print 25-09-2013

170
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan usia yang telah mencapai lebih dari setengah abad, TNI mengalami pasang surut dalam mempertahankan eksistensinya sebagai tentara profesional. Dalam negara demokrasi profesionalisme militer diartikan peran militer (tentara) dibatasi pada pelaksanaan perintah dibidang pertahanan nasional dan keamanan dalam negeri (keadaan darurat) dibawah supremasi sipil. 1 Adanya supremasi sipil mengharuskan militer mengabdikan diri secara profesional pada keputusan-keputusan politik sipil. Sebagai alat negara, militer harus dibawah kendali dan kontrol masyarakat 1 Salim Said, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini, dan Kelak (Jakarta:Surya Multi Grafika) hal v 1

Transcript of print 25-09-2013

Page 1: print 25-09-2013

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bisa dipisahkan dari sejarah

perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan dan eksistensi Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan usia yang telah mencapai lebih

dari setengah abad, TNI mengalami pasang surut dalam mempertahankan

eksistensinya sebagai tentara profesional.

Dalam negara demokrasi profesionalisme militer diartikan peran militer

(tentara) dibatasi pada pelaksanaan perintah dibidang pertahanan nasional dan

keamanan dalam negeri (keadaan darurat) dibawah supremasi sipil.1 Adanya

supremasi sipil mengharuskan militer mengabdikan diri secara profesional pada

keputusan-keputusan politik sipil. Sebagai alat negara, militer harus dibawah

kendali dan kontrol masyarakat sipil. Institusi militer hanyalah menjadi agen

operasional atau pelaksana efektif di lapangan, yang diikuti pula oleh mekanisme

pertanggungjawaban ke publik secara transparan. Cara kontrol demikian, tentu

saja tetap mempertimbangkan pada prinsip penghargaan atas otoritas

profesionalisme yang diberikan kepada kemandirian militer.

Secara historis ada tiga peristiwa penting yang menjadikan TNI merasa

lebih berjasa dan tidak berada dibawah otoritas sipil. Pertama adalah revolusi

kemerdekaan tahun 1945-1949. Pada revolusi fisik ini, perjuangan bersenjata

1 Salim Said, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini, dan Kelak (Jakarta:Surya Multi Grafika) hal v

1

Page 2: print 25-09-2013

yang dilakukan oleh TNI diklaim sebagai saham terbesar mereka ketika

mendirikan negara Indonesia. Kedua adalah saat pemberontakan muncul di

berbagai daerah pada dekade 50-an. Keberhasilan TNI untuk membungkam

pemberontakan-pemberontakan tersebut melalui operasi militer diklaim sebagai

saham penting TNI untuk mempertahankan keutuhan negara Indonesia. Ketiga,

keberhasilan TNI menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah

peristiwa G 30 S/PKI semakin memperbesar saham TNI dalam menjaga keutuhan

dan kedaulatan bangsa. Dari ketiga peristiwa penting tersebut, keberadaan TNI

yang berada di garis depan untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan

mendapatkan legitimasi.

Faktor historis tersebut membuat Indonesia belum memiliki pengalaman

otentik bagaimana sistem politik secara substansial menempatkan posisi tentara

dalam kerangka subordinasi sipil, apalagi dalam bentuk kontrol efektif

sebagaimana diberlakukan pada negara demokratis. Bahkan, yang terjadi di

Indonesia justru sebaliknya. Militerlah yang cenderung mendominasi civil society.

Ini dapat dirunut dari pengalaman panjang dari masa revolusi kemedekaan dan

semakin intens ketika Orde Baru berkuasa.

Kebijakan negara Indonesia untuk membentuk TNI menjadi militer

profesional dibawah supremasi sipil sudah dilakukan sejak awal kemerdekaan.

Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin,

militer ditempatkan dalam posisi alat negara dibawah kendali pemerintah sesuai

dengan supremasi sipil2. Namun, militer berpandangan kebijakan tersebut tidak

realistik mengingat proses lahir dan tumbuhnya TKR yang mengangap dirinya

2 Reid J.S Anthony, Revolusi Nasional Indonesia ( Jakarta: Penebar Swadaya,1996) hal. 139

2

Page 3: print 25-09-2013

sebagai alat perjuangan rakyat dan bukannya sebagai alat negara belaka di bawah

kendali pemerintah3.

Kegagalan kebijakan profesional militer dibawah supremasi sipil di

Indonesia berhubungan erat dengan perkembangan sistem ketatanegaraan dan

sistem politik, karena militer profesional muncul didalam sistem politik yang

stabil. Dinamika politik nasional yang kacau menciptakan perspektif dikalangan

militer untuk turut campur dalam politik praktis dan keraguan terhadap

kepemimpinan kaum sipil maupun terhadap sistem politik secara keseluruhan.

Di sisi lain gagalnya kebijakan profesional militer di bawah supremasi

sipil militer di Indonesia adalah karena militer digunakan untuk mempertahankan

kekuasaan oleh rezim yang berkuasa. Pada masa Sukarno, militer diakui sebagai

kekuatan politik dalam lembaga negara (Dewan Nasional) yang dibentuk oleh

pemerintah. Pemerintah melibatkan TNI dalam politik dengan membiarkan

berlangsungnya proses balance of power antara dua kekuatan politik utama pada

waktu itu yakni TNI dan PKI. Meletusnya peristiwa “Gerakan 30 September”

pada tanggal 1 Oktober 1965, merupakan suatu turning point dalam

perkembangan politik nasional Indonesia memperkuat posisi dan kelanggengan

dominasi politik tentara dalam sistem politik nasional.

Begitu pun dengan pemerintahan Orde Baru, militer ditempatkan pada

kedudukan yang istimewah sebagai motor pembangunan dan atas penilaian

ketidakmampuan sipil. Di bawah kendali Soeharto yang menempatkan militer

pada tempat spesial baik atas dasar ikatan psikologis ataupun keyakinan atas

3 Soebijono, DWIFUNGSI ABRI Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1997) hal 13

3

Page 4: print 25-09-2013

militer sebagai salah satu keistimewaan yang diberikan kepada militer adalah

menempatkanya pada posisi strategis pemerintahan dalam konsep dwifungsi

ABRI, dimana angkatan bersenjata dilihat secara sah sebagai kekuatan militer dan

sosial-politik dimana kekuatan sosial-politiknya dikukuhkan secara legal.

Berakhirnya pemerintahan Orde Baru mendorong reformasi di semua lini,

termasuk mereformasi ABRI yang selama ini menjadi alat dan bagian dari

kekuasaan. Berbagai tuntutan bermunculan agar TNI kembali ke barak.4 yang

disebabkan praktik-praktik otoriterisme secara massif semasa Orde Baru dimana

militer merupakan "mesin resmi" kekerasan negara. Tidak mengherankan jikalau

momentum ledakan perlawanan masyarakat atas praktik kesewenang-wenangan

mengawali gerakan reformasi politik beberapa tahun berikutnya, senantiasa

menempatkan sasaran utama pada sikap dan perilaku militer.

Sejumlah bukti mengenai ekspresi kekerasan aparat bersenjata selama ini

telah menjadi ingatan kolektif yang mengenaskan, yang dengan sendirinya

menyebabkan keprihatinan dan kebencian masyarakat. Seperti yang dicatat Bhakti

dalam Makhasyin (2002:6-7) beberapa kekerasan yang dilakukan TNI adalah

terjadinya penculikan sejumlah aktivis prodemokrasi dan terbunuhnya empat

mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan belum ada pengusutan

menjadikan masyarakat tidak percaya pada kemampuan TNI untuk menjaga

stablitas. Karenanya, semua itu kian menebalkan argumen atas adanya keyakinan

bahwa, gerakan reformasi politik di Indonesia saat ini dianggap "berhasil' jikalau

4 Asren Nasution, 2003, Religiositas TNI Refleksi Pemikiran Jenderal Besar Soedirman (Jakarta: Prenada Media) hal 25

4

Page 5: print 25-09-2013

prasyarat penting dapat dipenuhi, yakni dilakukannya perombakan mendasar atas

posisi dan peran militer di Indonesia.

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dimulai rintisan kebijakan

untuk “menghalau” militer dari arena politik praktis, karena alasan mendasar

perlunya institusi militer untuk kembali pada fungsi utamanya dan memperbaiki

kembali konsep hubungan sipil-militer dengan lebih mengedepankan pada

supremasi sipil. Kebijakan tersebut diantaranya strategi untuk pemisahan antara

militer dengan kepolisian, yang dilandasi oleh perbedaan substansial posisi dan

perannya dalam kehidupan masyarakat. Carut-marutnya posisi keduanya

menyebabkan hancurnya profesionalisme yang semestinya diemban oleh kedua

institusi tersebut. Tentara, yang sesungguhnya hanya memiliki wilayah pertahanan

negara ternyata merasuki area keamanan yang merupakan otoritas kepolisian.

Sebaliknya pula, kepolisian yang semestinya merupakan kekuatan sipil malahan

mengalami militerisasi. Upaya-upaya membatasi ruang militer sebelumnya juga

diawalinya dengan proses sipilisasi institusi pertahanan, dimana secara simbolis

diwujudkan dalam bentuk pengisian jabatan menteri pertahanan dari kalangan

sipil.

Transisi demokrasi yang diupayakan di Indonesia memang masih

mewarisi gurita militerisasi yang berakar kuat dalam rezim otoritarian (Orde

Baru) sebelumnya. Oleh karena itu, dimasa pemerintahan Megawati Soekarno

Putri dikeluarkan undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional

Indonesia yang berarti prasyarat penting tegaknya supremasi sipil, absennya

militer dari arena politik dan terbangunnya militer profesional.

5

Page 6: print 25-09-2013

Perubahan-perubahan kebijakan negara untuk membangun militer yang

profesional membawa dampak terhadap militer secara keseluruhan, yakni meliputi

komando kewilayahan diberbagai daerah di Indonesia. Salah satunya adalah

Korem 032/Wirabraja yang berada dibawah Kodam I/ Bukit Barisan sebagai basis

kekuasaan tentara (AD) TNI penyelenggaraan pertahanan untuk wilayah Sumatera

Barat yang membawahi 10 Kodim dan 2 Bataliyon. 5 Profesionalisme militer pada

tatanan implementasinya di Korem 032 Wirabraja menunjukkan perubahan-

perubahan signifikan sekitar organisasi TNI khususnya Angkatan Darat sebagai

proses dialektika prajurit Angkatan Darat dalam memaknai profesionalisme.6

Dengan demikiaan penelitian tentang profesionalisme militer menarik

untuk dilakukan karena: pertama, profesionalisme merupakan karakteristik militer

yang paling utama. Terwujudnya TNI profesional, akan membawa dampak

terhadap kemampuan TNI untuk menegakkan kedaulatan negara,

mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

menjaga keselamatan bangsa dan negara serta kelangsungan pembangunan

nasional. Kedua, perjalanan sejarah militer begitu kompleks sehingga masih

banyak celah dan ruang yang belum diteliti, baik secara nasional maupun secara

kedaerahan. Ketiga, profesionalisme militer merupakan isu-isu populer dalam

wacana hubungan sipil-militer dalam demokrasi di Indonesia.

5 Korem 032/Wirabraja adalah hasil penggabungan 2 (dua) Korem sebelumnya yaitu Korem 032/Wirabraja yang berkedudukan di Bukittinggi dan Korem 033/Wirayudha yang berkedudukan di Solok. Keputusan Kasad No. Kep/30/I/1985 tanggal 22 Januari 1985 dan surat perintah Pangdam III/17 Agustus No. Sprin/91/I/1985 tanggal 23 Januari yang Makoremnya berkedudukan di Kota Madya Padang. Mulai saat itu resmilah berdirinya Korem 032/Wirabraja yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab penuh kepada Pangdam III/17 Agustus yang kemudian dilikuidasi ke dalam Kodam I Bukit Barisan.6 Kusnanto Anggoro, 2008, Pengantar Profesonalisme Militer, Profesinalisasi TNI (Malang: UMM Press) hal xv

6

Page 7: print 25-09-2013

B. Masalah dan Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini akan melihat bagaimana

profesionalisme militer di Sumatera Barat. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pola pemahaman para perwira di Korem 032 Wirabrajadi

Sumatera Barat tentang tuntutan profesionalisme militer dalam jajaran kesatuan

mereka?

2. Apa langkah-langkah yang diambil oleh para perwira di Korem 032Wirabraja

tersebut dalam menjawab tuntutan reformasi militer?

3. Bagaimana mereka menyesuaikan diri antara tuntutan pusat dan realitas di

daerah tersebut. Apa kendala-kendala utama yang mereka hadapi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk memahami pola pemahaman para perwira di Korem 032 Wirabrajadi

Sumatera Barat tentang tuntutan profesionalisme militer dalam jajaran kesatuan

mereka

2. Untuk memahami langkah-langkah yang diambil oleh para perwira di Korem

032Wirabraja tersebut dalam menjawab tuntutan reformasi militer

3. Untuk memahami penyesuaian diri mereka antara tuntutan pusat dan realitas di

dearah. Mendiskripsikan kendala-kendala utama yang mereka hadapi

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Studi profesinalisme militer ini adalah studi dari sudut pandang

sosiologi militer. Kendatipun begitu penelitian ini tetap bersinggungan

dengan ilmu sosial lain yaitu politik dan sejarah.

7

Page 8: print 25-09-2013

Khusus dalam sosiologi militer ini, penelitian ini memiliki peluang

untuk menyempurnakan atau melengkapi teori yang pernah dikemukakan

oleh teorisi di bidang kajian militer, khususnya mengenai pemikiran dan

konsepsi tentang profesionalisme militer di luar Jawa.

2. Secara Praktis

a) Bagi peneliti

Untuk memenuhi syarat gelar Magister Pendidikan Program

Studi Sosiologi-Antropologi di Universitas Negeri Padang dan

memamahi militer secara sosiologi lebih dalam.

b) Bagi Masyarakat

Menambah pengetahuan masyarakat tentang informasi

profesionalisme militer Indonesia di luar Jawa sehingga ketika bicara

militer bukan hanya tentang Jawa.

c) Bagi pemerintah dan militer

Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah dan

militer di pusat dan daerah dalam menyusun kebijakan tentang

profesionalisme militer yang tidak hanya berpusat pada nilai-nilai

budaya Jawa. Sehingga nilai-nilai di luar Jawa ikut membentuk nilai-

nilai profesionalisme militer Indonesia.

8

Page 9: print 25-09-2013

BAB II

TINJAUN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Militer dan Profesionalisme Militer

Penelitian ini merupakan penelitian yang memakai pendekatan sosiologi yaitu

menurut William Ogburn dan Meyer F. Nimkoff bahwa sosiologi adalah

penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi

sosial7. Dan lembaga militer khusus Korem 032 Wirabraja adalah organisasi

sosial. Penelitian memfokuskan pemahaman tentang profesionalisme militer yang

berorientasi pada nilai-nilai militer profesionalime lama (Old Professionalism).

Dengan mengunakan teori interaksi simbolik untuk mencari definisi atau makna

profesionalisme militer dari kaca mata militer itu sendiri. Berikut ini teori dan

konsep yang berkaitan dengan penelitian “Profesionalisme Militer” yang akan

dilakukan.

Dimulai dengan konsep profesionalisme, menurut Huntington ahli militer ini

mengatakan bahwa orang yang profesionalisme adalah seorang yang memiliki

pengetahuan dan ketrampilan khusus dalam suatu bidang yang penting yang

merupakan kerja keras manusia. Pengetahuan profesional pada dasarnya bersifat

intelektual dan dapat disimpan dalam bentuk tulisan.”8 Ada spealisasi dalam suatu

pekerjaan sehingga ditekuni secara terus-menerus dan bisa diwariskan kepada

generasi selanjutnya karena ada dokumentasi salah satunya berbentuk tulisan.

7 Veeger, K.J. 1985. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial dan Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. (Jakarta: Gramedia) hal 248 Hungtington. P Samuel. 2003 Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil (Jakarta. PT Grasindo) hal 4

9

Page 10: print 25-09-2013

Ketika bicara tentang profesionalisme ini bukan sebuah hasil yang pembelajaran

hari ini tetapi adalah sebuah proses terus-terus dari masa lalu.

Sedangkan menurut Effendi profesionalisme adalah seorang profesional yang

bekerja dalam konteks sosial dan melakukan fungsi pelayanan yang sangat

penting manfaatnya bagi masyarakat9. Selain hasil yang maksimal dituntut secara

individu dan kelompok profesionalisme juga harus berfungsi untuk masyarakat

secara keseluruhan.

Setelah berbicara tentang profesionalisme maka selanjutnya adalah

merumuskan tentang militer, seperti yang dikemukakan Huntington bahwa

gambaran tentang militer adalah bersifat disiplin, kaku, logis, ilmiah; sifat tidak

fleksibel, toleran, instuitif, dan emosional. Bekerja terus-menerus dalam fungsi

kemiliteran akan membangkitkan sifat-sifat tersebut yaitu gemar berperang10.

Sifat-sifat militer tersebut adalah pembeda militer dengan sipil batasan antara

dirinya dan orang awam atau warga sipil secara umum dilambangkan dengan

seragam dan pangkat, ketika ada tindakan secara individu, kelompok dan atas

nama institusi maka ketika akan memberikan interprestasi bahwa ini adalah

berisfat sipil atau bersifat militer.

Sebelum kita merumuskan profesionalisme militer, penulis ingin

menyampaikan bahwa pada umumnya para penulis tentang militer di Indonesia

menyamaratakan antara profesionalime militer dalam konteks peran institusi

militer dalam negara dengan profesionalisme militer secara individu (perwira)

sebagai pimpinan institusi militer yang memiliki keahlian dan tanggung jawab

9 Munadjir Effendi, 2008, Profesionalisme Militer : Profesionalisasi TNI (Malang, UMM Press) hal 1910 Huntington.2003. Prajurit dan Negara Teori dan Teori.... hal 64

10

Page 11: print 25-09-2013

sebagai seorang perwira militer profesional11. Walaupun pada akhirnya

perwiralah yang mewakili militer ketika berhadapan dengan pemerintah atau

negara. Maka penulis membagi profesionalisme militer sebagai institusi dengan

perannya dalam negara dan Perwira sebagai militer profesional.

2. Profesionalisme Militer sebagai Institusi dan Perannya dalam Negara Tabel 1 : Peran Militer dalam Sistem Pemerintahan

Indikator Demokratis Komunis OtoritarianOrientasi Militer Profesionalisme

di bawah supremasi sipil

Mengikuti partai

Pretorian

Fungsi Militer Sebagai pertahanan

Pelindung partai

Disemua sektor

Institusionalisai militer

Militer sebagai lembaga negara yang terpisah dari pemerintah

Militer sebagai aset partai

Militer sebagai pemerintah atau setidak-tidaknya mengusai pemerintah

Militerisme Terbatas Sangat tertutup Sangat kuatPosisi militer di hadapan sipil

Supremasi sipil, militer subordinat

Militer dominan, sipil subordinat

Miter dominan, militer subordinat

Hak kontestasi Rendah atau moderat

Sangat tinggi (dominan)

Sangat tinggi

Hak istimewah militer

Terbatas Sangat tinggi Sangat tinggi

Kontrol sipil terhadap militer

Sangat kuat Kuat Sangat lemah, bahkan tidak ada.

Sumber Effendy (2008:66)

Dari tabel diatas bisa disimpulkan bahwa yang menentukan sistem

pemerintahan bukan hanya idiologi dan sistem pemerintahan tetapi peran militer

dalam suatu negara. Kita bicara tentang demokrasi tetapi militer memegang

11 Baca Marsekal TNI Djoko Suyanto. 2007, Menuju TNI Profesional Dan Dedikatif, Jakarta, Pusat Penerangan TNI, Salim Said, 2006, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, Jakarta,Pustaka Sinar Harapan, Panglima TNI Djoko Santoso,2010, Doktrin Tentara Nasional Indonesia Tridarma Ekakarma (TRIDEK), Jakarta, Markas Besar TNI, dan Connie Rahakundini Bakrie, 2007, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia)

11

Page 12: print 25-09-2013

seluruh tampuk pemerintahan, logika demokrasi demikian hanya logika omong

kosong belaka. Militer bukan hanya mengambarkan kekuatan perang semata

namun juga mengambarkan corak negara tersebut.

Profesionalisme militer dan perannya dalam negara seperti yang tercermin

dalam UU nomor 34 tahun 2004 dan ketetapan MPR tentang pemisahan TNI dan

Kepolisian yaitu:

Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik,diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahternaannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.12 Tentara nasional Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara13.

Ketika negara Indonesia berusaha menuju demokrasi dalam arti yang

sebenarnya maka peran militer sebagai pertahanan negara harus dirumuskan

secara jelas dan terperinci, undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentan TNI dan

Tap MPR tentang pemisahan polisi dari TNI adalah untuk mengantar Indonesia

pada demokrasi dalam arti sebenarnya. Sesuai dengan pernyataan di atas tabel di

bawah mengambarkan kesusain the old profesionalisme of external defence

dengan UU nomor 34 dan Tap MPR nomor tahun 2000 tentang pemisahan

kepolisian dengan TNI.

12 Bambang Kesowo. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Tentara Nasional Indonesia Pertahanan Negara dan Kepolisian Negara.(Jakarta, BP. Panca Usaha) hal 2213 Bambang Kesowo. 2005, Ketetapan MPR RI No/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Negara RI Pasal 2 ayat 1 hal 5, (Jakarta, BP. Panca Usaha) hal 5

12

Page 13: print 25-09-2013

Tabel 2, Perbedaan Paradigma: Profesionalisme Lama adalah Keamanan keluar (pertahanan), profesionalisme baru adalah pertahanan ke dalam dan pembangunan nasional

Profesionalisme Lama Profesionalisme BaruFungsi Militer Pertahanan keluar Pertahanan ke dalamSikap masyarakat terhadap pemerintah

Masyarakat menerima kewenangan pemerintah

Masyarakat mempunyai posisi tawar atas kebijakan pemerintah

Keahlian militer yang dibutuhkan

Ketrampilan khusus sesuai dengan keinginan pemerintahan

Ada kaitan antara kemampuan politik dan kemampuan militer

Ruang lingkup kewenangan militer

Terbatas Tidak terbatas

Ruang lingkup militer di luar keahlian militer (perang)

Militer netral secara politik

Militer ikut berpolitik

Dampak terhadap hubungan sipil militer

Militer hanya mengontrol militer dan tidak ikut dalam urusan sipil

militer bersama sipil mengontrol militer dan berperan diluar peran militer

Sumber Stepan dalam Fortuna (2004:165)

Huntington (2003:70) mengatakan bahwa ada tiga tanggung jawab militer

terhadap negara :

1. Fungsi represetatif. Yaitu mewakili tuntunan keamanan militer di dalam peralatan negara. Ia harus menjaga agar otoritas negara tetap memperoleh informasi mengenai batas minimal kemanan militer yang harus dimiliki di tengah-tengah kemampuan negara lainnya. Pada umumnya ia memiliki hak dan tugas untuk mengemukakan pandangannya kepada lembaga-lembaga umum, baik ekskutif maupun legislatif.

2. Perwira militer memiliki sebuah fungsi penasihat, untuk menganalisis dan melaporkan segala implikasi dari bidang alternatif mengenai tindakan negara menimbang tiga kemungkinan kebijakan.

a. kebijakan pertama dapat dilaksanakan lebih mudah dengan kekuatan militer yang saat ini tersedia

b. kebijakan kedua melibatkan resiko-resiko serius kecuali ada tambahan kekuatan militer,

c. kebijakan ketiga berada diluar kemampuan militer

3. Perwira memiliki fungsi eksekutif, yaitu mengimplementasi keputusan negara dalam hal keamanan militer bahkan jika keputusan tersebut menimbulkan pertentangan yang keras dengan pertimbangan secara militer yang dimilikinya.

13

Page 14: print 25-09-2013

Huntington mengatakan (2003:69-70) pandangan militer terhadap

kebijakan nasional mencerminkan tanggung jawab profesional terhadap keamanan

militer negara. Tanggung jawab menuntun militer :

“(1) untuk memandang negara sebagai unit dasar organisasi politik; (2) menitikberatkan pada ancaman terus-menerus terhadap keamanan negara dan keadaan perang yang berkelanjutan;(3) menekankan besarnya dan kedekatan ancaman keamanan; (4) mendorong dipertahankan kekuatan militer yang kuat, beraneka ragam, dan siap siaga; (5) menentang diperluasnya komitmen negara dan keterlibatan negara dalam perang, kecuali kemenangan sudah ditangan.”Dari rumusan Huntington di atas memperlihatkan bahwa peran militer dalam

bidang pertahanan, selalu keadaan siaga, dan siap perang. Militer mengajukan

anggaran untuk alusista (Alat Utama (dan) Sistem Senjata)14 dan dipenuhi oleh

negara. Militer memliki otonom tentang bagaimana pertahanan dibentuk dan

kesiapan perang tersebut namun sipil yang berhak menyatakan perang.

