Pribadi (2006). Keanekaragaman Vegetasi Pada Areal Hutan Sekunder Bukit Mandi Angin, Banjar,...
-
Upload
teguh-pribadi -
Category
Documents
-
view
879 -
download
3
Transcript of Pribadi (2006). Keanekaragaman Vegetasi Pada Areal Hutan Sekunder Bukit Mandi Angin, Banjar,...
KEANEKARAGAMAN VEGETASI PADA AREAL HUTAN SEKUNDER BUKIT MANDI ANGIN, BANJAR,
KALIMANTAN SELATAN
HASIL PENELITIAN
Oleh :
TEGUH PRIBADI, S. Hut.
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PGRI PALANGKA RAYA
JANUARI, 2006
LAPORAN PENELITIAN
1. a. Judul Penelitian : Keanekaragaman Vegetasi Pada Areal Hutan Sekunder Bukit Mandi Angin, Banjar, Kalimantan Selatan
b. Bidang Ilmu : Pertanian c. Kategori Penelitian : Pengembangan Ilmu Teknologi dan Seni (Kategori I) 2. Peneliti : a. Nama Lengkap dan Gelar : Teguh Pribadi, S. Hut. b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Golongan Pangkat & NIP : IIIa/Penata Muda; 132 313 326 d. Jabatan Fungsional : - e. Jabatan Struktural : - f. Fakultas/Jurusan : Pertanian/Kehutanan g. Pusat Penelitian : Universitas PGRI Palangka Raya
3. Alamat Peneliti : a. Alamat Kantor : Jl. Hiu Putih-Tjilik Riwut Km. 7 Palangka Raya
73112 Telp. (0536) 3220778 b. Alamat Rumah : Komp. Kehutanan Jl.Hiu Putih-Tjilik Riwut Km. 7
No. 42 RT/RW 05/10 Bukit Tunggal, Palangka Raya 73112 HP. 085349042014
4. Lokasi Penelitian : Mandi Angin, Kec. Karang Intan, Kab. Banjar-Kalsel. 5. Lama Penelitian : 4 Bulan 6. Biaya yang Diperlukan : a. Sumber dari Depdiknas : - b. Sumber Dana Pribadi : Rp. 825.000,- (Delapan Ratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah) Palangka Raya, Januari 2006 Mengatahui : Dekan Fakultas Pertanian Peneliti, (Ir. Muhammad Yusuf) (Teguh Pribadi, S. Hut.) NIP. 132 313 326
Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas PGRI Palangka Raya
(Hj. Any Nugroho, S.H., M.H.) NIP. 132 308 230
ii
RINGKASAN
Hutan merupakan ekosistem yamg kompleks dan mantap namun cukup peka
terhadap interaksi dari luar. Dinamika hutan selalu berubah melalui tahapan suksesi.
Manifestasi interaksi sukksesi sekunder merupakan representasi dinamika hutan sebagi
sebuah ekosistem. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luasan minimum petak
pengamatan ekologi tumbuhan dan keanekaragaman vegetasinya serta mengkaji proses
dinamika sukssesi sekunder yang terjadi di hutan Bukit Mandi Angin.
Luasan minimum dilakukan dengan metode kurva spesies area. Dimana petak awal
dengan ukuran 1 m2 terus diperluas 2 kalinya sampai diperoleh nilai persentase
pertambahan jenis kurang dari 10% untuk menghentikan perluasan petak pengamatan
tersebut. Analisa keragaman jenis vegetasi dilakukan dengan metode garis berpetak,
kemudian dihitung indeks nilai penting dan indeks keragaman Shanon-Wienen. Tahapan
suksesi sekuinder dianalisa berdasarkan paramater dominasi vegetasi yang ada pada petak
tersebut.
Hutan Bukit Mandi Angin memiliki luasan minimum petak pengamatan vegetasi
seluas 512 m2 dan ditemukan 46 jenis vegetasi. Seuluh vegetasi dominan yang terdapat
di hutan Bukit Mandi Angin adalah sebagai berikut kayu kacang (Strombosia javanica),
rengas (Gluta renghas), petindis, luwa (Ficus variegata), karamunting, alaban (Vitex
pubescens), angkal gunung (Ixora blumei), jawaling (Tristaniopsis spp) dan balaran tapah.
Hutan sekunder Bukit Mandi Angin masih dalam tingkatan hutan sekunder semak belukar
dan di beberapa bagian telah menunjukan format hutan sekunder muda.
Kata kunci : Keragaman Jenis, Analisa Keragaman Jenis, Suksesi Sekunder, Tahapan Suksesi, Hutan Sekunder
iii
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas semua rahmat dan hidayah-Nya, penelitian
ini dapat selesai dengan baik dan lancar. Penelitian ini disusun dalam rangka mengkaji
proses suksesi yang terjadi di hutan sekunder, terutama di Hutan Pendidikan Universitas
Lambung Mangkurat Mandi Angin. Sekaligus sebagai penunaian salah satu komponen Tri
Dharma Perguruan Tinggi.
Penulis pada kesempatan ini menyampaikan terima kasih kepada : Rektor dan
Dekan Fakultas Pertanian Universitas PGRI Palangka Raya yang telah memberikan izin
untuk melakukan penelitian. Dekan Fakultas Kehutanan dan Pengelola Hutan Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat atas bantuan dan izinnya dalam penelitian ini. Ketua
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas PGRI Palangka Raya,
serta semua pihak yang telah membantu dalam kegiatan penelitian ini dan penyusunan
laporannya.
Akhirnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat.
Palangka Raya, Januari 2006 Penulis,
(Teguh Pribadi, S. Hut) NIP. 132 313 326
iv
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................……….. ii
RINGKASAN……………………………………………………………………… iii
PRAKATA ................................................................................................................ iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ...............................................................................................….. vi
DAFTAR GAMBAR................................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. viii
I. PENDAHULUAN..................................................................………………. 1 A. Latar Belakang………………………………………………………. 1 B. Tujuan dan Manfaat............................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ ………… 4 A. Hutan sebagai Masyarakat Tumbuhan ............................................... 4 B. Dinamika Masyarakat Hutan ............................................................... 7
III. METODE PENELITIAN................................................................................. 12 A. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 12 B. Alat dan Bahan………………………………………………………. 12 C. Prosedur Penelitian………………………………………………….. 13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 18
A. Luasan Minimum Pengamatan di Areal Hutan Mandi Angin… ................................................................................................ 18
B. Besaran Ekologi Populasi Hutan Bukit Mandi Angin…………………………………………………………. 21 C. Proses Suksesi di Hutan Mandi Angin……………………………….. 27 V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………… 30 A. Kesimpulan………………………………………………………….. 30 B. Saran………………………………………………………………… 30 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 31 LAMPIRAN………………………………………………………………….. 32
v
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Daftar rekapitulasi perhitungan persen pertambahan jenis pada petak minimum di hutan Mandi Angin .............................. 17 2. Rekapitulasi hasil perhitungan besaran ekologi vegetasi di Hutan Mandi Angin ............................................................................ 22
vi
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Rancang bangun petak pengamatn kurva spesies area ........................ 14 2. Rancang bangunpetak pengamatan analisa vegetasi metode garis berpetak.......................................................................... 15 3. Kurva spesies area untuk petak di hutan Bukit Mandi Angin ............ 18
vii
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Data hasil pengamatan kurva spesies area di hutan Mandi Angin........................................................................................ 32
2. Data pengamatan besaran ekologi di hutan Mandi Angin................... 34 3. Contoh perhitungan besaran besaran besaran
ekologi................................................................…………………….. 38
viii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kalimantan merupakan salah satu surga hutan tropis dunia. Adanya
kelimpahan sinar matahari dan hujan yang turun sepanjang tahun menjadikan hutan
Kalimantan merupakan hutan hijau sepanjang tahun (evergreen forest). Hutan
Kalimantan merupakan metafora keragaman hayati maha dahsyat. Departemen
Kehutanan (1994) menyatakan bahwa dalam 1 hektar petak pengamatan di
Kalimantan dapat dijumpai kurang lebih 150 jenis nabatah dan setengahnya lagi dari
jumlah tersebut dapat kita amati pada petak selanjutnya. Tidak kurang 3000 jenis
pohon terdapat di Kalimantan.
