Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)

9
PRO-KONTRA PRAKTIK PENGANGGARAN (BUDGETING) PEMERINTAH INDONESIA Isnu Rahadi Wiratama, Hendro Dwiyatno, Chabibah Nur Afida, Dian Bastiyan K, Imam Garaudy, Andre Wijaya MP, Muhammad Arifin Kelas 7A Program DIV Akuntansi Reguler, STAN, Tangerang Selatan [email protected] Abstrak Penganggaran Pemerintah Indonesia menganut asas Performance Based Budgeting atau lebih dikenal sebagai Anggaran Berbasis Kinerja (ABK)telah diterapkan kurang lebih satu dekade dengan ditetapkannya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.Tujuan penerapan sistem anggaran ini adalah tercapai output dan outcome K/L/D/I yang ditunjukkan dengan capaian kinerja. Namun sampai saat ini tidak jarang ditemui kendala-kendala dan masalah dalam penerapan Performance Based Budgeting mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksaaan sehingga ditinjau secara Manajemen Keuangan Pemerintah tidak jarang aspek ekonomis, efisien, efektivitas dan Value For Money pun terabaiakan. Kata Kunci: Performance Based Budgeting, Anggaran, Kinerja. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dengan meningkatnya tuntutan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas dalam pengelolaan APBN pemerintah mengeluarkan paket undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara dan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara telah mengubah secara drastis sistem penganggaran di Indonesia. Paket undang-undang tersebut merupakan fondasi bagi pelaksanaan reformasi di bidang keuangan. Reformasi terkait dengan berlakunya paket undang- undang di bidang keuangan negara tersebut adalah : 1) Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting ), 2) Penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework/MTEF), 3) Penerapan Anggaran Terpadu (Unified Budget ). Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan prinsip yang harus dapat diterapkan dengan baik untuk menjawab harapan publik terhadap anggaran pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan sistem penganggaran di provinsi jawa timur dinyatakan ketiga pendekatan tersebut telah diadopsi dan dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya ditemui berbagai macam kendala yang masih sangat sulit untuk dipecahkan. Penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah telah diadopsi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran badan/dinas/kantor meskipun masih belum sempurna begitu juga penerapan unified budget (penyatuan anggaran rutin dengan anggaran pembangunan) juga telah diterapkan dan senantiasa terus dipertegas dan dipertajam. Penerapan prinsip anggaran berbasis kinerja merupakan hal yang paling sulit untuk diimplementasikan meskipun secara formal telah dinyatakan berlaku namun semua pihak masih mengakui bahwa penerapan prinsip tersebut masih jauh dari yang diharapkan. B. LANDASAN TEORI 1. Perkembangan Penganggaran Sektor Publik (Public Sector Budgeting) Sampai saat ini, terdapat beberapa jenis penganggaran sektor publik, yaitu Line-Item Budgeting yang banyak digunakan pada negara berkembang, Planning Programing Budgeting System (PPBS) yang mulai dikembangkan tahun 1960-an, Zero-Based Budgeting (ZBB) yang mulai dikembangkan tahun 1970-an dan terakhir Performance-Based Budgeting (PBB) yang mulai dikembangkan tahun 1990-an. Traditional line-item budgeting muncul karena adanya kepedulian terhadap kurangnya kontrol terhadap pengeluaran yang berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang dapat meningkatkan korupsi. Anggaran line item tradisional menyajikan pengeluaran-pengeluaran berdasarkan input atau sumber daya yang digunakan. Ciri yang utama dari sistem line item budget adalah menetapkan batas atas line item pada proses alokasi anggaran dan menjamin bahwa unit kerja tidak dapat melakukan pengeluaran melebihi plafon atau batas atasnya (Shah and Shen, 2007). Planning Programming Budgeting System (PPBS) muncul sebagai koreksi terhadap kelemahan sistem Line-Item Budgeting terutama dalam hal tidak adanya hubungan yang rasional antara besaran anggaran yang ditetapkan dengan hasil atau tujuan yang ingin diwujudkan dengan pengeluaran

Transcript of Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)

Page 1: Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)

PRO-KONTRA PRAKTIK PENGANGGARAN (BUDGETING)

PEMERINTAH INDONESIA

Isnu Rahadi Wiratama, Hendro Dwiyatno, Chabibah Nur Afida, Dian Bastiyan K, Imam

Garaudy, Andre Wijaya MP, Muhammad Arifin

Kelas 7A Program DIV Akuntansi Reguler, STAN, Tangerang Selatan

[email protected]

Abstrak –

Penganggaran Pemerintah Indonesia menganut asas Performance Based Budgeting atau lebih dikenal sebagai

Anggaran Berbasis Kinerja (ABK)telah diterapkan kurang lebih satu dekade dengan ditetapkannya UU Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.Tujuan penerapan sistem anggaran ini adalah tercapai output dan outcome

K/L/D/I yang ditunjukkan dengan capaian kinerja. Namun sampai saat ini tidak jarang ditemui kendala -kendala dan

masalah dalam penerapan Performance Based Budgeting mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksaaan

sehingga ditinjau secara Manajemen Keuangan Pemerintah tidak jarang aspek ekonomis, efisien, efektivitas dan

Value For Money pun terabaiakan.

Kata Kunci: Performance Based Budgeting, Anggaran, Kinerja.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Dengan meningkatnya tuntutan untuk

meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan

profesionalitas dalam pengelolaan APBN

pemerintah mengeluarkan paket undang-undang

nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara,

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang

perbendaharaan negara dan Undang-Undang Nomor

15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara telah mengubah

secara drastis sistem penganggaran di Indonesia.

Paket undang-undang tersebut merupakan fondasi

bagi pelaksanaan reformasi di bidang keuangan.

Reformasi terkait dengan berlakunya paket undang-

undang di bidang keuangan negara tersebut adalah :

1) Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja

(Performance Based Budgeting),

2) Penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka

Menengah (Medium Term Expenditure

Framework/MTEF),

3) Penerapan Anggaran Terpadu (Unified Budget).

Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan

prinsip yang harus dapat diterapkan dengan baik

untuk menjawab harapan publik terhadap anggaran

pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan sistem

penganggaran di provinsi jawa timur dinyatakan

ketiga pendekatan tersebut telah diadopsi dan

dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya ditemui

berbagai macam kendala yang masih sangat sulit

untuk dipecahkan. Penerapan kerangka pengeluaran

jangka menengah telah diadopsi dalam penyusunan

rencana kerja dan anggaran badan/dinas/kantor

meskipun masih belum sempurna begitu juga

penerapan unified budget (penyatuan anggaran rutin

dengan anggaran pembangunan) juga telah

diterapkan dan senantiasa terus dipertegas dan

dipertajam.

Penerapan prinsip anggaran berbasis kinerja

merupakan hal yang paling sulit untuk

diimplementasikan meskipun secara formal telah

dinyatakan berlaku namun semua pihak masih

mengakui bahwa penerapan prinsip tersebut masih

jauh dari yang diharapkan.

B. LANDASAN TEORI

1. Perkembangan Penganggaran Sektor Publik

(Public Sector Budgeting)

Sampai saat ini, terdapat beberapa jenis

penganggaran sektor publik, yaitu Line-Item

Budgeting yang banyak digunakan pada negara

berkembang, Planning Programing Budgeting

System (PPBS) yang mulai dikembangkan tahun

1960-an, Zero-Based Budgeting (ZBB) yang mulai

dikembangkan tahun 1970-an dan terakhir

Performance-Based Budgeting (PBB) yang mulai

dikembangkan tahun 1990-an.

Traditional line-item budgeting muncul karena

adanya kepedulian terhadap kurangnya kontrol

terhadap pengeluaran yang berkontribusi pada

terciptanya lingkungan yang dapat meningkatkan

korupsi. Anggaran line item tradisional menyajikan

pengeluaran-pengeluaran berdasarkan input atau

sumber daya yang digunakan. Ciri yang utama dari

sistem line item budget adalah menetapkan batas

atas line item pada proses alokasi anggaran dan

menjamin bahwa unit kerja tidak dapat melakukan

pengeluaran melebihi plafon atau batas atasnya

(Shah and Shen, 2007).

Planning Programming Budgeting System

(PPBS) muncul sebagai koreksi terhadap kelemahan

sistem Line-Item Budgeting terutama dalam hal tidak

adanya hubungan yang rasional antara besaran

anggaran yang ditetapkan dengan hasil atau tujuan

yang ingin diwujudkan dengan pengeluaran

Page 2: Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)

anggaran tersebut (Diamond, 2003, 6). Proses PPBS,

sesuai dengan namanya, mempunyai tiga tahapan

pokok yang menghubungan perencanaan dengan

penganggaran melalui program-program. Tahap

perencanaan (planning phase) mengidentifikasi

tujuan sekarang dan masa datang serta berbagai cara

yang mungkin untuk mencapai tujuan-tujuan

tersebut. Tahap pemrograman (programming phase)

menggunakan usulan hasil tahap perencanaan untuk

menetapkan program-program berdasarkan skala

prioritas sesuai tingkatan hirarki pengambil

keputusan. Tahap penganggaran (budgeting phase)

menerjemahkan masing-masing program ke dalam

rencana tahunan dengan menentukan siapa

melakukan apa dan menetapkan sumberdaya yang

dibutuhkan (Diamond, 2003, 6).

Konsep zero-based budgeting (ZBB)

dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan

incremental budgeting yang ada pada sistem

anggaran tradisional (line item budgeting). Sistem

zero-based budgeting mencoba menciptakan

lingkungan kelembagaan dimana unit-unit kerja

diminta untuk membuat prioritas -prioritas

berdasarkan hasil-hasil program yang dapat dicapai

pada berbagai tingkat pengeluaran. Dalam membuat

proposal anggaran, berbagai alternatif dirangking

tanpa melihat pengeluaran-pengeluaran yang telah

dilakukan sebelumnya dan dengan memberi

perhatian pada total pengeluaran yang diajukan,

bukan penambahannya (McNab, 2001, 11-12).

2. Anggaran Berbasis Kinerja (Performance

Based Budgeting)

Robinson and Last (2009) menyatakan

performance-based budgeting bertujuan untuk

meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengeluaran

publik dengan mengaitkan pendanaan organisasi

sektor publik dengan hasil yang dicapai dengan

penggunaan informasi kinerja secara sistematik.

Carter (1994), Performance budgeting dibedakan

dari pendekatan tradisional karena berfokus pada

hasil dari pengeluaran yang dilakukan, bukannya

jumlah uang yang dikeluarkan.

Dari pengertian-pengertian tersebut dapat

disimpulkan bahwa penganggaran berbasis kinerja

(performance-based budgeting) merupakan suatu

pendekatan sistematis dalam penyusunan anggaran

yang mengaitkan pengeluaran yang dilakukan

organisasi sektor publik dengan kinerja yang

dihasilkannya dengan menggunakan informasi

kinerja.

Sejalan dengan pengertian dan tujuannya,

Robinson dan Last (2009) menyatakan persyaratan

mendasar dalam penerapan bentuk sederhana

penganggaran berbasis kinerja (performance-based

budgeting), adalah:

a. Informasi mengenai sasaran dan hasil dari

pengeluaran pemerintah dalam bentuk indikator

kinerja dan evaluasi program sederhana, dan

b. Proses penyusunan anggaran yang dirangcang

untuk menfasilitasi penggunaan informasi

tersebut.

