PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN...

111
MEMAHAMI HADIS SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL: STUDI ATAS PEMIKIRAN MUH AMMAD ABÛ AL-LAITS Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh: Nurul Hasanah NIM. 1110034000072 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M

Transcript of PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN...

Page 1: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

MEMAHAMI HADIS SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL:

STUDI ATAS PEMIKIRAN MUHAMMAD ABÛ AL-LAITS

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:

Nurul Hasanah

NIM. 1110034000072

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017 M

Page 2: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi
Page 3: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi
Page 4: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi
Page 5: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

iv

PADANAN AKSARA ARAB-LATIN

Berdasarkan Pedoman Akademik

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Program Strata 1 2010/2011

1. Konsonan

Huruf Arab Huruf Indonesia Huruf Arab Huruf Indonesia

t ط tidak dilambangkan ا

z ظ b ب

(ain) ‘ ع t ت

gh غ ts ث

f ف j ج

q ق h ح

k ك kh خ

l ل d د

m م dz ذ

n ن r ر

w و z ز

h ـه s س

’ ء sy ش

y ي s ص

d ض

2. Vokal dan Diftong

a ا â ي î

u ى á au

i û ي ai

3. Kata Sandang

Bentuk Transliterasi Contoh

al-Hakîm احلكيم -al (qamariyah) ال

al-Rahmân الرمحن -al (syamsiyah) ال

4. Syaddah

Bentuk Transliterasi Contoh

uww وو aduww‘ ع د

aww وال syawwâl شع

ية iy (tengah) ي dzurrîyyah ذدر

ميو î (akhir) ي misrî اللم رص

يام ayy (tengah) ي ع ayyâm أ

و ayy (akhir) ي qusayy د ع

Selain dan ي repetisi sesuai huruf اف ش al-Kasysyâf الكع

Page 6: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

v

5. Ta’ Marbûtah

Bentuk Transliterasi Contoh

salâh صالة h (akhir) ة

salât al-‘asr صالة الع t (mudâf) ة

faj’atan فجأة tan (keterangan) ةة

6. Tanwin

Bentuk Transliterasi Contoh

(keterangan/isim maqsûr) an ، ma’nan, tab’an طبعةامعىنة

(isim manqûs) in اضض qâdin

7. Kapitalisasi

Dalam padanan aksara arab-latin, pedoman kapitalisasi sama dengan

ketentuan kapitalisasi yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)

bahasa Indonesia. Perlu diperhatikan pada penulisan kata yang memakai kata

sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital adalah awal kata tersebut,

bukan kata sandangnya. Contoh: Sufyân al-Tsaurî bukan Sufyân Al-Tsaurî

atau Sufyân Al-tsaurî.

Page 7: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

vi

ABSTRAK

Nurul Hasanah

Memahami Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual: Studi Atas Pemikiran

Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî

Kajian keislaman saat ini tengah mendapat posisi di hati masyarakat dunia.

Hal ini ditandai dengan pemahaman Islam yang semakin bervariasi. Salah satunya

adalah variasi pemahaman hadis. Beberapa kubu bergerak secara massif

membumikan pemahaman kelompoknya. Mereka beradu pengaruh melalui

berbagai media dan majelis keilmuan. Terdapat pihak yang beranggapan bahwa

hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi waktu turunnya.

Situasi dan kondisi tersebut telah berlalu, masa berlaku hadis telah habis sehingga

tidak dapat dijadikan pedoman untuk masa kini. Terdapat pula pihak yang

beranggapan bahwa hadis tidak tunduk kepada realita dan tidak fleksibel terhadap

situasi dan kondisi yang ada. Implikasi dari anggapan ini adalah hadis dan segala

spesifikasinya berlaku sepanjang masa.

Skripsi ini akan membahas pemikiran hadis Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî. Ia

adalah salah satu pakar hadis masa kini yang mempunyai perhatian khusus dalam

pengembangan metode pemahaman hadis. Penulisan skripsi menggunakan

pendekatan deskriptif-analisis dengan metode pustaka (library research) dan

wawancara jarak jauh via e-mail dan Whatsapp.

Hasilnya adalah Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî tergolong dalam kalangan

moderat. Melalui karya monumentalnya yang berjudul‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ

wa Mu’âsiruhâ, ia sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa ada

sebagian hadis bersifat statis dan ada pula yang bersifat dinamis atau adaptabel

dengan perubahan situasi dan kondisi. Dari asumsi tersebut, diperlukan adanya

penentuan batasan antara wilayah pembacaan tekstual dengan pembacaan

kontekstual. Oleh karena itu, ia berupaya untuk membuat formula pemahaman

hadis yang baik dan tepat. Cita-cita tersebut direalisasikan dengan cara

menghimpun literatur hadis yang telah ada, lalu menelitinya secara mendalam dan

seksama. Upayanya membuahkan hasil berupa sebuah formula yang ia namakan

‘Ilm al-Bu’dain: al-Zamânî wa al-Makânî, metode pemahaman hadis melalui

tinjauan dimensi ruang dan waktu. ‘Ilm al-Bu’dain berisi tentang ranah yang

dibaca tekstual (yang terpengaruh Bu’dain), ranah kontekstual (yang tidak

terpengaruh Bu’dain), indikator serta ketentuan-ketentuan untuk membaca kedua

ranah tersebut demi mendapatkan pemahaman yang tepat. ‘Ilm al-Bu’dain dapat

dijadikan salah satu metode alternatif memahami hadis dari metode-metode

pemilahan tekstual-kontekstual yang telah tercipta sebelumnya.

Kata kunci: ilmu matan hadis, pemahaman hadis, tekstual, kontekstual, ‘Ilm al-

Bu’dain, kontekstualisasi.

Page 8: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah adalah kalimat pertama yang penulis ucapkan, karena hanya

atas restu-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Salawat dan salam penulis

sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw., estafet terakhir Anbiya‟ dalam

menyempurnakan agama. Tak lupa pula salawat kepada keluarga, sahabat dan

para penerus yang telah mengimplementasikan dan menerjemahkan ajaran Islam

dari zaman ke zaman.

Skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah Allah tundukkan hati

mereka untuk mendukung kelancaran penulisannya. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih dengan setulus hati kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

memberikan nasihat berharga kepada seluruh mahasiswanya agar selalu

bermanfaat di manapun berada.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang memberikan dukungan penuh kepada

mahasiswanya untuk menyelesaikan studi mereka.

3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, Ketua Jurusan dan sekretaris beliau yaitu Mrs.

Banun Binaningrum, M.Pd, beserta seluruh jajarannya. Terima kasih telah

memberikan fasilitas dan selalu mengusahakan yang terbaik untuk mahasiswa

Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.

4. Dr. Bustamin, M.Si. selaku Pembimbing skripsi ini. Terima kasih atas

kesediaan beliau dalam meluangkan waktu untuk memberi saran dan kritik

hingga skripsi ini selesai.

Page 9: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

viii

5. Dosen di lingkungan Fakultas Ushuluddin yang telah ikhlas memberikan ilmu

dan membimbing mahasiswa Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, termasuk saya.

6. Guru-guru penulis di TK Kemala Bhayangkari XI, SDN Ciputat VII, MTsN

Tangerang II, Darul Falah Jepara dan IIHS Darus-Sunnah Jakarta. Bârakallâh

lahum fî hayâtihim.

7. Keluarga penulis, khususnya bapak Abdul Mukti dan ibu Dedeh Suhanah,

yang telaten mengajarkan banyak hal kepada penulis, mulai dari mengenalkan

hijaiyah, sharfiyyah sampai ilmu-ilmu yang berguna bagi kehidupan dan juga

telah sangat sabar menunggu skripsi ini selesai. Juga kepada Nadiyah, M.Pd.,

teteh teladan bagi adik-adiknya, dan Muhammad Wildan, adik yang sedang

belajar arti hidup dari pengalaman.

8. Saiful Arif, S.Ud., suami tercinta, yang telah menyadarkan dan selalu

memotivasi penulis untuk segera menuntaskan skripsi ini. Terima kasih untuk

selalu berada di sisi penulis di setiap kondisi.

9. Ummi Farhah, MA. yang telah menghubungkan penulis dengan Prof. Abû al-

Laits dan meluangkan waktu untuk memberi masukan di tengah kesibukannya

menempuh program doktoral Universitas Antar Bangsa Malaysia.

10. Teman-teman TH Angkatan 2010, terutama Hani Hilyati „Ubaidah, S.Th.I,

sekretaris pribadi Bu Banun yang telah membantu kelancaran segala keperluan

akademik dan penghuni grup Whatsapp “Luluslah Angkatan 2010” yang telah

saling menyemangati dan sukarela membantu perizinan agar semuanya bisa

selesai pada waktunya.

Page 10: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

ix

11. Seluruh pihak yang pernah berinteraksi dengan penulis, memberikan

pelajaran-pelajaran berharga, yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini belum begitu

sempurna. Tapi seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak. Seandainya

kesempurnaan yang dicari niscaya skripsi ini tidak akan pernah rampung. Penulis

hanya bisa menyajikan yang terbaik untuk menghasilkan skripsi ini. Semoga hasil

penulisan skripsi ini bermanfaat buat penulis dan masyarakat pada umumnya.

Penulis

Nurul Hasanah

Page 11: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..............................................................iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ................................................................................................... vii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Identifikasi, Batasan dan Perumusan Masalah .................................. 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 10

D. Telaah Pustaka ................................................................................ 11

E. Metodologi Penelitian ..................................................................... 13

F. Sistematika Pembahasan ................................................................. 14

BAB II PEMAHAMAN HADIS METODE TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

A. Memaknai Istilah Pemahaman Hadis .............................................. 16

B. Rekam Jejak Pemahaman Hadis Nabi: Melacak Akar Historis dan

Metodologis .................................................................................... 18

C. Pemilahan Tekstual-Kontekstual Sebagai Salah Satu Metode dalam

Memahami Hadis Nabi Muhammad Saw. ...................................... 42

BAB III MENGENAL LEBIH DEKAT SOSOK MUHAMMAD ABÛ AL-LAITS

A. Latar Belakang dan Pendidikan ....................................................... 48

Page 12: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

x

B. Kondisi Sosial dan Politik ............................................................... 52

C. Karya Muhammad Abû Al-Laits .................................................... 56

BAB IV PEMAHAMAN HADIS MUHAMMAD ABÛ AL-LAITS

A. Metode Tekstual-Kontekstual ......................................................... 59

B. Ilm al-Bu’dain: Sebuah Upaya dalam Memahami Tekstual-

Kontekstual ...................................................................................... 68

C. Klasifikasi Tekstual-Kontekstual dalam Ilm al-Bu’dain ................. 68

1) Ranah Hadis Yang Tidak Terpengaruh al-Bu’dain ................... 70

2) Ranah Hadis Yang Terpengaruh al-Bu’dain .............................. 73

D. Ketentuan-ketentuan dalam Mengaplikasikan Ilm al-Bu’dain ........ 74

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................... 85

B. Rekomendasi ................................................................................... 86

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 87

LAMPIRAN WAWANCARA ......................................................................... 94

Page 13: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berinteraksi dengan hadis merupakan suatu keniscayaan bagi setiap

muslim.1 Tidak ada alternatif lain kecuali menjadikannya sebagai sandaran,

petunjuk dan tuntunan untuk menghadapi segala fenomena kehidupan.2 Pada

generasi sahabat, penjelasan diperoleh dengan mudah melalui konfirmasi Nabi

Muhammad Saw. secara langsung untuk menyelesaikan problem yang ada.3

Berbeda dengan zaman setelahnya hingga saat ini. Wilayah cakupan Islam

semakin meluas. Tidak lagi hanya sebatas jazirah Arab, daerah awal

kemunculannya, tetapi mulai merambah ke negeri sekitarnya. Peradaban pun

semakin berkembang dan beragam, permasalahan yang muncul semakin

kompleks sebagai dampak persinggungan Islam dengan peradaban dunia luar

Arab. Perbedaan letak geografis, kebudayaan, tradisi dan kondisi sosial menjadi

problematika tersendiri bagi umat Islam untuk mengimplementasikan ajaran

yang terkandung dalam al-Masdar al-Tsânî ke dalam realitas kehidupan.

1 Pernyataan ini disarikan dari informasi yang ada dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Telah

diketahui secara umum bahwasanya Muhammad Saw. adalah utusan Allah Swt. yang terakhir, dan

nabi yang diutus kepada seluruh umat manusia. Beliau adalah tolok ukur ideal bagi setiap individu

muslim dalam seluruh aspek kehidupan yang kemudian dokumentasi ucapan, perbuatan, dan

ketetapannya -dikenal sebagai hadis- dijadikan the second rule of life yang berfungsi sebagai

penjelas al-Qur‟an (mubayyin al-Qur’ân), pemerinci hukum yang ada di dalamnya

(mufassil li ahkâmih) dan penjelas kandungan pokok al -Qur‟an (mufarri’ah ‘alâ

usûlih). Lihat: Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabl al-Tadwîn (Kairo: Maktabah

Wahbah, 1988), Cet. ke-II, h. 1. 2 Mustafâ al-Sibâ‟î, Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî’ al-Islâmî (Riyâḍ: Dâr al-

Warrâq, t.th), h. 12. Senada dengan wasiat Rasûlullâh Saw. redaksinya:

ك اا اا ن لن رنقا ن ر ا ل ن ااو : إني قد ت ركت فيكم شيئ ي لن تضلوا ب عدهاAbû „Abdillâh al-Ḥâkim, Mustadrak’alâ al-Sahîhain (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah,

1990), Bâb Hadîth „Abdillâh bin Numayr, Hadis no. 319 Jilid I, h. 172. 3 Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabl al-Tadwîn, h. 34.

1

Page 14: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

2

Perbedaan-perbedaan ini mendorong para ahli hadis untuk memikirkan ulang

otoritas hadis/sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam, apakah masih

relevan untuk saat ini atau tidak? Hal tersebut perlu dilakukan dan menjadi

penting untuk meminimalisasi perdebatan di kalangan pemerhatinya sekaligus

menutup celah bagi oposisi kaum muslim yang berupaya meruntuhkan keyakinan

mereka. Isu tersebut menimbulkan berbagai reaksi dari beragam fraksi. Di

antaranya, terdapat pihak yang beranggapan bahwa hadis hanyalah terapan al-

Qur‟an berdasarkan situasi dan kondisi waktu turunnya. Situasi dan kondisi

tersebut telah berlalu, masa berlaku hadis telah habis sehingga tidak dapat

dijadikan pedoman untuk masa kini. Terdapat pula pihak yang beranggapan

bahwa hadis tidak tunduk kepada realita dan tidak fleksibel terhadap situasi dan

kondisi yang ada. Implikasi dari anggapan ini adalah hadis dan segala

spesifikasinya berlaku sepanjang masa.4

Meminjam istilah Abdullah Saeed, paradigma dalam memahami hadis dapat

dipetakan menjadi tiga kategori, yakni: tekstualis, yang membela pembacaan

literal hadis dan meyakini pesan tersurat yang terkandung di dalamnya masih

murni dan tidak tunduk pada tuntutan zaman. Semi tekstualis, pada dasarnya

sama dengan tekstualis. Namun mereka mencoba berdamai dengan perubahan

melalui pemberian kelonggaran pada kasus yang dapat dimaklumi.

Kontekstualis, yakni mereka yang percaya bahwa ajaran tertentu dalam hadis

dapat diaplikasikan secara berbeda, tergantung situasi dan kondisi.5

4 Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ

(Selangor: Dâr al-Syâkir, 2011), Cet. ke-VII, h. 319. 5 Abdullah Saeed, Some Reflections On The Contextualist Approach to Ethico-Legal Texts

Of The Quran, Bulletin of School of Oriental and African Studies (SOAS), Vol. 71, no. 2 (2008):

h. 221-222.

Page 15: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

3

Sepakat dengan kategori terakhir, Muhammadiyah Amin6 menyimpulkan

bahwa dalam batas-batas tertentu, perkembangan kehidupan menuntut

penyesuaian dengan dan dari hadis sebagai sumber otoritatif ajaran Islam.

Penyesuaian itu dilakukan dengan kontekstualisasi pada wilayah pemaknaan.

Tujuannya adalah menemukan substansi ajaran, orisinalitas dan solusi yang

adaptif dengan problematika kehidupan. Formula yang menyatakan bahwa ajaran

Islam sâlih li kulli zamân wa makân menunjukkan fleksibilitas dan elastisitas

ajaran, bukan ortodoksi yang ketat dan kaku. Suatu pandangan yang lebih

menekankan pandangan ke depan (progressif), dan bukan ke belakang

(regresif).7

Pandangan senada disampaikan oleh Jawiah Dakir8 dan Faishal Ahmad

Shah9 yang mengatakan bahwa pendekatan kontekstual merupakan pilihan

terbaik dalam pemahaman akurat hadis. Hal ini disimpulkan dengan menimbang

peran penting disiplin ilmu Asbâb Wurûd al-Hadîts. Melalui Asbâb al-Wurûd,

konteks sosio-historis suatu kejadian atau insiden hadis dan faktor yang

6 Muhammadiyah Amin, lahir di Riau, pada 14 Agustus 1963, adalah Guru Besar dalam

matakuliah Hadis/Ilmu Hadis pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar. Setelah

meraih Doktor pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (21 Februari 2003), dipercaya menjadi

Asisten Direktur II Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar (2003-2007) dan sebelum masa

jabatan berakhir, dipilih menjadi Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo (2006-2010). Lihat:

Muhammadiyah Amin, “Biografi Penulis,” artikel diakses pada 01 September 2014 dari blog

pribadinya, http://madiyamin.blogspot.com/. 7 Muhammadiyah Amin, Kontekstualisasi Pemahaman Hadis dan Rekonstruksi

Epistemologi Ikhtilâf dalam Fiqh al-Hadîts, Jurnal Islamica, Vol. 5, No. 2, Maret 2011, h. 256. 8 Jawiah binti Dakir adalah wakil direktur Institute of Islam Hadhari, Fakultas Teologi dan

Filsafat, Universitas Kebangsaan Malaysia. Beliau menuntut ilmu di UKM sampai tingkat doktoral

dengan gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) pada 1991. Lihat: Jawiah Dakir, “Curriculum Vitae

Profesor Jawiah Dakir," artikel diakses pada 01 September 2014 dari: http://www.ukm.my-

/hadhari/sites/default/files/pdf/CV%20prof%20jawiah.pdf. 9 Faisal Ahmad Shah adalah dosen senior di Jurusan Studi Qur'an dan Hadis, Akademi

Studi Islam, Universitas Malaya, Malaysia. Ia memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Hadis

Universitas Islam Madinah, Arab Saudi (1996). Mencapai gelar master dalam studi Islam dari

Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dan berhasil menyelesaikan program Ph.D. di

Universitas Malaya (2007). Lihat: Georg August, “Curriculum Vitae Faisal Ahmad Shah,” artikel

diakses pada 01 September 2014 dari http://www.uni-goettingen.de/en/dr-faisal-ahmad-shah-

university-of-malaya-malaysia/482943.html.

Page 16: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

4

memotivasi sabda Nabi Muhammad Saw. dapat diketahui. Perintah dan larangan

beliau memiliki kemungkinan latar belakang yang berbeda dan tujuan tertentu

untuk sahabat atau situasi tertentu. Namun, masalah muncul karena tidak semua

hadis memiliki Asbâb al-Wurûd.10

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan

kontekstual sebagai solusi memahami hadis dengan baik dan juga untuk

menghindari kesalahpahaman yang menuduh hadis sebagai penghalang dari

setiap kemajuan peradaban manusia, bertentangan dengan hak asasi manusia,

bertentangan dengan realitas sosial, dengan menghakiminya sebagai sumber

perpecahan, kejumudan, dan kemunduran. Bahkan pada tataran praksis, hadis

Nabi seringkali menjadi legalitas formal terhadap penzaliman dan penindasan

suatu kalangan terhadap kalangan lain.11

Kontektualisasi juga dipercaya dapat

mengejewantahkan sumber ajaran Islam dalam rangka menciptakan masyarakat

yang baik dan bijak, bukan sekedar mengadopsi ajaran yang kaku.12

Secara historis, pemahaman hadis dengan menggunakan metode kontekstual

bukanlah suatu hal yang baru. Cikal bakal metode ini disinyalir telah ada sejak

zaman Nabi Muhammad Saw.13

Misalnya, ketika para sahabat berbeda pendapat

dalam menanggapi instruksi Nabi Muhammad Saw. untuk menunaikan salat

Ashar di perkampungan Banî Quraydhah.14

Kemudian pada zaman kekhalifahan,

10

Jawiah Dakir dan Faishal Ahmad Shah, A Contextual Approach in Understanding The

Prophet’s Hadith: An Analysis, Journal of Applied Sciences Research, Vol. 8, no. 7 (2012), h.

3176, artikel diakses pada 08 Agustus 2014 dari http://www.aensiweb.com/old/jasr/jasr/2012/-

3176-3184.pdf. 11

Arifuddin, Teknik Interpretasi dalam Kajian Fikih Hadis, Al-Fikr, Vol. 16, no. 1 (2012):

h. 2-3. 12

Abdullah Saeed, Some Reflection, h. 223. 13

Muhammad Syams al-Haq al-„Azîm Âbâdî, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd

(Madinah: Maktabah al-Salafiyah, 1968), Bâb Ijtihâd al-Ra‟y fî al-Qadâ‟, Jilid VIII, h. 91 14

Redaksi aslinya:

ثوا بن قريظةن ل ثصلوا صلة العص حتى ثأ

عزنت عليكم أ

Lihat: al-Hâkim al-Naisâbûrî, Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain (Beirut: Dâr al-Kutub al-

„Ilmiyyah, 1990), Hadis no. 4332, Jilid III, Cet. Pertama, h. 37. Sebagian sahabat memahami

Page 17: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

5

khususnya khalifah „Umar bin al-Khattâb, terdapat beberapa peraturan yang telah

tercantum ketentuannya dalam al-Qur‟an maupun hadis Nabi Muhammad Saw.

secara jelas, tetapi mengalami perubahan dalam pemahamannya dikarenakan

kondisi atau keadaan masyarakat yang berbeda. Salah satunya adalah aturan

zakat kepada kaum mu’allafat qulûbuhum.15

Aturan tersebut diperoleh dengan

sangat hati-hati dan penuh pertimbangan. Yakni dengan mengamalkan teks/nas

lain yang dianggap lebih sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu dan tetap

memedulikan nas utama sebagai acuan.16

Pada zaman klasik, ulama seperti al-Syâfi’î (w. 204 H), Ibn Qutaibah (w.

276 H), al-Tahâwî (w. 321 H), al-Bustî (w. 388 H), al-Hâzimî (w. 584 H), dan

tokoh lainnya pun telah mempergunakan disiplin ilmu Mukhtalif al-Hadîts,

Asbâb al-Wurûd, Gharîb al-Hadîts dan al-Nâsikh wa al-Mansûkh dalam rangka

memahami sabda Nabi Muhammad Saw. secara cermat dengan

mengikutsertakan konteks sosio-historis, di samping ilmu-ilmu yang terkait

dengan usûl al-fiqh yang meliputi kaidah kebahasaan, metode kompromi,

abrogasi, tarjîh dan yang lainnya.

Wacana kontekstualisasi hadis semacam itu juga diramaikan oleh ulama

hadis abad ke-20. Tercatat beberapa nama yang memiliki karya khusus mengulas

perintah beliau secara tekstual. Sebagian yang lain memahaminya secara kontekstual, yaitu para

sahabat yang memiliki asumsi bahwa yang dimaksud dalam instruksi tersebut adalah perintah

untuk mempercepat perjalanan di penghujung siang, bukan mengakhirkan salat ashar pada hari itu

maupun hari lainnya. Hal ini diperkuat dengan adanya salat ashar tidak bisa diakhirkan lalu

digabung pelaksanaannya dengan salat maghrib. Mereka pun salat ashar tetap pada waktunya.

Singkat cerita, kedua pendapat tersebut dibenarkan oleh Nabi Muhammad Saw. yang diungkapkan

dengan redaksi: “wa lam ya’ib al-Nabi sallá Allâh ‘alaih wa sallam ahadan min al-Farîqain.”

Lihat: Ibn Rajab, Fath al-Bârî (Saudi: Dâr Ibn al-Jawzî, 1422 H), Cet. Ke-II, Jilid VI, h. 49. 15

Abdullah Saeed, Some Reflection, h. 232. 16 Pembahasan mengenai perubahan kebijakan pada masa sahabat akan diulas di bab dua.

Page 18: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

6

wacana tersebut, misalnya Muhammad al-Ghazâlî (w. 1416H/1996 M)17

dalam

karyanya al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts,

menuangkan pendapatnya mengenai prinsip dasar yang harus dipenuhi ketika

hendak berinteraksi dengan sunnah, agar menghasilkan pemahaman yang sesuai

dengan ajaran agama, yakni: pengujian dengan al-Qur‟an, pengujian dengan

hadis (lain), pengujian dengan fakta historis dan pengujian dengan kebenaran

ilmiah.18

Begitu pula Yûsuf al-Qardawî19

dalam Kaifa Nata’âmal ma’a al-

Sunnah al-Nabawiyyah, di mana beliau menegaskan ulang posisi al-Sunnah

terhadap al-Qur‟an dengan menekankan pemaknaan literal didukung dengan

sarana pemaknaan kontekstual.20

Ulama Nusantara pun tidak terlepas dari hiruk pikuk kontekstualisasi hadis.

Beberapa tokoh terkemuka yang memiliki kapabilitas dalam dunia hadis

menuliskan karya eksklusif mengenai cara memahami hadis agar dapat

terkontekstualisasikan dengan baik. Di antaranya Tengku Muhammad Hasbi

17

Muhammad al-Ghazâlî al-Saqqá lahir di desa Nakhla Al-„Inab di distrik al-Buhayrah di

Mesir pada 1917. Dibesarkan dalam keluarga yang religius dan hafal Al-Qur'an ketika ia masih

kanak-kanak. Ia belajar di Al-Azhar, konsentrasi Dakwah dan Tarbiyah. Memperoleh gelar Master

di bidang Bahasa Arab. Dalam beberapa tahun, ia secara luas diakui sebagai salah satu pemikir

Islam kontemporer yang paling berpengaruh. Dia juga seorang pembela Islam dan lawan kuat

pihak ekstremis dalam dunia Islam. Lihat: Muhammad al-Ghazâlî, “Curriculum Vitae Muhammad

al-Ghazâlî," artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://kfip.org/shaikh-mohammad-al-

ghazali-al-saqqa/. 18

Muhammad al-Ghazâlî, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts

(Kairo: Dâr al-Syurûq, 1989), Cet. Ke-3, h. 15-16. 19

Yûsuf „Abdullâh al-Qardâwî. Lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Saft Turâb

pada 9 September 1926. Beliau hafal al-Qur'an semenjak usianya belum mencapai 10 tahun. Al-

Qardhawi menamatkan jenjang ibtida‟iyah dan tsanawiyah di madrasah Al-Azhâr. Kemudian

melanjutkan ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, lulus tahun 1953 dengan peringkat

pertama dari 180 mahasiswa. Tahun 1960 memperoleh gelar magister di bidang Ulûm al-Qur‟ân

wa al-Sunnah, Fakultas Ushuluddin. Tahun 1973 meraih gelar doktor dengan predikat Mumtaz

Summa Cumlaude di fakultas yang sama dengan judul disertasi "Zakat dan Dampaknya dalam

Penanggulangan Permasalahan Sosial." Lihat: Yûsuf al-Qardâwî, “Curriculum Vitae Yûsuf „al-

Qardâwî," artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://qaradawi.net/new/seera/226-2014-01-

26-18-28-17/995-2011-09-04-14-39-33. 20

Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Dâr al-

Syurûq, 2002), Cet. Ke-II, h. 111.

Page 19: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

7

Ash-Shiddieqy (w. 1975 M) dengan Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits-nya21

dan

Muhammad Syuhudi Ismail (w. 1996 M) dengan karyanya, Hadis Nabi yang

Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang

Universal, Temporal dan Lokal.22

Sedangkan pada abad ini diwakili oleh Ali

Mustafa Yaqub (w. 2016 M) dengan tulisannya, al-Turuq al-Ṣahîhah fî Fahm al-

Sunnah al-Nabawiyyah.23

Wacana kontekstualisasi hadis kontemporer juga diusung oleh Muhammad

Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, salah satu pakar hadis ternama yang berasal dari

India. Saat ini, Abû al-Laits menjabat sebagai Guru Besar Hadis di Fakultas Ilmu

Wahyu dan Ilmu Sosial, Universitas Islam Antarbangsa, Malaysia. Tidak heran

jika ia memiliki banyak karya tulis yang hampir semuanya bertajuk hadis, baik

ilmu dirayah maupun ilmu riwayah.

Dengan spesialisasinya di bidang hadis, ia mencoba untuk membuat suatu

karya yang bisa menjadi pedoman dalam mengontekstualisasikan hadis. Pola

interaksinya dengan hadis dapat dilihat dari buah pemikirannya yang berjudul

‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ. Pada bagian akhir buku tersebut,

pembaca akan disuguhi metode ‘Ilm al-Bu’dain: al-Zamânî wa al-Makânî,

sebuah metode pemahaman hadis melalui tinjauan dimensi ruang dan waktu.

