Profesionalisme Guru

23
Profesionalisme Guru (Analisis UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen) Yusuf 5/03/2013 Profesionalitas guru memang menjadi salah satu syarat utama mewujudkan pendidikan bermutu. Dan karenanya, pemerintah telah mengupayakan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan profesionalitas guru-guru di Tanah Air. Menyadari begitu pentingnya peran guru, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Melalui pencanangan ini diharapkan status sosial guru akan meningkat secara signifikan dan tidak lagi hanya dilirik oleh mereka yang kepepet mencari kerja.[1] Eksistensi guru tersebut dikukuhkan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang ditandatangani Presiden RI pada 30 Desember 2005. UU guru dan dosen memang sangat dibutuhkan untuk melengkapi Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.[2] Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional,

description

pendidikan

Transcript of Profesionalisme Guru

Page 1: Profesionalisme Guru

Profesionalisme Guru (Analisis UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen)Yusuf 5/03/2013

Profesionalitas guru memang menjadi salah satu syarat utama mewujudkan pendidikan

bermutu. Dan karenanya, pemerintah telah mengupayakan langkah-langkah strategis untuk

meningkatkan profesionalitas guru-guru di Tanah Air.

Menyadari begitu pentingnya peran guru, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono

mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Melalui pencanangan ini

diharapkan status sosial guru akan meningkat secara signifikan dan tidak lagi hanya dilirik oleh

mereka yang kepepet mencari kerja.[1] Eksistensi guru tersebut dikukuhkan dalam UU No. 14

tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang ditandatangani Presiden RI pada 30

Desember 2005. 

UU guru dan dosen memang sangat dibutuhkan untuk melengkapi Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan

tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk

melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi

warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.[2] 

Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta

perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sejalan

dengan fungsi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk

melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi

warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. 

Sebelum anda membaca kelanjutan artikel ini, saya ingin bertanya: Apakah anda pernah

membaca secara keseluruhan UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen? Jika Belum,

silahkan baca / download dulu dengan klik gambar di bawah ini:

Page 2: Profesionalisme Guru

Meskipun tujuan dari lahirnya UU tersebut begitu mulai, tetapi tidaklah luput dari beberapa

permasalahan dan kendala. Guru profesional adalah guru yang mendapatkan sertifikat dari

pemerintah, dan berhak mendapatkan tunjangan profesi. Sementara guru-guru yang belum

mendapatkan sertifikat, seolah-olah dianggap sebagai guru yang belum profesional. Padahal

yang namanya guru, mendapat tunjangan profesi atau tidak, tetaplah harus bekerja secara

profesional. Hal tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya iri antar guru yang sudah sertifikasi

dan yang belum, sehingga bisa menjadi hambatan guru dalam melaksanakan tugasnya. 

Profesionalitas guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesi itu sendiri masih dipertanyakan

banyak pihak. Sertifikat profesi seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka, tidak menyentuh

substansinya. Oleh sebab itu, kriteria atau ukuran yang digunakan pemerintah sebagai syarat

guru mendapatkan sertifikat profesi perlu ditinjau lebih dalam. 

Berdasarkan pemaparan di atas, tulisan ini bermaksud menganalisis seberapa jauh UU No. 14

Tahun 2003 tentang Guru dan Dosen mengatur tentang profesionalisme guru untuk kemudian

dikaji kelemahan dan kelebihannya. 

Latar Belakang Lahirnya UU Guru dan Dosen 

Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) yang berbunyi: "Pemerintah

mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan

keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,"

dan ayat (5) yang berbunyi: "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan

menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta

kesejahteraan umat manusia.", UU Guru dan Dosen juga lahir bertujuan untuk memperbaiki

pendidikan nasional, baik secara kualitas maupun kuantitas, agar sumber daya manusia

Indonesia bisa lebih beriman, kreatif, inovatif, produktif, serta berilmu pengetahuan luas demi

meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa. Perbaikan mutu pendidikan nasional yang

dimaksud meliputi, Sistem

Pendidikan Nasional, Kualifikasi serta Kompetensi Guru dan Dosen, Standar Kurikulum yang

digunakan, serta hal lainnya.

Dalam kaitannya dengan Guru sebagai pendidik, maka pentingnya guru professional yang

Page 3: Profesionalisme Guru

memenuhi standar kualifikasi diatur dalam pasal 8 Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang

Guru Dan Dosen (UUGD) yang menyebutkan bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,

kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk

mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih dalam lagi pada pasal 10 ayat (1) UUGD

dan Pasal 28 ayat 3 PP 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kompetensi guru yang

dimaksud meliputi:

a. Kompetensi pedagogik; 

b. Kompetensi kepribadian; 

c. Kompetensi profesional; dan 

d. Kompetensi sosial. 

Selain mengatur hal-hal penting di atas, UUGD juga mengatur hal lain yang tak kalah pentingnya

bagi kemajuan dan kesejahteraan para guru. 

Isi Pokok UUGD 

UU Guru dan Dosen terdiri dari 84 pasal. Secara garis besar, isi dari UU ini dapat dibagi dalam

beberapa bagian. 

