi Hubungan Internasional,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Sahabat-sahabat penulis, Rosa Permata Nurani, Peni Intan Palupi, Istiqamah,
Detty Oktavina, El Humairoh Wijaya, dan Siti Maunah sebagai suporter utama
yang selalu memberi motivasi, masukan, dan do‟a untuk penulis sejak awal
penulisan skripsi hingga melewati sidang skripsi dengan baik.
7. Teman-teman seperjuangan di kelas regular A dan kelas regular B Hubungan
Internasional UIN Jakarta, Oya, Rere, Putri, Bagus, Yuri, Zakiah, Dienny,
Dian, Anggi, Hana, Lilah, Windy, Siska, dan semua teman-teman, terima
kasih atas kebersamaan dan kenangan yang diberikan selama empat tahun
penulis menimba ilmu di UIN Jakarta.
8. Untuk guru-guru penulis, Emine hocam dan Lale abla, yang telah memberi
banyak ilmu dan pengetahuan baru, serta dukungan dan inspirasi kepada
penulis. Juga untuk teman-teman White Pearls Fethullah Gulen Chair UIN
Jakarta, Asiah, Tati, dan teman-teman Turkce Kursu semua. Cok Tesekkur
Ederim.
Akhirnya penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
serta masih banyak kekuarangan yang menyertai. Untuk itu penulis mengharapkan
masukan serta kritikan, agar nantinya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak.
Jakarta, 16 Desember 2014
Tisa Lestari
viii
DAFTAR SINGKATAN
AA : Association Agreements
AP : Action Plan
CGEM : General Confederations of Morocco‟s Enterprises
CSF : Civil Society Facility
CSO : Civil Society Organization
EMP : Euro-Mediterranean Partnership
ENP : European Neighborhood Policy
ENPI : European Neighborhood Partnership Instrument
GUMW : General Union of Moroccan Workers
NIS : Newly Independent States
NGO : Non-Governmental Organization
PAM : Party of Authenticity and Modernity
PCA : Pre-Accession Assistance
PJD : Justice and Development Party
RNI : National Rally of Independents
SPRING : Support for Partnership, Reforms and Inclusive Growth
SUPF : Socialist Union of Popular Forces
UE : Uni Eropa
UfM : Union for Mediterranean
WDC : Workers Democratic Confederation
WFD : Westminster Foundation for Democracy
ix
DAFTAR TABEL DAN BAGAN
Tabel
Tabel I.A.1. Morocco‟s National Indicative Programme 2011-2013...................10
Tabel II.B.1. Distribusi Kursi Parlemen Maroko..................................................45
Tabel II.B.1. Komponen Utama Action Plan EU-Maroko...................................60
Tabel III.C.1. Rincian Dana Program SPRING....................................................66
Tabel III.C.2. Rincian Dana Untuk Program Tematik..........................................69
Bagan
Bagan IV.1. Operasionalisasi Kerangka Pemikiran..............................................86
x
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI....................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI.....................................................iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
ABSTRACT ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... viii
DAFTAR TABEL DAN BAGAN ....................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Penelitian ............................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 12
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 13
E. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 16
1. Konstruktivisme ..................................................................................... 17
2. Promosi Demokrasi ................................................................................ 21
3. Kondisionalitas ....................................................................................... 26
F. Metode Penelitian.......................................................................................30
G. Sistematika Penulisan.................................................................................31
BAB II DEMOKRATISASI DI MAROKO ...................................................... 32
A. Pemisahan Kekuasaan .............................................................................. 33
1. Periode Awal Transisi Demokrasi-Reformasi Konstitusi 1996...........33
2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996-Reformasi Konstitusi 2011............36
xi
3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013..............................38
B. Penguatan Peran Parlemen ....................................................................... 40
1. Periode Awal Transisi Demokrasi-Reformasi Konstitusi 1996...........40
2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996-Reformasi Konstitusi 2011............42
3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013..............................44
C. Penguatan Peran Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pembangunan
Demokrasi ................................................................................................ 47
1. Periode Awal Transisi Demokrasi-Reformasi Konstitusi 1996...........47
2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996-Reformasi Konstitusi 2011............49
3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013..............................51
BAB III EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY (KEBIJAKAN EROPA
UNTUK NEGARA TETANGGA) DI MAROKO.............................55
A. Pengertian European Neighborhood Policy (ENP).................................56
B. Landasan Kerjasama Uni Eropa-Maroko dalam Kerangka ENP.............58
C. Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka ENP (2011-
2013)........................................................................................................61
1. Bidang Pemisahan Kekuasaan.............................................................63
2. Bidang Penguatan Peran Parlemen......................................................64
3. Bidang Penguatan Peran Organisasi Masyarakat Sipil Dalam
Pembangunan Demokrasi.....................................................................66
BAB IV ANALISIS PROMOSI DEMOKRASI UNI EROPA DI MAROKO
DALAM KERANGKA EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY
(ENP) TAHUN 2011-2013 ..................................................................... 71
A. Sosialisasi Norma Demokrasi UE di Maroko Untuk Membentuk Identitas
Kolektif ...................................................................................................71
B. Promosi Demokrasi UE di Maroko Dalam Kerangka ENP Sebagai
Perwujudan Sosialisasi Norma Demokrasi..............................................75
xii
C. Kondisionalitas Sebagai Instrumen Promosi Demokrasi UE di
Maroko.....................................................................................................78
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 90
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Uni Eropa (UE) adalah salah satu aktor internasional yang paling aktif
mempromosikan demokrasi kepada negara-negara tetangganya. Sejak
berakhirnya Perang Dunia II, Uni Eropa terus berusaha memperluas nilai-nilai
politik dan ekonominya, tidak hanya kepada negara-negara di kawasan Eropa,
tetapi juga negara-negara di luar kawasan Eropa.1Uni Eropa sendiri relatif
masih dikenal sebagai „young promoter of democracy‟ (promotor muda
demokrasi) dalam hubungan eksternalnya,2
karena UE baru benar-benar
menjadi lebih aktif dalam mempromosikan demokrasi setelah runtuhnya Uni
Soviet, ketika 15 negara tetangganya meraih kemerdekaan dan terjadi
perubahan demokratis di negara-negara tersebut.3
Meningkatnya keinginan UE dalam mempromosikan demokrasi
kepada negara-negara tetangganya di kawasan Eropa kemudian mendorong
UE untuk membentuk beberapa strategi promosi demokrasi kepada negara-
negara tetangganya di kawasan ini, salah satunya melalui European
1 Megan Leahy, “A New Tool for Democratization within the European Neighborhood Policy:
The “Advanced Status” Program in Morocco”, (Paper Akademik, University of North Carolina,
North Carolina, 2011), hlm.1 2 Günther Guggenberger, “Symbolic actions or effective endeavours? The EU‟s activities to
promote democracy in Ukraine, Moldova and Belarus.” European Union and its New
Neighborhood: Addressing Challenges and Opportunities, ed. Jolanta Grigaliunaité and Sarunas
Liekis (Vilnius: Demokratiezentrum Wien, 2006), hlm. 87 3 Maria Vizdoaga, “The effectiveness of the EU policies in promoting democracy in Moldova,”
(Tesis, Leiden University, 2013), hlm. 11
2
Neighborhood Policy (ENP).4 ENP adalah strategi politik UE yang secara luas
bertujuan untuk memperkuat kesejahteraan, stabilitas, dan keamanan negara-
negara tetangga Eropa guna menghindari munculnya garis pembatas antara
UE yang diperluas (Enlarged EU) dengan negara-negara tetangga yang
berbatasan secara langsung dengan UE.5
Adapun menurut dokumen
Copenhagen European Council pada Desember 2002, ENP juga bertujuan
mempromosikan Nilai-nilai Eropa (European Values), dimana UE harus
mempromosikan kerjasama regional dan sub-regional serta integrasi yang
dikondisikan untuk stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan penurunan
tingkat kemiskinan.6
Sejak tahun 2004, lingkup ENP mencakup 16 negara7
, dan
keanggotaannya didominasi oleh negara-negara Eropa.8 ENP dalam jangka
pendek dijalankan melalui Perjanjian Asosiasi (Association Agreement)
antara UE dengan negara mitra, sedangkan dalam jangka panjang
dilaksanakan melalui Rencana Kerja (Action Plan).9
Adapun dana atau
4 Ibid, hlm. 42
5 European Neighborhood and Partnership Instrument, http://eeas.europa.eu/enp/index_en.htm,
diakses pada 17 Maret 2014. 6 Florent Parmentier, “The European Neighborhood Policy as a Process of Democratic Norms
Diffusion in Ukraine, Can The EU Act Beyond Kondisionalitas?”, Les Cahiers europeens de
Sciences Po. No. 02 (2006), hlm. 2 7 12 Negara telah menyetujui ENP Action Plans, yaitu Armenia, Azerbaijan, Mesir, Georgia,
Israel, Yordania, Lebanon, Moldova, Maroko, Palestina, Tunisia, dan Ukraina; Satu negara dalam
proses negosiasi Action Plans, yaitu Aljazair; dan tiga negara berada diluar sebagian besar struktur
ENP, yaitu Belarusia, Libya, dan Suriah 8
Richard G. Whitman dan Stefan Wolff, “Much Ado About Nothing? The European
Neighborhood Policy in Context,” The European Neighborhood Policy in Perspective: Context,
Implementation and Impact, ed. Richard G. Whitman dan Stefan Wolff (New York: Palgrave
Macmillan, 2010), hlm. 3 9 Simon Rosenkӧtter, “Assessing The Impact of EU Neighborhood Policies on Democratization in
Morocco and Egypt,” (Skripsi, Universiteit Twente, 2011) hlm. 5
3
insentif yang diberikan kepada negara anggota diatur dalam European
Neighborhood and Partnership Instrument (ENPI).
Pada dasarnya ENP dibentuk untuk membantu negara-negara tetangga
di sebelah Timur (Eastern Neighbours) UE, yang tengah berupaya menuju
demokrasi dan berjuang untuk menjadi anggota baru UE. Keberhasilan ENP
dalam promosi demokrasi di beberapa negara Eastern Neighbours seperti
Moldova dan Ukraina, yang keduanya kemudian masuk menjadi anggota UE,
kemudian mendorong UE untuk juga melaksanakan promosi demokrasi ke
negara-negara tetangga di sebelah Selatan (Southern Neighbours).10
Salah satu negara Southern Neighbours yang menjadi prioritas UE
dalam mempromosikan demokrasi melalui ENP adalah Maroko.11
Prioritas UE
terhadap Maroko didorong oleh beberapa faktor dan kepentingan, diantaranya
bahwa secara tradisional Maroko adalah negara yang memiliki hubungan
paling dekat Eropa, terutama dengan dua negara anggota UE, Spanyol dan
Perancis.12
Karena kedekatan geografis, dua negara Mediteranian UE tersebut
fokus pada kontrol imigran dari Afrika, keamanan regional, perdagangan
bebas, dan hak perikanan dengan Maroko.13
Selain itu, Maroko juga menjadi
mitra utama UE dalam memerangi terorisme, terutama karena Maroko terkena
10
Tina Freyburg, et.al., “Democracy promotion through functional cooperation? The Case of The
European Neighborhood Policy”, Democratization, Vol. 18, No. 4, (Agustus 2011) [jurnal on-
line]; tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584738; internet; diunduh pada 17
Januari 2014. 11
Ibid, hlm. 3 12
Carl Dawson, EU Intergration With North Africa: Trade Negotiations and Democracy Deficits
in Morocco (London: IB Tauris & Co. Ltd, 2009), hlm. 51 13
Kristina Kausch, “Morocco,” Is the European Union Supporting Democracy in its
Neighbourhood?, ed. Richard Youngs (Spain: FRIDE, 2008), hlm. 13-14
4
imbas kekerasan politik dan terorisme di Aljazair.14
Adapun dalam bidang
energi, UE sangat membutuhkan Maroko sebagai alternatif penyuplai energi
ke Eropa Barat, seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia dan
memburuknya hubungan UE-Rusia. Maroko juga diharapkan dapat menjadi
negara transit gas dari Aljazair ke Eropa.15
Maroko sendiri sejak Raja Mohammed VI berkuasa, memiliki
komitmen yang kuat untuk melaksanakan demokratisasi. Beberapa reformasi
dilaksanakan oleh Raja Mohammed VI diantaranya adalah mendirikan Equity
and Reconciliation Commission (IER) sebagai komisi HAM, adopsi hukum
status liberal personal (Moudwana), dan National Human Development
Initiative (INDH).16
Reformasi ini yang kemudian mendorong UE untuk
memberikan Advanced Status kepada Maroko sebagai negara dengan progres
demokratisasi yang baik pada Oktober 2008. Maroko menjadi negara ENP
pertama yang mendapatkan status ini.17
Kepentingan UE, serta komitmen dan
reformasi demokrasi Maroko tersebut yang kemudian menjadikan Maroko
sebagai prioritas promosi demokrasi UE melalui ENP di kawasan Southern
Neighbours.
Maroko bergabung dalam ENP sejak tahun 2004, dan merupakan salah
satu negara yang pertama kali menandatangani Action Plan. Pada masa awal
14
Ian O. Lesser, Geoffrey Kemp, Emiliano Alessandri, dan S. Enders Wimbush, “Morocco‟s New
Geopolitics: A Wider Atlantic Perspective,” GMF Wider Atlantic Series (Washington DC: The
German Marshall Fund of the United States, 2012), hlm. 13 15
Loc.Cit, hlm. 15 16
Haim Malka dan Jon B. Alterman, “Arab Reform and Foreign Aid: Lessons from Morocco,”
CSIS Significant Issues Series, Vol. 28, No. 4 (2006), hlm. 47 17
Kristina Kausch, “Morocco‟s „Advanced Status‟: Model or Muddle?,” FRIDE Policy Brief, No.
43 (Maret 2010), hlm. 3
5
ENP di Maroko, yakni dari tahun 2006 sampai sebelum Revolusi Arab, Action
Plan hanya meliputi bentuk kondisionalitas positif yang lemah dimana
Maroko sebagai negara ENP, tergantung pada progres reformasi politik,
ekonomi, dan institusionalnya (yang tidak didefinisikan secara jelas),
diberikan akses ke pasar tunggal UE dan hubungan yang lebih erat dengan
UE.18
Kebijakan promosi demokrasi UE dalam ENP di Maroko pada periode
ini juga banyak dikritik karena dianggap tidak serius dan tidak konsisten
dalam pelaksanaannya. Karena terlalu fokus pada keamanan dan perdagangan,
beberapa kebijakan dalam aspek politik justru menjadi tidak tepat sasaran
dalam pelaksanaannya.19
Pemberian Advanced Status misalnya, hanya
bertujuan ekonomis dimana Maroko dapat masuk ke dalam pasar tunggal UE
dengan hanya melaksanakan modernisasi dalam beberapa bidang seperti
kebijakan publik, namun tidak melaksanakan reformasi dalam bidang politik,
seperti reformasi kekuasaan Raja dan kekuasaan parlemen.20
Maka, dapat
dikatakan bahwa pada awalnya UE tidak serius mempromosikan demokrasi di
negara ini, ENP dilaksanakan hanya sebagai alat untuk membangun hubungan
baik dengan negara-negara Southern Neighbours, demi menjaga stabilitas
kawasan.
18
Anna Khakee, “Assessing Democracy Assistance: Morocco”, Fride Project Report (Mei 2010),
hlm. 3 19
Kausch, “Morocco,” Is the European Union Supporting Democracy in its Neighbourhood?”,
hlm. 16 20
Kausch, “Morocco‟s „Advanced Status‟: Model or Muddle?, hlm. 3
6
Adapun pada masa awal bergabung dalam ENP, situasi demokrasi
Maroko juga tidak mengalami banyak perubahan, khususnya dalam aspek
reformasi politik. Sebagai negara semi otoriter, kehidupan politik Maroko
ditandai dengan realitas demokrasi ganda. Secara formal, Maroko memang
memiliki struktur dan institusi demokratis, namun secara informal struktur ini
dibayangi oleh struktur pemerintahan yang disebut Makhzen, yaitu jaringan
kerajaan yang menguasai garis kebijakan utama dan bertindak sebagai penjaga
segala bentuk reformasi politik. Sebagai akibatnya, reformasi politik di
Maroko berjalan selektif dan superfisial.21
Terkait pembagian kekuasaan misalanya, konsentrasi kekuasaan di
tangan Raja sama sekali tidak tersentuh oleh reformasi. Raja Maroko
bertindak sebagai penjamin keteraturan politik sebagai dasar legitimasi
relijius, kekuasaan absolut dan kekuasaan mempertahankan takhta.22
Kekuasaan di Maroko memang dibedakan secara hukum dan fungsinya,
namun pada praktiknya tidak ada pemisahan kekuasaan, dengan kerajaan
memimpin kekuasaan eksekutif dan memiliki pengaruh besar atas kekuasaan
legislatif dan yudikatif.23
Oleh karena tidak ada pembagian kekuasaan yang jelas, maka
parlemen tidak memiliki kekuatan dan peran yang signifikan dalam
pembangunan demokrasi Maroko. Meskipun memiliki sistem multipartai dan
rutin melaksanakan pemilu legislatif, kerajaan mengesampingkan peran
21
Kausch, “Morocco,” Is the European Union Supporting Democracy in its Neighbourhood? hlm.
10 22
Dawson, hlm. 75 23
Loc. Cit, hlm. 11
7
parlemen. Akibatnya, partai-partai politik menjadi lemah dan parlemen lebih
memilih melaksanakan keinginan kerajaan dan Makhzen, daripada keinginan
konstituennya. Dalam proses reformasi demokrasi di Maroko, parlemen juga
tidak memiliki peran.24
Selain masalah pembagian kekuasaan dan wewenang parlemen,
terbatasnya kontrol dan pengaruh masyarakat sipil dalam politik dan
pemerintahan Maroko juga menjadi permasalahan lain. Beberapa organisasi
masyarakat sipil Maroko yang aktifitasnya terkait dengan isu-isu tabu seperti
monarki, pemisahan kekuasaan, atau kemerdekaan Sahara Barat segera
dihentikan melalui berbagai langkah hukum oleh pemerintah.25
Kondisi demokrasi Maroko yang demikian, juga tidak didukung dalam
prioritas reformasi yang dicanangkan UE dalam program-program ENP pada
periode tersebut. Isu-isu reformasi yang secara langsung berkenaan dengan
kelemahan-kelemahan demokratis yang spesifik di Maroko, seperti lemahnya
parlemen dan pemisahan kekuasaan yang tidak jelas, tidak ada dalam prioritas
ENP di Maroko.26
Pada periode 2007-2010 misalnya, dalam National
Indicative Programme ENP in Morocco 2007-2010 disebutkan bahwa
prioritas ENP di Maroko hanyalah prioritas sosial, seperti dukungan kepada
INDH dan kebijakan pendidikan; prioritas HAM, seperti mendukung Ministry
of Justice dan impelementasi IER; prioritas ekonomi, seperti promosi investasi
24
Haim Malka dan Jon B. Alterman, hlm. 55 25
Driss Ben Ali, “Civil Society and Economic Reform in Morocco,” ZEF Project Research Paper,
Universitat Bonn (Januari 2005), hlm. 3 26
Eike Meyer,“Democracy Promotion by The European Union in Morocco within The Framework
of The European Neighborhood Policy,” (Tesis, Universitat Potsdam, 2007), hlm. 62
8
dan ekspor industri Maroko, pertanian, dan pembangunan infrastruktur; serta
prioritas lingkungan, seperti memberikan dana bantuan untuk menanggulangi
depolusi. Adapun demokrasi tidak ada dalam proritas program tersebut.27
Pergeseran prioritas UE dalam program-program ENP untuk secara
„serius‟ mempromosikan demokrasi baru terjadi setelah Revolusi Arab (Arab
Spring) yang melanda negara-negara ENP di Selatan seperti Mesir dan
Tunisia pada tahun 2010. UE kemudian merespon Revolusi Arab salah
satunya dengan menggeser fokus ENP dari pembangunan ekonomi menjadi
pembangunan demokrasi.28
Revolusi Arab menjadi momentum bagi UE
untuk memulai promosi demokrasi dalam aspek politik di Southern
Neighbours melalui ENP.
Di Maroko sendiri, respon masyarakat dan oposisi Maroko terhadap
gelombang protes anti-rezim ini berbeda dengan negara-negara lain di
kawasan yang terdampak Revolusi Arab. Gerakan 20 Februari, muncul
sebagai reaksi terhadap gelombang revolusi ini. Gerakan ini memobilisasi
masyarakat Maroko secara nasional untuk menuntut perubahan sosial
ekonomi, dan juga secara eksplisit menuntut perubahan politik, yaitu:
“The realization of profound and radical constitutional and political changes to
consolidate a democratic state built on strong institutions; the construction of a state
based on the rule of law and a free and independent legal system with the aim of
endowing the country with a political system of parliamentary monarchy.”
“Realisasi perubahan konstitusional dan politik yang mendalam dan mendalam untuk
mengkonsolidasikan sebuah negara demokratis yang dibangun dengan institusi yang
27
European Commission, ENPI Morocco: 2007-2010 National Indicative Programme. 28
Maâti Monjib, “The “Democratization” Process in Morocco: Progress, Obstacles, and the
Impact of the Islamist-Secularist Divide”, Working Paper, The Saban Center for Middle East
Policy at The Brookings Institution, No. 5, Agustus 2011, hlm. 5
9
kat; konstruksi negara didasarkan pada penegakan hukum serta sistem legal yang
bebas dan independen dengan tujuan terbentuknya negara dengan sistem politik
monarki parlementer.”29
Pemerintah Maroko kemudian merespon Gerakan 20 Februari dengan
melaksanakan referendum publik untuk menetapkan konstitusi baru pada
September 2011 yang memuat beberapa poin reformasi demokrasi dalam
aspek politik, seperti pemberian kekuasaan dan independensi yang lebih luas
kepada Perdana Menteri, badan legislatif, dan lembaga peradilan Maroko,
serta pengakuan kesetaraan hak-hak wanita.30
Situasi Maroko yang „aman‟ dari Revolusi Arab dan kesadaran
pemerintah Maroko untuk memulai perwujudan demokrasi dengan
melaksanakan reformasi keonstitusi 2011, mendorong UE untuk „melindungi‟
Maroko dengan mendukung reformasi demokrasi yang sudah dimulai di
Maroko melalui kerjasama di bidang demokrasi yang lebih aktif dalam
ENP.31
Dalam dokumen National Indicative Programme untuk tahun 2011-
2013, terlihat jelas peningkatan dukungan UE untuk reformasi demokrasi
Maroko, sebagaimana dirinci dalam tabel berikut:
29
Irene Fernandez Molina, “The Monarchy vs The 20 February Movement: Who Holds the Reins
of Political Change in Morocco?” Mediterranean Politicsi, Vol. 16, No. 3 (Oktober 2011), hal.
