Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

46
Seorang anak laki-laki 3 tahun dengan empiema et causa Tuberkulosis pleura DD: masa paru sinistra dan anemia et causa infeksi kronis dan defisiensi besi Pendahuluan Empiema didefinisikan sebagai adanya cairan purulen didalam rongga pleura sebagai akibat dari proses inflamasi. 1,2 Cairan ini dapat terlokalisasi maupun bebas didalam rongga pleura yang disebabkan karena adanya dead space dan inokulasi bakteri. Empiema merupakan suatu gejala yang tergolong berat dan berhubungan dengan morbiditas yang tinggi, terapi antibiotik jangka lama dan sering memerlukan intervensi invasive. 1 Secara epidemiologis insidens empiema dilaporkan meningkat sekitar 1-4 per 100.000 anak diseluruh dunia dan 0,6-3% diantaranya terjadi komplikasi yang berat. Insidens empiema meningkat secara cepat dimana terdapat sedikitnya 6500 anak menderita empiema ataupun efusi parapneumonia di Amerika Serikat dan Inggris setiap tahunnya, dengan mortalitas sebesar 20%, demikian pula di Australia dan Kanada. 3,4 Sedangkan di India terdapat 5 – 10% kasus anak dengan empiema dan paling banyak ditemukan pada usia 2 – 9 tahun. 5,6 Empiema pada anak lebih sering terjadi pada usia bayi dan anak usia pra sekolah dengan rasio yang sama antara laki-laki dan perempuan. Streptokokus pneumoniae (terutama serotipe 1,3 dan 19A), Staphylococcus aureus dan 1

Transcript of Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Page 1: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Seorang anak laki-laki 3 tahun dengan empiema et causa Tuberkulosis pleura

DD: masa paru sinistra dan anemia et causa infeksi kronis dan defisiensi besi

Pendahuluan

Empiema didefinisikan sebagai adanya cairan purulen didalam rongga pleura sebagai

akibat dari proses inflamasi.1,2 Cairan ini dapat terlokalisasi maupun bebas didalam

rongga pleura yang disebabkan karena adanya dead space dan inokulasi bakteri.

Empiema merupakan suatu gejala yang tergolong berat dan berhubungan dengan

morbiditas yang tinggi, terapi antibiotik jangka lama dan sering memerlukan

intervensi invasive.1 Secara epidemiologis insidens empiema dilaporkan meningkat

sekitar 1-4 per 100.000 anak diseluruh dunia dan 0,6-3% diantaranya terjadi

komplikasi yang berat. Insidens empiema meningkat secara cepat dimana terdapat

sedikitnya 6500 anak menderita empiema ataupun efusi parapneumonia di Amerika

Serikat dan Inggris setiap tahunnya, dengan mortalitas sebesar 20%, demikian pula di

Australia dan Kanada.3,4 Sedangkan di India terdapat 5 – 10% kasus anak dengan

empiema dan paling banyak ditemukan pada usia 2 – 9 tahun.5,6

Empiema pada anak lebih sering terjadi pada usia bayi dan anak usia pra

sekolah dengan rasio yang sama antara laki-laki dan perempuan. Streptokokus

pneumoniae (terutama serotipe 1,3 dan 19A), Staphylococcus aureus dan

Streptococcus pyogenes merupakan kuman patogen utama penyebab empiema di

Inggris dan Asia.4,5 Namun penting untuk dipikirkan organisme penyebab lainnya

terutama Mycobacterium tuberculosis dan MRSA (multi-drug resistance

Staphylococcus aureus) jika terdapat faktor risiko pada anak atau tidak membaik

dengan terapi empiris.4,6,7 Sedangkan di India, etiologi empiema yang paling sering

ditemukan pada anak dalam isolasi mikrobiologi yakni Staphylococcus aureus sekitar

80% kasus dan selebihnya adalah bakteri gram negatif oleh karena tingginya insidensi

resisten akibat pemberian antibiotik pada fase awal pneumonia.1,6 Tuberkulosis juga

merupakan penyebab empiema terutama pada sebagian besar masyarakat di India,

meskipun sangat sulit diisolasi. Namun pada negara barat justru ditemukan biakan

Mycobacterium tuberculosis yang tinggi sebagai mikroorganisme penyebab empiema

pada anak.1

Penanganan empiema masih kontroversial khususnya pada anak. Pilihan

penanganan mencakup pemberian antibiotika sistemik saja, torakosentesis,

1

Page 2: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

torakostomi dengan menggunakan tuba, dengan atau tanpa pemberian obat

fibrinolitik. Teknik invasif lainnya adalah bedah torakoskopi, mini-torakotomi, dan

torakotomi standar dengan dekortikasi (menyingkirkan bekuan fibrin dari paru).8-10

Masih banyak perdebatan dan sampai sekarang belum dicapai kesepakatan tentang

manajemen efusi parapneumonia pada anak, antara pemberian antibiotik saja atau

dengan drainase (chest tube) maupun video-assisted thoracoscopic surgical

(VATS).11-14

Tujuan sajian kasus ini adalah untuk menampilkan sebuah kasus yang jarang

dijumpai dan complicated serta mendiskusikan bagaimanakah alur diagnosis,

pemilihan manajemen terapi baik non operatif (suportif, medikamentosa) maupun

operatif serta prognosis empiema pada anak dengan keterbatasan sarana dan prasarana

manajemen invasif di Rumah Sakit DR. Moewardi (RSDM) Surakarta.

Kasus

Seorang anak laki-laki, L, berusia 3 tahun, dengan nomor rekam medik 01125937

datang di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSDM Surakarta pada tanggal 1 Mei 2012

dengan keluha utama sesak nafas. Orang tua mulai khawatir dengan kondisi pasien

yang mengalami sesak nafas sejak 3 bulan yang lalu. Sesak nafas hilang timbul dan

tidak hilang dengan istirahat maupun perubahan posisi. Pasien tidak nyeri dada, tidak

tampak biru saat sesak, tidak demam, batuk, pilek, nyeri telan, mengi, kejang, diare,

muntah maupun nyeri perut. pasien masih mau makan dan minum meskipun sedikit-

sedikit. Buang air besar (BAB) seperti biasa, 1x setiap hari, warna coklat dan lunak

serta tidak ada keluhan. Buang air kecil (BAK) seperti biasa, warna kuning, banyak

dan tidak ada keluhan. Pada saat itu pasien diperiksakan ke dokter spesialis anak dan

mendapatkan obat namun keluhan sesak tetap sama seperti sebelumnya.

Pada saat 2 minggu sebelum masuk RS, pasien masih sesak hilang timbul, dan

berkurang dengan 2-3 bantal atau posisi setengah duduk. Pasien demam sumer-sumer

namun tidak pernah demam tinggi. Satu minggu sebelum masuk RS pasien bertambah

sesak disertai batuk ngikil dengan dahak yang sulit keluar serta demam sumer-sumer

naik turun dan tidak pernah demam tinggi. Keluhan batuk dan sesak berkurang saat

pasien tidur menggunakan 2-3 bantal dan tampak nyaman dengan posisi miring kekiri.

Pasien tidak tersedak, tidak kejang, diare maupun muntah. Nafsu makan dan minum

semakin menurun, namun berat badan tidak menurun. BAB dan BAK masih sama

2

Page 3: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

seperti sebelumnya dan tidak ada keluhan, BAK terakhir 1 jam sebelum dibawa ke

RS.

Riwayat penyakit dahulu, pasien pernah mondok di RS dua kali, pada usia 4

bulan karena tidak bisa BAB dan pada usia 2 tahun karena diare. Pasien tidak pernah

sakit sesak sebelumnya, sering mengi ataupun asma. Pasien tidak mempunyai riwayat

alergi, demikian juga pada keluarganya.

Riwayat kehamilan merupakan kehamilan yang pertama. Ibu kontrol teratur ke

bidan selama hamil, mendapat vitamin tambah darah, tidak pernah sakit selama hamil,

seperti demam, sering batuk pilek, sakit gigi ataupun gigi berlubang. Pasien lahir

spontan di rumah bersalin (RB), ditolong oleh bidan, lahir spontan, berat badan lahir

3000 gram. Ibu tidak ingat ukuran panjang badan dan lingkar kepala pasien.

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien sejak kecil sesuai dengan

usia anak-anak sebayanya, riwayat imunisasi dinyatakan lengkap sesuai jadwal kartu

menuju sehat (KMS) namun tidak lengkap sesuai jadwal imunisasi IDAI 2011.

