PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

101
RÛH DALAM AL-QUR’AN ANALISIS PENAFSIRAN PROF. DR. M. QURAISH SHIHAB ATAS SURAT AL-ISRA’ AYAT 85 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I) Oleh Atti Nurliati NIM: 207034000059 Oleh Atti Nurliati PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSFAT UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

Transcript of PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Page 1: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

RÛH DALAM AL-QUR’AN ANALISIS PENAFSIRAN PROF. DR. M. QURAISH SHIHAB

ATAS SURAT AL-ISRA’ AYAT 85

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi

Islam (S. Th. I)

Oleh Atti Nurliati

NIM: 207034000059

Oleh Atti Nurliati

PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSFAT

UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2011

Page 2: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...
Page 3: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...
Page 4: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

ABSTRAK

Rûh dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an makna tentang rûh sangat beragam tergantung

pada konteks apa kata al- rûh itu digunakan. Makna rûh bisa dikatakan al-

Qur’an, malaikat Jibril, potensi membuat makhluk menjadi hidup, dll.

Percaya terhadap keberadaan rûh merupakan salah satu keyakinan yang

diajarkan al-Qur’an, dan mempercayai soal-soal yang ghaib merupakan

salah satu sendi keyakinan beragama. Semua agama berdiri di atas

keyakinan tersebut, dengan keyakinan itu manusia dapat merasakan

ketentraman. Para ulama tafsir dan filosof dari dahulu hingga sekarang

masih membicarakan mengenai apa makna dan hakikat rûh? Para filosof

dan Pemikir Islam sejak dahulu berusaha memberikan aneka jawaban,

namun tidak satu pun yang memuaskan nalar. Pembahasan mereka itu

tidak dapat dinilai menyimpang dari tuntunan ayat ini karena jawaban

yang diberikan Al-Qur’an di atas, tidak mutlak dipahami sebagai jawaban

akhir terhadap pertanyaan tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rûh masih merupakan

misteri. Dari sinilah penelitian ini dilakukan untuk membahas serta

mengungkap pengetahuan tentang rûh, oleh sebab itu dirasa sangat perlu

adanya pemahaman tentang rûh dalam al-Qur’an. Untuk itu dipilihlah

pokok permasalahan tentang rûh dalam al-Qur’an menurut analisis Prof.

Dr. Quraish Shihab dalam surat al-Isra’ ayat 85.

Page 5: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

ȴɆǵȀȱǟ ȸƥȀȱǟ ǃǟ ȴȆǣ

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

yang telah menganugerahkan rahmat dan kasih sayang nya pula kepada

seluruh makhluk. Dalam mengerjakan skripsi ini sempat mengalami

kendala-kendala, seperti kesulitan dalam mencari bahan dan keputus-asaan

hampir menyelimuti penulis. Namun berkat rahmat Allah swt penulis tetap

mengerjakan skripsi ini hingga selesai walaupun masih banyak yang harus

disempurnakan. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi

Muhammad SAW. Nabi akhir zaman yang telah memberikan teladan

kepada umatnya serta membawanya ke jalan yang diridhai Allah SWT.

Penulis menyadari dalam skripsi ini masih ada kekurangannya,

skripsi ini hanyalah sebuah lilin dari sekian banyak kilauan cahaya.

Semoga cahanya bermanfaat bagi yang ada di sekitarnya.

Penulisan skripsi ini nampaknya tidak akan terwujud seperti ini

tanpa adanya partisipasi dari berbagai macam pihak yang telah

memberikan solusi saran dan kritik yang membangun dalam menghadapi

segala kesulitan penulis dalam menulis skripsi ini. Oleh karena itu pada

kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima

kasih kepada :

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin

Hidayat; Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Zainun Kamaluddin,

Page 6: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

M.A., Ketua Jurusan Tafsir Hadits, Dr. Bustamin, M.Si., Sekretaris

Jurusan Tafsir Hadits, Ibu Dr. Lili Umi Kultsum, M.A.

2. Bapak Drs. A. Rifqi Muchtar, M.A., sebagai pembimbing dalam

penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktu dan tenaganya serta

sabar memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini. Sehingga membuka cakrawala dan nuansa

baru bagi penulis.

3. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ushuluddin Tafsir Hadits yang telah

memberikan wawasan intelektual selama penulis “menimba” ilmu di

jurusan tersebut.

4. Pimpinan Perpustakaan UIN dan Fakultas Ushuluddin, beserta

jajarannya pengelolanya yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk melakukan penelitian pustaka dalam menyelesaikan

skripsi ini.

5. Seluruh keluarga di rumah khususnya orang tua tercinta, H. Ir.Taufiq

Rahman dah HJ. Shaleha, dan kakak-adikku tercinta yang telah banyak

membantu penulis dari segi materil,motivasi, dan doanya. Mencurahkan

segala kasih sayangnya terhadap penulis dalam rangka menyelesaikan

studi penulis.

6. Suamiku tercinta H. Abdul Basith, Lc, yang telah memberikan

semangat, doanya dan motivasinya kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi.

Page 7: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

7. Kepada segenap teman-teman seperjuangan Tafsir Hadits angkatan

2007.

Kepada semuanya yang telah membantu penulisan skripsi ini yang

tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan rasa terimakasih

yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT. Membalas kebaikan dan

bantuan yang telah mereka berikan selama penulisan. Semoga skripsi ini

dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi pembaca serta menambah

pengetahuan dan semoga bermanfaat untuk kita semua. Amin…

Jakarta, 1 Februari 2011

Penulis

( Atti Nurliati)

Page 8: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................i

KATA PENGANTAR .....................................................................ii

DAFTAR ISI ....................................................................................v

PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

..........................................................................................

1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7

D. Kajian Pustaka .................................................................... 8

E. Metodologi Penelitian ......................................................... 10

F. Sistematika Penulisan .......................................................... 11

BAB II M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISHBÂH

A. Biografi, M. Quraish Shihab ............................................... 12

1. Riwayat Hidup dan Karir M. Quraish Shihab ................. 12

2. Karya-karya M. Quraish Shihab dan Pokok-

pokok Pemikiran ........................................................... 16

B. Karakteristik Tafsir al Mishbâh M. Quraish Shihab ............. 27

1.Pemilihan Nama al-Mishbâh ............................................ 27

2.Sumber Penafsiran al-Mishbâh ......................................... 29

3.Metode Penafsiran al-Mishbâh ......................................... 32

4. Corak Penafsiran al-Mishbâh .......................................... 37

5.Sistematika Penulisan al-Mishbâh .................................... 40

BAB III INTERPRETASI RÛH

A. Pengertian Rûh secara Bahasa dan Istilah....................... 44

B. Pengertian Jiwa secara Bahasa dan Istilah ...................... 49

C. Perbedaan Pendapat Ulama dan Filosof ......................... 52

Page 9: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

BAB IV ANALISIS M. QURAISH SHIHAB MENGENAI RÛH

DALAM SURAT AL- ISRA’ AYAT 85

A. Klasifikasi Ayat- Ayat tentang Rûh ............................... 62

1. Kata rûh yang Menunjuk Arti Potensi Hidup ........... 62

2. Kata rûh yang Menunjuk Arti Jibril ........................ 64

3. Kata rûh yang Menunjuk Arti Wahyu atau

Al-Qur’an

................................................................................ 6

5 ..............................................................................

B. Lafazh Rûh Dalam Kaidah Bahasa Arab ....................... 66

C. Makna dan Hakikat rûh dalam Analisis

M. Quraish Shihab ........................................................ 69

1.Rûh Sebagai Potensi Hidup ......................................... 73

2. Rûh Dalam Arti Jibril ............................................... 80

3. Rûh Dalam Arti Al-Qur’an ....................................... 82

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................... 90

B. Saran-Saran..................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 93

Page 10: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

PEDOMAN TRANSLITERASI1

A. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ǟ tidak dilambangkan

ǡ B Be

ǧ T Te

ǫ Ts te dan es

ǯ J Je

dz H h dengan garis bawah

Ƿ Kh ka dan ha

ǻ D da

ǽ Dz De dan zet

ǿ R Er

ȁ Z Zet

ȃ S Es

ȇ Sy es dan ye

ȋ S es dengan garis bawah

ȏ D de dengan garis bawah

ȓ T te dengan garis bawah

ȗ Z zet dengan garis bawah

ț ‘ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105

Page 11: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

ȟ Gh ge dan ha

ȣ F Ef

ȧ Q Ki

ȫ K Ka

ȯ L El

ȳ M Em

ȷ N En

ȿ W We

øȽ H Ha

ǒ ‘ Apostrof

Ƀ Y Ye

B. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih

aksaranya adalah sebai beeriku:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

____َ__ A Fathah

____ِ__ I Kasrah

____ُ__ U Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai a dan i _َ___ي

و_َ___ Au a dan u

Page 12: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

C. Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

 a dengan topi di atas ـَـا

Î i dengan topi di atas ــي

Û u dengan topi di atas ـــو

D. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh

huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân

bukan ad-dîwân.

E. Syaddah (Tashdid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan

berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,

demikian seterusnya.

F. Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut

diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf

/t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

Page 13: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

No Kata Arab Alih aksara

1 ǦȪɅȀȕ Tarîqah

2 ǦȞȵǠƨǟ ǦɆȵɎȅɋǟ al-jâmî ah al-islâmiyyah

3 ǥǼǵȿ ǻɀDZɀȱǟ wahdat al-wujûd

G. Huruf Kapital

Meskipun dalam tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain

yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan

lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal

atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-

Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Page 14: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kumpulan

firman Allah swt, yang tujuannya adalah untuk menjadi pedoman bagi

manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan

di dunia dan di akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia,

maka al-Qur’an datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan,

aturan-aturan, prinsip-prinsip dan konsep-konsep, baik bersifat global

maupun yang terinci yang eksplisit maupun yang implisit dalam berbagai

persoalan dan bidang kehidupan.

Al-Qur’an sendiri menyatakan dirinya sebagai al-Kitâb yang

mempunyai tujuan sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia pada umumnya

dan bagi orang-orang yang bertaqwa pada khususnya; Al-Furqân

( pembeda antara yang baik dan buruk, antara yang nyata dan khayal,

antara yang mutlak dengan yang nisbi); Rahmat (rahmat); Syifâ (obat

penawar); khususnya untuk hati yang resah dan gelisah; Mauidzat

(nasehat, wejangan, petuah); penjelasan bagi sesuatu, peringatan bagi

seluruh alam dan sebagainya. Jadi secara eksplisit Al-Qur’an adalah kitab

suci yang berdimensi banyak dan berwawasan luas.2

Meskipun demikian dalam memahami al-Qur’an, umat Islam sering

menemukan kesulitan. Hal ini terjadi karena ada ayat-ayat tertentu yang

2 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), h. 71.

Page 15: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

sukar dimengerti maksud dan kandungannya atau samar artinya. Maka

disinilah fungsi tafsir sebagai kunci untuk membuka gudang simpanan

yang tertimbun dalam al-Qur’an sangat diperlukan. Dan karena fungsinya

yang esensial, maka tafsir sudah sepantasnya ditempatkan sebagai ilmu

yang paling tinggi derajadnya.3

Tafsĭr yang berarti upaya memahami, menjelaskan, dan

mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, secara

praktis telah dimulai pada masa Nabi. Beliau merupakan mufassir pertama

(al-Mufassir al-Awwâl) yang berfungsi sebagai mubayyin yang

menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya.

Adapun ayat yang ditafsirkan Nabi Muhammad Saw. Itu menyangkut ayat-

ayat yang tidak bisa mereka fahami atau samar artinya. Dan proses

semacam ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasulullah Saw.

Meskipun harus diakui, bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita

ketahui sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentang hasil

interpretasi Rasulullah Saw. Terhadap al-Qur’an atau karena Rasulullah

saw. Sendiri tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.4

Penjelasan-penjelasan Rasulullah Saw. Terhadap Al-Qur’an,

selanjutnya menjadi pegangan utama bagi mufassir ketika mereka

menggali isi kandungan Al-Qur’an. Perkembangan selanjutnya, penjelasan

3Manna’ Khalil Al-Qaththan, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an (Bogor: Pustaka Litera,

2004), cet.-8, h. 327. 4 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), h. 71.

Page 16: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Nabi Saw tersebut melahirkan tafsir bi al-riwâyah (bi al-ma’tsǔr) yaitu

penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, sunnah Nabi, dan riwayat-

riwayat yang bersumber dari sahabat dan tabi’in. selain Tafsir bi al-

Riwâyah, ada yang disebut dengan tafsir bi al-Dirâyah (bi al-maqul) yang

sering kita kenal dengan sebutan bi al-Ra’yî yaitu penafsiran al-Qur’an

dengan menggunakan perangkat ijtihâd. Adanya penafsiran terhadap Al-

Qur’an sebagaimana tersebut diatas, karena Al-Qur’an sendiri tidak

menjelaskan secara mendetail tentang suatu ayat atau tema yang dibahas.

Dari sekian banyak tema yang dibahas oleh Al-Qur’an, ada

beberapa ayat menjelaskan tentang rûh, firman Allah SWT surat Al-Isra’

: 85 :

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang rûh. Katakanlah: "Rûh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit" (Q.S. Al-Isra’: 85).

Persoalan rûh sebenarnya dari dulu sampai sekarang , tetap menjadi

teka-teki yang belum terjawab secara memuaskan. Banyak sudah pendapat

tentang itu, namun kesepakatan tidak pernah didapat. Oleh karena itu

pembicaraan mengenai rûh ini masih tetap aktual.

Percaya terhadap keberadaan rûh merupakan salah satu keyakinan

yang diajarkan al-Qur’an, dan mempercayai soal-soal yang ghaib

merupakan salah satu sendi keyakinan beragama. Semua agama berdiri di

Page 17: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

atas keyakinan tersebut, dengan keyakinan itu manusia dapat merasakan

ketentraman. 5

Atas dasar itu, tidaklah salah bagi kalangan ilmuwan berupaya

mengetahui hakikat rûh secara umum namun tidak terinci. Boleh jadi di

masa depan akan terjadi lebih banyak perubahan yang menjadikan para

ilmuwan memiliki kemampuan untuk mengungkap sebagian dari hakikat

rûh. Karena itu kita tidak sependapat dengan mereka yang berkata bahwa

kita harus berhenti pada penjelasan mengenai hakikat rûh.

Selanjutnya apakah penggalan terakhir ayat “Kalian tidaklah di beri

pengetahuan kecuali sedikit”. Termasuk jawaban yang diperintah untuk di

sampaikan atau komentar tentang keterbatasan pengetahuan manusia?6

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rûh masih merupakan

misteri. Dari sinilah muncul ide untuk membahas serta mengngungkap

pengetahuan tentang ruh, dan atas dasar inilah Skripsi yang berjudul “Rûh

Dalam al-Qur’an Analisis Penafsiran Prof. Dr. M. Quraish Shihab Dalam

Surat al-Isra’ ayat 85”. Ini bisa menjadi jawaban atas mesteri rûh yang

ramai diperbincangkan masyarakat.

Skripsi ini tidak berpretensi untuk mengungkap misteri itu, tetapi

hanya ingin mengatakan bahwa di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan

5 Yahya Saleh Basalamah, Manusia dan Alam Ghaib ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993),

cet. Ke-11, h. 138. 6 Sudirman Tebba, Ruh Misteri Maha Dahsyat ( Ciputat: Pustaka Irvan, 2008), h. 6-7.

Page 18: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

peradaban manusia kelihatannya rûh masih tetap merupakan misteri. Ini

sesuai dengan firman Tuhan bahwa tidaklah ilmu itu diberikan kepada

manusia kecuali hanya sedikit. Oleh sebab itu, penulis berharap semoga

skripsi ini dapat memberikan kontribusi positif bagi kita semua dan dapat

memberikan informasi yang akurat tentang mesteri rûh yang selama ini

menjadi mesteri dalam kehidupan masyarakat.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

Pembahasan sekitar Rûh sangat luas dikaji di kalangan ulama tafsir,

filosof dan ahli tasawuf. Oleh sebab itu, Di dalam skripsi ini penulis akan

membatasi permasalahan seputar rûh, melalui penafsiran Prof. Dr. Quraish

Shihab dalam tafsir Al-Mishbâh sebagaimana yang tercantum dalam surat

al-isra’ ayat 85.

Rumusan masalah yang dihadirkan didalam penelitian ini adalah :

“Bagaimana Penafsiran Rûh surat al-Isra’ ayat 85 menurut Prof. Dr.

Quraish Shihab Dalam Tafsîr al-Mishbâh ”?.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Page 19: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan sejauh mana

pandangan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbâh tentang konsep rûh

dalam al-Qur’an. Terutama konsep rûh dalam isyarat al-Isra’ ayat 85, Hal

ini dilakukan karena di dalam penafsiran Quraish Shihab yang tertuang

dalam Tafsir Al-Misbâh terdapat banyak syarat ilmiah yang bisa

bermanfaat bagi para pambaca dan khususnya pada diri penulis sendiri,

untuk mengetahui lebih dalam tentang konsep rûh dalam al-Qur’an.

Penulis melakukan penelitian ini karena memiliki tujuan untuk

meningkatkan pengetahuan serta ingin menggali lebih dalam pengetahuan

tentang rûh. Salah satu indikasinya adalah sebagaimana kita ketahui

bahwa ruh ini telah banyak dibicarakan dikalangan masyarakat kita,

bahkan seakan-akan menjadi misteri yang menakutkan bagi kita

semuannya.