436-437 [jurnal on-line]; tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/13629395.2011.614120; internet;
diakses pada 16 Agustus 2014 30
Alexis Arieff, “Morocco: Current Issues” CRS Report for Congress, Congressional Research
Service (20 Juni 2012) hlm. 1 31
Eike Meyer,“Democracy Promotion by The European Union in Morocco within The Framework
of The European Neighborhood Policy,” (Tesis, Universitat Potsdam, 2007), hlm. 2
10
Tabel I.A.1. Morocco’s National Indicative Programme 2011-2013
Strategic axes
2007-2010
(updated)
2011-2013
(indicative)
M€ % M€ %
Development of social policies 296 45.3 116.1 20
Economic modernization 235 35.9 58.05 10
Institutional support 65 9.9 232.2 40
Good governance and human rights 8 1.2 87.07 15
Environment protection 50 7.6 87.07 15
Total 654* 580.5
Sumber:
http://ec.europa.eu/europeaid/where/neighbourhood/countrycooperation/morocco/morocco_e
n.htm, di akses pada 17 Maret 2014
Dalam poin-poin prioritas di atas, bantuan untuk demokratisasi
Maroko masuk kedalam poin good governance and human rights. Dalam
tabel di atas, bantuan dalam poin tersebut meningkat dari 1,2 persen dana
ENP menjadi 15 persen dana ENP. Secara spesifik, UE juga sudah
melaksanakan program-program untuk proses demokratisasi Maroko melalui
ENP, diantaranya dengan mengalokasikan dana sebesar tiga juta Euro untuk
mendukung parlemen Maroko melalui program SPRING.32
Penelitian ini berupaya menjelaskan proses promosi demokrasi Uni
Eropa di Maroko melalui ENP pada tahun 2011-2013. Penelitian ini juga
lebih fokus pada strategi yang digunakan UE daripada motivasi UE dalam
melaksanakan promosi demokrasi di Maroko. Proses promosi ini akan
dijelaskan dengan menggunakan pendekatan Konstruktivisme, dengan
melihat promosi demokrasi sebagai bentuk transfer norma-norma demokrasi
32
European Commission, Joint Staff Working Document: Implementation of the European
Neighbourhood Policy Statistical Annex (27 Maret 2014), hlm. 65
11
Uni Eropa ke Maroko. Penulis juga akan menggunakan konsep
kondisionalitas sebagai instrumen UE dalam melaksanakan transfer norma
demokrasi ini. Penulis melihat bahwa bantuan dana (funding) dan bantuan
teknis yang diberikan UE dalam program ENP di bidang demokrasi untuk
Maroko sebagai bentuk kondisionalitas UE.
B. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan besar yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimana Uni Eropa Mempromosikan Demokrasi di Maroko dalam
Kerangka European Neighborhood Policy tahun 2011-2013?”
Penelitian ini akan fokus pada proses promosi demokrasi UE di tiga
area dalam level politik Maroko, yaitu reformasi bidang pemisahan kekuasaan,
penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil
Maroko dalam pembangunan demokrasi. Dalam tiga area ini, aktor domestik
yang akan diteliti adalah aktor negara (kerajaan dan parlemen Maroko) dan
aktor non negara (organisasi masyarakat sipil Maroko). Adapun aktor
internasional yang menjadi objek penelitian penulis adalah Komisi Eropa
(European Commission) sebagai pelaksana dan pembuat ENP, organisasi
internasional lain di Eropa yang bekerjasama dalam ENP, yaitu Council of
Europe, dan perwakilan UE untuk negara-negara ENP di kawasan
Mediterania, Union for the Mediterranean (UfM).
12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan proses promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko pada tahun
2011-2013.
2. Mengetahui bentuk kerjasama UE-Maroko dalam kerangka European
Neighborhood Policy (ENP).
3. Mengetahui dinamika dan progres demokratisasi Maroko pada tahun
2011-2013
4. Mengaplikasikan teori konstruktivisme, konsep promosi demokrasi, dan
konsep kondisionalitas untuk menjelaskan proses promosi demokrasi Uni
Eropa di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013.
Dengan adanya penelitian ini, peneliti mengharapkan penelitian ini
dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:
1. Menguji teori terkait tentang promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko
dalam kerangka ENP tahun 2011-2013.
2. Menambah wawasan tentang promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko
dalam kerangka ENP tahun 2011-2013.
3. Dapat dijadikan bahan informasi bagi pihak-pihak yang terkait dengan
masalah yang diteliti serta bagi masyarakat yang membutuhkan informasi
mengenai promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko dalam kerangka ENP.
13
D. Tinjauan Pustaka
Telah terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan promosi
demokrasi UE melalui kerangka ENP. Seperti dalam studi yang dikemukakan
oleh Parmentier (2006), dalam artikel jurnal yang berjudul The European
Neighbourhood Policy as a Process of Democratic Norms Diffusion in
Ukraine, Can the EU Act Beyond Conditionality?. Dalam penelitian tersebut,
Parmentier berusaha menjelaskan bagaimana proses difusi norma UE ke
Ukraina melalui ENP dan menggunakan kondisonalitas sebagai alat UE dalam
melaksanakan difusi norma demokrasi ini.
Penelitian Parmentier ini juga melihat proses difusi norma demokrasi
tersebut dalam perspektif perluasan UE di Eastern Neighbours. Adapun
penelitian ini kemudian menemukan bahwa promosi demokrasi UE di Ukraina
mendorong Revolusi Oranye (Orange Revolution) yang memulai reformasi
demokrasi di Ukraina pada tahun 2004. Namun, penelitian ini menemukan
bahwa bukan hanya kondisionalitas yang dterapkan oleh UE yang mendorong
difusi norma dan terjadinya revolusi ini, akan tetapi ada faktor lain, yaitu
dukungan UE kepada masyarakat sipil Ukraina dan keinginan masyarakat
Ukraina sendiri untuk melaksanakan reformasi demokrasi. 33
Dari penelitian Parmentier, penulis juga menjelaskan proses transfer
norma demokrasi UE melalui ENP dengan menggunakan konsep
kondisionalitas. Namun penulis melihat proses ini di Southern Neighbours,
dengan memfokuskan penelitian di Maroko pada tahun 2011-2013. Karena
33
Florent Parmentier, “The European Neighborhood Policy as a Process of Democratic Norms
Diffusion in Ukraine, Can The EU Act Beyond Kondisionalitas?”, Les Cahiers europeens de
Sciences Po. (no. 02/2006)
14
fokus pada transfer norma demokrasi UE di Maroko yang termasuk dalam
Southern Neighbours, maka proses ini tidak dilihat dari perspektif perluasan
EU, melainkan dlihat dengan perspektif konstruktivisme. Dalam penelitian ini,
penulis juga menjelaskan bahwa reformasi demokrasi di Maroko yang
mendorong UE untuk melaksanakan promosi demokrasi di bidang politik
Maroko, dan bukan sebaliknya.
Sementara itu, dalam studi yang dikemukakan oleh Freyburg,
Lavenex, Schimmelfennig, Skripka, dan Wetzel (2011) dalam artikel jurnal
yang berjudul Democracy promotion through functional cooperation? The
case of the European Neighbourhood Policy. Studi tersebut membahas
tentang sejauh mana dan dalam kondisi apa UE efektif dalam mentransfer
norma-norma pemerintahan demokratis kepada negara-negara ENP.
Penelitian ini melihat relevansi variabel-variabel negara dengan sektor
kebijakan publik untuk efektifitas promosi pemerintahan demokratis UE di
empat negara ENP, yaitu Moldova, Ukraina, Yordania, dan Maroko selama
tahun 2004-2011.
Penelitian Freyburg, Lavenex, Schimmelfennig, Skripka, dan Wetzel
ini berusaha menjelaskan demokrasi di level sektoral seperti sektor kebijakan
publik, dan bukan di level politik. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa
transfer demokrasi lebih efektif di negara dengan aspirasi anggota dan
liberalisasi politik yang lebih besar. Disebutkan juga bahwa negara-negara
ENP Timur lebih efektif dalam transfer norma dibandingkan negara-negara
15
ENP Selatan sebab negara ENP Timur memiliki aspirasi anggota dan
liberalisasi politik yang lebih tinggi.34
Sama seperti penelitian Freyburg, Lavenex, Schimmelfennig, Skripka,
dan Wetzel tersebut, penulis juga menjelaskan kondisi yang mendorong UE
untuk melaksanakan proses reformasi demokrasi melalui ENP di Maroko,
yaitu adanya Revolusi Arab dan Reformasi Konstitusi 2011. Adapun analisis
penelitian ini difokuskan dalam aspek politik (pemisahan kekuasaan,
penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil).
Selain dua penelitian di atas, ada beberapa tesis yang berkaitan dengan
penelitian ini, di antaranya tesis yang ditulis oleh Eike Meyer, dari Potsdam
University, Jerman, tahun 2007 dengan judul Democracy Promotion by The
European Union in Morocco within The Framework of The European
Neighborhood Policy. Dalam penelitian ini, Meyer membandingkan promosi
demokrasi UE melalui EMP (Euro-Meditterranean Partnership) dan ENP
(European Neighborhood Policy) dengan menganalisa berbagai instrumen
untuk promosi demokrasi seperti kondisionalitas, dialog politik (diplomasi),
dan instrumen positif. Tesis Meyer tersebut menggunakan perbandingan
pendekatan struktural (structural approach) dengan pendekatan aktor-sentris
(actor-centric approach), yang digunakan EU dalam ENP, dengan tahun
penelitian dari 2004-2007.
34
Tina Freyburg, et.al., “Democracy promotion through functional cooperation? The Case of The
European Neighborhood Policy”, Democratization, Vol. 18, No. 4, Agustus 2011 [jurnal on-line];
tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584738; internet; diunduh pada 17 Januari
2014.
16
Adapun penelitian Meyer tersebut menemukan bahwa promosi
demokrasi UE dalam ENP, menggunakan pendekatan yang lebih aktif,
dibandingkan dengan pendekatan promosi demokrasi UE dalam EMP.
Meskipun perubahan yang dihasilkan tidak signifikan dan tidak beorientasi
secara aktif untuk mereformasi kebebasan politis dan kekuasaan rezim
kerajaan Maroko, akan tetapi di dalam ENP hubungan UE-Maroko lebih baik
daripada di dalam EMP karena berhasil mendorong beberapa modernisasi di
Maroko.35
Berdasarkan tesis di atas, penelitian ini juga akan menjelaskan
promosi demokrasi UE di Maroko melalui ENP. Namun, penelitian akan
difokuskan pada penjelasan proses dan strategi promosi demokrasi UE secara
normatif yang dilihat melalui perspektif konstruktivisme dan hanya
menggunakan kondisionalitas sebagai instrumen promosi demokrasi UE.
Adapun penelitian ini melihat bahwa promosi demokrasi yang dilaksanakan
UE di Maroko berhasil menciptakan beberapa capaian penting dalam proses
demokratisasi Maroko, yaitu reformasi di bidang pemisahan kekuasaan,
penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi Masyarakat Sipil
dalam pembangunan demokrasi.
E. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan pertanyaan penelitian mengenai promosi demokrasi UE
di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013, studi ini mengacu pada
35
Eike Meyer,“Democracy Promotion by The European Union in Morocco within The Framework
of The European Neighborhood Policy,” (Tesis, Universitat Potsdam, 2007)
17
pemahaman konstruktivisme, konsep promosi demokrasi, dan konsep
kondisionalitas. Penulis akan mengaplikasikan teori konstruktivisme sebagai
perspektif dalam menjelaskan proses transfer norma demokrasi dari UE ke
Maroko melalui ENP. Adapun konsep promosi demokrasi digunakan untuk
menjelaskan proses promosi demokrasi di Maroko. Kemudian, konsep
kondisionalitas digunakan sebagai instrumen strategi promosi demokrasi UE
ke Maroko.
a. Konstruktivisme
Pemahaman konstruktivisme dalam penelitian ini penulis gunakan
untuk menjelaskan sosialisasi norma dalam membentuk identitas kolektif.
Penjelasan mengenai hal ini diawali dengan pemaparan konsep identitas
dan norma dalam konstruktivisme yang menjadi landasan terbentuknya
konsep sosialisasi norma.
Konstruktivisme secara umum menekankan pada struktur normatif
atau ideasional dalam mendefinisikan identitas setiap orang.36
Menurut
konstruktivisme, keyakinan atau norma bersama membentuk identitas
yang bersifat relatif dan relasional.37
Oleh sebab itu, menurut Wendt
negara sangat mungkin untuk menciptakan identitas baru dan
36
Alexander Wendt, “Anarchy is what states make of it”, The MIT Press, Vol. 46, No. 2, (Spring
1992), hlm. 380. 37
Nilüfer Karacasulu dan Elif Uzgören, “Explaining Social Constructivist Contributions To
Security Studies,” Perceptions Journal, (Summer-Autumn 2007) hlm. 29
18
mentransformasi peran internasional mereka, melalui interaksi yang
terjadi dengan aktor lain.38
Terkait identitas, Wendt menyatakan bahwa kepentingan dan
preferensi ditentukan oleh identitas aktor, karena pada dasarnya seorang
aktor tidak bisa mengetahui keinginan aktor lain tanpa mengetahui siapa
aktor tersebut. Pada bentuk yang paling sederhana, identitas berkaitan
dengan bagaimana kita berpikir tentang diri kita sebagai seseorang,
bagaimana kita berpikir tentang orang lain di sekitar kita, dan bagaimana
mereka berpikir tentang kita.39
Dengan demikian, menurut Wendt identitas pada dasarnya berakar
dari pemahaman diri seorang individu dengan kualifikasi bahwa identitas
tersebut harus dipahami orang lain dengan cara yang sama.40
Wendt juga
menyatakan bahwa tindakan seseorang terhadap suatu objek atau aktor
lain didasarkan pada nilai dan norma yang dianut objek tersebut.41
Oleh
karena itu, identitas menurut Wendt dapat dilihat secara kolektif
bergantung pada bagaimana kepentingan aktor didefinisikan. Dalam
bukunya, Social Theory, Wendt menjelaskan identitas kolektif sebagai
identifikasi hubungan diri (self) dengan orang lain (others), dimana
perbedaan antara diri dan orang lain menjadi kabur dan melewati seluruh
38
Maja Zehfuss, Constructivism in International Relations: The Politics of Reality (Cambridge:
Cambridge University Press, 2004), hlm. 40 39
Trine Flockhart, “Socialization and Democratization: a Tenuous but Intriguing Link,”
Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of
Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm.12-13 40
Ibid, hlm. 13 41
Ganjar Nugroho, “Constructivism and International Relations,” Global & Strategis, Th. II, No. 1,
( Januari-Juni 2008), hlm. 89
19
batas yang ada antara keduanya. Diri kemudian „dikategorikan‟ sebagai
orang lain.42
Selain identitas, konstruktivisme juga berpegang pada konsep
norma. Menurut Farrell, norma dilihat sebagai kepercayaan intersubjektif
tentang dunia sosial, yang memiliki konsekuensi behavioral. Norma
mendefinisikan standar kolektif atas apa yang menyusun perilaku
(behaviour) aktor yang tepat dengan identitas yang dimilikinya.43
Namun,
meskipun norma membedakan benar dan salah, tetapi tidak menetapkan
klaim perilaku individu. Norma juga berbeda dengan rule of law, karena
norma dipatuhi bukan karena dipaksakan, tetapi karena norma dilihat
sebagai apa yang menyusun perilaku dengan tepat.44
Terkait dengan konstruktivisme sebagai perspektif dalam melihat
transfer norma demokrasi, Risse berpendapat bahwa peran sosialisasi
norma-norma spesifik, sangat dibutuhkan untuk meningkatkan frekuensi
perubahan identitas individu sehingga identitas kolektif yang terbentuk
dapat didasarkan pada norma tertentu.45
Hal ini diperkuat oleh pendapat
Sedelmeier, bahwa norma-norma yang menjadi karakter identitas UE
seringkali berdifusi dan tersosialisasi ke aktor lain, sehingga terbentuk
identitas kolektif antara UE dan aktor tersebut.46
42
Zehfuss, hlm. 56 43
Flockhart, hlm. 13-14 44
Ibid, hlm. 14 45
Ibid, hlm. 13 46
Ulrich Sedelmeier, “Collective Identity,” Contemporary European Foreign Policy, ed. Walter
Carlsnaes, Helene Sjursen, dan Brian White (London: SAGE Publication Ltd, 2004), hlm. 124
20
Selain untuk membentuk identitas kolektif yang didasarkan pada
norma tertentu, konstruktivisme juga melihat bahwa sosialisasi norma
spesifik dapat mengasumsikan karakter struktur dalam institusi
internasional, dimana kemudian norma yang disosialisasikan dapat
membentuk perilaku negara dan bahkan membentuk identitas dan
kepentingan aktor.47
Lebih lanjut, Risse juga menyatakan bahwa salah
satu cara terpenting dalam mengenalkan norma baru adalah tekanan
eksternal yang secara perlahan membentuk reformasi negara dan
diperkuat oleh perubahan kepercayaan aktor domestik yang mendukung
dan berusaha mengatur transformasi negara.48
Asumsi bahwa sosialisasi norma spesifik oleh aktor internasional
dapat merubah perilaku norma aktor domestik juga sesuai dengan
pendapat Koslowski dan Kratochwil, bahwa perubahan praktik-praktik
politik aktor domestik terjadi karena aktor eksternal merubah aturan dan
norma yang membangun interaksi internasional. Perubahan tersebut
terjadi ketika kepercayaan dan identitas aktor domestik berubah, sehingga
kemudian merubah perilaku aktor domestik tersebut.49
Dalam penelitian ini, norma spesifik yang disosialisasikan adalah
norma demokrasi. Oleh karena itu, penjelasan mengenai sosialisasi norma
ini penulis kaitkan dengan konsep promosi demokrasi, yang dilihat baik
47
Ibid 48
Jean Grugel, “The „International‟ in Democratization: Norms and the Middle Ground,”
Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of
Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 3 49
Ibid
21
secara umum maupun melalui perspektif konstruktivisme sebagai
landasan kerangka pemikiran dalam penelitian ini.
b. Promosi Demokrasi
Pada sub bab ini penulis memaparkan tentang demokrasi, proses
demokratisasi, dan konsep promosi demokrasi. Konsepsi dan definisi
demokrasi digunakan untuk memahami terjadinya proses demokratisasi
yang kemudian dijadikan sebagai landasan dalam menjelaskan konsep
promosi demokrasi.
Sejak lama, definisi demokrasi telah banyak didiskusikan, dan
definisi demokrasi yang paling berkembang selalu merujuk pada konsep
demokrasi liberal. Seperti definisi demokrasi yang diungkapkan oleh
Robert Dahl:
“Seluruh rezim politik yang menjamin partisipasi nyata dari populasi pria dan
wanita secara luas, serta adanya kemungkinan untuk bertentangan dengan
pemerintah, dapat diakui sebagai demokrasi”. 50
Adapun secara umum dan paling sederhana, demokrasi
didefinisikan oleh Lavenex dan Schimmelfennig sebagai akuntabilitas
otoritas publik kepada rakyat. Mekanisme akuntabilitas terdiri atas
akuntabilitas pejabat negara terhadap pemilih melalui pemilihan umum
yang bebas dan adil, akuntabilitas pemerintah terhadap parlemen, atau
akuntabilitas lembaga negara terhadap pengamatan publik.51
50
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1997), hlm. 5-6 51
Sandra Lavenex dan Frank Schimmelfennig, “EU democracy promotion in the neighbourhood:
from leverage to governance?,” Democratization, Vol. 18, No. 4 (2011), hlm. 888 [jurnal on-line];
tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584730; internet; diakses pada 7 Oktober
2014
22
Adapun demokratisasi, sebagaimana diungkapakan oleh Morlino,
adalah proses terbuka dan merupakan hasil interaksi faktor internal dan
eksternal. Proses ini dapat diartikan sebagai transisi dari rezim politik
non-demokratis yang otoriter menjadi rezim demokratis, dimana rezim
telah kehilangan beberapa aspek fundamental sebagai rezim otoriter dan
belum memiliki karakter baru akan rezim yang hendak dibangun.
Kemudian negara secara perlahan munuju proses pembangunan
(perluasan dan pemahaman standar demokrasi), konsolidasi
(pendefinisian dan adaptasi struktur norma dari rezim demokratis yang
berbeda), krisis, atau peningkatan kualitas yang demokratis..52
Sementara itu, menurut Schmitz dan Sell, demokratisasi dipahami
sebagai proses perubahan rezim yang memiliki tujuan spesifik yaitu
pembentukan dan stabilisasi demokrasi substantif53
. Oleh karena itu, hasil
akhir demokratisasi adalah perluasan hak-hak yang penting bagi seluruh
rakyat. Dalam hal ini, demokratisasi adalah proses yang terus menerus
terjadi.54
Demokratisasi, menurut Kamp, yang mengutip pernyataan
beberapa peneliti seperti Grugel dan Nielinger, merupakan hasil dari
52
Leonardo Morlino, Democracy and Democratization (Bologna: Il Mulino, 2003), hlm. 12 53
Demokrasi substantif adalah bentuk demokrasi yang menggabungkan konotasi idealistik,
termasuk kontrol rakyat terhadap kebijakan, pemerintah yang bertanggung jawab, pertimbangan
rasional, dan kebajikan warga negara lainnya. Demokrasi substantif merupakan pembangunan
budaya demokrasi dari aspek-aspek teknis yang telah terbangun.
54 Hans Peter Schmitz dan Katrin Sell, International Factors in Processes of Political
Democratization: Towards a Theoretical Integration, (2000); Jean Grugel, Democracy without
Borders: Transnationalization and Conditionality in New Democracies (London/New York, 2000)
hlm 23-41, dalam Mathias Kamp, “The EU as External Democracy Promoter in Sub-Saharan
Africa-The Role of Conditionality and Positive Measures,” (Skripsi, Universities of Münster and
Twente, 2007), hlm. 9
23
berbagai faktor internal dan eksternal. Proses demokratisasi utamanya
adalah hasil dari tekanan dan pembangunan internal yang kompleks.
Namun, faktor eksternal atau internasional juga memiliki dampak
terhadap proses demokratisasi. Faktor-faktor eksternal ini diantaranya tren
internasional, kekuatan milter, diplomasi atau bantuan luar negeri.55
Berdasarkan definisi demokratisasi di atas, dapat disimpulkan
bahwa demokratisasi terjadi salah satunya karena ada promosi demokrasi
dari aktor eksternal. Menurut Sandschneider, promosi demokrasi oleh
aktor eksternal adalah seluruh usaha aktor eksternal dalam merubah pola
keteraturan politik dan pembuatan kebijakan dalam negara yang menjadi
target, sehingga menghasilkan kriteria minimun akan keteraturan
demokratis. 56 Adapun bila merujuk kembali pada definisi demokrasi
menurut Lavenex dan Schimmelfennig, promosi demokrasi juga dapat
diartikan sebagai segala aktifitas yang dibentuk untuk memperkuat
akuntabilitas dan pemahaman pemerintah terhadap masyarakat.57
Sementara itu dalam perspektif konstruktivisme, promosi
demokrasi menurut Risse dapat dijelaskan secara normatif atau dilihat
sebagai bentuk transfer norma. Transfer norma ini terjadi karena negara-
negara yang sudah demokratis menginginkan penyebaran norma-norma
demokrasi kepada negara-negara yang belum demokratis. Sebab, semakin
55
Mathias Kamp, “The EU as External Democracy Promoter in Sub-Saharan Africa-The Role of
Conditionality and Positive Measures,” (Skripsi, Universities of Münster and Twente, 2007), hlm.