21

Meminjam pemikiran Shâh Waliyullâh al-Dihlawî dalam kitabnya Hujjat Allâh al-

Bâlighah, Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan pemilahan posisi Nabi Muhammad Saw.; Risâlah

dan Ghair Risâlah, cara berinteraksi dengan hadis; pemahaman tekstual dan kontekstual, dan

otoritas hadis dalam pembinaan hukum Islam. Lihat: Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,

Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), Cet. Ke-VI, Jilid 2, h. 347-381. 22

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadits

tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,

2009), Cet. Ke-2, h. 33. 23

Dalam bukunya tersebut, Ali Mustafa menyimpulkan bahwa adakalanya hadis dipahami

secara tekstual, adakalanya dipahami secara kontekstual, dan adakalanya pula dapat dipahami

melalui keduanya sehingga diperbolehkan untuk mengaktualisasikan salah satunya. „Alî Mustafâ

Ya‟qûb, al-Turuq al-Sahîhah fî Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Jakarta: Maktabah Dâr al-

Sunnah, 2016), Cet. Ke-II, h. 21.

Page 20: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

8

Abû al-Laits mengklaim bahwa metodenya adalah sebuah kajian baru dalam

ilmu hadis, walaupun memiliki kaitan erat dengan Sabab Wurûd al-Hadîts.24

Materi tersebut bisa menjadi salah satu sarana mengaktualisasikan hadis dalam

konteks kekinian dengan cara menetapkan standar hadis yang tetap dibaca

tekstual dan hadis yang dapat dikontekstualisasikan. Abû al-Laits berupaya

mendialogkan kajian hadis dengan masanya agar tidak terjadi kemandekan

pemahaman yang bermuara pada pengingkaran hadis. Dalam pembahasannya,

terlihat jelas bahwa Abû al-Laits tetap meyakini otoritas sunnah dan berasumsi

bahwa terdapat hadis yang bersifat statis dan terdapat pula yang bersifat dinamis,

adaptabel dengan perubahan situasi dan kondisi.25

Penulis tertarik untuk menelusuri lebih lanjut gagasan pemahaman hadis

Abû al-Laits, khususnya standar beliau dalam menetapkan tekstual dan

kontekstual dalam memahami suatu hadis. Untuk itu, penulis ingin menuangkan

permasalahan ini dalam penelitian yang berjudul: “Memahami Hadis Secara

Tekstual dan Kontekstual: Studi Atas Pemikiran Muhammad Abû Al-Laits.”

B. Permasalahan: Identifikasi, Batasan dan Perumusan Masalah

Sebagaimana yang telah dijelaskan, penelitian ini hendak menganalisis

pemahaman hadis Abû al-Laits. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi

masalah, batasan masalah dan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis

mengidentifikasi beberapa masalah yang terkait dengan tema ini:

24

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 315. 25

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 319.

Page 21: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

9

Pertama, bagaimana sejarah perkembangan pemahaman hadis? Metode

apa saja yang ditawarkan para pakar hadis terdahulu untuk memahami hadis

yang baik agar mampu beradaptasi dengan zaman yang terus mengalami

perkembangan?

Kedua, seperti apa rumusan Abû al-Laits dalam memahami hadis,

khususnya cara mengontekstualisasikan hadis yang terangkum dalam ‘Ilm

al-Bu’dain?

Ketiga, ranah apa saja yang menurutnya harus dipahami secara

tekstual? Ranah apa pula yang menerima pemahaman secara kontekstual?

Dan apa indikator sebuah hadis dapat dikontekstualisasikan?

2. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah, skripsi ini dikosentrasikan pada pembahasan

rumusan pemahaman hadis tekstual-kontekstual dan standar klasifikasinya.

Tokoh kontemporer yang difokuskan dalam penelitian ini adalah Abû al-

Laits. Alasan pemilihan tokoh tersebut sebagai objek penelitian adalah

karena beliau merupakan tokoh penting yang meneruskan kajian hadis.

Karya-karya beliau sudah banyak beredar dan menjadi konsumsi publik

khususnya para akademisi. Standar Abû al-Laits tentang pemilahan tekstual

dan kontekstual dalam memahami hadis dapat dijadikan rujukan penting

agar tidak terjadi kesewenangan menafsirkan suatu hadis yang dapat

digunakan sebagai legalitas formal dalam kepentingan suatu kalangan

tertentu.

Page 22: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

10

3. Rumusan Masalah

Melalui pembatasan masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini

adalah bagaimana metode pemahaman hadis yang digunakan oleh Abû al-

Laits untuk menentukan kategori hadis yang dapat dan yang tidak dapat

dikontekstualisasikan?

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Fokus dari penelitian ini adalah pemikiran Abû al-Laits mengenai

pemahaman hadis tekstual dan kontekstual dalam karyanya ‘Ulûm al-Hadîts

Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ. Secara otomatis, penelitian ini juga akan

mengungkap pemikiran hadis beliau yang dapat dijadikan referensi dalam

memecahkan permasalahan dan meminimalisasi perbedaan dalam

memahami hadis. Penelitian ini juga menguatkan pendapat yang mengatakan

bahwa hadis/sunnah adaptabel dengan konteks kekinian, memiliki

fleksibilitas untuk merespon isu-isu yang ada pada zamannya.

2. Manfaat Penelitian

Secara akademis, diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna

bagi pemerhati kajian hadis. Secara praktis, diharapkan dapat menjelaskan

standar pemilahan hadis yang dipahami secara tektual dan kontekstual.

Sehingga hadis tidak dipahami secara ekstrim, yakni mengeneralisasi hadis

dengan pemahaman tekstual ataupun sebaliknya dan juga menghindari

kebuntuan pemahaman yang berujung pada pengingkaran hadis sebagai

sumber kedua ajaran Islam yang sâlih li kulli zamân wa makân.

Page 23: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

11

C. Telaah Pustaka

Dalam menelaah penelitian terdahulu yang relevan dengan tema penelitian

ini, penulis membagi ke dalam dua bagian; penelitian yang berkaitan dengan

tekstualisasi/kontekstualisasi hadis secara umum dan penelitian yang spesifik

mengkaji pemikiran Abû al-Laits.

Penelitian tentang kontekstualisasi hadis secara umum, di antaranya:

Pertama, A Contextual Approach in Understanding The Prophet‟s Hadith: An

Analysis karya Jawiah Dakir dan Faisal Ahmad Shah. Artikel ini diterbitkan

dalam bentuk jurnal oleh American-Eurasian Network for Scientific Information

(AENSI Publication, Amman, Yordania) dalam Journal of Applied Sciences

Volume 8 Nomor 7 Tahun 2012. Kesimpulan dari penelitian ini adalah

pendekatan kontekstual diperlukan untuk memastikan hadisnya akurat dan

dipraktikkan dengan benar. Pendekatan ini membutuhkan pengawasan yang ketat

terhadap situasi kondisi sosiokultural juga wilayah cakupan periwayatan hadis.

Penelitian ini juga membahas aspek tsawâbit dan mutaghayyirât untuk

mengetahui adaptabilitas hadis. Menurut mereka pula, kritik dan pendapat para

ahli terdahulu perlu diperhatikan dalam memahami hadis. Isi hadis harus

memperhatikan kepentingan masyarakat dan umat. Adanya perubahan hukum

pada penerapan hadis yang terjadi pada masa kini bukan berarti hadis tersebut

tidak dapat dipakai sama sekali. Sebaliknya, hadis itu dapat dipakai jika situasi

dan kondisi sekarang ini sama dengan saat zaman Nabi. Teks hadis mesti terlebih

dahulu dipahami secara tekstual dan literal jika ada masalah yang sedang

dialami.

Page 24: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

12

Kedua, Teknik Interpretasi dalam Kajian Fikih Hadis karya Arifuddin.

Diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri

(UIN) Alauddin Makassar dalam Jurnal Al-Fikr Volume 16 Nomor 1 Tahun

2012. Penelitiannya hanya membahas seputar definisi, urgensi dan ragam teknik

intrepretasi. Di antaranya yaitu interpretasi tekstual dan kontekstual.

Menurutnya, penerapan teknik-teknik tersebut akan memperkuat makna formal

sebuah hadis sekaligus memperjelas makna subtansinya, sehingga hadis-hadis

Nabi Muhammad Saw. tidak ada yang ketinggalan zaman atau tidak berlaku

selamanya lagi, baik berlaku secara universal ataupun lokal dan temporal.

Ketiga, Kontekstualisasi Pemahaman Ḥadîth dan Rekonstruksi Epistemologi

Ikhtilâf dalam Fiqh al-Hadîts karya Muhammadiyah Amin. Tulisan ini dimuat

dalam Jurnal Islamica Volume 5 Nomor 2 Tahun 2011 yang diterbitkan oleh

Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Hasil

penelitian beliau menunjukkan keniscayaan kontekstualisasi pemahaman sebagai

upaya rekonstruksi pemikiran terhadap hadis yang dimaksudkan sebagai upaya

menjadikan hadis tetap aktual sebagai solusi problematika kehidupan umat, dan

diharapkan dapat meminimalisasi jurang perdebatan pada wilayah pemaknaan.

Dari telaah pustaka yang penulis lakukan, penulis tidak menemukan karya

ilmiah yang secara khusus membahas pemikiran Abû al-Laits Kajian ini berbeda

dengan kajian yang telah ada. Tidak hanya mengungkap konsep tekstual-

kontekstual secara umum, melainkan lebih rinci serta menjelaskan motif dibalik

penetapan standar tersebut.

Page 25: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

13

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini termasuk ke dalam

kategori penelitian pustaka (library research). Penelitian yang dilakukan

dengan meninjau literatur (kepustakaan) ini dapat menggunakan sarana

berupa buku, jurnal, artikel maupun laporan hasil penelitian dari penelitian

terdahulu sebagai bahan untuk mendeskripsikan dan menganalisis kualitas

pemikiran tokoh. Kali ini, tokoh tersebut adalah Abû al-Laits.

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua

macam; data primer dan data sekunder. Data primer berupa seluruh karya

tulis Muhammad Abû al-Laits, baik yang membahas pemahaman hadis

secara khusus maupun tidak. Karya Muhammad Abû al-Laits seperti ‘Ulûm

al-Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ, Tauzîf al-Sunnah al-Nabawiyyah fî

Dau’al-Wâqi’ al-Mu’âsir, Turuq Jadîdah li taqwiyat al-Ahâdîts al-Hasanah

wa al-Da’îfah, al-Bu’dâni al-Zamânî wa al-Makânî fî al-Sunnah wa al-

Ta’âmul ma’a humâ: ta’sîl wa tatbîq, Kitâb al-Sunnah wa dauruhâ fî al-Fiqh

al-Jadîd li al-Ustâdz Jamâl al-Bannâ’: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah dan

yang lainnya. Data sekunder berupa seluruh literatur yang berkaitan dengan

wacana tekstualis-kontekstualis dalam memahami hadis, seperti Kaifa

Nata’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah karya Yûsuf al-Qardâwî,

Hujjatullâh al-Bâlighah karya Syâh Waliyullâh al-Dihlawî, Some Reflections

On The Contextualist Approach to Ethico-Legal Text of The Quran karya

Abdullah Saeed, al-Turuq al-Sahîhah fî Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah

karya Ali Mustafa Yaqub dan yang lainnya.

Page 26: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

14

Metode lain dalam pengumpulan data skripsi ini adalah wawancara tokoh

yang menjadi objek penelitian. Penulis mewawancara Muhammad Abû al-

Laits melalui perantara e-mail dan whatsapp. Alamat e-mail yang penulis

gunakan adalah e-mail pribadi penulis [email protected] tertuju ke

[email protected] dan nomor Whatsapp penulis 0813-8013-1310 ke

Whatsapp beliau yakni +6018-665-5840.

2. Pendekatan

Penelitian ini memakai metode deskriptif – analitis. Menggambarkan peta

pemikiran tokoh untuk memperoleh pemaparan informasi yang objektif

mengenai pemahaman hadisnya. Selanjutnya menelaah antar komponen

pemikiran untuk mendapatkan kesimpulan tentang klasifikasi tekstual-

kontekstual hadis.

3. Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi dalam

buku Pedoman Akademik Program Strata 1 2013/2014. Sedangkan alih aksara

merujuk pada Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Program Strata 1 2010/2011.

E. Sistematika Pembahasan

Untuk dapat menghantarkan kepada jawaban yang tepat atas permasalahan

yang telah disampaikan, mengharuskan penulis membuat desain sistematika

pembahasan yang terdiri dari empat bab dengan penjelasan sebagai berikut.

Bab pertama berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

identifikasi, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

Page 27: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

15

telaah pustaka, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini

berfungsi sebagai kerangka berpikir mengenai alur tulisan ini secara umum dan

batas-batas kajiannya.

Bab kedua berisi tentang wacana kontekstual dalam lintasan sejarah. Tujuan

penulisan bab kedua ini adalah untuk memberi gambaran mengenai sejarah

pemahaman hadis tersebut dari era klasik hingga era Muhammad Abû al-Laits

serta menjelaskan posisi beliau di tengah luasnya samudra pemahaman hadis

yang telah diarungi para pakar pendahulunya.

Bab ketiga memuat biografi Muhammad Abû al-Laits yang terdiri dari; latar

belakang intelektual, sosial, politik, karir dan karya-karyanya.

Bab keempat membahas pemikirannya tentang tektual-kontekstual. Bab ini

hendak menggambarkan metode yang dikembangkan olehnya dalam memahami

hadis Nabi Muhammad Saw.

Bab keempat berisi penutup yang mencakup kesimpulan dan rekomendasi.

Dalam bab ini akan disimpulkan hasil dari penelitian dan dilengkapi dengan

rekomendasi penulis untuk penelitian selanjutnya.

Page 28: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

16

BAB II

PEMAHAMAN HADIS METODE TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

A. Memaknai Istilah Pemahaman Hadis

Pemahaman berasal dari kata paham yang mempunyai banyak arti, yakni

pengertian, pendapat, pikiran, aliran, haluan, pandangan, mengerti benar (akan),

tahu benar (akan), pandai dan mengerti benar (tentang suatu hal).1 Paham

merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu al-Fahm. Tersusun dari huruf fa‟-

ha‟-mîm, kata al-Fahm mempunyai arti dasar mengetahui akan sesuatu („ilm al-

syai‟),2 kemudian membentuk definisi etimologis yang lebih rinci yakni

kecakapan dalam mengonsep sebuah makna dan kesiapan intelektual untuk

menarik kesimpulannya (husn tasawwur al-ma‟ná wa jaudat isti‟dâd al-dzihn li

al-istinbât).3 Untuk membedakannya dengan al-„ilm yang juga bermakna tahu-

mengetahui, kata al-fahm digunakan secara khusus ketika memperoleh informasi

secara audio dan digunakan pula dalam konteks mencerna sebuah isyarat.4

Diferensiasi kata tersebut digunakan dalam konteks mencerna suatu teks (baca:

literatur hadis) sangatlah tepat, karena teks adalah audio/rekaman tertulis sang

penulis yang sarat akan isyarat berupa susunan atau rangkaian huruf.5 Kata paham

1 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Cetakan ke-10, h. 714. 2 Ahmad bin Fâris, Mu‟jam Maqâyîs al-Lughah (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid IV, h. 457.

3 Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah Jumhûriyyah Misr al-„Arabiyyah, Al-Mu‟jam al-Wasît

(Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2010), h. 729. 4 Abû Hilâl al-Hasan bin „Abdillâh al-„Askarî, al-Furûq al-Lughawiyah (Beirût: Dâr al-

Kutub al-„Ilmiyyah, 2010), h. 101. 5 Huruf adalah tanda aksara dalam tata tulis yang merupakan anggota abjad yang

melambangkan bunyi bahasa. Disebut juga dengan aksara yang artinya sistem tanda grafis yang

digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. Kedua definisi

tersebut dikaitkan dengan kata tanda yang memiliki hubungan fungsional dengan kata isyarat,

yakni segala sesuatu yang dipakai sebagai tanda atau alamat. Lihat: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

h. 362, 18.

Page 29: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

17

jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maka menjadi understand dan know

yang artinya mendapatkan informasi tentang sesuatu atau seseorang, menjadi

familiar dan membentuk sebuah persepsi (have information about something or

somebody, be familiar, be sure).6

Dari penelusuran di atas, diketahui bahwa paham, al-fahm, maupun

understand digunakan untuk mendeskripsikan keadaan seseorang yang

mengetahui sesuatu dari informasi yang diperolehnya, baik hanya sekedar tahu

maupun mengetahui secara mendalam sehingga membentuk suatu cara pandang.

Sedangkan paham yang diberi imbuhan pe-an merujuk pada proses, cara,

perbuatan dalam rangka mencapai paham tersebut.7 Pemahaman hadis berarti

proses, cara, perbuatan memahami atau memahamkan perkataan, perbuatan, sifat

dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Memahami ajaran Nabi Muhammad Saw. yang telah menempuh perjalanan

waktu 14 abad bukanlah suatu hal yang mudah. Saat ini, informasi tentang beliau

hanya dapat diperoleh melalui pembacaan literatur, khususnya literatur hadis.

Sedangkan kendala yang ditemui dalam pembacaan teks atau literatur tidaklah

sedikit. Hal ini dikarenakan teks tidak dapat berbicara dan menjelaskan maksud

yang dikandungnya dengan sendirinya. Ada kalanya kendala tersebut berasal dari

pembaca maupun teks itu sendiri. Kapasitas keilmuan, wawasan dan kondisi

psikologis pembaca sangat memengaruhi hasil bacaan. Begitu pula dengan

ketelitian pencatatan ketika masa periwayatan maupun ketika penyalinan

manuskrip turut berperan dalam membentuk pemahaman pembaca.

6 Longman, Longman Dictionary of The English Language (Harlow: Essex,1984), h. 893,

1803. 7 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 714.

Page 30: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

18

B. Rekam Jejak Pemahaman Hadis Nabi: Melacak Akar Historis dan

Metodologis

Dari definisi di atas, diketahui bahwa pemahaman dimulai sejak pemerolehan

informasi. Dalam konteks hadis, informan utama adalah Nabi Muhammad Saw.

Dengan kata lain, pemahaman hadis sudah dimulai sejak Nabi Muhammad Saw.

menyampaikan informasi tentang ajaran Islam kepada para sahabat. Saat itulah

perjalanan panjang pemahaman hadis dimulai.

1. Pemahaman Hadis Pada Masa Nabi

Dalam proses transfer informasi, Nabi Muhammad Saw. sangat

memperhatikan keadaan audien. Beliau pun menyampaikan amanat yang

diembannya sesuai dengan kapasitas keilmuan mereka agar ajaran Islam

dapat dipahami dengan baik. Cara beliau memahamkan arab badui dengan

arab kota tentulah berbeda, menghadapi pemuda dan orang tua, laki-laki dan

perempuan tidaklah sama. Begitu pula ketika berinteraksi dengan suatu kaum

yang mempunyai dialek bahasa tersendiri. Beliau menyampaikan ajaran Islam

dengan bahasa mereka agar mudah dicerna. Tidak jarang pula nabi

Muhammad Saw. mengulang dan melambatkan perkataannya agar semua

audien dapat memahami dengan baik dan tidak ada informasi yang luput dari

pendengaran mereka.8 Terkadang beliau juga mengajukan pertanyaan untuk

menguji pengetahuan para sahabat dan mengasah intelektual mereka.9

Hasil dari proses pemahaman dapat terlihat dengan adanya pemaknaan,

pengutipan, klarifikasi dan konfirmasi. Pemaknaan sabda Nabi Muhammad

8 Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah qabla al-Tadwîn (Beirût: Dâr al-Fikr, 1997), h.

36-42. 9 Muhammad Abû Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn (al-Riyâd: al-Mamlakah al-

Arabiyyah al-Sa‟ûdiyyah, 1984), h. 52.

Page 31: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

19

Saw. tidak selalu berujung pada satu persepsi. Adakalanya para sahabat

berbeda pendapat. Hal tersebut lumrah terjadi karena perbedaan tingkat

pemahaman antar manusia. Selama masih dalam koridor syariat, perbedaan

pendapat dapat diterima. Misalnya, pada kasus tayammum ketika tidak

menemukan air. Ketika itu, terdapat dua orang sahabat yang bertayammum.

Keduanya menemukan air saat telah melaksanakan salat dan waktu salat

masih tersisa. Salah seorang dari mereka mengulang salat, sedangkan seorang

lainnya tidak. Akhirnya mereka mengadukan perihal tersebut kepada Nabi

Muhammad Saw. Beliau pun membenarkan keduanya dengan mengatakan

“ajza‟atka salâtaka (salatmu telah terpenuhi)” kepada sahabat yang tidak

mengulang salat dan “laka al-ajr marratain (kamu mendapat dua pahala).”10

Maupun pada kasus perbedaan pendapat para sahabat dalam menanggapi

instruksi Nabi Muhammad Saw. untuk menunaikan salat ashar di

perkampungan Banî Quraizah seperti yang telah dikemukakan pada bab

sebelumnya. Sudah menjadi konvensi sejak zaman nabi, para sahabat

berijtihad pada setiap kasus yang terjadi –terlebih jika tidak terdapat nas yang

jelas– menganalogikan antara suatu hukum dengan hukum yang lain dan

menguji teori untuk mencari solusi. Hal ini dipermudah dengan kehadiran

10

Redaksi lengkapnya:

خرج رجالن ف سفر ، فحضرت الصالة وليس معهما ماء ، ف ت يمما : عن أب سعيد الدري قال صعيدا طيبا فصليا ، ث وجدا الماء ف الوقت ، فأعاد أحدها الصالة والوضوء ول يعد اآلخر ، ث أت يا

. أصبت السنة ، وأجزأتك صالتك : رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم فذكرا ذلك لو ف قال للذي ل يعد .لك ااجر مرت : وقال للذي ت وضأ وأعاد

Sulaymân bin al-Ash‟ath al-Sijistanî, Sunan Abî Dâwûd (Beirût: Dâr al-Fikr, 2003), Bâb

[fî] al-Tayammum Yajid al-Mâ‟ ba‟da Mâ yusallî fî al-Waqt, Hadis No. 338, Jilid I, h.

94.

Page 32: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

20

Nabi Muhammad Saw. di tengah-tengah mereka sebagai pemegang

kebijakan.

2. Pemahaman Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabiin

Pasca Nabi Muhammad Saw. wafat, tampuk memahamkan hadis kepada

generasi setelahnya berada di pundak sahabat. Pada saat itu, wilayah

kekuasaan Islam telah menyebar luas. Penduduk wilayah taklukan pun

banyak yang memeluk Islam. Mereka ingin mempelajari dan mendalami

keyakinan yang baru mereka anut. Maka, pemerintah saat itu mengutus para

sahabat untuk memberikan arahan dan penjelasan tentang Islam ke setiap

daerah taklukan. Melalui penyebaran tersebut, terbentuklah halaqah-halaqah

pembelajaran al-Qur‟an dan hadis yang nantinya akan melahirkan tonggak

Islam selanjutnya.11

Dalam mengemban tugas yang diamanatkan, para utusan sangat berhati-

hati dalam proses transmisi hadis dan menekankan kepada segi

pemahamannya. Tindak nyata hal ini salah satunya adalah sikap Umar bin al-

Khattâb yang menghimbau kepada para sahabat agar tidak tenggelam dalam

periwayatan hadis saja. Beliau khawatir waktu mereka tersita untuk

mengurusi periwayatan dan tidak sempat untuk merenungi kandungannya.12

Begitu pula pada zaman tabiin. Keduanya (sahabat dan tabiin), seperti halnya

Nabi Muhammad Saw., sangat memperhatikan kondisi mukhâtab ketika

memahamkan dan meriwayatkan hadis. Mereka berdiskusi dengan muridnya

dan menjelaskan kandungan hadis memakai bahasa yang mudah dipahami.

Khawatir akan terjadinya kekacauan pemahaman jika tidak ada kesesuaian

11

Muhammad Abû Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, h. 100-108. 12

Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah qabla al-Tadwîn, h. 74.

Page 33: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

21

intelektual antara khâtib dengan mukhâtab.13

Mereka juga menjaga

penyebaran hadis agar tidak jatuh ke tangan pihak yang berpotensi

merusaknya. Wawasan seputar al-Qur‟an dan menghafal –minimal

sebagiannya- menjadi syarat untuk memulai kajian tentang hadis agar dapat

memahami ajaran Islam secara utuh. Selain itu, para sahabat dan tabiin

memberi variasi materi ajar. Misalnya, ketika membahas tentang rijâl al-

Isnâd terdapat selingan pembahasan tentang sîrah nabawiyyah, menyebutkan

pula asbâb wurûd al-hadîts dan munâsabat al-hadîts. Hal ini dilakukan dalam

rangka mengobarkan semangat murid-murid mereka untuk menjaga hadis dan

memahami kandungannya. Pemberian materi yang monoton cenderung

menimbulkan rasa bosan. Karena itu, Ibn Syihâb al-Zuhrî berkata: “ketika

suatu majlis berlangsung lama, maka setan ikut berperan di dalamnya” (idzâ

tâla al-majlis, kâna li al-shaytân fîhi nasîb).14

Praktek memahami hadis nabi pada zaman sahabat dan tabiin tidak hanya

mengutip apa yang telah Nabi Muhammad Saw. sabdakan, dan

mengartikannya secara letterlijk. Untuk menghasilkan analogi hukum dan

teori yang akurat sesuai dengan prinsip al-Qur‟an sâlih li kulli zamân wa

makân, para sahabat dan tabiin tidak lupa menyertakan perhatian pada kondisi

dan situasi pada saat itu. Ketika mereka memilih solusi yang berbeda dengan

nas secara zahir, mereka percaya bahwa nas tersebut difungsikan untuk

menangani kasus tertentu yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad Saw.

Oleh karena itu, ketika kondisi dan situasi zaman mengalami perubahan,

maka hukum pun bisa berubah. Pemahaman ini diilhami dari perbedaan

13

Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah qabla al-Tadwîn, h. 103. 14

Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah qabla al-Tadwîn, h. 104-105.

Page 34: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

22

hukum al-Qur‟an dalam menyikapi kondisi dan situasi yang berbeda.

Dilanjutkan dengan praktik pada zaman Nabi yang juga menerapkan hukum

sesuai dengan keadaan.15

Seperti ketika al-Qur‟an berbicara tentang puasa

Ramadan. Terdapat perbedaan aturan puasa antara orang yang berada dalam

kondisi sehat dengan orang yang sedang sakit, atau sedang dalam perjalanan.

Bagi orang yang sehat, ia wajib puasa pada waktu yang sudah ditentukan,

sedangkan mardá ataupun musâfir diperbolehkan tidak puasa dan

menggantinya di hari lain.16

Dalam ayat lain menyebutkan tentang

pembolehan tayammum sebagai ganti wudhu pada saat-saat tertentu.17

Pada masa sahabat, usaha memahami sabda Nabi Muhammad Saw.

dengan melibatkan konteks saat itu, salah satunya dapat dilihat dari kebijakan

yang diambil oleh Umar bin al-Khattâb mengenai peniadaan bagian zakat

untuk kaum muallafât qulûbuhum. Lantas, apakah kebijakan beliau

bertentangan dengan ketentuan Al-Qur‟an mengenai pembagian zakat dalam

surat al-Taubah ayat 60? Telah diketahui bahwasanya pendistribusian zakat

terbatas kepada delapan golongan. Salah satunya adalah muallafât

qulûbuhum.18

Beliau menerangkan bahwa Nabi Muhammad Saw.

memberikan zakat kepada mereka ketika keadaan Islam masih lemah.

Pemberian tersebut dimaksudkan untuk merengkuh mereka dalam pelukan

Islam. Pada zaman Umar, Islam sudah menjadi kuat dan berjaya, maka

15

Muhammad Abû al-Laits, al-Bu‟dâni al-Zamânî wa al-Makânî fî al-Sunnah wa al-

Ta‟âmul ma‟ahumâ Ta‟sîl wa Tatbîq, Majalah Al-Hadîts, Vol. 5, no. 1 (2013): h. 7-9. 16

QS. Al-Baqarah (2): 185. 17

QS. Al-Mâ‟idah (5): 6. 18

Yang dikategorikan sebagai muallafât qulûbuhum ada dua macam. Pertama, orang yang

diberi bagian zakat agar tertarik masuk Islam. Kedua, orang yang diberi bagian zakat agar

keislamannya kuat. Lihat: Abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm (Beirût: Dâr

al-Fikr, 2002), Jilid II, h. 860.

Page 35: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

23

pembagian zakat tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi.19

Jadi, kebijakan Umar

bin al-Khattâb tidaklah bertentangan dengan al-Qur‟an ataupun

menghapusnya. Hukum al-Qur‟an tetap abadi. Jika suatu waktu kondisi

masyarakat atau personal menuntut adanya perengkuhan (al-Ta‟lîf) kembali

dalam rangka pengukuhan Islam, maka ketentuan pemberian zakat kepada

muallafât qulûbuhum kembali diberlakukan sebagaimana pada zaman Nabi

Muhammad Saw.20

Contoh kebijakan lainnya seperti pembagian penaklukan

daerah hasil perang yang dialihkan menjadi tanah wakaf, pembatalan hukum

potong tangan pada saat krisis moneter dan yang lainnya.21

Demikian pula pada zaman tabiin. Mereka juga mencari jalan keluar (red:

pemahaman) yang terbaik untuk menghadapi problem pada masanya dengan

tetap berlandaskan al-Qur‟an dan hadis. Seperti fatwa tentang pembolehan

penetapan harga padahal Nabi Muhammad Saw. melarangnya walaupun

harga barang-barang pada saat itu sedang melonjak.22

Pelarangan ini

disebabkan kenaikan harga pada zaman Nabi merupakan gejala ekonomi yang

19

Muhammad Abû al-Laits, al-Bu‟dâni al-Zamânî wa al-Makânî fî al-Sunnah, h. 13. 20

Abû „Abdillâh al-Qurtubî, al-Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur‟ân (Beirût: Dâr al-Fikr, 1952), Jilid

VIII, h. 181. 21

Muhammad Abû al-Laits, al-Bu‟dâni al-Zamânî wa al-Makânî fî al-Sunnah, h. 14-15. 22

Hadis ini berstatus hasan. Memiliki beberapa redaksi yang diriwayatkan oleh (1) Abû

Dâwûd dan al-Baihâqî dari Abû Hurairah (2) Ahmad bin Hanbal, Abû Dâwûd, Al-Tirmidzî, Ibn

Mâjah, Ibn Hibbân, Al-Baihâqî dari jalur Anas bin Mâlik (3) Al-Tabrânî dalam al-Mu‟jam al-

Kabîr dari jalur Anas bin Mâlik (4) Ibn Mâjah dari Abû Sa‟îd al-Khudrî. Lihat: Al-Muttaqî al-

Hindî, Kanz al-„Ummâl fî Sunan al-Aqwâl wa al-Af‟âl (Beirût: Mu‟assasah al-Risâlah, 1981), Jilid

IV, al-Bâb al-Tsâlits fî al-Ihtikâr wa al-Tas‟îr, Hadis No. 9725-9728, h. 98. Redaksi dalam Sunan

al-Tirmidzî:

قال اللو سعر لناغال السعر على عهد رسول اللو صلى اللو عليو وسلم ف قالوا يا رسول »عن أنس قال إن اللو ىو المسعر القابض الباسط الرزاق وإن ارجو أن ألقى رب وليس أحد منكم يطلبن بظلمة ف

.«د و مال

Page 36: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

24

wajar, yakni hukum permintaan dan penawaran atau karena sedikit-

banyaknya barang yang diproduksi bukan karena permainan harga pasar.23

3. Pemahaman Hadis Pasca Tabiin

Pada perjalanan selanjutnya, pemahaman hadis nabi makin sistematis.