Hasil yang diperoleh dari penelitian skripsi ini diharapkan memberikan

manfaat praktis yang dapat membantu seluruh lapisan masyarakat

terutama kalangan ilmuan, dari berbagai latar belakang, untuk memperluas

wawasan serta pengetahuan mengenai penafsiran rûh secara mendalam,

sehingga kita dapat mengetahui hakikat rûh secara sebenarnya, dan tidak

menjadikannya sebagai misteri yang menyeramkan serta tidak

menafsirkannya secara asal-asalan.

Page 20: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

D. Kajian Pustaka

Setelah meneliti data-data yang berhubungan dengan topik yang

dibahas, penulis menemukan buku-buku atau karya ilmiah yang

membahas tentang rûh dalam sudut pandang al-Qur’an menurut ulama

tafsir, filosof dan khususnya Tafsir Al-Mishbâh. Sepanjang peneliti

melakukan penelitian menemukan berbagai sumber-sumber karya sebagai

rujukan antara lain:

1. Karya Rûh , oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauzî , kitab ini terkandung

berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan rûh orang-orang yang

sudah mati maupun yang masih hidup, disertai dalil-dalil dari

kitâb, Sunnah, dan atsâr, dan pendapat para ulama.

2. Manusia dan Alam Gaib karya Yahya Saleh Basalamah, buku ini

mengetengahkan masalah gaib yang wajib diimaninya.

Juga tentang hal yang dibutuhkan oleh keimanan dalam hubungan

manusia dengan yang gaib, yang merupakan zat pencipta, Allah

dan masalah kedudukan alam raya, dari dua sisi: alam gaib dan

alam nyata.

3. Rûh Misteri Mahadahsyat. karya Sudirman Tebba, buku ini

menerangkan pengertian tentang rûh, nafs , jiwa, dan qalb. Disertai

persamaan dan perbedaannya yang dikuatkan dengan dalil-dalil

dari sunnah dan pendapat ulama.

Page 21: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

4. Rûh itu Misterius karya Imam Fakhruddin al-Răzĭ, kitab ini

merupakan karangan al-Râzi yang membahas mengenai berbagai

pertanyaan tentang rûh disertai dalil-dalil dari kitâb, sunnah, dan

atsâr, dan pendapat para ulama pilihan.

5. Rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin al-râzĭ penelitian ini ditulis

oleh Abdu al- Rahmăn Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits

tahun 2002. Perbedaan Karya Ilmiah penulis dengan Karya Ilmiah

Rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin al-râzi adalah dari

perspektif penafsiran ulama. Karya Ilmiah penulis menganalisis

pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab mengenai rûh terutama didalam

Q.S al-Isra’ ayat 85 dan disertai pendapat para ulama tafsir

mengenai pembahasan tentang rûh. Sedangkan Karya Ilmiah rûh

dalam perspektif al-râzi tidak dengan ayat yang lebih spesifik

hanya secara umum.

E. Metodolgi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, ada tiga aspek metodolgi penelitian yang

digunakan:

a. Metode pengumpulan data. Untuk mendukung metode terdebut, penulis

melakukan penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu

menggunakan data primer yang berkaitan dengan konsep Rûh. Sebagai

Page 22: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

sumber primer penulis merujuk pada Tafsir Al-Mishbâh. Sedangkan data

sekunder penulis menggunakan buku-buku, artikel, makalah yang

berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas.

b. Tekhnik pembahasan dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis yaitu

mengungkapkan penafsiran M. Quraish Shihab kemudian menganalisis

secara kritis.

c. Adapun teknis penulisan yang digunakan dan dijadikan pedoman

penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “pedoman penulisan

karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi), yang diterbitkan oleh CEQDA

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”2007.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab dan

setiap bab dibagi kedalam sub-sub dengan perincian sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan, diantaranya mengenai latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian,

dan metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II: Kajian yang berisi tentang deskripsi riwayat hidup Prof. Dr.

Quraish Shihab, serta karya-karya , dan pokok pemikiran Prof. Dr. Quraish

Shihab , Sumber penulisan tafsir Al-Misbâh, Metode Penafsiran Al-Mishbâh,

dan Corak Penafsirannya dan sistematika penafsirannya.

Page 23: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Bab III: Interpretasi tentang Rûh yang terdiri dari Pengertian rûh secara

bahasa dan Istilah, pengertian jiwa secara bahasa dan istilah, Rûh dalam

perspektif Ulama Tafsir dan Filosofis.

Bab IV: Klasifikasi Ayat-Ayat Tentang Rûh Dalam Al-Qur’an, Lafazh Rûh

Dalam Kaidah Bahasa Arab, dan Analisa penafsiran Rûh surat al-Isra’ ayat 85

dalam Tafsir al-Mishbâh.

Bab V: Penutup, berisi kesimpulan dan Saran-saran.

BAB II

M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISHBÂH

A. Biografi M. Quraish Shihab

1. Riwayat Hidup dan Karier M. Quraish Shihab

Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 16

Februari 1944, adalah seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu al-

Qur’an. Terlahir sebagai putra Prof. Dr. Abdurrahman Shihab, seorang

penggagas sekaligus pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI)

Makassar. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar.

Ayahnya seorang guru dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab

dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang

memiliki reputasi baik dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan.

Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina

dua perguruan tinggi di Ujung Pandang yaitu UMI, dan IAIN Alauddin

Page 24: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai rektor kedua perguruan tinggi

tersebut: UMI 1959-1965 dan IAIN 1972-1977.7

Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan

terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-

anaknya duduk bersama setelah maghrib. Pada saat-saat seperti inilah sang

ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-

Qur’an. Quraish Shihab kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan

terhadap al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-

Qur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al-

Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-

Qur’an. Disinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai

tumbuh.

Pendidikan formalnya di Makassar dimulai dari sekolah dasar

sampai kelas 2 SMP. Pada tahun 1956, Ia dikirim ke kota Malang untuk

“nyantri” di Pondok Pesantren Dârul Hadîs al-Faqihiyah. Karena

ketekunannya belajar di pesantren, 2 tahun berikutnya ia sudah mahir

berbahasa Arab. Melihat bakat bahasa Arab yang dimilikinya, dan

ketekunannya untuk mendalami studi keislamannya. Quraish Shihab

beserta adiknya Alwi Shihab dikirim ayahnya ke al-Azhar Cairo melalui

beasiswa dari propinsi Sulawesi, Pada awal 1958 dalam usia 14 tahun, ia

berangkat ke Kairo, Mesir. Dan diterima di kelas II Tsanâwiyah al-Azhar.

Kemudian melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas

7 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an ( Bandung: Mizan, 1994), h. 6.

14

Page 25: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 Ia meraih gelar

LC. Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar

M.A. Pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jâz at-Tasyrĭ’ al-

Qur’ăn al-Karîm (kemukjizatan al-Qur’an dari segi Hukum).8

Pada tahun 1973 Ia dipanggil pulang ke Makassar oleh ayahnya

yang ketika itu menjabat sebagai rektor, untuk membantu mengelola

pendidikan di IAIN Alauddin. Quraish Shihab menjadi wakil rektor bidang

akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Disamping menduduki

jabatan resmi itu, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur karena usia,

dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu,

Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan

Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian Timur, pembantu pimpinan

kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan

sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Di celah-celah kesibukannya ia

masih merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan

Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia (1975) dan masalah Wakaf

Sulawesi Selatan (1978).9

Untuk mewujudkan cita-citanya Ia mendalami studi tafsir, pada

tahun 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-

Azhar Cairo, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an. Ia hanya

memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doctor dalam bidang

disertasinya yang berjudul Nazm al-Durâr li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirâsah

8 Drs. Mustafa P, M. Ag, M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h. 65.

9http.// id. Wikipedia. Org/wiki/ Muhammad_Quraish_Shihab

Page 26: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

(Suatu kajian dan analisa terhadap keotentikan kitab Nazm al-Durâr karya

al-Biqa’I ). Berhasil dipertahankannya dengan predikat penghargaan

Mumtâz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ulâ.

Pada tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish

Shihab untuk melanjutkan kariernya untuk pindah tugas dari dari IAIN

Makassar ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif

mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Qur’an di Program S1, S2, S3

sampai tahun 1998. Disamping melaksanakan tugas-tugas pokoknya

sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN

Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia

dipercaya menduduki jabatan sebagai menteri Agama selama kurang lebih

dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian diangkat sebagai Duta

Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negeri

Republik Mesir merangkap Negara Republik Djibouti berkedudukan di

Cairo.

Kehadiran Quraish Shihab di ibukota Jakarta telah memberikan

suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti

dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah

masyarakat. Disamping mengajar ia juga dipercaya untuk menduduki

semua jabatan. Diantaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984-1990), anggota lajnah Pentashhih al-

Qur’an,Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa

organiasi professional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan

Page 27: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan.

Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu

Syari’ah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan sebagi

Dewan Redaksi Studi Islamika: Indonesia Journal for Islamic Studies,

Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian Agama dan

Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.10

Howard M Federspiel mengatakan beliau sebagai orang yang unik

bagi Indonesia karena sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di

negeri Barat. Kemudian ia mengatakan: “Ketika meneliti biografinya,

saya menemukan bahwa ia berasal dari Sulawesi Selatan, terdidik di

pesantren, dan menerima pendidikan tingginya di Mesir pada Universitas

al-Azhar, di mana ia menerima gelar M.A dan Ph.Dnya. ini menjadikan ia

terdidik lebih baik di bandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya

yang terdapat dalam Popular Indonesian Literature of the Qur’an.11

2. Karya-Karya M. Quraish Shihab dan Pokok-Pokok Pemikiran Beliau

a. Karya-Karya Beliau

M. Quraish Shihab merupakan sosok Intelektual yang produktif. Di

tengah-tengah kesibukannya yang luar biasa yaitu sebagai dosen, pejabat

tinggi, dan organisasi. Beliau masih sempat menulis karya-karya ilmiah

yang di presentasi dalam berbagai seminar, rubric atau kolom yang dimuat

10 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2007), h. 368. 11 Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an Di Indonesia Dari Mahmud Yunus Hingga

Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996), h. 295-297.

Page 28: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

dalam beragam surat kabar, majalah, maupun buku-buku. Tulisannya

bernuansa sejuk, sederhana, mudah di pahami, sehingga tidak

mengherankan bila diantara buku karyanya menjadi best seller dan

mengalami cetak ulang berkali-kali.

Adapun karya-karya yang telah di tulis oleh M. Quraish Shihab,

khususnya yang di terbitkan berbentuk buku diantaranya yaitu:

1. Al-Asmaul Husnâ. Karya ini mencakup uraian-uraian tentang nama

Tuhan yang berjumlah 99. Sebagian dari isinya juga di bawakan

untuk materi ceramah yang disampaikan di salah satu stasiun

televisi pada bulan Ramadhan.

2. Dia dimana-mana “ Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena”.

Karya ini diterbitkan d Jakarta oleh Lentera Hati pada tahun 2005.

3. Fatwa-fatwa (Bandung: Mizan) Buku ini adalah kumpulan

pertanyaan yang di jawab oleh M. Quraish Shihab yang terdiri dari

5 seri: Fatwa seputar Al-Qur’an dan Hadits, Seputar Tafsir Al-

Qur’an, Seputar Ibadah dan Mu’amalah, Seputar wawasan Agama,

Seputar Ibadah Mahdhah.

4. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987).

5. Haji bersama Quraish Shihab. Karya ini diterbitkan di Bandung:

Mizan, 1999.

6. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-Ayat Tahlil. Karya ini diterbitkan di

Jakarta: Lentera Hati, 1999.

Page 29: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

7. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah : pandangan Ulama masa lalu

dan Cendekiawan Kontemporer. Diterbitkan oleh Lentera Hati

Jakarta tahun 2004.

8. Kumpulan Tanya Jawab Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah.

Ini diterbitkan oleh Penerbit Republika pada tahun 2004.

9. Logika Agama, Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal.

Diterbitkan oleh Lentera Hati pada tahun 2005.

10. Mu’Jizat al-Qur’an. Di tinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek

Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib. Karya ini diterbitkan oleh Mizan

pada tahun2007.

11. Membumikan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1992). Buku ini Best

Seller yang terjual lebih dari 75 ribu kopi.

12. Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah). Karya ini

diterbitkan pada tahun 1988, oleh penerbit Untagma, Jakarta.

Isinya merupakan dari kandungan surat Al-Fatihah.

13. Quraish Shihab menjawab 1001 soal keislaman yang patut anda

ketahui. Lentera Hati, Ciputat Cetakan V April 2009.

14. Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga yang dijanjikan

al-Qur’an. Karya ini diterbitkan Lentera Hati cetakan III pada

tahun Juli 2005.

Page 30: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

15. Perempuan dari cinta sampai seks, dari Nikah Mut’ah sampai

sunnah, dari Bias lama sampai Bias Baru. Karya ini diterbitkan di

Jakarta oleh Lentera Hati cetakan IV April pada tahun 2007.

16. Pengantin Al-Qur’an. Karya ini diterbitkan di Jakarta: Lentera

Hati, 1998.

17. Secercah Cahaya Ilahi : Hidup bersama Al-Qur’an (Republish,

2007).

18. Sahur bersama Quraish Shihab. Karya ini diterbitkan di Bandung:

Mizan, 1999.

19. Sunnah-Syi’ah bergandengan tangan mungkinkah? Penerbit

Lentera Hati, Ciputat Tangerang, 2007.

20. Tafsir Al-Manâr, Keistimewaan dan Kelemahannya. Diterbitkan di

Ujung Pandang pada tahun 1984.

21. Tafsir Al-Qur’anul Karim, Tafsir atas surat-surat pendek

berdasarkan urutan turunnya wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah,

1999.

22. Tafsir Al-Mishbâh, karya ini dapat di katakan sebagai puncak

produk M. Quraish Shihab. Karya ini diterbitkan oleh Lentera Hati,

Jakarta 2002.

Page 31: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

23. Tafsir Al-Amânah. Karya ini merupakan kumpulan Artikel dan

rubric yang di asuhnya pada Majalah Amanah, diterbitkan oleh

Pustaka Kartini pada tahun 1992.

24. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir al-Maudhu’I atas berbagai

persoalan. Karya ini diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1996. Dan

juga menjadi Best Seller.

25. Wawasan Al-Qur’an tentang zikir dan do’a. Lentera hati, ciputat

Tangerang cetakan I Agustus 2006.

26. Untaian Permata buat Anakku. Karya ini diterbitkan oleh Mizan,

di Bandung pada tahun 1998.

27. Yang Tersembunyi, Jin, Iblis, dan malaikat. Karya ini menguraikan

tentang persoalan-persoalan yang ghaib yang ada di sekitar kita.

Diterbitkan di Jakarta oleh Lentera Hati pada tahun 2000.

b. Pokok-pokok Pemikiran Quraish Shihab

1. Pemikiran Ilmu Kalâm M. Quraish Shihab

Kalam M. Quraish Shihab ada sepuluh materi dimulai dengan

menyoroti pandangannya tentang:

Kemahakuasaan Tuhan (termasuk didaamnya, perbuatan Tuhan), Sifat-

Sifat Tuhan, Antropomorfisme, Melihat Tuhan, Kalam Tuhan, Konsep

Iman, Takdir dan ikhtiar, Keadilan Tuhan, Sunnatullah, dan Fungsi akal

dan wahyu. Pemikiran kalam M. Quraish shihab tentang sepuluh materi

Page 32: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

tersebut dibawa dan dibandingkan dengan pemikiran kalam tradisional

(aliran Asy’ariyah)dan rasional (aliran Mu’tazilah).

Lima aspek pemikiran kalam M. Quraish Shihab yang nampak

sejalan dengan pemikiran kalam tradisional adalah mengenai masalah sifat

Tuhan, melihat Tuhan, kalam Tuhan, sunnat al-Allah, dan fungsi akal dan

wahyu. Mengenai sifat Tuhan beliau cenderung tidak sepakat dengan

pandangan yang menyatakan bahwa sifat dan zat Tuhan itu sebagai

identik. Itu berarti beliau menegaskan bahwa sifat dan zat Tuhan itu

merupakan dua entitas yang berbeda, suatu pandangan yang khas dalam

pemikiran tradisional. sifat-sifat Tuhan dapat dibagi menjadi sifat salabî 12

(negative) dan sifat ijabî 13 (positif).

Mengenai sifat salabî, Asy’ariyah dan Mu’tazilah memiliki

persamaan dalam pandangan mereka, yaitu bahwa sifat-sifat itu tidak

menambahkan sesuatu kepada zat Tuhan. Akan tetapi, dalam masalah sifat

Ijabî mereka berbeda pendapat secara tajam. Kaum Asy’âriyah

berpendapat bahwa sifat-sifat Ijabî berbeda dengan zat Tuhan dan di

antara sifat-sifat itu sendiri berlainan satu sama lain. Sebaliknya,

Mu’tazilah berpendapat bahwa sifat dan zat Tuhan bukan dua entitas yang

terpisah, melainkan suatu ketunggalan. Mereka mengakui bahwa Tuhan

Maha Mengetahui dalam arti mengetahui dengan perantaraan pengetahuan,

12 Sifat Salabi meliputi sifat-sifat Esa, qadim, baqa, dan berbeda dengan makhluk. Di

katakan sifat-sifat salabi, karena Esa berarti tidak ada sekutu bagi-Nya, qadim berarti tidak ada permulaan, baqa berarti tidak ada pengakhiran, dan berbeda dengan makhluk berarti tidak ada yang menyamai-Nya.

