Presus TIVA
-
Upload
riri-pratiwi-s -
Category
Documents
-
view
38 -
download
3
Transcript of Presus TIVA
BAB 1
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. Sutarman
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Cileungsi
Nomor RM : 359091
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :
Nyeri pada pinggang bagian kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merasa nyeri dan pegal pada pinggang bagian kiri. Pasien ke dokter dan
ditemukan batu pada ginjal, pasien menjalani operasi pengangkatan batu dan dilakukan
DJ STENT, sekarang pasien akan menjalani operasi yang kedua.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Hipertensi : disangkal
- Diabetes militus : (+) sudah 1 tahun mengkonsumsi obat gliquidone
- Asma dan gangguan pernapasan : disangkal
- Alergi : disangkal
4. Riwayat operasi dan anestesi
Pasien sudah dua kali menjalani operasi, keduanya dengan anestesi umum. Pada operasi
kedua pasien mengeluh susah BAB selama 1 minggu.
5. Kebiasaan
- Merokok : disangkal
- Alkohol : disangkal
- Obat-obatan terlarang : disangkal
1
PEMERIKSAAN FISIK
1. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 150/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu : 36ºC
Berat badan : 71kg
Tinggi badan : 171cm
2. Status Generalis
- Kepala : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Leher : trakea ditengah, tidak ada pembesaran KGB, bentuk simetris, mallampati II
- Thorax : bentuk (simetris, permukaan rata), palpasi (retraksi (-/-), fremitus (N/N),
perkusi (redup), auskultasi (suara dasar vesikuler(+/+))
- Abdomen : simetris, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba lien dan hepar, perkusi
timpani, bising usus normal
- UG : laki-laki, tidak ada kelainan
- Ekstremitas : akral hangat, tidak terdapat edema.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Hematologi
Darah rutin : 13,4 (13-18 g/dl)
Hemoglobin : 41 (40-52%)
Eritrosit : 4.8 (4.3 – 6.0 juta/uL)
Leukosit : 8700 (4800 – 10800/uL)
Trombosit : 314000 (150000 - 400000)
Bleeding time : 2 (1 – 3 menit)
Clotting time : 5 (1 – 6 menit)
MCV : 86 (80-96 fl)
MCH : 28 (27-32 pg)
MCHC : 33 (32-36 g/dl)
Kimia
SGPT(ALT) : 33(<40 U/L)
SGOT(AST) : 24 (<35 U/L)
Ureum : 22 (20-50 mg/dL)
2
Kreatinin :1.6 (0.501.5 mg/dL)
Asam urat :5.2 (3.5-7.4 mg/dL)
Glukosa puasa:254 (70-100 mg/dL)
Glukosa 2 jam PP:315 (<140 mg/dL)
b. Radiologi
DBN
c. EKG
DBN
D. KESIMPULAN
a. Diagnosis bedah : Dj stent insitu sinistra
b. Diagnosis anestesi : Status fisik ASA : II
E. RENCANA PEMBEDAHAN
AFF DJ STENT
F. RENCANA TEKHNIK ANESTESI
Anestesi umum dengan Total Intravena Anestesi (TIVA)
H. LAPORAN ANESTESI
1. Persiapan Anestesi
a. Informed consent : menginformasikan pada pasien mengenai tindakan medis yang
akan dijalani ileh pasien, prosedur, kemungkinannya dan resiko-resiko yang
diramalkan kemungkinan terjadi.
b. Persetujuan operasi tertulis : merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga
pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan dilakukan
sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien tidak akan
mengajukan tuntutan.
c. Puasa 6-7 jam
2. Persiapan alat
Mesin anestesi, oksimeter, sfigmomanometer digital dan monitor EKG
Syringe pump
Infus set dan cairan infus
Kanul nasal
Cairan antiseptik
3
Kateter urin
Kassa dan plester
Laringoskop, ETT no. 7.5-8.5, guedel dan suction
3. Penatalaksanaan Anestesi
Anestesi : Total intavena anestesi
Premedikasi : Midazolam 1mg, fentanyl 75mg
Induksi : Propofol 50mg
Maintenance : O2 = 2 L/menit, N2O = 2 L/menit.