9 56
Janine Reinhard, “EU Democracy Promotion Through Conditionality in Its Neighborhood: The
Temptation of Membership Perspective or Flexible Integration?”, Caucasian Review of
International Affairs, Vol. 4 (3) (Summer 2010), hlm. 198 57
Lavenex dan Schimmelfennig, hlm. 888
24
demokratis negara mitra, maka negara yang telah demokratis akan lebih
mudah menghidupkan situasi demokrasi dengan membangun hubungan
internasional yang didasarkan pada kerjasama dan saling
percaya.58
Menurut Risse-Kappen, norma tidak dapat berpindah secara
bebas kepada satu aktor atau agen sosial, tetapi harus dipromosikan oleh
seseorang dan kondisi yang demikian lebih kondusif dalam promosi dan
penerimaan norma dibandingkan cara yang lain.59
Dalam konstruktivisme, proses promosi demokrasi adalah bentuk
sosialisasi norma internasional. Adapun Barnes menyebutkan definisi
sosialisasi norma sebagai induksi anggota baru ke dalam cara berperilaku
yang diharapkan dalam masyarakat. Tujuan dari proses sosialisasi menurut
Risse adalah agar mereka yang tersosialisasi dapat mengadopsi dan
menginternalisasi seperangkat norma sehingga tekanan eksternal tidak lagi
dibutuhkan.60
Trine Flockhart kemudian membedakan strategi sosialisasi norma
menjadi dua:
1. Melalui strategi pengaruh sosial (social influence) atau penguatan
dukungan (reinforcement)
58
Jonas Wolff dan Iris Wurm, “Towards a Theory of External Democracy Promotion?
Approximations from the perspective of International Relations theories,” (the 51st Annual
Convention of the International Studies Association (ISA), New Orleans, 17-20 Februari, 2010),
hlm. 7 59
Ibid 60
Flockhart, hlm. 15
25
Dalam strategi ini, pembentukan perilaku pro-norma
dilaksanakan melalui distribusi imbalan dan hukuman (rewards and
punishments) sosial. Strategi ini menggunakan berbagai imbalan, mulai
dari imbalan psikologis seperti menaikkan status kemitraan hingga
imbalan materi. Strategi ini mengasumsikan bahwa aktor-aktor yang
menjadi target diharapkan mampu mencapai tujuan tertentu dalam
proses perubahan norma.61
Menurut Schimmelfennig, strategi ini dapat dilaksanakan
melalui kondisionalitas dengan imbalan-imbalan yang didistribusikan
ketika kondisi-kondisi yang disyaratkan dapat terpenuhi. Namun
demikian, secara negatif strategi ini juga dapat menggunakan hukuman
seperti penghinaan di hadapan publik, dikeluarkan dari keanggotaan
organisasi, atau pengangguhan imbalan materi yang dijanjikan.62
2. Melalui strategi persuasi
Stretegi ini berusaha mendorong perilaku yang konsisten
terhadap norma, dan dilaksanakan melalui proses interaksi sosial yang
meliputi perubahan perilaku tanpa menggunakan tekanan materi atau
mental.63
Proses persuasi lebih mendalam daripada strategi pengaruh
sosial, dan memiliki efek yang lebih baik dalam merubah perilaku dan
keyakinan aktor yang menjadi target dalam kondisi tertentu.
61
Trine Flockhart, “Complex Socialization and the Transfer of Democratic Norms,” Socializing
Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of Europe, ed.
Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 48 62
Ibid 63
Ibid
26
Berbeda dengan pengaruh sosial yang hanya dijalankan di area
publik, persuasi dapat dijalankan di area privat, seperti forum dialog
atau diplomasi, dimana persuasi merupakan proses debat dan
mempertahankan argumen. Jeffrey Checkel menyatakan bahwa
efektifitas persuasi terjadi bila negara target secara kognitif termotivasi
untuk menganalisa informasi baru yang dipersuasikan. Oleh karena itu,
persuasi lebih cocok digunakan untuk mempengaruhi level elit atau
negara daripada level nasional atau rakyat.64
Adapun dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan strategi
sosialisasi berupa pengaruh sosial atau reinforcement yang diwujudkan
dalam konsep kondisionalitas.
c. Kondisionalitas
Secara umum, kondisionalitas dilihat sebagai metode yang
menjelaskan hubungan logis antara dua aktor atau lebih. Kondisionalitas
juga dapat didefinisikan sebagai persetujuan antara dua aktor, dimana
aktor pertama menawarkan imbalan kepada aktor kedua, bila aktor kedua
memenuhi kondisi tertentu.65
Kondisionalitas juga dipahami sebagai
norma dalam persetujuan internasional. Menurut Killick, kondisionalitas
adalah, “seperangkat peraturan yang saling mengatur, yang diambil oleh
satu pemerintahan, baik melalui janji-janji maupun kebijakan yang nyata,
64
Ibid, hlm. 49 65
Reinhard, hlm. 200
27
dalam rangka mendukung institusi keuangan internasional atau agensi lain
yang menyediakan bantuan keuangan dalam jumlah tertentu”.66
Kondisionalitas didasarkan pada asumsi bahwa bantuan akan
menghasilkan progres dan pertumbuhan kumulatif yang dapat mendorong
terwujudnya reformsi dan menciptakan dukungan politik. Adapun
dukungan politik akan memudahkan pelaksanaan reformasi.67
Sebagai sebuah konsep, kondisionalitas dapat dibedakan
berdasarkan tiga aspek utama:
1. Berdasarkan waktu pemenuhan kondisi yang disyaratkan
Kondisionalitas dibedakan menjadi dua, yatiu Ex Post
Conditionality dan Ex Ante Conditionality. Ex Post Conditionality
memiliki bentuk seperti hukum internasional, dimana kondisi yang
diharapkan dalam perjanjian dapat terwujud setelah ratifikasi
perjanjian. Sedangkan Ex Ante Conditionality mengharuskan kondisi
yang diinginkan dalam perjanjian dapat dipenuhi atau sedang dalam
proses perwujudan sebelum perjanjian ditandatangani.68
2. Berdasarkan jumlah negara yang melaksanakan kondisionalitas
Kondisionalitas dapat bersifat unilateral, yaitu dilakukan oleh
satu negara, seperti AS dan Uni Soviet pada masa Perang Dingin di
negara-negara sekutunya masing-masing, maupun multilateral, seperti
66
Viljar Veebel, “European Union‟s Positive Conditionality Model in Pre-accession Process”,
TRAMES, Vol. 13 (63/58), No. 3 (2009), hlm. 208 67
Ibid, hlm. 208-209 68
Ibid, hlm. 209
28
yang dilaksanakan oleh UE, NATO, atau OSCE, sebagai satu
komunitas atau organisasi multinegara di negara-negara anggotanya
maupun negara-negara tetangganya.69
3. Berdasarkan sifatnya
Kondionalitas pada hakikatnya dapat bersifat negatif maupun
positif. Kondisionalitas negatif bertujuan mempengaruhi situasi yang
ada (rezim perdagangan, ekonomi, politik), yang dijanjikan atau
ditekan untuk dirubah, bila negara target tidak memenuhi persyaratan
atu kriteria tertentu. Kondisionalitas negatif meliputi sanksi berupa
pengurangan, penundaan, atau pemberhentian imbalan jika negara
target tidak memenuhi kondisi yang disyaratkan.70
Sebaliknya, kondisionalitas positif memiliki sifat ex ante. Oleh
sebab itu, kondisionalitas positif tidak hanya memuaskan satu pihak
saja (penekan) tetapi juga memotivasi pihak lain untuk merubah situasi
yang ada. Pengaruh yang diberikan biasanya didasarkan pada janji
aktor penekan untuk memberikan insentif tertentu, ketika negara target
mampu memenuhi kondisi yang diinginkan. Menurut Fierro,
Kondisionalitas positif dapat efektif apabila keuntungan yang
69
Ibid 70
Karen E. Smith, “Engagement and conditionality: incompatible or mutually reinforcing?,”
Global Europe Report 2: New Terms of Engagement, ed. Richard Youngs (London: The Foreign
Policy Centre and The British Council, 2005) hlm. 23
29
dijanjikan jauh lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan
negara target untuk memenuhi kondisi yang disyaratkan.71
Sementara itu, dalam perspektif konstruktivisme kondisionalitas
yang dilakukan oleh UE dapat dipahami sebagai bentuk norma UE sendiri.
Hal ini sesuai dengan pendapat Karen Smith bahwa cara UE melaksanakan
kondisionalitas membuktikan signifikansi norma atau keyakinan bersama
dalam kebijakan luar negeri. Kondisionalitas itu sendiri adalah norma,
sikap standar, yang „berkompetisi‟ dengan kepentingan yang lain.72
Adapun dalam perspektif konstruktivisme, kondisionalitas merupakan
instrumen promosi demokrasi yang merupakan perwujudan dari strategi
pengaruh sosial (social influence) atau penguatan dukungan
(reinforcement). Dalam mengaplikasikan kondisionalitas, aktor sosial
mengunakan mekanisme pengaruh sosial atau penguatan dukungan untuk
merubah perilaku aktor lain.73
Pengaruh sosial atau penguatan dukungan adalah bentuk dari
kontrol sosial dimana aktor yang pro perilaku sosial akan diberi imbalan
dan yang anti-perilaku sosial akan dihukum. Diharapkan setelah masa
tertentu, aktor yang ditargetkan oleh strategi tersebut akan tunduk pada
perilaku sosial yang sesuai sehingga tidak akan dihukum dan akan terus
71
Ibid 72
Karen E. Smith, “The Use of Political Conditionality in the EU‟s Relations with Third
Countries: How Effective?”,(ECSA International Conference, Seattle, 29 Mei-1 Juni, 1997) hlm. 3 73
Frank Schimmelfennig, “The EU: Promoting Liberal-Democracy through Membership
Conditionality,” Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the
Construction of Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 107
30
diberi imbalan. Pada akhirnya, pengaruh sosial atau penguatan dukungan
yang sukses akan menjadikan negara target terus mengikuti norma.74
F. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
deskriptif analitis. Dalam menyusun penelitian ini, penulis mengumpulkan
data dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (Library Research) atau
dokumentasi, dimana penulis melakukan penelaahan literatur dan referensi
dari berbagai data sekunder yang bersumber dari buku-buku dan jurnal yang
penulis dapatkan dari beberapa lokasi, yaitu: Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan Perpustakaan Utama Universitas Indonesia.
Selain dari perpustakaan, penulis juga mengakses buku-buku dan
jurnal elektronik dari beberapa website, seperti Taylor and Francis, Jstor, dan
Pro Quest. Penulis juga menelaah dokumen dan laporan ENP yang diakses
dari website resmi European Commission, EU External Action Service serta
website Kementerian Luar Negeri dan Parlemen Maroko. Setelah melakukan
penelaahan literatur, penulis melakukan analisa penelitian dengan
mengklasifikasi data dan referensi yang didapat untuk kemudian difokuskan
pada proses promosi demokrasi ENP di Maroko, dengan menganalisa tiga
aspek politik di Maroko yaitu pembagian kekuasaan, penguatan peran
parlemen dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil Maroko.
74
Ibid
31
G. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Penelitian
B. Pertanyaan Penelitian
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Teori
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II Demokratisasi di Maroko
A. Pemisahan Kekuasaan
B. Penguatan Peran Parlemen
C. Penguatan Peran Organisasi Masyarakat sipil Dalam
Pembangunan Demokrasi
BAB III European Neighborhood Policy (Kebijakan Eropa Untuk
Negara Tetangga) Di Maroko
A. Pengertian European Neighborhood Policy (ENP)
B. Landasan Kerjasama UE-Maroko Dalam Kerangka ENP
2011-2013
C. Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka
ENP (2011-2013)
1. Bidang Pemisahan Kekuasaan
2. Bidang Penguatan Peran Parlemen
3. Bidang Penguatan Peran Organisasi Masyarakat Sipil
Dalam Pembangunan Demokrasi
BAB IV Analisis Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam
Kerangka European Neighborhood Policy Tahun 2011-2013
A. Sosialisasi Norma Demokrasi UE di Maroko Untuk
Membentuk Identitas Kolektif UE
B. Promosi Demokrasi UE di Maroko dalam Kerangka ENP
sebagai Perwujudan Sosialisasi Norma Demokrasi
C. Kondisionalitas Sebagai Instrumen Promosi Demokrasi UE di
Maroko
BAB V Kesimpulan
32
BAB II
DEMOKRATISASI DI MAROKO
Sebagai negara monarki di kawasan Timur Tengah dengan kultur
otoritarian yang sangat kuat, proses demokratisasi di Maroko mengalami pasang
surut sejak negara ini merdeka pada tahun 1956. Sejak meraih kemerdekaan
Maroko sesungguhnya telah mengadopsi sistem pemerintahan demokratis dengan
bentuk negara monarki konstitusional, sistem multipartai, dan pemilu parlemen
yang rutin dilaksanakan. Akan tetapi, perebutan kekuasaan politik antara partai-
partai politik dengan kerajaan kemudian menghambat keterbukaan sistem politik
di Maroko. Tercatat Maroko telah melaksanakan amandemen konstitusi sebanyak
enam kali sejak tahun 1956.75
Namun demikian, faktor eksternal seperti
penyebaran norma demokrasi oleh aktor internasional seperti Uni Eropa (UE) dan
Amerika Serikat, serta faktor internal seperti tuntutan masyarakat sipil Maroko
akan proses demokratisasi dalam pemerintahan Maroko, kemudian mendorong
Maroko untuk memulai proses demokratisasi yang lebih nyata dalam aspek
politik.
Dalam bab ini penulis akan memaparkan proses demokratisasi di Maroko
dalam aspek-aspek politik yang penting bagi demokrasi Maroko, yaitu pemisahan
kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi
masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi. Pemisahan kekuasaan yang
jelas, dengan tidak adanya dominasi kekuasaan oleh eksekutif, legislatif, atau
75
Lise Storm, Democratization in Morocco: The Political Elites and Struggles for Power in The
Post-Independence State (New York: Routledge, 2007), hlm. 34
33
yudikatif akan memudahkan berjalannya reformasi demokrasi. Hal ini kemudian
akan mendorong penguatan peran parlemen, dimana reformasi demokrasi yang
dijalankan bisa mendapatkan kontrol yang jelas dari legislatif. Sementara itu, bila
negara menginginkan proses reformasi demokrasi yang transparan dan inklusif
harus juga memberdayakan rakyatnya. Masyarakat sipil menjadi forum bagi
rakyat yang memiliki kepentingan bersama, serta dapat menjadi pemicu
demokratisasi yang potensial. Sebab, pergerakan masyarakat sipil dapat
membentuk kebijakan pemerintah dan perilaku sosial, sehingga dapat bermuara
pada demokrasi.76
Demokratisasi adalah landasan bagi promosi demokrasi. Oleh karena itu,
dengan melihat proses demokratisasi dalam tiga aspek politik dalam demokrasi
Maroko tersebut, proses promosi demokrasi yang dianalisa dalam penelitian ini
akan memiliki landasan yang jelas. Adapun dalam penjelasan mengenai reformasi
dan proses demoratisasi di tiga aspek tersebut, penulis akan membagi uraian
dalam tiga periode, yaitu periode awal transisi demokrasi – reformasi konstitusi
1996, pasca reformasi konstitusi 1996- reformasi konstitusi 2011, dan periode
pasca reformasi konstitusi 2011-Desember 2013.
A. Pemisahan Kekuasaan
1. Periode awal transisi demokrasi – Reformasi Konstitusi 1996
Proses demokratisasi secara nyata di Maroko baru dilaksanakan
pada awal tahun 1990-an, yang disebut sebagai „periode transisi
76
Tasniem Anwar, Anne van Groningen, Rosa Hendriks Awuy, dan Tim Stork, “The State and
Capacity of Civil Society,” Zeytun Research Paper, Morocco Program 2012-2013, University of
Amsterdam (2013), hlm. 43
34
demokrasi‟, dimana rezim Maroko melaksanakan reformasi politik untuk
pertama kali sejak tahun 1960-an.77
Periode transisi demokrasi di tahun
1990-an kemudian menjadi periode perubahan politik yang paling besar
dalam sejarah Maroko pasca kemerdekaan. Periode ini ditandai dengan
adanya dua perubahan konstitusional dan referendum rakyat pada tahun
1992 dan 1996, juga dua pemilihan legislatif pada tahun 1993 dan 1997.78
Perubahan ini pada akhirnya mempengaruhi kerangka politik
Maroko menjadi lebih demokratis sekaligus lebih otoriter di saat yang
bersamaan.79
Raja Hasan II yang berkuasa pada periode ini, berusaha
melakukan rekonsiliasi dengan oposisi tradisionalnya, sekaligus tetap
mempertahankan dominasi kerajaan. Hal ini dipicu oleh situasi yang tidak
menguntungkan kerajaan, dimana terjadi protes besar-besara karena
keterlbatan Maroko dalam Perang Teluk, sekaligus meningkatnya
kekuataan oposisi utama, Partai Istiqlal dan USFP. Akibatnya, beberapa
reformasi yang dilakukan pemerintah Maroko sejak „periode transisi
demokrasi‟ pada tahun 1990-an, nyatanya tidak pernah menyentuh
kekuasaan penuh yang dipegang Kerajaan.80
Sebenarnya, reformasi konstitusi 1992 memberi dasar bagi
pemerintahan Maroko yang lebih akuntabel, diantaranya dengan memberi
hak bagi Perdana Menteri untuk memilih menteri dan membentuk
77
Maati Monjib, “The „Democratization‟ Process in Morocco: Progress, Obstacles, and The
Impact of The Islamist-Secularist Divide,” Working Paper The Saban Center for Middle East
Policy at The Brookings Institution, No. 5 (Agustus 2011), hlm. 4 78
James Nadim Sater, Civil Society and Political Change in Morocco (New York: Routledge,
2007) hlm. 84 79
Ibid 80
Storm, hlm. 54-55
35
kabinet, yang sebelumnya menjadi hak penuh Raja.81
Reformasi ini
sesungguhnya hanya memberi kekuasaan semu bagi Perdana Menteri dan
Partai Politik, karena di saat yang sama Raja memperkuat posisi Kerajaan
dengan mempengaruhi partai politik agar tunduk kepada jaringan kerajaan
(Makhzen), sehingga secara keseluruhan, pemerintahan tetap berada
dalam kontrol Kerajaan.
Salah satu capaian penting di awal periode transisi demokrasi ini
adalah Raja Hassan II berupaya membentuk sistem perwakilan
(alternance) dalam pemerintahan Maroko guna memulai proses
demokratisasi. Salah satu caranya adalah dengan mempersatukan oposisi
tradisional, yaitu blok demokratis Koutla ke dalam pemerintahannya. Pada
awalnya reformasi ini diharapkan mampu mewujudkan pemisahan
kekuasaan dalam pemerintahan Maroko, karena selama ini hubungan
Kerajaan dengan Koutla tidak berjalan dengan baik.82
Namun demikian, hubungan baik yang berusaha dijalin ini berakhir
pada Januari 1995, ketika Raja Hassan II dianggap tidak konsisten untuk
mempertahankan sistem perwakilan ini dengan menunjuk seorang
teknokrat tanpa afiliasi politik sebagai Perdana Menteri. Kerajaan berusaha
melanjutkan negosiasi dengan Koutla sebagai usaha agar oposisi tetap
mendukung suksesi takhta Kerajaan dari Raja Hassan II kepada putranya,
81
Martina Warning, “Neighborhood and Enlargement Policy: Comparing the Democratization
Impact of the European Union in Morocco and Turkey,” CIRES Working Paper Series, WP4
(2006), hlm. 18 82
Sami Zemni dan Koenraad Bogaert, “Morocco and the Mirages of Democracy and Good
Governance,” UNISCI Discussion Papers, No. 12 (Oktober 2006), hlm. 105
36
Mohammed VI. Negosiasi ini berakhir dengan kesepakatan untuk
melakukan referendum konstitusi pada 13 September 1996. Koutla pun
menerima konstitusi baru 1996, dengan harapan suasana politis yang
terlegitimasi dan berdasarkan konsensus dapat terwujud.83
2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996 – Reformasi Konstitusi 2011
Konstitusi 1996 memang mendefinisikan Maroko sebagai
„Kerajaan demokratis, sosial dan konstitusional‟, namun karakteristik
kekuataan eksekutif yang dipegang oleh Kerajaan menunjukkan bahwa
pemisahan kekuasaan dalam pemerintahan tidak berjalan dengan baik.
Struktur dan institusi demokrasi formal Maroko sebenarnya dibayangi oleh
struktur pemerintahan informal yang disebut Makhzen, yaitu jaringan
Kerajaan yang menguasai garis kebijakan utama dan bertindak sebagai
penjaga segala bentuk reformasi politik.84
Menurut aturan konstitusi 1996, Raja Maroko memiliki supremasi
secara politik dan religius sehingga ia memiliki kekuasaan eksekutif yang
luas dengan justufikasi religius yang tidak terbantahkan. Kekuasaan di
Maroko memang dibedakan secara hukum dan fungsinya, namun pada
praktiknya tidak ada pemisahan kekuasaan (separation of power), dengan
83
Ibid, hlm. 106 84
Kristina Kausch, “How serious is the EU about supporting democracy and human rights in
Morocco?,” ECFR/FRIDE Working Paper, No.01 (Mei 2008), hlm. 2
37
Kerajaan memimpin kekuasaan eksekutif dan memiliki pengaruh besar
atas kekuasaan legislatif dan yudikatif.85
Pada masa Raja Hassan II, Kerajaan sempat memperbolehkan
pemerintahan oposisi berkuasa pada Maret 1998, dengan menunjuk
Abdurrahman Youseffi, dari partai oposisi sosialis, merujuk pada aturan
baru konstitusi 1996.86
Namun, hal ini tidak terlalu berpengaruh sebab
seluruh menteri dalam pemerintahan oposisi adalah elit pendukung
kerajaan.87
Adapun di bawah pemerintahan Mohammed VI berdasarkan
aturan Konstitusi 1996, kerajaan tetap menjadi pemegang kontrol sistem
politik Maroko, serta berusaha mengendalikan kekuasaan legislatif. Selain
itu, sistem pemilu nasional Maroko, yang didasarkan pada perwakilan
tertentu, selalu menghasilkan parlemen yang terfragmentasi, sehingga
dengan mudah dapat diatur oleh Kerajaan.88
Menurunnya tingkat kepercayaan rakyat serta dinamika politik di
Maroko yang berubah pasca Revolusi Arab tahun 2010, menjadi
momentum dimulainya proses demokratisasi di bidang politik Maroko.