Fase-fase dalam siklus APBN d iIndonesia, menurut

UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004

disajikan dalam diagram di bawah ini :

Siklus APBN dapat dilihat pada skema di bawah ini:

PP 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan RKA-KL dapat

dituangkan dalam gambar berikut ini :

3. Metode penelitian

Kajian untuk paper Pro-Kontra

Penganggaran (Budgeting) Pemerintah

Indonesia dilakukan melalui metode observasi

kepustakaan dan pencarian data melalui

internet. C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Penganggaran di Indonesia

Beberapa permasalahan secara general

yang sering dijumpai dalam perencanaan

anggaran, yang berakibat selain pada rendahnya

realisasi anggaran juga kurang maksimalnya

pencapaian output maupun impact atas suatu

program kegiatan dalam pelaksanaan ABK

adalah sebagai berikut:

Page 3: Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)

a. Perencanaan kegiatan tidak sesuai dengan

kebutuhan

Salah satu prinsip penganggaran adalah

berbasis kinerja, yaitu penyusunan anggaran

yang didasarkan pada target kinerja yang

ditetapkan terlebih dahulu. Idealnya,kegiatan

yang direncanakan merupakan kegiatan yang

benar-benar dibutuhkan baik jenis maupun

jumlahnya dalam rangka memenuhi tugas pokok

dan fungsi organisasi. Proses perencanaan yang

baik diharapkan dapat meminimalisir deviasi

antara kebutuhan dengan jenis dan jumlah

kegiatan yang dicantumkan dalam RKA-K/L.

Dalam penganggaran seringkali menghadapi

kendala berkaitan dengan pencantuman biaya

yang dianggarkan untuk melaksanakan Renja.

Pada tahap awal K/L c.q. Satker mendasarkan

pada pagu indikatif yang sifatnya given. Pada

kondisi ini bukan pembiayaan yang

menyesuaikan dengan rencana kegiatan,

namun rencana kegiatan yang

menyesuaikan dengan alokasi uang yang ada.

Hal ini tentu mengganggu prinsip penganggaran

berbasis kinerja, terutama apabila dalam proses

pembahasan selanjutnya tidak terjadi perbaikan

sesuai kebutuhan pendanaan yang

sesungguhnya. Jika hal ini terjadi, dalam

pelaksanaan anggaran bisa menyulitkan untuk

direalisasi. Contoh kecil, misalnya dalam kasus

pengadaan genset yang memerlukan ruang

penyimpanan termasuk instalasinya. Pada saat

dana yang tersedia terbatas, bisa jadi yang

muncul dalam DIPA hanya untuk pengadaan

gensetnya saja. Alhasil, Satker tidak berani

merealisasikan pengadaan tersebut karena

khawatir, genset yang tidak ditempatkan pada

ruang yang memadai akan menjadi rusak.

b. Ketidaklengkapan data pendukung

penyusunan anggaran

Salah satu ketentuan pada PMK/2011

mengharuskan dalam menyusun RKA-KL

dilampiri dengan dokumen pendukung.

Ketidaklengkapan data pendukung sampai pada

tahap terakhir kegiatan penelaahan RKAK/L

bisa mengakibatkan anggaran kegiatan diblokir/

dibintang. Misalnya, dalam rencana

kegiatan pembangunan gedung belum

dilengkapi analisis perhitungan biaya dari

instansi ke-PU-an. Kelambatan/kegagalan

pemenuhan data pendukung pada tahap

pelaksanaan anggaran bisa mengakibatkan

proses pelaksanaan kegiatan tertunda atau

bahkan gagal dilaksanakan.

c. Salah penentuan akun sehingga perlu revisi

dokumen anggaran

Kesalahan penetapan akun belanja

pada saat penganggaran berimplikasi pada saat

merealisasikan anggaran tersebut. Misal dalam

belanja dalam rangka menghasilkan aset tetap

dibiayai dengan non belanja modal, atau

sebaliknya belanja yang tidak menghasilkan aset

tetap dibiayai dengan belanja modal. Meskipun

sudah ada mekanisme penelaahan yang bisa

meminimalisir terjadinya masalah ini, namun

apabila terjadi akan menimbulkan masalah

dalam pencairan yang menuntut adanya revisi

terlebih dahulu sebelum bisa dieksekusi. Hal ini

tentu memberikan tambahan waktu yang

memperlambat penyerapan anggaran.

d. Penyusunan pagu anggaran terlalu rendah

(tidak sesuai dengan harga pasar)

Pada saat penyusunan anggaran

pengadaan barang/jasa, seharusnya didasarkan

pada survei pasar serta mempertimbangkan

kemungkinan kenaikan harga pada tahun

pelaksanaan. Apabila hal ini tidak dipenuhi bisa

mengakibatkan pagu anggaran yang diperoleh

terlalu rendah untuk bisa dilaksanakan oleh

penyedia barang/jasa yang bisa menggagalkan

pelaksanaan kegiatan (anggaran tidak

terealisasi). e. Adanya penyesuaian harga karena

adanya kebijakan pemerintah (eskalasi) Dalam

situasi ekonomi tidak pasti, anggaran yang

disusun saat ini belum tentu memenuhi harga

yang wajar pada saat pelaksanaan nanti.

Demikian juga kondisi relevan yang menjadi

acuan pada saat penyusunan anggaran belum

tentu

sama dengan pada saat pelaksanaan.

Misalnya pengiriman logistik dalam rangka

pemilu, pada saat tahun pelaksanaan pemerintah

memutuskan adanya kenaikan harga BBM,

sehingga menimbulkan cost tambahan untuk

bisaya pengiriman tersebut. Dalam situasi ini,

akan dilakukan eskalasi yang besarannya

memerlukan analisis perhitungan sebelum

ditetapkan menjadi harga kontrak pengiriman

yang baru.

e. Tidak menganggarkan biaya pendukung dan

administrasi pengadaan

Untuk pengadaan barang/jasa

adakalanya diperlukan biaya-biaya pendukung,

termasuk biaya admistrasi proses pengadaan. Di

dalam Perpres 54 Tahun 2010 Lampiran I butir

C. Penyusunan dan Penetapan Rencana

Penganggaran, dimungkinkan penyediaan biaya

tersebut dengan mengacu pada ketentuan yang

ada. Biaya pendukung tersebut mencakup: biaya

pemasangan, biaya pengangkutan, biaya

pelatihan, dan lain-lain. Sementara biaya

administrasi mencakup: biaya pengumuman

pengadaan, honorarium pejabat pelaksana

pengadaan, biaya survei lapangan/pasar, biaya

penggandaan dokumen pengadaan, dan lainnya.

