Preview 01 Finalize 15x23 Draft Buku Moratorium Kehutanan 23.04.12

73
MORATORIUM HUTAN & GAMBUT KOMITMEN RADIKAL MENJAGA HUTAN CATATAN STAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG PERUBAHAN IKLIM

description

Buku ini menceritakan proses pengambilan keputusan dan perbedaanharapan yang timbul sejak sebelum kebijakan moratorium diterbitkan, sampaipada saat hampir satu tahun kebijakan tersebut dilaksanakan. Pelajaran yangdapat diambil dari proses negosiasi kerjasama Indonesia dengan Norwegiadan kebijakan penetapan Moratorium Hutan ini, sesungguhnya tidak terbatashanya pembahasan naskah Surat Niat (Letter of Intent) atau lingkup kawasanhutan yang akan dimoratorium saja. Ada berbagai hal terkait lainnya yangbisa diambil sebagai pelajaran berharga, misalnya permasalahan pendanaanREDD+ baik dari debat tentang jumlah dana, mekanisme penyalurannya danprioritas penggunaannya.

Transcript of Preview 01 Finalize 15x23 Draft Buku Moratorium Kehutanan 23.04.12

  • Moratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga Hutan 1MOR ATO R I UM H U TA N & G AMBU T

    KOMITMENRADIKALMENJAGAHUTAN

    CATATAN STAF KHUSUS PRESIDENBIDANG PERUBAHAN IKLIM

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 32

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 54

    Daftar Isi

    Hutan dan Perubahan Iklim

    01

    04

    02

    05

    07

    03

    06

    08

    Di balik Kerjasama Indonesia-Norwegia di Bidang REDD+

    Menghadiri Oslo Climate and Forest Conference

    Penerbitan Inpres Moratorium

    Pujian dan Kritik terhadap Inpres Moratorium

    Pembentukan Lembaga REDD+

    Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB)

    CatatanAkhir

    Apakah Moratorium itu?

    Sejak Indonesia merdeka sampai presiden ke-enam, Presiden SBY merupakan presiden pertama yang mengeluarkan kebijakan radikal menghentikan proses perizinan terhadap hutan alam primer yang tersisa dan lahan gambut.

    Kata moratorium memiliki berbagai makna. Akar kata moratorium dalam bahasa Latin adalah morari yang berarti menunda, sedangkan mora berarti tertunda. Sehingga makna kata moratorium dari segi bahasa adalah kurun waktu untuk menunda atau penetapan waktu tunggu sebelum sesuatu dilakukan. Tergantung konteks kalimatnya, moratorium juga berarti kebijakan untuk menunda sesuatu.

    Tuntutan agar pemerintah melakukan moratorium pembalakan hutan sudah terdengar disuarakan oleh berbagai LSM lingkungan hidup, mulai dari WALHI, SKEPHI, sejak dua puluh tahun yang lalu, tepatnya setelah periode pembalakan hutan secara besar-besaran dengan pemberian konsesi HPH kepada orang atau institusi yang berjasa kepada negara, di jaman pemerintahan Presiden Soeharto.

    Oleh karenanya, ketika Presiden SBY membekali saya amunisi sebelum melakukan negosiasi akhir kerjasama REDD+ di Oslo dalam bentuk kesiapan Pemerintah Indonesia untuk memberlakukan jeda balak atau logging moratorium dan moratorium konversi hutan dan lahan gambut, amunisi tersebut adalah sesuatu yang sangat berharga untuk menaikkan posisi tawar Indonesia. Jeda balak dan jeda konversi lahan di kawasan hutan primer dan sekunder sudah lama diinginkan oleh organisasi pelestarian hutan dan lingkungan, tidak saja di Indonesia akan tetapi juga di Norwegia dan banyak negara maju lainnya.

    Buku ini menceritakan proses pembahasan kerjasama REDD+ antara Indonesia dan Norwegia, yang kemudian menghasilkan komitmen

    Kata Pengantar Penulis

    Moratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga Hutan 5

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 76

    pembiayaan sebesar satu milyar dollar, atau lebih dari 9 trilyun rupiah. Karena tema sentral dalam buku ini adalah jeda balak dan jeda konversi, yang sudah lama diharapkan oleh banyak pihak, ada berbagai pengertian dan harapan terhadap kebijakan moratorium tersebut. Berbagai organisasi dan pakar konservasi hutan menginginkan jeda balak dan jeda konversi lahan hutan dilakukan untuk seluruh kawasan hutan. Harapan jeda untuk seluruh bentuk pemanfaatan hutan tersebut pada titik yang paling ekstrim menginginkan pemerintah menekan tombol pause sehingga film pemanfaatan kawasan hutan tiba-tiba berhenti, membeku dan hening.

    Disisi ekstrim yang lain, yang dimotori oleh sebagian pengusaha yang memanfaatkan lahan hutan dan gambut, termasuk penggalian mineral dan bahan tambang lainnya, serta di dukung oleh para Bupati yang terlanjur mengikat janji dengan para pendukungnya ketika Pemilihan Kepala Daerah berlangsung, menolak adanya kebijakan yang menghentikan atau menghambat kegiatan pemanfaatan kawasan hutan dan lahan gambut. Dalam forum-forum diskusi menjelang dan sesudah kebijakan moratorium diterbitkan, pendapat yang membela eksploitasi kawasan hutan dan gambut sering disampaikan dengan suara yang lantang dan nada yang keras: Busines as usual is good, why change a good (profitable) policy?

    Permasalahannya sederhana, Pemerintah berkewajiban membuat kebijakan yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan warganya yang sedang mengupayakan perbaikan kesejahteraan hari ini dengan keselamatan generasi yang akan datang, anak cucu kita, dari ancaman bencana perubahan iklim, kekeringan, banjir dan longsor di berbagai pelosok Indonesia.

    Buku ini menceritakan proses pengambilan keputusan dan perbedaan harapan yang timbul sejak sebelum kebijakan moratorium diterbitkan, sampai pada saat hampir satu tahun kebijakan tersebut dilaksanakan. Pelajaran yang dapat diambil dari proses negosiasi kerjasama Indonesia dengan Norwegia dan kebijakan penetapan Moratorium Hutan ini, sesungguhnya tidak terbatas hanya pembahasan naskah Surat Niat (Letter of Intent) atau lingkup kawasan hutan yang akan dimoratorium saja. Ada berbagai hal terkait lainnya yang bisa diambil sebagai pelajaran berharga, misalnya permasalahan pendanaan REDD+ baik dari debat tentang jumlah dana, mekanisme penyalurannya dan prioritas penggunaannya.

    Moratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga Hutan6

    REDD+ tidak dapat diharapkan sebagai silver bullet untuk menyelesaikan masalah Kehutanan dan emisi karbon dari kawasan hutan, bila dananya hanya boleh digunakan untuk kegiatan berbentuk studi, perencanaan atau pembuatan peraturan - sementara tantangan kegiatan ekonomi yang merusak hutan perlu dijawab dengan terobosan untuk melakukan investasi dan kegiatan perekonomian yang lebih bersahabat dengan hutan dan gambut.

    Sampai saat ini belum tercapai kesepakatan dengan negara-negara yang akan membiayai REDD+. Bisakah dana REDD+ digunakan untuk misalnya: membangun pabrik sepatu, kebun kelapa sawit di lahan hutan yang rusak, industri berbasis hutan atau ekonomi kreatif lain yang memberikan pendapatan pengganti agar penduduk setempat, termasuk pelaku usaha lokal dan nasional, tidak melanjutkan kegiatan ekonomi yang merusak hutan dan gambut?

    Selain itu, kencenderungan negara maju untuk menyalurkan dana REDD+ melalui lembaga keuangan multilateral dan/atau PBB menjadi penghambat dalam penerapan kegiatan REDD+. Lembaga-lembaga internasional tersebut adalah birokrasi besar, yang perlu direformasi dulu agar para petani dan masyarakat yang bekerja menjaga hutan dan mencegah kebakaran lahan dan hutan tidak harus menunggu 2 (dua) sampai 3 (tiga) tahun untuk memperoleh kompensasi. Perdebatan mengenai mekanisme penyaluran dana REDD+ dan prioritas penggunaannya akan dibahas pada buku lain.

    Semoga pelajaran dari proses penerbitan kebijakan moratorium ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya bersama merubah arah pembangunan ekonomi yang dimasa lalu terbukti merusak lingkungan dan membahayakan keselamatan manusia, menjadi kegiatan pembangunan ekonomi yang adil, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

    Jakarta, 15 April 2012

    Tim Penulis

    Agus Purnomo, Yani Saloh, Eka Melisa, Nur Rochmani Fajar dan Lalitia Apsari

    Moratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga Hutan 7

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 98

    Saya akan terus bekerja dan

    membaktikan masa tiga tahun terakhir

    saya sebagai Presiden untuk mencapai

    pengelolaan hutan dan lingkungan

    Indonesia yang berkelanjutan, tegas

    Presiden.

    Jakarta, 27 September 2011

    Riuhnya tepuk tangan hadirin menggema di Ballroom Hotel Shangri-la Jakarta,seusai Presiden SBY menyampaikan pidatonya dalam acara Konferensi Hutan Indonesia yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).

    Saya pun turut bertepuk tangan, rasa haru campur bangga, mendengar penegasan Presiden yang bertekad untuk melindungi hutan Indonesia untuk anak cucu kita kelak. Saya akan terus bekerja dan membaktikan masa tiga tahun terakhir saya sebagai Presiden untuk mencapai pengelolaan hutan dan lingkungan Indonesia yang berkelanjutan, tegas Presiden dalam pidato tersebut.

    Penegasan komitmen Presiden tersebut sangat beralasan, karena hutan tropis Indonesia merupakan yang terbesar ke-3 di dunia, setelah Brazil dan Congo. Saat

    Hutan dan Perubahan Iklim

    BAB 1

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 1110

    ini luas tutupan hutan di seluruh dunia berkisar 4 miliar hektar, mewakili 30% dari daratan di bumi. Sekitar limapuluh enam persen (56%) dari hutan tersebut berada di kawasan tropis dan sub tropis, dengan sebarannya terbanyak berada di Brazil, Congo (DRC), Indonesia, Cina, Rusia dan Amerika/Kanada.

    Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 104.000.000 km, dengan kondisi geografis yang unik yaitu terletak diantara 2 benua/samudera: benua Asia dan Australia; dan samudera Pasifik dan Hindia. Tercakup ke dalam dua alam biogeografis utama, yaitu Indomalaya dan Australasia, dengan Garis Wallace diantaranya,Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa dan merupakan negara megabiodiversity, yaitu negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat besar, dan tingkat endemik yang tinggi.

    Hutan kita merupakan anugerah Tuhan yang luar biasa, dengan lebih dari sepuluh persen keanekaragaman tanaman dan hewan di muka bumi hanya ditemukan di Indonesia, termasuk orangutan, gajah, harimau, badak, ribuan spesies burung dan spesies tanaman.

    Hutan kita merupakan rumah bagi 12 persen mamalia dunia, 16 persen spesies reptil dan amfibi, serta 17 persen spesies burung. Lebih dari 10.000 spesies pohon tercatat tumbuh di seluruh Nusantara. Setiap tahunnya masih banyak lagi spesies yang ditemukan, kata Presiden SBY lebih lanjut.

    Mengenai fungsi hutan, pada Konferensi Hutan Indonesia tersebut, Presiden SBY menjelaskan: Hutan sangatlah penting bagi kehidupan kita.

    Hutan memiliki fungsi yang penting bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya. Hutan adalah sumber penghidupan masyarakat lokal, baik sebagai sumber makanan, obat-obatan, bahan bangunan, serat pakaian, maupun tempat hunian, khususnya bagi masyarakat adat. Ratusan kelompok masyarakat adat telah hidup dengan mengelola hutan dan sumber alam di wilayah adat masing-masing menggunakan kearifan lokal selama ribuan tahun.

    Hutan juga memberikan jasa ekosistem, tempat hidup flora dan

    fauna, tempat menyerap dan menyimpan air hujan, sebelum dikembalikan ke permukaan tanah sebagai mata air di hutan, dan melindungi tanah dari erosi dan longsor. Yang tak kalah pentingnya, hutan merupakan pengatur iklim, melalui kumpulan pohon-pohonnya dapat memproduksi Oksigen (O2) bagi kehidupan manusia dan menyerap karbondioksida (CO2) diudara . Bagi perekonomian nasional, hutan merupakan sumber devisa dari hasil kayu, maupun hasil non kayu (NTFP), mulai dari berbagai komoditi pertanian hingga kegiatan ekoturisme.

    Hutan dalam perekonomian dunia

    Tidak bisa dipungkiri bahwa selain memiliki fungsi menjaga keberlanjutan ekosistem, hutan juga memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian dunia. Pada tahun 2003, perdagangan internasional untuk kayu gergajian, bubur kayu, kertas dan papan jumlahnya mencapai 150 miliar dolar AS atau dua persen lebih dari perdagangan di dunia.

    Perusahaan berbasis hutan menyediakan di banyak negara berkembang setidaknya sepertiga lapangan pekerjaan bagi penduduk desa dan memberikan pendapatan bagi negara melalui penjualan produk-produk kayunya.

    Sementara nilai perdagangan hasil hutan bukan kayu (HHBK) di dunia diperkirakan mencapai 11 miliar dolar AS per tahun. Hasil hutan tersebut diantara berasal dari tumbuhan farmasi / obat-obatan, jamur, kacang, sirup dan gabus. Pendapatan negara dari hutan dan hasil hutan Indonesia pada tahun 1985 adalahsebesar 1,2 miliar dolar AS dan meningkat menjadi 5 miliar dolar AS pada tahun 2005.

    Hutan merupakan sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan.

    DataWorld Bank 2004 menyebutkan bahwa 1,2 miliar orang di dunia hidupnya tergantung kepada hutan sebagai mata pencaharian.

    Lebih dari 2 miliar orang (sepertiga dari populasi dunia)menggunakan kayu bakar untuk memasak dan menghangatkan

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 1312

    rumah mereka.

    Ratusanjutaorangbergantungpadaobat-obatantradisionalyangdiperoleh dari dalam hutan. Di 60 negara berkembang, berburu satwa dan mengambil ikan di lahan berhutan memberikan sumbangan lebih dari seperlima terhadap total kebutuhan protein masyarakat.

    Di Indonesia sendiri di perkirakan terdapat 48 juta orang hidupbergantung dari hutan. (Kementerian Kehutanan, 2009)

    Indonesia dalam Pasar Kelapa Sawit Dunia

    Produksi kelapa sawit Indonesia ditargetkan akan meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan. Pada tahun 2011 produksi minyak sawit mentah diperkirakan mencapai sekitar 23,5 juta ton, jumlah yang meningkat tajam dibandingkan produksi tahun 2009 yang hanya 19,4 juta ton dan pada tahun 2010 sebesar 21 juta ton. Industri sawit nasional ini juga menyumbang devisa bagi negara sebesar 17 miliar dollar AS setiap tahunnya.

    Pembukaan kebun kelapa sawit baru dan pembangunan infrastruktur bagi perkebunan seperti jalan dan fasilitas lain di atas lahan gambut merupakan sumber emisi gas rumah kaca. Selain itu, di banyak lokasi kebun sawit terdapat konflik penguasaan lahan dengan masyarakat setempat dan sistem plasma yang tidak berjalan dengan baik.

    Tuntutan pasar global terhadap produk sawit yang ramah lingkungan semakin tinggi, terutama permintaan minyak kelapa sawit dari Amerika Serikat dan Eropa. Agar Indonesia dapat terus memenuhi memenuhi permintaan pasar global, upaya untuk memperbaiki praktek pembukaan kebun baru dan pengelolaan (peran serta) masyarakat di sekitar kebun sawit harus dilakukan. Pemerintah telah berkomitmen perluasan

    kebun kelapa sawit hanya boleh dilakukan diatas lahan hutan yang rusak, dan tidak dilakukan dengan menebang hutan alam atau diatas lahan gambut.

    Persyaratan pembukaan kebun baru dan pengelolaan kebun kelapa sawit lestari ini dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa standar yang telah diatur oleh ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang bertumpu pada kewajiban yang diatur oleh perundangan di Indonesia dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang telah diakui sebagai rujukan pasar internasional.

    Kerusakan Hutan dan Gambut sebagai sumber emisi gas rumah kaca (GRK)

    Ketika hutan tropis hancur dan deforestasi terjadi, kita akan kehilangan penyerap karbon dalam jumlah besar. Penebangan pohon atau kebakaran hutan dan lahan gambut melepaskan karbondioksida (CO2) dan gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer, yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Kita dapat melihat bahwa kekeringan dan banjir, gagal panen, kekurangan air dan meningkatnya jumlah pengungsian sering terjadi pada wilayah - wilayah yang terkena dampak dari perubahan iklim.

    Hutan menghilang dengan kecepatan yang tinggi, sekitar 130 000 km2 setiap tahunnya, atau seluas negara Inggris. Hilangnya hutan seluas itu menimbulkan emisi karbon yang sangat besar, sekitar seperlima dari emisi karbon seluruh dunia, lebih besar dari jumlah yang dikeluarkan oleh semua mobil, kapal laut, bus dan pesawat terbang.

    Secara global tercatat sekitar 5,3 miliar ton karbon dilepaskan per tahunnya akibat berubahnya tata guna lahan (hutan dan gambut) dan kerusakan hutan. Emisi yang bersumber dari deforestasi mewakili sekitar 16 persen dari total emisi karbon dunia saat ini, kurang lebih sama dengan emisi sektor transportasi yang berasal dari sekitar 600.000.000 mobil, 400.000.000 sepeda motor, ratusan ribu pesawat terbang dan kapal laut di dunia.

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 1514

    Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang emisi GRK utama dari sektor deforestasi dan degradasi hutan. Emisi GRK Indonesia ini sebagian besar berasal dari kebakaran dan drainase lahan gambut dengan emisi tahunan tidak kurang dari 0,5 miliar ton karbon. Sebagai negara yang dituding dengan tingkat laju deforestasi terbesar ke-2 di dunia (setelah Brazil), Kementerian Kehutanan mencatat laju deforestasi di Indonesia berkisar antara 1,17 juta ha/tahun pada dua dekade terakhir. Laju deforestasi itu meliputi deforestasi di dalam kawasan hutan sebesar 0,76 juta ha/tahun (64,8%) dan 0,41 juta ha/tahun (35,2%) di luar kawasan hutan (areal penggunaan lain).

    Kita harus meningkatkan usaha untuk menurunkan emisi yang bersumber dari kegiatan alih guna lahan dan kehutanan, yang disingkat LULUCF (Land-use, Land-use Change and Forestry). Sekitar 80 persen emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari kegiatan alih guna lahan dan hutan, kata Presiden SBY dalam pidatonya pada kesempatan yang sama.

    Data yang ada menunjukkan bahwa kerusakan hutan di Indonesia disebabkan oleh kegiatan alih guna lahan dan gambut serta kebakaran hutan dan pembalakan liar. Lemahnya pengawasan terhadap penerapan aturan tebang pilih dan kewajiban penanaman kembali bagi pemilik konsesi HPH, merajalelanya pembalakan liar dan diterbitkannya berbagai izin konversi hutan oleh Kementerian Kehutanan dan pemerintah Kabupaten, merupakan hal-hal yang telah mewarnai kerusakan hutan di Indonesia

    Sumber emisi karbon yang paling besar ditemukan pada lahan gambut yang diubah menjadi lahan pertanian, khususnya kebun kelapa sawit. Meskipun biaya dan tenaga untuk pengembangan kelapa sawit di lahan gambut relatif mahal dan produktifitas kebunnya juga rendah dibandingkan dengan kebun sawit di lahan mineral, akan tetapi tingginya harga minyak kelapa sawit di pasar internasional membuat sejumlah lahan gambut di Areal Penggunaan Lain (APL) dimanfaatkan sebagai kebun baru kelapa sawit.

    Sumber lainnya adalah keterlambatan sebagian industri kertas dan bubur kayu dalam pengembangan Hutan Tanaman Industri mereka, sehingga sebagian besar industri tersebut masih menggunakan bahan

    baku kayu yang ditebang dari hutan alami, yang berarti menimbulkan deforestasi.

    Kerusakan hutan dan lahan gambut tidak hanya menyebabkan bertambahnya emisi karbon tetapi juga menimbulkan ancaman terhadap kelangsungan hidup satwa langka seperti Harimau dan Gajah Sumatera, dan berlanjutnya konflik horisontal yang melibatkan masyarakat adat dan warga desa di sekitar hutan.

    Keinginan untuk turut serta mengatasi masalah pemanasan global dan menghindari dampak sosial dan ekonomi akibat kerusakan hutan, membutuhkan penyelamatan hutan tropis. Saya kembali teringat pidato Presiden SBY dalam Konferensi Hutan Indonesia tentang jalan panjang untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. Suatu perjalanan yang panjang masih harus kita lalui. Kita harus melakukan berbagai upaya untuk mengurangi sumber emisi gas rumah kaca, seperti pembalakan hutan, kebakaran hutan dan lahan, serta pengeringan lahan gambut. Kita akan terus bekerja keras untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, tekad Presiden SBY yang adalah komitmen kita semua.

    Deforestasi sebagai akibat dari pembalakan liar

    Mengatasi persoalan pembalakan liar bukanlah pekerjaan yang mudah karena tantangan di lapangan merupakan kombinasi dari keterbatasan sumber ekonomi masyarakat, kebutuhan bahan baku perusahaan kertas dan pulp, ekspor kayu gelondongan secara illegal ke negara tetangga dan tingginya kebutuhan bahan baku kayu bagi berbagai kebutuhan di dalam negeri, termasuk bagi bahan bangunan, furniture dan industri kreatif yang terbuat dari kayu.

    Pembalakan liar memberikan kontribusi yang besar terhadap deforestasi hutan, menyebabkan perubahan iklim dan menyengsarakan masyarakat yang kehidupannya bergantung pada hutan dan mengancam kehidupan satwa liar.

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 1716

    Deforestasi dari ekspansi perkebunan dan industri

    Deforestasi dan degradasi lahan kerap kali dihubungkan dengan pengembangan industri hutan dan perkebunan, misalnya kelapa sawit. Saat ini industri kelapa sawit Indonesa tengah berkembang dengan pesat, seiring dengan meningkatkan kebutuhan dunia terhadap pangan, kosmetik serta biofuel. Pada tahun 2011, Indonesia merupakan negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, yang mengisi 50% dari kebutuhan minyak sawit dunia. Sementara Malaysia berada di urutan ke-2 yang mengisi 45% kebutuhan minyak sawit dunia, yang kemudian diikuti oleh negara lainnya seperti Ghana, Nigeria, Kolombia dan Thailand, masing-masing sebesar 5%.

    Pada tahun 2011, total areal kelapa sawit mencapai 8 juta hektar, yang seluruhnya berada di luar kawasan hutan atau yang disebut sebagai Areal Penggunaan Lain (APL). Sebagian kebun sawit dibangun diatas lahan yang sebelumnya berstatus kawasan hutan dan sudah rusak karena pengelolaan konsesi HPH yang buruk atau karena konflik penguasaan lahan yang berkepanjangan. Kawasan hutan yang rusak tersebut kemudian diubah statusnya menjadi lahan APL dan dikeluarkan dari kawasan hutan, sehingga dimungkinkan penerbitan izin untuk pembuatan kebun kelapa sawit.

    Dilihat dari sejarah pengelolaan kawasan hutan, perluasan kebun sawit merupakan penyebab kerusakan hutan yang hadir paling akhir, yaitu setelah hutannya dirusak oleh pemilik konsesi HPH dan pembalakan liar (illegal logging). Ditinjau dari luasan keseluruhan kebun sawit dalam kurun waktu dua dasawarsa, maka kebun sawit di lahan mineral adalah penyebab emisi karbon yang paling kecil setelah kebakaran hutan dan pembalakan liar.

    Kebakaran juga berdampak buruk terhadap perekonomian, politik, sosial, kesehatan, dan kerusakan ekologi tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Hasil analisa satelit pada tahun 1997-1998 mengungkapkan bahwa sekitar 80% dari kebakaran hutan dan lahan berasal dari kegiatan terkait pembukaan kebun tanaman industri atau kelapa sawit.