Komitmen menuju reformasi politik dimulai ketika Raja Mohammed VI
melalui pidatonya pada tanggal 9 Maret 2011 mengumumkan rencana
85
Ibid 86
Marvine Howe, “Morocco's Democratic Experience,” World Policy Journal, Vol. 17, No. 1
(Spring, 2000), hlm. 66, [jurnal on-line], tersedia di http://www.jstor.org/stable/40209678
;internet; diakses pada 9 Oktober 2014 87
Tom Pierre Najem, “State power and democratization in North Africa: Developments in
Morocco, Algeria, Tunisia, and Libya,” Democratization in the Middle East: Experiences,
struggles,challenges, ed. Amin Saikal dan Albrecht Schnabel (New York: United Nation
University Press, 2003), hlm. 188 88
Warning, hlm. 20
38
reformasi konstitusi, yang kemudian ditetapkan berdasarkan referendum
pada tanggal 1 Juli 2011.89
3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011- Desember 2013
Reformasi Konstitusi 2011 menekankan pada sejumlah perubahan
penting dalam sistem politik Maroko, seperti meningkatkan demokratisasi,
dengan memperkuat prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan dan membawa
seluruh pemangku kepentingan ke dalam proses politik.90
Terkait dengan
pemisahan kekuasaan dalam politik Maroko, ketentuan umum konstitusi
2011 pasal 1, menjelaskan bahwa:
“The constitutional regime of the Kingdom is founded on the separation, the
balance and the collaboration of the powers, as well as on participative
democracy of [the] citizen, and the principles of good governance... The
territorial organization of the Kingdom is decentralized, founded on an advanced
regionalization.”
“Maroko adalah monarki konstitusional, demokratis, parlementer dan sosial.
Rezim konstitusional Kerajaan didasarkan atas pemisahan, keseimbangan, dan
kolaborasi kekuasaan, serta mengakui demokrasi partisipatif dari seluruh rakyat,
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance)... organisasi teritorial
kerajaan juga didasarkan pada desntralisasi, dan regionalisasi lanjutan.”91
Secara keseluruhan, konstitusi 2011 berhasil mendemonstrasikan
„pembagian kekuasaan politik yang seimbang dan setara‟ yang selama ini
menjadi tuntutan utama rakyat Maroko. Keseimbangan kekuasaan antara
Kerajaan dan Parlemen memang hanya terbatas pada kekuasaan eksekutif
dan legislatif saja. Untuk kekuasaan militer dan keamanan, tetap berada di
89
John P. Entelis, “Morocco‟s “New” Political Face: Plus ça change, plus c‟est la même chose,”
Policy Brief Project on Middle East Democracy (5 Desember 2011), hlm. 2 90
“Morocco‟s 2011 Parliamentary Elections,” diakses dari
http://moroccoonthemove.wordpress.com/faq-moroccos-2011-parliamentary-elections/ pada 5
Agustus 2014 91
Jeffry J. Ruchti, Morocco: Draft Text of the Constitution Adopted at the Referendum of 1 July
2011 (New York: William S. Hein & Co., Inc: 2011), hlm. 4
39
tangan Raja. Namun, secara keseluruhan dengan adanya reformasi
konstitusi ini, untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan, terjadi
pergeseran kekuasaan Raja, dari kekuasaan eksklusif ke kekuasaan
bersama dengan parlemen dan Perdana Menteri, serta terciptanya
kekuasaan independen di institusi eksekutif dan legislatif.92
Kekuasaan eksklusif Raja terkait dengan isu-isu takhta Kerajaan,
seperti penunjukkan Raja. Hal ini dijelaskan pada pasal 41, 44, 47, 51, 57,
59, 130, dan 174 konstitusi 2011. Adapun kekuasaan bersama antara Raja,
Pemerintah, dan Parlemen, diwujudkan dengan pemberian kekuasaan
kepada Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri) dalam semua isu, kecuali
isu yang berkaitan dengan takhta Kerajaan. Hal ini dijelaskan dalam pasal
49, 54, 104, dan 130 konstitusi 2011.93
Penjelasan tentang pemisahan kekuasaan dalam konstitusi 2011
kemudian menjadi langkah awal yang positif dalam reformasi politik di
Maroko. Adapun kemudian, dunia internasional khususnya negara-negara
sahabat Maroko seperti AS, Uni Eropa, Perancis, maupun Inggris
merespon positif dan mendukung reformasi ini.94
UE misalnya, memberi
pernyataan resmi terkait reformasi pemisahan kekuasaan ini pada bulan
Maret 2011, melalui perwakilannya Catherine Ashton dan Stefan Füle
yang menyatakan bahwa:
92
Abdelilah Belkaziz, “Morocco and democratic transition: a reading of the constitutional
amendments – their context and results”, Contemporary Arab Affairs, Vol. 5:1 (2012), hlm. 41-42 93
Ibid, hlm. 42 94
“Morocco Is Irrevisibly Comitted To Democratic Reform and Good Governance,” diakses dari
http://moroccoonthemove.wordpress.com/press‐releases‐morocco‐delivers/ pada 22 April 2014
40
“The reforms include important commitments to enhancing democracy and
respect for human rights; strengthening separation of powers notably by
increasing the role of parliament and the independence of the judiciary;
advancing regionalisation and enhancing gender equality.”
“Reformasi ini mengandung beberapa komitmen penting dalam mendorong
demokrasi dan penghormatan terhadap HAM; memperkuat pemisahan kekuasaan
utamanya dengan meningkatkan peran parlemen dan independensi peradilan;
meningkatkan regionalisasi, dan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan.95
Dukungan aktor internasional terhadap reformasi di bidang
pemisahaan kekuasaan Maroko pasca reformasi konstitusi 2011 menjadi
penting mengingat beberapa perubahan dan reformasi di bidang ini pada
periode-periode sebelumnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak
adanya tekanan terhadap Kerajaan untuk berkomitmen terhadap perubahan
yang tertulis dalam konstitusi menyebabkan tersendatnya reformasi
tersebut. Dalam hal ini, aktor internasional seperti Uni Eropa berperan
penting untuk memberi tekanan dan memastikan komitmen Maroko
terhadap reformasi yang dilaksanakan.
B. Penguatan Peran Parlemen
1. Periode awal transisi demokrasi – Reformasi Konstitusi 1996
Selain menciptakan kekuasaan mutlak Kerajaan dalam politik dan
pemerintahan Maroko, perubahan politik pada periode ini pada akhirnya
juga melemahkan kekuasaan legislatif dan parlemen Maroko. Dalam
95
European Commission, “Joint statement by High Representative Catherine Ashton and
Commissioner Stefan Fule on the referendum on the new Constitution in Morocco”,
MEMO/11/478 (2 Juli 2011).
41
kondisi yang demikian, Parlemen Maroko tidak dapat menjalankan
kebijakan yang tidak disetujui oleh Raja.96
Hal ini ditegaskan oleh Raja Hassan II dalam salah satu pidatonya :
“The fact that I am delegating certain powers to the government and Parliament
does not mean that I am devolving or relinquishing these powers to them”
“Fakta bahwa saya mendelegasikan sejumlah kekuasaan kepada pemerintah dan
parlemen tidak berarti bahwa saya memindahkan atau melepaskan kekuasaan ini
kepada mereka...”.97
Lemahnya peran parlemen ini juga disebabkan tidak adanya celah
bagi partai-partai oposisi untuk menentang Makhzen. Sebelum Pemilu
legislatif 1997, partai-partai oposisi selalu berada di luar perundingan
Makhzen dengan Kerajaan. Hal ini terbukti ketika Konstitusi 1996, yang
memberi Raja kekuasaan eksekutif yang luas dan justifikasi relijius yang
tidak terbantahkan, disetujui oleh 99,97 persen anggota parlemen
meskipun partai-partai oposisi menyerukan boikot terhadap keputusan
ini.98
Selain itu, dalam konstitusi 1996 ini Raja juga memiliki beberapa
hak prerogatif yang melemahkan kekuatan legislatif, seperti menyetujui
dan mengadopsi keputusan parlemen, sekaligus dapat memveto keputusan
tersebut.99
Dengan kekuatan Kerajaan yang demikian besar, pemerintah dan
parlemen lebih memilih melaksanakan keinginan Makhzen, daripada
melaksanakan keinginan rakyat. Dengan Makhzen sebagai elit
96
Sater, Civil Society and Political Change in Morocco, hlm. 85 97
Ibid, hlm. 86 98
Ibid 99
Kristina Kausch, “The European Union and Political Reform in Morocco,” Mediterranean
Politics, Vol. 14, No. 2 (July 2009), hlm. 168
42
pemerintahan yang memegang kekuasaan dan memegang kontrol terhadap
pengambilan kebijakan, maka reformasi politik akan sulit dilaksanakan.100
2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996 – Reformasi Konstitusi 2011
Meskipun dianggap melemahkan peran parlemen, konstitusi 1996
sebenarnya membawa perubahan yang lebih signifikan terhadap politik
Maroko. Konstitusi ini menetapkan Maroko kembali menggunakan sistem
bikameral dalam parlemen Maroko, yang terdiri atas Majelis Rendah dan
Majelis Tinggi, setelah sebelumnya sistem ini pernah digunakan pada
tahun 1962-1970. Anggota Majelis Rendah dipilih melalui pemilihan
langsung, sedangkan anggota Majelis Tinggi dipilih melalui pemilihan tak
langsung. Lebih lanjut, Konstitusi 1996 menetapkan Majelis Rendah
sebagai parlemen yang lebih kuat karena dipilih secara langsung, dan
partai pemenang pemilu berhak membentuk pemerintahan.101
Penetapan sistem bikameral ini merupakan salah satu capaian
positif dalam proses demokratisasi Maroko. Namun, hal ini juga
menimbulkan masalah utama sebagaimana terjadi di negara-negara yang
menetapkan sistem bikameral, yaitu: partai-partai oposisi selalu mendesak
amandemen konstitusi karena tidak puas dengan pemerintahan yang
dibentuk oleh partai pemenang pemilu. Adapun di Maroko, partai-partai
oposisi ini kemudian mendukung legitimasi dan peran Kerajaan dalam
100
Loc. Cit, hlm. 3 101
Gregory White, “The Advent of Electoral Democracy in Morocco? The Referendum of 1996,”
Middle East Journal, Vol. 51, No. 3 (Summer, 1997), hlm. 393 [jurnal on-line]; tersedia di
http://www.jstor.org/stable/4329087 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014
43
proses politik.102
Oleh karena itu, pada dasarnya reformasi konstitusi yang
terjadi semakin memperkuat posisi Kerajaan. Selain itu, hak prerogatif
yang dimiliki oleh Majelis Tinggi, seperti hak untuk memastikan bahwa
pemerintahan sesuai dengan kondisi politik terkini, sejalan dengan hak
prerogatif Kerajaan. Sehingga, majelis tinggi sering dipandang sebagai
„pembela kerajaan‟.103
Meskipun kemajuan yang dicapai cukup signifikan, Kerajaan
kembali berhasil melemahkan kekuatan parlemen pada Pemilu legislatif
tahun 2002, namun dilakukan dengan cara yang berbeda. Pada saat itu,
tidak ada koalisi formal yang benar-benar dominan dalam pemilu 2002.
Maka, Raja Mohammed VI kemudian menunjuk Perdana Menteri bukan
dari partai pemenang pemilu, yaitu Driss Jettou, mantan Menteri Dalam
Negeri Maroko sebagai Perdana Menteri.104
Kondisi politik Maroko pasca pemilu 2002 kemudian
meningkatkan keinginan parlemen untuk mengadakan reformasi politik.
Hal ini kemudian diwujudkan dengan merubah kode pemilu baru pada
tahun 2006. Parlemen akhirnya menyetujui sistem baru dimana partai-
partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu akan dibedakan menjadi
dua atau tiga blok yang berbeda untuk pemilu pada tahun 2007. Namun,
sistem pemilu seperti ini justru mengurangi jumlah partai politik dalam
102
Lise Storm, Democratization in Morocco: The Political Elite and Struggles for Power in The
Post Independence State, (New York: Routledge, 2007), hlm. 114 103
Ibid, hlm. 130 104
James N. Sater, “Parliamentary Elections and Authoritarian Rule in Morocco,” Middle East
Journal, Vol. 63, No. 3 (Summer, 2009), hlm. 386; [jurnal on-line]; tersedia di
http://www.jstor.org/stable/20622927 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014
44
parlemen, dan justru semakin melemahkan posisi parlemen dalam
pemerintahan.105
Kegagalan dua reformasi Konstitusi di Maroko dalam
meningkatkan peran Parlemen pada akhirnya mendorong pemerintah
Maroko untuk melaksanakan reformasi konstitusi untuk yang ketiga kali
sejak „periode transisi demokrasi‟ pada tahun 2011.
3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013
Konstitusi 2011 menetapkan bahwa Kepala Pemerintahan akan
ditunjuk dari Partai Politk yang memenangkan Pemilu Parlemen, serta
perluasan kekuasaan Kepala Pemerintahan dan Parlemen, dengan
memberi mereka kekuasaan legislatif. Hal ini ditegaskan dalam pasal 47
Konstitusi 2011, yang berbunyi:106
“The King appoints the Head of Government from within the political party
arriving ahead in the elections of the members of the Chamber of
Representatives.... On proposal of the Head of Government, He appoints the
members of the government”
“Raja menunjuk Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri) dari partai politik yang
memenangkan pemilihan legislatif. ...atas proposal Kepala Pemerintahan, Raja
akan menentukan anggota kabinet...”
Pasca penetapan konstitusi ini, Maroko mengadakan pemilu
legislatif pada tahun 2011. Hasilnya, koalisi yang dipimpin partai oposisi
Islam, Justice and Development Party (PJD), memenangkan pemilu 2011.
Pemimpin PJD, Abdelillah Benkirane kemudian ditunjuk sebagai Perdana
Menteri. PJD adalah partai oposisi utama terhadap koalisi partai loyalis
105
Ibid, hlm. 133 106
Jeffry J. Ruchti, Morocco: Draft Text of the Constitution Adopted at the Referendum of 1 July
2011 (New York: William S. Hein & Co., Inc: 2011), hlm. 15
45
kerajaan, yang dipimpin oleh National Rally of Independents (RNI) dan
Party of Authenticity and Modernity (PAM) di parlemen.107
Sejak tahun 1992, kerajaan dan RNI selalu berusaha melemahkan
kekuatan PJD di parlemen dan pemilu legislatif karena popularitas PJD
dan komitmen PJD terhadap demokrasi. Usaha ini, kemudian berlanjut
ketika koalisi loyalis kerajaan mengusulkan mengadakan pemilu pada
2012. Adapun pada pemilu legislatif 2012 ini, Independence Party
(Istiqlal) meninggalkan koalisi PJD dan bergabung dengan koalisi loyalis
kerajaan. Namun, pemilu legislatif 2012 kemudian tetap menghasilkan
PJD sebagai pemenang.108
Berikut adalah distribusi kursi dalam parlemen
Maroko pasca pemilu 2012:
Tabel II.B.1. Distribusi Kursi Parlemen Maroko
Koalisi Partai di Parlemen Jumlah Kursi
Party of Justice and Development 105
Party of istiqlali of unity and egalitarianism 60
Party of the National Rally of Independents 54
Party of authenticity and modernity 47 + 1
Party of the Socialist Union of Popular Forces 42
Party of movement 33
Party of Constitutional Union 23
Party of Democratic Progress 21
Sumber: Website resmi Parlemen Maroko,
http://www.parlement.ma/en/_organo3.php?filename=201202011459500 pada 21
November 2014
107
Matt Buehler, “Safety-Valve Elections and the Arab Spring: The Weakening (and Resurgence)
of Morocco‟s Islamist Opposition Party,” Terrorism and Political Violence Journal, No. 24
(2013), hlm. 140 108
Mohamed Daadaoui, “Party Politics and Elections in Morocco,” The Middle East Institute
Policy Brief, No.29 (May 2013), hlm. 6
46
Berkuasanya PJD sebagai partai yang berkomitmen terhadap
demokrasi berpengaruh terhadap usaha-usaha pemerintah Maroko dalam
meningkatkan peran parlemen. Salah satu capaian parlemen Maroko
adalah mengadakan konferensi dalam mereformasi aturan prosedur
pemerintahan (Conference on Reforming Rules of Procedures) pada
tanggal 21 Maret 2012. Konferensi ini menghasilkan berbagai temuan dan
rekomendasi yang menjadi inisiatif untuk pembentukan rencana strategis
(strategic plan) untuk meningkatkan kerja parlemen.109
Dalam rencana strategis ini ada lima fokus utama yang ingin
diperbaiki oleh parlemen Maroko: (1) peningkatan kerangka institusional
dan manajemen parlemen, (2) pembangunan peran legislatif, (3) penguatan
pemerintahan, (4) peningkatan peran diplomatik, dan (5) strategi
komunikasi dan pembangunan komunitas. Adapun, lima fokus utama ini
berasal dari kerangka kerja yang ditawarkan oleh UE terhadap parlemen
Maroko sebagai bagian dari program kawasan Selatan ENP.110
Sama seperti reformasi dalam bidang pemisahan kekuasaan,
Penguatan peran Parlemen yang ditunjukkan melalui Konstitusi 2011
kemudian juga diikuti dengan dukungan dari dunia internasional. Pada
tanggal 23-25 Maret 2012, Maroko untuk pertama kali menggelar
pertemuan parlemen negara-negara kawasan Selatan ENP yang diadakan
109
Kingdom of Morocco, Parliament The House of Representative, “Strategic Plan for Upgrading
and Enhancing The Work of The House of Representatives,” (25 Desember 2012), hlm. 2, diakses
dari http://www.parlement.ma/en, pada 12 Oktober 2014 110
Ibid, hal. 3
47
oleh delegasi UE di kawasan Mediterania Selatan, Union for
Mediterranian (UfM). Hal ini merupakan salah satu program ENP di
kawasan Mediterania Selatan.111
Selain dengan UE, Maroko juga bekerjasama dengan aktor
internasional lain dalam reformasi peran parlemen ini. Inggris misalnya,
memberikan program dukungan terhadap reformasi di Maroko melalui
Westminster Foundation for Democracy (WFD), yaitu badan
pembangunan demokrasi yang didanai oleh Kementerian Luar Negeri
Inggris. Pada bulan Januari 2013, WFD dan Pemerintah Maroko
menandatangani MoU untuk program „Increasing political participation
and transparency in the Moroccan parliament‟ yang dilaksanakan
selama periode 2012-2015.112
C. Penguatan Peran Civil Society Organization (Organisasi Masyarakat sipil)
Maroko dalam Pembangunan Demokrasi
1. Periode awal transisi demokrasi – Reformasi Konstitusi 1996
Meskipun masyarakat sipil Maroko telah tumbuh sejak masa
dinasti Idrissiyyah di Maroko, seperti kelompok Ulama dan komunitas
Berber, konsep masyarakat sipil baru memasuki ranah politik Maroko
sejak „periode transisi demokrasi‟. Hal ini utamanya disebabkan oleh
berbagai reformasi dan perubahan yang terjadi di bidang politik dan
111
Kingdom of Morocco, Parliament The House of Representative, “The Parliamentary Assembly
of the Union for the Mediterranean,” diakses dari http://www.parlement.ma/en, pada 12 Oktober
2014 112
Westminster Foundation For Democracy, “Increasing Political Participation and Transparency
in The Moroccan Parliament 2012-2015,” (2014), hlm. 25
48
ekonomi Maroko, seperti modernisasi dan liberalisasi ekonomi. Adapun
Civil Society Organization (CSO) atau Organisasi Masyarakat sipil
kemudian muncul di Maroko sebagai akibat dari berbagai perubahan yang
terjadi, dimana mereka yang merasa termarjinalkan dalam proses
modernisasi dan liberalisasi ini kemudian membentuk berbagai asosiasi,
seperti pejuang HAM, pembela hak sipil dan wanita, komunitas suku
Berber, atau komunitas anti korupsi.113
Peran CSO di Maroko secara umum sangat terkait dengan
masyarakat politik. Masyarakat sipil Maroko sendiri dikenal bebas dalam
mengembangkan aktifitasnya. Namun, beberapa CSO yang aktifitasnya
terkait dengan isu-isu tabu seperti monarki, pemisahan kekuasaan, atau
kemerdekaan Sahara Barat segera dihentikan melalui berbagai langkah
hukum oleh pemerintah. Sementara itu, media penyiaran sebagai satu-
satunya media dengan cakupan nasional, dikontrol secara efektif oleh
negara.114
Kontrol pemerintah terhadap CSO di Maroko sangat jelas terlihat,
terutama untuk CSO yang berpengaruh terhadap proses pembuatan
kebijakan. Elit pemerintah menganggap bahwa segala bentuk asosiasi yang
tujuannya berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan dianggap sebagai
kompetitor dalam politik Maroko. Oleh karena itu, Makhzen
113
Driss Ben Ali, “Civil Society and Economic Reform in Morocco,” ZEF Project Research
Paper, Universitat Bonn (Januari 2005), hlm. 3 114
Kausch, “How serious is the EU about supporting democracy and human rights in Morocco?”,
hlm. 3
49
mengupayakan kerjasama dengan CSO-CSO seperti ini dengan
menempatkan anggotanya sebagai ketua CSO tersebut. Dengan demikian
tujuan politis CSO yang tidak sesuai dengan keinginan Makhzen dapat
diredam.115
2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996 – Reformasi Konstitusi 2011
Pelemahan terhadap organisasi masyarakat sipil tetap terjadi pasca
reformasi konstitusi 1996. Salah satunya, pada November 1996
pemerintah Maroko membekukan segala aktivitas Konfederasi Umum
Pengusaha Maroko atau General Confederations of Morocco’s Enterprises
(CGEM), di bidang politik, seperti keterlibatan dalam pembuatan hukum
yang yang mengatur hubungan bisnis dan pemerintah dan kampanye anti
korupsi.116
Namun demikian, ketika Raja Mohammed VI berkuasa, dibentuk
beberapa kebijakan yang mendukung masyarakat sipil Maroko, seperti
pembebasan tahanan politik, pers yang lebih bebas, pengurangan
pelanggaran HAM, dan beberapa reformasi politik yang mendorong
negara agar lebih akuntabel terhadap rakyatnya. Perubahan ini berdampak
positif terhadap masyarakat sipil Maroko secara keseluruhan yang
115
Ibid, hlm. 4 116
Ben Ali, hlm. 6
50
menggunakan kebebasan ini untuk membentuk berbagai asosiasi dan
organisasi dalam berbagai isu.117
Pada delapan tahun awal sejak periode transisi demokrasi, CSO di
Maroko dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu asosiasi pengusaha, persatuan
buruh, dan Partai Politik. Sementara itu, sejak awal 2000-an, pertumbuhan
CSO di Maroko berkembang sangat pesat. Berdasarkan survei CIVICUS
index, ada sekitar 30.000 hingga 50.000 CSO yang berkembang sejak
tahun 2000-2011.118
Berkembangnya jumlah CSO di Maroko juga semakin
mengembangkan jenis-jenis CSO di Maroko. Menurut CIVICUS index,
segala organisasi yang tidak terkait dengan negara atau sektor privat, dan
dikembangkan untuk kepentingan bersama masuk dalam lingkup CSO.