Ketiadaan biaya administrasi pengadaan pada

saat penyusunan anggaran bisa mengakibatkan

pelaksanaan kegiatan menjadi terhambat yang

pada gilirannya dapat mengganggu realisasi

penyerapan anggaran.

f. TOR salah/tidak lengkap

Page 4: Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)

Kesalahan/ketidaklengkapan dalam

penyusunan TOR bisa mempengaruhi hasil

penelaahan yang berujung pada nilai alokasi

yang ditetapkan untuk pelaksanaan kegiatan

menjadi tidak tepat. Pada saat pelaksanaan

kegiatan menjadi sulit direalisasi karena

anggaran yang ada tidak sesuai dengan kondisi

riil.

g. RAB tidak sesuai dengan satuan biaya

Salah satu ketentuan pada Peraturan

Menteri Keuangan No. 93/PMK.02/2011

tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan

RKA-K/L mengharuskan dalam menyusun

RKA-KL mengacu pada standar biaya yang

berlaku pada tahun anggaran yang disusun.

Apabila hal ini tidak ditaati, maka pada s aat

pelaksanaan anggaran menjadi tidak klop karena

akan timbul kelebihan atau kekurangan biaya.

Dalam hal terjadi kelebihan anggaran di atas

standar biaya, akan menimbulkan sisa anggaran

yang tidak dapat diserap. Sebaliknya dalam hal

terjadi kekurangan anggaran di bawah standar

biaya, bisa menimbulkan hambatan atau bahkan

membatalkan pelaksanaan kegiatan karena

dukungan biayanya tidak memadai.

h. Formalisasi rencana penarikan anggaran

selama tahun anggaran berkenaan

Rencana penyerapan anggaran

memang telah dicantumkan dalam DIPA tetapi

terkadang hal itu hanya formalitas saja, dimana

setiap pagu belanja berdasarkan kegiatan dan

sub kegiatan cukup dibagi dengan dua belas

bulan. Tentu ini tidak mencerminkan rencana

penyerapan anggaran yang sesungguhnya,

mengingat volume dan besaran pencairan dana

setiap bulan tidaklah sama, kecuali untuk

pengeluaran tertentu misalnya belanja gaji. Jika

tidak ada rencana penyerapan dana yang

terukur, akan menyebabkan satker tidak

mempunyai pedoman yang tepat kapan

anggaran belanja seharusnya digunakan atau

direalisasikan.

Selain kedelapan hal di atas, dalam

penerapan ABK di Indonesia menurut Wahyu

Widhianto, FH UI, 2010 adalah sebagai berikut : a. Kurangnya Data Dan Informasi (Finansial

Maupun Non Finansial)

Sebagai sumber utama dalam

penyusunan ABK, data akan diolah menjadi

informasi yang berguna untuk menentukan

indikator (ukuran), serta untuk mengevaluasi

dan mengambil keputusan pengalokasian dana

agar lebih objektif. Namun data yang tersedia

kadang tidak bisa dijadikan sebagai informasi

(disebabkan data yang dikumpulkan tidak sesuai

dengan yang dibutuhkan), ataupun bahkan, tidak

ada data dalam penyusunan ABK.

Proses mendapatkan data tersebut

bertujuan untuk memperoleh informasi dan

pengertian tentang berbagai program yang

menghasilkan output dan outcome yang

diharapkan. Perolehan dan penyajian data juga

akan menjelaskan bagaimana manfaat setiap

program bagi rencana strategis. Sedangkan

proses pengambilan keputusannya melibatkan

setiap level dari manajemen pemerintahan.

Pemilihan dan prioritas program yang akan

dianggarkan tersebut akan sangat tergantung

pada data tentang target kinerja yang diharapkan

dapat dicapai.

Data untuk menentukan

ukuran kinerja untuk mencapai tujuan dan

sasaran layanan publik yang diperlukan dalam

penyusunan ABK salah satunya adalah visi dan

misi organisasi yang mencerminkan strategi

organisasi tersebut. Misal: “Menuju Rakyat

Sejahtera Dengan Optimalisasi Potensi

Penerimaan Pajak“. Dalam prakteknya terjadi

kesulitan dalam penerjemahan, apa yang

dimaksud dengan “sejahtera“, “optimalisasi“.

Kemudian data yang harus dijabarkan

adalah tujuan. Tujuan ini lebih sempit daripada

visi dan misi, lebih mengarah ke teknis.

Permasalahan yang timbul adalah kurangnya

data dan informasi untuk menentukan aktivitas

yang akan menjadi pemicu munculnya

biaya. Kemudian sulitnya evaluasi dan

pengambilan keputusan untuk membuat

peringkat-peringkat alternatif keputusan dari

dana yang diusulkan untuk setiap program atau

aktivitas. Oleh karena itu untuk mengatasi

permasalahan tersebut, muncul kebutuhan

penyimpanan data dan koordinasi penyusunan

program dan kegiatan yang akan dilaksanakan

sebagai dasar penyusunan kebutuhan anggaran

pada instansi/lembaga pemerintah.

Masalah lain yang timbul adalah faktor

perilaku manusia yaitu kurangnya

sikap care danaware yang dimiliki terhadap data

dan informasi yang berkualitas, sehingga

perencanaan yang dibuat sering meleset, dan

akhirnya tidak mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Seperti pola pembahasan yang

masih menggunakan pola lama, dengan

penentuan alokasi lebih banyak didasarkan pada

alokasi tahun sebelumnya. Belum banyak

anggota DPR yang concern dengan anggaran

kinerja dan mempertanyakan masalah kinerja

pada saat membahas anggaran. Hal ini sebagian

karena keterbatasan kemampuan anggota DPR

dan sebagian karena adanya ketimpangan

informasi (asymmetry information).

Ketimpangan informasi selain terjadi

karena data perencanaan kinerja (Renja) dan

pelaporan kinerja (LAKIP) tidak sampai ke

tangan DPR, juga karena format RKA-KL yang

dibahas dengan DPR tidak mampu berbicara

mengenai kinerja yang akan dihasilkan. Kunci

utama untuk mengatasi permasalahan ini adalah

Page 5: Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)

personalia sebagai kunci bagi suksesnya sebuah

proses modernisasi.