    Penurunan Laju Deforestasi di Indonesia

    Sumber emisi terbesar dari sektor kehutanan adalah kebakaran yang terjadi di lahan gambut yang merupakan tempat tersimpannya gas karbon dalam jumlah besar, khususnya di kubah gambut (dome) yang tersebar di pulau Sumatera dan Kalimantan.

    Pada 1982-1983 lebih dari 9,1 juta hektar (3,7 juta ha) lahan dibakar di pulau Kalimantan sebelum musim hujan tiba, sementara lebih dari 2 juta hektar lahan hutan dan semak belukar terbakar selama peristiwa El Nio 1997-1998.

    Lemahnya penegakan hukum adalah dampak langsung dari desentralisasi pengelolaan hampir seluruh kawasan hutan dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten. Laju deforestasi, baik di hutan negara maupun hutan non-negara adalah 1.870.000 hektar per tahun pada periode 1990-1996.

    Perbedaan yang signifikan antara laju deforestasi hutan negara (hijau tua) dan hutan non-negara (hijau muda) terutama disebabkan oleh permintaan pasar untuk kayu dan pertanian, kebakaran hutan, khususnya selama musim kering yang panjang El Nino, dan kebutuhan pembangunan lainnya seperti infrastruktur, permukiman dan kegiatan pertambangan.

    Pada kurun waktu transisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis laju deforestasi 1997-2000 meningkat menjadi sekitar 3.510.000 hektar per tahun.

    Beberapa tahun kemudian, setelah perbaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam terjadi, laju deforestasi mengecil pada tahun-tahun 2001-2003 menjadi sekitar 1,08 juta hektar per tahun.

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 1918

    Pada periode dari 2004-2006, laju deforestasi Indonesia terjaga tetap rendah, sekitar 1,17 juta hektar per tahun, dan pada tahun 2007-2009, laju deforestasi berada pada kisaran 0,83 juta hektar per tahun. Sementara pada tahun 2009-2011, laju deforestasi berkurang hampir setengahnya menjadi 0,45 juta hektar per tahun.

    Dapat dilihat bahwa dalam satu dekade terakhir, laju deforestasi di Indonesia menurun dalam jumlah besar.

    Sumber Kemenhut 2012

    Laporan yang diterbitkan FAO (Food and Agriculture Organization) pada bulan Maret 2010 memberikan berita baik mengenai keberhasilan upaya menekan laju deforestasi di Indonesia sehingga turun pada kisaran 500 ribu hektar per tahun di tahun 2009. Laporan yang bersifat independen oleh badan PBB ini memberikan tambahan semangat untuk melanjutkan perjalanan panjang menunju pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

    Upaya Dua Dekade untuk Penurunan Emisi

    Beberapa upaya telah diterapkan oleh Indonesia untuk menurunkan laju emisi akibat perubahan tata guna lahan dan kerusakan hutan. Perbaikan kebijakan pengelolaan hutan, termasuk pengelolaan kawasan hutan telah digalakkan selama tujuh tahun terakhir. Penegakan hukum untuk menekan pembalakan liar dan pelarangan penggunaan api ketika mempersiapkan kebun juga dilakukan secara bersungguh-sungguh.

    Pelibatan perusahaan dan industri yang berbasis hutan juga dilakukan secara menyeluruh. Penurunan laju deforestasi menjadi lebih mudah dilakukan ketika industri kehutanan berhasil meningkatkan efisiensi mesin dan produktifitas Hutan Tanaman Industri mereka, termasuk melakukan pembatasan penggunaan kayu yang ditanam sendiri dan bukan

    dari hutan alam sebagai bahan baku produksi.

    Skema sertifikasi sebagai upaya menekan pembalakan liar

    Ada banyak skema sertifikasi pengelolaan hutan yang dapat dipilih untuk memberikan insentif kepada para pemilik konsesi hutan, diantaranya:

    Sertifikasi oleh Forest Stewardship Council (FSC), yang menjamin bahwa produk kayu yang telah disertifikasinya berasal dari hutan yang dikelola dengan baik. Sertifikat FSC berarti pohon yang dibalak sesuai dengan hukum negara setempat, dikelola dengan standar tinggi dan menghormati hak masyarakat lokal (adat). Sertifikat FSC memungkinkan pedagang dan konsumen produk kayu memilih kayu yang berasal dari hutan yang dikelola dengan baik.

    Lembaga Ekolabeling Indonesia, Canadian Standarts Association, Malaysian Timber Certification Council, Program for the Endorsement of Forest Certification Schemes dan Sustainable Forestry Initiative.

    Uni Eropa melalui program Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) yang mendukung pengembangan Voluntary Partnership Agreements (VPAs) bagi negara produsen kayu. Perjanjian ini diharapkan dapat meningkatkan perlindungan hutan karena kayu yang diperbolehkan masukke Eropa hanyalah kayu dari negara produsen yang telah menandatangani perjanjian untuk mengelola hutan secara lestari.

    Namun pendekatan sukarela dengan skema sertifikasi ini tidaklah cukup untuk mengalahkan perdagangan kayu ilegal. Ada beberapa keterbatasan pendekatan sertifikasi lacak balak

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 2120

    ini, misalnya VPA hanya berlaku untuk transaksi di antara negara-negara yang bersepakat mengelola hutan secara lestari. Negara yang tidak menandatangani VPA masih bisa memasok kayu ke UniEropa melalui negara pihak ketiga yang memiliki akses ke pasar UniEropa. Belum lagi perdagangan produk kayu seperti kertas dan furniture saat ini masih dikecualikan.

    Perbaikan juga terjadi di program kehutanan sosial dan inisiatif lain untuk mengurangi kemiskinan dan memberdayakan masyarakat yang hidupnya bergantung pada sekitar hutan, sehingga membantu penurunan laju deforestasi. Untuk memperkuat upaya-upaya dalam mengurangi deforestasi, pemerintah telah mengalokasikan ratusan jutaan dolar dari APBN, sumber pendanaan yang sangat berharga dan langka, untuk merehabilitasi hutan yang rusak dan untuk mendukung program reboisasi dalam dekade terakhir.

    Penurunan laju emisi juga harus dilakukan dengan menambah kapasitas penyerapan karbon pada hutan di Indonesia. Salah satu program penyerapan karbon saat ini dirancang dengan target yang ambisius yaitu penanaman satu miliar pohon baru setiap tahunnya.

    Target tersebut perlu dicapai tidak hanya oleh program pemerintah, tetapi juga dengan melibatkan kebun kayu yang dikembangkan swasta dan melalui program program kerakyatan dalam rehabilitasi Daerah Aliran Sungai atau hutan lindung.

    Kebijakan terkini yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden SBY adalah melakukan komitmen radikal dalam menjaga hutan yaitu dengan menerapkan moratorium atau penghentian penerbitan/pemberian Izin pembukaan lahan baru pada hutan alam dan lahan gambut guna mencegah kerusakan yang lebih besar yang dapat meningkatkan secara siknifikan jumah kontribusi emisi gas rumah kaca dari Indonesia. Kebijakan moratorium ini menjadi bagian upaya penurunan emisi Indonesia melalui Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD+).

    Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ dibentuk oleh Presiden SBY untuk memastikan terbentukannya Lembaga REDD+ dan mekanisme terkait yang akan melancarkan pelaksanaan REDD+ ini seperti mekanisme pendanaan. Lembaga REDD+ juga akan bertanggung jawab pada seluruh aspek dari upaya penurunan emisi termasuk memastikan tidak terjadi dampak negatif dari upaya REDD+ pada keanegaragaman hayati dan juga menjaga keterlibatan aktif semua pihak termasuk masyarakat adat dan penduduk sekitar lahan hutan dan lahan gambut.

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 2322

    Beri kami komitmen pendanaan satu

    miliar dollar, agar tercipta momentum

    untuk sebuah reformasi pengelolaan

    hutan dan gambut, kata Saya.

    Puluhan Tahun Bekerjasama

    Dalam catatan saya, kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norwegia dibidang lingkungan hidup dan konservasi alam telah berlangsung lama. Tidak hanya diantara kedua pemerintahan, tetapi juga melibatkan organisasi non pemerintah yang bergerak dalam isu konservasi, seperti misalnya Yayasan WWF Indonesia. Dukungan Pemerintah Norwegia terhadap upaya konservasi alam di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Jambi bahkan sudah berlangsung sejak pertengahan dekade 1990-an, dengan keterlibatan para pakar antropologi dan konservasi Norwegia yang berbaur dalam kegiatan penelitian dan pengembangan masyarakat dengan masyarakat adat.

    Meskipun demikian, sebagaimana kerjasama bilateral lainnya, ada saat ketika kerjasama tersebut mengalami masalah. Salah satunya adalah keterlambatan

    Di balik Kerjasama Indonesia-Norwegia di Bidang REDD+

    BAB 2

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 2524

    pelaksanaan bantuan teknis dan pelaporan kegiatan dari Kementerian Lingkungan Hidup RI (KLH) kepada Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta pada awal periode Kabinet Indonesia Bersatu Pertama (KIB 1).

    Seingat saya, dua kali Duta Besar Norwegia di Jakarta tahun 2005 dan 2006, Bjrn O. Blokhus, menghadap Menteri Lingkungan Hidup RI, Prof. Rachmat Witoelar, untuk menyampaikan permasalahan kerjasama bilateral di bidang pelestarian lingkungan di Sumatera. Menteri Rachmat Witoelar menanggapi kekecewaan tersebut dengan menugaskan pejabat eselon satu KLH yang baru dilantik untuk melakukan percepatan penyelesaian kegiatan dan pembuatan laporannya.

    Hubungan yang sedikit renggang tersebut menjadi erat kembali pada saat Indonesia menjadi tuan rumah UNFCCC COP-13 pada tahun 2007 di Bali. Pertemuan COP-13 menjadi tumpuan banyak negara Eropa untuk mempersiapkan pertemuan COP-15 yang mereka harapkan dapat menjadi tonggak sejarah keberhasilan membuat komitmen penurunan emisi yang besar dan berarti. Berbagai bantuan ditawarkan untuk memudahkan penyelenggaraan COP-13 mulai dari pembiayaan pertemuan pendahuluan (Pre-COP) yang mengundang lebih dari 30 Menteri Perubahan Iklim (Lingkungan Hidup) dari baik negara berkembang, maupun negara maju, sampai penyelenggaraan berbagai seminar pada saat COP-13 diselenggarakan.

    Atas perkenan Allah SWT, kerja keras para diplomat Indonesia dibawah koordinasi Menteri Luar Negeri Hasan Wirayuda, kemahiran Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar sebagai Presiden UNFCCC COP-13 dalam mengelola persidangan dan kepemimpinan Presiden SBY yang memantau secara langsung kemajuan perundingan, termasuk melakukan dua kali intervensi di sesi pleno bersama Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, COP-13 berhasil menelurkan berbagai keputusan yang menembus kebuntuan perdebatan perubahan iklim, termasuk keputusan mengenai kegiatan penurunan emisi yang bersumber dari kerusakan hutan di negara berkembang (REDD+).

    Keberhasilan di COP-13 tersebut membuahkan beberapa dukungan bagi Indonesia dalam bentuk kerjasama bilateral dan multilateral, mulai

    dari berbagai pendanaan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan gambut, sampai kepada sumber energi yang terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Panas Bumi (geothermal).

    Komitmen sahabat untuk mendukung, menguatkan tekad memperbaiki diri

    Bonn, Jerman, Juni 2008

    Pada pertemuan tengah tahunan UNFCCC di Bonn, Jerman bulan Juni 2008, perdebatan mengenai rumusan REDD+ kembali memanas. Beberapa negara mengajukan tambahan jenis kegiatan yang mereka ingin dimasukkan ke dalam mekanisme REDD+. Delegasi Indonesia juga turut mengajukan usulan agar penurunan emisi dari lahan kritis atau degradasi lahan, khususnya lahan gambut, dapat dimasukkan dalam skema REDD+. Perdebatan semakin ramai seiring dengan upaya intensif dari Delegasi Polandia, Denmark dan Uni Eropa untuk mensukseskan UNFCCC COP-14 di Poznan dan COP-15 di Kopenhagen.