Maka, tidak hanya organisasi non-pemerintah atau non-governmental
organization (NGO) yang masuk dalam definisi CSO. Adapun menurut
CIVICUS index, CSO di Maroko berkembang menjadi organisasi
perjuangan HAM, organisasi jasa dan pembangunan, organisasi
pendidikan dan budaya, organisasi keagamaan, gerakan sosial, Zawayat
(persaudaraan keagamaan), media privat, asosiasi profesional, dan badan
amal.119
117
Francesco Cavatorta, “Civil Society, Islamism and Democratisation: The Case of Morocco,”
The Journal of Modern African Studies, Vol. 44, No. 2 (Juni 2006), hlm. 211; [jurnal on-line];
tersedia di http://www.jstor.org/stable/3876155 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014 118
Azeddine Akesbi, “Civil Society Index for Morocco,” CIVICUS Civil Scoety Index Anlytical
Country Report: International Version (2011), hlm. 20 119
Ibid
51
Beragamnya kategori CSO di Maroko menyebabkan pengaruh
mereka dalam kaitannya dengan pemerintahan dan pembentukan kebijakan
sulit diukur. CIVICUS index melakukan survei terhadap masyarakat sipil
Maroko pada tahun 2010-2011 untuk mengukur pengaruh CSO dalam
kehidupan sosial dan politik Maroko. Hasilnya, hanya asosiasi pengusaha,
Partai Politik, dan persatuan buruh yang dianggap memiliki pengaruh, dan
posisi ketiganya hanya berada di urutan ketiga setelah institusi Kerajaan
dan Perdana Menteri serta Parlemen.120
Pelemahan Partai Politik dan CSO-CSO yang mengusung isu
politik oleh negara menjadi salah satu penyebab rendahnya pengaruh
mereka dalam kehidupan sosial dan politik Maroko. Selain itu, pemerintah
Maroko dengan pengaruh Makhzen yang sangat kuat juga membatasi
pergerakan beberapa persatuan buruh yang memiliki afiliasi khusus
dengan Partai Politik, seperti General Union of Moroccan Workers
(GUMW) yang berafiliasi dengan Partai Istiqlal, dan Workers Democratic
Confederation (WDC) yang berafiliasi dengan Partai Socialist Union of
Popular Forces (SUPF). Persatuan buruh ini memiliki pengaruh yang
cukup kuat dalam parlemen, khususnya di Majelis Tinggi.121
3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013
Kondisi masyarakat sipil dan CSO Maroko mulai mengalami
perubahan sejak Revolusi Arab berlangsung. Di Maroko, Gerakan 20
120
Ibid, hlm. 21 121
Ibid, hlm. 10
52
Februari 2011 yang merupakan pengaruh dari Revolusi Arab menunjukkan
dinamisme masyarakat sipil Maroko dan keinginan mereka untuk
reformasi politik di Maroko. Gerakan ini diantaranya menyerukan
perlawanan rakyat terhadap korupsi di kalangan birokrat dan anggota
parlemen. Selain itu, gerakan ini juga menunjukkan beragamnya
masyarakat sipil di Maroko dan isu yang diserukan, mulai dari feminis,
aktivis HAM, pemuda, maupun kelompok Islamis. Dinamisme ini,
menurut Rachid Tohtou dapat membangun jembatan penghubung antara
cara formal dan informal dalam politik Maroko.122
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Raja Maroko
kemudian merespon gerakan ini dengan melakukan reformasi konstitusi
dan menetapkan Konstitusi 2011 sebagai Konstitusi baru. Adapun terkait
peran dan kedudukan CSO dijelaskan dalam pasal 12 konstitusi, yaitu:
“The associations of civil society and the non-governmental organizations are
constituted and exercise their activities in all freedom, within respect for the
Constitution and for the law... The associations interested in public matters and
the non-governmental organizations, contribute, within the framework of
participative democracy, in the enactment, the implementation and the
evaluation of the decisions and the initiatives [projets] of the elected institutions
and of the public powers..., The organization and functioning of the associations
and the non-governmental organizations must conform to democratic
principles.of a decision of justice.”
“Asosiasi masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah diakui dan
melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kebebasan, dengan tetap mematuhi
konstitusi dan hukum... Asosiasi yang berkaitan dengan masalah publik dan
organisasi non pemerintah, berkontribusi dalam kerangka demokrasi partisipatif,
dalam penetapan, implementasi dan evaluasi keputusan dan inisiatif yang diambil
oleh pemerintah dan pemimpin publik..., pengelolaan dan fungsionalisasi asosiasi
dan organisasi non pemerintah harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip
demokratis.”123
122
Anwar, Van Groningen, Hendriks Awuy, dan Stork, hlm. 46 123
Jeffry J. Ruchti, Morocco: Draft Text of the Constitution Adopted at the Referendum of 1 July
2011 (New York: William S. Hein & Co., Inc: 2011), hlm. 8
53
Selain pasal 12, Pasal 13, 14, dan 15 juga memperbolehkan
masyarakat sipil Maroko untuk berpartisipasi dalam pembuatan draf
kebijakan parlemen, serta berperan aktif dalam membentuk,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi kebijakan publik. Sementara itu,
pasal 139 memperbolehkan pendirian mekanisme partisipatif di level
daerah, sehingga masyarakat sipil Maroko dapat berpartisipasi dalam
pembuatan kebijakan di level daerah.
Kejelasan status CSO dan posisi masyarakat sipil dalam kehidupan
sosial dan politik Maroko di dalam konstitusi 2011 pada akhirnya dapat
meredakan Gerakan 20 Februari. Namun demikian, keterlibatan aktor
internasional dalam promosi demokrasi di Maroko seperti Uni Eropa dan
AS justru semakin membentuk potensi CSO dan masyarakat sipil di
Maroko.124
Pasca penetapan konstitusi 2011, kesempatan CSO lokal
Maroko untuk bekerjasama dengan institusi internasional semakin terbuka.
Uni Eropa misalnya, membangun Civil Society Facility (CSF) di negara-
negara European Neighborhood Policy (ENP), termasuk di Maroko. Uni
Eropa juga mengalokasikan dana sebesar 34 Juta Euro pada periode tahun
2011-2013 untuk mendanai fasilitas ini. CSF sendiri bertujuan untuk
124
Karima Rhanem, “Morocco turns Arab spring into a summer of Reform,” Pidato dalam Euro-
Arab Seminar on Empowerment of Youth Organization and Led Civil Society Initiatives (22-24
Maret 2012)
54
memperkuat dan mempromosikan peran organisasi masyarakat sipil dalam
reformasi dan perubahan demokrasi.125
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya
proses demokratisasi di Maroko telah berjalan sejak awal kemerdekaan, namun
secara nyata baru dilaksanakan pada awal tahun 1990-an. Pada praktiknya, proses
demokratisasi di Maroko lebih banyak mengalami hambatan karena tidak ada
komitmen dari Kerajaan maupun pemerintah Maroko terhadap reformasi
demokrasi yang ingin dilaksanakan. Oleh karena itu, aktor internasional seperti
UE memiliki peran yang penting untuk memberi tekanan kepada pemerintah
Maroko untuk benar-benar melaksanakan reformasi demokrasi.
125
European Commission, “Joint Staff Working Document: Implementation of the European
Neighbourhood Policy in 2013 Regional report : A Partnership for Democracy and Shared
Prosperity with the Southern Mediterranean Partners,” (27 Maret 2014) hlm. 10
55
BAB III
EUROPEAN NEIGHBORHOOD POLICY (KEBIJAKAN
EROPA UNTUK NEGARA TETANGGA) DI MAROKO
Sejak Uni Eropa (UE) melaksanakan proses perluasan keanggotaan, yang
ditandai dengan bergabungnya sepuluh negara Eropa dengan UE pada tahun 2004,
dan dua negara Eropa pada tahun 2007, sedikit banyak telah merubah perbatasan
UE dengan negara-negara Eropa non-anggota UE, terutama di kawasan Eropa
Timur (Eastern Neighbours), menjadi kurang stabil dan lemah.126
Oleh karena
alasan di atas, UE merasa perlu untuk membentuk pendekatan strategis terhadap
situasi di atas, dengan membentuk kembali perbatasan antara „orang dalam‟ dan
„orang luar‟ dalam perbatasan-perbatasan UE. Selain itu, UE juga menginginkan
pendekatan baru ini dapat mencakup definisi „tetangga‟ yang lebih luas, yaitu
meliputi negara-negara Newly Independent States (NIS), negara-negara Kaukasus,
serta negara-negara Mediteranian Timur dan Selatan, termasuk di Maroko.127
Untuk mewujudkan hal ini, maka dibentuklah European Neighborhood Policy
(ENP) sebagai kerangka kebijakan luar negeri UE di negara-negara tetangganya.
126
Stefan Gänzle, “The European Neighbourhood Policy (ENP): a Strategy for Security in
Europe?” The Changing Politics of European Security, ed. Stefan Gänzle dan Allen. G. Sens (New
York: Palgrave Macmillan, 2007), hlm. 110. 127
Richard G. Whitman dan Stefan Wolff, “Much Ado About Nothing? The European
Neighborhood Policy in Context,” The European Neighborhood Policy in Perspective: Context,
Implementation and Impact, ed. Richard G. Whitman dan Stefan Wolff (New York: Palgrave
Macmillan, 2010), hlm. 3
56
A. Pengertian European Neighborhood Policy (ENP)
European Neighborhood Policy (ENP) atau Kebijakan Eropa Untuk
Negara Tetangga, adalah Kerangka kebijakan Uni Eropa (UE) yang
bertujuan untuk menghindari terbentuknya garis pemisah antara UE yang
diperluas dengan negara-negara tetangga UE, sekaligus memperkuat
kesejahteraan, stabilitas, dan keamanan kedua pihak. ENP didasarkan pada
nilai-nilai demokrasi, penegakkan hukum, dan Hak Asasi Manusia.128
Kerangka ENP diusulkan kepada 16 negara tetangga terdekat UE, yaitu
Aljazair, Armenia, Azerbaijan, Belarusia, Mesir, Georgia, Israel, Yordania,
Lebanon, Libya, Moldova, Maroko, Palestina, Suriah, Tunisia and Ukraina.129
Pada dasarnya, ENP adalah strategi yang dibentuk oleh UE untuk
berbagi keuntungan perluasan dengan negara-negara tetangganya, dan secara
bersama-sama mengatasi tantangan yang muncul dari situasi pasca perluasan
keanggotaan UE. Di satu sisi, ENP adalah kebijakan untuk meningkatkan
stabilitas, keamanan, dan kesejahteraan diluar perbatasan UE, yang
dilaksanakan melalui kerjasama regional. Namun di sisi lain, ENP juga
menawarkan kemitraan khusus untuk negara-negara tetangganya, berdasarkan
komitmen terhadap nilai bersama (shared values).130
128
EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “What is the European
Neighborhood Policy,” diakses dari http://eeas.europa.eu/enp/about-us/index_en.htm pada 3
Agustus 2014 129
Ibid 130
Sevilay Kahraman, “The European Neighborhood Policy: The European Union‟s New
Engagement Towards Wider Europe”, Perceptions (Winter 2005), hlm. 3
57
ENP dibentuk pada tahun 2004, ketika terjadi perluasan keanggotaan
besar-besaran di Uni Eropa. Proses pembentukan ENP dimulai pada bulan
Maret 2003 ketika Komisi Eropa, atas prakarsa Romano Prodi yang
merupakan Presiden Komisi Eropa saat itu, meluncurkan komunike yang
berjudul: The Wider Europe Neighbourhood, A New Framework for Relations
with our Eastern and Southern Neighbours.131
Komunike ini menyerukan pembentukan sebuah proposal untuk
menyatukan kebijakan UE yang luas terhadap negara-negara tetangganya,
yang bertujuan untuk menciptakan lingkaran negara UE yang lebih
bersahabat, stabil, dan sejahtera, sehingga dapat menjamin stabilitas
hubungan dengan negara-negara tetangga UE. Kebijakan baru ini diharapkan
dapat mempromosikan kerjasama politik dan integrasi ekonomi yang lebih
erat, dengan memberikan akses penuh kepada pasar bersama UE, sebagai
imbalan atas prasyarat yang diberikan UE untuk mereformasi regulasi
ekonomi dan kemajuan di bidang keamanan perbatasan, HAM, dan
demokrasi.132
Dewan Eropa (The European Council) kemudian menyetujui proposal
Komisi Eropa dan diputuskan bahwa kebijakan baru ini disebut European
Neighborhood Policy (ENP). Kebijakan ini akan diberlakukan tidak hanya di
negara-negara tetangga sebelah Timur UE (Eastern Neighbours) tetapi juga di
131
Ibid, hlm. 3 132
Edzard Wesselink dan Ron Boschma, “Overview of the European Neighbourhood Policy: Its
History, Structure, and Implemented Policy Measures,” SEARCH Working Paper, WP1/04
(Januari 2012), hlm. 6
58
negara-negara tetangga sebelah Selatan UE (Southern Neghbours), termasuk
di Maroko. Lebih jauh, diputuskan juga bahwa kebijakan ini akan dibangun
berdasarkan kebijakan lama, bukan menggantinya. Oleh karena itu, UE tetap
menggunakan kerangka kebijakan lama hingga akhir kerangka multi-tahunan
pada tahun 2006 dan baru menyatukan kebijakan lama dengan kerangka ENP
pada tahun 2007-2013.133
ENP dibentuk sebagai satu kerangka kebijakan yang terintegrasi
secara luas, dan mencakup seluruh tema dimana negara-negara ENP dapat
berkolaborasi dengan UE. ENP menggabungkan beberapa program lama UE
di negara-negara tetangganya dengan kebijakan baru berdasarkan tema yang
menjadi prioritas. Hal ini dilakukan karena beberapa kebijakan UE terdahulu
terkesan tumpang tindih dan tidak tepat sasaran.134
B. Landasan Kerjasama Uni Eropa-Maroko dalam Kerangka ENP
Sebagaimana telah dipaparkan pada bab 1, bahwa Maroko adalah
negara yang menjadi prioritas UE dalam ENP. Dalam kerangka ENP, UE dan
Maroko memiliki dua landasan kerjasama utama, yaitu Association
Agreements (AA) atau Persetujuan Asosiasi, dan Action Plan (AP) atau
Rencana Kerja.135
AA adalah perjanjian dasar yang dibentuk sebelum UE dan
negara ENP menyusun rencana kerja. Adapun perjanjian asosiasi UE-Maroko
ditandatangani di Brussels, pada tanggal 26 Februari 1996, dan kemudian
133
Ibid 134
Ibid, hlm. 7 135
EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “How Does it Work?,” diakses
dari http://eeas.europa.eu/enp/how-it-works/index_en.htm pada 3 Agustus 2014
59
diratifikasi oleh Parlemen negara-negara anggota UE, Parlemen Eropa, dan
Parlemen Maroko pada 1 Maret 2000.
Inti dari AA UE-Maroko merujuk pada dialog politik rutin di tingkat
menteri atau level pejabat senior dan di level parlemen, melalui kontak
institusi parlemen Maroko dan UE.136
Selain itu, AA ini juga menekankan
pada perdamaian, keamanan, dan kerjasama regional, serta kontribusi terhadap
stabilitas dan kesejahteraan kawasan Mediterania guna mempromosikan saling
pengertian dan toleransi. AA ini juga memperkuat liberalisasi ekonomi,
kerjasama sosial dam kebudayaan.137
Setelah AA ditandatangani, maka UE dan Maroko menandatangani
perjanjian bilateral yang disebut Action Plan (AP) atau Rencana Kerja. AP
berisi agenda reformasi politik dan ekonomi dengan prioritas jangka pendek
dan jangka menengah antara 3 sampai 5 tahun. AP merefleksikan keinginan
Maroko sebagai negara partner ENP, juga kepentingan UE sebagai pelaksanan
ENP.138
Rencana kerja ENP untuk Maroko yang pertama, ditandatangani pada
tahun 2005 dan mulai aktif dilaksanakan pada tahun 2006.139
Dalam AP
tersebut, Maroko dan UE secara umum ingin memperkuat hubungan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya, serta kerjasama keamanan. Untuk Maroko
136
EU External Action Services, European Neighborhood Policy“The Association Agreement EU-
Morocco,” diakses dari http://eeas.europa.eu/morocco/association_agreement/index_en.htm pada 3
Agustus 2014 137
Wesselink and Boschma, hlm. 7 138
EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “How Does it Work?,” diakses
dari http://eeas.europa.eu/enp/how-it-works/index_en.htm pada 3 Agustus 2014 139
Loc.Cit, hlm. 9
60
sendiri, pendekatan kembali dengan UE melalui ENP menunjukkan pilihan
kebijakan luar negeri yang fundamental.140
Adapun komponan utama dalam Action Plan UE-Maroko dapat
dikategorikan menjadi enam komponen, yaitu:
Tabel II.B.1. Komponen Utama Action Plan EU-Maroko
NO Aksi Tujuan Komponen
1 Reformasi dan Dialog
Politik
Memperkuat prinsip-prinsip
demokrasi dan rule of law
- Demokrasi
- HAM
- Hak sosial dan standar
buruh
2 Reformasi Ekonomi dan
Sosial
Modernisasi dan peningkatan
ekonomi, guna
mempersiapkan Maroko
menuju pasar bebas
- Reformasi struktural dan
transisi menuju ekonomi
pasar
- Reformasi sektor pertanian
- Pembangunan lokal dan
regional
3 Reformai perdagangan,
pasar, dan peraturan
Liberalisasi saham dan
investasi, serta standardisasi
aturan terkait gerakan pekerja
- Liberalisasi perdagangan
- Hak untuk membangun
perusahaan dan jasa
- Arus investasi
4 Kerjasama di bidang
peradilan
- Standardisasi aturan
imigrasi
- Konsolidasi kerjasama
keamanan lintas batas
- Manajemen arus migrasi
- Manajemen perbatasan
- Pemberantasan organisasi
criminal
5 Transportasi, energi,
lingkungan, TI, sains,
teknologi, riset dan
pengembangan
Modernisasi dan konsolidasi
infrastruktur energi dan
transportasi, serta bantuan
pengembangan teknologi
- Konsolidasi kebijakan
Maroko dan kebijakan
regional Maroko di bidang
energi
-
6 Kontak antar orang Pendekatan budaya - Edukasi, training,
kepemudaan dan olahraga
- Kerjasama budaya,
masyarakat sipil, dan
kesehatan
Sumber: Departemen Ekonomi dan Keuangan Maroko, “Morocco- EU Relations :
Towards an Advanced Status Partnership” (November 2007), hlm. 6
Dalam komponen utama AP di atas, terlihat bahwa demokrasi telah
menjadi salah satu komponen utama sejak awal pelaksanaan program ENP di
140
European Commission, EU-Morocco Action Plan (2006)
61
Maroko. Akan tetapi, sasaran reformasi demokrasi dalam AP UE-Maroko
hanyalah di bidang modernisasi kebijakan publik, HAM, serta peningkatan
hak sosial dan standar buruh.
Adapun dana yang dikeluarkan UE untuk kerjasama UE dan Maroko
dalam kerangka ENP selama tahun 2011-2013, semua terintegrasi dalam
instrumen pendanaan terpusat, yaitu European Neighbourhood and
Partnership Instrument (ENPI). ENPI di Maroko mendanai program-program
utama UE di Maroko, yaitu program bilateral, program untuk kawasan
Selatan, dan program tematik.141
C. Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko Dalam Kerangka ENP Tahun
2011-2013
Promosi demokrasi yang dilakukan oleh UE di Maroko dalam
kerangka ENP tahun 2011-2013 difokuskan pada tiga aspek, yaitu pemisahan
kekuasaan, penguatan peran parlemen, serta penguatan peran organisasi
Masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi. Pada program ENP di
Maroko sebelum tahun 2011-2013, reformasi demokrasi di tiga aspek ini
belum menjadi prioritas UE. Adapun kepentingan ekonomi, keamanan dan
stabilitas kawasan masih menjadi prioritas UE pada periode tersebut. Pada
periode 2007-2010 misalnya, dalam National Indicative Programme ENP in
Morocco 2007-2010 disebutkan bahwa prioritas ENP di Maroko hanyalah
141
EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “How Is It Financed?”, diakses
dari http://eeas.europa.eu/enp/how-is-it-financed/index_en.htm pada 7 Oktober 2014
62
prioritas sosial, seperti dukungan kepada INDH dan kebijakan pendidikan;
prioritas HAM, seperti mendukung Ministry of Justice dan impelementasi
IER; prioritas ekonomi, seperti promosi investasi dan ekspor industri Maroko,
pertanian, dan pembangunan infrastruktur; serta prioritas lingkungan, seperti
memberikan dana bantuan untuk menanggulangi depolusi. Adapun demokrasi
tidak ada dalam proritas program tersebut.142
Keinginan UE untuk mempromosikan reformasi dalam tiga bidang
tersebut didorong oleh kepentingan baru UE pasca Revolusi Arab. Negara-
negara anggota UE menyadari bahwa kepentingan mereka akan keamanan
kawasan sudah tidak dapat dijamin oleh rezim-rezim di negara-negara ENP
yang terdampak revolusi Arab. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas
kembali di kawasan, mendukung transisi demokrasi yang telah berjalan
menjadi kepentingan baru UE. Di Maroko, UE merasa berkepentingan untuk
menjamin berjalannya reformasi demokrasi di tiga bidang tersebut yang telah
dijalankan oleh Maroko.143
Adapun promosi demokrasi UE dalam tiga aspek ini dilaksanakan
melalui tiga kerangka program utama ENP di Maroko, yaitu program bilateral
(Bilateral Programme), program untuk kawasan Selatan (Southern Regional
Programme), dan program tematik (Thematic Programme).
