PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...
Transcript of PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN ...
RÛH DALAM AL-QUR’AN ANALISIS PENAFSIRAN PROF. DR. M. QURAISH SHIHAB
ATAS SURAT AL-ISRA’ AYAT 85
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi
Islam (S. Th. I)
Oleh Atti Nurliati
NIM: 207034000059
Oleh Atti Nurliati
PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSFAT
UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2011
ABSTRAK
Rûh dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an makna tentang rûh sangat beragam tergantung
pada konteks apa kata al- rûh itu digunakan. Makna rûh bisa dikatakan al-
Qur’an, malaikat Jibril, potensi membuat makhluk menjadi hidup, dll.
Percaya terhadap keberadaan rûh merupakan salah satu keyakinan yang
diajarkan al-Qur’an, dan mempercayai soal-soal yang ghaib merupakan
salah satu sendi keyakinan beragama. Semua agama berdiri di atas
keyakinan tersebut, dengan keyakinan itu manusia dapat merasakan
ketentraman. Para ulama tafsir dan filosof dari dahulu hingga sekarang
masih membicarakan mengenai apa makna dan hakikat rûh? Para filosof
dan Pemikir Islam sejak dahulu berusaha memberikan aneka jawaban,
namun tidak satu pun yang memuaskan nalar. Pembahasan mereka itu
tidak dapat dinilai menyimpang dari tuntunan ayat ini karena jawaban
yang diberikan Al-Qur’an di atas, tidak mutlak dipahami sebagai jawaban
akhir terhadap pertanyaan tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rûh masih merupakan
misteri. Dari sinilah penelitian ini dilakukan untuk membahas serta
mengungkap pengetahuan tentang rûh, oleh sebab itu dirasa sangat perlu
adanya pemahaman tentang rûh dalam al-Qur’an. Untuk itu dipilihlah
pokok permasalahan tentang rûh dalam al-Qur’an menurut analisis Prof.
Dr. Quraish Shihab dalam surat al-Isra’ ayat 85.
ȴɆǵȀȱǟ ȸƥȀȱǟ ǃǟ ȴȆǣ
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
yang telah menganugerahkan rahmat dan kasih sayang nya pula kepada
seluruh makhluk. Dalam mengerjakan skripsi ini sempat mengalami
kendala-kendala, seperti kesulitan dalam mencari bahan dan keputus-asaan
hampir menyelimuti penulis. Namun berkat rahmat Allah swt penulis tetap
mengerjakan skripsi ini hingga selesai walaupun masih banyak yang harus
disempurnakan. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Nabi akhir zaman yang telah memberikan teladan
kepada umatnya serta membawanya ke jalan yang diridhai Allah SWT.
Penulis menyadari dalam skripsi ini masih ada kekurangannya,
skripsi ini hanyalah sebuah lilin dari sekian banyak kilauan cahaya.
Semoga cahanya bermanfaat bagi yang ada di sekitarnya.
Penulisan skripsi ini nampaknya tidak akan terwujud seperti ini
tanpa adanya partisipasi dari berbagai macam pihak yang telah
memberikan solusi saran dan kritik yang membangun dalam menghadapi
segala kesulitan penulis dalam menulis skripsi ini. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin
Hidayat; Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Zainun Kamaluddin,
M.A., Ketua Jurusan Tafsir Hadits, Dr. Bustamin, M.Si., Sekretaris
Jurusan Tafsir Hadits, Ibu Dr. Lili Umi Kultsum, M.A.
2. Bapak Drs. A. Rifqi Muchtar, M.A., sebagai pembimbing dalam
penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktu dan tenaganya serta
sabar memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Sehingga membuka cakrawala dan nuansa
baru bagi penulis.
3. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ushuluddin Tafsir Hadits yang telah
memberikan wawasan intelektual selama penulis “menimba” ilmu di
jurusan tersebut.
4. Pimpinan Perpustakaan UIN dan Fakultas Ushuluddin, beserta
jajarannya pengelolanya yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melakukan penelitian pustaka dalam menyelesaikan
skripsi ini.
5. Seluruh keluarga di rumah khususnya orang tua tercinta, H. Ir.Taufiq
Rahman dah HJ. Shaleha, dan kakak-adikku tercinta yang telah banyak
membantu penulis dari segi materil,motivasi, dan doanya. Mencurahkan
segala kasih sayangnya terhadap penulis dalam rangka menyelesaikan
studi penulis.
6. Suamiku tercinta H. Abdul Basith, Lc, yang telah memberikan
semangat, doanya dan motivasinya kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
7. Kepada segenap teman-teman seperjuangan Tafsir Hadits angkatan
2007.
Kepada semuanya yang telah membantu penulisan skripsi ini yang
tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan rasa terimakasih
yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT. Membalas kebaikan dan
bantuan yang telah mereka berikan selama penulisan. Semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi pembaca serta menambah
pengetahuan dan semoga bermanfaat untuk kita semua. Amin…
Jakarta, 1 Februari 2011
Penulis
( Atti Nurliati)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................i
KATA PENGANTAR .....................................................................ii
DAFTAR ISI ....................................................................................v
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
..........................................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7
D. Kajian Pustaka .................................................................... 8
E. Metodologi Penelitian ......................................................... 10
F. Sistematika Penulisan .......................................................... 11
BAB II M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISHBÂH
A. Biografi, M. Quraish Shihab ............................................... 12
1. Riwayat Hidup dan Karir M. Quraish Shihab ................. 12
2. Karya-karya M. Quraish Shihab dan Pokok-
pokok Pemikiran ........................................................... 16
B. Karakteristik Tafsir al Mishbâh M. Quraish Shihab ............. 27
1.Pemilihan Nama al-Mishbâh ............................................ 27
2.Sumber Penafsiran al-Mishbâh ......................................... 29
3.Metode Penafsiran al-Mishbâh ......................................... 32
4. Corak Penafsiran al-Mishbâh .......................................... 37
5.Sistematika Penulisan al-Mishbâh .................................... 40
BAB III INTERPRETASI RÛH
A. Pengertian Rûh secara Bahasa dan Istilah....................... 44
B. Pengertian Jiwa secara Bahasa dan Istilah ...................... 49
C. Perbedaan Pendapat Ulama dan Filosof ......................... 52
BAB IV ANALISIS M. QURAISH SHIHAB MENGENAI RÛH
DALAM SURAT AL- ISRA’ AYAT 85
A. Klasifikasi Ayat- Ayat tentang Rûh ............................... 62
1. Kata rûh yang Menunjuk Arti Potensi Hidup ........... 62
2. Kata rûh yang Menunjuk Arti Jibril ........................ 64
3. Kata rûh yang Menunjuk Arti Wahyu atau
Al-Qur’an
................................................................................ 6
5 ..............................................................................
B. Lafazh Rûh Dalam Kaidah Bahasa Arab ....................... 66
C. Makna dan Hakikat rûh dalam Analisis
M. Quraish Shihab ........................................................ 69
1.Rûh Sebagai Potensi Hidup ......................................... 73
2. Rûh Dalam Arti Jibril ............................................... 80
3. Rûh Dalam Arti Al-Qur’an ....................................... 82
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 90
B. Saran-Saran..................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 93
PEDOMAN TRANSLITERASI1
A. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ǟ tidak dilambangkan
ǡ B Be
ǧ T Te
ǫ Ts te dan es
ǯ J Je
dz H h dengan garis bawah
Ƿ Kh ka dan ha
ǻ D da
ǽ Dz De dan zet
ǿ R Er
ȁ Z Zet
ȃ S Es
ȇ Sy es dan ye
ȋ S es dengan garis bawah
ȏ D de dengan garis bawah
ȓ T te dengan garis bawah
ȗ Z zet dengan garis bawah
ț ‘ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
ȟ Gh ge dan ha
ȣ F Ef
ȧ Q Ki
ȫ K Ka
ȯ L El
ȳ M Em
ȷ N En
ȿ W We
øȽ H Ha
ǒ ‘ Apostrof
Ƀ Y Ye
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai beeriku:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
____َ__ A Fathah
____ِ__ I Kasrah
____ُ__ U Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i _َ___ي
و_َ___ Au a dan u
C. Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di atas ـَـا
Î i dengan topi di atas ــي
Û u dengan topi di atas ـــو
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh
huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
E. Syaddah (Tashdid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.
F. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No Kata Arab Alih aksara
1 ǦȪɅȀȕ Tarîqah
2 ǦȞȵǠƨǟ ǦɆȵɎȅɋǟ al-jâmî ah al-islâmiyyah
3 ǥǼǵȿ ǻɀDZɀȱǟ wahdat al-wujûd
G. Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-
Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kumpulan
firman Allah swt, yang tujuannya adalah untuk menjadi pedoman bagi
manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan
di dunia dan di akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia,
maka al-Qur’an datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan,
aturan-aturan, prinsip-prinsip dan konsep-konsep, baik bersifat global
maupun yang terinci yang eksplisit maupun yang implisit dalam berbagai
persoalan dan bidang kehidupan.
Al-Qur’an sendiri menyatakan dirinya sebagai al-Kitâb yang
mempunyai tujuan sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia pada umumnya
dan bagi orang-orang yang bertaqwa pada khususnya; Al-Furqân
( pembeda antara yang baik dan buruk, antara yang nyata dan khayal,
antara yang mutlak dengan yang nisbi); Rahmat (rahmat); Syifâ (obat
penawar); khususnya untuk hati yang resah dan gelisah; Mauidzat
(nasehat, wejangan, petuah); penjelasan bagi sesuatu, peringatan bagi
seluruh alam dan sebagainya. Jadi secara eksplisit Al-Qur’an adalah kitab
suci yang berdimensi banyak dan berwawasan luas.2
Meskipun demikian dalam memahami al-Qur’an, umat Islam sering
menemukan kesulitan. Hal ini terjadi karena ada ayat-ayat tertentu yang
2 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), h. 71.
sukar dimengerti maksud dan kandungannya atau samar artinya. Maka
disinilah fungsi tafsir sebagai kunci untuk membuka gudang simpanan
yang tertimbun dalam al-Qur’an sangat diperlukan. Dan karena fungsinya
yang esensial, maka tafsir sudah sepantasnya ditempatkan sebagai ilmu
yang paling tinggi derajadnya.3
Tafsĭr yang berarti upaya memahami, menjelaskan, dan
mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, secara
praktis telah dimulai pada masa Nabi. Beliau merupakan mufassir pertama
(al-Mufassir al-Awwâl) yang berfungsi sebagai mubayyin yang
menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya.
Adapun ayat yang ditafsirkan Nabi Muhammad Saw. Itu menyangkut ayat-
ayat yang tidak bisa mereka fahami atau samar artinya. Dan proses
semacam ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasulullah Saw.
Meskipun harus diakui, bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita
ketahui sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentang hasil
interpretasi Rasulullah Saw. Terhadap al-Qur’an atau karena Rasulullah
saw. Sendiri tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.4
Penjelasan-penjelasan Rasulullah Saw. Terhadap Al-Qur’an,
selanjutnya menjadi pegangan utama bagi mufassir ketika mereka
menggali isi kandungan Al-Qur’an. Perkembangan selanjutnya, penjelasan
3Manna’ Khalil Al-Qaththan, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an (Bogor: Pustaka Litera,
2004), cet.-8, h. 327. 4 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), h. 71.
Nabi Saw tersebut melahirkan tafsir bi al-riwâyah (bi al-ma’tsǔr) yaitu
penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, sunnah Nabi, dan riwayat-
riwayat yang bersumber dari sahabat dan tabi’in. selain Tafsir bi al-
Riwâyah, ada yang disebut dengan tafsir bi al-Dirâyah (bi al-maqul) yang
sering kita kenal dengan sebutan bi al-Ra’yî yaitu penafsiran al-Qur’an
dengan menggunakan perangkat ijtihâd. Adanya penafsiran terhadap Al-
Qur’an sebagaimana tersebut diatas, karena Al-Qur’an sendiri tidak
menjelaskan secara mendetail tentang suatu ayat atau tema yang dibahas.
Dari sekian banyak tema yang dibahas oleh Al-Qur’an, ada
beberapa ayat menjelaskan tentang rûh, firman Allah SWT surat Al-Isra’
: 85 :
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang rûh. Katakanlah: "Rûh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit" (Q.S. Al-Isra’: 85).
Persoalan rûh sebenarnya dari dulu sampai sekarang , tetap menjadi
teka-teki yang belum terjawab secara memuaskan. Banyak sudah pendapat
tentang itu, namun kesepakatan tidak pernah didapat. Oleh karena itu
pembicaraan mengenai rûh ini masih tetap aktual.
Percaya terhadap keberadaan rûh merupakan salah satu keyakinan
yang diajarkan al-Qur’an, dan mempercayai soal-soal yang ghaib
merupakan salah satu sendi keyakinan beragama. Semua agama berdiri di
atas keyakinan tersebut, dengan keyakinan itu manusia dapat merasakan
ketentraman. 5
Atas dasar itu, tidaklah salah bagi kalangan ilmuwan berupaya
mengetahui hakikat rûh secara umum namun tidak terinci. Boleh jadi di
masa depan akan terjadi lebih banyak perubahan yang menjadikan para
ilmuwan memiliki kemampuan untuk mengungkap sebagian dari hakikat
rûh. Karena itu kita tidak sependapat dengan mereka yang berkata bahwa
kita harus berhenti pada penjelasan mengenai hakikat rûh.
Selanjutnya apakah penggalan terakhir ayat “Kalian tidaklah di beri
pengetahuan kecuali sedikit”. Termasuk jawaban yang diperintah untuk di
sampaikan atau komentar tentang keterbatasan pengetahuan manusia?6
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rûh masih merupakan
misteri. Dari sinilah muncul ide untuk membahas serta mengngungkap
pengetahuan tentang ruh, dan atas dasar inilah Skripsi yang berjudul “Rûh
Dalam al-Qur’an Analisis Penafsiran Prof. Dr. M. Quraish Shihab Dalam
Surat al-Isra’ ayat 85”. Ini bisa menjadi jawaban atas mesteri rûh yang
ramai diperbincangkan masyarakat.
Skripsi ini tidak berpretensi untuk mengungkap misteri itu, tetapi
hanya ingin mengatakan bahwa di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan
5 Yahya Saleh Basalamah, Manusia dan Alam Ghaib ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993),
cet. Ke-11, h. 138. 6 Sudirman Tebba, Ruh Misteri Maha Dahsyat ( Ciputat: Pustaka Irvan, 2008), h. 6-7.
peradaban manusia kelihatannya rûh masih tetap merupakan misteri. Ini
sesuai dengan firman Tuhan bahwa tidaklah ilmu itu diberikan kepada
manusia kecuali hanya sedikit. Oleh sebab itu, penulis berharap semoga
skripsi ini dapat memberikan kontribusi positif bagi kita semua dan dapat
memberikan informasi yang akurat tentang mesteri rûh yang selama ini
menjadi mesteri dalam kehidupan masyarakat.
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
Pembahasan sekitar Rûh sangat luas dikaji di kalangan ulama tafsir,
filosof dan ahli tasawuf. Oleh sebab itu, Di dalam skripsi ini penulis akan
membatasi permasalahan seputar rûh, melalui penafsiran Prof. Dr. Quraish
Shihab dalam tafsir Al-Mishbâh sebagaimana yang tercantum dalam surat
al-isra’ ayat 85.
Rumusan masalah yang dihadirkan didalam penelitian ini adalah :
“Bagaimana Penafsiran Rûh surat al-Isra’ ayat 85 menurut Prof. Dr.
Quraish Shihab Dalam Tafsîr al-Mishbâh ”?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan sejauh mana
pandangan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbâh tentang konsep rûh
dalam al-Qur’an. Terutama konsep rûh dalam isyarat al-Isra’ ayat 85, Hal
ini dilakukan karena di dalam penafsiran Quraish Shihab yang tertuang
dalam Tafsir Al-Misbâh terdapat banyak syarat ilmiah yang bisa
bermanfaat bagi para pambaca dan khususnya pada diri penulis sendiri,
untuk mengetahui lebih dalam tentang konsep rûh dalam al-Qur’an.
Penulis melakukan penelitian ini karena memiliki tujuan untuk
meningkatkan pengetahuan serta ingin menggali lebih dalam pengetahuan
tentang rûh. Salah satu indikasinya adalah sebagaimana kita ketahui
bahwa ruh ini telah banyak dibicarakan dikalangan masyarakat kita,
bahkan seakan-akan menjadi misteri yang menakutkan bagi kita
semuannya.
Hasil yang diperoleh dari penelitian skripsi ini diharapkan memberikan
manfaat praktis yang dapat membantu seluruh lapisan masyarakat
terutama kalangan ilmuan, dari berbagai latar belakang, untuk memperluas
wawasan serta pengetahuan mengenai penafsiran rûh secara mendalam,
sehingga kita dapat mengetahui hakikat rûh secara sebenarnya, dan tidak
menjadikannya sebagai misteri yang menyeramkan serta tidak
menafsirkannya secara asal-asalan.