Terlebih setelah kodifikasi hadis secara besar-besaran pada masa Khalifah

Umar bin „Abd al-„Azîz.24

Jika pada masa Nabi Muhammad Saw.25

sampai

pertengahan abad kedua pembukuan hadis masih sangat sederhana,26

pada

masa setelahnya mulai mengenal metode tabwîb (klasifikasi hadis berdasar

topik atau bab-nya).27

Pemahaman hadis dapat diketahui melalui judul bab

dan hadis-hadis yang termuat di dalamnya. Hal ini dikarenakan pemberian

23

Muhammad Abû al-Laits, al-Bu‟dâni al-Zamanî wa al-Makanî fî al-Sunnah, h. 15-16. 24

Kodifikasi hadis Nabi Muhammad Saw. dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin

„Abd al-„Azîz akan hilangnya hadis dari peredaran disebabkan ekspansi wilayah Islam, pemalsuan

hadis yang makin merebak dan banyaknya sahabat yang gugur dalam peperangan. Lihat:

Muhammad Abû Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, h. 244. 25

Kesalahpahaman bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah Ibn Syihâb al-

Zuhrî (w. 123 H) telah diluruskan oleh pakar-pakar ilmu hadis kontemporer seperti „Ajjâj al-

Khatîb dan Muhammad Mustafá al-A‟zamî. Menurut penelitian mutakhir, terbukti bahwa tidak

kurang dari 52 sahabat Nabi Muhammad Saw. memiliki tulisan-tulisan hadis yang mereka lakukan

pada masa Nabi Muhammad Saw. „Ajjâj al-Khatîb bahkan menyatakan bahwa orang yang pertama

kali menulis hadis di hadapan Nabi Muhammad Saw. dan atas restu beliau adalah „Abdullâh bin

„Amr bin al-„Âs (w. 65 H) di mana tulisannya kemudian dibukukan dengan judul al-Sahîfah al-

Sahîhah. Karenanya, al-Zuhrî bukanlah orang yang pertama kali menulis hadis, melainkan orang

yang pertama kali mengumpulkan tulisan-tulisan hadis. Lihat: Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 75. 26

Kesederhanaan ini tampak dalam bentuk dan metodenya. Umumnya, kitab-kitab hadis

yang ditulis pada masa itu tidak diberi nama tertentu oleh penulisnya, kemudian dipopulerkan

dengan nama penulis tersebut. Misalnya, Sahîfah Amîr al-Mu‟minîn „Alî bin Abî Tâlib dan

Sahîfah Jâbir bin „Abdillâh al-Ansârî. Ada pula yang diberi nama khusus oleh penulisnya, seperti

al-Sahîfah al-Sadîqah karya „Abdullâh bin „Amr bin al-„Âs dan al-Sahîfah al-Sahîhah karya

Hammâm bin Munabbih (w. 131 H). Namun penamaan kitab seperti itu tidak mendominasi

penulisan hadis pada masa itu. Kesederhanaan juga tampak pada metode pembukuannya dimana

matan hadis disusun berdasarkan guru yang meriwayatkan hadis kepada penulis kitab. Seperti

kitab hadis tulisan Suhail bin Abî Sâlih (w. 138 H) dimana ia hanya menyebutkan satu jalur sanad,

yaitu Abî Sâlih - Abû Hurairah - Nabi Muhammad Saw. Lihat: Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis,

h. 75-76. 27 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 76.

Page 37: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

25

nama bab dan klasifikasi hadis tersebut merupakan hasil pemahaman penulis

terhadap kandungan atau matan hadis.28

Disusul dengan adanya kitab-kitab yang membahas pemahaman hadis

secara sistematis-tematis dengan berbagai metode, meliputi metode

kebahasaan yang direpresentasikan dalam „ilm gharîb al-hadîts, kausalitas

hadis dalam asbâb al-wurûd, metode penyelesaian kontradiksi yang terjadi

seputar dunia hadis dalam mukhtalif al-hadîts, musykil al-hadîts dan „ilm

naskh al-hadîts. Kebutuhan akan pendefinisian ilmu –khususnya hadis–

secara sistematis sudah mendesak seiring konflik yang mengguncang

masyarakat dan kondisi politik yang semakin rumit. Dibutuhkan penyangga

kuat atas pandangan dan cara meruntuhkan argumen yang diajukan para

penentang.29

Pada awalnya, kitab-kitab ini mengulas masing-masing metode

secara independen.30

Hadis yang terkait dengan tema tertentu dihimpun dalam

satu kitab, diteliti dengan seksama dan dikaji secara mendalam. Metode yang

28

Ali Mustafa Yaqub, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1999), h. 10. 29

Periode kekacauan dan konflik mengenai sumber-sumber hukum Islam banyak terlihat di

dalam tulisan-tulisan polemik al-Syâfi‟î. Dalam literatur polemik, terdapat tiga kelompok yang

diidentifikasi terlibat dalam perdebatan: pragmatis hukum (ahl al-ra‟y) yang bersifat eklektik

dalam pendekatan sumber hukum, teolog spekulatif (ahl al-kalâm) yang menolak kewenangan

hadis dan pendukung kuat hadis (ahl al-hadîts). Pada kenyataannya, ahl al-ra‟y dan ahl al-kalâm

tidak menolak kewenangan Nabi Muhammad Saw. dalam teori. Yang mereka pertentangkan

adalah apakah warisan Nabi Muhammad Saw. selalu digambarkan dengan baik melalui preseden

hadis. Ahl al-ra‟y berpendapat, hadis kadang-kadang harus tunduk kepada prinsip yang lebih

menggambarkan semangat Nabi Saw; di antara prinsip ini mereka memasukkan praktik yang

terus-menerus dilakukan umat dan prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata lain, meskipun sepakat

dengan kelompok tradisionalis mengenai pentingnya sunnah, ahl al-ra‟y berbeda pendapat dalam

hal kandungan dan makna sebenarnya. Demikian pula ahl al-kalâm, mereka tidak menganggap

bahwa contoh Rasulullah Saw. tidaklah otoritatif. Ahl al-kalâm sangat hirau pada keandalan

reportase hadis, mereka tidak menentang kewenangan Rasulullah Saw., tidak pula

mempertanyakan kewajiban umat untuk muslim untuk menaatinya. Al-Syâfi‟î segera

memanfaatkan pengakuan ini. Inti argumen al-Syâfi‟î terdapat proposisi sederhana: setelah

memerintahkan orang beriman untuk mematuhi Nabi Muhammad Saw., Allah Swt. tentu

memberikan sarana untuk melakukannya. Akibatnya, ahl al-kalâm tidak bisa menahan kekuatan

dan logika argumen kaum tradisionis. Lihat: Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam

Islam Modern. Penerjemah Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim (Bandung: Penerbit Mizan,

2000), h. 26-36. 30

Ali Mustafa Yaqub, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, h. 22.

Page 38: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

26

diterapkan dalam penelitian tersebut terus dikembangkan, dilengkapi dengan

hasil temuan terkini dan informasi yang up to date.31

Pada masa berikutnya, disusunlah kitab kompilasi ilmu hadis yang

mengintegrasikan berbagai cabang ilmu hadis ke dalam sebuah karya,

meliputi ilmu sanad dan matan. Materi kajian bersifat teori-kritis, merangkum

penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar hadis sebelumnya dan

berusaha memberikan hierarki terbaik dari tiap materinya. Al-Râmahurmuzî

(w. 360 H) melalui karyanya al-Muhaddits al-Fâsil baina al-Râwî wa al-Wâ‟î

dianggap sebagai pionir dalam hal ini.32

Disusul oleh al-Hâkim al-Naisâbûrî

(w. 405 H) dengan Ma‟rifat „Ulûm al-Hadîts, Ibn al-Salâh (w. 643 H) dengan

„Ulûm al-Hadîts atau yang lebih dikenal dengan Muqaddimah Ibn al-Salâh,

Ibn Katsîr (w. 774 H) dengan al-Bâ‟its al-Hatsîts, dan yang lainnya. Pada

masa berikutnya, kompilasi ini digunakan oleh ulama salafî sebagai sarana

kajian kritis sistem klasik. Penekanan mereka adalah pada kebutuhan akan

penerapan lebih keras kriteria tradisional. Pendekatan ini tergambarkan dalam

31

Sebagai contoh, kitab Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh karya al-Atsram (w. 261 H).

Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hâni‟ al-Tâ‟î. Disebut juga dengan nama al-Kalbî dan

Abû Bakr al-Atsram al-Baghdâdî al-Iskâfî. al-Athram merupakan murid Ahmad bin Hanbal yang

berprestasi. Mumpuni dalam bidang fiqh dan hadis. Kitabnya terhitung sebagai kitab pendahulu

yang berisikan tentang „Ilm Naskh al-Hadîts. Metode yang digunakan masih terbilang sederhana.

Al-Atsram menyelesaikan hadis-hadis yang terlihat bertentangan secara zahir dengan menyebutkan

suatu riwayat dan riwayat lainnya yang masih dalam satu tema, lalu menyebutkan riwayat-riwayat

pembanding yang menampakkan pertentangan matan dengan kelompok hadis sebelumnya.

Diakhiri dengan penjelasan beliau dalam menangani matan hadis yang bertentangan tersebut.

Berbeda dengan kitab al-I‟tibâr fî al-Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Âtsâr karya al-Hâzimî (w. 584

H). Sebelum memulai pembahasan tentang penyelesaian hadis-hadis yang terlihat bertentangan,

al-Hâzimî terlebih dahulu menyuguhkan urgensi naskh, definisi naskh beserta dalil-dalil yang

menyertainya, syarat-syarat, cara mengidentifikasi hadis yang mengalami naskh, cara pentarjihan

sebagai solusi ketika tidak dapat ditempuh dengan metode kompromi maupun naskh, cara

membedakan antara naskh dengan takhsîs, dalil naskh dalam hadis dan permasalahan seputar

naskh. Demikianlah metode naskh yang mengalami perkembangan dan pemapanan layaknya

sebuah penelitian pada umumnya. Lihat: Abû Bakr al-Atsram, Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuh

(Riyâd: t.p., 1999), h. 7, 31-33, Muhammad bin Mûsá al-Hâzimî, al-I‟tibâr fî Bayân al-Nâsikh wa

al-Mansûkh min al-Âtsâr (Hims: Matba‟ah al-Andalûs, 1966), cet. Ke-1, h. 4-30. 32

Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân bin Abî Bakr al-Suyûtî, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-

Nawâwî (Beirût: Dâr al-Fikr, 2002), Jilid I, h. 18.

Page 39: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

27

salah satu karya penting salafî mengenai hadis, yaitu kitab Qawâ‟id al-

Tahdîts min Funûn Mustalâh al-Hadîts karangan Muhammad Jamâl al-Dîn

al-Qâsimî (w. 1332 H). Meskipun tidak menawarkan pendekatan baru

terhadap kritisisme hadis sedemikian rupa yang menekankan kebutuhan untuk

memperbaharui penerapan sistem klasik, al-Qâsimî berupaya menekankan

kedalaman dan ruang gerak di dalam tradisi studi hadis. Dia menjelaskan

bahwa menentukan hadis autentik sangat sulit dan membutuhkan lebih dari

sekadar menerima begitu saja kesimpulan ulama hadis terdahulu.33

Dilanjutkan dengan pensyarahan kitab hadis dengan kajian yang bersifat

praktis. Pemahaman terlihat dari cara penulisnya menjelaskan hadis. Seperti

halnya syarah al-Qur‟an (tafsir), syarah hadis dapat mengadopsi metode

tahlîlî,34

ijmâlî,35

muqâran36

dan mawdu‟î37

sesuai dengan tujuan dan sasaran

33

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 49. 34

Contoh kitab syarah yang menggunakan metode tahlîlî adalah „Umdat al-Qârî Syarh

Sahîh al-Bukhârî karya Badr al-Dîn al-„Aynî al-Hanafî dan Fath al-Bârî karya Ibn Hajar al-

„Asqalânî. Aspek yang diuraikan dalam metode syarah tahlîlî dapat dilihat melalui definisi

terminologis metode tersebut dalam Arsyîf Multaqá Ahl al-Hadîts pada 07 Ramadan 1429 H / 07

September 2008 M, al-Qism al-Jawâmi‟ wa al-Majallât wa Nahwuhâ, Maktabah Syâmilah.

و وب يان درجتو ق ب و : اادي التحليل ز على حدي واحد بت ر وجع االفاظ الت روي . وردا الت ركي با قدر الطاقة واإلمكان ان ها تساعد على فقهو وخصوصا التأليف ب الم ت عارضات ،وب يان معان

.من دور ف إب راز المع وت وضيحو المفردات واام والبالغة واإلعراا لما لذلك

“[Pemahaman] hadis tahlîlî adalah metode yang memfokuskan pembahasan pada satu

hadis kemudian menguraikan takhrîj, menjelaskan kualitas dari segi diterima dan

ditolaknya suatu hadis, sebisa mungkin menghimpun redaksi yang ada dalam riwayat –

karena dapat membantu penggalian hukum fiqh, terutama dapat menyelesaikan hadis

yang [tampak] bertentangan- menjelaskan makna kosakata, kalimat, balâghah, i‟râb dan

segala yang dapat „menelanjangi‟ makna [hadis tersebut].”

Mengutip pula perkataan Abû Bakr Kâfî dalam Muqaddimah kitab Manhaj al-Imâm al-Bukhârî.

Lihat: Abû Bakr Kâfî, Manhaj al-Imâm al-Bukhârî fî Tashîh al-Ahâdîts wa Ta‟lîlihâ min Khilâl

al-Jâmi‟ al-Sahîh (Beirût: Dâr Ibn Hazm, 2000), h. 10.

هج التحليل المقارن، هج الذي سلكتو ف ىذا البح ىو المن وذلك باستقراء صحيح الب اري والمن ها من ق واعد ، ث مقارنة ىذه النتائج بواقف أئمة وأخذ اللواىد واام لة و ليلها ست راج ما يكمن في

…معاصرين للب اري“Metode yang saya tempuh dalam pembahasan [kitab] ini adalah metode tahlîlî muqâran

yaitu dengan meneliti kitab Ṣahîh al-Bukhârî, mencantumkan shawâhid dan hadis yang

Page 40: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

28

semisal serta meneliti shawâhid tersebut untuk menggali kaidah hukum yang mungkin

ada di dalamnya …” 35

Metode syarah hadis ijmâlî adalah metode yang menjelaskan hadis secara ringkas atau

globalnya saja, ditujukan untuk mempermudah pemahaman pembaca. Penulis mencangkok

pengertian tersebut dari pengertian metode tafsir ijmâlî berikut ini,

ر اإلجال ي عمد المفسر إل ب يان المع العا لآلية دون الت عرض إل الت فاصي كاإلعراا أو : الت فسي الل ة أو البالغة ف ي راع التسهي على القار ب عطائو العصارة جاعال الت فصي ل ه

“Makna tafsir ijmâlî adalah seorang mufassir berpedoman pada penjelasan makna umum

sebuah ayat tanpa menjelaskan perinciannya seperti i‟râb, linguistik atau stilistika untuk

mempermudah pembaca dengan memberikan intisari yang digunakan sebagai pemerinci

bagian teks lainnya.”

Lihat: Arsyîf Multaqá Ahl al-Hadîts pada 07 Ramadan 1429H, Maktabah Syâmilah. 36

Untuk deskrispsi metode muqâran, penulis mengutip lanjutan perkataan Abû Bakr Kâfî

dalam Muqaddimah kitab Manhaj al-Imâm al-Bukhârî:

هج التحليل المقارن، وذلك باستقراء صحيح الب اري هج الذي سلكتو ف ىذا البح ىو المن والمن ها من ق واعد، ث مقارنة ىذه النتائج بواقف أئمة وأخذ اللواىد واام لة و ليلها ست راج ما يكمن في

هق معاصرين للب اري كاإلما مسلم والتمذي وأب حات وأب زرعة، أو من جاء ب عده كالدارقطن والب ي .وغ ها

“… kemudian membandingkan kesimpulan penelitian tersebut dengan pendapat ulama

yang semasa dengan al-Bukhârî seperti al-Imâm Muslim, al-Tirmidzî, Abû Hâtim, Abû

Zur‟ah atau ulama yang datang setelahnya seperti al-Dâruquṭnî, al-Bayhaqî dan yang

lainnya.”

Dapat ditarik kesimpulan bahwa metode muqâran adalah metode yang memfokuskan

kajiannya pada perbandingan pendapat antar ulama hadis mengenai suatu hadis setelah diadakan

penelitian terlebih dahulu. 37

Metode ini adalah pengembangan dari metode tabwîb. Tidak terbatas pada seputar

kontroversialitas hadis. Dapat memuat tema apa saja yang dikehendaki penulisnya. Deskripsi

metode mawdû‟î dapat dilihat melalui definisi yang dikemukakan oleh al-Taymâwî. Lihat: Abû

„Âmir al-Taymâwî, Dirâsah fî al-Hadîth al-Maudû‟î, Maktabah Shâmilah.

لها ومقارن ت ها، للوق وف علم ي بح ف ااحادي النبوية المقب ولة، المتحدة موضوعا، من حي لي .على مقاصدىا

“Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis nabawi yang memenuhi kriteria diterimanya

suatu hadis dengan dibatasi tema [tertentu] dari segi analisa dan komparasinya untuk

mencapai maksud yang dituju oleh hadis tersebut.”

Terdapat pula definisi pensyarahan hadis metode maudû‟î yang dirumuskan dalam Arsip Multaqá

Ahl al-Hadîth ke-II pada 07 September 2008:

فا جزئيا مع الت ركيز :اادي الموضوع جع ااحادي المت علقة بوضوع واحد مع ماولة تصنيفها تصني .على التأليف ب المت عارضات إن وجدت تارة باامع وتارة بالنس وتارة بالت رجيح وتارة بالت وقف

“[Metode pemahaman] hadis mawdû’î adalah penghimpunan hadis yang berkaitan dengan suatu tema dibuat menjadi sebuah karya yang bersifat parsial dengan stressing pada penyelesaian hadis-hadis yang [tampak] bertentangan -jika ditemukan- baik dengan cara kompromi, abrogasi, tarjîh maupun tawaqquf.”

Definisi diatas senada dengan definisi sebelumnya dengan adanya penambahan berupa fungsi dari

metode mawdû‟î yakni menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan. Dengan

mengumpulkan hadis yang masih dalam satu naungan tema, dapat diteliti munâsabah antar hadis-

hadis tersebut, saling melengkapi antara penjelasan suatu hadis dengan hadis yang lainnya

sehingga hadis yang awalnya tampak bertentangan dapat dicari solusinya.

Page 41: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

29

pembacanya. Teori-teori yang ada dalam kompilasi ilmu hadis diterapkan

untuk membedah hadis dan memahami kandungannya. Demikian perjalanan

pemahaman hadis yang terus mengalami perkembangan untuk semakin kokoh

menghadapi benturan di sekelilingnya hingga akhirnya sampai pada abad

modern.

4. Pemahaman Hadis Abad Modern

Pada awal Bab I telah disinggung bahwa terdapat pemikiran ekstrem yang

menolak kewenangan hadis sebagai sumber kedua syariat Islam. Pemikiran

ini sempat muncul secara perseorangan pada abad pertama Hijriyah di

Basrah, Irak. Latar belakangnya adalah ketidaktahuan terhadap fungsi dan

kedudukan hadis. Setelah menyadari kekeliruannya, para pelaku penolakan

bersedia mencabut pendapatnya. Pemikiran ini telah hilang ditelan masa pada

akhir abad ketiga.38

Pada abad keempat belas Hijriyah, pemikiran tersebut kembali timbul ke

permukaan. Dengan style yang berbeda dari sebelumnya, pemikiran ini

beralih rupa menjadi kelompok yang terorganisasi.39

Penolakan ini berkutat

pada wilayah autentisitas dan otoritas hadis. Di kalangan sarjana orientalis,40

masalah autentisitas pertama kali digaungkan oleh Ignaz Goldziher (1850-

1921 M) yang dilanjutkan oleh Joseph Schacht. Dua sejoli ini menjadi kiblat

di kalangannya. Generasi setelahnya tidak menyuguhkan sesuatu yang baru

mengenai diskursus autentisitas kecuali bersandar pada penelitian yang

38

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 43-44. 39

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 46. 40

Suatu cara untuk memahami dunia timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam

pengalaman manusia Barat Eropa. Lihat: Edward W. Said, Orientalisme. Penerjemah Asep Hikmat

(Bandung: Penerbit Pustaka, 2001), h. 1.

Page 42: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

30

dilakukan oleh Goldziher dan Schacht.41

Akan tetapi gaung mereka dapat

diredam oleh Mustafá al-Sibâ‟î42

dan Muhammad „Ajjâj al-Khatîb,43

lalu

dihilangkan secara komprehensif oleh Muhammad Mustafá al-A‟zamî,44

seorang pakar ilmu hadis dari India.45

Dengan demikian, tamatlah wacana

bahwa hadis tidak autentik dari Nabi Muhammad Saw. Hadis sebagai

cerminan perkataan dan perbuatan Sang Utusan Terakhir telah mencapai kata

mufakat.

Perdebatan diskursus otoritas hadis tidak kalah sengit dari autentisitas.

Menurut Ali Mustafa Yaqub, pemikiran ini muncul sebagai reaksi pemikiran

41

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 8-9. 42

Mustafá al-Sibâ‟î. Lahir pada 1334 H/1915 M di Hims, Suriah. Terlahir dari keluarga

terpelajar dan religius. Ayahnya bernama Husnî al-Sibâ‟î adalah salah seorang ulama Hims yang

diperhitungkan. Beliau menimba ilmu di al-Nizâmiyah sampai tamat sekolah menengah tahun

1930. Pada 1933, beliau meneruskan pendidikannya ke al-Azhar Kairo konsentrasi fiqh. Setelah

itu beralih ke Fakultas Ushuluddin sampai berhasil meraih gelar magister. Adapun disertasinya

untuk mendapatkan gelar doktor berjudul “al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî‟ al-Islâmî.”

Dalam karya tulis tersebut, beliau membantah argumen-argumen orientalis seputar sunnah –

khususnya gembong mereka yaitu Ignaz Goldziher yang menjadi kiblatnya orang Yahudi– dengan

pembahasan ilmiah yang tersistematisasi. Lihat: Mâzin bin Salâh Mutbiqânî, Biografi Mustafá al-

Sibâ‟î, artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://docs.ksu.edu.sa/DOC/Articles44/-

Article440564.doc. 43

Muhammad „Ajjâj al-Khatîb. Lahir di Damaskus pada 1932. Menamatkan gelar sarjana

S1 Fakultas Syariah Universitas Damaskus pada 1959. Beliau adalah alumni pertama universitas

tersebut. Melanjutkan studinya ke jenjang Magister, lulus pada 1962. Memperoleh predikat

cumlaude dengan tesisnya yang berjudul “al-Sunnah qabla al-Tadwîn”. Pada awal tahun 1966

berhasil menamatkan program doktoral dari Universitas Kairo, Fakultas Dâr al-„Ulûm dengan

predikat summa cumlaude. Disertasinya berjudul “Nasy‟at „Ulûm al-Hadîts wa Mustalâhih”

disertai dengan tahqiq kitab pionir dalam kompilasi ilmu hadis, al-Muhaddith al-Fâsil bayna al-

Râwî wa al-Wâ‟î karya al-Râmahurmuzî. Lihat: „Amr al-Âbid, Profil Muhammad „Ajjâj al-Khatîb,

artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://web.archive.org/web/20081108161652/-

www.geocities.com/safahat_chamiyeh/personalities/mohammad-ajaj-akhatib.htm. 44

Muhammad Mustafa al-A‟zamî adalah salah satu ulama paling berhasil di dunia Hadis.

Lahir di Mau, India, pada 1932. Beliau mengenyam pendidikan di Dar al-Ulum Deoband, India

(1952) dan Al-Azhar, Kairo (1955). Memperoleh gelar Ph.D. dari Universitas Cambridge, Inggris

(1966). al-A‟zamî memulai karirnya sebagai guru bahasa Arab untuk pembicara non-Arab dan

Kurator Perpustakaan Umum Nasional di Qatar. Setelah menerima gelar Ph.D., ia pindah ke Arab

Saudi, mengajar pertama di Fakultas Syariah di Umm al-Qurá, Makkah. Setelah itu mengajar di

Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud, Riyadh. Dia diberikan kewarganegaraan Saudi untuk

beasiswa istimewanya. Muhammad Mustafá al-A‟zamî, “Biografi Muhammad Mustafá al-

A‟zamî," artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://kfip.org/professor-mohamad-mustafa-

al-aazami/. 45

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 11, 16, 18, 23, 25-30.

Page 43: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

31

kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.46

Memerinci perkataan

Ali Mustafa, sebagaimana yang tertulis dalam bukunya, Daniel W. Brown

menyatakan bahwa kemunculan diskursus tersebut tidak semata-mata karena

kolonialisme. Hal tersebut hanya ikut andil dalam penggoyahan kewenangan

Nabi Muhammad Saw. Faktor utama justru berasal dari dalam tubuh Islam

yaitu kemunculan gerakan reformis pada abad kedelapan belas dan

kesembilan belas. Suatu gerakan yang mengadopsi sikap kritis terhadap

warisan klasik, menolak taqlîd (mengikuti secara membuta doktrin yang

sudah diterima) dan mengimbau kebangkitan kembali sunnah sebagai

landasan dalam kebangkitan dan reformasi Islam.47

Selama abad kedelapan belas, gagasan kaum tradisionis, bahwa sunnah

seharusnya menjadi basis utama hukum Islam dan bahwa status quo hukum

dapat dan seharusnya menjadi bahan penelitian yang cermat dengan

berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw., kembali menegaskan dirinya.

Gagasan ini bukanlah kontribusi asli dari reformis abad kedelapan belas.

Sepanjang periode klasik, tesis kaum tradisionis ini tetap terpelihara di dalam

mazhab Hanbalî. Akan tetapi, para reformis abad kedelapan belas dan

gerakan reformasi telah memberikan kekuatan baru pada ide-ide ini. Kejadian

ini dilatarbelakangi oleh tanda-tanda kerusakan sosial dan kemerosotan moral

yang disinyalir sebagai dampak dari penyimpangan sunnah, racun bid‟ah dan

taklid terhadap ajaran kitab dan penafsiran hukum klasik. Oleh karena itu,

ulama yang berorientasi reformasi bergerak melampaui kumpulan dan

penafsiran hukum klasik dan mulai mempelajari kitab hadis induk,

46

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 46. 47

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 38.

Page 44: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

32

menyatakan hak mereka, hingga tingkat tertentu, untuk mengambil

kesimpulan sendiri berdasarkan Al-Qur‟an dan sunnah. Juga menggunakan

bacaan mereka atas sumber-sumber ini sebagai standar untuk menilai adat-

istiadat sosial dan keagamaan yang berlaku pada masa mereka.48

Dua di antara ulama aktivis yang dipengaruhi gagasan ini dan menjadi

pengaruh bagi sikap sunnah selanjutnya adalah Syâh Waliyullâh al-Dihlawî

(1702-1762 M), seorang ulama kenamaan India dan Muhammad bin „Alî al-

Syaukânî (1760-1834 M), seorang ulama asal Yaman. Syâh Waliyullâh

menolak taklid kepada ketentuan mazhab hukum klasik. Sistem hukum

keempat mazhab, menurutnya, harus lebih rendah daripada sunnah. Pada

prinsipnya, beliau menolak taklid buta kepada ajaran hukum, mendukung

ijtihad dan menempatkan sunnah pada kedudukan utama dalam proses ini.

Metode Shâh Waliyullâh dalam memahami hadis tidak berbeda jauh dengan

pendekatan fuqahâ‟ klasik, yakni menerima perbedaan antara tindakan Nabi

Muhammad Saw. sebagai rasul (tasyrî‟î) dan tindakan non-rasul (ghair

tasyrî‟î).49

Perhatian utama beliau dalam memandang persoalan pemahaman

48

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 38-39. 49 Upaya Al-Syâfi‟î dan kaum tradisionis untuk memapankan sunnah sebagai istilah ekslusif

bagi Nabi Muhammad Saw. yang terekam melalui hadis telah mencapai kemenangan. Namun,

mereka tak seluruhnya berhasil menegakkan keunggulan hadis dalam bidang hukum. Ulama klasik

lainnya memperlihatkan keengganan untuk mengabaikan posisi mereka pada hal yang berkaitan

dengan masalah hukum aktual. Masih terdapat banyak cara untuk mengupayakan penerapan

tertentu tanpa menantang posisi teoritis sunnah. Salah satunya dengan pemilahan tasyrî‟î dan

ghayr tasyrî‟î. Bahwa tidak semua yang Nabi Muhammad Saw. ucapkan atau perbuat memiliki

maksud hukum. Argumen ini berlandaskan pada hadis pohon kurma yang terkenal. Lihat: Daniel

W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 32-34. Dalam riwayat tersebut,

diceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw. memberi saran yang keliru kepada petani kurma, lalu

mengatakan:

ا أنا بلر » ا أنا بلر إذا أمرتكم بل ء من دينكم ف ذوا بو، وإذا أمرتكم بل ء من رأي ف .«إ “Saya hanyalah manusia biasa. Jika saya memerintahkan sesuatu yang berkaitan dengan

syari‟at agama kepada kalian, patuhilah, dan jika saya memerintahkan berdasarkan

pendapat pribadi, saya hanyalah manusia biasa.”

Page 45: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

33

hadis tertuju pada cara menyingkap penyebab efektif („ilal) diberlakukannya

sebuah syariat.50

Al-Syaukânî, yang terpisah satu generasi dengan Syâh Waliyullâh,

memperlihatkan pandangan serupa meski lebih ekstrem mengenai persoalan

taklid dan ijtihad. Beliau menolak setiap status khusus bagi para pendiri

mazhab hukum. Pendapat para imam mazhab hanya akan diikuti ketika

dipahami bagaimana pendapat itu dicapai. Menerima argumen absah mereka

diperbolehkan, tetapi menerima ajaran mereka secara tidak kritis sama saja

dengan mengikuti ra‟y. Ini sama saja dengan bid‟ah dan sangat terlarang. Jika

metode Shâh Waliyullâh sama dengan talfîq (memilih di antara keputusan

berbagai mazhab yang dianggap lebih mendekati sunnah), Al-Syaukânî jauh

lebih radikal, ia ingin menolak keseluruhan struktur Islam klasik atau paling

tidak menjadikannya sebagai bahan untuk diuji dengan bacaannya. Pemikiran

Syâh Waliyullâh dan Al-Syaukânî mewakili pola para pembaharu dalam

tahap awal kemunculan spektrum modern pendekatan tehadap autoritas

keagamaan. Dalam menghadapi krisis dan perubahan, mereka mencari hadis

untuk melandasi penyelesaian yang relevan dengan dilema di zaman mereka.

Bagi para reformis ini, literatur hadis sendiri tampaknya menawarkan

keluwesan yang tengah mereka cari. Mereka mengunakan otoritas hadis

untuk menantang otoritas ajaran yang telah diterima.51

Lihat: Muslim bin al-Hajjâj, Sahîh Muslim (Beirût: Dâr al-Fikr, 2005), Kitâb al-Fadâ‟il, Bâb

Wujûb Imtitsâl Mâ Qâlahu Syar‟an, Dûna Mâ Dzakarahu Salla Allâh „alaih wa Sallam min

Ma‟âyisy al-Dunyá „alá Sabîl al-Ra‟y, Hadis No. 140, Jilid II, h. 426. Hadis pohon kurma

memiliki beberapa redaksi yang berbeda. Namun redaksi hadis yang dicantumkan hanya

diriwayatkan oleh al-Imâm Muslim dalam Ṣahîh-nya. Lihat: A.J. Wensinck, Al-Mu‟jam al-

Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabawî (Leiden: Brill, 1943), Jilid II, h. 167. 50

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 39-41. 51

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 42-44.

Page 46: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

34

Pada masa berikutnya, lahirlah gerakan-gerakan yang mewarisi tradisi

pemikiran Syâh Waliyullâh dan Al-Syaukânî. Di antaranya adalah Ahl al-

Hadîts di India yang mengombinasikan penolakan terhadap taklid dalam

pemikiran Shâh Waliyullâh dengan literalisme ekstrem dalam pendekatan

terhadap hadis pemikiran mazhab al-Zâhirî. Taklid bagi mereka adalah

peniruan terhadap otoritas yang tidak absah, sedangkan literalisme ekstrem

mereka sebut dengan istilah ittiba‟ yakni peniruan terhadap model yang

pantas. Seperti kaum al-Zâhirî, Ahl al-Hadîts terikat pada makna harfiah teks

Al-Qur‟an dan hadis, menyangkal teori analogi (qiyâs), menolak mengakui

kewenangan mazhab hukum ortodoks –baik praktis (fiqh) maupun teori

(usûl)– dan sepenuhnya menolak kewenangan ijmâ‟ kecuali kewenangan para

sahabat Nabi Muhammad Saw. Bagi kelompok Ahl al-Hadîts, keseluruhan

tradisi klasik pengetahuan Islam diragukan. Hanya dalam sunnah yang

terwakili melalui hadis sahih, kemurnian warisan Nabi Muhammad Saw.

terpelihara. Dalam menilai hadis, mereka memperlihatkan sikap pesimis yang

diwujudkan dalam tiadanya keinginan untuk mempertanyakan hadis yang

dianggap sahih oleh para tradisionis klasik. Hanya para muhadditsûn awal

yang memiliki perangkat yang diperlukan untuk menilai hadis secara

memadai dan mengetahui informasi yang hilang yang tidak bisa didapat

kembali, penilaian mereka tidak bisa digantikan oleh para ulama modern.52

Terdapat pula gerakan salafiyyah, suatu kelompok ideologis di akhir abad

kesembilan belas dan awal abad dua puluh di Mesir. Pemikirannya tidak

berbeda jauh dengan Ahl al-Hadîts, hanya berbeda penekanan otoritas

52

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 44-46.

Page 47: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

35

tradisionis klasik. Salafiyyah tidak mudah menerima hasil kritisisme klasik

hadis dan mengakui kebutuhan untuk kembali mengevaluasi hadis, sedangkan

Ahl al-Hadîts mengharuskan menerima penilaian tersebut. Namun bukan

berarti Salafiyyah menolak sistem klasik kritisisme hadis. Penekanannya

adalah pada kebutuhan akan penerapan lebih ketat kriteria tradisional. Prinsip

pokok gerakan-gerakan radikal seperti ini adalah setiap orang yang memenuhi

syarat tidak perlu bersandar pada otoritas dan bahwa teks dapat didekati tanpa

perantara. Mereka mengembangkan demokratisasi pengetahuan keagamaan

dan mencoba merebut kendali atas proses penafsiran dari para ahli. Selain itu,

dengan penekanan untuk kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunnah, kedua

gerakan ini mengkritik keras keseluruhan tradisi klasik.53

Guncangan pemikiran yang tengah terjadi di dunia Islam ini pun terasa

sampai Indonesia. Pertikaian ideologi terkait perdebatan-perdebatan

mengenai berbagai praktik ritual Islam sebagai buah dari pemahaman Al-

Qur‟an dan Sunnah dijumpai di wilayah Jawa dan Sumatra. Di satu sisi

terpengaruh oleh gerakan dan spirit yang sejenis dengan Ahl al-Hadîts, di sisi

lain menggerakkan moderasi Islam.54

Gerakan lainnya dalam spektrum pendekatan modern terhadap

kewenangan Nabi Muhammad Saw. terbentuk berkat munculnya

skripturalisme Qurani. Kecenderungan ini pertama kali terlihat di Punjab

pada awal kedua puluh dengan kemunculan Ahl al-Qur‟ân. Gerakan ini

53

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 47-50. 54

Supriyadi, Ulama Pendiri, Penggerak, dan Intelektual NU dari Jombang (Jombang:

Pustaka Tebu Ireng, 2015), h. 40. Moderasi Islam pada masa ini diusung oleh Kyai Hasyim

Asy‟ari sebagai respon ketidaksetujuannya akan kredo “kembali ke Al-Qur‟an dan Sunnah”

dengan jalan membebaskan umat Islam dari keterikatan madzhab dan memurnikan ajaran Islam

dari berbagai bentuk praktik yang dianggap sebagai inovasi bidah. Lihat: Supriyadi, Ulama

Pendiri, Penggerak, dan Intelektual NU dari Jombang, h. 38-42.

Page 48: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

36

berawal sebagai kelompok yang tak sepakat dengan Ahl al-Hadîts. Jika Ahl

al-Hadîts memandang taklid sebagai sumber penyimpangan dan perpecahan

dalam Islam, Ahl al-Qur‟ân memandang mengikuti hadis sebagai penyebab

kemalangan Islam. Jika Ahl al-Hadîts mengklaim bahwa warisan autentik

Nabi Muhammad Saw. dapat diraih kembali hanya dengan kembali kepada

hadis, Ahl al-Qur‟ân berpendapat bahwa Islam yang murni dapat ditemukan

hanya dalam Al-Qur‟an.55

Sampai di sini, dapat terlihat bagaimana perdebatan pemahaman hadis

pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Kalangan penentang hadis,

baik orientalis maupun pemikir muslim memiliki kemiripan yakni menolak

kewenangan hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur‟an.

Namun keduanya bertolak dari titik yang berbeda. Kaum orientalis tidak

mengakui kewenangan hadis berpangkal dari asumsi ketidak-autentikan

hadis, mereka menganggap bahwa hadis bukan berasal dari Nabi Muhammad

Saw. Akibatnya, seluruh hadis dinilai palsu, tidak ada yang autentik.

Sedangkan, pemikir muslim tidak mengakui otoritas hadis dikarenakan

ketidakpercayaan akan efektivitas metode yang digunakan kaum tradisionalis.

Mereka mengakui validitas kewenangan Nabi Muhammad Saw., tetapi

meragukan reportase hadis yang berpotensi terjadi penyelewengan dan

penyalahgunaan karena kelemahan metode yang digunakan. Akibatnya pun

beragam. Batas paling ekstrem berupa penolakan hadis sebagai sumber ajaran

Islam secara total, ada yang hanya sebagiannya saja dengan melakukan

pemilahan antara hadis mutawâtir dan âhâd. Ada pula anggapan yang menilai

55

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 56-61.

Page 49: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

37

hadis hanya sebatas pengetahuan sejarah, bukan sebagai pedoman

keagamaan. Sedangkan kalangan pendukung hadis, dalam batas paling

ekstrem, mereka memahami hadis secara literal, tidak mengakui adaptabilitas

hadis. Pada umumnya, kubu pro-hadis melakukan pemilahan antara

kandungan hadis bernilai syariat (tasyrî‟î) dan bukan syariat (ghair tasyrî‟î)

yang otomatis membedakan peran Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa

misi kerasulan dan manusia biasa. Mereka meyakini hadis bermuatan syariat

dan mengambil spirit yang terkandung dalam hadis non-syariat dengan

keyakinan bahwa tiap detail tingkah laku Nabi Muhammad Saw. terdapat

keteladanan di dalamnya. Namun bukan berarti menerapkannya secara

tekstual/literal.

Kubu pro-hadis pun tak luput dari perbedaan pendapat. Muncul wacana

evaluasi hadis dengan bantuan Al-Qur‟an untuk menentukan diterima atau

tidaknya sebuah hadis. Terdapat pihak yang berpendapat bahwa prinsip hadis

harus selaras dengan prinsip Al-Qur‟an. Ketika terjadi ketidaksesuaian antara

keduanya, maka yang dimenangkan adalah Al-Qur‟an, hadis otomatis

tereliminasi walaupun secara sanad berstatus sahih. Anggapan ini diwakili

oleh Muhammad al-Ghazalî dan Yûsuf al-Qardâwî.56

Namun terdapat

perbedaan di antara keduanya dalam cara mengungkapkan pendapat. Al-

Ghazâlî menyatakannya secara lantang dengan menyertakan argumen yang

menurutnya dapat mendukung ide tersebut,57

sedangkan al-Qardâwî lebih

berhati-hati dengan terlebih dahulu mengemukakan hubungan erat antara Al-

Qur‟an dan sunnah, tidak mungkin ada kontradiksi antara mubayyan dan

56

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 151. 57

Muhammad al-Ghazâlî, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts

(Kairo: Dâr al-Syurûq, 1989), Cet ke-3, h. 16.

Page 50: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

38

mubayyin. Jika ada, maka kemungkinannya adalah hadisnya tidak sahih atau

salah dalam memahaminya, kontradiksi hanya bagi orang yang melihatnya

sebagai kontradiksi, tidak benar-benar ada.58

Pendapat ini diperkuat oleh Ṭaha

Jâbir al-„Ulwânî59

dalam menanggapi wacana hukuman bunuh bagi orang

murtad. Dalam literatur fiqh, disebutkan bahwa tahapan dalam menangani

kasus murtad adalah diberi penangguhan waktu selama tiga hari seraya

diminta untuk bertobat (al-istitâbah)/diajak untuk kembali merengkuh Islam

(„ird al-Islâm), kemudian jika tidak mau bertobat, maka dibunuh.60

Hal ini

disimpulkan berdasarkan nas al-Qur‟an61

dan riwayat al-Bukhârî dalam sahih-

nya.62

Menurut al-„Ulwânî, qatl al-murtadd kurang tepat diterapkan dalam

konteks sekarang. Perlu adanya peninjauan kembali warisan intelektual para

pendahulu dalam memutuskan suatu hukum, menghimpun komponen-

58

Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata‟âmal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Dâr al-Wafá,

1995), Cet. Ke-V, h. 93. 59

Ṭaha Jâbir al-„Ulwânî. Lahir di Irak tahun 1354 H/1935 M. Menamatkan jenjang S1 di

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas al-Azhâr tahun 1378 H/1959 M. Melanjutkan tingkat

Magister dan Doktoral-nya di fakultas dan universitas yang sama. Masing-masing diselesaikannya

pada 1388 H/1968 M dan 1392 H/1973 M. Berpartisipasi dalam pendirian al-Ma‟had al-„Âlî li al-

Fikr al-Islâmî yang terletak di Herndon, Virginia, Amerika Serikat pada 1981. Beliau adalah

anggota Akademi Fiqh Islam Internasional yang berpusat di Najed. Pernah menjadi ketua di

Dewan Fiqh Amerika Utara dan Jâmi‟ah al-„Ulûm al-Islâmiyyah wa al-Ijtimâ‟iyyah, Amerika

Serikat. Lihat: Ṭaha Jâbir al-„Ulwânî, Maqâṣid al-Sharî‟ah (Beirut: Dâr al-Hâdî, 2001), Cetakan

Pertama, h. 188. 60

Al-Hanafiyah mengatakan bahwa al-istitâbah hukumnya adalah mustahabb, tidak wajib.

Hal ini dikarenakan dakwah Islam sudah sampai kepadanya. Sedangkan menurut al-Shâfi‟iyyah

dan al-Mâlikiyyah hukumnya adalah wajib. Lihat: „Abd al-Rahmân bin Muhammad „Awad al-

Juzairî, Al-Fiqh „alá al-Madzâhib al-Arba‟ah (al-Mansûrah: Dâr al-Ghadd al-Jadîd, 2005), h.

1367. 61 QS. Al-Taubah (9): 5.

﴿…

62 Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî (Beirût, Dâr

al-Fikr, 1995), Kitâb Istitâbat al-Murtaddîn wa al-Mu‟ânidîn wa Qitâlihim, Bâb Hukm al-Murtadd

wa al-Murtaddah, Hadis No. 6922, Jilid IV, h. 226.

عن عكرمة قال أت عل رض اللو عنو بزنادقة فأحرق هم ف ب لغ ذلك ابن عباس ف قال لو كنت أنا ل أحرق هم لن ه بوا بعذاا اللو » ملسو هيلع هللا ىلصرسول اللو .« فاق ت لوه من بدل دينو » ملسو هيلع هللا ىلص ولقت لت هم لقول رسول اللو « ت عذ

Page 51: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

39

komponen terkait untuk mendapatkan jawaban terbaik atas permasalahan ini.

Al-„Ulwânî berpegang pada ayat lain dalam al-Qur‟an “tidak ada paksaan

dalam beragama” 63

yang kemudian ia jadikan judul bukunya, Lâ Ikrâha fi al-

Dîn. Ia mengukuhkan spirit ayat tersebut adalah poin utama dalam menyikapi

persoalan murtad.64

Dalam Al-Qur‟an termaktub sekitar 200 ayat yang

membahas tentang kebebasan memeluk keyakinan dan meniadakan

pemaksaan dalam beragama. Tidak ada hukuman apapun bagi seorang murtad

di dunia ketika ia tidak membarenginya dengan tindak kejahatan.65

Al-

„Ulwânî juga menemukan riwayat-riwayat pendukung argumentasinya yang

menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw. selama hidupnya tidak pernah

mempraktikkan hadis “man baddala dînahu faqtulûh”. Sekalipun beliau

mengetahui dirinya diperintahkan untuk membunuh orang murtad dan itu

adalah hukum Allah Swt. karena ada pertimbangan-pertimbangan lain.66

Menerapkan spirit hadis tersebut secara mutlak dapat menyebabkan sekitar

200 ayat Al-Qur‟an terabrogasi atau termaukufkan kinerjanya.67

Adapun

beberapa kasus murtad yang dibunuh pada zaman awal Islam bukanlah

karena murni faktor murtad, melainkan kemurtadan tersebut disertai dengan

tindakan kriminal.68

Di lain pihak berpendapat, ketika ada hadis yang sanadnya terbukti valid,

tetapi matannya terlihat kontradiksi, maka yang harus dilakukan adalah

63

QS. Al-Baqarah (2): 256. 64

Tâhâ Jâbir al-„Ulwânî, Lâ Ikrâha fî al-Dîn: Isykâliyyyat al-Riddah wa al-Murtaddîn min

Sadr al-Islâm ilâ al-Yaum (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2006), h. 94. 65

Tâhâ Jâbir al-„Ulwânî, Lâ Ikrâha fî al-Dîn, h. 125. 66

Tâhâ Jâbir al-„Ulwânî, Lâ Ikrâha fî al-Dîn, h. 116. 67

Ṭaha Jâbir al-„Ulwânî, Lâ Ikrâha fî al-Dîn, h. 125. 68

Misalnya „Abdullâh bin Khatl, seorang murtad yang melakukan tindakan provokatif

untuk memerangi Nabi Muhammad Saw., melancarkan aksi perampokan, korupsi dan pencurian.

Lihat: Tâhâ Jâbir al-„Ulwânî, Lâ Ikrâha fî al-Dîn: Isykâliyyyat al-Riddah wa al-Murtaddîn min

Sadr al-Islâm ilâ al-Yaum, h. 116.

Page 52: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

40

menunda penilaian terhadap matan tersebut dan berharap agar keterangan

yang lebih jelas akan datang suatu saat nanti. Munculnya materi hadis yang

tidak dapat dipahami bukan alasan untuk menyebut hadis tersebut tidak valid.

Pemahaman dapat berubah, maka pemahaman yang terbatas tidak dapat

digunakan untuk menilai wahyu. Inilah sebabnya kritik sanad harus

diutamakan daripada kritik matan, dan takwil harus diupayakan setiap ada

kontradiksi. Pendapat ini didukung oleh al-Sibâ‟î dan Abû Syuhbah.69

Dilanjutkan dengan munculnya lembaga-lembaga kajian Islam (Islamic

Studies). Salah satunya adalah al-Ma‟had al-Âlamî li al-Fikr al-Islâmî,70

sebuah lembaga yang bergerak di bidang pemikiran Islam. Agenda penting

lembaga ini adalah merekonstruksi sistem pengetahuan, kebudayaan dan

peradaban umat Islam dengan merevitalisasi pemahaman mengenai sunnah,

metode pengkajian sunnah, metode penelitiannya, wawasan sunnah dari

segala aspek dan cara menjadikannya sebagai sumber pengetahuan,

69

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 162. Muhammad

Abû Syuhbah. Lahir di desa Maniyyah Janâj, kota Dasûq, provinsi Kafur al-Shaykh, Mesir pada

25 Syawal 1332 H/15 September 1914 M. Beliau mengenyam pendidikan di al-Azhar konsentrasi

tafsir dan hadis hingga tingkat doktoral pada 1936 dengan predikat mumtaz. Setelah itu dipilih

menjadi dosen fakultas Ushuluddin, naik jabatan menjadi asisten guru besar dan akhirnya menjadi

guru besar. Pada 1969, beliau dilantik menjadi dekan fakultas Ushuluddin di daerah Asyût,

fakultas pertama yang memiliki jurusan yang didirikan oleh Universitas al-Azhar, Mesir.

Selengkapnya dapat dilihat di: Majallat al-Wa‟y al-Islâmî, „Ulamâ wa A‟lâm Katabû fî Majallat

al-Wa‟y al-Islâmî al-Kuwaytiyah (Kuwait: Wizarât al-Auqâf wa al-Syu‟ûn al-Islâmiyyah Quttâ‟

al-Syu‟ûn al-Tsaqafiyyah, 2011), Cetakan Pertama, Jilid I, h. 195. 70

Al-Ma‟had al-Âlamî li al-Fikr al-Islâmî (International Institute of Islamic Thought,

disingkat menjadi IIIT) adalah lembaga swasta, non-profit, akademik, budaya dan pendidikan

lembaga, yang menaruh perhatian pada isu-isu umum pemikiran Islam dan pendidikan. IIIT

didirikan di Amerika Serikat pada 1981 yang bertepatan dengan 1401 H. Institut bersifat

independen dari politik lokal, orientasi partai dan bias ideologis. Markas besar Institut terletak di

Herndon, Virginia, di daerah pinggiran kota Washington DC. IIIT telah menjalin kerja sama

dengan sejumlah lembaga dan organisasi di sejumlah ibukota di seluruh dunia untuk melaksanakan

kegiatan dan program Institut. Lembaga diatur oleh Dewan Pengawas yang bertemu secara teratur

dan memilih salah satu anggotanya untuk melayani sebagai Presiden secara berkala. Lihat:

International Institute of Islamic Thought, Profil International Institute of Islamic Thought/About

IIIT, artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://www.iiit.org/AboutUs/AboutIIIT-

/tabid/66/Default.aspx.

Page 53: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

41

peradaban dan kebudayaan Islam.71

Lembaga ini yang bekerjasama dengan

Muhammad al-Ghazâlî dalam penulisan al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl

al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts.72

Buah karya al-Qardawî merupakan tindak lanjut

dari karya al-Ghazâlî tersebut dalam proyek pemahaman sunnah sebagai

sumber pengetahuan (al-Masdar li al-Ma‟rifah),73

tidak hanya selaras dengan

masa lalu Islam ideal, tetapi juga adaptif terhadap situasi modern.

Wacana peninjauan kembali pemahaman hadis semakin hangat

diperbincangkan dalam rangka merevitalisasi peran sunnah di dunia

kontemporer. Proses peninjauan dapat diupayakan melalui pemilahan/

klasifikasi pemahaman hadis yang bersifat statis dan dinamis dari berbagai

sudut pandang. Terdapat klasifikasi berdasarkan peran Nabi Muhammad Saw.

seperti konsep yang dikembangkan oleh Muhammad al-Tâhir bin „Âsyûr.74

Ada pula klasifikasi berdasar konten hadis. Pemilahan tersebut membentuk

konsep tekstual-kontekstual yang menjadi topik utama dalam skripsi ini,

dengan salah satu tokoh pengembangnya yaitu Muhammad Abû al-Laits. Ia

telah membuat buku yang berjudul „Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa Mu‟âsiruhâ.

71

Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata‟âmal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 8. 72

Muhammad al-Ghazâlî, al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 6. 73

Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata‟âmal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 8. 74

Muhammad al-Tâhir Ibn „Âsyûr (1296 H-1393 H/1879 M-1973M) mengembangkan

konsep pemilahan peran Nabi Muhammad Saw. untuk menemukan maqâsid al-syarî‟ah yang

terkandung di dalam sabda, tindakan dan berbagai kebijakannya. Ibn Âsyûr mengembangkan

konsep yang pertama kali dicetuskan oleh al-„Allâmah Syihâb al-Dîn Ahmad bin Idrîs al-Qarrâfî

dalam kitabnya Anwâr al-Burûq fî Anwâ‟ al-Furûq. Al-Qarrâfî membedakan peran nabi menjadi

tiga: hakim (al-qâdî), pemberi fatwa (al-muftî/muballigh al-risâlah) dan pemimpin negara (al-

Imâm). Masing-masing peran memiliki konsekuensi tersendiri. Ibn Âshûr mengembangkannya

menjadi 12 peran. Lihat: Muhammad al-Ṭâhir bin „Âshûr, Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islâmiyyah

(Yordania: Dâr al-Nafâ‟is, 2000), h. 207-230.

Beliau adalah guru besar Universitas al-Zaitûnah, Tunisia. Ulama dan mujtahid terkemuka

pada zamannya. Salah satu tonggak gerakan revolusioner dan mujtahid kebanggaan Tunisia. Lihat

biografi lengkapnya di: Balqâsim al-Ghâlî, Min A‟lâm al-Zaitûnah: Syaikh al-Jâmi‟ al-A‟zam

Muhammad al-Tâhir Ibn „Âsyûr; Hayâtuhu wa Âtsâruhu (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1996), h. 5.

Page 54: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

42

Pada salah satu bagian buku tersebut, concern membahas pemahaman hadis

yang diberi tajuk al-Bu‟d al-Zamanî wa al-Makanî.

Pada akhirnya, berbagai ragam pemilahan bermuara pada suatu tujuan,

yakni mengungkap motif di balik sabda Nabi Muhammad Saw. untuk

mengetahui esensi ajaran yang terkandung di dalamnya sehingga dapat

menerapkan fleksibilitas syariat dengan baik.

C. Pemilahan Tekstual-Kontekstual Sebagai Salah Satu Metode dalam

Memahami Hadis Nabi Muhammad Saw.

1. Memahami Makna Tekstual dan Kontekstual

Untuk memahami makna kata tekstual dan kontekstual, dapat ditempuh

melalui pemaknaan kata dasarnya. Tekstual berasal dari kata teks. Makna teks

dalam ilmu bahasa mengandung tiga macam arti: 1) naskah yang berupa kata-

kata asli dari pengarang 2) kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau

alasan 3) bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato dan lain

sebagainya.75

Arti pertama sama dengan pengertian al-nass dalam kamus,

yakni sîghat al-kalâm al-asliyyah allatî waradat min al-mu‟allif.76

Ketiga

macam makna tersebut memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya,

membentuk pengertian pemahaman tekstual yang dimaksudkan dalam skripsi

ini. Teks diartikan sebagai naskah yang berisi kata asli pengujar, dikutip untuk

dijadikan dasar argumentasi dan diambil ajaran yang terkandung di dalamnya,

dipahami dan disampaikan sebagaimana yang tertulis atau mengacu

kepadanya. Tekstual berarti berhubungan dengan teks. Dipertegas dengan

75

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1024. 76

Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah, Al-Mu‟jam al-Wasît, h. 964.

Page 55: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

43

definisi menurut ahli bahasa yang mengartikan tekstual sebagai bentuk formal

yg berhubungan dengan bagaimana sebuah naskah itu ditulis.77

Tekstual kerap

disandingkan dengan kata literal. Keduanya memiliki persamaan dan

perbedaan. Tekstual/teks padanan katanya adalah manuskrip, naskah, skrip,

surat dan tulisan. Sedangkan literal kata lainnya adalah harfiah, langsung dan

lurus.78

Keduanya berkaitan dengan tulisan dan cara berinteraksi dengannya.

Tekstual menunjukkan makna lebih umum karena memuat penggunaan makna

teks secara harfiah (tersurat/mantûq) dan maknawi (tersirat/mafhûm).

Sedangkan literal hanya digunakan untuk menunjuk penggunaan teks secara

harfiah. Al-Qardâwî menyebut kaum literalis (harfiyyîn) sebagai orang-orang

yang terpaku pada lahiriah teks sehingga menelantarkan hakikat dan esensi

yang terkandung di dalamnya.79

Tâhâ Jâbir al-„Ulwânî mengatakan bahwa

paham literalis berawal dari meningkatnya peran kamus dalam rangka

memahami teks/hadis karena masa yang semakin jauh dengan masa produksi

teks/periode awal Islam, yang kemudian menjadi sebuah kecenderungan.

Pemahaman literal menjadi salah satu penghambat kebangkitan umat karena

menjadikan Islam sebagai ajaran yang kaku dan tidak logis.80

Kontekstual akar katanya adalah konteks, yang meliputi dua macam arti:

1) bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah

kejelasan makna 2) situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.81

77

Longman, Longman Dictionary of The English Language, h. 1714. 78

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia

(Bandung: Mizan, 2009), h. 549, 357. 79

Yûsuf al-Qardawî, Kayfa Nata‟âmal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 19. 80

Pengantar Tâhâ Jâbir al-„Alwânî dalam karya Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata‟âmal ma‟a

al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 14. 81

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 522. Oleh D. Hidayat, arti pertama disebut dengan konteks

Page 56: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

44

Kedua arti tersebut terangkum dalam definisi yang menyebutkan bahwa

konteks (context) adalah situasi, peristiwa atau berita yang terkait dengan

sesuatu hal dan dapat membantu memahami memahami sesuatu hal itu (the

situation, event, or information that are related to something and that help you

to understand it). Terdapat keterangan lanjutan menyebutkan situasi dapat

berupa politik, sosial atau sejarah.82

Dalam bahasa arab, konteks dipadankan

dengan siyâq berasal dari susunan huruf sin-wawu-qaf, mempunyai arti dasar

menggiring / mendorong / memotivasi / memengaruhi sesuatu (hadw al-

syai‟).83

Menurut D. Hidayat, siyâq terbagi dua. Siyâq al-Nass (konteks

linguistis) atau disebut juga siyâq al-kalâm (context of words)84

berarti

hubungan (konteks) makna kebahasaan antarkata dalam suatu kalimat atau

dalam kalimat yang berbeda maupun hubungan antara kalimat dengan kalimat

yang lain. Konteks ini memberikan makna paling cocok pada unsur bahasa:

makna kata, kelompok kata dan makna teks secara keseluruhan. Sedangkan

Siyâq al-Mauqif adalah konteks situasi/lingkungan di luar kebahasaan.85

Konteks memegang peranan penting dalam pemahaman teks. Sebuah

ungkapan atau kejadian yang terekam dalam teks biasanya lahir dari sebuah

motif yang melatarbelakanginya. Dengan konteks, motif di balik kemunculan

teks dapat terungkap sehingga menambah kejelasan kandungan pokok teks –

lebih jauh lagi– dapat mengungkap maksud teks sesuai dengan yang

dikehendaki oleh pembuat teks. Tak terkecuali hadis yang merupakan

linguistis dan yang kedua disebut dengan konteks situasi. Lihat: D. Hidayat, al-Balâghah li al-

Jamî‟ wa al-Syawâhid min Kalâm al-Badî‟ (Semarang: Toha Putra, 2002), h.12. 82

Longman, Longman Dictionary of The English Language, h. 337. 83

Ahmad bin Faris, Mu‟jam Maqâyîs al-Lughah, Jilid 3, h. 117. 84

Rûhî al-Ba‟albakî, Al-Maurid (Beirut: Dâr al-„Ilm li al-Malâyîn, 1995), h. 653. 85

D. Hidayat, al-Balâghah li al-Jamî‟ wa al-Syawâhid min Kalâm al-Badî‟, h.12.

Page 57: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

45

dokumentasi tertulis sabda dan perbuatan Nabi Muhammad Saw. dalam

rangka menerjemahkan dan mengejawantahkan ajaran Islam kepada

masyarakat di zamannya sekaligus menjadi pedoman bagi seluruh umat Islam

di berbagai penjuru dunia hingga hari kiamat tiba.

2. Langkah Metodis Pemahaman Tekstual-Kontekstual

Setelah mengetahui makna dari kata tekstual dan kontekstual, pemahaman

dikategorikan menjadi tiga, yakni literal, tekstual dan kontekstual. Pembagian

ketiga istilah ini sama dengan tekstual, kontekstual lingustis dan kontekstual

situasi menurut D. Hidayat, maupun tekstual, semi tekstual dan kontekstual

menurut Abdullah Saeed.

Skripsi ini menggunakan istilah pada kategori pertama. Pemahaman hadis

tekstual diartikan sebagai metode memahami hadis dengan menggunakan

sarana bedah teks berupa kaidah kebahasaan yang terangkum dalam kajian usul

al-fiqh bagian al-Dilâlât al-Muta‟alliqah bi al-Alfâz, meliputi „âm-khâs,

mujmal-mubayyan, mutlaq-muqayyad, mantûq-mafhûm, zâhir-mu‟awwal, dan

lainnya. Tekstualis menganggap bahwa teks/hadis bersifat independen, tidak

berkaitan dengan peran pengucap/Nabi Muhammad Saw. dan situasi-kondisi

yang melingkupinya. Metode ini berusaha mencari makna melalui aspek

gramatika kebahasaannya. Apakah yang dikehendaki makna eksplisit atau

Page 58: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

46

implisitnya, hadis ini sedang membicarakan keumuman atau kekhususan.

Sedangkan pemahaman hadis kontekstual adalah pemahaman hadis tekstual

yang kemudian dilanjutkan dengan penggunaan sarana kontekstual.

Di antara kaum pembaharu kontemporer, al-Qardâwî memberikan tawaran

formulasi untuk memahami sunnah agar dapat terkontekstualisasi dengan baik.

Tahap pertama proses ini adalah memandang sunnah dengan bimbingan Al-

Qur‟an (fahm al-sunnah fî dau‟ al-Qur‟ân al-Karîm). Dengan kata lain, dalam

menghadapi masalah tertentu, ulama harus mulai dengan meneliti apa yang

dikatakan Al-Qur‟an mengenai subjek tersebut. Tahap kedua adalah mencari

seluruh hadis yang berkaitan dengan subjek tersebut (jam‟ al-ahâdîts al-

wâridah fî al-maudû‟ al-wâhid). Tahap ketiga adalah membandingkan hadis-

hadis itu dan mengkompromikan semua hadis itu apabila memungkinkan (al-

jam‟ au al-tarjîh baina mukhtalif al-hadîts). Apabila hadis-hadis tersebut tidak

dapat dikompromikan, maka diterapkan sistem ranking menurut tingkat

keautentikannya. Al-Qardâwî bersikeras menolak hadis yang tampak

bertentangan dengan hadis lain. Baginya, antar kebenaran tidak akan saling

bertentangan. Hal ini-lah yang melatarbelakanginya memakai kaidah al-jam‟

muqaddam „alá al-tarjîh. Dengan demikian, pengkompromian hadis harus

dilakukan sebelum satu hadis dinyatakan lebih kuat daripada yang lain. Lima

tahapan yang lainnya adalah hadis harus dipahami dengan mempelajari latar

belakang dan kondisi pada saat hadis itu muncul (fahm al-ahâdîts fî dau‟

asbâbihâ wa mulâbasâtihâ wa maqâsidihâ); elemen hadis yang berubah-ubah

harus dipisahkan dari prinsip-prinsip permanen (al-tamyîz bayna al-wasîlah al-

mutaghayyirah wa al-hadf al-tsâbit li al-hadîts); makna kiasan harus dipahami

Page 59: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

47

(al-tafrîq baina al-haqîqah wa al-majâz fî fahm al-hadîts); makna yang jelas

dan tersembunyi harus dibedakan (al-tafrîq baina al-ghaib wa al-syahâdah);

dan makna kata perkatanya sendiri harus sepenuhnya dipahami (al-ta‟akkud

min madlûlât alfâz al-hadîts).86

Formula ini sedikit-banyaknya diadopsi dan dikembangkan oleh

Muhammad Abû al-Laits dalam interaksinya dengan hadis yang akan dibahas

pada bab III.

86

Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata‟âmal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 91. Lihat pula:

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h. 158.

Page 60: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

48

BAB III

MENGENAL SOSOK MUHAMMAD ABÛ AL-LAITS

Muhammad Abû al-Laits adalah profesor hadis bumiputra India. Abû Al-Laits

juga seorang penulis produktif yang telah melahirkan banyak karya ilmiah

bertemakan hadis, baik buku, jurnal, makalah maupun ulasan buku. Beliau juga

kerap berpartisipasi aktif dalam berbagai seminar dan konferensi, baik skala

nasional maupun internasional.

A. Latar Belakang dan Pendidikan

Muhammad Abû Al-Laits terlahir di sebuah keluarga sederhana pada 8

Oktober 1953 silam di Khairabad.1 Ketika itu, Khairabad masih menjadi wilayah

bagian Azamgarh, sekarang masuk wilayah Maunath Bhanjan, keduanya terletak

di Uttar Pradesh, negara bagian India utara.2

Beliau adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dan juga mempunyai dua

saudara lainnya dari ibu yang berbeda. Keluarganya mempunyai nasab yang

berujung pada Abû Ayyûb al-Ansârî. Ayahnya bernama al-Hâjj Syams al-Dîn bin

Muhammad Ya‟qûb bin Muhammad Hasan. Ibunya bernama Hâjirah Khâtûn binti

Muhammad Sa‟îd Mujâhid. Orang tuanya meninggal ketika beliau masih kecil.3

Keadaan ini menuntut Abû Al-Laits untuk menjadi dewasa di usia muda.

Kematangan berpikir terlihat dari keputusan yang diambil untuk menentukan

langkah hidupnya ke depan. Nilai kesederhanaan, tanggung jawab, keseriusan

dalam belajar telah tertanam sejak dini.

1 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî via email pada

September 2016, h. xiv. 2 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xiv.

3 Lihat Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xiv.

Page 61: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

49

Abû Al-Laits kecil menimba ilmu di lembaga pendidikan di desanya, Manba‟

al-„Ulûm, hingga tingkat menengah atas yang diselesaikannya dalam jangka

waktu tiga tahun.4 Dari madrasah ini Abû Al-Laits mulai belajar bahasa Arab di

bawah bimbingan al-Syaikh al-Hâfiz Riyâd al-Dîn al-Ghâlib Fûrî, al-Syaikh

Maulânâ Syukrullâh al-Nu‟mânî al-Walîd Fûrî, Maulânâ Hidâyatullâh al-Khair

Âbâdî, al-Syaikh Maulânâ Anwâr Ahmad al-Atrâruwî al-Khair Âbâdî, Maulânâ

„Azîz al-Rahmân al-Buhairawî, al-Syaikh Maulânâ Nadzîr Ahmad al-Khair

Âbâdî.5

Setelah itu, Abû Al-Laits berkelana ke daerah Muradabad yang terletak di

wilayah Barat Laut Uttar Pradesh, India. Ia melanjutkan pendidikannya ke

Universitas Hayât al-„Ulûm selama satu tahun dengan berguru –antara lain–

kepada al-Syaikh Bashîr Ahmad al-Mubârakfûrî dan belajar penerjemahan bahasa

Urdu-Arab dibimbing oleh al-Syaikh Habîb al-Rahmân al-Khair Âbâdî (saat ini

menjabat sebagai mufti di Universitas Dâr al-„Ulûm Deoband).6

Pengembaraan ilmu dilanjutkan ke Universitas Islam Dâr al-„Ulûm Deoband

yang terletak di daerah Saharanpur, Uttar Pradesh pada 1967 dengan mengambil

jurusan Ilmu Keislaman (al-‘Ulûm al-Islâmiyyah) di bawah arahan -antara lain-

al-Syaikh Maulânâ Fakhr al-Dîn Ahmad Al-Murâd Âbâdî (Sahîh al-Bukhârî jilid

I), al-Syaikh Mahmûd al-Hasan al-Kankûhî -Mufti Universitas Dâr al-„Ulûm-

(Sahîh al-Bukhârî jilid II), al-Syaikh Fakhr al-Hasan (Sunan al-Tirmidzî), al-

Syaikh „Abd al-Ahmad (Sunan Abû Dâwûd), al-Syaikh Syarîf al-Hasan (Sahîh

4 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xiv-xv. Normalnya, untuk

mencapai jenjang perkuliahan dibutuhkan waktu sembilan tahun, dengan rincian: al-I‟dâdiyyah

lima tahun, al-Mutawassitah dua tahun dan al-Tsânawiyyah dua tahun. Wawancara Muhammad

Abû Al-Laits via Whatsapp pada 28 September 2016. 5 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xiv-xv.

6 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xv.

Page 62: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

50

Muslim, al-Maibadzî, Tafsîr al-Baydâwî), al-Syaikh Islâm al-Haqq al-Kûbâginjî

(Syarh Ma‟ânî al-Âthâr li al-Tahâwî, Sulam al-„Ulûm, Mulâ Hasan), al-Syaikh al-

Muftî Nizâm al-Dîn al-Ma‟uwî (Syamâ‟il al-Tirmidhî, Sirâjî), al-Syaikh Maulânâ

Muhammad Mayyân (Hidâyat Awwalîn li al-Margînânî), al-Syaikh Mi‟râj al-

Haqq (Hidâyat Akhîrîn li al-Margînânî), al-Syaikh Maulânâ Nasîr Ahmad Khân

(Misykât al-Masâbîh dan Nukhbat al-Fikr), al-Syaikh Husain Ahmad al-Bahârî

(Sunan al-Nasâ‟î), al-Syaikh Khaurasyîd Âlim (Syarh al-„Aqâ‟id al-Nasafiyyah),

al-Syaikh Maulânâ Muhammad Sâlim Qâsimî (Tafsîr Jalâlain), al-Syaikh Wahîd

al-Zamân al-Kairânawî (al-Insyâ‟). Kemudian tahun 1969 lulus menyandang gelar

Diploma (al-Fadîlah) dengan predikat Mumtâz Tsânî.7 Di tahun ini pula, Abû Al-

Laits menikah dengan Hasînah Khâtûn, anak dari H. Muhammad Idrîs al-

Mubârakfûrî, yang ketika itu berumur dua tahun lebih muda darinya.8

Pada 1970-1976, beliau mengajar di lembaga pendidikan swasta Madrasah al-

Islâh Saraimir yang terletak di Azamgarh, Uttar Pradesh.9 Di masa awal

pengabdian ini, ketika umur 18 tahun (1971), beliau dikaruniai anak pertama yang

diberi nama Abû Talhah Mas‟ûd.10

Kemudian terbuka kesempatan untuk

melanjutkan pendidikannya, beliau diterima di Universitas Islam Madinah. Pada

1980, gelar Licence dalam bidang Hadis berhasil ia dapatkan dengan predikat

Mumtâz Awwal. Setelah itu beliau diterima di Universitas Umm al-Qurá, Makkah

untuk meneruskan jenjang magister di bidang hadis. Pada 1984, dengan tesisnya

yang berjudul “Tahqîq wa Dirâsat Kitâb al-Zuhd li al-Imâm Hannâd bin al-Sarî”

Abû Al-Laits berhasil meraih predikat Mumtâz Awwal. Program doktoral pun

7 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xv.

8 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xvi.

9 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xv.

10 Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xvi.

Page 63: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

51

diteruskan di universitas yang sama. Pada 1992, gelar doktor dengan yudisium

Mumtâz berhasil dikantonginya setelah merampungkan disertasi yang berjudul

“al-Juz’ al-Tsâmin min Bayân Musykil al-Âtsâr li al-Imâm al-Tahâwî: Dirâsah

wa Tahqîq”.11

Selepas doktoral, Abû Al-Laits menapaki karir di Malaysia sebagai Asisten

Profesor di jurusan Studi Qur‟an dan Sunnah di Universitas Islam Antarbangsa

(UIA) Malaysia dari 1993 sampai dengan 2000. Kemudian beliau naik jabatan

sebagai Lektor pada 1 April 2000. Berkat pengabdiannya selama itu, pada 1

Januari 2009 Abû Al-Laits diangkat menjadi Profesor yang bertugas di universitas

dan jurusan yang sama hingga saat ini.12

Di usianya yang memasuki tahun ke-64 (2017), Abû Al-Laits masih aktif

mengajar sebagai pengampu mata kuliah ‘Ulûm al-Hadîts: Sciences of Hadîts,

Comparative Study of Commentaries On Musykil al-Hadîts, Ittijâhât Hadîtsah fî

Dirasât al-Sunnah: Modern Trends In Sunnah Study, Qirâ’ah Nassiyyah fî Kutub

al-Hadîts: Readings In Hadîts Books, Research Paper I, Research Paper II,

Studies In Fabricated Hadîts, Studies On Dirâyat al-Matn (Analysis of Hadîts

Texts), Takhrîj al-Hadîts: Retrieval of Hadîts, dan Textual Reading From The Six

Hadîts Collections.13

Abû Al-Laits memainkan peran penting dalam pengembangan Jurusan Studi

Qur‟an dan Sunnah UIA Malaysia. Sejumlah posisi startegis pernah ia jabat. Ia

adalah peletak kurikulum, khususnya yang berkenaan dengan Hadis dan Ilmu

Hadis, di tingkat sarjana dan pascasarjana. Ia juga sering didapuk sebagai ketua di

11

Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xv-xvi. 12

Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 387. 13

Curriculum Vitae of Muhammad Abû Al-Laits, “Teaching Responsibilities” diunduh dari

http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017.

Page 64: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

52

sejumlah komisi jurusan tersebut. Komisi bergengsi yang pernah ia pimpin antara

lain Komisi Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Komisi Pascasarjana, Komisi

Peningkatan Mutu Kurikulum dan Komisi Ujian Mahasiswa.14

Selain mendedikasikan dirinya di Jurusan Studi Qur‟an dan Sunnah UIA

Malaysia, bapak dari tujuh anak ini juga diamanahi beberapa jabatan penting di

luar UIA, antara lain di Lembaga Studi Hadis Selangor selaku anggota redaksi

majalah Buhûth al-Hadîts al-Syarîf, editor Majalah al-Basîrah yang diterbitkan

oleh Akademi Studi Islam Universitas Malaya, dewan penasihat majalah kampus

di Universitas al-Syarîf „Alî Brunai Darussalam, dewan penasihat akademik

pendirian program doktoral bidang hadis Fakultas Syariah Universitas Kuwait,

penasihat akademik di Dâr al-„Ulûm Deoband, dewan penasihat Lembaga Studi

Islam Chicago, dan jabatan lainnya.15

B. Kondisi Sosial dan Politik

India adalah negara yang menerapkan sistem demokrasi sejak awal

kemerdekaannya pada 1947 dengan kondisi masyarakat yang hierarkis dan

memiliki kompleksitas sosial. Berbagai kemelut yang disebabkan keberagaman

14

Abû Salamah, Sîrah Dzâtiyah li al-Ustâdz al-Duktûr Muhammad Abû Al-Laits al-Khair

Âbâdî, 2013, diunduh dari [email protected] pada 12 Februari 2016, h. 4. 15

Abû Salamah, Sîrah Dhâtiyah li al-Ustâdh al-Duktûr Muhammad Abû Al-Laits al-Khair

Âbâdî, 2013 diunduh dari [email protected] pada 12 Februari 2016, h. 3-4.

Page 65: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

53

ras, etnis, agama dan bahasa terjadi dalam pembentukan karakter demokrasinya.

Khususnya kemelut antara mayoritas Hindu dengan minoritas terbesar, yakni

Muslim dan juga agama-agama lain seperti Budha, Kristen, Yahudi, Sikh dan

sejumlah agama-agama kesukuan (tribal religions).16

Ketegangan Hindu-Muslim di India dimulai sejak masa kolonial Inggris. Salah

satu dampaknya adalah partisi India-Pakistan pada 1947. Pemisahan tersebut

adalah bentuk kekecewaan politis kalangan Islam tertentu yang selama masa

kolonial mengalami marginalisasi terutama di bidang politik. Padahal sebelum

datangnya kolonial, kalangan Muslim berhasil menempati pos-pos penting dalam

kedudukan politik di wilayah negara India.17

Sebagian besar Muslim memilih

berpisah dan memiliki negara sendiri yakni Pakistan. Sebagian lainnya tetap

memilih hidup sebagai warganegara India.18

Jumlah Muslim yang menetap di India ketika itu sekitar 30 juta jiwa. Tahun

2003, mereka mengalami peningkatan lima kali lipat menjadi hampir 150 juta

jiwa atau sekitar 15% dari seluruh penduduk India. Jumlah tersebut menempatkan

Muslim India sebagai minoritas terbesar di negara itu atau terbesar kedua di dunia

setelah Indonesia.19

Abû Al-Laits dan keluarganya adalah salah satu dari kaum minoritas itu. Awal

kehidupannya dimulai saat India mengalami kerusuhan komunal karena adanya

rivalitas ekonomi antar etnis, maupun fenomena polarisasi partai-partai politik

serta terdapatnya segregasi tempat tinggal. Daerah perkotaan menjadi kontributor

utama kerusuhan komunal di negara tersebut dan hanya terkonsentrasi pada

16

Dhurorudin Mashad, dkk., Muslim di India (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 9-11. 17

Dhurorudin Mashad, dkk., Muslim di India, h. 35. 18

Dhurorudin Mashad, dkk., Muslim di India, h. 5. 19

Dhurorudin Mashad, dkk., Muslim di India, h. 1, 39.

Page 66: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

54

delapan kota.20

Sedangkan daerah pedesaan, dimana dua pertiga orang India

tinggal, angka kerusuhan relatif kecil. Antara tahun 1950-1995 tercatat kurang

dari 4% korban meninggal akibat kerusuhan etnis/agama.21

Abû Al-Laits kecil

tinggal di Khairabad, wilayah yang aman konflik karena termasuk daerah

pedesaan dan Muslim menjadi mayoritas di sana.22

Daerah yang menjadi

pilihannya sebagai tempat belajar maupun mengajar, yakni Muradabad, Deoband

dan Azamgarh, bukan termasuk daerah yang tercatat sebagai daerah rawan

konflik.

Di sisi lain, Muslim India juga dihadapkan pada konflik internal

keberagamaan sebagai dampak imperialisme dan kapitalisme industri Inggris.

Kekacauan politik dan pengurasan kekayaan India oleh para pedagang Barat

berangsur-angsur menjadikan India menjadi negara yang amat miskin, masyarakat

menjadi kacau, mengakibatkan kebudayaan hancur dan agama menjadi rusak.23

Kondisi ini setidaknya menimbulkan dua reaksi.24

Pertama adalah timbulnya

kelompok Islam Puritan yang ingin kembali kepada kesederhanaan iman dan

masyarakat pada zaman Nabi Muhammad Saw., kembali kepada Islam yang

murni. Mereka menganggap kerusakan yang ada disebabkan oleh banyaknya

penyimpangan dalam menjalani kehidupan keagamaan. Kedua adalah lahirnya

gerakan Islam liberal yang sejalan dengan kebudayaan Barat abad kesembilan

belas dan pandangannya secara umum, terutama perihal sains, metode pergaulan

20

Delapan kota itu adalah Ahmedabad, Aligarh, Hyderabad, Meerut, Baroda, Calcuta, dan

Delhi. Lihat: Dhurorudin Mashad, dkk., Muslim di India, h. 6. 21

Dhurorudin Mashad, dkk., Muslim di India, h. 6-7. 22

Khairabad, Mau, artikel diakses pada 20 September 2016 dari https://en.wikipedia.org/-

wiki/Khairabad,_Mau. 23

Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Bandung: Penerbit Mizan,

1993), Cetakan Pertama, h. 14. 24

Masalah ini sudah dibahas di Bab II poin ke-empat mengenai Pemahaman Hadis Abad

Modern, h. 14.

Page 67: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

55

dan humanitarian-ismenya. Menurut mereka, agama harus dipisahkan dari

manifestasi-manifestasi feodal agar umat Islam dapat maju dan hidup lebih baik.25

Pergolakan pemikiran yang terjadi dalam penghayatan ajaran Islam itu sendiri

terus berlangsung hingga saat ini. Kelompok pertama cenderung kaku dan apa

adanya dalam memahami nas syariat sebagaimana yang tertulis. Kelompok kedua

adalah penganut setia rasionalisme, tidak tunduk pada otoritas syariat selain Al-

Qur‟an, dan menolak semua hal yang bertentangan dengan logika dan hukum

alam, termasuk hadis. Mereka menganggap hadis sudah tidak relevan dengan

masa kini.

Polarisasi tersebut tidak lantas membuat Abû al-Laits sejalan dengan salah

satunya. Ia tetap meyakini seperangkat otoritas pembentuk hukum Islam,

termasuk meyakini otoritas hadis. Dalam hal ini, Dâr al-„Ulûm disinyalir

mempunyai peran besar dalam membentuk pola pikirnya. Dâr al-„Ulûm adalah

titik awal perjalanan Abû al-Laits di dunia hadis.26

Universitas yang terletak di

daerah Deoband itu dijuluki sebagai al-Azhar-nya India.27

Di sana lah Abû al-

Laits belajar hadis secara intensif dibawah bimbingan Ulama Deoband. Mereka

terkenal akan pemikiran moderatnya yang bermazhab Hanafî28

meneruskan

warisan intelektual Syâh Waliyullâh al-Dihlawî.29

25

Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 14-15. 26

Wawancara Muhammad Abû Al-Laits via email pada September 2016, h. 4. 27

Julukan itu diketahui dari ucapan Rasyîd Ridá saat mengunjungi Universitas Dâr al-

„Ulûm Deoband. Ia berkata, “saya melihat kebangkitan Islam dan keilmuan modern di dalam

Madrasah Deoband yang dijuluki sebagai al-Azhar-nya India (Azhar al-Hind). Saya berharap

eksistensinya dapat membawa manfaat besar..” Dâr al-„Ulûm Diyûband, Artikel diakses pada 28

Juni 2017 dari http://www.darululoom-deoband.com/arabic/ 28

Madzab „Ulamâ‟ Diyûband, Artikel diakses pada 28 Juni 2017 dari http://www.darul-

uloom-deoband.com/arabic/maslak.htm. 29

Dâr al-„Ulûm Diyûband, Artikel diakses pada 28 Juni 2017 dari http://www.darululoom-

deoband.com/arabic/magazine. Ulasan singkat pemikiran Shâh Waliyullâh al-Dihlawî bisa dilihat

pada Bab II h. 17-18.

Page 68: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

56

C. Karya Muhammad Abû Al-Laits

Abû Al-Laits termasuk seorang penulis produktif. Pernyataan ini berdasarkan

sejumlah karya yang telah ditelurkannya. Sampai dengan tahun 2009, beliau telah

menulis 14 buah buku, 24 artikel yang dimuat dalam jurnal berskala nasional dan

internasional, dua buah tahqîq dan tiga ulasan buku.30

Ditambah dua buku yang

terbit pada tahun berikutnya, Issues In The Sunnah (2010) dan Dirâsât fî al-

Qur’ân wa al-Sunnah: Manâhij wa Qadâyâ (2011).31

Rentang waktu 2011 hingga

2016, 20 artikel lainnya juga terbit di berbagai jurnal dunia. Semua ini belum

termasuk makalah-makalah yang ia sampaikan dalam forum seminar, konferensi

dan lokakarya.32

Dalam kajian hadis, karya Abû Al-Laits yang berupa buku meliputi Takhrîj al-

Hadîts (Malaysia: 1999), ‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ (Malaysia:

2000), al-Marwiyyât fî Lailat al-Nisf min Sya’bân fî Mîzân al-Naqd al-Hadîtsî

(Malaysia: 2003), al-Marwiyyât fî al-Tausi’ah ‘alá al-‘Iyâl Yaum ‘Âsyurâ fî

Mîzân al-Naqd al-Hadîtsî (Malaysia: 2003), Mu’jam al-Mustalahât al-

Hadîtsîyyah (Malaysia: 2004), al-Tarîqah al-Masnûnah li al-Musâfahah baina al-

Rijâl (Malaysia: 2005), Ittijâhât fî Dirâsât al-Sunnah Qadîmuhâ wa Hadîtsuhâ

(Malaysia: 2005), I’fâ’ al-Lihyah baina al-Nass wa al-Tatbîq (Malaysia: 2006),

Syarh al-Arba’în al-Nawawiyyah (belum diterbitkan, 2004).33

Meskipun berdasarkan speliasisasi keilmuan dikenal sebagai pakar hadis,

Muhammad Abû al-Laits juga menguasai bidang lainnya seperti Humaniora, Studi

30

Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 388-391. 31

Curriculum Vitae of Muhammad Abû Al-Laits, “Research Project Completed”, diunduh

dari http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017. 32

IIUM Repository (IREP), “Mohammed Abul Lais”, diunduh dari http://irep.iium.edu.my-

/view/creators_id/malais=40iium=2Eedu=2Emy_.html pada 15 Juli 2017. 33

Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 388-389.

Page 69: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

57

Keagamaan, Studi Al-Qur‟an dan Tafsirnya, serta Sistem Ekonomi dan

Keuangan.34

Abû al-Laits pun mempunyai tulisan berupa buku dalam bidang

kajian al-Qur‟an meliputi Asas al-Nizâm al-Mâlî wa al-Iqtisâdî fi al-Qur’ân

(Makkah: 1991), Rahîq al-Tafâsîr li al-Ajzâ’ al-Tsalâtsah al-Akhîrah min al-

Qur’ân al-Karîm (Malaysia: 2003), Rahîq al-Tafâsîr li al-Mâ’idah al-Taubah al-

Isrâ’ Maryam, Tâhâ min Suwar al-Qur’ân al-Karîm (Malaysia: 2004).35

Sementara itu, terdapat beberapa proyek penelitian yang belum selesai. Judul

penelitian yang ia garap mulai tahun 2016 yaitu Methodology of Studying the

Problematic Ahâdîts and Dealing with Their Explanation; A Pilot Study on Cyclic

Process Approach for Disposing Islamic Literature Material; dan Debt and

Indebtness in The Hadîts Literature: The Severity Rights and Responsibilities.

Sedangkan penelitiannya sejak tahun 2015 ada dua judul, yaitu Skills of Teaching

The Qur’an between Memorization and Contemplation: A Methodical Study dan

Critical Study Gender Equality Principles In CEDAW: An Islamic Perspective.36

Sebagian besar buku-buku Abû al-Laits dicetak di Malaysia oleh Penerbit Dâr

al-Syâkir, meskipun ada juga penerbit lain yang mencetaknya.37

Kebanyakan

menggunakan bahasa Arab yang kental dengan nuansa ilmiah. Dominasi bahasa

Arab dalam penulisan buku-bukunya dikarenakan bahasa Arab adalah bahasa

yang ia kuasai dengan baik.38

Bahasa lain yang ia gunakan adalah bahasa Inggris.

Kedua bahasa tersebut adalah bahasa pengantar yang digunakan di kampus-

34

Curriculum Vitae of Muhammad Abû Al-Laits, “Area of Specialisation”, diunduh dari

http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017. 35

Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 388-389. 36

Curiculum Vitae of Muhammad Abû Al-Laits, “Research Project”, diunduh dari

http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017. 37

Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 388. 38

Abû Al-Laits fully proficient dalam menggunakan bahasa Arab dan Urdu (reading,

speaking dan writing). Sedangkan bahasa Persia, ia berada di tingkat intermediate (menguasai

reading dan understanding). Lihat: Curiculum Vitae of Muhammad Abû Al-Laits, 2013 diunduh

dari [email protected] pada 12 Februari 2016, h. 8.

Page 70: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

58

kampus Malaysia. Selain itu, bahasa Arab-Inggris adalah bahasa yang mendunia,

sehingga dapat dimengerti oleh kalangan penikmat karyanya, mengingat tempat ia

mengontribusikan ilmunya bukan hanya Malaysia. Sedangkan penggunaan bahasa

ilmiah dilatarbelakangi oleh profesi dan pergumulan beliau yang identik dengan

lingkungan akademis. Beberapa bukunya diproyeksikan untuk dijadikan bahan

ajar di UIA Malaysia (kitâb muqarrar fî al-Jâmi’ah).39

Seluruh tulisan Abû Al-

Laits adalah hasil penelitiannya yang mayoritas berorientasi pada kajian hadis dan

al-Qur‟an.

39

Muhammad Abû Al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 388.

Page 71: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

59

BAB IV

PEMAHAMAN HADIS MUHAMMAD ABÛ AL-LAITS

A. Metode Tekstual-Kontekstual

Sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, Abû Al-

Laits setuju dengan pendapat yang menyatakan tidak semua hadis bersifat statis,

dipahami dan direalisasikan secara tekstual. Melainkan, terdapat pula hadis yang

perlu dipahami secara kontekstual, sehingga dapat dikontekstualisasikan, guna

beradaptasi dengan roda zaman yang terus berputar.1 Meski demikian, metode

yang terakhir ini memerlukan syarat dan kriteria ketat agar tidak terjadi

penyalahgunaan kewenangan. Lantaran hadis adalah sumber rujukan kedua umat

Islam setelah al-Qur‟an.

Tidak hanya setuju dengan wacana pemahaman hadis tekstual dan

kontekstual, Abû Al-Laits juga mempunyai perhatian besar terhadap kajian ini.

Tahun 1999, Abû Al-Laits memublikasikan kompilasi ilmu hadis yang berjudul

‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ. Di dalamnya terdapat bab yang khusus

mengupas pemahaman hadis. Hingga saat ini, karya tersebut menjadi buku

panduan dalam mata pelajaran „Ulûm al-Hadîts di berbagai perguruan tinggi dan

lembaga pendidikan Islam baik di dalam maupun di luar Malaysia. Cetakan

pertama dan kedua habis terjual dalam kurun waktu tidak lebih dari setahun.2

Dalam buku tersebut, ia membagi pembahasan ke dalam tiga bab utama: al-

Madkhal ilá ‘Ulûm al-Hadîts (Pengantar Ilmu Hadis), ‘Ulûm Riwâyat al-Hadîts

(Ilmu Sanad Hadis) dan ‘Ulûm Dirâyat al-Hadîts (Ilmu Matan Hadis). Pembagian

1 Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 6.

2 Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 5.

Page 72: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

60

itu bertujuan untuk menjadi jenjang dalam mempelajari ilmu hadis. Sebelum

memasuki pembahasan inti, baiknya terlebih dahulu mengenal istilah-istilah hadis

(Mustalâh al-Hadîts). Tahap pengenalan ini dibahas pada bagian al-Madkhal ilá

‘Ulûm al-Hadîts. Kemudian masuk ke pembahasan inti yaitu meneliti hadis.

Langkah pertama adalah verifikasi sanad yang merupakan tujuan dari Ulûm

Riwâyat al-Hadîts. Selanjutnya, jika sudah lolos verifikasi, dimulailah proses

akhir yakni pemahaman matan menggunakan perangkat yang ada dalam ‘Ulûm

Dirâyat al-Hadîts. Berikut ini adalah pemaparan singkatnya.

1. ‘Ilm Gharîb al-Hadîts wa Syarhih wa Fiqhih

Cabang ilmu ini bertugas untuk mengatasi problem yang terjadi di wilayah

matan karena ada redaksi hadis yang sukar dipahami lantaran jarang

penggunaannya. Problem ini muncul sebagai salah satu pengaruh ekspansi

wilayah kekuasaan Islam, masuknya orang-orang non-Arab ke dalam agama

Islam dan berkembangnya generasi campuran (arab-non-Arab) yang

melahirkan aksen baru dalam bahasa Arab murni. Oleh karena itu, kalangan

atbâ’ al-Tâbi’în berinisiatif untuk mewacanakan Gharîb al-Hadîts sebagai

bentuk antisipasi akan adanya kebuntuan pemahaman hadis pada sebagian

orang.3 Contohnya adalah penjelasan makna farîdat al-sadaqah.

ثو أن أبا بكر كتب لو ث نا ثامة بن عبد اللو بن أنس أن أنسا حد ر ية اللد ة حدول يمع ب ي مت فرق ول فرق ب ي متمع خشية »ملسو هيلع هللا ىلص ر ر ل اللو الت

.«اللد ة Thumâmah bin „Abdillâh bin Anas bercerita kepada kami bahwa Anas

bercerita kepadanya bahwa Abû Bakr menuliskannya ketentuan zakat

3 Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 289.

4 Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-Hiyal,

Bâb fî al-Zakâh wa an Lâ Yufarraq baina Mujtami‟ wa Lâ Yujma‟ baina Mutafarriq Khashyat al-

Sadaqah, Hadis No. 6955, Jilid IV, h. 235. Terdapat empat riwayat al-Bukhârî yang

mencantumkan kata farîdat al-sadaqah, yaitu hadis nomor 1453, 1454, 2487 dan 6955.

Page 73: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

61

yang telah ditentukan oleh Rasulullah Saw. (yakni) tidak boleh

mengumpulkan sesuatu yang terpisah dan tidak boleh pula memisah

sesuatu yang terkumpul karena takut mengeluarkan zakat.

Kata farada umumnya diartikan dengan wajib, maka farîdah adalah

kewajiban. Namun, makna yang dikehendaki oleh hadis tersebut adalah

ketentuan. Farada Rasûlullâh berarti qaddarahâ wa bayyana kaifiyatahâ

(menentukan dan menjelaskan tata cara zakat). Makna asal al-fard adalah al-

qat’ (potongan).5 Farada dalam hadis tersebut adalah farada li al-tadqîr

(ketentuan) bukan li al-îjâb au li al-ilzâm (kewajiban). Argumentasi ini

didukung oleh penggalan ayat 236 dalam surat al-Baqarah,6

﴿... ...﴾

“...atau belum kamu tentukan maharnya...”

Selain merujuk pada ayat al-Qur‟an, kasus Gharîb al-Hadîts juga bisa

dipecahkan melalui riwayat lainnya7 dan sastra Arab yang di dalamnya

termasuk kaidah kebahasaan, puisi, syair maupun sajak.8

2. ‘Ilm Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhih

Disiplin ilmu ini merupakan salah satu upaya menyelesaikan nas-nas

syariat yang tampak kontradiktif. Digunakan kata “tampak” karena pada

sejatinya tidak ada pertentangan antar hadis maupun nas syariat lainnya.

Kontradiksi muncul akibat perbedaan tingkat pemahaman atau salah satu dari

nas yang tampak kontradiktif kehujahannya telah dibatalkan. Kebenaran tidak

5 Dari kata al-Qat’ terbentuklah makna al-taqdîr karena dalam sebuah potongan

mengandung batas, ukuran, tata cara memotong dan juga terwujud karena adanya keputusan yang

ditentukan. Terbentuk pula makna al-îjâb karena jika suatu putusan telah ditentukan, maka wajib

dilaksanakan. Seperti halnya seorang hakim telah memutuskan suatu perkara, maka keputusannya

wajib untuk dilaksanakan. 6 Abû Sulaimân al-Khattâbî al-Bustî, Gharîb al-Hadîts (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1982), Jilid

II, h. 45-46. 7 Abû Sulaimân al-Khattâbî al-Bustî, Gharîb al-Hadîts, Jilid II, h. 5-6.

8 Mahmûd bin „Umar Al-ZamakhSyarî, al-Fâiq fî Gharîb al-Hadîts (Beirût: Dâr al-Fikr,

1993), Jilid I, h. 10. Lihat pula: Abû Sulaimân al-Khattâbî al-Bustî, Gharîb al-Hadîts, Jilid II, h. 5.

Page 74: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

62

akan bertentangan dengan kebenaran lainnya. Hadis sahih tidak akan

tumpang-tindih dengan hadis sahih yang lainnya.

Ada dua tipe kontradiksi. Pertama adalah kontradiksi yang berpeluang

untuk dikompromikan (al-jam’). Kedua adalah kontradiksi yang tidak

mungkin untuk disatukan. Langkah yang ditempuh untuk menyelesaikannya

adalah dengan metode abrogasi (al-naskh). Cara ini digunakan jika diketahui

bahwa salah satu kandungan hadis telah dibatalkan penggunaannya. Jika tidak

diketahui, maka digunakanlah metode preferensi (al-tarjîh).9 Ketika problem

tidak juga dapat terpecahkan melalui ketiga cara tersebut, solusi terakhir

adalah tawaqquf, yakni hadis tersebut ditangguhkan hingga diketahui antara

yang râjih dengan yang marjûh. Kasus tawaqquf ini jarang sekali ditemukan.10

Contoh penggunaan al-jam’ dan al-naskh dalam menyelesaikan matan

hadis yang tampak bertentangan dapat dilihat pada hadis tentang

memperbaharui wudhu tiap kali akan melaksanakan salat berikut ini.

.»كان ت لك ة ملسو هيلع هللا ىلصأن النب «عن ليمان بن ب ر دة Dari Sulaymân bin Buraydah bahwasanya Nabi Muhammad Saw.

selalu berwudhu untuk tiap waktu salat.

ملسو هيلع هللا ىلصكان النب «سعت أنس بن مالك ، ق ل : عن عمرو بن عامر األنلاري ال كنا نللي اللل ات : ن تم ما كنتم تلن ع ن ؟ ال : لت » ت عند ك ة

.كل ا ب و واحد ما دث Dari Anas, ia menyebutkan bahwasanya nabi datang dengan membawa

sebuah wadah kecil kemudian berwudhu. Aku („Amr) bertanya,

9 Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân bin Abî Bakr al-Suyûtî, Tadrîb al-Râwî, Jilid II, h. 116.

10

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 294. 11

Diriwayatkan oleh Sufyân al-Tsaurî dari Muhârib bin Ditsâr dari Sulaimân bin Buraidah.

Hadis ini tercantum dalam Sunan al-Tirmidzî sebagai syâhid hadis yang diriwayatkannya. Lihat:

Abû „Îsá al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Jilid I, Abwâb al-Tahârah, Bâb Mâ Jâ‟a Annahu Yusallî

al-Salawât bi Wudû‟ Wâhid, Hadis No. 61, h. 125. 12

Abû „Îsá al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Jilid I, Abwâb al-Tahârah, Bâb Mâ Jâ‟a fî al-

Wudû‟ li Kulli Salâh, Hadis No. 60, h. 124.

Page 75: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

63

“Apakah Nabi Muhammad Saw. Berwudhu setiap kali salat?” Anas

menjawab, “Ya.” Amr bertanya lagi, “bagaimana dengan kalian?”

Anas menjawab, “kami melaksanakan beberapa salat dengan sekali

wudhu selama belum berhadas.”

ر اىر ملسو هيلع هللا ىلصأن النب «: عن أنس عن يد »كان ت لك ة اىرا أو ي .كنا ن ت و وا واحدا: كي كنتم تلن ع ن أن تم؟ ال : لت ألنس : ال

Dari Humaid dari Anas bahwasanya Nabi Muhammad Saw. Berwudhu

setiap kali salat baik dalam keadaan suci maupun berhadas. Humaid

bertanya kepada Anas, “bagaimana kalian melakukannya” Anas

menjawab, “kami hanya satu kali berwudhu.”

Mengutip pendapat al-Tahâwî, al-Hâzimî menjelaskan bahwa hadis

pertama yang menyebutkan berwudhu setiap akan salat dipahami dalam

konteks keutamaan, bukan kewajiban –atau– dipahami bahwa hal tersebut

adalah salah satu kekhususan bagi Nabi Saw, tidak termasuk umatnya.

Pendapat ini diperkuat dengan dua hadis setelahnya yang menyebutkan para

sahabat melakukan beberapa salat dengan satu kali wudhu selama belum

berhadas.14

Kontradiksi dapat pula diselesaikan dengan menggunakan metode

abrogasi (al-naskh) jika dipahami bahwa pada awalnya berwudhu tiap kali

akan melaksanakan salat memang diwajibkan, kemudian setelah itu

mengalami pembatalan hukum.15

Naskh/abrogasi suatu hadis dapat diidentifikasi melalui penjelasan

langsung dari Rasulullah Saw., qaul al-sahâbî, pendekatan historis dan ijma‟

yang disandarkan pada nas.16

Ijma ulama tanpa ada penyandaran nas tidak

13

Abû „Îsá al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Abwâb al-Tahârah, Bâb Mâ Jâ‟a fî al-Wudû‟ li

Kulli Salâh, Hadis No. 58, h. 123. 14

Muhammad bin Mûsá al-Hâzimî, al-I’tibâr fî Bayân al-Nâsikh wa al-Mansûkh, h. 54. 15

Muhammad bin Mûsá al-Hâzimî, al-I’tibâr fî Bayân al-Nâsikh wa al-Mansûkh, h. 55. 16

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 293-294. Lihat pula: Al-

Suyûtî, Tadrîb al-Râwî, Jilid II, h. 111-112, al-Hâzimî, al-‘I’tibar fî Bayân al-Nâsikh wa al-

Mansûkh min al-Âtsâr, h. 10.

Page 76: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

64

dapat menasakh suatu hadis. Sejatinya ijma‟ hanya sebagai indikator

keberadaan nâsikh yang berupa nas syar‟i.17

3. ‘Ilm Asbâb Wurûd al-Hadîts

Sarana ini bergerak meneropong situasi dan kondisi sekeliling teks,

mencari tahu bagaimana kronologi kelahiran sebuah teks/hadis guna

memberikan gambaran posisi Nabi Muhammad Saw. ketika menyabdakan,

sehingga dapat membimbing untuk memahami hadis dengan baik dan tepat.

Problem yang dihadapi di dalamnya adalah tidak semua hadis mempunyai

asbâb al-wurûd, bahkan hanya sebagian kecil saja.18

Sebagai alternatif,

pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau pendekatan lainnya dapat

digunakan sebagai pisau bedah pemahaman hadis yang tidak memiliki asbâb

al-wurûd. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak

berbicara dalam kondisi yang vakum historis dan hampa kultural. Aplikasi

sarana ini dapat dilihat dalam memahami hadis berikut.

ب عث ر ة إل خث عم اعتلم ناس ملسو هيلع هللا ىلصعن جر ر بن عبد اللو، أن ر ل اللو أنا »: مر م بنل العق و ال ملسو هيلع هللا ىلصبالسج د، رع ي م القت ، ب لغ ذلك النب شركي

.«بريو من ك مسلم قيم ب ي أ ر اا

Dari Jarîr bin „Abdillâh, bahwasanya Rasulullah Saw. mengutus

pasukan (A) ke daerah Khath‟am. Orang muslim menetap di sana (B)

segera bersujud [dengan keyakinan bahwa pasukan tersebut tidak

membunuh mereka ketika melihat mereka sujud, untuk memberi

17

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 294. 18

Al-Bayân wa al-Ta’rîf fî Asbâb Wurûd al-Hadîts al-Syarîf karya Ibn Hamzah al-Husainî

dinobatkan sebagai kitab paling komperehensif yang membahas tentang Asbâb Wurûd al-Hadîts.

Dalam al-Luma’ fi Asbâb Wurûd al-Hadîts, Al-Suyûti hanya menghimpun 98 hadis. Sedangkan

Ibn Hamzah al-Husainî berhasil mengumpulkan hingga 1594 hadis. Perbedaan jumlah yang

mencolok ini dikarenakan Al-Suyûti wafat sebelum merampungkan penulisan kitabnya tersebut.

Lihat: Ibn Hamzah al-Husainî, Al-Bayân wa al-Ta’rîf fî Asbâb Wurûd al-Hadîts al-Syarîf

(Aleppo/Halb al-Shashbâ‟: Dâr al-Hukûmah, 1329 H), h.2, . Lihat pula: Al-Suyûti, Al-Luma’ fi

Asbâb Wurûd al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 2004), h. 184. 19

Abû „Îsá al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Jilid II, Kitâb al-Siyar, Bâb Mâ Jâ‟a fî Karâhiyat

al-Maqâm baina Azhur al-Musyrikîn, Hadis No. 1610, h. 223.

Page 77: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

65

isyarat bahwa mereka adalah orang mukmin]. Kemudian di antara

mereka (B) ada yang terbunuh. Sampailah kabar tersebut ke telinga

Rasulullah Saw., lalu beliau memerintahkan kepada mereka (A) untuk

membayar setengah diyat seraya berkata, “aku tidak bertanggung

jawab atas orang muslim yang tinggal di wilayah kaum musyrik.”

Sebagian orang menggunakan hadis ini sebagai dalil pengharaman

berdomisili di wilayah mayoritas non-Islam. Sementara itu, keperluan zaman

sekarang untuk menetap di sana cukup mendesak, seperti dalam rangka

pendidikan, pengobatan, bisnis, dan yang lainnya. Menukil pendapat al-

Khattâbî, Al-Qardâwî menjelaskan bahwa pembayaran setengah diyat kepada

muslim terbunuh dikarenakan setengah jiwa mereka telah tergadaikan dengan

menetapnya mereka di kawasan non-muslim. Maka, perkataan Nabi

Muhammad Saw. dapat dipahami dengan “aku tidak bertanggung jawab atas

nyawa mereka jika terbunuh karena mereka telah mempertaruhkan setengah

jiwanya dengan keberadaan mereka di wilayah orang-orang yang memerangi

Islam.” Ketika zaman telah berganti dan perang sudah berhenti, „illah yang

melatarbelakanginya telah tercerabut, menetap di kawasan yang mayoritas

non-muslim bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan. al-Hukm yadûru

ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman.20

Tidak berbeda dengan pakar hadis lainnya, Muhammad Abû al-Laits juga

memandang Asbâb Wurûd al-Hadîts sebagai salah satu ilmu yang memiliki

peran penting dalam memahami hadis dengan baik. Hadis yang diketahui latar

belakangnya tidak mungkin dipahami jauh dari motif kemunculannya tersebut.

Ketika dipahami tidak sesuai dengan porsinya, maka akan terjadi kerancuan

dan dapat melahirkan kesimpulan yang mengkhawatirkan.21

20

Yûsuf al-Qardawî, Kaifa Nata’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 128. 21

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 299.

Page 78: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

66

4. ‘Ilm Mukhtalif al-Hadîts wa Musykilih

Muhammad Abû al-Laits menyandingkan pembahasan Mukhtalif dengan

pembahasan Musykil al-Hadîts, meskipun Musykil lebih umum dari pada

Mukhtalif. Pokok bahasan keduanya adalah kendala-kendala yang dihadapi

dalam memahami hadis. Kajian Mukhtalif al-Hadîts terfokus pada

penyelesaian kontradiksi antar hadis, sedangkan Musykil al-Hadîts tidak

sebatas mengupas kontradiksi dan tidak hanya pada taraf hadis, tetapi juga

melibatkan dalil yang lain seperti al-Qur‟an, ijma‟ dan qiyas. Lingkupnya

adalah segala macam kesulitan yang ada dalam mencerna matan hadis. Setiap

hadis kontradiktif masuk ke dalam pembahasan Musykil, tetapi tidak

sebaliknya.22

5. ‘Ilm al-Bu’dain: al-Bu’d al-Zamânî wa al-Makânî

Ilmu ini memiliki relasi dengan ‘Ilm Sabab Wurûd al-Hadîts, karena

Sabab adalah hasil dari penyesuaian sabda Nabi Saw. dengan dimensi ruang

dan waktu.23

Bagian ini membahas definisi ‘Ilm al-Bu’dain secara etimologi

dan terminologi, pengaruh al-Bu’dain dalam memahami hadis, aturan dalam

menerapkan ‘Ilm al-Bu’dain, dan manfaat yang dapat dipetik dengan adanya

disiplin ilmu ini.

Melalui ‘Ilm al-Bu’dain, Abû Al-Laits berupaya menjelaskan pengaruh

dimensi ruang dan waktu terhadap pemahaman hadis. Ia menjadikannya

sebagai salah satu sarana penjelas teks-teks hadis karena realita disabdakannya

hadis menyesuaikan diri dengan kedua bu’d tersebut. Pembahasan lebih lanjut

22

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 306. 23

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 316.

Page 79: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

67

akan diuraikan pada subbab berikutnya yang khusus mewartakan tentang Ilm

al-Bu’dain.

B. ‘Ilm al-Bu’dain: Konsep Baru Memahami Tekstual-Kontekstual Hadis

Abû al-Laits menyatakan bahwa Ilm al-Bu’dain adalah sebuah kajian baru

dalam Ilmu Hadis. Untuk pertama kali dalam sejarah, wacana ini resmi menjadi

bagian dari ‘Ulûm al-Hadîts.24

Esensi ilmu ini adalah dapat membedakan hadis

yang dibaca tekstual dan kontekstual serta tata cara mengontekstualisasikannya

dengan baik.

Ilm al-Bu’dain: Al-Bu’d al-Zamânî wa al-Makânî. Al-Bu’d al-Zamânî

diartikan sebagai situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi Nabi Muhammad

Saw. selama masa kenabian yang berlangsung selama 23 tahun. Sedangkan al-

Bu’d al-Makânî adalah wilayah jazirah Arab dengan segala situasi-kondisinya

meliputi lingkungan, iklim, adat kebiasaan, tradisi, kultur yang bergumul dengan

Nabi Muhammad Saw. selama 23 tahun masa kenabian itu.25

Al-Bu’d al-Zamânî wa al-Makânî, keduanya tidak dapat dipisahkan. Hal ini

dikarenakan sasaran dakwah Nabi Saw. ketika itu adalah kaum Arab yang

merupakan penduduk jazirah Arab. Maka terhimpunlah antara zaman/waktu yakni

23 tahun masa nubuwwah dan tempat yakni jazirah arab dengan segala suka

dukanya.26

24

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 310. 25

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 315-316. 26

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 316.

Page 80: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

68

C. Klasifikasi Ranah Tekstual-Kontekstual dalam ‘Ilm al-Bu’dain

Setelah membaca langkah-langkah metodis Muhammad Abû al-Laits dalam

memahami hadis secara kontekstual, selanjutnya adalah mengetahui cakupan

wilayah hadis yang dapat dan yang tidak dapat dikontektualisasikan. Hal ini

penting untuk dicermati karena di dalam syariat Islam terdapat dua macam

hukum.

Pertama, hukum yang tidak dapat dicerna oleh akal, umat muslim wajib

mengimani tanpa harus mempertanyakannya yang disebut dengan ta’abbudî atau

ghair ma’qûlat al-ma’ná. Bagian ini-lah yang dipahami dengan cara tekstual.

Kedua, hukum yang dapat dirasionalkan atau dijelaskan menurut logika akal

manusia, disebut dengan ta’aqqulî atau ma’qûlat al-ma’ná.27

Bagian ini bersifat

lentur, dapat berubah karena perbedaan waktu dan tempat pelaksanaan hukum.

Pembagian hukum ini juga berkaitan dengan posisi Nabi Saw. ketika

mengeluarkan sebuah pernyataan. Ada kalanya beliau memainkan peran sebagai

Nabi/pembawa syariat (tasarrufât bi al-tablîgh au al-futyá), yang sabdanya harus

diikuti sampai hari kiamat nanti. Ada kalanya pula beliau berkata dalam posisinya

sebagai pemegang kebijakan (tasarrufât bi al-qadâ’ au al-imâmah au al-

27

Alî Mustafâ Ya‟qûb, al-Turuq al-Sahîhah fî Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 195.

Istilah ghair ma’qûlat al-ma’ná dan ma’qûlat al-ma’ná telah digunakan oleh Ibn Rusyd dalam

kitabnya Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid. Beliau menjelaskan bahwa

pengelompokkan tersebut dapat menjadi salah satu penyebab ulama berbeda pendapat dalam

menentukan suatu hukum. Hal ini dikarenakan pelaksanaan ‘ibâdah mahdah atau ghair ma’qûlat

al-ma’ná membutuhkan niat (muftaqirah ilá al-niyyah) sedangkan ma’qûlat al-ma’ná tidak.

Misalnya pada kasus wudhu. Apakah wudhu sebatas bentuk penghambaan manusia kepada Allah

Swt. atau aktifitas dalam menjaga kebersihan. Jika wudhu termasuk ke dalam kategori yang

pertama, maka wajib niat dalam berwudhu. Sedangkan jika termasuk kategori yang kedua, maka

tidak wajib niat. Tugas fiqh adalah menimbang faktor mana yang lebih kuat orientasi/wajh syabah-

nya, kemudian hukumnya akan diikutkan dengan faktor terpilih. Lihat: Ibn Rusyd, Bidâyat al-

Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 6.

Page 81: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

69

tasarrufât al-khâssah), yang perkataannya bisa diaplikasikan sesuai dengan

kondisi tempat, waktu maupun kondisi perorangan.28

Untuk itu, ia mengadakan penelitian literatur klasik secara mendalam untuk

mengetahui sejauh mana dimensi ruang dan waktu dapat memengaruhi

pemahaman hadis.29

hasilnya adalah sebagai berikut.

1. Ranah Hadis Yang Tidak Terpengaruh al-Bu’dain

Muhammad Abû al-Laits memuat cakupan ranah yang tidak terkena

pengaruh al-Bu’dain (al-majallât allatî lam yuaththir fîhâ al-Bu’dân), atau

disebut dengan ranah tekstual, pada salah satu subbab pembahasan ‘Ilm al-

Bu’dain. Dengan tidak adanya pengaruh al-Bu’dain, menunjukkan bahwa

ketetapan yang ada dalam kesemua ranah itu bersifat tetap, alias harus dibaca

tekstual karena tidak dapat diubah kecuali dalam kondisi darurat. Beliau

menguraikannya ke dalam enam poin sebagai berikut.30

Pertama, hadis yang berkaitan dengan akidah (Majâll al-‘Aqâ’id).

Ketentuan hukum pada masalah akidah selamanya tidak akan berubah, kecuali

dalam keadaan terpaksa (hâlat al-idtirâr). Misalnya, seseorang diperbolehkan

mengaku dirinya keluar dari agama Islam ketika bahaya mengancam.

Melafalkan kalimat kufur merupakan hal terlarang pada kondisi netral. Hal

tersebut menjadi boleh ketika ia berada di bawah tekanan atau kondisi yang

28

Muhammad Abû al-Laits, al-Hadîts al-Imâmah min Quraisy fî Muwâjahat al-Tahaddiyât

al-Mu’âsirah, Majallah „Ilmiyyah Muhakkamah Nisf Sanawiyyah, Vol. 6, No. 1 (2013), h. 34.

Model pemahaman hadis melalui pemilahan posisi Nabi Saw. sebagai hakim, mufti (muballigh al-

risâlah) dan imam digagas oleh al-Qarâfî dalam karyanya Anwâ‟ al-Burûq fî Anwâ‟ al-Furûq dan

dikembangkan oleh Ibn Âsyûr dalam karyanya Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islâmiyyah. Lihat:

Muhammad al-Tâhir bin „Âsyûr, Maqâsid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah (Yordania: Dâr al-Nafâ‟is,

2000), h. 207-230. Lihat pula: Ahmad bin Idrîs al-Qarâfî, Anwâ‟ al-Burûq fî Anwâ‟ al-Furûq

(Beirût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1998), Cet. I, h. 357 29

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 316. 30

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 316.

Page 82: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

70

memaksa seperti ancaman dibunuh dan yang lainnya.31

Asalkan hatinya tetap

berpegang teguh pada Islam.32

Kedua, ibadah pokok (al-‘Ibâdât al-Usûl). Ibadah pokok seperti salat,

puasa, haji dan zakat, tidak akan berubah hukum, bilangan dan cara

pelaksanaannya, kecuali pada kondisi uzur (hâlat al-a’dzâr). Kondisi uzur

sama dengan hâlat al-idtirâr pada poin sebelumnya. Keduanya merupakan

pengecualian (hâlat al-istitsnâ‟) yang memunculkan konsep rukhsah. Kondisi

ini akan dipaparkan lebih lanjut pada pembahasan selanjutnya “Ketentuan-

ketentuan dalam Mengaplikasikan Ilm al-Bu’dain.”

Ketiga, Al-Mabâdî al-‘Âmah li Anzimah al-Islâmiyyah. Dalam prinsip

umum syariat Islam terdapat ketetapan mengenai halal-haram baik dalam

muamalah maupun bidang lainnya. Misalnya, dalam muamalah ada aturan

mengenai kehalalan, seperti halalnya jual beli, sewa-menyewa, pinjam-

meminjam dan persamaan hak. Ada juga aturan halal seputar pernikahan,

seperti bolehnya talak, khulu‟, „iddah. Begitu pula dengan aturan keharaman,

seperti tidak boleh memperoleh harta dari cara yang tidak benar; riba, korupsi,

pencurian, perampasan dan yang lainnya. Juga keharaman hubungan yang

tidak sesuai dengan syariat, misalnya zina, lesbian dan homo seksual.

Keharaman dan kehalalan yang telah disebutkan tidak akan berubah walau

zaman telah berganti.

31

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 320. 32

Lihat Fath al-Bârî. Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-

Sindî , Kitâb al-I‟tisâm, Bâb al-Iqtidâ fî Sunan Rasûlillâh Saw., Hadis No. 7288, Jilid IV, h. 299.

Redaksi hadis:

لكم بسؤا م واخت م على » ال ملسو هيلع هللا ىلصعن أب ىر رة عن النب ا ىلك من كان ب دع ن ما ت ركتكم إن .«أمرتكم ب مر ت ا منو ما ا ت عتم أنبيائ م إذا ن يتكم عن شيو اجتنب ه وإذا

Page 83: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

71

Keempat, etika dan nilai-nilai (al-Akhlâq wa al-Qiyam). Yang termasuk

akhlak terpuji adalah jujur, amanah, berani, bijaksana dan yang lainnya.

Sedangkan bohong, khianat, pengecut, sombong, pelit, dan lain sebagainya

berada pada jajaran akhlak tercela. Perubahan waktu maupun tempat tidak

akan bisa mengubah yang terpuji menjadi tercela dan sebaliknya, kecuali

dalam beberapa kondisi tertentu yang disebut dengan hâlat al-istitsnâ‟,

seseorang diperbolehkan untuk berbohong demi kemaslahatan.

Kelima, Al-Sunan al-Ilâhiyyah. Seperti terbitnya matahari dari ufuk timur

dan tenggelam di ufuk barat, penciptaan manusia dan hewan dari pembuahan

sperma terhadap ovum, pergantian musim dan lain-lain adalah bagian

sunnatullâh yang tidak akan berubah karena adanya perubahan dimensi ruang

dan waktu kecuali Allah Swt. menghendakinya.

Keenam, ketetapan khusus bagi Nabi Muhammad Saw. Ketika Rasulullah

Saw. melakukan suatu tindakan, lalu terdapat dalil yang menyatakan tindakan

itu termasuk al-Qadayá al-Khâssah bi al-Nabî, maka umatnya tidak

diperbolehkan untuk ikut mempraktikkannya. Dalil tersebut harus dipahami

sebagaimana yang tertulis. Suatu hal yang khusus tidak diberlakukan untuk

umum. Seperti kewajiban salat tahajjud, kewajiban salat duhá,

diperbolehkannya puasa setahun penuh dan lain-lain.

Enam hal di atas, jika disederhanakan, sama dengan pembagian yang

dikemukakan oleh Ali Mustafa Yaqub, yakni ranah pembacaan tekstual

mencakup; hadis seputar ‘ibâdah ta’abbudiyah yang telah ditentukan oleh

Page 84: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

72

syariat Islam, hadis yang berisi perkara ghaib (al-umûr al-ghaibiyyah)33

dan

hadis tentang hukum qat’î.34

2. Ranah Hadis Yang Terpengaruh al-Bu’dain

Dalam pembahasan yang diberi judul al-Majâlât allatî qad Yu’aththir fîhâ

al-Bu’dân (cakupan hadis yang dapat terpengaruh oleh dua dimensi atau

disebut dengan ranah yang menerima kontekstualisasi), Abû al-Laits melansir

peninjauannya mengenai ranah hadis yang memungkinkan untuk

dikontekstualisasikan. Hasilnya adalah sebagai berikut: 35

Pertama, hadis yang berkaitan dengan cabang dari ibadah pokok (tafrî’ al-

‘ibâdât al-usûl) atau terapan dari prinsip umum syariat Islam (tatbîq al-

mabâdi’ al-âmmah li al-andzimah al-Islâmiyyah).

Kedua, hadis yang berisi instruksi Nabi Muhammad Saw. yang ditujukan

kepada pemerintah daerah, pemimpin pasukan perang untuk memilih utusan,

33

„Alî Mustafâ Ya‟qûb, al-Turuq al-Sahîhah, h. 140, 143. 34

„Alî Mustafâ Ya‟qûb, al-Ijtihâd wa al-Irhâbiyyah wa al-Lîbirâliyyah (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2012), h. 16-17. Ali Mustafa mendefinisikan hukum qat‟î yaitu segala masalah agama

yang dilandasi oleh dalil yang pasti dan menjadi hal yang pasti diketahui berasal dari agama,

dimana siapa pun dapat mengetahuinya, seperti salat lima waktu, puasa Ramadan, haji, zakat, zina

dan urusan agama lainnya. Lihat juga: Hartono, Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di

Indonesia; Studi atas Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Yaqub, 97. 35

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 318.

Page 85: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

73

membuat formasi pasukan, menentukan strategi perang, membagi wilayah,

mengatur pembagian harta baitul mal untuk kemaslahatan, menyetujui

perjanjian, penentuan dan pelaksanaan takzir, tata cara pelaksanaan had dan

takzir, penentuan waktu dan kondisi terdakwa untuk menjalankan hukuman

dan lain sebagainya.

Ketiga, hadis mengenai eksperimen yang dilakukan oleh manusia (al-

tajârib al-basyariyyah) atau menurut tradisi yang ada (al-a’râf wa al-âdât) ,

seperti hadis tentang medis dan lain-lain yang berhubungan dengan duniawi.

Keempat, hadis yang berkaitan dengan sisi kemanusiaan Nabi Muhammad

Saw. (al-af’âl al-jibilliyyah li al-Nabî) seperti cara dan media yang digunakan

ketika makan, minum, berjalan, tidur dan lainnya.

Dari keempat poin di atas, Abû al-Laits menyimpulkan bahwa ranah

kontekstualisasi hadis mencakup hal yang berkaitan dengan (1) tabiat (2)

tradisi (3) sosial (4) ekonomi (5) kebudayaan (6) kemaslahatan (7) maqashid

(8) politik (9) peperangan (10) keamanan (11) kebijakan syariat (12) lokal

(13) temporal (14) kesehatan dan lain-lain.

D. Ketentuan-ketentuan dalam Mengaplikasikan Ilm al-Bu’dain

Setelah memetakan ranah tekstual (yang tidak terpengaruh al-Bu’dain) dan

kontekstual (yang terpengaruh al-Bu’dain), Abû al-Laits mencoba untuk

menghadirkan ketentuan-ketentuan dalam menerapkan pemetaan tersebut.

Tujuannya adalah untuk mengawal jalannya pemahaman agar tetap berada pada

jalur yang benar dan terhindar dari sikap gegabah.

Page 86: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

74

1. Al-Darûrât al-Syar’iyyah wa Hâlât al-Istithnâ’

Al-Darûrah adalah kondisi mengkhawatirkan atau sakit keras yang

menimpa seseorang, sekiranya ditakutkan timbul bahaya terhadap jiwa, organ

tubuh, kehormatan diri, atau hartanya dan hal lain yang masih berkaitan.

Kondisi tersebut memperbolehkan seseorang melakukan sesuatu keharaman,

meninggalkan atau mengakhirkan kewajiban dari waktu pelaksanaannya,

untuk mencegah kemudaratan menurut dugaan kuatnya, dengan ketentuan

yang berlaku dalam syariat.36

Dengan kata lain, Al-Darûrah dapat

mengontekstualisasikan hukum yang bersifat tekstual. Prinsip dasar al-

darûrah tertera dalam al-Baqarah ayat 173,

ر باا ول عاد إ عليو ...﴿ ﴾ ... من ا ر ي “… barang siapa terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak

(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya…”

Ayat ini menjadi dasar tersabdakannya hadis Nabi Muhammad Saw.

dalam riwayat al-Nasâ‟î37

dan terbentuknya kaidah fiqh al-darûrât tubîhu al-

mahzûrât yakni kondisi darurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang.

Dilanjutkan dengan penerapan kaidah mâ ubîhu li al-darûrah yuqdaru bi

qadrihâ yang artinya sesuatu yang diperbolehkan dalam keadaan terpaksa

diperkirakan sesuai dengan kadar kebutuhannya. Dalam hadis nabi, banyak

36

Wahbah al-Zuhailî, Nazariyat al-Darûrah al-Syar’iyyah (Beirût: Mu‟asasat al-Risâlah,

1979), h. 67-68. 37

Legalitas tersurat rukhsah juga terdapat dalam riwayat al-Nasâ‟î:

ما بال : مر برج شجرة رش عليو الماو، ال ملسو هيلع هللا ىلصأخب رن جابر بن عبد اهلل، أن ر ل اهلل إنو ليس من الب أن تل م ا السفر، وعليكم »: ا ر ل اهلل ائم، ال : احبكم ىذا؟ ال ا

.«برخلة اهلل الت رخص لكم ا ب ل ىاAbû „Abd al-Rahmân al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Siyâm, Bâb Dzikr al-Ikhtilâf „alá

Muhammad bin Abd al-Rahmân, Hadis No. 2258, Jilid IV, h. 180. Lihat pula: Alî Mustafâ

Ya‟qûb, al-Turuq al-Sahîhah fî Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 112.

Page 87: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

75

kasus al-darûrah yang kemudian mengakibatkan penerapan konsep rukhsah.38

Abû al-Laits mengambil sampel hadis tentang Rasulullah Saw.

memperbolehkan Abdurrahmân bin „Auf dan Zubair bin al-„Awwâm memakai

pakaian yang terbuat dari sutra karena gatal menyerang mereka.

.للزب ي وعبد الر ن لبس الر ر لكة بما ملسو هيلع هللا ىلصعن أنس ال رخص النب Dari Anas berkata Nabi Muhammad Saw. memperbolehkan al-Zubair

dan Abdurrahmân bin „Auf untuk memakai pakaian sutra karena gatal

yang menyerang mereka.

Dalam riwayat lain terdapat keterangan tambahan bahwa saat itu tengah

berada dalam situasi peperangan.40

Padahal, sebelumnya telah diketahui

bahwa memakai sutra diharamkan.

من لبس الر ر »ملسو هيلع هللا ىلصعن ثابت ال سعت ابن الزب ي ي ب ق ل ال ممد ن يا لبسو ااخرة .«الد

Dari Tsâbit berkata aku mendengar Ibn al-Zubair menyampaikan

khutbah, ia berkata Muhammad Saw. berkata, “Barang siapa yang

mengenakan sutra di dunia, ia tidak akan mengenakannya di akhirat.”

Mengenai hal ini, Abû al-Laits memberi komentar bahwa perbandingan

tegasnya pengharaman dengan kuatnya „illah terlihat kontras. Gatal bukan

38

Pengertian rukhsah adalah mâ syuri’a min al-ahkâm li ‘udzr syâq bi qasd ri’âyat hâjat al-

nâs au li takhfîf ‘alá al-mukallaf fî hâlât khâssah ma’a baqâ’ al-sabab al-mûjib li al-hukm al-aslî

(hukum yang dibuat untuk kondisi darurat dalam rangka melindungi kebutuhan masyarakat atau

memberi keringanan bagi seseorang pada kondisi khusus dengan tetapnya sebab yang mewajibkan

penerapan hukum asal). Wahbah al-Zuhailî, al-Wajîz fî Usûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h.

14. 39

Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-

Libâs, Bâb Mâ Yurakhkhas li al-Rijâl min al-Harîr li al-Hikkah, Hadis No. 5839, Jilid IV, h. 37. 40 Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-Jihâd

wa al-Siyar, Bâb al-Harîr fî al-Harb, Hadis No. 2920, Jilid II, h.185.

ث نا هام عن تادة عن - 2920 ث نا ممد بن نان حد ث نا هام عن تادة عن أنس ح حد ث نا أب ال ليد حد حدر شك ا إل النب لى اللو عليو و لم عن القم رخص أنس ر ي اللو عنو أن عبد الر ن بن ع ف والزب ي

ما الر ر رأ تو علي ما زاة 41

Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-

Libâs, Bâb Lubs al-Harîr wa Iftirâshihi li al-Rijâl wa Qadr Mâ Yajûz minhu, Hadis No. 5833, Jilid

IV, h. 36.

Page 88: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

76

termasuk penyakit yang mengakibatkan kematian. Sementara itu, Nabi

Muhammad Saw. memperbolehkan untuk memakai sutra yang tidak

mempunyai efek langsung dalam penyembuhan gatal, hanya bersifat pereda.

Kejadian ini menunjukkan bahwa Nabi Saw. memutuskan hukum berdasarkan

kemaslahatan umatnya sekalipun kemaslahatan tersebut lahiriahnya terlihat

remeh.42

Beliau melihat hal yang lebih besar dari sekadar gatal. Kenyamanan

prajurit perlu diperhatikan demi kesuksesan perang.43

Contoh lainnya adalah ketika Nabi Muhammad Saw. membiarkan orang

Arab Badui buang air kecil di dalam masjid. Setelah selesai, beliau baru

menjelaskan kepadanya bahwa BAK tidak layak dilakukan di dalam masjid.44

Begitu pula dengan pembolehan jual-beli dengan sistem titip (bai’ al-salam),

padahal sebelumnya terdapat larangan jual-beli barang yang belum ada

kepemilikan.45

2. Adaptabilitas hukum yang bersifat kondisional

Sejarah hukum Islam menceritakan bahwa universalitas hukum syariat

melahirkan praktik yang berbeda, menyesuaikan diri dengan situasi dan

kondisi. Perubahan tersebut sudah menjadi sunnatullâh yang terjadi pada

makhluk. Tidak dapat dipungkiri dan terelakkan. Perubahan atribut yang

42

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 321. 43

Disarikan dari pendapat al-Tabarî yang dinukil oleh Abû al-Laits. Al-Syâfi‟î dan Abû

Yûsuf juga membolehkan memakai sutra pada situasi darurat. Lihat: Muhammad Abû al-Laits al-

Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 322. 44

Pembiaran tersebut karena Nabi Muhammad Saw. mengerti akan kerasnya watak si Badui

dan ketidaktahuannya karena ia baru masuk Islam. Lihat: Muhammad Abû al-Laits al-Khair

Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 321. 45

Rukhsah ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan masyarakat dalam jual beli menggunakan

sistem titip yang sudah mengakar kuat. Ketika dilarang akan menimbulkan kesulitan dan

memberatkan masyarakat. Akhirnya, praktik jual-beli seperti ini diperbolehkan dengan syarat dan

ketentuan berlaku. Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 322-323.

Page 89: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

77

melekat pada hukum mengakibatkan perubahan kebijakan hukum tersebut.46

Untuk menjelaskan poin ini, Abû al-Laits mencantumkan riwayat tentang

perintah Nabi Muhammad Saw. yang tertuju untuk para orangtua agar

menyamaratakan pemberian kepada anak-anaknya.

قال إن لت ابن ىذا ملسو هيلع هللا ىلصعن الن عمان بن بشي أن أباه أتى بو إل ر ل اللو .«أك ولدك لت مث لو ال ل ال ارجعو » ما قال

Dari al-Nu‟mân bin Basyîr, bahwa sang ayah membawanya

menghadap Rasulullah Saw., kemudian berkata sesunguhnya aku telah

memberikan anakku ini seorang budak. Rasulullah Saw. menimpali,

“apakah kamu memberikan budak ke setiap anakmu seperti kamu

memberikannya kepada al-Nu‟mân?” Ia menjawab, “tidak” lalu

Rasulullah berkata, “ambil kembali budak itu.”

Abû al-Laits menjelaskan, seluruh riwayat yang bertema sama sepakat

atas ketiadaan pengkhususan seorang anak dibandingkan anak yang lain

dalam hal pemberian. Namun para ulama berpandangan bahwa hukum

tersebut dilaksanakan ketika tidak ada keperluan untuk menggunakan

pemberian tersebut. Abû al-Laits juga mengutip fatwa al-Imâm Ahmad

tentang kebolehan pengkhususan pemberian kepada sebagian anak yang

memiliki kebutuhan lebih seperti cacat, banyaknya anggota keluarga, atau

keperluan pendidikan.48

Contoh lainnya adalah regulasi hukum pembiaran

unta temuan, pelarangan penetapan harga, pelarangan menerima zakat bagi

Bani Hasyim, dan dibolehkannya foreplay bagi orang puasa yang sudah

lansia, sedangkan kaum muda dilarang. Dari contoh-contoh yang disebutkan,

hukum semula mengalami regulasi dikarenakan perubahan kondisi

masyarakat atau kondisi personal seseorang.

46

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 329. 47

Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-

Hibbah wa Fadlihâ, Bâb al-Hibbah li al-Walad, Hadis No. 2586, Jilid II, h. 110-111. 48

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 331-332.

Page 90: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

78

3. Hukum yang berkenaan dengan maslahat bergerak secara dinamis

Grand design dari pembentukan syariat Islam adalah menjaga

kemaslahatan hingga hal terkecil. Kemaslahatan yang ada di dunia ini amatlah

banyak, baik dari segi jumlah maupun modernisasi kasuistik. Ulama pun

bersepakat bahwa maslahat dalam pengambilan hukum akan diperhitungkan

selama tidak terjadi kesewenangan dan tidak bertentangan dengan nas-nas

serta ketetapannya.49

Abû al-Laits memasukkan hadis tentang pembolehan

penangguhan pelaksanaan hukuman zina hingga melahirkan dan selesai masa

menyusui untuk menjelaskan ketentuan ini.50

Begitu pula dengan hadis

tentang pembagian tanah Khaibar bagi para penakluknya pada masa Nabi

Muhammad Saw. karena kebutuhan mereka pada saat itu. Namun, zaman

pemerintahan „Utsmân memiliki kebijakan berbeda. Sahabat Utsmân tidak

membaginya, melainkan tetap memercayakan tanah tersebut pada empunya

lalu diwajibkan membayar pajak untuk menopang kelanjutan kehidupan

generasi muslim.51

Dilihat dari contoh yang dikemukakan, perubahan hukum

yang terjadi terkait dengan kemaslahatan orang lain.

4. Fleksibilitas hukum yang dibangun atas dasar adat dan kebiasaan

Sudah umum diketahui bahwa adat dan kebiasaan memiliki kuasa dalam

membentuk hukum. Oleh karena itu, para ulama merumuskan salah satu

kaidah fiqih yang berbunyi “al-âdah muhakkamah.” Dasar argumentasinya

adalah sebuah hadis mawqûf yang diriwayatkan oleh al-Imâm Ahmad dalam

Musnad-nya mengatakan bahwa “mâ ra’á al-muslimûna hasanan, fa huwa

49

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 333. 50

Muslim bin al-Hajjâj, Sahîh Muslim, Kitâb al-Hudûd, Bâb Man I‟tarafa „alá nafsihi bi al-

Ziná, Hadis No. 1695, Jilid II, h. 112. 51

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 336.

Page 91: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

79

‘inda Allâh hasan” (kebijakan yang dianggap baik oleh umat muslim, maka

baik pula di sisi Allah).52

Konten hadis ini disinyalir terinspirasi dari al-Nisâ‟

ayat 115:

ر بي المؤمني ...﴿ ﴾ ...و تبع ي “…dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin…”

Al-sabîl secara bahasa semakna dengan al-tarîq (jalan). Jalan orang-orang

mukmin berarti jalan yang mereka anggap benar/baik. Allah Swt. telah

mengancam orang yang tidak mengikuti jalan mereka dengan azab. Hal ini

menunjukkan bahwa mengikuti jalan itu hukumnya wajib. Maka, secara

syariat, al-âdah yang dianggap baik dapat diamalkan.53

Kasus yang dijadikan

contoh oleh Abû al-Laits untuk menjelaskan poin keempat ini adalah hadis

tentang zakât al-fitr.

م الف ر ملسو هيلع هللا ىلصعن أب عيد الدري ر ي اللو عنو ال كنا نرج ع د ر ل اللو . اعا من عام و ال أب عيد وكان عامنا الشعي والزبيب واأل والتمر

Dari Abû Sa‟îd al-Khudrî ra. berkata, pada zaman Rasulullah Saw.

kami mengeluarkan satu shâ‟ makanan pada hari idul fitri. Abu Sa‟îd

meneruskan ceritanya, ketika itu makanan kami adalah tepung

gandum, kismis, keju dan kurma.

Penentuan keempat makanan yang disebutkan dalam riwayat di atas

adalah berdasarkan makanan pokok masyarakat saat itu. Maka jumhur ulama

52

Selengkapnya:

ر ل ب العباد، ا فاه ملسو هيلع هللا ىلصإن اللو نظر ل ب العباد، جد لب ممد : عن عبد اهلل بن مسع د ال خي ر ل ب العباد، لن فسو، اب ت عثو بر التو، نظر ل ب العباد ب عد لب ممد، جد ل ب أ حابو خي

جعل م وزراو نبيو، قاتل ن على د نو، ما رأى المسلم ن حسنا، عند اهلل حسن، وما رأوا يئا عند .اهلل ي

53 Muhammad Yâsîn bin „Isá al-Fâdânî, al-Fawâid al-Janiyyah (Tp.: Dâr al-Mahjah al-

Baidâ‟, 2008), Cet. Pertama, h. 267. 54

Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-

Zakâh, Bâb al-Sadaqah Qabla al-„Îd, Hadis No. 1510, Jilid IV, h. 324.

Page 92: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

80

bersepakat bahwa zakat fitri ditunaikan berdasarkan makanan pokok setempat.

Akan tetapi mazhab Hanafi membolehkan pembayarannya dengan uang.

Karena menurut mereka, yang menjadi tujuan dalam zakat fitri adalah

memenuhi kebutuhan fakir miskin. Sebagian Hanafiyyah beranggapan bahwa

menunaikan zakat fitri dengan uang lebih utama karena dinilai lebih

bermanfaat bagi yang membutuhkan. Adanya ketentuan pembayaran dengan

tepung gandum karena saat itu jual beli memakai sistem barter, sedangkan

zaman sekarang alat tukarnya berupa uang.55

Berbeda dengan udhiyyah dalam

hari raya Idul Adha. Hewan kurban tidak bisa digantikan dengan uang karena

tujuan disyariatkannya udhiyyah adalah meneladani hikmah yang terkandung

dalam kisah Nabi Ibrahim as. bukan membantu orang fakir. 56

Berarti, hadis

tentang udhiyyah adalah salah satu hadis yang dipahami secara tekstual

karena terhadap faktor penghambaan manusia kepada Tuhannya.

5. Hukum yang berkaitan dengan lokal dan temporal dapat berubah

Poin ini menuntut orang yang hendak memahami hadis untuk lebih

memperhatikan lokasi atau tempat dan situasi saat hadis itu disabdakan. Abû

al-Laits mencontohkan hadis tentang pelarangan menyimpan daging kurban di

atas tiga hari.

من حى منكم لبحن ب عد ثالثة »ملسو هيلع هللا ىلصعن لمة بن األك ع ال ال النب لما كان العام المقب ال ا ا ر ل اللو ن فع كما علنا « وبقي ب يتو منو شيو

55

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 339. Lihat pula: Lampiran

Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xvii. 56

Lihat: Lampiran Wawancara Muhammad Abû Al-Laits, h. xvii.

Page 93: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

81

كل ا وأ عم ا وادخروا إن ذلك العام كان بالناس ج د ردت أن »عام الما ي ال .«تعين ا ي ا

Dari Salamah bin al-Akwa‟ berkata, Nabi Muhammad Saw. bersabda,

“Barang siapa di antara kalian yang menyembelih kurban, maka

janganlah menyimpannya di atas tiga hari atau menyisakan sedikitpun

dari daging tersebut di dalam rumahnya.” Pada tahun selanjutnya para

sahabat lapor, “Wahai Rasulullah, kami melakukan hal yang sama

dengan tahun kemarin.” Rasulullah Saw. menanggapi, “Makanlah,

olah dan simpanlah (daging kurban) sesungguhnya tahun lalu terjadi

kesusahan dalam masyarakat, dan aku ingin kalian tolong-menolong

pada masa tersebut.”

Dari riwayat ini, jelas bahwa pelarangan disebabkan oleh „illah temporer

karena adanya peristiwa tak terduga.58

Dalam riwayat al-Imâm Muslim

disebutkan bahwa Jahd disebabkan oleh segerombolan pasukan yang datang

secara tiba-tiba.59

Nabi Muhammad Saw. melarang penyimpanan daging

kurban agar semua sahabat ikut merasakan euforia hari raya Idul Adha. Ketika

„illah-nya hilang, maka boleh disimpan lebih dari tiga hari.60

6. Hukum yang ditetapkan dengan tujuan Sadd al-Dzarî’ah

57

Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, Kitâb al-

Adâhî, Bâb Mâ Yu‟kal min Luhûm al-Adâhî wa Mâ Yutazawwad minhu, Hadis No. 5569, Jilid III,

h. 344. 58

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 343. 59

Lihat: Muslim bin al-Hajjâj, Sahîh Muslim, Kitâb al-Adâhî, Bâb Bayân Mâ Kâna min al-

Nahy „an Akl Luhûm al-Adâhî Ba‟da Tsalâts fî Awwal al-Islâm wa Bayân Naskhihi, wa Ibâhah ilá

Matá Syâ‟a, Hadis No. 1971, Jilid II, h. 252.

ال عبد اللو بن أب بكر . عن أك ل م اليحا ا ب عد ث ث ملسو هيلع هللا ىلصعن عبد اللو بن وا د ال ن ى ر ل اللو عت عائشة ت ق ل دف أى أب يات من أى الباد ة حيرة األ حى زمن ذكرت ذلك لعمرة قالت دق س

ا ا بقى »ملسو هيلع هللا ىلص قال ر ل اللو ملسو هيلع هللا ىلصر ل اللو لما كان ب عد ذلك ال ا ا ر ل اللو . «ادخروا ث ثا تلد ا ال دك قال ر ل اللو ال ا ن يت أن . «وما ذاك »ملسو هيلع هللا ىلصإن الناس تخذون األ قية من حا اىم ويمل ن من

ا ة الت د ت كل ا وادخروا وتلد ا» قال . ت ؤك ل م اليحا ا ب عد ث ث ا ن يتكم من أج الد .«إن60

Ini merupakan pendapat pihak yang menolak abrogasi hadis pelarangan menyimpan

daging kurban lebih dari tiga hari. Penggantian hukum disebabkan oleh hilangnya „illah, bukan

karena naskh (irtifâ al-hukm li irtifâ’al-‘illah, lâ liannahu mansûkh). Pendapat ini didukung oleh

al-Qurtubî, Ibn Hajar dan yang lainnya. Lihat: Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-

Hadîts, h. 344.

Page 94: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

82

Secara bahasa, al-sadd berarti al-hâjiz baina al-syai’ain (penghalang

antara dua perkara), sedangkan al-dzarî’ah bermakna al-wasîlah wa al-sabab

ilá al-shay’ (sarana dan kausa yang menghantarkan kepada sesuatu). Menurut

pakar usûl al-fiqh, sadd al-dzarî’ah adalah man’ kulli mâ yatawassal bihi ilá

al-syay’ al-mamnû’ al-musytamil ‘alá mafsadah aw mudarrah (pencegahan

segala sesuatu yang dapat menghantarkan kepada hal terlarang yang bersifat

merusak atau berbahaya).61

Sarana pendukung keharaman dihukumi haram

sebagaimana sarana pendukung kewajiban dihukumi wajib. Contohnya adalah

hadis tentang larangan Nabi Muhammad Saw. kepada para pegawai negeri

untuk menerima gratifikasi.62

Pelarangan itu sebagai langkah antisipasi agar

tidak terjadi pelayanan yang tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan

masyarakat.63

61

Wahbah al-Zuhailî, al-Wajîz fî Usûl al-Fiqh, h. 108. 62

Muslim bin al-Hajjâj, Sahîh Muslim, Kitâb al-Imârah, Bâb Tahrîm Hadâyá al-„Ummâl,

Hadis No. 1832, Jilid II, h. 190. 63

Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, „Ulûm al-Hadîts, h. 350.

Page 95: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

83

Page 96: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

84

Page 97: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

84

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembahasan dalam skripsi ini menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama,

Abû al-Laits adalah seorang ahli hadis yang setuju dengan pemahaman hadis

tekstual dan kontekstual. Dalam praktiknya, Abû Al-Laits menjelaskan proses

pemahaman melalui problematika yang ada dalam matan hadis menggunakan

metode bedah teks klasik yang dikembangkan oleh ulama terdahulu, meliputi ‘Ilm

Gharîb al-Hadîts wa Syarḥih wa Fiqhih, ‘Ilm Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhih,

‘Ilm Asbâb Wurûd al-Hadîts dan ‘Ilm Mukhtalif al-Hadîts wa Musykilih.

Pemahaman ini dipungkasi dengan klasifikasi hadis yang dibaca tekstual dan

hadis yang dapat dikontekstualisasikan yang terangkum dalam metode terakhir,

yakni ‘Ilm al-Bu’dain: al-Bu’d al-Zamânî wa al-Makânî. Kesemuanya itu terlebih

dahulu melalui proses jam’ al-riwâyât, menghimpun riwayat secara holistik untuk

menilai validitas sanad dan untuk mendukung kelancaran dalam memahami

matan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Abû Al-Laits juga meyakini

kaidah al-Hadîts yufassir ba’duhu ba’dan.

Kedua, Abû Al-Laits mengadakan penelitian yang meyimpulkan bahwa ranah

hadis yang dibaca tekstual meliputi hadis yang berkaitan dengan akidah, ibadah

pokok, prinsip umum syariat Islam, etika dan nilai-nilai, sunnatullah, dan

ketetapan khusus bagi Nabi Muhammad Saw. Meskipun demikian, hadis tekstual

tetap memiliki sisi kelenturan ketika menghadapi situasi darurat yang nantinya

memunculkan konsep rukhṣah/dispensasi. Sedangkan hadis yang berkaitan

dengan cabang dari ibadah pokok, hadis yang berisi instruksi Nabi Muhammad

85

Page 98: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

85

Saw. dalam kapasitasnya sebagai pemimpin negara, hadis mengenai eksperimen

yang dilakukan oleh manusia dan hadis yang berkaitan dengan sisi kemanusiaan

Nabi Muhammad Saw. dimasukkan ke dalam kategori hadis yang adaptif terhadap

perubahan dimensi ruang dan waktu. Jika dirinci, ranah ini mencakup (1) tabiat

(2) tradisi (3) sosial (4) ekonomi (5) kebudayaan (6) kemaslahatan (7) maqashid

(8) politik (9) peperangan (10) keamanan (11) kebijakan syariat (12) lokal (13)

temporal (14) kesehatan dan lain-lain.