13 Sifat Ijabi meliputi, mendengar, melihat, mengetahui (ilmu), kuasa dan sebagainya.

Page 33: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Dengan demikian sifat Tuhan

sekaligus zatnya.

Mengenai masalah Melihat Tuhan, beliau sepakat dengan

pandangan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat, tetapi dengan menggaris

bawahi : “paling tidak, dalam kehidupan dunia ini”. Itu berarti dia tidak

menutup kemungkinan bahwa Tuhan bias dilihat di akhirat nanti, dengan

cara dan kondisi yang tidak sama dengan persepsi yang dibayangkan

dalam kehidupan dunia ini. Mengenai kalâm Tuhan atau al-Qur’an M.

Quraish Shihab berpendapat bahwa al-Qur’an yang disisi Allah adalah

Qadîm, sedangkan al-Qur’an terdiri dari huruf-huruf, kata-kata, ayat dan

surat tertulis dan terbaca dalam bahasa Arab itu adalah hadîs (baru).

Pandangannya tentang masalah melihat Tuhan dan kalam Tuhan sejalan

dengan pandangan kaum tradisional.

Dua aspek yang sejalan pula dengan kaum tradisional adalah

mengenai masalah sunnat al-Allah serta fungsi akal dan wahyu. Bagi

M.Quraish Shihab apa yang disebut sunnat al-Allah atau hukum alam yang

berwujud kausalitas itu tidak lebih dari sekedar “urutan kejadian yang

tidak bersambung” dari dua peristiwa atau lebih. Dengan demikian melihat

dan menjelaskan fenomena dunia ini dengan menggunakan sudut

pandangan “atomistic” terhadap alam seperti yang dilakukan kaum

Asy’âriyah. Tidak ada sesuatu hukum sebab-akibat. Setiap wujud berdiri

sendiri, dan Tuhanlah yang memadukan aneka ragam wujud itu sesuai

dengan kehendak mutlak-Nya. Mengenai fungsi akal dan wahyu, beliau

Page 34: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

berpendapat bahwa akal hanya dapat mengetahui wujud Tuhan, yakni

bahwa Tuhan itu ada. Akal tidak akan dapat mengetahui kewajiban

mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, dan mengetahui tentang

kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Ketiga hal

tersebut dapat diketahui melalui informasi wahyu. Pandangan ini tepat

persis pandangan kalam Asy’âriyah.

Sedangkan lima aspek pemikiran kalamnya yang sejalan dengan

pemikiran kalam rasional adalah mengenai kemahakuasaan Tuhan dan

perbuatan Tuhan, antropomorfisme, konsep Iman, takdir dan ikhtiar, serta

keadilan Tuhan. Menurut M. Quraish Shihab kemahakuasaan Tuhan

dibatasi oleh sunnat al-Allah dan hukum logika (artinya Tuhan tidak bisa

berbuat sesuatu yang bertentangan dengan sifat kemahasempurnaan-Nya).

Dalam kaitan ini dia menyatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan

kebaikan; keburukan yang nampak dalam kehidupan ini hanyalah

keterbatasan persepsi manusia yang tidak bisa menjangkaunya. Mengenai

masalah antropomorfisme, dia menolak penafsiran yang memberikan

gambaran Tuhan yang mempunyai sifat-sifat jasmani. Kemudian mengenai

konsep iman, dia berpendapat iman adalah pembenaran dalam hati

(tasdiq), pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota

badan, terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.

Sedangkan mengenai masalah takdir dan ikhtiar, beliau cenderung

berpendapat bahwa manusialah yang menentukan nasibnya, walaupun

manusia tidak terlepas dari hukum takdir. Akhirnya, tentang keadilan

Page 35: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Tuhan, beliau berpendapat dengan keadilan-Nya pasti akan member

ganjaran kepada orang-orang yang berbuat baik dan menjatuhkan

hukuman terhadap orang-orang yang berbuat buruk, walaupun terhadap

yang terakhir Tuhan mungkin mengampuni dosanya.

M. Quraish Shihab dalam merumuskan pandangan kalamnya,

hampir sepenuhnya menempuh pendekatan tradisional, dalam arti beliau

mencapai kesimpulan-kesimpulan analisisnya lebih berdasarkan analisis

semantic (kebahasaan) yang didukung pendekatan tafsir bi al-ma’tsûr.

Beliau menghindari penggunaan takwil seperti yang banyak ditempuh

kaum Mu’tazilah. Bahkan beliau mengkritik kecenderungan para mufassir

yang terlalu banyak menggunakan takwil tanpa didukung oleh makna

kebahasaan.14

Dengan demikian, secara keseluruhan, dari segi metodenya

pemikiran kalam M. Quraish Shihab cenderung bercorak tradisional, maka

refleksi pemikiran kalamnya akan cenderung bercorak normativitas.15

2. Pemikiran M. Quraish Shihab tentang Batas Aurat Pakaian

Wanita

Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pakaian wanita

mengandung aneka interpretasi, sedangkan hadits-hadits yang merupakan

rujukan utama dan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, tidak

14 Drs. Mustafa P., M. Ag, M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia

( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), cet. Ke-1, h. 200-202. 15 Pemikiran Kalam yang bercorak Normativitas adalah pemikiran kalam yang dalam

usahanya untuk memfungsionalkan ajaran agama yang bertolak dari keprihatinan terhadap realitas teoritis (teks). Pemikiran kalam yang bertolak dari keprihatinan terhadap realitas teoretis pada dasarnya mengabdi kepada kepentingan doktrin, yakni bagaimana ajaran agama bias di pahami umat secara benar.

Page 36: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

meyakinkan pihak lain, baik karena dinilai lemah oleh kelompok yang

menolaknya atau diberi interpretasi yang berbeda. Perbedaan pendapat

para ulama masa lampau tentang batas-batas yang ditoleransi untuk terlihat

dari wanita membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang nilai ke-

shahih-an riwayat-riwayat yang berkaitan dengan batas-batas aurat wanita

dan ini sekaligus menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang

ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhannî yakni dugaan.

Seandainya ada hukum yang pasti yang bersumber dari Al-Qur’an atau

sunnah Rasul SAW., tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak pula akan

menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batas-

batas itu.

Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-

pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman

serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-

pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti

dan tegas. Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas

aurat wanita merupakan salah satu masalah khilâfiyah, yang tidak harus

menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Kesimpulan

yang diambil dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Pengkajian

Islam IAIN Syarif Hidayatullah Maret 1988 adalah “Tidak menunjukkan

batas aurat yang wajib ditutup menurut hukum Islam, dan menyerahkan

kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan.

Page 37: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Memang, harus diakui bahwa kebanyakan ulama masa lampau

hingga kini, cenderung berpendapat bahwa aurat wanita mencakup seluruh

tubuh mereka kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Akan tetapi,

harus pula diakui bahwa ada pendapat lain yang lebih longgar di samping

kenyataan menunjukkan bahwa banyak kalangan keluarga ulama yang

terpandang wanita-wanitanya baik anak maupun istri tidak mengenakan

jilbab. Di Indonesia, lihatlah misalnya sebagian dari Muslimat Nahdatul

Ulama, atau Aisyiah. Tentu saja para ulama kedua organisasi Islam yang

trbesar di Indonesia itu memiliki alasan dan pertimbangan-

pertimbangannya, sehingga praktek yang mereka lakukan itu apalagi tanpa

teguran dari para ulama boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas

pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita

adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak

mengundang gangguan dari mereka yang usil.

M. Quraish Shihab perlu mengingatkan bahwa, kendati ditemukan

aneka pendapat tentang batas-batas aurat wanita, namun terdapat juga

beberapa ketentuan yang disepakati oleh para ulama dan cendekiawan

muslim, baik masa lalu maupun masa kini dalam hubungannya dengan

aurat dan pakaian wanita.16

B. Tafsir Al-Mishbâh M. Quraish Shihab

1. Latar Belakang Pemilihan Nama al-Mishbâh

16 M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah ( Jakarta : Lentera Hati, 2006),

cet. Ke-3, h. 179-180.

Page 38: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Karya besar tafsir M. Quraish Shihab yang satu ini di beri nama

“Tafsir al-Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian. Yang biasa disingkat

dengan Tafsir al-Mishbâh saja, penamaan Tafsir al-Mishbâh pada kitab

tafsirnya tentunya melalui pertimbangan yang masak. Yang mengetahui

alasan-alasannya hanyalah penulisnya saja. Walaupun secara eksplisit

Quraish tidak menyebutkan alasan penamaannya, namun hal tersebut dapat

dilacak dan dianalisis berdasarkan uraian-uraian yang diungkapkan pada

sambutannya atau sekapur sirih.

Dalam analisis Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA. Pada kata

pengantar Tafsir al-Mishbâh tersebut terdapat alasan pemilihan nama, al-

Mishbah ini paling tidak mencakup 2 (dua) hal, Pertama, pemilihan nama

itu berdasarkan pada fungsinya, al-mishbâh berarti lampu gunanya

menerangi kegelapan. Dengan pemilihan nama ini dapat diduga bahwa

Quraish mempunyai suatu harapan ingin memberikan penerangan dalam

mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang

mengalami kesulitan dalam memahami al-Qur’an secara langsung karena

bahasa.17

Kedua, pemilihan nama ini didasarkan pada awal kegiatan Quraish

Shihab dalam hal tulis-menulis di Jakarta. Pada tahun 1980-an, ia sebagai

pengasuh rubric “Pelita Hati”, pada Harian Pelita. Rupanya uraian yang

disajikannya menarik banyak pihak, karena memberikan nuansa yang

sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994,

17M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan dan Keserasian al-Qur’an ( Jakarta :

Lentera Hati, 2000), Vol. I, h. v-viii.

Page 39: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

kumpulan tulisannya itu diterbitkan oleh Mizan judul Lentera Hati, dari

sinilah nampaknya pengambilan nama al-Mishbâh itu berasal. Karena

Lentera paduan dari kata pelita atau lampu disebut dengan nama al-

Mishbâh; dan kata inilah yang kemudian dipakai oleh Quraish Shihab

untuk menjadikan karyanya.18

Pada akhir dari sekapur sirih yang terdapat pada Tafsir al-Mishbâh

volume I, M. Quraish Shihab menerangkan awal penulisan tafsir Al-

Mishbâh bertempat di Kairo Mesir, pada hari Jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420

H, bertepatan pada tanggal 18 Juni 1999 M. Kemudian diterbitkan untuk

pertama kalinya pada bulan Sya’ban bertepatan pada bulan November

2000 M. Oleh penerbit Lentera Hati, dicetak dengan hard cover terdiri dari

15 volume besar. 19

2. Sumber Penafsiran Al-Mishbâh

Yang dimaksud sumber penafsiran di sini adalah hal-hal atau

materi yang digunakan untuk menjelaskan makna dan kandungan ayat,

atau menurut M. Yunan Yusuf, yaitu cara seorang mufassir memberikan

tafsirannya, apakah menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan al-

Qur’an, al-Qur’an dengan al-Hadits, al-Qur’an dengan riwayat sahabat,

kisah Israiliyyăt, atau menafsirkan al-Qur’an dengan fikiran (ra’y).20

18 Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab

dalam jurnal Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 176-177. 19 M. Qurash Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (

Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. xii. 20 M. Yunan, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia abad keduapuluh, Jurnal Ulmul

Qur’an, Vol. III, No. 4, 1992, h. 51. Atau dalam Ishtilah Nashruddin Baidan, sumber ini adalah bentuk penafsiran. Lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), Cet. Ke-1, h. 9.

Page 40: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Dalam literature Ulum Qur’an, sumber penafsiran ini dapat dibagi

pada dua macam, yaitu penafsiran bi al-ma’tsûr, adalah penafsiran Qur’an

dengan al-Qur’an, al-Hadits, pendapat sahabat dan tabi’in.21 Sedangkan

penafsiran bi al-Ra’yî adalah penafsiran yang dilakukan dengan

menetapkan rasio sebagai titik tolak. Tafsir bi al-Ra’yî ini disebut juga

dengan tafsir bi al-Ijtihâd yaitu penafsiran yang menggunakan penalaran

akal.22

Berbicara tentang sumber penafsiran Al-Mishbâh, penulis

cenderung terhadap tafsir Al-Mishbâh dapat dikelompokkan pada

penafsiran tafsir bi Ra’yî. Kesimpulan seperti ini diambil dari pernyataan

penulis Tafsir Al-Mishbâh pada sekapur sirih pada Tafsir Al-Mishbâh

volume I. redaksi yang tulisannya sebagai berikut:

Akhirnya penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim ibn Umar al-Biqa’I (w. 885 H-1480 M ) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Al-Azhar Cairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir pemimpin Al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthâwi, juga Syekh Mutawallî asy-Sya’râwĭ, dan tidak ketinggalan

21 Muhammad Abd al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an ( Beirut : Isa al-Babi

al-Halabi ), Jilid I, h. 21. Lihat juga Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi-Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an ( Jakarta : Pustaka Lintera Antarnusa, 2004), Cet. VIII, h. 482. Adapun yang terakhir, yaitu pendapat Tabi’in para ulama ada yang memasukkannya ke dalam golongan tafsir bi al-Ma’tsur, ada pula yang memasukkannya ke dalam tafsir bi al-Ra’yi. Lihat Subhi Shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an ( Beirut : Dar al-Ilmu li al-Malayin, 1985), Cet. XVI, h. 291.

22 M. Quraish Shihab, et. Al, Sejarah Ulumul Qur’an ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999), Cet. I, h. 177. Tafsi bi al-ra’yi disebut juga tafsir bi al-diniyah atau tafsir bi al-maqul yaitu : penjelasan-penjelasan yang bersendi pada akal dan ijtihad, berpegang pada kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya. Lihat TM. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Penganyar Ilmu al-Qur’an ( Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 227.

Page 41: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Sayyid Quthub, Muhammad Thâhir Ibnu Asyǔr, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I serta beberapa pakar tafsir lainnya.23

Dari pernyataan beliau di atas, yang harus di garis bawahi yang

pertama bahwa sumber yang digunakan tafsir Al-Mishbâh adalah ijtihâd

penulis. Salah satu alasannya adalah adanya kecenderungan M.Quraish

Shihab menggunakan penalarannya. Yang kedua adalah dalam rangka

menguatkan ijtihadnya. Beliau menggunakan rujukan sumber-sumber

yang berasal dari riwăyah ( menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis

Nabawi, pendapat sahabat, dan pendapat dan fatwa ulama).

Sebagai contoh, adalah penafsiran terhadap Q.S. An-Nahl ayat 2 :

Artinya: “Dia menurunkan para malaikat dengan rûh atas perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu : “Peringatkanlah bahwa tidak ada tuhan melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” Ayat ini secara tegas menggunakan kata rûh. Dan rûh ini yakni

wahyu yang di bawakan oleh para malaikat. Kata malaikat (ملائكة) adalah

bentuk jamak dari kata (ملك) malak. Dari segi redaksional, ini berarti

bahwa yang menyampaikan wahyu Ilahi bukan hanya satu malaikat

tertentu. Para ulama memahami kata tersebut dalam arti seorang malaikat

yaitu malaikat Jibril as. Yang bertugas pokok menyampaikan wahyu.

23 M. Qurash Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta:

Lentera Hati, 2000), h. xii.

Page 42: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Bahwa ayat ini menggunakan redaksi yang berbentuk jamak, adalah untuk

mengisyaratkan betapa agung malaikat itu.

Bisa juga bentuk jamak itu tetap dalam pengertian jamaknya, dan

ini berarti bahwa wahyu Ilahi dapat saja disampaikan oleh beberapa

malaikat selain malaikat Jibril as. Namun demikian, perlu dicatat bahwa

para malaikat selain Jibril as. Tidaklah bertugas menyampaikan wahyu al-

Qur’an tetapi wahyu selain al-Qur’an, karena secara tegas QS. Asy-

Syu’ara [26]: 193 menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan oleh al-Rûh al-

Amĭn yakni malaikat Jibril as. Memang wahyu Allah bermacam-macam

dan ditujukan kepada banyak manusia, bahkan ada wahyu-Nya yang

berarti ilham antara lain yang diwahyukan kepada ibu Nabi Musa as. (QS.

Al-Qashash [28]: 7) dan juga kepada lebah seperti terbaca pada ayat 68

surah ini.

Dan kata (الروح) al-rûh oleh ayat di atas dipahami oleh ulama

adalah wahyu. Tuntunan-tuntunan Allah dinamai al-rûh karena dengannya

jiwa manusia hidup, sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa. Ini

serupa dengan penamaan kebodohan dengan kematian, atau ilmu dengan

cahaya. Tanpa melaksanakan bimbingan wahyu manusia tidak dapat hidup

sebagai makhluk terhormat bahkan jiwanya mati, sehingga ia terkubur

walau masih menarik dan menghembuskan nafas.24

3. Metode Penafsiran Al-Mishbâh

24 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta:

Lentera Hati, 2002), h. 182.