D. Kajian Pustaka
Setelah meneliti data-data yang berhubungan dengan topik yang
dibahas, penulis menemukan buku-buku atau karya ilmiah yang
membahas tentang rûh dalam sudut pandang al-Qur’an menurut ulama
tafsir, filosof dan khususnya Tafsir Al-Mishbâh. Sepanjang peneliti
melakukan penelitian menemukan berbagai sumber-sumber karya sebagai
rujukan antara lain:
1. Karya Rûh , oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauzî , kitab ini terkandung
berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan rûh orang-orang yang
sudah mati maupun yang masih hidup, disertai dalil-dalil dari
kitâb, Sunnah, dan atsâr, dan pendapat para ulama.
2. Manusia dan Alam Gaib karya Yahya Saleh Basalamah, buku ini
mengetengahkan masalah gaib yang wajib diimaninya.
Juga tentang hal yang dibutuhkan oleh keimanan dalam hubungan
manusia dengan yang gaib, yang merupakan zat pencipta, Allah
dan masalah kedudukan alam raya, dari dua sisi: alam gaib dan
alam nyata.
3. Rûh Misteri Mahadahsyat. karya Sudirman Tebba, buku ini
menerangkan pengertian tentang rûh, nafs , jiwa, dan qalb. Disertai
persamaan dan perbedaannya yang dikuatkan dengan dalil-dalil
dari sunnah dan pendapat ulama.
4. Rûh itu Misterius karya Imam Fakhruddin al-Răzĭ, kitab ini
merupakan karangan al-Râzi yang membahas mengenai berbagai
pertanyaan tentang rûh disertai dalil-dalil dari kitâb, sunnah, dan
atsâr, dan pendapat para ulama pilihan.
5. Rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin al-râzĭ penelitian ini ditulis
oleh Abdu al- Rahmăn Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits
tahun 2002. Perbedaan Karya Ilmiah penulis dengan Karya Ilmiah
Rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin al-râzi adalah dari
perspektif penafsiran ulama. Karya Ilmiah penulis menganalisis
pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab mengenai rûh terutama didalam
Q.S al-Isra’ ayat 85 dan disertai pendapat para ulama tafsir
mengenai pembahasan tentang rûh. Sedangkan Karya Ilmiah rûh
dalam perspektif al-râzi tidak dengan ayat yang lebih spesifik
hanya secara umum.
E. Metodolgi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, ada tiga aspek metodolgi penelitian yang
digunakan:
a. Metode pengumpulan data. Untuk mendukung metode terdebut, penulis
melakukan penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu
menggunakan data primer yang berkaitan dengan konsep Rûh. Sebagai
sumber primer penulis merujuk pada Tafsir Al-Mishbâh. Sedangkan data
sekunder penulis menggunakan buku-buku, artikel, makalah yang
berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas.
b. Tekhnik pembahasan dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis yaitu
mengungkapkan penafsiran M. Quraish Shihab kemudian menganalisis
secara kritis.
c. Adapun teknis penulisan yang digunakan dan dijadikan pedoman
penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “pedoman penulisan
karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi), yang diterbitkan oleh CEQDA
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”2007.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab dan
setiap bab dibagi kedalam sub-sub dengan perincian sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan, diantaranya mengenai latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian,
dan metode penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II: Kajian yang berisi tentang deskripsi riwayat hidup Prof. Dr.
Quraish Shihab, serta karya-karya , dan pokok pemikiran Prof. Dr. Quraish
Shihab , Sumber penulisan tafsir Al-Misbâh, Metode Penafsiran Al-Mishbâh,
dan Corak Penafsirannya dan sistematika penafsirannya.
Bab III: Interpretasi tentang Rûh yang terdiri dari Pengertian rûh secara
bahasa dan Istilah, pengertian jiwa secara bahasa dan istilah, Rûh dalam
perspektif Ulama Tafsir dan Filosofis.
Bab IV: Klasifikasi Ayat-Ayat Tentang Rûh Dalam Al-Qur’an, Lafazh Rûh
Dalam Kaidah Bahasa Arab, dan Analisa penafsiran Rûh surat al-Isra’ ayat 85
dalam Tafsir al-Mishbâh.
Bab V: Penutup, berisi kesimpulan dan Saran-saran.
BAB II
M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISHBÂH
A. Biografi M. Quraish Shihab
1. Riwayat Hidup dan Karier M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 16
Februari 1944, adalah seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu al-
Qur’an. Terlahir sebagai putra Prof. Dr. Abdurrahman Shihab, seorang
penggagas sekaligus pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI)
Makassar. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar.
Ayahnya seorang guru dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab
dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang
memiliki reputasi baik dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina
dua perguruan tinggi di Ujung Pandang yaitu UMI, dan IAIN Alauddin
Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai rektor kedua perguruan tinggi
tersebut: UMI 1959-1965 dan IAIN 1972-1977.7
Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan
terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-
anaknya duduk bersama setelah maghrib. Pada saat-saat seperti inilah sang
ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-
Qur’an. Quraish Shihab kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan
terhadap al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-
Qur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al-
Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-
Qur’an. Disinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai
tumbuh.
Pendidikan formalnya di Makassar dimulai dari sekolah dasar
sampai kelas 2 SMP. Pada tahun 1956, Ia dikirim ke kota Malang untuk
“nyantri” di Pondok Pesantren Dârul Hadîs al-Faqihiyah. Karena
ketekunannya belajar di pesantren, 2 tahun berikutnya ia sudah mahir
berbahasa Arab. Melihat bakat bahasa Arab yang dimilikinya, dan
ketekunannya untuk mendalami studi keislamannya. Quraish Shihab
beserta adiknya Alwi Shihab dikirim ayahnya ke al-Azhar Cairo melalui
beasiswa dari propinsi Sulawesi, Pada awal 1958 dalam usia 14 tahun, ia
berangkat ke Kairo, Mesir. Dan diterima di kelas II Tsanâwiyah al-Azhar.
Kemudian melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas
7 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an ( Bandung: Mizan, 1994), h. 6.
14
Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 Ia meraih gelar
LC. Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar
M.A. Pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jâz at-Tasyrĭ’ al-
Qur’ăn al-Karîm (kemukjizatan al-Qur’an dari segi Hukum).8
Pada tahun 1973 Ia dipanggil pulang ke Makassar oleh ayahnya
yang ketika itu menjabat sebagai rektor, untuk membantu mengelola
pendidikan di IAIN Alauddin. Quraish Shihab menjadi wakil rektor bidang
akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Disamping menduduki
jabatan resmi itu, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur karena usia,
dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu,
Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan
Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian Timur, pembantu pimpinan
kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan
sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Di celah-celah kesibukannya ia
masih merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan
Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia (1975) dan masalah Wakaf
Sulawesi Selatan (1978).9
Untuk mewujudkan cita-citanya Ia mendalami studi tafsir, pada
tahun 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-
Azhar Cairo, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an. Ia hanya
memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doctor dalam bidang
disertasinya yang berjudul Nazm al-Durâr li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirâsah
8 Drs. Mustafa P, M. Ag, M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h. 65.
9http.// id. Wikipedia. Org/wiki/ Muhammad_Quraish_Shihab
(Suatu kajian dan analisa terhadap keotentikan kitab Nazm al-Durâr karya
al-Biqa’I ). Berhasil dipertahankannya dengan predikat penghargaan
Mumtâz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ulâ.
Pada tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish
Shihab untuk melanjutkan kariernya untuk pindah tugas dari dari IAIN
Makassar ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif
mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Qur’an di Program S1, S2, S3
sampai tahun 1998. Disamping melaksanakan tugas-tugas pokoknya
sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN
Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia
dipercaya menduduki jabatan sebagai menteri Agama selama kurang lebih
dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian diangkat sebagai Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negeri
Republik Mesir merangkap Negara Republik Djibouti berkedudukan di
Cairo.
Kehadiran Quraish Shihab di ibukota Jakarta telah memberikan
suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti
dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah
masyarakat. Disamping mengajar ia juga dipercaya untuk menduduki
semua jabatan. Diantaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984-1990), anggota lajnah Pentashhih al-
Qur’an,Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa
organiasi professional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan
Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan.
Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu
Syari’ah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan sebagi
Dewan Redaksi Studi Islamika: Indonesia Journal for Islamic Studies,
Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian Agama dan
Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.10
Howard M Federspiel mengatakan beliau sebagai orang yang unik
bagi Indonesia karena sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di
negeri Barat. Kemudian ia mengatakan: “Ketika meneliti biografinya,
saya menemukan bahwa ia berasal dari Sulawesi Selatan, terdidik di
pesantren, dan menerima pendidikan tingginya di Mesir pada Universitas
al-Azhar, di mana ia menerima gelar M.A dan Ph.Dnya. ini menjadikan ia
terdidik lebih baik di bandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya
yang terdapat dalam Popular Indonesian Literature of the Qur’an.11
2. Karya-Karya M. Quraish Shihab dan Pokok-Pokok Pemikiran Beliau
a. Karya-Karya Beliau
M. Quraish Shihab merupakan sosok Intelektual yang produktif. Di
tengah-tengah kesibukannya yang luar biasa yaitu sebagai dosen, pejabat
tinggi, dan organisasi. Beliau masih sempat menulis karya-karya ilmiah
yang di presentasi dalam berbagai seminar, rubric atau kolom yang dimuat
10 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2007), h. 368. 11 Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an Di Indonesia Dari Mahmud Yunus Hingga
Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996), h. 295-297.
dalam beragam surat kabar, majalah, maupun buku-buku. Tulisannya
bernuansa sejuk, sederhana, mudah di pahami, sehingga tidak
mengherankan bila diantara buku karyanya menjadi best seller dan
mengalami cetak ulang berkali-kali.
Adapun karya-karya yang telah di tulis oleh M. Quraish Shihab,
khususnya yang di terbitkan berbentuk buku diantaranya yaitu:
1. Al-Asmaul Husnâ. Karya ini mencakup uraian-uraian tentang nama
Tuhan yang berjumlah 99. Sebagian dari isinya juga di bawakan
untuk materi ceramah yang disampaikan di salah satu stasiun
televisi pada bulan Ramadhan.
2. Dia dimana-mana “ Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena”.
Karya ini diterbitkan d Jakarta oleh Lentera Hati pada tahun 2005.
3. Fatwa-fatwa (Bandung: Mizan) Buku ini adalah kumpulan
pertanyaan yang di jawab oleh M. Quraish Shihab yang terdiri dari
5 seri: Fatwa seputar Al-Qur’an dan Hadits, Seputar Tafsir Al-
Qur’an, Seputar Ibadah dan Mu’amalah, Seputar wawasan Agama,
Seputar Ibadah Mahdhah.
4. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987).
5. Haji bersama Quraish Shihab. Karya ini diterbitkan di Bandung:
Mizan, 1999.
6. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-Ayat Tahlil. Karya ini diterbitkan di
Jakarta: Lentera Hati, 1999.
7. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah : pandangan Ulama masa lalu
dan Cendekiawan Kontemporer. Diterbitkan oleh Lentera Hati
Jakarta tahun 2004.
8. Kumpulan Tanya Jawab Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah.
Ini diterbitkan oleh Penerbit Republika pada tahun 2004.
9. Logika Agama, Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal.
Diterbitkan oleh Lentera Hati pada tahun 2005.
10. Mu’Jizat al-Qur’an. Di tinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek
Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib. Karya ini diterbitkan oleh Mizan
pada tahun2007.
11. Membumikan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1992). Buku ini Best
Seller yang terjual lebih dari 75 ribu kopi.
12. Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah). Karya ini
diterbitkan pada tahun 1988, oleh penerbit Untagma, Jakarta.
Isinya merupakan dari kandungan surat Al-Fatihah.
13. Quraish Shihab menjawab 1001 soal keislaman yang patut anda
ketahui. Lentera Hati, Ciputat Cetakan V April 2009.
14. Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga yang dijanjikan
al-Qur’an. Karya ini diterbitkan Lentera Hati cetakan III pada
tahun Juli 2005.
15. Perempuan dari cinta sampai seks, dari Nikah Mut’ah sampai
sunnah, dari Bias lama sampai Bias Baru. Karya ini diterbitkan di
Jakarta oleh Lentera Hati cetakan IV April pada tahun 2007.
16. Pengantin Al-Qur’an. Karya ini diterbitkan di Jakarta: Lentera
Hati, 1998.
17. Secercah Cahaya Ilahi : Hidup bersama Al-Qur’an (Republish,
2007).
18. Sahur bersama Quraish Shihab. Karya ini diterbitkan di Bandung:
Mizan, 1999.
19. Sunnah-Syi’ah bergandengan tangan mungkinkah? Penerbit
Lentera Hati, Ciputat Tangerang, 2007.
20. Tafsir Al-Manâr, Keistimewaan dan Kelemahannya. Diterbitkan di
Ujung Pandang pada tahun 1984.
21. Tafsir Al-Qur’anul Karim, Tafsir atas surat-surat pendek
berdasarkan urutan turunnya wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah,
1999.
22. Tafsir Al-Mishbâh, karya ini dapat di katakan sebagai puncak
produk M. Quraish Shihab. Karya ini diterbitkan oleh Lentera Hati,
Jakarta 2002.
23. Tafsir Al-Amânah. Karya ini merupakan kumpulan Artikel dan
rubric yang di asuhnya pada Majalah Amanah, diterbitkan oleh
Pustaka Kartini pada tahun 1992.
24. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir al-Maudhu’I atas berbagai
persoalan. Karya ini diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1996. Dan
juga menjadi Best Seller.
25. Wawasan Al-Qur’an tentang zikir dan do’a. Lentera hati, ciputat
Tangerang cetakan I Agustus 2006.
26. Untaian Permata buat Anakku. Karya ini diterbitkan oleh Mizan,
di Bandung pada tahun 1998.
27. Yang Tersembunyi, Jin, Iblis, dan malaikat. Karya ini menguraikan
tentang persoalan-persoalan yang ghaib yang ada di sekitar kita.
Diterbitkan di Jakarta oleh Lentera Hati pada tahun 2000.
b. Pokok-pokok Pemikiran Quraish Shihab
1. Pemikiran Ilmu Kalâm M. Quraish Shihab
Kalam M. Quraish Shihab ada sepuluh materi dimulai dengan
menyoroti pandangannya tentang:
Kemahakuasaan Tuhan (termasuk didaamnya, perbuatan Tuhan), Sifat-
Sifat Tuhan, Antropomorfisme, Melihat Tuhan, Kalam Tuhan, Konsep
Iman, Takdir dan ikhtiar, Keadilan Tuhan, Sunnatullah, dan Fungsi akal
dan wahyu. Pemikiran kalam M. Quraish shihab tentang sepuluh materi
tersebut dibawa dan dibandingkan dengan pemikiran kalam tradisional
(aliran Asy’ariyah)dan rasional (aliran Mu’tazilah).
Lima aspek pemikiran kalam M. Quraish Shihab yang nampak
sejalan dengan pemikiran kalam tradisional adalah mengenai masalah sifat
Tuhan, melihat Tuhan, kalam Tuhan, sunnat al-Allah, dan fungsi akal dan
wahyu. Mengenai sifat Tuhan beliau cenderung tidak sepakat dengan
pandangan yang menyatakan bahwa sifat dan zat Tuhan itu sebagai
identik. Itu berarti beliau menegaskan bahwa sifat dan zat Tuhan itu
merupakan dua entitas yang berbeda, suatu pandangan yang khas dalam
pemikiran tradisional. sifat-sifat Tuhan dapat dibagi menjadi sifat salabî 12
(negative) dan sifat ijabî 13 (positif).
Mengenai sifat salabî, Asy’ariyah dan Mu’tazilah memiliki
persamaan dalam pandangan mereka, yaitu bahwa sifat-sifat itu tidak
menambahkan sesuatu kepada zat Tuhan. Akan tetapi, dalam masalah sifat
Ijabî mereka berbeda pendapat secara tajam. Kaum Asy’âriyah
berpendapat bahwa sifat-sifat Ijabî berbeda dengan zat Tuhan dan di
antara sifat-sifat itu sendiri berlainan satu sama lain. Sebaliknya,
Mu’tazilah berpendapat bahwa sifat dan zat Tuhan bukan dua entitas yang
terpisah, melainkan suatu ketunggalan. Mereka mengakui bahwa Tuhan
Maha Mengetahui dalam arti mengetahui dengan perantaraan pengetahuan,
12 Sifat Salabi meliputi sifat-sifat Esa, qadim, baqa, dan berbeda dengan makhluk. Di
katakan sifat-sifat salabi, karena Esa berarti tidak ada sekutu bagi-Nya, qadim berarti tidak ada permulaan, baqa berarti tidak ada pengakhiran, dan berbeda dengan makhluk berarti tidak ada yang menyamai-Nya.
13 Sifat Ijabi meliputi, mendengar, melihat, mengetahui (ilmu), kuasa dan sebagainya.
dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Dengan demikian sifat Tuhan
sekaligus zatnya.
