PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN...
Transcript of PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN...
MEMAHAMI HADIS SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL:
STUDI ATAS PEMIKIRAN MUHAMMAD ABÛ AL-LAITS
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Nurul Hasanah
NIM. 1110034000072
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
iv
PADANAN AKSARA ARAB-LATIN
Berdasarkan Pedoman Akademik
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Program Strata 1 2010/2011
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Indonesia Huruf Arab Huruf Indonesia
t ط tidak dilambangkan ا
z ظ b ب
(ain) ‘ ع t ت
gh غ ts ث
f ف j ج
q ق h ح
k ك kh خ
l ل d د
m م dz ذ
n ن r ر
w و z ز
h ـه s س
’ ء sy ش
y ي s ص
d ض
2. Vokal dan Diftong
a ا â ي î
u ى á au
i û ي ai
3. Kata Sandang
Bentuk Transliterasi Contoh
al-Hakîm احلكيم -al (qamariyah) ال
al-Rahmân الرمحن -al (syamsiyah) ال
4. Syaddah
Bentuk Transliterasi Contoh
uww وو aduww‘ ع د
aww وال syawwâl شع
ية iy (tengah) ي dzurrîyyah ذدر
ميو î (akhir) ي misrî اللم رص
يام ayy (tengah) ي ع ayyâm أ
و ayy (akhir) ي qusayy د ع
Selain dan ي repetisi sesuai huruf اف ش al-Kasysyâf الكع
v
5. Ta’ Marbûtah
Bentuk Transliterasi Contoh
salâh صالة h (akhir) ة
salât al-‘asr صالة الع t (mudâf) ة
faj’atan فجأة tan (keterangan) ةة
6. Tanwin
Bentuk Transliterasi Contoh
(keterangan/isim maqsûr) an ، ma’nan, tab’an طبعةامعىنة
(isim manqûs) in اضض qâdin
7. Kapitalisasi
Dalam padanan aksara arab-latin, pedoman kapitalisasi sama dengan
ketentuan kapitalisasi yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
bahasa Indonesia. Perlu diperhatikan pada penulisan kata yang memakai kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital adalah awal kata tersebut,
bukan kata sandangnya. Contoh: Sufyân al-Tsaurî bukan Sufyân Al-Tsaurî
atau Sufyân Al-tsaurî.
vi
ABSTRAK
Nurul Hasanah
Memahami Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual: Studi Atas Pemikiran
Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî
Kajian keislaman saat ini tengah mendapat posisi di hati masyarakat dunia.
Hal ini ditandai dengan pemahaman Islam yang semakin bervariasi. Salah satunya
adalah variasi pemahaman hadis. Beberapa kubu bergerak secara massif
membumikan pemahaman kelompoknya. Mereka beradu pengaruh melalui
berbagai media dan majelis keilmuan. Terdapat pihak yang beranggapan bahwa
hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi waktu turunnya.
Situasi dan kondisi tersebut telah berlalu, masa berlaku hadis telah habis sehingga
tidak dapat dijadikan pedoman untuk masa kini. Terdapat pula pihak yang
beranggapan bahwa hadis tidak tunduk kepada realita dan tidak fleksibel terhadap
situasi dan kondisi yang ada. Implikasi dari anggapan ini adalah hadis dan segala
spesifikasinya berlaku sepanjang masa.
Skripsi ini akan membahas pemikiran hadis Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî. Ia
adalah salah satu pakar hadis masa kini yang mempunyai perhatian khusus dalam
pengembangan metode pemahaman hadis. Penulisan skripsi menggunakan
pendekatan deskriptif-analisis dengan metode pustaka (library research) dan
wawancara jarak jauh via e-mail dan Whatsapp.
Hasilnya adalah Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî tergolong dalam kalangan
moderat. Melalui karya monumentalnya yang berjudul‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ
wa Mu’âsiruhâ, ia sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa ada
sebagian hadis bersifat statis dan ada pula yang bersifat dinamis atau adaptabel
dengan perubahan situasi dan kondisi. Dari asumsi tersebut, diperlukan adanya
penentuan batasan antara wilayah pembacaan tekstual dengan pembacaan
kontekstual. Oleh karena itu, ia berupaya untuk membuat formula pemahaman
hadis yang baik dan tepat. Cita-cita tersebut direalisasikan dengan cara
menghimpun literatur hadis yang telah ada, lalu menelitinya secara mendalam dan
seksama. Upayanya membuahkan hasil berupa sebuah formula yang ia namakan
‘Ilm al-Bu’dain: al-Zamânî wa al-Makânî, metode pemahaman hadis melalui
tinjauan dimensi ruang dan waktu. ‘Ilm al-Bu’dain berisi tentang ranah yang
dibaca tekstual (yang terpengaruh Bu’dain), ranah kontekstual (yang tidak
terpengaruh Bu’dain), indikator serta ketentuan-ketentuan untuk membaca kedua
ranah tersebut demi mendapatkan pemahaman yang tepat. ‘Ilm al-Bu’dain dapat
dijadikan salah satu metode alternatif memahami hadis dari metode-metode
pemilahan tekstual-kontekstual yang telah tercipta sebelumnya.
Kata kunci: ilmu matan hadis, pemahaman hadis, tekstual, kontekstual, ‘Ilm al-
Bu’dain, kontekstualisasi.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah adalah kalimat pertama yang penulis ucapkan, karena hanya
atas restu-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Salawat dan salam penulis
sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw., estafet terakhir Anbiya‟ dalam
menyempurnakan agama. Tak lupa pula salawat kepada keluarga, sahabat dan
para penerus yang telah mengimplementasikan dan menerjemahkan ajaran Islam
dari zaman ke zaman.
Skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah Allah tundukkan hati
mereka untuk mendukung kelancaran penulisannya. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih dengan setulus hati kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
memberikan nasihat berharga kepada seluruh mahasiswanya agar selalu
bermanfaat di manapun berada.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang memberikan dukungan penuh kepada
mahasiswanya untuk menyelesaikan studi mereka.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, Ketua Jurusan dan sekretaris beliau yaitu Mrs.
Banun Binaningrum, M.Pd, beserta seluruh jajarannya. Terima kasih telah
memberikan fasilitas dan selalu mengusahakan yang terbaik untuk mahasiswa
Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
4. Dr. Bustamin, M.Si. selaku Pembimbing skripsi ini. Terima kasih atas
kesediaan beliau dalam meluangkan waktu untuk memberi saran dan kritik
hingga skripsi ini selesai.
viii
5. Dosen di lingkungan Fakultas Ushuluddin yang telah ikhlas memberikan ilmu
dan membimbing mahasiswa Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, termasuk saya.
6. Guru-guru penulis di TK Kemala Bhayangkari XI, SDN Ciputat VII, MTsN
Tangerang II, Darul Falah Jepara dan IIHS Darus-Sunnah Jakarta. Bârakallâh
lahum fî hayâtihim.
7. Keluarga penulis, khususnya bapak Abdul Mukti dan ibu Dedeh Suhanah,
yang telaten mengajarkan banyak hal kepada penulis, mulai dari mengenalkan
hijaiyah, sharfiyyah sampai ilmu-ilmu yang berguna bagi kehidupan dan juga
telah sangat sabar menunggu skripsi ini selesai. Juga kepada Nadiyah, M.Pd.,
teteh teladan bagi adik-adiknya, dan Muhammad Wildan, adik yang sedang
belajar arti hidup dari pengalaman.
8. Saiful Arif, S.Ud., suami tercinta, yang telah menyadarkan dan selalu
memotivasi penulis untuk segera menuntaskan skripsi ini. Terima kasih untuk
selalu berada di sisi penulis di setiap kondisi.
9. Ummi Farhah, MA. yang telah menghubungkan penulis dengan Prof. Abû al-
Laits dan meluangkan waktu untuk memberi masukan di tengah kesibukannya
menempuh program doktoral Universitas Antar Bangsa Malaysia.
10. Teman-teman TH Angkatan 2010, terutama Hani Hilyati „Ubaidah, S.Th.I,
sekretaris pribadi Bu Banun yang telah membantu kelancaran segala keperluan
akademik dan penghuni grup Whatsapp “Luluslah Angkatan 2010” yang telah
saling menyemangati dan sukarela membantu perizinan agar semuanya bisa
selesai pada waktunya.
ix
11. Seluruh pihak yang pernah berinteraksi dengan penulis, memberikan
pelajaran-pelajaran berharga, yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini belum begitu
sempurna. Tapi seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak. Seandainya
kesempurnaan yang dicari niscaya skripsi ini tidak akan pernah rampung. Penulis
hanya bisa menyajikan yang terbaik untuk menghasilkan skripsi ini. Semoga hasil
penulisan skripsi ini bermanfaat buat penulis dan masyarakat pada umumnya.
Penulis
Nurul Hasanah
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..............................................................iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Identifikasi, Batasan dan Perumusan Masalah .................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 10
D. Telaah Pustaka ................................................................................ 11
E. Metodologi Penelitian ..................................................................... 13
F. Sistematika Pembahasan ................................................................. 14
BAB II PEMAHAMAN HADIS METODE TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL
A. Memaknai Istilah Pemahaman Hadis .............................................. 16
B. Rekam Jejak Pemahaman Hadis Nabi: Melacak Akar Historis dan
Metodologis .................................................................................... 18
C. Pemilahan Tekstual-Kontekstual Sebagai Salah Satu Metode dalam
Memahami Hadis Nabi Muhammad Saw. ...................................... 42
BAB III MENGENAL LEBIH DEKAT SOSOK MUHAMMAD ABÛ AL-LAITS
A. Latar Belakang dan Pendidikan ....................................................... 48
x
B. Kondisi Sosial dan Politik ............................................................... 52
C. Karya Muhammad Abû Al-Laits .................................................... 56
BAB IV PEMAHAMAN HADIS MUHAMMAD ABÛ AL-LAITS
A. Metode Tekstual-Kontekstual ......................................................... 59
B. Ilm al-Bu’dain: Sebuah Upaya dalam Memahami Tekstual-
Kontekstual ...................................................................................... 68
C. Klasifikasi Tekstual-Kontekstual dalam Ilm al-Bu’dain ................. 68
1) Ranah Hadis Yang Tidak Terpengaruh al-Bu’dain ................... 70
2) Ranah Hadis Yang Terpengaruh al-Bu’dain .............................. 73
D. Ketentuan-ketentuan dalam Mengaplikasikan Ilm al-Bu’dain ........ 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 85
B. Rekomendasi ................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 87
LAMPIRAN WAWANCARA ......................................................................... 94
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berinteraksi dengan hadis merupakan suatu keniscayaan bagi setiap
muslim.1 Tidak ada alternatif lain kecuali menjadikannya sebagai sandaran,
petunjuk dan tuntunan untuk menghadapi segala fenomena kehidupan.2 Pada
generasi sahabat, penjelasan diperoleh dengan mudah melalui konfirmasi Nabi
Muhammad Saw. secara langsung untuk menyelesaikan problem yang ada.3
Berbeda dengan zaman setelahnya hingga saat ini. Wilayah cakupan Islam
semakin meluas. Tidak lagi hanya sebatas jazirah Arab, daerah awal
kemunculannya, tetapi mulai merambah ke negeri sekitarnya. Peradaban pun
semakin berkembang dan beragam, permasalahan yang muncul semakin
kompleks sebagai dampak persinggungan Islam dengan peradaban dunia luar
Arab. Perbedaan letak geografis, kebudayaan, tradisi dan kondisi sosial menjadi
problematika tersendiri bagi umat Islam untuk mengimplementasikan ajaran
yang terkandung dalam al-Masdar al-Tsânî ke dalam realitas kehidupan.
1 Pernyataan ini disarikan dari informasi yang ada dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Telah
diketahui secara umum bahwasanya Muhammad Saw. adalah utusan Allah Swt. yang terakhir, dan
nabi yang diutus kepada seluruh umat manusia. Beliau adalah tolok ukur ideal bagi setiap individu
muslim dalam seluruh aspek kehidupan yang kemudian dokumentasi ucapan, perbuatan, dan
ketetapannya -dikenal sebagai hadis- dijadikan the second rule of life yang berfungsi sebagai
penjelas al-Qur‟an (mubayyin al-Qur’ân), pemerinci hukum yang ada di dalamnya
(mufassil li ahkâmih) dan penjelas kandungan pokok al -Qur‟an (mufarri’ah ‘alâ
usûlih). Lihat: Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabl al-Tadwîn (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1988), Cet. ke-II, h. 1. 2 Mustafâ al-Sibâ‟î, Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî’ al-Islâmî (Riyâḍ: Dâr al-
Warrâq, t.th), h. 12. Senada dengan wasiat Rasûlullâh Saw. redaksinya:
ك اا اا ن لن رنقا ن ر ا ل ن ااو : إني قد ت ركت فيكم شيئ ي لن تضلوا ب عدهاAbû „Abdillâh al-Ḥâkim, Mustadrak’alâ al-Sahîhain (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah,
1990), Bâb Hadîth „Abdillâh bin Numayr, Hadis no. 319 Jilid I, h. 172. 3 Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabl al-Tadwîn, h. 34.
1
2
Perbedaan-perbedaan ini mendorong para ahli hadis untuk memikirkan ulang
otoritas hadis/sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam, apakah masih
relevan untuk saat ini atau tidak? Hal tersebut perlu dilakukan dan menjadi
penting untuk meminimalisasi perdebatan di kalangan pemerhatinya sekaligus
menutup celah bagi oposisi kaum muslim yang berupaya meruntuhkan keyakinan
mereka. Isu tersebut menimbulkan berbagai reaksi dari beragam fraksi. Di
antaranya, terdapat pihak yang beranggapan bahwa hadis hanyalah terapan al-
Qur‟an berdasarkan situasi dan kondisi waktu turunnya. Situasi dan kondisi
tersebut telah berlalu, masa berlaku hadis telah habis sehingga tidak dapat
dijadikan pedoman untuk masa kini. Terdapat pula pihak yang beranggapan
bahwa hadis tidak tunduk kepada realita dan tidak fleksibel terhadap situasi dan
kondisi yang ada. Implikasi dari anggapan ini adalah hadis dan segala
spesifikasinya berlaku sepanjang masa.4
Meminjam istilah Abdullah Saeed, paradigma dalam memahami hadis dapat
dipetakan menjadi tiga kategori, yakni: tekstualis, yang membela pembacaan
literal hadis dan meyakini pesan tersurat yang terkandung di dalamnya masih
murni dan tidak tunduk pada tuntutan zaman. Semi tekstualis, pada dasarnya
sama dengan tekstualis. Namun mereka mencoba berdamai dengan perubahan
melalui pemberian kelonggaran pada kasus yang dapat dimaklumi.
Kontekstualis, yakni mereka yang percaya bahwa ajaran tertentu dalam hadis
dapat diaplikasikan secara berbeda, tergantung situasi dan kondisi.5
4 Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ
(Selangor: Dâr al-Syâkir, 2011), Cet. ke-VII, h. 319. 5 Abdullah Saeed, Some Reflections On The Contextualist Approach to Ethico-Legal Texts
Of The Quran, Bulletin of School of Oriental and African Studies (SOAS), Vol. 71, no. 2 (2008):
h. 221-222.
3
Sepakat dengan kategori terakhir, Muhammadiyah Amin6 menyimpulkan
bahwa dalam batas-batas tertentu, perkembangan kehidupan menuntut
penyesuaian dengan dan dari hadis sebagai sumber otoritatif ajaran Islam.
Penyesuaian itu dilakukan dengan kontekstualisasi pada wilayah pemaknaan.
Tujuannya adalah menemukan substansi ajaran, orisinalitas dan solusi yang
adaptif dengan problematika kehidupan. Formula yang menyatakan bahwa ajaran
Islam sâlih li kulli zamân wa makân menunjukkan fleksibilitas dan elastisitas
ajaran, bukan ortodoksi yang ketat dan kaku. Suatu pandangan yang lebih
menekankan pandangan ke depan (progressif), dan bukan ke belakang
(regresif).7
Pandangan senada disampaikan oleh Jawiah Dakir8 dan Faishal Ahmad
Shah9 yang mengatakan bahwa pendekatan kontekstual merupakan pilihan
terbaik dalam pemahaman akurat hadis. Hal ini disimpulkan dengan menimbang
peran penting disiplin ilmu Asbâb Wurûd al-Hadîts. Melalui Asbâb al-Wurûd,
konteks sosio-historis suatu kejadian atau insiden hadis dan faktor yang
6 Muhammadiyah Amin, lahir di Riau, pada 14 Agustus 1963, adalah Guru Besar dalam
matakuliah Hadis/Ilmu Hadis pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar. Setelah
meraih Doktor pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (21 Februari 2003), dipercaya menjadi
Asisten Direktur II Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar (2003-2007) dan sebelum masa
jabatan berakhir, dipilih menjadi Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo (2006-2010). Lihat:
Muhammadiyah Amin, “Biografi Penulis,” artikel diakses pada 01 September 2014 dari blog
pribadinya, http://madiyamin.blogspot.com/. 7 Muhammadiyah Amin, Kontekstualisasi Pemahaman Hadis dan Rekonstruksi
Epistemologi Ikhtilâf dalam Fiqh al-Hadîts, Jurnal Islamica, Vol. 5, No. 2, Maret 2011, h. 256. 8 Jawiah binti Dakir adalah wakil direktur Institute of Islam Hadhari, Fakultas Teologi dan
Filsafat, Universitas Kebangsaan Malaysia. Beliau menuntut ilmu di UKM sampai tingkat doktoral
dengan gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) pada 1991. Lihat: Jawiah Dakir, “Curriculum Vitae
Profesor Jawiah Dakir," artikel diakses pada 01 September 2014 dari: http://www.ukm.my-
/hadhari/sites/default/files/pdf/CV%20prof%20jawiah.pdf. 9 Faisal Ahmad Shah adalah dosen senior di Jurusan Studi Qur'an dan Hadis, Akademi
Studi Islam, Universitas Malaya, Malaysia. Ia memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Hadis
Universitas Islam Madinah, Arab Saudi (1996). Mencapai gelar master dalam studi Islam dari
Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dan berhasil menyelesaikan program Ph.D. di
Universitas Malaya (2007). Lihat: Georg August, “Curriculum Vitae Faisal Ahmad Shah,” artikel
diakses pada 01 September 2014 dari http://www.uni-goettingen.de/en/dr-faisal-ahmad-shah-
university-of-malaya-malaysia/482943.html.
4
memotivasi sabda Nabi Muhammad Saw. dapat diketahui. Perintah dan larangan
beliau memiliki kemungkinan latar belakang yang berbeda dan tujuan tertentu
untuk sahabat atau situasi tertentu. Namun, masalah muncul karena tidak semua
hadis memiliki Asbâb al-Wurûd.10
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
kontekstual sebagai solusi memahami hadis dengan baik dan juga untuk
menghindari kesalahpahaman yang menuduh hadis sebagai penghalang dari
setiap kemajuan peradaban manusia, bertentangan dengan hak asasi manusia,
bertentangan dengan realitas sosial, dengan menghakiminya sebagai sumber
perpecahan, kejumudan, dan kemunduran. Bahkan pada tataran praksis, hadis
Nabi seringkali menjadi legalitas formal terhadap penzaliman dan penindasan
suatu kalangan terhadap kalangan lain.11
Kontektualisasi juga dipercaya dapat
mengejewantahkan sumber ajaran Islam dalam rangka menciptakan masyarakat
yang baik dan bijak, bukan sekedar mengadopsi ajaran yang kaku.12
Secara historis, pemahaman hadis dengan menggunakan metode kontekstual
bukanlah suatu hal yang baru. Cikal bakal metode ini disinyalir telah ada sejak
zaman Nabi Muhammad Saw.13
Misalnya, ketika para sahabat berbeda pendapat
dalam menanggapi instruksi Nabi Muhammad Saw. untuk menunaikan salat
Ashar di perkampungan Banî Quraydhah.14
Kemudian pada zaman kekhalifahan,
10
Jawiah Dakir dan Faishal Ahmad Shah, A Contextual Approach in Understanding The
Prophet’s Hadith: An Analysis, Journal of Applied Sciences Research, Vol. 8, no. 7 (2012), h.
3176, artikel diakses pada 08 Agustus 2014 dari http://www.aensiweb.com/old/jasr/jasr/2012/-
3176-3184.pdf. 11
Arifuddin, Teknik Interpretasi dalam Kajian Fikih Hadis, Al-Fikr, Vol. 16, no. 1 (2012):
h. 2-3. 12
Abdullah Saeed, Some Reflection, h. 223. 13
Muhammad Syams al-Haq al-„Azîm Âbâdî, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd
(Madinah: Maktabah al-Salafiyah, 1968), Bâb Ijtihâd al-Ra‟y fî al-Qadâ‟, Jilid VIII, h. 91 14
Redaksi aslinya:
ثوا بن قريظةن ل ثصلوا صلة العص حتى ثأ
عزنت عليكم أ
Lihat: al-Hâkim al-Naisâbûrî, Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain (Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1990), Hadis no. 4332, Jilid III, Cet. Pertama, h. 37. Sebagian sahabat memahami
5
khususnya khalifah „Umar bin al-Khattâb, terdapat beberapa peraturan yang telah
tercantum ketentuannya dalam al-Qur‟an maupun hadis Nabi Muhammad Saw.
secara jelas, tetapi mengalami perubahan dalam pemahamannya dikarenakan
kondisi atau keadaan masyarakat yang berbeda. Salah satunya adalah aturan
zakat kepada kaum mu’allafat qulûbuhum.15
Aturan tersebut diperoleh dengan
sangat hati-hati dan penuh pertimbangan. Yakni dengan mengamalkan teks/nas
lain yang dianggap lebih sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu dan tetap
memedulikan nas utama sebagai acuan.16
Pada zaman klasik, ulama seperti al-Syâfi’î (w. 204 H), Ibn Qutaibah (w.
276 H), al-Tahâwî (w. 321 H), al-Bustî (w. 388 H), al-Hâzimî (w. 584 H), dan
tokoh lainnya pun telah mempergunakan disiplin ilmu Mukhtalif al-Hadîts,
Asbâb al-Wurûd, Gharîb al-Hadîts dan al-Nâsikh wa al-Mansûkh dalam rangka
memahami sabda Nabi Muhammad Saw. secara cermat dengan
mengikutsertakan konteks sosio-historis, di samping ilmu-ilmu yang terkait
dengan usûl al-fiqh yang meliputi kaidah kebahasaan, metode kompromi,
abrogasi, tarjîh dan yang lainnya.
Wacana kontekstualisasi hadis semacam itu juga diramaikan oleh ulama
hadis abad ke-20. Tercatat beberapa nama yang memiliki karya khusus mengulas
perintah beliau secara tekstual. Sebagian yang lain memahaminya secara kontekstual, yaitu para
sahabat yang memiliki asumsi bahwa yang dimaksud dalam instruksi tersebut adalah perintah
untuk mempercepat perjalanan di penghujung siang, bukan mengakhirkan salat ashar pada hari itu
maupun hari lainnya. Hal ini diperkuat dengan adanya salat ashar tidak bisa diakhirkan lalu
digabung pelaksanaannya dengan salat maghrib. Mereka pun salat ashar tetap pada waktunya.
Singkat cerita, kedua pendapat tersebut dibenarkan oleh Nabi Muhammad Saw. yang diungkapkan
dengan redaksi: “wa lam ya’ib al-Nabi sallá Allâh ‘alaih wa sallam ahadan min al-Farîqain.”
Lihat: Ibn Rajab, Fath al-Bârî (Saudi: Dâr Ibn al-Jawzî, 1422 H), Cet. Ke-II, Jilid VI, h. 49. 15
Abdullah Saeed, Some Reflection, h. 232. 16 Pembahasan mengenai perubahan kebijakan pada masa sahabat akan diulas di bab dua.
6
wacana tersebut, misalnya Muhammad al-Ghazâlî (w. 1416H/1996 M)17
dalam
karyanya al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts,
menuangkan pendapatnya mengenai prinsip dasar yang harus dipenuhi ketika
hendak berinteraksi dengan sunnah, agar menghasilkan pemahaman yang sesuai
dengan ajaran agama, yakni: pengujian dengan al-Qur‟an, pengujian dengan
hadis (lain), pengujian dengan fakta historis dan pengujian dengan kebenaran
ilmiah.18
Begitu pula Yûsuf al-Qardawî19
dalam Kaifa Nata’âmal ma’a al-
Sunnah al-Nabawiyyah, di mana beliau menegaskan ulang posisi al-Sunnah
terhadap al-Qur‟an dengan menekankan pemaknaan literal didukung dengan
sarana pemaknaan kontekstual.20
Ulama Nusantara pun tidak terlepas dari hiruk pikuk kontekstualisasi hadis.
Beberapa tokoh terkemuka yang memiliki kapabilitas dalam dunia hadis
menuliskan karya eksklusif mengenai cara memahami hadis agar dapat
terkontekstualisasikan dengan baik. Di antaranya Tengku Muhammad Hasbi
17
Muhammad al-Ghazâlî al-Saqqá lahir di desa Nakhla Al-„Inab di distrik al-Buhayrah di
Mesir pada 1917. Dibesarkan dalam keluarga yang religius dan hafal Al-Qur'an ketika ia masih
kanak-kanak. Ia belajar di Al-Azhar, konsentrasi Dakwah dan Tarbiyah. Memperoleh gelar Master
di bidang Bahasa Arab. Dalam beberapa tahun, ia secara luas diakui sebagai salah satu pemikir
Islam kontemporer yang paling berpengaruh. Dia juga seorang pembela Islam dan lawan kuat
pihak ekstremis dalam dunia Islam. Lihat: Muhammad al-Ghazâlî, “Curriculum Vitae Muhammad
al-Ghazâlî," artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://kfip.org/shaikh-mohammad-al-
ghazali-al-saqqa/. 18
Muhammad al-Ghazâlî, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts
(Kairo: Dâr al-Syurûq, 1989), Cet. Ke-3, h. 15-16. 19
Yûsuf „Abdullâh al-Qardâwî. Lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Saft Turâb
pada 9 September 1926. Beliau hafal al-Qur'an semenjak usianya belum mencapai 10 tahun. Al-
Qardhawi menamatkan jenjang ibtida‟iyah dan tsanawiyah di madrasah Al-Azhâr. Kemudian
melanjutkan ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, lulus tahun 1953 dengan peringkat
pertama dari 180 mahasiswa. Tahun 1960 memperoleh gelar magister di bidang Ulûm al-Qur‟ân
wa al-Sunnah, Fakultas Ushuluddin. Tahun 1973 meraih gelar doktor dengan predikat Mumtaz
Summa Cumlaude di fakultas yang sama dengan judul disertasi "Zakat dan Dampaknya dalam
Penanggulangan Permasalahan Sosial." Lihat: Yûsuf al-Qardâwî, “Curriculum Vitae Yûsuf „al-
Qardâwî," artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://qaradawi.net/new/seera/226-2014-01-
26-18-28-17/995-2011-09-04-14-39-33. 20
Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Dâr al-
Syurûq, 2002), Cet. Ke-II, h. 111.
7
Ash-Shiddieqy (w. 1975 M) dengan Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits-nya21
dan
Muhammad Syuhudi Ismail (w. 1996 M) dengan karyanya, Hadis Nabi yang
Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang
Universal, Temporal dan Lokal.22
Sedangkan pada abad ini diwakili oleh Ali
Mustafa Yaqub (w. 2016 M) dengan tulisannya, al-Turuq al-Ṣahîhah fî Fahm al-
Sunnah al-Nabawiyyah.23
Wacana kontekstualisasi hadis kontemporer juga diusung oleh Muhammad
Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, salah satu pakar hadis ternama yang berasal dari
India. Saat ini, Abû al-Laits menjabat sebagai Guru Besar Hadis di Fakultas Ilmu
Wahyu dan Ilmu Sosial, Universitas Islam Antarbangsa, Malaysia. Tidak heran
jika ia memiliki banyak karya tulis yang hampir semuanya bertajuk hadis, baik
ilmu dirayah maupun ilmu riwayah.
Dengan spesialisasinya di bidang hadis, ia mencoba untuk membuat suatu
karya yang bisa menjadi pedoman dalam mengontekstualisasikan hadis. Pola
interaksinya dengan hadis dapat dilihat dari buah pemikirannya yang berjudul
‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ. Pada bagian akhir buku tersebut,
pembaca akan disuguhi metode ‘Ilm al-Bu’dain: al-Zamânî wa al-Makânî,
sebuah metode pemahaman hadis melalui tinjauan dimensi ruang dan waktu.
21
Meminjam pemikiran Shâh Waliyullâh al-Dihlawî dalam kitabnya Hujjat Allâh al-
Bâlighah, Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan pemilahan posisi Nabi Muhammad Saw.; Risâlah
dan Ghair Risâlah, cara berinteraksi dengan hadis; pemahaman tekstual dan kontekstual, dan
otoritas hadis dalam pembinaan hukum Islam. Lihat: Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,
Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), Cet. Ke-VI, Jilid 2, h. 347-381. 22
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
2009), Cet. Ke-2, h. 33. 23
Dalam bukunya tersebut, Ali Mustafa menyimpulkan bahwa adakalanya hadis dipahami
secara tekstual, adakalanya dipahami secara kontekstual, dan adakalanya pula dapat dipahami
melalui keduanya sehingga diperbolehkan untuk mengaktualisasikan salah satunya. „Alî Mustafâ
Ya‟qûb, al-Turuq al-Sahîhah fî Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Jakarta: Maktabah Dâr al-
Sunnah, 2016), Cet. Ke-II, h. 21.
8
Abû al-Laits mengklaim bahwa metodenya adalah sebuah kajian baru dalam
ilmu hadis, walaupun memiliki kaitan erat dengan Sabab Wurûd al-Hadîts.24
Materi tersebut bisa menjadi salah satu sarana mengaktualisasikan hadis dalam
konteks kekinian dengan cara menetapkan standar hadis yang tetap dibaca
tekstual dan hadis yang dapat dikontekstualisasikan. Abû al-Laits berupaya
mendialogkan kajian hadis dengan masanya agar tidak terjadi kemandekan
pemahaman yang bermuara pada pengingkaran hadis. Dalam pembahasannya,
terlihat jelas bahwa Abû al-Laits tetap meyakini otoritas sunnah dan berasumsi
bahwa terdapat hadis yang bersifat statis dan terdapat pula yang bersifat dinamis,
adaptabel dengan perubahan situasi dan kondisi.25
Penulis tertarik untuk menelusuri lebih lanjut gagasan pemahaman hadis
Abû al-Laits, khususnya standar beliau dalam menetapkan tekstual dan
kontekstual dalam memahami suatu hadis. Untuk itu, penulis ingin menuangkan
permasalahan ini dalam penelitian yang berjudul: “Memahami Hadis Secara
Tekstual dan Kontekstual: Studi Atas Pemikiran Muhammad Abû Al-Laits.”
B. Permasalahan: Identifikasi, Batasan dan Perumusan Masalah
Sebagaimana yang telah dijelaskan, penelitian ini hendak menganalisis
pemahaman hadis Abû al-Laits. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi
masalah, batasan masalah dan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis
mengidentifikasi beberapa masalah yang terkait dengan tema ini:
24
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 315. 25
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 319.
9
Pertama, bagaimana sejarah perkembangan pemahaman hadis? Metode
apa saja yang ditawarkan para pakar hadis terdahulu untuk memahami hadis
yang baik agar mampu beradaptasi dengan zaman yang terus mengalami
perkembangan?
Kedua, seperti apa rumusan Abû al-Laits dalam memahami hadis,
khususnya cara mengontekstualisasikan hadis yang terangkum dalam ‘Ilm
al-Bu’dain?
Ketiga, ranah apa saja yang menurutnya harus dipahami secara
tekstual? Ranah apa pula yang menerima pemahaman secara kontekstual?
Dan apa indikator sebuah hadis dapat dikontekstualisasikan?
2. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah, skripsi ini dikosentrasikan pada pembahasan
rumusan pemahaman hadis tekstual-kontekstual dan standar klasifikasinya.
Tokoh kontemporer yang difokuskan dalam penelitian ini adalah Abû al-
Laits. Alasan pemilihan tokoh tersebut sebagai objek penelitian adalah
karena beliau merupakan tokoh penting yang meneruskan kajian hadis.
Karya-karya beliau sudah banyak beredar dan menjadi konsumsi publik
khususnya para akademisi. Standar Abû al-Laits tentang pemilahan tekstual
dan kontekstual dalam memahami hadis dapat dijadikan rujukan penting
agar tidak terjadi kesewenangan menafsirkan suatu hadis yang dapat
digunakan sebagai legalitas formal dalam kepentingan suatu kalangan
tertentu.
10
3. Rumusan Masalah
Melalui pembatasan masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini
adalah bagaimana metode pemahaman hadis yang digunakan oleh Abû al-
Laits untuk menentukan kategori hadis yang dapat dan yang tidak dapat
dikontekstualisasikan?
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah pemikiran Abû al-Laits mengenai
pemahaman hadis tekstual dan kontekstual dalam karyanya ‘Ulûm al-Hadîts
Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ. Secara otomatis, penelitian ini juga akan
mengungkap pemikiran hadis beliau yang dapat dijadikan referensi dalam
memecahkan permasalahan dan meminimalisasi perbedaan dalam
memahami hadis. Penelitian ini juga menguatkan pendapat yang mengatakan
bahwa hadis/sunnah adaptabel dengan konteks kekinian, memiliki
fleksibilitas untuk merespon isu-isu yang ada pada zamannya.
2. Manfaat Penelitian
Secara akademis, diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna
bagi pemerhati kajian hadis. Secara praktis, diharapkan dapat menjelaskan
standar pemilahan hadis yang dipahami secara tektual dan kontekstual.
Sehingga hadis tidak dipahami secara ekstrim, yakni mengeneralisasi hadis
dengan pemahaman tekstual ataupun sebaliknya dan juga menghindari
kebuntuan pemahaman yang berujung pada pengingkaran hadis sebagai
sumber kedua ajaran Islam yang sâlih li kulli zamân wa makân.
11
C. Telaah Pustaka
Dalam menelaah penelitian terdahulu yang relevan dengan tema penelitian
ini, penulis membagi ke dalam dua bagian; penelitian yang berkaitan dengan
tekstualisasi/kontekstualisasi hadis secara umum dan penelitian yang spesifik
mengkaji pemikiran Abû al-Laits.
Penelitian tentang kontekstualisasi hadis secara umum, di antaranya:
Pertama, A Contextual Approach in Understanding The Prophet‟s Hadith: An
Analysis karya Jawiah Dakir dan Faisal Ahmad Shah. Artikel ini diterbitkan
dalam bentuk jurnal oleh American-Eurasian Network for Scientific Information
(AENSI Publication, Amman, Yordania) dalam Journal of Applied Sciences
Volume 8 Nomor 7 Tahun 2012. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
pendekatan kontekstual diperlukan untuk memastikan hadisnya akurat dan
dipraktikkan dengan benar. Pendekatan ini membutuhkan pengawasan yang ketat
terhadap situasi kondisi sosiokultural juga wilayah cakupan periwayatan hadis.
Penelitian ini juga membahas aspek tsawâbit dan mutaghayyirât untuk
mengetahui adaptabilitas hadis. Menurut mereka pula, kritik dan pendapat para
ahli terdahulu perlu diperhatikan dalam memahami hadis. Isi hadis harus
memperhatikan kepentingan masyarakat dan umat. Adanya perubahan hukum
pada penerapan hadis yang terjadi pada masa kini bukan berarti hadis tersebut
tidak dapat dipakai sama sekali. Sebaliknya, hadis itu dapat dipakai jika situasi
dan kondisi sekarang ini sama dengan saat zaman Nabi. Teks hadis mesti terlebih
dahulu dipahami secara tekstual dan literal jika ada masalah yang sedang
dialami.
12
Kedua, Teknik Interpretasi dalam Kajian Fikih Hadis karya Arifuddin.
Diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
(UIN) Alauddin Makassar dalam Jurnal Al-Fikr Volume 16 Nomor 1 Tahun
2012. Penelitiannya hanya membahas seputar definisi, urgensi dan ragam teknik
intrepretasi. Di antaranya yaitu interpretasi tekstual dan kontekstual.
Menurutnya, penerapan teknik-teknik tersebut akan memperkuat makna formal
sebuah hadis sekaligus memperjelas makna subtansinya, sehingga hadis-hadis
Nabi Muhammad Saw. tidak ada yang ketinggalan zaman atau tidak berlaku
selamanya lagi, baik berlaku secara universal ataupun lokal dan temporal.
Ketiga, Kontekstualisasi Pemahaman Ḥadîth dan Rekonstruksi Epistemologi
Ikhtilâf dalam Fiqh al-Hadîts karya Muhammadiyah Amin. Tulisan ini dimuat
dalam Jurnal Islamica Volume 5 Nomor 2 Tahun 2011 yang diterbitkan oleh
Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Hasil
penelitian beliau menunjukkan keniscayaan kontekstualisasi pemahaman sebagai
upaya rekonstruksi pemikiran terhadap hadis yang dimaksudkan sebagai upaya
menjadikan hadis tetap aktual sebagai solusi problematika kehidupan umat, dan
diharapkan dapat meminimalisasi jurang perdebatan pada wilayah pemaknaan.
Dari telaah pustaka yang penulis lakukan, penulis tidak menemukan karya
ilmiah yang secara khusus membahas pemikiran Abû al-Laits Kajian ini berbeda
dengan kajian yang telah ada. Tidak hanya mengungkap konsep tekstual-
kontekstual secara umum, melainkan lebih rinci serta menjelaskan motif dibalik
penetapan standar tersebut.
13
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini termasuk ke dalam
kategori penelitian pustaka (library research). Penelitian yang dilakukan
dengan meninjau literatur (kepustakaan) ini dapat menggunakan sarana
berupa buku, jurnal, artikel maupun laporan hasil penelitian dari penelitian
terdahulu sebagai bahan untuk mendeskripsikan dan menganalisis kualitas
pemikiran tokoh. Kali ini, tokoh tersebut adalah Abû al-Laits.
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
macam; data primer dan data sekunder. Data primer berupa seluruh karya
tulis Muhammad Abû al-Laits, baik yang membahas pemahaman hadis
secara khusus maupun tidak. Karya Muhammad Abû al-Laits seperti ‘Ulûm
al-Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ, Tauzîf al-Sunnah al-Nabawiyyah fî
Dau’al-Wâqi’ al-Mu’âsir, Turuq Jadîdah li taqwiyat al-Ahâdîts al-Hasanah
wa al-Da’îfah, al-Bu’dâni al-Zamânî wa al-Makânî fî al-Sunnah wa al-
Ta’âmul ma’a humâ: ta’sîl wa tatbîq, Kitâb al-Sunnah wa dauruhâ fî al-Fiqh
al-Jadîd li al-Ustâdz Jamâl al-Bannâ’: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah dan
yang lainnya. Data sekunder berupa seluruh literatur yang berkaitan dengan
wacana tekstualis-kontekstualis dalam memahami hadis, seperti Kaifa
Nata’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah karya Yûsuf al-Qardâwî,
Hujjatullâh al-Bâlighah karya Syâh Waliyullâh al-Dihlawî, Some Reflections
On The Contextualist Approach to Ethico-Legal Text of The Quran karya
Abdullah Saeed, al-Turuq al-Sahîhah fî Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah
karya Ali Mustafa Yaqub dan yang lainnya.
14
Metode lain dalam pengumpulan data skripsi ini adalah wawancara tokoh
yang menjadi objek penelitian. Penulis mewawancara Muhammad Abû al-
Laits melalui perantara e-mail dan whatsapp. Alamat e-mail yang penulis
gunakan adalah e-mail pribadi penulis [email protected] tertuju ke
[email protected] dan nomor Whatsapp penulis 0813-8013-1310 ke
Whatsapp beliau yakni +6018-665-5840.
2. Pendekatan
Penelitian ini memakai metode deskriptif – analitis. Menggambarkan peta
pemikiran tokoh untuk memperoleh pemaparan informasi yang objektif
mengenai pemahaman hadisnya. Selanjutnya menelaah antar komponen
pemikiran untuk mendapatkan kesimpulan tentang klasifikasi tekstual-
kontekstual hadis.
3. Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi dalam
buku Pedoman Akademik Program Strata 1 2013/2014. Sedangkan alih aksara
merujuk pada Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Program Strata 1 2010/2011.
E. Sistematika Pembahasan
Untuk dapat menghantarkan kepada jawaban yang tepat atas permasalahan
yang telah disampaikan, mengharuskan penulis membuat desain sistematika
pembahasan yang terdiri dari empat bab dengan penjelasan sebagai berikut.
Bab pertama berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
identifikasi, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
15
telaah pustaka, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini
berfungsi sebagai kerangka berpikir mengenai alur tulisan ini secara umum dan
batas-batas kajiannya.
Bab kedua berisi tentang wacana kontekstual dalam lintasan sejarah. Tujuan
penulisan bab kedua ini adalah untuk memberi gambaran mengenai sejarah
pemahaman hadis tersebut dari era klasik hingga era Muhammad Abû al-Laits
serta menjelaskan posisi beliau di tengah luasnya samudra pemahaman hadis
yang telah diarungi para pakar pendahulunya.
Bab ketiga memuat biografi Muhammad Abû al-Laits yang terdiri dari; latar
belakang intelektual, sosial, politik, karir dan karya-karyanya.
Bab keempat membahas pemikirannya tentang tektual-kontekstual. Bab ini
hendak menggambarkan metode yang dikembangkan olehnya dalam memahami
hadis Nabi Muhammad Saw.
Bab keempat berisi penutup yang mencakup kesimpulan dan rekomendasi.
Dalam bab ini akan disimpulkan hasil dari penelitian dan dilengkapi dengan
rekomendasi penulis untuk penelitian selanjutnya.
16
BAB II
PEMAHAMAN HADIS METODE TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL
A. Memaknai Istilah Pemahaman Hadis
Pemahaman berasal dari kata paham yang mempunyai banyak arti, yakni
pengertian, pendapat, pikiran, aliran, haluan, pandangan, mengerti benar (akan),
tahu benar (akan), pandai dan mengerti benar (tentang suatu hal).1 Paham
merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu al-Fahm. Tersusun dari huruf fa‟-
ha‟-mîm, kata al-Fahm mempunyai arti dasar mengetahui akan sesuatu („ilm al-
syai‟),2 kemudian membentuk definisi etimologis yang lebih rinci yakni
kecakapan dalam mengonsep sebuah makna dan kesiapan intelektual untuk
menarik kesimpulannya (husn tasawwur al-ma‟ná wa jaudat isti‟dâd al-dzihn li
al-istinbât).3 Untuk membedakannya dengan al-„ilm yang juga bermakna tahu-
mengetahui, kata al-fahm digunakan secara khusus ketika memperoleh informasi
secara audio dan digunakan pula dalam konteks mencerna sebuah isyarat.4
Diferensiasi kata tersebut digunakan dalam konteks mencerna suatu teks (baca:
literatur hadis) sangatlah tepat, karena teks adalah audio/rekaman tertulis sang
penulis yang sarat akan isyarat berupa susunan atau rangkaian huruf.5 Kata paham
1 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Cetakan ke-10, h. 714. 2 Ahmad bin Fâris, Mu‟jam Maqâyîs al-Lughah (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid IV, h. 457.
3 Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah Jumhûriyyah Misr al-„Arabiyyah, Al-Mu‟jam al-Wasît
(Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2010), h. 729. 4 Abû Hilâl al-Hasan bin „Abdillâh al-„Askarî, al-Furûq al-Lughawiyah (Beirût: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 2010), h. 101. 5 Huruf adalah tanda aksara dalam tata tulis yang merupakan anggota abjad yang
melambangkan bunyi bahasa. Disebut juga dengan aksara yang artinya sistem tanda grafis yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. Kedua definisi
tersebut dikaitkan dengan kata tanda yang memiliki hubungan fungsional dengan kata isyarat,
yakni segala sesuatu yang dipakai sebagai tanda atau alamat. Lihat: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
h. 362, 18.
17
jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maka menjadi understand dan know
yang artinya mendapatkan informasi tentang sesuatu atau seseorang, menjadi
familiar dan membentuk sebuah persepsi (have information about something or
somebody, be familiar, be sure).6
Dari penelusuran di atas, diketahui bahwa paham, al-fahm, maupun
understand digunakan untuk mendeskripsikan keadaan seseorang yang
mengetahui sesuatu dari informasi yang diperolehnya, baik hanya sekedar tahu
maupun mengetahui secara mendalam sehingga membentuk suatu cara pandang.
Sedangkan paham yang diberi imbuhan pe-an merujuk pada proses, cara,
perbuatan dalam rangka mencapai paham tersebut.7 Pemahaman hadis berarti
proses, cara, perbuatan memahami atau memahamkan perkataan, perbuatan, sifat
dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Memahami ajaran Nabi Muhammad Saw. yang telah menempuh perjalanan
waktu 14 abad bukanlah suatu hal yang mudah. Saat ini, informasi tentang beliau
hanya dapat diperoleh melalui pembacaan literatur, khususnya literatur hadis.
Sedangkan kendala yang ditemui dalam pembacaan teks atau literatur tidaklah
sedikit. Hal ini dikarenakan teks tidak dapat berbicara dan menjelaskan maksud
yang dikandungnya dengan sendirinya. Ada kalanya kendala tersebut berasal dari
pembaca maupun teks itu sendiri. Kapasitas keilmuan, wawasan dan kondisi
psikologis pembaca sangat memengaruhi hasil bacaan. Begitu pula dengan
ketelitian pencatatan ketika masa periwayatan maupun ketika penyalinan
manuskrip turut berperan dalam membentuk pemahaman pembaca.
6 Longman, Longman Dictionary of The English Language (Harlow: Essex,1984), h. 893,
1803. 7 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 714.
18
B. Rekam Jejak Pemahaman Hadis Nabi: Melacak Akar Historis dan
Metodologis
Dari definisi di atas, diketahui bahwa pemahaman dimulai sejak pemerolehan
informasi. Dalam konteks hadis, informan utama adalah Nabi Muhammad Saw.
Dengan kata lain, pemahaman hadis sudah dimulai sejak Nabi Muhammad Saw.
menyampaikan informasi tentang ajaran Islam kepada para sahabat. Saat itulah
perjalanan panjang pemahaman hadis dimulai.
1. Pemahaman Hadis Pada Masa Nabi
Dalam proses transfer informasi, Nabi Muhammad Saw. sangat
memperhatikan keadaan audien. Beliau pun menyampaikan amanat yang
diembannya sesuai dengan kapasitas keilmuan mereka agar ajaran Islam
dapat dipahami dengan baik. Cara beliau memahamkan arab badui dengan
arab kota tentulah berbeda, menghadapi pemuda dan orang tua, laki-laki dan
perempuan tidaklah sama. Begitu pula ketika berinteraksi dengan suatu kaum
yang mempunyai dialek bahasa tersendiri. Beliau menyampaikan ajaran Islam
dengan bahasa mereka agar mudah dicerna. Tidak jarang pula nabi
Muhammad Saw. mengulang dan melambatkan perkataannya agar semua
audien dapat memahami dengan baik dan tidak ada informasi yang luput dari
pendengaran mereka.8 Terkadang beliau juga mengajukan pertanyaan untuk
menguji pengetahuan para sahabat dan mengasah intelektual mereka.9
Hasil dari proses pemahaman dapat terlihat dengan adanya pemaknaan,
pengutipan, klarifikasi dan konfirmasi. Pemaknaan sabda Nabi Muhammad
8 Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah qabla al-Tadwîn (Beirût: Dâr al-Fikr, 1997), h.
36-42. 9 Muhammad Abû Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn (al-Riyâd: al-Mamlakah al-
Arabiyyah al-Sa‟ûdiyyah, 1984), h. 52.
19
Saw. tidak selalu berujung pada satu persepsi. Adakalanya para sahabat
berbeda pendapat. Hal tersebut lumrah terjadi karena perbedaan tingkat
pemahaman antar manusia. Selama masih dalam koridor syariat, perbedaan
pendapat dapat diterima. Misalnya, pada kasus tayammum ketika tidak
menemukan air. Ketika itu, terdapat dua orang sahabat yang bertayammum.
Keduanya menemukan air saat telah melaksanakan salat dan waktu salat
masih tersisa. Salah seorang dari mereka mengulang salat, sedangkan seorang
lainnya tidak. Akhirnya mereka mengadukan perihal tersebut kepada Nabi
Muhammad Saw. Beliau pun membenarkan keduanya dengan mengatakan
“ajza‟atka salâtaka (salatmu telah terpenuhi)” kepada sahabat yang tidak
mengulang salat dan “laka al-ajr marratain (kamu mendapat dua pahala).”10
Maupun pada kasus perbedaan pendapat para sahabat dalam menanggapi
instruksi Nabi Muhammad Saw. untuk menunaikan salat ashar di
perkampungan Banî Quraizah seperti yang telah dikemukakan pada bab
sebelumnya. Sudah menjadi konvensi sejak zaman nabi, para sahabat
berijtihad pada setiap kasus yang terjadi –terlebih jika tidak terdapat nas yang
jelas– menganalogikan antara suatu hukum dengan hukum yang lain dan
menguji teori untuk mencari solusi. Hal ini dipermudah dengan kehadiran
10
Redaksi lengkapnya:
خرج رجالن ف سفر ، فحضرت الصالة وليس معهما ماء ، ف ت يمما : عن أب سعيد الدري قال صعيدا طيبا فصليا ، ث وجدا الماء ف الوقت ، فأعاد أحدها الصالة والوضوء ول يعد اآلخر ، ث أت يا
. أصبت السنة ، وأجزأتك صالتك : رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم فذكرا ذلك لو ف قال للذي ل يعد .لك ااجر مرت : وقال للذي ت وضأ وأعاد
Sulaymân bin al-Ash‟ath al-Sijistanî, Sunan Abî Dâwûd (Beirût: Dâr al-Fikr, 2003), Bâb
[fî] al-Tayammum Yajid al-Mâ‟ ba‟da Mâ yusallî fî al-Waqt, Hadis No. 338, Jilid I, h.
94.
20
Nabi Muhammad Saw. di tengah-tengah mereka sebagai pemegang
kebijakan.
2. Pemahaman Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabiin
Pasca Nabi Muhammad Saw. wafat, tampuk memahamkan hadis kepada
generasi setelahnya berada di pundak sahabat. Pada saat itu, wilayah
kekuasaan Islam telah menyebar luas. Penduduk wilayah taklukan pun
banyak yang memeluk Islam. Mereka ingin mempelajari dan mendalami
keyakinan yang baru mereka anut. Maka, pemerintah saat itu mengutus para
sahabat untuk memberikan arahan dan penjelasan tentang Islam ke setiap
daerah taklukan. Melalui penyebaran tersebut, terbentuklah halaqah-halaqah
pembelajaran al-Qur‟an dan hadis yang nantinya akan melahirkan tonggak
Islam selanjutnya.11
Dalam mengemban tugas yang diamanatkan, para utusan sangat berhati-
hati dalam proses transmisi hadis dan menekankan kepada segi
pemahamannya. Tindak nyata hal ini salah satunya adalah sikap Umar bin al-
Khattâb yang menghimbau kepada para sahabat agar tidak tenggelam dalam
periwayatan hadis saja. Beliau khawatir waktu mereka tersita untuk
mengurusi periwayatan dan tidak sempat untuk merenungi kandungannya.12
Begitu pula pada zaman tabiin. Keduanya (sahabat dan tabiin), seperti halnya
Nabi Muhammad Saw., sangat memperhatikan kondisi mukhâtab ketika
memahamkan dan meriwayatkan hadis. Mereka berdiskusi dengan muridnya
dan menjelaskan kandungan hadis memakai bahasa yang mudah dipahami.
Khawatir akan terjadinya kekacauan pemahaman jika tidak ada kesesuaian
11
Muhammad Abû Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, h. 100-108. 12
Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah qabla al-Tadwîn, h. 74.
21
intelektual antara khâtib dengan mukhâtab.13
Mereka juga menjaga
penyebaran hadis agar tidak jatuh ke tangan pihak yang berpotensi
merusaknya. Wawasan seputar al-Qur‟an dan menghafal –minimal
sebagiannya- menjadi syarat untuk memulai kajian tentang hadis agar dapat
memahami ajaran Islam secara utuh. Selain itu, para sahabat dan tabiin
memberi variasi materi ajar. Misalnya, ketika membahas tentang rijâl al-
Isnâd terdapat selingan pembahasan tentang sîrah nabawiyyah, menyebutkan
pula asbâb wurûd al-hadîts dan munâsabat al-hadîts. Hal ini dilakukan dalam
rangka mengobarkan semangat murid-murid mereka untuk menjaga hadis dan
memahami kandungannya. Pemberian materi yang monoton cenderung
menimbulkan rasa bosan. Karena itu, Ibn Syihâb al-Zuhrî berkata: “ketika
suatu majlis berlangsung lama, maka setan ikut berperan di dalamnya” (idzâ
tâla al-majlis, kâna li al-shaytân fîhi nasîb).14
Praktek memahami hadis nabi pada zaman sahabat dan tabiin tidak hanya
mengutip apa yang telah Nabi Muhammad Saw. sabdakan, dan
mengartikannya secara letterlijk. Untuk menghasilkan analogi hukum dan
teori yang akurat sesuai dengan prinsip al-Qur‟an sâlih li kulli zamân wa
makân, para sahabat dan tabiin tidak lupa menyertakan perhatian pada kondisi
dan situasi pada saat itu. Ketika mereka memilih solusi yang berbeda dengan
nas secara zahir, mereka percaya bahwa nas tersebut difungsikan untuk
menangani kasus tertentu yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad Saw.
Oleh karena itu, ketika kondisi dan situasi zaman mengalami perubahan,
maka hukum pun bisa berubah. Pemahaman ini diilhami dari perbedaan
13
Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah qabla al-Tadwîn, h. 103. 14
Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah qabla al-Tadwîn, h. 104-105.
22
hukum al-Qur‟an dalam menyikapi kondisi dan situasi yang berbeda.
Dilanjutkan dengan praktik pada zaman Nabi yang juga menerapkan hukum
sesuai dengan keadaan.15
Seperti ketika al-Qur‟an berbicara tentang puasa
Ramadan. Terdapat perbedaan aturan puasa antara orang yang berada dalam
kondisi sehat dengan orang yang sedang sakit, atau sedang dalam perjalanan.
Bagi orang yang sehat, ia wajib puasa pada waktu yang sudah ditentukan,
sedangkan mardá ataupun musâfir diperbolehkan tidak puasa dan
menggantinya di hari lain.16
Dalam ayat lain menyebutkan tentang
pembolehan tayammum sebagai ganti wudhu pada saat-saat tertentu.17
Pada masa sahabat, usaha memahami sabda Nabi Muhammad Saw.
dengan melibatkan konteks saat itu, salah satunya dapat dilihat dari kebijakan
yang diambil oleh Umar bin al-Khattâb mengenai peniadaan bagian zakat
untuk kaum muallafât qulûbuhum. Lantas, apakah kebijakan beliau
bertentangan dengan ketentuan Al-Qur‟an mengenai pembagian zakat dalam
surat al-Taubah ayat 60? Telah diketahui bahwasanya pendistribusian zakat
terbatas kepada delapan golongan. Salah satunya adalah muallafât
qulûbuhum.18
Beliau menerangkan bahwa Nabi Muhammad Saw.
memberikan zakat kepada mereka ketika keadaan Islam masih lemah.
Pemberian tersebut dimaksudkan untuk merengkuh mereka dalam pelukan
Islam. Pada zaman Umar, Islam sudah menjadi kuat dan berjaya, maka
15
Muhammad Abû al-Laits, al-Bu‟dâni al-Zamânî wa al-Makânî fî al-Sunnah wa al-
Ta‟âmul ma‟ahumâ Ta‟sîl wa Tatbîq, Majalah Al-Hadîts, Vol. 5, no. 1 (2013): h. 7-9. 16
QS. Al-Baqarah (2): 185. 17
QS. Al-Mâ‟idah (5): 6. 18
Yang dikategorikan sebagai muallafât qulûbuhum ada dua macam. Pertama, orang yang
diberi bagian zakat agar tertarik masuk Islam. Kedua, orang yang diberi bagian zakat agar
keislamannya kuat. Lihat: Abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm (Beirût: Dâr
al-Fikr, 2002), Jilid II, h. 860.
23
pembagian zakat tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi.19
Jadi, kebijakan Umar
bin al-Khattâb tidaklah bertentangan dengan al-Qur‟an ataupun
menghapusnya. Hukum al-Qur‟an tetap abadi. Jika suatu waktu kondisi
masyarakat atau personal menuntut adanya perengkuhan (al-Ta‟lîf) kembali
dalam rangka pengukuhan Islam, maka ketentuan pemberian zakat kepada
muallafât qulûbuhum kembali diberlakukan sebagaimana pada zaman Nabi
Muhammad Saw.20
Contoh kebijakan lainnya seperti pembagian penaklukan
daerah hasil perang yang dialihkan menjadi tanah wakaf, pembatalan hukum
potong tangan pada saat krisis moneter dan yang lainnya.21
Demikian pula pada zaman tabiin. Mereka juga mencari jalan keluar (red:
pemahaman) yang terbaik untuk menghadapi problem pada masanya dengan
tetap berlandaskan al-Qur‟an dan hadis. Seperti fatwa tentang pembolehan
penetapan harga padahal Nabi Muhammad Saw. melarangnya walaupun
harga barang-barang pada saat itu sedang melonjak.22
Pelarangan ini
disebabkan kenaikan harga pada zaman Nabi merupakan gejala ekonomi yang
19
Muhammad Abû al-Laits, al-Bu‟dâni al-Zamânî wa al-Makânî fî al-Sunnah, h. 13. 20
Abû „Abdillâh al-Qurtubî, al-Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur‟ân (Beirût: Dâr al-Fikr, 1952), Jilid
VIII, h. 181. 21
Muhammad Abû al-Laits, al-Bu‟dâni al-Zamânî wa al-Makânî fî al-Sunnah, h. 14-15. 22
Hadis ini berstatus hasan. Memiliki beberapa redaksi yang diriwayatkan oleh (1) Abû
Dâwûd dan al-Baihâqî dari Abû Hurairah (2) Ahmad bin Hanbal, Abû Dâwûd, Al-Tirmidzî, Ibn
Mâjah, Ibn Hibbân, Al-Baihâqî dari jalur Anas bin Mâlik (3) Al-Tabrânî dalam al-Mu‟jam al-
Kabîr dari jalur Anas bin Mâlik (4) Ibn Mâjah dari Abû Sa‟îd al-Khudrî. Lihat: Al-Muttaqî al-
Hindî, Kanz al-„Ummâl fî Sunan al-Aqwâl wa al-Af‟âl (Beirût: Mu‟assasah al-Risâlah, 1981), Jilid
IV, al-Bâb al-Tsâlits fî al-Ihtikâr wa al-Tas‟îr, Hadis No. 9725-9728, h. 98. Redaksi dalam Sunan
al-Tirmidzî:
قال اللو سعر لناغال السعر على عهد رسول اللو صلى اللو عليو وسلم ف قالوا يا رسول »عن أنس قال إن اللو ىو المسعر القابض الباسط الرزاق وإن ارجو أن ألقى رب وليس أحد منكم يطلبن بظلمة ف
.«د و مال
24
wajar, yakni hukum permintaan dan penawaran atau karena sedikit-
banyaknya barang yang diproduksi bukan karena permainan harga pasar.23
3. Pemahaman Hadis Pasca Tabiin
Pada perjalanan selanjutnya, pemahaman hadis nabi makin sistematis.
Terlebih setelah kodifikasi hadis secara besar-besaran pada masa Khalifah
Umar bin „Abd al-„Azîz.24
Jika pada masa Nabi Muhammad Saw.25
sampai
pertengahan abad kedua pembukuan hadis masih sangat sederhana,26
pada
masa setelahnya mulai mengenal metode tabwîb (klasifikasi hadis berdasar
topik atau bab-nya).27
Pemahaman hadis dapat diketahui melalui judul bab
dan hadis-hadis yang termuat di dalamnya. Hal ini dikarenakan pemberian
23
Muhammad Abû al-Laits, al-Bu‟dâni al-Zamanî wa al-Makanî fî al-Sunnah, h. 15-16. 24
Kodifikasi hadis Nabi Muhammad Saw. dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin
„Abd al-„Azîz akan hilangnya hadis dari peredaran disebabkan ekspansi wilayah Islam, pemalsuan
hadis yang makin merebak dan banyaknya sahabat yang gugur dalam peperangan. Lihat:
Muhammad Abû Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, h. 244. 25
Kesalahpahaman bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah Ibn Syihâb al-
Zuhrî (w. 123 H) telah diluruskan oleh pakar-pakar ilmu hadis kontemporer seperti „Ajjâj al-
Khatîb dan Muhammad Mustafá al-A‟zamî. Menurut penelitian mutakhir, terbukti bahwa tidak
kurang dari 52 sahabat Nabi Muhammad Saw. memiliki tulisan-tulisan hadis yang mereka lakukan
pada masa Nabi Muhammad Saw. „Ajjâj al-Khatîb bahkan menyatakan bahwa orang yang pertama
kali menulis hadis di hadapan Nabi Muhammad Saw. dan atas restu beliau adalah „Abdullâh bin
„Amr bin al-„Âs (w. 65 H) di mana tulisannya kemudian dibukukan dengan judul al-Sahîfah al-
Sahîhah. Karenanya, al-Zuhrî bukanlah orang yang pertama kali menulis hadis, melainkan orang
yang pertama kali mengumpulkan tulisan-tulisan hadis. Lihat: Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 75. 26
Kesederhanaan ini tampak dalam bentuk dan metodenya. Umumnya, kitab-kitab hadis
yang ditulis pada masa itu tidak diberi nama tertentu oleh penulisnya, kemudian dipopulerkan
dengan nama penulis tersebut. Misalnya, Sahîfah Amîr al-Mu‟minîn „Alî bin Abî Tâlib dan
Sahîfah Jâbir bin „Abdillâh al-Ansârî. Ada pula yang diberi nama khusus oleh penulisnya, seperti
al-Sahîfah al-Sadîqah karya „Abdullâh bin „Amr bin al-„Âs dan al-Sahîfah al-Sahîhah karya
Hammâm bin Munabbih (w. 131 H). Namun penamaan kitab seperti itu tidak mendominasi
penulisan hadis pada masa itu. Kesederhanaan juga tampak pada metode pembukuannya dimana
matan hadis disusun berdasarkan guru yang meriwayatkan hadis kepada penulis kitab. Seperti
kitab hadis tulisan Suhail bin Abî Sâlih (w. 138 H) dimana ia hanya menyebutkan satu jalur sanad,
yaitu Abî Sâlih - Abû Hurairah - Nabi Muhammad Saw. Lihat: Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis,
h. 75-76. 27 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 76.
25
nama bab dan klasifikasi hadis tersebut merupakan hasil pemahaman penulis
terhadap kandungan atau matan hadis.28
Disusul dengan adanya kitab-kitab yang membahas pemahaman hadis
secara sistematis-tematis dengan berbagai metode, meliputi metode
kebahasaan yang direpresentasikan dalam „ilm gharîb al-hadîts, kausalitas
hadis dalam asbâb al-wurûd, metode penyelesaian kontradiksi yang terjadi
seputar dunia hadis dalam mukhtalif al-hadîts, musykil al-hadîts dan „ilm
naskh al-hadîts. Kebutuhan akan pendefinisian ilmu –khususnya hadis–
secara sistematis sudah mendesak seiring konflik yang mengguncang
masyarakat dan kondisi politik yang semakin rumit. Dibutuhkan penyangga
kuat atas pandangan dan cara meruntuhkan argumen yang diajukan para
penentang.29
Pada awalnya, kitab-kitab ini mengulas masing-masing metode
secara independen.30
Hadis yang terkait dengan tema tertentu dihimpun dalam
satu kitab, diteliti dengan seksama dan dikaji secara mendalam. Metode yang
28
Ali Mustafa Yaqub, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999), h. 10. 29
Periode kekacauan dan konflik mengenai sumber-sumber hukum Islam banyak terlihat di
dalam tulisan-tulisan polemik al-Syâfi‟î. Dalam literatur polemik, terdapat tiga kelompok yang
diidentifikasi terlibat dalam perdebatan: pragmatis hukum (ahl al-ra‟y) yang bersifat eklektik
dalam pendekatan sumber hukum, teolog spekulatif (ahl al-kalâm) yang menolak kewenangan
hadis dan pendukung kuat hadis (ahl al-hadîts). Pada kenyataannya, ahl al-ra‟y dan ahl al-kalâm
tidak menolak kewenangan Nabi Muhammad Saw. dalam teori. Yang mereka pertentangkan
adalah apakah warisan Nabi Muhammad Saw. selalu digambarkan dengan baik melalui preseden
hadis. Ahl al-ra‟y berpendapat, hadis kadang-kadang harus tunduk kepada prinsip yang lebih
menggambarkan semangat Nabi Saw; di antara prinsip ini mereka memasukkan praktik yang
terus-menerus dilakukan umat dan prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata lain, meskipun sepakat
dengan kelompok tradisionalis mengenai pentingnya sunnah, ahl al-ra‟y berbeda pendapat dalam
hal kandungan dan makna sebenarnya. Demikian pula ahl al-kalâm, mereka tidak menganggap
bahwa contoh Rasulullah Saw. tidaklah otoritatif. Ahl al-kalâm sangat hirau pada keandalan
reportase hadis, mereka tidak menentang kewenangan Rasulullah Saw., tidak pula
mempertanyakan kewajiban umat untuk muslim untuk menaatinya. Al-Syâfi‟î segera
memanfaatkan pengakuan ini. Inti argumen al-Syâfi‟î terdapat proposisi sederhana: setelah
memerintahkan orang beriman untuk mematuhi Nabi Muhammad Saw., Allah Swt. tentu
memberikan sarana untuk melakukannya. Akibatnya, ahl al-kalâm tidak bisa menahan kekuatan
dan logika argumen kaum tradisionis. Lihat: Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam
Islam Modern. Penerjemah Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim (Bandung: Penerbit Mizan,
2000), h. 26-36. 30
Ali Mustafa Yaqub, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, h. 22.
26
diterapkan dalam penelitian tersebut terus dikembangkan, dilengkapi dengan
hasil temuan terkini dan informasi yang up to date.31
Pada masa berikutnya, disusunlah kitab kompilasi ilmu hadis yang
mengintegrasikan berbagai cabang ilmu hadis ke dalam sebuah karya,
meliputi ilmu sanad dan matan. Materi kajian bersifat teori-kritis, merangkum
penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar hadis sebelumnya dan
berusaha memberikan hierarki terbaik dari tiap materinya. Al-Râmahurmuzî
(w. 360 H) melalui karyanya al-Muhaddits al-Fâsil baina al-Râwî wa al-Wâ‟î
dianggap sebagai pionir dalam hal ini.32
Disusul oleh al-Hâkim al-Naisâbûrî
(w. 405 H) dengan Ma‟rifat „Ulûm al-Hadîts, Ibn al-Salâh (w. 643 H) dengan
„Ulûm al-Hadîts atau yang lebih dikenal dengan Muqaddimah Ibn al-Salâh,
Ibn Katsîr (w. 774 H) dengan al-Bâ‟its al-Hatsîts, dan yang lainnya. Pada
masa berikutnya, kompilasi ini digunakan oleh ulama salafî sebagai sarana
kajian kritis sistem klasik. Penekanan mereka adalah pada kebutuhan akan
penerapan lebih keras kriteria tradisional. Pendekatan ini tergambarkan dalam
31
Sebagai contoh, kitab Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh karya al-Atsram (w. 261 H).
Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hâni‟ al-Tâ‟î. Disebut juga dengan nama al-Kalbî dan
Abû Bakr al-Atsram al-Baghdâdî al-Iskâfî. al-Athram merupakan murid Ahmad bin Hanbal yang
berprestasi. Mumpuni dalam bidang fiqh dan hadis. Kitabnya terhitung sebagai kitab pendahulu
yang berisikan tentang „Ilm Naskh al-Hadîts. Metode yang digunakan masih terbilang sederhana.
Al-Atsram menyelesaikan hadis-hadis yang terlihat bertentangan secara zahir dengan menyebutkan
suatu riwayat dan riwayat lainnya yang masih dalam satu tema, lalu menyebutkan riwayat-riwayat
pembanding yang menampakkan pertentangan matan dengan kelompok hadis sebelumnya.
Diakhiri dengan penjelasan beliau dalam menangani matan hadis yang bertentangan tersebut.
Berbeda dengan kitab al-I‟tibâr fî al-Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Âtsâr karya al-Hâzimî (w. 584
H). Sebelum memulai pembahasan tentang penyelesaian hadis-hadis yang terlihat bertentangan,
al-Hâzimî terlebih dahulu menyuguhkan urgensi naskh, definisi naskh beserta dalil-dalil yang
menyertainya, syarat-syarat, cara mengidentifikasi hadis yang mengalami naskh, cara pentarjihan
sebagai solusi ketika tidak dapat ditempuh dengan metode kompromi maupun naskh, cara
membedakan antara naskh dengan takhsîs, dalil naskh dalam hadis dan permasalahan seputar
naskh. Demikianlah metode naskh yang mengalami perkembangan dan pemapanan layaknya
sebuah penelitian pada umumnya. Lihat: Abû Bakr al-Atsram, Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuh
(Riyâd: t.p., 1999), h. 7, 31-33, Muhammad bin Mûsá al-Hâzimî, al-I‟tibâr fî Bayân al-Nâsikh wa
al-Mansûkh min al-Âtsâr (Hims: Matba‟ah al-Andalûs, 1966), cet. Ke-1, h. 4-30. 32
Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân bin Abî Bakr al-Suyûtî, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-
Nawâwî (Beirût: Dâr al-Fikr, 2002), Jilid I, h. 18.
27
salah satu karya penting salafî mengenai hadis, yaitu kitab Qawâ‟id al-
Tahdîts min Funûn Mustalâh al-Hadîts karangan Muhammad Jamâl al-Dîn
al-Qâsimî (w. 1332 H). Meskipun tidak menawarkan pendekatan baru
terhadap kritisisme hadis sedemikian rupa yang menekankan kebutuhan untuk
memperbaharui penerapan sistem klasik, al-Qâsimî berupaya menekankan
kedalaman dan ruang gerak di dalam tradisi studi hadis. Dia menjelaskan
bahwa menentukan hadis autentik sangat sulit dan membutuhkan lebih dari
sekadar menerima begitu saja kesimpulan ulama hadis terdahulu.33
Dilanjutkan dengan pensyarahan kitab hadis dengan kajian yang bersifat
praktis. Pemahaman terlihat dari cara penulisnya menjelaskan hadis. Seperti
halnya syarah al-Qur‟an (tafsir), syarah hadis dapat mengadopsi metode
tahlîlî,34
ijmâlî,35
muqâran36
dan mawdu‟î37
sesuai dengan tujuan dan sasaran
33
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 49. 34
Contoh kitab syarah yang menggunakan metode tahlîlî adalah „Umdat al-Qârî Syarh
Sahîh al-Bukhârî karya Badr al-Dîn al-„Aynî al-Hanafî dan Fath al-Bârî karya Ibn Hajar al-
„Asqalânî. Aspek yang diuraikan dalam metode syarah tahlîlî dapat dilihat melalui definisi
terminologis metode tersebut dalam Arsyîf Multaqá Ahl al-Hadîts pada 07 Ramadan 1429 H / 07
September 2008 M, al-Qism al-Jawâmi‟ wa al-Majallât wa Nahwuhâ, Maktabah Syâmilah.
و وب يان درجتو ق ب و : اادي التحليل ز على حدي واحد بت ر وجع االفاظ الت روي . وردا الت ركي با قدر الطاقة واإلمكان ان ها تساعد على فقهو وخصوصا التأليف ب الم ت عارضات ،وب يان معان
.من دور ف إب راز المع وت وضيحو المفردات واام والبالغة واإلعراا لما لذلك
“[Pemahaman] hadis tahlîlî adalah metode yang memfokuskan pembahasan pada satu
hadis kemudian menguraikan takhrîj, menjelaskan kualitas dari segi diterima dan
ditolaknya suatu hadis, sebisa mungkin menghimpun redaksi yang ada dalam riwayat –
karena dapat membantu penggalian hukum fiqh, terutama dapat menyelesaikan hadis
yang [tampak] bertentangan- menjelaskan makna kosakata, kalimat, balâghah, i‟râb dan
segala yang dapat „menelanjangi‟ makna [hadis tersebut].”
Mengutip pula perkataan Abû Bakr Kâfî dalam Muqaddimah kitab Manhaj al-Imâm al-Bukhârî.
Lihat: Abû Bakr Kâfî, Manhaj al-Imâm al-Bukhârî fî Tashîh al-Ahâdîts wa Ta‟lîlihâ min Khilâl
al-Jâmi‟ al-Sahîh (Beirût: Dâr Ibn Hazm, 2000), h. 10.
هج التحليل المقارن، هج الذي سلكتو ف ىذا البح ىو المن وذلك باستقراء صحيح الب اري والمن ها من ق واعد ، ث مقارنة ىذه النتائج بواقف أئمة وأخذ اللواىد واام لة و ليلها ست راج ما يكمن في
…معاصرين للب اري“Metode yang saya tempuh dalam pembahasan [kitab] ini adalah metode tahlîlî muqâran
yaitu dengan meneliti kitab Ṣahîh al-Bukhârî, mencantumkan shawâhid dan hadis yang
28
semisal serta meneliti shawâhid tersebut untuk menggali kaidah hukum yang mungkin
ada di dalamnya …” 35
Metode syarah hadis ijmâlî adalah metode yang menjelaskan hadis secara ringkas atau
globalnya saja, ditujukan untuk mempermudah pemahaman pembaca. Penulis mencangkok
pengertian tersebut dari pengertian metode tafsir ijmâlî berikut ini,
ر اإلجال ي عمد المفسر إل ب يان المع العا لآلية دون الت عرض إل الت فاصي كاإلعراا أو : الت فسي الل ة أو البالغة ف ي راع التسهي على القار ب عطائو العصارة جاعال الت فصي ل ه
“Makna tafsir ijmâlî adalah seorang mufassir berpedoman pada penjelasan makna umum
sebuah ayat tanpa menjelaskan perinciannya seperti i‟râb, linguistik atau stilistika untuk
mempermudah pembaca dengan memberikan intisari yang digunakan sebagai pemerinci
bagian teks lainnya.”
Lihat: Arsyîf Multaqá Ahl al-Hadîts pada 07 Ramadan 1429H, Maktabah Syâmilah. 36
Untuk deskrispsi metode muqâran, penulis mengutip lanjutan perkataan Abû Bakr Kâfî
dalam Muqaddimah kitab Manhaj al-Imâm al-Bukhârî:
هج التحليل المقارن، وذلك باستقراء صحيح الب اري هج الذي سلكتو ف ىذا البح ىو المن والمن ها من ق واعد، ث مقارنة ىذه النتائج بواقف أئمة وأخذ اللواىد واام لة و ليلها ست راج ما يكمن في
هق معاصرين للب اري كاإلما مسلم والتمذي وأب حات وأب زرعة، أو من جاء ب عده كالدارقطن والب ي .وغ ها
“… kemudian membandingkan kesimpulan penelitian tersebut dengan pendapat ulama
yang semasa dengan al-Bukhârî seperti al-Imâm Muslim, al-Tirmidzî, Abû Hâtim, Abû
Zur‟ah atau ulama yang datang setelahnya seperti al-Dâruquṭnî, al-Bayhaqî dan yang
lainnya.”
Dapat ditarik kesimpulan bahwa metode muqâran adalah metode yang memfokuskan
kajiannya pada perbandingan pendapat antar ulama hadis mengenai suatu hadis setelah diadakan
penelitian terlebih dahulu. 37
Metode ini adalah pengembangan dari metode tabwîb. Tidak terbatas pada seputar
kontroversialitas hadis. Dapat memuat tema apa saja yang dikehendaki penulisnya. Deskripsi
metode mawdû‟î dapat dilihat melalui definisi yang dikemukakan oleh al-Taymâwî. Lihat: Abû
„Âmir al-Taymâwî, Dirâsah fî al-Hadîth al-Maudû‟î, Maktabah Shâmilah.
لها ومقارن ت ها، للوق وف علم ي بح ف ااحادي النبوية المقب ولة، المتحدة موضوعا، من حي لي .على مقاصدىا
“Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis nabawi yang memenuhi kriteria diterimanya
suatu hadis dengan dibatasi tema [tertentu] dari segi analisa dan komparasinya untuk
mencapai maksud yang dituju oleh hadis tersebut.”
Terdapat pula definisi pensyarahan hadis metode maudû‟î yang dirumuskan dalam Arsip Multaqá
Ahl al-Hadîth ke-II pada 07 September 2008:
فا جزئيا مع الت ركيز :اادي الموضوع جع ااحادي المت علقة بوضوع واحد مع ماولة تصنيفها تصني .على التأليف ب المت عارضات إن وجدت تارة باامع وتارة بالنس وتارة بالت رجيح وتارة بالت وقف
“[Metode pemahaman] hadis mawdû’î adalah penghimpunan hadis yang berkaitan dengan suatu tema dibuat menjadi sebuah karya yang bersifat parsial dengan stressing pada penyelesaian hadis-hadis yang [tampak] bertentangan -jika ditemukan- baik dengan cara kompromi, abrogasi, tarjîh maupun tawaqquf.”
Definisi diatas senada dengan definisi sebelumnya dengan adanya penambahan berupa fungsi dari
metode mawdû‟î yakni menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan. Dengan
mengumpulkan hadis yang masih dalam satu naungan tema, dapat diteliti munâsabah antar hadis-
hadis tersebut, saling melengkapi antara penjelasan suatu hadis dengan hadis yang lainnya
sehingga hadis yang awalnya tampak bertentangan dapat dicari solusinya.
29
pembacanya. Teori-teori yang ada dalam kompilasi ilmu hadis diterapkan
untuk membedah hadis dan memahami kandungannya. Demikian perjalanan
pemahaman hadis yang terus mengalami perkembangan untuk semakin kokoh
menghadapi benturan di sekelilingnya hingga akhirnya sampai pada abad
modern.
4. Pemahaman Hadis Abad Modern
Pada awal Bab I telah disinggung bahwa terdapat pemikiran ekstrem yang
menolak kewenangan hadis sebagai sumber kedua syariat Islam. Pemikiran
ini sempat muncul secara perseorangan pada abad pertama Hijriyah di
Basrah, Irak. Latar belakangnya adalah ketidaktahuan terhadap fungsi dan
kedudukan hadis. Setelah menyadari kekeliruannya, para pelaku penolakan
bersedia mencabut pendapatnya. Pemikiran ini telah hilang ditelan masa pada
akhir abad ketiga.38
Pada abad keempat belas Hijriyah, pemikiran tersebut kembali timbul ke
permukaan. Dengan style yang berbeda dari sebelumnya, pemikiran ini
beralih rupa menjadi kelompok yang terorganisasi.39
Penolakan ini berkutat
pada wilayah autentisitas dan otoritas hadis. Di kalangan sarjana orientalis,40
masalah autentisitas pertama kali digaungkan oleh Ignaz Goldziher (1850-
1921 M) yang dilanjutkan oleh Joseph Schacht. Dua sejoli ini menjadi kiblat
di kalangannya. Generasi setelahnya tidak menyuguhkan sesuatu yang baru
mengenai diskursus autentisitas kecuali bersandar pada penelitian yang
38
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 43-44. 39
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 46. 40
Suatu cara untuk memahami dunia timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam
pengalaman manusia Barat Eropa. Lihat: Edward W. Said, Orientalisme. Penerjemah Asep Hikmat
(Bandung: Penerbit Pustaka, 2001), h. 1.
30
dilakukan oleh Goldziher dan Schacht.41
Akan tetapi gaung mereka dapat
diredam oleh Mustafá al-Sibâ‟î42
dan Muhammad „Ajjâj al-Khatîb,43
lalu
dihilangkan secara komprehensif oleh Muhammad Mustafá al-A‟zamî,44
seorang pakar ilmu hadis dari India.45
Dengan demikian, tamatlah wacana
bahwa hadis tidak autentik dari Nabi Muhammad Saw. Hadis sebagai
cerminan perkataan dan perbuatan Sang Utusan Terakhir telah mencapai kata
mufakat.
Perdebatan diskursus otoritas hadis tidak kalah sengit dari autentisitas.
Menurut Ali Mustafa Yaqub, pemikiran ini muncul sebagai reaksi pemikiran
41
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 8-9. 42
Mustafá al-Sibâ‟î. Lahir pada 1334 H/1915 M di Hims, Suriah. Terlahir dari keluarga
terpelajar dan religius. Ayahnya bernama Husnî al-Sibâ‟î adalah salah seorang ulama Hims yang
diperhitungkan. Beliau menimba ilmu di al-Nizâmiyah sampai tamat sekolah menengah tahun
1930. Pada 1933, beliau meneruskan pendidikannya ke al-Azhar Kairo konsentrasi fiqh. Setelah
itu beralih ke Fakultas Ushuluddin sampai berhasil meraih gelar magister. Adapun disertasinya
untuk mendapatkan gelar doktor berjudul “al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî‟ al-Islâmî.”
Dalam karya tulis tersebut, beliau membantah argumen-argumen orientalis seputar sunnah –
khususnya gembong mereka yaitu Ignaz Goldziher yang menjadi kiblatnya orang Yahudi– dengan
pembahasan ilmiah yang tersistematisasi. Lihat: Mâzin bin Salâh Mutbiqânî, Biografi Mustafá al-
Sibâ‟î, artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://docs.ksu.edu.sa/DOC/Articles44/-
Article440564.doc. 43
Muhammad „Ajjâj al-Khatîb. Lahir di Damaskus pada 1932. Menamatkan gelar sarjana
S1 Fakultas Syariah Universitas Damaskus pada 1959. Beliau adalah alumni pertama universitas
tersebut. Melanjutkan studinya ke jenjang Magister, lulus pada 1962. Memperoleh predikat
cumlaude dengan tesisnya yang berjudul “al-Sunnah qabla al-Tadwîn”. Pada awal tahun 1966
berhasil menamatkan program doktoral dari Universitas Kairo, Fakultas Dâr al-„Ulûm dengan
predikat summa cumlaude. Disertasinya berjudul “Nasy‟at „Ulûm al-Hadîts wa Mustalâhih”
disertai dengan tahqiq kitab pionir dalam kompilasi ilmu hadis, al-Muhaddith al-Fâsil bayna al-
Râwî wa al-Wâ‟î karya al-Râmahurmuzî. Lihat: „Amr al-Âbid, Profil Muhammad „Ajjâj al-Khatîb,
artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://web.archive.org/web/20081108161652/-
www.geocities.com/safahat_chamiyeh/personalities/mohammad-ajaj-akhatib.htm. 44
Muhammad Mustafa al-A‟zamî adalah salah satu ulama paling berhasil di dunia Hadis.
Lahir di Mau, India, pada 1932. Beliau mengenyam pendidikan di Dar al-Ulum Deoband, India
(1952) dan Al-Azhar, Kairo (1955). Memperoleh gelar Ph.D. dari Universitas Cambridge, Inggris
(1966). al-A‟zamî memulai karirnya sebagai guru bahasa Arab untuk pembicara non-Arab dan
Kurator Perpustakaan Umum Nasional di Qatar. Setelah menerima gelar Ph.D., ia pindah ke Arab
Saudi, mengajar pertama di Fakultas Syariah di Umm al-Qurá, Makkah. Setelah itu mengajar di
Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud, Riyadh. Dia diberikan kewarganegaraan Saudi untuk
beasiswa istimewanya. Muhammad Mustafá al-A‟zamî, “Biografi Muhammad Mustafá al-
A‟zamî," artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://kfip.org/professor-mohamad-mustafa-
al-aazami/. 45
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 11, 16, 18, 23, 25-30.
31
kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.46
Memerinci perkataan
Ali Mustafa, sebagaimana yang tertulis dalam bukunya, Daniel W. Brown
menyatakan bahwa kemunculan diskursus tersebut tidak semata-mata karena
kolonialisme. Hal tersebut hanya ikut andil dalam penggoyahan kewenangan
Nabi Muhammad Saw. Faktor utama justru berasal dari dalam tubuh Islam
yaitu kemunculan gerakan reformis pada abad kedelapan belas dan
kesembilan belas. Suatu gerakan yang mengadopsi sikap kritis terhadap
warisan klasik, menolak taqlîd (mengikuti secara membuta doktrin yang
sudah diterima) dan mengimbau kebangkitan kembali sunnah sebagai
landasan dalam kebangkitan dan reformasi Islam.47
Selama abad kedelapan belas, gagasan kaum tradisionis, bahwa sunnah
seharusnya menjadi basis utama hukum Islam dan bahwa status quo hukum
dapat dan seharusnya menjadi bahan penelitian yang cermat dengan
berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw., kembali menegaskan dirinya.
Gagasan ini bukanlah kontribusi asli dari reformis abad kedelapan belas.
Sepanjang periode klasik, tesis kaum tradisionis ini tetap terpelihara di dalam
mazhab Hanbalî. Akan tetapi, para reformis abad kedelapan belas dan
gerakan reformasi telah memberikan kekuatan baru pada ide-ide ini. Kejadian
ini dilatarbelakangi oleh tanda-tanda kerusakan sosial dan kemerosotan moral
yang disinyalir sebagai dampak dari penyimpangan sunnah, racun bid‟ah dan
taklid terhadap ajaran kitab dan penafsiran hukum klasik. Oleh karena itu,
ulama yang berorientasi reformasi bergerak melampaui kumpulan dan
penafsiran hukum klasik dan mulai mempelajari kitab hadis induk,
46
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 46. 47
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 38.
32
menyatakan hak mereka, hingga tingkat tertentu, untuk mengambil
kesimpulan sendiri berdasarkan Al-Qur‟an dan sunnah. Juga menggunakan
bacaan mereka atas sumber-sumber ini sebagai standar untuk menilai adat-
istiadat sosial dan keagamaan yang berlaku pada masa mereka.48
Dua di antara ulama aktivis yang dipengaruhi gagasan ini dan menjadi
pengaruh bagi sikap sunnah selanjutnya adalah Syâh Waliyullâh al-Dihlawî
(1702-1762 M), seorang ulama kenamaan India dan Muhammad bin „Alî al-
Syaukânî (1760-1834 M), seorang ulama asal Yaman. Syâh Waliyullâh
menolak taklid kepada ketentuan mazhab hukum klasik. Sistem hukum
keempat mazhab, menurutnya, harus lebih rendah daripada sunnah. Pada
prinsipnya, beliau menolak taklid buta kepada ajaran hukum, mendukung
ijtihad dan menempatkan sunnah pada kedudukan utama dalam proses ini.
Metode Shâh Waliyullâh dalam memahami hadis tidak berbeda jauh dengan
pendekatan fuqahâ‟ klasik, yakni menerima perbedaan antara tindakan Nabi
Muhammad Saw. sebagai rasul (tasyrî‟î) dan tindakan non-rasul (ghair
tasyrî‟î).49
Perhatian utama beliau dalam memandang persoalan pemahaman
48
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 38-39. 49 Upaya Al-Syâfi‟î dan kaum tradisionis untuk memapankan sunnah sebagai istilah ekslusif
bagi Nabi Muhammad Saw. yang terekam melalui hadis telah mencapai kemenangan. Namun,
mereka tak seluruhnya berhasil menegakkan keunggulan hadis dalam bidang hukum. Ulama klasik
lainnya memperlihatkan keengganan untuk mengabaikan posisi mereka pada hal yang berkaitan
dengan masalah hukum aktual. Masih terdapat banyak cara untuk mengupayakan penerapan
tertentu tanpa menantang posisi teoritis sunnah. Salah satunya dengan pemilahan tasyrî‟î dan
ghayr tasyrî‟î. Bahwa tidak semua yang Nabi Muhammad Saw. ucapkan atau perbuat memiliki
maksud hukum. Argumen ini berlandaskan pada hadis pohon kurma yang terkenal. Lihat: Daniel
W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 32-34. Dalam riwayat tersebut,
diceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw. memberi saran yang keliru kepada petani kurma, lalu
mengatakan:
ا أنا بلر » ا أنا بلر إذا أمرتكم بل ء من دينكم ف ذوا بو، وإذا أمرتكم بل ء من رأي ف .«إ “Saya hanyalah manusia biasa. Jika saya memerintahkan sesuatu yang berkaitan dengan
syari‟at agama kepada kalian, patuhilah, dan jika saya memerintahkan berdasarkan
pendapat pribadi, saya hanyalah manusia biasa.”
33
hadis tertuju pada cara menyingkap penyebab efektif („ilal) diberlakukannya
sebuah syariat.50
Al-Syaukânî, yang terpisah satu generasi dengan Syâh Waliyullâh,
memperlihatkan pandangan serupa meski lebih ekstrem mengenai persoalan
taklid dan ijtihad. Beliau menolak setiap status khusus bagi para pendiri
mazhab hukum. Pendapat para imam mazhab hanya akan diikuti ketika
dipahami bagaimana pendapat itu dicapai. Menerima argumen absah mereka
diperbolehkan, tetapi menerima ajaran mereka secara tidak kritis sama saja
dengan mengikuti ra‟y. Ini sama saja dengan bid‟ah dan sangat terlarang. Jika
metode Shâh Waliyullâh sama dengan talfîq (memilih di antara keputusan
berbagai mazhab yang dianggap lebih mendekati sunnah), Al-Syaukânî jauh
lebih radikal, ia ingin menolak keseluruhan struktur Islam klasik atau paling
tidak menjadikannya sebagai bahan untuk diuji dengan bacaannya. Pemikiran
Syâh Waliyullâh dan Al-Syaukânî mewakili pola para pembaharu dalam
tahap awal kemunculan spektrum modern pendekatan tehadap autoritas
keagamaan. Dalam menghadapi krisis dan perubahan, mereka mencari hadis
untuk melandasi penyelesaian yang relevan dengan dilema di zaman mereka.
Bagi para reformis ini, literatur hadis sendiri tampaknya menawarkan
keluwesan yang tengah mereka cari. Mereka mengunakan otoritas hadis
untuk menantang otoritas ajaran yang telah diterima.51
Lihat: Muslim bin al-Hajjâj, Sahîh Muslim (Beirût: Dâr al-Fikr, 2005), Kitâb al-Fadâ‟il, Bâb
Wujûb Imtitsâl Mâ Qâlahu Syar‟an, Dûna Mâ Dzakarahu Salla Allâh „alaih wa Sallam min
Ma‟âyisy al-Dunyá „alá Sabîl al-Ra‟y, Hadis No. 140, Jilid II, h. 426. Hadis pohon kurma
memiliki beberapa redaksi yang berbeda. Namun redaksi hadis yang dicantumkan hanya
diriwayatkan oleh al-Imâm Muslim dalam Ṣahîh-nya. Lihat: A.J. Wensinck, Al-Mu‟jam al-
Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabawî (Leiden: Brill, 1943), Jilid II, h. 167. 50
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 39-41. 51
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 42-44.
34
Pada masa berikutnya, lahirlah gerakan-gerakan yang mewarisi tradisi
pemikiran Syâh Waliyullâh dan Al-Syaukânî. Di antaranya adalah Ahl al-
Hadîts di India yang mengombinasikan penolakan terhadap taklid dalam
pemikiran Shâh Waliyullâh dengan literalisme ekstrem dalam pendekatan
terhadap hadis pemikiran mazhab al-Zâhirî. Taklid bagi mereka adalah
peniruan terhadap otoritas yang tidak absah, sedangkan literalisme ekstrem
mereka sebut dengan istilah ittiba‟ yakni peniruan terhadap model yang
pantas. Seperti kaum al-Zâhirî, Ahl al-Hadîts terikat pada makna harfiah teks
Al-Qur‟an dan hadis, menyangkal teori analogi (qiyâs), menolak mengakui
kewenangan mazhab hukum ortodoks –baik praktis (fiqh) maupun teori
(usûl)– dan sepenuhnya menolak kewenangan ijmâ‟ kecuali kewenangan para
sahabat Nabi Muhammad Saw. Bagi kelompok Ahl al-Hadîts, keseluruhan
tradisi klasik pengetahuan Islam diragukan. Hanya dalam sunnah yang
terwakili melalui hadis sahih, kemurnian warisan Nabi Muhammad Saw.
terpelihara. Dalam menilai hadis, mereka memperlihatkan sikap pesimis yang
diwujudkan dalam tiadanya keinginan untuk mempertanyakan hadis yang
dianggap sahih oleh para tradisionis klasik. Hanya para muhadditsûn awal
yang memiliki perangkat yang diperlukan untuk menilai hadis secara
memadai dan mengetahui informasi yang hilang yang tidak bisa didapat
kembali, penilaian mereka tidak bisa digantikan oleh para ulama modern.52
Terdapat pula gerakan salafiyyah, suatu kelompok ideologis di akhir abad
kesembilan belas dan awal abad dua puluh di Mesir. Pemikirannya tidak
berbeda jauh dengan Ahl al-Hadîts, hanya berbeda penekanan otoritas
52
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 44-46.
35
tradisionis klasik. Salafiyyah tidak mudah menerima hasil kritisisme klasik
hadis dan mengakui kebutuhan untuk kembali mengevaluasi hadis, sedangkan
Ahl al-Hadîts mengharuskan menerima penilaian tersebut. Namun bukan
berarti Salafiyyah menolak sistem klasik kritisisme hadis. Penekanannya
adalah pada kebutuhan akan penerapan lebih ketat kriteria tradisional. Prinsip
pokok gerakan-gerakan radikal seperti ini adalah setiap orang yang memenuhi
syarat tidak perlu bersandar pada otoritas dan bahwa teks dapat didekati tanpa
perantara. Mereka mengembangkan demokratisasi pengetahuan keagamaan
dan mencoba merebut kendali atas proses penafsiran dari para ahli. Selain itu,
dengan penekanan untuk kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunnah, kedua
gerakan ini mengkritik keras keseluruhan tradisi klasik.53
Guncangan pemikiran yang tengah terjadi di dunia Islam ini pun terasa
sampai Indonesia. Pertikaian ideologi terkait perdebatan-perdebatan
mengenai berbagai praktik ritual Islam sebagai buah dari pemahaman Al-
Qur‟an dan Sunnah dijumpai di wilayah Jawa dan Sumatra. Di satu sisi
terpengaruh oleh gerakan dan spirit yang sejenis dengan Ahl al-Hadîts, di sisi
lain menggerakkan moderasi Islam.54
Gerakan lainnya dalam spektrum pendekatan modern terhadap
kewenangan Nabi Muhammad Saw. terbentuk berkat munculnya
skripturalisme Qurani. Kecenderungan ini pertama kali terlihat di Punjab
pada awal kedua puluh dengan kemunculan Ahl al-Qur‟ân. Gerakan ini
53
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 47-50. 54
Supriyadi, Ulama Pendiri, Penggerak, dan Intelektual NU dari Jombang (Jombang:
Pustaka Tebu Ireng, 2015), h. 40. Moderasi Islam pada masa ini diusung oleh Kyai Hasyim
Asy‟ari sebagai respon ketidaksetujuannya akan kredo “kembali ke Al-Qur‟an dan Sunnah”
dengan jalan membebaskan umat Islam dari keterikatan madzhab dan memurnikan ajaran Islam
dari berbagai bentuk praktik yang dianggap sebagai inovasi bidah. Lihat: Supriyadi, Ulama
Pendiri, Penggerak, dan Intelektual NU dari Jombang, h. 38-42.
36
berawal sebagai kelompok yang tak sepakat dengan Ahl al-Hadîts. Jika Ahl
al-Hadîts memandang taklid sebagai sumber penyimpangan dan perpecahan
dalam Islam, Ahl al-Qur‟ân memandang mengikuti hadis sebagai penyebab
kemalangan Islam. Jika Ahl al-Hadîts mengklaim bahwa warisan autentik
Nabi Muhammad Saw. dapat diraih kembali hanya dengan kembali kepada
hadis, Ahl al-Qur‟ân berpendapat bahwa Islam yang murni dapat ditemukan
hanya dalam Al-Qur‟an.55
Sampai di sini, dapat terlihat bagaimana perdebatan pemahaman hadis
pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Kalangan penentang hadis,
baik orientalis maupun pemikir muslim memiliki kemiripan yakni menolak
kewenangan hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur‟an.
Namun keduanya bertolak dari titik yang berbeda. Kaum orientalis tidak
mengakui kewenangan hadis berpangkal dari asumsi ketidak-autentikan
hadis, mereka menganggap bahwa hadis bukan berasal dari Nabi Muhammad
Saw. Akibatnya, seluruh hadis dinilai palsu, tidak ada yang autentik.
Sedangkan, pemikir muslim tidak mengakui otoritas hadis dikarenakan
ketidakpercayaan akan efektivitas metode yang digunakan kaum tradisionalis.
Mereka mengakui validitas kewenangan Nabi Muhammad Saw., tetapi
meragukan reportase hadis yang berpotensi terjadi penyelewengan dan
penyalahgunaan karena kelemahan metode yang digunakan. Akibatnya pun
beragam. Batas paling ekstrem berupa penolakan hadis sebagai sumber ajaran
Islam secara total, ada yang hanya sebagiannya saja dengan melakukan
pemilahan antara hadis mutawâtir dan âhâd. Ada pula anggapan yang menilai
55
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 56-61.
37
hadis hanya sebatas pengetahuan sejarah, bukan sebagai pedoman
keagamaan. Sedangkan kalangan pendukung hadis, dalam batas paling
ekstrem, mereka memahami hadis secara literal, tidak mengakui adaptabilitas
hadis. Pada umumnya, kubu pro-hadis melakukan pemilahan antara
kandungan hadis bernilai syariat (tasyrî‟î) dan bukan syariat (ghair tasyrî‟î)
yang otomatis membedakan peran Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa
misi kerasulan dan manusia biasa. Mereka meyakini hadis bermuatan syariat
dan mengambil spirit yang terkandung dalam hadis non-syariat dengan
keyakinan bahwa tiap detail tingkah laku Nabi Muhammad Saw. terdapat
keteladanan di dalamnya. Namun bukan berarti menerapkannya secara
tekstual/literal.
Kubu pro-hadis pun tak luput dari perbedaan pendapat. Muncul wacana
evaluasi hadis dengan bantuan Al-Qur‟an untuk menentukan diterima atau
tidaknya sebuah hadis. Terdapat pihak yang berpendapat bahwa prinsip hadis
harus selaras dengan prinsip Al-Qur‟an. Ketika terjadi ketidaksesuaian antara
keduanya, maka yang dimenangkan adalah Al-Qur‟an, hadis otomatis
tereliminasi walaupun secara sanad berstatus sahih. Anggapan ini diwakili
oleh Muhammad al-Ghazalî dan Yûsuf al-Qardâwî.56
Namun terdapat
perbedaan di antara keduanya dalam cara mengungkapkan pendapat. Al-
Ghazâlî menyatakannya secara lantang dengan menyertakan argumen yang
menurutnya dapat mendukung ide tersebut,57
sedangkan al-Qardâwî lebih
berhati-hati dengan terlebih dahulu mengemukakan hubungan erat antara Al-
Qur‟an dan sunnah, tidak mungkin ada kontradiksi antara mubayyan dan
56
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 151. 57
Muhammad al-Ghazâlî, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts
(Kairo: Dâr al-Syurûq, 1989), Cet ke-3, h. 16.
38
mubayyin. Jika ada, maka kemungkinannya adalah hadisnya tidak sahih atau
salah dalam memahaminya, kontradiksi hanya bagi orang yang melihatnya
sebagai kontradiksi, tidak benar-benar ada.58
Pendapat ini diperkuat oleh Ṭaha
Jâbir al-„Ulwânî59
dalam menanggapi wacana hukuman bunuh bagi orang
murtad. Dalam literatur fiqh, disebutkan bahwa tahapan dalam menangani
kasus murtad adalah diberi penangguhan waktu selama tiga hari seraya
diminta untuk bertobat (al-istitâbah)/diajak untuk kembali merengkuh Islam
(„ird al-Islâm), kemudian jika tidak mau bertobat, maka dibunuh.60
Hal ini
disimpulkan berdasarkan nas al-Qur‟an61
dan riwayat al-Bukhârî dalam sahih-
nya.62
Menurut al-„Ulwânî, qatl al-murtadd kurang tepat diterapkan dalam
konteks sekarang. Perlu adanya peninjauan kembali warisan intelektual para
pendahulu dalam memutuskan suatu hukum, menghimpun komponen-
58
Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata‟âmal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Dâr al-Wafá,
1995), Cet. Ke-V, h. 93. 59
Ṭaha Jâbir al-„Ulwânî. Lahir di Irak tahun 1354 H/1935 M. Menamatkan jenjang S1 di
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas al-Azhâr tahun 1378 H/1959 M. Melanjutkan tingkat
Magister dan Doktoral-nya di fakultas dan universitas yang sama. Masing-masing diselesaikannya
pada 1388 H/1968 M dan 1392 H/1973 M. Berpartisipasi dalam pendirian al-Ma‟had al-„Âlî li al-
Fikr al-Islâmî yang terletak di Herndon, Virginia, Amerika Serikat pada 1981. Beliau adalah
anggota Akademi Fiqh Islam Internasional yang berpusat di Najed. Pernah menjadi ketua di
Dewan Fiqh Amerika Utara dan Jâmi‟ah al-„Ulûm al-Islâmiyyah wa al-Ijtimâ‟iyyah, Amerika
Serikat. Lihat: Ṭaha Jâbir al-„Ulwânî, Maqâṣid al-Sharî‟ah (Beirut: Dâr al-Hâdî, 2001), Cetakan
Pertama, h. 188. 60
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa al-istitâbah hukumnya adalah mustahabb, tidak wajib.
Hal ini dikarenakan dakwah Islam sudah sampai kepadanya. Sedangkan menurut al-Shâfi‟iyyah
dan al-Mâlikiyyah hukumnya adalah wajib. Lihat: „Abd al-Rahmân bin Muhammad „Awad al-
Juzairî, Al-Fiqh „alá al-Madzâhib al-Arba‟ah (al-Mansûrah: Dâr al-Ghadd al-Jadîd, 2005), h.
1367. 61 QS. Al-Taubah (9): 5.
﴿…
﴾
62 Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî (Beirût, Dâr
al-Fikr, 1995), Kitâb Istitâbat al-Murtaddîn wa al-Mu‟ânidîn wa Qitâlihim, Bâb Hukm al-Murtadd
wa al-Murtaddah, Hadis No. 6922, Jilid IV, h. 226.
عن عكرمة قال أت عل رض اللو عنو بزنادقة فأحرق هم ف ب لغ ذلك ابن عباس ف قال لو كنت أنا ل أحرق هم لن ه بوا بعذاا اللو » ملسو هيلع هللا ىلصرسول اللو .« فاق ت لوه من بدل دينو » ملسو هيلع هللا ىلص ولقت لت هم لقول رسول اللو « ت عذ
39
komponen terkait untuk mendapatkan jawaban terbaik atas permasalahan ini.
Al-„Ulwânî berpegang pada ayat lain dalam al-Qur‟an “tidak ada paksaan
dalam beragama” 63
yang kemudian ia jadikan judul bukunya, Lâ Ikrâha fi al-
Dîn. Ia mengukuhkan spirit ayat tersebut adalah poin utama dalam menyikapi
persoalan murtad.64
Dalam Al-Qur‟an termaktub sekitar 200 ayat yang
membahas tentang kebebasan memeluk keyakinan dan meniadakan
pemaksaan dalam beragama. Tidak ada hukuman apapun bagi seorang murtad
di dunia ketika ia tidak membarenginya dengan tindak kejahatan.65
Al-
„Ulwânî juga menemukan riwayat-riwayat pendukung argumentasinya yang
menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw. selama hidupnya tidak pernah
mempraktikkan hadis “man baddala dînahu faqtulûh”. Sekalipun beliau
mengetahui dirinya diperintahkan untuk membunuh orang murtad dan itu
adalah hukum Allah Swt. karena ada pertimbangan-pertimbangan lain.66
Menerapkan spirit hadis tersebut secara mutlak dapat menyebabkan sekitar
200 ayat Al-Qur‟an terabrogasi atau termaukufkan kinerjanya.67
Adapun
beberapa kasus murtad yang dibunuh pada zaman awal Islam bukanlah
karena murni faktor murtad, melainkan kemurtadan tersebut disertai dengan
tindakan kriminal.68
Di lain pihak berpendapat, ketika ada hadis yang sanadnya terbukti valid,
tetapi matannya terlihat kontradiksi, maka yang harus dilakukan adalah
63
QS. Al-Baqarah (2): 256. 64
Tâhâ Jâbir al-„Ulwânî, Lâ Ikrâha fî al-Dîn: Isykâliyyyat al-Riddah wa al-Murtaddîn min
Sadr al-Islâm ilâ al-Yaum (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2006), h. 94. 65
Tâhâ Jâbir al-„Ulwânî, Lâ Ikrâha fî al-Dîn, h. 125. 66
Tâhâ Jâbir al-„Ulwânî, Lâ Ikrâha fî al-Dîn, h. 116. 67
Ṭaha Jâbir al-„Ulwânî, Lâ Ikrâha fî al-Dîn, h. 125. 68
Misalnya „Abdullâh bin Khatl, seorang murtad yang melakukan tindakan provokatif
untuk memerangi Nabi Muhammad Saw., melancarkan aksi perampokan, korupsi dan pencurian.
Lihat: Tâhâ Jâbir al-„Ulwânî, Lâ Ikrâha fî al-Dîn: Isykâliyyyat al-Riddah wa al-Murtaddîn min
Sadr al-Islâm ilâ al-Yaum, h. 116.
40
menunda penilaian terhadap matan tersebut dan berharap agar keterangan
yang lebih jelas akan datang suatu saat nanti. Munculnya materi hadis yang
tidak dapat dipahami bukan alasan untuk menyebut hadis tersebut tidak valid.
Pemahaman dapat berubah, maka pemahaman yang terbatas tidak dapat
digunakan untuk menilai wahyu. Inilah sebabnya kritik sanad harus
diutamakan daripada kritik matan, dan takwil harus diupayakan setiap ada
kontradiksi. Pendapat ini didukung oleh al-Sibâ‟î dan Abû Syuhbah.69
Dilanjutkan dengan munculnya lembaga-lembaga kajian Islam (Islamic
Studies). Salah satunya adalah al-Ma‟had al-Âlamî li al-Fikr al-Islâmî,70
sebuah lembaga yang bergerak di bidang pemikiran Islam. Agenda penting
lembaga ini adalah merekonstruksi sistem pengetahuan, kebudayaan dan
peradaban umat Islam dengan merevitalisasi pemahaman mengenai sunnah,
metode pengkajian sunnah, metode penelitiannya, wawasan sunnah dari
segala aspek dan cara menjadikannya sebagai sumber pengetahuan,
69
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 162. Muhammad
Abû Syuhbah. Lahir di desa Maniyyah Janâj, kota Dasûq, provinsi Kafur al-Shaykh, Mesir pada
25 Syawal 1332 H/15 September 1914 M. Beliau mengenyam pendidikan di al-Azhar konsentrasi
tafsir dan hadis hingga tingkat doktoral pada 1936 dengan predikat mumtaz. Setelah itu dipilih
menjadi dosen fakultas Ushuluddin, naik jabatan menjadi asisten guru besar dan akhirnya menjadi
guru besar. Pada 1969, beliau dilantik menjadi dekan fakultas Ushuluddin di daerah Asyût,
fakultas pertama yang memiliki jurusan yang didirikan oleh Universitas al-Azhar, Mesir.
Selengkapnya dapat dilihat di: Majallat al-Wa‟y al-Islâmî, „Ulamâ wa A‟lâm Katabû fî Majallat
al-Wa‟y al-Islâmî al-Kuwaytiyah (Kuwait: Wizarât al-Auqâf wa al-Syu‟ûn al-Islâmiyyah Quttâ‟
al-Syu‟ûn al-Tsaqafiyyah, 2011), Cetakan Pertama, Jilid I, h. 195. 70
Al-Ma‟had al-Âlamî li al-Fikr al-Islâmî (International Institute of Islamic Thought,
disingkat menjadi IIIT) adalah lembaga swasta, non-profit, akademik, budaya dan pendidikan
lembaga, yang menaruh perhatian pada isu-isu umum pemikiran Islam dan pendidikan. IIIT
didirikan di Amerika Serikat pada 1981 yang bertepatan dengan 1401 H. Institut bersifat
independen dari politik lokal, orientasi partai dan bias ideologis. Markas besar Institut terletak di
Herndon, Virginia, di daerah pinggiran kota Washington DC. IIIT telah menjalin kerja sama
dengan sejumlah lembaga dan organisasi di sejumlah ibukota di seluruh dunia untuk melaksanakan
kegiatan dan program Institut. Lembaga diatur oleh Dewan Pengawas yang bertemu secara teratur
dan memilih salah satu anggotanya untuk melayani sebagai Presiden secara berkala. Lihat:
International Institute of Islamic Thought, Profil International Institute of Islamic Thought/About
IIIT, artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://www.iiit.org/AboutUs/AboutIIIT-
/tabid/66/Default.aspx.
41
peradaban dan kebudayaan Islam.71
Lembaga ini yang bekerjasama dengan
Muhammad al-Ghazâlî dalam penulisan al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl
al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts.72
Buah karya al-Qardawî merupakan tindak lanjut
dari karya al-Ghazâlî tersebut dalam proyek pemahaman sunnah sebagai
sumber pengetahuan (al-Masdar li al-Ma‟rifah),73
tidak hanya selaras dengan
masa lalu Islam ideal, tetapi juga adaptif terhadap situasi modern.
Wacana peninjauan kembali pemahaman hadis semakin hangat
diperbincangkan dalam rangka merevitalisasi peran sunnah di dunia
kontemporer. Proses peninjauan dapat diupayakan melalui pemilahan/
klasifikasi pemahaman hadis yang bersifat statis dan dinamis dari berbagai
sudut pandang. Terdapat klasifikasi berdasarkan peran Nabi Muhammad Saw.
seperti konsep yang dikembangkan oleh Muhammad al-Tâhir bin „Âsyûr.74
Ada pula klasifikasi berdasar konten hadis. Pemilahan tersebut membentuk
konsep tekstual-kontekstual yang menjadi topik utama dalam skripsi ini,
dengan salah satu tokoh pengembangnya yaitu Muhammad Abû al-Laits. Ia
telah membuat buku yang berjudul „Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa Mu‟âsiruhâ.
71
Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata‟âmal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 8. 72
Muhammad al-Ghazâlî, al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 6. 73
Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata‟âmal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 8. 74
Muhammad al-Tâhir Ibn „Âsyûr (1296 H-1393 H/1879 M-1973M) mengembangkan
konsep pemilahan peran Nabi Muhammad Saw. untuk menemukan maqâsid al-syarî‟ah yang
terkandung di dalam sabda, tindakan dan berbagai kebijakannya. Ibn Âsyûr mengembangkan
konsep yang pertama kali dicetuskan oleh al-„Allâmah Syihâb al-Dîn Ahmad bin Idrîs al-Qarrâfî
dalam kitabnya Anwâr al-Burûq fî Anwâ‟ al-Furûq. Al-Qarrâfî membedakan peran nabi menjadi
tiga: hakim (al-qâdî), pemberi fatwa (al-muftî/muballigh al-risâlah) dan pemimpin negara (al-
Imâm). Masing-masing peran memiliki konsekuensi tersendiri. Ibn Âshûr mengembangkannya
menjadi 12 peran. Lihat: Muhammad al-Ṭâhir bin „Âshûr, Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islâmiyyah
(Yordania: Dâr al-Nafâ‟is, 2000), h. 207-230.
Beliau adalah guru besar Universitas al-Zaitûnah, Tunisia. Ulama dan mujtahid terkemuka
pada zamannya. Salah satu tonggak gerakan revolusioner dan mujtahid kebanggaan Tunisia. Lihat
biografi lengkapnya di: Balqâsim al-Ghâlî, Min A‟lâm al-Zaitûnah: Syaikh al-Jâmi‟ al-A‟zam
Muhammad al-Tâhir Ibn „Âsyûr; Hayâtuhu wa Âtsâruhu (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1996), h. 5.
42
Pada salah satu bagian buku tersebut, concern membahas pemahaman hadis
yang diberi tajuk al-Bu‟d al-Zamanî wa al-Makanî.
Pada akhirnya, berbagai ragam pemilahan bermuara pada suatu tujuan,
yakni mengungkap motif di balik sabda Nabi Muhammad Saw. untuk
mengetahui esensi ajaran yang terkandung di dalamnya sehingga dapat
menerapkan fleksibilitas syariat dengan baik.
C. Pemilahan Tekstual-Kontekstual Sebagai Salah Satu Metode dalam
Memahami Hadis Nabi Muhammad Saw.
1. Memahami Makna Tekstual dan Kontekstual
Untuk memahami makna kata tekstual dan kontekstual, dapat ditempuh
melalui pemaknaan kata dasarnya. Tekstual berasal dari kata teks. Makna teks
dalam ilmu bahasa mengandung tiga macam arti: 1) naskah yang berupa kata-
kata asli dari pengarang 2) kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau
alasan 3) bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato dan lain
sebagainya.75
Arti pertama sama dengan pengertian al-nass dalam kamus,
yakni sîghat al-kalâm al-asliyyah allatî waradat min al-mu‟allif.76
Ketiga
macam makna tersebut memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya,
membentuk pengertian pemahaman tekstual yang dimaksudkan dalam skripsi
ini. Teks diartikan sebagai naskah yang berisi kata asli pengujar, dikutip untuk
dijadikan dasar argumentasi dan diambil ajaran yang terkandung di dalamnya,
dipahami dan disampaikan sebagaimana yang tertulis atau mengacu
kepadanya. Tekstual berarti berhubungan dengan teks. Dipertegas dengan
75
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1024. 76
Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah, Al-Mu‟jam al-Wasît, h. 964.
43
definisi menurut ahli bahasa yang mengartikan tekstual sebagai bentuk formal
yg berhubungan dengan bagaimana sebuah naskah itu ditulis.77
Tekstual kerap
disandingkan dengan kata literal. Keduanya memiliki persamaan dan
perbedaan. Tekstual/teks padanan katanya adalah manuskrip, naskah, skrip,
surat dan tulisan. Sedangkan literal kata lainnya adalah harfiah, langsung dan
lurus.78
Keduanya berkaitan dengan tulisan dan cara berinteraksi dengannya.
Tekstual menunjukkan makna lebih umum karena memuat penggunaan makna
teks secara harfiah (tersurat/mantûq) dan maknawi (tersirat/mafhûm).
Sedangkan literal hanya digunakan untuk menunjuk penggunaan teks secara
harfiah. Al-Qardâwî menyebut kaum literalis (harfiyyîn) sebagai orang-orang
yang terpaku pada lahiriah teks sehingga menelantarkan hakikat dan esensi
yang terkandung di dalamnya.79
Tâhâ Jâbir al-„Ulwânî mengatakan bahwa
paham literalis berawal dari meningkatnya peran kamus dalam rangka
memahami teks/hadis karena masa yang semakin jauh dengan masa produksi
teks/periode awal Islam, yang kemudian menjadi sebuah kecenderungan.
Pemahaman literal menjadi salah satu penghambat kebangkitan umat karena
menjadikan Islam sebagai ajaran yang kaku dan tidak logis.80
Kontekstual akar katanya adalah konteks, yang meliputi dua macam arti:
1) bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah
kejelasan makna 2) situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.81
77
Longman, Longman Dictionary of The English Language, h. 1714. 78
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia
(Bandung: Mizan, 2009), h. 549, 357. 79
Yûsuf al-Qardawî, Kayfa Nata‟âmal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 19. 80
Pengantar Tâhâ Jâbir al-„Alwânî dalam karya Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata‟âmal ma‟a
al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 14. 81
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 522. Oleh D. Hidayat, arti pertama disebut dengan konteks
44
Kedua arti tersebut terangkum dalam definisi yang menyebutkan bahwa
konteks (context) adalah situasi, peristiwa atau berita yang terkait dengan
sesuatu hal dan dapat membantu memahami memahami sesuatu hal itu (the
situation, event, or information that are related to something and that help you
to understand it). Terdapat keterangan lanjutan menyebutkan situasi dapat
berupa politik, sosial atau sejarah.82
Dalam bahasa arab, konteks dipadankan
dengan siyâq berasal dari susunan huruf sin-wawu-qaf, mempunyai arti dasar
menggiring / mendorong / memotivasi / memengaruhi sesuatu (hadw al-
syai‟).83
Menurut D. Hidayat, siyâq terbagi dua. Siyâq al-Nass (konteks
linguistis) atau disebut juga siyâq al-kalâm (context of words)84
berarti
hubungan (konteks) makna kebahasaan antarkata dalam suatu kalimat atau
dalam kalimat yang berbeda maupun hubungan antara kalimat dengan kalimat
yang lain. Konteks ini memberikan makna paling cocok pada unsur bahasa:
makna kata, kelompok kata dan makna teks secara keseluruhan. Sedangkan
Siyâq al-Mauqif adalah konteks situasi/lingkungan di luar kebahasaan.85
Konteks memegang peranan penting dalam pemahaman teks. Sebuah
ungkapan atau kejadian yang terekam dalam teks biasanya lahir dari sebuah
motif yang melatarbelakanginya. Dengan konteks, motif di balik kemunculan
teks dapat terungkap sehingga menambah kejelasan kandungan pokok teks –
lebih jauh lagi– dapat mengungkap maksud teks sesuai dengan yang
dikehendaki oleh pembuat teks. Tak terkecuali hadis yang merupakan
linguistis dan yang kedua disebut dengan konteks situasi. Lihat: D. Hidayat, al-Balâghah li al-
Jamî‟ wa al-Syawâhid min Kalâm al-Badî‟ (Semarang: Toha Putra, 2002), h.12. 82
Longman, Longman Dictionary of The English Language, h. 337. 83
Ahmad bin Faris, Mu‟jam Maqâyîs al-Lughah, Jilid 3, h. 117. 84
Rûhî al-Ba‟albakî, Al-Maurid (Beirut: Dâr al-„Ilm li al-Malâyîn, 1995), h. 653. 85
D. Hidayat, al-Balâghah li al-Jamî‟ wa al-Syawâhid min Kalâm al-Badî‟, h.12.
45
dokumentasi tertulis sabda dan perbuatan Nabi Muhammad Saw. dalam
rangka menerjemahkan dan mengejawantahkan ajaran Islam kepada
masyarakat di zamannya sekaligus menjadi pedoman bagi seluruh umat Islam
di berbagai penjuru dunia hingga hari kiamat tiba.
2. Langkah Metodis Pemahaman Tekstual-Kontekstual
Setelah mengetahui makna dari kata tekstual dan kontekstual, pemahaman
dikategorikan menjadi tiga, yakni literal, tekstual dan kontekstual. Pembagian
ketiga istilah ini sama dengan tekstual, kontekstual lingustis dan kontekstual
situasi menurut D. Hidayat, maupun tekstual, semi tekstual dan kontekstual
menurut Abdullah Saeed.
Skripsi ini menggunakan istilah pada kategori pertama. Pemahaman hadis
tekstual diartikan sebagai metode memahami hadis dengan menggunakan
sarana bedah teks berupa kaidah kebahasaan yang terangkum dalam kajian usul
al-fiqh bagian al-Dilâlât al-Muta‟alliqah bi al-Alfâz, meliputi „âm-khâs,
mujmal-mubayyan, mutlaq-muqayyad, mantûq-mafhûm, zâhir-mu‟awwal, dan
lainnya. Tekstualis menganggap bahwa teks/hadis bersifat independen, tidak
berkaitan dengan peran pengucap/Nabi Muhammad Saw. dan situasi-kondisi
yang melingkupinya. Metode ini berusaha mencari makna melalui aspek
gramatika kebahasaannya. Apakah yang dikehendaki makna eksplisit atau
46
implisitnya, hadis ini sedang membicarakan keumuman atau kekhususan.
Sedangkan pemahaman hadis kontekstual adalah pemahaman hadis tekstual
yang kemudian dilanjutkan dengan penggunaan sarana kontekstual.
Di antara kaum pembaharu kontemporer, al-Qardâwî memberikan tawaran
formulasi untuk memahami sunnah agar dapat terkontekstualisasi dengan baik.
Tahap pertama proses ini adalah memandang sunnah dengan bimbingan Al-
Qur‟an (fahm al-sunnah fî dau‟ al-Qur‟ân al-Karîm). Dengan kata lain, dalam
menghadapi masalah tertentu, ulama harus mulai dengan meneliti apa yang
dikatakan Al-Qur‟an mengenai subjek tersebut. Tahap kedua adalah mencari
seluruh hadis yang berkaitan dengan subjek tersebut (jam‟ al-ahâdîts al-
wâridah fî al-maudû‟ al-wâhid). Tahap ketiga adalah membandingkan hadis-
hadis itu dan mengkompromikan semua hadis itu apabila memungkinkan (al-
jam‟ au al-tarjîh baina mukhtalif al-hadîts). Apabila hadis-hadis tersebut tidak
dapat dikompromikan, maka diterapkan sistem ranking menurut tingkat
keautentikannya. Al-Qardâwî bersikeras menolak hadis yang tampak
bertentangan dengan hadis lain. Baginya, antar kebenaran tidak akan saling
bertentangan. Hal ini-lah yang melatarbelakanginya memakai kaidah al-jam‟
muqaddam „alá al-tarjîh. Dengan demikian, pengkompromian hadis harus
dilakukan sebelum satu hadis dinyatakan lebih kuat daripada yang lain. Lima
tahapan yang lainnya adalah hadis harus dipahami dengan mempelajari latar
belakang dan kondisi pada saat hadis itu muncul (fahm al-ahâdîts fî dau‟
asbâbihâ wa mulâbasâtihâ wa maqâsidihâ); elemen hadis yang berubah-ubah
harus dipisahkan dari prinsip-prinsip permanen (al-tamyîz bayna al-wasîlah al-
mutaghayyirah wa al-hadf al-tsâbit li al-hadîts); makna kiasan harus dipahami
47
(al-tafrîq baina al-haqîqah wa al-majâz fî fahm al-hadîts); makna yang jelas
dan tersembunyi harus dibedakan (al-tafrîq baina al-ghaib wa al-syahâdah);
dan makna kata perkatanya sendiri harus sepenuhnya dipahami (al-ta‟akkud
min madlûlât alfâz al-hadîts).86
Formula ini sedikit-banyaknya diadopsi dan dikembangkan oleh
Muhammad Abû al-Laits dalam interaksinya dengan hadis yang akan dibahas
pada bab III.
86
Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata‟âmal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 91. Lihat pula:
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 158.
48
BAB III
MENGENAL SOSOK MUHAMMAD ABÛ AL-LAITS
Muhammad Abû al-Laits adalah profesor hadis bumiputra India. Abû Al-Laits
juga seorang penulis produktif yang telah melahirkan banyak karya ilmiah
bertemakan hadis, baik buku, jurnal, makalah maupun ulasan buku. Beliau juga
kerap berpartisipasi aktif dalam berbagai seminar dan konferensi, baik skala
nasional maupun internasional.
A. Latar Belakang dan Pendidikan
Muhammad Abû Al-Laits terlahir di sebuah keluarga sederhana pada 8
Oktober 1953 silam di Khairabad.1 Ketika itu, Khairabad masih menjadi wilayah
bagian Azamgarh, sekarang masuk wilayah Maunath Bhanjan, keduanya terletak
di Uttar Pradesh, negara bagian India utara.2
Beliau adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dan juga mempunyai dua
saudara lainnya dari ibu yang berbeda. Keluarganya mempunyai nasab yang
berujung pada Abû Ayyûb al-Ansârî. Ayahnya bernama al-Hâjj Syams al-Dîn bin
Muhammad Ya‟qûb bin Muhammad Hasan. Ibunya bernama Hâjirah Khâtûn binti
Muhammad Sa‟îd Mujâhid. Orang tuanya meninggal ketika beliau masih kecil.3
Keadaan ini menuntut Abû Al-Laits untuk menjadi dewasa di usia muda.
Kematangan berpikir terlihat dari keputusan yang diambil untuk menentukan
langkah hidupnya ke depan. Nilai kesederhanaan, tanggung jawab, keseriusan
dalam belajar telah tertanam sejak dini.
1 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî via email pada
September 2016, h. xiv. 2 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xiv.
3 Lihat Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xiv.
49
Abû Al-Laits kecil menimba ilmu di lembaga pendidikan di desanya, Manba‟
al-„Ulûm, hingga tingkat menengah atas yang diselesaikannya dalam jangka
waktu tiga tahun.4 Dari madrasah ini Abû Al-Laits mulai belajar bahasa Arab di
bawah bimbingan al-Syaikh al-Hâfiz Riyâd al-Dîn al-Ghâlib Fûrî, al-Syaikh
Maulânâ Syukrullâh al-Nu‟mânî al-Walîd Fûrî, Maulânâ Hidâyatullâh al-Khair
Âbâdî, al-Syaikh Maulânâ Anwâr Ahmad al-Atrâruwî al-Khair Âbâdî, Maulânâ
„Azîz al-Rahmân al-Buhairawî, al-Syaikh Maulânâ Nadzîr Ahmad al-Khair
Âbâdî.5
Setelah itu, Abû Al-Laits berkelana ke daerah Muradabad yang terletak di
wilayah Barat Laut Uttar Pradesh, India. Ia melanjutkan pendidikannya ke
Universitas Hayât al-„Ulûm selama satu tahun dengan berguru –antara lain–
kepada al-Syaikh Bashîr Ahmad al-Mubârakfûrî dan belajar penerjemahan bahasa
Urdu-Arab dibimbing oleh al-Syaikh Habîb al-Rahmân al-Khair Âbâdî (saat ini
menjabat sebagai mufti di Universitas Dâr al-„Ulûm Deoband).6
Pengembaraan ilmu dilanjutkan ke Universitas Islam Dâr al-„Ulûm Deoband
yang terletak di daerah Saharanpur, Uttar Pradesh pada 1967 dengan mengambil
jurusan Ilmu Keislaman (al-‘Ulûm al-Islâmiyyah) di bawah arahan -antara lain-
al-Syaikh Maulânâ Fakhr al-Dîn Ahmad Al-Murâd Âbâdî (Sahîh al-Bukhârî jilid
I), al-Syaikh Mahmûd al-Hasan al-Kankûhî -Mufti Universitas Dâr al-„Ulûm-
(Sahîh al-Bukhârî jilid II), al-Syaikh Fakhr al-Hasan (Sunan al-Tirmidzî), al-
Syaikh „Abd al-Ahmad (Sunan Abû Dâwûd), al-Syaikh Syarîf al-Hasan (Sahîh
4 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xiv-xv. Normalnya, untuk
mencapai jenjang perkuliahan dibutuhkan waktu sembilan tahun, dengan rincian: al-I‟dâdiyyah
lima tahun, al-Mutawassitah dua tahun dan al-Tsânawiyyah dua tahun. Wawancara Muhammad
Abû Al-Laits via Whatsapp pada 28 September 2016. 5 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xiv-xv.
6 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xv.
50
Muslim, al-Maibadzî, Tafsîr al-Baydâwî), al-Syaikh Islâm al-Haqq al-Kûbâginjî
(Syarh Ma‟ânî al-Âthâr li al-Tahâwî, Sulam al-„Ulûm, Mulâ Hasan), al-Syaikh al-
Muftî Nizâm al-Dîn al-Ma‟uwî (Syamâ‟il al-Tirmidhî, Sirâjî), al-Syaikh Maulânâ
Muhammad Mayyân (Hidâyat Awwalîn li al-Margînânî), al-Syaikh Mi‟râj al-
Haqq (Hidâyat Akhîrîn li al-Margînânî), al-Syaikh Maulânâ Nasîr Ahmad Khân
(Misykât al-Masâbîh dan Nukhbat al-Fikr), al-Syaikh Husain Ahmad al-Bahârî
(Sunan al-Nasâ‟î), al-Syaikh Khaurasyîd Âlim (Syarh al-„Aqâ‟id al-Nasafiyyah),
al-Syaikh Maulânâ Muhammad Sâlim Qâsimî (Tafsîr Jalâlain), al-Syaikh Wahîd
al-Zamân al-Kairânawî (al-Insyâ‟). Kemudian tahun 1969 lulus menyandang gelar
Diploma (al-Fadîlah) dengan predikat Mumtâz Tsânî.7 Di tahun ini pula, Abû Al-
Laits menikah dengan Hasînah Khâtûn, anak dari H. Muhammad Idrîs al-
Mubârakfûrî, yang ketika itu berumur dua tahun lebih muda darinya.8
Pada 1970-1976, beliau mengajar di lembaga pendidikan swasta Madrasah al-
Islâh Saraimir yang terletak di Azamgarh, Uttar Pradesh.9 Di masa awal
pengabdian ini, ketika umur 18 tahun (1971), beliau dikaruniai anak pertama yang
diberi nama Abû Talhah Mas‟ûd.10
Kemudian terbuka kesempatan untuk
melanjutkan pendidikannya, beliau diterima di Universitas Islam Madinah. Pada
1980, gelar Licence dalam bidang Hadis berhasil ia dapatkan dengan predikat
Mumtâz Awwal. Setelah itu beliau diterima di Universitas Umm al-Qurá, Makkah
untuk meneruskan jenjang magister di bidang hadis. Pada 1984, dengan tesisnya
yang berjudul “Tahqîq wa Dirâsat Kitâb al-Zuhd li al-Imâm Hannâd bin al-Sarî”
Abû Al-Laits berhasil meraih predikat Mumtâz Awwal. Program doktoral pun
7 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xv.
8 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xvi.
9 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xv.
10 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xvi.
51
diteruskan di universitas yang sama. Pada 1992, gelar doktor dengan yudisium
Mumtâz berhasil dikantonginya setelah merampungkan disertasi yang berjudul
“al-Juz’ al-Tsâmin min Bayân Musykil al-Âtsâr li al-Imâm al-Tahâwî: Dirâsah
wa Tahqîq”.11
Selepas doktoral, Abû Al-Laits menapaki karir di Malaysia sebagai Asisten
Profesor di jurusan Studi Qur‟an dan Sunnah di Universitas Islam Antarbangsa
(UIA) Malaysia dari 1993 sampai dengan 2000. Kemudian beliau naik jabatan
sebagai Lektor pada 1 April 2000. Berkat pengabdiannya selama itu, pada 1
Januari 2009 Abû Al-Laits diangkat menjadi Profesor yang bertugas di universitas
dan jurusan yang sama hingga saat ini.12
Di usianya yang memasuki tahun ke-64 (2017), Abû Al-Laits masih aktif
mengajar sebagai pengampu mata kuliah ‘Ulûm al-Hadîts: Sciences of Hadîts,
Comparative Study of Commentaries On Musykil al-Hadîts, Ittijâhât Hadîtsah fî
Dirasât al-Sunnah: Modern Trends In Sunnah Study, Qirâ’ah Nassiyyah fî Kutub
al-Hadîts: Readings In Hadîts Books, Research Paper I, Research Paper II,
Studies In Fabricated Hadîts, Studies On Dirâyat al-Matn (Analysis of Hadîts
Texts), Takhrîj al-Hadîts: Retrieval of Hadîts, dan Textual Reading From The Six
Hadîts Collections.13
Abû Al-Laits memainkan peran penting dalam pengembangan Jurusan Studi
Qur‟an dan Sunnah UIA Malaysia. Sejumlah posisi startegis pernah ia jabat. Ia
adalah peletak kurikulum, khususnya yang berkenaan dengan Hadis dan Ilmu
Hadis, di tingkat sarjana dan pascasarjana. Ia juga sering didapuk sebagai ketua di
11
Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xv-xvi. 12
Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 387. 13
Curriculum Vitae of Muhammad Abû Al-Laits, “Teaching Responsibilities” diunduh dari
http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017.
52
sejumlah komisi jurusan tersebut. Komisi bergengsi yang pernah ia pimpin antara
lain Komisi Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Komisi Pascasarjana, Komisi
Peningkatan Mutu Kurikulum dan Komisi Ujian Mahasiswa.14
Selain mendedikasikan dirinya di Jurusan Studi Qur‟an dan Sunnah UIA
Malaysia, bapak dari tujuh anak ini juga diamanahi beberapa jabatan penting di
luar UIA, antara lain di Lembaga Studi Hadis Selangor selaku anggota redaksi
majalah Buhûth al-Hadîts al-Syarîf, editor Majalah al-Basîrah yang diterbitkan
oleh Akademi Studi Islam Universitas Malaya, dewan penasihat majalah kampus
di Universitas al-Syarîf „Alî Brunai Darussalam, dewan penasihat akademik
pendirian program doktoral bidang hadis Fakultas Syariah Universitas Kuwait,
penasihat akademik di Dâr al-„Ulûm Deoband, dewan penasihat Lembaga Studi
Islam Chicago, dan jabatan lainnya.15
B. Kondisi Sosial dan Politik
India adalah negara yang menerapkan sistem demokrasi sejak awal
kemerdekaannya pada 1947 dengan kondisi masyarakat yang hierarkis dan
memiliki kompleksitas sosial. Berbagai kemelut yang disebabkan keberagaman
14
Abû Salamah, Sîrah Dzâtiyah li al-Ustâdz al-Duktûr Muhammad Abû Al-Laits al-Khair
Âbâdî, 2013, diunduh dari [email protected] pada 12 Februari 2016, h. 4. 15
Abû Salamah, Sîrah Dhâtiyah li al-Ustâdh al-Duktûr Muhammad Abû Al-Laits al-Khair
Âbâdî, 2013 diunduh dari [email protected] pada 12 Februari 2016, h. 3-4.
53
ras, etnis, agama dan bahasa terjadi dalam pembentukan karakter demokrasinya.
Khususnya kemelut antara mayoritas Hindu dengan minoritas terbesar, yakni
Muslim dan juga agama-agama lain seperti Budha, Kristen, Yahudi, Sikh dan
sejumlah agama-agama kesukuan (tribal religions).16
Ketegangan Hindu-Muslim di India dimulai sejak masa kolonial Inggris. Salah
satu dampaknya adalah partisi India-Pakistan pada 1947. Pemisahan tersebut
adalah bentuk kekecewaan politis kalangan Islam tertentu yang selama masa
kolonial mengalami marginalisasi terutama di bidang politik. Padahal sebelum
datangnya kolonial, kalangan Muslim berhasil menempati pos-pos penting dalam
kedudukan politik di wilayah negara India.17
Sebagian besar Muslim memilih
berpisah dan memiliki negara sendiri yakni Pakistan. Sebagian lainnya tetap
memilih hidup sebagai warganegara India.18
Jumlah Muslim yang menetap di India ketika itu sekitar 30 juta jiwa. Tahun
2003, mereka mengalami peningkatan lima kali lipat menjadi hampir 150 juta
jiwa atau sekitar 15% dari seluruh penduduk India. Jumlah tersebut menempatkan
Muslim India sebagai minoritas terbesar di negara itu atau terbesar kedua di dunia
setelah Indonesia.19
Abû Al-Laits dan keluarganya adalah salah satu dari kaum minoritas itu. Awal
kehidupannya dimulai saat India mengalami kerusuhan komunal karena adanya
rivalitas ekonomi antar etnis, maupun fenomena polarisasi partai-partai politik
serta terdapatnya segregasi tempat tinggal. Daerah perkotaan menjadi kontributor
utama kerusuhan komunal di negara tersebut dan hanya terkonsentrasi pada
16
Dhurorudin Mashad, dkk., Muslim di India (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 9-11. 17
Dhurorudin Mashad, dkk., Muslim di India, h. 35. 18
Dhurorudin Mashad, dkk., Muslim di India, h. 5. 19
Dhurorudin Mashad, dkk., Muslim di India, h. 1, 39.
54
delapan kota.20
Sedangkan daerah pedesaan, dimana dua pertiga orang India
tinggal, angka kerusuhan relatif kecil. Antara tahun 1950-1995 tercatat kurang
dari 4% korban meninggal akibat kerusuhan etnis/agama.21
Abû Al-Laits kecil
tinggal di Khairabad, wilayah yang aman konflik karena termasuk daerah
pedesaan dan Muslim menjadi mayoritas di sana.22
Daerah yang menjadi
pilihannya sebagai tempat belajar maupun mengajar, yakni Muradabad, Deoband
dan Azamgarh, bukan termasuk daerah yang tercatat sebagai daerah rawan
konflik.
Di sisi lain, Muslim India juga dihadapkan pada konflik internal
keberagamaan sebagai dampak imperialisme dan kapitalisme industri Inggris.
Kekacauan politik dan pengurasan kekayaan India oleh para pedagang Barat
berangsur-angsur menjadikan India menjadi negara yang amat miskin, masyarakat
menjadi kacau, mengakibatkan kebudayaan hancur dan agama menjadi rusak.23
Kondisi ini setidaknya menimbulkan dua reaksi.24
Pertama adalah timbulnya
kelompok Islam Puritan yang ingin kembali kepada kesederhanaan iman dan
masyarakat pada zaman Nabi Muhammad Saw., kembali kepada Islam yang
murni. Mereka menganggap kerusakan yang ada disebabkan oleh banyaknya
penyimpangan dalam menjalani kehidupan keagamaan. Kedua adalah lahirnya
gerakan Islam liberal yang sejalan dengan kebudayaan Barat abad kesembilan
belas dan pandangannya secara umum, terutama perihal sains, metode pergaulan
20
Delapan kota itu adalah Ahmedabad, Aligarh, Hyderabad, Meerut, Baroda, Calcuta, dan
Delhi. Lihat: Dhurorudin Mashad, dkk., Muslim di India, h. 6. 21
Dhurorudin Mashad, dkk., Muslim di India, h. 6-7. 22
Khairabad, Mau, artikel diakses pada 20 September 2016 dari https://en.wikipedia.org/-
wiki/Khairabad,_Mau. 23
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Bandung: Penerbit Mizan,
1993), Cetakan Pertama, h. 14. 24
Masalah ini sudah dibahas di Bab II poin ke-empat mengenai Pemahaman Hadis Abad
Modern, h. 14.
55
dan humanitarian-ismenya. Menurut mereka, agama harus dipisahkan dari
manifestasi-manifestasi feodal agar umat Islam dapat maju dan hidup lebih baik.25
Pergolakan pemikiran yang terjadi dalam penghayatan ajaran Islam itu sendiri
terus berlangsung hingga saat ini. Kelompok pertama cenderung kaku dan apa
adanya dalam memahami nas syariat sebagaimana yang tertulis. Kelompok kedua
adalah penganut setia rasionalisme, tidak tunduk pada otoritas syariat selain Al-
Qur‟an, dan menolak semua hal yang bertentangan dengan logika dan hukum
alam, termasuk hadis. Mereka menganggap hadis sudah tidak relevan dengan
masa kini.
Polarisasi tersebut tidak lantas membuat Abû al-Laits sejalan dengan salah
satunya. Ia tetap meyakini seperangkat otoritas pembentuk hukum Islam,
termasuk meyakini otoritas hadis. Dalam hal ini, Dâr al-„Ulûm disinyalir
mempunyai peran besar dalam membentuk pola pikirnya. Dâr al-„Ulûm adalah
titik awal perjalanan Abû al-Laits di dunia hadis.26
Universitas yang terletak di
daerah Deoband itu dijuluki sebagai al-Azhar-nya India.27
Di sana lah Abû al-
Laits belajar hadis secara intensif dibawah bimbingan Ulama Deoband. Mereka
terkenal akan pemikiran moderatnya yang bermazhab Hanafî28
meneruskan
warisan intelektual Syâh Waliyullâh al-Dihlawî.29
25
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 14-15. 26
Wawancara Muhammad Abû Al-Laits via email pada September 2016, h. 4. 27
Julukan itu diketahui dari ucapan Rasyîd Ridá saat mengunjungi Universitas Dâr al-
„Ulûm Deoband. Ia berkata, “saya melihat kebangkitan Islam dan keilmuan modern di dalam
Madrasah Deoband yang dijuluki sebagai al-Azhar-nya India (Azhar al-Hind). Saya berharap
eksistensinya dapat membawa manfaat besar..” Dâr al-„Ulûm Diyûband, Artikel diakses pada 28
Juni 2017 dari http://www.darululoom-deoband.com/arabic/ 28
Madzab „Ulamâ‟ Diyûband, Artikel diakses pada 28 Juni 2017 dari http://www.darul-
uloom-deoband.com/arabic/maslak.htm. 29
Dâr al-„Ulûm Diyûband, Artikel diakses pada 28 Juni 2017 dari http://www.darululoom-
deoband.com/arabic/magazine. Ulasan singkat pemikiran Shâh Waliyullâh al-Dihlawî bisa dilihat
pada Bab II h. 17-18.
56
C. Karya Muhammad Abû Al-Laits
Abû Al-Laits termasuk seorang penulis produktif. Pernyataan ini berdasarkan
sejumlah karya yang telah ditelurkannya. Sampai dengan tahun 2009, beliau telah
menulis 14 buah buku, 24 artikel yang dimuat dalam jurnal berskala nasional dan
internasional, dua buah tahqîq dan tiga ulasan buku.30
Ditambah dua buku yang
terbit pada tahun berikutnya, Issues In The Sunnah (2010) dan Dirâsât fî al-
Qur’ân wa al-Sunnah: Manâhij wa Qadâyâ (2011).31
Rentang waktu 2011 hingga
2016, 20 artikel lainnya juga terbit di berbagai jurnal dunia. Semua ini belum
termasuk makalah-makalah yang ia sampaikan dalam forum seminar, konferensi
dan lokakarya.32
Dalam kajian hadis, karya Abû Al-Laits yang berupa buku meliputi Takhrîj al-
Hadîts (Malaysia: 1999), ‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ (Malaysia:
2000), al-Marwiyyât fî Lailat al-Nisf min Sya’bân fî Mîzân al-Naqd al-Hadîtsî
(Malaysia: 2003), al-Marwiyyât fî al-Tausi’ah ‘alá al-‘Iyâl Yaum ‘Âsyurâ fî
Mîzân al-Naqd al-Hadîtsî (Malaysia: 2003), Mu’jam al-Mustalahât al-
Hadîtsîyyah (Malaysia: 2004), al-Tarîqah al-Masnûnah li al-Musâfahah baina al-
Rijâl (Malaysia: 2005), Ittijâhât fî Dirâsât al-Sunnah Qadîmuhâ wa Hadîtsuhâ
(Malaysia: 2005), I’fâ’ al-Lihyah baina al-Nass wa al-Tatbîq (Malaysia: 2006),
Syarh al-Arba’în al-Nawawiyyah (belum diterbitkan, 2004).33
Meskipun berdasarkan speliasisasi keilmuan dikenal sebagai pakar hadis,
Muhammad Abû al-Laits juga menguasai bidang lainnya seperti Humaniora, Studi
30
Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 388-391. 31
Curriculum Vitae of Muhammad Abû Al-Laits, “Research Project Completed”, diunduh
dari http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017. 32
IIUM Repository (IREP), “Mohammed Abul Lais”, diunduh dari http://irep.iium.edu.my-
/view/creators_id/malais=40iium=2Eedu=2Emy_.html pada 15 Juli 2017. 33
Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 388-389.
57
Keagamaan, Studi Al-Qur‟an dan Tafsirnya, serta Sistem Ekonomi dan
Keuangan.34
Abû al-Laits pun mempunyai tulisan berupa buku dalam bidang
kajian al-Qur‟an meliputi Asas al-Nizâm al-Mâlî wa al-Iqtisâdî fi al-Qur’ân
(Makkah: 1991), Rahîq al-Tafâsîr li al-Ajzâ’ al-Tsalâtsah al-Akhîrah min al-
Qur’ân al-Karîm (Malaysia: 2003), Rahîq al-Tafâsîr li al-Mâ’idah al-Taubah al-
Isrâ’ Maryam, Tâhâ min Suwar al-Qur’ân al-Karîm (Malaysia: 2004).35
Sementara itu, terdapat beberapa proyek penelitian yang belum selesai. Judul
penelitian yang ia garap mulai tahun 2016 yaitu Methodology of Studying the
Problematic Ahâdîts and Dealing with Their Explanation; A Pilot Study on Cyclic
Process Approach for Disposing Islamic Literature Material; dan Debt and
Indebtness in The Hadîts Literature: The Severity Rights and Responsibilities.
Sedangkan penelitiannya sejak tahun 2015 ada dua judul, yaitu Skills of Teaching
The Qur’an between Memorization and Contemplation: A Methodical Study dan
Critical Study Gender Equality Principles In CEDAW: An Islamic Perspective.36
Sebagian besar buku-buku Abû al-Laits dicetak di Malaysia oleh Penerbit Dâr
al-Syâkir, meskipun ada juga penerbit lain yang mencetaknya.37
Kebanyakan
menggunakan bahasa Arab yang kental dengan nuansa ilmiah. Dominasi bahasa
Arab dalam penulisan buku-bukunya dikarenakan bahasa Arab adalah bahasa
yang ia kuasai dengan baik.38
Bahasa lain yang ia gunakan adalah bahasa Inggris.
Kedua bahasa tersebut adalah bahasa pengantar yang digunakan di kampus-
34
Curriculum Vitae of Muhammad Abû Al-Laits, “Area of Specialisation”, diunduh dari
http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017. 35
Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 388-389. 36
Curiculum Vitae of Muhammad Abû Al-Laits, “Research Project”, diunduh dari
http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017. 37
Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 388. 38
Abû Al-Laits fully proficient dalam menggunakan bahasa Arab dan Urdu (reading,
speaking dan writing). Sedangkan bahasa Persia, ia berada di tingkat intermediate (menguasai
reading dan understanding). Lihat: Curiculum Vitae of Muhammad Abû Al-Laits, 2013 diunduh
dari [email protected] pada 12 Februari 2016, h. 8.
58
kampus Malaysia. Selain itu, bahasa Arab-Inggris adalah bahasa yang mendunia,
sehingga dapat dimengerti oleh kalangan penikmat karyanya, mengingat tempat ia
mengontribusikan ilmunya bukan hanya Malaysia. Sedangkan penggunaan bahasa
ilmiah dilatarbelakangi oleh profesi dan pergumulan beliau yang identik dengan
lingkungan akademis. Beberapa bukunya diproyeksikan untuk dijadikan bahan
ajar di UIA Malaysia (kitâb muqarrar fî al-Jâmi’ah).39
Seluruh tulisan Abû Al-
Laits adalah hasil penelitiannya yang mayoritas berorientasi pada kajian hadis dan
al-Qur‟an.
39
Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 388.
59
BAB IV
PEMAHAMAN HADIS MUHAMMAD ABÛ AL-LAITS
A. Metode Tekstual-Kontekstual
Sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, Abû Al-
Laits setuju dengan pendapat yang menyatakan tidak semua hadis bersifat statis,
dipahami dan direalisasikan secara tekstual. Melainkan, terdapat pula hadis yang
perlu dipahami secara kontekstual, sehingga dapat dikontekstualisasikan, guna
beradaptasi dengan roda zaman yang terus berputar.1 Meski demikian, metode
yang terakhir ini memerlukan syarat dan kriteria ketat agar tidak terjadi
penyalahgunaan kewenangan. Lantaran hadis adalah sumber rujukan kedua umat
Islam setelah al-Qur‟an.
Tidak hanya setuju dengan wacana pemahaman hadis tekstual dan
kontekstual, Abû Al-Laits juga mempunyai perhatian besar terhadap kajian ini.
Tahun 1999, Abû Al-Laits memublikasikan kompilasi ilmu hadis yang berjudul
‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ. Di dalamnya terdapat bab yang khusus
mengupas pemahaman hadis. Hingga saat ini, karya tersebut menjadi buku
panduan dalam mata pelajaran „Ulûm al-Hadîts di berbagai perguruan tinggi dan
lembaga pendidikan Islam baik di dalam maupun di luar Malaysia. Cetakan
pertama dan kedua habis terjual dalam kurun waktu tidak lebih dari setahun.2
Dalam buku tersebut, ia membagi pembahasan ke dalam tiga bab utama: al-
Madkhal ilá ‘Ulûm al-Hadîts (Pengantar Ilmu Hadis), ‘Ulûm Riwâyat al-Hadîts
(Ilmu Sanad Hadis) dan ‘Ulûm Dirâyat al-Hadîts (Ilmu Matan Hadis). Pembagian
1 Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 6.
2 Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 5.
60
itu bertujuan untuk menjadi jenjang dalam mempelajari ilmu hadis. Sebelum
memasuki pembahasan inti, baiknya terlebih dahulu mengenal istilah-istilah hadis
(Mustalâh al-Hadîts). Tahap pengenalan ini dibahas pada bagian al-Madkhal ilá
‘Ulûm al-Hadîts. Kemudian masuk ke pembahasan inti yaitu meneliti hadis.
Langkah pertama adalah verifikasi sanad yang merupakan tujuan dari Ulûm
Riwâyat al-Hadîts. Selanjutnya, jika sudah lolos verifikasi, dimulailah proses
akhir yakni pemahaman matan menggunakan perangkat yang ada dalam ‘Ulûm
Dirâyat al-Hadîts. Berikut ini adalah pemaparan singkatnya.
1. ‘Ilm Gharîb al-Hadîts wa Syarhih wa Fiqhih
Cabang ilmu ini bertugas untuk mengatasi problem yang terjadi di wilayah
matan karena ada redaksi hadis yang sukar dipahami lantaran jarang
penggunaannya. Problem ini muncul sebagai salah satu pengaruh ekspansi
wilayah kekuasaan Islam, masuknya orang-orang non-Arab ke dalam agama
Islam dan berkembangnya generasi campuran (arab-non-Arab) yang
melahirkan aksen baru dalam bahasa Arab murni. Oleh karena itu, kalangan
atbâ’ al-Tâbi’în berinisiatif untuk mewacanakan Gharîb al-Hadîts sebagai
bentuk antisipasi akan adanya kebuntuan pemahaman hadis pada sebagian
orang.3 Contohnya adalah penjelasan makna farîdat al-sadaqah.
ثو أن أبا بكر كتب لو ث نا ثامة بن عبد اللو بن أنس أن أنسا حد ر ية اللد ة حدول يمع ب ي مت فرق ول فرق ب ي متمع خشية »ملسو هيلع هللا ىلص ر ر ل اللو الت
.«اللد ة Thumâmah bin „Abdillâh bin Anas bercerita kepada kami bahwa Anas
bercerita kepadanya bahwa Abû Bakr menuliskannya ketentuan zakat
3 Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 289.
4 Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-Hiyal,
Bâb fî al-Zakâh wa an Lâ Yufarraq baina Mujtami‟ wa Lâ Yujma‟ baina Mutafarriq Khashyat al-
Sadaqah, Hadis No. 6955, Jilid IV, h. 235. Terdapat empat riwayat al-Bukhârî yang
mencantumkan kata farîdat al-sadaqah, yaitu hadis nomor 1453, 1454, 2487 dan 6955.
61
yang telah ditentukan oleh Rasulullah Saw. (yakni) tidak boleh
mengumpulkan sesuatu yang terpisah dan tidak boleh pula memisah
sesuatu yang terkumpul karena takut mengeluarkan zakat.
Kata farada umumnya diartikan dengan wajib, maka farîdah adalah
kewajiban. Namun, makna yang dikehendaki oleh hadis tersebut adalah
ketentuan. Farada Rasûlullâh berarti qaddarahâ wa bayyana kaifiyatahâ
(menentukan dan menjelaskan tata cara zakat). Makna asal al-fard adalah al-
qat’ (potongan).5 Farada dalam hadis tersebut adalah farada li al-tadqîr
(ketentuan) bukan li al-îjâb au li al-ilzâm (kewajiban). Argumentasi ini
didukung oleh penggalan ayat 236 dalam surat al-Baqarah,6
﴿... ...﴾
“...atau belum kamu tentukan maharnya...”
Selain merujuk pada ayat al-Qur‟an, kasus Gharîb al-Hadîts juga bisa
dipecahkan melalui riwayat lainnya7 dan sastra Arab yang di dalamnya
termasuk kaidah kebahasaan, puisi, syair maupun sajak.8
2. ‘Ilm Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhih
Disiplin ilmu ini merupakan salah satu upaya menyelesaikan nas-nas
syariat yang tampak kontradiktif. Digunakan kata “tampak” karena pada
sejatinya tidak ada pertentangan antar hadis maupun nas syariat lainnya.
Kontradiksi muncul akibat perbedaan tingkat pemahaman atau salah satu dari
nas yang tampak kontradiktif kehujahannya telah dibatalkan. Kebenaran tidak
5 Dari kata al-Qat’ terbentuklah makna al-taqdîr karena dalam sebuah potongan
mengandung batas, ukuran, tata cara memotong dan juga terwujud karena adanya keputusan yang
ditentukan. Terbentuk pula makna al-îjâb karena jika suatu putusan telah ditentukan, maka wajib
dilaksanakan. Seperti halnya seorang hakim telah memutuskan suatu perkara, maka keputusannya
wajib untuk dilaksanakan. 6 Abû Sulaimân al-Khattâbî al-Bustî, Gharîb al-Hadîts (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1982), Jilid
II, h. 45-46. 7 Abû Sulaimân al-Khattâbî al-Bustî, Gharîb al-Hadîts, Jilid II, h. 5-6.
8 Mahmûd bin „Umar Al-ZamakhSyarî, al-Fâiq fî Gharîb al-Hadîts (Beirût: Dâr al-Fikr,
1993), Jilid I, h. 10. Lihat pula: Abû Sulaimân al-Khattâbî al-Bustî, Gharîb al-Hadîts, Jilid II, h. 5.
62
akan bertentangan dengan kebenaran lainnya. Hadis sahih tidak akan
tumpang-tindih dengan hadis sahih yang lainnya.
Ada dua tipe kontradiksi. Pertama adalah kontradiksi yang berpeluang
untuk dikompromikan (al-jam’). Kedua adalah kontradiksi yang tidak
mungkin untuk disatukan. Langkah yang ditempuh untuk menyelesaikannya
adalah dengan metode abrogasi (al-naskh). Cara ini digunakan jika diketahui
bahwa salah satu kandungan hadis telah dibatalkan penggunaannya. Jika tidak
diketahui, maka digunakanlah metode preferensi (al-tarjîh).9 Ketika problem
tidak juga dapat terpecahkan melalui ketiga cara tersebut, solusi terakhir
adalah tawaqquf, yakni hadis tersebut ditangguhkan hingga diketahui antara
yang râjih dengan yang marjûh. Kasus tawaqquf ini jarang sekali ditemukan.10
Contoh penggunaan al-jam’ dan al-naskh dalam menyelesaikan matan
hadis yang tampak bertentangan dapat dilihat pada hadis tentang
memperbaharui wudhu tiap kali akan melaksanakan salat berikut ini.
.»كان ت لك ة ملسو هيلع هللا ىلصأن النب «عن ليمان بن ب ر دة Dari Sulaymân bin Buraydah bahwasanya Nabi Muhammad Saw.
selalu berwudhu untuk tiap waktu salat.
ملسو هيلع هللا ىلصكان النب «سعت أنس بن مالك ، ق ل : عن عمرو بن عامر األنلاري ال كنا نللي اللل ات : ن تم ما كنتم تلن ع ن ؟ ال : لت » ت عند ك ة
.كل ا ب و واحد ما دث Dari Anas, ia menyebutkan bahwasanya nabi datang dengan membawa
sebuah wadah kecil kemudian berwudhu. Aku („Amr) bertanya,
9 Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân bin Abî Bakr al-Suyûtî, Tadrîb al-Râwî, Jilid II, h. 116.
10
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 294. 11
Diriwayatkan oleh Sufyân al-Tsaurî dari Muhârib bin Ditsâr dari Sulaimân bin Buraidah.
Hadis ini tercantum dalam Sunan al-Tirmidzî sebagai syâhid hadis yang diriwayatkannya. Lihat:
Abû „Îsá al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Jilid I, Abwâb al-Tahârah, Bâb Mâ Jâ‟a Annahu Yusallî
al-Salawât bi Wudû‟ Wâhid, Hadis No. 61, h. 125. 12
Abû „Îsá al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Jilid I, Abwâb al-Tahârah, Bâb Mâ Jâ‟a fî al-
Wudû‟ li Kulli Salâh, Hadis No. 60, h. 124.
63
“Apakah Nabi Muhammad Saw. Berwudhu setiap kali salat?” Anas
menjawab, “Ya.” Amr bertanya lagi, “bagaimana dengan kalian?”
Anas menjawab, “kami melaksanakan beberapa salat dengan sekali
wudhu selama belum berhadas.”
ر اىر ملسو هيلع هللا ىلصأن النب «: عن أنس عن يد »كان ت لك ة اىرا أو ي .كنا ن ت و وا واحدا: كي كنتم تلن ع ن أن تم؟ ال : لت ألنس : ال
Dari Humaid dari Anas bahwasanya Nabi Muhammad Saw. Berwudhu
setiap kali salat baik dalam keadaan suci maupun berhadas. Humaid
bertanya kepada Anas, “bagaimana kalian melakukannya” Anas
menjawab, “kami hanya satu kali berwudhu.”
Mengutip pendapat al-Tahâwî, al-Hâzimî menjelaskan bahwa hadis
pertama yang menyebutkan berwudhu setiap akan salat dipahami dalam
konteks keutamaan, bukan kewajiban –atau– dipahami bahwa hal tersebut
adalah salah satu kekhususan bagi Nabi Saw, tidak termasuk umatnya.
Pendapat ini diperkuat dengan dua hadis setelahnya yang menyebutkan para
sahabat melakukan beberapa salat dengan satu kali wudhu selama belum
berhadas.14
Kontradiksi dapat pula diselesaikan dengan menggunakan metode
abrogasi (al-naskh) jika dipahami bahwa pada awalnya berwudhu tiap kali
akan melaksanakan salat memang diwajibkan, kemudian setelah itu
mengalami pembatalan hukum.15
Naskh/abrogasi suatu hadis dapat diidentifikasi melalui penjelasan
langsung dari Rasulullah Saw., qaul al-sahâbî, pendekatan historis dan ijma‟
yang disandarkan pada nas.16
Ijma ulama tanpa ada penyandaran nas tidak
13
Abû „Îsá al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Abwâb al-Tahârah, Bâb Mâ Jâ‟a fî al-Wudû‟ li
Kulli Salâh, Hadis No. 58, h. 123. 14
Muhammad bin Mûsá al-Hâzimî, al-I’tibâr fî Bayân al-Nâsikh wa al-Mansûkh, h. 54. 15
Muhammad bin Mûsá al-Hâzimî, al-I’tibâr fî Bayân al-Nâsikh wa al-Mansûkh, h. 55. 16
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 293-294. Lihat pula: Al-
Suyûtî, Tadrîb al-Râwî, Jilid II, h. 111-112, al-Hâzimî, al-‘I’tibar fî Bayân al-Nâsikh wa al-
Mansûkh min al-Âtsâr, h. 10.
64
dapat menasakh suatu hadis. Sejatinya ijma‟ hanya sebagai indikator
keberadaan nâsikh yang berupa nas syar‟i.17
3. ‘Ilm Asbâb Wurûd al-Hadîts
Sarana ini bergerak meneropong situasi dan kondisi sekeliling teks,
mencari tahu bagaimana kronologi kelahiran sebuah teks/hadis guna
memberikan gambaran posisi Nabi Muhammad Saw. ketika menyabdakan,
sehingga dapat membimbing untuk memahami hadis dengan baik dan tepat.
Problem yang dihadapi di dalamnya adalah tidak semua hadis mempunyai
asbâb al-wurûd, bahkan hanya sebagian kecil saja.18
Sebagai alternatif,
pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau pendekatan lainnya dapat
digunakan sebagai pisau bedah pemahaman hadis yang tidak memiliki asbâb
al-wurûd. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak
berbicara dalam kondisi yang vakum historis dan hampa kultural. Aplikasi
sarana ini dapat dilihat dalam memahami hadis berikut.
ب عث ر ة إل خث عم اعتلم ناس ملسو هيلع هللا ىلصعن جر ر بن عبد اللو، أن ر ل اللو أنا »: مر م بنل العق و ال ملسو هيلع هللا ىلصبالسج د، رع ي م القت ، ب لغ ذلك النب شركي
.«بريو من ك مسلم قيم ب ي أ ر اا
Dari Jarîr bin „Abdillâh, bahwasanya Rasulullah Saw. mengutus
pasukan (A) ke daerah Khath‟am. Orang muslim menetap di sana (B)
segera bersujud [dengan keyakinan bahwa pasukan tersebut tidak
membunuh mereka ketika melihat mereka sujud, untuk memberi
17
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 294. 18
Al-Bayân wa al-Ta’rîf fî Asbâb Wurûd al-Hadîts al-Syarîf karya Ibn Hamzah al-Husainî
dinobatkan sebagai kitab paling komperehensif yang membahas tentang Asbâb Wurûd al-Hadîts.
Dalam al-Luma’ fi Asbâb Wurûd al-Hadîts, Al-Suyûti hanya menghimpun 98 hadis. Sedangkan
Ibn Hamzah al-Husainî berhasil mengumpulkan hingga 1594 hadis. Perbedaan jumlah yang
mencolok ini dikarenakan Al-Suyûti wafat sebelum merampungkan penulisan kitabnya tersebut.
Lihat: Ibn Hamzah al-Husainî, Al-Bayân wa al-Ta’rîf fî Asbâb Wurûd al-Hadîts al-Syarîf
(Aleppo/Halb al-Shashbâ‟: Dâr al-Hukûmah, 1329 H), h.2, . Lihat pula: Al-Suyûti, Al-Luma’ fi
Asbâb Wurûd al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 2004), h. 184. 19
Abû „Îsá al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Jilid II, Kitâb al-Siyar, Bâb Mâ Jâ‟a fî Karâhiyat
al-Maqâm baina Azhur al-Musyrikîn, Hadis No. 1610, h. 223.
65
isyarat bahwa mereka adalah orang mukmin]. Kemudian di antara
mereka (B) ada yang terbunuh. Sampailah kabar tersebut ke telinga
Rasulullah Saw., lalu beliau memerintahkan kepada mereka (A) untuk
membayar setengah diyat seraya berkata, “aku tidak bertanggung
jawab atas orang muslim yang tinggal di wilayah kaum musyrik.”
Sebagian orang menggunakan hadis ini sebagai dalil pengharaman
berdomisili di wilayah mayoritas non-Islam. Sementara itu, keperluan zaman
sekarang untuk menetap di sana cukup mendesak, seperti dalam rangka
pendidikan, pengobatan, bisnis, dan yang lainnya. Menukil pendapat al-
Khattâbî, Al-Qardâwî menjelaskan bahwa pembayaran setengah diyat kepada
muslim terbunuh dikarenakan setengah jiwa mereka telah tergadaikan dengan
menetapnya mereka di kawasan non-muslim. Maka, perkataan Nabi
Muhammad Saw. dapat dipahami dengan “aku tidak bertanggung jawab atas
nyawa mereka jika terbunuh karena mereka telah mempertaruhkan setengah
jiwanya dengan keberadaan mereka di wilayah orang-orang yang memerangi
Islam.” Ketika zaman telah berganti dan perang sudah berhenti, „illah yang
melatarbelakanginya telah tercerabut, menetap di kawasan yang mayoritas
non-muslim bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan. al-Hukm yadûru
ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman.20
Tidak berbeda dengan pakar hadis lainnya, Muhammad Abû al-Laits juga
memandang Asbâb Wurûd al-Hadîts sebagai salah satu ilmu yang memiliki
peran penting dalam memahami hadis dengan baik. Hadis yang diketahui latar
belakangnya tidak mungkin dipahami jauh dari motif kemunculannya tersebut.
Ketika dipahami tidak sesuai dengan porsinya, maka akan terjadi kerancuan
dan dapat melahirkan kesimpulan yang mengkhawatirkan.21
20
Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 128. 21
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 299.
66
4. ‘Ilm Mukhtalif al-Hadîts wa Musykilih
Muhammad Abû al-Laits menyandingkan pembahasan Mukhtalif dengan
pembahasan Musykil al-Hadîts, meskipun Musykil lebih umum dari pada
Mukhtalif. Pokok bahasan keduanya adalah kendala-kendala yang dihadapi
dalam memahami hadis. Kajian Mukhtalif al-Hadîts terfokus pada
penyelesaian kontradiksi antar hadis, sedangkan Musykil al-Hadîts tidak
sebatas mengupas kontradiksi dan tidak hanya pada taraf hadis, tetapi juga
melibatkan dalil yang lain seperti al-Qur‟an, ijma‟ dan qiyas. Lingkupnya
adalah segala macam kesulitan yang ada dalam mencerna matan hadis. Setiap
hadis kontradiktif masuk ke dalam pembahasan Musykil, tetapi tidak
sebaliknya.22
5. ‘Ilm al-Bu’dain: al-Bu’d al-Zamânî wa al-Makânî
Ilmu ini memiliki relasi dengan ‘Ilm Sabab Wurûd al-Hadîts, karena
Sabab adalah hasil dari penyesuaian sabda Nabi Saw. dengan dimensi ruang
dan waktu.23
Bagian ini membahas definisi ‘Ilm al-Bu’dain secara etimologi
dan terminologi, pengaruh al-Bu’dain dalam memahami hadis, aturan dalam
menerapkan ‘Ilm al-Bu’dain, dan manfaat yang dapat dipetik dengan adanya
disiplin ilmu ini.
Melalui ‘Ilm al-Bu’dain, Abû Al-Laits berupaya menjelaskan pengaruh
dimensi ruang dan waktu terhadap pemahaman hadis. Ia menjadikannya
sebagai salah satu sarana penjelas teks-teks hadis karena realita disabdakannya
hadis menyesuaikan diri dengan kedua bu’d tersebut. Pembahasan lebih lanjut
22
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 306. 23
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 316.
67
akan diuraikan pada subbab berikutnya yang khusus mewartakan tentang Ilm
al-Bu’dain.
B. ‘Ilm al-Bu’dain: Konsep Baru Memahami Tekstual-Kontekstual Hadis
Abû al-Laits menyatakan bahwa Ilm al-Bu’dain adalah sebuah kajian baru
dalam Ilmu Hadis. Untuk pertama kali dalam sejarah, wacana ini resmi menjadi
bagian dari ‘Ulûm al-Hadîts.24
Esensi ilmu ini adalah dapat membedakan hadis
yang dibaca tekstual dan kontekstual serta tata cara mengontekstualisasikannya
dengan baik.
Ilm al-Bu’dain: Al-Bu’d al-Zamânî wa al-Makânî. Al-Bu’d al-Zamânî
diartikan sebagai situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi Nabi Muhammad
Saw. selama masa kenabian yang berlangsung selama 23 tahun. Sedangkan al-
Bu’d al-Makânî adalah wilayah jazirah Arab dengan segala situasi-kondisinya
meliputi lingkungan, iklim, adat kebiasaan, tradisi, kultur yang bergumul dengan
Nabi Muhammad Saw. selama 23 tahun masa kenabian itu.25
Al-Bu’d al-Zamânî wa al-Makânî, keduanya tidak dapat dipisahkan. Hal ini
dikarenakan sasaran dakwah Nabi Saw. ketika itu adalah kaum Arab yang
merupakan penduduk jazirah Arab. Maka terhimpunlah antara zaman/waktu yakni
23 tahun masa nubuwwah dan tempat yakni jazirah arab dengan segala suka
dukanya.26
24
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 310. 25
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 315-316. 26
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 316.
68
C. Klasifikasi Ranah Tekstual-Kontekstual dalam ‘Ilm al-Bu’dain
Setelah membaca langkah-langkah metodis Muhammad Abû al-Laits dalam
memahami hadis secara kontekstual, selanjutnya adalah mengetahui cakupan
wilayah hadis yang dapat dan yang tidak dapat dikontektualisasikan. Hal ini
penting untuk dicermati karena di dalam syariat Islam terdapat dua macam
hukum.
Pertama, hukum yang tidak dapat dicerna oleh akal, umat muslim wajib
mengimani tanpa harus mempertanyakannya yang disebut dengan ta’abbudî atau
ghair ma’qûlat al-ma’ná. Bagian ini-lah yang dipahami dengan cara tekstual.
Kedua, hukum yang dapat dirasionalkan atau dijelaskan menurut logika akal
manusia, disebut dengan ta’aqqulî atau ma’qûlat al-ma’ná.27
Bagian ini bersifat
lentur, dapat berubah karena perbedaan waktu dan tempat pelaksanaan hukum.
Pembagian hukum ini juga berkaitan dengan posisi Nabi Saw. ketika
mengeluarkan sebuah pernyataan. Ada kalanya beliau memainkan peran sebagai
Nabi/pembawa syariat (tasarrufât bi al-tablîgh au al-futyá), yang sabdanya harus
diikuti sampai hari kiamat nanti. Ada kalanya pula beliau berkata dalam posisinya
sebagai pemegang kebijakan (tasarrufât bi al-qadâ’ au al-imâmah au al-
27
Alî Mustafâ Ya‟qûb, al-Turuq al-Sahîhah fî Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 195.
Istilah ghair ma’qûlat al-ma’ná dan ma’qûlat al-ma’ná telah digunakan oleh Ibn Rusyd dalam
kitabnya Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid. Beliau menjelaskan bahwa
pengelompokkan tersebut dapat menjadi salah satu penyebab ulama berbeda pendapat dalam
menentukan suatu hukum. Hal ini dikarenakan pelaksanaan ‘ibâdah mahdah atau ghair ma’qûlat
al-ma’ná membutuhkan niat (muftaqirah ilá al-niyyah) sedangkan ma’qûlat al-ma’ná tidak.
Misalnya pada kasus wudhu. Apakah wudhu sebatas bentuk penghambaan manusia kepada Allah
Swt. atau aktifitas dalam menjaga kebersihan. Jika wudhu termasuk ke dalam kategori yang
pertama, maka wajib niat dalam berwudhu. Sedangkan jika termasuk kategori yang kedua, maka
tidak wajib niat. Tugas fiqh adalah menimbang faktor mana yang lebih kuat orientasi/wajh syabah-
nya, kemudian hukumnya akan diikutkan dengan faktor terpilih. Lihat: Ibn Rusyd, Bidâyat al-
Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 6.
69
tasarrufât al-khâssah), yang perkataannya bisa diaplikasikan sesuai dengan
kondisi tempat, waktu maupun kondisi perorangan.28
Untuk itu, ia mengadakan penelitian literatur klasik secara mendalam untuk
mengetahui sejauh mana dimensi ruang dan waktu dapat memengaruhi
pemahaman hadis.29
hasilnya adalah sebagai berikut.
1. Ranah Hadis Yang Tidak Terpengaruh al-Bu’dain
Muhammad Abû al-Laits memuat cakupan ranah yang tidak terkena
pengaruh al-Bu’dain (al-majallât allatî lam yuaththir fîhâ al-Bu’dân), atau
disebut dengan ranah tekstual, pada salah satu subbab pembahasan ‘Ilm al-
Bu’dain. Dengan tidak adanya pengaruh al-Bu’dain, menunjukkan bahwa
ketetapan yang ada dalam kesemua ranah itu bersifat tetap, alias harus dibaca
tekstual karena tidak dapat diubah kecuali dalam kondisi darurat. Beliau
menguraikannya ke dalam enam poin sebagai berikut.30
Pertama, hadis yang berkaitan dengan akidah (Majâll al-‘Aqâ’id).
Ketentuan hukum pada masalah akidah selamanya tidak akan berubah, kecuali
dalam keadaan terpaksa (hâlat al-idtirâr). Misalnya, seseorang diperbolehkan
mengaku dirinya keluar dari agama Islam ketika bahaya mengancam.
Melafalkan kalimat kufur merupakan hal terlarang pada kondisi netral. Hal
tersebut menjadi boleh ketika ia berada di bawah tekanan atau kondisi yang
28
Muhammad Abû al-Laits, al-Hadîts al-Imâmah min Quraisy fî Muwâjahat al-Tahaddiyât
al-Mu’âsirah, Majallah „Ilmiyyah Muhakkamah Nisf Sanawiyyah, Vol. 6, No. 1 (2013), h. 34.
Model pemahaman hadis melalui pemilahan posisi Nabi Saw. sebagai hakim, mufti (muballigh al-
risâlah) dan imam digagas oleh al-Qarâfî dalam karyanya Anwâ‟ al-Burûq fî Anwâ‟ al-Furûq dan
dikembangkan oleh Ibn Âsyûr dalam karyanya Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islâmiyyah. Lihat:
Muhammad al-Tâhir bin „Âsyûr, Maqâsid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah (Yordania: Dâr al-Nafâ‟is,
2000), h. 207-230. Lihat pula: Ahmad bin Idrîs al-Qarâfî, Anwâ‟ al-Burûq fî Anwâ‟ al-Furûq
(Beirût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1998), Cet. I, h. 357 29
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 316. 30
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 316.
70
memaksa seperti ancaman dibunuh dan yang lainnya.31
Asalkan hatinya tetap
berpegang teguh pada Islam.32
Kedua, ibadah pokok (al-‘Ibâdât al-Usûl). Ibadah pokok seperti salat,
puasa, haji dan zakat, tidak akan berubah hukum, bilangan dan cara
pelaksanaannya, kecuali pada kondisi uzur (hâlat al-a’dzâr). Kondisi uzur
sama dengan hâlat al-idtirâr pada poin sebelumnya. Keduanya merupakan
pengecualian (hâlat al-istitsnâ‟) yang memunculkan konsep rukhsah. Kondisi
ini akan dipaparkan lebih lanjut pada pembahasan selanjutnya “Ketentuan-
ketentuan dalam Mengaplikasikan Ilm al-Bu’dain.”
Ketiga, Al-Mabâdî al-‘Âmah li Anzimah al-Islâmiyyah. Dalam prinsip
umum syariat Islam terdapat ketetapan mengenai halal-haram baik dalam
muamalah maupun bidang lainnya. Misalnya, dalam muamalah ada aturan
mengenai kehalalan, seperti halalnya jual beli, sewa-menyewa, pinjam-
meminjam dan persamaan hak. Ada juga aturan halal seputar pernikahan,
seperti bolehnya talak, khulu‟, „iddah. Begitu pula dengan aturan keharaman,
seperti tidak boleh memperoleh harta dari cara yang tidak benar; riba, korupsi,
pencurian, perampasan dan yang lainnya. Juga keharaman hubungan yang
tidak sesuai dengan syariat, misalnya zina, lesbian dan homo seksual.
Keharaman dan kehalalan yang telah disebutkan tidak akan berubah walau
zaman telah berganti.
31
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 320. 32
Lihat Fath al-Bârî. Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-
Sindî , Kitâb al-I‟tisâm, Bâb al-Iqtidâ fî Sunan Rasûlillâh Saw., Hadis No. 7288, Jilid IV, h. 299.
Redaksi hadis:
لكم بسؤا م واخت م على » ال ملسو هيلع هللا ىلصعن أب ىر رة عن النب ا ىلك من كان ب دع ن ما ت ركتكم إن .«أمرتكم ب مر ت ا منو ما ا ت عتم أنبيائ م إذا ن يتكم عن شيو اجتنب ه وإذا
71
Keempat, etika dan nilai-nilai (al-Akhlâq wa al-Qiyam). Yang termasuk
akhlak terpuji adalah jujur, amanah, berani, bijaksana dan yang lainnya.
Sedangkan bohong, khianat, pengecut, sombong, pelit, dan lain sebagainya
berada pada jajaran akhlak tercela. Perubahan waktu maupun tempat tidak
akan bisa mengubah yang terpuji menjadi tercela dan sebaliknya, kecuali
dalam beberapa kondisi tertentu yang disebut dengan hâlat al-istitsnâ‟,
seseorang diperbolehkan untuk berbohong demi kemaslahatan.
Kelima, Al-Sunan al-Ilâhiyyah. Seperti terbitnya matahari dari ufuk timur
dan tenggelam di ufuk barat, penciptaan manusia dan hewan dari pembuahan
sperma terhadap ovum, pergantian musim dan lain-lain adalah bagian
sunnatullâh yang tidak akan berubah karena adanya perubahan dimensi ruang
dan waktu kecuali Allah Swt. menghendakinya.
Keenam, ketetapan khusus bagi Nabi Muhammad Saw. Ketika Rasulullah
Saw. melakukan suatu tindakan, lalu terdapat dalil yang menyatakan tindakan
itu termasuk al-Qadayá al-Khâssah bi al-Nabî, maka umatnya tidak
diperbolehkan untuk ikut mempraktikkannya. Dalil tersebut harus dipahami
sebagaimana yang tertulis. Suatu hal yang khusus tidak diberlakukan untuk
umum. Seperti kewajiban salat tahajjud, kewajiban salat duhá,
diperbolehkannya puasa setahun penuh dan lain-lain.
Enam hal di atas, jika disederhanakan, sama dengan pembagian yang
dikemukakan oleh Ali Mustafa Yaqub, yakni ranah pembacaan tekstual
mencakup; hadis seputar ‘ibâdah ta’abbudiyah yang telah ditentukan oleh
72
syariat Islam, hadis yang berisi perkara ghaib (al-umûr al-ghaibiyyah)33
dan
hadis tentang hukum qat’î.34
2. Ranah Hadis Yang Terpengaruh al-Bu’dain
Dalam pembahasan yang diberi judul al-Majâlât allatî qad Yu’aththir fîhâ
al-Bu’dân (cakupan hadis yang dapat terpengaruh oleh dua dimensi atau
disebut dengan ranah yang menerima kontekstualisasi), Abû al-Laits melansir
peninjauannya mengenai ranah hadis yang memungkinkan untuk
dikontekstualisasikan. Hasilnya adalah sebagai berikut: 35
Pertama, hadis yang berkaitan dengan cabang dari ibadah pokok (tafrî’ al-
‘ibâdât al-usûl) atau terapan dari prinsip umum syariat Islam (tatbîq al-
mabâdi’ al-âmmah li al-andzimah al-Islâmiyyah).
Kedua, hadis yang berisi instruksi Nabi Muhammad Saw. yang ditujukan
kepada pemerintah daerah, pemimpin pasukan perang untuk memilih utusan,
33
„Alî Mustafâ Ya‟qûb, al-Turuq al-Sahîhah, h. 140, 143. 34
„Alî Mustafâ Ya‟qûb, al-Ijtihâd wa al-Irhâbiyyah wa al-Lîbirâliyyah (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2012), h. 16-17. Ali Mustafa mendefinisikan hukum qat‟î yaitu segala masalah agama
yang dilandasi oleh dalil yang pasti dan menjadi hal yang pasti diketahui berasal dari agama,
dimana siapa pun dapat mengetahuinya, seperti salat lima waktu, puasa Ramadan, haji, zakat, zina
dan urusan agama lainnya. Lihat juga: Hartono, Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di
Indonesia; Studi atas Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Yaqub, 97. 35
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 318.
73
membuat formasi pasukan, menentukan strategi perang, membagi wilayah,
mengatur pembagian harta baitul mal untuk kemaslahatan, menyetujui
perjanjian, penentuan dan pelaksanaan takzir, tata cara pelaksanaan had dan
takzir, penentuan waktu dan kondisi terdakwa untuk menjalankan hukuman
dan lain sebagainya.
Ketiga, hadis mengenai eksperimen yang dilakukan oleh manusia (al-
tajârib al-basyariyyah) atau menurut tradisi yang ada (al-a’râf wa al-âdât) ,
seperti hadis tentang medis dan lain-lain yang berhubungan dengan duniawi.
Keempat, hadis yang berkaitan dengan sisi kemanusiaan Nabi Muhammad
Saw. (al-af’âl al-jibilliyyah li al-Nabî) seperti cara dan media yang digunakan
ketika makan, minum, berjalan, tidur dan lainnya.
Dari keempat poin di atas, Abû al-Laits menyimpulkan bahwa ranah
kontekstualisasi hadis mencakup hal yang berkaitan dengan (1) tabiat (2)
tradisi (3) sosial (4) ekonomi (5) kebudayaan (6) kemaslahatan (7) maqashid
(8) politik (9) peperangan (10) keamanan (11) kebijakan syariat (12) lokal
(13) temporal (14) kesehatan dan lain-lain.
D. Ketentuan-ketentuan dalam Mengaplikasikan Ilm al-Bu’dain
Setelah memetakan ranah tekstual (yang tidak terpengaruh al-Bu’dain) dan
kontekstual (yang terpengaruh al-Bu’dain), Abû al-Laits mencoba untuk
menghadirkan ketentuan-ketentuan dalam menerapkan pemetaan tersebut.
Tujuannya adalah untuk mengawal jalannya pemahaman agar tetap berada pada
jalur yang benar dan terhindar dari sikap gegabah.
74
1. Al-Darûrât al-Syar’iyyah wa Hâlât al-Istithnâ’
Al-Darûrah adalah kondisi mengkhawatirkan atau sakit keras yang
menimpa seseorang, sekiranya ditakutkan timbul bahaya terhadap jiwa, organ
tubuh, kehormatan diri, atau hartanya dan hal lain yang masih berkaitan.
Kondisi tersebut memperbolehkan seseorang melakukan sesuatu keharaman,
meninggalkan atau mengakhirkan kewajiban dari waktu pelaksanaannya,
untuk mencegah kemudaratan menurut dugaan kuatnya, dengan ketentuan
yang berlaku dalam syariat.36
Dengan kata lain, Al-Darûrah dapat
mengontekstualisasikan hukum yang bersifat tekstual. Prinsip dasar al-
darûrah tertera dalam al-Baqarah ayat 173,
ر باا ول عاد إ عليو ...﴿ ﴾ ... من ا ر ي “… barang siapa terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya…”
Ayat ini menjadi dasar tersabdakannya hadis Nabi Muhammad Saw.
dalam riwayat al-Nasâ‟î37
dan terbentuknya kaidah fiqh al-darûrât tubîhu al-
mahzûrât yakni kondisi darurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang.
Dilanjutkan dengan penerapan kaidah mâ ubîhu li al-darûrah yuqdaru bi
qadrihâ yang artinya sesuatu yang diperbolehkan dalam keadaan terpaksa
diperkirakan sesuai dengan kadar kebutuhannya. Dalam hadis nabi, banyak
36
Wahbah al-Zuhailî, Nazariyat al-Darûrah al-Syar’iyyah (Beirût: Mu‟asasat al-Risâlah,
1979), h. 67-68. 37
Legalitas tersurat rukhsah juga terdapat dalam riwayat al-Nasâ‟î:
ما بال : مر برج شجرة رش عليو الماو، ال ملسو هيلع هللا ىلصأخب رن جابر بن عبد اهلل، أن ر ل اهلل إنو ليس من الب أن تل م ا السفر، وعليكم »: ا ر ل اهلل ائم، ال : احبكم ىذا؟ ال ا
.«برخلة اهلل الت رخص لكم ا ب ل ىاAbû „Abd al-Rahmân al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Siyâm, Bâb Dzikr al-Ikhtilâf „alá
Muhammad bin Abd al-Rahmân, Hadis No. 2258, Jilid IV, h. 180. Lihat pula: Alî Mustafâ
Ya‟qûb, al-Turuq al-Sahîhah fî Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 112.
75
kasus al-darûrah yang kemudian mengakibatkan penerapan konsep rukhsah.38
Abû al-Laits mengambil sampel hadis tentang Rasulullah Saw.
memperbolehkan Abdurrahmân bin „Auf dan Zubair bin al-„Awwâm memakai
pakaian yang terbuat dari sutra karena gatal menyerang mereka.
.للزب ي وعبد الر ن لبس الر ر لكة بما ملسو هيلع هللا ىلصعن أنس ال رخص النب Dari Anas berkata Nabi Muhammad Saw. memperbolehkan al-Zubair
dan Abdurrahmân bin „Auf untuk memakai pakaian sutra karena gatal
yang menyerang mereka.
Dalam riwayat lain terdapat keterangan tambahan bahwa saat itu tengah
berada dalam situasi peperangan.40
Padahal, sebelumnya telah diketahui
bahwa memakai sutra diharamkan.
من لبس الر ر »ملسو هيلع هللا ىلصعن ثابت ال سعت ابن الزب ي ي ب ق ل ال ممد ن يا لبسو ااخرة .«الد
Dari Tsâbit berkata aku mendengar Ibn al-Zubair menyampaikan
khutbah, ia berkata Muhammad Saw. berkata, “Barang siapa yang
mengenakan sutra di dunia, ia tidak akan mengenakannya di akhirat.”
Mengenai hal ini, Abû al-Laits memberi komentar bahwa perbandingan
tegasnya pengharaman dengan kuatnya „illah terlihat kontras. Gatal bukan
38
Pengertian rukhsah adalah mâ syuri’a min al-ahkâm li ‘udzr syâq bi qasd ri’âyat hâjat al-
nâs au li takhfîf ‘alá al-mukallaf fî hâlât khâssah ma’a baqâ’ al-sabab al-mûjib li al-hukm al-aslî
(hukum yang dibuat untuk kondisi darurat dalam rangka melindungi kebutuhan masyarakat atau
memberi keringanan bagi seseorang pada kondisi khusus dengan tetapnya sebab yang mewajibkan
penerapan hukum asal). Wahbah al-Zuhailî, al-Wajîz fî Usûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h.
14. 39
Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-
Libâs, Bâb Mâ Yurakhkhas li al-Rijâl min al-Harîr li al-Hikkah, Hadis No. 5839, Jilid IV, h. 37. 40 Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-Jihâd
wa al-Siyar, Bâb al-Harîr fî al-Harb, Hadis No. 2920, Jilid II, h.185.
ث نا هام عن تادة عن - 2920 ث نا ممد بن نان حد ث نا هام عن تادة عن أنس ح حد ث نا أب ال ليد حد حدر شك ا إل النب لى اللو عليو و لم عن القم رخص أنس ر ي اللو عنو أن عبد الر ن بن ع ف والزب ي
ما الر ر رأ تو علي ما زاة 41
Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-
Libâs, Bâb Lubs al-Harîr wa Iftirâshihi li al-Rijâl wa Qadr Mâ Yajûz minhu, Hadis No. 5833, Jilid
IV, h. 36.
76
termasuk penyakit yang mengakibatkan kematian. Sementara itu, Nabi
Muhammad Saw. memperbolehkan untuk memakai sutra yang tidak
mempunyai efek langsung dalam penyembuhan gatal, hanya bersifat pereda.
Kejadian ini menunjukkan bahwa Nabi Saw. memutuskan hukum berdasarkan
kemaslahatan umatnya sekalipun kemaslahatan tersebut lahiriahnya terlihat
remeh.42
Beliau melihat hal yang lebih besar dari sekadar gatal. Kenyamanan
prajurit perlu diperhatikan demi kesuksesan perang.43
Contoh lainnya adalah ketika Nabi Muhammad Saw. membiarkan orang
Arab Badui buang air kecil di dalam masjid. Setelah selesai, beliau baru
menjelaskan kepadanya bahwa BAK tidak layak dilakukan di dalam masjid.44
Begitu pula dengan pembolehan jual-beli dengan sistem titip (bai’ al-salam),
padahal sebelumnya terdapat larangan jual-beli barang yang belum ada
kepemilikan.45
2. Adaptabilitas hukum yang bersifat kondisional
Sejarah hukum Islam menceritakan bahwa universalitas hukum syariat
melahirkan praktik yang berbeda, menyesuaikan diri dengan situasi dan
kondisi. Perubahan tersebut sudah menjadi sunnatullâh yang terjadi pada
makhluk. Tidak dapat dipungkiri dan terelakkan. Perubahan atribut yang
42
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 321. 43
Disarikan dari pendapat al-Tabarî yang dinukil oleh Abû al-Laits. Al-Syâfi‟î dan Abû
Yûsuf juga membolehkan memakai sutra pada situasi darurat. Lihat: Muhammad Abû al-Laits al-
Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 322. 44
Pembiaran tersebut karena Nabi Muhammad Saw. mengerti akan kerasnya watak si Badui
dan ketidaktahuannya karena ia baru masuk Islam. Lihat: Muhammad Abû al-Laits al-Khair
Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 321. 45
Rukhsah ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan masyarakat dalam jual beli menggunakan
sistem titip yang sudah mengakar kuat. Ketika dilarang akan menimbulkan kesulitan dan
memberatkan masyarakat. Akhirnya, praktik jual-beli seperti ini diperbolehkan dengan syarat dan
ketentuan berlaku. Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 322-323.
77
melekat pada hukum mengakibatkan perubahan kebijakan hukum tersebut.46
Untuk menjelaskan poin ini, Abû al-Laits mencantumkan riwayat tentang
perintah Nabi Muhammad Saw. yang tertuju untuk para orangtua agar
menyamaratakan pemberian kepada anak-anaknya.
قال إن لت ابن ىذا ملسو هيلع هللا ىلصعن الن عمان بن بشي أن أباه أتى بو إل ر ل اللو .«أك ولدك لت مث لو ال ل ال ارجعو » ما قال
Dari al-Nu‟mân bin Basyîr, bahwa sang ayah membawanya
menghadap Rasulullah Saw., kemudian berkata sesunguhnya aku telah
memberikan anakku ini seorang budak. Rasulullah Saw. menimpali,
“apakah kamu memberikan budak ke setiap anakmu seperti kamu
memberikannya kepada al-Nu‟mân?” Ia menjawab, “tidak” lalu
Rasulullah berkata, “ambil kembali budak itu.”
Abû al-Laits menjelaskan, seluruh riwayat yang bertema sama sepakat
atas ketiadaan pengkhususan seorang anak dibandingkan anak yang lain
dalam hal pemberian. Namun para ulama berpandangan bahwa hukum
tersebut dilaksanakan ketika tidak ada keperluan untuk menggunakan
pemberian tersebut. Abû al-Laits juga mengutip fatwa al-Imâm Ahmad
tentang kebolehan pengkhususan pemberian kepada sebagian anak yang
memiliki kebutuhan lebih seperti cacat, banyaknya anggota keluarga, atau
keperluan pendidikan.48
Contoh lainnya adalah regulasi hukum pembiaran
unta temuan, pelarangan penetapan harga, pelarangan menerima zakat bagi
Bani Hasyim, dan dibolehkannya foreplay bagi orang puasa yang sudah
lansia, sedangkan kaum muda dilarang. Dari contoh-contoh yang disebutkan,
hukum semula mengalami regulasi dikarenakan perubahan kondisi
masyarakat atau kondisi personal seseorang.
46
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 329. 47
Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-
Hibbah wa Fadlihâ, Bâb al-Hibbah li al-Walad, Hadis No. 2586, Jilid II, h. 110-111. 48
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 331-332.
78
3. Hukum yang berkenaan dengan maslahat bergerak secara dinamis
Grand design dari pembentukan syariat Islam adalah menjaga
kemaslahatan hingga hal terkecil. Kemaslahatan yang ada di dunia ini amatlah
banyak, baik dari segi jumlah maupun modernisasi kasuistik. Ulama pun
bersepakat bahwa maslahat dalam pengambilan hukum akan diperhitungkan
selama tidak terjadi kesewenangan dan tidak bertentangan dengan nas-nas
serta ketetapannya.49
Abû al-Laits memasukkan hadis tentang pembolehan
penangguhan pelaksanaan hukuman zina hingga melahirkan dan selesai masa
menyusui untuk menjelaskan ketentuan ini.50
Begitu pula dengan hadis
tentang pembagian tanah Khaibar bagi para penakluknya pada masa Nabi
Muhammad Saw. karena kebutuhan mereka pada saat itu. Namun, zaman
pemerintahan „Utsmân memiliki kebijakan berbeda. Sahabat Utsmân tidak
membaginya, melainkan tetap memercayakan tanah tersebut pada empunya
lalu diwajibkan membayar pajak untuk menopang kelanjutan kehidupan
generasi muslim.51
Dilihat dari contoh yang dikemukakan, perubahan hukum
yang terjadi terkait dengan kemaslahatan orang lain.
4. Fleksibilitas hukum yang dibangun atas dasar adat dan kebiasaan
Sudah umum diketahui bahwa adat dan kebiasaan memiliki kuasa dalam
membentuk hukum. Oleh karena itu, para ulama merumuskan salah satu
kaidah fiqih yang berbunyi “al-âdah muhakkamah.” Dasar argumentasinya
adalah sebuah hadis mawqûf yang diriwayatkan oleh al-Imâm Ahmad dalam
Musnad-nya mengatakan bahwa “mâ ra’á al-muslimûna hasanan, fa huwa
49
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 333. 50
Muslim bin al-Hajjâj, Sahîh Muslim, Kitâb al-Hudûd, Bâb Man I‟tarafa „alá nafsihi bi al-
Ziná, Hadis No. 1695, Jilid II, h. 112. 51
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 336.
79
‘inda Allâh hasan” (kebijakan yang dianggap baik oleh umat muslim, maka
baik pula di sisi Allah).52
Konten hadis ini disinyalir terinspirasi dari al-Nisâ‟
ayat 115:
ر بي المؤمني ...﴿ ﴾ ...و تبع ي “…dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin…”
Al-sabîl secara bahasa semakna dengan al-tarîq (jalan). Jalan orang-orang
mukmin berarti jalan yang mereka anggap benar/baik. Allah Swt. telah
mengancam orang yang tidak mengikuti jalan mereka dengan azab. Hal ini
menunjukkan bahwa mengikuti jalan itu hukumnya wajib. Maka, secara
syariat, al-âdah yang dianggap baik dapat diamalkan.53
Kasus yang dijadikan
contoh oleh Abû al-Laits untuk menjelaskan poin keempat ini adalah hadis
tentang zakât al-fitr.
م الف ر ملسو هيلع هللا ىلصعن أب عيد الدري ر ي اللو عنو ال كنا نرج ع د ر ل اللو . اعا من عام و ال أب عيد وكان عامنا الشعي والزبيب واأل والتمر
Dari Abû Sa‟îd al-Khudrî ra. berkata, pada zaman Rasulullah Saw.
kami mengeluarkan satu shâ‟ makanan pada hari idul fitri. Abu Sa‟îd
meneruskan ceritanya, ketika itu makanan kami adalah tepung
gandum, kismis, keju dan kurma.
Penentuan keempat makanan yang disebutkan dalam riwayat di atas
adalah berdasarkan makanan pokok masyarakat saat itu. Maka jumhur ulama
52
Selengkapnya:
ر ل ب العباد، ا فاه ملسو هيلع هللا ىلصإن اللو نظر ل ب العباد، جد لب ممد : عن عبد اهلل بن مسع د ال خي ر ل ب العباد، لن فسو، اب ت عثو بر التو، نظر ل ب العباد ب عد لب ممد، جد ل ب أ حابو خي
جعل م وزراو نبيو، قاتل ن على د نو، ما رأى المسلم ن حسنا، عند اهلل حسن، وما رأوا يئا عند .اهلل ي
53 Muhammad Yâsîn bin „Isá al-Fâdânî, al-Fawâid al-Janiyyah (Tp.: Dâr al-Mahjah al-
Baidâ‟, 2008), Cet. Pertama, h. 267. 54
Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-
Zakâh, Bâb al-Sadaqah Qabla al-„Îd, Hadis No. 1510, Jilid IV, h. 324.
80
bersepakat bahwa zakat fitri ditunaikan berdasarkan makanan pokok setempat.
Akan tetapi mazhab Hanafi membolehkan pembayarannya dengan uang.
Karena menurut mereka, yang menjadi tujuan dalam zakat fitri adalah
memenuhi kebutuhan fakir miskin. Sebagian Hanafiyyah beranggapan bahwa
menunaikan zakat fitri dengan uang lebih utama karena dinilai lebih
bermanfaat bagi yang membutuhkan. Adanya ketentuan pembayaran dengan
tepung gandum karena saat itu jual beli memakai sistem barter, sedangkan
zaman sekarang alat tukarnya berupa uang.55
Berbeda dengan udhiyyah dalam
hari raya Idul Adha. Hewan kurban tidak bisa digantikan dengan uang karena
tujuan disyariatkannya udhiyyah adalah meneladani hikmah yang terkandung
dalam kisah Nabi Ibrahim as. bukan membantu orang fakir. 56
Berarti, hadis
tentang udhiyyah adalah salah satu hadis yang dipahami secara tekstual
karena terhadap faktor penghambaan manusia kepada Tuhannya.
5. Hukum yang berkaitan dengan lokal dan temporal dapat berubah
Poin ini menuntut orang yang hendak memahami hadis untuk lebih
memperhatikan lokasi atau tempat dan situasi saat hadis itu disabdakan. Abû
al-Laits mencontohkan hadis tentang pelarangan menyimpan daging kurban di
atas tiga hari.
من حى منكم لبحن ب عد ثالثة »ملسو هيلع هللا ىلصعن لمة بن األك ع ال ال النب لما كان العام المقب ال ا ا ر ل اللو ن فع كما علنا « وبقي ب يتو منو شيو
55
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 339. Lihat pula: Lampiran
Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xvii. 56
Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xvii.
81
كل ا وأ عم ا وادخروا إن ذلك العام كان بالناس ج د ردت أن »عام الما ي ال .«تعين ا ي ا
Dari Salamah bin al-Akwa‟ berkata, Nabi Muhammad Saw. bersabda,
“Barang siapa di antara kalian yang menyembelih kurban, maka
janganlah menyimpannya di atas tiga hari atau menyisakan sedikitpun
dari daging tersebut di dalam rumahnya.” Pada tahun selanjutnya para
sahabat lapor, “Wahai Rasulullah, kami melakukan hal yang sama
dengan tahun kemarin.” Rasulullah Saw. menanggapi, “Makanlah,
olah dan simpanlah (daging kurban) sesungguhnya tahun lalu terjadi
kesusahan dalam masyarakat, dan aku ingin kalian tolong-menolong
pada masa tersebut.”
Dari riwayat ini, jelas bahwa pelarangan disebabkan oleh „illah temporer
karena adanya peristiwa tak terduga.58
Dalam riwayat al-Imâm Muslim
disebutkan bahwa Jahd disebabkan oleh segerombolan pasukan yang datang
secara tiba-tiba.59
Nabi Muhammad Saw. melarang penyimpanan daging
kurban agar semua sahabat ikut merasakan euforia hari raya Idul Adha. Ketika
„illah-nya hilang, maka boleh disimpan lebih dari tiga hari.60
6. Hukum yang ditetapkan dengan tujuan Sadd al-Dzarî’ah
57
Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-
Adâhî, Bâb Mâ Yu‟kal min Luhûm al-Adâhî wa Mâ Yutazawwad minhu, Hadis No. 5569, Jilid III,
h. 344. 58
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 343. 59
Lihat: Muslim bin al-Hajjâj, Sahîh Muslim, Kitâb al-Adâhî, Bâb Bayân Mâ Kâna min al-
Nahy „an Akl Luhûm al-Adâhî Ba‟da Tsalâts fî Awwal al-Islâm wa Bayân Naskhihi, wa Ibâhah ilá
Matá Syâ‟a, Hadis No. 1971, Jilid II, h. 252.
ال عبد اللو بن أب بكر . عن أك ل م اليحا ا ب عد ث ث ملسو هيلع هللا ىلصعن عبد اللو بن وا د ال ن ى ر ل اللو عت عائشة ت ق ل دف أى أب يات من أى الباد ة حيرة األ حى زمن ذكرت ذلك لعمرة قالت دق س
ا ا بقى »ملسو هيلع هللا ىلص قال ر ل اللو ملسو هيلع هللا ىلصر ل اللو لما كان ب عد ذلك ال ا ا ر ل اللو . «ادخروا ث ثا تلد ا ال دك قال ر ل اللو ال ا ن يت أن . «وما ذاك »ملسو هيلع هللا ىلصإن الناس تخذون األ قية من حا اىم ويمل ن من
ا ة الت د ت كل ا وادخروا وتلد ا» قال . ت ؤك ل م اليحا ا ب عد ث ث ا ن يتكم من أج الد .«إن60
Ini merupakan pendapat pihak yang menolak abrogasi hadis pelarangan menyimpan
daging kurban lebih dari tiga hari. Penggantian hukum disebabkan oleh hilangnya „illah, bukan
karena naskh (irtifâ al-hukm li irtifâ’al-‘illah, lâ liannahu mansûkh). Pendapat ini didukung oleh
al-Qurtubî, Ibn Hajar dan yang lainnya. Lihat: Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-
Hadîts, h. 344.
82
Secara bahasa, al-sadd berarti al-hâjiz baina al-syai’ain (penghalang
antara dua perkara), sedangkan al-dzarî’ah bermakna al-wasîlah wa al-sabab
ilá al-shay’ (sarana dan kausa yang menghantarkan kepada sesuatu). Menurut
pakar usûl al-fiqh, sadd al-dzarî’ah adalah man’ kulli mâ yatawassal bihi ilá
al-syay’ al-mamnû’ al-musytamil ‘alá mafsadah aw mudarrah (pencegahan
segala sesuatu yang dapat menghantarkan kepada hal terlarang yang bersifat
merusak atau berbahaya).61
Sarana pendukung keharaman dihukumi haram
sebagaimana sarana pendukung kewajiban dihukumi wajib. Contohnya adalah
hadis tentang larangan Nabi Muhammad Saw. kepada para pegawai negeri
untuk menerima gratifikasi.62
Pelarangan itu sebagai langkah antisipasi agar
tidak terjadi pelayanan yang tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan
masyarakat.63
61
Wahbah al-Zuhailî, al-Wajîz fî Usûl al-Fiqh, h. 108. 62
Muslim bin al-Hajjâj, Sahîh Muslim, Kitâb al-Imârah, Bâb Tahrîm Hadâyá al-„Ummâl,
Hadis No. 1832, Jilid II, h. 190. 63
Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 350.
83
84
84
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan dalam skripsi ini menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama,
Abû al-Laits adalah seorang ahli hadis yang setuju dengan pemahaman hadis
tekstual dan kontekstual. Dalam praktiknya, Abû Al-Laits menjelaskan proses
pemahaman melalui problematika yang ada dalam matan hadis menggunakan
metode bedah teks klasik yang dikembangkan oleh ulama terdahulu, meliputi ‘Ilm
Gharîb al-Hadîts wa Syarḥih wa Fiqhih, ‘Ilm Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhih,
‘Ilm Asbâb Wurûd al-Hadîts dan ‘Ilm Mukhtalif al-Hadîts wa Musykilih.
Pemahaman ini dipungkasi dengan klasifikasi hadis yang dibaca tekstual dan
hadis yang dapat dikontekstualisasikan yang terangkum dalam metode terakhir,
yakni ‘Ilm al-Bu’dain: al-Bu’d al-Zamânî wa al-Makânî. Kesemuanya itu terlebih
dahulu melalui proses jam’ al-riwâyât, menghimpun riwayat secara holistik untuk
menilai validitas sanad dan untuk mendukung kelancaran dalam memahami
matan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Abû Al-Laits juga meyakini
kaidah al-Hadîts yufassir ba’duhu ba’dan.
Kedua, Abû Al-Laits mengadakan penelitian yang meyimpulkan bahwa ranah
hadis yang dibaca tekstual meliputi hadis yang berkaitan dengan akidah, ibadah
pokok, prinsip umum syariat Islam, etika dan nilai-nilai, sunnatullah, dan
ketetapan khusus bagi Nabi Muhammad Saw. Meskipun demikian, hadis tekstual
tetap memiliki sisi kelenturan ketika menghadapi situasi darurat yang nantinya
memunculkan konsep rukhṣah/dispensasi. Sedangkan hadis yang berkaitan
dengan cabang dari ibadah pokok, hadis yang berisi instruksi Nabi Muhammad
85
85
Saw. dalam kapasitasnya sebagai pemimpin negara, hadis mengenai eksperimen
yang dilakukan oleh manusia dan hadis yang berkaitan dengan sisi kemanusiaan
Nabi Muhammad Saw. dimasukkan ke dalam kategori hadis yang adaptif terhadap
perubahan dimensi ruang dan waktu. Jika dirinci, ranah ini mencakup (1) tabiat
(2) tradisi (3) sosial (4) ekonomi (5) kebudayaan (6) kemaslahatan (7) maqashid
(8) politik (9) peperangan (10) keamanan (11) kebijakan syariat (12) lokal (13)
temporal (14) kesehatan dan lain-lain.
Ketika suatu hadis berbicara mengenai hukum yang bersifat kondisional,
hukum yang berkaitan dengan maslahat, adat kebiasaan, kejadian temporal
bersifat lokal, dan berkaitan dengan sadd al-dzarî’ah, maka bisa menjadi indikator
bahwa hadis tersebut dapat dipahami sesuai konteks yang sedang dihadapi, baik
secara personal maupun non-personal.
B. Saran
Pembahasan dalam skripsi ini hanya sebatas deskripsi pemahaman hadis yang
dituangkan oleh Abû Al-Laits dalam karyanya ‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa
Mu’âsiruhâ. Penulis menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat menghimpun
seluruh karya tulis yang telah ia publikasikan agar dapat memahami pemikirannya
secara holistik, khususnya di bidang hadis. Diperlukan juga pembacaan
pemahaman hadis tokoh lainnya yang memiliki metode serupa untuk dapat dikaji
secara komparatif guna menemukan distingsi pemahaman dan poin-poin penting
di dalamnya.
87
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung: Penerbit
Mizan. 1993.
Al-Atsram, Abû Bakr. Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh. Riyâd: t.p. 1999.
Abû Zahw, Muhammad. al-Hadîts wa al-Muhadditsûn. al-Riyâd: al-Mamlakah al-
Arabiyyah al-Sa‟ûdiyyah. 1984.
„Ajjâj, al-Khatîb Muhammad. al-Sunnah Qabl al-Tadwîn. Kairo: Maktabah Wahbah.
1988.
Al-„Askarî, Abû Hilâl al-Hasan bin „Abdillâh. al-Furûq al-Lughawiyah. Beirût: Dâr
al-Kutub al-„Ilmiyyah. 2010.
Al-„Azîm Âbâdî, Muhammad Syams al-Haq. ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî
Dawûd. Madinah: Maktabah al-Salafiyah. 1968.
Al-Ba‟albakî, Rûhî. Al-Maurîd. Beirut: Dâr al-„Ilm li al-Malâyîn. 1995.
Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ‟îl. Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî. Beirût,
Dâr al-Fikr. 1995.
Al-Bustî, Abû Sulaimân al-Khattâbî. Gharîb al-Hadîts. Damaskus: Dâr al-Fikr. 1982.
Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Penerjemah
Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim. Bandung: Penerbit Mizan. 2000.
D. Hidayat. al-Balâghah li al-Jamî’ wa al-Syawâhid min Kalâm al-Badî’. Semarang:
Toha Putra. 2002.
Dhurorudin Mashad, dkk. Muslim di India. Jakarta: Grafika Indah. 2006.
Al-Fâdânî, Muhammad Yâsîn bin „Isá. al-Fawâid al-Janiyyah. Tp.: Dâr al-Mahjah al-
Baydâ‟. 2008.
Al-Ghâlî, Balqâsim. Min A’lâm al-Zaytûnah: Shaykh al-Jâmi’ al-A’zam Muhammad
al-Tâhir Ibn ‘Âshûr; Hayâtuhu wa Âthâruhu. Beirut: Dâr Ibn Hazm. 1996.
Al-Ghazâlî, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-
Hadîts. Kairo: Dâr al-Syurûq. 1989.
88
___________. al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts. Kairo:
Dâr al-Syurûq. 1989.
Al-Hâkim, Abû „Abdillâh. Mustadrak’alâ al-Sahîhain. Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah. 1990.
Al-Hâzimî, Muhammad bin Mûsá. al-I’tibâr fî Bayân al-Nâsikh wa al-Mansûkh min
al-Âthâr. Hims: Matba‟ah al-Andalûs. 1966.
Al-Hindî, al-Muttaqî. Kanz al-‘Ummâl fî Sunan al-Aqwâl wa al-Af’âl. Beirût:
Mu‟assasah al-Risâlah. 1981.
Al-Husainî, Ibn Hamzah. Al-Bayân wa al-Ta’rîf fî Asbâb Wurûd al-Hadîts al-Syarîf.
Halb al-Shashbâ‟: Dâr al-Hukûmah. 1329 H.
Ibn „Âsyûr, Muhammad al-Tâhir. Maqâsid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah. Yordania: Dâr
al-Nafâ‟is. 2000.
Ibn Faris, Ahmad. Mu’jam Maqâyîs al-Lughah. Beirût: Dâr al-Fikr. t.t.
Ibn Katsîr, Abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm. Beirût: Dâr al-Fikr. 2002.
Ibn Rajab. Fath al-Bârî. Saudi: Dâr Ibn al-Jawzî. 1422 H.
Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid. Beirût: Dâr al-Fikr. t.t.
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-
Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta:
Penerbit Bulan Bintang. 2009.
Al-Juzairî, „Abd al-Rahmân bin Muhammad. „Awad Al-Fiqh ‘alá al-Madzâhib al-
Arba’ah. al-Mansûrah: Dâr al-Ghadd al-Jadîd. 2005.
Kâfî, Abû Bakr. Manhaj al-Imâm al-Bukhârî fî Tashîh al-Ahâdîts wa Ta’lîlihâ min
Khilâl al-Jâmi’ al-Sahîh. Beirût: Dâr Ibn Hazm. 2000.
Al-Khatîb, Muhammad „Ajjâj. al-Sunnah qabla al-Tadwîn. Beirût: Dâr al-Fikr. 1997.
Al-Khair Âbâdî, Muhammad Abû al-Laits. ‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ.
Selangor: Dâr al-Syâkir. 2011.
Longman. Longman Dictionary of The English Language. Harlow: Essex. 1984.
Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah Jumhûriyyah Misr al-„Arabiyyah. Al-Mu’jam al-
Wasît. Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah. 2010.
89
Muslim bin al-Hajjâj. Sahîh Muslim. Beirût: Dâr al-Fikr. 2005.
Al-Naisâbûrî, al-Hâkim. Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain. Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah. 1990.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Tesaurus Alfabetis Bahasa
Indonesia. Bandung: Mizan. 2009.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1999.
Al-Qarâfî, Ahmad bin Idrîs. Anwâ’ al-Burûq fî Anwâ’ al-Furûq. Beirût: Dâr al-Kutub
al-„Ilmiyyah. 1998.
Al-Qardawî, Yûsuf. Kaifa Nata’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Kairo: Dâr al-
Shourouk. 2002.
Al-Qardawî, Yûsuf. Kaifa Nata’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Kairo: Dâr al-
Wafá. 1995.
Al-Qurtubî, Abû „Abdillâh. al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân. Beirût: Dâr al-Fikr. 1952.
Said, Edward W. Orientalisme. Penerjemah Asep Hikmat. Bandung: Penerbit
Pustaka. 2001.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits.
Jakarta: Bulan Bintang. 1994.
Al-Sibâ‟î, Mustafâ. Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî’ al-Islâmî. Riyâd: Dâr al-
Warrâq.t.t.
Al-Sijistanî, Sulaimân bin al-Asy‟ats. Sunan Abî Dâwûd. Beirût: Dâr al-Fikr. 2003.
Supriyadi. Ulama Pendiri, Penggerak, dan Intelektual NU dari Jombang. Jombang:
Pustaka Tebu Ireng. 2015.
Al-Suyûti, Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân bin Abî Bakr. Al-Luma’ fi Asbâb Wurûd al-
Hadîts. Beirut: Dâr al-Ma‟rifah. 2004.
___________. Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawâwî. Beirût: Dâr al-Fikr. 2002.
Al-Taimâwî, Abû „Âmir. Dirâsah fî al-Hadîts al-Maudû’î. Maktabah Syâmilah.
90
Al-„Ulwânî, Taha Jâbir. Lâ Ikrâha fî al-Dîn: Isykâliyyyat al-Riddah wa al-Murtaddîn
min Sadr al-Islâm ilâ al-Yaum. Kairo: Maktabah al-Shurûq al-Dawliyyah. 2006.
___________. Maqâsid al-Syarî’ah. Beirut: Dâr al-Hâdî. 2001.
Wensinck, A.J. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabawî. Leiden: Brill.
1943.
Ya‟qûb, „Alî Mustafâ. al-Ijtihâd wa al-Irhâbiyyah wa al-Lîbirâliyyah. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 2012.
___________. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008.
___________.Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 1999.
___________. al-Turuq al-Sahîhah fî Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah. Jakarta:
Maktabah Dâr al-Sunnah. 2016.
Al-ZamakhSyarî, Mahmûd bin „Umar. al-Fâiq fî Gharîb al-Hadîts. Beirût: Dâr al-
Fikr. 1993.
Al-Zuhaylî, Wahbah. Nazariyat al-Darûrah al-Syar’iyyah. Beirût: Mu‟asasat al-
Risâlah. 1979.
___________. al-Wajîz fî Usûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr. 1997.
Jurnal, Skripsi dan Tesis:
Amin, Muhammadiyah. Kontekstualisasi Pemahaman Hadis dan Rekonstruksi
Epistemologi Ikhtilâf dalam Fiqh al-Hadîts. Jurnal Islamica. Vol. 5. No. 2
(Maret 2011): h. 256-268.
Arifuddin. Teknik Interpretasi dalam Kajian Fikih Hadis. Al-Fikr. Vol. 16. No. 1
(2012): h. 2-3.
Dakir, Jawiah dan Faishal Ahmad Shah. A Contextual Approach in Understanding
The Prophet’s Hadith: An Analysis. Journal of Applied Sciences Research Vol.
8. no. 7 (2012): h. 3176-3184.
Al-Khayr Âbâdî, Muhammad Abû al-Laits. Al-Bu’dâni al-Zamânî wa al-Makânî fî
al-Sunnah wa al-Ta’âmul ma’a Humâ: Ta’sîl wa Tatbîq. Majalah al-Hadîts
UIA Malaysia. Vol. 5. No. 1 (Juni 2013): h. 7-28.
91
___________. Kitâb al-Sunnah wa Dauruhâ fî al-Fiqh al-Jadîd li al-Ustâz Jamâl al-
Bannâ’: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah. Majalah al-Hadîts UIA Malaysia. Vol.
4. No. 2 (Desember 2012): h. 39-76.
___________. Tawdhîf al-Sunnah al-Nabawiyyah fî Daw’al-Wâqi’ al-Mu’âsir.
Majalah al-Hadîts UIA Malaysia. Vol. 1. No. 2 (Juli 2011): h. 29-60.
___________. Turuq Jadîdah li Taqwiyat al-Ahâdîts al-Hasanah wa al-Da’îfah.
Majalah al-Hadîts UIA Malaysia. Vol. 2. No. 1 (Desember 2011): h. 9-34.
___________. al-Hadîts al-Imâmah min Quraysh fî Muwâjahat al-Tahaddiyât al-
Mu’âsirah. Majallah „Ilmiyyah Muhakkamah Nisf Sanawiyyah. Vol. 6. No. 1.
2013.
Majallat al-Wa‟y al-Islâmî. ‘Ulamâ wa A’lâm Katabû fî Majallat al-Wa’y al-Islâmî
al-Kuwaytiyah. Kuwait: Wizarât al-Auqâf wa al-Syu‟ûn al-Islâmiyyah Quttâ‟
al-Syu‟ûn al-Tsaqafiyyah. 2011.
Hartono, Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di Indonesia; Studi atas
Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Yaqub. Tesis Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah. Tidak Diterbitkan, 2009.
Saeed, Abdullah. Some Reflections On The Contextualist Approach to Ethico-Legal
Texts Of The Quran. Bulletin of School of Oriental and African Studies
(SOAS). Vol. 71. no. 2 (2008): h. 221-222.
Website:
„Amr al-Âbid, Profil Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, artikel diakses pada 25 Agustus
2015 dari: http://web.archive.org/web/20081108161652/www.geocities.com/-
safahat_chamiyeh/personalities/mohammad-ajaj-akhatib.htm.
Abû Salamah, Sîrah Dzâtiyah li al-Ustâdz al-Duktûr Muhammad Abû al-Laits al-
Khair Âbâdî, 2013, diunduh dari [email protected] pada 12 Februari
2016.
Amin, Muhammadiyah. Biografi Penulis. Artikel diakses pada 01 September 2014
dari http://madiyamin.blogspot.com/.
August, Georg. Curriculum Vitae Faisal Ahmad Shah. Artikel diakses pada 01
September 2014 dari http://www.uni-goettingen.de/en/dr-faisal-ahmad-shah-
university-of-malaya-malaysia/482943.html.
92
Curriculum Vitae of Muhammad Abû al-Laits, “Area of Specialisation”, diunduh dari
http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017.
Curriculum Vitae of Muhammad Abû al-Laits, “Research Project Completed”,
diunduh dari http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017.
Curriculum Vitae of Muhammad Abû al-Laits, “Research Project”, diunduh dari
http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017.
Curriculum Vitae of Muhammad Abû al-Laits, “Teaching Responsibilities” diunduh
dari http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017.
Dakir, Jawiah. Curriculum Vitae Profesor Jawiah Dakir. Artikel diakses pada 01
September 2014 dari: http://www.ukm.my/hadhari/sites/default/files/pdf/-
CV%20prof%20jawiah.pdf).
Dâr al-„Ulûm Diyûband, Artikel diakses pada 28 Juni 2017 dari http://www.darul-
uloom-deoband.com/arabic/
Dâr al-„Ulûm Diyûband, Artikel diakses pada 28 Juni 2017 dari http://www.daru-
luloom-deoband.com/arabic/magazine.
IIUM Repository (IREP), “Mohammed Abul Lais”, diunduh dari http://irep.iium.-
edu.my/view/creators_id/malais=40iium=2Eedu=2Emy_.html pada 15 Juli
2017.
International Institute of Islamic Thought, Profil International Institute of Islamic
Thought/About IIIT, artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari:
http://www.iiit.org/AboutUs/AboutIIIT-/tabid/66/Default.aspx.
Khairabad, Mau, artikel diakses pada 20 September 2016 dari
https://en.wikipedia.org/-wiki/Khairabad,_Mau.
Madhab „Ulamâ‟ Diyûband, Artikel diakses pada 28 Juni 2017 dari http://www.darul-
uloom-deoband.com/arabic/maslak.htm.
Mâzin bin Salâh Mutbiqânî, Biografi Mustafá al-Sibâ‟î, artikel diakses pada 25
Agustus 2015 dari: http://docs.ksu.edu.sa/DOC/Articles44/-Article440564.doc.
Muhammad al-Ghazâlî, “Curriculum Vitae Muhammad al-Ghazâlî," artikel diakses
pada 25 Agustus 2015 dari: http://kfip.org/shaikh-mohammad-al-ghazali-al-
saqqa/.
93
Muhammad Mustafa al-A‟zamî, “Biografi Muhammad Mustafa al-A‟zamî," artikel
diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://kfip.org/professor-mohamad-mustafa-
al-aazami/.
Yûsuf al-Qardâwî, “Curriculum Vitae Yûsuf „al-Qardâwî," artikel diakses pada 25
Agustus 2015 dari: http://qaradawi.net/new/seera/226-2014-01-26-18-28-
17/995-2011-09-04-14-39-33.
94
Lampiran Wawancara
رسالة طلب ادلقابلة البحث التحليلي عن طرق فهم احلديث النصية والسياقية
إىل األستاذ احملتم زلمد أبو الليث اخلريآبادي
يف اجلامعة اإلسالمية مبالزيا
السالم عليكم ورمحة اهلل وبركاتو يف االتصال مع كتابة مقالتنا، طالبة قسم التفسري واحلديث، كلية أصول الدين، اجلامعة اإلسالمية
دراسة يف أفكار زلمد : فهم احلديث النصي والسياقي"احلكومية شريف ىداية اهلل جباكرتا بعنوان نسأل مع االحتام إىل األستاذ زلمد أبو الليث لإلجابة على ىذه ادلقابلة اليت " أبو الليث اخلريآبادي
ىذه ادلقابلة ىي طريقة من طرق مجع البيانات األولية إلعداد . تتكون من عدد قليلة من األسئلةوإن شاء اهلل، سوف نستخدم . ولذلك فإننا نرجو اإلجابة على األسئلة ادلوجودة. األطروحة لدينا
نشكر لكم شكرا جزيال على التعاون وادلساعدة ادلقدمة ونسأل . اإلجابات ادلقدمة بشكل صحيح. العفو منكم إذا كان اخلطأ يف كالمنا، ذلك جملرد قصور استطاعتنا اللغوية
والسالم عليكم ورمحة اهلل وبركاتو
الباحثة الفقرية نور احلسنة
1110034000072
95
شهادة ادلقابلة مع االحتام،
: أنا ادلوقع ىذه الشهادةزلمد أبو الليث اخلريآبادي . د. أ: االسم
أستاذ احلديث يف قسم دراسات القرآن والسنة، كلية معارف الوحي والعلوم اإلنسانية باجلامعة اإلسالمية العادلية مبالزيا، أوضح أن الطالبة يف اجلامعة اإلسالمية احلكومية شريف ىداية اهلل جباكرتا،
إندونيسيا نور احلسنة : االسم
1110034000072: رقم تسجيل الطالبة التفسري واحلديث : القسم أصول الدين : الكلية
دراسة يف أفكار علي : فهم احلديث النصي والسياقي": بعنوانطلبت مين ادلقابلة إلعداد حبثها ". مصطفى يعقوب وزلمد أبو الليث اخلريآبادي
. وبالتايل كتبت ىذه الشهادة الستخدامها عند احلاجة
2016 سبتمرب 4مالزيا، زلمد أبو الليث اخلريآبادي . د .أ
96
توجيو ادلقابلة للمخرب مبالزيا ... التاريخ ... اليوم ... الساعة
بيانات ادلخرب
زلمد أبو الليث اخلريآبادي . د. أ: االسم أستاذ احلديث يف قسم دراسات القرآن والسنة، كلية معارف الوحي والعلوم اإلنسانية باجلامعة
. اإلسالمية العادلية مبالزيااألسئلة يف رلاالت شخصيتكم
كيف نسبكم؟ .1زلمد أبو الليث بن احلاج مشس الدين بن زلمد يعقوب بن زلمد حسن، : نسيب ىكذا
وبعده ال أعرف أمساء أجدادي . امسها ىاجرة خاتون بنت زلمد سعيد رلاىد: ووالديت .اآلخرين، ولكن أسريت تنتمي إىل أيب أيوب األنصاري رضي اهلل عنو
اليومية، الدراسة، البيئة االجتماعية حولكم واجلغرافية واالقتصادية )احك يل عن حالة صغركم؟ .2 (وغري ذلك
م، يف أسرة متوسطة ال غنية وال فقرية، يف قرية خري 1953أكتوبر سنة / 8ولدت يف تاريخ آباد، يف مديرية أعظم جراه آنذاك، ويف مديرية مئو ناتو هبنجن حاليا، يف شرق الوالية الشمالية
يف اذلند، (أتر برديش)وأنا كنت الولد األول لوالدي، توفيت والديت يف صغري، ويل أخ شقيق احلاج زلمد أبو اخلري،
. (أي والدنا واحد، وأمنا سلتلفتان)وأخت شقيقة، وأختان عالتيتان كيف احلالة السياسية االجتماعية يف اذلند حينئذ؟ .3
احلالة السياسية تؤخذ من أي كتاب يتحدث عن احلالة السياسية يف اذلند يف الفتة ما بني .والديت وحىت اآلن
:عن قصة دراستكم من ادلدرسة االبتدائية حىت اجلامعة .4، فأكملت فيها اإلعدادية، وادلتوسطة، والثانوية، "منبع العلوم"تعلمت يف مدرسة قرييت امسها
وبدأت دراسة اللغة العربية فيها، على أيدي الشيخ احلافظ رياض الدين الغالب فوري، والشيخ موالنا شكر اهلل النعماين الوليد فوري، وموالنا ىداية اهلل اخلري آبادي، والشيخ موالنا أنوار أمحد
97
األتراروي اخلري آبادي، وموالنا عزيز الرمحن البهريوي، والشيخ موالنا نذير أمحد اخلري آبادي، أتر )حىت قضيت فيها ثالث سنوات، مث سافرت إىل مراد آباد يف غرب الوالية الشمالية
يف اذلند، ودرست يف جامعة حياة العلوم مبراد آباد سنة واحدة، على أستاذهتا ادلمتازين (برديشادلرموقني، منهم الشيخ بشري أمحد ادلباركفوري، وأخذت اإلصالحات يف ترمجة العبارات األردية
إىل العربية من الشيخ ادلفيت حبيب الرمحن اخلريآبادي ادلفيت باجلامعة اإلسالمية دار العلوم بديوبند حاليا، وبعد سنة انتقلت إىل اجلامعة اإلسالمية دار العلوم بديوبند، وأكملت شهادة
: ىا، ودرست فيها ثالث سنوات على األساتذة، منهميفالفضيلة ، (صحيح البخاري اجمللد األول)شيخ احلديث الشيخ موالنا فخر الدين أمحد ادلرادآبادي
، والشيخ فخر (صحيح البخاري اجمللد الثاين)والشيخ زلمود احلسن الكنكوىي ادلفيت باجلامعة صحيح )، والشيخ شريف احلسن (سنن أيب داود)، والشيخ عبد األمحد (سنن التمذي)احلسن
شرح معاين اآلثار )، والشيخ إسالم احلق الكوباغنجي (مسلم، وادليبذي، وتفسري البيضاويمشائل التمذي، )، والشيخ ادلفين نظام الدين ادلئوي (للطحاوي، وسلم العلوم، ومال حسن
ىداية )، والشيخ معراج احلق (ىداية أولني للمرغيناين)، والشيخ موالنا زلمد ميان (وسراجي، والشيخ (مشكاة ادلصابيح وخنبة الفكر)، والشيخ موالنا نصري أمحد خان (أخريين للمرغيناين
والشيخ ،(شرح العقائد النسفية)، والشيخ خورشيد عامل (سنن النسائي)حسني أمحد البهاري .وغريىم، (اإلنشاء)والشيخ وحيد الزمان الكريانوي ، (جاللني)موالنا زلمد سامل قامسي
م بتقدير شلتاز ثاين، قمت بالتدريس يف مدرسة 1969وبعد خترجي من جامعة ديوبند عام الواقعة يف مديرية أعظم جراه، يف " مدرسة اإلصالح سرائمري"أىلية إسالمية يف اذلند امسها
، مث قدر اهلل يل أن أواصل دراسيت يف (م1976-1970)الوالية الشمالية، سبع سنوات اجلامعات العصرية، فقبلت يف اجلامعة اإلسالمية بادلدينة ادلنورة، فالتحقت بكلية احلديث
م بتقدير شلتاز 1980ىـ ادلوافق 1400الشريف، وأكملت ليسانس يف احلديث، وخترجت عام أول، مث قدر اهلل يل أن أواصل ادلاجستري يف احلديث يف جامعة أم القرى مبكة ادلكرمة، فقبلت
حتقيق "فيها وعملت ماجستري يف احلديث، السنة األوىل دراسة مواد، وأطروحة ادلاجستري ىي م بتقدير شلتاز أول، 1984، وخترجت عام "ودراسة كتاب الزىد لإلمام ىناد بن السري
وواصلت دراسة الدكتوراه يف احلديث يف جامعة القرى نفسها، وكانت أطروحة رسالة الدكتوراه
98
وخترجت عام " دراسة وحتقيق: اجلزء الثامن من بيان مشكل اآلثار لإلمام الطحاوي"ىي .م، واجتزت ىذه ادلرحلة األخرية أيضا بتقدير شلتاز، واحلمد هلل على ذلك1992
(وزوجتكم)مىت تزوجت؟ مبن؟ كيف نسبها؟ كم أبناؤكم وما أمساؤىم؟ أين ىم . عن أسرتكم .5 .؟ احك يل عنهم(من ماليزيا أم من اذلند)اآلن
سنة بالسيدة حسينة خاتون بنت احلاج زلمد إدريس ادلباركفورية، 16تزوجت مبكرا وعمري . سنة18 سنة، ورزقت بابن وامسو أبو طلحة مسعود وعمري آنذاك 14وعمرىا وقت الزواج
: على التتيب: لدي سبعة أوالد، وىم ( أبناء4 بنات، و3: ىو متزوج من مسلمة ىندية، وعنده سبعة أوالد)أبو طلحة مسعود (1
. جييد اللغتني األردية والعربية. ىم يف اذلند اآلن، ودراستو متوسطةمهن يف ( بنات، وابنان4: أوالد6ىي متزوجة من مسلم ىندي، وعندىا )سعدية عائشة (2
. جتيد اللغتني األردية والعربية. تعليمها متوسطة. اذلند اآلنىم كانوا يف ماليزيا، (متزوجة من مسلم ىندي، وعندىا بنت وابن فقط)رضية عائشة (3
. وتعرف قليال ادلاليزية واإلصلليزية. جتيد اللغتني األردية والعربية. ثانوية. ولكن اآلن يف اذلندىم (متزوج من مسلمة فلسطينية أمريكية، وعنده بنت، وابن واحد فقط)أبو سلمة محود (4
األردية، والعربية، : جييد ثالث لغات. ماجستري يف التجارة. يف أمريكا، أصبحوا أمريكيني. واإلصلليزية
ىم يف آيرلند، وأخذوا جنسية (متزوجة من واحد باكستاين، عندىا حاال ابنان فقط)سعاد (5جتيد . بكالوريوس يف بزنس مينجمنت من جامعة مونيش أستايل يف كواال دلبور. آيرلندية
. األردية، والعربية، واإلصلليزية: ثالث لغات، ىم يف أمريكا، وىم (متزوجة من مسلم فلسطيين أمريكي، وعندىا بنتان فقط)سهام (6
األردية، والعربية، : جتيد ثالث لغات. تعليمها ثانوية ناجحة. جتنسوا باجلنسية األمريكية. واإلصلليزية
. ىو مع زوجتو وابنو معي يف ماليزيا (متزوج من ىندية، وعنده حاال ابن واحد)عبد العزيز (7جييد . م20015تعليمو مهندس أيرو اسبيس من اجلامعة اإلسالمية العادلية ماليزيا عام
من اللغة ادلاليزية% 50ويعرف . األردية، والعربية، واإلصلليزية: ثالث لغات دلاذا ختتار ماليزيا دلكان تعليمكم؟ .6
99
بعد التخرج من جامعة أم القرى مبكة ادلكرمة حبث عن وظيفة، اختار اهلل ماليزيا مكانا .لرزقي، وخري اختيار كان وال يزال
األسئلة يف رلاالت األفكار
كيف رأيكم عن تأثر أصول الفقة يف قراءة احلديث السياقية؟ .1وليس . أنو ال بد لفهم احلديث من اإلدلام بكل العلوم الشرعية، خاصة أصول الفقو: يف رأيي
.نص شرعي فهم أو يـفهم منعزال بعيدا عن السياقوجب علينا أن نوجو إىل جهة الكعبة أم عينها؟ ىذه ادلسألة عندكم من . ما رأيكم عن القبلة .2
اجملاالت اليت قد يؤثر فيها - أم -("األوىل"نذكر بعد بـ)اجملاالت اليت مل يؤثر فيها البعدان ؟ ودلاذا؟ ىل شلكن دلن يسكن خارج احلرام مثلنا بواسطة خريطة ("الثانية"نذكر بعد بـ)البعدان
قوقل مثال، أن نوجو عني الكعبة؟للمصلي يف داخل احلرم ادلكي جيب التوجو إىل عني الكعبة، ولغريه التوجو إىل جهة الكعبة
ولكن إن كان يصلي يف القطار أو الطائرة فهنا جيب . ضروري مع زلاولة اإلصابة لعني القبلة. عليو التحري للقبلة، سواء أصاهبا أم مل يصبها
.ال تتغري بالزمان وادلكان إال بقدر ما ذكرتو من التفصيل (الثوابت)والقبلة عندي من األوىل وجب علينا أن ندفعها بقوت بلدنا كما يف نص - أم-ىل جيوز لنا أن ندفع زكاة الفطر بالنقود .3
احلديث؟ ىذه ادلسألة عندكم من األوىل أم الثانية؟ ودلاذا؟ .يف ادلسألة خالف، وعند األحناف جيوز، وأنا أحبذ ذلك، ومن مث ىذه ادلسألة من الثانية
شلكن تغريىا بتغري حالة زماننا )مبسألة رؤية اذلالل (القبلة ودفع الزكاة)ىل نستطيع أن نسويهما .4 ؟ ودلاذا؟(بتقدم التكنولوجيا/
رؤية اذلالل عندي من الثانية؛ ألن الرؤية كانت يف ذلك الزمن أوثق وسيلة لثبوت طلوع اذلالل، .أما اآلن فأوثق وسيلة ىي األرصاد اجلوية، فنستفيد هبا يف أوقاتنا وشهورنا
ىل جيوز لنا أن نتحول البقر أو الغنم بالنقود ألداء يوم النحر؟ ودلاذا؟ .5فال تتأدى األضحية بالنقود؛ ألن . ال تتغري بتغري الزمان وادلكان (الثوابت)األضحية من األوىل
.األضحية ليس ادلقصود فيها مساعدة الفقراء بل التأسي بسنة إبراىيم عليو السالم