Lebih jauh mengenai posisi militer dalam negara demokratis bisa kita pelajari

dari prinsip-prinsp yang ditawarkan Genschel dalam KontraS (2003:20-22),

KontraS (2003:22-23), IDEA dalam Fortuna (2004:169), Senoaji dalam Effendy

(2008:60), dan Effendy (2008:60), pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh

para ahli diatas terlihat, bahwa prinsip-prinsip tersebut lahir dari kesalahan-

kesalahan yang dilakukan oleh militer khususnya pada Orde Baru, dan prinsip-

prinsip tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Militer tidak ikut dalam partispasi politik atau bersifat netral dalam politik

2. Tidak boleh berbisnis baik secara institusi maupun secara perorangan atau militer tidak dibenarkan mendapat dukungan keuangan diluar pendapatan dan belanja negara

3. Militer menjaga keamanan eksternal negara (pertahanan)

14 Ingo Wandelt, May 2009,Kamus Keamanan Komprehensif Indonesia: Akronim danSingkatan (Jakarta, Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia) hal 23

14

Page 15: print 25-09-2013

4. Supremasi sipil diartikan dalam beberapa poina) Menteri pertahan dipegang sipilb) Militer tunduk dan dikontrol oleh kekuasaan sipil (ekskutif,

legislatif dan yudikatif)c) Menciptakan doktrin militer yang mengakui supremasi sipild) Keluarnya militer dari administrasi sipil

5. Militer tunduk pada hukum

6. Perwira dalam Organisasi Militer Profesional

Merujuk pada Huntington bahwa hanya perwira yang disebut sebagai militer profesional sedangkan prajurit yang dibawahnya bintara dan tamtama hanya pelaksana keputusan perwira.

“Perwira modern merupakan profesional. Dan perwira militer modern adalah orang yang profesional...keperwiraan memenuhi kreteria utama profesionalisme, sedangkan tamtama adalah speasialis dalam menerapkan kekerasan, dan bukan dalam mengelola kekerasan15.”

a. Tanggung-Jawab Perwira Profesional

Kemampuan militer yang unik, yang sama sekali tidak asing lagi bagi hampir

semua perwira, dan justru membedakan mereka dengan warga sipil. Keahlian

utama ini diungkapan oleh Harold Lasswel dalam Huntington (2003:8)

mengatakan istilah manajemen kekerasan adalah fungsi kekuatan militer adalah

keberhasilan dalam pertempuran bersenjata. Tugas perwira meliputi :

“(1) pengaturan perlengkapan, dan pelatihan angkatan bersenjata; (2) perencanaan kegiatannya; dan (3) pengarahan kegiatan operasinya di dalam dan di luar pertempuran. Perwira disini tinggal barak (Bataliyon) menyiapkan, melatih, merencanakan perang dan siap ditugaskan untuk perang.”

b. Keahlian Perwira Profesional

15 Huntington.2003. Prajurit dan Negara Teori dan Teori.... hal 64

15

Page 16: print 25-09-2013

Huntington dalam Perlmuter (2000:14) mengatakan bahwa perwira

profesional di zaman modern merupakan satu kelas sosial yang baru mempunyai

ciri-ciri dasar berikut:

1. Keahlian (“manajemen kekerasan”)2. Pertautan (tanggung jawab kepada klien, masyarakat atau negara),3. Korporatisme (kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi dan )4. Ideologi (“semangat militer”)

Yhudoyono dalam Effendi (2008:27) mengatakan bahwa prajurit

profesional menpunyai kriteria sebagai berikut. Apabila ia bertindak (dalam

ukuran tertentu) sebagai:

1. Seorang patriot.2. Seorang komando 3. Seorang pembina (manajer).4. Seorang pemikir (strategis and tactian) dan5. Seorang yang ahli pada bidangnya atau kecabangan. Selain itu, sosok

dan kreteria seorang prajurit yang profesional sesuai hakikat dan filsafat Tri Sakti Wiratama, yaitu (1) harus mempunyai mental yang tangguh, (2) intelegensi yang tinggi, dan (3) fisik yang kuat.”

Secara detail Mantiri dalam Effendy (2008:29-30) menguraikan bahwa

profesionalisme militer pada dasarnya terwujud karena lima aspek, yaitu sebagai

berikut:

1. Adanya kemampuan intelektual personil2. Memiliki kemampuan berkomunikasi atau dengan kata lain kemampuan

berbahasa Indonesia dan bahasa asing. Hal itu penting karena transfer teknologi hanya dapat dilaksanakan apabila para prajurit menguasai asal teknologi tersebut

3. Kemampuan kemampuan, karena pada dasarnya setiap personil militer harus mampu menjadi pemimpin dari tingkat terbawah hingga teratas

4. Dimilikinya, motivasi dari sanubari setiap personil untuk ingin menjadi personel yang selalu profesional.

c. Organisasi Perwira Profesional

16

Page 17: print 25-09-2013

Untuk menjamin keahlian dan tanggung jawab diperlukan sebuah kesatuan

standar dalam operasionalnya, kesatuan tersebut bisa berbentuk korp, asosiasi dan

lain-lain yang di sana berkumpulnya orang-orang profesional tersebut.

“. Rasa kebersamaan ini bersumber dari kedisiplinan dan pelatihan kemampuan profesional, ikatan kerja bersama, dan saling berbagi suatu tanggung jawab sosial yang unik. Rasa kesatuan terwujud dalam suatu organisasi profesional yang membentuk dan menerapkan standar tanggung jawab profesional. Organisasi-organisasi profesional pada umumnya berbentuk asosiasi atau birokrasi.”16

Huntington dalam Effendy (2008:32-33) mengatakan bahwa syarat agar

korps militer menjadi korps militer yang profesional yaitu:

1. Adanya spealisasi fungsional dan pembagian kerja. Alasan yang mendasari adalah tidak mungkin menjadi seorang yang ahli dalam pengelolaan kekerasaan (militer) untuk pertahanan dan pada saat yang bersamaan ahli dalam bidang politik dan kenegaraan.

2. Keberadaan satu sumber otoritas kekuasaan. Seorang perwira yang profesional dikaruniai pemikiran untuk melayani negara. Dalam pratiknya, ia harus setia pada satu institusi tertentu yang pada umumnya diterima sebagai perwujudan otoritas bangsa. Merujuk pada pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa agar korps militer dan personilnya menjadi profesional maka mereka harus bersikap netral dalam politik dan tidak memihak golongan tertentu.

3. Pertumbuhan bangsa-bangsa. Sebagai bagian dari birokrasi negara, korps perwira hanya dapat dipertahankan oleh lingkungan masyarakat yang memiliki badan pemerintahan yang maju. Bangkitnya berbagai pemikiran partai-partai demokratis pada dasarnya merupakan sistem untuk mengorganisasikan institusi-institusi politik. Namun, para pendukungnya berusaha membentuk institusi-institusi militer ke dalam pola tersebut juga. Oleh karena itu, korps militer jangan sampai menjadi sebuah partai politik, bertujuan politik, dan menjadi bagian partai politik tertentu. Selain itu, juga personil juga tidak boleh menjadi anggota partai politik atau mendukung partai tertentu.

4. Korps perwira merupakan profesi yang bersifat birokratis sekaligus organisasi yang bersifat birokratis juga. Dalam profesi ini, tingkat kemampuan dibedakan dengan hirarki kepangkatan; dalam organisasi, tugas dan pekerjaan dibedakan dengan hirarki kantor. Pangkat melekat pada pribadi perwira dan mencerminkan keberhasilan profesionalnya diukur dengan pengalaman, senioritas, pendidikan, dan kemampuan17.

16 ibid hal 517 Ibid hal 13

17

Page 18: print 25-09-2013

Dalam kenaikan pangkat dan pemberian jabatan faktor senioritas menjadi salah satu faktor terpenting. Seperti komandan meninggalkan tempat maka yang bertanggung jawab adalah yang memiliki pangkat tertinggi, ketika terdapat 2 orang atau lebih mempunyai pangkat yang sama, maka dilihat siapa yang lebih senior.

5. Pemaknaan Profesionalisme Militer dengan Teori Interaksi Simbolik

dan Teori Kontruksi Sosial

a. Teori Interaksi Simbolik

Untuk memaknai profesionalisme militer tersebut dari militer itu sendiri,

disini digunakan teori interaksi simbolik. Joas dan Rock dalam Ritzer dan

Goodman (2004:266) mengatakan bahwa

“Pertama realitas diciptakan secara aktif saat kita bertindak di dalam dunia nyata. Kedua manusia mengingat dan mendasarkan pengetahuan mereka mengenai dunia nyata pada apa yang telah terbukti berguna bagi mereka. Ada kemungkinan mereka menganti apa-apa yang tidak lagi bekerja . ketiga manusia mendefinisikan objek sosial dan fisik yang mereka temui di dunia nyata menurut kegunaannya bagi mereka. Keempat bila kita ingin memahami aktor, kita harus mendasarkan pemahaman itu diatas apa-apa yang sebenarnya mereka kerjakan dalam dunia nyata. Ada tiga hal yang penting bagi interaksi simbolik. (1) memusatkan perhatian pada interaksi antara aktor dengan dunia nyata, (2) memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai proses dinamis dan bukan sebagai struktur yang statis, (3) dan arti penting yang dihubungkan kepada kemampuan aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial.Menurut Johnson (1986: 35-37) yang menjadi dasar interaksionisme simbolik

masa kini meliputi:

“Saling ketergantungan organis antara konsep diri dan organisasi sosial, gambaran tentang kenyataan sosial yang muncul dari komunikasi simbol, tekanan pada asal-usul sosial dari konsep diri dan sikap-sikap seseorang, ide terhadap respons terhadap stimulus lingkungan sangat bervariasi dan mencerminkan arti subyektif yang dimiliki bersama, dan penggunaan konsep-konsep secara meluas seperti peran, melaksanakan peran, dan mengambil peran. Bagi interaksionisme simbol, organisasi sosial tidak menentukan pola-pola interaksi organisasi sosial muncul dari proses interaksi.

18

Page 19: print 25-09-2013

Blumer dalam Ritzer & Goodman (2004:270) menegaskan unit analisis

adalah proses penting dalam interaksi simbolik adalah memberikan aktor kekuatan

bertindak terhadapnya dan yang memberikan makna atas prilakunya sendiri.

Sedangkan menurut Bulmer dalam Veeger (1990:224-226) menyambung pada

gagasan-gagasan Mead menyampaikan konsep-konsep :

1. Konsep diri ; manusia mampu memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinter aksi dengan dirinya sendiri. Ia mengarahkan diri kepada objek-objek termasuk diri sendiri, berunding dan berwancara dengan diri sendiri. Ia memasalahkan mempertimbangkan, menguraikan, dan menilai hal-hal tertentu yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, dan akhirnya ia merencanakan dan mengorganisir perbuatan-perbuatannya. Lalu proses interkaksi dengan diri sendiri dan proses pemaknaan dan penafsiran tampak dengan jelas

2. Konsep perbuatan (action) oleh karena perbuatan manusia bentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, manusia menghadapkan diri pada macam-macam hal sepeti kebutuhan, perasaan, tujuan, perbuatan orang lain, pengharapan dan tuntutan orang lain, peraturan-peraturan masyarakatnya situasinya self image, ingatannya dan cita-cita untuk masa depan. Manusia sendiri adalah konstruktor kelakuannya.

3. Konsep objek; manusia hidup ditengah objek-objek kata dimengerti dalam arti luas dan meliputi semua yang menjadi sasaran perhatian aktif manusia. Objek dapat bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan..., kebendaan Empire State Building atau abstrak seperti konsep kebebasan, hidup atau tidak hidup, terdiri golongan atau terbatas pada satu orang, bersifat pasti seperti golongan darah, atau agak kabur seperti ajaran filsafat.

4. Konsep interaksi sosial; interaksi berarti bahwa peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental di dalam posisi orang lain. dengan berbuat demikian, mereka mencoba mencari arti maksud yang oleh pihak lain diberikan kepada aksinya, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Dalam interaksi simbolik orang mengartikan dan menafsiran gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu. Orang menimbang perbuatan masing-masng orang secara timbal balik, dan hal ini tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang lain, melainkan menganyam perbuatan-perbuatan mereka menjadi apa yang barangkali boleh disebut suatu transaksi dalam arti bahwa perbuatan-perbuatan yang diasalkan dari masing-masing pihak diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembatani mereka.

5. Konsep join action, artinya ialah aksi kolektif yang lahir di mana perbuatan-perbuatan masing-masing peserta dicocokan dan diserasikan satu sama lain.

19

Page 20: print 25-09-2013

Blummer, Manis dan Meltzer, Rose, Snow dalam Ritzer & Goodman

(2010: 392-393) mencoba mengemukakan prinsip-prinsip dasar terori

interaksionisme simbolik diantaranya:

a. Tidak seperti binatang yang lebih rendah, manusia ditopang oleh kemampuan berfikir

b. Kemampuan berfikir dibentuk oleh interaksi sosialc. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol yang

memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berfikir tersebutd. Makna dan simbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan

interaksi khas manusiae. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang

mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka terhadap situasi tersebut

f. Orang mamapu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan diri mereka sendiri

g. Jalinan pola tindakan dan interaksi ini kemudian menciptakan kelompok masyarakat

Dewey dalam Veeger (1990:221-222) menjelaskan prinsip berlandaskan suatu

teori pengenalan yaitu :

“Yang tidak memahami pikiran manusia sebagai fotocopy atau pencerminan dunia melainkan sebagai hasil kegiatan/aktivitas manusia sendiri. Manusia terlibat aktif dalam proses pengenalan. Ia mengahadapkan kesadaran pada hal-hal yang diluar. Dalam proses aktif ini pemikiran manusia tidak hanya berperan menjadi instrumen atau sarana untuk bertindak, tetapi menjadi bagian dari sikap kelakuan manusia. Teori pengenalan ini menghasilkan suatu citra manusia dinamis, anti deterministik dan penuh optimisme. Manusia tidak secara pasif menerima saja pengetahuannya di luar, tetapi secara aktif dan dinamis membentuk sendiri pengetahuan dan kelakuannya.”

Mead dalam Veeger (1990:223) mengatakan:

“Sebelum bertindak, manusia mengenakan arti-arti tertentu kepada dunianya sesuai skema-skema interprestasi yang telah disampaikan kepadanya melalui proses-proses sosial. Baik kelakuan sendiri maupun kelakuan orang lain senantiasa disesuaikan dan diserasikan dengan arti-arti tertentu. Sehubungan dengan proses-proses ini yang mengawali perilaku manusia, konsep “pengambilan peran” (role taking) amat penting. Sebelum seorang diri bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dan coba memahami apa yang diharapkan oleh

20

Page 21: print 25-09-2013

pihak itu. Pola kelakuan harus diserasikan dengan yang diandaikan oleh masyarakat”

Faris dalam Ritzer & Goodman (2004:271) menyatakan preferensi Mead

mungkin bukan buah pikiran baru masyarakat tetapi masyarakatlah yang pertama

dan kemudian baru pikiran yang muncul dalam masyarakat, bahwa masyarakat

atau lebih luasnya kehidupan sosial, adalah sesuai dengan prioritas dalam analisis

Mead. Mead dalam Ritzer & Goodman (2004:272) preferensi berbentuk :

1. Tindakan, tindakan sosial sebagai “unit primitif” dalam teorinya. Dalam menganalisis tindakan, pendekatan Mead hampir sama dengan pendekatan behavioris dan memusatkan perhatian pada rangsangan (stimulus) dan tangapan (renponse). Tetapi, stimulus di sini tidak menghasilkan respon manusia secara otomatis dan tanpa dipikirkan. Kita membayangkan stimulus sebagai sebuah kesempatan atau peluang untuk bertindak, bukan sebagai paksaan atau perintah.

2. Impuls, impuls yang meliputi “stimulasi/ransangan spontan yang berhubungan dengan alat indera dan reaksi aktor terhadap ransangan, kebutuhan untuk melakukan sesuatu terhadap ransangan itu. Rasa lapar adalah contoh yang tepat untuk impuls. Aktor secara spontan dan tanpa pikir memberikan reaksi atas impuls, tetapi aktor manusia lebih besar kemungkinan akan memikirkan reaksi yang tepat. Dalam berfikir tentang reaksi, manusia hanya mempertimbangkan situasi kini, tetapi juga pengalaman masa lalu dan mengantisipasi akibat dan tindakan di masa depan. Secara menyeluruh, impuls, seperti semua unsur teori mead, melibatkan aktor dan lingkungan.

3. Persepsi, aktor menyelidiki dan bereaksi terhadap ransangan yang berhubungan dengan impuls. Persepsi melibatkan rangsangan yang baru masuk maupun citra mental yang ditimbulkannya. Aktor tidak secara spontan menangapi stimuli dari luar, tetapi memikirkan sebentar dan menilainya melalui bayangan mental. Manusia tak hanya tunduk kepada ransangan dari luar; mereka juga memilih secara aktif memilih ciri-ciri ransangan dan memilih di antara sekumpulan ransangan. Artinya sebuah ransangan yang berbeda dan mereka mempunyai kapasitas untuk memilih yang mana perlu diperhatikan dan yang mana perlu diabaikan. Mereka menolak memisahkan orang dari objek itulah yang menyebabkan sesuatu itu menjadi objek bagi seseorang. Pemahaman dan objek tak dapat dipisahkan satu sama lain (berhubungan secara dialektis)

4. Manipulasi, segera setelah impuls menyatakan dirinya sendiri dan objek telah dipahami, langkah selanjutnya adalah memanipulasi objek atau mengambil tindakan berkenaan dengan objek itu.

21

Page 22: print 25-09-2013

5. Komsumasi, tahap pelaksanaan atau mengambil tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya.

b. Teori Kontruksi SosialBerger dan Luckmann dalam Ma’mun (2009:23-24) mengatakan bahwa

kenyataan itu dibangun secara sosial. Namun, kenyataan sosial itu bukanlah

tunggal melainkan ganda. Kenyataan sosial itu bersifat ganda karena memiliki

dimensi objektif dan subjektif.

Berger dan Lukman dalam Poloma (2010:300) meringkas teori mereka

dengan menyatakan “realitas terbentuk secara sosial” dan sosiologi ilmu

pengetahuan harus menganalisa proses bagaimana hal itu terjadi. Membatasi

realitas sebagai “kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang dinggap berada

di luar kemaun kita.

Berger dalam Poloma (2010:301) berpendapat realitas kehidupan sehari-

hari memiliki dimensi-dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan

instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses

eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhi melalui proses internalisasi (yang

mencerminkan realitas subjektif). Berger melihat masyarakat (Korem 032 Sumbar

sebagai unit sosial) sebagai produk manusia, dan manusia (perwira menengah)

sebagai produk masyarakat.

Masyarakat sebagai Realitas Objektif

Berger dalam Poloma (2010:302) melihat struktur sosial yang objektif

memiliki karakter tersendiri, tetapi asal mulanya harus dilihat sehubungan dengan

eksternalisasi manusia atau interaksi manusia dalam struktur yang ada.

Eksternalisasi ini kemudian memperluas institusional aturan sosial, sehingga

struktur merupakan proses yang kontinyu. Bukan penyelesain yang sudah tuntas.

Sebaliknya, realitas objektif yang terbentuk melalui eksternalisasi kembali

membentuk manusia dalam masyarakat. Proses dialektika ini merupakan proses

yang berjalan terus, dimana internalisasi dan eksternalisasi menjadi “momen”

dalam sejarah. Sebagai elemen ketiga ialah proses internalisasi, atau sosialisasi

individu kedalam dunia sosial objektif. Ketiga elemen ini internalisasi,

22

Page 23: print 25-09-2013

eksternalisasi, dan objektivikasi, saling bergerak secara dialektis. Hukum dasar

yang mengendalikan dunia sosial objektif ialah peraturan.

Berger dan Luckmann dalam Poloma (2010:303) mengatakan bahwa

sebagai mata rantai antara organisme manusia dan struktur sosial juga mirip

dengan rumusan fungsional struktural. Struktur sosial terdiri dari peranan perilaku

yang terpola atau memiliki lambang-melambangkan timbal balik. Walau individu

tidak identik dengan ukuran-ukuran pelaksanaan peranan tersebut. Tipologi

peranan peranan itu merupakan “hubungan yang diperlukan bagi institusionalisasi

itu merupakan “hubungan yang diperlukan bagi institusionalisasi kelakuan.

“dengan demikian, peranan dapat dikatakan sebagai unit dasar aturan terlembaga

objektif.

Masyarakat sebagai Realitas Subjektif

Berger dan Luckmann dalam Poloma (2010:304-305) mengatakan bahwa

dalam menguraikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi yang dialami individu di

masa kecil, di saat mana dia diperkenalkan pada dunia sosial objektif. Karena

realitas yang ada tidak mungkin diserap dengan sempurna maka sianak akan

menginternalisir penafsiran terhadap relaitas tersebut. Setiap orang memiliki

“versi” realitas yang dianggapnya cermin dari dunia objektif. Dengan demikian

Berger dan Luckmann menekankan eksistensi realitas sosial berganda.

a. Realita objektif: realitas objektif yang terbentuk melalui eksternalisasi

kembali membentuk manusia dalam masyarakat contohnya adalah undang-

undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.

b. Realita subjektif: Undang-undang nomor 34 tentang TNI yang diberikan oleh

negara kepada TNI tidak terserap sempurna sehingga individu atau perwira

menengah daerah resort militer 032 dan menginterprestasikan sendiri aturan-

aturan yang telah ditetapkan.

23

Page 24: print 25-09-2013

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Sumber utama yang menjadi studi relevan dalam membantu memudahkan

penelitian ini adalah disertasi saudara Muhadjir Effendy yang berjudul “Studi

Fenomenologi Tentang Pola Pembentukan Profesionalisme Tentara Nasional

Indonesia (Berdasar Pengalaman Pendidikan, Pelatihan dan Penugasan pada

Perwira Menengah TNI AD Daerah Garnizun Malang) pada tahun 2009. Muhadjir

memfokuskan penelitian pada pola pembentukan atau internalisasi pemahaman

tentang profesionalisme militer. Penelitian ini hanya menitik beratkan nilai-nilai

yang mendasari konstruksi pemahaman sebagaimana tersebut di atas adalah

bersumber dari gagasan tentang “Ksatriya” yang berakar dalam tradisi

keprajuritan kerajaan Jawa Mataram. Oleh sebab itu TNI profesional dapat diberi

label lebih spesifik sebagai “Tentara Profesional Ksatriya”

Sumber studi relevan yang kedua adalah tesis saudara Nasirul Makhasin

yang berjudul Implikasi reposisi TNI terhadap pengembangan Karier Perwira

Menengah Pada Komando Teritorial (Suatu Kajian Kelembagaan dan

Profesionalisme Militer di Kodam IV/Diponogoro Jawa Tengah). Penelitian ini

memfokus reposisi (pengembalian posisi TNI untuk fungsi) pertahanan)

mengkajinya implikasinya terhadap karir perwira menengah di Kodam tersebut

ketika TNI kehilangan fungsi sosial politiknya.

Sumber studi relevan yang ketiga adalah buku Mestika Zed tentang

Giyugun: Cikal Bakal Tentara Nasional di Sumatera. Yang menarik dalam buku

ini adalah tesis unsur pembentuk TNI selama ini yang kenal dan selalu ditulis

adalah Peta, KNIL dan Laskar, dengan adanya buku ini mematahkan tesis

24

Page 25: print 25-09-2013

tersebut. PETA, KNIL dan Laskar hanya berlaku di Jawa, tidak bisa diberlakukan

atas nama Indonesia sedangkan di Sumatera adalah Giyugun. berdasarkan buku

ini di Borneo juga didirikan pelatihan militer oleh Jepang tetapi sepengetahuan

penulis belum yang menulisnya secara detil. Yang kedua adalah Sumatera Barat

(Minang Kabau) masyarakatnya tidak tertarik untuk masuk tentara, kesadaran dan

peran tokoh-tokoh Sumatera Baratlah yang membujuk, memprovokasi

menyadarkan untuk masuk tentara, yang nanti dipergunakan untuk kepentingan

kemerdekaan.

C. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini mengunakan skema identitas militer profesional yang

dikemukakan oleh Yuddy Crisnandi (2005:154-156) dan dilengkapi dengan

undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, menurut penulis identitas

profesionalisme militer yang dikemukakan oleh Yuddy Crisnandi dan UU No.34

tahun 2004 tentang TNI telah mewakili pemikiran Samuel Huntington tentang

profesionalisme militer lama (old profesionalism), karena bisa menerangkan

posisi militer dalam negara maupun perwira sebagai militer profesional. Skema

identitas militer profesional Indonesia adalah sebuah narasi tentang

profesionalisme militer di Indonesia, skema ini menjadi jelas ketika di lihat dalam

konteks Sumatera Barat yaitu Korem Wirabraja 032. Baik isu sentral yang akan

sampaikan dalam penelitian maupun isu lokal tentang fenomena militer yang

terjadi di Sumatera Barat.

25

Page 26: print 25-09-2013

Untuk memahami kerangka pemikiran ada beberapa konsep yang perlu di

pahami :

1. Perwira sebagai militer profesional18.

2. Perwira sebagai manajer kekerasan

3. Perwira menengah TNI Angkatan Darat (Mayor, Letkol, Kolonel)19.

18 Huntington.2003. Prajurit dan Negara Teori dan Teori.... hal 6419 Jaleswari Pramodhawardani dan Mufti Makaarim, Reformasi Tentara Nasional Indonesia, (Jakarta, IDSPS dan DCAF,2009) hal 5

26

Page 27: print 25-09-2013

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang

mempelajari bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran ilmiah. Kualitas

27

Page 28: print 25-09-2013

kebenaran yang diperoleh dalam berilmu pengetahuan terkait langsung dengan

kualitas prosedur kerjanya.20

A. Jenis Penelitian

Sesuai dengan masalah dan fokus penelitian, maka penelitian ini mengunakan

pendekatan kualitatif. Salah satu alasan penting untuk melakukan penelitian

kualitatif adalah bersifat penyelidikan dan subjek penelitian yang diteliti sesuatu

yang menarik dan belum banyak mendapat perhatian dari peneliti-peneliti lain,

dan peneliti harus mendengar informasi dan membuat gambaran berdasarkan

keterangan informan. Pendekatan ini digunakan agar dapat memahami lebih luas

tentang profesionalisme militer di Sumatera Barat.

Teknik pengambilan data kualitatif, yaitu pengamatan, wawancara, atau

penelaahan dokumen21. Sedangkan menurut Moleong pada buku berbeda, metode

kualitatif adalah prosedur penelitian yang mengahasilkan data deskritif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang berprilaku yang diamati.22 Dan

menurut Saifullah mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai kemampuan untuk

melakukan pengamatan secara cermat untuk mendapatkan data yang shahih dan

handal serta kecakapan untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan baik dengan

komunitas masyarakat yang diamati dan diwawancarai23.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Korem 032 Wirabraja Provinsi

Sumatera Barat. Alasan penelitian dilakukan di Korem 032 di Sumatera Barat

karena ingin memahami realitas profesionalisme militer secara konteks sosial di

20 Noeng Muhadjir, Metolodologi Penelitian Kualitatif,(Yogyakarta, Rake Sarasin, 2002) hal 521 Lexi J. Moleong. 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung cet. XXI,, PT Remaja Rosdakarya, 2005) hal 422 Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung,PT.Remaja Rosdakarya, 1992) hal 923 Saifullah, Metodologi Penelitian , (Malang, Fakultas Syari’ah, 2006), hal 15

28

Page 29: print 25-09-2013

Sumatera Barat dan Korem 032 Wirabraja adalah institusi tertinggi Angkatan

Darat di Sumatera Barat.

Penelitian militer selama ini berpusat di Jawa sebagai pusat kajian militer

baik secara kekuataan militer, sejarah militer, ataupun latar sosial militer. Dan

menurut peneliti Sumatera Barat juga mempunyai nilai-nilai militer yang belum

diteliti yang bisa menjadi sumbangan terhadap pemikiran militer modern yang

profesional khususnya untuk militer Indonesia.

C. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data

yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh

langsung dari sumber pertama. Data primer dapat berupa opini subjek (orang)

secara individu ataupun kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik),

kejadian atau kegiatan dan hasil penguji.24 Sedangkan data sekunder adalah data-

data yang mendukung data utama atau data yang bukan diusahakan sendiri oleh

peniliti, data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,

penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan sebagainya yang mendukung

operasionalisasi penulisan hasil penelitian.25Karena data sekunder ini membantu

peneliti untuk mendapatkan bukti maupun bahan yang akan diteliti,sehingga

peneliti dapat memecahkan atau menyelesaikan suatu penelitian dengan baik

karena karena didukung dari buku-buku baik yang sudah dipublikasikan maupun

yang belum dipublikasikan.26

Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan :

1. Observasi

Untuk mendapatkan data-data yang akurat dan autentik, peneliti mengadakan

pengamatan secara langsung (observasi) terhadap objek yang diteliti, termasuk

didalamnya kejadian atau perististiwa-peristiwa tertentu yang erat hubungannya

24 Gabriel Amin Silalahi, Metode Penelitian dan Study Kasus, (Sidoarjo, CV, Citra Media,2003) hal 5725 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986) hal 1226 Gabriel Amin Silalahi, Metode Penelitian dan Study Kasus, hal 57

29

Page 30: print 25-09-2013

dengan penelitian.27 Peneliti akan mengobservasi aktivitas perwira-perwira

menengah militer tersebut dan institusinya, atas izin dari institusi mereka maka

observasi ini bisa dilakukan. Karena diawal observasi yang peneliti lakukan pada

lembaga militer tersebut sangat prosedural dan cenderung tertutup.

2. Wawancara atau interview

Wawancara merupakan suatu proses interaksi untuk mendapatkan informasi

secara langsung dari informan, metode ini digunakan untuk menilai keadaan

seseorang dan merupakan tulang punggung suatu penelitian survei, karena tanpa

wawancara maka akan kehilangan informasi yang valid dan orang yang menjadi

sumber data utama dalam penelitian28. Pendapat lain mengatakan wawancara

adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam

mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung

informasi-informasi atau keterangan-keterangan.29

Teknik wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara mendalam

melalui pertanyaan yang terstruktur atau tergantung situasi dengan mengunakan

pedoman wawancara. Teknik ini dirasa perlu karena dalam pengamatan saja

lembaga militer yang dikenal tertutup tidak semuanya bisa terlihat dengan jelas.

Wawancara tersebut dilakukan ketika jam dinas perwira menengah tersebut

dari senin sampai hari Jum’at di Korem 032 Wirabraja, dan yang diwawancarai

adalah perwira menengah yang berasal dari Sumatera Barat. Wawancara

dilakukan berdasarkan informan penelitian. Informan penelitian adalah subjek

penelitian yang ditentukan sebagai sumber informasi yang relevan dengan

permasalahan profesionalisme militer, oleh karena itu diharapkan informannya

adalah orang yang mengerti, paham, mengenai situasi dan kondisi, lokasi dan

menguasai permasalahan penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah orang-

orang yang mampu memberikan informasi yang rinci dan mendalam mengenai

profesionalisme militer. Informan dalam penelitian ini adalah pada perwira

27 Hamdani Nawawi, Pengantar Metodologi Riset, (Jakarta, Raja Grafindo Persada,1996) hal 10028 Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan,... hal 106.29 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta, Bumi Aksara, 2004) Hal 83

30

Page 31: print 25-09-2013

menengah TNI Angkatan Darat (Mayor, Letkol, Kolonel)30 yang bertugas Korem

032 Wirabraja di Sumatera Barat.

Pemilihan informan dilakukan dengan memakai cara purpusif sampling.

Di mana informan penelitian peneliti pilih sesuai dengan maksud dan tujuan

penelitian. Purposife sampling di sini berarti disini berarti peneliti telah

menentukan informan dengan anggapan atau pendapat sendiri. Untuk mendapat

kan kelengkapan data maka perwira menengah di bagi dalam beberapa kriteria

dari perwira Korem 032 Wirabraja berjumlah 34.31

1. Perwira menengah yang memahami profesionalisme militer

2. Perwira menengah yang berasal dari Sumatera Barat dan memahami budaya Minangkabau Sumatera Barat

3. Perwira Menengah dari suku Jawa dan Bima

Menurut Faisal (1990:56) teknik pemilihan informan dilakukan dengan

metode purposive sampling informan ditentukan secara sengaja atas pertimbangan

tertentu bukan secara acak. Menurut Muhadjir (2009:12) mengatakan bahwa

banyak informan yang dibutuhkan ditetapkan di lapangan atas prinsip kejenuhan

informasi. Bila dengan informan yang telah diambil, ada informasi yang masih

diperlukan, dikejar lagi informan yang diperkirakan kebutuhan informasi yang

belum diperoleh, sebaliknya jika dengan menambah informan hanya diperoleh

informasi yang sama, berarti jumlah informan sudah cukup, karena informasi

sudah jenuh.

Penelitian kualitatif menurut Sarantakos menekankan bahwa banyaknya

jumlah sampel bukan menjadi prioritas utama, untuk menjamin tingginya akurasi,

validitas dan keberhasilan dalam penelitian kualitatif32. Dan pengambilan sampel

30 Jaleswari Pramodhawardani dan Mufti Makaarim,Reformasi Tentara Nasional Indonesia, (Jakarta, IDSPS dan DCAF,2009) hal 5

31 www.kodam.bukitbarisan32 E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif Penelitian Perilaku Manusia, (Perfecta LPSP3 Fakultas Psikologi UI, Jakarta, 2005) hal 95-96

31

Page 32: print 25-09-2013

tersebut dijelaskan Patton dengan mengkategorikan pengambilan sampel dengan

variasi maksimum, dimana pengambilan sampel dilakukan bila subyek penelitian

menampilkan banyak variasi, dan keterwakilan semua variasi penting untuk

memanfaatkan adanya perbedaan-perbedaan yang ada untuk menampilkan

kekayaan data.33

3. Dokumenter

Metode dokumentern yaitu mengenai hal-hal atau variebel yang berupa

catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notolen rapat, legger,

agenda, dan sebagainya.34Studi dokumenter dalam penelitian dibutuhkan karena

data ada yang bersifat administratif, monografi daerah, historis daerah, adat

istiadat dan kondisi sosial budaya yang berkaitan dengan profesionalisme militer

di Sumatera Barat.

E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Teknik penjamin keabsahan data merupakan faktor menentukan dalam

penelitian kualitatif. Dalam hal ini untuk menperkuat keabsahan data penelitian

tentang profesionalisme militer, langkah-langkah yang dilakukan menurut

Moleong (2000:175-180) mengatakan bahwa:

1. Perpanjangan keikutsertaan

Dalam hal ini peneliti melakukan observasi partisipasi dan berusaha

membaurkan diri dan terlibat dalam kegiatan militer yang dilalukan oleh perwira-

perwira menengah tersebut. Hal ini memungkin peneliti dapat menangkap

fenomena-fenemena yang terkait dengan profesionalisme militer. Perpanjangan

keikutsertaan menjadi penting guna berorientasi dengan situasi dan kondisi, guna 33 Ibid ., hal 9834Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan,...hal 206

32

Page 33: print 25-09-2013

memastikan apakah konteks itu telah dipahami atau belum. Contoh perpanjangan

keikutsertaan adalah ikut menyaksaksikan kegiatan harian perwira seperti apel

pagi dan sore.

2. Ketekunan pengamatan

Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur

dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan dan isu yang berhubungan

dengan profesionalisme militer dan memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara

rinci. Dengan kata lain, jika perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup,

maka ketekunan pengamatan menyediakan pengalaman. Pengamatan dengan teliti

dan rinci secara berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol.

Ketekunan pengamatan menghasilkan kedalaman dalam sebuah penelitian.

3. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain di luar data itu keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

terhadap data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu.

Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui

sumber lainnya. Denzin dalam Moleong (2004:178) menbedakan empat macam

triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan pengunaan sumber,

metode, penyidik dan teori.

Patton dalam Moleong (2004:178) mengatakan bahwa triangulasi dengan

sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu

informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode

kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan (1) membandingkan data hasil

pengamatan dengan hasil wawancara, (2) membandingkan apa yang dikatakan

orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, (3)

membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian

membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu, (4) membandingkan keadaan dan

33

Page 34: print 25-09-2013

persfektif seorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat

biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang

pemerintahan, (4) membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen

berkaitan.

Pada triangulasi metode, menurut Patton dalam Moleong (2004:178)

mengatakan terdapat dua strategi, yaitu (1) pengecekan derajat kepercayaan

penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, (2) pengecekan

kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama

Teknik triangulasi jenis ketiga ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau

pengamat lain untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data.

Pemanfaatan pengamat lainnya memnbantu mengurangi kemencengan dalam

pengumpulan data. Pada dasarnya pengunaan suatu tim penelitian dapat

direalisasikan dilihat dari segi teknik ini.

Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong

(2004:178) mengatakan bahwa fakta tertentu tidak sederajat kepercayaan dengan

satu atau lebih teori. Dipihak lain, Patton dalam Moleong (2004:179) mengatakan

bahwa hal itu dapat dilaksanakan dan hal itu dinamakan penjelasan banding (rival

explanation). Dalam hal ini, analisis telah menguraikan pola, hubungan, dan

menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis, maka penting sekali untuk

mencari tema atau penjelasan pembanding atau penyaing.

Peneliti mengunakan teknik traingulasi data dengan bentuk triangulasi sumber

dan metode, dengan beberapa sumber data (informan) diberikan pertanyaan yang

sama yang berpedoman pada pedoman wawancara, sehingga bisa dikumpulkan

data yang sama. Ketika dicek kembali kepada informan yang berbeda dan

mendapat jawaban yang sama, sehingga diperoleh kebenaran data, dengan

demikian data-data yang diperoleh bisa dipertanggung jawab secara penulisan

ilmiah.

F. Teknik Pengelolahan dan Analisis Data

Menurut Miles dan Haberman (1992:20) mengatakan beberapa langkah

dalam analisis data dalam penelitian dengan metode kualitatif :

34

Page 35: print 25-09-2013

1. Reduksi Data

Reduksi yaitu suatu proses pemilihan, pemfokusan, dan penyederhanaan data-

data “kasar” yang mungkin muncul dari catatan tertulis di lapangan. Setiap

mengumpulkan data, data di tulis dengan rapi, terinci dan sistematis. Kemudian

dibaca, dipelajari, dan dipahami agar data-data yang didapat bisa dimengerti.

Selanjutnya dilakukan proses pemilihan yaitu memilih hal-hal yang pokok,

membuat ringkasan, dan difokuskan pada hal-hal yang penting sehingga sesuai

dengan rumusan masalah.

Mereduksi data yaitu menerangkan data yang sudah terkumpul tentang

profesionalisme militer, lalu data diseleksi dan dikumpulkan ke dalam kategori

sebagai profesionalisme militer. Setelah itu jawaban yang dari informan

dikelompokkan sehingga nampak perbedaan-perbedaan informasi yang

didapatkan dari lapangan. Data yang masih belum lengkap dicari kembali dengan

melakukan wawancara ulang dengan informan.

2. Penyajian Data

Penyajian data yaitu proses penyajian ke dalam bagian yang sesuai atau

membentuk jalinan antara satu faktor dengan faktor lainnya, sedangkan data yang

tidak lengkap dilacak kembali ke lapangan. Pada tahap penyajian data ini, penulis

berusaha menyimpulkan kembali data-data yang telah disimpulkan pada tahap

reduksi data sebelumnya. Data yang telah disimpulkan diperiksa kembali dan

dibuat dalam bentuk laporan penelitian. Melalui penyajian data peneliti dapat

memahami profesionalisme militer di Sumatera Barat.

3. Penarikan Kesimpulan

Dari awal melakukan penelitian, peneliti mencari makna dari data yang

diperoleh, verikasi dengan cara berfikir ulang selama melakukan penulisan,

meninjau kembali catatan di lapangan, bertukar pikiran agar bisa mengembangkan

data. Selanjutnya menganalisis data dengan cara membandingkan jawaban dari

informan mengenai permasalahan penelitian yang sifat penting, dan dirasa sudah

35

Page 36: print 25-09-2013

sempurna maka hasil penelitian yang telah diperoleh nantinya akan ditulis dalam

bentuk laporan akhir.

Penarikan kesimpulan akhir atau penelitian dari hasil deskripsi berupa laporan

ilmiah. Kesimpulan akhir diambil dengan cara menggabungkan dan menganalisis

keseluruhan data yang didapatkan di lapangan baik dengan wawancara maupun

observasi yang dilakukan dalam penelitian ini tentang profesionalisme militer di

Sumatera Barat.

BAB IV

TEMUAN UMUM

1. Sejarah Pembentukan Korem 032 Wirabraja

36

Page 37: print 25-09-2013

Korem 032 Wirabraja Sumatera Barat merupakan lembaga tertinggi militer

angkatan darat di Sumatera Barat yang membawahi 10 Kodim dan 2 bataliyon.

Korem beralamat di Korem 032/Wirabraja yang berkedudukan di jalan Sudirman

No.29 Padang Sumatera Barat. Sebelum menjadi Korem 032 Wirabraja, Korem

032 Wirabraja dahulunya adalah Kodam III/17 Agustus. Kodam III/17 Agustus

dibentuk di wilayah  Sumatera bagian Barat versi TNI adalah dalam rangka

menjaga keamanan dan   mempertahankan    daerah    dari   serangan  

pemberontak , berdasarkan Skep Kasad nomor skep 265/4/1959 tanggal 15 april

195935 bertepatan dengan peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik

Indonesia (PRRI) yang berpusat di Sumatera Barat.

Setelah 25 tahun Kodam III/17 Agustus menjalankan tugasnya didaerah

Sumatera Barat dan Riau, yang dimulai dari tanggal 17 April 1959 berdasarkan

surat keputusan Kasad No. Kpts 265 / 1959 dengan Panglima Ahmad Yani, maka

pada akhir tahun 1984 Kodam III/17 Agustus telah berhasil menyelesaikan setiap

tugas dan tanggung jawabnya dengan baik dan sukses. Baik dalam tubuh Kodam

III/17 Agustus sendiri maupun dalam menegakkan kedaulatan dan stabilitas

diwilayah Sumbar dan Riau. Hasil yang menonjol sekali dalam tugas Kodam

III/17 Agustus dalam wilayah jajarannya ialah pembangunan desa di Sumatera

Barat. Semua itu adalah berkat kebijaksanaan Kodam III/17 Agustus dan kerja

sama yang baik dengan aparat pemerintah daerah, dengan pemuka masyarakat dan

masyarakat itu sendiri, sebutan kemanunggalan ABRI dengan Rakyat.

Kodam III/17 Agustus meliputi dua Propinsi yaitu : Propinsi Sumatera Barat

dan Riau. Mempunyai 3 Satpur, 3 Banpur, 1 Unit Pendidikan dan satuan teritorial

35 Yonif 133/Yhuda Sakti, Sejarah Yonif 133/Yhuda Sakti (Padang:1) Yonif 133/Yhuda Sakti

37

Page 38: print 25-09-2013

yaitu Korem 031/Wirabima, Korem 032/Wirabraja dan Korem 033/Wirayudha.

Berdasarkan kebijakan pimpinan TNI AD tentang rencana pembangunan kekuatan

TNI AD yaitu pelaksanaan program reorganisasi jajaran TNI-AD yang harus siap

operasi pada bulan April 1986, maka reorganisasi tersebut dilaksanakan

secepatnya. Reorganisasi dilaksanakan secara menyeluruh, ada likuidasi terhadap

suatu susunan organisasi, dan ada penggabungan beberapa unsur terhadap pihak

lain, yang kesemuanya itu bersifat menyeluruh dalam pelaksanaannya akan di atur

dari bawah keatas.

Secara kelembagaan militer dari Kodam III/17 Agustus menjadi Korem 032

Wirabraja adalah penurunan kelembagaan karena Korem adalah bagian dari

Kodam baik secara kewenangan atau kewilayaan dan penurunan dari Kodam

menjadi Korem akan mengurangi alat kelengkapan lembaga secara personil

maupun secara fasilitas fisik. Korem 032/Wirabraja yang berkedudukan di jalan

Sudirman No.29 Padang, wilayahnya meliputi Propinsi Sumatera Barat adalah

hasil penggabungan 2 (dua) Korem sebelumnya yaitu Korem 032/Wirabraja yang

berkedudukan di Bukittinggi dan Korem 033/Wirayudha yang berkedudukan di

Solok.

Brigjen TNI Soeripto melantik Kolonel Iding Suwardi Nrp 19280 menjadi

Danrem 032/Sumatera Barat yang kemudian berganti nama dengan Wirabraja

sesuai dengan surat Keputusan Kasad No. Kep/30/I/1985 tanggal 22 Januari 1985

dan surat perintah Pangdam III/17 Agustus No. Sprin/91/I/1985 tanggal 23

Januari yang Makoremnya berkedudukan di Kota Madya Padang36. Mulai saat itu

36 Korem 032 Wirabraja, Sejarah Korem 032 Wirabraja, (Padang:Korem 032 Wirabraja 2011) hal 25

38

Page 39: print 25-09-2013

resmilah berdirinya Korem 032/Wirabraja yang dalam melaksanakan tugasnya

bertanggung jawab penuh kepada Kodam I Bukit Barisan yang baru.

Wilayah Korem 032/Wirabraja meliputi wilayah Kodam III/17 Agustus

kecuali wilayah Korem 031/Wirabima, dengan batas-batas wilayahnya sebagai

berikut :

1. Sebelah utara berbatas dengan Tapanuli Selatan.

2. Sebelah selatan berbatas dengan kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi.

3. Sebelah timur berbatas dengan daerah Propinsi Riau atau wilayah Korem

031/Wirabima

2. Komandan Korem Dari Waktu ke Waktu

Pimpinan Satuan yang pernah menjabat sebagai Danrem 032/Wirabraja

mulai semenjak berdirinya Korem 032/Wirabraja adalah sbb :

1. Kolonel Inf Iding Suwardi tmt 26-01-1985 s.d. 01-09-1987.

2. Kolonel Inf Afifuddin Thaib tmt 01-09-1987 s.d. 28-09-1989

3. Kolonel Inf Musa tmt 28-09-1989 s.d 22-03-1991

4. Kolonel Inf Soewarno Adiwijo tmt 22-03-1991 s.d 31-03-1993

5. Kolonel Kav Suparwantoro tmt 31-03-1993 s.d 31-09-1994

6. Kolonel Inf Edi Waluyo tmt 31-09-1994 s.d. 12-04-1995

7. Kolonel Art M Iskak tmt 12-04-1995 s.d. 03-02-1997

8. Kolonel Kav Soegiono tmt 03-02-1997 s.d. 06-11-1998

9. Kolonel Inf Dahler S.Hasibuan tmt 06-11-1998 s.d. 02-12-2000

10. Kolonel Inf Soeprianto S.IP tmt 02-12-2000 s.d. 10-04-2003

11. Kolonel Czi Karsidi ST tmt 10-04-2003 s.d. 05-03-2005

12. Kolonel Inf Kusmintardjo tmt 05-03-2005 s.d 20-06-2007

39

Page 40: print 25-09-2013

13. Kolonel Arm Bambang Subagio tmt 20-06-2007 s.d 28-03-2008

14. Kolonel Arm Danu Nawawi, S.Sos tmt 28-03-2008 s.d 24-03-2009

15. Kolonel Inf Mulyono tmt 24-03-2009 s.d 29-03-2010

16. Kolonel M. Bambang Taufik tmt 29-09-2010 s.d 03-05-2012

17. Kolonel Inf Drs. Amrin tmt 03-05-2012 s.d Sekarang

Sejak berdirinya Korem 032 Wirabraja dari tahun 1985 sampai tahun 2013

dan telah 17 orang yang memimpin Korem 032 Wirabraja. Pada tahun 2012

komandan Korem 032 Wirabraja untuk pertama kali di pimpin oleh putra daerah

Sumatera Barat yaitu Kolonel Inf Drs. Amrin. Kepemimpinan Korem 032

Wirabraja diserahkan kepada putra daerah Sumatera Barat berindikasi adanya

kepercayaan Mabes TNI AD kepada putra daerah Sumatera Barat untuk

memimpin daerahnya sendiri.