3. Pemantauan selama anestesi
Tanda vital selama operasi tiap 15 menit, cairan, perdarahan, ketenangan pasien
4. Waktu Anestesi
- Mulai anestesi : 08.45
- Mulai Operasi : 08.55
- Selesai Operasi: 09.00
- Selesai anestesi : 09.10
Cairan yang masuk durante operasi : RL 500ml
Pukul
Tekanan
darah (mmHg) Nadi (x/menit) Saturasi O2
08.45 159/89 80 99
09.00 140/90 83 99
09.10 140/100 85 99
I. TERAPI CAIRAN
Selama anestesi diberikan cairan Ringer Laktat 500cc, sebanyak 1 kolf, tujuan pemberian
cairan agar pasien tidak kekurangan cairan setelah puasa dan saat operasi.
J. RECOVERY ROOM
Pukul 09.12
4
Setelah pasien dibawa ke ruang pemulihan lalu dilakukan penilaian pada fungsi vital TD :
150/80 mmHg, N: 80x/menit.
Penilaian pulih sadar di ruang pemulihan dengan menggunakan aldrette score sebagai
berikut :
1. Aktivitas : 2
2. Sirkulasi : 2
3. Pernafasan : 2
4. Kesadaran : 2
5. Warna kulit : 2
Keluar kamar pulih pukul : 09.30
Instruksi pasca anestesi selama di ruang pemulihan :
Bila sakit beri, petidin 25 mg
Bila mual/muntah beri, ondansetron 8 mg
Obat-obatan lain, tidak dipakai
Infus, RL 30tpm
Pemantauan tekanan darah, nadi, nafas setiap 30 menit
Lain-lain, bed rest
K. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
5
BAB II
PENDAHULUAN
Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik obat
yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot. Setelah berada didalam
pembuluh darah vena, obat – obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui
sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target organ masing–masing dan akhirnya
diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya masing-masing.
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran
dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian
harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi
dapat memberikan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat
memberikan efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal.
Pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting, membutuhkan pertimbangan
yang sangat matang dari pasien dan faktor pembedahan yang akan dilaksanakan, pada
populasi umum walaupun regional anestesi dikatakan lebih aman daripada general anestesi,
tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa teknik yang satu lebih baik dari yang lain,
sehingga penentuan teknik anestesi menjadi sangat penting.
Pemahaman tentang sirkulasi darah sangatlah penting sebelum obat dapat diberikan secara
langsung ke dalam aliran darah, kedua hal tersebut yang menjadi dasar pemikiran sebelum
akhirnya anestesi intravena berhasil ditemukan.
SEJARAH
William Morton , tahun 1846 di Boston , pertama kali menggunakan obat anestesi dietil eter
untuk menghilangkan nyeri selama operasi. Di jerman tahun 1909, Ludwig Burkhardt,
melakukan pembiusan dengan menggunakan kloroform dan ether melalui intravena, tujuh
tahun kemudian, Elisabeth Brendenfeld dari Swiss melaporkan penggunaan morfin dan
skopolamin secara intravena. Sejak diperkenalkan di klinis pada tahun 1934, Thiopental
menjadi “Gold Standard” dari obat – obat anestesi lainnya, berbagai jenis obat-obat hipnotik
tersedia dalam bentuk intavena, namun obat anestesi intravena yang ideal belum bisa
ditemukan.
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. TOTAL INTRAVENA ANESTESI
Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan obat
langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat tersebut digunakan untuk
premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik. Induksi anestesi seperti misalnya
tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada
tindakan analgesia regional.
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat – obat anestesi dan yang
digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton, Diazepam ,
Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.
TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi yang
dimasukkan lewat jalur intravena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA
digunakan buat mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yang menurut Woodbridge
(1957) yaitu blok mental, refleks, sensoris dan motorik. Atau trias A (3 A) dalam anestesi
yaitu
1. Amnesia
2. Arefleksia otonomik
3. Analgesik
4. +/- relaksasi otot
Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka kita membutuhkan kombinasi dari obat-
obatan intravena yang dapat melengkapi keempat komponen tersebut. Kebanyakan obat
anestesi intravena hanya memenuhi 1 atau 2 komponen di atas kecuali Ketamin yang
mempunyai efek 3 A menjadikan Ketamin sebagai agen anestesi intravena yang paling
lengkap.