142
European Commission, ENPI Morocco: 2007-2010 National Indicative Programme. 143
Timo Behr, “The European Union‟s Mediterranean Policies after the Arab Spring: Can the
Leopard Change its Spots?,” Amsterdam Law Forum, Vol. 4, No. 2 (Spring 2012), hlm. 82
65
1. Bidang Pemisahan Kekuasaan
Dalam aspek pemisahan kekuasaan, UE melalui program kawasan
ENP untuk negara tetangga Selatan (Southern Regional Programme),
meluncurkan program kerjasama „Partnership for Democracy and Shared
Proseperity’.144
Melalui program ini, UE memberikan status „mitra
demokrasi‟ (Partner of Democracy Status) kepada Maroko pada bulan
Juni 2011,145
tidak lama setelah Raja Mohammed VI mengumumkan
rencana reformasi konstitusi Maroko pada bulan Maret 2011, dimana
pemisahan kekuasaan menjadi aspek utama yang direformasi.146
Dengan
status ini, UE menjanjikan Maroko kerjasama yang lebih luas untuk
reformasi di bidang demokrasi yang lain, seperti HAM, pemberantasan
korupsi, peningkatan peran media, peningkatan peran parlemen, dan
peningkatan peran wanita dalam kehidupan politik untuk periode 2012-
2014.147
Selain mendapat status mitra demokrasi, UE juga meningkatkan
„advanced status‟ kepada Maroko yang sebelumnya telah diberikan pada
tahun 2008. Sebagai kelanjutan program ini, UE memberi „advanced
status II‟ kepada Maroko pada tahun 2013.148
Dengan peningkatan
advanced status ini, Maroko akan menyesuaikan legislasinya sesuai
144
Council of Europe, Parliamentary Project Support Division: South Programme 145
Council of Europe, Neighborhood Cooperation Priorities For Morocco 2012-2014, hlm. 14 146
Ibid 147
Ibid, hlm. 14-15 148
ENPI-Info, “Morocco: new EU support for the implementation of the Advanced Status and
educational strategy,” diakses dari
http://www.enpiinfo.eu/mainmed.php?id=35218&id_type=1&lang_id=450, pada 12 Oktober 2014
64
dengan legislasi UE. Melalui advanced status II ini, UE juga menjanjikan
integrasi ekonomi Maroko ke dalam pasar tunggal Eropa.149
Adapun program ini merupakan hasil kerjasama antara European
Commission dan Council of Europe. Dalam program ini, selain memberi
status kemitraan, UE menggunakan pendekatan incentive based approach
atau more for more, dimana UE akan memberi dukungan dana yang lebih
besar untuk negara-negara ENP yang lebih cepat dan lebih jauh dalam
melaksanakan reformasi demokrasi. Dukungan akan diberikan untuk
negara-negara yang setuju dengan rencana reformasi yang diajukan oleh
UE.150
2. Bidang Penguatan Peran Parlemen
Sebagai kelanjutan pemberian status mitra demokrasi ini, UE
mendukung reformasi pemisahan kekuasaan yang telah diinisiasi oleh
pemerintah Maroko dengan membantu Parlemen Maroko. Masih melalui
Southern Regional Programme, pada tahun 2012, UE meluncurkan
program „Strengthening Democratic Reform in the Southern
Mediterranean‟. Dana sebesar 4,8 Juta Euro diberikan kepada Parlemen
149
Ibid 150
European Commission, Joint Communication to the European Council, the European
Parliament, the Council, the European Economic and Social Committee and the Committee of the
regions: A Partnership for Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean (8
Maret 2011), hlm. 5
65
Maroko untuk mendanai program ini, dan dialokasikan untuk tahun 2012-
2014.151
Program tersebut diantaranya menyediakan kerangka kerja yang
relevan untuk memperkuat Parlemen Maroko di area reformasi yang telah
dilaksanakan oleh Maroko pada tahun 2011, khususnya untuk memperkuat
demokrasi, rule of law, serta HAM dan kebebasan fundamental. Ada
empat tema yang ditawarkan dalam kerangka kerja ini yaitu, (1)
memperkuat mekanisme parlemen, seperti kontrol terhadap pemerintahan,
(2) penguatan parlemen di bidang hukum (3) penguatan parlemen di
bidang perlindungan hak wanita dan anak-anak, serta partisipasi
masyarakat sipil, (4) kapasitas pembangunan komunikasi dan komunitas
manajemen dan staf Parlemen Maroko.152
Program ini kemudian didukung oleh program Support for
partnership, reforms and inclusive growth (SPRING). Dalam program
SPRING, UE mengalokasikan dana sebesar 3 Juta Euro untuk mendukung
parlemen Maroko, dan mulai dialokasikan pada tahun 2013. Berikut
adalah rincian dana untuk program SPRING di Maroko:
151
European Commission, Joint Staff Working Document: Implementation of the European
Neighbourhood Policy in 2013 Regional report : A Partnership for Democracy and Shared
Prosperity with the Southern Mediterranean Partners (27 Maret 2014), hlm. 9 152
Ibid
66
Tabel III.C.1. Rincian Dana Program SPRING
(Juta Euro)
Sumber: European Commission, “Joint Staff Working Document: Implementation of the
European Neighbourhood Policy Statistical Annex”, (Brussels, 27 Maret 2014), hlm. 65
3. Bidang Penguatan Peran Organisasi Masyarakat sipil Dalam
Pembangunan Demokrasi
Sebelum Revolusi Arab, kerangka ENP banyak dikritik karena
lebih banyak bekerjasama dengan pemerintah dan hanya sedikit
bekerjasama dengan masyarakat sipil. Oleh karena itu, bagi masyarakat
sipil Maroko, ENP sesungguhnya hanyalah bentuk dari bantuan
pembangunan dari UE untuk promosi transisi ekonomi di Maroko. CSO di
Maroko lebih banyak didorong untuk menjadi agen dan penjaga hagemoni
ekonomi UE.153
Namun demikian, gerakan 20 Februari membuka mata UE bahwa
masyarakat sipil di Maroko telah berevolusi dan mampu berkembang
153
Bohdana, Dimitrovova, “Reshaping Civil Society in Morocco Boundary Setting, Integration
and Consolidation,” CEPS Working Document, No. 323 (Desember 2009), hlm. 13
Programme Amount
Support to National Council and Inter-Ministerial
Delegation of Human Rights
2,9
Support to SMEs and job creation 40
Agricultural Strategy Council 16,1
Literacy programme 35
Top up of Support to Health sector reform programme 12
Top-up Hakama 9
Support to the Moroccan Parliament 3
Support to the implementation of the Mobility
Partnership
10
67
tanpa bantuan dana dari UE. Selain itu, UE juga menyadari bahwa
tujuannya sebagai promotor demokrasi yang kredibel di Maroko tidak
hanya membutuhkan dialog dengan masyarakat sipil di bidang ekonomi,
tetapi juga di bidang politik. Oleh karena itu, dalam kerangka kerja ENP
tahun 2011-2013, kerjasama dengan masyarakat sipil menjadi salah satu
prioritas utama UE di Maroko.154
Adapun dalam aspek penguatan peran oranisasi masyarakat sipil
dalam pembangunan demokrasi, beberapa program telah dibentuk UE
untuk mendukung reformasi di bidang ini selama tahun 2011-2013. Pada
tanggal 22 Oktober 2011 misalnya, Parlemen Maroko dan Parlemen UE
melalui program bilateral ENP menandatangani A New Institutional Act
yang berisi penetapan standar untuk kriteria dan peran Partai Politik.155
Sebagai kelanjutan dari kerjasama ini, melalui Southern Regional
Programme, UE melalui Union for the Mediterranian (UfM) mendirikan
„School of Political Studies‟ pada November 2011. Sekolah ini
bekerjasama dengan organisasi non pemerintah lokal, partai-partai politik,
dan Parlemen Maroko. Sekolah ini merupakan gabungan dari 16 sekolah
ilmu politik di Maroko dan mengadakan pertemuan tahunan. Program ini
memberi pelatihan kepada partai politik dan organisasi masyarakat sipil
tentang kontrol terhadap pemerintahan.156
154
Ibid 155
Council of Europe, Neighborhood Cooperation Priorities For Morocco 2012-2014, hlm. 17 156
Ibid
68
UE melalui UfM juga mendirikan Civil Society Forum National
Platforms di negara-negara ENP, termasuk di Maroko. Forum ini
memberikan kesempatan kepada organisasi masyarakat sipil untuk
berdiskusi tentang prioritas-prioritas ENP, serta membantu organisasi
masyarakat sipil di Maroko untuk melakukan evaluasi terhadap reformasi
di bidang demokrasi, good governance, dan pembangunan ekonomi.157
Dalam program bilateral ENP dengan Maroko, delegasi UE
membentuk pemetaan organisasi masyarakat sipil Maroko untuk
memberdayakan mereka. Sebagai contoh, UE mendukung Anna Lindh
Foundation yang berupaya memperkuat dialog masyarakat sipil dengan
pemerintah. Anna Lindh Foundation membawahi 3500 anggota dan
menjalankan program kerjasama dengan UE selama tahun 2012-2014,
dengan alokasi dana 15,35 Juta Euro dari UE. Sebagai bagian dari program
ini, UE menyelenggarakan dialog antara organisasi masyarakat sipil
dengan pemerintah Maroko, yaitu Citizen for Dialogue sejak tahun 2012,
dimana dialog ini menjembatani komunikasi antara pemerintah dan
masyarakat sipil Maroko.158
Dalam program tematik ENP, UE membangun Civil Society
Facility (CSF) di Maroko pada tahun 2011, dan UE mengalokasikan dana
157
European Commission, “Joint Communication To The European Parliament, The Council, The
European Economic and Social Committee and The Committee of The Region: Neighbourhood at
the Crossroads: Implementation of the European Neighbourhood Policy in 2013 (27 Maret 2014),
hlm. 9 158
European Commission, “Joint Staff Working Document: Implementation of the European
Neighbourhood Policy in 2012 Regional Report: A Partnership for Democracy and Shared
Prosperity with the Southern Mediterranean,” (27 Maret 2014), hlm. 8
69
sebesar 34 Juta Euro pada periode tahun 2011-2013 untuk mendanai
fasilitas ini. CSF bertujuan untuk memperkuat dan mempromosikan peran
organisasi masyarakat sipil dalam reformasi dan perubahan demokrasi.159
Khusus di Maroko, UE mengalokasikan dana sebesar 1,4 Juta Euro pada
tahun 2011, 200.000 Euro pada tahun 2012, dan 200.000 Euro pada tahun
2013 untuk CSF, serta mengalokasikan masing-masing 750.000 Euro di
tahun 2011 dan 2012 untuk mendukung aktor-aktor non-pemerintah dan
pemerintah lokal di Maroko. Berikut rincian dana untuk program tematik:
Tabel III.C.2. Rincian Dana Untuk Program Tematik
(Dalam Euro)
Sumber: European Commission, “Joint Staff Working Document: Implementation of the
European Neighbourhood Policy Statistical Annex”, (Brussels, 27 Maret 2014), hlm. 6
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa promosi
demokrasi UE dalam tiga aspek yang menjadi fokus penelitian ini yaitu
pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi
masyarakat sipil, baru dilaksanakan pasca Revolusi Arab. Promosi demokrasi
159
European Commission, “Joint Staff Working Document: Implementation of the European
Neighbourhood Policy in 2013 Regional report : A Partnership for Democracy and Shared
Prosperity with the Southern Mediterranean Partners,” (27 Maret 2014) hlm. 10
2011 2012 2013
Civil Society Facility 1.400.000 200.000 200.000
Instrument for Nuclear Safety
Cooperation n/a n/a n/a
European Instrument for
Democracy and Human Rights 1.200.000 1.000.000 1.200.000
Neighbourhood Investment
Facility 37.000.000 15.000.000 15.000.000
Migration and asylum 873.300 1.594.264 5.000.000
Non-state Actors and Local
Authorities (NSA/LA) 750.000 750.000 0
70
dalam tiga bidang ini didorong oleh berubahnya kepentingan UE pasca Revolusi
Arab, dimana UE ingin terlibat dalam proses transisi demokrasi di Maroko.
Adapun di Maroko, yang telah melaksanakan reformasi konstitusi 2011, UE
berusaha untuk menjaga agar Maroko menjaga komitmennya terhadap reformasi
tersebut. Adapun promosi demokrasi UE dilaksanakan dalam bentuk pemberian
bantuan dana, bantuan teknis, dan peningkatan status kemitraan.
71
BAB IV
ANALISIS PROMOSI DEMOKRASI UNI EROPA DI
MAROKO DALAM KERANGKA EUROPEAN
NEIGHBORHOOD POLICY (ENP) TAHUN 2011-2013
Dalam bab ini, penulis memaparkan hasil penelitian berupa analisis
promosi demokrasi Uni Eropa (UE) di Maroko dalam kerangka European
Neighborhood Policy (ENP) tahun 2011-2013. Penulis akan menganalisa cara-
cara promosi demokrasi UE di Maroko dalam kerangka ENP yang telah penulis
paparkan pada bab II dan bab III. Deskripsi mengenai cara-cara promosi
demokrasi UE tersebut penulis kaitkan dengan asumsi awal penulis serta dianalisa
menggunakan teori dan konsep yang telah penulis paparkan pada bab I, yaitu
pemahaman konstruktivisme, konsep promosi demokrasi dan konsep
kondisionalitas.
A. Sosialisasi Norma Demokrasi UE di Maroko Untuk Membentuk Identitas
Kolektif UE
Berdasarkan pemaparan fakta-fakta yang ditemukan dalam bab II dan
bab III penulis melihat bahwa Uni Eropa (UE) berupaya membangun kembali
identitasnya sebagai promotor demokrasi di negara-negara tetangganya di
kawasan Mediterania Selatan setelah Revolusi Arab, termasuk di Maroko.
Adapun komitmen UE terhadap identitasnya tersebut ditunjukkan dengan
mendukung proses demokratisasi yang berlangsung di Maroko, setelah
72
pelaksanaan reformasi konstitusi 2011 di Maroko. Adapun yang penulis
maksud dengan mendukung demokratisasi di sini adalah UE mengetahui
progres reformasi demokrasi secara jelas, serta berusaha mempromosikan
demokrasi, bukan sekedar mendukung demokratisasi Maroko dan negara-
negara tetangganya yang lain, semata untuk membangun hubungan baik dan
mempertahankan stabilitas kawasan, sebagaimana pernah dilakukan oleh UE
sebelum Revolusi Arab.
Upaya pembangunan kembali identitas UE sebagai promotor
demokrasi ini ditegaskan oleh pernyataan Presiden Komisi Eropa periode
2009-2014, José Manuel Barroso, pada bulan Maret 2012:
“I think it is our duty to say to the Arab peoples that we are on their side! From
Brussels, I want to specifically say this to the young Arabs that are now fighting for
freedom and democracy: We are on your side.”
“Saya rasa ini adalah tugas kami untuk menyatakan kepada masyarakat Arab bahwa
kami ada di pihak mereka! Dari Brussels, saya secara khusus ingin menyatakan hal
ini kepada para pemuda Arab yang sekarang tengah berjuang untuk kebebasan dan
demokrasi: Kami ada di pihak mereka.”160
Pernyataan ini menunjukkan bahwa UE telah mengakhiri dilemanya
antara mendukung demokratisasi atau stabilisasi di kawasan Mediterania
Selatan, serta membentuk kembali nilai-nilai dan kepentingan UE.161
Di
Maroko, pergeseran identitas UE ini ditegaskan salah satunya dalam dokumen
UE untuk program Partnership for Democracy and Shared Prosperity with
160
Timo Behr, “The European Union‟s Mediterranean Policies after the Arab Spring: Can the
Leopard Change its Spots?,” Amsterdam Law Forum, Vol. 4, No. 2 (Spring 2012), hlm. 82 161
Ibid
73
the Southern Mediterranean, yang juga berisi beberapa langkah yang diambil
UE untuk mendukung transisi demokrasi di Maroko.
Di Maroko, UE memiliki agenda untuk mendukung proses
demokratisasi di tiga bidang politik Maroko yaitu pemisahan kekuasaan,
penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil
dalam pembangunan demokrasi. Agenda ini didorong oleh kepentingan baru
UE pasca Revolusi Arab di negara-negara Mediterania Selatan, yaitu
mendorong transisi demokrasi di negara-negara tersebut. Adapun kepentingan
ini terbentuk dari identitas yang ingin dibentuk kembali oleh UE, yaitu sebagai
promotor demokrasi. Hal ini sesuai dengan asumsi Wendt162
bahwa
kepentingan satu aktor (UE) terhadap aktor lain (Maroko) selalu ditentukan
oleh identitas aktor (UE).
Identitas UE sebagai promotor demokrasi sendiri didasarkan pada
norma demokrasi yang dianut oleh UE. Merujuk pada asumsi Farrell163
,
penulis melihat bahwa norma demokrasi yang dianut oleh UE menyusun
perilaku UE terhadap Maroko sehingga perilaku UE tersebut sesuai dengan
identitasnya sebagai aktor yang pro demokrasi. Adapun kemudian, Maroko
melaksanakan program-program ENP yang mendorong demokratisasi di tiga
bidang yang menjadi fokus penelitian ini. Sesuai dengan asumsi Wendt
mengenai identitas164
, Maroko melaksanakan program-program ENP tersebut
162
Trine Flockhart, “Socialization and Democratization: a Tenuous but Intriguing Link,”
Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of
Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm.12-13 163
Ibid, hlm. 13-14 164
Ibid, hlm. 14
74
karena Maroko memahami identitas UE sebagai aktor yang pro demokrasi di
Maroko. Dilaksanakannya program-program ENP di atas oleh Maroko juga
menunjukkan bahwa Maroko telah mengidentifikasi dirinya sesuai dengan
identitas UE, yaitu sebagai aktor yang pro-demokrasi. Dengan demikian, telah
terbentuk identitas kolektif antara UE dan Maroko sebagai aktor yang
demokratis. Interaksi dan komunikasi UE dan Maroko dalam program-
program ENP tersebut telah mengkonstruksi identitas kolektif antara
keduanya.
Oleh karena identitas UE didasari oleh norma demokrasi, dan UE
menginginkan Maroko untuk memahami identitas baru tersebut (agar
terbentuk identitas kolektif antara UE dan Maroko), maka UE perlu
melakukan transfer norma demokrasi tersebut ke Maroko. Agar transfer norma
demokrasi terlaksana, maka perlu dilakukan sosialisasi norma demokrasi
tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Risse, bahwa sosialisasi norma
spesifik dilakukan agar identitas kolektif yang didasarkan pada norma tertentu
dapat terbentuk.165
Merujuk juga pada pendapat Sedelmeier166
, menurut
penulis, norma-norma demokrasi UE telah berdifusi dan tersosialisasi kepada
Maroko, sehingga terbentuk identitas kolektif antara keduanya.
Lebih lanjut menurut penulis, bentuk sosialisasi norma yang dilakukan
oleh UE adalah seperti yang diasumsikan oleh Risse, yaitu dengan tekanan
165
Ibid, hlm. 13 166
Ulrich Sedelmeier, “Collective Identity,” Contemporary European Foreign Policy, ed. Walter
Carlsnaes, Helene Sjursen, dan Brian White (London: SAGE Publication Ltd, 2004), hlm. 124
75
eksternal,167
dimana dalam penelitian ini berupa program kerjasama UE-
Maroko dalam ENP yang kemudian membentuk reformasi demokrasi Maroko
dalam bidang pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan
penguatan peran organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi.
Adapun hal ini juga diperkuat dengan perubahan kepercayaan dari aktor
domestik di Maroko, yaitu pemerintah dan organisasi masyarakat sipil
Maroko, kepada UE sehingga pada akhirnya mau mendukung dan berusaha
mengatur reformasi ini.
B. Promosi Demokrasi UE di Maroko dalam Kerangka ENP sebagai
Perwujudan Sosialisasi Norma Demokrasi
Oleh karena norma spesifik yang ingin disosialisasikan oleh UE adalah
norma demokrasi, maka sosialisasi norma dapat diwujudkan melalui promosi
demokrasi, sebagaimana diungkapkan oleh Risse.168
Adapun promosi
demokrasi biasanya dilakukan seiring dengan adanya proses demokratisasi
yang terjadi dalam suatu negara. Sesuai dengan asumsi Grugel dan Nielinger,
bahwa demokratisasi merupakan hasil dari berbagai faktor internal dan
eksternal.169
Proses demokratisasi di Maroko pada tahun 2011-2013 didorong
167
Jean Grugel, “The “International” in Democratization: Norms and the Middle Ground,”
Socializing Democratic Norms: The Role of International Organizations for the Construction of
Europe, ed. Trine Flockhart, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 3 168
Jonas Wolff dan Iris Wurm, “Towards a Theory of External Democracy Promotion?
Approximations from the perspective of International Relations theories,” (the 51st Annual
Convention of the International Studies Association (ISA), New Orleans, 17-20 Februari, 2010),
hlm. 7 169
Mathias Kamp, “The EU as External Democracy Promoter in Sub-Saharan Africa-The Role of
Conditionality and Positive Measures,” (Skripsi, Universities of Münster and Twente, 2007), hlm.
9
76
oleh beberapa faktor internal, yakni terjadinya gerakan 20 Februari dan
reformasi konstitusi 2011. Adapun promosi demokrasi dari UE dalam program
ENP penulis lihat sebagai faktor eksternal yang mendorong proses
demokratisasi di Maroko pada tahun 2011-2013.
Demokrasi yang ingin dipromosikan oleh UE sendiri adalah demokrasi
substantif dalam tiga bidang reformasi demokrasi Maroko tersebut.
Sebagaimana telah dipaparkan pada bab II bahwa Maroko sesungguhnya telah
memiliki standar demokrasi prosedural sejak awal kemerdekaannya, seperti
telah adanya pemisahan kekuasaan secara institusional, parlemen, dan
organisasi masyarakat sipil. Namun, semua standar demokrasi tersebut hanya
tertulis dalam konstitusi. Adapun pada praktiknya Kerajaan tetap
mendominasi kekuasaan dalam pemerintahan Maroko, parlemen tidak
memiliki kekuatan untuk membuat perubahan, dan tidak ada kontrol rakyat
terhadap kebijakan. Maka peran UE di Maroko setelah adanya reformasi
konstitusi 2011 adalah memastikan berjalannya reformasi demokrasi yang
telah dimulai Maroko, agar demokrasi substantif yang menjadi tujuan
demokratisasi dapat terwujud.
Sesuai juga dengan asumsi Morlino170
, penulis melihat bahwa Maroko
tengah mengalami transisi dari rezim politik non-demokratis menjadi rezim
yang demokratis, setelah Maroko melaksanakan reformasi konstitusi 2011.
Penulis melihat bahwa dalam proses transisi ini, UE sebagai aktor sosial
berusaha mensosialisasikan norma-norma demokrasi sebagai landasan bagi
170
Leonardo Morlino, Democracy and Democratization (Bologna: Il Mulino, 2003), hlm. 12
77
karakter pemerintahan baru yang hendak dibangun oleh Maroko. Proses
sosialisasi norma-norma demokrasi tersebut menurut penulis adalah bentuk
dari promosi demokrasi yang dilakukan oleh UE sebagai aktor eksternal. Hal
ini juga sesuai dengan pendapat Sandschneider,171
bahwa promosi demokrasi
yang dilakukan oleh UE adalah keseluruhan usaha UE sebagai aktor eksternal
dalam merubah pola keteraturan politik dan pembuatan kebijakan Maroko,
sehingga menghasilkan kriteria minimun akan keteraturan demokratis, di
mana dalam penelitian ini adalah adanya pemisahan kekuasaan dan peran
parlemen yang jelas, serta partisipasi masyarakat sipil.
Bila dikaitkan kembali dengan perspektif konstruktivisme, promosi
demokrasi yang dilakukan oleh UE dilihat sebagai bentuk sosialisasi norma.
Merujuk pada pendapat Risse-Kappen,172
penulis melihat bahwa norma
demokrasi yang diharapkan UE dapat dipahami oleh Maroko harus
dipromosikan oleh UE sendiri sebagai aktor atau agen sosial. Sebab cara yang
demikian menurut Risse-Kappen lebih kondusif dibandingkan dengan cara
yang lain. Sementara itu, bila merujuk pada asumsi Barnes, maka promosi
demokrasi UE di Maroko ini adalah sebuah proses induksi Maroko ke dalam
cara berperilaku yang diharapkan oleh UE, yaitu yang sesuai dengan norma
demokrasi UE.
171
Janine Reinhard, “EU Democracy Promotion Through Conditionality in Its Neighborhood: The
Temptation of Membership Perspective or Flexible Integration?”, Caucasian Review of
International Affairs, Vol. 4 (3) (Summer 2010), hlm. 198 172
Loc.Cit
78
Adapun kemudian, sosialisasi norma dalam wujud promosi demokrasi
yang dilakukan oleh UE dilaksanakan melalui strategi pengaruh sosial (social
influence) atau penguatan dukungan (reinforcement) yang diungkapkan oleh
Flockhart. Hal ini terlihat dengan pemberian imbalan materi berupa bantuan
dana, bantuan teknis, dan imbalan psikologis dengan menaikkan status
kemitraan, yang diberikan UE kepada Maroko. Hal ini dilaksanakan melalui
program-program kerjasama ENP sebagaimana telah dipaparkan di atas, yang
merupakan ciri dari strategi pengaruh sosial (social influence) atau penguatan
dukungan (reinforcement).