3. Personil Korem 032 Wirabraja

Korem 032 Wirabraja disebut juga dengan Makorem 032 Wirabraja

mempunyai rekapitulasi personel militer dan PNS catatan terakhir pada bulan

Maret 2013, kenapa diajukan catatan terakhir karena mutasi di lembaga militer

tinggi, pindah tugas, operasi perang, promosi jabatan dan lain sebagainya.

Tabel 1

40

Page 41: print 25-09-2013

Keterangan Perwira Bintara Tantama PNS Jumlah

Sesuai TOP/DSPP 34 65 83 43 225

Persentasse 100% 100% 100% 100% 100%

Sejarah Korem 032 Wirabraja hal 14

Tabel 1 memperlihatkan standar yang ditetapkan oleh lembaga tertinggi TNI

AD yang menjadi acuan bagi Makorem 032 Wirabraja bagi penempatan personil,

standar ini dilakukan karena ada kajian TNI tertentu berdasarkan luas wilayah dan

kebutuhan.

Tabel 2

Keterangan Perwira Bintara Tantama PNS Jumlah

Keadaan Nyata 30 87 87 29 233

Persentase 88.2% 133.8% 104.8% 67.4% 103.6%

Sumber Sejarah Korem 032 Wirabraja hal 15

Tabel 2 memperlihatkan personil Makorem yang sebenarnya,

memperlihatkan bahwa perwira yang ada Makorem masih kurang 4 orang perwira

karena ada dua posisi yang masih belum diisi yaitu wakil komandan Korem dan

Pasi Bakti dan dua perwira lainnya. Tetapi jumlah Bintara lebih dari 33 persen

dari standar yang diberikan yaitu 22 orang, sedangkan Tamtama lebih 4 persen

dari standar yaitu 4 orang. Dalam lembaga militer juga ada sipil yang

diperkejakan oleh negara untuk membantu tugas kewilayaan walaupun tidak ada

sipil yang memegang jabatan penting di lembaga militer khusus Korem 032

Wirabraja. Personil di Korem 032 Wirabraja berlebih secara jumlah berlebih

tetapi kurang secara komposisi yang ditetapkan oleh markas besar angkatan darat.

4. Struktur Perwira Menengah di Korem Wirabraja

41

Page 42: print 25-09-2013

NO JABATAN NAMA PKT/CORPS/NRP TMT JAB

1 DAMREM DRS. AMRIN KOLONEL INFANTRI

21-03-2012

2 KASREM Lowong

3 KASI INTEL DRS. JAMES SITANGGANG LETKOL CAJ 05-03-2012

4 PASI INTEL HASIHOLAN DAMANIK. SH

MAYOR INF 01-02-2010

5 KASI OPS LAMBOK SITOHANG LETKOL INF 01-08-2012

6 PASI LAT AMRIZAL NASUTION KAPTEN INF 16-08-2011

7 PASI OPS BARAMULI MAYOR ARH 03-09-2010

8 KASI PERS DRS. SUHERMAN M. SI LETKOL CAJ 07-09-2012

9 PASI PERS DEKKI SUJATMIKO S.PD MAYOR INFANTRI

08-08-2011

10 KASI LOG HOTLAN MARATUA GURNING

MAYOR INF 08-11-2012

11 PASI LOG M. KASNI S.PD MAYOR INF 31-08-2012

12 KASI TER IGIT DONOLEGO LETKOL INF 01-07-2010

13 PASI KOMSOS

HAJIJAH GULTOM, S.PD MAYOR CAJ 15-11-2010

14 PASI WANWIL

DRS. ISNAINI MAYOR INF 10-02-2011

15 PASI BAKTI Lowong

16 PAKUM DESTRIO ELVANO SH MAYOR CHK 22-12-2008

17 KAPEN SUPADI MAYOR INF 31-08-2012

Sumber Sejarah Korem 032 Wirabraja 2011

Perwira menengah di Korem 032 Wirabraja seharusnya berjumlah 17

orang untuk mengisi jabatan yang ada, tetapi ada dua jabatan yang belum diisi

yaitu Kasrem dan Pasi Bakti. Dua jabatan ini dalam lembaga Korem sangat vital

akan menperlambat kinerja Korem. Kasrem atau Kepala Staff Korem dijabat oleh

seorang Pamen TNI AD berpangkat Letnan Kolonel, merupakan pembantu utama

Danrem, berfungsi:

42

Page 43: print 25-09-2013

“ Pertama, memimpin, mengatur, megkoordinasikan dan mengawasi segala kegiaan staf. Kedua, menyusun Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) Korem sebagai bahan masukan RKA Kodam.Ketiga, menyusun rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan sebagai sub sistem rencana tata ruang wilayah sesuai peraturan pemerintah serta mewakili Danrem dalam pelaksanaan Rakorbangda. Keempat, mengkoodinasikan dan mengawasi penyelenggaraan latihan perorangan, kesatuan, badan dan Komando dalam jajaran Korem termasuk Wanra. Kelima, melaksanakan tugas khusus yang diberikan oleh Danrem. Keenam, dalam melaksanakan tugas kewajibannya bertanggung jawab kepada Danrem37.

Kasrem mempunyai wewenang yang besar sesudah Komandan Korem,

sedangkan Pasi Bakti adalah pembantu Kasi Teritorial dalam menjalankan tugas

komando teritorial. Di Korem 032 Wirabraja perwira menengah berjumlah

sebanyak 15 orang secara kesukuan didominasi oleh suku Batak dan Jawa. Suku

minang atau berasal dari Sumatera Barat hanya tiga orang. Secara nasional

komposisi suku atau asal daerah dalam tubuh TNI didominasi oleh suku Jawa dan

Batak38, khususnya TNI AD.

5. Visi Dan Misi Korem 032/Wirabraja

Visi dan misi Korem 032 Wirabraja ditujukan untuk mewujudkan satuan yang siap operasional, pembinaan satuan dimulai dari tingkat perorangan s.d Batalyon dalam rangka membentuk mental dan fisik prajurit dalam satuan yang profesional :

a) Terwujudnya disiplin dan tata tertib.b) Terwujudnya profesionalisme prajurit. c) Terwujudnya kepemimpinan lapangan.d) Terwujudnya pemahaman hakekat sebagai tentara rakyat dan tentara

pejuang.e) Terwujudnya keimanan dan ketaqwaan prajurit Korem 032/Wbr kepada

Tuhan Yang Maha Esa. f) Terwujudnya kondisi fisik prajurit.g) Terwujudnya semangat juang, motivasi dan jiwa korsa.

37 Letnan Jenderal Budiman, Komando Resort Militer, (:Seskoad;Jakarta) hal 738 P. Hasudungan Sirait, Orang Batak Melesat di Jalur Militer (Medan: Sorot) hal 5

43

Page 44: print 25-09-2013

h) Terwujudnya pembinaan administrasi satuan.i) Terwujudnya penghayatan kemanunggalan TNI dan Rakyat. j) Terwujudnya kemampuan manajerial Perwira dan Bintara39.

6. Birokrasi Militer

Setelah penulis mendapatkan izin penelitian dari Pasca Sarjana UNP

(Universitas Negeri Padang) di Korem 032 Wirabraja Padang penulis langsung

menuju Korem 032 Wirabraja yang beralamat di jalan Sudirman nomor 29

Padang Sumatera Barat. Sesampai di Korem 032 Wirabraja penulis mengalami

keraguan juga sebagai orang sipil yang masuk ke lingkungan militer yang dan

tidak mempunyai kenalan yang bekerja di lembaga tersebut, akan melakukan

penelitian. Militer sebagai lembaga tertutup, eksklusif, sensitif dan arogan

menempel keras di kepala penulis, tetapi saat penulis bertekad bahwa penelitian

adalah sebuah penghargaan karena kesulitan itu ada harganya. Ibarat meminum

air pengunungan dari dalam kemasan akan berbeda prosesnya dengan meminum

air pengunungan langsung dari mata airnya.

Selama ini penulis kuliah di Pasca UNP dari semester satu menyukai topik

militer hanya dengan membaca buku dan sumber berita lainnya tentang militer.

Penulis sebagai orang yang membaca atau mendengar berita tentang militer atau

bukan sumber berita, dengan penelitian penulis berharap menjadi sumber berita.

Meminum air kemasan dari pengunungan hanya butuh uang dan sedikit waktu

tetapi meminum air pengunungan dari sumbernya akan menjadi sebuah proses

pencarian dan perjalanan panjang untuk sampai bisa menikmati air dari sumber

yang sama. Begitu juga dengan memahami militer yang selama ini didapat dari

39 Ibid hal 15

44

Page 45: print 25-09-2013

membaca buku, berita, dan mendengar cerita tentang militer, akan berbeda dengan

langsung datang dan menjadi bagian dikehidupan militer tersebut khususnya

Korem 032 Wirabraja Sumatera Barat.

Korem 032 Wirabraja adalah lembaga birokrasi militer, ketika penulis

berusaha mendapatkan izin penelitian di Korem 032 Wirabraja maka berhadapan

dan menyesuaikan diri dengan birokrasi militer seperti mengurus izin penelitian di

Korem 032 Wirabraja. Ketika pertama memasuki Korem 032 Wirabraja ada dua

pintu masuk dengan tujuan yang sama, satu pintu masuk khusus umum dan satu

pintu masuk khusus untuk kedinasan, ini penulis ketahui ketika penulis masuk

melalui pintu masuk kedinasan, penjaga pos tersebut memberikan keterangan

bahwa besok ketika masuk Korem pintu satu lagi yang khusus untuk umum,

karena pintu masuk ini khusus kedinasan. Akhirnya penulis masuk dari pintu satu

lagi.

Di pos penjagaan tertulis “Tamu Wajib Lapor” dengan hal tersebut penulis

melapor kepada tentara yang menjaga yang berpangkat Prada ( prajurit dua)

secara umum bisa digambarkan adalah satu garis merah di lengan bajunya yang

terkesan curiga, penulis ditanya punya keperluan apa dan darimana, lalu penulis

menperlihatkan surat izin penelitian dari Pasca Sarjana UNP lalu penulis di

antarkan ke ruangan bagian sekretariat yang hampir sejajar dengan pos penjagaan

untuk umum, di sana penulis diterima dengan baik lalu beritahu bahwa suratnya di

proses dulu dan tunggu 3 hari lagi. Dalam obrolan meminta izin di bagian

sekretariat ternyata staff yang melayani penulis dalam kepengurusan izin tersebut

ternyata istrinya orang Batusangkar dan penulis kenal dengan lingkungan istrinya

45

Page 46: print 25-09-2013

karena adalah orang dari Tanah Datar sehingga obrolan akhir bercerita tentang

Tanah Datar. Dalam hal ini ikatan-ikatan daerah atau tempat tinggal masih

menjadi rujukan untuk bisa lebih diterima dalam kepengurusan izin. Dari

keterangan staff kesekretariatan mengatakan bahwa belum ada selama 5 tahun ia

bekerja di bagian sekretariat Korem 032 Wirabraja mahasiswa atau lembaga di

luar lembaga yang kaitan dengan militer melakukan penelitian. penulis terkejut

dan pesimis belum ada sebuah format yang jelas dalam mendapatkan izin

penelitian dari lembaga militer ini, ada kemungkinan izin penelitian ini ditolak.

Setelah membaca surat izin penelitian dari Pasca sarjana maka staff tersebut

mendisposisi surat masuk tersebut dan diminta datang 3 hari lagi ke bagian

kesekretariatan.

Setelah 3 hari berlalu penulis kembali ke Korem 032 Wirabraja ketika masuk

di pos penjagaan ditanya dengan pertanyaan yang sama keperluannya apa dan

darimana, lalu penulis menerangkannya, setelah itu dipersilahkan ke sekretariat,

lalu dari sekretariat surat tersebut sudah disposisi lalu diarahkan ke bagian intel

Korem 032 Wirabraja yang berada di sebelah pos penjagaan khusus kedinanasan,

setelah sampai di bagian intel tersebut diterima oleh dua staff bagian intel satu

dari seorang laki-laki berpangkat Prada dan perempuan berseragam kuning

kecoklat-coklatan artinya bukan tentara wanita (kowad) tetapi PNS (pegawai

negeri sipil). Pertanyaan yang sama penulis dapatkan dari mana, keperluannya

apa?. Lalu penulis jelaskan seperti di pos penjagaan dan kesekretariatan, lalu staff

mengatakan datang 4 hari lagi.

46

Page 47: print 25-09-2013

Setelah 4 hari penulis mendatangi lagi Korem 032 Wirabraja melewati pos

penjagaan dengan proses yang sama dan langsung ke bagian Intel. Di bagian Intel

ini setelah menunggu sekitar dua jam di ruang tunggu. Di ruang tunggu penulis

antri dengan tentara muda yang mau menikah, untuk bisa menikah harus

mendapatkan izin dari bagian intel dan personil (sumber daya manusia) dengan

membawa calon istrinya ke Korem tersebut. Tentara yang menikah dengan

berpakain lengkap kedinasan dan calon istrinya memakai pakain dharma wanita

nya atau Persit. Setelah menunggu sekitar dua jam penulis di persilahkan masuk

dan salah satu staff intel tersebut mewawancarai penulis dengan banyak

pertanyaan, dari tahap ini penulis melihat bahwa lembaga militer adalah lembaga

yang tertutup untuk diteliti.

Selain pembicaraan di atas penulis juga merasakan ada ketakutan dan

kecurigaan dari staff intel yang mewancarai penulis, karena tidak ada sebelumnya

yang melakukan penelitian di Korem 032 Wirabraja. Dalam berahadapan dengan

militer atau tentara penulis pernah membaca ketika ditanya oleh tentara jawablah

dengan pertanyaan singkat dan jelas atau tidak berbelit-belit, ketika berhadapan

denga staff intel yang mewancarai penulis menjawab dengan singkat dan jelas,

sehingga pembicaraan berjalan cepat. Setelah diwawancarai penulis diarahkan

untuk langsung mengahadap komandan Korem 032 Wirabraja yaitu Kolonel Inf

Drs. Amrin.

Setelah dari bagian intel tersebut penulis langsung menghadap komandan

Korem 032 Wirabraja yaitu Kolonel Amrin untuk memastikan apakah penulis

diizinkan melakukan penelitian di lembaga yang dipimpinya. Penulis menunggu

47

Page 48: print 25-09-2013

cukup lama sekitar 2 jam di ruang tunggu, karena komandan ini lagi ada tamu

dan setelah itu penulis di suruh memasuki ruangan.

Setelah bersalaman dengan kolonel Amrin, penulis ditanya darimana asal,

kegiatan sehari-hari, dan penelitian ini untuk kepentingan apa?. Lalu penulis

menerangkan seperti apa yang telah penulis terangkan sebelumnya, dan beliau

mengizinkan untuk melakukan penelitian di lembaga yang beliau pimpin,

percakapan berlangsung cepat sekitar 10 menit, lalu penulis keluar dari ruangan

komandan Korem 032 Wirabraja tersebut.

Setelah keluar penulis menanyakan kepada staff beliau kapan surat izin

penelitian bisa di dapatkan dan jawabannya sekitar 2 hari lagi. Setelah dua hari

penulis kembali ke Korem 032 Wirabraja dan menanyakan ke sekretariat dan

arahkan bagian intel berdasarkan nomor surat, setelah sampai di bagian Intel

penulis menanyakan surat izin penelitian tersebut, ternyata penulis harus

menghadap kepada Kasi (kepala seksi) Intel yaitu Letkol Caj Drs James

Sitanggang. Setelah menunggu beberapa jam sesudah makan siang penulis

dipersilahkan oleh staffnya untuk masuk ke ruangan kasi Intel. Setelah bersalaman

penulis diwawancarai. Kasi Intel adalah bagian di Korem 032 Wirabraja yang

ditugaskan untuk menyaring apakah penelitian bisa dilanjutkan atau tidak.

Pertemuan dengan kasi intel berlangsung cepat dan penulis merasakan

dalam pembicaraan ada kecurigaan terhadap penelitian yang akan dilakukan, atau

dalam pemikiran penulis karena intel di Korem 032 Wira Braja ini dilatih dan

ditugaskan untuk selalu curiga dan waspada.

48

Page 49: print 25-09-2013

Setelah berakhir pembicaraan tersebut akhirnya penulis di arahkan ke Pasi

Pers. Setelah keluar ruangannya penulis langsung ke ruangan Pasi Pers (Perwira

Seksi Sumber Daya Manusia di lembaga militer). Pasi Pers yaitu mayor Inf Dekki

Sujatmiko, setelah bertemu dengan Pasi Pers penulis menerangkan hanya 3 orang

Pamen yang berasal Sumatera Barat yaitu Komandan Korem 032 Wirabraja

Kolonel Amrin, Kasi Pers yaitu Suherman, dan Pakum (perwira bantuan hukum

untuk TNI dan Staff khusus Komandan Korem 032 Wirabraja) Mayor Destrio

Elvano dan setelah berdiskusi dengan pembimbing ditambah dua orang dari

bagian teritorial Mayor Isnaini dari NTB dan Pasi Pers sendiri Mayor Dekki

Sujadmiko, dan sejak itu penulis mulai meneliti di Korem 032 Wirabraja Padang.

Setelah menghadap Pasi Pers ini secara administrasi penelitian ini bisa

dilakukan. Perjalanan dan proses panjang dalam mendapatkan izin penelitian di

Korem 032 Wirabraja ini bagi penulis adalah pencapain yang mengkecewakan

karena penulis sempat putus asa karena proses yang lama yang menghabis sekitar

11 hari dan harus menemui banyak orang.

Skema Birokrasi dalam izin penelitian di Korem 032 Wirabraja

Pintu masuk Interogasi

49

Sekretariat diarahkan

Intel interogasi

Pasi Pers diarahkan

Komandan Korem

Kasi Intel Interogasi

Izin Penelitian

Page 50: print 25-09-2013

Seharusnya mengurus izin penelitian di lembaga negara tidak layak

memakan waktu 11, hari hal ini terjadi karena proses birokrasi militer yang

berbelit-belit. Seperti pernyataan Rina (2012:13) berbelit-belit birokrasi di

Indonesia akibat para pegawai tidak dapat berkembang optimal dalam

menjalankan tugasnya karena dia hanya menerima perintah dari atasannya saja.

Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin ketidakprofesional

kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial.

Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani masyarakat.

Perubahan kepemimpinan yang terjadi di tingkat nasional maupun daerah ternyata

tidak mampu mendorong reformasi birokrasi khususnya birokrasi militer. Cita-

cita dari sistem birokrasi adalah mencapai efisiensi kerja yang seoptimal mungkin.

Cita-cita birokrasi tidak terwujud karena sistem sentralisasi birokrasi yang

diwariskan oleh pemerintah orde baru telah menyebabkan birokrasi terjebak

dalam pengembangan kultur organisasi yang berorientasi vertikal dari pada kultur

horisontal, sehingga norma dan nilai- nilai yang menjadi acuan bertindak lebih

berorientasi pada penguasa yang pada akhirnya berkembang fenomena suka dan

tidak suka dalam birokrasi40.

7. Tata Kelola Lingkungan di Korem 032 Wirabraja

Karakter bersih dan rapi ini akan terlihat ketika kita masuk dilingkungan

TNI khususnya Makorem 032 Wirabraja, hasil observasi penulis Makorem 032

40 Dwiyanto, Agus, dkk, 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat StudiKependudukan dan Kebijakan, UGM, Yogyakarta, , hal 105

50

Page 51: print 25-09-2013

Wirabraja dari pintu masuk sampai ke halaman paling belakang tidak menemukan

sampah berupa tisu, puntung rokok, plastik atau sampah yang biasa ditemui di

tempat-tempat sipil seperti kampus Universitas Negeri Padang khususnya area

Pasca Sarjana yang notaben adalah kaum intelektual yang tertinggi secara

pendidikan, sampah yang ada di Makorem 032 Wirabraja adalah sampah daun

kering yang gugur itupun disiang hari karena paginya telah dibersihkan.

Pengertian sampah dikemukakan oleh Azwar dalam Ketut (2012:14)

mengatakan bahwa sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak terpakai, tidak

disenangi atau sesuatu yang dibuang, umumnya berasal dari kegiatan manusia dan

bersifat padat. Dan Kodoatie dalam Ketut (2012:15) menyebutkan bahwa sampah

adalah limbah atau buangan yang bersifat padat, setengah padat yang merupakan

hasil sampingan dari kegiatan perkotaan atau siklus kehidupan manusia, hewan

maupun tumbuh-tumbuhan. Hampir setiap aktivitas manusia, hewan dan

tumbuhan menghasilkan sampah maka pengelolahan sampah menjadi sangat

penting seperti yang dilakukan di Korem 032 Wirabraja.

Militer di Korem 032 Wirabraja mempunyai kesadaran sampah yang

tinggi baik secara lembaga ataupun secara individu, ketika penulis masuk ke

ruangan Pamen-Pamen atau ruangan tunggu yang menjadi informan penulis, tidak

ada abu rokok, debu di atas meja atau tisu berserakan di lantai. Ruangan perwira

menengah tersebut sangat sederhana jauh dari kemewahan kecuali ruangan

komandan Korem tetapi kebersihan dan kerapiannya membuat tempat itu

nyaman.

51

Page 52: print 25-09-2013

Kesadaran sampah ini memang penting. Adanya petugas kebersihan khusus

yaitu satuan yang bertanggung untuk kebersihan dan kerapian Korem 032

Wirabraja yaitu bagian Barak, bagian ini terletak di belakang Korem 032 di dekat

kantin Korem 032 Wirabraja. Bagian ini selalu sibuk setiap hari mulai

membersihkan bagian luar Korem seperti halaman, jalan-jalan, taman-taman,

memperbaiki bagian-bagian bangunan rusak, dan mengecat, sedangkan kebersihan

ruangan adalah tanggung jawab masing-masing satuan. Cat di Korem 032

Wirabraja terlihat selalu baru hal ini dilakukan oleh bagian barak, sehingga dari

luar Korem selalu terlihat indah.

8. Prajurit Tidak Suka Membaca

Di Korem 032 Wirabraja terdapat pustaka yaitu dari ruang pos penjagaan

untuk umum belok kiri dan sesudah ujung bangunan belok kanan, di dekat bagian

penerangan. Pustaka yang ada di Korem tersebut cukup lengkap, penulis terkejut

karena ada buku Harold Crouch yang berjudul Militer dan Politik di Indonesia

yang pada tanggal 31 Mei tahun 1986 ditarik dari peredaran oleh pemerintah orde

baru41, buku itu berisikan kritikan terhadap pemerintahan militer yang berkuasa

waktu itu.

Ketika penulis memasuki pustaka ada seorang tentara yang bertugas jaga di

pustaka, petugas tersebut main game sendiri karena mungkin bosan karena

sendirian. Lalu penulis mengisi buku tamu yang sediakan, penulis melihat nama

penulis yang pertama. Di halaman sebelumnya hanya ada satu dan dua nama

41 Ag, Ditarik dari Peredaran, Buku “Militer dan Politik Indonesia (Jakarta:Kompas)

52

Page 53: print 25-09-2013

tentara yang berkunjung ke pustaka tersebut dan beberapa hari sebelumnya

kosong. Selama penulis membaca buku di perpuskaan tersebut dan menjadi

kegiatan rutin penulis ketika ada jadwal wawancara dengan perwira menengah,

dalam menunggu penulis sering ke pustaka dan tidak pernah penulis temukan ada

tentara meminjam buku atau membaca buku bersama penulis di ruangan pustaka

tersebut. Sepinya pustaka di Korem 032 Wirabraja mengidentifikasikan minat

baca tentara khususnya anggota Korem 032 Wirabraja sangat rendah. Berdasarkan

pengamatan penulis dengan sepinya pustaka Korem 032 Wirabraja dapat

diidentifiksasikan minat baca tentara khususnya anggota Korem 032 Wirabraja

sangat rendah.

9. Tata Ruang Korem

Tata ruang Korem 032 Wirabraja cukup bagus karena satu bangunan dengan

bangunan lain terpisah mempunyai ruang hijau juga tempat parkir yang luas.