Kelebihan TIVA:
Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis yang lebih
akurat sesuai yang dibutuhkan.
Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi sekitar jalan
nafas atau paru-paru.
Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang khusus.
Indikasi :
7
1. Obat induksi anesthesia umum
2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anestesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)
Cara pemberian :
1. Sebagai obat tunggal :
· Induksi anestesi
· Operasi singkat: cabut gigi
2. Suntikan berulang :
· Sesuai kebutuhan : curetase
3. Diteteskan lewat infus :
· Menambah kekuatan anestesi
Persiapan Pra Anestesi
Tujuan utama persiapan pra anestesi atau kunjungan pra anestesi ialah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Beberapa hal yang dilakukan.
1. Anamnesis. Riwayat apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya, untuk
mengetahui ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, muntah-
muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat
merancang anestesi berikutnya dengan lebih baik. Kebiasaan merokok sebaiknya
dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem
kardiovaskularisasi.
2. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting diketahui apakah menyulitkan tindakan laringoskop intubasi. Leher pendek
dan kaku juga akan menyulitkan laringoskop intubasi.
3. Pemeriksaan laboratorium. Mengharuskan uji laboratorium secara rutin, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan, dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Dianjurkan juga untuk pemeriksaan EKG dan foto toraks
8
Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology), yaitu :
ASA1 : Pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimia dan psikiatri. Angka mortalitas mencapai 2 %.
ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang karena penyakit bedah
maupun proses patofisiolgis. Angka mortalitas mencapai 16 %.
ASA 3 : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas . Angka mortalitas mencapai 36 %.
ASA 4 : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya dan tidak selalu sembuh dengan operasi. Angka mortalitas mencapai 68 %.
ASA 5 : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tidak ada
harapan. Tidak ada harapan hidup dalam 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Angka
mortalitas mencapai 98 %.
JENIS-JENIS ANESTESI INTRAVENA
Propofol
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan lebih
dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada
tahun 1977 sebagai obat induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien
dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan
minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam
etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat
obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik
dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg).
Mekanisme kerja : Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi
diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired
Acid).
9
Farmakokinetik : Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat
protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif,
waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2 – 24 jam. Namun dalam kenyataanya di
klinis jauh lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi. Dosis
induksi cepat menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih juga
relatif singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik
murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.
Farmakodinamik :
Pada sistem saraf pusat : Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana
dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik,
pada pemberian dosis induksi (2mg /kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat.
Pada sistem kardiovaskular : Dapat menyebakan depresi pada jantung dan pembuluh
darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi,
pengaruh terhadap frekuensi jantung juga sangat minim.
Sistem pernafasan : Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam
beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian
diprivan
Dosis :
Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.
Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infuse
Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 – 150 µg/kg/min IV (titrate to effect).
Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila digabung
penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang minimal
0,2%
Profofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan
yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk
mencegah kontaminasi dari bakteri.
10
Efek samping : Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri
ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat
dihilangkan dengan menggunakan lidocain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1
sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan,
berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali
ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi
lemak sehingga pemberiannya harus hati – hati pada pasien dengan gangguan metabolisme
lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis.
Tiopenton
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal dengan nama
sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat
anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan
memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai
puncak konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak dan
kesadaran kembali seperti semula. Dosis yang banyak atau dengan menggunakan infus akan
menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.
Beberapa jenis barbiturat seperti thiopental [5-ethyl-5-(1-methylbutyl)-2-thiobarbituric acid],
methohexital [1-methyl-5-allyl-5-(1-methyl-2-pentynyl)barbituric acid], dan thiamylal [5-
allyl-5-(1-methylbutyl)-2-thiobarbituric acid]. Thiopental (Pentothal) dan thiamylal (Surital)
merupakan thiobarbiturates, sedangan methohexital (Brevital) adalah oxybarbiturate.
Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra singkat , tiopental merupakan
obat terlazim yang dipergunakan untuk induksi anasthesi dan banyak dipergunakan untuk
induksi anestesi.
Mekanisme kerja : Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan
menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf pusat, barbiturat menekan
sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang
beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk
kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada sinap
saraf dari pada akson. Barbiturat menekan transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam
gamma aminobutirik (GABA). Mekanisme spesifik diantaranya dengan pelepasan transmitter
(presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).
11
Farmakokinetik :
Absorbsi : Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara
intravena untuk induksi anestesi umum pada orang dewasa dan anak – anak.
Perkecualian pada tiopental rektal atau sekobarbital atau metoheksital untuk induksi
pada anak – anak. Sedangkan phenobarbital atau sekobarbital intramuskular untuk
premedikasi pada semua kelompok umur.
Distribusi : Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan
tubuh selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya akan
vaskularisasi, secara perlahan akan mengalami difusi kedalam jaringan lain seperti
hati, otot, dan jaringan lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam
plasma ini terutama oleh karena redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak.
Metabolisme : Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.
Ekskresi : Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi terjadi 3
ml/kg/menit dan pada anak – anak terjadi 6 ml/kg/menit.
Farmakodinamik :
o Pada Sistem saraf pusat : Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi
menimbulkan hiperalgesia pada dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan
metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang tinggi akan
menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.
o Sistem kardiovaskular : Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat
meningkatkan frekwensi jantung, penurunan tekanan darah sangat tergantung dari
konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan karena efek depresinya pada otot
jantung, sehingga curah jantung turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot
jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan disritmia bila terjadi resistensi
Co2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan pulih normal
dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi dapat
terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh darah karena
depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi oleh
karena efek depresi langsung obat pada miokard.
o Sistem pernafasan : Akan mennyebabkan penurunan frekwensi nafas dan volume
tidal. bahkan dapat sampai menyebakan terjadinya asidosis respiratorik.
12
Dosis : Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk menghindarkan efek
negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi
pasien.
Efek samping : Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan
memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab
hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat juga
kontraindikasi pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi enzim
d-aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan
kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat
diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis
Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki struktur mirip
dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962, dimana awalnya obat ini
disintesis untuk menggantikan obat anestetik yang lama (phencyclidine) yang lebih sering
menyebabkan halusinasi dan kejang. Obat ini pertama kali diberikan pada tentara amerika
selama perang Vietnam.
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non
barbiturate general anesthesia”. Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali
diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan sebagai anestesi umum.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi,
hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk.
Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan
mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena.
Mekanisme kerja : Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat
dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi
terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.
Farmakokinetik :
Absorbsi : Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular
Distribusi : Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan
didistribusikan ke seluruh organ.10 Efek muncul dalam 30 – 60 detik setelah pemberian
13
secara I.V dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika
diberikan secara I.M maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.
Metabolisme : Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati
menjadi beberapa metabolit yang masih aktif.
Ekskresi : Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal.
Farmakodinamik :
a) Susunan saraf pusat : Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien
akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata
berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang
dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan
mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang
merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Apabila diberikan secara
intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi
buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi.
Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah intrakranial.
Konsentrasi plasma (Cp) yang diperlukan untuk hipnotik dan amnesia ketika operasi
kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml (sampai 4,0 µg/ml buat anak-anak). Pasien
dapat terbangun jika Cp dibawah 0,5µg/ml.
Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat (NMDA) yang non
kompetitif yang menyebabkan :
Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat
Mengurangi pembebasan presinaps glutamat
Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang berupa:
Mimpi buruk
Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari badan)
Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi
Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan
20%-30% terjadi pada orang dewasa
Dewasa > anak-anak
Perempuan > laki-laki
14
b) Mata : Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi
peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus
koroidalis.
c) Sistem kardiovaskuler Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik,
sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah
akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
d) Sistem pernafasan : Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem
respirasi. dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya,
sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma.
Dosis : Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila akses
pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak – anak. Ketamin bersifat larut air sehingga
dapat diberikan secara I.V atau I.M. Dosis induksi adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 –
10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi
untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara
intermitten atau kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan
dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai. Dosis obat untuk menimbulkan efek
sedasi atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau 5 – 10 µg/kg/min
IV drip infus.