C. Kondisionalitas Sebagai Instrumen Promosi Demokrasi UE di Maroko
Merujuk pada asumsi konstruktivisme sebagai landasan pemikiran
dalam penelitian ini, instrumen yang dapat digunakan untuk menjalankan
strategi pengaruh sosial (social influence) atau penguatan dukungan
(reinforcement) tersebut adalah kondisionalitas. Maka, sesuai dengan definisi
umum kondisionalitas yang diungkapkan oleh Killick,173
ENP adalah bentuk
dari seperangkat peraturan yang saling mengatur, yang diambil oleh UE,
melalui janji-janji dan kebijakan nyata yang diwujudkan melalui program-
program ENP di Maroko.
Sesuai juga dengan asumsi dasar kondisionalitas, penulis melihat
bahwa program-program yang mendukung demokrasi di Maroko dalam
kerangka ENP menghasilkan progres yang dapat mendorong terwujudnya
173
Viljar Veebel, “European Union‟s Positive Conditionality Model in Pre-accession Process”,
TRAMES, Vol. 13 (63/58), No. 3 (2009), hlm. 208
79
reformasi, yang dalam penelitian ini dilaksanakan dalam tiga aspek, yaitu
pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, serta penguatan peran
organisasi masyarakat sipil Maroko dalam pembangunan demokrasi di
Maroko. Dalam hal ini, komitmen pemerintah Maroko terhadap pemisahan
kekuasaan dan menguatnya peran parlemen telah menciptakan dukungan dari
pemerintah Maroko terhadap program-program ENP, sehingga reformasi-
reformasi tersebut semakin mudah dilaksanakan.
Asumsi utama dalam konsep kondisionalitas adalah adanya kondisi
yang disyaratkan oleh negara yang membuat peraturan dan imbalan yang
dijanjikan kepada negara target. Sebagaimana telah dideskripsikan pada bab
III, UE selalu mensyaratkan kondisi tertentu pada setiap program kerjasama
dengan Maroko dalam kerangka ENP. Dalam program Partnership for
Democracy and Shared Proseperity misalnya, UE mensyaratkan adanya
progres yang jelas dalam penerapan nilai dan norma demokrasi yang
diharapkan UE kepada Maroko. Progres ini kemudian ditunjukkan oleh
Maroko dengan melakukan reformasi di bidang pemisahan kekuasaan.
Sebagai imbalannya, UE memberikan status „partner for democracy‟ dan
meningkatkan „advanced status’ untuk Maroko.
Kemudian, penulis melihat bahwa program Strengthening democratic
reform in the Southern Mediterranean yang merupakan kelanjutan program
Partnership for Democracy and Shared Proseperity adalah bentuk imbalan
lain dari UE karena Maroko berhasil melaksanakan reformasi dalam bidang
pemisahan kekuasaan. Adapun imbalan yang diberikan UE berupa dana
80
bantuan sebesar 4,8 Juta Euro untuk mendanai program ini174
, dan bantuan
teknis untuk mendukung reformasi Maroko di bidang lain, yaitu penguatan
peran parlemen. Dalam program ini, UE juga memberi bantuan teknis dengan
menyediakan contoh kerangka kerja untuk parlemen Maroko. sebagian
kerangka kerja ini kemudian diadopsi sebagai kerangka kerja baru bagi
parlemen Maroko sejak tahun 2012.
Selain itu, bantuan dana sebesar 3 Juta Euro untuk mendukung
Parlemen Maroko dari program SPRING175
, yang merupakan penunjang
program-program kawasan untuk demokrasi Maroko di atas, menurut penulis
juga merupakan bentuk imbalan atas kondisi yang disyaratkan oleh UE dalam
program SPRING tersebut, yaitu adanya progres individual dari masing-
masing negara Mediterania Selatan. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa
reformasi dalam bidang pemisahan kekuasaan dan penguatan peran parlemen
adalah progres yang dipenuhi Maroko sebagai pra-syarat untuk mendapatkan
bantuan dana tersebut.
Selain dalam program-program di atas, dalam bidang penguatan peran
organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi, UE juga
mensyaratkan kondisi tertentu yang harus dipenuhi oleh Maroko dalam
beberapa programnya. Secara garis besar kondisi yang disyaratkan oleh UE
adalah adanya progres atau reformasi demokrasi di Maroko. Maroko sendiri
174
European Commission, Joint Staff Working Document: Implementation of the European
Neighbourhood Policy in 2013 Regional report : A Partnership for Democracy and Shared
Prosperity with the Southern Mediterranean Partners (27 Maret 2014), hlm. 9 175
European Commission, Joint Staff Working Document: Implementation of the
European Neighbourhood Policy Statistical Annex, (Brussels, 27 Maret 2014), hlm. 65
81
berhasil melaksanakan beberapa perubahan terkait peran masyarakat sipil,
seperti melaksanakan reformasi konstitusi 2011 sebagai respon gerakan 20
Februari, dan membuka kesempatan bagi CSO Maroko untuk berafiliasi
dengan aktor internasional.
Penandatangan A New Institutional Act yang mendukung penguatan
peran partai politik pada 22 Oktober 2011 misalnya, menurut penulis
dilakukan karena Maroko telah berhasil memulai reformasi yang lebih
mendasar dalam pemerintahan yaitu reformasi di bidang pemisahan kekuasaan
dan penguatan peran parlemen. Menurut penulis, UE melihat bahwa dukungan
kepada Partai Politik, sebagai bagian dari masyarakat sipil Maroko, melalui
penandatanganan perjanjian ini perlu dilakukan agar reformasi dalam dua
bidang sebelumnya yang telah berjalan mendapat keseimbangan dan semakin
kuat dengan adanya peran dari organisasi masyarakat sipil Maroko yang
mampu mendukung reformasi tersebut.
Sementara itu, penulis melihat bahwa program-program ENP lainnya
seperti pendirian School of Political Studies dan Civil Society Forum National
Platforms oleh UE di Maroko, merupakan bentuk imbalan dari UE atas
progres demokratisasi yang ditunjukkan oleh Maroko dengan memulai
reformasi demokrasi. Meskipun bukan berupa materi atau dana bantuan,
pendirian sekolah politik dan forum diskusi ini merupakan imbalan atas
terpenuhinya kondisi yang diinginkan oleh UE yaitu adanya progres
demokratisasi yang nyata. Sebagaimana diterangkan oleh Flockhart,
kondisionalitas adalah bentuk dari pengaruh sosial (social influence) atau
82
penguatan dukungan (reinforcement), yang dapat berupa materi maupun
bukan.176
Meskipun demikian, dalam program ENP lain terkait penguatan peran
organisasi masyarakat sipil, penulis melihat bahwa imbalan berupa dana
bantuan masih tetap dilakukan oleh UE. Seperti dalam program pembangunan
Civil Society Facility di Maroko, dimana UE memberikan dana bantuan setiap
tahun selama tahun 2011-2013 untuk mendukung aktor-aktor non-pemerintah
dan pemerintah lokal di Maroko.
Adapun kemudian, merujuk pada klasifikasi kondisionalitas
berdasarkan sifat-sifatnya sebagai sebuah konsep, penulis melihat bahwa
kondisionalitas dalam kerangka ENP yang dilaksanakan oleh UE di Maroko
terkait reformasi dalam tiga aspek yang telah disebutkan sebelumnya, bersifat
Ex Ante Conditionality. Seperti telah dipaparkan dalam penjelasan
sebelumnya, bahwa program-program ENP terkait tiga aspek tersebut
mensyaratkan kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi oleh Maroko,
namun pemenuhan kondisi tersebut telah dilaksanakan atau masih berlangsung
sebelum perjanjian atau kesepakatan kerjasama untuk program-program
tersebut ditandatangani atau disetujui.
Sebagai contoh, UE dan Maroko sepakat melaksanakan program
Strengthening Democratic Reform in the Southern Mediterranean dan
program SPRING terkait penguatan peran parlemen setelah Maroko berhasil
176
Flockhart, hlm. 15
83
melaksanakan reformasi demokrasi, yang merupakan kondisi yang diinginkan
oleh UE sebelum program-program tersebut dilaksanakan. Demikian pula
program-program terkait penguatan peran organisasi Masyarakat sipil di atas,
semuanya dibentuk ketika Maroko menunjukkan progres demokratisasi yang
nyata, yang ditunjukkan dengan reformasi di bidang pemisahan kekuasaan dan
penguatan peran parlemen.
Selain bersifat Ex Ante Conditionality, menurut penulis kondisionalitas
dalam kerangka ENP ini bersifat multilateral, karena program-program
promosi demokrasi UE di Maroko tersebut dibentuk dan dilaksanakan dalam
kerangka ENP yang terdiri atas banyak negara anggota. Penulis juga melihat
bahwa kondisionalitas dalam kerangka ENP juga bersifat positif. Sifat ex ante
yang dimiliki oleh kondisionalitas ENP menunjukkan bahwa kondisionalitas
ENP juga bersifat positif. Sesuai dengan pemaparan sebelumnya, terlihat
bahwa inisiatif Maroko untuk melakukan reformasi demokrasi dalam tiga
bidang tersebut adalah bentuk dari pemenuhan kondisi yang disyaratkan oleh
UE sehingga janji UE untuk memberikan insentif tertentu dapat dipenuhi.
Merujuk pada asumsi lain dari kondisionalitas positif, penulis melihat bahwa
Maroko bersedia memenuhi kondisi yang disyaratkan oleh UE, adalah karena
keuntungan atau imbalan yang dijanjikan oleh UE jauh lebih besar daripada
biaya yang harus dikeluarkan oleh Maroko untuk memenuhi kondisi-kondisi
tersebut.
Pada pemaparan sebelumnya di bab 1, penulis menjelaskan bahwa UE
telah menggunakan kondisionalitas positif sebagai instrumennya dalam
84
mendorong reformasi politik di Maroko sejak awal bergabungnya Maroko
dalam ENP.177
Namun, pada periode sebelum Revolusi Arab, kondisionalitas
positif UE tidak tepat sasaran karena hanya bergantung pada progres reformasi
selain reformasi politik, dan imbalan yang diberikan UE selalu bersifat
ekonomis, sehingga tidak mendorong terciptanya reformasi politik di Maroko.
Adapun kondisionalitas positif yang terapkan UE di Maroko pada periode
2011-2013, didasarkan pada progres reformasi politik yang jelas, dan tidak
hanya menggunakan imbalan ekonomis melainkan juga bantuan teknis yang
mendorong reformasi politik di Maroko. Pada akhirnya, beberapa perubahan
penting dalam tiga bidang politik yang direformasi oleh Maroko dapat
tercapai, seperti penggunaan kerangka kerja parlemen UE oleh Maroko.
Adapun promosi demokrasi UE dalam bentuk kondisionalitas yang
dijalankan oleh UE di Maroko seperti yang dipaparkan di atas, bila dikaitkan
kembali dengan perspektif konstruktivisme yang menjadi landasan penulis
dalam menganalisa penelitian ini, merupakan bentuk dari norma UE sendiri
yang ingin dipromosikan kepada Maroko. Merujuk pada asumsi Karen
Smith178
, kondisionalitas UE yang penulis lihat dalam penelitian ini juga
membuktikan bahwa ada signifikansi norma atau keyakinan bersama dalam
kebijakan luar negeri UE dan Maroko, yaitu norma demokrasi.
Selain itu, kondisionalitas UE tersebut juga dapat dilihat sebagai
instrumen untuk menjalankan strategi pengaruh sosial (social influence) atau
177
Lihat bab 1, hlm. 4 178
Karen E. Smith, “The Use of Political Conditionality in the EU‟s Relations with Third
Countries: How Effective?”,(ECSA International Conference, Seattle, 29 Mei-1 Juni, 1997) hlm. 3
85
penguatan dukungan (reinforcement). Jadi, kondisionalitas dalam kerangka
ENP dijalankan oleh UE, sebagai aktor sosial, untuk merubah perilaku
Maroko. Kondisionalitas tersebut juga digunakan sebagai instrumen kontrol
sosial UE terhadap Maroko, sehingga bila Maroko pro terhadap perilaku sosial
yang diharapkan oleh UE, yang dalam penelitian ini adalah menerapkan
norma demokrasi, maka Maroko akan terus diberi imbalan. Dengan demikian,
UE berharap pada waktu tertentu (bila masa operasionalisasi program-
program kerjasama di tiga bidang habis), Maroko akan dapat terus
menerapkan norma demokrasi tanpa harus mendapat imbalan dari UE.
Penggunaan kondisionalitas sebagai instrumen promosi demokrasi UE
juga tertuang dalam tujuan utama ENP. Sebagaimana disebutkan dalam
dokumen Copenhagen European Council pada tahun 2002, bahwa ENP
bertujuan untuk mempromosikan nilai-nilai Eropa, yaitu demokrasi, melalui
kerjasama regional dan sub regional serta integrasi yang dikondisikan untuk
kestabilan politik, pembangunan ekonomi, dan pengurangan tingkat
kemiskinan. Tujuan ini menunjukkan bahwa kondisionalitas adalah cara UE
dalam mempromosikan demokrasi melalui ENP.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa promosi demokrasi yang UE
di Maroko dalam kerangka ENP tahun 2011-2013 sesuai dengan landasan
pemikiran utama dalam penelitian ini, yaitu konstruktivisme dan dua konsep
pendukungnya, yaitu promosi demokrasi dan kondisionalitas, serta sesuai juga
dengan asumsi awal penulis yang telah dipaparkan di bab 1. Dapat disimpulkan
juga bahwa UE mempromosikan demokrasi dengan menggunakan instrumen
86
kondisionalitas yang diwujudkan dalam ENP dan promosi demokrasi UE melalui
ENP ini adalah bentuk sosialisasi norma demokrasi UE di Maroko untuk
membentuk identitas kolektif UE dan Maroko. Berikut adalah keseluruhan
analisis kerangka pemikiran dan fakta-fakta dalam bab 4:
Bagan IV.1. Operasionalisasi Kerangka Pemikiran179
179
Pendapat Penulis
Kepentingan UE di Maroko:
Mendorong reformasi
demokrasi di Maroko tahun
2011-2013
Identitas Kolektif UE-
Maroko
Konstruktivisme
Norma
Identitas
Sosialisasi Norma
Promosi Demokrasi
Strategi Promosi
Demokrasi
Pengaruh Sosial
Kondisionalitas UE
Norma UE=Norma
Demokrasi
Identitas UE= Promotor
Demokrasi
Bersifat Ex Ante,
Multilateral, dan
Positif
Identitas Kolektif
UE-Maroko
Agar identitas kolektif
UE dan Maroko
terbentuk, Maka norma
demokrasi UE harus
disosialisasikan melalui
promosi demokrasi
Kondisionalitas UE dilaksanakan
melalui program-program ENP di
Maroko dalam bentuk bantuan teknis,
bantuan dana, dan peningkatan status
kemitraan
Kondisionalitas
UE=bentuk
norma UE yang
ingin
disosialisasikan
di maroko
Kepentingan UE di Maroko:
Mendorong reformasi
demokrasi di Maroko tahun
2011-2013
Konstruktivisme
Norma
Identitas
Sosialisasi Norma
Promosi Demokrasi
Strategi Promosi
Demokrasi
Pengaruh Sosial
Kondisionalitas UE
Norma UE=Norma
Demokrasi
Identitas UE= Promotor
Demokrasi
Bersifat Ex
Ante,
Multilateral, dan
Positif
87
BAB V
KESIMPULAN
Promosi demokrasi Uni Eropa (UE) di Maroko dalam kerangka European
Neighborhood Policy (ENP) selama tahun 2011-2013 menunjukkan adanya proses
konstruksi sosial politik yang dilakukan oleh Uni Eropa di Maroko. Sebagaimana
telah dipaparkan sebelumnya, bahwa promosi demokrasi Uni Eropa di Maroko
dijalankan melalui beberapa cara, yaitu dengan memberi bantuan dana, bantuan
teknis, dan menaikkan status kemitraan Maroko dalam program ENP guna
mendorong proses reformasi demokrasi yang tengah berjalan di Maroko selama
tahun 2011-2013. Hal ini menunjukkan bahwa Uni Eropa berkomitmen terhadap
identitasnya sebagai promotor demokrasi, dengan berusaha mensosialisasikan
norma demokrasinya melalui cara-cara tersebut di Maroko.
Adapun penelitian ini kemudian menemukan bahwa tujuan utama UE
dalam melakukan promosi demokrasi di Maroko melalui program-program ENP
selama tahun 2011-2013 adalah terbentuknya identitas kolektif antara UE dan
Maroko sebagai aktor yang pro demokrasi. Lebih lanjut, penelitian ini juga
menemukan bahwa cara-cara yang digunakan oleh Uni Eropa dalam
mempromosikan demokrasi di Maroko melalui program-program ENP tersebut
adalah bentuk dari kondisionalitas yang diterapkan oleh UE di Maroko. Penerapan
kondisionalitas sebagai instrumen promosi demokrasi UE juga merupakan cara
yang ditempuh oleh UE dalam tujuan utama ENP untuk mempromosikan nilai-
nilai Eropa, yang salah satunya adalah demokrasi. Selain itu, dalam pemahaman
88
konstruktivisme kondisionalitas UE juga dapat dilihat sebagai bentuk dari norma
UE sendiri yang ingin dipromosikan kepada Maroko.
Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa kondisionalitas yang
diterapkan oleh UE sebagai instrumennya dalam mempromosikan demokrasi di
Maroko dilaksanakan secara positif. Cara-cara UE dalam mempromosikan
demokrasi di Maroko adalah bentuk imbalan atas kondisi yang disyaratkan oleh
UE untuk dipenuhi oleh Maroko. Pemberian imbalan dilakukan UE karena
Maroko telah berinisiatif memulai reformasi demokrasi, yang dalam penelitian ini
difokuskan pada aspek pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan
penguatan peran organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi di
Maroko. Dengan kata lain, imbalan tersebut diberikan oleh UE sebagai bentuk
motivasi agar proses demokratisasi yang telah dimulai sejak reformasi konstitusi
2011 dapat terus berjalan. Hal ini dilakukan mengingat reformasi yang
dilaksanakan Maroko dalam tiga bidang tersebut selalu mengalami hambatan pada
periode-periode sebelum tahun 2011, maka peran UE dibutuhkan sebagai pemberi
tekanan agar Maroko berkomitmen terhadap reformasi yang dijalankan.
Imbalan yang diberikan UE dalam bentuk bantuan dana, bantuan teknis,
dan peningkatan status kemitraan pada akhirnya mendorong beberapa capaian
penting dalam proses reformasi demokrasi di Maroko. Dalam bidang pemisahan
kekuasaan, status mitra demokrasi dan peningkatan advanced status yang
diberikan UE semakin menguatkan komitmen Maroko dalam reformasi kekuasaan
Kerajaan dan Oposisi. Peningkatan status ini kemudian juga memperkuat
reformasi lain di Maroko, yaitu di bidang penguatan peran parlemen. Capaian
89
positif Maroko dalam reformasi di bidang ini adalah penggunaan kerangka kerja
yang ditawarkan UE untuk parlemen Maroko sebagai kerangka kerja baru
parlemen Maroko sejak tahun 2012.
Selain membantu kerajaan dan parlemen Maroko, UE juga mendorong
keterlibatan masyarakat sipil Maroko dalam proses reformasi demokrasi, sebagai
pengawal reformasi demokrasi yang dilakukan pemerintah Maroko. Berbagai
kerjasama dengan Civil Society Organization (CSO) lokal Maroko dibentuk oleh
UE sejak tahun 2011, seperti pembangunan Civil Society Facility (CSF) dan
pengadaan dialog tahunan, Citizen for Dialogue. Seluruh kerjasama ini bertujuan
agar CSO lokal tersebut mampu membantu UE menjadi aktor yang kredibel dalam
promosi demokrasi di Maroko. Sebaliknya, CSO lokal Maroko juga
membutuhkan dukungan UE untuk mengawal proses reformasi demokrasi yang
sedang berjalan di Maroko.
Secara keseluruhan, pemahaman konstruktivisme sebagai landasan
pemikiran dalam penelitian ini menunjukkan bahwa UE mempromosikan
demokrasi melalui kondisionalitas sebagai bentuk pengaruh sosialnya di Maroko.
Pengaruh sosial ini kemudian mengkonstruksi pemahaman Maroko terhadap
identitas Uni Eropa sebagai promotor demokrasi dan negara yang demokratis.
Pada akhirnya pemahaman ini mendorong Maroko untuk terus berkomitmen dan
melaksanakan reformasi demokrasi dan melaksanakan program-program
kerjasama dalam ENP yang mendorong proses demokratisasi di Maroko.
90
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Dawson, Carl. 2009. EU Intergration With North Africa: Trade Negotiations and
Democracy Deficits in Morocco. London: IB Tauris & Co. Ltd.
Flockhart, Trine. 2005. “Socialization and Democratization: a Tenuous but
Intriguing Link,” h. 12 di Socializing Democratic Norms: The Role of
International Organizations for the Construction of Europe. ed. Trine
Flockhart. New York: Palgrave Macmillan.
Gänzle, Stefan. 2007. “The European Neighbourhood Policy (ENP): a Strategy for
Security in Europe?” h. 110 di The Changing Politics of European
Security. ed. Stefan Gänzle dan Allen. G. Sens. New York: Palgrave
Macmillan.
Grugel, Jean. 2005. “The „International‟ in Democratization: Norms and the
Middle Ground,” h. 3 di Socializing Democratic Norms: The Role of
International Organizations for the Construction of Europe. ed. Trine
Flockhart. New York: Palgrave Macmillan.
Guggenberger, Günther. 2006. “Symbolic actions or effective endeavours? The
EU‟s activities to promote democracy in Ukraine, Moldova and Belarus.”
h. 87 di European Union and its New Neighborhood: Addressing
Challenges and Opportunities. ed. Jolanta Grigaliunaité and Sarunas
Liekis.Vilnius: Demokratiezentrum Wien.
Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kausch, Kristina. 2008. “Morocco,” h. 10 di Is the European Union Supporting
Democracy in its Neighbourhood?. ed. Richard Youngs. Spain: FRIDE.
Morlino, Leonardo. 2003. Democracy and Democratization. Bologna: Il Mulino
Najem, Tom Pierre. 2003. “State power and democratization in North Africa:
Developments in Morocco, Algeria, Tunisia, and Libya,” h. 188 di
Democratization in the Middle East: Experiences, Struggles, Challenges.
ed. Amin Saikal dan Albrecht Schnabel. New York: United Nation
University Press, 2003
Ruchti, Jeffry J. 2011. Morocco: Draft Text of the Constitution Adopted at the
Referendum of 1 July 2011. New York: William S. Hein & Co., Inc.
91
Sater, James Nadim. 2007. Civil Society and Political Change in Morocco. New
York: Routledge.
Schimmelfennig, Frank. 2005. “The EU: Promoting Liberal-Democracy through
Membership Conditionality,” h. 107 di Socializing Democratic Norms:
The Role of International Organizations for the Construction of Europe.
ed. Trine Flockhart. New York: Palgrave Macmillan.
Sedelmeier, Ulrich. 2004. “Collective Identity,” h. 124 di Contemporary
European Foreign Policy. ed. Walter Carlsnaes, Helene Sjursen, dan Brian
White. London: SAGE Publication Ltd.
