Profesionalisme Guru
-
Upload
tri-wahyudi-ramdhan -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
description
Transcript of Profesionalisme Guru
Profesionalisme Guru (Analisis UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen)Yusuf 5/03/2013
Profesionalitas guru memang menjadi salah satu syarat utama mewujudkan pendidikan
bermutu. Dan karenanya, pemerintah telah mengupayakan langkah-langkah strategis untuk
meningkatkan profesionalitas guru-guru di Tanah Air.
Menyadari begitu pentingnya peran guru, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono
mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Melalui pencanangan ini
diharapkan status sosial guru akan meningkat secara signifikan dan tidak lagi hanya dilirik oleh
mereka yang kepepet mencari kerja.[1] Eksistensi guru tersebut dikukuhkan dalam UU No. 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang ditandatangani Presiden RI pada 30
Desember 2005.
UU guru dan dosen memang sangat dibutuhkan untuk melengkapi Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan
tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk
melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.[2]
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta
perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sejalan
dengan fungsi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk
melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Sebelum anda membaca kelanjutan artikel ini, saya ingin bertanya: Apakah anda pernah
membaca secara keseluruhan UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen? Jika Belum,
silahkan baca / download dulu dengan klik gambar di bawah ini:
Meskipun tujuan dari lahirnya UU tersebut begitu mulai, tetapi tidaklah luput dari beberapa
permasalahan dan kendala. Guru profesional adalah guru yang mendapatkan sertifikat dari
pemerintah, dan berhak mendapatkan tunjangan profesi. Sementara guru-guru yang belum
mendapatkan sertifikat, seolah-olah dianggap sebagai guru yang belum profesional. Padahal
yang namanya guru, mendapat tunjangan profesi atau tidak, tetaplah harus bekerja secara
profesional. Hal tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya iri antar guru yang sudah sertifikasi
dan yang belum, sehingga bisa menjadi hambatan guru dalam melaksanakan tugasnya.
Profesionalitas guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesi itu sendiri masih dipertanyakan
banyak pihak. Sertifikat profesi seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka, tidak menyentuh
substansinya. Oleh sebab itu, kriteria atau ukuran yang digunakan pemerintah sebagai syarat
guru mendapatkan sertifikat profesi perlu ditinjau lebih dalam.
Berdasarkan pemaparan di atas, tulisan ini bermaksud menganalisis seberapa jauh UU No. 14
Tahun 2003 tentang Guru dan Dosen mengatur tentang profesionalisme guru untuk kemudian
dikaji kelemahan dan kelebihannya.
Latar Belakang Lahirnya UU Guru dan Dosen
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) yang berbunyi: "Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,"
dan ayat (5) yang berbunyi: "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.", UU Guru dan Dosen juga lahir bertujuan untuk memperbaiki
pendidikan nasional, baik secara kualitas maupun kuantitas, agar sumber daya manusia
Indonesia bisa lebih beriman, kreatif, inovatif, produktif, serta berilmu pengetahuan luas demi
meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa. Perbaikan mutu pendidikan nasional yang
dimaksud meliputi, Sistem
Pendidikan Nasional, Kualifikasi serta Kompetensi Guru dan Dosen, Standar Kurikulum yang
digunakan, serta hal lainnya.
Dalam kaitannya dengan Guru sebagai pendidik, maka pentingnya guru professional yang
memenuhi standar kualifikasi diatur dalam pasal 8 Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang
Guru Dan Dosen (UUGD) yang menyebutkan bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih dalam lagi pada pasal 10 ayat (1) UUGD
dan Pasal 28 ayat 3 PP 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kompetensi guru yang
dimaksud meliputi:
a. Kompetensi pedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial.
Selain mengatur hal-hal penting di atas, UUGD juga mengatur hal lain yang tak kalah pentingnya
bagi kemajuan dan kesejahteraan para guru.
Isi Pokok UUGD
UU Guru dan Dosen terdiri dari 84 pasal. Secara garis besar, isi dari UU ini dapat dibagi dalam
beberapa bagian.
Pertama, pasal-pasal yang membahas tentang penjelasan umum (7 pasal) yang terdiri dari:
(a) Ketentuan Umum,
(b) Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan, dan
(c) Prinsip Profesionalitas.
Kedua, pasal-pasal yang membahas tentang guru (37 pasal) yang terdiri dari
(a) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi,
(b) Hak dan Kewajiban,
(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
(e) Pembinaan dan Pengembangan,
(f) Penghargaan,
(g) Perlindungan,
(h) Cuti, dan
(h) Organisasi Profesi.
Ketiga, pasal-pasal yang membahas tentang dosen (32 pasal) yang terdiri dari
(a) Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik,
(b) Hak dan Kewajiban Dosen,
(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
(e) Pembinaan dan Pengembangan,
(f) Penghargaan,
(g) Perlindungan, dan
(h) Cuti.