Korem 032 tertutup untuk orang umum yang tidak memiliki tujuan dan

kepentingan yang jelas. Orang umum hanya bisa masuk ke Korem 032 Wirabraja

hanya pada hari Jumat ketika Sholat Jumat karena pagar belakang Korem dibuka

untuk umum. Masyarakat dan tentara di Korem sholat bersama-sama di mesjid

korem yang terletak di bagian belakang di depan parkir truk-truk dan mobil dinas

pimpinan Korem.

Ketika masuk Makorem hanya ada dua pos masuk, yaitu sebelah kiri dan

kanan ketika menghadap ke Korem, yang kiri untuk rutinitas dan umum, sebelah

kanan untuk kedinasan. Ketika masuk Korem 032 Wirabraja nuansa militer

53

Page 54: print 25-09-2013

langsung terasa karena dipintu masuk langsung ditanya dengan cara militer.

Bangunan kedua jaga menyatu dengan ruanga Intel. Sedangkan ruangan

Komandan Korem terlihat dengan jelas dari luar dengan lapangan besar di

depannya yaitu sebelah kanan ruangan intel. Untuk bisa masuk ke ruangan

komandan adalah lurus dan belok kanan, di ruangan komandan cukup mewah,

karena ini lambang marwah kesatuan Korem 032 Wirabraja, walaupun tidak

semewah ruangan bupati atau walikota hari ini. Korem 032 sebagai lembaga

lengkap secara fasilitas , karena ada kantin yang besar di belakang, mesjid yang

besar, lapangan badmiton, koperasi di samping kanan yang lengkap menjual

berbagai kebutuhan harian.

10. Pangkat dan Lencana Militer

Pertama masuk penulis sebagai orang sipil merasa asing karena semua

orang berpakain seragam, bersenjata, dan berbagai macam pangkat dan lencana

sedangkan penulis tidak. Dalam keseharian di Korem tanda pangkat dan lencana

inilah yang menjadi simbol sekaligus hirarki kekuasan maupun penghormatan.

Dari pangkat dan lencana ini kita bisa langsung tahu tentara berkuasa atau tidak,

baru atau sudah lama, kesatuannya apa (Infantri atau Kavaleri), pernah ditugaskan

diwilayah konflik, dan jenis-jenis penghargaan yang dia dapat selama jadi tentara.

Pangkat dan pakain dinas tersebut di buat umumnya dalam tiga bentuk

dengan tujuan berbeda. Pertama untuk upacara-upacara kemiliteran tanda

kepangkatannya berwarna kemerah-kemerahan, kedua untuk dinas harian

54

Page 55: print 25-09-2013

berwarna hijau tua, ketiga untuk ke lapangan berwarna hijau muda juga

sedangkan warna dan bentuk pakaian juga menyesuaikan.

11. Bahasa Militer

Salah satu sifat bahasa yaitu dinamis, artinya bahasa itu tidak lepas dari

berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Demikian

halnya dengan bahasa suatu komunitas tidak terlepas dari hal tersebut. Dalam

masyarakat yang multikultural, muncul berbagai ragam bahasa dari kelompok-

kelompok sosial tertentu. Keberagaman bahasa ini dipengaruhi oleh faktor usia,

tingkat pendidikan, jenis kelamin, status sosial ekonomi, profesi, dan asal daerah.

Salah satu keragaman yang muncul di masyarakat di antaranya adalah

bahasa militer . Bahasa militer merupakan salah satu bagian dari bahasa suatu

komunitas, yang memiliki karakteristik khusus dalam penggunaannya. Timbulnya

variasi bahasa pada komunitas tidak terlepas dari adanya budaya tertentu yang

mereka jalani. Hal tersebut menarik untuk karena kondisi kebahasaan yang terjadi

pada komunitas militer mempunyai keunikan dibandingkan komunitas lainnya.

Studi tentang bahasa militer tidak dapat dilepaskan dari pendekatan

sosiologi. Pendekatan ini menempatkan studi bahasa dalam kerangka berpikir

bahwa bahasa adalah sebagai fakta sosial. Bahasa merupakan alat komunikasi

terpenting bagi manusia dalam interaksi sosial. Dengan menggunakan bahasa,

manusia berusaha untuk menjaga kebersamaan dan komunitasnya atas berbagi

informasi, sikap, gagasan, dan saling memahami (Treece, 1983: 24-25).

55

Page 56: print 25-09-2013

Dari sudut pandang pragmatik kekhasan bahasa militer ditandai dengan

pemakaian tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, dan deklaratif yang khas

dilingkungan militer. Tindak tutur tersebut berbeda antara karakteristik yang

digunakan oleh atasan dengan yang digunakan oleh bawahan. Bahasa militer juga

memiliki karakteristik khusus dalam menggunakan prinsip-prinsip komunikasi

tutur, khususnya prinsip kerja sama. Pemakaian kata-kata kuantitas, kualitas,

relevansi, dan pelaksanaan amat dominan dalam tuturan militer.

Sistem komunikasi militer menghendaki jenis-jenis informasi yang

langsung, singkat, dan akurat; tidak mendua dan tidak menimbulkan keraguan.

Oleh karenanya, mengenai prinsip kesopanan dalam komunikasi resmi militer

tidak banyak digunakan tetapi keefesiennya bahasa dalam perintah dari komandan

kepada anak buah. Dalam keseharian militer menunjukkan bahwa terdapat

bentuk-bentuk  bahasa militer yang khas sesuai dengan fungsi pemakaiannya,

misalnya terdapat bentuk khas bahasa militer dalam bertelepon, berte muka,

bahasa dalam upacara, bahasa dalam rapat, bahasa dalam amanat pejabat atau

komandan, dan bahasa dalam pertempuran/latihan pertempuran. Bentuk-bentuk

bahasa ini tidak dapat dipertukarkan fungsi pemakaiannya karena akan

menimbulkan kekacauan komunikasi. Di samping itu, dalam bahasa militer ini

ditemukan fenomena lain yang penting, yakni bentuk-bentuk bahasa yang

digunakan oleh atasan berbeda dengan bahasa yang digunakan bawahan. Kedua

bentuk bahasa ini tidak dapat dipertukarkan pula pemakaiannya.

Bahasa komandan kepada anak buahnya mempunyai sifat-sifat dari tipe

kepemimpinan militeristik adalah: (1) lebih banyak menggunakan sistem

56

Page 57: print 25-09-2013

perintah/komando, keras dan sangat otoriter, kaku dan seringkali kurang

bijaksana, (2) menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan, (3) sangat

menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual dan tanda-tanda kebesaran yang

berlebihan, (4) menuntut adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya,

(5) tidak menghendaki saran, usul, dan kritikan-kritikan dari bawahannya, (6)

komunikasi hanya berlangsung searah. Kata-kata komandan terhadap bawahan

seperti pahami, laksanakan, diperintahkan, kerjakan, sedangkan bahasa anak buah

kepada komandanya adalah siap laksanakan komandan, mohon arahan, mohon

ijin, siap salah komandan, Ungkapan tersebut menjadi sebuah kelaziman untuk

diucapkan bagi seluruh personil Korem 032 Wirabraja baik sipil apalagi militer.

Untuk bahasa dapat ditemukan dari penyebutan “mohon izin” dan “siap”

dalam setiap pembicaraan antara bawahan dengan atasan. Kata “mohon izin”

kerap digunakan bila seorang bawahan ingin mengutarakan suatu hal pada atasan.

Ini merupakan kebiasaan pada personil militer termasuk juga selalu mengatakan

“siap” manakala atasan memberi arahan atau perintah. Anak buahnya selalu

menjawab “Siap Komandan”, bila ia menyuruh mengerjakan sesuatu. Ketika

tidak tahu apa yang harus dikerjakan maka kata-kata yang kita dengar adalah

mohon petunjuk, ketika permasalahan ini masih belum sepenuhnya selesai kata-

kata selanjutkan mohon diarahkan.

57

Page 58: print 25-09-2013

BAB V

TEMUAN KHUSUS

Cita-cita militer profesional secara ideal dikontruksikan lewak doktrin-

doktrin TNI seperti Sumpah Prajurit, Sapta Marga, Delapan Wajib TNI, Kode

Etik Perwira, Tridarma Ekakarma dan undang-undang nomor 34 tahun 2004

tentang TNI yang telah dibahas sebelumya. Namun dalam realitas objektif

58

Page 59: print 25-09-2013

profesionalisme militer di kalangan perwira menengah Korem 032 Wirabraja yang

menjadi subjek penelitian perlu dilihat dari pengalaman hidup mulai dari masa

kanak-kanak, remaja, memasuki pendidikan militer. dan penugasan (militer

aktif).

1. Cita-cita menjadi Militer dalam Realitas Objektif

Realitas sosial objektif dunia kemiliteran untuk perwira menengah subjek

penelitian dimulai dari masa kecil dan remaja ketika bercita-cita menjadi tentara

seperti yang disampaikan oleh Drs. Mayor Isnaini:

Alasan menjadi tentara di waktu kecil (SD) karena dulu melihat tentara melakukan kegiatan TMMD (Tentara Nasional Indonesia Manunggal Membangun Desa), saya melihat tentara iklas dan disiplin dalam bekerja, TMMD itu bukan tugas pokok tentara, setelah saya kuliah masuk Menwa (resimen mahasiswa) saya menyukai disiplin dan latihan militer, , menjadi tentara adalah untuk mendarmabaktikan diri kepada negara juga akhirnya untuk mendapatkan pekerjaan”

Keinginan subjek penelitian berprofesi menjadi tentara bukanlah cita-cita

keluarga atau keinginan keluarga supaya anaknya menjadi tentara, sedangkan

subjek penelitian ini orang tuanya seorang guru di sekolah dasar. Internalisasi

pada subjek penelitian juga tidak dari materi pembelajaran sekolah yang

berhubungan dengan pelajaran sejarah atau pengetahuan tentang tentara. tentang

tentara biasanya berhubungan dengan internalisasi kemiliteran di sekolah yang

bergantung pada tokoh-tokoh militer tertentu seperti Jendral Soedirman, Jenderal

Soeharto atau yang lainnya, tetapi subjek penelitian mendapatkan ketertarikan

menjadi tentara berasal dari identitas di luar sekolah yaitu identitas tentara yang

sedang bertugas di lingkungan subjek penelitian. Cita-cita menjadi tentara datang

kegiatan-kegiatan tentara yang disaksikan secara berulang kali. Pernyataan ini

59

Page 60: print 25-09-2013

juga diperkuat oleh pernyataan subjek penelitian lainnya yaitu komandan Korem

032 Wirabraja Kolonel Amrin:

Menjadi tentara ketika masih di SMA (SMA Don Bosco Padang), disini umumnya bercita-cita jadi dokter, insinyur dan pengusaha jarang yang menjadi tentara. Saya masuk tentara karena waktu itu adalah ingin mengabdi terhadap negara dan menurut saya jalur tentara yang bisa saya dicapai, saat itu orang tua mempunyai kemampuan terbatas secara finansial dan keluarga saya tidak ada yang berprofesi tentara.Berdasarkan pendapat informan diatas dapat dipahami bahwa faktor

lingkungan pergaulan teman sebaya tidak selalu menjadi acuan untuk menentukan

sikap dan pilihan hidup tetapi kesempatan dan kemampuan. Menurut subjek

penelitian merasa mampu dan mempunyai kesempatan untuk menekuni bidang

militer dan ditambah keadaan orang tua yang terbatas. Status menjadi tentara dan

perbaikan kehidupan ekonomi menjadi acuan lainnya untuk menjadi tentara.

Ditambahkan oleh subjek penelitian lainya tentang keinginan setelah

tamat dari sekolah militer Sepa (sekolah perwira) seperti yang disampaikan oleh

subjek Mayor Infantri Isnaini yang lahir dan bertugas di zaman Orde Baru yaitu

Setelah tamat Sepa saya ingin pangkat terakhir Letkol dengan jabatan terakhir jadi Dandim. Saya tamat dizaman Dwifungsi ABRI, tentara bisa jadi bupati atau walikota, saya dulu ingin jadi bupati di Bima.

Diwaktu kecil keinginan untuk menjadi tentara diilhami oleh TMMD

tetapi setelah tamat Sepa subjek penelitian melihat kesempatan berbeda yaitu

mendapatkan jabatan dikemiliteran dan di luar kemiliteran. Bagi subjek penelitian

jabatan didalam kemiliteran adalah sesuatu yang baik sehingga subjek penelitian

akan berusaha melakukan keberhasilan tugas sehingga ada prestasi kerja.

Sedangkan keinginan menjabat di luar kemiliteran dikarenakan di zaman Orde

Baru di bawah pemerintahan Soeharto militer diberi keluluasaan khususnya

60

Page 61: print 25-09-2013

Angkatan Darat untuk menjabat dalam melaksanakan peran sosial politik.

Umumnya bupati dan walikota disetiap kabupaten kota dizaman orde bar adalah

perwira Angkatan Darat.

Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa internalisasi terhadap realitas

objektif yang menghasilkan pemahaman tentang TNI berasal dari pengalaman,

kesempatan, kemampuan, keinginan mengabdi kepada negara dan mendapatkan

pekerjaan yang akhirnya menjadi konsep kontruksi memasuki profesi sebagai

tentara.

2. Identitas Militer dalam Realitas Objektif

Untuk membentuk tujuan-tujuan militer tersebut menjadi sebuah identitas

militer maka lahirlah realitas sosial objektif dunia kemiliteran. Secara sederhana

organisasi militer digambarkan sebagai organisasi yang di lengkapi persenjataan

dan memiliki tanggung jawab serta bertugas mempertahankan kedaulatan suatu

negara dari serangan musuh baik dari luar maupun dalam negara. Selain dari itu

militer juga disebut sebagai raison d’entre untuk menghadapi dan mengatasi

keadaan darurat (emergency organization) yang bercirikan organisasi keras, ketat,

hirarkhis sentralistis, berdisiplin keras, dan bergerak atas komando. Yang

dimaksud dengan emergency organization adalah sebagai alat/kekuatan

pertahanan keamanan untuk menghadapi, mengendalikan dan mengatasi keadaan

gawat yang ditimbulkan oleh tindakan kekerasan bersenjata dari pihak-pihak lain

yang mengancam negara, kedaulatan, dan integrasi wilayah. Dalam kemiliteran

dibangunlah budaya militer yaitu habit formation, habit formation dimaksudkan

61

Page 62: print 25-09-2013

untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang mutlak perlu agar tugas dapat

terlaksana dalam keadaan bagaimanapun42.

Dalam organisasi militer membentuk jati diri militer khususnya TNI AD

adalah dari rekrutmen dan pendidikan militer. Adapun penyedia rekrutmen

perwira di TNI AD berdasarkan sumber beberapa masukan atau rekrutmen yaitu

Akademi TNI Angkatan Darat (AAD), Sekolah Perwira Prajurit Karir (Sepa PK),

dan Sekolah Calon Perwira (Secapa). Rekrutmen perwira Akademi Angkatan

Darat umumnya adalah tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berumur

antara 18 tahun sampai 21 tahun, artinya setelah mereka tamat SMA langsung

mendaftar menjadi prajurit dan lama pendidikan yang mereka jalani adalah 3

tahun. Sedangkan Sepa PK adalah rekrutmen yang berasal dari tamatan perguruan

tinggi yang berumur rata-rata 22 tahun sampai 25 tahun, tamatan Sepa PK ini

adalah tamatan militer yang merasakan menjadi sipil di universitas atau

setingkatnya, pendidikan yang dapatkan hanya satu tahun. Sedangkan tamatan

Secapa adalah tamatan yang berasal dari internal angkatan Darat yang sebelum

berpangkat sersan lalu melanjutkan pendidikan perwira. Tamatan Secapa ini

adalah tentara terdidik secara militer yang melanjutkan pendidikan militernya.

Dalam pendidikan militer di AAD, Sepa PK, dan Secapa tersebut juga

ada beberapa tahapan pendidikan yaitu struktur pendidikan pengembangan

perwira bermula dari jenjang Pendidikan Pembentukan (Diktuk), Pendidikan

Pertama(Dikma), Pendidikan Pengembangan Spealisasi (Dikbangspes),

Pendidikan Pengembangan Umum (Dikbangum).

42 Lihat Hasnan Habib ,ABRI dan Demokratisasi Politik, dalam Cholisin,Militer dan Gerakan Prodemokrasi Studi Analisis Tentang Respons Militer Terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia,Tiara Wacana,Yogyakarta,2002

62

Page 63: print 25-09-2013

Setelah tamat dari sekolah perwira TNI AD tetap harus mendapatkan

pendidikan lanjutan seperti jenis dan jenjang pendidikan yang termasuk kategori

Dikbangspes diantaranya adalah, Kursus Perwira Lanjutan (Sus Pala) satu dan

dua, Pendidikan Kursus Kecabangan seperti dilatih untuk menjadi Infantri,

Kavaleri atau lainnya. Kursus Komandan Bataliyon (Sus Danyon), Kursus

Komandan Kodim (Sus Dandim) Kursus Komanda Korem (Sus Danrem),

sedangkan yang termasuk Dikbangum adalah Sekolah Staf dan Komando

Angkatan Darat (Sesko AD), Sekolah Komando TNI (Sesko TNI) dan Kursus

Lembaga Pertahanan Nasional (Sus Lemhanas).

Pendidikan di lembaga militer seperti Akmil dan Sepa Pk yang membuat

identitas militer menjadi jati diri, sebagai contoh subjek penelitian Kolonel Amrin

ada berasal dari Akmil artinya setelah tamat SMA (Sekolah Menengah Atas)

langsung menjadi militer menempuh pendidikan selama tiga tahun, dalam logika

umum akan berbeda dengan tamatan Sepa PK yang kuliah dulu atau menjadi sipil

lebih lama, lalu masuk ke pendidikan militer selama delapan bulan sampai satu

tahun di lembaga pendidikan militer. Dalam wawancara dengan subjek penelitian

tamatan Akmil dan Sepa PK tidak terdapat perbedaan dalam memahami identitas

sebagai prajurit, seperti yang di sampaikan oleh Mayor Destrio Elvano SH dari

Sepa PK:

“Ketika kita masuk dalam pendidikan kita di “nolkan” semuanya diatur mulai dari cara makan, cara berjalan, cara berpakain, cara berbicara, cara mengatur susunan pakain di almari baju lipatan harus sekian “centi” dan letaknya pakain dalam, celana ada tempatnya masing-masing, tempat tidur harus rapi, tidak boleh ada sampah dan semuanya waktunya diatur dan harus tepat waktu, ketika ada melangar ada hukumannya baik secara individu atau kelompok, kita tidak boleh protes apapun

63

Page 64: print 25-09-2013

perintah dari pelatih harus dilaksanakan, intinya adalah kita dibentuk menjadi tentara, hasilnya bisa dilihat ketika kita hajatan contohnya pasti kita bisa membedakan mana sipil mana tentara”

Kerangka berfikir militer yang dibentuk adalah disiplin baik itu disiplin

hidup ataupun disiplin mati, seperti yang sampaikan oleh Nitisenito dalam

(2007:32) yaitu dengan adanya kedisiplinan maka dapat diharapkan semua

intruksi, saran dan sebagainya ditaati oleh mereka dengan baik, disiplin tersebut

ada yang disebut “disiplin hidup” yaitu yang dilaksanakan dengan kesadaran dan

tanggung jawab dan “disiplin mati” yaitu hanya disadarkan pada perintah-perintah

saja.

Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan dan kepatuhan, disiplin bagi

seorang anggota militer atau seorang prajurit TNI merupakan suatu keharusan dan

pola hidup yang harus dijalani. Pembentukan disiplin bagi Prajurit diawali dari

masa pendidikan dasar keprajuritan, pembinaan dan pengasuhan. Karena sifatnya

yang ‘harus’ tadi, maka perlu diberlakukan suatu peraturan dan ketentuan demi

lancarnya penegakan disiplin dalam tubuh organisasi militer.

Penegakan hukum disiplin militer bersumber kepada peraturan-peraturan

hukum disiplin prajurit. Terdapat beberapa peraturan yang berlaku ataupun sudah

berlaku dalam rangka penegakkan hukum disiplin militer. Beberapa peraturan

tersebut adalah pertama, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum

Disiplin Prajurit ABRI. Kedua, Peraturan Disiplin Prajurit TNI yang disahkan

dengan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/22/VIII/2005 Tanggal 10 Agustus

2005. Ketiga,    Peraturan pelaksanaan lainnya yaitu Peraturan Urusan Dalam

64

Page 65: print 25-09-2013

(PUD). Keempat, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara

Nasional Indonesia.  Kelima Sumpah Prajurit, keenam, Sapta Marga, ketujuh,

Delapan (8) Wajib TNI.

Mengenai pembentukan dan penaman nilai-nilai tentara khusus perwira

militer ini dalam struktur kurikulum pendidikan yang diselenggarakan yaitu

meliputi materi Semangat Juang, Pembinaan Mental dan Tauladan Keberanian,

seperti yang disampaikan oleh Letkol Suherman:

Materi-materi pelajaran mengarah pada pembentukan jiwa prajurit mulai sejarah TNI, lalu pelajaran Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Wajib TNI, dan wawasan nusantara iniah yang membentuk jiwa prajurit.

Materi-materi pembentukan dan pelajaran Sapta Marga, Sumpah Prajurit,

Wajib TNI tidak hanya dilakukan ketika dalam pendidikan tetapi diteruskan kita

bertugas sebagai prajurit, materi-materi penting karena inilah jati diri sebagai

Tentara Nasional Indonesia.

Selama dipendidikan lembaga militer internalisasi kemiliteran tertanam

dengan jelas dan terjadwal. Internalisasi militer ini sebagai realitas objektif lebih

tertanam ketika seorang prajurit khususnya perwira militer akan ditugaskan pada

suatu bidang, seperti memimpin pasukan di medan tempur atau memimpin

lembaga militer sebagai tugas teritorial karena sebelumnya dididik dengan

keahlian tertentu. Setelah mengikuti pendidikan dasar militer perwira menengah

tersebut melanjutkan keahlian khusus (Dikbangspes) seperti Mayor Dekki

Sujatmiko mengambil Infantri sebagai keahliannya setelah menempuh pendidikan

dasar, dan Letkol Suherman mengambil keahlian khusus pada pembinaan mental.

65

Page 66: print 25-09-2013

Pendidikan di lingkungan militer TNI AD tidak hanya mendapatkan keahlian

tetapi untuk kenaikan pangkat. Dari letnan dua ke Letnan Satu harus mengikuti

Sus Lapa 1, dari Letnan Satu ke Mayor harus mengikuti Sus Lapa 2, dari Mayor

ke Letkol harus mengikuti Sesko AD, dari Letkol ke Kolonel harus mengikuti

sesko TNI atau Lemhanas. Perwira adalah prajurit yang telah mendapatkan

pendidikan tertinggi dalam kemiliteran sehingga kemampuan yang dimiliki

perwira akan sesuai dengan tingkat pendidikan yang diikuti, semakin tinggi

pendidikan seseorang maka diasumsikan semakin tinggi pula pengetahuan dan

ketrampilannya, hal ini mengambarkan bahwa pendidikan berperan dalam

membimbing kearah suatu tujuan yang diinginkan.

3. Profesionalisme Militer Dalam Realitas Objektif

Dari beberapa pengertian tentang profesionalisme Perwira menengah TNI AD

di Makorem 032 Wirabraja merupakan kecakapan seseorang perwira dalam

melakukan aktivitas yang ditunjang oleh kecerdasan, ketrampilan, pengalaman,

serta kemampuan individual yang berhubungan dengan tugas yang dimiliki dan

pergunakan dalam menghadapi tugas-tugas bersifat teknis dan non teknis serta

tanggung-jawab yang tinggi terhadap profesi tentara maupun kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Secara keseluruhan pemikiran utama tentang profesionalisme TNI diwarnai

oleh pandangan yang meliputi tiga dimensi waktu yaitu massa sekarang dan masa

depan dengan pengertian bahwa masa sekarang sebagai akibat masa lalu dan

menentukan masa mendatang. Berbagai koreksi dan evaluasi tentang hasil

66

Page 67: print 25-09-2013

perubahan lingkungan akan terus berkembang seiring dengan tuntutan zaman.

Upaya pembinaan yang bersifat konseptual sebagai realitas objektif terus

dikembangkan untuk terciptanya TNI yang profesional. Nilai-nilai dasar

keprjuritan yang menjadi norma-norma dasar bagi prajurit untuk bersikap,

berucap dan bertindak sebagai prajurit TNI profesional. Seperti yang disampaikan

oleh Drs Letkol Caj Suherman M.Si sebagai realitas objektif.

“Setelah berpisahnya TNI dan Polri dan diatur oleh undang-undang nomor 34 tahun 2004 menyatakan bahwa tugas TNI atau tentara dibidang pertahanan dan Polri dibidang keamanan”Definisi tentang pertahanan bisa dilihat di undang-undang nomor 34 tahun

2004 tentang TNI, menimbang bahwa:

“Pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman militer serta ancaman bersenjata terhadap keutuhan bangsa dan negara.

TNI sebagai kekuatan utama pertahanan negara bisa dilihat pada undang-

undang nomor 34 tahun 2004 pada pertimbangan selanjutnya yaitu:

“Bahwa Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.”Selanjutnya pemahaman tentara secara jelas bisa dilihat seperti pernyataan

Drs. Mayor Inf Isnaini:

“Tentara adalah seorang yang mendaftarkan sebagai tentara dan didik, yang mendarmakan baktikan dirinya untuk bangsa dan negara secara tulus dan iklas, bukan orang sewaan atau untuk kebendaan dan tidak akan membelokkan haluan Ibu Pertiwi” Dari pengertiaan di atas pada prinsipnya tentara hanya mengabdi pada

negara bukan sewaan, sewaan disini berarti bahwa profesi tentara bukan pada

67

Page 68: print 25-09-2013

dasar jual beli atau transaksi tetapi ketulusan membela negara. Profesi sebagai

tentara berbeda dengan profesi pada umumnya seperti dokter, pengacara, atau

yang lainnya. Profesi tentara tidak bisa diperjualbelikan karena

pengabdiannya hanya untuk negara, dokter atau pengacara bisa saja memilih

untuk bekerja dengan bayaran dan tawar menawar. Internalisasi profesi

tentara terlihat dari salah satu doktrin tentara yaitu 8 wajib TNI

“Pertama, bersikap ramah tamah terhadap rakyat. Kedua, bersikap sopan santun terhadap rakyat. Ketiga, menjunjung tinggi kehormatan wanita. Keempat, menjaga kehormatan diri dimuka umum. Kelima, senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannya. Keenam, tidak sekali-kali merugikan rakyat. Ketujuh, tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat. Kedelapan, menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.43”

Dan di tambahkan oleh Mayor Destrio Elvano SH yang berdimensi

kesatuan :

“Prajurit atau tentara intinya adalah siapapun dia, ada perintah dilaksanakan dan menerima apa adanya. Ada perintah harus jalan apapun resikonya, ketika perintah maju perang walau hanya ada pisau harus tetap maju”

Tentara, prajurit atau militer adalah sebuah sistim organisasi yaitu

organisasi militer yang mempunyai pedoman yang jelas. Dalam organisasi militer

jelas perintah harus dilaksanakan tidak ada komentar atau protes, ketika penulis

sedang mewancarai subjek penelitian yang notaben adalah perwira menengah

yang memegang jabatan struktural di Korem 032 Wirabraja setiap bawahannya

disebut anak buah, kata-kata yang keluar dari anak buahnya adalah siap dan

(komandan) atau berbicara sesama tentara tetapi pangkat lebih tinggi maka hal

yang sama terjadi. Organisasi militer menganut sistim komando yaitu wewenang

43 http://www.tni.mil.id/view-25287-tni-sebagai-tentara-rakyat.html

68

Page 69: print 25-09-2013

atau kekuasaan seseorang komandan yang dilaksanakan secara sah, terhadap

anggota bahawannya di lingkungan satuan TNI karena pangkat dan jabatannya.

Komando perlu disertai kewibawaan seorang Komandan, agar anggota yang

dipimpin benar-benar ikhlas dalam melaksanakan tugas.

Pemahaman subjek penelitian tentang profesionalisme militer hampir sama

dengan pemahaman profesionalisme secara umum yaitu ahli dibidangnya. Seperti

yang disampaikan oleh Mayor Inf Isnaini:

“Profesionalisme militer adalah menunjukkan keahlian dibidang militer, ditugas dalam dan luar negeri mampu dia maka akan bagus karirnya, sekarang lebih terbuka dulu tamatan Wamil di cetak hanya untuk perwira staff dan tamatan Akmil untuk perwira komandan, mulai dari angkatan saya (1994-1995) tamatan Wamil dan Akmil dicetak untuk perwira komandan, leting saya sudah ada 13 orang jadi Danyon dan diantaranya ketika dikirim ke daerah konflik mendapatkan penghargaan sangkur perak karena mendapatkan 80 pucuk senjata, dan ada 5 jenderal perempuan tamatan Wamil”

Sedangkan menurut Kolonel Drs. Amrin mengatakan bahwa

profesionalisme militer adalah:

“Apapun jabatan, pangkat, dan tugasnya bisa melakukan dengan kualitas mahir”

Dari pernyataan diatas subjek penelitian bahwa profesionalisme adalah

kompeten dibidangnya, ketika bicara militer maka profesionalisme militer terbagi

dua, pertama profesionalisme militer untuk operasi perang adalah kemampuan

memenangkan perang, menghancurkan musuh, mengamankan dan menguasai

daerah perang, kedua profesionalisme militer selain perang adalah kemampuan

militer kewilayaan seperti, bertugas di Koramil, Kodim, Korem, Kodam dan

69

Page 70: print 25-09-2013

Mabes TNI. Disamping itu terlihat bahwa dahulunya perwira militer tamatan

Wamil hanya mengisi jabatan-jabatan staff atau kegiatan militer selain perang

yaitu staff kewilayaan di Kodim, Korem, Kodam atau kewilayaan lainnya.

Sedangkan tamatan Akmil yang dididik menjadi perwira komandan yang terjun ke

medan perang. Perubahan ini terjadi menurut informan setelah Kasad Faizal

Tanjung pergi studi banding ke Amerika, di sana perwira-perwira banyak berasal

dari tamatan universitas termasuk Collin Powel sebagai menteri pertahanan, sejak

itulah Akmil dan Wamil diberikan kesempatan yang sama.

Bagi informan yang menjadi tolak ukur profesionalisme perwira militer

adalah kemampuannya ini bisa dilihat salah satunya adanya lima Jendral wanita,

setelah penulis cek informasinya tentang 5 jenderal wanita ini memang benar

adanya dari tamatan Wamil. 3 wanita Jenderal ini ada di Angkatan Darat yaitu

berpangkat brigadir Jenderal yaitu Brigjen TNI AD Herawati, Brigjend TNI AD

Kartini dan Brigjen TNI AD Sri Parmini, satu di angkatan laut yaitu Laksamana

Pertama TNI AL  Christina Maria Rantetana, SKM, MPH dan satu di kepolisian

yaitu Brigjen Pol Basaria Panjaitan.

Dari pernyataan di atas militer militer adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan angkatan bersenjata. Militer biasanya terdiri atas para

prajurit atau serdadu. Karena lingkungan tugasnya terutama di medan perang,

militer memang dilatih dan dituntut untuk bersikap tegas dan disiplin. Dalam

kehidupan militer memang dituntut adanya hirarki yang jelas dan para atasan

70

Page 71: print 25-09-2013

harus mampu bertindak tegas dan berani karena yang dipimpin adalah pasukan

bersenjata.

4. Identitas Lembaga Militer Dalam Realitas Objektif

Di awal penelitian penulis ingin memberikan definisi yang jelas antara

definisi profesionalisme militer secara institusi dalam negara dengan perwira

militer sebagai pelaku militer profesional. Tetapi temuan penelitian membuktikan

bahwa secara nyata bahwa antara militer sebagai institusi dan perwira sebagai

pelaku militer profesional memiliki perbedaan dalam kacamata militer khususnya

perwira menengah di Korem 032 Wirabraja seperti yang disampaikan oleh Letkol

Suherman:

“Peran militer secara institusi dari waktu ke waktu tidak ada yang salah karena semua peran institusi militer ada dasar zaman soekarno, zaman soeharto , atau zaman reformasi. Jangan melihat zaman orde baru dari kaca mata reformasi. Karena TNI berperan sesuai dengan undang-undang dan peraturan. Zaman orde baru boleh berpolitik diatur oleh Tap MPR, di zaman reformasi tidak boleh berpolitik diatur UU.”

Subjek penelitian mencoba menerangkan kesalahan militer dari sudut

pandang sipil atau masyarakat umum, kesalahan militer tersebut adalah fungsi

militer diluar pertahanan. Fungsi militer diluar pertahanan dizaman pemerintahan

Soeharto dikenal dengan Dwifungsi ABRI diatur oleh undang-undang yang jelas,

ketika ada yang menyimpang adalah pribadi-pribadi karena menurut subjek

penelitian masih banyak secara personil perwira menengah dan perwira tinggi

yang tidak menyalahgunakan jabatannya di zaman Orde Baru ataupun saat

sekarang. Karena dalam pelaksanaan peran ABRI didasarkan pada beberapa

71

Page 72: print 25-09-2013

undang-undang atau ketetapan MPR yang menjadi landasan legal formal yang

berlaku. Bagi perwira menengah di Korem 032 Wirabraja lembaga militer tidak

pernah salah yang salah adalah individunya.

Pengaturan Dwifungsi ABRI dalam undang-undang sendiri baru dimulai

pada era Orde Baru, walaupun sebelumnya beberapa peraturan perundangan telah

menyinggung kedudukan ABRI sebagai golongan fungsional seperti UU No. 7

Tahun 1957 tentang Dewan Nasional, UU No. 80 Tahun 1958 tentang Dewan

Perancang Nasional, dan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Pada era Orde

Baru, undang-undang yang mengatur Dwifungsi ABRI ialah Ketetapan MPRS

Nomor XXIV/MPRS/1966, yang kemudian disusul oleh UU No. 15 Tahun 1969

tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 Tahun 1969, Ketetapan MPR No.

IV/MPR/1978, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Pertahaan Keamanan Negara, dan UU no. 2 Tahun 1988 tentang

Prajurit ABRI.

Undang-undang nomor 7 tahun 1957 tentang pembentukan Dewan

Nasional yang Pasal 3 ayat 1 mengatakan bahwa Dewan Nasional dipimpin

oleh Presiden44. Di dalam lembaran tersebut disampaikan bahwa negara dalam

keadaan darurat maka perlu dibentuk Dewan Nasional. Keadaan darurat inilah

yang menjadi senjata ampuh Soekarno dalam mengahadapi setiap persoalan dan

jalan masuk bagi militer selain fungsi pertahanan mulai terbuka salah satu adalah

44 G.A. Maengkom, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1957 tentang Dewan Nasional, (Jakarta: Kehakiman,1957) hal 10

72

Page 73: print 25-09-2013

pasal 3 ayat 4 poin c mengatakan pejabat-pejabat militer dan sipil yang dianggap

perlu45.

Sedangkan dalam UU No. 80 Tahun 1958 tentang Dewan Perancang

Nasional di pada pasal 9 para Anggota Dewan Perancang Nasional terdiri dari

orang-orang ahli yang memiliki hasrat dan semangat pembangunan dan pada pasal

9 poin disebutkan bahwa anggotanya adalah pejabat-pejabat sipil dan militer yang

ahli dalam soal-soal pembangunan46.

Undang-undang nomor 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah mengatur tentang keterlibatan ABRI di DPR dan MPR

yaitu:

“Pasal 1. Ayat 3 poin c mengatakan bahwa anggota dpr/mpr adalah Utusan Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata yang ditetapkan berdasarkan pengangkatan. sepertiga dari seluruh anggota M.P. R. dan terdiri: pada ayat1 pasal 4 poin b dikatakan bahwa Anggota tambahan M.P.R. dari golongan Karya Angkatan Bersenjata. Pasal ayat 5 mengatakan Jumlah Utusan Golongan Karya A.B.R.I. dan Golongan Karya bukan A.B.R.I. ditetapkan oleh Presiden.47”

Dari undang-undang nomor 16 tahun 1969 tersebut dilaksanakan pemilu

pada tanggal Pemilu 1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971 Pemilu ditujukan memilih

460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat

45 Ibid hal 346 G.A. Maengkom dan Hardi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 1958 Tentang Dewan Perancang Nasional (Jakarta, Lembaran Negara RI) hal 947 Alamsyah. Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, (Jakarta:Sekretaris Negara RI,1969) hal 1

73

Page 74: print 25-09-2013

sementara 100 orang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan golongan

fungsional oleh Presiden48.

Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan

Negara mengukuhkan Dwifungsi ABRI sebagai salah satu modal dasar

pembangunan nasional yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di samping

selaku kekuatan Hankam, juga merupakan kekuatan sosial49. Pada UU No. 20

tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara,

pasal 28 ayat 1 mengambarkan tentara sebagai kekuatan sosial yaitu

“Angkatan Bersenjata sebagai kekuatan sosial bertindak selaku dinamisasi dan stabilisator yang bersama-sama kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.50”

Dan ABRI mengizinkan berbisnis adalah pasal 32 ayat satu yaitu

Pengamanan sumber daya alam dan sumber daya buatan dilaksanakan dengan

konservasi dan diversifikasi serta didayagunakan bagi kepentingan pertahanan

keamanan negara51. Terakhir UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI

menegaskan dalam penjelasan pasal 6 adalah

“PrajuritAngkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam mengemban tugas di bidang pertahanan keamanan negara adalah penindak dan penyanggah awal, pengaman,pengawal serta penyelamat bangsa dan

48 Seta Basri, Sistim pemilu Indonesia, (Yogyakarta: LeutikaPrio,2011) hal 649 Adam Malik dan dkk, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : IV/MPR/1978 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, (Jakarta:MPR,1978) hal 1850 Sudharmono Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia, 1982) hal 15

51 Ibid hal 16

74

Page 75: print 25-09-2013

negara, serta sebagai kader, pelopor,pelatih rakyat guna menyiapkan kekuatan pertahanan keamanan negara dalammenghadapi setiap bentuk ancaman musuh atau lawan dari manapun datangnya.

Dalam bidang sosial politik, bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama dengan kekuatan sosial politik lainnya bertugas menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian, prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan serta mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.52”

Dan TNI sebagai kekuatan pertahanan juga diatur undang-undang yaitu

undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI khususnya Profesionalisme

militer dan perannya dalam negara seperti yang tercermin dalam UU nomor 34

tahun 2004 dan ketetapan MPR tentang pemisahan TNI dan Kepolisian yaitu:

“Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik,diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahternaannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.53 Tentara nasional Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara54.”Sejalan dengan argumentasi tersebut Kolonel Drs. Amrin yang mengatakan:

“Secara idiologi atau peran institusi militer indonesia sudah hampir sama dengan dengan yang negara-negara Eropa dan negara Australia yaitu peran militer sebagai pertahanan negara.”Menurut subjek penelitian yang bertugas beberapa kali ke luar negeri seperti

Australia bahwa militer di Indonesia lebih cinta terhadap negara dibandingkan

negara-negara Eropa dan Australia. Di negara-negara Eropa dan Australia tersebut

52 Sudharmono, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, (Jakarta:Sekretaris Negara RI, 1988) hal 2653 Bambang Kesowo. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Tentara Nasional Indonesia Pertahanan Negara dan Kepolisian Negara.(Jakarta, BP. Panca Usaha) hal 2254 Bambang Kesowo. 2005, Ketetapan MPR RI No/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Negara RI Pasal 2 ayat 1 hal 5, (Jakarta, BP. Panca Usaha) hal 5

75

Page 76: print 25-09-2013

setiap perjalanan tugas rutin atau insendentil dihitung sebagai pendapatan, seperti

kegiatan penangulangan bencana alam. Ketika TNI menjalankan tugas seperti

penangulangan bencana dipandang sebagai darmabakti kepada negara.

5.Identitas Perwira Militer sebagai Realitas Objektif

Di dalam organisasi militer terdapat berbagai sumber kekuatan kekerasan

baik berupa personel, peralatan, persenjataan, dan terdapat pembagian tugas serta

wewenang yang diatur dalam hirarkhi yang sangat ketat. Berdasarkan jenis

kemahiran dan ketrampilan, baik dalam penggunaan alat maupun persenjataan.

Hal tersebut menjadikan pekerjaan militer sangat unik. Pengelolanya pun

memerlukan kemampuan yang sangat khusus. Kemampuan itulah yang menjadi

kompetensi utama para prajurit perwira.

Secara realitas objektif perwira tersebut digambarkan sebagai berikut oleh

Mayor Isnaini:

“ Perwira adalah seorang prajurit gagah berani dalam sikap dan prilaku sesuai dengan kode etik dan sumpah perwira karena telah didik untuk berbuat yang terbaik dan contoh suri teladan dari bawahannya serta bertanggung jawab sesuai perbuatannya”Seorang perwira digambarkan sebagai orang yang bisa menyelesaikan

tugas apa saja yang diberikan dan inovatif , dan seluruh informan mengemukakan

bahwa seorang perwira militer seorang komandan, guru, hakim dan teman

seperjuangan seperti yang disampaikan oleh Letkol Suherman M.Si bahwa yang

membedakan antara perwira dengan tamtama dan sersan adalah:

“Perwira adalah orang yang mampu menjadi seorang guru, komandan, teman seperjuangan, dan seorang hakim.”

76

Page 77: print 25-09-2013

Dalam pemahaman ideal subjek penelitian perwira mampu menjadi guru

maksudnya adalah bahwa seorang perwira harus memiliki perilaku yang bisa

dicontoh dan ditiru oleh bawahannya, juga kemampuan untuk mengembangkan

bawahan secara utuh, maka hendaknya perwira menguasai berbagai hal sebagai

kompetensi dasar dalam kemiliteran ketika perwira tempur maka dia menguasai

taktik, cara menembak, cara mengunakan peralatan perang seperti radio, tank baja

dan lain sebagainya. Dalam pengertian ini jabatan perwira merupakan pekerjaan

profesi yang membidangi bidang tertentu seperti infantri atau kavaleri. Perwira

sebagai guru bermakna berperan dalam pembentukan sumberdaya manusia

militer yang pontensial dibidang militer untuk pembangunan bangsa dan negara

terutama di sekolah-sekolah militer seperti Akmil (akademi militer), Wamil,

Secaba (sekolah calon bintara), Secata (sekolah calon tamtama).

Ketika perwira berperan sebagai guru maka perwira menjadi orang kedua

setelah orang tua dalam mendidik dan memgawasi anak buah, untuk menuju cita-

cita dan tujuan hidupnya. Seorang perwira harus memiliki dedikasi yang sangat

tinggi dan profesi yang dipilihnya itu bukan pekerjaan sampingan sebab diakui

atau tidak perwiralah yang menentukan keberhasilan pengembangan kemampuan

dan karir anak buahnya.

Perwira sebagai komandan adalah seorang yang mampu memberikan

perintah dan dipatuhi oleh anak buahnya. Komandan ini menjelaskan hirarki

kekuasaan dalam militer yang mempunyai hak veto dalam penentuan kebijakan

dan tidak boleh bantah apapun itu perintahnya, anak buahnya harus

77

Page 78: print 25-09-2013

melaksanakannya. Kelompok kecil yang terdiri dari beberapa orang dinamakan

komandan regu, komandan pleton, dan komandan kompi.

Perwira sebagai teman seperjuangan adalah orang yang mampu berbaur

dengan anak buahya sehingga terjadi keakraban, seperti makan bersama anak

buah, bahu membahu dimedan pertempuran, dan di luar tugas dengan bermain

bulu tangkis dan bola kaki bersama-sama anak buah.

Perwira sebagai hakim adalah seorang perwira harus mampu menghukum

anak buahnya ketika melakukan kesalahan. Ketika anak buah melakukan

kesalahan dihukum mulai dari hukuman berbentuk fisik, mental, diturunkan

pangkatnya, tidak naik pangkat, hukuman penjara di penjara militer, sampai

pemecatan. Dalam menjelaskan hukuman fisik subjek penelitian tidak mau detil

dalam menjelaskannya tetapi dari cerita mulai dari pendidikan sampai bertugas

penulis menyimpulkan bahwa hukuman fisik berbentuk push up, scoth jump, lari

sampai pukulan atau tamparan. Hukuman mental ini berbentuk teguran sampai

makian secara lisan. Seperti kata-kata bodoh dan tolol kamu, atau dipermalukan

didepan pasukan. Hukuman berbentuk fisik dan mental dilakukan ketika

kesalahan masih bersifat kelalain atau kegagalan dalam menjalankan tugas.

Hukuman berbentuk tidak naik pangkat, turun pangkat, dipenjara di penjara

militer, dan pemecatan. Kesalahan prajurit ini adalah pelanggaran hukum seperti

beristri lagi tanpa izin istri pertama atau menikah diam-diam, narkoba, dan

penyalagunaan senjata api. Dalam hukuman penjara, ketika seorang tentara masih

dipenjara di penjara militer artinya tentara tersebut masih berstatus tentara, tetapi

ketika tentara tersebut dipenjara di penjara umum atau penjara sipil status tentara

78

Page 79: print 25-09-2013

tersebut sudah dipecat. Tujuan hukuman terhadap prajurit adalah untuk menjaga

kedisiplin, kepatuhan, keberhasilan tugas dan kesatuan korps.

Sedangkan menurut Mayor Destrio Elvano

“Yang membedakan seorang perwira pertama adalah pola pikir yang inovatif, ketika perintah datang kepada perwira maka harus dilaksanakan apapun resikonya, ada atau tidaknya anggaran harus dilaksanakan, ketika kita memerintahkan anak buah kita harus menyediakan peralatan dan perlengkapannya sehingga tugas tersebut bisa terlaksana, dan peran di luar kemiliteran kita aplikasi kepada anggota, bukan hanya memerintah.

Perwira dalam pengertian ini adalah perwira menengah yang harus

mampu menterjemahkan dan melaksanakan perintah kepada bawahannya. Ketika

perintah datang dari komandan teratas perwira menengahlah yang mengeksekusi

perintah ini membuat bisa dipahami dan menyediakan fasilitas untuk

melaksanakan perintah tersebut. Perintah teratas sebagai realitas objektif harus

mampu diterjemahkan sebagai realitas subjektif. Realitas subjektif berupa

perintah pengamanan terhadap presiden ketika melakukan kunjungan ke

Sumatera Barat. Ketika perwira melakukan tugasnya maka dia akan membekali

anak buahnya dengan fasilitas pendukung mulai dari alat transportasi, logistik,

dan kebutuhan lainnya.

6. Tanggung Jawab Perwira dan Keahlian Perwira dalam Realitas

Objektif

Pada topik tanggung jawab perwira subjek penelitian mengemukan

perbedaan terutama perwira berkarir sebagai staff atau kewilayaan dan perwira

yang lahir dari operasi perang. Bagi yang berkarir sebagai staff kewilayaan

79

Page 80: print 25-09-2013

tanggung jawab perwira adalah mengayomi aggotanya, melaksanakan tugas

dengan baik sesuai program kerja dan keahlian. Tanggung jawab merupakan

konsekuensi logis dari keahlian. Kesadaran bahwa keahlian tidak bisa diterapkan

semena-mena muncul karena adanya rasa tanggung jawab untuk memberikan

keamanan militer kepada negaranya.

Sedangkan bagi perwira yang ditempatkan di operasi perang seperti

dikatakan Mayor Dekki Sujatmiko :

“Keahlian seorang pewira militer tempur adalah pertama memilihara fisiknya tetap kuat karena naik turun gunung dan jangan sampai menjadi beban anggota dalam pertempuran, kedua intelegensi adalah bagaimana menyelesaikan permasalahan yang bersifat terencana ataupun situasional, ketiga pengetahuan adalah baik militer seperti mendapatkan data akurat tentang keberadaan musuh, keempat kepemimpinan yaitu kemampuan berbaur dengan pasukan untuk keberhasilan pertempuran. Keahlian- keahlian perwira tempur dasarnya adalah pendidikan dan berkembang oleh pengalaman. Sedangkan tanggung jawab perwira adalah menyelesaikan tugas dengan selamat sehingga seluruh anggota bertemu keluarganya”.Mayor Dekki Sujatmiko adalah perwira tamatan Wamil yang langsung

ditugaskan di wilayah operasi yaitu Aceh selama 10 tahun, pengalaman tempur

pertamanya ketika mengawal objek vital Exxon Mobil, hari pertama mengalami

tujuh kali kontak senjata, pertama kontak senjata panik dan binggung, kontak

senjata kedua mulai bisa bertindak, menurut penuturan Mayor Dekki Sujatmiko:

“Pada kontak senjata pertama saya hanya diam dan tiarap tidak tahu apa yang dilakukan. Pada kontak senjata kedua saya panggil sersan yang terbiasa kontak senjata dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), saya tanya apa yang harus dilakukan, sersan tersebut menjawab pasukan dibagi pertama untuk kontak senjata, kedua mencari posisi musuh, ketiga melebar kekanan untuk bisa menemukan musuh, keempat ada anggota yang menjaga kendaraan dan logistik”Subjek penelitian menceritakan pada kontak senjata ketiga sampai

seterusnya terbiasa karena pengalaman. Keberhasilan tugas Mayor Infantri Dekki

80

Page 81: print 25-09-2013

Sujatmiko setelah ikut pelatihan Rider (pasukan gerak cepat) di Kopassus dan

ditugaskan kembali ke Aceh. Sedangkan tanggung jawab perwira secara

kewilayaan menurut Letkol Suherman adalah

Tanggug jawab perwira keberhasilan tugas, pembinaan anggota dan personil masing sesuai program kerja masing-masing yang telah ditetapkan, seperti saya sebagai kasi pers program kerjanya adalah membantu komandan (Damrem) untuk pembinaan personil, penempatan dan lain-lain.

7. Penafsiran Perwira Menengah terhadap Undang-Undang Nomor 34

Tahun 2004 Terhadap TNI sebagai Realitas Subjetif

Dalam pemaparan sebelumnya telah diuraikan jenis-jenis realitas objektif

dunia sosial kemiliteran yang masuk ke dalam kesadaran subjek penelitian,

selanjutnya penulis memaparkan realitas subjektif yang ada dalam dunia

kemiliteran, berdasarkan pengalaman dari subjek penelitian yang diwawancarai.

Pemahaman tersebut dari proses internalisasi yang dilakukan subjek

penelitian, dari sudut pandang realitas subjektif dalam realitas sosial kemiliteran

merupakan media bagi subjek penelitian untuk melakukan eksternalisasi. Dalam

hal ini proses internalisasi dan proses eksternalisasi itu sesungguhnya terjadi

dalam kesadaran subjek penelitian secara bersamaan. Antara realitas sosial

kemiliteran dengan subjek penelitian memiliki keterkaitan dialetik, keterkaitan

dialetik tersebut terjadi disaat yang tepat.

Cooley dalam Effendi (2009:63) mengatakan bahwa hubungan dialetik

inilah disebut “looking glaas self” yang menghasilkan perasaan diri (sense of self),

unsur utama perasaan diri adalah citra diri (self image) dan harga diri (self

81

Page 82: print 25-09-2013

esteem). Perasaan diri inilah yang sangat mempengaruhi pembentukan jati diri

(self identiti). Konsep-konsep di atas ketika diturunkan dengan fokus penelitian

adalah konsep-konsep tentang profesionalisme militer bersumber dari pandangan

militer terhadap diri mereka sendiri dan penafsiran prajurit TNI itu memandang

atau membuat penilain terhadap dirinya sendiri sebagai realitas sosial.

Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI sudah membentuk TNI

kepada TNI yang profesional seperti yang disampaikan oleh subjek penelitian

Letkol Suherman M.Si

“Menurut saya undang-undang nomor 34 tahun 2004 sudah membentuk militer ke arah profesionalisme seperti kenaikan anggaran militer dan pembelian alutsista. Dan keahlian sesuai dengan satuan-satuannya”

Kenaikan anggaran militer secara keseluruhan bisa terlihat dalam postur

anggaran

82

Page 83: print 25-09-2013

Sumber Jurnal Indonesia Review Reformasi Sektor Kemananan Volume I, Agustus 2013

Disisi lain implikasi dari undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI,

adanya kejelasan wewenang tentara sehingga tidak tumpang tindih dengan

lembaga lain. Sebelum dikeluarkannya undang-undang nomor 34 tahun 2004

tumpang tindih kewenangan TNI dengan kepolisian seperti yang sampaikan oleh

Mayor Isnaini

“Setelah diterapkan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI maka wewenang TNI dan Polri menjadi jelas dan tidak tumpah tindih kewenangan, tentara mempunyai kewenangan dibidang pertahanan dan polisi mempunyai kewenangan dibidang keamanan. Dulu ketika ada maling ketangkap oleh masyarakat dilaporkan di Koramil atau polisi, tetapi kalau kejadiannya sekarang jelas masyarakat melapor ke polisi, TNI bisa turun tangan ketika masalah keamanan kalau permintaan resmi (tertulis) dari kepolisian meminta bantuan TNI”.

Hanya pada keadaan darurat saja tentara bisa mengambil fungsi polisi

dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Seperti yang disampaikan oleh Mayor

Isnaini:

“TNI bisa ikut campur karena keadaan darurat, seperti kejadian di Sumbawa ketika kantor polisi akan dibakar oleh masyarakat. Penyebabnya ada beberapa masyarakat di tahan polisi karena demontrasi keperusahaan Newmont. Diantara demontran yang ditangkap ada yang sakit. Demontran yang sakit di antar ke rumah sakit oleh polisi dan meninggal. Menurut polisi meninggalnya anggota masyarakat di rumah sakit, tetapi dokter rumah sakit mengatakan sudah meninggal ketika diantar. Masyarakat berasumsi bahwa polisi yang membunuh demontran yang ditangkap. Lalu masyarakat menyerang ke kantor Polres, polisi yang ada di Polres menembak masyarakat masyarakat. Penembakan tersebut membuat masyarakat makin marah lalu menyerbu polisi, dan akhirnya polisi terdesak. Dengan kejadian tersebut Bupati menelpon minta bantuan kepada saya (TNI). Akhirnya TNI menduduki Polres tetapi tanpa senjata hanya bermodalkan pakain lengkap dan tameng untuk mengamankan. Hal ini saya lakukan karena saya tidak ingin ketika terjadi tembak menembak antara polisi dan masyarakat nanti

83

Page 84: print 25-09-2013

tertuduh adalah TNI. Bupati berpendapat mempunyai dasar untuk memerintah TNI karena dia kepala daerah, lalu bupati menelpon Kasad dan Kapolda bahwa Bupati yang bertanggung jawab dalam meminta TNI ikut campur ketika terjadi konflik antara polisi dan masyarakat, pada kejadian tersebut ada petinggi polisi yang tersinggung karena peran kepolisian di ambil oleh tentara, tetapi akhirnya polisi berterimah kasih pada TNI AD”

Diagramnya TNI Bisa Ikut Campur Masalah Keamanan

Keadaan Darurat

BupatiMeminta Bantuan TNI

Bupati/ WalikotaBertanggug Jawab

Kasad Kapolda

TNI masih menggunakan model pembacaan internal security dan bukan

external security Ancaman yang dilihat masih didominasi ancaman internal

84

Page 85: print 25-09-2013

ketimbang ekternal, sehingga pola pengembangan cenderung berorientasi gelar

kekuatan internal. Hal ini bisa dilihat dari pengembangan postur pertahanan

negara yang di buat Dephan dengan Peraturan Menteri Pertahanan No

PER/24/M/XII/2007 dan dituangkan dalam Postur Pertahanan Negara 2008.

“Dinamika dan kecenderungan lingkungan strategis internasional, kawasan dan regional senantiasa berpengaruh terhadap perkembangan pada tataran nasional. Isu demokratisasi berindikasi menurunnya rasa kebangsaan; isu otonomi daerah berdampak negatif timbulnya egosektoral dan kedaerahan yang primordialistis. Isu sentral lainnya pemulihan krisis finansial global; Kelangkaan energi, kegiatan ragam ilegal; Masih terdapat fenomena keterbelakangan, kebodohan, ketidakadilan dan kemiskinan, berimplikasi terhadap timbulnya kesenjangan dalam berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat. Prediksi ancaman yang mungkin timbul berkaitan dengan : permasalahan perbatasan, separatis, terorisme, radikalisme, kejahatan transnasional dan konflik komunal/horizontal serta bencana alam. Tahun 2011 merupakan tahun kedua dari Rencana Strategis Pertahanan Negara (Renstra Hanneg) Tahun 2010-2014, dalam rangka melanjutkan pembangunan struktur dan postur pertahanan negara. Strategi pembangunan pertahanan militer diprioritaskan secara konsisten untuk pembangunan mewujudkan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF) sesuai sasaran strategi yang telah ditetapkan. Strategi pembangunan pertahanan militer diprioritaskan untuk pemberdayaan industri pertahanan nasional, pencegahan dan penanggulangan gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut, peningkatan rasa aman masyarakat, modernisasi deteksi dini keamanan nasional, dalam rangka pembangunan standard detterence.”55

Sedangkan menurut Mayor Dekki Sujatmiko bahwa undang-undang

nomor 34 tahun 2004 tentang TNI implikasinya adalah:

“Dulu tentara ikut-ikut memenangkan Golkar, sekarang tidak lagi, TNI tidak boleh jadi alat kekuasaan, ketika TNI menjadi alat kekuasaan pasti akan dijauhi oleh rakyat.

Undang-undang TNI nomor 34 tahun 2004 Militer kembali pada fungsi tugas

utama sebagai alat pertahanan negara, konsekuensinya militer tidak dibenarkan

55 Menteri Pertahanan,Kebijakan Perencanaan Pertahanan Negara 2011, (Jakarta:Kemhan) hal 5

85

Page 86: print 25-09-2013

menjadi alat kekuasaan politik tertentu seperti berpihaknya kepada Golkar.

Ketidakterlibatan TNI dipolitik menjadi sorotannya, karena menurut subjek

penelitian politik hanya membebani TNI karena tidak semua tentara menyukai

politik. Bagi subjek penelitian yang lama bertugas di daerah konflik kesiapan dan

kemampuan Tentara yang dibutuhkan dalam menghadapi perang yang menjadi

titik fokusnya. Militer harus netral dari politik, tidak boleh terlibat dalam politik

karena keterlibatan semacam itu akan menjauhkan mereka dari profesionalisme.

8. Kesejahteraan Pribadi Versus Kesejahteraan Lembaga sebagai Realitas Subjektif

Topik ini menarik untuk dibahas karena berdasarkan wawancara dengan

informan mereka merasakan kenaikan pendapatan ketika undang-undang nomor

34 tahun 2004 seperti yang disampaikan oleh informan Mayor Destrio Elvano:

“Dibandingkan dengan tentara dulu atau sebelum dikeluarkan undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, sekarang secara kesejahteraan lebih baik walaupun tidak mewah, di Malaysia setingkat Prada gajinya 6 juta rupiah perbulan, Mayor seperti saya sekitar 40 juta, tetapi kita bersyukur itulah kemampuan negara kita”Mayor Dekki Sujatmiko mengatakan bahwa:

“Waktu tahun 2000 gaji pokok saja masih 900.000 rupiah padahal saya perwira tempur di wilayah konflik yaitu Aceh, setelah dikeluarkan undang-undang nomor 34 tahun 2004 kesejahteraan prajurit makin membaik walaupun belum cukup, sekarang rata-rata perbulan gaji pokok ditambah tunjangan berkisar 5,6 juta per bulan dengan pangkat mayor menjabat sebagai Pasi Pers”

Dompet Prajurit TNI: Prada 1.7 juta, Kolonel 5,6 juta56

No Pangkat Masa Kerja Penghasilan rata-rata

56 M. Rizal Maslan, Dompet Prajurit TNI: Prada 1.7 juta, Kolonel 5,6 juta, (Jakarta:11) Detik

86

Page 87: print 25-09-2013

1 Prada 0 tahun 1.792.7642 Serda 0 tahun 2.000.0643 Letnan dua 0 Tahun 2.642.3644 Kopral dua 15 tahun, menikah,dua anak 2.294.0345 Sersan Mayor 15 tahun, menikah,dua anak 2.605.0266 Mayor 15 tahun, menikah,dua anak 4.001.5827 Kopral Kepala 30 tahun, menikah,dua anak 2.533.6628 Pelda 30 tahun, menikah,dua anak 2.998.7829 Kolonel 30 tahun, menikah,dua anak 5.610.654

Dalam pemberitaan media juga terungkap bahwa kenaikan pendapatan

tentara seperti yang diberitakan Vivanews.com:

“Dalam Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun 2010 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI), disebutkan tunjangan kinerja TNI terdiri atas 19 kelas jabatan. Kelas jabatan tertinggi atau 19 mendapatkan tunjangan kinerja sebesar Rp29,22 juta. Untuk kelas di bawahnya yaitu ke-18 sebesar Rp21,64 juta, kelas 17 (Rp17,47 juta), dan kelas 16 mendapat tunjangan Rp12,94 juta. Sementara itu, untuk kelas jabatan di tengah-tengah seperti kelas jabatan 9 mendapatkan tunjangan kinerja Rp2,24 juta. Dan untuk kelas jabatan terendah mendapat remunerasi Rp924 ribu untuk kelas jabatan 2. Selanjutnya, menurut Peraturan Presiden No. 73/2010 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kepolisian Negara RI mendapatkan tunjangan tertinggi sebesar Rp21,3 juta di kelas jabatan 18. Untuk kelas di bawahnya yaitu kelas 16 sebesar Rp16,21 juta, kelas 15 (Rp8,57 juta), dan kelas 14 sebesar Rp6,23 juta. Untuk kelas di tengah-tengah atau kelas 8 mendapatkan tunjangan sebesar Rp1,45 juta dan kelas paling rendah atau ke-2 mendapatkan tunjangan kinerja Rp553 ribu.”57

Dibalik kesejateraan personil membaik dijajaran TNI AD khusus

Makorem 032 Wirabraja, namun yang miris adalah keadaan Makorem sebagai

lembaga TNI AD. Ketika masuk ke lembaga tersebut dari luar memang terlihat

rapi, bersih dan catnya yang selalu baru. Tetapi ketika masuk mulai dari ruangan

ke ruangan, dari fasilitas ke fasilitas, dari peralatan dan perlengkapan diketahui

bahwa ada fakta miris di sana.

57 Vivanews.com didown load 03-04-2013

87

Page 88: print 25-09-2013

“Kendaraan operasional di atas 30 tahun, ada bencana atau musibah kita yang turun tangan duluan karena kewajiban (operasi militer selain perang).”Berdasarkan observasi penulis yaitu bagian paling belakang Makorem

tempat truk-truk tersebut dari sekilas saja memang truk-truk tersebut sudah

terlihat tua dilihat dari modelnya walaupun catnya kelihatan baru yaitu hasil cat

tangan dengan kuas. Tidak layaknya truk-truk sebagai alat tranportasi TNI

membuat personil TNI tersebut khawatir dan cemas kalau menjalankan tugas dari

Makorem 032 Wirabraja ke luar daerah seperti yang sampaikan oleh Mayor Inf

Dekki Sujatmiko

“Berpergian jarak jauh atau keluar daerah seperti contoh ke Solok khawatir dan cemas juga apalagi kalau banyak tanjakan takut los karena tenaga truknya tidak kuat lagi.”Lembaga militer sebagai lembaga negara harus difasilitasi secara layak

karena militer juga mempunyai tugas fungsi yang jelas baik sebagai operasi

militer untuk perang maupun operasi militer selain perang salah satunya adalah

alat transfortasi yaitu truk militer. Truk-truk tersebut berjumlah 14 buah truk ½ T

dan 4 truk ¾ T58, namun yang bisa jalan hanya dua buah truk. Truk 2 buah ini bisa

berjalan karena sistem kanibal yang lakukan dengan 18 truk secara keseluruhan.

Sebagai pejabat negara perwira-perwira menengah yang menjabat pada

posisi-posisi tertentu juga mendapatkan fasilitas tertentu seperti mobil dinas,

dilihat dari susunan personel dan perlengkapan mobil dinas model sedan ada

sekitar 7 buah dan Jeep sekitar 10 buah semua kendaraan dinas di parkir rapi di

dibagian belakang Makorem. Berdasarkan observasi penulis bahwa kendaraan-

kendaraan tersebut sudah tua dan kumal, mungkin karena tidak pernah dipakai

lagi, alasan kendaraan dinas ini tidak dipakai lagi adalah :

58 Syaiful Rizal, lampiran Peraturan Kasad daftar susunan personel dan perlengkapan, (2008)

88

Page 89: print 25-09-2013

“Sebagai perwira menengah yang mejabat dilingkungan TNI AD Makorem 032 Wirabraja kami diberikan mobil dinas tetapi mobil dinas bisa jalan tetapi sudah tidak layak jalan, daripada mogok di tengah perjalananan lebih baik memakai mobil sendiri.”Selama penulis melakukan penelitian disana bahwa pejabat-pejabat

Makorem yang umumnya adalah perwira menengah tidak memakai mobil dinas

tetapi mobil sendiri. Kadangkala menurut informan komandan Korem juga

memakai mobil pribadi untuk perjalanan jauh menurut Mayor Destrio:

“Mobil komandan Korem itu adalah Izuzu Phanter pengadaan 2005”

Berbagai alasan dikemukakan oleh subjek penelitian mulai dari tidak

adanya anggaran dan militer tidak lagi berbisnis. Mobil dinas komandan Korem

tersebut tidak layak lagi sebagai mobil dinas komandan Korem 032 Wirabraja

karena ketika ada tamu dari Jakarta atau lainnya, mobil tersebut tidak bisa

mengikuti rombongan karena keterbatasan kemampuan mobil tersebut.

Perwira menengah di Korem 032 Wirabraja mempunyai ruangan sendiri

karena memangku jabatan-jabatan struktural seperti komandan Korem, Kasi dan

Pasi Pers, staff khusus komandan, atau Pasi teritorial. Ketika masuk keruangan

pejabat korem ini yang kelihatan marwahnya hanya ruangan komandan korem,

sedangkan ruangan kasi-kasi terlihat sederhana, sedangkan ruangan pasi-pasinya

kurang layak sebagai ruangan pejabat setingkat provinsi. Ketidak layakan ini

bukan karena pejabat harus mewah tetapi kelayakan sebagai institusi negara.

Untuk membuat nyamannya ruangan kerja salah seorang informan mengatakan

yaitu Mayor Destrio

“Menpergunakan uang sendiri, bisa dari gaji atau keuangan pribadi komandan untuk membeli AC dan kursi tamu”

89

Page 90: print 25-09-2013

9. Karir Terbaik Militer Putra Daerah Sumatera Barat Berakhir di

Bintang 3

Dari hasil wawancara dengan subjek penelitian adalah untuk mencapai

pangkat tertinggi di TNI AD (Kasad) maka harus dimiliki adalah :

a. Kompetensi Pribadi

Untuk mencapai jabatan diTNI AD khususnya harus memiliki kemampuan

yang baik dan selalu memperbaiki kualitas pribadi. Salah satu penilaian terhadap

kualitas pribadi terlihat dari penugasan terhadap personil tentara tersebut dan

keberhasilan tugas seperti yang disampaikan oleh Mayor Inf Dekki Sujatmiko

“Karir militer yang sampai ke perwira tinggi dan mejabat dikemiliteran biasanya dilihat dari karir militernya yaitu pernah menjabat disatuan tempur (wilayah konflik), Kewilayaan, dikirim keluar negeri dan di lembaga pendidikan” Untuk mencapai pangkat kolonel dari pangkat letnan dua di TNI AD

harus menempuh beberapa kali pendidikan yaitu Suslapa 1, Suslapa 2, Seskoad,

dan Sesko TNI. Setelah itu baru mendapatkan kesempatan menjadi letnan

jenderal sampai Jenderal bintang 4 dengan menjabat pada posisi tertentu seperti

komandan Kodam, Kasad atau di Mabes TNI. Menurut Kolonel Inf Amrin bahwa

kenapa orang Minang Kabau atau Sumatera Barat belum ada yang memimpin TNI

AD (Kasad) atau mencapai Jenderal bintang 4 adalah:

“Tidak ada orang Sumatera Barat memimpin TNI dan hanya sampai bintang tiga (Brigjen) adalah masalah kualitas, saya sudah 27 tahun dinas tidak mendengar dari pimpinan pusat atau kawan-kawan di militer bahwa orang Sumatera Barat tidak bisa jadi pimpinan TNI karena dikaitkan dengan masalah asal daerah dan PRRI”

Menurut subjek penelitian kualitaslah yang menentukan karir seorang

tentara bukan pada asal daerah ataupun kejadian masa lalu. Menurutnya belum

90

Page 91: print 25-09-2013

ada kualitas orang Sumatera Barat yang mampu sampai ke jenderal bintang 4,

faktanya orang Sumatera Barat hanya sampai bintang 3 brigadir jenderal.

b. Rekomendasi Sosial Kemasyarakatan

Putra daerah Sumatera Barat belum mencapai pangkat tertinggi di militer

yaitu jenderal bintang 4 karena tidak adanya rekomendasi dari masyarakat baik

secara bersama maupun secara individu. Menurut Mayor Destrio Elvano:

“Korem di Sumatera Barat harus menjadi Kodam, karena membawahi 10 Kodim dan 2 satuan tempur dan wilayah yang luas. Karena biasanya satu Korem membawahi 4 atau 5 Kodim, dan 2 Korem layak menjadi satu Kodam. Ketika ada komandan Korem berasal dari Sumatera Barat maka dukungan dan rekomendasi dari masyarakat menjadi penting, seperti contoh Kapolri Bintang satu, Laktamal bintang satu harusnya komandan Korem bintang satu. Wilayah Laktamal lebih kecil dan anggotanya juga sedikit. Ketika ada keadaan darurat dan bencana yang bertanggung jawab adalah komandan Korem. Ketika ada desakan dari masyarakat maka komandan Korem bisa bintang satu atau menjadi Kodam, dari kami (tentara) tidak mungkin desakan itu karena kami sebagai tentara harus menerima apa adanya dan tidak boleh protes karena begitu dogmanya.”

Menurut subjek penelitian bahwa Makorem 032 Wirabraja mempunyai

wilayah kerja yang luas tetapi yaitu sepuluh Kodim dan 2 satuan tempur, menurut

subjek penelitian ini sudah layak dijadikan Kodam, sehingga akhirnya

mendapatkan fasilitas militer sesuai dengan ketentuan Kodam. Dengan adanya

putra daerah yang menjadi komandan Makorem sebenarnya adalah kesempatan

untuk meminta ke pusat (Kasad atau Pangab) oleh masyarakat dan tokoh

masyarakat menjadikan Kodam sehingga juga membantu karir putra daerah.

Kapolda (kepala kepolisian) dan Laktamal adalah jabatan yang setingkat

memiliki pimpinan perwira tinggi Letnan Jenderal atau bintang satu sedangkan

komandan Korem hanya kolonel. Seharusnya dengan wilayah yang setara pangkat

91

Page 92: print 25-09-2013

yang memimpin harusnya sama sehingga ada kesetaraan. Namun subjek

penelitian melihat bahwa masyarakat Sumatera Barat tidak mempunyai dukungan

terhadap pengusulan permasalahan Makorem menjadi Kodam ataupun dukungan

terhadap putra daerah yang berkarir di militer. Subjek penelitian tidak bisa

melakukan ini karena tentara harus patuh dan taat pada keputusan pimpinan.

Hal ini ditambahkan oleh komandan Korem yaitu Kolonel Drs Amrin

mengatakan bahwa :

“Rekomendasi dari daerah bisa membantu, masyarakat dan tokoh masyarakat kompak meminta ke pusat putra daerah menjadi pimpinan TNI”

Menurut subjek penelitian bahwa masyarakat secara organisasi

kemasyarakatan dan pribadi tidak ada mendukung sama sekali, masyarakat

Sumatera Barat atau Minangkabau bersikap tidak peduli. Ketika ada putra daerah

Sumatera Barat yang memiliki jabatan-jabatan strategis di pusat kekuasaan juga

tidak ada kepeduliannya. Seperti Gamawan Fauzi menteri Dalam Negeri juga

tidak peduli terhadap Korem 032 Wirabraja atau putra daerah yang berkarir

dibidang militer.

c. PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)

Selain masalah kompetensi pribadi dan tidak adanya rekomendadi sosial

kemasyarakatan bagi sebahagian perwira menengah di Korem 032 Wirabraja

tidak adanya orang Sumatera Barat mencapai pangkat Jendral penuh atau bintang

4 karena menurut Mayor Destrio Elvano

Dengan adanya peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), mungkin menyebabkan putra Sumatera

92

Page 93: print 25-09-2013

Barat tidak mendapatkan rekomendasi menjadi bintang 4, karena peristiwa PRRI sebuah legenda

Menurut subjek penelitian peristiwa PRRI adalah sebuah peristiwa besar

yang menguncang Indonesia yang berpusat di Sumatera Barat. Peristiwa PRRI

bagi pemerintah pusat adalah pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi di

Sumatera dan Sulawesi juga merupakan pemberontakan yang paling berbahaya,

karena mendapat dukungan dari pihak Amerika dan Inggris59. Sedangkan bagi

masyarakat Sumatera Barat PRRI untuk mencapai otonomi daerah dan tindakan

mereka sesungguhnya untuk mempengaruhi karakter Republik60 yang sentralistik.

Dengan adanya peristiwa PRRI khusus bagi putra daerah Sumatera Barat yang

berkarir bidang militer memutuskan karir mereka militer secara keseluruhan

karena umumnya perwira militer yang berasal dari Minangkabau terlibat PRRI.

Pemerintah pusat pada waktu itu mengambil kebijakan mendatangkan

pejabat dan tentara Jawa tumpah ke sini (Sumatera Barat) selama dan sesudah

pemberontakan... dengan orang Jawa menduduki hampir semua pos senior di

kantor gubernur (Gubernur orang Minang) militer dan kepolisian, orang Sumatera

Barat melihat diri mereka sebagai warga negara kelas dua61. Dan Zed dan

Chaniago dalam Kahin (2005:395) mengatakan bahwa Gubernur mencatat bahwa

tahun 1971, hanya lima belas orang dari 100 perwira militer di provinsi ini

(Sumatera Barat) dengan pangkat Mayor keatas putra daerah Sumatera Barat.

59 Lihat Audrey Kahin dan George Mc. Turnan Kahin. Subversi Politik Luar Negeri, Pen. RZ. Leirissa, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 2000), hal. 222. ; R.Z. Leirissa, PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1991), hal 217 dan 92.60 Ibid 26561 Ibid 360

93

Page 94: print 25-09-2013

BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini telah menemukan adanya realitas sosial yang khas dalam

kehidupan perwira menengah militer militer di Korem 032 Wirabraja yang bisa

disebut realitas sosial kemiliteran. Bagi individu-individu perwira menengah di

Korem 032 Wirabraja realitas sosial kemiliteran mempunyai dua makna realitas

objektif dan makna realitas objektif. Realitas objektif sebagai internalisasi yang

membatasi,menentukan, bahkan memaksa diri perwira menengah di Korem 032

Wirabraja harus berprilaku (berfikir, bersikap, dan bertindak) tertentu, yaitu pola

kelakuan seorang perwira TNI. Sedangkan makna selanjutnya adalah makna

realitas subjektif yaitu makna yang ditafsirkan sendiri oleh perwira TNI sebagai

aktor sosial. Maka dalam pemahaman ini perwira militer memiliki makna ganda

dalam menjalankan fungsi dan status sosialnya. Realitas subjektif militer

terbentuk oleh realitas objektif yang mereka terima.

Realitas objektif kemiliteran dibentuk oleh pengalaman masa anak-nak dan

remaja, perjalanan karir yang terlihat dari jenjang pendidikan militer, dan masa

94

Page 95: print 25-09-2013

tugas, jenjang pangkat, dan penugasan-penugasan. Semakin tinggi pendidikan

militer, semakin lama masa tugas, semakin tinggi pangkat, semakin banyak

penugasan-penugasan maka semakin dalam realitas objektif di dalam diri perwira

menengah tersebut.

Realitas objektif ini bisa diterangkan dalam tiga fase, pertama fase sebelum

memasuki pendidikan militer (masa anak-anak dan remaja), kedua fase

pendidikan militer, dan ketiga fase bertugas atau dinas aktif.

Realitas objektif masa anak dan remaja ini terdiri dari pengalaman yang

berhubungan dengan kegiatan militer seperti TMMD dan keinginan memperbaiki

kehidupan. Realitas objektif masa pendidikan terdiri dari Pendidikan Pertama

(Dikma) Pendidikan Pembentukan (Diktuk), Pendidikan Pengembangan

(Dikbang), Dikbang terbagi dua yaitu Dikbang Spesialisasi (Dikbangspes) dan

Umum (Dikbangum).

Realitas objektif masa tugas atau militer aktif adalah Suslapa Satu dan

Dua, Pendidikan Kursus Kecabangan seperti dilatih untuk menjadi Infantri,

Kavaleri atau lainnya. Kursus Komandan Bataliyon (Sus Danyon), Kursus

Komandan Kodim (Sus Dandim) Kursus Komanda Korem (Sus Danrem),

sedangkan yang termasuk Dikbangum adalah Sekolah Staf dan Komando

Angkatan Darat (Sesko AD), Sekolah Komando TNI (Sesko TNI) dan Kursus

Lembaga Pertahanan Nasional (Sus Lemhanas).

Pemahaman mengenai profesionalisme militer terjadi dalam sebuah

dialektika yang kompleks, antara realitas sosial objektif kemiliteran di satu sisi

dengan realitas subjektif kemiliteran di sisi lainnya. Di antara dua realitas tersebut

95

Page 96: print 25-09-2013

banyak terjadi momen-momen yang berbarengan berupa internalisasi dan

eksternalisasi. Internalisasi terjadi dalam realitas objektif kemiliteran ke arah

realitas subjektif kemiliteran. Sejalan dengan hal tersebut eksternalisasi terjadi

dari realitas subjektif kemiliteran ke arah realitas objektif kemiliteran.

Realitas objektif kemiliteran adalah penciptaan dunia sosial TNI yang

dilakukan oleh TNI sendiri. Realitas objektif TNI ini tidak hanya berhubungan

dengan masalah pertahanan sebagai domain utamaTNI tetapi juga pengetahuan di

luar pertahanan, seperti masalah politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan

disebagainya. Pengetahuan ini didapat ketika perwira TNI melalui jalur

pendidikan karir atau kenaikan pangkat.

Proses eksternalisasi merupakan proses dimana perwira menengah yang tersosialisasi tidak sempurna secara bersama-sama akan membentuk makna-makna itu. Melalui eksternalisasi inilah sifat struktur sosial menjadi terbuka secara luas. Dalam realitas objektif ini banyak hal di sekitar perwira menengah yang sebenarnya tidak langsung saja menjadi makna, tetapi harus melewati proses yang cukup panjang yang melewati proses sejarah. Maka dari proses sosialisasi dan penegakan aturan orang akan menjadi anggota dalam suatu masyarakat. Seperti pemikiran dari Emile Durkheim yang coba di jelaskan oleh Peter L. Berger bahwa ”masyarakat sebagai realitas obyektif” yang memiliki kekuatan memaksa sekaligus sebagai fakta sosial.

Menurut Berger dan Luckman (1966:1) menyatakan, realitas terbentuk

secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang digunakan untuk

menganalisa proses atau fenomena bagaimana hal itu terjadi secara nyata dan

memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan sehari-hari. Realitas

obyektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan

fenomena yang kita anggap berada di luar kemauan atau keinginan kita, karena

Peter L. Berger juga mencoba menelusuri pemikiran dari Karl Marx yang

menyatakan bahwa ”individu adalah produk masyarakat”, dan ”masyarakat adalah

96

Page 97: print 25-09-2013

produk manusia”. Perwira adalah produk masyarakat militer dan masyarakat

militer adalah produk manusia.

Perwira menengah sebagai kenyataan subjektif menyiratkan bahwa realitas

objektif ditafsiri secara subjektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah

berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk

’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya. Internalisasi berlangsung

seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder. Internalisasi

adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang

dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu atau

perwira menengah bukan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi

lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses

mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara,

sekaligus mengubah masyarakat.

Deskripsi mengenai proses dialektika yang terjadi antara realitas objektif

kemiliteran dengan realitas subjektif kemiliteran dapat di gambarkan dari dalam

skema

1 PE

2 Internalisasi MA

HA

3 Ekternalisasi MAN

97

Page 98: print 25-09-2013

Realitas Objektif Realitas Subjektif

1. Pendidikan

2. Doktrin

3. Penugasan

Tabel Interaksi Simbolik Dunia Kemiliteran di Korem 032 WirabrajaDialektika Eksternalisasi,

Objektivasi, dan Internalisasi Momen

Proses Fenomena

Internalisasi Identifikasi diri dengan dunia kemiliteran

Hasil pemahaman perwira menengah Korem 032 sebaga para elit militer yang bersumber dari Sumpah Prajurit, Sapta Marga, Delapan Wajib TNI, Kode Etik Perwira, Tridarma Ekakarma dan undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI baik secara tertulis maupun lisan. Dan menyesuaikan diri dengan simbol-simbol komando militer tentang pola kebiasaan para tentara dalam bersikap, berprilaku dan melakukan tugas.

Objektivasi Interaksi diri dengan dunia kemiliteran di Korem 032 Wirabraja

Penyadaran bahwa militer tidak sama dengan sipil. Karena itu semua elemen yang terkait dengan militer tersebut selalu dianggap keharusan. Penyadaran menjadi militer melalui pendidikan militer dan penugasan militer. Pendidikan tersebut adalah dari rekrutmen (Akmil, Sepa PK dan Secapa), dan pendidikan dalam menjalani peran sebagai Perwira militer aktif (Suslapa 1 dan 2 sampai Sesko TNI atau Sesko Lemhanas). Penugasan mulai tugas teritorial (tugas militer

98

Page 99: print 25-09-2013

selain perang) sampai penugasan di wilayah konflik (tugas militer untuk perang)

Eksternalisasi Penyesuaian diri dengan dunia kemiliteran di Korem 032 Wirabraja

Munculnya jati diri militer yang didasarkan atas pertimbangan dan perubahan peraturan perundang-undangan dan doktrin TNI, sehingga tindakan-tindakan para militer normatif melahirkan profesionalisme militer

Berdasarkan keterangan di atas profesionalisme militer merupakan salah

satu isu yang kontroversial dibandingkan isu yang ada pada umumnya dianggap

sebagai bagian dari kajian militer. Teori-teori mengenai profesionalisme militer

seperti yang ditulis oleh Samuel Huntington, Alfred Stefan, Morris Janowits, dan

lainnya berhasil mengidentifikasi beragam karakter profesionalisme militer, mulai

dari kemampuan mereka menguasai kemampuan teknis, membangun etika profesi

sampai mematuhi otoritas politik. Di Indonesia atau secara nasional

profesionalisme TNI menjadi isu yang ramai dibicarakan, kalangan militer

menafsirkan secara sempit dengan menitikberatkan pada netralitas politik atau

ketidakikutsertaan dalam politik praktis. Sedangkan profesionalisme militer tidak

muncul begitu saja melainkan hasil dari konteks sosial, kultural, dan politik yang

terjadi di dalam dan di luar militer.

Pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan negara merupakan

bagian yang tidak terlepaskan dari upaya penegakan kedaulatan dan keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Upaya pembangunan pertahanan

diarahkan untuk membangun Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang profesional

sebagai komponen utama fungsi pertahanan negara yang mampu melindungi,

99

Page 100: print 25-09-2013

memelihara, dan mempertahankan keutuhan NKRI. Pembangunan kekuatan dan

kemampuan pertahanan negara diselenggarakan secara terpadu dan bertahap

untuk mewujudkan pertahanan yang efektif, efisien, dan modern sehingga mampu

menindak dan menanggulangi ancaman yang datang dari dalam maupun luar

negeri. Nilai-nilai militer dibangun untuk menyesuaikan diri dengan

perkembangan zaman, nilai tersebut adalah nilai-nilai militer profesional

menekankan nasionalisme dan pengabdian nasional, Kemajuan dalam bidang

militer diperoleh melalui prestasi dan bukan keturunan atau unsur primodial.

Dengan kerja keras, anggota- anggota militer yang berbakat dapat maju terus lebih

cepat daripada anggotaanggota kelompok yang lain, teknologi militer yang

berkembang terus menjadi begitu amat kompleks memerlukan latihan yang lebih

luas dan mendalam, perjalanan, dan pengenalan-pengenalan nilai-nilai baru,

keefektifan dan prestise militer memerlukan penggelaran sistem persenjataan

modern. Karena dukungan mesin militer yang modern pada umumnya

memerlukan landasan industri yang kuat, perwira-perwira militer telah menjadi

pendukung utama bagi pembangunan industri atau industrialisasi.

Yang menjadi permasalahan adalah dinamika pada tingkat nasional akan

membawa cerita yang sama pada tingkatan lokal. Pemaknaan profesionalisme

militer di tingkat lokal khusus Korem 032 Wirabraja bisa untuk memahamami

jatidiri TNI dari dari TNI itu sendiri. Sehingga bisa menjadikan institusi militer

sebagai institusi untuk bina watak tentara agar demikian dapat memainkan peran

untuk transformasi jatidiri tentara yang bersifat nasional.

100

Page 101: print 25-09-2013

Sedangkan hambatan profesionalisme militer adalah masih terbatasnya

secara kuantitas maupun kualitas kemampuan peralatan pertahanan, khususnya

alat utama sistem senjata (alutsista) TNI menjadikan kemampuan pertahanan

negara belum mampu secara optimal menghadapi ancaman pertahanan dan

keamanan yang dapat mengganggu kedaulatan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Kurang memadainya kondisi dan jumlah alutsista, sarana dan

prasarana, serta masih rendahnya tingkat kesejateraan anggota TNI merupakan

permasalahan yang selalu dihadapi dalam upaya meningkatkan profesionalisme

TNI.

Upaya-upaya menterjemahkan profesionalisme militer sesuai dengan

undang-undang dan peraturan yang menuntut untuk patuh dan taat pada undang-

undang dan peraturan yang ada. TNI telah melakukan dalam rangka meningkatkan

profesionalisme. Namun profesionalisme militer yang dikembangkan TNI bukan

diarahkan pada profesionalisme seperti yang kemukakan oleh Huntington.

Profesionalisme menurut Huntington bercirikan keahlian yaitu tingkat

ketrampilan dan pengetahuan militer yang tinggi; korporasi yang ditandai dengan

keterikatan kelompok; solidaritas korp yang kuat; serta tanggung jawab yang

mendalam dalam profesi, yang akhirnya menjadi karakter militer. Profesionalisme

militer yang dikembangkan adalah pendalaman dan penyesuain terhadap

perkembangan politik yang bisa dibuktikan dari berbagai pandangan yang

berkembang baik secara institusi maupun secara pribadi. Keengganan TNI untuk

secara total keluar dari peran sosial politik juga bisa dilihat dari upaya untuk tetap

mempertahankan keberadaan komando teritorial, padahal komando teritorial ini

101

Page 102: print 25-09-2013

merupakan jembatan penghubung tentara dengan persoalan di luar bidang

kemiliteran. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa profesionalisme

tentara yang dikembangkan bukan profesionalisme sebagaimana tentara berbuat,

namun lebih merupakan pendalaman terhadap peran-peran yang sudah dijalankan

sebelumnya denga menyesuaikan pada situasi dan kondisi.

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penilitian yang diperoleh dari lapangan dan berdasarkan

telaah dari berbagai sumber yang telah dituangkan dalam pembahasan sebelumnya

maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemahaman manajemen kepemimpinan tentara di Korem 032 Wirabraja

bukan hanya manajemen dalam mengelola kekerasan semata atau

manajemen perang (operasi militer perang) tetapi juga terdapat

manajemen militer selain perang (operasi militer selain perang). Implikasi

dari pemahaman tersebut, maka tugas-tugas operasi militer selain perang

(teritorial) adalah memiliki derajat yang hampir sama dengan operasi

militer untuk perang. Sehingga pemahamman profesionalisme militer yang

ditawarkan oleh Samuel Huntington tidaklah sama dengan pemahanan

profesionalisme militer dalam realitas Korem 032 Wirabraja.

2. Profesionalisme militer di Indonesia umumnya dan Korem 032 Wirabraja

adalah profesionalisme setengah hati, baik dari pemerintah terhadap

102

Page 103: print 25-09-2013

militer maupun militer itu sendiri. Setengah hati profesionalisme militer

dari pemerintah, pemerintah tidak menyiapkan militer secara penuh untuk

perang mulai kemampuan personil, teknologi dan peralatan militer dan

masih dibebani dengan dengan kegiatan selain perang yang kadang kala

tidak hubungan dengan profesionalisme militer seperti Singkarak Go

Green. Dari militer sendiri profesionalisme militer setengah hati adalah

tugas kewilayaan atau teritorial masih menjadi domain utama militer.

Militer tidak mau menghapus peran teritorial, Penghapusan peran teritorial

akan membuat militer memfokuskan diri sebagai lembaga pertahanan

negara untuk perang.

Saran

1. Profesionalisme militer Indonesia pada umumnya dan Korem 032

Wirabraja tidak hanya pada tatanan konsep dan aturan tetapi pada tatanan

realitas, mulai dari perencanaan matang dan berakhir dengan pengangaran

yang sesuai dengan perencanaan yang berpedoman kebutuhan militer,

karena hari ini anggaran militer jauh dari kebutuhan militer, kemenangan

perang tidak lagi ditentukan oleh jumlah dan kualitas personil tetapi

kualitas personil, peralatan dan teknologi militer yang unggul. Kebutuhan

militer di Indonesia berdasarkan kebutuhan daerah operasi militer, pada

perang modern yang menjadi salah satu kunci kemenangan perang adalah

adaptasi dan fleksibelitas baik secara tekonologi militer ataupun dalam

strategi perang.

103

Page 104: print 25-09-2013

2. Lembaga militer Korem 032 Wirabraja harus diperbaiki baik secara

fasilitas lembaga ataupun secara teknologi militer yang teruji, terencana

dan menyesuaikan dengan perkembangan militer dunia. .

DAFTAR PUSTAKAAmos Perlmutter, 1985, Militer dan Politik, Jakarta, Rajawali PersAndi Widjajanto, 2005, Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia, Jakarta. Anonim. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Tentara Nasional

Indonesia Pertahanan Negara dan Kepolisian Negara.Jakarta BP. Panca Usaha

Anonim, Rabu, 30 Mei 2012, Kasus Pemukulan Wartawan, DPR Panggil

Panglima TNI, Jakarta, Vivanews

Asren Nasution, 2003, Religiositas TNI Refleksi Pemikiran Jenderal Besar Soedirman. Jakarta. Prenada Media

Bacharuddin Jusuf Habibie, 2006, Detik-Detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta. THC Mandiri

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Jakarta, Bumi Aksara

Connie Rahakundini Bakrie, 2007, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia

Dewi Fortuna Anwar. 2004. Hubungan Sipil Militer Era Megawati. Jakarta. LIPI Danang Widoyoko dkk.Bisnis Militer Mencari Legitimasi, Jakarta, Indonesia

Corruption WatchE. Kristi Poerwandari, 2005 Pendekatan Kualitatif Penelitian Perilaku Manusia,

Perfecta LPSP3 Fakultas Psikologi UI, Jakarta, 2005Geger Riyanto.2011. Rezim Kasak-kusuk Para Jendral.Jakarta. Kompas.com 5

Juli 2011Gabriel Amin Silalahi, 2003, Metode Penelitian dan Study Kasus, Sidoarjo, CV,

Citra MediaHuntington P. Samuel.2003. Prajurit dan Negara Teori dan Teori Hubungan

Militer-Sipil. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana Indonesia.Hamdani Nawawi, 1996, Pengantar Metodologi Riset, Jakarta, Raja Grafindo

104

Page 105: print 25-09-2013

Persada

HT, 25 Sep 2012, Beberapa Kalangan Masyarakat di Sumbar Masih Menunggu

Mengenai Penuntasan Kasus BBM di Sumbar, Jakarta, Vivanews

Ibrahim Dt, Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minang Kabau Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang, Bukittingi, Kristal Multimedia

Idrus Hakimy, Dt, Rajo Pengulu, 1991, Rangkain Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Bandung, PT Remaja Rosdakarya

Ingo Wandelt, May 2009,Kamus Keamanan Komprehensif Indonesia: Akronim

dan Singkatan, Jakarta, Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia

Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid 2. Jakarta: Gramedia.

Jaleswari Pramodhawardani dan Mufti Makaarim, 2009, Reformasi Tentara Nasional Indonesia, Jakarta, IDSPS dan DCAF

Kusnanto Anggoro, 2008, Pengantar Profesonalisme Militer, Profesinalisasi TNI Malang, UMM Press

Leo Suryadinata . 1992. Golkar dan Militer Studi Tentang Budaya Politik. Jakarta LP3S

Lexi J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif (cet. XXI, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2005)

Lexi J. Moleong, 1992, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya

LKP2M, 2005, Researc Book For LKP2M, Malang, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang

Mansyur Alkatiri dkk. 1999, ABRI Masih Mendapat Kursi Besar di DPR Demi Kepentingan Para Elite ABRI Semata. Jakarta UMMAT No.30.IV/8 Februari

Marsekal TNI Djoko Suyanto. 2007, Menuju TNI Profesional Dan Dedikatif, Jakarta, Pusat Penerangan TNI

Masri Singarimbun dan Sofian Effendy, 2000, Metode Penelitian Survai, Jakarta, Pustaka LP3S

Mathew B. Miles & A. Michael Huberman. 1992, Analisa Data Kualitatif. Jakarta, Universitas Indonesia

Moch. Insan Pratama, 2010, Skripsi: Dinamika Internal Kabinet Sjarir Masa Revolusi Indonesia 1945-1947, Depok, Universitas Indonesia

Munadjir Effendi, 2008, Profesionalisme Militer : Profesionalisasi TNI, Malang, UMM Press

_____________, 2009, Studi Fenomologi: Jati Diri dan Profesi TNI, Malang, UMM Press

Mestika Zed.2005. Giyugun Cikal-bakal Tentara Nasional di Indonesia. Jakarta. Pustaka LP3ES

105

Page 106: print 25-09-2013

Muhadjir Nung, 1993, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya

Moch. Insan Pratama, 2010, Skripsi: Dinamika Internal Kabinet Sjarir Masa Revolusi Indonesia 1945-1947, Depok, Universitas Indonesia

Nana Sudjana dan Ahwal Kusumah, 2000, Proposal Penelitian di Perguruan tinggi, Bandung, Sinar Baru Algasindo

Nasirul Makhasin, 2002, Tesis, Implikasi Reposisi TNI Terhadap Pengembangan Karier Perwira Menengah Pada Komando Teritorial, Semarang, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro

Noeng Muhadjir, 2002, Metolodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin

Reid J.S Anthony. 1996. Revolusi Nasional Indonesi, Jakarta, Penebar SwadayaRitzer & Goodman. 2010. Teori sosiologi dari Teori sosiologi Klasik Sampai

Perkembangan Mutakhir teori Sosial Postmodern. Cetakan kelima. Jakarta.: Kreasi Wacana Offset

Salim Said, 2006, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, Jakarta,Pustaka Sinar Harapan

Soebijono. 1997. DWIFUNGSI ABRI Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia.Gajah Mada University Press.

Sanafiah, Faisal, 1990, Penelitian Kualitatif:Dasar-Dasar dan Aplikasi”.MalangYA3 IKIP Malang

Saifullah, 2006, Metodologi Penelitian , Malang, Fakultas Syari’ahS. Nasution, 1982, Metode Researh Penelitian Ilmiah, Bandung, Jemmers Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, Jakarta,

Rineke CiptaSoerjono Soekamto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas

Indonesia PressSuwardi Endaswara, 2006, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan:

Idiologi, Epistimologi, dan Aplikasi, Sleman, Pustaka WidyatamaSoejono dan Abdurrohnian, 1997, Metode Penelitian: Suatu Pemikiran dan

Penerapan, Jakarta: PT Rieneka CiptaTim KontraS. 2003. Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan

Kontras Paska Perubahan Rezim 1998. Jakarta, KontraS_________. 2008, Keberhasilan Reformasi TNI Terbebani Paradigma Orde Baru

(1998- 2008), Jakarta, KontraSPerlmuter, Armos. 1985. Militer dan Politik, Jakarta, Rajawali PersPoloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Komtemporer.. Jakarta: PT. RajaGrafindo

PersadaPeter Britton . 1996. Profesionalisme Militer Indonesia persfektif tradisi-tradisi

Jawa dan Barat.Jakarta. LP3SPanglima TNI Djoko Santoso,2010, Doktrin Tentara Nasional Indonesia

Tridarma Ekakarma (TRIDEK), Jakarta, Markas Besar TNIVeeger, K.J. 1985. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial dan Hubungan

Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia.

106

Page 107: print 25-09-2013

Yuddy Chrisnandi, 2005, Reformasi TNI Persfektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, Jakarta, LP3s

107