Pertama, pasal-pasal yang membahas tentang penjelasan umum (7 pasal) yang terdiri dari: 

(a) Ketentuan Umum, 

(b) Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan, dan 

(c) Prinsip Profesionalitas. 

Kedua, pasal-pasal yang membahas tentang guru (37 pasal) yang terdiri dari

(a) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi, 

(b) Hak dan Kewajiban, 

(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas, 

(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian, 

(e) Pembinaan dan Pengembangan, 

(f) Penghargaan, 

(g) Perlindungan, 

(h) Cuti, dan 

(h) Organisasi Profesi. 

Ketiga, pasal-pasal yang membahas tentang dosen (32 pasal) yang terdiri dari

(a) Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik, 

(b) Hak dan Kewajiban Dosen, 

(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas, 

(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian, 

(e) Pembinaan dan Pengembangan, 

(f) Penghargaan, 

Page 4: Profesionalisme Guru

(g) Perlindungan, dan 

(h) Cuti. 

Keempat, pasal-pasal yang membahas tentang sanksi (3 pasal).

Kelima, bagian akhir yang terdiri dari Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (5 Pasal). 

Dari seluruh pasal tersebut di atas pada umumnya mengacu pada penciptaan Guru dan Dosen

Profesional dengan kesejahteraan yang lebih baik tanpa melupakan hak dan kewajibannya. 

Guru Profesional 

Dalam Pasal 1 UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (selanjutnya disingkat UUGD)

disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan

anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[3] 

Guru profesional sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah pekerjaan atau kegiatan

yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan

keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta

memerlukan pendidikan profesi.[4] 

Menurut Oemar Hamalik, guru profesional, harus memiliki persyaratan yang meliputi: memiliki

bakat sebagai guru, memiliki keahlian sebagai guru, memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi,

memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas,

guru adalah manusia berjiwa pancasila, dan seorang warga negara yang baik.[5] 

Apa yang disampaikan Oemar Hamalik tersebut, tidak jauh beda dengan pasal yang tercantum

dalam UUGD, pasal 8, 9, dan 10, sebagai berikut: 

Pasal 8: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani

dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 

Pasal 9: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui

pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. 

Pasal 10: (1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi

pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang

diperoleh melalui pendidikan profesi. 

Kemudian dalam tugas keprofesionalannya, guru mempunyai tugas: 

a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta

menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; 

b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara

berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; 

c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku,

ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta

Page 5: Profesionalisme Guru

didik dalam pembelajaran; 

d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai

agama dan etika; dan 

e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.[6] 

Type Guru Profesional sebagaimana digambarkan dalam UUGD di atas menurut penulis

sudahlah baik, sehingga tidak perlu untuk dibahas lebih jauh. 

Guru Profesional dalam Perspektif Islam 

Guru sebagai tulang punggung pendidikan Islam memiliki eksistensi yang sangat kuat. Dalam

pendidikan Islam menurut Syekh az-Zamuji dalam kitabnya Ta’lim Muta’lim di antara syarat

seseorang untuk dapat belajar dengan sukses adalah menghormati guru sama seperti

menghormati ilmu. Santri (siswa) tidak akan memperoleh ilmu dan mendapat manfaatnya tanpa

menghormati ilmu dan gurunya. Demikian besar posisi dan fungsi guru sehingga

menghormatinya itu lebih baik dibandingkan sekedar mentaatinya. Menurut kitab rujukan utama

para santri ini, manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tetapi manusia menjadi kufur

karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah. 

Dalam lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu miniatur pendidikan Islam, seorang

guru tidak di

syaratkan memiliki kualifikasi pendidikan tertentu. Tidak ada catatan sejarahnya seorang guru

yang akan mengajar diminta keterangan ijazah pendidikan tertentu. Sekalipun puluhan tahun

belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain, bukan ijazah yang dilihat oleh masyarakat

tapi kemampuannya (kompetensi) dalam mengamalkan ilmu dan manfaatnya bagi masyarakat.

Kompetensi amaliah ini kemudian melahirkan stratifikasi guru agama. Bila hanya lingkup kecil

biasanya cukup disebut ustadz. Namun bila pengaruhnya sudah luas apalagi ditambah dengan

kemampuannya memimpin pesantren dengan santri banyak, maka akan tersanding sertifikat

gelar Kyai (di Sunda ajeungan). Tidak setiap orang bisa memperoleh sertifikat ini, karena

masyarakat memberikan khusus kepada orang tertentu dengan kriteria tertentu. Bahkan bila ada

guru agama yang telah mencapai gelar terhormat ini kemudian memiliki sifat dan sikap yang

tidak sesuai dengan kualifikasinya, maka gelar tersebut akan dicabut kembali oleh masyarakat.

[7] 

Dalam perspektif Islam, seorang pendidik (guru) akan berhasil menjalankan tugasnya apabila

memiliki pikiran kreatif dan terpadu serta mempunyai kompetensi profesional religius.[8] 

Yang dimaksud kompetensi profesional religius sebagaimana di atas adalah kemampuan untuk

menjalankan tugasnya secara profesional. Artinya, mampu membuat keputusan keahlian atas

beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkannya berdasarkan teori dan

wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.[9] 

Allah berfirman: 

ك�ان� أول�ئ�ك� كل� ؤ�اد� ال�ف و� ر� ال�ب�ص� و� م�ع� الس� إ�ن� ل�م� ع� ب�ه� ل�ك� ل�ي�س� ا م� ف ت�ق� و�ال�

Page 6: Profesionalisme Guru

ئوال) م�س�  ع�ن�ه

Artinya: 

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentang hal itu,

(karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan di tanya. (Q.S.