Keempat, pasal-pasal yang membahas tentang sanksi (3 pasal).
Kelima, bagian akhir yang terdiri dari Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (5 Pasal).
Dari seluruh pasal tersebut di atas pada umumnya mengacu pada penciptaan Guru dan Dosen
Profesional dengan kesejahteraan yang lebih baik tanpa melupakan hak dan kewajibannya.
Guru Profesional
Dalam Pasal 1 UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (selanjutnya disingkat UUGD)
disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[3]
Guru profesional sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah pekerjaan atau kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan
keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi.[4]
Menurut Oemar Hamalik, guru profesional, harus memiliki persyaratan yang meliputi: memiliki
bakat sebagai guru, memiliki keahlian sebagai guru, memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi,
memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas,
guru adalah manusia berjiwa pancasila, dan seorang warga negara yang baik.[5]
Apa yang disampaikan Oemar Hamalik tersebut, tidak jauh beda dengan pasal yang tercantum
dalam UUGD, pasal 8, 9, dan 10, sebagai berikut:
Pasal 8: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 9: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui
pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Pasal 10: (1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kemudian dalam tugas keprofesionalannya, guru mempunyai tugas:
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta
menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara
berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku,
ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta
didik dalam pembelajaran;
d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai
agama dan etika; dan
e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.[6]
Type Guru Profesional sebagaimana digambarkan dalam UUGD di atas menurut penulis
sudahlah baik, sehingga tidak perlu untuk dibahas lebih jauh.
Guru Profesional dalam Perspektif Islam
Guru sebagai tulang punggung pendidikan Islam memiliki eksistensi yang sangat kuat. Dalam
pendidikan Islam menurut Syekh az-Zamuji dalam kitabnya Ta’lim Muta’lim di antara syarat
seseorang untuk dapat belajar dengan sukses adalah menghormati guru sama seperti
menghormati ilmu. Santri (siswa) tidak akan memperoleh ilmu dan mendapat manfaatnya tanpa
menghormati ilmu dan gurunya. Demikian besar posisi dan fungsi guru sehingga
menghormatinya itu lebih baik dibandingkan sekedar mentaatinya. Menurut kitab rujukan utama
para santri ini, manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tetapi manusia menjadi kufur
karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah.
Dalam lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu miniatur pendidikan Islam, seorang
guru tidak di
syaratkan memiliki kualifikasi pendidikan tertentu. Tidak ada catatan sejarahnya seorang guru
yang akan mengajar diminta keterangan ijazah pendidikan tertentu. Sekalipun puluhan tahun
belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain, bukan ijazah yang dilihat oleh masyarakat
tapi kemampuannya (kompetensi) dalam mengamalkan ilmu dan manfaatnya bagi masyarakat.
Kompetensi amaliah ini kemudian melahirkan stratifikasi guru agama. Bila hanya lingkup kecil
biasanya cukup disebut ustadz. Namun bila pengaruhnya sudah luas apalagi ditambah dengan
kemampuannya memimpin pesantren dengan santri banyak, maka akan tersanding sertifikat
gelar Kyai (di Sunda ajeungan). Tidak setiap orang bisa memperoleh sertifikat ini, karena
masyarakat memberikan khusus kepada orang tertentu dengan kriteria tertentu. Bahkan bila ada
guru agama yang telah mencapai gelar terhormat ini kemudian memiliki sifat dan sikap yang
tidak sesuai dengan kualifikasinya, maka gelar tersebut akan dicabut kembali oleh masyarakat.
[7]
Dalam perspektif Islam, seorang pendidik (guru) akan berhasil menjalankan tugasnya apabila
memiliki pikiran kreatif dan terpadu serta mempunyai kompetensi profesional religius.[8]
Yang dimaksud kompetensi profesional religius sebagaimana di atas adalah kemampuan untuk
menjalankan tugasnya secara profesional. Artinya, mampu membuat keputusan keahlian atas
beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkannya berdasarkan teori dan
wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.[9]
Allah berfirman:
ك�ان� أول�ئ�ك� كل� ؤ�اد� ال�ف و� ر� ال�ب�ص� و� م�ع� الس� إ�ن� ل�م� ع� ب�ه� ل�ك� ل�ي�س� ا م� ف ت�ق� و�ال�
ئوال) م�س� ع�ن�ه
Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentang hal itu,
(karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan di tanya. (Q.S.