Riwayat nutrisi pasien minum ASI dan susu formula sejak kecil sampai usia 1 tahun,

saat ini makan nasi sehari 3 kali dengan sayur dan lauk pauk bervariasi, sering dengan

tahu, tempe ikan asin dan ayam, kesan kualitas dan kuantitas cukup. Aktivitas sehari-

hari pasien suka bermain dengan teman sebayanya serta duduk menonton televisi

dirumah.

Ayah pasien berusia 35 tahun, agama Islam, suku Jawa, berpendidikan STM,

bekerja sebagai buruh pabrik dengan penghasilan rata-rata Rp 1.000.000 perbulan. Ibu

pasien berusia 30 tahun, agama Islam, suku Jawa, berpendidikan SMA, bekerja

sebagai ibu rumah tangga. Ayah dan Ibu tidak ada hubungan keluarga. Pasien tinggal

di lingkungan sekitar persawahan dan jauh dari polusi udara atau asap pabrik,

bertempat tinggal di rumah yang berpenghuni 8 orang, dan dari keluarga yang tinggal

satu rumah atau lingkungan sekitar tidak ada yang menderita penyakit sesak nafas,

batuk lama ataupun sakit paru-paru. Dari pohon keluarga baik dari keluarga ayah

maupun dari keluarga ibu tidak didapatkan kondisi atau riwayat penyakit keluarga

sakit jantung, sakit paru-paru ataupun menderita kanker serta penyakit lain yang

berhubungan dengan kondisi pasien saat ini, namun dari anggota keluarga yang

tinggal serumah dilaporkan ada yang sering sakit batuk dan keluhan saluran nafas.

3

Page 4: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak lemah, sesak nafas,

komposmentis, tidak sianosis, gizi kesan baik. Tanda vital : tekanan darah 110/70

mmHg, laju nadi sama dengan laju jantung 132 kali permenit, isi dan tegangan cukup,

teratur, laju napas 62 kali permenit, teratur, kedalaman cukup, suhu aksila 36,5°C,

saturasi O2 98%. Pada pemeriksaan wajah tidak dismorfik. Pemeriksaan pada kedua

mata didapatkan pupil isokor dengan diameter 2 mm/2 mm, refleks cahaya positif,

konjungtiva palpebra tidak pucat, sklera tidak ikterik, ditemukan napas cuping hidung.

Mukosa mulut dan daerah sekitar mulut tidak biru.

Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis.

Pada pemeriksaan kepala, leher dan aksila tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah

bening. Pemeriksaan inspeksi toraks, tidak ada kelainan bentuk, didapatkan retraksi

dinding dada, suprasternal, interkosta dan subkosta, pergerakan dada sebelah kiri

tertinggal. Iktus kordis tidak tampak, teraba di sela iga IV garis tengah klavikula kiri

dan tidak kuat angkat. Hasil pemeriksaan auskultasi jantung tidak didapatkan bising.

Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan perkusi redup pada hemitoraks kiri dan sonor

pada hemitoraks kanan sedangkan pada palpasi paru fremitus raba menurun pada

hemitoraks kiri. Pada pemeriksaan auskultasi paru didapatkan penurunan suara dasar

vesikuler di hemitoraks kiri, serta ronki di hemitoraks kanan. Pemeriksaan pada

abdomen didapatkan dinding perut sejajar dinding dada, pada auskultasi didapatkan

bising usus normal, palpasi abdomen masih supel, hepar dan lien tidak teraba. Pada

perkusi didapatkan timpani dan tidak didapatkan asites.

Pada pemeriksaan genitalia didapatkan penis, skrotum dan teraba testis, tidak

didapatkan fimosis. Pemeriksaan pada keempat ekstremitas tidak didapatkan edema,

akral dingin, tidak ada sianosis pada kuku, serta tidak didapatkan pucat pada telapak

An. L

30 th hari

35 th

I

III

II

4

Page 5: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

tangan maupun kaki. Berat badan pasien 13 kg, tinggi badan 95 cm, berdasarkan

antropometri BB/U: -2< z-score <0 (WHO, 2007), TB/U: -2< z-score < 0 (WHO,

2007), BB/TB: z-score = -1 (WHO, 2007). Kesimpulan status gizi secara antropometri

adalah gizi baik.

Pada pemeriksaan penunjang di IGD didapatkan hasil laboratorium darah:

hemoglobin 11,2 g/dl, hematokrit 34%, jumlah eritrosit 4,59.106/µl, jumlah lekosit

15.100/µl, hasil hitung jenis leukosit granulosit55/L36/M9, jumlah trombosit 642.000/µl,

MCV 74,5/um, MCH 24,4 pg, MCHC 32,8 g/dl, kadar gula darah sewaktu 83 mg/dL,

golongan darah A, ureum 14 mg/dL, albumin 3,5 g/dL, kreatinin 0,3 mg/dL, natrium

135 mmol/L, kalium 6,2 mmol/L dan klorida 104 mmol/L. Hasil analisis gas darah

(dengan oksigen masker 5L/menit) didapatkan hasil: pH 7,42, BE -2,2, pCO2 35

mmHg, pO2 82 mmHg, Hct 27%, HCO3 22,2 mmol/L, total CO2 23,4 mmol/L,

saturasi O2 97%. Hasil foto toraks anteroposterior: tampak efusi pleura massif kiri

dengan batas jantung sulit dievaluasi.

Diagnosis kerja saat itu adalah efusi pleura kiri et causa infeksi DD keganasan

dan anemia mikrositik hipokromik et causa proses infeksi kronis DD defisiensi besi.

Tatalaksana pada saat itu diberikan oksigenasi masker rebreathing 6 L/menit dan

dilakukan konsutasi cito ke bagian bedah toraks kardiovaskuler (BTKV) untuk

pemasangan water sealed drainage (WSD) serta analisis dan kultur cairan pleura.

5

Page 6: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Pasien diprogramkan untuk pemeriksaan gambaran darah tepi (GDT), SI, TIBC,

saturasi transferin, ferritin, LED, retikulosit, PT/APTT, SGOT. SGPT, LDH dan

kultur darah, EKG, pelacakan skoring TB, serta urinalisis dan analisis feses rutin.

Pasien diberikan terapi diet sonde 1300 kalori/hari, IVFD D1/4S 10 tpm makro,

diberikan injeksi antibiotik Ampisilin 350 mg/6 jam i.v dan Kloramfenikol 350 mg/6

jam i.v, serta Parasetamol 120 mg bila demam. Dari hasil pemasangan WSD dengan

NGT no 18 keluar cairan serohemoragik sebanuak 500 cc, undulasi (+), buble (-).

Pada pemantauan hari pertama 2 Mei 2012, kondisi umum pasien tampak

lemah, kompos mentis, sesak berkurang, demam, batuk, dahak sulit keluar, makan dan

minum baik. Tanda vital didapatkan tensi 90/60 mmHg, laju nadi 128x/menit, isi dan

tegangan cukup, frekuensi napas 50 x/menit, reguler, kedalaman cukup. Suhu aksila

38,10C. Didapatkan napas cuping hidung, retraksi suprasternal, interkosta dan

subkosta dan pergerakan dinding dada kiri masih tampak tertinggal. Pada pemeriksaan

fisik paru masih relatif sama dengan sebelumnya. Pada selang WSD mengalir produk

cairan warna serohemoragik 200 cc. Keseimbangan cairan (+)110 cc/24jam, diuresis

1,3 cc/kgbb/jam. Hasil laboratorium darah: hemoglobin 9,9 g/dl, hematokrit 34%,

jumlah eritrosit 4,32.106/µl, jumlah lekosit 13.400/µl, hasil hitung jenis leukosit

E0,3/B0,6/N62,5/L26/M10, jumlah trombosit 709.000/µl, MCV 78,5/um, MCH 22,9 pg,

MCHC 29,2 g/dl, SGOT 37 u/l, SGPT 11 u/l, protein total 5,7 g/dL, LDH 638 u/l,

LED 1 jam 17 mm/jam, SI 11 µg/dl, TIBC 272 µg/dl, saturasi transferin 4%, ferritin

62,7 ng/ml. gambaran darah tepi menunjukkan eritrosit: normokrom, tampak sebagian

populasi hipokromik, normosit, anisositosis, mikrosit, polikromasi, ovalosit, eritroblas