Efek samping : Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada
mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi buruk
juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka
selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat
menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.
Kontra indikasi : Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang
telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien
yang menderita penyakit sistemik penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan
intrakranial yang meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi
intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada
operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat –
obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.
Opioid
15
Opioid telah digunakkan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Obat opium
didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum, dan kata “opium “ berasal dari
bahasa yunani yang berarti getah.
Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine, meperidine, fentanyl,
sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan golongan opioid yang sering digunakan
dalam general anestesi. efek utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid
kadang digunakan dalam operasi kardiak. Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan
efek samping.
Mekanisme kerja : Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf
pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , μ,Ќ,δ,σ. Walaupun opioid
menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari
spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya
aktif. Aktivasi reseptor opiat menghambat pelepasan presinaptik dan respon postsinaptik
terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.
Farmakokinetik :
Absorbsi : Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin
intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat
transmukosal oral merupakan metode efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan
onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 μg/Kg) dan dewasa
(200-800 μg).
Distribusi : Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang
rendah dan morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja
lambat dan durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya
cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus.
Metabolisme : Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran
darah hepar. Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif.
Ekskresi : Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier
dan tergantung pada aliran darah hepar. 5 – 10% opioid diekskresikan lewat urine
dalam bentuk metabolit aktif, remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot
polos esterase.
Farmakodinamik :
o Efek pada sistem kardiovaskuler : System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan
baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot pembuluh darah 3.Tahanan
pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi penurunan aliran simpatis
16
medulla, tahanan sistemik juga menurun hebat pada pemberian meperidin atau morfin
karena adanya pelepasan histamin.
o Efek pada sistem pernafasan : Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai
dengan penurunan frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun .11
PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2
menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu menimbulkan depresi pusat
nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang
refleks batuk pada dosis tertentu.
o Efek pada Sistem gastrointestinal : Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga
pengosongan lambung juga terhambat.
o Endokrin : Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat
stress anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah relatif
stabil.
Dosis : Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena 0,5
mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil seperseratus dari petidin.
Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam
(valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut
dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan
emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis
tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan
benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.
Farmakokinetik : Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan
muncul setelah 4 – 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari
benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi
dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam didistribusikan secara cepat
setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.
Farmakodinamik :
Dalam sistem saraf pusat : Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi
otot dan mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak
dan laju metabolisme.
17
Efek Kardiovaskuler : Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan
cardiac out put. Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, perubahan
hemodinamik mungkin terjadi pada dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan
opioid.
Sistem Respiratori : Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal ,
depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien
dengan retardasi mental.
Efek terhadap saraf otot : Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di
tingkat supraspinal dan spinal , sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita
kekakuan otot rangka.
Dosis : Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.
o Untuk preoperatif digunakan 0,5 – 2,5mg/kgbb
o Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 – 5 mg
o Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.
o Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.
Efek samping : Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika digunakan sebagai
sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada vena dan trombophlebitis.
Benzodiazepine turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia pada pasien. Efek
Benzodiazepines dapat di reverse dengan flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV
prn to 1 mg, dan 0.5 – 1 mcg/kg/menit berikutnya.
Etomidat
Etomidat (Amidat) merupakan obat induksi intravena yang bekerja cepat dengan efek
gangguan hemodinamik yang minimal beserta efek depresi pernafasan yang sedikit. Selain
efek hemodinamik yang stabil dan kurang mendepresi pernafasan obat ini juga bahkan
memproteksi fungsi serebral serta lebih aman dibandingkan dengan tiopenton. Etomidat
bersifat tidak stabil dan tidak larut dalam air maka dengan itu etomidat biasanya tersedia 2
mg/ml dalam propylene glycol (35% dalam vol) dengan pH 6,9 dan osmomalitas s4,640
mOsm/l.
Ekskresi : metabolit etomidat diekskresi ke urin sebanyak 85% manakala sisa 15% diekresi di
lewat empedu.
Farmakodinamik :
18
Sistem saraf pusat : Bersifat hipnotik dengan dosis 0,2-0,3 mg/kgIV dengan onse 5-15
menit. Efek hipnotik kemungkinan berasal dari efek sistem GABA-Adrenergik.
Etomidat tidak mempunyai efek analgesik sama sekali. Etomidat menurunkan tekanan
intracranial dan aliran darah serebral. Selain itu dapat menurunkan kadar metabolit
oksigen pada otak (CMRO2). Tekanan mean arteri (MAP) tidak banyak berubah jadi
perfusi serebral akan meningkat dan ratio oksigen suplai pada serebral : demand turut
meningkat. Etomidat memberikan gambaran EEG yang mirip dengan barbiturate. Obat
ini juga bisa menyebabkan gerakan mioklonik.
Mata : Menurunkan tekanan intraocular dalam waktu 5 menit
Sistem Kardiovaskuler : Etomidat mempunyai efek yang minimal pada sistem
kardiovaskular. Hanya 10% efek dari etomidat yang meningkatkan nadi. Induksi
etomidat dengan dosis 0.3 mg/kg hanya menyebabkan perubahan yang minimal (<10%)
pada MAP (Mean arterial pressure), Stroke volume (SV) dan CVP (central venous
pressure). Suplai O2 miokard : demand tetap stabil.
Sistem pernafasan : Depresi pada respon CO2 lebih sedikit berbanding barbiturat.
Bolus induksi dapat menyebabkan hiperventilasi pada permulaan pemberian, bisa juga
terjadi apnoe pada awal pemberian, sedikit peningkatan pada PaCO2, bisa timbul
hiccup dan kadang-kadang menyebabkan batuk. Tidak ada penglepasan histamin.
Sistem endokrin : Ciri khas dari etomidat adalah dapat menginhibisi sintesis steroid
adrenal. Etomidat memblokir secara reversibel pada 11-beta-hydroxylase (sedikit pada
17-alpha-hydroxylase) yang menyebabkan penurunan produksi dari kortisol,
kortikosteron dan aldosteron. Mekanisme tersebut berasal dari ikatan imidazole bebas
pada sitokrom-P450 yang menghambat sintesis asam askorbat. Asam askorbat
diperlukan dalam memproduksi steroid dalam tubuh. Biasanya Vitamin C diberikan
setelah pasien selesai operasi jika pasien telah diinduksi dengan etomidat.
Dosis :
Induksi 0.2 – 0.4 mg/kg IV
Rektal induksi (peds) 6.5 mg/kg -> hipnotik dalam 4 menit (hemodinamik stabil,
recovery cepat)
Maintenance:
Diperlukan 300 – 500 ng/ml plasma level
“TECHNIC OF TENS”:
10×10 = 100 ug/kg/mnt untuk 10 menit berikutnya
10 ug/kg/mnt dan D/C 10 menit sebelum dibangunkan
19
Efek samping :
o Menyebabkan nyeri pada injeksi tetapi dapat dikurangi dengan
o Menggunakan sediaan dalam propylene glycol
o Volume yang lebih besar
o Premedikasi
o Pemberian Lidokain 1-2 menit sebelumnya
Dapat menyebabkan gerakan mioklonik dan dapat dikurangi dengan premedikasi
benzodiazepine atau obat narkotika lainnya. Bisa menyebabkan mual dan muntah tapi jarang.
Setelah pemberian etomidat dapat terjadi hiccup. Bisa juga menyebabkan trombophlebitis
kebanyakannya pada pemberian sediaan dalam propylene glycol.
Kontra indikasi : Jangan diberikan dalam jangka panjang selama beberapa jam atau hari
karena dapat menginhibisi sintesis adrenal steroid sehingga terjadi penurunan kortisol dan
aldosteron.
20
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien akan menjalani operasi AFF DJ STENT dan dipilih anestesi umum
dengan cara TIVA, karena operasi ini merupakan operasi yang ringan dan singkat. Tekhnik
anestesi ini juga dikarenakan waktu yang cepat untuk induksi dan pemulihan.
Pasien diberikan cairan RL selama operasi berlangsung. RL merupakan cairan kristaloid,
bersifat isotonik, yang artinya memiliki osmolaritas yang sama dengan plasma. RL efektif
dalam mengisi sejumlah volume cairan ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat,
dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera.
Obat-obat yang diberikan :
Midazolam 1 mg
Midazolam adalah obat penghambat SSP golongan benzodiazepine. Pemberian midazolam
sebagai premedikasi. Midazolam memiliki onset kerja yang lebih cepat memberikan
ketenangan pada pasien agar pasien tidak gelisah , efek amnesia yang lebih besar, efek sedasi
yang lebih kecil, serta masa pemulihannya lebih cepat. Pada dosis kecil sebagai sedatif,
sedangkan pada dosis tinggi sebagai hipnotik.
Fentanyl 75 mg
Fentanyl lebih banyak digunakan dibandingkan morfin karena menimbulkan analgesia yang
lebih kuat dengan depresi napas yang lebih ringan, kesadaran tidak sepenuhnya hilang.
Fentanyl lama kerjanya 30 menit. Dosis fentanyl: 1-3 mcg/kgBB
Propofol 50 mg
Propofol digunakan sebagai obat induksi, merupakan obat induksi sedatif dan menimbulkan
anestesi cepat dengan pemulihan yang lebih cepat dan pasien segera merasa lebih baik. Efek
propofol sesudah pemberian IV yaitu terjadi depresi napas sampai apneu selama 30 detik. Hal
ini diperkuat bila digunakan opioid sebagai medikasi praanestetik. Dimetabolisme di hati
tetapi klirens totalnya lebih besar dari aliran darah hati yang menunjukkan bahwa eliminasi
ekstra hepatik. Sifat ini menguntungkan untuk pasien dengan gangguan metabolisme hati.
Setelah operasi, pasien dibangunkan, pasien bangun dan di pindahkan ke ruang pemulihan
21
Petidin 25 mg
Petidin digunakan sebagai analgesia untuk semua tipe nyeri yang sedang sampai berat.
Misalnya sebagai suplemen sedasi sebelum pembedahan, nyeri pada infark miokardium
walaupun tidak seefektif morfin sulfat, mengatasi nyeri setelah operasi, atau nyeri lainnya
yang tidak dapat diatasi dengan obat biasa, untuk menghilangkan ansietas (kecemasan) pada
pasien dengan dispnea (sesak nafas) karena acute pulmonary edema dan acute left ventricular
failure. Petidin memiliki waktu paruh selama 5 jam. Dan durasi analgesinya pada penggunaan
klinis 3-5 jam.
Ondansetron 8 mg
Serotonin 5-hydroxytriptamine (5HT3) merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat
toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus
menyampaikan rangsangan ke CTZ (chemoreseceptor trigger zone) dan pusat muntah dan
kemudian terjadi mual dan muntah. Ondansetron dibandingkan dengan obat anti mual dan
muntah yang lain adalah: Sangat efektif mengatasi mual dan muntah yang hebat. Relatif lebih
aman karena tidak menimbulkan reaksi ekstrapyramidal. Indikasi : salah satunya pencegahan
mual dan muntah pasca operasi.
22
BAB V
KESIMPULAN
Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus diperhatikan agar tindakan anestesi
tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi. Pemeriksaan yang baik
dan teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah
yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat menentukan teknik
anestesi yang akan dipakai. Selain itu, pemilihan obat dan dosisnya harus benar- benar
diperhatikan agar tidak menimbulkan bahaya bagi penderita.
Dalam laporan ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum dengan cara TIVA pada
operasi AFF DJ STENT pada pasien laki-laki, umur 65 tahun, status fisik ASA II dengan
diagnosis DJ STENT, dimana sebelumnya pasien menjalani operasi pengangkatan batu
ginjal dan dilakukan DJ STENT
Pada pelaksanaan kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga
tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi
dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.
.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta : FKUI
2. Dobson Michael B, Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 1994
3. Gan, Sulistia, Farmakologi dan Terapi, edisi ke-5 FKUI, Jakarta, 2008
4. Hyderally H. Complications of Spinal Anesthesia. The Mountsinai Journal of Medicine. Jan-Mar 2002.
24