Al-Isra’ [17]: 36)
Firman di atas sudah sangat tegas menjelaskan bahwa seorang guru mestilah memiliki
kompetensi profesional sebagaimana diamanatkan dalam UUGD. Dalam kaitan ini, al-Ghazali
pernah berkata, “ Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi
perbuatannya. Perumpamaan guru yang membimbing murid, bagaikan ukiran dan tanah liat atau
bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat
untuk mengukirnya dan bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya
bengkok .”[10]
Memang, adakalanya seorang guru dalam mengajar menemui permasalahan. Keadaan yang
demikian mengharuskan adanya suatu program yang disebut on-service training. Kegiatan ini
dapat dilakukan dengan mengadakan pertemuan berkala dan rutin di antara para guru yang
mempunyai bagian sama, sehingga terjadi tukar pikiran di antara para guru itu dalam mencari
alternatif pemecahannya.[11]
Mengukur Keprofisonalan Guru
Sebagaimana sudah disebutkan, guru profesional setidaknya harus memenuhi empat
kompetensi, yakni kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan
kompetensi sosial.
Untuk mengukur keempat kompetensi tersebut, pemerintah menyelenggarakan program
sertifikasi guru. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan
yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah, dilaksanakan secara objektif, transparan,
dan akuntabel.
Bagi yang lulus sertifikasi, maka mereka mendapatkan sertifikat sebagai guru professional
sesuai dengan mata pelajaran yang diampu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tidak disebutkan secara detail di UUGD dan telah
dibuat peraturan pemerintah yang memuat secara khusus berkaitan dengan sertifikasi. Aturan
tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang
Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Dalam ketentuan lanjutan itulah banyak persoalan muncul.
Kita tahu, sebelum tahun 2011, pola sertifikasi melalui portofolio, sementara bagi yang belum
lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Pola tersebut berubah pada tahun
2011 ini, pemerintah mengubah kebijakannya dengan memperbanyak alokasi PLPG, dan
portofolio hanya 1%.
Portofolio sendiri banyak mengalami kendala karena banyaknya guru-guru yang disinyalir
memalsukan sertifikat-sertifikat atau penghargaan untuk mendapatkan nilai yang baik.
Sedangkan dalam PLPG, yang diujikan adalah kompetensi pedagogik guru, sementara dua
kompetensi yang lain, yakni kepribadian dan sosial tidak jelas bagaimana cara mengukurnya.
Selain itu, syarat untuk bisa mengikuti PLPG juga patut dikritisi. Dalam buku pedoman sertifikasi
guru 2012, disebutkan bahwa syarat untuk mengikuti sertifikasi guru adalah minimal guru sudah
mengajar sebelum UUGD ditetapkan, yakni sebelum tanggal 30 Desember 2005. Syarat ini tentu
membuat guru-guru yang baru harus menunggu mengajukan sertifikasi.
Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga khusus juga akan membawa akibat,
pertama yang paling mungkin adalah pergeseran makna kualitas yang hanya ditetapkan melalui
sertifikat. Kualitas guru yang paling mungkin tahu adalah peserta didik dan lingkungan tempat
guru mengajar. Hal yang sama pula menyangkut kebutuhan guru seperti apa yang dibutuhkan
hanya lingkungan sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya untuk meningkatkan kualitas tidak
saja bersandar pada lembaga pendidikan melainkan juga menggali kritik, saran, dan
pertimbangan publik.[12]
Kebijakan pemerintah tentang rencana sertifikasi bagi guru-guru juga melahirkan fenomena baru
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi, guru-guru yang sampai saat ini belum menempuh
pendidikan strata satu atau guru yang sudah lama mengajar tetapi bukan berlatar belakang
pendidikan (baca: tidak memiliki akta mengajar). Para guru yang selama ini sudah mengajar
anak didiknya dengan penuh tanggung jawab dan kecintaannya untuk mengabdikan diri dalam
lingkungan pendidikan menjadi takut kehilangan kesempatannya untuk mengajar, hanya karena
belum lulus S-1 atau tidak memiliki akta mengajar. Mereka menjadi kalang kabut, sehingga
mereka menjadi latah, cepat-cepat mengikuti S-1 dan mendapatkan akta mengajar. Rasa takut
yang berlebihan mengakibatkan mereka tidak berpikir panjang untuk mencari kejelasan tentang
informasi tersebut dan bersabar menunggu kepastian akan kebijakan tersebut. Mereka sudah
tidak memikirkan lagi tentang biaya pendidikan atau kewajiban mengajarnya, bahkan lembaga
pendidikan yang akan mereka masuki. Yang penting bagi mereka adalah cepat-cepat menyele-
saikan S-1 dan memiliki akta mengajar, karena mereka tidak mau diberhentikan dari
pekerjaannya sebagai pengajar.[13]
Penghargaan terhadap Guru Profesional
Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, pemerintah
memberikan reward (penghargaan) berupa:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan
sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang
kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan,
penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik
guru, dan peraturan perundang-undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan
kompetensi; dan/atau
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.[14]
Tujuan diberikan reward tersebut adalah untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan
guru. Bentuk kesejahteraan yang sekarang dapat dinikmati guru besertifikasi adalah
mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji sesuai dengan golongan dan masa
kerja masing-masing. Tunjangan tersebut tidak hanya guru yang berstatus PNS, tetapi juga
swasta. Sedangkan guru yang belum besertifikasi, pemerintah memberikan TPP (Tunjangan
Perbaikan Penghasilan) sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah perbulan.