Hutan sebagai sumber daya alam idealnya merupakan ekositem yang dapat
diperbaharui, namun kemantapan ekosistem hutan tropis, yang direpresentasikan
dengan lebatnya masyarakat hutannya, stratifikasi tajuk yang berlapis dan
keanekaragaman hayati yang sangat besar. Ternyata menyimpan permasalahan atas
kerapuhan ekosistem terhadap pengaruh interaksi dari luar yang destruktif. Menurut
Whitten et al (1988) yang dikutip oleh Wiharto & Hardjosuwarno (1998) hutan
hujan tropis merupakan ekosistem spesifik yang hanya berdiri mantap melalui
interaksi yang erat antar komponen-kompenen penyusunnya. Sebagai satu kesatuan
yang utuh. Interaksi antar komponen penyusun ini memungkinkan terbentuknya
struktur hutan tertentu yang dapat memberikan fungsi tertentu pula seperti stabilisasi
ekosistem, produktivitas biologi yang tinggi dan siklus hidrologi yang memadai.
Seiring interaksi manusia dengan motif ekonomi, degradasi hutan semakin
niscaya dan makin eskalatif. Dalam 5 tahun terakhir ini tiap 3 juta hektar hutan
2
tropis terdegradasi (Awang 2005). Lima puluh enam persen hutan dataran rendah di
Kalimantan telah hilang dalam kurun waktu 1985 sampai 2001. World Wild Found
(WWF) memprediksikan tahun 2010 hutan dataran rendah Kalimantan akan sirna
dari bumi jika deforestrasi tak segera dicegah (Kompas, 2005)
Hutan adalah suatu sistem yang hidup dan bersifat dinamis. Masyarakat
hutan selalu mengalami evolusi atau suksesi. Proses suksesi ini merupakan proses
alamiah menuju tahapan klimaks stabil. Proses ini tidak selamanya direksional tapi
siklis bahkan bisa irresersibel, tak terbalikkkan bila daya penghalangnya bersifat
destruktif. Hal ini dicirikan dengan format hutan sekunder yang jauh dari kondidi
klimaks bahkan bias menjadi lahan kritis yang didominasi oleh alang-alang
(Imperata cylindrica). Tesis deforestrasi hutan hujan tropis yang diiring dengan
menurunnya keanekaragaman hayati penghuninya melatarbelakangi penelitian ini.
Lebih spesifik penelitian ini mencoba mengamati proses suksesi yang terjadi
di hutan Mandi Angin. Dimana hutan ini adalah salah satu laboratorium lapangan
suatu lembaga pendidikan kehutanan yang terkenal di Kalimantan. Sekaligus
sebagai bagian salah satu bagian Taman Hutan Raya Sultan Adam. Yang merupakan
sedikit dari kawasan konservasi yang masih terdapat di Kalimantan, khususnya
Kalimantas Selatan.
B. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan :
1. Mengetahui luasan minimum yang harus dibuat untuk mengamati keadaan
ekosistem hutan pada areal hutan sekunder Bukit Mandi Angin
2. Mengetahui besaran ekologi populasi vegetasi hutan sekunder Mandi Angin
3
3. Mengamati proses suksesi yang terjadi pada hutann sekunder Bukit Mandi
Angin.
Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai bahan
masukan dan informasi tentang kondisi ekologi vegetasi di hutan sekunder Bukit
Mandi Angin kepada semua Stakeholder yang terkait sehingga diperoleh database
dasar pengelolaan Hutan Bukit Mandi Angin sebagai kawasan konservasi,
pendidikan dan penelitian serta pariwisata.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan sebagai Masyarakat Tumbuhan
Hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan fauna lainnya
yang didomonasi oleh pohon-pohonan yang menempati suatu lingkungan atau
habitat, dimana terdapat hubungan timbal balik antar tumbuh-tumbuhan itu satu sama
lain dan dengan lingkungannya (Soeseno & Edris 1977; Soerianegara & Indrawan
1980)
Pohon-pohon tidak hidup sebagai individu soliter, tetapi sebagai bagian dari
masyarakat hutan. Masyarakat hutan disusun oleh pohon, perdu, semak, rerumputan,
lumut, binatang menyusui, burung serangga, protozoa serta segenap mikrofauna dan
mikroflora lainnya. Hubungan antar anggota masyarakat hutan sangat beragam jenis
interaksi baik caranya ataupun keeratan hubungan tersebut (Soeseno & Edris 1977).
Interaksi antar masyarakat tumbuhan margasatwa dan lingkungannya begitu erat
sehingga mereka merupakan suatu system ekologi (ekosistem) atau biogeocoenosis
(Odum 1971 yang dikutip oleh Suri & Setiabudi 2000).
Masyarakat hutan sebagai suatu komunitas di dalamnya terdapat persaingan,
kerjasama dan perjuangan yang hebat untuk memperoleh cahaya, air, hara mineral
dan ruang. Persaingan di atas tanah terjadi antara tajuk-tajuk pohon, sedagkan di
bawah tanah antara akar-akarnya. Kompetisi ini menyebabkan terbentuknya susunan
masyarakat atau tumbuh-tumbuhantertentu sekali bentuknya, macam dan banyaknya
jenis serta individu-individunya sesuai dengan keadaan tempat tumbuhnya (Soeseno
& Edris 1977).
5
Menurut Soeseno & Edris (1977) mekanisme hubungan-hubungan ini
diejawantahkan dalam format interaksi tertentu. Hubungan ini terbentuk karena
tingginya ketergantungan suatu jasad/organisme terhadap organisme lain dalam
memperoleh naungan (shade), air, hara mineral (nutrient) atau niche (relung atau
fungsionalisasinya dalam masyarakat hutan) :
1. Komensalisme, yaitu hubungan antara organisme-organisme yang hidup
menumpang tergantung pada organisme lain untuk memperoleh sejumlah
makanan itu tanpa menyebabkan kerugian yang terlalu besar pada organisme
inang
2. Efipitisme, yaitu hubungan organisme lain untuk hidup bersandar pada
organisme lain yang lebih besar dalam memperoleh unsur hara namun relatif
tidak merugikan organisme inang. Contohnya beberapa jenis anggrek-anggrekan
pada tanaman hutan yang tinggi
3. Parasitisme, yaitu hubungan antar organisme dengan organisme lain yang lebih
besar dengan cara menyerap unsur hara dari organisme tersebut sehingga
bersifat merugikan organisme inang bahkan bias menyebabkan kematian.
Contohnya jamur fusarium sp pada anakan sengon (Paraserianthes falcataria)
atau benalu (Ficus sp) dengan tanaman hutan
4. Simbiosis mutualisme, yaitu hubungan antara dua organisme yang sangat
berbeda yang hidup bersama dan bekerja sama saling memberi unsur hara yang
dibutuhkan satu sama lain tanpa saling merugikan. Contohnya antara mikoriza
dan beberapa tumbuhan dari marga dipterocarpa atau nodul akar pada tanaman
marga fabaceae (tanaman legum-leguman)
6
5. Saprofit, yaitu organisme yang hidup dari perombakan atau pelapukan jasad lain
karena bukan organisme autotrof. Misalnya adalah tumbuhan jamur (Fungi)
6. Pencekik, yaitu tumbuhan yang pada mulanya adalah efifit kemudian tumbuh
membesar dan mencekik tanaman inang karena sudah dapat memproleh
makanan sendiri. Contohnya adalah liana dari marga ficus.
Dampak persaingan-persaingan antar tanaman yang menimbulkan tanaman
yang tetap eksisi maka muncullah tanaman dominan. Pohon ini tinggi menjulang
pada puncak stratum dan mengalahkan pohon yang lebih rendah dan merupakan
indikator masyarakat hutan tersebut. Pada ekosistem hutan hujan tropis salah satu
penguasa tajuk adalah tanaman dari marga diptorecapus (Soerianegara & Indrawan
1980)
Hutan sabagai suatu masyarakat sering terjadi pelapisan atau statifikasi
tegakan. Lapisan atas berupa tajuk (canopy) pohon-pohonan yang dominan dan
kodominan. Di bawahnya terdapat tegakan bawah (under stories) yang biasanya
berupa anakan pohon. Selanjutnya apabila tedapat pembukaan hutan maka kanopi
menjadi kurang rapat sehingga muncullah penutup tanah (ground cover). Penutup
tanah biasanya terdiri dari rumput-rumputan, semak belukar dan perdu atau semai
pohon. Di bagian terbawah adalah lantai hutan (forest floor) yang biasa merupakan
adalah kumpulan seresah yang merupakan mikrohabitat dari mikrofauna atau
mikroflora. Pelapisan-pelapisan ini yang terkenal dengan stratum, tingkat (story)
atau lapisan (Soeseno & Edris 1977)
Demarkasi tinggi dan jumlah stratifikasi pohoh-pohonan berbeda-beda
tergantung pada keadaan tempat tumbuh dan komposisi masyarakat hutan tersebut.
Hutan hujan tropis bisa terdiri dari 5 stratum (Soerianegara & Indrawan 1980)
7
B. Dinamika Masyarakat Hutan
Hutan sebagai komunitas secara alamiah tidak pernah betul-betul stabil.
Selalu terjadi siklus alamiah yang setiap kali berulang dalam suatu rentang waktu
tertentu. Misalnya suatu saat pertumbuhan pohon setelah mencapai tahap klimaks
akan tumbang karena mati tua atau sebab yang lainnya. Segera setelah proses ini
maka pohon itu diganti oleh pohon lain yang berasal dari tingkatan yang di
bawahnya. Demikian seterusnya proses pergantian ekologi ini berlangsung setiap
saat secara berkesinambungan. Selama proses perubahan ini berlangsung secara
alamiah tanpa intervensi manusia maka pergantian ekologi akan tetap terjadi secara
berulang-ulang sehingga pertumbuhan klimaks dapat tecapai (Departemen
Kehutanan 1995).
Fenomena inilah yang mengistilahkan kenapa hutan disebut sebagai sistem
yang hidup dan tumbuh atau suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan
terbentuk secara bertahap melalui tahapan inovasi oleh tumbuh-tumbuhan pioneer,
adaptasi diri, agregasi, kompetisi dan dominasi serta reaksi pada tempat tumbuh dan
stabilisasi. Selama proses ini akan terus berlangsung sampai stabil atau terjadi
mekanisme keseimbangan dinamis antara masyarakat hutan dengan lingkungannya,
yang disebut dengan vegetasi klimaks (Soerianegara & Indrawan 1980).
Mnurut Soeseno & Edris (1977) suksesi adalah rangkaian proses perubahan-
perubahan yang terjadi pada masyarakat tumbuh-tumbuhan sesuai dengan habitatnya.
Sedangkan Pandjaitan (1988) mendefinisikan suksesi sebagai proses perubahan
komunitas. Deretan komunitas yang menggantikan komunitas lain pada suatu
kawasan tertentu. Bagian-bagian komunitas yang merupakan suatu deretan ini
disebut sere.
8
Berdasarkan sifat asal komunitasnya suksesi dibagi dua :
1. Suksesi primer (prisere atau primary succession), yaitu perkembangan vegetasi
mulai dari habitat yang tak bervegetasi hingga mencapai masyarakat yang
klimaks. Proses ini jarang terjadi mungkin salah satunya adalah yang terjadi di
kepulauan Krakatau yang terjadi sejak letusannya pada tahun 1880 sampai
sekarang
2. Sukssi sekunder (subsere atau secondary succesion). Suksesi ini terjadi pada
kawasan yang pernah bervegatasi atau ada komunitasnya tapi arena ada
gangguan seperti kegiatan manusia, bencana alam maka terjadi pergiliran
komunitas. Suksesi primer inilah yang lazim terjadi pada komunitas hutan alam
(Soeseno & Edris 1977; Soerianegara & Indrawan 1980; Pandjaitan 1988).
Berdasarkan proses yang terjadi selama pergantian komunitas ini suksesi
dibagi menjadi dua :
1. Suksesi progresif yaitu suksesi yang berjalan menuju tahapan klimaks secara
direksional. Proses ini terjadi karena faktor pengganggu tidak terlalu destruktif
terhadap perjalan proses suksesi.
2. Suksesi retrogresif (subsuksesi atau suksesi siklis), yaitu suksesi yang berjalan
secara siklis bahkan bisa terjadi kondisi klimaks adalah suatu hal yang sulit.
Proses ini terjadi karena gaya dari luar terlalu besar sehinggi proses ini tidak
berlangsung secara sempurna. Contoh nyata dari proses ini adalah meluasnya
lakan kritis. Biasanya manusia adalah factor utama kegagalan proses suksesi ini
(Soeseno & Edris 1977; Soerianegara & Indrawan 1980)
9
Berdasarkan jenis komunitas awalnya suksesi Soeseno & Edris (1977);
Soerianegara & Indrawan (1980) membagi suksesi ini menjadi dua yaitu :
1. Hidrosere (hydrarkh), yaitu suksesi yang bermula dari kondisi basah (dalam air)
dan menuju klimaks yang dipelopori oleh tumbuh-tumbuhan air (hydrofit)
2. Xerosere (xerarkh), yaitu suksesi yang berasal dari kondisi tanah kering atau
bebatuan yang dipelopori oleh lumut kerak (Lichenes),bakteri, dan ganggang
(Algae)
Tingkatan suksesi menurut Spur (1973) yang dikutip oleh Soeseno & Edris
(1977) dibagi menjadi 4 yaitu ; (i) tahapan pioneer; (ii) tahapan konsolidasi; (iii)
tahapan subklimaks; dan (iv) tahapan klimaks.
Proses perubahan suksesi primer bermula dari permukaan tanah telanjang.
Dilanjutkan oleh komunitas vegetasi cryptogamae. Tahapan selanjutanya adalah
vegetasi rumput-rumputan dan herba (semak kecil). Tahapan ketiga adalah vegetasi
semak belukar dilanjutkan oleh vegetasi perdu pohon. Tahap terakhir atau tahap
kelima adalah tahapan yang didominasi oleh komunitas vegetasi pohon klimaks.
Sedangkan suksesi sekunder biasanya vegetasi klimaks atau tahapan sebelumnya lalu
mendapat gangguan. Dampak dari gangguan ini siklus ini dialai dari vegetasi
rumput-rumputan herba, semak kecil terus ke atas. Selama tidak mendapat gangguan
yang signifikakan proses ini akan berlangsung direksional (Soerianegara & Indrawan
1980).
Tingkatan terakhir klimaks adalah klimaks klimatik. Klimaks klimatik adalah
suatu kondisi masyarakat hutan dengan segala elemen-elemennya yang dominan dan
hanya dipengaruhi oleh faktor iklim. Masyarakat tumbuhan ini tidak dapat diganti
oleh tumbuhan lain kecuali bila terjadi perubahan iklim. (Soeseno & Edris 1977).
10
Indikator suatu masyarkat hutan telah dalam tahapan klimaks menurut
Soerianegara & Indrawan (1980) dicirikan oleh parameter sebagai berikut :
1. Stabil dalam artian yang dominan meregenerasi diri dan tidak dapat tergantikan
oleh vegetasi dominan lainnya apalagi yang dalam tahapan kodominan
2. memiliki kemantapan tanah. Siklus unsur hara berjalan secara inert, erosi sangat
rendah
3. Komposisi vegetasinya seragam (tegakan sejenis) terutama pada daerah yang
beriklim relatif sama
Klimaks fisiografis adalah proses perubahan tahapan klimaks yang
menyimpang dari tipe yang sewajarnya akibat keadaan fisiografisnya. Klimaks
fiografis biasanya disebut dengan klimaks edafis karena tahapan klimaks ini sangat
tergantung pada kondisi lokal setempat. Klimaks edafis bisa diamati pada
terbentuknya hutan mangrove (Soeseno & Edris 1977; Pandjaitan 1988)
11
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dari Bulan Oktober 2005 sampai
Januari 2006 meliputi tahapan survey pendahuluan, pengambilan data, pengolahan
data dan pembuatan laporan hasil penelitian. Lokasi penelitian terletak di Bukit
Mandi Angin kawasan Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung
Mangkurat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan.
B. Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan peralatan sebagai berikut :
1. Kompas, untuk menentukan arah angin
2. Clinometer, untuk menghitung kelerengan areal penelitian
3. Parang untuk membuka jalur rintisan dan keperluan potong-memotong
4. Meteran roll untuk mengukur panjang petak dan jarak anta demarkasi
5. Tali rafi untuk membatasi petak pengamatan dengan kawasan lain
6. Tali nilon besar untuk mengukur jarak antar petak
7. Patok untuk penempatan titik ikat dan pegangan tali demarkasi
8. Phiband untuk mengukur diameter pohon
9. Tally sheet untuk mencatat hasil inventarisasi vegetasi
10. Kalkulator untuk menghitung hasil analisa vegetasi
11. Alat tulis menulis
12
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komunitas
vegetasi di areal hutan sekunder Mandi Angin. Selama penelitian ini berlangsung
dibantu oleh pengenal pohon yang berasal dari warga di sekitar lokasi penelitian.
C. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Survey pendahuluan dan penentuan petak pengamatan
Survey pendahuluan dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan menentukan
petak pengamatan yang dapat mengakomodasi seluruh kondisi vegetasi yang terdapat
di hutan sekunder Bukit Mandi Angin. Petak pengamatan dipilih secara purposive
sampling dengan kriteria sebagai berikut :
a. Areal yang akan diamati merupakan sebuah tegakan dan atau suatu ekosistem
yang homogen dan diusahakan didominasi oleh tingkatan permudaan pohon
b. Definisi permudaan yang digunakan mengikuti aturan yang ditetapkan oleh
Wyatt & Smith (1963) yang dikutip oleh Soerianegara & Indrawan (1980)
sebagai berikut :
a) Semai (seedling) yaitu permudaan mulai dari dari kecambah sampai anakan
dengan tinggi maksimal 1,5 m
b) Pancang (sapling) yaitu permudaan dengan ketinggian di atas 1,5 m sampai
pohon muda dengan diameter kurang dari 10 cm
c) Tiang (pole) yaitu pohon muda dengan diameter berkisar dari 10 sampai 35 cm
d) Pohon (tree) yaitu pohon dengan diameter lebih dari 35 cm
2. Pengukuran petak minimum
13
Tahapan pembuatan petak minimum mengikuti tahapan yang dilaksanakan
oleh Soerianegara & Indrawan (1980) :
a. Menentukan starting point sebagai petak pengamatan dan dibuat dengan posisi
sisi yang lebih panjang melawan garis contour
b. Membuat petak dengan ukuran awal 1 x 1 m2 dan mendaftar semua vegetasi
yang terdapat dalam petak tersebut
c. Membesar ukuran petak menjadi 2 kali ukuran petak awal dan mendaftar semua
vegetasi yang terdapat dalam petak tersebut (spesies vegetas yang sama tidak
usah diperhatikan)
d. Menghitung persentase pertambahan jenis dengan rumus :
Pt = (∆P/P0) x 100 %
∆P = P1 – P0
Dimana : Pt = persentase perubahan jenis (%)
∆P = jumlah penambahan jenis
P0 = jumlah seluruh jenis pada petak awal
P1 = jumlah seluruh jenis pada petak berikutnya
e. Mengulangi langkah 3 dan 4 sampai diperoleh persen penambahan jenis tidak
lebih dari 10 % (Costing 1958; Cain & Castro 1959 yang dikutip oleh
Soerianegera & Indrawan 1980). Apabila pada hasil penghitungan diperoleh
persen penambahan jenis sudah kurang dari 10 % maka pembuatan petak
selajutnya dapat dihentikan. Rancang bentuk pembuatan petak dapat dilihat pada
gambar 1 di bawah ini
14
B
A
C
D
E
G
F
Gambar 1. Rancang bangun petak pengamatan kurva spesies areal Keterangan : A = petak pengamatan asal ukuran 1 x 1 m2
A + B = petak pengamatan kedua ukuran 1 x 2 m2
dan seterusnya
3. Pengukuran Dimensi Ekologi Populasi
Analisa dimensi ekologi populasi ini menggunakan metode garis berpetak
dengan lebar jalur 5 m dan jarak antar petak adalah 5 m. Posisi petak diletakkan
secara berselang seling (kanan-kiri) terhadap jalur rintis. Jumlah total petak adalah
10 buah sehingga toal luas patek pengamatan adalah 250 m2. Gambar rancang
bangun metode garis berpetak dapat dilihat pada gambar 2.
Inventarisasi vegetasi dilaksanakan pada seluruh petak dengan metode sensus.
Data yang dicuplik adalah data jenis vegetasi, jumlahnya dalam 1 petak , jenis
permudaan dan diameternya. Selain itu data penutupan tajuk dan kelerengan juga
diperhitungkan.
15
Gambar 2. Rancang bangun petak pengamatan analisa vegetasi metode garis berpetak
Hasil sensus vegetasi pohon lalu direkapitulasi dan dihitung besaran analisa
vegetasinya dari masing- masing anggota komunitas menurut Soerianegara &
Indrawan (1980) :
1. Kerapatan atau Density (K)
K = Jumlah individu
Luas petak contoh
2. Kerapatan relatif (KR)
KR = Kerapatan dari suatu jenis x 100 %
Kerapatan dari seluruh jenis
3. Frekuensi (F)
F = Jumlah petak ditemukan suatu jenis
Jumlah keseluruhan petak
16
4. Frekuensi relatif (FR)
FR = Frekuensi suatu jenis x 100 %
Frekuensi keseluruhan jenis
5. Dominasi (D)
D = Luas bidang dasar suatu jenis
Luas petak contoh
6. Dominasi relatif (DR)
DR = Dominasi suatu jenis x 100 %
Dominasi seluruh jenis
7. Nilai penting / Importance value (INP)
INP = KR + FR + DR
8. Indeks keragaman jenis Shanon-Wienen
H! = - ∑ Ni/N Log Ni/N
Dimana N = Total individu dalam suatu komunitas (Total INP)
Ni = Jumlah suatu individu dalam komunitas (INP suatu jenis)
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Luasan Minimum Petak Pengamatan Di Hutan Sekunder Mandi Angin
Hasil pengamatan luasan minimum dan jumlah vegetasi yang terdapat di
hutan sekunder Mandi Angin dapat dilihat pada Tabel 1. di bawah ini. Daftar
vegetasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 1. Daftar rekapitulasi perhitungan persen pertambahanjenis pada petak minimum di hutan sekunder Mandi Angin
Penambahan jenis No
Petak
Luas Petak
(m2).Jumlah jenis
Satuan Persen (%)
1 1 3 0 0,00
2 2 7 4 133,33
3 4 13 6 87,71
4 8 20 7 53,85
5 16 24 4 20,00
6 32 30 6 25,00
7 64 33 3 10,00
8 128 39 6 18,26
9 256 44 5 12,02
10 512 46 2 4,56
18
1, 32, 74, 13
8, 20 16, 24
32, 3064, 33
128, 39256, 44 512, 46
05
10 15 20 25 30 35 40 45 50
0 100 200 300 400 500 600
Luas petak (m2)
jumlah j enis
Gambar 3. Kurva spesies area untuk petak di hutan Bukit Mandi Angin
Berdasarkan nilai-nilai pada Tabel 1. diatas representasi kurva spesies area
untuk tingkat keragaman vegetasi di hutan sekunder Bukit Mandi Angin dapat dilihat
pada Gambar 1. di atas
Luasan minimum petak untuk mengamati keragaman jenis di hutan sekunder
mandi Angin adalah seluas 512 m2 atau 0,05 ha. Hal ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Vestal (1949) dan Soerianegara & Indrawan (1980)
yang menyatakan luas petak minimun pengamatan vegetasi di hutan hujantropis
Kalimantan Selatan adalah seluas 2,6 – 3,1 hektar. Bahkan luasan ini lebih sempit
dibandingkan dengan luasan petak minimun yang harus dibuat dui Kalimantan Utara
yaitu seluas 0,6 hektar (Nicholas 1965 yang dikutip oleh Soerianegara & Indrawan
1980).
19
Besar kecilnya petak pengamatan vegetasi suatu kawasan ekosistem hutan
berkorelasi positif dengan kenekaragam jenis vegetasi yang terdapat paada ekosistem
tersebut. Penelitian-penelitian terdahulu dilaksanakan pada saat ekosistem hutan
hujan tropis masih baik bahkan masih perawan dan merupahan hutan primer. Akses
negatif terdapat eksistensi hutan masih belum terlalu besar sehingga hutan tersebut
dalam kondisi baik. Namun dengan seiring meningkatnya jumlah penduduk maka
kawasan hutan makin terusik sehingga lebih jauh atau bahkan terdegradasi sampai
tingkatan kritis.
Arifin (2001) menyatakan bahwa kerusakan hutanhujan tropis disebabkan
oleh pertambahan penduduk, system pertanian dan perladangan brpindah yang tidak
memperhatikan daya dukung lingkungan. Tapi penyebab utama kerusakan hutan
hujan Kalimantan adalah karena tindak mismanagemnt atau kegagalan dalam
perumusan kebijakan (misdirect policies) baik disektor kehutanan ataupun di sector
terkait lainnya.
Mc Naughton (1990) menyatakan keragaman jenis umumnya meningkat
dengan ukuran petak sample. Habitan atau ekosistem dengan takann fisografis yang
rendah, tingkat kompetisi yang tidak intensif dan tekanan ekstrem dari luar ekosistem
yang kecil akan memperluas cakupan petak sebagai representasi keragaman jenis
yang tinggi.
Berdasarkan identifikasi lapangan pada petak pengamatan ternyata
didominasi oleh semak belukar dan perdu. Hanya sedikit jenis pohon yang
ditemukan pada petak pengamatan ini. Pohon-pohon yang ditemukan juga
merupakan indikator tanaman pioneer, seperti madang (Macaranga sp) dan Luwa
(Ficus variegata). Hal ini membuktikan bahwa hutan Mandi Angin adalah hutan
20
sekunder yang sedang dalam tahapan suksesi sekunder. Perkembangan hutan semak
belukar akan berubah menjadi hutan sekunder yang dipelopori oleh keberadaan jenis-
jenis Ficus dan makaranga (Soerianegara & Indrawan 1980).
Keragaman jenis hutan sekunder bukit mandi Angin kurang lebih 46 jenis.
Hal ini mengindikasikan areal tersebut adalah hutan sekunder muda yang didominasi
oleh semak belukar atau merupakan lahan dalam tahapan kritis. Hal ini dindikasikan
oleh kondisi lahan yang mulai tererosi dan adanya invasi oleh alang-alang serta
keterbukaaan tajuk yang tinggi.
Penelitian juga menghasilkan jumlah jenis yang lebih kecil dibandingkan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Aqla (2005). Dalam penelitian Aqla (2005)
yang dilakukan di hutan konservasi Loksado Hulu Sungai Selatan, bisa ditemukan
kurang lebih 100 jenis nabatah. Padahal secara ekologis hutan sekunder Mandi
Angin dan Hutan konservasi relatif identik pada satu bentang alam yang merupakan
deratan Pegunungan Meratus.
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi struktur dan keragamaan
vegetasi pada ekosistem yang sama adalah ketinggian tempat, kemiringan lereng dan
tipologi tanah (Jenssen 1974 yang dikutip oleh Wiharto & Hadjosuwarno 1998)
Keanekaragaman jenis secara umum dipengaruhi oleh sifat-sifat lingkungan
yang terdiri dari ketersediaan sumber-sumber energi untuk proses fisiologis,
kepadatan populasi, kekerasan lingkungan dan tingkat gangguan terhadap ekosistem
tersebut. Sedangkan faktor intern keragaman jenis suatu ekosistem dipengaruhi oleh
besarnya niche (relung fungsi ekologis), proporsi dan efisiensi pemanfaatan sumber
daya lingkungan oleh masyarakat hutan tersebut (Mc Nougthon 1990).
21
B. Besaran Ekologi Populasi Hutan Bukit Mandi Angin
Berdasarkan pengamatan vegetasi terdapat 48 jenis nabatah yang terdapat di
hutan Bukit Mandi Angin. Dari ke – 48 jenis nabatah yang teramati ternyata hanya 3
jenis nabatah yang termasuk dalam permudaan tingkat pohon. Ketiga jenis nabatah
itu adalah alaban (Vitev pubescens), rengas (Gluta renghas), dan kayu kacang
(Strobosia javanica). Lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 2. di bawah ini
sedangkan data lebih lanjut dapat diamati pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. di
lembar lampiran
Tabel 2. Rekapitulasi besar hasil perhitungan besaran ekologi vegatasi hutan sekunder Mandi Angin No Nama jenis Jmlh K
(batang/ha) KR (%) F FR
(%) D
(m2/ha) DR (%)
INP (%) H!
1 Kayu kacang (Strombossia javanica) 3 120 0,59 0,2 1,49 15,60 59,09 61,17 0,14
2 Rengas (Gluta renghas) 3 120 0,59 0,2 1,49 8,95 33,90 35,98 0,11
3 Petendis 88 3580 17,25 0,9 6,72 - - 23,97 0,09
4 Luwa (Ficus variegata BL) 68 2720 3,33 0,9 6,72 - - 20,05 0,08
5 Karamunting 55 2200 10,78 0,5 3,73 - - 14,52 0,06
6 Alaban (Vitex pubescens) 11 440 2,16 0,5 3,73 - - 12,90 0,06
7 Bangkal gunung (Ixora blumei) 32 1280 6,27 0,8 5,97 - - 12,24 0,06
8 Jawaling (Tristaniopsis Spp) 34 1360 6,67 0,7 5,22 - - 11,89 0,05
9 Tiwangau (Glocnidium Spp) 16 640 3,14 0,6 4,48 - - 7,62 0,04
10 Nanangkaan 15 600 2,94 0,6 4,48 - - 7,42 0,04
11 Kayu tutup 11 440 2,16 0,7 5,22 - - 7,38 0,04
12 Kerinyu 22 880 4,31 0,4 2,99 - - 7,30 0,04
13 Kajajahe 12 480 2,35 0,4 2,99 - - 5,34 0,03
14 Rangka-rangka 7 280 1,37 0,5 3,73 - - 5,10 0,03
Tabel 2. Lanjutan No Nama jenis Jmlh K
(batang/ha) KR (%) F FR
(%) D
(m2/ha) DR (%)
INP (%) H!
15 Katu hutan 5 200 0,98 0,5 3,73 - - 4,71 0,03
16 Litu 11 440 2,16 0,3 2,24 - - 4,40 0,03
17 Paku-paku sagar 15 600 2,94 0,1 0,75 - - 3,69 0,02
18 Tapus 15 600 2,94 0,1 0,75 - - 3,69 0,02
19 Kemalaka (Phyllantus emblicus) 7 280 1,37 0,3 2,24 - - 3,61 0,02
20 Mampat (Cratoxylon formasus) 7 280 1,37 0,3 2,24 - - 3,61 0,02
21 Mahang (Macaranga hosei) 8 320 1,57 0,2 1,50 - - 3,07 0,02
22 Mengkudu hutan 8 320 1,57 0,2 1,5 - - 3,07 0,02
23 Asam daun 4 160 0,78 0,3 2,24 - - 3,02 0,02
24 Mengkudu
5 200 0,98 0,2 1,50 - - 2,48 0,02
25 Sapit undang 4 160 0,78 0,2 1,50 - - 2,28 0,02
26 Merambung (Vernonia arborea) 4 160 0,78 0,2 1,50 - - 2,28 0,02
Tabel 2. Lanjutan No Nama jenis Jmlh K
(batang/ha) KR (%) F FR
(%) D
(m2/ha) DR (%)
INP (%) H!
27 Mali mali 3 120 0,59 0,2 1,50 - - 2,08 0,01
28 Jawaling kijang (Tristaniopsis Spp) 3 120 0,59 0,2 1,50 - - 2,08 0,01
29 Patiti 6 240 1,18 0,1 0,75 - - 1,93 0,01
30 Paku-pakuan 6 240 1,18 0,1 0,75 - - 1,93 0,01
31 Tilayu 2 80 0,39 0,2 1,50 - - 1,89 0,01
32 Balik angin (Mallotus paniculatus) 2 80 0,39 0,2 1,50 - - 1,89 0,01
33 Jambu hutan (Eugenia Spp) 2 80 0,39 0,1 0,75 - - 1,14 0,01
34 Serai merah (Crypocaria Spp) 2 80 0,39 0,1 0,75 - - 1,14 0,01
35 Mata undang 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
36 Sasahangan 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
37 Birik (Albizia procera) 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
39 Liana 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
Tabel 2. Lanjutan No Nama jenis Jmlh K
(batang/ha) KR (%) F FR
(%) D
(m2/ha) DR (%)
INP (%) H!
40 Kapasan 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
41 Karamunting duduk 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
42 Karidai 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
43 Bati-bati gunung (Augenia spicata) 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
44 Bangkirai 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
45 Tabiya 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
46 Minalin 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
47 Medang pirawas (Litsea cassifolia) 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
48 Mambab 1 40 0,20 0,1 0,75 - - 0,95 0,01
26
Kawasan hutan sekunder Bukit Mandi Angin struktur tegakannya dikuasai
oleh petindis dimana hampir 17,25 % kerapatannya merupakan kerapatan yang
tertinggi dari keseluruhan kerapatan vegetasi areal tersebut. Selain itu, petindis juga
menampakan kehadiran hampir di semua petak pengamatan terutama pada daerah
yang agak curam dengan kelerengan 10 – 30 %. Hampir 6,72 % dari total kehadiran
vegetasi pada kawasan ini dihadiri oleh petindis melalui penyebaran yang luas. Nilai
penyebaran yang tinggi mengindikasikan individu tersebut tersebar secara acak dan
kapabilitas adaptasi pada lingkungan yang tinggi. Iklim mikro dari suatu komunitas
hutan dan topografinya mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan jenis.
Faktor iklim, edafis, fisiologis dan biotis sangat mempengaruhi kondisi
ekologis tanaman yang tumbuh di atasnya. Faktor-faktor ini juga mempengaruhi
proses terjadinya suksesi menjadi betul-betul klimaks. Secara konkret dominasi juga
disebabkan oleh rentang relungnya yang lebar (Suri & Setiabudi 2000)
Namun dengan nilai kerapatan dan frekuensi yang tinggi tidak berarti ia
mendominasi secara kualitatif. Dominasi juga dipengaruhi oleh parameter
kandungan haranya, yang direpresentasikan oleh besarnya luas bidang dasar (LBDs).
Tesis ini dibuktikan oleh kehadian tanaman kayu kacang (Strombossia javanica).
Kerapatan dan frekuensinya relatif rendah namun nilai dominasinya cukup tinggi.
Nilai ini dibuktikan dengan bsarnya diameter pohon tersebut walaupun tidak banyak
tetapi perawaknya besar sehingga kandungan unsur haranya atau biomassanya besar.
Pada umumnya asosiasi kehidupan di dalam masyarakat hutan didominasi oleh
tumbuh-tumbuhan berkayu (pohon).
Dominasi suatu jenis terhadap jenis lain di dalam tegakan dapat dinyatakan
berdasarkan besaran-besaran kerapatan, penutupan, dan luas bidang dasar, volume
27
biomassa dan indeks nilai penting yang merupakan angka komulatif dari keraparan
relatif, dominasi relatif dan frekuensi relatif (Soerianegara & Indrawan 1980)
Berdasarkan nilai indeks keragaman jenis (H!) Shannon & Wiener. Hutan
sekunder Bukit Mandi Angin memiliki keragaman jenis yang sedang karena nilai H!
(nilai indeks keragamannya) memiliki rentang nilai 1 sampai 3. Hal ini
mengindikasikan bahwa penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan ada
kecenderungan salah satu jenis individu untuk tidak mendominasi ekosistem tersebut
(Ardi 2002). Ini dibuktikan dengan ada beberapa jenis tanaman yang mendominasi
dan nilai dominasinya tidak terlalu jauh antara 1 jenis dengan jenis yang lain.
Tanaman-tanaman yang mendominasi ini adalah kayu kacang, petindis, renghas,
luwa dan karamunting.
C. Proses Suksesi di Hutan Mandi Angin
Hutan Mandi Angin yang didominasi oleh salah satunya, petindis dan luwa
mengindikasikan dalam proses suksesi sekunder. Memoar hutan Bukit Mandi Angin
yang dulunya lebat bisa diamati dengan masih terdapatnya marga dipterokarpa
terutama pada daerah punggung bukit dan kawasan dengan kelerangan yang curam
dan memiliki diameter yang besar.
Berdasarkan pembagian tahapan klimaks yang diperikan oleh Soerianegara &
Indrawan (1980). Hutan Mandi Angin masih dalam tahapan semak belukar,
walaupun telah ditemukan adanya tanaman pioneer dalam hutan sekunder muda
seperti alaban (Vitex pubescens), mahang (Macaranga sp) dan Ficus sp.
Tesis ini juga dibuktikan dengan masih banyak terdapat rumpang-rumpang
(gaps of stands), sehingga semak belukar dapat menginvasi karena kelimpahan
cahaya yang cukup tinggi. Biasanya semak belukar merupakan tipe tanaman
28
intoleran (tidak bisa hidup dalam naungan). Ini sesuai dengan pendapat Suri &
Setiabudi (2000) yang menyatakan bahwa suksesi diawali oleh proses invasi
terutama oleh tanaman pioner yang intoleran, khususnya semak belukar.
Namun, karena ada faktor lain seperti eksploitasi oleh manusia baik untuk
timber mining maupun perladangan berpindah dan resetment. Proses suksesi dapat
berjalan retrogresif sehingga hutan Mandi Angin menjadi disklimaks. Soeseno &
Edris (1977) menyebutkan suksesi yang disklimaks sebagai suatu tingkatan yang
sedang berkembang namun dihalangi oleh faktor alam (bukan iklim) yang terjadi
secara permanen.
Dikhawatirkan hutan Mandi Angin akan menjadi disklimaks. Indikasi ini
bisa diamati dengan seringnya terjadi kebakaran lahan pada kawasan ini terutama
pada musim kemarau, aktivitas manusia terutama kegiatan pariwisata yang tidak
berlanjutan dan penggembalaan ternak oleh warga sekitar yang tidak memperhatikan
daya dukung lingkunan.
Padahal Soeseno & Edris (1977) menjelaskan bahwa faktor-faktor di atas
merupakan pemicu proses kemunduran jalannya suksesi menuju tahapan klimaks.
Apalagi ditambah dengan laju erosi yang cukup tinggi sehingga daya dukung hutan
Mandi Angin menjadi makin menipis. Karena unsur hara yang diperlukan untuk
pertumbuhan vegetasi makin berkurang.
Soerianegara & Indrwan (1980) menyimpulkan bahwa suksesi sekunder
bermula dari tahapan vegerasi rumput-rumputan dan semak belukar. Selama laju
erosi tidak terlalu tinggi maka setelah 15 – 20 tahun akan terbentuk hutan sekunder
muda. Baru setelah 30 tahun kemudian terbentuklah hutan sekunder tua yang
berangsur-angsur menuju tahapan klimaks.
29
Hal ini juga selaras dengan pernyataan Riyanto et al (1995) bahwa proses
perubahan dalam struktur komunitas berjalan seiring dengan waktu selama tidak ada
pengaruh kekuatan luar yang destruktif. Suksesi secara prinsipil bersifat direksional
atau selalu menuju klimaks. Perubahan-perubahan ini biasanya disebabkan oleh
faktor lingkungan fisik, interaksi dan kompetisi, koeksistensi populasi. Lebih lanjut
lingkungan fisik sangat menentukan pola dan kadar perubahan bahkan bisa
membatasi proses tersebut.
30
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan hasil penelitian ini adalah :
1. Hutan Mandi Angin memiliki petak minimin untuk pengamatan jenis seluas 512
m2 atau 0,05 hektar
2. Hutan Mandi Angin memiliki keragaman jenis yang relatif rendah dimana dalam
1 petak pengamatan jenis hanya diperoleh 46 jenis tanaman saja
3. Hautan Mandi Angin didominasi oleh Kayu kacang (Stombossia javanica),
renghas (Gluta renghas), petindis, luwa dan karamunting
4. Hutan Mandi Angin merupakan jenis hutan dalam tahap suksesi sekunder muda
B. Saran
Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian yang lebih intensif untuk
mengetahui tingkat pertumbuhan hutan Mandi Angin dan parameter ekologis lainnya
secara lebih komprehensif. Bila perlu pada dibuat plot permanen untuk pengamatan
jenis dan mengetahui struktur dan komposis hutan ini.
31
DAFTAR PUSTAKA
Aqla, Muhammad. 2004. Potensi Flora dan Fauna untuk Pengembangan Ekowisata
pada Hutan Konservasi Loksado. Jurnal Ilmiah Hutan Tropis Borneo. No 15 Edisi Maret Hal : 21 – 30. Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru
Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrozoobento sebagai Indikator Kualitas Perairan
Pesisir. www. Rudyct.topcities. com/PPS. 702_20702/Ardi.htm. Diakses 14 Juli 2005
Arifin, Bustanul. 2001. Misteri Estimasi Kerusakan Hutan Indonesia. Dalam
Bustanul Arifin. Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia Perspektif Ekonomi, Etika dan Praksis. Penerbit Erlangga, Jakarta
Awang, San Afri. 2004. Dekonstruksi Social Forestri : Reposisi Masyarakat dan
Keadilan Lingkungan. Bigraf Publishing, Yogyakarta Departemen Kehutanan. 1994. Pengelolaan Hutan secara Lestari. Depertemen
Kehutanan, Jakarta Kompas. 2005. Ditemukan 361 Spesies Baru Kalimantan. Kompas 2 Mei 2005.
Jakarta Mc Noughton, S.J & L.L Wolf. 1990. Ekologi Umum. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta Pandjaitan, P.D.B. 1988. Pengantar Ekologi Umum. Fakultas Kehutanan
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru Riyanto, et al. 1995. Ekologi Dasar. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Depertemen Pendidikan Nasional Badan Kerjasana Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur, Makasar
Soerianegara, Ismet & A. Indrawan. 1980. Ekologi Hutan Indonesia. Depertemen
Managemen Hutan Institut Pertanian Bogor, Bogor Seoseno, O.H & I. Edris. 1977. Silvics. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Suri, A & Setiabudi. 2000. Pengantar Ilmu Kehutanan. Fakultas Kehutanan
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru
32
Lampiran 1. Data hasil pengamatan kurva spesies area di hutan Mandi Angin
Penambahan No Luas Petak
(m2) Nama Jenis Jumlah Jenis Satuan Persen (%)
1 1 1. Karamunting duduk 2. Jelukap 3. Paku dandang
3 0 0
2 2
4. Litu 5. Rumput kekucingan 6. Kasisap 7. Alang alang (Imperata cylindica)
7 4 133,33
3 4
8. Cangkarik Batu 9. Petindis 10. Sapit undang 11. Tiwangau (Glocnidium Spp) 12. Kemalaka (Phyllantus emblicus) 13. Kayu kacang (Strombossia javanica)
13 6 85,71
4 8
14. Rumput unting- unting
15. Juragi 16. Nanangkaan 17. Kajajahe 18. Mambab 19. Merambung 20. Jawaling (Tristaniopsis Spp)
20 7 53,85
5 16
21. Luwa (Ficus variegata) 22. Bangkal gunung Ixora blumei) 23. Alaban (Vitex pubescens) 24. Jawaling kijang (Tristaniopsis Spp)
24 4 20
6 32
25. Rumpur teke 26. Berunai 27. Tapin 28. Mali-mali 29. Kayu teja 30. Mampat (Cratoxylon formasus)
30 6 25
33
Lampiran 1. Data hasil pengamatan kurva spesies area di hutan Mandi Angin
Penambahan No Luas Petak (m2) Nama Jenis Jumlah
Jenis Satuan Persen (%)
7 64 31. Bati-bati 32. Serai putih 33. Marsihung
33 3 10
8 128
34. Rukam laki 35. Rangka-rangka 36. Mata undang 37. Putar laki 38. Bangkirai 39. Mahang (Macaranga hosei)
39 6 18,16
9 256
40. Laladingan 41. Asam daun 42. Katu utan 43. Kerinyu 44. Birik ( Albizia procera)
44 5 12,02
10 512 45. Karamunting 46. Jawaling (Tristaniopsis Spp)
46 2 4,56
11 1024 47. Kayu tutup 48. Kuniadai 48 2 4,35
Contoh perhitungan : (untuk petak no.2 dengan luas 2 m2) Diketahui : Po = 3
Pt = 7 ΔP = (7 – 3) = 4 Maka persen pertambahan jenis : P = (4/3) x 100 = 133,33 %
34
Lampiran 2. Data pengamatan besaran ekologis pada hutan Mandi Angin No
Plot Nama Jenis jmlh
Tutupan tajuk (%)
Lereng (0) keterangan
1 Alaban (Vitex pubescens) 4 pancang 2 Katu hutan 1 pancang 3 Mahang (Macarangan spp) 3 semai 4 Luwa (Ficus variegata) 9 pancang 5 Kayu tutup 3 pancang 6 Mengkudu hutan 4 semai 7 Mali-mali 2 pancang 8 Tiwangau (Glocnidium spp) 2 pancang 9 Jawaling (Tristaniopsis Spp) 5 semai 11 Liana 1 liana 12 Kapasan 1 semai 13 Petindis 7 semai 14 Nanangkaan 2 semai 15 Bangkal gunung (Ixora blumei) 4 semai 16 Asam daun 1 liana 17 Jambu hutan (Eugenia Spp) 2 semai 18 Medang pirawas (Litsea cassifolia) 1 semai 19
1
Serai merah (Crypocaria spp) 2
70 1
pancang 20 Tiwangau (Glocnidium spp) 1 pancang 21 Mampat (Cratoxylon formasum) 1 pancang 22 Luwa (Ficus variegata)
16 pancang
(11), semai (5)
23 Birik (Albizia procera) 1 pancang 24 Kerinyu 2 pancang 25 Paku-paku sagar 15 herba 26
2
Rangka-rangka 1
30 4
liana 30 Rengas (Gluta renghas) 1 Tiang
(d = 10 cm) 31 Bangkal gunung (Ixora blumei) 3 Pancang 32 Petindis 8 Semai 33 Mampat (Cratoxylon formasum) 1 Semai 34 Nanangkaan 2 Semai 35 Alaban (Vitex pubescens) 3 Semai 36 Jawaling (Tristaniopsis Spp) 3 Semai 37 Paku-pakuaan 6 Herba 38 Tapus 15 Semai 39 Patiti 6 semai 40 Sasahangan 1 pancang 41 Kayu tutup 1 pancang 42
3
Rangka-rangka 2
70 10
liana
35
Lampiran 2. Lanjutan No
Plot Nama Jenis jmlh
Tutupan tajuk (%)
Lereng (0) keterangan
42 Luwa Luwa (Ficus variegata 7 Pancang (1) Semai (6)
43 Petindis 10 Pancang (4) semai (2)
44 Bangkal gunung (Ixora blumei) 1 pancang 45 Mata undang 1 pancang 46 Kajajahe 1 pancang 47 Rengas (Gluta renghas) 2 pancang 48 Mahang (Macaranga spp) 5 semai
49 Jawaling (Tristaniopsis spp) 8 Pancang (4) Semai (4)
50 Nanangkaan 6 Pancang (1)_ semai (5)
51 Kayu Kacang (Srtombossia javanica) 2 Pohon (1) semai 1)
52 Sapit undang 1 pancang 53 Rangka-rangka 1 liana 54 Kayu tutup 2 semai 55 Katu utan 1 pancang 56 Jawaling kijang (Tristaniopsis spp) 1 pancang 57 Kerinyu 3 semai 58 Tilayu 1 pancang 59
4
Minalin 1
50 12
liana 60 Litu 5 liana
62 Kerinyu 18 Pancang (15) Semai (3)
63 Petindis 9 semai
64 Luwa (Ficus variegata) 7 Pancang (3) semai 4)
65 Bengkirai 1 semai 66 Mengkudu 2 pancang 67 Jawaling (Tristaniopsis spp) 2 pancang
68 Nanangkaan 2 Pancang (1) Semai (1)
69 Kajajahe 2 pancang 70 Tabiyu 1 pancang 71 Bangkal gunung (Ixora blumei) 3 semai 72 Kayu tutup 1 pancang 73
5
Karamunting 1
30 13
pancang
36
Lampiran 2. Lanjutan
No Plot Nama Jenis jmlh
Tutupan tajuk (%)
Lereng (0) keterangan
74 Bangkal gunung (Ixora blumei) 1 Pancang
75 Kajajahe 7 Pancang (6) semai (1)
76 Kayu tutup 2 Pancang (1) Semai (1)
77 Merambung (Vernonia arborea) 2 Pancang (1) semai (1)
78 Jawaling kijang (Tristaniopsis spp) 2 Pancang (1) semai (1)
79 Luwa (Ficus variegata) 1 semai 80 Katu utan 1 semai
81 Jawaling (Tristaniopsis spp) 5 Pancang (2) semai (3)
82 Rangka-rangka 2 liana
83 Tiwangau (Glocnidium spp) 4 Pancang (1) semai (3)
84 Balik angin (Mallotus paniculatus) 1 semai
85 Petindis 17 Pancang (8) semai (9)
86 Litu 3 liana 87 Kerinyu 9 pancang 88 Kemalaka (Phyllantus emblicus) 1 semai 89 Karamunting duduk 1 semai 90 Balaran tupah 1 liana 91
6
Alaban (Vitx pubescens) 1
30 14
pohon
100 Petindis 11 Pancang (9) Semai (2)
101 Luwa (Ficus variegata) 6 Pancang (3) Semai (3)
102 Bangkal gunung (Ixora blumei) 4 Pancang (3) semai (1)
103 Kaja jahe 2 semai 104 Nanangkaan 1 pancang 105 Litu 3 semai 106 Jawaling (Tristaniopsis spp) 3 semai 107 Karamunting 3 semai 108 Tiwangau (Glocnidium spp) 1 pancang 109
7
Asam daun 2
10 21
liana
37
Lampiran 2. Lanjutan
No
Plot Nama Jenis jmlh
Tutupan tajuk (%)
Lereng (0) keterangan
110 Karamunting 16 Pancang 111 Petindis 15 semai 112 Luwa (Ficus variegata) 9 pancang 113 Kemalaka (Phyllantus emblicus) 4 pancang 114 Mali - mali 1 pancang 115 Jawaling (Tristaniopsis spp) 9 Pancang 116 Alaban (Vitex pubescens) 1 Semai 117 Tilayu 1 semai 118 Bangkal gunung (Ixora blumei) 5 semai 119 Merambung (Vernonia arborea) 2 pancang 120 Tiwangau (Glocnidium Spp) 4 semai 121 Mengkudu hutan 4 pancang 122 Kayu kacang (Strombossia javanica) 1 pancang 123
8
Bati-bati gunung (Eugenia spp) 1
70 35
pancang 124 Petindis 6 pancang 125 Bangkal gunung (Ixora blumei) 11 semai 126 Karamunting 10 pancang 127 Jawaling (Tristaniopsis spp) 9 semai 128 Luwa (Ficus variegata) 9 semai 129 Kemalaka (Phyllantus emblicus) 2 pancang 130 Alaban (Vitex pubescens) 2 pancang 131 Balik angin (Mallotus paniculatus) 1 semai 132 Kayu tutup 1 semai 133 Tiwangau (Glocnidium Spp) 4 pancang 134 Nanangkaan 1 semai 135 Sapit undang 3 pancang 136 Mengkudu 3 pancang 137 Mampat 2 pancang 138 Kuniadai 1 semai 139
9
Katu utan 1
50 17
pancang 140 Karamunting 25 semai 141 Jawaling 2 pancang 142 Luwa 4 pancang 143 Asam daun 1 liana 144 Mampat 4 pancang 145 Rangka-rangka 1 liana 146 Petindis 5 pancang 147 Katu utan 1 pancang 148
10
Kayu tutup 1
30 17
pancang
38
Lampiran 3. Contoh perhitungan besaran ekologi Contoh Perhitungan : Untuk Alaban (Vitex pubescens) 1. Kerapatan
K = (jumlah individu : luas plot pengamatan) K = (11 : 0,0250) K = (400 batang/ha)
2. Karapatan Relatif (KR) KR = ((kerapatan suatu jenis : total kerapatan) x 100%) KR = ((400 : 20400) x 100%) KR = 2,1569 %
3. Frekuensi (F) F = (jumlah petak ditemukan suatu jenis : seluruh jumlah petak) F = (5 : 10) F = 0,5
4. Frekuensi relatif (FR) FR = (frekuensi suatu jenis : total frekuensi) x 100 % FR = (0,5 : 13,4) x 100 % FR = 3,7313 %
5. Dominasi (D)
D = (jumlah luas bidang dasar : luas plot pengamatan) D = ((1/4π (Σdi2) : 0,0250) D = (1/4 x 3,14 x (0,1722 + 0,12742 + 0,11642) : 0,025 D = 0,0463 : 0,025 D = 1,852 m2/ha
39
Lampiran 3. Lanjutan
6. Dominasi relatif (DR)
DR = (dominasi suatu jenis : Dominasi seluruh jenis) x 100 % DR = (1,852 : 26, 402) x 100 % DR = 7,0146 %
7. Indeks nilai penting (INP)
INP = KR + FR + DR INP = 2,1569 % + 3,7313 % + 7,0146 % INP = 12,9208 %
8. Keragaman Shannon-Wienen (H!) H! = - Σ (Ni/Nt x log Ni/Nt) H! = - (0,0430 x (- 1,3665)) H! = 0,0588