(-). Lekosit: jumlah dalam batas normal, metamielosit dan band netrofil (+),

vakuolosasi netrofil (+), monosit teraktivasi (+), sel blast (-). Trombosit: jumlah

meningkat, giant trombosit (+), penyebaran merata. Simpulan: anemia normokromik

mormositik dengan reaktif trombositosis suspek e/c proses kronik bersamaan dengan

proses infeksi dan perdarahan. Saran: CRP, retikulosit, PT/APTT. Hasil analisis

cairan pleura didapatkan cairan eksudat, warna merah kecokelatan, keruh, tidak ada

bekuan, bau (-), Rivalta (+), protein 5,9 gram/dl, glukosa 121 mg/dl, LDH 1557 U/L,

jumlah sel 950/ul, hitung jenis MN 66%, PMN 34%. Urinalisis: warna kuning keruh,

BJ 1.015, pH 6, leukosit (-), nitrit (-), protein 25 mg/dl, glukosa normal, keton 150

mg/dl, urobilinogen normal, eritrosit (-). Mikros: leukosit 22,6/ul, 4/LPB. Analisis

feses: warna coklat, lunak, darah (-). Pemeriksaan EKG didapatkan sinus takikardi,

tidak ada gambaran hipertrofi atrium maupun ventrikel. Pada pemeriksaan sitologi

6

Page 7: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

patologi anatomi cairan pleura dinyatakan didapatkan sel-sel radang dan sel-sem

mesotel, namun tidak didapatkan sel ganas, sedangkan dari laboratorium mikrobiologi

klinik dilaporkan tidak ditemukan BTA (bakteri tahan asam) dari cairan pleura pada

pemeriksaan 3 kali berturut-turut. Diagnosis pada saat itu adalah empiema sinistra et

causa infeksi TB DD: non infeksi (massa paru, keganasan), anemia et causa infeksi

kronis bersamaan dengan defisiensi besi serta gizi kurang. Penatalaksanaan tetap

dengan pemantauan produk WSD serta kultur TB pada cairan pleura.

Pada pemantauan 3-5 Mei 2012, kondisi umum pasien tampak membaik,

kompos mentis, sesak berkurang, demam sumer-sumer, batuk berkurang, makan dan

minum baik. Tanda vital didapatkan tensi 110/60 mmHg, laju nadi 110x/menit, isi

dan tegangan cukup, frekuensi napas 38 x/menit, reguler, kedalaman cukup. Suhu

aksila 37,80C. Napas cuping hidung sudah tidak didapatkan, retraksi dinding dada

berkurang dari sebelumnya, masih ada retraksi subkosta dan pergerakan dinding dada

kiri masih tampak sedikit tertinggal. Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan perkusi

redup berkurang pada hemitoraks kiri, penurunan fremitus raba pada hemitoraks kiri

dan pada pemeriksaan auskultasi didapatkan suara dasar vesikuler di hemitoraks kiri

menurun, namun sudah lebuh terdengar disbanding pemeriksaan sebelumnya. Pada

selang WSD mengalir produk cairan warna serohemoragik 50-75 cc, undulasi (+),

buble (-). Keseimbangan cairan (+)125 cc/24jam, diuresis 1,6 cc/kgbb/jam. Hasil tes

PPD = 0 mm dan total skoring TB 5. Hasil kultur cairan pleura maupun kultur darah

steril. Hasil pemeriksaan CT scan toraks dengan kontras dinyatakan: mediastinum

tampak bergeser ke kontralateral dengan pelebaran pleural space kiri yang berisi

cairan dengan dinding yang tebal. Pada sisi atas tampak cairan lobulated dan apeks

paru kiri yang kelihatan memadat; tak tampak pembesaran limfonodi mediastinum.

Pada window vaskuler paru tampak lesi noduler pada hemithorak kanan parahiler

dengan dinding yang halus, juga tampak lesi infiltrat yang halus pada kostophrenicus

posterior. Melihat tanda-tanda lesi tersebut perlu di DD dengan: 1. Proses TB dan 2.

Mesothelioma. Diagnosis saat itu tetap. Penatalaksanaan pada saat itu terapi oksigen

diturunkan dengan pemberian O2 nasal 2L/menit dan ditambahkan diet bubur nasi

3x/hari karena pasien sudah mulai kooperatif, terapi medikamentosa lainnya

dilanjutkan. Untuk pelacakan diagnostik selanjutnya, pasien diprogramkan untuk

pemeriksaan dahak dengan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, serta kadar

AFP dan β-HCG dalam darah.

7

Page 8: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Pada pemantauan 8-11 Mei 2012 kondisi umum pasien lemah, kompos mentis,

sesak berkurang, demam selama 2 hari, batuk berkurang, makan dan minum baik.

Tanda vital didapatkan tensi 110/70 mmHg, laju nadi 130x/menit, isi dan tegangan

cukup, frekuensi napas 42 x/menit, reguler, kedalaman cukup. Suhu aksila 38,00C.

Masih didapatkan retraksi subkosta minimal. Pada pemeriksaan fisik paru masih

relatif sama dengan hari sebelumnya. Produk WSD warna kuning tua, keruh,

sebanyak 50 cc. Keseimbangan cairan (+)105 cc/24jam, diuresis 1,7 cc/kgbb/jam.

Diagnosis pada waktu itu tetap. Penatalaksanaan pada saat itu dilanjutkan. Hasil

evaluasi pemeriksaan laboratorium darah: hemoglobin 9,3 g/dl, hematokrit 30%,

jumlah eritrosit 4,07.106/µl, jumlah lekosit 9.400/µl, hasil hitung jenis leukosit

E6,5/B0,1/N55,3/L27,8/M10.2, jumlah trombosit 435.000/µl, MCV 74/um, MCH 22,8 pg,

MCHC 30,8 g/dl, albumin 2,8 g/dL, natrium 137 mmol/L, kalium 4,3 mmol/L dan ion

Calsium 0,92 mmol/L. Hasil AFP (tumor marker) 0,65 IU/mL (N: <6,56 IU/ml) dan

hasil β-HCG <1,0 mIU/mL (N: < 2,5 mIU/mL). Hasil pemeriksaan bilas lambung

pada waktu 3 hari berturut-turut menyatakan tidak ditemukan kuman BTA. Diagnosis

saat itu menjadi empiema sinistra et causa tuberkulosis fase intensif bulan I dan

dilakukan motivasi keluarga untuk operasi torakotomi dengan tujuan diagnostik dan

terapeutik, namun keluarga menolak dengan alasan anak tunggal, biaya dan besarnya

risiko operasi. Terapi medikamentosa dimulai dengan pemberian obat anti-

tuberkulosis (OAT): Isoniazid 1x100 mg, Rifampisin 1x150 mg, Pirazinamid

1x200mg dan Prednison 3x5mg per oral. Pasien direncanakan untuk transfusi albumin

serum 20% sebanyak 50 cc, namun keluarga pasien menolak karena alasan biaya.

Pada pemantauan 12-15 Mei 2012 kondisi umum pasien membaik, kompos

mentis, sesak berkurang, sudah bebas demam selama 2 hari, batuk berkurang, nafsu

makan dan minum membaik. Tanda vital didapatkan tensi 110/80 mmHg, laju nadi

100x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi napas 38 x/menit, reguler, kedalaman

cukup. Suhu aksila 37,40C. Masih didapatkan retraksi subkosta minimal dan

pergerakan dinding kiri yang tertinggal. Pada pemeriksaan fisik perkusi paru kiri

masih redup, namun berkurang dari sebelumnya, sedangkan paru kanan sonor. Pada

auskultasi terdengar suara dasar vesikuler di paru kiri, dan suara paru kanan dalam

batas normal. Produk WSD (-). Keseimbangan cairan (+)120 cc/24jam, diuresis 1,4

cc/kgbb/jam. Pada saat itu dilakukan pemeriksaan evaluasi laboratorium darah dengan

hasil: hemoglobin 9,3 g/dl, hematokrit 31%, jumlah eritrosit 4,14.106/µl, jumlah

lekosit 7.400/µl, hasil hitung jenis leukosit E1,0/B0,6/N59/L30/M6.5, jumlah trombosit

8

Page 9: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

640.000/µl, MCV 75,7/um, MCH 22,5 pg, MCHC 29,7 g/dl, albumin 4,0 g/dL,

natrium 140 mmol/L, kalium 4,6 mmol/L dan ion Calsium 1,14 mmol/L. Diagnosis

pada saat itu tetap. Hasil evaluasi foto toraks pada tanggal 12 Mei 2012 menunjukkan

perbaikan yang nyata seiring dengan perbaikan klinis pasien.