    Sambil memantau negosiasi di ruang sidang melalui laporan laporan berkala negosiator Delegasi RI, saya meniup secangkir kopi panas saat berbagi meja di koridor Hotel Maritim, Bonn, dengan beberapa anggota delegasi negara lain. Melihat saya sedang berdiri dengan secangkir kopi di tangan, beberapa delegasi pengamat yang mewakili organisasi lingkungan hidup mendekati saya untuk mendiskusikan salah satu rancangan dokumen yang akan digunakan sebagai acuan dalam kerjasama REDD.

    Pembicaraan dokumen tersebut kemudian beralih ke pertanyaan yang diajukan Lafcadio Cortessi, salah satu staf Greenpeace Internasional yang mampu berbicara dalam bahasa Indonesia, kepada saya: So Pungki, kira-kira insentif apa yang diperlukan Indonesia untuk mengurangi emisi dari lahan hutan? Sambil tersenyum saya menjawab: Beri kami komitmen pendanaan satu miliar dollar, agar tercipta momentum untuk sebuah reformasi pengelolaan hutan dan gambut.

    Mereka semua tertawa, termasuk beberapa anggota delegasi

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 2726

    dari kawasan Skandinavia. Saya pun ikut tertawa, sambil menambahkan, Yang saya katakan barusan adalah hal yang serius, coba kalian mobilisasi komitmen tersebut dan saya jamin kita akan menyaksikan perubahan yang bermakna di Indonesia.

    Dalam hal pendanaan REDD+, sejarah membuktikan bahwa Norwegia adalah negara pertama dan yang paling besar kontribusinya terhadap pembiayaan REDD+, dimulai dengan pendanaan program REDD Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), yang dikenal dengan nama UN-REDD. Bersamaan dengan pembiayaan UN-REDD, Norwegia juga memberikan komitmen pembiayaan REDD+ secara bilateral, yaitu komitmen pendanaan satu miliar dollar kepada Brazil untuk penyelamatan hutan Amazon.

    Pengumuman komitmen pendanaan Norwegia kepada Brazil tersebut menumbuhkan minat dari negara-negara pemilik hutan lainnya, termasuk Indonesia, untuk melakukan kerjasama bilateral serupa. Pada kuartal ketiga tahun 2008 (sebelum UNFCCC COP-14 di Poznan), Pemerintah Norwegia mengirimkan delegasi tingkat Menteri ke Jakarta untuk mengabarkan bahwa Indonesia terpilih sebagai salah satu dari 9 (sembilan) negara yang akan memperoleh pendanaan untuk kegiatan uji coba REDD melalui program UN-REDD.

    Menteri Erik Solheim dari Kementerian Lingkungan Hidup Norwegia dan Menteri Rachmat Witoelar bertemu di Hotel Borobudur, Jakarta, untuk melakukan pembicaraan bilateral mengenai pendanaan UN-REDD, dan sesudahnya Menteri Solheim melakukan serangkaian pertemuan dengan beberapa anggota Kabinet Indonesia Bersatu Pertama.

    Alih-alih menyambut kabar tersebut dengan gembira, beberapa Kementerian dan Lembaga Indonesia mempertanyakan mengapa Norwegia membedakan dukungan yang mereka berikan kepada Brazil dengan dukungan yang disampaikan kepada Indonesia? Singkatnya, Norwegia dipertanyakan mengapa memberikan bantuan satu miiar dollar kepada Brazil untuk pelestarian hutan Amazon, sementara kepada Indonesia ditawarkan untuk berebut pendanaan multilateral UN-REDD sebesar 50 juta dollar dengan delapan negara pemilik hutan lainnya.

    Pihak Norwegia tentu saja terkejut dengan reaksi Indonesia tersebut, dan

    kemudian pulang untuk mencari alternatif memperbaiki persepsi negatif yang berkembang terhadap upaya mereka membiayai UN-REDD, sekaligus mendukung Indonesia.

    Bantuan yang sesuai dengan luasnya wilayah hutan dan rumitnya persoalan

    Poznan, Polandia, Desember 2008

    Hans Brattskar, Duta Besar Nowegia untuk Perubahan Iklim, menghampiri saya di sela-sela persidangan UNFCCC COPke-14 yang melelahkan, untuk meminta waktu bertemu. Pada COP-14 tersebut, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar melakukan serah terima jabatan Presiden UNFCCC kepada Menteri Lingkungan Hidup Polandia, sedangkan saya bertugas sebagai Alternate Head Delegasi RI. Hans dan saya bersepakat untuk bertemu dalam waktu dua hari kedepan, sebelum Hans harus kembali ke Oslo. Karena sulitnya mencari waktu ditengah padatnya jadwal persidangan yang berlangsung cukup tegang, maka kami putuskan untuk berbincang dalam suasana yang lebih santai di lobi Hotel Sheraton Poznan pada sekitar pukul 08.00 tanggal 6 Desember 2008.

    Sambil menunggu pesanan kopi kami tiba, ditengah hingar bingar pembicaraan para Head of Delegates yang bertemu di lobi hotel, dilatar belakang terdengar KC and The Sunshine Band yang populer di tahun tujuh puluhan melagukan: Thats the way.... aha, .... aha, .... I like it .... Setelah berbasa-basi, Hans menyampaikan pesan yang diamanatkan oleh Oslo: .... that Norway is committed to support Indonesia at the level of its huge size of forest and the complexity of challenges in managing them sustainably.

    Secara bebas pernyataan tersebut dapat diterjemahkan sebagai kesiapan Norwegia untuk mendukung upaya pengurangan emisi Indonesia dari lahan hutan pada tingkat yang memadai untuk mengatasi kerumitan pengelolaan dan luasnya kawasan hutan Indonesia. Atau tepatnya Hans menyampaikan niat politik Pemerintah Norwegia untuk memberikan

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 2928

    pendanaan ke Indonesia yang setara dengan dukungan mereka ke Brazil.

    Saya mendengarkan kalimat-kalimat Duta Besar Perubahan Iklim Norwegia tersebut dengan penuh perhatian, seraya bersenandung di dalam hati, menyanyikan KC and The Sunshine Band aha ... aha.. I like it

    Jakarta, Indonesia dan Oslo, Norwegia

    September Desember 2009

    Sesudah COP-14 di Poznan berakhir, saya dan Hans Brattskar melanjutkan diskusi merumuskan bentuk kerjasama bilateral hampir setiap minggu, melalui telepon (tele-conference) antara Jakarta dan Oslo. Hans ditemani beberapa stafnya, sedangkan saya mengundang beberapa rekan dari Kementerian Kehutanan dan DNPI seperti: Wandojo Siswanto, Nur Masripatin, Doddy Sukadri, dan Eka Melisa.

    Dalam diskusi per telepon itu kami membahas berbagai kalimat yang mencerminkan semangat kerjasama bilateral kedua negara. Kami pun sepakat untuk melakukan diskusi yang lebih mendalam pada kesempatan pertemuan UNFCCC berikutnya di Copenhagen.

    Kopenhagen, Denmark, Desember 2009

    Pertemuan UNFCCC COP-15 di Kopenhagen diwarnai oleh berbagai kejutan. Mulai dari penggantian Connie Hedegaard, Menteri Perubahan Iklim dan Energi Denmark, sebagai Presiden UNFCCC COP-15 oleh Perdana Menteri Denmark, sampai kepada drama intervensi dengan telapak tangan berdarah oleh Duta Besar Claudia Salerno Caldera dari Venezuela jam 4 (empat) pagi di hari Sabtu, 19 Desember 2009, menentang disepakatinya Copenhagen Accord yang dianggap tidak partisipatif dalam proses penyusunannya.

    Pertemuan bilateral Indonesia dan Norwegia diantara Presiden SBY dan Perdana Menteri Jens Stoltenberg terjadi pada malam hari sebelum

    segmen perundingan tingkat tinggi UNFCCC COP 15 di Copenhagen dimulai. Kedatangan Presiden pada siang hari di Kopenhagen, dilanjutkan dengan briefing delegasi Menteri dan pejabat tinggi oleh Presiden SBY di Hotel Sheraton Copenhagen. Perundingan bilateral dilangsungkan pada malam hari yang sama.

    Pada kesempatan pertemuan bilateral tingkat tinggi tersebut, PM Stoltenberg mengulangi pernyataan tentang kesiapan Norwegia untuk bekerja sama dengan Indonesia di bidang kehutanan dan perubahan iklim. Presiden SBY sebelumnya sempat mempertimbangkan gagasan mengeluarkan pernyataan bersama Perdana Menteri Jens Stoltenberg, akan tetapi mempertimbangkan situasi perundingan UNFCCC COP-15 di Copenhagen yang sangat alot dan tidak kondusif, gagasan membuat pernyataan bersama itu ditunda untuk waktu yang akan disepakati kemudian.

    Sekembalinya dari Kopenhagen, saya melanjutkan pembahasan mengenai bentuk dan isi dari pernyataan bersama kedua kepala negara melalui telepon dengan Hans, Per Pharo, Leif John Fosse dan beberapa staf Kemenlu dan KemenLH Norwegia lainnya.

    Jakarta, Indonesia, Februari 2010

    Saya diminta bergabung menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim (SKP PI). Saya menjadi Staf Khusus Presiden yang ke-11 (sebelas) untuk menangani isu Perubahan Iklim karena Presiden SBY melihat pentingnya permasalahan ini.

    Sementara itu, diskusi antara Jakarta dan Oslo terkait penyelesaian Joint Statement terus berlangsung melalui pertukaran e-mail dan teleconference Perbedaan yang cukup mendasar terjadi mengenai penggunaan istilah seperti low carbon emission atau low emission sehingga sulit mencapai kesepakatan.

    Pada pembahasan melalui telepon antara Jakarta dan Oslo, tepatnya tanggal 13 Februari 2010, disepakati sebuah draft joint statement

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 3130

    yang direncanakan akan dibahas secara tatap muka dengan Hans, Per dan tim Norwegia lainnya di Bali bertepatan dengan United Nations Environment Programme (UNEP) Governing Council/Global Ministerial Environment Forum ke -11 (GCSS-11/ GMEF) pada tanggal 23-24 Februari 2010.

    Pada pertemuan di Bali tersebut, saya ditemani oleh Eka Melisa dari Dewan Nasional Perubahan Iklim, yang telah terlibat dalam negosiasi ini sejak pertengahan 2009. Sedangkan Hans Brattskar di dampingi oleh Per Pharo dan Leif John Fosse, bersama Dubes Norwegia di Jakarta yang baru saja diangkat, Eivind Homme, yang didampingi oleh Hege Karsti Ragnhildstveit, turut hadir dalam pertemuan tersebut.

    Ada dua hal mendasar yang menyebabkan sulitnya untuk dicapai kesepakatan, yaitu (1) pencantuman besaran komitmen Norwegia (angka dalam dollar), serta (2) bentuk dokumen yang dihasilkan. Saya menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan komitmen yang jelas, transparan dan dapat. Sementara Hans menyampaikan kesulitan mereka untuk mencantumkan besaran angka komitmen tersebut karena permasalahan di dalam negeri Norwegia terkait pemerintahnya di depan parlemen.

    Duta besar Homme mengusulkan agar sebaiknya bukan Joint Statement yang dibuat tetapi Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara kedua negara. Usulan ini kami sambut dengan baik. Saya kemudian meminta rekan-rekan di DNPI untuk mengkomunikasikan rancangan nota kesepahaman tersebut dengan Kemhut dan Kemlu.

    Jakarta, Indonesia, Maret - April 2010

    Sepulang kami dari Bali, saya melaporkan perkembangan ini kepada Presiden SBY, Sekretaris Kabinet, Menteri Kehutanan, dan Ketua Harian DNPI. Presiden SBY juga memperoleh informasi mengenai tawaran bantuan Pemerintah Norwegia sebesar 1 (satu) miliar dollar yang disampaikan oleh Dubes Eivind Homme kepada Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional, Dr. Dino Patti Djalal. Informasi yang disampaikan pak Dino kepada Presiden ditanyakan kembali oleh Presiden kepada saya,

    dan kemudian ditindaklanjuti dengan perintah untuk mempersiapkan bahan-bahan bagi persiapan dokumen Nota Kesepahamanan.

    Serangkaian pertemuan kemudian dilangsungkan untuk mempersiapkan bahan-bahan tersebut dan dalam perjalanannya dibentuklah dua tim persiapan, yaitu tim substansi kerjasama REDD+ yang dipimpin langsung oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, dan tim penyusun nota kesepahaman yang terdiri dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Kehutanan (Kemhut) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

    Begitu seriusnya rekan-rekan Kementerian dan Lembaga dalam membahas substansi surat niat, sehingga pada salah satu pembahasan yang dilakukan hingga lewat tengah malam di Manggala Wanabhakti, para peserta rapat harus pulang menggunakan tangga darurat, karena lift di gedung Manggala sudah dimatikan.

    Oslo, Norwegia, Mei 2010

    Presiden SBY mendapat undangan dari Perdana Menteri Norwegia untuk menjadi ketua bersama pada acara The Oslo Climate and Forest Conference, yang akan diselenggarakan pada tanggal 27 Mei 2010 di Oslo, Norwegia. Dalam acara tersebut juga direncanakan agar nota kesepahaman dapat ditandatangani oleh kedua negara.

    Terkait dengan hal tersebut, Presiden menugaskan saya untuk menjadi ketua delegasi perundingan lanjutan dengan Pemerintah Norwegia atas rancangan akhir nota kesepahaman yang selesai didiskusikan ditingkat teknis pada minggu pertama bulan Mei 2010. Perundingan dimaksud dilangsungkan di Oslo pada tanggal 12-13 Mei 2010, dengan anggota dari Kemhut, Kemlu, DNPI dan Dubes RI untuk Norwegia.

    Sebelum berangkat ke Oslo, Presiden memberi saya bekal amunisi tambahan dalam bernegosiasi dengan pihak Norwegia, yaitu niat beliau untuk mengeluarkan kebijakan melakukan moratorium hutan dan gambut selama 2 tahun.

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 3332

    Presiden SBY juga meminta saya untuk memperhatikan isu yang terkait dengan masyarakat adat dan mencari kesepahaman terhadap permasalahan indigenous people. Pemerintah memiliki komitmen untuk melakukan affirmative action dalam upaya melindungi dan menyejahterakan masyarakat adat, akan tetapi harus dijaga agar kesepakatan dengan pihak Norwegia tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, khususnya yang berhubungan dengan aturan penguasaan lahan, agar tidak menimbulkan kekacauan hukum yang justru memperburuk situasi di lapangan.

    Arahan Presiden tersebut sejalan dengan pemikiran yang berkembang dalam diskusi saya dengan Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk membahas keberadaan hak-hak dan penguatan partisipasi masyarakat adat yang efektif dalam rangka pencapaian pengurangan emisi karbon melalui skema REDD dan pengembangan ekonomi rendah karbon di Indonesia, sehubungan dengan rencana kerjasama RI-Pemerintah Norwegia.

    Sebelum Presiden memberikan arahan bagi tim negosiator MoU dengan Norwegia, Abdon sudah bersurat kepada Presiden SBY melalui kami sebagai Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim (SKP PI) Dalam surat AMAN tersebut, tertulis pengakuan dari masyarakat adat Indonesia (indigenous people) mengenai dukungan pemerintahan Presiden SBY kepada masyarakat adat dalam berbagai bentuk. Dalam surat tersebut, AMAN berpendapat bahwa Pemerintah Indonesia dapat bersepakat dengan Norwegia dalam hal masyarakat adat dengan memasukkan beberapa kegiatan yang sudah atau sedang berlangsung di tanah air.

    Pada tanggal 11 Mei 2010, dengan melampirkan surat dari AMAN, saya menyampaikan Memo kepada Sekretaris Kabinet akan adanya wacana untuk menggantikan kalimat dalam rancangan nota kesepahaman yang mengacu pada keputusan UNDRIP dengan satu atau dua paragraf dari surat AMAN tersebut sehingga para pihak yang masih sensitif dengan konvensi internasional mengenai indigenous people bisa terakomodasi.

    Detik Detik Perundingan Nota Kesepahaman, 12-13 Mei 2010

    Kami menerima tembusan surat dari Pemerintah Kerajaan Norwegia yang meminta kehadiran dan kesediaan Presiden SBYmenjadi Ketua Bersama (Co-Chair) pada acara Oslo Climate and Forest Conference yang akan diselenggarakan di Oslo, Norwegia, pada tanggal 27 Mei 2010.

    Sebagai tanggapan terhadap surat permohonan Pemerintah Norwegia tersebut, kami menyampaikan memo kepada Sekretaris Kabinet mendukung gagasan kehadiran dan peran Ketua Bersama yang diharapkan dilakukan Presiden SBY di konferensi tersebut, mengingat pentingnya pertemuan tersebut dalam penggalangan dukungan bagi pelaksanaan komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sebanyak 26% dari perkiraan emisi tahun 2020, khususnya dari sektor kehutanan (REDD+).

    Kesediaan Presiden SBY menjadi Co-Chair bersama Perdana Menteri Norwegia pada Konferensi Hutan dan Perubahan Iklim di Oslo tersebut akan menunjukkan kepemimpinan Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang, dalam upaya bersama mengendalikan perubahan iklim. Peran aktif Presiden SBY diharapkan dapat mendorong negara maju dan negara berkembang untuk melanjutkan upaya penurunan emisi di tingkat global, sesuai dengan kemampuan masing-masing.

    Jakarta, Indonesia, 10-11 Mei 2011

    Senin, 10 Mei 2011, Presiden memanggil Menko Perekonomian, Menko Kesra, Menteri Luar Negeri, Mensesneg, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Sekretaris Kabinet, Ketua Harian DNPI, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Dino Patti Jalal, dan saya sendiri, untuk mendiskusikan tindak lanjut dari negosiasi Nota Kesepahaman dengan Pemerintah Norwegia. Dua rekan saya, Yani Saloh, Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, dan Eka Melisa, yang saat itu bertugas sebagai Wakil Ketua Kelompok Kerja Negosiasi Internasional di DNPI, membantu mempersiapkan bahan untuk pertemuan tersebut dan turut hadir dalam pertemuan terbatas yang diadakan di salah satu ruangan di Istana Negara.

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 3534

    Presiden menugaskan saya agar segera berangkat ke Oslo sebagai Ketua Delegasi RI dan menyelesaikan negosiasi Nota Kesepahaman yang diharapkan dapat ditandatangani pada saat Beliau tiba di Oslo, sebelum menjadi Ketua Bersama dengan PM Norwegia pada Oslo Forest and Climate Conference. Presiden juga meminta kepada Menteri Kehutanan, Menteri Luar Negeri dan Ketua Harian DNPI untuk menugaskan pejabat terkait untuk dapat menjadi anggota delegasi RI yang saya pimpin.

    Penugasan Presiden ini sempat membuat kehebohan, tidak hanya pada kementerian dan lembaga terkait, namun juga Kementerian Lingkungan Hidup Norwegia dan Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta, khususnya terkait dengan masalah visa bagi para anggota delegasi yang akan berangkat.

    Untung saja saat itu Visa Schengen (untuk negara-negara Eropa) saya masih berlaku, sehingga tidak menghambat rencana keberangkatan ke Oslo meskipun pada hari Senin itu Norwegia sedang libur nasional, dan kantor imigrasi mereka di Oslo baru akan memproses visa Norwegia pada keesokan harinya, Selasa pagi 11 Mei 2010.

    Selasa malam, 11 Mei 2010, saya berangkat ke Oslo setelah mendengarkan rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR. Bergabung dalam Tim Negosiasi ini adalah Eka Melisa dari DNPI, Ghafur Dharmaputra dari Kementerian Luar Negeri, dan Iman Santoso dari Kementerian Kehutanan. Di Oslo, Dubes Indonesia untuk Norwegia, Esti Andayani, akan bergabung dengan kami.

    Pada jam menjelang keberangkatan, kami sempat cemas karena visa pak Iman Santoso ternyata tidak bisa keluar hari itu juga sehingga keberangkatannya harus ditunda. Selain itu saya nyaris tidak dapat pesawat pulang karena saat itu jalur Oslo-Frankfurt atau Oslo-Copenhagen yang merupakan jalur penerbangan untuk pulang ke Jakarta tidak ada kursi pesawat yang tersedia akibat libur nasional Norwegia. Saya tetap berangkat ke Oslo sementara tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta diusahakan selama saya bernegosiasi di sana. Kenapa ya kesulitan semacam ini sering terjadi ketika harus melakukan negosiasi yang penting?, kata saya dalam hati, tapi semoga saja kesulitan ini pertanda baik bagi negosiasi itu sendiri!

    Saya mendarat di Oslo pada hari Rabu, 12 Mei, tepat pukul 12.00 siang keesokan harinya. Dari airport saya langsung menuju tempat berlangsungnya perundingan dengan pemerintah Norwegia, tanpa mandi atau ganti baju karena sempitnya waktu.

    Dengan kepala yang masih sedikit pusing akibat jet lag, kami berempat melakukan perundingan dengan Hans, Per, Hege (yang mewakili Dubes Homme), dan beberapa perwakilan dari NORAD, Kementerian Luar Negeri Norwegia dan Kementerian Lingkungan Hidup Norwegia.

    Perundingan dibuka sekitar pukul 13.00 siang ditengah-tengah makan siang dan dalam suasana yang santai, walaupun beberapa pihak dari Norwegia tampak tegang. Untuk mencairkan suasana, sambil bercanda Hans mengatakan meskipun DELRI saat itu hanya berempat, tapi Hege dan Per, yang juga baru kembali dari Jakarta beberapa hari sebelumnya, dapat dianggap Half Indonesian Delegation karena mereka juga masih jet lag seperti kami. Saya balik menanggapi dengan bercanda juga, tapi biasanya kalau masih jet lag negosiasinya bisa lebih cepat. semua orang memandang saya dengan heran, soalnya adrenalin tinggi jadi basa basinya berkurang. Mereka semua kemudian jadi tertawa dan ketegangan berkurang.

    Perundingan kemudian dilaksanakan di ruang rapat yang terletak di attic atau loteng Hotel Oslo yang merupakan tempat bersejarah di Norwegia dan terletak di sebelah gedung Parlemen Norwegia.

    Walaupun berlangsung alot, menyerupai perundingan UNFCCC yang membahas kata demi kata dari rancangan yang disepakati sebelumnya, tapi kegiatan negosiasi kali ini jauh lebih menyenangkan karena hanya melibatkan 2 negara dan memberikan hasil yang lebih nyata. Negosiasi sesi pertama berlangsung hampir tanpa jeda hingga jam 2 pagi keesokan harinya (13 Mei 2010).

    Perundingan dilakukan dengan menggunakan rancangan Nota Kesepahaman yang disusun oleh Pemerintah Indonesia dan kemudian dikomunikasikan kepada Pemerintah Norwegia sebelum rombongan DELRI berangkat ke Oslo. Ada beberapa hal penting yang diusulkan oleh Indonesia dalam pembahasan substansi nota kesepahaman tersebut yaitu : besarnya komitmen Pemerintah Norwegia, bentuk kelembagaan REDD+,

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 3736

    mekanisme pendanaan dan pendistribusian komitmen Pemerintah Norwegia yang termasuk dengan pemilihan lembaga fiduciary-nya, keterlibatan indigeneous people atau komunitas lokal dalam konteks Indonesia, serta mekanisme MRV dari pelaksanaan kegiatan penurunan emisi dan penyampaian pendanaan kepada pelaksana kegiatan.

    Hans sempat harus meninggalkan tempat perundingan karena harus menemani Menteri Lingkungan Hidup Norwegia pada pertemuan lain, sehingga Per kemudian menggantikannya sebagai Kepala Perunding Norwegia. Sementara anggota tim Perundingan Norwegia beberapa kali berubah, kami berempat tetap semangat melakukan negosiasi walau kadang kantuk menerpa akibat tidak sempat tidur dan menyegarkan badan dengan mandi.

    Hambatan menuju kesepakatan muncul ketika diskusi mengenai mekanisme pendanaan serta lembaga yang akan ditunjuk menjadi juru bayar dari pendanaan tersebut dimulai. NORAD menginginkan lembaga internasional semacam World Bank yang menjadi pengelola. Sementara berdasarkan diskusi di Jakarta, kami sudah sepakat bahwa pendanaan Norwegia ini merupakan pilot project bagi lembaga-lembaga keuangan nasional untuk bermitra dengan lembaga internasional untuk menangani pendanaan perubahan iklim yang lebih besar dan kompleks di kemudian hari.

    Setelah lebih dari dua jam berdebat, Eka menyodorkan kertas kepada saya, Pak, bagaimana kalau kita ubah usulan mereka dari International or Multilateral Institution menjadi Internationally-reputable Institution? Kan yang mereka ributkan adalah reputasi internasionalnya. Saya kemudian meneruskan kertas tersebut kepada Ghafur dan Esti sambil menambahkan, Saya setuju. Bagaimana pendapat Bapak dan Ibu? Ghafur kemudian menjawab, Kita usulkan saja Pak, mereka toh tidak bisa menolak karena kan tidak bisa terlihat terlalu jelas bahwa mereka inginnya dikelola oleh Bank Dunia. Esti pun mengangguk setuju.

    Kami kemudian mengusulkan hal tersebut kepada pihak Norwegia. Terlihat pihak NORAD mengerutkan kening tapi setelah mereka berdebat dalam bahasa mereka sendiri, akhirnya Per menyampaikan kepada kami

    bahwa mereka memerlukan keputusan tertinggi yaitu PM untuk menyetujui hal tersebut, dan meminta penundaan hingga mereka mendapatkan persetujuan itu.

    Hambatan kedua adalah permasalahan Lembaga REDD+ yang direncanakan dibentuk oleh Presiden dalam waktu dekat. Pihak Norwegia mengejar kami mengenai rincian bentuk Lembaga yang ingin dibentuk. Kami sampaikan bahwa Lembaga tersebut adalah usulan Presiden SBY yang sudah beberapa kali memberikan arahan bahwa Lembaga ini akan independen dan melapor langsung kepada Presiden.

    Mengenai bentuk dan formatnya akan diatur sesuai dengan peraturan Indonesia, dan tidak bisa dicantumkan apalagi diatur dalam nota kesepahaman, kata saya sedikit keras karena beberapa orang di pihak Norwegia terkesan bersemangat untuk mencantumkan kriteria kelembagaan REDD+ didalam Nota Kesepahaman, Jangan lupa, lembaga ini tidak hanya akan menangani kegiatan terkait bantuan Norwegia saja. Ada negara-negara lain yang juga ingin membantu, seperti Australia, Jepang dan Amerika, lanjut saya. setelah berdebat sekitar 30 menit, delegasi Norwegia menyetujui pendapat Indonesia.

    Permasalahan ketiga adalah pilihan MRV (Measurement, Reporting, Verification) yang akan diterapkan. Norwegia menginginkan penerapan langsung tier 3 (tiga) pada pilot province di tahap kedua, tahapan persiapan menuju full payment-for-performance stage. Menimbang kemajuan negosiasi di UNFCCC mengenai definisi MRV dan bagaimana penerapan setiap tier metode IPCC akan diterapkan, kami mengusulkan agar propinsi percontohan dijadikan semacam laboratorium atau tempat uji coba bagi pelaksanaan MRV. Berhubung Iman dari Kementerian Kehutanan baru berangkat dari Jakarta Selasa sore, menunggu diperolehnya visa Norwegia, kami mengusulkan agar diskusi mengenai MRV ditunda sampai keesokan hari nya.

    Hal keempat yang mengganjal perundingan hingga sempat terhenti dan kemudian diputuskan agar makan malam dahulu untuk menurunkan ketegangan adalah masalah referensi mengenai indigenous people. Norwegia, atas desakan LSM di negara mereka, memaksakan

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 3938

    masuknya paragraf dari UNDRIP.

    Saya langsung memberikan surat yang saya terima dari AMAN (lihat lampiran), Ini surat resmi dari lembaga masyarakat adat di Indonesia. Mereka sudah memberikan persetujuan kepada kami untuk menggunakan kalimat yang tercantum dalam surat ini untuk mengedepankan peran mayarakat adat dalam kerjasama ini. Hege sempat berkeras untuk tetap memakai bahasa sesuai UNDRIP, sehingga saya kemudian menyampaikan, Ini masukan resmi dari AMAN lho, yang berkepentingan kan mereka, bukan pemerintah atau LSM Norwegia. Per kemudian menelpon Hans untuk mendapatkan arahan. Setelah makan malam, perundingan dilanjutkan dengan keputusan menggunakan kalimat yang dikutip dari surat AMAN.

    Diskusi kemudian berlanjut pada permasalahan pilihan bentuk dokumen kesepakatan bilateral dan status hukum dokumen tersebut. Pihak Norwegia menyampaikan bahwa Nota Kesepahaman bagi mereka bukan dokumen yang legally-binding sehingga tidak perlu ditandatangani secara resmi. Ghafur menyampaikan bahwa dalam hukum Indonesia, nota kesepahaman adalah dukumen kesepakatan yang mengikat sehingga apapun yang tercantum di dalamnya akan memiliki konsekuensi hukum.

    Menanggapi hal ini, pihak Norwegia, khususnya NORAD, bereaksi keras ketika diskusi sampai pada pencantuman komitmen Pemerintah Norwegia secara eksplisit pada Nota Kesepahaman tersebut. Sebagaimana arahan dari Presiden SBY, Indonesia menginginkan komitmen tersebut terekam dalam dokumen tertulis bukan hanya ucapan pejabat pemerintah Norwegia yang berpeluang menjadi janji kosong semata. NORAD menyampaikan keberatan terhadap gagasan masuknya angka komitmen Norwegia ke dalam Nota Kesepahaman, apalagi kalau dianggap dokumen tersebut memiliki kekuatan hukum (legally binding).

    Perundingan kemudian berlangsung sangat alot. Menjelang tengah malam, Per meminta perundingan dihentikan sementara untuk melakukan komunikasi dengan Menteri Lingkungan Hidup Norwegia dan Duta Besar Perubahan Iklim Hans Brattskar yang sedang berada di luar kota.

    Sekitar pukul o1.00, negosiasi ditunda lagi selama kurang

    lebih setengah jam karena pihak Norwegia membutuhkan waktu untuk berdiskusi diantara mereka sendiri. Kami menunggu dengan sabar di luar ruang negosiasi. Saya sempat menyampaikan pada anggota delegasi RI bahwa kalau negosiasi tahap ini tidak menghasilkan kesepakatan yang jelas, khususnya terkait dengan komitmen Pemerintah Norwegia, maka perlu disampaikan kepada Presiden untuk mempertimbangkan kehadiran Beliau sebagai Ketua Bersama pada Konferensi Hutan dan Perubahan Iklim akhir bulan Mei.

    Sekitar pukul 02.00, Per kemudian meminta saya untuk berdiskusi one on one dengan dirinya guna menyampaikan beberapa hal terkait permasalahan yang masih tertunda kesepakatannya. Per menyampaikan kesulitan yang dihadapi mereka terkait masih adanya beberapa perbedaan mendasar diantara para Perunding Norwegia sendiri sehingga dibutuhkan keputusan tertinggi yaitu keputusan Perdana Menteri yang saat itu masih berada di luar kota.

    Saya menyampaikan bahwa pihak perunding Indonesia bersedia melanjutkan negosiasi pagi hari ini sampai sekitar pukul 12.00 siang waktu Norwegia karena Jakarta menunggu keputusan pukul 18.00 untuk dapat memastikan kehadiran Presiden SBY dalam Konferensi Hutan dan Perubahan Iklim di Oslo dua minggu lagi. Saya juga meminta negosiasi malam ini diakhiri, Saya butuh tidur sejenak dan mandi biar tidak gerah., kata saya sambil bercanda untuk menurunkan ketegangan. Per menjawab sambil tersenyum, Saya setuju, saya kan juga masih jetlag.\

    Tim Perunding kemudian pulang ke kediaman Dubes Esti. Setibanya di sana, Iman Santoso sudah hadir dan siap bergabung pagi ini untuk sesi negosiasi kedua. Saya baru saja selesai mandi dan merebahkan badan sejenak sewaktu telpon genggam saya berbunyi. Suara diseberang menyampaikan secara tegas, Pak Pungki, Presiden minta laporan kemajuan terakhir tentang situasi negosiasi di Oslo. Saya langsung meloncat dari tempat tidur dan mengirimkan pesan melalui ponsel kepada Eka, Kita harus bikin memo sekarang untuk dikirim ke Jakarta dan sesudahnya bisa digunakan oleh teman teman lain yang tidak ikut melakukan negosiasi bilateral ini.

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 4140

    Kami berlima kemudian membuat memo kepada Sekretaris Kabinet sampai pukul 04.00 pagi untuk melaporkan situasi terkini dari negosiasi. Memo yang juga ditembuskan kepada Mensesneg, Menlu, MenLH, dan Menhut tersebut berisikan hal-hal berikut:

    Pembahasan berlangsung maraton sampai hari Rabu, tanggal 12 Mei, pukul 02.00 pagi waktu Oslo dengan beberapa kemajuan sebagai berikut:

    1. Telah tercapai banyak kesepakatan pada kalimat-kalimat di dalam nota kesepahaman namun masih belum ada kesepakatan untuk beberapa hal:

    a. Mekanisme pendanaan yang tidak melalui institusi multilateral;

    b. Jumlah USD 1 miliar dollar dicantumkan secara eksplisit pada nota kesepahaman; dan

    c. Sifat nota kesepahaman yang tidak legally-binding menurut kebiasaan hukum di Norwegia.

    2. Hal-hal yang masih belum mencapai kesepakatan tersebut akan dimintakan arahan PM Norwegia.

    Rabu, 13 Mei 2010, pukul 08.00 pagi

    Kami sudah kembali duduk manis di ruang negosiasi. Karena sempat ada istirahat beberapa perundingan lanjutan dimulai dengan lebih santai. Apalagi dengan kehadiran beberapa wajah baru dari kedua belah pihak.

    Diskusi diawali dengan membahas MRV. Pihak Norwegia mendatangkan para ahli MRV mereka untuk menjelaskan penentuan metode MRV sesuai dengan panduan IPCC (Inter-governmental Panel on Climate Change). Kebetulan Iman sudah bergabung dengan tim perunding sehingga dapat melengkapi pengetahuan teknis saya.

    Setelah perdebatan panjang dan rasionalisasi pelaksanaan

    pekerjaan di lapangan oleh Iman, pihak Norwegia kemudian mundur teratur dan sepakat dengan usulan kami agar dilakukan MRV sampai Tier 2 (Dua) saja di kedua propinsi percontohan.

    Setelah beberapa kali mengalah pada tuntutan Delegasi Indonesia, pihak Norwegia menyampaikan harapan adanya tambahan komitmen kegiatan yang diberikan Indonesia dalam kerjasama bilateral ini. Saya melakukan konsultasi singkat dengan anggota Delri yang lain untuk mendapatkan masukan terkait arahan Presiden mengenai rencana beliau untuk melakukan moratorium izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut, sekaligus untuk memastikan bahwa Kementerian Kehutanan siap dengan kata-kata yang akan diusulkan kedalam Nota Kesepahaman.

    Ketika kami mengajukan usulan kalimat mengenai rencana melakukan moratorium sebagai salah satu butir kegiatan yang akan dilakukan pada tahap pertama Nota Kesepahaman, pihak Norwegia terkejut dan terlihat sangat gembira menerima usulan kebijakan jeda balak akan dimasukkan kedalam kerjasama bilateral ini. Kegembiraan ini membantu terselesaikannya beberapa hal yang masih menggantung dalam pembahasan sejak Selasa siang.

    MRV selesai, kami beranjak kepada Instrumen dan Lembaga Pendanaan. Per menyampaikan setelah diskusi yang cukup alot diantara mereka sendiri, akhirnya pihak Norwegia menyetujui usulan kami mengenai perubahan term International or Multilateral Institutions menjadi Internationally-reputable Institutions. Namun tetap meminta agar lembaga multilateral dijadikan pilihan pertama.

    Kami pun sampai pada isu yang paling sulit. Pencantuman besaran komitmen pemerintah Norwegia di dokumen Nota Kesepahaman. Pihak Norwegia masih berkeras untuk tidak meletakkan angka dengan alasan mereka tidak ingin dijadikan pesakitan di depan parlemen. Saya menyampaikan bahwa tanpa angka maka akan sulit bagi Indonesia menyepakati adanya dokumen kerjasama karena kami tidak menginginkan bantuan yang hanya sekedar janji saja. Selain itu juga disampaikan kembali pemahaman Indonesia bahwa MOU adalah dokumen yang legally-binding.

    Negosiasi masih berlangsung hingga pukul jam 13.00 siang.

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 4342

    Perundingan harus segera diselesaikan, karena saya harus kembali ke Jakarta siang ini. Saya meminta agar segera dipilih format dan judul kesepakatan yang sesuai dengan peraturan dan kebiasaan di kedua belah pihak, misalnya Expression of Interest atau Intention Letter. Akhirnya disepakati untuk mengubah Nota Kesepahaman menjadi Surat Niat (Letter of Intent atau LoI), dan perundingan diakhiri jam 13.30 siang.

    Seluruh anggota Delegasi RI kembali ke KBRI untuk menyelesaikan Memo kepada Presiden dan Laporan Hasil Negosiasi Delri. Segera setelah memo selesai, saya dilarikan ke airport untuk mengejar pesawat ke Frankfurt, sementara anggota Delri lainnya menyelesaikan laporan yang saya terima sewaktu transit di airport Frankfurt, Jerman.

    Dalam Memo tersebut saya sampaikan hal-hal sebagai berikut:

    Menggunakan arahan Bapak Presiden untuk dapat menyelesaikan 70% dari draft MoU atau LoI Kerjasama Bilateral Indonesia dan Norwegia tersebut, dapat kami laporkan sasaran tersebut telah tercapai. Meskipun demikian kami mencatat ada tiga hal penting yang pihak Norwegia tetap bersikeras, yaitu:

    1. Penggunaan mekanisme pendanaan yang melalui institusi internasional;

    2. Pentingnya peran Civil Society, khususnya masyarakat adat, dalam pelaksanaan governance dari mekanisme pendanaan tersebut;

    3. Pencantuman secara eksplisit jumlah kontribusi Norwegia dalan MoU atau LoI.

    Sementara menunggu keberangkatan, saya membuka laptop. Beberapa menit kemudian masuk pesan yang mengatakan:memo sudah diterima oleh Pak Dipo. Bersama dengan pesan tersebut, panggilan kepada penumpang pesawat menuju Singapore terdengar, saya pun menutup laptop, bersiap untuk boarding menuju perjalanan panjang ke Jakarta.

    Nyaris batal

    Sesampainya saya di Jakarta, saya melaporkan hasil pertemuan Oslo kepada Presiden, Sekretaris Kabinet, dan para Menteri terkait.

    Dino Patti Jalal yang saat itu masih menjabat sebagai Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional menyatakan bahwa Pemerintah Norwegia sudah berjanji untuk memberikan satu miliar dollar AS kepada Indonesia. Saya sampaikan bahwa hingga perundingan kemarin, tim perunding Norwegia masih berat untuk mencantumkan angka tersebut karena harus meminta persetujuan parlemennya dahulu. Selain itu juga masih ada beberapa hal yang belum tercapai kesepakatannya sebagaimana tercantum dalam memo saya kepada Presiden sebelum perjalanan pulang ke Jakarta khususnya terkait dengan jumlah komitmen Norwegia dan pemilihan institusi pendanaan.

    Presiden kemudian menugaskan saya untuk melakukan perundingan intensif selama dua minggu kedepan dengan pihak Norwegia agar komitmen yang masih belum dicantumkan dalam rancangan Surat Niat dapat disepakati sebelum keberangkatan Presiden ke Oslo Climate and Forest Conference.

    Saya melakukan beberapa kali pembicaraan lewat telepon dengan Hans, Per, dan tim mereka, ditemani oleh Doddy Sukadri dan Eka Melisa dari DNPI guna mencari penyelesaian terkait beberapa kalimat dalam Surat Niat yang masih belum ada kesepakatan. Saya, Dino, dan Retno Marsudi, Dirjen Amerika dan Eropa dari Kemlu, juga melakukan dua kali pertemuan dengan Dubes Norwegia Eivind Homme dan tim Kedubes Norwegia di Jakarta untuk menemukan kesepakatan penulisan angka komitmen kontribusi Norwegia dalam Surat Niat yang pada saat itu masih tertulis sebagai.

    Hingga hari-hari terakhir menjelang keberangkatan PresidenSBY menuju Oslo tanggal 26 Mei 2010, belum tercapai kesepakatan untuk mencantumkan angka indikatif komitmen Norwegia sebesar 1 (satu) miliar dollar tersebut pada rancangan Surat Niat. Yang juga belum disepakati adalah pembagian angka komitmen 1 (satu) miliar dollar tersebut pada setiap tahapan dari 3 (tiga) tahap kegiatan dalam Surat Niat, karena besaran

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 4544

    angka untuk tahap pertama dan tahap kedua mencerminkan semangat kesetaraan dalam bekerjasama.

    Yang ingin dihindari adalah pengaturan pembagian resiko yang tidak setara dengan Indonesia melakukan berbagai hal di tahap pertama dan tahap kedua, sedangkan Norwegia menunggu hasilnya dan lalu memilih-milih kegiatan yang disukainya untuk kemudian diberikan pendanaan. Semangat kesetaraan itu sesungguhnya juga diinginkan oleh tim perunding Pemerintah Norwegia, akan tetapi mereka harus meyakinkan beberapa pihak di Oslo untuk mengubah cara pandang dan kebiasaan (prosedur) pemberian bantuan hibah yang sudah puluhan tahun dianut negara barat dan dikenal sebagai Overseas Development Assistance (ODA).

    Saya mengingatkan Hans melalui telepon bahwa kesepakatan tentang pencantuman angka komitmen Norwegia adalah hal yang secara politis penting bagi Indonesia, dan bila angka tersebut tidak disepakati ada kemungkinan Presiden SBY akan membatalkan kehadiran pada Konferensi Hutan dan Perubahan Iklim di Oslo.

    Ketika peserta Kunjungan Kerja Presiden ke Oslo sedang melakukan persiapan untuk naik ke pesawat kepresidenan di bandara Halim Perdanakusuma saya menerima telepon dari Per di Oslo yang menyampaikan berita bahwa pemerintah Norwegia akan mencantumkankan angka 1 miliar Dollar AS atau 5 miliar Kroner Norwegia dalam pernyataan pers Perdana Menteri dan juga bahwa angka tersebut dapat masuk ke dalam naskah Surat Niat tersebut. Per juga menyampaikan bahwa untuk tahap pertama dan kedua pelaksanaan kegiatan yang tercantum di Surat Niat, pemerintahnya akan menyediakan 200 juta dollar AS sebagai bukti kesetaraan dalam usaha bersama mewujudkan REDD+. Segera saya sampaikan berita gembira tersebut kepada Presiden.

    Suasana yang ceria dan optimis terbangun diantara peserta Kunjungan Kerja Presiden ke Oslo setelah mendengar kabar tersebut. Presiden pun memimpin diskusi di dalam pesawat yang sedang terbang menuju Oslo dengan menggunakan bahan-bahan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan terjilid dengan rapi. Bahan bacaan yang dibagikan pada awal perjalanan ke Oslo tersebut mencakup konsep awal lembaga REDD+,

    pilihan mekanisme pendanaan dan gagasan payments for performance. Rombongan Presiden ke Oslo terdiri dari Menteri, Gubernur, Rektor dan anggota DPR yang berjumlah sekitar 20 orang dan masing-masing menerima paket informasi tersebut.

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 4746

    Dibantu atau tidak

    dibantu, kita harus

    sungguh melaksanakan

    langkah-langkah

    yang tepat untuk

    menghadapi perubahan

    ikli, demi anak cucu

    kita, demi tanah air

    kita, demi bumi kita.

    Presiden Yudhoyono.

    Jakarta, Selasa, 25 Mei 2010

    Bertolak ke Oslo

    Tepat pukul 19.00, Selasa 25 Mei 2010, pesawat Kepresidenan Garuda A330-300 yang ditumpangi rombongan Presiden Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono lepas landas dari bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta menuju Oslo, Norwegia. Presiden SBY bertolak untuk menghadiri Oslo Climate and Forest Conference atas undangan PM Norwegia Jens Stoltenberg.

    Sebelum lepas landas Presiden SBY memberikan keterangan pers tekait kunjungannya ke Oslo, dengan didampingi oleh Wapres Boediono. Kita akan menandatangani Letter of Intent atau Surat Niat antara Norwegia dan Indonesia dan secara khusus akan membahas kerjasama di bidang kehutanan dan perubahan iklim dengan Norwegia, jelas Presiden SBY dalam keterangan pers tersebut. Presiden SBY menjelaskan bahwa akan ada pertemuan

    Menghadiri Oslo Climate and Forest Conference

    BAB 3

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 4948

    bilateral dan multirateral saat kunjungannya, disamping menghadiri undangan Raja Norwegia Harald V.

    Kerjasama itu pada intinya adalah dukungan Norwegia terhadap rencana Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 persen dari proyeksi emisi tahun 2020, diantaranya dengan mengelola hutan secara lestari, tambah Presiden. Saya menjadi turut bersemangat mendengarkan keterangan Presiden dalam pernyataan persnya.

    Bila ada negara maju yang ingin membantu negara berkembang yang memiliki hutan hujan tropis dalam pengelolaan hutan yang lestari, kita harus melihatnya dalam kerangka tanggung jawab bersama baik negara maju maupun negara berkembang dalam penyelamatan hutan yang masih tersisa di bumi kita. Kami akan sangat hati-hati, sebisa mungkin tidak menerima bantuan berbentuk pinjaman atau loan untuk pembiayaan kegiatan mengatasi masalah-masalah di dalam negeri, karena ada anggaran kita sendiri, yaitu APBN, yang dapat kita gunakan untuk berbagai hal tersebut. Seandainya ada kontribusi dari masyarakat internasional, khususnya negara-negara maju, dan itu berbentuk hibah atau grant tentu kita menyambut dengan baik, Presiden SBY menambahkan.

    Presiden juga menjelaskan keterlibatannya di Konferensi tersebut, sebagai Ketua Bersama atau Co-Chairs bersama dengan PM Stoltenberg. Konferensi ini akan dihadiri oleh perwakilan tingkat tinggi dari 50 negara, termasuk beberapa Kepala Negara, diantaranya Denmark, Papua Nugini, Kamerun, Guyana, dan Gabon, termasuk kehadiran Pangeran Charles dari Inggris Raya. Saya bersama tuan rumah, PM Stoltenberg, akan menjadi Ketua Bersama (co-chair) dalam pertemuan multilateral itu dan pada kesempatan konferensi tersebut kami akan menyampaikan gagasan interim REDD+ partnership arrangement. Sebentuk terobosan kerjasama antara negara maju dan negara berkembang di bidang kehutanan dan perubahan iklim sebelum UNFCCC menghasilkan kemajuan yang berarti, ujar Presiden SBY.

    Konferensi Hutan dan Perubahan Iklim di Oslo tersebut merupakan kelanjutan kesepakatan UNFCCC-COP 15 yang dilaksanakan di Kopenhagen, Denmark tentang pasal pengelolaan hutan. Pasal itu selain mewajibkan negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis untuk

    melakukan pengelolaan yang lestari, juga secara eksplisit menyatakan akan disediakannya pendanaan dari negara maju kepada negara berkembang yang melakukan pengelolaan hutan secara lestari, jelas Presiden SBY.

    Di dalam pesawat nampak Menlu Marty Natalegawa, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Mensesneg Sudi Silalahi, MenLH Gusti Muhammad Hatta, Menhut Zulkifli Hasan, Menpora Andi Mallarangeng, Kepala BKPM Gita Wirjawan, Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto, Utusan Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim Rachmat Witoelar, Gubernur Kalteng Teras Narang, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf , Gubernur Kaltim Awang Farouk , Gubernur Riau Rusli Zainal, Gubernur Papua Barnabas Suebu, Dino Patti Djalal, Julius Pasha, saya sendiri selaku Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim dan Asisten saya, Yani Saloh.

    Arahan Presiden di dalam Pesawat

    Sesaat sebelum mendarat di Oslo, Presiden SBY melalui pengeras suara di dalam pesawat menjelaskan bahwa tugas delegasi Indonesia di Norwegia adalah melakukan diplomasi berkaitan dengan pelestarian hutan dan perubahan iklim. Indonesia mendapat kehormatan untuk dipilih sebagai contoh kerjasama antara negara maju dan negara berkembang, dan mendapat kesempatan untuk menerima bantuan dari masyarakat internasional, khususnya dari negara-negara maju melalui sharing pendanaan, kata Presiden SBY.

    Saya memilih menggunakan kata sharing dan bukannya bantuan karena bila Indonesia mampu menjaga hutan tropisnya, kita juga turut menjaga paru-paru dunia. Yang menikmati pengelolaan hutan yang lestari bukan hanya Indonesia tapi juga manusia sedunia. Oleh karena itu menjadi adil ketika Indonesia harus menjaga lingkungan atau hutan yang masih ada, pembiayaannya ditanggung bersama oleh rakyat Indonesia dan masyarakat dunia. Prioritas pemanfaatan anggaran belanja negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kata Presiden SBY menjelaskan.

    Masyarakat dunia yang mendapatkan keuntungan dari kelestarian hutan kita juga ikut menyumbang pembiayaan meskipun tentunya tidak semudah

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 5150

    itu. Bayangkan kalau negara maju ingin berkontribusi untuk mengelola hutan secara lestari dan itu berupa hibah atau grant dan bukan pinjaman atau utang, mereka harus yakin bahwa negara kita bukan hanya memiliki komitmen, bukan hanya memiliki rencana, tapi benar-benar menerapkan apa yang menjadi kesepakatan antara Indonesia dengan negara-negara yang menyumbang pendanaan itu, ujarnya.

    Oleh karena itu, Presiden SBY berharap pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersungguh-sungguh dalam pelaksanaan kegiatannya. Masyarakat perlu diajak serta untuk menyukseskan program ini, agar kita mendapatkan kehormatan ketika dunia membantu kegiatan kita di tanah air. Kita harus bertanggung jawab dalam penggunaan dana tersebut dan tidak boleh ada penyimpangan sedikitpun. Berkali-kali saya katakan, kita harus menjadi bangsa yang terhormat, bukan bersiasat, apalagi cheating. Dibantu atau tidak dibantu, kita harus bersungguh-sungguh melakukan upaya yang tepat untuk menghadapi perubahan iklim, demi anak cucu kita, demi tanah air kita, dan demi bumi kita, tegas Presiden.

    Presiden SBY menginginkan bangsa Indonesia membangun tradisi politik yang baik. Indonesia adalah bangsa, negara dan pemerintah yang konsisten dan konsekuen. Sekali lagi, dibantu atau tidak dibantu kita wajib melaksanakan pemeliharaan lingkungan dengan sebaik-baiknya, jelas Presiden SBY.

    Tiba di Oslo, Rabu 26 Mei 2010 pukul 07.00 pagi.

    Udara di bandar udara Gardermoen, Oslo, terasa sejuk, sekitar 5 derajat Celcius, menyambut kedatangan rombongan Presiden yang tiba setelah menempuh perjalanan selama 16 jam termasuk transit di Dubai, Uni Arab Emirat.

    Tepat pukul 07:00 waktu setempat, pesawat mendarat di bandar udara Gardermoen, Oslo. Di pintu pesawat, Presiden disambut oleh Acting Chief of Protocol Norwegia Mona Brother dan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Kerajaan Norwegia Esti Andayani. Di bawah tangga pesawat telah menunggu Dubes Kerajaan Norwegia untuk Indonesia Eivind S. Homme dan Atase Pertahanan RI di Berlin Fachri Adamy.

    Setelah mengikuti upacara penyambutan kehormatan, Presiden dan rombongan kemudian menuju Holmenkolen Rica Park Hotel. Setibanya di hotel pukul 09.30, Presiden Yudhoyono langsung menggelar pertemuan dengan delegasi Indonesia untuk mempersiapkan Konferensi tersebut.

    Rabu, 26 Mei 2010, pukul 15.00

    Pertemuan bilateral Presiden SBY dan PM Stoltenberg

    Presiden SBY dan PM Stoltenberg melakukan pertemuan bilateral di Hagestuen (Garden Room), di Government Guest House, Jl. Parkveien No. 45, Oslo, pada pukul 15.00 waktu setempat. Pertemuan bilateral tersebut berlangsung selama lebih kurang 30 menit.

    Ironisnya, sebagai ketua tim perunding kerjasama bilateral Indonesia - Norwegia yang Surat Niatnya akan ditandatangani dalam dua jam ke depan, saya tidak dapat masuk ke ruang perundingan bilateral. Tidak bisa masuk Pak, nama Bapak tidak ada di dalam daftar yang ikut pertemuan bilateral dan di dalam ruangan sudah penuh. Presiden sudah di dampingi oleh sejumlah Menteri dan anggota DPR, kata Protokol Istana ketika saya menanyakan kenapa saya tidak boleh masuk.

    Selang satu jam kemudian pertemuan bilateral itu dilanjutkan dengan penandatanganan Surat Niat oleh Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Internasional Kerajaan Norwegia Erik Solheim. Presiden SBY dan Perdana Menteri Jens Stoltenberg menyaksikan penandatangan tersebut. Usai dilakukan penandatanganan Surat Niat, kedua pemimpin Negara tersebut menggelar konferensi pers di ruangan sebelahnya.

    PM Jens Stoltenberg menjelaskan bahwa dalam perjanjian yang telah ditandatangani hari ini, Norwegia telah berkomitmen mendukung usaha Indonesia sampai sebesar satu miliar dollar Amerika. Kontribusi ini akan didasarkan pada keberhasilan pengurangan deforestasi atau kerusakan hutan, yang berarti keberhasilan melakukan pengurangan emisi karbon. Oleh karena itu, menurut saya monitoring dan verifikasi adalah kunci untuk memastikan bahwa upaya mengurangi kerusakan hutan benar-benar terjadi, kata PM Stoltenberg.

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 5352

    Dalam kesempatan itu, Presiden SBY mengungkapkan kegembiraannya karena kerjasama bilateral kedua negara selama ini berjalan baik dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Kerjasama kita bukan hanya di bidang ekonomi, kehutanan, dan lingkungan hidup, tetapi juga termasuk dialog HAM dan kerjasama lain yang kreatif dan inovatif antara Norwegia dan Indonesia, antara negara maju dan negara berkembang, jelas Presiden SBY.

    Indonesia sangat berkepentingan untuk menyelamatkan hutan dan lingkungan kami untuk keselamatan rakyat kami sendiri dan untuk masa depan kami. Oleh karena itulah, Indonesia telah menetapkan sasaran pengurangan emisi sebesar 26 persen dari proyeksi emisi tahun 2020, yang utamanya ditujukan untuk kepentingan bangsa kami, dan sekaligus sebagai upaya untuk menyelamatkan umat manusia, Presiden SBY menerangkan.

    Dalam tiga tahun terakhir, berkat kesungguhan upaya perbaikan pengelolaan hutan, Indonesia telah berhasil mengurangi kebakaran hutan secara signifikan. Selain itu, kami melakukan pembinaan kegiatan diatas lahan gambut dan terus menerus melakukan pemberantasan illegal logging, kata Presiden SBY dalam keterangan pers tersebut.

    Ratusan pelaku kejahatan telah kami penjarakan. Kami juga melakukan reforestasi dan mencegah deforestasi, termasuk gerakan penanaman ratusan juta pohon setiap tahun yang dilaksanakan oleh berbagai komponen masyarakat Indonesia. Semua ini adalah komitmen dan tanggungjawab kami, bangsa Indonesia, untuk mengatasi permasalahan lingkungan di tempat kami sendiri, Presiden SBY menerangkan kepada wartawan.

    Komitmen Indonesia tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Di satu sisi kita masih harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya mengurangi kemiskinan dan meningkatkan taraf hidupnya, tetapi di sisi lain kami juga harus menjaga kelestarian lingkungan kami secara bersungguh-sungguh dan mengelola sebab dan dampak perubahan iklim atau pemanasan global secara baik, ujar Presiden SBY.

    Dalam kondisi seperti itulah kami harus mencapai tujuan kembar. Meskipun ada masalah, kami akan terus berusaha untuk mengatasi itu, baik dengan bantuan atau tanpa bantuan masyarakat internasional. Dengan kerjasama dan bantuan Norwegia terhadap Indonesia dalam mengelola hutan kami,

    saya yakin bahwa Indonesia bisa berbuat lebih baik dan mencapai hasil yang lebih baik juga. Sehingga apa yang kami cita-citakan dan sebagai kontribusi Indonesia bagi upaya penyelamatan paru-paru dunia, bisa cepat diwujudkan, Presiden menambahkan.

    Rabu, 26 Mei 2010, pukul 20.00

    Menghadiri jamuan Makan Malam

    Pada malam harinya Presiden SBY menghadiri jamuan santap malam, atas undangan Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg, di Restoran Lysebu, Oslo. Hadir pula Pangeran Charles dari Kerajaan Inggris pada jamuan makan malam tersebut.

    Setelah semua tamu hadir, Presiden SBY bersama Pangeran Charles menjadi tamu pertama yang dipersilakan duduk di meja jamuan. Di meja bundar Presiden duduk di tempat kehormatan, duduk disebelah PM Stoltenberg, sedangkan Pangeran Charles duduk di sebelah kanan PM Stoltenberg.

    Sementara Presiden SBY, PM Jens Stoltenbern, dan Pangeran Charles berdiskusi ringan, tamu-tamu lain dipersilakan masuk dan duduk di ruang jamuan. Suasana jamuan tampak santai dan hangat, meskipun di luar hujan mulai turun dan udara dingin menusuk tulang.

    Kamis, 27 Mei 2010, pukul 09.00 pagi

    Pidato Presiden: Indonesia Berniat Capai Target Emisi Karbon Melalui Aksi REDD+

    Presiden SBY memberikan Pidato Kunci pada pembukaan konferensi di Saga Hall, Hotel Holmenkolen Rica Park, Oslo, pada hari Kami tanggal 27 Mei 2010. Dalam pidatonya Presiden SBY menegaskan bahwa konferensi Oslo untuk Kehutanan dan Perubahan Iklim sangat penting. Kita harus melakukan berbagai upaya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dan tidak bisa hanya duduk menunggu menunggu terselesaikannya negosiasi mekanisme REDD+ di bawah UNFCCC, ujar Presiden SBY.

  • Moratorium Hutan dan GambutMoratorium Hutan dan Gambut Komitmen Radikal Menjaga HutanKomitmen Radikal Menjaga Hutan 5554

    Presiden menjelaskan bahwa Indonesia bemaksud mencapai sebagian besar target pengurangan emisi karbonnya melalui aksi REDD+. Kami akan mencapai target itu melalui, antara lain, manajemen hutan dan lahan gambut berkelanjutan. Bekerja sama dengan mitra negara maju, kami akan melindungi hutan tropis Indonesia yang kaya akan karbon dan keragaman hayati yang juga penting bagi dunia, melalui upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, jelas Presiden SBY.

    Dalam Pidato Kunci tersebut, Presiden SBY menekankan tiga hal penting. Pertama, pemimpin dunia harus memajukan Copenhagen Accord. Kita mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai apa yang terjadi di Copenhagen, tetapi pesan yang bisa diambil sangat jelas, kita harus membangun momentum. Dua kelompok kerja AWG-LCA (Ad-Hoc Working Group on Long-Term Cooperative Action) dan AWG-KP (Ad-hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties Under the Kyoto Protocol) harus menyelesaikan tugas mereka tepat waktu untuk Cancun akhir tahun ini, ujar Presiden.

    Kedua, KTT Perubahan Iklim di Cancun, Meksiko, harus bisa menghasilkan keputusan yang berdaya dan bisa diterapkan. Dalam hal ini, sebuah keputusan mengenai REDD+ bisa menghasilkan aksi yang harus kita lakukan. Ketiga, kita harus mengatasi defisit kepercayaan y