Al-Isra’ [17]: 36) 

Firman di atas sudah sangat tegas menjelaskan bahwa seorang guru mestilah memiliki

kompetensi profesional sebagaimana diamanatkan dalam UUGD. Dalam kaitan ini, al-Ghazali

pernah berkata, “ Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi

perbuatannya. Perumpamaan guru yang membimbing murid, bagaikan ukiran dan tanah liat atau

bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat

untuk mengukirnya dan bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya

bengkok .”[10] 

Memang, adakalanya seorang guru dalam mengajar menemui permasalahan. Keadaan yang

demikian mengharuskan adanya suatu program yang disebut on-service training. Kegiatan ini

dapat dilakukan dengan mengadakan pertemuan berkala dan rutin di antara para guru yang

mempunyai bagian sama, sehingga terjadi tukar pikiran di antara para guru itu dalam mencari

alternatif pemecahannya.[11] 

Mengukur Keprofisonalan Guru 

Sebagaimana sudah disebutkan, guru profesional setidaknya harus memenuhi empat

kompetensi, yakni kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan

kompetensi sosial. 

Untuk mengukur keempat kompetensi tersebut, pemerintah menyelenggarakan program

sertifikasi guru. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang

diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan

yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah, dilaksanakan secara objektif, transparan,

dan akuntabel. 

Bagi yang lulus sertifikasi, maka mereka mendapatkan sertifikat sebagai guru professional

sesuai dengan mata pelajaran yang diampu. 

Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tidak disebutkan secara detail di UUGD dan telah

dibuat peraturan pemerintah yang memuat secara khusus berkaitan dengan sertifikasi. Aturan

tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Peraturan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang

Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Dalam ketentuan lanjutan itulah banyak persoalan muncul. 

Kita tahu, sebelum tahun 2011, pola sertifikasi melalui portofolio, sementara bagi yang belum

lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Pola tersebut berubah pada tahun

2011 ini, pemerintah mengubah kebijakannya dengan memperbanyak alokasi PLPG, dan

portofolio hanya 1%. 

Page 7: Profesionalisme Guru

Portofolio sendiri banyak mengalami kendala karena banyaknya guru-guru yang disinyalir

memalsukan sertifikat-sertifikat atau penghargaan untuk mendapatkan nilai yang baik.

Sedangkan dalam PLPG, yang diujikan adalah kompetensi pedagogik guru, sementara dua

kompetensi yang lain, yakni kepribadian dan sosial tidak jelas bagaimana cara mengukurnya. 

Selain itu, syarat untuk bisa mengikuti PLPG juga patut dikritisi. Dalam buku pedoman sertifikasi

guru 2012, disebutkan bahwa syarat untuk mengikuti sertifikasi guru adalah minimal guru sudah

mengajar sebelum UUGD ditetapkan, yakni sebelum tanggal 30 Desember 2005. Syarat ini tentu

membuat guru-guru yang baru harus menunggu mengajukan sertifikasi. 

Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga khusus juga akan membawa akibat,

pertama yang paling mungkin adalah pergeseran makna kualitas yang hanya ditetapkan melalui

sertifikat. Kualitas guru yang paling mungkin tahu adalah peserta didik dan lingkungan tempat

guru mengajar. Hal yang sama pula menyangkut kebutuhan guru seperti apa yang dibutuhkan

hanya lingkungan sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya untuk meningkatkan kualitas tidak

saja bersandar pada lembaga pendidikan melainkan juga menggali kritik, saran, dan

pertimbangan publik.[12] 

Kebijakan pemerintah tentang rencana sertifikasi bagi guru-guru juga melahirkan fenomena baru

dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi, guru-guru yang sampai saat ini belum menempuh

pendidikan strata satu atau guru yang sudah lama mengajar tetapi bukan berlatar belakang

pendidikan (baca: tidak memiliki akta mengajar). Para guru yang selama ini sudah mengajar

anak didiknya dengan penuh tanggung jawab dan kecintaannya untuk mengabdikan diri dalam

lingkungan pendidikan menjadi takut kehilangan kesempatannya untuk mengajar, hanya karena

belum lulus S-1 atau tidak memiliki akta mengajar. Mereka menjadi kalang kabut, sehingga

mereka menjadi latah, cepat-cepat mengikuti S-1 dan mendapatkan akta mengajar. Rasa takut

yang berlebihan mengakibatkan mereka tidak berpikir panjang untuk mencari kejelasan tentang

informasi tersebut dan bersabar menunggu kepastian akan kebijakan tersebut. Mereka sudah

tidak memikirkan lagi tentang biaya pendidikan atau kewajiban mengajarnya, bahkan lembaga

pendidikan yang akan mereka masuki. Yang penting bagi mereka adalah cepat-cepat menyele-

saikan S-1 dan memiliki akta mengajar, karena mereka tidak mau diberhentikan dari

pekerjaannya sebagai pengajar.[13] 

Penghargaan terhadap Guru Profesional 

Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, pemerintah

memberikan reward (penghargaan) berupa: 

a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan

sosial; 

b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; 

c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; 

d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; 

Page 8: Profesionalisme Guru

e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang

kelancaran tugas keprofesionalan; 

f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan,

penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik

guru, dan peraturan perundang-undangan; 

g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; 

h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; 

i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan; 

j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan

kompetensi; dan/atau 

k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.[14] 

Tujuan diberikan reward tersebut adalah untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan

guru. Bentuk kesejahteraan yang sekarang dapat dinikmati guru besertifikasi adalah

mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji sesuai dengan golongan dan masa

kerja masing-masing. Tunjangan tersebut tidak hanya guru yang berstatus PNS, tetapi juga

swasta. Sedangkan guru yang belum besertifikasi, pemerintah memberikan TPP (Tunjangan

Perbaikan Penghasilan) sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah perbulan. 

Tunjangan sertifikasi yang diberikan ternyata tidak berbanding lurus terhadap kinerja guru.

Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006 sampai sekarang ternyata belum memiliki pengaruh

signifikan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk

standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata,

sekadar formalitas dengan menunjukkan selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-

cara instan.[15] 

Penghargaan kepada guru yang sudah sertifikasi tersebut juga telah memicu adanya

kecemburuan guru-guru yang lain. Kecemburuan ini mengakibatkan kinerja guru-guru non-

sertifikasi tidak maksimal dalam bekerja. 

Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara guru bersertifikat

profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah semua guru haruslah bekerja secara

profesional? Kebijakan pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan guru memang patut untuk

dihargai, tetapi cara penanganannya masih setengah-setengah. 

Ada sebuah ungkapan menarik dari Iwan Hermawan, Sekjen Forum Guru Independen

Indonesia. Menurutnya, UUGD tidak mencerminkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan.

Buktinya untuk sejahtera saja, guru harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemerintah.

[16] 

Memang melalui UUGD kita berharap kesejahteraan guru menjadi meningkat. Akan tetapi,

menurut Eko Prasetyo, UUGD ini telah terjebak dalam logika sesat tentang pembelajaran. UUGD

ini tampaknya buta secara historis kalau guru memiliki peran signifikan dalam pembentukan

kesadaran dan tradisi intelektual siswa. Fungsi politis guru ni dikalahkan oleh keinginan negara

Page 9: Profesionalisme Guru

mengatur secara administrasi pengelolaan guru dan menumpahinya dengan peningkatan

pendapatan.[17] 

Selain hal di atas, pemberian tunjangan profesional ini juga tidak didukung oleh anggaran dana

yang disediakan oleh pemerintah. Akibatnya, pelaksanaan sertifikasi menyebabkan proses

sertifikasi sering mengalami masalah teknis, seperti terbatasnya dana bagi assessor atau

penundaan pelaksanaan sertifikasi, dan lain sebagainya. 

KESIMPULAN 

Berbagai problem yang mendera bangsa ini bisa dibereskan melalui pendidikan, dan guru

menjadi aktor yang penting yang mampu menjalankan peranannya ini. Sebagai sebuah profesi,

guru memang sudah selayaknya memiliki payung hukum tersendiri sehingga mendapatkan

perlakuan yang layak dari berbagai pihak. UU no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang

diberlakukan kini, memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri. 

Misi dari UUGD ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya

adalah dengan meningkatkan keprofesionalan guru. Sayangnya, dalam teknis pelaksanaanya

beberapa pasal yang mengatur keprofesionalan guru mengalami hambatan dan kendala baik

teknis maupun teoritis. 

Membaca UUGD ini kita seperti berhadapan dengan utopia negara tentang pekerjaan mendidik,

yang sama halnya dengan karyawan. Seorang yang ingin dikatakan guru profesional maka

harus memiliki sertifikat profesi, yang mana sertifikat tersebut mesti di up date melalui uji

kompetensi. Hal ini membuat guru menjadi tertekan, dan akibatnya tugasnya menjadi

terbengkelai. 

Pemberian tunjangan profesi yang tidak merata dengan syarat-syarat yang berat juga telah

menimbulkan kecemburuan di kalangan guru, yang berimbas pada kinerja. 

SARAN KEBIJAKAN 

Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah semestinya untuk ditinjau

kembali untuk kemudian direvisi pada pasal-pasal yang kurang bijaksana. Guru memang sudah

selayaknya mendapatkan tunjangan profesi, dan semestinya pemerintah tidak pilih kasih

memberikan kesejahteraan kepada guru. Sebab, semua guru, baik yang sertifikasi atau belum

mesti bekerja secara profesional, dan karenanya patut untuk mendapatkan kesejahteraan yang

sama.

Catatan kaki:

[1] Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas

Page 10: Profesionalisme Guru

Sanata Dharma. Hlm. 197. 

[2] Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab II Pasal 6. 

[3] Pasal 1 (1) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 

[4] Pasal 1 (4) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 

[5] Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara. Hal. 118. 

[6] Pasal 20 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 

[7] Natsir, Nanat Fatah, 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan

Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung., hlm. 27. 

[8] Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan

Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon. Hlm. 115. 

[9] Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka

Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung. Hlm. 173 

[10] Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan

Ilmu. CV. Diponegoro: Bandung. Hlm. 56. 

[11] Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta. Hlm. 128. 

[12] Prasetyo, Eko. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2, Jogjakarta: Resist Book, , hlm.

161. 

[13] Natsir, Nanat Fatah, Op.Cit. hlm. 25. 

[14] Pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 

[15] Berita di Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 . 

[16] Presetyo, Eko, Op.Cit. hlm. 162. 

[17] Ibid, hlm. 163-164.

DAFTAR PUSTAKA 

Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas Sanata

Dharma,. 

Eko Prasetyo. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2. Jogjakarta: Resist Book. 

Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara. 

Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan

Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon. 

Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka

Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung. 

Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta. 

Natsir, Nanat Fatah. 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan

Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung. 

Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 (Berita) 

Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu. CV.

Diponegoro: Bandung. 

UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan

download  UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

Meskipun tujuan dari lahirnya UU tersebut begitu mulai, tetapi tidaklah luput dari beberapa

permasalahan dan kendala. Guru profesional adalah guru yang mendapatkan sertifikat dari

Page 11: Profesionalisme Guru

pemerintah, dan berhak mendapatkan tunjangan profesi. Sementara guru-guru yang belum

mendapatkan sertifikat, seolah-olah dianggap sebagai guru yang belum profesional. Padahal

yang namanya guru, mendapat tunjangan profesi atau tidak, tetaplah harus bekerja secara

profesional. Hal tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya iri antar guru yang sudah sertifikasi

dan yang belum, sehingga bisa menjadi hambatan guru dalam melaksanakan tugasnya. 

Profesionalitas guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesi itu sendiri masih dipertanyakan

banyak pihak. Sertifikat profesi seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka, tidak menyentuh

substansinya. Oleh sebab itu, kriteria atau ukuran yang digunakan pemerintah sebagai syarat

guru mendapatkan sertifikat profesi perlu ditinjau lebih dalam. 

Berdasarkan pemaparan di atas, tulisan ini bermaksud menganalisis seberapa jauh UU No. 14

Tahun 2003 tentang Guru dan Dosen mengatur tentang profesionalisme guru untuk kemudian

dikaji kelemahan dan kelebihannya. 

Latar Belakang Lahirnya UU Guru dan Dosen 

Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) yang berbunyi: "Pemerintah

mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan

keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,"

dan ayat (5) yang berbunyi: "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan

menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta

kesejahteraan umat manusia.", UU Guru dan Dosen juga lahir bertujuan untuk memperbaiki

pendidikan nasional, baik secara kualitas maupun kuantitas, agar sumber daya manusia

Indonesia bisa lebih beriman, kreatif, inovatif, produktif, serta berilmu pengetahuan luas demi

meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa. Perbaikan mutu pendidikan nasional yang

dimaksud meliputi, Sistem

Pendidikan Nasional, Kualifikasi serta Kompetensi Guru dan Dosen, Standar Kurikulum yang

digunakan, serta hal lainnya.

Dalam kaitannya dengan Guru sebagai pendidik, maka pentingnya guru professional yang

memenuhi standar kualifikasi diatur dalam pasal 8 Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang

Guru Dan Dosen (UUGD) yang menyebutkan bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,

Page 12: Profesionalisme Guru

kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk

mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih dalam lagi pada pasal 10 ayat (1) UUGD

dan Pasal 28 ayat 3 PP 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kompetensi guru yang

dimaksud meliputi:

a. Kompetensi pedagogik; 

b. Kompetensi kepribadian; 

c. Kompetensi profesional; dan 

d. Kompetensi sosial. 

Selain mengatur hal-hal penting di atas, UUGD juga mengatur hal lain yang tak kalah pentingnya

bagi kemajuan dan kesejahteraan para guru. 

Isi Pokok UUGD 

UU Guru dan Dosen terdiri dari 84 pasal. Secara garis besar, isi dari UU ini dapat dibagi dalam

beberapa bagian. 

Pertama, pasal-pasal yang membahas tentang penjelasan umum (7 pasal) yang terdiri dari: 

(a) Ketentuan Umum, 

(b) Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan, dan 

(c) Prinsip Profesionalitas. 

Kedua, pasal-pasal yang membahas tentang guru (37 pasal) yang terdiri dari

(a) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi, 

(b) Hak dan Kewajiban, 

(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas, 

(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian, 

(e) Pembinaan dan Pengembangan, 

(f) Penghargaan, 

(g) Perlindungan, 

(h) Cuti, dan 

(h) Organisasi Profesi. 

Ketiga, pasal-pasal yang membahas tentang dosen (32 pasal) yang terdiri dari

(a) Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik, 

(b) Hak dan Kewajiban Dosen, 

(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas, 

(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian, 

(e) Pembinaan dan Pengembangan, 

(f) Penghargaan, 

(g) Perlindungan, dan 

(h) Cuti. 

Page 13: Profesionalisme Guru

Keempat, pasal-pasal yang membahas tentang sanksi (3 pasal).

Kelima, bagian akhir yang terdiri dari Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (5 Pasal). 

Dari seluruh pasal tersebut di atas pada umumnya mengacu pada penciptaan Guru dan Dosen

Profesional dengan kesejahteraan yang lebih baik tanpa melupakan hak dan kewajibannya. 

Guru Profesional 

Dalam Pasal 1 UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (selanjutnya disingkat UUGD)

disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan

anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[3] 

Guru profesional sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah pekerjaan atau kegiatan

yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan

keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta

memerlukan pendidikan profesi.[4] 

Menurut Oemar Hamalik, guru profesional, harus memiliki persyaratan yang meliputi: memiliki

bakat sebagai guru, memiliki keahlian sebagai guru, memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi,

memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas,

guru adalah manusia berjiwa pancasila, dan seorang warga negara yang baik.[5] 

Apa yang disampaikan Oemar Hamalik tersebut, tidak jauh beda dengan pasal yang tercantum

dalam UUGD, pasal 8, 9, dan 10, sebagai berikut: 

Pasal 8: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani

dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 

Pasal 9: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui

pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. 

Pasal 10: (1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi

pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang

diperoleh melalui pendidikan profesi. 

Kemudian dalam tugas keprofesionalannya, guru mempunyai tugas: 

a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta

menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; 

b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara

berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; 

c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku,

ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta

didik dalam pembelajaran; 

d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai

Page 14: Profesionalisme Guru

agama dan etika; dan 

e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.[6] 

Type Guru Profesional sebagaimana digambarkan dalam UUGD di atas menurut penulis

sudahlah baik, sehingga tidak perlu untuk dibahas lebih jauh. 

Guru Profesional dalam Perspektif Islam 

Guru sebagai tulang punggung pendidikan Islam memiliki eksistensi yang sangat kuat. Dalam

pendidikan Islam menurut Syekh az-Zamuji dalam kitabnya Ta’lim Muta’lim di antara syarat

seseorang untuk dapat belajar dengan sukses adalah menghormati guru sama seperti

menghormati ilmu. Santri (siswa) tidak akan memperoleh ilmu dan mendapat manfaatnya tanpa

menghormati ilmu dan gurunya. Demikian besar posisi dan fungsi guru sehingga

menghormatinya itu lebih baik dibandingkan sekedar mentaatinya. Menurut kitab rujukan utama

para santri ini, manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tetapi manusia menjadi kufur

karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah. 

Dalam lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu miniatur pendidikan Islam, seorang

guru tidak di

syaratkan memiliki kualifikasi pendidikan tertentu. Tidak ada catatan sejarahnya seorang guru

yang akan mengajar diminta keterangan ijazah pendidikan tertentu. Sekalipun puluhan tahun

belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain, bukan ijazah yang dilihat oleh masyarakat

tapi kemampuannya (kompetensi) dalam mengamalkan ilmu dan manfaatnya bagi masyarakat.

Kompetensi amaliah ini kemudian melahirkan stratifikasi guru agama. Bila hanya lingkup kecil

biasanya cukup disebut ustadz. Namun bila pengaruhnya sudah luas apalagi ditambah dengan

kemampuannya memimpin pesantren dengan santri banyak, maka akan tersanding sertifikat

gelar Kyai (di Sunda ajeungan). Tidak setiap orang bisa memperoleh sertifikat ini, karena

masyarakat memberikan khusus kepada orang tertentu dengan kriteria tertentu. Bahkan bila ada

guru agama yang telah mencapai gelar terhormat ini kemudian memiliki sifat dan sikap yang

tidak sesuai dengan kualifikasinya, maka gelar tersebut akan dicabut kembali oleh masyarakat.

[7] 

Dalam perspektif Islam, seorang pendidik (guru) akan berhasil menjalankan tugasnya apabila

memiliki pikiran kreatif dan terpadu serta mempunyai kompetensi profesional religius.[8] 

Yang dimaksud kompetensi profesional religius sebagaimana di atas adalah kemampuan untuk

menjalankan tugasnya secara profesional. Artinya, mampu membuat keputusan keahlian atas

beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkannya berdasarkan teori dan

wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.[9] 

Allah berfirman: 

ك�ان� أول�ئ�ك� كل� ؤ�اد� ال�ف و� ر� ال�ب�ص� و� م�ع� الس� إ�ن� ل�م� ع� ب�ه� ل�ك� ل�ي�س� ا م� ف ت�ق� و�ال�ئوال) م�س�  ع�ن�ه

Artinya: 

Page 15: Profesionalisme Guru

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentang hal itu,

(karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan di tanya. (Q.S.

Al-Isra’ [17]: 36) 

Firman di atas sudah sangat tegas menjelaskan bahwa seorang guru mestilah memiliki

kompetensi profesional sebagaimana diamanatkan dalam UUGD. Dalam kaitan ini, al-Ghazali

pernah berkata, “ Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi

perbuatannya. Perumpamaan guru yang membimbing murid, bagaikan ukiran dan tanah liat atau

bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat

untuk mengukirnya dan bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya

bengkok .”[10] 

Memang, adakalanya seorang guru dalam mengajar menemui permasalahan. Keadaan yang

demikian mengharuskan adanya suatu program yang disebut on-service training. Kegiatan ini

dapat dilakukan dengan mengadakan pertemuan berkala dan rutin di antara para guru yang

mempunyai bagian sama, sehingga terjadi tukar pikiran di antara para guru itu dalam mencari

alternatif pemecahannya.[11] 

Mengukur Keprofisonalan Guru 

Sebagaimana sudah disebutkan, guru profesional setidaknya harus memenuhi empat

kompetensi, yakni kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan

kompetensi sosial. 

Untuk mengukur keempat kompetensi tersebut, pemerintah menyelenggarakan program

sertifikasi guru. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang

diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan

yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah, dilaksanakan secara objektif, transparan,

dan akuntabel. 

Bagi yang lulus sertifikasi, maka mereka mendapatkan sertifikat sebagai guru professional

sesuai dengan mata pelajaran yang diampu. 

Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tidak disebutkan secara detail di UUGD dan telah

dibuat peraturan pemerintah yang memuat secara khusus berkaitan dengan sertifikasi. Aturan

tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Peraturan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang

Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Dalam ketentuan lanjutan itulah banyak persoalan muncul. 

Kita tahu, sebelum tahun 2011, pola sertifikasi melalui portofolio, sementara bagi yang belum

lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Pola tersebut berubah pada tahun

2011 ini, pemerintah mengubah kebijakannya dengan memperbanyak alokasi PLPG, dan

portofolio hanya 1%. 

Portofolio sendiri banyak mengalami kendala karena banyaknya guru-guru yang disinyalir

Page 16: Profesionalisme Guru

memalsukan sertifikat-sertifikat atau penghargaan untuk mendapatkan nilai yang baik.

Sedangkan dalam PLPG, yang diujikan adalah kompetensi pedagogik guru, sementara dua

kompetensi yang lain, yakni kepribadian dan sosial tidak jelas bagaimana cara mengukurnya. 

Selain itu, syarat untuk bisa mengikuti PLPG juga patut dikritisi. Dalam buku pedoman sertifikasi

guru 2012, disebutkan bahwa syarat untuk mengikuti sertifikasi guru adalah minimal guru sudah

mengajar sebelum UUGD ditetapkan, yakni sebelum tanggal 30 Desember 2005. Syarat ini tentu

membuat guru-guru yang baru harus menunggu mengajukan sertifikasi. 

Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga khusus juga akan membawa akibat,

pertama yang paling mungkin adalah pergeseran makna kualitas yang hanya ditetapkan melalui

sertifikat. Kualitas guru yang paling mungkin tahu adalah peserta didik dan lingkungan tempat

guru mengajar. Hal yang sama pula menyangkut kebutuhan guru seperti apa yang dibutuhkan

hanya lingkungan sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya untuk meningkatkan kualitas tidak

saja bersandar pada lembaga pendidikan melainkan juga menggali kritik, saran, dan

pertimbangan publik.[12] 

Kebijakan pemerintah tentang rencana sertifikasi bagi guru-guru juga melahirkan fenomena baru

dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi, guru-guru yang sampai saat ini belum menempuh

pendidikan strata satu atau guru yang sudah lama mengajar tetapi bukan berlatar belakang

pendidikan (baca: tidak memiliki akta mengajar). Para guru yang selama ini sudah mengajar

anak didiknya dengan penuh tanggung jawab dan kecintaannya untuk mengabdikan diri dalam

lingkungan pendidikan menjadi takut kehilangan kesempatannya untuk mengajar, hanya karena

belum lulus S-1 atau tidak memiliki akta mengajar. Mereka menjadi kalang kabut, sehingga

mereka menjadi latah, cepat-cepat mengikuti S-1 dan mendapatkan akta mengajar. Rasa takut

yang berlebihan mengakibatkan mereka tidak berpikir panjang untuk mencari kejelasan tentang

informasi tersebut dan bersabar menunggu kepastian akan kebijakan tersebut. Mereka sudah

tidak memikirkan lagi tentang biaya pendidikan atau kewajiban mengajarnya, bahkan lembaga

pendidikan yang akan mereka masuki. Yang penting bagi mereka adalah cepat-cepat menyele-

saikan S-1 dan memiliki akta mengajar, karena mereka tidak mau diberhentikan dari

pekerjaannya sebagai pengajar.[13] 

Penghargaan terhadap Guru Profesional 

Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, pemerintah

memberikan reward (penghargaan) berupa: 

a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan

sosial; 

b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; 

c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; 

d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; 

e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang

kelancaran tugas keprofesionalan; 

Page 17: Profesionalisme Guru

f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan,

penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik

guru, dan peraturan perundang-undangan; 

g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; 

h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; 

i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan; 

j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan

kompetensi; dan/atau 

k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.[14] 

Tujuan diberikan reward tersebut adalah untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan

guru. Bentuk kesejahteraan yang sekarang dapat dinikmati guru besertifikasi adalah

mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji sesuai dengan golongan dan masa

kerja masing-masing. Tunjangan tersebut tidak hanya guru yang berstatus PNS, tetapi juga

swasta. Sedangkan guru yang belum besertifikasi, pemerintah memberikan TPP (Tunjangan

Perbaikan Penghasilan) sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah perbulan. 

Tunjangan sertifikasi yang diberikan ternyata tidak berbanding lurus terhadap kinerja guru.

Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006 sampai sekarang ternyata belum memiliki pengaruh

signifikan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk

standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata,

sekadar formalitas dengan menunjukkan selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-

cara instan.[15] 

Penghargaan kepada guru yang sudah sertifikasi tersebut juga telah memicu adanya

kecemburuan guru-guru yang lain. Kecemburuan ini mengakibatkan kinerja guru-guru non-

sertifikasi tidak maksimal dalam bekerja. 

Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara guru bersertifikat

profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah semua guru haruslah bekerja secara

profesional? Kebijakan pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan guru memang patut untuk

dihargai, tetapi cara penanganannya masih setengah-setengah. 

Ada sebuah ungkapan menarik dari Iwan Hermawan, Sekjen Forum Guru Independen

Indonesia. Menurutnya, UUGD tidak mencerminkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan.

Buktinya untuk sejahtera saja, guru harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemerintah.

[16] 

Memang melalui UUGD kita berharap kesejahteraan guru menjadi meningkat. Akan tetapi,

menurut Eko Prasetyo, UUGD ini telah terjebak dalam logika sesat tentang pembelajaran. UUGD

ini tampaknya buta secara historis kalau guru memiliki peran signifikan dalam pembentukan

kesadaran dan tradisi intelektual siswa. Fungsi politis guru ni dikalahkan oleh keinginan negara

mengatur secara administrasi pengelolaan guru dan menumpahinya dengan peningkatan

pendapatan.[17] 

Page 18: Profesionalisme Guru

Selain hal di atas, pemberian tunjangan profesional ini juga tidak didukung oleh anggaran dana

yang disediakan oleh pemerintah. Akibatnya, pelaksanaan sertifikasi menyebabkan proses

sertifikasi sering mengalami masalah teknis, seperti terbatasnya dana bagi assessor atau

penundaan pelaksanaan sertifikasi, dan lain sebagainya. 

KESIMPULAN 

Berbagai problem yang mendera bangsa ini bisa dibereskan melalui pendidikan, dan guru

menjadi aktor yang penting yang mampu menjalankan peranannya ini. Sebagai sebuah profesi,

guru memang sudah selayaknya memiliki payung hukum tersendiri sehingga mendapatkan

perlakuan yang layak dari berbagai pihak. UU no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang

diberlakukan kini, memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri. 

Misi dari UUGD ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya

adalah dengan meningkatkan keprofesionalan guru. Sayangnya, dalam teknis pelaksanaanya

beberapa pasal yang mengatur keprofesionalan guru mengalami hambatan dan kendala baik

teknis maupun teoritis. 

Membaca UUGD ini kita seperti berhadapan dengan utopia negara tentang pekerjaan mendidik,

yang sama halnya dengan karyawan. Seorang yang ingin dikatakan guru profesional maka

harus memiliki sertifikat profesi, yang mana sertifikat tersebut mesti di up date melalui uji

kompetensi. Hal ini membuat guru menjadi tertekan, dan akibatnya tugasnya menjadi

terbengkelai. 

Pemberian tunjangan profesi yang tidak merata dengan syarat-syarat yang berat juga telah

menimbulkan kecemburuan di kalangan guru, yang berimbas pada kinerja. 

SARAN KEBIJAKAN 

Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah semestinya untuk ditinjau

kembali untuk kemudian direvisi pada pasal-pasal yang kurang bijaksana. Guru memang sudah

selayaknya mendapatkan tunjangan profesi, dan semestinya pemerintah tidak pilih kasih

memberikan kesejahteraan kepada guru. Sebab, semua guru, baik yang sertifikasi atau belum

mesti bekerja secara profesional, dan karenanya patut untuk mendapatkan kesejahteraan yang

sama. 

Catatan kaki:

[1] Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas

Sanata Dharma. Hlm. 197. 

[2] Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab II Pasal 6. 

[3] Pasal 1 (1) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 

Page 19: Profesionalisme Guru

[4] Pasal 1 (4) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 

[5] Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara. Hal. 118. 

[6] Pasal 20 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 

[7] Natsir, Nanat Fatah, 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan

Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung., hlm. 27. 

[8] Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan

Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon. Hlm. 115. 

[9] Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka

Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung. Hlm. 173 

[10] Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan

Ilmu. CV. Diponegoro: Bandung. Hlm. 56. 

[11] Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta. Hlm. 128. 

[12] Prasetyo, Eko. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2, Jogjakarta: Resist Book, , hlm.

161. 

[13] Natsir, Nanat Fatah, Op.Cit. hlm. 25. 

[14] Pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 

[15] Berita di Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 . 

[16] Presetyo, Eko, Op.Cit. hlm. 162. 

[17] Ibid, hlm. 163-164.

DAFTAR PUSTAKA 

Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas Sanata

Dharma,. 

Eko Prasetyo. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2. Jogjakarta: Resist Book. 

Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara. 

Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan

Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon. 

Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka

Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung. 

Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta. 

Natsir, Nanat Fatah. 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan

Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung. 

Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 (Berita) 

Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu. CV.

Diponegoro: Bandung. 

UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan