Primary Survey

36
I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. x Umur : 64 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Suku/bangsa : Jawa / Indonesia Alamat : Wonodri\ II.PRIMARY SURVEY 1. Airway : a. Obstruksi jalan nafas: (-) b. Patensi cervical : paten 2. Breathing: a. Look i. Gerakan napas : (+), simetris ii. Frekuansi nafas : 22 x/ menit iii. Nafas cuping hidung : (-) iv. Retraksi suprasternal : (-) v. Retraksi intercostals : (-) vi. Retraksi subcostal : (-) b. Listen i. Suara nafas tambahan : stridor (-), gargling (-), snorling (-) c. Feel i. Hembusan nafas : (+) 3. Circulation

Transcript of Primary Survey

Page 1: Primary Survey

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. x

Umur : 64 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Suku/bangsa : Jawa / Indonesia

Alamat : Wonodri\

II. PRIMARY SURVEY

1. Airway :

a. Obstruksi jalan nafas : (-)

b. Patensi cervical : paten

2. Breathing :

a. Look

i. Gerakan napas : (+), simetris

ii. Frekuansi nafas : 22 x/ menit

iii. Nafas cuping hidung : (-)

iv. Retraksi suprasternal : (-)

v. Retraksi intercostals : (-)

vi. Retraksi subcostal : (-)

b. Listen

i. Suara nafas tambahan : stridor (-), gargling (-), snorling (-)

c. Feel

i. Hembusan nafas : (+)

3. Circulation

a. Nadi : 92 x/menit, isi dan tegangan cukup

b. TD : 130/ 80 mmHg

c. Perdarahan : external (-), internal (-)

4. Disability

a. Kesadaran : compos mentis, GCS 15

b. Pupil : Ø 3mm, bulat, sentral, isokor, reflek direct (+/+),

reflek indirect (+/+)

Page 2: Primary Survey

5. Exposure

Kelainan terdapat pada region femoris sinistra, dan tidak ada kelainan di

anggota badan lain

III.SECONDARY SURVEY

A. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan 6 Mei 2013 jam 08.00 di UGD RSUD Tugurejo

secara autoanamesis.

1. Keluhan Utama : Nyeri pada paha kiri

2. Riwayat Penyakit Sekarang

± 2 jam yang lalu pasien mengeluh nyeri pada paha sebelah kiri.

Keluhan disebabkan tertabrak dan tertindih pemain bola. Posisi pasien

saat jatuh, badan terlebih dahulu dan pasien jatuh diatas rerumputan.

Nyeri dirasakan terus menerus dan keluhan bertambah saat dibuat jalan

dan bergerak. Keluhan dirasakan berkurang saat dibuat tiduran.

Benturan kepala (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), panas (-) dan

gringgingen (-). Selain itu terdapat memar (+) pada kaki yang sakit.

Pasien belum mendapatkan penanganan, langsung dibawa ke RS.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat trauma kepala : disangkal.

Riwayat makan minum sebelum kejadian : disangkal

Riwayat darah tinggi : disangkal

Riwayat kencing manis : disangkal

Riwayat asam urat : disangkal

Allergy : disangkal

Medication : disangkal

Pain last : disangkal

Environment : diatas rerumputan

Page 3: Primary Survey

4. Riwayat Penyakit keluarga

Riwayat trauma kepala : disangkal.

Riwayat makan minum sebelum kejadian : disangkal

Riwayat darah tinggi : disangkal

Riwayat kencing manis : disangkal

Riwayat asam urat : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi

Biaya pengobatan ditanggung ASKES

Pasien tinggal bersama 1 istri dan 3 orang anak tetapi sudah mandiri.

B. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal tanggal 6 Mei 2013 Jam 08.00 WIB

1. Keadaan umum : tampak kesakitan

2. Kesadaran : compos mentis

3. Vital sign

a. Tekanan darah : 120/80 mmHg

b. Nadi : 92 x/menit isi dan tegangan cukup

c. Respiratory rate : 20 x/menit

d. Suhu : 36,8˚C aksila

6. Status gizi

a. Berat badan : t.d.l

b. Tinggi badan : t.d.l

c. BMI : t.d.l

d. Kesan : Normal

7. Status interna

Kepala : mesocepal

Mata : konjungtiva anemis (-/-), pupil bulat, central, reguler, 3

mm dan isokor

Hidung : napas cuping (-), deformitas (-), secret (-),darah (-)

Teling : serumen (-/-), rinorea (-)

Page 4: Primary Survey

Mulut : sianosis (-), laserasi (-), darah (-), hematom (-)

Leher : tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-), deviasi trakea (-)