Penatalaksanaan saat itu pelepasan selang WSD dilepas, terapi oksigen dan infus

dihentikan, pemberian antibiotik diganti per oral dengan Amoxisilin 3x250mg dan

Kloramfenikol 3x250mg dan untuk terapi lainnya tetap dilanjutkan. Program

pelacakan diagnostik yakni menunggu hasil kultur kuman TB. Dari bagian bedah

direncanakan untuk pleurodesis, namun menunggu kesepakatan keluarga.

Pada tanggal 16-18 Mei 2012 kondisi umum pasien membaik, kompos mentis,

sesak berkurang, sudah bebas demam selama 5 hari, batuk berkurang, nafsu makan

dan minum semakin baik. Tanda vital didapatkan tensi 90/60 mmHg, laju nadi

100x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi napas 38 x/menit, reguler, kedalaman

cukup. Suhu aksila 37,10C. Sudah tidak didapatkan retraksi dinding dada, namun

pergerakan dada kiri masih tampak tertinggal. Pada pemeriksaan fisik paru masih

relatif sama dengan hari sebelumnya. Keseimbangan cairan (+)115 cc/24jam, diuresis

1,2 cc/kgbb/jam. Diagnosis pada waktu itu tetap dan dari bagian BTKV menunda

untuk dilakukan pleurosdesis. Pasien diperbolehkan untuk pulang dengan terapi OAT

dan Prednison, serta diberikan edukasi tentang komplikasi dan penatalaksanaan

penyakitnya serta rutin kontrol ke RSDM.

9

Page 10: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Pada saat kontrol ke poliklinik respirologi anak RSDM 23 Mei 2012 kondisi

umum pasien baik, sesak masih didapatkan namun tidak seberat dahulu, OAT rutin

diminum, didapatkan keluhan batuk dan pilek, namun tidak demam. Berat badan

pasien stabi, nafsu makan dan minum baik. Diagnosis saat itu adalah TB paru fase

intensif bulan I dengan riwayat empiema sinistra massif.

Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad malam, karena diagnosis pasti

penyebab empiema belum dapat ditegakkan, dan terapi yang diberikan merupakan

terapi empiris berdasarkan epidemiologi penyebab terbanyak kasus empiema pada

anak. Apabila penatalaksanaan dilakukan secara komprehensif meliputi suportif,

medikamentosa, serta operatif tentunya akan didapatkan hasil yang lebih baik sesuai

dengan penyakit dasar utama etiologi empiema pada pasien.

Analisis kasus

Pada kasus ini didapatkan seorang anak laki-laki berusia 3 tahun 3 bulan, 13 kg

datang ke IGD RSDM dengan keluhan sesak napas yang hilang timbul sejak 3 bulan

yang lalu dan memberat sejak 2 minggu sebelum masuk RS. Dari pemeriksaan fisik

didapatkan tanda-tanda distress nafas, yakni adanya dispneu, nafas cuping hidung, dan

retraksi dinding dada. Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan pengembangan dada

kiri tertinggal, perkusi redup pada hemitoraks kiri dan auskultasi ditemukan

penurunan suara dasar vesikuler pada hemitoraks kiri. Berdasarkan alur pendekatan

diagnostik dispneu15 maka dilakukan pemeriksaan penunjang foto toraks dengan hasil

efusi pleura masif pada paru kiri.

Efusi pleura adalah akumulasi cairan dalam jumlah besar di dalam rongga

pleura. Insiden efusi pleura berjumlah sekitar 3,3 per 100.000 anak setiap tahunnya di

Inggris. Efusi pleura ini merupakan suatu indikator proses patologis yang mungkin

berasal dari paru-paru atau organ sistemik maupun penyakit sistemik. Kondisi ini

dapat terjadi baik akut maupun kronis. Secara fisiologis, dalam keadaan normal

terdapat 5 – 15 ml cairan di rongga pleura anak. Fungsi utama cairan pleura adalah

sebagai pelumas untuk memberikan permukaan tanpa friksi antar dua pleura sebagai

respon terhadap perubahan dalam volume paru dengan respirasi.16

Inflamasi pada pleura sering sekali disertai efusi pleura. Penyebab utama efusi

pleura pada anak adalah pneumonia bacterial, gagal jantung, penyakit rematologi dan

metastasis keganasan intratorakal. Etiologi lainnya seperti tuberkulosis, lupus

eritematosus, abses subdiafragma dan pancreatitis. Proses inflamasi pada pleura

10

Page 11: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

dibagi menjadi 3 tahap, yakni kering, serofibrinosa atau serosanguinus serta purulen

atau empiema.5 Berdasarkan jenis cairan pleura, etiologi efusi pleura dibagi menjadi 2

golongan besar, yang dapat dilihat pada tabel 1.17

Gambar 1. Alur diagnostik dispneu15

Tabel 1. Penyebab cairan pleura transudat dan eksudat pada anak 5

Transudat EksudatGagal jantung kongestif PneumoniaSirosis dengan asites KankerGejala nefrotik Emboli paruDialisis peritoneal Infeksi bakteriMyedema TuberkulosisAtelektasis akut Penyakit jaringan ikatPerikarditis konstriktif Infeksi virusObstruksi vena kava superior Infeksi jamurEmboli paru Infeksi rickettsial

Infeksi parasitAsbestosisSindrom MeigsPenyakit pankreasUremiaAtelektasis kronisTrapped lungChylothoraxSarkoidosisReaksi obatSindrom post infark miokard

11

Page 12: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Tes diagnostik untuk efusi pleura meliputi makroskopis dan mikroskopis. Cairan

pleura mempunyai karakteristik tertentu. Kriteria Light merupakan cara yang paling

akurat dan paling banyak digunakan untuk membedakan transudat dan eksudat.

Cairan pleura dikatakan eksudat apabila memnuhi salah satu kriteria sebagai berikut:

(1) Protein cairan pleura dibagi protein serum > 0,50; (2) LDH cairan pelura dibagi

LDH serum > 0,60; (3) Nilai LDH cairan pleura lebih besar dari 2/3 batas atas LDH

serum normal.17,18 Bila terbukti cairan pleura adalah eksudat, dilanjutkan dengan

pemeriksaan pewarnaan gram dan kultur bakteri serta pemeriksaan hitung jenis

leukosit, dimana netrofil >50% menunjukkan proses akut sedangkan dominasi sel

mononuclear menunjukkan proses kronis.Selain itu juga pemeriksaan kadar glukosa

darah, pH cairan pleura, pelacakan tuberkulosis bila ada limfositosis dan analisis

sitologi.18

Pada pasien dengan efusi eksudat, pH sangat membantu menentukan

keputusan untuk drainase, bila dijumpai pH < 7,2 maka memelukan chest-tube

drainage.Jika rasio glukosa serum < 0,5 biasanya mempunyai diagnosis banding yang

sama dengan kadar pH yang rendah, dan apabila ditemukan kadar glukosa pada cairan

pleura < 60 mg/dL dapat berupa suatu infeksi, penyakit kolagen vaskuler ataupun

malignansi.17 Empat jenis utama cairan dalam rongga pleura adalah serous

(hidrotoraks), darah (hemotoraks), lipid (chylothorax), dan pus (pyothorax atau

empiema).19 Efusi merupakan empiema bila didapatkan bakteri dengan pengecatan

Gram, pH < 7,2 dan dijumpai > 100.000 netrofi yang disajikan pada tabel 2 dan 3. 5

Tabel 2. Interpretasi cairan pleura 20

12

Page 13: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Tabel 3. Interpretasi cairan pleura 5,17-20

Tipe Efusi Warna Protein (g/dL)

LDH (IU/L)

Rasio Protein P/S

Rasio LDH P/S

pH Glucosa(mg/dL)

Transudat Kuning <3 <200 <0.5 ≥0.6 ≥7.2 >40Empiema Keruh

Purulen≥3 >1000 ≥0.5 ≥0.6 <7.2 <40

Kilotorak Keruh/susu

≥3 >200 ≥0.5 ≥0.6 ≥7.4

Pada pasien ini secara makroskopik didapatkan cairan pleura berwarna serohemoragik

dan massif dan dari hasil analisis cairan pleura didapatkan warna merah kecokelatan,

keruh, protein 5,9 gram/dl, glukosa 121 mg/dl, LDH 1557 U/L, jumlah sel 950/ul,

hitung jenis MN 66%, PMN 34%. Kadar total protein serum 5,7 grsm/dl dan LDH

serum 638 U/L. Dari rasio protein maupun LDH cairan pleura disbanding serum,

keduanya menyokong suatu eksudat sesuai kriteria Light. Pada pasien dewasa maupun

anak, jumlah leukosit pada cairan pleura tidak membantu menegakkan diagnosis

ataupun menentukan pemasangan chest tube drainage.17

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang

menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat

sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboid atau dan

terjadi pengeluaran cairan kedalam rongga pleura. 1 7 - 1 9

Berdasarkan algoritma efusi pleura pada gambar 2 dan jenis cairan eksudat

maka langkah diagnosis dilanjutkan dengan mencari etiologi empiema pada pasien

ini. Infeksi pleura meliputi 3 stadium, yakni: (1). Stadium eksudatif atau stadium

akut, yang terjadi pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan

peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura yang masih sedikit

pada tahap awal. Cairan yang dihasilkan mengandung elemen seluler yang sebagian

besar terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24-72 jam dan kemudian

berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir bebas dan

dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan enzim laktat

dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal. Pada stadium

ini, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan secara

klinis. (2). Stadium fibropurulen atau stadium transisional yang dikarakterisasi dengan

inflamasi pleura yang semakin meluas disertai bertambahnya kekentalan dan

kekeruhan cairan. Cairan dapat mengandung banyak leukosit polimorfonuklear,

13

Page 14: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

bakteri, serta debris selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan

membran fibrin akan membentuk bagian atau lokulasi didalam rongga pleura. Saat

stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan kadar

LDH meningkat. Stadium ini akan berakhir setelah 7-10 hari dan sering

membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan pemasangan chest

tube. (3). Stadium organisasi (kronik) ditandai dengan pembentukan kulit fibrinosa

pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan

membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tube torakostomi untuk

drainase. Membran pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan serta merupakan

hasil dari proliferasi fibroblast sehingga membatasi parenkim paru dan terjadi

pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah

gejala awal.5,17,19

Pada pediatrik, oleh karena mayoritas efusi pleura merupakan

suatu eksudat, maka klasifikasi difokuskan pada etiologi dasar efusi

tersebut, yakni merupakan suatu proses infeksi ataukah non infeksi. 1 7

Efusi pleura lokal asimtomatik sangat sering terjadi pada TB primer sebagai

komponen dasar dari kompleks primer. Efusi yang lebih besar secara klinis terjadi

dalam beberapa bulan sampai tahun pasca infeksi primer. Efusi pleura TB tidak

biasanya dijumpai pada anak usia dibawah 6 tahun dan sangat jarang pada anak

dibawah 2 tahun. Onset klinis efusi pleura TB seringkali mendadak, pasien dapat

demam bervasiasi dari rendah sampai tinggi, sesak nafas, nyeri dada pada inspirasi

dalam serta hilangnya suara nafas. Demam dan gejala lainnya dapat terjadi pada

beberapa minggu setelah pengobatan TB.21

14

Page 15: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Gambar 2. Algoritma diagnosis efusi pleura 19

15

Page 16: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Gambar 3. Algoritma diagnosis efusi pleura 17

16

Efusi pleura

Apakah pasien mempunyai:Penyakit koinsiden utama: kardiovaskuler, onkologi, rematologik?Durasi efusi > 3 minggu

Tidak Ya

Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenisKultur darahTotal protein serum dan LDHSerologi akutSputum untuk pengecatan gram dan kultur

Evaluasi lebih lanjut sebelum torakosistesis

Efusi massif atau paling sedikit moderat?

Tidak Ya

Pada USG apakah efusi dapat dilakukan tapping?

torakosistesis

Apakah cairan adalah pus (purulen, kental?)

Tidak Ya

Pemasangan chest tubesetelah tapping untuk

diagnostik

Pemeriksaan cairan pleura:Pengecatan Gram, kultur aerob dan anaerobpHglukosa, protein dan LDHjumlah sel leukosit dengan hitung jenisKultur Mikobakterial

Tidak Ya

Torakosistesis dg guiding USG

Evaluasi dan tatalaksana

kondisi klinis sesuai dengan penyakit dasar

Page 17: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Insidens empiema dilaporkan meningkat sekitar 1-4 per 100.000 anak

diseluruh dunia dan 0,6-3% diantaranya terjadi komplikasi yang berat. Insidens ini

mengalami peningkatan dimana terdapat sedikitnya 6500 anak menderita empiema

ataupun efusi parapneumonia di Amerika Serikat dan Inggris setiap tahunnya, dengan

mortalitas sebesar 20%, demikian pula di Australia dan Kanada.1,3,4,7 Sedangkan di

India terdapat 5 – 10% kasus anak dengan empiema dan paling banyak ditemukan

pada usia 2 – 9 tahun.22

Tabel 4. Organisme penyebab empiema pada anak 20

Empiema pada anak lebih sering terjadi usia bayi dan balita, dilaporkan juga insiden

meningkat pada usia 2-9 tahun pada anak laki-laki. Di India, etiologi empiema yang

paling sering ditemukan pada anak dalam isolasi mikrobiologi yakni Staphylococcus

aureus sekitar 80% kasus dan selebihnya adalah bakteri gram negatif oleh karena

tingginya insidensi resisten akibat pemberian antibiotik pada fase awal pneumonia. 1,2,4

Streptokokus pneumoniae (terutama serotipe 1,3 dan 19A), Staphylococcus aureus

dan Streptococcus pyogenes merupakan kuman patogen utama penyebab empiema di

Inggris, namun penting untuk dipikirkan organisme penyebab lainnya terutama

Mycobacterium tuberculosis dan MRSA (multi-drug resistance Staphylococcus

aureus) jika terdapat faktor risiko pada anak atau tidak membaik dengan terapi

empiris.4,6,7 Tuberkulosis juga merupakan penyebab empiema terutama pada sebagian

besar masyarakat di India, meskipun sangat sulit diisolasi. Namun pada negara barat

justru ditemukan biakan Mycobacterium tuberculosis yang tinggi sebagai

17

Page 18: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

mikroorganisme penyebab empiema pada anak.4,6 Spesies Bakteroides atau

Clostridium, Streptokokus serta Aktinomises anaerob kadang juga dapat

menyebabkan empiema terutama pada usia dewasa, sehingga dibutuhkan kultur cairan

pleura secara anaerob.

Pada kasus ini, secara epidemiologis usia pasien sesuai dengan insiden

empiema pada anak. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik maupun penunjang, pasien

demam sumer-sumer yang tidak jelas naik turun, sesak nafas berlangsung lama

selama 3 bulan, didukung adanya efusi pleura masif berupa cairan eksudat maka

diduga adanya proses infeksi kronis yang tidak spesifik. Hasil laboratorium darah

jumlah leukosit normal-meningkat, namun tidak menunjukkan peningkatan leukosit

yang nyata dengan dominasi netrofil pada hitung jenisnya. Pada gambaran darah tepi

menyokong adanya proses infeksi kronis dengan morfologi eritrosit mikrositik

hipokromik, adanya netrofil segmen, vakuolisasi netrofil serta giant trombosit. Hal ini

didukung dengan kadar acute phase reactan, yakni ferritin dan CRP yang masih

dalam batas normal. LDH merupakan suatu enzim intraseluler yang terdapat pada

semua jaringan, terutama pada hepar, otak, ginjal, sel darah dan paru. Peningkatan

LDH serum menunjukkan adanya kerusakan jaringan dengan akibat peningkatan

proliferasi sel mitotik aktif dan pembentukan jaringan baru abnormal pada keganasan.

Pada pasien ini didapatkan peningkatan kadar LDH serum maupun cairan pleura

dimana menunjukkan kerusakan jaringan pleura dan kemungkinan parenkim paru,

sehingga diduga adanya fokus infeksi pada jaringan parenkim paru.