Page 43: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara

atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab

menerjemahkannya dengan tariqăt dan manhaj. Dalam kamus bahasa

Indonesia, kata tersebut mengandung arti “cara yang teratur dan berpikir

baik-baik untuk mencapai dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya; cara

kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna

mencapai suatu yang ditentukan.25 Dalam kaitan ini, maka metode tafsir

berarti system yang dikembangkan untuk memudahkan dan memperlancar

proses penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan.

Setiap mufassir memiliki metode yang berbeda dalam menafsirkan

al-Qur’an. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga

penulisan tafsir sampai tahun 1960, para ulama tafsir menafsirkan ayat-

ayat al-Qur’an secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam

mushaf. Penafsiran ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk al-Qur’an

secara terpisah serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan

menyeluruh.26

Al-Farmawi27 dan Hasan ‘Arid 28 membagi metode penafsiran ini

kepada empat macam, yaitu metode tahlîlî, ijmalî, muqarân, dan

25 Nashruddin Baidan, Metodologi penafsiran al-Qur’an ( Yogyakarta : Glagah

UHIV/343), Cet. I,h. 1. 26M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an ; Fungsi dan Peran Whyu dalam

Kehidupan Masyarakat ( Bandung : Mizan, 1994), h. 73. 27 Al-Farmawi adalah seorang guru besar pada Fakultas Ushuluddin al-Azhar. Beliau

pada tahun 1977 menerbitkan buku yang berjudul AL-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, dengan mengemukakan pembagian metode tafsir menurut perkembangannya. Lihat Abd Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir al-Maudhu’iy ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. II,h. 11-13.

28 Ali Hasan ‘Aridl, Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin ( Beirut : Dar al-I’tisam, tt), h. 47.

Page 44: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

maudhu’ĭ. Metode penafsiran yang dimaksud dalam sub bab ini adalah

metode penafsiran yang biasa digunakan dalam wacana Ulumul Qur’an

dan umumnya dipakai oleh ulama tafsir seperti yang disebutkan di atas.

Metode Tahlîlî ( Tafsir dengan Metode Tahlili ). Tahlîlî berasal

dari bahasa Arab hallala-yuhallilu-tahlĭl yang berarti “mengurai,

menganalisis”. Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat

al-Qur’an dengan memaparkan segala makna, aspek yang terkandung di

dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an Mushăf

Utsmânĭ. Dalam melakukan penafsiran, mufassir memberikan perhatian

sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang di

tafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap

bagian ayat. Mufassir menerangkan hubungan (munâsabah) baik antara

satu ayat dengan ayat lain maupun antara satu surah dengan surah lain.

Menjelaskan asbâb al- nuzûl ( sebab-sebab turunnya ayat). Menganalisis

mufradat (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab.

Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya, menjelaskan

hukum yang yang dapat di tarik dari ayat yang di bahas.29

Metode ijmâlî (global) adalah metode yang menyajikan penafsiran

secara global, dan singkat tapi mencakup, dengan bahasa popular, mudah

dimengerti, dan enak dibaca, sehingga terasa oleh pembacanya bagaikan

tetap berada dalam gaya kalimat-kalimat al-Qur’an. Kemudian metode

maudû’î (tematik) adalah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an

29 Prof. Dr. M. Quraish Shihab. dkk, Sejarah dan Ulumul Al-Qur’an ( Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2008), h. 172-173.

Page 45: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang

berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari

berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbâb al-nuzûl, kosa kata,

dan sebagainya. Kemudian metode muqaran (perbandingan) adalah

metode yang berupaya membandingkan satu ayat dengan ayat lain atau

dengan hadits Nabi Saw. Yang kelihatannya bertentangan, atau juga

membandingkan pendapat beberapa ulama yang bertentangan menyangkut

ayat-ayat tertentu.30

Kalau dilihat dari pemaparan metode yang digunakan oleh Quraish

dalam Tafsir al-Mishbah adalah metode tahlĭlĭ. Karena dapat dilihat dari

cara penafsiran yang terdapat dalam karya ini, yaitu dengan menjelaskan

ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat

dalam mushâf. Metode ini sengaja dipilih oleh penulisnya, karena ingin

mengungkapkan semua isi al-Qur’an secara rinci agar petunjuk-petunjuk

yang terkandung didalamnya dapat dijelaskan dan dipahami oleh

pembacanya.

Tapi walau demikian, sebenarnya Quraish Shihab juga tidak secara

otomatis meninggalkan yang lain. Karena pada banyak tempat beliau pun

memadukan metode tahlîlî ini dengan tiga metode lainnya, khususnya

metode maudû’î . Bentuk ini dapat dilihat dalam uraian seluruh ayat sesuai

dengan urutan mushaf tersebt, Quraish Shihab juga pertama-pertama

menafsirkannya secara global, kemudian mengelompokkan ayat-ayat

30 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an Karim M. Quraish Shihab; Tafsir atau Surah-

Surah Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), h. V.

Page 46: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

sesuai topiknya, lalu pada saat-saat tertentu beliau menyuguhkan

pendapat-pendapat ulama berkaitan dengan ayat yang sedang dibahas.

Sebagai contoh, penafsiran beliau terhadap surah al-Baqarah ayat

102 tentang sihir. Pertama-tama beliau menjelaskan sihir dan sejenisnya

itu sendiri (ini menggunakan metode ijmâlî dan tahlîlî). Penjelasan ini

dilengkapi dengan menampilkan pendapat-pendapat ulama tentang sihir

(menggunakan metode muqâran). Kemudian beliau menjelaskan sihir

yang dibicarakan al-Qur’an, dalam konteks uraian Fir’aun dan Nabi Musa

a.s., “Mereka menyihir/menyulap mata orang dan menjadikan orang

banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar

(menakjubkan)” (Q.S. Al-A’raf [7]: 116). Dalam ayat lain Allah

menyatakan menyangkut tali-temali dan tongkat-tongkat yang digunakan

oleh penyihir Fir’aun (Q.S Thaha[20]: 66), dan sihir itu sendiri

mempengaruhi jiwa manusia, dan memberikan dampak yang buruk.

Adapun ayat ini (Q.S. Thaha[20]: 69), isyarat yang kuat bahwa al-Qur’an

telah mengancam sihir melalui kisah Nabi Musa dan para penyihir Fir’aun.

Dan menjadi haram mempelajari sihir, karena sesuatu keburukan yang

lebih banyak dari pada kebaikannya adalah sesuatu yang tercela, bahkan

haram. (ini menggunakan metode maudu’î ).

Tetapi walau bagaimana pun, kalau penulis ingin berpedoman pada

empat macam metode penafsiran seperti yang telah disebutkan di atas,

maka penulis harus secara tegas memilih salah satunya, dan metode yang

paling pas dari tafsir Al-Mishbâh ini adalah metode tahlîlî.

Page 47: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

4. Corak (Laun) Penafsiran Al-Mishbâh

Dalam menafsirkan al-Qur’an para mufassir mempunyai

kecenderungan yang berbeda dalam karyanya. Terdapat beberapa corak

penafsiran, antara lain: Tafsir Falsâfî, Tafsir Ilmî, Tafsir Lughâwî, Tafsir

Fiqih, Tafsir Adab Ijtimâ’ĭ dan sebagainya.

Quraish Shihab menyebutkan enam corak tafsir yang sudah dikenal

hingga saat ini. Pertama, corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyak

orang non Arab yang memeluk Islam, serta akibat kelemahan orang Arab

sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan

keistimewaan dan kedalaman kandungan al-Qur’an. Kedua, corak filsafat

dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat di satu pihak dan

kepercayaan lama yang dibawa oleh pemeluk Islam baru. Ketiga, corak

penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan serta usaha

memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.

Keempat, corak fiqhî, akibat berkembangnya ilmu fiqih dan terbentuknya

mazhab-mazhab fiqih. Kelima, corak tasawuf akibat timbulnya gerakan-

gerakan sufi. Keenam, corak sastra budaya kemasyarakatan yang dirintis

oleh Muhammad Abduh. Yakni corak tafsir yang menjelaskan ayat-ayat

al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta

untuk menanggulangi masalah-masalah kemasyarakatan berdasarkan

Page 48: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

petunjuk al-Qur’an, dan menyampaikan dalam bahasa yang indah dan

mudah dipahami.31

Kitab tafsir yang berjumlah lima belas jilid ini mempunyai corak

penafsiran Adab Ijtimâ’î. M. Quraish Shihab menyatakan, yang dimaksud

dengan tafsir bercorak Adabi Ijtimâ’î ialah tafsir yang menitik beratkan

penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi al-Qur’an,

kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi

yang indah dengan menonjolkan tujuan dari tujuan diturunkannya al-

Qur’an, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan , lalu menggandengkan

pengertian ayat-ayat tersebut dengan hokum-hukum alam yang berlaku

dalam masyarakat dan pembangunan dunia32.

Penulis akan mengemukakan contoh tafsir yang bercorak al-adâbî

al-ijtimâ’î, contohnya yaitu tentang kapan bulan Ramadhan dimulai, dan

dalam uraiannya dikatakan bahwa puasa bulan Ramadhan sudah harus

dimulai apabila sudah ada yang melihat hilal baik secara mata kepala atau

dengan melalui perhitungan, maupun melalui informasi dari sekelompok

31 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 72. Sedangkan Al-Farmawi membagi

corak Tafsir ini kepada enam macam, yaitu : Tafsir bi al-Ma’tsur, tafsir bi al-Ra’yi, tafsir Sufi, tafsir Fiqhy, tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmy, dan tafsir Adab Ijtima’iy. Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-ra’y dikategorikan oleh beliau seperti halnya Adzahabi, pada corak tafsir, tidak seperti ulama yang lain mengkategorikannya pada sumber tafsir, seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Lihat al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I, h. 12-27. Adapun M. Ibrahim Syarif membagi corak tafsir ini kepada tiga macam yaitu: corak Hida’iy, corak Adabiy, dan corak Ilmiy. Corak Hida’iy adalah kecenderungan mufassir menjadikan kandungan hidayah al-Qur’an sebagai topic penafsirannya. Corak Adabiy adalah kecenderungan untuk mengungkapkan kemukjizatan al-Qur’an pada sisi bahasa dan sastranya. Sedangkan corak Ilmiy adalah kecenderungan seorang mufassir mengaitkan penafsiran nash-nash al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan. Lihat M. Ibrahim Syarif, Ittijahat al-Tajdid fi Tafsir al-Qur’an fi al-Mishr ( Mesir : Dar al-Turats, 1998), cet. 1, h. 309-627.

32 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh kajian masalah akidah dan ibadat. (Jakarta : Paramadina, 2002), cet. 1,h. 110.

Page 49: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

orang yang dapat dipercaya. Sebagaimana Quraish Shihab menulis sebagai

berikut:

Dimanakah bulan itu dilihat oleh yang melihatnya? Di kawasan tempat ia berada. jawaban yang sangat membatasi jangkauan penglihatan. Kelompok Ulama di bawah koordinasi Organisasi Konferensi Islam menetapkan bahwa di mana saja bulan dilihat oleh orang terpercaya, maka sudah wajib puasa dan berlebaran atas seluruh umat Islam, selama ketika melihatnya, penduduk yang berada di ilayah yang di sampaikan kepadanya berita kehadiran bulan itu, masih dalam keadaan malam. Jika selisih waktu antara satu kawasan dan kawasan lain belum mencapai jarak yang menjadikan perbedaan terjadinya malam di satu kawasan dan siang di kawasan lain, dalam keadaan seperti itu puasa telah wajib bagi semua. Selisih waktu antara Jakarta dan Saudia Arabia atau Mesir, tidak lebih dari empat atau lima jam. Awal malam di Timur Tengah belum lagi tengah malam di Jakarta. Jika terlihat bulan di Timur Tengah, masyarakat muslim Indonesia sudah wajib berpuasa. Ini berbeda dengan beberapa wilayah di Amerika Serikat dengan Indonesia. Perbedaan waktu dapat begitu panjang antara kedua wilayah ini sehingga ketika matahari terbit di sini, bisa jadi ia telah terbenam di sana, sehingga orang Indonesia yang melihat bulan maka masyarakat muslim di Amerika belum wajib berpuasa. Demikian sebaliknya. Tetapi jika masyarakat muslim di Mekkah melihatnya, baik masyarakat muslim di Indonesia mauun di Amerika kesemuanya telah wajib berpuasa.33

Melihat contoh di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa dalam

menafsirkan ayat, M. Quraish Shihab menggunakan corak Adâb Ijtimâ’I,

yakni berusaha memberikan suatu sumbangan pemikiran terhadap

permasalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat.

5. Sistematika Penulisan al-Mishbâh

Untuk memudahkan pembaca dalam penulisan suatu karya,

biasanya seorang penulis menggunakan suatu system yang dapat

memudahkan penulis menyusun karya tersebut. Setiap penulis menganut

33 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (

Jakarta: Lentera Hati, 2009), vol. II, h. 488-489.

Page 50: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

system yang berbeda-beda sesuai kecenderungan masing-masing. Tidak

berbeda dengan tafsir al-Mishbâh juga menggunakan sistematika

penulisan yang dapat dikatakan berbeda dengan karya tafsir sebelumnya.

Jika dikelompokkan berdasarkan sistematika yang sering

digunakan oleh penafsir al-Qur’an kita dapat membaginya menjadi dua

bagian. Pertama, Sistematika penyajian penulisan tafsir berdasarkan urutan

surah yang ada dalam mushâf standar. Kedua, sistematika penulisan yang

mengacu pada urutan turunnya wahyu-wahyu.34 Dalam hal ini Tafsir al-

Mishbâh termasuk dalam kelompok pertama. Berikut ini adalah

sistematika penulisan Tafsir al-Mishbâh :

a. Kitab tafsir ini dimulai dengan pengantar penulis yang diberi judul

“sekapur sirih” yang berisikan penjelasan penulisan mengenai latar

belakang penulisan tafsir ini.

b. Pada setiap awal penulisn surah diawali dengan pengantar mengenai

penjelasan surah yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang

jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surah, nama

lain surah dan lain sebagainya. Terutama surah al-Fatihah,

keterangannya tampak diuraikan secara panjang lebar. Hal ini dapat

dimaklumi karena surah ini sebagai pembuka dan merupakan induk al-

Qur’an. Dalam al-Fatihah terkandung intisari isi al-Qur’an secara

keseluruhan.

34 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi (

Jakarta : Teraju, 2003), h. 222.

Page 51: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

c. Quraish Shihab sangat memberi penekanan pada munasabah

(keserasian) antara ayat-ayat dan surah dalam al-Qur’an. Maka dalam

memulai bahasan sebuah surah, Quraish Shihab tidak lupa

menyertakan keserasian antar surah yang dibahas dengan surah

sebelumnya. Pada munasabah ayat (keserasian ayat) ini, Quraish

sangat terpengaruh oleh Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’ĭ (809-889H),

dalam bukunya Nazm al-Durâr fi Tanâsub al-Ayat wa Suwâr, seorang

tokoh ahli tafsir yang pernah dikajinya saat beliau menulis disertasi35.

d. Penulisan ayat dalam tafsir ini, sebagaimana yang diakui oleh Quraish

dalam pengantarnya, dikelompokkan dalam tema-tema sesuai

urutannya, pengelompokkan ayat-ayat berdasarkan tema tanpa ada

batasan yang tertentu jumlah ayat yang ditempatkan pada kelompok

yang sama. 36 demikian dilakukan sebagai konsekwensi logis terhadap

kecenderungan terhadap metode maudu’ĭ dan ketidakcocokannya

terhadap metode tahlîlî. Namun pengelompokkan dalam tafsir ini

hanya dititikberatkan pada pengelompokkan nomor ayat.

e. Dan diikuti terjemahannya37, ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan

pemahamannya sendiri. Artinya beliau tidak berpedoman pada salah

35 Al-Biqa’I nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Ribat bin Ali bin

Abi Bakar al-Syafi’I, dilahirkan di desa Kharbah, sebuah desa yang terletak di lembah Biqa’ dekat Damaskus (Syiria) pada awal abad ke-9 H. Tepatnya pada tahun 809 H/ 406 M. Lihat Umar Khalah, Mu’jam al-Muallifin (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi), Vol. I, h. 71.

36 Misalnya surah Al-Baqarah dibagi menjadi dua puluh tiga kelompok, dan masing-masing kelompok jumlah ayatnya tidak seragam, seperti kelompok pertama (ayat 1-20), kelompok kedua (21-29), dan seterusnya.

37 Dan mukaddimah yang dituangkan pada setiap volume, Istilah “terjemahan al-Qur’an digunakan oleh Quraish hanya mendekatkan pemahaman pembaca. Oleh sebab itu, beliau sendiri

Page 52: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

satu terjemahan al-Qur’an (seperti terjemahan fersi Depag). Oleh

karena itu, tidak jarang ditemukan terjemahan al-Qur’an di dalam

tafsirnya, berbeda dengan terjemahan yang tersebar luas di

masyarakat.38

f. Kemudian langkah selanjutnya, Quraish menjelaskan kandungan ayat

demi ayat secara berurutan. Kemudian beliau memisahkan terjemahan

makna al-Qur’an dengan sisipan atau tafsir melalui penulisan

terjemah-maknanya dengan italic letter (tulisan miring), dan sisipan

atau tafsirnya dengan tulisan normal (tegak). Kadang-kadang juga

beliau menghadirkan penggalan teks ayat, baik berupa kata(kalimat)

atau frase (kelompok kata), kemudian menjelaskan makna kata

terbut.39

g. Penulisan uraian kosa kata pada tafsir ini hanya yang dipandang perlu

saja untuk menhindari bertele-telenya penjelasan kosa kata dan

kaedah-kaedah yang disajikan.

tidak setuju dengan “alih bahasa” ke bahasa yang lain, yang disebut “terjemahan al-Qur’an” apalagi “al-Qur’an dan terjemahnya”. Menurut Quraish , hal itu lebih tepat disebut atau dipahami sebagai terjemahan makna-makna al-Qur’an. Lihat “sekapur sirih” Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol I, h. x.