Ketika suatu hadis berbicara mengenai hukum yang bersifat kondisional,

hukum yang berkaitan dengan maslahat, adat kebiasaan, kejadian temporal

bersifat lokal, dan berkaitan dengan sadd al-dzarî’ah, maka bisa menjadi indikator

bahwa hadis tersebut dapat dipahami sesuai konteks yang sedang dihadapi, baik

secara personal maupun non-personal.

B. Saran

Pembahasan dalam skripsi ini hanya sebatas deskripsi pemahaman hadis yang

dituangkan oleh Abû Al-Laits dalam karyanya ‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa

Mu’âsiruhâ. Penulis menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat menghimpun

seluruh karya tulis yang telah ia publikasikan agar dapat memahami pemikirannya

secara holistik, khususnya di bidang hadis. Diperlukan juga pembacaan

pemahaman hadis tokoh lainnya yang memiliki metode serupa untuk dapat dikaji

secara komparatif guna menemukan distingsi pemahaman dan poin-poin penting

di dalamnya.

Page 99: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

87

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung: Penerbit

Mizan. 1993.

Al-Atsram, Abû Bakr. Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh. Riyâd: t.p. 1999.

Abû Zahw, Muhammad. al-Hadîts wa al-Muhadditsûn. al-Riyâd: al-Mamlakah al-

Arabiyyah al-Sa‟ûdiyyah. 1984.

„Ajjâj, al-Khatîb Muhammad. al-Sunnah Qabl al-Tadwîn. Kairo: Maktabah Wahbah.

1988.

Al-„Askarî, Abû Hilâl al-Hasan bin „Abdillâh. al-Furûq al-Lughawiyah. Beirût: Dâr

al-Kutub al-„Ilmiyyah. 2010.

Al-„Azîm Âbâdî, Muhammad Syams al-Haq. ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî

Dawûd. Madinah: Maktabah al-Salafiyah. 1968.

Al-Ba‟albakî, Rûhî. Al-Maurîd. Beirut: Dâr al-„Ilm li al-Malâyîn. 1995.

Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ‟îl. Sahîh al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî. Beirût,

Dâr al-Fikr. 1995.

Al-Bustî, Abû Sulaimân al-Khattâbî. Gharîb al-Hadîts. Damaskus: Dâr al-Fikr. 1982.

Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Penerjemah

Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim. Bandung: Penerbit Mizan. 2000.

D. Hidayat. al-Balâghah li al-Jamî’ wa al-Syawâhid min Kalâm al-Badî’. Semarang:

Toha Putra. 2002.

Dhurorudin Mashad, dkk. Muslim di India. Jakarta: Grafika Indah. 2006.

Al-Fâdânî, Muhammad Yâsîn bin „Isá. al-Fawâid al-Janiyyah. Tp.: Dâr al-Mahjah al-

Baydâ‟. 2008.

Al-Ghâlî, Balqâsim. Min A’lâm al-Zaytûnah: Shaykh al-Jâmi’ al-A’zam Muhammad

al-Tâhir Ibn ‘Âshûr; Hayâtuhu wa Âthâruhu. Beirut: Dâr Ibn Hazm. 1996.

Al-Ghazâlî, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-

Hadîts. Kairo: Dâr al-Syurûq. 1989.

Page 100: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

88

___________. al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts. Kairo:

Dâr al-Syurûq. 1989.

Al-Hâkim, Abû „Abdillâh. Mustadrak’alâ al-Sahîhain. Beirut: Dâr al-Kutub al-

„Ilmiyyah. 1990.

Al-Hâzimî, Muhammad bin Mûsá. al-I’tibâr fî Bayân al-Nâsikh wa al-Mansûkh min

al-Âthâr. Hims: Matba‟ah al-Andalûs. 1966.

Al-Hindî, al-Muttaqî. Kanz al-‘Ummâl fî Sunan al-Aqwâl wa al-Af’âl. Beirût:

Mu‟assasah al-Risâlah. 1981.

Al-Husainî, Ibn Hamzah. Al-Bayân wa al-Ta’rîf fî Asbâb Wurûd al-Hadîts al-Syarîf.

Halb al-Shashbâ‟: Dâr al-Hukûmah. 1329 H.

Ibn „Âsyûr, Muhammad al-Tâhir. Maqâsid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah. Yordania: Dâr

al-Nafâ‟is. 2000.

Ibn Faris, Ahmad. Mu’jam Maqâyîs al-Lughah. Beirût: Dâr al-Fikr. t.t.

Ibn Katsîr, Abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm. Beirût: Dâr al-Fikr. 2002.

Ibn Rajab. Fath al-Bârî. Saudi: Dâr Ibn al-Jawzî. 1422 H.

Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid. Beirût: Dâr al-Fikr. t.t.

Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-

Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta:

Penerbit Bulan Bintang. 2009.

Al-Juzairî, „Abd al-Rahmân bin Muhammad. „Awad Al-Fiqh ‘alá al-Madzâhib al-

Arba’ah. al-Mansûrah: Dâr al-Ghadd al-Jadîd. 2005.

Kâfî, Abû Bakr. Manhaj al-Imâm al-Bukhârî fî Tashîh al-Ahâdîts wa Ta’lîlihâ min

Khilâl al-Jâmi’ al-Sahîh. Beirût: Dâr Ibn Hazm. 2000.

Al-Khatîb, Muhammad „Ajjâj. al-Sunnah qabla al-Tadwîn. Beirût: Dâr al-Fikr. 1997.

Al-Khair Âbâdî, Muhammad Abû al-Laits. ‘Ulûm al-Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ.

Selangor: Dâr al-Syâkir. 2011.

Longman. Longman Dictionary of The English Language. Harlow: Essex. 1984.

Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah Jumhûriyyah Misr al-„Arabiyyah. Al-Mu’jam al-

Wasît. Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah. 2010.

Page 101: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

89

Muslim bin al-Hajjâj. Sahîh Muslim. Beirût: Dâr al-Fikr. 2005.

Al-Naisâbûrî, al-Hâkim. Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain. Beirut: Dâr al-Kutub al-

„Ilmiyyah. 1990.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Tesaurus Alfabetis Bahasa

Indonesia. Bandung: Mizan. 2009.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1999.

Al-Qarâfî, Ahmad bin Idrîs. Anwâ’ al-Burûq fî Anwâ’ al-Furûq. Beirût: Dâr al-Kutub

al-„Ilmiyyah. 1998.

Al-Qardawî, Yûsuf. Kaifa Nata’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Kairo: Dâr al-

Shourouk. 2002.

Al-Qardawî, Yûsuf. Kaifa Nata’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Kairo: Dâr al-

Wafá. 1995.

Al-Qurtubî, Abû „Abdillâh. al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân. Beirût: Dâr al-Fikr. 1952.

Said, Edward W. Orientalisme. Penerjemah Asep Hikmat. Bandung: Penerbit

Pustaka. 2001.

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits.

Jakarta: Bulan Bintang. 1994.

Al-Sibâ‟î, Mustafâ. Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî’ al-Islâmî. Riyâd: Dâr al-

Warrâq.t.t.

Al-Sijistanî, Sulaimân bin al-Asy‟ats. Sunan Abî Dâwûd. Beirût: Dâr al-Fikr. 2003.

Supriyadi. Ulama Pendiri, Penggerak, dan Intelektual NU dari Jombang. Jombang:

Pustaka Tebu Ireng. 2015.

Al-Suyûti, Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân bin Abî Bakr. Al-Luma’ fi Asbâb Wurûd al-

Hadîts. Beirut: Dâr al-Ma‟rifah. 2004.

___________. Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawâwî. Beirût: Dâr al-Fikr. 2002.

Al-Taimâwî, Abû „Âmir. Dirâsah fî al-Hadîts al-Maudû’î. Maktabah Syâmilah.

Page 102: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

90

Al-„Ulwânî, Taha Jâbir. Lâ Ikrâha fî al-Dîn: Isykâliyyyat al-Riddah wa al-Murtaddîn

min Sadr al-Islâm ilâ al-Yaum. Kairo: Maktabah al-Shurûq al-Dawliyyah. 2006.

___________. Maqâsid al-Syarî’ah. Beirut: Dâr al-Hâdî. 2001.

Wensinck, A.J. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabawî. Leiden: Brill.

1943.

Ya‟qûb, „Alî Mustafâ. al-Ijtihâd wa al-Irhâbiyyah wa al-Lîbirâliyyah. Jakarta:

Pustaka Firdaus. 2012.

___________. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008.

___________.Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam. Jakarta: Pustaka

Firdaus. 1999.

___________. al-Turuq al-Sahîhah fî Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah. Jakarta:

Maktabah Dâr al-Sunnah. 2016.

Al-ZamakhSyarî, Mahmûd bin „Umar. al-Fâiq fî Gharîb al-Hadîts. Beirût: Dâr al-

Fikr. 1993.

Al-Zuhaylî, Wahbah. Nazariyat al-Darûrah al-Syar’iyyah. Beirût: Mu‟asasat al-

Risâlah. 1979.

___________. al-Wajîz fî Usûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr. 1997.

Jurnal, Skripsi dan Tesis:

Amin, Muhammadiyah. Kontekstualisasi Pemahaman Hadis dan Rekonstruksi

Epistemologi Ikhtilâf dalam Fiqh al-Hadîts. Jurnal Islamica. Vol. 5. No. 2

(Maret 2011): h. 256-268.

Arifuddin. Teknik Interpretasi dalam Kajian Fikih Hadis. Al-Fikr. Vol. 16. No. 1

(2012): h. 2-3.

Dakir, Jawiah dan Faishal Ahmad Shah. A Contextual Approach in Understanding

The Prophet’s Hadith: An Analysis. Journal of Applied Sciences Research Vol.

8. no. 7 (2012): h. 3176-3184.

Al-Khayr Âbâdî, Muhammad Abû al-Laits. Al-Bu’dâni al-Zamânî wa al-Makânî fî

al-Sunnah wa al-Ta’âmul ma’a Humâ: Ta’sîl wa Tatbîq. Majalah al-Hadîts

UIA Malaysia. Vol. 5. No. 1 (Juni 2013): h. 7-28.

Page 103: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

91

___________. Kitâb al-Sunnah wa Dauruhâ fî al-Fiqh al-Jadîd li al-Ustâz Jamâl al-

Bannâ’: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah. Majalah al-Hadîts UIA Malaysia. Vol.

4. No. 2 (Desember 2012): h. 39-76.

___________. Tawdhîf al-Sunnah al-Nabawiyyah fî Daw’al-Wâqi’ al-Mu’âsir.

Majalah al-Hadîts UIA Malaysia. Vol. 1. No. 2 (Juli 2011): h. 29-60.

___________. Turuq Jadîdah li Taqwiyat al-Ahâdîts al-Hasanah wa al-Da’îfah.

Majalah al-Hadîts UIA Malaysia. Vol. 2. No. 1 (Desember 2011): h. 9-34.

___________. al-Hadîts al-Imâmah min Quraysh fî Muwâjahat al-Tahaddiyât al-

Mu’âsirah. Majallah „Ilmiyyah Muhakkamah Nisf Sanawiyyah. Vol. 6. No. 1.

2013.

Majallat al-Wa‟y al-Islâmî. ‘Ulamâ wa A’lâm Katabû fî Majallat al-Wa’y al-Islâmî

al-Kuwaytiyah. Kuwait: Wizarât al-Auqâf wa al-Syu‟ûn al-Islâmiyyah Quttâ‟

al-Syu‟ûn al-Tsaqafiyyah. 2011.

Hartono, Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di Indonesia; Studi atas

Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Yaqub. Tesis Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah. Tidak Diterbitkan, 2009.

Saeed, Abdullah. Some Reflections On The Contextualist Approach to Ethico-Legal

Texts Of The Quran. Bulletin of School of Oriental and African Studies

(SOAS). Vol. 71. no. 2 (2008): h. 221-222.

Website:

„Amr al-Âbid, Profil Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, artikel diakses pada 25 Agustus

2015 dari: http://web.archive.org/web/20081108161652/www.geocities.com/-

safahat_chamiyeh/personalities/mohammad-ajaj-akhatib.htm.

Abû Salamah, Sîrah Dzâtiyah li al-Ustâdz al-Duktûr Muhammad Abû al-Laits al-

Khair Âbâdî, 2013, diunduh dari [email protected] pada 12 Februari

2016.

Amin, Muhammadiyah. Biografi Penulis. Artikel diakses pada 01 September 2014

dari http://madiyamin.blogspot.com/.

August, Georg. Curriculum Vitae Faisal Ahmad Shah. Artikel diakses pada 01

September 2014 dari http://www.uni-goettingen.de/en/dr-faisal-ahmad-shah-

university-of-malaya-malaysia/482943.html.

Page 104: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

92

Curriculum Vitae of Muhammad Abû al-Laits, “Area of Specialisation”, diunduh dari

http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017.

Curriculum Vitae of Muhammad Abû al-Laits, “Research Project Completed”,

diunduh dari http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017.

Curriculum Vitae of Muhammad Abû al-Laits, “Research Project”, diunduh dari

http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017.

Curriculum Vitae of Muhammad Abû al-Laits, “Teaching Responsibilities” diunduh

dari http://www.iium.edu.my/staff-details?id=1868 pada 15 Juli 2017.

Dakir, Jawiah. Curriculum Vitae Profesor Jawiah Dakir. Artikel diakses pada 01

September 2014 dari: http://www.ukm.my/hadhari/sites/default/files/pdf/-

CV%20prof%20jawiah.pdf).

Dâr al-„Ulûm Diyûband, Artikel diakses pada 28 Juni 2017 dari http://www.darul-

uloom-deoband.com/arabic/

Dâr al-„Ulûm Diyûband, Artikel diakses pada 28 Juni 2017 dari http://www.daru-

luloom-deoband.com/arabic/magazine.

IIUM Repository (IREP), “Mohammed Abul Lais”, diunduh dari http://irep.iium.-

edu.my/view/creators_id/malais=40iium=2Eedu=2Emy_.html pada 15 Juli

2017.

International Institute of Islamic Thought, Profil International Institute of Islamic

Thought/About IIIT, artikel diakses pada 25 Agustus 2015 dari:

http://www.iiit.org/AboutUs/AboutIIIT-/tabid/66/Default.aspx.

Khairabad, Mau, artikel diakses pada 20 September 2016 dari

https://en.wikipedia.org/-wiki/Khairabad,_Mau.

Madhab „Ulamâ‟ Diyûband, Artikel diakses pada 28 Juni 2017 dari http://www.darul-

uloom-deoband.com/arabic/maslak.htm.

Mâzin bin Salâh Mutbiqânî, Biografi Mustafá al-Sibâ‟î, artikel diakses pada 25

Agustus 2015 dari: http://docs.ksu.edu.sa/DOC/Articles44/-Article440564.doc.

Muhammad al-Ghazâlî, “Curriculum Vitae Muhammad al-Ghazâlî," artikel diakses

pada 25 Agustus 2015 dari: http://kfip.org/shaikh-mohammad-al-ghazali-al-

saqqa/.

Page 105: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

93

Muhammad Mustafa al-A‟zamî, “Biografi Muhammad Mustafa al-A‟zamî," artikel

diakses pada 25 Agustus 2015 dari: http://kfip.org/professor-mohamad-mustafa-

al-aazami/.

Yûsuf al-Qardâwî, “Curriculum Vitae Yûsuf „al-Qardâwî," artikel diakses pada 25

Agustus 2015 dari: http://qaradawi.net/new/seera/226-2014-01-26-18-28-

17/995-2011-09-04-14-39-33.

Page 106: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

94

Lampiran Wawancara

رسالة طلب ادلقابلة البحث التحليلي عن طرق فهم احلديث النصية والسياقية

إىل األستاذ احملتم زلمد أبو الليث اخلريآبادي

يف اجلامعة اإلسالمية مبالزيا

السالم عليكم ورمحة اهلل وبركاتو يف االتصال مع كتابة مقالتنا، طالبة قسم التفسري واحلديث، كلية أصول الدين، اجلامعة اإلسالمية

دراسة يف أفكار زلمد : فهم احلديث النصي والسياقي"احلكومية شريف ىداية اهلل جباكرتا بعنوان نسأل مع االحتام إىل األستاذ زلمد أبو الليث لإلجابة على ىذه ادلقابلة اليت " أبو الليث اخلريآبادي

ىذه ادلقابلة ىي طريقة من طرق مجع البيانات األولية إلعداد . تتكون من عدد قليلة من األسئلةوإن شاء اهلل، سوف نستخدم . ولذلك فإننا نرجو اإلجابة على األسئلة ادلوجودة. األطروحة لدينا

نشكر لكم شكرا جزيال على التعاون وادلساعدة ادلقدمة ونسأل . اإلجابات ادلقدمة بشكل صحيح. العفو منكم إذا كان اخلطأ يف كالمنا، ذلك جملرد قصور استطاعتنا اللغوية

والسالم عليكم ورمحة اهلل وبركاتو

الباحثة الفقرية نور احلسنة

1110034000072

Page 107: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

95

شهادة ادلقابلة مع االحتام،

: أنا ادلوقع ىذه الشهادةزلمد أبو الليث اخلريآبادي . د. أ: االسم

أستاذ احلديث يف قسم دراسات القرآن والسنة، كلية معارف الوحي والعلوم اإلنسانية باجلامعة اإلسالمية العادلية مبالزيا، أوضح أن الطالبة يف اجلامعة اإلسالمية احلكومية شريف ىداية اهلل جباكرتا،

إندونيسيا نور احلسنة : االسم

1110034000072: رقم تسجيل الطالبة التفسري واحلديث : القسم أصول الدين : الكلية

دراسة يف أفكار علي : فهم احلديث النصي والسياقي": بعنوانطلبت مين ادلقابلة إلعداد حبثها ". مصطفى يعقوب وزلمد أبو الليث اخلريآبادي

. وبالتايل كتبت ىذه الشهادة الستخدامها عند احلاجة

2016 سبتمرب 4مالزيا، زلمد أبو الليث اخلريآبادي . د .‌أ

Page 108: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

96

توجيو ادلقابلة للمخرب مبالزيا ... التاريخ ... اليوم ... الساعة

بيانات ادلخرب

زلمد أبو الليث اخلريآبادي . د. أ: االسم أستاذ احلديث يف قسم دراسات القرآن والسنة، كلية معارف الوحي والعلوم اإلنسانية باجلامعة

. اإلسالمية العادلية مبالزيااألسئلة يف رلاالت شخصيتكم

كيف نسبكم؟ .1زلمد أبو الليث بن احلاج مشس الدين بن زلمد يعقوب بن زلمد حسن، : نسيب ىكذا

وبعده ال أعرف أمساء أجدادي . امسها ىاجرة خاتون بنت زلمد سعيد رلاىد: ووالديت .اآلخرين، ولكن أسريت تنتمي إىل أيب أيوب األنصاري رضي اهلل عنو

اليومية، الدراسة، البيئة االجتماعية حولكم واجلغرافية واالقتصادية )احك يل عن حالة صغركم؟ .2 (وغري ذلك

م، يف أسرة متوسطة ال غنية وال فقرية، يف قرية خري 1953أكتوبر سنة / 8ولدت يف تاريخ آباد، يف مديرية أعظم جراه آنذاك، ويف مديرية مئو ناتو هبنجن حاليا، يف شرق الوالية الشمالية

يف اذلند، (أتر برديش)وأنا كنت الولد األول لوالدي، توفيت والديت يف صغري، ويل أخ شقيق احلاج زلمد أبو اخلري،

. (أي والدنا واحد، وأمنا سلتلفتان)وأخت شقيقة، وأختان عالتيتان كيف احلالة السياسية االجتماعية يف اذلند حينئذ؟ .3

احلالة السياسية تؤخذ من أي كتاب يتحدث عن احلالة السياسية يف اذلند يف الفتة ما بني .والديت وحىت اآلن

:عن قصة دراستكم من ادلدرسة االبتدائية حىت اجلامعة .4، فأكملت فيها اإلعدادية، وادلتوسطة، والثانوية، "منبع العلوم"تعلمت يف مدرسة قرييت امسها

وبدأت دراسة اللغة العربية فيها، على أيدي الشيخ احلافظ رياض الدين الغالب فوري، والشيخ موالنا شكر اهلل النعماين الوليد فوري، وموالنا ىداية اهلل اخلري آبادي، والشيخ موالنا أنوار أمحد

Page 109: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

97

األتراروي اخلري آبادي، وموالنا عزيز الرمحن البهريوي، والشيخ موالنا نذير أمحد اخلري آبادي، أتر )حىت قضيت فيها ثالث سنوات، مث سافرت إىل مراد آباد يف غرب الوالية الشمالية

يف اذلند، ودرست يف جامعة حياة العلوم مبراد آباد سنة واحدة، على أستاذهتا ادلمتازين (برديشادلرموقني، منهم الشيخ بشري أمحد ادلباركفوري، وأخذت اإلصالحات يف ترمجة العبارات األردية

إىل العربية من الشيخ ادلفيت حبيب الرمحن اخلريآبادي ادلفيت باجلامعة اإلسالمية دار العلوم بديوبند حاليا، وبعد سنة انتقلت إىل اجلامعة اإلسالمية دار العلوم بديوبند، وأكملت شهادة

: ىا، ودرست فيها ثالث سنوات على األساتذة، منهميفالفضيلة ، (صحيح البخاري اجمللد األول)شيخ احلديث الشيخ موالنا فخر الدين أمحد ادلرادآبادي

، والشيخ فخر (صحيح البخاري اجمللد الثاين)والشيخ زلمود احلسن الكنكوىي ادلفيت باجلامعة صحيح )، والشيخ شريف احلسن (سنن أيب داود)، والشيخ عبد األمحد (سنن التمذي)احلسن

شرح معاين اآلثار )، والشيخ إسالم احلق الكوباغنجي (مسلم، وادليبذي، وتفسري البيضاويمشائل التمذي، )، والشيخ ادلفين نظام الدين ادلئوي (للطحاوي، وسلم العلوم، ومال حسن

ىداية )، والشيخ معراج احلق (ىداية أولني للمرغيناين)، والشيخ موالنا زلمد ميان (وسراجي، والشيخ (مشكاة ادلصابيح وخنبة الفكر)، والشيخ موالنا نصري أمحد خان (أخريين للمرغيناين

والشيخ ،(شرح العقائد النسفية)، والشيخ خورشيد عامل (سنن النسائي)حسني أمحد البهاري .وغريىم، (اإلنشاء)والشيخ وحيد الزمان الكريانوي ، (جاللني)موالنا زلمد سامل قامسي

م بتقدير شلتاز ثاين، قمت بالتدريس يف مدرسة 1969وبعد خترجي من جامعة ديوبند عام الواقعة يف مديرية أعظم جراه، يف " مدرسة اإلصالح سرائمري"أىلية إسالمية يف اذلند امسها

، مث قدر اهلل يل أن أواصل دراسيت يف (م1976-1970)الوالية الشمالية، سبع سنوات اجلامعات العصرية، فقبلت يف اجلامعة اإلسالمية بادلدينة ادلنورة، فالتحقت بكلية احلديث

م بتقدير شلتاز 1980ىـ ادلوافق 1400الشريف، وأكملت ليسانس يف احلديث، وخترجت عام أول، مث قدر اهلل يل أن أواصل ادلاجستري يف احلديث يف جامعة أم القرى مبكة ادلكرمة، فقبلت

حتقيق "فيها وعملت ماجستري يف احلديث، السنة األوىل دراسة مواد، وأطروحة ادلاجستري ىي م بتقدير شلتاز أول، 1984، وخترجت عام "ودراسة كتاب الزىد لإلمام ىناد بن السري

وواصلت دراسة الدكتوراه يف احلديث يف جامعة القرى نفسها، وكانت أطروحة رسالة الدكتوراه

Page 110: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

98

وخترجت عام " دراسة وحتقيق: اجلزء الثامن من بيان مشكل اآلثار لإلمام الطحاوي"ىي .م، واجتزت ىذه ادلرحلة األخرية أيضا بتقدير شلتاز، واحلمد هلل على ذلك1992

(وزوجتكم)مىت تزوجت؟ مبن؟ كيف نسبها؟ كم أبناؤكم وما أمساؤىم؟ أين ىم . عن أسرتكم .5 .؟ احك يل عنهم(من ماليزيا أم من اذلند)اآلن

سنة بالسيدة حسينة خاتون بنت احلاج زلمد إدريس ادلباركفورية، 16تزوجت مبكرا وعمري . سنة18 سنة، ورزقت بابن وامسو أبو طلحة مسعود وعمري آنذاك 14وعمرىا وقت الزواج

: على التتيب: لدي سبعة أوالد، وىم ( أبناء4 بنات، و3: ىو متزوج من مسلمة ىندية، وعنده سبعة أوالد)أبو طلحة مسعود (1

. جييد اللغتني األردية والعربية. ىم يف اذلند اآلن، ودراستو متوسطةمهن يف ( بنات، وابنان4: أوالد6ىي متزوجة من مسلم ىندي، وعندىا )سعدية عائشة (2

. جتيد اللغتني األردية والعربية. تعليمها متوسطة. اذلند اآلنىم كانوا يف ماليزيا، (متزوجة من مسلم ىندي، وعندىا بنت وابن فقط)رضية عائشة (3

. وتعرف قليال ادلاليزية واإلصلليزية. جتيد اللغتني األردية والعربية. ثانوية. ولكن اآلن يف اذلندىم (متزوج من مسلمة فلسطينية أمريكية، وعنده بنت، وابن واحد فقط)أبو سلمة محود (4

األردية، والعربية، : جييد ثالث لغات. ماجستري يف التجارة. يف أمريكا، أصبحوا أمريكيني. واإلصلليزية

ىم يف آيرلند، وأخذوا جنسية (متزوجة من واحد باكستاين، عندىا حاال ابنان فقط)سعاد (5جتيد . بكالوريوس يف بزنس مينجمنت من جامعة مونيش أستايل يف كواال دلبور. آيرلندية

. األردية، والعربية، واإلصلليزية: ثالث لغات، ىم يف أمريكا، وىم (متزوجة من مسلم فلسطيين أمريكي، وعندىا بنتان فقط)سهام (6

األردية، والعربية، : جتيد ثالث لغات. تعليمها ثانوية ناجحة. جتنسوا باجلنسية األمريكية. واإلصلليزية

. ىو مع زوجتو وابنو معي يف ماليزيا (متزوج من ىندية، وعنده حاال ابن واحد)عبد العزيز (7جييد . م20015تعليمو مهندس أيرو اسبيس من اجلامعة اإلسالمية العادلية ماليزيا عام

من اللغة ادلاليزية% 50ويعرف . األردية، والعربية، واإلصلليزية: ثالث لغات دلاذا ختتار ماليزيا دلكان تعليمكم؟ .6

Page 111: PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37067/2/NURUL... · hadis hanyalah terapan al-Qur’an berdasarkan situasi dan kondisi

99

بعد التخرج من جامعة أم القرى مبكة ادلكرمة حبث عن وظيفة، اختار اهلل ماليزيا مكانا .لرزقي، وخري اختيار كان وال يزال

األسئلة يف رلاالت األفكار

كيف رأيكم عن تأثر أصول الفقة يف قراءة احلديث السياقية؟ .1وليس . أنو ال بد لفهم احلديث من اإلدلام بكل العلوم الشرعية، خاصة أصول الفقو: يف رأيي

.نص شرعي فهم أو يـفهم منعزال بعيدا عن السياقوجب علينا أن نوجو إىل جهة الكعبة أم عينها؟ ىذه ادلسألة عندكم من . ما رأيكم عن القبلة .2

اجملاالت اليت قد يؤثر فيها - أم -("األوىل"نذكر بعد بـ)اجملاالت اليت مل يؤثر فيها البعدان ؟ ودلاذا؟ ىل شلكن دلن يسكن خارج احلرام مثلنا بواسطة خريطة ("الثانية"نذكر بعد بـ)البعدان

قوقل مثال، أن نوجو عني الكعبة؟للمصلي يف داخل احلرم ادلكي جيب التوجو إىل عني الكعبة، ولغريه التوجو إىل جهة الكعبة

ولكن إن كان يصلي يف القطار أو الطائرة فهنا جيب . ضروري مع زلاولة اإلصابة لعني القبلة. عليو التحري للقبلة، سواء أصاهبا أم مل يصبها

.ال تتغري بالزمان وادلكان إال بقدر ما ذكرتو من التفصيل (الثوابت)والقبلة عندي من األوىل وجب علينا أن ندفعها بقوت بلدنا كما يف نص - أم-ىل جيوز لنا أن ندفع زكاة الفطر بالنقود .3

احلديث؟ ىذه ادلسألة عندكم من األوىل أم الثانية؟ ودلاذا؟ .يف ادلسألة خالف، وعند األحناف جيوز، وأنا أحبذ ذلك، ومن مث ىذه ادلسألة من الثانية

شلكن تغريىا بتغري حالة زماننا )مبسألة رؤية اذلالل (القبلة ودفع الزكاة)ىل نستطيع أن نسويهما .4 ؟ ودلاذا؟(بتقدم التكنولوجيا/

رؤية اذلالل عندي من الثانية؛ ألن الرؤية كانت يف ذلك الزمن أوثق وسيلة لثبوت طلوع اذلالل، .أما اآلن فأوثق وسيلة ىي األرصاد اجلوية، فنستفيد هبا يف أوقاتنا وشهورنا

ىل جيوز لنا أن نتحول البقر أو الغنم بالنقود ألداء يوم النحر؟ ودلاذا؟ .5فال تتأدى األضحية بالنقود؛ ألن . ال تتغري بتغري الزمان وادلكان (الثوابت)األضحية من األوىل

.األضحية ليس ادلقصود فيها مساعدة الفقراء بل التأسي بسنة إبراىيم عليو السالم