Thoraks

Pulmo

Paru depan Paru belakang

Inspeksi

Statis

Dinamis

Normochest, simetris,

kelainan kulit (-/-), sudut

arcus costa dalam batas

normal, ICS dalam batas

normal

Pengembangan pernafasan

paru Normal

Normochest, simetris,

kelainan kulit (-/-)

Pengembangan pernapasan

paru normal

Palpasi Simetris (N/N), Nyeri tekan

(-/-), ICS dalam batas normal,

taktil fremitus dalam batas

normal

Simetris (N/N), Nyeri

tekan (-/-), ICS dalam

batas normal, taktil

fremitus dalam batas

normal

Perkusi

Kanan

Kiri

Sonor seluruh lapang paru

Sonor seluruh lapang paru.

Sonor seluruh lapang paru

Sonor seluruh lapang paru.

Auskultasi Suara dasar vesicular, Ronki

(-/-), Wheezing (-/-)

Suara dasar vesicular, Ronki

(-/-) Wheezing (-/-)

Cor

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS IV 1-2 cm ke arah medial

midclavikula sinistra, thrill (-), pulsus epigastrium (-), pulsus

parasternal (-), sternal lift(-)

Perkusi :

Batas atas jantung : ICS II linea parasternal sinistra

Page 5: Primary Survey

Batas pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinsitra

Batas kanan bawah jantung : ICS V linea sternalis dextra

Batas kiri bawah jantung : ICS IV 1-2 cm ke arah medial

midclavikula sinistra

Konfigurasi jantung (dalam batas normal)

Auskultasi : regular

Suara jantung murni: SI,SII (normal) reguler.

Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-) SIII (-), SIV (-)

Abdomen

Inspeksi : Permukaan datar, warna sama seperti kulit di

sekitar,

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, Pekak sisi (-),

pekak alih (-), nyeri ketok ginjal (-/-)

Palpasi : Nyeri tekan seluruh lapang perut (-), Tidak teraba

pembesaran hepar, Lien dan ginjal tidak teraba

Ekstremitas

Atas : luka (-/-), kesemutan (-/-), bergetar (-/-), ujung jari

terasa dingin (-/-), bengkak (-/-), lemah (-/-)

Bawah : luka (-/-), kesemutan (-/-), bergetar (-/-), ujung jari

terasa dingin (-/-), bengkak (-/+), lemah (-/-)

8. Status Lokalis

Regio femoralis

Penilaian Dekstra Sinistra

Look Warna Seperti kulit

sekitar

Merah kebiruan

Pembengkakan (-) (+)

Deformitas

Deskrepansi

Angulasi

(-)

(-)

Pemendekan (+)

(+) ke lateral

Page 6: Primary Survey

Rotasi (-) (+) eksorotasi

Perdarahan (-) (-)

Listen Nyeri tekan (-) (+)

Pembengkakan (-) (+)

Fungsi sensorik (+) (+)

Akral dingin (-) (-)

Pulsasi

a. poplitea

a. tibialis

posterior

(+)

(+)

(+)

(+)

Ukuran

panjang

Panjang klinis 47,5 cm 42 cm

Panjang anatomis 40 cm 34,5 cm

Diameter 12,5 cm 16 cm

Segitiga briyant Segitiga sama

kaki

Segitiga sama kaki

IV. RESUME

± 2 jam yang lalu pasien mengeluh nyeri pada regio femoris sinistra. Posisi

pasien saat jatuh, badan terlebih dahulu dan tertidih dibagian kiri. Pasien jatuh

diatas rerumputan. Nyeri dirasakan terus menerus dan keluhan bertambah

saat dibuat jalan dan bergerak. Keluhan dirasakan berkurang saat dibuat

tiduran. Benturan kepala (-), Pusing (-), nausea (-), fomitus (-), febris (-),

perdarahan (-) dan parastesi (-). Selain itu terdapat hematom (+) pada bagian

yang sakit.

Pada pemeriksaan fisik lokalis region femoris sinistra, hematom (+),

deformitas pemendekan (+), varus (+), eksorotasi (+), nyeri tekan (+). Os.

Femur dekstra panjang klinis 47,5 cm dan panjang anatomis 40 cm dengan

diameter 16 cm. Os. Femur sinistra panjang klinis 42 cm dan panjang

anatomis 34,5 cm dengan diameter 12,5 cm.

Page 7: Primary Survey

V. DAFTAR ABNORMALITAS

Anamnesis

1. Nyeri pada region femoris

sinistra

2. Trauma tertambah dan

tertindih

3. Hematom region femoris

sinistra

Pemeriksaan Status Lokalis

Regio femoris sinistra

4. Look: hematom (+), deformitas

pemendekan (+), varus (+),

eksorotasi (+), nyeri tekan (+).

5. Feel: nyeri tekan (+), bengkak (+)

6. Move: nyeri sumbu (+), ROM

terbatas pada endorotasi, eksorotasi

dan adduksi

7. Panjang klinis 42 cm dan panjang

anatomis 34,5 cm dengan diameter

12,5 cm.

VI. PROBLEM

1. Fraktur regio femoris sinistra tertutup uncomplicated : 1,2,3,4,5,6,7

VII. DIAGNOSIS

1. Fraktur regio femoris sinistra tertutup uncomplicated

VIII. INITIAL PLAN

Fraktur Regio Femoris Sinistra Tertutup Uncomplicated

1. Ip. Diagnosis

a. Subjektif : -

b. Objektif : foto x-ray

2. Ip. Terapi

a. Pemasangan bidai pada regio os femur sinistra dari articulatio

coxae sampai articulatio genue

b. IV line RL 20 tetes per menit

c. Ketorolac

d. Ranitidine

Page 8: Primary Survey

e. Asam tranexamat

f. Rujuk spesialis Orthopedi untuk penanganan lebih lanjut

3. Ip. Monitoring

a. Monitoring kesadaran dan tanda vital

b. Monitoring reaksi dan efek obat

c. Monitoring komplikasi

4. Ip. Edukasi

a. Menjelaskan jenis penyakit, penyebab penyakit dan komplikasi

b. Menjelaskan perlunya rujukan ke dokter bedah orthopedi untuk

penanganan fraktur femur lebih lanjut

c. Mengurangi aktivitas terutama bagian cedera

d. Perbaikan fungsi

IX. PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau

tulang rawan bisa komplet atau inkomplet atau diskontinuitas tulang yang

disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang. Fraktur adalah

terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma,

beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis,

yang menyebabkan fraktur yang patologis.

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis

sebagai daerah pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan

menghilang pada dewasa, sehingga epifisis dan metafisis ini akan

menyatu pada saat itulah pertumbuhan memanjang tulang akan berhenti.

Tulang panjang terdiri dari : epifisis, metafisis dan diafisis. Epifisis

merupakan bagian paling atas dari tulang panjang, metafisis merupakan

bagian yang lebih lebar dari ujung tulang panjang, yang berdekatan

dengan diskus epifisialis, sedangkan diafisis merupakan bagian tulang

panjang yang di bentuk dari pusat osifikasi primer.

Page 9: Primary Survey

Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum,

yang mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam

proses pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang

panjang mempunyai arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari pembuluh

darah inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses

penyembuhan suatu tulang yang patah.

C. KLASIFIKASI

Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan

dunia luar dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka.

Fraktur tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi

apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka. Patah

tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat

ringannya luka dan berta ringannya patah tulang.

Derajat Luka Fraktur

I Laserasi <2 cm Sederhana, dislokasi fragmen

minimal

II Laserasi >2 cm, kontusi otot

disekitarnya

Dislokasi fragmen jelas

III Luka lebar, rusak hebat,

atau hilangnya jaringan di

sekitarnya

Kominutif, segmental,

fragmen tulang ada yang

hilang

Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson ( 1976 )

Tip

e

Batasan

I Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm

II Panjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat

III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental

terbuka, trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi,

fraktur terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskuler dan

fraktur yang  lebih dari 8 jam setelah kejadian.

Page 10: Primary Survey

Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson,

1976) oleh Gustillo, Mendoza dan Williams (1984):

Tipe Batasan

IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan

jaringan lunak yang luas

IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi  berat, periosteal

striping atau terjadi bone expose

IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat

tingkat kerusakan jaringan lunak.

Klasifikasi salter haris untuk patah tulang yang mengenai lempeng epifisis

distal tibia dibagi menjadi lima tipe :

1. Tipe 1 : Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi

periosteumnya masih utuh.

2. Tipe 2 : Periost robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis

lepas sama sekali dari metafisis.

3. Tipe 3 : Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi

4. Tipe 4 : Terdapat fragmen patah tulang yang garis patahnya tegak

lurus cakram epifisis

5. Tipe 5 : Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang

menyebabkan kematian dari sebagian cakram tersebut.

Page 11: Primary Survey

Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya

Fraktur Simple    :  fraktur tertutup

Fraktur Terbuka  :  bone expose

Fraktur Komplikasi  : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ sekitar

Menurut Mansjoer (2000 : 346-347) dan menurut Appley Solomon (1995 :

238-239) fraktur diklasifikasikan menjadi :

1. Berdasarkan garis patah tulang

a. Greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi

lainnya bengkok.

b. Transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang.

c. Spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.

d. Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut

melintasi tulang

2. Berdasarkan bentuk patah tulang

a. Complete, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong

seluruh tulang dan fragmen tulang biasanya tergeser.

b. Incomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi

tulang.

c. Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke

arah permukaan tulang lain.

d. Avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligamen.

Page 12: Primary Survey

e. Communited (Segmental), fraktur dimana tulang terpecah

menjadi beberapa bagian.

f. Simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.

g. Fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang

patah berjauhan dari tempat yang patah.

h. Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada

tempatnya yang normal.

i. Fraktur Complikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan

tulang terlihat.

D. ETIOLOGI

Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana

trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang.  2 faktor

mempengaruhi terjadinya fraktur

1. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai

tulang, arah dan kekuatan trauma.

2. Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma,

kelenturan, kekuatan, dan densitas tulang.

Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur

transversal dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras

Page 13: Primary Survey

disertai dengan penghimpitan tulang akan  mengakibatkan garis fraktur

kominutif diikuti dengan kerusakan jaringan lunak yang lebih luas.

Trauma tidak langsung mengakibatkan  fraktur terletak jauh dari titik

trauma dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada

olahragawan, penari dan tentara  dapat pula terjadi fraktur pada tibia,

fibula atau  metatarsal yang disebabkan oleh karena trauma yang berulang.

Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti. tumor atau pada

penyakit Paget dengan energi  yang minimal saja akan mengakibatkan

fraktur. Sedang pada orang normal hal tersebut belum tentu menimbulkan 

fraktur.

E. PATOFISIOLOGI FRAKTUR

Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan seseorang

mempunyai keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan berat badan.

Fraktur yang terjadi dapat berupa fraktur tertutup ataupun fraktur terbuka.

Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak disekitarnya

sedangkan fraktur terbuka biasanya disertai kerusakan jarigan lunak seperti

otot, tendon, ligamen, dan pembuluh darah.

Tekanan yang kuat atau berlebihan dapat mengakibatkan fraktur terbuka

karena dapat menyebabkan fragmen tulang keluar menembus kulit

sehingga akan menjadikan luka terbuka dan akan menyebabkan

peradangan dan memungkinkan untuk terjadinya infeksi.

Keluarnya darah dari luka terbuka dapat mempercepat pertumbuhan

bakteri. Tertariknya segmen tulang disebabkan karena adanya kejang otot

pada daerah fraktur menyebabkan disposisi pada tulang, sebab tulang

berada pada posisi yang kaku.

F. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Blach (1989) manifestasi klinik fraktur adalah :

1. Nyeri

Nyeri kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai

fragmen tulang tidak bisa digerakkan.

2. Gangguan fungsi

Page 14: Primary Survey

Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan

cenderung menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak

berfungsi secara teratur karena fungsi normal otot tergantung pada

integritas tulang yang mana tulang tersebut saling berdekatan.

3. Deformitas/kelainan bentuk

Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang

yang diketahui ketika dibandingkan dengan daerah yang tidak luka.

4. Pemendekan

Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada

ekstremitas yang disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di

atas dan di bawah lokasi fraktur.

5. Krepitasi

Suara derik tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur

digerakkan.

6. Bengkak dan perubahan warna

Hal ini disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti

fraktur.

G. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium :  darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah,

cross-test, dan urinalisa.

Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari :

I. 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral

II. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur

III. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang

cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali,

yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.

Pergeseran fragmen Tulang ada 4  :

1. Alignment  : perubahan arah axis longitudinal, bisa membentuk sudut

2. Panjang   : dapat terjadi pemendekan (shortening)

3. Aposisi    : hububgan ujung fragmen satu dengan lainnya

Page 15: Primary Survey

4. Rotasi     : terjadi perputaran terhadap fragmen proksimal

H. DIAGNOSIS

Riwayat

Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi

kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut.

riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi,

pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan

riwayat osteoporosis serta penyakit lain.

Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi / Look

Deformitas :  angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan,  bengkak

Pada fraktur terbuka : klasifikasi Gustilo

b. Palpasi / Feel  ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi)

Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa.

Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut,

meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang

mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi

Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri,

warna kulit, pengembalian cairan kapler (Capillary refill test) sensasi

c. Gerakan / Moving

Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang

berdekatan dengan lokasi fraktur.

d. Pemeriksaan trauma di tempat lain  : kepala, toraks, abdomen, pelvis

Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal

dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai

airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra

dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan

pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka dilakukan

secondary survey.

I. PENATALAKSANAAN

Page 16: Primary Survey

Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu recognition berupa

diagnosis dan penilaian fraktur, reduction, retention dengan imobilisasi,

dan rehabilitation yaitu mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal

mungkin

Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur

dengan splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus

diperiksa baik sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada

pasien dengan multiple trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal

fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan

penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau

dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.

Tujuan pengobatan fraktur :

a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi.

Tehnik reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi

tertutup dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan

skeletal. Cara lain yaitu dengan reposisi terbuka yang dilakukan

padapasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup, fragmen

bergeser, mobilisasi dini, fraktur multiple, dan fraktur patologis.

b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi

fragmen post reposisi sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu

pada pemendekan (shortening), fraktur unstabel serta kerusakan hebat

pada kulit dan jaringan  sekitar

Jenis Fiksasi :

Ekternal / OREF (Open Reduction External Fixation)

1. Gips ( plester cast)

2. Traksi

Jenis traksi :

1. Traksi Gravitasi :  U- Slab pada fraktur humerus

2. Skin traksi

Page 17: Primary Survey

Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen

akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila

kelebihan kulit akan lepas

3. Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.

Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi

koksea, femur, lutut),  pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris).

Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan traksi

yaitu gangguan sirkulasi darah  pada beban > 12 kg, trauma saraf

peroneus (kruris) , sindroma kompartemen, infeksi tempat

masuknya pin

Indikasi OREF  :

a. Fraktur terbuka derajat III

b. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas

c. fraktur dengan gangguan neurovaskuler

d. Fraktur Kominutif

e. Fraktur Pelvis

f. Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF

g. Non Union

Page 18: Primary Survey

h. Trauma multiple

Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail.

Keuntungan cara ini adalah reposisi anatomis dan mobilisasi dini

tanpa fiksasi luar.

Indikasi ORIF :

a. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis

tinggi, misalnya fraktur talus dan fraktur collum femur.

b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur

avulse dan fraktur dislokasi.

c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan.

Misalnya fraktur Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur

antebrachii, dan fraktur pergelangan kaki.

d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang

lebih baik dengan operasi, misalnya : fraktur femur.

J. KOMPLIKASI FRAKTUR

Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri  atau akibat

penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik

a.   Komplikasi umum

Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus

dan gangguan fungsi pernafasan.

Page 19: Primary Survey

Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam

pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan

terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme.

Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena

dalam (DVT), tetanus atau gas gangren

b.  Komplikasi Lokal          

Komplikasi dini

Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca

trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca

trauma disebut komplikasi lanjut.

Pada Tulang

1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.

2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau

tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat

menimbulkan delayed union atau bahkan non union

Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang

sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang

melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan

berakhir dengan degenerasi

Pada Jaringan lunak

1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit

superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup

kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik

2. Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh

gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada

daerah-daerah yang menonjol

Pada Otot

Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot

tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek

melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang.

Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup

Page 20: Primary Survey

lama akan menimbulkan sindroma crush atau trombus (Apley &

Solomon,1993).

Pada  pembuluh darah

Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus

menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh

darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan.

Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan

nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi

dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah

sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh

darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri

yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome

crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair untuk

mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley & Solomon, 1993).

Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen

otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi

penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi

Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu

ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema

dalam otot.

Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan

dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan

diganti dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi

pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann.  Gejala klinisnya

adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness

(denyut nadi hilang) dan Paralisis

Pada saraf

Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus),

aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan

eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley & Solomon,1993).\

Page 21: Primary Survey

Komplikasi lanjut

Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada

pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan

atau perpanjangan.

Delayed union

Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara

normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan

sklerosis pada ujung-ujung fraktur,

Terapi  konservatif selama 6 bulan  bila  gagal dilakukan 

Osteotomi. Bila lebih 20 minggu  dilakukan cancellus grafting  (12-

16 minggu)

Non union

Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.

Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses

penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan

fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan

melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.

Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu

(pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi

beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak akan

dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.

Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi

periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen

fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips

yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit

tulang (fraktur patologis)

Mal  union

Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan

deformitas.  Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi .

Page 22: Primary Survey

Osteomielitis

Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau

tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan

delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi

anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan

terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot

Kekakuan sendi

Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan

imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler,

perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.

Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan

melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan

periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita

dengan kekakuan sendi menetap (Apley & Solomon,1993).

Page 23: Primary Survey

DAFTAR PUSTAKA

1. Apley, A.Graham. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem APLEY. Ed.7.

Jakarta : Widya Medika.1995

2. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.

Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara.1995.

3. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta : PT. Yarsif

Watampone. 2007

4. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.

5. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6.

Jakarta : EGC.2000.

6. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta: EGC 1994.