38 Kadang-kadang Quraish melakukan kritik atas satu bentuk terjemahan dan sekaligus mengutarakan bentuk terjemahan (terjemahan makna-makna al-Qur’an dalam istilah Quraish). Contohnya ketika beliau menerjemahkan kalimat “aqimu al-salah” yang biasa diterjemahkan dengan “dirikanlah shalat”, beliau katakan bahwa terjemahan ini keliru, karena kata aqim bukan terambil dari kata qama yang berarti “berdiri”, tetapi dari kata qawama yang berarti “melaksanakan sesuatu dengan sempurna dan berkesinambungan berdasarkan hak-haknya”. Lihat M. Quraish Shihab, al-Mishbah…., Vol. I, h. 90.

39 Kelihatan hal ini dilakukan ketika kata tersebut dapat menunjukkan beberapa arti. Lihat Quraish, al-Mishbah…, Vol II, h. 398.

Page 53: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

h. Penulisan ayat al-Qur’an selain yang dibahas dan penukilan sunnah

Nabi saw, hanya ditulis terjemahannya saja.

Demikianlah sistematika penulisan Quraish Shihab dalam karyanya

ini. Jika di lihat susunannya yang demikian, dapat dikatakan bahwa hal ini

merupakan cara baru yang diperkenalkannya. Sebab dalam karya tafsir

sebelumnya, seperti Tafsir an-Nur karya Hasbi ash-Shiddiqie, Tafsir al-

Azhar karya Hamka, Al-Qur’an dan Tafsirnya yang diterbitkan oleh UII,

cenderung untuk menulis setiap ayat atau hadis yang dijadikan rujukan

atau tambahan penjelasan pasti dengan tulisan Arab, karena hal ini juga

dapat disebut sebagai suatu ciri khas Tafsir al-Mishbâh.

Page 54: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

BAB III

INTERPRETASI TENTANG RÛH

A. Pengertian Rûh secara Bahasa dan Istilah

Dalam Al-Qur’an ada istilah rûh, rûh al-Kudûs dan rûh al-amîn,

rûh dalam arti jiwa. Ada yang bertanya kepada Nabi Saw tentang rûh.

Beliau disuruh menjawabkan rûh itu urusan Tuhan dan kamu hanya diberi

pengetahuan sedikit tentang rûh.

Dalam kamus Al-Munawwir kata-kata rûh dan bentuk jamaknya

arwăh mempunyai arti: Rûh, Jiwa, ataupun Sukma. Sedangkan kata rǔh

dalam tunggal (mufrad/singular) memiliki beberapa arti, sesuai dengan

penggunaannya. Rûh adakalanya bermakna wahyu (Al-Qur’an), malaikat

لملاكا ) ) secara umum bermakna Malaikat Jibril ( القدوس rûh juga ,( روح

dapat bermakna intisari atau hakekat. Di sini rûh yang dimaksud adalah

rûh yang bersifat ruhani spiritual yang oleh Warsun Munawwir sebagai (

) yang bersifat immateri memiliki keagungan ( الخلاصة ( الروح الدینى

ataupun dari nilai agamis.40

Secara bahasa dalam kamus besar bahasa Indonesia diterjemahkan

sebagai sesuatu yang tidak berbadan jasmani, yang berakal dan

berperasaan ( seperti: Malaikat, dari sini dapat dikatakan bahwa rûh adalah

sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani yang bersifat immateri,

40 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia ( Surabaya: Pustaka Progresif,

1997), h. 545.

Page 55: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

yang memiliki akal dan perasaan, serta memiliki nilai-nilai agamis, yang

mampu membawa pemiliknya kearah kehidupan kerohanian.41

Sedangkan Javad Nurbakhsy berpendapat bahwa rûh adalah lapisan

hati yang menikmati titik pandangan cahaya Allah, yang pada bagian itu

memperlihatkan wujudNya tanpa tabir penghalang. Hati merupakan kulit

kerang dan rûh adalah mutiara. Bila jiwa mencapai perkembangan rûh, dia

akan memperoleh kehidupan dari sifat yang maha hidup dan menjadi

esensi dari semua hal melalui sifat Yang Maha Kekal.42

Menurut Quraish Shihab, kata rûh merupakan salah satu kata

turunan dari akar kata ra, waw, dan ha. Dari akar kata tersebut terbentuk

kata kerja masa lampau, râha (راح ). Kata kerja tersebut mempunyai

bentuk kata kerja masa kini (fiil mudhâri) dan mashdâr. Perbedaan bentuk

mudhâri dan mashdâr itu berakibat pada perbedaan makna.

Perbedaan bentuk itu, pertama, râha-yarûhu-rawâhan ( یروح -راح –

.yang berarti pergi pada waktu petang, di gunakan di dalam QS ( رواحا

Saba’ (34): 12. Kedua, râha-yarûhu-rauhan ( -dan râha ( روحا - یروح – راح

yarâhu-rîhan ( ریحا - یراح-راح ) yang jika diikuti al-yaum (الیوم= hari) berarti

bahwa’pada hari itu banyak berhembus angin’. Ketiga, râha- yarâhu-

râhatan ( yang berarti ‘berbau harum’, dan dari bentuk ini ( راحة- یراح-راح

41 Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen P&K ( Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h.

845. 42 Sudirman Tebba, Ruh Misteri Maha Dahsyat ( Ciputat : Pustaka Irvan, 2008), h. 38.

Page 56: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

diperoleh kata raihân ( yang berarti ‘tumbuh-tumbuhan yang ( ن ریحا

berbau harum’, seperti tersebut di dalam Q.S. Ar-Rahman [55]: 12. 43

Kata rûh berasal dari r-w-h, timbul pula kata jadian rûh. Pada

pokoknya ada dua makna yang diberikan pada kata ini oleh Hanna E.

Kassis. Pertama adalah rûh kudûs (Holy Spirit) dengan menggandengkan

kata al-ruh dengan al-quds, dan kedua, “jiwa” atau “nyawa” yang dalam

bahasa Inggrisnya adalah spirit.

Dalam concordance of the Qur’an, Hanna E. Kassis memberikan

pengertian arti kata sebagai berikut:

1. Râha departure ( keberangkatan ) going ( sedang pergi ) leaving

(meninggalkan), evening course (perjalanan senja), repose (istilah tidur,

ketenangan), comfort (kenyamanan, kesenangan), refresh (penyegaran).

2. Rĭh: wind (angin), power (kekuatan, daya), scent (bau, aroma).

3. Rahyâ-n: ease (kesenangan, ketentraman, kesantain); fragrant herb

(ramuan yang wangi, sedap, harum, semerbak).

4. Rǔh: spirit (semangat, daya, hidup); Holy Spirit (Roh Kudus).44

Makna kata-kata di atas dapat diketahui lebih jelas jika melihat

kepada ayat-ayat yang memuat setiap kata di atas. Seperti dalam al-Qur’an

surat Saba’ 34: 12 memuat dua di antara kata-kata jadian di atas yang

berbunyi:

43 M. Quraish Shihab, dkk., Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata ( Jakarta : Lentera Hati, 2007), Cet. 1, h. 839.

44 Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci ( Jakarta : Paramadina, 1996), cet. 1, h. 229.

Page 57: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

“Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala”.

Dalam ayat di atas dapat dipetik dua kata, yaitu “rĭh” yang berarti

angin, dan “rawâh” yang maksudnya adalah perjalanan sore. Kata ini juga

disebut dalam al-Qur’an surat al-Anbiya 21:81 yang juga melukiskan

kemampuan dan kekuatan Nabi Sulaiman.

Dalam al-Qur’an surat Yusuf 12:87 muncul makna lain sehubungan

dengan kata rauh. Ini menyangkut kisah Nabi Yusuf yang dicelakakan

saudara-saudaranya di sebuah sumur. Ayahnya, Nabi Ya’qub menyuruh

anak-anaknya itu tetap mencari Yusuf, yang sangat dikasihi itu. Sejak

kehilangan anaknya itu, Ya’qub demikian sedihnya dan terus menangis

sehingga matanya putih. Ketika anak-anaknya mencela sikap ayah mereka

yang terlalu mengasihi Yusuf sehingga membutakan matanya (karena

sedihnya) itu, Ya’qub menjawab:

Page 58: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

“Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.".Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".

Dalam ayat di atas kara raûh dapat diartikan dengan kemurahan.

Jadi dengan demikian, maka Ya’qub dalam ayat di atas menasihati anak-

anaknya agar tidak berputus asa dari kemurahan Allah.45

Di samping itu al-Ghazăli membagi rûh menjadi dua macam.

Pertama , berarti rûh hewani, yakni jauhar yang halus yang terdapat pada

rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak

dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh, seperti

menghubungkan cahaya yang melimpah ke seluruh ruangan. Kedua,

berarti nafs nathîqah, yakni sesuatu yang memungkinkan manusia

mengetahui segala hakikat yang ada. Dalam hal ini al-Ghazâlî,

sebagaimana juga Mahmûd Syaltût, menyamakan rûh dengan al-qalb.

Inilah yang dimaksud dalam firman Allah swt yang artinya: “Katakanlah,

bahwa rûh itu urusan Tuhanku”. (QS. Al-Isra’ : 85).46

B. PENGERTIAN JIWA (NAFS)

Nafs secara bahasa berasal dari kata nafasa ( نفس ) yang berarti

bernafas, artinya nafas keluar dari rongga. Kemudian arti kata itu

berkembang sehingga ditemukan arti-arti yang beraneka ragam seperti

45 45 Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep

Kunci ( Jakarta : Paramadina, 1996), cet. 1, h. 229. 46 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994), cet. 3, jilid

3, h. 175.

Page 59: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

‘menghilangkan’, ‘melahirkan’, ‘bernafas’, ‘jiwa’, ‘rûh’, ‘darah’,

‘manusia’, ‘diri’, dan ‘hakikat’.

Nafs menurut Prof. Dawam Rahardjo dalam bahasa Indonesia yang

berarti nafsu, menurutnya mempunyai kesan negative karena berkonotasi

seksual. Padahal kata asalnya, al-nafs bersifat netral. Nafsu menurut

Dawam juga tetap merupakan sebuah ciri dari manusia. Kalau seseorang

kurang mengandung nafsu, orang itu dianggap mempunyai kekurangan

atau bahkan tidak normal, kareana merupakan faktor penting dalam

kehidupan seseorang yang mendorong perubahan dan kemajuan. Dalam al-

Qur’an nafs yang berarti ‘nafsu’ yaitu daya yang menggerakkan manusia

untuk memiliki keinginan atau kemauan, terdapat dalam Qs. Yusuf [12]:

53.

"Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang."

Menurut Abû Hâmid al-Ghazâlî, kata nafs mengandung dua arti :

1. Jiwa yang menyatukan antara daya amarah dengan daya nafsu, jiwa

yang selalu mendorong kepada kejahatan ( al-nafs al amârah bi al-

sû’).

2. Jiwa dan esensi manusia yang dirujuk sebagai ammârah bi al-sǔ’,

lawwâmah ( yang selalu mencela diri sendiri, menolak perbuatan

Page 60: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

buruk) atau muthma’innah, tergantung pada keadaannya dalam

hubungan kepada Tuhan.

Menurut Robert Frager, sufi dan psikolog, berpendapat bahwa kata

nafs kadang diterjemahkan sebagai ego atau jiwa. Nafs merupakan proses

yang dihasilkan oleh interaksi ruh dan jasad, ketika ruh memasuki jasad, ia

terbuang dari asalnya yang bersifat immateri, kemudian nafs pun mulai

terbentuk. Dengan demikian ruh pun menjadi terpenjara di dalam materi

dan menyerap aspek-aspeknya.47

Al-Ghazălĭ membagi jiwa atas tiga macam, yaitu jiwa nabati (an-

nafs an-nabâtiyah), jiwa hewani (an-nafs al-hayawâniyah) dan jiwa insani

( an-nafs al-insâniyah).

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang

hidup dari segi makan, tumbuh dan berkembang. Jiwa hewani adalah

kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui

hal-hal yang kecil dan bergerak dengan irâdat (kehendak). Sedangkan jiwa

insani adalah kesempurnaan awal dari benda yang hidup dari segi

melakukan perbuatan dengan potensi akal dan fikiran serta dari segi

mengetahui hal-hal yang bersifat umum. Jiwa insani inilah yang

dinamakan dengan rûh.48

Dari beberapa keterangan yang telah dipaparkan di atas dapat di

tarik kesimpulan bahwa rûh dan jiwa itu merupakan sesuatu yang

47 Sudirman Tebba, Ruh Misteri Mahadahsyat ( Jakarta: Pustaka Irvan, 2008), h. 10-11. 48 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994), cet. 3, jilid

3, h. 174.

Page 61: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

eksistensinya diakui dan tidak diragukan lagi. Tapi keduanya mempunyai

persamaan, yaitu abstrak dan berada dalam jasad yang satu sama lain

saling berhubungan. Ada satu keistimewaan bagi rûh dan jiwa, yaitu tidak

lenyap atau hancur dengan mati dan hancurnya jasad.

C. Rûh dalam Perspektif Ulama dan Filosofis.

a. Apa Hakikat Rûh ?

Kalangan Ulama berbeda pendapat mengenai hakikat rûh. Hakikat

rûh merupakan fokus tubuh manusia dan dasar hidupnya. Sebab, itu adalah

hal yang paling rumit yang tidak dapat diingkari oleh seorang pun. Rasa-

rasanya otak menjadi keluh ketika berusaha menyingkapnya dan hampir

saja ia tidak diketahui kecuali dengan wahyu.

Ibnu Qayyim berpendapat bahwa rûh yang dipertanyakan itu adalah

rûh yang telah Allah SWT beritahukan dalam kitab-Nya bahwa ia akan

bangkit pada hari kiamat bersama para malaikat. Beliau mengatakan :

karena mereka bertanya kepada Nabi saw tentang suatu masalah yang

tidak akan diketahui kecuali dengan wahyu. Itulah rûh yang ada disisi

Allah yang tidak diketahui oleh manusia.

Abu syaikh dan selainnya meriwayatkan melalui jalur ‘Atha yang

berkata bahwa rûh yang dipertanyakan adalah seorang malaikat yang

mempunyai sepuluh ribu sayap. Dua sayap darinya besarnya antara timur

dan barat. Dan ia mempunyai seribu wajah dimana pada setiap wajah

Page 62: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

terdiri dari mulut, kedua mata, dan dua bibir yang bertashbih kepada Allah

swt sampai hari kiamat.49

Imam Alusi berpendapat bahwa rǔh hakikat sederhana yang non

materi, yang ada dengan perintah Allah SWT dan kehendak-Nya serta

penciptaan-Nya dimana Dia menjadikannya hidup dalam jasad. Tidak ada

keharusan untuk di singkap hakikat-hakikatnya yang khusus karena

banyak dari benda hakikatnya misterius. Karena itu, perihal keadaannya

yang misterius tidak harus kemudian ia mesti dinafikan. Ini tersirat dalam

firma-Nya, “Dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit”.50

Sedangkan Al-Răzĭ mengatakan, ada seseorang bertanya, apakah

rǔh itu? Apakah ia merupakan benda-benda yang berada di dalam tubuh

manusia yang berasal dari percampuran dari berbagai unsur atau karakter,

ataukah ia merupakah campuran itu sendiri? Ataukah ia merupakan suatu

wujud yang mengubah tubuh atau mempengaruhinya?

Allah SWT menjawab: Bahwa rǔh adalah suatu wujud yang dapat

mengubah tubuh-tubuh ini. Yang demikian itu karena tubuh-tubuh ini

terjadi dari berbagai percampuran dan unsur, adapun rǔh tidak demikian.

Rûh adalah esensi yang sederhana yang independen, dimana ia tidak akan

terwujud kecuali dengan adanya firman-Nya, “ Jadilah! Maka jadilah ia”.

Rûh adalah sesuatu wujud yang terjadi dengan perintah Allah dan

49 Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi al-Baghdadiy, Ruh al-Ma’aniy ( Beirut : Dar al-Fikr

), jilid. 15 h. 219. 50 Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi al-Baghdadiy, Ruh al-Ma’aniy ( Beirut : Dar al-Fikr

), jilid. 15 h. 223.