Smith, Karen E. 2005. “Engagement and conditionality: incompatible or mutually
reinforcing?”. h. 23 di Global Europe Report 2: New Terms of
Engagement, ed. Richard Youngs. London: The Foreign Policy Centre and
The British Council
Storm, Lise. 2007. Democratization in Morocco: The Political Elite and Struggles
for Power in The Post Independence State. New York: Routledge.
Whitman, Richard G. dan Stefan Wolff. 2010. “Much Ado About Nothing? The
European Neighborhood Policy in Context,” h. 3 di The European
Neighborhood Policy in Perspective: Context, Implementation and Impact.
ed. Richard G. Whitman dan Stefan Wolff. New York: Palgrave
Macmillan.
Zehfuss, Maja. 2004. Constructivism in International Relations: The Politics of
Reality. Cambridge: Cambridge University Press.
Jurnal dan Artikel Jurnal :
Behr, Timo. 2012. “The European Union‟s Mediterranean Policies after the Arab
Spring: Can the Leopard Change its Spots?”. Amsterdam Law Forum, Vol.
4, No. 2: 76-88
Belkaziz, Abdelillah. 2012. “Morocco and democratic transition: a reading of the
constitutional amendments – their context and results”, Contemporary
Arab Affairs, Vol. 5(1): 27-53. Diunduh 28 Oktober 2014
(http://dx.doi.org/10.1080/17550912.2012.645665)
Buehler, Matt. 2013. “Safety-Valve Elections and the Arab Spring: The
92
Weakening (and Resurgence) of Morocco‟s Islamist Opposition Party,”
Terrorism and Political Violence Journal, No. 24: 137-156
Cavatorta, Francesco. 2006. “Civil Society, Islamism and Democratisation: The
Case of Morocco,” The Journal of Modern African Studies, Vol. 44, No. 2.
Diunduh pada 9 Oktober 2014 (http://www.jstor.org/stable/3876155): 203-
222
Freyburg, Tina et.al. 2011. “Democracy promotion through functional
cooperation? The Case of The European Neighborhood Policy”.
Democratization, Vol. 18, No. 4. Diunduh pada 17 Januari 2014
( http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584738)
Howe, Marvine. 2000. “Morocco's Democratic Experience,” World Policy
Journal, Vol. 17, No. 1. Diunduh pada 9 Oktober 2014
(http://www.jstor.org/stable/40209678): 65-70
Kahraman, Sevilay. 2005. “The European Neighborhood Policy: The European
Union‟s New Engagement Towards Wider Europe”. Perceptions: 1-28
Karacasulu, Nilüfer dan Elif Uzgören. 2007. “Explaining Social Constructivist
Contributions To Security Studies,” Perceptions Journal: 27-48
Kausch, Kristina. 2009. “The European Union and Political Reform in Morocco,”
Mediterranean Politics, Vol. 14, No. 2: 165-179
Lavenex, Sandra dan Frank Schimmelfennig. 2011. “EU democracy promotion in
the neighbourhood: from leverage to governance?,” Democratization, Vol.
18, No. 4. Diunduh Pada 7 Oktober 2014
(http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.584730)
Malka, Haim dan Jon B. Alterman. 2006. “Arab Reform and Foreign Aid:
Lessons from Morocco,” CSIS Significant Issues Series, Vol. 28, No. 4: 1-
97
Molina, Irene Fernandez. 2011.“The Monarchy vs The 20 February Movement:
Who Holds the Reins of Political Change in Morocco?” Mediterranean
Politicsi, Vol. 16, No. 3. Diunduh pada 16 Agustus 2014
(http://dx.doi.org/10.1080/13629395.2011.614120):435-441
Nugroho, Ganjar. 2008. “Constructivism and International Relations,” Global &
Strategis, Th. II, No. 1: 89-110
Parmentier, Florent. 2006. “The European Neighborhood Policy as a Process of
93
Democratic Norms Diffusion in Ukraine, Can The EU Act Beyond
Kondisionalitas?”. Les Cahiers europeens de Sciences Po. No. 02 (2006):
2-23.
Reinhard, Janine. 2010. “EU Democracy Promotion Through Conditionality in Its
Neighborhood: The Temptation of Membership Perspective or Flexible
Integration?”, Caucasian Review of International Affairs, Vol. 4 (3): 196-
213
Sater, James N. 2009. “Parliamentary Elections and Authoritarian Rule in
Morocco,” Middle East Journal, Vol. 63, No. 3. Diunduh pada 9 Oktober
2014 (http://www.jstor.org/stable/20622927): 381-400
Wendt, Alexander. 1992. “Anarchy is what states make of it”. The MIT Press,
Vol. 46, No. 2: 391-425
White, Gregory. 1997. “The Advent of Electoral Democracy in Morocco? The
Referendum of 1996,” Middle East Journal, Vol. 51, No. 3. Diunduh pada
9 Oktober 2014(http://www.jstor.org/stable/4329087): 388-404
Veebel, Viljar. 2009. “European Union‟s Positive Conditionality Model in Pre
accession Process”, TRAMES, Vol. 13 (63/58), No. 3: 207-231
Skripsi dan Tesis :
Kamp, Mathias. 2007. “The EU as External Democracy Promoter in Sub-Saharan
Africa-The Role of Conditionality and Positive Measures”. Skripsi:
Universities of Münster and Twente
Meyer, Eike. 2007. “Democracy Promotion by The European Union in Morocco
within The Framework of The European Neighborhood Policy”. Tesis:
Universitat Potsdam.
Rosenkӧtter, Simon. 2011. “Assessing The Impact of EU Neighborhood Policies
on Democratization in Morocco and Egypt”. Skripsi: Universiteit Twente.
Vizdoaga, Maria. 2013. “The effectiveness of the EU policies in promoting
democracy in Moldova”. Tesis: Leiden University.
Dokumen Khusus :
Akesbi, Azeddinne. 2011. “Civil Society Index for Morocco”. CIVICUS Civil
94
Society Index Anlytical Country Report: International Version.
Anwar, Tasniem, Anne van Groningen, Rosa Hendriks Awuy, dan Tim Stork.
2013. “The State and Capacity of Civil Society”. Zeytun Research Paper,
Morocco Program 2012-2013, University of Amsterdam
Arieff, Alexis. 2012. “Morocco: Current Issues”. CRS Report for Congress,
Congressional Research Service
Ben Ali, Driss. 2005. “Civil Society and Economic Reform in Morocco”. ZEF
Project Research Paper, Universitat Bonn.
Council of Europe. 2011. Parliamentary Project Support Division: South
Programme
Council of Europe. 2012. Neighborhood Cooperation Priorities For Morocco
2012-2014
Daadaoui, Mohamed. 2013. “Party Politics and Elections in Morocco”. The
Middle East Institute Policy Brief, No.29.
Departemen Ekonomi dan Keuangan Maroko, “Morocco- EU Relations : Towards
an Advanced Status Partnership” (November 2007)
Dimitrovova, Bohdana. 2009. “Reshaping Civil Society in Morocco Boundary
Setting, Integration and Consolidation”. CEPS Working Document, No.
323.
Entelis, John P. 2011. “Morocco‟s “New” Political Face: Plus ça change, plus
c‟est la même chose”. Policy Brief Project on Middle East Democracy
European Commission. 2006. EU-Morocco Action Plan.
European Commission, Joint Communication to the European Council, the European Parliament, the Council, the European Economic and Social
Committee and the Committee of the regions: A Partnership for
Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean (8
Maret 2011)
European Commission, “Joint statement by High Representative Catherine
Ashton and Commissioner Stefan Fule on the referendum on the new
Constitution in Morocco”, MEMO/11/478 (2 Juli 2011).
European Commission, Joint Staff Working Document: Implementation of the
95
European Neighbourhood Policy in 2013 Regional report : A Partnership
for Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean
Partners (27 Maret 2014)
European Commission, “Joint Staff Working Document: Implementation of the
European Neighbourhood Policy Statistical Annex”, (Brussels, 27 Maret
2014)
European Commission, “Joint Communication To The European Parliament, The
Council, The European Economic and Social Committee and The
Committee of The Region: Neighbourhood at the Crossroads:
Implementation of the European Neighbourhood Policy in 2013 (27 Maret
2014)
Khakee, Anna. “Assessing Democracy Assistance: Morocco”, Fride Project
Report. Mei 2010.
Kausch, Kristina. 2008. “How serious is the EU about supporting democracy and
human rights in Morocco?”. ECFR/FRIDE Working Paper, No.01.
Kausch, Kristina. 2010. “Morocco‟s „Advanced Status‟: Model or Muddle?,”
FRIDE Policy Brief, No. 43.
Leahy, Megan. 2011. “A New Tool for Democratization within the European
Neighborhood Policy: The “Advanced Status” Program in Morocco”.
Paper Akademik, North Carolina: University of North Carolina.
Lesser, Ian O, Geoffrey Kemp, Emiliano Alessandri, dan S. Enders Wimbush.
“Morocco‟s New Geopolitics: A Wider Atlantic Perspective,” GMF
Wider Atlantic Series. Washington DC: The German Marshall Fund of the
United States, 2012.
Monjib, Maâti. 2011. “The “Democratization” Process in Morocco: Progress,
Obstacles, and the Impact of the Islamist-Secularist Divide”. Working
Paper, The Saban Center for Middle East Policy at The Brookings
Institution, No. 5.
Rhanem, Karima. “Morocco turns Arab spring into a summer of Reform”. Pidato
dalam Euro-Arab Seminar on Empowerment of Youth Organization and
Led Civil Society Initiatives (22-24 Maret 2012)
Smith, Karen E. “The Use of Political Conditionality in the EU‟s Relations with
Third Countries: How Effective?”, (ECSA International Conference,
Seattle, 29 Mei-1 Juni, 1997)
Warning, Martina. 2006. “Neighborhood and Enlargement Policy: Comparing the
96
Democratization Impact of the European Union in Morocco and Turkey”.
CIRES Working Paper Series, WP4.
Wesselink, Edzard dan Ron Boschma. 2012. “Overview of the European
Neighbourhood Policy: Its History, Structure, and Implemented Policy
Measures,” SEARCH Working Paper, WP1/04.
Westminster Foundation For Democracy. 2014. “Increasing Political Participation
and Transparency in The Moroccan Parliament 2012-2015,”
Wolff Jonas dan Iris Wurm, “Towards a Theory of External Democracy
Promotion?Approximations from the perspective of International
Relations theories,” (the 51st Annual Convention of the International
Studies Association (ISA), New Orleans, 17-20 Februari, 2010)
Zemni Sami dan Koenraad Bogaert. 2006. “Morocco and the Mirages of
Democracy and Good Governance”. UNISCI Discussion Papers, No. 12.
Artikel dari Website Internet :
ENPI Info, “Morocco: new EU support for the implementation of the Advanced
Status and educational strategy,” diakses dari http://www.enpi-
info.eu/mainmed.php?id=35218&id_type=1&lang_id=450, pada 12
Oktober 2014
EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “Morocco,”
diakses dari
http://ec.europa.eu/europeaid/where/neighbourhood/countrycooperation/m
orocco/morocco_en.htm pada 17 Maret 2014
EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “What is the
European Neighborhood Policy,”
diakses dari http://eeas.europa.eu/enp/about-us/index_en.htm pada 3
Agustus 2014
EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “How Does it
Work?,” diakses dari http://eeas.europa.eu/enp/how-it-works/index_en.htm
pada 3 Agustus 2014
EU External Action Services, European Neighborhood Policy, “The Association
Agreement EU-Morocco,” diakses dari
http://eeas.europa.eu/morocco/association_agreement/index_en.htm pada 3
Agustus 2014
EU External Action Services, “How Is It Financed?”, diakses dari
97
http://eeas.europa.eu/enp/how-is-it-financed/index_en.htm pada 7 Oktober
2014
Kingdom of Morocco, Parliament The House of Representative, “Strategic Plan
for Upgrading and Enhancing The Work of The House of Representatives,”
(25 Desember 2012), diakses dari http://www.parlement.ma/en, pada 12
Oktober 2014
Kingdom of Morocco, Parliament The House of Representative, “The
Parliamentary Assembly of the Union for the Mediterranean,” diakses dari
http://www.parlement.ma/en, pada 12 Oktober 2014
Kingdom of Morocco, Parliament The House of Representatives, “The Board
Members”, diakses dari
http://www.parlement.ma/en/_organo3.php?filename=201202011459500
pada 21 November 2014
Morocco on The Move, “Morocco 2011 Parliamentary Elections,” diakses dari
http://moroccoonthemove.wordpress.com/faq-moroccos-2011-
parliamentary-elections/,diakses pada 5 Agustus 2014
Morocco on The Move, “Morocco Is Irrevisibly Comitted To Democratic Reform
and Good Governance,” diakses dari
http://moroccoonthemove.wordpress.com/press‐releases‐morocco‐delivers/
pada 22 April 2014
97
LAMPIRAN
Lampiran 1
Pernyataan Štefan Füle, European Commissioner for Enlargement and
European Neighborhood Policy periode 2009-2014, terkait reformasi
demokrasi Maroko
EUROPEAN COMMISSION
MEMO
MEMO/12/24
Brussels, 20 January 2012
Š. Füle in Morocco: We stand behind your reform efforts
Rabat (20th January) – “Morocco is doing well in the reform process and the
European Union appreciates this progress,” Commissioner for Enlargement and
European Neighbourhood Policy Štefan Füle said during his visit to Rabat. “I
came here with a clear message that the Commission stands firmly behind your
reform efforts and expect these efforts to be continued,” he stressed when meeting
the Head of the Government Abdelilah Benkirane and several members of the
cabinet, as well as the leaders of both Chambers of the Parliament.
Commissioner Füle held talks with the Moroccan counterparts on the same day as
the Government presented its program to the Parliament. Commissioner Füle was
the first high-ranking EU official visiting the country after the November
legislative elections and after the appointment of the new Government headed by
Mr Benkirane.
“I can express my satisfaction, that barely one year after my last visit to Rabat,
several important changes occured: a new constitution was approved in the July
referendum, free and fair elections took place and now the new government is
taking the reform agenda forward,“ Mr Füle said and added that the EU was keen
to see this reform agenda to succeed, while continuing to provide its support based
on the principles of new neighbourhood policy. “The extent of our support and
increased cooperation should reflect the needs and ambitions of our partners. For
more progress in democratic and economic reforms there will be more EU
assistance,” the Commissioner said, acknowledging that much has been achieved
in Morocco so far but that there are still important reforms to be implemented to
ensure lasting stability and a stronger and more inclusive economic development
so that the legitimate aspirations of the people could be met.
He was reassured by the determination of his interlocutors to continue and to
strengthen the transformation of their country with a “new generation of reforms”.
The partners on the Moroccan side expressed willingness to increase bilateral
cooperation and dialogue on a wide range of issues, underlining that Morocco
would be a strong and reliable partner for the EU.
In addition to the Head of Government Mr Füle held talks with the speaker of the
Chamber of Representatives Karim Ghellab, speaker of the Chamber of
Councillors Mohamed Cheikh Biadillah, Minister of Foreign Affairs Saâdeddine
El Othmanim, Minister of Economy and Finance Nizar Baraka and Minister of
Agriculture and Fisheries Aziz Akhannouch.
Commissioner Füle and Minister Baraka launched two projects financed from the
EU Neighbourhood Investment Facility to help Morocco to reduce its energy
dependency and increase efficiency in water delivery : “Both projects amount to
37 millions € in EU grants but they have a much higher value as they are
leveraging large loans from EU development banks, for a total amount of more
than 600 million euros. These are just small examples of the advantages stemming
from our support to the transformation of Morocco,” Mr Füle said. The first
project is for the Ouarzazate Solar Power Plant (€ 30 mil) and the other one for
Drinking Water Efficiency Programme (€7 mil).
During his visit to Rabat Commissioner Füle also met representatives of civil
society and discussed with them the extent and the results of the reforms
undertaken in Morocco so far, in order to gain a better understanding of citizens'
aspirations. The Commissioner explained that, under the new European
Neighbourhood Policy, there is now much a greater focus on the EU´s support for
and partnership with civil society, which has a key role in the sustainability of the
democratisation process.
Lampiran 2
Press Release resmi dari European Commission untuk program-program
ENP di Southern Neighbours pasca Revolusi Arab
Catatan: data ini hanyalah bagian pembukaan dan bagian khusus Maroko dari
keseluruhan dokumen yang berjumlah 12 halaman.
EUROPEAN COMMISSION
MEMO
MEMO/11/918
Brussels, 16 December 2011
The EU's response to the 'Arab Spring'
Since the first demonstrations in Tunisia in December 2010, a wave of popular
discontent has shaken the Arab world, with people calling for dignity, democracy,
and social justice. Despite the unexpected magnitude of these uprisings, the EU has
been quick to recognise the challenges of the political and economic transition faced
by the region as a whole. It has also recognised the need to adopt a new approach to
relations with its Southern neighbours.
The EU has engaged politically with a wide range of government, opposition,
parliamentary and civil society interlocutors in the region through visits from the
President of the Commission, the President of Parliament, the HR/VP and several
Commissioners.
The EU's strategic response to the Arab Spring came as early as 8 March 2011, with
the joint communication of the High Representative/Vice President (HR/VP)
Catherine Ashton and the Commission proposing "A partnership for democracy and
shared prosperity with the Southern Mediterranean". This communication stresses
the need for the EU to support wholeheartedly the demand for political
participation, dignity, freedom and employment opportunities, and sets out an
approach based on the respect of universal values and shared interests. It also
proposes the "more for more" principle, under which increased support in terms of
financial assistance, enhanced mobility, and access to the EU Single Market is to be
made available, on the basis of mutual accountability, to those partner countries
most advanced in the consolidation of reforms. This approach was further
elaborated in another joint communication on 25 May which initiated the launch of
"a new response to a changing Neighbourhood".
The EU is committed both in the short and long term to help its partners address in
particular two main challenges:
- First, to build “deep democracy”, i.e. not only writing democratic constitutions
and conducting free and fair elections, but creating and sustaining an independent
judiciary, a thriving free press, a dynamic civil society and all other characteristics
of a mature functioning democracy.
- Second, to ensure inclusive and sustainable economic growth and development,
without which democracy will not take root. A particular challenge is to ensure
strong job creation.
The EU's response in Morocco
On 2 July 2011, HR/VP Catherine Ashton and Commissioner for the ENP Stefan
Füle welcomed the positive outcome of the referendum on the new Constitution
which endorsed the reforms proposed by King Mohammed VI. They also reiterated
the EU's support for Morocco's efforts to implement these far-reaching reforms. The
EU sent an expert mission to assess the parliamentary elections of 25 November.
The setting up of the Mobility Partnership with Morocco was launched in Rabat in
October and the EU gave a new impetus to the negotiations for the new Action
Plan of the Advanced Status, which resumed in December. Moreover, the
preparatory process for the future negotiations for a Deep and Comprehensive Free
Trade Area (DCFTA) with Morocco will be launched in early 2012.
As regards financial support, the five priority areas for cooperation remain the
same: development of social policies, economic modernisation, institutional
support, good governance and human rights, and environmental protection. The
indicative budget for 2011-2013 is €580.5 million, which represents a 20% increase
in comparison with the budget of 2007-2010. Morocco also benefits from other
thematic and regional programmes and will get further support under the Civil
Society Facility and Erasmus Mundus.
Lampiran 3
Press Release resmi dari European Commission untuk program SPRING
EUROPEAN COMMISSION
MEMO
MEMO/11/636
Brussels, 27 September 2011
EU response to the Arab Spring: the SPRING Programme
The Support to Partnership, Reform and Inclusive Growth – the SPRING
Programme, adopted today - directly responds to the events of the Arab Spring.
Initiatives supported by SPRING will focus specifically on two of the renewed EU
policies in the region. 180
.
Aims
The main aim is to respond to the pressing socio-economic challenges that partner
countries of the southern Mediterranean region are facing and to support them in
their transition to democracy.
Support provided through the SPRING programme will be tailored to the needs of
each country, based on an assessment of the country's progress in building
democracy and applying the 'more for more' principle. 'More for more' means that
the more a country progresses in its democratic reforms and institutional building,
the more support it can expect from the SPRING programme.
180
COM(2011)303.
Implementation
Initiatives supported through the SPRING programme will complement already-
ongoing activities in partner countries, supported at EU level or bilaterally by EU
Member States, as well as by other donors.
Initiatives will be identified by EU Delegations working closely with partner
governments, EU Member States and international stakeholders.
All Southern Neighbourhood partners' countries will benefit from the programme.
Depending on conditions in each individual country, it is expected that initial
support in 2011 may go to Tunisia, Egypt, Jordan and Morocco.
Expected results
Democratic Transition
Depending on the rhythm of reform in each country, concrete results are expected in
the field of human rights and fundamental freedoms, democratic governance,
freedom of association, expression and assembly and free press and media.
Improvements in public administration, rule of law and fight against corruption ––
are also anticipated.
Sustainable and inclusive growth and economic development
Results are expected in a number of areas including a better regulatory framework
for business, increased numbers of Small and Medium Enterprises (SMEs); as well
as a reduction in internal social and economic disparities.
Funds
Amount : €350 million
- €65 million will be committed in 2011
- €285 million will be committed in 2012 (subject to the approval of the
Budgetary Authority)
Budget Source: European Neighbourhood and Partnership Instrument (ENPI)
Duration: 2011 - 2012
Lampiran 4
Press Release resmi dari European Commission untuk program Civil Society
Facility
EUROPEAN COMMISSION
MEMO
MEMO/11/638
Brussels, 27 September 2011
EU response to the Arab Spring: the Civil Society Facility
The Communication on “A new response to a changing Neighbourhood” - the
culmination of a comprehensive review of the European Neighbourhood Policy
launched in 2010, outlines a new approach towards the EU‟s neighbours to the East
and South, based on mutual accountability and a shared commitment to respecting
universal values, international human rights standards, democracy and the rule of
law.
Acknowledging civil society‟s role to contribute to policy-making and hold
governments to account, the Communication commits to supporting a greater role
for them through a partnership with societies, helping non-state actors develop their
advocacy capacity the ability to monitor reform and their role in implementing,
monitoring and evaluating EU programmes.
It also paves the way for more intensive engagement with all those stakeholders
who are already involved in the implementation of the Eastern Partnership. Most
importantly, it proposes the establishment of a Civil Society Facility to provide
funding for non-state actors.
The Facility is also referenced in the Communication on “A Partnership for
Democracy and Shared Prosperity with the Southern Mediterranean”181
, outlining
the EU‟s response to recent events in the Neighbourhood South.
The Components of the Civil Society Facility 2011-2013
The Neighbourhood Civil Society Facility is made up of three components, to be
funded over 2011-2013:
Component 1: Strengthening capacity of civil society, through exchanges of good
practice and training, to promote national reform and increase public accountability,
to enable them to become stronger actors in driving reform at national level and
stronger partners in the implementation of ENP objectives.
Component 2: Strengthening non-state actors through support to regional and
country projects, by supplementing the funding available through thematic
programmes and instruments.
Component 3: Promoting an inclusive approach to reforms by increasing the
involvement of non-state actors in national policy dialogue and in the
implementation of bilateral programmes.
Funds
Amount: €22M
Budget Source: European neighbourhood and partnership instrument (ENPI)
Duration: 2011-2013
181
COM(2011)200