Mengenai masalah Melihat Tuhan, beliau sepakat dengan
pandangan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat, tetapi dengan menggaris
bawahi : “paling tidak, dalam kehidupan dunia ini”. Itu berarti dia tidak
menutup kemungkinan bahwa Tuhan bias dilihat di akhirat nanti, dengan
cara dan kondisi yang tidak sama dengan persepsi yang dibayangkan
dalam kehidupan dunia ini. Mengenai kalâm Tuhan atau al-Qur’an M.
Quraish Shihab berpendapat bahwa al-Qur’an yang disisi Allah adalah
Qadîm, sedangkan al-Qur’an terdiri dari huruf-huruf, kata-kata, ayat dan
surat tertulis dan terbaca dalam bahasa Arab itu adalah hadîs (baru).
Pandangannya tentang masalah melihat Tuhan dan kalam Tuhan sejalan
dengan pandangan kaum tradisional.
Dua aspek yang sejalan pula dengan kaum tradisional adalah
mengenai masalah sunnat al-Allah serta fungsi akal dan wahyu. Bagi
M.Quraish Shihab apa yang disebut sunnat al-Allah atau hukum alam yang
berwujud kausalitas itu tidak lebih dari sekedar “urutan kejadian yang
tidak bersambung” dari dua peristiwa atau lebih. Dengan demikian melihat
dan menjelaskan fenomena dunia ini dengan menggunakan sudut
pandangan “atomistic” terhadap alam seperti yang dilakukan kaum
Asy’âriyah. Tidak ada sesuatu hukum sebab-akibat. Setiap wujud berdiri
sendiri, dan Tuhanlah yang memadukan aneka ragam wujud itu sesuai
dengan kehendak mutlak-Nya. Mengenai fungsi akal dan wahyu, beliau
berpendapat bahwa akal hanya dapat mengetahui wujud Tuhan, yakni
bahwa Tuhan itu ada. Akal tidak akan dapat mengetahui kewajiban
mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, dan mengetahui tentang
kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Ketiga hal
tersebut dapat diketahui melalui informasi wahyu. Pandangan ini tepat
persis pandangan kalam Asy’âriyah.
Sedangkan lima aspek pemikiran kalamnya yang sejalan dengan
pemikiran kalam rasional adalah mengenai kemahakuasaan Tuhan dan
perbuatan Tuhan, antropomorfisme, konsep Iman, takdir dan ikhtiar, serta
keadilan Tuhan. Menurut M. Quraish Shihab kemahakuasaan Tuhan
dibatasi oleh sunnat al-Allah dan hukum logika (artinya Tuhan tidak bisa
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan sifat kemahasempurnaan-Nya).
Dalam kaitan ini dia menyatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan
kebaikan; keburukan yang nampak dalam kehidupan ini hanyalah
keterbatasan persepsi manusia yang tidak bisa menjangkaunya. Mengenai
masalah antropomorfisme, dia menolak penafsiran yang memberikan
gambaran Tuhan yang mempunyai sifat-sifat jasmani. Kemudian mengenai
konsep iman, dia berpendapat iman adalah pembenaran dalam hati
(tasdiq), pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota
badan, terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.
Sedangkan mengenai masalah takdir dan ikhtiar, beliau cenderung
berpendapat bahwa manusialah yang menentukan nasibnya, walaupun
manusia tidak terlepas dari hukum takdir. Akhirnya, tentang keadilan
Tuhan, beliau berpendapat dengan keadilan-Nya pasti akan member
ganjaran kepada orang-orang yang berbuat baik dan menjatuhkan
hukuman terhadap orang-orang yang berbuat buruk, walaupun terhadap
yang terakhir Tuhan mungkin mengampuni dosanya.
M. Quraish Shihab dalam merumuskan pandangan kalamnya,
hampir sepenuhnya menempuh pendekatan tradisional, dalam arti beliau
mencapai kesimpulan-kesimpulan analisisnya lebih berdasarkan analisis
semantic (kebahasaan) yang didukung pendekatan tafsir bi al-ma’tsûr.
Beliau menghindari penggunaan takwil seperti yang banyak ditempuh
kaum Mu’tazilah. Bahkan beliau mengkritik kecenderungan para mufassir
yang terlalu banyak menggunakan takwil tanpa didukung oleh makna
kebahasaan.14
Dengan demikian, secara keseluruhan, dari segi metodenya
pemikiran kalam M. Quraish Shihab cenderung bercorak tradisional, maka
refleksi pemikiran kalamnya akan cenderung bercorak normativitas.15
2. Pemikiran M. Quraish Shihab tentang Batas Aurat Pakaian
Wanita
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pakaian wanita
mengandung aneka interpretasi, sedangkan hadits-hadits yang merupakan
rujukan utama dan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, tidak
14 Drs. Mustafa P., M. Ag, M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia
( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), cet. Ke-1, h. 200-202. 15 Pemikiran Kalam yang bercorak Normativitas adalah pemikiran kalam yang dalam
usahanya untuk memfungsionalkan ajaran agama yang bertolak dari keprihatinan terhadap realitas teoritis (teks). Pemikiran kalam yang bertolak dari keprihatinan terhadap realitas teoretis pada dasarnya mengabdi kepada kepentingan doktrin, yakni bagaimana ajaran agama bias di pahami umat secara benar.
meyakinkan pihak lain, baik karena dinilai lemah oleh kelompok yang
menolaknya atau diberi interpretasi yang berbeda. Perbedaan pendapat
para ulama masa lampau tentang batas-batas yang ditoleransi untuk terlihat
dari wanita membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang nilai ke-
shahih-an riwayat-riwayat yang berkaitan dengan batas-batas aurat wanita
dan ini sekaligus menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang
ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhannî yakni dugaan.
Seandainya ada hukum yang pasti yang bersumber dari Al-Qur’an atau
sunnah Rasul SAW., tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak pula akan
menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batas-
batas itu.
Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-
pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman
serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-
pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti
dan tegas. Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas
aurat wanita merupakan salah satu masalah khilâfiyah, yang tidak harus
menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Kesimpulan
yang diambil dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Pengkajian
Islam IAIN Syarif Hidayatullah Maret 1988 adalah “Tidak menunjukkan
batas aurat yang wajib ditutup menurut hukum Islam, dan menyerahkan
kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan.
Memang, harus diakui bahwa kebanyakan ulama masa lampau
hingga kini, cenderung berpendapat bahwa aurat wanita mencakup seluruh
tubuh mereka kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Akan tetapi,
harus pula diakui bahwa ada pendapat lain yang lebih longgar di samping
kenyataan menunjukkan bahwa banyak kalangan keluarga ulama yang
terpandang wanita-wanitanya baik anak maupun istri tidak mengenakan
jilbab. Di Indonesia, lihatlah misalnya sebagian dari Muslimat Nahdatul
Ulama, atau Aisyiah. Tentu saja para ulama kedua organisasi Islam yang
trbesar di Indonesia itu memiliki alasan dan pertimbangan-
pertimbangannya, sehingga praktek yang mereka lakukan itu apalagi tanpa
teguran dari para ulama boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas
pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita
adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak
mengundang gangguan dari mereka yang usil.
M. Quraish Shihab perlu mengingatkan bahwa, kendati ditemukan
aneka pendapat tentang batas-batas aurat wanita, namun terdapat juga
beberapa ketentuan yang disepakati oleh para ulama dan cendekiawan
muslim, baik masa lalu maupun masa kini dalam hubungannya dengan
aurat dan pakaian wanita.16
B. Tafsir Al-Mishbâh M. Quraish Shihab
1. Latar Belakang Pemilihan Nama al-Mishbâh
16 M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah ( Jakarta : Lentera Hati, 2006),
cet. Ke-3, h. 179-180.
Karya besar tafsir M. Quraish Shihab yang satu ini di beri nama
“Tafsir al-Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian. Yang biasa disingkat
dengan Tafsir al-Mishbâh saja, penamaan Tafsir al-Mishbâh pada kitab
tafsirnya tentunya melalui pertimbangan yang masak. Yang mengetahui
alasan-alasannya hanyalah penulisnya saja. Walaupun secara eksplisit
Quraish tidak menyebutkan alasan penamaannya, namun hal tersebut dapat
dilacak dan dianalisis berdasarkan uraian-uraian yang diungkapkan pada
sambutannya atau sekapur sirih.
Dalam analisis Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA. Pada kata
pengantar Tafsir al-Mishbâh tersebut terdapat alasan pemilihan nama, al-
Mishbah ini paling tidak mencakup 2 (dua) hal, Pertama, pemilihan nama
itu berdasarkan pada fungsinya, al-mishbâh berarti lampu gunanya
menerangi kegelapan. Dengan pemilihan nama ini dapat diduga bahwa
Quraish mempunyai suatu harapan ingin memberikan penerangan dalam
mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang
mengalami kesulitan dalam memahami al-Qur’an secara langsung karena
bahasa.17
Kedua, pemilihan nama ini didasarkan pada awal kegiatan Quraish
Shihab dalam hal tulis-menulis di Jakarta. Pada tahun 1980-an, ia sebagai
pengasuh rubric “Pelita Hati”, pada Harian Pelita. Rupanya uraian yang
disajikannya menarik banyak pihak, karena memberikan nuansa yang
sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994,
17M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan dan Keserasian al-Qur’an ( Jakarta :
Lentera Hati, 2000), Vol. I, h. v-viii.
kumpulan tulisannya itu diterbitkan oleh Mizan judul Lentera Hati, dari
sinilah nampaknya pengambilan nama al-Mishbâh itu berasal. Karena
Lentera paduan dari kata pelita atau lampu disebut dengan nama al-
Mishbâh; dan kata inilah yang kemudian dipakai oleh Quraish Shihab
untuk menjadikan karyanya.18
Pada akhir dari sekapur sirih yang terdapat pada Tafsir al-Mishbâh
volume I, M. Quraish Shihab menerangkan awal penulisan tafsir Al-
Mishbâh bertempat di Kairo Mesir, pada hari Jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420
H, bertepatan pada tanggal 18 Juni 1999 M. Kemudian diterbitkan untuk
pertama kalinya pada bulan Sya’ban bertepatan pada bulan November
2000 M. Oleh penerbit Lentera Hati, dicetak dengan hard cover terdiri dari
15 volume besar. 19
2. Sumber Penafsiran Al-Mishbâh
Yang dimaksud sumber penafsiran di sini adalah hal-hal atau
materi yang digunakan untuk menjelaskan makna dan kandungan ayat,
atau menurut M. Yunan Yusuf, yaitu cara seorang mufassir memberikan
tafsirannya, apakah menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan al-
Qur’an, al-Qur’an dengan al-Hadits, al-Qur’an dengan riwayat sahabat,
kisah Israiliyyăt, atau menafsirkan al-Qur’an dengan fikiran (ra’y).20
18 Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab
dalam jurnal Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 176-177. 19 M. Qurash Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (
Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. xii. 20 M. Yunan, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia abad keduapuluh, Jurnal Ulmul
Qur’an, Vol. III, No. 4, 1992, h. 51. Atau dalam Ishtilah Nashruddin Baidan, sumber ini adalah bentuk penafsiran. Lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), Cet. Ke-1, h. 9.
Dalam literature Ulum Qur’an, sumber penafsiran ini dapat dibagi
pada dua macam, yaitu penafsiran bi al-ma’tsûr, adalah penafsiran Qur’an
dengan al-Qur’an, al-Hadits, pendapat sahabat dan tabi’in.21 Sedangkan
penafsiran bi al-Ra’yî adalah penafsiran yang dilakukan dengan
menetapkan rasio sebagai titik tolak. Tafsir bi al-Ra’yî ini disebut juga
dengan tafsir bi al-Ijtihâd yaitu penafsiran yang menggunakan penalaran
akal.22
Berbicara tentang sumber penafsiran Al-Mishbâh, penulis
cenderung terhadap tafsir Al-Mishbâh dapat dikelompokkan pada
penafsiran tafsir bi Ra’yî. Kesimpulan seperti ini diambil dari pernyataan
penulis Tafsir Al-Mishbâh pada sekapur sirih pada Tafsir Al-Mishbâh
volume I. redaksi yang tulisannya sebagai berikut:
Akhirnya penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim ibn Umar al-Biqa’I (w. 885 H-1480 M ) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Al-Azhar Cairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir pemimpin Al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthâwi, juga Syekh Mutawallî asy-Sya’râwĭ, dan tidak ketinggalan
21 Muhammad Abd al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an ( Beirut : Isa al-Babi
al-Halabi ), Jilid I, h. 21. Lihat juga Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi-Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an ( Jakarta : Pustaka Lintera Antarnusa, 2004), Cet. VIII, h. 482. Adapun yang terakhir, yaitu pendapat Tabi’in para ulama ada yang memasukkannya ke dalam golongan tafsir bi al-Ma’tsur, ada pula yang memasukkannya ke dalam tafsir bi al-Ra’yi. Lihat Subhi Shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an ( Beirut : Dar al-Ilmu li al-Malayin, 1985), Cet. XVI, h. 291.
22 M. Quraish Shihab, et. Al, Sejarah Ulumul Qur’an ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999), Cet. I, h. 177. Tafsi bi al-ra’yi disebut juga tafsir bi al-diniyah atau tafsir bi al-maqul yaitu : penjelasan-penjelasan yang bersendi pada akal dan ijtihad, berpegang pada kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya. Lihat TM. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Penganyar Ilmu al-Qur’an ( Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 227.
Sayyid Quthub, Muhammad Thâhir Ibnu Asyǔr, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I serta beberapa pakar tafsir lainnya.23
Dari pernyataan beliau di atas, yang harus di garis bawahi yang
pertama bahwa sumber yang digunakan tafsir Al-Mishbâh adalah ijtihâd
penulis. Salah satu alasannya adalah adanya kecenderungan M.Quraish
Shihab menggunakan penalarannya. Yang kedua adalah dalam rangka
menguatkan ijtihadnya. Beliau menggunakan rujukan sumber-sumber
yang berasal dari riwăyah ( menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis
Nabawi, pendapat sahabat, dan pendapat dan fatwa ulama).
Sebagai contoh, adalah penafsiran terhadap Q.S. An-Nahl ayat 2 :
Artinya: “Dia menurunkan para malaikat dengan rûh atas perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu : “Peringatkanlah bahwa tidak ada tuhan melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” Ayat ini secara tegas menggunakan kata rûh. Dan rûh ini yakni
wahyu yang di bawakan oleh para malaikat. Kata malaikat (ملائكة) adalah
bentuk jamak dari kata (ملك) malak. Dari segi redaksional, ini berarti
bahwa yang menyampaikan wahyu Ilahi bukan hanya satu malaikat
tertentu. Para ulama memahami kata tersebut dalam arti seorang malaikat
yaitu malaikat Jibril as. Yang bertugas pokok menyampaikan wahyu.
23 M. Qurash Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta:
Lentera Hati, 2000), h. xii.
Bahwa ayat ini menggunakan redaksi yang berbentuk jamak, adalah untuk
mengisyaratkan betapa agung malaikat itu.
Bisa juga bentuk jamak itu tetap dalam pengertian jamaknya, dan
ini berarti bahwa wahyu Ilahi dapat saja disampaikan oleh beberapa
malaikat selain malaikat Jibril as. Namun demikian, perlu dicatat bahwa
para malaikat selain Jibril as. Tidaklah bertugas menyampaikan wahyu al-
Qur’an tetapi wahyu selain al-Qur’an, karena secara tegas QS. Asy-
Syu’ara [26]: 193 menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan oleh al-Rûh al-
Amĭn yakni malaikat Jibril as. Memang wahyu Allah bermacam-macam
dan ditujukan kepada banyak manusia, bahkan ada wahyu-Nya yang
berarti ilham antara lain yang diwahyukan kepada ibu Nabi Musa as. (QS.
Al-Qashash [28]: 7) dan juga kepada lebah seperti terbaca pada ayat 68
surah ini.
Dan kata (الروح) al-rûh oleh ayat di atas dipahami oleh ulama
adalah wahyu. Tuntunan-tuntunan Allah dinamai al-rûh karena dengannya
jiwa manusia hidup, sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa. Ini
serupa dengan penamaan kebodohan dengan kematian, atau ilmu dengan
cahaya. Tanpa melaksanakan bimbingan wahyu manusia tidak dapat hidup
sebagai makhluk terhormat bahkan jiwanya mati, sehingga ia terkubur
walau masih menarik dan menghembuskan nafas.24
3. Metode Penafsiran Al-Mishbâh
24 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 182.
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara
atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab
menerjemahkannya dengan tariqăt dan manhaj. Dalam kamus bahasa
Indonesia, kata tersebut mengandung arti “cara yang teratur dan berpikir
baik-baik untuk mencapai dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya; cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai suatu yang ditentukan.25 Dalam kaitan ini, maka metode tafsir
berarti system yang dikembangkan untuk memudahkan dan memperlancar
proses penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan.