Page 63: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

penciptaan-Nya serta pengaruh-Nya dalam membuat kehidupan pada jasad

ini. Dan tidak diharuskan ketidaktahuan tentang hakikatnya yang khusus

mengakibatkan penafiannya karena banyak dari hakikat yang tidak

diketahui oleh manusia. Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya, “ Dan

kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit.”51

Dalam surat al-Isra’ ayat 85, yang menjadi sentral perdebatan

ulama dengan pendapatnya yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan

jibril, yang lain nabi Isa a.s, al-Qur’an, malaikat, dan ada juga rûh yang

ada dalam tubuh manusia. Tentang pendapat ini al-Qurthubi berkata:

“Yang jelas adalah samarnya makna ruh dalam ayat tersebut, dan ini menunjukkan bahwa penciptaan ruh merupakan perkara yang amat besar. Oleh Allah ruh sengaja disamarkan dan tidak diperjelas agar manusia diyakinkan akan ketidak mampuannya mengetahui hakikat dirinya sendiri, padahal ia mengetahui jika ruh ada dalam dirinya…52

b. Apakah Rûh itu sifatnya Qadîm Ataukah Hadîts ?

Imam Alusi memberikan jawaban : bahwa Rûh adalah sesuatu yang

baru (hadĭts) yang terjadi dengan perbuatan Allah dan penciptaan-Nya.

Dan firman-Nya, “Dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit.” Sebagai

bukti atas kebaruannya. Yakni bahwa rûh dipermulaan penciptaan sunyi

dari ilmu dan ma’rifah lalu ia memperolehnya. Kemudian ia mengalami

51 Fakhr Ad-Din al-Răzĭ, Mafatih al-Gaib ( Mesir : Maktabah al-Qur’an,tt), jilid. 21, h.

37-38. 52 Al-Qurthubĭ, Al- Jămi’ liahkăm al-Qur’an ( Kairo: Dar al- Kătib al- Arăbiah li al-

Tibăh wa al-Nasyr, 1967), Jilid. 9, h. 324.

Page 64: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

perubahan demi perubahan yang tentu ini merupakan tanda bahwa ia

adalah sesuatu yang baru.53

Al-Râzi pun membrikan jawaban yang sama, bahwa rûh adalah

sesuatu yang baru (hâdits) , namun ia terjadi dengan perbuatan Allah dan

penciptaan-Nya. Kemudian Al-Qur’an mempertegas kebaruan rûh dengan

firman-Nya, “Dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit.” Yakni bahwa

rûh pada permulaan fitrah menjadi sesuatu yang kosong dari ilmu dan

ma’rifah sehingga menetaplah di dalam ilmu dan ma’rifah. Jadi rûh

berubah ke wujud yang lain, suatu keadaaan ke keadaaan yang lain. Dan ia

berganti dari kekurangan menuju kesempurnaan. Perubahan dan

pergantian adalah karakter dari sesuatu yang baru.54

Ibnu Qayyim dalam kitab-Nya al-Rûh mengatakan, masalah ini tak

pernah dibicarakan seorang ulama pun, sehingga banyak golongan

manusia yang tersesat. Namun Allah memberikan petunjuk kepada orang-

orang yang mengikuti Rasul-Nya sehingga mendapat kebenaran yang

nyata. Semua Rasul sepakat bahwa ruh itu adalah baru dan berupa

makhluk (sesuatu yang diciptakan), dibuat, diatur, dan dikuasai. Zaman

sahabat, Tabi’in dan para pengikut mereka sudah berlalu, yang merupakan

kurun waktu penuh keutamaan, tanpa ada perbedaan pendapat di antara

mereka, bahwa rûh itu adalah baru (hădits) dan diciptakan, sampai

kemudia muncul orang-orang yang pemahamannya tentang Al-Kitâb dan

53 Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi al-Baghdadiy, Ruh al-Ma’aniy ( Beirut : Dar al-Fikr

), jilid. 15 h. 223. 54 Fakhr Ad-Din ar-Razi, Mafatih al-Gaib ( Mesir : Maktabah al-Qur’an,tt), jilid. 21, h.

39.

Page 65: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

As-Sunnah sangat dangkal, sehingga mereka beranggapan bahwa rǔh itu

lama dan tidak diciptakan.

Mereka berhujjah bahwa rûh itu termasuk urusan Allah, sementara

urusan-Nya bukan termasuk makhluk. Disamping itu menurut mereka,

Allah menggabungkan rûh itu kepada Adam, sebagaimana Dia

menggabungkan ilmu, kekuasaan, pendengaran, penglihatan dan tangan-

Nya kepada Adam.55

c. Apa Perbedaan Rûh dan Jiwa?

Para Ulama saling berbeda pendapat tentang masalah ini. Menurut

Al-Ashfahani, rûh merupakan nama induk dari nafs (jiwa). Artinya, nafs

merupakan bagian dari rûh, atau nafs merupakan species dan rûh adalah

genus. Didalam pengertian umum, kata rûh berarti unsur yang dengannya

dapat terjadi hidup, gerak, usaha mencari yang baik dan menghindari

bahaya. Muhammad Isma’îl Ibrâhîm didalam Mu’jâm juga menempatkan

kata rûh sebagai kata turunan dari răha (راح). Menurutnya, rûh adalah

unsur yang menjadikan nafs (jiwa) dapat hidup. Artinya, ia merupakan

salah satu kelengkapan makhluk berjiwa. Selain itu kata tersebut dapat

berarti ‘wahyu’ dan ‘malaikat’.56

Antara rûh dan jiwa terdapat keterkaitan yang erat. Kata jiwa

dalam bahasa Arab terambil dari kata nafs (نفس). Dan dari segi

kebahasaan, Ibn al-Manzǔr menyebutkan bahwa kata “al-rûh” (الروح) dan

55 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ar-Ruh li Ibnil Qayyim ( Beirut : Dar al-Qalam, 1403), cet.

2, h. 249. 56 M. Quraish Shihab dkk., Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera

Hati, 2007), h. 839-840.

Page 66: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

“an-nafs” (النفس) memiliki arti yang sama. Hanya saja rûh adalah

mudzakkar (maskulin), sedangkan nafs adalah mu’annats (feminine).57

Perbedaan antara jiwa dan rûh juga dijelaskan oleh Mustafa

Mahmud, dalam bukunya “Al-Qur’an dan kehidupan”, beliau mengatakan

bahwa yang merasakan mati itu adalah jiwa, bukan rûh. Dengan

mengambil firman Allah dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 185 sebagai

dalil yang berbunyi:

...

Artinya: Tiap-tiap yang mempunyai jiwa akan mengalami mati (QS. Ali Imran : 185) Kemudian dia menambah lagi bahwa jiwa itulah yang tertuduh

dengan tuduhan-tuduhan kebakhilan, was-was, ragu, fujur, dan cenderung

kepada perbuatan buruk. Namun ia mampu menjadi bersih. Maka ada sifat

lawwâmah, muthmainnah, radhiyah, dan mardhiyyah.

Dalam tasawuf Islam, para sufi mengatakan “al-nafs” sebagai

sumber moral yang tercela, dan ruh adalah sumber kehidupan dan sumber

moral yang baik. Di samping itu juga, rûh merupakan sesuatu yang halus,

bersih dan bebas dari pengaruh hawa nafsu yang merupakan rahasia Allah

yang hanya bisa diketahui oleh manusia tertentu setelah Allah memberikan

kasyf (gambar yang terbayang) padanya. Begitu juga hampir sama dengan

pendapat di atas, ahli sufi juga membedakan arti nafs dan ruh dari segala

segi dan fungsinya. Al-nafs berkarakter insani, sedangkan rûh lebih

57 Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab ( Beirut : Dar as-Shadar, 1994), jilid 2, cet. 3, h. 389.

Page 67: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

berkarakter Ilahi. Keduanya saling berpacu untuk menguasai Qalb (hati)

yang diartikan sebagai wadah untuk ma’rifat atau suatu alat untuk

mengetahui hal-hal yang bersifat ilahiah, karena kemenangan bisa

diperoleh silih berganti pula tergantung kekuatan fungsi masing-masing.58

kaum sufi mengatakan bahwa nafs merupakan asal-muasal

manusia. Namun ketika ia “diasah” dengan riyâdhah (olah rohani) dan

berbagai zikir dan tafakur maka ia menjadi rûh, bahkan kemudian ia

terkadang dapat naik ke tingkat yang tertinggi di mana ia dapat menjadi

sirr (rahasia) dari rahasia-rahasia Allah SWT.

Ibn Qayyim al-Jauziyah menjelaskan mengenai masalah ini. Ada

beberapa pendapat yang disebutkan beliau tentang samakah ruh dengan

jiwa, yaitu antara lain :

1. Menurut mazhab jumhur ulama, rûh dan jiwa itu sama dalam

istilahnya.

2. Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa manusia itu mempunyai

hidup, rûh dan jiwa. Jika manusia tidur, keluarlah jiwa sadarnya tetapi

tidak meninggalkan jasadnya. Ia keluar seperti benang halus yang

terbentang dan memiliki sinar. Di waktu manusia bermimpi, maka

yang melihat sesuatu adalah jiwa sadar yang keluar itu. Kemudian ia

kembali dan memberitahukan kepada rǔh. Demikianlah hingga pagi ia

menyadari bahwa telah bermimpi begini dan begitu. Sedangkan

58 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994), cet. 3, jilid

3, h. 174.

Page 68: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

kehidupan dan rǔh berada di dalam jasadnya, bernafas dan berbolak-

balik. Jika dia begerak, maka jiwa itu secepat kilat kembali kepadanya,

lebih cepat dari kerdipan mata. Jika Allah hendak mematikannya di

dalam tidur, maka dia memegang jiwa yang keluar itu.”

3. Abu abdillah bin Mundah berkata, “mereka saling berbeda pendapat

tentang ma’rifat rûh dan jiwa. Sebagian berpendapat, jiwa itu bersifat

liat dan memiliki unsur api. Sementara rûh memiliki unsur api dan

rohani. Yang lain berpendapat, bahwa rǔh itu bersifat ketuhanan dan

jiwa itu bersifat kemanusiaan, yang dengan tabiat ini manusia diuji.”

4. Ahlu Atsar mengatakan bahwa rûh bukan jiwa dan jiwa bukan rûh.

Jiwa adalah bentuk penghambaan dan tidak ada musuh utama bagi

anak Adam kecuali jiwanya sendiri. Ia cinta kepada dunia, karena ia

merupakan kumpulan hawa nafsu dan syahwat. Rûh bertindak

memberi dorongan, pengaruh, motivasi dan meluruskan jiwa itu untuk

senang dan cinta kepada akhirat. Tapi setan selalu memanjakan hawa

nafsu dan mempengaruhi jiwa. Sedangkan rûh dipengaruhi oleh

malaikat, maka kepada rûh lah hidayah dan taufik Allah ditujukan.

5. Sedangkan Ibnu Qayyim menyatakan bahwa rûh itu tidak mati dengan

matinya badan, tetapi ia terpisah dan melepaskan diri dari badan. Dan

rûh itu adalah sesuatu kekuatan mengenal Tuhan dan kembali kepada-

Nya, sedangkan jiwa adalah sesuatu zat yang bulat (totalitet) tercakup

Page 69: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

di dalamnya rûh dengan jasadnya atau dinyatakan kepada jasad saja.

Jadi rûh itu memberi hidup kepada jasad dan jiwanya sekaligus.59

Dalam kajian filsafat tidak membedakan antara rûh dan jiwa, hal

ini dapat terlihat dari pembahasan mereka yang hanya memuat masalah

jiwa atau kejiwaan dan tidak menyentuh masalah rûh. Pembahasanpun

berkisar pada keimmaterian dan kehidupannya setelah lepas dari badan

ini.60

Pembicaraan para filosofis Yunani tentang jiwa menjadikan

pemahaman akan hakikat jiwa terbagi menjadi tiga golongan, yaitu :

1. Golongan Materialisme yang mengatakan bahwa jiwa adalah badan itu

sendiri, tidak ada sifat-sifat khusus padanya.

2. Golongan Spiritualisme menganggap bahwa jiwa tidak berasal dari

alam kebendaan, tetapi dari alam ketuhanan dan mempunyai kekuatan-

kekuatan rohani yang turun kebawah dari alam yang tinggi.

3. Ada yang berpendapat tengah-tengah dan menganggap jiwa sebagai

campuran antara badan dan rûh. Atau uap yang panas seperti yang

dikatakan kaum stoa.61

Menurut Ibnu Sina jiwa itu abadi karena merupakan zat (substansi)

rohani yang tidak tersusun, kedudukan jiwa sebagai form bagi badan tidak

berarti bahwa jiwa musnah dengan musnahnya badan. Jelasnya bahwa

59 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ar-Ruh li Ibnil Qayyim ( Beirut : Dar al-Qalam, 1403), cet.

2, h. 352-354. 60 Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi al-Baghdadiy, Ruh al-Ma’aniy ( Beirut : Dar al-Fikr

), jilid. 15 h. 224. 61 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam ( Jakarta : CV. Bulan Bintang, 1991), cet. Ke-

5, h. 122.

Page 70: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

sesuatu bias musnah dengan musnahnya yang lain apabila ia tergantung

padanya dalam beberapa hal tertentu. Sedangkan kita mengetahui bahwa

jiwa ataupun badan dijadikan bersama-sama dan keduanya merupakan

substansi yang berbeda satu sama lain. Selain itu, badan tidak menjadi

salah satu sebab bagi wujud jiwa, karena pertalian jiwa dengan badan

bukan pertalian kausalitas.62

Aliran Spiritualisme dalam Filsafat Islam mengenai kajian

kejiwaan ialah Imam al-Haramain dari Asy’âriah, beliau berpegang pada

kerohanian jiwa dan menyatakan akan keabadiannya. Jiwa menurutnya

adalah substansi rohani yang mempunyai tabiat ketuhanan, yang tidak

hancur dengan hancurnya badan. Sesudah mati jiwa orang saleh naik ke

surge, demikian sebaliknya bagi jiwa yang kafir akan jatuh ke neraka.

Pendapat ini merupakan dasar dan sumber bagi teori rûh yang

dikembangkan kemudian oleh Al-Ghazâlî. 63

Al-Kindi dan Al-Farabi juga mempunyai pandangan yang sama

bahwa rûh manusia itu kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan.

Selanjutnya ia naik setingkat demi setingkat sehingga akhirnya - setelah

bersih – ia sampai kea lam kekal, dalam lingkungan cahaya Tuhan.64

BAB IV

ANALISIS M. QURAISH SHIHAB MENGENAI RÛH

62 Dr. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), cet.

Ke-4, h. 74. 63 H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali ( Jakarta : Bulan Bintang,

1975), h. 65. 64Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1992),

cet. Ke-2, h. 18.

Page 71: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

DALAM SURAT AL-ISRA’ AYAT 85

A. Klasifikasi Ayat-Ayat Tentang Rûh Dalam Al-Qur’an

M. Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan al-Qur’an”

menyatakan bahwa kata rûh (روح ) dalam al-Qur’an terulang sebanyak dua

puluh empat kali dengan berbagai konteks dan makna, serta tidak semua

berkaitan dengan manusia.65 Ayat-ayat yang memuat kata al-rûh tersebut

tersebar dalam al-Qur’an di beberapa surat berikut, yaitu:

1. Kata rûh yang menunjukkan arti sebagai esensi yang menjadi

sumber gerak dan hidup tubuh manusia

Q.S. An-Nisa : 17166

Q.S. Shad : 72

Q.S. Al-Anbiya : 91

Q.S At-Tahrim : 12

65 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudu’I atas Berbagai Persoalan Umat

( Bandung : Mizan. 1996), cet. 1, h. 292. Ruh yang ditiupkan oleh rabnya. Lihat Hasanain Muhammad Mahtuf, Kamus : روح منھ 66

al-Qur’an, h. 53.

62

Page 72: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Q.S. Al-Hijr : 29

Q.S At- Takwir : 7

Q.S. As-Sajadah : 9

Q.S. An-Naba : 38

Q.S. Al-Qadr : 4

2. Kata rûh yang menunjukkan arti sebagai Jibril (malaikat)

Page 73: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Q.S. Asy-Syu’ara : 193

Q.S. Al-Baqarah : 87

...

Q.S. Al-Maidah : 110

Q.S. Maryam : 17

Q.S. Al-Baqarah : 253

Q.S. An-Nahl : 102

3. Kata rûh yang menunjuk arti wahyu atau al-Qur’an

Page 74: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Q.S. An-Nahl : 2

Q.S. Al-Mu’min : 15

Q.S. Asy-Syura : 52

Q.S. Al-Isra’ : 85

Q.S. Al-Mujadalah : 22

Page 75: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Kata rûh pada Q.S Al-Mujadalah : 22 diartikan sebagai

pertolongan, dalam al-Quran dan terjemahan. Adapun pertolongan yang

dimaksud adalah kemauan dan kekuatan batin, kebersihan hati,

kemenangan terhadap musuh dan lain-lain.

Dari sekian banyak ayat yang memuat kata rûh, perbedaan

pendapat yang kemudian menjadi titik sentral permasalahan dalam

memahami rûh adalah terletak pada ayat 85 surat al-Isra’. Persoalan yang

diperselisihkan mulai dari tertutup tidaknya pintu usaha untuk memahami

ruh, karena ayat ini dipahami sebagai pernyataan Allah bahwa rûh adalah

wewenang-Nya, kemudian berlanjut pada arti dan hakikat rûh yang

dipertanyakan dan kemudian dijawab dalam surat al-Isra’ ayat 85.

B. Lafazh rûh Dalam Kaidah Bahasa Arab

Pada satu kesempatan lafaz rûh digunakan dalam bentuk umum

(nâkiroh) dengan dihubungkan dengan kata ganti (dhâmir) yang kembali

pada Allah. Seperti pada beberapa ayat di bawah ini :

...

“Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya...” (Q.S. An-Nisa: 171)

Page 76: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

“Dan Demikianlah kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami… “ (Q.S. Asy-Syuro : 52)

Ataupun kata al-rûh digunakan dalam bentuk ma’rifat dengan

masuknya alif lam (ال) pada lafaz ruh seperti pada beberapa ayat :

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” (Q.S. Al-Ma’aarij: 4)

“ Pada hari, ketika rûh dan para malaikat berdiri bershaf- shaf…”

Ada pula kata rûh digunakan dalam susunan idhofiyah, dimana

kata tersebut disandarkan pada beberapa kata sesudahnya, yaitu القدس ,

ataupun na’at man’ut yaitu الأمین seperti contoh:

“Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar,..” (Q.S. al-Nahl: 102)

Kata rûh dalam Q.S al-Anbiya: 91termasuk dalam susunan

idhofiyah yang terbentuk dari dhâmir muttashil bariz.

Page 77: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

“Dan (ingatlah kisah) Maryam yang Telah memelihara kehormatannya, lalu kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari kami dan kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.”

“Maka apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya". (Q.S. Shaad:72)

Kata rûh dalam (Q.S. al-Syu’ara: 193) ini termasuk susunan na’at

man’ût.

“ Dia dibawa turun oleh Al-Rûh Al-Amîn (Jibril).” (Q.S. Al-Syu’ara: 193)

Hal-hal inilah yang termasuk mempengaruhi keragaman makna

rûh yang dipahami oleh ulama tafsir di samping juga konteks turunnya

ayat tersebut. Perbedaan penafsiran al-rûh dalam Al-Qur’an intinya dapat

ditelusuri dari konteks apa Al-Qur’an membicarakan tentang rûh.

C. Makna dan Hakikat rûh dalam Analisis M. Quraish Shihab

Polemik sentral dalam perdebatan para ulama seputar rûh dipicu

oleh firman Allah SWT. Dalam surat Al-Isra’ ayat 85. Sebagaimana uraian

M. Quraish Shihab dalam Tafsir-Nya, yang berbunyi :

Page 78: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang rûh. Katakanlah: "Rûh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Sabab al-Nuzûl ayat ini sebagai berikut: Asbâb al-nuzûl dalam ayat

ini, Jalaluddin as-Suyǔthî dalam Asbâb al-Nuzûl mengutip pendapat Ibnu

Katsîr, bahwa sebab turun ayat ini adalah seperti hadits yang diriwayatkan

Imam Bukhari yang bersumber dari Ibnu Mas’ud pertanyaan orang Yahudi

tentang rûh dan hal tersebut dilakukan ketika Rasulullah berjalan di

Madinah bersama Ibnu Mas’ud. Dan berpapasan dengan kaum Yahudi,

lalu bertanya mengenai perihal rûh. Rasulullah berdiri beberapa saat

lamanya, karena sedang menerima wahyu. Setelah selesai beliau berucap,

menyebutkan surat al-Isra’ ayat 85. Jadi tidak ada hubungannya dengan

orang Quraisy ataupun dengan pertanyaan lainnya yang berkaitan dengan

bukti kenabian Muhammad.67

Dalam Tafsir al-Mishbâh dinyatakan bahwa ulama Al-Biqa’I

dalam penafsiran atas surat al-Isra’ ayat 85. Beliau menghubungkan ayat

ini dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat ini menurut beliau bermunasabah

dengan Al-Isra’ ayat 49 dan seterusnya. Yang menyatakan pertanyaan

kaum Musyrikînn mengenai kebangkitan setelah manusia menjadi tulang

67 Jalaluddin As-Shuyuthi, Lubăb Nuqǔl fĭ Asbăbin Nuzǔl ( Jakarta: Gema Insani, 2008 ),

cet. Ke I, h. 350.

Page 79: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

belulang dan keping-kepingan kecil, bagaikan debu. Dan disana, di

nyatakan bahwa manusia akan dihidupkan lagi, yakni rûh-Nya akan

dikembalikan ke jasadnya.68 Dalam Firman Allah Q.S. al-Isra’ ayat 49:

“Dan mereka berkata: "Apakah bila kami Telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?"

Pendapat Al-Biqo’I ini didukung oleh pendapat Thobatoba’I

tentang malaikat maut pencabut nyawa dalam firman Allah :

“Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, Kemudian Hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” (Q.S. As-Sajadah: 11)

Ulama ini mengatakan bahwa malaikat maut mencabut rûh dari

badan kamu, dan kamu terpelihara sampai kamu kembali kepada Tuhan

dengan kembalinya rûh ke jasad masing-masing. Maka rûh cenderung

sinonim dengan makna “nyawa” karena sesuatu yang dicabut oleh

malaikat pencabut nyawa adalah nyawa,69 berarti rûh dapat juga berarti

nyawa.

68 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (

Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 180, vol. 7. 69 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (

Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 188, vol. 11.

Page 80: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Malaikat maut dalam ayat di atas bukan hanya satu, tetapi banyak.

Memang malaikat yang populer dalam benak manusia hanya satu, yaitu

izrail, walaupun nama ini tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan As-

Sunnah yang shahih. Sebagaimana al-Quran surah al-An’am ayat 61

menginformasikan bahwa:

“Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat kami, dan malaikat- malaikat kami itu tidak melalaikan kewajibannya.”

Dalam redaksi ayat ini menggunakan lafaz “Rasul-Rasul” yang

menunjuk kepada malaikat-malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa

salah seorang diantara manusia. Ayat ini dapat mengandung makna, bahwa

setiap kematian seseorang ditangani bukan hanya oleh satu malaikat.

Setiap yang meninggal ada malaikat yang mencabut nyawanya.70

Dalam Tafsir al-Misbâh penafsiran surat al-Isra’ ayat 85 bahwa

hakikat rûh memiliki makna yang beragam. M. Quraish Shihab

menguraikan hakikat rûh dengan beberapa makna, yaitu:

a. Rûh Sebagai Potensi Pada Diri Makhluk Yang Menjadikannya Dapat

Hidup.

70 M. Quraish Shihab, Yang Tersembunyi : Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam al-

Qur’an - As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini ( Ciputat: Lentera Hati, 2000), cet. Ke . IV, h. 294.

Page 81: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Yang dimaksud potensi pada diri makhluk yang dapat hidup,

bergerak, dan bernapas. Yang bila berpisah dengan jasmani hilanglah

potensi gerak. Karena manusia bukan hanya jasad yang berbentuk materi

saja, tetapi membutuhkan immateri (rûh) yang mengendalikan itu semua.

Karena adanya jasad dan rûh sehingga menerima penghormatan dari para

malaikat.

Sebagaimana terdapat dalam surat al-Hijr ayat 28-29, mengenai

tentang proses penciptaan manusia dari tanah liat kering yang berasal dari

lumpur hitam. yang berarti sosok yang tampak dari manusia secara umum

dan tidak berbeda antara seseorang dengan yang lain sehingga mempunyai

potensi gerak, bernapas, dan berpikir, tetapi berbeda dengan asal kejadian

jin yang berasal dari api yang panas. Yang lebih penting pada unsur

kejadian manusia ada rûh ciptaan Allah swt. Unsur ini tidak ada pada jin

atau iblis. Dan dapat juga mengarahkan manusia untuk mengenal Allah

serta mendekatkan diri kepadanya.71

Ayat berikut dalam firman Allah:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi

71 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (

Jakarta : Lentera Hati, 2009), cet. Ke. 1, h. 454-455, vol. 6.

Page 82: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

bentuk, Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”

Arti kata )سوّى ( sawwâ, pada ayat 29 yakni menjadikan

sesuatu sedemikian rupa sehingg setiap bagiannya dapat berfungsi

sebagaimana yang direncanakan. Kata ( نفخت ) aku meniupkan, terambil

dari kata ( نفخ ) nafakha yang hakikatnya adalah mengeluarkan angin dari

mulut. Yang dimaksud disini adalah member potensi ruhaniah kepada

manusia sehingga dapat mengenal Allah swt. Dan dapat mendekatkan diri

kepada-Nya. Yang dimaksudkan dalam ayat ini bahwa tidak ada peniupan,

tidak ada angin atau rûh dari zat Allah swt. yang menyentuh manusia. Rûh

Allah swt. yang dimaksud adalah milik-Nya dan merupakan wewenang-

Nya semata-mata.

Secara gramatikal kedudukan I’rob kalimat روحي من dalam ayat:

yang berposisi سجدین لھ فقعوا روحي من فیھ ونفخت سویتھ فإذا

sebagai majrur مجرور sebab huruf mim menunjukkan adanya keterkaitan

dalam keikutan, yaitu keterkaitan antara rŭh dengan lafaz 72 Basyar . بشرا

pada ayat sebelumnya yang berbunyi :

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia

72 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (

Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 455- 457 vol. 6.

Page 83: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk,”

Istilah basyar ( ًبشرا ) oleh Dr. M. Quraish Shihab dalam ayat

tersebut di tafsirkan sebagai “manusia secara fisik”. Kata basyar

terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan ( بشرً )

pada suatu yang baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata

basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya

tampak jelas dan berbeda dengan makhluk lainnya.

Al-Qur’ân menggunakan kata ini sebanyak 36 kali yang tersebar

dalam 26 surat. Dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna

untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya

dengan manusia seluruhnya.73

Hubungan korelatif antara روحى من dengan ًبشر bertemu pada

kalimat یشرً yaitu perintah tunduknya para malaikat kepada ساجدین لھ فقعوا

(Adam) dengan bersujud, maka segera mereka sujud tanpa menunda atau

berpikir. tetapi iblis enggan ikut bersujud bersama-sama dengan para

malaikat yang sujud itu. Dalam hal ini sujud tersebut adalah sujud

penghormatan bukan sujud ibadah. Karena pada diri ًبشر ada sesuatu

yang lebih sekedar dari materi yaitu potensi rohaniah.

Ayat-ayat yang berbicara tentang kisah kejadian manusia dapat

ditemukan pada surah al-Hijr28-29, Shaad 72, al-Baqarah ayat 29 dan al-

A’raf ayat 10. Dalam surat al-Baqarah ayat 29 dan al-A’raf ayat 10

73 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas berbagai Persoalan

Umat (Bandung: Mizan, 1996), cet. 1, h. 292.

Page 84: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

masing-masing memiliki penekanan yang berbeda, walau terdapat juga

persamaan. Sayyid Quthub menulis bahwa uraian-uraian itu memiliki

keserupaan dalam hal pengantarnya, yakni kesemuanya berbicara tentang

kehadiran dan penguasaan Allah swt. Kepada manusia atas bumi. Tetapi

konteks uraian masing-masing surah, arah dan tujuannya berbeda.74

M. Quraish Shihab berpendapat bahwa dalam surah shaad: 71-72

merupakan ayat-ayat pertama yang turun mengenai kisah kejadian

manusia (Adam). Ayat ini memperkuat surat al-Hijr ayat 28-29, Yang

intinya Allah menciptakan manusia dari tanah. Lalu Allah meniupkannya

rûh kehidupan kepada manusia. Dan manusia akan kembali hancur

menjadi unsur - unsur tanah itu ketika unsur Ilahi yang misterius tersebut

meninggalkannya. Manusia tidak mengetahui hakikat tiupan ini, namun

dapat dilihat dengan tanda-tanda dan pengaruhnya. Dan dapat menjadikan

akalnya melihat pengalaman masa lalu, dan mendorongnya untuk

merancang langkah-langkah masa depan.75

Adapun manusia adalah makhluk Allah yang terdiri dari dua unsur,

yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Penggabungan kedua macam unsur

ini menyebabkan manusia mempunyai potensi untuk mengambil manfaat

dari bumi seluruhnya dengan pengetahuan yang dianugerahkan Allah

kepadanya. Potensi diri dan ilmu pengetahuan, manusia dapat

74 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (

Jakarta : Lentera Hati, 2009), cet. Ke. 1, h. 456, vol. 6. 75 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ( Beirut: Dar el Syuruq, 1992), Jilid. 19, h.

80.

Page 85: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

memanfaatkan air, udara, barang tambang, tumbuh-tumbuhan, binatang

ternak, kekuatan listrik, kekuatan atom, dan sebagainya.76

Rûh dalam ayat 29 menurut Sayyid Quthub, rûh dari Allah yang

mentransformasikan anggota tubuh kita yang tak bermakna, meningkat

menjadi mulia. Rûh itu pula yang menjadikan manusia mendapat amanah

menjadi khalifah di muka bumi karena keistimewaannya sejak di ciptakan

itu. Yang berbeda dengan setan yang diciptakan dari api panas. Rûh inilah

yang menghubungkan dan membuat manusia berkomunikasi dengan Allah

swt. dan mampu membuat manusia melakukan lompatan dari alam materi

menuju alam immateri yang perangkat interaksinya akal dan hati.

Potensi rûh yang sedemikian rupa harus berhadapan dengan

karakter tanah yang tunduk pada kebutuhan-kebutuhan asasinya, seperti

makan, minum, pakaian, dan syahwat. Tanah juga memiliki karakter

lemah dan serba kurang sempurna yang berimplikasi kepada hasil dari

aktivitas manusia yang juga lemah dan tidak sempurna. Kedua unsur ini

tidak dapat dipisahkan dari sifat manusia. Kedua unsur ini menjadikan

manusia makhluk yang unik dalam proses penciptaannya.77

Mengenai malaikat yang sujud kepada Adam. dapat menimbulkan

pertanyaan, Apakah semua malaikat itu sujud? Jawabannya, sebelum ini

telah dikemukakan, bahwa malaikat itu sangat banyak, tidak terhitung

jumlahnya, kecuali Allah swt. Kalau merujuk pada salah satu firman-Nya

76 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Yang Disempurnakan

( Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), Cet. I, h. 239. 77 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ( Beirut: Dar el Syuruq, 1992), Jilid. VII, h.

137.

Page 86: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

yang menjelaskan sikap melaikat ketika diperintah sujud kepada Adam as.

Yakni (Q.S. Shaad:73):

“Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama”.

Dalam ayat ini sangat jelas akan jawaban pertanyaan di atas, bahwa

mereka semua sujud tanpa terkecuali. Karena kata kullu pada ayat di atas

bermakna semua dan ini mengandung arti bahwa tidak satu pun dari

malaikat yang tidak sujud. Dan dikuatkan lagi pada akhir ayat terdapat

kata Ajma’ûn yang juga sering kali diartikan semuanya. Akan tetapi

pendapat ini tidak di setujui oleh sebagian ulama. Menurut sebagian ulama

tidak semua malaikat sujud. Mereka merujuk kepada Firman Allah yang

ditujukan-Nya kepada Iblîs:

“Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang Telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".(Q.S. Shad 38: 75 )

Dalam ayat ini dipahami, bahwa alasan iblis untuk tidak sujud

karena ada dua hal, pertama menyombongkan diri, kedua termasuk

kelompok Ǎlîn (( yang lebih tinggi). Kemudian jawaban Iblîs adalah:

“Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, Karena Engkau ciptakan Aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah".

Page 87: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

M. Quraish Shihab cenderung mendukung pendapat ini. Memang

ayat dari surat al-Hijr yang dikutip di atas, menyatakan kullu hum/ semua

mereka. Tetapi mereka yang dimaksud adalah mereka yang diperintahkan

sujud, bukan mereka yang tidak diperintah.78

b. Rûh dalam arti Jibril

Tertera Dalam Firman Allah swt. surat al-Syu’ara ayat 193-194 yang

berbunyi:

“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”.

Kata rûh al- Amîn bermakna Jibril, yang membawa kitab suci al-

Qur’an yang berasal dari Tuhan semesta alam. Diturunkan kepada manusia

pilihan yaitu Nabi Muhammad saw., secara berangsur-angsur dengan

perantaraan Jibril. Yang bertugas membawa wahyu kepada para rasul.

Dikatakan ruh dalam arti Jibril seperti sesuatu yang menghidupkan ruhani

sebagaimana halnya dengan nyawa yang menghidupkan jasmani.

Al-Qur’an ditanamkan ke dalam hati Muhammad, maksudnya al-Qur’an

itu dibacakan oleh Jibril sedemikian rupa sehingga Nabi Muhammad betul

78 M. Quraish Shihab, Yang tersembunyi: Jin, Iblis, dan Malaikat dalam Al-Qur’an – As-

Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini ( Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet. Ke IV,h. 274-275.

Page 88: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

arti dan maksudnya. Tanpa perantara indra yang lain. Ini sangat murni,

tidak disertai campur tangan atau interpretasi dari siapa pun.79

Proses turunnya wahyu al-Qur’an melalui beberapa cara, yang

terdapat dalam Q.S. As-Syura: 51 tentang tatacara pewahyuan Al-Qur’ân,

“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

salah satu poin utama informasi Al-Qur’ân adalah menggunakan

metode pengutusan rasul yang dinyataan dengan kata-kata رسولاً یرسل

jika kita memahami kata rasul dalam arti malaikat. maka makna ini bisa

bermacam-macam, bisa jibril, Isrofil, bisa malaikat maut dan lain-lain,

namun demikian yang ditugaskan menyampaikan Al-Qur’an hanyalah

malaikat jibril as.berdasarkan firman Q.S. Asy-Syu’âra : 193, dan al-Nahl:

102. Pemahaman ini dikuatkan oleh penafsiran Dr. Quraish Shihab pada

Q.S. Al-Nahl : 2 yang berbunyi :

Kata malaikat (ǦȭɌȵ) bentuk jamak dari kata malak (ȬȲȵ ), oleh

para ulama di pahami dalam arti seorang malaikat jibril as. Yang bertugas

79M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an

( Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. Ke-1, h. 134.

Page 89: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

pokok menyampaikan wahyu. Bahwa ayat ini menggunakan redaksi yang

berbentuk jamak adalah untuk mengisyaratkan betapa agung malaikat itu.

Sedangkan kata al-rûh diterjemahkan dalam arti wahyu. Tuntunan-

tuntunan Allah dinamai al-rûh karena dengannya jiwa manusia hidup,

sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa.80

c. Sedangkan makna rûh yang berarti al-Qur’an

Pandangan ‘Izzat Darwazat, salah seorang ulama kontemporer

yang mengatakan bahwa tafsiran al-rûh pada surat al-Isra’ : 85 mengarah

pada makna al-Qur’an, bukan rûh yang berarti potensi hidup ataupun

nyawa. Hal ini pun sesuai dengan munâsabah ayat sebelum dan

sesudahnya. Munâsabah ayat sebelumnya, yaitu ayat 82-84 sebagai

berikut :

“Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.(82). Dan apabila kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah Dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.(83). Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya[867] masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (84)

80 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an

( Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 528, vol. 6.

Page 90: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Ayat di atas (82-84), berbicara tentang keistimewaan al-Qur’an dan

fungsinya sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad saw yaitu obat

penawar penyakit jiwa. Dan kaum musyrikin menjauh dari al-Qur’an yang

merupakan nikmat yang amat besar dari Allah swt. Penyakit jiwa kaum

musyrikin dalam ayat di atas adalah rasa bangga dan putus asa.

Maksudnya bila Allah menganugerahkan manusia kenikmatan, maka ia

memperhatikan dan mengembalikan perolehannya kepada sebab-sebab

lahiriah dan terpaku padanya, sehingga melupakan Allah dan tidak

mensyukuri-Nya, sedang jika mendapat kesulitan, atau dicabut darinya

kebaikan, ia sangat berputus asa karena hanya bergantung pada faktor-

faktor yang kini dilihatnya sudah tidak ada lagi. Demikianlah orang-orang

musyrik yang sakit jiwa padahal al-Qur’an merupakan penawar penyakit

kejiwaan tersebut.81

Dan ayat sesudahnya berkaitan juga dengan al-Qur’an sebagai

berikut:

81 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an

( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 531-534, vol. 7.

Page 91: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

86.Dan Sesungguhnya jika kami menghendaki, niscaya kami lenyapkan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembelapun terhadap kami,

87.Kecuali Karena rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya karunia-Nya atasmu adalah besar.

88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".

89. Dan Sesungguhnya kami Telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al Quran Ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (Nya).

Ayat yang lalu Allah swt menerangkan bahwa rǔh itu merupakan

urusan Allah, sedang apa yang diketahui manusia tentang rǔh hanya

sebagian kecil saja. Pada ayat-ayat ini dijelaskan bahwa Allah mampu

menghilangkan apa yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Di

jelaskan juga Allah menantang manusia dan jin untuk membuat al-Qur’an.

Mereka pasti tidak akan mampu melakukannya, apalagi menandinginya.

Berdasarkan pendapat Izzat Darwazat bahwa ayat-ayat sebelum

dan sesudah surah al-Isra’: 85 membicarakan tentang al-Qur’an. Lafaz من

min amr Rabbî dipahami oleh beliau dalam arti ketetapan Allah ربي أمر

secara langsung, tanpa melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya,

tidak juga melalui pentahapan, waktu dan tempat.82 Hal tersebut

dikuatkan dengan kalimat أمرنا من روحا pada surat as-Syurâ ayat 52 :

82 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an

( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 182, vol. 7.

Page 92: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Yang terdapat pada ayat أمرنا من ditafsirkan yang merupakan

wewenang khusus kami. Yang dimaksud dengan kewenangan disini

adalah hak preogatif Tuhan dalam mewahyukan rûh (al-Qur’an) yang

hendak diamanahkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sebelum

Allah mewahyukan kepadamu (Rasulullah) sampai usia empat puluh

tahun, engkau tidak mengetahui apalagi menjelaskan apakah al-Kitâb dan

tidak pula mengetahui secara rinci apakah al-Ỉman itu, yakni akidah dan

syariat Islam. Ini sesuai yang ayat selanjutnya yang berbunyi :

Yang berarti bahwa Rasulullah sebelumnya sama sekali tidak

memiliki pengetahuan sedikitpun tentang iman maupun kitab, bukan

berarti Rasulullah tidak beriman kepada Allah swt., tetapi yang di nafikan

ayat di atas adalah tentang iman dalam perinciannya. Demikianlah

keadaanmu sebelum diwahyukan al-Quran. Kami memberimu hidayah

melalui wahyu al-Quran ketika manusia seluruhnya dalam keadaan gelap

gulita. Sehingga menjadi terang benderang dengan petunjuk-Nya yakni

kami anugerahi taufik sehingga dapat melaksanakan tuntunan-tuntunan

kami. Dan rasul sama sekali tidak memiliki perasaan ingin mendapatkan

amanah risalah ( al-Qur’an ) pada detik-detik pengangkatan kerasulan

beliau oleh Allah.83

Pendapat ini berlainan dengan pendapat Sayyid Quthub, yang

mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw., sangat memahaminya, sebelum

83 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 528-529, vol. 12.

Page 93: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

beliau menerima wahyu. Beliau telah mendengar tentang Al-Kitâb dan

telah mendengar tentang keimanan. Di Jazirah Arab dimaklumi bahwa di

sana ada Ahli Kitab dan bahwa mereka memiliki akidah. Namun bukan itu

yang dimaksud oleh ayat, tetapi maksudnya ialah penguasaan kalbu atas

hakikat keimanan dan Kităb, perasaan akan keberadaannya, dan

terpengaruh oleh keberadaannya di dalam hati. Hal ini belum terjadi pada

Rasulullah sebelum turunnya wahyu dengan perintah Allah, yang menyatu

dengan kalbu Muhammad saw.84

Dengan al-Qur’an dan wahyu pengetahuan Ilahiyah menjadi

sempurna dan cahaya rabbaniyah akan terbit, sehingga lepaslah dari

gelapnya kebodohan dan berpindah dari sifat-sifat hewaniyah menuju

kemanusiaan yang sempurna, sehingga sempurnalah keadaan jasad.

Tujuan utama penurunan wahyu tidak lain untuk mengenalkan sifat-sifat

Rabb yang Maha Bijaksana, yang merupakan sumber segala keutamaan

dan kebaikan, agar mereka mengesakan, menyembah dan bersyukur

kepada-Nya.85

Thabathaba’I berkesimpulan bahwa rûh yang ditanyakan Q.S.Al-

Isra’ ayat 85 ini adalah hakikat rûh yang dibicarakan oleh firman-firman-

Nya itu dan jawaban yang diberikan ayat ini adalah bahwa : “itu urusan

Tuhan sedang ilmu yang kamu miliki yang dianugerahkan Allah kepada

kamu-tentang ruh adalah sedikit dari yang banyak.

84 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ( Beirut: Dar el Syuruq, 1992), Jilid. 20, h.

20. 85 Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Tematik Surat Huud- Al-Isra’

( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), cet. I, h. 381.

Page 94: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Thăhir ibn Asyur berpendapat bahwa ayat ini mengalihkan atas

berbagai pertanyaan tentang rûh, bertujuan untuk kemaslahatan mereka

sejalan dengan situasi waktu dan tempat mereka. Boleh jadi, dimasa akan

datang akan terjadi lebih banyak perubahan yang menjadikan ilmuwan

memiliki kemampuan untuk mengungkap sebagian dari hakikat rûh.86

Sayyid Quthub berpendapat, bahwa jawaban yang ada dalam al-

Qur’an tersebut, bukan untuk membungkam manusia untuk berbuat.

Tetapi pada jawaban tersebut terkandung suatu taujỉh ‘arahan’ bagi akal

agar ia tetap bekerja pada batasan-batasannya pada bidang yang ia

ketahui.87

Akan tetapi, di antara ulama ada yang telah mencoba mendalami

hakikat rûh itu. Di antaranya ialah:

1. Rûh itu semacam cahaya ( jisim, nurani) yang turun ke dunia dari alam

tinggi, sifatnya berbeda dengan materi yang dapat dilihat dan diraba.

2. Rûh itu mengalir dalam tubuh manusia, sebagaimana mengalirnya air

ke dalam bunga, atau sebagaimana api dalam bara. Rûh itu memberi

kehidupan ke dalam tubuh seseorang selama tubuh itu sanggup

menerimanya, dan tidak ada yangmenghalangi alirannya. Bila tubuh

tidak sanggup lagi menerima rûh, maka tubuh itu menjadi mati.

Pendapat ini dikemukakanoleh al-Râzî dan Ibnu qayyim. Sedangkan

Imam al-Gazalĭ dan Abu Qăsim al-Râgib al-Asfahânî berpendapat

86 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h.540 , vol.7.

87 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ( Beirut: Dar el Syuruq, 1992), Jilid. 7, h. 287.

Page 95: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

bahwa rûh itu bukanlah materi dan sesuatu yang berbentuk, tetapi ia

hanyaah sesuatu yang bergantung pada tubuh untuk mengurus dan

menyelesaikan kepentingan-kepentingan tubuh.88

Di atas, telah dikemukakan banyak ulama memahami kata rûh di

sini dalam arti pertanyaan tentang substansi rûh yang merupakan nyawa

dan yang keberadaannya dalam diri sesuatu ia menjadi hidup. Para filosof

dan pemikir islam sejak dahulu berusaha memberikan aneka jawaban,

namun tidak satu pun yang memuaskan nalar. Pembahasan mereka itu

tidak dapat dinilai menyimpang dari tuntunan ayat ini karena jawaban

yang diberikan Al-Qur’an di atas, tidak mutlak dipahami sebagai jawaban

akhir terhadap pertanyaan tersebut. Karena hanya Allah yang mengetahui

hakikat rûh, maka pada ayat ini Allah swt menegaskan kepada manusia

bahwa ilmu Allah Maha Luas tidak dapat diperkirakan.

88 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Yang Disempurnakan

( Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), Cet. I, h. 536-537.

Page 96: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian penulis tentang Rûh dalam Al-Qur’ăn.

Analisis Penafsiran Prof. Dr. Quraish Shihab atas surah al-Isra’ ayat 85,

penulis menarik kesimpulan bahwa rûh dalam Al-Qur’ân bermakna

sebagai berikut :

1. Setelah di pelajari dan di renungi, ternyata kata Al- Rûh

mempunyai makna yang banyak (tidak hanya satu arti). Dengan

demikian, maka diharapkan nantinya kita tidak salah dalam

memahami kata Al-Rûh. Bahwa rûh mempunyai arti wahyu atau

Al-Qur’ân, malaikat Jibril ataupun nyawa. Rûh bermakna Al-

Qur’ăn di dasarkan pada dalil ayat al-Qur’ăn surat al-Isra’: 85,

Asy-Syură: 52. Sedangkan al-rûh yang bermakna Jibril,

penjelasannya terdapat pada surat al-nahl: 102, As-Syuâra: 193.

Penafsiran tersebut didukung oleh ayat-ayat lain seperti surat As-

Syurâ: 51 yang memaparkan tentang proses turunnya al-Qur’ăn.

Adapun al-rûh bermakna nyawa penafsiran tersebut bersumber

pada surat al-Hijr :28-29, tentang proses penciptaan manusia.

Menurut M. Quraish ayat tersebut sama sekali tidak

membicarakan tentang al-Qur’ân ataupun malaikat Jibril

melainkan rûh sebagai potensi hidup ataupun nyawa.

Page 97: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

2. M. Quraish Shihab dalam penafsirannya tidak ada satu pun

memberikan sebuah pendapat atau pemikirannya secara eksplisit

tentang makna rûh, beliau hanya memberikan pendapat bahwa

syakilah (jalan atau kebiasaan atau kecenderungan) yang disebut

dalam ayat sebelumnya (ayat 84 surat al-Isra’) yang melahirkan

motivasi dan aktivitas manusia yang saling berbeda dan yang

sifatnya abstrak bagaikan rûh. Dalam tafsir-Nya, Beliau hanya

memaparkan pendapat atau pemikiran sebagian para ulama tafsir

tentang rûh yang ada di dalam al-Qur’an. Sehingga penulis belum

mampu menemukan jawaban yang lebih signifikan mengenai

makna rûh yang sebenarnya. maka dalam analisa M. Quraish

Shihab bahwa akal manusia sangat terbatas untuk mengetahui

makna hakikat rûh. Dan menurut-Nya Kalaupun rûh diartikan

sebagai sumber hidup atau wahyu, yang diketahuinya barulah

sebagian dari gejala-gejala dan dampaknya. Dan kalau tentang al-

Qur’an baru sekelumit dari penafsirannya, sedangkan kalau tentang

alam raya, itu pun baru setetes dari samuderanya.

B. Saran- Saran

Setelah mencermati beberapa uraian di atas, akhirnya penulis

menyarankan sejumlah hal kepada pihak terkait. Diantaranya adalah :

1. Yang perlu dipercayai bahwa rûh itu ada. Allah hanya memberikan

gejala-gejalanya. Maka yang perlu diteliti dan dipelajari dengan

Page 98: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

sungguh-sungguh ialah gejala-gejala rûh itu, yang dilakukan dalam

psikologi

2. Memberikan saran kepada mahasiswa lainnya yang ingin

mengembangkan tafsir Al-Qur’ân bahwa pemahaman tafsir Al-

Qur’ân dengan pendekatan munâsabah bayyin al-âyah dapat

menjelaskan tema-tema pokok Al-Qur’ân, juga dapat membuktikan

keserasian kata demi kata dalam satu surat atau lintas surat dalam

Al-Qur’ân, dan yang lebih penting dapat membantu meluruskan

kekeliruan pemahaman serta menciptakan kesan yang benar

tentang Al-Qur’ân.

3. Kepada para peminat kajian tafsir, hendaknya terus menggali

persoalan ini dengan konsep yang lebih luas lagi, karena masih

banyak belum penulis ungkap disini terkait masalah rûh.

4. Semoga pembahasan tentang rûh dalam Al-Qur’an dapat

memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan kaum Muslim

umumnya. Terakhir, penulis berharap agar penelitian ini mampu

menjadi

setitik sumber pengetahuan yang bermanfaat, khususnya bagi penulis

sendiri, dan umumnya kepada kaum muslimin.

Page 99: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

DAFTAR PUSTAKA

al-Alusi, Syihabuddin. Rǔh al-Ma’ăni fi Tafsir al-Qur’ăn al-Azhĭm wa as-Sabi al-Matsăni. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.

Abdul Qadir al-Kaf, Muhammad. Roh itu Misterius Terj. Yasalunaka ‘an ar-Ruh. Jakarta : CV. Cendikia Sentra Muslim, 2001.

Basalamah, Yahya Saleh. Manusia dan Alam Ghaib. Jakarta : Pustaka

Firdaus, 1993.

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1998.

Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya ( Edisi Yang Disempurnakan ).

Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.

Al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1996.

Federspiel, Howard M. Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus

sampai Quraish Shihab. Bandung: Mizan, 1996.

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi.

Jakarta: Teraju, 2003.

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2007.

Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: CV. Bulan Bintang, 1991.

Ibnu Manzur. Lisan al-Arab. Beirut: Dar al- Shadar, 1994.

Page 100: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Al-Rǔh li Ibnil Qayyim. Beirut: Dar al-Qalam, 1403.

Muhammad, Abd Basith. Semesta Ruh, Jakarta : Serambi 2006. Mustafa. M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 2010.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.

Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

1992.

Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian masalah

Akidah dan Ibadah. Jakarta: Paramadina, 2002.

Al-Qurtubi. Al-Jami’ al-Ahkăm al-Qur’an. Kairo: Dar al-Kutub al-Arabiah li al-Tibăh wa al-Nasyr, 1967.

Al-Qaththan, Manna’ al-Khalil. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 2006.

Rahardjo, Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-

Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.

Al-Razi, Fakhr al-Din. Mafătih al-Gaib. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.

As-Shabuni, Muhammad Ali. CAHAYA AL-QUR’AN: Tafsir Tematik Surat Huud-

al-Isra’.Beirut: Dar al-Qalam, 1406.

Saleh, Qomarudin. Asbab al- Nuzul. Bandung: CV. Diponegoro, 1997.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Berbagai

Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.

Shihab, M.Quraish. dkk. Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta:

Lentera Hati, 2007.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atau Surah-Surah Pendek

berdasarkan Turunnya Wahyu. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997.

Page 101: PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...

Shihab, M. Quraish. dkk. Sejarah Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus,

2008.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.

Shihab, M Quraish. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati,

2006.

Shihab, M Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Qur’a.

Jakarta : Lentera Hati, 2002.

Shihab, M. Quraish. Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam al-

Qur’an – As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan

Masa Kini. Ciputat: Lentera Hati, 2000.

As-Suyuthi, Jalaluddin. Asbăb al-Nuzǔl. Jakarta: Gema Insani, 2008.

Tebba, Sudirman. Ruh Misteri Mahadasyat. Ciputat : Pustaka Irvan, 2008.