Infeksi tuberkulosis dapat menyebabkan terjadinya efusi pleura maupun

empiema. Efusi pleura terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat

antigen kuman tuberkulosis dalam rongga pleura. Antigen ini masuk ke dalam rongga

pleura akibat pecahnya fokus subpleura yang pada umumnya terjadi dalam kurun

waktu 6 – 12 minggu setelah infeksi primer. Rangsangan pembentukan cairan pleura

yang terkait dengan infeksi kuman tuberkulosis dapat terjadi melaui 2 mekanisme

tersebut di atas. Sebagian besar efusi pleura tuberkulosis bersifat unilateral (95%),

namun dapat juga bilateral. Jumlah cairan efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak,

meliputi setengah dari hemitoraks. Mula-mula yang dominan adalah sel PMN namun

kemudian sel limfosit. Jumlah maupun lokasi terjadinya efusi tidak mempengaruhi

prognosis. Pada dinding pleura dapat ditemukan adanya granuloma.Drainase cairan

pleura secara rutin tampaknya tidak mempengaruhi hasil akhir jangka panjang.23,24

18

Page 19: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Pada sebagian kasus, efusi pleura tuberkulosis dapat berupa pseudokilotoraks

atau empiema. Empiema tuberkulosis merupakan infeksi pleura oleh Mycobacterium

tuberculosis yang mengakibatkan akumulasi produksi cairan pleura purulen.24

Diagnosis empiema tuberkulosis dikonfirmasi dengan identifikasi bacil pada cairan

pleura atau biopsy pleura, atau visualisasi granuloma pada pleura. Sebagian besar

kasus efusi pleura tuberculosis tidak menampakkan gejala klinis yang spesifik yang

membedakannya dengan tipe efusi karena pathogen lain.23,24

Analisis cairan pleura dan membrane pleura sangat penting untuk diagnosis

pleural TB, makroskopis biasanya berwarna kuning dan terkadang sedikit kemerahan

bercampur darah dengan berat jenis 1.012-1.025 dan protein 2-4 g/dl.21 Analisis ini

sangat berguna untuk investigasi tuberkulosis karena sebagian besar cairan efusi

adalah eksudat dengan predominan limfosit pada 93% kasus meskipun sel

polimorfonuklear dapat mendominasinya pada pasien dengan gejala awal yang

muncul dalam waktu 2 minggu sebelumnya dan bila efusi eosinofilik maka bukan

infeksi tuberkulosis.24,25

Diagnosis pasti efusi pleura tuberkulosis ditegakkan dengan isolasi

Mycobacterium tuberculosis pada cairan pleura atau biopsi pleura. Pengecatan Ziehl-

Neelsen dan kultur cairan pleura dilaporkan tidak banyak membantu dalam penegakan

diagnosis, namun bila ditemukan basil pada kultur spesimen jaringan pleura sangat

bermakna dalam menegakkan diagnosis. Pada pleuritis tuberkulosa, biakan

cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan hasil positif

sekitar 20%-30% kasus.21 Selain itu ada beberapa marker biokimia utnuk diagnosis

efusi pleura tuberculosis yang telah dikembangkan di sebagian besar negara maju,

antara lain: ADA (adenosine deaminase), IFN-γ (interferon gamma), lisosim, IL-2.4,21

Pada kasus ini riwayat kontak TB pada keluarga dan lingkungan pasien tidak

jelas, dari scoring TB didapatkan skor 4 dan pemeriksaan tes PPD berukuran 0 mm.

Namun dari epidemiologis penyebab empiema terbanyak pada anak usia 2-9 tahun di

negara berkembang seperti India adalah tuberculosis didukung dengan analisis cairan

efusi pleura predominan limfosit (mononuklear 66%) maka pada pasien ini

didiagnosis banding dengan infeksi tuberculosis.19,25,26 Sehingga dilakukan

pemeriksaan bilas lambung, analisis dan kultur cairan pleura. Pada kasus ini bilas

lambung dan cairan pleura tidak ditemukan bakteri tahan asam (BTA), namun kultur

cairan pleura untuk kuman tuberculosis belum ada hasil sampai pasien dipulangkan.

19

Page 20: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Penatalaksanaan efusi pleura tuberkulosis yakni inisial terapi dengan

Rifampisin, Isoniazid dan Pirazinamid selama 2 bulan dilanjutkan dengan Rifampisin

dan Isoniazid selama 4 bulan sesuai dengan protap tuberkulosis paru pada anak.

Pengobatan ini menyebabkancairan efusi dapat diserap kembali, tapi untuk

menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapatdilakukan torakosentesis. Umumnya

cairan diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kadangdapat diberikan

kortikosteroid secara sistematik, dapat digunakan Prednison 1 mg/kg BB

selama 2 minggu kemudian dosis diturunkan secara perlahan.23

Apakah infeksi pada kasus ini merupakan penyebab primer ataukah sekunder

dari empiema, seperti metastasis akibat malignansi, masih perlu dipikirkan lebih

lanjut. Neoplasma ganas sering dilaporkan terjadi bersamaan atau sebagai penyebab

dari pleuritis tuberculosis atau kondisi empiema kronis. Manifestasi yang sering

ditemukan seperti sesak nafas, nyeri dada dan gejala konstitusional lainnya seperti

malaise, anoreksia, penurunan berat badan dan imunodefisiensi. Pada pemeriksaan

penunjang tampak bayangan abnormal pada mediastinum, pleura ataupun parenkim

paru yang sering ditemukan. Meskipun sulit, namun sangatlah penting untuk

membedakan proses empiema berasal dari progresivitas suatu neoplasma ganas

ataukah dari peradangan kronis yang memburuk.27

Neoplasma yang sering mengakibatkan komplikasi empiema pada anak

sangatlah jarang, sebagian besar empiema pada anak disebabkan oleh karena infeksi.

Pada dewasa, salah satu neoplasma yang menyebablan empiema adalah

mesothelioma.Mesothelioma merupakan neoplasma pada rongga dada yang

mempengaruhi pleura paru bersama dengan mesothelium. Mesothelium adalah lapisan

internal paru-paru dan organ internal lainnya, seperti jantung, dada, perut, dan daerah

sekitar jantung. Paparan asbes adalah penyebab utama dari mesothelioma rongga dada

pada dewasa. Asbes merupakan mineral alami yang digunakan dalam berbagai

aplikasi industri dan konstruksi. Serat asbes ringan dan sangat tahan lama dan tidak

mudah dihilangkan dari tubuh jika pernah terpapar. Setelah terhirup, partikel asbes

menjadi bersarang di pleura dan mesothelium sekitarnya, merusak jaringan dan

menyebabkan sel-sel mesothelial pleura menjadi abnormal yang akhirnya mengarah

pada pengembangan mesothelioma, namun, pada anak insiden mesothelioma ini

jarang ditemukan, karena butuh waktu yang lama untuk terpaparnya asbes sebelum

munculnya gejala. Meskipun penelitian Brener dkk melaporkan data pasien anak

20

Page 21: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

dengan mesotelioma malignan pada pleura dan peritoneum dimana tidak ada 1 pasien

pun yang mempunyai riwayat terpapar asbes.1,27,28

Pada kasus ini, pasien tidak hidup dalam lingkungan industri, dan gejala

gangguan saluran nafas muncul sejak 3 bulan terakhir, namun pada analisis cairan

pleura didapatkan banyak sel mesothel meskipun tidak tampak tanda-tanda

malignansi. Selain itu pada pasien ini dari hasil CT scan toraks dengan kontras

didapatkan hasil adanya lesi noduler pada hemithorak kanan parahiler dengan dinding

yang halus, juga tampak lesi infiltrat yang halus pada kostophrenicus posterior yang

dapat didiagnosis banding sebagai suatu mesothelioma. Marker tumor dari

pemeriksaan kadar AFP dan β-HCG serum menunjukkan hasil yang normal, sehingga

proses malignansi kemungkinan dapat disingkirkan, meskipun demikian penegakan

diagnosis pasti adalah dengan open torakotomi, namun pada kasus ini tidak dilakukan

karena penolakan keluarga.

CT scan dapat mengidentifikasi konsolidasi parenkim dengan abses paru, bila

didapatkan cairan lobulated/loculated, maka menyokong empiema yang diliputi

lapisan fibrin dan merupakan indikasi drainase dengan pembedahan. Para pakar

BTKV dan konsultan penyakit infeksi merekomendasikan torakoskopi sebagai

manajemen inisial pada anak dengan empiema, jarang untuk disarankan prosedur

open thoracotomy.22

Empiema yang tak ditangani dengan drainase yang baik dapat membahayakan

rongga toraks.Eksudat akibat peradangan akan mengalami organisasi dan terjadi

perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan viseralis. Aspirasi multipel pada rongga

pleura tidak dibenarkan, jika dideteksi cairan pleura bersepta, maka dilakukan VATS

sesegera mungkin. Closed-chest tube drainage dikontrol dengan WSD atau

continuous suction dan biasanya dilakukan selama 1 minggu.5

Pada umumnya drainase pada empiema sulit dilakukan karena cairan yang

bersifat kental dan adanya lokulasi fibrin dalam ruang pleura, sehingga diperlukan

torakotomi atau video-assisted thoracoscopic surgical (VATS) sedini mungkin untuk

membantu menurunkan morbiditas dan lamanya rawat inap di rumah sakit.9,12

Penatalaksanaan empiema meliputi antibiotik sistemik dan torakosistesis serta chest

tube drainage dengan atau tanpa fibrinolitik, VAST ataupun dekortikasi. Namun

masih banyak perdebatan dan sampai sekarang belum dicapai kesepakatan tentang

manajemen efusi parapneumonia pada anak, antara pemberian antibiotik saja atau

dengan drainase (chest tube) maupun VATS.8,13,29

21

Page 22: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

Selain itu dapat dilakukan pleurodesis, yakni penyatuan pleura viseralis

dengan parietalis baik secara kimiawi, mineral ataupun mekanik, secara permanen

untuk mencegah akumulasi cairan maupun udara dalam rongga pleura. Pemakaian

fibrinolitik kedalam cairan pleura dapat meningkatkan drainase, sehingga menurunkan

demam dan meminimalisasi intervensi pembedahan. Preparat yang biasa digunakan

yakni Streptokinase 15.000u/kg dalam 50 ml NaCl 0,9% tiap hari selama 3-5 hari atau

dengan urokinase 40.000 u dalam 40 ml NaCl 0,9% setiap 12 jam pemberian 6 dosis.5