Setiap mufassir memiliki metode yang berbeda dalam menafsirkan
al-Qur’an. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga
penulisan tafsir sampai tahun 1960, para ulama tafsir menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam
mushaf. Penafsiran ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk al-Qur’an
secara terpisah serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan
menyeluruh.26
Al-Farmawi27 dan Hasan ‘Arid 28 membagi metode penafsiran ini
kepada empat macam, yaitu metode tahlîlî, ijmalî, muqarân, dan
25 Nashruddin Baidan, Metodologi penafsiran al-Qur’an ( Yogyakarta : Glagah
UHIV/343), Cet. I,h. 1. 26M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an ; Fungsi dan Peran Whyu dalam
Kehidupan Masyarakat ( Bandung : Mizan, 1994), h. 73. 27 Al-Farmawi adalah seorang guru besar pada Fakultas Ushuluddin al-Azhar. Beliau
pada tahun 1977 menerbitkan buku yang berjudul AL-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, dengan mengemukakan pembagian metode tafsir menurut perkembangannya. Lihat Abd Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir al-Maudhu’iy ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. II,h. 11-13.
28 Ali Hasan ‘Aridl, Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin ( Beirut : Dar al-I’tisam, tt), h. 47.
maudhu’ĭ. Metode penafsiran yang dimaksud dalam sub bab ini adalah
metode penafsiran yang biasa digunakan dalam wacana Ulumul Qur’an
dan umumnya dipakai oleh ulama tafsir seperti yang disebutkan di atas.
Metode Tahlîlî ( Tafsir dengan Metode Tahlili ). Tahlîlî berasal
dari bahasa Arab hallala-yuhallilu-tahlĭl yang berarti “mengurai,
menganalisis”. Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat
al-Qur’an dengan memaparkan segala makna, aspek yang terkandung di
dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an Mushăf
Utsmânĭ. Dalam melakukan penafsiran, mufassir memberikan perhatian
sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang di
tafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap
bagian ayat. Mufassir menerangkan hubungan (munâsabah) baik antara
satu ayat dengan ayat lain maupun antara satu surah dengan surah lain.
Menjelaskan asbâb al- nuzûl ( sebab-sebab turunnya ayat). Menganalisis
mufradat (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab.
Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya, menjelaskan
hukum yang yang dapat di tarik dari ayat yang di bahas.29
Metode ijmâlî (global) adalah metode yang menyajikan penafsiran
secara global, dan singkat tapi mencakup, dengan bahasa popular, mudah
dimengerti, dan enak dibaca, sehingga terasa oleh pembacanya bagaikan
tetap berada dalam gaya kalimat-kalimat al-Qur’an. Kemudian metode
maudû’î (tematik) adalah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an
29 Prof. Dr. M. Quraish Shihab. dkk, Sejarah dan Ulumul Al-Qur’an ( Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008), h. 172-173.
sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang
berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbâb al-nuzûl, kosa kata,
dan sebagainya. Kemudian metode muqaran (perbandingan) adalah
metode yang berupaya membandingkan satu ayat dengan ayat lain atau
dengan hadits Nabi Saw. Yang kelihatannya bertentangan, atau juga
membandingkan pendapat beberapa ulama yang bertentangan menyangkut
ayat-ayat tertentu.30
Kalau dilihat dari pemaparan metode yang digunakan oleh Quraish
dalam Tafsir al-Mishbah adalah metode tahlĭlĭ. Karena dapat dilihat dari
cara penafsiran yang terdapat dalam karya ini, yaitu dengan menjelaskan
ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat
dalam mushâf. Metode ini sengaja dipilih oleh penulisnya, karena ingin
mengungkapkan semua isi al-Qur’an secara rinci agar petunjuk-petunjuk
yang terkandung didalamnya dapat dijelaskan dan dipahami oleh
pembacanya.
Tapi walau demikian, sebenarnya Quraish Shihab juga tidak secara
otomatis meninggalkan yang lain. Karena pada banyak tempat beliau pun
memadukan metode tahlîlî ini dengan tiga metode lainnya, khususnya
metode maudû’î . Bentuk ini dapat dilihat dalam uraian seluruh ayat sesuai
dengan urutan mushaf tersebt, Quraish Shihab juga pertama-pertama
menafsirkannya secara global, kemudian mengelompokkan ayat-ayat
30 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an Karim M. Quraish Shihab; Tafsir atau Surah-
Surah Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), h. V.
sesuai topiknya, lalu pada saat-saat tertentu beliau menyuguhkan
pendapat-pendapat ulama berkaitan dengan ayat yang sedang dibahas.
Sebagai contoh, penafsiran beliau terhadap surah al-Baqarah ayat
102 tentang sihir. Pertama-tama beliau menjelaskan sihir dan sejenisnya
itu sendiri (ini menggunakan metode ijmâlî dan tahlîlî). Penjelasan ini
dilengkapi dengan menampilkan pendapat-pendapat ulama tentang sihir
(menggunakan metode muqâran). Kemudian beliau menjelaskan sihir
yang dibicarakan al-Qur’an, dalam konteks uraian Fir’aun dan Nabi Musa
a.s., “Mereka menyihir/menyulap mata orang dan menjadikan orang
banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar
(menakjubkan)” (Q.S. Al-A’raf [7]: 116). Dalam ayat lain Allah
menyatakan menyangkut tali-temali dan tongkat-tongkat yang digunakan
oleh penyihir Fir’aun (Q.S Thaha[20]: 66), dan sihir itu sendiri
mempengaruhi jiwa manusia, dan memberikan dampak yang buruk.
Adapun ayat ini (Q.S. Thaha[20]: 69), isyarat yang kuat bahwa al-Qur’an
telah mengancam sihir melalui kisah Nabi Musa dan para penyihir Fir’aun.
Dan menjadi haram mempelajari sihir, karena sesuatu keburukan yang
lebih banyak dari pada kebaikannya adalah sesuatu yang tercela, bahkan
haram. (ini menggunakan metode maudu’î ).
Tetapi walau bagaimana pun, kalau penulis ingin berpedoman pada
empat macam metode penafsiran seperti yang telah disebutkan di atas,
maka penulis harus secara tegas memilih salah satunya, dan metode yang
paling pas dari tafsir Al-Mishbâh ini adalah metode tahlîlî.
4. Corak (Laun) Penafsiran Al-Mishbâh
Dalam menafsirkan al-Qur’an para mufassir mempunyai
kecenderungan yang berbeda dalam karyanya. Terdapat beberapa corak
penafsiran, antara lain: Tafsir Falsâfî, Tafsir Ilmî, Tafsir Lughâwî, Tafsir
Fiqih, Tafsir Adab Ijtimâ’ĭ dan sebagainya.
Quraish Shihab menyebutkan enam corak tafsir yang sudah dikenal
hingga saat ini. Pertama, corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyak
orang non Arab yang memeluk Islam, serta akibat kelemahan orang Arab
sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan
keistimewaan dan kedalaman kandungan al-Qur’an. Kedua, corak filsafat
dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat di satu pihak dan
kepercayaan lama yang dibawa oleh pemeluk Islam baru. Ketiga, corak
penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan serta usaha
memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
Keempat, corak fiqhî, akibat berkembangnya ilmu fiqih dan terbentuknya
mazhab-mazhab fiqih. Kelima, corak tasawuf akibat timbulnya gerakan-
gerakan sufi. Keenam, corak sastra budaya kemasyarakatan yang dirintis
oleh Muhammad Abduh. Yakni corak tafsir yang menjelaskan ayat-ayat
al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta
untuk menanggulangi masalah-masalah kemasyarakatan berdasarkan
petunjuk al-Qur’an, dan menyampaikan dalam bahasa yang indah dan
mudah dipahami.31
Kitab tafsir yang berjumlah lima belas jilid ini mempunyai corak
penafsiran Adab Ijtimâ’î. M. Quraish Shihab menyatakan, yang dimaksud
dengan tafsir bercorak Adabi Ijtimâ’î ialah tafsir yang menitik beratkan
penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi al-Qur’an,
kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi
yang indah dengan menonjolkan tujuan dari tujuan diturunkannya al-
Qur’an, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan , lalu menggandengkan
pengertian ayat-ayat tersebut dengan hokum-hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat dan pembangunan dunia32.
Penulis akan mengemukakan contoh tafsir yang bercorak al-adâbî
al-ijtimâ’î, contohnya yaitu tentang kapan bulan Ramadhan dimulai, dan
dalam uraiannya dikatakan bahwa puasa bulan Ramadhan sudah harus
dimulai apabila sudah ada yang melihat hilal baik secara mata kepala atau
dengan melalui perhitungan, maupun melalui informasi dari sekelompok
31 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 72. Sedangkan Al-Farmawi membagi
corak Tafsir ini kepada enam macam, yaitu : Tafsir bi al-Ma’tsur, tafsir bi al-Ra’yi, tafsir Sufi, tafsir Fiqhy, tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmy, dan tafsir Adab Ijtima’iy. Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-ra’y dikategorikan oleh beliau seperti halnya Adzahabi, pada corak tafsir, tidak seperti ulama yang lain mengkategorikannya pada sumber tafsir, seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Lihat al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I, h. 12-27. Adapun M. Ibrahim Syarif membagi corak tafsir ini kepada tiga macam yaitu: corak Hida’iy, corak Adabiy, dan corak Ilmiy. Corak Hida’iy adalah kecenderungan mufassir menjadikan kandungan hidayah al-Qur’an sebagai topic penafsirannya. Corak Adabiy adalah kecenderungan untuk mengungkapkan kemukjizatan al-Qur’an pada sisi bahasa dan sastranya. Sedangkan corak Ilmiy adalah kecenderungan seorang mufassir mengaitkan penafsiran nash-nash al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan. Lihat M. Ibrahim Syarif, Ittijahat al-Tajdid fi Tafsir al-Qur’an fi al-Mishr ( Mesir : Dar al-Turats, 1998), cet. 1, h. 309-627.
32 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh kajian masalah akidah dan ibadat. (Jakarta : Paramadina, 2002), cet. 1,h. 110.
orang yang dapat dipercaya. Sebagaimana Quraish Shihab menulis sebagai
berikut:
Dimanakah bulan itu dilihat oleh yang melihatnya? Di kawasan tempat ia berada. jawaban yang sangat membatasi jangkauan penglihatan. Kelompok Ulama di bawah koordinasi Organisasi Konferensi Islam menetapkan bahwa di mana saja bulan dilihat oleh orang terpercaya, maka sudah wajib puasa dan berlebaran atas seluruh umat Islam, selama ketika melihatnya, penduduk yang berada di ilayah yang di sampaikan kepadanya berita kehadiran bulan itu, masih dalam keadaan malam. Jika selisih waktu antara satu kawasan dan kawasan lain belum mencapai jarak yang menjadikan perbedaan terjadinya malam di satu kawasan dan siang di kawasan lain, dalam keadaan seperti itu puasa telah wajib bagi semua. Selisih waktu antara Jakarta dan Saudia Arabia atau Mesir, tidak lebih dari empat atau lima jam. Awal malam di Timur Tengah belum lagi tengah malam di Jakarta. Jika terlihat bulan di Timur Tengah, masyarakat muslim Indonesia sudah wajib berpuasa. Ini berbeda dengan beberapa wilayah di Amerika Serikat dengan Indonesia. Perbedaan waktu dapat begitu panjang antara kedua wilayah ini sehingga ketika matahari terbit di sini, bisa jadi ia telah terbenam di sana, sehingga orang Indonesia yang melihat bulan maka masyarakat muslim di Amerika belum wajib berpuasa. Demikian sebaliknya. Tetapi jika masyarakat muslim di Mekkah melihatnya, baik masyarakat muslim di Indonesia mauun di Amerika kesemuanya telah wajib berpuasa.33
Melihat contoh di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa dalam
menafsirkan ayat, M. Quraish Shihab menggunakan corak Adâb Ijtimâ’I,
yakni berusaha memberikan suatu sumbangan pemikiran terhadap
permasalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat.
5. Sistematika Penulisan al-Mishbâh
Untuk memudahkan pembaca dalam penulisan suatu karya,
biasanya seorang penulis menggunakan suatu system yang dapat
memudahkan penulis menyusun karya tersebut. Setiap penulis menganut
33 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (
Jakarta: Lentera Hati, 2009), vol. II, h. 488-489.
system yang berbeda-beda sesuai kecenderungan masing-masing. Tidak
berbeda dengan tafsir al-Mishbâh juga menggunakan sistematika
penulisan yang dapat dikatakan berbeda dengan karya tafsir sebelumnya.
Jika dikelompokkan berdasarkan sistematika yang sering
digunakan oleh penafsir al-Qur’an kita dapat membaginya menjadi dua
bagian. Pertama, Sistematika penyajian penulisan tafsir berdasarkan urutan
surah yang ada dalam mushâf standar. Kedua, sistematika penulisan yang
mengacu pada urutan turunnya wahyu-wahyu.34 Dalam hal ini Tafsir al-
Mishbâh termasuk dalam kelompok pertama. Berikut ini adalah
sistematika penulisan Tafsir al-Mishbâh :
a. Kitab tafsir ini dimulai dengan pengantar penulis yang diberi judul
“sekapur sirih” yang berisikan penjelasan penulisan mengenai latar
belakang penulisan tafsir ini.
b. Pada setiap awal penulisn surah diawali dengan pengantar mengenai
penjelasan surah yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang
jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surah, nama
lain surah dan lain sebagainya. Terutama surah al-Fatihah,
keterangannya tampak diuraikan secara panjang lebar. Hal ini dapat
dimaklumi karena surah ini sebagai pembuka dan merupakan induk al-
Qur’an. Dalam al-Fatihah terkandung intisari isi al-Qur’an secara
keseluruhan.
34 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi (
Jakarta : Teraju, 2003), h. 222.
c. Quraish Shihab sangat memberi penekanan pada munasabah
(keserasian) antara ayat-ayat dan surah dalam al-Qur’an. Maka dalam
memulai bahasan sebuah surah, Quraish Shihab tidak lupa
menyertakan keserasian antar surah yang dibahas dengan surah
sebelumnya. Pada munasabah ayat (keserasian ayat) ini, Quraish
sangat terpengaruh oleh Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’ĭ (809-889H),
dalam bukunya Nazm al-Durâr fi Tanâsub al-Ayat wa Suwâr, seorang
tokoh ahli tafsir yang pernah dikajinya saat beliau menulis disertasi35.
d. Penulisan ayat dalam tafsir ini, sebagaimana yang diakui oleh Quraish
dalam pengantarnya, dikelompokkan dalam tema-tema sesuai
urutannya, pengelompokkan ayat-ayat berdasarkan tema tanpa ada
batasan yang tertentu jumlah ayat yang ditempatkan pada kelompok
yang sama. 36 demikian dilakukan sebagai konsekwensi logis terhadap
kecenderungan terhadap metode maudu’ĭ dan ketidakcocokannya
terhadap metode tahlîlî. Namun pengelompokkan dalam tafsir ini
hanya dititikberatkan pada pengelompokkan nomor ayat.
e. Dan diikuti terjemahannya37, ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan
pemahamannya sendiri. Artinya beliau tidak berpedoman pada salah
35 Al-Biqa’I nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Ribat bin Ali bin
Abi Bakar al-Syafi’I, dilahirkan di desa Kharbah, sebuah desa yang terletak di lembah Biqa’ dekat Damaskus (Syiria) pada awal abad ke-9 H. Tepatnya pada tahun 809 H/ 406 M. Lihat Umar Khalah, Mu’jam al-Muallifin (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi), Vol. I, h. 71.
36 Misalnya surah Al-Baqarah dibagi menjadi dua puluh tiga kelompok, dan masing-masing kelompok jumlah ayatnya tidak seragam, seperti kelompok pertama (ayat 1-20), kelompok kedua (21-29), dan seterusnya.
37 Dan mukaddimah yang dituangkan pada setiap volume, Istilah “terjemahan al-Qur’an digunakan oleh Quraish hanya mendekatkan pemahaman pembaca. Oleh sebab itu, beliau sendiri
satu terjemahan al-Qur’an (seperti terjemahan fersi Depag). Oleh
karena itu, tidak jarang ditemukan terjemahan al-Qur’an di dalam
tafsirnya, berbeda dengan terjemahan yang tersebar luas di
masyarakat.38
f. Kemudian langkah selanjutnya, Quraish menjelaskan kandungan ayat
demi ayat secara berurutan. Kemudian beliau memisahkan terjemahan
makna al-Qur’an dengan sisipan atau tafsir melalui penulisan
terjemah-maknanya dengan italic letter (tulisan miring), dan sisipan
atau tafsirnya dengan tulisan normal (tegak). Kadang-kadang juga
beliau menghadirkan penggalan teks ayat, baik berupa kata(kalimat)
atau frase (kelompok kata), kemudian menjelaskan makna kata
terbut.39
g. Penulisan uraian kosa kata pada tafsir ini hanya yang dipandang perlu
saja untuk menhindari bertele-telenya penjelasan kosa kata dan
kaedah-kaedah yang disajikan.
tidak setuju dengan “alih bahasa” ke bahasa yang lain, yang disebut “terjemahan al-Qur’an” apalagi “al-Qur’an dan terjemahnya”. Menurut Quraish , hal itu lebih tepat disebut atau dipahami sebagai terjemahan makna-makna al-Qur’an. Lihat “sekapur sirih” Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol I, h. x.
38 Kadang-kadang Quraish melakukan kritik atas satu bentuk terjemahan dan sekaligus mengutarakan bentuk terjemahan (terjemahan makna-makna al-Qur’an dalam istilah Quraish). Contohnya ketika beliau menerjemahkan kalimat “aqimu al-salah” yang biasa diterjemahkan dengan “dirikanlah shalat”, beliau katakan bahwa terjemahan ini keliru, karena kata aqim bukan terambil dari kata qama yang berarti “berdiri”, tetapi dari kata qawama yang berarti “melaksanakan sesuatu dengan sempurna dan berkesinambungan berdasarkan hak-haknya”. Lihat M. Quraish Shihab, al-Mishbah…., Vol. I, h. 90.
39 Kelihatan hal ini dilakukan ketika kata tersebut dapat menunjukkan beberapa arti. Lihat Quraish, al-Mishbah…, Vol II, h. 398.
h. Penulisan ayat al-Qur’an selain yang dibahas dan penukilan sunnah
Nabi saw, hanya ditulis terjemahannya saja.
Demikianlah sistematika penulisan Quraish Shihab dalam karyanya
ini. Jika di lihat susunannya yang demikian, dapat dikatakan bahwa hal ini
merupakan cara baru yang diperkenalkannya. Sebab dalam karya tafsir
sebelumnya, seperti Tafsir an-Nur karya Hasbi ash-Shiddiqie, Tafsir al-
Azhar karya Hamka, Al-Qur’an dan Tafsirnya yang diterbitkan oleh UII,
cenderung untuk menulis setiap ayat atau hadis yang dijadikan rujukan
atau tambahan penjelasan pasti dengan tulisan Arab, karena hal ini juga
dapat disebut sebagai suatu ciri khas Tafsir al-Mishbâh.
BAB III
INTERPRETASI TENTANG RÛH
A. Pengertian Rûh secara Bahasa dan Istilah
Dalam Al-Qur’an ada istilah rûh, rûh al-Kudûs dan rûh al-amîn,
rûh dalam arti jiwa. Ada yang bertanya kepada Nabi Saw tentang rûh.
Beliau disuruh menjawabkan rûh itu urusan Tuhan dan kamu hanya diberi
pengetahuan sedikit tentang rûh.
Dalam kamus Al-Munawwir kata-kata rûh dan bentuk jamaknya
arwăh mempunyai arti: Rûh, Jiwa, ataupun Sukma. Sedangkan kata rǔh
dalam tunggal (mufrad/singular) memiliki beberapa arti, sesuai dengan
penggunaannya. Rûh adakalanya bermakna wahyu (Al-Qur’an), malaikat
لملاكا ) ) secara umum bermakna Malaikat Jibril ( القدوس rûh juga ,( روح
dapat bermakna intisari atau hakekat. Di sini rûh yang dimaksud adalah
rûh yang bersifat ruhani spiritual yang oleh Warsun Munawwir sebagai (
) yang bersifat immateri memiliki keagungan ( الخلاصة ( الروح الدینى
ataupun dari nilai agamis.40
Secara bahasa dalam kamus besar bahasa Indonesia diterjemahkan
sebagai sesuatu yang tidak berbadan jasmani, yang berakal dan
berperasaan ( seperti: Malaikat, dari sini dapat dikatakan bahwa rûh adalah
sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani yang bersifat immateri,
40 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia ( Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), h. 545.
yang memiliki akal dan perasaan, serta memiliki nilai-nilai agamis, yang
mampu membawa pemiliknya kearah kehidupan kerohanian.41
Sedangkan Javad Nurbakhsy berpendapat bahwa rûh adalah lapisan
hati yang menikmati titik pandangan cahaya Allah, yang pada bagian itu
memperlihatkan wujudNya tanpa tabir penghalang. Hati merupakan kulit
kerang dan rûh adalah mutiara. Bila jiwa mencapai perkembangan rûh, dia
akan memperoleh kehidupan dari sifat yang maha hidup dan menjadi
esensi dari semua hal melalui sifat Yang Maha Kekal.42
Menurut Quraish Shihab, kata rûh merupakan salah satu kata
turunan dari akar kata ra, waw, dan ha. Dari akar kata tersebut terbentuk
kata kerja masa lampau, râha (راح ). Kata kerja tersebut mempunyai
bentuk kata kerja masa kini (fiil mudhâri) dan mashdâr. Perbedaan bentuk
mudhâri dan mashdâr itu berakibat pada perbedaan makna.
Perbedaan bentuk itu, pertama, râha-yarûhu-rawâhan ( یروح -راح –
.yang berarti pergi pada waktu petang, di gunakan di dalam QS ( رواحا
Saba’ (34): 12. Kedua, râha-yarûhu-rauhan ( -dan râha ( روحا - یروح – راح
yarâhu-rîhan ( ریحا - یراح-راح ) yang jika diikuti al-yaum (الیوم= hari) berarti
bahwa’pada hari itu banyak berhembus angin’. Ketiga, râha- yarâhu-
râhatan ( yang berarti ‘berbau harum’, dan dari bentuk ini ( راحة- یراح-راح
41 Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen P&K ( Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h.
845. 42 Sudirman Tebba, Ruh Misteri Maha Dahsyat ( Ciputat : Pustaka Irvan, 2008), h. 38.
diperoleh kata raihân ( yang berarti ‘tumbuh-tumbuhan yang ( ن ریحا
berbau harum’, seperti tersebut di dalam Q.S. Ar-Rahman [55]: 12. 43
Kata rûh berasal dari r-w-h, timbul pula kata jadian rûh. Pada
pokoknya ada dua makna yang diberikan pada kata ini oleh Hanna E.
Kassis. Pertama adalah rûh kudûs (Holy Spirit) dengan menggandengkan
kata al-ruh dengan al-quds, dan kedua, “jiwa” atau “nyawa” yang dalam
bahasa Inggrisnya adalah spirit.
Dalam concordance of the Qur’an, Hanna E. Kassis memberikan
pengertian arti kata sebagai berikut:
1. Râha departure ( keberangkatan ) going ( sedang pergi ) leaving
(meninggalkan), evening course (perjalanan senja), repose (istilah tidur,
ketenangan), comfort (kenyamanan, kesenangan), refresh (penyegaran).
2. Rĭh: wind (angin), power (kekuatan, daya), scent (bau, aroma).
3. Rahyâ-n: ease (kesenangan, ketentraman, kesantain); fragrant herb
(ramuan yang wangi, sedap, harum, semerbak).
4. Rǔh: spirit (semangat, daya, hidup); Holy Spirit (Roh Kudus).44
Makna kata-kata di atas dapat diketahui lebih jelas jika melihat
kepada ayat-ayat yang memuat setiap kata di atas. Seperti dalam al-Qur’an
surat Saba’ 34: 12 memuat dua di antara kata-kata jadian di atas yang
berbunyi:
43 M. Quraish Shihab, dkk., Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata ( Jakarta : Lentera Hati, 2007), Cet. 1, h. 839.
44 Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci ( Jakarta : Paramadina, 1996), cet. 1, h. 229.
“Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala”.
Dalam ayat di atas dapat dipetik dua kata, yaitu “rĭh” yang berarti
angin, dan “rawâh” yang maksudnya adalah perjalanan sore. Kata ini juga
disebut dalam al-Qur’an surat al-Anbiya 21:81 yang juga melukiskan
kemampuan dan kekuatan Nabi Sulaiman.
Dalam al-Qur’an surat Yusuf 12:87 muncul makna lain sehubungan
dengan kata rauh. Ini menyangkut kisah Nabi Yusuf yang dicelakakan
saudara-saudaranya di sebuah sumur. Ayahnya, Nabi Ya’qub menyuruh
anak-anaknya itu tetap mencari Yusuf, yang sangat dikasihi itu. Sejak
kehilangan anaknya itu, Ya’qub demikian sedihnya dan terus menangis
sehingga matanya putih. Ketika anak-anaknya mencela sikap ayah mereka
yang terlalu mengasihi Yusuf sehingga membutakan matanya (karena
sedihnya) itu, Ya’qub menjawab:
“Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.".Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
Dalam ayat di atas kara raûh dapat diartikan dengan kemurahan.
Jadi dengan demikian, maka Ya’qub dalam ayat di atas menasihati anak-
anaknya agar tidak berputus asa dari kemurahan Allah.45
Di samping itu al-Ghazăli membagi rûh menjadi dua macam.
Pertama , berarti rûh hewani, yakni jauhar yang halus yang terdapat pada
rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak
dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh, seperti
menghubungkan cahaya yang melimpah ke seluruh ruangan. Kedua,
berarti nafs nathîqah, yakni sesuatu yang memungkinkan manusia
mengetahui segala hakikat yang ada. Dalam hal ini al-Ghazâlî,
sebagaimana juga Mahmûd Syaltût, menyamakan rûh dengan al-qalb.
Inilah yang dimaksud dalam firman Allah swt yang artinya: “Katakanlah,
bahwa rûh itu urusan Tuhanku”. (QS. Al-Isra’ : 85).46
B. PENGERTIAN JIWA (NAFS)
Nafs secara bahasa berasal dari kata nafasa ( نفس ) yang berarti
bernafas, artinya nafas keluar dari rongga. Kemudian arti kata itu
berkembang sehingga ditemukan arti-arti yang beraneka ragam seperti
45 45 Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci ( Jakarta : Paramadina, 1996), cet. 1, h. 229. 46 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994), cet. 3, jilid
3, h. 175.
‘menghilangkan’, ‘melahirkan’, ‘bernafas’, ‘jiwa’, ‘rûh’, ‘darah’,
‘manusia’, ‘diri’, dan ‘hakikat’.
Nafs menurut Prof. Dawam Rahardjo dalam bahasa Indonesia yang
berarti nafsu, menurutnya mempunyai kesan negative karena berkonotasi
seksual. Padahal kata asalnya, al-nafs bersifat netral. Nafsu menurut
Dawam juga tetap merupakan sebuah ciri dari manusia. Kalau seseorang
kurang mengandung nafsu, orang itu dianggap mempunyai kekurangan
atau bahkan tidak normal, kareana merupakan faktor penting dalam
kehidupan seseorang yang mendorong perubahan dan kemajuan. Dalam al-
Qur’an nafs yang berarti ‘nafsu’ yaitu daya yang menggerakkan manusia
untuk memiliki keinginan atau kemauan, terdapat dalam Qs. Yusuf [12]:
53.
"Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang."
Menurut Abû Hâmid al-Ghazâlî, kata nafs mengandung dua arti :
1. Jiwa yang menyatukan antara daya amarah dengan daya nafsu, jiwa
yang selalu mendorong kepada kejahatan ( al-nafs al amârah bi al-
sû’).
2. Jiwa dan esensi manusia yang dirujuk sebagai ammârah bi al-sǔ’,
lawwâmah ( yang selalu mencela diri sendiri, menolak perbuatan
buruk) atau muthma’innah, tergantung pada keadaannya dalam
hubungan kepada Tuhan.
Menurut Robert Frager, sufi dan psikolog, berpendapat bahwa kata
nafs kadang diterjemahkan sebagai ego atau jiwa. Nafs merupakan proses
yang dihasilkan oleh interaksi ruh dan jasad, ketika ruh memasuki jasad, ia
terbuang dari asalnya yang bersifat immateri, kemudian nafs pun mulai
terbentuk. Dengan demikian ruh pun menjadi terpenjara di dalam materi
dan menyerap aspek-aspeknya.47
Al-Ghazălĭ membagi jiwa atas tiga macam, yaitu jiwa nabati (an-
nafs an-nabâtiyah), jiwa hewani (an-nafs al-hayawâniyah) dan jiwa insani
( an-nafs al-insâniyah).
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang
hidup dari segi makan, tumbuh dan berkembang. Jiwa hewani adalah
kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui
hal-hal yang kecil dan bergerak dengan irâdat (kehendak). Sedangkan jiwa
insani adalah kesempurnaan awal dari benda yang hidup dari segi
melakukan perbuatan dengan potensi akal dan fikiran serta dari segi
mengetahui hal-hal yang bersifat umum. Jiwa insani inilah yang
dinamakan dengan rûh.48
Dari beberapa keterangan yang telah dipaparkan di atas dapat di
tarik kesimpulan bahwa rûh dan jiwa itu merupakan sesuatu yang
47 Sudirman Tebba, Ruh Misteri Mahadahsyat ( Jakarta: Pustaka Irvan, 2008), h. 10-11. 48 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994), cet. 3, jilid
3, h. 174.
eksistensinya diakui dan tidak diragukan lagi. Tapi keduanya mempunyai
persamaan, yaitu abstrak dan berada dalam jasad yang satu sama lain
saling berhubungan. Ada satu keistimewaan bagi rûh dan jiwa, yaitu tidak
lenyap atau hancur dengan mati dan hancurnya jasad.
C. Rûh dalam Perspektif Ulama dan Filosofis.
a. Apa Hakikat Rûh ?
Kalangan Ulama berbeda pendapat mengenai hakikat rûh. Hakikat
rûh merupakan fokus tubuh manusia dan dasar hidupnya. Sebab, itu adalah
hal yang paling rumit yang tidak dapat diingkari oleh seorang pun. Rasa-
rasanya otak menjadi keluh ketika berusaha menyingkapnya dan hampir
saja ia tidak diketahui kecuali dengan wahyu.
Ibnu Qayyim berpendapat bahwa rûh yang dipertanyakan itu adalah
rûh yang telah Allah SWT beritahukan dalam kitab-Nya bahwa ia akan
bangkit pada hari kiamat bersama para malaikat. Beliau mengatakan :
karena mereka bertanya kepada Nabi saw tentang suatu masalah yang
tidak akan diketahui kecuali dengan wahyu. Itulah rûh yang ada disisi
Allah yang tidak diketahui oleh manusia.
Abu syaikh dan selainnya meriwayatkan melalui jalur ‘Atha yang
berkata bahwa rûh yang dipertanyakan adalah seorang malaikat yang
mempunyai sepuluh ribu sayap. Dua sayap darinya besarnya antara timur
dan barat. Dan ia mempunyai seribu wajah dimana pada setiap wajah
terdiri dari mulut, kedua mata, dan dua bibir yang bertashbih kepada Allah
swt sampai hari kiamat.49
Imam Alusi berpendapat bahwa rǔh hakikat sederhana yang non
materi, yang ada dengan perintah Allah SWT dan kehendak-Nya serta
penciptaan-Nya dimana Dia menjadikannya hidup dalam jasad. Tidak ada
keharusan untuk di singkap hakikat-hakikatnya yang khusus karena
banyak dari benda hakikatnya misterius. Karena itu, perihal keadaannya
yang misterius tidak harus kemudian ia mesti dinafikan. Ini tersirat dalam
firma-Nya, “Dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit”.50
Sedangkan Al-Răzĭ mengatakan, ada seseorang bertanya, apakah
rǔh itu? Apakah ia merupakan benda-benda yang berada di dalam tubuh
manusia yang berasal dari percampuran dari berbagai unsur atau karakter,
ataukah ia merupakah campuran itu sendiri? Ataukah ia merupakan suatu
wujud yang mengubah tubuh atau mempengaruhinya?
Allah SWT menjawab: Bahwa rǔh adalah suatu wujud yang dapat
mengubah tubuh-tubuh ini. Yang demikian itu karena tubuh-tubuh ini
terjadi dari berbagai percampuran dan unsur, adapun rǔh tidak demikian.
Rûh adalah esensi yang sederhana yang independen, dimana ia tidak akan
terwujud kecuali dengan adanya firman-Nya, “ Jadilah! Maka jadilah ia”.
Rûh adalah sesuatu wujud yang terjadi dengan perintah Allah dan
49 Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi al-Baghdadiy, Ruh al-Ma’aniy ( Beirut : Dar al-Fikr
), jilid. 15 h. 219. 50 Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi al-Baghdadiy, Ruh al-Ma’aniy ( Beirut : Dar al-Fikr
), jilid. 15 h. 223.
penciptaan-Nya serta pengaruh-Nya dalam membuat kehidupan pada jasad
ini. Dan tidak diharuskan ketidaktahuan tentang hakikatnya yang khusus
mengakibatkan penafiannya karena banyak dari hakikat yang tidak
diketahui oleh manusia. Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya, “ Dan
kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit.”51
Dalam surat al-Isra’ ayat 85, yang menjadi sentral perdebatan
ulama dengan pendapatnya yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan
jibril, yang lain nabi Isa a.s, al-Qur’an, malaikat, dan ada juga rûh yang
ada dalam tubuh manusia. Tentang pendapat ini al-Qurthubi berkata:
“Yang jelas adalah samarnya makna ruh dalam ayat tersebut, dan ini menunjukkan bahwa penciptaan ruh merupakan perkara yang amat besar. Oleh Allah ruh sengaja disamarkan dan tidak diperjelas agar manusia diyakinkan akan ketidak mampuannya mengetahui hakikat dirinya sendiri, padahal ia mengetahui jika ruh ada dalam dirinya…52
b. Apakah Rûh itu sifatnya Qadîm Ataukah Hadîts ?
Imam Alusi memberikan jawaban : bahwa Rûh adalah sesuatu yang
baru (hadĭts) yang terjadi dengan perbuatan Allah dan penciptaan-Nya.
Dan firman-Nya, “Dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit.” Sebagai
bukti atas kebaruannya. Yakni bahwa rûh dipermulaan penciptaan sunyi
dari ilmu dan ma’rifah lalu ia memperolehnya. Kemudian ia mengalami
51 Fakhr Ad-Din al-Răzĭ, Mafatih al-Gaib ( Mesir : Maktabah al-Qur’an,tt), jilid. 21, h.
37-38. 52 Al-Qurthubĭ, Al- Jămi’ liahkăm al-Qur’an ( Kairo: Dar al- Kătib al- Arăbiah li al-
Tibăh wa al-Nasyr, 1967), Jilid. 9, h. 324.
perubahan demi perubahan yang tentu ini merupakan tanda bahwa ia
adalah sesuatu yang baru.53
Al-Râzi pun membrikan jawaban yang sama, bahwa rûh adalah
sesuatu yang baru (hâdits) , namun ia terjadi dengan perbuatan Allah dan
penciptaan-Nya. Kemudian Al-Qur’an mempertegas kebaruan rûh dengan
firman-Nya, “Dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit.” Yakni bahwa
rûh pada permulaan fitrah menjadi sesuatu yang kosong dari ilmu dan
ma’rifah sehingga menetaplah di dalam ilmu dan ma’rifah. Jadi rûh
berubah ke wujud yang lain, suatu keadaaan ke keadaaan yang lain. Dan ia
berganti dari kekurangan menuju kesempurnaan. Perubahan dan
pergantian adalah karakter dari sesuatu yang baru.54
Ibnu Qayyim dalam kitab-Nya al-Rûh mengatakan, masalah ini tak
pernah dibicarakan seorang ulama pun, sehingga banyak golongan
manusia yang tersesat. Namun Allah memberikan petunjuk kepada orang-
orang yang mengikuti Rasul-Nya sehingga mendapat kebenaran yang
nyata. Semua Rasul sepakat bahwa ruh itu adalah baru dan berupa
makhluk (sesuatu yang diciptakan), dibuat, diatur, dan dikuasai. Zaman
sahabat, Tabi’in dan para pengikut mereka sudah berlalu, yang merupakan
kurun waktu penuh keutamaan, tanpa ada perbedaan pendapat di antara
mereka, bahwa rûh itu adalah baru (hădits) dan diciptakan, sampai
kemudia muncul orang-orang yang pemahamannya tentang Al-Kitâb dan
53 Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi al-Baghdadiy, Ruh al-Ma’aniy ( Beirut : Dar al-Fikr
), jilid. 15 h. 223. 54 Fakhr Ad-Din ar-Razi, Mafatih al-Gaib ( Mesir : Maktabah al-Qur’an,tt), jilid. 21, h.
39.
As-Sunnah sangat dangkal, sehingga mereka beranggapan bahwa rǔh itu
lama dan tidak diciptakan.
Mereka berhujjah bahwa rûh itu termasuk urusan Allah, sementara
urusan-Nya bukan termasuk makhluk. Disamping itu menurut mereka,
Allah menggabungkan rûh itu kepada Adam, sebagaimana Dia
menggabungkan ilmu, kekuasaan, pendengaran, penglihatan dan tangan-
Nya kepada Adam.55
c. Apa Perbedaan Rûh dan Jiwa?
Para Ulama saling berbeda pendapat tentang masalah ini. Menurut
Al-Ashfahani, rûh merupakan nama induk dari nafs (jiwa). Artinya, nafs
merupakan bagian dari rûh, atau nafs merupakan species dan rûh adalah
genus. Didalam pengertian umum, kata rûh berarti unsur yang dengannya
dapat terjadi hidup, gerak, usaha mencari yang baik dan menghindari
bahaya. Muhammad Isma’îl Ibrâhîm didalam Mu’jâm juga menempatkan
kata rûh sebagai kata turunan dari răha (راح). Menurutnya, rûh adalah
unsur yang menjadikan nafs (jiwa) dapat hidup. Artinya, ia merupakan
salah satu kelengkapan makhluk berjiwa. Selain itu kata tersebut dapat
berarti ‘wahyu’ dan ‘malaikat’.56
Antara rûh dan jiwa terdapat keterkaitan yang erat. Kata jiwa
dalam bahasa Arab terambil dari kata nafs (نفس). Dan dari segi
kebahasaan, Ibn al-Manzǔr menyebutkan bahwa kata “al-rûh” (الروح) dan
55 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ar-Ruh li Ibnil Qayyim ( Beirut : Dar al-Qalam, 1403), cet.
2, h. 249. 56 M. Quraish Shihab dkk., Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), h. 839-840.
“an-nafs” (النفس) memiliki arti yang sama. Hanya saja rûh adalah
mudzakkar (maskulin), sedangkan nafs adalah mu’annats (feminine).57
Perbedaan antara jiwa dan rûh juga dijelaskan oleh Mustafa
Mahmud, dalam bukunya “Al-Qur’an dan kehidupan”, beliau mengatakan
bahwa yang merasakan mati itu adalah jiwa, bukan rûh. Dengan
mengambil firman Allah dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 185 sebagai
dalil yang berbunyi:
...
Artinya: Tiap-tiap yang mempunyai jiwa akan mengalami mati (QS. Ali Imran : 185) Kemudian dia menambah lagi bahwa jiwa itulah yang tertuduh
dengan tuduhan-tuduhan kebakhilan, was-was, ragu, fujur, dan cenderung
kepada perbuatan buruk. Namun ia mampu menjadi bersih. Maka ada sifat
lawwâmah, muthmainnah, radhiyah, dan mardhiyyah.
Dalam tasawuf Islam, para sufi mengatakan “al-nafs” sebagai
sumber moral yang tercela, dan ruh adalah sumber kehidupan dan sumber
moral yang baik. Di samping itu juga, rûh merupakan sesuatu yang halus,
bersih dan bebas dari pengaruh hawa nafsu yang merupakan rahasia Allah
yang hanya bisa diketahui oleh manusia tertentu setelah Allah memberikan
kasyf (gambar yang terbayang) padanya. Begitu juga hampir sama dengan
pendapat di atas, ahli sufi juga membedakan arti nafs dan ruh dari segala
segi dan fungsinya. Al-nafs berkarakter insani, sedangkan rûh lebih
57 Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab ( Beirut : Dar as-Shadar, 1994), jilid 2, cet. 3, h. 389.
berkarakter Ilahi. Keduanya saling berpacu untuk menguasai Qalb (hati)
yang diartikan sebagai wadah untuk ma’rifat atau suatu alat untuk
mengetahui hal-hal yang bersifat ilahiah, karena kemenangan bisa
diperoleh silih berganti pula tergantung kekuatan fungsi masing-masing.58
kaum sufi mengatakan bahwa nafs merupakan asal-muasal
manusia. Namun ketika ia “diasah” dengan riyâdhah (olah rohani) dan
berbagai zikir dan tafakur maka ia menjadi rûh, bahkan kemudian ia
terkadang dapat naik ke tingkat yang tertinggi di mana ia dapat menjadi
sirr (rahasia) dari rahasia-rahasia Allah SWT.
Ibn Qayyim al-Jauziyah menjelaskan mengenai masalah ini. Ada
beberapa pendapat yang disebutkan beliau tentang samakah ruh dengan
jiwa, yaitu antara lain :
1. Menurut mazhab jumhur ulama, rûh dan jiwa itu sama dalam
istilahnya.
2. Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa manusia itu mempunyai
hidup, rûh dan jiwa. Jika manusia tidur, keluarlah jiwa sadarnya tetapi
tidak meninggalkan jasadnya. Ia keluar seperti benang halus yang
terbentang dan memiliki sinar. Di waktu manusia bermimpi, maka
yang melihat sesuatu adalah jiwa sadar yang keluar itu. Kemudian ia
kembali dan memberitahukan kepada rǔh. Demikianlah hingga pagi ia
menyadari bahwa telah bermimpi begini dan begitu. Sedangkan
58 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994), cet. 3, jilid
3, h. 174.
kehidupan dan rǔh berada di dalam jasadnya, bernafas dan berbolak-
balik. Jika dia begerak, maka jiwa itu secepat kilat kembali kepadanya,
lebih cepat dari kerdipan mata. Jika Allah hendak mematikannya di
dalam tidur, maka dia memegang jiwa yang keluar itu.”
3. Abu abdillah bin Mundah berkata, “mereka saling berbeda pendapat
tentang ma’rifat rûh dan jiwa. Sebagian berpendapat, jiwa itu bersifat
liat dan memiliki unsur api. Sementara rûh memiliki unsur api dan
rohani. Yang lain berpendapat, bahwa rǔh itu bersifat ketuhanan dan
jiwa itu bersifat kemanusiaan, yang dengan tabiat ini manusia diuji.”
4. Ahlu Atsar mengatakan bahwa rûh bukan jiwa dan jiwa bukan rûh.
Jiwa adalah bentuk penghambaan dan tidak ada musuh utama bagi
anak Adam kecuali jiwanya sendiri. Ia cinta kepada dunia, karena ia
merupakan kumpulan hawa nafsu dan syahwat. Rûh bertindak
memberi dorongan, pengaruh, motivasi dan meluruskan jiwa itu untuk
senang dan cinta kepada akhirat. Tapi setan selalu memanjakan hawa
nafsu dan mempengaruhi jiwa. Sedangkan rûh dipengaruhi oleh
malaikat, maka kepada rûh lah hidayah dan taufik Allah ditujukan.
5. Sedangkan Ibnu Qayyim menyatakan bahwa rûh itu tidak mati dengan
matinya badan, tetapi ia terpisah dan melepaskan diri dari badan. Dan
rûh itu adalah sesuatu kekuatan mengenal Tuhan dan kembali kepada-
Nya, sedangkan jiwa adalah sesuatu zat yang bulat (totalitet) tercakup
di dalamnya rûh dengan jasadnya atau dinyatakan kepada jasad saja.
Jadi rûh itu memberi hidup kepada jasad dan jiwanya sekaligus.59
Dalam kajian filsafat tidak membedakan antara rûh dan jiwa, hal
ini dapat terlihat dari pembahasan mereka yang hanya memuat masalah
jiwa atau kejiwaan dan tidak menyentuh masalah rûh. Pembahasanpun
berkisar pada keimmaterian dan kehidupannya setelah lepas dari badan
ini.60
Pembicaraan para filosofis Yunani tentang jiwa menjadikan
pemahaman akan hakikat jiwa terbagi menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Golongan Materialisme yang mengatakan bahwa jiwa adalah badan itu
sendiri, tidak ada sifat-sifat khusus padanya.
2. Golongan Spiritualisme menganggap bahwa jiwa tidak berasal dari
alam kebendaan, tetapi dari alam ketuhanan dan mempunyai kekuatan-
kekuatan rohani yang turun kebawah dari alam yang tinggi.
3. Ada yang berpendapat tengah-tengah dan menganggap jiwa sebagai
campuran antara badan dan rûh. Atau uap yang panas seperti yang
dikatakan kaum stoa.61
Menurut Ibnu Sina jiwa itu abadi karena merupakan zat (substansi)
rohani yang tidak tersusun, kedudukan jiwa sebagai form bagi badan tidak
berarti bahwa jiwa musnah dengan musnahnya badan. Jelasnya bahwa
59 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ar-Ruh li Ibnil Qayyim ( Beirut : Dar al-Qalam, 1403), cet.
2, h. 352-354. 60 Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi al-Baghdadiy, Ruh al-Ma’aniy ( Beirut : Dar al-Fikr
), jilid. 15 h. 224. 61 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam ( Jakarta : CV. Bulan Bintang, 1991), cet. Ke-
5, h. 122.
sesuatu bias musnah dengan musnahnya yang lain apabila ia tergantung
padanya dalam beberapa hal tertentu. Sedangkan kita mengetahui bahwa
jiwa ataupun badan dijadikan bersama-sama dan keduanya merupakan
substansi yang berbeda satu sama lain. Selain itu, badan tidak menjadi
salah satu sebab bagi wujud jiwa, karena pertalian jiwa dengan badan
bukan pertalian kausalitas.62
Aliran Spiritualisme dalam Filsafat Islam mengenai kajian
kejiwaan ialah Imam al-Haramain dari Asy’âriah, beliau berpegang pada
kerohanian jiwa dan menyatakan akan keabadiannya. Jiwa menurutnya
adalah substansi rohani yang mempunyai tabiat ketuhanan, yang tidak
hancur dengan hancurnya badan. Sesudah mati jiwa orang saleh naik ke
surge, demikian sebaliknya bagi jiwa yang kafir akan jatuh ke neraka.
Pendapat ini merupakan dasar dan sumber bagi teori rûh yang
dikembangkan kemudian oleh Al-Ghazâlî. 63
Al-Kindi dan Al-Farabi juga mempunyai pandangan yang sama
bahwa rûh manusia itu kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan.
Selanjutnya ia naik setingkat demi setingkat sehingga akhirnya - setelah
bersih – ia sampai kea lam kekal, dalam lingkungan cahaya Tuhan.64
BAB IV
ANALISIS M. QURAISH SHIHAB MENGENAI RÛH
62 Dr. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), cet.
Ke-4, h. 74. 63 H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali ( Jakarta : Bulan Bintang,
1975), h. 65. 64Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1992),
cet. Ke-2, h. 18.
DALAM SURAT AL-ISRA’ AYAT 85
A. Klasifikasi Ayat-Ayat Tentang Rûh Dalam Al-Qur’an
M. Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan al-Qur’an”
menyatakan bahwa kata rûh (روح ) dalam al-Qur’an terulang sebanyak dua
puluh empat kali dengan berbagai konteks dan makna, serta tidak semua
berkaitan dengan manusia.65 Ayat-ayat yang memuat kata al-rûh tersebut
tersebar dalam al-Qur’an di beberapa surat berikut, yaitu:
1. Kata rûh yang menunjukkan arti sebagai esensi yang menjadi
sumber gerak dan hidup tubuh manusia
Q.S. An-Nisa : 17166
…
…
Q.S. Shad : 72
Q.S. Al-Anbiya : 91
Q.S At-Tahrim : 12
65 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudu’I atas Berbagai Persoalan Umat
( Bandung : Mizan. 1996), cet. 1, h. 292. Ruh yang ditiupkan oleh rabnya. Lihat Hasanain Muhammad Mahtuf, Kamus : روح منھ 66
al-Qur’an, h. 53.
62
Q.S. Al-Hijr : 29
Q.S At- Takwir : 7
Q.S. As-Sajadah : 9
Q.S. An-Naba : 38
Q.S. Al-Qadr : 4
2. Kata rûh yang menunjukkan arti sebagai Jibril (malaikat)
Q.S. Asy-Syu’ara : 193
Q.S. Al-Baqarah : 87
...
Q.S. Al-Maidah : 110
Q.S. Maryam : 17
Q.S. Al-Baqarah : 253
…
…
Q.S. An-Nahl : 102
3. Kata rûh yang menunjuk arti wahyu atau al-Qur’an
Q.S. An-Nahl : 2
Q.S. Al-Mu’min : 15
Q.S. Asy-Syura : 52
Q.S. Al-Isra’ : 85
Q.S. Al-Mujadalah : 22
…
Kata rûh pada Q.S Al-Mujadalah : 22 diartikan sebagai
pertolongan, dalam al-Quran dan terjemahan. Adapun pertolongan yang
dimaksud adalah kemauan dan kekuatan batin, kebersihan hati,
kemenangan terhadap musuh dan lain-lain.
Dari sekian banyak ayat yang memuat kata rûh, perbedaan
pendapat yang kemudian menjadi titik sentral permasalahan dalam
memahami rûh adalah terletak pada ayat 85 surat al-Isra’. Persoalan yang
diperselisihkan mulai dari tertutup tidaknya pintu usaha untuk memahami
ruh, karena ayat ini dipahami sebagai pernyataan Allah bahwa rûh adalah
wewenang-Nya, kemudian berlanjut pada arti dan hakikat rûh yang
dipertanyakan dan kemudian dijawab dalam surat al-Isra’ ayat 85.
B. Lafazh rûh Dalam Kaidah Bahasa Arab
Pada satu kesempatan lafaz rûh digunakan dalam bentuk umum
(nâkiroh) dengan dihubungkan dengan kata ganti (dhâmir) yang kembali
pada Allah. Seperti pada beberapa ayat di bawah ini :
...
“Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya...” (Q.S. An-Nisa: 171)
…
“Dan Demikianlah kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami… “ (Q.S. Asy-Syuro : 52)
Ataupun kata al-rûh digunakan dalam bentuk ma’rifat dengan
masuknya alif lam (ال) pada lafaz ruh seperti pada beberapa ayat :
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” (Q.S. Al-Ma’aarij: 4)
…
“ Pada hari, ketika rûh dan para malaikat berdiri bershaf- shaf…”
Ada pula kata rûh digunakan dalam susunan idhofiyah, dimana
kata tersebut disandarkan pada beberapa kata sesudahnya, yaitu القدس ,
ataupun na’at man’ut yaitu الأمین seperti contoh:
…
“Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar,..” (Q.S. al-Nahl: 102)
Kata rûh dalam Q.S al-Anbiya: 91termasuk dalam susunan
idhofiyah yang terbentuk dari dhâmir muttashil bariz.
“Dan (ingatlah kisah) Maryam yang Telah memelihara kehormatannya, lalu kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari kami dan kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.”
“Maka apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya". (Q.S. Shaad:72)
Kata rûh dalam (Q.S. al-Syu’ara: 193) ini termasuk susunan na’at
man’ût.
“ Dia dibawa turun oleh Al-Rûh Al-Amîn (Jibril).” (Q.S. Al-Syu’ara: 193)
Hal-hal inilah yang termasuk mempengaruhi keragaman makna
rûh yang dipahami oleh ulama tafsir di samping juga konteks turunnya
ayat tersebut. Perbedaan penafsiran al-rûh dalam Al-Qur’an intinya dapat
ditelusuri dari konteks apa Al-Qur’an membicarakan tentang rûh.
C. Makna dan Hakikat rûh dalam Analisis M. Quraish Shihab
Polemik sentral dalam perdebatan para ulama seputar rûh dipicu
oleh firman Allah SWT. Dalam surat Al-Isra’ ayat 85. Sebagaimana uraian
M. Quraish Shihab dalam Tafsir-Nya, yang berbunyi :
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang rûh. Katakanlah: "Rûh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Sabab al-Nuzûl ayat ini sebagai berikut: Asbâb al-nuzûl dalam ayat
ini, Jalaluddin as-Suyǔthî dalam Asbâb al-Nuzûl mengutip pendapat Ibnu
Katsîr, bahwa sebab turun ayat ini adalah seperti hadits yang diriwayatkan
Imam Bukhari yang bersumber dari Ibnu Mas’ud pertanyaan orang Yahudi
tentang rûh dan hal tersebut dilakukan ketika Rasulullah berjalan di
Madinah bersama Ibnu Mas’ud. Dan berpapasan dengan kaum Yahudi,
lalu bertanya mengenai perihal rûh. Rasulullah berdiri beberapa saat
lamanya, karena sedang menerima wahyu. Setelah selesai beliau berucap,
menyebutkan surat al-Isra’ ayat 85. Jadi tidak ada hubungannya dengan
orang Quraisy ataupun dengan pertanyaan lainnya yang berkaitan dengan
bukti kenabian Muhammad.67
Dalam Tafsir al-Mishbâh dinyatakan bahwa ulama Al-Biqa’I
dalam penafsiran atas surat al-Isra’ ayat 85. Beliau menghubungkan ayat
ini dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat ini menurut beliau bermunasabah
dengan Al-Isra’ ayat 49 dan seterusnya. Yang menyatakan pertanyaan
kaum Musyrikînn mengenai kebangkitan setelah manusia menjadi tulang
67 Jalaluddin As-Shuyuthi, Lubăb Nuqǔl fĭ Asbăbin Nuzǔl ( Jakarta: Gema Insani, 2008 ),
cet. Ke I, h. 350.
belulang dan keping-kepingan kecil, bagaikan debu. Dan disana, di
nyatakan bahwa manusia akan dihidupkan lagi, yakni rûh-Nya akan
dikembalikan ke jasadnya.68 Dalam Firman Allah Q.S. al-Isra’ ayat 49:
“Dan mereka berkata: "Apakah bila kami Telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?"
Pendapat Al-Biqo’I ini didukung oleh pendapat Thobatoba’I
tentang malaikat maut pencabut nyawa dalam firman Allah :
“Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, Kemudian Hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” (Q.S. As-Sajadah: 11)
Ulama ini mengatakan bahwa malaikat maut mencabut rûh dari
badan kamu, dan kamu terpelihara sampai kamu kembali kepada Tuhan
dengan kembalinya rûh ke jasad masing-masing. Maka rûh cenderung
sinonim dengan makna “nyawa” karena sesuatu yang dicabut oleh
malaikat pencabut nyawa adalah nyawa,69 berarti rûh dapat juga berarti
nyawa.
68 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (
Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 180, vol. 7. 69 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (
Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 188, vol. 11.
Malaikat maut dalam ayat di atas bukan hanya satu, tetapi banyak.
Memang malaikat yang populer dalam benak manusia hanya satu, yaitu
izrail, walaupun nama ini tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan As-
Sunnah yang shahih. Sebagaimana al-Quran surah al-An’am ayat 61
menginformasikan bahwa:
“Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat kami, dan malaikat- malaikat kami itu tidak melalaikan kewajibannya.”
Dalam redaksi ayat ini menggunakan lafaz “Rasul-Rasul” yang
menunjuk kepada malaikat-malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa
salah seorang diantara manusia. Ayat ini dapat mengandung makna, bahwa
setiap kematian seseorang ditangani bukan hanya oleh satu malaikat.
Setiap yang meninggal ada malaikat yang mencabut nyawanya.70
Dalam Tafsir al-Misbâh penafsiran surat al-Isra’ ayat 85 bahwa
hakikat rûh memiliki makna yang beragam. M. Quraish Shihab
menguraikan hakikat rûh dengan beberapa makna, yaitu:
a. Rûh Sebagai Potensi Pada Diri Makhluk Yang Menjadikannya Dapat
Hidup.
70 M. Quraish Shihab, Yang Tersembunyi : Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam al-
Qur’an - As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini ( Ciputat: Lentera Hati, 2000), cet. Ke . IV, h. 294.
Yang dimaksud potensi pada diri makhluk yang dapat hidup,
bergerak, dan bernapas. Yang bila berpisah dengan jasmani hilanglah
potensi gerak. Karena manusia bukan hanya jasad yang berbentuk materi
saja, tetapi membutuhkan immateri (rûh) yang mengendalikan itu semua.
Karena adanya jasad dan rûh sehingga menerima penghormatan dari para
malaikat.
Sebagaimana terdapat dalam surat al-Hijr ayat 28-29, mengenai
tentang proses penciptaan manusia dari tanah liat kering yang berasal dari
lumpur hitam. yang berarti sosok yang tampak dari manusia secara umum
dan tidak berbeda antara seseorang dengan yang lain sehingga mempunyai
potensi gerak, bernapas, dan berpikir, tetapi berbeda dengan asal kejadian
jin yang berasal dari api yang panas. Yang lebih penting pada unsur
kejadian manusia ada rûh ciptaan Allah swt. Unsur ini tidak ada pada jin
atau iblis. Dan dapat juga mengarahkan manusia untuk mengenal Allah
serta mendekatkan diri kepadanya.71
Ayat berikut dalam firman Allah:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
71 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (
Jakarta : Lentera Hati, 2009), cet. Ke. 1, h. 454-455, vol. 6.
bentuk, Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
Arti kata )سوّى ( sawwâ, pada ayat 29 yakni menjadikan
sesuatu sedemikian rupa sehingg setiap bagiannya dapat berfungsi
sebagaimana yang direncanakan. Kata ( نفخت ) aku meniupkan, terambil
dari kata ( نفخ ) nafakha yang hakikatnya adalah mengeluarkan angin dari
mulut. Yang dimaksud disini adalah member potensi ruhaniah kepada
manusia sehingga dapat mengenal Allah swt. Dan dapat mendekatkan diri
kepada-Nya. Yang dimaksudkan dalam ayat ini bahwa tidak ada peniupan,
tidak ada angin atau rûh dari zat Allah swt. yang menyentuh manusia. Rûh
Allah swt. yang dimaksud adalah milik-Nya dan merupakan wewenang-
Nya semata-mata.
Secara gramatikal kedudukan I’rob kalimat روحي من dalam ayat:
yang berposisi سجدین لھ فقعوا روحي من فیھ ونفخت سویتھ فإذا
sebagai majrur مجرور sebab huruf mim menunjukkan adanya keterkaitan
dalam keikutan, yaitu keterkaitan antara rŭh dengan lafaz 72 Basyar . بشرا
pada ayat sebelumnya yang berbunyi :
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia
72 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (
Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 455- 457 vol. 6.
dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk,”
Istilah basyar ( ًبشرا ) oleh Dr. M. Quraish Shihab dalam ayat
tersebut di tafsirkan sebagai “manusia secara fisik”. Kata basyar
terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan ( بشرً )
pada suatu yang baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata
basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya
tampak jelas dan berbeda dengan makhluk lainnya.
Al-Qur’ân menggunakan kata ini sebanyak 36 kali yang tersebar
dalam 26 surat. Dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna
untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya
dengan manusia seluruhnya.73
Hubungan korelatif antara روحى من dengan ًبشر bertemu pada
kalimat یشرً yaitu perintah tunduknya para malaikat kepada ساجدین لھ فقعوا
(Adam) dengan bersujud, maka segera mereka sujud tanpa menunda atau
berpikir. tetapi iblis enggan ikut bersujud bersama-sama dengan para
malaikat yang sujud itu. Dalam hal ini sujud tersebut adalah sujud
penghormatan bukan sujud ibadah. Karena pada diri ًبشر ada sesuatu
yang lebih sekedar dari materi yaitu potensi rohaniah.
Ayat-ayat yang berbicara tentang kisah kejadian manusia dapat
ditemukan pada surah al-Hijr28-29, Shaad 72, al-Baqarah ayat 29 dan al-
A’raf ayat 10. Dalam surat al-Baqarah ayat 29 dan al-A’raf ayat 10
73 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas berbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996), cet. 1, h. 292.
masing-masing memiliki penekanan yang berbeda, walau terdapat juga
persamaan. Sayyid Quthub menulis bahwa uraian-uraian itu memiliki
keserupaan dalam hal pengantarnya, yakni kesemuanya berbicara tentang
kehadiran dan penguasaan Allah swt. Kepada manusia atas bumi. Tetapi
konteks uraian masing-masing surah, arah dan tujuannya berbeda.74
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa dalam surah shaad: 71-72
merupakan ayat-ayat pertama yang turun mengenai kisah kejadian
manusia (Adam). Ayat ini memperkuat surat al-Hijr ayat 28-29, Yang
intinya Allah menciptakan manusia dari tanah. Lalu Allah meniupkannya
rûh kehidupan kepada manusia. Dan manusia akan kembali hancur
menjadi unsur - unsur tanah itu ketika unsur Ilahi yang misterius tersebut
meninggalkannya. Manusia tidak mengetahui hakikat tiupan ini, namun
dapat dilihat dengan tanda-tanda dan pengaruhnya. Dan dapat menjadikan
akalnya melihat pengalaman masa lalu, dan mendorongnya untuk
merancang langkah-langkah masa depan.75
Adapun manusia adalah makhluk Allah yang terdiri dari dua unsur,
yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Penggabungan kedua macam unsur
ini menyebabkan manusia mempunyai potensi untuk mengambil manfaat
dari bumi seluruhnya dengan pengetahuan yang dianugerahkan Allah
kepadanya. Potensi diri dan ilmu pengetahuan, manusia dapat
74 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (
Jakarta : Lentera Hati, 2009), cet. Ke. 1, h. 456, vol. 6. 75 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ( Beirut: Dar el Syuruq, 1992), Jilid. 19, h.
80.
memanfaatkan air, udara, barang tambang, tumbuh-tumbuhan, binatang
ternak, kekuatan listrik, kekuatan atom, dan sebagainya.76
Rûh dalam ayat 29 menurut Sayyid Quthub, rûh dari Allah yang
mentransformasikan anggota tubuh kita yang tak bermakna, meningkat
menjadi mulia. Rûh itu pula yang menjadikan manusia mendapat amanah
menjadi khalifah di muka bumi karena keistimewaannya sejak di ciptakan
itu. Yang berbeda dengan setan yang diciptakan dari api panas. Rûh inilah
yang menghubungkan dan membuat manusia berkomunikasi dengan Allah
swt. dan mampu membuat manusia melakukan lompatan dari alam materi
menuju alam immateri yang perangkat interaksinya akal dan hati.
Potensi rûh yang sedemikian rupa harus berhadapan dengan
karakter tanah yang tunduk pada kebutuhan-kebutuhan asasinya, seperti
makan, minum, pakaian, dan syahwat. Tanah juga memiliki karakter
lemah dan serba kurang sempurna yang berimplikasi kepada hasil dari
aktivitas manusia yang juga lemah dan tidak sempurna. Kedua unsur ini
tidak dapat dipisahkan dari sifat manusia. Kedua unsur ini menjadikan
manusia makhluk yang unik dalam proses penciptaannya.77
Mengenai malaikat yang sujud kepada Adam. dapat menimbulkan
pertanyaan, Apakah semua malaikat itu sujud? Jawabannya, sebelum ini
telah dikemukakan, bahwa malaikat itu sangat banyak, tidak terhitung
jumlahnya, kecuali Allah swt. Kalau merujuk pada salah satu firman-Nya
76 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Yang Disempurnakan
( Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), Cet. I, h. 239. 77 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ( Beirut: Dar el Syuruq, 1992), Jilid. VII, h.
137.
yang menjelaskan sikap melaikat ketika diperintah sujud kepada Adam as.
Yakni (Q.S. Shaad:73):
“Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama”.
Dalam ayat ini sangat jelas akan jawaban pertanyaan di atas, bahwa
mereka semua sujud tanpa terkecuali. Karena kata kullu pada ayat di atas
bermakna semua dan ini mengandung arti bahwa tidak satu pun dari
malaikat yang tidak sujud. Dan dikuatkan lagi pada akhir ayat terdapat
kata Ajma’ûn yang juga sering kali diartikan semuanya. Akan tetapi
pendapat ini tidak di setujui oleh sebagian ulama. Menurut sebagian ulama
tidak semua malaikat sujud. Mereka merujuk kepada Firman Allah yang
ditujukan-Nya kepada Iblîs:
“Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang Telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".(Q.S. Shad 38: 75 )
Dalam ayat ini dipahami, bahwa alasan iblis untuk tidak sujud
karena ada dua hal, pertama menyombongkan diri, kedua termasuk
kelompok Ǎlîn (( yang lebih tinggi). Kemudian jawaban Iblîs adalah:
“Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, Karena Engkau ciptakan Aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah".
M. Quraish Shihab cenderung mendukung pendapat ini. Memang
ayat dari surat al-Hijr yang dikutip di atas, menyatakan kullu hum/ semua
mereka. Tetapi mereka yang dimaksud adalah mereka yang diperintahkan
sujud, bukan mereka yang tidak diperintah.78
b. Rûh dalam arti Jibril
Tertera Dalam Firman Allah swt. surat al-Syu’ara ayat 193-194 yang
berbunyi:
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”.
Kata rûh al- Amîn bermakna Jibril, yang membawa kitab suci al-
Qur’an yang berasal dari Tuhan semesta alam. Diturunkan kepada manusia
pilihan yaitu Nabi Muhammad saw., secara berangsur-angsur dengan
perantaraan Jibril. Yang bertugas membawa wahyu kepada para rasul.
Dikatakan ruh dalam arti Jibril seperti sesuatu yang menghidupkan ruhani
sebagaimana halnya dengan nyawa yang menghidupkan jasmani.
Al-Qur’an ditanamkan ke dalam hati Muhammad, maksudnya al-Qur’an
itu dibacakan oleh Jibril sedemikian rupa sehingga Nabi Muhammad betul
78 M. Quraish Shihab, Yang tersembunyi: Jin, Iblis, dan Malaikat dalam Al-Qur’an – As-
Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini ( Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet. Ke IV,h. 274-275.
arti dan maksudnya. Tanpa perantara indra yang lain. Ini sangat murni,
tidak disertai campur tangan atau interpretasi dari siapa pun.79
Proses turunnya wahyu al-Qur’an melalui beberapa cara, yang
terdapat dalam Q.S. As-Syura: 51 tentang tatacara pewahyuan Al-Qur’ân,
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
salah satu poin utama informasi Al-Qur’ân adalah menggunakan
metode pengutusan rasul yang dinyataan dengan kata-kata رسولاً یرسل
jika kita memahami kata rasul dalam arti malaikat. maka makna ini bisa
bermacam-macam, bisa jibril, Isrofil, bisa malaikat maut dan lain-lain,
namun demikian yang ditugaskan menyampaikan Al-Qur’an hanyalah
malaikat jibril as.berdasarkan firman Q.S. Asy-Syu’âra : 193, dan al-Nahl:
102. Pemahaman ini dikuatkan oleh penafsiran Dr. Quraish Shihab pada
Q.S. Al-Nahl : 2 yang berbunyi :
Kata malaikat (ǦȭɌȵ) bentuk jamak dari kata malak (ȬȲȵ ), oleh
para ulama di pahami dalam arti seorang malaikat jibril as. Yang bertugas
79M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an
( Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. Ke-1, h. 134.
pokok menyampaikan wahyu. Bahwa ayat ini menggunakan redaksi yang
berbentuk jamak adalah untuk mengisyaratkan betapa agung malaikat itu.
Sedangkan kata al-rûh diterjemahkan dalam arti wahyu. Tuntunan-
tuntunan Allah dinamai al-rûh karena dengannya jiwa manusia hidup,
sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa.80
c. Sedangkan makna rûh yang berarti al-Qur’an
Pandangan ‘Izzat Darwazat, salah seorang ulama kontemporer
yang mengatakan bahwa tafsiran al-rûh pada surat al-Isra’ : 85 mengarah
pada makna al-Qur’an, bukan rûh yang berarti potensi hidup ataupun
nyawa. Hal ini pun sesuai dengan munâsabah ayat sebelum dan
sesudahnya. Munâsabah ayat sebelumnya, yaitu ayat 82-84 sebagai
berikut :
“Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.(82). Dan apabila kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah Dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.(83). Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya[867] masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (84)
80 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
( Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 528, vol. 6.
Ayat di atas (82-84), berbicara tentang keistimewaan al-Qur’an dan
fungsinya sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad saw yaitu obat
penawar penyakit jiwa. Dan kaum musyrikin menjauh dari al-Qur’an yang
merupakan nikmat yang amat besar dari Allah swt. Penyakit jiwa kaum
musyrikin dalam ayat di atas adalah rasa bangga dan putus asa.
Maksudnya bila Allah menganugerahkan manusia kenikmatan, maka ia
memperhatikan dan mengembalikan perolehannya kepada sebab-sebab
lahiriah dan terpaku padanya, sehingga melupakan Allah dan tidak
mensyukuri-Nya, sedang jika mendapat kesulitan, atau dicabut darinya
kebaikan, ia sangat berputus asa karena hanya bergantung pada faktor-
faktor yang kini dilihatnya sudah tidak ada lagi. Demikianlah orang-orang
musyrik yang sakit jiwa padahal al-Qur’an merupakan penawar penyakit
kejiwaan tersebut.81
Dan ayat sesudahnya berkaitan juga dengan al-Qur’an sebagai
berikut:
81 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 531-534, vol. 7.
86.Dan Sesungguhnya jika kami menghendaki, niscaya kami lenyapkan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembelapun terhadap kami,
87.Kecuali Karena rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya karunia-Nya atasmu adalah besar.
88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
89. Dan Sesungguhnya kami Telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al Quran Ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (Nya).
Ayat yang lalu Allah swt menerangkan bahwa rǔh itu merupakan
urusan Allah, sedang apa yang diketahui manusia tentang rǔh hanya
sebagian kecil saja. Pada ayat-ayat ini dijelaskan bahwa Allah mampu
menghilangkan apa yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Di
jelaskan juga Allah menantang manusia dan jin untuk membuat al-Qur’an.
Mereka pasti tidak akan mampu melakukannya, apalagi menandinginya.
Berdasarkan pendapat Izzat Darwazat bahwa ayat-ayat sebelum
dan sesudah surah al-Isra’: 85 membicarakan tentang al-Qur’an. Lafaz من
min amr Rabbî dipahami oleh beliau dalam arti ketetapan Allah ربي أمر
secara langsung, tanpa melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya,
tidak juga melalui pentahapan, waktu dan tempat.82 Hal tersebut
dikuatkan dengan kalimat أمرنا من روحا pada surat as-Syurâ ayat 52 :
82 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 182, vol. 7.
Yang terdapat pada ayat أمرنا من ditafsirkan yang merupakan
wewenang khusus kami. Yang dimaksud dengan kewenangan disini
adalah hak preogatif Tuhan dalam mewahyukan rûh (al-Qur’an) yang
hendak diamanahkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sebelum
Allah mewahyukan kepadamu (Rasulullah) sampai usia empat puluh
tahun, engkau tidak mengetahui apalagi menjelaskan apakah al-Kitâb dan
tidak pula mengetahui secara rinci apakah al-Ỉman itu, yakni akidah dan
syariat Islam. Ini sesuai yang ayat selanjutnya yang berbunyi :
Yang berarti bahwa Rasulullah sebelumnya sama sekali tidak
memiliki pengetahuan sedikitpun tentang iman maupun kitab, bukan
berarti Rasulullah tidak beriman kepada Allah swt., tetapi yang di nafikan
ayat di atas adalah tentang iman dalam perinciannya. Demikianlah
keadaanmu sebelum diwahyukan al-Quran. Kami memberimu hidayah
melalui wahyu al-Quran ketika manusia seluruhnya dalam keadaan gelap
gulita. Sehingga menjadi terang benderang dengan petunjuk-Nya yakni
kami anugerahi taufik sehingga dapat melaksanakan tuntunan-tuntunan
kami. Dan rasul sama sekali tidak memiliki perasaan ingin mendapatkan
amanah risalah ( al-Qur’an ) pada detik-detik pengangkatan kerasulan
beliau oleh Allah.83
Pendapat ini berlainan dengan pendapat Sayyid Quthub, yang
mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw., sangat memahaminya, sebelum
83 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 528-529, vol. 12.
beliau menerima wahyu. Beliau telah mendengar tentang Al-Kitâb dan
telah mendengar tentang keimanan. Di Jazirah Arab dimaklumi bahwa di
sana ada Ahli Kitab dan bahwa mereka memiliki akidah. Namun bukan itu
yang dimaksud oleh ayat, tetapi maksudnya ialah penguasaan kalbu atas
hakikat keimanan dan Kităb, perasaan akan keberadaannya, dan
terpengaruh oleh keberadaannya di dalam hati. Hal ini belum terjadi pada
Rasulullah sebelum turunnya wahyu dengan perintah Allah, yang menyatu
dengan kalbu Muhammad saw.84
Dengan al-Qur’an dan wahyu pengetahuan Ilahiyah menjadi
sempurna dan cahaya rabbaniyah akan terbit, sehingga lepaslah dari
gelapnya kebodohan dan berpindah dari sifat-sifat hewaniyah menuju
kemanusiaan yang sempurna, sehingga sempurnalah keadaan jasad.
Tujuan utama penurunan wahyu tidak lain untuk mengenalkan sifat-sifat
Rabb yang Maha Bijaksana, yang merupakan sumber segala keutamaan
dan kebaikan, agar mereka mengesakan, menyembah dan bersyukur
kepada-Nya.85
Thabathaba’I berkesimpulan bahwa rûh yang ditanyakan Q.S.Al-
Isra’ ayat 85 ini adalah hakikat rûh yang dibicarakan oleh firman-firman-
Nya itu dan jawaban yang diberikan ayat ini adalah bahwa : “itu urusan
Tuhan sedang ilmu yang kamu miliki yang dianugerahkan Allah kepada
kamu-tentang ruh adalah sedikit dari yang banyak.
84 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ( Beirut: Dar el Syuruq, 1992), Jilid. 20, h.
20. 85 Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Tematik Surat Huud- Al-Isra’
( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), cet. I, h. 381.
Thăhir ibn Asyur berpendapat bahwa ayat ini mengalihkan atas
berbagai pertanyaan tentang rûh, bertujuan untuk kemaslahatan mereka
sejalan dengan situasi waktu dan tempat mereka. Boleh jadi, dimasa akan
datang akan terjadi lebih banyak perubahan yang menjadikan ilmuwan
memiliki kemampuan untuk mengungkap sebagian dari hakikat rûh.86
Sayyid Quthub berpendapat, bahwa jawaban yang ada dalam al-
Qur’an tersebut, bukan untuk membungkam manusia untuk berbuat.
Tetapi pada jawaban tersebut terkandung suatu taujỉh ‘arahan’ bagi akal
agar ia tetap bekerja pada batasan-batasannya pada bidang yang ia
ketahui.87
Akan tetapi, di antara ulama ada yang telah mencoba mendalami
hakikat rûh itu. Di antaranya ialah:
1. Rûh itu semacam cahaya ( jisim, nurani) yang turun ke dunia dari alam
tinggi, sifatnya berbeda dengan materi yang dapat dilihat dan diraba.
2. Rûh itu mengalir dalam tubuh manusia, sebagaimana mengalirnya air
ke dalam bunga, atau sebagaimana api dalam bara. Rûh itu memberi
kehidupan ke dalam tubuh seseorang selama tubuh itu sanggup
menerimanya, dan tidak ada yangmenghalangi alirannya. Bila tubuh
tidak sanggup lagi menerima rûh, maka tubuh itu menjadi mati.
Pendapat ini dikemukakanoleh al-Râzî dan Ibnu qayyim. Sedangkan
Imam al-Gazalĭ dan Abu Qăsim al-Râgib al-Asfahânî berpendapat
86 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h.540 , vol.7.
87 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ( Beirut: Dar el Syuruq, 1992), Jilid. 7, h. 287.
bahwa rûh itu bukanlah materi dan sesuatu yang berbentuk, tetapi ia
hanyaah sesuatu yang bergantung pada tubuh untuk mengurus dan
menyelesaikan kepentingan-kepentingan tubuh.88
Di atas, telah dikemukakan banyak ulama memahami kata rûh di
sini dalam arti pertanyaan tentang substansi rûh yang merupakan nyawa
dan yang keberadaannya dalam diri sesuatu ia menjadi hidup. Para filosof
dan pemikir islam sejak dahulu berusaha memberikan aneka jawaban,
namun tidak satu pun yang memuaskan nalar. Pembahasan mereka itu
tidak dapat dinilai menyimpang dari tuntunan ayat ini karena jawaban
yang diberikan Al-Qur’an di atas, tidak mutlak dipahami sebagai jawaban
akhir terhadap pertanyaan tersebut. Karena hanya Allah yang mengetahui
hakikat rûh, maka pada ayat ini Allah swt menegaskan kepada manusia
bahwa ilmu Allah Maha Luas tidak dapat diperkirakan.
88 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Yang Disempurnakan
( Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), Cet. I, h. 536-537.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian penulis tentang Rûh dalam Al-Qur’ăn.
Analisis Penafsiran Prof. Dr. Quraish Shihab atas surah al-Isra’ ayat 85,
penulis menarik kesimpulan bahwa rûh dalam Al-Qur’ân bermakna
sebagai berikut :
1. Setelah di pelajari dan di renungi, ternyata kata Al- Rûh
mempunyai makna yang banyak (tidak hanya satu arti). Dengan
demikian, maka diharapkan nantinya kita tidak salah dalam
memahami kata Al-Rûh. Bahwa rûh mempunyai arti wahyu atau
Al-Qur’ân, malaikat Jibril ataupun nyawa. Rûh bermakna Al-
Qur’ăn di dasarkan pada dalil ayat al-Qur’ăn surat al-Isra’: 85,
Asy-Syură: 52. Sedangkan al-rûh yang bermakna Jibril,
penjelasannya terdapat pada surat al-nahl: 102, As-Syuâra: 193.
Penafsiran tersebut didukung oleh ayat-ayat lain seperti surat As-
Syurâ: 51 yang memaparkan tentang proses turunnya al-Qur’ăn.
Adapun al-rûh bermakna nyawa penafsiran tersebut bersumber
pada surat al-Hijr :28-29, tentang proses penciptaan manusia.
Menurut M. Quraish ayat tersebut sama sekali tidak
membicarakan tentang al-Qur’ân ataupun malaikat Jibril
melainkan rûh sebagai potensi hidup ataupun nyawa.
2. M. Quraish Shihab dalam penafsirannya tidak ada satu pun
memberikan sebuah pendapat atau pemikirannya secara eksplisit
tentang makna rûh, beliau hanya memberikan pendapat bahwa
syakilah (jalan atau kebiasaan atau kecenderungan) yang disebut
dalam ayat sebelumnya (ayat 84 surat al-Isra’) yang melahirkan
motivasi dan aktivitas manusia yang saling berbeda dan yang
sifatnya abstrak bagaikan rûh. Dalam tafsir-Nya, Beliau hanya
memaparkan pendapat atau pemikiran sebagian para ulama tafsir
tentang rûh yang ada di dalam al-Qur’an. Sehingga penulis belum
mampu menemukan jawaban yang lebih signifikan mengenai
makna rûh yang sebenarnya. maka dalam analisa M. Quraish
Shihab bahwa akal manusia sangat terbatas untuk mengetahui
makna hakikat rûh. Dan menurut-Nya Kalaupun rûh diartikan
sebagai sumber hidup atau wahyu, yang diketahuinya barulah
sebagian dari gejala-gejala dan dampaknya. Dan kalau tentang al-
Qur’an baru sekelumit dari penafsirannya, sedangkan kalau tentang
alam raya, itu pun baru setetes dari samuderanya.
B. Saran- Saran
Setelah mencermati beberapa uraian di atas, akhirnya penulis
menyarankan sejumlah hal kepada pihak terkait. Diantaranya adalah :
1. Yang perlu dipercayai bahwa rûh itu ada. Allah hanya memberikan
gejala-gejalanya. Maka yang perlu diteliti dan dipelajari dengan
sungguh-sungguh ialah gejala-gejala rûh itu, yang dilakukan dalam
psikologi
2. Memberikan saran kepada mahasiswa lainnya yang ingin
mengembangkan tafsir Al-Qur’ân bahwa pemahaman tafsir Al-
Qur’ân dengan pendekatan munâsabah bayyin al-âyah dapat
menjelaskan tema-tema pokok Al-Qur’ân, juga dapat membuktikan
keserasian kata demi kata dalam satu surat atau lintas surat dalam
Al-Qur’ân, dan yang lebih penting dapat membantu meluruskan
kekeliruan pemahaman serta menciptakan kesan yang benar
tentang Al-Qur’ân.
3. Kepada para peminat kajian tafsir, hendaknya terus menggali
persoalan ini dengan konsep yang lebih luas lagi, karena masih
banyak belum penulis ungkap disini terkait masalah rûh.
4. Semoga pembahasan tentang rûh dalam Al-Qur’an dapat
memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan kaum Muslim
umumnya. Terakhir, penulis berharap agar penelitian ini mampu
menjadi
setitik sumber pengetahuan yang bermanfaat, khususnya bagi penulis
sendiri, dan umumnya kepada kaum muslimin.
DAFTAR PUSTAKA
al-Alusi, Syihabuddin. Rǔh al-Ma’ăni fi Tafsir al-Qur’ăn al-Azhĭm wa as-Sabi al-Matsăni. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.
Abdul Qadir al-Kaf, Muhammad. Roh itu Misterius Terj. Yasalunaka ‘an ar-Ruh. Jakarta : CV. Cendikia Sentra Muslim, 2001.
Basalamah, Yahya Saleh. Manusia dan Alam Ghaib. Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1993.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.
Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya ( Edisi Yang Disempurnakan ).
Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.
Al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996.
Federspiel, Howard M. Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus
sampai Quraish Shihab. Bandung: Mizan, 1996.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi.
Jakarta: Teraju, 2003.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2007.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: CV. Bulan Bintang, 1991.
Ibnu Manzur. Lisan al-Arab. Beirut: Dar al- Shadar, 1994.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Al-Rǔh li Ibnil Qayyim. Beirut: Dar al-Qalam, 1403.
Muhammad, Abd Basith. Semesta Ruh, Jakarta : Serambi 2006. Mustafa. M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2010.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1992.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian masalah
Akidah dan Ibadah. Jakarta: Paramadina, 2002.
Al-Qurtubi. Al-Jami’ al-Ahkăm al-Qur’an. Kairo: Dar al-Kutub al-Arabiah li al-Tibăh wa al-Nasyr, 1967.
Al-Qaththan, Manna’ al-Khalil. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2006.
Rahardjo, Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
Al-Razi, Fakhr al-Din. Mafătih al-Gaib. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
As-Shabuni, Muhammad Ali. CAHAYA AL-QUR’AN: Tafsir Tematik Surat Huud-
al-Isra’.Beirut: Dar al-Qalam, 1406.
Saleh, Qomarudin. Asbab al- Nuzul. Bandung: CV. Diponegoro, 1997.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Berbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Shihab, M.Quraish. dkk. Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta:
Lentera Hati, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atau Surah-Surah Pendek
berdasarkan Turunnya Wahyu. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997.
Shihab, M. Quraish. dkk. Sejarah Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2008.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.
Shihab, M Quraish. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati,
2006.
Shihab, M Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Qur’a.
Jakarta : Lentera Hati, 2002.
Shihab, M. Quraish. Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam al-
Qur’an – As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan
Masa Kini. Ciputat: Lentera Hati, 2000.
As-Suyuthi, Jalaluddin. Asbăb al-Nuzǔl. Jakarta: Gema Insani, 2008.
Tebba, Sudirman. Ruh Misteri Mahadasyat. Ciputat : Pustaka Irvan, 2008.