Tunjangan sertifikasi yang diberikan ternyata tidak berbanding lurus terhadap kinerja guru.
Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006 sampai sekarang ternyata belum memiliki pengaruh
signifikan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk
standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata,
sekadar formalitas dengan menunjukkan selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-
cara instan.[15]
Penghargaan kepada guru yang sudah sertifikasi tersebut juga telah memicu adanya
kecemburuan guru-guru yang lain. Kecemburuan ini mengakibatkan kinerja guru-guru non-
sertifikasi tidak maksimal dalam bekerja.
Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara guru bersertifikat
profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah semua guru haruslah bekerja secara
profesional? Kebijakan pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan guru memang patut untuk
dihargai, tetapi cara penanganannya masih setengah-setengah.
Ada sebuah ungkapan menarik dari Iwan Hermawan, Sekjen Forum Guru Independen
Indonesia. Menurutnya, UUGD tidak mencerminkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan.
Buktinya untuk sejahtera saja, guru harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemerintah.
[16]
Memang melalui UUGD kita berharap kesejahteraan guru menjadi meningkat. Akan tetapi,
menurut Eko Prasetyo, UUGD ini telah terjebak dalam logika sesat tentang pembelajaran. UUGD
ini tampaknya buta secara historis kalau guru memiliki peran signifikan dalam pembentukan
kesadaran dan tradisi intelektual siswa. Fungsi politis guru ni dikalahkan oleh keinginan negara
mengatur secara administrasi pengelolaan guru dan menumpahinya dengan peningkatan
pendapatan.[17]
Selain hal di atas, pemberian tunjangan profesional ini juga tidak didukung oleh anggaran dana
yang disediakan oleh pemerintah. Akibatnya, pelaksanaan sertifikasi menyebabkan proses
sertifikasi sering mengalami masalah teknis, seperti terbatasnya dana bagi assessor atau
penundaan pelaksanaan sertifikasi, dan lain sebagainya.
KESIMPULAN
Berbagai problem yang mendera bangsa ini bisa dibereskan melalui pendidikan, dan guru
menjadi aktor yang penting yang mampu menjalankan peranannya ini. Sebagai sebuah profesi,
guru memang sudah selayaknya memiliki payung hukum tersendiri sehingga mendapatkan
perlakuan yang layak dari berbagai pihak. UU no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang
diberlakukan kini, memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri.
Misi dari UUGD ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya
adalah dengan meningkatkan keprofesionalan guru. Sayangnya, dalam teknis pelaksanaanya
beberapa pasal yang mengatur keprofesionalan guru mengalami hambatan dan kendala baik
teknis maupun teoritis.
Membaca UUGD ini kita seperti berhadapan dengan utopia negara tentang pekerjaan mendidik,
yang sama halnya dengan karyawan. Seorang yang ingin dikatakan guru profesional maka
harus memiliki sertifikat profesi, yang mana sertifikat tersebut mesti di up date melalui uji
kompetensi. Hal ini membuat guru menjadi tertekan, dan akibatnya tugasnya menjadi
terbengkelai.
Pemberian tunjangan profesi yang tidak merata dengan syarat-syarat yang berat juga telah
menimbulkan kecemburuan di kalangan guru, yang berimbas pada kinerja.
SARAN KEBIJAKAN
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah semestinya untuk ditinjau
kembali untuk kemudian direvisi pada pasal-pasal yang kurang bijaksana. Guru memang sudah
selayaknya mendapatkan tunjangan profesi, dan semestinya pemerintah tidak pilih kasih
memberikan kesejahteraan kepada guru. Sebab, semua guru, baik yang sertifikasi atau belum
mesti bekerja secara profesional, dan karenanya patut untuk mendapatkan kesejahteraan yang
sama.
Catatan kaki:
[1] Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma. Hlm. 197.
[2] Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab II Pasal 6.
[3] Pasal 1 (1) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[4] Pasal 1 (4) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[5] Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara. Hal. 118.
[6] Pasal 20 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[7] Natsir, Nanat Fatah, 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan
Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung., hlm. 27.
[8] Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon. Hlm. 115.
[9] Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka
Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung. Hlm. 173
[10] Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan
Ilmu. CV. Diponegoro: Bandung. Hlm. 56.
[11] Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta. Hlm. 128.