Pemilihan teknik yang tepat, agen sklerosis, antibiotik, pemilihan pasien, serta

evaluasi hasil tindakan merupakan hal yang sering diperdebatkan. Hal itu

menyebabkan belum didapat kesepakatan antara para ahli di dunia tentang prosedur

ini. Secara umum, tujuan dilakukannya pleurodesis adalah untuk mencegah

berulangnya efusi berulang (terutama bila terjadi dengan cepat), menghindari

torakosintesis berikutnya dan menghindari diperlukannya insersi chest tube berulang,

serta menghindari morbiditas yang berkaitan dengan efusi pleura. 8,29

Antibiotik harus diberikan pada kasus empiema, sebaiknya berdasarkan hasil

kultur dan sesitivitas. Pada kasus dengan hasil kultur negatif, antibiotik yang

diberikan disesuaikan dengan pola kuman yang ada di masyarakat dan pola kuman di

RS setempat. Antibiotik yang diberikan hendaknya merupakan spektrum luas yang

sensitif dengan patogen utama penyebab empiema, yakni, S. pneumonia dan S.

aureus, seperti golongan penicillin, sefuroxime, co-amoxiclav dan clindamicin.18,26

Belum ada penelitian tentang durasi pemberian antibiotik untuk empiema, tetapi terapi

selama 3 minggu dianggap cukup memadai.6,26

Tabel 5. Pilihan antibiotik untuk terapi awal empiema dengan kultur negatif 6

Jika empiema dapat didiagnosis lebih dini, maka dengan pemberian antibiotic

adekuat dan prosedur torakosistesis saja dapat memberikan hasil yang baik. Respon

22

Page 23: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

klinis pada terapi empiema ini tergolong lambat meskipun dengan terapi yang

optimal, bahkan selama 2 minggu saat awal mendapatkan terapi, tidak menunjukkan

respon klinis yang nyata.5

Pada kasus ini, dari pemeriksaan CT scan toraks dinyatakan bahwa cairan

pleura pada kasus ini adalah loculated/lobulated menyerupai gambaran stadium

fibropurulen, sehingga diperlukan pemasangan chest tube (WSD), dan sesuai alur

penatalaksanaan empiema, pasien direncanakan untuk torakotomi atau VATS. Namun

dari bagian BTKV RSDM belum dapat melakukan VATS, sedangkan pasien menolak

untuk torakotomi. Sedangkan untuk pleurodesis, masih belum dicapai kesepakatan

dari bagian BTKV.

Antibiotik yang diberikan pada pasien ini adalah Ampisilin dan Kloramfenikol

intravena selama dirawat di RS sesuai dengan terapi empiris pada community

acquired bacterial pathogen dan hospital acquired bacterial pathogen di RSDM.

Hasil kultur darah maupun cairan pleura steril pada kasus ini, namun pasien

menunjukkan respon klinis yang membaik dari berkurangnya gejala sesak dan demam

maka antibiotik tetap dilanjutkan sampai pasien diperbolehkan pulang, dan

dilanjutkan secara per oral sampai 3-4 minggu sesuai dengan rekomendasi. 6,18,26

Menurut rekomendasi British Thoracic Society (BTS) tahun 2005 tentang manajemen

infeksi pleura pada anak, terapi untuk Mikobakterium tidak diberikan secara empiris

kecuali jika ada faktor risiko atau endemis. Pada pasien ini, diberikan terapi TB sesuai

fase inisial dengan pertimbangan jumlah skor TB=5 dan pasien tinggal didaerah

endemis TB, dimana diduga ada anggota keluarga yang menderita penyakit TB dan

memerlukan investigasi lebih lanjut.26

Prognosis empiema tergantung pada umur, penyakit yang mendasari dan

pengobatan adekuat. Empiema memerlukan rawat inap yang lama dan pemantauan

panjang setelah pulang dari RS disbanding pasien efusi pleura non-empiema.

Mortalitas sebesar 2-15% pada anak < 1tahun. Kematian pada anak empiema akibat

infeksi Staphylococcus masih cukup tinggi karena progresivitas penyakit dan

keganasannya. Resolusi pada infeksi pleura, khususnya kuman Staphylococcus sangat

lambat sehingga terapi antibiotik sistemik tetap diberikan sampai kurun waktu 3-4

minggu. Prognosis jangka panjang pada empiema yang mendapatkan terapi adekuat

adalah baik dan akan terjadi resolusi tanpa sekuele. Resolusi abnormalitas radiologis

akan terjadi setelah 3-6 bulan pengobatan, sebaliknya bila tidak diobati, maka akan

terbentuk jaringan parut dan mengganggu pengembangan paru. Beberapa studi

23

Page 24: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

pemantauan jangka panjang fungsi paru dalam evaluasi terapi empiema menyatakan

bahwa tidak ada komplikasi penyakit paru restriktif pada anak empiema dengan

ataupun tanpa intervensi pembedahan. Komplikasi efusi pleura maupun empiema ini

dapat berupa infeksi Staphylococcus, fistula bronkopleura, pyo-pneumotoraks,

perikarditis, abses paru serta sepsis. Dalam jangka panjang, efusi pleura dapat menjadi

lapisan tebal dan banyak mengandung fibrin mengakibatkan restriksi ekspansi paru,

demam persisten yang hilang timbul dan skoliosis.5,17,18

Keadaan-keadaan seperti infeksi virus maupun bakteri dapat menekan

pembentukan sel darah merah di sumsum tulang. Karena cadangan zat besi di dalam

tulang tidak dapat digunakan oleh sel darah merah yang baru.30 Dari gambaran profil

besi pada pasien ini didapatkan penurunan besi dalam serum serta ferritin dan TIBC

(total iron binding capacity) normal. Penurunan SI dikarenakan tertahannya besi

dalam sel akibat peningkatan produksi hepcidin oleh hepar karena adanya rangsangan

dari sitokin (IL-6) dan lipopolisakarida, sehingga ketersediaan besi dalam sirkulasi

berkurang dan produksi eritropoeitin akan menurun. Jadi, turunnya kadar besi pada

kasus ini merupakan mekanisme homeostasis imunitas sebagai adaptasi terhadap

paparan antigen yang terjadi.31 Adanya defisiensi besi pada pasien ini masih belum

dapat disingkirkan, karena adanya kadar feritin yang normal dapat menggambarkan

defisiensi besi bersamaan dengan infeksi kronis, maka diperlukan untuk pemeriksaan

marker defisiensi besi lain yang tidak terpengaruh oleh inflamasi yakni zinc

protoporfirin. Maka pada kasus ini, meskipun intake pasien sebelum sakit baik, dan

tidak ada penurunan berat badan yang bermakna serta pengukuran status gizi secara

antropometi adalah gizi baik, namun diduga pasien mengalami defisiensi besi akibat

perdarahan dari cairan pleura serohemoragik dan kekurangan mikronutrien,

khususnya besi, sebagai mekanisme adaptasi terhadap kronisitas penyakitnya.

24

Page 25: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

DAFTAR PUSTAKA

1. Barnes NP, Hull J, Thomson AH. Medical management of parapneumonic pleuraldisease. Pediatr Pulmonol 2005; 39:127-34.

2. Colice GL, Curtis A, Deslauriers J, Heffner J, Light R, Littenberg B, Yusen RD, for the American College of Chest Physicians Parapneumonic Effusions Panel. Medical and surgical treatment of parapneumonic effusions. An evidence-based guideline. Chest 2000; 18(4):1158-71.

3. Li ST and Tancredi DJ, Empyema Hospitalizations Increased in US Children Despite Pneumococcal Conjugate Vaccine, Pediatrics (2010) vol. 125 (1) pp. 26-33

4. Strachan RE, Gulliver T, Martin A, et al. Position statement from the Thoracic Society of Australia and New Zealand, TSANZ, 2011.

5. Winnie GB, Lossef SV. Pleurisy, pleural effusion and empyema. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2011.h.1505-09.

6. Baranwal AK, Singh M, Marwaha RK, Kumar L. Empyema thoraxis: a 10-year comparative review of hospitalized children from South Asia. Arch Dis Child. 2003;88:1009-14.

7. Strachan R and Jaffé A, Assessment of the burden of paediatric empyema in Australia. Journal of Paediatrics and Child Health (2009) vol. 45 (7-8) pp. 431-436

8. Avansino JR, Goldman B, Sawin RS, Flum DR. Primary operative versus nonoperative therapy for pediatric empyema: a meta-analysis. Pediatrics. Jun 2005;115(6):1652-9

9. Grewal H, Jackson RJ, Wagner CW, Smith SD. Early video-assisted thoracic surgery in the management of empyema. Pediatrics 1999; 103(5):e63.

10. Hoff SJ, Neblett WW, Edwards KM, Heller RM, Pietsch JB, Holcomb GW Jr,Holcomb GW III. Parapneumonic empyema in children: decortication hastensrecovery in patients with severe pleural infections. Pediatr Infect Dis J 1991;10(3):194-9.

11. Khakoo GA, Goldstraw P, Hansell DM, Bush A. Surgical treatment of parapneumonic empyema. Pediatr Pulmonol 1996; 22:348-56.

12. Lim TK, Chin NK. Empirical treatment with fibrinolysis and early surgery reducesthe duration of hospitalization in pleural sepsis. Eur Respir J 1999; 13:514-8.

13. Shoseyov D, Bibi H, Shatzberg G, Klar A, Akerman J, Hurvitz H, Maayan C. Short-term course and outcome of treatments of pleural empyema in pediatric patients. Repeated ultrasound-guided needle thoracocentesis vs chest tube drainage. Chest 2002; 121(3)836-40.

14. Wait MA, Sharma S, Hohn J, Dal Nogare A. A randomized trial of empyema therapy. Chest 1997; 111:1548-51.

15. Zoorob RJ, Campbell JS. Acute dyspnea in the office. American Family Physician. 2003;68(9):1803-10.

16. Baumer JH. Guideline review: parapneumonic effusion and empyema. Arch Dis Child Educ Pract Ed. 2005;90:21-24.

17. Nagler J. Pulmonary emergencies. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric emergency medicine. Edisi ke-6. Lippincott Williams and Wilkins. 2010. h. 1082-85.

18. Naning R, Setyati A. Empiema. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke-1. Ikatan dokter Anak Indonesia. 2008.h.550-7.

25

Page 26: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

19. Light RW. Pleural effusion. N Engl j Med. 2002;346:1971-6.20. Schultz KD, Fan LL, Pinsky J, Ochoa L, O’Brian Smith E, Kaplan SL, Brandt ML.

The changing face of pleural empyemas in children: epidemiology and management. Pediatrics 2004; 113(6):1735-40.

21. Starke JL. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2011.h.996-1011.

22. Lee GE, Lorch SA, Sheffler-Collins S, Kronman MP, Shah SS. National hospitalization trends for pediatric pneumonia and associated complications. Pediatrics.2010;126: 204–213.

23. Working group on tuberculosis, Indian Academy of pediatric. Consessus statement on childhood tuberculosis. Indian Ped;2010;47:17.

24. Garrido VV, Sancho JF, Blasco H, Gafas AP, Rodiguez EP, Panadero FR, dkk. Diagnosis and treatment of pleural effusion. Arch bronconeumol. 2006;42(7):349-72.

25. Light  RW.  Update: management of the difficult to diagnose pleural effusion.  Clin Pulm Med. 2003;10:39–46.

26. Lynn IMB, Abrahamson E, Cohen G, Hartley J, King S, Parikh D, dkk. BTS guidelines for the management of pleural infection in children. Thorax. 2005;60:suppl 1:11-21.

27. Kodama Y , Hoshi S, Minami M, Kiso M, Takezawa T, Arai T, dkk. Malignant mesothelioma associated with chronic empyema with elevation of serum CYFRA19: A case report. Biosci Trends. 2008 Dec;2(6):250-4.

28. Brener J, Sordillo PP, Magill G. Malignant mesothelioma in children: Report of seven cases and review of the literature. 2006;9(4):367-73.

29. Freitas, José Carlos Fraga, Fernanda Canani. Thoracoscopy in children with complicated parapneumonic pleural effusion at the fibrinopurulent stage: a multi-institutional study. J Bras Pneumol. 2009;35(7):660-668.

30. Litchtman MA, Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Manual of hematology. Edisi 6. Boston: McGraw-Hill, 2003. h. 55-60.

31. Sullivan M. Anemia of chronic disease (iron-reutilization anemia). Diunduh: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000565.htm. Diakses tanggal: 21 Juli 2012.

26

Page 27: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

KAJIAN KRITIS KEDOKTERAN BERBASIS BUKTI

(EVIDENCE BASED MEDICINE)

PERMASALAHAN

Kasus empiema pada bayi dan usia balita masih sangat jarang. Berbagai bukti klinis

yang ada masih sangat kurang untuk membantu diagnostik, terapi maupun prognostik

pada kasus empiema pada anak, terutama balita. Munculnya berbagai kontroversial

mengenai penatalaksanaan kasus ini menyebabkan kesulitan bahkan keterlambatan

dalam penatalaksanaannya. Bagaimanakah memilih terapi tersebut dan mengapa

kontoversial itu karena beberapa alasan, yang pertama, pengalaman terapi pada

dewasa tidak bisa begitu saja diterapkan dan diramalkan pada anak-anak. Berlawanan

dengan penderita dewasa, kebanyakan anak dengan empiema sebelumnya terlihat

sehat. Yang kedua, faktor prognostik dapat membantu meramalkan terapi invasif pada

pederita dewasa seperti level laktat dehidrogenase (LDH), glukosa, pH cairan pleura,

yang tenyata semuanya tidak terlalu berguna pada anak-anak.

ANALISIS PICO

Dari masalah yang ada maka dapat dijabarkan dalam bentuk komponen PICO sebagai

berikut :

Population/problem : empiema pada anak

Intervention : -

Comparation/control : -

Outcome : guideline

FORMULASI PERTANYAAN KLINIS

Bagaimanakah guideline kasus empiema pada anak?

METODE PENELUSURAN BUKTI

Penelusuran dilakukan melalui situs pubmed (http://www.pubmed.org/), PubMed

Clinical Queries, dengan memakai kata kunci “guideline”, “empyemae” dan

“children”, kategori “diagnosis”, scope “broad” dan systematic review. Pembatasan

literature (manage filters) meliputi: clinical trial, studi pada manusia, artikel

berbahasa Inggris dan dipublikasikan dalam 5 tahun terakhir serta free full-text.

27

Page 28: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

HASIL PENELUSURAN JURNAL

Dari langkah penelusuran tersebut didapatkan 2 artikel, dan dipilih salah satu

guideline dengan judul:

Pembahasan

Guideline ini merupakan ekstrapolasi dari guideline sebelumnya yang dipublikasi oleh

BTS pada tahun 2003 untuk manajemen efusi pleura pada pasien dewasa. Guideline

ini memuat lengkap tentang metodologi penelusuran bukti, pendapat dan diskusi para

ahli secara sistematis khusus untuk pediatrik. Penelusuran bukti diperoleh dari

Cochrane database of systematic review sebanyak 2 artikel, NHS centre for reviews

sebanyak 3 artikel, dan OVID medline, artikel khusus yang berbahasa Inggris dan

meneliti efusi pleura pada anak usia 0-18 tahun. Guideline ini membahas mulai dari

definisi efusi pleura sampai proses terjadinya empiema, epidemiologi, etiologi, gejala

klinis, mikrobiologi, langkah-langkah investigasi mencakup algoritma diagnosis serta

manajemen terapi. Untuk empyema tuberculosis didapatkan 14 artikel dari tahun

1996-2003, namun hanya 3 yang masuk dalam inklusi review ini. Secara keseluruhan

ada 135 artikel yang dikaji untuk menghasilkan guideline ini dan kesemuanya

dilengkapi dengan level of evidence, sehingga dapat membantu untuk pendekatan

diagnostik kasus anak dengan efusi pleura atau empiema.

28

Page 29: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

.

29

Page 30: Print Kaslitku Empiema Minggu Finish

30