Modernisasi administrasi publik hanya

akan berhasil apabila potensi sumber daya

manusia dimanfaatkan secara maksimal,

atau jika ada kekurangan di bidang ini perlu

dilakukan perbaikan sumber daya dengan

meningkatkan kualifikasi melalui pendidikan

dan pelatihan, peningkatan kompetensi

keahlian.

b. Campur Tangan Kepentingan Politis

Kepentingan politik yang ikut serta

dalam perencanaan pembangunan menimbulkan

masalah tersendiri bagi pelaksanaan ABK,

dalam praktiknya alokasi anggaran setiap

program di masing-masing unit kerja sangat

dipengaruhi oleh kesepakatan antara legislatif

dan eksekutif. Prioritas dan pilihan

pengalokasian anggaran pada tiap unit kerja

dihasilkan setelah melalui koordinasi diantara

bagian dalam lembaga eksekutif dan legislatif.

Kendala ini cukup sulit untuk dihindari, karena

biasanya datang dari adanya tarik menarik

kepentingan diantara elit politik dan elit

penguasa dalam mempengaruhi kebijaksanaan

pemerintah. Dimana terdapat campur tangan

para birokrat dalam proses perencaanaan

anggaran hanya untuk meng-goal-kan

kepentingan pribadi atau kelompok.

Masalah lain juga timbul dari

perubahan kepemimpinan yang mengakibatkan

perubahan juga pada skala prioritas kegiatan.

Untuk mengurangi masalah tersebut dibutuhkan

komitmen seluruh komponen (legislatif dan

eksekutif) dalam pelaksanaan kebijakan

penganggaran. Political will (komitmen

eksekutif) dan dukungan politik dari legislatif

merupakan langkah pertama yang dibangun

guna mewujudkan efisiensi penggunaan

anggaran.

Upaya lain yang dapat dilakukan

dengan melakukan restrukturisasi lembaga

eksekutif dan rasionalisasi SDM. Tentunya

upaya ini dibarengi dengan manajemen konflik

(khususnya dalam penataan personil). Upaya-

upaya dilakukan dalam meminimalisir konflik

ini adalah dengan

memberikan punishment dan reward kepada

pegawai dengan jelas dan transparan.

c. Skala Prioritas Yang Tidak Terumus Dengan

Jelas

Skala prioritas yang tidak terumuskan

secara tegas dalam proses

perencanaan mengakibatkan pemborosan

sumber daya yang digunakan untuk

menyediakan pelayanan publik. Selama ini,

hampir tidak ada upaya untuk menetapkan skala

prioritas anggaran di mana ada keterpaduan

antara rencana kegiatan dengan kapasitas

sumber daya yang dimiliki. Juga lemahnya

analisis biaya-manfaat (cost and benefit

analysis) sehingga kegiatan yang dijalankan

kadang tidak memberikan tingkat keuntungan

atau manfaat bagi publik.

Maksud dibuat peringkat untuk

menentukan skala prioirtas dikarenakan

sumberdaya yang dimiliki terbatas. Dalam

penentuan skala prioritas harus mengacu kepada

perencanaan strategis (Renstra) dan

perencanaan kinerja (Renja). Sistem

perencanaan pembangunan secara makro

dimulai dengan disusunnya RPJP (Rencana

Pembangunan Jangka Panjang), kemudian

RPJM (Rencana Pembangunan Jangka

Menengah), dan rencana tahunan yang

kemudian di-breakdown kedalam buku APBN.

Jadi, dalam mengajukan usulan kegiatan harus

mengacu kepada dokumen-dokumen tersebut

dan tidak boleh menyimpang, jika menyimpang

dilihat dulu tingkat urgensinya.

d. Pengukuran Kinerja Yang Tidak Seragam

Pengukuran kinerja secara

seragam, mengakibatkan penilaian keberhasilan

per-departemen juga tidak seragam. Sehingga

diperlukan konsepsi anggaran terpadu, yang

menekankan pada optimalisasi penggunaan

danadengan mengacu kepada pedoman yang

sama antar unit-unit pemerintahan. Hal itu untuk

mencapai sasaran program yang akan

dilaksanakan oleh suatu unit organisasi.

Konsepsi sebagaimana disebutkan di atas akan

terwujud dengan baik, bila diterapkan

klasifikasi anggaran berdasarkan unit organisasi,

fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja.

Apabila telah dilaksanakan klasifikasi

semacam itu diharapkan tujuan dan indikator

kinerja akan semakin jelas dan seragam

sehingga dapat dibandingkan dan dapat dikur

keberhasilannya. Yang nantinya akan

menciptakan perbaikan, efisiensi dan efektivitas

dalam pemanfaatan sumber daya dan

memperkuat proses pengambilan keputusan .

Permasalahan mengenai klasifikasi juga

dapat disempurnakan melalui

penyempurnaan landasan konstitusional

mengenai pengelolaan anggaran negara

dan perbaikan sistem penyusunan anggaran

serta peningkatan kualitas sumber daya

manusia.

e. Indikator Kinerja Yang Tidak Jelas

Tujuan dan indikator kinerja yang kurang

spesifik dan kurang terukur, serta tidak adanya

kejelasan siapa saja instansi yang bertanggung

jawab dan bagaimana kontribusi masing-masing

instansi untuk mewujudkan kinerja

mengakibatkan tujuan yang ingin dicapai sulit

untuk dipenuhi.

Oleh karena itu, usulan-usulan yang dibuat

harus sudah memuat input, output, manfaat, atau

pun dampak dari suatu kegiatan. Dalam

Page 6: Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)

praktiknya, penetapan tolok ukur kinerja

kegiatan fisik lebih mudah daripada kegiatan

non fisik. Untuk kegiatan fisik apabila pekerjaan

sudah selesai 100% maka dapat dikatakan

kinerja telah tercapai. Namun bila pekerjaan

tersebut non fisik, belum tentu capaian

kinerjanya 100%. Ada kebijakan tersendiri dari

masing-masing unit-unit pemerintahan dalam

menetapkan capaian kinerjanya.

Sebagai ilustrasi, permasalahan diatas

mungkin dapat diselesaikan dengan mencontoh

penerapan ABK di Australia yang diterapkan

pada Australian National Audit Office(ANAO)

yang memiliki dua outcome yaitu (1)

memperbaiki administrasi publik dan (2)

memberikan assurance atas laporan keuangan,

pengendalian dan akuntabilitas sektor

publik. Outcome tersebut diukur dengan menilai

seberapa besar pengakuan parlemen atas nilai

kontribusi ANAO, pengakuan entitas sektor

publik atas nilai tambah yang diberikan oleh

produk dan jasa ANAO serta tingkat kepuasan

atas kualitas, ketepatan waktu dan cakupan

produk dan jasa ANAO.

Capaian kinerja tersebut diukur melalui

analisis atas sejumlah pertanyaan (survei) yang

dilakukan terhadap parlemen maupun klien

auditnya. Sedangkan, untuk mengukuroutput,

misalnya untuk kegiatan jasa audit tidak sekedar

diukur dengan berapa jumlah opini audit yang

diterbitkan, namun juga diukur kualitas

(ketepatan waktu dan kesesuaian dengan standar

audit) dan harganya.

Setelah tahun anggaran berakhir,

dibuat annual report yang selain melaporkan

realisasi penggunaan anggaran

per outcome dan output, juga melaporkan

realisasi capaian kinerja

per outcome atau output tersebut. Secara

periodik dilakukan review atas strukturoutcome-

output khususnya apabila terjadi perubahan

pemerintahan, seperti kebijakan baru atau

perubahan kondisi ekonomi.

Selain itu, juga dilakukan pricing

review dengan metode activity based costing,

market testing dan benchmarking untuk

memastikan bahwa harga produk atau jasa yang

dilakukan instansi pemerintah adalah harga

yang kompetitif.

f. Format RKAKL

Dalam format RKA-KL nyaris tidak

terbaca kinerja apa yang akan dihasilkan dari

penggunaan anggaran untuk program dan

kegiatan yang diusulkan. indikator yang

tercantum tidak memenuhi kriteria SMART

(Spesific, Measurable, Achievable, Relevan &

Time-bound) dalam anggaran.

Penerapan penganggaran kinerja harus

dimulai dengan perencanaan kinerja, baik pada

level nasional (pemerintah) maupun level

instansi (kementerian/lembaga), yang berisi

komitmen tentang kinerja yang akan dihasilkan,

yang dijabarkan dalam program-program dan

kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Setiap

instansi selanjutnya menyusun kebutuhan

anggaran berdasarkan program dan kegiatan

yang direncanakan dengan format RKA-KL,

yang selanjutnya dibahas dengan otoritas

anggaran (Departemen Keuangan, Bappenas,

dan DPR). RKA-KL dari keseluruhan

kementerian/lembaga menjadi bahan

penyusunan RAPBN bagi pemerintah.

Dalam praktiknya masih banyak dijumpai

kelemahan sejak perencanaan kinerja, proses

penyusunan dan pembahasan anggaran sampai

dengan penuangannya dalam format-format

dokumen anggaran (RKA-KL dan APBN).

Meski pemerintah telah memiliki RKP, namun

RKP ini hanya merupakan kompilasi berbagai

usulan program kementrian/lembaga dengan

indikator yang juga beragam yang menjadikan

Bappenas mengalami kesulitan untuk

merumuskan indikator kinerja nasional.

Didalam RKP tercantum sasaran kinerja

program, biasanya dirumuskan dalam bahasa

‘langit’ yang muluk-muluk, tidak jelas

bagaimana mengukurnya dan berapa target yang

harus dicapai. Misalnya, sasaran “Program

Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas

Aparatur Negara” yang dirumuskan dalam RKP

adalah “Terwujudnya sistem pengawasan dan

audit yang akuntabel di lingkungan aparatur

negara“. Apa kriteria akuntabel, bagaimana

mengukur serta berapa targetnya tidak jelas.

Ketidakjelasan perencanaan kinerja pada level

nasional berlanjut pada ketidakjelasan Rencana

Kinerja (Renja) masing-masing

kementrian/lembaga. Pe-nama-an program dan

kegiatan instansi juga belum menunjukkan core

business dari kementerian/lembaga karena

masih banyak terpengaruh oleh penamaan

program dan proyek versi lama atau versi Daftar

Isian Proyek (DIP).

Banyak nama program yang bersifat

generik seperti Program Peningkatan Sarana dan

Prasarana, Program Pengelolaan Sumber Daya

Manusia Aparatur, serta Program Penataan

Kelembagaan dan Ketatalaksanaan, yang

terdapat pada hampir seluruh instansi. Untuk

program yang sama, tiap instansi

mendefinisikan sendiri-sendiri apa sasaran

programnya, yang kemungkinan besar berbeda-

beda yang pada akhirnya menyulitkan

pendefinisian ukuran kinerja nasional untuk

program tersebut. Program-progran pemerintah

dan program-program masing-masing

kementerian/lembaga belum terstruktur dengan

baik sehingga sulit dipetakan keterkaitannya.

Kembali ke format RKAKL, dari sisi

proses penyusunan anggaran, formulir-formulir

Page 7: Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)

RKA-KL (formulir 1.1 s.d formulir 3.4),

ternyata tidak mendorong kementerian/lembaga

untuk menyatakan kinerjanya, baik kinerja hasil

(outcome) program maupun keluaran (output)

kegiatan. Formulir-formulir RKA-KL justru

mengharuskan kementerian/lembaga melakukan

perhitungan detil anggaran per kegiatan, sub

kegiatan, jenis belanja, dan mata anggaran yang

akhirnya berdampak pada penganggaran yang

sangat rinci dan kaku.

Informasi mengenai hasil program dan

keluaran kegiatan sangat minim dalam formulir

RKA-KL, apalagi mengenai targetnya. Dalam

formulir 1.1, definisi indikator hasil program

hanya dinyatakan secara naratif dan kualitatif

(tanpa target), sementara indikator keluaran

untuk kegiatan tidak ada. Sedangkan dalam

formulir 1.5 kementerian/lembaga diminta

membuat perhitungan anggaran per kegiatan

seperti mengisi Lembaran Kerja pada masa lalu

yang masih berorientasi kepada input, terinci

per sub kegiatan, jenis belanja dan mata

anggaran dengan mengalikan volume kegiatan

dengan harga satuannya.

Oleh karena itu, format dokumen anggaran

(RKA-KL dan APBN) perlu disempurnakan.

Departemen Keuangan perlu menyederhanakan

formulir RKA-KL agar tidak perlu detil sampai

dengan sub kegiatan tetapi cukup sampai

dengan program dan kegiatan saja dan

difokuskan pada hal-hal strategis yang

merupakan layanan instansi pemerintah kepada

masyarakatnya.

Selain itu, format RKA-KL perlu

disempurnakan dengan menambahkan kolom

yang berisi informasi tentang hasil program dan

output kegiatan secara lebih jelas dan terukur.

Apabila RKA-KL telah disempurnakan, maka

diharapkan APBN dapat menampilkan

informasi tentang indikator dan target kinerja

atas program-program pemerintah.

Format dokumen pelaksanaan anggaran

(DIPA) perlu diatur ulang agar tidak sampai

rinci ke pengendalian input (ke mata anggaran

pengeluaran), tetapi lebih fokus ke pengendalian

atas kinerja yang dihasilkan (output) dan

manfaat yang dapat dinikmati oleh

masyarakat/stakeholders (outcome).

g. Standar Biaya Dan Standar Pelayanan

Minimal

Belum adanya standar biaya (SB) dan

standar pelayanan minimal (SPM)

mengakibatkan sulitnya penyusunan

ABK. Dalam penyusunan ABK memperhatikan

setiap cost yang dikeluarkan dengan kejelasan

output, dan dampaknya. Semua cost sudah

terukur, sesuai dengan indikator kinerja yang

dibuat. Secara konvensional standar pelayanan

diukur berdasarkan SPM dan Indeks Kepuasan

Konsumen. Kedua paramater tersebut

pengukurannya dilakukan oleh independent

regulatory body. Keberadaan independent

regulatory body dapat menjadi ukuran

partisipasi publik karena lembaga tersebut dapat

bertindak mewakili kepentingan publik dalam

mengatur kebijakan pelayanan, lokasi, jenis,

fasilitas, dan tarif layanan.

PP No. 21/2004 mensyaratkan perlunya

standar biaya dalam penyusunan anggaran

berbasis kinerja, baik standar biaya umum yang

harus disusun oleh Menteri Keuangan maupun

standar biaya khusus per program dan kegiatan

yang harus disusun oleh masing-masing

kementerian/lembaga. Standar biaya umum

yang ada sekarang masih berorientasi kepada

input, misalnya uang lauk pauk per orang per

hari, honor panitia pengadaan per orang/bulan,

pengadaan inventaris kantor per orang/tahun .

Sebagian besar kementerian/lembaga masih

mengalami kesulitan dalam menyusun harga

standar biaya khusus per kegiatan dan program,

karena tidak didukung oleh database, sistem

akuntansi dan pencatatan yang baik. Ketiadaan

standar biaya mengakibatkan penyusunan

anggaran per program dan kegiatan menjadi

beragam sehingga sulit diukur efisiensinya.

Terkait dengan SPM, saat ini baru tujuh

departemen yang memilikinya, yaitu

Departemen Pendidikan Nasional, Kesehatan,

Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan,

Perhubungan, Koperasi/UKM, dan

Pemberdayaan Perempuan. Padahal SPM

seharusnya menjadi acuan awal dalam

menentukan kinerja yang harus dihasilkan.

Struktur APBN tahun 2005 dan 2006 tidak

berbeda dengan struktur sebelumnya yang

disusun berdasarkan penganggaran line item,

yaitu dirinci berdasarkan pendapatan,

pengeluaran, dan pembiayaan anggaran.

Pengeluaran dirinci atas dasar klasifikasi

organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Sama

sekali tidak tercantum informasi mengenai

indikator dan target kinerja per program. Oleh

karena itu, dalam mendukung proses

penyusunan anggaran, Departemen Keuangan

perlu menyusun standar biaya umum yang lebih

berorientasi ke output/outcome. Masing-masing

instansi juga didorong untuk menyusun Harga

Standar Biaya Khusus per kegiatan dan

program.

Penyusunan standar biaya tersebut

dilakukan dengan suatu studi/penelitian selama

beberapa tahun atau

menggunakan benchmark yang cocok.

Sedangkan dalam melakukan pembahasan dan

alokasi anggaran, DPR mempergunakan data

kinerja sebagai acuan. Untuk itu, data

perencanaan kinerja (Renja) dan pelaporan

kinerja (LAKIP) semestinya juga disampaikan

Page 8: Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)

kepada DPR agar menjadi referensi dalam

pembahasan anggaran.

2. Studi Kasus : Penerapan ABK di Jawa Timur

Permasalahan dalam melaksanakan ABK juga

terjadi di Jawa Timur dimana Pemerintah Jawa

Timur telah melakukan persiapan pelaksanaan

Anggaran Berbasis Kinerja tetapi belum

sempurna, yakni :

a. Pemerintah Jawa Timur telah melakukan

persiapan pelaksanaan Anggaran Berbasis

Kinerja terutama dengan mengeluarkan

berbagai peraturan daerah serta petunjuk

teknis dan pelaksanaannya.

b. Berdasarkan paket undang-undang keuangan

Negara terjadi perubahan mindest

pengelolaan keuangan Negara yang lebih

mengedepankan efisiensi dan efektivitas serta

mendorong terwujudnya akuntabilitas dan

transparansi. Namun sampai saat ini

pemerintah Jawa Timur belum mampu

merubah mindset pelaksana teknis

penyelenggara pemerintahan sehingga

pelaksanaan reformasi pengelolaan keuangan

daerah belum berjalan dengan baik.

Perubahan paradigm baru seharusnya

didukung oleh personalia atau sumber daya

manusia yang handal, memiliki kompetensi

yang sesuai dan memiliki kinerja yang jelas

dan terukur.

c. Format dokumen penyusunan anggaran di

Jawa Timur baru terfokus pada penjabaran

nama program, kegiatan dan sub kegiatan

dalam dokumen anggaran, tetapi substansi

ukuran kinerjanya belum diformulasikan

dengan baik. Hal ini dikarenakan belum

dilakukan mekanisme pengumpulan data

kinerja (indikator masukan, keluaran, dan

hasil) untuk mengukur kehematan, efektivitas,

efisiensi, dan kualitas pencapaian sasaran.

d. Hingga kini belum semua unit pemerintahan

yang bertindak sebagai unit layanan memiliki

Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM

yang ada belum dapat digunakan sebagai

dasar menetapkan target outcome minimum.

e. Biaya (pengeluaran) dalam analisis standar

biaya (ASB) yang digunakan untuk mendanai

output belum menggunakan metode

penghitungan biaya yang memadai atau

standard costing yang jelas.

f. Terdapat beberapa kelemahan dalam

pelaksanaan audit sehingga pelaksanaannya

tidak efisien dan efektif. Pertama, tidak

tersedianya indikator kinerja yang memadai

sebagai dasar mengukur kinerja pemerintah.

Kedua, masalah kelembagaan audit yang

overlapping satu dengan lainnya.

Pemerintah Jawa Timur telah

melaksanakan Anggaran Berbasis Kinerja

tetapi belum utuh dan konsisten.

a. Sudah terdapat peraturan perundang-

undangan yang dapat dijadikan sebagai dasar

hokum bagi pelaksanaan anggaran berbasis

kinerja. Tetapi belum semua aturan tersebut

diimplementasikan dengan baik dan

konsisten.

b. Masih kurangnya pemahaman semua pihak

tentang peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan masih lemahnya komitmen untuk

melaksanakannya menjadikan implementasi

anggaran berbasis kinerja belum berjalan

dengan baik.

c. Peraturan perundang-undangan yang ada

dilaksanakan baru sekedar memenuhi aspek

legal formal dan masih jauh dari esensi yang

diharapkan dari penerapan anggaran berbasis

kinerja.

d. Dalam rangka meningkatkan tranparansi dan

kejelasan dalam proses anggaran dokumen

anggaran dibuat rici tetapi akibatnya

dokumen anggaran menjadi rumit dan

berfokus pada sisi input. Hal ini

menyebabkan waktu yang diperlukan untuk

persiapan dan pembahasan anggaran menjadi

lama. Di antara kerumitan penyusunan

dokumen anggaran adalah klasifikasi

anggaran yang tidak sepenuhnya dipahami

oleh satker.

e. Penyusunan program dan kegiatan belum

sepenuhnya mempedomani dokumen

perencanaan strategis. Terdapat missing link

antara Renstra, Renja, Program, Kegiatan,

dan RKA-KL. Muncul program dalam RKA-

KL yang tidak terdapat dalam Renstra.

f. Satker baik intern maupun antar

Departemen/Lembaga tidak terkoordinasi

dalam penyusunan program/kegiatan dan

penganggarannya. Hal ini mengakibatkan

duplikasi program/kegiatan dan

pendanaannya serta adanya program/kegiatan

yang tidak tertampung disatker manapun.

g. Anggaran yang disusun lebih berorientas i

pada kenaikan jumlah anggaran. Anggaran

belanja yang cenderung membesar

(incremental) dari tahun ke tahun

mengakibatkan ketidakseimbangan antara

anggaran belanja dengan anggaran

pendapatan.

h. Penyusunan anggaran per program dan

kegiatan beragam dikarenakan belum

menggunakan metode penghitungan biaya

yang memadai atau standard costing yang

jelas sehingga sulit diukur efisiensinya.

Standar biaya yang ada juga belum

dilaksanakan secara konsisten.

i. Pembahasan anggaran di pemerintah maupun

DPR belum sepenuhnya berlandaskan

penilaian atas kinerja. Pola pembahasan

masih menggunakan pola lama yang lebih

terfokus pada penentuan alokasi anggaran.

Page 9: Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)

Banyak anggota legislative yang tidak

concern dengan anggaran kinerja pada saat

membahas anggaran. Dalam pembahasan

anggaran seharusnya legislative lebih focus

output dan income. Tetapi ketika dokumen

penyusunan anggaran yang disampaikan ke

legislative memuat detil rencana anggaran

sampai dengan daftar kegiatan maka banyak

anggota legislative justru lebih focus ke input.

Hal ini mengakibatkan konsep fleksibilitas

penganggaran yang mengarah pada prinsip

let’s the manager manage belum sepenuhnya

diwujudkan.

j. Belum tersedia system monitoring dan

evaluasi yang terintegrasi untuk mengawasi

dan mengevaluasi pelaksanaan kinerja

anggaran. Tidak adanya system monitoring

dan evaluasi juga menjadikan sulit untuk

mendapatkan feedback pelaksanaan anggaran

D. KESIMPULAN

Menerapkan penganggaran berbasis kinerja

memang tidak semudah membalik telapak tangan,

karena butuh proses dan upaya serius dari berbagai

pihak terkait, khususnya kementerian/lembaga dan

otoritas anggaran. Sebagai hal yang baru diterapkan

di kementerian/lembaga, sangat wajar kalau masih

ada kelemahan. Yang paling penting adalah upaya

untuk terus berbenah agar penganggaran kinerja

tidak melenceng dari filosofi dan tujuannya.

Oleh karena itu, setidaknya ada upaya dari

pemerintah untuk meninggalkan sistem

penganggaran konvensional dan

mengimplementasikan ABK dalam rangka

pencapaian Good Governance, walaupun belum

dapat dilaksanakan secara menyeluruh karena masih

terdapat kendala-kendala dalam mengaitkan setiap

pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan

dengan keluaran dan hasil yang diharapkan.