[12] Prasetyo, Eko. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2, Jogjakarta: Resist Book, , hlm.
161.
[13] Natsir, Nanat Fatah, Op.Cit. hlm. 25.
[14] Pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[15] Berita di Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 .
[16] Presetyo, Eko, Op.Cit. hlm. 162.
[17] Ibid, hlm. 163-164.
DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma,.
Eko Prasetyo. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2. Jogjakarta: Resist Book.
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara.
Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon.
Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka
Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung.
Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta.
Natsir, Nanat Fatah. 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan
Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung.
Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 (Berita)
Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu. CV.
Diponegoro: Bandung.
UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan
download UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
Meskipun tujuan dari lahirnya UU tersebut begitu mulai, tetapi tidaklah luput dari beberapa
permasalahan dan kendala. Guru profesional adalah guru yang mendapatkan sertifikat dari
pemerintah, dan berhak mendapatkan tunjangan profesi. Sementara guru-guru yang belum
mendapatkan sertifikat, seolah-olah dianggap sebagai guru yang belum profesional. Padahal
yang namanya guru, mendapat tunjangan profesi atau tidak, tetaplah harus bekerja secara
profesional. Hal tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya iri antar guru yang sudah sertifikasi
dan yang belum, sehingga bisa menjadi hambatan guru dalam melaksanakan tugasnya.
Profesionalitas guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesi itu sendiri masih dipertanyakan
banyak pihak. Sertifikat profesi seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka, tidak menyentuh
substansinya. Oleh sebab itu, kriteria atau ukuran yang digunakan pemerintah sebagai syarat
guru mendapatkan sertifikat profesi perlu ditinjau lebih dalam.
Berdasarkan pemaparan di atas, tulisan ini bermaksud menganalisis seberapa jauh UU No. 14
Tahun 2003 tentang Guru dan Dosen mengatur tentang profesionalisme guru untuk kemudian
dikaji kelemahan dan kelebihannya.
Latar Belakang Lahirnya UU Guru dan Dosen
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) yang berbunyi: "Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,"
dan ayat (5) yang berbunyi: "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.", UU Guru dan Dosen juga lahir bertujuan untuk memperbaiki
pendidikan nasional, baik secara kualitas maupun kuantitas, agar sumber daya manusia
Indonesia bisa lebih beriman, kreatif, inovatif, produktif, serta berilmu pengetahuan luas demi
meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa. Perbaikan mutu pendidikan nasional yang
dimaksud meliputi, Sistem
Pendidikan Nasional, Kualifikasi serta Kompetensi Guru dan Dosen, Standar Kurikulum yang
digunakan, serta hal lainnya.
Dalam kaitannya dengan Guru sebagai pendidik, maka pentingnya guru professional yang
memenuhi standar kualifikasi diatur dalam pasal 8 Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang
Guru Dan Dosen (UUGD) yang menyebutkan bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih dalam lagi pada pasal 10 ayat (1) UUGD
dan Pasal 28 ayat 3 PP 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kompetensi guru yang
dimaksud meliputi:
a. Kompetensi pedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial.
Selain mengatur hal-hal penting di atas, UUGD juga mengatur hal lain yang tak kalah pentingnya
bagi kemajuan dan kesejahteraan para guru.
Isi Pokok UUGD
UU Guru dan Dosen terdiri dari 84 pasal. Secara garis besar, isi dari UU ini dapat dibagi dalam
beberapa bagian.
Pertama, pasal-pasal yang membahas tentang penjelasan umum (7 pasal) yang terdiri dari:
(a) Ketentuan Umum,
(b) Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan, dan
(c) Prinsip Profesionalitas.
Kedua, pasal-pasal yang membahas tentang guru (37 pasal) yang terdiri dari
(a) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi,
(b) Hak dan Kewajiban,
(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
(e) Pembinaan dan Pengembangan,
(f) Penghargaan,
(g) Perlindungan,
(h) Cuti, dan
(h) Organisasi Profesi.
Ketiga, pasal-pasal yang membahas tentang dosen (32 pasal) yang terdiri dari
(a) Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik,
(b) Hak dan Kewajiban Dosen,
(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
(e) Pembinaan dan Pengembangan,
(f) Penghargaan,
(g) Perlindungan, dan
(h) Cuti.
Keempat, pasal-pasal yang membahas tentang sanksi (3 pasal).
Kelima, bagian akhir yang terdiri dari Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (5 Pasal).
Dari seluruh pasal tersebut di atas pada umumnya mengacu pada penciptaan Guru dan Dosen
Profesional dengan kesejahteraan yang lebih baik tanpa melupakan hak dan kewajibannya.
Guru Profesional
Dalam Pasal 1 UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (selanjutnya disingkat UUGD)
disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[3]
Guru profesional sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah pekerjaan atau kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan
keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi.[4]
Menurut Oemar Hamalik, guru profesional, harus memiliki persyaratan yang meliputi: memiliki
bakat sebagai guru, memiliki keahlian sebagai guru, memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi,
memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas,
guru adalah manusia berjiwa pancasila, dan seorang warga negara yang baik.[5]
Apa yang disampaikan Oemar Hamalik tersebut, tidak jauh beda dengan pasal yang tercantum
dalam UUGD, pasal 8, 9, dan 10, sebagai berikut:
Pasal 8: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 9: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui
pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Pasal 10: (1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kemudian dalam tugas keprofesionalannya, guru mempunyai tugas:
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta
menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara
berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku,
ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta
didik dalam pembelajaran;
d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai
agama dan etika; dan
e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.[6]
Type Guru Profesional sebagaimana digambarkan dalam UUGD di atas menurut penulis
sudahlah baik, sehingga tidak perlu untuk dibahas lebih jauh.
Guru Profesional dalam Perspektif Islam
Guru sebagai tulang punggung pendidikan Islam memiliki eksistensi yang sangat kuat. Dalam
pendidikan Islam menurut Syekh az-Zamuji dalam kitabnya Ta’lim Muta’lim di antara syarat
seseorang untuk dapat belajar dengan sukses adalah menghormati guru sama seperti
menghormati ilmu. Santri (siswa) tidak akan memperoleh ilmu dan mendapat manfaatnya tanpa
menghormati ilmu dan gurunya. Demikian besar posisi dan fungsi guru sehingga
menghormatinya itu lebih baik dibandingkan sekedar mentaatinya. Menurut kitab rujukan utama
para santri ini, manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tetapi manusia menjadi kufur
karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah.
Dalam lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu miniatur pendidikan Islam, seorang
guru tidak di
syaratkan memiliki kualifikasi pendidikan tertentu. Tidak ada catatan sejarahnya seorang guru
yang akan mengajar diminta keterangan ijazah pendidikan tertentu. Sekalipun puluhan tahun
belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain, bukan ijazah yang dilihat oleh masyarakat
tapi kemampuannya (kompetensi) dalam mengamalkan ilmu dan manfaatnya bagi masyarakat.
Kompetensi amaliah ini kemudian melahirkan stratifikasi guru agama. Bila hanya lingkup kecil
biasanya cukup disebut ustadz. Namun bila pengaruhnya sudah luas apalagi ditambah dengan
kemampuannya memimpin pesantren dengan santri banyak, maka akan tersanding sertifikat
gelar Kyai (di Sunda ajeungan). Tidak setiap orang bisa memperoleh sertifikat ini, karena
masyarakat memberikan khusus kepada orang tertentu dengan kriteria tertentu. Bahkan bila ada
guru agama yang telah mencapai gelar terhormat ini kemudian memiliki sifat dan sikap yang
tidak sesuai dengan kualifikasinya, maka gelar tersebut akan dicabut kembali oleh masyarakat.
[7]
Dalam perspektif Islam, seorang pendidik (guru) akan berhasil menjalankan tugasnya apabila
memiliki pikiran kreatif dan terpadu serta mempunyai kompetensi profesional religius.[8]
Yang dimaksud kompetensi profesional religius sebagaimana di atas adalah kemampuan untuk
menjalankan tugasnya secara profesional. Artinya, mampu membuat keputusan keahlian atas
beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkannya berdasarkan teori dan
wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.[9]
Allah berfirman:
ك�ان� أول�ئ�ك� كل� ؤ�اد� ال�ف و� ر� ال�ب�ص� و� م�ع� الس� إ�ن� ل�م� ع� ب�ه� ل�ك� ل�ي�س� ا م� ف ت�ق� و�ال�ئوال) م�س� ع�ن�ه
Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentang hal itu,
(karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan di tanya. (Q.S.
Al-Isra’ [17]: 36)
Firman di atas sudah sangat tegas menjelaskan bahwa seorang guru mestilah memiliki
kompetensi profesional sebagaimana diamanatkan dalam UUGD. Dalam kaitan ini, al-Ghazali
pernah berkata, “ Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi
perbuatannya. Perumpamaan guru yang membimbing murid, bagaikan ukiran dan tanah liat atau
bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat
untuk mengukirnya dan bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya
bengkok .”[10]
Memang, adakalanya seorang guru dalam mengajar menemui permasalahan. Keadaan yang
demikian mengharuskan adanya suatu program yang disebut on-service training. Kegiatan ini
dapat dilakukan dengan mengadakan pertemuan berkala dan rutin di antara para guru yang
mempunyai bagian sama, sehingga terjadi tukar pikiran di antara para guru itu dalam mencari
alternatif pemecahannya.[11]
Mengukur Keprofisonalan Guru
Sebagaimana sudah disebutkan, guru profesional setidaknya harus memenuhi empat
kompetensi, yakni kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan
kompetensi sosial.
Untuk mengukur keempat kompetensi tersebut, pemerintah menyelenggarakan program
sertifikasi guru. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan
yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah, dilaksanakan secara objektif, transparan,
dan akuntabel.
Bagi yang lulus sertifikasi, maka mereka mendapatkan sertifikat sebagai guru professional
sesuai dengan mata pelajaran yang diampu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tidak disebutkan secara detail di UUGD dan telah
dibuat peraturan pemerintah yang memuat secara khusus berkaitan dengan sertifikasi. Aturan
tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang
Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Dalam ketentuan lanjutan itulah banyak persoalan muncul.
Kita tahu, sebelum tahun 2011, pola sertifikasi melalui portofolio, sementara bagi yang belum
lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Pola tersebut berubah pada tahun
2011 ini, pemerintah mengubah kebijakannya dengan memperbanyak alokasi PLPG, dan
portofolio hanya 1%.
Portofolio sendiri banyak mengalami kendala karena banyaknya guru-guru yang disinyalir
memalsukan sertifikat-sertifikat atau penghargaan untuk mendapatkan nilai yang baik.
Sedangkan dalam PLPG, yang diujikan adalah kompetensi pedagogik guru, sementara dua
kompetensi yang lain, yakni kepribadian dan sosial tidak jelas bagaimana cara mengukurnya.
Selain itu, syarat untuk bisa mengikuti PLPG juga patut dikritisi. Dalam buku pedoman sertifikasi
guru 2012, disebutkan bahwa syarat untuk mengikuti sertifikasi guru adalah minimal guru sudah
mengajar sebelum UUGD ditetapkan, yakni sebelum tanggal 30 Desember 2005. Syarat ini tentu
membuat guru-guru yang baru harus menunggu mengajukan sertifikasi.
Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga khusus juga akan membawa akibat,
pertama yang paling mungkin adalah pergeseran makna kualitas yang hanya ditetapkan melalui
sertifikat. Kualitas guru yang paling mungkin tahu adalah peserta didik dan lingkungan tempat
guru mengajar. Hal yang sama pula menyangkut kebutuhan guru seperti apa yang dibutuhkan
hanya lingkungan sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya untuk meningkatkan kualitas tidak
saja bersandar pada lembaga pendidikan melainkan juga menggali kritik, saran, dan
pertimbangan publik.[12]
Kebijakan pemerintah tentang rencana sertifikasi bagi guru-guru juga melahirkan fenomena baru
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi, guru-guru yang sampai saat ini belum menempuh
pendidikan strata satu atau guru yang sudah lama mengajar tetapi bukan berlatar belakang
pendidikan (baca: tidak memiliki akta mengajar). Para guru yang selama ini sudah mengajar
anak didiknya dengan penuh tanggung jawab dan kecintaannya untuk mengabdikan diri dalam
lingkungan pendidikan menjadi takut kehilangan kesempatannya untuk mengajar, hanya karena
belum lulus S-1 atau tidak memiliki akta mengajar. Mereka menjadi kalang kabut, sehingga
mereka menjadi latah, cepat-cepat mengikuti S-1 dan mendapatkan akta mengajar. Rasa takut
yang berlebihan mengakibatkan mereka tidak berpikir panjang untuk mencari kejelasan tentang
informasi tersebut dan bersabar menunggu kepastian akan kebijakan tersebut. Mereka sudah
tidak memikirkan lagi tentang biaya pendidikan atau kewajiban mengajarnya, bahkan lembaga
pendidikan yang akan mereka masuki. Yang penting bagi mereka adalah cepat-cepat menyele-
saikan S-1 dan memiliki akta mengajar, karena mereka tidak mau diberhentikan dari
pekerjaannya sebagai pengajar.[13]
Penghargaan terhadap Guru Profesional
Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, pemerintah
memberikan reward (penghargaan) berupa:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan
sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang
kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan,
penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik
guru, dan peraturan perundang-undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan
kompetensi; dan/atau
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.[14]
Tujuan diberikan reward tersebut adalah untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan
guru. Bentuk kesejahteraan yang sekarang dapat dinikmati guru besertifikasi adalah
mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji sesuai dengan golongan dan masa
kerja masing-masing. Tunjangan tersebut tidak hanya guru yang berstatus PNS, tetapi juga
swasta. Sedangkan guru yang belum besertifikasi, pemerintah memberikan TPP (Tunjangan
Perbaikan Penghasilan) sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah perbulan.
Tunjangan sertifikasi yang diberikan ternyata tidak berbanding lurus terhadap kinerja guru.
Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006 sampai sekarang ternyata belum memiliki pengaruh
signifikan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk
standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata,
sekadar formalitas dengan menunjukkan selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-
cara instan.[15]
Penghargaan kepada guru yang sudah sertifikasi tersebut juga telah memicu adanya
kecemburuan guru-guru yang lain. Kecemburuan ini mengakibatkan kinerja guru-guru non-
sertifikasi tidak maksimal dalam bekerja.
Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara guru bersertifikat
profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah semua guru haruslah bekerja secara
profesional? Kebijakan pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan guru memang patut untuk
dihargai, tetapi cara penanganannya masih setengah-setengah.
Ada sebuah ungkapan menarik dari Iwan Hermawan, Sekjen Forum Guru Independen
Indonesia. Menurutnya, UUGD tidak mencerminkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan.
Buktinya untuk sejahtera saja, guru harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemerintah.
[16]
Memang melalui UUGD kita berharap kesejahteraan guru menjadi meningkat. Akan tetapi,
menurut Eko Prasetyo, UUGD ini telah terjebak dalam logika sesat tentang pembelajaran. UUGD
ini tampaknya buta secara historis kalau guru memiliki peran signifikan dalam pembentukan
kesadaran dan tradisi intelektual siswa. Fungsi politis guru ni dikalahkan oleh keinginan negara
mengatur secara administrasi pengelolaan guru dan menumpahinya dengan peningkatan
pendapatan.[17]
Selain hal di atas, pemberian tunjangan profesional ini juga tidak didukung oleh anggaran dana
yang disediakan oleh pemerintah. Akibatnya, pelaksanaan sertifikasi menyebabkan proses
sertifikasi sering mengalami masalah teknis, seperti terbatasnya dana bagi assessor atau
penundaan pelaksanaan sertifikasi, dan lain sebagainya.
KESIMPULAN
Berbagai problem yang mendera bangsa ini bisa dibereskan melalui pendidikan, dan guru
menjadi aktor yang penting yang mampu menjalankan peranannya ini. Sebagai sebuah profesi,
guru memang sudah selayaknya memiliki payung hukum tersendiri sehingga mendapatkan
perlakuan yang layak dari berbagai pihak. UU no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang
diberlakukan kini, memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri.
Misi dari UUGD ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya
adalah dengan meningkatkan keprofesionalan guru. Sayangnya, dalam teknis pelaksanaanya
beberapa pasal yang mengatur keprofesionalan guru mengalami hambatan dan kendala baik
teknis maupun teoritis.
Membaca UUGD ini kita seperti berhadapan dengan utopia negara tentang pekerjaan mendidik,
yang sama halnya dengan karyawan. Seorang yang ingin dikatakan guru profesional maka
harus memiliki sertifikat profesi, yang mana sertifikat tersebut mesti di up date melalui uji
kompetensi. Hal ini membuat guru menjadi tertekan, dan akibatnya tugasnya menjadi
terbengkelai.
Pemberian tunjangan profesi yang tidak merata dengan syarat-syarat yang berat juga telah
menimbulkan kecemburuan di kalangan guru, yang berimbas pada kinerja.
SARAN KEBIJAKAN
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah semestinya untuk ditinjau
kembali untuk kemudian direvisi pada pasal-pasal yang kurang bijaksana. Guru memang sudah
selayaknya mendapatkan tunjangan profesi, dan semestinya pemerintah tidak pilih kasih
memberikan kesejahteraan kepada guru. Sebab, semua guru, baik yang sertifikasi atau belum
mesti bekerja secara profesional, dan karenanya patut untuk mendapatkan kesejahteraan yang
sama.
Catatan kaki:
[1] Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma. Hlm. 197.
[2] Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab II Pasal 6.
[3] Pasal 1 (1) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[4] Pasal 1 (4) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[5] Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara. Hal. 118.
[6] Pasal 20 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[7] Natsir, Nanat Fatah, 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan
Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung., hlm. 27.
[8] Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon. Hlm. 115.
[9] Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka
Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung. Hlm. 173
[10] Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan
Ilmu. CV. Diponegoro: Bandung. Hlm. 56.
[11] Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta. Hlm. 128.
[12] Prasetyo, Eko. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2, Jogjakarta: Resist Book, , hlm.
161.
[13] Natsir, Nanat Fatah, Op.Cit. hlm. 25.
[14] Pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[15] Berita di Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 .
[16] Presetyo, Eko, Op.Cit. hlm. 162.
[17] Ibid, hlm. 163-164.
DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma,.
Eko Prasetyo. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2. Jogjakarta: Resist Book.
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara.
Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon.
Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka
Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung.
Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta.
Natsir, Nanat Fatah. 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan
Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung.
Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 (Berita)
Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu. CV.
Diponegoro: Bandung.
UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan